SKRIPSI
SKRIPSI
PENETAPAN JANGKA WAKTU PERJANJIAN BAGI HASIL PERTANIAN ANTARA PEMILIK TANAH SAWAH DENGAN PETANI PENGGARAP DI DESA PANAKKUKANG KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA
OLEH : XXXXXX XXXXX
B111 08 028
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2013
HALAMAN JUDUL
PENETAPAN JANGKA WAKTU PERJANJIAN BAGI HASIL PERTANIAN ANTARA PEMILIK TANAH SAWAH DENGAN PETANI PENGGARAP DI DESA PANAKKUKANG KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA
Oleh :
XXXXXX XXXXX B111 08 028
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana
Dalam Program Kekhususan/Bagian Hukum Perdata Program Studi Ilmu Hukum
Pada
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
i
HALAMAN PENGESAHAN
PENETAPAN JANGKA WAKTU PERJANJIAN BAGI HASIL ANTARA PEMILIK TANAH SAWAH DENGAN PETANI PENGGARAP DI DESA PANAKUKKANG KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA
Disusun dan diajukan oleh XXXXXX XXXXX
NIM B 111 08 028
Telah dipertahankan di hadapan panitia ujian skripsi yang dibentuk dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana
Bagian Hukum Perdata Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pada Hari Selasa 5 Maret 2013 Dan Dinyatakan Lulus
Ketua
Panitia Ujian
Sekretaris
Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H.,M.H. NIP. 00000000 000000 0 002
H. M. Xxxxx Xxxxx, S.H., M.H. NIP. 00000000 000000 0 005
A.n. Dekan
Wakil Dekan I Bidang Akademik
Prof. Xx. Xx. Xxxxx Xxxxxx, S.H.,M.H. NIP. 19630419 198903 1003
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Diterangkan bahwa skripsi mahasiswa : Nama : XXXXXX XXXXX
NIM : B 111 08 028
Bagian : HUKUM KEPERDATAAN
Judul Skripsi : PENETAPAN JANGKA WAKTU
PERJANJIAN BAGI HASIL PERTANIAN ANTARA PEMILIK TANAH SAWAH DENGAN PETANI PENGGARAP DI DESA PANAKKUKANG KECAMATAN PALLANGGA KABUPATEN GOWA
Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Skripsi
Makassar, Februari 2013
Pembimbing I Pembimbing II
Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxx, SH., MH. X. Xxxxx Xxxxx, S.H., M.H. NIP. 00000000 000000 0 002 NIP. 00000000 000000 0 005
iii
iv
ABSTRAK
XXXXXX XXXXX (B111 08 028). Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Pertanian di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa dibimbing oleh Xxxxxx Xxxxxxxxxx. dan X. Xxxxx Xxxxx.
Penelitian ini bertujuan mengetahui bentuk pelaksanaan Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa dan Faktor-faktor apakah yang menyebabkan Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil antara Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap belum sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Panakkukang Kecamatan Pallanga Kabupaten Gowa. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Gowa khususnya di
Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga dengan narasumber penelitian yaitu: Kepala Desa Panakkukang, Kepala Dinas Pertanian Gowa, Sekretaris Badan Pusat Statistik Gowa. Selain itu juga dilakukan pembagian kuisoner kepada 5 orang pihak pemilik lahan/sawah dan 5 pihak dari petani penggarap yang dipilih dengan sengaja. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis deskriptif, yaitu dengan menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan melalui teknik analisis secara kualitatif terhadap data primer dan data sekunder yang mendukung pelaksanaan terhadap masalah yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa tidak pernah di Perjanjiakan sebelumnya berapa lama Jangka Waktu Bagi Hasil akan di tetapkan dan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, Melainkan hanya dilakukan secara lisan yang bisa saja sewaktu- waktu terjadi pemutusan perjanjian. Sedangkan sanksi yang diterima oleh pihak yang melakukan wanprestasi adalah hilangnya kepercayaan masyarakat untuk bekerja sama kepadanya dalam mengelola/menggarap Xxxxx Xxxxx.
Tidak berlakunya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 karena faktor pola pikir dan pola hidup yang monoton memicu tidak berlakunya suatu Undang undang didaerah ini, tingkat Pendidikan yang masih rendah sehingga masyarakatnya sangat susah untuk diajak maju. Dan faktor budaya yang sangat melekat kuat, dipegang masing-masing masyarakat, mereka lebih mengutamakan budaya tolong menolong dalam melakukan perjanjian penggarapan sawah melalui bagi hasil secara Adat dengan alasan mereka takut dikucilkan dari masyarakat karena merasa menyimpang dari Kebiasaan
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang senantiasa melimpahkan xxxxxx, xxxxxx dan hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Antara Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa”.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi dan melengkapi persyaratan dalam menempuh Sarjana Strata 1 (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum, Program Hukum Perdata, Universitas Hasanuddin Makassar. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna dan tidak terlepas dari kekurangan, karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis. Oleh karena itu, penulis akan menerima dengan senang hati segala saran dan kritik yang bersifat membangun.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan petunjuk dan bantuan yang tak ternilai harganya, oleh karena itu dengan rasa hormat, cinta dan kasih penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada kedua orang tua saya, ayahanda Drs. H. M. Xxxx Xxxxx, S.H., M.H dan ibunda Xx. Xxxxxxx Xxxxxxxxxx X.Xxx yang selalu menjadi motivasi bagi penulis untuk senantiasa berkarya.
Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. DR. xx. Xxxxx A. Xxxxxxxx Sp. BO., selaku Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar.
2. Bapak Prof. Xx. Xxxxxxx S.H., M.S., DSM., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar
3. Bapak Prof. Xx. Xx. Xxxxx Xxxxxx, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Univ. Hasanuddin.
4. Ibu Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum. selaku dosen pembimbing 1 dan Bapak H. M. Xxxxx Xxxxx, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing 2 yang dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan dalam penulisan skripsi ini.
5. Bapak Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fak.Hukum Univ. Hasanuddin.
6. Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, S.H. selaku Penasehat Akademik.
7. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan bekal pengetahuan yang sangat berharga kepada penulis.
8. Staf Akademik dan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
9. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx X.x M.M selaku Kepala Bidang Tanaman Pangan di Dinas Pertanian Kabupaten Gowa, yang telah membantu penulis untuk dalam menyelesaikan penulisan skripsi.
10. Bapak Xxx. Xxxxx Xxxxxxx selaku Kepala Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di Desa Panakkukang.
11. Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxx dan Xxxxx Xxxx serta Xxxxxx Xxxxx Xxxxxx, X. Xxxxxx Xxxxxx, Hj. Nur Xxxxxx yang telah memberikan dukungan dan doanya.
12. Sahabat-sahabatku : Xxxx Xxxxx, SH, Xxxxx Xxxxxx XX, Xxxxx Xxxxxxxx XX, Xxxxx Xxxx XX, Xxxxxx Xxxxx XX, Xxxx Xxxxxxxx XX, Muh. Xxxxxxx, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx, Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxx S.E dan teman-teman Fakultas Hukum Unhas Angkatan “Notaris” 2008 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ................. iv
ABSTRAK ............................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................. vi
DAFTAR ISI .......................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 7
D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 9
A. Perjanjian Bagi Hasil Menurut Hukum Adat .......................... 9
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian ................................... 9
2. Perjanjian Dalam Hukum Adat 11
3. Hakekat dan latar belakang terjadinya perjanjian bagi
hasil 14
4. Hubungan Hukum Antara Pemilik Tanah Sawah Dengan Petani Penggarap 16
5. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil 16
6. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil 17
7. Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dan Penggarap 17
B. Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960………………………………………………….……………
19
1. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil 19
2. Subyek Perjanjian Bagi Hasil Pertanian 19
3. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil 20
4. Besarnya Bagian Dalam Perjanjian Bagi Hasil 23
5. Kewajiban Pemilik dan Penggarap dalam Perjanjian
Bagi Hasil 24
6. Hal-hal yang dilarang Dalam Perjanjian Bagi Hasil Petani
Penggarap dan Petani Pemilik 25
7. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Petani Penggarap
dan Petani Pemilik 25
8. Akibatnya dalam Perjanjian Bagi Hasil Petani Penggarap
dan Petani Pemilik 26
BAB III METODE PENELITIAN 28
A. Lokasi Penelitian 28
B. Jenis dan Sumber Data 28
C. Teknik Pengumpulan Data 29
D. Analisis Data 30
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 32
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 32
1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Gowa 32
2. Gambaran Umum Wilayah Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa 33
2.1. Letak Desa Panakkukang 35
2.2. Kondisi Topografi dan Kelerengan 36
2.3. Aspek penggunaan lahan 37
2.4. Iklim dan Curah Hujan 38
2.5.Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin 39
B. Sistem Penetapan Jangka Waktu Dalam Perjanjian Bagi Hasil di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga
Kabupaten Gowa 40
1. Latar Belakang Perjanjian Bagi Hasil 40
2. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Pertanian 42
3. Penetapan Jangka Waktu 49
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Belum Sesuai Dengan
Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 59
BAB V PENUTUP 63
A. Kesimpulan 63
B. Saran-saran 65
DAFTAR PUSTAKA 66
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel | 1. Luas Kelurahan dan Desa di Kecamatan Pallangga .............. | 34 |
Tabel | 2. Luas Panen dan Produksi Menurut Jenis Tanaman di | |
Kecamatan Pallangga ............................................................ | 35 | |
Tabel | 3. Data Pemanfaatan Lahan di Desa Panakkukang.................... | 37 |
Tabel | 4. Jumlah Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap....... | 38 |
Tabel | 5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Desa Panakkukang .......................................................................... | 39 |
Tabel | 6. Hubungan Kekeluargaan Antara Pemilik dan Penggarap di | |
Desa Panakkukang ................................................................ | 40 | |
Tabel | 7. Perjanjian Bentuk Tertulis Dalam Melaksanakan | |
Perjanjian Bagi Hasil .............................................................. | 44 | |
Tabel | 8. Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian | |
Bagi Hasil ............................................................................... | 46 | |
Tabel | 9. Biaya-biaya yang Timbul Selama Masa Penggarapan ........... | 48 |
Tabel | 10. Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Atas | |
Tanah Pertanian Di Desa Panakkukang ................................ | 51 | |
Tabel | 11. Perbedaan Jangka Waktu Untuk Pengelolaan Tanah | |
Kering dan Tanah Basah ....................................................... | 53 | |
Tabel | 12. Pemutusan Perjanjian Bagi Hasil ............................................ | 54 |
Tabel | 13. Penetapan Jangka Waktu yang di Butuhkan Untuk Kelangsungan Hidup Penggarap ........................................... | 56 |
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi rakyat Indonesia, tanah menempati kedudukan penting dalam kehidupan mereka sehari hari. Terutama bagi penduduk yang bertempat tinggal di pedesaan yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan berladang, jadi tanah (dalam hal ini tanah pertanian) mempunyai peranan pokok untuk bergantung dalam hidup sehari-hari baik bagi para petani penggarap maupun bagi petani tuan tanah (yaitu pemilik tanah pertanian).
