T E S I S
ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN ANTARA BANK PENERBIT KARTU KREDIT DENGAN CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT
T E S I S
OLEH :
NAMA MHS. : XXXX XXXXXXXXX XXXXX, X.X XX. POKOK MHS. : 11912744
BKU : HUKUM BISNIS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2013
ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN ANTARA BANK DENGAN
CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT
Oleh :
NAMA MHS. : XXXX XXXXXXXXX XXXXX, X.X XX. POKOK MHS. : 11912744
BKU : HUKUM BISNIS
Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diajukan kepada Xxx Xxxxuji dalam Ujian Akhir/Tesis
Program Magister (S-2) Ilmu Hukum
Pembimbing 1
Xxxx.Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.H Yogyakarta, ..........................
Mengetahui
Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum
ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN ANTARA BANK DENGAN
CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT
TESIS
Oleh :
NAMA MHS. : XXXX XXXXXXXXX XXXXX, X.X XX. POKOK MHS. : 11912744
BKU : HUKUM BISNIS
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal April 2013 dan dinyatakan LULUS
Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Tim Penguji
Xxxx.Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.H Yogyakarta, 2013
Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.H Yogyakarta, 2013
Xxx Xxxxxxxx, S.H., M.H Yogyakarta, 2013
Mengetahui
Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum.
HALAMAN MOTTO & PERSEMBAHAN
MOTTO :
Zhi ji zhi bi, bi zhan xxx xxxxx
“Tahu persis kekuatan dan kelemahan musuh, maka seratus kali perang seratus kali menang”
-Lao Tse-
Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxxxxx, Xxx Xxxxxxx
Semangat, Fokus, Percaya Diri namun rendah hati, Pantang Menyerah
-Falsafah Hidup Masyarakat DIY-
You don’t need to be genious as long as you know what you’re doing
-Xxxx Xxxx, Suits-
Tesis ini penulis persembahkan sebagai wujud syukur, cinta, dan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa Pencipta Alam Semesta atas segala berkat, karunia, anugerah, dan kasih yang diberikan-Nya tanpa henti dalam setiap langkah penulis;
2. Kedua orangtua terkasih Ibunda Xxxxxxxx XxxXxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx Xxx Xxxxxxx atas segala doa, bimbingan, nasehat, kehangatan, cinta, dan kasih sayang yang senantiasa dicurahkan tanpa pamrih;
3. Kedua kakek nenek alm.Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan alm.Xxxxxxxxx Xxxxxxx;
4. X.X Xxxxxxxxx Xxxxxx yang senantiasa setia menemani, memberi dukungan dan semangat selama proses perkuliahan hingga tesis ini diselesaikan.
5. Rekan kerja dan rekan seangkatan di Program Pasca Sarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia.
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis dengan judul :
ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN ANTARA BANK PENERBIT KARTU KREDIT DENGAN CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT
Benar-benar karya dari penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang telah diberikan keterangan pengutipan sebagaimana etika akademis yang berlaku. Jika terbukti bahwa karya ini bukan karya penulis sendiri, maka penulis siap untuk menerima sanksi sebagaimana yang telah ditentukan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 22 April 2013
XXXX XXXXXXXXX XXXXX
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya studi dan penulisan tesis dengan judul “Itikad Baik Pra Kontrak Antara Bank dengan Cardholder untuk Penerbitan Kartu Kredit” .
Penulisan tesis ini disusun untuk memenuhi dan melengkapi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Banyak sekali kendala dan hambatan yang dihadapi penulis dari awal hingga akhir penulisan tesis ini, akan tetapi berkat dukungan moril dan materiil dari berbagai pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Atas berbagai bantuan yang telah diberikan kepada Penulis selama melaksanakan studi hingga menyelesaikan penulisan tesis ini, Xxnulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua tercinta dan tersayang yang selalu memberikan dorongan dan motivasi serta tak henti-hentinya memberikan harapan-harapan baru untuk menjadi lebih baik.
2. Xx.Xx‟matul Huda, SH.,M.Hum selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
3. Bapak Xxxx. Xx.Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H.. M.H. selaku dosen pembimbing penulis yang telah memberikan masukan, kritikan, serta bimbingan yang membangun dalam proses penulisan tesis ini;
4. Semua Guru Besar dan staff pengajar Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia yang sudah memberikan banyak masukan dan bimbingan selama Penulis menempuh perkuliahan;
5. Ketua dan Sekretaris Program Magister Universitas Islam Indonesia yang secara institusional telah mengizinkan dan memberi fasilitas kepada penulis sehingga bisa menempuh perkuliahan;
6. Staff administrasi dan perpustakaan Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia;
7. Semua rekan-rekan sejawat di Program Pascasarjana Magister Hukum Universitas Islam Indonesia yang selalu memberi motivasi selama masa perkuliahan terutama sahabat tercinta Kak Desty, Xxxxx, Xxxx;
8. Xxxxxxx responden yang sudah membantu menjawab kuesioner sehingga membantu penulis dalam pengambilan kesimpulan penulisan tesis ini;
9. Staff pengajar dan tim serta siswa-siswa English Made Easy, khususnya Mas Aga untuk semua petuah serta telah mendukung penulis dalam melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan tesis ini;
10. Dan semua pihak yang sudah membantu penulis dalam proses penulisan tesis ini dan tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Tiada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, namun dengan tekad dan rasa ingin tahu akan pengembangan ilmu pengetahuan maka penulisan ini dapat diselesaikan. Penulis sangat berterimakasih atas kritik dan saran yang bersifat konstruktif demi penyempurnaan tesis ini. Penulis menyadari penulisan tesis ini tidak akan selesai dengan baik tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.
Semoga penulisan tesis ini dapat bermanfaat bagi sumbangan Pengetahuan dan Pengembangan Hukum pada khususnya dan Ilmu Pengetahuan pada umumnya. Penulis juga berharap semoga semua pihak yang telah mendukung proses penulisan tesis ini mendapatkan kasih dan karunia Tuhan YME.
Yogyakarta, 21 April 2013
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN MOTTO & PERSEMBAHAN iv
PERNYATAAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
ABSTRAK xi
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Tinjauan Pustaka 9
E. Metode Penelitian. 22
F. Sistematika Penulisan 26
Bab II TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN DAN KARTU KREDIT
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian 28
B. Asas-Asas Perjanjian. 39
C. Syarat-syarat Sahnya Kontrak. 51
D. Itikad Baik Pra Kontrak dan Pelaksanaan Xxxxxxx 00
E. Pengertian Kartu Kredit dan Pihak-Pihak yang Terkait dalam Penerbitan Kartu Kredit 72
BAB III ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN ANTARA BANK DENGAN CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT
A. Penerapan Itikad Baik Pra Kontrak dalam Perjanjian Antara Bank Penerbit Kartu Kredit dengan Cardholder dalam Penerbitan Kartu Kredit 86
B. Akibat Hukumnya jika Itikad Baik tidak Diterapkan dalam Suatu Perjanjian. 99
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 110
B. Saran 110
DAFTAR PUSTAKA 112
LAMPIRAN CURRICULUM VITAE
ABSTRAK
Kartu kredit merupakan salah satu fasilitas bank yang menjadi gaya hidup masyarakat masa kini dengan meningkatnya kebutuhan akan efisiensi penggunaan uang. Bank merupakan salah satu penerbit kartu kredit yang paling banyak diminati oleh masyarakat karena kemudahan pengajuan kepemilikan kartu kredit dan fasilitas yang diberikan. Penerbitan kartu kredit tentu saja melibatkan dua pihak yaitu bank sebagai penerbit dan cardholder atau pemohon kartu kredit yang terikat dalam perjanjian penerbitan kartu kredit.
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan- bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Penulis juga membagikan kuesioner bagi responden pengguna kartu kredit untuk menarik kesimpulan dari penelitian ini.
Itikad baik merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian antara para pihak dimana mensyaratkan masing-masing pihak untuk melakukan kewajiban masing-masing yaitu duty to disclose dan duty to search. Penelitian tesis ini bertujuan untuk mencari penerapan adanya asas itikad baik dalam pra perjanjian antara bank dengan cardholder dalam penerbitan kartu kredit serta menganalisis bagaimana akibat hukumnya jika asas itikad baik tidak diterapkan dalam kontrak baik pada masa pra kontrak maupun pelaksanaan kontrak.
Keywords : Kartu kredit, Xxxxxxxxan, Itikad baik, duty to disclose, Duty to search
ABSTRACT
Credit Card is one of Bank‟s facility which has been new life style for the latest social people lifestyle while the increasing of money using efficiency. Bank is one of credit card issuer which people consider, because it gives many facilities and the easy way of applying the credit card application form. Issuing credit card takes two parties, they are Bank as the issuer and the card holder as the applicant. Both of them are bound by the agreement of credit card issuing.
Author use normative or doctrinal research. This kind of research has the same meaning as doctrinal research which is based on literatures which focus on reading and exploring primary and secondary legal literatures. This research has statute approach and case approach.
Good faith is one of the requirements to legalize an agreement, on which both parties have obligation to do their duty. The obligations are duty to disclose and duty to search. This research is willing to find the implementation of Good faith in the process of credit card agreement whether on the negotiation or the on going of agreement. The research always tries to analize what would be the legal consequences if both parties don‟t implement good faith.
Keywords : Kartu kredit, Xxxxxxxxan, Itikad baik, duty to disclose, Duty to search
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Metode pertukaran barang dan jasa dalam sistem perdagangan mengalami kemajuan dan perubahan dari masa ke masa seiring dengan berjalannya waktu. Dahulu manusia melakukan transaksi perdagangan dengan cara barter atau saling bertukar barang dengan nilai yang sama atau setara, kemudian mulai dipergunakan benda yang memiliki nilai tukar dan menjadi alat pertukaran dalam perdagangan yaitu uang. Uang sebagai nilai tukar sendiri memiliki beberapa karakteristik yaitu dapat diterima secara umum (acceptability), bahannya tahan lama (durability), kualitas cenderung sama (uniformity), jumlahnya banyak dan tidak mudah dipalsukan (scarcity), mudah dibawa (portable), mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value). 1 Seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan manusia yang semakin kompleks, kartu kredit mulai digunakan sebagai alat tukar atau alat pembayaran pengganti uang tunai.
Di dalam proses penerbitan dan penggunaan kartu kredit terdapat beberapa pihak yang terlibat, yaitu penerbit kartu kredit (penerbit kartu kredit), pengelola (acquirer), pihak pemegang kartu kredit (pemegang kartu kredit), dan pihak pemegang barang/jasa (merchant). Dalam penelitian ini, penulis akan membahas secara detail mengenai proses pra perjanjian untuk penerbitan kartu kredit antara bank sebagai pihak penerbit (penerbit kartu kredit)
dengan pemegang kartu kredit (cardholder)..2
1
1 xxxx://xxxxx-xxxxxxx-xxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxx-xxxx-xxxxxxx-xxxx-xxxxx.xxxx, Akses
10 November 2012 pukul 23.23
1
2 Xxxxx Xxxxx,Hukum tentang Pembiayaan (Dalam Teori dan Praktek) (Bandung:PT. Citra Xxxxxx Xxxxx,1999), hlm. 174.
Pengguna kartu kredit di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya gaya hidup masyarakat sosialita serta perkembangan fasilitas dan pelayanan bank yang memudahkan pemegang kartu kredit dalam melakukan transaksi bisnis. Sebuah situs ekonomi mengemukakan bahwa jumlah kartu kredit yang beredar di Indonesia mencapai 15,3 juta unit, tumbuh 6% (enam persen) dibandingkan akhir tahun lalu.3
Nasabah harus melakukan permohonan atau pengajuan aplikasi penerbitan kartu kredit agar bisa menjadi pemegang kartu kredit dan menikmati manfaat serta fasilitas yang diberikan oleh pihak penerbit maupun merchant. Perjanjian antara pemegang kartu kredit dengan bank penerbit kartu kredit terjadi ketika nasabah menandatangani aplikasi pengajuan penerbitan kartu kredit. Xxxx.Xxxxxx Xxxxxxxxx secara singkat mengemukakan bahwa hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut:4
1. Xxxx konsensualisme (the principle of consensualism);
2. Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
3. Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
Berdasarkan asas perjanjian yang dikemukakan di atas, maka perjanjian antara pemegang kartu kredit dan penerbit kartu kredit dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak namun tetap dibatasi pada peraturan bank penerbit serta Bank Indonesia tentang syarat-syarat umum pengajuan kartu kredit yang berkisaran mengenai batasan umur, adanya pekerjaan tetap, dan batasan jumlah penghasilan untuk penentuan limit atau pagu kredit.5 Sebelum penandatanganan aplikasi pengajuan kartu kredit tentu saja ada tahapan pra kontrak antara penerbit kartu kredit dan pemegang kartu
3xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/Xxxxxxx..”Nilai.Transaksi
Kartu.Kredit.Melonjak” Akses 3 November 2012 pukul 21.00
4 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Cetakan Kedua (Jakarta : Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2004) hlm.27.
5 Pasal 15 A Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/14/2/PBI/2012 tentang Pnyelenggaraan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu
kredit yang terjadi pada saat proses penawaran aplikasi. Proses penawaran aplikasi ini merupakan tahapan pra perjanjian (pra kontrak) yang harus dilandasi dengan itikad baik dari kedua belah pihak.
Menurut Xxxxxx X.Xxxxxx, 6 bentuk itikad tidak baik dalam negosiasi dan penyusunan kontrak mencakup negosiasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak, penyalahgunaan the privilege untuk mengagalkan negosiasi, mengadakan kontrak tanpa memiliki maksud untuk melaksanakannya, tidak menjelaskan fakta material, dan mengambil keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak.7
Proses negosiasi yang merupakan hubungan pra kontrak antara penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit merupakan suatu hubungan hukum yang dikuasai itikad baik (van een rechtsverhouding die door de goede trouw beheerst wordt).8 Parameter penerapan itikad baik dalam proses negosiasi pra perjanjian bisa dilihat dari prinsip kehati-hatian dalam berkontrak (contractuale zorgvuldigheid) 9yang memiliki dua implikasi yaitu:10
1. Duty to disclose (mededelingsplicht) yaitu kewajiban untuk menjelaskan dan memberitahukan tentang fakta material dari objek perjanjian;
2. Duty to search (onderzoekplicht) yaitu kewajiban untuk meneliti terlebih dahulu objek perjanjian dan klausula perjanjian sebelum melakukan kesepakatan dan mengikatkan diri dalam perjanjian antara kedua belah pihak.
Bentuk pemasaran jemput bola tampaknya dimanfaatkan oleh petugas pemasaran (sales marketing) kartu kredit yang diterbitkan berbagai bank untuk menjaring peminat kartu kredit di pusat-pusat perbelanjaan maupun mall-mall yang banyak tersedia di segala penjuru
6 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm.251.
7 Xxxxxx X. Summer, “Good Faith in General Contract Law and the Sales Provision of the Uniform Commercial Code” dalam Xxxxxxxx Xxx Review Vol 54 Number 2 (March 1968), hlm.220, Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm.251.
8 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm.252.
9 Ibid
10 Xxxxxx Xxxxxxxxx, loc.cit.
nusantara. 11Petugas pemasaran kartu kredit pasti akan menjelaskan secara detail mengenai manfaat dan fasilitas kartu kredit dari bank tenpatnya bekerja kepada calon pemegang kartu kredit agar signing (penanda tanganan) aplikasi bisa segera direalisasikan. Pada tahap ini para pihak yakni pemegang kartu kredit dan penerbit kartu kredit memiliki hak dan kewajiban yang seimbang dalam mempertimbangkan apakah akan melanjutkan proses kontrak yaitu pendantanganan aplikasi oleh nasabah. Calon pemegang kartu kredit memiliki hak untuk memperoleh informasi sedetil mungkin terkait dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan kartu kredit yang akan diterbitkan dari bank yang ditawarkan oleh petugas pemasaran kartu kredit dan bank penerbit kartu kredit yang diwakili petugas pemasaran memiliki hak untuk menyeleksi calon nasabah yang memenuhi syarat untuk mengajukan aplikasi permohonan kartu kredit. Namun seringkali kedua belah pihak tidak menerapkan prinsip kehati-hatian bahkan penerbit kartu kredit cenderung tidak menerapkan itikad baik dalam melakukan penawaran aplikasi kartu kredit yang merupakan masa negosiasi serta tahapan pra kontrak penandatanganan aplikasi oleh calon pemegang kartu kredit.
Tingginya konsumerisme yang ditunjang dengan penawaran menarik dari bank penerbit kartu kredit seringkali membutakan mata calon pemegang kartu kredit yang tidak mengindahkan syarat-syarat khusus yang banyak diberlakukan dalam penerbitan kartu kredit. Ditambah lagi petugas pemasaran kartu kredit yang cenderung menginformasikan hanya bagian-bagian yang dianggap menguntungkan pemegang kartu kredit seperti fasilitas, banyaknya merchant, bunga rendah, promo discount setiap bulan, cara pembayaran cicilan yang fleksibel, dan sebagainya. Namun bagian-bagian yang mungkin membuat pemegang kartu kredit berada di posisi lemah serta merugikan cenderung tidak diinformasikan pada masa penawaran sebelum penandatanganan (signing) aplikasi permohonan kartu kredit. 12
11 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx-xxxxx-xxxxxx, Akses 3 Januari 2013
12 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/?xxx00000, Akses 3 Januari 2013
Beberapa bank penerbit kartu kredit (issuer) menetapkan bahwa nasabah dianggap menyetujui dan terikat dalam perjanjian dengan bank serta mendapat „status‟ sebagai pemegang kartu kredit tepat setelah menerima kartu kredit beserta buku panduan pemegang yang dianggap sebagai klausula perxxxxxxx. Faktanya apabila pemegang kartu kredit menemukan beberapa klausula dalam buku panduan pemegang kartu ternyata tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh marketing kartu kredit sebelum nasabah menandatangani aplikasi permohonan kartu kredit maka bank akan menganggap nasabah dianggap menyetujui segala sesuatu yang akan timbul dan mengikat para pihak setelah permohonan disetujui tepat ketika nasabah tersebut menandatangani aplikasi permohonan kartu kredit. Beberapa pemegang kartu kredit juga sering mengalami permasalahan setelah menggunakan kartu kredit seperti adanya tagihan dalam billing statement yang tidak sesuai dengan transaksi yang dilakukan, adanya kesalahan atau kekeliruan (fraud) baik oleh pihak bank maupun kesalahan transmisi komunikasi, human error pihak merchant yakni adanya sumber daya manusia pengelola merchant yang tidak kredibel dalam mengunakan kartu kredit, dan jumlah bunga yang tidak realistis karena menyimpang jauh dari ketentuan bunga yang sudah disebutkan dalam buku pedoman pemegang kartu bahkan sudah dibatasi oleh pemerintah melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Sebenarnya baik bank maupun nasabah sebagai pemegang kartu kredit memiliki kewajiban untuk meneliti dulu isi perjanjian atau aplikasi credit card sebelum akhirnya diproses dan diterbitkan oleh bank. Namun seringkali karena calon pemegang kartu kredit/pemohon yang tidak sabar dan ingin segera memiliki serta memanfaatkan fungsi kartu kredit yang seringkali terlalu diiklankan secara berlebihan membuat mereka tidak berpikir panjang dan menerima begitu saja semua penawaran dari bank penerbit kartu kredit. Padahal seperti yang sudah diuraikan di atas, kedudukan bank bisa dipastikan lebih kuat dan dominan dimana bank juga berhak membuat isi perjanjian secara klausula baku. Di sini penerapan
itikad baik dalam berkontrak terutama pada proses pra kontrak yaitu ketika nasabah mengajukan penerbitan kartu kredit menjadi dipertanyakan. Secara kasat mata seringkali ditemukan fakta bahwa bank membuat aturan-aturan baru terkait dengan point reward, bunga, dan lainnya yang tidak dijelaskan secara detail oleh petugas pemasaran kartu kredit di awal sebelum nasabah menandatangani aplikasi permohonan kartu kredit. Di sinilah penerapan prinsip kehati-hatian yang berkaitan dengan duty to disclose dan duty to search sebagai parameter ada tidaknya itikad baik dalam proses negosiasi belum diterapkan secara baik. Padahal adanya itikad baik merupakan syarat mutlak untuk melakukan perjanjian/kontrak.
