ARTIKEL
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KESEIMBANGAN KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT USAHA MIKRO
ARTIKEL
Oleh:
XXXXXXXXX XXXXXXXXX XXXXXXX NIM. 0910110141
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM MALANG
2013
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KESEIMBANGAN KEDUDUKAN PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT USAHA MIKRO
Oleh:
Xxxxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx NIM. 0910110141
ABSTRAK
Kredit yang diberikan oleh bank perlu diamankan, tanpa adanya pengamanan bank sulit untuk mengelak dari resiko yang timbul sebagai akibat dari tidak berprestasinya debitur. Oleh karena itu bank mengikat debitur dalam perjanjian kredit usaha mikro sebagai dasar hubungan hukum antara bank dan nasabah. Bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank yang bersangkutan. Sehingga menimbulkan kesan bahwa dalam perjanjian kredit usaha mikro telah terjadi ketidak seimbangan kedudukan diantara para pihak. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan nuansa baru karena undang-undang ini mengatur agar pelaku usaha tidak semena-mena dalam mencantumkan klausula baku dalam menawarkan barang dan jasa. Akan tetapi dari analisis bahan hukum primer berupa perjanjian kredit usaha mikro, masih ditemukan klausul yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan pencantuman klausul baku yang diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hal tersebut dikarenakan beberapa ketentuan dalam Pasal 18 tersebut dinilai memberatkan pihak bank.
Adapun tujuan dari dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian kredit usaha mikro yang dibuat oleh pihak bank telah sesuai dengan asas keseimbangan sebagaimana tersirat dalam KUH Perdata dan
Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dan untuk mengetahui bagaimana perjanjian kredit usaha mikro yang memiliki kedudukan seimbang bagi para pihak
Metode penulisan menggunakan penelitian yuridis normatif dan metode pendekatan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute-approach) dan pendekatan analitis (analytical-approach).
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat disimpulkan perjanjian kredit usaha mikro tidak memenuhi asas keseimbangan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Undang-undang Perlindungan Konsumen. Dan bentuk perjanjian kredit usaha mikro yang memiliki kedudukan seimbang bagi para pihak adalah adalah perjanjian yang selain melindungi hak dan kewajiban pihak bank, juga memperhatikan dan melindungi hak dan kewajiban pihak nasabah debitur.
Kata Kunci:
- Asas Keseimbangan
- Bank dan Nasabah
- Perjanjian Baku
ABSTRACT
Loans granted by bank needs to be secured, without securing bank is difficult to circumvent risks arising as a result of the debtor underachievement. Therefore, the bank binds the debtor in micro credit agreement as the basis of the legal relationship between the bank and the customer. The form and format of the credit agreement left entirely to the bank. But there are things that still need to be guided, that the substance of the agreement should not be the vague or unclear, but it is also the agreement should at least pay attention to the validity and legal requirements. It is intended to prevent the nullification of the agreement made (invalidity) so that, at the time a legal action (the agreement) is not to violate a provision of the legislation. The legislation of the Republic of Indonesia No. 8 of 1999 on Consumer Protection
provides a fresh new look for this law set the businessmen not to arbitrarily specify the standard clause in offering goods and services. However, from the analysis of primary legal materials in the form of micro credit agreement, still found the clause to the contrary or inconsistent with the provisions of the inclusion of a standard clause set out in Article 18 of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection. That is because some of the provisions in Article 18 is considered burdensome for bank.
The purpose of this research is to determine whether the micro credit agreement made by the bank in accordance with the principle of balance as contained in the Civil Code and Article 18 paragraph (1) of Law No. 8 of 1999 on Consumer Protection.
Writing method using normative research approaches and methods of approach legislation (statute-approach) and the analytical approach (analytical- approach).
The results obtained from this study are expected to provide a clear description and detailed, systematic and thorough legal review of the equilibrium position of the parties to the micro credit agreement.
