KEKUASAAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL : LIMITASI MENURUT
KEKUASAAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL : LIMITASI MENURUT
UNDANG-UNDANG DASAR DI INDONESIA.
XXXXXX XXXXX
Dicetak dan Diterbitkan :
KEKUASAAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL LIMITASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR DI INDONESIA.
Oleh :
Xxxx. XXXXXX XXXXX, SH. LLM
Ilustrasi Sampul dan Penata Isi :
Dyans Fahrezionaldo
Hak Cipta pada Penulis Andalas University Press
Jl. Situjuh No. 1, Padang 25129, Telp/Faks. : 0751-27066 email : xxxxxxxxxx@xxxxx.xxx
Anggota :
Asosiasi Penerbit Perguruan Tinggi Indonesia (APPTI)
Cetakan :
I. Padang, 2016
ISBN : 978-602-6953-09-4
Hak Cipta dilindungi Undang Undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebahagian atau seluruh isi buku tanpa izin tertulis dari penerbit.
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Ketentuan Pidana Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002
PENGANTAR DAN SAMBUTAN DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
ANDALAS
Dalam kajian akademis, Perjanjian Internasional merupakan sumber hukum yang mempunyai karakteristik yang khas dibandingkan dengan sumber hukum internasional lainnya. Dilihat dari penciptaan norma, misalnya, penormaan melalui perjanjian internasional memerlukan metoda yang jauh lebih formal dan prosedural jika dibandingkan dengan penormaan melalui kebiasaan sebagai sumber hukum internasional yang hanya didasarkan pada praktek “opinio juris”. Negara-negara telah sepakat mengatur formalitas dan prosedur penormaan tersebut dalam suatu konvensi yakni Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian 1969 (The 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties).
Selain itu, dari aspek ketatanegaraan perjanjian internasional merupakan subjek yang diatur di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan suatu negara. Hal ini disebabkan pembuatan perjanjian dengan negara lain merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum yang dapat mempengaruhi hak-hak konstitusional warga negara. Selain itu aktor yang melakukan pengikatan dalam perjanjian tersebut adalah negara. Dalam
prakteknya, bagaimana pengaturan kekuasaan dalam pembuatan perjanjian internasional, bagaimana pemenuhan formalitas dan prosedur pembuatannya sepenuhnya berada dalam domain hukum domestik suatu negara.
Praktek pengaturan hukum tata negara terhadap perjanjian internasional sangat beragam. Di INGGRIS, misalnya, kekuasan pembuaatan perjanjian internasional menjadi hak prerogratif Ratu sedangkan di Amerika Serikat, kekuasan tersebut ada pada Presiden dengan pertimbangan dan persetujuan dari dua per tiga anggota Senat Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan negara dengan negara lain, khususnya Perjanjian Internasional menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Hukum Tata Negara suatu negara. Bahkan ada yang sarjana yang berpendapat bahwa hukum internasional itu merupakan hukum tata negara eksternal, khusunya terkait dengan kekuasaan pembuatan perjanjian internasional dan implikasinya terhadap hukum nasional.
Kajian dan teori mengikatnya hukum internasional dan teori hubungan hukum internasionaldanhukum nasional sudah berkembang sedemikian rupa. Namun demikian, walaupun persoalan tersebut telah banyak dibahas para sarjana dalam literatur akan tetapi masih terbatas kerangka dan pendekatan disiplin Hukum Internasional. Dengan kata lain, akan menarik sebenarnya jika subjek dan isu di atas dibahas dengan menggunakan pendekatan disiplin Hukum Tata Negara atau sekurang-kurangnya mengkaji persoalan tersebut dengan melihat politik hukum suatu negara. Dalam konteks inilah kehadiran buku “Kekuasaan Pembuatan Perjanjian Internasional : Limitasi Menurut Undang-undang Dasar di Indonesia” yang ditulis oleh Xxxx. Xxxxxx Xxxxx, SH., LL.M. diharapkan dapat mengisi sebagian kekosongan ruang wacana sebagaimana di bahas diatas.
Buku ini sekurang-kurangnya membahas dan mendiskusikan 12 (dua Belas) pokok bahasan utama yang dapat dikelompokan kepada 4 (tiga) isu utama. Pertama, penulis membahas dan menekankan bahwa perjanjian internasional, baik dengan aktor negara (state actors) atau bukan negara (non state actors) selain didasarkan kepada kepentingan nasional (national interests) juga harus sesuai dengan filosofi dan ideologi negara. Kedua, penulis dengan gamblang menguraikan adanya pembatasan atau dalam bahasa penulis ‘limitasi’ kekuasaan
pembuatan perjanjian internasional yang diatur didalam Konstitusi Negara Republik Indonesia. Pembatasan tersebut sangat dinamis karena ditentukan oleh politik hukum yang bergerak sesuai dengan kesejarahan dan tahapan perjuangan bangsa Indonesia. Ketiga, dinamika pola penerimaan perjanjian internasional yang di lakukan oleh indonesia. Terakhir, penulis juga mengemukakan isu-isu mutakhir (current issues), antara lain, i) Terkait dengan peninjauan kembali (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 24 tentang Perjanjian Internasional oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia; dan ii) kriminalisasi juru runding (negotiators) dalam menjalankan tugasnya.
Kami menyambut dan memberikan apresiasi yang tinggi kepada penulis atas penerbitan buku ini. Selain karya ini akan memberikan kontribusi terhadap pendidikan dan khasanah ilmu hukum, buku ini juga akan merupakan hadiah atau kado yang berharga dalam rangka peringatan 65 tahun Fakultas Hukum Universitas Andalas pada tahun 2016. Terakhir kami ucapkan selamat dan sukses kepada penulis dan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini.
Padang, 15 April 2016 / 6 Rajab 1349 Xx. Xxxxxx Xxxxxx, SH.,MH.
iii
PRAKATA
Tulisan ini berasal dari pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam Hukum Internasional publik yang disampaikan pada tanggal 11 November 2013 di Universitas Andalas. Namun untuk jadi buku yang terhidang seperti sekarang disana sini ada kajian yang agak filosofis dalam rangka memberikan gambaran Proses Pembuatan Perjanjian Intternasional oleh berbagai rezim yang berkuasa di Indonesia. Perjanjian Internasional tentu saja proses pembuatannya ada variabel yang tidak dalam kontrol pihak Indonesia, walaupun pasti bisa diduga bahwa perjanjian internasional itu tidak akan pernah ada kecuali ada kepentingan mitra Indonesia atas lahirnya suatu perjanjian Internasional. Pembuatan perjanjian internasional pastilah tidak bebas kepentingan kedua (semua) pihak, harmonisasi diantara para pihaklah yang terkonfigurasi dalam bentuk kaedah yang tertuang dalam perjanjian.
Ucapan terima kasih dengan tulus kepada xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx staf Kementrian Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia baik sewaktu ada New York atau setelah pulang ke tanah air tidak pernah bosan mengirimkan bahan sehingga buku ini bisa disajikan walau kadang-kadang ada perbedaan pendapat antara dia dan penulis,
tetapi tidak mengurangi rasa terimakasih kepadanya. Ucapan yang sama penulis sampaikan kepada adinda Xx. Xxxxxx Xxxxx selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Andalas yang tidak hanya berkenan memberikan kata sambutan tetapi juga sekaligus menjadi reviewer yang memeriksa redaksional tulisan ini sehingga ia sampai di tangan pembaca dalam keadaan lebih “rancak”
Buku ini bagaimanapun tidak pula luput dari “campur tangan” ketiga anak-anak penulis : Xxxxx Xxxxxxx, Putri Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxxx yang dengan cara mereka masing-masing membantu menyiapkan tulisan ini. Di saat buku ini mulai dibenahi penulis dapat anggota keluarga baru yakni cucu pertama Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx. Semoga Xxxxx sehat dan jadi anak yang pintar dan sholihah, demikian jua untuk menantu Puti Xxxxxx Xxxxx yang sudah jadi anggota keluarga besar penulis . Tentu saja untuk Xxxxx Xxxxxxxx yang sudah mendampingi hidup penulis sejak 1983 dengan penuh kesabaran mendidik anak-anak (sekarang ditambah cucu dan menantu) tanpa banyak mengeluh. Untuk mereka semua tulisan ini di dedikasikan.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Rektor Universitas Andalas yang atas bantuan beliau buku ini sampai di proses akhir. Akhirnya tentu saja semua ini tidak lepas dari ridha, rahmah dan xxxxxx Xxxxx Subhanahuwataa’alah. Kepada semua pihak yang juga memberikan masukan langsung atau tidak langsung diucapkan terimakasih, semoga semua itu dibalas oleh Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Xxxx xxxx yarabbalamin.
Padang, 15 April 2016 / 6 Rajab 1349
DAFTAR ISI
Pengantar dan Sambutan Dekan Fakultas Hukum Unand | i |
Prakata | v |
Daftar Isi | vii |
BAGIAN PERTAMA | 1 |
KEKUASAAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL : LIMITASI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR DI INDONESIA. | 3 |
Pendahuluan | 3 |
Dasar Ideologi, Pembuatan Perjanjian Internasional | 4 |
Kaedah Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut UUD | 6 |
BAGIAN KEDUA | 9 |
PERIODESASI PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL | 11 |
Periode Pertama Berlakunya UUD 1945 (18 Agustus 1945 - 27 Desember 1949) | 11 |
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia | 20 |
Periode Berlakunya Konstitusi RIS (29 Desember 1949 - 17 Agustus 1950) | 24 |
Kembali ke UUD 1945 dan Surat Presiden 2826/HK/1960 | 35 |
vii
BAGIAN KETIGA | 39 |
UUD 1945 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL | 41 |
Bisakah Suatu Perjanjian Internasional Yang Sudah Berlaku Dapat Dibatalkan Indonesia? | 54 |
BAGIAN KE EMPAT | 61 |
POLA PENERIMAAN DAN INTEGRASI PERJANJIAN INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL INDONESIA | 63 |
Doktrin Monoisme dan Dualisme | 63 |
Kriminalisasi Juru Runding (Negosiator) | 66 |
Revisi UU No.24/2000 | 67 |
Penutup | 71 |
Daftar Pustaka | 73 |
Daftar Riwayat Hidup | 76 |
Index | 78 |
BAGIAN PERTAMA
KEKUASAAN PEMBUATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL : LIMITASI MENURUT UNDANG-
UNDANG DASAR DI INDONESIA.
Pendahuluan
Tulisan ini akan memaparkan dinamika kekuasaan pembuatan perjanjian internasional Indonesia dan tulisan ini juga memaparkan bagaimana pemerintah Indonesia melaksanakan norma konstitusionalnya. Sejarah awal kemerdekaan menggambarkan bahwa pembuatan perjanjian internasional dijadikan alat untuk mempertahankan kemerdekaan dan meraih pengakuan internasional adalah wujud konkrit dari upaya meraih kepentingan nasional(national interest) terhadap kepentingan penjajah yang ingin kembali ke Indonesia.
Tulisan ini fokus terhadap proses pembuatan perjajnjian Internasional yang dilakukan oleh Indonesia. Tetapi juga disana sini mencoba membandingkannya dengan praktek dan atau norma yang ada di negara lain agar memberi horison yang lebih luas. Tidak ada pretensi dengan perbandingan tersebut bahwa di negara lain lebih baik daripada yang ada di Indonesia secara tidak langsung juga ada perbandingan diantara Konstitusi yang pernah berlaku dinegeri ini. Namun demikian pasti tak terhindarkan bagaimana pula pihak
(terutama eksekutif) “menterjemahkan kaedah-kaedah dan nilai yang seyogianya jadi patokan penyelenggaraan pembuatan perjanjian Internasional Indonesia. Pada bagian kedua dibicarakan bagaimana bangsa Indonesia membangun konstruksi hukumnya sendiri dalam pembuatan perjanjian internasional. Selanjutnya ada diskusi tentang bagaimana seharusnya perjanjian internasional perlu dibuat oleh negara ini dan akhirnya ada catatan bagaimana eksekutif “mengabdi” sehingga lolos dari partisipasi dan legitimasi pihak Dewan Perwakilan Rakyat.
Dasar Ideologi Pembuatan Perjanjian Internasional. Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 merupakan dasar filosofi dan ideologi dari pembuatan perjanjian internasional yang harus
dipedomani dan dipatuhi oleh penyelenggara Negara Republik Indonesia.
Alinia pertama pembukaan UUD 1945 mengatakan :” Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Alinia ini merupakan pernyataan politik Negara Republik Indonesia yang bersifat ideologis yakni sebagai faktor utama adanya Republik Indonesia, yang sekaligus menjadi faktor yang membedakan antara Indonesia dengan negara atau negara-negara lain disatu pihak, dilain pihak ia sekaligus jadi faktor pemersatu semangat dan keberadaan Negara Republik Indonesia dengan rakyat yang menghuni bumi pertiwi yang tersebar diberbagai pulau dengan diwarnai oleh keragaman agama, suku bangsa, adat dan tradisinya. Sebagai faktor pemersatu negara dan warganya mempunyai sebuah tanggung jawab dan idealisme lahirnya satu Indonesia yang merdeka dan pada gilirannya dengan semangat ini lahir pula negara merdeka lain dibelahan lain bumi ini karena hal itu adalah hak semua bangsa.
Alinia pertama pembukaan UUD 1945 menyatakan posisi Indonesia dalam pergaulan internasional. Posisi ini tidak sekedar sesuatu yang bersifat pasif dan berlaku internal saja tapi ia juga mengandung pesan aktif dandalam lingkup yang luas, duniainternasional, artinya “statement” ini sekaligus jadi amanah bagi penyelenggara Negara Republik Indonesia dan untuk dijadikan sebagai sesuatu yang bersifat faktual.
Alinia kedua Pembukaan UUD1945 mengingatkan pula bangsa Indonesia bahwa kemerdekaan yang baru diproklamirkan itu tidak semata sebagai hasil usaha keras dan terus menerus bangsa ini dengan berbagai pengorbanan yang telah diberikan tetapi juga ( dan terutama ) atas restu kekuatan “diatas usaha manusia” Allah Yang Maha Kuasa dan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Pernyataan Bangsa Indoinesia dalam alinea pertama yang bersifat universal didasari pula oleh suatu kesadaran sikap bahwa usaha yang mulia itu tidak hanya sebagai perjuangan fisik, diplomasi dan politik yang lahiriyah saja tetapi juga dengan kesadaran penuh bahwa keberhasilan memproklamirkan kemerdekaan Indonesia juga atas restu dan izin pemilik alam semesta Allah Yang Maha Kuasa. Ada sebuah pesan fundamental dari pendiri negara ini atau lebih khusus lagi para pembuat Pembukaan UUD 1945 sebagai manifestasi utuh bangsa Indonesia bahwa negara ini lahir karena doa dan usaha orang;orang yang mengakui peran dan restu Allah Yang Maha Kuasa. Agak muskil membayangkan kalau ada warga atau anak bangsa tidak mengakui kebaradaan Allah Maha Kuasa itu dalam khazanah perjuangan dan pembangunan yang ingin diraih oleh Indonesia Merdeka.
Selanjutnya, pada alinea keempat sebagai bagian dasar ideologis atau filosofis bangsa menyatakan; “. . . membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia . . . “.
Pesan atau titah oleh Pembukaan UUD 1945 ini tidak terbatas pada kewajiban kedalam negeri untuk mensejahterakan seluruh bangsa dan tumpah darah Indonesia tetapi pada nafas yang sama ada pula disitu kewajiban internasional yakni “ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dalam kenyataannya ranah perjuangan ”ikut melaksanakan ketertiban dunia” terutama terlhat bagaimana pemimpin negara ini mentransformasikan kewajiban internasional itu menjadi alat perjuangan mempertahankan existensi negara Indonesia merdeka,
menjadikan Indonesia salah satu pemain(penting)dalam percaturan dunia. Tentu saja proses alih bentuk dan penguatan peran Indonesia dalam berbagai dinamikanya tidak terlepas dari pelaksanaan amanah UUD 1945 dan implementasi kepentingan nasional yang dalam ranah politik dan perkembangan hukum dan hubungan internasional adalah sesuatu yang amat wajar1
Kaedah Pembuatan Perjanjian Internasional Menurut Undang-Undang Dasar.
Sejak merdeka, Indonesia aktif membuat berbagai perjanjian internasional baik dalam rangka kerjasama hubungan internasional, dengan negara lain maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya. Perjanjian internasional tersebut dibuat bukan saja dalam bentuk kerjasama bilateral, tetapi mencakup juga kerjasama regional dan multilateral.2
Maksud kerjasama hubungan internasional dalam bentuk primitif sampai bentuk modern sama, yaitu untuk menyelenggarakan suatu kepentingan (bersama) dimana suatu kegiatan tidak mungkin diselenggarakan oleh satu negara secara unilateral atau kalaupun diselenggarakan sendiri, tidak akan memberikan manfaat maksimal. Kerjasama yang telah menemukan bentuk dan sifatnya yaitu hanya dilakukan oleh negara nasional dan dituangkan dalam suatu bentuk kesepakatan, dan lazim disebut perjanjian internasional. Pada awalnya pembuatan perjanjian internasional merupakan hak absolut penguasa. Seiring dengan berjalannya waktu hak absolut penguasa tersebut mulai dibatasi dan pembatasan tersebut diatur dalam peraturan atau norma hukum tertentu. Biasanya pembatasan demikian diatur dalam Undang Undang Dasar / Konstitusi sebagai hukum dasar negara. Globalisasi hubungan internasional dewasa ini yang dipacu oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi telah mengaburkan batas-batas teritorial suatu negara dan semakin meningkatkan persentuhan serta interaksi antara kekuasaan
1 lihat Xxxx X Xxxxxxxxxx, Politics Among Nations: Struggle for power an peace , fifth edition Xxxxxx X Xxxxx New York 1973 hal 117 dst
2 Direktorat Perjanjian Internasional, Naskah Akademik tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional, Departemen Luar Negeri R.I, 1999. hal. 1. Selanjutnya disebut Dit. PI.
pembuatan perjanjan internasional dan pembatasan menurut Undang Undang Dasar negara.3
Indonesia sebagai salah satu Negara yang berdaulat tidak terlepas dari keharusan membuat perjanjian internasional dengan Negara atau subjek hukum internasional lainnya. Pembuatan perjanjian internasional demikian diatur oleh Undang-Undang Dasar dan Undang- Undang yang mengatur khusus tentang perjanjian internasional atau ketentuan regulasi lainnya.
Dalam periodesasi Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia dimana masing-masing Undang- Undang Dasar merumuskan norma yang berbeda tentang kekuasaan pembuatan perjanjian internasional Indonesia. Perbedaan norma yang mengatur pembuatan perjanjian internasional dilatarbelakangi suasana kebatinan pada saat pembentukan Undang-Undang Dasar itu sendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berlaku 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949 yang dipersiapkan dan dibuat oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia (BPUPKI) yang dibentuk oleh Pemerintah Pendudukan Jepang di Pulau Jawa. Panitia BPUPKI telah merumuskan norma kekuasaan pembuatan perjanjian Indonesia dalam Pasal 114. Sedangkan pada Konstitusi
0 Xxxxx Xxxxxx, Xxxxx Xx. Xxxxxx, Limitations on the Treaty-Making Power under the Constitution of the United States, Little, Brown, And Company (Boston, 1915).