Nasabah adalah konsumen yang seringkali dianalogikan sebagai raja dalam suatu hubungan perdagangan baik barang maupun jasa. Raja memang harus mendapatkan layanan penuh yang berarti nasabah harus memperoleh hak-haknya untuk mengetahui dan diinformasikan mengenai detil jasa yang akan digunakannya, dalam hal ini rincian mengenai permohonan kartu kredit. Bank seringkali mengabaikan hal ini dengan menganggap setiap nasabah sudah mengerti semua syarat dan kondisi yang ada dan akan ada setelah kartu kredit diterbitkan apabila nasabah sudah menandatangani aplikasi permohonan kartu kredit. Dari hal-hal yang sudah diuraikan di atas penulis menyimpulkan bahwa kontrak atau perjanjian antara calon pemegang kartu kredit dengan penerbit kartu kredit tidak di awali dengan tahapan pra kontrak yang dilandasi dengan itikad baik sebagai syarat utama terjadinya kontrak.
Berdasarkan pada uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut mengenai bagaimana itikad baik pra kontrak seharusnya diterapkan berkaitan dengan pengajuan aplikasi kartu kredit dan menyusun penelitian yang berjudul “ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN BANK PENERBIT KARTU KREDIT DENGAN CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT.”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan itikad baik pra kontrak dalam perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit dalam penerbitan kartu kredit?
2. Akibat hukumnya jika itikad baik tidak diterapkan dalam suatu perjanjian.
C. TUJUAN PENELITIAN
Dalam setiap kegiatan penelitian pasti memiliki tujuan yang jelas. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi arah dalam melangkah sesuai maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui dan menemukan penerapan asas itikad baik pra kontrak dalam proses negosiasi sebelum adanya perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit untuk penerbitan kartu kredit.
2. Mengetahui bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit jika itikad baik ternyata tidak diterapkan.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala.13
Dalam rangka penelitian untuk penulisan tesis ini, arah penelitian dimulai dari pembahasan tentang kontrak dan itikad baik dalam perjanjian yang kemudian akan dicari
13 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia (Jakarta : PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm.8
penerapannya dalam perjanjian antara bank dengan pemegang kartu kredit untuk penerbitan kartu kredit.
1. Teori tentang Perjanjian dan Xxxxxx Xxxx dalam Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian pada umumnya
Berkaitan dengan kesepakatan dan lahirnya perxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengemukakan beberapa teori mengenai lahirnya perjanjian tersebut, yaitu: 14
1) Teori kehendak (wilstheorie)
Menjelaskan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya dengan menuliskan surat.
2) Teori Pengiriman (verzentheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran.
3) Teori Pengetahuan (vernemingstheorie)
Mengajarkan bahwa pihak yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya sudah diterima; dan
4) Teori Kepercayaan (vertrowenstheorie)
Mengajarkan bahwa kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap layak diterima oleh pihak yang menawarkan .
Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
R. Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu hal tertentu “.15
14 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Bisnis (Bandung:Alumni,1994), hlm. 24.
15 R. Subekti, Hukum Perjanjian ( Jakarta: Intermassa , 1987), hlm.1.
Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx merumuskan kembali Pasal 1313 KUHPerdata sebagai berikut, “Perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan” .16
Rumusan dari pengertian perjanjian tersebut di atas, Jika di simpulkan maka perjanjian tersebut terdiri dari 17:
1) Ada pihak–pihak
Sedikitnya ada dua pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia atau badan hukum seperti yang ditetapkan oleh Undang–undang,
2) Ada persetujuan antara para pihak
Persetujuan antara para pihak tersebut sifatnya bukan merupakan suatu perundingan. Dalam perundingan secara umum yang dibicarakan adalah mengenai syarat–syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan,
3) Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak sesuai dengan syarat– syarat perjanjian,
4) Ada bentuk tertentu lisan maupun tulisan
Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan Undang–undang yang menyatakan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat,
5) Ada syarat–syarat tertentu sebagai isi perjanjian
16 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxxx, 1982)
17 Ibid, hlm.82.
Dari syarat–syarat tertentu dapat diketahui bahwa hak dan kewajiban para pihak. Syarat–syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok,
6) Ada tujuan yang hendak dicapai
Tujuan yang hendak dicapai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan pada asas kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang–undang.
b. Asas–asas Hukum Perjanjian
Beberapa asas yang berkaitan dengan perjanjian yaitu18;
1) Asas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian pada dasarnya sudah ada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Pengertian dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah adanya kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri dan kemauan para pihak untuk saling mengikatkan kepercayaan bahwa perjanjian tersebut akan dipenuhi.
2) Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian, yaitu bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “Perjanjian yang dibuat harus sah menurut Undang-undang dan harus dipenuhi bagi yang membuatnya”.
3) Asas Kebebasan Berkontrak, yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-undang diberikan pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. (Pasal 1338 Jo 1337 KUHPerdata).
18 Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxximpasan Pinjaman (Kompensasi) dan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kredit Bank (Jakarta: Penerbit CV. Utomo,2003), hlm.37.
4) Asas Itikad Baik dan Kepatutan, asas ini menegaskan bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama. Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya di ikuti dalam pergaulan masyarakat (Pasal 1338 :3).
Xxxxxx Xxxxxxxxx secara lebih singkat mengemukakan bahwa hukum perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya. Ketiga asas sebagai berikut:19
1) Xxxx konsensualisme (the principle of consensualism);
2) Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
3) Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
c. Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian dapat dikatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian yang telah ditentukan oleh undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi syarat yang ada dalam undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tidak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihak yang bersangkutan.
Ketika para pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku diantara mereka, dan apabila suatu ketika para pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan perjanjian itu atau perjanjian itu menjadi batal. Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat syarat yaitu;
1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri ;
Sepakat dimaksudkan bahwa subyek yang megadakan perjanjian harus bersepakat, setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang
19 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm. 27.
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, jadi mereka menghendaki sesuatu secara timbal balik.
2) Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian;
Orang yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Menurut Xxxxx 1320 KUHPerdata yang dimaksud cakap menurut hukum adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah kawin atau pernah menikah.
3) Suatu hal tertentu;
Suatu hal tertentu maksudnya adalah sudah ditentukan macam atau jenis benda atau barang dalam perjanjian itu. Mengenai barang itu sudah ada atau sudah berada di tangan pihak yang berkepentingan pada waktu perjanjian dibuat tidak diharuskan oleh Undang-undang dan juga mengenai jumlah tidak perlu disebutkan.
4) Suatu kausa atau sebab yang halal;
Yang dimaksud dengan sebab yang halal adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum sebagaimana diatur dalam Pasal 1337 KUHPerdata.
Syarat-syarat dalam perjanjian dibagi dalam dua kelompok, yaitu :
1) Syarat subjektif;
Syarat subjektif adalah syarat yang menyangkut pada subyek-subyek perjanjian itu, atau dengan perkataan lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, yang meliputi :
a) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya,
b) kecakapan pihak yang yang membuat perjanjian.
2) Syarat objektif ;
Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian itu, meliputi:
a) Suatu hal tertentu,
b) Suatu sebab yang halal.
Syarat sahnya kontrak di atas berkenaan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenaan dengan subjek perjanjian dan pembatalan untuk kedua syarat tersebut adalah dapat dibatalkan (voidable). Sedangkan persyaratan ketiga dan keempat berkenaan dengan objek perjanjian dan pembatalan untuk kedua syarat tersebut di atas adalah batal demi hukum (null and void).20
Dapat dibatalkan (voidable) berarti bahwa selama perjanjian tersebut belum diajukan pembatalannya ke pengadilan yang berwenang maka perjanjian tersebut masih tetap sah, sedangkan batal demi hukum (null and void) berarti bahwa perjanjian sejak pertama kali dibuat telah tidak sah, sehingga hukum menganggap bahwa perjanjian tersebut tidak pernah ada sebelumnya.21
Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya diikuti dalam pergaulan masyarakat. Asas itikad baik dan kepatutan berasal dari hukum Romawi, yang kemudian dianut oleh Civil Law, bahkan dalam perkembanganya juga dianut oleh beberapa negara yang berfaham Common Law. Pengertian Itikad Baik dan Kepatutan berkembang sejalan dengan perkembangan hukum kontrak Romawi, yang semula hanya memberikan ruang bagi kontrak-kontrak yang telah di atur dalam Undang-undang (iudicia stricti iuris yang bersumber pada civil law). Diterimanya kontrak yang didasarkan pada bonae fides yang mengharuskan diterapkanya asas itikad baik dan kepatutan dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian. 22Masalah yang muncul, hingga saat ini belum satu
20 Ibid., hlm 14
21 Ibid
22 Ibid., hlm 131
kata untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan atau belum.
Setiap orang maupun badan hukum memiliki kebebasan untuk melakukan kontrak dan kontrak atau perjanjian yang berdasarkan atas paksaan maupun sistem yang melenceng dari hukum dianggap bukan sebagai hasil dari asas kebebasan berkontrak tersebut dan dianggap tidak mengikat para pihak, namun hal ini tidak bisa menjawab pertanyaan apakah sistem hukum mengandung prinsip umum penerapan itikad baik dalam proses negosiasi. Kebebasan berkontrak dalam proses negosiasi ini dibatasi dengan suatu aturan bahwa pihak yang akan melakukan kontrak atau perjanjian tidak diizinkan untuk bertindak atau menyepakati perjanjian di bawah sadar atau dalam posisi tawar yang lemah, apabila hal ini terjadi maka pihak yang berada dalam posisi lemah bisa dianggap sebagai korban dan perjanjian menjadi tidak mengikat, bahkan tidak berlaku.23
Itikad baik atau good faith dalam Black’s Law Dictionary disebutkan sebagai suatu pernyataan dari pikiran yang mengadung kejujuran dalam kepercayaan maupun tujuan, keterbukaan terhadap hak dan kewajiban seseorang.24
2. Teori tentang Kartu Kredit
Kecanggihan teknologi dalam dunia perbankan telah menimbulkan apa yang disebut dengan perbankan elektonik atau electronic banking. Perbankan elektronik disebut juga dengan sistem pemindahan uang atau dana secara elektonik yang umumnya disebut dengan electronic funds transfer (EFT). EFT merupakan penerapan teknologi computer pada perbankan terutama pada aspek pembayarannya dalam sistem perbankan.
Xxxxx Xxxxx berpendapat bahwa electronic funds transfer merupakan transfer dana dimana satu atau lebih bagian dalam transfer dana yang dahulu digunakan dengan warkat
23 Xxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxx, Good Faith and Fault in Contract Law (Oxford : Clarendon Pres, 1995), hlm.25-26.
24 Xxxxx X. Xxxxxx, Black’s Law Dictionary (USA : West Publishing Co, 1999), hlm.713.
(transfer secara fisik) kemudian diganti dengan menggunakan media elektronik. 25Dapat disimpulkan bahwa EFT adalah suatu fasilitas pelayanan yang ada di dalam bank yang dipergunakan untuk kepuasan nasabah dengan menggunakan kartu plastik (kartu kredit, kartu debit, maupun kartu ATM). Dengan adanya kemudahan dan kenyaman yang ditawarkan oleh pihak perbankan khususnya pada produk kartu kredit membuat nasabah merasa aman dalam melakukan transaksi.
Kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh bank yang meminjami nasabah sejumlah dana tanpa harus memilki dana atau tabungan di bank tersebut. Dalam transaksi penggunaan kartu kredit terlihat adanya hubungan hukum antara nasabah pemegang kartu kredit dengan pelaku usaha, baik pihak perbankan maupun pihak merchant. Hubungan hukum ini terlihat dalam aplikasi perjanjian yang ditandatangani pihak nasabah.
Kartu kredit mulai dikenal sekitar tahun 1920 di Amerika Serikat yang pada saat itu kartu kredit hanya dapat dipergunakan untuk berbelanja di toko yang menerbitkan.26 Namun seiring dengan perkembangan zaman, kartu kredit memiliki fungsi yang dapat mengakomodasi kebutuhan manusia dengan berbagai fasilitas tambahannya. Ada dua macam jenis kartu kredit yaitu kartu kredit yang diterbitkan oleh lembaga keuangan non-bank dan kartu kredit yang diterbitkan oleh bank. Kartu kredit pertama yang diterbitkan oleh lembaga keuangan non-bank di Indonesia adalah American Express dan Dinners Club, sedangkan kartu kredit pertama yang diterbitkan oleh bank adalah Visa dan Master Card yang diterbitkan oleh Bank BCA.
Di dalam proses penerbitan dan penggunaan kartu kredit terdapat beberapa pihak yang terlibat, adapun pihak-pihak tersebut adalah :
a. Pihak Penerbit (issuer)
Pihak penerbit adalah bank atau lembaga keuangan lain selain bank yang membuat rekening dan mengeluarkan kartu pembayaran bagi pemegang kartu kredit. Pihak penerbit
25 Xxxxx Xxxxx, op.cit, Hal. 118
26 xxxx://xxxxxxxx.xxx/xxxxxxx-xxxxx-xxxxxx/ Akses 10 November 2012 pukul 23.35
menjamin pembayaran untuk transaksi yang terotorisasi menggunakan kartu pembayaran yang dikeluarkannya, sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan oleh pemegang merek kartu dan pemerintah setempat.27
b. Pihak Pengelola (acquirer)
Acquirer adalah bank atau lembaga keuangan selain bank yang melakukan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat berupa:28
1) Financial acquirer, yaitu acquirer yang melakukan pembayaran terlebih dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit;
2) Technical acquirer, yaitu acquirer yang menyediakan saran yang diperlukan dalam pemrosesan alat pembayaran dengan menggunakan kartu;
c. Pihak Pemegang Kartu Kredit (cardholder)
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi pemegang kartu kredit, yaitu :
1) Adanya penghasilan yang jumlahnya cukup disesuaikan dengan pagu kredit yang diajukan;
2) Adanya kontinuitas penghasilan;
3) Adanya intensitas atau niat baik dalam pengajuan kartu kredit
d. Pihak Pemegang barang dan/ atau jasa (merchant)
Merchant adalah pedagang barang dan/ atau jasa yang telah bekerja sama dengan penerbit kartu kredit dan acquirer untuk menerima alat pembayaran dengan menggunakan kartu kredit.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan
27 Xxxxxxxxxxx xx.xx, Bisnis E-commerce: Studi Sistem Keamanan dan Hukum di Indonesia,Cetakan 1 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005), hlm 16.
28 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 14
dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu kredit berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran.29
Pemegang kartu kredit juga akan dikenai iuran tahunan yang besarnya ditetapkan oleh pihak bank. Berbeda dengan charge card, dana yang bisa nasabah pergunakan baik untuk menarik uang tunai maupun berbelanja terbatas pada plafon pagu kredit yang disetujui. Kelebihan dari kartu kredit ini, nasabah tidak harus membayar penuh jumlah tagihan yang jatuh tempo. Nasabah boleh mengangsur atau menyicil dengan jumlah minimal tertentu, sisanya termasuk bunga akan ditagihkan kepada nasabah pada bulan berikutnya. Bentuk kemudahan seperti inilah yang membuat kartu kredit sangat digemari oleh masyarakat.
Sistem kerja kartu kredit mulai dari adanya permohonan penerbitan kartu, transaksi pembelanjaan sampai pada penagihan yang dilakukan oleh lembaga pembayar dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Nasabah mengajukan permohonan sebagai pemegang kartu dengan memenuhi segala peraturan yang telah dibuat;
b. Bank atau lembaga pembiayaan non bank akan menerbitkan kartu apabila “disetujui‟ setelah melalui penelitian terhadap kredibilitas dan kapabilitas calon nasabah, untuk kemudian diserahkan kepada nasabah;
c. Dengan kartu yang sudah disetujui pemegang kartu berbelanja di suatu tempat dengan bukti pembayarannya.30
Memilih dan mendapatkan kartu kredit sebenarnya bukan hal yang sulit. Akan tetapi, tidak berarti semua kartu kredit yang ditawarkan kepada nasabah tidak harus dipelajari
29 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Peraturan Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu
30 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 340.
terlebih dahulu karena pemegang kartu kredit bisa terjerat dalam masalah yang cukup pelik apabila tidak cermat dalam memilih dan menggunakan kartu kredit.
Salah satu bentuk kewajiban para pihak dalam bernegosiasi dan menyusun kontrak adalah harus berperilaku dengan itikad baik. Negosiasi atau penyusunan kontrak tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk. Hal ini menjadi kewajiban bagi para pihak dalam hubungan pra kontrak. Menurut Xxxxxx X Xxxxxx, bentuk itikad buruk dalam negosiasi dan penyusunan kontrak mencakup negosiasi tanpa maksud yang serius untuk mengadakan kontrak, penyalahgunaan the privilege untuk menggagalkan negosiasi, mengadakan kontrak tanpa memiliki maksud untuk melaksanakannya, tidak menjelaskan fakta material, dan mengambil keuntungan dari lemahnya posisi tawar pihak lain dalam kontrak.31
Itikad baik pra kontrak dapat dijadikan sebagai limitasi atau pembatas adanya kebebasan berkontrak. Sehingga kontrak maupun negosiasi dapat dianggap batal apabila tidak ditemukan adanya asas itikad baik di dalam kontrak tersebut.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip- prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 32 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.33
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
31 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm. 251
32 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group, 2005) hlm. 35
33 Ibid., hlm. 41
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan- bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder.34
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka Penulis dalam penelitian ini akan mengkaji implementasi itikad baik pra kontrak dalam perjanjian antara Bank seebagai penerbit kartu kredit dan nasabah sebagai pemegang kartu kredit dalam penerbitan kartu kredit serta bagaimana akibat hukum apabila asas itikad baik tidak diterapkan dalam perjanjian tersebut.
