ORISINILITAS KARYA TULIS ILMIAH/TUGAS AKHIR MAHASISWA PASCASARJANA FAKULITAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
LANDASAN TEORETIS PIDANA PENJARA DAN TINJAUANNYA DALAM HUKUM ADAT
TESIS
OLEH :
NAMA MHS : XXXXXXXX XXXXX XXXXX NO. POKOK MHS : 14912091
BKU : HUKUM DAN SISTEM PERADILAN PIDANA
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
i
SURAT PERNYATAAN
ORISINILITAS KARYA TULIS ILMIAH/TUGAS AKHIR MAHASISWA PASCASARJANA FAKULITAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Bismillahirohmannirrohim
Yang bertangan tangan dibawah ini, saya:
Nama : XXXXXXXX XXXXX XXXXX, S.H.
No. Mhs : 14912091
Adalah benar-benar mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Tesis dengan judul:
LANDASAN TEORETIS PIDANA PENJARA DAN TINJAUANNYA DALAM HUKUM ADAT
Sehubungan dengan hasil tersebut, dengan ini Saya menyatakan:
1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya saya sendiri yang dalam penyusunannya tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika dan norma- norma penulisan sebuah karya ilmiah seseuai dengan ketentuan yang berlaku.
2. Bahwa saya menjamin hasil karya ilmiah ini adalah benar-benar Asli (Orisinil), bebas dari unsur-unsur yang dapat dikateorikan sebagai melakukan perbuatan penjiplakan karya ilmiah (plagiat).
3. Bahwa meskipun secara prinsip hak milik atas karya ilmiah ini ada pada saya, namun demi kepentingan-kepentingan yang bersifat akademik dan pengembangannya. Saya memberikan kewenangan kepada Perpustakan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan perpustakaan dilingkungAN Universitas Islam Indonesia untuk mempergunakan karya ilmiah saya tersebut.
Selanjutnya berkaitan dengan hal diatas (terutama pernyataan pada butir 1 dan 2), saya sanggup menerima sanksi baik sanksi administratif, akademik, bahkan sanksi pidana, jika saya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari pernyataan tersebut.
Dibuat di : Yogyakarta
Pada Tanggal : 19 September 2016 Yang membuat Pernyataan
Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H.
MOTTO
Hukum berakar pada sejarah manusia dimana akarnya dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan masyarakat.
_Xxxx Xxx Xxxxxxx_
Persembahan
Dengan Memanjatkan Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Kupersembahkan tesis ini kepada:
Ayahanda dan Ibunda ku tercinta
Drs. H. M.A. Madiyan (Alm) dan Dra. Hj. Mizhariyatil Hidayah
Xxxx-adikku, Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx dan Musafiratul Husna Seluruh keluarga besarku yang tidak dapat saya sebut
Untuk sahabat-sahabat ku
Almamaterku tercinta, Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia
KATA PENGANTAR
ميحرلا همحرلا الله مسب
لاا هلا لا نا دهشا.هيدلاو ايودلارىما ىلع هيعتسو هبو هيملاعلا بر لله دمحلا
هلا ىلع و دمحم ىلع ملسو لص مهللا .الله لىسر ادمحم نا دهشا و الله
عب اما .هيعمجا هبحصو
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik dan hidayah- Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Landasan Teoritis Pidana Penjara dalam Tinjauan Hukum Adat” Tidak lupa shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Xxxx Xxxxxxxx XXX, yang telah diutus untuk membawa rahmat kasih sayang bagi semesta alam dan selalu dinantikan syafaatnya di yaumil qiyamah nanti.
Penyusunan tesis ini bertujuan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan guna mencapai gelar magister hukum pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Penyusun menyadari bahwa tesis ini tidak mungkin terwujud sebagaimana yang diharapkan, tanpa bimbingan dan bantuan serta tersedianya fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh beberapa pihak. Oleh karena itu, penyusuningin mempergunakan kesempatan ini untuk menyampaikan rasa terima kasih dan rasa hormat kepada:
1. Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah membantu dan memberi kesempatan bagi penulis untuk menempuh dan menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ini.
2. Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., selaku pembimbing yang telah rela dan ikhlas meluangkan waktu disela-sela kesibukannya untuk mengarahkan,membimbing serta memberikan saran dalam penyusunan tesis ini
3. Seluruh Dosen pengajar yang telah sabar menyampaikan mata kuliah terbaiknya dan Tim Penguji Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
4. Seluruh Staf Sekretariat Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah membantu secara administrasi dalam penyelesain studi dan tesis ini.
5. Ayahanda Drs. H. M.A. Madiyan , Ibunda Dra. Hj. Mizhariyatil Xxxxxxx, yang selalu mencurahkan kasih sayang, mendukung baik spiritual dan material, dan selalu memberi semangat untuk menyelesaikan studi ini.
6. Adik-adikku, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, Musafiratul Husna dan seluruh keluargaku yang belum sempat disebut, kalian semua adalah inspirasi dan penyamangat bagi penulis.
7. Sahabat terbaikku di dunia, Xxxx Xxxx Xxxxx yang tak henti-henti memberikan support baik doa, semangat dan hal remeh temeh yang sangat berarti buat penulis
8. Sahabat-sahabat satu angkatan di BKU Sistem Peradilan Pidana, yang telah ikut membantu memperkaya khasanah keilmuan dan pengalaman.
9. Sahabat-sahabat angkatan 33 Magister Hukum Universitas Islam Indonesia sebagai keluarga yang menyenangkan
Semoga amal kebaikan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT. Sebuah harapan semoga tesis yang sederhana ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan khasanah keilmuan, bangsa, agama, dan negara, serta bermamfaat bagi semua kalangan. Amin.
Yogyakarta, 19 September 2016 Penulis
Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
HALAMAN PERNYATAAN iii
HALAMAN MOTTO iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI ix
ABSTRAK xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
D. Orisinalitas Penelitian 13
E. Landasan Pemikiran 15
F. Definisi Operasional 21
1. Pidana Penjara 21
2. Hukum Adat 22
G. Metode Penelitian 25
1. Jenis Penelitian 25
2. Pendekatan Penelitian 26
3. Objek Penelitian 27
4. Bahan Hukum 27
5. Pengolahan dan Penyajian Bahan Hukum 28
6. Analisis atau Pembahasan 28
7. Sistematika Penulisan 29
BAB II LANDASAN TEORETIS TENTANG PIDANA DAN PEMIDANAAN
A. Pidana dan Pemidanaan 32
1. Pidana 32
2. Pemidanaan 40
3. Tujuan Hukum Pidana 44
4. Jenis-Jenis Sanksi Pidana 48
5. Dasar Penjatuhan Sanksi 53
B. Aliran-Aliran dalam Hukum Pidana 55
1. Aliran Klasik 55
2. Aliran Modern 58
3. Aliran Neo-Klasik 64
C. Teori-Teori Pemidanaan 67
1. Teori Absolut atau Retributif (Vergeldings theorien) 67
2. Teori Relatif atau Tujuan (Doeltheorien) 74
3. Teori Gabungan (Verenigingstheorien) 81
4. Teori Pemidanaan Integratif dalam Sistem Pancasila 85
BAB III PIDANA PENJARA DAN HUKUM ADAT DI INDONESIA
A. Sejarah, Perkembangan dan Generasi Sanksi Pidana Penjara 88
1. Sejarah Pidana Penjara di Indonesia 88
2. Perkembangan Sistem Kepenjaraan 96
3. Generasi Sanksi Pidana Penjara 102
B. Sistem Pemasyarakatan di Indonesia 104
1. Gagasan Sistem Pemasyarakatan 104
2. Pemasyarakatan dan Sistem Pemasyarakatan 111
3. Prinsip-Prinsip Pokok Sistem Pemasyarakatan 115
C. Lembaga, Warga Binaan dan Proses Pemasyarakatan 123
1. Lembaga Pemasyarakatan 123
2. Warga Binaan Pemasyarakatan 125
3. Proses Pemasyarakatan 128
D. Sifat dan Corak Hukum Adat 132
1. Sifat Hukum Adat 132
2. Corak Hukum Adat 132
E. Prinsip-Prinsip Hukum Adat di Indonesia 135
1. Prinsip Keseimbangan Holistik 137
2. Prinsip Komunal Kekeluargaan 139
BAB IV LANDASAN TEORETIS PEMBERLAKUAN PIDANA PENJARA DI INDONESIA DAN TINJAUANNYA DALAM HUKUM ADAT
A. Landasan Teoritis Pemberlakuan Pidana Penjara di Indonesia 146
1. Pengaruh Teori-Teori dalam Aliran Klasik terhadap Pidana Penjara di Indonesia 146
2. Pengaruh Teori-Teori dalam Aliran Modern Terhadap Pidana Penjara di Indonesia 157
3. Suatu Konklusi: Landasan Teoritis Pemberlakuan Pidana Penjara di Indonesia 169
B. Pidana Penjara dalam Tinjauan Hukum Adat 172
4. Urgensi Hukum Adat dalam Meninjau Pidana Penjara di Indonesia 172
5. Pidana Penjara dalam Tinjauan Prinsip Keseimbangan Holistik
.................................................................................................. 178
6. Pidana Penjara dalam Tinjauan Prinsip Komunal Kekeluargaan
.................................................................................................. 184
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 188
B. Saran 192
DAFTAR PUSTAKA 193
CURICULUM VITAE 199
ABSTRAK
Pidana penjara pertama kali dikenal di Indonesia setelah Belanda memberlakukan wetboek xxx xxxxxxxxxx voor nederlandsch-indie. Ia diberlakukan mengacu pada prinsip konkordansi dimana hukum-hukum yang berlaku di Belanda diberlakukan juga di semua tanah jajahannya. Pidana penjara dalam perkembangannya mendapat legitimasi penuh setelah Indonesia merdeka. Berbekal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, wetboek xxx xxxxxxxxxx berubah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dimana pidana penjara terdapat di dalamnya. Permasalahan utama pemberlakuan pidana penjara adalah, ia bukanlah intrumen pemidanaan asli bangsa Indonesia. Pondasi nilai yang dibangun dalam pidana penjara merupakan nilai-nilai yang bersumber dari barat yang darinya mencerminkan gagasan-gagasan individualisme dan materialisme, sedangkan pondasi nilai dalam kultur bangsa Indonesia adalah gagasan ketimuran berasaskan gotong royong yang tercermin dalam hukum adat. Ia bersifat magis-religius yang berpusat pada hal-hal transendental. Perbedaan orientasi nilai menimbulkan problem yang problematik sehingga penulis tertarik untuk membenturkan pidana penjara tersebut dengan hukum adat dan memunculkannya ke permukaan. Penelitian ini akan dimulai dengan mengkaji landasan teoretis pemberlakuan pidana penjara di Indonesia yang kemudian dilanjutkan dengan tinjauannya dari hukum adat.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan yuridis-normatif. Objek penelitian adalah pidana penjara. Metode pengolahan dan penyajian menggunakan bahan hukum primer melalui pengkajian sumber-sumber yang sudah terdokumentasikan dalam bentuk bahan-bahan hukum. Metode analisis penelitian analisis-kualitatif yaitu dengan memberikan analisis pada bahan-bahan hukum yang telah tersedia.
Hasil Penelitian ini menyimpulkan bahwa pidana penjara di Indonesia terpengaruh oleh ajaran-ajaran pada aliran klasik dan ajaran-ajaran pada aliran modern. Pengaruh ajaran pada aliran klasik tampak pada awal pembentukan pidana penjara yang berorientasi pembalasan, sedangkan pengaruh ajaran aliran modern tampak pada perkembangan gagasan-gagasan pada pembaharuan pidana penjara dan memuncak setelah gagasan pemasyarakatan yang dicetuskan Xx. Xxxxxxxx xxxxxxxxxxx. Pidana penjara dapat diterima oleh hukum adat jika terdapat kesesuaian dengan prinsip-prinsip pokoknya. Hasil penelitian ini menyimpulkan, ketika pidana penjara dibenturkan dengan prinsip-prinsip hukum adat ternyata terdapat keserasian yang cukup memadai. Pidana penjara mampu mengcover ajaran tentang keseimbangan masyarakat, keseimbangan individu dan prinsip komunal kekeluargaan. Namun, kekurangan pidana penjara dengan gagasan pemasyarakatan adalah ia kurang mengeksplor keseimbangan-keseimbangan alam yang terdapat dalam hukum adat.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pidana penjara di Indonesia baru dikenal setelah Belanda datang pada abad ke-17. Mereka datang dengan membawa prinsip de Nederlandeer, die over zeen en oceanen baab koos naar de koloniale gebieden, nam zij eigenrecht mee (orang- orang Belanda yang berada di seberang lautan dan samudera luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya membawa hukumannya sendiri untuk berlaku baginya).1 Prinsip ini dibawa Belanda tidak hanya di Indonesia, tapi juga meliputi seluruh tanah jajahannya. Ekploitasi daerah jajahan dengan membawa hukum induk membuat tanah jajahan dapat terkontrol dengan baik oleh pemerintahan Belanda pusat.
Pidana penjara kemudian melekat di nusantara dengan dibentuknya wetboek xxx xxxxxxxxxx voor nederlandch-Indie (WvS). WvS ini dibentuk dengan firman Belanda tanggal 15 Oktober 1915. Semenjak dibentuknya WvS, maka secara sah pidana penjara menjadi bagian dari stelsel sanksi hukum pidana di Indonesia.2
1 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum pidana di Indonesia, (Bandung:Xxxxxx Xxxxxxx, 2003), hlm. 6.
2 Masa awal kedatangan Belanda Indonesia mengalami dualisme hukum pidana. Untuk orang-orang Eropa berlaku kitab undang-undang hukum pidana tersendiri, sedangkan untuk orang- orang Indonesia dan orang-orang timur asing berlaku suatu kitab undang-undang hukum pidana yang termuat dalam ordonantie. Firman Belanda pada tanggal 15 Oktober 1915 menggantikan kedua kitab undang-undang hukum pidana tersebut dan diberlakukan bagi semua penduduk Indonesia. Lihat, Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, ibid.
Setelah Indonesia merdeka wetboek xxx xxxxxxxxxx kemudian dialihbahasakan. Ia dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Legitimasi KUHP didapat dari Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal 2 aturan peralihan otomatis menjadikan nilai-nilai dan asas-asas dalam KUHP berfungsi sebagai acuan utama dalam perkembangan Hukum Pidana di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang.
Jenis-jenis sanksi pidana di dalam KUHP yang diancamkan kepada pembuat delik ada dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana penjara merupakan bagian pidana pokok yang kedudukannya sejajar dengan pidana mati, kurungan dan denda. 3 Pidana pokok tersebut dapat dirumuskan secara tunggal, sedangkan pidana tambahan hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Tidaklah dapat berdiri sendiri (bersifat fakultatif), artinya dapat dijatuhkan tetapi tidak harus.4
Pidana penjara berbentuk perampasan kemerdekaan seseorang sebagai bagian dari reaksi masyarakat atas tindak pidana yang dilakukan pelaku. Ia ditutup dalam sebuah ruang penjara dengan mewajibkan orang itu untuk menaati semua peraturan dan tata tertib yang berlaku di dalamnya.5
3 KUHP pasal 10.
4 I gede Xxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Pidana:Materi Penghapus, Peringan dan Pemberat Pidana, (Malang:Bayumedia Publishing, 2012), hlm. 34.
5 P.A.F. Lamintang dan Xxxx Xxxxxxxxx, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta:Rineka Cipta,2012), hlm. 54.
Pidana penjara dalam pengertian perampasan kemerdekaan terdiri dari pidana penjara itu sendiri dan pidana kurungan. Kedua jenis pidana ini dipisah dalam pembagian bentuk pidana. Namun melihat esensi pidana kurungan yang mengandung unsur perampasan kemerdekaan, maka pidana kurungan dapat dikategorikan sebagai bagian dari pidana penjara secara luas.
Setelah Indonesia terinfiltrasi oleh pidana penjara dalam kebijakan penggunaan sanksi pidananya, ia berubah menjadi sanksi pidana yang sangat populer. Hal ini tampak dari pola perumusan ancaman pidana yang diambil para pemangku kebijakan waktu itu ketika merumuskan tiap-tiap butir pasal dalam KUHP. Dari sana akan terlihat sembilan bentuk perumusan ancaman pidana, yaitu:
1. Diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
2. Diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara tertentu;
3. Diancam dengan pidana penjara (tertentu);
4. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan;
5. Diancam dengan pidana penjara atau kurungan atau denda;
6. Diancam dengan pidana penjara atau denda;
7. Diancam dengan pidana kurungan;
8. Diancam dengan pidana kurungan atau denda;
9. Diancam dengan pidana denda.6
6 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana:Perkembangan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 158.
