ASAS ITIKAD BAIK SEBAGAI PEMBATAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
ASAS ITIKAD BAIK SEBAGAI PEMBATAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
T E S I S
OLEH :
NAMA MHS. : XXXXXXXX XXXX XXXXXXX NO. POKOK MHS. : 13912044
BKU : HUKUM BISNIS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2015
i
ii
iii
Semangat untuk terus Berkarya...
Mempersembahkan karya terbaik ini untuk: Pemilik nyawa dan segenap jiwa raga, Allah SWT,
Uswah dan seluruh umat Islam, Rasa hormat dan terimakasih kepada almamater tercinta,
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
Persembahan khusus kepada keluarga tercinta, Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxx Xxxxx, dan Xxxxx Xxxx Xxxxxx,
Persembahan tiada terkira untuk berjuta mimpi, kepada sang makhluk mulia, Bunda, yang dengan ketegarannya, kesabarannya, dan kasih sayangnya, membuatku menjadi seperti ini,
betapa pun tinggi pendidikan yang kutempuh, Bundalah madrasah ilmu pertama bagiku,
terpenuhi pula janji sebelum menyempurnakan separuh dien ini.. Para Guru dan Dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya, Ketulusan doa dan dukungan kalian dalam madrasah kehidupan, menjadi cambuk semangat untuk terus berkarya.
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxx, S. H. NIM 13912044
BKU : Hukum Bisnis
Program : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Yogyakarta
Judul : Asas Itikad baik sebagai Pembatas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dalam kondisi sadar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yogyakarta, 22 Februari 2015
Penulis
Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxx 13912044
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul “Asas Itikad Baik Sebagai Pembatas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank.” Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada sang revolusioner sejati, pembawa cahaya bagi umat manusia junjungan kita, Xxxx Xxxxxxxx XXX.
Tesis ini disusun untuk melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar Master Hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Alhamdulillah, berkat pertolongan dan hidayah Allah SWT terhadap hamba-Nya yang sedang mengarungi lautan ilmu-Nya, tugas akhir pascasarjana ini akhirnya dapat terselesaikan meskipun sangat sederhana dan jauh dari sempurna karena dengan media ini penulis banyak belajar, berfikir dan berimajinasi dalam mengarungi medan pertempuran intelektual. Dengan ini pula penulis semakin sadar akan kekurangan dan keterbatasan yang penulis miliki sehingga dapat memotivasi penulis untuk selalu berbenah diri dalam mencapai kehidupan yang lebih bermakna.
Sebuah proses yang cukup panjang dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari doa, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terimakasih yang tak terhingga jazakumullah khairan kasiran kepada:
1. Dr. Xx. Xxxxxxx, X.Xx., selaku Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
2. Xx. Xxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
3. Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D., selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
4. Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Tesis yang telah berkenan memberikan bimbingan serta pengarahan progresif dan konstruktif kepada penulis di sela-sela kesibukannya. Dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan telah bersedia membantu, membimbing, memberikan arahan-arahan dan menyemangati penulis dari awal hingga akhir dalam penulisan tesis ini. Tak jarang bimbingan dilakukan di malam hari seusai penulis menyelesaikan pekerjaan kantor. Terimakasih kepada sang maha guru yang luar biasa ini;
5. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.Hum., selaku anggota penguji yang telah memberikan ilmu dan masukan pada tesis ini sehingga dapat mendukung penulis dalam melakukan perbaikan dalam langkah ke depan;
6. Xxx Xxxxxxxx, S. H., M.H., selaku anggota penguji yang telah memberikan ilmu dan masukan pada tesis ini sehingga dapat mendukung penulis dalam melakukan perbaikan dalam langkah ke depan;
7. Seluruh Dosen dan staf Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah membimbing dan memberikan ilmunya serta pelayanan dan kemudahan administrasi, Nurul Xxxxxxxx,
Xxxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx dan Zuri Ikhwanta, semoga tali silaturahmi ini terus terjalin.
8. Bunda, terimakasih atas semua kepercayaan, perhatian, cinta dan doa serta kasih sayang tulus tanpa pamrih yang diberikan;
9. Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxx Xxxxx, dan Xxxxx Xxxx Xxxxxx.
10. Xx. Xxx Xxxxxxxxx, M.M., selaku Pimpinan Bank DIY Cabang Sleman.
Rekan-rekan di Kantor Cabang Sleman unit Administrasi Kredit, Chasanuddin, Xxxxx Xxxxxxx, RR. Lini Xxxxxxxx, Xxxxx Xxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxx Xxxxxxxx. Rekan-rekan di unit Operasional, Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxx Xxxxxxx, Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxx, Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxx. Rekan- rekan Kantor Xxxxxx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx. Terimakasih atas kebersamaan selama ini.
11. Munaryati, S.E., selaku Pimpinan Bank DIY Cabang Pembantu Condongcatur. X. Xxxxx Xxxxxxxxx yang pernah menjadi Pimpinan Bank DIY Cabang Pembantu Condongcatur. Rekan-rekan di Kantor Cabang Pembantu Condongcatur Xxxxxx Xxxxxxx, Akte Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx, Xxxxxxx, Xxx Xxxxxx Xxxxxxxxx, Prika Putri Kemalasari, dan Xxxxx Xxxxxx Xxxx yang telah membersamai, menemani sepenggal waktu dalam bekerja dan menuntut ilmu serta mengajarkan arti
memahami, menjadi tim solid ketika penulis di sana. Terimakasih untuk kebersamaan yang tak tergantikan.
12. Rekan-rekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Xxxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx Xxxxx, Xxxxxx Bima Ghafara, Xx’xxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx Xxxx, terima kasih atas sepenggal kebersamaan dan salam semangat untuk terus berkarya;
13. Rekan-rekan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Warasta xxxxxxx Xxxxxxxx, Ika Novi Xxxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx, Xxxxxxxx. Angkatan XXX, Jiwa Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxx, Daru Buana Sejati, Xxxx Xxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, yang telah menemani dan menimba ilmu bersama dalam suka maupun duka di fakultas tercinta ini. Khususnya BKU Bisnis Angkatan XXX, Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxx Xxxxx, dan Xxxxx Xxxx Xxxxxx, terima kasih atas sepenggal waktu yang tak kan pernah terlupakan, semoga ukhuwah tetap terjaga hingga akhir waktu;
14. Rekan-rekan perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Ikhwan Xxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxxx, Xxxxxxxx Asmi, Xxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, yang telah berkenan memberikan kesempatan membaca, meminjam dan mengeksplor referensi yang dibutuhkan untuk karya kecil ini;
15. Saudara, teman, rekan-rekan dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu maupun memberikan semangat.
Yogyakarta, 22 Februari 2015
Penulis Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxx
13912044
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan ii
Halaman Pengesahan iii
Halaman Motto dan Persembahan iv
Pernyataan Orisinalitas v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi xi
Abstrak xiii
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 12
C. Tujuan Penelitian 13
D. Tinjauan Pustaka 13
E. Teori atau Doktrin 15
F. Metode Penelitian 24
1. Jenis Penelitian 26
2. Jenis Data 27
3. Cara Pengumpulan Data 28
4. Alat Pengumpulan Data 28
5. Analisis Data 29
Bab II Perjanjian pada Umumnya 30
A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian 30
1. Istilah, Tempat Pengaturan dan Pengertian Perjanjian 30
2. Unsur-Unsur Perjanjian 34
3. Syarat Sahnya Perjanjian 35
B. Asas-Asas Perjanjian 45
1. Asas Konsensualisme 46
2. Asas Kebebasan Berkontrak 47
3. Asas Pacta Sunt Servanda 62
4. Asas Itikad Baik 63
5. Asas Kepribadian 72
C. Perjanjian Kredit 72
1. Istilah dan Pengertian Kredit 72
2. Unsur-Unsur Kredit 74
3. Tujuan Kredit 76
4. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit 78
D. Perjanjian dengan Klausula Baku 81
Bab III Asas Itikad Baik Sebagai Pembatas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank 88
A. Bentuk Pembatasan Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak melalui Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Kredit Bank 92
B. Upaya Hukum yang dapat dilakukan oleh Para Pihak jika di dalam Perjanjian Kredit Bank tidak terdapat Asas Itikad Baik sebagai Pembatas Kebebasan Berkontrak 143
Bab IV Penutup 182
A. Kesimpulan 182
B. Saran 184
Daftar Pustaka 185
ABSTRAK
ASAS ITIKAD BAIK SEBAGAI PEMBATAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk pembatasan penerapan asas kebebasan berkontrak melalui asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit Bank. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak jika di dalam Perjanjian Kredit Bank tidak terdapat asas itikad baik sebagai pembatas kebebasan berkontrak. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dimana penulis menelaah asas- asas serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan secara mendalam. Penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan studi dokumen untuk mendapatkan data sekunder. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan penyajian secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asas kebebasan berkontrak yang dimaksudkan di sini bukan lagi kebebasan mutlak karena terdapat batasan-batasan yang diberikan oleh pasal-pasal dalam KUHPerdata yaitu Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata, Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata, Pasal 1320 ayat (4) jo. Pasal 1337 KUHPerdata, Pasal 1332 KUHPerdata, Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Bentuk pembatasan terhadap penerapan berlakunya asas kebebasan berkontrak melalui asas itikad baik dalam perjanjian kredit bank yaitu berupa adanya perjanjian yang mengharuskan formalitas atau bentuk tertentu, larangan memasukkan klausula- klausula yang bertentangan dengan kewajaran atau kepatutan dan campur tangan pemerintah melalui perangkat hukum yang dibuatnya. Pencantuman klausula eksonerasi tidak lain adalah untuk menjamin keamanan pihak bank terhadap kemungkinan wanprestasi atau ingkar janji atau bahkan kerugian yang dengan sengaja dibuat oleh debitor. Tidak ada larangan untuk pencantuman klausula eksonerasi dalam perjanjian baku selama tidak bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun jika ada klausula-klausula yang bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) dan ayat
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, maka hanya klausula itu saja yang dinyatakan batal atau tidak berlaku. Pencantuman syarat eksonerasi Pasal 18 ayat
(1) huruf (a) sampai (h) yang merugikan menurut Pasal 18 ayat ((2) dinyatakan batal demi hukum artinya syarat-syarat tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada. Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai instrumen penyeimbang terhadap pelaku usaha. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak jika di dalam perjanjian kredit bank tidak terdapat asas itikad baik sebagai pembatas kebebasan berkontrak adalah dengan melakukan upaya negosiasi diantara para pihak, namun jika negosiasi tersebut gagal, perselisihan para pihak yang bersengketa diselesaikan dengan musyawarah sehingga tidak diperlukan kembali adanya penyelesaian sengketa melalui jalur mediasi, arbitrase maupun secara litigasi.
Kata Kunci: Xxxx Xxxxxx Xxxx, Asas Kebebasan Berkontrak, Perjanjian Kredit
ABSTRACT
THE FREEDOM OF CONTRACT AND GOOD FAITH PRINCIPLE AT THE CONTRACT LAW
The purpose of this research is to determine how the application restriction form of the principle of freedom of contract through the principle of good faith in the Bank Credit Agreement. This study also aims to determine whether the legal remedies can be done by the parties if there isn’t any good faith as the limitation of the principle of freedom of contract in the Bank Loan Agreement. It is a normative juridical research where the author examines the principles and doctrines relating to the subject matter in depth. The research was done by studying the documents to obtain secondary data. Data obtained from the research literature were then analyzed qualitatively with a descriptive presentation.
The result showed that the principle of freedom of contract that is intended here is no longer the absolute freedom anymore because there are limitations given by the articles of the Civil Code, Article 1320 paragraph (1) of the Civil Code, Article 1320 (2) Civil Code, Article 1320 (4) jo. Article 1337 of the Civil Code, Article 1332 of the Civil Code, Article 1338 paragraph (3) of the Civil Code. The forms of restrictions on the application of the principle of freedom of contract through the enactment of the principle of good faith in the bank credit agreement are in the form of the agreement which requires formalities or certain shape, the ban to incorporate clauses that are contrary to the fairness or propriety, and government intervention through a legal device of their made. Inclusion of the exoneration clause is none other than to ensure the safety of the bank against the possibility of default or broken promises or even loss deliberately made by the debtor. There isn’t any prohibition on the inclusion of the exoneration clause in a standard contract as long as it doesn’t conflict with Article 18 of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. But if there are clauses that are contrary to Article 18 paragraph (1) and (2) of Law No. 8 of 1999, then the clause will only be declared void or not applicable. The inclusion of the exoneration terms of Article 18 paragraph (1) letter (a) to (h) that can be harmful according to Article 18 paragraph (2) shall be deemed void and it means that the clause from the original start is thought never existed. Consumer Protection Law act as an instrument to counterweight the businessmen. Legal efforts can be done by the parties, even if there isn’t any principle of good faith as a limitation of freedom of contract in the bank credit agreement and it is done by making negotiation efforts among the parties. But if the negotiation failed, the disputes can be resolved by discussion till another resolution isn’t required again through the mediation, litigation and arbitration.
Keywords: Principle of Good Faith, The principle of freedom of contract, the Credit Agreement
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menghadapi era globalisasi maupun persaingan dalam pasar bebas yang terus berkembang hingga saat ini, maka setiap negara dituntut agar mampu berkompetisi dengan negara-negara lain di dunia ini, begitu juga dengan Indonesia. Indonesia memainkan peranannya sebagai negara berkembang juga dituntut untuk dapat berkompetisi dan bersaing dengan negara-negara maju maupun negara-negara berkembang lainnya. Oleh karena itulah diperlukan berbagai persiapan menuju persaingan tersebut. Berbagai upaya pembenahan dilakukan dalam segala bidang, baik bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan budaya. Salah satu upaya Indonesia dalam menghadapi persaingan adalah dengan meningkatkan stabilitas ekonomi bangsanya.
Pembangunan negara Indonesia pun tidak terlepas dari keterlibatan para pelaku usaha baik pengusaha kecil dan menengah. Disadari hal tersebut erat kaitannya dengan dunia perbankan dalam pemberian pinjaman modal. Seiring meningkatnya kebutuhan pendanaan, sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kegiatan pinjam meminjam. Dengan meningkatnya pembangunan meningkat pula kebutuhan terhadap pendanaan yang sebagian besar dana yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperoleh melalui kredit perbankan.1
Sektor perbankan memiliki peran sangat vital antara lain sebagai pengatur urat nadi perekonomian nasional. Kelancaran aliran uang sangat diperlukan untuk
1 Xxxxxxx, xx.xx., The Law of Banking and Financial Institution (Netherland: Xxxxxx Kluwer Law & Business, 2009), hlm. 1.
mendukung kegiatan ekonomi. Dengan demikian kondisi sektor perbankan yang sehat dan kuat penting menjadi sasaran akhir dari kebijakan sektor perbankan. Peran sektor perbankan dalam pembangunan juga dapat dilihat pada fungsinya sebagai alat transmisi kebijakan moneter. Di samping itu perbankan merupakan alat sangat vital dalam menyelenggarakan transaksi pembayaran baik nasional maupun internasional. Mengingat pentingnya fungsi ini maka upaya menjadi kepercayaan masyarakat terhadap perbankan menjadi bagian yang sangat penting untuk dilakukan.2
Pengertian Bank menurut Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perbankan) menyebutkan bahwa:3
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”
Xxxxxx menghimpun dan menyalurkan dana berkaitan erat dengan kepentingan umum sehingga perbankan wajib menjaga dengan baik dana yang dititipkan masyarakat. Perbankan harus dapat menyalurkan dana tersebut ke bidang-bidang yang produktif bagi pencapaian sasaran pembangunan.4 Bank dapat melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat dan terjamin dalam menyalurkan kredit harus memenuhi prinsip 5C yaitu Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral (jaminan), dan Condition of economy (kondisi ekonomi). Prinsip-prinsip tersebut merupakan indikator bagi pihak bank dalam menilai calon debitornya. Penerapan prinsip ini berlaku umum dalam dunia perbankan dan diterapkan untuk
2 X.X Xxxxx Xxxx, Contract Drafting (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2006), hlm. 51.
3 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
4 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Bisnis (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1994), hlm.
