„KITA TIDAK BERADA PADA SATU PULAU YANG SUCI“
„KITA TIDAK BERADA PADA SATU PULAU YANG SUCI“
-----------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------
Pandemi Covid-19 membuka mata semua orang, tanpa kecuali para pengikut Kristus di Indonesia untuk merayakan ibadah yang liturgis dan higienis. Di satu pihak, ekaristi mengandung dimensi ilahi yakni karya keselamatan Allah yang memberikan diri dan membagikan cinta-Nya kepada manusia melalui Xxxxx Xxxxxxx. Di lain pihak ekaristi per se adalah peristiwa komunikatif umat beriman yang berkumpul dalam ruang tertentu pada waktu yang sama untuk memuji Allah melalui doa-doa dan nyanyian, dan untuk memastikan keselamatan dari kedekatan mereka satu sama lain. Dimensi insani dari sikap dan tindakan umat beriman dalam berliturgi tidak dapat dipisahkan. Pada titik ini perjumpaan umat beriman dalam ruang dan waktu yang sakral tidak steril dari infeksi virus corona (SARS-CoV-19), bahkan ia menembus batas ruang dinding-dinding Gereja yang telah dikonsekrasikan dan tidak mengenal waktu perjumpaan yang istimewa, seperti hari Minggu, hari kebangkitan Tuhan.
SARS-CoV-19 juga tidak membedakan klerus maupun awam. Di hadapan corona virus disease 2019 semua sama entah kaya atau miskin. Terbaru pada 4 Oktober 2020 Paus Frasisksus mengeluarkan ensiklik „Fratelli tutti“ tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial. Dengan latar belakang pandemi Covid-19 yang ia lukiskan sebagai bencana yang tidak dinantikan – ketika ensiklik ini sedang dipersiapkan (no. 7) - ia mengajak umat manusia untuk tidak meletakkan hidup pada asuransi yang salah karena terbukti jaringan kerjasama antar bangsa yang cenderung eksklusif pun jebol, ibarat jembatan kayu yang rapuh. Keadaan darurat kesehatan dunia menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri, dan sekarang jamnya telah tiba untuk bermimpi tentang kemanusiaan, bahwa kita semua sebagai saudara dan saudari (No. 8).
Jumat, 27 Maret 2020, Minggu keempat masa Prapaskah, Paus Xxxxxxxxxx memimpin doa mohon perlindungan dunia dari virus corona (SARS Co- V-19) dengan memberikan berkat „urbi et orbe“ bagi „kota Roma dan dunia“. Simbolik doa dan berkat apostolik diperkuat secara verbal melalui bacaan Injil tentang „Badai di atas Danau Genasaret“ (Mrk. 4:35-41) dan kotbah Paus Xxxxxxxxxx. Seperti para murid dalam Injil, kita juga dikejutkan oleh badai keras yang tidak dinanti-nantikan. Xxxxxxx jelas bahwa kita sedang berada di atas biduk yang sama. Semua lelah dan kehilangan orientasi. Serentak pula penting bahwa kita sedang dipanggil untuk sama-sama mendayung pada sisi yang sama. Kita semua sedang berada di atas biduk ini.“
Menutup kotbahnya ia bertanya: „Tuhan tidakkah Engkau peduli dengan kami yang hampir binasa?“
Krisis dunia ditanggapi oleh Paus Xxxxxxxxxx sebagai pemimpin Gereja Katolik universal dengan memberikan berkat apostolik extra-ordinaria. Artinya berkat istimewa dari seorang pemimpin rohani dunia yang normalnya hanya diberikan pada tiga kesempatan khusus yakni pada pesta Paskah, Natal, dan sesaat setelah Paus baru terpilih dan diperkenalkan kepada dunia. Selain di luar waktu normal keistimewaan lain malam 27 Maret pada pilihan tempat. Tidak seperti biasanya berkat
„urbi et orbi“ diberikan oleh seorang Paus dari balkon Beneditusloggia. Sebaliknya Paus Xxxxxxxxxx memilih memberikan berkat „urbi et orbi“ dengan Xxxxxxxx Xxxxxxxxx dalam monstrans dari pintu Basilika Xxxxx Xxxxxx di hadapan lapangan Xxxxx Xxxxxx yang sunyi dan senyap. Dengan doa dan gestur merangkul Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, Paus Xxxxxxxxxx mau mengatakan kepada semua orang yang terisolasi berhari-hari, sedang dilanda kecemasan dan kesulitan, bahwa dalam situasi ini mereka tidak sendirian. Ia lalu menyentuh ikon Xxxxx „Salus Populi Romani“ dan mencium Salib wabah Pest dari Gereja „Xxx Xxxxxxxx xx Corso“, dua lambang kudus yang diyakini berabad-abad lamanya menjadi pelindung kota Roma dari ancaman wabah-penyakit. „Doa dan pelayanan dalam kesunyian adalah senjata kemenangan kita“: kata Paus Xxxxxxxxxx.