Dari sembilan bentuk perumusan ancaman pidana, delapan bentuk merupakan pola perumusan tindak pidana yang ancamannya adalah perampasan kemerdekaan atau penjara. Dominasi bentuk perumusan ancaman pidana berbanding lurus dengan perumusan delik dalam pasal-pasal KUHP. KUHP mencantumkan pidana penjara sebesar 97,96%, baik dirumuskan secara tunggal maupun dirumuskan secara alternatif dengan jenis-jenis pidana lain.7 Kepopuleran pidana penjara di Indonesia juga terlihat dari kedudukan sanksi pidana penjara yang merupakan salah satu pidana pokok, namun dijadikan pidana utama yang diancamkan mayoritas semua tindak pidana di dalam KUHP.
Pidana penjara itu sendiri pada awalnya berasal dari code penal Prancis. Xxxxxx Xxxxxxxx yang waktu itu berkuasa memberlakukan code penal tersebut di Belanda pada abad kesembilan belas.8 Pada waktu itu, di Barat terdapat gagasan materialisme. Orang-orang barat memulai pelayaran dalam upaya mencari dan menemukan negari-negeri di luar Eropa guna akhirnya dikuasai dan diambil kekuasaannya. Xxxxxan tersebut yang menjadi landasan hidup bangsa-bangsa Eropa pada zaman itu, yang akhirnya membawa Belanda datang ke Indonesia membawa corak hukum mereka sebagai perpanjangan tangan code penal.
Orang-orang Belanda dan Eropa pada umumnya tersebut berjiwa nekad. Sebagai petualang mereka sanggup menanggung risiko yang besar bagi dirinya sendiri. Sebagai petualang yang demikian, orang-orang Belanda tersebut jiwanya adalah penganut kuat paham individualisme dan materialisme. Individualisme,
7 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Kebijakan Legislatif dengan Xxxxxx Xxxxxxx, (Semarang:Badan Penerbit UNDIP, 1996), hlm. 70.
8 Xxxxxxx, op. cit., hlm. 6.
karena resiko yang besar dan tinggi tidak akan mudah berbagi sepenuhnya dengan orang lain, maka dari itu harus benar-benar individualis. Mereka berpetualang dengan harapan perbaikan kehidupannya didunia ini untuk menjadi serba kecukupan dalam arti materi yang berlimpah. Dari itu, orang-orang Belanda itu berjiwa sekuler dan materialis. Jiwa yang demikian ini dalam melihat dunia dan kehidupan adalah jiwa atau filsafat hidup yang disebut hedonisme. Mereka memandang tujuan hidup adalah mencari kenikmatan dan kebahagiaan melalui kekayaan materiil yang melimpah.9
Landasan hidup yang demikian sangat berpengaruh terhadap produk- produk hukum yang mereka keluarkan. Pidana penjara yang lahir di abad-abad tersebut, tentu mempunyai basis filsafat yang sama, yaitu materialis, hedonis dan pragmatis pula. Xxxxxx penjara berangkat dari upaya balas dendam untuk memuaskan kemarahan individu yang menjadi korban. Nilai-nilai seperti ini ikut merasuk ke dalam urat nadi sistem hukum pidana kita dengan digunakannya wetboek xxx xxxxxxxxxx sebagai acuan hukum pidana Indonesia.
Basis nilai dari pidana penjara yang demikian dalam beberapa waktu memang menggelisahkan para intelektual bangsa sehingga pada tahun 1964, Xx. Xxxxxxxx, memplokamirkan ide pemasyarakatan sebagai basis nilai yang baru bagi pidana penjara. Ide pemasyarakatan sebagai metamorfosis pidana penjara mengubah haluan dari tujuan penjara kolonial menjadi tujuan penjara yang lebih humanis. Prinsip pengayoman yang menjadi dasar sistem pemasyarakatan dalam
9 Moh. Koesnoe, Hukum Adat: dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalannya Menghadapi Era Globalisasi, (Surabaya:Ubhara Press, 1996), hlm. 132.
penjara, mengubah wajah pidana yang semula berupa penyiksaan menjadi bertujuan membimbing narapidana agar menjadi masyarakat yang baik.10
Ide pelaksanaan penjara yang baru tersebut didasarkan pada pandangan bahwa tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia meskipun telah tersesat, tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa ia adalah penjahat, sebaliknya ia selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Orang-orang tersebut adalah makhluk kemasyarakatan yang hidup dalam masyarakat, jadi ia harus kembali ke masyarakat sebagai warga yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelakang. Xxxxxxxxxx yang dijatuhi pidana penjara sejatinya hanya pidana kemerdekaan bergeraknya yang dirampas, jadi perlu diusahakan supaya mereka mempunyai suatu pencaharian dan mendapatkan upah untuk pekerjaannya.11
Ide-ide pemasyarakatan sebagai tujuan dari pidana penjara disambut baik dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Undang-undang ini mengatur pemasyarakatan dan perlakuan terhadap narapidana agar tercapai tujuannya yang esensi berupa perbaikan terhadapnya.
Ide pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan merupakan metamorfosis yang luar biasa dalam merombak basis nilai pidana penjara di Indonesia. Hal itu sangat layak untuk diapresiasi dan merupakan perkembangan positif bagi hasanah hukum pidana dan pemidanaan. Namun, orientasi pidana
10 Marlina, Hukum Pentensier Indonesia, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2011), hlm. 124.
11 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 74.
penjara dengan sistem pemasyarakatan haruslah dikaji menurut basis nilai yang tercermin dalam pemikiran-pemikiran adat.
Alasan utama mengapa nilai-nilai adat yang dijadikan acuan dalam mengkaji pidana penjara adalah karena nilai-nilai adat adalah nilai asli bangsa Indonesia. Adat adalah perwujudan keinginan-keinginan dan cita-cita masyarakat Indonesia sejak dahulu sampai sekarang. Ia merupakan cita hukum (rechtsidee) bangsa yang merupakan ramuan dari berbagai macam nilai yang memegang peranan penting di dalam hidup manusia Indonesia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Pandangan demikian dicetuskan dengan terang benderang jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1928 di dalam kongres pemuda. Pada moment tersebut, gerakan perjuangan bangsa mencapai titik kebulatan dan ketegasaannya, dimana hukum adat diperkenalkan dan diakui sebagai salah satu faktor pemersatu bangsa Indonesia. Secara lengkap, faktor-faktor yang disebutkan di dalam keputusan kongres tersebut adalah kemauan, sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan dan kepanduan.12
Kongres pemuda pada tahun 1928, membantu mengokohkan persatuan gerakan kebangsaan Indonesia yang mengarah pada pengamanan hasil perjuangan itu untuk sampai pada kemerdekaannya. Hukum adat sebagai hukum rakyat Indonesia pada waktu itu menjiwai perjuangan dengan meresapnya asas kekeluargaan dan tanggung jawab bersama dalam membina perjuangan dan
12 Moh. Koesnoe, Hukum adat: dalam alam. op.cit., hlm. 2.
mempertahankan kemerdekaan sampai berhasil.13 Oleh sebab itu, pidana penjara yang telah berkembang dan mengalami transisi nilai harus, disesuaikan dengan pandangan hidup yang terdapat dalam nilai-nilai adat.
Filsafat hidup yang dianut bangsa Indonesia menurut adat dalam melihat tujuan hidup manusia di dunia adalah untuk mencapai kesempurnaan bagi manusia. Kemakmuran materiil saja karenanya tidak menjadi dambaan yang pokok dan utama lebih-lebih sebagai satu-satunya harapan. Dalam filsafat hidup yang demikian, masyarakat yang diidamkan adalah suatu masyarakat yang penuh rasa kebahagiaan lahir batin.14
Bagi masyarakat Indonesia, landasan utama bagi hukum adalah keseimbangan, keselarasan dan keserasian antara golongan manusia sebagai keseluruhan dan orang seorang dan antar persekutuan masyarakat. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, sanksi yang dijatuhkan hanya berupa tindakan- tindakan untuk memulihkan keseimbangan hukum tersebut 15 tanpa mengenal sanksi penjara. Upaya pembetulan hukum yang diambil bervariasi, tidak selalu berupa pemberian derita, namun didasarkan pada rasa keadilan dalam masyarakat. Tindakan yang semula merupakan pelanggaran hukum dan harus dipidana, lambat laun tidak lagi harus dipidana karena hukum berubah.16 Segala sesuatu berjalan sesuai dengan jalannya perubahan rasa keadilan rakyat tersebut.
13 Ibid, hlm. 3.
14 Ibid, hlm. 135.
15 Ibid., hlm. 177.
16 Ibid.
Ide pemasyarakatan dalam pidana penjara, tampak menerobos jalan tengah dengan mengambil prinsip pemidanaan modern berupa penjara dan mengaitkannya dengan tujuan perbaikan yang tidak lebih merupakan perwujudan dari pemulihan keseimbangan hukum yang merupakan nilai asli bangsa Indonesia. Namun, ide-ide tersebut harus dikaji lebih jauh mengingat pidana penjara pada dasarnya merupakan salah satu jenis sanksi yang tidak disukai. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, ada dua alasan mengapa sistem sanksi pidana tidak disukai. Pertama, berdasarkan fakta bahwa tidak ada pelaku kejahatan yang bertanggung jawab atas aksi-aksi mereka dan tidak ada pelaku yang dipidana secara adil. Kedua, rehabilitasionis mengajukan klaim bahwa sistem rehabilitasi masih lebih baik daripada sistem sanksi pidana, sekalipun beberapa atau semua pelaku bertanggung jawab atas aksi-aksi mereka.17
Masyarakat international, yang notabene pengkonsumsi utama pidana penjara dalam sistem pemidanaannya, juga mulai melontarkan kritik-kritik tajam seputar pidana penjara. Kritik-kritik tersebut ditujukan kepada pidana penjara karena melihat efektivitasnya dan akibat-akibat negatif yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang.
Sorotan dan kritik-kritik tersebut tidak hanya ditujukan oleh para ahli secara perorangan, tetapi juga oleh masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa kongres internasional. Dalam sebuah Laporan Kongres PBB Kelima tahun 1975 di Geneva mengenai Privenion of Crime and Treatment of Offenders antara lain dikemukakan bahwa di banyak negara terdapat krisis kepercayaan
17 Ibid, hlm. 72
terhadap efektivitas pidana penjara dan ada kecenderungan untuk mengabaikan kemampuan lembaga-lembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengandalian kejahatan. 18 Kritik-kritik tajam tersebut memuncak sampai ada gerakan untuk menghapuskan pidana penjara. Menurut catatan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, setidaknya telah ada dua kali konferensi internasional mengenai penghapusan pidana penjara, yaitu International Conference on Prison Abolition (ICOPA). Pertama di Toronto, Kanada, pada bulan Mei 1983, dan kedua di Amsterdam, Nederland, bulan Juni 1985.19
Berkenaan dengan hal tersebut perlu diperhatikan pula pernyataan dari Konggres PBB yang berkaitan dengan pemberlakuan hukum asing pada suatu negara. Pada Konggres PBB mengenai “The Prevention of Crime and The Treatment of offenders” menyatakan bahwa sistem hukum pidana yang selama ini ada di beberapa negara (terutama yang berasal dari hukum asing semasa zaman kolonial) pada umumnya bersifat “obsolete and unjust” (telah usang dan tidak adil) serta “outmoded and unreal“ (sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai kenyataan).20
Dari alasan-alasan tersebut, tampak suatu urgensi untuk menelaah kembali pelaksanaan pidana penjara, terutama bila dikaitkan dengan nilai asli bangsa Indonesia yang tercermin dalam hukum adat. Hal ini tidak lepas dari sistem
18United Nations, Report, Fifth United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders. Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Bunga Xxxxxx,. op. cit., hlm. 193-194.
19 Ibid., hlm. 194.
20 Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1998), hlm. 103.
pemidanaan KUHP Indonesia yang juga masih memberikan ruang dominan bagi pelaksanaan pidana penjara.
Upaya-upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia juga ternyata memasukkan pidana penjara sebagai bagian dari stelsel sanksi pemidanaan yang dianggap masih penting dan layak untuk dipertahankan. Dalam pembaharuan hukum pidana, pidana penjara memang mengalami modifikasi di dalamnya dengan pembatasan-pembatasan, 21 namun tidak dapat disangkal, kedudukan pidana penjara sebagai instrumen utama pengendali kejahatan masih belum tergantikan. Ia masih dirancang sebagai instrumen penanganan kejahatan- kejahatan berat.
Mengingat dominannya pidana penjara di Indonesia, ketentuan-ketentuan dalam peraturan pelaksanaan pidana penjara menjadi sorotan utama. Dalam studi ini, prinsip pengayoman dalam sistem pemasyarakatan akan menjadi hal yang harus dibedah untuk dapat menemukan landasan pembenaran diberlakukannya pidana penjara di Indonesia.
Selain itu, pidana penjara tetap dapat diterima asalkan sesuai dengan ruh bangsa Indonesia yang bersifat ketimuran. Pidana penjara harus dibedah dan menyesuaikan karakter masyarakat Indonesia yang tercermin dalam hukum adat.
21Ibid, hlm. 161.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, penyusun merumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Apa landasan teoretis pemberlakuan pidana penjara di Indonesia?
2. Bagaimana pidana penjara ditinjau dari hukum adat Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara keseluruhan, penelitian ini bermaksud menjelaskan landasan teoretis yang melatarbelakangi pemberlakuan pidana penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dan kesesuaiannya dengan hukum adat. Adapun tujuan dan manfaat penelitian secara spesifik yaitu:
1. Tujuan
a. Menemukan, mengkaji dan menganalisis landasan teori pemberlakuan pidana penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dalam stelsel sanksi di Indonesia
b. Menemukan, mengkaji dan menganalisis teori-teori pemberlakuan pidana penjara ditinjau dari hukum adat.
2. Manfaat
a. Secara teoretis, penelitian ini diharapakan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya, terutama pengembangan aspek teoretis mengenai sanksi pidana penjara di Indonesia.
b. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat menambah wawasan bagi penulis dan pembaca secara keseluruhan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga legislatif dalam merumuskan aturan KUHP baru, khususnya mengenai kebijakan pidana penjara yang sesuai dengan cita hukum bangsa.
D. Orisinalitas Penelitian
Dalam penyusunan sebuah tesis, studi pustaka sangatlah penting sebelum penulis melakukan langkah yang lebih jauh dan berguna untuk memastikan orisinalitas bahwa penelitian tentang landasan teoretis pidana penjara dan tinjauannya dalam hukum adat belum pernah diteliti atau dibahas. Penulis telah melakukan pra-penelitian terhadap beberapa karya ilmiah yang mempunyai korelasi tema dengan topik tesis ini. Akan tetapi, dari beberapa literatur tersebut penyusun menemukan perbedaan artikulasi pembahasan antara yang dibahas oleh literatur-literatur tersebut dengan tesis ini.
Penelitian mengenai landasan teoretis pemberlakuan pidana penjara sebagai bagian dari sanksi pidana dalam KUHP di Indonesia dan tinjauannya dalam hukum adat, sepanjang pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan yang berkaitan dengan landasan kebijakan peletakan pidana penjara dalam sistem tidak menyentuh substansi kajian yang penulis teliti. Perbedaan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan dengan yang penulis akan lakukan beberapa di antaranya adalah:
Tesis yang disusun oleh Xxxxxx Xxxxxxxx, S.H. yang berjudul “Pidana Pengawasan dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia” pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang pada Tahun 2007. Tesis tersebut mengambil fokus penelitian penjatuhan pidana pengawasan dalam sistem pemidanaan di Indonesia. Dalam analisisnya, penelitian ini dikaitkan dengan formulasi pengaturannya sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Tesis yang disusun oleh Xxxxx, S.H. yang berjudul “Pembinaan Narapidana dalam Kerangka Pencapaian Tujuan Sistem Pemasyarakatan (Studi di Lapas Pemuda Plantungan” pada Program Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang pada Tahun 2012. Tesis tersebut mengambil fokus penelitian pembinaan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Plantungan yang didasarkan pada sistem pemasyarakatan. Penelitian ini juga menganalisis hambatan-hambatan yang dihadapi Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Plantungan dalam proses pembinaan narapidana.
Tesis yang disusun oleh I Made Sukanegara yang berjudul “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan dalam Pembaharuan Sistem Pemidanaan di Indonesia” pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang pada Tahun 2007. Tesis tersebut mengambil fokus penelitian menegnai kebijakan formulasi tujuan dan pedoman pemidanaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan integrasinya dalam pembaharuan sistem pemidanaan di Indonesia.
Dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan diatas terdapat perbedaan mendasar dengan penelitian yang akan penulis kaji. Penelitian-penelitian tersebut belum menyentuh ide dasar pidana penjara di Indonesia. Pembahasan pada penelitian-penelitian tersebut memang sudah menyentuh kajian seputar sistem pemasyarakatan, namun belum menjelaskan esensi dari pidana penjara itu sendiri.
Penelitian ini mencoba menjelaskan landasan teoretis pemberlakuan pidana penjara yang selama ini menjadi ujung tombak pemidanaan di Indonesia serta tinjauannya dalam hukum adat. Oleh sebab itu, kajian tentang landasan teoretis pidana penjara dan tinjauannya dalam hukum adat sepanjang pencarian penulis belum pernah diteliti dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah
E. Landasan Pemikiran
Kenyataan yang ada berkaitan dengan pidana penjara sekarang adalah, pidana penjara merupakan pidana favorit yang yang paling banyak dijatuhkan hakim dan paling banyak variannya dalam penggunaan sanksi pidana. Padahal pidana penjara itu sendiri tidak dikenal dalam budaya masyarakat kita.
Jika ditinjau tentang penentuan jenis ancaman pidana, penjatuhan dan pelaksanaan pidana berhubungan erat dengan tujuan pemidanaan. 22 Tujuan pemidanaan ini berubah-ubah seiring dengan tren dari aliran-aliran hukum pidana yang populer dalam khasanah pemidanaan internasional. Tujuan-tujuan pemidanaan ini berkembang dan mengkristal menjadi teori-teori pemidanaan.
22 Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 84.
Ajaran pertama tentang tujuan pemidanaan dalam teori absolut yang berpegang pada aliran klasik. Teori ini memandang bahwa setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana. Seseorang mendapat pidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana. Tidak dipedulikan apakah dengan demikian masyarakat akan dirugikan. Pemidanaan dipandang ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.23
Teori absolut ini kemudian berubah. Dengan bergesernya pandangan masyarakat tentang hukuman, timbul aliran modern yang memayungi teori pemidanaan yang baru. Teori absolut dipandang sudah tidak ada interkoneksi lagi dengan tujuan hukum secara umum untuk menciptakan tatanan masyarakat yang tertib dan seimbang.24 Hal ini mengingat teori absolut hanya melihat pemidanaan sebagai reaksi ke dalam berupa pembalasan tanpa mau tahu apakah pembalasan tersebut berdampak terhadap masyarakat atau tidak.
Pertentangan filosofis tersebut membuat tujuan pexxxxxxan bergeser dari teori absolut menuju teori relatif pexxxxxxan. Berdasarkan dialektika Xxxxx, jika teori absolut merupakan tesis, maka teori relatif merupakan antitesisnya. Menurut teori-teori ini, kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Selain kejahatan, harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi penjahat itu sendiri. Pemidanaan tidak saja dilihat pada masa lampau,
23 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, op.cit. hlm. 23.
24 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hlm. 77.
tetapi juga masa depan.25 Pemidanaan dengan demikian, bertujuan lebih jauh daripada hanya menjatuhkan pidana saja. Tujuan pemidanaan diarahkan kepada upaya prevensi (pencegahan), agar tidak terjadi kejahatan serupa di kemudian hari. Prevensi ini ada dua macam, prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum mengehendaki agar orang-orang pada umumnya tidak melakukan delik26 sedangkan prevensi khusus bertujuan mencegah niat buruk pelaku untuk mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yagn direncanakannya.27
Seiring berjalannya waktu, timbullah teori gabungan sebagai sintesa antara teori absolut dan teori relatif tujuan pemidanaan.Teori gabungan menghendaki adanya unsur pembalasan sekaligus menghendaki pula unsur prevensi umum dan khusus melekat dalam suatu pemidanaan.28 Grotius mengembangkan teori gabungan yang menitikberatkan keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi berguna bagi masyarakat. Dasar tiap-tiap pidana adalah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana, tetapi kesesuaikan itu ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat.29
Pidana penjara paling awal yang ada di Indonesia adalah pidana penjara yang menganut teori absolut. Sebab ia dibawa oleh Belanda dengan semangat membalas dan menindas. Bahkan, fakta-fakta reformis penjara tampaknya
25 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, op.cit., hlm. 25.
26 Xxxx Xxxxxx, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 2008), hm. 183.
27Ibid., hlm. 35.
28 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, op.cit., hlm. 27.
29 Xxxx Xxxxxx, loc.cit. hlm. 36.
memungkinkan munculnya pandangan bahwa penderitaan dalam pemidanaan telah bertambah buruk.30
Beberapa dekade setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1964, pidana penjara mengalami metamorfosis dengan mengusung gagasan pemasyarakatan yang dicetuskan Xx. Xxxxxxxx. Ide pemasyarakatan ini sejalan dengan ide aliran modern yang memandang pelaku bukan sebagai objek, namun sebagai subjek yang harus dirangkul agar dipisahkan sifat jahat dari orangnya. Pidana penjara yang baru dengan gagasan pemasyarakatannya mempunyai orientasi perbaikan, baik perbaikan pelaku, maupun perbaikan masyarakat. Ide ini bersisian dengan teori utilitarian.
Ide-ide penggunaan pidana penjara dalam sistem hukum di Indonesia berdasarkan uraian di atas adalah mutlak dari ide-ide Barat. Mereka mempunyai tatanan nilai yang berbeda dengan bangsa Indonesia yang menganut kebijaksanaan ketimuran. Padahal, yang disebut hukum yang baik adalah hukum yang lahir dari kemauan masyarakat dan sesuai dengan bangunan nilai masyarakat yang ada. Hukum yang baik, lahir bukan dari kebiasaan maupun perintah penguasa, melainkan lahir dari perasaan keadilan yang terdapat dalam jiwa bangsa (volkgeist). Hukum tumbuh dan berkembang bersama jiwa masyarakat (des recht wird nich gemacht, est ist und wird mit dem volke). Hukum dengan demikian
30 Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana:Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 72.
bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi dari hukum ditentukan oleh hidup manusia menurut sejarahnya.31
Dalam pandangan yang demikian, maka adanya hukum bukan karena pemberian dari bangsa lain. Hukum menjadi ada karena ia ditemukan dalam masyarakat. Setiap aturan atau undang-undang tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas.32
Penggunaan suatu hukum (yang dalam konteks ini adalah penggunaan pidana penjara) tidak mungkin dapat dipisahkan dari masyarakat atau sejarah suatu bangsa. 33 Sebab budaya bangsa yang lain daripada lainnya merupakan bahan idiil yang membangun hukum. Ia terdiri dari cipta, karsa dan rasa masyarakat yang apabila hal tersebut tidak ada, maka bangunan masyarakat hukumnya menjadi rapuh.34
Pandangan demikian secara lunak juga terkandung dalam bangunan nilai bangsa Indonesia yang biasa disebut cita hukum (rechtsidee). Di dalam penjelasan bagian umum dari UUD 1945 dijelaskan bahwa hukum nasional Indonesia mempunyai rechsidee yang oleh UUD 1945 dijelmakan dalam pasal-pasalnya. Unsur rechtsidee ini, dicari endapannya yang dalam dirinya mengandung suatu
31 Ide tentang hukum yang berasal dari jiwa bangsa adalah ide tentang hukum pada aliran hukum sejarah yang dikemukakan Friechrich Xxxx Xxx Xxxxxxx. Mahzab sejarah ini lahir di tengah-tengah revolusi Prancis sebagai reaksi terhadap aliran hukum alam maupun aliran positivisme hukum. Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila, (Yogyakarta:Media Perkasa, 2013), hlm. 26.
32 Ibid., hlm. 27.
33 Xxxxxxxxx, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung:Xxxxxx Xxxxxxx, 2010), hlm. 39.
34 Moh. Xxxxxxx, “Memahami Arti Yuridis dengan Busananya yang Rapi”, Varia Peradilan, No. 99, Edisi Desember 1993, hlm. 147.
sintesa antara nilai-nilai yang murni idiil dan alam nyata yang mengelilingi rakyat Indonesia. Sintesa tersebut terjadi berkat xxxx xxxx rakyat Indonesia yang dalam cita rasanya dibimbing oleh filsafat budaya rakyat, yaitu yang disebut filsafat adat.35 Filsafat adat inilah yang merupakan cipta, karsa dan rasa masyarakat asli bangsa Indonesia. Atau dengan kata lain, jiwa bangsa (volkgeist) dalam masyarakat Indonesia tercermin pada filsafat adat berserta hukumnya.
Sistem hukum yang pertama lahir di Indonesia adalah sistem hukum adat. Hukum adat merupakan hukum yang lahir dari kebudayaan asli Indonesia. Sistem hukum adat diterapkan di Indonesia karena hukum adat merupakan penerus dari aturan-aturan setempat yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan budaya yang ada di wilayah nusantara. Hukum adat merupakan keseluruhan aturan tingakah laku yang berlaku bagi masyarakat Indonesia.36
Yang perlu penulis singgung kembali dari hasil pendekatan tersebut adalah bahwa cita hukum nasional yang mengandung asas-asas hukum nasional Indonesia yang berlaku dewasa ini bersumber dari hukum adat. Hal ini pernah dicetuskan pada tahun 1928 di dalam kongres pemuda Indonesia. Dalam momentum itu ditegaskan, bahwa hukum yang memperkuat persatuan Indonesia adalah hukum adat.37
Oeh sebab itu, pidana penjara sebagai instrumen hukum yang bukan merupakan budaya hukum masyarakat asli bangsa Indonesia, haruslah berpatok
35 H. Moh. Koesno, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional Ditinjau dari Hukum Adat”, Varia Peradilan, No. 120, Edisi September 1995, hlm. 105.
36 Xxxxx Xxxxxxxx, Sistem Hukum Pncasila op.cit, hlm. 75.
37 X. Xxx Xxxxxxx, “Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum op.cit.
pada kebijaksanaan-kebijaksanaan adat. Pidana penjara dimungkinkan untuk diterima, mengingat sifat dan karakter hukum adat yang fleksibel, namun harus tetap sesuai dengan haluan-haluan adat yang merupakan karakter budaya bangsa.
F. Definisi Operasional
Dalam rangka menyamakan persepsi dan demi menghindari perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, berikut rumusan definisi yang dapat digunakan sebagai pedoman operasional dalam studi ini.
1. Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua peraturan tata tertib yang berlaku di dalam lembaga pemasyarakatan, yang dikaitkan dengna sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar peraturan tersebut.38
Xxxx Xxxxxx memberikan definisi pidana penjara sebagai bentuk pidana yang berupa kehilangan kemerdekaan. Pidana kehilangan kemerdekaan itu bukan hanya dalam bentuk pidana penjara, tetapi juga berupa pengasingan, misalnya di
38 P.A.F. Lamintang dan Xxxx, Hukum Penitensier...op. cit., hlm. 69.
Rusia pengasingan ke Siberia dan juga berrupa pembuangan ke seberang lautan, misalnya dahulu pembuangan penjahat-penjahat Inggris ke Australia.39
Pada zaman kolonial, di Indonesia juga dikenal sistem pengasingan yang didasarkan pada hak istimewa Gubernur Jendral (exorbitante), misalnya pengasingan Hatta dan Xxxxxxx ke Boven Digoel kemudian ke Xxxxx, pengasingan Xxxxxxxx ke Endeh kemudian ke Bengkulu.40
Pidana penjara definisi Xxxx Xxxxxx, sesuai pasal 10 KUHP yang identik dengan pidana penjara dan pidana kurungan. Khusus pidana kurungan, ia merupakan bagian dari pidana penjara karena sifatnya yang sama karena menghilangkan kemerdekaan seseorang meskipun dalam batas yang lebih lunak.
Istilah pidana penjara yang dipakai dalam penelitian ini adalah suatu bentuk sanksi berupa perampasan kemerdekaan bagi pelaku tindak pidana dalam suatu ruang tertutup. Pidana kurungan dalam konteks ini merupakan bagian dari pidana penjara.
2. Hukum Adat
Istilah hukum adat berasal dari kata-kata arab, huk’m dan adah. Huk’m artinya „suruhan‟ atau „ketentuan‟. Adah atau adat artinya kebiasaan, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi, jadi hukum adat adalah hukum
39 Xxxx Xxxxxx, Xxxx-Xxxx op.cit., hlm. 198.
40 Ibid.
kebiasaan.41 Pendapat lain menyatakan, bahwa adat sebenarnya berasal berasal dari bahasa Sansekerta a yang berti bukan, dan dato yang berarti sifat kebendaan. Dengan demikian, maka adat sebenarnya berarti sifat immateril: artinya, adat menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem kepercayaan.42
Secara makna, pengertian hukum adat dapat ditelusuri dari beberapa pendapat figur hukum adat:
a. Xxx xxxxxxxxxxx. Hukum adat menurut Xxx Xxxxxxxxxxx adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi dan di lain pihak tidak dikodifikasi. Jika hakim menemukan aturan-aturan adat, perilaku atau perbuatan yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk serta ada perasaan umum yang mengatakan bahwa aturan-aturan itu harus dipertahankan oleh para kepala adat dan para petugas hukum yang lain, maka aturan-aturan adat itu bersifat hukum.43
b. Ter Haar. Hukum adat menurut Ter Haar adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum adat yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan
41 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung:Bandar Maju, 2003), hlm. 8.
42 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 70.
43 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxantar op.cit., hlm. 13.
sepenuh hati. 44 Berbeda dengan Xxx Xxxxxxxxxxx, Ter Haar memandang hukum adat terbatas pada adat yang yang diputuskan petugas-petugas hukum adat. Adat-adat yang berlaku dalam masyarakat, jika tidak diputuskan petugas-petugas hukum adat tidak disebut hukum adat. Dengan kata lain, hukum adat dalam kerangka berpikir Ter Haar lebih sempit daripada hukum adatnya Xxx Xxxxxxxxxxx.
c. Xx. Xxxxxxx. Hukum adat menurut Soepomo adalah hukum non- statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat akar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.45
x. Xxxxxxxx Xxxxxxxx. Hukum Adat menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx adalah peraturan-peraturan yang bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dituntut dan kemudian dihukum. Kompleks adat-adat ini kebanyakan tidak
44 Ibid, hlm. 14.
45 Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, (Jakarta: Penerbitan Universitas, 1967), hlm.
5.
dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan dan mempunyai akibat hukum.46
e. Xxxxxxxx. Hukum adat menurut Xxxxxxxx adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.47
Istilah hukum adat yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah endapan nilai dari kebijaksanaan bangsa Indonesia baik yang tercermin dalam peraturan tertulis maupun tidak tertulis.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis termasuk dalam kategori penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif ini merupakan penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dan hukum tidak tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, tetapi tidak mengkaji aspek terapan dan implementasinya. Penelitian hukum normatif sering juga disebut penelitian hukum dogmatik atau penelitian
46 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxantar op.cit., hlm. 19.
47 Ibid., hlm. 20.
hukum teoretis (dogmatic or theoretical law research) 48 yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder49 sebagi rujukan utama.
Peneliti sepenuhnya menggunakan data sekunder, yang mana penyusunan kerangka teoretis yang bersifat tentatif dapat ditinggalkan meski harus mencantumkan kerangka konseptual atau kerangka pemikiran.50 Penulis memilih jenis penelitian ini karena bahan utama penelitian merupakan data sekunder yang berupa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pemasyarakatan dan aturan-aturan lain mengenai penjatuhan pidana penjara serta literatur-literatur lainnya.
2. Pendekatan Penelitian
Secara menyeluruh, penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis- normatif, yaitu pendekatan dalam memahami hukum dari kaidah normatif aturan hukum tersebut beserta penjelasannya. Dalam pendekatan yuridis-normatif, penulis menggunakan beberapa metode pendekatan yaitu pendekatan perundang- undangan (statue approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analisis (analytical approach), pendekatan historis historis approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach).51
48 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung:Citra Xxxxxx Xxxxx, 2004) hlm . 101.
49 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 11.
50 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia, 2001), hlm. 51-53.
51 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta: Fajar Interpratama, 2005), hlm.
93-137.
3. Objek Penelitian
Objek dari penelitian ini terbatas pada pengaturan pidana penjara di Indonesia dan kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip hukum adat. Penulis mula- mula akan mengurai tentang landasan teoretis pidana penjara untuk kemudian mengambil kesimpulan dari tinjauannya dengan prinsip-prinsip hukum adat.
