PERJANJIAN KREDIT DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
PERJANJIAN KREDIT DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
Dr. Fitria Xxxx Xxxxxx, S.H., X.Xx., M.H.
PERJANJIAN KREDIT DENGAN PRINSIP KEHATI-HATIAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
Penulis : Dr. Fitria Xxxx Xxxxxx, S.H., X.Xx., M.H.
Desain Sampul : Xxxxx Xxxxxxxxxx
Tata Letak : Xxxx Xxxxx
ISBN : 978-623-5471-58-7
Diterbitkan oleh : PUSTAKA AKSARA, 2022 Redaksi:
Jl. Karangrejo Sawah IX nomor 17, Surabaya Telp. 0000-0000-0000
Laman : xxx.xxxxxxxxxxxxx.xx.xx Surel : xxxx@xxxxxxxxxxxxx.xx.xx
Anggota IKAPI
Cetakan Pertama : 2022
All right reserved
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun dan dengan cara apapun, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya tanpa seizin tertulis dari penerbit.
Oleh:
KATA PENGANTAR
Tiada kata lain selain mengucapkan puji syukur Alhamdulillah atas terselesaikannya buku ini dengan judul “Perjanjian Kredit Dengan Prinsip Kehati-Hatian Yang Berwawasan Lingkungan”
Buku ini akan mengkaji dan membahas mengenai perjanjian kredit secara mendalam. Secara umum dapat dikatakan, bahwa pembangunan memerlukan integrasi faktor-faktor kependudukan, lingkungan, dan pembangunan. Ketiga faktor tersebut diramu dalam suatu proses pembangunan yang berlangsung secara terus menerus dan dalam kurun waktu yang panjang yang mencakup transgenerasi. Tersimpul di sini bahwa menjadi tanggung jawab dan solidaritas antar generasi agar sumber daya alam yang ada dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi generasi berikutnya, dan generasi sekarang memikul kewajiban terhadap generasi mendatang bahwa generasi mendatang akan tetap memiliki sumber daya alam bagi penunjang hidupnya dengan mutu yang setinggi-tingginya.
Penyusunan buku ini tidak akan berhasil tanpa ada bantuan dan kerjasama dari pihak lain. Oleh karena itu kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih sebesar- besarnya kepada semua pihak yang telah mambantu dan mendorong terwujudnya buku ini. Xxxxxx kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih khususnya kepada jajaran Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, keluarga, serta sahabat dan kerabat yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan buku ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI iv
BAGIAN I
PENDAHULUAN 1
A. Prakta 1
B. Pokok Pikiran Masalah 11
BAGIAN II
DUNIA PERBANKAN DAN PERKREDITAN 12
A. Kredit Bank 12
B. Perjanjian 21
C. Perjanjian Kredit 26
D. Konsepsi Lingkungan Hidup 30
BAGIAN III
KONSEP KREDIT 41
A. Konsep Pemberian Perkreditan Berdasarkan Prinsip
Kehati-hatian yang berwawasan Lingkungan 41
B. Klausula Dalam Perjanjian Kredit Bank Berdasar Prinsip
Kehati-hatian yang Berwawasan Lingkungan 58
C. Kendala-kendala yang Dapat Dihadapi Dalam Merealisasikan Xxxxxxx Xxxxxx yang Berwawasan
Lingkungan Pada Perjanjian Kredit Dan Solusinya 81
BAGIAN IV PENUTUP 86
A. Kesimpulan 86
B. Saran 88
DAFTAR PUSTAKA 90
PROFIL PENULIS 94
BAGIAN I PENDAHULUAN
A. Prakata
Lingkungan hidup Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber penunjang hidup bagi bangsa dan rakyat Indonesia serta makhluk hidup lainnya.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam pasal 33 ayat tiga (3) nya mewajibkan bahwa bumi, air dan kekayaan alarn yang terkandung didalamnya (sumber daya alam) digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi dalam pasal 12 (1) Undang- Undang Nomor 4 tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diperbaharui dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang berbunyi :
1. Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).
2. Dalam hal RPPLH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersusun, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan memperhatikan:
a. Keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup;
b. Keberlanjutan produktivitas lingkungan hidup; dan
c. Keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat.
Tersimpul dalam kebijakan tersebut, bahwa pemerintah di dalam menjalankan pembangunan telah menuangkan secara eksplisit prinsip pembangunan yang mengintegrasikan aspek- aspek pengelolaan lingkungan hidup ke dalamnya. Dengan
kata lain pengelolaan lingkungan hidup adalah merupakan bagian dari integral dalam pembangunan berkelanjutan.1.
Secara umum dapat dikatakan, bahwa pembangunan memerlukan integrasi faktor-faktor kependudukan, lingkungan, dan pembangunan. Ketiga faktor tersebut diramu dalam suatu proses pembangunan yang berlangsung secara terus menerus dan dalam kurun waktu yang panjang yang mencakup transgenerasi. Tersimpul di sini bahwa menjadi tanggung jawab dan solidaritas antar generasi agar sumber daya alam yang ada dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi generasi berikutnya, dan generasi sekarang memikul kewajiban terhadap generasi mendatang bahwa generasi mendatang akan tetap memiliki sumber daya alam bagi penunjang hidupnya dengan mutu yang setinggi- tingginya.2
Kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup dengan diundangkannya UUPPLH tersebut merupakan tanggapan (response) pemerintah dan bangsa Indonesia terhadap hasil “United Nations Conference on the Human Environment” yang diselenggarakan tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm. “United Nations Conference on the Human Environment” yang diselenggarakan di Stockholm tanggal 5-16 Juni 1972 telah menegaskan dalam rumusan kedua dari hasil konferensi itu bahwa pengelolaan lingkungan hidup demi pelestarian kemampuan lingkungan hidup merupakan kewajiban dari segenap umat manusia dan setiap pemerintah di seluruh dunia.3
Perbankan perlu beradaptasi secara interdepedensial (saling ketergantungan) dengan lingkungan, dalam hal ini dikenal dengan istilah green banking, sebagai cara untuk
1 Surna T. Djajadiningrat, Pembangunan berlanjutan dan berwawasan Lingkungan, Jurnal Hukurn Lingkungan, Tahun 1 No. 2004, hal. 5.
2 Nana A., Peran Serta Bank Dalam Pencegahan Pencemaran Lingkungan Hidup Melalui Kredit, Program Pasca Sarjana UNDIP, Semarang, 1998, hal. 2.
3 Xxxxxxxxxxx, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1990, hal. 2.
memenangkan persaingan pasar sekaligus turut melestarikan lingkungan, karena perbankan tidak bisa hidup tanpa lingkungan yang memadai. Ini tercermin dari aspek iklim usaha yang baik maupun lingkungan hidup yang lestari.
Pembiayaan proyek melalui kredit pada bank yang berwawasan lingkungan (green banking) telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri dalam strategi bisnis. Sehingga perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran dan perhatian terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.
Bank merupakan badan usaha yang memiliki karakteristik khusus jika dibandingkan dengan badan usaha pada umumnya. Bank sebagai lembaga keuangan yang berfungsi menghimpun dana dan menyalurkannya kembali pada masyarakat, berkewajiban untuk mengutamakan kepentingan nasabahnya, yaitu masyarakat. Namun, kewajiban ini harus dibarengi dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudential principles) pada transaksi yang dilakukan dengan nasabah. Hal ini bertujuan agar bank dapat menjaga tingkat kesehatan sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang- Undang Perbankan.4
Kewajiban bank untuk melaksanakan prinsip kehati- hatian (prudential principles), diatur dalam Pasal 2, 8 dan Pasal
29 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Perbankan jo Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia memiliki kewenangan menetapkan ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian yang ditetapkan melalui peraturan Bank Indonesia. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan transaksi perbankan agar terwujud sistem perbankan yang sehat dan efisien.
4 Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dan Kesehatan Bank Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan”, xxxx.xxx.xxxxx.xx.xx, diakses tanggal 29 Oktober 2012
Pasal 2 Undang-Undang Perbankan dijelaskan bahwa, perbankan dalam melakukan usahanya haruslah berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati- hatian. Dalam penjelasan Pasal 8 mengandung 5 pengertian yakni :
1. Prinsip kehati-hatian dikaitkan dengan risiko kredit/pembiayaan
2. Jaminan kredit/pembiayaan artinya keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai perjanjian
3. Dalam memperoleh keyakinan tersebut dilakukan penilaian terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha
4. Agunan hanya sebagai salah satu unsur analisis, dapat berupa barang, proyek atau hak tagih yang dibiayai dari kredit ybs
5. Kredit harus memperhatikan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)
Pada Pasal 29 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Perbankan, mewajibkan bank dalam melakukan kegiatan usahanya harus sesuai dengan prinsip kehati-hatian untuk memelihara tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Sedangkan Pasal 25 ayat (I) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjelaskan bahwa, dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank. Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
Pada intinya prinsip kehati-hatian berkaitan dengan penetapan kualitas kredit dilakukan dengan melakukan analisis terhadap faktor penilaian yang meliputi prospek usaha, kinerja debitur, dan kemampuan membayar. Penilaian terhadap prospek usaha meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut : potensi pertumbuhan usaha, kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan, kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja, dukungan
dari grup atau afiliasi, dan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
Penjelasan pasal 2 huruf f UUPLH memberikan pengertian mengenai yang dimaksud dengan “asas kehati- hatian” adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Terkait penjelasan di atas mengenai prinsip kehati-hatian perbankan dalam memberikan kredit yang juga harus sesuai dengan wawasan lingkungan, maka dijabarkan di sini bahwa pemberian kredit oleh perbankan dapat merupakan suatu masalah bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun kegiatan yang pada akhirnya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Seharusnya badan-badan atau lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dapat digerakkan untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena perusahaan yang ingin berkembang tergantung pada fasilitas kredit. Sebagai salah satu pemberi dana, bank tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya. Dengan demikian perbankan tidak ikut membiayai proyek-proyek yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem. Pada sistem perbankan, dengan pertimbangan faktor-faktor keseimbangan lingkungan akan meminimalisasi resiko-resiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah debitur. Untuk itu perlu dikembangkan suatu kemampuan analisis resiko lingkungan secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya dalam memasuki era pembangunan yang bertumpu pada teknologi untuk memprediksi terjadinya resiko kerugian diperlukan keahlian dalam kecermatan yang akurat. Dengan demikian dalam kredit perbankan, analisis resiko tidak hanya terbatas pada analisis berdasarkan kinerja proyek, tetapi juga
memerlukan metode analisis yang memperhitungkan biaya- biaya eksternal (benefit and risk analysis) yang melibatkan berbagai disiplin ilmu (inter and multidicipline science), khususnya untuk memahami lingkungan hidup.
Berlakunya Undang-Undang Perbankan dan sebagai akibat dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudent banking) serta masalah tingkat kesehatan bank, sektor perbankan tentunya akan sangat perhatian kepada masalah lingkungan. Pihak perbankan dalam memberikan kreditnya tidak menginginkan proyek yang dibiayainya menimbulkan pencemaran lingkungan, misalnya sampai menimbulkan keresahan masyarakat. Oleh karena bank sebagai pemberi kredit akan diminta pertanggungjawabannya, dalam hal ini penilaian terhadap analisa lingkungan serta dampak lingkungannya. Namun demikian resiko kerusakan lingkungan yang timbul akibat sebuah proyek yang dapat diantisipasi sejak awal. Apabila tidak dipertimbangkan dampaknya akan dapat mengakibatkan penutupan proyek (industri) tersebut dengan tuduhan telah merusak lingkungan. Jika sampai terjadinya penutupan sebuah proyek industri karena kerusakan lingkungan yang diakibatkan aktifitas perusahaan debitur tersebut maka akan menimbulkan kesulitan keuangan pada proyek itu. Akhirnya kredit bank yang telah dikucurkan sebagaimana yang diketahui akan dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank yang bersangkutan, yang berakibat pula pada turunnya tingkat kesehatan bank tersebut.
Jadi disimpulkan bahwa prinsip kehati-hatian perbankan dalam memberikan kredit harus tetap memperhatikan lingkungan (kredit yang berwawasan lingkungan). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan sosial, ekonomi serta lingkungan ke arah pembangunan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana untuk pembangunan yang berkesinambungan guna meningkatkan mutu hidup. Definisi ini mengandung arti, bagaimana pembangunan dapat
berjalan tanpa melampaui ambang batas daya dukung lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi mendatang untuk membangun dan mencukupi kebutuhannya.5 Pembangunan berwawasan lingkungan memerlukan tatanan agar sumber daya alam dapat secara berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini dan mendatang, generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Apabila memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam memberikan kredit, maka perbankan akan memberikan sumbangsih yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat karena akan tercipta suatu kestabilan moneter. 6 Kestabilan moneter terjadi dikarenakan dengan prinsip-kehati hatian akan meminimalisir adanya kredit macet sehingga bank dapat mengatur perputaran uang di masyarakat melalui peranan bank sebagai perantara keuangan (financial intermediary).7 Fakta menunjukkan bahwa dewasa ini hampir semua sektor yang berkaitan dengan kegiatan keuangan membutuhkan jasa bank sehingga peran sebagai perantara keuangan yang dimiliki oleh bank dengan melakukan penghimpunan dan penyaluran dana juga akan menunjang kelancaran aktifitas perekonomian yang berdampak pula pada peningkatan status sosial masyarakat karena adanya pengembangan usaha yang lebih besar dari masyarakat karena pertumbuhan ekonomi yang stabil.8
5 Xxxxx Xxxxxxxx, Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Pusat Pengembangan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam (Science Education Development Centre), Bandung, 2006, hal. 8
6 Xxxxx Xxx Xxxxxxx, Mengenal Dunia Perbankan, Xxxx xxxxxx., Yogyakarta, 1996, hal. 2
7 Ibid
8 Y Sri Susilo, Xxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000, hal. 7
Prinsip kehati-hatian perbankan juga memberikan manfaat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sudah jelas disini bahwa dalam melakukan transaksi dalam bentuk apapun khususnya dalam pemberian kredit, bank diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian guna menjaga tingkat kesehatan bank itu sendiri dan salah satunya adalah dengan memperhatikan hasil analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) sebagai wujud dari green banking atau kredit yang berwawasan lingkungan. Selain keyakinan berdasarkan analisa yang mendalam dalam memberikan kredit atau pembiayaan, bank harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. Suatu pedoman perkreditan minimal berisi seluruh kebijakan manajemen yang berkaitan dengan peraturan-peraturan perkreditan, baik yang ditetapkan oleh manajemen (intern) maupun oleh pemerintah (ekstern) seperti misalnya SEBI, Peraturan Pemerintah, dan sebagainya9.
Seperti yang diungkapkan oleh mantan Gubernur Bank Indonesia, Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx: 10 Pada awal untuk itu tepatlah kiranya apabila Bank Indonesia kemudian bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup bersepakat untuk mendukung peningkatan peran serta sektor perbankan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup sejalan dengan amanat Undang-Undang Perbankan No.10 Tahun 1998 pada pasal 8 beserta penjelasannya. sambutannya mengemukakan bahwa :
" Pembiayaan proyek yang berwawasan lingkungan telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri bagi bank-bank yang menerapkannya sebagai strategi bisnis. Perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran dan perhatian
9 Xxxxxxxxxx Xxxxxx, Kebijakan Kredit Perbankan yang Berwawasan Lingkungan, Ctira Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000, hal. 58.
10 Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. xxx.Xxxxxx.xxx. Diakses tanggal 23 September 2012.
terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup ".
Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Xxxxxx Xxxxxxx, dalam sambutannya pernah menyatakan bahwa :11 " Usaha perbankan sesungguhnya tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan lingkungan, namun demikian Bank Indonesia dengan berbagai ketentuan dan peraturan yang dikeluarkannya, dapat mendorong peningkatan peran perbankan dalam meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup ".
Beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam pelaksanaan kredit yang berwawasan lingkungan dalam hukum perkreditan di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68. Dalam Pasal 22 mengandung pengertian adanya kewajiban Amdal bagi setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Pasal 36 mengatur mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup dinilai oleh tim teknis instansi yang terdiri atas pakar independen yang melakukan kajian teknis dan sekretariat yang dibentuk untuk itu. Pasal 65 menegaskan bahwa setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup serta adanya hak bagi setiap orang untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Pasal 66 dimaksudkan untuk melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Perlindungan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan pembalasan dari terlapor melalui pemidanaan dan/atau
11 Ibid
gugatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian peradilan. Pasal 67 menegaskan adanya kewajiban bagi setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup. Pasal 68 mengandung arti adanya kewajiban bagi setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan untuk memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan pada Pasal 3 menentukan pula bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal. Adanya UU No. 32 Tahun 2009 jo PP No. 27 Tahun 2012 secara garis khusus mengamanatkan bahwa setiap orang yang akan melakukan usaha dalam kategori “wajib amdal”12 dan mengajukan permohonan kredit di bank maka diberlakukan ketentuan adanya izin lingkungan sebagai tambahannya. Lain dengan ketentuan sebelumnya dalam UU No. 23 Tahun 1997 yang tidak mewajibkan adanya izin lingkungan.
Sebagai institusi keuangan yang memberikan pinjaman dananya kepada debitur, pada dasarnya bank tersebut menghendaki agar pinjaman tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang disepakati, walaupun apabila dalam kegiatan yang dilakukan debitur akan menghadapi masalah dengan lingkungan, maka debitur akan mengalami kerugian, yang pada akhirnya menghadapi kesulitan untuk mengembalikan pinjamannya. Dengan kerugian yang dialami debitur, maka bank sebagai pemberi pinjaman tentu akan menerima dampaknya pula, karena kredit yang diberikan menghadapi kemungkinan tidak akan dapat dikembalikan (macet). Untuk menghindari kerugian, maka sebenarnya bank dapat meminta persyaratan-persyaratan di bidang lingkungan
12 Usaha Wajib Amdal diatur dalam Pasal 23 ayat (1) UUPLH
misalnya dengan melihat apakah AMDAL-nya sudah ada, bagaimana environmental assessment dilakukan, apakah debitur sudah memiliki standar lingkungan. Bank juga perlu melakukan monitoring terhadap implementasi kegiatan yang dilakukan oleh debitur untuk melihat apakah dana yang digunakan tersebut telah sesuai dengan syarat-syarat lingkungan yang telah ditetapkan sebelumnya dan kesemuanya itu merupakan bagian dari prinsip kehati-hatian perbankan.
B. Pokok Pikiran Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pemberian kredit berdasar prinsip kehati-hatian yang berwawasan lingkungan?