2. Pendekatan Penelitian
Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.Dalam metode pendekatan perundang-undangan perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang- undang.35
Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan mempelajari penerapan dan norma-norma kaidah hukum yang dilakukan dalam praktek hukum. Dalam penelitian ini penulis akan mengkaji penerapan asas itikad baik pra kontrak dalam perjanjian antara bank dengan pemegang kartu kredit untuk penerbitan kartu kredit. Jelas kasus-kasus yang terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan
34 Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxx Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cetakan ke-2, (Malang:Bayumedia Publishing,2006) hlm 44
35 Ibid
hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplanasi hukum.36
3. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Dalam buku Penelitian Hukum karangan Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, mengatakan bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data, sehingga yang digunakan adalah bahan hukum dalam hal ini bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Sumber data yang penulis pergunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder. Sumber data sekunder tersebut adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undang dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan ;
2) Peraturan Bank Indonesia No. 14/2/PBI/ 2012 mengenai Perubahan atas Peraturan BI No. 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu;
3) Kitab Undang – Undang Hukum Perdata ;
4) Buku Petunjuk pemegang kartu kredit dari bank ANZ sebagai perjanjian antara penulis sebagai pemegang kartu kredit dengan bank penerbit kartu kredit kartu kredit tersebut;
b. Bahan Hukum sekunder
36 Xxxxx Xxxxxxx, op.cit., hlm. 321
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah Formulir aplikasi permohonan kartu kredit bank ANZ dan bank Mega serta hasil kuesioner terhadap responden mengenai pelaksanaan kewajiban duty to disclose dan duty to search.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus hukum serta ensiklopedia hukum.
4. Teknik Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah library research dan statuta approach studi kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan jalan membaca peraturan perundang-undang, dokumen-dokumen resmi maupun literatur- literatur yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas kemudian dikategorisasi menurut jenisnya.
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode silogisme dan interpretasi dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Pola berpikir deduktif yaitu berpangkal dari prinsip-prinsip dasar, kemudian peneliti tersebut menghadirkan objek yang hendak diteliti. Sedangkan metode silogisme yang menggunakan pendekatan deduktif menurut yang diajarkan Xxxxxxxxxxx yaitu berpangkal dari pengajuan premis mayor. Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusión.37
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dalam penulisan hukum ini merupakan suatu uraian mengenai susunan dari penulisan itu sendiri yang secara teratur dan terperinci, sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas tentang apa yang ditulis tiap-tiap bab mempunyai hubungan satu sama
37 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx , op.cit., hlm. 46.
lain yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kerangka ini, penulis akan menguraikan tentang hal- hal pokok yang ada dalam penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukm ini terdiri dari empat bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis memberikan gambaran awal mengenai penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini, dan sistematika penulisan hukum untuk memberikan pemahaman terhadap isi penelitian dalam garis besar.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini diuraikan mengenai tinjauan tentang itikad baik berkontrak, syarat sahnya perjanjian, teori-teori yang mendukung tema penelitian, tinjauan tentang kartu kredit dan perjanjian kartu kredit.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini Penulis menguraikan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok dalam penulisan hukum ini, yaitu yang pertama itikad baik dalam perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit untuk penerbitan kartu kredit serta yang kedua menjawab pertanyaan apa akibat hukum apabila tidak ada itikad baik dalam perjanjian tersebut.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diuraikan simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi obyek penelitian. Penulis juga akan memaparkan beberapa saran yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh pembaca pada umumnya, dan pihak bank serta praktisi khususnya.
BAB II
TINJAUAN MENGENAI PERJANJIAN DAN KARTU KREDIT
A. Pengertian dan Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam praktik perjanjian atau kontrak seringkali dipahami secara rancu. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah masing-masing kata memiliki pengertian yang berbeda. 38 Pada dasarnya esensi dari kontrak adalah perjanjian di mana ada kesepakatan para pihak di dalamnya.
Bahasa Belanda mengenal dua istilah perjanjian yaitu overeenkomst of contract. Burgerlijk Wetbook atau KUHPerdata yang digunakan sebagai dasar hukum perdata Indonesia meenguraikan pengertian overeenkomst sebagai perjanjian. Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian atau persetujuan. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni “Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Persetujuan.”
Perjanjian dalam Bahasa Inggris memiliki dua istilah yaitu Agreement dan Contract. Agreement didefinisikan sebagai suatu kesepakatan atau janji untuk melakukan sesuatu, yang dibuat oleh dua orang atau lebih, perusahaan, organisasi, dan sebagainya.39 Contract lebih dimaknai sebagai merupakan perjanjian resmi antara dua orang atau lebih yang menyatakan apa yang harus dilaksanakan masing-masing pihak. Contract : an official agreement between two or more people, stating that each will do.
Dalam Black Law‟s Dictionary disebutkan bahwa “An agreement, as the courts have said, „is nothing more than a manifestation of mutual assent by two more legally competent person to one another. Agreement is in some respects a broader term than contract, or even than bargain or promise.40 A contract is a promise, or a sets of promises, for breach of which the law gives a remedy, or the performances of which the law in some way recognizes as a duty. This definition may n2o8 t be entirely
38 Xxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, cetakan Kedua (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 13
39 Xxxxxxx Education Limited, Longman Dictionary of Contemporary English, International Students Edition (England:Longman Group Ltd, 1995), hlm.297
40 Xxxxx X. Xxxxxx, Black’s Law Dictionary,Eight Edition(Texas:Xxxxxxx Xxxx,2004), hlm.74
satisfactory since it requires a subsequents definition of the circumstances under which the law does in fact attach legal obligation to promises. But if a definition were attempted which should cover these operative facts, it would require compressing the entire law relating to the formation of contracts into a single sentence.41
Subekti42 mendefinisikan kontrak sebagai peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Xxxxx sendiri merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu atau affair exists, atau akan melakukan suatu perbuatan tertentu.43 Orang terikat pada janjinya sendiri, yakni janji yang diberikan kepada pihak lain dalam perjanjian. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus dipenuhi.44
Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi ini menurut para ahli dianggap terlalu luas namun juga terlalu sempit bila dilihat dari sisi lain.
Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas dengan berbagai alasan tersebut di bawah ini.
Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih.”
Dikatakan terlalu luas, karena rumusan: suatu perbuatan hukum dapat mencakup perbuatan hukum (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad). Suatu perbuatan melawan hukum memang dapat timbul karena perbuatan manusia dan
41 Ibid., hlm.341
42 Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta:Intermasa,1984), hlm 36.
43 A.G. Guest, (ed), Xxxxx’x Law of Contract, (Oxford:Clarendon Press, 1979) hlm 2, Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (tidak dipublikasikan, 2013), hlm.39
44J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II (Bandung:Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm.146.
sebagai akibatnya timbul suatu perikatan, yakni adanya kewajiban untuk melakukan transaksi tertentu yang berwujud ganti rugi kepada pihak yang dirugikan perbuatan melawan hukum jelas tidak didasarkan atau timbul dari perjanjian.45 Perjanjian kawin dalam hukum keluarga atau perkawinan pun berdasarkan rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian.46
Banyak ahli yang berusaha untuk memberikan intepretasi secara lebih mendalam terhadap definisi pasal 1313 KUHPerdata. Perjanjian menurut Subekti maupun perumusan pasal dalam KUHPerdata lebih sempit atau mengacu kepada kesepakatan tertulis. R. Subekti menyatakan bahwa, “suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan suatu hal tertentu “.47
Salah satu pakar hukum, J. Satrio yang memaknai pengertian kontrak menurut pasal 1313 KUHPerdata terlalu sempit mengusulkan agar rumusan diubah menjadi: atau di mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.48
J. Xxxxxx juga membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hubungan perkawinan saja sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.49
Demikian juga menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, dkk menyatakan : Para Sarjana Hukum Perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah tidak lengkap dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena yang di
45 Ibid., hlm 24
46 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op.cit, hlm 18.
47 R. Subekti, loc.cit.
48 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku I, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1955), hlm 27
49Ibid. , hlm 28-30
rumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja. Defenisi itu di katakan terlalu luas karena dapat mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga, seperti xxxxx xxxxx yang merupakan perjanjian juga tetapi sifatnya berbeda dengan perjanjian yang di atur dalam KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam KUHPerdata Buku III kriterianya dapat di nilai secara materiil, dengan kata lain dinilai dengan uang.50
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx merumuskan Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.51
Untuk memperbaiki kelemahan definisi di atas, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (BW Baru) mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih di mana keduanya saling mengikatkan dirinya.52
Berdasarkan Ketentuan Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum (juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh hukum yang berwenang dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari satu atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain(interdependent). Kontrak ini bertujuan untuk menciptakan akibat hukum untuk kepentingan satu pihak dan juga untuk pihak lain.53
Kontrak merupakan golongan dari „perbuatan hukum‟, perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang menghasilkan akibat hukum dikarenakan adanya niat
50 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, xx.xx, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun (Bandung : PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2001), hlm. 65.
51 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian (Bandung:PT. Xxxx, 1986), hlm. 9
52 X.X.X Xxxxxxxxx and Xxxx Xxxxxxx, Nieuw Nderlands Burgerlijk Wetbeek, Het Vermorgenrechts, (Kluwer:Deventer, 1990) hlm 325, Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak ..., op.cit., hlm 41
53 Xxxxxx X. Xxxxkamp and Xxxxxxxx X.X. Xxxxxxx, Contract Law in Netherlands, (London, Boston:Kluwer Law International, The Hague, 1995), Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, ibid., hlm 41
dari perbuatan satu orang atau lebih. Sehingga dapat dikatakan bahwa beberapa perbuatan hukum adalah kontrak.54
Ciri khas yang paling penting dari suatu kontrak adalah adanya kesepakatan bersama (mutual consent) para pihak. Kesepakatan bersama ini bukan hanya merupakan karakteristik dalam pembuatan kontrak, tetapi hal itu penting sebagai suatu niat yang diungkapkan kepada pihak lain. Di samping itu, sangat mungkin untuk suatu kontrak yang sah dibuat tanpa adanya kesepakatan bersama.55
Untuk menyesuaikan rumusan kalimat bahwa suatu kesepakatan haruslah interdependent. Satu pihak akan setuju karena atau jika pihak lain setuju pula. Tanpa adanya ketergantungan (interdependent) maka tidak ada kesepakatan (consent); contohnya ketika dalam rapat pemilihan badan direksi suatu perusahaan, pemilihan ini dipilih dengan persetujuan secara umum, hal ini bukan merupakan kontrak karena tidak ada mutual interdependence.56
Niat para pihak harus bertujuan untuk menciptakan adanya akibat hukum. Terdapat banyak perjanjian yang menimbulkan kewajiban sosial atau kewajiban moral, tetapi tidak mempunyai akibat hukum. Contohnya, janji untuk makan malam bersama atau pergi ke bioskop tidak menimbulkan akibat hukum, walaupun ada beberapa yang dapat menimbulkan akibat hukum dalam situasi khusus tertentu. Maksud para pihak untuk mengadakan hubungan hukum sangatlah menentukan dalam kasus ini.57
Pada akhirnya, akibat hukum harus dihasilkan untuk kepentingan satu pihak dan pihak lainnya, atau, untuk kepentingan kedua belah pihak. Dalam Peraturan Umum Hukum
54 Ibid.
55 Ibid., hlm 42
56 Ibid.
57 Ibid.
Kontrak Belanda menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak hanya dapat untuk mengadakan perikatan terhadap satu sama lain.58
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.59 Berlainan dengan itu, di dalam berbagai definisi kontrak di dalam literatur hukum kontrak common law, kontrak itu berisi serangkaian janji, tetapi yang dimaksud dengan janji itu secara tegas dinyatakan adalah janji yang memiliki akibat hukum dan apabila dilanggar, pemenuhannya dapat dituntut ke pengadilan.60
Rumusan dari pengertian perjanjian tersebut di atas, Jika di simpulkan maka perjanjian tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut61:
1. Ada pihak–pihak
Sedikitnya ada dua pihak ini disebut subyek perjanjian, dapat manusia atau badan hukum seperti yang ditetapkan oleh Undang–undang,
2. Ada persetujuan antara para pihak
Persetujuan antara para pihak tersebut sifatnya bukan merupakan suatu perundingan. Dalam perundingan secara umum yang dibicarakan adalah mengenai syarat–syarat dan obyek perjanjian maka timbulah persetujuan,
3. Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak sesuai dengan syarat–syarat perjanjian,
4. Ada bentuk tertentu lisan maupun tulisan
58 Ibid, hlm 34.
59 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum (Yogyakarta:Liberty, 1999), hlm.110.
60 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak ..., loc. cit.
61 Ibid , hlm.82.
Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan Undang–undang yang menyatakan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat,
5. Ada syarat–syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Dari syarat–syarat tertentu dapat diketahui bahwa hak dan kewajiban para pihak. Syarat–syarat ini terdiri dari syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok,
6. Ada tujuan yang hendak dicapai
Tujuan yang hendak dicapai dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri dalam menentukan isi perjanjian meskipun didasarkan pada asas kebebasan berkontrak akan tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh Undang–undang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada tiga unsur perjanjian secara teoritis yaitu :62
1. Unsur essensalia, yaitu unsur-unsur utama yang ada dalam perjanjian. Tanpa adanya unsur ini maka perjanjian tidak akan ada.
2. Unsur naturalia, unsur yang diatur oleh Undang-Undang namun bisa disingkiri oleh para pihak.
3. Unsur accidentalia, yaitu unsur yang ditambahkkan para pihak karena tidak diatur oleh Undang-undang.
Unsur essensialia menentukan dan atau mengakibatkan terciptanya perjanjian (constructive oordeel). 63Unsur essensialia, terdiri dari :64
62 xxxx://xxxxxxxxxxxx.xxxxx.xxxxx.xxx.xx.xx/0000/00/00/xxxxx-xxxxxxx/ Akses 23 Maret 2013
63 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Perjanjian (Bandung:Alumni,1994), hlm.25.
64 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Kartu Kredit Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan (Bandung:Xxxxxxx Xxxxxxx, 2004), hlm. 44.
1. Kata sepakat dari para pihak yang melakukan perjanjian. Hal ini didasarkan pada pernyataan kehendak para pihak;
2. Ada dua pihak atau lebih yang berdiri sendiri;
3. Kata sepakat yang tercapai antara para pihak tersebut tergantung satu dengan yang lainnya;
4. Para pihak menghendaki agar perjanjian itu mempunyai akibat hukum;
5. Akibat hukum tadi adalah kepentingan yang satu atas beban yang lain, atau timbal balik yaitu untuk kepentingan dan bebanj kedua belah pihak;
6. Dengan memeperhatikan ketentuan undang-undang yang berlaku, khususnya bagi perjanjian-perjanjian formil, di mana diharuskan adanya suatu bentuk tertentu.
Kedua, unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh undang-undang diatur, dan merupakan bagian dari suatu perjanjian yang tanpa disebutkan secara khusus sudah merupakan bagian yang ada pada perjanjian tersebut.
Ketiga unsur accidentalia adalah unsur perjanjian yang secara khusus diperjanjikan oleh para pihak, dimana undang-undang sendiri tidak mengatur akan hal tersebut.
Apabila salah satu unsur tidak terpenuhi maka tidak ada perjanjian , berarti tidak ada akibat hukum bagi para pihak.
Di dalam sistem common law ada pembedaan antara contract dan agreement. Semua kontrak adalah agreement, tetapi tidak semua agreements adalah kontrak.65 American Restatement of Contract (second) mendefinisikan kontrak sebagai „a promise or set of promises for the breach of which the law give a remedy or the performance of which the law in some way recognized a duty.‟66
65 Xxxxxx Xxxx, Basic Business Law in Singapore, (New York:Xxxxxxxx Xxxx, 1995), hlm 27 Dikutip dari Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak..., op.cit., hlm.43
66 Xxxxxx X. Xxxxxxxx, Business Law, (Cincinnati, Ohio:South-Western Publishing Co, , 1987), hlm
186.
Substansi definisi kontrak di atas adalah adanya mutual agreement atau persetujuan para pihak yang menciptakan kewajiban yang dilaksanakan atas kewajiban yang memiliki kekuatan hukum. Agreement sendiri merupakan :
“A coming together of mind; coming together in opinion or determination; the coming together bin accord of two minds on a given proposition... The union on two or more minds in a thing done or to be done; a mutual assents to do thing... agreement is a broader term e.g. an agreement might lack an essential element of contract.”67
Salah satu kelemahan dari pengertian kontrak yang disebutkan dalam American Restatement adalah tidak adanya elemen persetujuan (bargain) dalam kontrak. Tidak adanya indikasi yang dibuat dalam definisi tersebut di atas adalah merupakan suatu ciri khas perjanjian dua belah pihak (two-sided affair), sesuatu yang sedang dijanjikan atau dilaksanakan dalam satu sisi merupakan pengganti untuk sesuatu yang sedang dijanjikan atau dilaksanakan dalam sisi yang lain. Kemudian, berdasarkan pengertian di atas, bahwa kontrak secara sederhana dapat menjadi „suatu janji‟. Hal ini berarti untuk melihat fakta yang secara umum merupakan beberapa tindakan atau janji yang diberikan sebagai pengganti untuk janji yang lain sebelum janji itu menjadi sebuah kontrak. Di samping itu, kontrak juga dapat merupakan‟ serangkaian janji‟. Hal ini tidak memberikan indikasi bahwa beberapa janji biasanya diberikan sebagai pengganti untuk janji yang lainnya. Akan tetapi hal tersebut bisa saja salah untuk mengasumsikan bahwa semua kontrak adalah persetujuan asli di mana di satu sisi suatu hal yang ditawarkan untuk suatu hal lain yang memiliki nilai sama dengan yang lainnya. Faktanya, seperti yang kita lihat, ada beberapa kasus di mana sebuah janji
67Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Dasar-Dasar Merancang Kontrak (Jakarta:Grasindo.1998), hlm.5.
diperlakukan sebagai pemikiran kontraktual yang tidak ada persetujuan (bargain) yang nyata.68
Beberapa pengertian kontrak yang lain masih memiliki arti yang sama, tetapi ada satu pengertian yang tepat dan ringkas yang diungkapkan oleh Xxxxxxx yang mendefinisikan kontrak sebagai „suatu janji di mana hukum dapat diberlakukan baginya‟ (promises which the law will enforce).69
Substansi dari definisi-definisi kontrak di atas adalah adanya mutual agreement atau persetujuan (assent) para pihak yang menciptakan kewajiban yang dilaksanakan atau kewajiban yang memiliki kekuatan hukum.70
B. Asas-Asas Perjanjian
1. Asas-asas Perjanjian menurut KUHPerdata dan para ahli
Xxxxx X. Xxxxxxxxxx menyatakan bahwa pengkajian asas-asas perjanjian memiliki peranan penting untuk memahami berbagai undang-undang mengenai sahnya perjanjian. Perkembangan yang terjadi terhadap suatu ketentuan undang-undang akan lebih mudah dipahami setelah mengetahui asas-asas yang berkaitan dengan masalah tersebut.71
Xxxxxxxxxxx menjelaskan hubungan fungsional antara asas dan ketentuan hukum (rechtsgels) sebagai berikut:72
a. Asas-asas hukum berfungsi sebagai pembangun sistem. Asas-asas itu tidak hanya mempengaruhi hukum positif, tetapi juga dalam banyak hak menciptakan suatu sistem. Suatu sistem tidak akan ada tanpa adanya asas-asas;
68 P. S. Xxxxxx, An Introduction to the Law of Contract, (Oxford:Clarendon Press,1981) hlm 29. Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak ..., op.cit., hlm 45.
69 Ibid, hlm 28.
70 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak ..., loc.cit.
71 Xxxxx X. Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan, (Misbruik van Omstandigheden) sebagal Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum di Belanda), (Yogyakarta :Liberty, 1999), hlm 7.