4. Bahan Hukum
Peneliti menggunakan istilah bahan hukum sebagai karakteristik dari penelitian hukum normatif. Bahan hukum ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan obyek penelitian.52 Bahan-bahan hukum primer yang digunakan peneliti adalah Undang-Undang pemasyarakatan. Undang-undang pemasyarakatan merupakan aturan hukum positif yang bersifat mengikat dan dapat dipaksakan sehingga peneliti memasukkan dalam bahan hukum primer.
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. 53 Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersumber dari penelitian kepustakaan yaitu data yang diperoleh tidak secara langsung dari sumber pertamanya,
52Amirudin dan X. Xxxxxx Xxxxxx, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada,2004), hlm.118.
53 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxx, op. cit., hlm . 13.
melainkan bersumber dari bahan-bahan yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan-bahan hukum.
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep KUHP, buku-buku (text book), artikel, dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder adalah suatu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan-bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hokum. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamuskamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan-bahan hukum sekunder dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book), artikel, hasil- hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Pengolahan dan Penyajian Bahan Hukum
Melihat bahwa dalam penelitian ini dipusatkan pada bahan hukum, maka pengumpulan bahan dilakukan dengan studi kepustakaan. Studi tersebut sangat membantu dalam penelitian ilmiah untuk memperoleh pengetahuan yang dekat dengan gejala yang dipelajari, dengan memberikan pengertian, menyusun persoalan yang tepat mempertajam perasaan untuk meneliti, membuat analisis dan membuka kesempatan memperluas pengalaman ilmiah.
6. Analisis atau Pembahasan
Analisis bahan hukum adalah tahap yang paling penting dalam penelitian karena pada tahap ini berfungsi memberikan pemahaman serta arti terhadap bahan hukum yang telah diperoleh. Kerangka analisis yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis kualitatif, yang memberikan analisis dengan melihat bahan hukum yang diperoleh. Bahan hukum tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berfikir yang berangkat dari teori atau kaidah yang ada. Metode ini digunakan untuk menganalisis secara menyeluruh kebijakan penggunaan sanksi pidana penjara dalam KUHP Indonesia dan kebijakannya dalam RUU KUHP ke depan.
H. Sistematika Penulisan
Berdasarkan pada permasalahan dan perumusan masalah sebagaimana dikemukakan di atas, maka secara garis besar penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I berisi uraian tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pusataka atau orisinalitas penelitian, kerangka pemikiran, kerangka konseptual atau definisi operasional, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab ini berfungsi sebagai pengantar yang akan menjadi acuan penulis sebagai kerangka penelitian ke depan.
Xxx XX berisi tentang tinjauan teoretis mengenai pidana dan pexxxxxxan. Bagian awal bab ini akan merangkum kajian mengenai tujuan pemidanaan dan dasar penjatuhan sanksi. Kemudian dalam bab ini akan dijelaskan mengenai aliran-aliran dalam hukum pidana sebagai dasar berpijak bagi pemikiran- pemikiran mengenai pemidanaan. Dalam bab ini juga akan dikaji mengenai teori- teori pexxxxxxan yang lahir dari berbagai aliran-aliran hukum pidana. Dalam
teori-teori pemidanaan akan dijelaskan mengenai pemikiran-pemikiran tentang pemidanaan yang mulai mengkristal dan mempunyai bentuk.
Bab IV berisi kajian tentang pidana penjaradan prinsip-prinsip hukum adat. Dalam bab ini akan diterangkan mengenai objek penelitian ini, yaitu pidana penjara secara holistik di satu bagian dan prinsip-prinsip hukum adat di bagian lain. Kajian ini akan dimulai dari sejarah pidana penjara di dunia dan di Indonesia. Kajian tersebut penting untuk melacak darimana sebetulnya ide pidana penjara bermula dan bagaimana sistem pidana penjara masuk di Indonesia. Kemudian, kajian di bab ini akan dilanjutkan dengan pembahasan mengenai sistem pelaksanaan pidana penjara di Indonesia. Setelah pidana penjara masuk ke Indonesia dan menjadi bagian dari kultur sanksi nasional, penulis akan menerangkan mengenai sistem pelaksanaannya. Kemudian bagian kedua, penulis akan menyusun prinsip-prinsip hukum adat sebagai basis tinjauan dari pidana penjara. Di bagian ini, mula-mula penulis akan mengkaji hubungan individu, masyarakat dan alam dalam hukum adat. Kemudian penulis akan menguraikan karakter, sifat dan corak hukum adat. Di bagian terakhir pada bagian ini, penulis akan mengurai tentang hukum delik adat yang memayungi hukum pidana nasional.
Bab V berisi tentang pemaparan dan pembahasan hasil penelitian mengenai pidana penjara dalam prinsip-prinsip hukum adat. Dalam bab ini semua teori akan dijadikan acuan analisis untuk menjawab rumusan masalah yang telah dipaparkan di depan.
Bab VI berisi simpulan dan rekomendasi hasil penelitian yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Dalam bab ini juga akan dipaparkan jawaban dari bab V atas permasalahan yang melatarbelakangi penelitian ini diadakan.
BAB II
LANDASAN TEORETIS TENTANG PIDANA DAN PEMIDANAAN
A. Pidana dan Pemidanaan
1. Pidana
a. Istilah Pidana dan Hukum Pidana
Istilah hukum pidana merupakan istilah yang memiliki banyak sudut pandang pengertian. Hal ini tidak lepas dari definisi para sarjana hukum pidana yang bersifat parsial, sehingga definisi-definisi dari istilah pidana seolah memiliki banyak makna. Namun, keragaman definisi yang membuat istilah pidana menjadi plural bukan karena keterbatasan para sarjana, tapi lebih disebabkan karena ruang lingkup hukum pidana yang teramat luas.
Ditinjau dari akar katanya, istilah pidana identik dengan istilah hukuman. Ia berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “wordt gestraft”, menurut Xxxx. Xxxxxxxx merupakan istilah-istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-istilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu “pidana” untuk menggantikan kata “straf” dan “diancam dengan pidana” untuk menggantikan kata “wordt gestraf”. 54 Istilah “pidana” sendiri berasal dari Bahasa Hindu Jawa yang artinya hukuman, nestapa atau sedih hati. “Dipidana” artinya dihukum, “kepidanaan” artinya segala sesuatu yang tidak baik, jahat. “Pemidanaan” artinya penghukuman.55
54 Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx-Xxxxx dan Kebijakan Pidana,
(Bandung:Alumni, 2010), hlm. 1.
55 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Bahasa Hukum Indonesia, (Bandung:Alumni, 2010), hlm. 114.
Demikian pula Xxxx. Xxxxxxx menyatakan bahwa “penghukuman” berasal dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukum” atau “memutuskan tentang hukumnya”. “Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, tetapi juga hukum perdata.56
Selanjutnya, dikemukakan oleh beliau bahwa istilah “penghukuman” dapat disempitkan artinya, yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali sinonim dengan “pemidanaan” atau “pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Akhirnya, dikemukakan oleh Xxxx. Xxxxxxx bahwa istilah “hukuman” kadang- kadang digunakan untuk pengganti perkataan “straff”, tetapi menurut beliau istilah “pidana” lebih baik daripada “hukuman”.57
Dalam sistem hukum kita, hukuman atau pidana yang dijatuhkan dan perbuatan-perbuatan apa yang diancam pidana harus lebih dahulu telah tercantum dalam undang-undang pidana. Suatu asas yang disebut nullum crimen sine lege, tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan dasar inilah Xxxx Xxxxxx membedaan istilah pidana dan hukuman tersebut. Menurutnya, suatu pidana harus berdasarkan ketentuan-ketentuan undang-undang, sedangkan hukuman lebih luas pengertiannya. Istilah hukuman ini meliputi pula guru yang merotan murid, orang tua yang menjewer kuping anaknya, yang kesemuanya didasarkan kepada kepatutan, kesopanan, kesusilaan dan kebiasaan. 58 Jadi pidana selalu berkaitan
56Muladi dan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Teori-Teori op.cit., hlm. 1.
57Ibid.
58Andi Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta:Akademi Pressindo, 1983), hlm. 20.
atau merupakan implikasi dari hukum pidana, sedangkan hukuman, bisa berasal darimana saja.
Ditinjau dari makna hukum pidana, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai istilah pidana ini. Xxxx. Xxxxxxxx yang pertama-tama memberikan batasan atau definisi tentang hukum pidana. Menurutnya, hukum pidana merupakan aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat tertentu yang berakibat jatuhnya pidana.59 Ia memandang pidana dari sisi substantif yang dalam pembabagannya sering disebut sebagai hukum pidana materiil.
Xxxxxxx juga mencoba memberikan pemahamannya tentang hukum pidana. Ia memandang pidana sebagai norma-norma yang berisi keharusan- keharusan dan larangan-larangan yang oleh pembentuk undang-undang telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan yang bersifat khusus.60
Batasan hukum pidana dari Xxxxxxx ini sedikit banyak juga baru menyentuh hukum pidana materiil. Padahal disamping hukum pidana materiil, kita juga mengenal hukum pidana formal yang berfokus untuk mengatur tentang cara melaksanaan hukuman tersebut. 61 Pelaksanaannya dilakukan oleh negara,
59 Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang:UMM Press, 2008), hlm. 12.
60 Ibid, 13.
61 Xxxxxx Prints, Hukum Acara Pidana:Suatu Pengantar, (Jakarta:Jambatan, 1989), hlm.
1.
melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.62
Xxx Xxxxxx dalam definisinya juga menerangkan tentang hukum pidana yang sepertinya sedikit menyentuh aspek formal dari hukum pidana itu sendiri. Ia memandang hukum pidana sebagai keseluruhan aturan dasar dari aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan nestapa kepada yang melanggar larangan tersebut.63 Aspek formal hukum pidana tampak pada penggunaan frasa „untuk menegakkan hukum‟, meskipun masih samar embrio hukum pidana formal telah tampak.
Penggabungan makna pidana materiil dan formal hukum pidana mulai terang dengan merujuk pada definisi Xxxxxxxxx. Ia memberikan batasan-batasan tentang hukum pidana dengan sedikit lebih luas. Menurutnya, hukum pidana terdiri dari dasar dan aturan sebagai berikut:64
1) Menentukan perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi orang yang melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan hal-hal yang dianggap pelanggaran atau larangan dan waktu penentuan pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan cara pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melanggar larangan tersebut.
62 Xxxx Xxxxxx, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta;Sinar Grafika, 2011), hlm. 4.
63 Tongat, op.cit., hlm. 16.
64Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 1993), hlm. 1.
Dari batasan tersebut, pandangan materiil hukum pidana tampak pada poin pertama dan kedua. Sedangkan hukum pidana secara formal tampak pada poin ketiga. Xxxxxxxxx, dengan demikian memberikan definisi pidana tidak berhenti hanya pada perumusan norma-norma dan sanksi, namun ia bergerak lebih jauh dengan menentukan cara pengenaan pidana bagi pelanggara norma tersebut.
b. Bentuk Hukum Pidana
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik, sebagai lawan dari hukum privat (perdata). Ia bersisian dengan Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Usaha Negara. 65 Disebut hukum publik karena berkaitan dengan kepentingan umum. Jika terjadi pelanggaran hukum, bukan orang seorang yang bertindak, tetapi negara melalui alat-alatnya.66 Kepentingan pribadi seperti ganti kerugian, dinomorduakan, sedangkan kepentingan umum atau masyarakat diutamakan, yaitu penjatuhan sanksi berupa pidana atau tindakan.67
Meskipun mayoritas sarjana hukum menempatkan hukum pidana sebagai hukum publik, ternyata terdapat beberapa yang tidak satu suara. Utrecht contohnya, ia menganggap “hukum pidana” mempunyai kedudukan yang lebih istimewa sehingga harus diberi tempat tersendiri di luar kelompok hukum privat dan hukum publik. Utrecht melihat hukum pidana sebagai hukum sanksi (bijzonder sanctie recht). Hukum pidana memberi suatu sanksi istimewa, baik atas pelanggaran hukum privat maupun atas pelanggaran hukum publik. Hukum
hlm. 37.
65 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Asas-Asas op.cit., hlm. 2.
66 Xxxxxxx, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, (Jakarta:Rineka Cipta, 1996),
pidana melindungi kedua macam kepentingan itu dengan membuat sanksi istimewa. Sanksi istimewa itu diperlukan karena kadang-kadang perlu diadakan tindakan pemerintah yang lebih keras.68
Hukum pidana terwujud dalam tiga bentuk. Pertama, tercantum dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Kedua, tersebar dalam berbagai undang-undang yang memuat ancaman, dan ketiga, adalah ancaman hukum pidana kosong, yaitu penentuan hukum pidana pelanggaran yang mungkin sudah ada atau yang masih akan diadakan dalam undang-undang lain. Di Indonesia, hukum pidana hanya terdapat wujud kesatu dan kedua, sedangkan wujud ketiga, tidak ada.69
Hukum pidana yang tercantum dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana inilah yang merupakan warisan asli bangsa Indonesia. Dalam KUHP ini terdiri dari tiga buku. Buku pertama berupa asas-asas, buku kedua memuat kejahatan dan buku ketiga berisi pelanggaran. Kaidah-kaidah hukum pidana dalam KUHP berfungsi sebagai rujukan utama hukum pidana yang tersebar di luar KUHP.
Sedangkan hukum pidana di luar KUHP, tersebar dalam berbagai undang- undang yang memuat ancaman pidana. Hukum pidana ini seringkali disebut sebagai perundang-undangan pidana khusus dengan pidana umumnya KUHP.70 Dalam pidana khusus, terkadang terdapat penyimpangan-penyimpangan dari
68 Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Politik Hukum Pidana op. cit., hlm.
10.
69 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit.
ketentuan-ketentuan umum dalam KUHP. Penyimpangan itu dibenaran dengan merujuk asas lex specialis derogat legi generali untuk memenuhi kebutuhan akan hukum pidana di Indonesia yang berkembang dari waktu ke waktu.
c. Fungsi Hukum Pidana
Dilihat dari fungsinya, pada dasarnya hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada umumnya. Namun hukum pidana memiliki beberapa fungsi khusus di samping fungsi hukum pidana secara umum. Fungsi khusus ini hanya dimiliki hukum pidana.
Xxxxxxxx mengemukakan, fungsi umum hukum pidana adalah mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Menurut Xxxxxxxx, hukum hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang sozial relevant, yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat. 71 Sedangkan fungsi khususnya, masih menurut Xxxxxxxx, hukum pidana berfungsi melindungi kepentingan hukum (nyawa, badan, kehormatan, harta, kemerdekaan) dari perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih kejam bila dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya.72
d. Sumber Hukum Pidana
Istilah sumber hukum mengandung pengertian tempat dimana ditemukan hukum. Dalam konteks hukum pidana Indonesia, maka sumber hukumnya dapat dicari dari dua bagian, yaitu sumber utama dan sumber lainnya.73 Sumber utama
71 Tongat, Dasar-Dasar op.cit., hlm. 21.
72 Ibid., hlm. 22.
73 Ibid, hlm. 30.
hukum pidana adalah hukum yang tertulis, yaitu KUHP dan peraturan-peraturan hukum pidana di luar KUHP.
KUHP merupakan induk peraturan hukum pidana yang berasal dari Wetboek Xxx Xxxxxxxxxx Voor Nederlandsch Indie yang merupakan sebuah Titah Raja pada tanggal 15 Oktober 1915. Wetboek Xxx Xxxxxxxxxx Voor Nederlansch Indie ini pada awalnya berbahasa Belanda sebelum akhirnya dialihbahsakan oleh sarjana-sarjana Indonesia. 74 Sumber utama hukum pidana yang kedua adalah peraturan-peraturan hukum pidana di luar KUHP yang tersebar dalam berbeagai undang-undang. Sampai sekarang jumlah peraturan-peraturan hukum pidana di luar KUHP jumlahnya sudah tak berbilang.
Sumber hukum pidana selain sumber utama ada tiga, yaitu hukum adat, hukum Islam dan memore van toelichting (memori penjelasan).75 Hukum adat merupakan hukum tak tertulis warisan bangsa Indonesia. Hukum adat sebagai sumber hukum pidana tidak tertulis mempunyai legitimasi dari Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 25 (1) menyebutkan: segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumbr hukum tidak tertulis. Pasal 28 (1) menyebutkan: hakim (sebagai penegak hukum dan keadilan) wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Berdasarkan ketentuan yang termuat
74 Ibid, hlm.31.
75 Ibid, hlm. 31-38.
dari aturan tersebut, maka hukum adat sebagai sumber hukum pidana memiliki legitimasi yang kuat.
Sumber hukum pidana tidak tertulis selanjutnya adalah hukum Islam. Hukum Islam menjadi sumber hukum pidana tidak lepas dari kondisi sosial kemasyarakatan yang mayoritas beragama Islam. Dalam mengambil kebijakan formulatif, tentu muatan-nilai Islam tidak dapat diabaikan. Hukum Islam akan memberikan nuansa Islami dalam setiap butir peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, sumber hukum pidana tidak tertulis yang terakhir adalah Memorie van Toelichting (memori penjelasan). Memorie van Toelichting merupakan penjelasan atas rencana undang-undang pidana yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman (Belanda) bersama dengan RUU itu kepada Xxxxxx Xxxxxx (Parlemen) Belanda. Oleh karena KUHP kita yang sekarang merupakan copy dari Wetboek xxx Xxxxxxxxxx Belanda tahun 1886, maka Memorie van Toelichting juga dapat digunakan untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal yang tersebut dalam KUHP.76
2. Pemidanaan
Bicara masalah pidana tentu tidak lepas dari pemidanaan. Keduanya merupakan dua sisi mata uang yang dalam kajian hukum pidana kadang dipersamakan. Ditinjau dari jenisnya, pemidanaan merupakan kata kerja sedangkan pidana merupakan kata benda. Pemidanaan berasal dari kata dasar “pidana” dan mendapatkan imbuhan “pe-“ dan “–an”. Karena pidana secara
76 Ibid, hlm. 38.
harafiah berarti hukuman, maka pemidanaan merupakan kata kerja dari pidana yang berarti penghukuman.77 Hal ini dipertegas Sudarto yang tidak membedakan pemidanaan dan penghukuman. 78 Ia memandang keduanya identik, memiliki makna yang sama hanya berlainan terminologinya.
Sedangkan secara makna, kia dapat merujuk pada pendapat Sudarto, menurutnya pemidanaan adalah sanksi yang dijatuhkan oleh seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana materiil. 79 Dari pemikiran-pemikiran Xxxxxxx, Xxxxxxx mencoba menarik kesimpulan berkenaan dengan pemidanaan. Ia mengungkapkan bahwa pemidanaan dapat diartikan sebagai penetapan pidana dan tahap pemberian pidana. Tahap pemberian pidana dalam hal ini ada dua arti, yaitu dalam arti luas yang menyangkut pembentuk undang-undang yang menetapkan stelsel sanksi pidana dan arti konkret yang menyangkut berbagai badan yang mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana tersebut.80
Senada dengan itu, Xxxxx Xxxxxxx juga memandang pemidanaan sebagai suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai akibat hukum baginya atas perbuatannya yang melanggar larangan hukum pidana. 81 Xxxxxxx Xxxxxx juga memberikan definisi yang mirip. Menurutnya, pemidanaan dirumuskan sebagai reaksi atas delik yang
77 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Bahasa op. cit.
78 Xxxxxxx, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung:Alumni, 1986), hlm. 71.
79 Ibid., hlm. 72.
80 Marlina, Hukum Penetensier.......op.cit., hlm. 33.
81 Xxxxx Xxxxxxx, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:Raja Grafindo, 2005), hlm. 24.
banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik.82
Sedangkan menurut Xxx Xxxxxxxxx, pemidanaan berarti pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang bersalah melanggar suatu aturan. 83 Xxxxxx Xxxx memberikan perincian yang lebih spesifik berkenaan dengan pemidanaan. Menurutnya, pemidanaan mengandung beberapa unsur pengertian, yaitu: Pertama, pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup. Kedua, ia memaksa dengan kekerasaan. Ketiga, ia diberikan atas nama negara atau dengan kata lain diotorisasikan. Keempat, pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan, pelanggarannya dan penentuannya yang diekspresikan dengan putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkat atas jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si pelanggar, motif dan dorongannya.84
Sejalan dengan pandangan Xxxxxx Xxxx, Xxx Xxxxxxxxx juga memberikan pemahaman mengenai pemidanaan dalam kerangka yang lebih luas. Menurutnya, pemidanaan harus memuat tiga hal, yaitu: Pertama, pemidanaan harus mengandung semacam kehilangan (deprivation) atau kesengsaraan (distress) yang
82Xxxxxxx Xxxxxx, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2004), hlm. 9.
83 Ibid, hlm. 34.
84 Sholehudin, Sistem Sanksi op.cit., hlm. 70.
biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini pada dasarnya merupakan kerugian atau kejahatan yang diderita oleh subjek yang menjadi korban sebagai akibat dari tindakan sadar subjek hukum. Secara aktual, tindakan subjek lain itu dianggap salah bukan saja karena mengakibatkan penderitaan bagi orang lain, tetapi juga karena melawan hukum yang berlaku secara sah.85
Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang berwenang. Jadi, pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah suatu tindakan, melainkan hasil keputusan lembaga yang berkuasa. Oleh karena itu, pexxxxxxan bukanlah suatu tindakan balas dendam terhadap pelaku tindak pidana yang mengakibatkan penderitaan.86
Ketiga, penguasa yang berwenang berhak untuk menjatuhkan pidana hanya kepada subjek hukum yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.87
Berkenaan dengan hak menjatuhkan pidana oleh penguasa melalui alat- alatnya, yang dalam batasan ini adalah pemerintah, kita dapat menelusuri pendapat dari Beysens. Menurutnya, hak memidana bagi pemerintah timbul karena beberapa sebab, yaitu:88
a. Sudah menjadi kodrat alam negara itu bertujuan dan berkewajiban mempertahankan tata tertib masyarakat atau ketertiban negara.
85 Ibid., hlm. 71.
86 Ibid.
87 Ibid.
88 Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx, Suatu Tinjauan op.cit., hlm. 22.
Disinilah ternyata bahwa pemerintah itu benar-benar memerintah. Berdasar atas hakekat dan manusia secara alamiah maka pemerintah berhak untuk membalas pelanggaran tersebut, dengan jalan menjatuhkan sengsara yang bersifat pembalasan itu.
b. Pidana yang dijatuhkan itu bersifat pembalasan kepada perbuatan- perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan tidak boleh bersifat balas dendam, tetapi bersifat objektif memberi kerugian kepada seseorang karena perbuatan melanggar hukum yang dilakukannya yang dilakukan dengan sukarela dan dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
3. Tujuan Hukum Pidana
Berbicara masalah penjatuhan pidana penjara tidak akan pernah lepas dari kajian terhadap tujuan pidana dan tujuan hukum pidana. Tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang berbeda. Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak lepas dari tujuan hukum pidana secara umum.89
Penjatuhan pidana yang diberikan kepada seorang narapidana tentu mengandung maksud-maksud mengapa pemidanaan tersebut dijatuhkan dan mengapa jenis pidana tertentu yang dipilih. Alasan penjatuhan pidana berkaitan erat dengan jenis pidana tertentu yang dipilih dalam penjatuhan pidana.
Pendapat para sarjana mengenai tujuan pidana diantaranya pendapat dari Xxxxxxx X. Xxxxxxxxx dan Xxxxxx X. Skolnick yang mengatakan bahwa sanksi
89 Xxxx OS Xxxxxxx, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta:CahayaAtma Pustaka, 2014), hlm. 31.
pidana dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidism), mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si terpidana (to deter other from the performance of similiar acts), menyediakan saluran untuk mewujudkan motif-motif balas (to provide a channel for the expression of retaliatory motives).90
Selanjutnya, Xxxxx Xxxxxxxx mengemukakan mengenai fungsi dari hukum pidana adalah untuk menciptakan kemungkinan bagi pelepasan emosi yang ditimbulkan oleh adanya kejahatan. 91 J. E. Sahetapy dalam disertasinya, mengemukakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk pembebasan. Pidana harus dapat membebaskan pelaku dari jalan yang keliru yang telah ditempuhnya. Maka membebaskan tidak identik dengan pengertian rehabilitasi atau reformasi. Makna membebaskan menghendaki agar pelaku bukan saja harus dibebaskan dari alam pikiran yang jahat yang keliru, melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial dimana ia terbelenggu.92
P.A.F. Lamintang memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai tujuan dari pemidanaan ini. Menurutnya tujuan dari pemidanaan adapat dilihat dari tiga pokok pemikiran, yaitu:
a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri
b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan- kejahatan
90 Marlina, Hukum Penitensier op.cit., hlm. 23.
91 Ibid.
92 Ibid, 24.
c. Untuk memuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi.93
Menurut Xxxx Xxxxxx, pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir tetapi tujuan terdekat. Tujuan akhir dari hukum pidana adalah memperbaiki pelaku tindak pidana.94
Dilihat dari tujuan ini, sebetulnya tujuan hukum pidana memiliki banyak dimensi sudut pandang. Dalam literatur bahasa Inggris, tujuan pidana disingkat dengan tiga R dan satu D. Tiga R itu ialah Reformation, Restaint dan Restribution, sedangkan satu D adalah Deterence yang terdiri atas individual deterrence dan general deterrence (pencegahan khusus dan pencegahan umum).95
Reformation berarti memperbaiki atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi masyarakat. 96 Tujuan ini didorong oleh kaum rehabilitasionis yang menekankan pada reformasi narapidana sebagai tema utama dalam sistem pemidanaan dan mengesampingkan semua tujuan lain dari pemidanaan. Alasannya, pertama, berdasarkan fakta bahwa tidak ada pelaku kejahatan yang bertanggung jawab atas aksi-aksi mereka dan tidak ada pelaku yang dipidana secara adil. Kedua, rehabilitasionis mengajukan klaim bahwa
93 P. A. F. Lamintang dan Xxxx Xxxxxxxxx, Hukum Penitensier,. op.cit., hlm. 11.
94 Xxxx Xxxxxx, Xxxx-Xxxx.....op.cit., hlm. 27.
95 Ibid., hlm. 28.
96 Ibid.
sistem rehabilitasi masih lebih baik dibanding sistem sanksi pidana, sekalipun beberapa ataupun semua pelaku bertanggungjawab atas aksi-aksi mereka.97
Restaint berarti mengasingkan pelanggar dari masyarakat. 98 Retribution ialah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan kejahatan.Sekarang ini banyak dikritik sebagai sistem yang barbar dan tidak sesuai dengan masyarakat yang beradap.99 Namun, retribusi tetap tidak dapat disangkal, merupakan salah satu alasan mengapa negara memidana: melindungi sistem, membantu individu menjadi anggota yang bertanggung jawab dan berpartisipasi dalam proses sosialisasi pengambilan keputusan di dalam sistem masyarakat bebas. 100 Pembalasan yang berujung nestapa merupakan sarana bagi pelaku untuk merenungi perbuatan yang telah ia lakukan dengan balasan yang setimpal.101
Deterrence berarti menjera atau mencegah sehingga baik terdakwa sebagai individual maupun orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera dan takut untuk melakukan kejahatan, melihat pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.102 Tujuan pemidanaan ini juga dikenal dengan pencegahan dengan memberi peringatan. Tujuan ini sebenarnya merupakan penolakan terhadap rehabilitasi. Rehabilitasi dianggap terlalu lunak kepada para kriminal sehingga merusak nilai- nilai pencegahan dengan menggunakan ancaman.103
97 Xxxxxxxxxx, op.cit., hlm. 72.
98 Ibid.
99 Ibid.
100Ibid., hlm. 80.
101 Xxxxxxxxx, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang— Undang tentang Asas-Asas Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia, (Jakarta;Bina Aksara, 1985), hlm. 17.
102 Ibid., hlm. 17.
103Sholehudin, op.cit., hlm. 74.
Dari kajian yang dilakukan oleh berbagai kalangan ahli hukum tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan cenderung bergeeser dari prinsip “menghukum” yang berorientasi ke belakang (backward looking) ke arah gagasan/ide “membina” yang berorientasi ke depan (forward looking). 104 Xxxx.Xxxxxx berpendapat, bahwa para penulis lama itu pada umumnya telah mencari dasar pembenaran dari suatu pemidanaan pada tujuan yang lebih jauh dari suatu pembinaan, disamping melihat hakikat dari suatu pemidanaan sebagai suatu pembalasan.105
Xxxx Xxxxxx juga merasa yakin, bahwa hingga akhir abad ke delapan belas, praktik pemidanaan berada di bawah pengaruh dari paham pembalasan (vergeldingsidee) dan paham membuat jera (afschrikkingsidee). Adapun Xxxx. Xxxxx berpendapat, bahwa hingga akhir abad kesembilan beals praktik pemidanaan masih dipengaruhi oleh dua pemikiran pokok tersebut. 106 Baru setelah memasuki abad keduapuluh tujuan-tujuan pemidanaan tersebut bergeser pelan-pelan menuju gagasan untuk membina.
4. Jenis-Jenis Sanksi Pidana
Apabila berbicara jenis sanksi yang dikenakan dalam hukum pidana, maka terdapat dua jenis sanksi pidana, yaitu sanksi pidana (punishment) dan tindakan (treatment). Apabila berbicara tentang jenis-jenis sanksi pidana dalam hukum
104 Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia,
(malang:UMM Press, 2004), hlm. 61.
105 P.A.F Lamintang dan Xxxx, Penitensier op.cit, hlm. 11.
positif Indonesia, ia juga ada dua macam, pidana pokok dan pidana tambahan.107 Pembagian jenis sanksi yang pertama lebih melihat pada tujuan pemidanaan sedangkan pembagian jenis sanksi pada KUHP lebih melihat pada bentuk sanksi pidananya.
Pembedaan sanksi pidana dan sanksi tindakan pada tataran implementatif agak samar, namun di tingka ide dasar keduanya memiliki perbedaan fundamental. Keduanya bersumber dari ide dasar yang berbeda. Sanksi pidana persumber pada ide dasar: “mengapa diadakan pemidanaan?”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak pada ide dasar:”untuk apa diadakan pemidanaan itu?”108
Sanksi pidana bersifa reaktif terhadap suatu perbuatan. Ia lebih menekankan unsur pembalasan. Ia merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar. Dengan kata lain, sanksi pidana bertujuan memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. 109 Sedangkan sanksi tindakan pada dasarnya lebih bersifat antisipasif terhadap pelaku perbuatan. Ia menitikberatkan pada upaya memberi pertolongan agar pelaku berubah. Tujuan sanksi tindakan tidak lebih pada upaya penanganan yang bersifat mendidik.110
Pembedaan jenis sanksi berupa pidana pokok dan pidana tambahan termuat dalam pasal 10 KUHP. Pidana pokok memiliki beberapa bentuk, yaitu: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan
107 Pasal 10 KUHP.
108 M. Xxxxxxxxxx, Ide Dasar Double Track System. op.cit., hlm. 32.
109 Ibid.
bentuk-bentuk pidana tambahan yaitu: pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim.
a. Pidana Mati
Pidana mati adalah hukuman yang dilaksanakan untuk menghilangkan nyawa terhukum. 111 Pidana mati, dahulu dijalankan oleh seorang algojo pada tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri. 112 Kemudian, cara menghukum mati seorang narapidana bermetamorfosis dengan cara ditembak.113
b. Pidana Penjara
Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang narapidana.114 Dalam definisi xxxx, Xxxxxxx mengemukakan bahwa pidana penjara adalah pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan atau dikenal juga dengan pidana kemasyarakatan. 115 Pidana penjara menurut pasal 12 (1) KUHP terdiri atas pidana penjara seumur hidup dan pidana dalam jangka waktu tertentu.
Pidana penjara dalam jangka waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun.116 Pidana penjara juga dapat dijatuhkan selama dua puluh tahun dalam hal kejahatan yang ancaman hukumannya pidana mati atau
111 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Bahasa Hukum Indonesia, op.cit, hlm. 118.
112 Pasal 11 KUHP.
113 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.
114 P.A.F. Laminitang dan Xxxx Xxxxxxxxx, Hukum Penitensier ....op.cit., hlm. 54.
115 Marlina, Hukum Penitensier.....op.cit., hlm. 87.
116 Pasal 12 (1) KUHP.
pidana penjara seumur hidup xxxxx dialternatifkan ke pidana penjara selama waktu tertentu. Batas lima belas tahun juga dapat dilampaui apabila tindak pidananya merupakan perbarengan (concursus), pengulangan (residive), atau tindak pidana yang dilakukan pejabat karena jabatannya atau tindak pidana yang dilakukan pejabat dengan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia.117
c. Pidana Kurungan
Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan dengan kewajiban untuk memenuhi semua ketentuan tata terti lembaga pemasyarakatan.118 Jika pidana penjara dijatuhkan minimal satu hari dan maksimal lima belas tahun (dua puluh tahun untuk alasan khusus), pidana kurungan hanya dijalankan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.119 Pemberatan pidana kurungan dapat dilakukan apabila terjadi perbarengan tindak pidana (concurcus) atau pengulangan (residive) dengan hukuman maksimal satu tahun empat bulan.120
Perbedaan pidana kurungan dan pidana penjara selain jangka waktu penjatuhan pidana adalah beban pekerjaannya. Orang yang menjalani pidana kurungan diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang dijatuhi
117 Pasal 12 (2), Pasal 12 (3), Pasal 52 dan Pasal 52a KUHP.
118 Marlina, Hukum Penitensier op.cit, hlm. 111.
119 Pasal 18 (1) KUHP.
120 Pasal 18 (2) dan Pasal 18 (3) KUHP.
pidana penjara. 121 Tentang kerja ini merujuk pada pasal 24 KUHP, orang terpidana penjara dan orang terpidana kurungan boleh diwajibkan bekerja, baik di dalam maupun di luar tembok penjara tempat orang terpidana.
Menurut Xxx, pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan. Pertama, ialah sebagai custodia honesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti perkelahian satu lawan satu122 dan pailit sederhana.123 Tujuan yang kedua ialah sebagai custodia simplex, suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran. Dengan demikian bagi delik-delik pelanggaran itu, pidana kurungan menjadi pidana pokok.124
d. Pidana Denda
Pidana denda merupakan jenis pidana pokok ketiga dalam hukum pidana Indonesia yang pada dasarnya hanya dapat dijatuhkan kepada orang-orang dewasa. Pidana denda merupakan jenis pidana berupa kewajiban membayar sejumlah uang, sebagaimana telah ditentukan di dalam putusan hakim yang dibebankan kepada terpidana atas pelanggaran yang telah dilakukannya. 125 Undang-undang Hukum Pidana kita telah menentukan bahwa besarnya pidana
121 Pasal 19 (2) KUHP.
122 Pasal 182 KUHP.
123 Pasal 396 KUHP.
124Xxxx Xxxxxx, Asas-Asas Hukum Pidana op.cit., hlm. 202.
125 Aruan Sukijo dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Hukum Pidana: Dasar aturan Umum Hukum Pidana Kodifikasi, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1993), hlm. 95.
denda sekurang-kurangnya dua pulih lima sen dengan tidak mencantumkan jumlah denda yang terbesar.126
Pidana denda yang tidak dibayar pada dasarnya dapat diganti dengan pidana kurungan. Syaratnya, di dalam putusan hakim secara tegas harus diputuskan tentang besarnya uang denda yang ahrus dibayar oleh terpidana dan tentang lamanya pidana kurungan pengganti pidana denda yang harus dijalankan oleh terpidana.127 Kurungan pengganti pidana denda ini dijalankan paling sedikit adalah satu hari dan paling lama enam bulan.128
5. Dasar Penjatuhan Sanksi Pidana
Pengenaan pidana, pada dasarnya adalah campur tangan penguasa atas pertikaian dua orang individu/subjek hukum yang mengandung unsur kejahatan. Karena pertikaian tersebut berimplikasi pada masyarakat secara luas, maka penguasa, yang berarti negara atau pemerintah, yang berhak memidana.129
Dasar pembenaran penjatuhan pidana oleh penguasa ditinjau dari haknya untuk memidana bertolak pada pada beberapa prinsip, yaitu:
a. Prinsip ke-Tuhanan
Dasar pemidanaan berdasarkan para pengikut prinsip ke-Tuhanan menyatakan bahwa menurut ajaran kedaulatan Tuhan, sebagaimana tercantum dalam kitab-kitab suci, penguasa adalah abdi Tuhan untuk
hlm. 76.
126 Pasal 30 KUHP.
127 P.A.F. Lamintang dan Xxxx Xxxxxxxxx, Hukum Penitensier Indonesia op.cit,
128 Pasal 30 (1) dan Pasal 30 (2) KUHP.
129 Xxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxx, Suatu Tinjauan Ringkas .....op.cit., hlm. 22.
melindungi yang baik dan sebaliknya menghukum penjahat dengan menjatuhkan pidana. Dalam penjatuhan pidana tidak boleh terdapat unsur dendam dan rasa pembalasan, melainkan karena pelaku berdosa.
b. Prinsip Falsafah
Dari prinsip falsafah ini, dasar pemidanaan bertopak pada perjanjian masyarakat (du contract social). Artinya, ada persetujuan fiktif antara rakyat dengan negara, dimana rakyat yang berdaulat dan menentukan bentuk pemerintahan. Kekuasaan negara tidak lain adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Setiap negara menyerahkan sebagian hak asasinya (kemerdekaannya) guna mendapatkan perlindungan atas kepentingan hukumnya dari negara. Dengan demikian, negara memperoleh hak untuk memidana. Prinsip ini bertola dari ajaran XX Xxxxxxx tentang kedaulatan rakyat.
c. Prinsip Perlindungan Hukum
Dasar pemidanaan yang bertolak dari prinsip perlindungan hukum lebih pada kegunaan dan kepentingan pemidanaan untuk mencapai tujuan dan kehidupan bersama. Dengan kata lain, pemidanaan adalah karenapenerapan pidana sebagai alat untuk menjamin ketertiban hukum.
Xxxx Xxxxxxx, memberikan batasan-batasan atau keharusan-keharusan yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan sanksi, yaitu:130
130 Xxxx Xxxxxxx et. al., Hukum Pidana dalam Perspektif, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 214.
a. Ia harus mengandung suatu hal yang tidak mengenakkan bagi yang dijatuhi
b. Ia harus dijatuhkan bagi suatu tindak pidana
c. Ia harus dijatuhkan kepada seorang pelaku tindak pidana
d. Ia mesti dilaksanakan oleh seorang petugas dari lembaga resmi.
Dengan kata lain, ia bukanlah suatu konsekuensi alamiah dari suatu perbuatan
e. Ia mesti dijatuhkan oleh suatu otoritas atau institusi terhadap mereka yang melanggar aturan.
B. Aliran-Aliran dalam Hukum Pidana
1. Aliran Klasik
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas kesewenang-wenangan penguasa pada abad ke-18 di Prancis dan Inggris, yang menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan. Aliran klasik ini berpaham indeterminisme mengenai kebebasan kehendak manusia yang menekankan pada perbuatan pelaku kejahatan sehingga dikehendakilah hukum pidana perbuatan (deadstrafrecht).131
Asumsi dasar paham indeterminisme adalah bahwa sejatinya manusia memiliki kehendak bebas. Jika seseorang melakukan suatu kejahatan, maka ia dianggap mempunyai kehendak untuk itu tanpa dipengaruhi kekuatan-kekuatan dari luar. 132 Karena konsekuensi atas kehendak bebasnya, maka setiap
131 Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx, Politik Hukum Pidana...op.cit, hlm. 77.
132 Wiryono, Asas-Asas Hukum Pidana op.cit., hlm. 28.
pemidanaan harus diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan si pelaku.133
Aliran klasik ini berpijak pada tiga tiang. Pertama, asas legalitas yang menyatakan bahwa tidak ada pidana tanpa undang-undang. Tidak ada perbuatan pidana tanpa undang-undang dan tidak ada penuntutan tanpa undang-undang. Kedua, asas kesalahan yang berisi bahwa orang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengna sengaja atau kesalahan. Ketiga, adalah asas pembalasan yang sekuler yang berisi bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat-ringannya perbuatan yang dilakukan.134
Xxxxxx, dalam tulisannya menambahkan bahwa aliran klasik ini selain menghendaki hukum pidana perbuatan, juga menghendaki perumusan undang- undang dan perbuatan melawan hukum pidana. Perbuatan disini diartikan secara abstrak dan dilihat secara yuridis belaka, terlepas dari orang yang melakukannya. Jai aliran ini ingin mengobjektifkan hukum pidana dari sifat-sifat pribadi si pelaku.135
Dalam hal pidana dan pemidanaan, aliran ini sangat membatasi kebebasan hakim untuk menetapkan jenis dan ukuran pemidanaan. Pidana dijatuhkan sesuai dengan yang ada di dalam undang-undang tanpa perlu melihat pribadi pelaku tindak pidana, sehingga dikenallah sistem pidana yang ditetapkan secara pasti (definite sentences) yang sangat kaku (rigid). Aliran ini tidak mengenal sistem
133 Sholehudin, Ide Dasar op.cit., hlm. 33.
134Eddy O.S. Xxxxxxx, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana...op.cit., hlm. 24.
135 Xxxxxx, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung:Alumni, 2004), hlm. 29.
peringanan dan pemberatan yang didasarkan atas faktor-faktor usia, keadaan jiwa pelaku, kejahatan-kejahatan yang dilakukannya dahulu atau keadaan-keadaan khusus dari perbuatan yang dilakukan.136
Aliran Klasik ini diwakili oleh Xxxxxx Xxxxxxx yang memisahkan semua persoalan dari dogma agama. Pandangannya dalam hukum pidana mempertahankan dua hal. Pertama, beratnya sebuah kejahatan harus diukur sesuai dengan kejahatan sosial masing-masing daripada sifat dosa atau kualitas kerohanian lainnya. Kedua, kejahatan disebabkan oleh usaha bijaksana manusia untuk memperbesar kesenangan dan untuk mengurangi penderitaan mereka.137
Poin pertama melihat sisi keadilan dalam masyarakat. Poin kedua melihat sisi tujuan manusia berbuat. Menurutnya, tujuan hidup manusia adalah kebahagaian. Sehingga, setiap perbuatan yang dilakukan manusia semata hanya untuk kebahagiaan yang akan didapat, meskipun perbuatan tersebut adalah kejahatan. Xxxxxxx menyodorkan bukti kecil untuk mendukung pendapatnya. Ia mula-mula mendefinisikan kebahagaian sebagai kesenangan dan ketidakhadiran rasa sakit.138 Kemudian ia memandang kebenaran dari suatu tindakan ditentukan oleh kontribusinya bagi kebahagiaan tersebut. 139 Manusia yang melakukan kejahatan berarti ia mengaharap kebahagiaan dari perbuatan tersebut.
Dari proposisi-proposisi tersebut lahir teori felicific calculus yang dikemukakan Xxxxxxx. Menurutnya, manusia merupakan makhluk rasional yang
136 Ibid.
137 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Yogyakarta: Laksbang Grafika, 2013), hlm. 47-48.
138 Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx-Xxxxx Keadilan, (Bandung:Nusa Media, 2015), hlm.15.
139 Ibid.
akan memilih secara sadar kesenangan dan menghindari kesusahan. Oleh karena itu suatu pidana harus ditetapkan atau diberikan pada tiap kejahatan sedemikian rupa sehingga kesusahan akan lebih berat daripada kesenangan yang ditimbulkan oleh kejahatan.140
Tokoh utama aliran Klasik selanjutnya adalah Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx de Beccaria. Menurutnya, hukuman diperlakukan secara sama terhadap semua individu dan ancaman hukuman sudah ditetapkan sebelumnya supaya dapat diperhitungkan dalam pertimbangan orang yang akan melakukan tindakannya. Xxxxxxxx menganjurkan agar hukuman tidak semena-mena, namun tercermin keras dan tegas, agar orang merasa sakit dengan adanya hukuman tersebut dan menjadi tidak senang melakukan kejahatan.141
Beccaria tidak percaya akan manfaat pidana yang berat. Alasan utama penjatuhan pidana menurutnya adalah untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat dan untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Pencegahan akan datang, tidak dari pidana yang berat, tetapi dari pidana yang patut, yang dikenakan seketika dan yang pasti tidak terelakkan.142
2. Aliran Modern
Satu abad setelah aliran klasik mendapatkan tempatnya, aliran modern tumbuh pada abad kesembilan belas. Aliran ini lahir berangkat dari kritik-kritik yang ditujukan pada pemikir-pemikir aliran klasik yang mengandung berbagai
140 Tongat, Pidana Seumur Hidup op.cit., hlm. 63.
141 Xxxxxxxx Xxxxxxx, op.cit., hlm. 48.
142 Xxxxxx, Lembaga Pidana Bersyarat...op.cit., hlm. 31.
kelemahan dalam merumuskan keadilan terhadap pelaku kejahatan. Xxxx Xxxx menganggap bahwa pemikiran-pemikiran klasik sudah merusak tuntutan keadilan tersebut dengan mengijinkan kehilangan bagi sejumlah orang demi memenuhi pencapaian orang lain.143 Penjatuhan hukuman-dalam arti merebut kebahagiaan- dianggap boleh demi kebahagiaan orang lain yang lebih besar. Oleh karena ketimpangan keadilan yang didapat oleh pembuat daripada korban, maka pusat perhatian aliran ini adalah si pembuat.144
Aliran ini berpayung pada paham determinisme. Ia bertolak dari asumsi bahwa hidup dan perilaku manusia, baik secara perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh faktor-faktor fisik geografis, biologis, sosiologis, ekonomis dan keagamaan yang ada. Dengan demikian, perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh berbagai faktor itu-dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan maksud untuk merehabilitasi pelaku.145
Pada gilirannya aliran ini menghendaki adanya individualisme dari pidana, artinya pemidanaan harus diperhatikan sifat-sifat dan keadaan pelaku tindak pidana.146 Ia bermaksud mencari sebab-sebab kejahatan dengan memakai metode ilmu alam dan langsung mendekati atau mempengaruhi penjahat secara positif sejauh dia masih dapat diperbaiki.147
143 Xxxxx Xxxxxx, Xxxxx-Xxxxx Keadilan...op.cit., hlm. 24
144 Ibid, 33.
145 Sholehudin, op.cit., hlm. 34.
146 Xxxxxxx, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung:Alumni, 1986), hlm. 80.
Pemidanaan dalam aliran modern harus memperhartikan sifat-sifat dan keadaan pelaku tindak pidana.148 Aliran ni memandang kebebasan berkehendak manusia banyak dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga tidak dapat dipersalahkan dan dipidana. Karenanya, aliran ini bertitik tolak dari pandangan determinisme.149 Determinisme diartikan bahwa kekuatan menentukan dari luar itu adalah termasuk tabiat atau watak dari seseorang dan alasan yang mendorong orang itu untuk pada akhirnya mempunyai kehendak tertentu, dan kekuatan- kekuatan ini didorong pula oleh keadaan dalam masyarakat tempat orang itu hidup.150
Aliran ini menghendaki adanya resosialisasi terhadap pelaku kejahatan.151 Disamping itu, liran ini memandang perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata terlepas dari orang yang melakukannya, tetapi harus dilihat secara konkrit bahwa dalam kenyataanya perbuatan seseorang itu dipengaruhi oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis atau faktor lingkungan keamsayarakatannya.152
Aliran ini menolak pandangan pembalasan berdasarkan kesalahan subjektif, berdasarkan pandangan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan kehendak. Pertanggungjawaban pelaku tindak pidana berdasarkan kesalahan harus diganti dengan sifat berbahayanya si pelaku tindak pidana. Kalaupun digunakan
148 Xxxxxxx, Kapita ...loc.cit.
149 Xxxxx Xxxxxxxx, politik,...op.cit.. hlm. 78.
150 Wiryono, Asas-Asas Hukum Pidana...op.cit., hlm. 28.
151 Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana op.cit.,hlm. 26.
istilah pidana, maka menurut aliran ini pidana harus diorientasikan pada sifat-sifat pelaku tindak pidana.153
Menurut Xxxx X.X. Xxxxxxx, aliran modern ini pada dasarnya berpijak pada tiga hal. Pertama, memerangi kejahatan. Kedua, memperhatikan ilmu lain. Ketiga, ultimum remidium. 154 Dasar pijakan pertama, memerangi kejahatan berarti memerangi penjahat dari sifat dan jenis penjahatanya.
Dasar pijakan kedua yakni memperhatikan ilmu lain. Hal ini lebih disebabkan hukum pidana tidak dapat berdiri sendiri dalam menanggulangi kejahatan. Ia membutuhkan disiplin ilmu lain semacam sosiologi, kriminologi, pendidikan dan sebagainya. Dengan memperhatikan ilmu lain, maka penanggulangan kejahatan akan lebih efektif.
Kemudian dasar pijakan ketiga aliran modern adalah ultimum remidium. Ultimum remidium berarti hukum pidana merupakan senjata pamungkas atau sarana terakhir yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum. Xxxxxx, mengatakan bahwa hukum pidana dapat pula disebut dengan mercenary, yang hanya akan digunakan apabila sangat dibutuhkan dan hukum lain tidak dapat digunakan.155
Pemikiran-pemikiran aliran modern tercermin pada sosok Xxxxxxx Xxxxxxxx. Lombrosso menolak doktrin kebebasan kehendak dari aliran klasik. Dia menyatakan bahwa pidana yang kejam di masa lalu tidak memberikan
153 Ibid., hlm. 62.
154 Xxxx OS Xxxxxxx, Prinsip-Prinsip...op.cit., hlm. 26.
pemecahan terhadap pencegahan kejahatan dan alirannya merupakan strategi baru di dalam melawan kejahatan yang didasarkan atas etiologi dan sifat-sifat alamiahnya.156
Lombrosso percaya bahwa setiap penjahat mempunyai kebutuhan yang berbeda, sehingga merupakan kebodohan untuk menerapkan pidana yang sama bagi tiap orang yang melakukan kejahatan. 157 Pada dasarnya, Lombrosso memandang penjahat menjadi empat tipe, yaitu:158
a. Xxxx born criminal. Orang yang memang ditakdirkan untuk lahir sebagai penjahat
b. Tipe insasne criminal. Penjahat yang dilahirkan oleh penyakit jiwa semisal idiot, histeria, kedunguan, paranoid, alkoholisme, epilepsi, histeria, dementia dan kelumpuhan.
c. Tipe occasional criminal atau ciriminaloid, merupakan golongan terbesar dari penajaht yang terdiri atas orang-orang yang tidak menderita penyakit jiwa yang tampak, akan tetapi yang mempunyai susunan mental dan emosional yang sedemikian rupa, sehingga dalam keadaan tertentu melakukan tindakan kejam dan jahat.
d. Tipe criminal of passion yaitu melakukan kejahatan karena cinta, marah atau kehormatan.
Dari keempat tipe tersebut apabila diberikan penangangan yang sama atas kejahatan yang mereka lakukan, maka
156Muladi, Lembaga...op.cit., hlm. 34.
157 Ibid.
Perbedaan aliran klasik dan aliran modern dalam hukum pidana adalah:159
1. Aliran klasik hanya mengenal legal definition crime. Artinya, negara hanya mengenal kejahatan sebagaimana yang diatur dalam undang- undang. Lain halnya dengan aliran modern yang menolak legal definition of crime tetapi menggunakan natural crime. Artinya, kejahatan tidak sebatas apa yang telah ditentukan dalam undang- undang, namun juga perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat beradab diakui sebagai kejahatan.
2. Aliran klasik beranggapan hanya pidanalah satu-satunya cara untuk membasmi kejahatan. Sedangkan aliran modern berpendapat bahwa pidana saja tidak mampu membuat pelaku menjadi lebih baik dan tidak dapat membasmi faktor-faktor kriminogen.
3. Aliran klasik mengajarkan doktrin kehendak bebasa pada setiap individu untuk melakukan atau tidak melakukan kejahatan. Sementara aliran modern mengajarkan bahwa tingkah laku individu merupakan interaksi dengan lingkungan sebagai satu mata rantai hubungan sebab- akibat.
4. Aliran klasik menghendaki adanya pidana mati terhadap kejahatan- kejahatan tertentu, sedangkan aliran modern tidak menghendaki dan ingin menghapus pidana mati.
5. Aliran klasik menggunakan metode anekdot, sementara aliran modern menggunakan penelitian atas pengalaman.
6. Sistem pemidanaan dalam aliran klasik adalah definite sentence.
Artinya pembentuk undang-undang menentukan ancaman pidana secara pasti dan tidak dimungkinkan adanya kebebasan hakim dalam menjatuhkan hukuman. Sedangkan aliran modern menggunakan sistem pemidanaan indeterminate sentence. Artinya, pembentuk undang- undang mencantumkan ancaman pidana minimum dan ancaman maksimum terhadap suatu kejahatan guna memberikan kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan hukuman.
3. Aliran Neo Klasik
Aliran ketiga yaitu aliran neo-klasik yang berasal dari aliran klasik. Aliran neo klasik lahir sebagai akibat dari pelaksanaan code penal prancis yang kaku karena:160
a. Sama sekali mengabaikan perbedaan individu dalam arti situasi tertentu
b. Code penal Prancis mencoba memperlakukan setiap individu secara sama
c. Pada kenyataannya, anak belum dewasa, orang idiot, orang gila dan sebagainya yang tidak mampu melakukan tindakan hukum, diperlakukan sebagai orang yang mampu melakukan tindakan hukum.
Sebgaimana aliran klasik, aliran inipun bertolak dari paham indeterminisme yang memandang bahwa kehendak manusia bebas dari pengaruh.161 Paham ini berangkat dari dasar religius, yaoitu berdasar atas suatu kepercayaan bahwa Tuhan memberi seorang manusia alat berpikir untuk mampu
160 Ibid., 49-50.
mempunyai kehendak bebas. 162 Manusia mempunyai rasio untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Ia dapat memilih untuk berbuat kejahatan maupun berbuat baik.
Namun dalam aliran neo klasik, terdapat beberapa pengecualian berkenaan dengan paham kehendak bebas indeterminismenya aliran klasik, yakni:163
a. Anak di bawah umur 7 tahun tidak dapat dipertanggungjawabkan terahdap kejahatan karena belum sanggup mengartikan perbedaan yang benar dan yang salah
b. Penyakit mental tertentu dapat melemahkan tanggung jawab. Oleh karenanya keadaan yang meringankan juga diakui, misalnya menghalangi seorang tertuduh dan kesanggupan untuk mengontrol tindakannya.
Aliran neo-klasik pada dasarnya mempertimbangkan kebutuhan adanya pembinaan individual pelaku tindak pidana. Aliran ini memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menetapkan pidana penjara antara batas mnimum dan maksimum yang ditentukan oleh undang-undang. Sistem pidana yang dirumuskan secara pasti (definite sentence) ditinggalkan dan diganti dengan sistem indefinite sentence. 164 Beberapa ciri dari aliran modern berkenaan dengan prinsip individualisasi pidana tetap dipertahankan dengan sedikit modifikasi.
162 Ibid., hlm. 28.
163 Xxxxxxxx Xxxxxxx, op.cit. hlm. 50.
164 Tongat, Dasar-Dasar op.cit., hlm. 71.
Ide dasar pemidanaan yang tidak pasti ini adalah konsepsi penting dalam tujuan pemidanaan. Tujuannya adalah menghindari pemidanaan yang seragam untuk menyesuaikan dengan kejahatan pada umumnya dan memusatkan pada perkembangan sepanjang waktu dari individu tertentu dalam menentukan kapan ia bisa aman bagi masyarakat dan baik bagi dirinya untuk membebaskannya, setidaknya di dalam batas-batas pengawasan dewan pembebasan bersyarat.165
Menurut Xxxxxx, aliran neoklasik ini dipandang oleh berbagai negara sangat manusiawi dan menggambarkan perimbangan kepentingan secara proporsional. Karakternya digambarkan sebagai berikut:166
a. Modifikasi doktrin kebebasan kehendak atas dasar usia, patologi dan lingkungan.
b. Daad-daderstrafrecht
c. Menggalakkan expert terstimony
d. Pengembangan hal-hal yang meringankan dan memperberat pemidanaan
e. Pengembangan twintrack-system yaitu pidana dan tindakan
f. Perpaduan antara justice model dan perlindungan terhadap hak-hak terdakwa-terpidana termasuk pengembangan non institusional treatment dan dekriminalisasi/depenalisasi.
Bermuara dari kedua konsepsi aliran hukum pidana tersebut lahirlah individualisiasi pidana yang memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:167
165 Sholehudin,op.cit., hlm. 61.
166M. Xxx Xxxxxx, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar Grafika, 2015), hlm.
95.
167 Ibid, 27.
a. Pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi/perorangan (asas personal).
b. Pidana hanya diberikan kepada orang yang bersalah (asas culpabilitas;tiada pidana tanpa kesalahan)
c. Pidana harus disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi si pelaku; ini berarti harus ada kelonggaran/fleksibilitas bagi hakim dalam memilih sanksi pidana (jenis maupun berat ringannya sanksi) dan harus ada kemungkinan modifikasi pidana (perubahan/penyesuaian) dalam pelaksanaannya.
C. Teori-Teori Pemidanaan
1. Teori Absolut atau Retributif (vergeldings theorien)
Teori absolut ini disebut berbeda-beda, beberapa ahli menyebutnya sebagai teori retributif (pembalasan), sebagian yang lain menyebutnya dengan teori absolut. Teori absolut lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana.168 Hal ini dipertegas oleh Xxxxxxx yang mengatakan bahwa aliran klasik terutama melihat kepada pebuatan yang dilakukan dan menghendaki pidnaa yang dijatuhkan itu seimbang dengan perbuatan tersebut. Jadi secara ekstrim dapat dikatakan bahwa aliran klasik dalam pemberian pidana lebih melihat kebelakang. 169
Ajaran pidana absolut terhitung sudah sangat tua. Bahkan dapat dikatakan sama tuanya dengan awal pemikiran tentang pidana. Benih-benih teori absolut sudah tampak sejak zaman Yunani kuno. Xxxxx pernah mengemukakan bahwa hukum pidana adalah penyeimbang kembali harmoni yang terganggu oleh
168 Xxxx OS Xxxxxxx, Prinsip-Prinsip op.cit., hlm. 31.
169 Sholehudin, op.cit., hlm. 48.
kejahatan.170 Ia memandang bahwa seseorang dihukum bukan karena melakukan dosa, namun justru sebagai agar tidak lagi terjadi dosa (nemo prudens punit, quia peccatum, sed e peccerur).171
Teori absolut mulai mendapat bentuknya melalui pemikiran-pemikiran yang dikemukakan oleh Xxxxxxxx Xxxx yang kemudian berlanjut ke pemikiran Xxxxx, Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxx.
Pemikiran-pemikiran Xxxxxxxx Xxxx tergambar jelas dalam bukunya “Philosophy of Law” yang dikutip oleh Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, katanya:172
“...pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lainm baik bagi si pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.
Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membuabarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembuabaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.”
Xxxxxxxx Xxxx memandang bahwa penjatuhan pidana merupakan tuntutan kesusilaan. Pidana termasuk kategorische Imperatief, seseorang harus dipidana karena ia telah melakukan kejahatan. Pidana bukan merupakan suatu alat untuk
170 Xxx Xxxxxxxxx, Hukum Pidana:Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta:Gramedia, 2003), hlm. 601
171 Xxxx OS Xxxxxxx, Prinsip-Prinsip...op.cit., hlm. 32.
172 Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx-Xxxxx dan Kebijakan Pidana...op.cit., hlm.,
11.
mencapai tujuan, melainkan mencerminkan keadilan (uitdrukking van de gerechtigheid).173
Pendapat berbeda dikemukakan Xxxxx. Ia memandang bahwa pemidanaan adalah pembalasan. Menurutnya, setiap orang punya hak. Dilanggarnya hak oleh seseorang memerlukan perbuatan untuk meniadakan pelanggaran hak itu untuk memeprtahankan hak terhadap segala ketidakberhakan.
Xxxxx menghendaki suatu pembalasan yang dialektik, yakni yang mensyarakatkan adanya keseimbangan antara kejahatan dan telah dilakukan dengan pidana yang harus dijatuhkan. Seimbang disini dalam arti tidak harus sejenis melainkan cukup apabila pidana yang dijatuhkan mempunyai nilai yang sama dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh pelakunya.174 Pelanggaran hak adalah pengingkaran hukum, dengan penjatuhan pidana maka kejahatanya menjadi hapus.175
Xxxxxxx, tokoh aliran retributif yang lain memandang bahwa pembalasan bersifata aestetis. Kejahatan yang tidak dibalas merupakan suatu ketidakadilan.176 Ia tidak disenangi. Tuntutan pemidanaan merupakan suatu hal yang harus dipenuhi sebab pelaku mengalami beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita.177
Menurut teori Xxxxxx Xxxxx, asas pembalasan adalah sesuai dengan kehendak Tuhan Ynag Maha Esa. Asas keadilan abadi telah menghendaki agar
173 Ibid., hlm. 11.
174 PAF Lamintang dan Xxxx, Hukum Penitensier, hlm. 14.
175 Xxxx OS xxxxxxx, Prinsip-Prinsip...op.cit., hlm. 32.
176 PAF Lamintang dan Xxxx, Hukum Penitensier...op.cit., hlm. 14.
177 Xxxx OS Xxxxxxx, loc.cit., hlm. 32.
pidana itu dijatuhkan bagi setiap orang yang telah berbuat jahat. Negara, sebagai perpanjangan tangan Tuhan harus melakukan tindakan atas perbuatan jahat, yakni dengan cara meniadakan penjahatnya atau membuat penjahatnya dapat merasakan suatu penderitaan, dimana penderitaan tersebut bukanlah merupakan tujuan melainkan hanya merupakan cara untuk membuatnya merasakan akibat dari perbuatannya.178
Pemikiran-pemikiran yang digolongkan ke dalam ajaran absolut sebenarnya satu sama lain jauh berbeda. Kesamaan yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa sarat dan pembenaran penajtuhan pidana tercakup dalam kejahatan itu sendiri, terlepas dari kegunaan praktikal yang diharapkan darinya.179 Dikatakan bahwa dasar pembenar dari pidana dengan melihat kepada kehendak individu. Di dalam teori ini pemidanaan adalah hal yang wajar, yang timbul dair kejahatan.180
Pemikiran tersebut berasal dari pandangan absolut terhadap pidana. Dalam konteks ini, pidana merupakan res absoluta ab effectu (keniscayaan yang terlepas dari dampaknya di masa depan). Karena dilakukan kejahatan, maka harus dijatuhkan hukuman quia peccatum (telah dilakukan dosa).181
Memang kecenderungan untuk membalas ini merupakan reaksi keras yang bersifat emosional dan terkesan irrasional, namun alasan terbesar pembalsan adalah karena si pelaku harus menerima sanksi demi kesalahannya. Pemidanaan
178 PAF. Lamintang, loc.cit., hlm. 14.
179 Xxx Xxxxxxxxx, Hukum Pidana op.cit., hlm. 600.
180 P. A. F. Xxxxxxxxx, Penitensier...op.cit., hlm. 12.
181 Xxx Xxxxxxxxx, Hukum Pidana....op.cit., hlm. 600.
menjadi retribusi yang adil bagi kerugian yang sudah diakibatkannya. Demi alasan itu, pemidanaan dapat dibenarkan secara moral.182
Xxxx X. Xxxxxxxxxxxx mengidentifikasi lima ciri pokok dari teori retributif, yakni:183
a. The purpose of punishment is just retribution (tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan)
b. Just retribution is the ultimate aim, and not in itself a means to any other aim, as for instance social welfare which from this point of view is without any significance whatsoever (pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat)
c. Moral guilt is the only qualification for punishment (kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat untuk pemidanaan)
d. The penalty shall be proportional to the moral guilt of the offender
(pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku)
e. Punishment point into the past, it is pure reproach, and it purpose is not to improve, correct, educate or resocialize the offender (pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasi pelaku).
Xxxxx Xxxxxx mengemukakan bahwa aliran retributif ini terbagi menjadi dua macam, yaitu teori retributif murni dan teori retributif tidak murni.
182 Sholehudin, sistem sanksi op.cit., hlm.,35.
183 Ibid.
Retributivist yang murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sedangkan retributivist yang tidak murni dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku, akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas- batas yang sepadan dengan kesalahan pelaku.
b. Retributivist yang distribusi (retribution in distribution), yang berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan kepada pelaku yang bersalah.184
Berdasarkan pembagian diatas, maka hanya the pure retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh karena itu, golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan. Sedangkan penganut golongan yang lain tidak mengajukan alasan-alasan untuk pengenaan pidana, tetapi mengajukan prinsip-prinsip pembatasan pidana.185
Terhadap pertanyaan sejauh mana pidana perlu diberikan kepada pelaku kejahatan, teori retributif menjelaskan sebagai berikut:186
a. Bahwa dengan pidna tersebut akan memuaskan perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil bagi dirinya, temannya dan keluarganya.
184 Marlina, Hukum Penitensier op.cit., hlm. 45.
185 Ibid,
186 Xxxxxxxxxx, op.cit., hlm. 37-38.
Perasaan tersebut tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh tidak menghargai hukum. Tipe retributif ini disebut: vindicative.
b. Pidana dimaksudkan untuk meberikan peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota masyarakat yang lain bahwa setiap ancaman yang merugikan orang lain atau memperoleh keuntungan dari orang lain secara tidak sengaja akan menerima ganjarannya. Tipe retributif ini disebut: fairness
c. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut the gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe retributif ini disebut dengan: proportionality. Termasuk ke dalam kategori the gravity ini adalah kekejaman dari kejahatannya atau dapat juga termasuk sifata aniaya yang ada di dalam kejahatannya baikyang digunakan dengan sengaja ataupun karena kelalaiannya.
Xxxx Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx juga menukil teori retribution dalam buku Xxxx Xxxxxx, menurutnya teori retribution dibagi menjadi dua teori, yaitu teori pembalasan (the revenge theory) dan teori penebusan dosa (the expiation theory). Menurut Xxxx Xxxxxx kedua teori ini dibedakan karena cara pandang orang berpikir pada waktu menjatuhkan pidana. Pembalasan megnandung arti bahwa hutang si penajaht telah dibayarkan kembali (the criminal is pain back),
sedangkan penebusan dosa mengandung arti bahwa si penjahat membayar kembali hutangnya (the criminal pays back).187
Teori absolut ini mendapat keberatan dari berbagai pihak. Hal ini berkaitan erat dengan masa lampau pelaku tindak pidana dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan masa depan terpidana. Teori ini tidak menjelaskan mengapa negara harus menjatuhkan pidana dan apa kegunaan dari pidana itu sendiri.188
2. Teori Relatif atau Tujuan (Doeltheorien)
Xxxxx xxxxan lahir dari aliran modern yang meninjau pertama-tama dari pelaku kejahatan, bukan dari perbuatannya. Pemidanaan yang dijatuhkan harus melihat sifat-sifat dan keadaan si pembuat. 189 Kejahatan, menurut teori ini merupakan suatu produk dari sifat alamiah seorang pelaku dan dari keadaan di dalam masyarakat. Oleh sebab itu, para penganut teori ini menginginkan agar pidana yang dijatuhkan bagi para penjahat dilakukan berdasarkan pembagian dari penjahat dalam kelompok yang berbeda.190
Para penganut teori relatif ini merupakan pengkritik dari teori absolut yang dipandang tidak mempunyai kemanfaatan prkatis dari kegiatan memidana seseorang. Tujuan pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari
187 Xxxxxx dan Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx-Xxxxx dan Kebijakan Pidana, op.cit., hlm.
13.
188 Xxxx Xxxxxx, Asas-Asas Hukum Pidana....op.cit., hlm. 33.
189 Sholehudin, op.cit., hlm. 48.
190 PAF Lamintang dan Xxxx, Hkum penitensier....op.cit., hlm., 17.
keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.191
Meskipun penganut teori relatif ini baru ada setelah zaman teori absolut, namun benih-benih pemikiran teori tujuan samar-samar sudah tampak pada zaman pemikiran purba. Protagoras sudah berbicara tentang pidana sebagai sarana pencegahan kejahatan, baik umum maupun khusus. Xxxxxx, seorang filosof Romawi yang terkenal sudah membuat formulasi yang terkenal yakni nemo prudens punit quia peccatum est, sed ne peccetur, tidak layak orang memidana karena telah terjadi perbuatan salah, tetapi dengan maksud agar tidak terjadi lagi perbuatan salah.192 Jadi pemikiran tentang tujuan pemidanaan ini dapat dikatakan sebagai penggalain kembali pemikiran lama yang tertidur ditelan zaman dan baru muncul di abad-abad modern.
Menurut Xxxx X. Xxxxxxxxxxxx ada beberapa ciri pokok dari teori relatif ini, yaitu:193
a. The purpose of punishment is prevention (tujuan pidana adalah pencegahan)
b. Prevention is not a final aim, but ameans to amore suprems aim, e.g. social welfare (pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat)
191 Xxxxxx dan Xxxxx, Teori-teori op.cit., hlm. 16.
192 Xxxxx Xxxxxxxx, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2009), hlm. 23.
193 Xxxxxxxxxx,op.cit., hlm. 42.
c. Only breaches of the law wich are imputable to the perpetrator as intent or negligence qualify for punishmnet (hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja, misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk adanya pidana)
d. The penalty shall be determined by its utility as ab instrument for the prevention of crime (pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat pencegahan kejahatan)
e. The punishment is prospective, it points into the future; it may contain as element of reproach, but neither reproach nor retributive elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime for the benefit or social welfare (pidana melihat ke depan atau bersifat prospektif; ia mengandung unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat).
Ada tiga bentuk teori tujuan. Pertama, tujuan pemidanaan memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence). Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama (speciale preventie) atau pencegahan khusus, sedangkan tujuan dari penangkal, pemidanaan berfungsi sebagai contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagai penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat (general preventie) atau pencegahan umum.194
194 Ibid., hlm. 44
Upaya penjeraan dengan mencegah si terpidana mengulangi kejahatan (speciale preventie) ini sebagaimana dinyatakan Xxx Xxxxxlen adalah anggapan masyarakat bahawa pidana yang dijalani saat ini membuat pelaku di kemudian hari akan belajar menahan diri untuk tidak berbuat seperti itu lagi.195
Sedangkan pencegahan umum (general preventie), melihat tujuan pokok yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan kepada khalayak ramai agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Menurut Vos, bentuk pencegahan umum yang paling lama berwujud pidana yang pelaksanaannya dilakukan di depan umum yang mengharapkan suggestieve terhadap anggota masyarakat lainnya agar tidak berani melakukan kejahatan serupa atau kejahatan lain.196
Xxx Xxxxxxxx juga mendukung pemikiran ini dengan mengatakan bahwa apabila setiap orang mengerti dan tahu, bahwa melanggara peraturan hukum itu diancam dengan pidana, maka orang itu mengerti dan tahu juga akan dijatuhi pidana atas kejahatan yang dilakukannya.197
Sedangkan Th. Van Veen melihat pencegahan umum dari teori tujuan dari fungsinya. Menurutnya pencegahan umum memiliki tiga fungsi, yaitu:198
a. Menjaga atau menegakkan wibawa penguasa, terutama dalam perumusan perbuatan pidana yang berkaitan dengan wibawa pemerintah, seperti kejahatan terhadap penguasa umum
195 Xxxxxxx, op.cit., hlm. 58.
196Ibid., 57.
197 Ibid.
198 Xxxx OS Xxxxxxx, Prinsip-Prinsip op.cit., hlm. 33.
b. Menjaga atau menegakkan norma hukum
c. Pembentukan norma untuk menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu dianggap asusila dan oleh karena itu tidak diperbolehkan.
Kedua, pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan menganggap pula pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai reformasi rehabilitasi atau perawatan/pembinaan terhadap terpidana. Kesalahan atau tindakan kejahatan dianggap sebagai suatu penyakit sosial yang disintegratif dalam masyarakat. Kejahatan itu dipandang pula sebagai ketidakseimbangan personal yang membutuhkan terapi psikiatris, conselling, latihan-latihan spiritual dan sebagainya.199
Rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan merupakan pendapat aliran modern yang mengatakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ni untuk memberi tindakan rehabilitasi kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Argumen ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan dan rehabilitasi.200
Ketiga, pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral. Bentuk ketiga teori tujuan ini merupakan bagian dari doktrin bahwa pemidanaan merupakan proses reformasi. Setiap pemidanaan pada dasarnya menyatakan perbuatan
terpidana adalah salah dan tidak dapat diterima dalam masyarakat. Karena itu dalam proses pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang dituduhkan atasnya.201
Masuknya unsur moral dalam salah satu bentuk tujuan pidana dapat dilacak dari pemikiran Xxxxxxxx Xxxxxxxx. Menurutnya, tujuan penjeraan dan penangkalan harus turut mempengaruhi penguatan kepatuhan terhdap larangan- larangan moral dan mendorong kebiasaan perbuatan patuh terhadap hukum. Dengan kata lain, pengaruh yang bersifat pendidikan sosial dari pidana harus turut serta sebagai tujuan dalam penjatuhan pidana.202 Orang-orang yang menunjukkan suatu perilaku tidak pantas dan bersifat mengganggu bagi ketertiban masyarakat harus diberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan agar dikemudian hari dapat berperilaku lebih pantas dan bahwa alasan pribadi yang telah mendorong mereka untuk berperilaku secara melawan hukum, harus ditiadakan dengan suatu pemidanaan.
Penjara atau lembaga pemasyarakatan, dilukiskan sebagai tempat pendidikan moral, yaitu tempat refleksi-refleksi moral dan spiritual diadakan serta penebusan dosa terjadi. Para terpidana perlu diberikan pengajaran moral dan agam agar keyakinan dan pandangannya diperbaharui, kecenderungan-kecenderungan jahatnya dikendalikan dan hidupnya disegarkan. Semuanya itu berdasar atas tesis
bahwa setiap bentuk kejahatan melawan hukum merupakan ekspresi ketidakpedulian sosial pada orang lain.203
Sementara itu, Xxxxx Xxxxxx lebih senang menamakan teori relatif ini sebagai paham reduktif (reduktivsm) karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. Para penganut reduktivism meyakini bahwa pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui cara-cara sebagai berikut:204
a. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang dijatuhkan.
b. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators), dalam hal ini memberikan rasa takut akan kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya
c. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dan ancaman pidana
d. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat mengurangi frekuensi kejahatan
e. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara yang cukup lama.
Reduktivis akan menyetujui tindakan-tindakan social hyginie, jika hal itu dapat mengurangi kejahatan. Dia akan mendorong tindakan-tindakan mengurangi kesempatan untuk kejahatan. Dia juga akan menerima pencegahan umum meskipun hal itu akan menekan para kriminal potensial. Reduktivis akan mempertimbangkan pula dengan pikiran terbuka setiap tindakan koreksi yang berkemungkinan kuat mengurangi kecenderungan kejahatan pelanggar yang diketahui.205
3. Teori Gabungan (verenigingstheorien)
Teori relatif atau tujuan pada pada dasarnya juga tidak lepas dari kritik, baik secara sollen maupun sein. Bentuk tertua prevensi umum pada teori tujuan dipraktekan sampai revolusi Prancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakut- nakuti orang lain dengan pemidanaan yang dipertontonkan. Kadang-kadang, pelaksanaan pidana dijatuhkan dengan sangat ganas.
Pada zaman aufklarung, abad ke-18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang besar-besaran. Keberatannya terletak pada dipergunakannya penderitaan orang lain untuk prevensi umum. Bahkan orang yang tidak bersalah pun dapat dipidana dengan maksud memperoleh tujuan prevensi umum tersebut.206
Dari pandangan demikian kemudian timbul sejumlah pemikiran-pemikiran
baru untuk menyatukan masalah-masalah pemidanaan yang dihadapi sebelumnya.
Beberapa sarjana hukum mencoba mengetengahkan dua masalah pokok, yaitu untuk menjelaskan tentang apakah sebenarnya pidana itu dan dasar pembenaran dari pelaksanaan pidana.207
Xxxxxxx X. Xxxxxx mulai membicarakan sintesa atas dilema yang berkepanjangan dari teori-teori pemindaan yang menjadi dasar tujuan pemidanaan. Ia mengusulkan pentingnya kembali ke paham retributif dalam hal pemidanaan. Ia cenderung menganggap bahwa pembalasan lebih berguna sebagai starting point untuk mengkaji kejahatan dan pemidanaan secara rasional serta lebih integral.208 Ia memandang harus ada pemahaman baru tentang pemidanaan.
Menurutnya pokok-pokok pikiran yang melandasi harus adanya pemahaman baru tersebut adalah sebagai berikut:209
a. Kehendak bebas (free of will) adalah ilusi, karena tingkah laku manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terkandung di dalam kekuatan diri seseorang untuk mengubahnya
b. Tanggung jawab moral dengan demikian juga ilusi, karena tidak dapat dibebankan pada suatu tingkah lakuyang memang dibentuk
c. Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan dikendalikan
d. Fungsi hukum pidana seharusnya secara sederhana dan murni membawa seseorang ke dalam suatu proses pengubahan tingkah laku mereka yang
207 PAF Lamintang dan Xxxx, Penitensier op.cit., hlm. 19.
telah melakukan kejahatan sehingga mereka tidak akan melakukannya lagi di masa mendatang.
Dari pemikiran itu dapat ditarik kesimpulan bahwa Xxxxxx hendak menggabungkan dua ide awal pexxxxxxan, yaitu pemikiran dari penganut teori absolut dan pemikiran dari penganut teori relatif. Penggabungan ide pembalasan di satu sisi dan ide perbaikan pelaku dan masyarakat di sisi lain melahirkan teori gabungan.
Selain Xxxxxx, ide tentang teori gabungan ini juga diketengahkan oleh Xxxxxxxxxx Xxxxx. Di satu sisi, ia menganggap pembalasan adalah asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun disisi lain ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pengaruh berupa perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.210
Grotius atau Xxxx xx Xxxxx juga berada pada sisi ini. Ia pernah mengutarakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari suatu adagium: natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat yang berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya penderitaan semata sebagai suatu pembalasan tetapi juga ketertiban masayarakat.211
Pemikiran Grotius ini kemudian dilanjutkan oleh Xxxxxxxxxxx yang mengatakan bahwa makna tiap-tiap pidana adalah melindungi tata hukum. Pidana mengembalikan hormat terhadap hukum dan pemerintah. Pidana bersifat pembalasan karena ia hanya dijatuhkan terhadap perbuatan pidana. Pembalasan dengan demikian dipandang sebagai sifat yang melekat pada pidana itu tetapi bukan tujuan. Tujuan pidana adalah melindungi kesejahteraan masyarakat.212
H.B. Vos juga secara tegas menyatakan diri sebagai penganut teori gabungan. Ia mengkombinasikan tujuan pidana sebagai pembalasan dan ketertiban masyarakat sekaligus. Ia memberi bobot yang sama antara tujuan pembalasan dan tujuan perlindungan masyarakat.213
Dari pemikiran-pemikiran itu tersimpul sebuah sintesa bahwa tujuan pemidanaan penganut teori gabungan adalah plural. Ia menghubungkan prinsip- prinsip manfaat, tujuan dengan melihat ke depan dan prinsip-prinsip retributif dengan tidak mengabaikan kejahatan masa lalu dan mengakui keharusan adanya pembalasan dalam satu kesatuan.
Pandangan teori gabungan ini menganjurkan mengintegrasikan beberapa fungsi pemidanaan sekaligus, yang oleh Xxxxxx diistilahkan retribusi yang bersifat utilitarian.214 Pemidanaan harus dilakukan dengan cara tertentu yang diharapkan dapat mengasimilasikan kembali narapidana ke dalam masyarat yang secara bersamaan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat akan pembalasan.
212 Xxxx Xxxxxx, Xxxx-Xxx,...op.cit., hlm. 37.
4. Teori Pemidanaan Integratif dalam Sistem Pancasila
Teori pemidanaan integratif dalam sistem Pancasila merupakan teori yang dicetuskan oleh Xxxxxx. Ide dasar teori ini bertolak pada pandangan bahwa hukum positif yang datang dari barat telah mempengaruhi sistem sosial masyarakat Indonesia itu sendiri.215 Oleh sebab itu, Xxxxxx mencoba mencari teori ideal bagi pemidanaan di Indonesia agar teori pemidanaan yang digunakan sesuai dengan cita masyarakat Indonesia. Ia menggunakan pendekatan teori gabungan yang diintegrasikan dengan nilai-nilai kemasyarakatan bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut mengkristal di dalam butir-butir pancasila.
Menurut Xxxxx Xxxxxxxx, teori ini tepat untuk diterapkan di Indonesia. Sebab, dewasa ini masalah pemidanaan menjadi sangat kompleks sebagai akibat dari usaha untuk lebih memperhatikan faktor-faktor yang menyangkut hak asasi manusia, serta menjadikan pidana berdifat operasional dan fungsional. Pendekatan semacam ini mengakibatkan adanya keharusan untuk memilih teori gabungan tentang tujuan pemidanaan yang dapat mempengaruhi fungsinya dalam rangka mengatasi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana (individual and social damage).216
Pendekatan teori gabungan sebagai landasan teori integratifnya Xxxxxx tersebut melihat dari permasalahan pidana dan pemidanaan dari aspek
215 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, (Jakarta:Rajawali, 1982), hlm. 40.