SERI EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH
SERI EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH
PENGELOLAAN ZAKAT YANG EFEKTIF:
Konsep dan Praktik di Beberapa Negara
DEKS Bank Indonesia – P3EI-FE UII
DEPARTEMEN EKONOMI DAN KEUANGAN SYARIAH
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
Pengelolaan Zakat yang Efektif: Konsep dan Praktik di Berbagai Negara
Seri Ekonomi dan Keuangan Syariah
Diterbitkan atas kerjasama:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia P3EI Fakultas Ekonomi - Universitas Islam Indonesia
Edisi Pertama, Agustus 2016 ISBN : 978-602-60042-0-8
Penerbit:
Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah - Bank Indonesia Jl. M.H. Thamrin No.2 Jakarta 10350
No Telepon : 000-00000000(ext:2406) No Fax 000-0000000
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dengan bentuk dan cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit
Sambutan Gubernur Bank Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua, serta shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Xxxx Xxxxxxxx XXX, suri tauladan yang telah membawa perubahan dalam tatanan kehidupan manusia, termasuk dalam melakukan kegiatan perekonomian dan keuangan.
Zakat sebagai salah satu pilar dalam agama Islam memperlihatkan semangat mendukung perekonomian yang berkeadilan, dengan menitikberatkan pada mekanisme redistribusi dalam mengatasi berbagai kesenjangan ekonomi dan sosial. Sistem zakat yang efektif disertai dengan mekanisme pemberdayaan masyarakat secara terpadu, dapat mengantarkan kesejahteraan yang lebih tinggi kepada para penerima zakat sehingga pada waktunya akan mampu beralih mencapai tingkatan mandiri sebagai pembayar zakat. Sistem zakat yang disertai pemberdayaan ini pada gilirannya secara kolektif akan mendukung tumbuhnya sentra-sentra produksi baru yang dapat berkontribusi terhadap kesinambungan dan inklusivitas program pembangunan nasional.
Meskipun beberapa negara dengan populasi muslim mayoritas sudah mulai kembali menggalakkan sistem zakat, perkembangan sistem zakat secara umum masih berada pada tahap awal dengan kontribusi yang relatif terbatas. Tingkat kontribusi zakat yang rendah terhadap perekonomian suatu negara disebabkan oleh belum terintegrasinya pengelolaan zakat dengan kebijakan ekonomi secara nasional, maupun pengelolaan zakat yang belum memenuhi prinsip tata kelola yang baik. Dalam hal ini, sistem zakat perlu memiliki kualitas tata kelola yang unggul untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat dengan melakukan penyaluran secara efektif, efisien, dan akuntabel.
Sebagai salah satu upaya untuk mendapatkan tata kelola sistem zakat yang handal, Bank Indonesia bersama-sama dengan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan IRTI (Islamic Research and Training Institute) IDB (Islamic Development Bank) dalam wadah kerjasama international working group telah menyusun Zakat Core Principles sebagai kerangka pengaturan dan pengawasan
Sambutan
Gubernur Bank Indonesia
pengelolaan zakat berstandar internasional. Upaya untuk memperkuat tata kelola sistem zakat ini seiring sejalan dengan program prioritas pemerintah dalam rangka menanggulangi kemiskinan dan memperkokoh pondasi pembangunan nasional yang berkesinambungan dan inklusif.
Mengingat potensi zakat yang sedemikian besar bagi pembangunan ekonomi, Bank Indonesia berinisiatif menyediakan referensi pengelolaan zakat dari sudut pandang kebijakan ekonomi dalam bentuk Modul Pengelolaan Zakat yang Efektif, yang terutama ditujukan bagi mahasiswa strata I. Kami meyakini modul ini akan dapat memberikan sudut pandang secara komprehensif dampak zakat bagi perekonomian, yang tidak hanya diukur dari besaran tambahan nilai material akibat zakat secara agregat, namun juga dilihat berdasarkan distribusi sumber daya bagi setiap pelaku ekonomi.
Akhir kata, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak baik tim penulis, pada narasumber dari BAZNAS, jajaran perguruan tinggi, Kementerian Agama, lembaga-lembaga amil zakat di Indonesia, maupun pihak-pihak terkait lainnya, yang telah menyumbangkan pikiran dan waktunya dalam rangka penyelesaian buku ini. Semoga Allah memberikan limpahan rahmat dan RidhoNya, dan semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan menambah khazanah pengetahuan di bidang ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Xxxxxxx, Xxxx 2016 Gubernur Bank Indonesia
Xxxx X.X Xxxxxxxxxxxx
Kata Pengantar Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga Bank Indonesia dengan dukungan dari berbagai pihak dapat menerbitkan modul Pengelolaan Zakat yang Efektif bertepatan dengan peringatan HUT BI ke-63. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Xxxx Xxxxxxxx XXX yang menjadi suri tauladan dalam mengimplementasikan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang ekonomi dan keuangan syariah, namun demikian potensi ini tidak akan memberikan manfaat optimal tanpa dukungan dan komitmen dari berbagai pihak untuk mengembangkannya. Dalam rangka mendukung pengembangan tersebut, saat ini Bank Indonesia sedang menyusun blueprint Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah. Salah satu pilar dari blueprint tersebut adalah Pengembangan Sumber Daya Insani. Penyusunan Modul Zakat yang ditujukan sebagai referensi bagi perguruan tinggi, merupakan bentuk konkret dukungan Bank Indonesia dan sejalan dengan pelaksanaan pilar pengembangan Sumber Daya Insani.
Modul ini disusun melalui kerja sama antara Bank Indonesia dan Universitas Islam Indonesia. Modul ini ditujukan sebagai referensi bahan ajar bagi mahasiswa S1 atau setara. Modul ini merupakan edisi pertama dan akan terus disempurnakan pada edisi-edisi berikutnya. Selanjutnya, dalam rangka melengkapi referensi bagi perguruan tinggi, Bank Indonesia akan menyusun modul-modul lain yang terkait dengan ekonomi keuangan syariah.
Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih kepada tim penyusun dan seluruh pihak yang telah menyisihkan waktu dan menyumbangkan tenaganya dalam rangka penyelesaian modul ini. Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam modul ini. Untuk itu, kami menerima
Kata Pengantar
Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
dengan terbuka bila ada masukan dan saran guna penyempurnaan modul ini di masa mendatang. Akhirnya, kami berharap modul ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan dapat dijadikan sebagai stimulan pemikiran dalam upaya pengembangan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
Xxxxxxx, Xxxx 2016
Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah
X. Xxxxx Xxxxxxx
Daftar Isi
Sambutan Gubernur Bank Indonesia iii
Kata Pengantar Kepala Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah v
Daftar Isi vii
Daftar Istilah ix
1. ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 1
1.1 Pembangunan dan Kemiskinan 2
1.2. Kemiskinan Menurut Islam 15
2. EKONOMI ZAKAT 31
2.1. Rasionalitas Ekonomi Kewajiban Zakat 32
2.2. Zakat dan Implikasinya dalam Perekonomian 35
2.3. Zakat dan Perilaku Konsumsi 37
2.4. Pengaruh Zakat terhadap Investasi 41
2.5. Zakat dan Pertumbuhan Ekonomi 46
2.6. Zakat dan Distribusi Pendapatan 49
2.7. Zakat dan Kesempatan Kerja 50
2.8. Zakat dan Sistem Jaminan Sosial 51
2.9. Perlunya Tata Kelola Zakat secara Terintegrasi 52
3. ZAKAT, SEJARAH DAN KERANGKA HUKUM ZAKAT 57
3.1. Pengertian Zakat, Infak dan Sedekah 58
3.2. Sejarah Zakat 65
3.3. Tinjauan Fiqih Tentang Zakat 75
3.4. Isu Fiqih Zakat Kontemporer 101
4. TATA KELOLA ZAKAT 107
4.1. Pengertian Amil Zakat 107
4.2. Kegiatan Utama Amil Zakat 109
4.3. Keunikan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) 129
4.4. Prinsip-Prinsip Inti Zakat (Zakat Core Principles-ZCP) 131
Daftar Isi
Daftar Isi
4.5. Kualifikasi Sumber Daya Manusia Amil 146
4.6. Kerangka dan Model Kelembagaan Zakat 147
5. SISTEM DAN KELEMBAGAAN ZAKAT 151
5.1. Sistem dan Kelembagaan Zakat 152
5.2. Kerangka Regulasi dan Pengawasan Zakat 153
5.3. Sistem Pelaporan dan Akuntansi Zakat 154
5.4. Asosiasi dan Forum Organisasi Zakat 158
5.5. Pendidikan, Riset dan Pengembangan Zakat 163
5.6. Lembaga Sertifikasi Profesi 172
5.7. Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) 175
5.8. Advokasi dan Peradilan 176
6. REGULASI DAN TATA KELOLA ZAKAT DI BERBAGAI NEGARA 179
6.1. Regulasi dan Tata Kelola Zakat di Negara yang Mewajibkan Zakat 181
6.2. Regulasi dan Tata Kelola Zakat di Negara yang Tidak Mewajibkan
Zakat 200
7. DAFTAR PUSTAKA 229
Daftar Istilah
• Agama langit (samawi):
Agama yang dipercaya oleh para pengikutnya dibangun berdasarkan wahyu Allah. Suatu agama disebut agama Samawi jika mempunyai definisi Tuhan yang jelas, mempunyai penyampai risalah (Nabi/Rasul) dan mempunyai kumpulan wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam Kitab Suci. Agama- agama besar yang dianggap agama samawi diantaranya Xxxxxx, Xxxxxxx, Islam. Kebalikan dari agama samawi adalah Agama Ardhi.
• Amil atau amil zakat:
orang atau pihak yang diberi tugas untuk mengumpulkan, mengelola dan membagikan zakat.
• Aset tidak produktif:
Setiap bentuk kekayaan yang berpotensi untuk tumbuh namun tidak
digunakan dalam produksi, misalnya emas yang disimpan.
• Badan Arbitrase Zakat:
lembaga yang berperan sebagai mediasi atas sengketa yang mungkin muncul anatr pihak dalam pengelolaan zakat
• Baitul Mal:
Berasal dari bahasa Arab yang berarti rumah harta. Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara.
• Basel Core Principles (BCP):
standar minimum untuk regulasi kehati-hatian dan pengawasan bank dan
sistem perbankan yang diakui secara internasional
• BAZ:
Badan Amil Zakat, yaitu suatu organisasi atau badan negara yang berwenang untuk mengelola dana zakat, infaq dan sedekah
• Corporate Social Responsibilty (CSR) atau tanggung Jawab Sosial Perusahaan:
Suatu konsep bahwa organisasi, terutama perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang di antaranya adalah konsumen, karyawan, pemegang
saham, komunitas dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan
• Dewan Pengawas Syariah (DPS):
Dewan yang mempunyai tugas utama mengarahkan, mengawasi dan membimbing terhadap kepatuhan syariah dari pengelolaan zakat di OPZ
• Dinar (emas):
Uang emas murni yang memiliki berat 1 mitsqal atau setara dengan 1/7 troy ounce. Menurut Islamic Mint Nusantara (IMN) satu dinar memiliki berat 4,44 gram, sedangkan menurut World Islamic Mint (WIM), 1 dinar memiliki berat 4,25 gram.
• Dirham (perak):
Uang perak Islam berdasarkan ketentuan Islamic Mint Nusantara (IMN) memiliki kadar perak murni dengan berat 1/10 troy ounce atau setara dengan 3,11 gram.
• Efek penumpang gelap (free rider effect):
Perilaku atau reaksi seseorang akibat adanya kesempatan menikmati
layanan dengan tanpa adanya kewajiban untuk memberikan kontribusi
• Efek perbuatan baik (good act effect):
Perilaku atau reaksi seseorang akibat adanya perasaan telah melakukan perbuatan baik
• Fakir:
Orang yang tidak berpenghasilan atau berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokok minimumnya (Menurut xxxxxxx Xxxxxx dan Syafi’i)
• Filantropi:
cinta kasih (kedermawanan dan sebagainya) kepada sesama
• Forum Organisasi Zakat (FOZ):
Asosiasai dari Organisasi Pengelola Zakat Indonesia yang berkedudukan dan berpusat di Ibu kota Negara Indonesia dan dapat membuka perwakilan di tempat lain
• Fuqaha :
Ulama yang memiliki keahlian di bidang hukum syariat
• Garis Kemikinan Makanan (GKM):
Nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan (52 komoditi) yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari, komponen dari GK yang digunakan oleh BPS.
• Garis Kemiskinan (GK):
Tingkat pendapatan yang digunakan untuk mengukur batas seseorang disebut miskin. BPS menggunakan rata-rata pengeluaran perkapita per bulan untuk mengukur Garis kemiskinan
• Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM):
Nilai pengeluaran kebutuhan minimum non makanan (perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan) yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari, komponen dari GK yang digunakan oleh BPS.
• Gharimin:
orang yang berhutang, khususnya yang berhutang karena untuk
kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya.
• Good Amil Governance:
Tata kelola amil yang baik
• Hasrat konsumsi (marginal propensity to consume- MPC):
Tambahan konsumsi sebagai dampak adanya peningkatan pendapatan
• Hasrat tabungan (marginal propensity to save - MPS):
Tambahan tabungan sebagai dampak adanya peningkatan pendapatan
• Hawl:
Batas waktu tertentu yang menjadikan zakat wajib dibayarkan
• Hukum Kesatuan Harga (Law of One Price):
Konsep ekonomi yang menyatakan bahwa ”suatu barang harus dijual dengan harga yang sama di semua lokasi”. Barang akan mengalir dari lokasi yang harganya tinggi menuju lokasi yang harganya rendah hingga harga ke kedua lokasi setara.
• Xxxx Xxxxx:
Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesulitan dalam perjalanannya
• Indeks Headcount:
Indeks yang mengukur proporsi penduduk yang masuk kategori miskin.
• Indeks Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HP):
Indeks yang dikenalkan oleh UNDP (1987) yang mengukur seberapa besar penduduk yang tertinggal (deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan yang layak, dan diukur dari tiga dimensi, (i) lama waktu dan tingkat kesehatan hidup (ii) pengetahuan (iii) kelayakan standar hidup
• Indeks Kesenjangan Kemiskinan atau Poverty Gap Index (P):
Indeks yang mengukur seberapa parah kemiskinan yang terjadi, yaitu jarak pendapatan rata-rata individu/rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan dengan garis kemiskinan
• Indeks Kesenjangan Pendapatan atau income Gap Index (I):
Indeks yang mengukur tingkat keparahan kemiskinan, yaitu dengan
membagi indeks gap (P) terhadap jumlah penduduk miskin
• Indeks MPI:
Indeks yang mengukur kemiskinan dari multi dimensi, dikenalkan oleh UNDP tahun 2010 dan dikembangkan oleh Oxford Poverty & Human Development Initiative (OPHI). Indeks ini mengukur kemiskinan dalam tiga indikator sekaligus, yaitu Human Development Index (HDI) yang meliputi pendidikan, kesehatan dan standar hidup, yang terdiri dari 10 indikator.
• Indeks Sen (P2):
Indeks untuk mengukur tingkat kedalaman kemiskinan yang dikenalkan oleh Xxxxxxx Xxx (1976), dengan cara ini menggabungkan indeks Headcount, indeks kesenjangan kemiskinan dan indeks Gini.
• Indeks Watts (W):
Indeks yang dikenalkan oleh Xxxxxx X Xxxxx (1968) dan mengukur perbedaan rata-rata antara logaritma garis kemiskinan dengan logaritma pendapatan.
• Infaq:
Mengeluarkan sebagian harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah (SWT) seperti menginfakkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
• Jaminan Sosial:
Suatu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara atau masyarakat guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak. Lingkup penjaminan bisa bervariasi, termasuk aspek kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak, dan lain-lain.
• Keluarga Pra Sejahtera:
Keluarga belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal seperti dalam pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Keluarga ini digunakan oleh BKKBN untuk menjadi tokok ukur keluarga sangat miskin
• Kewajiban kifayah:
Kewajiban bersama bagi mukalaf, yang apabila sudah dilaksanakan oleh seseorang di antara mereka, yang lain bebas dari kewajiban itu.
• LAZ:
Lembaga Amil Zakat, yaitu suatu organisasi atau badan swasta yang berwenang untuk mengelola dana zakat, infaq dan sedekah
• Manthuq:
Harta-harta yang secara eksplisit dikemukakan secara rinci dalam Al-Quran maupun Hadits
• Maqasid Syariah:
Tujuan mengapa ada syariat, baik dalam hal ibadah maupun muamalah.
• Maslahah:
Kemanfaatan material dan non material, dimana maslahah dasar terdiri dari lima yaitu jiwa, intelektual, sosial, material dan maslahah spiritual.
• Miskin:
Orang yang berpenghasilan namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya (Menurut xxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxx’x)
• Mu’allaf:
Orang yang tertarik hatinya kepada Islam, baik belum beragama Islam atau
sudah berislam namun masih awal
• Mustahik:
Orang-orang atau pihak yang berhak menerima zakat
• Muzakki:
Orang-orang atau pihak yang telah memiliki kewajiban membayar zakat
• Nirlaba:
Bersifat tidak mengutamakan pemerolehan keuntungan
• Nishab:
Batas kuantitas yang mewajibkan zakat untuk dibayarkan pada suatu
harta. Nishab untuk berbeda jenis harta bisa pula berbeda
• Opportunity Revenue:
Potensi penerimaan yaitu biaya atau pengeluatan yang bisa dihemat karena melakukan sesuatu. Misalkan zakat atas simpanan emas yang tidak jadi dikeluarkan akibat menggunakan emas tersebut untuk usaha.
• PSAK nomor 109 :
Pedoman standar akuntansi keuangan tentang zakat di Indonesia
• Regulasi kehati-hatian (prudential regulation):
Pengaturan terkait kehati-hatian dan layanan usaha, namun tidak terbatas pada peraturan negara juga regulasi yang dimunculkan oleh institusi, jaringan lembaga zakat dan asosiasi
• Regulasi Perilaku (conduct regulation):
Regulasi untuk setidaknya mengatur perlindungan konsumen (mustahik dan muzaki), etika bersaing dan kode etik minimal. Regulasi ini mengatur lembaga, SDM dan dampak keduanya bagi luar lembaga seperti perekenomian masyarakat dan negara.
• Rikaz:
Harta temuan atau harta yang diperoleh dengan tanpa bekerja sepeti
hadiah atau harga yang ditemukan dari alam
• Riqab:
orang-orang dalam perbudakan atau perbudakan
• Risiko syariah compliant:
risiko yang muncul sebagia akibat keharusan memenuhi prinsip-prinsip syariah dalam pengelolaan zakat
• Sabilillah:
Keperluan untuk perjuangan Islam dan atau kaum muslimin
• Sedekah atau shadaqah:
Mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allah atau bantuan material maupun non material seperti menolong orang lain dengan tenaga dan pikirannya, mengajarkan ilmu, bahkan melakukan hubungan suami istri, disebut juga shadaqah.
• Sha’:
Ukuran timbangan, dimana 1 sha’= 4 mud (1 mud=675 gram) atau kira- kira setara dengan 3,5 liter atau 2,7 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan (Mazhab syafi’i dan Maliki)
• Shahabat:
Orang yang berjumpa dengan Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxx ‘xxxxxx xxxxxxxx dalam keadaan ia beriman kepadanya dan ia meninggal dalam keadaan Islam meskipun pernah diselingi murtad menurut pendapat yang shahih.
• Tabi’in:
Orang yang berjumpa dengan shahabat Nabi Xxxxxxxxxxx ‘xxxxxx xxxxxxxx dalam keadaan ia beriman meskipun ia tidak melihat Beliau Xxxxxxxxxxx ‘alayhi wasallam dan ia mati di atas keislamannya.
• Tarif zakat:
Tingkat atau persentase zakat minimal yang harus dibayarkan
• Tata kelola atau governance:
Suatu sistem dan proses yang bisa memastikan arah secara keseluruhan, efektivitas, pengawasan dan akuntabilitas organisasi
• Tingkat Kemiskinan absolut:
Pendapatan layak minimum individual untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk bisa bertahan hidup. Misalnya Bank Dunia mendefinisikan kemiskinan dengan pendapatan sebuah keluarga dibawah US $1,25 per hari
• Tingkat Kemiskinan Relatif:
Kemiskinan diukur sebagai persentase penduduk dengan pendapatan di bawah nilai median pendapatan, yang membandingkan antara kelompok terendah dengan kelompok di atasnya. misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran
• Ushr:
istilah dari bahasa arab yang berarti sepersepuluh, yaitu merupakan tarif zakat untuk pertanian atau perkebunan dengan irigasi atau bukan tadah hujan.
• Wakaf:
Benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan
umum (Islam) sebagai pemberian yang ikhlas
• World Zakat Forum (WZF):
Organisasi non-profit lahir dari kesadaran akan kebutuhan untuk saling bekerja sama dan berbagi pengalaman antar organisasi zakat di seluruh dunia untuk memerangi ancaman kemiskinan dengan melibatkan semua pihak dari berbagai organisasi zakat di dunia.
• Zakat Core Principles:
Prinsip Inti zakat yang dikelompokkan menjadi 18 (delapan belas) prinsip
pokok dalam pengelolaan zakat
• Zakat Fitrah:
Zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan, dikenakan atas setiap jiwa sejumlah makanan pokok untuk satu hari orang miskin
• Zakat:
Harta yang wajib dikeluarkan sebagian dari harta tertentu yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang mewajibkan zakat) dan batas waktu tertentu (hawl) kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Zakat disebut juga sebagai sedekah wajib
• ZISKAF atau ZISWAF:
istilah untuk menyingkat zakat, infak, shadaqah dan wakaf
BAB I - Zakat dan Pengentasan Kemiskinan
BAB I ZAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Pendahuluan
Diskusi dan penelitian mengenai peran zakat terhadap pengentasan kemiskinan sudah banyak dilakukan, terutama di negara-negara muslim mayoritas.1 Secara umum, berbagai penelitian menemukan adanya pengaruh implementasi zakat terhadap penurunan tingkat kemiskinan pada tingkat mikro, yaitu dampak terhadap penerima zakat. Namun, sebagian besar penelitian mengenai pengaruh zakat ada pada level mikro karena adanya keterbatasan data dan kontribusi pembayaran zakat yang masih relatif kecil dibandingkan dengan perekonomian nasional.
Kecilnya kontribusi zakat terhadap perekonomian suatu negara disebabkan oleh belum terintegrasinya pengelolaan zakat dengan kebijakan ekonomi secara nasional suatu negara ataupun pengelolaan zakat yang belum memenuhi prinsip tata kelola yang baik.
Tujuan Umum:
• Memahami pentingnya fenomena tingginya kemiskinan di berbagai negara, terutama di negara dengan penduduk mayoritas muslim serta peran pentingnya zakat dalam pengentasan kemiskinan di berbagai negara.
Tujuan Khusus:
• Memahami tingkat kemiskinan dan keparahannya di negara-negara muslim.
• Memahami berbagai indikator dan dimensi kemiskinan.
• Memahami pandangan dan pengukuran kemiskinan menurut Islam.
• Memahami pentingnya dan bagaimana zakat digunakan dalam pengentasan kemiskinan.
1. Xxxx Xxxxxxxx (2007), Prospects of Poverty Eradication Through the Existing Zakat Sistem in Pakistan, http:// www. Finance in islam. com/article/1_41/5/112. Xxxxx Xxxxx (1986), Pakistan’s zakat and ‘Ushr as a Welfare Sistem, dalam Anita, Islamic Reassertion in Pakistan: The Application of Islamic Laws in a Modern State Weiss, Syracuse, New York, Syracuse University Press, hal 79-95.
1.1. Pembangunan dan Kemiskinan
1.1.2. Kemiskinan di Negara Mayoritas Muslim
Meskipun tidak ada keseragaman antarahli maupun negara di dalam mengukur tingkat kemiskinan, namun mereka memiliki perhatian yang sama tentang perlunya upaya sistematis dan terencana di dalam mengatasi kemiskinan. Bank Dunia menyepakati bahwa untuk menghitung ukuran kemiskinan, setidaknya ada tiga aspek yang diperlukan, yaitu:
1. Harus ada ukuran kesejahteraan yang relevan dan jelas.
2. Harus ditentukan garis batas kemiskinan, yang merupakan ambang batas bawah rumah tangga atau individu tertentu yang akan digolongkan miskin.
3. Harus dipilih indikator kemiskinan yang akan digunakan untuk pelaporan populasi atau untuk subkelompok penduduk saja.
Berdasarkan perkembangan keilmuan, indikator kemiskinan saat ini tidak hanya melibatkan aspek daya beli atau ekonomi, namun telah bersifat multidimensi. Indeks kemiskinan multidimensi global atau Multidimensional Poverty Index (MPI) diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 2010 oleh UNDP Bank Dunia dan Oxford Poverty & Human Development Initiative. Indeks ini mengoreksi indeks kemiskinan sebelumnya yang bersifat parsial sehingga bisa terjadi tumpang tindih dalam pengukuran. Indeks ini meliputi gabungan dari tiga dimensi, yaitu:2
• Dimensi kesehatan, diukur dari tingkat nutrisi dan kematian anak.
• Dimensi pendidikan, diukur dari lama studi dan jumlah anak yang bersekolah.
• Dimensi standar hidup, diukur dari pengeluaran bahan bakar, listrik, air, kepemilikan aset, dan sebagainya.
Hingga pertengahan tahun 2015, ditemukan kondisi kemiskinan yang cukup tinggi, di antaranya:3
• Sekitar 1,6 miliar orang hidup dalam kondisi kemiskinan multidimensi, 54% hidup di Asia Selatan, dan 31% di sub-Sahara Afrika.
• Sebagian besar orang miskin multidimensial (70%) tinggal di negara berpendapatan menengah.
• Terdapat perbedaan hasil pengukuran kemiskinan dengan pendekatan MPI dan pendekatan garis pendapatan absolut (misalkan, pendapatan minimal
2. Lihat xxxx://xxx.xxxx.xxx/xx/xxxxxxx/xxxxxxxxxxxxxxxx-xxxxxxx-xxxxx-xxx. Lihat juga xxxx://xxx.xxxx.xxx. uk/multidimensional-poverty-index
3. xxxx://xxx.xxxx.xxx.xx/xx-xxxxxxx/xxxxxxx/Xxxxxx-XXX-0-xxxxx_00_00.xxx
$1,25 per hari pada beberapa negara, seperti di Chad dan Ethiopia, yang tampak tidak begitu miskin jika diukur secara absolut dengan jumlah penduduk miskin 37%, namun jika diukur dengan MPI naik kemiskinannya menjadi 87%).
