SKRIPSI
SKRIPSI
TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGINGKARAN PERJANJIAN LISAN SEBELUM PERKAWINAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI POLEWALI NOMOR 24/Pdt.G/2020/PN.POL)
Disusun dan diajukan oleh: SUKRAN
B011171360
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2022
HALAMAN JUDUL
TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENGINGKARAN PERJANJIAN LISAN SEBELUM PERKAWINAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI POLEWALI NOMOR 24/Pdt.G/2020/PN.POL)
OLEH:
SUKRAN B011171360
SKRIPSI
Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada Departemen Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum
PEMINATAN HUKUM PERDATA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2022
PENGESAHAN SKRIPSI
PERSETUJUAN PEMBIMBING
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
ABSTRAK
SUKRAN (B011171360) dengan Judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pengingkaran Perjanjian Lisan Sebelum Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Polewali Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL)”. Dibimbing oleh Xxxxx X. Xxxxx sebagai Pembimbing Utama dan Xxxxxx sebagai Pembimbing Pendamping.
Penelitian ini bertujuan untuk lebih jauh menganalisis dan meneliti mengenai pengingkaran terhadap perjanjian lisan sebelum perkawinan sebagai alasan perceraian. Serta pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL apakah telah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder dengan melakukan penelitian kepustakaan dan penelitian langsung di lapangan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan dijabarkan dalam bentuk preskriptif.
Adapun hasil penelitian ini yaitu: 1.) Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan tidak disebutkan bahwa pengingkaran terhadap perjanjian lisan sebelum perkawinan merupakan salah satu alasan perceraian. Tetapi hal tersebut hanya menjadi penyebab timbulnya alasan perceraian apabila hal tersebut menimbulkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga. (2) Pertimbangan majelis hakim dalam memutus perkara Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL telah sesuai dengan UU Perkawinan, hal tersebut dapat dilihat dari pertimbangan hakim yang menjadikan tidak adanya harapan untuk hidup rukun sebagai alasan perceraian. Walaupun terdapat alasan perceraian lain yang telah terpenuhi dalam kasus ini, tetapi tidak ada ketentuan untuk menyebutkan seluruhnya.
Kata Kunci: Xxxxxx Xxxxx, Perceraian, Xxxxxxxxan Lisan
ABSTRACT
SUKRAN (B011171360) with the title "Legal Review of Denial of Pre- Marriage Oral Agreements as Reasons for Divorce (Study of Polewali District Court Decision Number 24/Pdt.G/2020/PN.POL)". Supervised by Xxxxx X. Xxxxx as Main Advisor and Xxxxxx xx Companion Advisor.
This study aims to further analyze and examine the denial of an oral agreement before marriage as a reason for divorce. As well as the consideration of the panel of judges in deciding case Number 24/Pdt.G/2020/PN.POL whether it complies with the applicable regulations.
This study uses normative legal research methods. The type of data used is primary data and secondary data by conducting library research and direct research in the field. The data obtained were then analyzed and translated into a prescriptive form.
The results of this study are: 1.) In Law No. 1 of 1974 as amended by Law No. 16 of 2019 concerning Marriage it is not stated that denial of an oral agreement before marriage is one of the reasons for divorce. But this is only a cause for divorce if it causes disharmony in the household. (2) The considerations of the panel of judges in deciding case Number 24/Pdt.G/2020/PN.POL are in accordance with the Marriage Law, this can be seen from the judge's considerations which make the lack of hope for living in harmony a reason for divorce. Although there are other reasons for divorce that have been fulfilled in this case, there are no provisions to mention all of them.
Keywords: Broken Promise, Divorce, Oral Agreement
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Tiada kata yang patut penulis ucapkan selain memanjatkan puja dan puji syukur serta terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas segala limpahan kasih sayang, limpahan ilmu, limpahan kesehatan, dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini dengan judul: “Tinjauan Hukum Terhadap Pengingkaran Perjanjian Lisan Sebelum Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Polewali Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL)” yang merupakan tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi untuk menempuh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
Pada kesempatan ini, dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kedapa orang-orang terdekat penulis yang senantiasa memberikan doa, dukungan, nasihat, serta memberikan bantuan secara langsung maupun tidak langsung selama proses penyusunan skripsi ini. Terutama kepada kedua orang tua penulis yaitu Xxxxx Xxxxxx dan Xxx Xxxxxxxxx, serta saudara penulis yaitu Xxxxxxxx Xxxxx dan Xxxxx Xxxxxx, dan tak lupa kepada nenek tercinta yaitu Xx’x dan Xxxxx yang senantiasa sabar dalam membimbing dan memberikan nasihat kepada penulis serta senantiasa
memberikan dukungan dan doa yang tulus kepada penulis. Tiada hal yang dapat penulis berikan selain ucapan terima kasih dari dalam hati yang paling dalam atas segala bentuk dukungan yang diberikan kepada penulis. Semoga Allah SWT senantia memberikan kesehatan dan perlindungan-Nya kepada kita semua.