72 Ibid.
b. Asas-asas itu membentuk satu dengan lainnya suatu sistem check and balance. Asas- asas ini sering menunjuk ke arah yang berlawanan, apa yang kiranya menjadi merupakan rintangan ketentuan-ketentuan hukum. Oleh karena menunjuk ke arah yang berlawanan, maka asas-asas itu saling kekang mengekang, sehingga ada keseimbangan. Sistem pengaturan hukum perjanjian yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata memiliki karakter atau sifat sebagai hukum pelengkap (aanvullenrechts atau optional law). Dengan karakter yang demikian, orang boleh menggunakan atau tidak menggunakan ketentuan yang terdapat di dalam Buku III KUHPerdata tersebut. Di dalam perjanjian, para
pihak dapat mengatur sendiri yang menyimpang dari ketentuan Buku III KUHPerdata.
KUHPerdata mengatur adanya empat asas-asas Perjanjian yang dijadikan dasar pengaturan perjanjian, yaitu73;
a. Asas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian pada dasarnya sudah ada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak. Pengertian dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah adanya kemauan para pihak untuk saling mengikatkan diri dan kemauan para pihak untuk saling mengikatkan kepercayaan bahwa perjanjian tersebut akan dipenuhi;
b. Asas Pacta Sunt Servanda atau Kekuatan Mengikatnya Perjanjian, yaitu bahwa para pihak harus memenuhi apa yang telah diperjanjikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “Perjanjian yang dibuat harus sah menurut Undang-undang dan harus dipenuhi bagi yang membuatnya”;
c. Asas Kebebasan Berkontrak, yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak adalah adanya kebebasan seluas-luasnya yang oleh Undang-undang diberikan pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian tentang apa saja, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum. (Pasal 1338 Jo 1337 KUHPerdata);
73 Xxxxxxx Xxxxxxx , op.cit, hlm.37.
d. Asas Itikad Xxxx dan Kepatutan, asas ini menegaskan bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus didasarkan pada kejujuran untuk mencapai tujuan bersama. Pelaksanaan perjanjian juga harus mengacu pada apa yang patut dan seharusnya di ikuti dalam pergaulan masyarakat serta tidak boleh melanggar peraturan perundang- undangan (Pasal 1338 :3).
Hukum perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek perjanjian untuk melakukan perjanjian dengan beberapa pembatasan tertentu. Sehubungan dengan itu Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan:
a. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya;
b. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan undang-undang yang dinyatakan cukup untuk itu; dan
c. Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx mengajukan tiga asas perjanjian yang dapat dirinci sebagai berikut:74
a. Xxxx konsensualisme, yakni suatu persesuaian kehendak (berhubungan dengan lahirnya suatu perjanjian);
b. Asas kekuatan mengikatnya suatu perjanjian (berhubungan dengan akibat perjanjian; dan
c. Xxxx kebebasan berkontrak (berhubungan dengan isi perxxxxxxx).
Asas yang sama juga dikemukakan Xxxxxx Xxxxxxxxx. Menurut Xxxxxx xxxxx perjanjian mengenal tiga asas perjanjian yang saling kait mengkait satu dengan yang lainnya.
Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut:75
a. Xxxx konsensualisme (the principle of consensualism);
74 Ibid.
75 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Iktikad Baik ... op.cit, hlm 27.
b. Asas kekuatan mengikatnya kontrak (the legal binding of contract); dan
c. Asas kebebasan berkontrak (the principle of freedom of contract).
Berbeda dengan uraian di atas, Xxxxxxxxxxx mengajukan tiga asas perjanjian yang lain, yakni:
a. Asas otonomi, yaitu adanya kewenangan mengadakan hubungan hukum yang mereka pilih (asas kemauan bebas);
b. Asas kepercayaan, yaitu adanya kepercayaan yang ditimbulkan dari perjanjian itu, yang perlu dilindungi (asas melindungi pihak beriktikad baik); dan
c. Asas kuasa, yaitu adanya saling ketergantungan (keterikatan) bagi suatu perjanjian untuk tunduk pada ketentuan hukum (rechtsregel) yang telah ada, walaupun ada kebebasan berkontrak.
Terhadap adanya perbedaan unsur-unsur asas-asas perjanjian tersebut di atas,
Xxxxxxxxxxx memberikan penjelasan sebagai berikut:76
a. Hubungan antara kebebasan berkontrak dan asas otonomi berada dalam keadaan bahwa asas otonomi mensyaratkan adanya kebebasan mengikat perjanjian; dan
b. Perbedaannya adalah menyangkut pembenaran dari keterikatan kontraktual, asas otonomi memainkan peranan dalam pembenaran mengenai ada tidaknya keterikatan kontraktual. Suatu kekurangan dalam otonomi (tiadanya persetujuan (toesteming), misbruik omstandigheiden) digunakan sebagai dasar untuk pembenaran ketiadaan dan keterikatan kontraktual.
Menurut Xxxxx X. Xxxxxxxxx, perkembangan hukum perjanjian, misalnya dapat dilihat dari berbagai ketentuan (Nieuwe) Burgerlijk Wetboek atau BW (Baru) Xxxxxx Xxxxxxx. Perkembangan itu justru menyangkut penerapan asas-asas hukum perjanjian yang dikaitkan dengan praktik peradilan.77
76 Xxxxx X. Xxxxxxxxxx, op.cit, hlm 8.
77 Ibid, hlm 9.
2. Penjelasan Asas-Asas Perjanjian
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata, khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUHPerdata. Bahkan menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.78 Asas kebebasan berkontrak yang dianut hukum Indonesia tidak lepas kaitannya dengan Sistem Terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat perjanjian.
Dengan asas kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam Perjanjian Bernama dan isinya menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur oleh undang-undang.79
Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak sebagai berikut:80
1) kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
3) kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
4) kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
5) kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian
6) kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat pilihan (aanvullen, optional).
Asas kebebasan berkontrak ini bersifat universal, artinya berlaku juga dalam berbagai sistem hukum perjanjian di negara-negara lain dan memiliki ruang lingkup yang sama.81
78 Xxxxxxxx Xxxxxx, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, (Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1986), hlm 3.
79 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya,( Bandung:Alumni, 1993), hlm 36.
80 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op.cit, hlm 47.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengakui asas kebebasan berkontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian yang dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang-undang.
Menurut sejarahnya, Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mencerminkan tipe perjanjian pada waktu itu yang berpijak pada Revolusi Perancis, bahwa individu sebagai dasar dari semua kekuasaan. Pendapat ini menimbulkan konsekuensi, bahwa orang juga bebas untuk mengikat diri dengan orang lain, kapan dan bagaimana yang diinginkan kontrak terjadi berdasarkan kehendak yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.82 Hukum Romawi sendiri tidak mengenal adanya kebebasan berkontrak. Menurut
Hukum Romawi, untuk membuat suatu perjanjian yang sempurna tidak cukup dengan persesuaian kehendak saja, kecuali dalam empat hal, yaitu: perjanjian jual beli, sewa- menyewa, persekutuan perdata, dan memberi beban atau perintah (lastgeving). Selain keempat jenis perjanjian itu semua perjanjian harus dilakukan dengan syarat-syarat tertentu yang disebut causa civilis oligandi, yaitu untuk mencapai kesepakatan harus disertai dengan kata-kata suci (verbis) disertai dengan tulisan tertentu (literis) dan disertai pula penyerahan suatu benda (re).83
Jadi, konsensus atau persesuaian kehendak saja belum cukup untuk terjadinya perjanjian. Tetapi kemudian dalam perkembangan lebih lanjut telah terjadi dalam Hukum Kanonik dengan suatu asas, bahwa setiap perjanjian meskipun tanpa bentuk tertentu adalah mengikat para pihak, yang disokong oleh moral agama Nasrani yang menghendaki bahwa kata-kata yang telah diucapkan tetap dilaksanakan. Dengan demikian kebebasan berkontrak telah dimulai dalam hukum Kanonik.84
81 Ibid.
82 Xxxxxxxx Xxxxxx, op.cit, hlm 4.
83 Ibid.
84 Ibid.
Dalam perkembangannya, ternyata kebebasan berkontrak dapat menimbulkan ketidakadilan, karena untuk mencapai asas kebebasan berkontrak harus didasarkan pada posisi tawar (bargaining position) para pihak yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sulit (jika dikatakan tidak mungkin) dijumpai adanya kedudukan posisi tawar yang betul-betul seimbang atau sejajar. Pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi seringkali memaksakan kehendaknya. Dengan posisi yang demikian itu, ia dapat mendikte pihak lainnya untuk mengikuti kehendaknya dalam perumusan isi perjanjian. Dalam keadaan demikian, pemerintah atau negara seringkali melakukan intervensi atau pembatasan kebebasan berkontrak dengan tujuan untuk melindungi pihak yang lemah. Pembatasan tersebut dapat dilakukan melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan.
Pasal 1320 KUHPerdata sendiri sebenarnya membatasi asas kebebasan berkontrak melalui pengaturan persyaratan sahnya perjanjian yang harus memenuhi kondisi:
1) adanya persetujuan atau kata sepakat para pihak;
2) kecakapan untuk membuat perjanjian;
3) adanya objek tertentu; dan
4) ada kausa hukum yang halal.
Di negara-negara dengan sistem common law, kebebasan berkontrak juga dibatasi melalui peraturan perundang-undangan dan public policy. Hukum perjanjian Indonesia juga membatasi kebebasan berkontrak dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pembatasan ini dikaitkan dengan kausa yang halal dalam perjanjian. Berdasar Pasal 1337 KUHPerdata suatu kausa dapat menjadi terlarang apabila dilarang oleh undang- undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Selain pembatasan tersebut di atas, Ridwan Khaiarandy mencatat beberapa hal yang menyebabkan makin berkurangnya asas kebebasan berkontrak, yakni:85
85 Xxxxxx Xxxxxxxxx,Xxxxxx Xxxx ... op.cit, hlm 3.
1) Semakin berpengaruhnya ajaran iktikad baik di mana iktikad baik tidak hanya ada pada saat perjanjian dilaksanakan juga telah harus ada pada saat perjanjian dibuat; dan
2) Semakin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan dalam kontrak (misbruik van omstandigheden, undue influence).
Selain kedua hal di atas, Setiawan mencatat dua hal lagi yang dapat membatasi kebebasan berkontrak. Makin banyaknya perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku yang disodorkan pihak kreditor atas dasar take it or leave it. Di sini tidak ada kesempatan bagi debitor untuk turut serta menentukan isi perjanjian. Juga makin berkembang peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi turut membatasi kebebasan berkontrak. Peraturan yang demikian itu merupakan mandatory rules of a public nature. Peraturan-peraturan ini bahkan membuat ancaman kebatalan perjanjian di luar adanya paksaan, kesesatan, dan penipuan yang sudah dikenal dalam hukum perjanjian.86 Contoh dari peraturan perundang- undangan di bidang hukum ekonomi yang membatasi kebebasan berkontrak adalah Undang- Undang Konsumen.
b. Asas Konsensualisme
Perjanjian harus didasarkan pada konsensus atau kesepakatan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian. Dengan asas konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.87
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.88
c. Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
86 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung:Alumni, 1992), hlm 179.
87 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxx ..., op.cit, hlm 27.
88 Ibid, hlm 82.
Dasar teoritik mengikatnya kontrak bagai para pihak yang umumnya dianut di negara-negara civil law dipengaruhi oleh hukum Kanonik. Hukum Kanonik dimulai dari disiplin penitisial bahwa setiap janji itu mengikat. Dari sinilah kemudian lahir prinsip pacta sunt servanda. Menurut asas ini kesepakatan para pihak itu mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagai para pihak yang membuatnya.89
Dengan adanya janji timbul kemauan bagai para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi para pihak untuk secara bebas menentukan kehendak tersebut dengan segala akibat hukumnya. Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan kehendak masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat.90
Dengan adanya konsensus dari para pihak itu, maka kesepakatan itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.91
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
89 Ibid, hlm 28.
90 Ibid, hlm 29.
91 Ibid.
objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Xxxxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.92
e. Xxxx Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya
92xxxx://xxxxx.xxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxxxx-xxx-xxxxxxxxx-xxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx-
prinsip-hukum-kontrak-di-indonesia-475415.html Akses 26 Februari 2013.
sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.93
C. Syarat-Syarat Sahnya Kontrak
Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:
1. Adanya Kata Sepakat
Supaya kontrak menjadi sah maka para pihak harus sepakat terhadap segala hal yang terdapat di dalam perjanjian.94 Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.95
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) anta pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).96 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian. Di samping itu, kata sepakat dapat diungkapkan dalam berbagai cara, yaitu:
a. Secara lisan
b. Tertulis
c. Dengan tanda
d. Dengan simbol
e. Dengan diam-diam
2. Kecakapan untuk Membuat perikatan
93 Ibid.
94 Xxxxxxx Xxxxxxx, Indonesian Business Law, (Bandung:PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm 76.
95 J. Xxxxxx, op.cit, hlm 164.
96 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op.cit, hlm 24.
Pasal 1329 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kemudian Xxxxx 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:
a. Orang yang belum dewasa (orang yang berusia di bawah 21 tahun)
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele or conservatorship); dan
c. Perempuan yang sudah menikah
Berdasarkan pasal 330 KUHPerdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian berdasarkan pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1/1974 menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun.
Berkaitan dengan perempuan yang telah menikah, pasal 31 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa masing-masing pihak (suami atau isteri) berhak melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), suatu hal tertentu adalah hal bisa ditentukan jenisnya (determinable).97 Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).
97 Xxxxxxx Xxxxxxx, op.cit, hlm 79.
Istilah barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa.
Secara umum, suatu hal tertentu dalam kontrak dapat berupa hak, jasa, benda atau sesuatu, baik yang sudah ada ataupun belum ada, asalkan dapat ditentukan jenisnya (determinable). Perjanjian untuk menjual sebuah lukisan yang belum dilukis adalah sah. Akan tetapi, suatu kontrak dapat menjadi batal ketika batas waktu suatu kontrak telah habis dan kontrak tersebut belum terpenuhi.98
J. Satrio menyimpulkan bahwa apa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi (performance). Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya (determinable).99
KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan.100 Sebagai contohnya perjanjian untuk „panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun berikutnya‟ adalah sah.
American Restatement Contract (second) section 33 menyatakan bahwa pokok perjanjian (term) menyatakan bahwa walaupun suatu pernyataan dimaksudkan untuk dianggap sebagai penawaran, hal ini belum dapat diterima langsung menjadi perjanjian, bila pokok perjanjian itu tidak tentu.
Black Law Dictionary mendefinisikan term sebagai persyaratan, kewajiban, hak, harga, dan lain-lain yang ditetapkan dalam perjanjian dan dokumen. American Restatement Contract (second) Section 33 Sub 2 menjelaskan bahwa bila pokok perjanjian itu mencakup dasar untuk menyatakan adanya wan prestasi dan untuk memberikan ganti rugi yang layak.
4. Kausa Hukum yang Halal
98 Ibid, hlm 80.
99 J. Satrio, op.cit,…Buku II, hlm 41.
100 Pasal 1333 KUHPerdata.
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Jika objek dalam perjanjian itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah.101
Pasal 1335 Jo 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah, karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman.102
Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang jika bertentangan dengan ketertiban umum. J. Satrio memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan juga keresahan dalam masalah ketatanegaraan.103 Di dalam konteks Hukum Perdata internasional (HPI), ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum suatu negara.104
Kausa hukum yang halal di dalam sistem Common Law dikenal dengan istilah legality yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun, sampai sekarang belum ada definisi public policy yang diterima secara luas, pengadilan memutuskan bahwa suatu kontrak bertentangan
101 Xxxxxxx Xxxxxxx, op.cit, hlm 80. 102 J. Satrio, op.cit,…Buku II, hlm 109. 103 Ibid, hlm 41.
104Ridwan Xxxxxxxxx, xx.xx, Pengantar Hukum Perdata Internasional, (Yogyakarta:Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII-Gamma Media, 1999), hlm 90.
dengan public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau mengganggu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare)105
D. Itikad Baik Pra Kontrak dan Pelaksanaan Kontrak
1. Pengertian Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak Tidak Universal
Perkembangan iktikad baik dalam hukum Romawi tidak lepas kaitannya dengan evolusi hukum kontrak itu sendiri. Pada mulanya hukum Romawi hanya mengenal iudicia stricti iuris, yakni kontrak yang lahir dari perbuatan menurut hukum (negotium) yang secara ketat dan formal mengacu ke ius civile. Apabila hakim menghadapi kasus kontrak semacam itu, ia harus memutusnya sesuai dengan hukum. Hakim terikat kepada apa yang secara tegas dinyatakan dalam kontrak (express term). Berikutnya berkembang iudicia bonae fidei. Perbuatan hukum yang didasarkan iudicia bonae fidei disebut negotia bonae fidei. Konsep negotia berasal dari ius gentium yang mensyaratkan pihak-pihak yang membuat dan melaksanakan kontrak harus sesuai dengan iktikad baik.106 Dengan demikian, hukum kontrak Romawi mengenal dua macam kontrak, yakni iudicia stricti iuris dan iudicia bonae fidei. Domat dan Xxxxxxx sebagai penganut ajaran hukum alam Romawi yang mendominasi pemikiran substansi isi Code Civil Perancis tidak setuju dengan kedua pembedaan tersebut. Dia menyatakan bahwa hukum alam dan hukum kebiasaan menentukan bahwa setiap kontrak adalah bonae fidei, sebab kejujuran dan integritas harus selalu ada dalam semua kontrak yang menuntut pemenuhan kontrak harus sesuai dengan kepatutan.107
Doktrin iktikad baik dalam hukum Romawi berkembang seiring dengan diakuinya kontrak konsensual yang pada mulanya hanya meliputi kontrak jual beli, sewa-menyewa,
105 Ibid.,
106 X. xxx Xxxxxxx, An Introduction to the Principles of Xxxxx Xxx, (Cape Town :Juta and Co Ltd,
, 1976), hlm 151. Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad baik.., op.cit., hlm.132
107 Ibid., hlm.132.
persekutuan perdata, dan mandat.108 Doktrin iktikad baik berakar pada etika sosial Romawi mengenai kewajiban yang komprehensif akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warganegara maupun bukan.109
Iktikad baik dalam hukum Romawi mengacu kepada tiga bentuk perilaku para pihak dalam kontrak. Pertama, para pihak harus memegang teguh janji atau perkatannya. Kedua, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan terhadap salah satu pihak. Ketiga, para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur walaupun kewajiban itu tidak secara tegas diperjanjikan.110
Inti konsep bona fides adalah fides. Fides kemudian diperluas ke arah bona fides. Fides merupakan suatu konsep yang pada mulanya merupakan sumber yang bersifat religius, yang bermakna kepercayaan yang diberikan seseorang kepada orang lainnya, atau suatu kepercayaan atas kehormatan dan kejujuran seseorang kepada orang lain.111
Pada era Xxxxxx Xxxxxxxxx (abad keenam masehi), doktrin iktikad baik sebagai asas penting dalam hukum kontrak makin berkembang.112 Pengadilan-pengadilan di Romawi mengakui akibat hukum kontrak konsensual.113 Pertumbuhan komersial dan evolusi masyarakat menciptakan kebutuhan yang lebih praktis dan non ritualistik dalam pembuatan kontrak, dan kekuatan mengikat kontrak semata-mata didasarkan pada konsensus. Untuk melahirkan perjanjian cukup didasarkan pada kesepakatan para pihak, tanpa harus
108 Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx, “Lender Liability for Breach of Obligation of Good Faith Performance”, Xxxxx Xxx Journal, Vol 36, 1987, hlm 919. Dikutip dari Ibid., hlm.132
109 Ibid., hlm.132.
110 Xxxxx Xxxxxxx, “Good Faith in Contract Law in the Medieval Ius Commune”, Xxxxxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx, eds., good faith in European Contract Law (Cambridge:Cambridge University Press, 2000), hlm 94 Dikutip dari ibid., hlm.133.
