RAMPANAN KAPA’ DI TORAJA UTARA
KAJIAN NILAI-NILAI PADA TEKS MA’PARAPA DALAM PROSESI
RAMPANAN KAPA’ DI TORAJA UTARA
THE STUDY OF VALUES IN MA’PARAPA TEXT IN RAMPANAN KAPA’ PROCESSION IN NORTH TORAJA
XXXXXXX XXXX
i
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
KAJIAN NILAI-NILAI PADA TEKS MA’PARAPA DALAM PROSESI
RAMPANAN KAPA’ DI TORAJA UTARA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Pendidikan Bahasa
Konsentrasi Bahasa Indonesia
Disusun dan Diajukan Oleh
XXXXXXX XXXX
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2017
PRAKATA
Penulis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah swt, atas rahmat dan hidayah- Nya sehingga penelitian dan penyusunan tesis dengan judul “Kajian Nilai-nilai pada Teks Ma’parapa dalam Prosesi Rampanan Kapa’ Di Toraja Utara” dapat diselesaikan dengan baik.
Proses penyelesaian tesis ini, merupakan suatu perjuangan yang panjang bagi penulis. Selama proses penelitian dan penyusunan tesis ini, tidak sedikit kendala yang dihadapi. Namun, berkat keseriusan pembimbing mengarahkan dan membimbing penulis sehingga tesis ini dapat diselesasikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis patut menyampaikan penghargaan dan uacapan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Xxxx. Xx. X. Xxxxxx Xxxxx, M.Pd. dan Xx. Xxxxx, M.Hum. selaku pembimbing. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada tim penguji, yaitu Dr. Mayong Maman, M.Pd. dan Xx. Xxxxxxxx Xxxxx, M.Pd. yang banyak memberikan masukan yang sangat berarti dalam penyusunan laporan penelitian ini. Ucapan terima kasih tak lupa disampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar, Asisten Direktur I, Asisten Direktur II, dan Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, yang telah memberikan kemudahan kepada penulis, baik pada saat mengikuti perkuliahan, maupun pada saat pelaksanaan penelitian dan penyusunan laporan. Mudah-mudahan bantuan dan bimbingan yang diberikan mendapat pahala dari Allah swt.
Terima kasih, penulis ucapkan kepada masyarakat Toraja Utara, terkhusus kepada informan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian sehingga terjalin
kerjasama yang baik selama proses penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kekasihku dan sahabat-sahabatku tercinta yang selalu memberikan semangat, motivasi, bantuan, dan selalu mendokan penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih kepada seluruh mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar angkatan 2015 terutama kelas A Bahasa Indonesia yang telah bersama-sama mengarungi suka duka dalam menjalankan tugas sebagai mahasiswa, segala bantuan, dorongan moril, dan semua pihak yang telah membantu menyelesaikan tesis ini.
Pada kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih dan takzim kepada Alm. Ayahanda Sampe Xxxxxx dan Ibunda Xxxx Xxxx yang telah melahirkan, mendidik, membesarkan, serta senantiasa mendoakan agar penulis sukses dalam studi, demikian pula kepada kakak tercinta Xxxx Xxxxx S.xxx, Xxx Xxxxxx Xxxxxxxxx, dan Xxx Xxxxxxxx X.Xxx, adik-adik tersayang Xxxxxx dan Xxxx Xxxxx yang selalu mendoakan dan memberikan semangat serta motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini, untuk kalian segala cinta kuberikan.
Akhirnya, penulis berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh berbagai pihak dapat bernilai ibadah dan mendapat pahala dari Allah swt. Amin.
Makassar,
Maret 2017
Xxxxxxx Xxxx
XXXXXXXXXX KEORISINALAN TESIS
Saya, Xxxxxxx Xxxx, Nomor Pokok : 15B01005
Menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Kajian Nilai-Nilai pada Teks Ma’parapa dalam Prosesi Rampanan Kapa’ Di Toraja Utara” merupakan karya asli. Seluruh ide yang ada dalam tesis ini, kecuali yang saya nyatakan sebagai kutipan, merupakan ide yang saya susun sendiri. Selain itu, tidak ada bagian dari tesis ini yang telah saya gunakan sebelumnya untuk memerolah gelar atau sertifikat akademik.
Jika pernyataan di atas terbukti sebaliknya, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan oleh PPS Universitas Negeri Makassar.
Tanda Tangan...................................... Tanggal 29 Maret 2017
ABSTRAK
XXXXXXX XXXX. 2017. Kajian Nilai-Nilai pada Teks Ma’parapa dalam Prosesi Rampanan Kapa’ Di Toraja Utara. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Negeri Makassar (dibimbing oleh Xxxx. Xx. X. Xxxxxx Xxxxx, M. Pd dan Xx. Xxxxx, X. Hum).
Penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan nilai-nilai yang terdapat pada teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara. (2) mendeskripsikan fungsi nilai-nilai teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara. (3) mendeskripsikan eksistensi teks ma’parapa di kalangan masyarakat dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Data penelitian ini adalah berupa kutipan teks yang menggambarkan nilai-nilai yang terkandung pada teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, studi pustaka, dan wawancara. Teknik analisis data dilakukan dengan model interaktif dengan tahapan, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penyimpulan data/verifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) nilai-nilai yang terkandung pada teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara meliputi: nilai moral (terdapat sikap kesantunan, rendah hati, dan pandai berterima kasih), nilai sosial (terdapat sikap kepedulian dan solidaritas sosial), nilai budaya (terdapat sikap menghargai sesama manusia), nilai pendidikan (terdapat nilai pendidikan religius, pendidikan moral, pendidikan sosial, dan pendidikan budaya). (2) fungsi nilai-nilai pada teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Xxxx Xxxxxx meliputi fungsi nilai-nilai bagi pendidikan, bagi rumpun keluarga dan kelompok budaya (3) eksistensi teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara yaitu semakin hidup dan semakin eksis keberadaannya.
Kata kunci: kajian nilai-nilai, teks ma’parapa.
ABSTRACT
XXXXXXX XXXX. 2017. The Study of Values in Ma’parapa Text in Rampanan Kapa’ Procession in North Toraja (Supervised by Xxxxxx Xxxxx and Xxxxx).
The research aims at describing: (1) the values in ma’parapa text in rampanan kapa’ procession in North Toraja (2) the functions of the values in ma’parapa text in rampanan kapa’ procession in North Toraja, (3) the existence of ma’parapa text in the society in rampanan kapa’ procession in North Toraja. The research is qualitative. The data of the research were in forms of text excerpts which describes the values ma’parapa text in rampanan kapa’ procession in North Toraja. The data collection teacniques employed werw documentation, literature review, and interview. The data analysis teachnique employed interactive model with several stages, namely data collection, data reduction, data presentation, and data conclusion/verification. The results of the research reveal that
(1) the values in ma’parapa text in rampanan kapa’ procession in North Toraja cover: moral values (politeness, humble, and thankfulness), social values (social awareness and solidarity), culture values (attitude of respect to each other), education values (religious education value, moral education, social education, and culture education), (2) the functions of ma’parapa text in rampanan kapa’ procession in North Toraja cover the functions of the values for education, family groves, and culture group, (3) the existence of ma’parapa text in rampanan kapa’ procession in North Toraja is more alive and exist.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA iv
PERNYATAAN KEORISINILAN TESIS vi
ABSTRAK vii
ABSTRACT viii
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Fokus Masalah 8
C. Tujuan Penelitian 8
D. Manfaat Penelitian 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEPTUAL
A. Budaya Toraja 10
B. Sastra 15
C. Sastra Klasik 18
D. Hakikat Nilai 23
E. Bahasa Toraja 35
F. Rampanan Kapa’ 37
G. Teks Ma’parapa 44
H. Penerapan Nilai Pengajaran Sastra Indonesia 46
I. Kerangka Konseptual 51
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian 53
B. Rancangan Penelitian 54
C. Fokus Penelitian 54
D. Batasan Istilah 55
E. Sumber Data dan Data 56
F. Instrumen Penelitian 56
G. Teknik Pengumpulan Data 57
H. Pemeriksaan Keabsahan Data 58
I. Teknik Analisis Data 58
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Hasil Analisis Data 60
B. Pembahasan Hasil Penelitian 113
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 124
B. Saran 126
DAFTAR PUSTAKA 127
LAMPIRAN 130
DAFTAR GAMBAR
Nomor 2.1 | Bagan Kerangka Konseptual | Halaman 52 |
Nomor | DAFTAR LAMPIRAN | Halaman |
1. Teks Ma’parapa 130
2. Korpus Data 137
3. Pedoman Wawancara 146
4. Transkipsi Wawancara Narasumber 152
5. Data Informan 178
6. Dokumentasi 181
7. Persuratan 185
8. Riwayat Hidup Penulis 187
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat dan kebudayaan merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena tidak ada kebudayaan yang tidak bertumbuh kembang dari suatu masyarakat. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan karena tanpa kebudayaan tidak mungkin masyarakat dapat bertahan hidup. Singkatnya, kebudayaan adalah cara sebuah komunitas masyarakat menjalani kehidupan mereka sehari- hari.
Salah satu kekayaan konstruksi kebudayaan nusantara terletak pada beragamnya konstruksi praktik pernikahan di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Dalam budaya Jawa misalnya, kelaziman melakoni perkawinan bukan hal yang sederhana. Konsep pernikahan dalam konstruksi budaya Jawa layaknya menapaki dunia baru, dua dimensi dunia yang sama pentingnya, yang mesti diperjuangkan untuk sebuah ide dan harmoni. Dua dunia itu adalah dunia spiritual, gaib, mistis dan dunia riil, jagat alit dan jagat gedhe, bukan untuk dipertentangkan atau berjalan sendiri-sendiri, tetapi bersama-sama menggapai harmoni. Dalam konsep ini orang Jawa mencap ‘tidak jawa’ terhadap orang yang tidak ‘menerapkan’ budaya Jawa dan sebaliknya menyebut Jawa atau njawani meskipun terhadap orang yang secara genetika bukan keturunan Jawa (Benedict R.O.G. Xxxxxxxx, 1996:93).
Berdasarkan konsep pandangan itulah maka perkawinan menurut adat jawa bukan remeh temeh, semata persoalan formal semata. Lebih dari itu perkawinan merupakan upaya
untuk menghadirkan dan mensinergikan dua konsep dunia itu secara bersama; sebuah perjalanan spiritual dan kultural yang aplikasinya bermuara pada masyarakat, jagat gedhe (makrokosmos). Perkawinan berfungsi menjadi semacam upacara pengukuhan, inisiasi, perubahan dimensi status ke status yang lain. Dalam hal ini orang jawa memberikan nama baru, satu nama yang digunakan untuk kedua insan yang telah menikah sebagai perlambang bahwa jagat manusia ketika sebelum menikah masih sendiri-sendiri, belum bulat dan setelah menikah menjadi bulat dengan satu nama, yang untuk itu semua perlu didukung upacara.
Sementara itu dalam kebudayaan masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala’ yang berarti saling mengambil satu sama lain. Jadi perkawinan adalah ikatan timbal balik walaupun mereka berasal dari status sosial yang berbeda, setelah menjadi suami istri mereka menjadi mitra, hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga. Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian yaitu berupa sompa dan dui’ menre.
Salah satu komunitas masyarakat yang mempunyai sistem perkawinan yang cukup kompleks adalah masyarakat Toraja Utara. Masyarakat Toraja Utara merupakan salah satu suku di Indonesia yang dalam kehidupan sosialnya masih mempertahankan adat kebudayaan nenek moyang hingga saat ini. Pranata bermasyarakat orang Toraja selalu berhubungan dengan aluk. Aluk ini dilaksanakan di dalam seluruh aspek kehidupan orang Toraja. Aluk meliputi aluk xxxxxxx tau (ketentuan-ketentuan adat yang mengatur hubungan antara manusia), Aluk Pare (ketentuan-ketentuan adat yang berkaitan dengan padi), Aluk
Tananan Pasa’ (ketentuan-ketentuan adat yang mengatur pasar), Aluk Rampanan Kapa’ (aluk yang berkaitan dengan perkawinan), Aluk Xxxxxxx Tau (aluk yang berhubungan dengan kelahiran manusia sampai dewasa), Aluk Bangunan Banua (ketentuan adat yang tentang pembangunan rumah), Aluk 3 Rambu Tuka’ (ketentuan-ketentuan adat yang mengatur upacara syukuran), Aluk Rambu Solo’ (ketentuan-ketentua adat yang mengatur upacara kematian), dan Aluk Bua’ (aluk yang berkaitan dengan pesta sukacita). Aluk dan adat mulanya sama. Aluk adalah keyakinan mengenai keberadaan, yang mencoba memahami dunia ini secara mitos-transendental dan meletakkan dasar otologis keadaan kenyataan ini, sedangkan adat dan kebudayaan merupakan manifestasi konkret aluk transendental. Penelitian ini terfokus pada upacara Rampanan kapa’ (pernikahan) dilandasi oleh aturan dan kepercayaan.
Rampanan Kapa’ hanyalah semata-mata merupakan arti khiasan bila dilihat dari segi etimologis. Sedangkan dari segi yuridis, bertolak dari pengertian secara Etimologis bahwa Rampanan merupakan benda atau alat yang berfungsi sebagai suatu tempat untuk melekatkan kerangka-kerangka dari suatu rumah, sedangkan kapa’ (kapas) ini digunakan sebagai lambang kebersihan dan kesucian dari laki-laki dan wanita yang akan dikawinkan dalam hubungannya dengan perkawinan maka Rampanan Kapa’ itu merupakan suatu tempat berdirinya perkawinan yang didalamnya terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tempat ini merupakan tempat yang suci dan bersih, harus tetap dipelihara dan diperkokoh. Sebab itu, di daerah Toraja Utara bila terjadi suatu perkawinan tidak melalui prosedur atau ketentuan menurut hukum adat, maka perbuatan Rampanan Kapa’
(Perkawinan) itu oleh masyarakat dipandang sebagai suatu perbuatan hina dan sekaligus merupakan pelanggaran terhadap hukum adat daerah tersebut.
Rampanan Kapa’ (perkawinan) di Toraja Utara dianggap sebagai salah satu sarana bagi masyarakat untuk saling tetap terikat dalam satu rumpun. Hal ini dianggap penting agar masyarakat juga lebih menghargai hukum adat yang lahir dan berkembang secara terus- menerus, ini karena beberapa masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya hukum adat maka segala perkara dapat diselesaikan secara kekeluargaan tidak berbelit-belit dan lebih sederhana, serta tidak akan menimbulkan konflik secara berkelanjutan, karena penyelesaiannya yang secara kekeluargaan inilah yang akan semakin mempersatukan masyarakat (Dorce, 1986:16-17).
Salah satu kekayaan Indonesia yang tertuang dan menjadi warisan adalah budaya Toraja, salah satunya yang harus kita laksanakan dan kita lestarikan yaitu Xxxx Xxxxxxxan Kapa’ (pernikahan) di dalamnya terdapat teks ma’parapa yang memiliki kandungan nilai- nilai yang perlu diketahui, dan sangat menarik untuk dikaji karena merupakan salah satu karya sastra daerah Toraja. Teks ma’parapa mempunyai tujuan tertentu yang ingin disampaikan kepada masyarakat sebagai pendengarnya.
Ma’parapa merupakan kegiatan dengan tujuan menenangkan semua orang yang hadir dalam suatu acara. Pemeran kegiatan ini disampaikan oleh orang yang dipercayakan pihak keluarga, dalam menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang telah dilaksanakan. Nilai pendidikan, nilai moral, nilai sosial, dan nilai-nilai yang berkembang lainnya tidak hanya dijumpai pada tayangan televisi semata, tetapi juga pada teks ma’parapa. Melalui teks ma’parapa, imbauan, pesan, nasehat, akan cepat dicerna oleh akal pikiran manusia dan mudah diterima karena teks ma’parapa menawarkan ritmis notasi dan
kedalaman makna yang membuat hati terbuai oleh teks yang disampaikan. Intonasi pada teks ma’parapa mampu mengambarkan kondisi selama kejadian itu berlangsung. Adapun teori utama yang digunakan oleh peneliti yaitu teori sastra dan teori budaya. Teori budaya yang dimaksud oleh peneliti adalah teori yang dikemukakan oleh (Palebangan, 2007: 86) yang mengemukakan bahwa, adat diartikan sebagai tata tertib, maka adat merupakan pangkal ketertiban dan keserasian di dalam masyarakat. Adat merupakan himpunan norma- norma yang sah dan dijadikan pegangan hidup masyarakatnya. Sedangkan teori sastra yang digunakan oleh peneliti adalah teori sastra tradisional yang dikemukakan oleh Xxxxxxxxxxxx (2013:165) sastra tradisional adalah suatu bentuk tuturan lisan yang muncul dan berkembang (secara turun-menurun) secara tidak sengaja untuk mengungkapkan berbagai gagasan yang sudah muncul sebelumnya yang pada umumnya lebih dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan pesan moral.
Kekayaan budaya yang terkandung dalam teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ sudah seharusnya dilestarikan sebagai sebuah khazanah kebudayaan tengah arus globalisasi dan modernisasi yang sedang melanda seluruh sendi kehidupan manusia mulai dari daerah perkotaan bahkan sampai ke wilayah pelosok. Pelestarian budaya lokal penting karena arus budaya moderen sering kali mengandaikan bahwa semua yang bersifat tradisional itu adalah hal yang terbelakang bahkan terkadang dianggap irasional. Jika hal ini dibiarkan maka lambat laun kita akan menghadapi kepunahan khasanah kebudayaan lokal kita.
Hal ini, menjadi salah satu alasan sehingga peneliti mengangkat judul tersebut, dengan menfokuskan pada teks lisan dan teks tulisan. Teks lisan mengacu pada prosesi Rampanan Kapa, sedangkan teks tulisan mengacu pada teks Ma’parapa itu sendiri, yang disampaikan
oleh informan yang sudah memiliki keahlian. Keahlian yang dimiliki oleh informan adalah menguasai bahasa tomina, sebagai pemangku adat, mengampuh pendidikan di bidang seni, dan mempunyai pengalaman dalam membawakan teks ma’parapa pada saat prosesei rampanan kapa.
Penelitian tersebut tidak hanya bermanfaat dalam masyarakat, tetapi juga memberikan manfaat untuk pendidikan, salah satunya yaitu memberikan wawasan tambahan khususnya dalam pembalajaran sastra, agar siswa atau generasi muda bisa bersikap religius, karena dalam teks ma’parapa memiliki banyak kandungan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman hidup untuk selalu berbuat positif salah satunya nilai pendidikan moral meliputi kejujuran, kesantunan, pandai berterima kasih, dan rendah hati. Teks ma’parapa dapat dijadikan materi pembelejaran khususnya pembelajaran sastra, agar mendorong bertumbuhnya mentalitas dan moralitas dalam praktik pembelajaran di kelas.