• Hampir setengah dari semua orang miskin MPI hidup dengan kondisi kesusahan yang ekstrim, seperti gizi buruk atau berpendidikan kurang dari satu tahun, jumlah mereka hampir mencapai 736 juta orang.
Dengan indikator MPI, dapat diungkap terdapatnya pola kemiskinan berbeda antarwilayah regional. MPI tidak hanya mengukur besarnya jumlah penduduk miskin, namun mampu melihat seberapa serius kemiskinan tersebut atau pada aspek apa saja kemiskinan terjadi. Jika dimensi kemiskinan ini terjadi pada seluruh aspek, maka mereka bisa dikatakan papa atau sangat miskin atau melarat.
Tabel 1.2.
Indeks kemiskinan Regional tahun 2015
Kategori (jumlah negara) | MPI | Persen Penduduk miskin MPI | Persen Penduduk miskin MPI (juta) | Jumlah Total Penduduk (Juta) |
Eropa dan Lasia Tengah | 0,008 | 2,0 | 3,0 | 152,1 |
Amerika Latin dan Karibia | 0,022 | 5,2 | 26,0 | 499,3 |
Asia Timur & Pasifik | 0,031 | 7,1 | 134,8 | 1889,0 |
Negara-negara Arab | 0,109 | 20,7 | 54,4 | 263,3 |
Asia Selatan | 0,275 | 52,5 | 844,0 | 1607,5 |
Sub Sahara Afrika | 0,343 | 61,1 | 496,0 | 811,5 |
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan multidimensi tertinggi ada di wilayah Afrika, diikuti wilayah Asia Selatan dan negara-negara Arab. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar kemiskinan terdapat di wilayah negara-negara mayoritas muslim yang sebagian besar ada di ketiga wilayah tersebut. Secara umum, lebih banyak penduduk miskin jika diukur dengan MPI dibandingkan dengan ukuran US$1,25/hari. Secara global, ada 1,52 milyar penduduk atau 29,6% penduduk miskin MPI dan 1,19 milyar atau 23,3% penduduk hidup di bawah US$ 1,25/hari. Bahkan, di beberapa negara, jumlah penduduk miskin MPI bisa dua kali lebih besar daripada miskin
US$1,25/hari. Khusus negara-negara anggota OKI dapat dilihat beberapa negara, seperti: Palestina, Xxxxxxx, Xxxxxx, Uzbekistan, Mesir, Azarbeijan, Irak, Maroko, Pakistan, Yaman, Mauritania, Xxxxx, Xxxx dan Niger. Sebagian besar penduduk melarat ini, 93%, hidup di Asia Selatan dan Afrika, seperti India (348 juta), Nigeria (57 juta) dan Ethiopia (52 juta). Secara relatif, negara dengan penduduk melarat tertinggi ada di Sudan Selatan (71,5%) dan Niger (68,8%). Gambaran di atas menunjukkan masih banyaknya negara muslim yang tertimpa kemiskinan cukup tinggi.
Pada gambar 1.1. di bawah, dilukiskan beberapa kondisi kemiskinan di 45 negara anggota OKI dengan tiga indikator, yaitu MPI, persentase penduduk miskin MPI (headcount) dan persentase penduduk miskin US$1,25. Secara umum, persentase penduduk miskin MPI lebih tinggi dibandingkan persentase penduduk miskin absolut (US$1,25), seperti di Xxxxx, Xxxx, Cameron, Pakistan dan termasuk Indonesia. Beberapa negara memiliki kemiskinan MPI lebih rendah daripada kemiskinan absolut, seperti di Nigeria, Togo dan Bangladesh.
Hal yang memprihatinkan adalah masih banyaknya penduduk melarat atau sangat miskin di xxxxxx XXX ini, rata-rata sekitar 40 persen dari mereka yang miskin MPI. Dari 45 negara anggota OKI, ada 9 negara yang memiliki tingkat kemelaratan 50 persen lebih dari kemiskinan MPI, yaitu negara Maroko, Nigeria, Sudan, Mozambique, Guinea, Mali, Sierra Xxxxx, Xxxx dan Niger, yang sebagian besar berada di benua Afrika. Demikian pula dari tolok ukur absolut. Menurut Bank Islam Dunia (Islamic Development Bank), tingkat kemiskinan negara-negara anggota OKI masih tinggi. Dengan indikator kemiskinan tingkat pendapatan di bawah $1,25 per hari per kapita adalah rata-rata 17,67% untuk periode 2007-2014, turun 11,55 persen dibandingkan periode 1990-1999. Namun, tingkat kemiskinan ini sangat tinggi dibandingkan dengan negara- negara maju.
Gambar 1.1.
Tingkat Kemiskinan MPI dan $1.25/hari, Negara OKI, 2015
Sumber: xxx.xxxx.xxx.xx, diolah.
1.1.2. Kemiskinan di Indonesia
Kemiskinan merupakan salah satu problem utama dalam pembangunan di Indonesia hingga saat ini. Integrasi program penurunan tingkat kemiskinan telah menjadi bagian dari agenda pembangunan nasional Indonesia sejak negeri ini merdeka. Dengan program ini, secara umum tingkat kemiskinan di negara ini semakin menurun.
Akan tetapi, rendahnya tingkat kemiskinan itu berkaitan dengan pengukuran atau indikator yang digunakan. Di Indonesia, terdapat beberapa institusi resmi yang mengukur kemiskinan, yaitu Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Pendekatan yang digunakan BPS adalah kebutuhan fisik dasar minimum dengan objek individual, sedangkan BKKBN menggunakan pendekatan multidimensi dengan objek keluarga.
Menurut data BPS, tingkat kemiskinan di Indonesia secara umum selalu menurun. Peningkatan kemiskinan sempat terjadi ketika krisis moneter menimpa pada tahun 1997-1998, baik secara absolut maupun relatif. Secara absolut, jumlah penduduk miskin meningkat dari tahun 1996 ke 1997 yakni dari 34 juta jiwa menjadi 50 juta jiwa. Secara relatif, penduduk miskin juga meningkat dari 17% pada tahun 1996 menjadi 24% pada tahun 1997. Selebihnya, tingkat kemiskinan semakin menurun.
Gambar 1.2.
Tingkat Kemiskinan Absolut di Indonesia, 1996-2015
Sumber: xxx.xx.xx, diolah
Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2014 yakni dari 27,73 juta jiwa menjadi 28,59 juta jiwa atau meningkat dari 10,95% menjadi 11,22% pada tahun 2015. Secara absolut, sebagian besar penduduk miskin tinggal di Jawa; sedangkan secara relatif, penduduk miskin tertinggi ada di Kawasan Timur Indonesia. Dari distribusi kota-desa, sebagian besar mereka tinggal di desa (14,21%) pada Maret 2015. Sementara persentase penduduk miskin di perkotaan mencapai 8,29% pada Maret 2015.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain di OKI, kemiskinan di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara muslim lainnya, di mana rata-rata kemiskinan di negara OKI mencapai 24,57 persen.
Jika dilihat dari aspek apakah kemiskinan ini cukup parah, maka hal ini dapat dilihat dari indeks MPI. Berdasarkan survei tahun 2015, tingkat kemiskinan MPI di Indonesia cukup rendah dibandingkan dengan rata-rata dunia, di mana
MPI Indonesia adalah 0,066 dan MPI global adalah 0,167. Sebagaimana dapat dilihat pada gambar 1.4. bahwa aspek kemiskinan di Indonesia yang paling parah adalah aspek kesehatan, yaitu tingkat kematian bayi relatif tinggi yakni 21,1%, namun masih lebih baik daripada tingkat dunia yang mencapai 16,3 persen. Sementara masih ada 3 aspek yang tingkat kemiskinannya di atas 5 persen, yaitu sanitasi, ketersediaan air minum dan penggunaan BBM untuk keperluan dapur. Sedangkan aspek pendidikan dan kepemilikan aset relatif lebih rendah daripada tingkat dunia.
Tabel 1.2.
Kemiskinan MPI Indonesia, 2015
Negara (MPI) | Multi- dimensional Poverty Index | Persentase orang yang miskin dan perlu bantuan | |||||||||
Pendidikan | Kesehatan | Standar Hidup | |||||||||
Tahun sekolah | Anak yang sekolah | Kemati- an bayi | Gizi | Listrik | Sanitasi | Air Minum | Lantai Rumah | BBM masak | Kepe- milikan Aset | ||
% Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | % Popu- lation | ||
(1) | (2) | (3) | (4) | (5) | (6) | (7) | (8) | (9) | (10) | ||
Indonesia | 0,066 | 2,5 | 2,5 | 12,1 | n,a, | 1,8 | 8,0 | 6,1 | 2,3 | 9,6 | 4,1 |
Dunia (112 Negara) | 0,167 | 13,8 | 14,0 | 16,3 | 12,9 | 25,2 | 25,1 | 16,9 | 21,1 | 29,5 | 16,4 |
Gap | -0,100 | -11,3 | -11,4 | -4,2 | n,a | -23,4 | -17,0 | -10,8 | -18,8 | -20,0 | -12,3 |
Sumber: xxx.xxxx.xxx.xx, diolah.
1.1.3. Pengertian dan Indikator Kemiskinan
a. Definisi Kemiskinan
Kemiskinan memiliki spektrum yang luas sehingga tidak ada definisi tunggal tentangnya. Persepsi tentang kemiskinan bergantung pada sudut pandang yang diambil. Analisis yang berbeda dapat dilakukan dan strategi yang berbeda pula dapat diterapkan untuk memerangi kemiskinan. Oleh karena itu, definisi dan kriteria kemiskinan bisa bersifat subjektif maupun objektif.
Pada awalnya, definisi kemiskinan didasarkan pada indikator objektif yaitu pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Perkembangannya, digunakan pendekatan kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.4 Kemiskinan absolut mencerminkan pendapatan layak minimum individual untuk memenuhi kebutuhan pokok untuk bisa bertahan hidup. Misalnya, Bank Dunia
4. The Statistical, Economic and Social Research and Training Centre for Islamic Countries (SESRIC), 2015,
Measurement of Poverty in OIC Member Countries: Enhancing National Statistical Capacities,hal. 8-10.
mendefinisikan kemiskinan dengan pendapatan sebuah keluarga di bawah US
$1,25 per hari (dengan nilai USD tahun 2005) per orang.5
Secara relatif, kemiskinan diukur sebagai persentase penduduk dengan pendapatan di bawah nilai median pendapatan, yang membandingkan antara kelompok terendah dan kelompok di atasnya. Misalnya, 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kelompok ini merupakan penduduk relatif miskin. Dengan demikian, ukuran kemiskinan relatif sangat tergantung pada distribusi pendapatan/pengeluaran penduduk.
Dalam perkembangannya, kemiskinan tidak hanya diukur dengan indikator moneter, namun juga keterlantaran atau rendahnya akses terhadap barang dan jasa tertentu. Terlebih lagi, dalam dekade terakhir, kemiskinan melibatkan lingkup yang lebih luas dengan memasukkan aspek sosial dan budaya, seperti aspek pendidikan dan kesehatan.
Kemiskinan, menurut World Bank (2000), didefinisikan sebagai bentuk kehilangan kesejahteraan. Sedangkan permasalahan inti pada kemiskinan adalah batasan-batasan tentang kesejahteraan itu sendiri. Di dalam UU No. 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin disebutkan istilah “fakir miskin”. Menurut undang-undang tersebut, fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan atau keluarganya.6 Kebutuhan dasar yang dimaksud meliputi kebutuhan pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan atau pelayanan sosial.
b. Pengukuran Kemiskinan
Pengukuran kemiskinan sangatlah penting sebagai referensi kebijakan maupun kepentingan praktis. Namun demikian, tidak ada pengukuran yang diterima secara universal. Secara umum, indikator kemiskinan ada beberapa indikator pokok, di antaranya adalah:
1) Indeks Headcount (H)
Indeks ini mengukur proporsi penduduk yang masuk kategori miskin. Indeks ini sangat sederhana, namun tidak sensitif terhadap adanya
5. Xxxxxxxxx, M., S. Xxxx and P. Sangraula (2008), “Dollar a Day Revisited”, World Bank Economic Review, Vol. 23(2).
6. Undang-Undang No 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, pasal 1 ayat 1.
perbedaan kedalaman kemiskinan.
2) Indeks Kesenjangan Kemiskinan atau Poverty Gap Index (P)
Indeks ini mengukur seberapa parah kemiskinan yang terjadi, mengukur jarak pendapatan rata-rata individu/rumah tangga yang berada di bawah garis kemiskinan dengan garis kemiskinan. Indeks ini menunjukkan berapa banyak uang yang dibutuhkan untuk mengangkat mereka dari garis kemiskinan.
P = 1 ∑q ( z − yi )
(1.1)
Dengan:
N t =1 z
• (z – yi), selisih pendapatan individu (yi) dengan garis kemiskinan (z)
• N = jumlah populasi penduduk
• z = garis kemiskinan
• yi = pendapatan individu ke i
Indeks ini telah mengakomodir prinsip anonimitas dan monotonitas namun tidak bisa mengukur perbedaan derajat keparahan kemiskinan antarmereka yang miskin.
3) Indeks Kesenjangan Pendapatan atau Income Gap Index (I)
Indeks ini ditemukan oleh Xxxxxxx Xxx mengoreksi Indeks Kesenjangan Kemiskinan, dengan cara membagi gap terhadap jumlah penduduk miskin. Seperti indeks P, indeks I juga mengukur kedalaman kemiskinan, dengan formula berikut:
I = ∑
q
i∈S ( z )`
z − yi
q
(1.2)
Di mana q adalah jumlah individu yang berpendapatan di bawah garis kemiskinan.
4) Indeks Sen (P2)
Sen (1976) mengusulkan indeks untuk memasukkan dampak kemiskinan, kedalaman kemiskinan dan distribusi kemiskinan dalam pengukuran. Indeks ini menggabungkan indeks Headcount, indeks Kesenjangan Pendapatan dan indeks Gini. Indeks ini juga digunakan untuk mengukur tingkat kedalaman kemiskinan.
P2 = H [I + (1 − I )GP ]
(1.3)
Di mana H = headcount index, I = income gap index dan Gp = koefisien Gini
5) Indeks Watts (W)
Indeks ini dikenalkan tahun 1968 oleh Xxxxxx X Xxxxx dan mengukur perbedaan rata-rata antara logaritma garis kemiskinan dan logaritma pendapatan. Indeks ini dapat mengukur bobot penduduk yang masuk dalam garis kemiskinan.
W = 1 ∑q
[ln(z) − ln( y )
(1.4)
N t =1 i
6) Indeks Kemiskinan Manusia atau Human Poverty Index (HP)
Indeks ini mengukur seberapa besar penduduk yang kurang beruntung, tertinggal (deprived people), karena tidak mempunyai akses untuk mencapai standar kehidupan yang layak. Indeks ini dikenalkan tahun 1997 oleh UNDP Human Development Report. Indeks ini meliputi tiga dimensi: (i) lama waktu dan tingkat kesehatan hidup, (ii) pengetahuan, (iii) kelayakan standar hidup. Lama hidup diukur dengan menggunakan persentase penduduk yang tidak mencapai usia 40 tahun. Aspek pengetahuan diukur dari jumlah penduduk buta huruf, sedangkan aspek standar hidup diukur dari rata-rata tiga keterbelakangan yaitu balita dengan status gizi kurang, balita dengan status gizi kurang, dan persentase penduduk tidak punya akses pada pelayanan kesehatan dasar, sanitasi air bersih. Tahun 2010, indeks ini diganti dengan Indeks Kemiskinan Multidimensi (IKM).
7) Indeks Kemiskinan Multidimensi atau Multidimensial Poverty Index (MPI) Indeks ini digunakan pertama kali tahun 2010 oleh UNDP dan dikembangkan oleh Oxford Poverty & Human Development Initiative (OPHI). Indeks ini mengakses ketertinggalan dalam tiga indikator sekaligus, yaitu Human Development Index (HDI) yang meliputi pendidikan, kesehatan dan standar hidup, namun juga meliputi 10 indikator lain yang mencerminkan kemiskinan multidimensi.
Gambar 1.3.
Indeks Kemiskinan MPI
MPI menilai kemiskinan di tingkat individu. Jika seseorang kekurangan dalam sepertiga atau lebih dari sepuluh (tertimbang) indikator (lihat gambar atas), indeks MPI mengidentifikasi mereka sebagai ”miskin MPI”, dan intensitas kemiskinan mereka diukur dari jumlah kekurangan yang mereka alami. Dari tiga dimensi, kemudian diukur dengan 10 indikator dengan bobot yang setara untuk setiap dimensi. Penjelasan masing-masing dimensi dituangkan dalam tabel di bawah.
Tabel 1.3.
Dimensi dan Indikator Kemiskinan MPI
Dimensi | Indikator | Sangat kekurangan jika…. | Bobot |
Pendidikan | Tahun Sekolah | tidak ada anggota rumahtangga usia 10 tahun atau lebih yang selesai sekolah 5 tahun | 1/6 |
Anak Sekolah | anak usia sekolah yang tidak pergi ke sekolah hingga kelas 8. | 1/6 | |
Kesehatan | Tk kematian bayi | bayi yang mati dalam rumahtangga dalam waktu kurang dari 5 tahun | 1/6 |
Nutrisi | Anak-anak dan dewasa yang kekurangan gizi | 1/6 | |
Standar Hidup | Listrik | Rumahtangga tidak memiliki listrik | 1/18 |
Sanitasi | Fasilitas sanitasi rumahtangga tidak diperbaiki atau diperbaiki tapi gabung dengan tetangga | 1/18 | |
Air Minum | Rumahtangga tidak memiliki akses terhadap air minum sehat atau perlu 30 menit jalan kali atau lebih untuk mendapatkannya | 1/18 | |
Lantai rumah | Lantai rumah kotor, dari tanah atau pasir | 1/18 | |
Bahan bakar masak | Rumahtangga memasak dengan arang, kayu atau sampah | 1/18 | |
Kekayaan | Rumahtangga tidak memiliki lebih dari 1 radio, televisi, sepeda, motor atau almari es dan tidak punya mobil atau truk | 1/18 |
Sumber:xxx.xxxx.xxx.xx, diolah.
8) Kemiskinan menurut Biro Pusat Statistik Indonesia
Untuk mengukur penduduk miskin, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach).7 Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi, penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM).
7. Biro Pusat Statistik. Lihat xxx.xxx.xx.xx
Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain- lain).
GK = GKM + GKNM (1.5)
Di mana:
GK = Garis Kemiskinan
GKM = Garis Kemiskinan Makanan GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan
Untuk menghitung GKM digunakan kelompok referensi yaitu 20 persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal. GKS dihitung berdasar GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :
Dimana :
52
∑
GKM j = Pjk .Q jk
k −1
52
∑
= V jk
k =1
(1.6)
GKMj = Gris Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori).
Pjk = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j. Vjk = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j.
j = Daerah (perkotaan atau pedesaan)
Selanjutnya, GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi. Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar nonmakanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi nonmakanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa nonmakanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993, terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun 1998, terdiri dari 27 subkelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 subkelompok (47 jenis komoditi) di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum per komoditi/subkelompok nonmakanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/subkelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/subkelompok yang tercatat dalam data Susenas Modul Konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKP 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi nonmakanan yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum nonmakanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :
n
Di mana:
NFP = ∑ri xVi
i =1
(1.7)
NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).
Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004).
i = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p. p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).
9) Pengukuran Kemiskinan menurut BKKBN Indonesia
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dengan sisi kemiskinan. Unit analisis pada BPS adalah rumah tinggal, sedangkan pada BKKBN digunakan keluarga. Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan Pendekatan Keluarga. Pendataan Keluarga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data dasar kependudukan dan keluarga dalam rangka program pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: Data Demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin, dan lain-lain. Data Keluarga Berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB. Data Tahapan Keluarga Sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra-sejahtera, sejahtera I, II dan III. Data Kemiskian dilakukan melalui pentahapan keluarga sejahtera yang dibagi menjadi lima tahap, yaitu Keluarga Pra Sejahtera (sangat miskin), Keluarga Sejahtera I (miskin), Keluarga Sejahtera II, Keluarga Sejahtera III dan Keluarga Sejahtera III plus.
Secara umum, kriteria kemiskinan didekati dari aspek fisik, psikologis dan kebutuhan pengembangan keluarga. Kriteria tersebut kemudian diurutkan menjadi 23 kriteria. Semakin banyak kriteria yang bisa dipenuhi menunjukkan semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan. Sebagai contoh diungkapkan kriteria untuk Pra Sejahtera dan Sejahtera I.
1) Pra Sejahtera berarti keluarga belum dapat memenuhi kebutuhan dasar minimal, seperti dalam pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2) Sejahtera I setidaknya keluarga tersebut telah berhasil memenuhi kebutuhan dasar yang lima, yaitu:
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai agama yang dianut masing-masing.
b) Seluruh anggota keluarga pada umumnya makan 2 kali sehari atau lebih.
c) Seluruh anggota keluarga mempunyai pakaian yang berbeda di rumah, sekolah, bekerja dan bepergian.
d) Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
e) Xxxxx membawa keluarga pergi ke sarana/petugas kesehatan.
1.2. Kemiskinan Menurut Islam
1.2.1. Pengertian Miskin menurut Islam
Kata “kemiskinan” dalam bahasa Indonesia diserap dari bahasa Arab, yakni “miskin”. Kata ini disebut beberapa kali di dalam kitab suci Al-Quran dalam berbagai bentuk, seperti miskin (tunggal), dan masakin (jamak). Bahkan, jika ditelusuri lebih lanjut, maka dapat dijumpai berbagai istilah lain dalam Al-Quran yang juga mengandung arti miskin, seperti al-faqir (fakir), al-ba’sa’ (kesulitan), al-’ailah (yang membutuhkan), al-qäni (yang meminta), al-dha’if (orang yang tidak mampu), as-sail (orang yang meminta-minta), dan al- mahrum (orang yang miskin tetapi tidak meminta-minta). Kata miskin berasal dari kata sakana yang berarti diam atau tenang, sedang faqir dari kata faqr yang pada mulanya berarti tulang punggung. Faqir adalah orang yang patah tulang punggungnya, dalam arti bahwa beban yang dipikulnya sedemikian berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya.
Kata maskanah dalam Al-Quran disebut sebanyak dua kali, kata miskin disebut 11 kali dan masakin 12 kali. Sebagai akibat dari tidak adanya definisi yang dikemukakan Al-Quran untuk kedua istilah tersebut, maka para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan tolak ukur kemiskinan dan kefakiran. Pengertian miskin menurut para mufasir cukup bervariasi, di antaranya sebagai berikut:
a) Al-Maraghi, miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapun, sehingga kekurangan makan dan pakaian.8
b) Xxxxx xX-Din Xxxxxxxx xxx Xxxxx xx-Mahalli dan Xxxxx xx-Din ‘Xxx xx- Rahman bin Xxx Xxxx xx-Suyuthi, miskin adalah orang yang tidak dapat mencukupi kebutuhannya.9
c) Xxxxxx xxx ‘Xxxx xx-Zamarksyart al-Xxxxxxxxxx, miskin adalah seorang yang selalu tidak bisa berbuat apa-apa terhadap orang lain karena tidak mempunyai sesuatu apapun.10
d) Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx, miskin adalah orang yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya.11
8. Xxxxx Xxxxxxxx xx-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz. X, (Mesir: Mushtafaal-Babi al-HaIabi wa Auladuh, l969). hal- 142.
9. Xxxxx xx-Din Xxxxxxxx xxx Xxxxx xx-Mahalli dan Xxxxx xx-Din Xxx xx-Xxxxxx bin Xxx Xxxx, Tafsir JaIalain,
(Beirut: Dar Al-Ma’rifah, t.t.), hlm. 230.
10. Xxxxxx xxx ‘Xxxx xx-Xxxxxxxxxxx xx-Xxxxxxxxxx, Al-Kasyaf, Juz. II, (t.p.: Dar al-Fikr, 1997), hlm. 33.
11. Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxx, Tafsir al-Qur’an al-Hakim, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, t.t, Juz I, hlm. 368
Penjelasan dari sebagian para mufasir tersebut pada intinya adalah sama, yaitu orang miskin adalah orang yang mempunyai kekurangan dalam memenuhi kebutuhannya untuk keperluan sehari-hari. Orang miskin adalah orang yang mempunyai pekerjaan tetap, namun tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Sebagian mereka berpendapat bahwa fakir adalah orang yang berpenghasilan kurang dari setengah kebutuhan pokoknya; sedang miskin adalah yang berpenghasilan di atas itu, namun tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya.12 Ada juga yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga menurut mereka keadaan si fakir relatif lebih baik dari si miskin.
Al-Quran dan Hadis tidak menetapkan angka tertentu lagi pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas dapat saja berubah. Namun yang pasti, Al-Quran menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu sebagai fakir atau miskin harus dibantu untuk bisa hidup.
Dari segi tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, miskin sama dengan fakir, tetapi pada sisi lain berbeda. Xxxxx adalah orang yang butuh sesuatu, tetapi dapat menahan diri dari sifat meminta-minta; sedangkan miskin juga orang yang butuh sesuatu tetapi suka meminta-minta kepada orang lain karena jiwanya lemah [Al-Baqarah (2): 61] dan [Xxx Xxxxx (3):112].
Menurut beberapa imam mazhab, misalnya Xxxxxx Xxxxxx mengartikan orang fakir adalah orang yang mempunyai harta kurang dari nishab, sekalipun dia sehat dan mempunyai pekerjaan. Xxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx’x mengartikan fakir adalah orang yang mempunyai kurang separuh dari kebutuhannya, dan lebih buruk keadaan ekonominya dari pada orang miskin, karena orang miskin diartikan sebagai orang yang memiliki separuh dari kebutuhannya.
Sebagian pemahaman fuqaha (misalnya, Xxx Xxxxx dan Xxxx Xxxxx) menyebutkan bahwa pembicaraan mengenai fakir tidak lepas dari golongan kedua dari delapan asnāf yaitu miskin.13 Kedua kelompok ini adalah yang paling umum untuk bisa dikaitkan dengan kemiskinan dan tingkat kesejahteraan. Dalam buku-buku turats (manuskrip) para ulama mazhab atau buku- buku kajian fikih kontemporer, secara umum pengertian yang dipaparkan oleh para ulama mazhab untuk fakir dan miskin tidak jauh dari indikator ketidakmampuan secara materi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, atau
12. Al-Ghazali, xxxx Xxxxxxxxx, dalam Mau’idhatul Mukminin (Bimbingan untuk Mmencapai Mu’min), Penerbit Al-Maktabah Al-Hijriyyah Al-Kubro.