105-106.
menjamin penyaluran kredit sesuai fungsi dan tujuannya serta menghindari kerugian bagi pihak bank atas munculnya kasus kredit bermasalah.5
Hukum pada dasarnya untuk perlindungan kepentingan manusia. Setiap hubungan hukum, termasuk perjanjian harus ada keseimbangan antara para pihak supaya tidak terjadi konflik kepentingan. Namun dalam realitasnya tidak selalu demikian. Selalu terdapat kemungkinan salah satu pihak mempunyai posisi yang lebih kuat baik dari sisi ekonomi maupun dari penguasaan teknologi atau suatu penemuan yang spesifik. Dalam kondisi ini salah satu pihak lebih mempunyai peluang untuk lebih diuntungkan dalam suatu perjanjian. Seringkali pihak penyusun menentukan syarat-syarat yang cukup memberatkan apalagi perjanjian tersebut disajikan dalam bentuk perjanjian kontrak standar sehingga ketentuan-ketentuan dalam perjanjian dapat dipakai untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kerugian pada pihaknya. Dalam hal demikian salah satu pihak hanya punya pilihan untuk menerima atau menolak perjanjian tersebut.
Perjanjian baku atau standar lahir sebagai bentuk dari perkembangan dan tuntutan dunia usaha. Perjanjian standar telah banyak diterapkan dalam dunia usaha seperti perbankan, lembaga pembiayaan konsumen dan berbagai bentuk usaha lainnya. Perjanjian standar atau baku dipandang lebih efisien dari sisi waktu dan biaya. Perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.
Bentuk perjanjian kredit perbankan menggunakan bentuk perjanjian baku (standar contract) yang klausula-klausulanya telah ditentukan atau disusun sebelumnya oleh pihak bank. Dengan demikian maka nasabah sebagai calon debitor hanya mempunyai
5 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank (Jakarta: Alfabeta, 2003), hlm. 93-94.
pilihan antara menerima klausula-klausula atau menolak klausula itu. Kelemahan dari perjanjian baku ini adalah mengenai sifat atau karakternya karena telah ditentukan secara sepihak dan di dalamnya ditentukan sejumlah klausula yang membebaskan kreditor dari kewajibannya.6
Xxxxxxxx-xxxxxxxx yang tertuang dalam perjanjian kredit cenderung merupakan upaya perlindungan bagi kreditor untuk mengurangi risiko kredit. Oleh karena itu nasabah sebagai calon debitor tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima atau menolak (take it or leave it) klausula-klausula yang termuat dalam perjanjian kredit. Dengan kata lain bahwa persyaratan-persyaratan baku dalam Perjanjian Kredit Bank umumnya tidak memberikan peluang untuk melakukan negosiasi dengan calon nasabah debitor sehingga terdapat kecenderungan menyisihkan asas kebebasan berkontrak.7
Dalam praktik perbankan yang lazim di Indonesia pada umumnya perjanjian kredit yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausula- klausulanya telah disusun sebelumnya oleh bank dengan demikian nasabah sebagai calon debitor hanya mempunyai pilihan untuk menerima seluruh isi perjanjian atau tidak bersedia menerima klausula-klausula itu baik sebagian atau seluruhnya yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut. Diharapkan perjanjian kredit yang dibuat dengan klausula-klausula tertentu dapat memberikan keamanan pihak bank karena dana masyarakat yang disimpan pada bank perlu dilindungi dan harus pula dapat melindungi nasabah selaku debitor serta dalam batas-batas tertentu sering berada pada posisi yang lemah bila berhadapan dengan bank sebagai kreditor.
6 Ibid. hlm. 1-2.
7 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan Perdagangan (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992), hlm. 48.
Kedudukan bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitor di dalam perjanjian kredit tidak pernah seimbang. Kedudukan bank lebih kuat dibandingkan dengan calon nasabah. Padahal kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Bargaining power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah sehingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat kontrak yang diajukan kepadanya.8
Perlu diperhatikan adalah posisi bank pada saat kredit belum diberikan dan setelah kredit diberikan. Pada waktu kredit akan diberikan pada umumnya memang bank dalam posisi yang lebih kuat dibandingkan dengan calon nasabah debitor. Bank menjadi pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.9 Hal tersebut terjadi karena pada saat pembuatan perjanjian kredit itu calon nasabah debitor sangat membutuhkan bantuan kredit dari bank. Dalam hal yang demikian pada umumnya calon nasabah debitor tidak akan banyak menuntut karena mereka khawatir pemberian kredit tersebut akan dibatalkan oleh bank.
Dasar hubungan hukum para pihak dalam suatu perjanjian adalah hubungan kontraktual. Hubungan kontraktual ini baru terjadi pada saat calon kreditor dan debitor melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang menyangkut perjanjian. Timbulnya permasalahan dan hambatan dikemudian hari terhadap hubungan kontraktual tersebut merupakan sesuatu hal yang wajar dan tidak mungkin bisa diprediksi sebelumnya oleh para pihak. Oleh karena itu menjadi sangat penting apabila dikaitkan dengan kondisi
8 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 2-3.
9 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak (Jakarta: FH UI, 2004), hlm. 2.
kontrak tersebut dibuat. Para pihak harus benar-benar memahami substansi dan situasi sebelum memutuskan untuk membuat kata sepakat dalam kontrak.
Kesepakatan menjadi syarat penting yang melahirkan hubungan kontraktual diantara para pihak sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. Selain harus memperhatikan ketentuan tersebut, dalam pembuatan perjanjian juga harus memahami dan menerapkan asas-asas yang terdapat dalam hukum perjanjian pada umumnya. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx memberikan pengertian mengenai asas hukum yang menyatakan bahwa:
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.10
Asas hukum bukanlah kaidah hukum yang konkrit melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut beberapa asas yang terkandung di dalamnya dan dua diantaranya yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Berdasarkan kata “semua” dari pasal tersebut maka lahirlah asas kebebasan berkontrak. Tujuan dari pasal tersebut adalah bahwa pada umumnya suatu perjanjian dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya maupun syarat-syarat dan bebas untuk menentukan bentuknya yaitu tertulis atau tidak tertulis dan seterusnya. Jadi dari pasal tersebut dapat
10 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1995), hlm. 34.
disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu Undang-Undang.11
Dalam hukum perjanjian terdapat pula asas yang lain selain asas kebebasan berkontrak sebagaimana telah diuraikan di atas yaitu yang dikenal dengan asas itikad baik. Dalam suatu perjanjian apapun bentuk dan jenisnya pastilah terkandung asas itikad baik di dalamnya. Asas ini sangat penting untuk dimiliki dan ditanamkan dengan kuat oleh para pihak ketika membuat perjanjian maupun dalam pelaksanaannya. Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dengan dimasukkannya itikad baik di dalam pelaksanaan perjanjian berarti tidak lain harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan.12
Itikad baik secara teoretik dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu itikad baik subjektif yang merupakan kejujuran dan itikad baik objektif yang merupakan kepatutan dan kepantasan di dalam pelaksanaan perjanjian. Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata dapat diketahui bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.13 Itikad baik di sini berupa kewajiban para pihak untuk memberikan informasi atau pemberitahuan keadaan yang sesungguhnya kepada pihak lain dan kewajiban untuk memeriksa atau meneliti segala sesuatu dengan seksama. Kedua hal tersebut merupakan wujud adanya itikad baik subjektif yang harus dimiliki pada saat kontraktual.
11 X. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-8 (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2000), hlm. 28.
12 Xxxxxxxx Xxxxxx, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari UU) (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 67.
13 xxxx://xxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx-xxxx-xxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx/,“Batasan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Perjanjian,” diakses tanggal 22 Juni 2014.
Suatu kontrak pada dasarnya hanyalah merupakan suatu bentuk formalitas dari berbagai kepentingan subjektif para pihak yang membuatnya. Subjektifitas individu inilah yang sangat berperan penting dan dominan dalam proses lahirnya perxxxxxxx. Selain itu dukungan dari kebebasan berkontrak juga terlibat di dalamnya. Kebebasan yang mengutamakan kepentingan individu terkadang mengabaikan hak atau kepentingan pihak lainnya. Kebebasan yang tanpa batas dan tidak sesuai dengan rambu- rambu yang ada mengakibatkan berbagai dampak negatif yang menyertainya.
Kebebasan pastilah harus dimiliki oleh setiap orang, baik secara pribadi maupun secara sosial kemasyarakatan. Salah satunya yaitu kebebasan untuk mengeluarkan pendapat serta hak untuk mendapatkan informasi, dimana merupakan hak yang mendapat jaminan dalam Pasal 28 UUD 1945. Namun demikian, dalam perkembangannya kebebasan yang sekarang ini semakin ditonjolkan adalah suatu bentuk kebebasan yang semakin tidak terkontrol, maksudnya tanpa batasan yang jelas. Hal ini menunjukkan adanya suatu perubahan paradigma pandangan masyarakat mengenai hakikat akan kebebasan itu sendiri.
Setiap orang dapat leluasa membuat perjanjian apa saja bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHPerdata. Adanya asas kebebasan berkontrak ini memunculkan berbagai jenis perjanjian yang semakin bertumbuhkembang di masyarakat. Dampak lebih lanjut dari adanya kebebasan berkontrak tersebut di samping segi positif juga terdapat segi negatif yang terkadang tidak disadari oleh para pihak.
Asas itikad baik pada Perjanjian Kredit Bank dapat menjadi pembatas terhadap berlakunya asas kebebasan berkontrak. Mengenai bentuk-bentuk pembatasan dari asas
itikad baik terhadap berlakunya asas kebebasan berkontrak pada Perjanjian Kredit Bank perlu ditelusuri lebih lanjut. Hal ini disebabkan belum adanya doktrin yang secara jelas memaparkan mengenai bentuk pembatasan asas kebebasan berkontrak ini apabila dikaitkan dengan asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit Bank.
Dalam Perjanjian Kredit Bank terdapat beberapa pasal yang didalamnya terdapat klausula yang memuat itikad tidak baik karena pihak bank dengan bargaining powernya memaksakan adanya klausula tersebut dalam perjanjian kredit. Dalam Pasal 4 ayat (2) Perjanjian Kredit Bank menyebutkan bahwa Deditor menyetujui suku bunga yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh Bank karena sebab apapun dan perubahan suku bunga tersebut mengikat Debitor. Terlihat dalam pasal tersebut nasabah mau tidak mau menerima klausula yang memang dipaksakan untuknya. Selain itu juga tentang denda yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (4) Perjanjian Kredit Bank yang juga dapat diubah sewaktu-waktu. Serta Pasal 16 Perjanjian Kredit Bank tentang pengalihan hak dimana bank dapat mengalihkan kredit kepada pihak lain tanpa diperlukan pemberitahuan dan persetujuan terlebih dahulu dari Debitor. Pasal di atas merupakan gambaran bahwa klausula-klausula tersebut akan memunculkan permasalahan dikemudian hari sebagai akibat tidak adanya kebebasan untuk menentukan klausula-klausula dalam Perjanjian Kredit Bank. Hal ini akan membawa dampak signifikan apabila terjadi persengketaan dikemudian hari. Oleh karena itu nampaknya dapat dikatakan bahwa bank dianggap bertindak tidak dengan itikad baik (good faith) sehingga klausula tersebut bertentangan dengan itikad baik yang dimaksudkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
Dalam Pasal 12 Perjanjian Kredit Bank selaku kreditor tidak mau dirugikan dan merasa nasabah debitor dimungkinkan melalaikan kewajibannya, maka bank
mencantumkan syarat-syarat batal atau klausul events of default. Hal ini dalam rangka untuk melindungi kepentingan bank sendiri. Karena kalau syarat-syarat batal itu tidak dicantumkan dalam perjanjian kredit bentuk baku, maka pelaksanaan pembatalan perjanjian kredit itu hanya dapat terjadi berdasarkan putusan pengadilan atau hakim melalui proses litigasi yang cukup panjang dan lama sehingga akhirnya bank enggan untuk memberikan kredit itu. Namun hal ini nampaknya bertentangan dengan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata.
Jika terjadi suatu sengketa antara para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan yang jelas dalam perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti perjanjian belum mengikat para pihak atau dengan sendirinya batal demi hukum, karena pengadilan dapat mengisi kekosongan hukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan hukum yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.14 Jika ditelaah dengan mengacu pada asas itikad baik yang modern yaitu tidak hanya melihat sebuah kesepakatan dalam bentuk riil namun mendasarkan pada adanya unsur kepercayaan atas janji-janji kontraktual dilakukan satu sama lain maka seharusnya Xxxxx tidak hanya melihat bahwa kesepakatan itu hanya dalam bentuk penuangan tanda tangan para pihak dalam Perjanjian Kredit Bank namun janji-janji yang telah disepakati para pihak dalam proses negosiasi haruslah dipertimbangkan oleh Xxxxx untuk menentukan apakah kesepakatan tersebut dapat digunakan oleh para pihak yang dirugikan atas xxxxx-xxxxx tersebut.
Hukum seyogyanya memberikan keadilan karena keadilan itulah tujuan dari hukum. Oleh karena itu hukum yang mengatur Perjanjian Kredit Bank memberikan pula
keadilan kepada para pihak. Dalam hubungan ini maka isi atau klausula-klausula perjanjian kredit antara bank dan nasabah tidak dapat didasarkan hanya pada satu asas seperti asas itikad baik saja ataupun asas kebebasan berkontrak saja. Menyerahkan pembuatan perjanjian kredit kepada bekerjanya mekanisme suatu asas hanya akan menciptakan ketidakseimbangan dan ketidakselarasan hubungan antara bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitor. Kiranya perlu ada pembatasan-pembatasan terhadap bekerjanya asas kebebasan berkontrak yang dilakukan oleh negara. Tidak ada kebebasan berkontrak yang mutlak. Negara dapat saja mengatur dengan melarang klausula-klausula dalam suatu kontrak yang dapat berakibat buruk atau merugikan kepentingan masyarakat. Negara tidak membiarkan pembuatan Perjanjian Kredit Bank hanya semata-mata diserahkan kepada bekerjanya mekanisme asas kebebasan berkontrak yang tidak terbatas.15
Saat perjanjian dibuat, dibutuhkan suatu kondisi dimana para pihak yang terkait di dalamnya berada dalam posisi yang seimbang. Maksud keseimbangan di sini yaitu terjadinya kesetaraan kedudukan diantara para pihak, tidak ada yang mendominasi atau melakukan tekanan kepada pihak lainnya. Berbagai kepentingan subjektif dari para pihak dapat menimbulkan benturan-benturan kepentingan yang nantinya akan mengganggu keseimbangan dalam perjanjian. Para pihak harus benar-benar paham mengenai hak dan kewajibannya sebelum memutuskan untuk menandatangani perjanjian kredit.
Antara asas itikad baik dan kebebasan berkontrak tersebut diharapkan dapat berjalan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan tanpa ada yang lebih dominan
atau bahkan mengesampingkan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan yang dimiliki oleh para pihak tidak berjalan tanpa arah dan patokan yang jelas sehingga dikemudian hari akan menimbulkan perjanjian yang tidak sehat. Keproporsionalan diantara kedua asas tersebut sangat penting untuk dapat diterapkan. Oleh karena itu cukup penting dan menarik untuk dapat menemukan batasan diantara asas itikad baik dan asas kebebasan berkontrak tersebut dalam perjanjian kredit.
Mengingat begitu luas dan beragamnya jenis perjanjian yang tumbuh dan berkembang di masyarakat maka penulis memutuskan untuk menggunakan pendekatan dengan studi kasus terhadap Perjanjian Kredit Bank yang relevan dengan bidang kajian. Dalam perjanjian kredit cukup menarik untuk ditelusuri lebih mendalam bagaimanakah penerapan asas-asas perjanjian di dalamnya. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis berinisiatif untuk memilih tema penulisan tesis dengan judul Xxxx Xxxxxx Xxxx sebagai Pembatas Kebebasan Berkontrak dalam Perjanjian Kredit Bank.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa rumusan masalah, antara lain:
1. Bagaimana bentuk pembatasan penerapan asas kebebasan berkontrak melalui asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit Bank?
2. Apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak jika di dalam Perjanjian Kredit Bank tidak terdapat asas itikad baik sebagai pembatas kebebasan berkontrak?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan yang hendak dicapai, yaitu:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk pembatasan penerapan asas kebebasan berkontrak melalui asas itikad baik dalam Perjanjian Kredit Bank.
2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh para pihak jika di dalam Perjanjian Kredit Bank tidak terdapat asas itikad baik sebagai pembatas kebebasan berkontrak.
D. Tinjauan Pustaka
1. Xxxxxx Xxxx dalam Perjanjian Xxxxx Xxxsama, tahun 2012, oleh X. Darmawan, S.H., Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan rumusan masalah meliputi bagaimana fungsi itikad baik dalam PKB, apa akibat hukum tidak adanya itikad baik dalam PKB, dan bagaimana penyelesaian sengketa antara pengusaha dan pekerja akibat tidak ada itikad baik dalam PKB.
2. Itikad Baik Pra Kontrak dalam Perjanjian antara Bank Penerbit Kartu Kredit dengan Cardholder untuk Penerbitan Kartu Kredit, tahun 2013, oleh Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxx, S.H., Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan rumusan masalah meliputi bagaimana penerapan itikad baik pra kontrak dalam perjanjian antara bank penerbit kartu kredit dengan pemegang kartu kredit dalam penerbitan kartu kredit dan akibat hukumnya jika itikad baik tidak diterapkan dalam suatu perjanjian.
3. Penerapan Itikad Baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam Hubungan Industrial, tahun 2010, oleh Xxxxxx, Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan rumusan masalah meliputi bagaimana penerapan itikad baik dalam perjanjian kerja waktu tertentu dan bagaimana akibat hukum perjanjian kerja waktu tertentu yang di dalam klausulanya mengandung ketidakpatutan dan ketidakrasionalan.
4. Penerapan Asas Itikad Baik dalam Perjanjian Bagi Hasil Modal Ventura (Studi Kasus pada PT. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxx di Yogyakarta), tahun 2011, oleh Xxxxx Xxxxxxx, Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan rumusan masalah meliputi bagaimana penerapan asas itikad baik dalam perjanjian bagi hasil modal ventura pada PT Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxx dan bagaimana akibat hukum dari perjanjian bagi hasil modal ventura antara PT. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxx dengan PPU.
5. Arti pentingnya Xxxxxx Xxxx dalam Perjanjian Waralaba, tahun 2009, oleh Udjianti, Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan rumusan masalah meliputi bagaimana arti pentingnya itikad baik dalam perjanjian waralaba dan bagaimana akibat hukum terhadap perjanjian waralaba yang di dalamnya klausulanya mengandung ketidakpatutan dan ketidakrasionalan.
6. Itikad Baik dalam Perndaftaran Merek Terdaftar yang terlambat Diperpanjang, tahun 2010, oleh Arina Istiqomah Xxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dengan rumusan masalah meliputi apakah pendaftaran merek terdaftar yang terlambat
diperpanjang dapat dinyatakan mempunyai itikad tidak baik dan bagaimanakah akibat hukum dalam pendaftaran merek terdaftar yang terlambat diperpanjang.
E. Teori atau Doktrin
Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sedikitnya terdapat 3 (tiga) unsur dalam suatu teori. Pertama, penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua, teori menganut sistem deduktif yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju suatu yang khusus dan nyata. Aspek kunci yang ketiga adalah bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya. Xxxxxx dari teori dalam suatu penelitian adalah untuk memberikan pengarahan kepada penelitian yang akan dilakukan.16
Kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas. Keduanya saling mendukung dan berakar dari paham hukum alam. Paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh karena manusia mempergunakan akalnya. Oleh karena itu menurut hukum alam individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang seoptimal mungkin. Jika individu-individu berhasil mencapai kesejahteraan maka masyarakat yang merupakan kumpulan dari individu-individu tersebut akan sejahtera pula. Dalam mencapai kesejahteraannya individu harus mempunyai kebebasan untuk
16 Duane R. Xxxxxxx, et. al., Applied Social Research (New York: Xxxxxxxx and Xxxxxxx Xxx., 1986), hlm. 27.
bersaing dan negara tidak boleh campur tangan. Seiring dengan berkembangnya laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula suatu prinsip yang umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas.17
Dalam perkembangannya, asas kebebasan berkontrak hanya bisa mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position yang seimbang. Jika salah satu pihak lemah maka pihak yang memiliki bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak yang semacam itu akhirnya akan melanggar aturan-aturan yang adil dan layak. Di dalam kenyataannya tidak selalu para pihak memiliki bargaining position yang seimbang sehingga negara campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah.18
Pada umumnya karena menjadi pihak yang memiliki uang dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka bank diasumsikan memiliki bargaining position yang kuat terhadap nasabahnya. Namun dalam keadaan tertentu bank dapat merupakan pihak yang lemah. Ketidakseimbangan bargaining position ini sering melahirkan perjanjian kredit yang berat sebelah atau timpang, tidak adil dan melanggar aturan-aturan kepatutan. Negara perlu campur tangan untuk melindungi pihak yang lemah. Perjanjian kredit adalah perjanjian antara bank sebagai kreditor dengan nasabah sebagai debitor mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitor untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
17 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm. 8.
18 Ibid., hlm. 9.
Bank mempunyai 2 (dua) fungsi utama yaitu pengerahan dana dari masyarakat dan penyalurannya kembali kepada masyarakat berupa kredit. Dengan demikian terdapat 2 (dua) hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu:
1. Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana;
2. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitor atau Perjanjian Kredit Bank.
Hubungan bank dengan nasabahnya dapat dikategorikan sebagai hubungan antara kreditor dan debitor, hubungan kepercayaan (fiduciary relation) dan hubungan kerahasiaan (confidential relation). Ketiga hubungan antara bank dan nasabah tersebut dapat ditambah lagi dengan hubungan kehati-hatian atau kearifan (prudential relation). Keempat hubungan tersebut menjiwai hubungan bank dan nasabah terutama berkenaan dengan hubungan bank sebagai kreditor dan nasabah sebagai debitor yang dituangkan dalam perjanjian kredit.19
Perjanjian kredit perbankan biasanya sudah berbentuk perjanjian baku yaitu perjanjian yang telah disusun lebih dahulu, bersifat standar dan tidak adanya unsur kebebasan untuk memilih sebagai unsur tradisional dalam kebebasan berkontrak. Perjanjian baku kemudian menimbulkan hal-hal yang negatif dalam arti pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah dan pihak yang kuat mendapat keuntungan dari tindakannya tersebut.
Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian untuk dapat menyusun dan menyetujui klausula-klausula dari perjanjian tersebut tanpa campur tangan pihak lain. Campur tangan tersebut dapat datang dari
negara melalui peraturan perundang-undangan yang menetapkan ketentuan-ketentuan yang diperkenankan atau dilarang. Campur tangan tersebut dapat pula datangnya dari pihak pengadilan berupa putusan pengadilan yang membatalkan sesuatu klausula dari suatu perjanjian atau seluruh perjanjian atau berupa putusan yang berisi pernyataan bahwa suatu perjanjian batal demi hukum.20
Hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak. Asas ini tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut Xxxxxxx meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat. Asas umum yang kedua adalah pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjanjian. Xxxxxxx mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Di negara-negara yang menganut sistem common law, kebebasan berkontrak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan public policy. Bila suatu kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy maka kontrak tersebut menjadi ilegal. Undang-Undang tertentu telah mencantumkan ketentuan- ketentuan yang boleh atau yang tidak boleh dicantumkan di dalam suatu kontrak. Sedangkan public policy lebih banyak berhubungan dengan ukuran-ukuran kepatutan menurut penilaian masyarakat. Oleh karena itu public policy tersebut dapat berbeda-
beda menurut waktu dan tempat tergantung kepada nilai-nilai yang ada dalam suatu masyarakat.
Berlakunya asas kebebasan berkontrak dalam hukum perjanjian Indonesia antara lain dapat disimpulkan dari Pasal 1329 KUHPerdata yang menentukan bahwa setiap orang cakap untuk membuat perjanjian kecuali jika ia ditentukan tidak cakap oleh Undang-Undang. Dari Pasal 1332 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa asalkan menyangkut barang-barang yang bernilai ekonomis maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya. Dari Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa asalkan bukan mengenai kausa yang dilarang oleh Undang- Undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik ketertiban umum maka setiap orang bebas untuk memperjanjikannya.
KUHPerdata maupun perundang-undangan tidak memuat ketentuan yang mengharuskan maupun melarang seseorang untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian ataupun mengharuskan maupun melarang untuk tidak mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Oleh karena itu ruang lingkup asas kebebasan berkontrak menurut hukum perjanjian Indonesia meliputi:21
(1) Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
(2) Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian;
(3) Kebebasan untuk menentukan atau memilih causa dari perjanjian yang akan dibuatnya;
(4) Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian;
(5) Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
21 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), dikutip dari Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, hlm. 87.
(6) Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan Undang-Undang yang bersifat opsional (aanvullend, optional).
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang tidak tak terbatas yang berarti bukannya bebas mutlak. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh asas konsensualisme.
Dari Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata jo. Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang- Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.
Pasal 1332 KUHPerdata memberikan arah mengenai kebebasan pihak untuk membuat perjanjian sepanjang menyangkut objek perjanjian. Menurut Pasal 1332 KUHPerdata adalah tidak bebas untuk memperjanjikan setiap barang apapun. Menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomis saja yang dapat dijadikan objek perjanjian.
Pasal 1338 ayat (3) menentukan tentang berlakunya asas itikad baik dalam melaksanakan perjanjian.22 Berlakunya asas itikad baik bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan tetapi mulai bekerja pada waktu perjanjian dibuat. Artinya bahwa perjanjian yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk misalnya atas dasar penipuan maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian asas itikad baik mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.
Pencantuman kewajiban itikad baik di dalam kontrak diatur dalam Pasal 1134 ayat (3) Code Civil Perancis yang menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi). Makna umum itikad baik mengacu kepada standar perilaku yang rasional yang tidak lain bermakna bahwa orang harus mematuhi janji atau perkataannya dalam segala keadaan.
Pengaturan serupa juga terdapat di dalam Pasal 1374 ayat (3) BW (lama) Belanda yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.23 Menurut P.
L. Wery makna pelaksanaan itikad baik (uitvoering te goeder trouw) dalam Pasal 1374 ayat (3) masih sama dengan makna bona fides dalam hukum Romawi. Itikad baik bermakna bahwa kedua belah pihak harus berlaku satu dengan lainnya tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa mengganggu pihak lain tetapi juga kepentingan pihak lainnya. Hoge Raad menafsirkan dan memperluas ketentuan itikad baik dalam putusannya Hengsten Vereniging v. Onderlinge Paarden en Vee Assurantie (Artist De Laboureur Arrest), 9 Februari 1923 NJ 1923, 676 menyatakan bahwa dalam ketentuan kontrak dilaksanakan dengan itikad baik bermakna bahwa kontrak harus dilaksanakan
22 Ibid., hlm. 10.
dengan volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid. Redelijk adalah reasonable atau sesuai dengan akal sehat. Bilijkheid adalah patut. Makna yang pertama berhubungan dengan penalaran dan makna yang kedua berkaitan dengan perasaan. Rumusan redelijkheid en billijkheid meliputi semua hal yang ditangkap dengan akal pikiran (intelek) dan perasaan.
Produk legislatif terbaru yang berkaitan dengan itikad baik terdapat dalam Pasal
6.248.1 BW (Baru) Belanda. Menurut Hartkamp, pembentuk Undang-Undang telah membedakan itikad baik dalam makna ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing dari itikad baik dalam makna honesty in fact. Untuk mencegah kemungkinan timbulnya kebingungan, pembentuk Undang-Undang Belanda menggunakan istilah itikad baik dalam makna yang pertama saja dimana itikad baik kemudian dikarakteristikkan sebagai reasonableness (redelijkheid) dan equity (billijkheid).24
Ketentuan tersebut menentukan bahwa para pihak dalam perikatan mengikatkan dirinya atau dengan lainnya sebagai debitor dan kreditor sesuai dengan redelijkheid en billijkheid. Dari keterikatan tersebut para pihak tidak hanya terikat pada apa yang mereka sepakati tetapi juga kepada redelijkheid en billijkheid. Itikad baik merupakan suatu ketentuan yang mendasarkan dirinya kepada keadilan yakni keadilan sebagai kepatutan.25
Pasal 1134 ayat (3) Civil Code Perancis menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik (contract doivent etre executes de bonna foi).26 Pasal
24 Ibid., hlm 133.
25 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama),
hlm. 130-133.
1135 Code Civil Perancis mewajibkan keterikatan para pihak untuk tidak hanya terikat pada apa yang secara tegas mereka perjanjikan tetapi juga kepada kepatutan (equite), kebiasaan atau hukum yang memberikan suatu kewajiban menurut hakikat (nature) kontrak mereka itu. Kedua Pasal tersebut diadopsi oleh Xxxxx 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik (zij moten te goeder trouw worden ten uitvoer verklaart). Kewajiban ini kemudian dilanjutkan Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa kontrak tidak hanya mengikat terhadap apa yang secara tegas dinyatakan di dalamnya tetapi juga kepada segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. Berkaitan dengan kebiasaan, Pasal 1374 KUHPerdata menyatakan bahwa hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan dianggap secara diam-diam dimasukkan ke dalam kontrak meskipun tidak secara tegas diperjanjikan.27
Itikad baik dibedakan antara itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah standar objektif yang mengacu kepada ketaatan akan reasonable commercial standard of fair dealing yang menurut legislator Belanda disebut bertindak sesuai dengan redelijkheid en billijkheid (reasonableness and equity). Itikad baik subjektif (subjectieve goede trouw) dikaitkan dengan hukum benda (bezit). Seorang pembeli yang beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Dalam hukum benda, itikad baik diartikan sebagai kejujuran. Pembeli yang beritikad baik adalah orang yang jujur yang mengetahui adanya cacat yang melekat pada barang yang dibelinya. Itikad baik yang subjektif ini berkaitan dengan sikap batin
atau kejiwaan (psychische gestelheid) yakni apakah yang bersangkutan menyadari atau mengetahui bahwa tindakannya bertentangan atau tidak dengan itikad baik.
Itikad baik dalam pelaksanaan kontrak mengacu kepada itikad baik objektif yang mengacu kepada suatu norma yang objektif. Perilaku para pihak dalam kontrak diuji atas dasar norma-norma objektif yang tidak tertulis yang berkembang di dalam masyarakat.28 Ketentuan itikad baik menunjuk kepada norma-norma tidak tertulis yang sudah menjadi norma hukum sebagai suatu sumber hukum tersendiri. Norma tersebut dikatakan objektif karena tingkah laku tidak didasarkan pada anggapan para pihak sendiri tetapi tingkah laku tersebut harus sesuai dengan anggapan umum tentang itikad baik tersebut.
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris yaitu research yang berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Sehingga jika dua kata tersebut digabungkan maka mempunyai arti mencari kembali. Pencarian kembali ini ditujukan kepada pengetahuan yang benar. Sejalan dengan pengertian tersebut di atas, Xxxxxxxx Xxxx mendefinisikan kata “research” sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Usaha-usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah.29
Sementara itu Xxxxxxxx Xxxxxxxx menjelaskan arti penelitian adalah suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Dari beberapa pengertian tersebut dapat
28 Ibid., hlm. 127.
29 Xxxxxxxx Xxxx, Metodologi Research, Jilid I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1969), hlm. 4.
disimpulkan bahwa untuk tercapainya suatu hasil yang baik dari sebuah penelitian dibutuhkan suatu metode.
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.30
Metode penelitian adalah cara untuk menjawab dan memecahkan masalah yang timbul dalam perumusan masalah. Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Metode seringkali dirumuskan sebagai:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian;
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan;
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Penggunaan metode yang tepat dalam penelitian dapat menghindari cara pemecahan masalah dan cara berpikir yang spekulatif dalam mencari kebenaran ilmu. Apalagi dalam bidang ilmu sosial yang variabelnya sangat dipengaruhi oleh sikap subjektifitas manusia yang mengungkapkannya. Di samping itu, penggunaan metode yang tepat juga menghindari pemecahan masalah yang bersifat trial and error dan meningkatkan sifat objektifitas dalam menggali kebenaran pengetahuan.
30 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 43.
1. Jenis penelitian
Penelitian hukum dapat digolongkan dalam 2 (dua) golongan besar yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian inventarisasi hukum positif, penelitian asas-asas hukum, penelitian hukum klinis, penelitian hukum yang mengkaji sistematika peraturan perundang-undangan, penelitian yang ingin menelaah sinkronisasi suatu peraturan perundang-undangan, penelitian perbandingan hukum dan penelitian sejarah hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis terdiri dari penelitian berlakunya hukum dan penelitian identifikasi hukum tertulis. Penelitian berlakunya hukum meliputi penelitian efektifitas hukum dan penelitian dampak hukum.
Penelitian ini bersifat yuridis normatif dimana penulis menelaah asas- asas serta doktrin yang berkaitan dengan pokok permasalahan secara mendalam. Penelitian yuridis normatif dalam penelitian hukum ini dilakukan dengan menelusuri, mengkaji, meneliti data sekunder (kepustakaan) yang berkaitan dengan materi penelitian. Pendekatan yuridis normatif merupakan pendekatan utama karena titik tolak penelitian ini adalah mengungkapkan kaedah-kaedah normatif baik dari sumber yang didokumentasikan maupun informasi dari pihak bank dalam perjanjian kredit. Asas-asas yang terkait dalam teori ini adalah asas itikad baik dan asas kebebasan berkontrak. Sedangkan doktrin yang dipakai adalah pendapat dari Xxxxxxx meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat. Asas umum yang kedua adalah pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki
suatu perjanjian. Xxxxxxx mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
2. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penilitian ini adalah data sekunder. Data sekunder terdiri dari bahan-bahan hukum yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Di dalam penelitian, sumber data terbagi menjadi 2 (dua) yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat yang selanjutnya disebut sebagai data primer dan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka yang kemudian disebut sebagai data sekunder. Penelitian hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder dinamakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Bahan kepustakaan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) yaitu:
a. Bahan hukum primer. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat antara lain:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;
4) Perjanjian Kredit Bank.
b. Bahan hukum sekunder. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan menjelaskan bahan hukum primer antara lain:
1) Buku-buku mengenai perjanjian;
2) Karya-karya ilmiah di bidang hukum;
3) Bahan-bahan kepustakaan yang berasal dari majalah, artikel, jurnal, tesis, surat kabar dan website;
4) Laporan-laporan penelitian yang relevan dengan bidang kajian.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang melengkapi bahan hukum primer dan sekunder antara lain:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia;
2) Kamus Hukum.
3. Cara Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kepustakaan, yaitu suatu penelitian yang bertujuan mendapatkan data sekunder dengan cara melakukan penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan, literatur, karya-karya hukum dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian.
4. Alat Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum normatif alat pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi pustaka terhadap bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Alat pengumpulan data untuk memperoleh data yang dibutuhkan
dilakukan dengan cara melakukan studi dokumen untuk mendapatkan gambaran secara umum mengenai hal-hal yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dan dipilah- pilah dicari yang relevan dan representatif yang berhubungan dengan permasalahan, diteliti dan dipelajari secara mendalam, ditelaah dan dipaparkan secara deskriptif kemudian dibuat kesimpulan dan diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dibahas.
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA
A. Pengertian dan Syarat Sahnya Perjanjian
1. Istilah, Tempat Pengaturan dan Pengertian Perjanjian
Pengaturan tentang perikatan yang timbul dari perjanjian dapat ditemukan di dalam Bab III KUHPerdata mengenai perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. KUHPerdata menerjemahkan kata overeenkomst yang tertulis di dalamnya dengan kata persetujuan namun di dalam kehidupan sehari-hari untuk overeenkomst biasa disebut dengan kata perjanjian atau kontrak. Pada dasarnya istilah tersebut merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yang berasal dari kata kerja overeenkomst yang artinya setuju atau sepakat.31
Pasal 1313 KUHPerdata sendiri telah mendefinisikan perjanjian yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Definisi perjanjian menurut KUHPerdata tersebut kurang lengkap dan terlalu luas.32 Dikatakan kurang lengkap karena definisi tersebut hanya memberikan pengertian mengenai perjanjian sepihak saja dimana hanya satu pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi, sedangkan pihak lain tidak diwajibkan untuk berprestasi. Hal ini dapat dilihat dari perkataan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih” yang seolah- olah memberikan pengertian bahwa di satu pihak hanya ada kewajiban saja dan di lain pihak hanya ada hak saja. Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata bukan hanya
dimaksudkan untuk perjanjian sepihak saja tetapi juga untuk perjanjian timbal balik. Lebih tepat apabila kata-kata tersebut ditambah dengan kata-kata sebagai berikut “atau kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya.”
Terlalu luas, karena di dalamnya hanya disebutkan kata “perbuatan” saja tanpa menyebutkan apakah perbuatan yang dimaksud itu adalah “perbuatan hukum” ataukah “perbuatan faktual” biasa yang di dalamnya terkandung banyak makna salah satunya seperti perbuatan melawan hukum. Padahal perjanjian merupakan perbuatan hukum, sebab akibat hukum yang timbul dari suatu perjanjian memang dikehendaki oleh para pihak sehingga kata “perbuatan” dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut lebih tepat apabila diganti dengan kata “perbuatan hukum.”
Saat ini para ahli hukum telah banyak yang mengemukakan tentang istilah perjanjian namun sampai saat ini belum ada kesatuan pendapat dari para ahli hukum mengenai terjemahan dari perjanjian itu sendiri. Salah satu ahli hukum yang mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian adalah R. Subekti yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.”33
Pendapat lain yaitu sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx. Pengertian perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.34 R. Setiawan yang menerjemahkan overenkomst sebagai persetujuan menyatakan bahwa “Persetujuan adalah suatu
perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”35
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx juga memberikan pengertian dalam versi yang sedikit berbeda, dimana perjanjian yaitu suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hubungan dalam hukum harta kekayaan.36 Rumusan ini lebih jauh menegaskan bahwa perjanjian mengandung unsur adanya prestasi yang harus dilakukan dan tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak terbatas pada lapangan harta kekayaan.
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx mengatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.37
Dengan lahirnya perjanjian maka akan menimbulkan suatu hubungan dua orang yang dinamakan perikatan. Istilah perikatan digunakan sebagai terjemahan dari verbintenis. X. Xxxxx Xxxxxxx menterjemahkan verbintenis sebagai perxxxxxxx, yang dimaksud perjanjian oleh X. Xxxxx Xxxxxxx adalah perikatan (xxxxxxxxxxx). Beliau berpendapat bahwa perjanjian mengandung suatu pengertian yang memberikan sesuatu hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.38
35 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Bina Cipta, 1994), hlm. 49.
36 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992), hlm. 78.
37 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perdata tentang Persetujuan Tertentu, (Bandung: Sumur, 1981), hlm. 11.
Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Pada perkembangannya perjanjian tidak lagi dipandang sebagai suatu perbuatan saja, tetapi merupakan suatu perbuatan hukum yang bersisi dua, artinya bahwa dalam suatu perjanjian terdapat suatu perbuatan hukum yang mempunyai dua sisi.
Sisi pertama adalah penawaran sedangkan sisi kedua adalah penerimaan. Penawaran dan penerimaan masing-masing menimbulkan akibat hukum. Berdasarkan hal tersebut perjanjian didefinisikan sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi tersebut menerangkan bahwa untuk terjadinya perjanjian harus ada kata sepakat atau consensus antara para pihak. Kata sepakat dapat diberikan secara lisan, tertulis atau bahkan dapat diberikan secara diam-diam ataupun dengan bahasa isyarat. Sehubungan dengan definisi perjanjian tersebut, lebih lanjut dikemukakan Satrio bahwa perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut, yaitu:39
a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum;
b. Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Berdasarkan pendapat para ahli hukum di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan mengenai pengertian perjanjian yaitu suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih berdasarkan kata sepakat diantara para pihak yang menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban. Berdasarkan uraian di atas,
39 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku Kesatu, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm. 25.
dapat diketahui bahwa suatu perjanjian di dalamnya memiliki beberapa karakteristik antara lain:
a. Menganut sistem terbuka, artinya setiap orang boleh mengadakan perjanjian mengenai apa saja asalkan tidak melanggar Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan;
b. Bersifat konsensuil, artinya perjanjian itu terjadi atau lahir sejak detik saat terjadinya kata sepakat diantara para pihak mengenai pokok perjanjian dan tidaklah diperlukan suatu formalitas tertentu.
2. Unsur-unsur Perjanjian
Suatu perjanjian di dalamnya terdapat unsur-unsur perjanjian, dimana ada 3 (tiga) macam unsur perjanjian yaitu:
a. Unsur essensialia, yaitu unsur yang mutlak harus ada bagi lahirnya suatu perjanjian. Tanpa adanya unsur ini maka suatu perjanjian tidak mungkin ada. Unsur ini merupakan syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kata sepakat, kecakapan para pihak, suatu objek tertentu dan suatu sebab yang halal, misalnya dalam perjanjian jual beli unsur essensialianya yaitu barang dan harga.
b. Unsur naturalia, yaitu unsur yang lazimnya melekat dalam perjanjian yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian, secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan pembawaan atau melekat pada perjanjian, misalnya dalam perjanjian jual beli penjual harus menjamin kepada pembeli terhadap adanya cacat-cacat tersembunyi.
c. Unsur aksidentalia, yaitu unsur yang harus secara tegas diperjanjikan yang merupakan bagian dari perjanjian dan ditetapkan para pihak ke dalam isi perjanjian yang oleh Undang-Undang dibiarkan atau tidak dilarang untuk dicantumkan, apabila tidak tercantum di dalamnya maka dapat ditambahkan ke dalam perjanjian.
Ketiga unsur di atas pada dasarnya merupakan perwujudan dari asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam KUHPerdata. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, melainkan juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang.”
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa:
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat yang ditentukan melalui Pasal 1320 KUHPerdata tersebut mutlak semuanya harus dipenuhi. Jika salah satu dari keempat syarat di atas tidak dipenuhi, maka perjanjian menjadi tidak sah. Keempat syarat tersebut dapat dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu:
a. Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan kata lain syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
mereka yang membuat perjanjian, dimana dalam hal ini meliputi syarat pertama dan kedua. Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subjektif dapat dibatalkan (vernietigbaar) artinya perjanjian itu tetap ada tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak.
b. Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut pada objek perjanjian. Ini meliputi syarat ketiga dan keempat di atas. Istilah hukum batalnya perjanjian apabila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nietig) dengan kata lain batal sejak semula dan dianggap tidak pernah ada perjanjian. Dengan demikian tidak ada dasar untuk saling melakukan penuntutan di depan hakim.
Xxxxxxxx keempat syarat sahnya perjanjian di atas dapat dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Suatu perxxxxxan lahir apabila para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat mengenai essensialia perjanjian yaitu unsur yang harus ada dalam perjanjian. Mengenai pengertian sepakat atau kesepakatan, Undang-Undang tidak mengaturnya. R. Subekti menyatakan bahwa:
Sepakat atau konsensus dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak, artinya bahwa apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula yang dikehendaki oleh yang lain. Kedua kehendak itu bertemu dalam “sepakat” dan tercapainya sepakat itu dinyatakan oleh kedua belah pihak dengan kata-kata ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera di atas tulisan itu.40
Kesepakatan berarti persesuaian kehendak yang dinyatakan oleh para pihak, karena kehendak yang disimpan di dalam hati tidak mungkin diketahui pihak lain dan karenanya tidak mungkin melahirkan sepakat untuk melahirkan suatu perjanjian. Pernyataan kehendak ini tidak terbatas pada mengucapkan perkataan-perkataan saja, tetapi dapat dicapai pula dengan memberikan tanda- tanda apa saja yang dapat menterjemahkan kehendak itu, baik oleh pihak yang menawarkan maupun oleh pihak yang menerima penawaran tersebut.41
Tercapainya persesuaian kehendak diantara para pihak belum mengakibatkan adanya perikatan diantara para pihak tersebut. Kehendak tersebut harus saling bertemu terlebih dahulu kemudian dinyatakan oleh para pihak yang bersangkutan sehingga timbulah kesepakatan. Kesepakatan para pihak tersebut dapat dilakukan dengan tegas melalui kata-kata atau secara diam-diam melalui perbuatan yang mencerminkan terjadinya kata sepakat.
Perlu diketahui bahwa kata sepakat itu sifatnya bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela para pihak, sama sekali tidak terdapat paksaan dari pihak manapun. Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.”
Kata sepakat menurut doktrin dinyatakan bahwa kata sepakat pada Pasal 1320 KUHPerdata adalah kata sepakat yang bebas yaitu kata sepakat yang diperoleh bukan karena kekhilafan, paksaan dan penipuan. Kata sepakat tersebut apabila diperoleh karena kekhilafan, paksaan, penipuan dan penyalahgunaan
keadaan maka kesepakatan itu mengandung cacat kehendak (wilsgebrek). Kesesatan/kekhilafan (dwaling) diatur dalam Pasal 1322 KUHPerdata yang menentukan:42
“Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan tidak menjadi sebab kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa seseorang bermaksud membuat suatu perjanjian, kecuali jika perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.”
Dari rumusan Pasal di atas disimpulkan bahwa kekhilafan dapat terjadi mengenai diri orang dengan siapa seseorang itu mengikatkan dirinya (Pasal 1322 ayat (2) KUHPerdata) atau mengenai barang yang menjadi pokok atau tujuan daripada para pihak yang mengadakan perjanjian (Pasal 1322 ayat (1) KUHPerdata). Kekhilafan tersebut haruslah sedemikian rupa sehingga seandainya orang tersebut tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut maka ia tidak akan mengadakan perjanjian.43
Paksaan (dwang) terdapat dalam Pasal 1324 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan “Paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seseorang yang berpikir sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata.” Jadi dapat disimpulkan bahwa paksaan dapat terjadi jika orang yang memberikan kesepakatan itu karena takut terhadap adanya suatu ancaman baik dengan ancaman kekerasan jasmani (fisik) misalnya akan dibunuh maupun dengan
42 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 104.
upaya-upaya seperti akan membuka rahasia salah satu pihak (paksaan rohani atau paksaan jiwa/psychis).44
Penipuan (bedrog) diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata yang menyebutkan “Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perjanjian itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut.” Penipuan dapat terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dapat dibatalkannya suatu perjanjian karena adanya penipuan harus mengandung unsur tipu muslihat oleh salah satu pihak dan harus dibuktikan. Selain penyebab cacat kehendak yang diatur dalam KUHPerdata, dalam perkembangannya ada bentuk atau faktor penyebab cacat kehendak yang diatur dalam yurisprudensi yang lazim disebut penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence).45
Penyalahgunaan keadaan (undue influence) dapat terjadi apabila seseorang menggerakkan hati orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang sedang dihadapi oleh orang tersebut. Misalnya saja salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih unggul di bidang ekonomi atau status sosial sehingga pihak tersebut melakukan tekanan sedemikian rupa kepada pihak lain dengan menyalahgunakan kedudukannya dalam perjanjian. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui
44 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1990), hlm. 90.
45 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standard, (Surabaya: Karya Abditama, 2000), hlm. 103.
atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena keadaan darurat, ketergantungan, tidak dapat berfikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.46
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Seseorang yang hendak membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian, kecuali oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap. Umumnya orang yang sudah dewasa dan sehat akal pikirannya mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Mengenai kecakapan bertindak diatur dalam Pasal 1329 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan, jika ia oleh karena Undang-Undang tidak dinyatakan tak cakap.”
Pasal 1330 KUHPerdata menyebutkan mereka sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian, antara lain:
1) Orang-orang yang belum dewasa
Pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa “Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.” Batasan usia seseorang dinyatakan dewasa saat ini mengalami perkembangan, dimana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
46 Xxxxxxxx Xxxxxx, op.cit., hlm. 61.
xx. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang pada intinya menyatakan seseorang dinyatakan dewasa adalah genap berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah. Ketidakseragaman batasan usia menurut undang-undang di atas mempengaruhi penentuan batasan usia anak dalam putusan hakim. Berdasarkan asas lex posteriori derogat legi priori, maka penentuan batas usia dewasa seseorang menggunakan ketentuan batas usia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah.47
2) Mereka yang berada di bawah pengampuan
Ketentuan Pasal 433 KUHPerdata berbunyi “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.”
Pasal 452 KUHPerdata disebutkan bahwa kedudukan hukum seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan adalah sama dengan orang yang belum dewasa. Mereka yang termasuk orang yang berada di bawah pengampuan adalah orang yang terganggu jiwanya, lemah akalnya, pemabuk dan pemboros.
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat suatu perjanjian tertentu
47 Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang No. 30
Tahun 2004.
Pasal 108 dan 110 KUHPerdata diatur mengenai perempuan bersuami yang tidak boleh melakukan perbuatan hukum tertentu tanpa seijin suaminya. Menurut Xxxxx 108 KUHPerdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis dari suaminya).
Sejak dikeluarkannya SEMA Nomor 3 Tahun 1963 Tanggal 5 September 1963 maka ketentuan Pasal tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi karena dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan rasa keadilan di masyarakat. Hal ini diperkuat pula dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sama di mata hukum maupun dalam pergaulan di masyarakat. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) yang menyebutkan bahwa:
(1) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perlulah orang yang membuat suatu perjanjian, yang nantinya akan terikat oleh perjanjian tersebut mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggungjawab yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut. Hal ini disebabkan karena seseorang yang membuat suatu perjanjian mempertaruhkan kekayaannya sehingga orang tersebut haruslah seseorang yang sungguh-sungguh cakap berbuat bebas dengan harta kekayaannya.
c. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian atau pokok di dalam perjanjian. Objek perjanjian tersebut harus benda atau barang yang berada dalam perdagangan. Pasal 1332 KUHPerdata berbunyi “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian.”
Disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan oleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Hal atau barang yang diperjanjikan itu haruslah tentang suatu yang sudah tentu jenis atau halnya. Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.”
Barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian. Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa “Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.” Terdapat pengecualian yaitu dalam hal warisan yang belum terbuka, tidak diperkenankan untuk dijadikan sebagai objek dari perjanjian.
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal yang dimaksud dalam perjanjian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Isi dari perjanjian tersebut tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Perlu dibedakan secara tegas antara sebab dan motif. Motif adalah alasan yang mendorong batin
seseorang untuk melakukan sesuatu hal. Sebab adalah tujuan daripada persetujuan. Pada jual beli, yang satu mendapatkan barang yang lain harganya.48 Para ahli membedakan kausa berdasarkan maksudnya menjadi 2 (dua)
jenis yaitu:49
1. Causa efficient, adalah sebab yang menimbulkan akibat. Kausa ini terdapat dalam Pasal 1365 KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan tentang perbuatan melawan hukum.
2. Causa finalis, adalah tujuan atau isi dari perjanjian itu sendiri. Kausa ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai ketentuan-ketentuan tentang perjanjian.
Pasal 1335 KUHPerdata menyebutkan suatu perjanjian tanpa sebab, tidak mempunyai kekuatan. Perjanjian adalah tanpa sebab, jika tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada waktu dibuat perjanjian tidak akan tercapai, misalnya para pihak mengadakan novasi atas sesuatu perikatan yang tidak ada.
Pasal 1337 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh Undang-Undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Sebab palsu adalah suatu sebab yang diadakan oleh para pihak untuk menyelubungi sebab yang sebenarnya. Sebab yang tidak halal adalah sebab yang bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
48 R. Setiawan, op. cit, hlm. 62.
49 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Intermasa, 2005), hlm. 19.
B. Asas-Asas Perjanjian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan asas adalah hukum dasar atau dasar dari sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir dan berpendapat atau cita-cita.50 Pada bagian lain disebutkan bahwa pengertian asas sama dengan pengertian principle dalam Bahasa Inggris, atau pengertian leer dalam Bahasa Belanda dimana keduanya mempunyai arti sebagai teori atau ajaran pokok.51 Di dalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar dan fundamen.52
Xxxxx Xxxxx menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang dimasyarakatkan menjadi landasan hubungan sesama anggota masyarakat.53 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx memberikan pengertian mengenai asas hukum yang menyatakan bahwa:
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.54
Asas hukum dapat diartikan sebagai suatu hal yang dianggap oleh masyarakat hukum yang bersangkutan sebagai basic truth atau kebenaran asasi, sebab melalui asas- asas hukum itulah pertimbangan etis dan sosial masyarakat masuk ke dalam hukum. Sehingga asas hukum menjadi semacam sumber untuk menghidupi tata hukumnya
50 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), hlm. 52.
51 Ibid., hlm. 817.
52 Xxxx X. Xxxxxxxx dan X. Xxxxxx Xx-Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, (Surabaya: Aroka, 1994), hlm.48.
53 Xxxxx Xxxxx, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional,
(Depkeh: BPHN, 1995), hlm. 29
54 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit, hlm. 34.
dengan nilai-nilai etis, moral dan sosial masyarakatnya.55 Adapun Xxxx Xxxxxxxx memberikan definisi mengenai asas hukum ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim yang berkenaan dengan ketentuan- ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.56
Asas hukum bukanlah kaedah hukum yang konkrit, melainkan merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum atau abstrak. Hukum perjanjian dalam KUHPerdata menganut beberapa asas yang terkandung di dalamnya, antara lain:
1. Asas Konsensualisme
Istilah konsensualisme berasal dari kata latin consensus yang berarti sepakat. Xxxx konsensualisme berhubungan dengan saat lahirnya suatu perxxxxxxx. Asas ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Xxxx konsensualisme mempunyai arti yang terpenting yaitu bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan adanya kesepakatan diantara para pihak mengenai hal-hal pokok dari perjanjian tersebut. Dengan kata lain perjanjian sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus atau kesepakatan dan tidaklah disyaratkan suatu formalitas tertentu. Meskipun dalam asas konsensualisme tidak mengisyaratkan adanya formalitas-formalitas tertentu tetapi ada kalanya
55 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Cross Default &Cross Collateral dalam Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, (Bandung: PT. Xxxxxx Xxxxxxx, 2004), hlm. 12.
56 Xxxx Xxxxxxxx di dalam JJ. H. Xxxxxxxx, Refleksi tentang Hukum (alih bahasa oleh Xxxxx Xxxxxxxx), (Bandung: Cipta Xxxxxx Xxxxx, 1996), hlm. 119-120.
Undang-Undang mensyaratkan adanya bentuk tertentu dimana apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah. Misalnya saja perjanjian jual beli tanah yang harus dibuat dengan Akta PPAT atau perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas yang harus dilakukan dengan menggunakan akta notaris. Perjanjian dengan bentuk formalitas tertentu semacam ini disebut dengan perjanjian formal. Selain itu dalam perjanjian riil juga tidak cukup dengan adanya kata sepakat saja akan tetapi diperlukan adanya suatu perbuatan yang nyata (riil) dimana barang yang menjadi pokok perjanjian tersebut sudah diserahkan, contohnya perjanjian penitipan barang.57
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan asas adalah hukum dasar atau dasar dari sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir dan berpendapat atau cita-cita.58 Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka- pustaka yang berbahasa Inggris dituangkan dengan istilah “Freedom of Contract” atau “Liberty of Contract” atau “Party Autonomy.” Istilah pertama yang umum dipakai daripada yang kedua dan ketiga. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal sifatnya, artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.59
Asas kebebasan berkontrak ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal 1338 ayat (1)
57 Xxxxxxx, op. cit., hlm. 78.
58 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, op. cit, hlm. 52.
59 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit.,hlm. 18.
KUHPerdata tersebut berkaitan dengan penjabaran dari asas kebebasan berkontrak dari kata “semua” tersimpul kebebasan untuk:
1. Bebas untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian;
2. Bebas untuk membuat perjanjian dengan siapapun;
3. Bebas mengatur bentuk perjanjian yang dibuatnya;
4. Bebas mengatur isi dan syarat perjanjian yang dibuatnya;
5. Bebas mengadakan pilihan hukum.
Asas kebebasan berkontrak lahir pada abad pertengahan sebagai respon atas mercantile system yang mengiringi keadaan ekonomi pada abad ini, dimana aktivitas bisnis dan perdagangan tidak mendapatkan tempat yang terhormat. Sistem ini ditandai dengan campur tangan pemerintah terhadap perusahaan- perusahaan industri dan dagang. Pemerintah dalam hal ini raja memberikan hak monopoli kepada perseorangan, gereja dan kota praja. Pemerintah menetapkan pembebanan pungutan terhadap perusahaan-perusahaan industri dan dagang sebagai imbalan atas hak-hak istimewa dan hak-hak monopoli yang diberikan oleh pemerintah. Para penerima hak tersebut selanjutnya memungut pajak dari para pedagang dan mengeluarkan peraturan perundang-undangan untuk menjamin dan melindungi monopoli. Maka pada masa itu, seorang pedagang dianggap melanggar hukum jika tidak memiliki ijin untuk menjual atau membeli barang di pasar. Dianggap melanggar hukum jika menyebarkan isu dengan maksud menaikkan harga atau menghalangi orang datang ke pasar (forestalling).60
60 Ibid., hlm. 19.
Pada abad ke 17 dan ke 18, munculah ideologi baru. Ideologi ini merupakan pengaruh hukum alam (natural law). Para penganjur hukum alam menyatakan manusia dituntut oleh suatu asas bahwa manusia adalah bagian dari alam dan sebagai makhluk yang rasional dan cerdas dapat bertindak sesuai dengan keinginannya (desire) dan gerak hatinya (impulses). Manusia adalah agen yang merdeka karenanya wajar untuk tidak terikat. Asas moral dan asas keadilan berada di atas semua aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan dan dekrit raja yang tidak sejalan dengan hukum alam dianggap tidak sah. Ideologi inilah yang kemudian menenggelamkan mercantile system.61
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak.62 Kebebasan berkontrak ini berlatarbelakang pada paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman Renaissance melalui ajaran-ajaran Xxxx xx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx. Xxxx Xxxxxxx berpendapat bahwa hak untuk mengadakan perjanjian adalah salah satu dari Hak Asasi Manusia. Bagi Xxxxxxx suatu kontrak adalah suatu tindakan sukarela dari seseorang dimana orang tersebut berjanji sesuatu kepada orang lain dengan maksud bahwa orang lain yang dijanjikan akan menerimanya. Kontrak lebih dari hanya sekedar janji karena suatu janji tidak memberikan hak kepada
61 Ibid., hlm. 20-21.
62 Xxxxx X.X., op.cit, hlm. 9.
pihak lain atas pelaksanaan janji itu. Puncak perkembangannya tercapai dalam periode setelah revolusi Perancis.63
Pendekatan berdasarkan hukum alam terhadap kebebasan berkontrak sebagai suatu kebebasan manusia yang fundamental juga dikemukakan oleh Xxxxxx Xxxxxx. Kontrak adalah metode dimana hak-hak fundamental dari manusia dapat dialihkan. Sebagaimana halnya dengan hukum alam yang menekankan tentang perlunya ada kebebasan bagi manusia, maka hal ini berlaku juga berkaitan dengan kontrak-kontrak.64 Maka tugas hukum di masa ini hanyalah menjaga agar individu dalam masyarakat berinteraksi secara bebas tanpa ada gangguan dan intervensi dari siapapun.65
Menurut faham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Di dalam hukum perjanjian, falsafah ini diwujudkan dalam kebebasan berkontrak. Teori laizzes fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas dan karena itu pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat.66
Xxxx Xxxxx berpendapat bahwa menurut sistem kebebasan yang alamiah, penguasa hanya mempunyai tiga kewajiban. Pertama, penguasa berkewajiban untuk melindungi masyarakat dari tindakan kekerasan dan invasi dari masyarakat bebas lainnya. Kedua, penguasa berkewajiban melindungi tiap anggota masyarakat dari ketidakadilan atau penindasan yang dilakukan oleh
63 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2001), hlm. 84.
64 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 20.
65 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2008), hlm. 10.
66 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit., hlm. 84.
anggota lainnya dalam masyarakat tersebut. Ketiga, penguasa berkewajiban menyediakan prasarana-prasarana umum (public utilities) yang tidak dapat disediakan, dibangun atau dipelihara sendiri oleh para anggota masyarakat itu. Di luar ketiga hal tersebut Xxxx Xxxxx beranggapan tidak perlu ada campur tangan penguasa terhadap kehidupan dan kebebasan anggota-anggota masyarakat.67
Faham individualisme memberikan peluang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan yang lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam adagium exploitation de “home par I” homme.68
Filsafat utilitarian dari Xxxxxx Xxxxxx menekankan adanya ideologi free choice juga memiliki pengaruh besar bagi pertumbuhan asas kebebasan berkontrak. Sebagaimana Xxxx Xxxxx, pemikiran Xxxxxx juga berdasarkan pada filsafat individualisme yang mempercayai bahwa manusia pada umumnya mengetahui kepentingan yang terbaik untuk dirinya sendiri. Sehingga pembatasan terhadap kebebasan berkontrak adalah pembatasan untuk kebebasan itu sendiri dan semua pembatasan terhadap kebebasan adalah jahat dan memerlukan pembenaran untuk dapat melakukannya. Menurut Xxxxxx, pemerintah tidak boleh campur tangan dalam hal yang pemerintah sendiri tidak memahaminya.69
67 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm 22.
68 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op.cit., hlm. 110.
69 Ibid, hlm. 23.
Kebebasan berkontrak sangat diagungkan baik oleh filosof, ahli hukum, maupun pengadilan. Bahkan pengadilan dalam putusannya lebih mempertimbangkan asas kebebasan berkontrak daripada nilai-nilai keadilan. Oleh karena itu kebebasan berkontrak berkembang menjadi kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract).70 Pada abad sembilan belas teori hukum kontrak klasik secara mendasar terbentuk dari reaksi dan kritik terhadap tradisi abad pertengahan mengenai substantive justice. Para hakim dan sarjana hukum di Inggris dan Amerika Serikat kemudian menolak kepercayaan yang telah berlangsung lama mengenai justifikasi kewajiban kontraktual yang diderivasi dari inherent justice atau fairness of an exchange. Mereka kemudian menyatakan bahwa sumber kewajiban kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of the wills) atau konsensus para pihak yang membuat kontrak.71
Kebebasan berkontrak masuk dalam hukum perjanjian melalui asas konsensualisme. Makna dari asas konsensualisme adalah bahwasanya pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul telah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain suatu perjanjian dianggap sah apabila para pihak telah sepakat mengenai hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian dan tidak diperlukan formalitas. Dengan asas ini dianut paham bahwa kontrak hanya dapat diciptakan melalui kesepakatan (konsensus) para pihak yang mengadakan kontrak. Asas ini memiliki 4 (empat) konsekuensi yaitu:72
70 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Landasan Filosofis Kekuatan Mengikatnya Kontrak, Jurnal Hukum Edisi Khusus Volume 18 Oktober 2011, Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, hlm. 41.
71 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia (dalam Perspektif Perbandingan), (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), hlm. 101.
72 Ibid., hlm. 108.
1. Hukum yang berlaku bagi kontrak didasarkan pada maksud yang sebenarnya (actual state of mind) dari para pihak;
2. Maksud para pihak bertemu pada saat dibuatnya kontrak;
3. Hasil kesepakatan bersama tersebut menjadi Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya dan hal tersebut harus diperlakukan sakral oleh pengadilan;
4. Sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi suatu kewajiban.
Kebebasan berkontrak memiliki banyak kelemahan dan kritik baik dari segi akibat negatif yang ditimbulkannya maupun dari kesalahan berpikir yang melekat di dalamnya. Kritik tersebut pada umumnya dihubungkan dengan kegagalan sistem ekonomi laissez fire yang menjadi dasar kebebasan berkontrak. Asumsi yang dapat diterapkan dalam kebebasan berkontrak adalah adanya keseimbangan posisi tawar para pihak namun dalam kenyataannya sangat sulit menemukan adanya kesejajaran posisi tawar tersebut. Ketidakseimbangan posisi tawar ini selanjutnya berakibat pada adanya dominasi dari pihak yang kuat atas pihak yang lemah dalam perumusan isi perjanjian. Dengan demikian maka kontrak tidak dapat ditafsirkan secara subjektif namun juga harus ditafsirkan dengan pendekatan objektif.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini seiring dengan penyusunan BW di xxxxxx Xxxxxxx dan semangat liberalisme ini juga
dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.73
Communis opinio doctorum selama ini dengan bertitik tolak pada Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang bersisi dua” (een tweezijdige rechtshandeling) untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna melahirkan akibat hukum. Satu perbuatan hukum yang berisi dua adalah penawaran (aanbod/offer) dan penerimaan (aanwaarding acceptence). Penawaran dan penerimaan itu masing-masing pada hakekatnya adalah perbuatan hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang didasarkan pada kehendak yang dinyatakan untuk menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki dan diakui oleh hukum. Berarti masing-masing pihak seyogyanya mempunyai kebebasan kehendak. Itulah sebabnya Buku III KUHPerdata dikatakan menganut sistem terbuka dan didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.74
Buku III KUHPerdata menganut sistem terbuka artinya hukum (i.c Buku III KUHPerdata) memberikan keleluasaan kepada para pihak untuk mengatur sendiri pola hubungan hukumnya. Apa yang diatur dalam Buku III KUHPerata hanya sekedar mengatur dan melengkapi (regelend recht-aanvullendrecht). Berbeda dengan pengaturan Buku II KUHPerdata yang menganut sistem tertutup
atau bersifat memaksa (dwingend recht), dimana para pihak dilarang menyimpangi aturan-aturan yang ada di dalam Buku II KUHPerdata tersebut.75 Orang dapat leluasa membuat perjanjian apa saja, bahkan pada umumnya juga diperbolehkan mengesampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam KUHPerdata. Sistem tersebut lazim disebut dengan sistem terbuka (openbaar system).
Pada akhir abad XIX, akibat desakan faham etis sosialis, faham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berkhirnya perang dunia kedua. Faham ini dinilai tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapatkan perlindungan. Oleh karena itu kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.76
Dalam sistem hukum modern, kebebasan berkontrak tidak hanya dibatasi oleh larangan-larangan yang diciptakan oleh Undang-Undang (statutory prohobition) tetapi juga dibatasi oleh extra legal standard. Extra legal standard ini merupakan standar yang berkaitan dengan agama, moral dan keadilan. Dengan demikian kontrak tidak lagi bisa dipandang sebagai ex nihilo yaitu hasil dari kesepakatan atau kehendak bebas para pihak untuk saling mengikatkan diri tetapi kontrak harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip agama, moral dan keadilan. Kebebasan berkontrak mendapatkan pembatasan baik dari Undang-Undang,
putusan pengadilan dan extra legal standard yang mengacu pada norma kepatutan.77
Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Pasal-Pasal KUHPerdata terhadap asas kebebasan berkontrak yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.78
1. Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa perjanjian atau kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.
2. Dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan Undang- Undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan untuk membuat perjanjian. Menurut Xxxxx 1330 KUHPerdata, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 KUHPerdata menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak berwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau ijin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung melalui Surat
77 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 128.
78 Xxxx Xxxxxxxx X. Pangaribuan, Batasan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian, xxxx://xxx-xxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxx-xxxx-xxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx.xxxx, diakses tanggal 30 April 2014.
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata tersebut pada saat ini tidak berlaku.
3. Pasal 1320 ayat (3) KUHPerdata menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.
4. Pasal 1320 ayat (4) KUHPerdata menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum. Perjanjian yang dibuat untuk causa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau bertentangan dengan ketertiban umum adalah tidak sah.79
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menentukan tentang berlakunya asas itikad baik dalam melaksanakan perjanjian. Berlakunya asas itikad baik ini bukan saja mempunyai daya kerja pada waktu perjanjian dilaksanakan, tetapi juga sudah mulai bekerja pada waktu perjanjian itu dibuat. Artinya bahwa perjanjian yang dibuat dengan berlandaskan itikad buruk, misalnya atas dasar penipuan, maka perjanjian itu tidak sah. Dengan demikian asas itikad baik mengandung
79 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 48.
pengertian bahwa kebebasan suatu pihak dalam membuat perjanjian tidak dapat diwujudkan sekehendaknya tetapi dibatasi oleh itikad baiknya.80
R. Setiawan menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berkontrak dipengaruhi oleh:81
1. Berkembangnya doktrin itikad baik;
2. Berkembangnya doktrin penyalahgunaan keadaan;
3. Makin banyaknya kontrak baku;
4. Berkembangnya hukum ekonomi.
Pembatasan asas kebebasan berkontrak juga diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata yaitu kebebasan seseorang dalam membuat suatu perjanjian diperbolehkan sepanjang sesuai dengan persyaratan bahwa tidak boleh bertentangan dengan kepatutan (bilijkheid), kebiasaan (gebruik) dan Undang- Undang (wet).
Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, dalam makalahnya menyatakan bahwa Xxxxx berwenang untuk memasuki atau meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada
80 Ibid., hlm 49.
81 R. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Cetakan I, (Bandung: Alumni, 1992), hlm. 179-180.
dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.82
Di negara-negara yang menganut sistem common law, kebebasan berkontrak dibatasi oleh peraturan perundang-undangan dan public policy. Bila suatu kontrak melanggar peraturan perundang-undangan atau suatu public policy, maka kontrak tersebut menjadi ilegal. Undang-Undang tertentu telah mencantumkan ketentuan-ketentuan yang boleh atau yang tidak boleh dicantumkan di dalam suatu kontrak. Sedangkan public policy lebih banyak berhubungan dengan ukuran-ukuran kepatutan menurut penilaian masyarakat. Oleh karena itu public policy tersebut dapat berbeda-beda menurut waktu dan tempat. Apakah suatu kontrak dikatakan melanggar hukum (ilegal) atau tidak dapat diberlakukan (unenforceable) adalah tergantung kepada keadaan kasus demi kasus.83
Pembatasan yang datangnya dari pembuat Undang-Undang dapat dilihat dari adanya peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah untuk menentukan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan polis asuransi, peraturan- peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menyangkut upah minimum, maksimum jam kerja, kondisi kerja, program-program asuransi sosial bagi para pekerja yang diharuskan sehubungan dengan perjanjian kerja antara perusahaan dan pegawai atau buruhnya.84
82 Batasan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Hukum Perjanjian, xxxx://xxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxx-xxxx-xxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxx-xxxxx- perjanjian/, diakses 30 April 2014.
83 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm. 41.
Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa tidak ada kebebasan yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat. Hal itu berarti bahwa kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan dari kesewenang-wenangan atau dari pembatasan yang tidak beralasan dan bukannya berarti kekebalan terhadap tindakan pengaturan demi melindungi kepentingan masyarakat.85
Selain pembatasan-pembatasan yang datangnya dari negara berupa peraturan-peraturan perundang-undangan dan dari pengadilan, sejak beberapa tahun terakhir ini asas kebebasan berkontrak juga telah mendapat pembatasan dari diperkenalkannya dan diberlakukannya perjanjian-perjanjian baku dalam dunia bisnis. Begitu kuatnya pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak sebagai akibat digunakannya perjanjian-perjanjian baku dalam dunia bisnis oleh salah satu pihak sehingga bagi pihak lainnya kebebasan yang tinggal hanyalah berupa pilihan antara menerima atau menolak (take it or leave it) syarat-syarat baku yang disodorkan kepadanya itu.86
Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx dalam bukunya mengemukakan pendapatnya mengenai perjanjian baku. Menurut pandangan penulis yang dimaksud dengan perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Beberapa hal saja yang belum dibakukan, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah,
85 Ibid., hlm. 61.
warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.87
Pengaturan tentang perjanjian baku secara khusus dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka (10) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 memberikan rumusan dari klausula baku adalah setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Rumusan pengertian klausul baku dalam Pasal 1 angka (10) Undang- Undang Perlindungan Konsumen lebih menekankan pada prosedur pembuatan perjanjian baku yang dilakukan secara sepihak oleh pelaku usaha tanpa melihat dari sudut pandang isi perjanjian baku.88 Dengan pencantuman klausula baku posisi konsumen sangat lemah atau tidak seimbang dalam menghadapi pelaku usaha.89
Prinsip umum dalam kebebasan berkontrak menyatakan bahwa kalau objek yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan aturan hukum dan unsur-unsur lain dalam pembentukan kontrak telah tercapai, maka pengadilan akan menetapkan pelaksanaan perjanjian sesuai ketentuan yang tercantum dalam perjanjian. Walaupun umumnya disepakati tentang praduga bahwa para pihak memiliki kemampuan untuk melindungi kepentingannya saat penyusunan
87 Loc.cit., hlm. 66.
88 Xxxxx Xxxx dan Xxxxxxxx Xxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 19.
89 xxxx://xxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxx-xxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx-xx.xxxx, diakses tanggal 2 Mei 2014.
perjanjian, tetapi dalam kenyataannya pihak yang dominan terkadang mengambil keuntungan dari kelemahan pihak lain. Hasilnya timbul pelaksanaan dari perjanjian-perjanjian yang sangat menekan dan menunjukkan ketidakadilan. Demi mencegah pelaksanaan perjanjian-perjanjian seperti itu, maka pengadilan- pengadilan mengembangkan doktrin unconscionability yang didasarkan pada kepentingan umum.90 Doktrin ini muncul di negara penganut sistem Anglo Saxon. Doktrin ketidakadilan atau unconscionability menurut Xxxxx Xxxxx merupakan suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak, meskipun kedua pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan.91
3. Asas Pacta Sunt Servanda atau Asas Kekuatan Mengikatnya Kontrak
Asas pacta sunt servanda adalah suatu asas dalam hukum perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian sebagaimana terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini dikenal sebagai asas berlakunya perjanjian, maksudnya bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya suatu Undang-Undang. Jadi para pihak harus menghormati perjanjian tersebut sebagaimana menghormati Undang-Undang.
90 Herry R. Cheeseman, Contemporary Business Law 3nd edition, (Xxxxxxxx Xxxx Inc.: New Jersey, 2000), hlm. 237.
91 xxxx://xxxxx-xxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxx-xxxxxxxxxxxxx-xxxxxxxxxxxxxxxxx.xxxx, diakses tanggal 2 Mei 2014.
Berkaitan dengan asas pacta sunt servanda, Pasal 1338 (2) KUHPerdata menyebutkan “Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang- Undang dinyatakan cukup.”92
Asas pacta sunt servanda ini bertujuan untuk menghindari adanya penyimpangan yang berupaya membatalkan perjanjian secara sepihak sehingga menjamin adanya kepastian hukum diantara para pihak. Namun demikian apabila terjadi penyimpangan pelaksanaan perjanjian misalnya salah satu pihak membatalkan perjanjian, maka pembatalan tersebut haruslah disepakati oleh para pihak. Demi adanya kepastian hukum tersebut, maka selayaknya mereka yang telah memperjanjikan memperoleh jaminan bahwa apa yang telah diperjanjikan itu dijamin pelaksanaannya. Sehingga konsekuensi dari asas pacta sunt servanda tersimpul dengan adanya kewajiban bagi pihak ketiga untuk menghormati perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak sehingga pihak ketiga bahkan hakim sekalipun tidak dapat dan dilarang mencampuri isi dari perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak karena tujuannya adalah demi adanya kepastian hukum.
4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Itikad baik menurut pasal tersebut adalah bahwa pelaksanaan perjanjian
92 J. Satrio, Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1991), hlm. 2.
itu harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.93
Mengenai apa yang dimaksud dengan kepatutan dan kesusilaan, Undang- Undang tidak memberikan rumusannya. Oleh karena itu, tidak ada ketetapan batasan mengenai pengertian istilah tersebut. Berdasarkan arti kedua kata tersebut, kiranya dapat digambarkan kepatutan dan kesusilaan itu sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan dan beradab, sebagaimana sama- sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Sementara itu, pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang berarti melaksanakan perjanjian dengan itikad baik adalah bersifat dinamis. Artinya dalam melaksanakan perbuatan ini kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari seorang manusia. Jadi selalu mengingat bahwa manusia sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain atau menggunakan kata-kata secara membabi buta pada saat kedua belah pihak membuat suatu perjanjian. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal- hal ini dan tidak boleh menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi.94
Dengan dimasukkannya itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berarti juga bahwa kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan. Kepatutan (asas kepatutan) dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala
93 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, op. cit., hlm. 99.
94 P.L. Xxxxx, Perkembangan Hukum tentang Itikad Baik di Netherland, (Jakarta: Percetakan Negara RI, 1990), hlm. 10.
sesuatu yang menurut kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. Black’s Law Dictionary memberikan rumusan mengenai itikad baik yaitu “In or with good faith; honesty; openly; and sincerely; without deceit or fraud. Truly; actually; without simulations or pretense.”95
Itikad baik dalam kontrak merupakan lembaga hukum (rechtsfiguur) yang berasal dari hukum Romawi yang kemudian diserap oleh Civil Law. Doktrin itikad baik ini berakar pada etika sosial Romawi meliputi kewajiban akan ketaatan dan keimanan yang berlaku bagi warga negara maupun bukan. Itikad baik dalam etika hukum kontrak Romawi mempunyai 3 (tiga) bentuk yang mengacu kepada perilaku para pihak yaitu para pihak harus memegang teguh janji dan perkataannya, para pihak tidak boleh mengambil keuntungan dengan tindakan yang menyesatkan salah satu pihak dan para pihak mematuhi kewajibannya dan berperilaku sebagai orang terhormat dan jujur.96
Dalam perkembangannya diterima pula dalam hukum kontrak di beberapa negara yang menganut sistem common law, seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru dan Kanada.97 Amerika misalnya dalam The American Uniform Commercial Code (UCC), menyatakan “every contract or duty within this Act. Imposes an obligation of good faith in its performance or enforcement.” Begitu pula dalam Restatement of contract (second) asas ini juga disebutkan “every
95 Xxxxx X. Xxxxxx, op. cit., hlm. 168.
96 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 128.
97 Loc. Cit., hlm. 128.
contract imposes upon each party a duty of good faith and fair dealing in its performance and its enforcement.”98
Meskipun asas itikad baik dalam sistem hukum civil law dan beberapa common law diakui dan digunakan namun makna asas itikad baik tidaklah tunggal. X. Xxxxx Xxxxxxxxxx mencatat bahwa di Inggris doktrin itikad baik masih merupakan sesuatu yang kontroversial karena pengadilan belum mampu menemukan makna itikad baik yang konkrit dalam hukum kontrak. Xxxxxxxxxx juga menyatakan bahwa di Amerika Serikat banyak sekali yang mencoba merumuskan pengertian itikad baik. Hal ini menyebabkan kekaburan makna itikad baik semakin tinggi dan selanjutnya penerapan itikad baik seringkali lebih didasarkan pada intuisi pengadilan yang hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi dan tidak konsisten. Menurut X. Satrio, ketentuan pengaturan itikad baik ini ditujukan untuk pengadilan. Penerapan asas ini merupakan wewenang hakim saat memutuskan perkara di pengadilan. Dengan demikian maka perkembangan doktrin itikad baik lebih bersifat kasuistik (berbeda antara kasus satu dengan kasus yang lain).99
Itikad baik menurut M.L. Wery adalah perbuatan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa cilat-cilat, akal-akal, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingan sendiri saja tetapi juga dengan melihat kepentingan orang lain.100
98 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Law of Contract,fifteenth edition, (USA: Oxford University Press, 2007), hlm.
33.
99 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Ibid., hlm. 129.
100 Khoirul, Hukum Kontrak, Slide 1, Ppt. http://Sunan-ampel.ac.id.xxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xxxx-
create.g?blogID=4721434971760548512#_ftnref2, diakses tanggal 28 April 2014.
Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx menyatakan bahwa itikad baik adalah niat dari pihak yang satu dalam suatu perjanjian untuk tidak merugikan mitra janjinya maupun tidak merugikan kepentingan umum.101 Selanjutnya Xxxxxxxx Xxxx menyatakan bahwa itikad baik adalah suatu pengertian yang abstrak dan sulit untuk dirumuskan, sehingga orang lebih banyak merumuskannya melalui peristiwa-peristiwa di pengadilan. Itikad baik dalam pelaksanaan perjanjian berkaitan dengan masalah kepatutan dan kepantasan.102 Dalam Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), itikad baik hendaknya diartikan sebagai:103
1. Kejujuran pada waktu membuat kontrak;
2. Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beritikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya);
3. Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.
Asas itikad baik merupakan suatu asas yang fleksibel. Maksudnya asas tersebut dapat diterapkan pada situasi dan waktu yang tidak terikat, mengikuti perkembangan dan kondisi apapun. Hal ini menjadikan asas tersebut pasti ada dan selalu melekat dalam perjanjian, baik sebelum, pada saat dibuat,
101 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 112.
102 Xxxxxxxx Xxxx, Kemungkinan Diajukan Perkara dengan Klausula Arbitrase ke Muka Pengadilan, xxx.xxxxxxxxxxxxxx.xxx., diakses 23 April 2014.
103 Xxxxxxxx Xxxxxx, op. cit., hlm. 68.
pelaksanaan dan setelah pelaksanaan atau penyelesaian. Menurut Xxxxxx dalam Xxxxxxxx Xxxxxx, menyatakan bahwa perjanjian itu tidak hanya ditentukan oleh para pihak dalam perumusan perjanjian tetapi juga ditentukan oleh itikad baik, jadi itikad baik ikut pula menentukan isi dari perjanjian itu.104
Dalam praktik, berdasarkan asas itikad baik hakim memang menggunakan wewenang untuk mencampuri isi perjanjian, sehingga tampaknya itikad baik bukan saja harus ada pada pelaksanaan perjanjian tetapi juga pada saat dibuatnya atau ditandatanganinya perjanjian. Secara umum asas itikad baik ini dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu:
1. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif, yaitu kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin seseorang pada saat diadakan suatu perbuatan hukum. Pada saat membuat perjanjian diperlukan suatu kejujuran, orang yang beritikad baik menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada pihak lain yang dianggap jujur dan tidak menyembunyikan sesuatu yang dikemudian hari dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.
2. Itikad baik dalam pengertian yang obyektif yaitu pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat. Pada pelaksanaan perjanjian, itikad baik berupa kepatutan, yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang dijanjikan.
104 Loc. cit., hlm. 68.
Itikad baik juga dibedakan dalam sifatnya yang nisbi (relatif-subyektif) dan mutlak (absolut-obyektif). Pada itikad baik yang nisbi (relatif-subyektif), orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada itikad baik yang absolut-obyektif atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran obyektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya (penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang obyektif).105
Memang diakui bahwa untuk memahami itikad baik bukan hal yang mudah. Pada kenyataannya itikad baik acap kali tumpang tindih dengan kewajaran dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid; reasonableness and equity). Dalam itikad baik terkandung kepatutan, demikian pula dalam pengertian kepatutan terkandung itikad baik. Dalam praktik pengadilan, itikad baik dan kepatutan dipahami sebagai asas atau prinsip yang saling melengkapi (complementary).106
Kejujuran dan kepatutan adalah dua hal yang amat penting dalam soal pelaksanaan persetujuan.107 Masalah itikad baik erat sekali kaitannya dengan tata kehidupan masyarakat, artinya menyangkut kesadaran hukum masyarakat yang memerlukan pembinaan dan pengaturan. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat, semakin tinggi pula kesadaran mereka tentang hak dan kewajibannya. Dalam lalu lintas hukum diharapkan sekali agar anggota
105 N. E. Xxxxx. et. al.,Kamus Istilah Hukum Xxxxxx Xxxxxxx Belanda-Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta, 1983), hlm. 580-581.
106 Y. Sogar Simamorta, Prinsip Hukum Kontrak dalam Pengadaan Barang dan Jasa oleh Pemerintah (Ringkasan Disertasi), Surabaya, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, 2005, hlm. 39, dalam Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hlm. 142.
107 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, , 2000), hlm.
102.
masyarakat selalu bertindak dengan dilandasi itikad baik, sehingga dapat menunjang usaha mewujudkan masyarakat adil dan makmur.108
Asas itikad baik menjadi salah satu instrumen hukum untuk membatasi kebebasan berkontrak dan kekuatan mengikatnya perjanjian. Dalam hukum kontrak itikad baik memiliki tiga fungsi yaitu fungsi yang pertama, semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, fungsi kedua adalah fungsi menambah yaitu hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu. Sedangkan fungsi ketiga adalah fungsi membatasi dan meniadakan (beperkende en derogerende werking vande geode trouw).109
Itikad baik seharusnya dimiliki oleh setiap individu sebagai bagian dari makhluk sosial yang tidak dapat saling melepaskan diri dari ketergantungan sosial terhadap individu lain untuk saling bekerjasama, saling menghormati dan menciptakan suasana tentram bersama-sama. Melepaskan diri dari keharusan adanya itikad baik dalam setiap hubungan dengan masyarakat adalah pengingkaran dari kebutuhannya sendiri yaitu kebutuhan akan hidup bersama, saling menghormati dan saling memenuhi kebutuhan pribadi dan sosial.110
Itikad baik (goede trouw) adalah faktor yang amat penting dalam hukum. Hukum bertujuan mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum hanya dapat mencapai tujuan jika hukum menuju peraturan yang adil, artinya peraturan yang terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dimana
108 Djaja S. Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxx Xxxx dalam KUHPerdata, (Bandung: Bina Cipta, 1987), hlm.1.
109 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 33.
110 Itikad Baik menurut Hukum, xxxx://xxxxx-xxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxx-xxxx-xxxxxxx- hukum.html, diakses 4 Mei 2014.
setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.111 Masalah yang muncul hingga saat ini belum satu kata untuk memberikan dasar yang tepat sebagai patokan apakah perjanjian telah dilaksanakan atas dasar itikad baik dan kepatutan atau belum. Praktiknya diserahkan kepada hakim untuk menilai hal tersebut. Hal ini juga terjadi di negara-negara Anglo Xxxxx, xxxxx-hakim di negara-negara Anglo Saxon belum mempunyai standar yang telah disepakati untuk mengukur asas tersebut. Biasanya frase itikad baik dan kepatutan selalu dikaitkan dengan makna fairness, reasonable standard of dealing, a common ethical sense.112
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, jika terjadi selisih pendapat tentang pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik (kepatutan dan kesusilaan), maka hakim diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengawasi dan menilai pelaksanaan perjanjian, apakah ada pelanggaran terhadap norma-norma kepatutan dan kesusilaan itu. Hal ini berarti bahwa hakim berwenang untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut kata-katanya, apabila pelaksanaan perjanjian menurut kata-katanya akan bertentangan dengan itikad baik (apabila pelaksanaan menurut norma-norma kepatutan dan kesusilaan itulah yang dipandang adil). Hal ini bisa dimengerti karena tujuan hukum adalah menjamin kepastian (ketertiban) dan menciptakan keadilan.113 Keadilan dalam hukum itu menghendaki adanya kepastian yaitu apa yang diperjanjikan harus dipenuhi karena janji itu mengikat sebagaimana Undang-Undang (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata), sedangkan yang harus dipenuhi tersebut sesuai dengan kepatutan
111 L.J. Xxx Xxxxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2000), hlm. 10.
112 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 30.
113 R. Subekti, op. cit., hlm. 40.
dan kesusilaan (Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, asas keadilan). Hakim berwenang mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang tidak adil, yaitu tidak sesuai dengan kepatutan dan kesusilaan.114
5. Asas Kepribadian
Asas kepribadian ini diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang berbunyi “Umumnya tidak seorang pun yang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang di dalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum.115
C. Perjanjian Kredit
1. Istilah dan Pengertian Kredit
Istilah kredit berasal dari kata dalam bahasa Yunani (credere) yang berarti kepercayaan (truth atau faith). Oleh karena itu dasar dari kredit adalah kepercayaan.116 Kepercayaan merupakan unsur yang sangat penting dalam dunia usaha. Orang tidak akan dapat berusaha dengan baik apabila tidak dipercaya oleh orang lain apalagi dalam bidang perkreditan. Pada dasarnya pemberian kredit oleh kreditor kepada debitor dilakukan karena kreditor percaya bahwa debitor akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktunya. Dengan demikian faktor pertama yang menjadi pertimbangan bagi kreditor adalah kemauan baik dari debitor untuk mengembalikan utangnya itu.
114 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, op. cit., hlm. 100.
115 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
(Yogyakarta: LaksBang Mediatama, 2008), hlm. 21.
116 Xxxxxx Xxxxxxx, et. al, Dasar-Dasar Perkreditan, (Jakarta: PT. Gramedia, 1990), hlm. 11.
Tanpa ada kepercayaan (trust) dari kreditor kepada debitor maka kreditor tidak akan memberikan kredit atau pinjaman. Karena itulah mengapa pinjaman dari seorang kreditor kepada seorang debitor disebut kredit yang berasal dari kata credere yang berarti kepercayaan atau trust.117 Bahwa dasar pemikiran persetujuan pemberian kredit kepada seorang nasabah atau badan usaha berlandaskan kepercayaan. Bila dikaitkan dengan kegiatan usaha, kredit berarti suatu kegiatan memberikan nilai ekonomis (economic value) kepada seseorang atau badan usaha berlandaskan kepercayaan saat itu, bahwa nilai ekonomi yang sama akan dikembalikan kepada kreditor setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang sudah disetujui antara kreditor dan debitor.118
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (1990) memberikan pengertian kredit adalah pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diijinkan oleh kreditor atau badan lain. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan memberikan definisi tentang kredit sebagai berikut:119
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”
Adanya unsur “pemberian bunga” dalam pengertian kredit menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang
117 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements Verordening Juncto UU Nomor 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm. 6.
118 Moh. Xxxxxxx, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Konsep, Teknik & Kasus, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum, 1999), hlm. 1.
119 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
disertai dengan kontraprestasi berupa bunga. Dari beberapa pengertian kredit tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:120
a. Inti dari kredit adalah adanya penyerahan uang yang dapat menimbulkan tagihan kepada pihak lain, yang mana dengan memberikan pinjaman ini diharapkan akan memperoleh tambahan nilai dari pokok pinjaman yang berupa bunga sebagai pendapatan bagi pihak pemberi pinjaman.
b. Proses pemberian kredit didasarkan pada suatu perjanjian dimana kedua belah pihak saling percaya bahwa masing-masing pihak akan memenuhi kewajibannya.
c. Kredit diberikan bila ada jaminan bahwa pelunasan utang dan bunga akan diselesaikan dalam waktu tertentu yang telah disepakati.
2. Unsur-Unsur Kredit
Intisari dari kredit yaitu unsur kepercayaan sedangkan unsur lainnya bersifat sebagai suatu yang berguna dalam rangka pertimbangan yang menyeluruh dalam mendapatkan atau memperoleh keyakinan dari kepercayaan untuk terjadinya suatu hubungan atau perikatan hukum dalam bidang perkreditan tersebut. Kredit dilihat dari sisi unsur keuntungan maka pandangan antara kreditor dan debitor secara jelas mempunyai perbedaan. Namun demikian mereka terikat dalam suatu kepentingan atas kondisi yang ada, maksudnya bahwa dari sisi kreditor kegiatan kredit yaitu untuk mengambil keuntungan dari modalnya dengan mengharapkan kontraprestasi. Sedangkan pandangan dari sisi debitor yaitu bahwa kredit tersebut memberikan bantuan bagi dirinya untuk menutupi kebutuhannya dan menjadi beban bagi dirinya untuk
120 Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Dasar-Dasar dan Tehnik Manajemen Kredit, (Jakarta: Xxxx Xxxxxx, 1989), hlm. 3.
membayar di masa depan hal mana beban itu merupakan kewajiban baginya yang berupa utang. Sebaliknya dari sisi penerima pembayaran utang di masa depan (kreditor) maka hal itu merupakan klaim terhadap orang lain untuk membayar.121
Berdasarkan dari pengertian kredit tersebut di atas dapat ditemukan adanya unsur- unsur dari kredit antara lain:122
a. Kepercayaan. Kepercayaan di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh kreditor bahwa kredit tersebut akan dapat dibayar kembali oleh debitornya sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan.
b. Waktu. Waktu di sini antara pelepasan kredit oleh kreditor dengan pembayaran kembali oleh debitor tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu.
c. Risiko. Risiko di sini berarti bahwa setiap pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung risiko di dalamnya yaitu risiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dengan pembayaran kembali. Hal ini berarti semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi risiko kredit tersebut.
d. Prestasi. Prestasi di sini berarti bahwa setiap kesempatan terjadi antara kreditor dengan debitornya mengenai suatu pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi.
Dari keempat unsur kredit tersebut di atas yang menjadi unsur mutlak dalam pemberian kredit adalah kepercayaan sebab tanpa adanya kepercayaan seseorang (kreditor) tidak mungkin akan memberikan kredit pada orang lain yang
121 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2003), hlm. 369.
membutuhkannya. Namun kepercayaan tersebut bukan hanya ditujukan pada si peminjam saja akan tetapi juga terhadap keadaan harta bendanya, usahanya, kemampuannya serta kesanggupannya membayar utangnya.123
3. Tujuan Kredit
Dalam pemberian suatu fasilitas kredit, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai antara lain:124
a. Mencari keuntungan. Hasil keuntungan ini diperoleh dalam bentuk uang yang diterima oleh kreditor sebagai balas jasa dan biaya administrasi kredit yang dibebankan kepada nasabah.
b. Membantu usaha nasabah. Dengan adanya kredit dapat membantu usaha nasabah yang memerlukan dana sehingga dapat mengembangkan dan memperluas usahanya.
c. Membantu pemerintah. Bagi pemerintah semakin banyak kredit yang disalurkan akan membawa keuntungan bagi pemerintah antara lain membuka kesempatan kerja yang berarti bahwa dengan adanya kredit untuk pembangunan usaha atau perluasan usaha yang membutuhkan tenaga kerja baru maka akan dapat menyedot tenaga kerja yang masih menganggur. Selain itu akan meningkatkan jumlah barang dan jasa yang dengan adanya kredit tersebut akan dapat meningkatkan jumlah produksi barang dan jasa yang beredar di masyarakat sehingga akhirnya masyarakat memiliki banyak pilihan.
123 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia (Panduan Dasar:legal Officer), (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm. 107.
d. Menghemat devisa negara. Menghemat devisa negara maksudnya bahwa dengan adanya kredit maka produk-produk yang sebelumnya diimpor dan apabila sudah dapat diproduksi di dalam negara dengan fasilitas kredit yang ada jelas akan dapat menghemat devisa negara.125 Dengan adanya kredit akan membawa manfaat dalam kehidupan perekonomian dan perdagangan antara lain:
1) Meningkatkan daya guna uang. Kredit yang dipakai untuk keperluan kegiatan usaha yang bersifat produktif berarti akan meningkatkan daya guna uang yaitu tidak hanya terbatas sebagai alat tukar dan pembayaran saja. Meningkatkan daya guna sesuatu barang. Penggunaan dana kredit untuk memproses suatu barang yang merupakan bahan baku menjadi barang jadi maka manfaat barang tersebut menjadi meningkat.
2) Meningkatkan peredaran dan lalu lintas uang. Tersebarnya debitor penerima kredit di beberapa daerah maka secara tidak langsung telah membantu dalam peredaran dan lalu lintas uang menjadi luas.
3) Menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat. Kredit dapat menjadi alternatif pendanaan bagi masyarakat dan pengusaha yang membutuhkan tambahan modal sehingga dengan adanya peningkatan modal diharapkan volume usaha menjadi meningkat pula.
4) Sebagai alat stabilitas ekonomi. Kredit salah satunya dapat dipergunakan untuk mengendalikan inflasi yaitu dengan mengurangi penyaluran kredit untuk membatasi uang yang beredar di masyarakat.
5) Jembatan untuk meningkatkan pendapatan nasional. Kredit dapat mendukung bertambahnya jumlah kegiatan usaha produktif di suatu daerah sehingga dapat membuka peluang lapangan kerja baru dan bagi pengusaha juga tentunya akan meningkatkan volume usaha dan keuntungan.
6) Sebagai alat hubungan ekonomi internasional. Adanya instrumen kredit maka akan dapat meningkatkan kerjasama antara satu negara dengan negara lain maupun dengan lembaga keuangan internasional sehingga dapat meningkatkan kerjasama dalam bidang ekonomi.
4. Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit
Setiap proses pemberian kredit senantiasa dilakukan analisa terlebih dahulu terhadap calon debitor untuk menentukan apakah debitor yang bersangkutan layak untuk memperoleh fasilitas kredit atau tidak sehingga nantinya kredit yang diberikan tersebut benar-benar akan kembali. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberian fasilitas kredit meliputi:126
a. Prinsip kepercayaan. Sesuai dengan asal kata kredit yang berarti kepercayaan maka setiap pemberian kredit mestilah selalu dibarengi oleh kepercayaan yaitu kepercayaan dari kreditor akan bermanfaatnya kredit bagi debitor sekaligus kepercayaan oleh kreditor bahwa debitor dapat membayar kembali kreditnya.
b. Prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian (prudent) adalah salah satu konkretisasi dari prinsip kepercayaan dalam suatu pemberian kredit. Oleh
126 Xxxxx Xxxxx, Hukum Perkreditan Kontemporer, (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2002), hlm.
19.
karena itu dalam penyaluran kredit, keharusan adanya jaminan utang dalam setiap pemberian kredit merupakan wujud kehati-hatian yang bertujuan agar kredit yang diluncurkan tersebut dibayar kembali oleh pihak debitor.
c. Prinsip 5C atau The Five of Credit. Di samping prinsip-prinsip tersebut di atas, dalam memberikan kredit juga dikenal adanya prinsip 5C atau The Five of Credit yaitu:
1) Watak (Character). Watak dari calon debitor merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dan merupakan unsur yang terpenting sebelum memutuskan untuk memberikan kredit kepadanya. Dalam hal ini meyakini benar calon debitornya memiliki reputasi baik artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas misalnya penjudi, pemabuk atau penipu.
2) Modal (Capital). Hal ini diperlukan untuk mengukur tingkat rasio likuiditas dan solvabilitas. Rasio ini diperlukan berkaitan dengan pemberian kredit untuk jangka pendek atau jangka panjang.
3) Kemampuan (Capacity). Kemampuan calon debitor dapat dilihat dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu. Pendapatan yang selalu meningkat diharapkan kelak mampu melakukan pembayaran kembali atas kreditnya. Sedangkan bila diperkirakan tidak mampu dapat menolak permohonan dari calon debitor.
4) Kondisi ekonomi (Condition of economic). Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan karena akan berdampak baik secara positif maupun negatif terhadap usaha calon debitor.
5) Jaminan (Colateral). Jaminan yang diberikan oleh calon debitor akan diikat suatu hak atas jaminan sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan.
d. Penilaian suatu kredit dapat pula dilakukan dengan analisis 7P dengan unsur penilaian sebagai berikut:
1) Personality maksudnya menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun kepribadian masa lalunya. Penilaian personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah dan menyelesaikannya.
2) Party, maksudnya mengklasifikasikan nasabah ke dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas, serta karakternya. Nasabah yang digolongkan ke dalam golongan tertentu akan mendapatkan fasilitas yang berbeda dari kreditor.
3) Purpose, maksudnya untuk mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil kredit termasuk jenis kredit yang diinginkan nasabah. Tujuan pengambilan kredit dapat bermacam-macam sesuai kebutuhan. Sebagai contoh apakah untuk kredit modal kerja, investasi, konsumtif, produktif dan lain-lain.
4) Prospect, maksudnya menilai usaha nasabah di masa yang akan datang menguntungkan atau tidak atau dengan kata lain mempunyai prospek atau sebaliknya. Hal ini penting mengingat jika suatu fasilitas kredit yang dibiayai tanpa mempunyai prospek bukan hanya kreditor yang rugi akan tetapi juga nasabah.
5) Payment merupakan ukuran bagaimana cara nasabah mengembalikan kredit yang telah diambil atau dari sumber mana saja dana untuk pengembalian kredit. Semakin banyak sumber penghasilan debitor maka akan semakin baik sehingga jika salah satu usahanya merugi akan dapat ditutup oleh usaha lainnya.
6) Profitability bertujuan untuk menganalisis bagaimana kemampuan nasabah dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode, apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat, apalagi dengan tambahan kredit yang akan diperolehnya.
7) Protection maksudnya bagaimana menjaga agar kredit yang diberikan mendapatkan jaminan perlindungan sehingga kredit yang diberikan benar-benar aman. Perlindungan yang diberikan oleh debitor dapat berupa jaminan barang atau orang atau asuransi.127
D. Perjanjian dengan Xxxxxxxx Xxxx
Perjanjian baku atau standar berasal dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu standard contract atau standard voorwaarden. Belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian standar di luar negeri. Kepustakaan Jerman mempergunakan istilah Allgemeine Geschafts Bedingun, standard vertrag, standaardkonditionen dan dalam bahasa Inggris disebut dengan standard contract.
Timbulnya perjanjian standar di dalam lalu lintas hukum kontrak nasional dan internasional dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap
127 Xxxxxx, op. cit., hlm. 119.
kegiatan transaksi. Oleh karena itu, agar perjanjian standar dapat memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat (conditional) perjanjian standar harus ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir kemudian digandakan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulir-formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain. Kontrak standar adalah konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya namun sifatnya tertentu.128
Pengertian perjanjian standar menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx adalah perjanjian yang isinya sudah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.129 Perjanjian standar atau lebih sering disebut dengan standard contract atau perjanjian standar adalah perjanjian yang baik bentuk, isi maupun cara penutupannya dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan serta disebarluaskan secara sepihak oleh salah satu pihak (biasanya pelaku usaha) tanpa kesepakatan dengan pihak lainnya (biasanya konsumen atau pelanggan).130
Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx mengemukakan pendapatnya dimana pengertian perjanjian standar adalah perjanjian yang mendasarkan pada berlakunya peraturan standar yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjukkan dalam rumusan kontrak.131 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx menyebut perjanjian standar atau perjanjian baku atau perjanjian adhesi ialah “Perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya
128 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, op. cit, hlm. 65.
129 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 49.
130 Ibid., hlm. 49.
131 Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, op. cit., hlm. 55.
sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan, dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya. Karakter suatu perjanjian standar dapat dikemukakan sebagai berikut:132
a. Isi kontrak telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk formulir yang digandakan;
b. Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering dan banyak/massal);
c. Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar-menawar (kedudukan transaksional) yang lebih rendah daripada produsen.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengemukakan tentang ciri-ciri dari suatu perjanjian baku yaitu:133
a. Masyarakat atau debitor sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
b. Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima perjanjian tersebut;
c. Bentuk tertentu yaitu secara tertulis;
d. Telah dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian dan ciri-ciri dari perjanjian standar tersebut di atas adalah bahwa perjanjian standar adalah perjanjian yang isinya berdasarkan peraturan standar yang dituangkan dalam bentuk formulir tertentu.
Perjanjian standar dengan demikian di dalamnya berlaku adagium, take it or leave it contract maksudnya yaitu apabila setuju silakan ambil dan apabila tidak tinggalkan saja artinya perjanjian tidak dilakukan.134
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengklasifikasikan standard contract tersebut ke dalam 2 (dua) kelompok. Pertama, perjanjian standar umum yaitu perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditor kemudian disodorkan pada debitor. Kedua, perjanjian standar khusus yaitu perjanjian ini ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak dan diberlakukan bagi para pihak.135
Perjanjian baku yang hidup dan bertumbuhkembang di dalam kehidupan masyarakat sangat banyak jenis dan jumlahnya, secara umum perjanjian baku berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Perjanjian baku sepihak yaitu merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu yang memiliki kedudukan ekonomi atau status sosial yang lebih tinggi dibandingkan pihak lainnya;
b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek berupa hak-hak atas tanah;
c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat yaitu merupakan perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat tersebut.
Dalam suatu perjanjian standar, khususnya perjanjian standar yang sepihak (adhesion contract) terdapat suatu kondisi yang banyak menarik perhatian para ahli hukum perjanjian, yaitu terdapatnya beberapa klausula dalam kontrak tersebut yang sangat memberatkan salah satu pihak. Klausula berat sebelah ini disebut dengan klausula eksemsi (exemption clausule) yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie clausule. Klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggungjawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi. Padahal menurut hukum tanggungjawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.136
Menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, yang dimaksud dengan klausula eksemsi atau klausula eksonerasi disebut sebagai klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor.137 Secara yuridis teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:138
a. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya dilakukan melalui upaya perluasan pengertian force majeure (keadaan darurat);
b. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya pengurangan atau
136 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua), (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2003), hlm. 98.