2. Klausula apa yang seharusnya tercantum dalam perjanjian kredit berdasar prinsip kehati-hatian yang berwawasan lingkungan?
3. Kendala-kendala apa yang dihadapi dalam membuat klausula kredit yang berwawasan lingkungan pada perjanjian kredit dan bagaimana solusinya ?
BAGIAN II
DUNIA PERBANKAN DAN PERKREDITAN
A. Kredit Bank
Bank adalah badan usaha yang menjalankan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada pihak-pihak yang membutuhkan dalam bentuk kredit dan memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.13
Dalam menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan kepada bank, kepercayaan masyarakat tersebut wajib dilindungi dan dipelihara. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-undang Perbankan yang menetapkan antara lain bahwa bank dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya, wajib menempuh cara- cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang dipercayakan dananya kepada bank. Dalam kehidupan sehari-hari, istilah kredit bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat. Ini menandakan bahwa istilah kredit telah dikenal dan jauh melanda kehidupan ekonomi kita.
Dilihat dari asal katanya kata kredit berasal dari bahasa Latin, yaitu credere, yang artinya kepercayaan. Kepercayaan yang dimaksud adalah kepercayaan dalam penundaan pembayaran, baik penundaan utang-piutang maupun penundaan jual beli. Debitur tidak wajib membayar utangnya secara langsung atau tunai, melainkan ia diberikan kepercayaan oleh undang-undang dalam perjanjian kredit untuk membayar belakangan secara bertahap atau menyicil. Karena utang tersebut dibayar dengan cara dicicil, maka resiko selama utang tersebut belum dilunasi harus ditanggung oleh si pemberi kredit.14
13 Xxxxxxxxxx, Op.Cit. hal. 8
14 Xxxxxxxx Xxxxx, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Solusi Hukum (Legal Action) dan Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010, hal. 2
Secara umum kredit diartikan sebagai the ability to borrow on the opinion cenceived by the lender that he will be repaid. 15
Levy merumuskan arti hukum dari kredit adalah sebagai berikut: “Menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit. Penerima kredit berhak menggunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban mengembalikan jumlah pinjaman tersebut di belakang hari.”16
Sedangkan menurut Pasal 1 Angka 11 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud kredit adalah:
“ Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga ”.
Dalam pengertian tersebut dapat kita ketahui bahwa di dalamnya terkandung kewajiban untuk mengembalikan pinjaman. Dari adanya kewajiban ini dapat ditafsirkan bahwa kredit hanya akan diberikan pada pihak yang dipercaya yang mampu mengembalikan kreditnya di kemudian hari sesuai dengan jangka waktu dan syarat-syarat yang telah disepakati sebelumnya.
Hal tersebutdi atas dapat disimpulkan bahwa unsur- unsur yang ada dalam kredit adalah sebagai berikut, yaitu:17
1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang akan diberikan dalam bentuk uang, barang, atau pun jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa datang;
15 Bouviers Law Dictionary, A-K West Publishing Company, 1914, hal. 725, dikutip dari: Xxxxxx X. Xxxxxxxxxxx, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung ,1989, hal. 21
16 Xxxx, Rekening Courant, 1873, hal. 192, dikutip dari: Xxxxxx X. Xxxxxxxxxxx, Xxxx, hal.22
17 Xxxxxx Xxxxx, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia: 2003, Jakarta, hal. 14
2. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. Dalam waktu itu tergantung pengertian nilai agio dari uang yaitu uang yang ada sekarang nilainya lebih tinggi dari nilai uang yang akan diterima pada masa yang akan datang;
3. Degree of Risk, yaitu suatu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang akan memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan, semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko. Dengan adanya resiko inilah maka timbul jaminan dalam pemberian kredit.
4. Prestasi atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dapat berbentuk barang, atau jasa. Namun, karena kehidupan ekonomi modern sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uanglah yang setiap kali kita jumpai dalam praktik perkreditan.
Dalam pengertian kredit yang begitu luas maka bank sebagai pemberi kredit (kreditur) dalam menjalankan perannya wajib mendasarkan kepada suatu kebijakan untuk selalu tetap memelihara keseimbangan yang tepat antara keinginan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk tingkat bunga pada satu sisi dengan tujuan likuiditas, dan solvabilitas bank pada sisi lainnya.
Kredit khususnya kredit perbankan terdiri dari beberapa jenis apabila dilihat dari beberapa segi kriteria tertentu. Dalam hal ini macam atau jenis kredit yang ada sekarang juga tidak dapat dipisahkan dari kebijakan perkreditan yang telah digariskan sesuai dengan tujuan pembangunan. Semula kredit berdasarkan kepercayaan murni yaitu berbentuk kredit
perorangan karena kedua belah pihak saling mengenal, dengan berkembangnya waktu maka perkreditan perorangan semakin mengecil perannya digantikan oleh kredit dari lembaga perbankan. Dalam sektor perkreditan perbankan ini akhirnya berkembang pula unsur-unsur lain yang menjadi landasan kegiatan perkreditan tersebut, sehingga selanjutnya berkembang berbagai jenis kredit seperti apa yang ada sekarang.
Jenis kredit perbankan dapat dibedakan dengan mengacu kepada kriteria tertentu. Pengklasifikasian jenis-jenis tersebut bermula dari klasifikasi yang dijalankan oleh perbankan dalam rangka mengontrol portofolio kredit secara efektif. Dari kegiatan pengklasifikasian tersebut maka saat ini dikenal jenis-jenis kredit yang didasarkan kepada:
1. Kelembagaannya
2. Jangka waktu
3. Tujuan penggunaan kredit
4. Aktivitas perputaran usaha
5. Jaminannya
6. Obyek yang ditransfer
Pengelompokan kredit dengan melihat jenisnya tersebut tidaklah merupakan sesuatu yang kaku, pengelompokan tersebut hanyalah untuk mempermudah dalam penatalaksanaannya, karena pada dasarnya kredit tersebut mempunyai suatu kesamaan yang asasi, maksudnya satu jenis kredit dapat saja dimasukkan dalam beberapa pengklasifikasian, misalnya kredit investasi termasuk jenis kredit produktif tetapi juga dapat dimasukkan jenis kredit jangka menengah atau kredit jangka panjang apabila dilihat dari jangka waktunya.
1. Jenis kredit berdasarkan kelembagaan
Kredit perbankan dengan melihat kelembagaannya maka dikenal beberapa jenis kredit. Pengelompokan demikian dengan dasar kriteria dari segi kelembagaannya, yaitu dalam arti pihak yang terkait sebagai pihak pemberi
dan pihak penerima kredit terutama menyangkut struktur kelembagaan pelaksana kredit itu sendiri. Adapun jenis kredit dengan dasar pengelompokan menurut kriteria kelembagaan ini terdiri dari18:
a. Kredit perbankan yang diberikan oleh Bank Milik Negara, atau Bank Swasta kepada masyarakat untuk kegiatan usaha, dan/atau konsumsi. Kredit ini diberikan kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan, dan/atau kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang ataupun jasa.
b. Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya.
c. Kredit langsung, kredit ini diberikan oleh Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah atau semi pemerintah (kredit program), misalnya Bank Indonesia memberikan kredit langsung kepada Bulog dalam rangka pelaksanaan program pelaksanaan pangan, atau pemberian kredit langsung kepada Pertamina, atau pihak ketiga lainnya.
d. Kredit (pinjaman antar bank), kredit ini diberikan oleh bank yang kelebihan dana kepada bank yang kekurangan dana. Peminjaman model ini merupakan sarana yang paling mudah dilakukan oleh bank yang memerlukan tambahan dana baik dalam keadaan darurat maupun dalam keadaan biasa dalam arti sekedar memerlukan tambahan dana untuk dapat diputar kembali.
2. Jenis kredit berdasarkan jangka waktu
Dari segi jangka waktunya jenis kredit meliputi19:
a. Kredit jangka pendek (Short Term Loan) yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 (satu) tahun. Bentuknya
18 Ibid, hal 374
19 Ibid, hal 376
dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembeli, dan kredit wesel, juga dapat berbentuk kredit modal kerja yaitu kredit untuk membiayai kebutuhan modal kerja usaha atau proyek.
b. Kredit jangka menengah (medium term loan) yaitu kredit berjangka waktu antara 1 (satu) tahun sampai 3 (tiga) tahun, bentuknya dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
c. Kredit jangka panjang yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya yaitu kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan), dan pendirian proyek baru.
3. Jenis kredit berdasarkan tujuan penggunaan kredit
Disimpulkan dari segi tujuan penggunaan kredit, jenis kredit dibagi atas:
a. Kredit konsumtif merupakan kredit yang diberikan oleh bank pemerintah, atau bank swasta yang diberikan kepada debitur untuk membiayai keperluan konsumsinya seperti kredit profesi, kredit perumahan, kredit kendaraan bermotor, pembelian alat-alat rumah tangga, dan lain-lain sebagainya.
b. Kredit produktif yang terdiri dari:
1) Kredit investasi yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan sebagai pembiayaan modal tetap atau untuk membeli barang modal seperti peralatan produksi, gedung, dan mesin-mesin, juga untuk membiayai rehabilitasi dan ekspansi, relokasi proyek atau pendirian proyek baru. Adapun jangka waktunya dapat berjangka waktu menengah atau berjangka waktu panjang.
2) Kredit ekspoitasi (kredit modal kerja/working capital kredit) yaitu kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha
akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang. Adapun jangka waktunya berlaku jangka waktu pendek.
3) Kredit likuiditas yaitu kredit yang diberikan dengan tujuan untuk membantu perusahaan yang sedang kesulitan likuiditas. Misalnya kredit likuiditas dari Bank Indonesia yang diberikan untuk bank-bank yang memiliki likuiditas di bawah bentuk uang.20
c. Perpaduan antara kredit konsumtif dan kredit produktif (semi konsumtif dan semi produktif).
4. Jenis kredit berdasarkan aktivitas perputaran usaha
Berdasarkan besarnya aktivitas perputaran usaha, yaitu melihat dinamika, sektor yang digeluti, aset yang dimiliki dan sebagainya, maka jenis kredit terdiri dari21:
a. Kredit kecil, yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang digolongkan sebagai pengusaha kecil.
b. Kredit menengah yaitu kredit yang diberikan kepada pengusaha yang asetnya lebih besar dari pada pengusaha kecil.
c. Kredit besar
Kredit besar pada dasarnya ditinjau dari segi jumlah kredit yang diterima oleh debitur. Dalam pelaksanaan pemberian kredit yang besar ini bank dengan melihat risiko yang besar pula biasanya memberikannya secara kredit sindikasi ataupun konsorsium.
20 Xxxxxxxx Xxxxx, Aspek -Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan II, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hal 240
21 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 5. Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2006, hal 379
5. Jenis kredit berdasarkan jaminannya
Berdasarkan segi jaminannya jenis kredit dapat dibedakan:
a. Kredit tanpa jaminan, atau kredit blanko (unsecured loan)
Adapun yang dimaksud dengan kredit tanpa jaminan ini yaitu pemberian kredit tanpa jaminan materil (agunan fisik), pemberiannya sangatlah selektif dan ditujukan kepada nasabah besar yang telah teruji bonafiditas, kejujuran dan kataatannya dalam transaksi perbankan maupun kegiatan usaha yang dijalaninya.
Kredit tanpa jaminan mengandung lebih besar risiko, sehingga dengan demikian berlaku bahwa semua harta kekayaan debitur baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada kemudian seluruhnya menjadi jaminan pemenuhan pembayaran utang.
b. Kredit dengan jaminan (secured loan)
Kredit model ini diberikan kepada debitur selain didasarkan adanya keyakinan atas kemampuan debitur juga disandarkan kepada adanya agunan atau jaminan yang berupa fisik (collateral) sebagai jaminan tambahan misalnya berupa tanah, bangunan, alat-alat produksi dan sebagainya. Agunan sebagai jaminan tambahan ini dimaksudkan untuk memudahkan kreditur apabila debitur wanprestasi bank dapat segera menerima pelunasan utangnya melalui cara pelelangan atas agunan tersebut.
6. Jenis kredit berdasarkan obyek yang ditransfer
Dapat dibagi ke dalam22:
a. Kredit Uang (Money Credit), di mana pemberian dan pengembalian kredit dilakukan dalam bentuk uang.
b. Kredit Bukan Uang (Non Money Credit, Mercantile Credit, Merchant Credit), di mana diberikan dalam bentuk barang dan jasa dan pengembaliannya dilakukan
22 Xxxxxxxx Xxxxx, Op.Cit., hal. 240
dalam bentuk uang.
Mengenai unsur yang terdapat dalam kredit adalah :23
1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang.
2. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
3. Degree of risk, yaitu suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya, karena sejauh kemampuan manusia untuk menerobos hari depan itu, maka masih selalu terdapat unsur ketidaktentuan yang tidak dapat diperhitungkan. Inilah yang menyebabkan timbulnya unsur resiko.
4. Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa.
Analisis secara ekonomi yang digunakan oleh bank terhadap calon debitur yang akan mengajukan kredit yaitu dengan menggunakan prinsip yang telah dikenal dalam dunia perbankan sebagai “The Five C’S of credit analisis” dan “Prinsip 4 P”. Prinsip The Five C’S of credit analisis terdiri dari character, capital, capacity, collateral dan condition. Character menyangkut kemauan debitur untuk membayar kembali kreditnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Capacity dan capital berupa kemampuan debitur untuk membayar kembali kreditnya. Collateral adalah agunan atau jaminan berupa benda atau orang, yang dapat diberikan oleh calon debitur. Condition adalah keadaan ekonomi pada umumnya, baik ekonomi
23 Xxxxxx Xxxxxxx Dasar-dasar Perkreditan,. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka,2003, hal. 14.
nasional maupun ekonomi internasional dan keadaan ekonomi calon debitur.24
B. Perjanjian dalam Perundang-undangan
Perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab-Undang- Undang Hukum Perdata yang berjudul “Tentang Perikatan”. Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan, sumber perikatan yang lain adalah Undang-undang.25
Subekti memberikan definisi perikatan sebagai hubungan hukum diantara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas suatu tuntutan kepada pihak yang lain, sedangkan pihak yang lainnya memiliki kewajiban untuk memenuhi kewajiban tersebut. Pihak yang berhak menuntut sesuatu dinamakan kreditur dan pihak yang memiliki kewajiban memenuhi tuntutan disebut debitur.26
Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengawali ketentuan yang diatur dalam Bab Kedua Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, di bawah judul “Tentang Perikatan yang Dilahirkan dari Kontrak atau Perjanjian”, dengan menyatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan yang diberikan tersebut hendak memperlihatkan kepada kita semua, bahwa suatu perjanjian adalah:
1. Suatu perbuatan
2. Antara sekurangnya dua orang (jadi dapat lebih dari dua orang), 3 perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara pihak-pihak yang berjanji tersebut.
24 Xxxxxx Xxxxxx, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993, hal 99
25 Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh X. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx, cet.8, (Jakarta: Xxxxxxx Xxxxxxxx, 1976), pasal 1233.
26 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Penerbit PT Intermassa, 2004, hal.1.
Perbuatan yang disebutkan dalam rumusan awal ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hendak menjelaskan kepada kita semua perjanjian hanya mungkin terjadi jika ada suatu perbuatan nyata, baik dalam bentuk ucapan, maupun tindakan secara fisik, dan tidak hanya dalam bentuk pikiran semata-mata. Atas dasar inilah kemudian dikenal adanya perjanjian konsensuil, perjanjian formil, dan perjanjian riil.
Dalam perjanjian konsensuil, kesepakatan yang dicapai oleh para pihak secara lisan, melalui ucapan saja telah mengikat para pihak. Ini berarti bahwa segera setelah para pihak menyatakan persetujuan atau kesepakatannya tentang hal-hal yang mereka bicarakan, dan akan dilaksakan, maka kewajiban telah lahir pada pihak terhadap siapa yang telah berjanji untuk memberikan sesuatu, melakukan atau berbuat sesuatu, atau untuk tidak melakukan atau berbuat sesuatu.27
Hukum di Indonesia yang diatur dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyaratkan beberapa hal dalam kaitannya dengan pembuatan perjanjian, diantaranya adalah mengenai syarat sahnya perjanjian dan terpenuhinya beberapa asas hukum perjanjian.
Syarat sahnya perjanjian dapat kita temukan dalam ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi: “untuk sahnya perjanjian-perjanjian , diperlukan empat syarat:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan
3. suatu pokok persoalan tertentu
4. suatu sebab yang halal.
Syarat kata sepakat dan kecakapan para pihak disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut orang-orang yang membuat perjanjian tersebut, sementara dua syarat yang
27 Xxxxxxx Xxxxxxx &Xxxxxxx Xxxxxx, Perikatan Xxxx Xxxxx dari Perjanjian, Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2003, hal.7
terakhir dinamanakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri.28
1. Kata Sepakat
Kata sepakat merupakan hal yang pertama kali harus ada dalam suatu proses pembuatan perjanjian. Tanpa kesepakatan para pihak pembuat perjanjian, keabsahan suatu perjanjian dapat dipertanyakan. Kata sepakat atau kesepakatan para pihak menunjuk pada keadaan dimana kehendak para pihak saling diterima satu sama lain. Kedua belah pihak menerima dan tidak menolak untuk memenuhi apa yang menjadi keinginan pihak lawannya. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Dengan adanya kata sepakat, maka perjanjian itu telah ada. Sejak saat itu pula perjanjian mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan.
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa perjanjian berlaku sebagai undang- undang bagi para pembuatnya. Ketentuan ini menjelaskan bahwa perjanjian memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak pembuatnya dan tidak dapat ditarik kembali secara sepihak, atau karena alasan-alasan yang diperbolehkan oleh undang-undang.
2. Kecakapan
Para pihak dalam suatu perjanjian haruslah memenuhi syarat kecakapan yang ditentukan oleh hukum. Menurut Subekti, pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.29 Dalam pasal 1330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, mereka yang dikategorikan sebagai tidak memenuhi syarat adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa
b. Mereka yang ditaruh dalam pengampuan
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditentukan oleh
28 Subekti, Op. Cit, hal. 17.
29 Subekti, OP. Cit, hal.17.
undang-undang, dan semua orang kepada siapa undang- undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.30
Atas dua syarat sah yang pertama ini disebut sebagai syarat subyektif, jika tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang tidak memberikan perizinannya secara tidak bebas.31
3. Hal Tertentu
Syarat sahnya perjanjian yang berikutnya adalah perjanjian yang dibuat haruslah mengenai sesuatu hal tertentu. Hal tertentu dalam suatu perjanjian mengacu pada obyek perjanjiannya. Pasal 1333 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan penjelasan mengenai hal tertentu bahwa untuk perjanjian yang mengenai barang paling sedikit ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat ditentukan kemudian.
Undang-undang tidak mewajibkan bahwa objek perjanjian harus telah ada ketika perjanjian dibuat, demikian juga mengenai jumlah dari objek perjanjian tersebut dapat ditentukan kemudian, hanya diwajibkan bahwa objek perjanjian haruslah dapat dihitung atau ditetapkan. Jadi, perjanjian yang sifatnya abstrak seperti perjanjian jual beli tembakau senilai seratus juta rupiah tanpa penjelasan lebih lanjut tidak diperbolehkan karena dianggap tidak cukup jelas, namun diperbolehkan untuk membuat perjanjian jual
30 Ketentuan ini telah dicabut melalui Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 1963 jo Surat edaran Mahkamah Agung No 3. Tahun 1963 tanggal 4 Agustus 1963 dan juga tidak lagi ditemukan pengaturan yang sedemikian dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam rumusannya, UUP menyebutkan bahwa dalam kehidupan perkawinan, suami dan Xxxxx adalaha mitra sejajar.
31 Subekti, Op.Cit. hal. 20.
beli tembakau dari sebuah ladang dalam tahun yang akan datang
karena telah jelas apa yang menjadi objek perjanjiannya.32 Dalam perjanjian pinjam-meminjam uang seperti
dalam perjanjian kredit, jika A meminjam uang kepada B, harus jelas berapa jumlah uang yang dipinjamkan dan harus jelas kapan dikembalikan uang itu. Syarat ini memudahkan pelaksanaan perjanjian karena memberi panduan pada para pihak mengenai prestasi yang harus diberikan atau dilaksanakan.
4. Sebab yang Halal
Syarat yang terakhir untuk membuat suatu perjanjian menjadi sah menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah harus terpenuhinya unsur sebab yang halal. Sebab yang halal mengacu pada isi perjanjian. Undang-undang tidak menjelaskan sebab yang halal sebagai niat para pihak sebelum membuat perjanjian tersebut. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang ada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita-citakan seseorang.33
Menurut Pasal 1337 jo. Pasal 1339 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang dimaksud sebagai sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi dari perjanjian yang dibuat tidak bertentangan dengan perundang- undangan, ketertiban umum dan kesusilaan baik.34
32 Xxxxxxx, Xxxx, hal. 19
33 Ibid
34 Pasal 1337 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Pasal 1339 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan :
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Jadi, yang dimaksud dengan sebab yang halal dalam suatu perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.35 Perjanjian mempekerjakan anak di bawah umur tanpa persetujuan orang tua atau walinya menjadi salah dan tidak memenuhi unsur sebab yang halal karena bertentangan dengan kesusilaan baik, ketertiban umum dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua perjanjian yang yang tidak memenuhi sebab yang halal akibatnya perjanjian menjadi batal demi hukum (null and void).
C. Perjanjian Kredit
Suatu kredit pasti didahului dengan perjanjian kredit. Menurut Ch Xxxxx Xxxxxxx, perjanjian kredit mempunya fungsi antara lain :36
1. Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikatnya.
2. Perjanjian Kredit sebagai alat bukti mengenai batasan hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur.
3. Perjanjian kredit sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.
Dilihat dari bentuk prestasinya, maka perjanjian kredit adalah perjanjian yang prestasinya adalah memberikan sesuatu sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1234 KUHPerdata, sehingga apabila para pihak dalam perjanjian kredit tidak memenuhi kewajibannya, maka masing-masing pihak berhak menuntut pemenuhan prestasi baik disertai ganti kerugian atau tanpa ganti kerugian, pembubaran baik disertai atau tanpa ganti kerugian atau ganti rugi saja.37
35 Xxxxxxx, Xxxx, hal. 20.
36 Xxxxxxx Xxxxx, Op.Cit, hal. 265
37 Xxx Xxxxxxx, Perjanjian Baku Sebagai Upaya Mengamankan Kredit Bank, Hukum dan Pembangunan Nomor XXV Pebruari 1995, hal 57.
Dalam proses pemberian fasilitas kredit, pihak bank tetap memperhatikan proses pengamanan karena pada dasarnya kredit yang diberikan oleh bank mengandung risiko dalam hal adanya ketidakmampuan debitur dalam mengembalikan fasilitas kredit yang telah dinikmatinya sesuai dengan yang diperjanjikan. Proses pengamanan bank tersebut antara lain dituangkan dalam klausula-klausula dalam Perjanjian Kredit antara lain :
1. Kredit diberikan dalam jangka waktu paling lama sampai tanggal ditentukan di dalam perjanjian.
2. Bank hanya terikat dan berkewajiban untuk menyediakan kredit dan penerima hanya berhak untuk mempergunakan kredit yang diperoleh paling lama sampai dengan tanggal yang telah ditentukan dalam perjanjian.38
Klausula-klausula yang terdapat dalam perjanjian kredit tersebut diharapkan dapat memberikan keamanan pihak bank dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur. Hal tersebut sangat penting karena pada saat fasilitas kredit akan diberikan pada umumnya posisi bank lebih kuat dari debitur. Demikian juga pada saat penandatanganan perjanjian akan terjadi tawar menawar dan posisi bank lebih kuat. Akan tetapi pada saat pelaksanaan perjanjian kredit bank, maka bank berada pada pihak yang lemah, karena ada kemungkinan suatu sebab pengembalian ataupun pelunasan kreditnya mengalami kemacetan. Pengamanan yang dilakukan oleh pihak bank sangat diperlukan, karena dana yang disimpan pada bank tersebut harus dilindungi. Apabila bank tidak memperhatikan faktor pengamanan dana masyarakat tersebut, maka dapat mengurangi kepercayaan masyarakat dalam menyimpan uang nya di bank .
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit merupakan perjanjian baku atau perjanjian standar, karena dalam praktik perbankan, setiap bank telah menyediakan blanko atau
38 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung, 1978, hal 75.
formulir perjanjian kredit yang isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu. Formulir tersebut diberikan kepada setiap calon nasabah yang akan mengajukan permohonan fasilitas kredit. Calon nasabah hanya diminta pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir yang diberikan atau tidak.39 Apabila debitur menerima semua ketentuan dan persyaratan yang ditentukan oleh bank, maka debitur berkewajiban untuk menandatangani perjanjian kredit tersebut, akan tetapi jika debitur menolak maka ia tidak perlu menandatangani perjanjian kredit tersebut.
Perjanjian kredit tidak mempunyai suatu bentuk tertentu karena tidak ditentukan oleh undang-undang. Hal ini menyebabkan perjanjian kredit antara bank yang satu dengan lainnya tidak sama, karena disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bank. Akan tetapi pada umumnya perjanjian kredit bank dibuat dalam bentuk tertulis baik secara notariil maupun di bawah tangan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak terdapat ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Menurut ketentuan Hukum Perdata Indonesia perjanjian kredit merupakan salah satu bentuk perjanjian pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata. Menurut Buku III KUH Perdata, perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam meminjam yang mempunyai sifat riil, yaitu terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah.
Xxxxxxxx Xxxxx Xxx berpendapat bahwa ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam mengganti mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian kredit bank, yaitu :40
”Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak
39 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Xxxxxx Xxxxxxx, Bandung, 2004, hal 30.
40 Xxxxxxxx Xxxxx Xxx, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradya Paramita, Jakarta, 1979, hal 147.
yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.”
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx menafsirkan ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata adalah sebagai persetujuan yang bersifat riil, karena ketentuan dalam Pasal 1754 KUH Perdata tidak disebutkan bahwa pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis, melainkan pihak pertama memberikan suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian.41
Suatu proses perjanjian kredit, diperlukan adanya agunan yang diserahkan oleh debitur. Agunan merupakan jaminan tambahan yang diperlukan dalam hal pemberian fasilitas kredit. Hal tersebut sesuai dengan pengertian agunan yang termuat dalam Pasal 1 angka 23 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dengan kedudukannya sebagai jaminan tambahan maka bentuk agunan menurut penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan dapat berupa:
“ barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan
kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat juga digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak
41 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perdata tentang persetujuan- persetujuan
tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1981, hal 137.
berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang
lazim dikenal dengan agunan tambahan “.
Adanya kemudahan dalam hal agunan kredit ini merupakan realisasi dari perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi, dengan fungsi utamanya sebagai penghimpun, dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan, dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Meskipun adanya kemudahan demikian, agunan tersebut tetap ideal karena agunan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit yaitu dengan memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang yang diagunkan tersebut apabila debitur wanprestasi.42
D. Konsepsi Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri dari berbagai daerah, masing-masing sebagai subsistem yang meliputi aspek sosial budaya, ekonomi dan fisik, dengan corak ragam yang berbeda antara subsistem yang satu dengan yang lain, dan dengan daya dukung lingkungan yang berlainan. Pembinaan dan pengembangan yang didasarkan pada keadaan daya dukung lingkungan akan meningkatkan keselarasan dan keseimbangan subsistem yang juga berarti meningkatkan ketahanan subsistem.43
Menurut Xxxx Xxxxx, secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan, dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan yang kita tempati, dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk kehidupan manusia. Sedangkan Soedjono mengartikan lingkungan hidup sebagai
42 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, op.cit., hal 397
43Harun M. Xxxxxx, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta,1992, hal 48
lingkungan hidup fisik atau jasmani yang mencakup dan meliputi semua unsur dan faktor fisik jasmaniah yang terdapat dalam alam.44
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Inti masalah lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup (organisme) dengan lingkungannya yang bersifat organik maupun anorganik yang juga merupakan inti permasalahan bidang kajian ekologi.45
Berdasarkan Pasal 1 ayat 2 UUPLH disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Ketentuan mengenai lingkungan hidup yang dirumuskan dalam UUD 1945 terdapat dalam Pasal 28H ayat
(1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Perumusan Pasal 28H ayat
(1) ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sangat menghormati adanya Hak Asasi Manusia, yaitu Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan. Karena itulah, maka UUD 1945 sangat
44 Xxxxx M. Xxxxxx, Xxxx, hal 7.
45 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Press, Jakarta, 2009, hal. 20
pro lingkungan hidup sehingga dapat disebut sebagai konstitusi hijau (green constitution)46
Dengan ketentuan Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 amandemen I-IV tersebut, berarti norma lingkungan hidup sudah mengalami konstitusionalisasi menjadi materi muatan konstitusi sebagai hukum tertinggi. Dengan demikian segala kebijakan dan tindakan pemerintahan dan pembangunan haruslah tunduk pada ketentuan mengenai hak asasi manusia atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tidak boleh lagi ada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang bertentangan dengan ketentuan Konstitusi (UUD 1945) yang pro lingkungan. Apalagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang sangat besar dan luas, namun juga sangat rentan dan rawan terhadap bencana alam.
Istilah “pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan” merupakan suatu terjemahan bebas dari istilah “sustainable development” yang menggambarkan adanya saling ketergantungan antara pelestarian dan pembangunan. Istilah ini untuk pertama kalinya mulai diperkenalkan oleh The World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan pada tahun 1980 yang menekankan bahwa kemanusiaan, yang merupakan bagian dalam alam, tidak mempunyai masa depan kecuali bila alam dan sumber daya alam dilestarikan. Dokumen ini menegaskan bahwa pelestarian tidak dapat dicapai tanpa dibarengi pembangunan untuk memerangi kemiskinan dan kesengsaraan ratusan juta umat manusia.47
Pembangunan berwawasan lingkungan sebagai suatu interaksi antara tiga sistem: sistem biologis dan sumber daya, sistem ekonomi, dan sistem sosial, yang dikenal dengan konsep trilogi keberlanjutan: ekologi-ekonomi-sosial. Konsep tersebut menjadi semakin sulit dilaksanakan terutama di negara berkembang. Pembangunan berwawasan lingkungan memerlukan tatanan agar sumber daya alam dapat secara
46 Ibid
47 Ibid
berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini dan mendatang, generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Prinsip pembangunan berkelanjutan mencakup pemikiran aspek lingkungan hidup sedini mungkin dan pada setiap tahapan pembangunan yang memperhitungkan daya dukung lingkungan dan pembangunan di bawah nilai ambang batas. Sejak dilaksanakannya Konferensi Stockholm 1972, masalah- masalah lingkungan hidup mendapat perhatian secara luas dari berbagai bangsa. Sebelumnya, sekitar tahun 1950-an masalah- masalah lingkungan hidup hanya mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan. Sejak saat itu berbagai himbauan dilontarkan oleh pakar dari berbagai disiplin ilmu tentang adanya bahaya yang mengancam kehidupan, yang disebabkan oleh pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.48
Masalah lingkungan pada dasarnya timbul karena:
1. Dinamika penduduk
2. Pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang kurang bijaksana.
3. Kurang terkendalinya pemanfaatan akan ilmu pengetahuan dan teknologi maju.
4. Dampak negatif yang sering timbul dari kemajuan ekonomi yang seharusnya positif.
5. Benturan tata ruang.
Dengan adanya Stockholm Declaration, perkembangan hukum lingkungan memperoleh dorongan yang kuat. Keuntungan yang tidak sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan bahasa diantara para ahli hukum dengan menggunakan Stockholm Declaration sebagai referensi bersama. Perkembangan baru dalam pengembangan kebijaksanaan lingkungan hidup didorong oleh hasil kerja World Commission on the Environment and Development (WCED).49
48 Xxxxx M Xxxxxx, Op.Cit , hal 1.
49 Ibid
WCED mendekati masalah lingkungan dan pembangunan dari enam sudut pandang, yaitu:50
1. Keterkaitan (interdependency)
Sifat perusakan yang kait mengkait (interdependent) diperlukan pendekatan lintas sektoral antar negara.
2. Berkelanjutan (sustainability)
Berbagai pengembangan sektoral memerlukan sumber daya alam yang harus dilestarikan kemampuannya untuk menunjang proses pembangunan secara berkelanjutan. Untuk itu perlu dikembangkan pula kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dengan wawasan lingkungan.
3. Pemerataan (equity)
Desakan kemiskinan bisa mengakibatkan eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, untuk perlu diusahakan kesempatan merata untuk memperoleh sumber daya alam bagi pemenuhan kebutuhan pokok.
4. Sekuriti dan risiko lingkungan (security and environmental risk)
Cara-cara pembangunan tanpa memperhitungkan dampak negatif kepada lingkungan turut memperbesar risiko lingkungan. Hal ini perlu ditanggapi dalam pembangunan berwawasan lingkungan.
5. Pendidikan dan komunikasi (education and communication) Penduduk dan komunikasi berwawasan lingkungan dibutuhkan untuk ditingkatkan diberbagai tingkatan penduduk dan lapisan masyarakat.
6. Kerjasama internasional (international cooperation)
Pola kerjasama internasional dipengaruhi oleh pendekatan pengembangan sektoral, sedangkan pertimbangan lingkungan kurang diperhitungkan. Karena itu perlu dikembangkan pula kerjasama yang lebih mampu menanggapi pembangunan yang berwawasan lingkungan.
50 Ibid
Untuk menganalisis berbagai kendala yang dihadapi dalam pembangunan yang berwawasan lingkungan, maka dapat digunakan keenam segi penglihatan tersebut di atas, masalah-masalah tersebut misalnya adalah sebagai berikut; (1) perspektif kependudukan, pembangunan ekonomi, teknologi dan lingkungan; (2) pengembangan energi berwawasan lingkungan, termasuk masalah CO2, polusi udara, hujan asam, kayu bakar, dan konversi sumber energi yang bisa diperbaharui dan lain-lain; (3) pengembangan industri berwawasan lingkungan, termasuk di dalamnya masalah pencemaran kimia, pengelolaan limbah dan daur ulang; (4) pengembangan pertanian berwawasan lingkungan, termasuk erosi lahan, diversifikasi, hilangnya lahan pertanian, terdesaknya “habitat wildlife”, (5) kehutanan, pertanian dan lingkungan, termasuk hutan tropis dan diversitas biologi; (6) hubungan ekonomi internasional dan lingkungan, termasuk di sini bantuan ekonomi, kebijaksanaan moneter, kebijaksanaan perdagangan, dan internasional externalities; dan (7) kerjasama internasional.51
Selanjutnya dalam World Summit on Sustainable
Development (WSSD) yang diselenggarakan di Johannesburg, Afrika Selatan tanggal 26 Agustus-4 September 2002 ditegaskan kembali kesepakatan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) dengan menetapkan “The Johannesburg Declaration on Sustainable Development” yang terdiri atas:52
1. From our Origins to the Future
2. From Stockholm to Rio de Janeiro to Johannesburg
3. The Challenge we Face
4. Our Commitment to Sustainable Development
5. Making it Happen!
51 R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal 35
52 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi ketiga, Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hal 59.
Sebagai tindak lanjut ditetapkan pula World Summit Sustainable Development, Plan of Implementation yang mengedepankan integrasi tiga komponen pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan sebagai tiga pilar kekuatan. Pada Konferensi Nasional Pembangunan Berkelanjutan yang dilaksanakan di Yogjakarta tanggal 21 Januari 2004, Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan diterima oleh Presiden RI dan menjadi dasar semua pihak untuk melaksanakannya.53
Pembangunan di satu pihak menunjukkan dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat, seperti tersedianya jaringan jalan, telekomunikasi, listrik, air, kesempatan kerja serta produknya sendiri memberi manfaat bagi masyarakat luas dan juga meningkatkan pendapatan bagi daerah yang bersangkutan. Masyarakat sekitar pabrik langsung atau tidak langsung dapat menikmati sebagian dari hasil pembangunannya. Di pihak lain apabila pembangunan ini tidak diarahkan akan menimbulkan berbagai masalah seperti konflik kepentingan, pencemaran lingkungan, kerusakan, pengurasan sumberdaya alam, masyarakat konsumtif serta dampak sosial lainnya yang pada dasarnya merugikan masyarakat.54
Untuk mengantisipasi resiko pembangunan tsb diperlukan instrumen pencegahan pencemaran & perusakan lingkungan yang salah satunya adalah melalui pemberian kredit yang berwawasan lingkungan. Sebagai salah satu pemberi dana, bank tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya. Dengan demikian perbankan tidak ikut membiayai proyek- proyek yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan suatu prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit perbankan dengan kriteria usaha seperti dalam Pasal 23 ayat (1)
53 Ibid,hal 60.
54 B Wuragil, Pencemaran dan Lingkungan ,Semarang, Undip, 2008, hal, 1
UUPLH55 dengan jalan adanya kewajiban melampirkan izin lingkungan berupa Amdal sebagai syarat pengajuan kredit sesuai dengan Pasal 22 jo Pasal 40 UUPLH :
Pasal 22 UUPLH:
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
2. Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
55 Pasal 23 ayat (1) :
(1) Kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting yang wajib dilengkapi dengan amdal terdiri atas:
a. pengubahan bentuk lahan dan bentang alam;
b. eksploitasi sumber daya alam, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan;
c. proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemborosan dan kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya;
d. proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya;
e. proses dan kegiatan yang hasilnya akan mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan/atau perlindungan cagar budaya;
f. introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, hewan, dan jasad renik;
g. pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati;
h. kegiatan yang mempunyai risiko tinggi dan/atau mempengaruhi pertahanan negara; dan/atau
i. penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup.