Penelitian serupa yang mengkaji tentang nilai-nilai sudah pernah dilakukan, baik nilai yang terkandung dalam novel maupun lagu. Di antaranya yang dilakukan oleh Xxxxxxxx (2015) dengan judul “Kajian Nilai-nilai pada Taloq Hadara dalam Lagu Kacaping Mandar”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa di dalam lirik Xxxxx Xxxxxx dalam Lagu Kecaping Mandar terdapat nilai budaya, nilai moral, dan nilai sosial yang perlu diketahui oleh pembaca maupun pendegarnya. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Mangera (2013) dengan judul “Nilai Pendidikan alam Komunukasi Fatis Masyarakat Toraja Sa’dan Provinsi Sulawesi Selatan”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa nilai pendidikan yang terkandung dalam komunikasi fatis masyarakat Toraja Sa’dan adalah nilai pendidikan moral meliputi kejujuran, kesantunan, pandai berterima kasih, rendah hati, dan nilai pendidikan sosial meliputi persahabatan, kepedulian, gotong royong, empati.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akan melakukan penelitian dengan objek yang berbeda, yaitu kajian nilai-nilai dengan alasan bahwa di dalam teks ma’parapa terdapat banyak nilai-nilai yang perlu dikaji, diberitahu kepada masyarakat, dan diterapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Agar budaya di Toraja Utara khususnya aluk rampanan kapa’ (pernikahan) tetap dilestarikan dan dilaksanakan. Sehubungan dengan penjelasan tersebut, maka peneliti memberikan judul dalam penelitian ini, yakni: Kajian Nilai-nilai pada Teks Ma’parapa dalam Prosesi Rampanan Kapa’ Di Toraja Utara.
B. Fokus Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, masalah umum penelitian ini dapat dirumuskan yaitu:
1. Nilai-nilai apa sajakah yang terdapat pada teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara?
2. Bagaimanakah fungsi nilai-nilai teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara?
3. Bagaimanakah eksistensi teks ma’parapa di kalangan masyarakat dalam prosesi
rampanan kapa’ di Toraja Utara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus masalah di atas, maka tujuan penelitian ini yaitu:
1. Mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung pada teks ma’parapa dalam prosesi
rampanan kapa’ di Toraja Utara.
2. Mendeskripsikan fungsi nilai-nilai teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara.
3. Mendeskripsikan eksistensi teks ma’parapa di kalangan masyarakat dalam prosesi
rampanan kapa’ di Toraja Utara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dibedakan menjadi manfaat praktis dan manfaat teoritis.
1. Manfaat teoretis
a. Memberikan wawasan tambahan dalam pembalajaran sastra, khususnya nilai-nilai yang terkandung pada teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara.
b. Memberikan sumbangan pengetahuan dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Menambah masukan pemikiran dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan dalam pembelajaran sastra, khususnya nilai-nilai yang terkandung pada teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara.
2. Manfaat praktis
a. Penelitian ini diharapakan bisa menjadi acuan yang praktis untuk menentukan rencana pembelajaran sastra khususnya nilai-nilai yang terkandung pada teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara.
b. Hasil penelitian ini diharapakan bisa membantu pembaca, penikmat, dan pendengar teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara.
c. Penelitian ini diharapakan dapat dijadikan motivasi agar kedepan setelah penelitian ini, dilakukan penelitian baru dengan sastra yang berbeda.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka pada penelitian ini pada dasarnya dijadikan acuan untuk mendukung dan memperjelas penelitian, baik dalam hal pengumpulan data, pengolahan data, maupun penarikan kesimpulan. Sehubungan dengan masalah yang akan diteliti, teori yang dianggap relavan dengan penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut.
A. Budaya Toraja
1. Konsep Manusia Toraja
Para ahli etnologi berpendapat bahwa, suku Toraja sama dengan suku-suku lain di Indonesia seperti Batak, Dayak, Timor, dan lain-lain. Mitologi orang Toraja mengatakan leluhur mereka masuk ke Toraja dari arah selatan melalui Sungai Sa’dang. Mereka percaya bahwa asal-usul mereka yang pertama adalah dari seberang lautan, kemudian mereka berlayar menyeberangi lautan menyusuri Sungai Sa’dang sampai Enrekang. Selanjutnya, mereka melanjutkan perjalanan darat ke daerah Duri, Mengkendek, Makale, Rantepao, penyebaran ini berlangsung dalam beberapa gelombang secara berkelompok (Duli dan Xxxxxxxx, 1995: 15).
Dalam penyebaran tersebut, mereka dipimpin oleh seorang ketua adat yang bergelar Arruan (pemimpin rombongan). Kata Arruan ini kemudian berubah menjadi Aru dan Arung. Bagi sejarah orang Toraja dan Bugis yang berperan sebagai pemimpin pemerintah (raja). Dalam sejarah orang Toraja dikatakan bahwa, terdapat empat puluh Arruan (Arruan
patangpulo) di daerah Toraja yang dikenal dengan nama kesatuan Tondo’ Lepongan Bulan Xxxx Xxxxxx’ Allo. Keempat pula arruan tersebut secara domekratif federative dipimpin oleh seorang Ampu Lembang (yang punya daerah atau kuasa) yang bernama Tangdilino. Kemudian dengan datangnya arus yang baru yang dipimpin oleh orang yang bergelar To xxxxxxxx. To xxxxxxxx yang pertama bernama Xxxxxxx Xxxxi’ yang bergelar Puang. Pertama kali berkedudukan di Ullin Salu Putti, kemudian berpindah ke Kandora Kecamatan Mengkendek (Xxxxxxxxxxxx, 1978: 11).
Pengunaan istilah nama Toraja, diperkirakan sejak masuknya pengaruh Belanda, karena pada awalnya Toraja dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Mataril Allo, artinya negeri yang berdasarkan kesatuan antara ajaran kepercayaan, sistem kemasyarakatan dan budaya, sebulat bulan dan matahari (Xxxxxxxxxxxx, 2009: 19). Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo, juga memiliki arti sebagai berikut: (1) negeri persekutuan yang menganut ajaran kepercayaan aluk pitung sa’bu pitu ratu’ pitung pulo pitu (ajaran tujuh ribu tujuh ratus tujuh puluh tujuh), (2) negeri persekutuan beberapa daerah adat yang menganut ajaran keyakinan yang terpancar di seluruh daerah adat, laksana pancaran sinar bulan dan matahari, yang menjadi adat istiadat dan budaya masyarakat, (3) negeri kesatuan yang letaknya di wilayah pengunungan, di sebelah Utara jazirah Sulawesi Selatan, wilayah yang kini dihuni oleh suku bangsa Toraja (Xxxxxxxxxxxx, 2009: 19).
Asal usul kota Toraja disadar dari beberapa istilah, yaitu: (1) Toraja, berasal dari bahasa Bugis, yang terdiri dari dua suku kata, yaitu: to artinya orang, riaja, artinya sebelah atas atau bangian Utara, yakni istilah yang diberikan oleh suku bangsa Bugis daerah Sidenreng,
(2) Toraja, berasal dari bahasa Bugis Luwu, yang juga terdiri dari dua suku kata, yaitu: to,
artinya orang, rajang, artinya sebelah Barat, yakni orang yang berdiam di wilayah Barat,
sebab daerah Luwu berada di wilayah Timur Tondok Lempongan Bulan Tana Matarik Allo,
(3) Tauraya, berasal dari bahasa Makassar, yang juga terdiri dari dua suku kata yaitu: tau artinya orang, dan raya, artinya Timur, yakni orang yang berdiam diri di wilayah Timur (Xxxxxxxxxxxx, 2009: 19).
2. Falsafah Hidup Manusia Toraja
Bahwa ada’ (Arab: adat) adalah salah satu bangian dari kebudayaan suatu masyarakat. Ada’ diartikan sebagai norma-norma tradisional yang diakui dan dipatuhi oleh para anggota masyarakat secara turun-menurun di dalam suatu suku bangsa. Jadi adat dapat berarti kebiasaan, sesuatu yang dikenal, sesuatu yang diketahui, dan sesuatu yang sering dilakukan secara berulang. Oleh sebab itu, adat dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan yang diturun- temurunkan nenek moyang kepada anak, cucu, cicit, piut secara turun-temurun dan sudah berurat berakar di dalam masyarakat bersangkutan.
Adat diartikan sebagai tata tertib, maka adat merupakan pangkal ketertiban dan keserasian di dalam masyarakat. Adat merupakan himpunan norma-norma yang sah dan dijadikan pegangan hidup masyarakatnya. Oleh karenanya, adat menetapkan apa yang diharuskan, apa yang dibenarkan (diizinkan), dan apa yang dilarang. Berarti sulit memisahkan antara adat dan agama (aluk) di dalam masyarakat tradisional Toraja, karena baik adat maupun agama, keduanya mencakup segala aspek kehidupan, termasuk aturan seremonial, kultur keagamaan, taat hukum yang mengatur hubungan individu, keluarga, dan masyarakat (Palebangan, 2007: 86).
Kata adat berasal dari bahasa Arab. Kata itu mulai populer penggunaannya di Toraja ketika Luwu dan Toraja dipisah menjadi dua Swapraja tahun 1947. Pemisahan ini segera diikuti pembentukan lembaga adat yang disebut Tongkonan Ada’, mengikuti lembaga adat
luwu ketika itu. Sejak itulah penggunaan ada’ lebih populer dibanding aluk. Adat dalam arti kebiasaan adalah adat seperti rumusan versi Islam. Namun, setelah di Toraja istilah itu berkontaminasi dengan ada’ Toraja sehingga kini cukup sulit dibedakan antara ada’ pengertian orang Toraja dengan adat versi Bugis Makassar. Bagi masyarakat tradisional, adat selalu dipandang sebagai buah agama, bahkan adat dan aluk menyatu (satu). Adat bersendikan aluk dan aluk bersendikan adat. Hubungannya erat sekali. Aluk dapat disamakan dengan agama, adat, aturan, dan perbuatan. Xxxx sendiri berarti aturan-aturan, misalnya aturan rampanan kapa’.
Masyarakat Toraja sejak dahulu mengenal sistem pelapisan masyarakat yang bersumber dari ajaran kepercayaan leluhur yang disebut Alluk Todolok. Strata tersebut yang mengatur berbagai aspek kehidupan terutama dalam berinteraksi dalam masyarakat. Kedudukan seseorang yang diatur sesuai starata sangat mempengaruhi hubungan pergaulan, sehingga tampak adanya perbedaan baik dalam hal berpaikain maupun perilaku meraka sehari-hari. Hal ini akan menimbulkan perbedaan-perbedaan dalam kehidupan masyarakat Toraja. Tingkatan-tingkatan sosial dalam kehidupan masyarakat Toraja disebut Tana’ (kasta) yang dapat dibagi dalam beberapa tingkatan:
1. Tana’ Bulaan, yaitu lapisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima sukaran aluk, yakni kepercayaan untuk dapat mengatur aturan hidup dan dapat memimpin agama.
2. Xxxx’ Xxxxx, yaitu lampisan bangsawan menengah sebagai pewaris yang dapat menerima kepercayaan untuk mengatur kepemimpinan.
3. Tana’ Karurun, yaitu lapisan rakyat kebanyakan yang tidak pernah diperintah langsung, yang dapat menerima kepercayaan sebagai tukang atau orang-orang terampil.
4. Tana’ Kua-kua, yaitu lapisan hamba sahaya sebagai pewaris yang harus menerima tanggung jawab sebagai pengabdi kepada para bangsawan.
Pada masa pemerintahan Belanda berkuasa di Toraja, hamba mulai ditiadakan dan yang membuat peraturan adalah Gubernur Kroegen. Jadi peranan Tana’ dalam kehidupan orang Toraja masih tampak sampai sekarang ini, walaupun dalam pelaksanaannya tidak seketat zaman dahulu. Pelapisan sosial dapat dilihat pada penggunaan nama seseorang. Nama- nama tersebut biasanya diambil dari keturunan ayah maupun ibu yang tergantung pada pemakainya. Dalam pelaksanaan upacara jabatan-jabatan tertentu, Xxxx’ sangat berperan di dalamnya. Golongan sosial yang menjadi, pemimpin dalam setiap upacara dalam ajaran Aluk Todolo senantiasa merujuk pada Tana’ Bulaan. Pelapisan sosial untuk tingkat Tana’ Bulaan selalu diidentikkan dengan kekayaan dan kekuasaan. Hal itu tampak pada pelaksanaan upacara-upacara dengan pengurbanan hewan dalam jumlah yang banyak, kemudian dibagi-bagikan pada masyarakat yang hendak menerimanya. Dewasa ini strata sosial lambat laun mulai bergeser dan tidak lagi didasarkan pada keturunan ataupun kedudukan, malainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampuan dalam bidang ekonomi sehari-hari (Xxxxxxxxx, 1995: 885).
Kelompok kekerabatan yang terkecil ialah keluarga batih yang terdiri atas suami, istri, dan anak-anak yang belum kawin. Orang tua yang tak dapat berdiri sendiri lagi tinggal bersama anak atau kemanakan atau anak angkat. Xxxxxx juga anak yang sudah kawin tetapi ia ingin memelihara orang tua maka ia tinggal bersama orang tua, atau kalau belum
mempunyai rumah maka ia menumpang sementara di rumah orang tuanya baik itu orang tua suami maupun orang tua sendiri. Keluarga batih tinggal di suatu rumah atau pondok yang merupakan satu kesatuan dalam mata pencaharian misalnya mengerjakan sawah dan ladang. Peranan istri dan suami dalam satu rumah tangga sama, dalam hal perkawinan ada emas kawin, yang menganggap bahwa yang memberi, menguasai, dan menerima. Dalam upacara, perkawinan biaya ditanggung bersama oleh pihak pengantin perempuan dan pengantin laki-laki.
B. Sastra
Secara etimologi, asal-usul kata sastra, yaitu kata litterature, yang sebenarnya diciptakan sebagai terjemahan dari kata Yunani, grammatika, litterature dan grammatika, masing-masing berdasarkan kata littera dan gamma yang berarti ‘huruf’ (tulisan, letter). Menurut asalnya, littertura dipakai untuk tata bahasa puisi. Pada umumnya, dalam bahasa barat modern, literatur diartikan sebagai segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tertulis (Xxxxx, 1984:23). Selanjutnya dijelaskan bahwa penambahan awalan “sastra” berarti “baik, indah” sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles leatres (bahasa perancis), yaitu ‘sastra yang benilai estetika’ atau belletrie (bahasa belanda), atau letter kunde (bahasa belanda) yang bermakna ‘sastra indah’ terjemahan harfiah dan literature (bahasa Latin) yang berarti puisi, sastra.
Dalam bahasa Indonesia, kata sastra berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata “sas- daam” kata kerja turunan berarti ‘mengarahkan’ memberi petunjuk atau instruksi; dan akhiran-tra biasanya menunjukkan alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau
pengajaran (Xxxxx, 1984:23). Konsep tentang istilah sastra, dikemukakan oleh Luxemburg, dkk. (1984:23). Ada lima pengertian sastra dengan mengacu pada ciri yang terdapat dalam sastra sesuai dengan sejarah perkembangan sastra, yaitu: (1) sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata imitasi, (2) sastra bersifat atonom, tidak mengacu kepada sesuatu yang lain, sastra tidak bersifat komunikatif, (3) karya sastra yang “otonom” itu bercirikan suatu koherensi. (4) sastra menghidangkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan, dan (5) sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.
Pengertian sastra tersebut melahirkan pemahaman bahwa, sastra ialah teks yang tidak hanya disusun dan dipakai untuk suatu tujuan komunikatif praktis yang berlangsung demi waktu yang sementara, namun lebih dari itu sastra dipergunakan untuk komunikasi yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
Sastra menurut Xxxxxx dan Xxxxxx (1993:3), merupakan suatu kegiatan kreatif. Sebuah kerja, yang untuk mendalaminya diperlukan studi sastra yakni sebuah cabang ilmu yang menalaah sastra. Seorang penelaah sastra harus dapat menerjemahkan pengalaman sastranya dalam ‘bahasa ilmiah’ dan harus dapat menjabarkannya dalam uraian yang jelas dan rasional. Menurut keduanya, acuan karya sastra, bukanlah dunia nyata, melainkan dunia fiktif yang imajinatif. Pernyataan-pernyataan yang dalam berbagai genre sastra bukanlah preposisi-preposisi yang logis. Karakter dalam sastra bukanlah tokoh-tokoh sejarah dalam kehidupan nyata. Tokoh-tokoh dalam karya sastra itu merupakan hasil ciptaan dan rekaan pengarang yang muncul begitu saja, tidak mempunyai sejarah dan tidak mempunyai masa lalu. Ruang dan waktu dalam karya sastrapun bukan ruang dan waktu dalam kehidupan nyata. Dalam hubungannya dengan kecenderungan demikian, karya sastra juga dipahami sebagai karya kreatif, hasil ciptaan pengarangnya.
Apabila pendapat tersebut dicermati, dapat disimpulkan bahwa sastra tidak hanya membawa pesan kepada pembacanya, melainkan juga membawa kesan karena pada saat membaca atau mendengarkan sebuah karya sastra, maka akan terasa bahwa karya sastra di samping menyentuh akal pikiran yang bersangkutan, dan perasaan pembaca atau pendengarnya sekaligus. Dengan demikian, maka kehadiran sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sastra yang dihasilkan oleh pengarang. Sastra daerah merupakan salah satu warisan budaya bangsa yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Nilai-nilai dalam sastra daerah itu sangat penting bagi pembangunan bangsa. Menurut Xxxxxx dan Xxxxxx (1993: 14) sastra adalah sebuah karya seni yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Sebuah cipataan, kreasi, bukan imitasi
2) Luapan emosi yang spontan
3) Bersifat otonom
4) Otonomi sastra bersifat koheren (ada keselarasan bentuk dan isi)
5) Menghadirkan sintesis terhadap hal-hal yang bertentangan
6) Mengungkapkan sesuatu yang tidak terungkapkan dengan bahasa sehari-hari.
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa sasta adalah karya yang bentuk dan eskpresinya imajinatif, lahir, dan kreatif pengarangnya dan memiliki nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia dalam suatu masa serta dapat pula berlaku untuk masa sesudahnya dengan menggunakan media bahasa yang khas.
C. Sastra Klasik
Sastra klasik, sastra lama atau sastra tradisional, adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Karya sastra
xxxx lahir dalam masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang masih berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama. Sadikin (2011: 14) menjelaskan tentang ciri-ciri sastra klasik yaitu (1) Terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat, (2) Bersifat istana sentris, (3) bentuknya baku, (4) Biasanya nama pengarangnya tidak disertakan.
Menurut Xxxxxxxx (dalam Xxxxxxxxxxxx 2013: 163) menjelaskan bahwa sastra tradisional (traditional literature) merupakan suatu bentuk ekspresi masyarakat pada masa lalu yang umumnya disampaikan secara lisan. Sepanjang sejarahnya manusia selalu butuh berkomunikasi dan berekspresi sebagai salah satu manifestasi eksistensi diri dan kelompok sosialnya. Karena pada saat itu belum dikenal tulisan, ekspresi secara lisan merupakan satu- satunya sarana paling efektif untuk maksud-maksud tersebut. Sastra tradisional, di pihak lain adalah sautu bentuk tuturan lisan yang muncul dan berkembang (secara turun- menurun) secara tidak sengaja untuk mengungkapkan berbagai gagasan yang sudah muncul sebelumnya yang pada umumnya lebih dimaksudkan sebagai sarana untuk memberikan pesan moral (Xxxxxxxxxxxx 2013:165). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra klasik atau sastra tradisional adalah ciptaan masyarakat yang berkembang secara turun-temurun yang memengang teguh adat istiadat yang masih berlaku di daerahnya yang di dalamnya banyak terkandung nilai-nilai yang membangun masyarakat tersebut.
1. Jenis-Jenis Sastra Klasik
a. Mantra
Mantra adalah rangkaian kata yang mengandung rima dan irama. Masyarakat zaman dahulu percaya bahwa mantra itu mengandung kekuatan gaib. Mantra biasanya diucapkan oleh seorang dukun atau pawang untuk melawan atau menandingi kekuatan gaib lainnya.
Namun, hakikat mantra itu sendiri adalah doa yang diucapkan oleh seorang pawang dalam keadaan trance “Kerasukan”. Di dalam mantra yang penting bukan makna kata demi kata, melainkan kekuatan bunyi yang bersifat sugestif.
Sadikin (2011: 24) menjelaskan bahwa mantra merupakan puisi tua, pada mulanya dalam masyarakat Melayu, mantra bukan merupakan sebuah karya sastra, melainkan lebih banyak yang berkaitan dengan adat dan kepercayaan. Karakteristik mantra memang sangat unik. Karena keunikan itulah kita tidak dapat membandingkan bentuknya dengan puisi, baik dengan pantun maupun syair. Terlebih-lebih, mantra hanya dapat dilontarkan oleh orang yang dianggap telah memiliki syarat-syarat tertentu. Namun, untuk kepentingan ekspresi, tidak ada salahnya apabila kita mencoba membuat mantra.
Sejalan dengan hal tersebut, Zaidan (2007: 126) turut pula memaparkan bahwa mantra adalah doa dalam agama hindu, biasanya diucapkan oleh pawang atau dukun untuk memengaruhi kekuatan alam semesta. Belajar membuat mantra bukan karena kemanjuran dan daya gaibnya sebab anggapan seperti itu hanya terdapat dalam keyakinan dan kepercayaan nenek moyang kita dahulu. Kini kita mempelajarinya sebagai kegiatan kreatif dalam penulisan puisi.
b. Pantun
Zaidan dkk (2007: 143) menjelaskan bahwa pantun merupakan jenis puisi lama yang terdiri atas empat larik dengan rima akhir abab. Baitnya terdiri atas empat larik dengan rima akhir a-b-a-b. Setiap larik biasanya terdiri atas empat kata, delapan sampai dua belas suku kata dan dengan ketentuan bahwa dua larik pertama selalu merupakan kiasan atau sampiran. Sementara isi atau maksud sesungguhnya terdapat dalam larik ketiga dan keempat.
Sadikin dkk (2011: 15) mengatakan bahwa salah satu jenis sastra lama yang dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara adalah pantun. Karmina dan talibun merupakan bentuk yang berkembang dari pantun dalam artian memiliki sampiran dan isi. Meskipun pantun merupakan puisi lama, tidak ada yang akan melarang apabila kita memanfaatkannya sebagai sarana pergaulan kini. Terlebih-lebih, aspek didikan dan hiburan sebagai fungsi sastra dalam masyarakat lampau kita tidak terpisahkan di dalamnya.
c. Gurindam
Zaidan dkk (2007: 80) memaparkan perihal gurindam merupakan puisi lama bersajak aa yang terdiri atas dua larik. Baris pertama merupakan sampiran dan kedua adalah isi atau simpulan. Keduanya merupakan kesatuan yang utuh dan isinya biasanya nasihat. Gurindam adalah puisi lama yang berasal dari Tamil (India). Ciri-ciri gurindam:
1) sajak berirama a-a; b-b;c-c; dst
2) berasal dari Tamil (India)
3) isinya merupakan nasihat yang cukup jelas yakni menjelaskan atau menampilkan suatu sebab akibat.
d. Syair
Sadikin (2011: 43) menjelaskan bahwa syair merupakan karangan dalam bentuk terikat yang mementingkan irama sajak. Syair bersumber dari kesusastraan Arab dan tumbuh memasyarakat sekitar abad ke-13, seiring dengan masuknya agama islam ke nusantara. Syair memiliki empat larik dalam setiap baitnya, setiap larik terdiri atas empat kata atau delapan sampai dengan dua belas suku kata. Akan tetapi, syair tidak pernah menggunakna
sampiran. Dengan kata lain, larik-larik yang terdapat dalam syair memuat isi syair tersebut. Ada perbedaan pantun dengan syair yang terletak pada rima. Apabila pantun berpola a-b-a- b, maka syair berpola a-a-a-a.
Bait syair terdiri atas isi semata, maka antara bait yang satu dengan bait yang lain biasanya terangkai satu cerita. Jadi, apabila orang akan bercerita, syair adalah pilihan yang tepat. Cerita yang dikemas dalam bentuk syair biasanya bersumber dari mitologi, religi, sejarah, atau dapat juga rekaan semata dari pengarangnya. Syair yang cukup terkenal yang merupakan khazanah sastra nusantara, misalnya syair perahu karya Xxxxxx Xxxxxxx, syair Singapura dimakan api karya Xxxxxxxx xxx Xxxxx xxxxx Xxxxxx, xxxxx Xxxxxxxx, dan lain- lain. Fungsi syair adalah untuk menyampaikan cerita dan pengajaran dan digunakan juga dalam kegiatan-kegiatan yang berunsur keagamaan.
Hampir semua jenis karya klasik telah kesulitan menemukan eksisistensinya dalam khasanah kesusasteraan moderen. Hal ini disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara lain karena imaji bahwa sastra klasik tidak lagi konteks dengan zaman atau karena pengarang tidak lagi mau terikat dengan aturan ketat penulisan sebuah karya sastra yang biasanya terdapat dalam sastra klasik. Pengarang merasa kebebasan imajinatifnya sedikit banyak dibelenggu oleh aturan dan prosedur ketat yang terdapat dalam sastra klasik.
E. Hakikat Nilai
Menurut Xxxxx (2013:53) nilai atau valoir berasal dari bahasa Latin, valare, atau bahasa Prancis kuno, valoir, yang artinya nilai. Kata valare,valoir, valae atau nilai dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras dengan definisi nilai menurut pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu sebagai harga (dalam arti taksiran harga). Akan tetapi, secara luas,
apabila kata “harga” dihubungkan dengan objek tertentu atau dipersepsi dari sudut pandang tertentu pula, mengandung arti berbeda. Mislanya, apabila harga itu disandingkan dengan barang, nilai atau harga tersebut bersifat materill dan terbatas. Akan tetapi, apabila nilai atau harga disandingkan dengan sifat, perilaku seseorang, keyakinan yang bersifat abstrak, nilai atau harga tersebar akan bermakna luas dan tidak terbatas.
Nilai mengandung tafsiran yang bermacam-macam bergantung pada sudut pandang yang memberi penilaian atau objek yang dinilai. Akan tetapi, harga dari suatu nilai akan menjadi masalah apabila penilaian diabaikan sama sekali. Oleh sebab itu, manusia dituntut untuk menempatkannya atau mengukur secara seimbang antara penilaian yang didasarkan pada objek dan penilaian yang didasarkan pada subjek. Untuk itu, perlu adanya perbandingan agar dalam memberikan pertimbangan nilai, manusia tidak terjebak pada titik ekstrem antara subjektivisme dan objektivisme. Agar manusia berada dalam tatanan nilai yang melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan.
Alfan (2013:54-55) mengemukakan bahwa untuk memahami pengertian nilai secara lebih mendalam, berikut ini disajikan sejumlah definisi nilai dari beberapa ahli, sebagai berikut:
1. Nilai, artinya sifat-sifat (hal-hal) yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.
Maksudnya, kualitas yang membangkitkan respons penghargaan. Nilai itu praktis dan efektif dalam jiwa dan tindakan manusia dan lembaga secara objektif di dalam masyarakat.
2. Menurut Xxxx Xxxxxxx, yang dikutib Xxxxxx Xxxxx, nilai adalah sesuatu yang bersifat abstrak, ideal, bukan benda konkret, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empiris, melainkan penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.
3. Menurut Xxxxxx Xxxxx, nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang meyakini). Jadi, nilai adalah sesuatu yang bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.
4. Nilai adalah keyakinan abadi bahwa modus tertentu perilaku atau keadaan akhir eksistensi adalah pribadi atau sosial lebih disukai untuk model berlawanan atau kebalikan dari perilaku atau keadaan akhir eksistensi.
5. Nilai adalah keyakinan umum tentang cara-cara yang diinginkan atau undesireable
dalam bersikap dan tujuan tentang diinginkan atau yang diharapkan atau end-negara.
6. Nilai sebagai tujuan transsituasional diinginkan, bervariasi penting, yang berfungsi sebagai pedoman prinsip-prinsip dalam kehidupan seseorang atau badan sosial lainnya.
7. Schwarts juga menjelaskan bahwa nilai adalah, suatu keyakinan, berkaitan dengan cara bertingkah laku atau tujuan akhir tertentu, melampaui situasi spesifik, mengarahkan seleksi atau evaluasi terhadap tingkah laku individu dan kejadian-kejadian, dan tersusun berdasarkan derajat kepentingannya.
8. Menurut Xxxxxxx Xxxxxx; nilai adalah pengalaman yang memberikan pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian antara dirinya dengan dunia luar atau pengalaman.
9. Menurut Xxxxxxx, nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.
Dinamika pengalaman manusia mendorong manusia untuk menentukan sebuah sikap, yaitu pilihan. Dalam definisi tersebut secara eksplisit digambarkan bahwa pilihan dan keyakinan seseorang adalah proses pertimbangan nilai sehingga seseorang dalam mengambil pilihan tidak hanya menyatakan kata “ya” tanpa adanya pertimbangan. Selain itu, nilai juga
dijadikan sebagai ide atau konsep tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang.
Menurut Xxxxxxxxx (dalam Alfan 2013:56) mengungkapkan bahwa nilai adalah konsepsi yang tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok dari apa yang diingikan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antara, dan tujuan akhir. Definisi nilai yang diungkapkan para ahli, dapat simpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik dan yang buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau maksud dari berbagai pengalaman.
Secara umum nilai dapat dibagi ke dalam empat kategori besar yaitu nilai budaya, nilai sosial, nilai moral, dan nilai pendidikan. Keempat nilai tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Nilai Budaya
Sistem nilai budaya merupakan nilai inti (core value) dari masyarakat. Nilai inti ini diikuti oleh setiap individu atau kelompok. Nilai itu biasanya dijunjung tinggi sehingga menjadi salah satu faktor penentu dalam berperilaku. Sistem nilai itu tidak tersebar secara sembarangan, tetapi mempunyai hubungan timbal balik, yang menjelaskan adanya tata tertib di dalam suatu masyarakat. Di dalam sistem nilai, biasanya terdapat berbagai konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal- hal yang dianggap bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Xxxxxxxx, 1960: Xxxxxxxxxxxxxxxx, 1981) dalam Xxxxxxxxxxxx xxx (1997:13). Sistem nilai budaya itu begitu
kuat, meresap, dan berakar di dalam jiwa masyarakat budaya sehingga sulit diganti dan diubah dalam waktu yang singkat.
Menurut Xxxxxxxxxxxxxxxx (1990) dalam Agussalim (2005:95) menjelaskan istilah kebudayaan berasal dari Sansekerta “Budhaya”, bentuk jamak dari “budhi atau akal”, kebudayaan dikaitkan konsep yang berkonotasi dengan akal sedangkan istilah “Budaya”, merupakan rangkaian “xxxx xxxx” sehingga diartikan daya dari budi yang berupa cipta (akal, rasio), karsa dan rasa. Jadi, kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa. Untuk menciptakan kebudayaan nasional perlu pemanfaatan pandangan yang berorientasi ke zaman kejayaan nenek moyang dan pandangan keadaan zaman sekarang karena kebudayaan perlu memberikan kemampuan pada bangsa Indonesia untuk menghadapi peradaban masa kini (Xxxxxxxxxxxxxxxx (1990) dalam Agussalim (2005:105).
Menurut Xxxxxxxxxxxxxx (2002:3) sistem nilai budaya secara universal berhubungan dengan sistem nilai budaya dalam masyarakat, yang lima masalah pokok kehidupan manusia, yakni (1) kakikat hidup manusia, (2) hakikat karya manusia, (3) hakikat waktu manusia, (4) hakikat alam manusia, dan (5) hakikat hubungan manusia.
Menurut Xxxxxxxxxxxxxx (2002: 190) mengemukakan bahwa sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Dalam kehidupan masyarakat, sistem nilai ini berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Sistem nilai adalah bangian terpadu dalam etika moral, yang dalam menifestasinya dijabarkan dalam norma-norma sosial, sistem hukum dan adat yang berfungsi sebagai tata kelakuan untuk mengatur masyarakat. Juga menambahkan bahwa
nilai budaya daerah tentu saja lebih bersifat partikularistik, artinya khas berlaku umum dalam wilayah budaya suku bangsa tertentu saja. Sejak kecil individu telah diresapi oleh nilai budaya masyarakatnya, sehingga nilai budaya itu telah berakar dalam mentalitasnya dan sukar digantikan oleh nilai budaya lain dalam waktu yang singkat. Secara konkret, manifestasi nilai budaya tersebut dapat mencerminkan streotipe tertentu, misalnya orang Jawa diidentifikasikan sebagai orang-orang yang santun, bertindak pelan-pelan, lemah lembut, bertutur kata halus, dan sebagainya.
2. Nilai Moral
Istilah moral, moralitas berasal dari kata bahasa latin “mos” (tunggal), “mores” (jamak) dan kata sifat “moralitas.” Bentuk jamak “mores” berarti: kebiasaan, kelakuan, kesusilaan. Kata sifat “moralitas” berarti susila. Filsafat moral merupakan filsafat praktis, yang mempelajari perbuatan manusia sebagai manusia dari segi baik buruknya di tinjau dari hubungannya dengan tujuan hidup manusia yang terakhir.
Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral adalah nilai nyata dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia, apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral merupakan (ajaran) baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak, kewajiban dsb.) Menurut Xxxxxxxxxxx (1990: 13), moral sebenarnya memuat dua segi
yang berbeda, yakni segi bathiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu sering kali juga disebut hati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi, sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula.
Alwi (dalam Xxxxxxx, 2011: 41) menuturkan bahwa nilai moral atau etika adalah nilai manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, nilai yang berhubungan dengan akhlak, nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat. Di satu sisi akal dan budi selalu mengajak berbuat dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai moral, di sisi lain pada manusia ada nafsu yang dapat menyeretnya kepada tindakan yang tidak baik dan merusak kemanusian. Bertindak baik, jujur, adil, dan beradap, sesuai dengan nilai-nilai moral dan asasi manusia.
Sebagai pengemban nilai-nilai moral, setiap orang harus merasa terpanggil untuk mengadakan reaksi, kapan dan di mana saja melihat perbuatan yang menginjak-ijak nilai moral tersebut. Hanya apabila semua orang akan menyadari akan tugas dan kewajibannya seperti itu, suasana kehidupan yang aman, tertib, dan damai dapat diciptakan. Praktek kesewenang-wenangan, ketidak adilan, ketidak jujuran, dan ketidak bersamaan, keserakahan yang mengakibatkan kerugian di pihak lain, semuanya merupakan dilema yang dihadapkan pada pengajaran moral di sekolah. keadaan-keadaan yang tercermin dalam masyarakat akan mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan dalam menginternalisasi nilai-nilai moral yang diajarkan baik di dalam maupun di luar sekolah
Bila dibandingkan dengan nilai-nilai lain maka nilai moral langsung penyangkut peran sebagai kesatuan dan totalitas, sedangkan nilai-nilai yang lain menyempurnakan person
hanya secara terbatas. Nilai moral disebut nilai total, sedangkan nilai lainnya disebut nilai partikular. Nilai partikular menyempurnakan manusia menurut salah satu aspek saja (Wahana, 1993: 67-68). Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa nilai moral adalah keyakinan mengenai cara bertingkah laku, nilai manusia sebagai pribadi yang utuh, nilai moral dihayati sebagai sesuatu yang wajib dilaksanakan dan merupakan cakrawala normatif bagi semua nilai dalam kehidupan manusia, dan moral merupakan (ajaran) baik buruk perbuatan dan kelakuan (akhlak).
3. Nilai Sosial
Menurut Xxxxxx (1997) dalam Agussalim (2005:28) mengemukakan bahwa nilai-nilai sosial adalah prinsip yang berlaku di suatu masyarakat tentang apa yang baik, benar dan berharga yang seharusnya dimiliki atau dicapai oleh masyarakat. Nilai-nilai itu berfungsi untuk membimbing seseorang dalam melakukan suatu tindakan sehari-hari. Selanjutnya menurut Xxxxxxxx (1985) dalam Agussalim (2005:29) menjelaskan bahwa nilai-nilai sosial menyangkut aspek-aspek yang dikehendaki oleh masyarakat, baik berupa nilai uang, persaingan bebas maupun persamaan kesempatan memperoleh sesuatu yang diinginkan.
Menurut Xxxxx (2013: 242-247) mengemukakan nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat. Agar nilai-nilai sosial dapat tercipta dalam masyarakat, diperlukan norma sosial dan sanksi-sanksi sosial. nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup bersama. Berikut ini definisi nilai sosial menurut penadapat para ahli.
a. Xxxxx Xxxxxxxx: nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang.
b. Young: nilai sosial adalah asumsi-asumsi yang abstrak dan sering tidak disadari tentang yang benar dan yang penting.
c. Woods: nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
d. Xxxxxxxxxxxxxxxx: nilai sosial adalah sistem nilai budaya, biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.
Secara garis besar, nilai sosial mempunyai tiga fungsi, yaitu sebagai berikut: 1). Petunjuk arah dan pemersatu
Cara berpikir dan bertindak anggota masyarakat umumnya diarahkan oleh nilai-nilai sosial yang berlaku. Pendatang baru pun secara moral diwajibkan mempelajari aturan- aturan sosiobudaya masyarakat yang didatangi. Ia harus mengetahui hal-hal yang dijunjung tinggi dan hal-hal yang tercela. Dengan demikian, dia dapat menyesuaikan diri dengan norma, pola pikir, dan tingkah laku yang diinginkan, serta menjauhi hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat. Nilai sosial juga berfungsi sebagai pemersatu yang dapat mengumpulkan orang banyak dalam kesatuan atau kelompok tertentu. Dengan kata lain, nilai sosial menciptakan dan meningkatkan solidaritas antarmanusia. Contohnya, nilai ekonomi mendorong manusia mendirikan perusahaan-perusahaan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja.
2). Benteng perlindungan
Nilai sosial merupakan tempat perlindungan bagi penganutnya. Daya perlindungannya begitu besar, sehingga para penganutnya bersedia berjuang mati-matian untuk mempertahankan nilai-nilai itu. Misalnya, perjuangan bangsa Indonesia mempertahankan nilai-nilai Pancasila dari nilai-nilai budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya kita, seperti budaya minum-minuman keras, diskotik, penyalahgunaan narkotika, dan lain-lain. Nilai-nilai Pancasila seperti sopan santun, kerja sama, benteng perlindungan bagi seluruh warga negara Indonesia dari pengaruh budaya asing yang merugikan.
3). Pendorong
Nilai juga berfungsi sebagai alat pendorong (motivator) sekaligus menuntun manusia untuk berbuat baik. Karena ada nilai sosial yang luhur, muncul harapan baik dalam diri manusia. Adanya nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi dan dijadikan sebagai cita-cita manusia yang berbudi luhur dan bangsa yang beradab, manusia menjadi beradab. Contohnya, nilai keadilan, nilai kedisiplinan, nilai kejujuran, dan sebagainya.
Di samping fungsi nilai-nilai sosial yang telah dibahas di atas, nilai sosial juga memiliki fungsi yang lain, yaitu sebagai berikut:
a. Menyumbangkan seperangkat alat untuk menetapkan harta sosial dari suatu kelompok;
b. Mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku;
c. Penentu akhir bagi manusia dalam memenuhi peranan-peranan sosialnya;
d. Alat solidaritas di kalangan anggota kelompok atau masyarakat;
e. Alat pengawas perilaku manusia.
Berdasarkan penjelasan teori yang dikemukakan oleh pakar ahli maka disimpulkan bahwa nilai memegang peranan penting dalam setiap kehidupan manusia karena nilai-nilai
menjadi orientasi dalam setiap tindakan malalui interaksi sosial. nilai sosial itulah yang menjadi sumber dinamika masyarakat. Jika nilai-nilai sosial itu lenyap dari masyarakat, seluruh kekuatan akan hilang dan derap perkembangan akan berhenti.
4. Xxxxx Xxxdidikan
Steeman (dalam Adisusilo 2012: 56) menyatakan nilai adalah sesuatu yang memberi makna pada hidup, memberi acuan, titik tolak dan tujuan hidup. Nilai merupakan sesuatu dijunjung tinggi, dapat mewarnai dan menjiwai tindakan seseorang, yang lebih dari sekadar keyakinan, menyangkut pola pikir dan tindakan, sehingga ada hubungan yang amat erat antara nilai dan etika. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 326), pendidikan merupakan proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik.
Sebagai kesimpulan, nilai pendidikan adalah sesuatu yang dapat memberi makna hidup yang dapat mengubah tingkah laku seseorang untuk menjadi lebih baik, serta dapat membedakan suatu perbuatan atau tingkah laku yang baik maupun yang buruk, melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Adapun pengertian nilai-nilai pendidikan akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Nilai pendidikan religius
Religi merupakan suatu kesadaran yang menggejala secara mendalam dalam lubuk hati manusia sebagai human nature. Religi tidak hanya menyangkut segi kehidupan secara lahiriah melainkan juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam integrasinya hubungan ke dalam keesaan Tuhan.
b. Nilai pendidikan moral
Menurut Xxxxxxxxxxxxxx (dalam Adisusilo 2012: 54), moral merupakan sistem nilai tentang bagaimana seseorang harusnya hidup secara baik sebagai manusia yang terkandung dalam aturan hidup berbagai bentuk kebiasaan seperti tradisi, ketua, larangan, perintah, wejangan, dan lain-lain. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat dari seseorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku.
c. Nilai pendidikan sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan umum. Nilai pendidikan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu.
d. Nilai pendidikan budaya
Nilai-nilai budaya merupakan sesuatu yang dianggap baik dan berharga oleh suatu kelompok masyarakat atau suku bangsa lain sebab nilai budaya membatasi dan memberikan karakteristik pada suatu masyarakat dan kebudayaannya. Nilai budaya merupakan tingkat yang paling abstrak dari adat, hidup dan berakar dalam alam pikiran masyarakat dan sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat.
F. Bahasa Toraja
Bahasa Toraja adalah salah satu bahasa daerah yang masih tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat pendukungnya. Bahasa ini adalah pendukung salah satu budaya daerah Sulawesi Selatan yang dianggap memiliki satu tradisi unik yang akhir-akhir ini menarik wisatawan asing dari mancanegara. Bahasa Toraja juga digunakan oleh masyarakat di kabupaten lain seperti sebagian besar Kabupaten Luwu, Kabupaten Enrekang bangian utara, Kabupaten Polewali Mamasa bangian timur, yakni di Kecamatan Galumpung. Memperhatikan pemakaian bahasa Toraja yang meliputi beberapa kabupaten itu, dapatlah kita simpulkan bahwa wilayah pemakaiannya cukup luas. Hal itu memungkinkan timbulnya variasi pemakaian bahasa Toraja sesuai dengan lingkungan dan kondisi masyarakat penuturnya.
Variasi bahasa yang terjadi karena keseluruhan ciri khas pemakaian bahasa dalam ujuran seseorang memperlihatkan banyak persamaan yang lazim disebut dialek. Jadi, pemakai bahasa dari dialek yang berbeda-beda itu masih saling mengerti. Dialek dapat terjadi karena letak geografis yang memungkinkan komunikasi atau hubungan antarindividu dalam masyarakat masih sering terjadi. Berdasarkan faktor geografis, bahasa Toraja memiliki beberapa dialek, antara lain, bahasa Toraja dialek Tallulembang yang biasa juga disebut dialek Makale. Dialek Kesuq, dialek Mamasa yang sering disebut dialek Galumpang, dialek Saqdan Balusu, dialek Simbuang, dan dialek Palopo (Sande, 1984:3).
Kehidupan sehari-hari masyarakat Toraja, mengenal bahasa Toraja dari dua tingkat bahasa, yakni bahasa halus atau yang sering dikenal sebagai bahasa Toraja tinggi, yaitu bahasa yang digunakan pada saat-saat tertentu dalam upacara-upacara adat dan keagamaan atau yang bersifat sakral. Di samping adanya tingkat bahasa halus, masih ada pula tingkatan bahasa biasa, yaitu ragam bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai
bahasa pergaulan, baik antarteman di kantor, di pasar atau ditempat-tempat bekerja maupun antara orang-orang yang sama kedudukannya atau status sosialnya.
Bahasa toraja berstatus sebagai bahasa minor, yakni suatu bahasa yang bertempur di atas seratus ribu jiwa, tetapi tidak dari satu juta jiwa. Penutur bahasa Toraja secara keseluruhan baik yang ada di Kabupaten Toraja Utara maupun yang berdomisili di kabupaten-kabupaten lain seluruhnya berjumlah 500.000 jiwa (Sande, 1984: 4). Berdasarkan fungsinya, bahasa Toraja merupakan bahasa kelompok etnik. Artinya, bahasa Toraja digunakan sebagai bahasa pengantar pada tingkat intraetnik. Bahasa itu digunakan dalam pendidikan, digunakan dalam bidang keagamaan, serta dipelajari di sekolah-sekolah sebagai salah satu mata pelajaran, yakni pelajaran bahasa Toraja. Mengenai situasi kebahasaan di Toraja Utara dapat dikatakan bahwa sejak masuknya pengaruh asing, terutama dalam hal penyiaran agama, bahasa Toraja dalam perkembangan selanjutnya turut pula mendapat pengaruh, seperti terjadinya interferensi bahasa asing ke dalam bahasa Toraja terutama yang menyangkut perbendaharaan kata, seperti pendeta menjadi pandita, gereja menjadi gareda, mesjid menjadi massigiq, dan dokter menjadi dattoroq.
G. Rampanan Kapa’
Menurut kepercayaan nenek moyang, perkawinan adat dalam masyarakat Toraja berasal dari langit. Sebagaimana manusia pertama berasal dari langit (To Manurun di langi’) Datu Laukku dan Datu Laettan datang membawa Aluk sanda pitunna. Di dalam Aluk sanda pitunna itulah terdapat peraturan rampanan kapa’/ perkawinan yang dipelihara dengan baik oleh nenek moyang sehingga menjadi alat turun-menurun.
Orang Toraja berpandangan bahwa kehidupan di mulai di atas langit oleh para dewa (Deata-deata). Para dewa kawin mawin dan berkembang biak. Di antara para dewa terdapat manusia yang mempunyai kuasa Ilahi. Manusia pertama yang turun ke bumi Datu Laukku’ berjalan bersama dewa (to lumingka sola deata). Ia melihat bahwa langit sudah sempit dan ingin turun ke bumi (tang maluangmo langi’ tang mabombama batara). Puang matua mengizinkan dia turun dengan membawa aluk sanda pitunna (serba tujuh) peraturan yang telah diciptakan oleh Puang Matua di langit. Sesampai di bumi Datu Laukku manusia yang muncul dari air sedang mandi. Manurun di Xxxxi’ ingin segera mengawininya, namun to Bu’tu riwai bertanya, “Apakah engkau mempunyai hukum dari langit, mau kawin tanpa aturan?” Xxxxxxx xx Xxxxi’ segera kembali le langit bertanya tentang hal itu. Dia disuruh melakukan persembahan (piong sanglampa-pesung sang daun). Sesudah Manurun di Langi’ melakukan persembahan muncullah Datu Laettan dan mereka menikah (ma’rampanan kapa’).
Perkawinan yang berdasarkan Aluk sanda pitunna direstui para dewa dan Puang Matua. Salah satu persyaratan yang harus disiapkan sebelum acara rampanan kapa’ yaitu babi atau kerbau untuk dikorbankan. Babi dipotong di hadapan masyarakat dipimpin oleh kepala adat. Darah babi atau kerbau ditumpahkan ke tanah dan asap kurban bakaran membubung ke langit agar dewa dan Puang Matua tidak marah lagi. Upacara yang didoai oleh Xxxxxx (Imam) disaksikan oleh masyarakat dan keluarga. Dengan selesainya upacara tersebut tidak ada lagi dendam amarah, telah terjadi rekonsiliasi.
Rampanan Kapa’ hanyalah semata-mata merupakan arti khiasan bila dilihat dari segi etimologis. Sedangkan dari segi yuridis, bertolak dari pengertian secara Etimologis bahwa Rampanan merupakan benda atau alat yang berfungsi sebagai suatu tempat untuk
melekatkan kerangka-kerangka dari suatu rumah, sedangkan kapa’ (kapas) ini digunakan sebagai lambang kebersihan dan kesucian dari laki-laki dan wanita yang akan dikawinkan dalam hubungannya dengan perkawinan maka Rampanan Kapa’ itu merupakan suatu tempat berdirinya perkawinan yang di dalamnya terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan. Tempat ini merupakan tempat yang suci dan bersih, harus tetap dipelihara dan diperkokoh. Oleh sebab itu di daerah Toraja bila terjadi suatu perkawinan tidak melalui prosedur atau ketentuan menurut hukum adat, maka perbuatan Rampanan Kapa’ (Perkawinan) itu oleh masyarakat dipandang sebagai suatu perbuatan hina dan sekaligus merupakan pelanggaran terhadap hukum adat daerah tersebut (Xxxxx Xxxxxx, 1986:17).
Rampanan Kapa’ (perkawinan) di Toraja dianggap sebagai salah satu sarana bagi masyarakat untuk saling tetap terikat dalam satu rumpun. Masyarakat Toraja juga lebih menghargai hukum adat yang lahir dan berkembang secara terus-menerus, ini karena beberapa masyarakat beranggapan bahwa dengan adanya hukum adat maka segala perkara dapat diselesaikan secara kekeluargaan tidak berbelit-belit dan lebih sederhana, serta tidak akan menimbulkan konflik secara berkelanjutan, karena penyelesaiannya yang secara kekeluargaan inilah yang akan semakin mempersatukan masyarakat bukan sebaliknya seperti penyelesaian mempersulit. Dapat disimpulkan bahwa perkawinan (rampanan kapa’) dalam masyarakat Toraja berdasarkan Aluk (agama/kepercayaan) karena diciptakan oleh Puang Matua. Perkawinan tidak boleh dilaksanakan tanpa izin dari penguasa Aluk dan manusia.
Kesimpulan yang dapat ditarik ialah bahwa perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau jasmani, Akan tetapi juga mempunyai unsur batin atau rohani mempunyai peranan yang sangat penting dalam membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera,
Rampanan Kapa’ (perkawinan) di Toraja dianggap penting bagi masyarakat untuk saling tetap terikat dalam satu rumpun. Banyak tata cara pernikahan yang ada di Suku Toraja. Jika dibandingkan upacara pernikahan suku di Sulawesi Selatan lainnya, prosesi pernikahan di Suku Toraja terbilang sangat sederhana. Di sini, bukan penghulu agama yang bertugas mengesahkan sebuah pernikahan. Suku Toraja menunujuk pemerintah adat atau yang biasa disebut Ada’. Ada tiga level dalam upacara pernikahan di Suku Toraja, yakni Xxxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx, dan Rampo Allo.
Xxxxx Bobo Bannang adalah upacara yang sangat sederhana. Xxxxx Xxxx Xxxxxxx ditandai dengan datangnya utusan dari pihak laki-laki untuk melamar. Ketika lamaran mendapat sambutan, ditentukanlah hari pernikahan. Di hari istimewa itu, mempelai diarak oleh dua atau empat pengikut. Di hadapan rumah mempelai wanita, rombongan tersebut disuguhi pertanyaan dalam bahasa lokal, bahasa dengan teknik kesusastraan yang sangat tinggi, mengingat banyaknya kandungan metafora di dalamnya.
Utusan dari pihak mempelai wanita bertanya: To lendu konronan roomika batulo lempong kaboangian rokomika? Yang berarti, “adakah kamu ini singgah karena hujan atau karena kemalaman?” pertanyaan tersebut lantas dijawab dengan: Toeraka lendu to konronan batu toeroki lempang to kabuangin apa lamu ulu’ rukon olukna rompa kapa loma luntun roku bicarana pasuelle allo. Yang berarti, “Kami tidak singgah karena kehujunan, tapi kami akan datang untuk mengadakan pernikahan sesuai aturan dari dahulu kepada nenek moyang kita.” Selesai menjawab kalimat tersebut, maka dibukalah pintu rumah mempelai wanita. Seluruh rombongan naik, lantas dilanjutkan dengan sesi jamuan makan.
Rampo Karoeng, sekilas tidak ada yang berbeda dengan upacara pernikahan sebelumnya. Tahap lamaran pun masih sama, dengan dilengkapi sirih sebagai barang bawaan utusan pria. Di hari pernikahan, dialog yang terjadi pun sama seperti Xxxxx Xxxx Xxxxxxx. Selesai dialog, acara dilanjutkan dengan jamuan makan. Pasca upacara pernikahan, pihak mempelai pria tinggal di rumah mempelai wanita.
Sederhana apa pun, pernikahan tetap ikatan yang sakral. Penceraian akan diganjar dengan Kapa atau denda. Masing-masing Kapa menyesuaikan kelas sosial sosok yang dianggap salah atas terjadinya perceraian tersebut.
Xxxxx Xxxx, berbeda dari upacara pernikahan lainnya, Xxxxx Xxxx diselenggarakan selama tiga hari. Maklum, kelompok yang biasa menyelenggarakan pernikahan dengan cara satu ini dari kalangan bangsawan. Prosesi Rampo Allo diawali dengan Paingka Kada. Secara umum, Paingka Kada seperti prosesi ta’aruf, yakni pengenalan terhadap pihak perempuan yang bersangkutan sudah punya pasangan atau tidak, serta hal-hal yang dianggap perlu lainnya. Prosesi berlanjut ke Umbaa Pangan. Pada tahap ini, pihak laki-laki mengajukan lamaran secara resmi. Cara malamar masih sama dengan pernikan kategori kedua. Sirih diantar oleh beberapa utusan yang berpakaian adat. Setelah diterima, utusan dari mempelai laki-laki kembali datang untuk membahas hari pernikahan. Pasca menyepakati hari yang dianggap tepat, pihak mempelai memotong babi.
Topasulau atau mengantar mempelai pria menjadi tahapan berikutnya. Topasulau digelar pukul tujuh malam. Rombongan terlihat cukup banyak, dengan sosok penunjuk jalan yang berada di barisan paling depan, diikuti pemikul kayu bakar, beberapa kaum laki- laki, mempelai pria, mengiring, serta rombongan penari paburang. Barisan terakhir ini terus menari sepanjang jalan. Dalam prosesi topasulau, masing-masing peserta rombongan
tidak boleh saling bersentuhan. Rombongan pun harus kembali jika ditengan jalan bertemu dengan ular. Seperti halnya dua prosesi pernikahan lainnya, rombongan pernikahan Xxxxx Xxxx tidak lantas dipersilahkan naik ke atas rumah mempelai wanita. Setelah rombongan mempelai pria tiba, mereka terlebih dahulu dipersilahkan duduk ditempat terbuka. Sirih dan pinang menjadi suguhan ditahap ini. Baru setelah itu proses makan-makan dimulai. Kedua mempelai mempunyai prosesi makan yang berbeda dari lainnya. Dialog Kapa dilampol digemakan dari imam kedua belah pihak.
Selesai makan-makan rombongan mempelai laki-laki kembali ke rumah masing- masing. Xxxxxxxxx, pengantin pria di tinggal di rumah istrinya. Rampo Allo mengenal kunjungan balasan. Warga setempat mengenalnya dengan Xxxxxx Xxxxxxxx: pihak mempelai wanita akan berkunjung ke rumah mempelai pria sebagai balasan akan kunjungan mereka, pihak keluarga pria memotong babi.
Menurut Xxxxxx dkk, (2006:17-19) mengemukakan bahwa penduduk Sulawesi Selatan yang memiliki persamaan paling banyak dengan orang Bugis adalah orang Makassar, sedangkan yang paling berbeda dengan orang Bugis adalah orang Toraja. Padahal kenyataannya tidak demikian. Bahasa Bugis dan Toraja, sebagaimana halnya dengan bahasa di Sulawesi Selatan lainnya, berasal dari bahasa nenek moyang yang sama. Kosataka bahasa Bugis bahkan mempunyai lebih banyak kesamaan dengan bahasa Toraja (sekitar 45 persen) dari pada persentase persamaannya dengan bahasa Makassar (40 persen). Selain itu, mitos tentang asal-usul mereka juga memperlihatkan adanya kesamaan dan perbedaan.
Bagi masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala’ saling mengambil satu sama lain’. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal balik. Walaupun mereka berasal dari status sosial
berbeda, setelah menjadi suami istri mereka merupakan mitra. Hanya saja, perkawinan bukan sekadar penyatuan dan mempelai semata, akan tetapi sesuatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya
Pesta pernikahan masyarakat Bugis berlangsung dalam dua tahap. Pertama acara pernikahan (ma’pabotting atau menre’ botting’ naiknya mempelai), dilaksanakan di rumah mempelai perempuan tanpa dihadiri kedua orang tua mempelai lak-laki. Kedua ma’parola (membawa pengantin perempuan ke rumah mertuanya) yang kadang-kadang dilakukan beberapa hari kemudian. Pada hari pernikahan, mempelai pria datang ke acara pesta bersama pegiringnya, dan didahuli penyerahan sompa. Pada zaman dahulu pengantin pria harus melewati sejumlah rintangan simbolik (lawa botting), seperti melewati pasukan kuda berlapis atau pertunjukan silat, dan baru bisa lewat setelah menyerahkan hadiah kepada pengawal. Untuk pria bangsawan tertinggi ada lagi upacara khusus, yang bangian utamanya disebut ma’ lawolo, suatu dialog antara pihak pengantin pria dengan seorang bissu yang mewakili keluarga perempuan.
Tahap kedua pesta perkawinan, yaitu ma’parola, di mana pengantin perempuan disambut oleh orang tua suaminya, tidak kalah meriahnya, walau ritual nikah Islam dan ritual-ritual adat tentu saja tidak diulangi lagi. Selama duduk bersanding, pasangan ini hanya beristirahat sejenak sekadar untuk makan dan berganti pakaian. Kemudian, sang laki- laki harus melewati sejumlah tahap pada malam pesta dan malam-malam berikutnya untuk membujuk pasangan barunya. Pertama, agar sang istri memperbolehkannya tidur di kamar yang sama, membuka selubung dan berbicara dengan si istri, mengijinkannya mendekat sehingga akhirnya bersedia tidur bersama. Upacara pesta pernikahan merupakan media
utama bagi orang Bugis untuk menunjukkan posisinya dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-ritual, mengenakan pakaian, perhiasan, dan pernak pernik lain tertentu sesuai dengan tingkat kebangsawaan dan status sosial mereka.