4 Dilihat dari perumusan materi muatan norma Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) 1945 ada kemiripan dengan rumusan materi muatan norma Pasal 13 Konstitusi Kekaisaran Jepang tahun 1889 (Constitution of the Empire of Japan, 1889). Hal ini patut diduga bahwa BPUPKI mengambil alih rumusan Pasal XIII Konstitusi Kekaisaran Jepang (KKJ) tahun 1889 dan menyesuaikan dengan keperluan Indonesia merdeka. Hal demikian bukanlah suatu hal yang aneh dalam sistim hukum Indonesia dimana banyak produk peraturan perundang-undangan Indonesia zaman Hindia Belanda yang berlaku dilakukan perubahan sesuai dengan kepentingan Indonesia seperti materi muatan norma dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana misalnya kata-kata Gubernur Jenderal diganti dengan Presiden. Seperti yang telah dimaklumi bahwa rumusan Pasal XIII KKJ 1889 berbunyi sbb: The Emperor declares war, makes peace, and concludes treaties. Perbedaan yang mendasar antara rumusan Pasal 11 UUDNRI 1945 dan Pasal 13 KKJ 1889 adalah bahwa Pelaksanaan Pasal 11 UUDNRI 1945 harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sedangkan Pelaksanaan Pasal 13 KKJ 1889 tidak memerlukan persetujuan dari Diet (DPR) Jepang dengan alasan bahwa menyatakan perang, membuat perdamaian, dan membuat perjanjian adalah hak ekslusif (mutlak) Kaisar. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx Xxx, Commentaries on the Constitution of the Empire of Japan, (Tokyo: Igirisu-Xxxxxxx Xxxxx, 22nd Year of Meiji, 1889), hal. 48-49.
Republik Indonesia Serikat (RIS) mengatur kekuasaan pembuatan perjanjian Indonesia dalam Pasal 175 dan Pasal 176. Demikian pula hal Undang-Undang Sementara 1950 mengatur pula kekuasaan pembuatan perjanjian Indonesia dalam Pasal 120 dan Pasal 121. Namun dengan keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang salah satu isinya kembali kepada UUD 1945 maka kekuasaan pembuatan perjanjian internasional tunduk kembali pada pasal 11 UUD 1945.
Dalam masa berlaku kedua UUD 1945 ini pemerintah RI banyak membuat perjanjian dengan Negara asing dan organisasi internasional, sementara DPRS (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara) kurang banyak terlibat.Tahun 1960 DPRS mengirimkan surat kepada Presiden menanyakan perihal kekuasaan pemerintah dalam Pembuatan Perjanjian Internasional. Presiden menjelaskan pokok-pokok pertanyaan DPRS tersebut melalui surat No. 2826/HK/1960.
Dasar hukum praktek kekuasaan pembuatan perjanjian internasional pada pasal 11 UUD 1945, dijabarkan oleh surat Presiden No.2826/HK/1960 sebagai aturan pelaksanaan dalam praktek kekuasaan pembuatan perjanjian internasional.
Bergulirnya reformasi di segala bidang di Indonesia tahun 1998 telah merubah tatanan hukum dan mengakibatkan regulasi berbagai perundang-undangan. Salah satu hasil reformasi di bidang hukum adalah adanya perubahan-perubahan hampir setiap pasal termasuk Pasal 11 UUD 1945. Hanya pembukaan UUD 1945 saja yang tidak tersentuh oleh arus perubahan itu. Bersamaan dengan adanya perubahan tersebut pemerintah mengajukan RUU tentang Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional.
Dari segi materi muatan perjanjian internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia meliputi berbagai bidang seperti bidang politik, hukum, ekonomi, keuangan, perdagangan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan lain lain. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah menjadi pihak pada perjanjian multilateral dalam rangka partisipasi menunjang dan mengokohkan keserasian dalam kehidupan dan hubungan antar bangsa.5 Dan ikut serta menjaga perdamaian dunia berdasarkan keadilan dan kemerdekaan
5 Dit. PI, op.cit.
BAGIAN KEDUA
PERIODESASI PEMBUATAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL
PERIODE PERTAMA BERLAKUNYA UUD 1945 (18 AGUSTUS 1945 – 27 DESEMBER 1949)
Periode pertama berlakunya UUD 1945 telah dihasilkan 3 perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 11 UUD 1945. Pada periode ini kekuasaan dan proses membuat perjanjian internasional belum memperlihatkan bentuk baku dan masih mencari formatnya. Hal ini dapat dimaklumi bahwa periode pertama ini adalah masa-masa revolusi mempertahankan kemerdekan Indonesia dan mencoba semua kemungkinan yang tersedia yang dapat dilakukan untuk dapat mempertahankan Indonesia yang merdeka, bebas, adil, dan makmur serta mewujudkan perdamaian dunia yang abadi.
Kemerdekaan Indonesia tidak datang dengan sendirinya tapi diraih dengan mengorbankan harta benda, darah, air mata, keringat dan bahkan nyawa. Untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 Presiden Xxxxxxxx membentuk pemerintahan pertama kali6 yang lebih
6 Xxxxxx XxXxxxan Kahin, Nationalism and Revolution In Indonesia, (Ithaca – New York: Cornell University Press, 1955)., hal. 138.
dikenal Kabinet Presidentil7 Adanya pemerintahan yang berdaulat adalah salah satu syarat utama adanya negara. Syarat utama lain adanya wilayah dan penduduk yang tetap serta kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain merupakan satu kesatuan syarat yang tidak terpisahkan sebagai syarat berdirinya negara baru.8
Gambaran negara sebagai personalitas internasional9 dalam kapasitasnya membuat perjanjian dalam hukum internasional sebagai bentuk konkrit kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain. Banyak penulis beranggapan bahwa hal itu sebagai sumber kapasitas membuat perjanjian. Xxx Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, dalam laporannya tentang Hukum Perjanjian Internasional, menyarankan bahwa kekuatan untuk membuat perjanjian adalah suatu atribut personalitas internasional negara.10Xxxxxxx Xxx juga menyatakan bahwa:
Kapasitas untuk menjadi pihak pada suatu perjanjian adalah ekspresi penting dari subyek (kepribadian) international. Untuk maksud menentukan apakah ia merupakan suatu entitas tertentu atau tidak (layak) sebagai subyek hukum internasional salah satu dari pengujian adalah: Apakah mereka memiliki kapasitas, apakah terbatas atau tidak, menjadi pihak pada perjanjian?11
Dalam Reparations for Injuries Suffered in the Service of the United Nations Case,12Mahkamah Internasional secara tegas
7 Lihat A.G. Pringgodigdo, Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer, (Jogjakarta: Jajasan Fonds Universitit Negeri Gadjah Mada, 1955). Lihat juga Konvensi Wina 1969 (pasal1)
8 Xxxx Xxxxxx (disertasi), Democracy and State Creation in International Law, (Nottingham : University of Nottingham, March 2009)., hal. 56.
9 Mahkamah Internasional dalam Reparations Case mendefinisikan subyek hukum internasional sebagai “the capacity to be titular to international rights and obligations”. Lihat Reparations for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, (1949) ICJ Rep. 174.
10 Fitzmaurice, Third Report on the Law of Treaties, Yearbook of the International Law Commission (YILC), vol. 2, 1958, p. 115.
11 Lihat komentar Xxxxxxx Xxx tanggal 9 May 1962 pada sidang ILC, Yearbook of the International Law Commission (YILC), vol. 1, 1962, 61; Xxxxx xxxx Xxxxxx, D.W., The Law of International Institutions, 2nd ed., 1970, 132, yang menyatakan bahwa: “Possession of such international personality will normally involve, as a consequence, the attribution of the power to make treaties, of privileges and immunities, and of power to undertake legal proceedings”.
12 Reparations for Injuries Suffered in the Service of the United Nations, 1949 ICJ Rep. 174.
memutuskan bahwa Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki kepribadian internasional dan bahwa PBB adalah subyek hukum internasional.13Keputusan ini dibuat berdasarkan indikasi kepribadian tertentu dan mempunyai kapasitas pembuatan perjanjian. Oleh karena itu, cukup dapat disimpulkan bahwa kapasitas membuat perjanjian adalah atribut kepribadian internasional dan bahwa mereka yang memiliki kepribadian internasional14 adalah berwenang untuk menjadi pihak pada perjanjian internasional.
Pasal 6 dari Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, secara sederhana menyatakan: ”Setiap Negara mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian”. Konvensi tersebut mencerminkan norma internasional dalam memberi mandat bahwa negara dapat membuat perjanjian internasional. Kapasitas untuk membuat perjanjian internasional pada kenyataannya merupakan bukti yang bernilai bahwa negara adalah subjek Hukum Internasional.15 Menurut komentar Komisi Hukum Internasional, istilah “Negara” dalam Pasal 6 sama seperti yang tercantum pada Piagam Perserikatan Bangsa- Bangsa,16 dan Statuta Mahkamah Internasional. Bahkan lebih dari itu Konvensi Wina 1967 (tentang Hubungan Diplomatik) menegaskan bahwa negara adalah pelaku utama Hukum Internasional.17
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilakukan dengan senjata tidaklah cukup, ia harus didukung oleh perjuangan diplomasi sebagai “second track”. Kebijakan politik luar negeri Indonesia waktu itu lebih ditekankan untuk mendapatkan pengakuan sebagai negara baru yang telah menentukan nasibnya sendiri, merdeka dan berdaulat. Untuk lebih efektifnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan maka sistem pemerintahan presidensil diubah menjadi parlementer18 tanpa mengubah UUD 1945 yang baru disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dan menjadikan Komite Indonesia Pusat (KNIP) menjadi
13 Ibid., hal. 178.
14 Xxxxx Xxxxxxxx, Xxx, Principles of Public International Law, 5th. ed., Oxford, Clarendon Press, 1998, 57-58.
15 Xxxxxx, X.X., Xxxxx and Materials on International Law, 5th. ed., Stevens & Sons, London, 1998, 101 et seq.
16 Lihat Pasal 3 Konvensi Montevidio, 1933.
17 Yearbook of the International Law Commission, 1966, vol. 2, 192
18 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxan Xxxxxxx Dalam Perundingan Linggarjati, (Jakarta: Kompas, 2010)., hal. 58.
parlemen dan menjadikan Xxxxx Xxxxxxx sebagai Perdana Menteri19 yang lebih dikenal dengan Kabinet Xxxxxxx I.20 Langkah ini memberikan “pesan” bahwa kebijakan yang diambil tidak semata sebagai artikulasi kepentingan pihak yang berkuasa saja, tetapi merupakan cerminan objektif rakyat Indonesia. Dengan perubahan ini maka kekuasaan pembuatan perjanjian internasional secara konstitutional tetap pada Presiden, tetapi secara operasional sudah “beralih” ke tangan Kabinet, Presiden tinggal lagi memberikan legitimasinya, walaupun diktum Pasal 11 UUD 1945 tidak berubah:“Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”
Dikaji secara cermat muatan materi Pasal 11 UUD 1945 sewaktu dibahas BPUPKI hampir dipastikan bahwa sumber rujukan perumusan materi yang digunakan anggota BPUPKI adalah The Constitution of the Empire of Japan, 1889: pasal 13 “The Emperor declares war, makes peace, and concludes treaties”, hal yang tidak ada pada muatan materi Pasal 13 The Constitution of the Empire of Japan, 1889 hanyalah Xxxxxx Xxxxxx tidak memerlukan “persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat” (Diet) dan dengan negara lain.21
Kembali ke muatan materi Pasal 11 UUD 1945 khusus terkait dengan norma Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan Negara lain tidak ada penjelasan. UUD 1945 hanya menjelaskan sebagai berikut: ”Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara” 22Kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian internasional tidak ditemukan dalam ketentuan, selain tercantum dalam Pasal 11 UUD 1945.
Dalam membuat perjanjian harus jelas sejauh mana kekuasaan Presiden; apakah Presiden sendiri yang langsung membuat perjanjian internasional; apakah dalam membuat perjanjian internasional
19 Xxxxx Xxxxxx, Documenta Historica I: Sedjarah Dokumenter Dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia, (Djakarta: Bulan Bintang, 1953)., hal. 94-95. Masalah perubahan bentuk pemerintahan ini lihat Xxxxxx Xxxx, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif: Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tata Negara, (Jakarta: Xxxx Xxxxx, 1963), dan Xxxxxxx Xxxxxxx, op. Cit., hal. 55-60.
20 Kahin, op.cit., hal. 152 - 170.
21 Ada kesan pembuat pasal 11 UUD 1945 berpikir lebih demokratis dibandingkan dengan pembuat Konstitusi Kekaisaran Jepang yang diwakili oleh Count Xxxxxxxx Xxx, op. cit., hal. 195.
22 Maksudnya Pasal 10, Pasal 11, Pasal, 12, Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15.
DPR selalu diminta persetujuannya? Walaupun tidak ada ketentuan membatasi kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian tidak berarti Presiden dengan leluasa membuat perjanjian internasional semaunya. Secara umum dan logis batasan kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian internasional paling tidak mencakup bahwa perjanjian yang akan dibuat tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan negara Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Sekedar sebuah perbandingan, bahwa Presiden Amerika Serikat dalam membuat perjanjian dibatasi oleh Konstitusi Amerika Serikat secara ketat. Konstitusi Amerika Serikat mengandung beberapa ketentuan yang berkaitan secara khusus dengan kekuasaan membuat perjanjian internasional.23
Pasal I, Bagian X: ”No State shall enter into any treaty, alliance, or confederation; ….No State shall, without the consent of Congress,
… enter into any agreement or compact with another State, or with a foreign power, ….”Xxx Xxxxx XX, Bagian II, menyatakan bahwa: “He shall have power, by and with the advice and consent of the Senate, to make treaties, provided two-thirds of the senators present concur.24
Praktek dan kelaziman dalam sistem pemerintahan parlementer umumnya bahwa secara teknis perjanjian itu dibuat oleh kabinet dan sebelum dibawa ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dimintakan konfirmasi kepada Presiden. Sebagai contoh di Belanda kekuasaan pembuatan perjanjian internasional dilakukan secara bersama: Pemerintah, yang terdiri dari Raja sebagai Kepala negara dan menteri kabinet. Kerajaan Belanda adalah berhak sebagai pihak pada perjanjian internasional asalkan Parlemen telah menyetujui tindakan pemerintah tersebut. Pada tataran internasional
23 Chyun Xxxx Xxxx (disertasi), Judicial Delimitation of the Treaty-Making Power of the United States, (Tulane : Tulane University, 1961)., hal. 2 – 3.
24 Juga, Pasal III, Bagian II Amandemen Kesepuluh, meyatakan bahwa:
“The judicial power shall extend to all cases, in law and equity, arising under this Constitution, the laws of the United States, and treaties made, or which shall be
made, under their authority; …”
Pasal VI, II Klausul menyatakan bahwa:
“This Constitution, and the laws of the United States which shall be made in pursuance thereof, and all treaties madeor which shall be made, under the authority of the united states, shall be the supreme law of the land; and the judges in every State shall be bound thereby anything in the Constitution or laws of any State to the contrary notwithstanding”.
kepala negara mempunyai kekuasaan untuk menjadi pihak pada perjanjian internasional. Bagaimanapun secara umum, keterwakilan negara pada tataran internasional berdasarkan fiksi mahkota Raja dan begitu pula halnya kepala negara yang berbentuk republik berdasarkan fiksi bahwa Presiden adalah sebagai kepala Negara/Pemerintahan.
Sejak pertengahan abad kesembilan belas, Raja membuat perjanjian internasional melalui tindakan Menteri Luar Negeri, yang pada gilirannya, dilakukan secara politis dan bertanggung jawab atas tindakannya itu kepada Raja. Pembuatan kebijakan luar negeri dan pelaksanaannya merupakan urusan menteri kabinet dan bekerja sama dengan Parlemen.25Keterlibatan lembaga legislatif terhadap kekuasaan membuat perjanjian di Amerika Serikat dalam pelaksanaannya telah diatur oleh Konstitusinya sbb:
Pertama Pasal I, Bagian VIII, yang menyatakan bahwa:
“The Congress shall have power … to make all laws which shall be necessary and proper for carrying into execution the foregoing powers, and all other powers vested by this Constitution in the Government of the United States or in any department of officer thereof”.
Kedua, Xxxxx XX, Bagian II, yang menyatakan bahwa:
“and he shall nominate, and, by and with the advice and consent of the Senate, shall appoint ambassadors, other public ministers and consuls, judges of the Supreme Court, and all other officers of the United States whose appointments are not herein otherwise provided for, and which shall be established by law; but the Congress may by law vest the appointment of such inferior officers, as they think proper, in the President alone, in the courts of law, or in the heads of departments”.
Ketiga, Amandemen Kesepuluh Konstitusi menyatakan bahwa: “The powers not delegated to the United States by the
Constitution, nor prohibited by it to the states, are reserved to
the States respectively, or to the people”.
25 J.G. Brouwer, Treaty Law and Practice in the Netherlands, (Groningen: University of Groningen,April 2002)., hal. 2.
Secara umum, ketiga kententuan Konstitusi Amerika di atas menyinggung peran masing-masing tingkatan Pemerintahan melaksanakan kekuasaan membuat perjanjian internasional. Ini mencerminkan secara tegas klausula konstitusional tentang prinsip- prinsip dasar Konstitusi, pemisahan kekuasaan, checks and balances, dan federalisme.26 Bagaimanapun, hal demikian menyinggung secara umum, namun tidak masuk kepada rinciannya bagaimana kekuasaan pembuatan perjanjian internasional harus beroperasi dalam kerangka prinsip dasar konstitusional negara tersebut. Oleh karena itu, elaborasi dan pengembangan kekuasaan membuat perjanjian internasional telah menjadi bagian masalah interpretasi konstitusional.27
Kita kembali ke bumi Indonesia, menindak lanjuti program Kabinet Xxxxxxx I, politik hukum pembuatan perjanjian internasional diarahkan untuk mendapatkan pengakuan internasional secara maksimal yang dituangkan dalam dokumen resmi (formal) perjanjian bilateral antara Indonesia dan negara-negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Pemerintah berusaha untuk membuat perjanjian internasional sebagai salah satu cara membuktikan eksistensi Indonesia merdeka di dunia internasional sebagai sebuah negara yang berdaulat. Hal demikian terlihat saat delegasi RI melobi negara-negara (awal) yang bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia.