Keyword:
- Principle of balance
- Bank and consumen
- Standart contract
A. PENDAHULUAN
Semakin meningkatnya aktivitas perbankan di masyarakat, presentase bank dalam menghadapi berbagai macam masalah juga semakin meningkat. Selain itu, jenis kejahatan yang terjadi akibat aktifitas pemberian jasa perbankan oleh bank semakin lama semakin bertambah kompleks. Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi pihak bank untuk mengikat para krediturnya dengan suatu perjanjian. Hal ini dimaksudkan agar pihak bank memperoleh kekuatan hukum dan jaminan
pelunasan hutang dari pada debiturnya. Dalam dunia perbankan, perjanjian seperti ini lazim disebut dengan perjanjian kredit perbankan. 1
Perjanjian atau verbintenis sendiri mengandung pengertian suatu hubungan hukum Kekayaan/harta benda antara dua orang/ lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk memberi prestasi.2
Menurut XX. Xxxxx Xxxxxxx, dalam tulisannya mengenai Sekitar Klausul- klausul Perjanjian Kredit Bank, perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok. Artinya, perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidaknya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan. Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur. Perjanjian kredit berfungssi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit.3
Bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada bank. Namun ada hal-hal yang tetap harus dipedomani, yaitu bahwa perjanjian tersebut rumusannnya tidak boleh kabur atau tidak jelas, selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah adanya kebatalan dari perjanjian yang dibuat(invalidity) sehingga pada saat dilakukannya perbuatan hukum (perjanjian) tersebut jangan sampai melanggar suatu ketentuan perundang-undangan. Berdasarkan uraian mengenai perjanjian baku tersebut dapat dilihat bahwa perjanjian baku itu tidak memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, khususnya ketentuan mengenai kebebasan berkontrak. Padahal Undang-undang telah mengakui hak seseorang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan siapapun serta bebas pula menentukan isi perjanjian tersebut yang dikenal asas kebebasan berkontrak yang tersirat dalam Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan nuansa baru karena undang-undang ini mengatur agar pelaku usaha tidak semena-mena dalam mencantumkan klausula baku
1 X. Xxxxx Xxxxxxx, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1996, hal 6.
2 Ibid.
3 CH. Xxxxx Xxxxxxx, Sekitar Kalusul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen, 1992, hal 64-69.
dalam menawarkan barang dan jasa. Akan tetapi dari analisis bahan hukum primer berupa perjanjian kredit usaha mikro, masih ditemukan klausul yang bertentangan atau tidak sesuai dengan ketentuan pencantuman klausul baku yang diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen. Hal tersebut dikarenakan beberapa ketentuan dalam Pasal 18 tersebut dinilai memberatkan pihak bank.4
Melihat sangat pentingnya keseimbangan antara kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit usaha mikro, maka peneliti mencoba mengangkat tema ”tinjauan yuridis terhadap keseimbangan kedudukan para pihak dalam perjanjian kredit usaha mikro”.
B. MASALAH
1. Apakah dalam perjanjian kredit usaha mikro antara bank dan nasabah telah sesuai dengan asas keseimbangan sebagaimana tersirat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?
2. Bagaimana perjanjian kredit usaha mikro yang memiliki kedudukan seimbang bagi para pihak?
C. METODE
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah yuridis- normatif. Penelitian yuridis-normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi normatifnya yang objeknya adalah hukum itu sendiri.5 Pertimbangan yang digunakan dalam menentukan jenis penelitian ini adalah analisis terhadap ketentuan dalam perjanjian kredit usaha rakyat apakah sudah terdapat keseimbangan kedudukan pihak BPR sebagai kreditur dan nasabah
4 Xxxxx Xxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 12.
5 Xx. Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxx&Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Malang, 2011, hal 57.
sebagai debitur dan dapat dinilai sesuai ataukah melanggar peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Metode pendekatan yang digunakan dalam jenis penelitian yuridis-normatif ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute-approach) dan pendekatan analitis (analytical-Approach). Pendekatan perundang-undangan (statute-approach) digunakan untuk meneliti apakah kredit usaha rakyat yang berbentuk perjanjian baku dapat dinilai sesuai apabila perjanjian tersebut dilihat dari Ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata terutama buku III yang menjadi dasar terjadinya perikatan diantara para pihak, maupun dinilai dengan ketentuan dalam Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen khususnya Pasal 18 ayat 1 mengenai ketentuan pencantuman perjanjian baku. Pendekatan analitis (analytical-approach) digunakan untuk menganalisis konsep yuridis tentang asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak sehingga dapat menjawab permasalahan hukum yang ada sehingga tercipta kepastian hukum.
D. PEMBAHASAN
1. Perjanjian kredit usaha mikro yang antara Bank dan nasabah dianalisis dengan asas keseimbangan sebagaimana tersirat dalam pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal 1320 yang mencerminkan asas keseimbangan dapat ditemukan pada Pasal 1320 ayat (1). Menurut Subekti, klausul sepakat dimaksudkan bahwa kedua subyek yang menyatakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan oleh para pihak. Maka dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) tersebut secara tidak langsung mengehendaki dalam suatu hubungan yang dibuat oleh para pihak terdapat keseimbangan kehendak.6 Kemudian ketentuan dalam Pasal 1338 yang menekankan asas kebebasan berkontrak dan harus adanya itikad baik semakin menekankan harus adanya suatu keseimbangan diantara para pihak di dalam perjanjian.7Sedangkan perjanjian kredit antara bank dan nasabah hanya dibuat oleh pihak bank secara
6 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hal 17.
7 Wibowo Turandy, Asas-asas Perjanjian (online), xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxx-xxxx-xxxxxxxxxx, (19 September 2012).
sepihak. Dengan demikian perjanjian kredit usaha mikro tidak memenuhi asas keseimbangan menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Selanjutnya perjanjian kredit usdaha mikro dianalisis dengan asas keseimbangan menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Bahwa diundangkannya Undang-undang Perlindungan Konsumen terutama ketentuan dalam Pasal 18 Undang-undang Perlindungan Konsumen sebagai bentuk intervensi Pemerintah terhadap asas kebebasan berkontrak, yang mana asas kebebasan berkontrak adalah salah satu barometer dari keseimbangan kedudukan para pihak. Akan tetapi dalam perjanjian kredit usaha mikro masih ditemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan oleh bank dengan alasan ketentuan yang dilanggar oleh bank tersebut dirasa memberatkan pihak bank. Dengan demikian perjanjian kredit usaha mikro juga belum memenuhi asas keseimbangan menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen.
2. Pihak bank tidak dapat disalahkan secara sepenuhnya atas pencantuman klausul baku yang melanggar ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut. Terdapat beberapa hal yang mengakibatkan lembaga perbankan tidak dapat menjalankan undang-undang tersebut, dalam arti bahwa apabla ketentuan dalam Pasal
18 Undang-undang Perlindungan Konsumen dijalankan, maka akan sangat memberatkan lembaga perbankan. Memperhatikan kondisi tersebut, terdapat persoalan yang seakan-akan lembaga perbankan tidak mengindahkan hukum positif yakni Undang-undang Perlindungan Konsumen karena perjanjian yang dibuat antara nasabah dengan bank seharusnya tunduk kepada Undang-undang Perlindungan konsumen.8
Sifat bank yang mempunyai karakteristik berbeda dengan industri lain juga dijelaskan melalui beberapa asas dan pikiran serta perundang-undangan. Penjelasan
8 Deggan Xxxxx Xxxxxx, Risiko Hukum yang Terjadi di dalam Perjanjian Kredit Bank dalam Kaitannya dengan Perlindungan Konsumen, Skripsi Tidak Diterbitkan, Sumatera Utara, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2008, hal 59.
ini berkaitan dengan alasan yang menjadi dasar argumen oleh bank untuk menimpangi ketentuan dalam Undang-undnag Perlindungan Konsumen tersebut.9
Sebenarnya dapat di mengerti, tujuan dari pencantuman sejumlah klausul eksonerasi dalam perjanjian kredit tersebut dimaksudkan sebagai upaya bank untuk melindungi dirinya dari resiko-resiko yang mungkin timbul dari kegiatan pemberian kredit. Karena dana yang di salurkan oleh bank kepada nasabah debitur sebagian besar berasal dari nasabah penyimpan dana, dengan demikian bank juga mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap kepentingan masyarakat umum.10 Bank dalam menjalankan usahanya, tidak ingin mengalami kerugian yang disebabkan nasabah debitur tidak sanggup atau tidak mampu mngembalikan utangnya. Perjanjian kredit bank yang memuat sejumlah klausul yang tidak “wajar” atau timpang tadi, ternyata justru kurang menguntungkan pihak perbankan sendiri, karena adanya klausul yang demikian justru dimanfaatkan nasabah debitur yang nakal dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan yang meminta agar pengadilan membatalkan perjanjian kredit bank yang demikian, karena didalam pembuatannya telah terjadi “penyalahgunaan keadaan”. Walaupun pada saat penanda-tanganan perjanjian kredit bank tersebut, bank berkedudukan dalam posisi yang kuat, sebaliknya pada saat pelaksanaan perjanjian kredit bank, bank menjadi pihak yang lemah, karena ada kemungkinan suatu sebab pengembalian ataupun pelunasan kreditnya mengalami masalah. Sementara itu penyelesaian kredit sendiri mengalami berbagai hambatan, baik dari segi hukum maupun non hukum.11
9 Ibid., hal 60.
10 Ibid.
11 Xxxxxxxx Xxxxx, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hal 277.
3. Perjanjian kredit usaha mikro yang memiliki kedudukan seimbang bagi para pihak adalah perjanjian yang selain melindungi hak dan kewajiban pihak bank, juga memperhatikan dan melindungi hak dan kewajiban pihak nasabah debitur. Untuk melindungi hak dan kewajiban yang dimiliki oleh debitur dapat dilakukan dengan penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, f dan h, ayat (2), dan ayat (3) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain itu juga dapat dilakukan sesuai dengan penerapan Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang salah satu aspek didalamnya mencakup upaya untuk melindingi dan memberdayakan nasabah. Sedangkan untuk melindungi kepentingan pihak bank upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengkajian kembali terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf e dan g karena ketentuan dalam pasal tersebut dirasa memberatkan pihak bank.
4. Apabila perlindungan dan kepastian hukum yang selama ini diberikan oleh undang- undang dan keputusan pengadilan dirasa belum cukup, apabila kepentingan umum menghendaki, maka kita dapat mendesak pihak penguasa agar mengambil sebagian dari “kebebasan berkontrak” dan mengaturnya dalam ketentuan undang-undang yang memaksa. Bila hal itu dirasakan akan memakan waktu yang terlalu lama maka pihak perbankan dengan kerja sama dengan pihak pengadilan dan lembaga konsumen, atau badan lain yang dianggap bisa mewakili kepentingan para nasabah pengambil kredit, dapat merumuskan bersama klausul-klausul yang memenuhi kebutuhan para pihak dan tidak melanggar unsur kepatutan demi kepastian hukum dan sekaligus juga harus diusahakan kesepakatan penafsiran atas klausul-klausul yang bersangkutan. Hanya saja yang perlu diperhatikan adalah bahwa pengaturan tersebut hendaknya dilakukan dengan memperhatikan sistem dan asas hukum yang berlaku. Disamping itu, untuk mengurangi keberatan-keberatan seperti tersebut diatas, pihak bank juga perlu memperhatikan:
(a) Memberikan peringatan secukupnya kepada calon debitur akan adanya dan berlakunya klausul-klausul penting dalam perjanjian kredit;
(b) Pemberitahuan dilakukan sebelum atau pada saat penanda tanganan perjanjian kredit;
(c) Dirumuskan dalam kata-kata dan kalimat yang mudah dipahami oleh calon debitur;
(d) Xxxberikan kesempatan yang cukup kepada calon debitur untuk mengetahui isi perjanjian.
5. Sementara belum ada undang-undang yang seperti tersebut diatas, demi mengurangi ketidakpatutan dalam pelaksanaan isi suatu perjanjian oleh kedua belah pihak, hakim bisa mengambil sikap:
(a) Menindak secara tegas pelaku usaha yang melanggar ketentuan pencantuman klausul baku dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, f dan h, ayat (2), dan ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
(b) Berkenaan dengan penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf e dan g Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khusus bagi pihak perbankan, pengadilan hendaknya menilik itikad baik yang dijalankan oleh bank dalam melaksanakan fungsi dan usahanya dan sewajarnyalah bila bank yang demikian terjamin stablitas usahanya. Karena itu pengadilan seyogianya secara seimbang juga memperhatikan kepentingan bank yang berkedudukan sebagai lembaga keuangan yang bekerja dengan uang simpanan masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Dengan sendirinya pengadilan berkewajiban untuk melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana dari kerugian dan
bank sebagai bagian dari sistem moneter yang lainnya dan sekaligus akan mempengaruhi kesejahteraan masyarakat;12
6. Kata-kata yang tidak jelas diberikan penafsiran yang sempit.
E. PENUTUP
A. Kesimpulan
(1) Perjanjian kredit usaha mikro antara bank dan nasabah tidak memenuhi asas keseimbangan sebagaimana telah tersirat dalam Pasal 1320 dan 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata karena dalam perjanjian tersebut hanya dibuat oleh salah satu pihak saja. Selanjutnya, perjanjian kredit usaha mikro dianalisis berdasarkan asas keseimbangan menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai pencantuman klausul baku. Dari penelitian yang telah dijabarkan diatas dapat disimpulkan perjanjian kredit usaha mikro juga tidak memenuhi asas keseimbangan menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen.
(2) Perjanjian kredit usaha mikro yang memiliki kedudukan seimbang bagi para pihak adalah perjanjian yang selain melindungi hak dan kewajiban pihak bank, juga memperhatikan dan melindungi hak dan kewajiban pihak nasabah debitur. Untuk melindungi hak dan kewajiban yang dimiliki oleh debitur dapat dilakukan dengan penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf a, b, c, d, f dan h, ayat (2), dan ayat (3) Undang- undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Sedangkan untuk
12 Xxx Xxxxxxx, Perjanjian Baku sebagai Upaya Mengamankan Kredit Bank, Majalah Hukum dan Pembangunan Nomor 1 Tahun XXV, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1995, hal 63.
melindungi kepentingan pihak bank upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengkajian kembali terhadap ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf e dan g karena ketentuan dalam pasal tersebut dirasa memberatkan pihak bank.
F. DAFTAR PUSTAKA
Buku
Xxxx, Xxx Xxxxxx. 1996. Aspek-aspek Hukum Ekonomi Pembangunan di - Indonesia. Surabaya: Citra Media.
Xxxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx. Asas Kebebasan Berkontrak dan Kaitannya dengan Perjanjian Baku(Standart). Artikel dalam Media Notariat Nomor 28-29 Tahun VIII. Ikatan Notaris Indonesia. Surabaya
Xxxxxxxx, Xxxxxxxx. 2006. Asas-asas Hukum Perbankan di Indonesia.
Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxx, Xxxxx X. Xxxxxxxx Xxxxx. 2010. Hukum Perbankan. Bandung: Sinar Grafika.
Xxxxxxx, X. Xxxxx. 1996. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Xxxxx, Xxxxxxxxxx. 1996. Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain Yang Melekat pada Tanah dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horizontal(Suatu Konsep dalam Menyongsong Lahirnya Lembaga Hak Tanggungan). Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx.
Xxxxxxx, Xxxx Xxxxx. 2010. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
XX, X. Xxxxx. 2006. Perkembangan Hukum Kontrak Diluar KUH Perdata. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Xxxxxxx, Xxxxxx. 2011. Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.
Xxxxxxxxx, Xxxxxx. 2004. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. PPS Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Xxxxxxxx, Az. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Jakarta: Diadit Media.
Xxxx, Xxxxxx. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxx. 1986. Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Setiawan. 1987. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Jakarta: Bina Cipta.
Xxxxxxxxx, Xxxxx Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia(Buku I ). Institut Bankir Indonesia. Jakarta.
Xxxxxxxxx, Xxxxx Remy. 1993. Peranan Jaminan Kredit dan Agunan Kredit Menurut Undang-undang Perbankan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional tentang Eksistensi Agunan dan Permasalahannya dalam Perbankan. Surabaya.
Soekanto, Prof. Xx. Xxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx, SH. MLL. 2002. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Subekti. 2002. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Suharmoko. 2007. Hukum Perjanjian, Teori dan Xxxxxxx Xxxxx. Jakarta: Kencana Predana Media Group.
Tim Penelitian dan Pengembangan Biro Kredit Bank Indonesia. 2003. Pengembangan Hubugan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat (PHBK). Topik III. Pengusaha Xxxxx Sebagai Nasabah Potensial. Profil Pengusaha Mikro. Jakarta.
Xxx Xxnyusun ELIPS. Kamus Hukum. Jakarta: Elips Project.
Tutik, Titik Triwulan. Pengantar Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Prestasi Pustaka Grafika.
Xxxxxxx, XX. Xxxxx. 1992. Sekitar Kalusul-klausul Perjanjian Kredit Bank, Bank dan Manajemen.
Internet
Kasmadi, Tujuan dan Fungsi Kredit (online), xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx, diakses pada tanggal 25 Juli 2012.
Rachmadi, Jenis dan Kepemilikan Bank (online), xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx, diakses pada tanggal 12 Agustus 2012.
Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Penerapan Asas Keseimbangan dan Asas Kebebasan Berkontrak dalam Putusan Pengadilan (online), xxxx://xxxxxx.xx.xx.xx/, diakses pada 19 September 2012.
Xxxxxx Xxxxxxx, Asas-asas Perjanjian (online), xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxx- asas-perjanjian, diakses pada 19 September 2012.
Putra, Definisi, Fungsi, dan Peranan Bank Umum dalam Perekonomian (online), xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxxx-xxxxxx-xxx-xxxxx-xxxx- umum-dalam-perekonomian/. Diakses pada 19 September 2012.
Skripsi, Makalah dan Jurnal
Xxxxxxx Xxxxxx. 2009. Perlindungan Hukum Terhadap Debitur Kredit Pemilikan Rumah Yang Dirugikan Akibat Kenaikan Suku Bunga. Skripsi tidak diterbitkan, Malang,Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Peraturan Pundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah