RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA
Nomor 23/PUU-XX/2022
“Ketentuan Klausula Baku Pada Dokumen Dan/Atau Perjanjian”
I. PEMOHON
Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx
Kuasa Hukum:
Xxxx Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H., dkk, Berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 3 Februari 2022.
Selanjutnya disebut sebagai Pemohon;
II. OBJEK PERMOHONAN
Permohonan Pengujian Materiil Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945; “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang- Undang Dasar”
2. Bahwa kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tersebut telah dituangkan juga kedalam berbagai peraturan perundang-undangan, yakni (i) Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011; dan (ii) Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
3. Bahwa Selain itu, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur jenis dan hierarki kedudukan UUD 1945 lebih tinggi daripada Undang- Undang. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam Undang-Undang yang bertentangan dengan UUD 1945, ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang;
4. Bahwa Pemohon memohon untuk melakukan pengujian Pasal 18 ayat (1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili permohonan ini.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi mengatur bahwa:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.”
Selanjutnya, Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”
2. Bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU-V/2007, juga menyebutkan tentang kapasitas Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, yaitu:
a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji;
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
3. Bahwa Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia dimana dalam hal ini, Pemohon pengguna transportasi online dalam beraktivitas sehari-hari.
4. Bahwa untuk memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 11/PUU- V/2007, Pemohon merasa perlu penting untuk menjelaskan kronologis yang mengakibatkan Pemohon dirugikan secara langsung atas kata “Kerugian” yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPer yang dimaknai termasuk juga honorarium atas Jasa Hukum dari Penggugat kepada Pemohon incasu Tergugat.
5. Bahwa adapun kronologi dari kerugian konstitusional yang dialami Pemohon adalah sebagai berikut:
a. Bahwa karena mobilitas yang tinggi, dimana kala itu Pemohon berkuliah di UI, bekerja di DPRD DKI, riset skripsi di DPR RI, Pemohon pergi kemanapun menggunakan Grab Bike sehingga pemohon berhasil menyelesaikan challenge Xxxxxxxxxx pada 8 Agustus 2019.
b. Namun, reward sebesar Rp 1.000.000,00 tidak didapatkan Pemohon. Pemohon bingung dan segera mengkontak Grab Indonesia untuk menanyakan hal
tersebut. Pemohon hanya mendapat jawaban, “Menanggapi email Anda mengenai Challenges (Jugglenaut), mohon kesediaan dan kesabarannya untuk menunggu hingga proses ini selesai”
c. Hingga 21 Agustus 2019, yang mana sudah melewati jangka waktu, reward tetap tidak diberikan. Pemohon menghubungi Grab Indonesia kembali dan juga mengirimkan peringatan, yang lalu dijawab, “Anda tidak perlu khawatir, dan mohon kesediaannya untuk menunggu proses verifikasi hingga selesai, periode berakhir pada tanggal 31 Agustus 2019”.
d. Selain sudah melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sekarang terjadi pengingkaran terhadap ketentuan yang sudah diubahnya sendiri, padahal dijanjikan 7 hari kerja, namun sekarang Pemohon diminta menunggu hingga akhir bulan.
e. Pemohon tetap beritikad baik menunggu hingga 31 Agustus 2019 yang jatuh pada hari Sabtu. Namun, Pemohon tidak kunjung mendapatkan reward tersebut.
f. Sebagai itikad baik, Pemohon kemudian menunggu hingga hari Senin, 2 September 2019. Namun, tetap tidak ada reward, bahkan juga tidak ada keterangan atau penjelasan apapun,
g. Pemohon berpandangan bahwa gugatan Pemohon bukanlah hanya karena tidak diberikannya reward. Pemohon mempermasalahkan perbuatan Grab yang seenaknya mengubah klausula baku padahal perbuatan tersebut dilarang, bahkan mengingkari juga ketentuan yang sudah diganti dengan seenaknya sendiri, dan bahkan baru memberikan reward setelah digugat dahulu. Pemohon berharap ada refleksi untuk memperbaiki diri dari Grab Indonesia sendiri sehingga Pemohon melanjutkan perkara tersebut.
h. Perkara tersebut akhirnya diputus NO karena ada ketentuan klausula baku dalam penggunaan aplikasi Grab, bahwa sengketa antara Grab dan konsumen harus diselesaikan di Badan Arbitrase Nasional Indonesia, bukan Pengadilan Negeri.
6. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon dengan diberlakukannya Pasal 18 ayat
(1) UU Perlindungan Konsumen yang berbunyi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
7. Bahwa berdasarkan uraian diatas, kerugian konstitusional telah terjadi kepada Pemohon. Maka Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai Pemohon Pengujian Undang-Undang dalam perkara a quo karena telah memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi beserta Penjelasannya dan syarat kerugian hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007.
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945
A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 8 ayat (1)
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945.
1. Pasal 28D
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Pasal 33 ayat (4)
Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(4)
VI. ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa tidak dicantumkannya kepastian dalam penentuan penyelesaian sengketa yang terdapat dalam klausula baku, maka Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin adanya pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
2. Bahwa “...menurut Mahkamah, UU 8/1999 telah dirumuskan dengan mengacu pada filosofi pembangunan nasional... termasuk pembangunan hukum yang memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. UU 8/1999 hadir untuk melindungi kepentingan konsumen secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat tanpa mematikan usaha para pelaku usaha, melainkan untuk mendorong iklim berusaha yang sehat yang mendorong lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas...” (vide. Putusan MK No. 65/PUU-XIII/2015);
3. Bahwa “... selain mengenai perlindungan konsumen sebagaimana tercantum di atas, UU 8/1999 juga mengatur mengenai hak-hak konsumen yang merupakan tindakan yang dapat diambil atau dipilih oleh konsumen apabila terdapat perbuatan atau perlakuan yang dirasakan tidak adil terhadap konsumen, sehingga secara konstitusional konsumen bisa bertindak lebih jauh dalam memperjuangkan hak-hak dimaksud. Atau, dengan kata lain, konsumen dapat dengan bebas melakukan pilihan untuk menghindari kerugian hak konstitusional yang dimilikinya apabila ada anggapan atau dugaan bahwa tindakan dari usaha atau penyedia jasa dapat merugikan konsumen...” (vide. Putusan MK No. 91/PUU-XV/2017);
4. Bahwa dengan demikian, Mahkamah Konstitusi telah berpandangan dengan tegas, yang merupakan jiwa terutama daripada Perlindungan Konsumen adalah semata-mata untuk melindungi dan menegakkan hak-hak daripada konsumen, dimana posisi konsumen jelas lebih lemah dari pelaku usaha, sehingga memerlukan Hukum Perlindungan Konsumen untuk menegakkan hak-hak konsumen agar tidak dizholimi oleh pelaku usaha;
5. Bahwa ternyata, sekalipun sudah sedemikian rupa Hukum Perlindungan Konsumen berupaya menegakkan hak-hak konsumen, namun masih ada celah- celah yang selalu berupaya ditembus oleh pelaku usaha, demi membuat kedudukan yang lebih tinggi daripada konsumen. hal ini dilakukan dengan cara mempersulit konsumen untul menegakan haknya. Salah satunya dalam perkara a quo.
6. Bahwa Pelaku usaha membuat term and conditions (klausula baku) yang menentukan forum penyelesaian sengketa ketika terjadi sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen. Pelaku usaha menentukan forum tersebut secara sepihak sehingga konsumen tidak mempunyai pilihan penyelesaian sengketa apapun selain yang ditentukan oleh pelaku usaha. Hal ini dimanfaatkan oleh Pelaku Usaha dengan cara menentukan forum penyelesaian sengketa yang sangat tidak mengutungkan bagi konsumen, baik karena lokasi yang jauh dan/atau biaya pengunaan forum yang mahal. Seperti misalnya ada marketplace yang memilih penyelesaian sengketa di SIAC (Singapore Arbitration Centre) padahal menjalankan usahanya di Indonesia, menjual jasa bagi masyarakat indonesia dan tunduk pada hukum Indonesia.
8. Bahwa perlu diingat, jika pada umumnya sengketa perlindungan konsumen adalah sengketa yang bernilai kecil dan perkaranya sederhana. Oleh karenanya, konsumen harus diberikan keleluasaan sebebas-besanya untuk memilih cara penyelesaian sengketa terbaik bagi dirinya sendiri. Hal ini bisa saja dilakukan dengan misalnya melalui gugatan sederhana di pengadilan negeri. Namun apabila ada klausula baku forum penyelesaian sengketa yang ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha sudah pasti tentu akan menghambat konsumen dalam menentukan jalan terbaik untuk menyelesaikan sengketanya. Dengan demikian eksistensi Xxxxxxxx baku forum penyelesaian sengketa bertentangan dengan Geist (jiwa) dari perlindungan konsumen.
9. Bahwa mahkamah konstitusi sebagai guardian of constitution telah berulang kali menegakan hak konstitusional masyarakat dengan memberikan perlindungan hukum yang adil melalui perumusan norma yang sebelumnya vacum atau rechts vacum.
10. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan ketentuan dalam Pasal 45 dan Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan amar selain yang yang ditetapkan dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), memberi perintah kepada pembuat Undang-Undang, dan rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
11. Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka dengan tidak adanya pelarangan bagi pelaku usaha untuk mencantumkan forum penyelesaian sengketa konsumen pada perjanjian baku secara nyata dan jelas telah bertentangan dengan semangan penyelenggaraan perekonomian nasional yang ditetapkan konstitusi guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.
12. Bahwa dalam Hukum perjanjian, Salah satu asas hukum yang dianut adalah “asas kebebasan berkontrak”, yang berarti setiap orang bebas untuk mengadakan suatu perjanjian yang memuat syarat-syarat perjanjian macam apapun, sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beritikad baik, serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak dan hak asasi manusia. Pemahaman terhadap asas ini membawa pengertian bahwa setiap orang mempunyai kebebasan untuk mengikatkan dirinya pada orang lain. Meskipun begitu, dalam era modern saat ini, Perusahaan-perusahaan menciptakan bentuk kontrak sebagai bagian untuk
menstabilkan hubungan pasar. Bentuk kontrak yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak yaitu perjanjian baku (klausula baku).
13. Bahwa menurut Pasal 1 Angka 10 UU Perlindungan Konsumen, Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Kemudian Menurut Xxxx. Xxxxxxx Xxxxxxx, pakar perlindungan konsumen, Perjanjian baku merupakan perjanjian yang didalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa mengikut sertakan konsumen dalam menyusun kontrak, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain, dan dalam keadaan dibawah kekuasaannya. Sedangkan klausula baku adalah pasal-pasal yang terdapat dalam perjanjian baku. baik berbentuk elektronik/digital atau non-digital.
14. Berdasarkan definisi diatas, klausula baku pada dasarnya diperlukan untuk membuat perjanjian dengan tujuan efektivitas waktu. Karena tanpa adanya klausula baku, maka pembuatan perjanjian akan memakan waktu yang lama karena perlu persetujuan antara para pihak. Apabila suatu perjanjian yang mengandung syarat baku tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana pada Pasal
18 ayat (3) UU Perlindungan konsumen, maka perjanjian tersebut dinyatakan batal demi hukum.
15. Bahwa Pemenuhan hak asasi manusia menjadi salah satu barometer dalam menentukan maju atau tidaknya suatu negara dari aspek kesejahteraan sosial, yang merupakan tujuan Negara Indonesia. Pemenuhan Hak Asasi Manusia ini termasuk didalamnya terhadap warga negara yang terkena proses hukum, dan ini merupakan konsekuensi dari sebuah negara hukum. Kendatipun tidak secara eksplisit diatur dan dinyatakan dalam UUD 1945, namun negara tetap wajib untuk memenuhinya karena akses terhadap keadilan dalam rangka pemenuhan hak untuk diadili secara adil merupakan salah satu ciri negara hukum.
16. Bahwa dalam hal terjadinya sengketa antara konsumen dan pelaku usaha, maka forum penyelesaian sengketa harus ditentukan oleh kedua belah pihak. Namun aplikasi e-commerce saat ini menentukan forum penyelesaian sengketa antara konsumen secara sepihak. Apabila melihat hal tersebut, maka dengan penentuan forum penyelesaian sengketa secara sepihak, maka konsumen tidak mendapat jaminan dan perlindungan hukum yang sama di hadapan hukum.
17. Maka dari itu, dengan memperhatikan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. maka telah terdapat kekosongan hukum dalam Pasal 18 ayat (1) UU Perlindungan konsumen terkait larangan bagi pelaku usaha untuk mencantumkan klausula baku terkait forum penyelesaian sengketa konsumentanpa adanya persetujuan dan kesepakatan dari konsumen.
18. Ketentuan dalam Pasal 33 khususnya ayat (4) UUD Tahun 1945 menunjukan bahwa negara Indonesia menganut prinsip demokrasi ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam perspektif yang demikian, demokrasi ekonomi Indonesia tidak harus sepenuhnya diartikan sebagai prinsip “equal treatment” melainkan mengandung pemihakan
(parsialisme, special favour) terhadap yang lemah, yang miskin dan yang terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus ke arah pemberdayaan. Parsialisme terhadap yang tertinggal ini bukanlah sikap yang diskriminatori apalagi yang bersikap “sara”, melainkan memberi makna positif pada doktrin kebersamaan dalam asas kekeluargaan Indonesia Dari sinilah titik tolak untuk menegaskan bahwa efisiensi ekonomi berdimensi kepentingan sosial “Makna Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia”,
19. Bahwa dalam dunia bisnis sering terdapat ketidakseimbangan antara pelaku usaha dengan konsumen. Terlebih lagi jika terkait masalah Xxxxxxxx Xxxx, konsumen cenderung tidak memiliki andil untuk menentukan isi nya, dan pelaku usaha dapat sesuai keinginannya memasangkan klausula baku baik pada perjanjian ataupun pada ketentuan yang dibuatnya untuk melindungi dirinya dari konsumen. Ketidakseimbangan hubungan tersebut merupakan salah satu alasan munculnya sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen.
20. Bahwa pada dasarnya pencantuman klausula baku yang baik adalah merupakan sarana untuk menyeimbangkan posisi konsumen dan pelaku usaha dalam proses transaksi, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan satu dengan yang lainnya. Namun, bagi konsumen yang tidak ikut merumuskan klausula baku tersebut, pencantuman klausula baku termasuk penetapan pilihan forum dan hukum penyelesaian sengketa dianggap sebagai sesuatu yang memaksa konsumen untuk mentaatinya dan lebih memihak pada pelaku usaha. Akan tetapi terkait dengan e-commerce kesepakatan antara para pihak tertuang dalam bentuk kontrak baku, sehingga sulit untuk mengakomodir hal-hal yang berkaitan dengan yurisdiksi wilayah, choice of law dan choice of forum karena pihak yang bertransaksi pada dasarnya memiliki bargaining position yang relatif tidak berimbang, sehingga diperlukan seperangkat aturan hukum yang meregulasi berkenaan dengan penyelesaian sengketa pada e-commerce.