Pasal 40 UUPLH :
1. Izin lingkungan merupakan persyaratan untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.
2. Dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.
3. Dalam hal usaha dan/atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Izin lingkungan ini berupa Amdal yang pengaturannya terdapat dalam Pasal
Pasal 34 UUPLH :
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.
2. Gubernur atau bupati/walikota menetapkan jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan UKL-UPL.
Ketentuan mengenai prasyarat Amdal diatur dalam Pasal 36-37 UUPLH, yaitu:
Pasal 36
1. Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan.
2. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
3. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
4. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 37
1. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib menolak permohonan izin lingkungan apabila permohonan izin tidak dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL.
2. Izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat
(4) dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan komisi tentang kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Sejak tahun 1993, yaitu tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagai tahun lingkungan hidup, perbankan Indonesia/Bank Indonesia memeriksa kembali apakah kebijakan perkreditan perbankan Indonesia sudah sepenuhnya menunjang pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka menopang pembangunan yang berkesinambungan. Artinya, perlu diperiksa apakah kebijakan perkreditan Bank Indonesia dari segala dimensinya telah berwawasan lingkungan (green banking). Oleh karena itu kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup telah merupakan kebijakan pemerintah, maka perbankan Indonesia berkewajiban juga untuk menunjang kebijakan ini. Selain itu lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. 56
Bank, lingkungan, dan pembangunan merupakan tiga unsur penting yang kualitasnya selalu diharapkan untuk terus meningkat. Kualitas dan kinerja bank tentulah akan ikut menentukan kondisi perekonomian negara ini, lebih khusus lagi dapat memberi kontribusi yang besar terhadap pembangunan dalam arti yang luas, karena bank adalah agen pembangunan (agent of development). Dengan begitu pembangunan diharapkan dapat terus berjalan sesuai dengan target-target yang diharapkan oleh seluruh stakeholder bangsa ini. Tentunya yang diharapkan adalah pembangunan yang berkelanjutan (suistanable development). Ironisnya antara bank, lingkungan dan pembangunan sering berada dalam stigma yang kontradiktif. Persoalannya adalah, pembangunan yang diupayakan melalui industrialisasi acapkali menimbulkan persoalan dalam bidang lingkungan dengan menimbulkan akibat perusakan dan pencemaran lingkungan.57
56 Pertimbangan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
57 Xxxxx Xxxx, Bank Hijau (Kebijakan Kredit yang Berwawasan Lingkungan), Yogyakarta: Med Press, hal. 3
BAGIAN III KONSEP KREDIT
A. Konsep Pemberian Kredit Berdasar Prinsip Kehati-hatian Yang Berwawasan Lingkungan
Pemberian kredit oleh perbankan dapat merupakan suatu masalah, bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun kegiatan yang pada akhimya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Hal inilah seharusnya badan-badan atau lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit, dapat digerakkan untuk mengawasi serta dalam pengelolaan Iingkungan hidup, karena perusahaan yang ingin berkembang tergantung pada fasilitas kredit. Sebagai salah satu sumber pemberi dana, bank tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya. Sehingga dengan demikian, perbankan tidak ikut membiayai proyek-proyek yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem.
Sistem perbankan sendiri, dengan dipertimbangkannya faktor-faktor keseimbangan lingkungan, akan mengurangi risiko-risiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah debitur. Berdasarkan hal tersebut perlu dikembangkan suatu kemampuan analisis risiko lingkungan yang secara ekologis dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya dalam memasuki era pembangunan yang bertumpu pada teknologi, untuk memprediksi terjadinya risiko kerugian, diperlukan keahlian dalam kecermatan yang akurat. Sehingga dengan demikian, dalam kredit perbankan, analisis risiko tidak hanya terbatas pada analisis berdasarkan kinerja proyek, tetapi juga memerlukan metode analisis yang memperhitungkan biaya- biaya eksternal (benefit and risk analysis) yang melibatkan berbagai disiplin ilmu (inter and multidicipline science), khusus- nya untuk memahami lingkungan hidup.58
58 Xxxx Xxxxxx Tunggal, Aspek Hukum Perkreditan Berwawasan Lingkungan di Bidang Perbankan, Cet.1, Jakarta : Havarindo, 2003, hal. 51.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dan sebagai akibat dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian (prudent banking) serta masalah tingkat kesehatan bank, sektor perbankan tentunya akan sangat perhatian kepada masalah lingkungan. Pihak perbankan dalam memberikan kreditnya tidak menginginkan proyek yang dibiayainya menimbulkan pencemaran lingkungan, yang misalnya, sampai menimbulkan keresahan masyarakat. Oleh karena bank sebagai pemberi kredit, akan diminta pertang- gungjawabannya, dalam hal ini penilaian terhadap feasibility study dengan segala dampak lingkungannya. Namun demikian risiko kerusakan lingkungan yang timbul akibat sebuah proyek sebetulnya dapat diantisipasi sejak awal. Apabila tidak diper- timbangkan dampaknya akan dapat mengakibatkan penutupan proyek (industri) tersebut dengan tuduhan telah merusak lingkungan. Terjadinya penutupan sebuah proyek industri akan menimbulkan kesulitan keuangan pada proyek tersebut. Akhirnya, kredit bank yang telah diberikan itupun akan macet pengembaliannya. Macetnya kredit yang dikucurkan, sebagaimana yang diketahui akan dapat mengakibatkan kesulitan likuiditas bank yang bersangkutan, yang berakibat pula pada turunnya tingkat kesehatan bank tersebut. Bagi bank yang dikelola dengan baik, tentu tidak akan mau menempuh risiko-risiko yang bisa menyebabkan turunnya tingkat kesehatannya.59
Pada 23 Februari 2012, ditetapkan dan diundangkan
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (PP 27/2012). PP ini diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 5285. PP 27/2012 disusun sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Undang-Undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), khususnya ketentuan dalam Pasal 33 dan Pasal 41. PP 27/2012 mengatur
59 Ibid., hal. 52.
dua instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu instrumen kajian lingkungan hidup (dalam bentuk amdal dan UKL-UPL) serta instrumen izin lingkungan. Penggabungan substansi tentang amdal dan izin lingkungan dalam PP ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa AMDAL/UKL-UPL dan izin lingkungan merupakan satu kesatuan. Menteri Negara Lingkungan Hidup, Xxxx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, MBa menegaskan, “PP ini pertanda bahwa implementasi UU 32/2009 akan semakin terlaksana dengan lebih baik. Walaupun baru satu PP turunan UU 32/2009 yang dapat diterbitkan, namun PP ini sangat berkekuatan (powerful) untuk menjaga lingkungan hidup kita. PP ini meletakkan kelayakan lingkungan sebagai dasar izin lingkungan sehingga dilaksanakan dengan sanksi yang jelas dan tegas”.60
Berdasarkan analisa penulis, dalam PP 27/2012 mengatur hubungan (interface) antara izin lingkungan dengan proses pengawasan dan penegakan hukum. Pasal 71 dalam PP
27 Tahun 2012 memberikan ruang yang jelas mengenai pengenaan sanksi atas pemegang izin lingkungan yang melanggar kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal
53. Secara umum, dapat disimpulkan bahwa sasaran dari terbitnya PP 27 Tahun 2012 ini adalah terlindungi dan terkelolanya lingkungan hidup sedangkan sasaran mikro dari terbitnya peraturan ini adalah memberi dasar hukum yang jelas atas penerapan instrumen izin lingkungan dan memberikan beberapa perbaikan atas penerapan instrumen amdal dan UKL- UPL (kajian lingkungan hidup) di Indonesia.
Kewajiban pemegang izin lingkungan juga adalah menaati persyaratan dan kewajiban yang akan tercantum dalam izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Izin PPLH). Izin PPLH diterbitkan pada tahap operasional sedangkan Izin Lingkungan adalah pada tahap perencanaan.
60 Anonim , Sosialisasi PP Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan, xxxx://xxx.xxxxx.xx.xx/xxxxxxxxxxx-xx-xxxxx-00-xxxxx-0000- tentang-izin-lingkungan/, diakses tanggal 9 Februari 2013
IZIN PPLH antara lain adalah: izin pembuangan limbah cair, izin pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah, izin dalam pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) dan izin pembuangan air limbah ke laut (Penjelasan Pasal 48 ayat (2) PP 27 Tahun 2012).
PP 27 Tahun 2012 merupakan pengganti PP 27 Tahun 1999 Tentang Amdal dengan penambahan berbagai pengaturan dan ketentuan perihal izin lingkungan. Ada dua prinsip dalam upaya penyusunan PP Izin Lingkungan ini, yaitu lebih sederhana yang tidak menciptakan proses birokrasi baru dan implementatif. Xxxxxxxxx Xxxxxxxx menambahkan, “PP 27/2012 ini juga mengamanatkan proses penilaian amdal yang lebih cepat, yaitu 125 hari dari 180 hari. Dengan begitu akan terjadi efisiensi sumber daya, baik waktu, biaya dan tenaga, yang tentunya tanpa mengurangi kualitasnya.”61 Langkah maju ini adalah pengaturan bahwa total jangka waktu penilaian amdal sejak diterimanya dokumen amdal dalam status telah lengkap secara administrasi adalah sekitar 125 hari kerja, tidak termasuk lama waktu perbaikan dokumen. Jangka waktu 125 hari kerja tersebut adalah langkah maju karena di PP 27 Tahun 1999, total jangka waktu penilaian amdal adalah sekitar 180 hari kerja.
Salah satu hal yang juga penting dalam PP ini menurut penulis adalah semakin besarnya ruang bagi keterlibatan masyarakat khususnya masyarakat terkena dampak dalam hal penentuan keputusan mengenai layak tidaknya rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut. Permohonan izin lingkungan dan penerbitan izin lingkungan harus diumumkan 3 kali dalam tahap perencanaan (sebelumnya dalam PP 27 tahun 1999 hanya mewajibkan satu kali pengumuman saja yaitu pada tahap sebelum menyusun kerangka acuan (KA) Amdal). Dengan begitu, masyarakat akan mampu berpartisipasi aktif dan memberikan saran atas setiap rencana usaha dan/atau kegiatan di daerahnya. Hal positif lainnya dalam PP 27 Tahun 2012 ini adalah dengan diberikannya pengaturan yang tegas, bahwa
61 Ibid.
PNS di instansi lingkungan hidup, dilarang menyusun amdal maupun UKL-UPL. Ketentuan ini dirancang sebagai upaya untuk menjaga akuntabilitas amdal maupun UKL-UPL sebagai kajian ilmiah yang harus bersih dari segala bentuk intervensi kepentingan kelompok atau golongan.
Berikut penulis paparkan mengenai salah satu pasal dalam PP Nomor 27 Tahun 2012 mengenai kewajiban AMDAL : Pasal 3 ayat (1) jo penjelasan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, untuk menentukan suatu kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup ditentukan oleh :
Pasal 3 :
1. Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Amdal.
2. Setiap Usaha dan/atau Kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki UKL-UPL.
Penjelasan Pasal 3 :
Kriteria dampak penting antara lain terdiri atas:
1. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana Usaha dan/atau Kegiatan;
2. luas wilayah penyebaran dampak;
3. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
4. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak;
5. sifat kumulatif dampak;
6. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
7. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sektor perbankan, dalam membiayai proyek industri secara umum dapat mengkaji hal-hal sebagai berikut:62
62 Xxxx Xxxxxx Tunggal.,Op.Cit., hal. 53.
1. Apakah ada hal-hal yang berbahaya terhadap kesehatan yang berkaitan dengan proses industrinya;
2. Apakah akan terjadi gangguan yang cukup berarti terhadap masyarakat;
3. Apakah ada potensi konflik dengan kepentingan ekonomi lainnya;
4. Apakah proyek tersebut memerlukan tambahan pembangunan infrastruktur, termasuk transpor dan pembangkit tenaga listrik yang ada;
5. Apakah proyek industri sudah memiliki instalasi pengolahan limbah.
Kesemuanya itu perlu dikaji karena sektor perbankan, yang berfungsi sebagai intermediary dalam pembangunan, telah melakukan mobilisasi dana masyarakat, dan menyalurkan dana masyarakat tersebut antara lain berupa pembiayaan kredit pada industri-industri dalam proses pembangunannya. Penjabaran pelaksanaan wawasan tersebut tercermin khususnya pada pasal 22 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan tersebut.
Sikap tanggap perbankan Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, dalam bagian Penjelasan Umumnya terdapat kalimat sebagai berikut :
“Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk di dalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan atau berisiko tinggi."
Selanjutnya dalam Penjelasan Umum Angka 5, Pasal 8 Ayat (1) dikatakan:
“Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan".
Berdasarkan penjelasan di atas, ternyata Undang- Undang Perbankan yang secara eksplisit telah mencantumkan kewajiban perbankan di Indonesia untuk melaksanakan perbankan hijau, dan ini sesuai dengan gerak langkah yang dibutuhkan perbankan nasional untuk berperan serta dan bertanggungjawab dalam hal pelestarian fungsi lingkungan guna melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan. Dengan mengesampingkan aspek lingkungan justru dapat mengakibatkan risiko menurunnya tingkat kesejahteraan rakyat.
Salah satu kewajiban perbankan dalam melaksanakan perbankan yang berwawasan lingkungan (green banking) adalah perbankan harus segera dan secara sungguh-sungguh menempuh kebijakan hukum perkreditan yang berwawasan lingkungan. Penerapan hukum perkreditan berwawasan lingkungan ini harus dimulai pada tahap-tahap prosedur perkreditan, yaitu siklus perkreditan yang terdiri atas :63
1. Permohonan Kredit;
2. Analisis Kredit;
3. Persetujuan Kredit;
4. Perjanjian Kredit;
5. Pencairan Kredit;
6. Pengawasan (Monitoring) Kredit;
a. Pelunasan Kredit;
b. Penambahan Kredit;
c. Kredit Bermasalah;
63 Ibid., hal. 54
7. Penanganan (Penyelamatan) Kredit Bermasalah;
1. Rescheduling atau Penjadwalan Kembali;,
2. Reconditioning;
3. Restructuring atau Restrukturisasi;
4. Eksekusi.
Lazimnya, dalam hal menjaga kualitas portofolio kreditnya, perbankan selalu mempertimbangkan Faktor 5 C (Character, Capital, Capacity, Condition, Collateral), serta Prinsip Studi Kelayakan atau Faktor 6 A (Analisis aspek yuridis (hukum), analisis aspek pasar dan pemasaran, analisis aspek teknis, analisis aspek manajemen, analisis aspek keuangan dan analisis aspek sosial-ekonomis), sehingga dapat meminimalisasi risiko kredit macet. Dengan semakin terbatasnya sumber daya alam dan pertimbangan kelangsungan pembangunan yang berkesinambungan, perlu kiranya faktor-faktor lingkungan menjadi kerangka acuan dalam penilaian kelayakan kredit. Dengan demikian pertimbangan 5 C dan 6 A serta hasil studi AMDAL merupakan dasar pertimbangan bagi pemberian kredit bank.64
Prinsip-prinsip 5 C tersebut antara lain :65
1. Character adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti sifat-sifat pribadi, kebiasaan- kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar belakang keluarga maupun hobinya. Character ini untuk mengetahui apakah nantinya calon nasabah ini jujur berusaha untuk memenuhi kewajibannya dengan kata lain ini merupakan willingness to pay.
2. Capacity merupakan kemampuan calon nasabah dalam mengelola usahanya yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola usaha (business record) nya, sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa sulit apa tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Capacity
64 Ibid., hal. 55
65 Ibid
ini merupakan ukuran dari ability to play atau kemampuan dalam membayar.
3. Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on equity, return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah layak calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon pembiayaan yang layak diberikan.
4. Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Collateral ini diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta yang mungkin bisa dijadikan jaminan.
5. Condition, pembiayaan yang diberikan juga perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan prospek usaha calon nasabah. Ada suatu usaha yang sangat tergantung dari kondisi perekonomian, oleh karena itu perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan usaha calon pelanggan.
Mengenai kewajiban melaksanakan green banking atau kredit yang berwawasan lingkungan berdasarkan analisa penulis hal tersebut terkait dengan salah satu prinsip 5 C yang telah dijelaskan diatas. Prinsip tersebut adalah prinsip collateral atau jaminan. Jaminan berupa aset perusahaan misalnya berupa tanah atau lahan, jika ada kendala lingkungan yang terjadi di aset perusahaan tersebut maka otomatis akan terjadi penurunan nilai aset yang dijaminkan oleh perusahaan ke perbankan. Oleh karenanya analisis lingkungan penting dilakukan untuk memenuhi syarat “collateral” ini. Bagi bank yang dikelola dengan baik, tentu tidak akan mau menempuh
risiko-risiko yang bisa menyebabkan turunnya tingkat kesehatannya.66
Siklus pemberian kredit perbankan pada dasarnya meliputi: yang pertama adalah saat proses permohonan kredit, sudah seharusnya pemohon menguraikan apakah usahanya, baik yang sekarang maupun yang akan datang, akan meliputi kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan pencemaran atau perusakan Iingkungan. Jika ya, apa usaha atau rencananya untuk mengatasi hal tersebut dan apakah biaya untuk keperluan itu sudah termasuk dalam jumlah kredit yang dimohon. Dalam hal pertimbangan/penilaian permohonan kredit, maka ini tidak cukup dengan hanya mengadakan analisis angka-angka yang disajikan oleh pemohon dan pemeriksaan lapangan mengenai barang-barang jaminan yang hendak diserahkan. Bank juga harus memeriksa kebenaran tentang ada atau tidaknya kemungkinan pencemaran atau perusakan lingkungan dengan :67
1. Meminta pendapat Departemen, Jawatan atau Badan Pemerintahan yang bersangkutan;
2. Mengadakan pemeriksaan lapangan;
3. Mengadakan pemeriksaan atas ada tidaknya dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang merupakan produk akhir dari pelaksanaan suatu AMDAL.
Setelah proses permohonan kredit, proses selanjutnya yakni adanya analisis kredit yang merupakan proses yang sangat penting dalam pengambilan keputusan mengenai apakah permohonan kredit layak diberikan atau tidak. Oleh karena itu dalam setiap analisis kredit hendaknya tetap memperhatikan persyaratan-persyaratan sebagai berikut :68
1. Analisis tersebut hendaknya lengkap meliputi semua aspek dari pemohon kredit;
66 Ibid., hal. 52.
67 Ibid., hal. 56.
68 Ibid.
2. Semua aspek tersebut harus dianalisis secara objektif dalam arti aspek yang dianalisis dapat menunjukkan baik kelebihan maupun kekurangan permohonan kredit;
3. Analisis tersebut hendaknya mengandung penilaian yang tegas dan jelas sehingga mempermudah pengambilan keputusan;
4. Analisis yang digunakan hendaknya memakai metode analisis yang baik serta mengusahakan penggunaan standar pembanding yang normal.
Walaupun disadari bahwa suatu analisis kredit memerlukan persyaratan-persyaratan lain, namun dengan penghayatan yang seksama dalam pelaksanaannya, persyaratan-persyaratan di atas kiranya sudah cukup memadai. Satu hal pokok yang perlu mendapat perhatian sebelum dimulai adalah tersedianya data yang lengkap dan relevan. Adanya kelengkapan data sangat membantu memperoleh gambaran yang sesungguhnya, sedangkan kebenaran data sangat berpengaruh terhadap ketepatan pengambilan keputusan. Data yang disajikan oleh nasabah debitur dalam setiap permohonan kredit, masih harus diperiksa kebenarannya, baik melalui interview, peninjauan lapangan atau melalui sumber-sumber lain yang dapat dipercaya.69
Pada saat menganalisis suatu kredit juga harus diperhatikan perihal ekonomi lingkungan, yaitu ekonomi yang mendasarkan pada teori ekonomi mikro yang berhubungan dengan produksi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa. Dalam teori produksi dibahas fungsi produksi atau grafik isoquant yang menunjukkan kombinasi faktor produksi yang dipergunakan oleh suatu perusahaan untuk memproduksi berbagai volume hasil produksi. Berdasarkan teori konsumsi dibahas fungsi kegunaan atau grafik indifference yang menunjukkan pilihan konsumen atas berbagai barang dan jasa. Adanya berbagai asumsi tentang jenis struktur pasar, teori-teori ini dipergunakan untuk menjelaskan alokasi sumber-sumber
69 Ibid.
daya yang terbatas untuk berbagai penggunaan. Berdasarkan teori ekonomi lingkungan terdapat proses yang mendasari terjadinya keputusan-keputusan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang dipengaruhi oleh pertimbangan harga, biaya, keuntungan, dan kegunaan yang mengatur transaksi di dalam pasar karena pada dasarnya kegiatan ekonomi baik produksi maupun konsumsi mempengaruhi kualitas lingkungan dengan terjadinya pencemaran. Kondisi semakin banyaknya bahan yang mengotori lingkungan merupakan akibat dari kegiatan ekonomi baik itu pertambangan, pemrosesan, distribusi maupun konsumsi, di mana pengotoran ini bisa langsung maupun tidak langsung. Sehubungan dengan itu diperlukan analisis perilaku para pelaku pengotoran lingkungan.70
Tahap berikutnya merupakan persetujuan kredit yang merupakan kegiatan administrasi kredit dari pelaksanaan terhadap keputusan dari suatu permohonan kredit dan merupakan tahap yang cukup kritis. Sebab pada tahap ini dimulailah hubungan antara calon nasabah debitur dengan bank dengan akan diadakannya ikatan resmi melalui suatu ikatan perjanjian/akad kredit atau ikatan pemberian jaminan. Persetujuan kredit dilakukan dalam suatu bentuk keputusan kredit, yang di dalamnya diusahakan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi, misalnya kewajiban untuk membuat dan melaksanakan AMDAL. Perjanjian kredit ini harus juga dicantumkan klausul-klausul mengenai kewajiban nasabah debitur untuk mengelola lingkungan hidup, yang diatur di dalam Undang-Undang Perbankan atau ketentuan perbankan lainnya.
Siklus perkreditan berikutnya adalah pencairan kredit, ini berarti tahap realisasi pemberian kredit kepada nasabah debitur. Dalam tahap ini pelaksanaan pengadministrasian kredit dituntut tingkat ketelitian yang tinggi akan berbagai persyaratan yang telah ditentukan dalam dokumen keputusan kredit (persetujuan kredit). Setelah pencairan kredit harus ada
70 Ibid., hal. 57.
pengawasan atau monitoring. Saat pengawasan (monitoring) kredit, maka sebagai konsekuensi dari ketentuan dalam perjanjian kredit yang membebankan kewajiban pada nasabah debitur untuk bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan hidup, maka nasabah debitur selain dari mengirimkan laporan berkala tentang produksi, penjualan dan keadaan barang jaminan, seyogianya juga diharuskan membuat laporan tentang dampak lingkungan, yang kemudian diperiksa di lapangan oleh bank.71
Bank perlu memperhatikan pelaksanaan AMDAL, terutama mengenai dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang merupakan produk akhir dari studi AMDAL, yang telah memperoleh persetujuan Komisi Amdal yang bersangkutan. Kedua dokumen tersebut tidak saja penting pada saat dimajukannya permohonan kredit, tetapi juga digunakan sebagai dokumen pengawasan (monitoring) bagi bank. Bila dihubungkan dengan hukum perkreditan yang berwawasan lingkungan, maka pengawasan (monitoring) kredit ini dilakukan atas pengaruh terhadap dampak lingkungan yang dihasilkan kegiatan usaha nasabah debitur tersebut. Sehingga pencemaran atau perusakan lingkungan akan dapat terdeteksi secara dini dari laporan yang telah dibuat.72
Menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxx dengan mengutip Xxxxxx Xxxxxxxx, bahwa di dalam istilah lingkungan ada yang dikenal dengan Environmental Performance Report (EPR)73 yaitu laporan/dokumen perusahaan yang menyertakan kinerja lingkungannya, berupa perubahan kondisi lingkungan akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perusahaan, dan komitmen serta pertanggungjawaban perusahaan terhadap perubahan tersebut serta aksi yang dilakukan dan akan dilakukan untuk mengatasi perubahan yang memberi dampak negatif. Pada kasus kerusakan lingkungan oleh nasabah
71 Ibid., hal. 62
72 Ibid.
73 Xxxxxxxxxx Xxxxxx, Op.cit, hal 65.
debitur, bank bisa dianggap melakukan perusakan secara tidak langsung terhadap lingkungan. Bank harus memeriksa Amdal, serta melakukan kontrol (pengawasan) apakah perusahaan sebagai nasabah debiturnya itu telah melengkapi unit pengolah limbah dan menjalankannya dengan baik.74
Setelah jangka waktu kredit berakhir, maka nasabah debitur dapat memperpanjang jangka waktu kreditnya kalau masih memerlukannya atau melunasinya apabila sudah tak memerlukan lagi fasilitas kredit tersebut. Dalam hal pelunasan kredit karena tidak memerlukannya lagi, maka apabila debitur ternyata tidak memenuhi kewajibannya dalam hal pengelolaan lingkungan hidup, maka kondisinya dalam administrasi bank harus dicatat sebagai kurang baik, sehingga harapannya untuk memperoleh kredit di waktu yang akan datang juga akan berkurang. Agak berbeda dengan pelunasan kredit, maka dalam tahap ini berarti nasabah debitur memerlukan proses rescue program (program penyelamatan) karena sesuatu sebab, misalnya nasabah debitur ingin mengadakan ekspansi lebih lanjut atas usahanya dan memerlukan modal fasilitas kredit tambahan, ataukah nasabah debitur tersebut mengalami kesulitan likuiditas sesaat akibat dari intern bank itu sendiri, atau sebab-sebab makro ekonomis.75
Pada tahap ini perlu diadakan kembali proses analisis kredit oleh pihak bank, dimana dimulai dengan pengumpulan data yang diajukan oleh nasabah debitur untuk tambahan kredit tersebut, interview dan diskusi serta pengecekan data on the spot dengan kunjungan ke lokasi proyek yang akan dibiayai tambahan kredit tersebut. Pada proses ini, dilakukan analisis lebih mendalam terhadap Amdal yang telah dilaksanakan oleh nasabah debitur tersebut.
Perkembangan pemberian kredit yang paling tidak menggembirakan bagi pihak bank adalah apabila kredit yang diberikannya ternyata menjadi kredit bermasalah yang disebabkan terutama oleh kegagalan nasabah debitur dalam
74 Xxxx Xxxxxx Tunggal, op.cit., hal. 63.
75 Ibid.
memenuhi kewajibannya untuk membayar angsuran pokok kredit serta bunga yang telah disepakati kedua belah pihak dalam perjanjian kredit.
Ada berbagai sebab kegagalan dalam perkreditan, antara
lain :76
1. Adanya Self Dealing, yaitu : adanya vested interest dari para eksekutif bank dalam memutuskan kreditnya sehingga tidak obyektif lagi dan melanggar prinsip-prinsip perkreditan yang sehat. Self Dealing ini erat kaitannya dengan masalah mental yang kurang baik dari pejabat kredit bank;
2. Adanya Non Existence of Sound Lending Policies yaitu tidak terdapatnya kebijakan kredit yang sehat, dalam arti tidak ada perencanaan kredit maupun pedoman dalam pelaksanaan kebijakan perkreditan yang sehat serta realistik dalam pemutusan pemberian kredit oleh suatu bank kepada nasabah debiturnya;
3. Incomplete Credit Information, yaitu jeleknya management information system, baik dan segi lingkungan itu sendiri maupun informasi yang menyangkut kegiatan usaha nasabah debitur yang bersangkutan, yang mengakibatkan analisis putusan kredit didasarkan informasi yang tidak lengkap sehingga mengakibatkan keputusan yang salah;
4. Failure to Obtain or Enforce Liquidation Agreement, yaitu ketidakmampuan untuk memperoleh atau mengambil tindakan likuidasi sesuai isi perjanjian kredit yang disebabkan posisi yuridis bank yang tidak menguntungkan, misalnya tidak lengkapnya dokumen-dokumen yang menyangkut legalitas nasabah debitur;
5. Technical Incompetency, yaitu kurang mampunya secara teknis para pejabat kredit dalam menganalisis permohonan kredit hingga menghasilkan keputusan yang salah, dan juga kurang mampunya secara teknis para pejabat pengelola kredit sehingga mengakibatkan kegagalan dalam pengelolaan kredit;
76 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Bank Auditing, Petunjuk Pemeriksaan Intern Bank,
Penerbit : Djambatan, Jakarta, 1987, hal. 98-99.
6. Poor Selection of Risk, yaitu ketidakmampuan eksekutif kredit dari bank yang bersangkutan dalam melakukan seleksi risiko dalam pemberian kredit kepada nasabah debitumya;
7. Overfinancing Undertinancing, yaitu ketidakmampuan pengelola kredit dalam memberikan kredit dalam jumlah sesuai kebutuhan, baik ditinjau dan jumlahnya maupun ditinjau dari ketepatan waktunya, mungkin pemberian kredit terlalu lambat atau juga terlalu cepat;
8. Lack of Supervising, yaitu banyaknya pinjaman yang cukup sehat pada saat kredit diberikan tetapi karena tidak adanya pengawasan yang efektif, maka kredit-kredit tersebut menjurus ke arah kredit macet.
Seperti diketahui bahwa apabila bank telah memasukkan modal penyertaan ke dalam perusahaan nasabah debitur yang mengalami kredit bermasalah, sebagaimana hal itu dimungkinkan oleh Pasal 7 huruf c. Undang-Undang Perbankan 1998, maka bank dapat dihadapkan pula pada risiko untuk memikul ganti kerugian yang diajukan pihak ketiga yang menderita pencemaran yang dilakukan oleh proyek/pabrik nasabah debitur atau memikul biaya pemulihan lingkungan hidup kepada negara. Risiko yang demikian itu adalah karena dengan penyertaan modal ke dalam perusahaan nasabah debitur itu, maka secara yuridis bank adalah pemilik proyek/pabrik tersebut.
Sepandai apapun analis kredit dalam menganalisis setiap permohonan kredit, kemungkinan kredit tersebut bermasalah pasti ada. Jika dihubungkan dengan hukum perkreditan berwawasan lingkungan, maka pada tahap demikian, bank harus menganalisis kembali terhadap berbagai proses Amdal yang telah dilaksanakan oleh nasabah debitur. Apakah dengan kreditnya bermasalah, maka akibatnya proses AMDAL dari proyek nasabah debitur tersebut juga telah berimpas ke lingkungan sekitarnya. Ada beberapa cara yang dapat
dilakukan pihak bank untuk menyelamatkan kredit bermasalah tersebut, antara lain dengan cara :77
1. Rescheduling atau Penjadwalan Kembali
Ini merupakan upaya pertama dari pihak bank untuk menyelamatkan kredit yang diberikannya kepada nasabah debitur. Cara ini dilakukan jika ternyata pihak nasabah debitur tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya dalam hal pembayaran kembali angsuran pokok maupun bunga kredit. Rescheduling bisa sebagian atau seluruh kewajiban nasabah debitur.
2. Reconditioning
Yaitu usaha pihak bank untuk menyelamatkan kredit yang diberikannya dengan cara mengubah sebagian atau seluruh kondisi persyaratan yang semula disepakati bersama pihak nasabah debitur dan dituangkan dalam perjanjian kredit. Perubahan kondisi kredit dibuat dengan memperhatikan masalah-masalah yang dihadapi oleh nasabah debitur dalam pelaksanaan proyek atau bisnisnya. Persyaratan yang diubah, dapat berupa :
a. Tingkat bunga kredit;
b. Persyaratan pencairan kredit;
c. Jaminan kredit;
d. Jenis serta besarnya fee yang harus dibayar nasabah debitur kepada bank;
e. Perubahan atas manajemen proyek atau bisnis yang dibiayai bank berdasarkan analisis yang dilakukan oleh bank maupun atas nasihat dari konsultan yang ditunjuk bank;
3. Restructuring Atau Restrukturisasi
Yaitu usaha penyelamatan kredit yang terpaksa harus dilakukan bank berupa perubahan atas komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit. Sebagaimana diketahui, dalam pembiayaan suatu proyek
77 Xxxx Xxxxxx Tunggal, Op.Cit., hal. 665.
atau bisnis, tidak seluruhnya pembiayaan berasal dari bank semata, namun sebagian berasal juga dari modal (dana) nasabah debitur sendiri dan sisanya dibiayai dengan perolehan kredit dari bank. Untuk menanggulangi kesulitan nasabah debitur yang demikian, maka struktur pembiayaan proyeknya harus diubah, misalkan bank memberikan tambahan kredit lagi, atau nasabah debitur menambah modal lagi.
Jika semua usaha penyelamatan di atas sudah dicoba, namun nasabah debitur masih juga tidak mampu memenuhi kewajibannya terhadap bank, maka jalan terakhir adalah bank melakukan eksekusi melalui berbagai cara, antara lain:78
1. Menyerahkan kewajiban kepada BUPN (Badan Usaha Piutang Negara);
2. Menyerahkan perkara ke Pengadilan Negeri (perkara perdata).
Apa yang diuraikan di atas, kiranya dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh perbankan dalam pemberian kreditnya kepada nasabah/ calon nasabah debiturnya.
B. Klausula Dalam Perjanjian Kredit Bank Berdasar Prinsip Kehati-Hatian Yang Berwawasan Lingkungan
1. Klausula Perjanjian Kredit Pada Perbankan
Analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) adalah salah satu perangkat preventif pengelolaan lingkungan hidup yang terus diperkuat melalui peningkatan akuntabilitas dalam pelaksanaan penyusunan AMDAL dengan mempersyaratkan lisensi bagi penilai AMDAL dan diterapkannya sertifikasi bagi penyusun dokumen AMDAL, serta dengan memperjelas sanksi hukum bagi pelanggar di bidang AMDAL. AMDAL juga menjadi salah satu persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan yang mutlak dimiliki sebelum diperoleh
78 Ibid., hal. 68
izin usaha. Dengan kata lain agar pelaksanaan AMDAL berjalan efektif dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan, pengawasannya dikaitkan dengan mekanisme perijinan. Peraturan Pemerintah tentang AMDAL secara jelas menegaskan bahwa AMDAL adalah salah satu syarat perijinan, dimana para pengambil keputusan wajib mempertimbangkan hasil studi AMDAL sebelum memberikan ijin usaha/kegiatan. AMDAL digunakan untuk mengambil keputusan tentang penyelenggaraan/pemberian ijin usaha dan/atau kegiatan. Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib AMDAL atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan, sedangkan izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Bagi pemrakarsa, salah satu manfaat AMDAL adalah untuk dapat menjadi referensi dalam proses kredit perbankan. Dalam menjalankan usaha dan/atau kegiatan, nasabah debitur mendapatkan fasilitas kredit dari bank untuk menjalankan operasional usaha/kegiatan yang dijalaninya. Pada dasarnya, sebagai penyedia dana atas proyek-proyek yang dijalankan oleh suatu usaha/kegiatan dari nasabah debitur tersebut, peranan bank dalam hal mempertahankan/meningkatkan kualitas lingkungan hidup adalah peranan tidak langsung, namun peranan tersebut sangat strategis.
Dalam menjalankan fungsinya, bank selaku institusi keuangan berperan dalam menghimpun dana masyarakat dan di sisi lain menyalurkan (membiayai) suatu proyek. Sudah selayaknya dalam menjalankan fungsinya tersebut bank menjadi institusi pertama dan utama dalam merencanakan, menapis, dan menyatakan suatu proyek layak atau tidak untuk didanai. Karena sebelumnya sudah menjalani proses analisa kelayakan segi hukum, pasar dan
pemasaran, keuangan, teknis operasional, manajemen, sosial ekonomi, teknis dan studi kelayakan dari segi lingkungan (AMDAL).