Melalui kesempatan ini juga dengan segala ketulusan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil, terutama kepada yang terhormat:
1. Prof. Xx. Xx. Xxxxxxxxxx Xxxxx, X.Xx. selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya;
2. Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxx, S.H., M.H., M.A.P. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin beserta seluruh jajarannya;
3. Dr. Muh. Xxxxx Xxxxxxxxxx X.X., X.Xx. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
4. Xx. Xxxxx Xxxxx, S.H., M.H. selaku ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak memberikan nasihat dan arahan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
5. Xx. Xxxxx Xxxxx Xxxx, S.H., M.H. selaku Penasihat Akademik penulis yang telah memberikan nasihat dan arahan kepada
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
6. Dr. Xxxxx X. Xxxxx, S.H., M.H. selaku pembimbing utama dan Xxxxxx, S.H., M.H. selaku pembimbing pendamping atas segala bantuan, kesabaran, dan ketulusan dalam hal membimbing penulis serta senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan saran dan arahan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini;
7. Xx. Xxxxxxx Xxxx, S.H., M.H. selaku penilai I dan Dr. Winner Sitorus, S.H., M.H., LL.M. selaku penilai II atas segala saran, masukan, dan ilmu yang diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini;
8. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Univeristas Hasanuddin yang telah memberikan begitu banyak ilmu, nasihat dan pengalaman yang begitu berkesan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;
9. Seluruh Pegawai dan Staf Akademik Fakultas Hukum Univeristas Hasanuddin atas segala bantuan dan dukungan dalam hal penyelesaian skripsi ini;
10. Keluarga Besar PLEDOI 2017, terima kasih atas segala pengalaman dan cerita yang begitu berkesann selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Univeristas Hasanuddin;
11. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan begitu banyak pengalaman yang berharga selama penulis menjadi Kader dan Pengurus Organisai;
12. Keluarga besar ketua Yayasan Panti Asuhan Al-Nur, Xx. Xxxxx Xxxx, S.H., M.H beserta seluruh keluarga atas segala bimbingan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini;
13. Xxxxxxx, S.M., M.M. dan Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, S.M. selaku pembina Panti Asuhan Al-Nur yang telah penulis anggap sebagai orang tua atas segala kasih sayang dan bimbingan kepada penulis semenjak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama hingga saat ini;
14. Sahabat-sahabat Panti Asuhan Xx-Xxx XX yang telah penulis anggap sebagai saudara Xxx Xxx, Sartika, Xxxxxx, Xxxxxx, Salwana, Gita, dan Jusma atas segala dukungan dan senantiasa menyemangati penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
15. Xxx Xxxxx Xxxxxxxx dan keluarga yang telah penulis anggap sebagai orang tua, terutama kepada Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx yang telah bersedia menemani penulis saat menjalani perawatan di rumah sakit. Terima kasih atas segala dukungan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
16. Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala bentuk bantuan dan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas kebaikan kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki begitu banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Olehnya itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Harapan penulis agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi setiap insan pembelajar yang membaca skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin secara khusus dan Negara Kesatuan Republik Indonesia secara umum. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, penulis ucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin. Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Makassar, 20 September 2022 Penulis
Sukran
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ii
PENGESAHAN SKRIPSI iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING iv
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI v
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
KATA PENGANTAR ix
DAFTAR ISI xiv
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 6
E. Keaslian Penelitian 6
F. Metode Penelitian 8
BAB II ANALISIS TERHADAP PENGINGKARAN PERJANJIAN LISAN SEBELUM PERKAWINAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN 13
A. Perkawinan 13
B. Perjanjian Perkawinan 24
C. Perceraian 31
D. Analisis Terhadap Pengingkaran Perjanjian Xxxxx Sebelum Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian 37
BAB III ANALISIS TERHADAP PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUS PERKARA NO. 24/Pdt.G/2020/PN.POL 44
A. Kewenangan Pengadilan Negeri 44
B. Putusan dan Jenis-Jenis Putusan 46
C. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Perkara Perdata 51
D. Analisis Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Dalam Memutus Perkara Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL 54
BAB IV PENUTUP 65
A. Kesimpulan 65
B. Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 67
LAMPIRAN 69
BAB I PENDAHULUAN
X. Xxxxx Belakang Masalah
Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan seperti mahluk hidup yang lainnya. Baik itu kebutuhan untuk bertahan hidup maupun kebutuhan akan rasa cinta, kasih, dan sayang. Kebutuhan-kebutuhan tersebut harus dapat terpenuhi sehingga ada rasa ketengangan dalam menjalani kehidupan. Masing-masing manusia akan berusaha untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.
Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi, mengasihi, dan menyayangi. Oleh karena itu, maka di antara keduanya akan timbul keinginan untuk hidup bersama dalam sebuah ikatan yang sah yaitu perkawinan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagai manusia kita membutuhkan bantuan orang lain. Oleh karena itu, maka perkawinan merupakan salah satu bentuk upaya untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 (ayat) 3 dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hukum adalah kumpulan kaidah atau ukuran yang tersusun dalam suatu sistem yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia sebagai warga negara dalam kehidupan
bermasyarakat.1 Sebagai negara hukum, maka seluruh aspek kehidupan di Indonesia telah diatur dengan berbagai macam peraturan perundang- undangan, termasuk peraturan mengenai perkawinan.
Dalam hukum positif di Indonesia mengenai perkawinan telah diatur tersendiri di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Dalam pasal 1 undang-undang tersebut menjelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa2. Berlandaskan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Membentuk keluarga juga termasuk salah satu hak dasar yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Untuk memenuhi tujuan dari perkawinan itu sendiri, maka sering kali calon pasangan suami isteri membuat suatu kesepakatan atau perjanjian sebelum mereka melangsungkan perkawinan. Hal ini dimaksudkan agar kehidupan rumah tangga keduanya dapat berjalan sebagaimana tujuan dari perkawinan yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
1 Xxxxxx Xxx, 2015, Menguak Tabir Hukum, Kencana, Jakarta, Hlm. 46
2 Xxxx Xxxxx, 2010, Hukum Perdata; Dalam Berbagai Aspek Pengembangannya, Total Media, Yogyakarta, Hlm. 38
Maha Esa. Maka dengan adanya kesepakatan atau perjanjian tersebut akan lebih memudahkan dalam mencapai keluarga yang bahagia.
Kesepakatan yang dibuat sebelum melangsungkan perkawinan juga disebut perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang- undang Perkawinan mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dalam bentuk tertulis yang dicatat oleh pegawai pencatat. Perjanjian perkawinan juga tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. Jika perjanjian yang dibuat tidak dalam bentuk tertulis, maka perjanjian atau kesepakatan tersebut batal demi hukum dianggap tidak pernah ada.
Meskipun janji-janji sebelum perkawinan tersebut dibuat berdasarkan persetujuan keduanya, tetapi tidak dapat dipastikan bahwa kesepakatan itu akan dijalankan terus menerus oleh pihak yang membuat xxxxx. Tidak ditaatinya kesepakatan tersebut dapat berakibat kepada keharmonisan dalam kehidupan rumah tangga. Selain itu ada beberapa hal yang mungkin menjadi hambatan dalam mencapai tujuan perkawinan. Sehingga perkawinan bukan lagi wadah untuk mendapat ketenangan dan kebahagiaan tetapi justru menjadi sumber masalah. Hal tersebut dapat mengakibatkan kerenggangan antara suami isteri bahkan sampai pada keinginan untuk bercerai. Perceraian adalah upaya final yang terbaik untuk pasangan suami isteri tersebut, apabila upaya-upaya lainnnya tidak dapat memberikan penyelesaian masalah.
Hukum perkawinan di Indonesia menganut asas mempersulit perceraian, hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia. Hal ini ditegaskan dalam UU Perkawinan Pasal 39. Perceraian hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan jika hakim atau mediator gagal untuk mendamaikan keduanya.3 Syarat- syarat perceraian yang ditetapkan dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi jika ingin melakukan perceraian. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadinya perceraian karena permufakatan antara suami dan isteri saja tanpa alasan yang sah.
Umumnya, semua pasangan suami istri akan berusaha sebisa mungkin agar kelangsungan hubungan perkawinannya tidak berakhir pada kata cerai. Namun ada keadaan dimana suatu ikatan perkawinan harus putus karena perceraian karena tidak terdapat lagi ketentraman dalam rumah tangga tersebut.