13. X. Xxx Xxxxx, zakat dan Infaq, Jakarta, Kencana, 2006, hlm. 95.
indikator kemampuan mencari nafkah (usaha), di mana dari hasil usaha tersebut belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian, indikator utama fakir miskin yang ditekankan para imam mazhab adalah: a) ketidakcukupan memenuhi kebutuhan material; dan b) ketidakmampuan mencari nafkah atau bekerja. Kelompok fakir dikaitkan dengan ketiadaan materi, sedangkan kelompok miskin dikaitkan dengan penghasilan yang tidak mencukupi.
Indikator fakir dan miskin yang ditentukan dalam justifikasi fikih ulama mazhab adalah:14
1) Indikator Ketidakmampuan Materi
a. Kemampuan nol atau kepemilikan aset yang nihil (papa/tidak punya apa-apa).
b. Memiliki sejumlah aset properti berupa rumah, barang atau perabot namun dalam kondisi yang sangat minimal.
c. Memiliki aktiva keuangan kurang dari nishab. Nishab adalah garis batas kepemilikan aset atau pendapatan yang tidak berkewajiban dikeluarkan zakatnya. Nishab untuk setiap jenis aset atau sumber pendapatan berbeda-beda ketentuannya dan merupakan hal yang sudah ditentukan oleh syariat Islam.
d. Memiliki aset selain keuangan namun dengan nilai di bawah nishab, seperti empat ekor unta atau tiga puluh sembilan kambing yang nilainya tidak sampai dua ratus dirham.
e. Termasuk dalam kategori fakir atau miskin yang tidak dapat memanfaatkan kekayaannya, misalnya seseorang yang berada di satu tempat jauh dari kampung halamannya tempat di mana dia memiliki sejumlah aset. Atau berada di kampungnya namun asetnya ditahan oleh pihak lain, misalnya pemerintah.
2) Indikator Ketidakmampuan dalam Mencari Nafkah atau Melakukan Usaha
a. Tidak mempunyai usaha (bisnis) sama sekali.
b. Mempunyai usaha tetapi tidak mencukupi untuk sendiri dan keluarganya, yaitu penghasilannya tidak memenuhi dari separuh atau kurang dari kebutuhan. Mereka yang mempunyai harta atau usaha yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih untuk mencukupi
14. X. Xxxx Xxxxxxxx, Akuntansi dan Manajemen zakat, Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.176-176. Mengenai indikator-indikator tersebut di atas tidak dispesifikasikan secara jelas oleh Xxxxxxxx indikator mana yang menunjukan bahwa seseorang dalam kategori miskin atau fakir.
kebutuhan dirinya dan keluarganya. Mereka yang tidak mempunyai harta atau penghasilan layak dalam memenuhi keperluannya pada sandang, pangan, tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang yang menjadi tanggungannya. Misalnya, orang memerlukan Rp100.000,00 sehari namun yang diperoleh hanyalah Rp50.000.00.
c. Sanggup bekerja dan mencari nafkah dan dapat mencukupi dirinya sendiri, seperti tukang, pedagang dan petani. Akan tetapi, mereka kekurangan alat pertukangan, kekurangan modal untuk berdagang, atau kekurangan tanah, alat pertanian dan pengairan.
d. Tidak mampu mencari nafkah sebagai akibat dari adanya kekurangan non materi (misalnya cacat fisik), seperti orang lumpuh, orang buta, janda, anak-anak dan sebagainya.
Dengan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan ulama klasik, dimensi kemiskinan dikaitkan dengan kebutuhan pokok hidup, terutama terkait dengan kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, dan segala keperluan pokok lainnya, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang yang menjadi tanggungannya.
1.2.2. Kemiskinan Islam Kontemporer
Seiring dengan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan, kemiskinan tidak serta merta selalu dikaitkan dengan aspek pendapatan atau kekayaan semata. Kemiskinan lebih dimaknai sebagai bentuk yang multiaspek, yaitu kekurangan atau ketidakmampuan untuk mencapai sebuah kehidupan sosial yang memenuhi standar kehidupan yang layak. Kekurangan menunjukkan keadaan kondisi mendasar di mana individu tidak mampu memenuhi kebutuhan yang lebih. Misalnya, seorang individu mungkin benar-benar dianggap kaum miskin jika ia kekurangan makanan pokok atau tempat tinggal, atau yang setara, dan jika ia kekurangan penghasilan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan dasar.
Pemikiran tentang kemiskinan tidak terlepas dari pemikiran tentang tujuan adanya syariah atau maqasid syariah. Berbagai ajaran syariah berkaitan erat dengan urusan kemiskinan, seperti zakat, sedekah, bertetangga, dan sebagainya. Miskin berkaitan erat dengan konsep kebutuhan manusia terutama kebutuhan dasar. Kemiskinan, menurut pandangan Islam, berkaitan erat dengan konsep kebutuhan manusia yang terdiri dari lima konsep kebutuhan
dasar manusia (lima maslahah), meliputi: agama (dien), jasmani (nafs), akal atau pengetahuan (‘aql), keturunan (nasl) dan kesejahteraan materi (maal).
Dari kelima jenis kebutuhan ini, Al-Shatibi mengelompokannya menjadi tiga level kriteria:15
a) Kebutuhan Dasar (necessities /dharuriyyat)
Kebutuhan dasar mencakup semua aktivitas dan semua hal yang esensial untuk mempertahankan kelima kebutuhan tersebut, sebagai level terendah atau kebutuhan minimum untuk tingkat kebutuhan hidup yang layak. Kebutuhan dasar ini termasuk kemampuan untuk melaksanakan lima pilar Islam (syahadat, sholat, puasa, zakat dan haji), melaksanakan perintah Tuhan, melindungi nyawa, menjaga makanan, pakaian dan tempat tinggal, pendidikan, mencari nafkah yang halal, untuk membentuk sebuah keluarga, dan lain-lain. Perlu dipahami bahwa seseorang dapat hidup pada level ini tetapi tidak harus menjadi kesenangan.
b) Kenyamanan (conveniences/hajiyat)
Kenyamanan meliputi semua hal dan aktivitas yang tidak vital untuk mempertahankan kelima kebutuhan dasar tetapi agak dibutuhkan untuk menghilangkan kesulitan atau rintangan dalam hidup. Contohnya, menggunakan dan menikmati semua hal yang manusia dapat melakukan tanpanya tetapi menjadi sulit. Seperti, menggunakan transportasi (mobil), menggunakan karpet saat musim dingin, dan lain-lain.
c) Kemewahan atau luxuries/tahsiniyyat
Level kebutuhan ini mencakup hal yang melebihi kenyamanan. Level ini tidak hanya menghilangkan kesulitan tetapi menambah kesenangan hidup. Tujuan utama pemenuhan kebutuhan ini adalah memperindah hidup, seperti penggunaan parfume, baju bergaya, rumah yang indah, sopir pribadi, dan sebagianya.
Al-Habshi menjelaskan bahwa seseorang dianggap miskin jika ia tidak memiliki kebutuhan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dari masing- masing lima kebutuhan manusia. Dengan kata lain, ia tidak dapat memenuhi salah satu dari tujuan Islam, yakni untuk menetapkan suatu kelayakan hidup yang tidak dapat dicapainya. Definisi ini secara tidak langsung menyatakan juga bahwa semua dari kelima kebutuhan manusia tersebut harus dipenuhi.
15. Xxx Xxxxx Xxxxxxx, al-muwafaqat Fi Usul al- Shariah, vol. 3, Cairo, Egypt, n.d: maktabah al- Tijariyah al- Kubra. Lihat pula dalam Xxxxxx Xxxx, Xxxxxxx Al-Sharï’ah A Beginner’s Guide, Occasionap Paper Series 14 2008, IIIT, London.
Jika hanya satu dari kelima kebutuhan yang dipenuhi, maka seseorang masih dianggap miskin.
Konsep tentang kemiskinan berubah setiap waktu karena adanya perubahan dalam memperkirakan jaminan pendapatan minimum. Secara lebih objektif, kemiskinan dapat diukur dengan perbandingan di masa sekarang yang menyepakati kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan dan kesehatan yang dapat dipenuhi dengan pendapatan. Ini adalah sebuah kondisi pada orang yang tidak mampu untuk memperoleh penghidupan.
Mannan (1988), menyebutkan terdapat tiga konsep dasar untuk mendefinisikan kemiskinan yaitu: penghidupan minimum (minimum subsistence), kecukupan minimum (minimum adequacy) dan kesenangan hidup minimum (minimum comfort). Hal ini dipastikan dengan survei yang dilakukan: apakah keluarga benar-benar menggunakan pendapatannya. Dengan demikian, uang yang diperoleh sama dengan subjek dari penghidupan, kecukupan, dan kesenangan hidup untuk penyesuaian harga secara periodik.
Secara teknis, misalnya, Beik dan Arsyianti (2016) mengembangkan indikator kemiskinan dengan menggunakan indeks multidimensi. Dengan mengadopsi konsep yang dikembangkan oleh BKKPN dan BPS serta unsur kemaslahatan, indeks ini disebut Model CIBEST.16 Indeks ini terdiri dari empat dimensi yaitu indeks kesejahteraan, indeks kemiskinan material, indeks kemiskinan spiritual dan indeks kemiskinan absolut. Untuk mendapatkan indeks ini diperlukan survei dengan sampel yang memadai. Keempat indeks dapat disarikan dalam tabel berikut:
16. CIBEST adalah Center of Islamic Business and Economic Studies, yaitu pusat studi ekonomi dan bisnis di IPB Bogor. Model ini dikembangkan pada tahun 2013 ketika dilakukan penelitian tentang Islamic Poverty Line. Lihat: Xxxxx Xxxxx Xxxx dan Xxxxx Xxx Xxxxxxxxx, Ekonomi Pembangunan Syariah, Jakarta: RajaGrafindo Persana, 2016, hal.75-100..
Tabel 1.4.
Dimensi dan Indikator Model CIBEST
No | Dimensi | Definisi | Indikator |
1 | Indeks Kesejahteraan (W) | Persentase keluarga sejahtera, yaitu melebihi standar kehidupan minimal (MV) W = w/N w= jumlah keluarga diatas MV, N = jumlah penduduk yang diobservasi | MV adalah garis kemiskinan yang diukur kebutuhan material seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, tarsportasi dan kebutuhan dasar lain |
2 | Indeks Kemiskinan Spiritual (Ps) | Skore pelaksanaan ibadah sholat, puasa, zakat, lingkungan keluarga dan skor kebijakan pemerintah | Skore dengan skala 1 hingga 5, dan disebut miskin jika skor rata-rata 3 atau kurang |
3 | Indeks kemiskinan materiel (Pm) | Persentase keluarga yang miskin secara material tapi kaya secara spiritual | Pm = Mp/N Mp= jumlah keluarga miskin materi tapi kaya spiritual |
4 | Indeks kemiskinan absolute (Pa) | Persentase keluarga yang miskin secara material dan spiritual | Pa = Ap/N Ap = jumlah keluarga miskin materi dan spiritual |
Sumber: Xxxxx Xxxxx Xxxx dan LailyDwi Arsyianti, 2016, dimodifikasi
1.2.3. Pandangan Islam tentang Kemiskinan
Islam menolak pandangan yang menghinakan ataupun yang mengagungkan kemiskinan. Menurut Islam, kekayaan adalah nikmat dan anugerah Allah SWT yang harus disyukuri. Sebaliknya, ia melihat kemiskinan sebagai ujian yang harus dijalani bagi si miskin ataupun si kaya. Dengan jelas Islam mengemukakan berbagai cara menyikapi kemiskinan. Manusia diciptakan dalam kondisi ada yang kaya dan ada yang miskin di antara mereka dalam rangka diuji ketakwaannya. Dalam konteks ini, Islam tidak melihat baik tidaknya seseorang dari banyak atau sedikitnya harta yang dimilikinya (disimpannya), namun dilihat dari bagaimana harta itu diperoleh, disimpan dan digunakannya.
Menjadi kaya atau tidak miskin bisa membawa manusia kepada kehidupan yang lebih baik, namun mungkin juga membawa kepada kesengsaraan. Al-Ghazali mengatakan bahwa harta bagaikan ular yang berbisa serta penangkalnya; manfaat dan kegunaan harta terletak pada penangkalnya, sedangkan malapetaka dan bahayanya terletak pada racunnya. Barangsiapa mengetahui
bahayanya dan manfaat-manfaatnya, memungkinkan dia menghindar dari bahayanya dan kejelekan harta dan mengambil kebaikannya.17
Sebaliknya, kekurangan harta atau miskin merupakan ujian bagi seseorang, yaitu berupa kesulitan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Karenanya, kemiskinan dapat menjadi potensi bahaya jika tidak disikapi secara benar. Dalam Quran Surat Al-Baqarah ayat 155 dijelaskan yang artinya:
”Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar” (QS 2:155)
Oleh karena itu, Islam mengajarkan agar membantu seseorang keluar dari kemiskinan dengan cara-cara yang sesuai syariat. Membantu orang miskin ini menjadi tanggung jawab individu maupun tanggung jawab negara. Al- Quran menjelaskan tentang pentingnya menyantuni orang miskin sebagai bentuk peribadatan yang mulia, seperti misalnya dijelaskan dalam QS Adz- Dzariat (51:19): ”di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bagian.” Di dalam hadis juga diungkap tentang tanggung jawab diri, masyarakat maupun negara terhadap kemiskinan yang terjadi di lingkungannya. Xxxxxxxxxx xxx bersabda:
“Siapa saja yang menjadi penduduk suatu daerah, lalu di antara mereka terdapat seseorang yang kelaparan, maka perlindungan Allah Tabaraka Wata’ala terlepas dari mereka” (HR Xxxx Xxxxx).
Dari Xxxxxxxx xxx Xxxxxxx xxxxxxx: ”Aku mendengar Xxxx Xxxxx menyebutkan Xxxx Xxxxxx, lalu menuduhnya sebagai orang yang bakhil. Kemudian berkata: ‘Aku mendengar Xxxxxxxxxx Xxxxxxxxxxx ‘alaihi wa sallam bersabda:“Tidaklah disebut mukmin orang yang kenyang sedangkan tetangganya di sampingnya kelaparan” (HR Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (112), Xxxxx (4.167).
“Siapa saja yang meninggalkan harta, maka harta itu untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan ‘xxxxx’, maka dia menjadi kewajiban kami” (HR Xxxx Xxxxxx).
Dalam banyak riwayat dijelaskan tentang pentignya perhatian terhadap kaum miskin. Bahkan orang kaya yang dikehendaki oleh Islam bukanlah sekadar memiliki harta yang banyak, namun mau menggunakan kekayaan tersebut
17. Al-Gazali, Ihya’ Ulum al-din, hal 3/204.
untuk berbuat kebaikan dan bersedekah kepada orang lain. Dalam suatu hadis, xxxx Xxxxxxxx bersabda yang artinya:
“Hai manusia, tidak ada harta yang kamu miliki melainkan apa yang telah kamu amalkan lalu habis, atau pakaian yang telah kamu kenakan kemudian kusut, atau apa yang kamu sedekahkan lalu menjadi tabunganmu...” (HR Muslim/2178).
1.2.4. Pembangunan dan Kemiskinan
Sudah tidak dipertanyakan lagi, bahwa salah satu perhatian utama pembangunan di negara berkembang adalah memerangi sumber kemiskinan dan menurunkan tingkat kemiskinan. Berbagai teori pembangunan maupun kebijakan ekonomi juga dikembangkan dalam kerangka menurunkan tingkat kemiskinan.
Kesejahteraan suatu bangsa tidak bisa serta merta diperoleh secara alamiah, misalnya melalui mekanisme pasar. Dalam kondisi alamiah, berbagai potensi gangguan bisa terjadi, seperti potensi gangguan sosial maupun politik, adanya potensi ketidakadilan atau tindakan serakah oleh sebagian para pelaku pasar maupun adanya ketidakmampuan sebagian pelaku pasar dalam memberikan kompensasi, misalnya gaji dan pekerjaan, yang mencukupi kehidupan standar. Oleh karena itulah diperlukan pihak pemerintah atau pihak ketiga yang berperan dalam menyediakan kondisi yang aman dan stabil, keadilan ekonomi maupun kecukupan pendapatan. Hal ini bukan hanya baik menurut agama, namun bahkan oleh ekonom klasik seperti Xxxx Xxxxx sekalipun.18
Secara literal, pembangunan atau development memiliki arti proses tumbuh atau berubahnya menuju keadaan yang lebih baik.19 Ekonomi tradisional menekankan pada aspek pendapatan sebagai ukuran utama kesejahteraan hingga tahun 1980-an saat terjadinya kemiskinan yang melibatkan keterbelakangan dalam kesehatan, pendidikan dan standar kehidupan yang tidak tercermin dalam pendapatan sendiri. Sejak itulah makna Pembangunan di PBB diperluas lingkupnya. Tahun 1999, Xxxxxxx Xxx meredefinisi Pembangunan dan kemudian diterima secara umum. Pembangunan dimaknai adanya perbaikan terhadap orang, bukan hanya pendapatannya namun lebih umum pada adanya perubahan pilihan, kemampuan dan kebebasan mereka
18. Xxxx Xxxxx, the Wealth of Nations, Bantam Dell, New York, 2003, pada bab Book V, hal. 879-917.
19. Lihat kamus, xxxx://xxxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxx/xxxxxxx /development
serta perubahan distribusi kesempatan perbaikan.20
Pembangunan memiliki dimensi yang luas, bukan hanya aspek ekonomi maupun sosial, namun lebih luas dari itu. Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman, pembangunan ekonomi sering dibedakan dengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai naiknya perekonomian, yang diukur dari pendapatan per kapita, masyarakat di suatu negara. Adanya pertumbuhan ekonomi ini tidak menjamin bahwa naiknya pendapatan itu dinikmati oleh setiap anggota masyarakat secara adil atau merata, tidak mencerminkan tinggi rendahnya kemiskinan, juga tidak mencerminkan bagaimana proses peningkatan kesejahteraan itu diperoleh dengan adil tanpa merugikan hak kelompok masyarakat tertentu, serta tidak pula mencerminkan apakah kesejahteraan itu diikuti dalam setiap aspek kehidupan ataukah tidak. Karena itu, diperlukanlah pembangunan yang memiliki dimensi lebih luas.
Menurut ekonom muslim, pembangunan menurut Islam memiliki cakupan lebih luas serta rentang waktu lebih panjang. Sadeq menyimpulkan adanya lima karekteristik pembangunan, yaitu (1) komprehensif, meliputi aspek moral, spiritual dan material bagi kehidupan manusia; (2) pembangunan manusia, aspek fisik dan lingkungan sosial budayanya; (3) adanya keseimbangan antara sumber daya ekonomi; (4) adanya perubahan, kuantitas dan kualitas dengan penekanan pada aspek perubahan kualitas; (5) adanya optimalisasi pemanfaatan sumber daya, keadilan dalam pemanfaatan dan distribusi sumber daya.21
Dalam pandangan Islam, pembangunaan memiliki peran penting di dalam melawan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan merupakan tanggung jawab moral dan sosial.22 Secara fikih sudah merupakan kesepakatan bersama (ijma) bahwa kepedulian terhadap kaum miskin merupakan kewajiban sosial dan moral setiap orang. Secara strategis dan teknis tentang bagaimana caranya menanggulangi kemiskinan merupakan wilayah perbedaan pendapat antarpara sarjana muslim.
20. Pada awalnya, ekonom tradisional memaknai pembangunan sebagai suatu bentuk ekonomi normatif dan tidak dapat dilakukan pembenarannya secara universal. Salah satu implikasinya agar dapat diterima secara ilmiah, maka indikator pertumbuhan pendapatan digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan (Lihat: Xxxxxx Xxxx, the Meaning of Development, Institute of Development Studies, 1969, Communication Series no 44).
21. Abulhasan M Sadeq, Development Issues in Islam, International Islamic University Malaysia, 2006, hal. 3-4.
22. Ibid, hal.8
Secara umum, pendekatan yang ditawarkan dalam memerangi kemiskinan digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.4.
Penanggulangan Kemiskinan menurut Islam
Sumber: Sadeq (2006), hal 308
1.2.5. Zakat sebagai Instrumen Pengentasan Kemiskinan
Strategi untuk menurunkan kemiskinan sangat berkaitan erat dengan faktor penyebabnya. Bab ini tidak akan menguraikan secara panjang lebar mengenai penyebab kemiskinan di banyak negara muslim. Secara ringkas, telah diteliti dan dikaji mengenai penyebab utama kemiskinan di banyak negara muslim.
Secara umum, penyebab utama kemiskinan adalah:23
(1) Eksploitasi penjajah. Secara umum, hampir semua negara anggota OKI baru mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1940-an. Hampir dua abad lebih sebelum merdeka, kolonialisme telah melakukan eksploitasi secara sistemik di berbagai negara anggota OKI dan yang telah mentransfer sumber daya alam, SDM dan teknologi yang tidak berpihak kepada pribumi.
(2) Dualisme ekonomi. Tingginya dualisme atau kesenjangan dalam masyarakat yang tidak ada arah untuk mengecil dalam aspek organisasi ekonomi, teknologi, dan keuangan antara sektor tradisional dan sektor modern. Disadari atau tidak, dualisme ini mempersulit proses pembangunan secara adil dan stabil. Sebagai misal, sering terjadinya konsentrasi industrialisasi di kota-kota, kurang perhatiannya pembangunan desa, serta proses pembangunan yang tidak memperhatikan aspek sosial budaya.
(3) Dualisme keuangan. Di samping dualisme ekonomi, adanya fragmentasi sistem keuangan di banyak negara muslim juga memperparah kondisi
23. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, The guarantee of a minimum Level of living in an Islamic state, 1986; X.X. Xxxxx, The economic of Poverty in Islam with Special Reference to Muslim Countries dalam Xxxxxxx Xxxxx, Distributive Justice and Need Fulfilment in an Islamic Economy, The Islamic Foundation, UK, 1986. Lihat pula: Xxxxxxx Xxxxx, Islamic Economic Institutions and the Elimination of Poverty, The Islamic Foundation, UK, 2002.
kemiskinan. Misalnya, adanya dualisme keuangan modern dengan keuangan tradisional yang mengakibatkan sistem keuangan modern yang tidak dapat diakses oleh banyak anggota masyarakat. Sebagai misal, akses usaha kecil dan mikro terhadap lembaga keuangan formal di negara anggota OKI masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara berkembang maupun negara berpendapatan rendah.
(4) Inefisiensi dan ketidaksempurnaan pasar. Distribusi kekayaan dan pendapatan yang tidak merata dan dualisme ekonomi serta keuangan menambah sulit tercapainya mekanisme pasar yang efisien. Sistem pasar tidak akan secara otomatis melakukan distribusi pendapatan yang adil.
(5) Kesenjangan dan diskriminasi antardaerah. Kesenjangan regional ini merupakan hal yang umum terjadi di negara anggota OKI sebagai peninggalan kolonialisasi.
(6) Produktivitas sumber daya manusia yang rendah. Sekilas hal ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat pendidikan, tingginya tingkat pengangguran tak kentara, dan rendahnya tingkat kewirausahaan.
Kebutuhan untuk menurunkan tingkat kemiskinan telah ditegaskan baik dalam Al-Quran maupun Hadis. Namun, secara strategis dan teknis diperlukan pemikiran oleh para ulama. Secara umum, strategi penurunan kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga tujuan, yaitu:
1) Untuk menyusun serangkaian kebijakan dalam rangka menurunkan bentuk kemiskinan tertentu, misalnya kemiskinan di pedesaan, kemiskinan para petani dan nelayan, ketidakpemilikan lahan para buruh, rendahnya pendidikan dan kualitas kesehatan, dan sebagainya.
2) Untuk menyediakan jaminan kehidupan layak minimum atau mengadopsi sistem distribusi pendapatan yang adil. Penjaminan terhadap tingkat kehidupan yang layak ini bukan sekadar penetapan tingkat upah minimum, namun mencakup hal yang lebih komprehensif, seperti penjaminan pendapatan minimum, layanan kesehatan, akses pendidikan dan akses terhadap sumber daya ekonomi dan keuangan.
3) Untuk menyiapkan instrumen redistribusi yang sesuai prinsip syariah dan mengimplementasikannya. Setidaknya terdapat dua instrumen pengentasan kemiskinan yang disepakati oleh ahli fikih, yaitu hukum waris dan zakat.
24. World Bank, Global Financial Development Report, 2014, menyebutkan bahwa persentase UKM yang memiliki rekening atau mendapatkan kredit di lembaga formal di negara-negara OKI countries adalah 0,61% dan 0,79%. Sedangkan di kelompok negara-negara berkembang masing-masing adalah 0,78% dan 0,97% dan untuk kelompok negara berpendapatan rendah adalah 0,92% and 1,19% (xxx.xxxxxxxxx.xxx).
(a) Sistem waris dan wasiat. Sistem waris merupakan instrumen redistribusi kekayaan yang efektif. Implementasi secara penuh terhadap hukum waris akan menurunkan beban antaranggota keluarga dan menurunkan tingkat kemiskinan melalui tiga jalan. Pertama, sistem waris akan meningkatkan partisipasi perempuan dan generasi penerus dalam aktivitas ekonomi, karena perempuan diakui dapat memiliki, menggunakan aset dan bergabung dalam bisnis bersama. Kedua, sistem waris akan meningkatkan peluang dimulainya keluarga baru secara lebih baik karena memberikan kesempatan kepada generasi untuk mendapatkan hak pengelolaan keyaaan. Ketiga, dalam hal terjadi kondisi yang tidak diharapkan, Islam melengkapi dengan sistem wasiat yang memberikan peluang untuk proses redistribusi pendapatan yang lebih adil.
(b) Zakat merupakan kewajiban transfer yang proses distribusinya sangat dikaitkan guna menurunkan tingkat kemiskinan. Dari delapan golongan mustahik, seluruhnya menunjukkan kelompok yang dalam kondisi lemah dan tidak mampu dibiarkan bermuamalah atau bertransaksi melalui mekanisme pasar semata. Namun demikian, proses pendistribusian zakat ini identik dengan proses transfer pendapatan sehingga bisa jadi tidak efektif. Dampak pembayaran zakat ini dapat positif ataupun negatif dan dapat dikategorikan menjadi tiga,25 yaitu:
a. Efek perbuatan baik (good act effect)
b. Efek penumpang gelap (free rider effect)
c. Efek distribusi pendapatan.
Zakat merupakan perintah agama yang dinilai sebagai ibadah atau perbuatan baik. Tetapi indikator sukses tidaknya zakat tidak semestinya diukur dari dibayar tidaknya zakat semata, namun seberapa besar manfaat atas zakat yang dibayarkan. Efek perbuatan baik ini sering dijumpai bahwa para muzaki merasa sudah cukup puas dengan membayarkan zakat dengan tanpa memedulikan sebagai manfaat dari zakat yang dibayarkan.