Peranan tanah menjadi bertambah penting seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang memerlukan papan atau lahan untuk tempat tinggal. Demikian juga dalam kegiatan pembangunan yang memerlukan lahan, baik untuk bidang usaha maupun tanah untuk obyek untuk di usahakan.
Dibidang ekonomi, terutama di bidang pengusahaan atau pengolahan pertanahan (tanah), sangat di perlukan campur tangan dari pemerintah dalam hal pengaturan kebijakan penggunaan dan peruntukan tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang diberikan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan Nasional guna kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat.
Kebijakan pertanahan dalam peraturan perundang- undangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dilihat isi ketentuan UUPA, konsepsi dan tujuan dibentuknya UUPA sangatlah bersifat populis. Karena kebijakan pelaksanaan UUPA di pusatkan pada pelayanan bagi masyarakat, terutama golongan petani sebagai bagian terbesar corak kehidupan rakyat Indonesia.
UUPA Sebagai hukum agraria baru yang bersifat nasional telah menggantikan hukum agraria lama yang bersifat dualisme. Sehingga UUPA merupakan alat yang penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Tujuan dibentuknya UUPA sebagai hukum agraria baru yang bersifat nasional ialah :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
2. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Salah satu prinsip dasar dari hukum agraria nasional (UUPA) yaitu “Landreform” atau “Agraria Reform” Prinsip tersebut dalam ketentuan UUPA diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) yang memuat suatu asas yaitu, bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri yang dalam pelaksanaanya diatur dalam peraturan perundangan”.
Untuk melaksanakan asas tersebut maka di perlukan adanya ketentuan tentang batas minimal luas tanah yang harus dimiliki oleh petani supaya dapat hidup dengan layak penghasilan yang cukup bagi dirinya sendiri dan keluarganya (Pasal 13 jo Pasal 17 UUPA). Dan diperlukan pengaturan tentang ketentuan mengenai batas maksimum kepemilikan luas tanah yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17 UUPA) dengan di cegah tertumpuknya tanah pada golongan tertentu saja . Dalam hubungan ini, Pasal 17 UUPA memuat asas yang penting, yaitu bahwa : “pemilikan dan penguasaan tanah yang melampui batas tidak diperkenankan, karena hal demikian dapat merugikan kepentingan umum”.
Mengingat susunan masyarakat pertanian, khususnya di pedesaan masih membutuhkan penggunaan tanah yang bukan miliknya, maka kiranya sementara waktu masih diperlukan atau dibuka kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh
orang-orang yang bukan miliknya misalnya dengan cara sewa, bagi
hasil, gadai, dll. Hal demikian seperti halnya yang di atur dalam Pasal 53 UUPA, bahwa hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan UUPA (Pasal 7 dan 10) tetapi berhubungan dengan keadaan masyarakat sekarang ini belum dapat di hapuskan, diberi sifat sementara yaitu dengan hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, yang harus diselenggarakan menurut ketentuan- ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya untuk mencegah hubungan-hubungan hak yang bersifat “penindasan “.
Perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian merupakan perbuatan hubungan hukum yang diatur dalam hukum Adat. Perjanjian Bagi Hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dari orang lain yang disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap di perkenankan mengusahakan tanah yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama.
Perjanjian Bagi Hasil merupakan salah satu perjanjian yang berhubungan tanah yang mana obyeknya bukan tanah namun melainkan segala sesuatu yang ada hubunganya dengan tanah atau yang melekat pada tanah seperti tanaman-tanaman, hak mengerjakan, menggarap, atau menanami tanah tersebut, dan
sebagainya. Materi Bagi Hasil tanah pertanian itu sendiri masuk
dalam ruang lingkup hukum tanah adat teknis, yaitu perjanjian kerjasama yang bersangkutan dengan tanah tetapi yang tidak dapat dikatakan berobyek tanah, melainkan obyeknya adalah tanaman.
Perjanjian pengusahaan tanah dengan Bagi Hasil semula diatur didalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak.
Dalam perkembangannya, Perjanjian Bagi Hasil kemudian mendapat Pengaturan dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil yang lahir berdasarkan pada Hukum Adat di Indonesia.
Di wilayah Kabupaten Gowa, khusunya Kecamatan Pallangga masih banyak dilaksanakan atau dilakukan Perjanjian Usaha Bagi Hasil untuk tanah-tanah pertanian. Perjanjian penggarapan tanah pertanian dengan Bagi Hasil tersebut telah dilaksanakan dimulai sejak dahulu bahkan sudah turun-temurun dari generasi ke generasi selanjutnya.
Perjanjian Usaha Bagi Hasil tanah pertanian di Desa Panakkukan selama ini di dasarkan kepercayaan dan kesepakatan antara petani penggarap dan pemilik tanah kepercayaan inilah
modal utama bagi seorang penggarap untuk dapat ijin mengelola
tanah pertanian yang bukan miliknya, dengan obyek perjanjian yakni tanah pertanian, dan semua yang melekat pada tanah.
Sedangkan isi perjanjian yang meliputi hak dan kewajiban masing-masing pihak juga di tentukan oleh mereka sendiri, serta hasil dari pengusahaan tanah tesebut nantinya akan di bagi sesuai kesepakan yang telah disepakati bersama, umunya dengan pembagian hasil setengah untuk penggarap dan setengah lagi untuk pemilik tanah atau masyarakat Pallangga mengenalnya dengan istilah {Tesang} sedangkan batas waktu perjanjian bagi hasil yang berlaku selama ini juga tidak ada patokan yang baku semua didasarkan kesepakatan bersama pemilik dan penggarap, biasanya berdasarkan pada musim tanam padi apabila musim bercocok tanam sampai dengan musim panen tiba maka dengan sendirinya batas perjanjian ini berakhir, karena sifat perjanjian bagi hasil ini tidak tertulis atau lisan saja.
Dengan berlakunya Undang-Undang Bagi Hasil tersebut, apakah perjanjian Bagi Hasil di wilayah Kecamatan Pallangga, Kebupaten Gowa masih menggunakan sistem Hukum Adat ataukah sudah sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960? Pilihan sistem yang bagaimana yang mereka pilih dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi dalam menentukan pilihan
tersebut? Untuk mengkaji lebih lanjut dan lebih mendalam tentang
pelaksanaan Bagi Hasil di Kabupaten Gowa, maka penulis angkat dalam sebuah penelitian.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sistem Penetapan Jangka Waktu dalam Perjanjian Bagi Hasil Pertanian antara Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Pertanian antara Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap belum sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Panakkukang Kecamatan Pallanga Kabupaten Gowa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui Sistem Penetapan Jangka Waktu dalam Perjanjian Bagi Hasil Pertanian antara Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.
2. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa yang menyebabkan
Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Pertanian antara Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap belum
sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.
D. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang hukum tanah melalui kegiatan penelitian sebagai perwujudan Xxx Xxxxxx Perguruan Tinggi, khususnya dalam penelitian dan pengabdian masyarakat.
2. Untuk mengetahui secara langsung penerapan ketentuan hukum yang berkaitan dengan perjanjian bagi hasil tanah pertanian dan mengetahui permasalahan serta kendala-kendala yang banyak terjadi didalam masyarakat.
3. Dengan diketahuinya permasalahan dalam pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian itu, maka pihak instansi yang berwenang dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
4. Penelitian ini juga akan bermanfaat bagi pembangunan, khususnya pembangunan di bidang hukum Agraria, karena dengan diketahuinya penerapan suatu ketentuan Hukum
Agraria dan bagaimana tanggapan masyarakat, akan
makin menyempurnakan ketentuan hukum yang bersangkutan dan mengambil langkah-langkah dalam rangka tercapainya tertib hukum di bidang hukum Agraria dan tertib administrasi pertanahan nasional.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perjanjian Bagi Hasil Menurut Hukum Adat
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian.
Perjanjian Bagi Hasil ini merupakan suatu perjanjian yang sudah dikenal dan sudah tidak asing lagi bagi masyarakat pedesaan, yang sebagian besar dari mereka umumnya adalah petani. Namun Perjanjian pengusahaan tanah dengan Bagi Hasil di setiap daerah di Indonesia tidak sama namanya. Pada umumnya pemakaian nama pada Perjanjian Bagi Hasil itu menggunakan bahasa daerah setempat, seperti.1
a. Menperduoi (Mingkabau)
b. Toyo (Minahasa)
c. Tesang (Sulawesi Selatan)
d. Maro (1:1), Mertelu (1:2); (Jawa Tengah).
e. Nengah (1:1,) Jejuron (1:2); (Priangan).
1 Xxxx Xxxxxxx, Hukum Adat, Sketsa Adat, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hal 37
Pengertian Perjanjian Bagi Xxxxx dalam Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa :
Bagi Xxxxx hampir secara universal terdapat pada masyarakat pertanian kecil di seluruh dunia, di mana seorang petani pemilik tanah mengajak petani lain untuk menggarap seluruh atau sebagian tanah miliknya dengan perjanjian bahwa si penggarap menyerahkan sebagian yang telah ditentukan terlebih dahulu dari hasil panennya kepada pemilik tanah.2
Undang-Undang Nomor. 2 Tahun 1960 Pasal 1 huruf C, mengatur bahwa Perjanjian Bagi Xxxxx adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada pihak lain, yang dalam undang-undang ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha
Apabila Xxmilik Tanah membuat perjanjian dengan orang lain untuk mengerjakan tanahnya, mengelola dan menanami tanaman, dengan perjanjian bahwa hasil dari tanah itu dibagi dua (Jawa: Maro; Pariangan: Nengah; Sumatera: Pardua; Sulawesi
2 Baru-xxx Xxxxx, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar, 1980), hal. 354
Selatan: Tesang; Minahasa: Toyo), maka perjanjian demikian itu disebut “Perjanjian Bagi Hasil”.3
Xxxxx Xxxxxxx “Hak Usaha Bagi Hasil adalah hak seseorang atau badan hukum (yang disebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah milik kepunyaan orang lain (yang disebut pemilik) dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya”. 4
Transaksi ini terjadi jika pemilik tanah meberikan izin kepada orang lain untuk mengerjakan tanah itu dengan perjanjian bahwa yang dapat izin harus memberikan sebagian (separuh) hasil tanah kepada pemilik tanah.5
2. Perjanjian Dalam Hukum Adat
Bentuk-bentuk perjanjian yang dikenal dalam hukum adat antara lain:
a. Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit merupakan suatu perjanjian meminjamkan uang dengan atau tanpa bunga, atau barang-barang tertentu
3 Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2003), hal. 228
4 Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Udang pokok Agraria, isi dan Pelaksanaan,(Jakarta: djambatan, 1997), hal. 116
5 Xxxxxxxxx Xxxxxxx Xxxx, Hukum Adat Dulu, Kini dan Akan Datang, (Makassar: Pelita Pustaka, 2009), hal 148
yang harus dikembalikan sesuai dengan nilainya masing-masing pada saat yang telah disepakati.
b. Perjanjian Tebasan
Perjanjian tebasan terjadi apabila seseorang menjual basil tanamannya sesudah tanaman itu berbuah dan sebentar lagi akan dipetik.
c. Perjanjian Perburuhan
Perjanjian perburuhan ini terjadi apabila seseorang mempekerjakan orang lain yang bukan keluarganya dengan diberi upah berupa uang atau ditanggung segala biaya kehidupannya sepenuhnya.
d. Perjanjian Pemeliharaan
Isi perjanjian pemeliharaan adalah bahwa pihak yang satu- pemelihara menanggung nafkahnya pihak lain-terpelihara, lebih- lebih selama masa tuanya, pula menanggung pemakamannya dan pengurusan harta peninggalannya. Sedangkan sebagai imbalan, si pemelihara mendapat sebagian harta peninggalan si terpelihara, dimana kadangkadang bagian itu sama dengan bagian seorang anak.
e. Perjanjian Bagi Hasil
Mengenai perbuatan "bagi basil" (deelbouw) dan perbuatan "bagi laba" (deelwining) merupakan bentuk kerja sama semacam "kongsi" (maatschap) diantara pemilik tanah dengan pekerja mengerjakan tanahnya. Setelah tanah dikerjakan, ditanami, dipanen hasilnya, maka diadakan pembagian basil antara pemilik tanah dan pekerja berdasarkan perimbangan yang disetujui kedua pihak menurut kebiasaan yang berlaku, bagi dua (maro), bagi tiga (mertelu), atau bagi empat (merampat).6
Dalam bagi basil ini terlibat dua pihak, yaitu antara pihak pemilik di satu sisi dan pihak penggarap pada sisi yang lain. Hubungan diantara mereka didasarkan pada saling tolong menolong balk sebagai kerabat atau hubungan keluarga, maupun sebagai tetangga dalam suatu masyarakat.
Objek perjanjian bagi hasil adalah bukan tanah tetapi melainkan tenaga dan tanaman. Oleh karena objeknya bukan tanah, maka kepala persekutuan tidak perlu mengesahkan perjanjian ini. Lagi pula surat keterangan mengenai perjanjian- perjanjian demikian jarang dibuat.
Lebih lanjut ditegaskan pula bahwa :
Transaksi tanah bukan bidang tanahnya yang menjadi objek perjanjian melainkan kekayaannya, pengolahannya atau dijadikan
jaminan. Dengan demikian bidang tanah hanya tersangkut saja, bidang tanah hanya seolah-olah sebagai lampiran dari pokok, misalnya perjanjian bagi hasil, perjanjian sewa, perjanjian berpadu, perjanjian semu atau tanah sebagai lampiran.7
Dalam penjelasan Pasal 1 huruf a UU Nomor 2 Tahun 1960, bahwa yang terkena oleh ketentuan Undang-undang ini adalah tanah yang biasanya dipergunakan untuk penanaman bahan makanan, dengan tidak dipersoalkan macam haknya. Jadi mungkin tanah milik, tanah eigendom-agraris, tanah jogolan, dan lain-lain. Tetapi yang ditanam diatas tanah tersebut tidak pula mesti tiap-tiap tahun bahan makanan, melainkan dapat pula ditanam dengan tanaman lain, asalkan tanaman tersebut berumur pendek.
Hukum adat yang telah mencakup segala peraturan mengenai tingkah laku manusia (rule of behaviour), serta yang bersumber pada perusahaan keadilan dan kesadaran hukum rakyat ini.
3. Hakekat dan Latar Belakang Terjadinya Perjanjian Bagi Hasil.
Di lihat dari segi hakekat perjanjian bagi hasil ini terdapat tiga faktor utama yaitu:8
Dasarnya : Pemilik tanah tidak ada kesempatan atau semangat untuk mengusahakannya sendiri sampai berhasilnya,
7 Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, Op, cit, hal. 227
oleh karna itu dibuat perjanjian dengan orang lain supaya mengolah atau dikerjakan, ditanami dan memberikan sebagian dari hasil penennya kepada pemilik tanah.
Fungsinya : Memproduktifkan milik tanak tanpa mengusahakan sendiri dan memproduktifkan tenaga kerja tanpa memiliki tanah.
Obyeknya : Tenaga kerja dan tanaman, bukan tanah.
Melihat hasil dari pada Perjanjian Bagi Xxxxx terseut berarti perjanjian tersebut harus ada dua pihak, yaitu pihak pertama yang disebut sebagai pemilik tanah dan pehak kedua disebut sebagai pihak penggarap. Transaksi atau perjanjian ini akan terjadi jika telah diberikan izin oleh pemilik tanah kepada orang lain yang biasa disebut penggarap. Tanpa ada suatu izin dari pemilik tanah maka transaksi tersebut tidak akan pernah terjadi.
Sebagai latar belakang terjadinya perjanjian bagi hasil antara lain karena:9
• Bagi Pemilik Tanah:
a. Mempunyai tanah tidak mampu atau tidak berkesempatan untuk mengerjakan tanahnya sendiri.
b. Keinginan mendapatkan hasil tanpa susah payah dengan memberi kesempatan kepada orang lain mengerjakan tanah miliknya.
• Bagi penggarap:
a. Tidak atau belum mempunyai garapan dan atau belum mempunai pekerjaan tetap.
b. Kelebihan waktu bekerja karena milik tanah terbatas luasnya, tanah sendiri tidak cukup.
c. Keinginan mendapatkan tambahan hasil garapan.
4. Hubungan Hukum Antara Pemilik Tanah Sawah Dengan Petani Penggarap
10 Ibid, hal.142
Hubungan antara pemilik tanah sawah dengan petani penggarap berlangsung atas dasar rasa kekeluargaan dan tolong menolong, dan sebagai asas umum didalam hukum adat apabila seseorang menanami tanah orang lain dengan persetujuan atau tanpa persetujuan berkewajiban menyerahkan sebagian hasil tanah itu kepada pemilik tanah (penjelasan umum UU No.2 Tahun 1960). Asas ini tidak hanya berlaku untuk tanah kosong, tanah lading, tanah kebun atau sawah, tetapi juga untuk perairan, perikanan dan peternakan.10
5. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil
Perjanjian bagi hasil pada umumnya dilakukan secara lisan antara pemilik tanah dengan penggarap. Kehadiran serta bantuan dari kepala adat atau kepala Desa tidak merupkan syarat untuk sahnya perjanjian bagi hasil, bahkan jarang dilibatkan akta dari perbuatan hukum tersebut. Transaksi bagi hasil dapat dilakukan oleh:11
a. Pemilik tanah
b. Pembeli gadai tanah
c. Pembeli tahunan atau oyodan.
d. Pemakai tanah kerabat
e. Pemegang tanah jabatan atau tanah bengkok.
6. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil
Jangka waktu dalam perjanjian bagi hasil dalam hukum adat di tetapkan oleh kedua belah pihak, dan tidak ada ketentuan yang pasti. Pada umumnya perjanjian bagi hasil ini berakhir atau diakhiri sesudah setiap panen, tergantung pada kesepakatan pemilik tanah atau penguasah tanah dengan penggarap, dan ada kalanya berlansung turu temurun kepada ahli warisnya.
7. Hak dan Kewajiban Pemilik Tanah dan Penggarap
00 Xxx Xxxxxxxxxx, xxx, Xxxxxxxx Aspek Hukum Adat, (Semarang: Badan Undip, 2000), hal.72
Pemilik tanah dan penggarap masing-masing mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipatuhi dan dilaksanakan. Sipembagi hasil/penggarap berhak atas asil tanaman (sebagian) tapi ia tidak berhak atas tanahnya. Seperti yang dikatan oleh Xxx Xxxx, penggarap berhak menuntut kerugian dari sipemilik tanah, tapi ia tidak dapat menuntut untuk mendapatkan tanahnya, jika penggarap tidak diperbolehkan mengerjakan tanah tersebut.12 Ia berhak juga dianggab sebagai pemilik tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya. Selain itu ia berhak juga menuntut dari apa yang yang diperjanjikan dalam transaksi tersebut. Misalnya pemenuhan dari pemilik dalam hal pemberian bibit, puput, penyerahan lembu untuk membajak, dan lain-lain (apabila diperjanjikan sebelumnya). Selain dari hak-hak tersebut diatas, sipembagi hasil/penggarap tersebut diatas juga mempunyai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan kepada pemilik, yaitu mengusahakan tanah tersebut agar produktif yaitu dengan mengerjakan, menanami tanah tersebut sampai selesai panen, kemudian menyerahkan sebagian hasil panen tersebut kepada pemilik tanah (sebagian). Kemudian menyerahkan?mengembalikan tanah yang bersangkutan apabial jangka waktu perjanjian sudah berakhir.
Hak dari pemilik tanah yaitu menerima sebagian hasil panen dan menerima pengembalian tanah yang bersangkutan jika masa
12 Mr.B. Ter Haar Bzn (Penerjemah: K. Ng. Soebakti Poesponoto), Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Jakarta: PT. Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2001), hal. 103
perjanjian telah berakhir. Dengan kata lain pemilik tanah berhak menuntut atas pemenuhan suatu prestasi (sesuai yang diperjanjikan) kepada penggarap. Adapun kewajiban dari pemilik antara lain yaitu memberikan atau membiarkan penggarap berada diatas tanah miliknya tersebut unutu dikerjakan, menanami tanah tersebut. Juga apabila ada ketentuan-ketentuanlain yang diperjanjikan ia harus memenuhinya.
B. Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
1. Pengertian Perjanjian Bagi Hasil
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil ditentukan bahwa:
Perjanjian Bagi Hasil ialah, perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik tanah pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam Undang- Undang ini disebut “penggarap” berdasarkan perjanjian mana penggarap diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian diatas tanah pemilik, dengan
pembagian hasilnya antara kedua belah pihak.
Subyek dari perjanjian bagi hasil adalah orang atau badan hukum. Secara umum subyek perjanjian bagi hasil petani penggarap dan pemilik dapat digolongkan sebagimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yaitu:
1. Pemilik
- Ialah orang atau badan hukum yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah
2. Petani
- Ialah orang, baik yang mempunyai maupun tidak mempunyai tanah yang mata pencaharian pokoknya adalah mengusahakan tanah untuk pertanian.
3. Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil disebutkan mengenai jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil, yaitu :
Pasal 4
1. Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada Pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang-
kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun.
2. Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya Perjanjian Bagi Hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
3. Jika pada waktu berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil diatas tanah yang bersangkutan masih terdapat tanaman yang belum dapat dipanen, maka perjanjian tersebut berlaku terus sampai waktu tanaman itu selesai dipanen, tetapi perpanjangan waktu itu tidak boleh lebih dari satu tahun.
4. Jika ada keragu-raguan apakah tanah yang bersangkutan itu sawah atau tanah-kering, maka Kepala Desalah yang memutuskan.
Pasal 5.
1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 6, maka perjanjian bagi-hasil tidak terputus karena pemindahan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain.
2. Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan
kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru.
3. Jika penggarap meninggal dunia maka Perjanjian Bagi Hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 6.
1. Pemutusan Perjanjian Bagi Hasil sebelum berakhirnya jangka waktu perjanjian termaksud dalam Pasal 4 ayat 1 hanya mungkin dalam hal-hal dan menurut ketentuan-ketentuan dibawah ini :
a. Atas persetujuan kedua belah fihak yang bersangkutan dan setelah mereka laporkan kepada Kepala Desa;
b. Dengan izin Kepala Desa atas tuntutan Pemilik, didalam hal Penggarap tidak mengusahakan tanah yang bersangkutan sebagaimana mestinya atau tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan sebagian dari hasil tanah yang telah ditentukan kepada pemilik atau tidak memenuhi bahan- bahan yang menjadi tanggungannya yang ditegaskan didalam surat perjanjian tersebut pada Pasal 3 atau tanpa izin dari pemilik menyerahkan penguasaan tanah yang bersangkutan kepada orang lain.
2. Kepala Desa memberi izin pemutusan Perjanjian Bagi Hasil
yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan kedua belah pihak, setelah
usahanya untuk lebih dahulu mendamaikan mereka itu tidak berhasil.
3. Didalam hal tersebut pada ayat 2 Pasal ini Kepala Desa menentukan pula akibat daripada pemutusan itu.
4. Jika Pemilik dan/atau Penggarap tidak menyetujui keputusan Kepala Desa untuk mengijinkan diputuskannya, perjanjian sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini dan/atau mengenai apa yang dimaksud dalam ayat 3 diatas, maka soalnya dapat diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah Pihak.
5. Camat melaporkan secara berkala kepada Bupati/Kepala Daerah Swatantra Tingkat II semua keputusan yang diambilnya menurut ayat 4 pasal ini.
4. Besarnya Bagian Dalam Perjanjian Bagi Hasil
Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil ditentukan bahwa:
Ayat (1) : Besarnya bagian hasil-tanah yang menjadi hak penggarap dan pemilik untuk tiap-tiap Daerah Swatantara Tingkat II ditetapkan oleh Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II yang bersangkutan, dengan memperhatikan jenis tanaman, keadaan
tanah, kepadatan penduduk, zakat yang disisihkan
sebelum dibagi dan faktor-faktor ekonomis serta ketentuanketentuan adat setempat.
Ayat (2) : Bupati/Kepala Daerah Swatantra tingkat II memberitahukan keputusannya mengenai penetapan pembagian hasil-tanah yang diambil menurut ayat 1 pasal ini kepada Badan Pemerintah Harian dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang bersangkutan.
5. Kewajiban Pemilik dan Penggarap dalam Perjanjian Bagi Hasil Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil ditentukankan bahwa Kewajiban Pemilik dan Penggarap adalah sebagai berikut:
Pasal 8.
1. Pembayaran uang atau pemberian benda apapun juga kepada Pemilik yang dimaksudkan untuk memperoleh hak mengusahakan tanah Pemilik dengan Perjanjian Bagi Hasil, dilarang.
2. Pelanggaran terhadap larangan tersebut pada ayat 1 Pasal ini berakibat, bahwa uang yang dibayarkan atau harga benda yang
diberikan itu dikurangkan pada bagian Pemilik dari hasil tanah termaksud dalam Pasal 7.
3. Pembayaran oleh siapapun, termasuk Pemilik dan Penggarap, kepada Penggarap ataupun Pemilik dalam bentuk apapun juga yang mempunyai unsur-unsur ijon, dilarang.
4. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana dalam Pasal 15, maka apa yang dibayarkan tersebut pada ayat 3 diatas itu tidak dapat dituntut kembali dalam bentuk apapun juga.
Pasal 9.
Kewajiban membayar Pajak mengenai tanah yang bersangkutan dilarang untuk dibebankan kepada Penggarap, kecuali kalau Penggarap itu adalah Pemilik tanah yang sebenarnya.
Pasal 10.
Pada berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab tersebut pada Pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada Pemilik dalam keadaan baik.
6. Hal-hal yang Dilarang Dalam Perjanjian Bagi Hasil Petani Penggarap dan Petani Pemilik
Pasal 11.
Perjanjian Bagi Hasil yang sudah ada pada waktu mulai berlakunya undang-undang ini, untuk panen yang berikutnya harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Pasal-pasal diatas.
Pasal 12.
Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini tidak berlaku terhadap perjanjian perjanjian bagi hasil mengenai tanaman keras.
7. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil Petani Penggarap dan Petani Pemilik
Pasal 13.
1. Jika Pemilik dan/atau Penggarap tidak memenuhi atau melanggar ketentuan dalam surat perjanjian tersebut pada Pasal 3 maka baik Camat maupun Kepala Desa atas pengaduan salah satu fihak ataupun karena jabatannya, berwenang memerintahkan dipenuhi atau ditaatinya ketentuan yang dimaksudkan itu.
2. Jika Pemilik dan/atau Penggarap tidak menyetujui perintah Kepala Desa tersebut pada ayat 1 diatas, maka soalnya diajukan kepada Camat untuk mendapat keputusan yang mengikat kedua belah fihak.
Pasal 14.
Jika Pemilik tidak bersedia mengadakan Perjanjian Bagi Hasil menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini, sedang tanahnya tidak pula diusahakan secara lain, maka Camat, atas usul Kepala Desa berwenang untuk, atas nama Pemilik, mengadakan Perjanjian Bagi Hasil mengenai tanah yang bersangkutan.
8. Akibat dalam Perjanjian Bagi Hasil Petani Penggarap dan Petani Pemilik
Pasal 15.
1. Dapat dipidana dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya Rp.10.000,-;
a. Pemilik yang tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 3 atau Pasal 11;
b. Penggarap yang melanggar larangan tersebut pada Pasal 2;
c. Barang siapa melanggar larangan tersebut pada Pasal 8 ayat 3.
2. Perbuatan Pidana tersebut pada ayat 1 diatas adalah pelanggaran.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh Data yang diperlukan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas maka penulis melakukan penelitian di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Maros, sebab di Desa Panakkukang masih banyak terdapat lahan
Pertanian yang digarap dengan Sistem Perjanjian Bagi Hasil.
Disamping itu, warga Desa Panakkukang masih konsisten mempertahankan aspek-aspek Hukum Adat dalam melaksanakan hubungan hukum berkaitan dengan Perjanjian Bagi Hasil tanah Pertanian.
B. Jenis dan Sumber Data
Dalam Pengumpulan Data, sumber data yang Penulis akan gunakan adalah :
1. Data Primer, yaitu pengumpulan data melalui Metode kuisioner dan wawancara di Badan Pusat Statistik (BPS) Gowa, Dinas Pertanian Gowa, Kantor Desa, Tokoh Masyarakat terutama antara Pemilik Tanah Sawah dan Petani Penggarap di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
2. Data Sekunder, pengumpulan data yang dilakukan melalui penusuran buku-buku, laporan-laporan penelitian serta peraturan perundang-undangan dan bahan tulis yang berkaitan erat dengan objek yang akan dibahas.
C. Teknik Pengumpulan Data
1. Metode Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni melalui metode Penelitian Kepustakaan (Library research) dan Metode Penelitian Lapangan (Field Research).
a. Metode penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian yang dilakukan guna mengumpulkan sejumlah data dari berbagai literature yang ada yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
b. Metode Penelitian Lapangan (Field Research), yakni penelitian yang dilakukan melalui wawancara langsung dan terbuka dalam bentuk Tanya jawab kepada narasumber berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi ini, yaitu Kepala Desa Mattirotasi, Camat Kecamatan Gowa, serta tokoh-tokoh masyarakat di Desa Panakkukang. Selain itu juga dilakukan pembagian kuisoner terhadap warga Desa Panakkukang dalam hal ini dipilih dengan sengaja para pemilik lahan pertanian sebanyak 5 orang dan penggarap lahan pertanian sebanyak 5 orang sebagai responden.
2. Metode Pengumpulan Data
a. Xxxxxxxxx (interview), yakni teknik pengumpulan data,
dimana penulis mengadakan Xxxxx jawab dengan para narasumber yang terkait dengan masalah yang dibahas.
b. Dokumentasi, yakni pengumpulan data, dimana penulis mengambil data dengan mengamati dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang diberikan oleh pihak yang terkait dalam hal ini di Kantor Desa Panakkukang Kecamtan Pallangga Kabupeten Gowa.
c. Kuisioner, yakni teknik pengumpulan data, dimana penulis membagikan angket kepada para pihak yang terlibat langsung dengan masalah yang dibahas.
D. Analisis Data
Semua data yang dikumpulkan baik data primer maupun data sekunder akan dianalisis secara kualitatif yaitu uraian menurut mutu, yang berlaku dengan kenyataan sebagai gejala data primer yang dihubungkan dengan teori-teori dalam data sekunder untuk menghasilkan kesimpulan. kemudian disajikan secara deskriptif, guna memberikan pemahaman yang jelas dan terarah dari hasil penelitian mengenai bentuk pelaksanaan perjanjian bagi asil usaha pertanian dan bentuk penyelesaian sengketa antara pemilik tanah sawah dengan penggarap sawah di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten gowa.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten Gowa
Gowa merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan dengan luas 1.883,33 km2 atau sama
dengan 3,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan terletak pada 5.577305437o Lintang Selatan, 120.0317o Bujur Timur. 119.37730 Bujur Barat dan 5.08293428620 Lintang Utara.
Wilayah Kabupaten Gowa terbagi dalam 18 Kecamatan dengan jumlah Desa/Kelurahan definitif sebanyak 167 dan 726 Dusun/Lingkungan dengan Kecamatan terluas adalah Kecamatan Tombolo Pao yang berada di daerah pegunungan Dengan luas
251.82 km2, sedangkan Bajeng Barat merupakan kecamatan terkecil dengan luas 19.04 Km2.
Jumlah Penduduk di Kabupaten Gowa sampai pada Tahun 2012 tercatat sebanyak 659.513 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 324.021 Jiwa, dan Penduduk Perempuan sebanyak
335.429 Jiwa. Sebagian besar penduduk bekerja disektor Pertanian.
Curah hujan di Kabupaten Gowa yaitu 237,75 mm dengan suhu 27,125°C. Curah hujan tertinggi yang dipantau oleh beberapa stasiun/pos pengamatan terjadi pada Bulan Desember yang mencapai rata-rata 676 mm, sedangkan curah hujan terendah pada Bulan Juli - September yang bisa dikatakan hampir tidak ada hujan.
2 Gambaran Umum Wilayah Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa
Kecamatan Pallangga merupakan daerah dataran yang berbatasan Sebelah Utara Kecamatan Sombaopu Sebelah Selatan Kecamatan Bajeng Sebelah Barat Kecamatan Barombong, sedangkan di Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Bontomarannu. Dengan jumlah desa/kelurahan sebanyak 16 (enam belas) desa/kelurahan dan dibentuk berdasarkan PERDA No. 7 Tahun 2005. Ibukota Kecamatan Pallangga adalah Mangalli dengan jarak sekitar 3 km dari Sungguminasa. luas Kecamatan Pallangga adalah 48,24 km2 dan terdiri dari 16 (enam belas) daerah Administrasi.
Enam belas daerah Administrasi tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah berikut ini :
Tabel 1
Luas Kelurahan dan desa di kecamatan Pallangga
No | Desa/Kelurahan | Luas Area (km2) | Persentase Luas Kecamatan (%) | Dusun/ Lingkungan |
1 | Jenetallasa | 3,22 | 6,67 | 4 |
2 | Tetebatu | 2,51 | 5,20 | 2 |
3 | Pallangga | 4,07 | 8,44 | 5 |
4 | Bungaejaya | 3,02 | 6,26 | 3 |
5 | Pa’nakkukang | 1,69 | 3,50 | 4 |
6 | Julukanaya | 3,08 | 6,38 | 3 |
7 | Julubori | 4,37 | 9,06 | 3 |
8 | Julupamai | 2,70 | 5,60 | 3 |
9 | Bontoramba | 6,09 | 12,62 | 4 |
10 | Kampili | 5,35 | 11,09 | 4 |
11 | Toddotoa | 3,08 | 6,38 | 5 |
12 | Parangbanoa | 2,15 | 4,46 | 4 |
13 | Pangkabinanga | 1,89 | 3,92 | 3 |
14 | bontoala | 1,25 | 2,59 | 3 |
15 | Mangalli | 1,50 | 3,11 | 3 |
16 | Taeng | 2,27 | 4,71 | 2 |
Jumlah 2011 | 48,24 | 100,00 | 55 |
Sumber : Data Sekunder, 2012-2013, diolah
Kecamatan Pallangga jumlah Penduduk pada Tahun 2012 adalah sebanyak 99.715 jiwa. Dengan penduduk laki-laki sebanyak
49.170 jiwa, penduduk perempuan sebanyak 50.545 Jiwa dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Pallangga adalah 2.067 Jiwa/km2.
Tabel 2
Luas Panen dan Produksi Menurut Jenis Tanaman Di kecamatan Pallangga
Jenis Tanaman | 2010 | 2011 | ||
Luas panen (ha) | Produksi (Ton) | Luas panen (ha) | Produksi (Ton) | |
Padi Sawah | 3170,35 | 15.218 | 3170,35 | 15.218 |
Padi ladang | - | - | - | - |
Jagung | 198,68 | 1.043,07 | 198,68 | 1.043,07 |
Kedelai | - | - | - | - |
Kacang tanah | - | - | - | - |
Kacang hijau | 1.799 | 1326 | 1.799 | 1326 |
Ubi kayu | 228 | 3.557 | 228 | 3.557 |
Ubi jalan | 40,15 | 465,74 | 40,15 | 465,74 |
Sumber : Data Sekunder, 2012-2013, diolah
2.1 Letak Desa Panakkukang
Secara Administrasi Desa Panakkukang terletak di Wilayah Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa. Wilayah Desa Panakkukang secara Administrative dibatasi oleh wilayah-wilayah Desa-desa tentang sebagai berikut :
⮚ Sebelah Utara : Desa Pallangga dari Desa Bunga Ejaya Kec.
Pallangga
⮚ Sebelah Selatan : Desa Bontosunggu dan Desa Maradekaya Kec. Bajeng
⮚ Sebelah Barat : Desa Bontosunggu dan Desa Panciro Kec.
Bajeng
⮚ Sebelah Timur : Desa Julukanaya dan Desa Julubori Kec.Pallangga
Luas wilayah Desa Panakkukang adalah seluas 1,69 Km2 dan jarak dari Pusat Kota yakni Kecamatan Pallangga adalah 4 km2 dan jarak antara Desa Panakkukang ke Pusat Kota Sungguminasa adalah 9 km2 dimana wilayah itu memiliki 4 (empat) Dusun, yaitu
Dusun Kunjungmange, Dusun Bontobiraeng, Dusun Pajalau, dan
Dusun Parangma’lengu ditambah dengan Dusun Bontocinde sebagai dusun persiapan pemekaran dari Dusun Kunjungmange.
Desa Panakkukang berpusat di Dusun persiapan Bontocinde, dimana masyarakat dominan beragama Islam dengan bermata pencarian rata-rata sebagai petani.
2.2 Kondisi Topografi dan Kelerengan
Kemiringan lereng merupakan kondisi fisik topografi (ketinggian) suatu wilayah yang sangat berpengaruh dalam kesesuaian lahan dan banyak mempengaruhi penetaan lingkungan alami. Untuk kawasan terbangun, kondisi topografi berpengaruh terhadap terjadinya longsor dan terhadap konstruksi bangunan.
Kemiringan lereng merupakan faktor utama yang menetukan suatu daerah apakah layak dibudidayakan atau tidak. Penggunaan lahan untuk Desa Panakkukang berada pada wilayah dataran dengan ketinggian 0-300 meter di atas permukaan laut. Keadaan potografi Desa Panakkukang berada pada kisaran 0-8%.
2.3 Aspek Penggunaan Lahan
Pemanfaatan lahan di Desa Panakkukang dipengaruhi oleh beberapa faktor mendasar seperti kondisi fisik lahan dan aktivitas masyarakat sekitarnya. Kondisi tersebut membentuk penggunan
beserta fasilitas pendukungnya, lahan kosong dan lain sebagainya. Pola penggunaan lahan di Desa Panakkukang didominasi oleh lahan sawah. Desa Panakkukang juga didukung oleh sarana olahraga sebagai fasilitas pendukungnya.
Tabel 3
Data Pemanfaatan Lahan Desa Panakkukang
No | Pemanfaatan lahan | volume | Keterangan |
1 | Jalan | 10km | Lahan bukan untuk pertanian |
2 | Sawah | 226,8 Ha | Lahan pertanian |
3 | Perladangan | 17,82 Ha | Lahan bukan sawah untuk pertanian |
4 | Pemukiman | 48,30 | Lahan bukan untuk pertanian |
5 | Pekarangan | 11,82 Ha | Lahan bukan untuk pertanian |
6 | Perkantoran | 0,15 Ha | Lahan bukan untuk pertanian |
7 | Irigasi teknik | 208,93 Ha | Lahan untuk persawahan |
8 | Tanah wakaf | 2,50 Ha | Lahan bukan untuk pertanian |
Sumber : Data Sekunder, 2012-2013, diolah
Luas tanam padi sawah di Desa Panakkukang adalah 226,8 Hektar dan luas panen padi sawah tersebut adalah 226,8 hektar. Produksi padi di Desa Panakkukang adalah seberat 1.250 Ton Pertahun. Desa Panakkukang memiliki 6 (enam) Industry Penggilingan Padi. Hal tersebut memperkuat fakta bahwa Desa Panakkukang merupakan salah satu Desa di Kabupaten Gowa
yang yang menggantungkan hidup penduduknya di sektor Pertanian.
Jumlah pemilik tanah sawah dengan petani penggarap dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4
Jumlah Pemilik Tanah Sawah dengan Petani Penggarap
No | Jumlah Pemilik dan Penggrap | Ket. |
1 | Pemilik lahan/tanah persawahan | 300 |
2 | Petani Penggarap | 327 |
Jumlah | 627 |
Sumber : Data Primer, 2012-2013, diolah
Di Desa Panakkukang sendiri terdapat jumlah Pemilik Tanah sebanyak 300 orang sedangkan Petani Penggarap sendiri terdapat sebanyak 327 orang.
2.4 Iklim dan Curah hujan
Desa Panakkukang beriklim tropis dimana suhu udara mecapai rata-rata 23oC-30oC sepanjang tahun dan mengalami dua musim yaitu :
⮚ Musim Hujan yang berlanung antara bulan Oktober sampai bulan April
⮚ Msim Kemarau antara Mei sampai bulan Desember.
Curah hujan mencapai rata-rata 2000mm – 3000mm pertahun dan tertinggi terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari.
2.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Jumlah penduduk di Desa Panakkukang pada tahun 2012- 2013 sebanyak 5.239 Jiwa yang terdiri dari Laki-laki 2.591 jiwa atau (48.95%) dan Perempuan 2.648 Jiwa atau (51,05%) dengan jumlah Penduduk paling sedikit di Dusun Parangma’lengu 783 jiwa. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tebel berikut :
Tabel 5
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga
No | Dusun | Jumlah penduduk | jumlah | |
Laki-laki | perempuan | |||
1 | Kunjungmange | 1.223 | 1.254 | 2.477 |
2 | Bontobiraeng | 526 | 518 | 1.044 |
3 | Pajalau | 466 | 469 | 936 |
4 | Parangma’lengu | 376 | 407 | 783 |
5 | Bontocinde | - | - | - |
jumlah | 2.591 | 2.648 | 5.239 |
Sumber : Data Sekunder, 2012-2013, diolah
B. Sistem Penetapan Jangka Waktu Dalam Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Antara Pemilik Tanah Sawah Dengan Petani Penggarap di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa.
1. Latar Belakang Perjanjian Bagi Hasil
Lembaga Bagi Hasil terkadang berfungsi sebagai lembaga sosial untuk menolong sanak famili atau keluarga. Biasanya sebelum dibelahkan kepada orang lain, maka lebih dahulu ditawarkan kepada famili/keluarga yang tidak mempunyai tanah/lahan untuk menggarapanya. Jadi sanak keluarga menjadi prioritas utama, tetapi jika tidak ada keluarga yang berminat untuk menggarapnya, barulah ditawarkan kepada orang lain.
Tabel 6 Hubungan Kekeluargaan
Antara Pemilik dan Penggarap Di Desa Panakkukang
No | Keterangan | Jumlah | % |
1 | Ada | 3 | 30% |
2 | Tidak ada | 7 | 70% |
Jumlah | 10 | 100% |
Sumber : Data Primer, 2012, diolah
Dalam Perjanjian Bagi Hasil pada Masyarakat Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa yang diutamakan adalah yang masih mempunyai hubungan keluarga hal ini terbukti bahwa 30% responden. Selanjutnya apabilah pihak keluarga tidak bersedia menjadi penggarap, baru diserahkan kepada orang lain yang tidak mempunyai hubungan keluarga 70%.
Dalam kehidupan dimasyarakat segala perjanjian dibuat dalam semangat kerukunan antar sesama warga masyarakat. Begitu juga jika seorang Pemilik Tanah yang mempunyai Tanah/Lahan Pertanian yang sangat luas maka akan memberikan
suatu kesempatan kepada orang lain yang tidak mempunyai tanah garapan untuk mengerjakan tanahnya yang didasarkan dengan rasa kekeluargaan.
Xxx. Xxxxx Xx. Xxxxxxx menambahkan bahwa Hal-hal yang menjadi Latar belakang dari pada Perjanjian Bagi Hasil Pertanian di Desa Panakkukang ini adalah:13
1. Kalau dari pihak Pemilik tanah sendiri, Biasanya
- Tidak berkesempatan mengerjakan tanahnya sendiri.
- Rasa kekeluargaan.
- Tidak mampu mengerjakan tanah sendiri.
- Keinginan untuk mendapatkan hasil tanpa susah payah.
2. Sedangkan dari Petani Penggarap
- Rasa kekeluargaan.
- Tidak mempunyai tanah garapan.
- Untuk mendapatkan tambahan pendapatan.
2. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil Pertanian
Suatu Perjanjian dapat dituangkan kedalam bentuk tertulis maupun bentuk tidak tertulis atau biasa disebut secara lisan. Perjanjian tertulis dapat dibagi menjadi perjanjian dalam akta otentik maupun dibawah tangan. Menurut teori dapat diketahui bahwa tertulis atau tidaknya suatu pejanjian tidaklah mempengaruhi
13 Wawancara dengan Xxx. Xxxxx Xxxxxxx (Kepala Desa Panakkukang), 6 Januari 2013
syarat sahnya perjanjian. Perjanjian menurut hukum dianggap sah sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 13320 KUHPerdata, yaitu:
1. Kesepakatan antara para pihak
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Berdasarkan hasil Penelitian, ditemukan fakta bahwa Masyarakat Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa melakukan Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian hanya berdasarkan atas kepercayaan kepada masing-masing pihak dan Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian yang dilakukan oleh masyarakat Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa dilakukan dalam bentuk lisan saja.
Hal tersebut diatas diperkuat dengan keterangan dari Muh. Ilyas Dg. Xxxxxx, Kepala Dusun Pajalau dan sebagai ketua Kelompok Tani di Desa Panakkukang, yang menyatakan bahwa semua Perjanjian Bagi Hasil yang terjadi antara Pemilik Lahan Pertanian dengan Petani Penggarap dilakukan secara lisan saja tanpa dituangkan ke dalam akta tertulis. Selain itu, Perjanjian Bagi Hasil tersebut jarang dilakukan dengan di persaksikan oleh 2 (dua)
orang saksi. Walaupun ada yang menyaksikan, saksi tersebut
adalah keluarga dari para pihak yang secara kebetulan hadir pada saat terjadinya perjanjian.14
Lebih lanjut, sedangkan menurut Muh. Ridwan Dg. Raja salah satu tokoh Masyarakat Desa Panakkukang, Perjanjian Bagi Hasil Usaha Pertanian yang dilakukan oleh Pemilik Xxxxx Xxxxxxxxan dan Petani Penggarap di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa, tidak pernah dilaporkan kepada Kepala Desa bahkan kepada Kepala Dusun.
Keterangan Muh. Ridwan Dg. Raja tersebut dibenarkan oleh pernyataan Xxx. Xxxxx Xx. Xxxxxxx, Kepala Desa Panakkukang, bahwa sampai saat ini tidak ada Perjanjian Bagi Xxxxx Xxxxx Pertanian yang dituangkan dalam bentuk tertulis dengan disaksikan oleh Kepala Desa dan 2 (dua) orang saksi. Selanjutnya, beliau mengemukakan bahwa hanya perjanjian gadai tanah yang kadang dibuatkan dalam bentuk tertulis serta disahkan oleh Kepala Desa.15
Seluruh responden yang ada, baik dari Pemilik Tanah dan Petani Penggarap menyatakan bahwa mereka tidak pernah membuat Perjanjian Bagi Xxxxx tersebut disaksikan oleh Kepala Desa maupun di persaksikan dua orang saksi.
Tabel 7 Perjanjian Bentuk Tertulis
14 Wawancara dengan, Muh. Ilyas Dg. Sijaya Desa Panakkukang, 8 Desember 2012
Dalam Melaksanakan Perjanjian Bagi Hasil
No | Keterangan | Pemilik Tanah | Petani Penggarap | % |
1 | Dibuat secara Tertulis di depan Kepala Desa | - | - | - |
2 | Secara lisan dan tidak melibatkan Kepala Desa | 5 | 5 | 100% |
Jumlah | 10 | 100% |
Sumber : Data Primer, 2012-2013, diolah
Hal tersebut di atas telah menjadi kebiasaan masyarakat di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa, dari analisis data tersebut seluruh responden berpendapat bahwa tidak pernah melaksanakan Perjanjian Bagi Hasil dituangkan dalam bentuk tertulis dan di persaksikan oleh dua orang saksi dan di buat di depan Kepala Desa, sebab telah terjalin rasa kekeluargaan antara Pemilik Sawah dengan Petani Penggarap. Meskipun begitu, Perjanjian Bagi Hasil yang dilakukan masyarakat Desa Panakkukang bertentangan dengan Peraturan yang ada yaitu Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, dimana dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang ini mengatur :
Semua Perjanjian Bagi Hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara tertulis dihadapan kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan – selanjutnya dalam undang- undang ini disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap.
Selain tidak dibuat dalam bentuk tertulis dan dihadapan Kepala Desa, Perjanjian Bagi Hasil di Desa Panakkukang juga tidak mendapatkan pengesahan dari Camat yang seharusnya diperlukan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil,
Perjanjian Bagi Hasil yang termaksud dalam ayat 1 diatas memerlukan pengesahan dari camat/Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau pejabat lain yang setingkat dengan itu selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat”.
Berdasarkan Analisis semua responden yang tidak mengetahui adanya Peraturan yang mengatur tentang Perjanjian Bagi Hasil yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Setelah diberitahu pun seluruh responden beranggapan bahwa akan tetap melakukan Perjanjian Bagi Xxxxx secara Adat. Mereka beralasan bahwa Perjanjian Bagi Xxxxx secara Adat (kebiasaan) telah mereka lakukan secara turun temurun dan masih dapat berjalan dengan baik.
Tabel 8
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Perjanjian Bagi Hasil
No | Keterangan | Pemilik tanah | Petani penggarap | % |
1 | Belum Pernah Mengetahui Adanya UU No.2 Thn 1960 | 5 | 5 | 100% |
2 | Mengetahui Adanya Perjanjian Bagi Hasil (UU No.2 Thn 1960) | - | - | - |
Jumlah | 10 | 100% |
Sumber : Data Primer, 2012, diolah
Dari Tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa 100% responden berpendapat bahwa belum pernah mengetahui sebelumnya tentang adanya Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil tersebut.
Isi dari Perjanjian Bagi Hasil sendiri, hanyalah mengatur sedikit hak dan kewajiban para pihak. Hak dari pemilik lahan pertanian dan petani penggarap hanyalah hasil dari lahan pertanian (sawah) tersebut dalam bentuk gabah. Sedangkan kewajiban dari pemilik lahan, hanya memberikan kuasa kepada petani penggarap untuk mengelolah lahan pertanian (sawah) miliknya dan menanggung biaya-biaya yang disepakati bersama. Kewajiban petani penggarap sendiri adalah mengelolah lahan sawah yang dikuasakan oleh pemilik lahan sawah kepadanya serta mengeluarkan biaya-biaya yang telah disepakatinya bersama pihak pemilik lahan sawah.
Biaya-biaya yang timbul tersebut antara lain:
1. Biaya benih padi
2. Biaya pupuk
3. Biaya penyewaan traktor
4. Biaya pengairan sawah (irigasi)
Dari biaya-biaya tersebut timbul di atas, pada kenyataannya biaya yang ditanggung oleh petani penggarap lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang ditanggung oleh pemilik lahan. Bahkan tidak sedikit lahan yang keseluruhan biaya penggarapannya ditanggung oleh petani penggarapnya.
Hasil lahan pertanian (sawah), dalam hal ini berbentuk gabah, yang menjadi hak dari pihak pemilik lahan dan petani penggarap yaitu sebesar 50% bagi masing-masing pihak dari Hasil panen yang di dapat. Hasil tersebut dibagi rata setelah upah dari buruh tani (pembajak) dibayarkan. Menurut seluruh responden pembagian hasil dengan rata antara kedua belah pihak, yaitu (50 : 50) sudah cukup adil.
Sedangkan keterangan dari Muh. Ilyas Dg. Sijaya, bawa selama ini tidak menemukan variasi Perjanjian Bagi Hasil selain dari pembagian hasil secara rata (50 : 50) bagi kedua belah pihak. Menurutnya apabila ada kerugian yang diderita oleh salah satu pihak merupakan bagian dari resiko yang harus ditanggung dari sebuah pekerjaan.16
Petani Penggarap sudah diuntungkan oleh karena mereka diberikan kesempatan oleh pemilik lahan untuk menggarap
lahan/sawah walaupun ia tidak memiliki lahan /sawah begitupun
sebaliknya pemilik lahan juga di untungkan karena dapat memperoleh hasil dari lahan miliknya tanpa harus bersusah payah menggarap/mengelolah lahan tersebut. Namun pada kenyataannya, petani penggarap mengalami kerugian terutama pada saat menurunnya hasil panen dari lahan sawah yang Ia garap, dikarenakan mayoritas biaya-biaya yang timbul selama masa penggapan ditanggung oleh pihak petani penggarap, sebagimana kita dapat melihat pada tabel 9 berikut ini
Tebel 9
Biaya-biaya yang Timbul Selama Masa Penggarapan
No | Biaya yang Ditanggung | Pihak Yang Menanggung | |
Penggarap | Pemilik | ||
1 | Benih | 5 | - |
2 | Pupuk | 5 | - |
3 | Traktor | 5 | - |
4 | Irigasi | 5 | - |
Sumber : Data Primer, 2012, diolah
Dari tabel 9 diatas dapat dilihat bahwa biaya-biaya yang timbul selama masa penggarapan lahan sawah, umumnya ditanggung oleh pihak penggarap, bahkan keseluruhan biaya penggarapannya ditanggung sendiri oleh pihak petani penggarap.
Menurut Xxxxx Xx. Nanggong salah satu Responden dari pihak penggarap berpendapat bahwa seringkali menderita kerugian dikarenakan biaya-biaya yang di keluarkan selama masa
penggarapan lebih besar dibandingkan dengan hasil yang di
peroleh dari pembagian atas hasil panen dari lahan yang di garap/kelola terutama disaat terjadinya penurunan hasil panen. tetapi kerugian yang di derita merupakan suatu resiko yang harus diterima manakala hasil panen yang ia peroleh sedang menurun sehingga tidak mendatangkan keuntungan baginya.17
3. Penetapan Jangka Waktu
Dari hasil penelitian yang dilakukan pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil tanah pertanian di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa yang penulis ambil sebagai sampel, semua petani di Desa Panakkukang tersebut tidak menentukan atau menggunakan ketentuan yang mengatur mengenai jangka waktu berlangsungnya Perjanjian Bagi Hasil pertanian tersebut. Namun mengenai jangka waktu ini akan disesuaikan menurut kebiasaan yang berlaku ditempat tersebut. Jangka waktu perjanjian yang dilaksanakan di Desa Panakkukang biasanya tidak ditentukan diawal perjanjian tetapi akan di bahas setelah masa panen selesai karena yang dapat menentukan jangka waktu itu hanya pemilik tanah apakah pemilik masih mau menyerahkan tanahnya kepada penggarap tersebut untuk di garap kembali dengan ketentuan bagaimana cara kerja petani penggarap selama melakukan perjanjian dengan pemilik sebelumnya, baik atau tidaknya hasilnya ditentukan oleh pemilik tanah sawah.
17 Wawancara dengan, Xxxxx Xx. Nanggong (Penggarap) Desa Panakkukang, 6 Januari 2013
Hal tersebut diatas diperkuat dengan keterangan dari Muh. Ilyas Dg. Sijaya, Kepala Dusun Pajalau dan sebagai Ketua kelompok Tani di Desa Panakkukang, beliau berpendapat bahwa Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil yang terjadi antara Pemilik lahan pertanian dengan Petani Penggarap belum pernah menetapkan berapa lama jangka waktu yang harus di tetapkan selama akan melakukan Perjanjian Bagi Hasil seperti yang diatur oleh Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 dan perjanjian yang dilakukan hanyalah sampai kapan batas panen itu berakhir dan semua itu hanya dilakukan secara lisan saja tanpa dituangkan ke dalam akta tertulis.18
Perjanjian Bagi Hasil pertanian baru dimulai setelah ada kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap. Dimana penggarap telah diijinkan untuk mengerjakan, mengusahakan dan menanami tanah yang bersangkutan dan telah ditentukan pula siapa yang harus menanggung biaya yang telah dikeluarkan, tetapi tidak menentukan mengenai berapa lama perjanjian yang berlangsung, sehingga perjanjian ini dapat berakhir sewaktu-waktu.
Mengenai jangka waktu perjanjian yang tidak disinggung oleh para pihak disebabkan karena berakhirnya atau selesainya perjanjian bagi hasil ini tergantung dari pemutusan perjanjian yang dilakukan oleh salah satu pihak yang bersangkutan setelah
18 Wawancara dengan, Muh. Ilyas Dg. Sijaya Desa Panakkukang, 8 Desember 2012
perjanjian tersebut berlansung berapa lama. Tetapi ditentukan bahwa hal ini harus dilakukan dengan cara kekeluargaan setelah panen selesai atau kemungkinan adanya kegagalan panen.
Selain tersebut diatas berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan yang mana untuk jangka waktu yang tidak ditentukan atau tidak pasti ini, Untuk lebih jelasnya mengenai jangka waktu ini dapat dilihat pada tabel 10 berikut.
Tabel 10
Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Atas Tanah Pertanian Di Desa Panakkukang
No | Keterangan | Pemilik | Penggarap | % |
1 | Ditentukan | - | - | - |
2 | Tidak Ditentukan | 5 | 5 | 100% |
Jumlah | 10 | 100% |
Sumber : Data Primer, 2012-2013,diolah
Berdasarkan data pada tabel 10 di atas, dapat dijelaskan bahwa Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil atas tanah pertanian tidak ditentukan secara tegas. seluruh responden menyatakan bahwa Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil ini berlaku untuk sekali panen saja, maka berakhir pula perjanjian yang dibuat para pihak dan tidak tertutup kemungkinan perjanjian itu akan diperpanjang kembali, asal kedua belah pihak sepakat untuk itu, dengan demikian perjanjian dapat berlansung secara berkelanjutan selama penggarap masih mau mengolah tanah/lahan atau selama
pemilik masih mengizinkan penggarap untuk mengerjakannya.
Disamping Perjanjian Bagi Hasil yang dapat diakhiri untuk setiap kali panen, Perjanjian Bagi Hasil yang jangka waktunya tidak ditentukan untuk beberapa kali musim tanam dan tidak satupun dari responden yang menentukan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil.
Xxx. Xxxxx Xxxxxxx selaku Kepala Desa Panakkukang menambahkan bahwa Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil ini berlaku untuk sekali panen saja bahkan tidak menentukan mengenai berapa lama perjanjian akan berlangsung, sehingga perjanjian ini dapat berakhir sewaktu-waktu. Mengenai perjanjian yang dapat berakhir sewaktu-waktu ini ditentukan oleh pemilik tanah.19
Tentang tidak adanya ketentuan Penetapan Jangka Waktu untuk beberapa kali musim tanam artinya hanya satu musim tanam saja, berarti hal ini terhadap tanah/lahan yang membutuhkan pengelolahan secara khusus, misalnya tanah yang harus dicetak ulang, karena sudah lama tidak diusahai, sehingga kondisinya menjadi rusak. Terhadap tanah/lahan seperti ini sangat memerlukan perlakuan khusus, sehingga diperlukan Perjanjian Bagi Hasil dengan memakai Jangka Waktu tertentu, agar penggarap dapat memperoleh hasil yang seimbang dengan tenaga yang ia korbankan. Alangka baiknya kepada penggarap diberikan hak istimewa untuk memperoleh hasil satu atau dua kali musim
19 Wawancara dengan Xxx. Xxxxx Xxxxxxx (Kepala Desa Panakkukang), 7 Desember 2012
panen, dan baru pada musim panen berikutnya pemilik memperoleh bagian dari hasil tanaman tersebut.
Tabel 11
Perbedaan Jangka Waktu Untuk Pengelolaan Tanah Kering dan Tanah Basah
No | Keterangan | Pemilik lahan | Petani penggarap | % |
1 | Tidak Ada Perbedaan untuk pengelolahan tanah kering dan tanah basah | 3 | 2 | 50% |
2 | Ada perbedaan untuk pengelolaan tanah kering dan tanah basah | 2 | 3 | 50% |
Jumlah | 5 | 5 | 100% |
Sumber : Data Primer, 2012-2013, diolah
Dari tabel 11 diatas dapat dilihat bahwa untuk tanah/lahan kering 50% dari responden berpendapat bahwa tidak ada perlakuan khusus untuk lahan kering. Sedangkan 5 responden lainnya mempunyai perbedaan untuk tanah/lahan kering dan biasanya jangka waktu yang diberikan untuk tanah kering ini berkisar 5-6 bulan.
Meskipun begitu, Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil yang dilakukan masyarakat Desa Panakkukang bertentangan dengan Peraturan yang ada yaitu Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, dimana dalam Pasal 4 ayat 1
Undang-undang ini mengatur
Perjanjian Bagi Hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan didalam surat perjanjian tersebut pada Pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurang- kurangnya 3 (tiga) tahun dan bagi tanah-kering sekurang- kurangnya 5 (lima) tahun.
Ada pula permasalahan yang timbul dari hasil kuisioner yang di bagikan kepada 10 responden dimana sebagian responden berpendapat bahwa sering terjadi pemutusan perjanjian padahal batas waktu panen belum sampai pada waktunya atau belum berakhir.
Tabel 12 Pemutusan Perjanjian Bagi Hasil
No | Keterangan | Responden | % | |
Penggarap | Pemilik | |||
1 | Pemutusan Perjanjian Sebelum Batas Panen Berakhir | 4 | 2 | 60% |
2 | Tidak Terjadi Pemutusan Perjanjian | 1 | 3 | 40% |
Jumlah | 10 | 100% |
Sumber : Data Primer, 2012-2013,diolah
Dari tabel 12 di atas dapat dilihat bahwa 60% responden yang mengatakan pernah mengalami pemutusan perjanjian sebelum batas panen berakhir dan 40% responden mengatakan belum pernah mengalami pemutusan perjanjian sebelum batas panen berakhir dengan alasan pemutusan yang terjadi karena bentuk pengelolahan sawah yang dilakukan oleh penggarap masih kurang baik cara pengelolaan tanah sawah dan akan kemungkinan berdampak pada hasil panen yang kurang baik.
Muh. Ilyas Dg. Sijaya menambahkan bahwa putusnya perjanjian tersebut kebanyakan terjadi apabila cara kerja penggarap itu lamban dan tidak mempunyai keseriusan dalam mengelola sawah misalnya lamban dalam hal pembajakan sawah, penanaman dan kurang memperhatikan pengairan sawah tersebut. Sebenarnya penilaian pemilik tanah kepada penggarap tersebut dengan cara, bagaimana keseriusan penggarap dalam melakukan Perjanjian Bagi Hasil tanah sawah dari cara pertama kerja di persawahan.20
Penetapan Jangka Waktu ini sangat di butuhkan oleh masyarakat di Desa Panakkukang khususnya kalangan petani penggarap untuk kelangsungan hidup dan perekonomian mereka, bahkan dari seluruh responden dari pihak penggarap berpendapat bahwa mereka ingin bisa bekerja terus untuk waktu yang lama.
Tabel 13
Penetapan Jangka Waktu yang Di Butuhkan Untuk Kelangsungan Hidup Penggarap
No | Keterangan | Penggarap |
1 | Belum Menjamin kebutuhan ekonomi | 5 |
2 | Penetapan jangka waktu yang di inginkan a. Tidak ada batasnya b. Seumur hidup c. Sepanjang masih sanggup menggarap tanah pemilik. | 5 |
Sumber : Data Primer, 2012-2013, diolah
20 Wawancara dengan, Muh. Ilyas Dg. Sijaya Desa Panakkukang, 5 januari 2013
Terhadap kasus-kasus sebagaimana dikemukakan diatas, Penentuan Jangka Waktu minimal dan memadai sangat diperlukan, tujuannya agar pihak penggarap tidak merasa dirugikan, sedangkan untuk tanah/lahan yang kondisinya normal atau tidak memerlukan perlakuan khusus, maka Jangka Waktu Perjanjian tidak perlu ditentukan, sehingga pemilik dapat saja mengakhiri perjanjian untuk setiap kali habis panen dan dapat juga berlangsung secara berkesinambungan, asal saja para pihak masih saling menghendaki agar perjanjian itu dapat terus dilanjutkan, tanpa ada pembatasan waktu.
Ketentuan mengenai Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil atas tanah pertanian yang berlaku di Desa Panakkukang sebagaimana yang telah diuraikan di atas, sangat berbeda dengan yang terdapat dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960, dalam Pasal 4 ayat (1) menegaskan bahwa Perjanjian Bagi Xxxxx untuk lahan sawah sekurang-kurangnya 3 tahun dan tanah kering minimal
5 tahun. Disini dapat dilihat bahwa apa yang berlaku pada masyarakat di Desa Panakkukang dalam melakukan Perjanjian Bagi Hasil, umumnya mengikuti ketentuan sebagaimana diatur menurut adat kebiasaan yang berlaku ditempat tersebut. Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh ter Haar, bahwa Perjanjian Bagi Hasil tanam dapat diakhiri setiap kali panen21.
Menurut uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa masih terdapat dimana nasib petani penggarap masih jauh dari kesejahteraan untuk kebutuhan hidup dan prekonomiannya masih kurang di bandingkan dengan tenaga yang mereka keluarkan selama bercocok tanam sebab kedudukan Pemilik Tanah dalam Perjanjian Bagi Hasil jauh lebih kuat. Hal ini menegaskan bahwa penerapan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil tidak dapat berjalan efektif temasuk bagaimana Penetapan Jangka Waktu yang di atur di dalamnya di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa. Padahal Undang-undang tersebut di buat dalam rangka usaha akan melindungi golongan yang ekonominya lemah terhadap praktek- praktek yang sangat merugikan mereka dari golongan yang kuat sebagaimana halnya dengan hubungan Perjanjian Bagi Hasil yang diuraikan di atas, maka dalam bidang Agraria diadakanlah Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, yang bertujuan mengatur Perjanjian Bagi Hasil tersebut, dengan maksud:
1. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil, baik
21 B. Ter Haar Bzn, Op. Cit. Hal. 108
penggarap maupun pemilik tanah saling menguntungkan satu sama lain tanpa ada yang merasa dirugikan.
2. Dengan menegaskan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari pemilik dan penggarap agar terjamin pula kedudukan hukum yang layak bagi para penggarap, yang biasanya dalam perjanjian bagi-hasil itu berada dalam kedudukan yang tidak kuat, yaitu karena umumnya tanah yang tersedia tidak banyak, sedang jumlah orang yang ingin menjadi penggarapnya adalah sangat besar.
3. Dengan terselenggaranya apa yang tersebut pada angka 1 dan 2 di atas, maka akan bertambahlah kegembiraan bekerja pada para petani-penggarap, hal mana akan berpengaruh baik pada caranya memelihara kesuburan dan mengusahakan tanahnya. Hal itu tentu akan berpengaruh baik pula pada produksi tanah yang bersangkutan, yang berarti suatu langkah maju dalam melaksanakan program akan melengkapi “sandang-pangan” rakyat.
Dengan diadakannya peraturan ini maka lembaga bagi hasil yang di dalam susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini pada kenyataannya masih hidup dan mempunyai segi- segi sosial maupun ekonomis yang tidak dapat dengan sekaligus diganti dan dilenyapkan agar dapat dipergunakan dan
dilangsungkan sesuai dengan fungsinya dalam masyarakat, karena
dapat mengakhiri dan mencegah penyalahgunaan dalam penyelenggaraannya.
Walaupun terdapat banyak kekurangan dan bukan hanya satu pihak mengaku kerap menderita kerugian, namun keseluruhan responden (10 orang) berpendapat bahwa Perjanjian Bagi Hasil usaha pertanian di Desa Panakkukang yang dilakukan menurut kebiasaan masih ingin mereka pertahankan karena aturan yang meraka lakukan selama ini khususnya dalam melakukan “attesang” sudah dari turun-temurun dan sebagian di antara mereka berpendapat bahwa Perjanjian Bagi Hasil yang dilakukan secara adat ini masih dapat di pertahankan.
C. Faktor-faktor yang Menyebabkan Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil Pertanian Belum Sesuai dengan Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 di Desa Panakkukang Kecamatan Pallanga Kabupaten Gowa.
Hal- hal yang menyebabkan seluruh Masyarakat Petani di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil antara lain karena tidak adanya Sosialisasi baik dari Perangkat Desa maupun dari Aparat Desa maupun dari aparat terkait, juga karena kurangnya wawasan dan karena
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat petani dan adanya
kebiasaan buruk dari masyarakat itu sendiri yang terbiasa menyepelekan setiap peraturan yang berhubungan dengan pertanian, selain itu juga disebabkan karena masih kuatnya Hukum Adat yang berlaku di masyarakat setempat dengan mendasarkan bentuk perjanjian hanya dengan lisan saja, mereka saling percaya satu sama lainnya, sehingga apabila ada pihak yang wanprestasi sulit untuk diporses secara hukumnya, karena bukti yang dapat dijadikan alasan wanprestasi tersebut tidak ada.
Perjanjian lisan yang terjadi dilingkungan masyarakat pedesaan ini sudah menjadi kebiasaan, mereka merasa sungkan atau bahkan merasa berlebihan seandainya suatu perjanjian itu harus dituangkan dalam bentuk tertulis, sedangkan mengenai wanprestasi atau salah satu dari mereka, misal ingkar janji, maka secara otomatis pihak aparat desa mendatanginya dan membicarakannya secara baik-baik, sedangkan jika memang sudah tidak bisa ditempuh dengan jalan baik-baik atau musyawarah diantaranya, kebanyakan dari mereka menerimanya dengan ikhlas dan lapang dada, karena mereka masih berpegang pada adat masing-masing daerah yang malu membawa masalah sampai pada urusan kepolisian. Menurut penulis, perjanjian yang dilakukan secara lisan ini sangatlah rawan akan resiko yang akan diambilnya kelak. Jadi sedini mungkin diberikan masukan-masukan agar setiap
melakukan perjanjian dibuat secara tertulis, dengan disertai dengan
kehadiran saksi-saksi. Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa sehingga tidak melaksankan Perjanjian Bagi Hasil pertanian menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 yaitu22:
a) Masyarakat tidak mengetahui adanya ketentuan Perjanjian Bagi Hasil pertanian yang diatur dalam Undang-undang tersebut karena tidak adanya sosialisasi dari perangkat desa maupun dinas yang terkait
b) Kurangnya wawasan dari masyarakat karena rendahnya tingkat pendidikan
c) Adanya kebiasaan buruk dari masyarakat yang menyepelekan setiap peraturan yang berhubungan dengan pertanian
d) Masih kuatnya sistem kekeluargaan di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa, sehingga menyesampingkan bentuk perjanjian tertulis dan hanya berdasarkan pada kepercayaan.
Menurut Xxxxxxxx Xxxx (Kepala Bidang Tanaman Pangan) di Dinas Pertanian Bahwa belum pernah ada sebelumnya rancangan dari pihak Pemerintah untuk mengadakan Sosialisasi tentang Peraturan mengenai Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960
(Perjanjian Bagi Hasil) dengan alasan bahwa sebelumnya beliau
belum pernah mengetahui adanya atuaran tentang Undang Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Beliau juga berpendapat bahwa perjanjian yang dilaksanakan oleh masyarakat terutama di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa pada umumnya sudah berjalan dengan baik dan walaupun dilaksanakan berdasarkan kesepakatan tanpa tertulis antara pihak pemilik dan penggarap.
Sedangkan menurut beliau Penetapan Jangka Waktu yang dilakukan oleh pemilik tanah sawah dengan petani penggarap ini alangka baiknya Penetapan Jangka Waktu itu harus ada dan menurutnya itu suatu hal penting. Tetapi kenyataanya di Desa Panakkukang tidak pernah menetapkan Jangka Waktu selama melakukan Perjanjian Bagi Hasil tersebut dan dari pihak Pemerintah sebelumnya belum pernah mengadakan Sosialisasi tentang Perjanjian Bagi Hasil terutama mengenai Penetapan Jangka Waktu itu sendiri (hasil kuisioner di Dinas Pertanian)
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian pada hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan
1. Mengenai Penetapan Jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa tidak ditentukan jangka waktu berlakunya perjanjian. Dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 mengatur bahwa Perjanjian Bagi Hasil diadakan untuk jangka waktu yang ditentukan/dinyatakan dalam surat perjanjian dengan ketentuan sekurang-kurang 3 tahun untuk sawah dan sekurang- kurangnya 5 tahun untuk tanah kering, sedangkan yang dimaksud disini adalah tahun tanaman dan bukan tahun kelender. Ketentuan ini dimaksud supaya kedudukan penggarap lebih terjamin dalam mengerjakan tanah garapan tersebut, yang mana nantinya ini akan berpengaruh terhadap penggarap, sehingga akan dapat mengerjakan tanah garapannya tersebut dan berusaha dengan semaksimal hasil produksi. Dengan meningkatnya hasil produksi maka keadaan ekonomi petani penggarap akan semakin meningkat serta taraf hidupnya menjadi lebih tinggi, sehingga tercapai kemakmuran dalam kehidupannya.
Dengan hasil produksi yang tinggi atau banyak maka akan menguntungkan juga bagi pemilik tanah, karena bagian hasil tanah yang akan diperolehnya juga semakin banyak. Sehingga kedua belah pihak baik pemilik tanah maupun penggarap akan sama-
sama mendapatkan keuntungan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Masyarakat Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa sehingga tidak melaksankan Perjanjian Bagi Hasil menurut Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 yaitu:
a. Masyarakat tidak mengetahui adanya ketentuan bagi hasil pertanian yang diatur dalam Undang-undang tersebut karena tidak adanya sosialisasi dari perangkat desa maupun dinas yang terkait
b. Kurangnya wawasan dari masyarakat karena rendahnya tingkat pendidikan
c. Adanya kebiasaan buruk dari masyarakat yang menyepelekan setiap peraturan yang berhubungan dengan pertanian
d. Masih kuatnya sistem kekeluargaan di Desa Panakkukang Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa, sehingga menyesampingkan bentuk perjanjian tertulis dan hanya berdasarkan pada kepercayaan.
B. Saran-Saran
Perlu diadakan Sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya Perjanjian Bagi Hasil khususnya mengenai Pnetapan jangka waktu dituangkan kedalam bentuk tertulis dan
disaksikan oleh Kepala Desa serta di saksikan 2 (dua) untuk
mengantisipasi sewaktu-waktu terjadinya masalah yang timbul dari ketiadaan bukti perjanjian secara tertulis.
Penyelesaian masalah yang timbul dengan cara Musyawarah semaksimal mungkin harus dipertahankan dan dikedepankan sebagai ciri khas kehidupan masyarakat Indonesia. Apabila penyelesaian ini mengalami kebuntuan barulah diusahakan penyelesaian berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan.
Perlu diadakan Sosialisasi dan pemahaman Peraturan Perundang-undangan dalam rangka terciptanya pelaksaan Perjanjian Bagi Hasil usaha pertanian yang berdasarkan Undang-undang yang berlaku sehinga terjadi pembagian Hak dan Kewajiban antara Pemilik Lahan/Sawah dengan Petani Penggarap yang seimbang.
Diperlukan adanya kerja sama antara Perangkat Desa setempat dengan Instansi terkait serta Pemilik Lahan/Sawah dan Petani Penggarap dalam melakukan Sosialisasi Peraturan Perundang- undangan yang terkait dengan Perjanjian Bagi Hasil usaha pertanian agar terjadinya kepastian hukum yang dilakukan oleh para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Xxxx Xxxxxxx. 1981. Hukum Adat, sketsa Adat. Yogyakarta: Liberty Xxxxx Xxxxxxx. 1999. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan
Undang-Udang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: djambatan
Xxxx-xxx Xxxxx. 1980, Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: PT. Ichtiar Xxxxxx Xxxxxxxxxx. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia.
Bandung: Mandar Maju
Xxxxxxxxx Xxxxxxx, 2009. “Hukum Adat, Dulu Kini dan Akan Datang”, Makassar: Pelita Pustaka
Xxxxxx Xxxxxxxxxx. 1990. Hukum Perjanjian Adat. Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx
Sri Sudaryatmi. 2000. Beberapa Aspek Hukum Adat. Semarang: Badan Undip
Mr. B. Ter Haar Bzn. Penerjemah: K. Ng. Soebakti Poesponoto .2008. Asas-Asas Susunan Hukum Adat, Jakarta: PT. Xxxxxxx Xxxxxxxx
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok pokok Agraria.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 4 Tahun 1964 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil.
Instruksi Presiden No.13 tahun 1980 Tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No.2 tahun 1960
Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian Nomor 211 Tahun 1980 No.714/Kpts/Um/9/1980 Tentang pedoman pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia No.13 tahun 1980.
Website
xxxx://xxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxx- hasil.html, terakhir diakses 18 Juni 2012, pukul 20.30 WITA
xxxxxxx.xxxxx.xx.xx/00000/0/XXXXX__XXX.xxx, terakhir diakses 17 Juni 2012,Pukul 13.12 WITA
xxxxxxx.xxxxx.xx.xx/00000/0/Xxxxxxx.xxx, terakhir di akses pada 17 Juli 2012, Pukul. 13.16 WITA
xxxxxxx.xxxxx.xx.xx/00000/0/0000XXXX0000.xxx, terakhir di akses pada 17 Juli 2012, Pukul. 13.40 WITA
xxxxxxx.xxxxx.xx.xx/00000/0/X_X_Xxxxxxxx.xxx, terakhir di akses pada 17 Juli 2012, Pukul. 14.00 WITA