Ketika para jurnalist bertanya kepada Kardinal Xxxxxxxxx Xxxxxxxxx, Uskup Xxxxx Xxxx, apakah ia percaya bahwa wabah Covid-19 sebagai hukuman dari Tuhan kepada manusia yang hidupnya jauh dari Tuhan? Ia menjawab: „Bukan. Tuhan tidak menghukum. Ia mau supaya kita sadar, apa yang penting dalam hidup kita.“ Dengan pertanyaan yang sama Ia memberikan jawaban berbeda kepada para jurnalist Eropa ketika pada Desember 2004 ia langsung mengunjungi korban gempa bumi dan tsunami dasyat di Banda Aceh. Waktu itu ia berkata: „Dengan tsunami 2004 Tuhan menginginkan agar umat manusia bertobat, yakni kembali pada iman.
Dua peristiwa yang saya gambarkan di atas merupakan refleksi Gereja atas bencana alam maupun non-alam termasuk pandemi Covid-19 sebagai satu kenyataan yang mungkin dapat diverifikasi dari ilmu mikro- biologi, serentak pula di hadapan penderitaan yang menewaskan jutaan orang (yang tidak bersalah) tidak pernah ada satu jawaban tuntas, termasuk teologi. Gereja menolak fatalisme (menerima nasib apa adanya) karena sikap demikian merendahkan martabat manusia sebagai makluk yang berakal budi. Gereja juga menentang karma (hukuman dari Tuhan) karena pandangan demikian menjadikan Allah sebagai sumber ketidakadilan atas penderitaan orang yang tidak bersalah, sebab tidak semua orang menderita akibat kesalahannya sendiri.
Refleksi dasariah atas misteri penderitaan manusia dalam PL dipersonifikasikan melalui pribadi seorang Ayub. Xxxx dari kata ajja-abu yang berarti: „Di manakah ayahku?“ tepatnya: Di manakah Allahmu? dapat disejajarkan dengan teriakan Xxxxx di Salib: Xxxx, Eloi lama sabakhtani (Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku), atau dapat diterjemahkan dengan Allahku, Allahku untuk apa Engkau meninggalkan aku. Pertanyaan mengapa membawa persoalan yang berpusat pada masa lampau, sedangkan untuk apa berorientasi pada masa depan. Meskipun tidak ada jawaban toh ada gambaran. Kitab Ayub dalam susunan Perjanjian Lama versi Maronit ditempatkan pada bagian akhir (bukan Kitab Makabe dalam versi Septuaginta) yang berbicara tentang kebangkitan (Ayub 49) dan menjadi tema sentral Perjanjian Baru. Xxxx sebagai „figura Christi“. Dan hemat saya peristiwa Xxxxx dari Nazaret yang berpuncak di kayu salib memberikan gambaran tentang Allah yang terlibat dengan penderitaan manusia. Dari misteri Paskah Kristus: sengsara – wafat – dan kebangkitan-Nya, dan karena alasan ini, umat kristiani dapat berharap bahwa meskipun ada kebisuan Jumat Agung dan Sabtu Kudus, masih ada kegembiraan Minggu Paskah, di mana Tuhan bangkit dan menampkkan diri kepada murid-murid-Nya, untuk meyakinkan mereka bahwa hidup belum selesai di atas pulau yang sedang tidak kudus ini.
Terbaru pada 4 Oktober 2020 Paus Frasisksus mengeluarkan ensiklik
„Fratelli tutti“ tentang Persaudaraan dan Persahabatan Sosial. Dengan latar belakang pandemi Covid-19 yang ia lukiskan sebagai bencana yang tidak dinantikan – ketika ensiklik ini sedang dipersiapkan (no. 7) - ia mengajak umat manusia untuk tidak meletakkan hidup pada asuransi yang salah karena terbukti jaringan kerjasama antar bangsa yang cenderung eksklusif pun jebol, ibarat jembatan kayu yang rapuh. Keadaan darurat kesehatan dunia menegaskan bahwa tidak seorang pun dapat menyelamatkan dirinya sendiri, dan sekarang jamnya telah tiba untuk bermimpi tentang kemanusiaan, bahwa kita semua sebagai saudara dan saudari (No. 8).
Saya boleh andaikan: „Kita sedang berada pada satu pulau yang tidak kudus.“
Gereja Menyikapi Pandemi Covid-19