Efek penumpang gelap artinya adanya sekelompok yang mau menikmati layanan dengan tanpa memberikan kontribusi. Hal ini bisa terjadi jika zakat didistribusikan untuk penyediaan barang publik, seperti layanan ibadah atau pendidikan, maka insentif untuk melakukan perawatan atau kontribusi sosial menjadi rendah. Kita bisa melihat banyaknya fasilitas masjid yang tidak
25. X X Xxxxxx, the Economics of Poverty in Islam with Special Reference to Muslim Countries, 1986, dalam Xxxxxxx Xxxxx, op.cit. hal. 305-333.
terawat, sarana pendidikan umum yang tidak layak, dan sebagianya, sebagai akibat adanya free rider effect. Maka, manajemen zakat harus berupaya untuk menekan efek ini.
Efek zakat terhadap distribusi pendapatan tidak serta merta akan menjadikan pendapatan masyarakat menjadi adil dan merata. Hal ini dipengaruhi oleh banyak hal, seperti distribusi faktor produksi di suatu negara, gaya hidup masyarakat, proporsi masyarakat penerima zakat, dan sebagainya. Sebagai misal, ketika masyarakat miskin sangat konsumtif dan rantai produksi barang dikuasai oleh sekelompok orang, maka pelaksanaan zakat tidak akan memberikan dampak signifikan bagi redistribusi pendapatan. Penjelasan lebih detail tentang hal ini akan diuraikan pada bab selanjutnya.
Boks Pengaruh Zakat Terhadap Penurunan Tingkat Kemiskinan Material dan
1.1. Kemiskinan Spritual Berdasarkan Model CIBEST26
Penelitian yang dilakukan oleh Beik dan Pratama (2015) pada salah satu LAZ Nasional terbesar di tanah air menunjukkan bahwa ada pengaruh zakat terhadap penurunan tingkat kemiskinan material dan kemiskinan spiritual berdasarkan model CIBEST. Penelitian dilakukan di tiga kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Bogor. Terdapat 121 responden rumah tangga peserta program zakat produktif sejak tahun 2012 hingga 2014.
Berikut ini menggambarkan nilai – nilai indeks CIBEST Sebelum dan sesudah pelaksanaan program zakat produktif.
Tabel 1.5.
Perubahan Indeks CIBEST Sebelum dan Sesudah Program Zakat 1.6
Indeks CIBEST | Nilai Indeks Sebelum Program Zakat | Nilai Indeks setelah Program Zakat | Presentase Perubahan |
Indeks kemiskinan material | 0,801 | 0,305 | (-49,6) |
Indeks Kemiskinan Spritual | 0,049 | 0,033 | (-1,6) |
Indeks Kemiskinan Absolut | 0,123 | 0 | (-12,3) |
Indeks Kesejahteraan | 0,024 | 0,661 | (-63,7) |
26. Xxxxx Xxxxxx Xxxx dan C. Pratama, Analisis Pengaruh Zakat Terhadap Penurunan Tingkat Kemiskinan dan Peningkatan Kesejahteraan Mustahik Berdasarkan Model CIBEST, dalam Xxxxx Xxxxxx Xxxx dan Xxxxx Xxx Xxxxxxxxx, Ekonomi Pembangunan Syariah, Edisi 1 Cetakan ke 1, Jakarta, Rajawwali Press, 2016, hal. 101-106.
Dari tabel 1.5 di atas diketahui bahwa indeks kemiskinan material sebelum mengikuti program zakat adalah 0,801. Angka ini mengalami penurunan sebesar 49,6 persen menjadi 0,305 setelah para mustahik mengikuti program zakat produktif. Menurunnya indeks kemiskinan material ini juga dipengaruhi oleh pendistribusian dana zakat produktif dan bimbingan dari LAZ nasional tersebut. Bahkan peneliti menulis persepsi sebagian besar rumah tangga mustahik mengakui bahwa mereka sangat terbantu untuk mengembangkan usaha setelah adanya program yang diluncurkan oleh LAZ tersebut.
Begitu juga Indeks Kemiskinan spiritual sebelum mengikuti program zakat produktif mencapai angka 0,049. Setelah mengikuti program zakat produktif menurun menjadi 0,033 (turun 1,6 persen). Hal ini juga mengindikasikan bahwa bimbingan-bimbingan yang bersifat spiritual yang dilakukan oleh para pegawai LAZ tersebut berjalan cukup efektif.
Sejalan dengan dua kemiskinan di atas, indeks kemiskinan absolut juga mengalami penurunan. Sebelum mengikuti program zakat produktif nilainya adalah 0,123. Setelah mengikuti program ini, nilai indeks turun menjadi 0 (Nol). Ini berarti setelah mendapat dana zakat produktif serta bimbingan teknis dan spiritual, maka sudah tidak ada rumah tangga mustahik yang mengalami kemiskinan absolut. Paling tidak rumah tangga mustahik mampu memenuhi salah satu kebutuhan, apakah kebutuhan material ataupun kebutuhan spiritual.
Selanjutnya, indeks kesejahteraan, sebelum mengikuti program zakat produktif mencapai angka 0,024 dan setelah mengikuti program LAZ Nasioanal, nilainya meningkat menjadi 0,61 (meningkat sebesar 63,7 persen. Hal ini berarti setelah mengkuti program zakat tersebut maka 63,7 persen rumah tangga mustahik mampu memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya sekaligus.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa zakat berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan material dan kemiskinan spiritual serta peningkatan kesejahteraan mustahik.
Rangkuman
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal pokok sebagai berikut:
1. Secara umum, tingkat kemiskinan di negara-negara muslim mayoritas, yaitu negara anggota OKI masih tinggi dibandingkan dengan kelompok negara lain, termasuk kelompok negara berkembang. Saat ini masih ada sekitar 1,6 miliar orang hidup dalam kondisi kemiskinan multidimensi, 54% hidup di Asia Selatan dan 31% di Sub-Sahara Afrika, di mana umat Islam sebagian tinggal di sana.
2. Kemiskinan dapat diukur secara absolut atau relatif. Dengan pendekatan absolut, pada umumnya kemiskinan diukur dari pendapatan per kapita, seperti pendapatan per kapita US$1,25. Secara relatif, kemiskinan diukur dari berbagai dimensi. Berbagai institusi mengukur kemiskinan dengna dimensi yang bisa berbeda, seperti BPS menggunakan konsep Kebutuhan Fisik Minimum, BKKBN menggunakan pendekatan ekonomi dan sosial keluarga, dan UNDP juga menggunakan indeks kemiskinan multidimensi (MPI).
3. Dalam pandangan Islam, definisi dan pengukuran kemiskinan terus berkembang. Pada awalnya miskin dimaknai dari aspek kemampuan pendapatan dan kemampuan mencari nafkah. Dalam perkembangan kontemporer, para sarjana muslim mengukur kemiskinan dengan indikator yang lebih komprehensif, seperti aspek maslahah, atau aspek material dan spiritual. Kelemahannya belum adanya data makro yang mendukung, sehingga diperlukan survei untuk mengetahuinya.
4. Sudah menjadi keyakinan ekonom, bahwa kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang harus diatasi dalam pembangunan suatu negara. Berbagai strategi juga telah diusul dan diterapkan untuk menekan kemiskinan.
5. Islam telah memiliki instrumen yang bersumber dari ajaran syariat untuk mengatasi kemiskinan, seperti kewajiban zakat, sunah bersedekah, infak dan wakaf ataupun instrumen lainnya seperti pelarangan riba dan judi. Secara mikro telah banyak dibuktikan manfaat zakat untuk mengatasi kemiskinan di berbagai negara.
BAB II - Ekonomi Zakat
BAB II EKONOMI ZAKAT
Pendahuluan
Inti pesan ajaran Islam terkait zakat bukan hanya menunjukkan kepedulian Islam terhadap kaum lemah yang tergolong mustahik, namun juga merupakan dimensi ketaatan transendental bagi mereka yang menunaikannya. Hal ini ditunjukkan oleh seringnya dikaitkan antara perintah membayar zakat dan perintah mengerjakan sholat. Dua dimensi ibadah yang disatukan, yaitu dimensi spiritual (hablum minallah) dan dimensi sosial (hablum min annas). Penjelasan kewajiban zakat bergandengan dengan perintah sholat terdapat pada 28 ayat Al-Quran.27 Dengan demikian, di dalam ibadah zakat terdapat unsur spiritual, unsur ekonomi dan unsur sosial.
Dari aspek spiritual, zakat merupakan suatu bentuk pencucian jiwa dari sifat bakhil dan cinta harta serta menghindarkan manusia dari kesyirikan.28 Dari aspek sosial, zakat berorientasi untuk menciptakan harmonisasi kondisi sosial masyarakat.29 Dari aspek ekonomi, zakat bermanfaat untuk menghindari penumpukan harta pada segelintir orang, mendistribusikan harta secara lebih adil dan merata, menyejahterakan kaum lemah dan diharapkan menghasilkan tata ekonomi yang harmoni.30 Dalam Al-Quran ditegaskan adanya kewajiban menghilangkan dikotomi dan pemisahan (sekularisasi) antara ibadah ritual dan kepedulian sosial.31
Tujuan Umum:
• Memahami rasionalitas ekonomi kewajiban zakat dan implikasi ekonomi zakat.
Tujuan Khusus:
• Memahami rasionalitas ekonomi jika zakat tidak dibayarkan.
• Memahami keterkaitan zakat terhadap konsumsi, tabungan dan investasi.
• Memahami keterkaitan zakat terhadap pertumbuhan ekonomi.
27. Misalnya dapat dilihat di QS 2:43, 83, 110, 177, 277, QS 4:77, 162, QS 5:12,55, QS 9:5, 11, 18, 71, QS 21: 73, QS
22:41, 78, QS 24: 37, 56, QS 27: 3, QS 31:4, QS 33:33, QS 58:13, QS 73:20, dan QS 98:5
28. QS 9 : 103 dan QS 41 : 6-7
29. QS 9 : 71.
30. QS 30: 39 dan QS 51: 19.
31. QS 107:1-5 dan QS 3:92
• Memahami peran zakat terhadap distribusi pendapatan dan penurunan kemiskinan.
• Memahami keterkaitan zakat terhadap sistem jaminan sosial.
• Memahami keterkaitan zakat terhadap kesempatan kerja.
2.1. Rasionalitas Ekonomi Kewajiban Zakat
Kewajiban membayar zakat yang dijelaskan dalam fikih lebih banyak menekankan pada sudut pandang pembayar atau muzaki, yang cenderung memberikan insentif bagi pembayar dan disinsentif atau ancaman bagi penghindar atau yang mengingkarinya. Di sisi lain, penerapan zakat dan sedekah yang dijelaskan di dalam Qur’an maupun Hadis tidak menjelaskan secara langsung pengaruh zakat bagi kehidupan dunia. Sebagaimana misal, dijelaskan di dalam Al-Quran Al-Baqarah (2:261) bahwa imbalan bagi mereka yang akan menafkahkan hartanya dalam kebaikan adalah imbalan 700 kali lipat.32
Hadis-hadis tentang sedekah begitu banyak dan betebaran. Salah satunya, hadis Xxxxxxxxxx xxx yang menyatakan bahwa sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Nabi bersabda: “Sedekah tidaklah mengurangi harta.”33 Dalam hadis lain disabdakan pula: “Infakkanlah hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau menyedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki tersebut. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.”34
Namun demikian, secara ekonomi, perintah membayarkan zakat mengandung hikmah atau manfaat yang sangat besar. Di antaranya adalah, bahwa zakat berperan besar dalam proses distribusi harta agar tidak mengumpul pada kelompok tertentu dan dapat berakibat baik bagi perekonomian. Misalkan, dijelaskan oleh P3EI UII (2008),35 bahwa zakat memiliki peran bagi distribusi kesejahteraan.
Islam memandang bahwa di dalam kekayaannya orang-orang kaya terkandung haknya untuk orang miskin. Mengapa? Dikarenakan dalam proses seseorang mendapatkan suatu barang, maka dibutuhkan peran banyak orang yang belum tentu diberikan haknya. Sebagai misal, ketika kita membeli sebuah furnitur
32. Lihat pula QS Al-Baqarah (2:263, 272) dan 276; QS An-Nisa (4:114); QS Al-Mujadilah (58:13); QS Ar-Rum (30:39)
33. HR. Muslim no. 2558, dari Xxx Xxxxxxxx.
34. HR. Xxxxxxx xx. 1433 dan Muslim no. 1029, 88.
35. P3EI UII dan Bank Xxxxxxxxx, xxxxx, hal. 309-311
kayu dari sebuah toko dengan harga terbaik. Mungkin kita merasa bahwa kita telah membayar hak atas kursi tersebut? Namun kita tidak mengetahui bahwa di dalam harga yang kita bayarkan tersebut, apakah kita telah memberikan kontribusi yang adil atau tidak kepada setiap pihak, seperti hak kepada pedagang kursi, hak pembuat kursi, hak penanam pohon, hak penyedia air untuk pohon yang ditanam, hak untuk penyedia pupuk pohon, dan seterusnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan, bahwa dalam sistem ekonomi pasar akan berlaku hukum kesatuan harga (law of one price), yaitu jika suatu harga komoditi di suatu pasar berbeda dengan harga di pasar lain, maka komoditi akan mengalir dari pasar yang harganya tinggi menuju pasar yang harganya rendah hingga harga di kedua pasar tersebut tidak banyak berbeda. Sebagai ilustrasi, dapat dijelaskan dengan gambar 2.1. Misalkan, terdapat dua komunitas atau segmen pasar atas komoditi yang sama dalam suatu perekonomian yaitu segmen konsumen kaya (misal muzaki) dan segmen konsumen miskin (misalkan mustahik). Kelompok konsumen kaya cenderung memiliki produktivitas yang tinggi dan daya beli yang tinggi pula sehingga memiliki permintaan yang lebih banyak dan kurang elastis terhadap harga. Misalkan digambarkan dengan kurva permintaan Dk0. Sebaliknya, kelompok konsumen miskin memiliki daya beli yang rendah dan produktivitas yang rendah pula sehingga mereka lebih peka terhadap harga, dan ditunjukkan dengan kurva permintaan yang lebih landai, yaitu Dmo. Dalam kondisi mekanisme pasar bebas dan rendahnya biaya transaksi antarpasar, dengan lebih murahnya harga di pasar kelompok miskin dibandingkan pasar kelompok kaya, maka komoditas akan mengalir (dibawa oleh penjual) dari pasar miskin ke pasar kaya. Arus perpindahan komoditi ini akan terhenti hingga harga di kedua pasar tersebut adalah sama. Dengan demikian, dapat diperkirakan distribusi komoditi antara kelompok kaya dan kelompok miskin menjadi:
Gambar 2.1.
Zakat dan Distribusi Barang
Keterangan: LoP = law of one price
Keseimbangan pasar sebelum penyesuaian harga: (warna merah)
Kelompok miskin : jumlah komoditi = 0Qm0 dengan harga adalah Pm0 Kelompok kaya : jumlah komoditi = 0Qk0 dengan harga adalah Pk0
Keseimbangan pasar setelah penyesuaian harga: (warna biru)
Kelompok miskin : jumlah komoditi turun menjadi = 0Qm1 dengan harga naik menjadi Pm1 Kelompok kaya : jumlah komoditi naik menjadi = 0Qk1 dengan harga turun menjadi Pk1
Dengan adanya pembayaran zakat oleh kelompok kaya yang diberikan kepada kelompok miskin, maka akan menaikkan daya beli kelompok miskin. Dengan naiknya daya beli tersebut maka permintaan komoditi kelompok miskin bisa meningkat, misalkan meningkat dari Dm0 ke Dm1. Sebagai dampaknya, kelompok miskin akan mendapatkan jumlah komoditas yang lebih banyak. Demikian pula sebaliknya, daya beli konsumen kelompok juga akan menurun menjadi Dk1. Meskipun zakat belum tentu mengembalikan daya beli ke posisi semula, namun telah meningkatkan distribusi barang kepada kelompok miskin, yaitu:
Setelah pembayaran zakat oleh kelompok kaya: (warna hijau)
Kelompok miskin : jumlah komoditi naik menjadi = 0Qm2 dengan harga naik menjadi Pm2 Kelompok kaya : jumlah komoditi turun naik menjadi = 0Qk2 dengan harga naik menjadi Pk2
Contoh kecil di atas menujukkan bahwa dengan adanya pembayaran zakat maka dampak negatif yang diterima oleh kelompok miskin sebagai akibat berlakunya hukum kesatuan harga telah bisa dikurangi, namun tidak dapat sepenuhnya. Oleh karena itulah, Islam mengajarkan untuk berbagi harta, setidaknya membayar zakat. Namun demikian, pembayaran sebesar zakat ini belum tentu cukup untuk mengembalikan daya beli kelompok miskin,
hingga Islam mengajarkan adanya sedekah sunah. Gambaran di atas, sekaligus menjelaskan dampak zakat terhadap distribusi barang dan jasa.
2.2. Zakat dan Implikasinya dalam Perekonomian
Analisis terhadap zakat dari sudut pandang ekonomi telah banyak dilakukan.36 Di samping analisis ini ditujukan untuk menambah keyakinan mengenai pentingnya zakat bagi kehidupan manusia, pun analisis ini bermanfaat untuk memberikan koreksi dan penyempurnaan terhadap implementasi pengelolaan zakat. Misalkan, apakah lebih efektif zakat diberikan dalam bentuk uang atau pengeluaran konsumsi ataukah alat produksi; apakah zakat lebih efektif diberikan dalam jumlah yang kecil dan merata ataukah dalam nilai tertentu meskipun tidak merata, dan sebagainya.
Untuk melakukan analisis, maka beberapa asumsi pokok yang digunakan adalah:
1) Zakat diwajibkan dibayarkan oleh orang dengan kriteria tertentu, yaitu muslim dan mampu yang disebut muzaki. Mereka memiliki pendapatan sebesar tertentu, misalkan YU.
2) Zakat hanya diberikan kepada kelompok tertentu dan bukan dari golongan
pembayar zakat, terkecuali zakat fitrah atau disebut mustahik.37 Mereka memiliki pendapatan sebesar tertentu misalkan YL.
3) Zakat yang dibayarkan merupakan proporsi tertentu dari pendapatan orang
kaya (αYU) atau proporsi tertentu dari omset usaha (6Q) yang diperoleh muzaki38 atau Z = (α+6-α6)YU.39 Untuk menyederhanakan analisis, maka zakat atas omset diasumsikan nol, atau semua zakat dihitung atas dasar laba.
36. Xxxxx Xxxxx (1982), Xxx Xx-Xxxxx Xxxxx (1994), A Survei of the Institution of zakat: Issues, Theories and Administration, IRTI, IDB; M Xxxxx Xxxx, Xxxxxxx Xxxxx, AF Xxxxxxx dan MS Xxxx, X Xxxxxxx Xx-Xxxxxxxxx, Xxxxxxx X Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, Mabid Al Jahiri, S.I. Xxx Xx-Xxx, Xxxxxxxx Xxxx Xxxxx, Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxxxx Al-Xxxxx, Xxxxx Al-Xxxxxxx, FR Xx Xxxxxx (1997), dirangkum oleh Xxxxxx Xxxx (1997), Economics of Zakat: a book of Reading, IRTI, IDB; Xxxxxxxx Xxxxxxx dkk, Ekonomi Islam, Rajawali Press, 2008.
37. Berbeda dengan pajak, meskipun tidak semua orang wajib membayar pajak, namun manfaat pajak bisa diterimakan kembali kepada pembayar pajak secara tidak langsung, seperti untuk pembangunan infrastuktur. Sedangkan zakat harus diberikan kepada orang tertentu yang alokasinya tidak untuk fasilitas umum.
38. Tidak semua ulama sepakat bahwa zakat selalu dihitung dari pendapatan atau laba. Pada beberapa jenis kekayaan, zakat dihitung atas omzet atau volume produksi ataupun kekayaan. Misalkan, zakat pertanian atau zakat peternakan dihitung berdasarkan volume produksi. Sedangkan untuk zakat atas emas dan perak dan tabungan dihitung berdasarkan nilai kekayaan. Zakat atas investasi dan gaji profesi, umumnya ulama menghitung zakat berdasarkan pendapatan bersih atau laba. Untuk menyederhanakan analisis, maka diasumsikan dalam buku ini bahwa zakat hanya dikenakan atas pendapatan dan bukan produksi.
39. Jika asumsi ini dimasukkan dalam perhitungan, maka besarnya zakat (Z) akan merupakan proksi dari produksi (Q). Misalnya pendapatan orang kaya dari usahanya adalah YU= Q-C dan setelah dikurangi zakat atas omset usaha sebesar 6Q dan zakat atas laba sebesar αYU maka pendapatan bersih muzakki menjadi (1-α)[(1-6)Q-c]
atau sama dengan (1-α)(1-6)YU. Dengan demikian besarnya zakat yang dibayarkan menjadi Z = (α+6-α6)YU
4) Pengeluaran seseorang dikategorikan menjadi dua, yaitu pengeluaran untuk kepentingan duniawi (E1), baik untuk keperluan konsumsi, menabung ataupun investasi atau usaha produksi. Sedangkan pengeluaran untuk kepentingan akhirat tidak memberikan imbalan material secara langsung, seperti sedekah, zakat dan sebagainya (E2). Komponen E2 ini bisa berbentuk konsumsi, menabung ataupun investasi, namun tidak untuk kepentingan diri mereka melainkan untuk kepentingan orang lain atau ibadah.
5) Distribusi zakat dilakukan dalam suatu wilayah negara.
Analisis ekonomi terhadap zakat dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu analisis mikro dan makro ekonomi. Analisis ekonomi mikro zakat dapat didekati melalui pendekatan fungsi konsumsi, investasi maupun kesempatan kerja. Sedangkan secara makro, pendekatan dapat dilakukan melalui model keseimbangan makro ekonomi.
Misalkan, secara makro, pendapatan dapat didefinisikan menurut sumber pendapatannya:40
Y = YL+YU + (1-γ)Z (2.1)
Di mana
YL = WL+ PL + γZ dan YU = WU+ PU - Z (2.2)
Di mana P dan W menunjukkan laba usaha dan upah, sedangkan subskrip L dan U menunjukkan penerima dan pembayar zakat, dan γ menunjukkan porsi zakat yang diterima langsung oleh xxxxxxxx. Persamaan itu juga menunjukkan bahwa ada sebagian zakat yang tidak langsung diberikan kepada mustahik, misalkan dikelola untuk ditabung, diinvestasikan atau diakumulasi terlebih dahulu.
Dampak zakat bagi perekonomian perlu dipandang secara komprehensif, di mana bukan hanya mengukur besaran tambahan material akibat zakat secara agregat, namun juga perlu dilihat distribusi sumber daya tersebut bagi setiap pelaku ekonomi. Untuk selanjutnya, dampak zakat terhadap ekonomi dapat dilihat pengaruhnya pada masing-masing variabel yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
40. Model ini diadopsi dari Mabid Al-Jarihi, toward an Islamic macro model, Monser Kahf, op.cit.
2.3. Zakat dan Perilaku Konsumsi
Dari sudut pandang syariah, pembayaran zakat diharapkan akan mengalihkan pendapatan dan aset kepada kelompok mustahik, yang secara umum adalah memiliki pendapatan yang rendah. Maka dalam jangka pendek, pembayaran zakat ini akan berdampak terhadap peningkatan tingkat konsumsi mustahik, terutama empat kelompok mustahik pertama. Dalam hal ini maka diharapkan adanya pembayaran zakat memiliki dampak positif bagi perilaku konsumsi masyarakat, baik muzaki maupun mustahik. Diharapkan dengan adanya zakat maka perilaku konsumsi yang Islami dapat terwujud.
Sebagaimana dijelaskan oleh para pakar Islam, perilaku konsumsi Islami secara mikro dapat ditandai oleh beberapa hal pokok, yaitu:41
i. Barang/jasa yang dikonsumsi adalah barang/jasa yang halal. Barang/jasa yang diharamkan oleh Islam tidaklah banyak, yaitu babi, darah, bangkai, binatang yang dibunuh atas nama selain Allah atau dipukul, perjudian, riba, zina, dan barang-barang yang najis atau merusak.
ii. Memberikan prioritas berbelanja kepada barang/jasa yang memberikan manfaat atau thayyib, yang dapat menambah kemanfaatan bagi agama, jiwa, akal, ataupun keluarga.
iii. Bersikap moderat dalam konsumsi, yaitu tidak terlalu hemat sehingga tidak melakukan nafkah wajib (bakhil), tidak berlebihan (israf) atau belanja yang tiada manfaat (tabdzir)
iv. Berpegang teguh pada moralitas Islam dalam konsumsi, artinya rela mengorbankan kepentingan diri untuk memberikan kebaikan kepada pihak lain, misalnya berbagi makanan yang dibeli kepada tetangga ketika tercium baunya, tidak menawar harga terlalu rendah kepada penjual, dan sebagainya.
v. Menjaga aspek kesucian dan kebersihan dalam konsumsi.
Secara makro, perilaku konsumsi Islami ditandai dengan turunnya kesenjangan kualitas konsumsi antara kelompok muzaki dan mustahik, berkurangnya konsumsi untuk barang/jasa mewah, berkurangnya pemborosan belanja (israf) dan meningkatnya belanja untuk sosial atau sektor publik.
Apakah zakat memberikan kontribusi signifikan dalam mewujudkan konsumsi masyarakat yang lebih hemat dan Islami, tentunya akan tergantung dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Dari berbagai kajian yang dilakukan pada ahli,
41. Ibid, halaman 102.
seperti Xxxxx Xxxxx (1985), Xxxxxxxx (1981), Xxxxxxxx Xxxxx dan Xxxxx Xxxx (1997), Xxxxxxx dan Zein (1997), al-Suhaibani (1997), Xxxxxxx xxx (2008), dapat disimpulkan bahwa pengaruh zakat terhadap perilaku konsumsi agregat tergantung pada empat faktor, yaitu:
(1) Perbedaan hasrat konsumsi antara muzaki dan mustahik. Semakin tinggi perbedaan ini mendorong makin tingginya hasrat konsumsi kelompok muzaki sehingga mengakibatkan adanya peningkatan konsumsi agregat akibat penerapan zakat. Hal ini mungkin banyak terjadi di negara-negara miskin atau tingginya kesenjangan pendapatan;
(2) Tinggi rendahnya jumlah penduduk yang menerima zakat;
(3) Nilai zakat yang terdistribusikan kepada kelompok miskin;
(4) Metode pendistribusian zakat kepada mustahik, apakah dalam bentuk uang tunai ataukah barang, dan jika barang apakah berbentuk modal kerja ataukah barang konsumtif.