21. Bahwa dengan memperhatikan konstruksi hukum dalam pencantuman klausula baku yang diatur berdasarkan UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, penyelesaian sengeketa pada e-commerce tidak diatur secara khusus sehingga menyebabkan pihak konsumen menjadi sangat dirugikan dengan adanya klausula baku dalam proses penyelesaian sengketa konsumen. Dengan demikian maka pengaturan yang berlaku saat ini tidaklah memberikan kemanfaatan bagi masyarakat sebagaimana salah satu tujuan hukum itu sendiri. Teori kemanfaatan yang terkait dengan hukum ekonomi menekankan pada analisis efisiensi yakni cost and benefit analysis dalam setiap pengambilan keputusan dan juga kebijakan publik. Berdasarkan analisis tersebut, bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan kegiatan yang berkaitan dengan hukum ekonomi harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan setiap pelaku kegiatan perekonomian secara seimbang, karena hukum dibentuk untuk memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
22. Bahwa beberapa aplikasi perdagangan elektronik (e-commerce) seperti diuraikan di atas, telah mencantumkan klausula baku berkaitan dengan pilihan forum (choice of forum) dan pilihan hukum (choice of law) dalam penyelesaian sengketa yang
timbul. Pencantuman pilihan forum dan hukum melalui klausula baku yang seperti demikian telah menimbulkan ketidakseimbangan kedudukan antara pelaku usaha dan konsumen dimana kedudukan konsumen hanya memiliki pilihan untuk menyetujui atau menolak kesepakatan tersebut.
23. Bahwa apabila terjadi sengketa atau perselisihan dalam pemanfaatan aplikasi, forum dan hukum penyelesaian sengketa telah ditetapkan sepihak yang mana hal ini tidak adil dan tidak seimbang dengan memperhatikan kemampuan dan kapasitas konsumen yang mayoritas adalah masyarakat umum dengan kemampuan finansial terbatas. mayoritas e-commerce telah menggunakan forum arbitrase yang apabila memperhatikan ketentuan biaya perkara berdasarkan Pasal
77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
24. Bahwa besarnya biaya berperkara yang harus ditanggung apabila menggunakan forum penyelesaian sengketa melalui arbitrase tersebut akan sangat memberatkan bagi masyarakat pencari keadilan yang dirugikan akibat adanya kebijakan- kebijakan dari penyelenggara aplikasi yang dapat berubah sewaktu-waktu. Dengan adanya pencantuman klausula baku berupa penetapan pilihan forum dan hukum penyelesaian sengketa pada nyatanya telah mengabaikan prinsip kebersamaan dan efisiensi berkeadilan dalam perekonomian nasional yang ditetapkan dalam konstitusi Indonesia.
25. Bahwa persetujuan penggunaan aplikasi yang digunakan konsumen diartikan termasuk pula persetujuan atas forum penyelesaian sengketa, hal demikian tidak lain ialah disebabkan karena tiadanya pilihan dan kesempatan konsumen untuk memberikan bantahan atas hal tersebut sedangkan penggunaan aplikasi perdagangan daring (e-commerce) merupakan hal yang sangat penting untuk memudahkan aktivitas masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, dalam konteks perjanjian baku dalam seharusnya pelaku usaha juga dilarang untuk secara sepihak menetapkan forum penyelesaian sengketa tanpa adanya kesepakatan dari konsumen.
26. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang membatalkan ketentuan dalam Pasal 45 dan Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memutuskan amar selain yang yang ditetapkan dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2), memberi perintah kepada pembuat Undang-Undang, dan rumusan norma sebagai pengganti norma dari Undang-Undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
27. Bahwa berdasarkan uraian sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka dengan tidak adanya pelarangan bagi pelaku usaha untuk mencantumkan forum penyelesaian sengketa konsumen pada perjanjian baku secara nyata dan jelas telah bertentangan dengan semangat penyelenggaraan perekonomian nasional yang ditetapkan konstitusi guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. oleh karena itu, Pasal 18 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 33 ayat (4) UUD Tahun 1945.
VII. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821) bertentangan dengan UUD NRI 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk juga:
“... i. menetapkan dan/atau mengatur upaya penyelesaian sengketa konsumen secara sepihak tanpa persetujuan dan kesepakatan konsumen.”
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau
apabila Xxxxxxx Xxxxx Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et xxxx).
.