Untuk mendapatkan pengakuan internasional Kabinet Xxxxxxx I menugaskan Xxxx Xxxx Xxxxx, Menteri Muda Luar Negeri sebagai ketua delegasi RI melakukan perjalanan ke Timur Tengah untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia dari negara-negara di kawasan itu dengan membuat Perjanjian Internasional. Hasil dari perjalanan delegasi R.I. tersebut, Mesir adalah negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia yang dituangkan dalam Treaty of Friendship and Cordiality yang ditandatangani 10 Juni 1947 dan Indonesia menandatangani perjanjian yang sama dengan Suriah pada tahun yang sama. Diikuti oleh pembukaan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kairo, (X. Xxxxxxxx Xxxxxxx sebagai Duta Besar RI pertama) Perjanjian ini merupakan yang pertama kali dibuat oleh pemerintah Indonesia dengan negara asing (Mesir) kemudian
26 Bandingkan dengan “hak” yang diberikan oleh Hukum Indonesia kepada Pemerintah Daerah untuk membuat Perjanjian Internasional
27 Xxxx, Xxxx., hal. 4.
disahkan oleh KNIP dengan UU No 2 Tahun 1948. Sedangkan Treaty of Friendship and Cordiality antara Indonesia dan Suriah disahkan dengan UU Federal No 21 Tahun 1949-50.
Pernyataan Xxxxxx Xxxxxxxx bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu diiringi dengan masuknya Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang diboncengi Nederlandsch Indië Civil Administratie atau Netherlands-Indies Civil Administration(NICA) ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda. Maksud dan tujuan NICA tidak lain adalah untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Kehadiran NICA di Indonesia telah menyebabkan terjadi konflik senjata di berbagai daerah. Untuk mengakhiri pertikaian antara Indonesia dan Belanda, pemerintah Indonesia mendorong Belanda agar mengakui teritorial Indonesia atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja. Setelah diadakan beberapa kali perundingan akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia atas Sumatera, Jawa dan Madura yang dituangkan dalam Perjanjian Linggarjati.
Materi Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia, muncul ketidakpuasan KNIP atas Perjanjian Linggarjati tersebut disebabkan wilayah Indonesia menjadi lebih sempit dan Perjanjian Liggarjati dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Kabinet Xxxxxxx dianggap gagal melindungi segenap tumpah darah Indonesia yang merupakan atribut kedaulatan negara. Akhirnya KNIP mengajukan mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri Xxxxx Xxxxxxx dan Kabinet Xxxxxxx I jatuh. Namun demikian, Presiden Xxxxxxxx meminta kembali Xxxxx Xxxxxxx membentuk Kabinet Xxxxxxx (II).
Wilayah teritorial menjadi sempit dan kondisi Kabinet Xxxxxxx II yang labil dimanfaatkan oleh Belanda dengan melancarkan Agresi I dengan jalan menerobos masuk ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan dengan serentak tanggal 20 Juli 1947 dan tidak
mengakui lagi Perjanjian Linggarjati. Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ini ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, Persetujuan Lingga Jati. Akibat dari Agresi Belanda I (di dalam negeri kembali terjadi turbulensi politik) dan menyebabkan Kabinet Xxxxx Xxxxxxx jatuh. Presiden Xxxxxxxx menunjuk Xxxx Xxxxxxxxxxx sebagai Perdana Menteri.28
Atas permintaan India dan Australia pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer Belanda masuk ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Campur tangan Dewan Keamanan ini secara de facto dianggap mengakui eksistensi Republik Indonesia. Sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB khususnya dan masyararkat internasional pada umumnya secara resmi menggunakan nama INDONESIA, (dan bukan Netherlands Indies). Sejak Resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947 tersebut, kemudian Resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947,
resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta Resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran. Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini berperan sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Xxxxxxx X. Xxxxx, Xxxxxx diwakili oleh Xxxx xxx Xxxxxxx dan Amerika Serikat menunjuk Xx. Xxxxx Xxxxxx.29
28 A.B. Lapian & P.J. Drooglever, Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah, (Jakarta: Grafiti. 1992) hal . 203.
29 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Sejarah Nasional Indonesia. Jilid VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1984)., hal. 136.
KTN menghasilkan Perjanjian Renville yang berisikan
1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia;
2. menyetujui sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda, dan
3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta.
Hasil Perjanjian Renville lebih buruk daripada Perjanjian Linggarjati dan secara jelas Indonesia sangat dirugikan. Namun sebagai sebuah negara merdeka, secara diam-diam Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai subjek hukum internasional yang berwenang membuat perjanjian internasional walaupun dari sisi teritorial, Indonesia semakin mengecil.
Pemerintahan Darurat Repubik Indonesia
Belanda merasa lebih kuat dan tindakannya pada agresi pertama dianggapnya secara diam-diam direstui Negara Barat, maka tanggal 19 Desember 1948 melancarkan Agresi Militer II atau Operasi Gagak yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxx dan beberapa tokoh lainnya. Namun sebelum penangkapan oleh Belanda terjadi, Presiden Xxxxxxxx membuat kawat yang ditujukan kepada Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx untuk melanjutkan perjuangan, pada tanggal 22 Desember 1948 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera. PDRI merupakan pemerintahan dalam pelarian (exile government) melanjutkan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah dan memegang kendali pemerintahan di Indonesia selama Presiden Xxxxxxxx dan Wakil Presiden Xxxxxxxx Xxxxx ditawan Belanda.
Dengan posisi PDRI ini, maka setiap perundingan yang akan dibuat Belanda harus dengan PDRI dan tidak bisa dengan yang lain. (Xxxxxxxx dkk yang hari itu de facto adalah tawanan Belanda –bukan pemimpin Indonesia). Bagaimana Hukum Internasional melihat status PDRI? Menurut Xxxx Xxxx, kekacauan atau anarki yang terjadi berakibat
tidak adanya organ yang berkompeten menurut hukum internasional untuk membuat perjanjian. “Statement” dari Blix Ini menimbulkan pertanyaan dalam kondisi minimum apa otoritas yang berwenang harus memenuhi persyaratan menurut hukum internasional untuk bertindak membuat suatu perjanjian sebagaimana layaknya suatu negara?
Eksaminasi kekuasaan pembuat perjanjian yang dikembangkan oleh pemerintah darurat mungkin menyediakan jawaban untuk pertanyaan itu. Bagi pemerintah tersebut yang dimaksudkan untuk bertindak atas nama negara adalah dalam kondisi yang darurat akibat adanya kekacauan tetapi otoritasnya tetap dihargai didalam negerinya.30Dan kekuatan itu terartikulasi dalam hubungan internasional. Pada umumnya, tindakan atas nama Negara harus diasumsikan bahwa pemerintahan asing akan memperlakukan pemerintahan darurat hanya jika mereka yakin bahwa perjanjian yang dibuat oleh pemerintah tersebut akan dipertimbangkan oleh negara penerus. Dengan kata lain jika mereka yakin bahwa berdasarkan hukum internasional pemerintahan darurat mempunyai otoritas sebagai negara untuk membuat perjanjian. Dengan demikian, faktanya bahwa pemerintahan asing membuat perjanjian dengan pemerintahan darurat negara dimaksudkan untuk dan bertindak atas nama negara harus menyiratkan makna dalam semua kemungkinan bahwa mereka menganggap hal itu memenuhi kondisi minimum yang diperlukan dari suatu pemerintahan dalam membuat perjanjian internasional. Bukti lain menguatkan pandangan demikian dapat dicari dalam sikap yang dianut oleh Pemerintahan Darurat yang berhasil mempertahankan kekuasaannya, yaitu menghormati atau mengabaikan perjanjian yang dibuat oleh pendahulunya. Hal ini mengungkapkan bahwa mereka (PDRI) adalah rezim yang memiliki kemampuan pemerintahan negara. Oleh karenanya, menurut definisi, pemerintahan (darurat) negara, merupakan salah satu unsur adanya Negara yang bertindak dan berbuat meskipun pada saat tertentu seperti hilang dari teritorial de jure nya.
30 Xxxx Xxxx, Treaty Making Power, (New York; Preager, 1960), hal 113. Sejarah Indonesia mencatat peran dan fungsi PDRI sebagai salah satu mata rantai Indonesia yang merdeka
Dalam teori abstrak tidak ada keberatan hukum internasional terhadap status dan kemampuan pemerintahan darurat, hal ini diakui oleh Majelis Umum PBB sebagai pihak yang punya otoritas dalam membuat Perjanjian Internasional. Berdasarkan perspektif teori hukum internasional, khususnya tentang subjek hukum internasional, status hukum (dan kewenangannya) pemerintahan darurat lebih kurang sama dengan insurgent dan belligerent asal saja pendulumnya bergerak ke arah yang positif.31
Persyaratan yang harus dipenuhi untuk berwenang menurut hukum internasional dalam membuat perjanjian internasional harus dibedakan dari kelaziman dapat diamati sebelum pengakuan diberikan. Memang benar seperti yang dikatakan oleh beberapa penulis bahwa perjanjian secara logis tidak bisa dinegosiasikan dan ditandatangani oleh badan hukum yang tidak ada, atau pemerintah secara hukum tidak ada. Pembuatan suatu perjanjian antara dua negara harus menyiratkan bahwa pemerintah masing-masing menganggap (sebut:diakui) bahwa ada organ yang kompeten menurut hukum internasional untuk bertindak dan atas nama pihak lain. Kelihatannya tentu tidak perlu dan bahkan disayangkan untuk istilah ini pertimbangan “pengakuan” dalam bentuk apapun. Jika istilah “pengakuan” dipahami secara harfiah, penggunaannya dalam hubungan ini tidak dapat disepakati. Bagaimanapun juga, istilah ini jarang dipahami secara harfiah dan tampak bahwa dalam praktek “pengakuan” negara merupakan signal penting dengan berbagai akibat hukum melekat dalam berbagai sistem hukum negara bersangkutan dan sistem hukum internasional.32
Setelah adanya Serangan Umum tanggal 1 Maret 1949 ke Yogyakarta (yang telah mendapat restu dari PDRI) dan adanya tekanan dunia internasional termasuk PBB, akhirnya Belanda bersedia berunding dengan Indonesia.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah dengan wakil PDRI atau Mr. Xxxxxxxx Xxxx yang merupakan tawanan perang yang akan mewakili Republik Indonesia berunding dengan Belanda? PDRI menegaskan bahwa wakilnya yang akan berunding dengan Belanda tapi pihak Belanda menginginkan Mr. Xxxxxxxx Xxxx yang menjadi
31 Bandingkan dengan Xxxx Xxxx , ibid., hal 155.
32 Ibid., hal. 118.
wakil Indonesia untuk berunding dengannya.33 Untuk menjaga persatuan perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia akhirnya PDRI mengalah dan menyetujui Mr. Xxxxxxxx Xxxx sebagai wakil Indonesia sedangkan Belanda yang diwakili Xxxxxx Xxx Xxxxxx. Apa yang dilakukan oleh PDRI berlaku azaz doelmatigheid dan direspon oleh Mr X Xxxx dengan sikap yang cerdas dan amanah. Pada tanggal 7 Mei 1949 didapat kata sepakat yang dituangkan dalam Perjanjian Xxxx – Roijen yang berisikan sbb:
• Angkatan Bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya;
• Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar;
• Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta; dan
• Angkatan Bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.34
Dengan tercapainya kesepakatan ini, maka pada tanggal 13 Juli 1949 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx menyerahkan kembali pemerintahan Republik Indonesia kepada Presiden Xxxxxxxx di Yogyakarta. Dengan demikian segala kekuasaan dalam membuat perjanjian internasional dengan pihak asing telah beralih kembali kepada Presiden Xxxxxxxx.
Sebagai tindak lanjut dari Perjanjian Xxxx – Roijen, maka pada tanggal 23 Agustus s/d 2 Nopember 1949 diadakanlah Konferensi Meja Bundar (KMB) di Xxx Xxxx, Belanda. Hasil KMB adalah sbb:
• Kerajaan Belanda menjerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat;
33 Dalam keadaan aman dan formal, perilaku Belanda ini akan dikecam oleh dunia internasional, karena ini lebih kurang sama dengan perilaku Xxxxxx menunjuk Jenderal Petain sebagai kepala negara Prancis di Perang Dunia II. Pilihan bijak PDRI adalah manifestasi kenegarawanan Pimpinan PDRI yang perlu dihormati oleh sejarah negara ini.
34 Xxxxx Xxxxx Xxx, Transfer of Sovereignty: Australia and Indonesia’s Independence: Documents 1949, (Canberra: Department of Foreign Affairs and Trade, 1998).
• Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan yang ada pada Konstitusinya;
• Rancangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Belanda; dan
• Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.
Perlu ditegaskan bahwa dalam KMB terdapat 3 (tiga) pihak yaitu pihak Republik Indonesia,35Bijeenkomst voor Federale overleg – BFO36 (Majelis Musyawarah Federal), dan Belanda. Hasil KMB ditandatangani tanggal 27 Desember 1949 di Scheveningen, Belanda yaitu Rancangan Persetujuan dan Segala Pertukaran Surat Menyurat Mengenai Penyerahan Kedaulatan oleh Belanda Kepada Republik Indonesia Serikat dan pada tanggal 29 Desember 1949 Belanda menyerahkan kedaulatan (souvereiniteits overdracht – transfer of sovereignty) kepada Republik Indonesia.
Periode Berlakunya Konstitusi RIS
(29 Desember 1949 - 17 Agustus 1950 )
Sebagai Undang-Undang Dasar Negara Konstitusi Republik Indonesia Serikat hadir di Indonesia dalam satu proses yang “ tidak biasa” karena ia tidak merupakan produk dasar yang lahir dari pergumulan intens dalam negeri suatu bangsa tetapi merupakan produk konsensual dengan pihak yang nota bene adalah penjajah yang enggan mengakui bekas jajahannya jadi merdeka. Kemudian menjadikannya jadi konstitusi juga dengan cara tidak biasa, “hanya” dengan Keputusan Presiden RIS nomor 48 tanggal 31 Januari 1950. Diumumkan di Jakarta tanggal 16 Februari 1950 oleh Menteri Kehakiman. ( LN No3 Tahun 1950).
Berbeda dengan Pembukaan UUD 1945 ‘Mukadimah Konstitusi RIS tidak memiliki statement yang bersifat universal, konstitusi ini lebih banyak “melihat kedalam “. . Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk
35 Delegasi Republik Indonesia diketuai oleh Xxxxxxxx Xxxxx.
36 Delegasi BFO diketuai oleh Xxxxxx Xxxxx XX dari Pontianak.
Republik Federasi, berdasarkan pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kemerdekaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial. Alinea ketiga dari mukadimah itu dilanjutkan oleh alinea keempat yang berbunyi ”untuk menyususn kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara yang berdaulat sempurna”. Nilai lain perihal restu Tuhan juga dicantumkan dalam Dasar Ideologis dari Negara RIS. Ketiadaan statemen universal sebagaimana dalam Pembukaan UUD 1945 bisa dipahami karena RIS bagaimanapun adalah “successor” dari Republik Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 agustus 1945. Namun RIS Tidak lupa mengatur pola pembuatan perjanjian Internasional yang harus dipedomani oleh penyelenggara negara. Bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut.
Hasil kesepakatan KMB tersebut dituangkan dalam Rancangan Persetujuan Bersama dan Segala Pertukaran Surat Menyurat mengenai Penyerahan Kedaulatan oleh Belanda kepada Republik Indonesia Serikat disahkan dengan UU No.10 Tahun 1949 (tentang hal penerimaan baik hasil-hasil Konperensi Meja Bundar) dan Rancangan Konstitusi RIS disahkan dengan UU No. 11 Tahun 1949 (tentang Pengesahan Konstitusi Republik Indonesia Serikat). Dasar hukum kekuasaan Presiden Republik Indonesia untuk mengesahan kedua UU tersebut adalah Pasal 11 dan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 setelah mendapatkan persetujuan dari KNIP. Dengan demikian timbul pertanyaan apakah Konstitusi RIS merupakan suatu norma dasar (groundnorm) atau suatu perjanjian internasional? Menurut teori konstitusi hal demikian merupakan norma dasar karena kelangsungan dan keberadaan RIS didirikan atas Konstitusi tersebut yang di dalamnya terdapat Negara Republik Indonesia.
Pertimbangan bahwa Konstitusi RIS disahkan berdasarkan Pasal 11 UUD 1945 karena Konstitusi RIS merupakan suatu perjanjian dan bagian dari hasil kesepakatan KMB. Konstitusi RIS telah mengakibatkan dan merubah bentuk dan susunan Negara Republik Indonesia, secara internal yaitu dari bentuk negara kesatuan (unitary) menjadi bentuk negara federasi (federation), dan secara eksternal RIS dan Kerajaan Belanda sepakat membentuk suatu Uni Indonesia – Belanda dimana Ratu Belanda sebagai Kepala Uni-nya.
Hal penting lainnya adalah bahwa Pasal 11 UUD 1945 tidak cukup menjadi dasar hukum untuk memberlakukan Konstitusi RIS guna
mengganti UUD 1945 dimana Pasal 11 UUD 1945 baru merupakan prosedur eksternal bagi Indonesia dan belum bisa secara otomatis diberlakukan. Dengan kata lain bahwa mekanisme pengesahan demikian belum sepenuhnya berakibat bahwa KRIS menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia dan untuk itu diperlukan internalisasi atau domestikasi agar benar-benar menjadi Konstitusi bagi RIS. Maka Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 merupakan pasal penentu proses internalisasi/domestikasi Konstitusi RIS berlaku secara sah dan seutuhnya menjadi Konstitusi yang menggantikan UUD 1945. Dikatakan demikian, karena Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 yang menegaskan sbb:
“Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional”.
Dalam Pasal IV Aturan Peralihan secara tegas menyatakan bahwa Presiden RI untuk sementara memegang kekuasaan MPR dimana salah satu tugasnya menurut Pasal 3 menetapkan UUD dan dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar (Pasal 2 Aturan Tambahan UUD 1945) walaupun sebenarnya pemberlakuan aturan peralihan dan tambahan itu dilihat dari sisi momen sejarah harusnya ada di sekitar tahun 1945. Namun demikian, Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx memberikan pendapatnya tentang proses pembentukan UU No. 11 Tahun 1949 mengatakan bahwa:
“Namun dalam konteks perjanjian internasional Konstitusi RIS merupakan suatu traktat yang telah disepakati dalam KMB yang mengikat RIS dan Belanda dan sebagai buktinya disahkan dengan UU No. 11 Tahun 1949 berdasarkan Pasal 11 dan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945”.37
Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx lebih lanjut menjelaskan:
“Catatan yang unik dari periode ini adalah penempatan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang dihasilkan dari
37 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Di Indonesia, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2010)., hal. 9.