111 Xxxx Xxxxxxxx, “Good Faith”, Tulane Law Review, Vol 71 No. 6 (January 2000), hlm 1646 – 1648. Dikutip dari ibid., hlm.133
112 Ibid., hlm.134
113 Xxxxxx Xxxxx, “Analysis of Moral Values by Case Law”, dalam Washington University Law Quarterly, Vol 65 (1987), hlm 713. Dikutip dari Ibid., hlm.134
dilaksanakan dengan ritual tertentu, atau ditentukan secara tegas dituangkan dalam bentuk tertentu.114
Kecenderungan seluruh sejarah hukum kontrak Romawi bergerak dari formalistik ke arah konsensual, dan pengakuan akan arti pentingnya iktikad baik dalam kontrak yang dikembangkan melalui diskresi pengadilan.115 Konsep iktikad baik tersebut diperluas sedemikian rupa melalui diskresi pengadilan Romawi. Diskresi tersebut membolehkan orang membuat kontrak di luar formalisme yang telah ditentukan dan mengakui ex fide bona, yakni sesuai dengan persyaratan iktikad baik. Di sini terlihat bahwa pengadilan di Romawi selain mengakui keberadaan atau kekuatan hukum kontrak konsensual, pada saat yang sama juga membebankan adanya kewajiban iktikad baik bagi para pihak.116 Jika seorang tergugat melakukan wanprestasi dalam suatu kontrak konsensual, dia langsung dapat digugat ke pengadilan oleh tergugat atas dasar melanggar kewajiban iktikad baik.117 Dalam menghadapi keadaan demikian, menurut Xxxxxx, xxxxx harus melakukan:118
“Found to be due to ex bona fides, that is to say, in accordance with the requirements of good faith; and this cast on the judge, or rather the jurists who advised him, the burden of deciding what kind what the defendant ought in good faith to have done, in other words what kind of performance the contract called for. This meant that, in contrast to the stipulation, where all the term had to be expressed, the parties would be bound not only by the terms they had actually agreed to, but by all the terms that were naturally implied in their agreement”.
Tidak seperti pengadilan Common Law yang secara tradisional memiliki kewajiban untuk menafsirkan kontrak berdasarkan isi kontrak untuk menentukan maksud para pihak, hakim dan sarjana hukum Romawi memiliki tanggung jawab untuk menentukan apakah para pihak telah bertindak sesuai dengan iktikad baik.119 Dengan demikian, para pihak tidak hanya
114 Ibid.,
115 Xxxxxxxx Xxxx Xxxxx, Law in the Making, (Oxford:Clarendon Press, 1978), hlm 395. Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad baik.., op.cit., hlm.134
116 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm.134.
117 Ibid., hlm.34.
118 X. Xxxxx Xxxxxxxxxx, “Good Faith Performance and Commercial Reasonableness under the Uniform Commercial Code”, The University of Chicago Law Review, Vol 30 (1963), hlm 669. Dikutip dari Dikutip dari ibid., hlm.134
119 Ibid.
terikat kepada isi perjanjian (term) yang secara jelas telah disepakati, tetapi juga kepada semua isi yang tersirat dalam perjanjian mereka.120
Inti hukum Romawi kontrak adalah maksim pacta sunt servanda, yang dijadikan ketentuan dasar iktikad baik. Menurut formulasi Xxxxxxxxx, pacta sunt servanda mempertahankan prinsip: “What is so suitable to the good of mankind as to observe those things which parties have agreed upon”.121
Dengan demikian, fides bermakna sebagai keyakinan akan perkataan seseorang. Bona fides diterapkan untuk memastikan isi kontrak. Kepercayaan akan perkataan seseorang merupakan prasyarat bagi suatu hubungan hukum, dan Xxxxxx menggambarkannya sebagai fundamentum iustitiae.122
Iktikad baik tersebut tidak hanya mengacu kepada iktikad baik para pihak, tetapi harus pula mengacu kepada nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, sebab iktikad baik merupakan bagian dari masyarakat. Iktikad baik ini akhirnya mencerminkan standar keadilan atau kepatutan masyarakat.123 Dengan makna yang demikian itu menjadikan standar iktikad baik sebagai suatu universal social force yang mengatur hubungan antar sosial mereka, yakni setiap warganegara harus memiliki kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap semua warga negara.124 Ini merupakan konsepsi objektif, yang secara universal diterapkan dalam semua transaksi. Hal ini sesuai dengan postulat Xxxxxx Xxxxx yang menyatakan “men must be assume that those with whom they deal in general intercourse of society will act in good faith and will carry out their undertaking according to the
120 Xxxxx Xxxxxx Erb, “The Implied Covenant of Good Faith and Fair Dealing in Alaska: One Court‟s License to Override Contractual Expectation”, dalam Alaska Law Review, Vol 11 (1994), hlm 38. Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm.135.
121 Xxxx Xxxxx, “Good Faith in International Transaction”, The Liverpool Law Review, Vol XV (2),1993, hlm 117. Dikutip dalam ibid., hlm.135.
122 Ibid.
123 Ibid., hlm.138.
124 Xxxx X. Xxxxxx, “A Contractual Study of Commercial Good faith: Good Faith Disclosure in Contract Formation”, University of Pittsburg Law Review, Vol 39 No.3, 1978, hlm 402. Dikutip dari ibid., hlm.138.
expectation of the community”.125 Dengan demikian, jika seseorang bertindak dengan iktikad baik sesuai dengan standar objektif yang didasarkan pada kebiasaan sosial, maka orang lain juga harus bertindak yang serupa terhadap dirinya.126
Di dalam hukum Kanonik, kewajiban iktikad baik menjadi suatu moral yang universal yang secara individual ditentukan oleh kejujuran dan kewajiban seseorang kepada Tuhan.127Setiap individu harus memegang teguh atau mematuhi janjinya. Para sarjana hukum Kanonik mengkaitkan iktikad baik dengan good conscience. Mereka memasukkan makna religius faith ke dalam good faith dalam pengertian hukum.128 Dengan demikian, konsep iktikad baik dalam hukum Kanonik menggunakan standar moral subjektif yang didasarkan pada kejujuran individual.129 Konsep ini jelas berlainan dengan konsep iktikad baik dalam hukum Romawi yang memandang iktikad baik sebagai suatu universal social force.
Asas iktikad baik ini muncul kembali pada komunitas pedagang (mercantile community) sepanjang abad ketujuh hingga keduabelas.130 Selain dipengaruhi oleh aspek religius, perkembangan iktikad baik juga dipengaruhi pertumbuhan komunitas pedagang pada abad duabelas yang memerlukan iktikad baik di dalam hubungan diantara mereka. Ini berkaitan dengan iktikad baik dalam hubungan komersial yang diserap hukum merkantil (lex mercatoria) Eropa pada abad sebelas dan duabelas. Pada waktu itu kelompok pedagang itu memerlukan seperangkat hukum merkantil baru yang dikembangkan untuk kebutuhan mereka. Hukum merkantil yang berkembang saat itu tidak hanya mengatur jual beli barang, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain dalam transaksi komersial, seperti pengangkutan, asuransi, dan pembiayaan.131
125 Xxxxxx Xxxxx, An Introduction to the Philosophy of Law (New Brunswick: Transaction Publisher, 1999), hlm 237 – 238. Dikutip dari ibid., hlm.38
126 Ibid.,hlm.148.
127 Ibid.
128 Ibid.
129 Ibid.
130 Ibid.
131 Ibid.,hlm.149
Untuk memfasilitasi pertumbuhan sektor komersial tersebut, pedagang Eropa tersebut meminta penekanan adanya suatu fokus baru bagi hak yang bersifat timbal balik. Fokus resiprositas ini yang diinginkan adalah adanya suatu transaksi komersial yang fairly exchange diantara para pihak yang dimanifestasikan oleh pembagian keuntungan dan tanggung jawab yang seimbang.132 Prinsip resiprositas menjadi jantung atau inti hukum merkantil pada abad sebelas dan duabelas.133 Resiprositas sendiri dipahami dalam makna saling memberi dan menerima (take and give) dalam seluruh transaksi komersial yang mencakup seluruh keuntungan dan tanggung jawab para pihak. Penjual melepaskan barang dan pembeli melepaskan uangnya. Kreditor menyerahkan dana dan debitor terikat untuk membayar pinjaman ditambah dengan bunga. Pengangkut memiliki kewajiban untuk mengangkut barang dan pengirim barang wajib membayar biaya angkutannya. Pada waktu itu fairness of exchange dimasukkan ke dalam iktikad baik. Prinsip resiprositas diletakkan sebagai dasar iktikad baik dalam kontrak.
Prinsip iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak didasarkan pada ide bahwa para pihak dalam suatu hubungan hukum harus memiliki sikap yang dikaitkan dengan karakter reciprocal trust dan consideration sesuai dengan tujuan norma hukum. Unsur moral dan postulat masyarakat masuk ke dalam konsep iktikad baik sebagai basis bagi suatu tindakan yang mensyaratkan adanya penghormatan tujuan hukum.134
Prinsip iktikad baik di negara-negara Civil Law banyak dipengaruhi tradisi hukum Romawi dan Kanonik. Namun demikian, perumusan kewajiban iktikad baik sangat berbeda antara negara yang satu dengan lainnya.
Pasal 242 BGB Jerman menentukan, “Der Schuldner ist verplictet, die leistung so zu bewirken, wis True und Glauben mit Ructsicht auf die Verkehssite es erfoden.” Jika
132 Ibid.,hlm.148
133 Ibid.,hlm.148.
134 Xxxxxxx Xxxxxx, “Good Faith and Equity in Swiss Law”, Xxxxx Xxxxxx, ed, Equity in the World’s Legal System (Brussels:Establishment Xxxxx Xxxxxxxx, 1973), hlm 310, Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad baik.., op.cit., hlm.152.
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, ketentuan ini berbunyi, “the debtor is bound to effect performance according to requirement of good faith, common habits being dully taken into consideration.” 135
Dari ketentuan tersebut terlihat jelas bahwa pembentuk undang-undang berkehendak mempertahankan prinsip lama hukum Romawi di mana debitor harus melaksanakan perikatannya, terutama yang lahir dari kontrak sesuai dengan iktikad baik.136 Iktikad baik di dalam sistem hukum kontrak Jerman selain diatur dalam Pasal 242 BGB tersebut juga diatur dalam Pasal 157 BGB. Pasal 157 BGB tersebut menentukan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan iktikad baik.
Hukum yang didasarkan pada yurisprudensi pengadilan Jerman ternyata memberikan penafsiran yang berbeda. Mereka menjadikan iktikad baik sebagai prinsip umum yang diterapkan dalam seluruh spektrum hukum perdata. Pada tahun 1914, Mahkamah Xxxxx Xxxxxx (Reichtsgerecht) menyatakan:137 “the system of Civil Code is permeated by the bona fide principle (True und Glauben)... principle that all fraudulent behavior must be repressed.”
Pencantuman kewajiban iktikad baik di dalam kontrak yang diatur di Pasal 1134 ayat (3) Civil Code Perancis yang menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi). Makna umum iktikad baik di sini mengacu kepada standar perilaku yang reasonable yang tidak lain bermakna bahwa orang harus mematuhi janji atau perkataannya dalam segala keadaan. Domat yang memformulasikan Pasal 1134 ayat (3) tersebut, dengan menterjemahkan prinsip iktikad baik tersebut dari pandangan Jansenist-nya yang menyatakan bahwa manusia, sebagai orang yang penuh dosa hanya mampu menerima divine grace dengan melaksanakan janjinya bagaimana pun juga. Pandangan yang bersifat moral ini juga dihubungkan dengan kecenderungan
135 Ibid., hlm.153.
136 Ibid.
137 Ibid.
tertentu dan kebutuhan masyarakat, which avid for security a century of civil and religious wars. Ajaran perilaku yang reasonable terus berlanjut dan diimplementasikan dalam situasi normal di mana seseorang harus memenuhi janji atau perkataannya.138
Pengaturan yang serupa juga terdapat di dalam Pasal 1374 ayat (3) Burgerlijk Wetboek (lama) Belanda yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Menurut P.L. Wery, makna pelaksanaan iktikad baik (uitvoering te goeder trouw) dalam Pasal 1374 ayat (3) di atas masih tetap sama dengan makna bona fides dalam hukum Romawi beberapa abad lalu. Iktikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain, tidak hanya melihat kepentingan diri sendiri saja, tetapi juga kepentingan pihak lainnya.139
Seperti halnya Civil Code Perancis, BW (lama) Belanda juga tidak memberikan pengertian atau definisi iktikad baik. Hoge Raad menafsirkan dan memperluas ketentuan iktikad baik tersebut. Hoge Raad dalam putusannya dalam Hengsten Vereniging v. Onderlinge Paarden en Vee Assurantie (Artist De Laboureur Arrest), 9 Februari 1923, NJ 1923, 676, menyatakan bahwa dalam menafsirkan ketentuan kontrak dilaksanakan dengan iktikad baik bermakna bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid.140
Redelijk adalah reasonable atau sesuai dengan akal sehat. Billijkheid adalah patut. Makna yang pertama berhubungan dengan penalaran, dan makna yang kedua berkaitan
138 Xxxxxxx Xxxxxx, “The Binding Character of Contracts – Xxxxx and Consideration”, Xxxxxx Xxxxxxxx, xx.xx., eds., Toward a European Civil Code (Nijmegen:Ars Aequi Libri, 1998), hlm 249.
139 P.L. Wery, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Nederland, (Jakarta:Percetakan Negara, 1990), hlm 9.
140 Ibid.
dengan perasaan.141 Rumusan redelijkheid en billijkheid meliputi semua hal yang ditangkap dengan akal pikiran (intelek) dan perasaan.
Doktrin ini bermakna bahwa tingkah laku para pihak dalam melaksanakan perjanjian harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis. Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) di atas menunjuk kepada norma-norma hukum tidak tertulis, karena petunjuk itu, ia menjadi norma-norma hukum tidak tertulis. Norma-norma tersebut tidak hanya mengacu kepada anggapan para pihak saja, tetapi harus mengacu kepada tingkah laku yang sesuai dengan pandangan umum tentang iktikad baik tersebut.142
Produk legislatif terbaru yang berkaitan dengan iktikad baik ini terdapat di dalam Pasal 6.248.1 BW Baru Belanda. Menurut Hartkamp, pembentuk undang-undang telah membedakan iktikad baik dalam makna ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing dari iktikad baik dalam makna honesty in fact. Untuk mencegah kemungkinan timbulnya kebingungan, pembentuk undang-undang Belanda menggunakan istilah iktikad baik dalam makna yang pertama saja di mana iktikad baik kemudian dikarakteristikkan sebagai reasonableness (redelijkheid) dan equity (billijkheid).143
Ketentuan tersebut menentukan bahwa para pihak dalam perikatan mengikatkan dirinya atau dengan lainnya sebagai debitur dan kreditur sesuai dengan redelijkheid en billijkheid. Dari keterikatan tersebut (yang juga mengatur perikatan yang lahir dari kontrak), para pihak dalam kontrak tidak hanya terikat pada apa yang mereka sepakati saja, tetapi juga kepada redelijkheid en billijkheid.144
141 Setiawan, “Menurunnya Supremasi Azaz Kebebasan Berkontrak”, Newsletter No. 15/IV/Desember/1993, hlm 2.
142 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm.157.
143 Xxxxxx X. Hartkamp, “Judicial Discretion under the New Civil Code of the Netherlands”,
American Journal of Comparative Law, Vol 40 (1992), hlm 554-555 Dikutip dari ibid., hlm.158.
144 The Netherlands Ministry of Justice, The Netherlands Civil Code, Book 6, The Law of Obligation, Draft and Commentary (Leyden: Xxxxxxxx, 1977), hlm 566. Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Makna, Tolok Ukur, Pemahaman, dan Sikap Pengadilan di Indonesia terhadap Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak (tidak dipublikasikan) 2013.
Ketentuan yang dalam Pasal 6.248.1 BW (baru) di atas sebenarnya hanya menguatkan atau menuangkan norma-norma iktikad baik yang dibangun pengadilan melalui serangkaian yurisprudensi yang mereka buat.
2. Tolok Ukur Iktikad Baik dalam Pelaksanaan Kontrak
Civil Code Perancis merupakan kitab undang-undang pada era modern yang pertama kali mengatur iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak. Pasal 1134 ayat (3) Civil Code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi). Isi pasal ini mengacu kepada konteks iktikad baik (bonna foi) sebagai suatu sikap di mana para pihak diharapkan melaksanakan kontrak mereka. Dengan ketentuan ini, berarti hukum Perancis menolak pembedaan antara stricti iuris dan negotia bona fides dalam hukum Romawi. Dengan penolakan yang demikian, maka pasal 1135 Civil Code Perancis mewajibkan keterikatan para pihak untuk tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka perjanjikan, tetapi juga kepada kepatutan (equite), kebiasaan, atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakikat (nature) kontrak mereka itu.
Kedua pasal itu diadopsi oleh BW (lama) Belanda. Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) Belanda (Pasal 1338 KUHPerdata Indonesia) menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan iktikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer verklaart). Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1375 (Pasal 1339 KUHPerdata Indonesia) yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat kontrak, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang. Berkaitan dengan kebiasaan, Pasal 1383 BW (lama) Belanda (Pasal 1374 KUHPerdata Indonesia) menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas diperjanjikan
Dari ketentuan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa urutan kekuatan mengikatnya kontrak adalah sebagai berikut:
a. isi kontrak itu sendiri;
b. kepatutan atau iktikad baik;
c. kebiasaan;
d. dan undang-undang.
Dalam BGB, permasalahan perilaku kontraktual yang diharapkan dari para pihak dalam pelaksanaan kontrak terdapat dalam Pasal 242 BGB. Pasal tersebut menentukan: “Der Schuldner ist verplichtet, die Leistung so zu bewirken, wis Treu und Glauben mit Ruchtsicht aud die Verkehssitte es erforden”. Di sini terlihat bahwa untuk menyebut iktikad baik dalam kontrak, BGB menggunakan terminologi lain, yakni Treu und Glauben. Istilah bona fides digantikan Treu und Glauben, sehingga memberikan ekspresi yang lebih Jermanik. Penggantian istilah tersebut didasarkan pada alasan ketika BGB dirancang dihubungkan dengan great respect for then prevailing nationalistic feeling, which led to the abandonment of expression of Roman origin.145
Sumber utama “legislasi” yang berkaitan dengan iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam hukum kontrak Amerika Serikat ditemukan dalam UCC. UCC ini telah diterima atau diadopsi oleh hukum (legislasi) negara-negara bagian, dan diterima pula oleh pengadilan. Selain terdapat dalam UCC, pengaturan iktikad baik tersebut ditemukan dalam the Restatement of Contract (second). Khusus untuk negara bagian Louisiana, legislasi kewajiban iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak yang terdapat dalam the Louisiana Civil Code. Pengaturan kewajiban iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak dalam Louisiana Civil Code tersebut mengikuti isi Pasal 1134 ayat (3) dan 1135 Civil Code Perancis.