Untuk mengetahui dampak zakat terhadap konsumsi makro, dapat diawali dengan fungsi konsumsi, misalkan fungsi konsumsi konvensional Keynesian (Ck):
Ck = a + cY (2.3)
Dengan adanya penerapan zakat, maka fungsi konsumsi Islami (Ci) tersebut akan menjadi:
Ci = a + c[βY-αY] + d[(1-β)Y + αY] (2.4)
Di mana:
βY = pendapatan kelompok muzakki dan (1-β)Y = pendapatan kelompok
muzakki
αY = jumlah zakat yang dibayarkan
c = hasrat konsumsi kelompok muzakki dan d = hasrat konsumsi kelompok
muzakki
Untuk membandingkan lebih hemat manakah antara konsumsi konvensional dan konsumsi Islam (setelah zakat diterapkan), maka kita juga mengasumsikan bahwa di dalam masyarakat terdapat dua kelompok masyarakat, yaitu kaya dan miskin, meskipun mereka tidak menerapkan zakat. Oleh karena itu, fungsi konsumsi Keynesian dapat dimodifikasi menjadi:
Ck = a + c (βY) + d (1-β) Y (2.5)
42. Penjelasan yang senada bisa dilihat di Xxxxxxx Xxxxx, Zakat, Moderation and Aggregate Consumption Function in An Islamic Economy, dalam IRTI, Economic of Zakat Buku 2, 1997, hal. 111-135.
Untuk mengetahui apakah konsumsi Islami lebih hemat, maka kita membandingkan antara konsumsi konvensional dan Islam dengan cara mengurangkan Ck dari Ci:
Ci – Ck = (d-c)Y atau
⎛ dCi ⎞ − ⎛ dCk ⎞ = (d − c)
(2.6)
⎜ dY ⎟ ⎜ dY ⎟
⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Persamaan di atas menujukkan bahwa konsumsi Islam (Ci) bisa lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi konvensional (Ck), jika hasrat konsumsi kelompok mustahik (d) lebih kecil daripada hasrat konsumsi kelompok muzaki (c). Namun, jika sebaliknya yang terjadi, maka konsumsi Islam berpotensi menjadi lebih tinggi.
Secara dinamis, prosesnya tidak berhenti sampai di sini. Zakat yang diterima oleh mustahik juga bisa dibelanjakan dan aliran belanja itu sebagian akan mengalir kembali kepada muzaki, misalnya ketika zakat digunakan oleh mustahik untuk membayar utang kepada muzaki atau membeli komoditas milik xxxxxx. Jika hal ini terjadi, maka porsi zakat yang tersampaikan kepada muzaki lebih kecil dari αY, misalkan sebesar γ(αY) digunakan untuk membayar utang mustahik ke muzaki atau membeli barang mereka. Maka tingkat konsumsi Islami Ci menjadi:
Ci = a + c[βY-αY+γ(αY)] + d[(1-β)Y + (1-γ)(αY)] (2.7)
Dengan metode yang sama, kita akan mendapatkan selisih hasrat konsumsi Islam (dCi/dY) dan hasrat konsumsi konvensional (dCk/dY) adalah:
⎛ dCi ⎞ − ⎛ dCk ⎞ = (d − c)(1 − γ )α
⎜ dY ⎟ ⎜ dY ⎟ (2.8)
⎝ ⎠ ⎝ ⎠
Karena tarif zakat (α) tetap, maka pengaruh zakat terhadap konsumsi dipengaruhi oleh hasrat konsumsi muzaki (MPCc), hasrat konsumsi muzaki (MPCd), dan transfer zakat kepada mustahik (γ). Semakin besar transfer zakat kepada mustahik, maka akan semakin tidak ada pengaruh zakat terhadap konsumsi. Dengan simulasi persamaan di atas dapat dicontohkan, ketika d=1 dan c=0,8, maka penerapan zakat akan memberikan dampak positif tinggi terhadap konsumsi ketika tidak ada transfer zakat kepada muzaki (γ=0), yaitu meningkat 5 persen. Sebaliknya, ketika mustahik menggunakan seluruh zakat ini untuk membeli barangnya muzaki (misalnya adanya monopoli produksi oleh orang kaya), maka peran zakat tidak akan tampak, atau hanya 0,5 persen.
Tabel 2.1.
Dampak zakat terhadap Hasrat Konsumsi (MPCi-MPCk)
γ | d=1, c=0.8 | d=1, c=0.6 | d=0.8, c=1 |
0 | 0.050 | 0.100 | -0.050 |
0.25 | 0.038 | 0.075 | -0.038 |
0.5 | 0.025 | 0.050 | -0.025 |
0.75 | 0.013 | 0.025 | -0.013 |
0.9 | 0.005 | 0.010 | -0.005 |
Jika demikian halnya, efek zakat terhadap konsumsi tidak selalu positif, meskipun hasrat konsumsi muzaki lebih tinggi, namun dipengaruhi oleh pola belanja muzaki dan metode pendistribusian zakat yang dipilih: apakah dalam bentuk uang ataukah barang, barang konsumsi ataukah barang modal kerja. Kesimpulan di atas didasarkan atas asumsi bahwa perilaku konsumsi masyarakat mengikuti pola Absolute Income Hypothesis yang diajukan oleh Xxxxxx.
Analisis zakat terhadap konsumsi ini juga dipengaruhi pula oleh perilaku konsumsi yang dianut masyarakat. Seperti diteliti oleh Xxxxxxxx tahun 1986 di 14 negara ditemukan adanya perbedaan perilaku konsumsi yang diikuti oleh negara-negara muslim.43 Menurutnya, jika masyarakat mengikuti perilaku relatif income hypothesis, maka zakat akan menurunkan tingkat konsumsi nasional karena zakat tidak akan memengaruhi konsumsi mustahik. Namun jika masyarakat mengikuti perilaku Permanent Income Hypothesis, maka pembayaran zakat akan bersifat netral terhadap konsumsi dan tabungan karena penerimaaan zakat hanya berpengaruh terhadap pendapatan sementara mustahik. Demikian pula, jika masyarakat mengikuti perilaku konsumsi life- cycle hypothesis, maka zakat juga tidak akan berpengaruh terhadap konsumsi. Kesimpulan Xxxxxxxx yang tidak konklusif ini disebabkan asumsi perilaku konsumsi yang mengacu pada perilaku konsumsi konvensional.
Namun demikian, akan berbeda halnya jika masyarakat, baik muzaki ataupun mustahik, berperilaku konsumsi sesuai prinsip syariah, seperti bersikap moderat dan hemat, maka zakat tidak hanya berpengaruh terhadap volume konsumsi, terutama jika para amil juga melakukan pendidikan dan pemberdayaan terhadap mustahik, maka zakat diharapkan berdampak bagi perilaku konsumsi.
43. MM Xxxxxxxx, The Effect of the Religious Tax of Zakah on Investment in an Islamic Economy, 1986, Humanomics,
No. 2, Vol. 2, hal. 43-45.
2.4. Pengaruh Zakat terhadap Investasi
Islam memandang bahwa tabungan merupakan tindakan yang diperbolehkan selama memiliki tujuan tertentu yang positif, bukan ditujukan untuk penimbunan harta atau spekulatif. Sebagai misal, tabungan untuk persiapan di hari depan justru dianjurkan, namun Islam pada saat yang sama melarang sikap menyimpan harta secara berlebih-lebihan.44
Peran zakat terhadap tabungan secara makro dapat dijelaskan dengan melihat peran zakat terhadap konsumsi, sebagaimana di atas. Dalam jangka pendek, efek zakat terhadap tabungan nasional akan berkebalikan dengan efek zakat terhadap konsumsi. Ketika konsumsi agregat meningkat akibat adanya penerapan zakat, maka tabungan jangka pendek akan menurun. Sebaliknya, ketika zakat berdampak menurunkan tingkat konsumsi, maka porsi pendapatan yang ditabung akan meningkat.
Dalam jangka menengah dan panjang, hal yang lebih penting adalah seberapa besar porsi tabungan tersebut akan berubah menjadi investasi yang produktif. Pengaruh zakat terhadap investasi tidak dapat secara apriori dipastikan akan meningkatkan ataupun menurunkan investasi. Jika zakat diperlakukan sebagaimana pajak, yang mengurangi pendapatan siap konsumsi, maka zakat berpotensi menurunkan tingkat investasi. Namun, zakat berbeda dengan pajak, karena zakat tidak dikenakan atas aset produktif. Lebih lagi, hal ini bergantung pada penggunaan zakat oleh mustahik dan metode pendistribusian zakat yang akan dipilih.
Karena itu, elemen pokok yang harus dipertimbangkan untuk memahami pengaruh zakat terhadap investasi ada lima hal, yakni:
(1) Zakat dipungut atas uang atau aset keuangan yang menganggur, misalkan simpanan emas atau uang yang melebihi jangka waktu setahun dan mencukupi nishab, sehingga mendorong orang untuk berinvestasi atau berproduksi.
(2) Ketentuan dan fatwa terkait dengan tarif zakat, pengecualiannya, objek zakat, dan alokasinya telah ditetapkan sehingga bisa mendorong investasi.
(3) Efek pengganda akibat naiknya konsumsi agregat juga akan meningkatkan investasi.
(4) Sebagian zakat didistribusikan kepada muzaki dalam bentuk modal kerja.
44. QS Al-Hasyr:18, QS AL-Furqan: 67
(5) Adanya pergeseran pola konsumsi akibat zakat akan berpengaruh terhadap komposisi investasi.
(6) Stabilitas sosial sebagai akibat adanya peningkatan kualiatas hidup orang miskin (mustahik) dan kehidupan yang lebih harmoni antara kelompok kaya dan miskin dapat mendorong iklim investasi yang kondusif.
Dengan asumsi fungsi investasi yang berlaku adalah fungsi investasi pada umumnya, maka dengan pertimbangan enam hal di atas, maka zakat akan meningkatkan investasi jangka panjang. Meskipun dalam jangka pendek zakat cenderung meningkatkan konsumsi dan menurunkan investasi, namun dalam jangka panjang akan mengurangi pengangguran sumber daya sehingga bisa meningkatkan potensi investasi.
Zakat akan mendorong investasi secara langsung maupun tak langsung. Secara langsung, dengan dipungutnya zakat terhadap kekayaan yang disimpan, maka kekayaan yang disimpan akan segera diaktifkan atau diinvestasikan. Selain itu, bila zakat dibagikan bagi investasi ataupun bantuan modal, maka investasi akan meningkat. Jika zakat telah disediakan untuk fakir dan miskin sebagai sarana produksi apapun, baik itu dalam perdagangan, pertanian, industri atau aktivitas-aktivitas ekonomi yang sesuai dengan kemampuan dan profesionalisme kerja mereka, maka zakat telah membantu mereka kepada perubahan kesatuan produksi yang memberikan manfaat bagi masyarakat dan keluarga.
Secara tidak langsung, dengan meningkatnya konsumsi barang-barang kebutuhan pokok sebagai akibat meningkatnya pendapatan orang-orang miskin karena zakat, maka permintaan terhadap barang-barang kebutuhan pokok akan meningkat. Peningkatan permintaan barang-barang kebutuhan pokok ini akan menstimulasi produksi barangan dan jasa-jasa (Kahf, 1981).
Lebih dijelaskan lagi oleh Xxxxxx Xxxx,00 bahwa zakat berpengaruh positif terhadap investasi akibat adanya peningkatan pendapatan. Karena zakat dikenakan atas tabungan yang mencapai batas nilai tertentu, maka muzaki akan mempertahankan rasio tabungan tertentu dan menginvestasikan kelebihannya. Dijelaskan pula bahwa zakat bisa menurunkan tingkat kemacetan usaha, karena zakat dapat dialokasikan untuk menutup utang. Dengan demikian, zakat dapat menghidupkan kembali usaha dan investasi dan meningkatkan partisipasi angkatan kerja.
45. Xxxxxx Xxxx, The Performance of the Institution of zakat in Theory and Practice, The International Conference in Islamic Economics Towards the 21st Century, Kuala Lumpur, Malaysia, April, 1999.
Namun, jika para investor memiliki perilaku investasi yang sesuai prinsip syariah, maka dalam investasi akan mempertimbangkan tiga hal yang dilarang oleh syariah, yaitu:
(1) Ada sanksi untuk pemegang aset kurang/tidak produktif dalam bentuk kewajiban membayar zakat setelah aset mencapai satu nishab.
(2) Dilarang melakukan berbagai kegiatan investasi spekulatif dan investasi yang mengandung perjudian meskipun imbal hasilnya tinggi.
(3) Dilarang berinvestasi yang mengandung unsur riba.
Dengan demikian, insentif investasi secara mikro dipengaruhi oleh tingkat keuntungan yang diharapkan (r), sanksi atas aset yang tidak diproduktifkan dan pengeluaran.
Fungsi investasi dalam ekonomi Islam dapat diungkap sbb:
I = f(r, Xx, Zi,μ) (2.9)
r= g (SI/SF) (2.10)
di mana: I = permintaan investasi; r tingkat keuntungan yang diharapkan; SI bagian keuntungan/kerugian untuk investor; SF bagian keuntungan/kerugian pengelola; Za tarif zakat aset tidak produktif; Zi adalah tingkat zakat atas keuntungan invetasi; m= pengeluaran lain selain zakat, seperti pajak atau biaya lainnya.
Akan tetapi, karena besarnya tarif zakat adalah tetap, maka pertumbuhan investasi hanya dipengaruhi oleh porsi bagi hasil (r) dan biaya non-zakat.
I = Φ (r, μ) (2.11)
di mana; dI/dr > 0 dan dI/dμ>0
Artinya, permintaan investasi akan meningkat dengan meningkatnya tingkat keuntungan yang diharapkan oleh investor (r) atau meningkatnya tingkat iuran terhadap aset tidak/kurang produktif. Semakin tinggi tingkat keuntungan investasi yang diharapkan, maka akan mendorong meningkatnya tingkat investasi. Di sisi lain, meningkatnya biaya-biaya pemegangan aset, seperti pajak penghasilan atau tingkat inflasi yang tinggi, maka akan mendorong investor menggunakan dananya untuk investasi meningkat.
Peran zakat terhadap investasi dapat dijelaskan dengan melihat pengaruh zakat terhadap r, yaitu tingkat keuntungan yang diharapkan investor sebelum zakat:
r = g⎛ SI ⎞ = Π
(2.12)
⎜ SF ⎟ I
⎝ ⎠
di mana Π adalah porsi keuntungan total untuk investor. (Π/I) menunjukkan tingkat keuntungan untuk setiap nilai rupiah yang diinvestasikan atau sering disebut return on investment.
π
Tingkat keuntungan yang diharapkan investor setelah zakat adalah E(r) adalah keuntungan setelah dikurangi pembayaran zakat atas keuntungan hasil investasi (Z r).46
E(r) = r - Zπr (2.13)
= r (1 - Zπ)
di mana: I = tingkat Investasi; r = tingkat keuntungan yang diharapkan; Zπ = tingkat zakat atas keuntungan investasi; e tingkat keuntungan bersih yang diharapkan; g tingkat investasi bersih yang diharapkan.
Tingkat keuntungan investasi bersih yang diharapkan (g) terdiri dari: tingkat keuntungan dari investasi yang diharapkan ditambah dengan biaya yang tidak jadi dikeluarkan akibat adanya investasi atau opportunity revenue. Opportunity revenue ini adalah biaya-biaya yang akan ditanggung calon investor ketika ia tidak jadi melakukan investasi, yaitu zakat atas aset yang dianggurkan. Opportunity revenue ini disebut pula dengan istilah premi risiko bagi investor, yaitu nilai tertentu yang harus ia peroleh untuk menutupi risiko atas batalnya investasi. Dengan demikian, tingkat keuntungan investasi bersih yang diharapkan (g) terdiri dari tingkat keuntungan dari investasi yang diharapkan, E(r) ditambah premi risiko atas zakat asset nonproduktif (Za).
g = r (1-Zπ) + Za (2.14)
Investasi akan berlangsung terus dalam jangka panjang, jika g >0 atau: r(1- Zπ) > - Za (2.15)
Dan Investasi akan berhenti bila g ≤ 0 atau r(1 - Zπ) ≤ - Za
Investasi akan berhenti bila tingkat keuntungan yang diharapkan nilainya menjadi negatif yaitu:
r = − za
(zπ −1)
(2.16)
46. Dalam hal ini diasumsikan bahwa zakat dikenakan atas hasil bersih laba atas investas, baik bagian laba untuk investor maupun laba untuk pengusaha. Dengan asumsi bahwa laba usaha telah mencapai nisab, maka besarnya zakat yang dibayarkan oleh investor akan setara dengan tariff zakat dikalikan dengan laba per unitnya, atau sama dengan Zπr.
Jika diasumsikan Za = 2,5% dan misalkan Zπ adalah 2,5% (sektor perdagangan), maka nilai ambang hasil investasi adalah r = -2,56%. Artinya, meskipun tingkat keuntungan hasil investasi bersih adalah nol atau negatif namun masih di atas
-2,56%, maka masih ada dorongan investasi. Namun, jika alternatif investasi yang tersedia adalah pertanian non-irigasi yang zakatnya adalah 10%, maka nilai ambang hasil investasi adalah r= -2,78%. Implikasinya investasi akan semakin terdorong naik. Berbeda dengan sistem konvensional yang mengenakan bunga atas dana menganggur (tabungan, misalnya), maka investasi baru akan tergerak jika ada premi risiko yang sesuai preferensi investor, yaitu kelebihan tingkat keuntungan yang diharapkan dari tingkat bunga bebas risiko (misal E(rk)). Karenanya, diharapkan pada tingkat return yang sama, misalkan E(r1),
volume investasi Islami (Ii) akan lebih tinggi daripada investasi konvensional
(Ik).
Gambar 2.2.
Fungsi Investasi dalam Ekonomi Islam
E(r) Tk Keuntungan
diharapkan
Ik
Ii
E(r1)
E(rk)
Za
(Zπ − 1)
I0
Ik Ii
Volume Investasi
Di samping itu, analisis tentang pengaruh zakat terhadap investasi juga dipengaruhi oleh tingkat hasrat untuk berzakat dan tarif zakat. Seperti diteliti oleh Xxx dan Xxxxx (2010) yang menganalisis dan menyimpulkan bahwa zakat dapat menaikkan rasio modal tenaga kerja, namun dengan adanya peningkatan tarif zakat akan menurunkan rasio modal tenaga kerja ini.47 Artinya, semakin tinggi hasrat untuk membayar zakat, maka akan semakin tinggi pertumbuhan output dan rasio modal tenaga kerja. Demikian pula, dengan tarif zakat yang lebih tinggi, misalkan zakat pertanian dibandingkan dengan zakat perdagangan, akan menurunkan pertumbuhan output.
47. X.X.Xxxxxxxxxxx P.H. Xxxx Xxx and Xxxxxx X. Xxxxx, The Consequences of Zakat for Capital Accumulation, Journal of Public Economic Theory, 12 (4), 2010, pp. 837–856.
2.5. Zakat dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada umumnya, pertumbuhan ekonomi diukur dengan sejumlah indikator. Untuk mengetahui dampak zakat bagi pertumbuhan ekonomi, maka zakat dapat dimasukkan ke dalam indikator pengukuran. Analisis korelasi diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas terhadap hubungan antara zakat dan pertumbuhan. Dengan demikian, zakat akan dapat diintegrasikan ke dalam sistem keuangan dan dapat berkontribusi dalam kegiatan ekonomi dalam rangka mencapai pembangunan berkelanjutan.
Kajian tentang hal ini telah lama dilakukan. Di antaranya dilakukan oleh Xx- Xxxxxx (1997), Zaim (1989) seperti yang dikutip oleh Xxxxx xxx Xxxxxx, (2007) bahwa zakat juga memiliki multiplier effect untuk perekonomian. Beberapa ekonom muslim percaya bahwa zakat yang diinvestasikan sesuai dengan prioritas produksi keseluruhan akan menguntungkan orang miskin khususnya dan perekonomian secara umum, yaitu melalui efek multiplier terhadap pekerjaan dan pendapatan. Zakat secara bertahap akan menghilangkan kemiskinan, dan mengurangi perputaran harga pada segelintir orang. Sebagai dampaknya, pekerjaan dan pendapatan akan meningkat dalam perekonomian sehingga meningkatkan standar hidup dari orang-orang, dan akhirnya akan meningkatkan volume agregat zakat yang terkumpul, yang selanjutnya akan memengaruhi secara positif laju pertumbuhan ekonomi dalam hal pengentasan kemiskinan, mengurangi pengangguran dan tingkat inflasi.
Secara empiris, pengaruh zakat terhadap pertumbuhan ekonomi juga telah banyak dikaji. Kajian di Malaysia memperlihatkan adanya pengaruh positif penerapan zakat terhadap pertumbuhan ekonomi oleh Xxxxxxxx X. Xxxxxx (2011) dengan pendekatan regresi panel periode 2006-2009.48 Di Pakistan, juga ditemukan bahwa zakat memiliki dampak positif pada pembangunan ekonomi di Pakistan. Lebih khusus, zakat secara signifikan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Pakistan.49
Bagian ini akan memaparkan secara konseptual atau teoritis bagaimana pengaruh penerapan zakat terhadap pertumbuhan ekonomi dengan salah satu pendekatan. Secara syariat, sebagaimana dijelaskan di dalam Quran atau Hadis, pelaksanaan zakat tidak akan berdampak pada kontraksi ekonomi,
48. Xxxxxxxx X Xxxxxx, Zakat Expenditure, School Enrollment, and Economic Growth in Malaysia, International Journal of Business and Social Science, Vol. 2 No. 6; April 2011, 175-181.
49. Xxxxxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, Zakat and Economic Development: Micro and Macro Level Evidence from Pakistan, Bulletin of Business and Economics, 3(2), 2014, 85-95.
namun xxxxxx akan meningkatkan pertumbuhan perekonomian. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat at-Taubah (9) ayat 103 dijelaskan, bahwa zakat disamping berfungsi membersihkan kekayaan juga menumbuhkan kekayaan. Demikian pula dijelaskan dalam sebuah hadis Xxxxxxxxxx xxx yang diriwayatkan oleh Xxxxx dan At-Xxxxxxxx dari Xxx Xxxxxxxx yang menjelaskan, artinya:
”Allah menerima zakat dengan tangan kanan-Nya dan kemudian menjadikannya harta itu tumbuh bagi setiap kamu, sebagaimana halnya kamu membesarkan anak kuda atau anak unta. Bagian-bagian harta itu kemudian menjadi sebesar Gunung Uhud” (Hadis Xxxxx dan at-Tirmidzi).
Untuk menjelaskan pemahaman di atas melalui pendekatan ilmu ekonomi, dampak zakat bagi perumbuhan ekonomi dapat diukur melalui efek pengganda yang diakibatkan melalui konsumsi, tabungan, investasi maupun penyerapan tenaga kerja. Sebagai misal dapat dianalisis efek zakat terhadap permintaan dan penawaran agregat,50 pengaruh zakat terhadap keseimbangan umum,51 dan peran zakat terhadap ekonomi makro.52
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa zakat dapat meningkatkan maupun menurunkan tingkat konsumsi tergantung pada tingkat hasrat konsumsi antarkelompok pembayar dan penerima zakat serta besarnya proporsi penduduk yang menerima zakat. Untuk mengetahui efek zakat terhadap pertumbuhan ekonomi, maka dapat diuraikan melalui efek pengganda zakat terhadap sumber pertumbuhan ekonomi yaitu konsumsi dan investasi. Secara intuitif, dampak zakat akan meningkatkan konsumsi agregat jika kelompok mustahik memiliki hasrat konsumsi yang lebih tinggi daripada kelompok muzaki, dan dalam jangka pendek akan meningkatkan permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan dampak zakat terhadap investasi juga tergantung pada tingkat produktivitas modal dari kelompok muzaki dibandingkan dengan produktivitas modal kelompok mustahik dan hal ini dalam jangka panjang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai ilustrasi, berikut ini dijelaskan penjelasan ekonomi efek zakat terhadap pertumbuhan ekonomi.53 Dengan mengasumsikan zakat dikenakan atas upah (W) dan laba (P), zakat akan berpengaruh terhadap hasrat untuk
50. Xxxxxxxx Xxxxxxx Xx-Xxxxxxxxx, Effect of Zakat on Aggregate Demand, dalam Xxxxxx Kafh, Economics of Zakat, 1997, book reading 2, IRTI-IDB.
51. Xxxxxxx X Xxxxxxxx, General Equilibrium and aggregate economic policies in Islamic Economy, ibid.
52. Mabid Al Jarihi, toward an Islamic macro model, ibid.
53. Al-Jarihi, op.cit.
menabung. Dengan asumsi seluruh tabungan dapat diinvestasikan (atau kondisi kesempatan kerja penuh), zakat berasal dari zakat gaji dan zakat pendapatan, serta sebagian dari zakat berhasil ditabung (yaitu sebesar SO(1-γ) Z), maka tingkat investasi menjadi:
I = S = SLYL + SUYU + SO(1-γ)Z (2.17)
dengan mensubsitusikan persamaan (2.2), maka
I = SL(PL+WL+γZ) + SU(PU+WU-Z)+SO(1-γ)Z (2.18)
Dengan asumsi sederhana, ekonomi tertutup tanpa peran pemerintah maka output perekonomian (Y) menjadi:
Y = YL + YU + (1-γ)Z (2.19)
Dengan dilakukan proses hitungan matematika, mensubstitusikan ketiga persamaan, akan diperoleh output setelah zakat didistribusikan menjadi:
Ÿ= (PL+WL+γZ)+ (PL+WL)(1-γ)Z+(1-γ)Z (2.20)
Seberapa besar efek zakat, nantinya akan dipengaruhi oleh proporsi pendapatan muzaki (yaitu YU/Ÿ) dan proporsi pendapatan mustahik secara nasional (yaitu YL/Ÿ). Besarnya dampak zakat terhadap pendapatan ini akan dipengaruhi oleh:
a. Hasrat menabung kedua kelompok, bukan hasrat menabung salah satu kelompok saja;
b. Tingkat tarif zakat rata-rata (z);
c. Proporsi zakat yang dialokasikan kepada kelompok miskin (γ);
d. Hasrat untuk menggunakan zakat untuk keperluan selain fakir miskin (1-γ).
Jika zakat bergantung pada zakat atas laba dan zakat atas gaji, maka besarnya zakat (Z) menjadi:
Z = zw.W + zp.P (2.21)
Dengan demikian dan setelah dilakukan analisis, maka dampak zakat bagi pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi oleh banyak faktor. Hal yang diyakini memiliki pengaruh positif bagi dampak zakat terhadap pertumbuhan ekonomi adalah:
a. Hasrat menabung kedua kelompok (SU dan SL);
b. Nilai pendapatan laba dan gaji yang diperoleh oleh kedua kelompok (PL, WL, XXxxx XX);
54. Lihat Lampiran pada Al-Jarihi, op.cit.
c. Proporsi pendapatan atau gaji yang dikeluarkan zakatnya;
d. Distribusi zakat yang diberikan kepada kelompok miskin (γ).
