LAPORAN PENELITIAN
LAPORAN PENELITIAN
PERJANJIAN INTEGRASI VERTIKAL DAN IMPLIKASINYA DALAM HUKUM PERSAINGAN USAHA
OLEH :
I XXXXX XXX XXXXXXXXX, SH., MH.
PENELITIAN MANDIRI FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA
1
TAHUN 2017
ABSTRAK
Setiap pelaku usaha di Indonesia mendapat kesempatan untuk berusaha dan bersaing secara sehat. Maka dari itu salah satu perjanjian yang dilarang yang dapat menyebabkan persaingan usaha tidak sehat adalah perjanjian integrasi vertikal. Perjanjian integrasi vertikal bertujuan untuk menguasai produksi barang dan atau operasi jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi / operasi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Oleh karena itulah pasal 14 UU No. 5 th.1999 melarang perjanjian integrasi vertical ini.
Berkaitan dengan hal tersebut maka sangat menarik untuk diteliti apakah perjanjian integrasi vertikal yang dilarang sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan apakah implikasi perjanjian integrasi vertikal yang dilarang bagi pelaku usaha dalam hukum persaingan usaha.
Penelitian ini adalah penelitian hukum normative yaitu dengan meneliti dan mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan masalah yang dibahas.
Dengan dilarangnya perjanjian integrasi vertikal ini dalam UU No. 5 Th.1999 maka antar pelaku usaha akan bersaing secara sehat. Untuk membuktikan pelaku usaha telah melakukan perjanjian integrasi vertikal yang dilarang oleh ketentuan pasal 14 UU No.5 Th.1999 memerlukan penyelidikan lebih lanjut oleh Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sesuai tugas dan wewenangnya.
Kata kunci : Perjanjian integrasi vertikal, implikasi, hukum persaingan usaha.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia Nya kegiatan pelatihan dengan judul “Perjanjian Integrasi Vertikal dan Implikasinya dalam Hukum Persaingan Usaha” dapat terlaksana dengan baik.
Bahwa kegiatan penelitian ini melibatkan dosen-dosen pengasuh mata kuliah Hukum Persaingan Usaha dibagian hukum keperdataan dan juga mahasiswa.
Sangat diharapkan sekali kegiatan penelitian ini bermanfaat baik bagi para pelaku usaha agar bersaing secara sehat dan tidak membuat perjanjian integrasi vertikal diantara mereka, maupun bagi pengembangan mata kuliah Hukum Persaingan Usaha secara teoritis dalam rangka proses pembelajaran pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Denpasar, 20 Juli 2017 Peneliti
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................... | i |
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................... | ii |
ABSTRAK ................................................................................... | iii |
KATA PENGANTAR ................................................................... | |
DAFTAR ISI ................................................................................ | iii |
BAB I PENDAHULUAN .......................................................... | 1 |
1.1 Latar Belakang Masalah ......................................... | 1 |
1.2 Rumusan Masalah .................................................. | 3 |
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................. | 4 |
BAB III METODE PENELITIAN ................................................ | 7 |
3.1 Konsep Penelitian .................................................. | 7 |
3.2 Jenis Penelitian ...................................................... | 7 |
3.3 Jenis Pendekatan ..................................................... | 8 |
3.4 Data dan Sumber Data ............................................ | 8 |
3.5 Teknik Pengumpulan Data ...................................... | 8 |
3.6 Pengolahan dan Analisis Data .................................. | 9 |
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................ | 10 |
4.1 Pengertian dan Ruang Lingkup ................................ | 10 |
4.2 Alasan Pelaku Usaha Melakukan Integrasi Vertikal .. | 15 |
4.3 Implikasi Integrasi Vertikal ..................................... | 20 |
iv
v
4.4. Asesmen Dampak Integrasi Vertikal 23
4.5 Sanksi atas Pelanggaran Ketentuan Pasal
14 UU No.5 Th. 1999 25
BAB V PENUTUP 28
5.1 Kesimpulan 28
5.2 Saran 29
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
UU No. 5 th 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, yang mana UU ini baru efektif berlaku pada 5 Maret th.2000. UU ini dimaksudkan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, sehingga dapat diwujudkan kegiatan usaha yang lebih kompetitif bagi setiap pelaku usaha. Akhirnya konsumen dan atau masyarakat dapat memperoleh serta menikmati barang dan atau jasa yang berkualitas tinggi dengan harga bersaing yang rasional.
Perjanjian integrasi vertikal adalah salah satu bentuk perjanjian yang dilarang oleh UU no.5 Th.1999 sebagaimana disebutkan dalam pasal 14. Dilarangnya perjanjian integrasi vertikal disebabkan karena perjanjian tersebut dianggap dapat menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Integrasi vertikal adalah bagian dari hambatan vertikal (vertical restraint). Hambatan vertikal adalah segala praktek yang bertujuan untuk mencapai suatu kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan jenjang produksi (stage of production) atau dalam usaha yang memiliki keterkaitan sebagai rangkaian produksi
1
atau rangkaian usaha.1 Kebanyakan praktek hambatan vertikal didasarkan atau mengikuti suatu kesepakatan diantara pelaku usaha pada jenjang produksi yang berbeda namun masih dalam satu rangkaian yang terkait. Misalnya antara produsen dan distributor atau penjual produknya. 2
Larangan terhadap segala praktek yang menghambat secara vertikal disebabkan dapat mendukung suatu tindakan anti persaingan, memperbesar kekuatan pasar serta dapat dijadikan alat untuk melakukan segmentasi pasar secara geografis.
Integrasi vertikal yang diatur dalam pasal 14 UU no. 5 Th.1999 adalah sebagai berikut :
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rnagkaian produksi barang dan / jasa tertentu dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan / atau merugikan masyarakat.”
Yang harus dipertegas dalam pasal ini adalah penguasaan perjanjian produksi bukan distribusi. Dengan kata lain pasal ini
1 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx. 2011. Hukum Persaingan Usaha (Teori Praktiknya di Indonesia). Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Jakarta. h.128
2 Ibid
melarang terjadinya hambatan persaingan usaha yang diakibatkan oleh perxxxxxxx – perjanjian yang bertujuan untuk menguasai produksi.
Dengan dilarangnya perjanjian tersebut diatas mmaka diharapkan pelaku usaha memahami akan hal tersebut sehingga tidak akan melanggarnya karena diharapkan pelaku usaha bersaing secara sehat. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka penting untuk dilakukan penelitian ini yang berjudul “Perjanjian Integrasi Vertikal dan Implikasinya dalam Hukum Persaingan Usaha”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah perjanjian integrasi vertikal yang dilarang sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku?
2. Apakah implikasi dariperjanjian integrasi vertikal yang dilarang bagi pelaku usaha dalam hukum persaingan usaha?
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Yang dimaksud dengan “Integrasi Vertikal” adalah suatu penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu dari hulu sampai hilir atau proses berlanjut atas suatu jasa layanan tertentu oleh pelaku usaha tertentu.3
Praktek integrasi vertikal atau penguasaan pasar dari hulu ke hilir meskipun mungkin bisa menghasilkan produk dengan harga murah, tetap hal tersebut merusak sendi-sendi perekonomian masyarakat. Dari ketentuan pasal 14 UU no. 5 th.1999 dapat disimpulkan bahwa agar perjanjian integrasi vertikal dapat dilarang haruslah memenuhi unsur sebagai berikut :
1) Adanya perjanjian ;
2) Perjanjian tersebut dibuat dengan pelaku usaha lain;
3) Tujuannya untuk menguasai produksi sejumlah produk;
4) Produk tersebut termasuk serangkaian produksi hasil pengolahan atau proses lanjutan;
5) Termasuk produk dalam rnagkaian produksi tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung;
3 Xxxxx Xxxxx, Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. 1999. Penerbit PT. Citra Xxxxxx Xxxxx Bandung. h.68
6) Pembuatan perjanjian seperti itu dapat mengakibatkan terjadinya persaingan curang;
7) Dan atau dapat merugikan kepentingan masyarakat.
Sesungguhnya praktik integrasi vertikal memiliki sejumlah manfaat, walaupun seringkali hubungan antar perusahaan melalui pasar ini bukanlah cara yang paling efisien dalam melakukan kegiatan usaha. Terdapat beberapa manfaat tambahan yang dapat diperoleh suatu perusahaan bila perusahaan tersebut melakukan integrasi vertikal kehulu dan / atau ke hilir, maka dari itu pendekatan yang digunakan dalam pasal ini adalah dengan menggunakan rule of reason approach.
Beberapa manfaat melakukan integrasi vertikal diantaranya adalah: 4
1. Manfaat ekonomi karena karakter teknologi. Penghematan biaya karena ekternalitas antara jalan produksi. Misalnya dalam industri baja, lebih menguntungkan untuk mencampur baja selagi panas. Jadi lebih menguntungkan untuk memiliki pabrik lembar baja pabrik pencampuran baja dibawah satu atap daripada memproduksi lembar baja disuatu pabrik, kemudian menempa lembar baja yang telah jadi dengan pabrik lain.
2. Manfaat ekonomi karena adanya kepastian kontrak integrasi vertikal seringkali menjadi strategi yang dipilih perusahaan
4 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op Cit. h.130
untuk menghindari perilaku perusahaan pemasok yang tidak mentaati kontrak. Misalnya permasalahan yang dapat menekan biaya produksi dengan tidak mentaati produsen produksi botol yang tercantum dalam kontrak antara perusahaan minuman dengan perusahaan pembuat botol minuman. Akibatnya mutu botol dapat berkurang, yang pada akhirnya dapat merusak citra perusahaan minuman tersebut.
3. Manfaat ekonomi karena pengurangan biaya transaksi.
Terdapat banyak kemungkinan yang terjadi di pasar. Namun tidak mungkin memperkirakan semua kemungkinan yang akan terjadi dan mencantumkannya dalam kontrak. Untuk mengurangi biaya transaksi yang mungkin timbul dalam situasi tidak pasti, seringkali transaksi – transaksi tersebut perlu dilakukan di bawah satu atap.
Integrasi vertikal karenaalasan-alasan di atas, pada dasarnya adalah integrasi vertikal yang wajar karena didorong oleh keinginan untuk menekan biaya produksi. Dengan demikian integrasi vertikal jenis ini menghambat persaingan. Namun, terdapat juga motivasi integrasi verikal yang tidak terlalu prositif negatif) seperti terjadinya :
a. Deskriminasi harga
b. Integrasi vertikal untuk monopoli industri
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Konsep Penelitian
Konsep penelitian ini adalah dalam konteks hukum persaingan (hukum persaingan bisnis), dimana ketika pelaku usaha akan memasarkan produknya haruslah bersaing secara sehat dan tidak melakukan perjanjian integrasi vertikal yang dilarang sebagaimana diatur dalam UU No.5 th.1999, karena akan dapat menimbulkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Maka konsep hukum yang akan dianalisis adalah hukum persiangan usaha, yang memberikan kepastian hukum bahwa UU no.5 th 1999 telah mengatur mengenai perjanjian-perjanjian yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha.
3.2 Jenis Penelitian
Jika ditinjau dari jenis penelitian hukum, maka penelitian yang akan dilakukan ini termasuk jenis penelitian hukum normative, yang bertujuan untuk menemukan azas-azas yang terkandung dalam suatu peraturan.
3.3 Jenis Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang undangan dan regulasi. Disamping itu untuk mempertajam analisis juga dilakukan pendekatan konseptual.
3.4 Data dan Sumber Data
Data yang diteliti adalah data sekunder yang bersumber dari kepenelitian kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang digunakan antara lain UU no.5 Th.1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat serta peraturan komisi no.5 th.2010 tentang integrasi vertikal.
Bahan hukum sekunder yang terdiri dari karya ilmiah dalma bentuk buku-buku yang relevan dengan masalah yang diteliti. Bahan hukum tersier yang berupa kamus hukum dan lainnya.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah studi dokumen dengan sistem kartu.
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Untuk menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul pertama-tama digunakan teknik diskripsi artinya uraian apa adanya terhadap suatu kondisi dari proposisi-proposisi hukum dan non hukum. Kemudian dilanjutkan dengan teknik enterpretasi berdasarkan jenis enterpretasi yang ada dalam hukum.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengertian dan Ruang Lingkup
Isi pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi barang dan atau operasi jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi/operasi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
Pasal 14 hanya mengatur larangan bagi pelaku usaha untuk menguasai (melalui kepemilikan dan atau perjanjian) produksi/operasi dalam satu rangkaian produksi/ operasi. Penjelasan rangkaian produksi/operasi yang merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan secara definitif menjelaskan karakterisik rangkaian produksi/ operasi yang bersifat vertikal, baik tingkat hulu (proses produksi barang/operasi jasa) maupun di tingkat hilir (distribusi dan pemasaran barang/jasa). Namun demikian, cakupan integrasi vertikal berdasarkaiLpjasal 14 tidak termasuk dalam proses distribusi dari ritel sarnpai ke tangan konsumen akhir.
Dalam menerapkan ketentuan pasal 14 selain harus memenuhi unsur-unsur pasal 14, juga harus dibuktikan apakah akibat atau dampak dari perjanjian integrasi vertikai telah menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan atau meruugikan masyarakat. Mengingat bahwa perjanjian integrasi vertikal dapat berdampak merugikan, maka proses pembuktian persaingan usaha tidak sehat dan atau kerugian masyarakat sangat penting dalam memutuskan apakah perjanjian integrasi vertikal telah menghambat persaingan atau sebaliknya.
Pasal lain yang relevan
Pengaturan mengenai integrasi vertikal apat juga ditemukan pada berbagai pasal lainnya dalam Undang-Undang no.5 Tahun 1999, yaitu:
1. Pasal 15 mengenai perjanjian tertutup. Disini integrasi vertikal dikatakan dapat dilakukan melalui suatu perjanjian yang sifatnya tertutup. Perjanjian tertutup dalam bentuk perjanjian distribusi eksklusif, tying (pengikatan) ataupun perjanjian tying yang terkait dengan potongan harga. Pengaturan mengenai Pasal 15 ini akan dijabarkan lebih rinci dalam Penjelasan KPPU mengenai Pasal 15
2. Pasal 19 mengenai penguasaan pasar. Integrasi vertikal dapat dilakukan dengan tujuan untuk menguasai produk, sebagaimana disebutkan dalam pasal 19 yaitu menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan kegiatan yang sama di pasar bersangkutan,
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha peaingnya untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya, membatasi peredaran barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan dan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
3. Pasal 26, dimana integrasi vertikal dapat dilakukan melalui rangkap jabatan (menjadi direktur atau komisaris) antar dua atau lebih perusahaan yang berada dalam satu rangkaian produksi secara vertikal
4. Pasal 28 dan 29, dimana integrasi vertikal dapat dilakukan melalui proses penggabungan, peleburan dan pengambilalihan (merger, konsolidasi dan akuisisi). Pengaturan mengenai pasal-pasal ini akan dijabarkan lebih lanjut dalam Penjelasan KPPU tentang hal tersebut.
Integrasi vertikal merupakan perjanjian yang terjadi antara beberapa pelaku usaha yang berada pada tahapan produksi/operasi dan atau distribusi yang berbeda namun saling terkait. Bentuk perjanjian yang terjadi berupa penggabungan beberapa atau seluruh kegiatan operasi yang berurutan dalam sebuah rangkaian produksi/operasi.
Mekanisme hubungan antar satu kegiatan usaha dengan kegiatan usaha lainnya yang bersifat integrasi vertikal dalam perspektif hukum persaingan, khususnya UU No. 5 Tahun 1999 digambarkan dalam suatu
rangkaian produksi/operasi yang merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam suatu rangkaian langsung maupun tidak langsung (termasuk juga rangkaian produksi barang dan ^^jatau iasa substitusLdan atau komplementer)
Suatu kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai integrasi vertikal ke belakang atau ke hulu yaitu apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa kegiatan yang mengarah pada penyediaan bahan baku dari produk utama.
Sebagai contoh adalah ketika pelaku usaha yang memproduksi minyak goreng memperluas cakupan usahanya dengan mengintegrasikan kegiatan penyediaan CPO (crude palm oil) yang merupakan bahan baku utama dari produksi minyak goreng. Perusahaan minyak goreng tersebut memutuskan untuk melakukan perjanjian yang mengikat dengan produsen CPO. Tindakan perusahaan minyak goreng tersebut disebut sebagai integrasi vertikal ke belakang atau ke hulu.
Sedangkan kegiatan usaha yang dikategorikan sebagai integrasi vertikal ke hilir adalah apabila kegiatan tersebut mengintegrasikan beberapa kegiatan yang mengarah pada penyediaan produk akhir.
Sebagai contoh ketika pelaku usaha yang memproduksi minyak goreng tersebut memutuskan untuk memperluas cakupan usahanya dengan mengintegrasikan kegiatan distribusi minyak goreng dan toko swalayan untuk menjual minyak goreng langsung ke konsumen akhir.
Perjanjian yang mengikat antara produsen minyak goreng dengan distributornya serta toko swalayan digolongkan sebagai integrasi vertikal ke hilir.
Perjanjian yang mengikat di antara pelaku usaha yang berada pada rangkaian produksi berurutan dapat mengambil berbagai macam bentuk. Dalam jangka menengah integrasi vertikal dapat dilakukan pelaku usaha dengan mengikat diri pada: a) suatu penyewaan jangka panjang (long term leases), b) joint ventures, dan c) kemitraan.
Perjanjian integrasi vertikal yang bersifat jangka panjang adalah melalui perpindahan kepemilikan yang terjadi lewat proses Merger dan Akuisisi. Kepemilikan atau penguasaan aset perusahaan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Integrasi vertikal melalui penguasaan atas seluruh aset perusahaan, dan
2. Integrasi vertikal melalui penguasaan hanya atas sebagian aset perusahaan.
Berdasarkan prinsip dasar teori persaingan dan dampak ekonomi, integrasi vertikal umumnya ditujukan untuk meningkatkan efisiensi yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan konsumen akhir (consumer welfare). Namun bukan berarti integrasi vertikal oleh pelaku usaha akan selaku menciptakan efisiensi dan kesejahteraan konsumen tetapi justru sebaliknya dapat pula menciptakan ekonomi biaya tinggi/inefisiensi,
harga dan keuntungan yang tidak wajar melalui praktek anti persaingan/monopoli.
4.2 Alasan Pelaku Usaha Melakukan Integrasi Vertikal
Di dalam peraturan komisi no.5 th.2010 tentang integrasi vertikal disebutkan ada beberapa alasan yiatu antara lain:
a. Efisiensi
Tujuan pelaku usaha melakukan efisiensi melalui integrasi vertikal adalah mencapai harga yang bersaing dari produk atau jasa yang dipasarkan. Efisiensi dan integrasi vertikal dicapai melalui pengulangan penggunaan suatu proses/peralatan teknis (technical efficiency), penghematan biaya transaksi (transaction cost), dan pengurangan marjin ganda (double marginalization) atau secara keseluruhan meniadakan biaya-biaya yang tidak perlu yang sebenarnya dapat dihindari. Keunggulan teknis dapat dicapai melalui perbaikan atau peningkatan teknologi sehingga proses manufaktur atau proses operasi berjalan lebih efisien (penggunaan input yang lebih kecil dengan hasil yang sama) dan atau lebih produktif (menghasilkan output yang lebih besar dengan input yang sama).
Sebagai ilustrasi, sebuah perusahaan pengalengan daging membutuhkan pasokan daging mentah dari rumah pemotongan hewan dan peternakan. Jika perusahaan pengalengan daging dan peternakan
adalah perusahaan yang terpisah dan independen, maka untuk menjamin kualitas daging. mentah dibutuhkan gudang dengan pendingin di rumah pemotongan dan alat transportasi yang memiliki pendingin (cold storage) yang berarti ada biaya pengangkutan dan pendinginan daging. Apabila kedua perusahaan tersebut memutuskan untuk berintegrasi vertikal, maka biaya pendinginan da/am bentuk gudang pendinginan di rumah pemotongan hewan dapat dihilangkan, karena rumah pemotongan hanya memasok sesuai kebutuhan perusahaan pengalengan daging yang terintegrasi. Koordinasi di bawah satu atap juga akan meningkatkan efisiensi biaya.
Efisiensi lain yang dihasilkan dari integrasi vertikal adalah berkurangnya biaya transaksi yang muncul akibat dari aktivitas transaksi antar tingkatan produksi dan atau distribusi yang berbeda. Dengan melakukan integrasi vertikal, biaya transaksi tersebut dapat diinternalkan sehingga perusahaan dapat melakukar penghematan biaya. Penghematan biaya transaksi tersebut antara lain muncul dari penghematan biaya ekonomi dalam mencari pasokan bahan baku, melakukan negosiasi, kontrak, dan pengawasan terhadap pemasokatau distributor.
b. Kepastian bahan baku dan peningkatan akses ke konsumen
Salah satu tujuan pelaku usaha untuk melakukan integrasi vertikal adalah upaya untuk mengurangi ketidakpastian pasokan
bahan baku yang dapat muncul. Pelaku usaha memutuskan untuk melakukan integrasi vertikal ke hulu dengan maksud untuk mengontrol kepastian pasokan bahan baku. Misalkan, sebuah perusahaan pembuat keju memerlukan pasokan susu segar sebagai bahan utama pembuatan keju. Apabila pasokan susu tersendat karena berbagai faktor (seperti manajemen peternakan yang sedang bermasalah) maka produksi keju juga akan terhambat. Dengan integrasi vertikal, ketidakpastian akibat kesalahan manajemen peternakan tersebut dapat diminimalkan karena pasokan susu dapat dikontrol.
Sedangkan keputusan untuk melakukan integrasi vertikal ke hilir diarahkan untuk me ningkatkan kontrol atas jejahng distribusi dan pengecer agar akses terhadap konsumen meningkat. Contohnya, sebuah perusahaan manufaktur kendaraan bermotor roda dua melakukan transaksi penjualan dengan dealer kendaraan bermotor. Kemampuan dealer melakukan strategi pemasaran untuk meningkatkan penjualan kendaraan bermotor roda dua tersebut tidak dapat dipengaruhi oleh perusahaan manufaktur. Apabila dealer tidak melakukan strategi pemasaran dan penjualan yang agresif maka penjualan dapat terpengaruh karena akses konsumen akhir terhadap produk kendaraan bermotor roda dua tersebut terbatas. Untuk itu perusahaan manufaktur dapat memutuskan untuk melakukan
perjanjian integrasi vertikal dengan dealer. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka perusahaan manufaktur dapat ikut memikirkan strategi-strategi bisnis untuk menarik minat konsumen seperti memberikan pelaksanaan pameran, pemberian diskon ataupun bonus, ataupun penambahan pelayanan purna jual. Dengan demikian kepastian pemasaran dan penjualan dapat meningkat.
c. Pelaku usaha dapat melakukan transfer pricing
Transfer pricing adalah saat pelaku usaha memberikan harga yang lebih rendah kepada perusahaan yang terintegrasi dibawahnya dengan tujuan membuat biaya produksi lebih rendah sehingga akan mengakibatkan harga jual yang iebih rendah dibanding pesaingnya karena biaya produksi yang relatif lebih rendah. Tujuannya adalah menekan biaya yang terjadi di level terbawah (dari unit ritel ke tangan konsumen) yang akan menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan biaya produk yang tidak berasal dari proses integrasi vertikal. Dari sisi mekanisme, tindakan transfer pricing merupakan aplikasi konsep pengurangan marjin ganda yang telah dijelaskan sebelumnya pada bagian efisiensi. Pengurangan marjin ganda dikategorikan sebagai efisiensi karena menguntungkan konsumen karena konsumen membayar barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah. Transfer pricing dapat memberikan keuntungan kepada pelaku usaha yang melakukannya karena dapat
meningkatkan volume penjualan. Melalui integrasi vertikal, pelaku usaha juga dapat melakukan subsidi silang antara perusahaannya. Manfaat subsidi silang didapat ketika pelaku usaha yang terintegrasi membebankan transfer pricing kepada anak perusahaannya yang berbeda (menjadi lebih murah) dibanding dengan biaya yang dibebankan kepada pelaku usaha yang berada di luar jaringannya. Kerugian akibat pembebanan harga subsidi atau harga yang lebih murah tersebut akan dikompensasi melalui keuntungan penjualan bahan baku ke pelaku usaha yang bukan merupakan jaringan integrasinya. Sementara pelaku usaha yang tidak terintegrasi dengan perusahaan tersebut akan menderita kerugian (riil maupun potensial) akibat adanya subsidi silang yang dilakukan oleh perusahaan pesaing yang terintegrasi tersebut.
d. Mengurangi atau menghilangkan pesaing di pasar
Dari penjelasan sebelumnya terlihat bahwa integrasi vertikal ditujukan untuk menghasilkan penghematan bagi pelaku usaha baik dalam bentuk penghematan biaya maupun upaya untuk meminimalkan ketidakpastian. Dengan demikiars, kegiatan integrasi vertikal tidcsk memiliki dampak langsung terhadap proses persaingan yang sedang berjalan di suatu pasar bersangkutan. Namun demikian dalam beberapa kondisi, integrasi vertikal juga dapat menimbulkan
permasalahan persaingan berupa dampak tidak langsung pada pasar bersangkutan tertentu.
Dalam perspektif persaingan, perusahaan yang melakukan integrasi vertikal akan lebih mudah mendapatkan kekuatan pasar (market power) karena lebih efisien serta dapat menjadikan harga barang/jasa lebih murah dan adanya jaminan distribusi. Oleh sebab itu perusahaan yang terintegrasi secara vertikai akan mempunyai kemampuan lebih besar untuk menciptakan hambatan bagi pesaingnya untuk masuk pasar. Dampak anti persaingan yang muncul berasal dari penyalahgunaan market power yang meningkat dan peningkatan potensi koordinasi melalui harga ataupun output. Dampak anti persaingan yang muncul dari integrasi vertikal akan dibandingkan dengan efisiensi dan keuntungan lain yang dihasilkan. Tindakan pengaturan akan diambil jika terbukti kegiatan integrasi vertikal menghasilkan dampak anti-persaingan yang lebih besar dibanding efisiensi dan keuntungan lainnya, sehingga menurunkan kesejahteraan konsumen akhir.
4.3 Implikasi Integrasi Vertikal
Sesuai dengan bunyi pasal 14, bahwa perjanjiari integrasi vertikal yang dilarang adalah yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk. Penguasaan produksi sejumlah produk diartikan sebagai usaha
dari pelaku usaha untuk menguasai pasar. Kegiatan untuk menguasai pasar termasuk kegiatan yang dilarang sesuai dengan pasal 19 tentang penguasaan pasar. Terdapat dua kegiatan penguasaan pasar yang paling terkait dengan perjanjian integrasi vertikal, yaitu: i) menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan, dan ii) melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.
Integrasi vertikal dapat mempengaruhi kinerja pasar dengan cara mempengaruhi persaingan baik dengan perusahaan yang sudah ada di pasar atau perusahaan potensial yang akan masuk ke pasar. Integrasi vertikal dapat menghasilkan hambatan untuk masuk ke pasar apabila tingkat dari integrasi vertikal sangat besar sehingga pendatang baru pada satu pasar hilir juga harus masuk ke pasar hulu secara bersamaan.
Perusahaan yang melakukan integrasi vertikal dapat membatasi harga sebesar biaya produksi bahan bakunya sehingga menghalangi masuknya pemain bar/ ke pasar misalnya dengan memperbesar kapasitas pasar. Ketika perusahaan potensial yang akan masuk dapat dihalangi maka harga dapat diset ulang dengan tingkat harga yang lebih tinggi. Dengan demikian kinerja pasar akan menurun karena terhalangnya pesaing potensial yang seharusnya bisa masuk ke pasar.
Pengaturan harga tersebut diatas yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam proses integrasi vertikal dapat dikatakan mendekati praktek
diskriminasi harga yang dikategorikan merugikan bagi pelaku usaha yang tidak terintegrasi.
Dampak anti persaingan yang muncul dari integrasi vertikal dapat dibedakan atas dua dampak, yaitu: i) dampak yang berasaI dari tindakan yang dilakukan perusahaan yang terintegrasi vertikal untuk membatasi kemampuan pesaing untuk bersaing melalui penutupan akses di pasar hulu (upstream market) ataupun di pasar hilir (downstream marker), dan
ii) dampak yang terjadi karena perusahaan yang terintegrasi vertikal memfasilitasi koordinasi harga atau output sebagai bagian dari upaya kolusi baik di pasar hulu bersangkutan (relevant upstream market) maupun di pasar hilir bersangkutan (relevant downstream market).
4.3.1. Dampak unilateral
Penutupan akses (foreclosure) bagi perusahaan pesaing merupakan bagian dari strategi meningkatkan biaya pesaing (raising rivals' cost). Dengan meningkatnya biaya yang harus ditanggung perusahaan pesaing, maka perusahaan pesaing harus menaikkan harga produknya. Penutupan akses ini dapat dilakukan melalui strategi penutupan akses terhadap pasokan bahan baku penting.
4 3.2. Dampak Koordinasi
Kolusi dapat dipertahankan jika perusahaan dapat melakukan koordmasi. Integrasi vertikal dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk melakukan koordinasi, baik melalui harga, output, kapasitas, maupun
kualitas. Kolusi akan bertahan jika perusahaan-perusahaan di pasar dapat: (1) menghasilkan kesepakatan (agreement) pada aspek-aspek persaingan sepert, harga, output kapasitas, atau kualitas, (2) mendeteksi adanya pelanggaran terhadap kesepakatan (deviations), dan (3) menghukum pelaku usaha yang melakukan kecurangan tersebut. Pelaku usaha yang melakukan mtegras, vertikal tidak sedang memfasilitasi koordinasi harga atau kuantitas untt mempermulus kelangsungan kolusi kecuali salah satu atau beberapa kondisi tersebut ditemui. Meskipun syarat kondisi tersebut telah dipenuhi, namun belum cukup untuk melanjutkan penyelidikan kecuali ditemukar bukti bahwa telah terjadi perilaku anti-persaingan.
Dengan demikian, kegiatan integrasi vertikal yang dapat dilarang menurut pasal 14 UU No.5 Tahun 1999 adalah:
a. Integrasi vertikal yang menutup akses terhadap pasokan penting, atau;
b. Integrasi vertikal yang menutup akses terhadap pembeli utama, atau;
c. Integrasi vertikal yang digunakan sebagai sarana untuk koordinai
4.4. Asesmen Dampak Integrasi Vertikal
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa integrasi vertikal dapat memiliki dampak positif yang dihasilkan dari efisiensi dan dampak
negatif yang dihasilkan dari perilaku anti persaingan. Dengan demikian perjanjian integrasi vertikal tidak serta merta dapat dipersalahkan kecuali memiliki dampak anti persaingan yang lebih besar dibanding dampak positif yang dihasilkannya.
Analisis terhadap dampak anti persaingan yang ditimbulkan oleh perjanjian integrasi vertikal harus dilakukan secara hati-hati dan seksama. Untuk membuktikan dugaan pelanggaran terhadap pasal 14, KPPU akan melakukan beberapa tahapan pengujian. Prinsip pengujian yang dilakukan adalah analisis 3 (tiga) tahap/yaitu:
1. analisis kemampuan,
2. analisis insentif, dan
3. analisis dampak konsumen.
Langkah pertama adalah menganalisis apakah perusahaan yang melakukan integrasi vertikal memiliki kemampuan (ability) untuk memanfaatkan market power baik di pasar hulu ataupun di pasar hilir, dengan cara menutup akses bagi perusahaan pesaing sehingga biaya pesaing menjadi lebih tinggi, yang pada gilirannya berdampak pada penurunan kesejahteraan konsumen.
Langkah kedua meskipun diketahui bahwa perusahaan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan market power, namun dalam iangkah selanjutnya perlu pula dilihat apakah perusahaan memiliki insentif untuk melakukan tindakan yang
Langkah ketiga adalah melihat apakah tindakan anti persaingan tersebut berdampak negatif bagi konsumen. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perjanjian integrasi vertikal yang dilarang adalah integrasi vertikal yang bertujuan untuk menguasai produksi dari sejumlah produk yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat. Untuk itu KPPU harus membuktikan dampak negatif yang muncul dari perjanjian integrasi vertikal tersebut. Dampak positif yang muncul dari efisiensi juga harus diperhitungkan dalam memutuskan apakah konsumen menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dengan kata lain, keputusan untuk menyatakan bahwa suatu integrasi vertikal memiliki dampak anti-persaingan dilakukan dengan membandingkan antara dampak pro-persaingan dengan dampak anti- persaingan.
4.5 Sanksi atas Pelanggaran Ketentuan Pasal 14 UU No.5 Th. 1999
Pelanggaran terhadap integrasi vertikal (pasal 14) diancam dengan sanksi sebagai berikut:
1. Tindakan Administratif
1) Perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan atau merugikan masyarakat.
2) Penetapan pembayaran ganti rugi.
3) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah). (pasal 47 UU no. 5 th.1999)
2. Pidana Pokok
Pidana serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan (pasal 48 UU no. 5 th.1999)
3. Pidana Tambahan
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentikan kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain. (pasal 49 UU no. 5 th.1999)
Sebagai lembaga independen KPPU mempunyai tugas ganda selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha, juga berperan untuk menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya hukum
persaingan usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan khusus persaingan usaha.5
5 Galuh Puspaningrum. 2013. Hukum Persaingan Usaha, Perjanjian dan Kegiatan yang dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Penerbit Aswaja Pressindo Yogyakarta. H.82
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perjanjian integrasi vertikal yang dilarang bagi pelaku usaha sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dimana disini jelas ditetapkan bahwa pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU no.5 th. 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat khususnya mengenai perjanjian integrasi vertikal diancam dengan sanksi administrative, pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam pasal 47, 48 dan 49 UU no.5 th.1999.
2. Implikasi integritas vertikal dapat memiliki dampak positif yang dihasilkan dari efisiensi dan dampak negatif yang dihasilkan dari perilaku persaingan. Dengan demikian perjanjian integrasi vertikal tidak serta merta dapat dipersalahkan kecuali memiliki dampak anti persaingan yang lebih besar disbanding dampak positif yang dihasilkannya.
5.3 Saran
Adalah sangat diharapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk lebih intensif melakukan pengawasan terhadap para paku usaha yang berendikasi melakukan persaingan usaha tidak sehat sehingga benar-benar persaingan diantara mereka terjadi secara sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Galuh Puspaningrum. Hukum Persaingan Usaha, Perjanjian dan Kegiatan yang Dilarang dalam Hukum Persaingan Usaha Di Indonesia. Penerbit Aswaja Pressindo Yogyakarta. 2013.
Xxxxx Xxxxx. Hukum Anti Monopoli Menyongsong Era Persaingan Sehat. Penerbit PT. Citra Xxxxxx Xxxxx Bandung. 1999.
Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Hukum Persaingan Usaha Teori dan Prakteknya di Indonesia. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2011.
UU No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No.5 tahun 2010