145Ibid, hlm.16
Ketentuan-ketentuan di atas mewajibkan adanya iktikad baik sebagai suatu perilaku kontraktual yang diharapkan para pihak dalam pelaksanaan kontrak. Walaupun ada kewajiban umum iktikad baik, tetapi semua ketentuan tersebut tidak menyebutkan atau menentukan standar atau tes apa yang harus digunakan untuk menilai iktikad baik tersebut. Sehingga penggunaan standar tersebut lebih banyak didasarkan kepada sikap pengadilan dan doktrin-doktrin yang dikembangkan para pakar hukum.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa dalam beberapa sistem hukum kontrak, seperti hukum kontrak Jerman dan hukum kontrak Belanda, iktikad baik dibedakan antara iktikad baik subjektif dan iktikad baik objektif.
Standar atau tes bagi iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak tentunya adalah standar objektif. Dalam hukum kontrak, pengertian bertindak sesuai dengan iktikad baik mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing, yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Ini benar-benar standar objektif. Jika satu pihak tidak boleh bertindak dengan cara tidak masuk akal dan tidak patut will not be a good defense to say that honestly believed his conduct to be reasonable and inequitable.146
Iktikad baik subjektif (subjectieve goede trouw) dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Di sini ditemukan istilah pemegang yang beriktikad baik atau pembeli barang yang beriktikad baik dan sebagainya sebagai lawan dari orang-orang yang beriktikad buruk. Seorang pembeli yang beriktikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa ia membeli barang dari orang yang bukan pemiliknya. Ia adalah seorang pembeli yang jujur. Dalam hukum benda, iktikad baik diartikan sebagai kejujuran. Pembeli yang beriktikad baik adalah orang yang jujur yang mengetahui adanya
146 Ibid., hlm.17.
cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu. Artinya cacat mengenai asal usulnya. Dalam hal ini, iktikad baik merupakan suatu elemen subjektif.147 Iktikad baik yang subjektif ini berkaitan dengan sikap batin atau kejiwaan (psychische gestelheid), yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak iktikad baik.
Iktikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada iktikad baik yang objektif. Standar yang digunakan dalam iktikad baik objektif adalah standar yang objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif.148 Perilaku para pihak dalam kontrak harus diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat. Ketentuan iktikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri, tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang iktikad baik tersebut.149
Standar tersebut sesungguhnya mengacu kepada standar yang berlaku dalam hukum Romawi. Dalam hukum Romawi, iktikad baik merupakan suatu norma sosial universal yang mengatur social inter relationships, yakni setiap warga negara memiliki suatu kewajiban untuk bertindak dengan iktikad baik terhadap seluruh warga negara. Ini merupakan konsep objektif yang secara universal diterapkan terhadap seluruh transaksi. Xxx yang sesuai dengan yang dikatakan oleh Xxxxxx Xxxxx yang menyatakan suatu postulat: “Men must be able to assume that those with whom they deal in the general intercourse of society will act in good faith”. Dengan demikian, kalau seorang seseorang bertindak dengan iktikad baik menurut suatu standar objektif iktikad baik yang didasarkan pada customary social expectation, kemudian orang yang lain akan bertindak yang sama kepada dirinya. Hal ini berlainan dengan
147 Subekti,op.cit., hlm 41.
148 Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxxx, De Redelijkheid en Billijkheid in het Europease Privaatrecht, (Deventer:Kluwer, 1999), hlm 28.Dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, Makna ..., ibid,hlm.18.
149 Ibid.
konsep iktikad baik yang dianut hukum Kanonik yang lebih meletakkan iktikad baik sebagai suatu norma moral yang universal daripada sebagai suatu norma sosial. Dengan pendekatan yang demikian itu, maka makna kontekstual iktikad baik ditentukan oleh setiap individu karena, lest one breach a duty to God by failing or refusing to keep’s promise, penting untuk bertindak dengan cara yang masuk akal atau rasional (reasonable) terhadap yang lain. Ini merupakan konsep itikad baik subjektif yang mengacu kepada suatu standar moral subjektif karena ia didasarkan pada kejujuran individu (individual honesty).150
E. Pengertian Kartu Kredit Pihak-pihak yang Terkait dalam Penerbitan Kartu Kredit
1. Pengertian dan Pihak-Pihak yang Terkait dengan Penerbitan Kartu Kredit
Kartu kredit mulai dikenal sekitar tahun 1920 di Amerika Serikat yang pada saat itu kartu kredit hanya dapat dipergunakan untuk berbelanja di toko yang menerbitkan.151 Namun seiring dengan perkembangan zaman, kartu kredit memiliki fungsi yang dapat mengakomodasi kebutuhan manusia dengan berbagai fasilitas tambahannya. Ada dua macam jenis kartu kredit yaitu kartu kredit yang diterbitkan oleh lembaga keuangan non-bank dan kartu kredit yang diterbitkan oleh bank. Kartu kredit pertama yang diterbitkan oleh lembaga keuangan non-bank di Indonesia adalah American Express dan Dinners Club, sedangkan kartu kredit pertama yang diterbitkan oleh bank adalah Visa dan Master Card yang diterbitkan oleh Bank BCA.
Di dalam proses penerbitan dan penggunaan kartu kredit terdapat beberapa pihak yang terlibat, adapun pihak-pihak tersebut adalah :
a. Pihak Penerbit (issuer)
Pihak penerbit adalah bank atau lembaga keuangan lain selain bank yang membuat rekening dan mengeluarkan kartu pembayaran bagi cardholder. Pihak penerbit menjamin pembayaran untuk transaksi yang terotorisasi menggunakan kartu pembayaran yang
150 Ibid, hlm 19
151 xxxx://xxxxxxxx.xxx/xxxxxxx-xxxxx-xxxxxx/ Akses 10 November 2012.
dikeluarkannya, sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan oleh pemegang merek kartu dan pemerintah setempat.152
b. Pihak Pengelola (acquirer)
Acquirer adalah bank atau lembaga keuangan selain bank yang melakukan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat berupa:153
1) Financial acquirer, yaitu acquirer yang melakukan pembayaran terlebih dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit;
2) Technical acquirer, yaitu acquirer yang menyediakan saran yang diperlukan dalam pemrosesan alat pembayaran dengan menggunakan kartu;
c. Pihak Pemegang Kartu Kredit (cardholder)
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi pemegang kartu kredit, yaitu :
1) Adanya penghasilan yang jumlahnya cukup disesuaikan dengan pagu kredit yang diajukan;
2) Adanya kontinuitas penghasilan;
3) Adanya intensitas atau niat baik dalam pengajuan kartu kredit
d. Pihak Pemegang barang dan/ atau jasa (merchant)
Merchant adalah pedagang barang dan/ atau jasa yang telah bekerja sama dengan
issuer dan acquirer untuk menerima alat pembayaran dengan menggunakan kartu kredit.
2. Tahap-tahap Penerbitan Kartu Kredit
Di dalam proses permohonan dan penerbitan kartu kredit ada beberapa tahapan yang harus dilalui, yaitu154:
a. Dari segi pemegang kartu kredit
152 Xxxxxxxxxxx, xx.xx., xx.xxx., hlm 16.
153 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 14.
154 Xxxxxxx Xxxxxxxx,Xxxxx Xxxxxx..., op.cit., hlm. 20-21.
Dalam proses pengajuan permohonan penerbitan kartu kredit, nasabah wajib memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum di dalam formulir aplikasi. Persyaratan- persyaratan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Data pribadi
Dicantumkan nama pribadi secara lengkap sesuai dengan identitas pemohon (KTP,Paspor), nomor identitas, kewarganegaraan, tanggal lahir, alamat lengkap pemohon dan status kepemilikannya, serta pendidikan terakhir pemohon;
2) Data pekerjaan
Yang dimaksud dengan pekerjaan dapat berwiraswasta atau pegawai swasta atau kalangan profesional tertentu. Disebutkan nama perusahaannya, bidang usaha, lamanya berusaha, jabatan dan departemen, lamanya bekerja, alamat kantor, kota, dan jumlah karyawan. Dokumen-dokumen yang perlu dilengkapi bagi wiraswasta adalah seluruh data perusahaan yang mendukung beserta perijinannya, sedangkan bagi pegawai swasta atau kalangan profesi lain dapat berupa surat keterangan penghasilan dari lembaga dimana yang bersangkutan bertugas;
3) Data penghasilan dan referensi Bank
Penghasilan pemohon dihitung besarnya per tahun dari penghasilan pokok dan penghasilan tambahan. Aktivitas pemohon dalam menatabukukan penghasilan yang diperolehnya pada lembaga keuangan bank dan bukan bank disertai dokumen-dokumen rekening koran, tabungan, deposito, atau pendukung lainnya;
4) Data lainnya
Merupakan data pendukung sesuai dengan masing-masing pemohon. Misalnya pemohon telah berkeluarga, akan dimintakan keterangan tentang suami/isteri, perusahaan atau pekerjaannya, dilengkapi dengan domisili lembaga yang dimaksud. Selain itu data lainnya berupa rekening untuk pendebetan transaksi;
5) Data kartu tambahan
Diisi bagi pemohon yang melengkapi dengan kartu tambahan. Untuk kartu tambahan dimintakan dokumen-dokumen pribadi yang dipersyaratkan;
6) Persyaratan pemohon
Umumnya dalam setiap aplikasi, terdapat pernyataan dari pemohon tentang kebenaran dari informasi yang diberikan kepada bank penerbit, dokumen yang diserahkan, menerima alasan-alasan terhadap penolakan aplikasi penerbitan kartu kredit dan kesediaan untuk terikat dalam persyaratan-persyaratan dan ketentuan-ketentuan yang terikat dalam perjanjian kartu kredit;
b. Dari segi penerbit
Permohonan kartu kredit yang diajukan oleh nasabah kemudian akan diproses dengan memperhatikan segi keamanan, antara lain :
1) Memeriksa keaslian KTP/Paspor
2) Melakukan cross checking (rating) kepada penerbit lain apabila pemohon mempunyai kartu kredit lain;
3) Melakukan penelitian dalam daftar hitam Bank Indonesia atau Asosiasi Kartu Kredit Indonesia;
4) Bila diperlukan penerbit akan melakukan penyelidikan lapangan;
5) Meneliti data rekening atau tabungan dan keterangan gaji yang ada untuk menetapkan apakah pemohon layak diberikan kartu kredit.
Setelah pemeriksaan tersebut di atas selesai dilaksanakan, selanjutnya penerbit akan menentukan apakah permohonan pemohon untuk mendapatkan kartu kredit disetujui atau tidak disetujui. Apabila disetujui, maka langkah selanjutnya adalah155
155 Xxxx Xxxxxxx, Hukum Surat Berharga dan Perkembangannya Di Indonesia,(Jakarta: PT. Prehallindo, 2002), Hal. 226.
1) Bagian analisa kartu kredit akan mengirimkan data calon pemegang kartu kredit ke bagian data entry untuk dilakukan pemasukan data ke dalam database bank;
2) Dilakukan pengecekan silang terhadap data yang dimasukkan dengan formulir permohonan calon pemegang kartu kredit;
3) Selanjutnya bagian pencetakan kartu mencetak kartu kredit sesuai dengan daftar permintaan pencetakan (bila terjadi kesalahan cetak, kartu tersebut akan dimusnahkan dengan suatu berita acara pemusnahan);
4) Kartu yang sudah dicetak disimpan pada tempat penyimpanan khusus dan tercatat yang selanjutnya dikirimkan ke bagian pengiriman kartu;
5) Bagian pengiriman akan mengirimkan kartu kepada pemegang kartu kredit melalui kurir yang ditunjuk dengan suatu perjanjian khusus, pihak kurir akan memberikan bukti penerimaan kartu kepada bagian pengiriman (bank) setelah kartu diterima oleh pemegang kartu kredit. Apabila dalan jangka waktu tertentu kartu tidak disampaikan kepada pemegang kartu kredit, kartu tersebut akan dikembalikan ke bank untuk disimpan dan selanjutnya pihak bank akan mengirimkan pemberitahuan kepada pemegang kartu kredit untuk mengambil kertu tersebut di kantor penerbit.
3. Hak dan kewajiban Pihak-Pihak dalam Penerbitan Kartu Kredit
Dengan adanya perjanjian penerbitan kartu kredit, maka dengan demikian timbul hak dan kewajiban dari masing-masing pihak yang terlibat di dalam proses penerbitan dan penggunaan kartu kredit tersebut. Adapun hak dan kewajiban tersebut adalah sebagai berikut
:156
e. Hak dan Kewajiban Antara Penerbit dan Pemegang Kartu Kredit
Hak dan kewajiban antara penerbit dan pemegang kartu kredit tercantum di dalam perjanjian antara keduanya yang telah ditetapkan oleh penerbit.
156 Ibid., hlm.29-32.
1) Hak penerbit
a) Memperoleh iuran tahunan;
b) Memperoleh pembayaran transaksi yang telah dilakukan pemegang kartu kredit termasuk bunga keterlambatan;
c) Membatalkan atau memperpanjang keanggotaan pemegang kartu kredit;
d) Menarik kembali kartu kredit yang ada pada pemegang kartu kredit;
e) Mencantumkan nomor kartu kredit yang telah dibatalkan oleh penerbit atau atas permintaan pemegang kartu kredit ke dalam daftar hitam;
f) Menolak transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit bila :
(1) Pemegang kartu kredit belum memenuhi kewajibannya kepada penerbit;
(2) Transaksi tersebut diragukan oleh penerbit.
2) Kewajiban Penerbit
a) Membayar segala transaksi pemegang kartu kredit yang telah disetujui oleh penerbit kepada pedagang melalui pengelola;
b) Memberikan pelayanan dan informasi kepada pemegang kartu kredit;
c) Menyampaikan tagihan bulanan kepada pemegang kartu kredit.
3) Hak Pemegang Kartu Kredit
a) Berbelanja di pedagang yang telah ditunjuk oleh penerbit dengan menggunakan kartu kredit;
b) Mengambil uang tunai di bank dengan batasan jumlah tertentu;
c) Memperoleh kartu pengganti baik atas kartu yang telah hilang maupun kadaluarsa;
d) Menolak memperpanjang keanggotaan dengan memberitahukan secara tertulis kepada bank.
4) Kewajiban Pemegang Kartu Kredit
a) Melaporkan kepada penerbit pada kesempatan pertama apabila kartu kredit pemegang hilang atau dicuri disertai dengan laporan polisi;
b) Membayar dan melunasi segala kewajiban kepada penerbit yang terdiri dari iuran tahunan dan segala bunga dan biaya keterlambatan;
c) Melaporkan setiap perubahan data pribadi pemegang kartu kredit.
f. Hak dan Kewajiban Antara Pengelola dan Pedagang
1) Hak Pengelola
a) Menerima discount rate;
b) Menerima atau menunda pembayaran atas transaksi yang diragukan walaupun sudah mendapat otorisasi;
c) Memutuskan perjanjian kerja sama secara sepihak dengan memberitahukan secara tertulis.
2) Kewajiban Pengelola
a) Memberikan daftar hitam secara berkala kepada merchant yang berisi nomor kartu kredit yang telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi;
b) Melakukan pembayaran atas transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit;
c) Meminjamkan peralatan pendukung untuk melakukan transaksi.
3) Hak Pedagang
a) Menerima pembayaran atas transaksi yang telah dilakukan oleh pemegang kartu kredit yang telah memperoleh xxxxxxxxx;
b) Menerima daftar hitam secara berkala yang berisi atau memuat nomor-nomor kartu kredit yang telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi;
c) Memutuskan perjanjian kerja sama dengan pemeritahuan secara tertulis.
4) Kewajiban pedagang
a) Mengambil dan menyerahkan kartu kredit yang digunakan untuk melakukan transaksi di tokonya apabila kartu kredit tersebut :
(1)Tercantum dalam daftar hitam; (2)Diminta oleh pengelola;
b) Meneliti keabsahan kartu kredit yang terdiri dari :
(1) Masa berlaku;
(2) Tanda tangan;
(3) Keutuhan kartu kredit;
(4) Keaslian kartu kredit
c) Meminta otorisasi kepada penerbit melalui pengelola bila transaksi melebihi batas kewenangan transaksi;
d) Memberikan discount rate kepada pengelola sesuai dengan yang telah ditetapkan;
e) Tidak meminjamkan dan memindahtangankan kepada pedagang lain semua peralatan yang dipinjamkan pengelola kepada pedagang;
f) Menjaga kerahasiaan data pemegang kartu kredit bila pernah berbelanja di tempat pedagang untuk tidak diberikan kepada pihak yang tidak berkepentingan.
c. Hak dan Kewajiban Antara Pemegang Kartu Kredit dan Pedagang
Hak dan kewajiban antara pemegang kartu kredit dan pedagang tidak dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis, karena hal tersebut sebenarnya telah tercantum dalam perjanjian antara pedagang dengan penerbit dan antara penerbit dengan pengelola.
4. Proses Transaksi dan Pembayaran dengan Sistem Kartu Kredit
Ada empat pihak yang berkaitan dengan proses transaksi dan sistem pembayaran kartu kredit, adapun pihak-pihak tersebut adalah :
a. Pihak Penerbit (issuer)
Pihak penerbit adalah bank atau lembaga keuangan lain selain bank yang membuat rekening dan mengeluarkan kartu pembayaran bagi cardholder. Pihak penerbit menjamin pembayaran untuk transaksi yang terotorisasi menggunakan kartu pembayaran yang dikeluarkannya, sesuai dengan regulasi yang dikeluarkan oleh pemegang merek kartu dan pemerintah setempat.157
b. Pihak Pengelola (acquirer)
Acquirer adalah bank atau lembaga keuangan selain bank yang melakukan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat berupa:158
1) Financial acquirer, yaitu acquirer yang melakukan pembayaran terlebih dahulu atas transaksi yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit;
2) Technical acquirer, yaitu acquirer yang menyediakan saran yang diperlukan dalam pemrosesan alat pembayaran dengan menggunakan kartu;
c. Pihak Pemegang Kartu Kredit (cardholder)
157 Xxxxxxxxxxx,op.cit., hlm 16.
158 UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Pasal 1 ayat 14.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar seseorang dapat menjadi pemegang kartu kredit, yaitu :
1) Adanya penghasilan yang jumlahnya cukup disesuaikan dengan pagu kredit yang diajukan;
2) Adanya kontinuitas penghasilan;
3) Adanya intensitas atau niat baik dalam pengajuan kartu kredit
d. Pihak Pemegang barang dan/ atau jasa (merchant)
Merchant adalah pedagang barang dan/ atau jasa yang telah bekerja sama dengan
issuer dan acquirer untuk menerima alat pembayaran dengan menggunakan kartu kredit.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Kartu Kredit adalah Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK) yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan/atau untuk melakukan penarikan tunai, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu yang disepakati baik dengan pelunasan secara sekaligus (charge card) ataupun dengan pembayaran secara angsuran.159
Nasabahnya akan dikenai iuran tahunan yang besarnya ditetapkan oleh pihak bank. Berbeda dengan charge card, dana yang bisa nasabah pergunakan baik untuk menarik uang tunai maupun berbelanja terbatas pada plafon pagu kredit yang disetujui. Kelebihan dari kartu kredit ini, nasabah tidak harus membayar penuh jumlah tagihan yang jatuh tempo. Nasabah boleh mengangsur atau menyicil dengan jumlah minimal tertentu, sisanya termasuk bunga akan ditagihkan kepada nasabah pada bulan berikutnya. Bentuk kemudahan seperti inilah yang membuat kartu kredit sangat digemari oleh masyarakat.