Sebaliknya, beberapa hal bisa menurunkan efek zakat terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu:
a. Semakin tingginya tarif zakat;
b. Besarnya kekayaan modal yang dimiliki oleh kelompok muzaki.
Meskipun demikian, perlu dilakukan pembuktian empiris atas hipotesis tersebut sehingga dapat diperhitungan secara teknis berapa besar pengaruh zakat terhadap pertumbuhan ekonomi.
2.6. Zakat dan Distribusi Pendapatan
Dengan zakat, redistribusi sumber daya ekonomi dari mereka yang sejahtera (kaya) kepada mereka yang kurang sejahtera (miskin) akan tercapai. Sebagaimana terlukiskan pada gambar 2.2 di atas, zakat menghasilkan redistribusi komoditas pasar dari kelompok kaya ke kelompok miskin. Pada prinsipnya, ada dua jalur distribusi pendapatan dan kekayaan, yaitu distribusi pendapatan fungsional yang tercermin dari kepemilikan faktor produksi, dan distribusi melalui transfer pendapatan. Zakat merupakan suatu jenis distribusi yang kedua, terutama jika zakat diberikan dalam bentuk uang tunai kepada mustahik. Namun, jika zakat didistribusikan dalam bentuk faktor produksi kepada mustahik, maka proses distribusi akan tersalurkan melalui peningkatan sumber pendapatan fungsional mustahik, seperti meningkatnya upah atau laba usaha yang akan diterima mustahik akibat zakat.
Dalam perekonomian Islam, dua hal ini mendapatkan perhatian besar, yaitu bagaimana agar faktor produksi tidak mengumpul pada sekelompok orang serta rendahnya kesenjangan pendapatan. Dalam hal kepemilikan faktor produksi, misalnya, Islam mengatur mengenai ketentuan pemilikan tanah, larangan menimbun harta, pelarangan riba dan judi, dan semua itu akan membuat kesenjangan dalam distribusi faktor produksi menurun. Pelarangan riba misalnya, akan berpengaruh pada redistribusi pendapatan yang lebih adil antara pemodal dan pengusaha. Pada saat yang sama, Islam juga memiliki instrumen distribusi transfer pendapatan, seperti zakat, infak, hibah, wasiat dan wakaf.
Zakat memiliki dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi redistribusi pendapatan dan fungsi redistribusi fungsional. Jika zakat dialokasikan dalam bentuk
pembayaran tunai, maka hal ini merupakan upaya redistribusi pendapatan personal dan akan meningkatkan daya beli mustahik yang akan tercermin pada potensi meningkanya permintaan. Sebaliknya, jika zakat didistribusikan dalam bentuk faktor produksi, misalnya modal kerja atau fasilitas umum, maka zakat akan meningkatkan kapasitas produksi mustahik yang pada saatnya akan meningkatkan penawaran atau produksi oleh mustahik.
2.7. Zakat dan Kesempatan Kerja
Zakat dapat meningkatkan kesempatan bekerja (ketenagakerjaan) dari dua sisi, yaitu sisi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Seperti dijelaskan pada bagian dampak investasi di atas, bahwa zakat dapat meningkatkan investasi. Peningkatan investasi berakibat pada peningkatan permintaan tenaga kerja. Selain itu, permintaan tenaga kerja ini juga bertambah besar dengan semakin meningkatnya usaha kecil sebagai akibat tambahan modal dari dana zakat ini kepada tenaga kerja dan pengusaha kecil. Namun demikian, apakah meningkatnya investasi ini akan meningkatkan lapangan pekerjaan, juga bergantung kepada karakter teknologi yang diadopsi, apakah memiliki kecenderungan padat modal ataukah padat tenaga kerja. Jika teknologi yang dipilih adalah teknologi padat tenaga, khususnya teknologi yang diterapkan pada kelompok mustahik produktif, maka efek zakat terhadap penyerapan tenaga kerja dimungkinkan semakin tinggi. Sebaliknya, jika teknologi padat modal yang dipilih, maka peran penyerapan tenaga kerja juga semakin rendah.
Sedangkan dari sisi penawaran tenaga kerja, seperti dijelaskan dalam bagian implikasi konsumsi di atas, zakat dapat meningkatkan kondisi fiskal, pengetahuan dan keterampilan dan pendidikan orang-orang miskin Dengan demikian, kualitas tenaga maupun kuantitas tenaga kerja yang bisa ditawarkan akan meningkat.
Pada saat yang sama, Islam memfasilitasi adanya institusi jaminan sosial berupa zakat, yang akan meningkatkan tingkat kehidupan minimum para muzaki. Dengan demikian, diharapkan partisipasi mereka dalam sektor produktif akan makin meningkat. Di samping itu, Islam juga mendorong adanya penerapan prinsip bagi hasil dalam usaha yang dapat mendorong penciptaan lapangan kerja. Penerapan zakat ini juga diharapkan dapat mendorong lapangan kerja lebih tinggi karena tidak adanya kewajiban bagi penerima zakat untuk mengembalikan pokok maupun tambahannya.
2.8. Zakat dan Sistem Jaminan Sosial
Islam menyediakan sistem jaminan sosial berdasarkan kelembagaan zakat. Islam mengenalkan konsep tanggung jawab berjenjang. Pada level pertama, seorang individu bertanggung jawab terhadap kondisi dirinya untuk tetap bisa hidup dalam kondisi maslahah minimum.55 Pada tahap kedua, tanggung jawab akan berpindah pada keluarga dan kerabat dekat jika diri telah tidak mampu; tahap ketiga, ada pada tanggungjawab kolektif (fard kifayah); dan keempat ada pada negara. Zakat merupakan bentuk tanggung jawab sosial terhadap anggota masyarakatnya.
Sistem jaminan sosial berbasis zakat berbeda dengan konsep barat, seperti welfare state yang dibangun atas dasar iuran (misalnya, iuran dana pensiun atau hari tua) ataupun pajak. Sistem jaminan sosial zakat didasarkan pada konsep persaudaraan dan kepedulian sesama untuk mewujudkan komitmen ekonomi yang saling menguntungkan dan harmoni sosial.56 Sistem jaminan sosial zakat tidak akan membiarkan kelompok miskin menjadi ketergantungan, namun ada upaya untuk meningkatkan kondisi muzaki menjadi mustahik.
Xxxxx (1983) menyarankan adanya dua jenis jaminan sosial dalam perekonomian Islam.57 Pertama, jaminan sosial untuk penduduk nonmiskin memiliki kekayaan di bawah nishab (Social Security for Ghair Nizabi SSGN). SSGN ini dibiayai dari penerimaan zakat, dan bentuk perlindungan sosialnya termasuk perlindungan dari sakit, pengangguran, cacat bawaan, usia lanjut, anak yatim, janda, dan layanan kesehatan. Dalam hal ini tidak diperlukan kontribusi atau iuran oleh peserta. Di sisi lain, yang kedua adalah jaminan sosial yang diperuntukkan bagi mereka yang melebihi nisab atau Social Security for the Nisabi (SSN) namun dalam kondisi marjinal. Untuk model kedua ini diperlukan kontribusi yang besarnya harus disesuaikan dengan kemampuan peserta. Pola jaminan sosial ini mirip seperti yang diselenggarakan di berbagai negara, seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pada penerapan JKN, peserta dibagi menjadi dua, yaitu peserta miskin yang tidak berbayar, atau preminya dibayar oleh pemerintah, serta peserta berbayar individu dan perusahaan.
55. Kondisi maslahah minimum ini merujuk bahwa tingkat kebutuhan minimal yang direkomendasikan oleh Islam bukan hanya kebutuhan fisik, namun juga kebutuhan intelektual, sosial, spiritual dan material, sebagaimana telah dibahas pada tema kemiskinan.
56. Xxxxxxx, 1988, hal 306-313, dalam Xxx Xx-Xxxxx Xxxxx, 1983, A survey of the Institutions of Zakah: Issues, Theories and Administration, IRTI.
57. Ibid.
2.9. Perlunya Tata Kelola Zakat secara Terintegrasi
Dari penjelasan dan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa peran zakat terhadap perekonomian tidak dengan serta merta atau otomatis akan menambah kesejahteraan. Dampak zakat bagi perekonomian tidak bisa semata dapat dijelaskan secara normatif, namun juga secara empirik.
Sebagai contoh, efek zakat terhadap konsumsi dapat berdampak positif ataupun negatif. Demikian pula dampak zakat terhadap tabungan dan investasi nasional, dampak zakat bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang juga dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Oleh karena itu, untuk menghindari adanya efek kemubaziran dari pelaksanaan zakat, atau bahkan efek negatifnya, serta meningkatkan efek positif zakat bagi kesejahteraan umat, maka zakat harus dikelola dengan baik dan terencana. Pengelolaan zakat tidak bisa semata diserahkan kepada xxxx xxxxxx yang tidak mampu bekerja secara profesional. Intervensi pihak ketiga, misalnya pemerintah, perlu dilakukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan zakat.
Tata kelola atau governance secara singkat dapat diartikan sebagai suatu sistem dan proses yang bisa memastikan arah secara keseluruhan, efektivitas, pengawasan dan akuntabilitas organisasi. Setidaknya, ada lima prinsip tata kelola yang baik, yaitu kepatuhan terhadap hukum dan peraturan, organisasi dikelola dengan baik dan efisien, masalah-masalah diidentifikasi di awal dan ditangani dengan tepat, pelestarian reputasi dan integritas sektor, dan zakat ini dikelola secara profesional dan unik serta memberikan nilai tambah yang lebih maju.
Sebagai gambaran umum, tata kelola zakat ini setidaknya melibatkan peran amil, muzaki, mustaqid dan pemerintah. Beberapa hal pokok yang perlu mendapatkan perhatian dalam tata kelola zakat dapat digambarkan di bawah ini. Secara singkat, gambar ini menjelaskan bahwa dalam pengelolaan zakat yang efektif dan efisien, amil atau lembaga pengelola zakat harus mempertimbangkan empat aspek, aspek kondisi dan perilaku muzaki, kondisi dan perilaku perusahaan muzaki, keterlibatan regulator dan pengawasan dan keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Boks 2.1.
Apakah Zakat akan Menurunkan Ketimpangan Pendapatan?58
Penelitian dengan tema ini dilakukan oleh Xxxxx Xxxx dkk. Populasi dalam penelitian ini yaitu rumah tangga (bukan individu) mustahik yang menerima dana zakat dari BAZ dan LAZ di Kabupaten Bogor. Adapun Sampel penelitian ini adalah rumah tangga mustahik yang bermukim di wilayah Kabupaten Bogor yang mendapatkan dana dari BAZ Kabupaten Bogor, dan LAZ yang ada di Kabupaten Bogor berdasarkan metode quantil. Semua responden disusun berdasarkan pendapatan yang telah dikelompokkan. Pendapatan responden diurutkan dari yang terkecil hingga terbesar yang dibagi berdasarkan quantil pada jenjang pendapatan. Sehingga ada lima kelompok dari responden. Sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.2
Ukuran pendapatan keluarga Sebelum dan sesudah Distribusi Zakat
di Kabupaten Bogor, Berdasarkan Quantil
Persentase populasi | Share dalam Total Pendapatan | Persentase dari gap ketimpangan (b-a) | |||
Sebelum ada distribusi zakat | Setelah ada distribusi zakat | ||||
Quartil (a) | Kumulatif quartil | Quartil (b) | Kumulatif quartil | ||
Q1 | 0,170 | 0,170 | 0,167 | 0,167 | -0,003 |
Q2 | 0,178 | 0,348 | 0,170 | 0,337 | -0,008 |
Q3 | 0,193 | 0,542 | 0,212 | 0,549 | 0,018 |
Q4 | 0,212 | 0,754 | 0,212 | 0,762 | 0,000 |
Q5 | 0,246 | 1 | 0,238 | 1 | -0,008 |
Keterangan: q1 menunjukkan kelompok pertama atau quartil yang paling rendah
Dari tabel 2.2 di atas, bahwa quantil pertama dari populasi penerima zakat (20 persen paling bawah) hanya menikmati 17 persen dari total pendapatan; sedangkan quantil tertinggi (kelompok 20 persen paling atas) dari populasi menikmati 24,6 persen dari keberadaan distribusi zakat. Kemudian, ketika 40 persen dari populasi paling bawah menikmati 34,8 persen pendapatan, kelompok paling atas menikmati 45,8 persen dari total pendapatan. Ini mengindisikan bahwa distribusi pendapatan di wilayah Bogor timpang sebelum keberadaan distribusi zakat, di mana termasuk dalam kategori ketimpangan rendah.59
58. Xxxxx Xxxx dkk, Zakat dan Kemiskinan serta Ketimpangan Pembangunan dalam Xxxxx Xxxx dkk, Zakat Perspektif Mikro-Makro Pendekatan Riset, cetakan ke 1, Jakarta, Kencana, 2015, 73-117
59. Ketimpangan berdasarkan World Bank.
Setelah keberadaan program distribusi zakat, terlihat bagian dari 40 persen paling bawah sekarang menikmati 33,7 persen dari total pendapatan, turun sekitar 1 persen. Namun, kondisi yang sama juga terjadi pada 40 persen dari populasi paling atas yang sekarang menikmati 45,1 persen dari total pendapatan, ada penurunan sebesar 1 persen. Ketimpangan yang terjadi lebih disebabkan oleh aktivitas dari 40 persen kelompok paling bawah tidak mampu mengoptimalkan sumber daya yang tersedia dalam menciptakan pendapatan. Ketimpangan yang terjadi dikategorikan dalam ketimpangan rendah. Namun, 20 persen kelompom middle group justru mengalami peningkatan pendapatan. Ada peningkatan sekitar 2 persen dari total share pendapatan yang dinikmati oleh kelompok ini. Kondisi ini terjadi karena aktivitas dari kelompok ini mampu menciptakan pendapatan bagi mereka.
Dari gambar di atas terlihat bahwa setelah adanya distribusi zakat, kurva Xxxxxx bergerak sedikit menjauhi garis kesetaraan sempurna pada populasi 40 persen paling bawah, namun pergerakan itu relatif sangat kecil. Adapun untuk kelompok 40 persen paling atas setelah ada distribusi zakat terlihat kurva Lorenz mendekati garis kesetaraan sempurna. Namun secara keseluruhan, jika dilihat dari nilai koefisian Gini maka terjadi perubahan dalam ketimpangan, yakni terdapat pengurangan dari koefisian Gini dari angka 0,743 menjadi angka 0,740 setelah adanya distribusi zakat,60 seperti yang terlihat pada tabel berikut:
Ukuran ketimpangan | Sebelum ada distribusi zakat | Setelah ada distribusi zakat | Indeks pengurangan |
Koefisien Gini | 0,0743371 | 0,074004 | 0,0003 |
60. Nilai koefisian Gini antara 0 dan 1, jika mendekati 1 berarti ketimpangan semakin besar, sebaliknya nilai koefisien Gini mendekati nol berarti ketimpangan semakin kecil
1
0,8
0,6
0,4
0,2
Kurve Lorenz
Garis Merata
Sbl Zakat
Stl Zakat
0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Indeks pengurangan yang terjadi adalah sebesar 0,0003. Meskipun indeks pengurangan sangat kecil, tapi distribusi zakat telah dapat mengurangi ketimpangan di antara para responden. Ini membuktikan bahwa ada efek positif zakat dalam pengurangan ketimpangan pendapatan.
Rangkuman
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal pokok sebagai berikut:
1. Perintah untuk membayar zakat yang dijelaskan dalam Hadis dapat dijelaskan dengan pendekatan ekonomi. Misalnya, terkait dengan adanya hak orang miskin dari hartanya orang kaya. Hal ini merupakan keniscayaan atas berlakunya mekanisme pasar dan hukum kesatuan harta yang menyebabkan adanya aliran barang/jasa dari pasar di wilayah nonproduktif (miskin) menuju pasar wilayah produktif (kaya). Sebagai akibatnya, akan ada penyamaan harga di kedua pasar dan berdampak pada naiknya harga di pasar nonproduktif dan turunnya pasokan barang. Zakat berperan untuk meningkatkan daya beli di pasar nonproduktif sehingga bisa mengurangi adanya distorsi pasar.
2. Zakat diyakini memiliki pengaruh terhadap perekonomian, baik secara mikro ataupun makro ekonomi. Meski demikian, tidak secara otomatis zakat ini akan berdampak baik bagi perekonomian, misalnya ekonomi akan tumbuh lebih cepat, tabungan akan meningkat, pengangguran akan menurun, dan seterusnya. Dampak zakat ini dapat berupa positif, negatif, ataupun tidak berdampak signifikan, dan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama terkait dengan perilaku ekonomi mustahik secara relatif terhadap muzaki. Misalkan, jika mustahik memiliki hasrat konsumsi yang lebih tinggi daripada muzaki, dan banyak faktor produksi yang dikuasai oleh muzaki, maka zakat tidak akan memiliki pengaruh positif terhadap penghematan pendapatan (tabungan) dan peningkatan pendapatan mustahik. Hal ini dapat dijelaskan dengan model hipotetik yang perlu dijadikan dasar dalam pengelolaan zakat.
3. Zakat akan memiliki pengaruh positif terhadap perekonomian jika dikelola dengan tata kelola organisasi yang baik. Pengelolaan yang baik ini menuntut adanya peran regulasi dan pengawasan yang efektif, organisasi pengelola zakat yang profesional dan sistem kelembagaan (infrastruktur) zakat yang mendukung.
BAB III - Zakat, Sejarah dan Kerangka Hukum Zakat
BAB III ZAKAT, SEJARAH DAN KERANGKA HUKUM ZAKAT
Pendahuluan
Arti zakat tidak serta merta dapat sekadar diterjemahkan dari asal katanya, karena istilah zakat melekat dengan agama Islam, bahkan merupakan salah satu rukun Islam. Zakat merupakan salah satu pilar atau rukun agama Islam yang harus diketahui dan dilaksanakan oleh setiap pemeluk agama Islam. Praktik zakat dan sedekah memiliki banyak kemiripan dan praktik semacam ini telah diajarkan oleh para Rasul sebelum Xxxx Xxxxxxxx xxx. Perintah berzakat atau berderma sebenarnya telah diajarkan oleh agama-agama tauhid sebelum Islam. Islam melanjutkan ajaran berderma ini dan menegaskan menjadi salah satu pilar agama yaitu membayar zakat bagi yang mampu.
Semangat untuk berbagi harta yang tertuang dalam ajaran agama Islam adalah sejalan dengan agama tauhid lainnya. Namun demikian, Islam sebagai agama tauhid terakhir mengajarkan aturan atau syariat tersendiri dalam hal menunaikan zakat, yang merupakan penyempurnaan dari ajaran sebelumnya. Di sinilah diperlukan pemahaman terhadap syariah atau fikih zakat. Fikih zakat menjelaskan mulai dari status hukum zakat bagi pembayar maupun pengingkarnya, tata cara pembayaran, ketentuan mengenai batasan waktu dan besaran harta yang wajib dizakati, kepada siapa zakat dibayarkan, dan sebagainya.
Tujuan Umum:
• Memahami arti zakat, ketentuan pokok dan tata cara zakat ditunaikan menurut syariah dan fikih.
Tujuan Khusus:
• Memahami secara garis besar perintah zakat dalam Islam dan agama sebelumnya
• Memahami sejarah syariah zakat perjalannya dari masa Xxxx Xxxxxxxx xxx.
• Memahami konsep dasar fikih klasik zakat, terkait dengan tata cara zakat ditunaikan.
• Memahami perkembangan fikih kontemporer tentang zakat.
3.1. Pengertian Zakat, Infak dan Sedekah
Istilah zakat merupakan istilah khusus yang ada dalam agama Islam yang diambil dari bahasa Arab yaitu “zakaa” yang berarti bertambah atau berkembang. Secara istilah syariat, zakat merupakan kewajiban yang diperintah oleh Allah SWT untuk mengeluarkan harta tertentu kepada pihak tertentu. Dengan pengertian demikian, zakat sering kali dibandingkan dengan pajak atau pungutan agama wajib. Jika dimaknai demikian, maka bukan hanya agama Islam yang menerapkan kewajiban mengeluarkan harta, namun juga agama samawi lain, seperti Yahudi atau Kristen. Untuk itu, di bawah ini akan dibahas apa pengertian zakat dan bagaimana agama menerapkan zakat dan perbedaan zakat dengan sedekah.
3.1.1. Pengertian Zakat secara Bahasa dan Syariat
Secara bahasa, zakat merupakan kata dasar (masdar) zaka yang berarti tumbuh, bersih dan baik.61 Jika zakat ditujukan kepada seseorang, itu berarti untuk meningkat, untuk menjadi lebih baik. Maka, orang berzakat dimaknai orang tersebut diberkahi, tumbuh, bersih dan baik. Istilah ini digunakan dalam Al-Quran maupun Hadis. Zakat secara istilah ini dapat ditemukan pada beberapa ayat Al-Quran, seperti makna tumbuh berkembang (QS Al-Kahfi (18):81), suci atau bersih hatinya (QS Maryam (19):13), suci atau bersih dari kemungkaran (QS An-Nur (24):21) dan menyucikan (QS At-Taubah (9):103).
Menurut istilah syariat atau fikih, zakat mengacu pada bagian kekayaan yang ditentukan oleh Allah untuk didistribusikan kepada kelompok tertentu yang layak menerima. Menurut Xxxx Xxxxxx, porsi ini disebut zakat karena meningkatkan kekayaan dari mana ia diambil dan melindungi mereka dari yang kehilangan atau kerusakan. Xxxx Xxxxxxxx menjelaskan bahwa dengan zakat, maka pembayar zakat akan menjadi lebih baik dan kekayaannya menjadi bersih. Zakat bersifat menumbuhkan dan membersihkan sang pembayar, tidak terbatas pada harta yang dizakati. Demikian pula bagi penerimanya, zakat akan menumbuhkan harta dan membersihkan jiwa mereka.
Sedangkan menurut makna fikih, pengertian zakat menurut berbagai pendapat ulama pada dasarnya adalah hampir sama, di mana zakat merupakan pengeluaran yang diwajibkan atas harta tertentu kepada pihak tertentu dengan cara tertentu.
61. Xxxxx Xxxxxxx, Hukum zakat, Bandung: Penerbit Mizan, 1999, hal. 34-35.
Berikut ini pandangan ulama dari empat mazhab utama dalam memaknai zakat:62
(i) Xxxxxx Xxxxxx
Xxxxxx Xxxxxi mendefinisikan zakat dengan mengeluarkan sebagian yang khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang wajib dizakatkan) kepada orang-orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Dengan catatan, kepemilikan itu penuh dan mencapai hawl (setahun), bukan barang tambang dan pertanian.
(ii) Xxxxxx Xxxxxx
Xxxxxx Xxxxxx mendefinisikan zakat dengan menjadikan sebagian harta yang khusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus, yang ditentukan oleh syariah karena Allah SWT. Penjelasan: yang dimaksud dengan kata ”menjadikan sebagian harta yang khusus” dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaran dari kata ibahah (pembolehan). Dengan demikian, seandainya seseorang memberi makan seorang yatim dengan niat mengeluarkan zakat, maka zakat dengan cara kepada anak yatim tersebut seperti halnya ketika dia memberikan pakaian kepadanya, dengan syarat kepemilikan harta itu dikaitkan kepadanya (yakni, orang yang menerimanya). Jika harta yang diberikan itu hanya dihukumi sebagai nafkah kepada anak yatim, syarat-syarat tersebut tidak diperlukan.
Yang dimaksud dengan kata “sebagian harta” dalam pernyataaan di atas adalah keluarnya manfaat (harta) dari orang lain untuk berdiam di rumahnya selama setahun dengan diniati sebagai zakat, maka hal itu belum bisa dianggap sebagai zakat. Yang dimaksud dengan “bagian yang khusus” adalah kadar yang wajib dikeluarkan dan maksud “harta yang khusus” adalah nishab yang ditentukan oleh syariat. Maksud “orang yang khusus” ialah para mustahiq zakat. Yang dimaksud dengan “yang ditentukan oleh syariat” ialah seperempat puluh (yakni 2,5%) dari nishab yang ditentukan dan telah mencapai hawl, dengan ukuran seperti inilah zakat nafilah dan zakat fitrah dikecualikan. Sedangkan yang dimaksud dengan pernyataan “karena Allah SWT” adalah bahwa zakat itu dimaksud untuk mendapatkan ridha Allah SWT.
(iii) Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i mendefinisikan zakat adalah ungkapan untuk keluarnya
62. Lihat: Xxxxxx Xx-Zuhayli. Zakat Kajian Berbagai Mazhab, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000. hal. 83-86.
harta atau tubuh sesuai dengan cara khusus. Cara khusus adalah terkait dengan cara dalam pengambilan dari harta yang tertentu menurut sifat- sifat tertentu (untuk diberikan) kepada golongan yang tertentu dan dengan niat tertentu.
(iv) Xxxxxxx Xxxxxxx
Mazhab Hambali mendefinisikan zakat ialah hak yang wajib (dikeluarkan) dari harta yang khusus untuk kelompok yang khusus pula. Dari pengertian zakat menurut Xxxxxx Xxxxxxx di atas, yang dimaksud dengan “kelompok yang khusus” adalah delapan kelompok yang diisyaratkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran surat At-Taubah (9): 60:
żf
f ; jL ff L
y
f
f L f f
ľ
L
f
Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan yang dimaksud dengan “waktu yang khusus” ialah sempurnanya kepemilikan selama setahun (haul), baik dalam binatang ternak, uang, maupun biji-bijian, dipetiknya buah-buahan, dikumpulkannnya madu, atau digalinya barang tambang yang semuanya wajib dizakati; maksud lain dari “waktu yang khusus” ialah sewaktu terbenamnya matahari pada malam hari raya karena pada saat itu diwajibkan zakat Fitrah.
Pernyataan “wajib” mempunyai arti bahwa zakat tersebut bukan sunah, seperti halnya mengucapkan salam atau mengantarkan jenazah. Pernyataan “harta” mempunyai arti bahwa zakat bukan berupa kewajiban atas jiwa. Pernyataan “khusus” mempunyai arti bahwa harta yang dizakati bukan harta yang berstatus wajib, artinya harta itu bukan harta yang harus dibayarkan untuk utang atau memberi nafkah kepada keluarga. Pernyataan “kelompok khusus” mempunyai arti bahwa mereka bukan ahli waris pemberi zakat. Dalam pernyataan “waktu yang khusus” mempunyai arti bahwa waktu dikeluarkannya zakat tersebut bukan waktu yang dinazari atau zakat kafarat.