H. Teks Ma’parapa
Menurut Xxxxxxxxx Xxxx (2014:121-122) menjelaskan kada tominaa daerah Toraja merupakan salah satu sastra lisan di daerah Toraja yang berwujud syair dan diwariskan dari mulut ke mulut. Kada tominaa dituturkan oleh seorang pemangku adat pada berbagai kegiatan upacara syukuran atau yang disebut rambu tuka’, misalnya pada acara pernikahan atau yang disebut rampanan kapa’. Kada tominaa daerah Toraja sebagai sastra lisan yang memiliki kekhasan sendiri, selalu diekspresikan untuk kepentingan-kepentingan tertentu sesuai bunyi syair tersebut, artinya kada tominaa daerah Toraja dijadikan sebagai salah satu media ekspresi masyarakat daerah Toraja untuk mengkomunikasikan pengalaman hidupnya maupun kepentingan tertentu kepada sesamanya dalam lingkup masyarakat daerah Toraja.
Ma’parapa merupakan kegiatan dengan tujuan menenangkan semua orang yang hadir dalam suatu acara. Pemeran kegiatan ini disampaikan oleh orang yang dipercayakan pihak keluarga, dalam menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan yang telah dilaksanakan. Ma’parapa berasal dari kata rapa’ yang berarti tenang dan ma’ yang berarti melakukan, itu berarti ketika kata ini disatukan dengan awalan menjadi menenangkan kondisi. Ma’parapa biasanya dilaksanakan dalam berbagai kegiatan upacara adat di Toraja, baik upacara adat rambu tuka’ maupun upacara adat rambu solo’.
Setelah keadaan tenang maka orang yang ma’parapa mengucapkan apa yang ingin disampaikan dalam versi bahasa Toraja tingkat tinggi atau bahasa tomina, yang biasa disebut singgi’ atau tingga’ dengan tujuan untuk menyanjung, menyapa tamu bahkan menarik perhatian orang-orang yang ditujukan. Dalam kegiatan ini ada beberapa tingkatan yang harus disesuaikan dengan memperhatikan: (1) proses pengucapan singgi’/tingga’ bergantung pada jenis pelaksana kegiatan upacara adat, yakni kepada orang-orang yang berstrata sosial tinggi tentu berbeda dengan orang yang memiliki strata sosial menengah, apalagi jika pelaksana upacara adat berstrata sosial rendah secara otomatis proses pengucapannya pun berada pada kategori rendah, (2) proses pengucupan singgi’/tingga’ untuk menyapa tamu-tamu yang hadir sesuai dengan strata sosial. Bilamana seorang pejabat atau tamu yang berasal dari berbagai instansi atau struktur kepemerintahan. Maka singgi’ yang dilontarkan pemeran ma’parapa memperhatikan tutur bahasa Toraja yang tinggi kepada yang bersangkutan dan jika yang hadir adalah kelompok bangsawan maka deretan makna bahasanya pun tertujuh pada kelas bangsawan sebagai penghargaan. Dengan demikian jika yang hadir adalah strata sosial kelas bawah tentunya si pemeran singgi’ hanya menguraikan hubungan keluarga dan kaitan keluarga dengan mereka. Akan tetapi, zaman sekarang ini kebanyakan orang yang ma’parapa tidak lagi memperhitungkan kedua hal tersebut, namun yang terpenting bagi mereka adalah bagus tidaknya bahasa yang dituturkan olehnya.
I. Penerapan Nilai Pengajaran Sastra Indonesia
Pendidikan karakter menurut Xxxxxx Xxxxxxx dalam Gunawan (2012:23) adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan xxxx xxxxxxx, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain kerja keras dan sebagainya. Karakter erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap kali dimanifestasi dalam tingkah laku.
Xxxxxx dan Xxxxx dalam Gunawan (2012:23) pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan inti atas nilai-nilai etis/susila. Di mana kita berpikir tentang macam-macam karakter yang diinginkan untuk anak kita. Harapan untuk anak bangsa adalah memilki karakter yang sangat peduli akan kebenaran kemudian diterapkan menjadi suatu kebenaran.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik .Guru membantu membentuk watak peserta xxxxx. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi sebagaimana guru bertoleransi.
Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan karakter. Menurut Xxxxx dalam Gunawan (2012:25) di antara berbagai teori yang berkembang ada enam teori yang bayak digunakan yaitu: Pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Semangat itu secara implisit ditegaskan dalam rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005 s.d. 2015, di
mana pendidikan karakter ditematkan sebagai landasan untuk mewujudkan visi pembangunan nasional, yaitu” mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
Nilai-nilai pendidikan krakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan ada delapan belas karakter. Nilai-nilai tersebut bersumber dari agama, pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional. Adapun delapan belas nilai tersebut yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cintai damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Sulistyowati, 2012:30-32).
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
I. Kerangka Konseptual
Salah satu kekayaan Indonesia yang tertuang dan menjadi warisan adalah budaya Toraja, salah satunya yang harus kita laksanakan dan kita lestarikan yaitu aluk Rampanan Kapa’ (pernikahan) di dalamnya terdapat teks ma’parapa yang memiliki kandungan nilai- nilai yang perlu diketahui. Teks ma’parapa merupakan salah satu karya sastra yaitu sastra klasik, sastra lama, atau sastra tradisional karena tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu. Karya sastra lama lahir dalam masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang masih berlaku di daerahnya dan bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama. Ma’parapa merupakan kegiatan dengan tujuan menenangkan semua orang yang hadir dalam suatu acara.
Salah satu mata pembelajaran yang diajarkan di sekolah adalah pembelajaran Bahasa Indonesia, salah satu materinya yaitu sastra klasik (sastra tradisional) dan pembelajaran Muatan Lokal materi pembelajaran yaitu sastra daerah. Teks ma’parapa merupakan salah satu meteri pembelajaran yang mengandung nilai-nilai seperti nilai moral, budaya, sosial, dan pendidikan yang dapat direalisasikan dalam lingkungan forman maupun nonformal. Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam teks ma’parapa maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian ini berfokus pada tiga
Budaya
Sastra
Teks Ma’parapa
Nilai-Nilai
masalah yaitu nilai-nilai yang terdapat pada teks ma’parapa, fungsi nilai-nilai, dan eksistensi teks ma’parapa di kalangan masyarakat. Sumber data yaitu teks ma’parapa dan dengan melakukan teknik dokumentasi, wawancara kebeberapa informan, dan studi pustaka. Untuk lebih jelasnya kerangka konseptual dalam penelitian ini, dapat digambarkan seperti berikut:
Temuan | |
Hasil |
Moral
Pendidikan
Budaya
Sosial
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang dialami dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Xxxxx (2007: 12) mengatakan bahwa karakteristik penelitian kualitatif yaitu: (1) mempunyai latar yang alami sebagai sumber data langsung, (2) bersifat deskriptif,
(3) lebih menekankan pada proses dari pada hasil, (4) cenderung menganalisis data secara induktif, dan (5) makna merupakan hal yang esensial.
Pengunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini melalui dua pertimbangan. Pertama, jenis data yang dibutuhkan tidak dimaksudkan untuk menjawab hipotesis, melainkan menggambarkan, dan menjelaskan nilai budaya, nilai moral, nilai sosial, dan nilai pendidikan. Kedua, dalam melakukan kajian terhadap nilai budaya, nilai moral, nilai sosial, dan nilai pendidikan, peneliti terlibat langsung dan berperan sebagai instrument kunci, baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data. Ketiga menjelaskan eksistensi teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ peneliti terlibat langsung dan berperan sebagai instrumen kunci, baik dalam mengumpulkan data maupun dalam menganalisis data. Rancangan dalam penelitian ini adalah sebagai langkah awal
peneliti menentukan atau merumuskan masalah penelitian, mengadakan studi kepustakaan, memberikan defenisi operasional istilah, melaporkan hasil penelitian, dan menarik kesimpulan.
B. Rancangan Penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengumpulkan data, dan mengolah data, menganalisis data, dan mengujikan hasil penelitian secara objektif atau apa adanya sesuai dengan hasil yang diperolah dilapangan. Nilai-nilai yang terdapat pada teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara dideskripsikan sesuai dengan kutipan teks yang mengacu pada nilai moral, nilai budaya, nilai sosial, nilai pendidikan dan juga mendeskripsikan fungsi nilai- nilai dan eksistensi teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’. Selanjutnya, penjelasan tentang teks ma’parapa adalah langkah awal peneliti, untuk menentukan atau merumuskan masalah penelitian, mengadakan studi kepustakaan, memberikan definisi istilah, melaporkan hasil penelitian, dan menarik kesimpulan.
C. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pengkajian nilai-nilai yang terdapat dalam teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ dan eksistensi teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ Nilai-nilai yang akan dikaji meliputi isi yang mencakup: (1) nilai budaya, (2) nilai moral,
(3) nilai sosial, dan (4) nilai pendidikan. Keempat nilai-nilai ini dapat diperoleh dari objek penelitian.
D. Batasan Istilah
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran yang sesuai dengan penelitian. Agar penelitian ini nantinya tidak terjadi kesalahan penafsiran memahami fokus penelitian, maka berikut ini dikemukakan batasan istilah penelitian. Untuk memahami istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan istilah berikut:
1. Sastra klasik adalah sastra lama atau sastra tradisional, adalah karya sastra yang tercipta dan berkembang sebelum masuknya unsur-unsur modernisme ke dalam sastra itu.
2. Teks ma’parapa adalah teks pernikahan, ma’parapa merupakan kegiatan dengan tujuan menenangkan semua orang yang hadir dalam suatu acara. Pemeran kegiatan ini disampaikan oleh orang yang dipercayakan pihak keluarga, dalam menyampaikan hal- hal yang berkaitan dengan kegiatan yang telah dilaksanakan.
3. Rampanan Kapa’ adalah rampanan merupakan benda atau alat yang berfungsi sebagai suatu tempat untuk melekatkan kerangka-kerangka dari suatu rumah, sedangkan kapa’ (kapas) ini digunakan sebagai lambang kebersihan dan kesucian dari laki-laki dan wanita yang akan dikawinkan dalam hubungannya dengan perkawinan maka rampanan itu merupakan suatu tempat berdirinya perkawinan yang di dalamnya terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan.
E. Sumber Data dan Data
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara. Teks ma’parapa diperoleh dari informan-informan yang meliputi: pemuka adat masyarakat Bori Kecamatan Sesean, Pengurus Yayasan objek wisata, dan guru seni budaya di Toraja Utara.
2. Data
Data penelitian ini terdiri atas dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer yakni berupa teks ma’parapa yang diungkapkan oleh informan. Data sekunder digunakan untuk memperkuat data dari informan yakni dokumen-dokumen yang berupa buku, jurnal, dan hasil penelitian budaya yang terkait dengan teks ma’parapa.
F. Instrumen Penelitian
Peneliti sebagai intrumen inti dalam penelitian ini karena peneliti secara langsung tidak dapat diwakili dalam pengumpulan data. Secara metodologis, peneliti bertindak sebagai instrumen inti dan informan bertindak sebagai instrumen pelengkap. Peneliti menelaah nilai-nilai, mengkalisifikasikan nilai moral, nilai budaya, nilai sosial, dan nilai pendidikan yang terdapat pada teks ma’parapa rampanan kapa’ dan menelaah fungsi nilai-nilai dan eksistensi teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’. Peneliti sebagai instrument utama peneliti berperan sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis data, dan penyusunan laporan penelitian (Xxxxxxx, 2010: 168).
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik dokumentasi, teknik studi pustaka, dan teknik wawancara. Ketiga teknik tersebut diuraikan sebagai berikut:
1. Teknik Observasi
Teknik observasi adalah suatu pengamatan dan pencatatan yang dilakukan secara langsung bersamaan dengan objek yang akan diteliti yaitu teks Ma’parapa dalam prosesi Rampanan Kapa’ di Toraja Utara.
2. Teknik Dokumentasi
Teknik ini dilakukan dengan mendokumentasikan data berupa teks ma’parapa rampanan kapa’ di Toraja Utara.
3. Studi Pustaka
Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan dokumen- dokumen dari buku yang terkait dengan penelitian ini.
4. Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengambil data primer dari informan mengenai teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara malalui informan.
H. Pemeriksaan Kabsahan Data
Dalam rangka untuk mendapatkan temuan yang akurat dan interpretasi yang valid dari data, peneliti melakukan triangulasi. Teori triangulasi dilakukan dengan mengkonfirmasi
hasil analisis dengan teori yang telah diuraikan pada bab 2 untuk memperoleh satu temuan penelitian yang kredibel. Triangulasi dilakukan dengan mengkonfirmasi hasil analisis data dengan para tokoh masyarakat, pemerintah dan pemuka-pemuka adat di kabupaten Xxxx Xxxxxx. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan dan meningkatkan akurasi hasil analisis data dan temuan nilai-nilai pada teks Ma’parapa prosesi Rampanan Kapa di Xxxx Xxxxxx.
I. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan teknik analisis data model interaktif. Kegiatan analisis data penelitian dengan menggunakan model interaktif dilakukan empat tahap kegiatan yaitu:
1. Pengumpulan data dilakukan melalui pembacaan, pencatatan, pemilihan, dan penentuan korpus data, dari teks ma’parapa prosesi rampanan kapa’ berdasarkan masalah penelitian.
2. Reduksi data, yaitu pemusatan perhatian, identifikasi, seleksi, dan klasifikasi terhadap korpus data dengan maksud untuk menyesuaikan bentuk data yang ada dengan bentuk data yang dibutuhkan dalam kegiatan analisis. Kegiatan reduksi data setiap saat dapat dilakukan selama dalam proses pengumpulan data dan analisis data. Melalui kegiatan ini, peneliti memilih data yang relevan dengan fokus masalah penelitian.
3. Penyajian data, yaitu penataan, pengodean, dan penganalisisan bangian-bagian teks yang mendeskripsikan unsur struktural untuk memperoleh hipotesis kerja.
4. Penyimpulan data/verifikasi, yaitu penarikan kesimpulan sementara sesuai reduksi dan penyajian data. Penyimpulan dilakukan berdasarkan hasil interprestasi dan analisis data menurut fokus penelitian. Selanjutnya, kesimpulan penelitian diverifikasi ulang untuk divalidasi.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
J. Deskripsi Hasil Analisis Data
Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengkaji nilai-nilai pada teks Ma’parapa dalam prosesi Rampanan Kapa’ di Toraja Utara. Penelitian ini dimaksudkan mengkaji nilai-nilai, fungsi nilai-nilai, dan eksistensi teks Ma’parapa dalam prosesi Rampanan Kapa’ di Toraja Utara.
1. Nilai-nilai pada Teks Ma’parapa dalam Prosesi Rampanan Kapa’ di Toraja Utara
Penelitian yang berjudul “Kajian nilai-nilai pada teks Ma’parapa dalam prosesi Rampanan Kapa’ di Toraja Utara” dimaksudkan mengkaji nilai-nilai yang terkandung pada teks tersebut. Pada teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara dikaji nilai-nilai sebagai berikut:
a. Nilai Moral
Konsep nilai pendidikan moral bagi masyarakat merupakan satu di antara hal yang mendasar dalam kehidupan. Terabaikannya nilai moral ini, dapat menimbulkan keresahan, kegelisahan, dan penderitaan di kalangan masyarakat. Pendidikan yang didasarkan pada moral yang kuat adalah modal utama dalam kehidupan yang perlu dibuktikan dalam pola tingkah laku manusia yang mencakup etika baik dan buruk. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral merupakan (ajaran) baik buruk perbuatan dan kelakukan (akhlak, kewajiban, dsb). Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi bathiniah
xxx xxxx lahiriah. Orang yang baik adalah orang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula, sikap batin itu sering kali juga disebut hati. Oleh karena itu, salah satu barometer yang dapat dijadikan landasan penilaian bergantung pada sejauh mana penerapan amanah yang menjadi tanggung jawabnya.
1) Kesantunan
Kesantunan dalam kehidupan sehari-hari merupakan etika atau perilaku yang harus diwujudkan di dalam tingkah laku. Kesantunan merupakan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat Indonesia tentu memiliki cara-cara tersendiri yang membedakan dari bangsa lainnya. Sebagai masyarakat yang menganut budaya timur, tentu dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kesantunan. Nilai kesantunan juga mencerminkan nilai kesopanan dan etika dalam berbahasa. Kesantunan dalam berbahasa menggambarkan ciri khas dari hidup yang selalu memelihara norma-norma dalam kehidupan. Sikap kesantunan terdapat pada teks ma’parapa yang ditegaskan melalui bait ke-1 di bawah ini:
Bait ke-1
(1) Tabe’ lako olo mala’bi’na to umpobayu bayunna tongkonan to umposarong-sarongna pa’kalandoan to parengnge’ torroan indo’ torroan ambe’di pabarrena allo simman lako tingayo makaraengna to di palindona bulan
Dengan hormat, kepada bangsawaan atau sesepuh masyarakat dan pemangku adat yang berkenaan hadir di tempat ini.
Tabe’ lako olo mala’bi’na to sitaranak aluk mellao langi’ simman lako tingayo makaraengna to xxxxx xxxxxx’ losson di batara pendeta, xxxxx, xxxx tungkasanganna
Dengan hormat, atau yang kami hormati, kepada yang telah diberi jabatan apakah itu xxxxxxx, xxxx, yang disebut aluk atau agama yang turun dari langit.
Tabe’ lako to sitoe tokonna lembang simman lako to sisaladau pebosena lapi to ma’parenta tungkasanganna
Yang kami hormati, Bapak pemerintah (Bupati, Camat, atau kepala lembang)
Tabe’ lako to utaranak dandanau sangka simman lako to si saladan to bangunan ada’ to parangngi, to makaka tungkasanganna
Yang kami hormati, Tokoh adat yang disebut tomakaka (pemangku adat), toparengge (kaum bangsawan) yang beranggung jawab tentang adat- istiadat dalam masyarakat setempat.
Tabe’ lako pa’rannuanna tondok simman lako pa’paellean la dinai mekutana lollong meusik tanda marorrong keden tang di lambi’na te mai tong di karatuinna
Yang terhormat kepada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kemudian Tokoh wanita. (NK.1)
Pada bait ke-1 ditemukan nilai moral kesantunan orang tominaa kepada semua hadirin yang datang pada acara pernikahan dengan meminta izin terlebih dahulu dan menghormati semua yang hadir di acara pernikahan. Nilai moral kesantunan merupakan poin penting pada kehidupan sebagai perwujudan kehidupan bermasyarakat. Nilai moral kesantunan juga merupakan nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Sikap kesantunan yang ada pada bait di atas yaitu dengan pilihan kata tabe’ artinya menghormati dan meminta izin kepada kaum bangsawan atau sesepuh masyarakat, pemangku adat, tokoh agama, pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh wanita. Sebelum adat tentang perkawinan disampaikan oleh tominaa, sudah seharusnya meminta izin terlebih dahulu kepada masyarakat yang memiliki jabatan di wilanyah tersebut. Kata tabe’ menurut masyarakat Toraja merupakan kata yang santun dan sampai sekarang diterapkan dalam kehidupan sahari-hari. Bukan saja di upacara-upacara seperti pernikahan atau pun kematian tetapi, diterapkan juga di lingkungan pendidikan (sekolah), di rumah, dan di pasar.
(2) Tabe’ lako to matua indak simman laka to banu’ xxxxxxxxxx xxxxx pekamberan tungkasanganna
Yang terhormnat kepada tua-tua kampung dalam arti tempat untuk bertanya apabila salah satu adat yang dilanggar yang disebut tomatua induk atau banukarurungan.
Tabe’ massola nasan simman lako angga mairi’, tae’, misa’ kupasalian rinding kupataleko’na manangnga lante isungan pangngurrande-randean, ada’na rampanan kapa’ basse situka sangka’na pa’sullean allo kaso sitamben, Lo’ bangan pa’ sangruang rinding, palempean pau sangsukema menangnga.
Yang Kami Hormati, seluruh hadirin yang hadir di tempat yang disebut massolanasang. Tidak ada yang terlupakan atau tanpa terkecuali yang disebut tae misa ku paselianrinding umpalekona mangganna banua (yang berada di luar dinding).
Angku bendan pa lan alla’ tangngata massola nasang latumannang lan te angga mairi. Lampa tikillang inde kombong bulaanna rampanan kapa’ um pati kurarak inde sangka’na basse si tuka’.
Aku akan berdiri di hadapan kalian semua/hadirin yang akan berdiri di depan semua yang hadir. Aku akan membuka sebuah perkumpulan megangungkan perkawinan, merentangkan (akan membuka) tradisi pertukaran. (NK.2)
Nilai kesantunan juga ditunjukkan pada bait ke-1 di atas dengan pilihan kata tabe’ yang ditujukan kepada orang tua kampung artinya tempat untuk bertanya apabila salah satu adat yang dilanggar di Toraja disebut tomatua induk (orang tua). Bait di atas juga merupakan sikap santun karena selain meminta izin dan menghormati orang tua kampung, juga menghormati semua hadirin yang hadir pada saat itu yang tidak memiliki jabatan di wilayah tersebut. Masyarakat yang hadir pada acara pernikahan baik itu yang duduk di dalam maupun di luar gedung atau tenda semuanya dihormati. Pada baris terakhir di atas, tominaa juga menunjukkan sikap santun dan bahasa yang santun karena sebelum menyampaikan adat perkawinan, meminta izin terlebih dahulu kepada semua masyarakat yang hadir tanpa terkecuali. Bahwa tominaa akan berdiri di tengah-tengah masyarakat dan akan menyampaikan tentang adat pernikahan. Demikian saharusnya sikap kesantunan yang diterapkan oleh orang tominaa atau yang membawakan teks ma’parapa dengan menghargai
semua yang hadir baik itu yang memiliki jabatan tinggi, keluarga, orang tua, remaja, dan anak-anak semuanya dihormati.
Sikap kesantunan terdapat juga pada teks ma’parapa yang ditegaskan melalui bait ke-2 di bawah ini:
Bait ke-2
(3) E...tau e...tau e...xxx e
Hai semua orang-hai semua orang
Angganna to rapa’ lante inan kaparannuan
Semua orang yang hadir, di dalam acara pernikahan
Xxxxxxxxxx to bintin lante isungan pangngurrande-randeana aluk rampanan kapa’
Keseluruhan dalam keadaan tenang sedang duduk tenang, ucapan syukur adat pernikahan
Tasiparapa’pa dolo diong ballaram ampa’
Mari kita menenangkan diri di tempat duduk yaitu tikar
Tasi ta’tan pa angga mairi’ diong rantean tuyu
Saling menegur jangan ribut secara keseluruhan, dalam tempat duduk yaitu tikar
Labendanpa’ lante alla’ tangnga tingayo la massola nasang
Saya mau berdiri, di hadapan kalian, di tengah-tengah kalian semua
La tunannangpa lante una’ta angga mairi
Saya akan berdiri di hadapan kalian, dalam acara ini
Laumparampo pa’ sangabuku kada
Mau mengungkapkan, sepatah kata
La umbuang sangpati’kanna bisara
Mau mengatakan sebuah sedikit kata (NK.3)
Selanjutnya pada bait ke-2 ditemukan pula nilai moral kesantunan kata yang santun yang diucapkan oleh orang tominaa yaitu mengajak semua hadirin untuk tenang, untuk
duduk dengan rapi di tempat yang sudah disediakan dan menyaksikan kedua mempelai yang sedang berjalan melangkahkan kaki seirama naik ke pelaminan. Kesantunan setiap kata yang diucapkan orang tominaa mampu membuat semua hadirin tenang dan mengikuti jalannya acara pernikahan. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang tersebut dinilai memiliki moral yang baik.
Sikap kesantunan pada bait ke-1 dan ke-2 ditemukan pada teks ma’parapa dengan meminta izin terlebih dahulu dan menghormati semua hadirin di acara pernikahan tersebut. Nilai ini merupakan perwujudan dari kesantunan budi dan perilaku masyarakat Toraja yang diejawantah dalam prosesi pernikahan. Selain itu, pada teks ma’parapa ditemukan pula kesantunan lingual yang tercermin dalam praktik berbahasa pada proses pernikahan. Hal ini mencerminkan bahwa praktik berbahasa yang menjadi pedoman dalam perilaku hidup bermasyarakat, salah satu diantaranya adalah praktik pernikahan.
2) Rendah hati
Pengertian rendah hati secara umum adalah tidak sombong atau orang yang menyadari dirinya bahwa semua kenikmatan yang didapatkan bersumber dari Tuhan. Jika manusia memahami hal tersebut, maka tidak akan pernah terbersit sedikitpun dalam hatinya kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain. Rendah hati adalah sifat yang dapat menghargai sesama manusia, tidak menganggap dirinya lebih hebat dari orang lain, serta sadar bahwa semua yang ada di dirinya hanyalah titipan Tuhan. Sikap rendah hati diimplementasikan dalam kutipan pada bait ke-3 di bawah ini:
Bait ke-3
(4) Puang bassi-bassian, Puang ambo-amboan
Tuhan orang lanjut usia yang kulitnya terdapat bintik-bintik hitam, Tuhan orang tua lanjut usia
Puang tu’tun mentiro lumbang, Puang unnisang sa’pala buda.
Tuhan tetap melihat ke bawah dunia, Tuhan duduk tidak ada yang dibeda- bedakan
Xxxx sa’ba pa rande dipudukki, lana dete’pa dara’ lengko di lilaki
Akan mengucapkan sebut namanya di mulutku, kami akan sapa goyang lidah (berbicara)
Lante’ allo to temo, lante kulla’ di rande lulangngan
Pada hari ini, di siang hari ini yang sementara kita junjang ke atas
Tang la napotiramban ra Puang lan ba’tangna langi
Tidak akan mengangetkan Tuhan di atas langit
Tang la napo li’pangra To xxxxxxxxxxx ilan di masuanggana
Tidak akan mengangetkan dia sebagai tuhan yang telah menaungi kita
Tulana sa’bu dara’ lengko di lilaku.
Yang akan dia sebut kami akan sapa (di lidahku) (NRH.1)
Bait ke-3 ditemukan sikap rendah hati/rendah diri yang dimiliki oleh orang tominaa. Hal ini dapat dilihat dari makna teks di atas “Tuhan yang empunya etoritas sebagai pemilik seluruh bumi, kiranya Tuhan berkenan memberkati dan memberi berkat dan umur panjang kedua mempelai yang duduk bersanding pada hari ini dan kami datang memohon kepadaMu kiranya Tuhan melimpahkan berkah dan karuniaMu dalam perjalanan hidup mereka sebagai karuniaMu”. Artinya, kita diajak untuk merendahkan diri dan mengakui bahwa semuanya adalah ciptaan Tuhan apapun itu jabatan atau status sosial kita di masyarakat, tetap kita harus merendahkan diri dan mendoakan yang terbaik kepada sesama manusia. Karena Tuhan juga tidak membeda-bedakan umatnya. Selain merendahkan diri kepada Tuhan, tominaa juga menunjukkan sikap rendah hati bahwa tominaa yang
melantunkan teks ma’parapa bukanlah siapa-siapa di hadapan semua hadirin, dan hanyalah orang sederhana. Tominaa sama sekali tidak menunjukkan sikap yang sombong karena sebenarnya tominaa adalah orang yang mengerti tentang adat-adat yang berlaku di Totaja Utara, menguasai teks ma’parapa, dan merupakan pemangku adat. Diksi yang dipilih oleh tominaa dalam membawakan teks ma’parapa sudah memperkuat maksud bahwa kita harus merendahkan diri kepada Tuhan dan sesama manusia, apapun itu status yang kita miliki karena semua yang ada di muka bumi ini adalah ciptaan Tuhan.
3) Pandai Berterima Kasih
Mengucap kata terima kasih sama mengucap syukur atas nikmat yang telah kita dapatkan dari Tuhan. Hebatnya makna tersebut terkadang membuat diri kita merasa menjadi seorang yang berhati lapang tanpa pamrih. Syukur ialah mempergunakan nikmat Allah Subhannahu Wa Taala menurut yang dikehendakiNya. Semakin banyak berterima kasih semakin banyak kebaikan yang kita dapatkan, sama halnya dengan bersyukur, semakin kita mengucapkan rasa syukur semakin banyak pula nikmat yang didapatkan dari rasa syukur yang telah kita ucapkan.
Mengucapkan terima kasih mungkin bisa jadi hal yang sulit bagi yang tidak terbiasa mengucapkan. Ucapan luar biasa yang memiliki dampak luar biasa ini seringkali diabaikan oleh kita dalam hal melakukan hubungan sosial terhadap sesama. Pandai berterima kasih terdapat pada teks ma’parapa yang diimplementasikan melalui bait ke-4 di bawah ini:
Bait ke-4
(5) Kurre sumanga’na lante allo masero pindan
Terima kasih banyak, di siang hari ini bersih sekali
Saba’ parayanna lante kulla’ mabasebanaa
Keadaan yang menguntungkan di siang hari ini hari yang anggap baik
Kurre sumanga’na lante aluk rampanan kapa’
Terima kasih banyak dalam acara pernikahan
Saba’ Parayanna sangka’na pa’sullean allo kaso sitamben
Banyak berkat, teladan atau menjadi contoh pergantian hari (berpelukan)
Kurre sumanga’na langan Puang di Matua
Terima kasih banyak kepada Tuhan
Saba’ Parayanna te dao To Xxxxxxxxxxx
Banyak berkat menaungi dari atas (NPBK.1)
Teks di atas menunjukkan sikap pandai berterima kasih. Hal ini ditegaskan melalui makna bait ke-4 “kita sangat berterima kasih atas karunia Tuhan, kita mensyukuri tentang pernikahan suci kedua mempelai dan terima kasih kepada Tuhan karena Xxxxxx berkenaan mempersatukan mereka dalam satu kasih untuk mendayung bahtera”. Pilihan kata pada bait ke-4 menggambarkan ucapan terima kasih kepada Tuhan karena telah mencerahkan dan melancarkan acara pernikahan. Semoga Tuhan selalu memberikan nikmat kepada kedua mempelai dan semua hadirin, menjadikan adat pernikahan sebagai contoh menyatukan kedua keluarga dan memperkuat tali silatuhrahmi. Artinya pilihan kata yang diucapkan oleh xxxxxxx sudah menggambarkan sikap berterima kasih yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bukan saja pandai berterima kasih kepada Tuhan tetapi juga kepada semua sesama manusia yang sudah membantu kita dalam manjalani kehidupan. Kita diajak untuk selalu besyukur atas semua kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada kita. Sikap pandai berterima kasih terdapat juga pada teks ma’parapa yang ditegaskan melalui bait ke- 6 di bawah ini:
Bait ke-6
(6) Langan untorroi tangkena lamba’, kendek unisungngi kurapakna dai-dai Naik menempati tangkai kayu (bangsawan), naik menduduki kayu (agar dia menjadi kaya)
Den oupa’ nasitammu tu ianan makamban, anna siapparan barang sanda rupanna
Semoga bertemu dengan kekayaan yang banyak/besar, sehingga bertemu barang yang bermacam-macam keuntungan
Napo makambanni dakaran kande mi, mepomanimpa’i la’bi’ tu mianga’ Sehingga dia menjadi besar kekayaan mencari nafkah, tebal/jumlah banyak lebih dari yang diharapkan
Denno upa’ misitammu takinan pea, ammi siapparan lotong ulu
Semoga bertemu punya keturunan, semoga mendapatkan anak
Ammi ma’ sompo ma’kepak, ma’takia’ patomali
Semoga bercucu cicit, memiliki cucuk cicit
Ammi xxxx xxxx to diba’gi ten to di kataananni
Semoga kamu seperti diberikan keuntungan/kebahagian
Susi to ummukkunni kalimbuang boba
Seperti menyelami (memuaskan) mata air besar
Ten to ussilanni buntiaran mata uai
Ibarat menyelami mata air yang besar
Unnukkuni tua’ sanda
mendapatkan beraneka ragam rejeki
Ussillanni paraya sang sama-sama
menyelami berkat dalam jumlah banyak (NPBK.2)
Pada bait ke-6 menunjukkan sikap syukur keapada Tuhan. Hal ini dapat dilihat pada makna teks di atas “Kami bersyukur pada hari yang berbahagia ini kiranya Tuhan memberkati seluruh hadirin yang berkenan hadir memberi doa restu kepada kedua mempelai (pengantin) sebagai pasangan hidup baru”. Artinya semua yang datang pada acara pernikahan, bersyukur atas hari yang berbahagia yang masih diberikan, hari untuk menyatukan kedua rumpun keluarga agar selalu terjalin silaturahmi. Selain berterima kasih
atas hari berbahagia yang diberikan Tuhan, tominaa juga menunjukkan sikap berterima kasih kepada semua hadirin yang sudah memberikan doa restu kepada kedua mempelai dan mengharapkan agar semua hadirin yang datang pada acara pernikahan selalu dilindungi Tuhan. Berterima kasih kepada semua hadirin karena sudah menyempatkan hadir dalam acara pernikahan, memberikan motivasi, dan mendokan keluarga dan kedua mempelai. Sikap pandai berterima kasih terdapat juga pada teks ma’parapa yang ditegaskan melalui bait ke-7 di bawah ini:
Bait ke-7
(7) Na kendek membua balo ta’bi tarunomi
Naik menjadi pemanggil rejeki dari jerih payah
Langngan menta’bi bulaan lolo rangka’mi
Naik menghasilkan emas hasil jerih payah/hasil tangan
Tula mitimba tang ma’ti lan mintu’ allo katuoanmi
Yang kamu akan nikmati tidak akan surut/tidak habis-habis dalam kehidupan kamu
Ya mo la untu’tun alukna datu mata allo
Itulah yang akan menopang adatnya raja matahari (syukuran)
La untulak kaso tunamben
Menopang tempat meletakkan atap (kayu atap) berpelukan dalam arti pernikahan
Den oupa’ na kendek allo kendek tua’mi, sombo bulan
Semoga naik matahari semakin bertambah berkat nampak seperti bulan
Sombo parayammi.
Nampak kemakmuran kamu
Kurre...kurre...kurre sumanga’na.
Terma kasih...terima kasih banyak (NPBK.3)
Selanjutnya pada bait ke-7 juga menunjukkan sikap berterima kasih yang ditunjukkan
tominaa kepada semua hadirin. Hal ini ditegaskan melalui maknanya yaitu “berterima kasih
kepada keluarga dan semua hadirin yang menyempatkan hadir di acara pernikahan yang suci ini, semoga tidak ada kata-kata yang menyimpang dimohon kepada hadirin tidak disimpan dalam hati dan semua keselahan-kesalahan itu semoga Tuhan memaafkannya”. Sikap berterima kasih sudah ditunjukkan oleh tominaa, berterima kasih kepada keluarga kedua mempelai, dan berterima kasih kepada semua hadirin. Sikap berterima kasih yang ditunjukkan oleh tominaa harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, walaupun posisi tominaa adalah orang yang ditunjuk keluarga mempelai untuk membawakan teks ma’parapa dan tidak ada hubungannya dengan kedua mempelai pengantin, tetapi xxxxxxx tetap menerapkan sikap berterima kasih kepada semua yang hadir pada saat itu. Meminta maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenaan atau kehilafan dalam setiap tutur kata yang diucapkan dan berharap agar Tuhan juga memaafkan kesalahan-kesalahan itu.
Bentuk ucapan terima kasih yang ditunjukkan pada teks ma’parapa yang dibawakan oleh tominaa merupakan salah satu sikap yang perlu dicontoh karena mengucapkan kata terima kasih memiliki dampak yang luar biasa, semakin banyak berterima kasih semakin banyak kebaikan yang kita dapatkan. Semakin banyak kita bersyukur atas nikmat yang Tuhan berikan maka semakin banyak pula nikmat yang didapatkan dari rasa syukur yang telah kita ucapkan. Mengucap syukur membuat orang lebih bahagia dan lebih tangguh, memperkuat hubungan, meningkatkan kesehatan, dan mengurangi stres. Kemajuan modern merupakan salah media untuk mengucapkan kata terima kasih, jika kita tidak mampu mengucapkan secara lisan maka melalui media kita bisa mengucapkan terima kasih. Selalu besyukur dan berterima kasih ditunjukkan oleh orang tominaa dalam teks ma’parapa yang dapat dilihat masyarakat melalui upacara pernikahan. Hal ini mencerminkan bahwa praktik berterima kasih dalam kebudayaan masyarakat Toraja mengundung nilai-nilai etis moral
yang baik agar menjadi pedoman dalam perilaku hidup bermasyarakat, salah satu diantaranya adalah praktik pernikahan.
b. Nilai Sosial
Nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat. Untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Jika nilai-nilai sosial itu lenyap dari masyarakat, seluruh kekuatan akan hilang dan derap perkembangan akan berhenti. Berdasarkan Teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara ditemukan nilai sosial, sebagai berikut:
1) Kepedulian
Pemahaman tentang kepedulian menyatakan bahwa kepedulian adalah memperhatikan, menghiraukan, mencapuri perkara orang dan sebagainya. Kepedulian berasal dari kata peduli. Peduli adalah mengindahkan, memperhatikan, menghiraukan, sedangkan kepedulian adalah perihal sangat peduli, sikap mengindahkan, sikap memerhatikan. Kepedulian sosial dalam kehidupan bermasyarakat lebih kental diartikan sebagai perilaku baik seseorang terhadap orang lain disekitarnya. Kepedulian sosial dimulai dari kemauan “memberi” bukan “menerima”. Sikap kepedulian terhadap sesama manusia terdapat pada teks ma’parapa yang diimplementasikan melalui bait ke-6 di bawah ini:
Bait ke-6
(8) Xxxx tossoanni liku lambe’ do mai tangngana langi’
Sehingga dia membuatkan sungai dari atas langit
Xxxx xxxxxxxxx bombang likalulunna do mai lisunna batara
Sehingga dia membuatkan gelombang besar dari atas langit
Xxxx apparanni angga silasxxxx, xxxx xxxx penduan ganna’
Sehingga dia pasangkan tikar secukupnya, sehingga dia dapatkan dua kali secukupnya
Xxxx xxxxxx-turu ten to xxxxx, xxxx xxxxxxan ten to matindo
Sehingga dia tenang/nyaman tidur, sehingga dia nyenyak tidur
Xxxx ala tindo xxxxxx, xxxx endekan pangngimpi mendaun sugi Sehingga dia memperoleh mimpi yang mendatangkan berkat, dia mengharapkan mimpi agar kaya
Langan untorroi tangkena lamba’, kendek unisungngi kurapakna dai-dai Naik menempati tangkai kayu (bangsawan), naik menduduki kayu (agar dia menjadi kaya)
Den oupa’ nasitammu tu ianan makamban, anna siapparan barang sanda rupanna
Semoga bertemu dengan kekayaan yang banyak/besar, sehingga bertemu barang yang bermacam-macam keuntungan
Napo makambanni dakaran kande mi, mepomanimpa’i la’bi’ tu mianga’ Sehingga dia menjadi besar kekayaan mencari nafkah, tebal/jumlah banyak lebih dari yang diharapkan
Denno upa’ misitammu takinan pea, ammi siapparan lotong ulu
Semoga bertemu punya keturunan, semoga mendapatkan anak
Ammi ma’ sompo ma’kepak, ma’takia’ patomali
Semoga bercucu cicit, memiliki cucuk cicit (NKep.1)
Teks bait ke-6 dapat dianggap sebagai representasi dari sikap kepedulian terhadap sesama, karena teks itu mengandung makna “Mendoakan kedua mempelai agar langgeng hubungannya yang diikat oleh hukum agama dan hukum adat. Mengharapkan berkat dari yang kuasa semoga kedua mempelai diberi kesehatan dan umur panjang, keturunan, harta/benda hasil bumi melimpah, ternak, dan emas versi Toraja. Semoga Semakin erat tali silatuhrahmi antara kedua mempelai maupun rumpun keluarga. Kami datang memohon kepada-Mu kiranya Tuhan melimpahkan berkah dan karuniaMu dalam perjalanan hidup
mereka sebagai karuniaMu. Kami bersyukur pada hari yang berbahagia ini kiranya Tuhan memberkati seluruh hadirin yang berkenan hadir memberi doa restu kepada kedua mempelai (pengantin) sebagai pasangan hidup baru. Kiranya Tuhan memberi berkat sebagai balasan setimpal dengan bantuan yang dinyatakan kepada seluruh hadirin dan kembali ke rumah masing-masing tibakan dengan selamat”.