159 Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Perubahan Peraturan Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu .
Sistem kerja kartu kredit mulai dari adanya permohonan penerbitan kartu, transaksi pembelanjaan sampai pada penagihan yang dilakukan oleh lembaga pembayar dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Nasabah mengajukan permohonan sebagai pemegang kartu dengan memenuhi segala peraturan yang telah dibuat;
b. Bank atau lembaga pembiayaan non bank akan menerbitkan kartu apabila “disetujui‟ setelah melalui penelitian terhadap kredibilitas dan kapabilitas calon nasabah, untuk kemudian diserahkan kepada nasabah;
c. Dengan kartu yang sudah disetujui pemegang kartu berbelanja di suatu tempat dengan bukti pembayarannya.160
Setelah menerima kartu kredit, pemegang kartu kredit cukup menandatangani sales draft yang telah disediakan merchant oleh bank penerbit kartu kredit. Sales draft tersebut selanjutnya merupakan alat bukti penagihan bagi para pedagang pada bank penerbit kartu kredit dalam hal ini berfungsi pula sebagai agen pembayaran (paying agent). Atas dasar tagihan itu bank menagih dan memperhitungkan dengan pemegang kartu kredit.161
hlm.275
160 Kasmir, op.cit., hlm.340.
161 Xxxxxx X.Xxxxxxxxxxx, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya (Jakarta:Salemba Empat, 2011),
BAB III
ITIKAD BAIK PRA KONTRAK DALAM PERJANJIAN ANTARA BANK DENGAN CARDHOLDER UNTUK PENERBITAN KARTU KREDIT
A. Penerapan Itikad Baik Prakontrak dalam Perjanjian antara Bank Penerbit Kartu Kredit dengan Cardholder dalam Penerbitan Kartu Kredit
Itikad baik dalam sebuah penjanjian harus ada sejak perjanjian baru akan disepakati, artinya itikad baik ada pada saat negosiasi pra kesepakatan perjanjian, Xxxxxx Xxxxxxxxx menyatakan bahwa162: " Itikad baik sudah harus ada sejak fase pra kontrak dimana para pihak mulai melakukan negosiasi hingga mencapai kesepakatan dan fase pelaksanaan kontrak".
Itikad baik juga tidak luput dari unsur-unsur kepatutan dan kebiasaan serta undang- undang. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepautan, kebiasaan, atau undang- undang.163
Itikad baik dalam masa pra kontrak sebenarnya mengacu kepada ada tidaknya kejujuran atau niatan yang baik dari para pihak yang hendak melakukan perjanjian. Tolok ukur untuk menentukan ada tidaknya kejujuran dalam proses pra kontrak adalah adanya prinsip kehati-hatian dalam berkontrak. 164 Prinsip kehati-hatian dalam berkontrak ini memiliki dua implikasi bagi para pihak yang hendak melakukan perjanjian :
1. Duty to disclose yaitu kewajiban untuk menjelaskan secara rinci mengenai objek perjanjian termasuk dengan akibat-akibat hukum yang akan timbu8l6 dari adanya perjanjian tersebut.
162 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Iktikad Baik... , op.cit.hlm.190.
163 Xxxx Xxxxx Hernoko,Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.136.
164 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit.,
2. Duty to search yaitu kewajiban untuk membaca, meneliti, serta mempelajari secara rinci perjanjian yang akan disepakati para pihak termasuk menanyakan kepada pihak lain apabila ada poin-poin dari perjanjian yang tidak dipahami baik secara gramatikal, harafiah, maupun pemaknaan.
Penerapan asas kehati-hatian pra kontrak adalah pelaksanaan kewajiban masing- masing pihak yaitu duty to search dan duty to disclose. Di mana salah satu pihak terutama pembuat draft perjanjian wajib untuk menerangkan secara rinci tentang isi dari perjanjian, akibat-akibat hukum, hak dan kewajiban para pihak setelah pelaksanaan perjanjian dan masa berlaku perjanjian. Pihak yang lain berkewajiban untuk membaca perjanjian dengan seksama dan meneliti aspek-aspek yang berkaitan dengan obyek perjanjian beserta akibat hukumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari pelaksanaan asas kehati-hatian dalam berkontrak sebagai parameter ada tidaknya asas itikad baik dalam proses negosiasi pengajuan kartu kredit yang harus dilaksanakan olehbank penerbit kartu kredit dan applicant (pemohon) atau calon pemegang kartu kredit.
Dalam penelitian tesis ini, peneliti melakukan survey untuk menganalisis penerapan pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam berkontrak sebagai tolok ukur ada tidaknya itikad baik pra kontrak dalam perjanjian permohonan pengajuan kartu kredit melalui pembagian kuesioner terhadap 50 responden yang pernah melakukan proses penerbitan kartu kredit. Peneliti membuat questionare dengan sistem close question (pertanyaan tertutup) dimana responden hanya tinggal memilih jawaban multiple choices (pilihan ganda) yang sudah disediakan.
Duty to disclose atau kewajiban untuk menerangkan jelas harus dilaksanakan oleh bank penerbit kartu kredit yang pada pelaksanaan perjanjian pra kontrak penerbitan kartu kredit diwakili oleh marketing atau petugas pemasaran Xxxxx Xxxxxx. Seharusnya petugas pemasaran kartu kredit sebagai perwakilan atau perwakilan bank penerbit kartu kredit
menjelaskan secara rinci kepada calon pemegang kartu kreditmengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan persyaratan dan proses penerbitan kartu kredit. Adapun beberapa hal yang seharusnya menjadi tugas petugas pemasaran untuk dijelaskan kepada pemohon atau calon pemegang kartu kredit adalah :
1. Hak-hak dan kewajiban bank penerbit kartu kredit;
2. Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban bagi pemegang kartu kredit;
3. Konsekuensi pemakaian kartu kredit baik untuk belanja maupun tarik tunai;
4. Besarnya iuran tahunan yang harus dibayarkan oleh pemohon;
5. Besarnya bunga dari jumlah penggunaan kartu kredit;
6. Bagaimana proses pembayaran tagihan baik pembelanjaan maupun cicilan;
7. Bagaimana bunga bank yang harus dibayarkan oleh pemegang kartu kredit apabila hanya melakukan minimum payment maupun late charge;
8. Merchant-merchant yang bekerja sama dengan bank penerbit kartu kredit;
9. Fasilitas, program, serta rewards redemption yang akan diberikan oleh bank penerbit kartu kredit kepada pemegang kartu kredit;
10. Dan akibat hukum atau hal-hal lain yang mungkin akan terjadi dan tertulis di buku pedoman pemegang kartu kredit serta secara tegas diatur dalam peraturan perundang- undangan baik berupa Undang-undang atau peraturan Bank Indonesia.
Dari penelitian berupa pembagian random questionare (kuesioner acak), peneliti menemukan bahwa sebagian besar perwakilan bank penerbit kartu kredit tidak menjelaskan secara sistematis dan lengkap mengenai produk-produk bank. Hal ini disimpulkan dari 20% atau sepuluh jawaban responden yang hanya menerima penjelasan mengenai fasilitas, kemudahan pembayaran, serta merchant-merchant yang bekerja sama dengan bank penerbit kartu kredit, namun responden tidak menerima penjelasan rinci mengenai bunga, late charge,
hak dan kewajiban bank penerbit kartu kredit dan pemegang kartu kredit, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan penggunaan kartu kredit.
Peneliti menemukan hasil dari penelitian bahwa responden mengetahui rincian- rincian yang sudah disebutkan di atas dari membaca Buku Pedoman Pemegang kartu kredit yang diperoleh setelah menerima kartu kredit serta dari hasil analisis billing statement (lembar penagihan) atau lembar tagihan yang diterima setiap bulan. Pada intinya responden memperoleh semua rinci informasi dalam masa pelaksanaan kontrak bukan dari awal dalam masa negosiasi dimana seharusnya semua informasi ini diberikan oleh petugas pemasaran bank penerbit kartu kredit.
Peneliti menemukan bahwa bank penerbit kartu kredit tidak menginformasikan tentang hak pemegang kartu kredit untuk bisa melakukan penolakan perpanjangan masa berlaku kartu kredit sehingga biasanya yang terjadi adalah perpanjangan masa berlaku secara otomatis yang berarti pemegang kartu kreditharus membayar anual fee (iuran tahunan) yang berlaku dan memenuhi kewajiban-kewajiban lain yang mengikutinya.
Bank penerbit kartu kredit hanya menjelaskan secara garis besar mengenai hak pemegang kartu kredit yaitu penggunaan kartu kredit untuk transaksi belanja dan fasilitas- fasilitasnya serta kewajiban pemegang kartu kredit untuk membayar tagihan sesuai tanggal jatuh tempo. Hal ini tentu saja akan menarik minat pemohon untuk mengajukan penerbitan kartu kredit karena tergiur dengan fasilitas dan kemudahan yang akan didapat dari transaksi pembelanjaan menggunakan kartu kredit.
Bank penerbit kartu kredit yang diwakili petugas pemasaran kartu kredit tidak menjelaskan hak dan kewajiban bank penerbit kartu kredit sama sekali, terutama terkait hak bank penerbit kartu kredit untuk menetapkan bunga untuk pembayaran minimum dan keterlambatan pembayaran, serta hak bank penerbit kartu kredit untuk menarik atau membatalkan kartu kredit jika nantinya pemegang kartu kredit melakukan perbuatan hukum
yang dirasa merugikan bank penerbit kartu kredit seperti melakukan penipuan ataupun memiliki banyak tunggakan tagihan kartu kredit. Hal ini tentu saja merugikan pemohon, karena pemohon tidak tahu bahwa ada sejumlah uang berbentuk bunga transaksi yang harus dibayarkan di luar sepengetahuannya. Hal ini sudah merupakan bentuk pelanggaran pelaksanaan kewajiban duty to disclose yang merupakan bentuk tidak adanya itikad baik daribank penerbit kartu kredit.
Bank penerbit kartu kredit menjelaskan mengenai proses pembayaran tagihan maupun cicilan kepada pemohon165 namun tidak memberikan informasi bahwa apabila pembayaran dilakukan melalui transfer antar bank maka harus melalui proses kliring selama 3 hari. Apabila pemegang kartu kredit melakukan transfer antar bank pada tanggal jatuh tempo, maka pencatatan pembayaran baru akan tercetak tiga hari kemudian. Hal ini jelas akan merugikan pemegang kartu kredit, karena bank penerbit kartu kredit menetapkan bunga keterlambatan atau late charge untuk pembayaran yang tercetak melewati batas jatuh tempo yang tertera dalam lembar penagihan atau billing statement.
Peneliti menemukan hasil bahwa responden tertarik melakukan pengajuan aplikasi kartu kredit karena tergiur dengan free anual fee atau bebas biaya iuran tahunan yang diberikan oleh bank penerbit kartu kredit. Bank penerbit kartu kredit memang memberikan fasilitas tersebut tapi tidak menginformasikan bahwa free anual fee hanya berlaku untuk satu tahun pertama penggunaan kartu dan pemegang kartu kredit akan dikenalan biaya iuran tahunan di tahun kedua penggunaan kartu kredit.
Bank penerbit kartu kredit memberikan informasi mengenai seluruh merchant yang bekerja sama denganbank penerbit kartu kredit namun tidak memberitahukan bahwa untuk beberapa merchant tertentu pemegang kartu kreditmasih akan dikenakan shopping charge lagi
165 Hasil wawancara dengan 4 orang responden yang mengisi kuesioner penelitian
yang biasanya berkisar antara 2-3% dari jumlah pembelanjaan. Hal yang ditutupi seperti ini jelas sangat merugikan pemegang kartu kreditnantinya.
Bank penerbit kartu kredit memberi informasi mengenai point reward yang bisa didapatkan pemegang kartu kredit untuk setiap pembelanjaan yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit, namun bank penerbit kartu kredit tidak menjelaskan bahwa point reward yang terkumpul dan diakumulasikan bisa ditukar dengan fasilitas seperti bebas biaya tahunan, gratis produk elektronik, maupun voucher di merchant. Hal ini tentu saja merugikan pemegang kartu kredit karena nantinya point reward yang dimiliki tidak bisa ditukarkan karena daluwarsa akibat ketidaktahuannya mengenai proses penukaran point rewards.
Hasil penelitian yang dilakukan peneliti adalah petugas pemasaran bank penerbit kartu kredit cenderung hanya menjelaskan kepada nasabah pemegang kartu kredit mengenai fasilitas yang akan diperoleh pemegang kartu kredit dan keuntungan merchant saja tapi menutupi atau tidak menginformasikan resiko, kelemahan, dan besaran biaya serta bunga yang akan timbul dan cenderung memberatkan pemegang kartu kredit. Dapat disimpulkan bahwa dari pihak bank penerbit, sebagian petugas pemasaran kartu kredit cenderung hanya memberikan informasi yang menguntungkan kepada pemohon atau pemegang kartu kredit.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa bank penerbit kartu kredit yang diwakili oleh petugas pemasaran kartu kredit belum sepenuhnya menjalankan kewajiban duty to disclose yang merupakan implikasi dari adanya prinsip kehati-hatian dalam berkontrak yang merupakan parameter ada tidaknya itikad tidak baik dalam proses pra perjanjian antara pemegang kartu kreditdengan bank penebit kartu kredit. Hal ini dilihat dari fakta yang didapat penulis dari hasil jawaban questionaire dimana lebih dari separuh responden hanya menerima penjelasan secara garis besar tanpa informasi rinci mengenai kewajiban dan hak bagi para pihak yaitu bank penerbit kartu kredit dan pemegang kartu kredit, konsekuensi dan akibat hukum yang akan timbul apabila ada perbuatan hukum
tertentu yang akan dilaksanakan salah satu atau kedua belah pihak, besarnya bunga dan resiko yang harus dibayarkan oleh pemegang kartu kreditapabila nasabah mengubah transaksi menjadi cicilan, melakukan pembayaran minimum, dan lain lain.
Duty to search atau kewajiban untuk mencari tahu informasi mengenai objek perjanjian dan kewajiban membaca serta mempelajarinya harus dilaksanakan oleh pemohon atau calon pemegang kartu kredit. Pemohon atau pemegang kartu kredit memiliki hak untuk mendapat penjelasan dari bank penerbit kartu kredit namun juga memiliki kewajiban untuk mencari tahu informasi mengenai bank penerbit kartu kredit termasuk mempelajari terlebih dahulu dan membaca dengan seksama peraturan maupun aspek-aspek yang berkaitan dengan penerbitan kartu kredit serta mendengarkan dengan seksama penjelasan petugas pemasaran kartu kredit sebagai perwakilan dari bank penerbit kartu kredit.
Pemohon atau calon pemegang kartu kredit harus meneliti banyak hal yang berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut :
1. Jenis kartu kredit yang akan diajukan;
2. Jumlah annual fee (biaya iuran tahunan) yang harus dibayarkan;
3. Besarnya bunga pembelanjaan, bunga cicilan;
4. Merchant-merchant yang bekerja sama dengan bank penerbit kartu kredit;
5. Jumlah late charge atau biaya keterlambatan;
6. Bagaimana proses pembayaran cicilan dan tagihan kartu kredit;
7. Aturan-aturan mengenai point reward dan penukarannya;
Seharusnya pemohon mengetahui secara menyeluruh dan memahami hal-hal yang telah dipaparkan di atas sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban duty to search, di mana hal ini merupakan implementasi adanya asas kehati-hatian dalam berkontrak yang berimplikasi pada ada tidaknya itikad baik dalam poses pra kontrak atau negosiasi. Pemohon bisa melakukan berbagai cara untuk meneliti lebih dalam tentang kartu kredit yang akan dimilikinya selain
bertanya ke petugas pemasaran kartu kredit. Pertama, pemohon bisa menelepon call service centre atau pusat layanan panggilan bank penerbit kartu yang biasanya tersedia di lembar aplikasi, kedua pemohon bisa membuka situs atau link terkait dengan bank penerbit kredit yang biasanya memberikan gambaran secara rinci mengenai produk-produk perbankannya, atau pemohon juga bisa langsung mendatangi kantor cabang bank penerbit kartu yang pastinya tersedia di kota pemohon tinggal.
Peneliti menemukan hasil penelitian dari jawaban responden bahwa hanya sembilan belas (19) responden yang mengetahui mengenai produk kartu kredit yang dimilikinya, dan dua puluh (20) responden menjawab tidak peduli dengan fasilitas yang dimiliki kartu kreditnya. Sejumlah lima (5) responden sama sekali tidak mengetahui tentang bank penerbit kartu kredit yang memberikannya fasilitas kartu kredit karena responden tersebut mendapatkan kartu kredit sebagai fasilitas pinjaman perbankan di suatu bank. Beberapa responden bahkan tiba-tiba menerima kartu kredit yang dikirim ke rumahnya tanpa melakukan proses pendaftaran atau pengajuan aplikasi terlebih dahulu.
Peneliti mendapatkan hasil bahwa responden ketika belum menjadi pemegang kartu kredit cenderung mengajukan aplikasi pengajuan kartu kredit karena kemudahan dan fasilitas belanja yang diberikan sesuai dengan yang diinformasikan secara baik oleh petugas pemasaran kartu kredit selaku perwakilan bank penerbit kartu kredit. Pemohon baru menyadari bahwa banyak hal yang tidak diketahui dan mencengangkan terutama terkait bunga dan biaya-biaya yang akan timbul setelah resmi menjadi pemegang kartu kredit dan mendapatkan buku Pedoman Pemegang Kartu Kredit.
Beberapa responden melakukan pengajuan aplikasi kartu kredit karena fasilitas iuran tahunan gratis atau free anual fee yang ditetapkan oleh bank penerbit kartu kredit namun tidak menanyakan lebih lanjut ke bank penerbit kartu kredit mengenai tahun
berikutnya setelah menjadi pemegang kartu kredit. Hal ini merupakan salah satu bentuk ketidakpedulian pemohon yang cenderung tidak mau meneliti.
Peneliti menemukan hasil bahwa hanya tujuh (7) responden yang menganggap kehati-hatian dalam proses pengajuan kartu kredit itu penting karena sebagian besar responden hanya ingin menikmati fasilitas yang disediakan olehbank penerbit kartu kredit dengan penggunaan kartu kredit.
Ditinjau dari prinsip kehati-hatian dalam berkontrak yang seharusnya dimiliki oleh para pihak yang menjadi subyek perjanjian, dari hasil penelitian terhadap responden pemegang kartu kredit, peneliti menemukan hasil bahwa pemohon atau calon pemegang kartu kredit tidak melaksanakan kewajibannya terkait dengan duty to searh dengan baik. Pemegang kartu kredit cenderung apatis dan hanya menginginkan proses instan dalam penerbitan kartu kredit, meskipun ada beberapa pemegang kartu kredit yang membaca term&condition pengajuan kartu kredit namun hanya sebagian kecil yang menganggap penting adanya informasi tambahan dan lengkap dari petugas pemasaran.