Berdasarkan perkara dalam putusan No. 24/Pdt.G/2020/PN.Xxx, penggugat yang berstatus sebagai isteri menggugat suaminya untuk bercerai dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Polewali. Alasan penggugat mengajukan gugatan yaitu karena tergugat tidak memenuhi janjinya kepada penggugat yang telah mereka sepakati
3 Xxxxxxxx Xxxxx, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm.267
sebelum menikah. Penggugat juga telah beberapa kali berselingkuh dari penggugat. Bahkan tergugat telah meninggalkan penggugat selama kurang lebih 4 (empat) tahun tanpa izin dari penggugat dan tanpa alasan yang sah. Di dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur mengenai alasan-alasan yang sah untuk melakukan perceraian, dan di antara alasan-alasan tersebut tidak disebutkan bahwa tidak memenuhi perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan merupakan alasan perceraian.
Berlandaskan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti dan mengkaji lebih dalam mengenai isu perceraian dengan alasan pengingkaran perjanjian lisan yang dibuat sebelum perkawinan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan sebelummnya, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas pada tulisan ini, yaitu sebagai berikut:
1. Apakah ingkar janji atas perjanjian lisan yang dibuat sebelum perkawinan dapat dijadikan sebagai alasan perceraian?
2. Apakah pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL, telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus permasalahan pada penelitian ini, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis ingkar janji atas perjanjian lisan yang dibuat sebelum perkawinan sebagai alasan perceraian.
2. Untuk menganalisis pertimbangan hukum majelis hakim dalam memutuskan perkara Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL telah sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumbangan pemikiran dan dapat digunakan untuk perkembangan ilmu terutama dalam perkembangan Ilmu Hukum khususnya Hukum Perdata dalam bidang terkait.
2. Manfaat secara praktis, penenltian ini selanjutnya juga diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan dalam menganalisis perceraaian suami istri karena salah satu pihak ingkar janji atas perjanjian lisan yang telah dibuat sebelum perkawinan.
E. Keaslian Penelitian
Dari hasil penelusuran yang dilakukan oleh penulis terhadap beberapa judul skripsi yang berkaitan dengan konsep peceraian dengan alasan ingkar janji atas perjanjian lisan sebelum kawin, penulis
menemukan bahwa sebelumnya telah diadakan penelitian yang mengangkat tema mengenai perxxxxxan dalam perkawinan, yaitu:
1. Skripsi yang ditulis oleh Xxxxx Xxxxxxx Xxxxx di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahayangan pada tahun 2019 dengan mengangkat judul “Perjanjian Kawin Ditinjau Sebagai Perjanjian Berdasarkan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Serta Akibat Hukumnya”. Skripsi ini hanya membahas secara umum tentang akibat yang ditimbulkan dari diadakannya perjanjian kawin tersebut. Cakupan penjelasan dalam skripsi tersebut masih bersifat umum serta belum memberikan contoh konkrit, miasalnya perkara yang telah diputuskan oleh pengadilan.
Sementara itu, walaupun saat ini penulis juga mengangkat tema mengenai perjanjian dalam perkawinan yaitu penelitian normatif dengan judul “Tinjauan Hukum Terhadap Pengingkaran Perjanjian Lisan Sebelum Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian (Studi Putusan Pengadilan Negeri Polewali Nomor 24/Pdt.G/2020/PN.POL)”. namun dengan pembahasan lebih rinci dan detail serta kaitannya sebagai alasan perceraian.
2. Skripsi yang ditulis oleh Xxxxx Xxxxxxx di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Xxxxxx Xxxxxxxx Makassar tahun 2017 dengan judul “Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam”. Seperti
contoh skripsi yang penulis sebutkan sebelumnya, skripsi ini juga hanya membahas tentang perjanjian perkawinan secara umum yaitu menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam. Dan seperti sebelumnya tanpa memberikan penjelasan yang lebih rinci.
Sedangkan pada penelitian ini lebih membahas secara rinci mengenai perjanjian dalam perkawinan serta memberikan contoh putusan yang berkaitan dengan perjanjian dalam perkawinan yang telah diputuskan oleh pengadilan.
Dengan perbedaan mengkaji lebih dalam mengenai bagaimana jika salah satu pihak ingkar atas perjanjian lisan yang dibuat sebelum kawin, dalam mengangkat rumusan masalah dan objek kajian yang diteliti maka keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi, ilmiah dan terbuka untuk kritik yang bersifat membangun.
F. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum ini termasuk dalam tipe penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara menganalisis norma-norma hukum (ketentuan-ketentuan yang ada) dan doktrin-doktrin serta penerapannya dalam peristiwa hukum yang terjadi.
2. Pendekatan Penelitian
Pada umumnya pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan konseptual (conceptual approach).4
Adapun dalam penelitian ini, pendekatan-pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:5
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), adalah pendekatan dengan cara menganalisis semua peraturan perundang-undangan dan peraturan yang berkaitan dengan isu hukum yang diteliti.
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach), adalalah pendekatan dengan berdasarkan pada pendapat-pendapat dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum sebagai dasar untuk membangun argumentasi hukum untuk menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi.
3. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
4 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2017, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana , Jakarta, Hlm. 133.
5 Ibid.
bahan hukum yang mempunyai kaitan dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Adapun bahan hukum yang dimaksud, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis dan berhubungan dengan objek penelitian.6
Bahan hukum primer terdiri atas perundan-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuata peraturan perundang-undangan, maupun putusan hakim (yurisprudensi).7 Bahan hukum primer yang digunakan pada penelitian ini antara lain:
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Burgerlijk Wetboek voor Indonesie ( Staatsblad tahun 1847 Nomor 23 yang selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata).
3. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
6 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1989, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, Hlm. 93.
7 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit, Hlm.181
5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengenai izin pekawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan Undang-Undang, naskah akademik, hasil-hasil penelitian, maupun hasil karya para pakar hukum,8 yang berhubungan dengan gambaran secara umum mengenai analisis hukum terhadap suami yang ingkar janji terhadap perjanjian lisan sebelum perkawinan sebagai alasan perceraian oleh pihak isteri. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa skripsi, buku, maupun jurnal hukum.
4. Metode Pengumpulan Bahan Hukum.
Untuk mendapatkan informasi yang dapat menunjang tulisan ini, maka penulis mengambil data dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), yaitu dengan membaca dan mempelajari teori-teori menggunakan buku, surat kabar, majalah hukum dan sebagainya yang memiliki keterkaitan dengan
8 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Kajian Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, Hlm. 13.
pembahasan pada penelitian ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu dengan cara mencari, mengambil, dan mengumpulkan berbagai data dari lapangan. Untuk memperoleh data tersebut, penulis melakukan wawancara (interview) dengan pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu hakim dan ketua pengadilan di Pengadilan Negeri Polewali.
5. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh akan diidentifikasi dan dianalisis menggunakan pendekatan perundang-undangan maupun konseptual untuk mendapatkan kesimpulan, sehingga mampu menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Kemudian dianalisis berdasarkan rumusan masalah penelitian, lalu dijabarkan dalam bentuk preskriptif untuk menjawab permasalahan.
BAB II
ANALISIS MENGENAI INGKAR JANJI ATAS PERJANJIAN LISAN SEBELUM PERKAWINAN SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
A. Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Menurut Subekti dalam bukunya, Pokok-pokok Hukum Perdata mengatakan bahwa perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang pria dan seorang wanita untuk waktu yang lama.9 Pengertian perkawinan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) tidak tercantum secara terperinci , tetapi dalam Pasal 26 BW disebutkan bahwa undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata.10 Tetapi isitilah perkawinan (huwelijk) sendiri dalam BW menggunakan dua artian, yaitu:
a. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan “melangsungkan perkawinan” (Pasal 104 BW). Selain itu juga dalam arti “setelah perkawinan” (Pasal 209 sub 3 BW). Dengan demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada saat tertentu;
b. Sebagai “suatu keadaan hukum” yaitu keadaan bahwa seorang pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan
9 Subekti, 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; Intermasa, Hlm.23
10 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxxxx, Xx Xxxx, Perbandingan Hukum Perdata,
Pustaka Setia, Bandung, Hlm.144
perkawinan.
Sementara itu menurut Xxx Xxxxxxx menyimpulkan bahwa menurut BW, perkawinan merupakan persatuan antara seorang laki-laki dan seorang wanita secara hukum untuk hidup bersama selama-lamanya. Ketentuan tersebut tidak dijelaskan dengan tegas dalam salah satu pasal, tetapi disimpulkan dari esensi mengenai perkawinan.11
Lain halnya dengan Hukum Islam yang memliki pengertian yang sangat berbeda dengan BW mengenai pengertian perkawinan. Perkawinan menurut Hukum Islam dikenal dengan sebutan “Nikah” adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah.
Senada dengan hal tersebut, Kaelany H.D mengemukakan bahwa perxxxxxan adalah akad antara calon suami isteri untuk memenuhi hajat jenisnya berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh syari’ah. Dengan akad tersebut, maka kedua calon suami isteri
11 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,Kencana, Jakarta, Hlm. 100-101
tersebut telah sah dan diperbolehkan untuk bergaul sebagai suami isteri.12
Saat ini telah berlaku Undang-undang tersendiri mengenai perkawinan, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan. Undang-undang menyatakan bahwa pengertian dari perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasrkan Ketuhanan Yang Maha Esa.13
2. Dasar Hukum Perkawinan
Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dijadikan sebagai dasar hukum perkawinan adalah:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat 1, yang mengatur hak seseorang untuk melakukan perkawinan dan melanjutkan keturunan. Adapun bunyi dari Pasal 28B ayat 1 adalah “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
b. Burgerlijk Wetboek (BW) yang selanjutnya disebut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
12 Ibid., Hlm.102
13 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan
dituangkan dalam pasal 26 sampai 249 Buku I tentang Orang.
c. Undang-Undang No 1 Tahun 1974 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan adalah merupakan salah satu bentuk unifikasi dan kodifikasi hukum di Indonesia tentang perkawinan dan akibat hukumnya.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 mengenai izin pekawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil (PNS).
e. Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.
f. Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 yang di dalamnya mengatur tentang perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan warisan.
3. Asas-Asas Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan (UU PERKAWINAN) ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan. Adapun asas-asas tersebut
yaitu:14
a. Asas Perkawinan Kekal.
Tujuan dari perkawinan ialah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maksudnya, perkawinan harusnya hanya sekali seumur hidup. Prinsip perkawinan kekal ini dapat dilihat pada Pasal 1 UU Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan Ketuhanan Yang Maha Esa
b. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan.
Perkawinan hanya sah jika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Asas ini dapat dilihat dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa perkawinan adalah sah, jika dilakukan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaanya itu.
x. Xxxx Perkawinan Terdaftar.
Setiap perkawinan yang dilakukan belum memiliki kekuatan hukum yang tetap jika belum dicatatkan berdasarkan ketentuan yang telah ditetapkan. Asas ini dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang menjelaskan jika setiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
14 Xxxxxxxx Xxxxx, Op.Cit, Hlm 264-267
d. Asas Perkawinan Monogami.
Undang-Undang Perkawinan juga menganut asas monogami, yaitu seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami.
e. Xxxxxxxx Sebagai Pengecualian.
Dalam hal tertentu, perkawinan poligami diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum dan agama. Poligami diperbolehkan sepanjang para pihak setuju dan telah memenuhi persyaratan tertentu serta telah mendapat izin dari pengadilan yang berwenang. Asas ini diatur pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, dan Pasal 5 UU Perkawinan.
f. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri
Dalam suatu ikatan perkawinan seorang wanita tidak dapat memiliki suami lebih dari 1 orang. Hal ini diatur dalam UU Perkawinan Pasal 3 ayat (1).
g. Asas Persetujuan Kedua Belah Pihak
Perkawianan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh
karena itu perkawinan harus didasarkan atas kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak untuk menjadi suami isteri. Asas ini sesuai dengan UU Perkawinan Pasal 6 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
h. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami Isteri.
Hak dan kedudukan seorang suami dan seorang isteri seimbang, baik itu dalam kehidupan rumah tangga maupun dimasyarakat. Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga. Segala keputusan yang akan diambil harus dibicarakan oleh kedua belah pihak. Hal tersebut dijelaskan dalam UU Perkawinan Pasal 31.
i. Asas Mempersulit Perceraian.
Sesuai dengan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal, oleh karena itu UU Perkawinan menganut asas mempersulit perceraian. Hal ini ditegaskan dalam UU Perkawinan Pasal 39. Perceraian hanya dapat dilakukan jika terdapat alasan- alasan tertentu dan harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan jika hakim atau mediator gagal dalam hal mendamaikan kedua belah pihak.
4. Syarat Perkawinan
Berdasarkan aturan yang berlaku, agar dapat melakukan
perkawinan harus memenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan. Adapun syarat yang dimaksud yaitu:15
a. Syarat Materiil
Syarat materiil juga dikenal dengan syarat inti atau internal, adalah syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang akan melakukan perkawinan serta harus mendapatkan izin dari pihak ketiga berdasrkan yang telah ditetapkan peraturan yang berlaku. Syarat materiil terbagi atas dua, yaitu syarat materiil absolut dan syarat materiil relatif.
Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seseorang yang harus dipenuhi untuk perkawinan pada umumnya. Syarat materil ini meliputi:
a. Para calon mempelai tidak sedang terikat ikatan perkawinan (Pasal 27 BW).
b. Para calon mempelai telah memenuhi batas umur minimum yang ditetapkan oleh undang-undang, yaitu laki-laki berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29 BW).
c. Seorang wanita tidak diizinkan kawin lagi jika belum lewat 300 hari dihitung sejak bubarnya perkawinan (Pasal 34 BW).
d. Harus mendapat izin dari pihak ketiga.
e. Berdasarkan kemauan sendiri, tanpa ada paksaan (Pasal 28 BW).
15 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, Hlm. 110-112
Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat untuk pihak yang akan dikawini. Syarat materiil ini meliputi antara lain:
a. Tidak memiliki hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluarga (antaripar/semenda) sangat dekat antara keduanya ( Pasal 30 dan Pasal 31 BW)
x. Xxxxx mempelai tidak pernah berbuat zina atau overspel ( Pasal 32 BW)
c. Tidak melakukan perkawinan kepada orang yang sama setelah dicerai (Reparatie Huwelijk) untuk yang ketiga kalinya.
b. Syarat Formil
Syarat formil atau syarat lahir (eksternal) adalah syarat yang menyangkut prosedur atau formalitas yang wajib dipenuhi sebelum melangsungkan perkawinan. Aturan ini hanya diperuntukkan bagi orang Eropa saja (Pasal 50-70 BW). Salah satunya ialah dengan memberitahukan terlebih dahulu kepada Pejabat Catatan Sipil agar dibukukan dalam daftar pemberitahuan perkawinan (Pasal 50 dan Pasal 51 BW).
Menurut UU Perkawinan, bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan maka harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
a. Kedua calon mempelai harus setuju terhadap perkawinan tersebut (Pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan).
x. Xxxx calon mempelai yang belum berumur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua (Pasal 6 ayat 2 UU Perkawinan).
c. Jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, cukup mendapat izin dari orang tua yang masih hidup atau mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat 3 UU Perkawinan)
d. Jika kedua orang tua meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin diberikan oleh wali, orang yang memelihara atau orang yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas (Pasal 6 ayat 4 UU Perkawinan)
e. Jika terdapat perbedaan pendapat antara pihak-pihak yang disebutkan dalam ayat (2), (3), dan (4), maka pengadilan dapat memberikan izin setelah mendengarkan pihak-pihak tersebut.
Walaupun telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan, seorang laki-laki dan seorang perempuan tetap tidak dapat melakukan perkawinan jika:
a. Memiliki hubungan darah dalam garis keturunan ke atas atau ke bawah.
b. Memiliki hubungan darah dalam garis keturunan ke samping.
c. Memiliki hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri,
mexxxxx, dan ibu/bapak xxxx.
d. Memiliki hubungan yang berdasarkan agamanya atau undang-undang yang berlaku, dilarang kawin.
5. Putusnya Perkawinan
Perkawinan hakikatnya adalah bersatunya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memiliki kepentingan dan pandangan hidup yang sama, dengan maksud untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang kekal, bahagia, dan abadi serta tidak putus begitu saja. Setiap orang pasti bercita-cita agar perkawinannya dapat berlangsung kekal abadi, dan tidak menghendaki terputus ditengah jalan. Tetapi adakalanya suatu perkawinan dengan sebab-sebab tertentu dapat mengakibatkan perkawinan tidak dapat diteruskan. Sebab-sebab tersebut sangatlah beragam sepanjang kehidupan manusia.16
Xxxx Xxxxxxxxxxx berpendapat bahwa putusnya perkawinan adalah istilah hukum yang digunakan dalam UU Perkawinan untuk menjelaskan perceraian atau berakhirnya hubungan perkawinan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang selama ini hidup sebagai suami isteri.17
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan yang merupakan Hukum Perkawinan Nasional, tentang
16 Ibid., Hlm. 128
17 Xxxx Xxxxxxxxxxx, 2006, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fikih Munakahat dan Undang-UndangPerkawinan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hlm. 189
putusnya perkawinan ini diatur dalam Pasal 38. Menurut pasal tersebut perkawinan dapat berakhir jika:18
1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas keputusan pengadilan
Dalam Pasal 39 ayat (1), ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan telah berusaha dan tidak berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa suami isteri tersebut tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.19
B. Perjanjian Perkawinan
1. Pengertian Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta benda mereka.20
Perjanjian perkawinan pada hakikatnya dapat menyangkut
18 Xxxxxxxxx Xxxxxx, 2010, Hukum Orang dan Keluarga(Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat), Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 29
19 Ibid.
20 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, Hlm. 120
berbagai hal yang telah disetujui oleh suami isteri dan bukan terbatas hanya mencakup harta benda dalam perkawinan asalkan tidak bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan. Terdapat perbedaan mengenai perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan. Beberapa perbedaan tersebut sebagai berikut:
a. KUHPerdata menetapkan bahwa batas-batas yang tidak dapat dilanggar dalam membuat perjanjian perkawinan adalah kesusilaan dan ketertiban umum, sedangkan pada Undang-Undang Perkawinan batas- batas yang tidak dapat dilanggar dalam membuat perjanjian kawin adalah hukum, agama, dan kesusilaan.
b. KUHPerdata mengharuskan perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak mengharuskan perjanjian perkawinan dengan akta notaris tetapi cukup dengan perjanjian tertulis.
x. XXXXxxdata menetapkan bahwa pihak ketiga baru terikat perjanjian perkawinan tersebut sejak dicatat dalam register umum di Pengadilan Negeri wilayah perkawinan dilangsungkan, sedangkan dalam
Undang-Undang Perkawinan diatur bahwa pihak ketiga baru terikat terhadap perjanjian perkawinan tersebut sejak dicatat dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
d. KUHPerdata menetapkan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum dilangsungkannya perkawinan, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.
e. KUHPerdata menetapkan bahwa setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun, sedangkan dalam Undang-Undang Perkawinan menerangkan bahwa perjanjian perkawinan dapat diubah jika kedua belah pihak terdapat kesepakatan untuk mengubahnya dan berubahnya perjanjian itu tidak merugikan pihak ketiga yang terkait.
Bukan hanya perbedaan, tetapi terdapat sebuah kesamaan yaitu berlakunya perjanjian perkawinan terhadap kedua belah pihak
adalah sejak perkawinan dilangsungkan.21
2. Jenis-Jenis Perjanjian Perkawinan
Pada umumnya, ada 3 (tiga) jenis perjanjian kawin yang lazim dibuat oleh suami dan isteri di hadapan Notaris, yaitu sebagai berikut:22
a. Perjanjian kawin di luar persekutuan harta benda, hal ini diatur di dalam Pasal 139 KUHPerdata juncto Pasal 29 UU Perkawinan. Jenis perjanjian perjanjian kawin ini merupakan yang paling lazim dibuat. Menurut perjanjian ini bahwa tidak ada harta bersama atau harta gono-gini antara suami dan isteri, yang ada hanya harta bawaan atau pribadi. Utang juga menjadi tanggung jawab masing-masih pihak yang berutang.
b. Perjanjian kawin persekutuan untung dan rugi, jenis perjanjian perkawinan ini diatur di dalam Pasal 155 sampai dengan Pasal 165 KUHPerdata. Menurut perjanjian kawin ini harta suami dan isteri dibagi menjadi 2, yaitu harta bersama atau harta gono-gini dan harta bawaan atau harta pribadi. Harta bawaan berada dalam penguasaan pribadi, sedangkan harta gono-gini berada dalam penguasaan bersama. Hal yang perlu diperhatikan di sini yaitu semua untung dan rugi dari harta bawaan atau pribadi
21 Xxxxx Xxxxx, 2020, Xxxxxxxxan Kawin Sebelum, Saat, dan Sepanjang Perkawinan, PT Rajagrafindo Persada, Depok, Hlm. 11-13
22 Xxxx, Xxx. 29-30
maupun harta bersama harus dibagi 2 antara suami dan isteri.
c. Perjanjian kawin persekutuan hasil dan pendapatan, hal ini diatur di dalam Pasal 164 KUHPerdata. Pada dasarnya perjanjian kawin jenis ini mirip dengan perjanjian kawin persekutuan untung dan rugi. Letak perbedaannya adalah hasil pendapatan dibagi 2 antara suami dan isteri. Apabila kerugian lebih besar dibanding hasil dan pendapatan, maka kerugian di tanggung oleh suami saja.
Tetapi harus diingat bahwa walaupun terikat dengan suatu perjanjian perkawinan, hal itu tidak mengurangi hak suami sebagai kepala rumah tangga dan kewajibannya untuk memberikan nafkah rumah tangga termasuk kebutuhan isteri dan anak-anak mereka sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 140 KUHPerdata.23
3. Bentuk Perjanjian Perkawinan
Mengenai isi perjanjian tersebut, sebagaimana halnya perjanjian-perjanjian pada umumnya, kedua belah pihak diberikan kebebasan seluas-luasnya untuk menentukan isi perjanjian asalkan tidak melanggar undang-undang yang berlaku serta tidak melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.24
23 Ibid., Hlm. 33
24 Subekti, 2000, Pokok-pokok Hukum Perdata, Jakarta; Intermasa, Hlm. 37
Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengenai perjanjian perkawinan ini tidak mengatur lebih lanjut tentang pembatasan-pembatasan apa saja yang dapat diperjanjikan, apakah mengenai harta benda misalnya, sehingga perjanjian perkawinan luas sekali perumusannya yang dapat ditafsirkan berbagai banyak hal.25
Dalam UU Perkawinan ditentukan bahwa perjanjian perkawinan tidak harus dibuat dalam bentuk akta notaris, tetapi cukup dengan perjanjian tertulis yang dicatat dan disahkan oleh pegawai pencatat. Sedangkan menurut KUHPerdata perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris (Pasal 147), hal ini dilakukan selain untuk absahnya suatu perjanjian, juga bertujuan untuk:26
a. Mencegah perbuatan tergesa-gesa, karena akibat dari perjanjian itu akan ditanggung seumur hidup;
b. Memberikan kepastian hukum;
c. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah;
d. Untuk mencegah adanya kemungkinan penyelundupan terhadap ketentuan Pasal 149 KUHPerdata.
25 Xxxxxxxxx Xxxxxx, 2010, Hukum Orang dan Keluarga(Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat), Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 29
26 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional,Kencana, Jakarta, Hlm. 121-122
4. Isi Perjanjian Perkawinan
Dalam hal isi perjanjian perkawinan, UU Perkawinan tidak membahasnya secara rinci, hanya dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan. Dengan demikin isi dari perjanjian perkawinan diserahkan kepada pejabat umum yang memiliki wewenang untuk memberikan penafsirannya.
Dalam KUHPerdata terdapat asas bahwa kedua belah pihak diberikan kebebasan untuk menentukan isi dari perjanjian perkawinan tersebut. Pasal 139 KUHPerdata menentukan bahwa dalam perjanjian perkawinan tersebut kedua calon suami isteri dapat mengenyampingkan aturan-aturan yang ditentukan mengenai harta bersama, asal saja penyimpangan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum (openbare orde) serta memperhatikan pula isi ketentuan Pasal 139KUHPerdata.
Meskipun perjanjian kawin itu diperbolehkan, namun ada beberapa larangan yang tidak boleh dimuat dalam perjanjian kawin.
Berberapa larangan tersebut adalah:27
a. Perjanjian tersebut tidak boleh mengurangi hak-hak yang berasal dari kekuasaan si suami sebagai kepala keluarga, dan pada kekuasaan sebagai bapak, tidak juga pada hak-
27 Xxxxx XX, Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, 2015, Perbandingan Hukum Perdata,PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, Hlm. 150-151
hak yang diberikan oleh undang-undang kepada pasangan hidup terlama.
b. Perjanjian tersebut tidak boleh mengurangi hak-hak yang diperuntukkan bagi si suami sebagai kepala persatuan suami isteri.
c. Tidak boleh melepaskan hak-haknya atas legitime portie (hak mutlak) terhadap warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
d. Tidak boleh memperjanjiakan jika salah satu pihak wajib melunasi separuh hutang yang lebih besar dibanding bagian keuntungan
e. Tidak boleh memperjanjikan dengan kata-kata umum, jika ikata perkawinan mereka akan diatur oleh peraturan negara lain, adat kebiasaan, atau peraturan daerah yang pernah berlaku di Indonesia.
Momentum mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan. Sejak saat itu pula perjanjian perkawinan tersebut berlaku bagi pihak ketiga.28
C. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
28 Xxxxx XX, 2009, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 73
Perceraian merupakan bagian dari pernikahan, karena tidak ada perceraian yang tidak didahului perkawinan. Perkawinan merupakan awal dari kehidupan bersama seorang isteri dan suami yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut KUHPerdata, perceraian adalah salah satu cara pembubaran perkawinan karena suatu sebab tertentu, melalui keputusan hakim yang didaftarkan pada catatan sipil.29
Menurut pendapat HA. Xxxx Xx’id, perceraian adalah putusnya perkawinan antara seorang suami dan seorang isteri karena tidak adanya kerukunan dalam kehidupan rumah tangga atau karena persoalan yang lain seperti mandulnya isteri/suami atau setelah sebelumnya diadakan upaya damai yang melibatkan keluarga kedua belah pihak.30
Menurut ketentuan Pasal 39 UU Perkawinan, bahwa perceraian hanya dapat diajukan di hadapan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang berwenang berupaya dan gagal untuk mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu untuk melakukan perceraian harus terdapat cukup alasan , bahwa antara suami dan isteri itu sudah tidak dapat lagi hidup rukun sebagai suami isteri.31
29 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, Hlm. 135
30 Xxxxx Xxxxx, 2001, Problematika Perceraian karena Zina Dalam Proses Penyelesaian Perkara Dilingkungan Peradilan Agama, Dalam Jurnal Mimbar Hukum, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta, Hlm. 7
31 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit, Hlm. 136
2. Alasan-Alasan Perceraian
Di dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan menetapkan bahwa untuk melakukan perceraian harus ada alasan- alasan tertentu yang memenuhi syarat untuk mengajukan perkara gugatan di pengadilan yang berwenang.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, alasan-alasan mengenai perceraian diatur pada Pasal 39 ayat (2). Alasan-alasan tersebut adalah:32
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lainnya selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemauannya.
x. Xxxxx satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
32 Xxxxxxxxx, 1991, Hukum Kekeluargaan Nasional, PT. Rineka Cipta, Jakarta, Hlm. 203
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
x. Xxxxxx suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi.
Apabila salah satu dari alasan-alasan tersebut telah terpenuhi, maka dianggap cukup oleh hakim atau pengadilan untuk mengabulkan gugatan perceraian tersebut.
3. Akibat Perceraian
Saat berakhirnya ikatan perkawinan, maka segala akibat dari perkawinan tersebut, yaitu semua hak dan kewajiban selama perkawinan, menjadi hapus sejak saat itu. Persatuan harta bersama terhenti karena perceraian dan sampailah waktunya untuk pemisahan dan pembagiannya. Begitu pun terhadap kekuasaan orang tua atas anak diganti dengan perwalian.
Berakhirnya perkawinan tersebut tidak berlaku surut. Akibat dari perceraian tersebut baru timbul pada waktu putusan tersebut terdaftar pengadilan. Hal ini penting untuk diketahu terkait dengan pemberian-pemberian karena perkawinan. Pengecualian yang diatur di dalam Pasal 223 KUHPerdata yang menyatakan bahwa terhadap pihak yang dikenai putusan perceraian, maka pihak tersebut kehilangan semua keuntungan yang disanggupkan pihak
yang lain dalam masa perkawinan.33
Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 41 diatur mengenai akibat dari putusnya perkawinan terhadap anak dan bekas isterinya, pasal tersebut mengatur jika perkawinan berakhir karena perceraian, maka:34
a. Ibu atau bapak masih berkewajiban merawat dan mendidik anak-anaknya, hanya demi kepentingan anak, jika terdapat perselisihan mengenai penguasaan anak, dapat dimohonkan kepada pengadilan untuk memutuskannya
b. Meskipun pengadilan memutuskan bahwa anak-anak berada dalam penguasaan ibunya, tetapi bapak tetap bertanggung jawab atas segala biaya perawatan dan pendidikan yang dibutuhkan anak tersebut, kecuali pada kenyataannya bapak tidak memiliki kesanggupan untuk memenuhi kewajiban tersebut, maka pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu turut serta bertanggung jawab atas biaya tersebut.
x. Xxxxadilan juga berhak memberikan kewajiban terhadap bekas suami untuk memberikan biaya hidup dan/atau menetapkan suatu kewajiban bagi bekas isterinya.
Ketentuan tersebut bermaksud agar bekas isteri tidak akan
33 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, Hlm. 138-139
34 Xxxxxxxx Xxxxx, 2006, Aspek-Aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 410
terlantar kehidupannya setelah menjadi janda, di samping bahwa suami yang bermaksud untuk menceraikan isterinya harus berfikir matang-matang akan akibat-akibat yang akan timbul dikemudian hari karena perceraian tersebut.35
Dengan ketentuan tersebut juga menegaskan bawa meskipun perkawinan telah berakhir, ayahndan ibu tetap memiliki kewajiban untuk merawat dan mendidik anak-anak mereka, demi untuk kepentingan anak, walaupun pada kenyataan pelaksanaannya hanya dilakukan oleh salah satu pihak di antara keduanya. Maksudnya, salah satu dari ayah atau ibu bertindak sebagai wali bagi anak-anaknya, sepanjang anak itu belum berumur 18 tahun.36
Mengenai harta benda setelah perceraian, Pasal 36 UU Perkawinan mengatur, bahwa:
a. Mengenai harta bersama, suami atau isteri bisa bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri memiliki hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bendanya.
Berlandaskan aturan itu bisa disimpulkan bahwa, mengenai harta bawaan status hukumnya adalah jelas, yaitu kembali kepada
35 Ibid.
36 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, Hlm. 139
pemiliknya. Sedangkan mengenai harta bersama Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx berpendapat, karena kedudukan suami dan isteri seimbang, maka harta bersama harus dibagi dua, setengan untuk mantan isteri dan setengah untuk mantan suami.37
D. Analisis Mengenai Xxxxxx Xxxxx Atas Perjanjian Lisan Sebelum Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian
Perjanjian kawin diatur dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 185 KUHPerdata. Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. Perjanjian kawin dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan.38
Wujud dari perjanjian kawin dibuat dengan bentuk akta notaris. Apabila perjanjian kawin tersebut tidak dibuat dalam bentuk akta notaris, maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum. Sedangkan waktu berlakunya perjanjian kawin, yaitu sejak perkawinan dilangsungkan. Setelah dilangsungkannya perkawinan, perjaanjian kawin tidak boleh dirubah dengan cara apapun.39
Di dalam ketentuan pasal 139 sampai dengan Pasal 143 KUHPerdata mengatur mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat
37 Ibid., Hlm. 139-140
38 Xxxxx XX, Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, Op Cit, Hlm. 150.
39 Ibid.
dalam perjanjian kawin, yaitu:40
a. Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan.
c. Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua.
d. Tidak boleh melanggar hak yang diberikan undang-undang kepada suami atau isteri yang hidup terlama.
e. Tidak boleh melanggar hak suami terhadap statusnya sebagai kepala rumah tangga.
f. Tidak boleh melepaskan hak-haknya atas legitime portie (hak mutlak) terhadap warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
g. Tidak boleh memperjanjiakan jika salah satu pihak wajib melunasi separuh hutang yang lebih besar dibanding bagian keuntungan.
h. Tidak boleh memperjanjikan dengan kata-kata umum, jika ikata perkawinan mereka akan diatur oleh peraturan negara lain, adat kebiasaan, atau peraturan daerah.
40 X. Xxxxx Xxxxxxxx, 2018, Hukum Keperdataan Dalam Perspektif Hukum Nasional, KUHPerdata(BW), Hukum Islam, Dan Hukum Adat (Jilid Kesatu), PT RajaGrafindo Persada, Depok, Hlm. 151-152
Sedangkan dalam UU Perkawinan, perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29. Dalam Pasal 29 ayat (2) yang menentukan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Berdasarkan ketentuan KUHPerdata dan UU Perkawinan memberikan syarat bahwa untuk melaksanakan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu yang memenuhi syarat untuk mengajukan perkara gugatan perceraian di pengadilan yang berwenang. Adanya syarat-syarat ini bertujuan agar pasangan suami dan isteri tidak dapat dengan mudah untuk berpisah atau bercerai tanpa alasan yang sah.
Perceraian tidak boleh terjadi hanya karena permufakatan antara suami dan isteri, harus ada alasan-alasan sah yang mendasarinya. Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup dalam pasal 39 (ayat) 2 UU Perkawinan:41
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
41 Ibid., Hlm. 158
x. Xxxxx satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan yang berat yang membahayakan pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
x. Xxxxxx suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Apabila salah satu dari alasan-alasan tersebut telah terpenuhi, maka dianggap cukup oleh hakim atau pengadilan untuk mengabulkan gugatan perceraian tersebut. Tetapi jika alasan perceraian yang terpenuhi lebih dari 1 (satu), maka dapat disebutkan salah satunya saja atau disebutkan seluruhnya.
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Dalam pasal tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai hal-hal yang dapat dimuat dengan perjanjian perkawinan. Hanya saja pasal tersebut memberikan batasan-batasan atau pengecualian
mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian perkawinan. Berdasarkan hal tersebut maka pihak yang akan melangsungkan perkawinan diberikan kewenangan secara penuh untuk menentukan isi perjanjian perkawinan mereka selama tidak melanggar hal-hal yang terlah dilarang oleh undang-undang yang berlaku. Namun jika merujuk kepada KUHPerdata, dijelaskan bahwa hal yang dapat dimuat dalam perjanjian perkawinan terbatas pada bidang harta kekayaan saja.
Mengenai bentuk dari perjanjian perkawinan antara UU Perkawinan dan KUHPerdata terdapat perbedaan. Menurut KUHPerdata bahwa suatu perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris (Pasal 147 KUHPerdata), sedangkan dalam UU Perkawinan tidak diharuskan untuk dibuat dalam bentuk akta notaris tetapi cukup dibuat dengan perjanjian tertulis yang harus ditandatangani oleh pegawai pencatat, para mempelai dan para saksi (Pasal 11 ayat (2) PP No 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan) serta perjanjian tersebut dimuat di dalam akta perkawinan (Pasal 12 huruf h PP No 9 Tahun 1974 tentang pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan). Berdasarkan ketentuan tersebut maka perjanjian perkawinan yang tidak dibuat secara tertulis tersebut dianggap batal demi hukum. Meskipun pada waktu sebelum dilangsungkannya perkawinan terdapat suatu kesepakatan atau perjanjian antara penggugat dan tergugat, tetapi
perjanjian tersebut dianggap batal demi hukum atau dengan kata lain dianggap tidak pernah terjadi atau ada. Hal itu terjadi karena perjanjian yang dibuat tidak memenuhi persyaratan sebagai suatu perjanjian kawin seperti yang disebutkan di dalam UU Perkawinan.
Dalam hal perceraian diatur di dalam Pasal 39 UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dijelaskan jika perceraian hanya bisa dilakukan di hadapan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan gagal mendamaikan kedua belah pihak. Selain itu, untuk melakukan perceraian harus terdapat alasan yang kuat untuk melakukan perceraian. Alasan-alasan perceraian tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat (2) dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 19. Maka berdasarkan aturan tersebut, seseorang tidak dapat melakukan perceraian jika tidak memenuhi salah satu alasan yang telah ditetapkan.
Xx Xxxxx Xxxxxxxxx selaku hakim di Pengadilan Negeri Polewali menjelaskan bahwa perceraian dengan alasan ingkar terhadap perjanjian lisan sebelum perkawinan tidak dapat dikabulkan. Hal ini terjadi karena alasan tersebut tidak disebutkan di dalam UU Perkawinan. Tidak dipenuhinya kesepakatan atau perjanjian yang dibuat secara lisan sebelum dilangsungkannya perkawinan hanya dapat menjadi kondisi atau penyebab timbulnya ketidakharmonisan dan kerenggangan dalam rumah tangga.
Terlebih lagi jika hal tersebut menimbulkan pertengkaran secara terus menerus. Hal itulah yang kemudian memenuhi alasan perceraian Pasal 39 ayat (2) huruf (f) UU Perkawinan. Sehingga putusnya perkawinan tersebut bukan karena alasan tidak memenuhi perjanjian tetapi karena pertengkaran secara terus menerus.42
Hal yang senada juga dikemukakan oleh Xxxx Xxxxx selaku Ketua Pengadilan Negeri Polewali, beliau menjelaskan bahwa terkadang seseorang mengajukan gugatan perceraian dengan berbagai macam alasan-alasan yang mendasari gugatannya. Namun dalam pertimbangan hakim tetap menjatuhkan putusan cerai dengan alasan pertengkaran secara terus menerus karena semua bukti yang dihadapkan kepada hakim hanya menjadi penyebab munculnya pertikaian dan pertengkaran dalam rumah tangga. Hal ini dapat terjadi karena ketidaktahuan masyarakat mengenai aturan-aturan yang dapat diajukan sebagai alasan perceraian.43 Oleh karena itu, kehadiran pemerintah dalam dalam hal ini untuk memberikan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai alasan-alasan yang dapat digunakan dalam perceraian sangat diharapkan, sehingga masyarakat dapat memeiliki pengetahuan mengenai hal tersebut. Selain pemerintah, perguruan
42 Xx Xxxxx Xxxxxxxxx, S.H, Hakim Pengadilan Negeri Polewali, Wawancara Tanggal 1 September 2022
43 Xxxx Xxxxx, S.H., M.H., Ketua Pengadilan Negeri Polewali, Wawancara Tanggal 5 September 2022
tinggi juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan sosialisasi terhadap masyarakat mengenai isu-isu hukam yang sering muncul dimasyarakat. Kolaborasi antara pemerintah dan perguruan tinggi ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya dalam hal mengenai syarat-syarat perceraian