Teks tersebut menggambarkan bagaimana eratnya relasi dan hubungan sosial yang kuat antar masyarakat dalam kebudayaan Toraja yang tercermin dalam bentuk kepedulian antar sesama sebagaimana tertuang di dalam teks. Kepedulian antar sesama terkandung dalam berkumpulnya seluruh keluarga, handai taulan, dan anggota masyarakat lainnya di lokasi pesta perkawinan dalam rangka untuk berbagi kebahagiaan sekaligus mendoakan keselamatan dan kesejahteraan kedua mempelai yang segera akan memasuki sebuah babak baru dalam hidup mereka sebagai sepasang suami isteri.
Berkumpulnya anggota masyarakat dalam sebuah pesta pernikahan sesungguhnya memiliki makna yang melampaui ritual pesta pernikahan tersebut, pesta perkawinan ataupun ritual lainnya menjadi ajang bertemu dan berkumpul bagi masyarakat Toraja dalam mempererat tali silaturahmi dan menjaga rasa persaudaraan, hal tersebut juga tercermin dalam doa yang mereka panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang tidak hanya ditujukan bagi kesejahteraan dan keselamatan pasangan pengantin, tetapi juga kesejahteraan dan kebahagiann bagi semua hadirin, keluarga, dan khayalak anggota masyarakat Toraja pada umumnya. Hal ini mencerminkan bahwa praktik sikap kepedulian dalam kebudayaan masyarakat Toraja mengandung nilai-nilai sosial yang menjadi pedoman dalam perilaku hidup bermasyarakat, salah satu di antaranya adalah pratik pernikahan.
2) Solidaritas Sosial
Solidaritas dapat diartikan kesatuan kepentingan, simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama, perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama. Tradisi-tradisi adat dan budaya masyarakat, serta praktik-praktik ritual keagamaan merupakan bukti dari penerapan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai sosial masyarakat tampak dalam sikap solidaritas yang tinggi ketika disetiap acara adat dan agama masing-masing orang atau keluarga turut berperan di dalamnya. Hal ini selalu berwujud dalam sikap solidaritas. Solidaritas individu, dalam kelompok masyarakat merupakan bentuk sumbangan individu bagi kepentingan yang lebih luas. Hal ini sejalan dengan gagasan bahwa setiap individu diwajibkan untuk menjamin kesejahteraan umum. Semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Solidaritas juga merupakan aplikasi nyata dari filosofi hidup masyarakat. Solidaritas merupakan bagian wujud penerapan nilai-nilai sosial pada masyarakat.
Solidaritas khususnya dalam bentuk solidaritas sosial yang dipengaruhi oleh nilai-nilai religius tertentu dapat kita lihat dalam teks ma’parapa bait ke-7 seperti yang terlihat di bawah ini:
Bait ke-7
(9) Totemo sombo madatumo te diona tananan dapo’mi massola dua
Sekarang ini sudah nampak kemakmuran di pernikahan mereka berdua
Den oupa’ napamanda’i tampo limbongmi
Kiranya dikuatkan seperti pematang telaga
Na pobintinmi sapan minanga
Dikuatkan telanga yang lebih besar
Na kendek membua rara’ ta’bi tarunomi
Naik manjadi kalung wanita yang terbuat dari emas (wanita mulia) dari hasil jerih payah
Na kendek membua balo ta’bi tarunomi
Naik menjadi pemanggil rejeki dari jerih payah
Langngan menta’bi bulaan lolo rangka’mi
Naik menghasilkan emas hasil jerih payah/hasil tangan
Tula mitimba tang ma’ti lan mintu’ allo katuoanmi
Yang kamu akan nikmati tidak akan surut/tidak habis-habis dalam kehidupan kamu
Ya mo la untu’tun alukna datu mata allo
Itulah yang akan menopang adatnya raja matahari (syukuran)
La untulak kaso tunamben
Menopang tempat meletakkan atap (kayu atap) berpelukan dalam arti pernikahan
Den oupa’ na kendek allo kendek tua’mi, sombo bulan
Semoga naik matahari semakin bertambah berkat nampak seperti bulan (NSS.1)
Jika diterjemahkan secara bebas, bait ke-7 tersebut dapat dimaknai sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Tuhan karena engkau berkenaan mempersatukan mereka dalam satu kasih untuk mendayung bahtera. Kiranya Tuhan memberkati kedua mempelai dalam berusaha untuk mencari nafkah di dunia ini sebagai karunia Tuhan karena Tuhan adalah pemilik dunia dan kehidupan kami. Xxxxxx telah menciptakan langit dan bumi, engkau pula menopang kami di dalam perjalanan hidup kami, khususnya rumah tangga yang baru ini untuk hidup dan selalu takut kepada Tuhan. Kami bersyukur kepada Tuhan kiranya Tuhan berkenaan melimpahkan berkat karunia dan keturunan bagi kedua saudara dalam memasuki rumah tangga yang baru. Semoga kami tetap memuji dan memuliakan Tuhan disepanjang hidup yang Tuhan karuniakan.
Solidaritas tersebut tergambar dalam bentuk ketaatan dan ketakwaan terhadap Tuhan yang maha Esa yang telah menganugerahkan kepada mereka limpahan rezeki sehingga mereka dapat menghidupi keluarga mereka. Ungkapan syukur tersebut juga diwujudkan
dalam bentuk kepedulian terhadap bumi dan langit yang merupakan anugerah terbesar Tuhan kepada manusia yang digunakan sebagai sumber utama dalam menjamin keberlangsungan hidup masyarakat Toraja dari generasi ke generasi, dari masa-masa. Pada bait ke-7 memperlihatkan rasa bersatu, rasa kebersamaan dalam satu kelompok yaitu sama- sama bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa mendoakan diri dan sesama manusia. Kesetiakawanan juga ditunjukkan pada bait ke-7 dalam mencapi tujuan dan keinginan bersama yaitu mendoakan kedua mempelai dan keluarganya agar dimudahkan segala urusanya, rezkinya selalu bertambah, mendapatkan keturunan, dalam selalu mendapatkan berkat dari Tuhan. Hal ini mencerminkan bahwa praktik solidaritas dalam kebudayaan masyarakat Toraja mengandung nilai-nilai sosial yang menjadi pedoman dalam perilaku hidup bermasyarakat, salah satu diantarnya adalah prosesi pernikahan.
c. Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan konsep abstrak mengenai masalah besar dan bersifat umum yang sangat penting serta bernilai bagi kehidupan masyarakat. Nilai budaya menjadi acuan tingkah laku sebagian besar anggota masyarakat yang bersangkutan, berada dalam alam pikiran mereka dan sulit untuk diterangkan secara rasional. Nilai budaya bersifat langgeng, tidak mudah berubah ataupun tergantikan dengan nilai budaya yang lain. Nilai budaya merupakan nilai inti yang dijadikan pedoman hidup oleh individu atau kelompok masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat, nilai budaya berkaitan erat dengan sikap dan tingkah laku manusia. Nilai budaya tersebut termanifestasikan menjadi perilaku hidup, seperti kesantunan, tutur kata yang baik, kelembutan pekerti, dan sebagainya.
Berdasarkan teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara ditemukan nilai-nilai budaya, sebagai berikut:
1) Sikap Menghargai sesama Manusia
Sikap menghargai sesama manusia terdapat pada teks ma’parapa yang diimplementasikan melalui bait ke-1 di bawah ini:
(10) Tabe’ lako olo mala’bi’na to umpobayu bayunna tongkonan to umposarong-sarongna pa’kalandoan to parengnge’ torroan indo’ torroan ambe’di pabarrena allo simman lako tingayo makaraengna to di palindona bulan
Dengan hormat, kepada bangsawaan atau sepupu masyarakat dan pemangku adat yang berkenaan hadir ditempat ini.
Tabe’ lako olo mala’bi’na to sitaranak aluk mellao langi’ simman lako tingayo makaraengna to xxxxx xxxxxx’ losson di batara pendeta, xxxxx, xxxx tungkasanganna
Dengan hormat, atau yang kami hormati, kepada yang telah diberi jabatan apakah itu xxxxxxx, xxxx, yang disebut aluk atau agama yang turun dari langit.
Tabe’ lako to sitoe tokonna lembang simman lako to sisaladau pebosena lapi to ma’parenta tungkasanganna
Yang kami hormati, Bapak pemerintah (Bupati, Camat, atau kepala lembang)
Tabe’ lako to utaranak dandanau sangka simman lako to si saladan to bangunan ada’ to parangngi, to makaka tungkasanganna
Yang kami hormati, Tokoh adat yang disebut tomakaka, toparengge yang bertanggung jawab tentang adat-istiadat dalam masyarakat setempat.
Tabe’ lako pa’rannuanna tondok simman lako pa’paellean la dinai mekutana lollong meusik tanda marorrong keden tang di lambi’na te mai tong di karatuinna
Yang terhormat kepada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kemudian Tokoh wanita.
Tabe’ lako to matua indak simman laka to banu’ xxxxxxxxxx xxxxx pekamberan tungkasanganna
Yang terhormnat kepada tua-tua kampung dalam arti tempat untuk bertanya apabila salah satu adat yang dilanggar yang disebut tomatua induk atau banukarurungan.
Tabe’ massola nasan simman lako angga mairi’, tae’, misa’ kupasalian rinding kupataleko’na manangnga lante isungan pangngurrande- randean, ada’na rampanan kapa’ basse situka sangka’na pa’sullean allo kaso sitamben, Lo’ bangan pa’ sangruang rinding, palempean pau sangsukema menangnga.
Yang Kami Hormati, seluruh hadirin yang hadir di tempat yang disebut massolanasang. Tidak ada yang terlupakan atau tanpa terkecuali yang disebut tae misa ku paselianrinding umpalekona mangganna banua (yang berada di luar dinding).
Angku bendan pa lan alla’ tangngata massola nasang latumannang lan te angga mairi. Lampa tikillang inde kombong bulaanna rampanan kapa’ um pati kurarak inde sangka’na basse si tuka’.
Aku akan berdiri di hadapan kalian semua/hadirin yang akan berdiri di depan semua yang hadir. Aku akan membuka sebuah perkumpulan megangungkan perkawinan, merentangkan (akan membuka) tradisi pertukaran. (NMSM.1)
Teks di atas menunjukkan sikap menghargai sesama manusia. Hal ini ditegaskan melalui hasil wawancara terhadap informan yang menyatakan bahwa istilah tabe yang terdapat pada kutipan di atas menunjuk pada penghargaan terhadap undangan. Bagi, informan makna tabe’ merujuk permohonan maaf dan permintaan izin. Bait di atas, menunjukkan sikap menghargai sesama manusia marupakan salah satu budaya yang sampai sekarang masih dipertahankan oleh masyarakat Toraja Utara. Semua yang hadir pada acara pernikahan itu dianggap sebagai saudara walupun itu berbeda keturunan, dan dihargai baik itu orang tua, remaja, dan anak-anak. Manusia sebagai makhluk dengan keistimewaan memiliki akal dan hati hendaknya punya kearifan agar tetap eksis hidup saling melengkapi satu dengan yang lain. Antar sesama manusia harus ada rasa saling menghargai, saling menghormati, dan saling menopang mengelola bumi dan segala isinya demi kesinambungan kehidupan di dunia ini. Kata tabe’ sudah membudaya di masyarakat Toraja sebagai penghormatan, meminta izin, permisi, jika itu diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari maka masyarakat Toraja menganggap itu adalah sikap mengahargai sesama manusia seperti yang terdapat pada bait di atas. Kata tabe’ adalah kata yang sopan dan sebagai “kata yang sopan” orang yang mengucapkannya akan mendapatkan apresiasi dari orang sekitarnya. Menghargai sesama manusia adalah suatu sikap memberi terhadap suatu nilai yang diterima oleh manusia atau masyarakat setempat. Semakin maju perkembangan dunia maka semakin kuat pertahanan budaya atau kebiasaan orang tua terdahulu untuk selalu dijadikan contoh praktik kehidupan sehari-hari.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Xxxxxxxxxxxxxx (2002:3) yang menjelaskan bahwa sistem budaya secara universal berhubungan dengan sistem nilai budaya dalam masyarakat, khususnya yang terkait dengan hubungan manusia. Hal ini terkait dengan makna tabe’ yang menjadi manifestasi sikap menghargai sesama manusia. Sikap menghargai sesama manusia juga terdapat pada teks ma’parapa yang ditegaskan melalui bait ke-2 di bawah ini:
Bait ke-2
(11) E...xxx e...tau e...xxx e
Hai semua orang,,,hai semua orang
Angganna to rapa’ lante inan kaparannuan
Semua orang yang hadir, di dalam acara pernikahan
Xxxxxxxxxx to bintin lante isungan pangngurrande-randeana aluk rampanan kapa’
Keseluruhan dalam keadaan tenang sedang duduk tenang, ucapan syukur adat pernikahan
Tasiparapa’pa dolo diong ballaram ampa’
Mari kita menenangkan diri di tempat duduk yaitu tikar
Tasi ta’tan pa angga mairi’ diong rantean tuyu
Saling menegur jangan ribut secara keseluruhan, dalam tempat duduk yaitu tikar
Labendanpa’ lante alla’ tangnga tingayo la massola nasang
Saya mau berdiri, di hadapan kalian, di tengah2 kalian semua
La tunannangpa lante una’ta angga mairi
Saya akan berdiri di hadapan kalian, dalam acara ini
Laumparampo pa’ sangabuku kada
Mau mengungkapkan, sepatah kata
La umbuang sangpati’kanna bisara
Mau mengatakan sebuah sedikit kata
Siulangna lante aluk rampanan kapa’ basse situka’
Sehubungan dengan acara pernikahan ini, pertukaran perxxxxxxx
Xxxxxxx’xx lante sangka’na pa’sullean allo kaso sitamben
Diikiat di dalam hal ini hukum/tadisi dikembalikan matahari saling bersilang
Inde anak sola duai, sumurruk tama rampanan kapa’datang.
Ini anak berdua, masuk ke dalam meletakkan hukum
Yamo bali datunna la sang bamban ayokana Sampe Bahrul sola lince tu lau mendadi
Bahwa dialah rajanya bersama berdua Xxxxx Xxxxxx sama Lince yang akan menjadi
Sang bua dodo Sampe Bahrul sola Lince tu unnisung sangayoka
Berada dalam sebuah Sarung yang khusus dipakai wanita Sampeh Bahrul dan Lince duduk berdua
Tu nannang sanglesoan kale lante allo mo totemo lante kulla marassan Berdiri sama rata di dalam hari ini di dalam bersinar sementara berlangsung (NMSM.2)
Teks di atas menunjukkan sikap menghargai sesama manusia. Hal ini ditegaskan melalui hasil wawancara terhadap informan yang menyatakan bahwa e tau e...e tau e... artinya tominaa mengatakan bahwa hai hadirin, hai hadirin, dalam hari ini allo xxxxxx’ artinya tidak sembarang hari, karena hari ini adalah hari kesepakatan kedua mempelai keluarga untuk melaksanakan pernikahan suci. Xxxxxxxxxx to bintin lante isungan
pangngurrande-randeana aluk rampanan kapa’ artinya baik dari laki-laki, perempuan, anak-anak yang tidak termasuk tokoh, jumlah keseluruhan yang hadir pada kegiatan tersebut, dalam satu kegiatan itu kita hargai walaupun anak-anak semuanya kita hargai. e tau e...e tau e... merukapan kata yang membudaya bagi masyarakat Toraja dapat ditemukan pada ritual-ritual seperti penikahan, syukuran, dan kematian. Bait di atas menunjukkan sikap menghargai sesama manusia dengan memanggil semua masyarakat yang hadir pada acara pernikahan, agar selalu duduk denga tenang, karena tominaa akan menyampaikan tentang adat pernikahan yaitu tradisi saling bersilang atau bertukar bahwa orang tua mempelai laki-laki sudah menjadi orang tua mempelai perempuan begitupun sebaliknya. Kedua mempelai sudah menyepakati adat perkawianan yang ada di Toraja Utara. Kedua mempelai dianggap sebagai Raja sehari yang dalam bahasa Toraja yaitu “Yamo bali datunna la sang bamban ayokana Sampe Bahrul sola Lince tu lau mendadi”. Akan menyatu dalam sebuah sarung yang khusus untuk kedua mempelai pengantin. Dengan melaksanakan ritual perkawinan adat Toraja merupakan salah satu sikap menghargai sesama manusia. Karena menghargai budaya yang telah dijaga dari turun-temurun, menghargai orang tua, dan semua yang hadir pada acara pernikahan.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Xxxxxxxxxxxxxx (2002:190) yang menjelaskan bahwa sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup.
(12) E... na lambi’mo te allo maelo, nadete’mo le kulla’ ma pia dadi E...telah menemukan ini hari baik, telah mendapat bersinar mulia lahir (anak-anak yang sifatnya suci)
Lante allo masero pindan lante kulla’ mabase banaa
di dalam ini hari bersih piring yang terbuat dari batu (bersih seperti emas) di dalam hari terang sudah dibersihkan piring
Allo mangkana pilei langsa’ indo’ ambe’na
Hari yang telah dipilih langsat ibu dan ayahnya
Lante kulla pura notonno’ bua kayu to mendadianna
Di dalam terang/bersinar memilih bua kayu orang yang telah melahirkannya
Pato malinna Sampe Bahrul sola Lince
Kedua belah pihak Sampe Bahrul sama lince
Xxxxxxx xxxxxxx londong to ma’rapu tallang
Xxxxxx akan menempati saling memberitahukan ayam jantan orang banyak berhimpun/rumpun bambu.
La si kutinti saungan angganna taruk bulaanna
Saling memanggil ayam yang dapat diadu, semua tunan emas
La untanda sa’bi inde rampanan kapa’ basse situka’ Menjadi saksi ini hukum perkawinan, perjanjian pertukaran La untanda tasikki inde sangka’na pa’sullean allo
Menjadi laut ini hukum mengembalikan matahari
Kaso sitamben. Sampe Bahrul sola lince
Saling bersilang. Sampe Bahrul sama lince
Tu lalangngan mo pue-pue rara’na
Yang telah naik panggung kalung besar
Tula endek mo dao gorang diandilo
Naik ke tempat pelaminan
Langngan undemme’ ampang rara’na
Naik memegang kusen atas pintu
Endek unnambe lumpa lumpa bulaanna
Dia memeluk bahunya kusen atas pintu
Inan disalli gayung kaisungan dikapu lola’
Tempat yang dkunci gayang tempat pelaminan yang ditutup dengan xxxx (gelang)
Di burean kandaure xxxxx xxxx digente datu singgattu
di pasang barang-barang antik berisi dilantik sebagai raja sehari
Tu di gente’ datu sangngattu’, karaeng sangguka’ masiang.
Dilantik sebagai raja sehari, raja sehari (NMSM.3)
Teks di atas kelanjutan dari teks bait ke-1 juga menunjukkan sikap menghargai sesama manusia pada baris “E...na lambi’mo te allo maelo, nedete’ mo le kulla’ ma pia dadi” merupakan salah satu budaya masyarakat Toraja bahwa pemilahan hari yang baik juga akan mendatangkan keuntungan bagi kedua keluarga yang dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Pemilihan kata “piring bersih, langsat, bambu, ayam jantan, kusen pintu, dan gelang emas yang sangat besar” merupakan pilihan kata yang menggambarkan hari yang bersih atau hari yang dianggap baik seperti piring yang bersih yang terbuat dari batu, buah langsat yang isinya bersih, seperti rumpun bambu artinya keluarga atau masyarakat yang sedang berkumpul, ayam jantan diibaratkan kedua mempelai agar selalu kuat menjalani bahtera rumah tangga, seperti kusen pintu yang paling atas dan gelang emas yang besar diibaratkan sebagai perkawinan yang kokoh dan dilimpahi banyak berkat dari Tuhan. Perkawinan merupakan salah satu wadah untuk menerapkan sikap menghargai sesama manusia seperti pada bait ke-2 dalam teks ma’parapa bahwa semua yang hadir agar menghargai jalannya prosesi pernikahan karena merupakan hari yang dipilih kedua keluarga.
Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Xxxxxxxxxxxxxx (2002:190) yang menjelaskan bahwa sistem nilai budaya adalah suatu rangkaian konsepsi-konsepsi abstrak
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap mempunyai makna penting dan berharga, tetapi apa yang dianggap remeh dan tidak berharga dalam hidup. Hal ini terkait dengan makna yang terdapat pada bait ke-2 dalam teks ma’parapa bahwa kedua keluarga telah menyepakati hari yang dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan, dan semua orang yang menyempatkan hadir pada acara pernikahan atau rampanan kapa’ semuanya dihargai begitupun sebaliknya semua masyarakat yang hadir juga harus menghargai jalannya acara karena pernikahan yang sedang dilangsungkan tersebut adalah hari baik yang sudah ditentukan oleh kedua rumpun keluarga. Sikap menghargai sesama manusia mencerminkan praktik budaya masyarakat Toraja Utara mengandung nilai-nilai budaya yang menjadi pedoman dalam perilaku hidup bermasyarakat, salah satu diantaranya adalah upacara pernikahan.
d. Xxxxx Xxxdidikan
Nilai pendidikan adalah suatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong orang untuk berbuat positif di dalam kehidupannya sendiri atau bermasyarakat. Nilai pendidikan adalah sesuatu yang dapat memberi makna hidup yang dapat mengubah tingkah laku seseorang untuk menjadi lebih baik maupun yang buruk, melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Nilai-nilai pendidikan yang dijelaskan yaitu nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan budaya. Berdasarkan teks ma’parapa dalam prosesi rampanan kapa’ di Toraja Utara ditemukan nilai pendidikan, sebagai berikut:
1) Nilai Pendidikan Religius
Nilai pendidikan religius merupakan awal dari pembentukan budaya religius. Tanpa adanya pendidikan nilai religius, maka budaya religius dalam lembaga pendidikan tidak
akan terwujud. Pendidikan nilai religius mempunyai posisi yang penting dalam upaya mewujudkan budaya religius. Karena dengan pendidikan nilai religius, anak didik akan menyadari pentingnya nilai religius dalam kehidupan. Nilai pendidikan religius terdapat pada teks ma’parapa yang diimplementasikan melalui bait ke-3 di bawah ini:
Bait ke-3
(12) E...Puang e...Puang e...Xxxxx e E...Puang e...Puang e...Puang e Hai...Tuhan... hai Tuhan...hai Tuhan Hai...Tuhan...hai Tuhan...hai Tuhan
Puang dao ba’tangna langi’, Puang unnisun ilan dimasuang gana
Tuhan di atas langit, Tuhan duduk di alam raya
Puang bassi-bassian, Puang ambo-amboan
Tuhan orang lanjut usia yang kulitnya terdapat bintik-bintik hitam, Tuhan orang tua lanjut usia
Puang tu’tun mentiro lumbang, Puang unnisang sa’pala buda.
Tuhan tetap melihat ke bawah dunia, Tuhan duduk tidak ada yang dibeda-bedakan
Xxxx sa’ba pa rande dipudukki, lana dete’pa dara’ lengko di lilaki Akan mengucapkan sebut namanya di mulutku, kami akan sapa goyang lidah (berbicara)
Lante’ allo to temo, lante kulla’ di rande lulangngan
Pada hari ini, di siang hari ini yang sementara kita junjang ke atas
Tang la napotiramban ra Puang lan ba’tangna langi
Tidak akan mengangetkan Tuhan di atas langit
Tang la napo li’pangra To xxxxxxxxxxx ilan di masuanggana
Tidak akan mengangetkan dia sebagai tuhan yang telah menaungi kita
Tulana sa’bu dara’ lengko di lilaku.
Yang akan dia sebut kami akan sapa (dilidahku) (NPR.1)
Bait di atas menunjukkan nilai pendidikan religius karena mengajak semua yang hadir pada acara pernikahan untuk selalu berdoa dan mempercayai akan kuasa Tuhan. Bait di atas bertujuan untuk mendidik agar semua hadirin lebih baik menurut tuntutan agama dan selalu
ingat kepada Tuhan. Juga mengajak semua masyarakat agar mendapat renungan-renungan batin dalam kehidupan yang bersumber pada nilai-nilai agama. Mengajarkan kepada semua masyarakat bahwa semua perbuatan di dunia di ketahui oleh Tuhan dan perbuatan baik akan menghasilkan yang baik, perbuatan yang salah akan merugikan diri sendiri dan orang banyak. Semua hadirin juga diajak untuk mempercayai bahwa Tuhan itu mengasihi semua umatnya tanpa terkecuali, dan mempercai bahwa Tuhan yang memiliki kuasa atas semua ciptaan-Nya. Dengan adanya teks ma’parapa yang dilantunkan dalam prosesi pernikahan merupakan salah satu upaya untuk mendidik semua masyarakat untuk selalu besyukur, mempercayai, dan mengangungkan kekuasaan Tuhan.
Nilai pendidikan religius merupakan hal yang sangat penting karena dapat membentuk karakter suatu kelompok masyarakat yang beradab. Pendidikan religius dapat kita temukan pada pendidikan secara formal yaitu mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. Pendidikan secara informal yaitu didapatkan di luar sekolah seperti kursus, di rumah, di masyarakat contohnya di acara adat pernikahan Toraja Utara yang terdapat lantunan teks ma’parapa salah satu isinya mengajarkan tentang ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa
Bait ke-4
(13) Kurre sumanga’na langan Puang di Matua
Terima kasih banyak kepada Tuhan
Saba’ Parayanna te dao To Xxxxxxxxxxx
Banyak berkat menaungi dari atas
Belanna kamumo umpa lumbang langi, unnampai te lipu daenan
Oleh karena Tuhanlah membalikkan langit, merentangkan tikar negeri bumi
Kamu mo untarik matanna allo, si numba lindona bulan
Kamu yang menciptakan matahari, wajahnya bulan
Kamu mo undandanan bentoen tasak, unte’tek ratuk langi’passilo-silo Kamu yang mengatur (menjejer) bintang cerah/terang menyentuh bintang-bintang menyinari
Kamu mo undandan buntu saratu’ umborong boronganni lombok ma’ lako-lakoan
Kamu yang mengatur (menjejer) dalam jumlah banyak bukit, mengatur sedemikian rupa lembah yang begitu banyak
Kamu mo ungkambong pangngala’ tamman, untanan kurra manapa’ Kamu yang menciptakan hutan yang lebat, menanam hutan rimba yang lebat
Kamu mo umbori’ ulunna salu, umpaombo’ kalimbuang boba
Kamu yang merintis kepalanya sungai memunculkan mata air besar
Kamu mo mangka tu mampa tau mata
Kamu yang sudah menciptakan intan
Ungkombong xxxxxxx xxxxx rangka’na
Menciptakan dibuat secara sempurna manusia (NPR.2)
Teks ma’parapa pada bait ke-4 menujukkan nilai pendidikan religius karena mengajarkan untuk selalu bersyukur bahwa begitu banyak ciptaan Tuhan yang tidak dapat diukur dengan apapun. Pilihan setiap kata pada bait ke-4 menunjukkan keagunggan Tuhan, rasa terima kasih, dan selalu menjaga ciptaan Tuhan. Dalam prosesi pernikahan adat Toraja Utara masyarakat dampak antusias dalam melaksanakannya dan saling bekerja sama. Munurut masyarakat Toraja Utara budaya yang dimiliki harus selalu dijaga kerena merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan agar selalu diberikan umur panjang, rezki
yang melimpah, dan berkat yang banyak. Nilai pendidikan religius yang terdapat pada bait ke-4 sudah seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari baik dalam rumpun keluarga, sekolah, dan kelompok budaya. Jika diterapkan di sekolah akan mebangun karakter anak didik yang religius, selalu merendahkan diri, berterima kasih, dan menjaga semua ciptaan Tuhan. Nilai pendidikan religius juga dapat diterapkan di rumpun keluarga dan kelompok budaya contohnya menjaga alam semesta, rajin beribadah, dan menyandarkan semua masalah di dunia kepada Tuhan.
Teks di atas menunjukkan nilai pendidikan religius bahwa manusia yang diciptakan oleh Allah swt dengan sebaik-baiknya bentuk dan seindah-indahnya rupa dengan dilengkapi akal supaya dapat digunakan berpikir, panca indera, hati, dan sebagainya supaya manusia bersyukur atas apa yang telah diberikan. Tugas manusia adalah menjaga alam semesta seperti yang ditunjukkan pada baik ke-4 bahwa dengan memanwaatkan seluruh sumber-sumber yang tersedia di alam guna memenuhi keperluan hidupnya sesuai yang ditetapkan oleh Allah swt. Seperti tidak boleh merusak alam, mengeksploitasi untuk kepentingan individu atau golongan, tidak boleh memanfaatkannya secara berlebih-lebihan dan hal-hal yang merusak lainnya.
Bait ke-3 dan bait ke-4 tersebut dapat dianggap memuat nilai pendidikan religius karena kedua bait tersebut menggambarkan pujian kepada tuhan yang maha kuasa yang mengatur alam semesta, bumi dan langit. Tuhan yang mengatur seluk beluk kehidupan manusia, hidup dan mati mereka, tuhan yang melindungi manusia. Kedua bait tersebut juga mumuat ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas segala limpahan nikmat yang telah diberikan kepada manusia melalui potensi alam yang melimpah yang dapat digunakan oleh umat manusia untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari hidup mereka.
Nilai pendidikan religius pada teks ma’parapa juga dapat ditemui pada bait ke-5 seperti yang terdapat di bawah ini:
Bait ke-5
(14) Tonna matindoi xxxxx, xxxxx mamma’ kalupian
Ketika tidur xxxx, ketika terlelap
Miala misa’ usuk na, dio bamban kairinna
Kamu mengambil satu, di sebelah tulang rusuk kiri
Mi kombong mi sang bua dodo’, hawa tungka sanganna
Kamu membuat seorang wanita, hawa namanya
Ya mo bali datunna adang, to sang bamban ayokanna
Dialah permaisuri/pasangan Xxxx, meraka pasangan serasi
Kamu duka mo umpasonglo’ aluk rampanan kapa’
Kamu jugalah yang telah menurunkan adat pernikahan perxxxxxxx
Basse situka’, umpa losson sangka’na pa’sullean allo kasositamben
Pertukaran perjanjian, menurunkan tradisi/hukum hari kembali
Lako nene’ pongmula tau to alloina, xxxxx xxxx hawa tungkasangxxxx Xxxxxx nenek manusia pertama ketika waktu itu, Xxxx dan Xxxx namanya
Naurunganni te mai to sangpetayanan, makaklima’na to misa’kaparannua
Sehingga mereka ini orang yang satu pengharapan, dan semua satu pengharapan
Xxxxxx xx ma’rampanan kapa’ inde anak nadadian sola bongsu natibussanan
Sejak saat itulah perkawinan ini anak yang telah dilahirkan sama/tunas anak dilahirkan
To ma’ranuan lulangan, to ma’tayan dao mai
Orang yang berpengharapan ke atas, orang yang menunggu dari atas
Umpetanyanni Puang urrannuan to tumampana
Berharap kepada Tuhan berharap ke pencipta (NPR.3)
Bait ke-5 menjelaskan tentang asal mula penciptaan manusia (adam dan hawa) sebagaimana dipercayai dalam kebudayaan dan agama orang Toraja. Penciptaan Xxxx dan Hawa merupakan peristiwa awal perkawinan yang dilaksanakan oleh manusia. Perkawinan adam dan hawa dalam kepercayaan masyarakat Toraja menjadi model panutan bagi terciptanya tradisi perkawinan sebagaimana disebutkan dalam teks ma’parapa. Perkawinan dianggap sebagai manifestasi dari perwujudan ketaatan manusia kepada Tuhan yang Maha Esa. Melalui pernikahan manusia mewujudkan tugasnya sebagai pemimpin dan wakil tuhan di muka bumi sambil tetap berharap kepada kekuasaan Tuhan. Dengan menyandarkan tradisi perkawinan kepada awal penciptaan dan perkawinan Xxxx dan Hawa, masyarakat Toraja mengklaim bahwa tradisi perkawinan sebagaimana terkutib dalam teks ma’parapa merupakan manifestasi dari hukum dan kehendak yang kuasa, bukan semata aturan dan hukum yang dibuat-buat oleh manusia saja. Salah satu tugas manusia yang dibebankan adalah tugas dalam keluarga/rumah tangga dengan jalan membentuk rumah tangga bahagia, menyadari dan melaksanakan tugas kewajiban rumah tangga sebagai suami isteri dan orang tua.
2) Nilai Pendidikan Moral
Nilai pendidikan moral dipersamakan dengan istilah pendidikan etik, pendidikan xxxx xxxxxxx pendidikan nilai atau pendidikan afektif, pendidikan watak dan pendidikan akhlak. Pendidikan moral adalah usaha yang dilakukan secara terencana untuk mengubah sikap, perilaku, tindakan, kelakuan yang dilakukan peserta didik agar mampu berinteraksi dengan lingkungan masyarakatnya sesuai dengan nilai moral dan kebudayaan masyarakat setempat, dan nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat
dari seseorang individu dari suatu kelompok yang meliputi perilaku. Nilai pendidikan moral terdapat pada teks ma’parapa yang diimplementasikan melalui bait ke-1 di bawah ini:
Bait ke-1
(15) Tabe’ lako olo mala’bi’na to umpobayu bayunna tongkonan to umposarong-sarongna pa’kalandoan to parengnge’ torroan indo’ torroan ambe’di pabarrena allo simman lako tingayo makaraengna to di palindona bulan
Dengan hormat, kepada bangsawaan atau sepupu masyarakat dan pemangku adat yang berkenaan hadir ditempat ini.
Tabe’ lako olo mala’bi’na to sitaranak aluk mellao langi’ simman lako tingayo makaraengna to xxxxx xxxxxx’ losson di batara pendeta, xxxxx, xxxx tungkasanganna
Dengan hormat, atau yang kami hormati, kepada yang telah diberi jabatan apakah itu xxxxxxx, xxxx, yang disebut aluk atau agama yang turun dari langit.
Tabe’ lako to sitoe tokonna lembang simman lako to sisaladau pebosena lapi to ma’parenta tungkasanganna
Yang kami hormati, Bapak pemerintah (Bupati, Camat, atau kepala lembang)
Tabe’ lako to utaranak dandanau sangka simman lako to si saladan to bangunan ada’ to parangngi, to makaka tungkasanganna
Yang kami hormati, Tokoh adat yang disebut tomakaka, toparengge yang beranggung jawab tentang adat-istiadat dalam masyarakat setempat.
Tabe’ lako pa’rannuanna tondok simman lako pa’paellean la dinai mekutana lollong meusik tanda marorrong keden tang di lambi’na te mai tong di karatuinna
Yang terhormat kepada tokoh masyarakat, tokoh pemuda, kemudian Tokoh wanita.
Tabe’ lako to matua indak simman laka to banu’ xxxxxxxxxx xxxxx pekamberan tungkasanganna
Yang terhormnat kepada tua-tua kampung dalam arti tempat untuk bertanya apabila salah satu adat yang dilanggar yang disebut tomatua induk atau banukarurungan.
Tabe’ massola nasan simman lako angga mairi’, tae’, misa’ kupasalian rinding kupataleko’na manangnga lante isungan pangngurrande- randean, ada’na rampanan kapa’ basse situka sangka’na pa’sullean
allo kaso sitamben, Lo’ bangan pa’ sangruang rinding, palempean pau sangsukema menangnga.
Yang Kami Hormati, seluruh hadirin yang hadir di tempat yang disebut massolanasang. Tidak ada yang terlupakan atau tanpa terkecuali yang disebut tae misa ku paselianrinding umpalekona mangganna banua (yang berada di luar dinding).
Angku bendan pa lan alla’ tangngata massola nasang latumannang lan te angga mairi. Lampa tikillang inde kombong bulaanna rampanan kapa’ um pati kurarak inde sangka’na basse si tuka’.
Aku akan berdiri di hadapan kalian semua/hadirin yang akan berdiri di depan semua yang hadir. Aku akan membuka sebuah perkumpulan mengagungkan perkawinan, merentangkan (akan membuka) tradisi pertukaran. (NPM.1)
Bait ke-1 tersebut menggambarkan bagaimana salah satu standar moral yang dianut oleh masyarakat Toraja dalam relasi sosial mereka. Bait tersebut memuat bentuk penghormatan terhadap orang lain dengan berulang kali mengulang kata Tabe. Kata Tabe sendiri adalah istilah yang lazim digunakan oleh seluruh masyarakat sulawesi selatan apapun suku bangsa mereka (Bugis, Makassar, Xxxxxx, Xxxxxx) untuk mengekspresikan rasa hormat atau dalam arti tertentu memohon izin sebelum melakukan sesuatu di hadapan orang lain. Bait ke-1 juga menggambarkan bagaimana masyarakat Toraja memuliakan orang lain dalam relasi kehidupan sehari-hari mereka. Bait di atas termasuk nilai pendidikan moral yang dapat diajarkan kepada anak sejak dari kecil hingga dewasa agar selalu menerapkan nilai moral yang baik di lingkungan sekitarnya. Seperti santun dalam bertutur kata dan menghargai semua orang tanpa terkecuali. Teks ma’parapa pada bait ke-1 dapat dijadikan salah contoh materi pembelajaran di dalam kelas tujuannya agar peserta didik yang sejatinya memiliki tingkat kesadaran dan perbedaan perkembangan kesadaran moral yang tidak merata maka perlu dilakukan identifikasi yang berujung pada sebuah pengertian mengenai kondisi perkembangan moral dari peserta didik itu sendiri.