Dari sini dapat dijelaskan bahwa kata zakat, menurut terminolog para fuqaha, dimaksud sebagai “penunaian”, yakni penunaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat juga dimaksudkan sebagai bagian dari harta tertentu dan diwajibkan oleh Allah untuk diberikan kepada orang- orang fakir. Zakat dinamakan shadaqah atau sedekah karena tindakan itu akan menujukan kebenaran (shidiq) seorang hamba dalam beribadah dan melakukan ketaatan kepada Allah SWT.
Setelah memahami pengertian zakat dari berbagai pandangan ulama, maka juga perlu dipahami bagaimana zakat itu dilaksanakan sesuai dengan syariah. Dengan pemahaman ini, kita akan menjadi lebih jelas memahami ketentuan apakah yang sudah pasti dan diatur oleh syariah serta hal apa saja yang masih membutuhkan pemikiran atau pembaharuan. Lingkup ketentuan syariah atau fikih tentang zakat yang telah ada hingga saat ini mencakup antara lain: (i) status hukum zakat bagi pembayar maupun pengingkarnya; (ii) tata cara pembayaran; (iii) ketentuan mengenai batasan waktu dan besaran harta yang wajib dizakati; (iv) kepada siapa zakat dibayarkan, dan sebagainya.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan pengertian zakat adalah pengeluaran yang diwajibkan oleh syariah Islam atas harta tertentu yang dimiliki oleh pihak tertentu kepada pihak yang telah ditentukan dan dengan tata cara tertentu pula.
Secara umum kewajiban zakat ini ada dua jenis, yaitu:
1) Zakat mal atau zakat harta
Zakat mal artinya sebagaimana dijelaskan di atas yaitu zakat yang dikenakan atas harta tertentu setelah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu persyaratan pemenuhan waktu (haul) dan persyaratan jumlah (nishab). Sebagai implikasinya, adanya perbedaan harta maka bisa berbeda pula batas waktu kapan zakat harus dibayarkan dan berapa jumlah minimal harta yang harus dibayarkan zakatnya. Sebagai misal, harta simpanan emas memiliki batasan haul dan nishab yang berbeda dengan harta hasil perniagaan.
2) Zakat fitrah
Zakat fitrah adalah zakat yang wajib dikeluarkan umat Islam, baik laki-laki, perempuan, besar atau kecil, merdeka atau budak, tua dan muda, pada awal bulan Ramadhan sampai menjelang Idul Fitri. Zakat ini diwajibkan
sejak tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya bulan Ramadhan. Berbeda dengan zakat mal yang dikenakan atas harta, zakat fitrah ini merupakan pungutan wajib atas pribadi atau jiwa yang hidup, yaitu setiap bayi yang dilahirkan sebelum bulan Syawal. Maka, dalam zakat fitrah tidak disyaratkan sebagaimana syarat pada zakat mal seperti nishab atau haul. Jumlah yang dikeluarkan per jiwa adalah sekitar 2½ kilogram makanan pokok daerah setempat dan dikeluarkan dalam bulan Ramadhan sebelum sholat Ied dilakukan.63
Pembahasan dalam bab maupun buku ini difokuskan pada zakat mal, meskipun dalam pengelolaanya zakat mal dan zakat fitrah dapat dilakukan oleh amil yang sama.
3.1.2. Zakat, Infak dan Shadaqah
Masyarakat muslim, khususnya di Indonesia, sering dibingungkan dengan istilah zakat, infak atau shadaqah (sedekah) maupun wakaf atau sering disingkat dengan istilah ZISWAF. Pada dasarnya memang benar, bahwa istilah zakat, infak dan sedekah saling berkaitan. Zakat secara syariat telah dijelasakan di atas. Namun, pada dasarnya, zakat merupakan pungutan wajib yang menurut Al-Quran disebut shadaqah (dalam bahasa Indonesia disebut sedekah). Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Al-Taubah (9):103
..... ; Z y
j
Pungutlah shadaqah dari kekayaan mereka. Kau bersihkan dan sucikan mereka dengan zakat itu...
Demikian pula dalam QS At-Taubah (9) ayat 58 dan 60, digunakan istilah shadaqah untuk dimaknai sebagai zakat.
Dalam hadis terdapat pula istilah zakat dan sedekah dalam makna yang sama. Misalkan, dalam sebuah hadis riwayat Xxxxxxx Xxxxxx, dan lainnya, dijelaskan yang artinya:
“Kurang dari lima wasq tidak terkena sedekah, kurang dari lima zaud tidak terkena sedekah dan kurang dari lima awaq tidak terkena sedekah”
63. Perhitungan 2½ kilogram besar adalah diqiyaskan atau dianalogkan dari sunah Nabi yang mempraktikkan zakat fitrah sebanyak satu sha’ gandum dan setara dengan 2167 gram berdasarkan timbangan gandum. Meski demikian ada pula ulama yang berpendapat bukan satu sha’ tapi setengah atau dua pertiga sha’.
Dalam hadis tentang penempatan Mu’az di Xxxxx, Xxxx berkata:64
“Terangkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah, yang dikenakan
pada kekayaan orang-orang kaya”
Dari ayat-ayat Qur’an dan Hadis di atas dapat disimpulkan bahwa zakat adalah suatu bentuk sedekah yang sifatnya wajib.
Sedangkan kata shadaqah (sedekah) berasal dari kata shidq yang berarti benar dalam arti sejalannya antara perbuatan, ucapan dan keyakinan. Kata shadaqah berasal dari tiga huruf yaitu sha-dal-qaf, yang bermakna membantu terwujudnya sesuatu. Kata shadaqah dalam berbicara berarti ‘benar’ dan kata ashdaqa yang ditujukan untuk perempuan berarti “membayar mahar”. Menurut Xxxxx Xxxxxxx, maka shadaqah dalam Al-Quran dikaitkan dengan kata-kata memberi, ketakwaan, membenarkan, kikir dan dusta. Dalam Al- Quran surat Al-A’la (92):5-10 Allah berfirman yang artinya:
Siapa yang “memberi” dan “bertakwa”, dan “membenarkan” adanya pahala yang terbaik, maka Kami sungguh memudahkan baginya jalan menuju bahagia. Tetapi siapa yang “bakhil” dan lupa daratan serta mendustakan adanya pahala terbaik, maka Kami mudahkan baginya jalan kemalangan.
Dengan demikian, shadaqah bisa diartikan sebagai bukti atas “kebenaran” iman dan “membenarkan” adanya hari pembalasan. Dalam sebuah hadis shohih Muslim dari Xxx Xxxxx Xx-Xxxxxx xxx Xxxxx Xx-As'ariy ra, Nabi bersabda:
........ن اَهرُب ُةقدص
“...Shadaqah itu adalah bukti..”65
لاو....
Shadaqah maknanya lebih luas dari zakat maupun infak. Shadaqah dapat bermakna infak, zakat dan kebaikan nonmateri. Dalam hadis riwayat Xxxxxx, Xxxxxxxxxx saw memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bersedekah dengan hartanya, beliau bersabda:
“Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap tahlil shadaqah, amar ma’ruf shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya pada istri juga shadaqah.”
Karena itu, shadaqah tidak selalu berbentuk harta, tapi lebih merupakan pemberian kebaikan kepada orang lain. Dalam suatu hadis dijelaskan bahwa
64. Xxxxx Xxxxxxx, op.cit. hal. 37
65. Penggalan hadits shohih Muslim
senyum yang tulus ikhlas dan kata-kata yang baik itu adalah satu bentuk shadaqah. Demikian pula memberikan kebahagiaan kepada orang lain dalam bentuk apapun yang diridhai Allah adalah perbuatan shadaqah. Dengan demikian, secara umum shadaqah bermakna semua kebajikan atau kebaikan yang mengharap ridho Allah SWT.
Shadaqah bisa diartikan juga dengan mengeluarkan harta yang tidak wajib di jalan Allah. Tetapi kadang diartikan sebagai bantuan yang nonmateri, atau ibadah-ibadah fisik nonmateri, seperti menolong orang lain dengan tenaga dan pikirannya, mengajarkan ilmu, bertasbih, berdzikir, bahkan melakukan hubungan suami istri, disebut juga shadaqah.66
Sedangkan infak berasal dari kata Nafaqa (Nun, Fa’, dan Qaf), yang mempunyai arti keluar. Kata infak (yang di Indonesia dituliskan “infak”) artinya mengeluarkan sesuatu (harta) untuk suatu kepentingan yang baik, maupun kepentingan yang buruk. Sebagai misal, belanja orang-orang kafir untuk menghalang-halangi jalan Allah (kebenaran), dalam Al-Quran disebut pula istilah infak. Secara istilah syariat, infak adalah mengeluarkan sebagian harta untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan oleh Allah (SWT) seperti menginfakkan harta untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Infak sering digunakan oleh Al Qur'an dan Hadis untuk beberapa hal, di antaranya:
i. Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan di jalan Allah, yaitu zakat. Infak dalam pengertian ini berarti zakat wajib atau pungutan wajib oleh xxxx xxxx untuk perjuangan.
ii. Untuk menunjukkan harta yang wajib dikeluarkan selain zakat, seperti kewajiban seorang suami memberikan nafkah untuk istri dan keluarganya. Kata infak di sini berubah menjadi nafkah atau nafaqah.
iii. Untuk menunjukkan harta yang dianjurkan untuk dikeluarkan, tetapi tidak sampai derajat wajib, seperti memberi uang untuk fakir miskin, menyumbang untuk pembangunan masjid atau menolong orang yang terkena musibah.
66. Hadits riwayat Muslim dari Xxx Xxxx (ra): Sesungguhnya sebagian dari para sahabat berkata kepada Xxxx (saw): “Xxxxx Xxxxxxxxxx, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bershadaqah dengan kelebihan harta mereka”. Nabi bersabda : “Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bershadaqah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah shadaqah, tiap-tiap tahmid adalah shadaqah, tiap-tiap tahlil adalah shadaqah, menyuruh kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah shadaqah“. Mereka bertanya : “ Xxxxx Xxxxxxxxxx, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Xxxxxxxxxx (saw) menjawab: “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim)
iv. Biasanya infak ini berkaitan dengan pemberian yang bersifat materi.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa zakat, infak dan sedekah memiliki makna yang berbeda. Dari aspek hukumnya, infak memiliki sifat lebih umum dibandingkan sedekah dan sedekah memiliki sifat lebih umum daripada zakat. Infak bisa berhukum wajib, sunah hingga haram, sedangkan sedekah ada yang sunah dan ada yang wajib, sedangkan zakat berhukum wajib. Sedangkan dari aspek bentuknya sedekah lebih bersifat umum, bisa berbentuk material maupun nonmaterial, sedangkan infak berbentuk harta dan zakat berbentuk harta yang tertentu. Istilah infak di Indonesia yang dimaknai sebagai pemberian harta di masjid atau jalan dakwah merupakan makna parsial dari yang dijelaskan dalam Qur’an dan hadis.
3.2. Sejarah Zakat
3.2.1. Praktik Zakat Sebelum Islam67
a. Perhatian agama-agama terhadap orang miskin
Pada dasarnya semua agama, bahkan agama ciptaan manusia yang tidak mengenal hubungan dengan kitab suci yang berasal dari langit (samawi), tidak kurang perhatiannya pada segi sosial, yang tanpa segi ini persaudaraan dan kehidupan yang sentosa tidak mungkin terwujud.
Misalkan di lembah sunga Eufrat - Tigris periode 4000 SM, kita menemukan Hammurabi, seorang yang pertama kalinya menyusun peraturan tertulis yang masih dapat kita baca sampai sekarang, yang mengatakan bahwa Tuhan mengirimnya ke dunia ini untuk mencegah orang-orang kaya bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang lemah, membimbing manusia serta menciptakan kemakmuran buat umat Islam.
Xxxxxxxx juga beribu-ribu tahun sebelum masehi, orang-orang Mesir kuno selalu merasa mengemban tugas agama sehingga mengatakan, “orang lapar kuberi roti, orang yang tidak berpakaian kuberi pakaian, ku bimbing kedua tangan orang-orang yang tidak mampu berjalan ke seberang dan aku adalah ayah bagi anak-anak yatim, suami bagi xxxxx-xxxxx dan tempat menyelamatkan diri dari orang-orang yang tertimpa hujan badai.”
b. Perhatian agama-agama langit (samawi)
(i) Zakat semasa xxxx Xxxxxxx as dan keturunannya
67. Lihat M. Xxxxx Xxxxxx, Hukum Zakat, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1986, hal. 44-47.
Dalam Qur’an surat Al-Anbiya’ disebutkan bahwa zakat telah disyariatkan kepada Xxxx Xxxxxxx, lalu diteruskan kepada anaknya, Xxxx Xxxxx, dan kepada anaknya lagi, Xxxx Xxxxx (as) serta kepada masing-masing umat mereka. Hal ini terdapat dalam surat QS. Al-Anbiya': 73, yang artinya:
“Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kami lah mereka selalu menyembah.
(ii) Syariat zakat agama Xxxx Xxxxxx
Anak Xxxx Xxxxxxx ada dua, selain Xxxx Xxxxx, juga ada Xxxx Xxxxxx as. Meski keduanya hidup terpisah jauh, namun kepada Xxxxxx pun disyariatkan ibadah zakat juga. Hal ini dijelaskan dalam QS Xxxxxx xxxx 54-55, yang artinya:
“Dan ceritakanlah (hai Xxxxxxxx kepada mereka) kisah Xxxxxx (yang tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya”
(iii) Zakat dalam agama Yahudi
Penjelasan mengenai perintah zakat pada kaum Yahudi dan bani Israil dijelaskan dalam Qur’an pula. Misalkan dalam QS al-Baqarah ayat 83 yang artinya:
“ Dan ingatlah ketika kami membuat perjanjian ini dengan bani Israil: kalian tiada akan menyembah yang selain Allah, memperlakukan orang tua kalian dengan baik, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”
Juga diungkap dalam QS Al-Maidah ayat 12 yang artinya:
“Dan sungguh Allah telah megambil perjanjian dari bani Israil, dan kami angkat di antara mereka dua belas pemimpin, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku beserta kalian. Sesungguhnya jika kalian mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada Rasul-Rasul-Ku dan kalian bantu mereka dan kalian pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosa kalian. dan sesungguhnya kalian akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air di dalamnya sungai-sungai. Maka barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
Dalam agama Yahudi, digunakan istilah “tzedakah” yang didasarkan pada kata Ibrani (, tzedek), artinya adalah kewajiban agama untuk melakukan apa yang benar dan adil. Tidak seperti filantropi atau amal yang benar-benar sukarela, tzedakah dipandang sebagai kewajiban agama, yang harus dilakukan terlepas dari kondisi keuangan, dan bahkan harus dilakukan oleh orang-orang miskin. Sebagai contoh disebukan dalam kitab Yahudi, Genesis, 28:22: "Biarkan batu ini saya telah diatur sebagai pilar menjadi rumah Tuhan. Dari semua yang Engkau berikan kepadaku, aku akan memberikan sepersepuluh untukMu" (Genesis, 28:22). Kewajiban tzedakah ini bersifat individual dan minimal dalam jumlah 10 persen. Beberapa orang bijak mengatakan bahwa tzedakah adalah yang tertinggi dari semua perintah, sama dengan mereka semua yang digabungkan, dan bahwa orang yang tidak melakukan tzedakah setara dengan seorang penyembah berhala. Tzedakah adalah salah satu dari tiga perbuatan yang diyakini bisa memberikan pengampunan dari dosa-dosa.68
(iv) Zakat dalam agama Kristen (Nasrasi)
Di dalam Qur’an dijelaskan bahwa umat Xxxx Xxx xx pun juga terkena kewajiban untuk menunaikan zakat, sebagaimana perkataan beliau di dalam Al-Quran surat an-Nisa ayat 30, yang artinya:
“(Berkata Isa): Dan Dia memerintahkan kepadaku mendirikan shalat dan menunaikan zakat selama aku hidup.”
Demikian pula dijelaskan di dalam Kitab Injil (perjanjian lama dan perjanjian baru), maka akan kita jumpai banyak pesan dan nasihat khusus tentang cinta kasih dan perhatian pada fakir miskin, xxxxx-xxxxx, anak-anak yatim, dan orang-orang lemah. Misal, Xxx Xx-Xxxxx menyuruh umatnya supaya jangan kamu memberi sedekah di hadapan orang supaya dilihat mereka. Sedekah perlu diberi secara tersembunyi supaya jangan dipuji orang (Injil, Matius 6:1-4). Dorongan memberi sedekah ialah mengingat kasih kalimat Allah yang walaupun kaya, menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita yang miskin dan menderita dalam belenggu dosa.
Pemberi sedekah diyakini tidak akan menambah amal. Orang Kristen Injili meyakini tidak diselamatkan oleh amal, ia diselamatkan oleh anugerah Tuhan (Injil, Surat Efesus 2:7-8). Demikian pemberian sedekah tidak
68. Lihat xxxx://xxx.xxxxxxx-xxxxx.xxx/xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxx-xxx-xxxx-xx-xxxxxxx-xx-xxxxx-xxx- judaism/#sthash.wDgJkmEo.dpuf. Lihat pula xxxx://xxx.xxxxxx.xxx/xxxxxxxx.xxx
mendekatkannya kepada Allah. Karena Allah adalah Bapanya, ia memberi sedekah sebagai tanda terima kasih kepada Allah dan dengan hati penuh sukacita (Injil, Surat II Korintus 9:7).69
3.2.2. Zakat pada Masa Xxxx Xxxxxxxx Xxx
Xxxx Xxxxxxxx xxx mempunyai tugas untuk menjadi Rasulullah dan juga menjadi pemimpin umat muslim. Oleh karena itu, penerapan zakat pada masa Nabi menjadi kegiatan penting untuk menjalankan roda pemerintahan. Sebelum turunnya perintah zakat pada tahun pertama hijriah, telah ada perintah shadaqah yang merupakan kewajiban menyangkut harta kekayaan kaum muslimin, yang diperuntukan bagi fakir miskin, anak-anak yatim, dan orang-orang yang memerlukan bantuan lainnya dengan besaran jumlah yang dibayarkan berdasarkan pada kerelaan hati penerima shadaqah.
Setelah penerapan shadaqah pada tahun pertama Hijriah, penerapan zakat pada di Makkah tahun kedua Hijriah bertepatan dengan tahun 632
M. Penerapan zakat baru dimulai dengan lebih baik. Zakat tersebut dikenal dengan zakat fitrah. Zakat fitrah dibebankan kepada rakyat Makkah yang diwajibkan bagi mereka untuk membayar zakat sebesar 1 sha’ kurma, tepung, keju lembut, atau setengah sha’ gandum untuk setiap umat muslim termasuk di dalamnya budak, dan dibayarkan sebelum shalat ied.70
Menurut Xxxxx Xxxxxxx, berdasarkan pada surat-surat tentang zakat yang diturunkan kepada Xxxx Xxxxxxxx xxx saat masih di Makkah, memberikan kesimpulan bahwa surat-surat tersebut adalah pernyataan-pernyataan tidak dalam bentuk “amr” (artinya perintah) yang dengan tegas mengandung arti untuk dilaksanakan.71 Hal itu dikarenakan zakat dipandang sebagai ciri utama orang yang beriman yang didasarkan pada Al Qur’an surat Xxxxxx xxxx 4 yang artinya: “...Yaitu orang-orang yang mendirikan shalat, dan membayar zakat, serta yakin adanya hari akhir". Sebaliknya, orang disebut musyrik bila tidak melaksanakan kewajiban zakat sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat al-Fushshilat ayat 6-7 yang artinya: “celakalah orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang tiada membayar zakat dan mengingkari hari akhir.” Kondisi belum adanya perintah tegas yang mengandung arti zakat wajib
69. Lihat xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxxxx-xxxxxxx-xxx-xxxxx/xxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxx dan http:// xxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/00000x.xxx
70. Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014, Edisi ke-3, hlm 39.
71. M. Xxxxx Qardwi. Op.Cit.. hal. 60.
dilaksanakan, dapat disebabkan karena kondisi sosiologi umat Islam pada saat itu yang menjadi minoritas di antara kaum kafir Quraisy yang menyebabkan kurangnya kekayaan dan harta benda yang dimilikinya.
Kondisi perintah dan peraturan tentang zakat di Makkah jauh berbeda saat setelah peristiwa Xxxx Xxxxxxxx xxx hijrah ke Madinah, yaitu pada masa kesembilan Hijriah. Pada saat itu diatur secara lebih dalam terkait golongan yang menerima zakat yang terdapat dalam Al-Qur’an surat At-taubah ayat 60 yang artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Perintah untuk mengambil zakat dari orang-orang Arab Badui, yang terdapat dalam Qur’an surat at-Taubah: 103 yang artinya: “Ambillah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. ”.
Sanksi diberikan atas wajib zakat yang tidak mau membayar zakat yang terdapat dalam Al-Quran surat At-Taubah ayat 34-35 yang artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menaffiahkannya pada jalan Allâh, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dahi, lambung dan punggung mereka dibakar dengannya, (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”
Adanya kewajiban dan peraturan yang lebih jelas terkait zakat, menyebabkan penerimaan zakat lebih banyak dan diharuskan adanya sistem pengelolaan yang lebih terstruktur. Oleh karena itu, Xxxxxxxxxx xxx membuat tempat pengumpulan dan pengelolaan distribusi zakat yang bernama Baitul Maal (rumah harta), yang saat itu terletak di Masjid Nabawi. Pada saat itu, Xxxxxxxxxx juga mengutus para sahabatnya untuk menjadi amil (pengelola zakat) di daerah jazirah Arab termasuk di dalamnya kota Yaman, seperti: Xxxx xxx Xxxxxx, Xxxx Xxxx Xxxxxxx xxx Samit dan Xxxx xxx Xxxxx.
Menurut Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx pada masa Rasulullah terdapat beberapa harta yang dikenakan atas zakat, yaitu: 1) benda logam yang terbuat dari emas dan perak seperti koin, perkakas, dan sebagainya; 2) binatang ternak seperti
kambing, sapi, unta dan domba; 3) barang dagangan; 4) hasil pertanian; 5) Luqathah yaitu harta yang ditinggal musuh saat perang; dan 6) barang temuan (rikaz).72 Berkaitan dengan hal tersebut, Xxxxxxxxxx xxx juga menetapkan nishab, yakni batas terendah dari kuantitas dan nilai dari barang dan jumlah dari tiap jenis binatang ternak. Besaran nishab setiap jenis zakat berbeda satu sama lainnya.
Dalam baitul maal tersebut, Xxxxxxxxxx juga membuat manajemen pengelolaan dan pemungutan zakat yang memuat pembentukan: Katabah (petugas yang bertugas mencatat wajib zakat), Hasabah (petugas penaksir dan penghitung zakat, Jubah (petugas penarik dan pengambil zakat dari wajib zakat), Khazanah (petugas penghimpun dan pemeliharan harta dan Qasamah (petugas yang menyalurkan zakat kepada yang berhak menerimanya).73
Dalam baitul maal tersebut, harta dibelanjakan berdasarkan kepada kebutuhan negara, dan semasa Xxxxxxxxxx xxx harta zakat tersebut menjadi milik negara seutuhnya dan jika telah terkumpul kemudian secara singkat langsung didistrisibusikan kepada yang berhak menerimanya. Setelah Xxxxxxxxxx xxx meninggal dunia, perkembangan zakat terus berlanjut hingga masa khulafaur rasyidin yaitu Xxx Xxxxx Xxx-Xxxxxx xx, Xxxx xxx Xxxxxxx ra, Xxxxx xxx Xxxxx xx dan terakhir Xxx xxx Xxx Xxxxxx ra.
3.2.3. Zakat Pada Masa Shahabat
Potensi zakat pada masa khulafaur rasyidin bahkan berkembang secara cepat dikarenakan sistem pemungutan zakat yang lebih intensif dan terintegrasi dan semakin luasnya wilayah kaum muslimin di masa khulafaur rasyidin.
Berikut ini penjelasannya:
a) Periode Khalifah Xxx Xxxxx Xxx-Xxxxxx xx (11-13 H/632-634 M)
Xxx Xxxx Xxx-Xxxxxxx xx bernama lengkap Xxxxxxxx xxx Xxxxxxx Xx- Tamimi. Masa kepemimpinannya berlangsung selama dua tahun, dan pada 21 Xxxxxxx Xxxxx 13H, beliau meninggal dunia lantaran sakit di usia 61 tahun. Ia dimakamkan di rumah putrinya, Aisyah, di dekat Masjid Nabawi di samping makam Xxxx Xxxxxxxx xxx.74
72. Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2014, edisi ke-3, hlm 46.
73. Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2006, h. 214,d alam Sejarah Pengelolaan Zakat di Dunia Muslim dan Indonesia (Pendekatan teori investigasi - sejarah xxxxxxx xxxxxx dan defisit kebenaran xxxxxx xxxxx), vol. XI (2). 247.
74. Lihat: xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxx_Xxxxx_Xxx-Xxxxxxx.
Dengan menjabat sebagai Kepala Negara, membuat Xxx Xxxxx ra tidak dapat berdagang dengan maksimal sehingga tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga beliau. Oleh karena itu, beliau dan keluarganya mendapat tunjuangan dari harta zakat di Baitul Maal sebesar dua setengah atau tiga perempat dirham setiap harinya dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa.75 Namun, setelah beberapa lama, Xxx Xxxxx ra merasa tunjangan tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya, sehingga beliau mendapat tunjuangan tambahan sebesar 200 atau 2.500 dirham, yang menurut riwayat lain adalah 6.000 dirham pertahun.76
Semasa pemerintahannya banyak persoalan yang harus dihadapi, di antaranya orang-orang yang murtad, nabi palsu, dan para pembangkang zakat. Pada masa beliau banyak penduduk muslim yang membangkang membayar zakat dikarenakan banyak anggapan bahwa zakat hanya dilaksanakan semasa Xxxx Xxxxxxxx xxx masih hidup dan setelah Nabi meninggal tidak ada kewajiban lagi atas zakat. Banyaknya kemurtatan oleh umat muslim membuat Xxx Xxxxx ra memutuskan untuk memeranginya, dan peperangan tersebut bernama perang Riddah (perang melawan kemurtatan).