Persetujuan Konferensi Meja Bundar sebagai suatu perjanjian internasional. Persetujuan ini secara implisit mendapat perlakuan sebagaimana layaknya suatu perjanjian internasional dan diproses melalui mekanisme Pasal 11 UUD 1945 seperti tercermin pada konsideran “mengingat” pada Undang-Undang
11 Tahun 1949 yang mengesahkannya. Belum ditemukan catatan jelas tentang mengapa Indonesia pada waktu itu memperlakukan Persetujuan tentang naskah Konstitusi RIS sebagai perjanjian Internasional melalui mekanisme UUD 1945”.38
Pengesahan Kostitusi RIS melalui mekanisme Pasal 11 dan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 telah memperlakukan Konstitusi RIS sebagai suatu Perjanjian Internasional yang dibuat oleh Indonesia dengan Pihak asing (Belanda, hal ini seharusnya tidak terjadi sebagai UUD (Konstitusi) yang akan diberlakukan di Republik Indonesia Serikat seharusnya ia merupakan hasil karya dan wujud kedaulatan suatu bangsa untuk membuat hukum dasarnya sendiri akan tetapi realitas sejarah mengatakan lain. Memperlakukan Konstitusi RIS (seolah) sebagai perjanjian internasional tampak seperti cocok dengan nilai-nilai yang ada pada Pasal 102 Piagam PBB. Dilihat dalam konteks kekinian yang lebih luas, Konstitusi RIS hampir mirip seperti Konstitusi Uni Eropa (European Union) yang tertuang dalam perjanjian (treaty Internasional antar negara Eropa).
Kekuasaan pembuatan perjanjian internasional pada masa Republik Indonesia mengacu kepada Pasal 11 UUD 1945 dan kekuasaan pembuatan perjanjian internasional pada masa Republik Indonesia Serikat mengacu kepada Pasal 175 dan Pasal 176 Konstitusi RIS.
Pasal 175 berisikan 2 ayat yang masing-masing berbunyi sbb:
(1) Presiden mengadakan dan mensahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain. Kecuali jika ditentukan lain dengan undang-undang federal, perjanjian atau persetujuan lain tidak disahkan, melainkan jika sudah disetujui dengan undang-undang.
38 Ibid.
(2) Masuk dalam dan memutuskan perjanjian dan persetujuan lain, hanya dilakukan oleh Presiden dengan kuasa undang- undang federal.
Kalimat pertama Pasal 175 ayat (1) secara tegas membedakan 2 bentuk perjanjian yaitu, pertama perjanjian berbentuk traktat dan perjanjian yang berbentuk persetujuan. Perjanjian dalam bentuk traktat biasanya perjanjian yang bersifat strategis dan muatan materinya mengenai persahabatan hukum, politik dsb yang merupakan dibuat oleh Presiden sebagai atribusi kepala negara dan untuk terikat (consent to be bound) harus memerlukan persetujuan (confirmation) dalam bentuk undang- undang federal (antara Presiden dan DPR-RIS). Sedangkan perjanjian berbentuk persetujuan merupakan perjanjian bersifat taktis atau teknis seperti persetujuan ekonomi, perdagangan dsb yang lebih dikenal dengan persetujuan eksekutif (executive agreements) yang dibuat oleh Presiden dan merupakan atribusi sebagai kepala pemerintahan dan merupakan jalan pintas (shortcut) untuk mewujudkan kerja sama yang akan dilakukan dengan pihak asing. Pada umumnya persoalan “waktu” jadi unsur yang ikut menentukan besar kecilnya manfaat yang diperoleh para pihak. Dalam prakteknya persetujuan eksekutif ini hanya disahkan dengan keputusan presiden. Nomenklatur ini dipakai untuk “mencegah” cabang kekuasaan lain( diluar eksekutif) ikut serta.
Dengan demikian, Presiden sebagai lembaga, baik sebagai kepala negara maupun sebagai kepala pemerintahan adalah satu-satunya yang mempunyai kekuasaan dalam membuat perjanjian internasional, konsekuensi logis dari atribusi sebagai kepala negara RIS. Sedangkan kalimat kedua Pasal 175 dipahami bahwa semua perjanjian atau persetujuan yang kekuasaan pembuatannya oleh Pemeintah RIS dengan negara lain dan pemberlakuannya harus disahkan dengan undang-undang federal.
Pasal 175 ayat (2) dimengerti bahwa terhadap perjanjian atau persetujuan dimana RIS tidak pernah ikut serta dalam proses pembuatannya (negosiasi) dan hanya menjadi pihak saja atau mengikatkan diri (consent to be bound) setelah perjanjian atau persetujuan itu jadi harus melalui mekanisme kuasa undang-undang federal, demikian pula halnya jika RIS menarik diri atau membatalkan (denunciation) terhadap perjanjian atau persetujuan harus pula
atas kuasa undang-undang federal. Sedangkan Pasal 176 berbunyi “berdasarkan perjanjian dan persetujuan yang tersebut dalam pasal 175, Pemerintah memasukkan Republik Indonesia Serikat kedalam organisasi-organisasi antar Negara”. Pasal ini menegaskan bahwa RIS untuk menjadi anggota organisasi antar negara dasar keterlibatannya dituangkan dalam bentuk perjanjian atau persetujuan. Penamaan perjanjian bersifat variatif bentuknya seperti traktat (treaty), piagam (charter), statuta (statute) dan atau persetujuan (agreement) yang disahkan dengan undang-undang federal.
Dalam masa berlakunya Konstitusi RIS tercatat setidaknya 1 perjanjian internasional yang dibuat oleh RIS, yaitu Additional Protocol to the Trade Agreement among RIS, Netherlands, and Italy. Perjajian ini tidak melalui mekanisme pengesahan/ratifikasi sesuai Pasal 175 Konstitusi RIS dan tidak ditemukan informasi tentang alasan yang mendasarinya.39 Damos Dumali tidak menjelaskan pola apa yang sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dengan undang- undangkah atau dengan mekanisme lain ?.
Periode Berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)
Masa berlakunya UUDS 1950 tentu saja diawali oleh satu peristiwa politik Mosi dari Xxx Xxxxxx-Xxxxxx yang dikenal dengan mosi Integral. UUDS 1950 dinyatakan berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1950 tentang perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (KRIS) menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (lembaran Negara Nomor 56 tahun 1950).
Dilihat dari sisi prosedural, penggantian UUD kali ini juga mengalami proses hukum yang tidak biasa, walaupun diawali oleh sesuatu “referendum terbatas” dilingkungan pimpinan partai politik yang dipelopori oleh pimpinan Partai Masyumi, Xxx Xxxxxx dan akhirnya dapat dukungan dari berbagai partai politik yang ada kala itu dan juga dukungan dari kalangan pemerintahan negara bagian di jajaran Republik Indonesia Serikat serta dari jajaran pemerintah daerah yang merupakan bagian dari Republik Indonesia. Walaupun
39 Xxxxxxx, Xxxx., hal. 8.
prosesnya “tidak biasa” tetapi proses politik yang mengawalinya diakui atau dilegitimasi oleh sebuah proses hukum yang juga “tidak Biasa” dimana konstitusi dinyatakan berlaku berdasarkan kaedah hukum yang lebih rendah tingkatannya, Undang-Undang.
Catatan ini mengungkapkan bahwa proses politik bisa pula mengabaikan prosedural (formal) sebagaimana dikehendaki oleh sistim hukum yang berlaku di negara ini. Mungkin ini adalah kearifan masa lampau dengan nilai-nilai kenegarawanan yang tinggi dari pemimpin masa lalu yang agak sulit dibayangkan untuk dilakukan oleh para politisi yang sekarang menduduki berbagai organ negara yang mewarnai kebijakan publik di Indonesia. Oleh sebab itu tentu diharapkan tidak perlu terulang dimasa ini dan akan datang, disamping sistim pembagian dan mekanisme kekuasaan sekarang sudah semakin lebih tertata baik. UUDS 1950 juga mengakui suatu azas yang jarang diperlakukan dalam satu negara yang berdasarkan hukum yakni “azas retroaktif” sebagaimana disebut dalam ketentuan penutup pasal II (dua Rumawi) ayat(2). Ini juga tentu dimaksud bahwa perjanjian internasional yang dibuat sebelum nya tetap dinyatakan berlaku. Pasal ini sekaligus merupakan “deklarasi secara Konstitusional “komitmen kepada negara asing yang sudah menjalin suatu hubungan hukum atau perjajian dengan Indonesia. . Komitmen politik terhadap dunia luar biasanya cukup merupakan statement unilateral dari pihak yang baru saja memperoleh kekuasaan(terutama eksekutif).
Bagi ilmu hukum tata negara tentu juga diakui hal-hal yang bersifat retroaktif dilandasi oleh berbagai aturan peralihan(transitional articles) juga didasari oleh “statement politik” satu regim diawal kekuasaannya.
Sebagaimana UUD sebelumnya, mukadimah UUDS 1950 tetap menyandarkan apa yang dicapai saat itu tidak lepas dari “blessing” kekuasaan yang bersifat transedental dengan berkat dan Rahmat Tuhan tercapailah tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu . . . dst
Landasan ideologi atau filosofis tentang perjanjian intenasional memang tidak terbaca secara eksplisit pada mukadimah UUDS 1950, namun tentunya nilai tersebut harus diambil dari UUD yang ada sebelumnya . Nilai itulah yang harus memandu pasal 120 UUDS 1950 dan ketentuan hukum yang relevan lainnya mengarahkan para
pengelola hubungan internasional terutama dalam membuat suatu perjanjian internasional dimana akan ada hak dan kewajiban dari Negara Indonesia.
Bagian berikut akan menjelaskan dinamika yang dialami oleh Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
Seiring dengan perjalanan ketatanegaraan RIS dan ada kekhawatiran kalau bentuk federasi tetap dipertahankan, akan mendorong fragmentasi RIS menjadi negara-negara kecil merdeka di wilayah Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Langkah bijak Xxxxxxxx Xxxxxx, Menteri Penerangan saat itu mendorong agar RIS kembali menjadi negara Kesatuan Republik Indonesia. Sejarah mencatat langkah itu sebagai “Mosi Integral”. Desakan Mosi Integral itu diterima oleh semua pihak dan akhirnya RIS berubah menjadi Negara Republik Indonesia dalam bentuk kesatuan, pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Konstitusi RIS diganti oleh Undang- Undang Dasar Sementara yang lebih dikenal dengan UUDS 1950 yang disahkan dengan UU No. 7 Tahun 1950.40
Setelah penyerahan kedaulatan dan bentuk Negara Indonesia kembali kepada bentuk kesatuan maka secara politik ini menjadi modal utama untuk mengisi kemerdekaan seperti yang dicita- citakan dan dorongan untuk pembangunan kesejahteraan rakyat Indonesia merupakan prioritas utama dari sekian prioritas lainnya. Kondisi Indonesia yang baru merdeka, dimana sarana dan prasarana (infrastruktur) boleh dikatakan sama sekali sangat menyedihkan. Ketiadaan anggaran dan banyaknya masyarakat yang buta huruf serta taraf kehidupan jauh dari sejahtera merupakan masalah utama yang harus diatasi oleh pemerintah.
Pemerintah dalam mengawali upaya kerja sama internasional telah melaksanakan kekuasaan pembuatan perjanjian internasional dengan negara-negara sahabat sesuai amanat Pasal 120 ayat (1) UUDS 1950 dalam bentuk nomenklatur traktat. Pelaksanaan kekuasaan
40 Keinginan untuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia itu dtegaskan pada huruf d UU No. 7 Tahun 1950 yang menegaskan: bahwa untuk melaksanakan kehendak Rakjat akan bentuk republik kesatuan itu daerah-daerah bagian Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur telah menguasakan Pemerintah Republik Indonesia Serikat sepenuhnja untuk bermusjawarat dengan Pemerintah daerah bagian Negara Republik Indonesia.
pembuatan perjanjian internasional telah menghasilkan beberapa perjanjian internasional yang strategis dalam memantapkan posisi Indonesia dalam kancah pergaulan internasional. Hal demikian dapat dilihat, yaitu: Traktat Persahabatan Indonesia - India (3 Maret 1951) disahkan dengan UU No. 16 Tahun 1952; Traktat persahabatan Indonesia - Myanmar (31 Maret 1951) disahkan dengan UU No. 18 Tahun 1952; Trakat Persahabatan Indonesia - Pakistan (3 Maret 1951) disahkan dengan UU No. 17 Tahun 1952; Traktat Persahabatan Indonesia - Filipina (21 Juni 1951) disahkan dengan UU No.19 Tahun 1952; Traktat Persahabatan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand (3 Maret 1954) disahkan dengan UU No.37 Tahun 1954; Traktat Persahabatan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Afganistan (24 April 1955) disahkan dengan UU No. 68 Tahun 1957; Traktat Antara Republik Indonesia dan Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx mengenai soal Dwi Kewarganegaraan (22 April 1955) disahkan dengan UU No. 2 Tahun 1958; Traktat Persahabatan Antara Republik Indonesia dan Kerajaan Irak (30 April 1956) disahkan dengan UU No. 27 Tahun 1957; Traktat Persahabatan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Iran (29 Desember 1958) disahkan dengan UU No. 17 Tahun 1959; Traktat Perdamaian antara Republik Indonesia dan Jepang (20 Januari 1958) disahkan dengan UU No. 13 Tahun 1958; Traktat Persahabatan Antara Republik Indonesia dan Kerajaan Kamboja (13 Februari 1959) disahkan dengan UU No. 8 Tahun 1960; dan Traktat Persahabatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu (17 April 1959) disahkan dengan UU No. 4 Tahun 1960.41
Arah politik hukum pembuatan perjanjian internasional terkait dengan nomenklatur traktat ditujukan untuk memperkuat eksistensi Indonesia di mata negara-negara sahabat sebagai awal menjalin hubungan kerja sama yang lebih luas di masa-masa yang akan datang.42Disamping melaksanakan amanat Pasal 120 ayat (1) UUDS 1950 pemerintah telah melaksanakan pula kekuasaan pembuatan perjanjian internasional sesuai Pasal 120 ayat (2) UUDS 1950 yaitu, perjanjian dengan menggunakan nomenklatur Persetujuan
41 Xxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum Dan Ratifi- kasi, (Bandung: Alumni, 2011)., hal. 158-159.
42 Untuk lebih jelasnya lihat Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx (disertasi), Nationalism andCon- frontation in the Southeast Asian Islands: the Sources of Indonesian Foreign Policy, (Tulane University: 1967).
(agreement) seperti: Persetujuan Kebudayaan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Mesir (10 Oktober 1955) disahkan dengan UU No. 70 Tahun 1957. Persetujuan mengenai Kebudayaan dan Pengajaran antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik India (29 Desember 1955) disahkan dengan UU No. 59 Tahun 1957; Persetujuan mengenai warganegara yang berada secara tidak sah di daerah Republik Indonesia dan Republik Filipina (4 Juli 1956) disahkan dengan UU No. 77 Tahun 1957; dan Persetujuan Rampasan Perang antara Republik Indonesia dan Jepang (20 Januari 1958) disahkan dengan UU No. 13 Tahun 1958.43
Hubungan dan kerja sama luar negeri untuk mendorong pembangunan infrastruktur di segala bidang dengan pihak asing yang mau melakukan investasi di Indonesia merupakan salah satu potensi yang harus digarap dan dilaksanakan secepatnya. Untuk menggerakan roda perekonomian dan perdagangan serta memajukan ilmu pengetahuan pemerintah telah merintis pula membuat perjanjian (agreements atau protokol) dengan berbagai Negara antara lain: Persetujuan Pokok tentang kerja sama dalam lapangan Ekonomi dan Teknik antara Republik Indonesia dan Uni Republik Soviet Sosialis (15 September 1956) disahkan dengan UU No. 9 Tahun 1958; Persetujuan Kerja Sama Ilmiah, Pendidikan dan Kebudayaan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Cekoslovakia (31 Mei 1958) disahkan dengan UU No. 3 Tahun 1959; Persetujuan kerjasama Ilmiah, Pendidikan dan Kebudayaan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Cekoslovakia (31 Mei 1958) disahkan dengan UU No. 3 Tahun 1959; dan Protokol antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Jepang mengenai Penyelesaian Penagihan-penagihan terhadap Neraca-neraca di dalam Clearing Accounts yang lalu dan Account-Account lain yang bersangkutan (20 Januari 1958) disahkan dengan UU No. 13 Tahun 1958.44
Terkait dengan kekuasaan untuk membuat perjanjian perlindungan investasi sebagai tahap awal untuk menarik investor asing untuk membangun infrasrtuktur yang boleh dikatakan tidak atau belum ada, dan anehnya bahkan pemerintah tidak berminat, karena pemerintah
43 Xxxx Xxxxxxx, op. cit., hal. 159.
44 Treaty Room Kementrian Luar Negeri RI.
dan parlemen kala itu sepakat memilih ekonomi sosialis dari pada ekonomi kapitalis. Pilihan ekonomi sosialis dipandang lebih sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia daripada ekonomi kapitalis yang dianggap merupakan saudara kandung kolonialis dan imperialis yang telah menjajah Indonesia selama 350 tahun. Pihak asing tidak akan mau berinvestasi sepanjang tidak ada jaminan atas keamanan dan kenyamanan investasi, bagi mereka dua prasyarat tersebut merupakan hal yang tidak bisa ditawar. Selain itu, agar arus investasi bisa mengalir ke Indonesia diperlukan pula insentif-insentif tertentu agar para investor tertarik dan bergairah melihat prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk ini semua diperlukan suatu pola umum terukur terarah dan terkendali untuk memberikan kepastian kepada investor agar tidak ragu-ragu berada di Indonesia, dan disisi lain kepentingan Indonesia, baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang tentu saja harus terlindungi.
Pilihan pada politik ekonomi sosialis tersebut diwujudkan pada Desember 1957 dimana pemerintah melakukan nasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Pilihan ini menandai pergeseran struktur perekonomian Indonesia yang paling mendalam pada tahun 1950an. Nasionalisasi tersebut menjadi dua masalah dasar bagi pembuat kebijakan Indonesia yang telah bergulat sejak kemerdekaan, yaitu: bagaimana menghadapi dominasi asing di sektor ekonomi modern, dan apa peran yang harus dimainkan negara dalam perekonomian. Meskipun urutan pengambilalihan itu berbeda dari urutan nasionalisasi pada dominasi ekonomi Belanda yang relatif cepat dihapuskan dan secara bersamaan. Pemerintah mengakuisisi saham besar di sektor ekonomi modern Indonesia, dan selanjutnya sektor usaha milik negara akan memainkan peran dalam dinamika perekonomian nasional. Langkah- langkah membuka jalan menuju pendekatan Sosialis lebih diarahkan pada ekonomi melalui intervensi pemerintah secara langsung. Pemerintah terlibat langsung terhadap kebijakan dan proses bisnisnya yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kebijakan tersebut berlaku pula pada saham-saham untuk tentara, yang mampu menempatkan sejumlah perwira di posisi puncak manajemen perusahaan. Menurut banyak pengamat, seperti yang dikatakan Xxxxxxxx bahwa dalam narasi sejarah yang lebih luas pengambilalihan dan nasionalisasi perusahaan- perusahaan terbaik dapat dilihat sebagai bagian dari proses dekolonisasi ekonomi Indonesia dari Belanda, proses yang terpisah namun sejajar
dengan proses dekolonisasi politik. Namun demikian, langkah itu dengan konsekuensi jangka pendek membantu menyelesaikan sesaat dua pertanyaan dari dominasi ekonomi oleh asing dan peran negara dalam perekonomian serta memberikan dorongan utama untuk dekolonisasi ekonomi.45 Politik hukum anti ekonomi kapitalis ini sebenarnya bersifat sementara (ad hoc). Kebijakan demikian lebih didorong oleh faktor jangka pendek politik dalam negeri dan hubungan luar negeri pada masa itu euporia nasionalisme awal kemerdekaan dan semangat anti Belanda disatunafaskan dengan semangat anti asing. Dengan demikian bukan dari visi ekonomi sosialisme atau Indonesianisasi dalam skala besar.
Hal yang perlu dicatat pada masa ini bahwa kekuasaan pembuatan perjanjian internasional sesuai pasal 120 UUDS1950 adalah melaksanakan praktik pemberian bentuk hukum nasional kepada perjanjian internasional hanya terbatas pada bentuk undang-undang.
Kembali Ke UUD 1945 dan Surat Presiden Nomor 2826/ HK/1960
Dengan berlakunya kembali kepada UUD 1945 maka Pasal 11 kembali menjadi dasar utama bagi pemerintah dalam melaksanakan kekuasaan pembuatan perjanjian internasional dengan pihak asing. Terkait dengan hal ini, setahun setelah kembali kepada UUD 1945 Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif mengirimkan surat, sebagai balasan atas surat DPR-RI.
Isi Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 jelas sekali menekankan arah praktek kekuasaan pembuatan perjanjian internasional di masa- masa yang akan datang. Secara yuridis Surat Presiden tidak dapat dikualifikasi sebagai produk perundang-undangan, namun substansi surat tersebut dipatuhi dan membuat kedudukan surat tersebut menjadi setara kekuatan hukumnya dengan peraturan perundang- undangan sebagai rujukan pelaksanaan Pasal 11 UUD 1945. Durasi kekuasaan pembuatan perjanjian internasional berdasarkan Surat tersebut merupakan yang terlama dalam sejarah perjanjian
45 Xxxxxxx, Xxxxxxx X., (disertasi), Xxxxxxx’x Guided Democracy and the Takeovers of For- eign Companies in Indonesia in the 1960s, (The University of Michigan: 2010)., hal. 96-97.
internasional Indonesia. Praktek tersebut telah menjadikan pula sebagai evolusi ‘practical” pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional di Indonesia. Dinamika Surat Presiden 2826/HK/1960 oleh Ko Swan Sik dikatakan bahwa terlepas dari kedudukan dan bentuk produk Surat tersebut yang bersifat non-legislatif, tetapi dengan sifatnya yang fleksibel sebagai sebuah surat, secara politik merupakan tindakan yang cerdas dalam menyampaikan keinginan pemerintah atau penafsiran pemerintah terkait dengan maksud UUD 1945 tanpa perlu mengikuti proses legislatif yang dapat saja berlangsung berlarut- larut.46 Hal demikian dapat dilihat dalam butir 1, yaitu:
“Dengan ini diminta dengan hormat perhatian Saudara atas soal kerja sama antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka Pasal 11 Undang-Undang Dasar didalam hal mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain. Seperti diketahui Pasal 11 Undang-Undang Dasar menentukan bahwa: Presiden dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perianjian dengan negara lain”.
Penafsiran pemerintah tersebut dapat diduga berasal dari Pasal 175 Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 120 UUDS 1950 dimana materi muatan kedua pasal tersebut menjelaskan secara tegas makna kata perjanjian sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 UUD 1945. Pasal 175 Konstitusi RIS 1949 dan Pasal 120 UUDS 1950 bahwa suatu perjanjian antar negara dibuat oleh pemerintah perlu meilibatkan parlemen / DPR.
Penafsiran pemerintah demikian selanjutnya tambah ditekankannya pada angka 2 Surat Presiden yang membedakan mana perjanjian yang penting dan mana yang kurang penting, termasuk juga terkait dengan penggunaan nomenklatur Traktat sebagai penanda tingkat pentingnya-suatu perjanjian internasional serta keterlibatan DPR-RI tekait dengan suatu perjanjian internasional.
Angka 2 dari Surat Presiden tersebut menegaskan bahwa:
“Menurut pendapat Pemerintah perkataan perjanjian didalam Pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan Negara
46 Sik, Ko Swan, The Indonesian Law of Treaties 1945-1990, (Dordrecht/Boston/London
: Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, 1994)., hal. 11.
Asing, tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang terpenting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk Traktat atau Treaty”. Jika tidak diartikan sedemikian, Pemerintah akan tidak mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal-soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian intensifnya, sehingga menghendaki tindakan-tindakan yang cepat dari Pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.
Posisi pemerintah tersebut sejalan dengan yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat dimana untuk memudahkan pembuatan perjanjian internasional, Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx Serikat memberikan kekuasaan hukum kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional tanpa memerlukan persetujuan sebelumnya dari Senat. Perjanjian internasional seperti ini dinamakan “executive agreements”.
Presiden (Amerika Serikat) memiliki kekuasaan khusus untuk membuat “executive agreements” seperti misalnya :
Persetujuan militer yang dibuat oleh Presiden sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Persetujuan dalam rangka melaksanakan suatu disposisi legislatif yang dibuat oleh Kongres.
Prosedur baru ini berjalan dengan baik sehingga akhirnya jumlah persetujuan yang dibuat jauh melebihi jumlah perjanjian. Selama Perang Dunia II dari 1939-1945, terdapat 46 perjanjian yang dibuat, sedangkan jumlah “executive agreements” mencapai angka 310. Tetapi setelah keluarnya Case Act yang ditandatangani Presiden Xxxxx tanggal 22 Agustus 1972 kekuasaan Presiden untuk membuat Executive Agreement selanjutnya dibatasi dengan memberitahu Kongres dalam waktu 60 hari atas semua persetujuan sederhana yang dibuat dengan negara-negara asing.
Dapat dipahami bahwa angka 2 dari Surat Presiden Xxxxxxxx tersebut, pemerintah secara sepihak memutuskan bahwa perjanjian
yang memerlukan persetuiuan DPR hanya yang bernilai strategis dan penting dalam bentuk traktat karena traktat adalah bentuk yang tertinggi dari perjanjian internasional. Dengan demikian keputusan sepihak pemerintah tersebut berakibat (lanjut) adalah membatasi keterlibatan DPR-RI dalam pelaksanaan pemberian persetujuan terhadap suatu perjanjian internasional hanya pada perjanjian internasional yang bernuansa politik belaka.
BAGIAN KETIGA
UUD 1945 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN
INTERNASIONAL
Definisi limitasi UUD 1945 pada proses perjanjian adalah setiap pembatasan yang terkandung dalam UUD 1945 untuk mencegah negara membuat perjanjian, menjadi pihak, atau melaksanakan kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional, yang justru lebih banyak merugikan kepentingan nasional. Definisi ini dapat dengan mudah dipecah menjadi dua klasifikasi umum yang pertama adalah hal yang berhubungan dengan pembatasan kewenangan Pemerintah RI untuk menjadi pihak pada perjanjian internasional. Kedua adalah hal yang mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk melakukan komitmen yang sudah terjadi menurut perjanjian internasional itu.
Pengklasifikasian ini tidak berarti sewenang-wenang, melainkan cukup logis karena beberapa alasan. Pada tingkat pertama, limitasi UUD (1945) melekat dalam banyak proses perjanjian yang ada saat ini. Di Inggris ada perbedaan memutuskan antara pembentukan kewajiban yang timbul akibat perjanjian internasional, yang merupakan tanggung jawab dari Mahkota, dan kinerjanya atau bentuk hak dan kewajiban dilihat dari sisi kepentingan Inggris, yang ada dalam kekuasaan Parlemen. Kedua, sifat dari konstitusi yang paling
modern membuat klasifikasi yang diperlukan. Meskipun tidak begitu jelas sebagai sistem Inggris, sebagian besar negara-negara Eropa memerlukan pemisahan serupa fungsi untuk memvalidasi beberapa jenis perjanjian.47
Indonesia dalam tingkat tertentu mematuhi doktrin pemisahan kekuasaan pemerintah melalui perubahan UUD 1945 telah membedakan proses perjanjian internasional menjadi tindakan eksekutif dalam membuat dan menjadi pihak pada perjanjian internasional, dan partisipasi DPR-RI dalam melaksanakan kewajiban perjanjian internasional. Banyak ahli mengakui klasifikasi ini dalam penentuan keabsahan perjanjian internasional tidak begitu jelas limitasinya.
Beberapa pendapat mengatakan bahwa limitasi UUD 1945 mempengaruhi kemampuan Indonesia menjadi pihak pada perjanjian internasional. Di sisi lain, dikatakan bahwa limitasi UUD 1945 yang berkaitan dengan kekuasaan negara melakukan semua tindakan mempunyai konsekuensi bagi bangsa dan negara ini. Struktur UUD 1945 membuat klasifikasi ini menjadi penting, untuk menganalisis proses perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia berdasarkan UU No. 24/2000. Di Indonesia, kontrol atas hubungan luar negeri diberikan kepada pemerintah pusat sebagai salah satu sendi negara kesatuan Republik Indonesia yang ada dan memerlukan “tindakan” dari DPR-RI.
Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 telah menjadi konvensi ketatanegaraan dalam pembuatan perjanjian internasional oleh pemerintah. Surat Presiden tersebut tidak pernah dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah dan bahkan keluar dari maksud dan tujuan substansinya. Alasan yang lazim dikemukakan adanya penyimpangan tersebut lebih kepada masalah kecepatan waktu dan praktis ketimbang alasan substanstif. Perilaku ini kadangkala menimbulkan kerugian besar.
Tindakan pemerintah membuat perjanjian internasional dan tidak sesuai dengan Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 dan tidak akan pernah dilupakan sepanjang masa adalah ketika Presiden Xxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxxx, Direktur Pelaksana Xxxx Xxxxxxx Internasional
47 Xxxxxx J. Xxxxxxxxxxx, In Defense of the Senate AStudy in Treaty Making, (Norman : University of Oklahoma Press, 1933)., hal. 2.
(Managing Director, International Monetary Fund), pada tanggal 15 Januari 1998 telah menandantangani Letter of Intent on Memorandum of Economic and Financial Policies Pada saat itu perekonomian Indonesia hancur yang ditandai dengan nilai tukar rupiah 1 dolar Amerika Serikat menjadi 16 ribu rupiah. Pemilihan nomenklatur Letter of Intent (Pernyataan Kehendak) memang disengaja untuk menghindari” jebakan” kriteria Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 khususnya angka 2. Secara sekilas Pernyataan Kehendak belum mempunyai akibat hukum apapun, namun sebenarnya hal demikian merupakan pemasangan jerat awal oleh IMF kepada korbannya, Indonesia. Syarat-syarat yang ditentukan sepihak oleh IMF sangat berat dan Indonesia tidak punya pilihan selain harus menerimanya. Pelaksanaan Letter of Intent ini mempunyai implikasi yang luar biasa dan bahkan telah merusak sendi-sendi perekonomian Indonesia yang telah dibangun selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru. Saat rezim Orde Baru berkuasa bahwa perekonomian Indonesia dibangun masih dalam kerangka kesejahteraan rakyat berdasarkan Pasal 33 Undang- Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dengan modifikasi tertentu agar sesuai dengan perkembangan (trend) perekonomian dunia. Namun oleh Letter of Intent perekonomian Indonesia berdasarkan kesejahteraan rakyat yang antara lain 9 bahan pokok (sembako) yang selama ini dikendalikan oleh Pemerintah harus dilepas dan harga sembako harus disesuaikan dengan harga pasar telah membuat rakyat menderita dan peran Badan Urusan Logistik (Bulog) harus dikurangi. DPR-RI tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan pemerintah tersebut dan malahan mengikuti keinginan pemerintah. Walaupun bisa diduga, secara psikologis DPR hasil pemilihan 1997 sudah kehilangan kredibilitasnya.
Perbuatan pemerintah dalam hal membuat Letter of Intent telah melanggar Pasal 33 UUD 1945 dan alasannya bahwa perekonomian akan hancur kalau tidak ditandatangani tidak bisa dijadikan sebagai alasan pembenaran oleh pemerintah karena pada saat bersamaan Malaysia pun mengalami hal yang sama tapi menolak bekerja sama dengan IMF dan ternyata Malaysia bisa keluar dari krisis ekonominya. Untuk itulah, perlu adanya suatu pembatasan yang jelas dan tegas bagi pemerintah dalam membuat perjanjian internasional agar peristiwa Letter of Intent berikutnya tidak terjadi lagi dikemudian hari. Tanggung jawab atas hal tersebut, timbul keinginan perlu adanya suatu UU tentang perjanjian internasional sudah sangat mendesak
guna menggantikan Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 untuk memberikan arah politik hukum positif (ius constitutum) jelas dan tegas agar pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama dan mengatur pula kewenangan DPR untuk mengawasinya. Pada tanggal 23 Oktober 2000 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 (UU No. 24/2000) tentang Perjanjian Internasional telah diundangkan. Dengan UU No. 24/2000 ini Indonesia membuka era baru kekuasaan pembuatan perjanjian internasional oleh Indonesia.
Prosesi penyiapan RUU ini sebenarnya sudah dimulai pada tahun 1997 sampai akhir tahun 1999 yang diawali penyiapan naskah akademik yang telah dimulai jauh sebelumnya. Intensitas pembahasan RUU dipercepat setelah kebobolan dengan ditandatanganinya Letter of Intent (antara Presiden Xxxxxxxx dengan Xxxxxxx Xxxxxxxx) dan kebutuhan akan suatu UU khusus yang mengatur tentang perjanjian internasional telah menemui momentum baru. Setelah melalui pembahasan di rapat antar departemen akhirnya draft final RUU tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah. Setelah RUU disampaikan pemerintah ke DPR, Presiden menunjuk Menteri Luar Negeri untuk mewakili pemerintah dalam pembahasannya. Setelah beberapa bulan dilakukan pembahasan oleh pemerintah dan DPR akhirnya RUU disepakati menjadi UU dan pemerintah mengundangkannya menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 (UU No. 24/2000) tentang Perjanjian Internasional.
UU No. 24/2000 terdiri dari 8 bab, yaitu: Kententuan Umum, Pembuatan Perjanjian Internasional, Pengesahan Perjanjian Internasional, Pemberlakukan Perjanjian Internasional, Penyimpanan Perjanjian Internasional, Pengakhiran Perjanjian Internasional, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Dari 8 bab tersebut yang jadi jantung dan hati adalah bab tentang Pembuatan Perjanjian Internasional (Treaty-Making Power) dan bab tentang Pengesahan Perjanjian Internasional (Ratification of Treaties).
Undang-Undang No 24 Tahun 2000 ini memberikan “dasar hukum teknis” proses pembuatan sampai dengan berakhirnya atau dibatalkannya suatu perjanjian internasional (pasal 6 s/d pasal 18). UU ini juga “menentukan” siapa atau cabang eksekutif apa yang bertanggung jawab atas proses sebagai “kaki tangan” Presiden Republik Indonesia.
Aturan lain yang relatif baru dalam UU ini adalah adanya kategorisasi “content” perjanjian internasional yang harus disyahkan dengan perbuatan hukum yang berbeda. Pasal 10 dan pasal 11 UU No 24/2000 membedakan materi mana yang disahkan dengan UU (melibatkan / pengesahan DPR) dan apa pula yang jadi kewenangan unilateral dari pemerintah atau Keputusan Presiden. Pasal 10 mengatur perihal pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan negara
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
e. Pembentukan kaidah hukum baru
f. Pinjaman dari / dan hibah luar negeri
Walaupun Undang-Undang ini telah berusaha “membatasi kewenangan sepihak” dari eksekutif tetapi karena formatnya dirumuskan sedemikian rupa, norma ini tetap saja rawan dengan multi interpretasi dari berbagai cabang kekuasaan (eksekutif dan atau legislatif).
Bisa juga diduga bahwa rumusan pasal 10 khususnya poin (e) adalah antitesa atas perbuatan letter of intent (LOI) antara Indonesia dengan IMF di penghujung era Orde Baru yang lalu. Bagaimanapun, dalam perjalanan waktu yang semakin cepat, dinamis dan kompleks kedepan materi yang terkandung dalam UU No 24/2000 sudah saatnya dimutakhirkan sehingga terwujudnya suatu perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia harus lebih menjamin terselenggaranya berbagai kepentingan nasional dengan lebih kental perlindungannya untuk kemaslahatan rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sehingga lahirnya norma dalam skop perjanjian internasional tidak sekedar “mengulang” kalimat yang ada dalam UUD 1945 misalnya pasal 11 ayat (2) yang menyatakan:
“Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan / atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Norma UU tentang perjanjian internasional kedepan harus lebih aplikatif sehingga interpretasi politis yang bersifat ad hoc atau kontemporer harus dihindarkan Dalam praktek membuat perjanjian yang berlaku yang merundingkannya apakah mutlak oleh cabang eksekutif (pemerintah) dan tidak cabang lainnya? Dalam sejarah pembuatan kesepakatan internasional di Indonesia bahwa eksekutif memainkan peran utama. Presiden sebagai kepala negara atau sebagai kepala pemerintahan RI yang sewaktu-waktu bisa berubah peran dan Menteri Luar Negeri sebagai pelaksana harian secara aktif membuat perjanjian internasional. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dulu yang berfungsi sebagai parlemen sebelum terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat dan DPR-RI tidak pernah mengambil bagian Dalam proses negosiasi. Parlemen Indonesia juga tidak memainkan peran resmi dalam melakukan perundingan untuk membuat perjanjian internasional.
Negosiasi perjanjian dan persetujuan internasional yang merupakan tanggung jawab eksekutif. Karena kekuasaan legislatif tidak bertanggung jawab atas negosiasi perjanjian internasional, tidak menerima pemberitahuan resmi atas perjanjian internasional yang diusulkan. Namun demikian, anggota DPR memiliki hak untuk mengajukan pertanyaan tertulis atau lisan kepada pemerintah mengenai perjanjian internasional yang sedang negosiasi melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Menteri Luar Negeri (eksekutif) dan Komisi I DPR-RI. RDP biasanya, dilakukan dalam setiap dua atau tiga bulan sekali atau jika dibutuhkan kapan saja RDP dapat dilakukan terkait dengan perjanjian internasional yang membutuhan penjelasan dari pemerintah. Mekanisme RDP ini merupakan wadah konsultasi dan salah satu bentuk pengawasan DPR-RI atas kinerja pemerintah terkait dengan perjanjian internasional dan kalau ternyata dalam rancangan suatu perjanjian internasional disinyalir melebihi yang seharusnya, maka DPR-RI akan menegur pemerintah karena ada limitasi konstitusional bagi pemerintah dalam merundingkan suatu perjanjian internasional yang tidak boleh dilanggar.
Dengan demikian apakah merundingkan suatu perjanjian internasional merupakan monopoli pemerintah? Putusan Hakim(agung) Xxxxxxxxxx dalam kasus United States v. Xxxxxxx-Xxxxxx (1936) mengatakan bahwa Presiden sebagai “organ tunggal” dalam
urusan luar negeri.48 Lebih lanjut Xxxxx Xxxxxxxxxx menjelaskan tentang pelaksanaan pelimpahan wewenang legislatif mengatakan bahwa “ada perbedaan antara kekuasaan pemerintah dalam hal urusan luar negeri dan hubungannya dengan urusan dalam negeri.” Xxxxx Xxxxxxxxxx membedakan dua kekuasaan yaitu mengenai asal usul dan sifat kewenangan itu sendiri “Legislasi Kongres, harus dibuat secara efektif dalam bidang internasional,” dan legislasi itu diberikan kepada Presiden. Presiden mempunyai hak diskresi dan kebebasan dengan pembatasan UU (tidak akan diterima untuk urusan dalam negeri). Dalam hal ini, Xxxxx Xxxxxxxxxx tidak hanya menyokong pendelegasian kekuasaan presiden tetapi juga mengakui independensi kekuasaan Presiden yang tidak dapat dibatasi oleh Kongres. Analisis konstitusionalnya dan pemahaman sejarah tetap terpelihara dalam makna yang konsisten.49 ,sehingga kewenangan yang bersifat eksesif bisa dicegah.
Sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000, apa alasan logisnya perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan DPR-RI untuk mengesahkannya? Sebagaimana dipahami bahwa UUD 1945 telah membatasi dan mempengaruhi kemampuan (pemerintah) Indonesia dalam hal membuat perjanjian internasional yang berkaitan pengesahan perjanjian internasional.. UU No. 24/2000 dan Pasal 11 UUD 1945 merinci jenis perjanjian internasional yang akan dibuat dan bentuk serta prosedur yang diperlukan. Dalam prakteknya ditemukan bahwa limitasi tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori terpisah.
Yang pertama berkaitan dengan situasi di mana Presiden dapat membuat perjanjian internasional tanpa dilimitasi oleh UUD 1945 seperti dalam kasus Indonesia menjadi pihak pada Piagam ASEAN yang disahkan dengan UU No. 38 Tahun 2008. Banyak kalangan berpendapat bahwa Piagam ASEAN tersebut tidak sejalan dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 karena dengan menjadi pihak pada Piagam ASEAN, Indonesia telah melakukan liberalisasi sektor hajat hidup orang banyak, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
48 Xxxxx Xxxxxx, Treaty Negotiation: A Presidential Monopoly?,Presidential Studies Quarterly / March 2008, (Washington : 2008)., hal. 144.
49 Loc.cit.
negara; bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terkait dengan hal ini, beberapa kelompok masyarakat telah mengajukan gugutan ke Mahkmah Konsitutusi agar membatalkan UU No. 38/2008 tersebut.
UUD modern menetapkan beberapa ukuran partisipasi dalam proses pembuatan perjanjian internasional oleh organ legislatif. Di zaman lampau, tidak ada mitra otoritas raja untuk memberikan persetujuan apabila membuat suatu perjanjian internasional. Raja atau Ratu Inggris menjadi pihak pada perjanjian internasional atas inisiatif sendiri. Hal ini terlihat di Inggris bahwa raja dalam membuat atau menjadi pihak pada perjanjian internasional adalah tindakan sukarela eksekutif. Raja tidak memerlukan prosedur formal baik oleh hukum atau konvensi untuk membuatnya valid secara nasional. Tapi setiap perjanjian internasional tunduk pada langkah-langkah seperti peraturan ketat yang berkaitan dengan penegakan hukum. Cukup masuk akal untuk menempatkan negara Inggris dalam kategori ini, karena sistem hukum di negara itu sudah well established.
Kategori kedua terdiri dari negara berkembang termasuk Indonesia yang membuat limitasi kebebasan pihak pemerintah berdasarkan UUD-nya dalam membuat perjanjian internasional seperti deklarasi perang, pengambilalihan wilayah, perampasan uang, hak pribadi dan tugas warga negara, dan beberapa jenis pengaturan komersial. Dalam konteks ini diperlukan persetujuan legislatif. Selain itu, dalam hal-hal penting, kepala negara / pemerintah harus mendapatkan persetujuan dari komite luar negeri parlemen. Sebagai contoh di Denmark dimana raja tidak bisa tanpa persetujuan dari Rigstag (parlemen), menyatakan perang, membuat perdamaian, kontrak atau membatalkan aliansi dan perjanjian komersial, atau menyerahkan bagian manapun dari wilayah atau kewajiban kontrak apapun yang dapat mengubah yang sudah ada.
Kategori ketiga dan terakhir termasuk negara-negara yang mengizinkan kepala negara untuk melakukan semua negosiasi dengan asing dan menandatangani perjanjian, asalkan ada saran dan atau persetujuan dari salah satu atau kedua badan legislative(dalam negara yang menganut sistim bikameral). Prosedur ini telah ditandai sebagai sistem Amerika dan negara-negara Amerika Latin yang mengadopsi
model Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, suara dua-pertiga anggota Senat hanya perlu untuk memberikan validitas lengkap untuk sebuah perjanjian.
Dari berbagai jenis limitasi konstitusional tersebut di atas juga mempengaruhi kemampuan Indonesia dalam membuat atau menjadi pihak pada perjanjian internasional yang menunjukkan bahwa meskipun berbeda, mereka berhubungan dengan bentuk nyata atau prosedur negosiasi dan pengesahan yang harus diperhatikan sebelum perjanjian internasional tersebut berlaku. Limitasi ini mungkin tidak begitu ketat untuk mencegah negara dari memasuki jenis tertentu dari perjanjian internasional. Sebagai contoh Konstitusi Meksiko, misalnya, melarang pembuatan perjanjian internasional yang membolehkan ekstradisi pelaku kejahatan politik dan kesepakatan dengan cara apapun memodifikasi jaminan konstitusional yang diberikan kepada orang Meksiko. Jenis keterbatasan yang langka, dan sulit untuk menyiratkan bahwa itu ditolak oleh hukum internasional, meskipun mungkin ada kualifikasi yang harus masuk akal dan memberikan kontribusi bagi kesejahteraan negara. Secara umum, limitasi tersebut membatasi hak pemerintah dalam menjadi pihak pada perjanjian internasional tertentu tanpa nasihat dan persetujuan dari badan legislatifnya.
Suatu perjanjian internasonal yang dibuat Indonesia dengan pihak negara lain atau organisasi publik lainnya dapat mulai berlaku pada saat penerimaan, penandatangan, pertukaran nota, atau pengesahan (ratification) sebagaimana diatur oleh perxxxxxan itu sendiri. Masalah yang terpenting adalah pemberlakuan suatu perjanjian internasional melalui ratifikasi, UU No. 24/2000 membedakan dua pola pengesahan perjanjian internasional, yaitu dengan undang-undang dan peraturan presiden.
Sesuai Pasal 10 UU No. 24/2000 pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang kalau materi muatannya terkait dengan:
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
e. pembentukan kaidah hukum baru;
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Muatan materi yang diatur di atas tidak mempermasalahkan apakah dibuat dalam bentuk perjanjian (treaty) atau persetujuan (agreement), yang penting adalah sepanjang muatan materi perjanjian internasional tersebut mengatur substansi Pasal 10 harus disahkan dengan UU, harus mendapatkan persetujuan dari DPR-RI. Dalam hal merundingkan muatan materi Pasal 10 setiap delegasi RI wajib menjaga kepentingan nasional Indonesia agar tidak tergerus oleh perjanjian itu. Disinilah pentingnya “Pedoman Delegasi RI” sebagai pijakan dalam hal merundingkan suatu perjanjian baik secara bilateral, regional, maupun multilateral.
Indonesia jadi pihak pada suatu perjanjian internasional seperti yang diatur dalam Pasal 10 UU No. 24/2000. Perjanjian Internasional bisa berlaku secara langsung tanpa adanya UU untuk penerapannnya seperti Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik beserta Protokol Opsionalnya mengenai Hak Memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Diplomatic Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Diplomatic Relations concerning Acquisition of Nationality, 1961) dan Konvensi Wina mengenai Hubungan Konsuler beserta Protokol Opsionalnya mengenai hal memperoleh Kewarganegaraan (Vienna Convention on Consular Relations and Optional Protocol to the Vienna Convention on Consular Relation Concerning Acquisition Of Nationality, 1963) yang disahkan dengan UU No. 1 Tahun 1982, dan pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Convention on Special Missions, New York 1969) yang disahkan dengan UU No. 2 Tahun 1982. Selain itu, ada pula perjanjian internasional yang tidak dapat dilaksanakan dan membutuhkan UU implementasinya seperti Konvensi Hak Anak, 1989 (Convention on the Rights of the Child, 1989) yang diimplementasikan dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Bahwa ada dua doktrin suatu negara menjadi pihak pada suatu perjanjian internasional. Pertama, disebut doktrin transformasi (dualism doctrine). Doktrin ini menganggap bahwa perjanjian harus tegas dan secara khusus ‘dialih bentuk’ menjadi undang-undang
nasional dengan menggunakan mekanisme sesuai konstitusi. Doktrin ini tumbuh dari prosedur dimana perjanjian internasional yang diberikan implementasi dalam hukum nasional melalui perangkat pengesahan oleh pemerintah. Gagasan ini telah dikembangkan oleh negara-negara yang menganutnya dan mereka sepakat bahwa setiap aturan hukum internasional harus diubah, atau secara khusus diadopsi agar berlaku dalam tatanan hukum nasional. Kedua, yang dikenal sebagai doktrin penggabungan (monism doctrine), menyatakan bahwa hukum internasional secara otomatis bagian dari hukum nasional tanpa memerlukan prosedur pengesahan sesuai UUD-nya, Hal ini dijumpai Negara Belanda dan malahan perjanjian internasional ditempatkan di atas UUD Belanda. Terutama sebuah perjanjian yang memberikan aturan-aturan di mana hak-hak yang diberikan dapat dinikmati (oleh rakyat Belanda) dianggap secara otomatis berlaku (perjanjian berlaku sendiri). Namun pola pendekatan yang demikian, biasanya sesuai dengan “apresiasi” oleh hukum nasional masing-masing. Dapat dikatakan bahwa pemberlakuan perjanjian internasional sangat tergantung pada prosedur nasional masing- masing negara (national oriented). Pendapat demikian telah dianggap sebagai bagian dari diskusi tentang urutan antara sistem hukum nasional dan internasional. Namun, menguatnya desakan agar rakyat ikut serta melalui wakilnya di parlemen, maka bangunan lembaga demokrasi telah menyebabkan fokus kajian pada distribusi kekuasaan antara legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Sebagaimana diutarakan diatas bahwa dalam sejarah pembuatan perjanjian internasional secara eksklusif dilakukan oleh badan- badan administrasi (atau kepala negara). Namun, di sebagian besar sistem demokrasi parlementer, perjanjian internasional yang telah diusulkan, dinegosiasikan dan ditandatangani oleh eksekutif sering membutuhkan musyawarah dan disahkan oleh badan legislatif.
Selain perjanjian internasional yang berlaku setelah disahkan dengan UU, ada pula perjanjian internasional berlaku dengan sendirinya (self-executing treaties) yang tidak membutuhkan persetujuan DPR-RI. Namun demikian, DPR-RI masih bisa mengevaluasi karakter self-executing treatiy itu.
Prinsip self-executing treaty adalah perjanjian internasional yang cukup jelas dan tepat untuk memberikan hak atau kewajiban individu
dalam hukum domestik tanpa perlu undang-undang implementasi. Untuk itu, ada dua kondisi harus dipenuhi:
a. suatu kriteria pribadi: hak dan kewajiban yang diciptakan oleh perjanjian internasional harus dilaksanakan oleh individu langsung di depan pengadilan nasional. Orang-orang yang berhak atas hak atau tunduk pada kewajiban harus secara khusus ditargetkan oleh perjanjian internasional.
b. suatu kriteria bahan: aturan harus cukup tepat dan jelas tidak memerlukan langkah-langkah(legitimasi lanjut) pelaksanaan oleh hukum nasional. Ada ruang lingkup minimal untuk interpretasi yang berbeda dari pelaksanaan aturan internasional.
Di luar materi muatan Pasal 10 pemerintah berwenang membuat perjanjian internasional lainnya dan disahkan dengan peraturan presiden. Salinan Peraturan Presiden tentang pengesahan persetujuan internasional disampaikan kepada DPR-RI untuk dievaluasi (Pasal 11 UU No. 24/2000).
Pasal 11 UUD 1945 tidak memberikan penjelasan tentang perjanjian dan dalam penjelasan UUD 1945 sebelum diubahpun tidak ditemukan artinya perjanjian itu. Sehubungan dengan hal ini, berdasarkan angka 2 dan angka 3 Surat Presiden No. 2826/HK/60 tanggal 22 Agusuts 1960 tentang Pembuatan Perjanjian-perjanjian dengan Negara lain diperoleh penjelasan tentang arti kata perjanjian itu sebagai berikut:
1. menurut pendapat pemerintah kata “perjanjian” di dalam pasal 11 ini tidak mengandung arti segala perjanjian dengan negara lain, tetapi hanya perjanjian-perjanjian yang penting saja, yaitu yang mengandung soal-soal politik dan yang lazimnya dikehendaki berbentuk traktat atau treaty. Jika tidak demikian, maka Pemerintah tidak akan mempunyai cukup keleluasaan bergerak untuk menjalankan hubungan internasional dengan sewajarnya karena untuk tiap-tiap perjanjian walaupun mengenai soal yang kecil harus diperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan hubungan internasional dewasa ini demikian sensitifnya, sehingga diperlukan tindakan-tindakan yang cepat dari pemerintah yang membutuhkan prosedur konstitusional yang lancar.
2. untuk menjamin kelancaran dalam pelaksanaan kerja sama antara pemerintah dan dewan perwakilan rakyat sebagaimana tertera di dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar, pemerintah akan menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperoleh persetujuan terhadap perjanjian yang penting saja (treaties), sedangkan perjanjian lain (agreements) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat hanya untuk diketahui saja. Perlu diperhatikan bahwa pasal 11 Undang Undang Dasar tidak menentukan bentuk juridis dari persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat itu, sehingga tidak ada keharusan bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk memberikan persetujuan dalam bentuk Undang-undang.
Berdasarkan Surat Presiden No. 2826/HK/60 dimaksud telah ribuan persetujuan (agreements) dibuat pemerintah Indonesia dengan negara asing atau organisasi internasional yang bersifat publik yang disahkan dengan peraturan presiden. Pembuatan persetujuan tersebut merupakan diskresi penuh pemerintah dan dinamikanya tergantung arah konstelasi hubungan internasional.
Sebenarnya kalau dikaji lebih dalam, kekuasaan pemerintah dalam membuat persetujuan internasional merupakan suatu kekuasaan ektra konstitusional yang tidak memerlukan persetujuan DPR untuk memberlakukannnya. Pada umumnya materi muatan persetujuan internasional mengatur kerja sama penanaman modal, penghindaran pajak berganda, penerbangan berjadwal, pendidikan, kebudayaan, teknik dan lain-lain. Namun ada kalanya, materi muatan yang diatur oleh persetujuan internasional seharusnya pemberlakukannya harus dengan UU tapi disamarkan seolah-olah bukan rezim Pasal 10 UU No. 24/2000 seperti Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Misi Pemantau Aceh (Memorandum of Understanding between the Government of the Republic of Indonesia and European Union on Aceh Monitoring Mission) yang ditandatangani Agustus 2005. Isi MoU tersebut bertujuan untuk memonitor pelaksanaan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Seharusnya berdasarkan Pasal 10 UU No. 24/2000 untuk memberlakukannya harus mendapatkan persetujuan DPR-RI namun kenyataannya tidak.
Agar di kemudian hari tidak terjadi lagi hal seperti ini perlu kiranya kontrol lebih ketat dari DPR-RI dengan merevisi UU No. 24/2000 untuk menutupi “loophole” yang bisa dieksploitasi oleh eksekutif di tengah kekurang pahaman DPR dan atau ketidaktertarikannya dengan isu “teknis luar negeri” yang mereka anggap tidak terlalu seksi untuk “marketing”.
Dari uraian di atas terlihat terjadi suatu perbuatan perjanjian internasional yang “content” menyangkut dengan pasal 10 UU No 24
/ 2000 tetapi diselundupkan dengan judul LOI, MOU dan sebagainya. Deskripsi lebih detil tentang judul harus diselaraskan dengan isi materi perjanjian internasional sehingga tidak lagi terjadi persetujuan cabang kekuasaan eksekutif secara unilateral yang akhirnya jadi beban lebih dari lima tahun atau bahkan jadi beban generasi berikut. Bagian inilah antara lain yang perlu jadi materi untuk melihat perubahan UU No 24/ 2000
Bisakah Suatu Perjanjian Internasional Yang Sudah Berlaku Dapat Dibatalkan Indonesia?
Semenjak merdeka 17 Agustus 1945 telah banyak perjanjian dan persetujuan internasional dibuat oleh Indonesia mengenai berbagai kerjasama yang dituangkan dalam perjanjian dan persetujuan internasional pada umumnya menguntungkan atau melindungi kepentingan Indonesia. Namun ada perjanjian atau persetujuan internasional tertentu dianggap merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Dalam sejarah pembuatan perjanjian internasional di Indonesia ada beberapa perjanjian yang telah selesai dibuat dan ditandatangani tapi tidak bisa disahkan karena mendapat penolakan dari parlemen (DPR-RI). Persetujuan Mutual Security Act 1951 hasil perundingan antara Menteri Luar Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx dan Duta Besar Amerika Serikat, Xxxxx Xxxxxxx menyangkut bantuan ekonomi dan persenjataan Amerika Serikat kepada Indonesia. Persetujuan ini menimbulkan tafsiran bahwa Indonesia telah memasuki Blok Barat (AS) yang berarti bertentangan dengan politik luar negeri bebas- aktif. Xxxxx Xxxxxxxx hanya melaporkannya kepada Perdana Menteri Xxxxxxx tanpa konsultasi dengan Menteri Pertahanan Sewaka dan pimpinan Angkatan Perang. Xxxxxxx mengajukan mosi dan menuntut
agar semua perjanjian yang bersifat internasional harus disahkan oleh Xxxxxxxx. Mosi ini disusul oleh tuntutan PNI agar kabinet mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Akibat mosi ini, Menteri Luar Xxxxxx Xxxxxxxx mengundurkan diri dan pada tanggal 23 Februari 1952 Kabinet Xxxxxxx mengembalikan mandatnya kepada Presiden.50Peristiwa yang lebih baru adalah Persetujuan Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) antara Indonesia dan Singapura telah ditandatangani dan sesuai Pasal 10 huruf a UU No. 24/2000 harus disahkan dengan UU. DPR-RI melalui Komisi I yang tugasnya membidangi pertahanan, luar negeri, informasi dan tugas lainnya menolak membahasnya karena persetujuan ini merugikan kepentingan nasional Indonesia.Penolakan tersebut disampaikan oleh fraksi yang ada di Komisi I dengan alasan yang hampir sama. Fraksi PAN (Partai Amanat Nasional), menyatakan, fraksinya menolak meratifikasi perjanjian itu karena banyak kekurangannya dan merugikan Indonesia. FPKB (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa), juga sependapat dengan usulan fraksi lain agar perjanjian pertahanan itu tidak diratifikasi. Fraksi PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan), mengatakan, perjanjian pertahanan itu harus dibatalkan karena merugikan kedaulatan negara. Penolakan juga disampaikan FPPP (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan).51 Sedangkan Fraksi PD (Partai Demokrat) dan FPG (Fraksi Partai Golkar) masih mempelajari kerjasama pertahanan tersebut52 Dengan penolakan itu, tepatnya pada tanggal 4 Februari 2008 Menteri Pertahanan Xxxxxx Xxxxxxxxx kepada pers mengatakan bahwa status Persetujuan Kerjasama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement) Indonesia-Singapura menjadi batal.53 Dengan adanya penolakan itu artinya, DPR-RI memiliki kewenangan konstitusional untuk menolak sebuah perjanjian atau persetujuan internasioanl jika melanggar prinsip kepentingan nasional, atau menerima apabila hal-hal yang dimuat dalam perjanjian itu menguntungkan Indonesia.
50 Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993)., hal 310.
51 Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx (tesis), Alasan Penolakan Ratifikasi Perjanjian Kerjasama Pertahanan Indonesia Singapura Ditinjau dari Pandangan Politik Luar Negeri Indonesia DPR RI, Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada, 2011)., hal. 5.
52 ibid.
53 ibid.
Namun ada perjanjian internasional yang telah disahkan oleh DPR- RI tapi berbagai kelompok masyarakat sipil beranggapan perjanjian tersebut merugikan rakyat. Sebelas kelompok masyarakat sipil dan pribadi telah menggugat ke Mahkamah Konstitusi untuk meminta dibatalkannya UU No. 38/2008 mengenai pengesahan Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara(Charter of the Association of Southeast Asian Nations).54Piagam ASEAN tersebut menjadi lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UU No. 38.2008 yang merupakan kesatuan yang utuh. Mereka menggugat Pasal 1 ayat
(5) Charter of The Association of Southeast Asian Nations menyebutkan bahwa
“To create a single market and production base which is stable, prosperous, highly competitive, and economically integrated with effective facilitation for trade and investment in which there is free flow of goods, and services and investment; facilitated movement of business persons, professionals, talents and labour; and free flow of capital.”
(“Tujuan kerja sama ASEAN adalah menciptakan pasar tunggal dan basis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan secara ekonomi terintegrasi dengan fasilitas yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja profesional, pekerja berbakat, buruh dan arus modal yang lebih bebas.”).
Demikian pula ketentuan Pasal 2 ayat (2) huruf n Charter of The Association of Southeast Asian Nations disebutkan bahwa “adherence to multilateral trade rules and ASEAN’s rules-based regimes for effective implementation of economic commitments and progressive reduction towards elimination of all barriers to regional economic integration, in a market-driven economy” (“menganut peraturan-peraturan perdagangan multilateral dan rezim berbasis-aturan ASEAN untuk pelaksanaan yang efektif atas komitmen-komitmen ekonomi dan pengurangan progresif menuju penghapusan semua hambatan bagi integrasi ekonomi regional, dalam sebuah ekonomi yang dikendalikan pasar.”)
54 Lihat putusan perkara Nomor 33/PUU-IX/2011., hal. 1 – 3.
Bahwa dengan diberlakukannya Charter of The Association of Southeast Asian Nations sebagai landasan hukum perjanjian ekonomi antara ASEAN sebagai pasar tunggal dengan negara lain dan/atau komunitas negara-negara lain, telah melanggar ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Bahwa unsur dari Pasal 33 ayat (1) terdiri dari dua bagian, yaitu pertama, unsur yang menjelaskan tentang frase “perekonomian disusun”; dan kedua tentang unsur yang menjelaskan tentang makna asas kekeluargaan.55
Walaupun gugatan dari 11 kelompok masyarakat sipil dan pribadi ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, namun dalam putusan Nomor 33/UU-IX/2011 menegaskan bahwa UU pengesahan perjanjian atau persetujuan internasonal berwenang diadili oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan mengadili tidak dicapai dengan suara bulat karena 2 orang Hakim Mahkamah Konstitusi melakukan dissenting opinion (pendapat berbeda), yaitu Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx. Dalam dissenting opinion-nya Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx menyatakan bahwa:
“Memang benar, formil UU 38/2008 adalah Undang-Undang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang. Undang-Undang Pengesahan atas suatu perjanjian Internasional hanyalah salah satu bentuk atau model pengikatan diri Indonesia dalam suatu perjanjian internasional (consent to be bound by a treaty). Dalam hal ini berdasarkan Pasal 11 UUD 1945, apabila Presiden menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang-Undang, harus dengan persetujuan DPR. Jadi UU 38/2008 a quo, hanyalah semata-mata bentuk ratifikasi atau adopsi atas suatu perjanjian internasional, yang tidak serta merta berlaku sebagai Undang-Undang yang secara seketika mengikat warga negara.56Dengan demikian, menurut saya UU 38/2008 sebagai bentuk hukum persetujuan DPR atas Charter of The Association of Southeast Asian Nations, tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang Mahkamah. Oleh karena itu, permohonan a quo, seharusnya tidak dapat diterima.57
55 ibid., hal 29-30.
56 Op.cit., hal . 202
57 ibid., hal 202
Hakim Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx dalam disseting opinion-nya mengatakan bahwa:
“Secara perundang-undangan, baik berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengaturan Undang-Undang pengesahan perjanjian internasional diletakkan di tempat yang berbeda dengan Undang-Undang pada umumnya dan peraturan perundang-undangan lainnya. Penempatan pengaturan yang berbeda antara Undang-Undang pada umumnya (termasuk peraturan perundang-undangan lainnya) dan Undang- Undang tentang ratifikasi perjanjian internasional tersebut memang beralasan, oleh karena secara format atau bentuk luar (kenvorm) keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar terutama dalam pembahasan dan penulisan batang tubuh keduanya. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengaturan tentang batang tubuh Undang-Undang pada umumnya (termasuk peraturan perundang- undangan lainnya) diatur dalam Lampiran II Bab I huruf C, Pedoman Nomor 61 sampai dengan Pedoman Nomor 159 (berjumlah 98 pedoman) sedangkan batang tubuh dari Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional diatur dalam Lampiran II Bab I huruf F, Pedoman Nomor 240 sampai dengan Pedoman Nomor 241 (hanya dalam dua pedoman).58 Pada kesimpulannya Hakim Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx mengatakan ‘…menurut saya Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) bukan merupakan objek pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian seharusnya permohonan pemohon dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)”.
Dengan demikian dikemudian hari tidak tertutup kemungkinan dari masyarakat sipil atau pribadi akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi UU pengesahan perjanjian atau persetujuan internasional yang dirasakan merugikan meraka. Putusan MK setidak tidaknya memberi peringatan kepada pemerintah dan terutama DPR untuk lebih hati-hati menjadi pihak pada suatu perjanjian internasional.
58 ibid., hal . 202 – 203
Negeri ini tidak perlu jadi warga dunia yang baik kalau itu berakibat tidak atau kurang terlindunginya kepentingan nasional yang sesungguhnya seperti dikatakan oleh pembukaan dan bagian dari batang tubuh UUD 1945
Pembatalan suatu perjanjian atau persetujuan internasional di Amerika Serikat merupakan suatu keniscayaan dimana menurut sistim hukum Amerika Serikat setiap perjanjian internasional yang berlaku menjadi supreme law of the land disamping konstitusi dan hukum yang dibuat oleh otoritas Amerika Serikat (Pasal VI paragrap 2). Dalam hal tertentu Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx Serikat telah membatalkan perjanjian atau persetujuan internasional. Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx Serikat telah membatalkan salah satu ketentuan Destroyers for Bases Agreement between the United States and the United Kingdom, September 2, 194559 dalam kasus Xxxx v. Covert, 354 U.S. 1 (1957).60
Terhadap Destroyers for Bases Agreement between the United States and the United Kingdom, September 2, 1940 Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx Serikat memutuskan bahwa:
1) perjanjian tidak mengalahkan Konstitusi Amerika Serikat;
2) perjanjian tidak mengubah Konstitusi Amerika Serikat; dan
3) suatu perjanjian internasional dapat dibatalkan oleh undang- undang yang disahkan oleh Kongres AS (atau oleh negara berdaulat atau jika Kongres menolak untuk melaksanakannya, jika negara menganggap pelaksanaan suatu perjanjian merugikan.
“Mahkamah Agung secara teratur dan seragam telah mengakui supremasi Konstitusi atas perjanjian”.61
59 xxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxxxxxx_xxx_Xxxxx_Xxxxxxxxx, diakses tanggal 04 Maret 2013.
60 xxxxx://xxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxxx/xxxxxxx/xx/000/0/xxxx.xxxx#X0, diakses tanggal 04 Maret 2013.
61 Xxxx v. Covert, October 1956, 354 U.S. 1., hal. 17
BAGIAN KEEMPAT
POLA PENERIMAAN DAN INTEGRASI PERJANJIAN INTERNASIONAL KE DALAM HUKUM NASIONAL
INDONESIA
Doktrin Monoisme dan Dualisme
Dalam doktrin hukum internasional suatu negara untuk menerapkan perjanjian internasional tergantung dari teori yang dianutnya apakah teori monisme atau dualisme. Situasi politik, historis serta sistem hukum yang dianut oleh suatu negara sangat mempengaruhi pola penerimaan dan integrasi hukum internasional ke dalam hukum nasional. Pada negara-negara yang menganut paham monisme, penerapan hukum internasional sangat jelas dan sangat melekat dengan hukum nasional negara itu. Sedangkan pada negara yang menganut paham dualisme, yang jadi acuan adalah legislasi nasional, instrumen hukum internasionalnya tidak menjadi sumber hukum dalam tata urutan hukum nasionalnya. Namun demikian, dalam negara yang nyata-nyata menganut paham dualismepun, penerapan hukum internasional masih tetap dapat dilaksanakan secara efektif, yaitu melalui penyusunan program legislasi nasional yang memuat peraturan perjanjian internasional terkait.62Dengan demikian, baik paham monisme maupun dualisme tetap dapat mengimplementasikan hukum internasional ke dalam hukum nasional secara efektif, walaupun dengan metode dan proses yang sedikit berbeda.
62 Xxxx Xxxxxxx, op. cit. hal. 251.
Masalah baru kemudian muncul apabila suatu negara tidak memiliki pola yang jelas proses penerimaan hukum internasional ke dalam hukum nasionalnya, ataupun tidak jelas menganut paham yang mana. Ketidakjelasan ini kemudian akan berimplikasi kepada sebuah negara atas kewajiban intenasionalnya. Berdasarkan praktik- praktik di atas, dapatlah disimpulkan bahwa kejelasan tentang status hukum internasional dalam hukum nasional sangatlah penting karena berpengaruh langsung terhadap penerapan dan implementasi ketentuan hukum internasional dalam ranah hukum nasional suatu negara.63
Indonesia yang dijajah Belanda selama 350 tahun sangat dipengaruhi dalam proses integrasi hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia. Sebagaimana yang telah dibahas diawal bahwa semenjak Indonesia merdeka “3 macam” undang- undang dasar berlaku. Masing-masing UUD menganut doktrin penerapan hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia yang tidak sama.
Doktrin-doktrin penerapan hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional Indonesia saat ini kelihatannya tidak menganut secara ketat monoisme atau dualisme karena peraturan perundang- undangan yang berlaku di Indonesia belum mencerminkan pola yang baku, walaupun sudah ada UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam beberapa praktik, Indonesia masih menganut teori monisme dan kadang kala menggunakan dualisme. Di lapangan masih terjadi perjanjian internasional yang telah disahkan dengan undang-undang masih diperlukan adanya undang-undang lain untuk menerapkannya pada domain hukum nasional Indonesia, misalnya saja Indonesia telah menjadi pihak pada The United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) dengan UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention On The Law of The Sea, tetapi baru setelah 10 tahun berikutnya Indonesia mengesahkannya menjadi hukum positif dengan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Namun, di lain pihak terdapat pula perjanjian internasional yang diratifikasi dengan undang-undang dan pada waktu yang sama langsung dapat dijadikan bagian nasional, seperti Konvensi Wina tahun 1961 dan 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler yang diratifikasi dengan UU No. 14 Tahun 1982.
63 op.cit., hal. 251-252.
Beberapa contoh kasus diatas menunjukkan adanya ketidak konsistenan Indonesia dalam prakteknya.64 Dengan kata lain bahwa penerimaan hukum internasional Indonesia menerapkan kedua doktrin, yaitu monoisme atau dikenal juga dengan inkoperasi (incoperation) dan dualisme atau disebut pula dengan transformation. (tentu banyak dasar alasan yang jadi logika terhadap perbuatan tersebut)
Jadi pada prakteknya pola Indonesia dalam hal penerimaan dan integrasi hukum internasional ke dalam hukum nasional menganut teori monoisme dan dualisme dimana pada suatu saat Indonesia mempraktekan teori monoisme seperti keputusan Mahkamah Agung (menerapkan langsung Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik) dalam kasus sengketa tanah Kedutaan Besar Saudi Arabia dan Kuburan Tentara Sekutu di Ambon, Maluku, dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan uji materil UU No.27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dengan keputusan No.006/PUU-IV/2006.
Pada saat yang lain Indonesia mempraktekkan teori dualisme seperti UNCLOS III diatas dengan UU No. 17 tahun 1985 diintegrasi lebih lanjut oleh UU No. 6 Tahun 1996 tentang perairan dan UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Fakta ini menjelaskan Indonesia menganut teori gabungan (mix theory). Tetapi berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011 dimana dalam pertimbangan hukumnya menegaskan bahwa Mahkamah menganggap bahwa walaupun setelah diratifikasi pasal-pasal yang ada dalam Piagam ASEAN adalah tidak serta merta65 langsung berlaku dalam hukum nasional, sebab masih diperlukan proses legislasi nasional untuk Piagam ASEAN ini agar dapat berlaku secara efektif. Dengan demikian bahwa secara yuridis semenjak dibacakannya putusan Nomor 33/PUU-IX/2011 politik hukum Indonesia menganut doktrin dualisme atau transformasi. Kita lihat ke depan, sejauh apa eksekutif menghormati “diktum keputusan MK” diatas ataukah kita akan lihat kelihaian pihak pemerintah bermanuver sehingga “lolos” dari kategori tersebut.
64 op. cit., hal. 267-268.
65 Putusan Perkara Nomor 33/PUU-IX/2011., hal. 189.
Kriminalisasi Xxxx Xxxxxxx (negosiator)
Pada prinsipnya setiap juru runding Indonesia berkewajiban memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia dalam setiap membahas perjanjian internasional. Rancangan perjanjian internasional dicapai berdasarkan konsensus yang telah disepakati. Dengan kata lain bahwa dalam konteks hukum perdata, salah satu prinsip yang harus menjadi dasar dalam suatu perjanjian adalah konsesualisme, kesepakatan para pihak yang terikat pada satu perjanjian. Sedangkan berdasarkan logika, kesepakatan para pihak bisa tercapai jika perjanjian yang akan dibuat memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, jika ada kepentingan salah satu pihak yang dirugikan, lagi-lagi berdasarkan logika, maka tampaknya kesepakatan akan sulit tercapai dan perjanjian bisa jadi tidak akan pernah ada.
Jika suatu perjanjian internasional telah berlaku dan ternyata kemudian hari diketahui bahwa juru runding dengan sengaja merugikan kepentingan nasional Indonesia atau tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka kepada juru runding dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Pasal 121 KUHP menegaskan bahwa “barangsiapa yang ditugaskan atas nama Pemerintah berunding dengan negara asing, dengan sengaja melakukannya untuk kerugian negara, diancam dengan pidana penjara maksimum 12 tahun”.
Xxxx. Xx. Xxxxxxxxxx Xxxx Xxxx, SH mengatakan bahwa secara kasat mata tidak ada tindak pidana yang terjadi oleh juru runding dalam merundingkan suatu perjanjian internasional. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam setiap rumusan pasal yang ada di KUHP mensyaratkan adanya ‘actus reus’. Artinya, dalam setiap tindak pidana disyaratkan unsur opzet atau kesengajaan si pelaku dalam melakukan tindak pidana. Apalagi Pasal 121 KUHP itu sudah secara eksplisit menyebutkan keberadaan unsur kesengajaan. Jadi, ini yang harus dibuktikan. Nah, masalah pembuktian inilah yang saya pikir cukup sulit dilakukan. Unsur ‘kesengajaan merugikan negara’ merupakan inti (bestandelen delicht) dalam pasal tersebut. Unsur ini adalah tindakan yang dapat dipidana (bestandelen delicht dari strafbaar feit). Sedangkan unsur yang lain tidak dapat dipidana ketika unsur inti tersebut tidak terbukti. Dengan kata lain, menurut Xxxx. Xx. Xxxxxxxxxx
Xxxx Xxxx, SH, unsur kesengajaan menjadi mutlak untuk dibuktikan, meskipun pembuktiannya memang sulit.66
S.R. Sianturi mengkategorikan Pasal 121 KUHP sebagai kejahatan diplomatik dan “merupakan delik formil yang berarti tidak mensyaratkan terjadinya kerugian negara terlebih dahulu untuk dapat meminta pertanggung-jawaban pidana kepada pelakunya . Lebih lanjut dikatakan ‘”harus dinilai secara keseluruhan bagaimana si perunding menjalankan misi dari pemerintah baik yang tersirat maupun yang tersurat”.67
Hal yang perlu dipahami dari ancaman pidana dalam Pasal 121 KUHP adalah setiap juru runding harus berhati-hati dalam merundingkan setiap perjanjian internasional untuk dan atas nama Indonesia, kalau tidak mau akan dipidana dikemudian hari. Memang dalam prakteknya penerapan Pasal 121 KUHP tersebut belum pernah terjadi, namun tidak mustahil dikemudian hari akan memakan korbannya.
Kedepan, berangkat dari putusan Mahkamah Konstitusi No 38 yang dikutip di atas, adalah sesuatu logika pula apabila suatu perjanjian internasional yang dibatalkan oleh MK akan bisa berbuntut tuntutan pidana bagi para negosiator apabila terlihat indikasi melalaikan (culpa) atau sengaja mengabaikan memperjuangkan kepentingan nasional yang justru jadi kewajiban yang diamanahkan oleh bangsa dan negara Indonesia kepadanya atau kepada mereka.
Revisi UU No. 24/2000
UU No. 24/2000 telah berusia lebih kurang 16 tahun dan banyak kelemahan yang ditemukan dalam pelaksanaannya. Kelemahan tersebut dapat dipahami bahwa sewaktu UU No. 24/2000 dibentuk didasarkan pada pengalaman atau praktek pembuatan perjanjian internasional oleh Indonesia. Kebutuhan untuk merevisi UU No. 24/2000 sejalan dengan adanya perubahan Pasal 11 UUD 1945 sesuai dengan paradigma pembagian kekuasaan antara eksekutif dan legislatif paska reformasi di Indonesia sebagai implikasi dari prinsip check and balance.
66 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/xxx00000/xxxxxxxxxx-xxx-xxxxxxxxx- dengan-pasal-121-kuhp, diakses tanggal 4 Maret 2013.
67 S.R. Xxxxxxxx, Tindak pidana di KUHP berikut uraiannya, (Jakarta : Alumni Ahaem-Xxxx- xxxx, 1989)., hal. 88.
Pasal 11 UUD 1945, yaitu pada ayat (2) dan ayat (3) yang berbunyi sbb:
(1) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.
Revisi UU No. 24/2000 diharapkan mengatur kekuasaan pemerintah dalam pembuatan perjanjian internasional dan limitasinya menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Hal ini penting karena setiap perjanjian internasional yang akan dibuat oleh Indonesia berhulu dari hal ini dan kalau tidak ada limitasinya, maka perjanjian internasional yang dibuat oleh Indonesia bukan tidak mungkin tidak akan mendatangkan manfaat bagi rakyat Indonesia.
Untuk mengawal pembuatan setiap perjanjian internasional berwujud dalam bentuk persetujuan/pengawasan atau ketidak setujuan DPR-RI sebagai mitra diametral pemerintah dalam rangka melaksanakan prinsip check and balance.
Pasal 11 ayat 2 Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang merupakan hasil perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan keharusan untuk suatu perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/ atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Oleh karena itu, perlu diatur dan dipertegas keterlibatan DPR-RI dalam pembuatan perjanjian intemasional. Peran keterlibatan dan pengawasan yang dilakukan melalui Komisi I sebagai alat kelengkapan DPR-RI harus dijelaskan secara implisit dalam UU revisi itu nantinya agar semua perjanjian internasional yang akan berlaku tidak luput dari pengawasan ketat DPR-RI.
Keterlibatan Komisi I (kecuali pembidangan di DPRRI terjadi perubahan) dalam pembuatan perjanjian internasional merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan karena disinilah fungsi hakiki dari prinsip check and balance itu dilaksanakan. Pemerintah tidak usah merasa terganggu bahwa kewenangannya dalam membuat perjanjian internasional terhalang oleh keterlibatan Komisi I (DPR- RI) ini. Kewenangan pengawasan dari Komisi I tersebut merupakan konsekuensi logis dari suatu pilar negara yang menganut paham demokrasi. Pelaksanaan pengawasan tersebut secara baik telah dilaksanakan oleh Komite Hubungan Luar Xxxxxx Xxxxx Amerika Serikat dalam memberikan saran dan menyetujui perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah Amerika Serikat.68 Dalam setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh Amerika Serikat, bisa dipastikan kepentingan Amerika Serikat dalam berbagai manifestasi terlindungi. Semoga prestasi DPR-RI juga tidak kalah dengan Komite Hubungan Luar Negeri AS.
Berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah daerah diberikan hak dan kewajiban untuk menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkait perjanjian intemasional, Pasal 42 huruf f dan huruf g UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menegaskan adanya keterlibatan pemerintah daerah dalam proses perencanaan perjanjian intenasional di daerah. Hal ini belum diatur dengan jelas dalam UU No. 24/2000, dan menjadi alasan untuk merevisi UU tersebut.
Keresahan masyarakat akan adanya beberapa perjanjian intemasional di bidang perdagangan dan sumberdaya alam yang dianggap merugikan negara memerlukan tanggapan yang serius dengan dibuatnya batasan dan acuan yang tegas dalam pembuatan setiap perjanjian intemasional di bidang tersebut. Selain itu, gejolak di daerah yang sering terjadi akibat perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah dengan lembaga/badan asing perlu diminimalisir, salah satunya adalah melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam pembuatan perjanjian internasional
68 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (disertasi), The Effect of the Senate’s Participation in the Ratification of Treaties, (Chicago – Illonois: Chicago University, December 1931)., hal. 114.
yang memiliki implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap rakyat dan daerah yang bersangkutan.
Terkait dengan revisi UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian internasional adalah merupakan suatu keharusan mencantumkan dalam Pasal tersendiri mengenai muatan materi nomenklaturnya bahwa Indonesia menganut paham atau doktrin dualism (transformasi). Hal ini penting untuk memberikan arah di masa yang akan datang agar tidak membingungkan. Selain itu, sekiranya ada “bentrokan “norma antara perjanjian internasional dengan hukum nasional, maka harus ditegaskan norma hukum nasionallah yang berlaku walaupun Indonesia telah menjadi pihak pada suatu perjanjian internasional tertentu, bahkan menjadi alasan untuk membatalkan perjanjian internasional tersebut.
Ada suatu hal yang menarik tentang azaz apa yang seyogyanya dianut oleh Indonesia. Beberapa pejabat Kementrian Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia69 mendorong agar Indonesia menganut azaz monoisme dengan primat hukum internasional, alasan yang dikemukakan antara lain bahwa keberadaan hukum internasional tidak tergantung pada “apresiasi” hukum nasional. Namun tentu akan jadi lain apabila hukum internasional itu sudah menyentuh atau tersentuh oleh kepentingan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, sebagai premus interpares dari negara ini . Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh Indonesia. Apa mungkin kedaulatan tertinggi itu dibagi sebagian kepada “kedaulatan” hukum internasional. Jawabannya tentu saja tidak! Kedaulatan harus digunakan untuk menyaring segala sesuatu yang datang dari luar negara sehingga kepentingan nasional bisa terlindungi. Azaz dualisme bermakna sebagai suatu perkakas yang bisa dipergunakan untuk mengoreksi sesuatu yang terlanjur sudah disetujui oleh delegasi atau full power indonesia.
Selanjutnya, ditengah-tengah Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menjadi program legislasi nasional (proleknas) 2016 ini rasanya mendeklarasikan Indonesia sebagai penganut azaz monoisme tidaklah bijak. UU No 24/2000 ini sendiri sampai sekarang paling tidak dalam bahasa yang implisit tidak
69 seperti yang berkembang pada fokus group discussion yang diadakan Kemenlu di Padang 9 Februari 2016
menganut paham monoisme (lihat misalnya , pasal 4 ayat (2) dan pasal 18 huruf). Pasal 3 tentang proses pengesahan dan mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian internasional juga menyiratkan hal yang demikian yakni tidak menganut azaz monoisme dengan primat hukum internasioal
Perdebatan diatas memang ada yang menganggap terlalu akademik, dalam dunia nyata kadangkala menjadi tidak terlihat pengaruhnya. Itu memang tidak terlalu salah tetapi ideologis akademiklah yang memberikan tuntunan moral bagi pengelola kepentingan publik dibidang kehidupan tersebut sejauh belum ada tuntunan resmi yang menjadi kaedah hukum positif.
Penutup
Negara Indonesia sebagai bagian dari masyarakat intemasional, senantiasa mengadakan perbuatan-perbuatan hukum dengan subjek hukum intemasional lainnya. Sudah barang tentu perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam rangka menyelenggarakan suatu kepentingan nasional dengan negara atau subjek hukum lainnya. sebab, dalam kerangka kerja sama internasional yang antara lain diwujudkan dengan berbagai macam perbuatan hukum seperti perjanjian intenasional, harus senantiasa dilakukan sebagai bagian upaya mewujudkan dan membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia seperti yang amanat oleh alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Awal kemerdekaan, materi dari berbagai perjanjian internasional yang dibuat terutama dalam rangka menarik pengakuan internasional, walaupun dilain pihak di dalam negeri, perjanjian internasional itu dipandang sebagai suatu kelemahan pemerintah dalam membela dan mempertahankan nasionalisme, integritas dan eksistensi bangsa. Namun sejarah mencatat langkah itu adalah sesuatu yang visioner sehingga ditengah tekanan kolonial Belanda, Indonesia akhirnya diakui sebagai negara yang berdaulat oleh bekas negara penjajah itu, Belanda.
Bentuk “kepentingan nasional” oleh pemimpin Indonesia di awal kemerdekaan dijabarkan dengan bijak walau itu bisa berakibat dia atau mereka akan kehilangan mandat memerintah. Dalam mengisi kemerdekaan dan meraih kesejahteraan bagi seluruh anak bangsa, perjanjian internasional harus lebih jelas manfaatnya untuk kepentingan nasional. Berbagai perbandingan yang diutarakan diatas (dari berbagai negara) mengungkapkan bahwa kekuasaan pembuatan perjanjian internasional bukanlah sesuatu yang bisa dianggap sederhana atau sekedar sesuatu yang sebaiknya ada dalam hukum nasional (temasuk Indonesia). Ia merupakan sesuatu yang juga fundamental yang mempengaruhi kehidupan berbangsa baik dalam skala nasional ataupun skala internasional kini dan nanti.
Perjanjian intenasional akan dibuat sudah pasti menimbulkan hak dan kewajiban tertentu bagi Indonesia. Oleh karenanya pembuatan perjanjian intemasional mempunyai peranan yang strategis bagi Indonesia dan kekuasaan pembuatan perjanjian internasional oleh pemerintah harus jelas limitasinya menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya karena menyangkut kepentingan rakyat Indonesia hari ini dan seterusnya. Dengan demikian, revisi UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional harus mengatur kewenangan pemerintah dalam pembuatan perjanjian internasional dan limitasinya menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya dengan UU baru dan menghindari pembuatan perjanjian internasional dengan –heading diluar limitasi yang ditentukan oleh pasal 10 UU No 24 / 2000 di atas seperti LOI, dan MOU sebagaimana dicatat diatas.
Perjanjian internasional apapun bentuknya terutama yang punya konsekuensi besar baik dari sisi politik, ekonomi apalagi kalau itu menyangkut asset yang merupakan pemberian alam tidak sampai menimbulkan “sesal” di kemudian hari. Agar hal itu tidak terjadi, para perunding kita kedepan harus memahami betul makna sesungguhnya kepentingan bangsa, sebab perilaku mereka kedepan bukan tidak mungkin akan jadi persoalan hukum (pidana) kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxxx (tesis).2011. Alasan Penolakan Ratifikasi Perjanjian Kerjasama Pertahanan Indonesia Singapura Ditinjau dari Pandangan Politik Luar Negeri Indonesia DPR RI. Yogyakarta: Universitas Gadjahmada.
X.X Xxxxan & X.X Xxxxxxxxxx. 1992. Menelusuri Jalur Linggarjati: Diplomasi Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: Grafiti.
A.G. Pringgodigdo.1955. Perubahan Kabinet Presidensiil Menjadi Kabinet Parlementer. Jogjakarta: Jajasan Fonds Universiteit Negeri Gadjah Mada.
Xxxxxx, X.X.0000. The Law of International Institutions, 2nd ed. Xxxxxxxx, Xxx. 1998.Principles of Public International Law, 5th. ed,.
Oxford: Clarendon Press.
Chyun Xxxx Xxxx (disertasi).1961.Judicial Delimitation of the Treaty- Making Power of the United States. Tulane: Tulane University.
Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx.2010. Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik di Indonesia.Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx.
Xxxxx Xxx.1998. Transfer of Sovereignty: Australia and Indonesia’s Independence: Documents 1949.Canberra: Department of Foreign Affairs and Trade.
Fitzmaurice.1958. Third Report on the Law of Treaties, Yearbook of the International Law Commission (YILC).Vol. 2.
Xxxxxx XxXxxxan Kahin.1955. Nationalism and Revolution In Indonesia. Ithaca – New York: Cornell University Press.
Xxxx Xxxx. 1960. Treaty Making Power. New York: Preager.
Xxxx X Xxxxxxxxxx,0000, Politics Among Nations; The Struggle For Power and Peace, fifth edition by Xxxxxx X Xxxxx, inc New York
Xxxxxx, X.X,. 1998. Cases and Materials on International Law, 5th. ed.
Stevens & Sons. London.
J.G. Brouwer. April 2002. Treaty Law and Practice in the Netherlands. Groningen: University of Groningen.
Xxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx (disertasi).1967. Nationalism andConfrontation in the Southeast Asian Islands: the Sources of Indonesian Foreign Policy. Tulane University.
Jure Xxxxxx (disertasi). March 2009.Democracy and State Creation in International Law. Nottingham: University of Nottingham.
Xxxxx Xxxxxx.March 2008. Treaty Negotiation: A Presidential Monopoly?,Presidential Studies Quarterly. Washington.
Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx. 1993. Sejarah Nasional Indonesia IV: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx. 1984. Sejarah Nasional Indonesa, Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
Xxxxx Xxxxxx. 1953.Documenta Historica I. Sedjarah Dokumenter Dari Pertumbuhan dan Perdjuangan Negara Republik Indonesia. Djakarta: Bulan Bintang.
Xxxxxxx, Xxxxxxx X.(disertasi). 2010.Xxxxxxx’x Guided Democracy and the Takeovers of Foreign Companies in Indonesia in the 1960s. The University of Michigan.
Xxxxxx J. Xxxxxxxxxxx. 1933. In Defense of the Senate AStudy in Treaty Making.Norman:University of Oklahoma Press.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx (disertasi). December 1931. The Effect of the Senate’s Participation in the Ratification of Treaties. Chicago – Illonois: Chicago University.
Xxxxxx Xxxxxxx. 2010. Terobosan Xxxxxxx Dalam Perundingan Linggarjati. Jakarta: Kompas.
Sik, Ko Swan. 1994.The Indonesian Law of Treaties 1945-1990, Dordrecht/Boston/London: Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxx.
S.R. Sianturi. 1989. Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya. Jakarta
: Alumni Ahaem-Petehaem.
Xxxxxx, Xxxxx Xx. Xxxxxx.1915. Limitations on the Treaty-Making Power under the Constitution of the United States. Xxxxxx Xxxxx and CompanyBoston.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Xxxxxx Xxxxx lahir di Rao-Rao, Batusangkar pada tanggal 11 November 1952. Menyelesaikan pendidikan dasar pada Sekolah Rakyat (SR ) No. 1 di Rao-Rao, meneruskan SMP di Batusangkar dan tamat di SMP negari Taluk Kuantan Riau, kemudian menamatkan SMA di SMA I Bukittinggi, melanjutkan ke Fakutas Hukum Universitas Andalas tamat tahun 1978. Tahun 1979 tepatnya Maret 1979 mulai mengabdi di almamaternya. Melanjutkan Pendidikan Master of Laws (LLM) di College of Law University of the Philippine, Manila Quezon City dan selesai tahun 1985. Kembali ke Fakultas Hukum sebagai staf pengajar pada bagian Hukum Internasional. Tahun 1990 menjadi Sekretaris Jurusan kemudian menjadi Pembantu Dekan I dari tahun 1991 sampai 1997 dan pada tahun yang sama ditunjuk sebagai Dekan Fakultas Hukum Unand. Tidak lama jadi Xxxxx, Xxxxx 1998 diangkat jadi Pembantu Rektor III Unand sampai tahun 2006. Sebelum terjadi reformasi dalam kehidupan politik di Indonsia, penulis aktif di Forum Rektor sebagai Koordinator Xxxxxx dan penyelenggara seminar menyonsong Indonesia baru. Diujung Jabatan Struktural itu penulis di beri amanah mengurus Palang Merah Indonesia (PMI ) Sumatra Barat sampai tahun 2013.
Selama mengabdi di Universitas Andalas Penulis sempat melakukan penelitian dan mempublikasikan hasilnya di berbagai jurnal Unand (Jurnal Penelitian Unand dan Jurnal Yustisia Fakultas Hukum Unand) dan beberapa Jurnal Penelitian yang terakredetasi Jurnal Mahkamah di Universitas Riau dan Agapagama di Makasar. Disamping itu, ada pula menulis di Law Journal Islamic University Malaysia (2007) dan Jurnal Antropologi di University Malaya (2006). Penulis sempat pula menjadi Pensyarah Pelawat atau dosen tamu di Faculty Undang- Undang Unversity Malaya Lembah Pantai Kualalumpur.
Sejauh ini penulis sudah menyunting dan mempublikaskan tiga buah buku yakni Dinamika Adat dan Masyarakat Minangkabau (1988), Prospek dan Tantangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah Pada PJP Ke 2 (1994) dan Reformasi Hukum (Sebuah Bunga Rampai) terbit tahun 2002. Ditengah-tengah kegiatan sebagai staf pengajar di program sarjana, strata dua, Kenotariatan dan membimbing mahasiswa di strata tiga, penulis masih menyediakan waktu untuk mengabdi diberbagai kehidupan masyarakat lainnya seperti sebagai komisaris Independen dan Komisaris Utama di Bank Pembangunan Daerah Sumatra Barat atau lazim disebut sebagai Bank Nagari dan ketua komite Sekolah SMAN 10 dan SMAN 1 Padang serta pengurus alumni baik untuk Fakultas maupun Universitas Andalas. Dosen Teladan I Fakultas Hukum Universitas Andalas tahun 1986.
Padang, 16 April 2016
5 Rajab 1349
XXXXXX XXXXX
Index
A
Additional 29
AFNEI 18
Amandemen 15, 16
C
P
PDRI 20, 21, 22, 23
Perjanjian i, ii, iii, v, vii, viii, 4, 6, 8, 12,
13, 17, 18, 19, 20, 22, 23, 26, 27,
28, 32, 37, 44, 50, 52, 54, 55, 58,
59, 64, 70, 72, 73
Congress 15, 16
Constitution 7, 14, 15, 16, 75
Convention i, 50, 64
E
Eksaminasi 21
European Union 27, 53
K
Kapasitas 12, 13
KNIP 13, 18, 25, 46
Konvensi i, 12, 13, 50, 64, 65
KRIS 26, 29
L
Letter of Intent 43, 44
M
Monoisme 63
Mosi 29, 31, 55
N
NICA 18
R
RDP 46
S
Senate 15, 16, 42, 69, 74, 75
Statuta 13
T
Traktat 32, 36, 37
Treaty 7, 15, 16, 17, 18, 21, 33, 37, 42,
44, 47, 73, 74, 75
U
Undang Undang b, 4, 6, 7, 26, 31, 36,
53, 68
UUD vii, viii, 4, 5, 6, 7, 8, 11, 13, 14, 15,
18, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 35, 36,
41, 42, 43, 45, 47, 48, 51, 52, 57,
58, 59, 64, 67, 68
UUDS 29, 30, 31, 32, 36