J A K A R T A SELASA, 22 MEI 2018
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 13/PUU-XVI/2018
PERIHAL
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA
MENDENGARKAN KETERANGAN DPR DAN AHLI PEMOHON
(VI)
J A K A R T A SELASA, 22 MEI 2018
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
-------------- RISALAH SIDANG
PERKARA NOMOR 13/PUU-XV I/2018
PERIHAL
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional [Pasal 2, Pasal
9 ayat (2) sepanjang frasa dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden, Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
PEMOHON
1. Indonesia for Global Justice (IGJ)
2. Indonesia Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
3. Serikat Petani Indonesia (SPI)
4. Yayasan Bina Desa Sadajiwa (Bina Desa)
5. Aliansi Petani Indonesia (API)
6. Solidaritas Perempuan (SP)
7. Perkumpulan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
8. Farmer Initiatives for Ecological Livelihood and Democracy (FIELD)
9. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
10. Xxxx Xxxxxxxx
11. Mukmin
12. Fauziah
13. Baiq Farihun
14. Budiman
ACARA
Mendengarkan Keterangan DPR dan Ahli Pemohon (VI)
Selasa, 22 Mei 2018, Pukul 10.22 – 11.54 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNA N PERSIDA NGA N
1) Xxxxx Xxxxx (Ketua)
2) Xxxxxxx (Anggota)
3) Xxxxx Xxxxxxx (Anggota)
4) I Dewa Xxxx Xxxxxxx (Anggota)
5) Manahan MP Sitompul (Anggota)
6) Xxxxxxxxxx Xxxxx (Anggota)
7) Xxxxx Xxxx (Anggota)
8) Xxxxxxxxx (Anggota)
9) Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx (Anggota)
Xxxx Xxxxxxx Chatimah Panitera Pengganti
Pihak yang Hadir:
A. Pemohon:
1. Rachmi Hertanti (Indonesian for Global Justice)
2. Gunawan (IHCS)
3. Xxxxxx Xxxxx (IHCS)
4. Xxxx Xxxxxx Xxxxxx (IHCS)
B. Kuasa Hukum Pemohon:
1. Xxxxxxx Xxxxxxxx
2. Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx
C. Ahli dari Pemohon:
1. Boli Sabon Max
2. Xxxxxxxx Xxxxx
D. Pemerintah:
1. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx (Kementerian Luar Negeri)
2. Amrih Jinangkung (Kementerian Luar Negeri)
3. Okto Dominus Manik (Kementerian Luar Negeri)
4. Xxxxxxxx (Kementerian Luar Negeri)
5. Xxxxxx Xxxxx (Kementerian Luar Negeri)
6. Purwoko (Kementerian Hukum dan HAM)
7. Xxxxx Xxxxxxxxx (Kementerian Hukum dan HAM)
8. Xxxxxxxxxx (Kementerian Hukum dan HAM)
9. Xxxxx Xxxx (Kementerian Hukum dan HAM)
SIDANG DIBUKA PUKUL 10.22 WIB
1. KETUA: XXXXX XXXXX
Sidang Perkara Nomor 13/PUU-XVI/2018 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum.
KETUK PALU 3X
Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, om swastiastu. Pemohon, dipersilakan untuk memperkenalkan diri, siapa yang hadir?
2. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXX XXXXXXX XXXXX
Terima kasih, Majelis Hakim Yang Mulia. Selamat pagi, assalamualaikum wr. wb. Perkenalkan, kami dari Pemohon. Yang hadir hari ini, saya Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxx selaku salah satu tim kuasa hukum. Kemudian, sebelah saya ada Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx.
Kemudian, sebelah saya ada Pak Gunawan dari salah satu Prinsipal dari IHCS. Kemudian, di sebelahnya ada Husnul Yaqin dari IHCS. Dan di sebelahnya lagi ada Bapak ... Lalu A khmad Laduni dari IHCS. Dan, di sebelahnya lagi ada Xxx Xxxxxx Xxxxxxxx, salah satu Pemohon dari Indonesia for Global Justice.
Kemudian, hadir ahli dalam persidangan ini, ahli dari Pemohon, yaitu yang pertama ada Bapak Dr. Boli Sabon Xxx, S.H., M.Hum. Beliau selaku dosen dari Unika Atmajaya. Kemudian, ada Xxx Xxxxxxxx Xxxxx selaku pengamat dan hukum internasional yang akan menjelaskan tentang dampak-dampak perjanjian internasional. Terima kasih, Yang Mulia.
3. KETUA: XXXXX XXXXX
Baik, dari DPR berhalangan karena bertepatan dengan rapat-rapat yang tidak bisa ditinggalkan.
Dari Kuasa Presiden, silakan.
4. PEMERINTAH: PURWOKO
Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Selamat pagi, salam sejahtera, om swastiastu. Dari Pemerintah yang hadir dari kiri kami, Xxxxx Xxxxxxxx, Beliau Sekretaris Dirjen Hukum Perjanjian Internasional. Kemudian, Bapak Amrih Jinangkung (Direktur Hukum Perjanjian Ekonomi). Kemudian, Xxxxx Xxxxx D. Xxxxxxx (Direktur Jenderal Hukum Perjanjian Internasional). Kemudian, Bu Xxxxx Xxxxxxxxx
(Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM). Saya sendiri Purwoko. Sebelah kanan saya, Xxxxx Xxxxxxxxxx. Sebelah kanan saya lagi, Xxxxx Xxxx. Kemudian, yang paling kanan, Xxxxxx Xxxxx. Terima kasih, Yang Mulia.
5. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya. Baik. Ya, sebelum dilanjutkan, Majelis menyampaikan permohonan maaf karena persidangan ini tertunda dengan adanya beberapa hal yang harus diselesaikan. Sekali lagi, Majelis mohon maaf.
Agenda persidangan hari ini untuk mendengar keterangan DPR dan keterangan dua orang ahli dari Pemohon. Karena DPR berhalangan, silakan dua orang Ahli, Xxx Xxxxxxx dan Pak Xxxxxxxx Xxxxx dipersilakan ke ... Xxx Xxxxxxxx Xxxxx, silakan.
Untuk Pak Maximus Boli Sabon[Sic!], mohon kesediaan Yang Mulia Prof. Xxxxx untuk menuntun. Untuk yang beragama Islam, Xxx Xxxxxxxx Xxxxx, mohon kesediaan Yang Mulia Pak Wahiduddin.
6. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXXXX XXXXXXX
Ya, mohon membuat tanda salib terlebih dahulu. Oke.
“Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.”
7. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Saya berjanji sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya. Semoga Tuhan menolong saya.
8. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXXXX XXXXXXX
Terima kasih.
9. HAKIM ANGGOTA: XXXXXXXXXX XXXXX
Xxx Xxxxxxxx Xxxxx, mengikuti lafal yang saya tuntunkan.
“Bismiillahirrahmaanirrahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.”
10. AHLI DARI PEMOHON: XXXXXXXX XXXXX
Bismiillahirrahmaanirrahim. Demi Allah, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya sesuai dengan keahlian saya.
11. KETUA: XXXXX XXXXX
(...)
Terima kasih, mohon kembali ke tempat.
Ya, siapa terlebih dahulu yang didengar? Pak Maximus[Sic!] atau
12. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXX XXXXXXX XXXXX
Terima kasih. Yang pertama yang akan mendengarkan keterangan tertulis itu ada Pak Dr. Xxx, kemudian Xxx Xxxxxxxx Xxxxx.
13. KETUA: XXXXX XXXXX
Keterangan tertulis?
14. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXX XXXXXXX XXXXX
Keterangan Ahli.
15. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Mohon maaf, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia. Yang pertama akan didengarkan sebagai Ahli, yaitu Bapak Dr. Boli Sabon Xxx, S.H., M.Hum. Beliau akan memberikan keterangan ahli di bidang ketatanegaraan, hukum ketatanegaraan.
Yang kedua adalah Xxx Xxxxxxxx Xxxxx. Beliau akan memberikan keterangan ahlinya terkait dengan praktik perjanjian internasional yang berdampak luas bagi masyarakat.
Yang ketiga, kami mohon izin, Yang Mulia, kami juga sudah masukkan keterangan tertulis dari Ibu Dr. Arimbi, mohon juga agar dapat dipertimbangkan, Yang Mulia. Terima kasih, Yang Mulia.
16. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, baik. Silakan, Pak Dr. Maximus Boli Sabon. Ya, waktunya sekitar 10 sampai 15 menit, poin-poinnya saja. Nanti kita lanjutkan dengan tanya-jawab. Silakan.
17. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Ya, baik. Majelis Hakim Konstitusi Yang Terhormat. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi Majelis Hakim Konstitusi, Para Pemohon, dan Para Termohon, serta yang hadir di ruang sidang terhormat yang terbuka untuk umum ini.
Mohon slide kedua. Keterangan ini sesuai dengan keahlian saya di bidang hukum ketatanegaraan, termasuk di dalamnya hukum konstitusi, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan hukum hak asasi manusia.
Saya berbicara tentang kebenaran di bawah janji saya secara Katolik, meskipun tidak segala hal yang benar harus saya bicarakan. Saya tidak berpretensi untuk berpihak kepada Pemohon maupun Termohon dalam perkara ini.
Slide kedua. Hubungan antara perjanjian internasional dan HAM. Perjanjian internasional sangat berurusan dengan hak asasi rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya. Xxxx Xxxxx berpendapat, “Sejak status naturalis manusia adalah homo sapiens, sudah mempunyai hak asasi, namun tidak dapat dilindungi.” Negara dibentuk untuk melindungi hak asasi manusia sehingga masyarakat beralih dari status naturalis ke status civilis. Agar melindungi hak asasi manusia, kekuasaan politik menurut Xxxx Xxxxx harus dibagi tiga, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan parlemen, dan kekuasaan rakyat atau federatif.
Dua ide dasar … dua ide dasar, mohon slide tentang dua ide dasar, slide nomor 5. Setiap negara atau semua negara di dunia ini didirikan atas dua ide dasar, yaitu ide hidup bernegara atau cita negara (staatsidee) yang berdasarkan itu dikonstruksikan ide hidup berhukum atau cita hukum (rechtsidee).
Para pendiri negara Indonesia sepakat bahwa staatsidee Indonesia adalah gotong-royong yang merupakan keserasian antara asas kekeluargaan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Rechtsidee Indonesia adalah Pancasila yang merupakan constitutive rechtsidee dan regulative rechtsidee. Artinya norma dasar, pedoman arah, dan norma kritik.
Kecuali itu, para pendiri negara ini juga mengatakan bahwa mereka mempunyai sistem sendiri untuk membentuk negara ini. Dan sejak berdirinya NKRI, para pendiri negara ini telah menegaskan Indonesia punya sistem sendiri. Terhadap manusia Indonesia, Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx menulis, “All man are created togetherness with each other.” Berbeda dengan pandangan hidup barat zaman renaissance, “All men are created free and equal.” Karena itu, Xxxx Xxxxxxxx mengatakan, “Manusia Indonesia itu terdiri atas 4R, raga, rasio, rasa, dan lebih penting adalah rukun.” Artinya, ada bersama-sama manusia yang lain. Dalam keadaan bersama itu, maka cita negara
Indonesia adalah gotong-royong, segala-galanya diselesaikan bersama- sama secara gotong -royong.
Mohon slide cita negara gotong-royong. Segala hal yang penting bagi rakyat harus dikerjakan secara bergotong-royong. Undang-undang
sebagai vox populi vox dei adalah hal yang sangat penting bagi rakyat, maka pembuatnya harus secara bergotong-royong antara presiden dan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR.
Perjanjian internasional adalah hal yang sangat penting bagi rakyat, maka pembuatannya juga harus secara bergotong-royong antara presiden dan rakyat yang dalam hal ini diwakili oleh DPR. Karena itu Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ada yang disahkan secara tidak bergotong- royong.
Slide berikut. Menteri mandataris presiden. Menteri atau kuasa hukum yang mewakili presiden dalam perjanjian internasional, kewenangannya adalah mandat dari presiden. Pihak yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas hasil perjanjian internasional adalah presiden. Penandatanganan perjanjian internasional oleh menteri atau kuasa hukum hanyalah bernilai … ini menurut saya, MoU (Memory of Understanding) untuk dilaporkan kepada presiden dan kemudian dibicarakan bersama rakyat. Bahkan penandatangan langsung oleh presiden sekalipun nilainya hanyalah MoU. Perjanjian internasional tentang hal-hal teknis ini pun harus dengan undang-undang dan memang Indonesia mengenal banyak undang-undang yang muatan teknis yang kita sebut undang-undang dalam arti formal, seperti APBN, pemekaran, penggabungan, penghapusan daerah otonom, semuanya itu adalah teknis.
Pengesahan perjanjian internasional. Slide berikut. Setiap perjanjian internasional tidak langsung berlaku sebagai hukum positif negara peserta, melainkan harus disahkan terlebih dahulu oleh pemerintah dalam hal ini government, pemerintah dalam arti umum negara peserta. Memang saya tekankan kata peserta. Tentu tidak bagi yang bukan peserta. Pengesahan perjanjian internasional untuk menjadi hukum positif Indonesia harus melalui persetujuan bersama secara gotong-royong antara pemerintah eksekutif dan DPR (rakyat) Indonesia.
Slide berikut. Konvensi Wina 1969. Indonesia tidak tunduk pada Konvensi Wina 1969 karena Indonesia bukan pihak persistent objection hanya berlaku bagi para pihak dalam konvensi. Karena mereka diam, berarti setuju, tapi bagi para pihak. Indonesia bukan pihak. Untuk semua perjanjian, baik antarnegara maupun bukan antarnegara, Indonesia tunduk pada Pasal 1338 KUH Perdata sesuai asas umum universal pacta sunt servanda. Itulah kedaulatan negara Indonesia dan itulah Indonesia punya sistem sendiri.
Sebagai closing statement. Pengesahan perjanjian internasional harus ada partisipasi dan kontribusi rakyat selaku pemegang kedaulatan melalui wakilnya di DPR. Pengesahan perjanjian internasional harus berdasarkan cita negara gotong-royong yang padanya cita hukum Pancasila sebagai norma dasar pedoman arah dan norma kritik dikonstruksikan. Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur, “Semua perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR.” Maka, jika ada undang-undang yang mengatur tanpa persetujuan DPR, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka tidak mempunyai kekuatan mengikat.
Demikian keterangan saya dan selanjutnya, saya menunggu diskusi dalam tanya-jawab. Terima kasih.
18. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, terima kasih.
Lanjut ke Ibu Lutfiyah. Ya, waktunya sama, Ibu, sekitar 10-15 menit. Silakan.
19. AHLI DARI PEMOHON: XXXXXXXX XXXXX
Terima kasih. Assalamualaikum wr. wb. Ya, saya punya dua presentasi, yaitu perjanjian peningkatan dan perlindungan penanaman modal dan implikasinya. Dan yang kedua adalah perjanjian perdagangan dan implikasinya, dalam hal ini adalah pada akses obat dan perlindungan varietas tanaman.
Pada intinya adalah seperti di dalam pengaturan di Undang- Undang Tahun 2000 ... Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ada beberapa perjanjian internasional yang pengesahannya melalui perpres, antara lain Perjanjian Perdagangan dan Perjanjian Perlindungan Penanaman Modal (P4M).
Nah, dalam presentasi ini, kurang-lebih saya ingin mengatakan bahwa perjan ... yang pertama adalah Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal itu selama ini menggunakan ... pengesahannya menggunakan perpres karena asumsinya adalah tidak terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan, atau pembentukan undang-undang dalam pelaksanaannya. Demikian juga dengan perjanjian perdagangan itu juga dengan asumsi yang serupa.
Nah, dalam presentasi ini, kurang-lebih saya ingin mengatakan bahwa perjanjian ini, P4M dan perjanjian perdagangan itu bisa berdampak pada keuangan negara dan juga bisa membutuhkan perubahan undang-undang.
Yang pertama adalah Perjanjian Peningkatan dan Perlindungan Penanaman Modal. Seperti kita ketahui bahwa penanaman modal asing itu adalah hal yang penting dalam pengembangan ekonomi di negara- negara berkembang dan sebagai kebanyakan negara-negara berkembang, seperti Indonesia itu adalah negara yang banyak mengimpor atau membutuhkan investasi asing. Sementara, negara- negara maju dalam hal ini, sekarang juga banyak negara-negara ... beberapa negara berkembang juga menjadi pengekspor modal. Nah, dalam hal ini, negara membuat aturan untuk mengundang dan membuat investor tetap berada di negaranya.
Kemudian … ini tentang perjanjian investasi nasional ... internasional. Ini hanya ada dua dan ini juga yang nanti akan dibicarakan tentang free trade agreement dan juga Bilateral Investment Treaty. BIT atau P4M adalah … saya gunakan bergantian karena istilah ini adalah istilah yang sama, P4M dan BIT. Jadi, ada dua perjanjian ... minimal ada dua perjanjian investasi internasional, yaitu BIT dan yang kemudian FTA. Perjanjian perdagangan bebas dengan pengaturan atau bab investasi di dalamnya. Ada ... tentu saja ada argumen-argumen tentang perjanjian investasi ... pentingnya perjanjian investasi internasional, soalnya di sini investor perlu kepastian. Kemudian, dari berbagai perubahan rezim politik. Kemudian, ada perubahan kebijakan di negara host atau negara tuan rumah, kemudian anggapan dari investor - investor asing bahwa mereka akan mendapatkan diskriminasi dari pemerintah tuan rumah daripada pemodal local. Kemudian, ini juga ada pandangan bahwa ini menjadi pertimbangan investor asing ketika mau menanamkan modal.
Kritiknya adalah tidak ada bukti yang cukup bahwa negara yang mengikuti perjanjian investasi akan ada kenaikan investasi asing. Yang sering dicontohkan adalah Brazil, dimana dia tidak memiliki BIT, tapi juga mendapatkan aliran investasi asing yang ketiga atau keempat terbesar di dunia.
Kritik yang lain adalah berkurangnya ruang kebijakan karena kemudian harus bernegosiasi dengan pengaturan-pengaturan untuk perlindungan investor asing.
Yang berikutnya adalah ada chilling effect, yaitu di sini saya contohkan nanti, saya contohkan tentang larangan ekspor konsentrat yang terjadi di Indoensia.
Ini yang penting yang berikutnya adalah bahwa BIT atau P4M itu tidak seimbang antara hak dan kewajiban investor dan pemerintah. Di dalam satu ... pada dasarnya itu adalah perjanjian antara dua negara, misalnya Indonesia dengan negara mitra. Dia mengatur tentang perlindungan investor asing dari negara ... negara mitra, jadi pemerintah Indonesia akan melindungi ... janji akan melindungi investor asing dari negara mitra dan negara mitra berjanji akan melindungi investor asing dari Indonesia.
Namun demikian, ini menjadi tidak seimbang antara hak dan kewajiban investor dengan pemerintah karena dalam satu perjanjian tersebut itu yang disebut sebagai kewajiban adalah kewajiban pemerintah dan hak adalah milik investor asing. Jadi, dalam perjanjian tersebut, pemerintah hampir tidak punya hak, sementara investor asing hampir tidak punya kewajiban.
Selain itu, di dalam perjanjian ini juga timbal balik, maksudnya Indonesia akan melindungi investor dari negara mitra dan sebaliknya, tapi yang pertanyaanya kemudian, berapa jumlah investor Indonesia yang keluar ke negara mitra? Yang terjadi adalah kebanyakan Indonesia melindungi investor asing dari negara mitra karena investor ... merekalah yang paling banyak beroperasi di Indonesia daripada sebaliknya.
Yang berikutnya adalah gugatan investor asing ke negara. Ini ada satu mekanisme di dalam perjanjian BI atau P4M mengenai dispute settlement. Dispute settlement-nya bisa dua macam tentang state to state (negara dengan negara) dan yang kedua adalah investor state dispute settlement, dimana perusahaan asing atau investor asing memiliki hak menggugat negara di forum arbitrase internasional, seperti misalnya ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes).
Berikutnya, ini adalah contoh bagaimana misalnya adalah BIT Indonesia-Belanda yang diperbarui pada tahun 1994. Sebetulnya ini sudah ada sejak tahun 1968, dimana ada undang-undang di Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Isinya antara lain, perusahaan-perusahaan tambang diminta membangun pabrik pemroses mineral mentah (smelter) dan dilarang mengekspor mineral dalam bentuk mentah. Tapi, boleh mengekspor, tapi dikenai pajak progresif.
Pada tahun 2014, pemerintah berusaha mengimplementasi aturan ini. Tapi kemudian, diprotes oleh perusahaan, dalam hal ini PT Newmont. Dan pada … dan karena itu, tambang di PT Newmont itu berhenti beroperasi karena dia tidak bisa mengekspor.
Nah, kemudian pada … pada bulan Juni 2014, PT Newmont melakukan gugatan ke ICSID dengan … dengan klaim telah … pemerintah Indonesia melalui undang-undang ini telah merugikan PT Newmont karena dia membuat produksi berhenti.
Tapi kemudian, pada 25 Agustus, atas permintaan PT Newmont, PT Newmont meminta untuk dihentikan prosesnya di ICSID. Dan kemudian, pada September 2000 … setelah dihentikan pada 25 Agustus 2014, satu bulan kemudian, PT Newmont mendapatkan kuota untuk mengekspor produksinya yang terus diperpanjang sampai tahun 2019. Jadi, baru diperpanjang pada tahun 2018 yang lalu.
Dan kemajuan pembangunan smelter-nya sampai tahun 2018, itu 10,1%. Jadi, PT Newmont menggunakan BIT Indonesia-Belanda untuk menekan pemerintah Indonesia supaya dia bisa terus mengekspor
mineral dalam bentuk mentah. Sementara janji untuk kemajuan ... apa
… untuk pembangunan smelter, masih cukup lambat karena dia masih 10% setelah 4 tahun.
Indonesia itu … sampai sekarang, Indonesia mempunyai 65 BIT atau perjanjian investasi bilateral antara dua negara. Jumlahnya itu sedikit, saya punya data yang agak sedikit berbeda-beda. Tetapi, saya mengutip dari satu sumber ini saja, sehingga ada 65 BIT. Jadi perjanjian dengan 65 negara. Dan dari sini sudah 23 yang diterminasi selama 2014 dan 2017.
Selain BIT, perjanjian investasi juga diatur melalui FTA yang memuat pengaturan investasi. Ini adalah beberapa di antaranya. Dan juga Indonesia juga sedang merundingkan beberapa FTA dengan be ... dengan bab pengaturan investasi di dalamnya. Seperti RCEP, kemudian Indonesia EFTA, dan Indonesia Uni Eropa. Ini sekilas mengenai apa sih isi dari BIT itu, sehingga dia punya kekuasaan yang banyak.
Secara umum, isinya dianggap ini adalah isi yang dianggap standar, yaitu ruang lingkup, kemudian harus ada perlakuan nondiskriminasi, perlakuan national treatment, kemudian most favour nation, kemudian larangan ekspropriasi. Ini sebetulnya larangan ekspropriasi langsung dan ekspropriasi tidak langsung. Kemudian larangan repatriasi laba, dan kemudian ada jangka waktu atau bagaimana menghentikan perjanjian tersebut, dan mekanisme penjelasan sengketa.
Sekilas saja, ini ada definisi investasi. Masalah pertama adalah berkaitan dengan definisi. Definisi investasi yang diatur dalam P4M dan BIT itu bisa sangat luas dan tidak terbatas. Dari semua perjanjian- perjanjian itu memang cukup berbeda-beda, tetapi secara umum cukup luas. Ada yang sangat luas, ada yang tidak terlalu luas. Tetapi secara umum, luas sekali. Jadi, misalnya dia menyebutkan aset apa saja, kemudian tidak terbatas, semacam itu. Dan juga dia bisa … bisa berkait dengan misalnya IPR ... apa … kepemilikan Haki dan juga lisensi, dan lain sebagainya.
Yang kedua adalah national treatment. Ini adalah prinsip yang standar yang biasanya ada di … di semua BIT yang sudah ada di Indonesia. Jadi, bagaimana negara host itu harus melakukan perlakuan yang tidak kurang menguntungkan atau sama dari investor lokal dan investor asing. Kata-kata ini bisa cukup luas karena kemudian tidak kurang menguntungkan. Itu bisa diartikan bahwa negara bisa memberikan perlakuan sama antara investor lokal dan investor asing.
Yang kedua, negara bisa melakukan perlakuan yang lebih menguntungkan kepada investor asing. Tetapi, kalau negara ... tapi tidak bisa diartikan negara tidak bisa memberikan perlakuan investor lokal lebih dari investor asing. Demikian juga dengan most favored nations, tetapi dia antara negara ... apa ... investor satu ... dari satu negara ke negara yang lain.
Yang … kemudian yang kedua adalah masalah ekspropriasi, jaminan tidak melakukan ekspropriasi atau nasionalisasi. Mungkin, kalau direct expropriation, jadi pengambilalihan aset sudah tidak terlalu sering dilakukan, mungkin dulu zaman kemerdekaan. Tetapi, yang menjadi risiko adalah indirect expropriation karena kemudian ini definisi yang sangat luas mengenai indirect expropriation. Jadi, dapat berupa pengambilalihan secara tidak langsung melalui ketentuan peraturan yang menyebabkan penanaman ... penanam modal asing itu mengalami kerugian atau profit berkurang. Jadi, yang mereka ... yang investor asing inginkan adalah adanya kompensasi atau tidak ada nasionalisasi.
Yang berikutnya adalah prinsip wajar dan sesuai (fair and equitable treatment). Ini juga definisi yang bisa diartikan luas, terutama karena perjanjian ini kan, punya mekanisme sengketa. Dan ketika ini diartikan luas, kemudian investor bisa menggunakan prinsip yang wajar dan sesuai ... sesuai investor, tidak selalu sama dengan prinsip wajar dan sesuai menurut host country.
Kemudian, ada larangan pengalihan dana atau pengaturan pengalihan dana (repatriasi).
Kemudian, kebebasan menentukan pimpinan perusahaan.
Yang berikutnya adalah kompensasi jika dia ada kerusuhan sosial atau mengalami kerusakan.
Yang berikutnya adalah mengenai perpanjangan otomatis. Jadi, perpanjangan otomatis ini rata-rata di Indonesia itu dia ada
perpanjangan otomatis. Jadi, dia berlaku selama 10 tahun. Dan jika tidak ada notifikasi dari negara, misalnya pemerintah Indonesia memberikan notifikasi 6 sampai 12 bulan sebelum berakhir, maka is ... perjanjian BIT itu akan terus berlangsung. Nah, beberapa tahun terakhir, dari tahun 2014, pemerintah Indonesia juga melakukan banyak terminasi. Tadi sudah disebutkan se ... sekitar 23.
Namun demikian, ada survival clause. Jadi, klausul ini menyatakan bahwa BIT atau P4M akan tetap berlaku walaupun sudah diterminasi. Dan rata-rata survival clause Indonesia itu ... Indonesia BIT itu dengan negara-negara mitra itu 10 tahun. Tapi, ada beberapa yang 5 tahun, ada juga yang 15 tahun. Seperti misalnya BIT Indonesia-Belanda, dia akan berlaku sampai tahun 2029. Padahal, ini sudah diterminasi sejak tahun 2014. Atau juga P4M Indonesia-Slovakia, itu berlaku sampai 12 Juli 2024 telah ... sebetulnya telah diterminasi sejak tahun 2014.
Kemudian, mekanisme penyelesaian sengketa. Ini saya sampaikan contoh saja, investor state disputes settlement dimana investor menggugat negara karena ada perubahan kebijakan, misalnya. Kemudian, ada klaim pelanggaran perjanjian investasi atau ada kerugian yang ditimbulkan, termasuk potensi kerugian di masa depan. Dan juga semakin tahun, gugatan investor ke negara itu semakin besar. Sebetulnya BIT itu tidak hanya di Indonesia, tapi juga sekitar 3.000 angket ... angket mencatat sekitar 3.000-an BIT di seluruh dunia. Dan
dari tahun 1972 sampai tahun 1999, jumlah gugatan ISDS (Investor State Disputes Settlement) itu cuma 69. Tapi di tahun-tahun berikutnya, semakin meningkat. Bahkan misalnya di tahun 2015 saja, untuk 1 tahun itu ada 52 gugatan di ... di salah satu arbitrase internasional ICSID.
Selain itu, persidangan di arbitrase internasional itu diwakili oleh
... mereka tidak menggunakan hakim, tetapi menggunakan yang disebut sebagai arbiter. Nah, arbiter ini dipilih oleh tiga ... oleh dua ... dua yang bersengketa. Jadi, misalnya Indonesia dengan perusahaan. Perusahaan memilih satu, Indonesia memilih satu, dan yang satu dipilih oleh dua orang ... dua responden dan penggugat. Masalah di persidangan arbitrase internasional ini adalah pertama, tidak transparan. Yang kedua adalah conflict of interest karena arbiter itu seringkali terlibat dalam perusahaan yang berkonflik atau mereka punya saham di perusahaan- perusahaan yang berkonflik. Jadi, secara umum, dia dikuasai oleh law firm-law firm internasional dimana mereka juga menjadi pemilik sahan atau mungkin pernah bekerja di perusahaan-perusahaan yang berkonflik.
Yang berikutnya adalah tidak ada mekanisme review (...)
20. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, mohon waktunya diperhatikan.
21. AHLI AHLI DARI PEMOHON: XXXXXXXX XXXXX
Ya. Nah, berikutnya adalah ini adalah beberapa gugatan investor asing ke Pemerintan Indonesia. Ini ada … sebetulnya ada satu lagi, tapi ini saya contohkan enam … eh, lima.
Ini yang terakhir adalah Churchill Mining versus … versus Indonesia dan juga Planet Mining karena ada tumpang tindih izin pertambangan. Mereka menggunakan BIT Indonesia-UK (United Kingdom) tahun 1976, kemudian juga menggunakan BIT Indonesia- Australia. Ada juga Cemex yang juga menggunakan ASEAN investment agreement. Lalu, yang sekarang masih ada adalah satu dari Perusahaan India.
Misalnya, untuk yang Churchill Mining, kasus tersebut dimenangkan oleh Pemerintah Indonesia dan legal fee yang dilaporkan oleh Indonesia … Pemerintah Indonesia adalah sebesar sekitar $12,3 juta dengan 70 … 75% diperintahkan untuk dibayar oleh penggugat.
Sikap Pemerintah Indonesia karena adanya gugatan-gugatan ini, misalnya pem … SBY mengatakan bahwa supaya mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk menca … mencegah terjadinya gugatan di arbitrase internasional dan sejak tahun 2013 pemerintah melakukan review atas semua BIT dan bagian atau bab tentang investasi dari perjanjian ini.
Nah, juga saya sebutkan di sini bagaimana rencana strategis BKPN tahun 2015 dan tahun 2019 yang menyebutkan bahwa berbagai kesepakatan ini akan dievaluasi dan tentu saja bagaimana menyeimbangkan antarkepentingan Indonesia, khususnya hak untuk mengatur perekonomiannya?
Jadi, tantangan yang masih ada tentang review ini, misalnya review sejauh ini masih berkait dengan BIT dan belum ada solusi review dari pengaturan investasi di dalam FTA, yang juga Indonesia juga banyak merundingkan dan juga beberapa diantaranya sudah selesai.
Kemudian, nilai dan jumlah gugatan yang besar. Memang jika negara menang … jika negara kalah, negara harus membayar ke investor. Tetapi, jika negara menang pun, sebetulnya dia tetap kalah karena dia tetap harus membayar persidangan, pengacara, dan lain-lain sebagainya.
Yang juga penting di sini adalah ada ruang pembangunan dan ruang kebijakan right to regulate dari pemerintah yang menjadi sangat terbatas.
Saya kira, sedikit saja bahwa yang berikutnya adalah tentang perjanjian perdagangan. Tadi bab investasinya sudah diterangakan, yang (...)
22. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, waktunya, Bu.
23. AHLI AHLI DARI PEMOHON: XXXXXXXX XXXXX
Ya. Saya ingin dipresentasi yang kedua ini, saya ingin menunjukkan bahwa FTA yang sedang dirundingkan dan yang … yang sedang dirundingkan terutama itu akan berimplikasi pada kenaikan harga obat, sehingga … dan juga pada akses obat, terutama pada pasien.
Dan yang berikutnya adalah berkaitan dengan perlindungan varietas tanaman. Kemungkinan besar itu akan menyebabkan, pertama, perubahan undang-undang. Yang kedua adalah akses hak-hak petani di dalam undang-undang itu bisa tidak terlindungi. Terima kasih.
24. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya. Xxxxxxx, kalau ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan, Pemohon?
25. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Terima kasih, Yang Mulia. Ada beberapa hal yang ingin diperdalam, baik kepada kedua Ahli tersebut. Pertama, saya akan
menanyakan terlebih dahulu kepada Pak Dr. Max. Selanjutnya, ke Bu Hanim.
Ke Pak Dr. Xxx, ini terkait dengan tadi dalam pema … keterangan
yang disampaikan bahwa permasalah perjanjian internasional itu adalah permasalah rakyat. Benar, tidak?
26. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON XXX
Xxxxx artikulasi diperjelas (...)
27. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, sekalian ini (...)
28. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Oh, baik. Sekalian saja, Yang Mulia (...)
29. KETUA: XXXXX XXXXX
Ditampung dulu, catat dulu semua.
30. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Ya.
31. KETUA: XXXXX XXXXX
Jangan satu-satu, sekalian.
32. KUASA HUKUM PEMOHON: XXXXXXX XXXXXXXX
Xxxx, Yang Mulia, terima kasih. Tadi, disampaikan bahwa meneganai perjanjian internasional, itu adalah permasalahan rakyat. Lalu, yang selanjutnya juga disampaikan juga mengenai perkembangan keberadaban manusia dengan memperhatikan teori Xxxx Xxxxx dan … teori pemetaan negara oleh Xxxx Xxxxx, di sini juga ada pembagian kekuasaan politik antara kekuasaan eksekutif, kekuasaan parlemen, dan kekuasaan rakyat.
Pertanyaannya kepada Ahli, yang pertama adalah apakah dengan dibentuknya negara, kedaulatan rakyat menjadi hilang, atau terabaikan, atau cukup diwakili oleh pemerintah saja, dalam hal ini oleh presiden, ketika ingin mengadakan perjajian internasional? Yang pertama itu.
Yang kedua. Memperhatikan Pasal 2 Undang-Undang Perjanjian Internasional, di situ terdapat frasa menteri berkonsultasi, pada intinya
menteri berkonsultasi kepada DPR. Memperhatikan pula keterangan yang disampaikan oleh Pak Dr. Xxx xxxx bahwa menteri adalah mandat dari presiden, yang bertanggung jawab tetap adalah presiden. Pertanyaannya, apabila dibandingkan dengan konstitusi kita, Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, di situ sebelum amandemen disampaikan bahwa presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, sebelum amandemen. Setelah amandemen, ditambahkan dua ayat lagi, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat luasan mendasar dan seterusnya harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pertanyaannya, di dalam Pasal 2 terdapat frasa konsultasi ... berkonsultasi, apakah itu menurut Ahli mereduksi atau menghilangkan makna itu persetujuan itu sendiri atau bagaimana? Itu untuk Pasal 2 yang kami ajukan Permohonan.
Untuk Pasal 9, di situ pada intinya menyatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang
ataupun dengan keppres, gitu. Pertanyaannya, memperhatikan keterangan dari Ahli, tadi disampaikan bahwa dengan sifat gotong royong, dengan memperhatikan kedaulatan rakyat, dalam perumusan, pembahasan, draf perjanjian internasional harus melibatkan DPR, dan pengesahannya oleh presiden? Saya ingin dari keterangan yang ada dan bunyi Pasal 9 yang mengatakan bahwa pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang dan keppres agar diberikan keterangan lebih jelas lagi.
Untuk Pasal 10 dan 11, saya kira sama. Di Pasal 10 itu menyebutkan ada 6 poin, bentuk perjanjian yang harus disahkan dengan undang-undang, sementara Pasal 11 dengan keppres.
Nah, kami berpendapat bahwa ... pendapat awal kami bahwa di luar kemampuan itu masih ada yang sifatnya penting dan perlu ditetapkan dengan undang-undang atau dengan persetujuan DPR.
Nah, memperhatikan pendapatan ... pendapat Ahli Dr. Xxx xxxx, kalau tidak salah, mohon dikoreksi. Seluruh perjanjian harus ... perjanjian internasional harus dengan persetujuan DPR karena sifat gotong royong, karena konstitusi menyatakan seperti itu, mohon dipertegas mengenai hal itu.
Lalu yang kedua, Majelis, langsung ... izin langsung kepada Dr. ...
kepada Xxx Xxxxxxxx Xxxxx. Pertanyaannya, dari yang tadi dipaparkan mengenai beberapa contoh perjanjian internasional, BIT , benar, tidak kalau saya ... benar, tidak menurut Ahli bahwa terdapat ketidakpastian hukum terkait dengan mana perjanjian internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang dan mana perjanjian internasional yang perlu ditetapkan dengan keppres? Mohon dipertegas saja.
Yang kedua, tadi bicara mengenai ada dampak harga obat kepada pasien, segala macam, gitu kan. Pertanyaan saya, apakah adalah
apakah dalam ... menurut Ahli, dalam pembuatan perjanjian internasional itu perlu melibatkan seluruh stakeholder yang ada, yang terkait yang punya konstan kepentingan dengan itu, gitu? Atau perlu melibatkan peran serta masyarakat juga di situ, agar ruang terbuka publik atau dengan DPR seperti Ahli Max tadi disampaikan atau bagaimana?
Sementara itu, Yang Mulia.
33. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, Kuasa Presiden, ada?
34. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXX XXXXXXX
Terima kasih, Yang Mulia. Saya ingin bertanya kepada kedua Ahli, Yang Mulia.
Yang pertama ke Dr. Max. Di halaman 6, Dr. Xxx mengatakan bahwa persetujuan DPR itu adalah persetujuan dalam rangka Pasal 20, yaitu dalam rangka bab mengenai DPR. Nah, pertanyaan saya, jika persetujuan DPR itu tunduk pada bab DPR, mengapa Pasal 11 itu tertera dalam bab kekuasaan pemerintahan negara? Bukan pada bab DPR? Sebagai Ahli, kira-kira bagaimana merekonsiliasi anomali ini? Kalau ... atau kalau kita katakan terlihat anomali ini.
Kemudian, pertanyaan saya yang kedua, pertanyaan saya yang pertama, dalam rangka bukankah Pasal 11 itu adalah dalam rangka fungsi DPR sebagai fungsi kontrol instead of fungsi legislatif? Ini ... ini yang menarik ingin kami tanyakan.
Kemudian yang kedua, senada dengan perkiraan Pemohon, sepertinya Dr. Xxx menganut bahwa semua perjanjian internasional itu harus mendapat persetujuan DPR, dalam hal ini tidak menganut adanya kriteria. Nah, saya ingin bertanya kepada Dr. Xxx, apakah Dr. Xxx mengetahui adanya Surat Presiden 28, 26? Itu pertama.
Kemudian pertanyaan dalam kerangka ini juga, jika Dr. Xxx menginginkan bahwa semua perjanjian harus ke DPR, bagaimana mengantisipasi bahwa (...)
35. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON XXX
Xxxxxxxxx sebentar! Interupsi! 28, 26 itu tahun berapa?
36. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXX XXXXXXX
Tahun 1960. Jika Dr. Xxx menganut bahwa semua perjanjian harus ke DPR, bagaimana mengantisipasi persoalan praktis? Yaitu, setiap tahun Republik Indonesia itu menandatangani 200 dokumen per tahun.
Jika 200 dokumen ini kita serahkan ke DPR, bagaimana kira-kira DPR menjalankan fungsinya sebagai fungsi legislatif? Berarti, setiap tahun rata-rata 200 undang-undang yang harus dilahirkan terhadap perjanjian ini. Ini persoalan kriteria kembali.
Kemudian berikutnya dikaitkan dengan ini, Pemohon sendiri tidak menganut itu. Pemohon menganut kriteria, yaitu kriteria seperti yang dimaksud oleh Pasal 11 ayat (2) itu, gitu lho. Nah, bagaimana kira-kira Ahli bisa merekonsiliasi pandangannya ini dengan keinginan Pemohon sendiri yang menginginkan kriteria? Artinya, tidak menginginkan semua perjanjian.
Kemudian berikutnya, Dr. Xxx xxxx menjelaskan bahwa perjanjian internasional yang dibuat oleh menteri itu sama dengan XxX xxxx, ya? Artinya, ingin menggunakan logika hukum tata negara ke hukum internasional. Bahwa dalam hukum internasional itu tidak dikenal logika bahwa harus ada MoU dulu, kemudian ada perjanjian internasionalnya, ya? Nah, konvensi Xxxx sendiri tidak menganut itu, gitu ya? Apalagi di ICJ Qatar Bahrain tahun 1991, a great manage pun bisa menjadi treaty, ya? Artinya, nomenklatur tidak menjadi permasalahan dalam hukum internasional, tapi kelihatannya Dr. Xxx ingin me-introduce konsep MoU yang dikenal dalam hukum nasional dalam persoalan ini. Ini apakah Dr. Xxx melihat referensi ini di dalam hukum internasional yang tidak mengenal nomenklatur itu sendiri?
Kemudian, pertanyaan terakhir untuk Dr. Max. Dr. Xxx tadi mengatakan bahwa Indonesia tidak tunduk pada Konvensi Wina karena kita tidak merupakan party. Pertanyaan saya, jika demikian, mengapa Mahkamah Konstitusi di dalam judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menggunakan Pasal 36 Konvensi Wina untuk menginterpretasikan ICPPR? Artinya, kenapa MK sepertinya ... apa namanya ... menggunakan Konvensi Wina?
Dan hanya sebagai informasi kepada Dr. Max karena Dr. Xxx xxxx mengakui sebagai HTN, bukan Ahli Hukum Internasional. Kasus ICJ di Sipadan dan Ligitan, itu ICJ klir sekali mengatakan bahwa Indonesia terikat kepada Konvensi Wina sebagai Customary International Law, bukan dalam kerangka dia party kepada Konvensi Wina, tetapi by virtue of custom. Ini ... ini dikenal, logika ini dikenal di dalam hukum internasional.
Kemudian, pertanyaan untuk Ibu Lutfiyah. Ibu Lutfiyah tadi banyak menjelaskan berbagai perjanjian-perjanjian internasional dan alhamdulillah semua perjanjian internasional itu adalah perjanjian antarnegara. Sedangkan, Ahli Dr. Max tadi mengatakan bahwa ayat (2) Pasal 11 itu adalah perjanjian bukan antarnegara. Dan sayangnya Pasal
11 ayat (2) itu dijadikan batu uji oleh Pemohon. Jadi, batu uji yang digunakan oleh Pemohon adalah perjanjian bukan antarnegara sebagaimana dimaksud oleh Dr. Max. Tetapi, oleh Ibu Xxxxxxxx yang dijadukan contoh justru perjanjian antarnegara. Jadi, kami sebagai
Pemerintah agak ... agak sedikit gamang melihat kontradiksi ini, ya. Maksudnya, kenapa Pemohon tidak menggunakan Pasal 11 ayat (1) supaya klop dengan Ibu Xxxxxxxx?
Baik, kemudian pertanyaan (...)
37. KETUA: XXXXX XXXXX
Enggak boleh!
38. PEMERINTAH: XXXXX XXXXXX XXXXXXX
Pertanyaan yang kedua, untuk Ibu Lutfiyah. Ibu Xxxxxxxx tadi banyak menceritakan tentang untung-rugi membuat perjanjian internasional. Pemerintah menyadari bahwa setiap perjanjian internasional itu pasti ada untung atau ada rugi. Konvensi hukum laut itu kita untung, tetapi negara tetangga rugi, gitu ya. Dan dalam banyak perjanjian lain, pasti ada untung dan rugi. Itu ... itu sudah merupakan pakem yang dihadapi oleh para negosiator, gitu lho.
Nah, pertanyaan saya adalah jika ada perjanjian kebetulan di satu segmen merugikan, apakah itu identik dengan perjanjian itu inkonstitusional? Kalau dia rugi, apakah harus inkonstitusional? Kalau untung saja yang konstitusional? Itu ... itu pertanyaan saya.
Kemudian, pertanyaan berikutnya untuk Ibu Xxxxxxxx juga, mengenai FTA. Ibu Xxxxxxxx tahu, enggak bahwa Undang-Undang Perdagangan itu mengharuskan semua perjanjian FTA itu disetujui oleh DPR, gitu ya? Apakah ... apakah well informed mengenai ini? Bahwa kita dalam membuat perjanjian perdagangan saat ini tidak lagi menggunakan Undang-Undang Perjanjian Internasional, tapi menggunakan Undang- Undang Perdagangan, sehingga semua perjanjian perdagangan itu kita minta persetujuan DPR, bukan hanya ... bukan persetujuan presiden.
Kemudian yang keempat, tadi menjelaskan mengenai BIT, gitu ya? Pertanyaan saya bahwa BIT yang kita buat atau Bilateral Investment Treaty itu kita buat atas restu dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Nah, pertanyaan saya, kenapa Undang- Undang PI-nya yang harus di judicial review? Kenapa bukan Undang- Undang Penanaman Modalnya itu? Kalau asumsi dari Ahli adalah bahwa BIT itu tidak konstitusional atau merugikan.
Nah, kemudian yang kelima, tadi Ahli mengatakan beberapa konsep-konsep, nasional treatment, FF ... MFN, expropriation, dan ini memang merupakan materi dari BIT. Pertanyaan saya adalah so what, gitu lho? What ... what happened dengan ini? Apakah ini yang menjadikan basis bagi Ibu untuk mengatakan bahwa BIT itu inkonstitusional, begitu ya. Karena ini merupakan jargon yang menurut saya agak netral, gitu ya, tidak in favor kepada negara dirugikan atau negara diuntungkan.
Nah, terakhir untuk Ibu Xxxxxxxx adalah mengenai beberapa kasus yang dia disebut, gitu, ya karena BIT. Saya justru agak heran, apakah kita kalah dalam kasus arbitrase karena BIT atau karena kita wanprestasi, gitu ya? Ini dua hal yang harus kita bedakan. Karena apa? Karena terbukti di dalam kasus yang sama-sama menggunakan BIT, kita malah menang. Seperti kasus Xxxxxxxxx, itu menggunakan BIT dengan UK, itu malah menang, gitu kan? Ada kasus lagi dengan investor Singapura, kita menang. Jadi persoalannya, kalahnya kita di arbitrase itu karena BIT atau karena wanprestasinya kita? Ini harus … supaya kita bisa mendudukkan, yang mana yang salah? BIT -nya atau perbuatan kita yang wanprestasi? Xxxxxxxx, Xxxx Xxxxx. Terima kasih.
39. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya. Dari meja Hakim, Yang Mulia Prof. Xxxxx.
40. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXXXX XXXXXXX
Terima kasih, Pak Ketua. Ya, saya membanding-bandingkan antara Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang lama dan Undang- Undang Dasar Tahun 1945 yang sesudah perubahan. Ini Pak Xxx mengatakan … pada Pak Xxx dikatakan bahwa perjanjian internasional adalah hal yang sangat penting bagi rakyat, maka pembuatannya juga harus secara bergotong-royong antara presiden dan DPR, ya. Antara presiden dan DPR, ini apakah dalam kaitannya sebagai produk legislatif, begitu? Maksudnya, kalau produk legilsatif berarti undang-undang, ya, dalam suatu undang-undang.
Kemudian, menyatakan bahwa Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10,
dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 itu bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena ada yang disahkan secara tidak bergotong-rotong. Permasalahannya adalah apa makna dengan persetujuan ini? Apakah kalau dengan persetujuan DPR itu harus dalam bentuk undang-undang? Atau kalau setiap kali mau mengadakan perjanjian nasional[Sic!], presiden harus meminta persetujuan DPR lebih dahulu? Kalau seperti itu, tentu perjanjian internasional enggak akan mungkin terjadi atau memakan waktu yang sangat lama. Karena kita melihat pembentukan undang-undang saja kadang berjalan sangat lama. Undang-Undang Anti Teroris sampai 2,5 tahun enggak selesai, misalnya. Bagaimana kalau presiden mau membuat suatu perxxxxxxx, sedangkan betul dari pemerintah mengatakan, apakah ini masuk dalam ranah legislatif Pasal
20 atau masuk kekuasaan pemerintahan? Oleh karena Pasal 41 menyatakan, “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945.”
Kalau kita bandingkan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebelum perubahan, maka Pasal 11 ini sebetulnya sama intinya. Sebelum Undang-Undang Dasar Tahun 1945 diamandemen juga dikatakan, “Presiden dengan persetujuan DPR membuat perjanjian dengan negara lain dan perjanjian-perjanjian itu termasuk perjanjian internasional itu dibuat oleh presiden tidak bersama-sama DPR, tidak dengan persetujuan DPR, tapi berdasarkan surat presiden pada DPR,” yang dinyatakan tadi pasal … Nomor 2826 itu, di situ dinyatakan, “Perjanjian internasional itu dapat disahkan dengan undang-undang atau dengan keputusan presiden.” Yang sekarang dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, “Dengan peraturan presiden pengesahannya.” Saya rasa mestinya tidak, mestinya tetap dengan keppres karena keppres itu kan mengesahkan, bukan mengatur, ya. Kalau perpres mengatur, itu ya. Ini untuk Undang-Undang Nomor 12.
Nah, jadi saya mengatakan di sini, apakah betul bahwa kemudian Pasal 2, Pasal 9 ayat (2), Pasal 10, dan Pasal 11 ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 karena tidak dilakukan bergotong- royong dengan DPR, begitu? Atau karena di sini juga dikatakan dalam Pasal 11 kan mengatakan, yang amandemen, “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.”
Ayat (2)-nya, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan, atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan DPR.”
Dan ayat (3)-nya, “Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.” Nah, ini ada Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000 yang kemudian mengambil inti dari surat presiden kepada DPR itu dan dirumuskan dalam undang-undang ini. Sehingga kalau kita lihat di sini, sebelum amandemen pun, presiden kalau membuat perjanjian internasional, di sana dituliskan dengan persetujuan DPR. Tapi, tidak pernah presiden membuat suatu perjanjian internasional itu dengan persetujuan DPR, hanya pengesahannya saja itu dengan undang-undang atau dengan peraturan presiden.
Kalau Pak Xxx menganggap bahwa pasal-pasal ini keliru, maka bagaimana seharusnya pasal ini dirumuskan? Terima kasih.
41. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya. Masih?
42. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXX
Terima kasih, Pak Ketua.
43. KETUA: XXXXX XXXXX
Yang Mulia Xxxx. Xxxxx.
44. HAKIM ANGGOTA: XXXXX XXXX
Ini khusus kepada Pak Max. Di keterangannya itu mengatakan bahwa para pendiri negara itu memang sempat menyebut sistem sendiri. Jadi, kalau dibaca risalah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disusun oleh para pendiri negara, memang pernah muncul kata sistem sendiri, tapi itu tidak untuk segala jenis kata itu dimunculkan. Sepanjang yang saya baca di dalam risalah, baik itu risalah yang ditulis oleh Xxxxx, risalah yang kemudian ditulis lagi oleh ... apa namanya ... Xxxxxx Xxxxxx, termasuk juga risalah pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang ditulis di sekretariat negara. Sistem sendiri itu hanya muncul ketika perdebatan soal sistem pemerintahan negara, jadi tidak semua topik. Jadi ketika bicara Pasal 11, lalu disebut sistem sendiri juga. Bicara pasal, ini disebut sistem sendiri juga. Sistem sendiri itu ketika bicara, apakah ketika mau menganut model presidensial, parlementer, dan itu kemudian yang terjadi perdebatan luas.
Pertanyaan saya, okelah sekarang ... apa ... sekarang Pak Max juga bermaksud soal perjanjian internasional. Apakah mungkin menerapkan model sendiri atau sistem sendiri dalam konteks perjanjian internasional, padahal kita berhubungan dengan pihak lain, yang juga terikat dengan pakem-pakem hukum internasional. Bagaimana Pak Xxx, bisa menjelaskan bahwa sistem sendiri ini juga berlaku soal perjanjian internasional? Satu.
Xxxx kedua, tadi soal ... apa namanya ... ada tiga norma yang disebutkan. Jadi, pergeseran perjanjian internasional harus berdasar pada cita negara gotong royong yang padanya cita hukum Pancasila sebagai norma dasar, norma arah ... nah saya agak perlu pengayaan ini. Norma kritik itu bagaimana sebetulnya bentuknya, Pak Xxx? Terima kasih.
45. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, lanjut ke Yang Mulia Pak Xxxxxxx.
46. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Terima kasih, Pak Ketua.
Ya, saya kepada Ahli Pak Xxx Xxxx Xxxxx juga, yang pertama. Jadi, Ahli menganut pendirian bahwa semua perjanjian internasional itu harus dengan persetujuan DPR. Ya, okelah, katakanlah secara theoretic begitu pendirian Ahli. Tapi, itu sangat tidak realistis, kan? Kelihatannya
begitu. Tidak realistis bukan hanya karena seperti keterangan Pemerintah tadi, ada ratusan perjanjian yang kemudian harus dibuat, gitu, dalam jangka waktu sekian, yang bisa jadi kemudian kita tidak akan pernah membuat perjanjian internasional, itu satu.
Kemudian tidak realistis yang kedua juga karena tidak semua kata yang kita istilahkan dengan perjanjian internasional itu, sebenarnya itu istilah yang tepat, itu kan mencakup istilah yang sangat banyak, Pak Max? Kata treaty juga kita artikan dengan ‘perjanjian internasional’. Kovenan kita artikan ‘perjanjian internasional’. Protokol, kita juga artikan ‘perjanjian internasional’. Modus vivendi kita artikan ‘perjanjian internasional’. Accourd kita artikan ‘perjanjian internasional’. Bahkan agreement pun, kita artikan ‘perjanjian internasional’.
Jadi, dalam terminologi hukum, khususnya hukum internasional yang sangat berbeda-beda itu, kita perlakukan dengan treatment yang sama. Apakah secara ontologis dan secara epistimologis, itu memang memungkinkan? Padahal, kalau dalam perjanjian internasional, dia menggunakan term tersendiri itu, terlepas dari soal Konvensi Wina dulu yang akan menjadi pertanyaan saya berikutnya, ya. Itu secara akademik itu dulu, apa mungkin gitu ya? Itu ... itu, itu pertanyaan pertama.
Kemudian pertanyaan yang kedua. Kalau Pak Xxx mengatakan bahwa Indonesia tidak tunduk pada Konvensi Wina 1969, dengan alasan yang sangat sederhana, yaitu bahwa karena Indonesia bukan party. Jadi sesuai dengan prinsip pacta sunt servanda, lalu dihubungkan dengan Pasal 1338, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hanya para pihak yang membuat perjanjian itulah yang tunduk pada prinsip pacta sunt servanda. Persoalannya, tidak sesederhana itu karena Indonesia adalah anggota PBB.
Pasal 93 ayat (1) United Nations Charter menyatakan, “All Members of the United Nations are ipso facto parties to the Statute of the International Court of Justice.” Mengapa saya mengutip ini? Karena sudah diterima sebagai pemahaman umum bahwa Pasal 38 ayat (1) statuta Mahkamah Internasional itu dianggap sebagai sumber hukum internasional.
Salah satu dari sumber hukum internasional itu adalah di luar convention atau perjanjian internasional adalah internasional custom. As evidence sebagai bukti bahwa ada kebiasaan yang telah diterima sebagai hukum. Konvensi Wina 1969, tegas dinyatakan baik dalam sejarah pembentukannya maupun di dalam preparatory committee-nya, apa bahasa Inggrisnya, Pak? Bahasa Perancisnya, apa Pak? Préparatoire... ya, saya ndak tahu kalau bahasa Perancisnya. Itu tegas disebutkan bahwa itu adalah kodifikasi hukum kebiasaan, yang artinya kita terikat pada Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.
Dengan kata lain, kalau Xxx Xxx menggunakan dalil bahwa karena dia bukan party, maka dia tidak terikat pada Konvensi Wina 1969, kita juga bisa ... orang juga bisa menggunakan karena Anda party
terhadap United Nation of The United ... party dalam Charter of United Nation, maka Anda melanggar kewajiban yang ditentukan dalam Charter The United Nation jika Anda tidak taat pada Konvensi Wina sebab di situ ada persoalan sumber hukum internasional yang diatur dalam ICJ. Bagaimana Pak Xxx menjelaskan dua posisi yang berlawanan dengan yang diturunkan dari logika yang sama ini?
Ini ... ini pertanyaan akademik tentu akan menjadi ... belum lagi kalau kita masukkan bahwa di dalam Konvensi Wina 1969 itu juga ada pengaturan tentang general principles of law recognized by civilized nations yang juga merupakan salah satu sumber hukum internasional yang disebut dalam Pasal 38 ayat (1) statuta Mahkamah Internasional. Itu kan, complicated apa ... apa ... kerumitan akademiknya kalau kita hanya berposisi dari satu kerangka teori yang tertentu dan kemudian kita tidak menafsirkannya secara kontekstual, saya kira akan timbul kerumitan theoretic seperti itu dalam menjelaskan ininya. Nah, kami mohon … apa ... tanggapan dari Ahli mengenai soal ini.
Yang kedua mengenai tentang Ibu Xxxxxxxx, ya. Gini, Bu. Kalau Ibu mengkritik tentang arbitrase, persoalannya itu kan, ya gimana, katanya itu tidak transparan, kemudian tidak ada mekanisme banding. Itu kan, sebelum arbitrase terbentuk biasanya itu kan, sudah Ibu ... Ibu sendiri juga menyinggung tadi, ya? Bahwa arbitrase itu diperlukan dengan kesepakatan. Ini yang disebut sebenarnya janji-janji arbitrase sebelumnya, kan gitu? Nah, ini juga berkait dengan persoalan choice of law dan choice of forum yang di dalam surat perjanjian ini biasanya ditentukan. Nanti kalau terjadi sengketa, forum untuk menyelesaikannya apa? Kemudian, hukum yang digunakan untuk penyelesaiannya itu apa? Kan, itu sudah disepakati sebelumnya. Jadi kan, tidak fair kalau kita mengatakan kemudian ketika kita sudah memilih choice of law dan choice of forum-nya di awal, di belakangnya kemudian kita mengkritik, apalagi misalnya kalau itu dikaitkan dengan persoalan konstitusionalitas.
Nah, ini ... ini soal kerangka berpikir, bagaimana Ahli menjelaskan soal itu. Nah, kalau dikatakan misalnya di situ ada conflict of interest, berarti yang bodoh para pihak yang memilih arbiternya, dong? Kenapa dipilih orang yang mempunyai conflict of interest? Bukankah dia yang menentukan arbiter itu ketika di awal? Sesuai dengan kompromi arbitrase itu yang di awal sudah dibuat itu.
Nah, itu ... itu mohon … apa ... diterangkan pada Ahli karena ya, betul, namanya arbitrase pasti tidak ada mekanisme banding, tapi apakah betul juga dalam arbitrase tidak transparan? Itu mungki n masih menjadi pertanyaan dalam arbitrase yang mana, gitu kan? Kan, ada macam-macam kan, Bu, arbitrase itu, kan? Ya, dalam rangka invesment ada, kemudian dalam rangka general international law ada, bahkan ada permanent court of arbitration, gitu kan? Yang sebenarnya itu adalah sudah seperti court gitu, ya? Sementara orang memilih arbitrase sendiri
kan, xxxxxx karena menghindari kerumitan-kerumitan kalau kita memilih penyelesaian secara hukum melalui pengadilan, kan itu sebenarnya.
Jadi, ya, betul bukan persoalan untung-rugi kan, kemudian yang jadi ... bahwa itu menjadi pertimbangan untung-rugi ya, bagian dari
negosiasi pasti itu. Tapi kan, persoalan untung dan rugi itu, itu menjadi sangat … apa namanya ... menjadi debatable, ya, tadi sudah disampaikan oleh Pemerintah misalnya salah satunya kalau kita di satu pihak dimenangkan, kita menganggap itu menguntungkan, apalagi kemudian itu ditarik, kemudian lalu itu berarti konstitusional, gitu, kan tidak bisa seperti itu. Dia ada persoalan konseptual, kenapa orang memilih forum itu sebagai forum penyelesaian sengketa dan kemudian juga memilih di forum itu kita mau memberlakukan hukum apa? Kan itu
... itu memang persoalan dasarnya.
Jadi, sehingga ... nah, kalau kita terikat dalam suatu perjanjian internasional dan kita menaati persyaratan-persyaratan yang ditentukan, misalnya begitu saja kan, kita bisa di awal sebenarnya proses negosiasi sebenarnya bisa disampaikan. Atau kalau dia menganut sistem reservasi, pada waktu itu diajukan reservasi, saya tidak tunduk pada persyaratan ini. Bukan di akhir ketika kita sudah memilih choice of law dan choice of forum-nya, gitu. Itu pertanyaan saya. Terima kasih, Pak Ketua.
47. KETUA: XXXXX XXXXX
Baik. Xxxxxxx, Pak Max, duluan.
48. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Baik, terima kasih. Jawaban saya tidak satu per satu menurut penanya karena memang saya semakin tua, semakin sulit untuk menjawab satu per satu, tapi saya jawab masing-masing secara umum.
Yang pertama yang sederhana dulu, yaitu pengesahan dengan keputusan presiden sekarang sudah tidak berlaku lagi. Karena itu, saya mulai dengan catatan kaki saya di halaman 5 nomor 24 di situ bahwa sejak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 bahkan mengenai itu sudah diganti, keputusan presiden yang berfungsi pengaturan sudah tidak berlaku lagi. Ya, kalau mau direvisi dengan peraturan presiden. Nah, itu terserah DPR dan pemerintah.
Hal yang kedua, saya memberikan perbedaan tentang pengertian pengesahan. Ada dua macam pengesahan, pengesahan perjanjian internasional dan pengesahan undang-undang di Indonesia.
Kalau pengesahan perjanjian internasional, maka semua perjanjian internasional tidak pernah sah atau belum pernah sah. Dia baru sah kalau dibawa ke Indonesia untuk disahkan, pengertian istilah yang kedua, di Indonesia. Selama belum disahkan oleh hukum positif
Indonesia, tidak sah. Sehingga kita katakan bahwa itu ... perjanjian itulah harus dibawa untuk disahkan dulu di Indonesia.
Dengan demikian, maka setiap penandatangan di dalam perjanjian internasional itu pengesahannya hanya sekadar MoU,
pemahaman bersama bahwa nanti dia kembali ke Indonesia kalau menteri atau kuasa hukum, dia laporkan ke presiden ini yang diperxxxxxxxx. Terserah presiden sama dengan DPR mau setuju atau tidak. Kalau tidak setuju, ya tidak sah, tidak berlaku. Setuju, sah. Itu baru pengesahan menurut undang-undang Indonesia.
Sekarang pengertian yang kedua, pengesahan menurut undang- undang Indonesia. Setiap undang-undang itu melewati minimal lima tahap, tahap pertama adalah naskah akademik. Tahap kedua adalah perancangan. Tahap ketiga, kita sebut persetujuan, tapi itu pembahasan antara presiden dan DPR. Tahap keempat, baru pengesahan oleh presiden dengan cara penandatangan, istilah pengesahan untuk hukum nasional. Tahap kelima, baru pengundangan, baru bisa berlaku. Sehingga kita harus memahami istilah pengesahan ini dalam konteks hukum internasional atau hukum nasional, sehingga presiden kalau dia menghadiri suatu pertemuan internasional, maka dia menandatangani perjanjian internasional bukan dalam pengertian pengesahan menurut hukum nasional, tapi pengesahan sebuah MoU untuk dibawa dibahas dulu bersama DPR.
Sekarang mengenai masalah teknis, bagaimana DPR begitu sulit
... pertanyaannya adalah apakah mau melimpahkan kepada pemerintah sendiri? Dibanding dengan jumlah orang, berapa jumlah anggota DPR dan berapa jumlah menteri? Apakah lebih banyak mengerjakan lebih cepat selesai atau lebih sedikit mengerjakan lebih cepat selesai? Ini persoalannya. Bahwa kalau DPR misalkan lama, itu kita cari DPR yang memang bisa menyelesaikan cepat, jumlahnya banyak kenapa enggak cepat selesai? Itu persoalannya. Jadi, saya tetap berpendapat bahwa urusan perjanjian luar negeri itu adalah urusan sangat penting yang harus melibatkan rakyat. Modelnya nanti kita pikirkan karena ini sidang yang harusnya besok saya harus berpikir lagi, ternyata hari ini Mahkamah Konstitusi malah hari ini. Jadi, pemikiran saya masih banyak untuk besok, belum saya sampaikan.
Tentang Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan bahwa ada terkait juga dengan Ligitan dan Simpadan, ya. Bahwa konvensi internasional itu sudah mengikat Indonesia. Nah, itu pemikiran saat itu dan saat itu juga saya tidak berbicara sebagai ahli. Kalau saat itu saya berbicara sebagai ahli, mungkin Mahkamah Konstitusi berpendapat lain.
Kemudian tentang Pasal 20 dan Pasal 11, Pasal 20 ini adalah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pertama kali, yaitu pada saat itu DPR mau supaya undang-undang itu DPR yang buat, bukan pemerintah sesuai Pasal 5, sehingga perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 pertama kali adalah perubahan tentang Pasal 20 itu, yaitu
DPR yang berwenang membuat undang-undang. Tetapi itu sama sekali tidak ada artinya. Yang sangat berarti adalah Pasal 20 ayat (2)-nya, yaitu setiap rancangan undang-undang harus dengan persetujuan DPR dan presiden, itulah yang berarti, sesuai dengan asas negara kita atau cita negara kita adalah gotong royong, itu yang sangat berarti. Bukan sekadar pernyataan DPR membentuk undang-undang, tidak ada satu undang-undang pun yang dibentuk oleh DPR sendiri. Semua undang- undang adalah produk DPR bersama-sama presiden.
Tentang Putusan Presiden Nomor 2826 Tahun 1960. Kita harus memahami situasi politik saat itu bahwa saat itu Presiden Xxxxxxxx sangat diktator, DPR saja dibubarkan, DPR dibubarkan lalu dia bentuk DPR baru. Segala-galanya dikeluarkan dalam situasi diktator, apa pun dia tulis, ya, diktator, kita Indonesia ini bukan negara diktator. Jadi, jangan hiraukan putusan DPR dalam suasana diktator itu.
Tentang menteri berkonsultasi dengan DPR, saya pikir ini xxx xxxxx. Bahwa menteri itu yang menghadiri pertemuan internasional untuk membahas perjanjian internasional. Jadi, boleh saja menteri itu datang ke DPR untuk tanya, “Bagaimana sih pendapat DPR tentang hal ini?” Tapi, itu bukan suatu keputusan, dia hanya konsultasi untuk dia bawakan ke perjanjian internasional, sehingga boleh-boleh saja. Sebab nanti pada akhirnya toh, DPR juga yang bersepakat dengan presiden untuk memutuskan terima atau tidak terima suatu hasil perjanjian internasional.
Tentang macam-macam sumber hukum internasional, semuanya itu adalah perjanjian. Perjanjian sebagai genus dan spesiesnya adalah macam-macam (…)
49. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Maaf, maaf, Saudara. Saya kira, bukan itu pertanyaannya. Bukan semua … di mana Anda mengatakan sumber hukum internasional perjanjian? Pasal 38, Saudara baca, enggak, Ahli itu? Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional itu? Hanya disebutkan satu, perjanjian internasional. Yang kedua, kebiasaan internasional. Yang ketiga, general principles of law. Yang keempat, putusan pengadilan dan ajaran para sarjana yang terkenal dari berbagai negara. Tidak semuanya sumber hukum itu perjanjian. Dari mana itu Ahli? Saya justru menanyakan itu, bagian yang keduanya.
50. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Baik. Mungkin saya salah dengar, tapi itu saya dengar ucapan Pak Xxxxxxx seperti itu. Tapi, maaflah saya salah dengar, saya bicarakan ulang. Bahwa perjanjian internasional atau bahkan PBB sekalipun bahwa antara PBB dan negara yang berdaulat bukan PBB. Yang memiliki
kedaulatan ke dalam maupun ke luar adalah negara, yang dalam hal ini Indonesia adalah negara Indonesia, walaupun Indonesia adalah anggota PBB. Kedaulatan itu artinya kekuasaan tertinggi, tidak ada dua kekuasaan tertinggi. Kalau sudah dua, itu bukan tertinggi lagi, hanya satu kekuasaan tertinggi.
51. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Maaf, maaf, Pak. Bukan itu pertanyaan saya, pertanyaan saya
begini.
52. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Ini jawaban saya.
53. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Xxxxxx, enggak, pertanyaan saya (...)
54. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Saya tidak bertanya, maaf, maaf. Saya tidak bertanya, tapi ini jawaban saya.
55. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Enggak, pertanyaan saya bukan itu. Jadi, kalau Xxxxx menjawab pertanyaan saya, yang saya tanyakan bukan itu. Begitu lho maksud saya. Yang saya tanyakan adalah bagaimana Pak Xxx mengatakan, kan kalau negara pihak, kan hanya negara pihak terhadap perjanjian internasional baru itulah yang taat, kan begitu?
56. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Ya.
57. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Nah, kita kan negara pihak di PBB, begitu lho. Nah, kita harus taat kan Pasal 93-nya? Pasal 93 itu mengatakan bahwa negara yang menjadi anggota PBB itu dengan sendirinya (ipso facto) itu menjadi anggota dari Internasional ... Statuta Mahkamah Internasional. Statuta pun kita artikan juga sebagai perjanjian internasional kadang-kadang, kan begitu. Itu lho.
58. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Itu yang saya mau jawab.
59. HAKIM ANGGOTA: I DEWA XXXX XXXXXXX
Itu, itu sekarang kalau begitu, berarti kita enggak … di satu pihak Bapak mengatakan kita boleh tidak taat karena kita bukan pihak. Tapi, di sini, kita tidak taat, justru karena kita pihak, kan jadi begitu, Pak. Bagaimana?
60. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Dengarkan baik-baik jawaban saya tentang kedaulatan. Saya jawab tentang kedaulatan. Bahwa Pak Xxxxxxx mengatakan, kita sebagai pihak karena anggota PBB, tetapi kita juga negara Indonesia. Manakah yang berdaulat? Kedaulatan hanya satu, entah PBB atau negara Indonesia? Tidak boleh dua-duanya berdaulat karena kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi, tertinggi itu hanya satu. Dan saya sebagai orang Indonesia, saya pilih hanya Indonesia yang berdaulat, berdaulat ke dalam maupun berdaulat ke luar, termasuk berdaulat terhadap PBB.
Oleh karena itu, setiap perjanjian internasional yang Indonesia tidak ikut, tidak mau taat. Taat kalau harus ikut. Tidak bisa hukum itu adalah untuk manusia, jangan manusia Indonesia dikorbankan untuk suatu keputusan PBB yang saya tidak setuju. Itu jawaban saya. Jadi, tetap yang berdaulat adalah Indonesia, bukan PBB.
61. KETUA: XXXXX XXXXX
Masih ada?
62. AHLI DARI PEMOHON: BOLI SABON MAX
Masih ada, tentang apa lagi ini … oh, ya tentang masalah-masalah praktis. Tadi di dalam presentasi saya, saya sudah katakan bahwa banyak pula undang-undang Indonesia tentang hal-hal praktis, yaitu yang kita kenal dengan undang-undang dalam arti formal. Tidak semua undang-undang Indonesia dalam arti materiil. Xxxxxxxx sementara jawaban saya, nanti kalau masih ada pertanyaan lagi, kita lanjutkan.
63. KETUA: XXXXX XXXXX
Baik. Terima kasih, Pak Max.
Lanjut ke Ibu Lutfiyah. Silakan, Ibu.
64. AHLI DARI PEMOHON: XXXXXXXX XXXXX
Ya, terima kasih. Pada dasarnya, presentasi saya itu mempresentasikan bagaimana perjanjian internasional yang dikatakan pengesahannya menggunakan perpres dengan asumsi bahwa dia tidak terkait dengan ke … tidak terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang.
Jadi, mengenai perlindungan P4M, di sini disebutkan dia pengesahannya menggunakan perpres. Nah, pandangan saya karena dengan penjelasan detail-detail tadi, P4M itu berpotensi dan sudah menimbulkan beberapa kerugian keuangan negara dan juga berpotensi mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang baru, sehingga saya berpandangan bahwa dengan model perjanjian yang semacam itu, saya berpandangan bahwa itu harus melibatkan DPR dalam pengesahannya. Kalau selama ini pengesahannya hanya menggunakan perpres.
Jadi, itu tidak ... maksudnya kalau untung-rugi, kalah-menang di persidangan, tentu saja itu terkait dengan kapasitas negosiasi atau kekuatan negosiasi kita, proses selama negosiasi, atau kalau kita berperkara di pengadilan tentu saja harus ada yang kalah dan ada yang menang. Jadi, bukan masalah kalah dan menang atau kualitas tadi, tapi berupaya bagaimana pengesahannya itu menggunakan … apa ... DPR dalam hal ini dianggap sebagai wakil rakyat karena dia akan berpotensi merugikan tadi.
Kemudian, mengapa bukan dengan misalnya dengan Undang- Undang Penanaman Modal Asing? Ya, karena undang-undang ini yang mengatur ini dengan perpres, ini dengan undang-undang. Lalu, ada tentang Undang-Undang Perdagangan. Di Undang-Undang Perdagangan memang memberi kesempatan kepada DPR untuk melakukan persetujuan perjanjian internasional yang berkaitan dengan perdagangan, tetapi tetap kekuasaan pemerintah di sini yang cukup besar, dia memberi kesempatan kepada DPR supaya bisa memberikan pengesahannya.
Jadi, di sini dia memberi kesempatan kepada DPR, tapi tetap menurut saya dia … apa ... otoritas pemerintah atas pengesahan undang-undang … apa ... FTA atau perjanjian perdagangan itu tetap lebih besar dari DPR. Jadi, bisa juga kalau pemerintah mau misalnya dengan … apa namanya ... dengan FTA misalnya, “Oh, ini bisa disahkan DPR, ini bisa tidak perlu disahkan DPR.”
Itu menjadi wilayahnya pemerintah menurut Undang-Undang Perdagangan, menurut saya. Karena itu, seperti misalnya tadi tentang arbitrase tadi. Kalau arbitrase itu berada di dalam perjanjian BIT yang karena itu … karena dengan … jadi dengan segala macam implikasi dan kemungkinan banyak situasi di dalam perjanjian BIT misalnya ada masalah isu di arbitrase, ada kemungkinan-kemungkinan bahwa itu
digunakan oleh investor asing untuk mengambil keuntungan, maka pengesahan P4M atau BIT itu pandangan saya harus disahkan oleh DPR, sehingga bisa lebih terbuka, sehingga lebih banyak keterlibatan di luar pemerintah.
Jadi, ada stakeholder dan sebagainya. Kalau … apa namanya … seperti dampak … apa namanya … hal-hal negatif di arbitrase atau kemudian seperti tadi detail tentang yang ditanyakan oleh pemerintah, itu lebih untuk menunjukkan bahwa BIT ini punya implikasi yang … punya implikasi kepada negara kita dari sisi kedaulatan, dari sisi beban keuangan negara, dan sebagainya sehingga itu harus di … apa namanya
… disahkan melalui DPR. Jadi, poin saya itu bukan apakah kalah-menang atau baik atau buruk, gitu, bukan itu. Ya, kalau baik dan buruk itu tentu saja hasil negosiasi dan itu bukan karena disetujui DPR menjadi lebih baik, bukan, tetapi karena itu berpotensi banyak negatif dan lain sebagainya, maka itu harus disetujui atau disahkan melalui DPR, sehingga ada keterlibatan stakeholder dan lain sebagainya. Itu poin saya, terima kasih.
65. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, baik, terima kasih. Jadi untuk Pemohon sudah selesai, ya, ahlinya?
Ya, untuk selanjutnya, ahli dari presiden ada berapa?
66. PEMERINTAH: PURWOKO
Terima kasih, Yang Mulia. Untuk ahli dari Pemerintah=4, Yang
Mulia.
67. KETUA: XXXXX XXXXX
Empat orang?
68. PEMERINTAH: PURWOKO
Ya, 2 tertulis, 2 secara langsung.
69. KETUA: XXXXX XXXXX
Dua tertulis dan 2 hadir di persidangan, ya?
70. PEMERINTAH: PURWOKO
Ya. Terima kasih, Yang Mulia.
71. KETUA: XXXXX XXXXX
Baik. Sidang selanjutnya ditunda hari Senin, tanggal 25 Juni 2018, setelah Lebaran, ya, pukul 11.00 WIB untuk mendengar Keterangan DPR, ya, kalau hadir, dan dua ahli dari Kuasa Presiden. Sebelum sidang 25 Juni itu, CV dan keterangannya paling tidak, paling lambat dua hari sebelum hari sidang itu sudah diserahkan ke Kepaniteraan.
72. PEMERINTAH: PURWOKO
Ya, Yang Mulia.
73. KETUA: XXXXX XXXXX
Ya, baik, jadi begitu. Pemohon, sudah jelas, ya? Ditunda tanggal
25 Juni 2018. Terima kasih untuk Pak Xxx dan Ibu Xxxxxxxx atas keterangannya.
Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 11.54 WIB
Jakarta, 22 Mei 2018
Kepala Sub Bagian Pelayanan Teknis Persidangan,
t.t.d.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx
NIP. 19820529 200604 2 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.