AMDAL telah banyak dilakukan di Indonesia dan di negara lain. Akan tetapi pengalaman menunjukkan bahwa XXXXX tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan sebagai alat perencana. Bahkan tidak jarang terjadi, studi AMDAL hanyalah merupakan dokumen formal saja, yaitu sekedar untuk pelengkap administrasi pembangunan saja. Setelah laporan AMDAL didiskusikan dan disetujui, laporan tersebut disimpan dan tidak digunakan lagi. Laporan itu tidak mempunyai pengaruh terhadap perencanaan dan pelaksanaan proyek selanjutnya. Bila menurut hasil AMDAL, proyek yang diminta pembiayaannya oleh calon nasabah debitur harus dilengkapi dengan sarana pencegahan perusakan atau pencemaran lingkungan, atau harus dilengkapi dengan sarana untuk memproses daur ulang limbah Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang dihasilkan oleh proyek itu, maka bank dalam rangka melaksanakan kewajibannya yang ditentukan oleh UUPPLH mutlak harus mewajibkan nasabah debiturnya membangun pula sarana dimaksud sebagai bagian dari proyek. Hal itu diwajibkan oleh bank kepada nasabah debitur bukan saja demi kepentingan nasabah debitur, tetapi juga demi kepentingan bank sendiri.79
Idealnya AMDAL bersifat proaktif, antisipatif,
preventif dan berperan sebagai early warning sistem untuk kegiatan-kegiatan yang berdampak lingkungan. Sehingga kurang pedulinya usahawan terhadap AMDAL itu bukan hanya mengandung resiko bagi pengusaha bersangkutan, melainkan akan merugikan pula pihak bank sebagai penyalur kredit.80
79 Ibid.
80 Xxxxxxx Xxxxx, AMDAL dan RUUTR, Artikel, Xxxxxxx Xxxxxxan Tempo Edisi 19 September 1992, hal. 103, dikutip dari : Xxxxxxxxxx
Bank dalam memberikan kredit mempunyai prinsip kehati-hatian sehingga prinsip ini menjadi dasar pertimbangan untuk layak atau tidaknya kredit diberikan. Kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana, termasuk didalamnya peningkatan peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar dan/atau beresiko tinggi.
Untuk melaksanakan suatu rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan perlu dilakukan penyusun dokumen AMDAL sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk itu perlu kiranya diperhatikan aturan hukum penerapan AMDAL dalam perjanjian kredit, sebagai berikut :
a. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH);
b. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
c. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia;
d. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan;
e. Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 tentang Kredit Investasi dan Penyertaan Modal;
f. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum;
g. Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum;
h. Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang
Xxxxxx, Op.cit, hal. 73.
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
i. Surat Edaran No. 8/22/DPbS tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah;
Dalam Pasal 65 dan Pasal 67 UUPPLH, disebutkan bahwa setiap orang dan setiap badan hukum bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Selain kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Selain kewajiban hukum, kita dituntut bertanggung jawab secara moral mengingat tanggung jawab akan generasi yang akan datang. Bank secara langsung maupun tidak langsung mempunyai andil dalam perusakan lingkungan hidup melalui pemberian kredit pada proyek-proyek yang berpotensi merusak dan mencemari lingkungan hidup.
Pengaturan penggunaan AMDAL dalam pemberian kredit yang ada selama ini di Indonesia adalah Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal yang antara lain menentukan tentang keharusan bank untuk memperhatikan AMDAL dalam pemberian kreditnya. Terakhir Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 12. Tambahan Lembaran Negara No. 4471) dan Peraturan Bank Indonesia Nomor : 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan Bank Indonesia tersebut telah diatur pelaksanaannya dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 dan Surat Edaran No. 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 yang ditujukan kepada semua bank
umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional perihal Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum. Dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran tersebut ditentukan bahwa dalam menilai prospek usaha, bank perlu memperhatikan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.
Peranan bank dalam penegakan hukum lingkungan sebagai salah satu lembaga yang berperan dalam kehidupan ekonomi tidak dapat terlepas dari kehidupan ekonomi itu sendiri. Keberadaan perbankan diperlukan untuk menunjang kelangsungan kegiatan ekonomi khususnya kegiatan yang bersifat transaksi pemberian kredit untuk sektor industri. Sebaliknya kegiatan operasional perbankan dipengaruhi pula oleh maju mundurnya suatu kegiatan ekonomi, misalnya sektor industri.
Fungsi utama perbankan adalah menghimpun dana dari masyarakat dan penyalur dana masyarakat. Akan tetapi sektor perbankan dalam partisipasinya memberikan pembiayaan pembangunan tetap harus memperhatikan prinsip kehatihatian, antara lain feasibility study, viability, serta profitability atas dasar repayment capacity. Tujuannya adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak. Pembiayaan proyek yang berwawasan lingkungan telah terbukti dapat meningkatkan daya saing dan memberi keunggulan tersendiri bagi bank-bank yang menerapkannya sebagai strategi bisnis. Dengan demikian, perbankan diharapkan dapat meningkatkan peran dan perhatian terhadap pembiayaan kepada proyek-proyek yang mempunyai perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan hidup.81
81 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Gubernur Bank Indonesia, Xxxxx Xxxxx dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Jakarta : Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan
Usaha perbankan sesungguhnya tidak mempunyai keterkaitan langsung dengan lingkungan, namun demikian Bank Indonesia dengan berbagai ketentuan dan peraturan yang dikeluarkannya, dapat mendorong peningkatan peran perbankan dalam meningkatkan kualitas pengelolaan lingkungan hidup.82
Apabila industri yang dibiayai oleh bank berjalan baik dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, maka hasil pendapatan bunga dari kredit yang diberikan dapat berjalan sesuai dengan cash flow bank tersebut. Demikian pula return capacity dari kredit yang diberikan pada industri tersebut dapat dijamin kolektibilitasnya. Jika semua sektor industri yang dibiayai bank tidak memiliki dampak negatif yang berarti maka dapat diharapkan pembiayaan bank pada sektor industri akan meningkat pula. Hal ini menunjukkan bahwa operasional perbankan sangat terpengaruh oleh perkembangan sektor yang dibiayai.
Peran dan tanggung jawab perbankan dalam penegakan hukum lingkungan dimana perbankan dapat mendorong nasabah debitur untuk lebih serius memperhatikan aspek lingkungan. Kelalaian bank dalam memperhatikan aspek lingkungan hidup akan dapat menimbulkan kerugian bagi bank, baik karena kerugian yang timbul akibat merosotnya nilai barang jaminan, ditutupnya usaha nasabah debitur maupun akibat gugatan terhadap bank sendiri. Kenyataan yang dihadapi sekarang ini adalah dunia perbankan masih belum sepenuhnya memperhatikan aspek lingkungan.
Hidup, 8 September 2004.
82 Xxxxxx Xxxxxxx, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Peran Serta Sektor dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Meningkat, Jakarta : Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 8 September 2004.
Ada beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam pelaksanaan kredit yang berwawasan lingkungan dalam hukum perkreditan di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68. Sedangkan Kewajiban bank untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian (prudential principles), diatur dalam Pasal 2, 8 dan Pasal 29 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Perbankan jo Pasal 25 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Prinsip kehati-hatian perbankan dalam memberikan kredit yang juga harus sesuai dengan wawasan lingkungan, maka dijabarkan di sini bahwa pemberian kredit oleh perbankan dapat merupakan suatu masalah bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun kegiatan yang pada akhirnya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Bank tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomis, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya. Dengan demikian perbankan tidak diperbolehkan ikut membiayai proyek- proyek yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem. Pada sistem perbankan, dengan pertimbangan faktor-faktor keseimbangan lingkungan akan meminimalisasikan resiko-resiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah debitur.
Disamping itu pula dapat diambil kebijakan dari pemerintah dalam bidang perbankan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, antara lain dari UU Perbankan pada penjelasan umum Angka 5 Pasal 8 ayat (1). Sikap tanggap perbankan Indonesia tersebut ditujukan pada pembangunan berwawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam UUPPLH sehingga peran dan tanggung jawab bank dalam penegakan hukum lingkungan menjadi jelas.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peran dan tanggung jawab perbankan dalam pelaksanaan hukum perkreditan berwawasan lingkungan, bank perlu melakukan antisipasi terhadap potensi pencemaran dalam kegiatan usaha calon nasabah debitur, setidak-tidaknya karena tiga hal, yaitu sebagai pemegang kredit, ikut dalam manajemen dan demi keamanan atau kelancaran pembayaran kredit itu sendiri.
Bank Indonesia (BI) berada pada posisi yang sangat penting dalam memberikan pedoman bagi bank-bank pembangunan dan lembaga keuangan bukan bank untuk mendorong bahkan mewajibkan bank-bank memberikan pedoman sangat penting karena lembaga perbankan menempati posisi yang strategis dalam “memaksa” kalangan usaha peduli pada aspek perlindungan daya dukung lingkungan, keselamatan, serta kesejahteraan orang banyak.
Dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian melalui kredit yang berwawasan lingkungan, bank harus meneliti bahwa proyek yang dibiayai tidak bertentangan dengan tatanan lingkungan yang ada. Apabila dampak negatifnya cukup besar, bank harus mengkaji apakah industri itu memiliki plant treatment (pengelolaan industri) untuk pencegahan kerusakan lingkungan atau tidak. Bank dapat menolak proposal pemrakarsa, apabila proyek tersebut tidak memiliki sarana pengolahan limbah yang baik. Kewajiban hukum dan moral setiap bank di Indonesia untuk ikut mengelola lingkungan hidup, sekalipun secara tidak langsung, seyogyanya tidak terbatas hanya kepada melakukan analisis lingkungan hidup atas permohonan kredit calon nasabah debitur saja, tetapi kiranya dapat berlanjut terus sampai kredit yang telah diberikan atau dilunasi oleh nasabah. BI belum mewajibkan bank-bank untuk melakukan analisis lingkungan hidup dalam rangka mempertimbangkan permohonan kredit dari calon nasabah debitur. Baru sebatas tahap sebelum kredit diberikan.
Setelah kredit diputuskan pemberiannya oleh bank dan selama kredit itu digunakan oleh nasabah debitur, sama sekali belum diatur oleh Bank Indonesia.
Menurut Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, selain melakukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup pada setiap mempertimbangkan pemberian kredit, bank dapat juga ikut berpartisipasi dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup.
Bank dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :83
a. mencantumkan klausul-klausul lingkungan hidup di dalam perjanjian kredit.
b. dapat memberikan jaminan bahwa nasabah debitur telah memiliki izin-izin yang diperlukan dari instansi yang berwenang yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-- undangan yang berlaku.
c. melakukan pemantauan selama pembangunan proyek yang dibiayai dengan kredit bank itu, untuk memastikan apakah sarana-sarana yang diperlukan oleh proyek dalam rangka mencegah perusakan dan pencemaran lingkungan hidup telah dibangun sebagaimana mestinya. Pelanggaran mengenai hal itu kiranya dapat dikategorikan sebagai event of default dari perjanjian kredit, yang dengan demikian memberikan hak kepada bank untuk menghentikan penarikan lebih lanjut oleh nasabah debitur dan atas kreditnya itu seketika itu pula menagih nasabah debitur untuk melunasi kredit itu;
d. memantau nasabah debitur tidak melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup di sekitar proyek itu berdiri dengan memastikan bahwa proyek nasabah debitur itu tidak membuang atau menyimpan zat-zat berbahaya di sekitar proyek.
Sebelum masuk pada penjelasan mengenai klausul- klausul apa yang harus tercantum dalam perjanjian kredit maka akan penulis jelaskan sedikit mengenai salah satu
83 Xxxx Xxxxxx Tunggal, Op.Cit., hal. 70.
tahapan dalam siklus perkreditan yang telah penulis paparkan sebelumnya. Tahapan dalam siklus pemberian kredit itu adalah tahap persetujuan kredit. Tahap ini merupakan kegiatan administrasi kredit dari pelaksanaan terhadap keputusan dari suatu permohonan kredit dan merupakan tahap yang cukup kritis karena di tahap ini dimulailah hubungan antara calon nasabah debitur dengan bank dengan akan diadakannya ikatan resmi melalui suatu ikatan perjanjian/akad kredit atau ikatan pemberian jaminan. Persetujuan kredit dilakukan dalam suatu bentuk keputusan kredit, yang di dalamnya harus diusahakan oleh bank mengenai syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi, misalnya kewajiban untuk membuat dan melaksanakan AMDAL. Pada Perjanjian kredit ini, calon nasabah debitur akan mengetahui klausul-klausul apa yang harus dipenuhinya. Pencantuman klausul-klausul mengenai kewajiban nasabah debitur untuk mengelola lingkungan hidup, yang diatur di dalam Undang-Undang Lingkungan hidup dan dalam UU Perbankan mengenai prinsip kehati- hatian atau ketentuan perbankan lainnya, harus benar-benar dijelaskan oleh pihak perbankan dan harus disetujui oleh calon nasabah debitur jika ingin dilakukan pencairan kredit.
Pencantuman klausul-klausul lingkungan hidup oleh pihak perbankan bukan saja dimaksudkan sebagai pelaksana kewajiban peran serta bank dalam pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dituntut oleh Pasal 67 UUPPLH, tetapi juga untuk melindungi dirinya atau kreditnya sehubungan dengan sanksi yang ditetapkan oleh Pasal 84 sampai dengan Pasal 120 UUPPLH. Bank akan menderita kerugian berkenaan dengan kredit yang diberikannya bila debitur lalai menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Resiko kerugian tersebut dapat ditekan, apabila bank sebelum dan selama perjanjian kredit berlangsung mengambil langkah-langkah pencegahan dengan melakukan pemeriksaan pendahuluan, melakukan audit lingkungan dan mencantumkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh debitur dalam hubungannya dengan perlindungan lingkungan hidup dalam perjanjian kredit dan dokumen-dokumen lainnya. Sehingga dengan demikian penegakan hukum lingkungan oleh bank melalui pelaksanaan audit lingkungan sangat penting untuk dilaksanakan demi keamanan kredit itu sendiri.
Fungsi utama perbankan sebagaimana telah diungkapkan adalah penghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya pada masyarakat. Pada proses kegiatan operasionalnya disamping harus mempertimbangkan faktor-faktor ekonomis, juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain yaitu masalah lingkungan hidup. Kegiatan operasional perbankan tersebut yang terutama berkaitan dengan pemberian kredit kepada nasabahnya. Bank (kreditur) dalam memberikan kredit kepada debitur selalu memakai perjanjian kredit, dalam arti dibuat secara tertulis (kontrak). Menurut isi Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat oleh para pihak bersangkutan (debitur dan kreditur) merupakan hukum positif bagi yang bersangkutan, dimana untuk sahnya perjanjian harus memenuhi syarat materiel dan formal. Salah satu manifestasi dari isi Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian kredit sering disebutkan sebagai kebebasan berkontrak; artinya apa yang akan dicantumkan dalam perjanjian kredit diserahkan kepada para pihak. Namun demikian, meskipun isi perjanjian kredit diserahkan kepada para pihak yang bersangkutan atau dirundingkan, ternyata pada prakteknya isi perjanjian kredit lebih banyak ditentukan oleh bank sendiri dalam bentuk perjanjian baku.
Dari substansi perjanjian kredit tersebut diatas dapat
dikatakan bahwa kedudukan bank (kreditur) lebih kuat dibanding debitur, sehingga pihak bank dapat memaksakan kepada debitur agar menurut dan mematuhi dengan apa yang sudah ditentukan oleh pihak bank sebelumnya. Hal ini dilakukan agar kepentingan bank tetap terlindungi, dan bank tidak dirugikan seandainya terjadi wanprestasi dari
pihak debitur dikemudian hari. Oleh karena pihak bank secara ekonomis berada pada pihak yang kuat, maka “kekuatan” yang dimiliki oleh bank dapat dipergunakan untuk memaksakan kepada pihak debitur dalam membuat perjanjian kredit dengan memasukkan klausula-klausula pencegahan pencemaran lingkungan hidup yang harus dilakukan oleh debitur dalam menjalankan usahanya atau secara umum dimasukkan klausul-klausul lingkungan hidup (environmental provisions).
Pencantuman klausul-klausul tentang lingkungan hidup bukan hanya peran serta bank dalam mengelola lingkungan, tetapi juga :84
a. Dapat menguntungkan bank, seandainya pihak debitur dalam usahanya telah mencemarkan lingkungan, setidaknya dari turut serta bertanggung jawab atas pencemaran yang ditimbulkan perusahaan debitur.
b. Dalam skala yang lebih luas, jika semua bank melakukan tindakan yang sama setidaknya akan mengurangi pencemaran lingkungan hidup, karena jika pencantuman klausul tersebut merupakan syarat yang harus dipenuhi yang tidak dapat ditawar lagi, maka akan memberikan dampak positif dalam rangka mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup secara luas.
Pencantuman klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup bukan hanya sekedar pelengkap isi perjanjian kredit, tetapi juga harus disertai dengan pihak instansi terkait yang mengawasi agar tidak terjadi pencemaran lingkungan hidup, artinya harus ada tindak lanjut dan kerjasama dengan pihak lain yang diberi tugas untuk mengawasi masalah lingkungan hidup, dengan kata lain bahwa klausul-klausul tersebut harus dilaksanakan/ditegakkan atau diterapkan sebagaimana
84 Ibid
mestinya, sesuai dengan maksud dan tujuan dicantumkannya klausul-klausul tersebut.
Dalam salah satu klausul perjanjian kredit harus dicantumkan poin mengenai jumlah kredit yang disediakan.
Poin tersebut dibagi lagi menjadi dua klausul yakni :85
a. Jumlah yang perlu untuk usahanya;
b. Jumlah yang diperlukan untuk membiayai alat-alat untuk mengatasi pencemaran/perusakan lingkungan.
Artinya, di antara klausul-klausul dalam perjanjian kredit tersebut terdapat juga klausul-klausul yang dapat berperan sebagai pengendali agar nasabah debitur benar- benar menggunakan kredit serta membangun pula sarana- sarana pencegahan perusakan atau pencemaran lingkungan berkenaan dengan pembangunan proyek yang dibiayai dengan kredit tersebut. Pencantuman klausul-klausul yang demikian itu bukan saja dimaksudkan sebagai pelaksanaan kewajiban peran serta bank dalam pengelolaan lingkungan hidup, tetapi juga untuk melindungi dirinya atau kreditnya.86
Pencantuman klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup (berwawasan lingkungan) pada Bank Danamon Indonesia terdapat dalam klausul affirmative covenants. Klausul ini adalah hal-hal yang diwajibkan terhitung sejak tanggal perjanjian sampai dengan dilunasinya kewajiban yang terutang oleh debitur kepada bank (kreditur) berdasarkan perjanjian kredit.87
Klausul tersebut terdapat pada Pasal 4 (Hal-hal yang diwajibkan) yang berbunyi :88
Kecuali ditentukan lain oleh BANK, terhitung sejak tanggal Perjanjian ini sampai dengan dilunasinya
85 Ibid., hal. 58
86 Ibid
87 Ibid
88 Data diambil dari bank danamon, dalam perjanjian kredit tanggal 28 Februari 2012 (terlampir)
seluruh kewajiban yang terhutang oleh DEBITUR kepada BANK. Berdasarkan Perjanjian ini, maka DEBITUR wajib melakukan/melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
Memperoleh, mempertahankan, memperpanjang atau memperbaharui apabila sudah habis jangka waktunya semua izin usaha dan izin-izin lainnya termasuk izin mengenai AMDAL yang harus dimiliki oleh DEBITUR dalam rangka menjalankan usahanya dan menyerahkan fotocopy dari izin-izin tersebut kepada BANK serta menyimpan sebaik-baiknya surat-surat izin dan persetujuan-persetujuan yang telah diperolehnya dari pihak yang berwenang dan apabila ternyata dikemudian hari diperlukan surat-surat izin dan persetujuan-persetujuan yang baru, DEBITUR wajib segera mengurus dan memperolehnya.
Sama seperti halnya di Bank Danamon, di BRI Pengaturan mengenai klausul pencegahan pencemaran lingkungan hanya diatur dalam satu pasal saja yakni dalam Pasal 6 butir 7 mengenai hal-hal yang harus dilakukan / Affirmative Covenants, yang berbunyi :89
“Debitor wajib menyerahkan hasil studi Uji Pengelolaan Lingkungan (UPL) dan Uji Kelayakan Lingkungan (UKL) dalam rangka Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang telah disetujui Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (BAPPEDALDA) setempat kepada BRI setelah Pabrik beroperasi”
Apabila dilihat isi dari perjanjian kredit tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa bank sendiri dalam membuat klausul baku dalam perjanjian kredit tersebut, tidak mengerti sebenarnya AMDAL itu apa, dari isi perjanjian tersebut di atas, terlihat bank menganggap
89 Data Terlampir
AMDAL adalah suatu izin, padahal AMDAL bukan merupakan izin, tetapi merupakan persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin dalam melakukan usaha atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Keputusan kelayakan lingkungan hidup (AMDAL) wajib dilampirkan pada saat permohonan izin melakukan usaha atau kegiatan.
Klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup dalam perjanjian kredit pada P.T. Bank Danamon Indonesia dan BRI tidak dicantumkan secara tegas, tetapi hanya sebagai syarat untuk memperoleh kredit (merupakan kewajiban debitur) saja tanpa ada pengawasan perbankan mengenai izin lingkungan pada saat kredit tersebut sudah dicairkan dan perusahaan sudah beroperasi hal ini masih menimbulkan kerancuan juga yakni tidak adanya jangka waktu berapa hari/bulan setelah pabrik beroperasi serta bagaimana mekanisme pengawasan dari pihak mengenai izin lingkungan juga tidak dijelaskan dalam perjanjian kredit dikarenakan pengaturannya hanya dalam satu pasal saja.
Hal ini terjadi karena sampai saat ini penulis belum menemukan dalam Surat Edaran BI mengenai petunjuk pelaksanaan pencantuman klausul pencegahan pencemaran lingkungan hidup dalam perjanjian kredit hal tersebut juga diperkuat dengan pernyataan dari Xxxxx Xxxx dalam Bukunya yang berjudul Bank Hijau.90
2. Rumusan Klausula Perjanjian Kredit yang Berwawasan Lingkungan Menurut Xxxdapat Penulis
Menurut penulis, klausul-klausul mengenai pencegahan pencemaran lingkungan hidup pada perjanjian kredit perbankan sangatlah kurang dan cenderung mengabaikan masalah ini. Bagi perbankan yang terpenting adalah bagaimana pihak debitur bisa melunasi hutangnya tepat waktu tanpa menghiraukan dampak yang terjadi pada
90 Xxxxx Xxxx, Bank Hijau, Op.Cit., hal. 63.
lingkungan debitur tersebut. Padahal hal tersebut menurut penulis sangat keliru dikarenakan jika terjadi pencemaran lingkungan di lokasi proyek yang dibiayai perbankan tersebut maka bisa mengakibatkan penurunan nilai aset yang menjadi agunan di perbankan tersebut. Xxxxxxx- xxxxxxx mengenai prinsip kehati-hatian dapat dimasukkan ke dalam kategori klausul conditions precedent. representation and warranties, affirmative covenants, negative covenants dan events of default.91
Apabila sifat dari kredit dan proyek yang dibiayai memang memungkinkan agar nasabah debitur terlebih dahulu mendapatkan ijin lingkungan dari instansi yang berwenang sehubungan dengan dokumen AMDAL, maka penyerahan ijin itu hendaknya dipersyaratkan oleh bank sebagai condition precedent atau syarat tangguh yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh nasabah debitur sebelum dapat menarik kreditnya untuk pertama kali. Bank sangat berkepentingan bahwa ijin ini diperoleh terlebih dahulu sebelum kredit dapat digunakan oleh nasabah debitur, karena dikhawatirkan apabila kredit telah dipakai ternyata kemudian ijin akhimya tidak diberikan oleh pihak-pihak yang berwenang dan karena itu pembangunan proyek harus dihentikan, maka kredit bank pasti menjadi macet.92
Berikutnya mengenai klausul representations and warranties. Klausul yang berisi pernyataan-pernyataan nasabah debitur mengenai fakta-fakta yang menyangkut status hukum, keadaan keuangan, dan harta kekayaan nasabah debitur pada waktu kredit diberikan.93
Xxxxxxx-xxxxxxx berikut dapat dimasukkan ke dalam klausul representations and warranties dalam suatu perjanjian kredit :94
91 Xxxxxxx Xxxxxxx, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Jogja: Kanisius, 2003, Hal. 85
92 Xxxx Xxxxxx Tunggal, Op.Cit., hal. 60.
93 Xxxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit., hal. 85
94 Xxxx Xxxxxx Tunggal, Op.Cit., hal. 60.
Nasabah debitur menyatakan dan menjamin bahwa :
a. Nasabah debitur telah menyerahkan ijin usaha dan ijin pendirian proyek yang dikeluarkan berdasarkan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disetujui bagi kegiatan atau proyek yang dibiayai dengan kredit ini
b. Telah diperoleh kepastian bahwa pada saat ini di lokasi proyek tidak terdapat zat-zat berbahaya dan tidak satu bagian pun dan lokasi proyek yang merupakan daerah yang tercemar atau dapat membahayakan lingkungan hidup;
c. Nasabah debitur tidak menempatkan di propertinya zat- zat beracun atau zat-zat berbahaya atau zat-zat yang mencemari lingkungan;
d. Nasabah debitur tidak sedang atau tidak pemah melanggar peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan hidup;
e. Nasabah debitur tidak dan tidak pernah membuang zat- zat berbahaya yang melanggar peraturan perundang- undangan lingkungan hidup.
Dalam klausul tersebut perlu sekali ditekankan, bahwa persyaratan ijin usaha tersebut harus didasarkan pada Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disetujui.
Dalam klausul affirmative covenants, dapat dipersiapkan sebagai kewajiban nasabah debitur untuk menggunakan bagian kredit yang disediakan untuk membangun sarana-sarana pencegahan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup sesuai dengan tujuan penggunaan kredit. Di dalam klausul affirmative covenants juga ditentukan bahwa nasabah debitur harus pula menyerahkan ijin lingkungan dari yang berwenang (apabila tidak dipersyaratkan sebagai condition precedent). Sedangkan dalam klausul negative covenants, dapat dipersyaratkan sebagai larangan bagi nasabah debitur untuk tidak
melanggar peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup.
Mengingat di dalam klausul mengenai event of defaults disebutkan antara lain bahwa apabila nasabah debitur temyata tidak memenuhi atau melaksanakan salah satu kewajiban-kewajiban, larangan-larangan, syarat-syarat, atau ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian kredit, dianggap sebagai event of default, maka bank berhak untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan dengan demikian bank tidak lagi berkewajiban untuk menyediakan kredit dan sebaliknya nasabah debitur tidak berhak lagi untuk menggunakan sisa kredit yang dapat digunakan, serta selanjutnya bank berhak untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh debet pinjaman.95
Sebagai perbandingan mengenai klausul-klausul apa saja yang harus ada dalam perjanjian kredit yang dicantumkan sebagai upaya mencegah terjadinya pencemaran lingkungan hidup, dapat dlihat di Amerika Serikat, dimana adanya kewajiban untuk memasukkan klausul-klausul dalam perjanjian kredit yang berkaitan dengan kewajiban debitur untuk memelihara lingkungan hidup antara lain :96
Xxxxxxxx promises to :
a. Pay for an initial and annual environmental audit that satisfies the requirements, as set fourth in the lender’s environmental policy, attached hereto as exhibit , and;
b. Allow the bank and its agents access to the property for purposes of conducting environmental investigation,
Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Bersedia membayar biaya audit awal lingkungan dan tahunan yang memenuhi syarat terlampir, seperti yang
95 Ibid., hal. 63
96 Xxxxxxxx X Xxxxxxx, Tanggungjawab Perbankan Dalam Penegakan Green Banking mengenai Kebijakan Kredit, Jurnal Hukum Vol XXI/No.1/April-Juni/ 2013
tertera dalam kebijakan kreditur (pemberi pinjaman) tentang lingkungan, sebagai tanda jadi. , dan
b. Mengijinkan pihak bank dan agen-agennya untuk memasuki areal miliknya untuk kepentingan mengadakan pemeriksaan lingkungan.
Selanjutnya perjanjian tersebut memuat covenant sebagai berikut : Xxxxxxxx promises to :
a. Comply with all environmental statutes and regulations;
b. Not handle toxic or hazardous substances without notice to the lender and compliance with applicable law;
c. Pay for clean up, if any, required by the state or federal environmental law or regulation; and
d. Immediately notify the lender of any environmental compliance problems.
Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Mematuhi segala peraturan dan perundang-undangan lingkungan hidup;
b. Tidak berhubungan dengan zat-zat berbahaya ataupun beracun tanpa memenuhi standar kelayakan pakai dan sepengetahuan pihak kreditur;
c. Bersedia membayar biaya pembersihan, jika dikehendaki oleh undang-undang atau peraturan-peraturan setempat;
d. Secepat mungkin memberitahu pihak kreditur jika terdapat masalahmasalah yang menyangkut lingkungan.
Ketentuan-ketentuan lain yang dicantumkan dalam klausul perjanjian kredit antara lain :97
Borrower hereby represents and warrant that :
a. All appropriate inquiry with regard to environmental matters has been conducted by borrower and has revealed that no hazardous substance is currently present on the site contains any Environmental Sensitive Areas.
97 Ibid, hal.319.
b. No toxic or hazardouus substance or contaminants have been placed on the property by borrower.
c. Borrower is not currently and has not at any in the past violated any environmental law or regulation.
d. Xxxxxxxx has never been cited by a state or federal environmental agency for a response action or violation of any kind.
e. Borrower is not and has never disposes of any hazardous substances or materials in violation of any environmental law or regulation.
f. Borrower is not and has never been transporter of any hazardous substances.
Secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai berikut :
a. Segala pemeriksaan yang berkaitan dengan masalah lingkungan telah dilakukan oleh pihak debitur dan arealnya telah dinyatakan bebas dari zat-zat berbahaya serta tidak ada bagian-bagian yang merupakan daerah rawan gangguan lingkungan;
b. Tidak ditemui zat-zat berbahaya atau beracun di areal milik debitur;
c. Debitur tidak pernah melanggar segala peraturan atau undang-undang lingkungan di masa yang lalu maupun sekarang;
d. Debitur tidak pernah disebut oleh lembaga lingkungan pemerintah setempat sebagai pelaku atas tindakan makar atau pelanggaran hukum atau semacamnya;
e. Debitur tidak pernah membuang segala macam zat atau benda berbahaya yang melanggar peraturan atau undang-undang lingkungan;
f. Debitur tidak pernah menyangkut segala macam zat yang berbahaya.
Selain itu guna lebih mengarahkan kebijaksanaan perkreditan yang berwawasan lingkungan menurut Xxxxx Xxxx, contoh ketentuan yang harus diajukan kepada calon debitur dalam proses pemberian dan persetujuan kreditnya yaitu :98
a. AMDAL sebagai persyaratan perizinan atas setiap kegiatan yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan/lingkungan hidup.
b. Keputusan persetujuan atas Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) sesuai dengan syarat-syarat.
c. Surat pernyataan lingkungan dari perusahaan calon debitur.
d. Internal monitoring, yaitu kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh perusahaan/debitur secara cermat mengenai keadaan fasilitas, pengoperasian dan pengaruh terhadap lingkungan serta melaporkannya secara berkala, baik kepada pemerintah maupun bank.
e. Inspection/trade checking, yaitu kegiatan pemantauan yang dilakukan oleh bank untuk melihat sejauh mana ketaatan dan pengoperasian serta pengaruh terhadap lingkungan. Oleh aparat perkreditan hal ini dilaporkan sebagai laporan hasil kunjungan debitur.
Berdasarkan penjabaran di atas, penulis menyimpulkan : Selama ini baik di Bank Swasta maupun Bank
Pemerintah, dalam perjanjian kredit Investasi dan berskala besar, masih minim mengenai pengaturan mengenai pasal- pasal yang mengarah pada prinsip kehati-hatian berupa pengaturan pasal yang berwawasan lingkungan. Hal ini dijumpai pada perjanjian kredit investasi di Bank Danamon maupun BRI yang hanya mengatur satu pasal saja terkait pasal yang menunjukkan prinsip tersebut. Klausul prinsip kehati- hatian bank yang merujuk pada kredit berwawasan lingkungan
98 H.R. Xxxxx Xxxx, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Book, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 2005), hal. 154.
dapat ditambahkan dimasukkan ke dalam kategori klausul conditions precedent. representation and warranties, affirmative covenants, negative covenants dan events of default yang poin- poinnya telah penulis sebutkan di atas.
Pengaturan mengenai bagaimana pengawasan dan tindakan perbankan yang telah memberikan kreditnya pada suatu perusahaan dan dikemudian hari diketahui bahwa perusahaan melanggar ketentuan dalam perizinan lingkungan sebagaimana tercantum dalam pasal 53 PP No. 27 Tahun 201299 tersebut dan kemudian izin lingkungannya dibekukan berdasarkan pasal 71 ayat (1) PP No. 27 Tahun 2012100, ternyata tidak diantisipasi perbankan dalam perjanjian kreditnya. Dalam Draft Perjanjian Kredit Investasi di BRI maupun Bank Danamon, Penulis tidak menemukan satu pasal pun dalam perjanjian itu yang mengatur mengenai langkah antisipasi perbankan jika suatu saat izin lingkungan dari nasabah debitur dicabut.
99 Pasal 53
(1) Pemegang Izin Lingkungan berkewajiban:
a. menaati persyaratan dan kewajiban yang dimuat dalam Izin Lingkungan dan izin perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan terhadap persyaratan dan kewajiban dalam Izin Lingkungan kepada Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota; dan
c. menyediakan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan secara berkala setiap 6 (enam) bulan.
100 Pasal 71
(1) Pemegang Izin Lingkungan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenakan sanksi administratif yang meliputi:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. pembekuan Izin Lingkungan; atau
x. xxxcabutan Izin Lingkungan.
C. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Membuat Xxxxxxxx Xxxxxx Yang Berwawasan Lingkungan Pada Perjanjian Kredit Dan Solusinya
Bila menurut hasil AMDAL, proyek yang diminta pembiayaannya oleh calon nasabah debitur harus dilengkapi dengan sarana-sarana pencegahan perusakan atau pencemaran lingkungan, atau harus dilengkapi dengan sarana untuk memproses daur ulang Bahan Beracun dan Berbahaya (B3) yang dihasilkan oleh proyek itu, maka bank dalam rangka melaksanakan kewajibannya yang ditentukan oleh UUPPLH, mutlak harus mewajibkan nasabah debiturnya membangun pula sarana-sarana dimaksud sebagai bagian dari proyek. Sebagaimana telah dikemukakan di muka, bahwa hal itu harus diwajibkan oleh bank kepada nasabah debitur bukan saja demi kepentingan nasabah debitur saja, tetapi juga demi kepentingan bank sendiri.101
Terdapat kendala yang dihadapi untuk dapat melaksanakan keinginan bank seperti tersebut di atas baik oleh bank maupun oleh nasabah debitur. Bila nasabah debitur dalam melaksanakan keharusan untuk membangun sarana- sarana itu hanya dapat mengandalkan sumber pembiayaannya dari bank yang berbunga tinggi, maka biaya produksi bagi nasabah debitur yang bersangkutan akan menjadi lebih mahal daripada biaya produksi dari proyek lain yang sejenis yang dimiliki oleh pengusaha lain yang membangun sarana-sarana itu dengan dana murah atau dengan menghindarkan diri dari keharusan untuk membangun sarana-sarana itu yang notabene diharuskan menurut hasil AMDAL (melanggar ketentuan AMDAL). Merupakan kenyataan bahwa proyek-proyek lain yang sejenis yang menjadi kompetitor/pesaing dari nasabah debitur itu pada umumnya tidak membangun sarana-sarana yang dimaksud karena :102
101 H.R. Xxxxx Xxxx, Op.Cit., hal. 45.
102 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009)., hal. 277
1. Bank yang membiayai proyek lain yang sejenis tersebut ternyata tidak mengharuskan nasabah debiturnya membangun sarana yang dimaksud karena pertimbangan persaingan antar bank yang ketat.
2. Pengusaha proyek lain yang sejenis tersebut ternyata telah membangun proyek itu dari sumber-sumber pembiayaan lain di luar bank sedangkan krediturnya tidak mengharuskan nasabah debiturnya untuk membangun sarana-sarana tersebut.
3. Pengusaha yang membangun proyek lain yang sejenis tersebut mampu membangun dengan dana modal sendiri yang cukup, karena itu tidak perlu membayar bunga bank yang tinggi.
Untuk menghadapi kendala tersebut, menurut penulis, maka hendaknya pemerintah menyediakan dana khusus, yaitu khusus untuk bank-bank pelaksana, memberikan kredit murah kepada nasabah-nasabah debiturnya guna membangun sarana- sarana pengelolaan lingkungan hidup, baik untuk proyek baru maupun proyek yang telah ada yang belum memiliki/dilengkapi dengan sarana-sarana tersebut. Apabila sarana-sarana tersebut harus dibangun oleh nasabah debitur dengan kredit bank yang berbunga tinggi, maka akan ada resistensi dari para nasabah debitur pemilik proyek untuk membangun sarana-sarana itu, yang tentu saja pada gilirannya tidak akan membantu kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sedangkan untuk mengharapkan agar nasabah debitur membangun sarana-sarana itu dengan dana modal sendiri yang tidak berbunga hampir tidak mungkin, kecuali dari pasar modal dengan penjual saham. Tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan bagi proyek baru.
Selain penyediaan dana khusus yang murah itu, menurut penulis hendaknya pemerintah dapat mengusahakan dari badan-badan internasional untuk memperoleh dana dalam bentuk grant atau pinjaman tidak berbunga atau pinjaman lunak. Dana itu adalah untuk disalurkan sebagai two-step loan
kepada bank-bank umum sebagai bank-bank pelaksana untuk selanjutnya disalurkan kepada para nasabah debiturnya guna membangun sarana-sarana tersebut. Dana seperti itu untuk keperluan lingkungan hidup pernah diberikan kepada Pemerintah Indonesia oleh Asian Japan Development Fund (AJDF) dan Overseas Economic Corporation Fund (OECF). Pinjaman dari kedua lembaga ini adalah untuk membiayai investasi peralatan dan engineering services yang berhubungan dengan pencegahan polusi dan pelestarian lingkungan (Pollution Abattement Equipment) bagi proyek-proyek baru. Bunga kredit ini sebesar 2,5% di bawah tingkat suku bunga kredit komersil yang berlaku.
Ada beberapa kendala bagi bank mengapa faktor lingkungan kurang mendapat perhatian dalam pertimbangan pemberian kreditnya. Kendala tersebut, secara garis besar terdiri atas kendala intern dan kendala ekstern.
1. Kendala intern
a. Pengetahuan aparat bank
Kurangnya pengetahuan bank tentang lingkungan, terutama tentang pengetahuan aparat bank tentang perlu tidaknya suatu jenis kegiatan usaha, dilengkapi dengan AMDAL atau UKL dan UPL. Sehingga apabila aparat bank tersebut memroses suatu permohonan kredit hampir dapat dipastikan tidak mempersyaratkan lingkungan sebagai salah satu pertimbangannya. Atau dapat saja aparat perkreditan bank mempersyaratkan adanya AMDAL, atau UKL dan UPL, namun belum tentu mengetahui/memahami apa, bagaimana dan untuk apa AMDAL, UKL, atau UPL tersebut.
b. Kebijakan perkreditan bank
Kebijakan perkreditan bank-bank pelaksana yang bersangkutan tidak mengatur secara tegas mengenai acuan perlunya atau kewajiban menganalisis aspek- aspek yang berhubungan dengan pemeliharaan kualitas lingkungan terhadap proyek yang akan dibiayai.
Sehingga dengan demikian aparat perkreditan bank tidak atau kurang memperhatikan aspek lingkungan dalam proses/analisis yang dilakukannya.
2. Kendala ekstern
a. Persaingan antar bank
Sebagaimana diketahui bahwa, serangkaian deregulasi perbankan yang dilakukan pemerintah, telah mengakibatkan timbulnya persaingan antar bank yang semakin alot. Sehingga bank seolah-olah kehilangan prinsip prudent dan konservatifnya dalam memproses suatu pemberian kredit, termasuk masalah lingkungan kurang mendapat perhatian dalam pertimbangannya. Hal ini mengingat bahwa bank-bank akan khawatir kehilangan nasabahnya hanya karena memberlakukan aspek lingkungan sebagai persyaratan kreditnya.
b. Kurangnya tenaga ahli
Kurangnya tenaga ahli yang dimaksudkan adalah tenaga yang benar-benar mengetahui/ahli dalam hal seluk beluk dan penanganan kualitas lingkungan dalam proses pembangunan ini. Sehingga apabila pihak bank akan menerapkan secara tegas persyaratan lingkungan, bank juga akan kesulitan untuk menganalisis dan memantau realisasi operasional suatu proyek yang dibiayai.
Menurut penulis, untuk mengatasi kendala-kendala diatas adalah :
1. Menyiapkan sumberdaya manusia di lingkungan perbankan dengan training-training khusus mengenai keterkaitan lingkungan hidup dengan kredit perbankan. Training- training ini dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah karena kewajiban sosialisasi suatu peraturan ada di tangan pemerintah.
2. Diadakannya pengaturan oleh Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank yang harus secara jelas mencantumkan
xxxxxxx-xxxxxxx yang mewajibkan pemohon kredit (debitur) untuk mengelola lingkungan hidup dalam perjanjian kredit mereka serta bagaimana pelaksanaannya. Sehingga bagaimana pun ketatnya persaingan perbankan, bank tetap wajib mencantumkan klausul-klausul mengenai pencegahan pencemaran lingkungan hidup dengan detail di perjanjian kreditnya.
3. Pihak Perbankan juga harus melihat secara langsung, meneliti, menganalisis kemungkinan-kemungkinan ada tidaknya pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti halnya yang dilakukan pihak perbankan di Amerika Serikat yang dengan jelas dalam perjanjian kreditnya mengatur mengenai izin bagi pihak bank dan agen-agennya untuk memasuki areal milik perusahaan yang mengajukan kredit untuk kepentingan pemeriksaan lingkungan.
BAGIAN IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Kewajiban perbankan dalam melaksanakan perbankan yang berwawasan lingkungan adalah perbankan harus segera dan secara sungguh-sungguh menempuh kebijakan hukum perkreditan yang berwawasan lingkungan dimulai pada tahap- tahap prosedur perkreditan, yaitu siklus perkreditan yang beberapa diantaranya adalah : (1) Permohonan Kredit; Bank harus memeriksa kebenaran tentang ada atau tidaknya kemungkinan pencemaran atau perusakan lingkungan dengan : Mengadakan pemeriksaan atas ada tidaknya dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang merupakan produk akhir dari pelaksanaan suatu AMDAL. (2) Analisis Kredit; Harus diperhatikan perihal ekonomi lingkungan, yang mendasarkan pada proses yang mendasari terjadinya keputusan-keputusan untuk mengatasi permasalahan lingkungan yang dipengaruhi oleh pertimbangan harga, biaya, keuntungan, dan kegunaan yang mengatur transaksi di dalam pasar karena pada dasarnya kegiatan ekonomi baik produksi maupun konsumsi mempengaruhi kualitas lingkungan dengan terjadinya pencemaran. (3) Persetujuan Kredit dan Perjanjian Kredit; Di dalam Persetujuan kredit diusahakan syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi, misalnya kewajiban untuk membuat AMDAL. (4) Pencairan Kredit dan Pengawasan (Monitoring) Kredit; Dalam tahap ini pelaksanaan pengadministrasian kredit dituntut tingkat ketelitian yang tinggi akan berbagai persyaratan yang telah ditentukan dalam dokumen keputusan kredit (persetujuan kredit). Setelah pencairan kredit harus ada pengawasan atau monitoring salah satunya dengan kewajiban debitur mengirimkan laporan tentang dampak lingkungan, diperiksa oleh bank.
Xxxxxxx-xxxxxxx mengenai pencegahan pencemaran lingkungan hidup sebagai prinsip kehati-hatian dapat dimasukkan ke dalam kategori klausul conditions precedent. representation and warranties, affirmative covenants, negative covenants dan events of default. Apabila sifat dari kredit dan proyek yang dibiayai memang memungkinkan agar nasabah debitur terlebih dahulu mendapatkan ijin lingkungan dari instansi yang berwenang sehubungan dengan dokumen AMDAL, maka penyerahan ijin itu hendaknya dipersyaratkan oleh bank sebagai condition precedent. Mengenai klausul representations and warranties dapat berupa pernyataan nasabah debitur yang menyatakan dan menjamin bahwa : Nasabah debitur telah menyerahkan ijin usaha dan ijin pendirian proyek yang dikeluarkan berdasarkan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah disetujui bagi kegiatan atau proyek yang dibiayai dengan kredit. Telah diperoleh kepastian bahwa pada saat ini di lokasi proyek tidak terdapat zat-zat berbahaya dan tidak satu bagian pun dan lokasi proyek yang merupakan daerah yang tercemar atau dapat membahayakan lingkungan hidup, dsb. Sedangkan Dalam klausul affirmative covenants, dapat ditentukan bahwa nasabah debitur harus pula menyerahkan ijin lingkungan dari yang berwenang. Dalam klausul negative covenants, dapat dipersyaratkan sebagai larangan bagi nasabah debitur untuk tidak melanggar peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup. Mengenai klausul event of defaults hendaknya bisa disebutkan antara lain bahwa apabila nasabah debitur temyata tidak memenuhi atau melaksanakan salah satu kewajiban-kewajiban, larangan-larangan, syarat-syarat, atau ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian kredit, dianggap sebagai event of default, maka bank berhak untuk secara sepihak mengakhiri perjanjian kredit dan dengan demikian bank tidak lagi berkewajiban untuk menyediakan kredit dan sebaliknya nasabah debitur tidak berhak lagi untuk menggunakan sisa kredit yang dapat digunakan, serta selanjutnya bank berhak
untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh debet pinjaman. Secara praktik dalam perjanjian kredit di Bank Danamon dan BRI hanya terdapat satu kategori klausul yakni klausul affirmative covenants yang mengatur mengenai prinsip kehati- hatian mengenai masalah pencemaran lingkungan.
Usaha-usaha mewujudkan suatu prinsip kehati-hatian melalui kredit perbankan yang berwawasan lingkungan dapat menemui beberapa kendala antara lain kendala intern dan kendala ekstern, yang menurut penulis pemecahannya adalah dengan : Menyiapkan sumberdaya manusia di lingkungan perbankan dengan training-training khusus mengenai keterkaitan lingkungan hidup dengan kredit perbankan. Training-training ini dapat dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah karena kewajiban sosialisasi suatu peraturan ada di tangan pemerintah; diadakannya pengaturan oleh Bank Indonesia melalui Surat Edaran Bank Indonesia yang harus secara jelas mencantumkan klausul-klausul yang mewajibkan pemohon kredit (debitur) untuk mengelola lingkungan hidup dalam perjanjian kredit mereka serta bagaimana pelaksanaannya. Sehingga bagaimana pun ketatnya persaingan perbankan, bank tetap wajib mencantumkan klausul-klausul mengenai pencegahan pencemaran lingkungan hidup dengan detail di perjanjian kreditnya; Pihak Perbankan juga harus melihat secara langsung, meneliti, menganalisis kemungkinan- kemungkinan ada tidaknya pencemaran dan kerusakan lingkungan seperti halnya yang dilakukan pihak perbankan di Amerika Serikat yang dengan jelas dalam perjanjian kreditnya mengatur mengenai izin bagi pihak bank dan agen-agennya untuk memasuki areal milik perusahaan yang mengajukan kredit untuk kepentingan pemeriksaan lingkungan.
B. Saran
Sebaiknya Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia yang khusus mengatur dan menentukan tentang keharusan bagi bank umum, baik bank umum yang melakukan kegiatan usahanya secara konvensional maupun berdasarkan
prinsip syariah, untuk memperhatikan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai wujud dari pelaksanaan prinsip kehati-hatian berupa kredit yang berwawasan lingkungan. Pemberian kredit perbankan hendaknya diatur pula mengenai sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Bank Indonesia dalam hal bank yang bersangkutan tidak memperhatikan AMDAL. Pihak perbankan mempunyai kewajiban hukum yang tegas dalam rangka peran serta pihak perbankan dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui pemberian kredit, maka sudah seharusnya Bank Indonesia tidak hanya menentukan AMDAL sebagai persyaratan administrasi saja dalam pemberian kredit, melainkan menetapkannya sebagai kewajiban hukum yang harus dipatuhi.
Hendaknya debitur lebih memperhatikan lagi mengenai proyek yang akan dibangunnya agar tidak menyalahi aspek aspek pencemaran lingkungan. Hal tersebut tidak akan terealisasi jika pihak perbankan tidak turut andil dalam pencegahan kerusakan lingkungan hidup. Perbankan harus menilai pencairan kredit berdasarkan hasil AMDAL yang diperlukan untuk memastikan kelayakan proyek yang dibiayai dari aspek lingkungan. Kegiatan berdampak penting yang dilakukan tanpa AMDAL dapat membawa dampak yang merugikan di kemudian hari karena tidak adanya rencana pengelolaan lingkungan yang memadai oleh debitur sehingga tidak akan diketahui dampak yang mungkin timbul dari kegiatan usaha debitur. Oleh karenanya sudah seharusnya menjadi kewajiban debitur pula melalui AMDAL untuk mengkaji dampak-dampak yang mungkin terjadi pada proyek yang akan dibangunnya sehingga izin lingkungan bisa didapatnya dan terjadi sinergi antara pembangunan ekonomi dan lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Xxxxxxxxxxx, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1990
Xxxx Xxxxxx Tunggal, Aspek Hukum Perkreditan Berwawasan Lingkungan di Bidang Perbankan, Cet.1, Jakarta : Havarindo, 2003
Xxxxxxxx Xxxxx, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Solusi Hukum (Legal Action) dan Penyelesaian Segala Jenis Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010
Xxxxxx Xxxxxx, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993
Xxxxx Xxxx, Bank Hijau (Kebijakan Kredit yang Berwawasan Lingkungan), Yogyakarta: Med Press. 2005
Xxxxx Xxxx, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Book, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxx, 2005)
Xxxxxxx Xxxxxxx, Usaha Perbankan dalam Perspektif Hukum, Jogja: Kanisius, 2003
Xxxxx M. Xxxxxx, Lingkungan Hidup Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta,1992
Xxxxxxxxxx Xxxxxx, Kebijakan Kredit Perbankan yang Berwawasan Lingkungan, Ctira Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000
Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Green Constitution: Nuansa Hijau Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Rajawali Press, Jakarta, 2009
Xxxxxx Xxxxxxx, Teori dan Buku Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Surabaya, 2005
, Cross Default dan Cross Collateral sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, PT. Xxxxxx Xxxxxxx, Bandung, 2004
Xxxxxxx Xxxxxxx &Xxxxxxx Xxxxxx, Perikatan Xxxx Xxxxx dari Perjanjian, Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada, 2003.
Mariam D. Xxxxxxxxxxx, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung,1989
Xxxxxxxx Xxxxx Xxx, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradya Paramita, Jakarta, 1979
Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. 5.
Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2006
Xxxx X., Peran Serta Bank Dalam Pencegahan Pencemaran Lingkungan Hidup Melalui Kredit, Program Pasca Sarjana UNDIP, Semarang, 1998
Xxxxxxxx X Xxxxxxx, Tanggungjawab Perbankan Dalam Penegakan Green Banking mengenai Kebijakan Kredit, Jurnal Hukum Vol XXI/No.1/April-Juni/ 2013
Xxxx Xxxxxxxxxx, Permasalahan Lingkungan Hidup, dalam Seminar Segi-segi Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup, Binacipta, 1977
Xxxxxxxx Xxxxx, Aspek -Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, cetakan II, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996
Xxxxx Xxx Xxxxxxx, Mengenal Dunia Perbankan, Xxxx xxxxxx., Yogyakarta, 1996
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Penerbit PT Intermassa, 2004 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, Prosedur Buku: Suatu Pendekatan Praktek
Jakarta: Rieneka Cipta, 2002
Surna T. Djajadiningrat, Pembangunan berlanjutan dan berwawasan Lingkungan, Jurnal Hukum Lingkungan, Tahun 1 No. 2004
Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009
Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Bank Auditing, Petunjuk Pemeriksaan Intern Bank, Penerbit : Djambatan, Jakarta, 1987
Xxxxxx Xxxxx, Dasar-dasar Perkreditan, Gramedia, Jakarta, 2003. Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi ke-3, Airlangga University
Press, Surabaya. 2005
Siaran Pers Bersama Bank Indonesia dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup. xxx.Xxxxxx.xxx.
Xxx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Bank dan Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta, 2000
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perdata tentang persetujuan-persetujuan tertentu, Sumur Bandung, Bandung, 1981
Wuragil, Pencemaran dan Lingkungan ,Semarang, Undip, 2008 Xxxxx Xxxxxxxx, Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan
Lingkungan, Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik Xxx Xxxxxx Kependidikan Pusat Pengembangan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam (Science Education Development Centre), Bandung, 2006
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 Tentang Izin Lingkungan
PROFIL PENULIS
Dr. Fitria Xxxx Xxxxxx, S.H., X.Xx., M.H.
Lahir di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Email/Phone: xxxxxx@xxxxxx.xx.xx / x0000000000000
Riwayat Pendidikan:
S-1 | S-2 | S-3 | S-2 | |
Nama Perguruan Tinggi | Universitas Brawijaya Malang | Universitas Brawijaya Malang | Universitas Brawijaya Malang | Universitas Islam Malang |
Bidang Ilmu | Ilmu Hukum | Magister Kenotariatan | Program Doktor Ilmu Hukum | Magister Ilmu Hukum |
Tahun Masuk-Lulus | 2009 - 2013 | 2013 - 2015 | 2016 - 2019 | 2018 - 2020 |
Pengalaman Organisasi
No. | Tahun | Instansi | Jabatan |
1. | 2014-2018 | DPC PERADI Malang | Wakil Sekretaris II |
2. | 2017-2021 | DPC IKADIN Malang | Wakil Seketaris II |
3. | 2018-2023 | DPC PERADI Malang | Ketua Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak |
4. | 2021-2025 | DPC IKADIN Malang | Anggota Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan Profesi |
Riwayat Pekerjaan
No. | Institusi | Posisi | Tahun |
1. | NAVISA Law Office | Managing Partner | 2015 - sekarang |
2. | STIH Xxxxx Xxxx Malang | Dosen Luar Biasa | 2016 - 2019 |
3. | Universitas Terbuka | Dosen Luar Biasa | 2020 - sekarang |
4. | Universitas Islam Malang | Dosen Tetap | 2019 - sekarang |
5. | Xxxxx Xxxxxxx & Partners | Konsultan Tetap | 2020 - sekarang |
6. | Hendra & Partners | Konsultan Tetap | 2020 - sekarang |
7. | Lentera Muda Indonesia | Dewan Pembina | 2020 - sekarang |
8. | Mata Garuda (Alumni Awardee LPDP) | Tim Ad Hoc Legalitas Mata Garuda dan Tim Divisi Kajian Strategis | 2021 - 2022 |
9. | Konsultan Hukum Perusahaan / Corporate Lawyer | Konsultan Hukum / Corporate Lawyer | 2015 - sekarang |
10. | Ahli Perdata di berbagai Peradilan | Ahli Perdata | 2019 - sekarang |