PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM PERJANJIAN KERJA SAMA DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK MELALUI AKTA NOTARIS
PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM PERJANJIAN KERJA SAMA DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK MELALUI AKTA NOTARIS
TESIS
Oleh :
Nama Mahasiswa | : | Xxxx Xxxxxxx |
No. Pokok Mhs. | : | 21921085 |
PROGRRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM MAGISTER FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2024
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto |
“Berdoalah untuk apa yang kamu kerjakan dan bekerjalah untuk apa yang kamu doakan, niscaya berkat Tuhan akan selalu menyertai” “Jangan biarkan setiap orang yang datang pada Anda, pergi tanpa merasa lebih baik dan lebih bahagia. Jadilah ungkapan hidup dari kebaikan Tuhan, kebaikan dalam wajah anda, kebaikan dalam mata anda, kebaikan dalam senyum anda” (Bunda Theresia). |
Persembahan |
Tesis ini saya persembahkan kepada: Suami dan Keluarga terkasih, terimakasih atas doa terbaik, semangat, motivasi, pengorbanan, nasehat serta kasih sayang tidak pernah henti. |
iii
Puji Tuhan yang Maha Esa atas kasih dan petunjuk-Nya telah memberikan kesempatan kepada saya untuk terus berusaha dan belajar sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM PERJANJIAN KERJA SAMA DENGAN PEMILIK SARANA APOTEK MELALUI AKTA
NOTARIS. Tesis ini disusun dan ditulis untuk memenuhi salah satu syarat guna mendapatkan gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Kenotariatan Program Magister Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Saya menyadari bahwa penyelesaian penyusunan tesis ini tidak lepas dari dukungan, bantuan, motivasi dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penyusunan tesis ini selesai pada waktunya. Oleh karena itu, saya menyampaikan penghargaan, ucapan terimakasih serta rasa hormat kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Xxxxxx Xxxxx, S.T., X.Xx., Ph.D Rektor Universitas Islam Indonesia.
2. Bapak Prof. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
3. Bapak Dr. Xxxxxxxx, X.X., X.Hum Ketua Prodi Kenotariatan Program Magister Universitas Islam Indonesia dan Dosen Pembimbing. Terimakasih atas waktu, motivasi dan bimbingannya dalam penulisan tesis ini.
vi
4. Bapak Dr. Drs. Xxxxxxx, S.H., X.Xx Anggota Penguji . Terimakasih telah memberikan arahan, masukan, saran dan motivasi dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Bapak Dr. Xxxxxxxx, X.X., CN., M.H. Anggota Penguji . Terimakasih telah memberikan arahan, masukan, saran dan motivasi dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
6. Seluruh dosen Program Studi Kenotariatan Program Magister Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, penulis tidak dapat menyebutkan satu persatu. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan dan keikhlasan dalam mendidik Penulis.
7. Seluruh staf akademik Program Studi Kenotariatan Program Magister Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
8. Semua narasumber yang telah memberikan informasi dalam penelitian penulis, terimakasih kepada:
a. Bapak Syamsubanar, S.H Notaris dan PPAT di Kabupaten Kudus.
b. Ibu Xxxx Xxxxxxxx selaku Pemilik Saranan Apotek Jaya di Kabupaten Kudus.
c. Bapak Xxxxxxx Xxxxx selaku Pemilik Sarana Apotek Seneng Waras di Kabupaten Kudus.
d. Ibu Apt. Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xxxx selaku Apoteker Pengelola Apotek di Apotek Seneng Waras Kudus.
e. Bapak Apt. Xxxxxxxx Xxxx, X.Xxxx selaku Ketua Ikatan Apoteker Indonesia Cabang Kudus.
vii
9. Suami tercinta, Xxxx Xxxxxxx, S.E., M.M yang tidak pernah putus untuk selalu mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis selama menempuh studi.
10. Keluarga terkasih yang memberikan semangat, doa dan dukungan selama penulis menempuh studi.
11. Para sahabat dan kawan-kawan angkatan 16 Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis baik dalam masa studi maupun dalam penyelesaian penulisan tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu- persatu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa membalas kebaikan bapak/ibu dengan kebaikan yang tidak pernah terputus. Penulis menyadari bahwa penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna, maka saran dan kritik sangat diharapkan guna menjadi bekal berharga bagi penulis. Akhir kata semoga, tesis ini bermanfaat bagi semua kalangan.
Yogyakarta, 11 Januari 2024 |
Xxxxxxx, |
Xxxx Xxxxxxx, S.H. |
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN iii
1. Konsep Perlindungan Hukum 14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN APOTEK DAN PERLINDUNGAN HUKUM 25
2. Syarat Sahnya Perjanjian 40
3. Perjanjian Kerja Sama Xxxxxxxxxxx Xxxxxx 00
C. Konsep Perbuatan Melawan Hukum 49
ix
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum 49
2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum 52
3. Tanggung Jawab atas Perbuatan Melawan Hukum 55
D. Akta Notaris dan Kekuatan Pembuktiannya 58
4. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris sebagai Akta Autentik 68
E. Pengelolaan Obat Jenis Narkotika Dan Psikotropika 71
4. Dokumentasi dan Pendistribusian 75
5. Pencatatan dan Pelaporan 75
F. Konsep Perlindungan Hukum 76
1. Pengertian Perlindungan Hukum 76
2. Sarana dan Bentuk Perlindungan Hukum 79
BAB III PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM MENGELOLA OBAT KHUSUS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI APOTEK 83
A. Perlindungan Hukum bagi Apoteker dalam Xxxxxxxxxxx Xxxxxx 00
1. Pelaksanaan Perjanjian Kerja xxxx Xxxxxxxxxxx Xxxxxx 00
2. Pentingnya Akta Notaris Dalam Pengikatan Kerjasama Xxxxxxxxxxx Xxxxxx 000
3. Pengadaan obat Khusus Narkotika dan Psikotropika 105
4. Perlindungan Hukum bagi Apoteker dalam Mengelola Apotek Terkait Obat Khusus Narkotika dan Psikotropika 108
B. Tanggung Jawab Apoteker dalam Hal Terjadi Perbuatan Melawan Hukum Dalam Pengadaan dan Penyimpanan Obat Khusus Narkotika dan Psikotropika 118
1. Tanggung Jawab Apoteker atas Kesalahannya dalam Pengadaan dan Penyimpanan Obat Khusus Jenis Psikotropika dan Narkotika
............................................................................................................... 118
x
2. Tanggung Jawab Apoteker dalam Hal Terjadi Perbuatan Melawan Hukum dalam Pengadaan dan Penyimpanan Obat Khusus Psikotropika dan Narkotika 123
BAB IV PENUTUP 137
A. Kesimpulan 137
B. Saran 138
DAFTAR PUSTAKA 140
A. Buku 140
B. Karya Ilmiah/Jurnal/Tesis/Skripsi 143
C. Peraturan Perundang-Undangan 144
D. Internet 145
LAMPIRAN-LAMPIRAN 146
Lampiran 1 135
Lampiran 2 136
Lampiran 3 137
Lampiran 4 138
xi
ABSTRAK
Apotek dapat didirikan berdasarkan perjanjian kerja sama antara Apoteker dengan Pemilik Sarana Apotek, apoteker yang mengelola apotek disebut Apoteker Pengelola Apotek (APA). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlindungan hukum dan tanggung jawab Apoteker dalam mengelola apotek terkait pengadaan dan penyimpanan obat khusus narkotika dan psikotropika. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pelindungan hukum bagi apoteker dalam pengelolaan apotek? dan bagaimana tanggung jawab apoteker apabila terjadi perbuatan melawan hukum dalam pengadaan dan penyimpanan obat khusus narkotika dan psikotropika? Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Penelitian ini menyimpulkan: Pertama, Perlindungan hukum bagi APA masih lemah, disebabkan tidak ada undang-undang maupun turunannya yang mengatur sistem kerja sama yang ideal dalam mengelola apotek. Praktiknya, bukan berbasis kerja sama tetapi hubungan kerja berupa pemberian upah bukan profit sharing yang diperoleh APA oleh karena itu perlindungan dalam akta perjanjian pengelolaan apotek tidak dapat diterapkan. Pengadaan dan penyimpanan obat khusus psikotropika dan narkotika dalam akta perjanjian tidak diatur. Kedua, Pengelolaan apotek sepenuhnya menjadi tanggung jawab APA termasuk kesalahan yang dilakukan oleh asisten/pendamping apoteker. APA yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam pengadaan dan penyimpanan obat khusus psikotropika dan narkotika harus bertanggung jawab. Adapun pertanggung jawaban APA dapat dilakukan berdasarkan hukum administrasi, hukum perdata serta hukum pidana. Oleh sebab itu, APA dalam membuat akta kerja sama harus memperhatikan hak dan kewajiban serta pola kerja sama yang ideal yang dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, termasuk yang berkaitan dengan obat khusus psikotropika dan narkotika serta pemerintah harus membuat aturan terkait sistem kerja sama pengelolaan apotek yang ideal.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Tanggung Jawab, Apoteker dan Akta Perjanjian Kerja Sama.
xii
Pharmacies can be established based on a cooperation agreement between pharmacists and pharmacy facility owners. The pharmacist who manages the pharmacy is called the Pharmacy Management Pharmacist (APA). This research aims to analyze the legal protection and responsibilities of pharmacists in managing pharmacies related to the procurement and storage of special narcotic and psychotropic drugs. The formulation of the problem in this research is what is the legal protection for pharmacists in managing pharmacies? and what is the pharmacist's responsibility if unlawful acts occur in the procurement and storage of special narcotic and psychotropic drugs? This research uses normative legal research using secondary data, namely primary, secondary and tertiary legal materials. The data obtained was analyzed using qualitative analysis methods. This research concludes: First, legal protection for APA is still weak, because there are no laws or derivatives that regulate an ideal cooperation system in managing pharmacies. In practice, it is not based on cooperation but the work relationship is in the form of giving wages rather than sharing profits obtained by APA, therefore the protection in the pharmacy management agreement deed cannot be applied. The procurement and storage of special psychotropic and narcotic drugs is not regulated in the agreement deed. Second, the management of the pharmacy is entirely APA's responsibility, including errors made by pharmacist assistants/companions. APAs who commit unlawful acts in the procurement and storage of special psychotropic and narcotic drugs must be held accountable. APA responsibility can be carried out based on administrative law, civil law and criminal law. Therefore, APA in making a cooperation deed must pay attention to the rights and obligations as well as the ideal cooperation pattern that can provide legal certainty and protection, including those related to special psychotropic and narcotic drugs and the government must make regulations regarding the pharmacy management cooperation system that ideal.
Keywords: Legal Protection, Responsibility, Pharmacist and Cooperation Agreement Deed.
xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cita-cita bangsa Indonesia adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat, 1 khususnya dibidang kesehatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (kemudian disebut UUD 1945) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 menjelaskan bahwa negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas umum yang layak.
Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas kesehatan yang layak termasuk penyediaan obat sebagai hak dasar manusia (amanat UUD 1945),2 sebagaimana dituangkan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyebutkan bahwa “Pemerintah menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan pemerataan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial”. Hal ini dapat dilakukan melalui pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan yang harus dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan antara pemerintah dan masyarakat.3
hlm 1.
1 Zaeni Asyhadie. Aspek-Aspek Hukum Kesehatan di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. 2017
2 Sri Siswati. Etika dan Hukum Kesehatan dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan.
Rajawali Pers. Jakarta. 2013. hlm 4.
3 Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
1
Praktik farmasi ialah segala kegiatan yang mencangkup pembuatan termasuk pengendalian mutu ketersediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, bahan obat dan obat tradisional atas resep dokter yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang ahli dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.4
Apotek adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.5 Apoteker berperan dalam pelayanan kesehatan yang berfokus pada pasien, terlebih dalam menjamin ketersediaan obat yang bermutu, aman dan efektif. Apoteker berperan dalam mengatasi masalah kesehatan secara nasional dan dapat dikatakan apoteker sebagai penyangga kesehatan nasional. 6 Sehingga dalam pendirian apotek dibutuhkan adanya pihak yang ahli dalam bidang kefarmasian, pihak ini disebutkan dengan apoteker.
Apoteker merupakan sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah disumpah menurut agama dan keyakinannya, sumpah apoteker menjadi panduan moral dalam mengemban profesi sebagai apoteker. Apoteker digolongkan pada tenaga kesehatan dibidang kefarmasian, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (6) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yaitu apoteker dan teknis kefarmasian.7 Pengelolaan
4 Pasal 108 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
5 Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1027/MenKes/SK/IX/2004
6 Pentingnya Peran Apoteker dalam Pelayanan Kesehatan. Dalam xxxxx://xxx.xxx.xx.xx diakses pada tanggal 09 April 2023 pukul 20.15 WIB.
7 Harsono Njoto. Perlindungan Hukum terhadap Apoteker dalam Melaksanakan Profesi, Vol 2, No. 1. Jurnal Transparansi Hukum. . 2019. Dalam xxxxx://xxx.xxx/00.00000/xxxxxxxxxxxx diakses pada tanggal 09 April 2023 pukul 21. 36 WIB.
apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker, pengelolaan apotek dilakukan dalam rangka tugas dan fungsi apotek yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian.8
Seorang Apoteker Pengelola Apotek bertanggung jawab terhadap kelangsungan kegiatan apotek yang dikelolanya dan berkewajiban untuk menerapkan standar mutu pelayanan kefarmasian di apotek berdasarkan Pasal Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (kemudian disebut PerMenKes) Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menyebutkan bahwa:
(1) Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi:
a. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
b. Pelayanan farmasi klinik.
(2) Pengelolaan sediaan farmasi yang dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Perencanaan. b. Pengadaan. c. Penerimaan. | d. Penyimpanan. e. Pemusnahan. f. Pengendalian dan pelaporan. |
Adapun yang dimaksud dengan Apoteker Pengelola Apotek adalah sama dengan Apoteker Penanggungjawab Apotek (yang kemudian disingkat dengan APA) Apotek dapat dijalankan oleh apoteker sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) PerMenKes Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek yaitu apoteker dapat mendirikan apotek dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal, baik perorangan maupun
8 G. Lord Tangkudung. Analisis Jaminan Perlindungan Hukum bagi Pasien yang Menerima Pelayanan Kefarmasian di Apotek oleh Apoteker, Vol. XI, No. 2. Jurnal Lex Privatum. Februari 2023. hlm 2.
perusahaan dan dalam ayat (2) apotek yang didirikan dengan kerja sama, pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan.
Apoteker yang bekerja sama dengan pihak lain sebagai pemilik modal dapat dilakukan melalui perjanjian kerja sama yang akan menimbulkan hubungan hukum para pihak dan sederajat, dapat dilaksanakan dengan metode bagi hasil. 9 Apoteker berkewajiban untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat di bidang kefarmasian sesuai dengan profesi dan keahliannya dan mengelola apotek dengan baik, sedangkan pihak Pemilik Xxxxxx Xxxxxx (PSA) berkewajiban untuk memberikan upah/bagi hasil sesuai dengan isi perjanjian kerja sama.10 Perjanjian kerja sama antara apoteker dengan PSA harus dimuat dalam suatu akta Notaris (akta perjanjian kerjasama)
Akta perjanjian kerjasama tersebut memuat semua dinamika yang ada di apotek. Notaris merupakan seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan kewenangan lain.11 Adapun kewenangan notaris disebutkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yaitu:
“Notaris berwenang untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan, penetapan dan perjanjian yang diharuskan oleh undang-undang dan/atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan, menyimpan, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, sepanjang pembuatan akta
9 Sabillah Utomo Putra, dkk. Tanggung Jawab Apotek dalam Penjualan Obat-Obatan Daftar G di Kota Malang terhadap Konsumen yang Dirugikan, Vol. 5, No. 2. Jurnal. Diponegoro Law Review. 2016. hlm 3.
10 Ibid. hlm 4.
11 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
itu tidak juga ditugas/dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-undang”.
Notaris tidak boleh memihak dan bersikap netral dalam menjalankan profesinya. Sikap netral ini dapat ditunjukkan oleh notaris dengan menjelaskan maksud dari semua isi yang akan dijadikan akta kepada para pihak/penghadap, sehingga para pihak/penghadap dapat memahami maksud dari isi akta.12
Para penghadap berkewajiban untuk memberikan informasi yang benar mengenai identitas, objek dan perbuatan hukum yang akan diaktakan. Sehingga notaris dapat menjamin atas akta yang dibuatnya harus berdasarkan peraturan yang berlaku dengan tujuan melindungi kepentingan para penghadap dalam aktanya.13 Sehingga akta yang dibuatnya nyata-nyata berkekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menimbulkan kerugian kepada semua pihak.
Awal mulanya perkembangan kefarmasian hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai suatu komoditi, kemudian menjadi pelayanan yang lebih komprehensif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.14 Oleh karena itu, apoteker dituntut untuk mengupgrade diri mengingat apoteker merupakan ujung dari pelayan kesehatan, berinteraksi langsung dengan pasien sebagai pharmaceutical care.15
12 Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
13 Sibuea Xxx Xxxxx, dkk. Tanggung Jawab Perdata Notaris atas Akta Perjanjian Pengikat Jual Beli yang Cacat Komparisi. Jurnal Suara Hukum. Vol. 4 No. 1. Universitas Brawijaya. Malang. Maret 2022. hlm. 145-146.
14 Xxxx X. Sopana, Dkk. Fenomena Apoteker Gaib. 2018. Dalam xxxxx://xxx.xx/xxxx0 diakses pada tanggal 10 April 2023 pukul 08.16 WIB.
15 Ibid.
Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak yang melekat pada dirinya, perlindungan hukum merupakan upaya memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain. 16 Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada subjek/orang dengan menggunakan perangkat hukum atas hak-haknya yang dilanggar, 17 sehingga dapat menikmati hak-hak yang seharusnya didapat berdasarkan hukum, tidak terlepas dari pihak PSA, apoteker maupun masyarakat.
Salah satu kasus yang melibatkan apoteker adalah apoteker yang telah dianggap melakukan penggelapan yang terjadi di Semarang. Berawal dari apoteker yang bekerja sama dengan PSA, ditemukan transaksi obat jenis narkotika dan psikotropika yang tidak dipesan oleh apoteker, melainkan dipesan oleh asisten apoteker atas desakan PSA setelah apoteker melakukan pemesanan kesediaan obat.18
Psikotropika dan narkotika merupakan bahan obat yang dilarang melalui aturan:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Psikotropika merupakan zat atau obat yang alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental
16 Sartjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2000. hlm 54.
17 Xxxxxxxx X. Hadjon.. Pengantar Hukum Adminitrasi Indonesia. Gajah Mad University Press. Yogyakarta. 2011. hlm 10.
18 Kasus tersebut telah diperiksa dan diadili pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Semarang dengan registrasi Putusan Nomor: 223/PID.B/2012/PN.SMG.
dan perilaku.19 Barang siapa yang menyalahgunakan tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00.20
Subjek tindak pidana ini adalah para pengguna, pengedar/memperjual belikan, dan para pekerja medis yang menyalahi aturan dalam pemakaian pada pasien maupun perdagangan di apotek yang menyalahi aturan. Oleh karena itu, apoteker sebagai pelayan kefarmasian yang merupakan bagian dari pelayan kesehatan merupakan subjek hukum yang dapat dikenakan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis/sistematis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi/menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang.
Berdasarkan uraian di atas, psikotropika dan narkotika merupakan obat khusus yang tidak boleh diedarkan tanpa hak maupun izin, memerlukan tempat penyimpanan khusus dan pelaporan khusus bagi yang berwenang sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) PerMenKes Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi menyebutkan bahwa tempat penyimpanan narkotika,
19 Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
20 Pasal 62 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
psikotropika dan prekursor farmasi dapat berupa gudang, ruangan atau lemari khusus.
Apoteker bertanggung jawab penuh atas pengelolaan apotek. Apabila ditemukan kejanggalan sebagaimana kasus dalam Putusan Nomor: 223/PID.B/2012/PN.SMG apoteker seharusnya mengundurkan diri dan mengambil langkah dengan cara mengamankan ketersediaan jenis obat psikotropika dan narkotika tersebut ke pihak Dinas Kesehatan Kodya Semarang sampai ada pengganti. Hal ini bertujuan untuk terhindar dari penyalahgunaan oleh PSA maupun apoteker. Namun dalam kasus tersebut langkah apoteker dianggap salah dan dilaporkan oleh PSA atas tuduhan penggelapan.21
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pengelolaan apotek adalah sepenuhnya kewenangan dan tanggung jawab dari apoteker meskipun bekerja sama dengan PSA, modal yang diberikan pemilik saran apotek tidak mengartikan pengelolaan ataupun penguasaan penuh atas PSA. Posisi kasus tersebut menunjukkan bahwa apoteker perlu perlindungan hukum apabila terdapat kasus yang serupa.
Di samping perlu mendapatkan perlindungan hukum, apoteker juga dapat diberikan sanksi, apabila melakukan perbuatan melawan hukum dalam mengelola apotek yang berkaitan dengan pengadaan dan penyimpanan obat khusus jenis narkotika dan psikotropika. Obat jenis ini tidak untuk diedarkan di kalangan umum, membutuhkan kewenangan dan izin untuk kepentingan
21 Op. Cit. Putusan Nomor: 223/PID.B/2012/PN.SMG.
tertentu. Salah satu yang dapat memesannya adalah apoteker karena sudah mendapatkan legitimasi dari peraturan perundang-undangan. Sekalipun demikian, apoteker harus bertanggung jawab atas pemesanannya meliputi keluar masuknya obat, pelaporan, dan pemusnahannya.22
Obat jenis narkotika dan psikotropika juga membutuhkan penyimpanan khusus yang harus disediakan di apotek yang dikelola apoteker. Penyimpanan obat jenis ini bisa berbentuk gudang, ruangan dan lemari khusus. Penyimpanan atas obat jenis ini harus terpisah dari tempat obat-obatan lainnya dan tersimpan rapi untuk menghindari dari terkontaminasi dengan obat-obatan lain.23 Dengan demikian, apoteker dalam mengelola apotek yang tidak menyediakan ruang khusus untuk penyimpanan dan tidak jelasnya pemesanan, pencatatan keluar masuknya obat jenis ini dapat dikenakan sanksi, tergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukannya.
Penjelasan di atas menunjukkan ketertarikan penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan peran penting apoteker dalam pelayanan kesehatan nasional yang juga merupakan cita-cita bangsa perlu untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam menjalankan tanggung jawabnya yang sudah disepakati dalam akta kerja sama dengan PSA dan akan menganalisis tanggung jawab apoteker dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum dalam pengadaan dan penyimpanan obat khusus narkotika dan psikotropika. Penelitian yang akan
22 Rizki Aprianto. Evaluasi Pengelolaan Obat Golongan Narkotika di Apotek Kecamatan Ulee Kareng Banda Aceh 2017. Skripsi, Institut Kesehatan Helvetia. Medan. 2019. hlm 15.
23 Pasal 25 ayat (1) PerMenKes Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekusor Farmasi.
dilakukan ini berjudul “Perlindungan Hukum dan Tanggung Jawab Apoteker dalam Perjanjian Kerja Sama dengan Pemilik Sarana Apotek melalui Akta Notaris”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pelindungan hukum bagi apoteker dalam pengelolaan apotek?
2. Bagaimana tanggung jawab apoteker dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum dalam pengadaan dan penyimpanan obat khusus narkotika dan psikotropika?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari dilakukannya penelitian oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis perlindungan hukum bagi apoteker dalam mengelola apotek.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis tanggung jawab apoteker dalam hal terjadi perbuatan melawan hukum dalam pengadaan dan penyimpanan obat khusus narkotika dan psikotropika.
D. Manfaat Penulisan
Penelitian yang berjudul Perlindungan Hukum dan Tanggung Jawab Apoteker dalam Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama dengan Pemilik Sarana
Apotek diharapkan mampu memberikan manfaat kepada berbagai pihak, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu:
1. Manfaat teoritis
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dalam keilmuan hukum dibidang hukum perdata, terkhusus mengenai perlindungan hukum dan tanggung jawab apoteker dalam melaksanakan perjanjian kerja sama dengan PSA dalam mengelola apotek.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praksis ini ditujukan kepada pihak-pihak terkait agar menikmati manfaat dari hasil penelitian ini, yaitu:
a. Praktisi atau Penegak Hukum
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan problem solving, ide maupun acuan bagi penegak hukum atau praktisi dalam menjalankan fungsi dan tugasnya apabila menangani permasalahan yang sama dengan penelitian ini.
b. Masyarakat dan Apoteker
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan edukasi bagi masyarakat luas mengenai hak-haknya apabila terjadi perselisihan dalam kegiatan kefarmasian dan bermanfaat bagi apoteker apabila terjadi perselisihan dengan PSA.
E. Orisinalitas Penelitian
Penulis telah melakukan penelusuran dengan penelitian-penelitian terdahulu yang terdapat persamaan dan perbedaan dengan pembahasan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
No. | Nama | Xxxxx | Persamaan | Perbedaan |
1. | Sabda Wahab24 | Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian (Studi Kasus di Kota Ambon) | Penelitian tersebut membahas perlindungan hukum terhadap tenaga teknis kefarmasian yang di antaranya adalah apoteker dalam menjalankan tugasnya. Hal ini juga akan dibahas dalam penelitian peneliti. | Penelitian tersebut berfokus pada perlindungan hukum kepada tenaga teknis kefarmasian yang dibantu oleh apoteker, sedang penelitian peneliti akan menfokuskan pada perlindungan hukum dan tanggung jawab apoteker sebagai tenaga kefarmasian dalam menjalankan tugasnya berdasarkan perjanjian kerja sama dengan PSA. |
2. | Xxxxxx Dumadi25 | Mal Praktik Apoteker dalam Pelayanan kefarmasian | Persamaan dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama mengupas tanggung jawab apoteker dalam pelayanan kefarmasian. | Adapun pembeda antara penelitian peneliti dengan penelitian tersebut adalah terletak pada dasar penentuan tanggung jawab. Penelitian tersebut berfokus pada tanggung jawab apoteker atas dasar malpraktik, malpraktik masih dalam |
24 Sabda Wahab. Perlindungan Hukum terhadap Tenaga Teknis Kefarmasian dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian (Studi Kasus di Kota Ambon). Tesis Universitas Katolik Soegijapranata. Semarang. 2020. hlm 1.
25 Xxxxxx Xxxxxx. Mal Praktik Apoteker dalam Pelayanan kefarmasian. Tesis Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. 2016. hlm 4.
No. | Nama | Xxxxx | Persamaan | Perbedaan |
cangkupan yang sangat luas. Sedangkan penelitian peneliti berfokus pada tanggung jawab yang didasarkan pada perjanjian kerja sama pengelolaan apotek dengan PSA dalam hal pengadaan dan penyimpanan obat jenis narkotika dan psikotropika. | ||||
3. | Dany Suparwanto26 | Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama antara Pemilik Sarana Apotek (PSA) dengan Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Futuh Farma Desa Labuhan Haji | Adapun persamaan penelitian tersebut dengan penelitian peneliti yaitu sama-sama membahas perjanjian kerja sama pengelolaan apotek | Adapun perbedaan penelitian peneliti dengan penelitian tersebut terletak pada perjanjian kerja sama apotek. Penelitian tersebut menjadikan perjanjian kerja sama sebagai objek yang diteliti. Sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti akan menjadikan perjanjian kerja sama pengelolaan apotek sebagai bahan untuk menganalisis perlindungan hukum dan tanggung jawab apoteker dalam mengelola apotek. |
4. | A. Mufti Damara27 | Peran Notaris dalam Pembuatan Kontrak Kerja | Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian | Perbedaan dengan penelitian peneliti adalah penelitian tersebut membahas |
26 Xxxx Xxxxxxxxxx. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama antara Pemilik Sarana Apotek (PSA) dengan Apoteker Pengelola Apotek (APA) di Apotek Futuh Farma Desa Labuhan Haji. Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum. Unveristas Mataram. 2019. hlm 4.
27 A. Mufti Damara. Peran Notaris dalam Pembuatan Kotrak Kerja Apoteker dengan Pemilik Modal atas Apotek (Studi Kasus Kerjasama Apotek di Kab. Grobogan). Tesis Universitas Islam Sultan Agung. Semarang. 2022. hlm 6.
No. | Nama | Xxxxx | Persamaan | Perbedaan |
Apoteker dengan Pemilik Modal atas Apotek (Studi Kasus Kerja Sama Apotek di Kab. Grobogan) | peneliti adalah sama-sama membahas kontrak kerja/perjanjian kerja sama pengelolaan apotek antara apoteker dengan PSA. | mengenai idealnya perjanjian kerja sama pengelolaan apotek seperti apa? Sedangkan penelitian peneliti adalah membahas pelaksanaan dari perjanjian kerja sama pengelolaan apotek. |
F. Kerangka Teori
Adapun teori yang digunakan untuk menganalisis dan membahas permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Konsep Perlindungan Hukum
Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak yang melekat pada dirinya, perlindungan hukum merupakan upaya memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan oleh orang lain.28 Perlindungan hukum bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada subjek/orang dengan menggunakan perangkat hukum atas hak- haknya yang dilanggar,29 sehingga dapat menikmati hak-hak yang seharusnya didapat berdasarkan hukum.
Konsep dasar pelindungan hukum terdiri dari preventif (pencegahan) dan represif (pemaksaan). 30 Perlindungan hukum selalu dikaitkan dengan pelayanan kepada masyarakat, Rescou Pound dalam pemetakan perlindungan dikaitkan dengan kondisi sosial yaitu hukum sebagai alat rekayasa sosial
28 Op. Cit. Sartjipto Rahardjo ....
29 Op.Cit. Xxxxxxxx X. Hadjon ....
30 Ibid.
(Law as a tool of social Engineering) bahwa kepentingan manusia merupakan suatu tuntutan yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh negara.31
Hukum sebagai pelindung kepentingan manusia yang berisi aturan yang dapat memerintahkan sesuatu dan melarang suatu hal, serta memastikan hak dan kewajiban seseorang. Teori perlindungan hukum ini digunakan untuk menganalisis permasalahan yang pertama dalam penelitian ini untuk menentukan hak dan kewajiban apoteker dalam mengelola apotek berdasarkan perjanjian kerja sama dengan PSA.
Permasalahan pertama dalam penelitian ini, dianggap perlu untuk dianalisis melalui teori perlindungan hukum karena untuk menentukan bagaimana semestinya apoteker mendapat perlindungan hukum dalam hal mengelola apotek berkaitan dengan obat jenis narkotika dan psikotropika tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, termasuk pihak PSA. Di samping itu tujuan penggunaan teori ini adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan terhadap apoteker apabila hak dan kewajiban apoteker dalam menyimpan obat jenis narkotika dan psikotropika disalahgunakan oleh pihak- pihak tertentu, termasuk PSA.
2. Teori Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan suatu keadaan wajib menanggung segala sesuatu apabila terjadi suatu kesalahan yang dapat dituntut, dipersalahkan,
31 Xxxxx dan Erlies S. Nurbani. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian Teoritis dan Disertasi. PT. Raja Grafindo. 2013. Bandung hlm 266.
dan sebagainya.32 Pembahasan kewajiban seseorang berkaitan dengan konsep tanggung jawab, bahwa seseorang bertanggung jawab atas perbuatan tertentu atas perbuatannya yang dibebankan apabila terjadi kesalahan, ia bertanggung jawab untuk mengganti maupun menerima sanksi bila perbuatannya salah dan bertentangan dengan peraturan.33 Menurut Xxxx Xxxxxx mengenai tanggung jawab yang berkaitan dengan kewajiban ialah sebagai berikut:
Kewajiban tersebut ada dengan cara diatur untuk memberikan suatu ketentuan wajib kepada subjek hukum, subjek hukum yang dibebani harus melaksanakan kewajiban tersebut sebagai suatu perintah. Apabila tidak dilaksanakan maka akan menimbulkan sanksi yang memaksa subjek hukum untuk melaksanakan kewajiban dengan baik dan benar. Lanjutnya, subjek hukum yang telah melakukan sanksi dapat dikatakan telah bertanggung jawab secara hukum atas pelanggarannya.34
Teori tanggung jawab hukum yang sering digunakan kaitannya dengan kewajiban, yaitu:35
a. Intertional tort laibility yaitu kewajiban seseorang yang melanggar hukum dengan sengaja, mengetahui bahwa perbuatannya dapat merugikan orang lain.
b. Concept of fault yaitu kewajiban seseorang yang timbul akibat kesalahan atau kelalaian bukan karena disengaja, hal ini juga dikenal dengan negligence tort liablity.
32 Op. Cit. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. hlm 1139.
33 Munir Fuady. Teori-teori Besar dalam Hukum. Prenada Media. Bandung 2010. hlm 173.
34 Ibid.
35 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx. Hukum Perusahaan Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.
2010. hlm 501-503.
c. Stirck liability yaitu tanggung jawab yang mewajibkan seseorang untuk melakukan sesuatu bukan berdasarkan kesalahannya baik disengaja maupun tidak. Hal ini dikenal dengan istilah tanggung jawab mutlak.
Teori tanggung jawab ini digunakan untuk mengupas permasalahan kedua dalam penelitian ini, yaitu mengenai tanggung jawab seorang apoteker yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam hal pengadaan dan penyimpanan obat jenis narkotika dan psikotropika di apotek. Mengingat bahwa apoteker bertanggung jawab mengelola apotek harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kode etik profesi apoteker.
Fokus penggunaan teori tanggung jawab dalam penelitian ini mengenai tanggung jawab hukum baik perdata, pidana maupun administrasi seorang apoteker yang lahir dari perjanjian kerja sama pengelolaan apotek, tanggung jawab yang lahir dari kesalahan, kelalaian maupun tanggung jawab mutlak yang mengharuskan apoteker melakukan suatu kewajiban.
G. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan peneliti bertujuan untuk memperoleh suatu hasil atau temuan yang dapat disusun dengan sistematis dan dapat dipertanggung-jawabkan, sehingga proses dalam penyusunan membutuhkan metode baik dalam merumuskan, menganalisis suatu objek persoalan, mencari
data dan informasi sampai pada penyusunan.36 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dimaksud adalah penelitian hukum, Xxxxx X. Xxxxxxx menyebutkan bahwa:
Penelitian hukum merupakan penelitian normatif yang tidak hanya meneliti hukum positif saja, penelitian hukum bermaksud untuk menemukan kebenaran koherensi yaitu apakah hukum yang diterapkan dan tindakan hukum seseorang sudah sesuai dengan hukum, prinsip hukum, kaidah, dan asas hukum.37
Jenis penelitian yang digunakan peneliti adalah penelitian hukum normatif. Mengenai penelitian hukum normatif, Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx menjelaskan bahwa:
Penelitian Hukum Normatif adalah penelitian yang menggunakan studi kasus hukum normatif berupa produk dan perilaku hukum dengan pokok kajiannya adalah hukum yang dikonsepsikan norma atau kaidah yang berlaku di masyarakat. 38
Fokus penelitian hukum normatif adalah inventarisasi hukum positif, doktrin, asas dan penemuan hukum, sinkronisasi hukum, perbandingan dan sejarah hukum dalam suatu pembahasan yang disusun secara sistematis. Jenis penelitian ini digunakan bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam mengkaji permasalahan yang akan diteliti.
36 Xxxxxx Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx. Metode Penelitian. Bumi Aksara. Jakarta. 2016. hlm.
2.
37 Xxxxx X. Mazuki. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta. 2022. hlm 57.
38 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx. Hukum dan Penelitian Hukum, ctk 1. Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2004. hlm. 52
2. Objek Penelitian
Menurut Supranto objek penelitian adalah kumpulan elemen yang bisa berupa orang, organisasi ataupun barang yang akan diteliti. 39 Pengertian objek penelitian tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan objek penelitian adalah pokok persoalan yang akan dikaji dalam penelitian. Objek dalam penelitian ini adalah semua peraturan yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan tanggung jawab apoteker dalam melaksanakan perjanjian kerja sama pengelolaan apotek dengan PSA.
3. Sumber Data
Bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan sumber data sekunder, Soerjono. S mengemukakan bahwa sumber data sekunder terdiri dari dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian baik yang berbentuk laporan maupun sejenisnya. 40 Data sekunder merupakan data yang didapat dari bahan-bahan hukum, bahan hukum adalah istilah yang dipakai dalam penelitian hukum normatif, yaitu bahan hukum yang diperoleh bersumber dari kajian kepustakaan.41 Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas dan mengikat, terdiri dari peraturan perundang-undangan dan
39 J, Supranto. Statistik (teori dan Aplikasi.), Edisi Ke-6. Erlangga. Jakarta. 2000. hlm. 21.
40 Soerjono. S. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta. 2007. hlm 12.
41 Xxxxx X. Marzuki. Penelitian Hukum. Kencana Prenada. Jakarta. 2005. hlm. 41.
risalah atau catatan dalam pembentukan Undang-Undang.42 Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer sebagai berikut:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
5) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
7) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
8) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika Dan Prekusor Farmasi.
9) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek
10) Peraturan lainnya yang terkait dengan pembahasan.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum yang berupa dokumen, baik yang resmi ataupun tidak.43 Bahan hukum ini digunakan sebagai pendukung, menjelaskan dan menganalisis bahan hukum primer mengenai bahan atau data yang diperoleh tentang
42 Xxxxxxxxx Xxx. Metode Penelitian Hukum, ctk. 12 edisi 1. Sinar Grafika. Jakarta. 2022. hlm. 47.
43 Ibid. hlm. 54.
permasalahan yang akan diteliti, berupa pendapat hukum, teori dan doktrin yang dimuat dalam buku-buku teks maupun elektronik, karya ilmiah (Jurnal, Makalah maupun hasil penelitian lainnya) dan surat kabar.44 Di samping itu, penelitian menggunakan metode wawancara terhadap narasumber sebagai pendukung untuk menganalisis bahan hukum primer.
c. Bahan hukum tersier
Bahan ini digunakan sebagai bahan yang memberikan pengertian dan penjelasan pada bahan hukum primernya, bahan hukum ini terdiri dari hasil penelusuran internet berupa situs, website dan lain-lain yang masih ada kaitannya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum adalah cara yang digunakan dalam mengumpulkan bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian.45 Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah :
a. Studi kepustakaan
Penggunaan studi kepustakaan (library research) dalam penelitian sesuai dengan penggunaan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini. Maka pengumpulan bahan hukum akan dilakukan dengan cara mengumpul, mengkaji dan mengolah dengan cara sistematis buku-buku teks maupun elektronik, artikel ilmiah, surat kabar, penelusuran internet serta hasil penelitian lain yang ada kaitannya dengan penelitian.46
44 Ibid.
45 Anonim. Teknik Pengumplan Data: Arti, Proses dan Jenis Data.
xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xx.xx diakses pada tanggal 24 Februari 2023 pukul 18.30 WIB.
46 Op. Cit. Xxxxx X. Mazuki hlm 195.
b. Wawancara
Wawancara adalah proses tanya jawab yang berlangsung setidaknya dengan 2 (dua) orang atau lebih secara lisan untuk mendapatkan informasi, keterangan maupun data yang diperlukan.47 Wawancara merupakan suatu cara yang dilakukan oleh peneliti sebagai proses komunikasi dengan bertanya langsung kepada narasumber terkait permasalahan. Metode ini dilakukan untuk memperoleh bahan hukum dari praktisi maupun yang terlibat langsung dengan objek penelitian sebagai bahan untuk mendukung analisis penulis. Adapun narasumber yang akan di wawancarai oleh peneliti adalah sebagai berikut:
1) Apoteker
Pada tanggal 13 Xxxx Xxxxxxx mewawancarai Apt. Nurjannah, X.Xx sebagai Apoteker Penanggung Jawab di Apotek Jaya Kudus dan pada tanggal 18 Agustus 2023 Penulis mewawancara Apt. Xxxxx Xxxxxxxxx,
S. Farm sebagai Apoteker Penanggung Jawab di Apotek Seneng Waras.
2) Pemilik Sarana Apoteker
Pada tanggal 13 Juli 2023 penulis mewawancarai Xxxx Xxxxxxxx selaku Pemilik Sarana Apotek Jaya di Kudus dan pada tanggal 18 Agustus 2023 Penulis juga mewawancarai Xxxxxxx Xxxxx selaku Pemilik Sarana Apotek Seneng Waras di Kudus.
47 Op. Cit. Xxxxxx Xxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx. hlm. 83.
3) Pada tanggal 18 Agustus 2023 Penulis melakukan wawancara bersama Ketua Ikatan Apoteker Cabang Kudus yaitu Apt. Xxxxxxxx Xxxx, S. Farm.
4) Penulis telah melakukan wawancara dengan Notaris Syamsubanar, S.H selaku notaris di Kabupaten Kudus pada tanggal 13 Juli 2023.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian merupakan cara melakukan penelitian. 48 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Undang- Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual apporoach). 49 Penggunaan pendekatan tersebut dilakukan dengan cara menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan, kegunaannya adalah untuk mengetahui konsepsi peraturan yang berlaku dengan benturan yang terjadi di lapangan (masyarakat) mengenai permasalahan dalam penelitian ini.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang diperoleh dalam penelitian ini untuk ditarik suatu kesimpulan menggunakan teknik analisis kualitatif,50 yaitu dengan cara mengelompokkan dan menyeleksi data yang didapat dari penelitian dengan mempertimbangkan kualitas dan kebenarannya kemudian disusun dengan sistematis, selanjutnya dikaji dengan menghubungkan teori -teori yang
48 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Rieneka Cipta. Jakarta. 2002. hlm. 23.
49 Op. Cit. Xxxxx X. Mazuki. hlm 133.
50 Op. Cit. Xxxxxxxxx Xxx. hlm. 225.
diperoleh dalam studi kepustakaan dan hasil penelitian kemudian dibuatlah kesimpulan yang menjawab rumusan masalah, dipaparkan dengan menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN APOTEK DAN PERLINDUNGAN HUKUM
A. Apotek Dan Apoteker
Apotek berasal dari bahasa Yunani yaitu apotheca (penyimpanan), 51 berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia apotek adalah tempat meramu dan menjual obat menurut resep dokter sampai pada memperdagangkan barang medis lainnya. 52 Ansel berpendapat bahwa apotek adalah tempat untuk menyediakan bahan dan obat untuk orang sakit.53
Apotek adalah suatu tempat tertentu dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Pengertian tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1027/MenKes/SK/IX/2004, sediaan farmasi yang dimaksud adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Perbekalan kesehatan ialah semua bahan dan peralatan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.
Fungsi utama apotek ialah pelayanan obat berdasarkan resep dokter dan yang berhubungan dengan itu, pelayanan obat tanpa resep yang sering dipakai di rumah serta tempat untuk praktik dokter.54 Apotek merupakan tempat tertentu
51 M. Arief. Manajemen Farmasi, ctk. 2. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 1998. hlm 108.
52 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 2003.hlm 62.
53 X.X Xxxxx. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, ctk. 1. UI Press. Jakarta. 1989. hlm 4.
54 Bambang Setiawan. Pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama Antara PSA dengan APA di Kota Semarang. Dalam xxxxx://xxxx.xx.xx diakses pada tanggal 11 April 2023 pukul 19.20 WIB.
25
yang dijadikan pekerjaan kefarmasian, penyaluran dan perbekalan farmasi kepada masyarakat.
Dari pengertian-pengertian apotek di atas, maka unsur yang harus ada dalam sebuah apotek adalah :
1. Tempat tertentu yang menjadi wadah terlaksanakan kegiatan kefarmasian.
2. Adanya obat-obatan yang disediakan.
3. Adanya kegiatan penyaluran obat-obatan kepada masyarakat.
Fungsi apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Tugas dan Fungsi Apotek yaitu:
1. Tempat pengabdian apoteker yang sudah melakukan sumpah jabatan.
2. Sebagai sarana melakukan kegiatan kefarmasian yaitu untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi.
3. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Di samping fungsi apotek yang telah disebutkan, sebuah apotek harus menyediakan hal-hal yang telah disebutkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menyebutkan bahwa:
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat display informasi bagi pasien.
3. Ruang racikan dan keranjang sampah.
4. Ruang khusus dan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja, kursi dan meja yang digunakan untuk menyimpan catatan medis pasien.
Alat kelengkapan apotek wajib tertata rapi, dilengkapi dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang lainnya yang disusu rapi, terlindung dari debu, cahaya dan kelembaban dengan temperatur yang normal.55 Tujuan dari diaturnya apotek berdasarkan Pasal 2 PerMenKes Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek.
2. Memberikan perlindungan pada pasien dan masyarakat dalam memperoleh layanan kefarmasian di apotek.
3. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan pelayanan kefarmasian di apotek.
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang ada di apotek wajib menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang aman, bermutu dan terjangkau.56 Pelayanan farmasi di apotek yang dijalankan harus dikelola oleh seorang apoteker yang telah melakukan sumpah jabatan.
Kedudukan apoteker di Indonesia dikategorikan sebagai tenaga kesehatan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang menyebutkan bahwa tenaga teknis kefarmasian
55 Op. Cit. G. Lord Tangkudung hlm 3.
56 Pasal 20 Pe PerMenKes Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek.
adalah apoteker dan tenaga teknis kefarmasian.57 Apoteker merupakan suatu profesi yang dilatari oleh panggilan hidup untuk mengabdi kepada kemanusiaan dibidang kesehatan, apoteker membutuhkan klasifikasi keilmuan yang khusus dan tinggi melalui pendidikan formal dengan dedikasi utama pada kepentingan kemasyarakatan.58Setiap profesi wajib diuji dan disertifikasi resmi oleh lembaga maupun organisasi keprofesian yang bersangkutan, tujuannya adalah untuk diakui keahlian pekerjaan dalam profesinya, proses ini dalam dunia farmasi dikenal dengan kompetensi apoteker.59
Kompetensi apoteker menurut IPF (Internasional Pharmaceutical Federation) ialah kemauan individu farmasi untuk melakukan praktik kefarmasian sesuai dengan syarat minimum yang berlaku serta mematuhi standar profesi dan kode etik. APA adalah seorang apoteker yang telah diberikan izin kerja (SIK).60
Mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang apoteker adalah sebagai berikut:
1. Ijazah yang telah terdaftar di Departemen Kesehatan.
2. Memiliki SIK atau surat penugasan dari Menteri Kesehatan.
3. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk menjalankan tugas profesi sebagai apoteker.
57 Pasal 11 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
58 Soerjono Soekanto. Aspek Hukum Kesehatan (Suatu Kumpulan Catatan), ctk. 1. IND-Hill- Co. Jakarta. 1989. hlm 53.
59 Xxxx X. Siahaan. Tanggung Jawab Apotek terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Apoteker dalam Pemberian Obat-obatan. 2014. Dalam xxxxx://xxxxxxxxxx.xxx.xx.xx diakses pada tanggal 12 April 2023 pukul 20.26 WIB.
60 Pasal 1 PerMenKes Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
4. Tidak bekerja di perusahaan farmasi dan tidak menjadi Apoteker di apotek lain.61
Persyaratan tersebut menuntut apoteker untuk bekerja dengan profesional berdasarkan keahliannya dan hati-hati dengan memberikan layanan prima kepada setiap custumer/pasien yang datang pada apotek. Hal disebabkan oleh adanya hubungan yang sangat erat antara apotek dan apoteker, satu sama lain saling berperan penting dalam memberikan pelayanan kepada pasien dan merupakan sarana pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan yang merata dibidang kesehatan dan farmasi.
Apotek dapat didirikan dan dijalankan oleh apoteker sendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain dan apabila apotek yang didirikan dengan kerja sama, pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) PerMenKes Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek. Apoteker yang bekerja sama dengan pihak lain sebagai pemilik modal dapat dilakukan melalui perjanjian kerja sama yang akan menimbulkan hubungan hukum para pihak dan sederajat, dapat dilaksanakan dengan metode bagi hasil maupun perburuhan berdasarkan peraturan ketenagakerjaan.62
Pendirian apotek baik yang didirikan sendiri oleh apoteker maupun yang didirikan berdasarkan kerja sama antara apoteker dengan PSA harus memenuhi
WIB
61 Anonim dalam xxxxx://xxxxxxxxx.xxx.xx.xx diakses pada tanggal 12 April 2023 pukul 21.12
62 Sabillah Utomo Putra, dkk. Tanggung Jawab Apotek dalam Penjualan Obat-obatan
Daftar G di Kota Malang terhadap Konsumen yang Dirugikan, Vol. 5, No. 2. Jurnal. Diponegoro Law Review. 2016. hlm 3.
syarat sebagai izin pendirian yang diatur dalam Pasal 12 PerMenKes Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek yaitu:
1. Setiap pendirian apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
2. Kewenangan pemberian izin untuk pendirian apotek Menteri dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten.
3. Izin yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten bernama SIA yang berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang apabila memenuhi syarat.
B. Perjanjian pada Umumnya
1. Dasar-dasar Perjanjian
a. Pengertian perjanjian
Perjanjian menurut Xxxxx Xxxxx ialah kesepadanan istilah dari overeenkomst (bahasa Belanda) dan agreement (bahasa Inggris). 63 Perjanjian ialah hubungan hukum antara satu pihak dengan pihak lain mengenai suatu perbuatan hukum tertentu berkaitan harta kekayaan, satu pihak berhak menerima dan menjalankan prestasi, begitu pula dengan pihak lainnya berdasarkan apa-apa yang telah disepakati dalam perjanjian.64 Definisi tersebut memiliki unsur-unsur sebagai berikut:65
1) Adanya suatu hubungan hukum yang menimbulkan suatu akibat hukum adanya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban yang harus dilakukan
63 Munir Fuady. Hukum Kontrak: Dari SudutPandang Hukum Bisnis). Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxxx. 2014 hlm 4.
64 Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Internasional Di Indonesia. Sinar Grafika.
2014. hlm 15.
65 Ibid. hlm 17.
oleh masing-masing pihak dikenal dengan sebutan prestasi yaitu untuk melakukan atau berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu.
2) Perjanjian identik dengan harta kekayaan.
3) Adanya subjek hukum
Subjek hukum ialah manusia (natuurlijk persoon) atau badan hukum yang menurut hukum berhak atau berwenang melakukan suatu perbuatan hukum atau siapa saja yang berhak dan cakap melakukan tindakan menurut hukum. Subjek hukum ini menjadi dalil kuat dalam mendukung lahirnya suatu hak dan kewajiban.66
Perjanjian akan terjadi bilamana para pihak memiliki kehendak untuk saling mengikatkan diri baik dituangkan dalam bentuk tulisan.67 berdasarkan pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian adalah suatu proses interaksi hukum dan perbuatan hukum mengenai penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh satu pihak lainnya sehingga mencapai suatu kesepakatan yang menentukan isi-isi dari perjanjian yang akan mengikat para pihak.
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan definisi tentang perjanjian bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lainnya”. Definisi tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:68
66Ojak Nainggolan. Pengantar Ilmu Hukum. Medan: Indonesia Media & Law Policy Centre.
2015. Hlm 59
67 Op. Cit. Xxxxx XX. Hlm 19.
68 Suharnoko. Hukum Perjanjian Teori dan Xxxxxxx Xxxxx. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2014. Hlm 35.
1) Perbuatan
Peristiwa hukum yang timbul karena perbuatan/tindakan manusia yang meliputi tindakan hukum maupun tindakan lainnya (yang bukan tindakan hukum). Kata “perbuatan” pada rumusan pengertian perjanjian tepanya diganti dengan kata “pembuatan hukum atau tindakan hukum”. Pentingnya penggunaan kata tindakan hukum tersebut ialah tidak hanya sebatas menunjukkan suatu akibat hukum yang dikehendaki ataupun dianggap telah dikehendaki namun telah tersimpul akan adanya sepakat yang merupakan inti dan ciri khas perjanjian.
2) Satu orang atau lebih mengikat diri terhadap satu orang lainnya.
Perjanjian akan sah apabila ada setidaknya dua orang yang saling berhadapan dan saling memberi serta menerima pernyataan yang serasi satu sama lian, orang yang dimaksud adalah subjek hukum perdata berupa orang/manusia maupun badan hukum. Pernyataan dalam perjanjian yang dinyatakan masing-masing pihak memiliki ikatan yang mutlak dan berakibat hukum sebab kehendaknya sendiri.
Pasal 1233 KUH Perdata menunjukkan bahwa perikatan dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu perjanjian yang lahir akan adanya perjanjian (persetujuan) dan perjanjian yang lahir sebab undang-undang. Kemudian, perjanjian yang lahir sebab undang-undang dibagi lagi menjadi 2 bagian (Pasal 1352 KUH Perdata) yaitu:
1) Perjanjian-perjanjian yang murni lahir dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai suatu akibat dari tindakan hukum seseorang.
2) Perjanjian-perjanjian yang lahir dari undang-undang berdasarkan tindakan seseorang.
Sedangkan perjanjian yang lahir dari undang-undang sebagai suatu akibat dari tindakan hukum seseorang dapat terjadi karena 2 hal,69 yaitu timbul atas tindakan berdasarkan hukum (rechtmatige daad atau legal) dan tindakan yang melawan hukum (onrechtmatige daad atau ilegal). “Perjanjian terdapat subjek hukum yaitu sesuatu yang menurut hukum berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa saja yang memiliki hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum”.70
Dikatakan sebagai perjanjian apabila telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang meliputi sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal seperti yang telah ditetapkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terpenuhinya keempat syarat tersebut menjadikan perjanjian sah dan mengikat bagaikan undang-undang bagi siapa saja yang membuatnya. Daya ikat perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Frase berlaku “sebagai undang-
69 Pasal 1353 KUH Perdata. dalam Hanifah, Ishana. Himpunan Lengkap KUHPer (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan KHUP(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Leksana. Yogyakarta. 2014. hlm 281.
70 R. Soeroso. Pengantar ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. 2017. Hlm 228.
undang” menunjukkan bahwa kedudukan para pihak dalam perjanjian setara dengan pembuat undang-undang.71
b. Asas dan jenis perjanjian
Ada beberapa asas dalam hukum perjanjian, di antaranya adalah sebagai berikut:72
1) Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak secara sederhana dapat diartikan bahwa semua orang berhak dan bebas membuat atau tidak membuat suatu perjanjian dengan siapapun dan bebas menentukan isi dan syarat dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan umum, kesusilaan dan ketertiban umum.
2) Asas konsensuil
Asas ini menekankan pada kesesuaian kehendak para pihak. Perjanjian yang buat secara sah oleh para pihak berlaku layaknya undang-undang, yaitu memiliki daya ikat yang kuat karena didalamnya mengandung “kehendak para pihak” untuk saling percaya (vertrouwen) mengikatkan diri atas prestasi-prestasi yang ada dalam perjanjian.73 Maksud dari kehendak para pihak adalah telah terjadi kata sepakat dalam perjanjian yang dibuat dan sepakat tentang apa saja yang masing- masing dikehendaki.
3) Asas pacta sunt servanda
71 Dr. Agus Pandoman.. Pokok-Pokok Hukum Perikatan BW dan Syari’ah. Putra Surya Sentosa. Yogyakarta. 2021. hlm 23.
72 Subekti, Aneka Perjanjian. Ctk. ke- 6. Alumni. Bandung 1995. Hlm 4.
73 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Ctk. ke- 1. Kencana. Jakarta 2010. Hlm 120.
Asas ini berkaitan dengan pengikatan suatu perjanjian, perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihak layaknya undang-undang. Pelaksanaannya dikemudian hari atas prestasi-prestasi yang akan diberikan dan diterima harus berdasarkan apa isi dari perjanjian tersebut, demikian pula dengan permasalahan yang muncul, maka perjanjian merupakan rujukan utama dalam penyelesaiannya.
4) Asas itikad baik dalam perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata), maksud dari itikad baik ialah keyakinan yang teguh, memiliki maksud/tujuan baik, kepercayaan dan itikad baik ialah suatu sikap batiniyah para pihak, sehingga pelaksanaan perjanjian harus dinilai secara objektif dan rasional.74
Adapun jenis-jenis perjanjian yang dikenal dalam lapangan hukum perdata ialah sebagai berikut:75
1) Perjanjian timbal balik dan sepihak, perjanjian timbal balik ialah perjanjian yang melahirkan kewajiban pokok terhadap masing-masing pihak sedangkan perjanjian sepihak ialah perjanjian yang mana satu pihak memberikan kewajibannya kepada pihak lainnya.
2) Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban. Perjanjian cuma- cuma ialah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada suatu pihak yang mana pihak lainnya rela memberikannya. Sedangkan perjanjian atas beban ialah perjanjian yang mana prestasi para pihak
74 Dr. Mulyoto. Tehnik, Cara Membuat dan hukum Perjanjian yang Harus Dikuasai. Cakrawala Media. Yogyakarta. 2011. hlm 37.
75 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perdata Tentang Perikatan. Ctt. ke- 1. Penerbit Fakultas Hukum USU. Medan. 1974. Hlm 166.
senantiasa mendapatkan kontra prestasi dari pihak lain serta di antara keduanya ada causa hukumnya.
3) Perjanjian bernama (nominaat) dan perjanjian tidak bernama (innominaat). Perjanjian bernama ialah perjanjian yang memilik nama tersendiri dan diatur oleh KUH Perdata dan aturan lainnya, sedangkan perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak memiliki nama sendiri dan perjanjiannya di luar aturan KUH Perdata, KUHD maupun aturan lainnya namun tetap exist dalam kehidupan masyarakat. Jumlah perjanjian tidak bernama ini tidak terbatas dan lahirnya perjanjian ini di dalam kehidupan masyarakat adalah berdasarkan pada kebebasan mengadakan perjanjian atau partij otonomi yang berlaku di dalam hukum perjanjian, salah satu contoh dari perjanjian tidak bernama adalah perjanjian sewa-beli.
4) Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir. Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana hak milik dari seseorang atas sesuatu, yang beralih kepada pihak lain. Sedangkan perjanjian obligatoir merupakan perjanjian dimana para pihak terikat untuk melakukan penyerahan sesuatu kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan).
Menurut sistem hukum dalam KUH Perdata, perjanjian jual beli belum mengakibatkan mengalihkan hak milik dari penjual kepada pembeli. Perjanjian jual-belinya dinamakan perjanjian obligatoir dan penyerahannya sendiri dinamakan perjanjian kebendaan. Dalam hal
perjanjian benda-benda tidak bergerak maka perjanjian jual beli tersebut disebut dengan perjanjian sementara.
5) Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perjanjian/perikatan. Menurut Xxxxx 1338 KUH Perdata perjanjian ini mempunyai kekuatan mengikat. Adapun perjanjian riil merupakan perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku setelah terjadinya penyerahan barang, misal perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata) dan perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata).
6) Perjanjian-perjanjian yang istimewa sifatnya, antara lain:76
a) Perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan hutang atau kwijtsschelding (pasal 1438 KUH Perdata).
b) Perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst), yaitu perjanjian dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku di antara mereka.
c) Perjanjian untung-untungan, misalnya perjanjian asuransi (pasal 1774 KUH Perdata).
d) Perjanjian publik, yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak adalah
76 Ibid. Hlm 168.
penguasa yang bertindak sebagai penguasa, misalnya perjanjian ikatan dinas.
c. Unsur-unsur perjanjian
Para ahli membedakan perjanjian kedalam 2 (dua) jenis, yaitu perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah semau perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata (mulai dari Bab V-Bab XVIII), sedangkan perjanjian tidak bernama merupakan semua jenis perjanjian yang tidak diatur dalam KUH Perdata, perjanjian tidak bernama ini sering dikenal dengan perjanjian khusus.77
Hal terpenting dari pengelompokan jenis perjanjian tersebut adalah sejauh mana kita bisa menentukan unsur-unsur pokok dalam suatu perjanjian sehingga dapat menggolongkan suatu perbuatan yang telah diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata mengenai jenis perikatan sebagai suatu acuan dalam membuat perjanjian. 78 Adapun unsur yang terdapat dalam perjanjian ialah sebagai berikut:
1) Unsur esensialia
Unsur esensialia merupakan unsur yang paling penting dan harus ada dalam suatu perjanjian, sehingga apabila unsur esensialia ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat tidak dapat mengikat para pihak, tidak sah bahkan dapat batal demi hukum, sebab unsur esensialia ini
77 C.S.T Kansil. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
1989. hlm 250.
78 Xxxxx X. Wicaksono. Panduan Lengkap Membuat Surat-surat Kontrak. Visimedia. Jakarta.
2008.. hlm 48.
berkaitan langsung dnegan syarat subjektif dan objektif suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata.79
Unsur ini digunakan untuk menentukan rumusan perjanjian dan definisi dari perjanjian. Unsur esensialia ini menjadi garis besar yang mewakili ketentuan prestasi yang harus dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lain, mencerminkan sifat perjanjian dan adanya unsur ini menjadi pembeda dengan perjanjian-perjanjian lainnya.
2) Unsur naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang tidak diperjanjikan secara khusus yang dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian sebab telah melekat, unsur ini merupakan unsur yang diatur maupun tidak oleh undang-undang namun dapat dikesampingkan oleh para pihak,80 yaitu mengenai kewajiban seseorang yang menjamin dan menanggung benda-benda yang diperjanjikan terhindar dari cacat-cacat tersembunyi. Oleh karena itu, selaras dengan isi Pasal 1339 KUH Perdata yaitu “perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang secara tegas dinyatakan dalam perjanjian, melainkan juga untuk semua sesuatu yang berdasarkan sifatnya diharuskan oleh undang-undang, kepatutan dan kebiasaan”.
3) Unsur aksidentalia
79 Op. Cit. J. Satrio hlm 67.
80 Ibid.
Unsur ini mensyaratkan akan hal-hal partikular yang dinyatakan dengan tegas dalam perjanjian dan disetujui oleh para pihak, unsur ini dapat dikesampingkan atau tidak bergantung pada kehendak para pihak, dianggap perlu untuk dimasukkan dalam klausa-klausa perjanjian atau tidak.81
Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa unsur aksidentalia dalam perjanjian merupakan unsur pelengkap dari unsur esensialia dalam perjanjian, baik yang diatur atau tidak berdasarkan kesepakatan dan kehendak para pihak yang membuatnya.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Sumber dari perjanjian adalah perikatan yang melahirkan hubungan hukum akan adanya hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.
Rumusan yang terdapat dalam 1313KUH Perdata merupakan penegasan bahwa dalam perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain sehingga menimbulkan suatu kewajiban dan hak,82 oleh karena itu dalam perjanjian menyaratkan akan adanya minimal 2 (dua) orang atau lebih sebagai pihak yang membuat perjanjian, dimana satu
81 Ibid. hlm 68.
82 Kartini Muljadi dan Xxxxxxx Xxxxxxx. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Raja Wali Press. Jakarta. 2014. hlm 92.
pihak berkewajiban memenuhi kewajibannya (prestasi) dan dipihak lain berhak menerima prestasi.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirinya, para pihak yang saling mengikatkan diri harus cakap, suatu hal tertentu yang diperjanjikan dan perjanjian yang dibuat harus bukan hal-hal yang dilarang (sebab yang halal).83 Syarat sah perjanjian tersebut berhubungan dengan subjek dan objek perjanjian, syarat sepakat dan cakap merupakan subjek perjanjian kemudian disebut dengan syarat subjektif, apabila syarat ini tidak dapat dipenuhi dalam pembuatan perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalannya atau dapat dibatalkan (vertinietigbaar/voidable), perjanjian yang tidak memenuhi syarat ini akan tetap berjalan sebagaimana isi perjanjiannya sepanjang tidak dibatalkan oleh para salah satu pihak melalui
pengadilan.84
Adapun sebab yang halal dan suatu hal tertentu merupakan objek perjanjian kemudian dikenal dengan syarat objektif, apabila syarat ini tidak dapat dipenuhi dalam pembuatan perjanjian maka perjanjian tersebut batal demi hukum (nieteg atau null and ab initio), perjanjian tersebut tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi.85
a. Sepakat
83 Subekti dan Tjitrosudibyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pradnya Paramita.
Jakarta. 2003. hlm 330.
84 Op. Cit. Kartini Muljadi dan Xxxxxxx Xxxxxxx. hlm 68.
85 Ibid.
Tidak dipenuhinya syarat subjektif berakibat pada kebatalan perjanjian yang dibuat para pihak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1446- 1450 KUH Perdata. Kesepakatan adalah interpretasi dari kehendak yang dimiliki para pihak, kehendak yang saling menundukkan diri dalam perjanjian.
Seseorang dapat dikatakan menyepakati (toestemming) apabila benar-benar menghendaki apa yang disepakati. Xxxxxx X. Xxxxxxxxxxx menjelaskan bahwa maksud sepakat merupakan bagian dari syarat kehendak yang disetujui para pihak.86 Kesepakatan adalah syarat pokok dalam perjanjian yang menyatakan suatu kehendak seseorang untuk mengikatkan diri kepada orang lain, akan tetapi perjanjian akan menjadi cacat hukum apabila kesepakatannya dilakukan dengan tidak benar, yaitu:
1) Paksaan
Pemaksaan yang dimaksud adalah segala tindak dan upaya yang tidak baik dan adil dengan menghambat kebebasan kehendak para pihak untuk menentukan isi perjanjian yang dikehendakinya. Pelaksanaan pemaksaan biasanya berupa ancaman-ancaman kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu baik melalui harta, fisik maupun mental.
Paksaan juga dapat berupa pemerasan maupun keadaan di bawah pengaruh kekuasaan yang lebih tinggi dari orang yang dipaksa, dan
86 Xxxxxx X. Badrulzaman. Perjanjian Baku (Standar), Perkembangannya di Indonesia.
Alumni. Bandung. 1980. hlm 15.
keadaan ketidak-sadaran seseorang baik sehingga orang tersebut tidak menyadari perbuatannya dan dampaknya.
2) Tipu muslihat
Pasal 1328 KUH Perdata dengan tegas menjelaskan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Konteks penipuan, pihak yang ditipu memang telah memberikan pernyataan kehendaknya, hanya saja kehendak itu lahir dari adanya tipu daya yang dikerahkan seseorang yang berlainan dengan kehendak yang sebenarnya. Penipuan ini dimaksudkan untuk mempengaruhi seseorang agar menandatangani perjanjian yang dibuatnya, artinya penipuan mensyaratkan adanya niat, sengaja dan maksud jahat.
b. Cakap
Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian Xxxxx 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang perempuan dalam pernikahan 87 (setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 pada pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).
Seseorang di katakan belum dewasa menurut pasal 330 KUH Perdata jika belum mencapai umur 21 tahun. Seseorang dikatakan dewasa
87 J. Satrio. Hukum Perikatan yang lahir dari Perjanjian Buku II. Ctk ke. 1. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1995. hlm 2.
jika telah berumur 21 tahun atau berumur kurang dari 21 tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 tahun.
Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Xxxxx X. Cheseemen 37 menjelaskan bahwa di dalam sistim common law, seseorang dikatakan belum dewasa jika belum berumur 18 tahun (tahun) dan 21 tahun (pria) . dalam perkembangannya, umumnya negara-negara bagian di Amerika Serikat telah menyepakati bahwa kedewasaan tersebut ditentukan jika seseorang telah berumur 18 tahun yang berlaku baik bagi wanita maupun pria.88
c. Suatu hal tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUH Perdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjikan, yakni hak dan
88 Ridwan Khairandy. Hukum Alih Teknologi, Modul II, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta. 2004. hlm 23.
kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa. J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian.89 Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. KUH Perdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan atau ada wujudnya90.
d. Sebab yang halal
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengandung alasan atau sebab yang halal kenapa perjanjian itu dibuat. Mengenai sebab yang halal ini diatur dalam Pasal 1335-1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH-Perdata menyatakan bahwa : “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.” Selanjutnya mengenai pengertian sebab tersebut tidak dijelaskan lebih terperinci dalam KUH Perdata. Akan tetapi Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa sebab yang halal itu adalah :
89 Op. Cit. J. Satrio hlm 35.
90 Op. Cit. Kartini Muljadi dan Xxxxxxx Xxxxxxx. hlm 156.
1) bukan tanpa sebab;
2) bukan sebab yang palsu
3) bukan sebab yang terlarang.
Hukum perdata yang menganut sistem positive procedural hanya memperhatikan apa yang tertulis mengenai segala sesuatu yang wajib dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Dengan kata lain, hukum tidak memperhatikan apa alasan dari subyek hukum untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Pasal 1336 KUH Perdata menyatakan lebih lanjut bahwa suatu perjanjian yang dibuat para pihak adalah sah jika tidak bertentangan dengan sebab yang dilarang. Selanjutnya Pasal 1337 KUH-Perdata menyatakan sebab yang halal maksudnya adalah isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pengertian tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang di sini adalah Undang-undang yang bersifat melindungi kepentingan umum, sehingga jika dilanggar dapat membahayakan kepentingan umum.91
3. Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan Apotek
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (kemudian disebut KUH Perdata) adalah perbuatan satu atau lebih mengikat diri terhadap orang lain. Definisi perjanjian merupakan suatu hubungan hukum yang berkaitan dengan harta benda atau kekayaan antara dua orang
91 Xxxxxxxx Xxxxx. Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Ctk. 2. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1996. hlm. 99.
atau lebih menundukkan kepada satu pihak atas hak-haknya untuk mendapatkan prestasi sekaligus menuntut kepada pihak lainnya untuk menunaikan kewajiban (prestasi).92
Prinsipnya, perjanjian merupakan meeting of mind about somethings, yakni mengenai adanya suatu persetujuan dan kepercayaan para pihak, 93 Perjanjian dikatakan sah menurut hukum jika memenuhi syarat-syarat perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu sepakat, objek yang diperjanjikan, cakap dan klausa yang halal.94 Perjanjian pada prinsipnya harus memberikan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak.
Dalam perjanjian kerja sama pengelolaan apotek antara apoteker dan PSA lahir karena kehendak para pihak sebagai konsekuensi atas kesepakatan yang telah dicapai dalam perjanjian dan undang-undang (Pasal 1233 KUH Perdata), 95 maka dengan demikian hubungan hukum apoteker dan PSA adalah sebagai berikut:
a. PSA memberikan kewajibannya dengan bentuk sebagai berikut:
1) Lokasi dan bangunan.
2) Perlengkapan apotek.
3) Perbekalan farmasi dan kesehatan termasuk alat-alat yang dibutuhkan.
4) Ketiga hal di atas, wajib menunjang penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan tanpa mengurangi pelayanan kepada masyarakat.
92 R. Subekti. Hukum Perjanjian. Intermasa. Jakarta. 1987. hlm 6.
93 M. Xxxxxx Xxxxxx. Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Indonesia. UII Press. Yogyakarta. 2013. hlm. 31.
94 Op. Cit. Xxxxxxx, Ishana hlm 281.
95 Op. Cit. Kartini Muljadi dan Xxxxxx Xxxxxxx... hlm. 17.
b. Sedangkan pihak apoteker harus memberikan hal-hal berikut kepada PSA:
1) Jasa berupa keahlian profesi yang dimiliki.
2) Mengelola apotek dengan baik dan benar.
3) Tidak merangkap pada apotek lainnya.
4. Pemilik Modal
Dalam membahas pengertian tentang pemilik modal penulis akan mengemukakan terlebih dahulu pengertian modal. Menurut pendapat Xxxxx Xxxxx, dalam bukunya “Hukum Dagang” yang dimaksud dengan modal adalah “suatu perwujudan kesatuan benda yang dapat berupa barang, uang dan hak-hak yang dipergunakan suatu badan usaha untuk mendapatkan keuntungan”. 96 Adapun pengertian tentang pemilik modal adalah “Orang yang mempunyai uang pokok yang dipakai sebagai induk untuk berniaga, melepas uang dan sebagainya, atau harta benda yang dapat dipergunakan untuk menghasilkan sesuatu yang dapat menambah kekayaan”.97
Pemodal yaitu PSA harus menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam pengelolaan apotek, yaitu modal, bangunan, perlengkapan alat kesehatan dan kefarmasian. Pengelolaan apotek yang diterapkan oleh APA dan PSA tidak lagi dapat dilaksanakan dengan bentuk kerja sama berbadan usaha seperti PT, Firma, CV dan lainnya seperti ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980.
96 Xxxxx Xxxxx. Hukum Dagang, ctk ke-2. Pradnya Paramita. Jakarta. 1981. hlm 165.
97 Poerwodarminto. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 1990. hlm 229.
Saat ini, apotek bukan lagi unit usaha perdagangan yang pengelolaannya menggunakan badan hukum, akan tetapi apotek merupakan media pelayanan kefarmasian yang cara mengelola serta izinnya diserahkan pada apoteker untuk mengajukan kepada pemerintah (Dinas Kesehatan) dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan. Oleh karena pengelolaan apotek bukan lagi berbentuk unit dagang maka kerja sama antara APA dan PSA dalam mengelola apotek merupakan persekutuan perdata yang konsentrasinya adalah pelayanan kepada masyarakat terkait kefarmasian.
C. Konsep Perbuatan Melawan Hukum
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum di Indonesia mengadaptasi asas konkordansi yang dianut oleh Belanda dan diterapkan di Indonesia pada saat menjajah Indonesia yang menerapkan aturan dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam Burgerlijk Wetbook (BW)Belanda. Singkatnya, KUH Perdata yang ada saat ini menganut BW Belanda dalam hal perbuatan melawan hukum. Berdasarkan asas konkordansi ini menetapkan ketentuan-ketentuan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Melawan hukum tidak hanya sebatas perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan saja, juga berkaitan dengan perbuatan yang melanggar kepatutan, kesusilaan, dan norma-norma dalam dinamika dan hubungan kemasyarakatan.98
98 M.A Moegni Djojodirjo. Perbuatan Melawan Hukum, ctk ke-2. Pradnya Paramita. Jakarta.
1982.hlm 25.
Perkembangan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dimulai sejak adanya putusan Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 yang memperluas definisi perbuatan melawan hukum, yaitu perbuatan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau suatu kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban pelaku dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, ataupun kepatutan baik dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda yang dimiliki orang lain, barang siapa oleh karena perbuatannya yang merugikan orang lain, wajib membayar ganti rugi yang timbul atas perbuatannya.99
Adapun menurut beberapa ahli menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum ialah sebagai berikut:
a. Xxx Xxxxxx Xxxxx menjelaskan bahwa perbuatan melawan hukum ialah suatu perbuatan seseorang yang tidak diperbolehkan. Penjelasan ini memiliki makna yang sangat luas, yaitu meliputi segala medan dalam kehidupan manusia di masyarakat.100
b. Munir Fuady mendefinisikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu kodifikasi dari prinsip hukum yang tujuannya untuk mengontrol dan perilaku yang bahaya, dengan memberikan suatu tanggung jawab atas suatu kerugian atas perbuatan yang bahaya atas interaksi individu terhadap
99 Ibid. hlm 26.
100 Wirjono Prodjodikoro. Perbuatan Melawan Hukum. Mandar Maju. Bandung. 2000. hlm
6.
sosial dan untuk memfasilitasi ganti kerugian terhadap orang yang dirugikan/korban dengan suatu gugatan yang benar dan tepat.101
c. Subekti menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ialah tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan atas kesalahannya untuk mengganti kerugian.102 Definisi ini tidak jauh berbeda dengan isi dalam Pasal 1365 KUH Perdata.
Adapun onrechtmatige daad dalam BW atau KUH Perdata ialah setiap perbuatan yang melawan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu “setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menimbulkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan kepada pelaku atas kesalahannya untuk mengganti kerugian”. Rumusan pasal ini merupakan strukturisasi aturan dari pada substansinya, oleh karenanya memberikan suatu implikasi pada 2 persepsi, yaitu:
a. Pasal 1365 KUH Perdata dikatakan sebagai ketentuan all chatches yang apabila diterjemahkan dalam bahasa sarkastik dapat maknai sebagai “pasal keranjang sampah”.
b. Pasal 1365 KUH Perdata malah dimaknai sebagai stimulus untuk terjadinya suatu temuan hukum (rechtsvinding) secara kontinu.103
Dari pengertian-pengertian perbuatan melawan hukum di atas, dapat disarikan bahwa perbuatan melawan hukum selalu berkaitan dengan perbuatan seseorang melawan atau bertentangan dengan hukum (baik norma,
101 Munir Fuady. Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2005. hlm 3.
102 Ibid. hlm 4.
103 Xxxx Xxxxxxxx. Perbuatan Melawan Hukum. FH Universitas Indonesia. Jakarta. 2003.
hlm 1.
kepatutan maupun kesusilaan), melanggar hak-hak orang lain atau atas kesalahannya melahirkan kewajiban padanya untuk mengganti kerugian terhadap orang yang dilanggar haknya.
2. Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yaitu setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian yang timbul atas kesalahannya. Apabila APA dalam mengelola pengadaan dan penyimpanan obat khusus jenis psikotropika dan narkotika di apotek melakukan perbuatan hukum dan menimbulkan kerugian bagi PSA maka dapat dituntut mengganti kerugian yang timbul atas perbuatannya.
Adapun unsur Pasal 1365 KUH Perdata yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum ialah sebagai berikut:
a. Unsur kesalahan
Unsur dalam Pasal 1356 menghendaki adanya kesalahan yang dilakukan oleh APA dalam pengadaan obat khusus jenis psikotropika dan narkotika, kesalahan yang maksud adalah kesalahan baik dengan sengaja maupun tidak (culpa) yang tidak memiliki alasan pemaaf atau pembenar.104
b. Adanya perbuatan
Adanya perbuatan yang melawan hukum sebagai suatu awalan atas perbuatan pelaku, perbuatan yang dimaksud ialah perbuatan yang baik
104 Op. Cit. Munir Fuady... hlm 12.
secara aktif (berbuat sesuatu) maupun pasif (tidak berbuat). Seperti halnya suatu kewajiban bagi pelaku untuk melakukan prestasinya atau seperti halnya tidak berbuat sesuatu yang dengan tidak berbuatnya tersebut dapat merugikan pihak lain. Oleh sebabnya, perbuatan ini tidak ada unsur persetujuan dan “causalitas boleh atau tidaknya” sebagaimana hukum perjanjian.
Perbuatan dalam hal perbuatan melawan hukum tidak serta merta perbuatan yang hanya sengaja dilakukan oleh pelaku, melainkan juga mengikat pada perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku atas dasar kesengajaan, kelalaian, atau kealpaan. Sehingga dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dalam lapangan hukum apabila terdapat unsur- unsur sebagai berikut:
1) Sengaja
2) Xxxxx (culpa)
3) Tidak ada alasan pembenar atau pemaaf.
c. Adanya perbuatan melawan hukum
Perbuatan melawan hukum ialah perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain, bertentangan dengan kesusilaan, kepantasan, kehati-hatian maupun aturan ketertiban dalam pergaulan masyarakat (aturan hukum) serta bertentangan dengan kewajiban hukum yang melekat pada diri pelaku.105
105 Ibid. hlm 6.
Perbuatan melawan hukum sejak adanya putusan Hoge Raad pada tanggal 31 Januari 1919 tidak lagi hanya diartikan sebagai perbuatan yang hanya bertentangan dengan kewajiban yang ada dalam undang-undang, melainkan sudah diartikan luas, yaitu:
1) Perbuatan yang melanggar hak orang lain.
2) Perbuatan yang melanggar kewajiban diri sendiri (pelaku).
3) Perbuatan yang dilarang oleh aturan.
4) Perbuatan yang bertentangan dengan kepantasan, kesusilaan dan norma yang ada dimasyarakat.
d. Adanya kerugian
Kerugian yang dimaksud dalam unsur Pasal 1365 KUH Perdata ialah kerugian materiil dan immateriil yang timbul dari perbuatan melawan hukum, yaitu:
1) Kerugian materiil
Kerugian materiil terdiri dari kerugian yang secara nyata-nyata dialami langsung oleh korban. Pelaku perbuatan melawan hukum harus mengganti atas kerugian yang nyata-nyata dialami oleh korban berikut dengan keuntungan dan bunga yang seharusnya didapatkan oleh korban.
2) Kerugian immateriil
Kerugian yang dapat dialami oleh korban atas perbuatan pelaku perbuatan melawan hukum tidak hanya sebatas materi saja, namun kerugian immateriil yang mengganggu pribadi korban seperti takut, sakit dan-lainnya juga dapat dimintakan ganti kerugian kepada pelaku.106
Untuk dapat menentukan besaran kerugian harus dilakukan dengan cara menilai kerugian yang dialami, untuk itu pada asasnya yang dirugikan
106 Syarul Machmud. Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktik. Mandar Maju. Bandung. 2008. hlm 186.
harus sebisa mungkin diposisikan dalam keadaan sebagaimana keadaan apabila tidak ada perbuatan melawan hukum, perhitungan nilainya adalah nilai biaya, kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang diharapkan. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
e. Adanya causalitas antara perbuatan dengan kerugian yang dialami Kerugian timbul pasti dengan sebabnya, kerugian yang dialami
korban nyata-nyata dikarenakan (adanya kausalitas/sine qua non) oleh perbuatan melawan hukum yang dilakukan pelaku (APA), bukan karena hal lain (causa in factum). Sehingga dapat diketahui bahwa kerugian benar-benar ditimbulkan atas adanya perbuatan melawan hukum atau tidak.
Hubungan causalitas ini merupakan suatu penegasan bahwa bilamana korban akan meminta pertanggung jawaban atas kerugian yang dialaminya perlu membuktikan terlebih dahulu hubungan pelaku dan korban. Hubungan kausalitas dalam prinsip hukum perdata ialah untuk meneliti hubungan kausal antara kerugian yang ditimbulkan dan perbuatan melawan hukumnya, sehingga pertanggungjawaban pelaku dapat diminta oleh korban.
3. Tanggung Jawab atas Perbuatan Melawan Hukum
Di Indonesia, perbuatan melawan hukum merupakan warisan aturan dari Eropa Kontinental, yaitu diatur dalam Pasal 1365-1380 KUH Perdata.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut mengatur tentang bentuk-bentuk tanggung jawab atas perbuatan melawan hukum, yaitu:
a. Bentuk tanggung jawab yang tidak hanya sebatas perbuatan melawan hukumnya saja, termasuk perbuatan melawan hukum orang lain dan benda-benda yang ada dibawah pengawasannya
Hal ini diatur dalam 1367 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa “setiap orang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan karena perbuatannya sendiri, juga bertanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau dikarenakan benda-benda yang berada di bawah pengawasannya”. Pasal ini, merupakan rumusan umum yang membagi bentuk tanggungjawab berkenaan dengan perbuatan melawan hukum, yaitu:
1) Tanggung jawab terhadap perbuatan orang lain, meliputi:
a) Tanggung jawab atas orang yang melakukan perbuatan melawan hukum menjadi tanggungannya secara umum.
b) Pasal 1367 ayat (3) KUH Perdata
• Tanggung jawab wali atau orang tua terhadap anak yang belum dewasa.
• tanggung jawab tuan atau majikan dan orang yang mewakilinya atas urusan tertentu untuk mengerjakan pekerjaan tertentu.
c) Pasal 1367 ayat (4) KUH Perdata, tanggung jawab guru kepada muridnya atau tanggung jawab kepala tukang terhadap tukangnya atau yang dipersamakan dengan itu.
2) Tanggung jawab terhadap benda-benda dalam pengawasannya, meliputi:
a) Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata, tanggungjawab terhadap barang pada umumnya.
b) Pasal 1368 KUH Perdata, tanggungjawab terhadap binatang peliharaan.
c) Pasal 1369 KUH Perdata, tanggung jawab terhadap pemilik gedung.
b. Bentuk tanggung jawab perbuatan melawan hukum terhadap tubuh dan jiwa
Bentuk tanggung jawab terhadap jiwa dan nyawa manusia diatur dalam Pasal 1370 KUH Perdata yaitu “apabila terjadi pembunuhan dengan sengaja atau kelalaiannya, maka suami atau istri, anak, orang tua dari korban memiliki hak untuk menuntut ganti kerugian yang harus dinilai berdasarkan keadaan dan kekayaan kedua pihak”.
c. Bentuk tanggung jawab perbuatan melawan hukum terhadap nama baik Persoalan nama baik ataupun penghinaan juga diatur dalam KUH
Perdata yaitu terdapat dalam Pasal 1372-1380 KUH Perdata, tuntutan ganti kerugian atas penghinaan atau pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 1372 KUH Perdata bertujuan untuk memberikan ganti kerugian atas kerugian yang ditimbulkan dan pemulihan nama baik berdasarkan kondisi dan kedudukan semula para pihak.
D. Akta Notaris dan Kekuatan Pembuktiannya
1. Notaris
Dalam bahasa Inggris Notaris disebut dengan Notary dan van Notaris (dalam bahasa Belanda), 107 secara kebahasaan notaris berasal dari kata notarius untuk tunggal dan notarii untuk jamak. Notarius merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Romawi untuk menamai mereka yang melakukan pekerjaan menulis. Namun, fungsi notarius pada zaman tersebut berbeda dengan fungsi notaris pada saat ini. Terdapat pendapat lain mengatakan, bahwa nama notarius aslinya berasal dari nota literia yang artinya menyatakan suatu perkataan.108
Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugas.109
Pengertian notaris terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUJN yaitu “notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan berwenang lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan
107 Salim HS (2). Peraturan Jabatan Notaris. Sinar Grafika Jakarta. 2018. hlm 14.
108 Abd. Ghofur Anshori. Lembaga Kenotarian Indonesi, Prespektif Hukum dan Etika. UII Press. Yogyakarta. 2016.hlm 7-8.
109 G.H.S Lumban Tobing. Peraturan Jabatan Notaris. Erlangga. Jakarta. 1992. hlm 31
undang-undang lainnya”. Tugas notaris adalah sebagai pejabat umum dan berwenang untuk membuat akta autentik serta kewenangan lainnya.110
Notaris sebagai pejabat umum merupakan organ negara yang dilengkapi dengan kekuasaan umum, menjalankan sebagian kekuasaan umum dalam pembuatan akta. Wewenang tersebut melekat pada jabatannya yang bersifat khusus, sehingga jabatan notaris bukan merupakan jabatan struktural dalam organisasi nagara/pemerintah melainkan wewenang atribusi, kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.111
Notaris dalam menjalankan jabatannya diangkat dan dapat diberhentikan oleh negara bukan berarti notaris adalah pegawai negeri dan digaji oleh negara, pendapatan notaris diperoleh dari honorium penggunaan jasa notaris oleh klien dalam membuat akta autentik.112
Jabatan notaris merupakan perkerjaan yang membutuhkan keahlian khusus, oleh karenanya jabatan notaris bagian dari jabatan kepercayaan yang dijalankan dengan luhur oleh notaris yang tidak sebatas menuntut keahliannya saja, melainkan juga perlu diduduki oleh orang-orang yang berakhlak mulia. Seseorang yang dapat diangkat menjadi notaris adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat (Pasal 3 UUJN) sebagai berikut:
a. Warga Negara Indonesia.
110 Tan Thong Kie. Studi Notariat dan Serba-serbi Praktik Notaris. PT. Ichtiar Bar Van Hoeve. Jakarta. 2011. hlm 44.
111 Xxxxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx.. Aspek Pertanggunga Jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. CV. Xxxxxx Xxxx. Bandung. 2011. hlm 67.
112 Ibid.
b. Bertakwa kepada Tuhan YME. Notaris wajib beragama dan kepercayaan kepada Tuhan YME, hal ini ditunjukkan akan adanya pengambilan sumpah/janji profesi berdasarkan agama dan kepercayaannya.
c. Telah berumur 27 tahun.
d. Sehat jasmani dan rohani dengan menyertakan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater.
e. Berijazah sarjana hukum dan telah lulus jenjang strata dua kenotariatan serta telah magang atau benar-benar telah bekerja sebagai karyawan notaris minimal 24 (dua puluh empat) bulan berturut pada kantor notaris atas pilihan sendiri atau rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan.
f. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara. Advokat atau tidak sedang menjabat jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang.
g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Notaris diangkat dan dapat diberhentikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia di setiap daerah di masing-masing kantor wilayahnya (Pasal 2 UUJN). Hal ini yang menjadikan notaris sebagai profesi yang terhormat dan membutuhkan tanggungjawab yang luhur baik secara personal maupun sosial. Dengan demikian, dibutuhkan sumpah atau janji berdasarkan agama dan kepercayaannya saat pengangkatan di hadapan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai pejabat yang ditunjuk (Pasal 4 ayat (1) UUJN),
sehingga profesi notaris tidak sekedar profesi officium nobile namun juga melekat pada profesinya sebagai profesi yang memegang kepercayaan dari masyarakat (officium trust) yang akan membuat akta
Kewenangan notaris adalah pembuatan akta autentik, namun selain kewenangan tersebut notaris dalam menjalankan profesinya memiliki kewajiban-kewajiban yang atur dalam Pasal 16 ayat (1) UUJN, yaitu:
a. Berlaku amanah, tidak memihak, seksama, jujur, mandiri dan menjaga kepentingan pihak yang berkaitan dalam perbuatan hukum.
b. Membuat akta (dalam bentuk minuta) dan menyimpan akta sebagai protokol notaris.
c. Melekatkan surat dokumen dan sidik jari para penghadap pada minuta akta.
d. Mengeluarkan grosse akta, salinan maupun kutikan akta yang sesuai dengan minuta akta.
e. Melayani berdasarkan ketentuan undang-undang ini kecuali adanya alasan untuk menolak.
f. Akta dan keterngan yang dibuat harus dirahasiakan berdasarkan sumpah jabatan, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
g. Akta yang telah dibuat dijilid dalam bentuk buku selama 1 bulan yang berisi tidak lebih dari 50 akta, apabila akta yang dibuat tidak bisa dijilid dalam satu buku, maka akta dapat dijilid lebih dari 1 buku serta mencatat jumlah minuta akta, tahun dan bula pembuatannya disetiap sampul buku.
h. Membuat daftar akta protes baik terhadap tidak diterimanya surat berharga atau tidak dibayar.
i. Membuat daftar akta tentang wasiat di setiap bulannya berdasarkan urutan waktu pembuatannya.
j. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksudkan dalam huruf i atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan beirkutnya.
k. Mencatat dalam reportorium terhadap tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan.
l. Memiliki cap atau stempel yang memuat lambang Negara Republik Indonesia dan pada ruangan yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.
m. Membaca akta akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap saksi dan notaris.
n. Menerima magang calon notaris.
Pada umumnya, kewajiban notaris merupakan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan jasanya berdasarkan peraturan perundang- undangan yaitu berkaitan dengan kehendak masyarakat yang akan menjadikan perbuatan hukum dalam perjanjian-perjanjiannya menjadi akta autentik.
Notaris dalam menjalankan profesinya tidak boleh menyimpangi kewenangan dan kewajibannya yang telah diatur dalam UUJN, Notaris juga harus tunduk terhadap larang-larangan yang telah diatur dalam UUJN dan Kode Etik Notaris. Larangan notaris adalah sebuah tindakan yang dilarang untuk dilakukan oleh notaris, notaris yang melanggar dapat dikenakan sanksi (Pasal 85 UUJN). Berikut adalah hal-hal yang dilarang bagi notaris berdasarkan Pasal 17 UUJN yaitu:
a. Jabatannya dilakukan di luar wilayah jabatannya.
b. Wilayah jabatannya ditinggalkan lebih dari 7 (tujuh) hari kerja secara berturut-turut tanpa adanya alasan yang sah.
c. Merangkap sebagai pegawai negeri, merangkap sebagai pejabat negara, merangkap sebagai pimpinan atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta maupun merangkap sebagai advokat.
d. Merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah jabatan notaris.
e. Menjadi notaris pengganti; atau
f. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat memengaruhi kehormatan dan martabat jabatan notaris.
Larang bagi notaris berikutnya adalah larangan yang diatur dalam Kode Etik, yaitu:
Notaris maupun orang lain (selama yang bersangkutan menjalankan jabatan notaris) dilarang:
a. mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun kantor perwakilan.
b. memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/Kantor Notaris” di luar lingkungan kantor.
c. melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya, menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik, dalam bentuk:
1) iklan.
2) ucapan selamat
3) ucapan belasungkawa.
4) ucapan terima kasih.
5) kegiatan pemasaran.
6) kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial, keagamaan, maupun olah raga.
d. bekerja sama dengan biro jasa/ orang/ badan hukum yang pada hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mendapatkan klien.
e. menandatangani akta yang proses pembuatannya telah dipersiapkan oleh pihak lain.
f. mengirimkan minuta kepada klien untuk ditandatangani.
g. berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang. berpindah dari notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan. langsung kepada klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.
h. melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen- dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.
i. melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan notaris.
j. menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan perkumpulan.
k. mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan kantor notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari notaris yang bersangkutan, termasuk menerima pekerjaan dari karyawan kantor notaris lain.
l. menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan notaris atau akta yang dibuat olehnya. Dalam hal seorang notaris menghadapi dan/atau menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawatnya yang ternyata di dalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yangserius dan/atau membahayakan klien, maka notaris tersebut wajib memberitahukan kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.
m. tidak melakukan kewajiban dan melakukan pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam kode etik dengan menggunakan media
elektronik, termasuk namun tidak terbatas dengan menggunakan internet dan media sosial.
n. membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat eksklusif dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga, apalagi menutup kemungkinan bagi notaris lain untuk berpartisipasi.
o. menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
p. membuat akta melebihi batas kewajaran yang batas jumlahnya ditentukan oleh Dewan Kehormatan.
q. mengikuti pelelangan untuk mendapatkan pekerjaan/pembuatan akta.
Apabila larangan-larangan di atas tetap dilakukan oleh notaris, notaris dapat dikenakan sanksi atas perbuatan yang dilakukan atas larang-larangan tersebut. Tujuan adanya larangan-larangan bagi notaris adalah untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada masyarakat yang membutuhkan peran dan fungsi notaris serta untuk memberikan garis-garis besar untuk bersaing secara sehat antar sesama notaris.
2. Pengertian Akta Notaris
Akta merupakan tulisan atau surat yang dibuat dengan sengaja untuk suatu bukti mengenai peristiwa atau perbuatan hukum yang ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya, akta dapat digunakan sebagai alat bukti dan salah satu alat yang dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara (perdata) dalam persidangan.113
Tulisan-tulisan autentik berupa akta autentik harus dibuat berdasarkan format yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang dan di tempat mana akta dibuatnya. Berbeda halnya dengan tulisan-tulisan dibawah tangan, yaitu
113 A. Andi Prajitno. Seri A Kewenangan dan Contoh Bentuk Akta. Perwira Media Nusantara.
Surabaya. 2018. hlm 5.
dibuat dengan format yang tidak ditentukan maupun tanpa pejabat yang berwenang. Kedua model akta tersebut bertujuan sama, yaitu sebagai alat bukti atas suatu peristiwa atau perbuatan hukum para pihak.
Salah satu akta autentik yang sering ditemukan di masyarakat adalah akta notaris, akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang membuatnya 114 dan mengikat mereka untuk saling memberikan dan menerima prestasi. Oleh karena itu, syarat sahnya perjanjian dalam pembuatan akta menjadi pokok utama terhadap keabsahan suatu akta notaris.
Karakteristik akta notaris yaitu:115
a. Dibuat dengan bentuk yang telah ditentukan oleh undang-undang.
b. Dibuat untuk kepentingan dan permintaan para pihak. Notaris tidak berkedudukan sebagai pihak-pihak yang namanya dicantumkan dalam Bentuk akta, sekalipun nama notaris juga dicantumkan.
c. Berkekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat siapapun yang namanya tercantum dalam akta serta isinya tidak dapat ditafsirkan.
d. Daya ikatnya dapat dibatalkan berdasarkan kesepakatan para pihak atau pihak yang tidak setuju dengan kesepakatan dalam akta tersebut dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan dengan alasan-alasan yang dapat dibuktikan.
114 Habieb Adjie. Penerapan Pasal 38 UUJN-P dalam Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris.
Bintang Pustaka Madani. 2021. Yogyakarta. hlm 8.
115 Ibid.
3. Bentuk Akta Notaris
Bentuk akta diatur dalam Pasal 38 ayat (1) sampai dengan ayat (5), setiap akta harus yang dibuat oleh notaris harus memuat hal-hal berikut:
a. Kepala atau awal akta
Kepala akta memuat tentang judul akta, nomor akta, waktu (meliputi hari, tanggal, bulan dan tahun pembuatan akta), nama lengkap, dan tempat kedudukan notaris.
b. Badan akta
Bagian kepala akta memuat komparisi mengenai identitas para pihak meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan dan jabatan, kedudukan dan domisili para pihak, keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap, isis akta yang merupakan bagian dari kehendak para pihak dan identitas para saksi pengenal.
c. Penutup atau akhir akta
Bagian akhir akta berkaitan dengan pembacaan akta sebelum ditanda-tangani oleh para pihak sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf l UUJN. Bagian ini menguraikan tentang tempat penandatanganan dan penandatanganan, penerjemah apabila dibutuhkan, identitas masing-masing saksi akta, penjelasan mengenai ada (penambahan, pencoretan dan penggantian) atau tidaknya perubahan dalam pembuatan akta.
Akta notaris tidak lepas dari perjanjian yang melahirkan hubungan hukum bagi para pihak yang membuatnya, maka syarat sah perjanjian mutlak
harus dipenuhi supaya kepastian hukumnya terjamin dan kepentingan- kepentingan para pihak terlindungi. Adapun bentuk akta notaris yang diatur dalam Pasal 38 UUJN yaitu:
a. Minuta akta
Mintua akta tidak lain adalah asli akta yang memuat tanda tangan para pihak, saksi dan notaris, minuta akta ini disimpan oleh notaris sebagai protokol notaris. 116 Akta dalam bentuk minuta disimpan sebagai arsip negara dengan diberi nomor, dimasukkan kedalam buku daftar (reportorium) serta diberi nomor reportorium, apabila notaris mengeluarkan akta in originali notaris tidak berkewajiban menyimpan minuta kata.117
b. Salinan akta
Salinan akta merupakan duplikat akta berbentuk salinan yang isinya sama dengan akta (kata demi kata dari seluruh akta) dan dibagian bawahnya terdapat frasa “diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya” (Pasal 1 angka 9 UUJN). Salinan akta sengaja dibuat untuk diberikan kepada para pihak yang bertandatangan di minuta atau ahli warisnya, salinan akta ini hanya ditandatangani oleh notaris pada halaman akhir bermaterai cukup dan diberi stempel/cap notaris. Salinan akta yang dibuat oleh notaris harus tidak adanya coretan maka dari itu formatnya diberi
116 Xxxxx Xxxx (2). Saksi dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik. Refika Aditama. Bandung. 2013. hlm 52.
117 ibid. hlm 53.
garis tepi bertujuan untuk menghindari dari adanya penambahan baik berupa kata, kalimat maupun coretan.
c. Kutipan akta
Kutipan akta merupakan kutipan dari satu atau beberapa bagian akta yang bagian bawah akta dituliskan frase “diberikan sebagai kutipan” (Pasal 1 angka 10 UUJN). Kutipan akta dilakukan oleh notaris berdasarkan permintaan pihak yang berkepentingan, kutipan akta dikenal sebagai turunan dari akta yang diambil dari sebagian isi minuta akta berupa kata perkata.
d. Grosse akta
Xxxxxx merupakan salah satu salinan akta untuk suatu pengakuan hutang dengan bagian kepala akta mencantumkan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, dengan adanya
frase tersebut menunjukkan grosse akta ini memiliki kekuatan eksekutorial (Pasal 1 angka 11) atau dapat diasumsikan sama dengan putusan pengadilan yang sudah inkracht. Akta ini memuat pengakuan hutang tentang besaran hutang debitor kepada kreditor (layaknya perjanjian kredit), isi akta grosse dapat dilaksanakan langsung berdasarkan isi perjanjiannya tanpa proses pengadilan.
4. Kekuatan Pembuktian Akta Notaris sebagai Akta Autentik
Dalam hukum acara perdata, alat bukti dapat berupa bukti tulisan, bukti dengan saksi, pengakuan, sumpah dan sangkaan-sangkaan. Pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan tulisan autentik maupun tulisan
dibawah tangan, tulisan autentik berupa akta Notaris dibuat dengan tatacara dan ketentuan yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan baik oleh maupun dihadapan pejabat umum yang berwenang dan dengan tempat serta tanggal dimana akta tersebut dibuat.
Akta autentik memberikan para pihak beserta ahli warisnya atau seseorang yang mendapatkan hak dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa saja yang dimuat di dalamnya (pasal 1870 KUH Perdata). Dengan artian bahwa akta autentik adalah alat bukti yang sempurna tidak membutuhkan suatu tambahan pembuktian lain untuk membuktikan suatu peristiwa hukum tertentu, akta autentik mengikat para pihak dan subjek hukum yang berkaitan dengan muatan akta dengan sempurna.118
Karakteristik akta notaris (yang telah disebutkan dalam pembahasan sebelumnya) menunjukkan bahwa akta notaris adalah akta autentik yang mengikat para pihak dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Oleh karena itu, akta notaris sebagai akta autentik memilik daya pembuktian sebagai berikut:119
a. Uitwendige Bewijskracht (Lahiriyah)
Secara lahiriah akta notaris sendirilah sebagai bukti keabsahannya sebagai akta autentik sampai terbukti sebaliknya, sepanjang akta notaris dibuat dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan sah, apabila ada penyangkalan terhadap keabsahannya yang mengartikan bahwa akta
118Subekti. Hukum Pembuktian. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. 2005. hlm 27.
119 Xxxxx Xxxxx (2). Sanksi Perdata dan Administratif terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama. Bandung. 2008. hlm 72-73.
notaris yang maksud bukanlah akta autentik, maka beban pembuktiannya berada pada si penyangkal untuk membuktikan ketidak-autentikan akta tersebut baik yang ada pada minuta, salinan serta awal sampai akhir akta.
b. Formale Bewisjskracht (Formal)
Sisi formal pembuktian akta notaris berkaitan dengan waktu pembuatan akta notaris, kebenaran dan kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, waktu para pihak menghadap baik saksi dan notaris serta apa saja yang dilihat, didengar, disaksikan oleh notaris (pada berita acara) serta mencatat keterangan para pihak waktu menghadap.
Apabila ada penyangkalan terhadap kekuatan formal dari akta notaris maka si penyangkal harus mampu membuktikan formalitasnya mengenai ketidak-benaran hari, tanggal, tahun dan waktu para pihak menghadap. Si penyangkal juga harus mampu membuktikan tidak-benaran keterangan-keterangan para pihak yang disampaikan pada notaris dan ketidak-benaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris maupun prosedur pembuatan akta yang salah atau tidak dilakukan dengan benar. Artinya, si penyangkal wajib melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal sisi formal dari akta notaris, apabila tidak bisa, maka akta notaris tetap berlaku sebagaimana mestinya dan wajib diterima oleh siapapun.
c. Materieke Bewijskracht (Materiil)
Kekuatan pembuktian akta notaris secara materiil mengartikan bahwa secara yuridis isi akta telah membuktikan suatu kebenaran atas
peristiwa hukum para pihak sebagai suatu bukti untuk dirinya, kepada ahli warisnya ataupun kepada orang lain. Hal ini yang dimaksud dengan preuve preconstutusi yaitu akta notaris sebagai akta autentik memiliki kekuatan pembuktian secara materiil, sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1870, 1871 dan 1875 KUH Perdata.
Dengan demikian, penjelasan kekuatan akta notaris sebagai alat bukti adalah mutlak dan terkuat sepanjang tidak ada penyangkalan lain atas kebenarannya, si penyangkal memiliki beban pembuktian untuk mampu membuktikan hal-hal yang disangkalkan terhadap kebenaran akta notaris tersebut.
E. Pengelolaan Obat Jenis Narkotika Dan Psikotropika
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian aktivitas mengenai obat- obatan di apotek, berdasarkan PerMenKes Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pengendalian, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan.
Adapun pengelolaan sarana dan prasarana apotek yang ditetapkan dalam KepMenKes No.1027/Menkes/SK/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek menyebutkan bahwa sebuah apotek harus memiliki :
1. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
2. Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur.
3. Ruang tertutup untuk konseling bagi pasien, yang dilengkapi dengan meja dan kursi dan juga lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien.
4. Ruang racikan dan keranjang sampah.
Sebagaimana disebutkan di latar belakang mengenai obat jenis narkotika dan psikotropika membutuhkan pengelolaan khusus ketimbang obat jenis lainnya di apotek, yaitu dimulai dari pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, dokumentasi, pemusnahan, pencatatan, dan pelaporan.120
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap awal untuk menentukan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan alat kesehatan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Adapun tujuan dari tahap perencanaan ini adalah sebagai berikut:121
a. Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan alat kesehatan yang sesuai kebutuhan.
b. Mengoptimalkan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dengan rasional.
c. Terjaminnya ketersediaan sediaan farmasi dan alat kesehatan dengan stok yang sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan.
d. Efesiensi penggunaan anggaran belanja apotek.
e. Memberikan dukungan data bagi estimasi pengadaan, penyimpanan dan biaya distribusi sediaan farmasi dan alat kesehatan.
Perencanaan kebutuhan sediaan farmasi dan alat kesehatan dapat dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:122
a.Persiapan.
120 Op.Cit. Rizki Aprianto hlm 16.
121 APT. Wirda Anggraini, X.Xxxx. dkk. Buku Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
Universitas Islam Negeri Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx. Malang 2020. hlm 3-4.
122 Ibid. hlm 4-5.
b. Pengumpulan data.
c. Penetapan jenis dan jumlah sediaan farmasi dan alat kesehatan yang direncanakan menggunakan metode perhitungan kebutuhan
d. Evaluasi perencanaan dan revisi rencana kebutuhan obat (apabila dibutuhkan).
2. Pengadaan
Pengadaan obat jenis narkotika maupun psikotropika ialah suatu proses untuk menyediakan obat jenis tersebut yang dibutuhkan di pelayanan kesehatan, seperti di apotek. Tujuan pengadaan obat ialah menyediakan obat jenis khusus narkotika maupun psikotropika yang sesuai kebutuhan dan dengan mutu yang terjamin serta diperoleh saat diperlukan dengan sumber yang untuk menghindari dari penyalahgunaan.
Pengadaan obat jenis psikotropika dan Narkotika dilakukan dengan cara pemesanan tertulis (surat pesanan) yang dibuat oleh apoteker dan telah ditandatanganinya, pembelian obat ini dapat dilakukan pemesanan langsung di distributor yang kemudian akan dikirim ke apotek yang memesan. 123 Setelah pesanan sampai, pesanan haris dicek kesesuaiannya oleh tenaga teknis kefarmasian, pengecekan tersebut harus disesuaikan dengan surat pesanan dan faktur pembelian.
Pengadaan obat maupun bahan obat baik yang mengandung usur narkoba dan psikotropika atau tidak di sebuah apotek harus menggunakan
123 Renald Repi, dkk.. Evaluasi Pengelolaan Obat Psikotropika di Apotek Mulia Farma Tomohon. Jurnal Biofarmasitekal Tropis Vol. 5 No. 1. 2022. hlm 36.
surat pesanan yang mencantumkan SIA, surat pesanan pengadaan bahan obat atau obat baik yang mengandung usur narkoba dan psikotropika atau tidak di sebuah apotek harus ditandatangani oleh apoteker pengelola yang memegang SIA dengan mencantumkan SIPA.124
3. Penyimpanan
Penyimpanan obat jenis narkotika maupun psikotropika merupakan kegiatan apotek untuk menyimpan dan memelihara dengan menempatkan obat jenis narkotika maupun psikotropika yang diterima di tempat khusus yang aman dari pencurian dan aktivitas yang dapat merusak fisik obat jenis narkotika maupun psikotropika.125
Penyimpanan obat jenis narkotika maupun psikotropika berdasarkan Pasal 25 PerMenKes Nomor 3 Tahun 2015 tentang Penyimpanan Narkotika yaitu:
a. Terbuat dari bahan yang kuat.
b. Tidak mudah dipindahkan dan memiliki 2 (dua) anak kunci yang berbeda.
c. Ruang khusus di sudut gudang untuk sebuah apotek.
d. Menggunakan sistem first in first out (FIFO) dan first expired first out (FEFO)
e. Tempat yang dimaksud aman dan tidak terlihat oleh umum.
f. Kunci khusus dikuasai oleh apoteker penanggung jawab atau apoteker yang ditunjuk dan pegawai yang dikuasakan.
124 Pasal 24 ayat (1) dan Ayat (2) PerMenKes Kesehatan Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek.
125 ibid. hlm 17.
4. Dokumentasi dan Pendistribusian
Dokumentasi yang dimaksud yaitu berkaitan dengan tempat khusus, pengadaan, pesanan, faktur penjualan, dan penyalur resep dokter serta pemusnahan. Adapun pendistribusian ialah rangkaian aktivitas keluar masuknya obat jenis narkotika maupun psikotropika, jenis dan jumlah dari gudang yang keluar dengan teratur untuk memenuhi pesanan dan kebutuhan pelayanan kesehatan. Pemesanan oleh pasien kepada apotek harus disertai dengan resep dokter, resep asli.126
5. Pencatatan dan Pelaporan
Pencatatan dan pelaporan ini dilakukan untuk tertib administrasi mengenai kegiatan keluar masuknya obat jenis narkotika maupun psikotropika. Dilakukan pencatatan dan pelaporan ini adalah untuk mengetahui ketersediaan, penerimaan, pengeluaran, penggunaan serta mengenai data waktu dari seluruh rangkaian aktivitas.127
Pencatatan dan pelaporan wajib dilakukan oleh apotek setiap tanggal 10 di setiap bulannya, laporan bulanan dikirimkan oleh apotek kepada Dinas Kesehatan dengan tembusan:128
a. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi.
b. Kepala Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan.
c. Arsip apotek.
126 Anonim. Pelayanan Resep Narkotika dan Psikotropika. Dalam xxxxx://xxxxxx.xx.xx diakses pada tanggal 14 April 2023 pukul 19.24 WIB
127 Op. Cit. Rizki Aprianto hlm 19.
128 Op. Cit Anonim. Pelayanan Resep ....
6. Pemusnahan
Obat jenis narkotika maupun psikotropika harus dimusnahkan apabila sudah dinyatakan kadaluwarsa atau tidak memenuhi syarat, obat jenis narkotika maupun psikotropika yang akan dimusnahkan disimpan di tempat khusus dan terpisah yang aman. Pemusnahan dilakukan oleh pimpinan apotek yang bertanggung jawab dan disaksikan oleh petugas Dinas Kesehatan setempat.
Setalah dilakukan pemusnahan maka apotek harus membuat berita acara pemusnahan obat jenis narkotika maupun psikotropika yang memuat:
a. Hari, tanggal, bulan dan tahun.
b. Nama, jenis, sifat dan jumlah obat yang telah dimusnahkan.
c. Tanda tangan penanggung jawab apoteker, pemegang izin, dan dokter pemilik obat serta para saksi.
F. Konsep Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Hadirnya hukum dalam kehidupan masyarakat bertujuan untuk mengkoordinasi dan mengintegrasikan kepentingan masyarakat yang saling berbenturan. Oleh karenanya, hukum harus dapat memberikan ruang untuk meminimalisir benturan kepentingan-kepentingan masyarakat. Hukum dibuat sebagai suatu sarana atau instrumen dalam rangka mengatur hak dan kewajiban yang melekat pada subjek hukum, disamping itu juga, hukum juga berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum, Sudikno
Mertokusumo mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia.129
Secara terminologi, hukum merupakan perangkat aturan atau adat yang secara resmi dapat mengikat, yang diberikan atau dilakukan oleh penguasa maupun pemerintah, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun lainnya untuk mengatur pergaulan hidup dalam masyarakat sebagai kaidah atau patokan tentang peristiwa tertentu.130
Perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari tujuan dan fungsi hukum, yaitu konsep hukum yang memberikan suatu ketertiban, keadilan, kemanfaatan, kepastian dan kedamaian. Beberapa pendapat ahli terkait dengan definisi perlindungan hukum, yaitu:
a. Muchsin berpendapat bahwa perlindungan hukum merupakan kegiatan dalam rangka melindungi seseorang dengan menyeragamkan hubungan nilai-nilai atau kaidah yang menjelma sebagai tindakan dan sikap dalam mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan antara sesama individu, manusia.
b. Sartjipto Raharjo, perlindungan hukum ialah upaya melindungi kepentingan seseorang dengan mengalokasikan suatu HAM kekuasaan kepadanya untuk bertindak atas kepentingan tersebut.
c. Setiono, perlindungan hukum merupakan upaya untuk melindungi kepentingan masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa/pemerintah yang tidak berdasarkan aturan hukum, dalam rangka menciptakan ketenteraman dan ketertiban sehingga masyarakat dapat menikmati martabatnya sebagai manusia,
d. Xxxxxxxx X. Xxxxxx mengemukakan bahwa perlindungan hukum erat kaitannya dan selalu tentang kekuasaan (kekuasaan pemerintah maupun kekuasaan ekonomi). Bagi kekuasaan pemerintah berhubungan dengan perlindungan hukum bagi rakyat sebagai yang diperintah terhadap pemerintah sebagai orang atau organisasi negara yang memerintah. Sedangkan hubungannya dengan kekuasaan ekonomi adalah perlindungan hukum bagi yang lemah seacara ekonomi dan kedudukannya terhadap
129 Sudikno Mertokusumo. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1993. Hlm 140.
130 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua Cetakan. Balai Pustaka. Jakarta. 1991. hlm. 595.
yang kuat secara kedudukan maupun ekonominya. Seperti, buruh terhadap pengusaha.131
Secara umum, perlindungan dimaknai sebagai usaha mengayomi suatu subjek tertentu terhadap suatu hal yang bersifat membahayakan, sesuatu itu dapat berupa kepentingan, benda ataupun barang. Oleh karena itu perlindungan hukum dapat dimaknai sebagai upaya perlindungan yang diberikan oleh hukum yang berlaku melalui pranata dan sarana yang telah disediakan oleh hukum itu sendiri, seperti undang-undang.132
Dari berbagai definisi perlindungan hukum di atas, dapat ditarik benang merah bahwa perlindungan hukum merupakan segala daya upaya yang dilakukan dengan sadar oleh setiap orang, lembaga negara melalui pemerintahnya maupun swasta untuk mengamankan, mengayomi, penguasaan dan pemenuhan hak hidup dalam rangka menyejahterakan kehidupan masyarakat sebagai mana tetuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945 dan yang telah dituangkan dalam Hak Asasi Manusia.
Prinsip yang mendasar tentang konsep perlindungan hukum adalah tidak mengenal pria maupun wanita, ras, suku maupun warna kulit, Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila harus memberikan perlindungan hukum yang komprehensif terhadap rakyatnya, sebab perlindungan hukum akan menciptakan pengakuan, pengangkatan derajat dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia yang menjelma sebagai makhluk sosial dari individu-individu yang saling bergotong royong dengan wadah
131 Xxx xxxxxxxxx. Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. hlm 8-10.
132 Ibid.
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menjunjung nilai-nilai luhur, semangat kekeluargaan dan musyawarah demi mencapai kesejahteraan.
2. Sarana dan Bentuk Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum negara yang berdasarkan Pancasila membutuhkan asas yang kerukunan dan kekeluargaan, asas kerukunan dan kekeluargaan ini menghendaki bahwa setiap daya dan upaya penyelesaian masalah yang berkaitan dengan masyarakat sebisa mungkin untuk ditangani oleh pihak- pihak terkait (aparat negara) dan melibatkan para pihak yang bersengketa.133
R. La Porta dalam Jurnal of Finansial Economics. Menyebutkan bahwa perlindungan hukum harus diberikan oleh negara, pemberian perlindungan hukum tersebut memiliki 2 (dua) sifat, yaitu: bersifat pencegahan (prohibited) dan bersifat hukuman (sanction), 134 sedangkan bentuk nyata dari pemberian perlindungan hukum oleh negara adalah adanya institusi penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan serta lembaga -lembaga lain baik yang litigasi maupun non-ligitasi.
Adapun yang dimaksud dengan perlindungan hukum yang prohibited (pencegahan) ialah pembuatan peraturan perundang-undangan, yang bertujuan:135
a. Memberikan kepastian hak dan kewajiban
133 Philipus. M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. PT. Bina Ilmu. Surabaya. hlm 84.
134 R. La Porta. Investor Protection and Corporate Govermance. Jurnal of Finansial Economic, No. 58. 1999. Hlm 9. Dalam xxxxx://xxx.xxxx.xx.xx diakses pada tanggal 16 Januari 2024 Pukul 07.15 WIB.
135 Xxxxx Xxxxxxxx. Ketentuan-ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen.
Universitas Lampung. Bandar Lampung. 2007. hlm 31.
b. Menjamin hak yang telah diberikan oleh undang-undangan kepada yang berhak.
c. Memberikan upaya hukum kepada subjek hukum yang hak-haknya dilanggar.
Sedangkan sanction (hukum) ialah berkaitan dengan penegakkan hukum yang dapat dilakukan melalui:136
a. Hukum administrasi negara dapat dilakukan oleh Pejabat Tata Usaha Negara sebagai aparat untuk menindak setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelanggar. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya pelanggaran, pengulangan atau pelanggaran yang berdampak lebih buruk dengan cara pengawasan, pembekuan maupun pencabutan izin, pemecatan dan/atau pemberhentian.
b. Hukum perdata merupakan ranah hukum privat yang berkaitan dengan individu-individu di lapangan hukum perdata, pemulihan keadaan dan fungsi atas pelanggaran dapat dilakukan melalui gugatan untuk mendapatkan kompensasi maupun ganti kerugian.
c. Hukum pidana dilakukan sebagai untuk langkah penanggulangan dan biasanya laksanakan sebagai ultimatum remedium (upaya terkahir) yang dikenakan kepada pelaku pelanggaran berdasarkan pasal dalam peraturan perundang-undangan yang dapat dijatuhi hukum pidana penjara ataupun denda.
136 Ibid.
Untuk melaksanakan suatu perlindungan hukum dibutuhkan suatu wadah atau media dalam rangka menegakkannya yang dikenal dengan istilah sarana perlindungan hukum, yaitu:137
a. Sarana perlindungan hukum preventif
Sarana ini dilakukan sebagai upaya pencegahan sebelum terjadi pelanggaran. Dalam sarana ini, subjek hukum yang dilanggar haknya memiliki kesempatan untuk menyampaikan keberatan atau argumentasinya sebelum adanya tindakan hukum dari Pejabat Tata Usaha Negara yang definitif atau sebelum adanya keputusan.
Tujuannya adalah untuk memperdalam pengetahuan dan analisa mengenai sejauh mana pelanggaran tersebut merugikan subjek hukum dan besaran ganti rugi maupun kompensasi yang akan diberikan serta bagaimana menentukan tindakan penanggulangan. Peran penting sarana preventif ini sangat penting, karena mendorong pemerintah lebih hati-hati menjalankan tugas dan fungsi serta kewenangan yang dimiliki serta dapat mengambil keputusan yang lebih efisien terhadap suatu kasus.
b. Sarana perlindungan hukum represif
Sarana represif dilakukan sebagai upaya terakhir biasanya berupa sanksi pidana atau perdata dalam rangka menyelesaikan sengketa. Sarana represif ini erat kaitannya dengan konsep dasar perlindungan hukum yaitu pengakuan terhadap hak asasi manusia terhadap tugas negara sebagai organisasi yang memerintah rakyatnya. Pengakuan terhadap hak asasi
137 Op. Cit. Philipus. M. Hadjon...hlm 84.
manusia diposisikan sebagai media utama dan dapat disingkronisasikan dengan tujuan dari negara hukum.
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DAN TANGGUNG JAWAB APOTEKER DALAM MENGELOLA OBAT KHUSUS NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA DI APOTEK
A. Perlindungan Hukum bagi Apoteker dalam Pengelolaan Apotek
1. Pelaksanaan Perjanjian Kerja sama Pengelolaan Apotek
Pengelolaan apotek dapat dilakukan secara mandiri oleh apoteker maupun dengan cara bekerja sama dengan PSA. Kebanyakan apotek dijalankan dengan cara yang kedua yaitu bekerja sama antara apoteker dengan PSA untuk saling melengkapi kekurangan masing-masing dalam mengelola apotek.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis di Notaris dan PPAT Syamsubanar di Kabupaten Kudus, Apotek Seneng Waras dan Jaya di Kabupaten Kudus menunjukkan bahwa masing-masing apotek dalam pendiriannya mengadakan kerja sama antara APA dengan PSA kemudian menghadap notaris untuk membuat akta atas kerja sama yang diadakan dengan sadar, tanpa paksaan, sukarela untuk mendapat jaminan kepastian hukum atas kerja sama yang akan dilakukan.138 Model pengelolaan apotek melalui kerja sama ini tentunya membutuhkan perjanjian untuk saling mengamankan masing-masing haknya dan dapat menuntut tiap-tiap kewajiban di masing-masing pihak.
138 Syamsubanar Notaris dan PPAT di Kudus. Hasil Penelitian Penulis pada tanggal 13 Juli
2023.
83
Perjanjian kerja sama pengelolaan apotek ini berisi tentang hak apa saja yang akan didapat masing-masing pihak dan kewajiban seperti apa yang harus masing-masing berikan dalam menjalankan apotek dengan baik dan benar.
Adapun perjanjian kerja pengelolaan apotek ialah perjanjian yang mengikat bagi APA dan PSA sebagaimana undang-undang bagi keduanya, berlakunya perjanjian kerja sama layaknya undang-undang bagi keduanya apabila dibuat dengan memperhatikan syarat sahnya perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Perjanjian kerja sama pengelolaan apotek ini merupakan interpretasi dari Pasal 1601 KUH Perdata139 yang menjelaskan bahwa:
“selain persetujuan untuk melaksanakan beberapa jasa yang diatur oleh ketentuan khusus dan oleh adanya syarat-syarat yang harus diperjanjikan, dan apabila ketentuan yang syarat-syarat ini tidak ada, persetujuan dengan mana pihak pertama mengikatkan diri kepada pihak kedua untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan imbalan upah”140
Adanya akta notariil mengenai perjanjian kerja sama antara APA dan PSA membuat keduanya memiliki kedudukan yang setara dan sama-sama memiliki hak dan kewajiban berikut dengan akibat hukumnya atas perbuatan hukum yang ditundukkan dalam akta notariil tersebut, dimana pihak PSA memasukkan modal dengan menyediakan segala perlengkapan (bangunan, sediaan alat, perlengkapan dan obat kefarmasian) terkait apotek, sedangkan pihak APA sebagai menyertakan modal berupa keahliannya untuk mengelola sarana apotek dan apoteker sebagai tenaga ahli yang ditunjuk secara sah oleh
139 ibid
140 Pasal 1601 KUH Perdata. Dalam Hanifah, Ishana. 2014. Op. Cit hlm 336.
pemerintah untuk mengelola apotek sehingga PSA tanpa APA tidak dapat mendirikan apoteknya demikian dengan APA yang tidak memiliki modal pun tidak dapat mendirikan apotek.141
Adanya pertemuan modal di atas, menunjukkan kedudukan yang setara dalam perjanjian kerja sama untuk mengelola apotek sesuai dengan tugas dan fungsinya. Pertemuan modal ini mengharuskan pengelolaan apotek terutama masalah keuangan harus diatur sedemikian ketat dalam akta perjanjian kerja sama untuk mengamankan masing-masing posisi, untuk saling melaksanakan tanggung jawab dan lain semacamnya.
Adapun proses pembuatan akta perjanjian kerja sama pengelolaan apotek antara APA dan PSA adalah sebagai berikut:142
a. APA dan PSA datang dan menghadap Notaris di kantor notaris yang disepakati, dilanjutkan dengan percakapan awal antara kedua pihak dengan notaris tentang akta yang akan dibuat, yaitu akta kerja sama pengelolaan apotek.
b. Tahap di atas wajib menghadirkan saksi (intsrumenter). Untuk membantu notaris memeriksa kelengkapan dokumen sebagai syarat pembuatan akta.
1) Untuk APA harus melengkapi dokumen-dokumen berikut: Kartu Tanda Penduduk dan Surat Tanda Registrasi. Dokumen tersebut harus diperlihatkan bentuk aslinya dan diserahkan kepada notaris berbentuk foto kopi untuk dilekatkan pada minuta akta.
141 Apt. Xxxxx Xxxxxxxx, X. Farm. Hasil Penelitian Penulis pada Apotek Seneng Waras di Kudus pada tanggal 18 Agustus 2023.
142 Syamsubanar Notaris dan PPAT di Kudus. Hasil Penelitian Penulis pada tanggal 13 Juli
2023
2) Untuk APA hanya cukup dengan Kartu Tanda Penduduk.
c. Selanjutnya, Xxxxxxx memberikan penyuluhan hukum/penjelasan kepada APA dan PSA terkait perbuatan hukumnya yang akan diaktakan, pada tahap ini pula notaris tidak boleh pasif, harus berusaha menggali kehendak yang sebenarnya dari APA dan PSA.
d. Setelah diketahui kehendak APA dan PSA, notaris kemudian membuat redaksi dari kehendak para penghadap berupa pasal-pasal yang akan dimasukkan kedalam minuta akta.
e. Redaksi perpasal yang dirumuskan oleh notaris, kemudian notaris meminta pegawainya untuk mengetiknya kedalam minuta akta dan dicetak.
f. Setelah dicetak, notaris membacakan isi minuta akta kepada pihak APA dan PSA (mencocokkan yang dibacakan tersebut apakah sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh klien), dan pembacaan minuta akta tersebut juga disaksikan atau dihadapan saksi instrumenter.
g. Setelah dibacakan, ternyata masih ada yang perlu dibetulkan, dikurangi bahkan ditambah, kemudian dibetulkan disesuaikan dengan kehendak pihak APA dan PSA.
h. Setelah dibetulkan kemudian dibacakan atau diakurkan lagi oleh notaris kepada pihak APA dan PSA , apakah benar-benar telah sesuai dengan maksud kehendaknya.
i. Kalau sudah dinyatakan benar oleh penghadap (memang yang demikian yang dikehendaki) maka minta akta ditanda tangani oleh APA, PSA, notaris dan saksi-saksi.
j. Kemudian dibuat salinan aktanya setelah salinan akta dibubuhi materai secukupnya, kemudian salinan akta tersebut dijahit, ditanda tangani oleh notaris saja, selanjutnya diberikan kepada APA dan PSA.
Pembuatan akta notariil perjanjian kerja sama pengelolaan apotek ini hanya membutuhkan Surat Tanda Registrasi dan Kartu Tanda Penduduk APA, sedangkan PSA cukup dengan Kartu Tanda Penduduk saja. Adapun fungsi dari Akta notaris adalah bagian dari salah satu syarat untuk mendapatkan SIA (Surat Izin Apotek) dan SIPA (Surat Izin Praktik Apoteker).143
Hal-hal urgen yang harus diatur dalam akta perjanjian kerja sama antara APA dan PSA adalah sebagai berikut:144
a. Isi akta perjanjian kerja sama terkait modal
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Penulis, pengelolaan apotek dilakukan didasarkan pada perjanjian kerja sama antara APA dengan PSA yang dibuat oleh notaris atas kesepakatan kedua pihak.145 Oleh karena itu, perjanjian yang dibuat oleh notaris merupakan akta
143 Apt. Xxxxx Xxxxxxxx, X. Farm. Hasil Penelitian Penulis pada Apotek Seneng Waras di Kudus pada tanggal 18 Agustus 2023.
144 Ibid.
145 Apt. Xxxxxxxx, X.Xx. Hasil Penelitian Penulis pada Apotek Jaya di Kudus pada tanggal 13 Juli 2023.