Dilihat dari sisi pemegang kartu kredit, penulis menyimpulkan bahwa banyak nasabah atau pemegang kartu kredit sendiri tidak melaksanakan kewajiban duty to search sebagai perwujudan prinsip kehati-hatian dalam negosiasi atau proses pra penandatanganan aplikasi kartu kredit. Hal ini terlihat dari adanya beberapa responden yang bahkan tidak mengetahui fitur, manfaat, dan program yang dimiliki kartu kredit yang dipegangnya. Hal ini tidak terjadi bukan hanya karena kurangnya informasi dari petugas pemasaran kartu kredit dari bank penerbit saja namun kurangnya niat dari pemegang kartu kredit untuk mencari informasi bahkan ketidakpedulian pemegang kartu kredit dan keengganan untuk membaca serta mempelajari lebih mendalam lagi tentang syarat dan poin-poin yang harus diindahkan oleh kedua belah pihak baik bank penerbit kartu kredit maupun pemegang kartu kredit.
Unsur kejujuran tidak bisa disamakan dengan niat baik dari bank penerbit kartu kredit. Seringkali petugas pemasaran bank tidak berniat untuk menutupi atau menyembunyikan informasi krusial mengenai kartu kredit dari pemohon, namun hanya lalai atau lupa menyampaikan karena tidak ada pertanyaan lebih lanjut dari nasabah. Kurangnya atau tidak adanya itikad baik dalam perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit bukan semata-mata kelalaian bank yang tidak melaksanakan secara penuh kewajiban duty to disclosenya namun juga kurang jelinya pemegang kartu kredit serta kurangnya kesadaran cardholder untuk melaksanakan kewajiban duty to search yang nantinya sebenarnya berguna bagi pemegang kartu kredit itu sendiri.
Secara umum, itikad baik yang sempurna dapat diartikan bahwa masing-masing pihak di dalam perjanjian yang disepakati, menurut hukum mempunyai kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi yang selengkap-lengkapnya. Informasi-informasi tersebut merupakan informasi yang akan dapat mempengaruhi keputusan para pihak yang lain untuk memasuki perjanjian atau tidak, baik informasi yang diminta atau tidak.166
Kedua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian ini atau subjek perjanjian permohonan kartu kredit ini memang harus bersinergi dan saling mendukung serta melaksanakan kewajiban masing-masing agar memperoleh hak yang memang layak didapatkan.
Bank penerbit kartu kredit dan pemohon atau calon pemegang kartu kredit merupakan pihak-pihak yang berada di posisi seimbang sehingga keduanya seharusnya bisa melaksanakan kewajiban masing-masing dalam proses negosiasi dengan baik. Jika prinsip kehati-hatian dalam berkontrak dapat dilaksanakan dengan melaksanan kewajiban duty to disclose dan duty to search semaksimal mungkin, maka tidak akan ada kejadian pembatalan
hlm.103.
166 Sri Redjeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, (Jakarta:Sinar Grafika, 1992),
perjanjian yang dikarenakan tidak adanya itikad baik dari para pihak dalam proses pra kontrak.
Penulis dapat menyimpulkan dari hasil jawaban responden yang dikaitkan dengan teori-teori yang sudah dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa masih ditemukan beberapa perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dan pemegang kartu kredit yang tidak dilandasi dengan itikad baik. Hal ini bukan saja merupakan kesalahan atau kealpaan bank penerbit kartu kredit yang mengabaikan kewajiban duty to disclose nya namun juga kurangnya kepedulian para pemohon atau calon pemegang kartu kredit untuk meneliti dan membaca secara cermat tentang objek perjanjian yang merupakan implementasi dari adanya kewajiban duty to search.
B. Akibat hukumnya jika itikad baik tidak diterapkan dalam suatu perjanjian.
Menurut Xxxxx Xxxxxxxx167, untuk mencari kata sepakat dalam kontrak, bukan sekedar masalah bagaimana pandai “bernegosiasi”, namun kepandaian bernegosiasi memang merupakan salah satu faktor keberhasilan. Bargaining position adalah yang paling menentukan adanya sepakat dalam kontrak atau perjanjian.
Menurut Xxxxxx X. Xxxxx, 168dalam menegosiasikan sebuah kontrak atau perjanjian, kedudukan hukum merupakan pertimbangan yang mendasar dan penting. Suatu kontrak yang tidak sah, apapun definisinya, tidak akan dapat dilaksanakan dan mengikat secara hukum. Seseorang tidak dapat membela diri dengan menyatakan tidak tahu bahwa kontrak atau perjanjian itu tidak sah. Dalam perspektif hukum berlaku asas “ignorantia juris neminem excusat”, ketidaktahuan akan hukum bukan merupakan suatu alasan. Untuk itu sangat perlu dipertimbangkan aspek-aspek hukum dalam negosiasi.
Kesepakatan atau perjanjian yang tidak didasarkan pada kesepakatan bulat dan saling menguntungkan seringkali dilandasi oleh adanya cacat kehendak (wilsgebreken atau
167 Xxxxx Xxxxxxxx, “Analisis Hukum Ekonomi dalam Kontrak dalam Menyongsong Era Globalisasi”, dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 2 (1997), hlm. 21.
168 Xxxxxx X.Xxxxx, Terampil Bernegosiasi (Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo,1995) hlm.131
defect of consent). Cacat kehendak adalah kecacatan dalam pembentukan kata sepakat yang bisa berupa hasil paksaan, penipuan, kekeliruan, atau penyalahgunaan keadaan.169
Sehubungan dengan hal tersebut, Pasasl 1321 KUHPerdata menyebutkan geene toesteming is van waarde, indien dezelve door dwaling is gegeven, door geweld algeperst, of door bedrog verkregen (tiada kesepakatan yang memiliki kekuatan jikia diberikan karena kekilafan, atau diperolehnya karena paksaan atau penipuan). Dengan demikian cacat kehendak yang disebutkan dalam Pasal 1321 KUHPerdata meliputi :170
1. Kesesatan atau kekhilafan (dwaling)
2. Paksaan (dwang atau bedreiging)
3. Penipuan (bedrog)
Selain cacat kehendak yang dimaksud dalam pasal 1321 KUHPerdata, di dalam praktik yurisprudensi juga dikenal adanya penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden atau undue influence).
Tidak adanya itikad baik dalam proses pra perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemohon atau calon pemegang kartu kreditdimungkinkan disebabkan oleh bentuk-bentuk cacat kehendak sebagai berikut :
1. Penipuan
Bank penerbit kartu kredit dengan sengaja mengelabuhi pemohon atau calon pemegang kartu kredit demi keuntungan profit bank penerbit kartu kredit semata. Petugas pemasaran kartu kredit bahkan sengaja menutup-nutupi fakta-fakta atau aspek-aspek yang terkait kartu kredit yang nantinya cenderung merugikan pemegang kartu kredit tapi menguntungkan bank penerbit kartu kredit.
2. Kekeliruan
169 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak....,op.cit., hlm 163
170 Ibid.
Pemegang kartu kredit memiliki kekeliruan dalam menafsirkan aspek-aspek terkait kartu kredit yang diterbitkan oleh bank penerbit. Di satu sisi, pemegang kartu kredit tidak mendapat informasi secara lengkap dari bank penerbit kartu kredit namun di sisi lain, pemegang kartu kredit juga tidak mau mencari informasi lebih mendalam dan hanya menafsirkan serta mengharapkan akan mendapat manfaat sesuai yang sudah dibayangkan atas dasar penawaran petugas pemasaran bank penerbit kartu kredit (marketing issuer bank).
Pasal 1328 KUHPerdata menyebutkan bahwa penipuan merupakan salah satu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian (bedrog levert eenen grond tot vernieteig der overeenkomst). Penipuan menurut pasal 1328 KUHPerdata dapat dijadikan alasan pembatalan perjanjian apabila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak sedemikian rupa sehingga secara nyata bahwa pihak lainnya tidak akan mengadakan perjanjian tanpa adanya tipu muslihat atau penipuan tadi (niet zoude aangegaan).
Dari aspek perdata, apabila bank penerbit kartu kredit tidak melaksanakan kewajiban duty to disclosenya karena kekeliruan maka bisa dianggap melakukan suatu cacat kehendak seperti yang dirumuskan pada pasal 1321 KUHPer :
“jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan, atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar pihak dan karena itu perjanjian dapat dibatalkan”
Selanjutnya ketentuan mengenai cacat kehendak diatur ketentuan perundang- undangan, diatur dalam yurisprudensi yaitu mengenai penyalahgunaan keadaan. Masalah tentang penyalahgunaan keadaan ini belum diatur dalam peraturan hukum di Indonesia hanya yurispurudensi (kumpulan putusan hakim saja). Penyalahgunaan keadaan dapat digolongkan sebagai salah satu cacat kehendak, dimana seseorang yang dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian. Gugatan tentu saja memiliki tujuan tertentu. Penggugat harus
mendalilkan bahwa perjanjian tersebut sebenarnya tidak dikehendaki atau perjanjian itu tidak dikehendaki dalam bentuknya yang demikian. Dalam hal yang demikian perjanjian yang tidak dilandasi oleh itikad baik dari bank penerbit kartu kredit dapat dimintakan pembatalan melalui putusan hakim.
Dari ketentuan pasal 378 KUHP di atas R.Xxxxxxx menyimpulkan bahwa ada beberapa unsur yang terdapat di dalam penipuan :171
1. Kejahatan ini dinamakan penipuan. Penipu melakukan tindakan :
a. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
b. maksud membujuk itu adaah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
c. membujuk dengan menggunakan : nama palsu, akal cerdik (tipu muslihat), atau mengarang perkataan bohong.
2. Membujuk sama dengan kelicikan terhadap orang, sehingga orang tersebut menuruti berbuat sesuatu yang apabila mengetahui hal yang sebenarnya, dia tidak akan berbuat demikian.
“nama palsu” berati bukan namanya sendiri.
“keadaan palsu” berarti misalnya mengaku dan bertindak sebagai agen polisi, pegawai negeri dan sebagainya, padahal dia sebenarnya bukan pejabat disebut tersebut.
:akal cerdik” atau tipu muslihat berarti tipu yang sedemikian liciknya, sehingga seseorang yang berpikiran normal.
Penipuan di dalam hukum pidana, rangkaian kebohongan tersebut bertujuan untuk menggerakan orang lain untuk menyerahkan suatu barang kepadanya, membetri utang, atau
171 R. Xxxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor:Politeia, 1986), hlm.261
menghapuskan utang. Penipuan di dalam pembentukan kontrak bertujuan agar salah satu pihak menyepakati perjanjian atau kontrak.172
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa penipuan terdiri dari 4 unsur
yaitu ;
1. Merupakan tindakan yang bermaksud jahat, kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda;
2. Sebelum perjanjian tersebut dibuat;
3. Dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian;
4. Tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat.173
Perbuatan bank penerbit kartu kredit yang tidak melaksanakan kewajiban duty to disclose bisa dikategorikan sebagai penipuan apabila memang terbukti ada unsur-unsur penipuan di dalam proses negosiasi dengan pemohon. Pasal 378 KUHPidana merumuskan penipuan sebagai perbuatan yang untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.174
Tidak adanya itikad baik dalam proses negosiasi perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemohon aplikasi kartu kredit membuat kontrak atau perjanjian tersebut dapat dibatalkan (vernieteg atau voidable). Hal ini berarti jika tidak ada tuntutan yang diajukan ke Pengadilan oleh pihak yang merasa dirugikan, maka kontrak atau perjanjian tersebut masih ada dan sah .
172 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak ..., loc.cit
173 Xxxxx X Xxxxxxxxx, Contemporary Business Law (New Jersey:Xxxxxxxx Xxxx, 2000) hlm 195 dikutip dari Xxxxxx Xxxxxxxxx, ibid.
174 Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Cacat kehendak kedua yang mungkin terjadi dari tidak adanya itikad baik dalam perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemohon kartu kredit adalah adanya kekeliruan.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxx, membuat kekeliruan adalah manusiawi, tetapi tidak semua kekeliruan relevan bagi hukum. Di dalam praktik jual beli dapat terjadi kekeliruan mengenai harga, jumlah, mutu, kualitas, atau jenis benda yang diperjualbelikan. Sebagai aturan pokok, hukum menetapkan bahwa akibat kekeliruan yang terjadi ditanggung oleh dan menjadi resiko pembuatnya. Undang-undang hanya memberikan sedikit peluang bagi hukum untuk melakukan koreksi kesesatan atau kekeliruan yang terjadi.175
Kekeliruan atau kesesatan yang terjadi dalam xxxxxxxxxxxxxxx xxxxxxx dapat diklasifikasikan menjadi tiga :
1. Kesesatan dalam motif
2. Kesesatan semu (oneigenlijke dwaling)
3. Kesesatan yang sebenarnya (eigenlijke dwaling)176
Kesesatan atau kekeliruan yang terjadi dalam negosiasi perjanjian antara penerbit kartu kredit dengan pemohon kartu kredit adalah kekeliruan yang sebenarnya. Menurut X.Xxxxxx kekeliruan yang sebenarnya adalah adanya pernyataan dan kehendak yang sama.177 Keduanya sama, sehingga terbentuk kata sepakat, tetapi kesepakatan tersebut dibentuk oleh gambaran yang keliru dari saah satu pihak. Sehingga kesepakatan tersebut tidaklah murni.
Pasal 1322 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan dwaling maakts geene overeenkomst nietig, dan wanner dezelve plaats heeft omtrent de zelstandigheid der zaak welke het onderwerp der overeenkomst uitmaakt (kekeliruan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali jika kekeliruajn itu mengenai hakikat baraang yang menjadi pokok
175 Xxxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian dan Penerapannya di bidang Kenoktariatan (Bandung:Citra Xxxxxx Xxxxx,2010), hlm.99.
176 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak.., op.cit, hlm164.
177 Ibid., hlm 165
perjanjian). Kemudian pasal 1322 ayat (2) menyebutkan, dwaling is geene oorzaak van nietigheid, indien zij alleenlijk plaats den persoon met wien men voornemens is te handelen, ten zij de overeenkomst voornamelojk van dezen persoon zij aangegaan (kekeliruan tidak mengakibatkan batal jika kekeliruan mengenai diri seseorang yang bermaksud membuat perjanjian, kecuali perjanjian itu telah dibuat, terutama karena diri orang yang bersangkutan).
Dari ketentuan pasal 1322 KUHPerdata di atas dapat disimpulkan bahwa ada dua kemungkinan terjadinya kekeliruan yaitu kekeliruan atau kesesatan mengenai objek perjanjian dan subjek perjanjian. Dengan demikian, kekeliruan dapat terjadi apabila salah satu pihak atau para pihak memiliki gambaran yang keliru atas objek atau subjek yang membuat perjanjian.
Adanya kekeliruan dalam pembentukan kata sepakat, berdasar pasal 1322 KUHPerdata tidak mengakibatkan batalnya (nietig) perjanjian. Dikaitkan dengan persyaratan sahnya kontrak atau perjanjian berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata, kesesatan ini berkaitan dengan tidak lengkapnya syarat subjektif. Tidak lengkapnya syarat subjektid hanya berakibat “dapat dibatalkanya” perjanjian.
Dengan demikian, perjanjian yang diasumsikan berlangsung secara fair karena lahir dari adanya penawaran dan penerimaan. Dalam hal terdapat ketidaksesuaian antara pernyataan kehendak para pihak yang diakibatkan oleh adanya cacat kehendak, maka kontrak tersebut dapat diajukan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan. Kekhawatiran mengenai pertukaran hak dan kewajiban secara fair, pada dasarnya perjanjian dapat dibatalkan melalui pengujian terhadap doktrin cacat kehendak dalam pembentukan kontrak.
Dari beberapa teori dan pendapat yang telah diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah kontrak atau perjanjian yang tidak memiliki itikad baik, atau dalam hal perjanjian pengajuan kartu kredit berarti tidak ada kejujuran dari salah satu pihak, dapat
berakibat pada pembatalan perjanjian oleh para pihak, jika salah satu pihak merasa dirugikan atas pelaksanaan kontrak.
Apabila ditemukan bukti bahwa tidak terdapat itikad baik dalam proses negosiasi atau pra perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit, maka perjanjian bisa dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Karena perjanjian dinyatakan batal demi hukum hanya jika terjadi syarat batal seperti yang sudah diperjanjikan atau dicantumkan dalam perjanjian yang merupakan undang-undang bagi para pihak.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx menjelaskan pengertian nietig adalah batal, nietigheid
adalah kebatalan dan vernietigbaareid adalah hal dapat dibatalkannya atau pembatalan.178 Kebatalan adalah suatu peristiwa di mana tindakan itu tidak menimbulkan akibat
hukum seperti yang dimaksudkan atau dituju dan hal itu terjadi dengan sendirinya, tanpa memerlukan tindakan pembatalan tanpa harus dituntut. Menurut Xxxxxxx, karena dayanya sendiri (uit eige kracht) batal.179
Pembatalan adalah pernyataan batalnya suatu tindakan hukum atas tuntutan dari pihak-pihak yang oleh Undang-undang dibenarkan untuk menuntut pembatalan seperti itu. Pembatalan dilakukan oleh hakim atas tuntutan pihak yang diberi hak oleh undang-undang untuk menuntut seperti itu. Akibat pembatalan berlaku surut, sehingga sesudah pernyataan batal oleh hakim, maka keadaannya menjadi sama dengan yang batal demi hukum.180
Tidak adanya itikad baik pra kontrak dalam negosiasi proses penerbitan kartu kredit bukan merupakan syarat batal perjanjian yang tercantum dalam perjanjian kartu kredit. Oleh karena itu tidak adanya itikad baik dalam proses negosiasi tidak berakibat hukum batalnya perjanjian demi hukum namun bisa diajukan pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam hal ini pemegang kartu kredit.
178 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, Kamus Hukum Belanda Indonesia, (Jakarta : Djembatan, 1999).hlm.246
179 Satrio, Hukum Perikatan tentang Hapusnya Perikatan, Bagian 2,(Bandung:Citra Xxxxxx Xxxxx,1996),hlm.170
180 Ibid., hlm.173
Salah satu pihak yang merasa dirugikan, dalam hal ini biasa dialami oleh pemegang kartu kredit dapat melakukan pembatalan perjanjian dengan cara melakukan konfirmasi langsung ke bank penerbit kartu kredit untuk membatalkan perjanjian kartu kredit yaitu menon-aktifkan kartu kredit yang sudah diterima. Hal ini bisa dilakukan melalui komunikasi telepon maupun langsung mendatangi bank-bank penerbit kartu kredit yang biasanya memiliki cabang di tempat tinggal pemegang kartu kredit. Pada kenyataannya hal ini tidak semudah ketika nasabah hendak mengajukan permohonan kartu kredit. Pertama, ada beberapa bank penerbit kartu kredit yang tidak memiliki cabang di kota tempat tinggal pemegang kartu kredit, kedua tele marketer yang biasa menerima pengaduan telepon dari pemegang kartu kreditcenderung akan memberikan saran-saran agar pemegang kartu kredit tidak menon-aktifkan kartu kredit dengan cara menawarkan solusi, penawaran, dan promo baru yang menarik minat pemegang kartu kredit sehingga pemegang kartu kredit menjadi ragu untuk meneruskan niat menonaktifkan kartu kredit.