Setelah peperangan berhasil dilaksanakan, Xxx Xxxxx ra melanjukan kembali kebijakan pemungutan semasa Xxxxxxxxxx xxx, dalam bentuk hasil pengumpulan zakat di baitul maal yang langsung didistribusikan. Pendistribusian harta zakat juga dilakukan dengan prinsip kesamarataan dengan tidak membeda-bedakan antara sahabat, hamba sahaya dan orang yang merdeka serta pria maupun wanita. Kebijakan ini membuat harta di baitul maal tidak pernah menumpuk dan membuat semakin berkurangnya ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin semasa pemerintahan beliau. Kebijakan tersebut juga membuat sisa zakat di baitul maal setelah beliau meninggal dunia hanya bernilai satu dirham saja.77
b) Periode Khalifah Xxxx xxx al-Xxxxxxx xx (13-23 H/634-644 M)
Xxxx xxx Al-Xxxxxxx xx menjadi pemimpin umat muslim setelah dipilih secara musyawarah oleh para pemuka umat muslim, termasuk di dalamnya Xxx Xxxxx Xx-Xxxxxx xx. Masa pemerintahan Xxxx xxx Xxxxxxx
75. Dirham adalah mata uang yang terbuat logam perak yang digunakan saat itu dengan berat 2, 975 gram.
76. M.A. Sabzwari, Economic and Fiscal Sistem During Khilafat E-Xxxxxxx, dalam Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx.
Op.Cit.,hlm 55.
77. Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 57.
berlangsung selama sepuluh tahun. Beliau wafat pada 25 Dzulhijjah 23 H lantaran dibunuh oleh budak Persia bernama Xxx Xxxxxx saat beliau akan menjadi xxxx xxxxxx subuh.78
Sebagai pemimpin xxxxxx, Xxxx ra juga mendapatkan tunjangan sekitar
5.000 dirham per tahunnya, dua pasang pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan musim dingin, serta seekor hewan tunggangan untuk menunaikan haji yang diambil dari dana baitul maal.79 Semasa xxxxxxxxxxxxxxx, Xxxx ra banyak melakukan ekspansi hingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, Romawi (Syiria, Palestina dan Mesir) serta seluruh kerajaan Persia termasuk Irak. Adanya perluasan wilayah ini membuat Xxxx xxx Xxxxxxx mendirikan baitul maal berpusat di Madinah dan pendirian cabang baitul maal di ibukota provinsi seperti: Makkah, Xxxxx, Xxxxxx, Kufah, Palestina dan Mesir dengan dilengkapi sistem administrasi yang lebih tertata dan rapi. Selain dikarenakan perluasan wilayah, ada satu hal lagi yang melatarbelakangi pendirian baitul maal yaitu terkumpulnya pajak al-kharaj oleh Xxx Xxxxxxxx sewaktu menjabat sebagai Gubernur Bahrain sebesar 500.000 dirham.80
Penerapan sistem pengelolaan zakat di baitul maal semasa kepemimpinan Xxxx xx berbeda dengan pada saat kepemimpinan Xxx Xxxxx ra dan Xxxx Xxxxxxxx xxx, dikarenakan Xxxx tidak secara langsung mendistribusikan semua harta zakat yang diperoleh namun sebagian ada yang disimpan untuk dijadikan cadangan negara. Menurut Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, baitul maal juga berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara dan Khalifah Xxxx menjadi pihak yang berkuasa penuh terhadap pengelolaan zakat. Distribusi zakat juga tidak dilakukan secara sama rata namun dibedakan menurut golongan tertentu.
Di masa kepemimpinannya, Xxxx xxx Xxxxxxx menerapkan zakat atas kuda yang tidak pernah terjadi pada masa Xxxx Xxxxxxxx xxx. Penerapan zakat ini dilatarbelakangi oleh berkembangnya ternak dan perdagangan kuda di berbagai wilayah Islam. Selain menerapkan zakat kuda, beliau juga menerapkan zakat pada karet, dan hasil laut serta menerapkan zakat madu.81
78. xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxx_xxx_Xxxxxxx.
79. M.A. Sabzwari, economic and financial sistem during khilafah e-xxxxxxx, dalam journal of islamic banking and finance, karachi, vol. 2, No. 0, 1985, hal. 50. Dalam Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 60.
80. Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 59.
81. Ibid.,hlm 70.
c) Periode khalifah Xxxxx xxx Xxxxx xx (23-35 H/644-656 M)
Xxxxx xxx Xxxxx xx terpilih sebagai pemimpin umat Islam setelah dibuat sebuah tim untuk melakukan musyawarah terhadap pengganti Xxxx xxx Xxxxxxx ra, seperti di antaranya Xxxxx xxx Xxxxx, Xxx bin Abi Xxxxxx, Xxxxxxx dan Xxxxxx xxx Xx-Xxxxx, Xx’xx xxx Xxx Xxxxxx dan Xxxxxxxxxxx xxx Xxx.00 Xxxxx xxx Xxxxx xx menjalankan roda pemerintahan selama dua belas tahun. Beliau meninggal pada 18 Dzulhijah 35H, lantaran dibunuh oleh pemberontak semasa beliau hidup dan dikuburkan di kuburan Baqi di Madinah.83
Selama masa xxxxxxxxxxxxxxx, Xxxxx bin Xxxxx xx telah berhasil melakukan ekspansi wilayah ke Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan.84 Karena ekspansi wilayah tersebut maka perolehan zakat menjadi naik dari periode Xxxx xxx Xxxxxxx ra. Pengelolaan zakat pada masa Usman dibagi menjadi dua macam: (1) zakat al-amwal az-zahirah (harta benda yang tampak), seperti binatang ternak dan hasil bumi; dan (2) zakat al amwal al-batiniyah (harta benda yang tidak tampak atau tersembunyi), seperti uang dan barang perniagaan. Zakat kategori pertama dikumpulkan oleh negara, sedangkan yang kedua diserahkan kepada masing-masing individu yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya sendiri sebagai bentuk self assessment.85
Dalam hal zakat, beliau juga membuat kebijakan penaksiran harta zakat kepada para pemiliknya masing-masing, dengan harapan zakat yang diberikan aman dari gangguan dan masalah pemerikasaan yang tidak jelas oleh para oknum pengumpul zakat yang tidak baik.86 Di samping itu, Xxxxxxxx Xxxxx ra memiliki pandangan terkait pengumpulan zakat, bahwa zakat yang dikumpulkan nilainya harus ditaksir setelah dikurangi dengan utang para wajib zakat. Beliau juga mengurangi zakat dari dana pensiunan yang dibiayai oleh pemerintah, dan juga mendistribusikan harta dengan sistem keutamaan seperti yang diterapkan oleh Xxxxxxxx Xxxx xxx Xxxxxxx ra.87
82. Ibid,.hlm 77.
83. Lihat: xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxx_xxx_Xxxxx
84. Xxxxxx Xxxxx, sejarah peradaban islam (jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), cet. Ke-2, hal. 36,Dalam Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 78.
85. Permono, Pemerintah, h. 8, dalam Faizal, OP. Cit., hal. 243.
86. M.A. Sabzwari, Economic and Fiscal Sistem During Khilafat E-Xxxxxxx, dalam Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 80.
87. Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 80.
d) Periode Khalifah Xxx xxx Xxx Xxxxx ra (35-40 H/656-661 M)
Xxx xxx Xxx Xxxxx ra diangkat menjadi khalifah oleh segenap kaum muslimin dan beliau memerintah umat Islam dalam kurun waktu lima tahun. Dikarenakan kekacauan politik yang terjadi, timbullah peperangan di antara umat muslim, sehingga beliau terbunuh oleh Xxxxxxxxxxx xxx Xxxxxx saat beliau mengimami shalat subuh di Masjid Kufah dan kemudian meninggal pada 21 Ramadhan 40 Hijriah.88
Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah Xxx xxx Xxx Xxxxx ra berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan tetapi, Xxx xxx Xxx Xxxxx ra tetap mencurahkan perhatiannya yang sangat serius dalam mengelola zakat. Beliau melihat bahwa zakat merupakan urat nadi kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Harta kekayaan yang wajib zakat pada masa Khalifah ‘Xxx xxx Xxx Xxxxx ra ini sangat beragam. Jenis barang-barang yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat. Beliau juga mengizinkan Xxxx Xxxxx, Gubernur Kufah, untuk memungut zakat sayuran segar yang akan digunakan sebagai bumbu masakan.89
Ketika Xxx xxx Xxx Xxxxx ra bertemu dengan orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non-Islam (Nasrani), beliau menyatakan bahwa biaya hidup mereka harus ditanggung oleh Baitul Maal. Berbeda dengan Khalifah Xxxx xx dan Xxxxx xx, beliau juga menerapkan prinsip kesamarataan dalam mendistribusikan zakat di Baitul Maal dan terkadang Khalifah Xxx xxx Xxx Xxxxx ra juga ikut terjun langsung dalam mendistribusikan zakat kepada para mustahik (delapan golongan yang berhak menerima zakat).
3.2.4. Zakat pada Masa Tabi‘in90
Pengelolaan zakat pada masa tabi‘in terekam dalam catatan sejarah sangat terbatas. Berikut ini merupakan pemaparan sebagian kecil periode Daulah Bani Umayyah, yang berlangsung selama hampir 90 tahun (41-127H). Misalnya, Khalifah Xxxx xxx Xxxxx Xxxx (717 M) adalah tokoh terkemuka yang dikenang sejarah karena keadilan dan kesederhanaannya serta kedekatannya dengan rakyat. Xxxx xxx Xxxxx Xxxx diangkat menjadi khalifah pada usianya 37
88. Lihat: xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxx_xxx_Xxx_Xxxxxx.
89. Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxx. Op.Cit.,hlm 83.
90. Faizal, Op. Cit., hlm 250-251.
xxxxx dan meninggal dalam usia 39 tahun.
Pada masa pemerintahannya, pengelolaan zakat mengalami reformasi yang sangat memukau. Semua jenis harta kekayaan wajib dikenai zakat. Pada masanya, sistem dan manajemen zakat ditangani dengan amat profesional. Jenis harta dan kekayaan yang dikenai wajib zakat semakin beragam.
Xxxx xxx Xxxxx Xxxx adalah orang pertama yang mewajibkan zakat dari harta kekayaan yang diperoleh dari penghasilan usaha atau hasil jasa, termasuk gaji, honorarium, penghasilan berbagai profesi dan berbagai mal mustafad lainnya. Sehingga, pada masa kepemimpinannya, dana zakat melimpah ruah tersimpan di baitul maal. Bahkan, petugas amil zakat kesulitan mencari golongan fakir miskin yang membutuhkan harta zakat. Kemakmuran itu bukan hanya di Afrika, tapi juga merata di seluruh penjuru wilayah khilafah Islam, seperti Irak dan Basrah. Karena kemakmuran ini, zakat dialokasikan untuk berbagai keperluan, seperti menutupi utang para gharim, membayar mahar lajang yang mau menikah dan memberikan pinjaman modal kerja untuk pada orang kafir yang semula membayarkan jizkah (pajak) kepada negara. Hal itupun masih dicukupi dengan zakat yang terkumpul di baitul maal.
Beberapa faktor utama melatarbelakangi kesuksesan manajemen dan pengelolaan zakat pada masa Khalifah Xxxx xxx Xxxxx Xxxx. Pertama, adanya kesadaran kolektif dan pemberdayaan baitul maal dengan optimal. Kedua, komitmen tinggi seorang pemimpin dan didukung oleh kesadaran umat secara umum untuk menciptakan kesejahteraan, solidaritas, dan pemberdayaan umat. Ketiga, kesadaran di kalangan muzaki yang relatif mapan secara ekonomis dan memiliki loyalitas tinggi demi kepentingan umat. Keempat, adanya kepercayaan terhadap birokrasi atau pengelola zakat yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
3.3. Tinjauan Fikih tentang Zakat
Urusan zakat merupakan urusan muamalah sekaligus ibadah sehingga banyak ketentuan di dalam Al-Quran maupun hadis yang menjelaskannya. Inilah yang merupakan landasan syariah atau yang dikenal dengan istilah fikih, yang menjadi pedoman di dalam melaksanakan zakat. Landasan fikih ini bukan hanya menjelaskan aspek status hukum zakat seperti status hukum haram, sunah, mubah, makruh hingga haram, namun lebih dari itu.91
91. Inilah pendapat yang masyhur, misalnya lihat Xxxxx, Xxxxxxx, Ilmu Fiqih& Ushul Fiqih, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal. 13
Fikih zakat meliputi pemahaman para ulama terhadap keseluruhan ajaran agama, seperti dimaksudkan dalam kitab suci dan hadis. Oleh karena itu fikih zakat juga menjelaskan mengenai filosofi mengapa zakat harus dibayarkan, apakah imbalan bagi yang menunaikan zakat dan ancaman bagi mereka yang melanggarnya, kepada siapa zakat diperintahkan, harta apa saja yang wajib dibayarkan zakatnya dan bagaimana ketentuannya, kepada siapa zakat harus didistribusikan, bagaimana zakat di bulan Ramadhan atau zakat fitrah dilakukan, bagaimana caranya pembayaran zakat, bagaimana hubungan pembayaran zakat dengan pembayaran pajak, dan sebagainya. Subbab ini akan mengupas secara ringkas mengenai fikih zakat.
Sudah banyak ulama yang menjelaskan mengenai hukum zakat, mulai dari ulama klasik hingga ulama mutahkhir. Kitab-kitab induk tentang hadis menjelaskan perihal zakat ini. Misalkan kitab Al Muwatta yang disusun oleh Xxxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxxxi oleh Xxxx Xxxxxxx, Shahih Muslim oleh Imam Xxxxxx, Xxxx 'xx Xxxxxx oleh Xxxx Xxxxxxxx, Xxxxx xx Xxxx'x, Xxxxx Xxx Xxxxx, dan Xxxxx Xxxx Xxxxx. Sebagai misal dalam Sahih al-Bukhari, bab zakat mengandung 172 ungkapan yang dinisbatkan pada sabda Xxxx Xxxxxxxx xxx dan terdapat 20 perkataan sahabat dan tabiin. Sedangkan ulama terkini yang mendalami tentang masalah keuangan dan administrasi Islam melihat zakat dapat dijumpai di buku al-Kharaj karya Xxx Xxxxx, xx Xxxxxx tulisan Xxxxx xxx Xxxx, al Amwal oleh Xxx 'Xxxxx, al Ahkam al Sultaniyah karya al-Xxxxxxx (Shafi'iyah), al-Ahkam al Sultaniyah dari abu Ya'la (Xxxxxxxxx), dan Al Siyasah al-Shar'iyah karya Xxxx Xxxxxxxx.
Bagian ini tidak akan mengungkap secara mendalam sebagaimana diungkap dalam berbagai kitab fikih. Melainkan beberapa hal pokok saja yang akan diungkapkan yang telah menjadi kesepakatan para ulama klasik maupun modern. Pembagian kajian menjadi dua, yaitu fikih klasik dan fikih kontemporer. Fikih klasik merujuk pada masa lalu atau awal Islam hingga masa keruntuhan Islam, di mana problem yang dihadapi juga melekat dengan masa itu. Sedangkan fikih kontemporer merujuk pada masa kini, yang sudah diperinci sesuai sub pembahasan agar lebih mudah dipahami yang disebut juga dengan Al-Furuu’. Fikih kontemporer ini banyak yang merujuk pada fikih klasik namun juga memungkinkan adanya perbedaan. Namun fokus dari fikih kontemporer adalah untuk menjawab permasalahan modern yang belum muncul pada masa-masa lalu, seperti masalah zakat profesi, tata kelola zakat dan semacamnya.
3.3.1. Fikih Klasik Zakat
a. Hukum Membayar Zakat adalah Wajib
Zakat merupakan salah satu rukun di antara rukun-rukun Islam, dan hukumnya wajib berdasarkan Al-Quran, ijma atau kesepakatan umat- umat Islam. Menurut Xxxx92 di dalam Al-Quran, zakat disebut-sebut secara langsung sesudah shalat dalam 82 (delapan puluh dua) ayat. Namun, menurut Xxxxx Xxxxxxx,93 kata zakat dalam Al-Quran dalam bentuk ma’rifah (definisi) disebut 30 (tiga puluh) kali di dalam Al-Quran, di antara dua puluh tujuh kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat, yaitu Al-Quran surat Al-Mu’minun ayat 2 yang mempunyai arti: Dan orang-orang yang giat menunaikan zakat, dan juga pada ayat 4 yang mempunyai arti: orang-orang yang khusyu’ dalam bershalat.
Bila diperiksa ketiga puluh kali zakat disebutkan itu, delapan terdapat pada surat Makiyah dan selebihnya pada Madiyah. Beliau juga menyatakan bahwa kata zakat yang terdapat delapan puluh dua ayat terlalu dibesar-besarkan, sehingga tidak sesuai dengan perhitungan yang kita sebutkan tersebut. Tetapi bila yang dimaksudkan mereka adalah kata-kata lain yang sama maksudnya dengan zakat seperti al-infak, “pemberian”, al-maun, “barang-barang kebutuhan” dan tha’am al-miskin, “memberi makan orang miskin”, dan lain-lain, maka kita belum mengetahui jumlahnya secara pasti namun akan berkisar 32-82 tempat.
Di dalam rukun Islam, zakat menempati peringkat ketiga yaitu setelah membaca dua kalimat syahadat dan shalat, seperti terdapat pada surat Al Muzzammil ayat 20 yang artinya: “Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”. Dan dalam surat Al-Bayyinah ayat 5 yang artinya: “Mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Dan yang demikian itulah agama yang lurus.” Serta dalam hadis nabi yang bersumber dari Xxxx Xxxx xx, sesungguhnya Xxxxxxxxxx xxx bersabda: “Islam didirikan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Xxxxxxxx adalah hamba sekaligus rasul utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji ke baitullah, dan puasa ramadhan” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
92. Xxxxxx Xxxxx Xxxxx. Fikih Ibadah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2000, hal. 502..
93. X. Xxxxx Xxxxxxx. Op.Cit.,hlm 39.
Xxxxx Xxxxx Al-Xxxxx menyebutkan bahwa seluruh umat Islam sepakat bahwa zakat itu hukumnya wajib, dan kewajiban zakat sudah diketahui dari agama secara pasti bagi orang-orang yang hidup di tengah-tengah kaum muslimin, dan di masyarakat yang Islami.94 Disebutkan, bahwa barangsiapa di antara mereka yang mengingkari, ia adalah kafir dan dianggap sebagai orang yang murtad atau keluar dari Islam. Ia disuruh bertaubat sebanyak tiga kali, jika ia tidak mau bertaubat, maka sanksi baginya adalah seperti sanksi bagi orang yang keluar agama dan mengkufurinya yaitu dibunuh. Adapun bagi orang yang mengingkari kewajiban zakat karena ia memang tidak tahu mengingat ia baru masuk Islam misalnya, atau mungkin tumbuh besar di lingkungan masyarakat yang jauh dari iklim yang Islami, atau jauh dari ulama, ia tidak harus dihukumi kafir dengan alasan-alasan tersebut dan seharunya diajari, diperkenalkan; dan jika hal tersebut sudah dilakukan namun tetap keras kepala, maka statusnya menjadi kafir.
b. Hikmah Zakat95
Hikmah zakat yang dimaksudkan adalah kemanfaatan lahir maupun batin dari pelaksanaan zakat yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis. Kewajiban zakat merupakan konsekuensi atas kenikmatan yang Allah berikan kepada sekelompok manusia yang lebih banyak daripada lainnya. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, surat An-Nahl ayat 71 yang artinya: “Dan Allah melebihkan sebagian dari kamu dari sebagian yang lain dalam hal rejeki.” Maksud ayat ini ialah bahwa Allah SWT melebihkan sebagian kita dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, maka Dia mewajibkan orang kaya untuk memberikan hak yang wajib atau fardhu kepada orang yang membutuhkan yaitu zakat.
Apakah manfaat zakat ini, baik bagi yang membayar, bagi yang menerima ataupun bagi masyarakat pada umumnya? Dalam Qur’an dan Hadis dijumpai beberapa hikmah atas perintah zakat ini, yaitu:
(1) Zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan para pendosa dan pencuri, sesuai dengan sabda Xxxx Xxxxxxxx xxx yang mempunyai arti:
“Peliharalah harta-harta dengan zakat, obatilah orang-orang sakit kalian
94. Xxxxx xxxxx al-xxxxx. Op. Cit.,hal.503.
95. Xxxxxx Xx-Zuhayli. 2000. Op.Cit,.hal. 85-89.
dengan sedekah dan persiapkanlah doa untuk (menghadapi) malapetaka”
(HR. Xxxxxxxx dan Xxx Xx’xxx)
(2) Zakat merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orang-orang yang memerlukan bantuan, zakat dapat mendorong mereka untuk bekerja dengan semangat ketika mereka mampu melakukannya dan bisa mendorong mereka untuk meraih kehidupan yang layak. Dalam sebuah hadis diriwayatkan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT, mewajibkan orang-orang muslim yang kaya untuk (menaffiahkan) harta-harta mereka dengan kadar yang mencukupi orang-orang muslim yang fakir. Sungguh, orang-orang fakir sekali-kali tidak akan lapar atau bertelanjang kecuali karena perbuatan orang-orang kaya. Ketahuilah, sesungguhnya Allah SWT akan menghisap mereka dengan hisab yang keras dan menyikasa mereka dengan siksa yang pedih” (HR. Tabrani).
(3) Zakat menyucikan jiwa dari penyakit dan bakhil, ia juga melatih seseorang mukmin untuk bersifat pemberi dan dermawan. Mereka dilatih untuk tidak menahan diri mengeluarkan zakat, melainkan mereka dilatih untuk ikut andil dalam menunaikan kewajiban sosial, yakni kewajiban untuk mengangkat (kemakmuran) negara dengan memberikan harta kepada fakir miskin, ketika dibutuhkan atau dengan mempersipakan tentara, membendung musuh, atau menolong fakir miskin dengan kadar yang cukup. Seorang mukmin diwajibkan demikian karena dia juga berkewajiban untuk menunaikan nazar dan kafarat harta benda yang disebabkan oleh pelanggarannya terhadap sumpah (xxxxx), zhihar, pembunuhan yang terjadi karena kesalahan, dan perusakan atas kehormatan bulan Ramadhan.
(4) Zakat akan menumbuhkan harta, bukan membuat pembayar miskin. Dijelaskan dalam QS Al-Baqarah ayat 276 yang artinya:
“ Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan (harta) sedekah.”
Sedekah dan zakat akan membuat kekayaan suatu masyarakat tumbuh secara bersama, tidak mengumpul pada sekelompok orang.
(5) Zakat diwajibkan sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat harta yang telah dititipkan kepada seseorang. Dengan demikian, zakat ini dinamakan dengan zakat maal (zakat kekayaan). Zakat ini diwajibkan karena adanya
sebab yakni karena adanya harta. Seperti halnya shalat zuhur diwajibkan karena datangnya waktu zuhur, begitu juga puasa bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji.
c. Ancaman Allah terhadap Orang yang Tidak Membayar Zakat96
Seluruh ulama sepakat bahwa menolak membayarkan zakat sama halnya dengan menolak satu di antara lima rukun Islam, melanggar sistem masyarakat Islam, dan memusuhi kaum muslimin secara terang-terangan. Perbuatan seperti ini dianggap sebagai provokasi yang keji terhadap orang miskin dan durhaka terhadap Allah SWT.97 Di dalam sebuah hadis, Nabi mengancam orang-orang yang tidak membayar zakat dengan hukuman berat di akhirat, supaya hati yang lalai tersentak dan sifat kikir tergerak untuk berkurban. Kemudian dengan cara memberikan pujian dan mentakut-takuti, beliau mengarahkan manusia agar secara sukarela melaksanakan kewajiban zakat tersebut. Tetapi jika tidak juga berhasil, maka secara manusia dipaksa oleh penguasa agar melaksanakan kewajibannya tersebut.
Berikut ini beberapa ancaman dan hukuman bagi orang yang tidak berzakat yang dijelaskan dalam Al-Quran dan Hadis.
(i) Hukuman di akhirat
Hukuman di akhirat bagi pengingkar zakat adalah siksaan berupa berubahnya harta menjadi ular berbisa yang akan melilit dan mematuknya dan berubahnya harta menjadi setrika panas yang digunakan untuk menyetrika orang tersebut. Dijelaskan dalam hadis Xxxx Xxxxxxx meriwayatkan dari Xxx Xxxxxxxx, bahwa Xxxxxxxxxx xxx bersabda:
“Siapa yang dikaruniai oleh Allah kekayaan tetapi tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat nanti ia akan didatangi oleh seekor ular jantan gundul, yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak, ‘saya adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kau timbun-timbun dulu.” Nabi kemudian membaca ayat ”Janganlah mereka itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Tidak, tetapi buruk bagi mereka: segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan dileher mereka nanti pada hari kiamat” (Qs. Xxx Xxxxx: 180).
96. Bagian ini kembangan dari tulisan X. Xxxxx xxxxxxx. Op.Cit.,hlm, 76-...
97. Xxxxxx xxxxx Xxxxx.Op.Cit.,hlm 510.
Xxxx Xxxxxx meriwayatkan, bahwa Xxxx Xxxxxxxx xxx, bersabda: “Pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan kewajibannya, maka emas atau perak itu nanti pada hari kiamat dijadikan setrikaan, lalu dipanaskan dengan api neraka, kemudian digosokkan ke rusuk, muka, dan pungunggnya selama lima puluh ribu tahun, sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, untuk melihat apakah ia masuk surga atau neraka. Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menanduknya, setelah selesai seekor datang seekor lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama lima tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat apakah ia masuk surga atau masuk neraka.”
(ii) Hukuman di dunia
Hukuman di dunia yang dijelaskan Al-Quran dan Hadis tidak secara langsung ditujukan kepada pihak yang melanggar sebagaimana hukuman bagi pencuri. Dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa hukuman ini berbentuk adzab untuk kaum berupa kelaparan dan kemarau panjang, putusnya rejeki dan ditolaknya amal ibadah shalat.
Hadis menje.laskan, yang artinya:
“Golongan orang-orang yang tidak mengelurkan zakat akan ditimpa kelaparan dan kemarau panjang” (HR. Tabrani).
Dan hadis lain:
“Kekayaan tidak akan binasa, di darat mapun di laut, kecuali jika zakatnya dikeluarkan” (HR. Xxxxx).
Dalam hadis yang lain: Sesungguhnya Xxxxxxxxxx xxx bersabda :98
“Kami diperintahkan untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat, barangsiapa yang tidak menunaikan zakat, maka ia tidak ada shalat baginya” (HR. Bin Mas’ud).
d. Sebab, Syarat dan Rukun Zakat99
Jumhur ulama berpendapat bahwa penyebab kewajiban zakat adalah adanya harta milik yang mencapai nishab dan produktif meskipun kemampuan produktivitas itu baru berupa perkiraan, dengan syarat kepemilikan
98. Xxxxxx xxxxx Xxxxx.Op.Cit.,hal 512.
99. Xxxxxx Xx-Zuhayli, 2000. Op.Cit,.hal. 95-117, Lihat pula Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit.