LAPORAN AKHIR
LAPORAN AKHIR
PENGKAJIAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN KECAMATAN
DI PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
Kerjasama:
BAGIAN ORGANISASI SEKRETARIAT DAERAH PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
dengan:
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
KONSENTRASI POLITIK LOKAL DAN OTONOMI DAERAH UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA 2006
RINGKASAN KEGIATAN
1. | Nama Kegiatan | : | PENGKAJIAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAH KECAMATAN DI PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA |
2. | Total Anggaran | : | Rp 197.120.000,00 (seratus sembilan puluh tujuh juta seratus dua puluh ribu rupiah) |
3. | Xxxxxx Xxxxx | : | 6 bulan (Juni 2006 – November 2006) |
4. | Lembaga Pelaksana | : | Program Pascasarjana Ilmu Politik, Konsentrasi Studi Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada Alamat: Xxxxxx XXX Xx 0, Xxxxx Xxxxx Xx. Teknika utara, Barek, Yogyakarta |
5. | NPWP | : | 00.154.173.9-542.000 |
6. | Ringkasan Kegiatan | : | |
Munculnya kebijakan otonomi daerah melalui implementasi UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004 mempunyai implikasi langsung terhadap penyelenggaraan pemerintahan tingkat kecamatan. Sebagaimana termaktub dalam pasal 120 UU No. 32 tahun 2004, kecamatan adalah perangkat daerah kabupaten/kota. Pemerintah kecamatan yang sebelumnya merupakan ”perangkat wilayah” sesuai dengan asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi ”perangkat daerah”. Perubahan ini menggeser posisi kecamatan dari unit yang sebelumnya memiliki peran politis menjadi semata peran administratif. Perubahan juga berlangsung pada entitas kelurahan yang sebelumnya merupakan ”bawahan” kecamatan, namun kini merupakan unit yang terintegrasi ke pemerintah daerah. Perubahan di tingkat peraturan perundangan ini beriringan dengan dinamika Kota Yogyakarta yang terus berkembang, ditandai dengan meluasnya karakteristik urban yang memiliki dua karakteristik dasar. Pertama, kondisi demografis yang ditandai dengan densitas (kepadatan), mobilitas, aglomerasi dan multikulturalisme yang tinggi. Kedua, kondisi geografis kota yang sempit berakibat pada pendeknya rentang pemerintahan. Dua karakteristik dasar ini yang perlu menjadi pertimbangan penting dalam mengidentifikasi peran ideal entitas kecamatan dalam melakukan fungsi dasar melayani masyarakat, untuk sampai pada penciptaan pemerintahan kota yang responsif dan handal (responsive government). Prinsip lain yang juga perlu masuk dalam rangka penciptaan pemerintahan kota yang responsif adalah pertimbangan nilai dan budaya lokal yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat. Bagaimana tepatnya penataan pemerintahan Kecamatan dan Kelurahan ke depan membutuhkan sebuah kajian yang mendalam, berbasiskan evaluasi terhadap penyelenggaraan serta kinerja kelembagaan pemerintah Kecamatan |
dan Kelurahan di wilayah kota Yogyakarta. Demikian juga rumusan tentang kewenangan, pengorganisasian, penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan umum, struktur kepegawaian dan indikator kinerja kelembagaan kecamatan. Harapannya, akan tercipta pemerintahan yang responsif dan handal dalam merespon berbagai perubahan dalam rangka mewujudkan prinsip-prinsip good governance. Studi ini berusaha memenuhi kebutuhan tersebut.
DAFTAR ISI
BAB I KECAMATAN DALAM KONTEKS GOOD GOVERNANCE 1
B. Posisi Kecamatan dalam Konteks Kota Yogyakarta 1
C. Prinsip-Prinsip dasar Pengelolaan Kecamatan di Yogyakarta 4
BAB II PEMETAAN MASALAH UNTUK IDENTIFIKASI KEBUTUHAN DALAM PROSES PENATAAN KECAMATAN DI KOTA YOGYAKARTA 12
A. Dilema Economics of Size dalam Cakupan Wilayah Kecamatan 14
B. Problema Kapasitas Kelembagaan Kecamatan 22
C. Catatan Penutup 38
BAB III ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI: MASALAH CAKUPAN WILAYAH KERJA KECAMATAN 39
B. Alternatif Kebijakan 41
C. Rekomendasi 45
BAB IV ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI PENATAAN KEWENANGAN KECAMATAN 46
A. PENGANTAR 46
B. Alternatif Kebijakan 48
C. Kesimpulan dan Rekomendasi 62
BAB V ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI: MASALAH KELEMBAGAAN 65
B. Alternatif Pemecahan Persoalan 66
BAB VI ALTERNATIF KEBIJAKAN DAN REKOMENDASI: DAYA DUKUNG DALAM PENINGKATAN PERAN KECAMATAN 75
A. PENGANTAR 75
B. Alternatif Kebijakan 77
C. Rekomendasi Kebijakan 82
BAB VII INSTRUMENTASI KEBIJAKAN 88
A. Pengantar 88
B. Langkah Instrumentasi 88
C. Penutup 93
BAB I
Kecamatan dalam Konteks Good
Governance
A. Pengantar
U
paya menata kelembagaan kecamatan di Kota Yogyakarta harus didasarkan pada analisis dan argumentasi yang kuat. Hal ini disebabkan karena adanya kebutuhan untuk menjadikan penataan kelembagaan kecamatan sebagai langkah strategis dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik serta tata kepemerintahan yang
lebih baik. Ini artinya argumentasi dan analisis yang lahir mesti berbasis pada, pertama, metodologi atau kerangka pikir yang tepat untuk memahami kecamatan yang berkarakter urban serta, kedua, didasari dengan kepekaan yang kuat terhadap dinamika-dinamika yang berkembang dalam wilayah ekonomi, administrasi, politik, serta sosial dan kultural.
Bab ini akan mendiskusikan tentang posisi kecamatan dalam kelembagaan pemerintahan Kota Yogyakarta saat ini yang berada dalam persilangan modernisme dan tradisionalisme. Di sini akan digambarkan bagaimana posisi Yogyakarta yang semakin kompleks dan bercorak urban yang membutuhkan respon-respon jitu. Selain itu Yogyakarta juga dicirikan dengan nilai dan budaya lokal yang sudah mengakar kuat di dalam masyarakat. Tujuannya dari bagian ini adalah untuk memberi gambaran tentang betapa strategisnya, sekaligus betapa rawannya, eksistensi kecamatan di Kota Yogyakarta terutama dalam kacamata pelayanan publik, pengembangan ekonomi serta intermediasi. Selanjutnya, bab ini juga akan menguraikan prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam mengelola kecamatan agar mampu menjawab tantangan-tantangan dan dimensi persoalan dalam masyarakat kota yang jauh lebih kompleks dibanding masa-masa sebelumnya. Bagian akhir bab akan memaparkan metode serta alur analisis studi ini.
B. Posisi Kecamatan dalam Konteks Kota Yogyakarta
Yogyakarta telah berkembang menjadi salah satu kota besar yang semakin hari menghadapi persoalan yang makin kompleks mulai dari kriminalitas, tata ruang, informalitas ekonomi, konflik sosial, dsb. Pembangunan di segala sektor hadir dengan begitu masif dalam beberapa beberapa dekade terakhir telah menegaskan karakter Yogyakarta sebagai wilayah urban. Ini artinya, modernisasi dalam kehidupan kota Yogyakarta yang telah mentransformasi kehidupan sosial, ekonomi dan politik tak bisa diabaikan begitu saja dalam upaya pengembangan tata kepemerintahan yang baik. Aspek
urbanitas ini menjadi salah satu kunci untuk memahami bagaimana menata kelembagaan kecamatan di Kota Yogyakarta.
Kuatnya karakter urban Yogyakarta bisa dilihat dari beberapa hal. Pertama, Yogyakarta telah menjadi salah satu sentrum penting pendidikan di Indonesia yang implikasinya adalah menempatkan kota ini sebagai arena pertemuan sosial dan kultural dari berbagai etnis di Indonesia. Pengembangan usaha pendidikan telah berhasil menyerap banyak pelajar dan mahasiswa dari seluruh nusantara untuk datang ke Yogyakarta. Bahkan bisa dikatakan bahwa dari sisi keragaman etnis Yogyakarta telah menjadi miniatur Indonesia. Ini artinya, sektor pendidikan telah menjadi aspek signifikan yang membuat Yogyarta sebagai kota yang terbuka.
Pada saat yang sama muncul pusat-pusat ekonomi modern yang kemudian menjadikan Yogyakarta sebagai salah satu tujuan pencari kerja dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. Banyak diantaranya yang berhasil memasuki sektor modern ini, akan tetapi tidak sedikit yang mengalami persoalan serius untuk menikmati ekonomi modern ini. Salah satu dampak yang umum terjadi adalah muncul dan menguatnya sektor ekonomi informal, yang dalam beberapa hal turut berkontribusi terhadap pengembangan ekonomi Yogyakarta namun pada saat yang lain juga telah turut menciptakan problematika baru dalam hal tata ruang dan hal-hal lain.
Kedua hal diatas telah memberi dampak serius pada perkembangan demografi di Yogyakarta. Migrasi dari berbagai daerah ke Yogyakarta semakin hari semakin meningkatkan kepadatan penduduk yang berkontribusi terhadap peningkatan potensi- potensi kriminalitas serta konflik sosial baik yang berbasis pertarungan sumber daya ekonomi maupun pertarungan identitas.
Perkembangan karakter modernitas dan urbanitas di Yogyakarta tersebut bukan berarti menggerus habis dimensi-dimensi tradisionalisme yang selama beberapa lama telah menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta. Karakter- karakter kultural dan historis dalam derajat tertentu tetap memainkan peran krusial dalam dinamika sosial politik mayarakat Yogyakarta. Debat tentang status keistimewaan Yogyakarta, misalnya, dalam beberapa hal bisa menjadi cerminan penting betapa kultur dan historisitas turut menentukan gerak politik Kota Yogyakarta.
Mengapa dimensi kultural dan historis ini begitu penting bagi Yogyakarta? Ini tak lain karena identitas diri sebuah masyarakat selalu dikonstruksikan melalui pembanggaan budaya serta rekonstruksi dan pengolahan sejarah. Dari sisi kultural, Yogyakarta telah menjadi pusat terpenting dalam peradaban masyarakat Jawa. Dari sini lahir dan berkembang cara pandang dan filosofi hidup yang mempengaruhi pola hidup
masyarakat Jawa secara luas. Dari sisi historis, Yogyakarta telah memainkan peran yang cukup besar di awal-awal masa kemerdekaan. Yogyakarta menjadi ibukota negara Republik Indonesia yang sekaligus menjadi ibukota perjuangan melawan tekanan militer dan politik Belanda.
Identitas diri yang berbasis pada karakter tradisionalisme kultural dan historis ini harus dipahami sebagai salah satu kunci bekerjanya organisasi. Seperti yang dirumuskan oleh March dan Olsen (1989), seringkali identitas menjadi sarana penting yang bisa mendorong anggota organisasi untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam banyak kasus orang melakukan suatu hal lebih karena disentuh persoalan identitas dirinya ketimbang hal-hal lain yang bersifat leih rasional. Karena dalam taraf tertentu keterikatan serta kebanggaan masyarakat terhadap warisan budaya dan sejarah ini masih kuat maka tentu penataan kelembagaan kecamatan di Yogyakarta harus juga diletakkan dalam kerangka pengelolaan identitas.
Posisi kota Yogyakarta yang unik ini menjadi kelebihan sekaligus bisa juga berpotensi menjadi titik sengketa dalam menentukan arah perubahan kota. Kecamatan di Kota Yogyakarta kini menghadapi tegangan antara dua dimensi tersebut secara serius. Karenanya, responsifitas atas persilangan antara dimensi modernitas/urbanitas dan kultural-historis akan sangat berharga untuk menentukan bagaimana desain institusional kecamatan dibangun dalam menghadapi tantangan-tantangan kontemporer.
Dalam persilangan tersebut, kecamatan di kota Yogyakarta telah memainkan peran penting dalam perkembangan kota Yogyakarta selama ini. Dalam jangka waktu yang lama, kecamatan di Kota Yogyakarta telah memainkan peran yang signifikan baik yang sifatnya administratif maupun sosial. Pertama, kecamatan telah menjadi tumpuan pelayanan publik mengingat banyak tugas-tugas dari dinas-dinas kota yang secara riil justru bisa dioperasionalisasikan karena adanya fungsi kewilayahan yang dimiliki kecamatan. Fungsi kewilayahan yang dimiliki kecamatan pada masa lalu telah memungkinkan bekerjanya peran-peran pelayanan yang lebih luas. Kini, meskipun kecamatan tidak lagi memiliki fungsi kewilayahan namun dalam prakteknya publik, dan juga dalam taraf tertentu perangkat-perangkat di level kota dan kecamatan, masih memelihara mindset tentang fungsi kewilayahan.
Kedua, kedekatan perangkat kecamatan terhadap problema-problema yang berkembang di wilayahnya membuat kecamatan menjadi tempat pengaduan bagi masyarakat atas apa yang mereka hadapi. Pengaduan masyarakat ini bisa dimaknai sebagai gambaran bahwa kecamatan ternyata bisa menjadi lahan berkembangnya benih-
benih trust yang tumbuh dari masyarakat terhadap institusi negara. Padahal pada umumnya, terjadi ketidakpercayaan dari publik kepada institusi negara.
Ketiga, terkait dengan poin diatas, karena kecamatan seringkali berhadapan langsung dengan problema-problema yang ada dalam masyarakat maka kecamatan sering juga dijadikan sebagai mediator atas konflik-konflik yang muncul di antara kelompok-kelompok masyarakat. Selain itu, dalam berbagai kasus di Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa benturan yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat yang lahir karena kebijakan tertentu, justru bisa dimediasikan oleh kecamatan. Penguasaan atas persoalan-persoalan yang muncul dalam masyarakat serta peran-peran sosial yang dimainkan camat beserta perangkatnya, membuat perangkat kecamatan lebih dekat ke warganya. Kecamatan seringkali dipercaya publik untuk memediasikan persoalan- persoalan yang mereka hadapi ketika berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah.
Ini menunjukkan bahwa sebenarnya kecamatan memiliki posisi yang strategis yang menghubungkan antara masyarakat dengan pemerintah kota. Mengingat strategisnya posisi kecamatan dalam konteks intermediasi serta peningkatan kualitas pelayanan publik maka penataan organisasional kecamatan ke depan perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar tata kepemerintahan yang baik.
C. Prinsip-Prinsip dasar Pengelolaan Kecamatan di Yogyakarta dalam Konteks Good Governance.
Kebutuhan untuk menata kecamatan di Yogyakarta pertama-tama harus merujuk pada pendefinisian fungsi-fungsi ideal yang mesti dijalankan kecamatan. Perumusan fungsi-fungsi ini pada gilirannya akan menentukan desain kelembagaan kecamatan di Yogyakarta. Dalam kasus kecamatan di Yogyakarta, upaya untuk mendefinisikan fungsi- fungsi ideal tersebut berbasis pada dua hal, yaitu fungsi formal seperti yang lahir dan terangkum lewat aturan-aturan perundangan yang mengatur kecamatan serta fungsi- fungsi ideal yang muncul dari konteks sejarah, sosial dan kultural masyarakat Yogyakarta.
Apabila kita merujuk pada peraturan perundangan maka kecamatan memiliki beberapa fungsi dasar yaitu koordinasi, pembinaan, serta pelayanan publik. UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 126 menyebutkan berbagai tugas camat yaitu:
1. mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat
2. mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum
3. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan
4. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum
5. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan
6. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
7. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Pasal tersebut telah menunjukkan fungsi-fungsi formal yang mesti dimainkan oleh kecamatan dalam penyelenggaraan tugas umum pemerintahan. Dalam taraf tertentu rumusan fungsi ini mesti dijadikan salah satu pijakan untuk mengelola organisasi kecamatan. Akan tetapi, fungsi-fungsi yang dirumuskan secara formal tersebut masih minimal dan seringkali kurang responsif terhadap dinamika dan kebutuhan masyarakat di level lokal. Ini artinya diperlukan rumusan fungsi yang lebih luas yang memnungkinkan kecamatan untuk memainkan peran yang lebih luas dalam arena-arena publik yang berbasis pada konteks sosial, ekonomi dan kultur lokal.
Studi tentang pengembangan kecamatan di era otonomi daerah yang dijalankan oleh Fisipol UGM dan Ford Foundation (2002) memberikan sebuah gambaran tentang pentingnya memahami peran kecamatan dalam kerangka yang lebih luas. Studi ini mengidentifikasikan beberapa fungsi ideal kecamatan. Fungsi-fungsi tersebut adalah pelayanan publik, intermediary/manajemen konflik, pengembangan ekonomi serta demokratisasi.
Fungsi pelayanan publik merujuk pada kapasitas kecamatan untuk mendorong kesejahteraan publik serta mengalokasikan sumber daya ekonomi dan sosial secara luas ke tingkatan warga. Fungsi ini misalnya terekspresikan dalam peran aktif kecamatan dalam menjalankan program-program pemerintah daerah dalam program-program kesehatan pendidikan maupun pelayanan administratif terhadap masyarakat.
Kecamatan juga dibayangkan akan bisa menjalankan fungsi intermediary/manajemen konflik atas persoalan-persoalan yang muncul diantara individu-individu, kelompok-kelompok sosial maupun antara unit-unit yang ada di tingkat desa/kelurahan. Berbagai kasus menunjukkan betapa kecamatan memiliki kemampuan untuk mempertemukan kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat karena kedekatan dan pemahaman terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya.
Studi tersebut juga menekankan pentingnya kecamatan untuk menjalankan fungsi pengembangan ekonomi. Kecamatan diharapkan bisa menjadi agen yang bisa mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat di level lokal. Selain itu, yang juga tak kalah penting, kecamatan juga diandaikan bisa menjadi agen dan sekaligus arena bekerjanya demokrasi di level lokal.
Fungsi dan peran kecamatan baik yang dirumuskan secara formal maupun kontekstual pada saatnya mesti mampu menempatkan dimensi urbanitas dengan dimensi historisitas dan budaya dalam kerangka tata kepemerintahan yang baik. Seperti yang telah diungkap diatas, selama ini Yogyakarta tumbuh menjadi kota yang modern akan tetapi pada saat yang sama hidup dalami ikatan kultural dan sejarah yang kuat yang mana telah meletakkan basis identitas sosial. Prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik diharapkan akan bisa memberi solusi terhadap dampak-dampak modernisasi yang radikal serta pada saat yang sama menjaga agar sejarah dan budaya tidak berkembang menjadi tujuan itu sendiri namun sekedar sebagai spirit perubahan sosial.
Kecamatan di Kota Yogyakarta sebagai garda terdepan dalam menghadapi persoalan urbanitas yang kian kompleks serta tuntutan pengembangan identitas diri dibayangkan akan bisa menjalankan fungsi-fungsi ideal seperti koordinasi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan penegakan tertib hukum serta tertib sosial; pembinaan administrasi tata pemerintahan kelurahan yang baik; pelayanan publik; intermediary; pengembangan ekonomi serta demokratisasi. Agar fungsi-fungsi tersebut mesti bisa mengakomodasi kebutuhan dalam dimensi urbanitas dan historis-kultural secara baik maka pemerintahan kecamatan perlu diselenggarakan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1. Efektifitas dan efisiensi
Dalam tradisi pemerintahan modern prinsip efisiensi ditujukan secara internal untuk mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya baik yang ada dalam organisasi pemerintahan maupun yang ada di luarnya. Sementara prinsip efektifitas lebih berorientasi eksternal dalam arti mendorong kemampuan organisasi pemerintahan untuk mengalokasikan sumberdaya untuk kebutuhan publik.
Dalam konteks kecamatan, prinsip ini merujuk pada kemampuan untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengatasi persoalan-persoalan di wilayahnya dengan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki sebaik mungkin. Sumber daya (baik yang bersifat material maupun non material) yang ada kecamatan harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Intinya, proses dalam lembaga kecamatan mesti membuahkan hasil yang sesuai dengan kebutuhan warga masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya yang ada seoptimal mungkin.
Prinsip ini hanya akan bisa dioperasionalisasikan apabila kecamatan dan juga pemerintah kota telah merumuskan tujuan, sasaran, hasil, manfaat dan indikator kinerja ditetapkan secara jelas. Ini artinya ada rujukan yang jelas tentang bagaimana sumberdaya dikelola dan untuk keperluan apa.
2. Akuntabilitas
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya kecamatan harus memiliki kapasitas tanggung gugat publik. Tanggung gugat ini merujuk pada tuntutan bagi institusi dan perangkat kecamatan untuk menjawab secara periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan wewenang, bagaimana sumber daya dipergunakan, dan apa yang telah dicapai dengan penggunaan sumber daya tersebut. Akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun kebutuhan masyarakat1. Intinya, prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan ukuran nilai-nilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut.
Prinsip ini menjamin bahwa setiap kegiatan yang dijalankan kecamatan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada pihak-pihak yang terkena dampak aktivitas tersebut. Dalam konteks pengembangan kualitas pelayanan publik di kecamatan maka prinsip ini ditujukan untuk menciptakan kejelasan tentang apa yang dilakukan institusi kecamatan (baik dalam hal administratif maupun substansi pelayanan) dan bagaimana sumberdaya yang ada dikelola untuk memenuhi kebutuhan masyarakat urban. Dengan begitu, menjadi penting bagi kecamatan untuk merumuskan prosedur pelayanan yang jelas dan terukur agar publik bisa mengetahui pengelolaan pelayanan publik dan layak tidaknya implikasi pelayanan tersebut terhadap masyarakat luas.
1 Loina Lalolo Krina, “Indikator dan Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipasi”, Bappenas, 2003, Hal 10
3. Subsidiarity
Di era otonomi daerah, kecamatan tidak terlalu memiliki peran yang luas dibanding masa sebelumnya karena tidak lagi memiliki peran kewilayahan. Kecamatan menjadi perangkat kabupaten/kota dan yang lebih banyak menjalankan tugas-tugas yang diberikan kabupaten/kota. Upaya penataan kelembagaan kecamatan di Kota Yogyakarta harus berbasis pada pengembangan kapasitas kecamatan untuk bisa menyelesaikan urusan-urusan yang dihadapinya. Pada titik ini pemerintah kota semestinya tidak masuk terlalu dalam ke urusan- urusan yang dijalankan oleh kecamatan yang menjadi manifestasi dari penugasan dan pelimpahan sebagian kewenangan kota ke kecamatan. Hanya dalam kasus ketika tugas yang dijalankan serta kewenangan yang diberikan kota tersebut tidak bisa dikerjakan, maka pemerintah kota bisa melakukan tindakan yang diperlukan.
4. Intermediary
Prinsip lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah perlunya menempatkan kecamatan sebagai agen yang memediasi dan menjembatani kepentingan-kepentingan yang muncul baik dari unit yang ada di “bawahnya” yaitu kelurahan serta unit yang ada di atasnya (kota). Kebutuhan serta problema di level “bawah” (kelurahan) seringkali tidak bisa ditangkap oleh pemerintah kota secara komprehensif karena adanya jarak administratif dan politis yang menghambat proses artikulasi kepentingan ke pemerintah kota. Sebaliknya, pilihan kebijakan yang dirumuskan di level pemerintah kota seringkali tidak bisa dioperasionalkan secara maksimal di level kelurahan karena dianggap tidak memperhatikan kebutuhan yang berkembang di kelurahan. Dalam hal ini maka kecamatan bisa memainkan peran intermediary antara kelurahan dan kota terutama dalam hal pengembangan ekonomi lokal serta peningkatan kualitas pelayanan publik yang responsif terhadap dinamika perkotaan.
Prinsip intermediary dalam penataan kelembagaan kecamatan juga ini juga dibayangkan akan mencangkup mediasi konflik antara masyarakat dengan negara serta konflik antar kelompok masyarakat. Ini penting untuk diperhatikan karena selama ini urbanitas telah melahirkan potensi-potensi benturan baik yang bersifat horizontal maupun vertikal. Menegakkan prinsip intermediary dalam penataan kecamatan menjadi hal yang relevan agar kepentingan-kepentingan yang berkembang bisa didialogkan secara konstruktif.
D. Metode dan Alur Analisis
Studi ini akan disajikan dalam alur analisa sebagai berikut. Pertama, studi ini akan memulai dengan pemetaan persoalan dan tantangan yang dihadapi kecamatan Kota Yogyakarta saat ini. Pemetaan ini akan melingkupi wilayah makro serta mikro. Pada wilayah makro akan dilihat sejauh mana perubahan-perubahan dalam regulasi nasional, regulasi daerah, proporsionalitas beban kerja kecamatan, serta faktor sosio-kultural berpengaruh terhadap kinerja kecamatan di Kota Yogyakarta. Sementara pada level mikro akan coba dilihat problem dalam fungsi dan kewenangan yang dimiliki kecamatan. Ini menyangkut aspek-aspek seperti implementasi kewenangan, relasi kelembagaan kecamatan, mekanisme internal serta daya dukung kecamatan.
Pemetaan terhadap dua wilayah ini, makro dan mikro, didasarkan pada asumsi bahwa perubahan institusional sebuah organisasi akan sangat tergantung pada sejauh mana organisasi merespon kelemahan yang dimilikinya sekaligus menghadapi tantangan yang muncul dari luar. Artinya studi tentang penataan institusional harus responsif terhadap dimensi eksternal dan dimensi internal.
Kedua, peta persoalan yang dihadapi tersebut kemudian menjadi pijakan untuk merumuskan alternatif-alternatif penyelesaian. Beragamnya persoalan yang dihadapi kecamatan di Yogyakarta dan berjalinnya satu persoalan dengan persoalan yang lain menuntut adanya alternatif-alternatif pemecahan yang riil. Dalam bagian ini akan dipaparkan tawaran alternatif-alternatif pemecahan persoalan yang diharapkan bisa menjadi jalan menuju perubahan kelembagaan kecamatan yang lebih responsif terhadap dinamika sosial, ekonomi, politik dan kultur di era kontemporer.
Ketiga, kemungkinan-kemungkinan penyelesaian persoalan seperti yang dipaparkan dalam bagian di atas seringkali menghadapi berbagai halangan-halangan baik pada level regulasi, ekonomi, politik maupun budaya. Karena itu menjadi penting untuk menilik lebih lanjut peluang-peluang yang paling memungkinkan untuk bisa bersiasat terhadap halangan-halangan tersebut. Bagian ini akan mencoba menganalisis alternatif- alternatif penyelesaian dengan kerangka fisibilitas ekonomi, sosial, politik dan kultural yang lantas menjadi dasar bagi rumusan rekomendasi untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi kecamatan dan juga Kota Yogyakarta.
Keempat, rekomendasi-rekomendasi yang dihasilkan lewat analisis fisibilitas tersebut lantas akan dikerangkai dalam instrumentasi kebijakan. Langkah ini diharapkan akan memberi gambaran kongkrit tentang langkah apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menata kecamatan di Kota Yogyakarta.
Untuk memperoleh informasi-informasi dan data sebagai basis pemetaan persoalan, studi ini menggunakan beberapa metode, yaitu:
1. Desk Study.
Desk study dilakukan untuk mengkaji terhadap berbagai published material (berita media massa dan literatur) yang terkait dengan proses penyelenggaraan pemerintah kecamatan di wilayah kota yogyakarta. Baik yang berupa teori pustaka, statistik, hasil monitoring dan evaluasi, dokumen resmi dari lembaga lain, hasil penelitian lembaga lain, dan lain-lain. Metode ini penting untuk memberikan perspektif serta data-data sekunder dalam memahami kecamatan. Selain itu metode ini bisa memberikat peta dasar tentang persoalan kecamatan di kota Yogyakarta. Hasil desk study ini akan dikaji dengan menggunakan analisa framing dan analisa isi.
2. Focus Group Discussion (FGD).
FGD ini melibatkan seluruh stakeholders yang terkait dalam penyelenggaraan tata pemerintahan kecamatan/kelurahan di Kota Yogyakarta. Baik eksekutif di pemerintah Kota Yogyakarta, perangkat kecamatan/kelurahan maupun anggota legislatif di DPRD Kota Yogyakarta. Selain itu juga dilibatkan stakeholders lainnya seperti akademisi, pers, aktivis NGO dan elemen masyarakat. Melalui metode ini diharapkan akan diperoleh masukan atau klarifikasi mengenai dinamika proses penyelenggaraan tata pemerintahan di kecamatan/kelurahan yang selama ini berlangsung di wilayah kota Yogyakarta. Metode ini sangat kontributif karena pelaku-pelaku yang berkepentingan duduk dalam satu meja dan mendiskusikan tentang persoalan yang mereka hadapi. Di dalam proses ini dimungkinkan adanya klarifikasi langsung diantara para peserta.
3. Field Study.
Untuk menjawab secara mendalam dan komprehensif persoalan- persoalan yang terkait dengan proses penyelenggaraan tata pemerintahan di kecamatan/kelurahan yang selama ini berlangsung di wilayah kota Yogyakarta. Field Study dimaksudkan untuk mengumpulkan data primer melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan institusi dan stakeholders yang relevan. Metode ini memiliki kelebihan yaitu pada kemampuannya untuk menggali detail persoalan yang tidak terangkum dalam focus group discussion ataupun
Mengingat jalinan kompleksitas persoalan yang ada dalam Kota Yogyakarta, maka hampir tidak memungkinkan bagi studi ini untuk meng-cover secara detail aspek-aspek kehidupan kota. Sangat dimungkinkan bahwa ada banyak dimensi persoalan yang tak terekam dengan baik. Ini artinya ada keterbatasan daya jangkau.
Selain itu dinamika masyarakat Yogyakarta bergerak dengan sangat cepat. Apa yang terekam oleh riset ini belum tentu akan menjadi relevan di masa-masa mendatang. Artinya, kontekstualitas waktu bisa menjadi batasan untuk membikin generalisasi atau kesimpulan umum.
Terlepas dari persoalan itu, tawaran studi ini tidak hanya terletak pada hasil temuan dan kesimpulan tentang penataan kecamatan di Kota Yogyakarta. Jauh lebih penting, studi ini mencoba menawarkan cara pikir dan metodologi dalam memahami persoalan kecamatan yang berdimensi urban. Harapannya, cara pikir ini bisa direplikasikan baik oleh pembuat kebijakan maupun pihak-pihak lain dalam jangka waktu ke depan karena persoalan yang berkembang akan makin berubah. Bisa jadi temuan di masa mendatang akan jauh berbeda dengan temuan studi ini. Tapi dengan adanya kerangka pikir dan metodologi dalam memahami kecamatan kota inilah yang bisa direplikasikan untuk studi yang sama di masa mendatang dengan temuan data dan coverage yang berbeda.
BAB II
Pemetaan Masalah Untuk Identifikasi Kebutuhan Dalam Proses Penataan Kecamatan di Kota Yogyakarta
A. Pengantar
S
ebagai salah satu wilayah perkotaan yang mengalami perkembangan pesat di Indonesia, kota yogyakarta kini dihadapkan dengan dua tantangan besar yang mesti direspon secara simultan. Tuntutan akan adanya peningkatan kualitas dan kinerja pelayanan publik dari warga yogyakarta semakin menguat. Hal ini seiring dengan semakin kompleksnya persoalan-persoalan perkotaan yang kini nyata dihadapi oleh pemerintah kota. Persoalan-persoalan yang sedang dihadapi pemerintah kota yogyakarta tersebut antara lain adalah pemenuhan pelayanan pendidikan dan kesehatan dasar bagi seluruh masyarakat, peningkatan kriminalitas, pemenuhan air bersih, pengelolaan dan pengaturan kantong pertumbuhan ekonomi (aglomerasi), ketimpangan sosial, sarana
transportasi, dsb.
Pada saat yang bersamaan beban warisan kulural yang kuat telah menempatkan kota yogyakarta sebagai kota budaya yang bersifat multikultural dan dibangun di atas relasi sosial yang penuh toleransi (city of tolerance). Ini berarti pemerintah kota Yogyakarta harus memastikan seluruh warisan kultural –baik dalam bentuk-bentuk situs- situs simbolik maupun nilai-nilai sosial- yang ada di kota yogyakarta terpelihara dan dipertahankan dengan baik dan dinamis. Tentu saja hal ini dilakukan oleh pemerintah kota Yogyakarta dengan cara mengembangkan dialog dan persentuhan kebudayaan yang sangat dinamis tanpa harus terjebak pada chauvinistik sempit.
Tuntutan konteks tersebut harus direspon dengan kelembagaan birokrasi yang di dalamnya terinternalisasi dan terinstusionalisasi nilai-nilai good governance dengan baik, khususnya kelembagaan kecamatan. Sebab kecamatan merupakan ujung tombak dalam proses delivery pelayanan publik di pemerintah Kota Yogyakarta. Kecamatan merupakan lembaga birokrasi yang memainkan peran utama berupa peran intermediari yang menjembatani antara pemerintah dan warganya melalui interaksi secara langsung dalam pelayanan publik, pengembangan ekonomi, dan penguatan demokrasi.
Bila tuntutan konteks tersebut mampu direspon dengan kapasitas kelembagaan kecamatan yang mumpuni -karena di dalamnya internalisasi dan instistusionalisasi nilai- nilai good governance berjalan secara optimal dan terdapat tata kelembagaan yang fleksibel- maka dapat dipastikan proses delivery pelayanan publik akan berjalan secara efektif, efisien dan responsif. Proses delivery pelayanan publik akan berjalan dengan baik tanpa lagi diwarnai gejala birokratisasi akut. Optimalisasi pelayanan publik akan mudah diperoleh dengan meniscayakan adanya pluralitas aktor atau stakeholders –yang sudah menjadi karakter yang melekat dalam wajah kota- dalam delivery pelayanan publik dimana seluruh elemen stakeholders mampu berjejaring secara sinergis.
Sayangnya, kenyataan justru menunjukkan bukti yang berbeda. Adanya tuntutan konteks yang sangat dinamis tersebut tidak mampu direspon secara kelembagaan oleh kecamatan-kecamatan di kota Yogyakarta. Tampak jelas gejala lack of institutional capacity di setiap kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta. Masalah disproporsionalitas beban kerja antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya mulai menggejala secara akut dan dirasakan oleh para birokrat yang berada di kantor kecamatan. Hal ini diakibatkan beban economics of size yang tidak merata antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Bila kondisi ini dibiarkan pasti akan mempengaruhi kinerja mereka dalam memberikan pelayanan kepada publik. Dengan demikian agenda penguatan kapasitas kelembagaan kecamatan melalui penataan kelembagaan menjadi sangat urgen untuk dilakukan.
Lalu apa saja masalah-masalah yang merupakan indikator dari lack of institutional capacity dari masing-masing kecamatan? Dan mengapa identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan lack of institutional capacity menjadi sangat urgen dikedepankan? Alur argumen utama dalam bab ini akan menjawab dua pertanyaan mendasar tersebut. Penjelasan dalam bab ini akan dimulai dengan mengidentifikasi dilema economic of size yang muncul dari keragaman cakupan wilayah masing-masing kecamatan yang ada di kota Yogyakarta. Termasuk didalamnya bagaimana dilema economics of size ini dihadapkan dengan determinasi sosio-kultural pembentukan kecamatan di kota Yogyakarta.
Selanjutnya dalam bab ini akan diuraikan masalah-masalah kapabilitas internal kelembagaan kecamatan. Identifikasi masalah dilakukan dengan menelusuri lebih jauh berbagai masalah yang terkait dengan kedudukan, fungsi dan kewenangan kecamatan, tata hubungan kelembagaan, struktur kelembagaan, dan daya dukung internal kelembagaan.Tentu saja dengan asumsi bahwa kapasitas kelembagaan antar kecamatan relatif setara. Hal ini muncul karena -sebagai perangkat daerah- kecamatan menerima pelimpahan kewenangan berikut P3D yangrelatif sama.
Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan lack of institutional capacity ini sangat urgen dilakukan sebab proses penataan kelembagaan tersebut tidak mungkin bisa berjalan tanpa adanya pertimbangan seberapa besar peluang dan kemungkinan penataan (fisibilitas) dan memastikan peluang tersebut bisa direspon sehingga proses penataan bisa berlangsung secara optimal (feabilitas).
A. Dilema Economics Of Size Dalam Cakupan Wilayah Kecamatan
Seperti kota-kota lain di Indonesia, kota yogyakarta kini sedang berhadapan dengan tantangan baru yang mesti direspon secara cepat, yaitu: pluralitas penduduk, peningkatan jumlah populasi dan perkembangan penggunaan lahan fisik seiring dengan perubahan penggunaan tata ruang. Citra yogyakarta sebagai salah satu kota pelajar terbaik di Indonesia ternyata cukup menarik minat orang dari berbagai daerah dan etnis untuk datang ke yogyakarta dalam rangka menuntut ilmu dan sebagian diantara mereka kemudian juga menetap di kota yogyakarta.
Data menunjukkan kota Yogyakarta kini telah menjadi kota multikultural dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 sebanyak 493.903 orang dan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi yaitu, sebesar 12.246 orang per km2. Tingkat kedapatan penduduk seperti ini tentunya memberikan efek kerawanan sosial yang relatif kompleks dan heterogen, mulai dari persoalan kemiskinan, disparitas sosial hingga kriminalitas. Data yang pernah dipaparkan dalam RPJPD Kota Yogyakarta tahun 2007-2006 menunjukkan hampir sebanyak 19,88 % dari total penduduk Yogyakarta merupakan orang terlantar, hampir 54,93 % penduduk kota Yogyakarta menyandang masalah kesejahteraan sosial, dan 70.667 orang miskin berdomisili di kota Yogyakarta pada di tahun 2004 .
Wilayah kota Yogyakarta pun kini mengalami pemekaran secara fisik akibat adanya perubahan demografis yang kemudian mendorong peningkatan kebutuhan untuk penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan, baik untuk kepentingan pemukiman, perumahan maupun kepentingan fasilitas ekonomi dan sosial lainnya. Studi-studi yang pernah ada menunjukkan sejak dari tahun 1756 hingga tahun 1996 kota yogyakarta telah mengalami akselerasi pemekaran luas wilayah dari semula 359, 55 ha menjadi 6.687,99 ha. Pemekaran wilayah tersebut juga mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dan tingkat densitas penduduk di masing-masing kecamatan (Suryo, 2005: 41).
Namun sayangnya tantangan tersebut tidak tersebar secara merata di masing- masing kecamatan yang ada. Kondisi ini menyebabkan economics of size pada masing-
masing kecamatan berbeda satu dengan yang lainnya. Beban kerja antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya menjadi tidak proporsional. Xxxxxxx responden yang pernah kami temui dalam penelitian ini juga mengiayakan bahwa ada masalah disproporsionalitas beban kerja kecamatan bila dilihat dari luas wilayah dan kompleksitas persoalan yang ada (lihat tabel 1).
Tabel 1. Luas wilayah, Jumlah Kelurahan, RT,RW di wilayah kerja
Kecamatan
Nama kecamatan | Luas lahan (km2) | Persentase dari total wilayah kota | Jumlah kelurahan | Jumlah RW | Jumlah RT |
Tegalrejo | 2,91 | 08,96 | 4 | 46 | 183 |
Jetis | 1,70 | 05,23 | 3 | 36 | 168 |
Gedongtengen | 0,96 | 02,95 | 2 | 44 | 163 |
Ngampilan | 0,82 | 02,52 | 2 | 21 | 120 |
Pakulaman | 0,63 | 01,94 | 2 | 19 | 84 |
Danurejan | 1,10 | 03,38 | 3 | 43 | 160 |
Gondokusuman | 3,99 | 12,28 | 5 | 65 | 276 |
Wirobrajan | 1,76 | 05,42 | 3 | 34 | 165 |
Mantrijeron | 2,61 | 08,03 | 3 | 55 | 230 |
Kraton | 1,40 | 04,31 | 3 | 43 | 175 |
Gondomanan | 1,12 | 03,45 | 2 | 31 | 110 |
Mergangsan | 2,31 | 07,11 | 3 | 60 | 210 |
Umbulharjo | 8,12 | 24,98 | 7 | 80 | 318 |
Kotagede | 3,07 | 9,45 | 3 | 40 | 161 |
Sumber: Buku saku Kota Yogyakarta, 1999
Bila kita lihat tabel di atas, argumen akan adanya perbedaan economics of size baik yang disebabkan oleh cakupan wilayah kerja maupun kompleksitas masing-masing kecamatan semakin menguat. Perhatikan misalnya perbandingan antara kecamatan terluas dan tersempit, yaitu Kecamatan Umbulharjo dan Pakulaman. Kecamatan Umbulharjo memiliki luas wilayah kerja sebesar 8,12 km persegi atau 24,98 % dari luas wilayah Kota Yogyakarta. Di dalam kecamatan Umbulharjo terdapat 7 wilayah kerja kelurahan, 80 rukun warga dan 318 rukun tetangga. Sedangkan kecamatan Paku Alaman
hanya mempunyai 2 kelurahan dengan luas wilayah sebesar 0,63 km persegi atau 1,94 % dari luas wilayah Kota Yogyakarta.2 Kecamatan Gondomanan yang merupakan wilayah kecamatan terbesar kedua memiliki luas wilayah 3,99 km persegi atau 12,88 % dari total luas wilayah kota yogyakarta.
Demikian juga dengan beban demografis yang ditanggung oleh masing-masing kecamatan. Data Kota Yogyakarta “Dalam Angka tahun 2001” menyebutkan warga Kota terbanyak berdomisili di di kecamatan Gondokusuman dengan total penduduk 72.811 orang. Sedangkan kecamatan pakulaman hanya dihuni sebanyak 14.790 orang atau paling sedikit diantara kecamatan lainnya. Kecamatan Ngampilan yang hanya memiliki luas wilayah 0,82 km2 saat ini menjadi kecamatan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang paling tinggi, yaitu sebesar 21.496 jiwa per km2. sedangkan kepadatan penduduk paling rendah justru terdapat pada kecamatan Umbulharjo (8.244 jiwa per km2) dan kecamatan Kotagede (9.253 jiwa per km2) (lihat tabel 2).
Tabel 2. Jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk
Nama Kecamatan | Jumlah Penduduk | Kepadatan penduduk |
Tegalrejo | 39.128 | 13.446 |
Jetis | 37.959 | 22.329 |
Gedongtengen | 26.448 | 27.550 |
Ngampilan | 23.052 | 28.112 |
Pakulaman | 14.790 | 23.476 |
Danurejan | 30.642 | 27.856 |
Gondokusuman | 72.811 | 18.248 |
Wirobrajan | 30.139 | 17.124 |
Mantrijeron | 39.242 | 15.035 |
Kraton | 32.072 | 22.909 |
Gondomanan | 20.532 | 18.332 |
Mergangsan | 41.790 | 18.091 |
Umbulharjo | 66.941 | 8.244 |
Kotagede | 28.408 | 9.253 |
Sumber: Kota Yogyakarta Dalam Angka 2001.
Selain itu, variasi beban kewilayahan antar kecamatan juga tdak hanya terkait dengan cakupan wilayah fisik semata dan karakter demografis semata. Kompleksitas dan kedalaman persoalan ekonomi dan sosial yang ada di masing-masing kecamatan juga berbeda satu sama lain. Kecamatan Umbulharjo, misalnya, saat ini menjadi kawasan
2 Wawancara tim peneliti dengan camat Umbulharjo, Yogyakarta September 2006.
yang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi sekaligus dengan tingkat kerawanan sosial yang tidak rendah.3
Kedalaman dan kompleksitas persoalan sosial yang relatif akut juga tidak mesti selalu ekuivalen dengan luas wilayah. Kecamatan Paku Alaman, misalnya, meskipun kecamatan ini hanya memiliki dua kelurahan namun potensi konflik antar komunitas berbasis dukungan partai politik sangat kuat di wilayah Paku Alaman. Setiap ada perhelatan pemilihan umum seringkali terjadi bentrokan antar warga. Selain itu, posisi wilayah kecamatan Paku Alaman yang berada di jantung perkotaan dan bantaran sungai Kali Code juga memberikan tantangan sosial tersendiri, seperti anak jalanan, tuna wisma, dsb.4
Sebagai kota budaya dimana ada dua institusi monarki tradisional yang masih eksis hingga hari ini, isu kultural juga menjadi beban tersendiri bagi kecamatan-kecamatan yang di dalamnya ada situs-situs budaya. Kecamatan Paku Alaman, misalnya selain dihadapkan dengan masalah sosial juga harus mengelola dan mengatur masalah-masalah kultural karena di wilayahnya terdapat keraton Paku Alaman yang sampai hari ini masih eksis. “Kewajiban” kultural ini juga dirasakan oleh kecamatan Kraton. Menariknya, “kewajiban” kultural tersebut tidak hanya terkait dengan persoalan ritus-ritus simbolik budaya yang masih dilestarikan tapi juga terkait dengan hak-hak privaillege keluarga keraton maupun aturan-aturan keraton yang masih dilestarikan. Misalnya persoalan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dihadapkan dengan aturan Wewaler (tidak tertulis) yang ada di Kraton, staf kecamatan yang merangkap menjadi abdi dalem, dsb.5
Sayangnya, struktur organisasi, kewenangan dan kapasitas perangkat kecamatan yang ada di kota yogyakarta tidak sensitif dengan keragaman beban dan masalah tersebut. Misalnya Struktur organisasi kecamatan berikut kewenangan yang dilimpahkan bersifat tidak fleksibel dan “lentur”. Struktur organisasi dan kewenangan yang telah dilimpahkan kepada masing-masing kecamatan bersifat seragam dan sama. Sampai saat ini tidak ada perbedaan yang signifikan antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya baik struktur organisasi maupun kewenangannya sebagaimana telah dibakukan dan ditentukan oleh pasal 4 dan pasal 5 Perda No. 29 tahun 2005 dan peraturan walikota No. 199 tahun 2005. Kesan kuat yang kemudian muncul adalah struktur dan
3 Wawancara tim dengan camat Umbulharjo, Yogyakarta .Sepetember 2006
4 Wawancara tim peneliti dengan HR Xxxxxxx, camat Pakulaman, Yogyakarta, September 2006.
5 Saimun, Sekretaris Camat Kraton dalam FGD di PLOD UGM, 31 Juli 2006.
kewenangan kecamatan yang ada tidak berusaha kuat untuk responsif terhadap variasi persoalan dan kebutuhan masing-masing kecamatan yang ada di kota Yogyakarta. Lihat saja misalnya struktur perangkat kecamatan yang ada di Kota Yogyakarta.
Tidak adanya variasi struktur organisasi dan kewenangan ini tentunya beimplikasi terhadap pelimpahan Pegawai, Prasana, Pembiayaan dan Dokumentasi (P3D). P3D yang dilimpahkan ke seluruh kecamatan tidak terlalu berbeda satu dengan yang lainnya. Pelimpahan P3D di kecamatan-kecamatan yang ada di kota Yogyakarta tidak sensitif dengan economics of size. Kesan kuat yang kemudian muncul dari sebagian besar camat dan perangkat kecamatan yang pernah menjadi responden dalam penelitian ini adalah pemerintah kota tampaknya tidak pernah mempertimbangkan proporsionalitas beban kerja sebagai acuan utama dalam melimpahkan instrumen P3D ke masing-masing kecamatan.
Perhatikan misalnya kuantitas jumlah pegawai di Kecamatan Umbulharjo yang merupakan kecamatan terluas. Data rekapitulasi monografi kecamatan yang dimiliki oleh pemerintah Kota Yogyakarta menyebutkan saat ini kecamatan Umbulharjo memiliki 27 orang pegawai kecamatan 12 pegawai instansi vertikal dan otonom. Ironisnya, kecamatan Pakualaman sebagai kecamatan terkecil memiliki 35 orang pegawai kecamatan dan 6 orang instansi vertikal dan otonom (lihat tabel 3).
Tabel 3. Jumlah pegawai di masing-masing kecamatan di Kota Yogyakarta
Nama Kecamatan | Jumlah Pegawai | |
Kantor Kecamatan | Instansi Vertikal dan Otonom | |
Tegalrejo | 20 | 9 |
Jetis | 19 | 12 |
Gedongtengen | 33 | 51 |
Ngampilan | 39 | 6 |
Pakulaman | 35 | 6 |
Danurejan | 35 | 8 |
Gondokusuman | 22 | 21 |
Wirobrajan | 23 | 9 |
Mantrijeron | 46 | 1 |
Kraton | 45 | - |
Gondomanan | 19 | 35 |
Mergangsan | 21 | 74 |
Umbulharjo | 27 | 12 |
Kotagede | 24 | 7 |
Sumber: Rekapitulasi data Monografi Kecamatan se-Kota Yogyakarta, semester II tahun 2005, Pemerintah Kota Yogyakarta.
Kondisi ini kemudian diperparah oleh kualitas sumberdaya manusia aparat kecamatan yang ada. Imej bahwa pegawai daerah otonom yang dijadikan perangkat
kecamatan merupakan pegawai “buangan” atau bermasalah seringkali tak terbantahkan. Hal ini misalnya diungkapkan oleh xxxxx Xxxxxxxxan kepada tim peneliti. Secara terang-terangan camat Gondomanan menyebutkan dari 19 total pegawai daerah otonom yang bekerja di wilayah kerja kecamatan Gondomanan, 5 diantaranya merupakan pegawai bermasalah di pemerintah kota Yogyakarta yang kemudian dialihtugaskan ke kecamatan Gondomanan. Alih-alih kontributif terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan di kecamatan Gondomanan, mereka malah justru menjadi sumber masalah baru yang menghambat kerja-kerja di kecamatan.6 Sebaliknya, staf-staf yang berprestasi di kecamatan seringkali ditarik menjadi pegawai otonom yan bekerja di unsur staf (Sekda), unsur pelaksana (dinas daerah) maupun unsur pendukung tugas kepala daerah yang ada di lingkungan pemerintah Kota Yogyakarta.7
Sedangkan sarana kerja yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan juga relatif tidak ada perbedaan antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya. Terutama terkait dengan sarana-sarana dasar, seperti alat transportasi, komputer dan alat komunikasi. Misalnya, masing-masing kecamatan di kota Yogyakarta memiliki 1 mobil. Ironisnya kecamatan pakualaman yang memiliki luas wilayah paling kecil memiliki sepeda motor sebanyak 9 buah, sedangkan Umbulharjo dan Godokusuman sebagai dua kecamatan terluas memiliki masing-masin 5 buah sepeda motor (lihat tabel 4).
Tabel 4.
Jumlah Sarana Transportasi, Komunikasi dan Komputer per kecamatan
Nama Kecamatan | Sarana | ||||
Mobil | Sepeda motor | Telepon otomat/ non otomat | Radio komunikasi | Komputer | |
Tegalrejo | 1 | 3 | 2 | 3 | 5 |
Jetis | 1 | 6 | 1 | 4 | 8 |
Gedongtengen | 1 | 5 | 2 | 1 | 5 |
Ngampilan | 1 | 5 | 1 | - | 4 |
Pakulaman | 1 | 9 | 1 | 3 | 5 |
Danurejan | 1 | 5 | 2 | 4 | 5 |
Gondokusuman | 1 | 5 | 1 | 3 | 5 |
Wirobrajan | 1 | 5 | 2 | 1 | 4 |
Mantrijeron | 1 | 6 | 2 | 2 | 5 |
Kraton | 1 | 3 | 1 | 2 | 6 |
Gondomanan | 1 | 4 | 1 | 1 | 5 |
Mergangsan | 1 | 5 | 1 | 2 | 6 |
Umbulharjo | 1 | 5 | 1 | 3 | 5 |
Kotagede | 1 | 5 | 1 | 3 | 5 |
Sumber: Rekapitulasi data Monografi Kecamatan se-Kota Yogyakarta, semester II tahun 2005, Pemerintah Kota Yogyakarta.
6 Wawancara tim peneliti dengan camat Gondomanan, September 2006
7 Wawancara tim peneliti dengan camat pakulaman, September 2006
Variasi economics of size masing-masing kecamatan yang tidak direspon dengan struktur, kewenangan dan P3D yang responsif terhadap konteks tersebut tentunya berimplikasi terhadap efektifitas dan efisiensi pelayanan publik yang diberikan. Dari sisi aparatur, perbedaan tersebut menimbulkan beban kerja yang tidak proporsional sehingga pasti mempengaruhi kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan proses delivery pelayanan publik.dari sisi warga, variasi tersebut berpengaruh terhadap tingkat aksesibilitas mereka terhadap pelayanan publik yang ada.
Lalu bila kondisi cakupan wilayah kecamatan di kota Yogyakarta saat secara hitungan ekonomis menimbulkan masalah, apakah pilihan penataan kecamatan melalui re-grouping kecamatan kemudian menjadi solusi bagi masalah tersebut? Jawabannya bisa ya atau tidak.Re-grouping menjadi alternatif menarik bila variabel biaya ekonomi menjadi satu-satunya faktor determinan yang menentukan dinamika kecamatan di kota Yogyakarta.
Namun sayangnya, dalam konteks kota Yogyakarta, faktor biaya ekonomi bukanlah satu-satu pertimbangan penting ketika melihat fisibilitas re-grouping. Ada faktor determinasi sosio-kultural yang kemudian menempatkan kecamatan di kota yogyakarta menjadi tidak hanya satuan wilayah kerja secara adminitratif, yaitu proses dinamika pembentukan kecamatan di kota kecamatan yang melalui fase historis panjang. Faktor determinasi sosio-kultural tersebut telah menjadikan kecamatan telah menjelma menjadi wadah bagi pembentukan dan pengikat identitas sosial dan sub kultural berbagai komunitas yang berdomisili di kota Yogyakarta.
Lalu bagaimana sebenarnya proses historis yang berlangsung dan menciptakan determinasi sosio-kultural tersebut? Seperti kita ketahui kehadiran kecamatan sebagai sebuah unit pemerintahan di kota Yogyakarta melalui proses yang unik. Sebab kecamatan merupakan hasil proses perjalanan panjang dan bentuk konversi dari unit pemerintahan keraton yang disebut dengan kemantren.Kemantren ini dibentuk oleh untuk merespon adanya perkembangan populasi kota yogyakarta yang semakin meningkat.
Sebagaimana diuraikan dalam studi Xxxxxxxx (1986), pada awalnya struktur “Kemantren” diperkenalkan dalam administrasi pemerintah Hindia Belanda di kota Yogyakarta pada tahun 1932. Diawali, pada tahun 1918 Hindia Belanda menciptakan birokrasi kota yogyakarta dengan membentuk Wedono Kota yang dibantu dengan dua asisten Xxxxxx (Kraton dan Tugu). Dibawah mereka ada kepala kampung.Kemudian pada tahun 1932, dua wilayah asisten tersebut dibagi ke dalam kemantren. Asisten
Wedono Tugu memiliki 5 mantri kampung dan Asisten Wedono Kraton mempunyai 4 mantri kampung.
Ketika bangsa Indonesia merdeka pada tahun 1945 dan Yogyakarta menjadi daerah istimewa wilayah Yogyakarta dibagi menjadi 2 wilayah kabupaten yang memiliki 12 kemantren. Selanjutnya, pada tahun 1947 ibukota kesultanan Yogyakarta menjadi daerah kota otonom dan 2 Kemantren dibentuk baru, yaitu: Umbulharjo dan Kotagede sehingga Kota Yogyakarta mempunyai 14 Kemantren dengan luas area seluas 3.247 Ha.
Pada awal September tahun 1965, Kota Yogyakarta ditetapkan sebagai Kotamadya. Dalam Peraturan Daerah Kotapraja Yogyakarta No. 1 tahun 1965 disebutkan ada kantor kemantren wilayah sebagai salah satu dari susunan administrasi pemerintah daerah. Ada 14 kantor kemantren wilayah yang dibentuk berdasarkan wilayah kemantren yang sudah ada, yaitu: Tegalrejo,Jetis, Gondokusuman, Danurejan, Gedongtengen, Ngampilan, Wirobrajan, Mantrijeron, Kraton, Gondomanan, Paku Alaman, Mergangsan, Umbulharjo, dan Kotagede. Dalam Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No.72 Tahun 1968, kantor kemantren wilayah tersebut disebut dengan nama yang berbeda, yaitu: Kemantren Pamong Praja.8
Seiring dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun 1974 yang mempunyai kecenderungan untuk melakukan homogenisasi struktur pemerintahan daerah maka Kemantren Pamong Praja yang selama ini ada dikonversikan menjadi Kecamatan. Konversi ini dilakukan dikarenakan salah satu tujuan dari UU No.5 Tahun 1974 adalah melakukan penyeragaman dalam sistem pemerintahan daerah. Oleh karena itulah, konversi ini mempunyai legitimasi.
Proses ini kemudian dikuatkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.140- 263 tentang Pembentukan Kecamatan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Maka terbentuklah 14 belas wilayah kecamatan yang sampai hari ini masih dipertahankan beserta wilayah kerjanya. Adapun kecamatan-kecamatan itu adalah: Kecamatan Tegalrejo, Kecamatan Jetis, Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan Danurejan, Kecamatan Gedongtengen, Kecamatan Ngampilan, Kecamatan Wirobrajan, Kecamatan Mantrijeron, Kecamatan Kraton, Kecamatan Gondomanan, Kecamatan Pakualaman, Kecamatan Mergangsan, Kecamatan Umbulharjo, dan Kecamatan Kotagede.
8 Lihat Lampiran Keputusan Menteri Dalam Negeri No 140-263 tentang Pembentukan Kelurahan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Proses historis panjang inilah yang menjadi determinasi sosio-kultural yang mewarnai pembentukan kecamatan di Kota Yogyakarta. Determinasi sosio-kultural ini pulalah yang menunjukkan proses pembentukan kecamatan di Kota Yogyakarta sangat mungkin beririsan dengan pembentukan identitas sosial komunitas-komunitas sosial yang ada di Yogyakarta.
B. PROBLEMA KAPASITAS KELEMBAGAAN KECAMATAN
B.1. Kedudukan,Fungsi dan Kewenangan
B.1.a. Kedudukan dan Fungsi
Sebelum diberlakukannya UU NO. 5 tahun 1974, kedudukan kecamatan sebagai wilayah administrasi pemerintahan tidak pernah dikukuhkan secara jelas dalam berbagai regulasi nasional yang mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah.9 Barulah kemudian setelah UU No. 5 tahun 1974 dibelakukan, dalam pasal 72 ayat (3) ditegaskan bahwa kecamatan merupakan wilayah administrasi yang berada di bawah wilayah kabupaten/kotamadya. Yang dimaksud dengan wilayah administrasi adalah lingkungan kerja perangkat pemerintah yang menyelenggarakan pelaksanaan pemerintahan umum di daerah. Hal ini berarti kecamatan berfungsi sebagai perangkat pemerintah yang memiliki wilayah kekuasaan administrasi.
Sebagai wilayah administrasi, kecamatan dipimpin oleh seorang camat yang berkedudukan sebagai kepala wilayah kecamatan dan bertanggungjawab pada kepala wilayah kabupaten/kotamadya (pasal 77 dan 78 UU No. 5 tahun 1974). Sebagaimana diatur lebih lanjut dalam pasal 80 UU No. 5 tahun 1974, peran dan fungsi utama dari seorang kepala wilayah sebagai wakil pemerintah adalah penguasa tunggal di bidang pemerintahan dalam wilayahnya dalam arti memimpin pemerintahan, mengkoordinasikan pembangunan dan membina kehidupan masyarakat di segala bidang.
Dalam hubungannya dengan kelurahan, kecamatan berkedudukan sebagai organisasi pemerintahan yang membawahi langsung kelurahan. Dimana kelurahan sendiri disebutkan merupakan sebagai salah satu instansi vertikal yang dibentuk di wilayah perkotaan pada saat berlakunya UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979. Salah satu dasar hukum yang mendasari pandangan tersebut adalah nomenklatur
9 Dalam UU No. 18 tahun 1965 pasal 1 disebutkan bahwa istilah “Kecamatan” lebih merupakan istilah untuk nama jenis daerah bukan bukan merupakan penunjukan sesuatu wilayah administrasi .
kelurahan yang ditentukan dalam Pasal 1 huruf b UU No.5 Tahun 1979. Pasal ini memberikan definisi kelurahan sebagai suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat, yang tidak berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Wilayah kelurahan sendiri, kemudian, dibagi lagi dalam lingkungan-lingkungan sebagai wilayah unsur pelaksana tugas Kepala Kelurahan dengan wilayah kerja tertentu.10
Struktur Pemerintahan Daerah
Presiden
Presiden
Level
Menteri Dalam Pemerintahan Pusat
Xxxxxx
Xxxxxxx Dalam Negeri
Instansi Vertikal
Kepala Daerah Tingkat I
Level Pemerintahan Provinsi
Gubernur
Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas
Instansi Vertikal
Kepala Daerah Tingkat II
Level Pemerintahan Kabupaten/Kota
Bupati/ Walikotamadya
Sekretariat Daerah dan Dinas-dinas
Instansi Vertikal
Camat
Kepala Desa
Level Pemerintahan Desa
Lurah
Sekretariat Desa dan Kepala-kepala Dusun
Sekretariat Kelurahan dan Kepala-kepala Lingkungan
Pemerintahan Berdasarkan Asas Desentralisasi
Pemerintahan Berdasarkan Asas Dekonsentrasi
Berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979
Bila melihat skema di atas, berdasarkan UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.5 Tahun 1979, nampak jelas bahwa kecamatan berkedudukan sebagai wilayah kerja camat yang merupakan bagian dari wilayah kabupaten. Oleh karenanya, kecamatan bukanlah suatu wilayah kerja daerah otonom melainkan wilayah kerja yang didasarkan pemerintahan administratif dan camat adalah perangkat pemerintah pusat yang ditempat di kecamatan. Dengan demikian pengaturan kecamatan menjadi otoritas pemerintah pusat dan tidak ada ruang bagi pemerintah kota/kabupaten untuk mengatur kecamatan lebih jauh.
Namun seiring dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, pemerintah kecamatan mengalami perubahan status, dari “perangkat wilayah‟ dalam asas dekonsentrasi menjadi “perangkat daerah” dalam asas desentralisasi. Sebagaimana disebutkan dalam pasal 120 UU No. 32 tahun 2004, perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, Dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.
10 Lihat Pasal 31 ayat (2) UU No.5 Tahun 1979.
Sebagai konsekuensi dari perubahan status tersebut adalah camat bukan lagi sebagai kepala wilayah. Camat bukan lagi menjadi kepala wilayah yang memiliki kekuasaan terhadap wilayah administrasi pemerintahan yang dipimpinnya.Di wilayah kecamatan, camat hanyalah sebagai perangkat daerah yang memiliki kedudukan yang sama dengan perangkat daerah lainnya yang ada di kecamatan seperti kepala cabang dinas, kepala UPTD,dsb. Dengan demikian, camat tidak dengan serta merta memegang kewenangan penuh untuk menjalankan urusan-urusan pemerintahan umum yang meliputi pengawasan, koordinasi serta kewenangan residu lainnya (Xxxxxxxxxx, 2002: 27).
Karena berkedudukan sebagai perangkat daerah maka seorang camat juga bertanggungjawab langsung kepada kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris Daerah (pasal 126 ayat [5] UU No. 32 tahun 2004). Tentu saja, pengertian “melalui” bukan berarti Camat merupakan bawahan langsung Sekretaris Daerah. Secara struktural Camat tetap berada langsung di bawah Bupati/Walikota. Sebab camat sebagai perangkat daerah merupakan bawahan langsung dari bupati/walikota, meskipun garis pertanggungjawabannya harus melalui sekretaris daerah. Dengan kata lain, kedudukan kecamatan bukan lagi menjadi perangkat pemerintah pusat.
Status wilayah kecamatan pun berubah dari wilayah administrasi menjadi wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten/kota. Kini wilayah kecamatan hanya menjadi wilayah kerja dari kantor kecamatan yang merupakan salah satu perangkat daerah unsur lini. Daerah kecamatan bukan lagi menjadi wilayah kekuasaan camat sebagai kepala atau penguasa wilayah. Daerah kecamatan hanyalah batas spasial bagi operasionalisasi camat sebagai perangkat daerah.
Selain itu, kedudukan kecamatan terhadap kelurahan pun berubah. Kelurahan bukan lagi menjadi bawahan dari wilayah administrasi kecamatan. Status kelurahan kini sejajar dengan kecamatan karena sama-sama sebagai perangkat daerah. Kedudukan kelurahan, menurut PP no. 73 tahun 2005 pasal 3 ayat (1), merupakan perangkat daerah Kabupaten/Kota yang berkedudukan di wilayah kecamatan.
Perubahan kedudukan dan fungsi kecamatan ini sebenarnya justru menjadi struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang baik bagi pemerintah daerah untuk mengoptimalkan peran kecamatan. Kini ada ruang yang sangat leluasa bagi pemerintah daerah untuk mengatur kecamatan, melimpahkan kewenangan dan menguatkan kapasitas kelembagaan kecamatan tanpa harus di bawah bayang-bayang pemerintah pusat.
B.1.b. Ruang Lingkup Kewenangan
Seiring dengan perubahan kedudukan dan fungsi kecamatan pasca implementasi Otoda semenjak 1 Januari 2000, ada pergeseran tugas dan kewenangan kecamatan. Sebagaimana diatur dalam pasal 126 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 dan pasal 13 ayat (2) RPP Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan merupakan hasil pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. 11 Selain itu, sebagaimana diatur dalam dalam ayat (3), kecamatan juga bertugas menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi:
− mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat;
− mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum;
− mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan;
− mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum;
− mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan;
− membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan;
− melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan.
Pada pasal 126 ayat (7) UU No. 32 tahun 2004 disebutkan bahwa pelimpahan sebagian kewenangan dari walikota/bupati ke kecamatan ditetapkan oleh peraturan bupati/walikota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, pasal 13 ayat (4) RPP No....tahun 2006 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah menyebutkan pelimpahan sebagian kewenangan bupati/walikota tersebut beserta pedoman organisasi kecamatan ditetapkan dalam Peraturan Menteri dalam Negeri (Permendagri).
Hingga saat ini yang menjadi acuan dalam menentukan struktur organisasi kecamatan dan pelimpahan sebagian kewenangan adalah Kepmendagri no. 158 tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan. Dalam lampiran 1 Kepmendagri tersebut disebutkan poin-poin makro dari kewenangan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota ke kecamatan. Dengan kata lain, masih terbuka peluang bagi daerah untuk menjabarkan lebih jauh poin-poin makro tersebut melalui peraturan bupati/walikota yang tentunya
11Hingga laporan penelitian ini ditulis, pemerintah pusat belum mengeluarkan PP tentang organisasi perangkat daerah yang menjabarkan UU No. 32 tahun 2004. Namun demkian draft RPP yang dijadikan acuan dalam kajian ini hampir dipastikan akan disahkan menjadi PP yang baru tanpa ada perubahan yang berarti.
diharapkan akan mampu menjabarkan lebih jauh dan lebih operasional tentang kewenangan yang dilimpahkan berikut dengan tugas, pokok dan fungsi yang jelas sebagaimana termuat dalam Kepmendagri no. 158 tahun 2004.
Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri pada tahun 2001 sudah mengawali dan berinisiatif untuk melimpahkan sebagian kewenangan walikota ke kecamatan seiring dengan diterbitkannya surat Keputusan Walikota Yogyakarta No.8 Tahun 2001 tentang Pelimpahan Kewenangan Sebagian Kewenangan Daerah Kepada Camat. Meskipun dalam perjalanannya, Keputusan Walikota tersebut kembali diganti dengan Keputusan Walikota Yogyakarta No.28 Tahun 2002 tentang Pelimpahan Kewenangan Sebagian Kewenangan Daerah Kepada Camat. Dalam Keputusan Walikota yang disebut terakhir ini, disebutkan ada 24 jenis bidang kewenangan yang diserahkan kepada camat.
Namun seiring dengan munculnya PP No.8 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Kepmendagri No.158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan, dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Kota Yogyakarta kemudian mengundangkan Peraturan Daerah No.29 Tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kecamatan. Karena Perda ini dibentuk berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 maka ada sedikit perbedaan dalam pengaturannya, seperti yang terlihat dalam tugas camat. Dalam perda No. 29 tahun 2005 ini ditentukan bahwa camat dalam menjalankan fungsinya, mempunyai tugas sebagaimana yang terdapat di dalam Pasal 126 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004 namun dengan menambahkan satu tugas baru, yaitu melaksanakan ketatausahaan kecamatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perda no. 29 tahun 2005.
Meskipun demikian ada hal yang penting untuk menjadi catatan, bila kita bandingkan lebih mendalam antara UU No. 32 tahun 2004 dan Perda No. 29 tahun 2005, ada beberapa perbedaan mendasar yang akan menimbulkan perbedaan konsekuensi hukumnya. Jika didasarkan pada Pasal 126 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004 maka tugas utama camat adalah menyelenggarakan pemerintahan umum berdasarkan kewenangan menangani sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepadanya oleh bupati/walikota dan ditambah dengan tugas umum pemerintahan yang telah diuraikan dalam Pasal 126 ayat (3) UU No.32 Tahun 2004. Artinya, tugas pokok camat tetap melaksanakan kewenangan yang dilimpahkan dari walikota/bupati dan disertai dengan tugas umum pemerintahan.
Ironisnya, bila kita lihat pasal 5 Perda No. 29 tahun 2005, tugas penyelenggaraan pemerintahan umum inilah justru yang menjadi tugas pokok kecamatan. Sehingga jika
didasarkan pada Pasal 5 Perda No.29 Tahun 2005, maka camat mempunyai tugas pokok yang terdapat dalam pasal itu dan yang seharusnya menjadi tugas pokok malah dijadikan fungsi dalam Pasal 4 ayat (1) Perda No.29 Tahun 2005. Dengan kata lain, ada perbedaan memaknai tugas pokok dan fungsi tersebut antara apa yang tertera di UU No. 32 tahun 2004 dan Perda No. 29 tahun 2005.
Sayangnya, proses perubahan kewenangan kecamatan ini tidak diikuti dengan aturan penjabaran yang lebih jelas dan bersifat operasional. Regulasi daerah yang ada justru tidak bersifat operasional dan terkesan hanya menulis ulang poin-poin yang ada di peraturan nasional. Padahal regulasi daerah yang merupakan regulasi berada dibawahnya harusnya mampu menguraikan lebih operasional poin-poin ketentuan yang ada di dalam peraturan nasional, baik yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah maupun kepmendagri.
Pemerintah kota Yogyakarta sendiri memang telah berupaya untuk menjabarkan lebih lanjut dari peraturan daerah dan SK walikota yang ada dengan menerbitkan Peraturan Walikota No. 199 tahun 2005 tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Kecamatan serta Peraturan Walikota No. 200 tahun 2005 tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Kelurahan. Namun hal ini, menurut pengakuan sebagian besar responden kami -yang merupakan camat atau perangkat kecamatan- tidak cukup membantu mereka untuk memahami lebih lanjut dari tugas pokok dan fungsi utama kecamatan dan camat.
Seringkali camat dan perangkat kecamatan kebingungan untuk menafsirkan lebih jauh kewenangan yang mereka miliki. Akibatnya perbedaan penafsiran tentang fungsi, tugas pokok dan kewenangan kecamatan tidak bisa terhindarkan lagi.12 Ketidakjelasan tersebut meliputi ketidakjelasan definisi dan ruang lingkup dari tugas dan kewenangan yang mereka miliki. Misalnya definisi dan ruang lingkup kewenangan fasilitasi dan koordinasi.
Ada dua kemungkinan yang menyebabkan kondisi tersebut terjadi. Pertama, peraturan-peraturan teknis yang berusaha untuk menjabarkan lebih lanjut aturan yang ada di atasnya masih menggunakan bahasa yang abstrak dan ambigu serta tidak implementatif di lapangan.Kedua, masalah sosialisasi yang tidak pro aktif dilakukan oleh pemerintah kota. Aktivitas atau program pemerintah kota yang merupakan upaya untuk memastikan proses internalisasi penjabaran tugas pokok dan fungsi kecamatan besar
12 FGD camat dan perangkat kecamatan, S2 PLOD, Juli 2006.
kemungkinan sangat minim. Itupun hanya terjebak pada model-model sosialisasi konvensional, seperti ceramah, pelatihan, dsb.
Selain itu basis penjabaran fungsi dan tugas serta kewenangan yang terdapat dalam Peraturan walikota Yogyakarta No. 199 tahun 2005 adalah berbasis seksi. Hal ini sangat mungkin menimbulkan kebingungan tersendiri karena regulasi-regulasi payungnya baik Permendagri 158 tahun 2004 dan UU No. 32 tahun 2004, RPP No...tahun 2006 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, maupun Perda No. 29 tahun 2005 menjadikan sektoral sebagai basis pelimpahan kewenangan.
Ketidakjelasan ruang lingkup ini seringkali menempatkan kecamatan pada posisi yang tidak jelas dan “mengambang”. Mereka sepertinya menerima pelimpahan banyak kewenangan namun tidak cukup menjadi “senjata” yang mumpuni.Lihat saja misalnya: hampir sebagian besar kewenangan yang dilimpahkan merupakan kewenangan koordinasi. Kalaupun mereka diberi kewenangan eksekusi, itu pun seringkali dibatasi sehingga menjadi tidak efektif, seperti kasus pemberian ijin IMB. Padahal secara de facto ada tuntutan kuat yang memaksa kecamatan untuk terlibat lebih jauh karena kehadiran kecamatan justru membuat eksekusi kewenangan tersebut berjalan lebih efektif, misalnya terkait dengan pengelolaan parkir, pengaturan pedagang kaki lima, penanganan masalah sosial (anak jalanan, PSK), dsb.
Masalah yang terkait dengan kewenangan kecamatan lainnya adalah adanya kecenderungan penyeragaman kewenangan yang dilimpahkan oleh walikota kepada kecamatan. Padahal masing-masing kecamatan memiliki karakteristik yang sangat variatif sebagaimana telah diuraikan di atas. 13 Bila kewenangan yang dilimpahkan tersebut cenderung seragam dan tidak sensitif dengan keragaman konteks maka dapat dipastikan upaya penanganan masalah-masalah publik dan proses delivery pelayanan publik yang dilakukan oleh kecamatan tidak akan pernah berjalan secara optimal.
Ironisnya, dalam kenyataan mindset lama yang menganggap kecamatan sebagai wilayah administrasi pemerintahan dan camat sebagai sebagai penguasa wilayah masih mengakar sangat kuat. Baik masyarakat maupun birokrasi sendiri secara faktual masih melihat camat sebagai kepala wilayah dengan fungsi-fungsi sosial yang mengikat. Sebagaimana dituturkan seluruh camat dan sekretaris camat yang menjadi responden
13 Xxx Xxxxxxxxxx, X.Xxx, Camat Kotagede, dalam FGD dengan pejabat kecamatan di PLOD UGM, 31 Juli 2006.
kami, meskipun secara formal camat tidak lagi menjadi kepala wilayah, hingga saat ini masyarakat masih menempatkan camat sebagai kepala wilayah yang memiliki peran- peran sosial seperti mediasi konflik, komunikasi sosial, memimpin acara-acara sosial, dsb.Camat masih ditempatkan sebagai salah satu tokoh masyarakat dan penguasa penting di wilayah kecamatan yang diharapkan dengan kekuasaan yang dimilikinya akan memainkan peran-peran sosial lebih jauh.14
Lebih parah lagi, salah kaprah ini juga masih melekat kuat di dalam tubuh birokrasi. Berbagai unsur pelaksana (dinas daerah) dan unsur pendukung (teknis) di pemerintah kota yogyakarta masih menempatkan kecamatan sebagai kepala wilayah yang berada dibawahnya saat operasionalisasi tugas-tugas mereka di masyarakat. 15 Bahkan salah kaprah ini juga muncul dari departemen-departemen yang ada di pemerintah pusat sendiri. Seperti Departemen Pendidikan nasional dan Kesehatan, misalnya, petunjuk- petunjuk teknis yang terkait dengan operasionalisasi pelaksanaan program-program mereka di lapangan, khususnya di kecamatan, masih menempatkan fungsi camat sebagai kepala wilayah.16 Pergeseran status, kedudukan dan fungsi kecamatan dan camat dalam legal formal yang tidak dibarengi dengan perubahan mind-set masyarakat dan birokrasi sendiri juga kemudian menjadi masalah baru bagi optimalisasi peran kecamatan.
Al hasil, berbagai masalah ketidakjelasan kewenangan tersebut menyebabkan kecamatan Kecamatan kemudian menjadi perangkat daerah yang di”ambang”kan: otoritasnya secara de jure dibatasi secara administratif dengan dukungan pegawai, prasarana, pembiayaan dan dokumentasi (P3D) yang sangat minim tapi kemudian dituntut secara de facto memainkan fungsi-fungsi sosial yang lebih mendalam dan jauh. Berbagai implikasi tersebut akan dijelaskan pada sub-sub bab berikutnya. 17
B.1.b. Standar Operasional Implementasi Kewenangan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, aturan-aturan penjabaran pelimpahan kewenangan yang ada tidak cukup membantu para camat dan perangkat kecamatan di
14 Wawancara tim peneliti dengan HR Xxxxxxx, camat Pakulaman, Yogyakarta, September 2006.
15 FGD tim peneliti dengan pejabat di dinas daerah dan lembaga teknis daerah, Yogyakarta Agustus 2006.
16 Xxx Xxxxxxxxxx, X.Xxx, Camat Kotagede, dalam FGD dengan pejabat kecamatan di PLOD UGM, 31 Juli 2006.
17 Xxxxxxx Xxxxx Yudo, SH, Sekcam Xxxxx, dalam FGD dengan pejabat kecamatan di PLOD UGM, 31 Juli 2006.
Kota Yogyakarta untuk mengoperasionalkannya dalam kerja-kerja keseharian mereka.Sebagaimana diakui oleh para responden yang telah ditemui dalam penelitian ini, kondisi ini menjadi lebih parah ketika tidak ada Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang jelas terkait dengan pelaksanaan kewenangan yang dilimpahkan dari walikota, termasuk dalam tata hubungan mereka dengan perangkat daerah otonom dan perangkat instansi vertikal lainnya.
Akibatnya, para camat dan perangkatnya harus berinovasi untuk menafsirkankannya serta mengoperasionalkannya dalam kerja-kerja praktis mereka. Kualitas operasional pelayanan pun akhirnya tidak pernah terlembaga dan lebih banyak dipengaruhi oleh komitmen personal, kapasitas kepemimpinan camat, dan tingkat pengalaman.18 Variasi tafsir dan mekanisme pelaksanaan kewenangan antar kecamatan menjadi tak terhindarkan. Misalnya hingga saat ini belum ada kejelasan soal penghasilan PPAT merupakan penghasilan pribadi ataukah untuk kecamatan, tidak pernah diatur secara jelas. Sebab saat ini penghasilan PPAT merupakan sumber tambahan penghasilan yg sangat besar. Ketidakjelasan SOP ini juga mempengaruhi hubungan mereka dengan perangkat daerah dan perangkat instansi vertikal lainnya. Dalam hal ini para camat dan perangkat kecamatan sering mengeluhkan banyak tugas camat di luar kewenangan yg harus dilaksanakan.
Mekanisme yang mengatur tata hubungan internal camat, sekretaris camat dan perangkat kecamatan lainnya juga tidak pernah diatur secara jelas dan belum dilembagakan secara apik. Pola relasi yang selama ini dibangun akhirnya sangat bergantung pada kapasitas internal kepemimpinan sang camat. Misalnya ada beberapa camat yang mencoba inovatif dengan menerbitkan SK camat untuk mengatur pola hubungan ini. Namun tidak sedikit yang bermasalah. Misalnya tim peneliti mendapatkan pengakuan dari camat Gondokusuman. Pada 2 tahun awal kepemimpinannya camat Gondokusuman ternyata tidak tahu jika data-data monografi kecamatan mereka belum di-update. Tentu saja selain faktor leadership sang camat sendiri, kondisi ini terjadi karena tidak jelas siapa yg bertanggungjawab mengelola dan meng- update data monografi kecamatan.19
Hal ini bisa juga menjadi bukti kuat nyata yang menunjukkan ada upaya serius dari pemerintah kota Yogyakarta juga tidak pernah berusaha kuat untuk mensinkronkan kewenangan yang dilimpahkan dengan Standar Pelayanan Minimal (SPM) pelayanan
18 Wawancara tim peneliti dengan Lurah Muja-Muju, Yogyakarta September 2006.
19 Wawancara im peneliti dengan Camat Gondokusuman, September 2006.
publik yang telah dirumuskan oleh pemerintah kota Yogyakarta. Seakan-akan kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan tidak memiliki kaitannya dengan pelayanan dan menjadi urusan yang berbeda dengan urusan SPM. Padahal kecamatan merupakan ujung tombak pelayanan publik yang memainkan peran intermediasi yang sangat kuat.
B.2. Tata Kelembagaan
Dalam pasal 4 dan pasal 5 Kepmendagri No. 158 tahun 2004, disebutkan organisasi kecamatan bisa mempunyai seksi sebanyak-banyak 5 (lima) seksi. Terkait dengan hal tersebut dua seksi di kecamatan sudah ditentukan oleh pemerintah pusat yaitu: seksi pemerintahan dan seksi ketentraman dan ketertiban umum.Sedangkan untuk maksimal tiga seksi lainnya, pemerintah pusat memberikan ruang yang leluasa bagi pemerintah daerah untuk mengaturnya lebih lanjut.
Oleh karena itu, penentuan organisasi kecamatan ini kemudian diatur lebih lanjut dalam regulasi daerah dengan diundangkannya Perda No. 29 tahun 2005 yang mengatur lebih lanjut struktur organisasi kecamatan. Dalam Perda ini disebutkan selain seksi pemerintahan dan ketentraman dan ketertiban juga ditentukan 3 seksi lainnya, yaitu Seksi Pemberdayaan Masyarakat, Seksi Pelayanan dan Seksi Pembangunan dan Perekonomian.
Adapun hal-hal yang terkait dengan fungsi dan tugas dari masing-masing seksi akan diatur lebih lanjut dalam peraturan walikota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (2) Perda No.29 Tahun 2005. untuk itu pemerintah kemudian menerbitkan surat Keputusan Walikota no. 199 tahun 2005 yang menoba untuk menjabarkan lebih jauh dari tugas dan fungsi masing-masing seksi yang ada di dalam kecamatan. Sedangkan berkaitan dengan tata kerja, materi yang diatur dalam Perda No.29 Tahun 2005 juga mengadopsi tata kerja yang telah diatur dalam Kepmendagri No.158 Tahun 2004.
Salah satu persoalan yang paling dasar dalam penentuan struktur organisasi kecamatan tersebut adalah penyeragaman struktur organisasi yang tidak mempertimbangkan variasi kebutuhan konteks masing-masing kecamatan yang tentunya berbeda antara satu dengan yang lainnya. Akibatnya struktur organisasi dan kewenangan di kecamatan Kraton yang menganggung “kewajiban” kultural sama dengan struktur organisasi dan kewenangan kecamatan Umbulharjo yang sedang menghadapi masalah aglomerasi ekonomi. Struktur kelembagaan yang ada pun juga belum mencerminkan adanya upaya untuk memenuhi fungsi dasar ideal yang dilekatkan ke kecamatan, yaitu: pelayanan publik, pengembangan ekonomi, dan intermediasi.
Padahal pemerintah pusat sendiri telah memberikan keluasaan bagi daerah untuk menentukan nomenklatur organsiasi kecamatan berdasarkan karakteristik kecamatan tersebut. Dalam Kepmendagri No. 158 tahun 2004 pasal 5 disebutkan bahwa selain seksi pemerintahan dan ketentraman dan ketertiban, pemerintah daerah berhak menentukan kategori seksi yang akan dibentuk di kecamatan yang nomenklaturnya disesuaikan dengan spesifikasi dan karateristik wilayah kecamatan sesuai dengan kebutuhan daerah.
B.3. Tata Hubungan Kelembagaan
B.3.a. Relasi Kecamatan dengan Unsur Pembantu Kepala Daerah (Sekda), Unsur Pelaksana dan Unsur Pendukung Tugas Khusus serta Instansi Vertikal
Pergeseran kedudukan kecamatan secara legal-formal yang tidak diikuti oleh adanya perubahan mindset menimbulkan masalah baru dalam tata hubungan kelembagaan kecamatan dengan instansi-instansi yang sebelumnya menjadi atasan mereka, seperti unsur pembantu kepala daerah (Sekda), pelaksana daerah (dinas daerah), unsur pendukung dan instansi vertikal.Hal ini pula lah yang seringkali menimbulkan ketidakjelasan ruang lingkup dan pembagian kewenangan antara kecamatan dengan institusi-institusi tersebut dan bagaimana sebenarnya pola relasi diantara mereka. Hingga saat ini pun belum ada pembakuan tata hubungan kelembagaan kecamatan dengan institusi-institusi yang merupakan unsur pembantu, unsur pelaksana, unsur pendukung dan unsur instansi vertikal.
Kecamatan hingga saat ini masih tetap menjadi “tumpuan” implementasi program-program kegiatan dinas-dinas yang ada di pemerintah kota Yogyakarta. Padahal program tersebut jelas-jelas merupakan bagian dari tugas, pokok dan fungsi dinas didaerah. Hal ini sebenarnya wajar, mengingat yang memiliki “kaki” untuk berhubungan langsung dengan warga adalah kecamatan. Oleh karena itu, ketika dinas-dinas di daerah hendak melaksanakan programnya tetap harus “melalui” kecamatan terlebih dahulu meskipun aturan formal yang ada tidak lagi menempatkan kecamatan sebagai bawahan tapi mitra dari perangkat daerah lainnya. Masalahnya adalah -sebagaimana dikeluhkan oleh para camat- mereka harus menanggung beban kerja yang di luar kewenangan
mereka tanpa dibarengi dengan pendelegasian biaya dan sarana. Akibatnya kecamatan harus menanggung beban baru.
Bentuk dan pola koordinasi antara kecamatan dengan pejabat fungsional maupun staf dinas, sekda dan lembaga/unit pelaksana teknis daerah tidak pernah diatur dalam standar operasional yang jelas dan terlembaga dengan baik. Akibatnya seringkali terjadi miskoordinasi antara kecamatan dengan staf dinas atau lembaga teknis yang bertugas di kecamatan, seperti penilik sekolah, tim pangan dan gizi,dsb. Kesan yang muncul kemudian adalah kecamatan dan instansi-instansi tersebut berjalan sendiri. Tidak ada upaya terlembaga untuk melakukan koordinasi dan evaluasi terhadap program mereka evaluasi.ketika terjadi mutasi staf-staf tersebut, cama sendiri seringkali tidak diberitahu.
Kalaupun ada koordinasi dan evaluasi bersama sifatnya terbatas dan lebih personal. Misalnya selama ini camat hanya menjadi salah satu pengisi lembar DP3 staf dinas yang ditempatkan di kecamatan. Akhirnya pola koordinasi dan mekanisme evaluasi hanya bertumpu pada good will dan komitmen masing-masing camat semata. Bahkan beberapa camat pun secara personal harus berusaha untuk mendorong kinerja dan keaktifan staf dinas atau staf instansi vertikal yang ada di kecamatan. Tanpa ada upaya aktivasi yang dilakukan oleh camat, staf dinas yang bertugas di kecamatan cenderung tidak akan menjalankan tugasnya secara optimal. Seringkali mereka tidak menunjukkan kinerja yang baik namun selalu berdalih sudah ada pertanggungjawaban kepada atasan mereka. Bila kondisi ini terjadi, tidak ada tindakan yang bisa ditindaklanjuti oleh camat karena camat tidak memiliki otoritas kontrol terhadap mereka. Kondisi yang sama juga terjadi dalam konteks hubungan staf instansi vertikal yang ada di kecamatan, seperti PLB. 20
Tak jarang pula berbagai dinas dan instansi vertikal yang memiliki program kerja di wilayah kerja kecamatan langsung masuk ke kelurahan. Meskipun kemungkinan besar tidak melanggar aturan formal, yang seringkali dikeluhkan kemudian oleh para camat adalah proses tersebut seringkali tanpa dikoordinasikan dengan camat terlebih dahulu. Akibatnya bila aktivitas tersebut berjalan, camat seringkali tidak tahu menahu.
20 Xxx Xxxxxxxxxx, X.xxx, camat Kotagede dalam FGD Camat dan Perangkat Kecamatan, PLOD UGM, 31 Juli 2006.
B.3.b. Relasi Kecamatan dengan Kelurahan.
Dalam UU No. 32 tahun 2004 disebutkan kedudukan lurah merupakan salah satu perangkat daerah dan sejajar dengan kecamatan. Kewenangan kelurahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 127 ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 diperoleh melalui pelimpahan tugas dari Bupati/Walikota. Hal ini berarti lurah bertanggungjawab langsung kepada bupati/walikota melalui kecamatan (pasal 3 ayat [2] PP No. 73 tahun 2005).
Adapun tata hubungan kelembagaan antara kelurahan dan kecamatan juga bisa dilihat dari Peraturan Daerah Kota Yogyakarta No.30 Tahun 2005 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kelurahan. Sebagaimana diatur oleh UU No. 32 tahun 2004, dalam pasal 3 Perda Kota Yogyakarta No. 30 tahun 2005 disebutkan bahwa kelurahan bertanggungjawab kepada walikota melalui camat. Pada Perda No. 30 tahun 2005 nampak jelas juga pengaturan lebih lanjut tentang kelurahan dilakukan masih sejurus dengan pengaturan kecamatan. Yang membedakan hanya levelnya saja yang diturunkan pada tingkat kelurahan. Misalnya dalam tugas kelurahan, juga ditambahkan tugas melaksanakan ketatausahaan kelurahan.21 Demikian juga dengan penentuan seksi-seksi dalam sekretariat kelurahan, yang mana ditentukan ada 4 seksi, selain seksi pelayanan, yang terdiri dari seksi Pemerintahan; seksi Ketertiban dan Ketentraman Umum; seksi Pembangunan dan Perekonomian; dan seksi Pemberdayaan Masyarakat.
Meskipun kelurahan sejajar dengan kecamatan, namun ada beberapa hal dimana peran kecamatan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di kelurahan. Meskipun fungsi pembinaan terhadap kelurahan langsung dilakukan oleh tata pemerintahan Sekda Kota namun camat juga masih dilibatkan untuk mengevaluasi kinerja lurah dengan mengisi DP3. sayangnya seringkali, bentuk tindak lanjut dari dari peran tersebut tidak diatur dengan jelas. Para camat mengeluhkan seringkali mutasi lurah yang dilakukan tidak terlebih dahulu dikonsultasikan kepada mereka. Padahal jelas-jelas regulasi yang ada menyebutkan bahwa pengangkatan seorang lurah harus diusulkan oleh camat sebagaimana pasal 6 PP No. 73 tahun 2005.
Dalam kenyataannya ada pola hubungan interdependensi antara kelurahan dan kecamatan secara administratif. Misalnya dalam proses pembuatan data statstika sosial, seperti Kota dalam Angka, Monografi Kecamatan, dsb biasanya proses akan dimulai dengan pengumpulan data dari “level paling bawah”. Penentuan alokasi anggaran
21 Lihat Pasal 5 Perda No.29 Tahun 2005
kelurahan juga melibatkan peran kecamatan yang tidak kecil. Sayangnya tidak ada SOP lebih lanjut yang mengatur pola hubungan keduanya.
Akibatnya beberapa camat melakukan inovasi untuk mengatur pola hubungan tersebut.Beberapa camat kemudian beinisiatif untuk membuat SK camat untuk melimpahkan kewenangan mereka ke kelurahan.22 Tentu saja, pola hubungan seperti ini akan bermasalah secara hukum. Sebab baik kecamatan maupun kelurahan sama-sama menerima pelimpahan kewenangan dari walikota. Beberapa camat yang lain masih menggunakan gaya lama untuk membangun koordinasi. Gaya lama yang sering dipakai koordinasi mingguan baik berupa mewajibkan lurah untuk apel pagi di kecamatan atau mengundang rapat. Bahkan di beberapa kecamatan hingga saat masih berjalan pola dimana lurah kalau pagi hari pergi absen ke kecamatan baru kemudian masuk ke kantor kelurahan.
B.3.c. Relasi Horisontal dengan unsur Sektoral Kemanan
Seiring dengan diberlakukannya UU No. 22 tahun 1999 yang digantikan dengan UU No. 32 tahun 2004, peran musyawarah pimpinan kecamatan (Muspika) sudah tidak ada. Terlebih lagi, ada tuntutan kuat dari masyarakat untuk menghilangkan peran-peran teritorial militer agar menjadi militer yang profesional. Dengan kata lain, otoritas keamanan kini seharusnya lebih menjadi tanggungjawab kecamatan dan kepolisian sektor.
Namun dalam kenyataannya, pola-pola koordinasi berbasis Muspika ini masih berjalan, terutama terkait dengan persoalan keamanan. Misalnya untuk penanganan kemanan dan ketertiban, peran kepolisian sektor masih sangat urgen karena kepolisian lah satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan. Sedangkan peran seksi ketentraman dan ketertiban di kecamatan hanya memberikan informasi untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman. Sampai saat ini rapat-rapat koordinasi yang melibatkan polsek, koramil dan KUA. Bisa jadi, kondisi ini terjadi karena masih kuat imej camat sebagai penguasa wilayah.
22 Wiji Istanto (Kelurahan Bumijo), FGD di PLOD UGM, 1 Agustus 2006.
B.4. Daya Dukung Kelembagaan
B.4.a. Daya dukung Sumberdaya Manusia
B.4.a.1. Kuantitas dan Kualitas Sumberdaya Manusia
Sebagaimana telah diuraikan di awal-awal bab ini, komposisi kuantitatif staf yang dimiliki oleh kecamatan tidak cukup memadai untuk mengoptimalkan peran-peran kecamatan. Dengan membandingkan cakupan wilayah fisik beserta magnitude beban persoalan sosial dan ekonomi dengan jumlah pegawai daerah otonom dan instansi vertikal di masing-masing kecamatan nampak jelas banyak kecamatan masih butuh pegawai tambahan. Menurut pengakuan para camat, mereka telah berusaha mengajukan tambahan pegawai namun seringkali tidak bisa dipenuhi oleh BKD.
Kondisi ini diperparah dengan kualitas SDM staf kecamatan kurang kompeten.Tak sedikit orang-orang yang ditempatkan di kecamatan justru bukan orang- orang yang berkualitas. Mereka biasanya pegawai-pegawai yang bermasalah di instansi unsur pembantu kepala daerah, unsur pelaksana atau unsur pendukung. Akibatnya, tambahan SDM yang dimiliki oleh kecamatan justru menjadi beban baru bagi kecamatan. Tentu saja hal akan berpengaruh terhadap kinerja penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan publik yang ada di kecamatan.Padahal kecamatan harus menangani tugas-tugas yang bersinggungan langsung dengan masyarakat.
B.4.a.2. Sistem Jenjang Karir
Menjadi pegawai negeri sipil yang berkarir di kecamatan saat ini bukanlah menjadi sebuah kebanggaan. Hal ini muncul karena mekanisme penempatan posisi staf dan jabatan di kecamatan tidak menjadi jaminan bagi penjenjangan karir birokrasi akibatnya PNS yang bekerja di kecamatan banyak diantaranya bermotivasi rendah.
Sebagaimana penuturan staf bagian Tata Pemerintahan pemerintah Kota Yogyakarta, sebenarnya dalam penempatan pegawai sudah ada analisis jabatan. Sayangnya analisa jabatan tersebut tidak pernah dipakai sebagai pertimbangan utama bagi Baperjakat. Tampak, ada kelemahan mekanisme insentif dan disinsentif yang dikembangkan di Badan Kepegawaian Daerah dan Bawasda. Akibatnya yang terjadi adalah justru orang-orang yang bermasalah selalu dikirim ke kecamatan. Hal ini seringkali merusak budaya kerja yang sudah dibangun di kecamatan. Selain itu, imej orang kecamatan sebagai ”orang buangan” akan menguat.
B.4.b.Daya Dukung Anggaran
Meskipun kecamatan merupakan salah satu perangkat daerah dalam proses penganggaran kecamatan tidak di kategorikan sebagai Satuan Kerja Perangkat Daerah konsekuensinya, penentuan alokasi anggaran di kecamatan masih menjadi bagian dari alokasi anggaran sekretariat daerah. Akibatnya, kecamatan tidak pernah mempunyai otoritas penuh untuk menentukan alokasi anggaran mereka.
Kecamatan pun tidak memiliki ruang untuk ikut berpartisipasi dalam proses penganggaran. Mereka hanya menerima keputusan yang dibuat di kota. Menurut sebagian camat hal ini muncul karena mereka pada awalnya gagal merumuskan alokasi anggaran masing-masing kecamatan dengan menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja. Akibatnya alokasi anggaran seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta dipukul rata tanpa mempertimbangkan kondisi masing-masing wilayah, bahkan untuk hal-hal yang sifatnya belanja aparatur untuk pemeliharaan sarana. Misalnya untuk pembayaran listrik semua kecamatan dipatok sama padahal masing-masing kantor kecamatan berbeda beban penggunaannya. Dengan kata lain, sumber keuangan kecamatan sudah dipatok dengan sistem paket yang tidak memperhatikan variasi karakteristik dan kebutuhan riil masing-masing kecamatan yang berbeda-beda.23 Alokasi keuangan tidak peka terhadap kompleksitas persoalan dan beban kerja masing-masing kecamatan.
Masalah lainnya adalah tidakadanya pengaturan sumber-sumber penerimaan kecamatan di luar sumber APBD atau paket hanya untuk rutin. Meskipun ada anggaran lain seperti BOP atau sumbangan dari pihak ketiga tidak ada aturan yang jelas. Akibatnya uang tersebut seringkali masuk ke kantong camat. Misalnya penghasilan sebagai PPAT yang relatif besar pendapatannya.
B.4.c. Daya Dukung Prasarana dan Sarana
Meskipun economics of size masing-masing kecamatan berbeda-beda namun sampai sekarang proses alokasi prasana dan sarana di masing-masing kecamatan masih kurang memadai. Sebagimana telah diuraikan juga di awal bab ini, sarana yang selama ini ada sangat minim dan cenderung dipukul rata tanpa mempertimbangkan variasi karakteristik kewilayahan dan demografi serta masalah yang dihadapi.
23 Xxxxxxx Xxxxx Yudo, SH, Sekcam Xxxxx, dalam FGD dengan pejabat kecamatan di PLOD UGM, 31 Juli 2006.
Beberapa camat yang berhasil ditemui untuk mendiskusikan masalah kecamatan juga mengeluhkan kurangnya upaya untuk menguatkan prasarana dan sarana yang ada di kecamatan. Bahkan beberapa camat berinisiatif untuk mengeluarkan dari uangnya sendiri untuk menambah sarana yang ada di kecamatan. Sayangnya, biaya pemeliharaan prasarana dan sarana pun tidak ada.
C. Catatan Penutup
Berbagai persoalan yang telah diuraikan sepajang bab ini merupakan persoalan krusial yang mesti ditata kembali agar peran dan fungsi kecamatan bisa dijalankan secara optimal. Permasalahan-permasalahan ini akan lebih lanjut dalam bab selanjutnya untuk mencari alternatif pemecahan masalah di masing-masing arena dan sekaligus menawarkan rekomendasi kebijakannya.
BAB III
Alternatif Kebijakan dan Rekomendasi: Masalah Cakupan Wilayah Kerja Kecamatan
A. Pengantar
D
alam konteks Kota Yogyakarta, jumlah kecamatan sebanyak 13 unit dipandang terlalu banyak. Ditambah, tidak ada proporsionalitas diantara 13 kecamatan tersebut, baik dilihat dari sisi jumlah kelurahan, luasan wilayah, maupun jumlah penduduk yang harus dilayani oleh pemerintah kecamatan. Sebagai contoh, ada beberapa kecamatan yang hanya membawahi 2 – 3 kelurahan, namun ada juga kecamatan yang harus mengkoordinasi 7 keluarahan. Demikian halnya dengan jumlah penduduk, antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya terdapat ketimpangan yang mencolok. Hal tersebut telah membuat beban kerja antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya tidak seimbang, padahal distribusi alokasi P3D (pegawai, pendanaan, prasarana dan dokumentasi) menggunakan logika penyamarataan. Ketidakseimbangan antara beban kerja dengan P3D yang dialokasi di masing-masing kecamatan telah memicu timbulnya ketidakseimbangan atau disproporsionalitas antar kecamatan. Selain masalah proporsionalitas, dari sudut pandang efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, pembagian Kota Yogyakarta ke dalam 13 kecamatan dinilai terlalu banyak dan membuat
penyelenggaran pemerintahan tidak efisien.
Terkait dengan penataan wilayah kecamatan, isu penting yang harus dikemukakan dengan demikian adalah bagaimana menciptakan proporsionalitas atau keseimbangan antar kecamatan, sekaligus bagaimana mewujudkan efektifitas dan efisiensi pemerintahan. Bagaimana keseimbangan antar entitas pemerintahan bisa diwujudkan, secara teoritik terdapat perdebatan konseptual beragam. Dalam aliran pemikiran traditional reform, terdapat kecenderungan untuk menyukai entitas pemerintahan yang besar, atau dalam tataran kebijakan mendorong untuk terjadinya proses penggabungan wilayah kecamatan. Alasan terutama dari aliran ini adalah, dilihat dari sisi economic of scale, penyelenggaraan pemerintahan bisa lebih efisien dan efektif, karena overhead cost (biaya pemerintahan per kapita) akan bisa jauh lebih murah.
Berkebalikan dengan pandangan tersebut, aliran pemikiran public choice memandang bahwa entitas pemerintahan yang semakin kecil akan semakin baik. Artinya pada level kebijakan, pemekaran wilayah atau pengorganisasian entitas pemerintahan dalam cakupan-cakupan yang lebih kecil merupakan pilihan. Pilihan entitas pemerintahan yang kecil didasari pertimbangan jangkauan masyarakat terhadap pemerintah selaku penyedia jasa menjadi semakin dekat. Kedekatan jangkauan ini juga akan mendorong derajat responsiveness pemerintah yang semakin tinggi terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Selain itu, pengorganisasian entitas pemerintahan yang kecil akan mendekatkan hubungan antara aparatur negara dengan masyarakat yang dilayani.
Pemikiran berbeda datang dari pemikiran neo marxis yang menegaskan bahwa ukuran entitas pemerintahan bukan masalah utama. Yang lebih penting untuk dipikirkan adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah daerah terkait dalam hubungannya dengan pembangunan yang direncanakan. Artinya pada level kebijakan, yang terpenting adalah visi kebijakan apa yang dirumuska oleh pemerintah kota terkait dengan kedudukan dan fungsi kecamatan.
Rencana untuk melakukan penataan ulang kecamatan di Kota Yogyakarta, dengan demikian terkait erat dengan kebutuhan untuk menciptakan atau mencari titik keseimbangan antara keinginan negara demgan masyarakat. Seperti dijelaskan, dari sisi negara (i.e. Pemerintah Kota Yogyakarta) efisiensi pemerintahan akan lebih terwujud jika penggabungan kecamatan dilakukan, karena akan menekan overhead cost pemerintahan. Sementara dari sisi masyarakat, penggabungan yang berkonsekuensi pada semakin jauhnya jangkauan pelayanan publik akan berarti semakin mahalnya biaya pelayanan publik. Selain upaya untuk mencari titik equilibrium tersebut, penataan ulang kecamatan dalam konteks Kota Yogyakarta harus juga mempertimbangkan persoalan responsiveness pemerintahan, dan juga memperhatikan faktor kecamatan sebagai entitas sosial-kultural, bahkan sebagai bagian dari identitas masyarakat yang sudah eksis sekian lama.
Seperti dijelaskan dalam Bab 2, terbaginya Kota Yogyakarta ke dalam 13 kecamatan seperti sekarang ini sebenarnya tidak terlepas dari runutan sejarah kota yang merupakan pusat kerajaan mataram ini. Kecamatan-kecamatan yang dibentuk merupakan kelanjutan dari kemantren yang merupakan bagian dari struktur pemerintahan keraton. Unit-unit kemantren diubah menjadi unit pemerintahan
kecamatan pada tahun 1965. Cakupan wilayah masing-masing kecamatan sepenuhnya mengikuti pola pembagian kemantren, dan tidak pernah mengalami perubahan (ataupun penyesuaian) sampai sekarang ini. Jumlah kecamatan tersebut merupakan pangkal dari lahirnya persoalan proporsionalitas baban kerja kecamatan-kecamatan di Kota Yogyakarta. Selain itu, kecamatan di Yogyakarta juga menanggung beban historis di mana keberadaannya merupakan konversi dari struktur kemantren yang terbentuk pada tahun 1932, dan perkembangan-perkembangan setelahnya. Dua hal tersebut merupakan pangkal persoalan ketidakseimbangan cakupan dan beban kerja yang ditanggung oleh pemerintahan kecamatan di Kota Yogyakarta.
Bab ini secara khusus akan membahas alternatif-alternatif kebijakan yang mungkin diambil oleh pemerintah kota untuk melakukan penataan kecamatan, sehingga bisa menjamin proporsionalitas antar kecamatan. Secara garis besar ada alternatif yang ditawarkan, yaitu: penataan ulang (penggabungan & pemekaran) dan status quo yang dibarengi penataan kewenangan dan kelembagaan. Di akhir bab akan dijelaskan rekomendasi kebijakan yang mungkin diambil oleh pemerintah kota dengan mempertimbangkan fisibilitasnya.
B. Alternatif Kebijakan
Dengan tujuan untuk mendorong proporsionalitas antar kecamatan, kebijakan untuk melakukan penataan ulang kecamatan menjadi keniscayaan. Penataan bisa dilakukan dengan menata ulang jumlah kecamatan, yaitu dengan cara menggabungkan, menghapuskan atau memekarkan kecamatan. Alternatif kebijakan lain yang bisa diamil adalah dengan membiarkan jumlah kecamatan seperti sekarang, dam penataan dilakukan dengan penataan pada aspek kewenangan, kelembagaan dan perumusan daya dukung yang memungkinkan kecamatan bisa menjalankan fungsi-fungsi pelayanan publik sebagaimana yang diuraikan di Bab 1.
a. Proporsionalitas melalui Pemekaran dan Penggabungan
Jumlah kecamatan yang dipandang terlalu banyak dan tidak adanya proporsionalitas antar kecamatan merupakan alasan pokok untuk mempertimbangkan diambilnya kebijakan penggabungan maupun pemekaran kecamatan di Kota Yogyakarta. Seperti dijelaskan oleh salah seorang Camat dalam sebuah kesempatan FGD bahwa,
‟jumlah kecamatan di kota Yogyakarta terlalu banyak dan lagi beban kerja antara satu kecamatan dengan kecamatan lainnya tidak setara‟. Disproporsionalitas tersebut terjadi akibat beban sejarah yang harus ditanggung oleh kecamatan, dimana keberadaannya merupakan kelanjutan atau metamorfose dari unit kemantren. Seperti dijelaskan dalam bab 2, bahwa kemantren dibentuk berbasis pada struktur sosial dan ekonomi masyarakat dan tidak dibuat dalam logika pengelolaan administrasi seperti halnya kecamatan. Akibatnya, ketika kemantren dijadikan sebagai basis pembentukan kecamatan terjadi ketidakseimbangan beban yang harus ditanggung masing-masing kecamatan. Lebih lanjut, jumlah kecamatan yang terlalu banyak juga telah menimbulkan persoalan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai jalan keluar atas persoalan-persoalan tersebut, salah satu alternatif yang bisa dipikirkan adalah dengan melakukan penataan ulang jumlah kecamatan. Penataan ulang ini bisa berupa pemekaran atau penggabungan kecamatan. Artinya, sejumlah kecamatan dengan alasan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan bisa saja digabungkan, dan sejumlah kecamatan yang selama ini dipandang memiliki beban kerja terlalu banyak bisa dimekarkan menjadi dua kecamatan. Pilihan kebijakan penataan ulang jumlah ini tentu saja harus dikaitkan dengan tujuan untuk menciptakaan keseimbangan atau proporsionalitas antar kecamatan. Namun demikian, kebijakan penggabungan atau pemekaran kecamatan harus didasarkan pada indikator-indikator yang jelas, dan indikator-indikator tersebut harus didasarkan pada peran atau posisi apa yang akan dilekatkan sebagai tanggungjawab kecamatan.
Dalam penyusunan indikator, sejumlah aspek administratif yang harus diperhatikan antara lain; jumlah penduduk, luas wilayah, dan jangkauan akses masyarakat terhadap fasilitas pelayanan publik dasar. Selain harus berdasar indikator yang definitif, penataan ulang jumlah kecamatan juga harus memperhatikan fisibilitas, baik dari sisi politis, sosial, administrasi, hukum, dan dukungan ekonomi.
▪ Fisibilitas politik terkait dengan dukungan-dukungan politik yang dibutuhkan dalam proses penggabungan ataupun pemekaran kecamatan di kota Yogyakarta. Dukungan politik ini tidak hanya berasal dari institusi politik formal, namun juga harus mendapatkan dukungan dari kekuatan politik di luar negara, termasuk masyarakat. Dalam hal penataan jumlah menjadi pilihan kebijakan, maka pemerintah kota harus mengambil lagkah-langkah untuk pemenuhan pra syarat politis ini.
▪ Fisibilitas sosial terkait dengan kenyataan bahwa struktur kemantren memiliki basis ikatan-ikatan sosial yang kuat. Kemantren harus dipahami bukan sekedar sebagai unit administratif, namun juga merupakan unit sosial yang menjadi basis identitas dari masyarakat yang berada di wilayah kemantren tersebut. Menghapaus, menggabung, dan memekarkan kecamatan dengan demikian harus diawali denga assesment sosial, sehingga ketika proses pembentukan kecamatan baru dilakukan tidak menimbulkan problem sosial di masyarakat.
▪ Fisibilitas administrasi terkait dengan implikasi-implikasi administratif apa saja yang akan muncul ketika kecamatan harus di-regrouping. Selama ini sistem administrasi, baik pemerintahan maupun kependudukan menggunakan kecamatan sebagai basis. Penyesuaian-penyesuaian dokumen pemerintahan dan kependudukan dengan demikian merupakan pekerjaaan dasar pertama yang harus diselesaiakan ketika kecamatan-kecamatan harus di-regrouping.
▪ Fisibilitas hukum didefinisikan sebagai peluang-peluang apa yang dimungkinkan oleh peraturan yang ada, baik di level nasional, provinsi, maupun kabupaten untuk melakukan penataan ulang jumlah kecamatan di Kota Yogyakarta. Sejalan dengan dengan pendefinisian ecamatan sebagai perangkat daerah otonom, dalam hal ini kota Yogyakarta, maka pengaturan kecamatan sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah kota. Artinya, secara hukum tidak ada hambatan bagi pemerintah kota untuk melakukan penataan terhadap jumlah kecamatan yang ada di wilayahnya.
▪ Fisibilitas ekonomi didefinisikan sebagai implikasi penataan terhadap peningkatan efisiensi penggunaan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah kota. Secara ekonomi perlu dihitung apakah kehadiran kecamatan selama ini lebih sebagai membebani anggaran pemerintah, ataukah keberadaannya seperti sekarang memberikan kontribusi bagi pningkatakan pendapatan daerah.
Penataan ulang jumlah kecamatan atau regrouping akan fisibel jika dilihat dari sisi administratif dan hukum. Namun demikian harus dipahami bahwa regrouping kecamatan bukan sekedar penataan administratif, namun juga meliputi aspek sosial dan politik. Jika kebijakan untuk melakukan regrouping kecamatan menjadi pilihan, maka harus benar-benar dimatangkan langkah-langkah yang membuat masyarakat juga terlibat dalam proses tersebut. Artinya, menata ulang jumlah bukan hanya sekedar persoalan administratif, namun juga menata ulang kluster sosial kemasyarakatan yang sudah mapan selama waktu yang panjang.
2. Proporsonalitas melalui Penataan Kewenangan & Kelembagaan
Alternatif selanjutnya yang bisa ditawarkan dalam rangka menata kembali proporsionalitas kecamatan adalah dengan tidak menyentuh imensi jumlah, namun
menyentuh dimensi-dimensi kewenangan, kelembagaan, dan daya dukung kecamatan. Artinya, keberadaan jumlah kecamatan dibiarkan seperti sekarang, namun diikuti dengan penataan aspek-aspek diatas sehingga proporsionalitas antar kecamatan tetap bisa dijamin. Sebagai contoh, kecamatan yang memiliki beban keeja besar sebagai akibat dar keluasan wilayahnya diberi dukungan aparatur dan dana operasional berbeda atau lebih besar, sehingga fungsi-fungsi pelayanan yang harus diemban tetap bisa terlaksana dengan selayaknya. Proporsionalitas dengan demikian bisa diargumentasikan dicapai melalui pemberian daya dukung yang berbeda-beda kepada masing-masing kecamatan, disesuikan dengan beban kerja yang ditanggung oleh masing-masing kecamatan.
Mendorong proporsionalitas kerja antar kecamatan melalui penataan kewenangan dan kelembagaan merupakan alternatif yang juga harus dipertimbangkan, karena sejumlah alasan:
▪ Latar belakang historis. Secara historis kecamatan di kota Yogyakarta merupakan kelanjutan dari struktur kemantren yang pada awalnya dibentuk pada tahun 1932 sebagai entitas administratif yang mengkoordinasi sejumlah kampung. Struktur kemantren kemudian dikonversi menjadi entitas kecamatan pada tahun 1965, dan tidak mengalami perubahan dari sekarang. Lebih dari sekedar unit administratif, usia kecamatan-kecamatan yang sudah lama telah menjadi bagian dari identitas masyarakat yang tinggal dan tercakup dalam wilayah tersebut. Seandainya penataan ulang kecamatan menjadi pilihan, maka pra syarat yang harus dipenuhi adalah melibatkan komponen masyarakat untuk ikut membicarakannya. Penataan bukan sekedar urusan teknis-administratif, namun juga urusan politis.
▪ Fisibilitas Administratif. Dari sisi administratif, upaya untuk menata kecamatan dengan mendefinisikan ulang kapasitas institutional akan sangat fisibel dilakukan. Ketika penataan kewenangan dilakukan, maka tindakan- tindakan administratif yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah kota adalah dengan manata ulang tupoksi unit pemerintahan di kota, termasuk menata hubungan kelembagaan antara pemerintah kecamatan dengan unit yang ada di level kota.
▪ Fisibilitas hukum. Kewenangan untuk melakukan penataan kecamatan sepenuhnya berada di tangan pemerintah kota. Tegasnya, tidak ada constrain regulasi di level nasional maupun provinsi yang membuat kecamatan kesulitan untuk menta ulang kewenangan dan kelembagaan kecamatan. Secara hukum, pendfinisian ulang kewenangan dan kelembagaan kecamatan akan fisibel dilakukan, karena bisa dituangkan alam bentuk keputusan walikota yang secara prosedural lebih simpel.
C. Rekomendasi
Berdasarkan pertimbangan fisibilitas sebagaimana dipaparkan di atas, pilihan kebijakan yang paling fisibel adalah dengan membiarkan jumlah kecamatan seperti sekarang. Penataan kecamatan untuk saat bukan merupakan alternatif utama dikarenakan sejumlah pertimbangan. Pertama, penataan kecamatan bukan hanya penataan administratif namun juga terkait dengan penataan ulang kluster sosial masyarakat yang sudah terbentuk lama dalam sejarah kota Yogayakarta. Kedua, penataan kecamatan juga terkait dengan dukungan politik dari semua pihak, termasuk kekuatan keraton. Dan ketiga, kebijakan regrouping kecamatan juga memiliki implikasi administrative yang sangat luas, karena sistem administrasi sipil di Indonesia berbasis pada kecamatan. Artinya, ada beban perubahan dokumen-dokumen pencatatan sipil yang mengikuti proses regrouping tersebut. Jika penataan ulang jumlah kecamatan dilakukan, maka hal-hal di atas harus „diselesaikan‟, sehingga kebijakan tersebut justru tidak melahirkan persoalan baru. Dalam konteks sekarang, berdasar pertimbangan- pertimbangan tersebut, regrouping kecamatan tidak direkomendasikan untuk dilakukan.
Berdasarkan analisa yang dilakukan oleh tim peneliti, disimpulkan bahwa upaya untuk mendorong proporsionalitas kerja antar kecamatan justru lebih fisibel jika dilakukan dengan menata ulang, baik kewenangan, kelembagaan, maupun daya dukung yang diberikan kepada kecamatan agar fungsi-fungsinya bias berjalan maksimal. Cakupan kerja kecamatan atau jumlah kecamatan direkomendasikan tetap, namun harus diikuti dengan penataan soft system kecamatan yang meliputi; kelembagaan, kewenangan, dan daya dukung. Dengan penataan tersebut, maka problema disproporsionalitas anatar kecamatan sebagaimana diuraikan dalam bab 2 akan bias dieleminir, tanpa harus secara radikal melakukan pemekaran/penggabungan kecamatan yang sangat mungkin justru menimbulakan permasalahan baru. Penataan aspek-aspek soft system akan diuraikan lebih lanjut dalam bab IV, V, & VI.
Bab IV Alternatif Kebijakan Dan Rekomendasi: Penataan Kewenangan Kecamatan
A. Pengantar: Akar Persoalan Kewenangan Kecamatan
D
imensi penataan kewenangan merupakan salah satu dimensi yang paling krusial dalam upaya optimalisasi kinerja kecamatan. Tanpa adanya delegasi kewenangan yang proporsional dan kontekstual akan sangat sulit mengharapkan kinerja kecamatan yang optimal. Dalam banyak hal kinerja kecamatan sering kali menjadi tolok ukur riil bagi efektif atau tidaknya kinerja pemerintah terutama yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik (publik service delivery). Kinerja Departemen Kesehatan di tingkat lokal misalnya, tercermin pada baik buruknya pelayanan kesehatan masyarakat yang diberikan di tingkat kecamatan melalui Puskesmas. Demikian pula dengan masalah keamanan, efektif atau tidaknya kinerja pemerintah dalam memberikan rasa aman bagi warganya dapat dilihat dari bagaimana pihak kepolisian di tingkat kecamatan (Polsek) mampu memberikan
suasana aman bagi warga.
Dalam konteks Pemerintah Kota Yogyakarta, sejauh ini bisa dikatakan bahwa kinerja kecamatan sebagai perangkat pemerintah daerah masih belum optimal. Berdasarkan analisis persoalan sebagaimana diuraikan dalam Bab II, salah satu satu faktor utama yang menyebabkan lemahnya kinerja kecamatan terletak pada dimensi kewenangan. Akar persoalan-persoalan kewenangan sendiri teridentifikasi dalam beberapa hal. Pertama, perubahan kedudukan kecamatan dari unit pemerintahan menjadi unit pelayanan. Dalam UU 32 Tentang Pemerintahan Daerah kecamatan tidak lagi ditempatkan sebagai ”unit pemeritahan” melainkan sebagai ”perangkat daerah” otomatis berdampak pada berkurangnya otoritas 24 yang dimiliki oleh kecamatan termasuk tentu saja dengan dukungan anggaran. 25 Pada prakteknya perubahan ini
24 Sebagai perangkat pemerintah daerah, fungsi kecamatan secara umum terbatas pada fasilitasi dan atau koordinasi
25 Saat ini yang sistem penganggaran yang dijalankan adalah sistem paket, dimana setiap kecamatan memperoleh paket anggaran yang sama dengan variabel jumlah kelurahan sebagai satu-satunya pembeda.
belum disertai dengan penyesuaian pola pikir (mindset) birokrat maupun masyarakat tentang tugas dan fungsi kecamatan.26 Dalam banyak kasus Kecamatan masih dibebani atau dituntut untuk bertanggungjawab atas fungsi-fungsi yang sebetulnya tidak lagi menjadi otoritas kecamatan.27
Akar persoalan Kedua, terletak pada pola pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Kota ke kecamatan yang bersifat seragam. Semua kecamatan memperoleh limpahan kewenangan yang sama baik dari sisi fungsi maupun cakupan. Dari sisi fungsi semua kecamatan umumnya hanya menjalankan 2 fungsi yaitu fungsi koordinasi dan fasilitasi. Dalam skala kecil untuk bidang-bidang tertentu kecamatan juga menjalankan fungsi perijinan; rekomendasi; dan penetapan; serta pengumpulan dan penyampaian informasi. Sedangkan dari sisi ruang lingkup atau cakupan, semua kecamatan diwajibkan menjalankan fungsi-fungsi tersebut di 24 bidang yang dilimpahkan 28 . Pola pendelegasian kewenangan semacam ini jelas mengabaikan keragaman konteks yang dimiliki masing-masing kecamatan. Akibatnya kewenangan yang diberikan seringkali tidak tepat sasaran dan pelayanan yang diberikan tidak dapat optimal. Di satu sisi Ada kecamatan-kecamatan yang memerlukan otoritas lebih luas untuk bidang-bidang tertentu karena terkait dengan potensi dan karakteristik dominan yang dimiliki oleh kecamatan tersebut di sisi lain ada kecamatan yang memperoleh kewenangan yang tidak relevan bagi daerahnya. Sensitivitas terhadap keragaman konteks ini tidak tampak dalam pola pendelegasian kewenangan yang berlangsung saat ini.
Akar persoalan Ketiga yang menjadi hambatan optimalisasi dan efektivitas peran dan fungsi kecamatan adalah ketidakjelasan definisi dan batasan sebagian 29 fungsi dan ruang lingkup kewenangan kecamatan. Fungsi kecamatan di seluruh bidang kerja yang dilimpahkan adalah ”fasilitasi dan atau koordinasi” namun sebagian besar
26 Secara umum birokrat maupun masyarakat masih memandang kecamatan sebagai unit pemerintah sebagai mana UU No 5/74/.
27 Misalnya jika ada persoalan terkait dengan tingginya tingkat kematian bayi maka Camat yang disalahkan, padahal tanggungjawab ini seharusnya berada di dinas terkait di tingkat pemerintah kota (sumber: wawancara dengan Camat Kota Gede)
28 Lihat SK Walikota No 28/2002 Tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Daerah Kepada Camat, sebagaimana diuraikan dalam Bab II laporan ini.
29 Dalam beberapa bidang sudah ada pengaturan lebih lanjut yang memberikan acuan cukup jelas bagi kecamatan terkait dengan beberapa hal khusus dari kewenangan yang dilimpahkan, misalnya mengenai kewenangan camat terkait dengan IMB, Ijin Gangguan, Ijin Penutupan Jalan, Pemungutan Pajak Hiburan, dan Pajak PKL (Lihat SK Walikota No. 49 Tahun 2003).
belum dilengkapi dengan definisi operasional yang memadai dari dua konsep tersebut. Di samping itu skope atau ruang lingkup tugas dan fungsi kecamatan meskipun telah di atur cukup rinci namun tidak secara tegas menunjukkan keterkaitannya dengan kewenangan kecamatan di atas bidang-bidang yang dilimpahkan.30 Ketidakjelasan ini akibat pola pendelegasian kewenangan yang bersifat sektoral sementara penjabarannya didasarkan pada kerangka organisasional.
Akar persoalan yang Keempat terkait dengan penyeragaman dukungan sumberdaya bagi kecamatan. Penyeragaman sarana pendukung (supporting system) dalam bentuk penyeragaman anggaran, personil dan logistik ini merupakan konsekuensi dari pola penyeragaman kewenangan. Dalam hal ini menjadi persoalan karena masing-masing kecamatan dihadapkan pada karakteristik persoalan yang beragam dan membutuhkan sumberdaya yang bervariasi pula untuk mengatasinya.
Berdasarkan analisa terhadap keempat akar persoalan di atas, selanjutnya dalam bab ini di ajukan beberapa alternatif dalam rangka optimalisasi kinerja kecamatan. Masing-masing alternatif akan dipetakan berdasarkan fisibelitasnya dari sisi politik, hukum, sosial budaya dan ekonomi. Berdasarkan pemetaan terhadap alternatif- alternatif tersebut direkomendasikan alternatif yang paling memungkinkan untuk dilakukan pada saat ini. Namun demikian dinamika setting politik, hukum yang terjadi di kemudian hari bisa saja merubah peta fisibelitas alternatif yang ada.
B. Alternatif Kebijakan
Analisis terhadap keempat akar persoalan mendasar sebagaimana diuraikan di atas memunculkan beberapa alternatif kebijakan dalam rangka penguatan kewenangan kecamatan. Pertama dengan menempatkan kembali kecamatan sebagai unit administrasi pemerintahan yang memiliki otoritas kewilayahan. Alternatif Kedua adalah menegaskan posisi kecamatan sebagai perangkat pemerintah daerah dengan memperjelas penjabaran kewenangan kecamatan di bidang-bidang yang dilimpahkan. Sedangkan alternatif Ketiga adalah menata ulang kewenangan kecamatan dengan menerapkan pola pendelegasian kewenangan yang mempertimbangkan potensi dan karakter dominan masing-masing kecamatan. Alternatif pertama menempatkan kecamatan tidak hanya
30 Lihat SK Walikota No 199/2005 Tentang Penjabaran Fungsi dan Tugas Kecamatan.
sebagai perangkat pemerintah daerah melainkan sebagai unit pemerintah yang memiliki otoritas kewilayahan. Sedangkan dua alternatif terakhir tetap menempatkan kecamatan sebagai perangkat pemerintah daerah.
B.1 Menempatkan Kembali Kecamatan Sebagai Wilayah Administrasi Pemerintahan dengan Otoritas Kewilayahan
B.1.a Problematika Akibat Pergeseran Konsepsi Kecamatan
Perubahan konsepsi kecamatan dari ”wilayah administrasi pemerintahan” 31 menjadi ”perangkat daerah”32 berpengaruh pada otoritas yang dimiliki kecamatan. Jika sebelumnya kecamatan merupakan unit pemerintahan yang menjalankan fungsi-fungsi dekonsentrasi dan memiliki otoritas kewilayahan, dalam otonomi daerah kecamatan hanya merupakan unit pelayanan yang menjalankan sebagian limpahan kewenangan dari kabupaten/kota. Peran camat tidak lagi sebagai kepala wilayah kecamatan tetapi lebih menjalankan fungsi koordinatif dan fasilitatif atas bidang-bidang kewenangan tertentu yang dilimpahkan. Dengan kata lain apabila sebelumnya kecamatan merupakan wilayah kekuasaan maka saat ini kecamatan adalah wilayah pelayanan.
Perubahan pengertian kecamatan juga membawa konsekuensi pada perubahan kedudukan Camat. Berdasarkan UU 32/2004 camat bukan lagi kepala wilayah melainkan pimpinan organisasi atau satuan kerja kecamatan sebagai unit pelayanan dalam wilayah kerja tertentu. Berfungsi tidaknya camat akan sangat tergantung seberapa besar delegasi kewenangan yang diberikan oleh Bupati/Walikota kepadanya. Dalam konteks kelembagaan perubahan tersebut secara langsung maupun tidak langsung mengubah bentuk organisasi, pembiayaan, pengisian personil, pemenuhan kebutuhan logistik serta akuntabilitasnya.
Pergeseran konsepsi kecamatan pada tataran regulatif sebagaimaan diuraian di atas ternyata tidak disertai dengan pergeseran konsepsi pada aras implementasi. Baik birokrat di tingkat pemerintah kota maupun masyarakat, secara sadar maupun tidak tetap memandang kecamatan sebagai unit pemerintah yang memiki otoritas kewilayahan. Akibatnya kecamatan tetap dibebani tugas dan fungsi layaknya sebuah unit pemerintahan sementara otoritas dan sumberdaya yang dimiliki kecamatan tidak
31 UU No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah
32 UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
lagi mendukung. Kecamatan kemudian cenderung dipandang tidak dapat menjalankan tugas dan fungsi pelayanan secara efektif.
B.1.b. Alternatif Menempatkan Kecamatan Sebagai Unit Pemerintahan
Salah satu alternatif dalam mengatasi persoalan di atas adalah dengan mengembalikan peran dan fungsi kecamatan sebagai unit pemerintahan yang disertai dengan otoritas kewilayahan dan daya dukung yang sesuai. Artinya kecamatan memiliki kewenangan penuh atas wilayah kecamatan dan kelurahan-kelurahan menjadi aparat di bawahnya. Dengan kata lain kecamatan kemudian tidak hanya merupakan unit wilayah pelayanan yang merupakan perangkat pemerintah kota.
Namun demikian perlu ditegaskan bahwa alternatif menempatkan kecamatan sebagai unit pemerintahan tentu saja tidak semata-mata dimaknai sebagai upaya mengembalikan peran kecamatan sebagaimana berlangsung pada era sebelumnya. Penguatan peran kecamatan dalam hal ini harus ditempatkan sebagai upaya meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan masyarakat. Semangat ini tentu sangat berbeda dengan kecenderungan sebelumnya dimana fungsi kecamatan sangat kental dengan nuansa politis, sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat dalam memobilisasi maupun memata-matai masyarakat. Oleh karena itu penguatan kewenangan kecamatan harus bergerak dalam bingkai demokrasi yang mengedepankan nilai-nilai transparansi, partisipasi dan akuntabilitas.
B.1.c. Fisibelitas Hukum
Meskipun otoritas mengelola kecamatan diserahkan kepada pemerintah kota/kabupaten sesuai dengan prinsip otonomi, namun regulasi nasional telah menetapkan bahwa status kecamatan adalah perangkat pemerintah daerah, bukan unit pemerintahan. Pada lingkup yang lebih spesifik pemerintah nasional bahkan telah menetapkan rambu-rambu bagi pemerintah daerah dalam mengelola perangkat-perangkat daerahnya termasuk kecamatan. Dengan demikian alternatif menempatkan kecamatan sebagai wilayah administratif pemerintahan jelas bertentangan dengan undang-undang dan ketentuan-ketentuan nasional lainnya terkait dengan pemerintahan daerah yang berlaku saat ini.
B.1.d. Fisibelitas Politik
Dari sisi politik, penguatan kewenangan sebagai wilayah pemerintahan jelas memerlukan dukungan tidak hanya dari kalangan birokrat di pemerintahan kota dan politisi di parlemen tetapi juga dari kekuatan-kekuatan di luar negara termasuk masyarakat, kelompok-kelompok kepentingan maupun Civil Society Organizations (CSOs). Bisa dibayangkan upaya memperoleh dukungan politik ini bukan perkara mudah. Pada level internal pemerintah belum tentu terjadi kesepakatan karena perubahan ini membawa implikasi luas misalnya pengurangan kewenangan badan, dinas atau kantor, perubahan alokasi anggaran bagi semua perangkat daerah, perubahan struktur kepegawaian di tingkat kecamatan, dan sebagainya. Upaya meyakinkan parlemen maupun masyarakat Kota Yogyakarta akan relevansi penguatan peran kecamatan sebagai wilayah administratif pemerintah juga merupakan pekerjaan berat yang harus dilakukan jika altenatif ini dipilih.
B.1.c. Fisibelitas Ekonomi
Perubahan kedudukan dan kewenangan kecamatan dari unit pelayanan menjadi wilayah administratif pemerintahan jelas akan membawa implikasi pada dimensi anggaran. Oleh karena itu secara ekonomi perlu dicermati apakah alternatif ini efisien dari sisi anggaran atau justru akan menambah beban anggaran pemerintah kota. Perhitungan juga harus mempertimbangkan kesiapan anggaran dari pemerintah kota maupun ketersediaan dukungan dari sumber-sumber lain. Analisis terhadap kekuatan serta dampak ekonomi dari penerapan alternatif kebijakan ini sangat penting untuk dilakukan mengingat tanpa fisibelitas ekonomi kewenangan-kewenangan yang dilimpahkan pada kecamatan tidak akan dapat beroperasi efektif. Mm
B.1.d. Fisibelitas Administratif
Secara administratif, yang perlu dipertimbangkan adalah implikasinya baik terhadap sistem administrasi pemerintahan maupun kependudukan. Dari sisi administrasi kependudukan perubahan peran kecamatan ini kemungkinan besar tidak akan terlalu problematik mengingat sebagian besar fungsi civic services umum seperti pembuatan KTP, KK, atau SKCK misalnya, saat inipun dilakukan
di tingkat kecamatan. Penguatan kewenangan kecamatan justru kemungkinan besar akan menguntungkan dari sisi pelayanan administratif masyarakat karena akan semakin banyak hal yang bisa diselesaikan di tingkat kecamatan. Implikasi yang problematik kemungkinan besar justru terjadi pada sistem administrasi pemerintahan karena perubahan ini jelas menuntut penyesuaian-penyesuaian administrasi. Mengembalikan kecamatan sebagai wilayah administratif pemerintahan misalnya, jelas akan merubah struktur anggaran dan sistem akuntabilitas yang selama ini diterapkan. Demikian pula pada sistem pengorganisasian dan penempatan pegawai.
B.1.e. Fisibelitas Sosial
Berbeda dengan kebijakan penggabungan atau pemekaran kecamatan, alternatif- alternatif yang terkait dengan penguatan kewenangan cenderung tidak menghadapi implikasi yang problematik dari sisi sosial. Persoalannya lebih terletak pada orientasi penguatan kewenangan kecamatan dan argumentasi yang diberikan kepada masyarakat. Selama penguatan kewenangan berorientasi pada upaya peningkatan kualitas pelayanan serta tetap mengedepankan prinsip- prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas, kemungkinan tidak akan memunculkan problematika sosial. Sebaliknya resistensi sosial kemungkinan besar akan timbul ketika penguatan kewenangan kecamatan cenderung berorientasi kekuasaan semata dan mengabaikan prinisip-prinsip demokrasi.
Upaya optimalisasi kinerja kecamatan melalui alternatif menempatkan kecamatan sebagai wilayah administratif pemerintahan dengan otoritas dan kewenangan kewilayahan merupakan alternatif yang menuntut perubahan-perubahan mendasar. Assessment terhadap berbagai aspek fisibelitas di atas memberikan gambaran bahwa alternatif ini akan menghadapi kendala yang cukup berat dan kemungkinan besar tidak akan fisibel untuk dilakukan pada saat ini. Hambatan utamanya terletak pada dimensi hukum dan dimensi politik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa menempatkan kecamatan sebagai unit pemerintahan merupakan alternatif yang cukup ”beresiko”. Kewenangan dan otoritas kecamatan yang besar mungkin sangat diperlukan untuk kabupaten yang memiliki wilayah luas atau dengan karakteristik wilayah yang berpulau-pulau dengan sistem
komunikasi dan transportasi yang terbatas. Namun dalam setting geografis, sosial politik dan kultur masyarakat urban seperti Kota Yogyakarta, pembentukan kecamatan sebagai unit pemerintahan bisa jadi bukan merupakan alternatif yang tepat. Langkah ini misalnya justru bisa dimaknai sebagai kemunduran (setback) mengingat jangkauan pelayanan tidak menjadi persoalan.
B.2 Menegaskan Batasan dan Penjabaran Kewenangan Kecamatan Sebagai Perangkat Pemerintah Daerah
B.2.a Problematika
Salah satu persoalan mendasar yang menyebabkan inefektifitas pelaksanaan kewenangan kecamatan pada saat ini terletak pada batasan dan penjabaran kewenangan yang dilimpahkan pada kecamatan. Hingga saat ini petunjuk lebih lanjut operasionalisasi kewenangan yang dilimpahkan pada kecamatan masih sangat terbatas. Satu-satunya petunjuk yang cukup detil masih terbatas pada bidang tertentu saja yaitu terkait dengan kewenangan khusus ijin pembangunan, ijin gangguan, ijin penutupan jalan, pemungutan pajak hiburan khusus VCD serta pajak restoran khusus PKL. 33 Sementara untuk bidang-bidang kewenangan kecamatan lainnya belum diatur secara lebih spesifik.
Mengenai penjabaran fungsi dan tugas kecamatan ini pada tahun 2005 memang telah dikeluarkan SK Walikota yang mengatur secara sangat spesifik fungsi dan tugas kecamatan34 namun penjabaran fungsi dan tugas kecamatan dalam SK ini tidak secara jelas merefleksikan keterkaitan antara penjabaran fungsi dan tugas kecamatan dengan ke-24 kewenangan sektoral yang dilimpahkan pada kecamatan. Kerancuan ini bisa jadi disebabkan karena logika pelimpahan kewenangan pada kecamatan bergerak pada logika sektoral sedangkan penjabaran tugas dan fungsi kecamatan yang dilakukan lebih didasarkan pada logika organisasional.
Di samping belum tersedianya panduan pelaksanaan kewenangan yang memadai bagi kecamatan, persoalan terkait lainnya yang dihadapi oleh kecamatan adalah alur pendelegasian tugas serta pelaporan. Secara normatif kecamatan merupakan lini kewilayahan yang menjalankan pekerjaan-pekerjaan operasional langsung
33 Lihat SK Walikota Yogyakarta No. 49 Tahun 2003
34 Lihat SK Walikota Yogyakarta No. 199 tahun 2005
melayani kepentingan masyarakat. Unsur kewilayahan ini yang membedakan kecamatan dengan dinas-dinas yang menjalankan kewenangan teknis bidang tertentu. Organisasi kecamatan kemudian melaksanakan berbagai bagian kewenangan teknis yang dilimpahkan dengan batasannya berupa wilayah kerja tertentu. Dalam implementasinya batasan ini seringkali diabaikan. Dinas-dinas teknis seringkali secara langsung beroperasi di tingkat wilayah kecamatan maupun kelurahan karena memandang kecamatan tidak memiliki kapasitas yang memadai. Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena pada kenyataannya memang kecamatan hanya diberi kewenangan tanpa dukungan sumberdaya yang memadai. Namun pada saat yang sama pemerintah kota masih seringkali menuntut pertanggungjawaban camat terhadap persoalan-persoalan teknis yang terjadi di wilayahnya.
Kecamatan dengan kata lain dilekatkan fungsi intermediary dan subsidiary namun implementasi kedua peran ini sama-sama tidak tegas. Ambivalensi yang kemudian terkesan membuat semrawutnya alur pendelegasian tugas dan pelaporan ini sesungguhnya juga berakar pada mindset yang tetap menempatkan kecamatan sebagai wilayah administratif pemerintahan. Persoalan-persoalan yang dihadapi kecamatan sebagaimana diuraikan di atas secara langsung berimplikasi pada lemahnya kinerja kecamatan.
B.2.b. Penegasan Batasan dan Penjabaran Kewenangan Kecamatan
Sebagai alternatif jalan keluar dari persoalan-persoalan tersebut adalah dengan menegaskan kembali batasan-batasan kewenangan kecamatan serta pengaturan lebih lanjut yang merefleksikan secara tegas kewenangan-kewenangan kecamatan. Pilihan penataan kewenangan ini dilakukan dengan tetap menempatkan kecamatan sebagai perangkat daerah. Kewenangan-kewenangan maupun fungsi dasar kecamatan pun tetap menggunakan ketentuan yang berlaku saat ini hanya saja lebih ditegaskan batasan-batasan cakupannya. Artinya penjabaran tugas dan fungsi kecamatan harus benar-benar merupakan cerminan dari 24 kewenangan sektoral yang didelegasikan pada kecamatan.
Mengingat luasnya bidang tugas dan spesifikasi kompetensi yang diperlukan, tentunya cakupan tugas dan fungsi kecamatan di ke-24 bidang tersebut harus disesuaikan dengan kesiapan dan ketersediaan daya dukung baik personil,
anggaran, maupun peralatan. Jabaran tugas dan fungsi terkait dengan kewenangan tersebut kemudian diklusterisasikan berdasarkan gugus kerja (seksi) yang ada di kecamatan. Efektivitas pelaksanaan kewenangan-kewenangan ini dengan demikian sangat tergantung pada sinergisitas diantara seksi-seksi. Sebagai pimpinan organisasi kecamatan, camat bertanggungjawab dalam mendorong terciptanya sinergisitas diantara seksi-seksi sehingga efektivitas kinerja dapat tercapai.
Di samping penjabaran dan pengorganisasian kewenangan kecamatan, alternatif ini juga mencakup penegasan batas-batas kewenangan dinas serta penegasan pola relasi antara dinas-dinas teknis dengan kecamatan sebagai lini kewilayahan. Hal ini penting dilakukan untuk menghindari overlaping tanggung jawab, ambivalensi tugas dan fungsi serta bahkan konflik yang menyebabkan inefektivitas pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Hal lain yang juga penting untuk dilakukan adalah melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan tugas dan fungsi kecamatan. Ini perlu dilakukan dalam rangka meluruskan persepsi masyarkat. Dengan demikian masyarakat mengerti batasan-batasan kewenangan yang dimiliki oleh kecamatan dan tidak lagi beranggapan bahwa kecamatan adalah wilayah administrasi pemerintahan yang bertanggungjawab atas semua hal yang terjadi di lingkungan kecamatan.
B.2.c. Fisibelitas Politik
Penataan kewenangan yang lebih berorientasi pada penegasan pada aturan pelaksana dan pola relasi semacam ini cenderung moderat dan karenanya tidak terlalu problematik dari sisi politik. Dari sisi aktor, proses pembenahan yang dilakukan relatif hanya berada pada lingkaran internal birokrasi, dalam hal ini yang menjadi fokus utama adalah relasi antara kecamatan dengan perangkat- perangkat daerah lainnya terutama dinas-dinas teknis dan kelurahan. Dengan kata lain secara politik alternatif ini memiliki tingkat Fisibelitas dan akseptabilitas yang cukup tinggi.
B.2.d. Fisibelitas Regulasi
Dari sisi regulasi alternatif kedua ini konkordan dengan regulasi lokal maupun nasional yang berlaku. Pilihan terhadap alternatif ini bahkan merupakan cermin
pelaksanaan regulasi secara konsekuen. Dengan demikian upaya penegasan peran dan kewenangan kecamatan serta relasi antara kecamatan dengan dinas maupun kelurahan tidak akan menghadapi kendala dari sisi regulasi. Hanya saja pada lingkup lokal perlu ada regulasi yang mengatur lebih lanjut mengenai penjabaran masing-masing kewenangan yang dilimpahkan ke kecamatan. Untuk beberapa sektor, Pemerintah Kota Yogyakarta sudah memiliki aturan ini, misalnya SK Walikota No. 49 Tahun 2003 yang mengatur kewenangan camat terkait dengan IMB, Ijin Gangguan, Ijin Penutupan Jalan, Pemungutan Pajak Hiburan, dan Pajak PKL.
B.2.e. Fisibelitas Administratif
Ditinjau dari sisi administratif, upaya merumuskan kewenangan kecamatan secara lebih definitif seharusnya justru akan membawa implikasi positif bagi pelayanan publik. Namun dalam prakteknya upaya ini kemungkinan akan dihadapkan pada kendala-kendala administratif mengingat praktek semacam ini sudah berlangsung cukup lama. Namun demikian penyelesaian persoalan administratif ini tetap sangat mungkin untuk dilakukan.
B.2.d. Fisibelitas Sosial
Sebagaimana telah diuraikan bahwa orientasi alternatif penataan kewenangan dalam hal ini lebih difokuskan pada relasi antara kecamatan dengan dinas-dinas di pemerintahan kota serta kelurahan. Proses penataan yang bersifat intragovernmental ini bisa dikatakan tidak bersinggungan dengan masyarakat. Pada level masyarakat, penataan relasi ini justru akan membawa dampak positif yakni dengan adanya kejelasan dalam mengakses pelayanan publik. Persoalan yang paling mendasar justru terletak pada kultur birokrasi untuk secara konsisten mengikuti aturan main dan rambu-rambu yang telah disepakati.
B.2.e. Fisibelitas Ekonomi
Secara ekonomi, alternatif penataan kewenangan kecamatan yang lebih berdimensi intra-governmental ini relatif tidak memerlukan banyak biaya. Adanya kejelasan mengenai acuan pelaksanaan kewenangan kecamatan justru akan
berimplikasi pada kejelasan pos-pos penganggaran. Dengan demikian transparansi dan akuntabilitas anggaran akan lebih terjaga.
Alternatif penataan kewenangan dengan tetap mengacu pada pola pelimpahan yang ada memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan dari alternatif ini diantaranya adalah proses penataaan yang dilakukan lebih bersifat internal birokrasi, tidak berdampak sistemik dan karenanya relatif tidak memerlukan energi yang besar. Namun demikian alternatif ini memiliki kelemahan yang cukup mendasar karena secara substantif penataan kewenangan ini tetap masih mengabaikan konteks yang dihadapi oleh masing-masing kecamatan. Dengan tetap diadopsinya pola pendelegasian kewenangan dan transfer sistem pendukung dengan pola paket, perbedaan karakteristik dan potensi masing-masing kecamatan tidak dapat terakomodasi.
B.3 Penguatan Fungsi dan Perubahan Pola Pendelegasian Kewenangan yang Mempertimbangkan Potensi dan Karakter Dominan Masing-Masing Kecamatan
B.3.a Problematika
Pendelegasian kewenangan kecamatan yang berlaku selama ini cederung mengikuti pola seragam yaitu dengan mendelegasikan sebagian kewenangan Walikota secara seragam terhadap semua kecamatan yang ada tanpa memperhatikan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi implementasinya. Pola ini mudah dibuatnya tetapi tidak akomodatif terhadap kebutuhan pelayanan masyarakat. Mekanisme semacam ini juga cenderung menutup peluang bagi aktualisasi dan optimalisasi potensi-potensi yang dimiliki oleh kecamatan. Pada tahap berikutnya penerapan pola ini cenderung diikuti dengan pemberian anggaran, personil dan logistik yang sama untuk semua kecamatan. Hal ini jelas menimbulkan ketidakadilan serta akan sulit untuk mengukur akuntabilitas kecamatan secara obyektif.
B.3.b. Perubahan Pola Pendelegasian dan Lingkup Peran dan Fungsi Kecamatan
Alternatif ke tiga dalam penataan kewenangan adalah dengan melakukan perubahan pada pola pendelegasian kewenangan. Jika selama ini pendelegasian kewenangan bersifat topdown dan seragam untuk semua kecamatan, dalam alternatif ini terdapat disain berbeda yang memberikan ruang bagi keragaman karakteristik kecamatan. Pada prinsipnya alternatif ini membagi kewenangan kecamatan menjadi kewenangan dasar dan kewenangan khusus. Kewenangan dasar dalam hal ini adalah kewenangan yang melekat pada seluruh kecamatan. Kewenangan dasar ini terdiri dari fungsi-fungsi pelayanan publik dasar (basic public service) serta fungsi-fungsi pelayanan kewarganegaraan (civic service). Adapun kewenangan khusus merupakan kewenangan-kewenangan yang pendelegasiannya disesuaikan dengan kebutuhan, karakteristik, dan faktor-faktor dominan masing-masing kecamatan dengan kriteria-kriteria tertentu sebagai tolok ukurnya. Penentuan kewenangan khusus ini dengan demikian lebih bersifat bottom up.
Karakteristik dan faktor-faktor dominan yang dapat dijadikan dasar bagi pemberian kewenangan khusus antara lain adalah:
1. Karakteristik penduduk, misalnya dilihat dari pendidikan, mata pencaharian, dll.
2. Karakteristik perekonomian, dilihat dari sektor ekonomi yang memiliki potensi pengembangan paling besar, misalnya sektor perdagangan, kerajinan, perindustrian, jasa, pariwisata, dll.
3. Karakteristik Budaya, misalnya ditinjau keberadaan situs cagar budaya, densitas kelompok-kelompok pegiat budaya, dst.
4. Karakteristik Sosial, misalnya dilihat dari tingkat persoalan sosial terkait dengan karakter urban seperti prostitusi, kriminalitas, premanisme, dll.
5. Karakter Geografis, misalnya dilihat dari tingkat kerawanan daerah terhadap bencana seperti kebanjiran, gempa bumi, tanah longsor, dll.
Baik pada kewenangan dasar maupun kewenangan khusus, peran dan fungsi kecamatan dapat dikembangkan mencakup peran dan fungsi sebagai berikut:
1. Perijinan;
2. Rekomendasi;
3. Koordinasi;
4. Pembinaan;
5. Pengawasan;
6. Fasilitasi;
7. Penetapan;
8. Pengumpulan dan penyampaian informasi.
Pola ini memerlukan upaya untuk membuatnya akan tetapi akan menghasilkan pendelegasian kewenangan yang cocok dengan kebutuhan pelayanan masyarakat. Melalui pendelegasian dengan pola ini akan dapat disusun perkiraan bentuk organisasi, kebutuhan anggaran, kebutuhan personil serta kebutuhan logistik dengan lebih tepat sehingga akan mempermudah pengukuran kinerja organisasi kecamatan secara lebih adil dan transparan.
Alternatif penataan kewenangan ini memiliki banyak kelebihan. Pertama, dari sisi relevansi kewenangan, pola semacam ini lebih memberikan jaminan relevansi kewenangan dengan konteks lokal dan karakteristik persoalan yang dihadapi masing-masing kecamatan. Persoalan irelevansi kewenangan sebagaimana banyak dialami saat ini dengan demikian akan dapat dihindari. Dengan penerapan opsi kewenangan khusus masing-masing kecamatan yang memenuhi kriteria dapat mengajukan pendelegasian kewenangan khususnya bagi daerahnya. Kedua, pola pendelegasian kewenangan semacam ini dapat mendorong kecamatan untuk lebih mengoptimalkan perannya dalam memfasilitasi pemberdayakan potensi-potensi yang dimiliki masyarakatnya. Dengan demikian program pemberdayaan masyarakat yang juga berdampak pada program-program lain –program pengentasan kemiskinan misalnya-- dapat diupayakan secara lebih sistemis. Ketiga, dengan bertambahnya kewenangan kecamatan, upaya penyelesaian persoalan-persoalan di wilayah kecamatan dapat dilakukan secara lebih cepat.
Dibandingkan alternatif kedua sebelumnya, alternatif ketiga ini memberikan pekerjaan lebih besar bagi pemerintah kota. Penataan ulang kewenangan kecamatan jelas akan membawa implikasi mendasar bagi pola pelimpahan kewenangan dan pengorganisasian kecamatan maupun dinas-dinas teknis di lingkungan Pemkot. Untuk itu diperlukan dukungan cukup besar baik dari sisi politik, regulasi, ekonomi, maupun administratif. Terkait dengan hal tersebut berikut akan uraikan secara ringkas tentang fisibelitas alternatif ini.
B.3.c. Fisibelitas Politik
Mengingat implikasinya yang cukup luas, perubahan mendasar pada pengorganisasian kewenangan kecamatan ini tentu saja memerlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama di lingkungan internal birokrasi dan DPRD. Dalam lingkup internal birokrasi, adanya komitmen dari Walikota hingga kelegawaan dinas-dinas teknis untuk melimpahkan sebagian kewenangannya merupakan salah satu faktor kunci. Disamping itu tentu saja diperlukan kemauan politik (political will) baik dari pemerintah maupun parlemen daerah untuk menjadikan kecamatan sebagai pusat pelayanan masyarakat, untuk pelayanan yang bersifat sederhana, seketika, mudah, dan murah serta berdaya lingkup setempat. Upaya meyakinkan para stakeholder ini merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah kota. Argumentasi dasar yang harus selalu diperkuat adalah bahwa upaya ini dilakukan semata-mata dalam rangka peningkatan efektivitas pelayanan masyarakat dan penyelenggaraan pemerintahan.
B.3.d. Fisibelitas Regulasi
Secara normatif pada prinsipnya otoritas mengelola kecamatan berada di tangan pemerintah daerah karena kecamatan merupakan perangkat pemerintah daerah. Namun demikian pemerintah pusat tetap memberikan rambu-rambu mengenai pengaturan organisasi kecamatan dengan tetap memberi peluang bagi variasi konteks di masing-masing daerah. Dalam Kepmendagri No 158 Tahun 2004 Tentang Pedoman Organisasi Kecamatan misalnya, secara tegas diatur bahwa ”Organisasi Kecamatan terdiri dari camat, sekretaris, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) seksi, serta kelompok jabatan fungsional”.35
Namun dari 5 seksi maksimal yang dimungkinkan, pemerintah pusat hanya menentukan 2 seksi yang wajib ada di setiap kecamatan, yaitu Seksi Pemerintahan dan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban Umum. Sedangkan 3 seksi lainnya dapat dibentuk sesuai dengan spesifikasi dan karakteristik wilayah kecamatan atau sesuai kebutuhan daerah.36 Dengan demikian secara yuridis, alternatif pemberian kewenangan khusus bagi kecamatan sejalan dengan ketentuan regulasi nasional yang berlaku saat ini.
35 Kepmendagri No 128 Tahun 2004 Tentang Pedoman Organisasi Kecamatan (Pasal 14 ayat 1).
36 Ibid, Pasal 5
B.3.d. Fisibelitas Administratif
Secara administratif alternatif penataan kewenangan ini pada prinsipnya sangat dimungkinkan selama legitimasi politik maupun hukum sudah dapat terpenuhi. Dalam konteks ini yang perlu dipersiapkan dengan cermat adalah instrumen administratif yang dapat mengawal proses transisi dan pendelegasian sebagian kewenangan dinas kepada kecamatan, termasuk di dalamnya penyusunan kriteria pelimpahan kewenangan khusus, instrumen verifikasi, mekanisme penganggaran, sistem pertanggungjawaban, hingga instrumen evaluasi kinerja daerah. Hal lain yang juga sangat penting dalam mendukung keberhasilan upaya ini adalah adanya inovasi administratif dalam merumuskan struktur insentif bagi institusi maupun pegawai-pegawai berprestasi baik di lingkup kecamatan maupun dinas-dinas teknis di pemerintah kota.
B.3.e. Fisibelitas Ekonomi
Pada prinsipnya penataan kewenangan kecamatan melalui penetapan kewenangan dasar dan kewenangan khusus tidak menambah beban anggaran bagi pemerintah kota. Yang terjadi adalah perubahan peta alokasi anggaran yang menyesuaikan dengan pendelegasian kewenangan. Jika sebelumnya alokasi anggaran operasional untuk kewenangan-kewenangan tertentu berada di dinas- dinas teknis, maka setelah kewenangan tersebut didelegasikan pada kecamatan alokasi anggarannya otomatis akan dilimpahkan ke kecamatan.
B.3.f. Fisibelitas Sosial
Sebagaimana alternatif ke-2, pilihan penguatan kewenangan kecamatan melalui penetapan kewenangan dasar dan kewenangan khusus ini lebih banyak bergerak pada intergovernmental sehingga tidak memunculkan problematika pada aras sosial. Proses perubahan-perubahan pada aras pemerintahan ini justru dilakukan dalam rangka meningkatkan performance pemerintah dalam memberikan pelayanan maupun dalam upaya memfasilitasi pemberdayaan masyarakat.
Alternatif penataan kewenangan kecamatan melalui pendelegasian kewenangan dasar dan kewenangan khusus merupakan alternatif yang mampu mengakomodasi perbedaan konteks dan karakteristik masing-masing kecamatan.
Dengan adanya kewenangan dasar dan kewenangan khusus ini diharapkan kecamatan dapat menjalankan fungsi pelayanan dengan lebih efektif dan efisien. Pendelegasian kewenangan khusus diharapkan juga akan mendorong kecamatan untuk dapat berperan lebih aktif dalam mengembangkan dan memberdayakan potensi-potensi yang dimiliki. Namun perlu ditekankan bahwa pendelegasian kewenangan harus disertai dengan dukungan sumberdaya yang proporsional. Tanpa adanya dukungan yang proporsional baik dari sisi anggaran, personil, maupun peralatan, penguatan kewenangan dan peran kecamatan tidak akan akan dapat bekerja optimal.
C. Kesimpulan dan Rekomendasi
Ketiga alternatif penataan kewenangan kecamatan sebagai mana diuraikan di atas memiliki kelemahan dan kelebihan serta tingkat fisibelitas yang berbeda-beda. Relevansi maupun fisibelitas ketiga alternatif tersebut dalam hal ini disesuaikan dengan setting lokal Kota Yogyakarta dan juga dengan setting nasional, terutama yang terkait dengan fisibelitas regulasi/hukum.
Alternatif pertama yang menekankan pada penempatan kembali kecamatan sebagai unit administrasi pemerintah yang memiliki otoritas kewilayahan penuh jelas tidak fisibel karena bertentangan dengan semangat regulasi nasional. Regulasi nasional sebagaimana kita tahu menempatkan kecamatan dalam posisi perangkat daerah dan karenanya lebih sebagai unit pelayanan bukan unit pemerintahan. Sedangkan pada konteks Kota Yogyakarta, menempatkan kembali kecamatan sebagai unit pemerintahan tidak cukup strategis karena pertimbangan karakter demografis, geografis maupun ekonomis. Pertimbangan fisibelitas politik, regulasi, administrasi serta ekonomi juga mengindikasikan bahwa alternatif ini tidak fisibel bagi Pemerintah Kota Yogyakarta.
Alternatif kedua pada prinsipnya merupakan upaya untuk mempertegas peran dan kewenangan kecamatan berikut pola relasi antara kecamatan dengan perangkat daerah lainnya. Jika dilihat dari aspek fisibelitas, alternatif ini merupakan pilihan yang paling fisibel baik dari sisi politik, hukum, administrasi maupun ekonomi. Dalam lingkup lokal alternatif ini tidak akan merubah kewenangan kecamatan melainkan hanya memperjelas detil aturan main, sehingga tidak akan membawa implikasi yang berat. Pada lingkup regulasi nasional, pilihan kedua ini sepenuhnya taat dengan ketentuan regulasi yang berlaku. Namun demikian jika dilihat dari aspek relevansi dan
efektivitas, pilihan ini masih memiliki kelemahan mendasar, yaitu tidak sensitif terhadap konteks dan keragaman faktor dominam kecamatan. Akibatnya pilihan terhadap alternatif ini kemungkinan besar tidak akan membawa dampak signifikan bagi upaya optimalisasi peran kecamatan.
Relevansi dan Fisibelitas Alternatif Rekomendasi Penataan Kewenangan Kecamatan di Pemerintah Kota Yogyakarta
No | Alternatif Rekomendasi | Relevansi & efektivitas | FISIBELITAS | ||||
Politik | Hukum | Adm. | Eknmi | Sosial | |||
1. | Menempatkan Kecamatan Sebagai Unit Administrasi Pemerintahan dengan Otoritas dan Kewenangan Kewilayahan | + | + | + | ++ | ++ | + |
2. | Menegaskan Batasan dan Penjabaran Kewenangan Kecamatan yang Berlaku Saat ini | ++ | +++ | +++ | ++ | +++ | ++ |
3. | Penataan Ulang Kewenangan Kecamatan dgn Mempertimbangkan Potensi dan Karakter Tiap Kecamatan | +++ | ++ | ++ | ++ | ++ | ++ |
Keterangan: +++ (tinggi) ++ (sedang) + (rendah) |
Alternatif ketiga sesungguhnya berupaya menjembatani kelemahan dari alternatif pertama dan kedua seraya melangkah lebih jauh dengan menawarkan format pendelegasian kewenangan yang sensitif terhadap keragaman konteks. Dalam alternatif ini dirancang pembedaan antara kewenangan dasar dan kewenangan khusus. Kewenangan dasar disematkan pada semua kecamatan dalam rangka standarisasi pelayanan. Sedangkan kewenangan khusus diberikan hanya kepada kecamatan- kecamatan yang memenuhi kriteria tertentu untuk mengakomodasi keragaman konteks, potensi maupun karakteristik dominan yang dimiliki. Dari sisi fisibelitas, alternatif ini memerlukan kerja lanjutan yang cukup berat bagi Pemerintah Kota baik dalam proses identifikasi dan sinkronisasi kewenangan kecamatan, dinas dan kelurahan, skema pengalokasian anggaran, institusionalisasi kebijakan hingga perumusan instrumen monitoring dan evaluasi kinerja kecamatan. Namun demikian
kerja besar tersebut secara politik, hukum, administrasi maupun ekonomi tetap fisibel untuk dilakukan.
Berdasarkan penilaian terhadap relevansi dan fisibelitas ketiga alternatif di atas, alternatif penataan kewenangan kecamatan dengan memperhatikan dimensi keragaman (alternatif ke 3) merupakan alternatif yang paling strategis bagi Pemerintah Kota Yogyakarta. Alternatif ini memberi ruang akomodasi bagi keragaman karakteristik yang dimiliki kecamatan sehingga diharapkan pelayanan dan pengembangan potensi- potensi lokal dapat lebih optimal.
Perlu ditekankan pula bahwa upaya optimalisasi peran kecamatan tidak cukup hanya dengan menambahkan kewenangan yang dimiliki melainkan juga harus diikuti dengan perubahan kultur dari penguasa menjadi pelayan masyarakat. Pada saat yang sama efektivitas penyelenggaraan kewenangan kecamatan akan sangat tergantung pula pada dukungan pendanaan, kompetensi personil yang sesuai dengan kebutuhan serta dukungan logistik yang secara minimal dapat digunakan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
Faktor lain yang juga sangat menentukan keberhasilan upaya optimalisasi peran kecamatan terletak pada faktor kepemimpinan. Berdasarkan hasil penelitian di beberapa kecamatan di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa optimalisasi peran kecamatan tidak bisa lepas dari figur camat. Oleh karena itu pengisian jabatan camat sedapat mungkin dilakukan dengan melalui fit and proper test maupun uji kompetensi dalam jabatan. Uji kompetensi jabatan camat ini sebaiknya dilakukan oleh lembaga yang bersifat independen dengan materi uji kompetensi yang terstandarisasi.
BAB V
Alternatif Kebijakan dan Rekomendasi:
Masalah Kelembagaan
A. Pengantar
B
erkaitan dengan penataan kelembagaan, secara umum, rekomendasi kebijakan diarahkan untuk menjawab persoalan kelembagaan di dua ranah, yaitu ranah eksternal dan ranah internal. Dalam ranah eksternal, rekomendasi kebijakan diharapkan bisa menjawab sejumlah problem
kelembagaan kecamatan yang terkait dengan fungsi dan hubungan kecamatan dengan instansi pada level pemerintah kota serta instansi pada level kelurahan. Lebih lanjut, terkait dengan problem kelembagaan di ranah eksternal, setidaknya ada tiga isu krusial yang harus dijawab. Pertama, isu tentang status dan kedudukan kelembagaan kecamatan. Secara umum, isu ini dapat dipetakan menjadi dua tarikan aspirasi pokok, yaitu tarikan aspirasi yang menghendaki kecamatan tetap memiliki status sebagai penguasa wilayah serta tarikan aspirasi yang cenderung menempatkan kecamatan hanya sebagai unit administratif pemerintahan tanpa dilekati status sebagai penguasa wilayah. Kedua, isu tentang pelimpahan kewenangan antar instansi pemerintahan. Pelimpahan kewenangan, dalam ranah eksternal, mempunyai kaitan erat dengan fungsi pokok yang dilekatkan pada kecamatan. Dengan demikian, proses pelimpahan kewenangan dituntut untuk memenuhi kriteria fungsi pokok kecamatan serta mempertimbangkan kapasitas kelembagaan antar instansi pemerintah baik dalam level kelurahan, kecamatan dan pemerintah kota. Ketiga, isu tentang desain kelembagaan. Pada level operasional, muncul aspirasi yang menghendaki adanya desain kelembagaan kecamatan yang bisa menjawab keragaman dan konteks lokalitas dari masing-masing kecamatan.
Untuk ranah internal, rekomendasi kebijakan relatif diarahkan guna memberi alternatif solusi terhadap berbagai persoalan kelembagaan yang terkait dengan tata kelembagaan dan fungsi internal dari kecamatan. Secara umum, persoalan utama di ranah internal yang akan dijawab adalah perumusan fungsi dasar kecamatan, desain tata kelembagaan kecamatan serta pengakomodasian keragaman karakter dalam tata kelembagaan kecamatan.
Seiring dengan adanya usulan penataan kewenangan sebagaimana diuraikan pada Bab IV, maka desain kebijakan kelembagaan juga direkomendasikan mengalami
penataan ulang. Rekomendasi ini diambil dengan berbasiskan beberapa argumentasi, antara lain: pertama, penataan kelembagaan kecamatan, pada level praksis, digunakan untuk merespons penataan kewenangan. Artinya, penataan kelembagaan merupakan instrumen teknis dari operasionalisasi kewenangan dan fungsi yang akan dilekatkan pada kecamatan. Kedua, penataan kelembagaan adalah salah satu alternatif solusi yang ditawarkan untuk mewujudkan sinkronisasi kinerja kelembagaan kecamatan baik dalam ranah eksternal maupun dalam ranah internal. Di ranah eksternal, melalui penataan kelembagaan diharapkan sinkronisasi kinerja antara kecamatan, kelurahan dan pemerintah kota dapat dihasilkan. Sedangkan, di ranah internal, sinkronisasi kinerja antar unit dalam kecamatan merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam penataan kelembagaan. Ketiga, penataan kelembagaan kecamatan diharapkan menjadi alternatif solusi guna mewujudkan efektifitas dan efisiensi dalam rangka opersionalisasi fungsi- fungsi dasar yang dilekatkan pada kecamatan.
B. Alternatif Pemecahan Persoalan
B. 1. Ranah Eksternal
B. 1. 1. Hubungan Kecamatan dengan Institusi di Level Pemerintah Kota
Dalam ranah eksternal, terkait dengan hubungan kecamatan dengan institusi di level pemerintah kota, setidaknya terdapat tiga persoalan krusial yang harus dijawab, antara lain: pertama, status dan kedudukan kecamatan. Perunutan persoalan di tingkatan empiris menunjukkan fakta bahwa ada dua tarikan aspirasi dasar dalam merespons problema yang terkait dengan status dan kedudukan kecamatan. Tarikan aspirasi pertama menghendaki kecamatan kembali dilekati status sebagai penguasa wilayah. Aspirasi ini didasari oleh tuntutan dan cara pandang masyarakat serta birokrasi yang bekerja di kecamatan yang masih menempatkan kecamatan sebagai penguasa wilayah sebagaimana diatur dalam UU. No. 5 Tahun 1974. Adapun, tarikan aspirasi yang kedua lebih cenderung menempatkan kecamatan sebagai perangkat daerah dari pemerintah kota. Dengan demikian, kecamatan ditafsir menjadi unit pemerintahan yang bersifat administratif tanpa dilekati dengan status sebagai penguasa wilayah.
Guna merespons kedua tuntutan di atas, dari sudut visibilitas hukum, kecamatan lebih tepat ditempatkan sebagai satuan perangkat daerah dari pemerintah kota. Kecamatan, dalam konteks ini, hanya menjadi unit pemerintahan yang bersifat administratif dan tidak mengemban status sebagai penguasa wilayah. Rekomendasi ini, secara yuridis formal, mengacu pada UU. No. 32 Tahun 2004. Pasal 126, ayat (1) dari regulasi ini menyatakan bahwa: ”Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/kota dengan Perda
berpedoman pada Peraturan Pemerintah.” Selanjutnya, dalam bagian penjelasan, secara yuridis formal, regulasi ini menyatakan bahwa: “Kecamatan adalah wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota.” Mengacu pada klausul ini, terlihat bahwa tidak ada visibilitas secara hukum untuk mendesain fungsi kecamatan sebagai penguasa wilayah.
Visibilitas pelakatan status penguasa wilayah semakin tertutup manakala muncul Peraturan Pemerintah yang menguatkan status kecamatan sebagi perangkat daerah. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2003, dalam pasal 1, ayat (7) menegaskan bahwa: “Perangkat Daerah adalah organisasi/lembaga pada Pemerintah Daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Satuan Polisi Pamong Praja sesuai dengan kebutuhan daerah.”
Merujuk pada kedua regulasi tersebut, secara yuridis formal, status dan kedudukan kecamatan sebagai perangkat daerah tetap dipertahankan. Mengingat tidak ada celah regulasi yang memungkinkan perubahan status kecamatan dari unit administrasi menjadi penguasa wilayah. Meskipun, ada tuntutan dan desakan, baik dari masyarakat maupun dari birokrat di kecamatan, untuk mengembalikan status kecamatan sebagai penguasa wilayah. Dengan demikian, secara yuridis formal, Pemerintah Kota Yogyakarta dan DPRD Kota Yogyakarta telah mengambil kebijakan yang tepat melalui Perda No. 29 Tahun 2005. Sebab, pasal 3, ayat (1) dari Perda ini menyatakan: “Kecamatan merupakan perangkat daerah.”
Kedua, fungsi pokok kecamatan. Berkaitan dengan fungsi pokok yang diemban oleh kecamatan, sebagai unit administrasi, fungsi kecamatan diarahkan untuk melaksanakan pelimpahan tugas dan wewenang dari pemerintah kota yang terkait dengan otonomi daerah. Selain itu, melalui camat, kecamatan juga dilekati dengan sejumlah fungsi umum penyelenggaraan pemerintahan, seperti koordinasi, pembinaan dan pelaksanaan pelayanan masyarakat. Secara yuridis formal, fungsi ini tertuang dalam UU. No. 32 Tahun 2004, pasal 126, ayat (2) dan ayat (3). Mengenai penugasan yang terkait dengan otonomi daerah, ayat (2) dari regulasi ini menyebutkan bahwa: “Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.” Dari klausul sangat jelas, bahwa secara yuridis memang ada fungsi kecamatan yang digunakan untuk mengemban pelimpahan wewenang terkait dengan urusan otonomi daerah. Pada level operasional, penerjemahan pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan otonomi daerah haruslah dilakukan secara detail. Dengan
demikian, karakter wewenang yang dilimpahkan idealnya telah didefinisikan dari segi fungsi kewenangan, pembiyaan kewenangan dan mekanisme akuntabilitas kewenangan.
Lebih lanjut, menyangkut pada fungsi umum penyelenggaraaan pemerintahan, dari segi yuridis formal, kecamatan dilekati dengan fungsi pokok koordinasi, pembinaan dan pelaksanaan pelayanan masyarakat. Ketiga fungsi pokok tersebut, melalui UU. No. 32 Tahun 2004, didefinisikan sebagai berikut:
1. Fungsi pokok koordinasi merupakan fungsi yang bertujuan untuk mendorong kelancaran berbagai kegiatan di tingkat kecamatan ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. Fungsi pokok pembinaan adalah fungsi yang terkait dengan berbagai bentuk fasilitasi pembuatan peraturan desa/kelurahan, bagi terwujudnya administrasi tata pemerintahan desa/kelurahan yang baik.
3. Fungsi pokok pelayanan masyarakat merupakan fungsi yang diarahkan untuk penyelenggaraan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintah desa atau kelurahan.
Ketiga fungsi pokok di atas, selanjutnya, dijabarkan dalam 7 area fungsi oleh UU. No. 32 Tahun 2004. Sebagai penjabaran atas UU. No. 32 Tahun 2004, Perda No. 29 Tahun 2005, kemudian, memperluas jabaran area menjadi 8 area. Untuk memperoleh gambaran yang komprehensif tentang penjabaran fungsi umum pemerintahan dari Kecamatan, tabel di bawah ini akan memetakan tafsir fungsi tersebut sebagaimana tertuang dalam UU. No. 32 Tahun 2004 dan Perda No. 29 Tahun 2005.
Tabel V. 1.
Pemetaan Tafsir Tugas Umum Pemerintahan Kecamatan Menurut UU. No. 32 Tahun 2004 dan Perda No. 29 Tahun 2005
UU. No. 32 Tahun 2004 | Perda No. 29 Tahun 2005 |
a. mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; c. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang- undangan; d. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; f. membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan. | a. Mengkoordinasikan kegiatan penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat; b. mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum; c. mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang- undangan; d. mengkoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e. mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; f. membina penyelenggaraan pemerintahan kelurahan; g. melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya; h. melaksanakan ketatausahaan kecamatan. |
Sumber: UU. No. 32 Tahun 2004 dan Perda No. 29 Tahun 2005
Sebagaimana fungsi yang terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, dalam level operasional, penjabaran fungsi umum pemerintahan juga harus diikuti dengan pendefinisian yang detail secara teknis dari fungsi kewenangan, pembiyaan kewenangan serta mekanisme akuntabilitas kewenangan. Hal ini untuk menghindari pelimpahan tugas yang berlebihan dari instansi di level Pemkot kepada kecamatan serta kuntuk menciptakan kinerja kecamatan yang efektif dan efisien sesuai dengan fokus dari penugasannya. Termasuk dalam agenda ini adalah adanya perumusan hubungan kelembagaan antara kecamatan dengan berbagai instansi di level pemerintahan kota,
seperti sekretaris daerah, berbagai dinas serta lembaga teknis daerah yang lain. Penataan hubungan kelembagaan idealnya juga memetakan wewenang dan fungsi masing-masing lembaga secara detail-sebagaimana fungsi kecamatan-sehingga sinergitas kinerja antar lembaga tersebut dapat diwujudkan.
Untuk konteks Kota Yogyakarta, idealnya, selain menyangkut fungsi pelaksanaan otonomi daerah dan fungsi umum pemerintahan, kecamatan harus mengemban beberapa fungsi khusus yang digunakan sebagai instrumen untuk mengakomodasi berbagai keragaman serta karakter khusus setiap kecamatan. Pada titik ini, fungsi kecamatan, kemudian, diperluas dengan memasukkan fungsi ekonomi, sosial dan kultural. Sebagai contoh, menimbang karakter budayanya yang sangat khas, Kecamatan Keraton idealnya dilekati dengan fungsi kultural, di luar dua fungsi dasarnya. Demikian juga dengan Kecamatan Umbul Harjo, dengan mempertimbangkan aktivitas ekonomi, pelekatan fungsi ekonomi menjadi tak terelakkan bagi kecamatan ini. Mengingat, transaksi ekonomi yang terjadi dalam wilayah yuridis Kecamatan Umbul Harjo melibatkan kapital yang cukup signifikan baik dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas.
Ketiga, desain kelembagaan. Di tingkat kecamatan, perlu adanya desain kelembagaan kecamatan „model minimalis dan maksimalis‟. Model ini digunakan untuk merespon keberagaman karakter kecamatan di wilayah Pemkot. Lebih lanjut, model yang dikembangkan, secara minimalis, harus bisa mengakomodasi tuntutan pelayanan publik, pengembangan ekonomi dan intermediasi. Adapun untuk kecamatan yang mempunyai karakter khusus, model maksimalis dapat dikembangkan dengan melekatkan fungsi khusus kepada kecamatan yang bersangkutan. Selain itu, model minimalis juga bisa didesain dengan mempertimbangak fungsi dasar kecamatan dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan dalam penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan.
B. 1. 2. Hubungan Kecamatan dengan Institusi di Level Pemerintah Kelurahan
Berdasarkan peta problem yang ada, dalam kaitannya dengan problema hubungan kecamatan dengan institusi di level pemerintah kelurahan, setidaknya terdapat dua isu krusial, yaitu: pertama, fungsi kecamatan dalam hubungannya dengan pemerintah kelurahan. Sebagaimana diatur dalam UU. No. 32 Tahun 2004, kecamatan dilekati dengan fungsi umum pemerintahan dalam hubungannya dengan pemerintah kelurahan. Dalam ranah yuridis formal, baik UU. No. 32 Tahun 2004 dan Perda No. 29 Tahun 2005, menyatakan bahwa kecamatan membina penyelenggaraan pemerintahan kelurahan. Berpijak pada aturan yuridis tersebut, maka ditingkat operasional, idealnya
tugas pembinaan haruslah dijabarkan dengan memberi fungsi kecamatan sebagai fasilitator, motivator, pemberdayaan dan koordinator dari sejumlah kegiatan yang diselenggarakan di tingkat kelurahan. Mengingat, pembinaan merupakan fungsi yang terkait dengan berbagai bentuk fasilitasi pembuatan peraturan bagi terwujudnya administrasi tata pemerintahan kelurahan yang baik.
Kedua, pola pelimpahan wewenang dan desain kelembagaan. Pada level praksis, tidak dapat dipungkiri bahwa pelimpahan wewenang dari kecamatan ke kelurahan merupakan sebuah praktek manajemen pemerintahan yang tak terhindarkan. Dalam tataran teoritis, mekanisme transfer kewenangan acap kali diadasarkan pada dua argumen, yaitu: mendekatkan pelayanan pada masyarakat serta mendorong partisipasi publik penyelenggaraan pemerintahan. Terkait dengan dua argumen tersebut, pada level operasional, transfer kewenangan dari kecamatan ke kelurahan harus diikuti dengan sejumlah prasyarat, antara lain: kejelasan karakter fungsi kewenangan yang ditransfer dari kecamatan ke kelurahan, supporting system yang mengikuti transfer kewenangan dari kecamatan ke kelurahan serta mekanisme akuntabilitas transfer kewenangan dari kecamatan ke kelurahan. Selain ketiga prasyarat itu, pada level kelembagaan, transfer kewenangan juga menuntut adanya desain kelembagaan yang responsif terhadap keperluan transfer kewenangan dari level kecamatan ke level kelurahan.
B.2. Ranah Internal
Sebagaimana uraian sebelumnya, rekomendasi kebijakan yang diambil idealnya mampu mengakomodasi keragaman karakter yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan. Hal ini, di tingkatan praksis operasional membawa konsekuensi dimana dalam ranah internal, tata kelembagaan kecamatan juga harus mampu merespons keragaman karakter dari tiap-tiap kecamatan.
Selama ini, tata kelembagaan kecamatan dalam ranah internal menganut pola yang diturunkan dari UU. No. 8 Tahun 2003. Pasal 16, ayat (5) dari regulasi ini menyatakan bahwa kecamatan merupakan unit administrasi yang terdiri dari 1 (satu) Sekretariat, sebanyak-banyaknya 5 (lima) seksi, dan kelompok jabatan fungsional. Kalusul ini, kemudian, oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan DPRD Kota Yogyakarta diterjemahkan melalui Perda No. 29 Tahun 2005. Dalam Perda ini, pasal 6 menyatakan bahwa: “Susunan organisasi kecamatan terdiri dari
1. Camat;
2. Sekretariat;
3. Seksi – Seksi, terdiri dari :
i. Seksi Pemerintahan;
ii. Seksi Ketertiban dan Ketentraman Umum;
iii. Seksi Pemberdayaan Masyarakat;
iv. Seksi Pelayanan;
v. Seksi Pembangunan dan Perekonomian.
4. Kelompok Jabatan Fungsional.”
Menilik rumusan kedua aturan yuridis tersebut, keragaman karakter dari masing- masing kecamatan belum dijadikan sebagai basis dalam penataan kelembagaan dalam ranah internal kecamatan. Mengacu pada kondisi ini, berkaitan dengan tata kelembagaan, rekomendasi kebijakan diarahkan untuk mendesain tata kelembagaan kecamatan yang mampu merespons keragaman karakter kecamatan, sehingga di level operasional, desain kelembagaan dirubah dengan merujuk pada desain kewenangan dasar dan kewenangan tambahan yang dilekatkan pada kecamatan.
Guna merespons keragaman karakter tiap-tiap kecamatan, setidaknya terdapat tiga langkah strategis dalam ranah internal, antara lain: pertama, Terkait dengan tata kelembagaan di kecamatan, perlu ada perubahan yang disesuaikan dengan fungsi yang diemban oleh tiap-tiap kecamatan, sehingga tata kelembagaan kecamatan tidak bersifat tunggal, melainkan beragam dan berbeda dari satu kecamatan ke kecamatan yang lain. Kedua, Dalam lingkup fungsi yang bersifat dasar, tata kelembagaan kecamatan harus mampu mengakomodasi tuntutan pelayanan publik, pengembangan ekonomi dan intermediasi. Ketiga, Untuk kecamatan yang mempunyai karakter khusus, tata kelembagaan kecamatan tersebut, idealnya, didesain untuk mengakomodasi karakter khusus dari kecamatan yang bersangkutan.
C. Rekomendasi Kelembagaan
Di tingkatan praksis operasional, sejumlah alternatif kebijakan yang telah diuraikan di atas harus kembali dipertimbangkan visibilitasnya dengan mengacu pada sejumlah prasyarat, seperti prasyarat yuridis, politis, administratif dan ekonomi. Guna memperoleh pemetaan komprehensif tentang berbagai prasyarat tersebut, tabel di bawah ini akan memberikan eksplanasi pilihan kebijakan yang akan diambil dalam penataan kelembagaan kecamatan.
Tabel V. 2.
Prasyarat Penataan Kelembagaan Kecamatan
Status dan Kedudukan Kecamatan | Fungsi Kecamatan | Desain Kelembagaan Kecamatan |
Kecamatan diposisikan sebagai perangkat daerah dari pemerintah kota, sehingga hanya bersifat sebagai unit administratif pemerintahan dan tidak mempunyai kedudukan sebagai penguasa wilayah. Pada titik ini, prasyarat yang dibutuhkan adalah: a. Prasyarat yuridis🡪harus ada payung hukum yang menguatkan posisi kecamatan sebagai perangkat daerah. b. Prasyarat politis🡪harus ada penerimaan politis dari segenap elemen birokrasi dan masyarakat di tingkat kecamatan berkaitan dengan posisi kecamatan sebagai perangkat daerah dan tidak lagi mempunyai posisi sebagai penguasa wilayah. c. Prasyarat administratif🡪harus ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis serta SOP dari kecamatan berkaitan dengan posisinya sebagai perangkat daerah dari pemerintah kota. | Kecamatan dilekati dengan tiga fungsi dasar, antara lain: fungsi penyelenggaraan otonomi, fungsi umum pemerintahan dan fungsi khusus yang terkait dengan karakter yang dimiliki oleh masing-masing kecamatan. Guna mewujudkan ketiga fungsi tersebut dibutuhkan prasyarat: d. Prasyarat yuridis🡪ketersediaan aturan yuridis formal yang mampu mendefinisikan karakter fungsi, supporting system yang dialokasikan untuk operasionalisasi fungsi serta mekanisme akuntabilitas dari fungsi yang dilekatkan pada kecamatan. e. Prasyarat politis🡪harus ada penerimaan dan dukungan politis untuk mekekatkan fungsi yang bersifat khusus kepada kecamatan baik dari elemen eksekutif, legislatif dan masyarakat. f. Prasyarat administratif🡪 harus ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis serta SOP dari kecamatan berkaitan dengan operasionalisasi fungsi khusus yang mencerminkan keragaman karakter masing-masing kecamatan. | Desain kelembagaan kecamatan harus mampu merespons persoalan disproporsionalitas baik pada level kewenangan dan kelembagaan. Selain itu, desain kelembagaan juga harus mengakomodasi segenap tuntutan yang bermuara pada kepentingan untuk meletakkan karakter yang beragam dari masing-masing kecamatan. Untuk merespons sejumlah kepentingan ini, dari segi desain kelembagaan, diperlukan prasyarat, antara lain: h. Prasyarat yuridis🡪menuntut adanya ketersediaan payung legal formal yang mampu memberikan peluang untuk mengakomodasi tuntutan keragaman karakter kecamatan. i. Prasyarat politis🡪adanya dukungan politis untuk mendesain tata kelembagaan kecamatan yang tidak bersifat tunggal dengan mempertimbangkan keragaman karakter serta mempertimbangkan esensi kecamatan sebagai lokus dari pelayanan publik, pengembangan |
Status dan Kedudukan Kecamatan | Fungsi Kecamatan | Desain Kelembagaan Kecamatan |
g. Prasyarat ekonomi🡪perlu disediakan mekanisme fiskal yang mampu mendorong implementasi fungsi penyelenggaraan otonomi daerah, fungsi umum pemerintahan dan fungsi yang bersifat khusus. | ekonomi dan intermediasi. j. Prasyarat administratif🡪 harus ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis serta SOP dari kecamatan berkaitan dengan desain kelembagaan yang mencerminkan keragaman karakter masing-masing kecamatan. |
BAB VI
Daya Dukung dalam Peningkatan Peran Kecamatan : Alternatif Kebijakan dan Rekomendasi
A. Pengantar
I
su seputar daya dukung menjadi salah satu poin penting yang harus dicari solusinya berkaitan dengan upaya optimalisasi fungsi kecamatan. Daya dukung signifikan karena isu daya dukung selalu mengikuti isu-isu lainnya misalnya berkaitan dengan kewenangan, cakupan wilayah dan lain sebagainya. Apapun pilihan rekomendasi kebijakan yang diambil, peningkatan daya dukung tetap diperlukan dalam upaya menata kecamatan agak dapat berfungsi optimal dalam pelayanan publik. Walau demikian, sumber daya tidak semata-mata mampu berada di luar bingkai rekomendasi kewenangan, cakupan kecamatan, dan kelembagaan. Isu daya dukung mengikuti setiap
rekomendasi yang dipilih.
Isu daya dukung yang akan dibahas pada riset ini berkaitan dengan tiga daya dukung utama yang berhasil ditemukan oleh tim peneliti. Ketiga daya dukung tersebut adalah daya dukung keuangan, daya dukung personil atau SDM dan daya dukung prasarana dan sarana. Sejak beralihnya status camat yang tidak lagi sebagai kepala wilayah, dukungan P3D (Personalia, Penganggaran, Prasarana dan Dokumentasi) dirasakan semakin berkurang. Hal ini menimbulkan masalah di kecamatan berkaitan dengan tugas dan wewenang. Kecamatan tidak mampu mengembangkan potensinya karena dihadang oleh masalah sumber daya.
Sumber daya keuangan menjadi masalah mendasar di kecamatan. Dukungan keuangan tidak menyertai pelimpahan sebagian urusan oleh pemerintah kota. Akibatnya, bukan hanya pelaksanaan urusan tersebut tidak bisa berlangsung optimal, tetapi pelimpahan wewenang itu tidak bisa dilaksanakan di kecamatan. Hal ini tentu saja kontraproduktif terhadap upaya untuk menjadikan kecamatan sebagai unit penting dalam pelayanan publik.
Berkaitan dengan karakter kecamatan yang sangat berbeda satu sama lain, pengaturan keuangan di kecamatan tidak mampu merekam heterogenitas ini. Pendanaan kecamatan yang berbasis kepada paket dan jumlah kelurahan tidak cukup efektif menjadi jembatan dalam memenuhi kebutuhan keuangan kecamatan. Mekanisme
ini tidak mampu mengeksplorasi lebih jauh kebutuhan dan demografi kecamatan. Sebagai contoh sederhana, jumlah penduduk yang bervariasi di tiap kelurahan tidak menjadi pertimbangan, belum lagi dikaitkan dengan masalah sosial yang dihadapi kecamatan. Contoh lainnya berkaitan dengan anggaran penguaan listrik yang dipatok sama untuk semua kecamatan. Sebuah contoh mekanisme anggaran yang tidak masuk akal bagi kecamatan dengan dua kelurahan dan kecamatan dengan tujuh kelurahan mendapat alokasi anggaran pemakaian listrik yang sama.
Salah satu temuan menarik berkaitan dengan masalah keuangan di kecamatan adalah tidak adanya mekanisme pengaturan untuk sumber dana dari pihak ketiga. Sebuah rahasia umum apabila kecamatan dan aparat kecamatan menerima sumbangan dari pihak ketiga. Jumlah bantuan ini bervariasi bergantung kepada karakter kecamatan, baik rural maupun urban. Semakin urban karakter sebuah kecamatan, semakin besar potensi bantuan yang dapat diterima. Detail tentang nominal dana tersebut tidak pernah terungkap karena tidak ada mekanisme yang jelas mengatur tentang hal krusial ini. Hal ini bisa menimbulkan ladang baru bagi bersemainya korupsi di kecamatan.
Sumber daya personil berkaitan dengan tiga hal pokok, pertama berkaitan dengan jumlah personil yang dirasakan masih kurang. Usulan camat untuk menambah jumlah personil kecamatan tidak pernah mendapatkan angin segar. Kedua, berkaitan dengan kualitas personil yang selama ini telah dimiliki. Pegawai kecamatan seringkali dianggap sebagai pegawai kelas dua. Personil yang ditugaskan di kecamatan yang berasal dari dinas dianggap sebagai hukuman. Artinya, kecamatan tidak pernah memperoleh kualifikasi pegawai yang diinginkan. Pegawai yang didapat kecamatan adalah pegawai bermasalah yang sebenarnya tidak tepat ditempatkan di instansi manapun di kota. Ketika bertugas di kecamatan, personil yang bermasalah ini justru menimbulkan disharmoni dan kontraproduktif terhadap usaha peningkatan pelayanan masyarakat di kecamatan. Ketiga, sistem jenjang karir yang dilalui. Mekanisme karir yang dilakukan seringkali mengabaikan prinsip-prinsip yang ada. Tidak ada kejelasan tentang pegawai yang ditempatkan di kecamatan yang menciptakan citra negatif di kecamatan. Pegawai yang ditempatkan di kecamatan yang berasal dari keluarahan diasumsikan merupakan mekanisme promosi bagi yang bersangkutan, sementara yang berasal dari dinas merupakan disinsentif. Pada posisi camat juga terdapat mekanisme serupa. Camat Umbulharjo dan Gondokusuman merupakan dua camat yang memiliki pososi yang berbeda dari camat dari kecamatan lainnya. Kedua camat ini akan bersiap-siap untuk bertugas di dinas jika menunjukkan prestasi kerja yang membanggakan.
Sumber daya prasarana dan sarana menjadi masalah lanjutan akibat tidak adanya kecukupan keuangan di kecamatan. Usulan kecamatan berkaitan dengan pemenuhan prasarana dan sarana nyaris tidak pernah disetujui. Akibatnya, kecamatan berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan sarananya yang berasal dari sumber-sumber yang tidak diketahui. Hal ini menimbulkan disparitas prasarana di tiap kecamatan. Kecamatan tertentu yang dipimpin oleh figur camat yang inovatif mampu menambah daya dukung prasarana dan sarana di kecamatan. Pada sisi lainnya, kecamatan yang hanya menjalankan tugas dan tidak mengembangkan inovasi hanya memiliki fasilitas yang terbatas.
Keterbatasan fasilitas kecamatan dapat berakibat kepada terbatasnya pelayanan publik. Pelayanan publik dilakukan di ruangan sempit, panas dan seringkali berdesakan yang membuat masyarakat enggan datang ke kecamatan. Pada sisi lainnya aparat yang bekerja di kecamatan dengan fasilitas yang terbatas juga akan terpengaruh kinerjanya.
Kecamatan dihimpitkan dengan persolaan berkaitan dengan sumber daya. Pada satu sisi, upaya peningkatan kecamatan dengan upaya menambah kewenangan yang dapat diselesaikan di tingkat kecamatan tidak diimbangi dengan upaya pemenuhan daya dukung standar yang semestinya dimiliki pengemban kewenangan.
Bab ini akan mengurai tentang beberapa alternatif solusi dan rekomendasi yang dapat diterapkan di kecamatan berkaitan dengan daya dukung. Bagian pengantar akan mengingatkan tentang masalah daya dukung sebagaimana telah dibahas secara mendalam di Bab 2. Kajian bab ini akan dilanjutkan dengan pembahasan daya dukung yang terpilah menjadi daya dukung keuangan, personil dan prasarana dan sarana sekaligus alternatif solusi dan rekomendasi yang memungkinkan. Sederetan alternatif solusi akan diberikan untuk menanggulangi masalah daya dukung walau hanya sebagian yang dipilih sebagai rekomendasi berdasarkan feasibilitasnya. Terakhir, bab ini akan ditutup oleh penutup.
B. Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan yang akan dibahas di bab ini akan mengurai tentang beberapa kemungkinan yang mungkin dilakukan oleh stakeholders untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan sumber daya. Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, alternatif solusi ini penting untuk disajikan sebagai sebuah pilihan kebijakan yang mungkin akan diambil. Alternatif kebijakan ini akan dilihat berdasarkan feasibilitasnya sehingga dapat menjadi rekomendasi kebijakan yang ideal dalam rangka perbaikan sumber daya di kecamatan. Hal ini menandakan bahwa setiap alternatif yang
akan ditulis di bawah ini tidak selalu memungkinkan untuk diterapkan menjadi sebuah kebijakan. Pilihan paling ideal akan disampaikan di sub bagian rekomendasi.
Sejalan dengan tiga prioritas isu sumber daya yang dibahas dalam bab ini, alternatif kebijakan juga akan terbagi menjadi tiga kategori isu sumberdaya. Alternatif kebijakan pertama akan membahas tentang daya dukung keuangan diikuti oleh daya dukung personil dan terakhir daya dukung prasarana dan sarana.
B.1 Daya Dukung Keuangan: Jumlah dan Mekanisme
Daya Dukung Keuangan berkaitan dengan upaya menciptakan dukungan finansial yang optimal bagi kecamatan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Sumber dan mekanisme penganggaran yang jelas harus memberikan ruang bagi kecamatan untuk berkembang. Selama ini keuangan menjadi kendala utama bagi berkembangnya kecamatan dan menjadi kambing hitam atas tidak maksimalnya aparat di tingkat kecamatan bekerja. Alasan klasik berupa ketiadaan dana yang menyebabkan kecamatan tidak bisa optimal melakukan tugasnya bisa dimaknai sebagai dua hal. Pertama, memang secara empiris kecamatan tidak dilengkapi dengan dukungan finansial yang mamadai dan kedua, ketiadaan dukungan finansial ini menyebabkan tidak adanya semangat bekerja bagi aparat kecamatan. Selain itu, bisa jadi, kekurangan dukungan finansial ini dijadikan sasaran alasan atas kemalasan birokrat kecamatan bekerja.
Secara umum, problema keuangan di kecamatan membutuhkan tambahan dana dan mekanisme yang mengatur aliran dana tersebut. Kesadaran dan pemahaman terhadap kedua hal ini menjadi kunci bagi solusi masalah keuangan kecamatan. Alternatif yang akan diurai terbagi menjadi alternatif untuk menyelesaikan kekurangan keuangan dan pengaturan keuangan. Upaya untuk membagi masalah keuangan menjadi dua dan dicarikan alternatif solusinya satu per-satu diharapkan dapat lebih mempermudah penyelesaian persoalan.
B.1.1 Alternatif Solusi bagi Kurangnya Keuangan Kecamatan
Beberapa alternatif solusi untuk menangani masalah kekurangan keuangan di kecamatan yaitu:
Pertama: Kecamatan mendapatkan alokasi dana lebih besar dalam APBD sesuai dengan kewenangannya dengan ukuran pembagian yang sama seperti saat ini. Dengan alternatif ini, kecamatan tetap menerima keuangan berdasarkan atas sistem paket dan jumlah kecamatan. Artinya terdapat plafon paket untuk setiap kecamatan dan
ada jumlah berbeda untuk tiap kecamatan berdasarkan jumlah kelurahan yang ada di masing-masing kecamatan. Alternatif ini hanya menambah jumlah alokasi anggaran bagi tiap kecamatan.
Kedua: Kecamatan mendapatkan alokasi dana berdasarkan klasifikasi kecamatan yang terdiri dari dana alokasi umum yang jumlahnya sama bagi tiap kecamatan dan alokasi anggaran khusus yang besarannya disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki di tiap kecamatan. Alternatif ini memberikan peluang disparitas anggaran yang besar bagi kecamatan-kecamatan yang ada walaupun telah dihitung berdasarkan proporsionalitas yang ketat. Besaran dana yang diterima telah terlebih dahulu mempertimbangkan banyak faktor di kecamatan antara lain, jumlah penduduk, luas, karakter kecamatan dan lain sebagainya sebagaimana telah menjadi rekomendasi dari bab sebelumnya.
B.1.2 Alternatif Solusi bagi Pengaturan Keuangan Kecamatan
Beberapa alternatif solusi berkaitan dengan upaya pengaturan keuangan kecamatan yaitu:
Pertama; tetap pada kondisi saat ini. Artinya aturan yang selama ini ada dipandang telah cukup mengatur keuangan kecamatan dan telah mampu berkontribusi terhadap upaya bagi terselenggaranya pemerintahan yang bersih.
Kedua; Kecamatan diberi otonomi untuk mengatur keuangan dalam wilayah kerja kecamatan yang bersangkutan. Dukungan finansial yang berasal dari pihak ketiga untuk kecamatan dikelola oleh kecamatan sendiri. Dengan alternatif ini, tiap kecamatan memiliki aturan yang bisa jadi berbeda berkaitan dengan pendapatan yang bukan berasal dari APBD.
Ketiga; Pemerintah kota memberikan aturan yang sama bagi seluruh kecamatan berkaitan dengan arus penerimaan dan pengaluaran keuangan yang berasal dari pos non- APBD.
B.2 Daya Dukung Sumber Daya Manusia: Jumlah, Kualitas dan Karir
Daya dukung SDM berkaitan dengan jumlah aparat di kecamatan dan kapasitas dan sistem karir yang jelas di birokrasi. Jumlah pegawai kecamatan berkaitan dengan banyak sedikitnya aparat di kecamatan dan kecukupan idealnya. Sebagai ilustrasi berkaitan dengan jumlah SDM di kecamatan, kecamatan Umbulharjo yang memiliki 30% dari luas wilayah kota Yogyakarta memiliki 27 pegawai, pada sisi lainnya kecamatan
Pakualaman yang hanya memiliki luas 0,3% dari kota Yogyakarta memiliki 35 pegawai. Walaupun luas wilayah bukan satu-satunya alasan bagi banyak sedikitnya aparat di kecamatan, daya jangkau kecamatan penting untuk diperhatikan.
Kualitas berkaitan dengan kapasitas yang dimiliki oleh staf kecamatan, sedangkan karir berkaitan dengan jalur kepangkatan dan karir yang jelas di kecamatan. Selama ini, terdapat kebiasaan tidak tertulis berkaitan dengan karir di kecamatan. Pada dasarnya, setelah melalui pertimbangan yang mendalam oleh BKD dan instansi lainnya, setiap pegawai di lingkungan kota dapat dimutasi ke unit manapun dalam lingkup pemerintah kota Yogyakarta. Tetapi kebiasaan yang selama ini berlaku, mutasi dari kecamatan ke unit tertentu dengan eselon yang sama di Timoho dipandang sebagai promosi sedangkan pegawai yang dimutasi dari lingkup Pemerintah Kota Yogyakarta menjadi bekerja di unit Kecamatan atau Kelurahan dianggap sebagai bagian dari kontra- prestasi aparat yang bersangkutan.
Alur alternatif solusi yang akan dibahas di bawah ini akan dibagi berdasarkan pemilahan tersebut.
B.2.1. Jumlah Pegawai Kecamatan
Altenatif solusi berkaitan dengan jumlah pegawai di kecamatan yaitu:
Pertama; manambah jumlah pengawai di kecamatan berdasarkan tingkat kebutuhannya. Saat ini, hampir tiap kecamatan tidak memiliki jumlah staf yang ideal. Hal ini bisa diatasi dengan penambahan jumlah pegawai kecamatan.
Kedua; proporsionalisasi pegawai dari tiap kecamatan tanpa menambah jumlah pegawai diiringi dengan upaya maksimalisasi kinerja aparat kecamatan. Dengan alternatif ini, kecamatan dengan beban kerja yang lebih besar akan menerima pegawai dari kecamatan lain dengan beban kerja yang lebih sedikit. Hal ini diiringi dengan upaya meningkatkan kinerja aparat kecamatan dengan serangkaian training dan pembinaan.
B.2.2 Kapasitas Pengawai dan Kejelasan Karir
Pegawai bermasalah terdapat di setiap unsur di Pemerintahan Kota Yogyakarta. Hal ini terungkap dari diskusi berkaitan dengan paparan sementara riset ini. Artinya, pegawai bermasalah akan tetap bermasalah dimanapun dia ditempatkan. Namun demikian, kecamatan (dan juga kelurahan) seringkali mendapatkan “getah” lebih daripada unit lainnya. Kecamatan sebagai unit yang lebih kecil diharapkan dapat “membina” pegawai yang dinilai wanprestasi untuk dapat berkerja sebagaimana
mestinya. Hal ini menyebabkan kecamatan lebih sering menerima pegawai bermasalah daripada unit lain di Pemerintah Kota. Padahal pada realitasnya, oknum yang bersangkutan justru seringkali menimbulkan masalah di kecamatan. Dengan beban kerja yang lebih banyak dan manjadi bagian penting bagi pelayanan publik, pegawai bermasalah bukan meminimalisir kekurangan sumber daya kecamatan dengan menunjukkan prestasi kerja tetapi justru sebaliknya. Hal ini dapat dipahami dari rasa frustasi yang bersangkutan karena telah dimutasi ke unit yang lebih kecil dengan lingkup yang lebih terbatas seperti di kecamatan.
Alternatif solusi untuk mengatasi masalah tersebut antara lain:
Pertama, Pemerintah Kota Yogyakarta membuat unit khusus yang bertugas untuk menangani pegawai bermasalah. Unit karantina ini memiliki peran untuk menyeleksi pegawai bermasalah, memberikan pelatihan dan perlakuan khusus sebelum dinyatakan baik dan dapat dimutasi di lembaga lainnya termasuk kecamatan. Unit karantina ini didasari pada tidak adanya infrastuktur yang cukup memadai di setiap unsur pemerintahan kota untuk melakukan pembinaan pegawai bermasalah. Walaupun tugas pimpinan atau kepala unit salah satunya adalah melakukan pembinaan terhadap seluruh pegawai yang menjadi bawahannya, hal ini berlaku untuk seluruh pegawai dan tidak difokuskan untuk pegawai bermasalah.
Kedua, Pemerintah kota memberikan aturan yang baku berkaitan dengan insentif dan disinsentif pegawai. Hal ini membutuhkan penilaian yang obyektif dari masing-masing unsur dengan lebih mengoptimalkan lagi peran BKD dan Baperzakat. Pelimpahan pegawai ke kecamatan disertai dengan rekomendasi pegawai yang bersangkutan termasuk historis kinerjanya. Selain itu, camat juga diberikan pedoman baku penanganan pegawai bermasalah. Dengan alternatif ini, bisa saja kecamatan menjadi perangkat daerah yang bertugas mendisiplinkan kembali pagawai bermasalah tetapi harus disertai dengan pedoman yang ketat dan jelas. Alternatif ini juga mensyaratkan sistem path career yang jelas bagi pagawai di kecamatan.
Ketiga, penerimaan pegawai baru tidak semata-mata didasarkan atas kebutuhan sektoral tetapi berdasarkan kewilayahan. Alternatif ini mensyaratkan CPNS yang diterima pemkot tidak langsung bekerja di lingkungan pemkot tetapi lebih dahulu ditempatkan di kecamatan atau kelurahan.
B.3 Daya Dukung Prasarana dan Sarana
Satu-satunya upaya bagi pemenuhan daya dukung prasarana dan saran di kecamatan adalah dengan menambah daya dukung tersebut. Walaupun demikian, titik krusial penambahan prasarana dan sarana ini bukan hanya kepada upaya pemenuhannya tetapi lebih kepada skala prioritas pemenuhannya. Alernatif bagi penyelesaian daya dukung ini lebih difokuskan kepada untuk apa dan bagaimana sarana tersebut dipenuhi.
Pertama, upaya pemenuhan sarana di kecamatan didasarkan atas sistem paket yang selama ini diberlakukan. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa setiap kecamatan memiliki kewenangan yang relatif sama dan membutuhkan sarana yang relatif sama pula.
Kedua, sarana yang akan ditambahkan di kecamatan didasarkan atas sarana umum dan sarana khusus, mengikuti logika penganggaran. Artinya terdapat sarana standar yang diberikan sama untuk seluruh kecamatan dan ada sarana khusus yang berbeda-beda bergantung kepada kewenangan yang diberikan.
C. Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi kebijakan merupakan pilihan dari alternatif kebijakan yang paling memungkinkan untuk diterapkan sebagai solusi atas masalah kecamatan yang berkaitan dengan daya dukung. Rekomendasi kebijakan yang akan ditulis di sub bab berikut ini dilihat berdasarkan feasibilitas politik, kultur, kemampuan keuangan kota Yogyakarta, dukungan birokrasi dan lain sebagainya.
Upaya optimalisasi kecamatan membutuhkan kerjakeras dari semua pihak untuk dapat mewujudkannya. Dengan kata lain, apapun rekomendasi yang diberikan tidak akan memberikan hasil yang maksimal apabila tidak ada upaya serius untuk melakukan perubahan.
Rekomendasi yang ditawarkan mengikuti alur berpikir tentang pembagian daya dukung menjadi tiga kategori utama, keuangan sumber daya manusia dan prasarana dan sarana. Masing-masing kategori membutuhkan rekomendasi yang berbeda, walaupun ketiganya tidak bisa dipisahkan secara tegas. Artinya, rekomendasi yang ditujukan untuk memberbaiki jumlah dan mekanisme keuangan akan memiliki imbas terhadap dua daya dukung lainnya, begitu pula sebaliknya.
C.1 Keuangan
Rekomendasi keuangan yang akan dipaparkan berikut ini diharapkan mampu menjawab masalah keuangan kecamatan. Berikut uraiannya:
C.1.1 Jumlah Keuangan Kecamatan
Alternatif pertama dengan menambah jumlah alokasi anggaran untuk kecamatan bukan solosi optimal yang dapat dipilih. Kelemahan terhadap alternatif ini antara lain: pertama, kemampuan anggaran yang dimiliki pemerintah kota terbatas sehingga menambah jumlah anggaran kecamatan bukan persoalan yang mudah. Kedua, penambahan anggaran bagi kecamatan tidak secara signifikan menyelesaikan masalah keuangan kecamatan. Masalah utama keuangan kecamatan bukan didasarkan kepada jumlah semata tetapi lebih kepada disporposionalitas keuangan yang ada. Kecamatan yang membutuhkan alokasi anggaran lebih berdasarkan kepada karakteristiknya mendapatkan dana yang relatif berimbang dengan kecamatan lainnya dengan karakter
yang berbeda. Walaupun riset membuktikan bahwa tidak ada kecamatan dengan dana yang berlebih dan menjamin pelaksanaan limpahan wewenang ke kecamatan berlangsung optimal, alokasi anggaran yang ditambah tanpa melihat karekater kecamatan hanya akan menyelesaikan sebagian masalah keuangan kecamatan dengan kebutuhan anggaran yang lebih sedikit, tetapi tidak mampu secara signifikan menyelesaikan masalah disporposionalitas anggaran.
Rekomendasi yang dipilih adalah alternatif kedua dimana terdapat penghapusan terhadap sistem penganggaran yang berdasar kepada paket dan kelurahan. Sistem yang diterapkan haruslah betul-betul berdasarkan karakter dan kebutuhan kecamatan. Sistem penganggaran kecamatan harus bergantung kepada topografi dan kebutuhan tiap-tiap kecamatan. Dengan kata lain sistem pengangaran yang ada harus mengikuti sistem kewenangan yang diberikan. Sistem ini menandakan terdapat penganggaran minimal bagi seluruh kecamatan yang berbentuk paket dan ada penganggaran khusus yang diberikan berdasarkan kebutuhan kecamatan. Kecamatan dengan karakter budaya/heritage dan diberi kewenangan lebih berkaitan dengan cagar budaya, memperoleh anggaran untuk dapat memenuhi kewenangan tambahan tersebut. Besaran atau jumlah untuk dukungan khusus tersebut dilakukan berdasarkan perhitungan mendalam dan tidak menjadi bagian dalam riset ini.
Rekomendasi ini dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan: pertama, kota hanya akan menambah anggaran bagi kecamatan berdasarkan perhitungan yang tepat. Kecamatan dengan wewenang yang lebih sedikit memperoleh dukungan anggaran yang lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan dengan penduduk yang lebih banyak dengan wewenang yang lebih kompleks. Secara politis, alasan bagi peningkatan anggaran kecamatan betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Hal ini memberikan kemudahan bagi Pemerintah Kota Yogyakarta untuk bernegoisasi dengan dewan. Kedua, Rekomendasi ini mendukung rekomendasi lain dalam laporan ini berkaitan
dengan perbedaan kewenangan kecamatan. Sebagaimana dibahas di muka, daya dukung tidak dapat dilepaskan dari rekomendasi lain dalam bab terdahulu tetapi harus simultan satu sama lain. Ketiga, pengaturan keuangan kecamatan berdasarkan bebannya masing- masing mampu menyelesaikan dua persoalan sekaligus, yaitu kurangnya anggaran kecamatan dan disporposionalitas anggaran. Hal ini akan menjamin terlaksananya pelayanan publik yang maksimal. Sistem paket yang selama ini dilakukan menimbulkan inevisiensi anggaran dan tidak maksimalnya pelayanan publik. Saat ini, anggaran rutin berkaitan dengan biaya penggunaan listrik, air dan telepon dipatok sama untuk seluruh kecamatan. Kecamatan Umbulharjo misalnya, dengan jumlah penduduk yang besar dan wilayah yang luas otomatis akan membutuhkan anggaran rutin yang lebih besar. Masyarakat yang ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil di kecamatan Umbulharjo, bisa dipastikan lebih banyak daripada di kecamatan Pakualaman. Hal ini menandakan kebutuhan anggaran air yang berbeda. Mempertahankan sistem paket jelas tidak masuk akal.
C.1.2 Rekomendasi Pengaturan Keuangan Kecamatan
Alternatif pertama dengan mempertahankan sistem pengaturan saat ini tidak dapat dilakukan karena tidak mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas yang penting bagi terselengaranya pemerintahan yang bersih. Pengakuan salah seorang camat di Kota Yogyakarta menunjukkan bahwa yang camat yang bersangkutan dapat menerima dana sekitar tujuh juta rupiah untuk trimester pertama 2006 yang tidak perlu dipertanggungjawabkan dan dapat langsung masuk ke kantong camat. Dana tersebut diperoleh dari diskon yang diberikan oleh relasi kecamatan dan dana lainnya. Walaupun yang bersangkutan menolak dana tersebut, hal ini menunjukkan masih lemahnya aturan bagi pelaksanaan pemerintahan yang bersih.
Alternatif kedua tentang otonomi kecamatan untuk mengatur keuangannya sendiri tidak feasible untuk dilakukan karena beberapa alasan yaitu: pertama, secara yuridis, kecamatan bukanlah titik tekan otonomi daerah dan tidak berhak mengatur rumah tangganya secara mandiri. Otonomi daerah berpusat di Kabupaten/Kota sehingga kecamatan hanya merupakan perangkat daerah kota. Perda Kota Yogyakarta no. 28 tahun 2005 tidak memberikan kewenangan kepada kecamatan untuk mengatur keuangan secara mandiri. Kedua, kecamatan tidak dibekali dengan infrastuktur dan SDM yang memadai untuk melakukan otonomi keuangan.
Alternatif ketiga tentang kewajiban pemerintah kota untuk membuat aturan tentang penerimaan dan penggunaan dana di kecamatan merupakan alternatif yang
paling feasible untuk dijadikan rekomendasi. Pemerintah Kota Yogyakarta harus membuat dan menerapkan aturan yang sama bagi seluruh kecamatan berkaitan dengan arus penerimaan dan pengaluaran keuangan yang berasal dari pos non-APBD. Perlu disadari bahwa kecamatan dan Camat memiliki “kesempatan” untuk mendapatkan dukungan dana dari sumber dari pihak ketiga yang berbentuk sumbangan dan ucapan terimakasih. Wawancara dengan salah seorang camat menunjukkan anggaran bagi perayaan 17 Agustus sebesar 750.000 rupiah yang mulai diberikan sejak tahun 2005 tidak cukup untuk melaksanakan peringatan tahunan tersebut. Hal ini dijembatani dengan meminta “partisipasi” dari sekolah-sekolah dengan memberikan bantuan pendanaan bagi kecamatan, yang tentu saja tidak perlu dipertanggungjawabkan.
Pemerintah kota perlu melakukan aturan ketat berkaitan dengan penerimaan dan penggunaan uang di kecamatan. Aturan tersebut dibuat dan berlaku secara sama untuk seluruh kecamatan di Kota Yogyakarta. Sebagai contoh, camat dilarang menerima uang sumbangan dan uang ucapan terimakasih sebagai individu tetapi secara sistematis harus masuk ke kas kecamatan dengan tanda bukti dan penggunaan yang disepakati kedua belah pihak melalui tanda terima. Mekanisme ini meminimalisir terjadinya penerimaan dan penggunaan uang yang tidak transparan. Artinya penyumbang juga mengetahui kemana uang sumbangannya akan dibelanjakan.
Walaupun demikian, rekomendasi ini memiliki konsekuensi yang harus dicari pemecahannya. Rekomendasi ini akan meminimalisir penghasilan camat dan staf di kecamatan, tetapi hal tersebut harus dilakukan utk menciptakan good governance.
C.2 Sumber Daya Manusia
C.2.1 Jumlah Pegawai Kecamatan
Terdapat dua alternatif untuk sebagai solusi masalah kuantitas pegawai di kecamatan yaitu penambahan personil dan proporsionalisasi pegawai di kecamatan. Alternatif pertama tidak dapat dijadikan rekomendasi mengingat kepada berbagai feasibilitas yang mamungkinkan. Penambahan personil otomatis akan mempengaruhi anggaran belanja pegawai APBD Pemkot dan susah diwujudkan. Penambahan pegawai baru memiliki beban psikologis jangka panjang karena kota berkewajiban memenuhi gaji yang bersangkutan. Hal ini tidak seirama dengan semangat pemerintah pusat untuk menciptakan birokrasi yang ramping dan efektif.
Pada sisi lainnya, proporsionalisasi pegawai di kecamatan dipadu dengan peningkatan kinerja aparat lebih masuk akal untuk dilakukan. Kecamatan dengan
wewenang dan beban kerja yang lebih banyak dapat menerima pegawai yang lebih banyak bagi upaya menciptakan pelayanan publik yang lebih efektif. Variasi jumlah pegawai di tiap kecamatan dapat dimungkinkan lebar bergantung kepada karakteristik kecamatan yang bersangkutan. Setelah hal ini dilakukan, perlu dilakukan pembinaan agar upaya ini dapat berlangsung maksimal.
C.2.2 Kapasitas Pegawai dan Kejelasan Karir
Alternatif solusi berkaitan dengan kapasitas dan pegawai dan kejelasan karir ada tiga. Ketiganya yaitu menciptakan unit karantina, pembuatan aturan baku berkaitan dengan insentif dan disinsentif pegawai dan penempatan CPNS kota di kecamatan atau kelurahan terlebih dahulu. Berbeda dengan rekomendasi yang lain, rekomendasi berkaitan dengan masalah ini akan diambilkan dari gabungan dua alternatif terakhir.
Pemerintah kota perlu melakukan aturan tentang insentif dan disinsentif bagi pegawai sekaligus menempatkan pegawai baru di lembaga teknis berdasarkan kewilayahan. Keuntungan yang dapat diperoleh antara lain:
Pertama, aturan baku tantang kinerja kepegawaian dan penempatan pegawai baru akan mampu menepis secara bertahap pencitraan kecamatan sebagai unit “buangan” yang menerima pegawai bermasalah. Hal ini penting untuk mendukung pelayanan kepada publik. Kecamatan yang memiliki beban kerja tidak ringan sudah saatnya diapresiasi secara positif. Aturan baku tersebut memberi kemungkinan disinsentif tidak selalu ditempatkan di Kecamatan atau Kelurahan tetapi di unit manapun dalam pemerintah Kota Yogyakarta. Setiap unit memiliki tugas untuk mendisiplinkan pegawai yang tidak disiplin, meningkatkan kinerja pegawai yang menurun dan lain sebagainya.
Kedua, CPNS baru yang ditempatkan di kecamatan akan mampu menangkap kompleksitas permasalahan dalam bingkai kewilayahan. Hal ini akan membawa implikasi jangka panjang terhadap wacana lintas sektoral apabila nanti yang bersangkutan ditempatkan dengan basis sektoral di Pemerintah Kota. Ego sektoral menjadi salah satu masalah penting dalam upaya menjalankan pemerintahan kota berkaitan dengan koordinasi. Setiap orang menganggap sektor tempatnya bekerja menjadi yang terpenting dan tidak peduli terhadap sektor lain. Hal ini mengganggu kesinambungan pemerintahan yang multisektoral.
Ketiga, pegawai baru yang ditempatkan di kecamatan akan belajar secara langsung tentang pelayanan publik karena “dipaksa” untuk berhadapan langsung dengan
masyarakat. Kecamatan dan kelurahan merupakan unsur kota yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Setiap aparat yang bertugas di kecamatan dan kelurahan akan merasakan langsung interaksi dengan masyarakat. Hal ini akan menciptakan sense pengabdian ke masyarakat dan akan sangat berguna dimanapun dia nantinya ditempatkan.
C.3 Prasarana dan Sarana
Rekomendasi yang disarankan bagi upaya pemenuhan sarana di kecamatan didasarkan atas sarana yang sifatnya umum dan sarana yang khusus. Pemenuhan berdasarkan sistem paket akan menimbulkan masalah karena tidak sejalan dengan kewenangan berbeda di kecamatan dan rekomendasi penganggaran yang mamakai logika serupa. Diperlukan sarana yang sama bagi seluruh kecamatan di kota Jogja dan ada prasarana khusus untuk kewenangan tertentu. Kecamatan dengan tingkat kriminalitas yang tinggi membutuhkan sarana pendukung dalam upaya melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk mengantisipasi dan menghapus kriminalitas.
Disamping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa diperlukan proses yg terlembaga dalam upaya pemenuhan sarana kecamatan. Selama ini, kecamatan berusaha sendiri untuk memenuhi kebutuhan infrastrukturnya. Hal ini mengakibatkan kecamatan tertentu dengan sumber daya yang besar dan pemimpin yang inovatif memiliki fasilitas yang lebih lengkap dari kecamatan lainnya. Dukungan sarana juga harus berasal dari sumber yang jelas dan transparan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi keuangan dari pihak ketiga. Aturan bahwa kecamatan dapat memperoleh sumbangan dari pihak ketiga dalam upaya memenuhi sendiri prasarana harus dilembagakan secara formal. Hal ini dapat menjembatani terbatasnya anggaran pemerintah kota Yogyakarta.
Upaya pemenuhan prasarana tersebut diutamakan untuk memberikan kenyamanan bagi masyarakat sebagai bentuk pelayanan publik. Sebagai ilustrasi, saat ini seluruh kecamatan di Yogyakarta telah menikmati fasilitas internet. Hal ini dapat dimaknai sebagai wujud dari sarana dasar yang harus hadir di setiap kecamatan. Hal ini dapat memberikan peluang bagi pelayanan publik yang lebih baik dengan memaksimalkan e-government.
BAB VII
Instrumentasi Kebijakan
A. Pengantar
B
erbagai alternatif kebijakan untuk optimalisasi fungsi kecamatan telah disediakan. Mulai dari altenatif terhadap proporsionalitas, kewenangan, kelembagaan dan daya dukung kecamatan. Masing-masing alternatif memiliki nilai lebih sekaligus resiko tersendiri. Ada derajat feasibilitas dan viabilitas tertentu atas setiap pilihan.
Dari sisi proses kebijakan, dukungan semua pihak sangat diperlukan. Sebab, kebijakan pada dasarnya adalah pengalokasian dan distribusi „nilai‟ dari satu titik ketitik yang lain. Ada titik tertentu yang „nilainya‟ ditambah dan ada titik tertentu yang „nilainya‟ dikurangi. Artinya, akan ada pihak yang „diuntungkan‟ dan ada pihak yang „dirugikan‟.
Sebagai contoh dari sisi internal birokrasi, resistensi sampai pada keterpecahan birokrasi sangat mungkin terjadi. Hal ini terjadi bila redistribusi „nilai‟ dari penataan kecamatan dilakukan tanpa proses yang dipahami oleh kalangan internal birokrasi. Penataan yang serta-merta akan melahirkan interprestasi yang berbeda dari para birokrat. Terlebih lagi penataan yang dilakukan tanpa satu pola yang jelas.
Contoh lain adalah resistensi dari kalangan politisi yang duduk di DPRD maupun partai politik. Para politisi dapat memanfaatkan momentum penataan kecamatan untuk memasukkan kepentingan-kepentingan prakmatis mereka diluar pelaksanaan fungsi legislatif yang sesungguhnya. Para politisi dapat melakukan inteprestasi secara politis dari proses yang terjadi.
Yang pasti, masing-masing stakeholder menanggung implikasi yang berbeda atas kebijakan penataan yang akan diambil yang berimplikasi pada sikap mendukung atau menolak. Oleh karena itu, apapun pilihan kebijakan yang akan diambil memerlukan proses yang tertata rapi. Lebih dari itu, pilihan atas rencana kebijakan juga memerlukan instrumen yang dapat memastikan bahwa kebijakan yang akan diambil benar-benar dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang digariskan.
B. Langkah Instrumentasi
Instrumentasi kebijakan merupakan suatu metode untuk memastikan pilihan kebijakan yang akan diambil dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Ia mencakup
sejumlah langkah strategis yang harus dilakukan oleh aktor pada proses kebijakan tertentu. Pada setiap tahap proses kebijakan memiliki rumusan kebutuhan instrumentasi yang tidak sama.
Secara garis besar berikut adalah beberapa hal yang perlu dilakukan agar rencana kebijakan penataan kecamatan dapat berjalan dengan baik, diantaranya adalah:
1. Agenda Setting
Maksud dari aktivitas ini adalah menjadikan penataan kecamatan sebagai isu penting bagi semua pihak. Penataan kecamatan adalah tidak hanya penting bagi kecamatan semata, tetapi penting bagi dinas-dinas dan badan-badan daerah. Penataan kecamatan adalah penting bagi institusi maupun individu/birokrat, desa, dan masyarakat secara umum.
Agenda setting menjadikan penataan kecamatan sebagai isu yang tidak hanya dimonopoli oleh sebagian kecil elit birokrasi tetapi menjadi isu bersama. Masing- masing level birokrasi dari pemerintah Kota, kecamatan sampai desa dibiarkan berwacana. Masyarakat umum pun diberi ruang untuk berwacana tentang hal ini. Agenda setting menjadikan pemerintah daerah dengan aparatnya dan masyarakat berwacana tentang penataan kecamatan.
Agar maksud dari agenda setting ini dapat tercapai maka harus:
a) Ada sosialisasi wacana penataan kecamatan dari walikota kepada kepala dinas, badan, kantor
b) Ada sosialisasi wacana penataan kecamatan dari Kepala Dinas, badan kantor kepada pegawai yang berada dilingkup kerjanya
c) Ada sosialisasi wacana penataan kecamatan dari Camat kepada aparat dilingkungannya
d) Ada sosialisasi wacana penataan kecamatan dari pemerintah daerah ke pemerintah desa
e) Ada sosialisasi wacana penataan kecamatan dari pemerintah kota ke publik
Dalam melakukan sosialisasi, instrumen yang harus dipersiapkan adalah:
a) Desain penataan kecamatan: alasan penataan, desain kelembagaan kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi Sekretariat Daerah atau Tim penataan kecamatan
b) Naskah akademik penataan kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi Sekretariat Daerah atau Tim penataan kecamatan
c) Ringkasan desain penataan kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi Sekretariat Daerah atau Tim penataan kecamatan.
d) Pusat informasi penataan kecamatan
Sosialisasi dapat dilakukan dengan banyak cara. Diantaranya adalah melalui:
a) Forum rapat khusus ataupun umum disetiap level birokrasi/pimpinan
b) Publikasi di media lokal maupun media milik Pemerintah Kota
c) Situs internet Pemerintah Kota
d) Seminar, Diskusi di radio, dan sebagainya.
2. Mobilisasi Dukungan
Mobilisasi dukungan memiliki banyak tujuan. Pertama agar kebijakan yang akan diambil tidak dihambat oleh para pihak yang kepentingannya terganggu. Kedua, agar penataan kelembagaan tidak ditumpangi kepentingan politis tertentu diluar perbaikan kecamatan itu sendiri. Ketiga, untuk mendapatkan masukan yang signifikan atas penataan kelembagaan yang akan dilakukan.
Para pihak yang terkena kebijakan dan yang terkait dengan kebijakan penataan kecamatan harus diyakinkan bahwa penataan yang dilakukan tidak lain adalah untuk optimaliasi peran kecamatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pihak –pihak yang terkait langsung seperti instansi dinas, badan dan kantor, kecematan, dan desa harus diyakin sedemikian rupa tentang maksud penataan. Institusi-institusi tersebut yang nantinya berkaitan dengan sejumlah kewenangan yang akan didelegasikan maupun yang akan bersinggungan secara langsung dengan kecamatan dalam keseharian penyelenggaraan kecamatan.
Mobilisasi dukungan politik dari DPRD juga menjadi kata kunci yang turut menentikan kesuksesan penataan kecamatan. Sebab, DPRD adalah institusi yang akan membuat persetujuan dari semua proses penataan kecamatan ini melalui kewenangan yang dimilikinya. DPRD menjadi aktor yang berperan menentukan jadi atau tidak penataan kecamatan ini. Jangan sampai mereka melakukan upaya-upaya yang bersifat menghambat dalam proses penataan dengan berbagai dalih yang sebenarnya tidak relevan.
Dengan demikian, dalam rangka penataan kecamatan harus dipastikan:
a) Ada mobilisasi dukungan politik terhadap DPRD, dilakukan oleh Walikota
b) Ada mobilisasi dukungan administratif terhadap Birokrasi di tingkat Kota, dilakukan oleh Sekretaris Daerah dan Asisten Sekretaris Daerah
c) Ada mobilisasi dukungan terhadap jajaran kecamatan, dilakukan oleh Sekretaris Daerah dan Asisten Sekretaris Daerah
d) Ada mobilisasi dukungan administratif terhadap Pemerintah Desa, dilakukan oleh Bupati atau Sekretaris Daerah dan Asisten Sekretaris Daerah
Dalam memobilisasi dukungan, instrumen yang harus dipersiapkan
adalah:
a) Dokumen dasar penataan kelembagaan seperti: Desain penataan, naskah akademik, ringkasan desaian penataan
b) Identifikasi keberatan-keberatan yang mungkin timbul dari para politisi DPRD, Internal Birokrasi, Kecamatan, dan pemerintah Desa
c) Konsep skenario atas keberatan dari para politisi DPRD, Internal Birokrasi,
Kecamatan, dan pemerintah Desa: negosiasi, konfrontasi
d) Konsep skenario bila mengalami dead lock untuk mendapatkan dukungan.
Mobilisasi dukungan dapat dilakukan melalui forum-forum resmi seperti rapat dinas, temu eksekutif-legislatif atau juga melalui forum lobby dan momen-momen informal yang diciptakan.
3. Pelembagaan Pilihan Kebijakan
Pilihan kebijakan yang telah ditetapkan perlu dilembagakan. Secara formal pelembagaan ini adalah dengan menetapkan regulasi yang berkaitan dengan kecamatan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota.
Agar kebijakan penataan yang dipilih sesuai dengan idealitas yang dibayangkan tentang kecamatan maka beberapa hal berikut perlu dipersiapkan:
a) Ada instrumen yang dapat mengidentifikasi kewenangan di dinas, badan dan kantor di Pemerintah Kota yang dapat didelegasikan/tidak dapat didelegasikan ke kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi Sekretaris Daerah atau Tim penataan kecamatan.
b) Ada instrumen yang dapat mengidentifikasi kewenangan-kewenangan yang berhubungan antara kecamatan dengan pemerintahan desa, disiapkan oleh Bagian Organisasi Sekretaris Daerah atau Tim penataan kecamatan.
c) Ada instrumen yang dapat mengidentifikasi beban kerja dan kapasitas kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi Sekretaris Daerah atau Tim Penataan Kecamatan.
Setelah instrumen tersebut ada maka instrumen tersebut dioperasionalkan dan digunakan sebagai bahan untuk menyusun idealitas penataan kecamatan. Idealitas itu kemudian diwujudkan dalam satu dokumen resmi pemerintah kota. Lebih lanjut, ia dituangkan dalam sebuah regulasi dan harus dipersiapkan yaitu:
a) Rancangan Perda tentang kelembagaan kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi atau bagian hukum Sekretaris Daerah atau Tim penataan kecamatan.
b) Rancangan Keputusan Kepala Daerah mengenai uraian kerja struktur di kecamatan, disiapkan oleh Bagian Organisasi atau bagian hukum Sekretaris Daerah atau Tim penataan kecamatan.
Dalam proses pelembagaan tersebut, hendaknya dilakukan secara partisipatif dan bila diperlukan mendatangkan orang yang ahli dibidangnya.
4. Penguatan Daya Dukung
Sehebat apapun idealitas tanpa ditopang oleh daya dukung maka idealitas itu tinggal idealitas semata. Bahkan, seringkali disfungsi kecamatan juga terkait dengan daya dukung yang tidak memadahi. Berkaitan dengan itu maka ketiga atau sebelum regulasi tentang kecamatan ditetapkan maka harus dipersiapkan daya dukung yang menyangganya.
Daya dukung yang dimaksud disini adalah daya dukung dalam hal keuangan, personil dan daya dukung prasarana dan sarana. Agar kebijakan penataan dapat berjalan dengan baik maka hal-hal berikut harus ada.
a) Daya dukung keuangan
a. Ada anggaran minimal agar kecamatan dapat berjalan diatas fungsi dasarnya.
b. Ada sistem penganggaran yang aspiratif dengan kebutuhan kecamatan
b) Daya dukung SDM
a. Ada instrumen untuk mengidentifikasi orang-orang dan kualifikasi orang yang tepat untuk ditempatkan dikecamatan, dilakukan oleh Badan Kepegawaian
b. Ada identifikasi jumlah SDM yang dibutuhkan oleh setiap karakter kecamatan, dilakukan oleh Badan Kepegawaian
c. Ada pelatihan/pendidikan yang diperuntukkan untuk orang-orang ditempatkan di kecamatan, dilakukan oleh Badan Kepegawaian
d. Ada sistem karier yang jelas bagi pegawai dikecamatan, dilakukan oleh Badan Kepegawaian
c) Daya dukung Sarana dan Prasarana
a. Ada prakiraan logistik minimal yang diperlukan untuk setiap kecamatan
b. Ada standar minimal sarana dan prasarana kecamatan
c. Ada standar minimal
5. Monitoring dan Evaluasi atas Pilihan Kebijakan
Setelah kebijakan berjalan maka diperlukan mekanisme untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kinerja kecamatan. Apakah kinerja kecamatan sudah sesuai dengan yang idealitas yang dibayangkan atau belum. Baik atau buruk kinerja kecamatan ia harus dicari sebab mengapa bisa demikian.
Berkaitan dengan evaluasi dan monitoring ini maka harus dipersiapkan:
a) Xxx instrumen untuk melakukan monitoring
b) Xxx instrumen untuk melakukan evaluasi
c) Ada sistem insentif dan disinsentif bagi pegawai atas kerja yang dilakukan
d) Ada skenario untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam monitoring dan evaluasi.
Semua langkah tersebut dilaksanakan sistematis dalam satu koordinasi Walikota dan/atau tim yang ditunjuk.
C. Penutup
Instrumentasi yang dipaparkan diatas adalah sebagian hal dari banyak hal yang dapat dilakukan agar penataan kecamatan berjalan dengan rapi. Peluang untuk merumuskan instrumentasi lain masih terbuka lebar. Rumusan diatas sekedar memberikan panduan dan gambaran bahwa instrumentasi untuk penataan kecamatan perlu dilakukan secara sistematis dan rapi.***
DAFTAR PUSTAKA
Xxxxxxxxx, Xxxxx, xx.xx (2005), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, Ombak.
Xxxxx, Xxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx (2002), Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial, YOI.
Xxxxxxx, Xxxxxxx (1991), Comparative Urban Politics: Power and the City in the United States, Canada, Britain, and France, Xxxxxx Xxxxx.
Samiaji, ey. Eds (2002), Menata Ulang Kelembagaan Pemerintah Kecamatan, Pusat Kajian Pemerintahan STPDN.
Xxxxx, Xxxxxxxx X. xx.xx (1979), Urban Policy and Politics In a Bureaucratic Age, Prentice-Hall.
Xxxxx, Xxxxx (2005), “Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900 – 1990” dalam Xxxxx Xxxxxxxxx, xx.xx (eds.), Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-Kota di Indonesia, OMBAK.
Tim S2PLOD (2003), Laporan Final Studi tentang Penataan Kecamatan di Kabupaten Magelang, Program S2 Politik Lokal dan Otonomi daerah UGM.
Xxxxxxxxxx, Xxxx (2002), “Pola Pendelegasian Kewenangan dan Hubungan Kelembagaan Organisasi Pemerintah Kecamatan” dalam Xxxx Xxxxxxxxxx, xx.xx (eds.), Menata Ulang Kelembagaan Pemerintah Kecamatan, CITRA PINDO.