TERHADAP KINERJA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ABDUL MANAP KOTA JAMBI
PENGARUH KECEMASAN , STRES KERJA KEPUASAN KERJA DAN COPING STRATEGY
TERHADAP KINERJA PERAWAT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH XXXXX XXXXX KOTA JAMBI
Oleh: Xxxx Xxxxxxxx P3A119003
PROGRAM STUDI DOKTOR KEPENDIDIKAN PASCASARJANA
UNIVERSITAS JAMBI 2023
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI
Saya menyatakan bahwa dalam disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Prguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila ternyata didalam nasakah diseertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiasi, saya bersedia disertasi ini di gugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (Doktor) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU Nomor 20 tahun 2003 Pasal 25 ayat 2 dan
pasal 70).
Jambi, Januari 2023
Materai 10000
Xxxx Xxxxxxxx NIM. P3A119003
HALAMAN PERSETUJUAN DEWAN PENGUJI
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahl robbil’alamin, dan segala puja-puji pada Allah SwT yang maha pengasih dan maha penyayang yang telah melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya dalam menyelesaikan tugas akhir yang berjudul, “Pengaruh Kecemasan, Stres Kerja, Kepuasan Kerja dan Coping Strategy Terhadap Kinerja Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi”.
Dengan ujian naskah disertasi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, dan peneliti merasakan banyak mendapatkan arahan berupa bimbingan dan dorongan yang sangat bermanfaat. Karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan setinggi- tinggi kepada terhormat, Prof. Dr. Drs. Xxxxxxxx, M.Psi., selaku promotor dan Ketua Program studi Doktor Kependidikan dan Xx. Xxx. Xxxxxx Xxxxxx, X.Xx., selaku co-promotor yang telah meluangkan waktu dan tenaga dengan penuh kesabaran dan keikhlasan memberikan bimbingan dan arahan dalam mengerjakan disertasi ini.
Selanjutnya terima kasih kepada Direktur Pascasarjana Universitas Jambi Bapak Prof. Dr. X. Xxxxxxx, SE., M.M.S serta Sekretaris Program Studi Doktor Kependidikan Pascasarjana Universitas Jambi Bapak Urip Sulistiyo, S.Pd., M.Ed., Ph.D. yang telah memfasilitasi dan memberikan kebijakan serta arahan kepada peneliti sehingga disertasi ini dapat selesai. Tentu tidak lupa menyampaikan terima kasih kepada dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk memberikan masukan, saran, dan kritik yang membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan disertasi ini. Terima kasih yang tidak terhingga juga disampaikan kepada Bapak dan Ibu penguji dan dosen Program Studi Doktor Kependidikan Pascasarjana Universitas Jambi yang tidak bisa dinyatakan nama-namanya telah memberikan ilmu pengetahuan selama perkuliahan serta terima kasih kepada tenaga kependidikan Program Studi Doktor Kependidikan Pascasarjana dengan pelayanan yang bersahabat selama perkuliahan.
Suami tercinta, Xxxxxx Xxxxxx,ST, dan kedua putra tersayang Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxx serta orangtua dan mertua yang
memberikan dukungan, semangat serta motivasi serta doanya. Terimakasih, kepada Yayasan Harapan Ibu Jambi Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx,SE., X.Xx, Ketua STIKES Harapan Ibu Jambi Xxxxx Xxxxxxx, SKM, M. Kes, serta dosen program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Harapan Ibu Jambi.
Terakhir tentu para sahabat angkatan VI 2019 Program Studi Doktor Kependidikan Pascasarjana Universitas Jambi, dengan rasa ikhlas berinteraksi berbagi pengetahuan dan ilmu selama mengikuti perkuliahan, meski banyak suka dan dukanya berdiskusi namun selalu memberikan dukungan dan membantu dalam penyelesaian penelitian ini. Akhirnya, hanya kehadirat Allah Subhanahu wataala memohon agar setiap jasa, perhatian, dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang terbaik dari Allah SWT., dan menjadi amal saleh, aamiin ya robbal’alamin.
Jambi, Januari 2023
Xxxx Xxxxxxxx NIM P3A19003
ABSTRAK
Xxxxxxxx, Xxxx. (2023). Pengaruh Kecemasan, Stres Kerja, Kepuasan Kerja dan Coping Strategy Terhadap Kinerja Perawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi. Program Studi Doktor Kependidikan, Promotor Prof. Dr. Drs. Xxxxxxxx, M.Psi., Co-Promotor Xx. Xxx. Xxxxxx Xxxxxx, X.Xx.
Kinerja Perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi masih merupakan masalah yang perlu segera ditanggulangi, sebab kinerja perawat menentukan mutu pelayanan rumah sakit. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh kecemasan, stress kerja, kepuasan kerja dan coping strategy terhadap kinerja perawat. Delapan hipotesis diusulkan untuk membangun ulang model konstruk variable dan melihat pengaruh langsung serta pengaruh tidak langsung dari variable-variabel tersebut. Penelitian ini dilakukan selama 21 hari, dari tanggal 17 Maret hingga 7 April 2021, menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian survei. Responden dalam penelitian ini terdiri dari 161 orang perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi yang dipilih secara total sampling. Data penelitian diperoleh melalui kuesioner yang diadopsi dari beberapa peneliti terdahulu. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Path Analysis dengan aplikasi SPSS 25 dimulai dengan pengukuran kualitas struktur model sampai dengan uji pengaruh. Temuan penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kecemasan berpengaruh signifikan terhadap Coping Strategy, (2) Stres Kerja berpengaruh signifikan terhadap Coping Strategy, (3) Kepuasan Kerja berpengaruh signifikan terhadap Coping Strategy, (4) Kecemasan berpengaruh signifikan terhadap Kinerja, (5) Kepusaan Kerja berpengaruh signifikan terhadap Kinerja, (6) Coping Strategy berpengaruh signifikan terhadap kinerja, (7) Coping Strategy mampu memediasi antara kecemasan terhadap Kinerja, dan (8) Coping Strategy mampu memediasi antara kepuasan kerja terhadap kinerja. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi dan memberikan dampak yang positif serta menjadi masukan yang berarti bagi pimpinan rumah sakit dan khususnya bagi pimpinan keperawatan dalam upaya mengoptimalkan kinerja perawat dengan memperhatikan determinan kinerja sesuai kekhasan di rumah sakit
Kata Kunci: Kecemasan, Stres Kerja, Kepuasan Kerja, Coping Strategy, Kinerja, Perawat
ABSTRACT
Xxxxxxxx, Xxxx. (2023). The Effect of Anxiety, Job Stress, Job Satisfaction and Coping Strategy on Nurse Performance at Xxxxx Xxxxx Regional General Hospital Jambi City. Doctor of Education Study Program, Promoter Prof. Dr. Drs. Xxxxxxxx, M.Psi., Co-Promoter Xx. Xxx. Xxxxxx Xxxxxx, X.Xx.
The services provided by nurses are complained by the community. The focus on the performance of nurses is a problem that must be addressed immediately, because nursing services determine the quality of hospital services. Poor performance will have an impact on low service, patients feel uncomfortable and dissatisfied. Performance in this study is closely related to how much anxiety is felt by nurses, work stress and job satisfaction received by nurses. This research aims to develop a theoretical foundation for a conceptual model of the antecedents of nurse performance, which includes variables such as anxiety, job stress, job satisfaction, and coping strategies. To reconstruct the variable construct model and examine the direct and indirect effects of these variables, eight hypotheses are proposed. This study was conducted over the course of 21 days, from 17 March to 7 April 2021, utilizing a quantitative approach and survey research design. Total sampling was used to select 161 nurses from the Xxxxx Xxxxx Regional General Hospital in Jambi City to participate in this study. Utilizing a questionnaire to acquire research data. This study employs Path Analysis in SPSS 25 for its data analysis, beginning with the evaluation of model structure quality and ending with an influence test. The study's findings indicate: (1) Anxiety has a statistically significant effect on Coping Strategy, so the hypothesis is accepted. (2) Job Stress has a statistically significant effect on Coping, so the hypothesis is accepted. (3) Job satisfaction has a significant influence on Coping Strategy, so the hypothesis is supported. (4) Anxiety has a statistically significant effect on performance , so the hypothesis is accepted. Therefore, the hypothesis is accepted. (6) The variable Coping Strategy has a significant effect on performance, therefore the hypothesis is accepted. (7) Coping Strategy variable can mediate the relationship between anxiety and performance. (8) Coping Strategy is capable of mediating the relationship between job satisfaction and performance. From the results of this research data analysis, it can be seen that anxiety, stress, and job satisfaction of nurses can be overcome by exploring coping strategies that exist within the nurse and from outside the nurse so that good performance is achieved for nurses in the hospital. Therefore, it is recommended that stakeholders, Heads of Hospitals, Nurses' Forums, Health Services, and the Ministry of Health be able to facilitate and formulate policies that can improve job satisfaction and nurse performance.
Keywords: Anxiety, Job Stress, Job Satisfaction, Coping Strategy, Job Performance, Nurse
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI ii
HALAMAN PERSETUJUAN PROMOTOR iii
HALAMAN PERSETUJUAN KETUA PROGRAM STUDI iv
1.3 Rumusan Masalah Penelitian 10
BAB II KAJIAN TEORITIK, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 14
2.1.5 Penelitian yang Relevan 89
2.2 Kerangka Berpikir 93
2.3 Hipotesis Penelitian 94
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 97
3.1 Jenis Penelitian 97
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 99
3. 3 Populasi dan Sampel 100
3.3.1 Populasi 100
3.3.2 Sampel 100
3. 4 Teknik Pengumpulan Data 100
a. Kinerja 103
1. Definisi Konseptual Kinerja 103
2. Definisi Operasional Kinerja Perawat 103
3. Penyusunan Instrumen Kinerja 103
4. Kisi-kisi Instrumen Kinerja 104
5. Kalibrasi Pengujian Variabel Kinerja 104
b. Kecemasan 105
1. Definisi Konseptual Kecemasan 105
2. Definisi Operasional Kecemasan 105
3. Penyusunan Instrumen Kecemasan 105
4. Kisi-kisi Instrumen Kecemasan 106
5. Kalibrasi Pengujian Validitas 106
c. Stres Kerja 107
1. Definisi Konseptual Stres Kerja 107
2. Definisi Operasional Stres Kerja 107
3. Penyusunan Instrumen Stres Kerja 108
4. Kisi-kisi Instrumen Stres Kerja 108
5. Kalibrasi Pengujian Stres Kerja 108
d. Kepuasan Kerja 110
1. Definisi Konseptual Kepuasan Kerja 110
2. Definisi Operasional Kepuasan Kerja 110
3. Penyusunan Instrumen Kepuasan Kerja 110
4. Kisi-kisi Instrumen Kepuasan Kerja 110
5. Kalibrasi Pengujian Kepuasan Kerja 111
e. Coping Strategy 112
1. Definisi Konseptual Coping Strategy 112
2. Definisi Operasional Coping Strategy 113
3. Penyusunan Instrumen Coping Strategy 113
4. Kisi-kisi Instrumen Coping Strategy 114
5. Kalibrasi Pengujian Coping Strategy 114
3. 5 Teknik Analisa Data 115
3.6 Hipotesis Statistik 117
BAB IV HASIL PENELITIAN, PEMBAHASAN DAN NOVELTY 121
4.1. Hasil Penelitian 121
4.1.1 Deskripsi Data Penelitian 121
4.1.2 Uji Prasyarat Analisis 136
4.1.3 Hasil Pengujian Hipotesis 142
4.1.4. Analisis Jalur Struktur I 142
4.1.5 Analisis Jalur Struktur II 145
4.1.6 Analisis Jalur Struktur III 148
4.1.7 Analisis Jalur Struktur IV 151
4.2 Pembahasan 155
4.3 Keterbatasan Penelitian 182
4.4. Kebaharuan Ilmiah (Novelty) 184
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN 188
5.1. Kesimpulan 188
5.2. Implikasi 189
5.3. Saran 190
DAFTAR PUSTAKA 194
LAMPIRAN
Gambar 2.1 1 A Model of causes, types and consequences of Stress 50
Gambar 2.2 A Model of Occupational Stress 53
No table of figures entries found.Gambar 2.3 Coping Process (Xxxxxx, 2011). The dynamics of the coping process81
Gambar 4.1 Kategori Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 124
Gambar 4.2 Kategori Responden Berdasarkan Usia 125
Gambar 4.3 Kategori Responden Berdasarkan Jenis Pendidikan 126
Gambar 4.3 Kategori Responden dari Pelatihan Peningkatan Kompetensi 127
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 kisi-kisi instrumen kinerja 104
TABEL 3.2 VALIDITAS VARIABEL KINERJA ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
Tabel 3.3 Reliabilitas Variabel Kinerja 104
Tabel 3.4 kisi-kisi instrumen kecemasan 105
TABEL 3.5 VALIDITAS VARIABEL KECEMASAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
TABEL 3.6 RELIABILITAS VARIABEL KECEMASAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
TABEL 3.7 KISI-KISI INSTRUMEN STRES KERJA..ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TABEL 3.8 VALIDITAS VARIABEL STRES KERJAERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TABEL 3.9 VALIDITAS VARIABEL STRES KERJAERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. TABEL 3.10 KISI-KISI INSTRUMEN KEPUASAN KERJA ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
Tabel 3.11 Validitas Variabel Kepuasan Kerja 111
Tabel 3.12 Reliabilitas Variabel Kepuasan Kerja 111
Tabel 3.13 Kisi-Kisi Instrumen Coping Strategy 112
Tabel 3.14 Validitas Variabel Coping Strategy 110
Tabel3.15 Reliabilitas Instrumen Coping Strategy 115
TABEL 4.1 SEBARAN DEMOGRAFI RESPONDEN RS XXXXX XXXXX JAMBI ERROR!
Bookmark not defined.2
TABEL 4.2 HASIL ANALISIS DESKRIPTIF VARIABEL ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.8
TABEL 4.3 DISTRIBUSI FREKUENSI KECEMASAN (X1) ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
TABEL 4.4 DISTRIBUSI FREKUENSI STRES KERJA (X2) ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
TABEL 4.5 DISTRIBUSI FREKUENSI KEPUASAN KERJA (X3) ERROR! BOOKMARK
NOT DEFINED.
TABEL 4.6 DISTRIBUSI FREKUENSI COPING STRATEGY (X4) ERROR!
Bookmark not defined.
TABEL 4.7 DISTRIBUSI FREKUENSI KINERJA (Y) ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
TABEL 4.8 UJI NORMALITAS ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
TABEL 4.9 HASIL UJI LINEARITAS KECEMASAN (X1) ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
TABEL 4.10 HASIL UJI LINEARITAS STRES KERJA (X2) ERROR! BOOKMARK NOT
DEFINED.
TABEL 4.11 HASIL UJI LINEARITAS KEPUASAN KERJA (X3) ERROR! BOOKMARK
NOT DEFINED.
TABEL 4.12 HASIL UJI LINEARITAS COPING STRATEGY (X4) 139
Tabel 4.13 Uji Homogenitas 140
Tabel 4.14 Hasil Uji Multikolinearitas 141
Tabel 4.15 Hasil coefficients Pengaruh Langsung Kecemasan Terhadap Coping Strategy 143
Tabel 4.16 Hasil coefficients Pengaruh Langsung Stres Kerja Terhadap Coping Strategy 143
Tabel 4.17 coefficients Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja Terhadap Coping Strategy 144
TABEL 4.18 HASIL COEFFICIENTS PENGARUH LANGSUNG KECEMASAN TERHADAP KINERJA PERAWAT) 146
Tabel 4.19 Hasil coefficients Pengaruh Langsung Kepuasan Kerja Terhadap Kinerja Perawat 146
Tabel 4.20 Hasil coefficients Pengaruh Langsung Coping Strategy Terhadap Kinerja Perawat 147
Tabel 4.21 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis 154
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki peran sangat strategis dalam upaya mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran tersebut dewasa ini semakin menonjol dengan timbulnya perubahan epidemiologi penyakit, struktur demografis, sosioekonomi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan teknologi (Iptek), dan pelayanan yang lebih bermutu, ramah serta sanggup memenuhi kebutuhan yang menuntut perubahan pola pelayanan kesehatan di Indonesia (Aditama, 2004). Peran strategis ini didapat karena rumah sakit adalah organisasi yang sangat dinamis dengan fasilitas pelayanan jasa, yang mempunyai sarana prasarana dan peralatan yang dipakai dengan padat ilmu pengetahuan, teknologi dan kespesifikan dalam Sumber Daya Manusia (SDM), yang terdiri dari berbagai macam profesi. Salah satu profesi yang mempunyai peran penting di rumah sakit adalah keperawatan.
Di era revolusi industri 4.0, profesional kinerja tenaga kesehatan menjadi tren isu yang menjadi sorotan penting di dunia kesehatan, dan menjadi sorotan oleh berbagai pihak. Hal tersebut terjadi sebagai konsekuensi tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan akan pelayanan prima atau pelayanan yang bermutu tinggi yang tidak terpisahkan dari standar, karena kinerja diukur berdasarkan standar (Mandagi et al., 2015).
Rumah sakit merupakan suatu instansi yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan yang saat ini berkembang di rumah sakit tidak hanya mengenai bangunan rumah sakit (seperti ukuran, kompleksitas, jumlah unit), jumlah kualifikasi staff medis dan non medis, sistem keuangan dan sistem informasi, tetapi mengenai kualitas pelayanan pekerja kesehatan dalam memberikan pelayanan. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan tujuan tersebut berbagai jenis dengan perangkat keilmuan yang beragam harus berintegrasi satu sama lain, salah satu terpenting dalam lingkaran pemberi pelayanan tersebut adalah perawat.
Perawat merupakan salah satu penggerak mutu dan kualitas layanan di rumah sakit yang diwujudkan melalui pelayanan prima (Perry & Humborstad, 2008). Pelayanan prima sangat penting dilaksanakan dalam memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien karena selain berkonstribusi dalam meningkatkan kualitas layanan, pelayanan prima juga dapat meningkatkan kepuasan pasien dan mendorong pasien untuk datang kembali berobat di rumah sakit tersebut
Pelayanan keperawatan adalah bagian dari sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit yang mempunyai fungsi menjaga mutu pelayanan, yang sering dijadikan barometer oleh masyarakat, dalam menilai mutu rumah sakit, sehingga menuntut adanya profesionalisme perawat dalam bekerja yang ditunjukkan oleh hasil kinerja perawat baik itu perawat pelaksana maupun pengelola dalam memberikan sebuah asuhan keperawatan kepada klien. Penyebab pasien kurang
nyaman dan tidak puas yakni adalah kinerja dari perawat dalam melaksanakan tugas yang tidak sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Sholikhah et al., 2021).
Xxxxxxx berasal dari pengertian performance, ada pula yang memberikan pengertian performance sebagai hasil kerja / prestasi kerja. Namun sebenarnya kinerja mempunyai makna yang lebih luas, bukan hanya hasil kerja tetapi juga termasuk bagaimana proses pekerjaan berlangsung (Wibowo, 2007)
Tenaga perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memegang peranan penting dalam meningkatkan derajat kesehatan dan merupakan tulang punggung di fasilitas pelayanan karena jumlah nya lebih banyak dibandingkan tenaga Kesehatan lain dan juga waktu yang lebih lama serta memiliki lebih banyak interaksi dengan pasien dan keluarga (Xxxxx Xxxxxxxx, 2022).
Perawat bukan saja melaksanakan pelayanan kepada pasien, tetapi banyaknya juga tugas tambahan yang harus dikerjakan oleh perawat, dapat mengganggu pekerjaan dari perawat. Akibat negatif dari banyaknya tugas tambahan perawat, diantaranya timbulnya emosi perawat yang tidak sesuai dengan yang diharapkan dan berdampak buruk bagi produktifitas perawat yang berujung pada kinerja perawat. Pengelolaan tenaga kerja yang tidak direncanakan dengan baik dapat menyebabkan keluhan yang subyektif, beban kerja semakin berat, tidak efektif dan efisien yang memungkinkan ketidakpuasan bekerja, pada akhirnya mengakibatkan turunnya kinerja dan produktivitas serta mutu pelayanan yang merosot (Novianty, 2019)
Hasil penelitian oleh (Novianty, 2019) gambaran kinerja perawat berdasarkan hasil analisis univariat sebanyak 8 perawat (21,1%) mempunyai kinerja tinggi dan 30 perawat (78,9%) mempunyai kinerja rendah. Dari hasil distribusi frekuensi tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih dari setengahnya (78,9%), kinerja perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit PMI Kota Bogor adalah rendah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh (Yusmahendra dan Yusnilawati , 2020) menyatakan bahwa kinerja perawat baik sebanyak 51 responden (60,7%), kurang baik sebanyak 33 responden (39,3%) dan responden yang merasa puas sebanyak 55 responden (65,5%), yang merasa kurang puas sebanyak 29 responden (34,5%). Hasil Uji Chi Square terdapat hubungan yang signifikan antara kinerja perawat dengan kepuasan pasien dengan P-Value sebesar 0,002. Dengan tingginya nilai kinerja perawat yang baik maka akan menciptakan kepuasan pasien yang tinggi.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja antara lain faktor individu pekerja, faktor organisasi, faktor psikologis (Xxxxxxxxxxx, 2007). Salah satu yang sering dapat sebagai sebab menurunnya kinerja adalah keterampilan atau kemampuan seorang pekerja dalam bekerja. Pekerjaan seorang perawat tidak luput dari adanya tekanan psikologis yang dapat menyebabkan stress, kelelahan, kecemasan, traumatic sekunder dll. Hal ini disebakan karena tingginya beban kerja yang harus dilaksanakan oleh perawat (Fujianti et al., 2020). Berdasarkan hasil penelitian (Nirmalarumsari, 2022) bahwa responden yang mengalami stres kerja
sebanyak 39 orang (76,5%) dan jumlah responden yang tidak mengalami stres kerja sebanyak 12 orang (23,5%).
Berdasarkan penelitian oleh (Xxxxx & Vera, 2019) yang berjudul Hubungan Tingkat Stres Kerja dengan Kinerja Perawat di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSU Kabupaten Tangerang hasil Chi Square didapatkan P=Value 0.028 <
0.05 yang artinya terdapat hubungan antara tingkat stres kerja dengan kinerja perawat.
Menurut IASC (2020), penyebab tenaga kesehatan mengalami kecemasan terutama di masa covid-19 sekarang ini antara lain tuntutan pekerjaan yang tinggi, termasuk waktu kerja yang lama, jumlah pasien yang terus meningkat, semakin sulit mendapatkan dukungan sosial karena adanya stigma masyarakat terhadap petugas garis depan, alat perlindungan diri yang membatasi gerak, kurang informasi tentang paparan jangka panjang pada orang-orang yang terinfeksi, dan rasa takut petugas garis depan akan menularkan Covid-19 pada teman dan keluarga karena bidang pekerjaannya.
Hasil Penelitian Lai et al. (2020), tentang tenaga kesehatan beresiko mengalami gangguan psikologis dalam mengobati pasien Covid-19, menunjukkan bahwa terdapat 50,4% responden memiliki gejala depresi dan 44,6% memiliki gejala kecemasan karena perasaan tertekan. Hal yang paling penting untuk mencegah masalah kecemasan adalah menyediakan alat pelindung diri yang lengkap, sehingga tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya tidak merasa khawatir dengan dirinya sendiri bahkan dengan anggota keluarga mereka.
Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi memberikan pelayanan secara kuratif, rehabilitatif, preventif, dan promotif, menjadi pusat rujukan untuk wilayah Barat, serta tempat penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan. Dalam menjalankan fungsinya rumah sakit harus melaksanakan pelayanan yang berkualitas dan profesional serta berorientasi kepada kepuasan pelanggan, secara terus menerus berupaya meningkatkan kualitas mutu pelayanan dan kinerja rumah sakit.
Survei awal yang peneliti lakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi pada Agustus 2020 terhadap para perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi, dari 10 perawat yang peneliti wawancarai, 10 orang perawat menyatakan bahwa mereka mengalami kecemasan setiap menangani pasien di saat ini. Kecemasan tersebut berupa rasa takut akan tertularnya penyakit yang dibawa oleh pasien, kekhawatiran terhadap anggota keluarga akan tertular penyakit yang dibawa dari tempat kerja, selanjutnya stres kerja yang mereka rasakan disaat melayani pasien dengan peralatan dan keamanan diri yang kurang memadai serta kurangnya perhatian kepala rumah sakit akan hal itu.
Pelayanan yang diberikan oleh perawat masih sering dikeluhkan oleh masyarakat. Sorotan terhadap kinerja perawat merupakan masalah yang harus segera ditanggulangi, sebab pelayanan keperawatan menentukan mutu pelayanan rumah sakit. Kinerja yang jelek akan berdampak terhadap rendahnya pelayanan, pasien merasa kurang nyaman dan tidak puas. Kinerja dalam hal ini erat kaitannya
dengan seberapa besar kecemasan yang dirasakan perawat, stres kerja dan kepuasan kerja yang diterima oleh perawat.
Stres yang dialami perawat terlalu besar, maka kinerja akan mulai menurun, karena stres tersebut menganggu pelaksanaan kerja perawat dan akan kehilangan kemampuan untuk mengendalikannya atau menjadi tidak mampu untuk mengambil keputusan dan perilakunya menjadi tidak menentu. Akibat yang paling ekstrim adalah kinerja menjadi nol, mengalami gangguan, menjadi sakit, dan tidak kuat lagi untuk bekerja, menjadi putus asa, keluar atau menolak bekerja
Secara fisiologis respon stres dapat berupa jantung berdebar, tekanan darah tinggi, panas, keringat dingin, pusing, sakit perut, cepat lelah. Sedangkan pada aspek psikologis, stres dapat berbentuk frustasi, depresi, kecewa, merasa bersalah, bingung, takut, tidak berdaya, cemas, tidak termotivasi, dan gelisah (Wahyuni, 2017).
Stres yang sedang dialami oleh seseorang dapat diatasi dengan melakukan management stress yang di dalam ilmu psikologi dikenal dengan sebutan coping stress. Menurut Xxxxxx et al. (2014), coping strategy adalah suatu bentuk penerapan untuk mengurangi stress dan meningkatkan skill coping melalui proses kognitif dan tingkah laku.
Coping strategy adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh individu untuk mentolerir, menguasai, meminimalkan, atau mengurangi efek dari stress, dan individu dapat memasukkan strategi perilaku dan strategi psikologis Folkman & Xxxxxxx (1988). Sedangkan menurut Xxxxxxx (2006), coping adalah strategi
memecahkan masalah yang paling sederhana dan realistis dengan cara memanajemen tingkah laku, berguna untuk membebaskan diri dari berbagai masalah nyata maupun tidak nyata, dan coping adalah usaha secara perilaku dan kognitif untuk mengurangi, mengatasi, dan tahan terhadap tuntutan.
Coping stress dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung seberapa tinggi-rendahnya stres yang mereka alami, dan jenis Coping Strategy stress yang bagaimana yang mereka sukai untuk diterapkan ketika stres melanda. Menurut Xxxxxxx & Xxxxxxx (1988), ada dua jenis coping stress yang dapat dilakukan, yaitu;
(1) Problem focused coping, adalah salah satu jenis Coping Strategy untuk menghilangkan atau mengubah stressor itu sendiri atau ketika individu menghilangkan sumber stres atau mengurangi dampaknya melalui tindakan individu tersebut, dan (2) Emotional focused coping, adalah strategi yang melibatkan mengubah cara seseorang merasakan atau secara emosional bereaksi terhadap stressor. Strategi ini mengurangi dampak emosional dari penyebab stress dan memungkinkannya untuk menyelesaikan masalah dengan lebih efektif.
Coping strategy ini dapat melibatkan strategi perilaku, maupun strategi psikologis pada diri individu (Lazarus & Xxxxxxx’x, 2017). Oleh karena itu,coping strategy yang baik, akan menimbulkan dampak positif terhadap diri sendiri dan dapat meminimalisir stres yang sedang terjadi.
Kepuasan kerja merupakan dambaan setiap invididu yang sudah bekerja. Masing-masing karyawan memiliki tingkat kepuasan yang berbeda sesuai dengan nilai yang dianutnya. Semakin banyak aspek aspek dalam pekerjaan yang sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan karyawan tersebut maka semakin tinggi pula kepuasan yang dirasakan, demikian sebaliknya. Xxxxxxx dan Judge (2015) menjelaskan dari tinjauan atas 300 studi menyatakan terdapat korelasi yang cukup kuat antara kepuasan kerja dan kinerja. Dimana saat kita berpindah dari level individu ke organisasi, kita juga menemukan dukungan untuk hubungan kepuasan- kinerja. Saat kita mengumpulkan data kepuasan dan kinerja untuk organisasi secara keseluruhan, kita menemukan bahwa organisasi dengan lebih banyak pekerja yang lebih puas cenderung lebih efektif dibandingkan organisasi yang lebih sedikit (Xxxxxxx & Judge, 2015).
Kepuasan kerja karyawan didefenisikan sebagai reaksi dan perasaan seseorang terhadap tempat ia bekerja. Kepuasan kerja karyawan merupakan hal yang bersifat individual tentang perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Tingkat kepuasan yang berbeda-beda pasti dimiliki oleh setiap individu.
Keberhasilan suatu organisasi sangat dipengaruhi oleh kinerja karyawannya. Setiap organisasi maupun perusahaan akan selalu berusaha untuk meningkatkan kinerja karyawan, dengan harapan apa yang menjadi tujuan perusahaan akan tercapai. Salah satu cara yang ditempuh oleh perusahaan dalam meningkatkan kinerja karyawannya, misalnya dengan melalui pendidikan, pelatihan, pemberian kompensasi yang layak, pemberian motivasi, dan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif serta memilki disiplin. Peningkatan kinerja karyawan akan membawa kemajuan bagi perusahaan untuk dapat bertahan dalam suatu persaingan lingkungan bisnis yang tidak stabil.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang mendalam tentang permasalahan yang dirasakan oleh para perawat antara lain; kecemasan, stress kerja, kepuasan kerja dan coping strategy terhadap kinerja perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi.
1.2 Identifikasi Masalah
Kinerja perawat khususnya Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi saat ini masih menjadi masalah. Harapannya setiap perawat dapat menunjukkan kinerja yang optimal, namun kenyataannya justru masih terkendala dengan berbagai faktor yang mengakibatkan kinerja perawat masih menjadi masalah. Dari studi literatur dan hasil observasi sementara di lapangan diketahui bahwa kinerja perawat dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan secara hipotesis bahwa variabel kecemasan, stres kerja, kepuasan kerja dan coping strategy di lingkungan kerja khususnya Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi telah teridentifikasi sebagai penyebab masalah yang sangat berpengaruh pada kinerja perawat di sebuah Rumah Sakit tersebut. Ini membuktikan bahwa kondisi keadaan sorang perawat hendaknya benar-benar terjaga antara keseimbangan emosional diri dan professional kerja dalam melayani para pasien yang membutuhkan pelayanan yang terbaik.
1.3 Rumusan Masalah Penelitian
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti merumuskan masalah- masalah penelitian ini sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh langsung kecemasan (X1) terhadap Coping Strategy
(X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
2. Apakah terdapat pengaruh langsung stress kerja (X2) terhadap Coping Strategy
(X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
3. Apakah terdapat pengaruh langung Kepuasan kerja (X3) terhadap Coping Strategy (X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
4. Apakah terdapat pengaruh langsung Kecemasan (X1) terhadap kinerja perawat
(Y) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
5. Apakah terdapat pengaruh langsung Kepuasan Kerja (X3) terhadap kinerja perawat (Y) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
6. Apakah terdapat pengaruh langsung Coping Strategy (X4) terhadap kinerja perawat (Y) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
7. Apakah terdapat pengaruh tidak langsung Kecemasan (X1) terhadap kinerja perawat (Y) melalui Coping Strategy (X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
8. Apakah terdapat pengaruh tidak langsung Kepuasan Kerja (X3) terhadap kinerja perawat (Y) melalui Coping Strategy (X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi?
1.4 Pembatasan Masalah
Dari indentifikasi masalah, peneliti telah mengidentifikasi bahwa masalah utama dalam penelitian ini adalah kinerja perawat. Kinerja perawat merupakan masalah yang luas, rumit dan kompleks, karena dipengaruhi berbagai variabel. Maka peneliti membatasi masalah penelitian ini hanya pada masalah kecemasan,
stress kerja, kepuasan kerja, dan coping strategy yang meliputi dimensi psikologis, perilaku dan dimensi kognitif yang diduga berpengaruh terhadap kinerja perawat. Setiap variabel tersebut akan diungkap melalui indikator-indikator atau dimensi- dimensinya yang menunjukkan karakteristik dari variabel yang bersangkutan.
1.5 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data empirik, fakta dan informasi yang sahih dan benar serta dapat dipercaya tentang variabel- variabel yang mempengaruhi kinerja perawat Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi yaitu :
1. Menganalisis pengaruh langsung kecemasan (X1) terhadap Coping Strategy (X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
2. Menganalisis pengaruh langsung stress kerja (X2) terhadap Coping Strategy
(X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
3. Menganalisis pengaruh langsung Kepuasan kerja (X3) terhadap Coping Strategy
(X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
4. Menganalisis pengaruh langsung Kecemasan (X1) terhadap kinerja perawat (Y) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
5. Menganalisis pengaruh langsung Kepuasan Kerja (X3) terhadap kinerja perawat
(Y) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
6. Menganalisis pengaruh langsung Coping Strategy (X4) terhadap kinerja perawat
(Y) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
7. Menganalisis pengaruh tidak langsung Kecemasan (X1) terhadap kinerja perawat
(Y) melalui Coping Strategy (X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
8. Menganalisis pengaruh tidak langsung Kepuasan Kerja (X3) terhadap kinerja perawat (Y) melalui Coping Strategy (X4) di Rumah Sakit Umum Daerah Xxxxx Xxxxx Kota Jambi
1.6 Manfaat Penelitian
Berdasarkan dari tujuan penelitian, peneliti akan melakukan pengujian secara empirik bahwa kecemasan, stres kerja, kepuasan kerja dan coping strategy memiliki pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung terhadap kinerja perawat, jika tujuan dalam penelitian ini tercapai diharapkan akan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktiks
BAB II
KAJIAN TEORITIK, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teoritik
2.1.1 Kinerja
a. Definisi Kinerja
Kinerja dengan bahasa lain (performance) merupakan aspek yang menjadi isu dunia saat ini. Sebagai konsekuensi dari tuntutan masyarakat terhadap kebutuhan pelayanan prima atau pelayanan yang bermutu tinggi yang tidak terpisahkan. Kinerja individu di tempat kerja adalah konstruksi abstrak dan merupakan variable laten yang tidak bisa langsung diukur. Kinerja terdiri dari berbagai dimensi, yang pada gilirannya dicerminkan oleh indikator yang dapat diukur secara langsung (Xxxxxxxxxxx & Ones, 2000). Oleh karena itu, untuk membuat konsep dan mengoperasionalkan kinerja individu, perlu dijelaskan konstruknya dan mengidentifikasi dimensi dan indikatornya. Kendala lain adalah mengidentifikasi dimensi mana yang dapat diterapkan untuk berbagai pekerjaan, jika tidak, indikatornya dapat berbeda antara pekerjaan yang satu dengan pekerjaan yang lain (Xxxxxxxx et al., 2014).
Pengertian kinerja individu yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi dari dimensi perilaku dan hasil (Xxxxxxxx et al., 2014). Tidak semua perilaku individu adalah konstituen dari konsep kinerja, tetapi hanya mereka yang ada relevansi dengan pelaksanaan kegiatan dan dapat dievaluasi. Oleh karena itu,
saat mengatur kinerja individu sebagai perilaku, ada kesulitan dalam menentukan yang mana yang relevan secara efektif dengan organisasi (Bendassolli & Tateo, 2018; Xxxxxxxxx et al., 2008).
Kinerja individu akan dioperasionalkan dengan urutan kedua membangun berdasarkan model multidimensi (Xxxx Xxxxxxx & Xxxxxx, 1993), terdiri dari dua variabel. Dimensi kinerja tugas diukur dengan keterampilan dan kompetensi dan mengacu pada peran yang ditentukan yang harus dipatuhi oleh seorang karyawan secara berurutan untuk mencapai tujuan organisasi. Ini dapat diartikan sebagai kemahiran yang orang melakukan aktivitas yang berkontribusi pada pengembangan inti teknis dari organisasi.
Dimensi kinerja kontekstual terdiri dari perilaku yang tidak secara langsung terkait dengan inti teknis, tetapi mendukung organisasi, sosial dan psikologis lingkungan di mana tujuan organisasi dikejar. Ada beberapa label untuk ini dimensi, seperti kemampuan tugas khusus non-pekerjaan, kinerja peran ekstra, perilaku kewarganegaraan organisasi, atau hubungan interpersonal.
Semua konsep merujuk pada perilaku melampaui tujuan kerja yang ditentukan secara formal, seperti mengambil lebih banyak tugas (Xxxxxxxx et al., 2014). Asumsi berikut membedakan kinerja kontekstual dan tugas: (1) aktivitas kinerja tugas bervariasi antara pekerjaan, sedangkan aktivitas kinerja kontekstual relatif serupa di semua pekerjaan; (2) kinerja tugas diprediksi terutama oleh kemampuan, sedangkan kinerja kontekstual berkaitan dengan kepribadian dan motivasi; (3) tugas kinerja bertujuan untuk memenuhi harapan yang ditentukan
untuk posisi tersebut, sedangkan kinerja kontekstual lebih terkait dengan peran ekstra, terkait dengan perilaku spontan yang muncul (Xxxxxxxxxxx & Ones, 2000)
Beberapa laporan teoritis dan empiris yang diterbitkan selama 20 tahun terakhir telah menemukan model kausal kinerja yang menjelaskan hubungan antara ciri-ciri dasar seperti kemampuan kognitif dan kepribadian dan kinerja menggunakan variabel intervening seperti pengetahuan, keterampilan, dan terkadang variabel lainnya yang dianggap memediasi efek dasar ciri-ciri dari kinerja. (Hunter, 1986) melaporkan hasil meta-analisis berdasarkan total sampel sebanyak 3.264 kasus yang meneliti hubungan antara kemampuan kognitif, pengetahuan kerja, terhadap kinerja, dan peringkat pengawasan kinerja. Korelasi rata-rata di seluruh studi dalam meta-analisisnya mendukung model itu dan memiliki jalur kausal langsung dari kemampuan ke kedua pengetahuan pekerjaan dan kinerja, jalur langsung dari pengetahuan pekerjaan ke kinerja, dan jalur langsung dari keduanya pengetahuan pekerjaan dan kinerja sampel kerja untuk pengawas peringkat kinerja.
Jika sampel kerja kinerja dapat diartikan sebagai ukuran keterampilan kerja (Jensen-Campbell et al., 1996), dan jika penilaian pengawas mengukur kinerja pada pekerjaan, hasil penelitian Hunter, menunjukkan kemampuan itu secara langsung mempengaruhi pengetahuan dan keterampilan kerja dan itu mempengaruhi kinerja pekerjaan hanya melalui pengaruhnya terhadap pengetahuan dan keterampilan. (Hunter, 1986) menambahkan pengalaman kerja ke variabel yang diuji. Menggunakan data dari empat studi yang termasuk dalam metaanalisis, selain
kemampuan, pengalaman juga memiliki pengaruh langsung pada pengetahuan pekerjaan dan pengaruh langsung yang lebih kecil terhadap kinerja sampel pekerjaan.
Tidak ada efek langsung dari pengalaman pada peringkat pengawasan. Jadi, baik pengalaman maupun kemampuan memiliki efek langsung yang substansial pada pengetahuan dan efek langsung yang lebih kecil pada keterampilan yang diukur melalui kinerja sampel kerja, dan tidak ada variabel yang mempengaruhi kinerja pekerjaan yang diukur dengan peringkat pengawasan kecuali melalui pengaruhnya terhadap pengetahuan dan keterampilan pekerjaan.
Menurut peneitian (Xxxxxx-Campbell et al., 1996; Xxxxxxx-Xxxx et al., 2018) teori kinerja yang memformalkan hubungan yang ditemukan Xxxxxx (1983) dan Xxxxxx et al. (1991) antara kemampuan, pengetahuan pekerjaan, keterampilan, dan kinerja. Mereka memperdebatkan tiga penentu langsung kinerja pekerjaan: pengetahuan deklaratif, pengetahuan dan keterampilan prosedural, dan motivasi. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan tentang fakta, prinsip, dan prosedur pengetahuan yang mungkin diukur dengan tes.
Prosedural pengetahuan dan keterampilan adalah keterampilan dalam melakukan apa yang seharusnya selesai dilakukan; itu adalah kombinasi dari mengetahui apa yang harus dilakukan dan benar-benar mampu melakukannya. Ini termasuk keterampilan seperti kognitif keterampilan, keterampilan psikomotorik, keterampilan fisik, manajemen diri keterampilan, dan keterampilan interpersonal dan dapat diukur dengan simulasi dan tes sampel pekerjaan.
Dengan demikian, perbedaan individu dalam kemampuan kognitif dan kepribadian seharusnya hanya memiliki efek tidak langsung pada kinerja yang dimediasi oleh pengetahuan, keterampilan, dan motivasi. (Xxxxxx C. Xxxxxx & Xxxxxxx J. Xxxxxxxxx, 2009) mempresentasikan teori perbedaan individu kinerja pekerjaan yang juga menggabungkan gagasan ini. Teori membagi kinerja menjadi kinerja tugas dan kinerja kontekstual (Xxxx Xxxxxxx & Xxxxxx, 1993) dan memprediksi bahwa kemampuan kognitif adalah prediktor kinerja tugas yang lebih baik, sedangkan variabel kepribadian seperti ekstraversi, keramahan, dan kesadaran adalah prediktor yang lebih baik untuk kinerja kontekstual.
Pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan kerja adalah variabel intervening dalam teori dan dipelajari melalui pengalaman sebagai kecenderungan dasar dalam kemampuan dan kepribadian berinteraksi dengan pengaruh eksternal di lingkungan. Satu set pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan dianggap memengaruhi kinerja tugas secara langsung, dan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan kebiasaan dianggap secara langsung mempengaruhi kinerja kontekstual. Dengan demikian, teori tersebut memprediksikan bahwa kemampuan kognitif berhubungan lebih banyak dengan pengetahuan dan keterampilan teknis dan karakteristik kepribadian itu lebih dikaitkan dengan pengetahuan kontekstual dan keterampilan, yang mencakup beberapa bentuk pengetahuan dan keterampilan interpersonal.
Menurut (Xxxxxx et al., 1991) meninjau bukti yang menunjukkan bahwa konstruksi kepribadian kesadaran dan ketergantungan berkorelasi lebih tinggi
dengan kinerja kontekstual dibandingkan dengan kinerja tugas. Pernyataan empiris dan teoritis ini berpendapat bahwa kemampuan kognitif, pengalaman, dan kesadaran memengaruhi kinerja terutama melalui pengaruhnya terhadap pengetahuan dan keterampilan terutama pengetahuan.
b. Aspek - aspek Kinerja
Kinerja secara umum dibangun oleh dimensi yang sangat banyak, namun dua dimensi utama dari kinerja mendapatkan perhatian yang besar yaitu kinerja tugas (task performance) dan kinerja kontekstual (contextual performance) sebagaiman dikemukakan oleh (Xxxx Xxxxxxx & Xxxxxx, 1993). Berikut ini penjelasan dari kedua dimensi kinerja tersebut:
1) Xxxxxxx tugas (task performance)
Xxxxxxx tugas mencakup perilaku yang berkontribusi terhadap inti transformasi dan kegiatan pemeliharaan dalam sebuah organisasi, seperti menghasilkan produk, menjual barang dagangan, memperoleh persediaan, mengelola bawahan atau memberikan. Dengan kata lain, kinerja tugas merupakan perilaku in- role yang merujuk kepada hasil dari upaya individu, dan hasil secara langsung terkait dengan harapan organisasi atau tugas diberikan.
2) Kinerja kontekstual (contextual performance)
Kinerja kontekstual mengacu pada perilaku yang berkontribusi terhadap budaya dan iklim organisasi. Bekerja ekstra secara sukarela, bertahan dengan antusiasme, membantu dan bekerja sama dengan orang lain,
mengikuti aturan dan prosedur, dan mendukung atau membela organisasi, semua itu adalah contoh dari perilaku kinerja kontekstual. Dengan kata lain, kinerja kontekstual merujuk kepada bagaimana seorang karyawan bersedia untuk terlibat secara sukarela dalam kegiatan tak resmi, bersikeras mencapai suatu tugas, membantu atau bekerja sama dengan orang lain, mengikuti peraturan organisasi, dan juga mendukung atau mempertahankan tujuan organisasi.
Pengukuran aspek kinerja dalam penelitian ini yang mengacu pada (Xxxx Xxxxxxx & Xxxxxx, 1993) didasari pertimbangan bahwa kedua aspek tersebut merupakan penyederhanaan dari berbagai pengklasifikasian dimensi kinerja di mana dimensi kinerja tersebut dapat dipilah menjadi dua kelompok utama yaitu kinerja yang berhubungan secara langsung dengan tugas pokok dan kinerja yang tidak berhubungan secara langsung dengan tugas pokok yang dilakukan secara sukarela untuk kemajuan organisasi.
x. Xxxxx-Xxxxx Xxxxxxx
Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik secara alami (ada sejak lahir) atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk berperilaku tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat-saat tertentu saja. Potensi untuk berperilaku tertentu itu disebut ability (kemampuan), sedangkan ekspresi dari potensi ini dikenal sebagai performance (kinerja). Xxxxxxxx (dalam Sujak, 1990) dan Xxxxxxx (2003) mengemukakan bahwa kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut (Xxxxxxx, 2003) kinerja adalah human output yang dapat diukur dari produktivitas, absensi, turnover, citizenship, dan satisfaction.. Selanjutnya, menurut (Xxxxxxxxxx & Suprayetno, 2004) mengemukakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan, atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi. Penekanan kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang, juga dapat pada tingkatan individu, kelompok ataupun organisasi. Manajemen kinerja merupakan suatu proses yang dirancang untuk menghubungkan tujuan organisasi dengan tujuan individu, sehingga kedua tujuan tersebut bertemu.
Kinerja juga dapat merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas yang telah diselesaikan oleh seseorang dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur. Menurut (Xxxx X. Xxx. Xxxxxxx, 2006) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) unsur-unsur yang terdapat dalam kinerja adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap prestasi karyawan, pencapaian tujuan organisasi, dan periode waktu tertentu.
d. Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Xxxxxxxxxxx (2009) faktor- faktor yang mempengaruhi kinerja antara lain:
a. Faktor Individual
Faktor individual yang terdiri dari kemampuan dan keahlian latar belakang, demografi dan motivasi kerja serta disiplin kerja
b. Faktor psikologis
Faktor psikologis dalam mempengaruhi kinerja terdiri dari persepsi, atitude, emosi, personality dan pembelajaran.
c. Faktor Organisasi
Faktor organisasi terdiri dari sistem atau bentuk organisasi sumber daya, kepemimpinan, komunikasi, lingkungan kerja, kompensasi, budaya kerja, budaya organisasi, penghargaan, struktur, diklat dan job design.
Sedangkan Wirawan (2009) menyebutkan factor yang mempengaruhi kinerja antara lain:
a. Faktor lingkungan eksternal
Faktor lingkungan eksternal meliputi kehidupan sosial, budaya dan agama, kehidupan bermasyarakat, kehidupan ekonomi, kehidupan politik, dan kompetitor
b. Faktor internal
Faktor internal meliputi bakat dan sifat pribadi, kreativitas, pengetahuan dan keterampilan, kompetensi, pengalaman kerja, keadaan fisik, keadaan psikologi seperti emosi, etos kerja, disiplin kerja, motivasi kerja, semangat kerja, sikap kerja, stres kerja, keterlibatan kerja, kepemimpinan, kepuasan kerja, dan keloyalan
c. Faktor lingkungan internal organisasi / lembaga
Faktor lingkungan internal organisasi meliputi visi, misi, dan tujuan organisasi, kebijakan organisasi, bahan mentah, teknologi, strategi organisasi, sistem manajemen, kompensasi, kepemimpinan, modal, budaya organisasi, iklim organisasi dan rekan kerja.
Menurut Xxxxxxxxx et al., (2014) Kinerja merupakan gambaran evaluasi perilaku terkait pekerjaan yang di kerjakan individu sesuai dengan kualitas kinerja yang diharapkan perusahaan. Sedangkan menurut Xxxxxxx (1999) menjelaskan bahwa kinerja merupakan hasil dari perilaku yang meliputi kegiatanutama (task performance) dan kegiatan lain (contextual performance) di dalam pekerjaan.
Menurut (Xxxxxxx & Judge, 2015), kinerja merupakan pencapaian yang optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki seorang karyawan merupakan hal yang selalu menjadi perhatian para pemimpin organisasi.Kinerja ini menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dan berusaha dalam mencapai tujuan yang ditetapkan
e. Pengukuran Kinerja
Menurut (Dharma S, 2005) bahwa faktor-faktor tingkat kinerja meliputi: mutu pekerjaan, jumlah pekerjaan, efektifitas biaya dan inisiatif dalam pekerjaan. Sementara karateristik individu yang mempengaruhi kinerja meliputi: umur pekerja, jenis kelamin pekerja, pendidikan pekerja, lama kerja, penempatan kerja dan lingkungan kerja (rekan kerja, atasan, organisasi, penghargaan dan imbalan
yang diterima). Pengukuran kinerja dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan dari apa yang telah direncanakan sebelumnya dengan kenyataan (Wirawan, 2009)
Menurut (Xxxxxxx & Judge, 2015), kinerja merupakan pengukuran terhadap hasil kerja yang diharapkan berupa sesuatu yang optimal. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja adalah sebagai berikut:
1. Iklim organisasi
Iklim kerja dalam suatu organisasi sangatlah penting bagi pimpinan untuk memahami kondisi organisasi, karena ia harus menyalurkan bawahan sehinggamereka dapat mencapai tujuan pribadi dan tujuan organisasi. Dengan adanya iklim kerja yang kondusif, maka hal itu akan mempengaruhi kinerja karyawan.
2. Kepemimpinan
Peranan pemimpin harus mampu dan dapat memainkan peranannya dalam suatu organisasi, pemimpin harus mampu menggali potensi – potensi yang ada pada dirinya dan memanfaatkannya di dalam unit organisasi.
3. Kualitas pekerjann
Pekerjaan yang dilakukan dengan kualitas yang tinggi dapat memuaskan yang bersangkutan dan perusahaan. Penyelesaian tugas yang terandalkan, tolak ukur minimal kualitas kinerja pastilah dicapai.
4. Kemampuan kerja
Kemampuan untuk mengatur pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya termasuk membuat jadwal kerja, umumnya mempengaruhi kinerja seorang karyawan
5. Inisiatif
Inisiatif merupakan faktor penting dalam usaha untuk meningkatkan kinerja karyawan. Untuk memiliki inisiatif dibutuhkan pengetahuan serta keterampilan yang dimiliki para karyawan dalam usaha untuk meningkatkan hasil yang dicapainya.
6. Motivasi
Motivasi ini merupakan subyek yang penting bagi pimpinan, karena menurut definisi pimpinan harus bekerja dengan dan melalui orang lain. Pimpinan perlu memahami orang–orang berperilaku tertentu agar dapat mempengaruhinya untuk bekerja sesuai dengan yang diinginkan perusahaan.
7. Saya tahan/kehandalan
Apakah karyawan mampu membuat perencanaan dan jadwal pekerjaannya. Sebab akan mempengaruhi ketepatan waktu hasil pekerjaan yang menjadi tanggungjawab seorang karyawan.
8. Kuantitas pekerjaan
Pekerjaan yang dilakukan karyawan harus memiliki kuantitas kerja tinggi dapat memuaskan yang bersangkutan dan perusahaan. Dengan memiliki kuantitas kerja sesuai dengan yang ditargetkan, maka hal itu akan dapat
mengevaluasi kinerja karyawan dalam usaha meningkatkan prestasi kerjanya.
9. Disiplin kerja
Dalam memperhatikan peranan manusia dalam organisasi, agar dapat mencapai tujuan yang ditentukan diperlukan adanya kedisiplinan yang tinggi sehingga dapat mencapai suatu hasil kerja yang optimal atau mencapai hasil yang diinginkan bersama
Penilaian kinerja merupakan pengamatan (observasi) terhadap pelaksanaan pekerjaan oleh seorang pekerja. Dari hasil observasi itu dilakukan pengukuran yang dinyatakan dalam bentuk penetapan keputusan mengenai keberhasilan atau kegagalannya dalam bekerja (Kalalo CN, Xxxxxxx XX, 2015).
2.1.2 Kecemasan
a. Definisi Kecemasan
Pada dekade terakhir orang-orang terlihat semakin cemas, takut, terutama takut akan keselamatan, penerimaan social, dan keamanan kerja, (Xxxxxx, 2000). Sedangakan (Xxx et al., 2002). Kecemasan adalah ketakutan yang tidak realistis, menghasilkan pembangkitan fisiologis, disertai tanda-tanda perilaku melarikan diri, atau menghindari dari stimulus yang menjadi pemicu terjadinya kecemasan.
Kecemasan adalah reaksi alami manusia, dan berfungsi sebagai fungsi psikologis penting yang dirasakan oleh banyak orang-orang tanpa memandang usia. Semua anak mengalami kecemasan sebagai sistem alarm yang diaktifkan setiap kali mereka menganggap situasi berbahaya, memalukan atau stres, dalam situasi ini
kecemasan dapat membantu mereka menjadi lebih baik mengelola acara, sementara tingkat kecemasan yang rendah dan terkendali dapat bermanfaat, tingkat kecemasan yang tinggi mungkin berdampak negatif pada hubungan sosial dan pribadi seseorang, dan menyebabkan masalah fisik dan emosional. (Xxxxxxx et al., 2006).
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dirasakan oleh seseorang dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Xxxx X. Xxxxxx, 2007). Pendapat lain mengatakan bahwa kecemasan merupakan suatu perasaan subjektif mengenai ketegangan mental yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dari ketidakmampuan mengatasi suatu masalah atau tidak adanya rasa aman. Perasaan yang tidak menentu tersebut pada umumnya tidak menyenangkan yang nantinya akan menimbulkan atau disertai perubahan fisiologis dan psikologis (Rochman, 2009).
Kecemasan adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya. Kecemasan juga merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakkan tingkah laku, baik tingkah laku yang menyimpang ataupun yang terganggu. Kedua-duanya merupakan pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan tersebut (Xxxxxxx, Xxxxxxx, 2011).
Menurut Xxxxxx & Xxxxx (2013), kecemasan adalah tanggapan dari sebuah ancaman nyata ataupun khayal. Individu mengalami kecemasan karena adanya ketidakpastian dimasa mendatang. Rasa panik dan rasa takut merupakan bagian dari aspek emosional, sedangkan aspek mental atau kognitif yaitu timbulnya gangguan
terhadap perhatian, rasa khawatir, ketidakteraturan dalam berpikir, dan merasa bingung (X. Xxxxxxx & Xxxxxxxxx, 2014).
Pendapat lain menyatakan bahwa kecemasan dialami ketika berfikir tentang sesuatu tidak menyenangkan yang akan terjadi. Respon psikologis yang dialami oleh petugas kesehatan terhadap pandemi penyakit menular semakin meningkat karena disebabkan oleh perasaan cemas tentang kesehatan diri sendiri dan penyebaran keluarga (Xxxxx et al., 2020). Kecemasan adalah perasaan khawatir, gugup atau gelisah tentang sesuatu dengan hasil yang tidak pasti dan dapat mengiringi, mempengaruhi atau menyebabkan depresi (Kajdy et al., 2020).
b. Teori-Teori Kecemasan
Faktor predisposisi dan faktor presipitasi yangdapat menimbulkan kecemasan menurut (Xxxxxxxx, 2012) antara lain:
Kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian id dan superego. Id merupakan dorongan insting dan implus primitive seseorang sedangkan superego merupakan cerminan hati nurani seseorang yang akan dikendalikan oleh norma budaya seseorang.
Menurut pandangan interpersonal kecemasan terjadi dari perasaan takut terhadap penerimaan dan penolakan interpersonal. Seperti kehilangan dan perpisahan yang akan menimbulkan kelemahan fisik.
c) Teori Perilaku
Menurut teori perilaku (behavior), kecemasan merupakan hasil frustasi dengan segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan
d) Teori keluarga
Tingkatan kecemasan yang dialami oleh individu kemungkinan memiliki dasar genetik. Orang tua yang memiliki gangguan cemas akan memiliki resiko tinggi untuk memiliki anak dengan gangguan kecemasan.
Dalam pandangan biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor khusus untuk Benzodiazepines. Reseptor tersebut bisa membantu mengatur kecemasan.
Kecemasan merupakan keadaan yang tidak bisa dihindari pada kehidupan yang akan terjadi pada manusia dalam memelihara keseimbangannya. Adapun faktor yang mempengaruhi kecemasan antara lain:
a) Ancaman terhadap pemahaman diri, meliputi ketidakmampua fisiologis ataugangguan terhadap kebutuhan dasar seperti trauma fisik dan penyakit fisik.
b) Ancaman terhadap sistem diri memiliki ancaman terhadap hubungan interpersonal, identitas diri dan perubahan status peran
c. Faktor-Xxxxxx Xxxx Mempengarui Kecemasan
Berbagai faktor dapat berpengaruh terhadap timbulnya kecemasan antara lain faktor genetik, demografi, dan faktor psikologis. Selain itu adapula faktor pencetus, perentan, dan faktor pembentuk gejala (Hawari, 2006). Menurut Xxxxxx (2007), faktor yang mempengaruhi kecemasan pasien di bagi atas:
1) Faktor Instrinsik :
a) Usia Pasien. Gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa dan lebih banyak pada wanita. Sebagian besar terjadi pada umur 21-45 tahun.
b) Pengalaman pasien menjalani pengobatan/ tindakan medis. Pengalaman awal pasien dalam pengobatan merupakan pengalaman-pengalaman yang sangat berharga yang terjadi pada individu terutama untuk masa-masa yang akan datang. Pengalaman awal ini sebagai bagian dari yang penting dan bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di kemudian hari.
c) Konsep diri dan peran. Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu terhadap dirinya dan mempengaruhi individu berhubungan dengan orang lain
2) Faktor Ekstrinsik :
a) Kondisi medis
Terjadinya gejala kecemasan yang berhubungan dengan kondisi medis sering ditemukan walaupun insidensi gangguan bervariasi untuk masing-masing kondisi medis, misalnya pada pasien sesuai hasil pemeriksaan akan
mendapatkan diagnosa pembedahan, hal ini akan mempengaruhi tingkat kecemasan pasien.
b) Tingkat pendidikan
Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti masingmasing. Pendidikan pada umumnya berguna dalam merubah pola pikir, pola bertingkah laku dan pola pengambilan keputusan.
c) Akses informasi
Akses informasi adalah pemberitahuan tentang sesuatu agar orang membentuk pendapatnya berdasarkan sesuatu yang diketahuinya. Informasi adalah segala penjelasan yang didapatkan pasien sebelum pelaksanaan tindakan, tujuan, proses, resiko, komplikasi, alternatif tindakan yang tersedia, serta proses administrasi.
d) Proses adaptasi
Tingkat adaptasi manusia dipengaruhi oleh stimulus internal dan eksternal yang dihadapi individu dan membutuhkan respon perilaku yang terus menerus.
e) Tingkat sosial ekonomi
Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik, diketahui bahwa masyarakat kelas sosial ekonomi rendah prevalensi gangguan psikiatriknya lebih banyak.
f) Jenis tindakan
Jenis tindakan, klasifikasi suatu tindakan, therapi medis yang dapat mendatangkan kecemasan karena terdapat ancaman pada integritas tubuh dan jiwa seseorang.
g) Reaksi Kecemasan Kecemasan dapat menimbulkan reaksi konstruktif maupun destruktif bagi individu.
1) Konstuktif : Individu termotivasi untuk belajar mengadakan perubahan terhadap perasaan tidak nyaman dan berfokus pada kelangsungan hidup.
2) Destruktif : Individu bertingkah laku maladptif dan disfungsional.
Adaptif Maladaptif
h) Gejala Kecemasan Keluhan dan gejala umum yang berkaitan dengan kecemasan dapat dibagi menjadi gejala somatik dan psikologis (Xxxxxx, 2006).
1) Gejala somatic
a. Keringat berlebih.
b. Ketegangan pada otot skelet: sakit kepala, kontraksi pada bagian belakang leher atau dada, suara bergetar, nyeri punggung.
c. Sindrom hiperventilasi: sesak nafas, pusing, parestesi.
d. Gangguan fungsi gastrointestinal: nyeri abdomen, tidak nafsu makan, mual, diare, konstipasi.
e. Iritabilitas kardiovaskuler: hipertensi, takikardi.
f. Disfungsi genitourinaria: sering buang air kecil, sakit saat berkemih, impoten, sakit pelvis pada wanita.
2) Gejala psikologis
a. Gangguan mood: sensitif sekali, cepat marah, mudah sedihan
b. Kesulitan tidur: insomnia, mimpi buruk, mimpi yang berulang-ulang.
c. Kelelahan, mudah capek.
d. Kehilangan motivasi dan minat.
e. Perasaan-perasaan yang tidak nyata.
x. Xxxxxx sensitif terhadap suara: merasa tak tahan terhadap suara-suara yang sebelumnya biasa saja.
g. Berpikiran kosong, tidak mampu berkonsentrasi, mudah lupa.
x. Xxxxx, canggung, koordinasi buruk. Tidak bisa membuat keputusan: tidak bisa menentukan pilihan bahkan untuk hal-hal kecil.
i. Gelisah, resah, tidak bisa diam.
x. Xxhilangan kepercayaan diri.
k. Kecenderungan untuk melakukan segala sesuatu berulangulang.
l. Keraguan dan ketakutan yang mengganggu.
m. Terus menerus memeriksa segala sesuatu yang telah dilakukan
d. Pengukuran Kecemasan
Zung Self-rating Anxiety Scale (ZSAS) adalah kuesioner yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala yang berkaitan dengan kecemasan. Kuesioner ini didesain untuk mencatat adanya kecemasan dan menilai kuantitas tingkat kecemasan. Zung telah mengevaluasi validitas dan reliabilitasnya dan hasilnya baik. Penelitian menunjukkan bahwa konsistensi internalnya pada sampel psikiatrik dan non-psikiatrik adekuat dengan korelasi keseluruhan butir-butir pertanyaan yang
baik dan reliabilitas uji yang baik. Kuesioner ini mengandung 20 pertanyaan, terdapat 15 pertanyaan kearah peningkatan kecemasan dan 5 pertanyaan kearah penurunan kecemasan.
Setiap butir pertanyaan dinilai berdasarkan frekuensi dan durasi gejala yang timbul: (1) jarang atau tidak pernah sama sekali, (2) kadangkadang, (3) sering, dan
(4) hampir selalu mengalami gejala tersebut. Total dari skor pada tiap pertanyaan maksimal 80 dan minimal 20, skor yang tinggi mengindikasikan tingkat kecemasan yang tinggi. Zung Self-rating Anxiety Scale (ZSAS) telah digunakan secara luas sebagai alat skrining kecemasan.
2.1.3 Stres Kerja
a. Definisi Stres Kerja
Kata stres sangat populer di masyarakat, walaupun pengertian yang menyertainya sering tidak sama antara stres pada satu kejadian dengan pengertian stres di kejadian yang lain. Ketika orang berbicara tentang stres, biasanya mereka mengacu pada tegangan yang mereka rasakan dari sesuatu kejadian di sekitar lingkungan mereka.
Secara formal, definisi stres pertama kali dikemukakan oleh Xxxxxx Xxxxxx tahun 1932, sorang ahli physiologi dan Harvard University yang mengatakan “stress his observation that organisme tend to “bounce back” or “resist” deformig influence from external forces”. Cannon berpendapat bahwa ketika organisme merasakan adanya suatu ancaman yang berasal dari luar dirinya, maka organisme cenderung untuk menyerang ancaman tersebut atau bertahan.
Kemudian Xxxx Xxxxx yang sering disebut sebagai Bapak stress modern, atau disebut sebagai grand master of stress research memberikan sumbangan yang sangat berarti dalam bidang stres, ketika pada tahun 1936 mengemukakan apa yang disebut “General Adaptation Syndrome (GAS)”. Xxxxx memberikan definisi bahwa “stress is nonspecific response on body disturbs to body equilibrium”. Maksudnya stres adalah respon non-spesifik yang menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh. Menurutnya ketika organisme berhadapan dengan stressor, dia akan mendorong dirinya sendiri untuk melakukan tindakan.
Tingkat stres memiliki hubungan dengan pencapaian kinerja. Hubungan antara peningkatan stres dengan peningkatan kinerja dijelaskan dengan hukum Xxxxxx-Xxxxxx (Xxxxxx-Dodson law) yang menyatakan bahwa kinerja terbaik dcapai ketika stres meningkat hingga mencapai batas optimim (bukan maksimum), namun setelah batas optimum tersebut kinerja akan mulai menurun. Oleh karena itu yang perlu dilakukan dalam manajemen stres adalah stres bukan untuk dieliminasi tetapi dikendalikan hingga mencapai tingkat optimal.
Dua definisi stres yang telah dikemukakan di atas menitikberatkan pada stres sebagai suatu stimulus (stres sebagai variabel bebas). Sebagai contoh dapat disebut antara lain kejadian pada orang-orang yang mempunyai pekerjaan dengan tingatan stres yang tinggi, maka orang tersebut akan merasa tegang dan tidak enak. Suatu kejadian atau lingkungan yang menimbulkan perasaan-perasaan tegang tersebut disebut “stressor”. Beberapa stressor dapat disebutkan antara lain; peristiwa bencana alam (banjir badang, angin badai, gempa bumi, tsunami), peristiwa bencana buatan (perang, tawuran, kebakaran), kejadian-kejadian dalam
kehidupan (kehilangan pekerjaan, kehilangan sesuatu yang sangat dicintainya), dan situasi dan kondisi yang tidak menyenangkan (tinggal disuatu daerah yang padat, sesak dan bising).
Disamping stres dipandang sebagai stimulus, dalam perkembangan selanjutnya stres digambarkan sebagai suatu respon (stres sebagai variabel terikat), dimana stres dihasilkan melalui proses yang meliputi stressor dan ketegangan (strain) dengan menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dengan lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan “transaksional”.
Baru-baru ini stres pekerjaan banyak mendapatkan perhatian terutama setelah banyak organisasi bisnis yang semakin peduli terhadap kesejahteraan karyawannya. Menurut Xxxxxxxxx occupational stress it is combination of source of stress at work, individual characteristics, and extraorganizational stressors. Maksudnya stres pekerjaan merupakan kombinasi antara sumber stres dalam pekerjaan, karakteristik individual dan sumber stres yang berasal dari luar organisasi.
Menurut (Xxxxxxx, 2011) occupational stress as an adaptive response to an external situation that results in physical, psychological, and/or behavioral deviations for organizational participants. Ini berarti stres pekerjaan merupakan respon adaptif terhadap situasi eksternal yang dapat menghasilkan deviasi secara pisik. Psikologis dan/atau perilaku anggota organisasi.
Bedasarkan tinjauan transaksional tentang stres yang diterapkan pada lingkungan pekerjaan, Xxxx mendefinisikan bahwa occupational stress is work demands that exceed the worker’s coping ability. Ini berarti bahwa stres pekerjaan merupakan tuntutan –tuntutan pekerjaan di atas kemampuan coping pekerja. Tuntutan pekerjaan dapat mempengaruhi stres dalam dua cara. Pertama, perkerjaan tersebut mungkin terlalu bnayak, atau orang berkerja terlalu keras dengan berbagai alasannya. Kedua, jenis pekerjaan itu sendiri sudah lebih stressful daripada pekerjaan lainnya, misalnya pekerjaan yang memeberikan penilaian atas penamilan kerja bawahannya, guru atau dosen, petugas pengawasan penerbangan, polisi, petugas pemadam kebakaran, tenaga medis di instalasi gawat darurat rumah sakit.
Definisi yang dibuat oleh National Institute of Occupational Safety and Health (NIOSH), sebagaimana dikutip Xxxxxxx X. Xxxxxx disebutkan bahwa occupational stress it is the hermaful physical and emotional responses that occur when the requitments of the job do not match the capabilities, resource or needs of the worker. Maksudnya stres pekerjaan adalah respon-respon fisik dan emosional yang berbahaya/beresiko yang terjadi ketika persyaratan-persyaratan dari pekerjaa itu tidak sesuai dengan kemampuan, sumber daya atau kebutuhan-kebutuhan dari pekerja. Sedangkan Xxxxx dan Xxxxxx sebagaimana dikutip Xxxx Xxxxxxxx mendefinisikan bahwa occupational stress ass condition whrere in job-related factors intreact with the worker to change his or her psyhological or physological condition such that she or he is forced to deviate from normal functioning. Maksudnya bahwa stres pekerjaan sebagai suatu koondisi dimana faktor-faktor yang terikat dengan pekerjaan saing berinteraksi dengan pekerja itu sehingga terjadi
perubahan kondisi fisiologis atau psikologis yang menyimpang dari fungsi normalnya.
Definisi-definisi yang dikemukanan di atas pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain, walaupun tidak mudah untuk membuat rumusan definisi yang komprehensif. Namun demikian jika dikaji lebih dalam terdapat beberapa subtansi yang memiliki kesamaan, antara lain; pertama, stres merupakan faktor eksternal berupa kajadian tau simulus lingkungan yang menyebabkan seseorang merasa tangang. Stres merupakan tuntutan lingkungan yang disebut stressor, kedua, stres merupakan faktor internal berupa respon subjektif atau respon adaptif berupa ketegangan yang dialami seseorang. Ketiga stres adalah perubahan kondisi fisik atau psikologis yang dirasakan sebagai gangguan. Dengan kata lain stres pekerjaan dapat didefinisikan sebagai respon penyesuaian (adaptif) setelah seseorang berinteraksi dengan tuntutan lingkunagan pekerjaannya (stressor), yang menhasilkan ketegangan (strain).
b. Teori-teori Stres Pekerjaan
Menurut (Xxxx G Xxxxxxx, Xxxxxx X Xxxxx, F Xxxxxx XxXxxxxx, 2000) teori stres pekerjaan yang berhasil dikembangkan saat ini meliputi: (1). Psychological theory, (2) Sociological theory, (3) Systemic theory, (4) Person- Environment Fit theory, (5) Demand-Control theory, (6) Communication theory,
(7) Dynamic equilibrium theory, dan (8) Cybernetics and Systems Theory.
(1) Psychological theory
Menurut teori ini paradigma utama yang dijadikan dasar dalam memahami stres pekerjaan adalah model medis. Model tersebut memiliki hipotensis bahwa luka-luka di tempat kerja hanyalah disebabkan oleh kecelakaan-kecelakaan yang tidak dapat dicegah sebagai resiko dari pekerjaan. Dalam perkembangan selanjutnya banyak hasil-hasil riset yang justru menemukan bahwa kepribadian dan faktor-faktor organisasi telah dikenal sebagai penyebab yang utama terhadap munculnya stres pekerjaan. Kepribadian merupakan mediator dari kereatifan stres. Individu dengan kepribdaian-kepribadian yang berbeda akan menanggapi dengan cara yang sama terhadap ancaman-ancaman secara fisik, namun respon-responnya untuk konflik-konflik hubungan antara pribadi di tempat kerja baik pada para pria maupun wanita.
(2) Sociological theory
Teori-teori kepribadian yang didasarkan pada model medis lebih bersifat individualistik, dimana suatu persoalan diperlukan sebagai kasus-kasus yang unik sehingga tidak terikat pada struktur-struktur dan proses-proses budaya, sosial, politik dan ekonomi.
Penyakit kerja dalam kaitannya dengan jabatan merupakan proses sosial, dimana dimensi-dimensinya bukanlah individualistik, spesifik atau unik. Lebih lanjut, para ahli sosiologi berargumentasi bahwa setiap penyakit yang berkaitan dengan jabatan, disebabkan oleh komponan-komponan ergonomik dan fisiologis yang dimediasi oleh lingkungan sosial, khususnya, organisasi peerjaan dan sosiologi dari pengetahuan medis terhadap penyakit atau luka. Sumbangan utama
pendekatan sosiologis terhadap stres pekerjaan adalah bahwa kesehatan dan keaamanan kerja harus terus ditingkatkan dan menjadi suatu hubungan industrial seperti antara pemodaldan pekerja. Dengan kata lain, suatu proses pekerjaan dapat saja menimbulkan kecelakaan kerja, oleh karena itu perlu dibuat peraturan dimana para pemberi kerja harus menyediakan suatu tempat kerja yang aman dan selamat untuk semua karyawan.
(3) Systematic theory
Pendekatan sistematik atau transaksional terhadap stres pekerjaan menyatakan bahwa ada keadaan dimana kepribadian atau kondisi-kondisi lingkungan yang kurang baik, satu sama lainnya memiliki konteks hubungan yang tidak relevan. Oleh karena itu hal-hal yang berkaitan dengan stres pekerjaan merupkan kasus-kasus khusus yang harus ditangani kasus perkasus, yang menuntut penyelesaian secara unik, apakah memerlukan penyelesaian tunggal atau individual atau secara politis.
(4) Person-Environment Fit Theory
Person-Environment Fit Theory digunakan sebagai suatu cara untuk memhamai proses adjusment antara karyawan dan lingkungan kerja mereka. Menurut kerangka teori ini, stres pekerjaan didefinisikan dalam bentuk istilah karakteristik-karakteristik pekerjaan yang dapat menimbulkan distress untuk setiap individu kerena ketidakcocokan antara kemampuan-kemampuan dan artibut yang dimilikinya dengan tuntuta-tuntutan dari tempat kerja. Interaksi-interaksi antara orang (misalnya ciri kepribadian, orientasi jabatan, dan pengalaman) dan variabel- variabel lingkunagn menjadi prediktor-prediktor yang lebih baik terhadap
munculnya ketegangan (starin). Oleh karena itu, karakteristik dari pekerjaan dan karakteristirk-karakteristik dari para pekerja saling mempengaruhi satu sama lain secara timbal balik.
(5) Demand-Control theory
Demand-Control theory merupakan suatu pengembangan dan perluasan dari job strain models, yan konsen terhadap pengaruh bersama antara tuntutan dan kendali pekerjaan terhadap kesehatan pekerja. Tuntutan pekerjaan meliputi bebean kerja, resiko pekerjaan, tuntutan fisik dan emosional serta kecemasan. Sedangkan kendali pekerjaan berhubungan dengan kompleksitas pekerjaan, pengawasan administratif, kendali outcomes, pertimbangan keterampilan, penyelia, otoritas keputusan dan kendali idologis. Berdasarkan dimensi-dimensi tuntutan dan kendali, pekerjaan digolongkan kedalam empat kategori, yaitu; pekerjaan dengan tegangan tinggi (high strain jobs = high demand/low control); teganagn rendah (low strain jobs = low demands/hifh conrol); pekerjaan aktif (active jobs = high demands/high control); and pekerjaan pasif (passive jobs = low demands/low control).
Secara umum, distress psikologis diprediksi oleh kombinasi antara tingginya tuntutan dan rendahnya kendali (high demands/low control). Dan sebaliknya, peningkatankendali secara positif berhubungan dengan kepuasan kerja. Kendali juga memiliki implikasi terhadap stres pekerjaan, yang timbul dari proses- proses perubahan organisasi. Persepsi terhadap kendali juga berkaitan dengan daktor-faktor kepribadian, seperti locus of control dan selft-consciousness. Disamping itu dukungan sosial misalnya teman sekerja dan dukungan sosial
penyelia, mempunyai pengaruh positif terhadap kesehatan sehingga dapat mengurangi stres pekerjaan atau distress psikologis.
(6) Communication theory
Teori ini memandang bahwa stres pekerjaan disebabkan oleh strategi komunikasi fungsional yang tidak berjalan semestinya sehingga menimbulkan distress. Menurut model ini, ketidakpuasan di tempat kerja bias menimbulkan stress pekerjaan, dimana ketidakpuasan tersebut dapat terjadi kerena saluran komunikasi fungsional yang tidak berjalan lancer. Oleh karena itu komunikasi harus dapat diterima secara aman di suatu konteks tempat kerja sebagai suatu stigma social yang mampu mengurangi resiko sakit mental, kemarahan, kekerasan fisik atau tindakan criminal seperti pencurian atau tindakan destruktif seperti penghancuran hak milik.
(7) Dynamic Equilibrium theory
Suatu pendekatan yang inovatif dan terbaru untuk memahami stress jabatan adalah teori keseimbangan dinamis. Teori ini memandang stress dari model rancang bangun (engineering model) dimana stress dipahami sebagai struktur yang memiliki kekeuatan yang ditandai oleh adanya ketegangan (strain) sebagai respon terhadap kekuatan tersebut. Menurut teori keseimbangan dinamis, stress tidak didefinisikan sebagai suatu tuntutan, suatu respon atau suatu proses, tetapi sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan yang munculketika suatu perubahan terjadi dan mempengaruni individu-individu apakah menjadi distress atau sehat secara psikologis. Penyebab dari perubahan tersebut bias saja merupakan dampak dari kepribadian, organisasi, proses-proses coping dan tanggapan positif atau negatif terhadap pekerjaan yang dialaminya. Orang-orang boleh jadi menggapi positif atau negatif terhadap
lingkungan pekerjaan yang sama, dan kesehatan psikologi kemudian ditentukan oleh keseimbangan antara hal psitif (misalnya extraversion, pengalaman hidup yang baik) dan hal negative (misalnya neuroticism, pengalaman hidup yang kurang baik).
(8) Cybernetics and Systems theory
Cybernetics dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu pengetahuan tentang komunikasi dan pengendalian antara manusia dan mesin. Secara epistemology dan konteks stress pekerjaan, sibernetik menjadi dasar terjadi perubahan pribadi dan perubahan social, dengan focus kepada proses mental, dimana individu memonitor reaksi-reaksi fisik dan psikologis terhadap berbagai stressors. Dalam teori sibernetik, konsep dari umpan balik adalah proses yang sangat penting. Umpan balik digambarkansebagai suatu proses dari mekanisme-mekanisme homeostatis berdasrkan pada informasi yang diterima. Umpan balik yang positif dapat menggerakan seseorang menuju keseimbangan kembali (homeostatis), sedangkan umpan balik yang negative dapat menggerakan seseorang kepda suatu keadaan ketidakseimbangan, kegelisahan dan stres pekerjaan.
Dari teor-teori yang telah dikemukakan di atas, person-environment (P-E) fit theory sangat relevan dengan model yang dipilih dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan P-E fit theory dapat menjelaskan hubungan-hubungan yang pontesial antra stress, individu dan lingkungan. Secara teoritis P-E fit memprediksi bahwa besaran keteangan (magnitude of strain) yang dialami oleh individu adalah proposional pada tingkat ketidakcocokan (misfit) antara individu dan jabatannya.
c. Faktor penyebab stress pekerjaan
Di muka sudah dikemukakan bahwa stress pekerjaan muncul kerena adanya interaksi antara kondisi kerja objektif dan persepsi pekerja termasuk keterampilan atau kemampuan dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan pekerjaan. Faktor- faktor penyebab stress pekerjaan menurut (Xxx et al., 2002) disajikan pada “occupational stress model” mengemukakan bahwa sumber stres pekerjaan berasal dari pekerjaan itu sendiri, dan berasal dari luar organisasi. Dari dalam pekerjaan itu sendiri meliputi; factor intrinsikpekerjaan (kondisi kerja buruk, kelebihan beban kerja, stress waktu, bahaya fisik), peran dalam organisasi (peran ambigu, kecemasan, konflik organisai), pengembangan karier (over/under promosi, keamanan kerja, ambisi), hubungan dalam pekerjaan (buruknya hubungan dengan pimpinan, bawahan dan kolega, kesulitan kesulitn dalam mendelegasikan tanggung jawab) dan struktur dan iklim organisasi (kecilnya partisipasi dalam pengambilan keputusan, budget, politik, lemahnya konsultasi).
Sedangkan factor yang berasal dari luar organisasi meliputi; masalah keluarga, krisi hidup dan kesulitan finansial dan lain-lain. Kedua faktor tersebut akan menimbulkan stress tergantung pada faktor karakteristik individual. Perbedaan tingkat kecemasan, tingkat neurotic, toleransi terhadap ambiguitas dan perbedaan tipe kepribadian, merupakan mediator yang akan menentukan outcomes stress yang berbeda (Xxx et al., 2002).
Mereka yang memiliki tingat kecemasan tinggi, tingakat neurotic yang rentan, dan yang memiliki tipe kepribadian A sangat mungkin stressor pekerjaan dan stressor dari luar organisai dapat menimbulkan stress pekerjaan yang ditandai
oleh gejala stress fisik (sakit jantung, darah tinggi/rendah, tingat kolestrol meningkat, kelelahan, sakit kepala), psikologis (depresi, ketidakpuasan kerja, aspirasi menurun) maupun gejala perilaku (merokok, peminum, kemangkiran). Sebaliknya mereka yang memiliki tingkat kecemasan rendah, tinggakt neurotiknya stabil, toleran terhadap ambiguitas dan memiliki tipe kepribadian B, sangat mungkin stressor tersebut dianggap hal biasa dan tidak menimbulkan gejala stress pekerjaan yang parah.
Kemudian menurut (Xxxxxxx & Judge, 2015) ada empat kategori yang potensial sebagai sumber stress, yaitu; factor lingkungan, factor organisasi, factor individu dan perbedaan individu. Xxxxxx mengemukakan bahwa keadaan lingkungan yang tidak menetu dapat berpengaruh kepada desain struktur organisai dan juga berpengaruh terhadap tingkat stress para pekerja yang ada dalam organisasi. Ketidakpastian ekonomi, konbtraksi ekonomi dan resesi ekonomi membuat semua orang merasa cemas.penurunan daya beli, harga yang tidak terkendali, ketidak seimbangan supply dan demand terhadap barang-jasa-tenaga kerja akan meningkatkan stress pada setiap orang. Dampak dari ketidakpastian ekonomi yang paling dirasakan adalah semakin meningkatnya pengangguran dan jumlah penduduk miskin, yang pada gilirannya akan meningkatkan kerawanan social, penyakit social, kejahatan dan kondisi tidak aman.
Apalagi ditambah dengan kondisi ketidakpasitian politik, yang menyangkut pola keamanan dan pertahanan negara, perbedaan kepentingan, sehingga perebutan kekuasaan, akan meningkatkan kecemasan, kegelisahan, ketidakadilan, kesewenang-wenangan yang menghasilkan lingkungan yang stressful. Begitu pula
ketidakpastian teknologi misalnya komputerisasi, robotisasi, otomatisasi dan bentuk lain dari inovsi teknologi yang jika tidak diantisipasi sebelumnya, dapat menyebabkan semua orang mersakan stress.
Stressor dari faktor organisasi meliputi; tuntutan tugas, peran, dan interpersonal, struktur organisai, dan kepemimpinan organisai. Tuntutan tugas barkaitan dengan pekerjaan seseorang. Termasuk di dalamnya adalah desain kerja individual (otonomi, variasi tugas, tingkatan otomatisasi), kondisi kerja, layout kerja fsik. Saling ketergantungan antara individu dan tugas, dan tugas dengan yang lainnya sangat potensial menimbulkan stres. Sedangkan otonomi cenderung mengurangi stress. Tempat kerja dengan temperature tinggi, bising, kondis kerja yang berbahaya, dan ruangan yang penuh sesak dapat meningkatkan stres dalam pekerjaan.
Tuntutan peran berkaitan dengan stress pada diri seseorang yang harus berfungsi atau berperan secara khusus dalam organisasi. Kecemasan membuat harapan sulit untuk dicapai atau dipuaskan. Sedangkan peran denganbeban berlebihan akan dialami ketika pekerjan harus mengerjakan banyak pekerjaan dalam waktu yang sangat terbatas. Peran yang ambigu terjadi ketika peran yang diharapkan tidak dapat dipahami dengan jelas, sehingga pekerjaan tidak yakin akan apa yang dikerjakannya.
Tuntutan antara personal merupakan stress yang diciptakan oleh pekerja lain. Kurangnya dukungan social dari kolega, buruknya hubungan interpersonal dapat menjadi penyebab stress, khususnya pekerja yang memiliki kebutuhan social
yang tinggi. Struktur organisasi dimaksudkan sebagai tingkat diferensiasi dalam organisasi, baik pada tingkat aturan maupun regulasinya, serta dimana pengembalian keputusan dilakuakn. Aturan yang kaku, dan kurangnya partisipasi dalam pengembalian keputusan yang berkaitan dengan pekerja merupakan contoh variable struktur organisasi yang potensial dapan menjadi sumber stres.
Kepemimpinan organisasi menggambarkan gaya manajerial senior eksekutif dalam organisasi yang diterapkan. Bila mereka menciptakan budaya dengan karakteristik tegang, takut dan cemas, maka budaya tersebut potensial menjadi stressor bagi semua pekerja.
Seorang individu berada dalam lingkungan pekerjaannya hanya 40 jam per minggu, sedangkan 128 jam perminggu di luar lingkungan pekerjaannya. Oleh karena itu wajar jika kehidupan individu di luar lingkungan pekerjaannya dapat mempengaruhi perilakunya di tempat kerja. Masalah keluarga atau adanya hubungan dalam keluarga yang kurang harmonis (masalah perkawinan, anak yang tidak disiplin) dapat menimbulkan stress sebelum mereka dating ke tempat kerja. Begitu pula masalah ekonomi keluarga antara lain gaji yang tidak mencukupi, tunjanagn kesejahteraan yang tidak memadai, sementara tingkat kebutuhan terus meningkat menyebabkan pekerja mengalami kesulitan finansial. Kesulitan finansial yang dialami pekerja akan menambah stress mereka, yang pada akhirnya berdampak terhadap menurunya atensi pekerja terhadap pekerjaannya.
Stress yang dialami seseorang pada hakekatnya bukan merupakan kondisi objektif. Kondisi objektif hanya berada pada faktor-faktor yang ada dalam
lingkunga, organisasi dan kehidupan individu di luar lingkungan pekerjaannya. Kondisi objektif tersebut dapat dianggap sebagai kondisi yang stressful bagi orang tertentu, tetapi tidak stressful bagi orang lainnya. Ini berarti terdapat variabel moderator yang menjembatin antara stressor yang potensial dengan stress yang dialami seseorang. Variable moderator tersebut menurut Xxxxxxx adalah perbedaan individual (individual differentiates) yang meliputi; persepsi, pengalaman kerja, dukungan social, locus of control dan pertentangan akibat tipe perilaku (hostility).
Pengalaman dikatakan sebagai guru yang terbaik, yang secara nyata dapat mengurangi stress. Ketika seseorang berada pada lingkungan yang baru, misalnya barui datang ke kota besar, dengan sangat minimnya informasi yang dimilikinya, seseorang tersebut akan dihadapkan kepada suatu ketidakpastian, akhirnya ia mengalami stress. Tetapi setelah tinggal lama di koata itu, ia kan menguasai banyak informasi, ia memiliki banyak pengalaman. Fenomena ini dapat diterapkan pada suatu kerja. Pengalaman kerja berkorelasi negatif dengan stress pekerjaan. Artinya semakin banyak pengalaman kerja semakin sedikit stres pekerjaan yang dialaminya.
Locus of control merupakan bagian dari teori belajar social (social learning theory) yang merupakan atribut kepribadian. Locus of control mengacu pada derajat dimana individu memandang peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sebagai konsekuensi perbuatannya, dengan demikian dapat dikontrol (kontol internal), atau sebagai sesuatu yang tidak berhubungan dengan perilakunya sehingga diluar control pribadinya (control eksternal). Control internal akan meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi, sehingga beban psikologis akan berkurang yang pada
akhirnya dapat mengeliminasi strews. Sedangkan kontrol eksternal lebih mungkin menjadi pasif dan bertahan sehingga yang dirasakan adalah situasi yang stressful, oleh karenanya lebih mungkin akan mengalami stres.
Stress pekerjaan merupakan isu utama dalam kesehatan dan keselamatan kerja, yang mempengaruhi sejumlah besar pada pekerja sektor public. Faktor-faktor penyebab stress pekerjaan yang telah diidentifikasi Canadian union of Public Employee (CUPE) meliputi : (1) kecilnya kendali dan konflik tuntutan pekerjaan (lack of control and conflicting work demands), (2) kecilnya partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan otonomi, (3) tidak adanya pelatihan dan pengarahan, dan perubahan pekrjaan di dalam organisasi (lack of training and direction, and changes in work organization), (4) tidak adanya pengenalan cara melakukan pekerjaan dan tidak adanya rasa hormat dari penyelia, (5) pekerjaan berulang, tidak berarti dan membosankan, (6) pekerjaan tidak jelas dan menimbulkan konflik tangung-jawab (7) upah rendah, ketiadaan peluang pengembangan karier dan ketidakstabilan, (8) pekerjaan telalu banyak atau telalu sedikti, kelebihan kerja atau sedikit keterampilan, (9) lemahnya komunikasi, teknologi baru dan tekanan waktu
(10) privatisasi, pengalihluaran, perampingan, meger, PHK, restrukturisasi, dan rencana reorganisasi pekerjaan dalam sekala besar, (11) gaya manajemen dan teknik-teknik represif, seperti TQM, perbaikan tetap, kerjasama tim, dan siklus mutu, (13) lemahnya organisasi pekerjaan, (14) ketidaksesuaian susunan kepegawaian (inadequate staffing levels), (15) beban kerja individu berlebihan, (16) praktek pekerjaan yang tidak aman (17) waktu kerja berlebihan, (18) sistem pekerjaan yang tidak aman , (19) kondisi kerja buruk (20) kekerasan kerja termasuk
pelecehan seksual dan wujud-wujud lain yang berkaitan dengan kerja, godaan, victimisasi, pemarah, atau perilaku agresif di tempat kerja.
d. Dampak Stres Pekerjaan
Penelitian stres pekerjaan memiliki arti penting dalam kehidupan organisasi dan individu, kerena stres memiliki dampak, baik positif maupun negative yang akan mempengaruhi kehidupan dan perkembangan organisasi dan individu. Menurut (Xxxxxxx S. Xxxxxxx, 1982) menjelaskan penyebab, jenis dan kosekuensi stress seperti yang disajikan dalam gambar 2.1 dibawah ini:
Gambar 2.1 A Model of causes, types and consequences of Stress
(Sumber : Xxxxxxx S. Xxxxxxx, An Integrative Transactional Process Model of Stress in Organization, Journal Occoupational Behaviour, 1982)
Menurut (Xxxxxxx S. Xxxxxxx, 1982) menjelaskan bahwa karyawan menerima suber stress yang berasal dari organisasi dan dari luar pekerjaan, setelah dipengaruhi oleh perbedaan individu akan dua kemungkinan yaitu stress positif atau
stress negative. Stress positif akan memunculkan konsekuensi yang konstruksi baik untuk organisasi maupun individu, sedangkan stress negative akan menghasilkan kosekuensi yang destruktif baik bagi organisasi maupun bagi individual.
Stress pekerjaan memiliki resiko terhadap kesehatan ketika frekuensi terjadinya sering atau kuat, yang diperpanjang atau dikelola secara salah. Outcomes atau pengaruh stress di tempat kerja pada tingkatan perorangan telah didokumentasikan dan termasuk sakit fisik dan mental, penurunan komitmen organisasi dan di dalam kepuasan kerja, pada gilirannya berpengaruh pada penurunan motivasi dan kinerja, produktivitas, ketidakhadiran karena sakit dan perpindahan karyawan.
Outcomes stres pekerjaan yanbg telah didokumentasikan adalah berupa symptoms occupational stress yang meliputi; symptom pisik (physical symptoms), symptom psikologis (psychological symptoms), dan symptom perilaku (behavior symptoms).
a. Symptom pisik, antara lain meliputi; (1) meningkatnya metabolism, sebagai contoh, denyut jantung dan bernafas lebih cepat, (2) pembekuan daran lebih cepat, (3) meningkatnya asam lambung, (4) meningkatnya produksi gula darah untuk energi, (5) tegangan pada otot bagian atas, (6) meningkatnya keringat dingin (7) kelelahan, kelesuan dan kehabisan energy, (8) sakit-sakit dan nyeri kronis didalam dada, bahu, punggung, leher dan di tempat lain di dalam tubuh, (9) gemuk atau kurus, (10) system kekebalan menurun, sifat mudah luka lebih besar pada sakit dan penyakit, (11) tekanan darah
tinggi/rendah, (16) tingkat kolestrol, sakit kepala , (17) kelelahan, (18) berkeringat, (19) penyakit jantung, (20) tengangan dan nyeri otot, (21) debaran jantung, dan (22) perut melilit dan masalah alergi gastrointestinal.
b. Symptom psikologis (psychological symptoms), meliputi; (1) tidak mampu membuat keputusan/rencana, (2) bingung, (3) kehilangan keyakinan diri ,
(4) pelupa, (5) kehilangan gairah, (6) negativism, (70 canggung, (8) pandangan kosong, (9) menurunnya konsentrasi &, (10) hilangnya rasa humor (11) tingginya tingkat kecemasan dan ketakutan (12) sifat lekas marah pada orang lain (13) ganguan tidur, (14) aspirasi menurun, (15) sakit hati, (16) sepresi, dan (17) kepuasan kerja menurun.
c. Symptom perilaku (behavior syptoms), meliputi; (1) merokok, (2) minum dan obat (3) ceroboh, (4) bertindak berlebihan, (5) marah yang meledak- ledak, (6) tidak dapat memelihara ketenangan, (7) bicara kacau, (8) menarik diri dari orang-orang dan kejadian, (9) mengemudi agresif, (10) makan terlalu banyak atau terlalu sedikit. (11) sering mengalami kecelakaan, (12) hubungan personal tidak berfungsi, dan (13) perubahan dalam aktivitas seksual.
Stres pekerjaan disamping memiliki dampak terhadap kesehatan fisik dan mental pekerja, juga memiliki dampak terhadap organisasi. Namun demikian, dampak stress pekerjaan terhadap organisasi yang paling signifikan adalah kemangkiran (absenteeism).
Dalam penelitian ini, outcomes stress jabatan mengadopsi sebagian dari model yang dibangun Xxxxxx Xxxxxxxx & Xxxxxx Xxxxxxx yaitu meliputi; (1) dimensi
psikologis, (2) dimensi perilaku, dan (3) dimensi kognitif sebagaimana disajikan pada gambar berikut:
Gambar 2.2 A Model of Occupational Stress
(Sumber : Xxxxxx Xxxxxxxx & Xxxxxx Xxxxxxx, 2007. Organizational Behavior, 7th, New York : McGraw Hill )
Dari semua uraian diatas, maka dalam penelitian ini definisi stress pekerjaan dosen adalah ketegangan (strain) yang dirasakan dosen Universita Jambi sehubung dengan interaksinya dengan tuntutan lingkungan pekerjaannya yang diatur melalui tiga dimensi yaitu; (1 dimensi psikologi, dengan indicator; ketidak-puasan kerja, rendahnya komitmen terhadap organisai, kleterlibatan kerja rendah, harga diri terganggu, kehabisan tenaga, emosi, dan deprsi, (2) dimesi perilaku, dengan indicator; ketidakhadiran, kepindahan, menurunnya kinerja, kesalahan kerja, dan
(3) dimensi kognitif, dengan indicator; kecilnya partisipasi dalam pengembalian keputusan, sulit berkonsentrasi, dan pelupa.
Stres kerja disebabkan oleh adanya berbagai interaksi antara pekerja dengan lingkungan kerja mereka ketika menjalankan tugas pekerjaannya. Lokasi atau tempat kerja, jenis kelamin, lingkungan, dan banyak faktor lainnya berkontribusi terhadap munculnya stres.
Oleh karena itu stres kerja merupakan akibat dari adanya interaksi antara pekerja dan kondisi kerja. Perbedaan karakteristik individu seperti kepribadian dan keterampilan mengatasi stres merupakan sesuatu yang sangat penting dalam memprakirakan apakah kondisi suatu pekerjaan akan berdampak stres.
Stres bagi seseorang bisa jadi tidak membuat stres bagi orang lainnya. Sudut pandang ini mendasari strategi pencegahan yang berfokus pada pekerja dan cara untuk membantu mereka mengatasi tuntutan kondisi kerja. Jadi setiap individu berbeda dalam menanggapi situasi lingkungan, sehingga risiko mengalami stres dan kerentanannya terhadap efek buruk dari stres juga akan berbeda. Individu lebih cenderung mengalami stres jika mereka kekurangan sumber daya material (misalnya, keamanan finansial) dan sumber daya psikologis (misalnya, keterampilan mengatasi, harga diri), dan cenderung mengalami stres ini jika mereka cenderung bereaksi secara emosional terhadap situasi yang sangat kompetitif dan tertekan (pressured).
Strategi sukses untuk mencegah stres di tempat kerja akan memastikan bahwa pekerjaan harus memenuhi keinginan orang yang melaksanakannya,
daripada mencoba membuat orang mendapatkan pekerjaan yang tidak sesuai untuk mereka. Menurut definisi WHO saat ini, stres pekerjaan atau pekerjaan yang terkait stres adalah tanggapan seseorang pada saat ia memiliki tuntutan dan tekanan kerja yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan mereka tetapi yang menantang kemampuan mereka untuk mengatasinya (occupational or work-related stress is the response people may have when presented with work demands and pressures that are not matched to their knowledge and abilities and which challenge their ability to cope).
Sedangkan menurut Xxxxxxx et al. (2001), “stres kerja merupakan sesuatu pada lingkungan kerja ketika dianggap mengancam atau menuntut, atau merupakan sesuatu yang berada di tempat kerja ketika individu mengalami ketidaknyamanan”.Stres pekerjaan digambarkan oleh individu sebagai kualitas pengalaman kerja yang menyebabkan perasaan terbebani atau terancam.
Tingkat stres kerja yang lebih tinggi dapat menyebabkan masalah organisasi, seperti produktivitas rendah, ketidakhadiran dan turnover yang meningkat, serta masalah karyawan secara individual, seperti penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang, dan penyakit ringan. Lingkungan di tempat kerja yang menekan, ditambah dengan stres yang disebabkan oleh modal psikologis (stres kerja) berpengaruh terhadap kelelahan, berkurangnya kepuasan kerja, dan menurunnya komitmen terhadap organisasi.
Menurut Xxxx et al. (2015), terdapat beberap faktor yang menyebabkan munculnya stres kerja atau stres di tempat kerja yaitu; (1) kondisi kerja, (2) beban
kerja, (3) jam yang panjang, (4) status, (5) faktor ekonomi, (6) bullying, (7) narsisisme dan psikopat, (8) konflik di tempat kerja, dan (9) pelecehan seksual. Konflik antarpribadi antara orang-orang di tempat kerja telah terbukti menjadi salah satu penyebab stres yang paling sering dialami karyawan (X. Xxx et al., 2007).
Xxxxxxx-Xxxx et al. (2018), menemukan bahwa individu yang memiliki ketahanan tinggi mengakibatkan stres kerja yang lebih rendah, dan individu yang memiliki ISA (Information Security Awareness (ISA) yang lebih baik, mengakibatkan stres kerja menurun. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketahanan (resilience) memainkan peran mediasi dalam hubungan antara stres kerja dan ISA. Menurut Bani-Xxxxxx et al. (2018), menemukan tidak ada hubungan langsung yang signifikan antara Stres Kerja dan IB (Innovative Behavior). Salah satu alasan yang mungkin untuk hubungan yang tidak signifikan antara Job Stress dan IB adalah level Job Stress yang rendah.
Kemungkinan lain penjelasannya adalah bahwa Job Stress sendiri tidak memiliki efek langsung pada IB. Individu mengalami Job Stress tinggi mungkin inovatif atau tidak. Ini sangat tergantung pada keadaan dan konteks tempat kerja. Tampaknya Job Stress dapat beroperasi dengan faktor-faktor lain yang berpengaruh pada inovasi. Dengan kata lain, efek dari Job Stress tidak selalu langsung, tetapi lebih cenderung tidak langsung (atau interaktif dengan variabel lain).
Job Stress umumnya diakui sebagai masalah kritis bagi manajer organisasi karena stresor pekerjaan cenderung berkontribusi terhadap inefisiensi organisasi dan karyawan berada di bawah banyak tekanan yang terkait dengan berbagai stresor
kerja. Stresor kerja berkontribusi pada inefisiensi organisasi, pergantian staf yang tinggi, ketidakhadiran karena sakit, penurunan kualitas, jumlah praktik, peningkatan biaya perawatan kesehatan dan penurunan kepuasan kerja dan produktivitas kerja (Anjum et al., 2018).
Salah satu hasil organisasi yang dipengaruhi oleh stres kerja adalah kinerja. Job stress adalah kondisi mental dan fisik yang memengaruhi produktivitas, efektivitas, kesehatan pribadi, dan kualitas kerja seseorang. Korban job stress mengalami kualitas kehidupan kerja dan kinerja yang lebih rendah. Konsekuensi berbahaya dan mahal dari stres menunjukkan perlunya strategi untuk membatasi stresor dalam suatu organisasi.
Organisasi yang tidak mengadopsi strategi untuk mengurangi stres mungkin menemukan karyawan mereka mencari peluang lain yang lebih baik. Dampak stres akibat terlalu banyak pekerjaan, jam kerja yang panjang, dan intensifikasi kerja memiliki efek besar dan seringkali menghancurkan organisasi negara maju (Xxxxxxx, 2011).
Tinjauan literatur penelitian tentang job stress menunjukkan bahwa Job Stress adalah topik penelitian aktif karena memiliki potensi untuk membahayakan kesehatan pribadi dan efektivitas organisasi (Vong et al., 2018). Meskipun Job Stress dapat dipicu oleh banyak alasan, alasan ini dapat secara luas dibagi menjadi dua kategori, yaitu, faktor pribadi dan organisasi (Bass & Xxxxxxxxx, 2010). Faktor- faktor pribadi termasuk tetapi tidak terbatas pada locus of control (Xxxxx, 2007), ciri-ciri kepribadian (Xxx, 2008), kemampuan koping individu (Dhar et al., 2010),
dan harga diri (Xxx et al., 2014). Faktor organisasi meliputi persyaratan kreativitas kerja (Hon & Chan, 2013), kondisi kerja (Xxxxxxxx & Xxxxxx, 2016) dan dukungan pengawasan.
Efek job stress tidak dapat diabaikan, banyak penelitian telah mengungkapkan dampak buruknya terhadap kesehatan dan kesejahteraan fisiologis karyawan (Xxxxxxx et al., 2010). Lebih tepatnya, individu dengan stres tinggi ditemukan menderita penyakit kardiovaskular (Welker-Hood, 2006), kesehatan mental yang buruk (Xxxx & Xxx, 2016), sakit kepala, kelelahan, borok dan tekanan darah (Krone et al., 1989).
Job stress juga sangat merugikan kesejahteraan psikologis karyawan. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa pekerja yang stres lebih cenderung menderita harga diri rendah sehingga menghasilkan rasa tidak berdaya dan putus asa (Xxxxxx et al., 2001) mereka juga lebih cenderung mengalami depresi (Xxxx, 1996), serta kecemasan, frustrasi dan kelelahan emosional (Xxx, 2008) .
Selain itu, ketika karyawan tidak dapat memanfaatkan stres kerja, mereka lebih mungkin mengalami konflik kerja-keluarga (X. Xxx et al., 2017). Konflik keluarga- pekerjaan, faktor organisasi dan operasional mempengaruhi stres kerja. Dampak negatif job stress terhadap kinerja organisasi juga banyak dicatat. Jenis umum dari disfungsi organisasi akibat stres termasuk biaya perawatan kesehatan (Guthrie, 2010), kecelakaan kerja (Xxxxxxxx & Parantainen, 2012), ketidakpuasan kerja (Rössler, 2012), komitmen organisasi yang lebih rendah (Xxxx et al., 2018),
kualitas layanan yang buruk (Xxxxxxxxxx & Xxxxx, 2011), mengurangi produktivitas (Xxxxx, 2000) dan niat berpindah (Hwang et al., 2014).
Berkenaan dengan job stress, banyak penelitian telah memberikan bukti yang konsisten menunjukkan bahwa job stress sangat terkait dengan keinginan karyawan untuk tetap bekerja (Xxxxx et al., 2014; Xxxxxx et al., 2014; Xxxx et al., 2018).
e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stres Kerja
Menurut (Xxxxxxxx & Xxxxxxx, 2007) beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi stres kerja antara lain: a) Tuntutan pekerjaan b) Kelebihan beban kerja c) Konflik peran Ambiguitis peran e) Kerepotan sehari-hari f) Pengendalian yang dirasakan atas peristiwa yang muncul dalam lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan
Menurut (Xxxxxxx & Xxxxx, 2015) faktor-faktor yang menimbulkan stres dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
1. Faktor Organisasi
Dalam faktor organisasi berpengaruh juga terhadap stres kerja karyawan dimana semua aktivitas di dalam perusahaan berhubungan dengan karyawan. Seperti Tuntutan kerja atau beban kerja yang terlalu berat, Kerja yang membutuhkan tanggung jawab tinggi sangat cenderung mengakibatkan stres tinggi.
2. Faktor Lingkungan
Adanya lingkungan sosial turut berpengaruh terhadap stres kerja pada karyawan. Dimana adanya dukungan sosial berperan dalam mendorong seseorang
dalam pekerjaannya, apabila tidak adanya faktor lingkungan sosial yang mendukung maka tingkat stres karyawan akan tinggi.
3. Faktor Individu
Adanya faktor individu berperan juga dalam mempengaruhi stres karyawan. dalam faktor individu kepribadian seseorang lebih berpengaruh terhadap stres pada karyawan. Dimana kepribadian seseorang akan menentukan seseorang tersebut mudah mengalami stres atau tidak.
f. Pengukuran Stres Kerja
Teknik pengukuran stres sebagaimana banyak digunakan dalam studi di Amerika Serikat menurut Xxxxxxx (1985 dalam Desy, 2002) dapat digolongkan dalam tiga cara, yaitu:
1. Self Report Measure
Cara ini mencoba mengukur stres dengan menanyakan melalui kuesioner tentang intensitas pengalaman psikologis, fisiologis, dan perubahan fisik yang dialami dalam peristiwa kehidupan seseorang. Teknik ini disebut ”life event scale”. Teknik inimengukur stres dengan dengan melihat atau mengobservasi perubahan-perubahan perilaku yang ditampilkan oleh seseorang, seperti prestasi kerja yang menurun dan dapat dilihat dengan gejala:
a. Cenderung berbuat salah
b. Xxxxx lupa, kurang perhatian terhadap detail
c. Meningkatnya waktu reaksi (menjadi lambat)
2. Physiological Measure
Pengukuran ini berusaha untuk melihat perubahan yang terjadi pada fisik seperti perubahan tekanan darah, ketegangan otot-otot bahu, leher, dan pundak. Cara ini sering dianggap paling tinggi reliabilitasnya, namun sangat tergantung pada alat yang digunakan dan si pengukur itu sendiri.
3. Biochemical Measure
Pengukuran dengan cara ini adalah berusaha untuk melihat respon biokimia lewat perubahan kadar hormone katekolamin dan kortikosteroid setelah pemberian suatu stimulus.Walaupun cara ini dianggap memiliki reliabilitas yang tinggi, namun mempunyai kelemahan seandainya subyek penelitian adalah perokok atau peminum
alkohol dan kopi karena kondisi atau keadaan tersebut juga dapat meningkatkan kadarkedua hormon tersebut.
2.1.3 Kepuasan Keja
a. Definisi Kepuasan Kerja
Menurut (Xxxxxxxx, C, 2011) kepuasan adalah suatu sikap yang diputuskan berdasarkan pengalaman yang didapatkan. Kepuasan merupakan penilaian mengenai ciri atau keistimewaan produk atau jasa. Sedangkan menurut (Xxxxxx & Xxxxxx, 2005) kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan. Kepuasan adalah tingkat perasaan setelah membandingkan kinerja/hasil dengan harapannya.
Sedangkan pendapat (Xxxxxxxx et al., 2012), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah tingkat perasaan menyenangkan yang diperoleh dari penilaian
pekerjaan seseorang atau pengalaman kerja. Dengan kata lain, kepuasan kerja mencerminkan bagaimana kita merasakan tentang pekerjaan kita dan apa yang kita pikirkan tentang pekerjaan kita.
Kepuasan kerja merupakan sekumpulan perasaan karyawan terhadap pekerjaannya, apakah senang atau tidak senang sebagai hasil interaksi karyawan dengan lingkungan pekerjaannya atau sebagai persepsi sikap mental, juga sebagai hasil penilaian karyawan terhadap pekerjaannya. Perasaan karyawan terhadap pekerjaan mencerminkan sikap dan perilakunya dalam bekerja (Xxxxxxx, 2018).
Menurut pendapat (Xxxxxxx, 2011) mengatakan kepuasan kerja adalah hasil dari persepsi karyawan tentang seberapa baik pekerjaan itu menyediakan hal- hal yang dipandang penting. Kemudian (Xxxxxxx, 2003) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap secara umum dan tingkat perasaan positif seseorang terhadap pekerjaannya. Selanjutnya (Jin et al., 2002) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai sikap positif atau sikap negatif yang dimiliki seseorang terhadap pekerjaannya.
Berdasarkan yang pemaparan di atas mengenai kepuasan kerja dapat disimpulkan bahwasannya kepuasan kerja adalah prilaku dan sikap yang diberikan karyawan sebagai bentuk respon dari hak dan kewajiban yang diberikan oleh perusahaan tempat karyawan tersebut bekerja. Perusahaan tentunya berharap mendapatakan respon yang positif dari karyawannya sehingga dapat meningkatkan motivasi, (Spector, 2000) mengatakan ada sembilan aspek kepuasan kerja yaitu :
a. Gaji
Gaji adalah balas jasa atau sejumlah upah yang diterima karyawan dalam bentuk uang secara periodik berdasarkan pada standar yang telah ditentukan perusahaan (Xxxxxxxxx, Xxxxxxxx & Utami, 2012). Karyawan memandang gaji sebagai sebuah refleksi dari bagaimana manajemen memandang kontribusi yang telah di berikan kepada perusahaan.
b. Promosi
Promosi adalah faktor yang berhubungan dengan kesempatan memperoleh karir. Promosi ini harus dilakukan secara adil agar setiap karyawan yang melakukan pekerjaan dengan baik memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan promosi. Dalam konteks guru promosi yangdimaksud adalah macam-macam penata sampai macam-macam pembina. Contohnya, seorang guru yang akan naik pangkat, misalnya dari pangkat penata muda, golongan ruang III/a menjadi penata muda tingkat I, golonganruang III/b.
c. Supervisi
Kepemimpinan yang konsisten berkaitan dengan kepuasan kerja adalah tenggang rasa (consideration). Hubungan fungsional mencerminkan sejauhmana atasan membantu karyawan untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi karyawannya. Karyawan menyukai atasan yang bersikap mendukung, penuh perhatian, hangat, bersahabat, memberi pujian atas kinerja yang baik dari bawahan dan memusatkan perhatian kepada karyawan.
d. Tunjangan Tambahan
Tunjangan merupakan sejauh mana perusahaan dapat memberikan kompensasi di luar gaji pokok kepada karyawannya yang bertujuan untuk memotivasi atau mempertahankan kinerja para karyawan agar produktivitas yang dihasilkan selalu maksimal. Tunjangan tambahan akan diberikankepada karyawan secara adil dan sebanding.
e. Penghargaan
Setiap karyawan ingin kerja keras dan pengabdian yang telah dilakukan untuk kemajuan perusahaan dapat dihargai dengan semestinya. Tidak harus selalu berbentuk uang perusahaan juga harus memberi penghargaan kepada karyawan yang telah bekerja dengan baik.
f. Prosedur dan Peraturan Kerja
Hal yang berhubungan dengan prosedur dan peraturan di tempat kerja seperti birokrasi dan beban kerja berkaitan dengan kepuasan kerja. Pada umumnya sebuah organisasi telah menetapkan beberapa peraturan danprosedur dalam bekerja namun terkadang pemberlakuan peraturan danprosedur yang terlalu ketat dapat menimbulkan ketidakpuasan dandemotivasi bagi karyawannya.
g. Rekan Kerja
Rekan kerja yang memberikan dukungan terhadap rekannya yang lain serta suasana kerja yang nyaman akan memberikan kepuasan kerja.
h. Pekerjaan itu sendiri
Kepuasan kerja terhadap hal yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri, seperti kesempatan untuk mengekspresikan kreatifitas dan variasi dari tugas,
kesempatan untuk menyibukkan diri, peningkatan pengetahuan dan tanggung jawab.
i. Komunikasi
Kepuasan kerja yang berkaitan dengan komunikasi yangberlangsung dalam pekerjaan dengan komunikasi yang berlangsung lancar dalam perusahaan dan segala sesuatu yang terjadi di dalam perusahaan
Menurut (Xxxxxxx, 2011) ada lima aspek kepuasan kerja yaitu:
a. Pekerjaan itu sendiri
Tentang bagaimana karyawan memberi pandangan tentang aspek- aspek yang ada dalam pekerjaannya dan sejauh mana pekerjaan tersebut bisa memberikan tugas yang menarik, kesempatan untuk belajar dan untuk menerima tanggungjawab. Misalnya karyawan yang diberi kesempatanuntuk menambah kemampuan atau mengembangkan dirinya di perusahaanakan lebih merasa puas dengan pekerjaannya dan akan memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya.
b. Pemberian gaji dan upah
Kepuasan yang dirasakan oleh karyawan terhadap pemberian gaji dan upah yang diterima dari perusahaan. Karyawan ingin mendapatkan gajidan upah yang sesuai dengan harapannya. Misalnya, seorang karyawan diberikan bonus tambahan oleh perusahaan setelah karyawan tersebut berhasil menyelesaikan suatu pekerjaan yang membuatnya harus lembur.
c. Penyelia (supervisi)
Kepuasan yang didapatkan oleh karyawan dari pengawasan atau supervisi yang ada di pekerjaannya serta bagaimana pengawas dapat memberikan bantuan teknis, dukungan perilaku, dan selalu memberikan komentar positif maupun negatif kepada karyawan untuk membantu karyawan menjadi lebih baik lagi. Misalnya ketika karyawan tersebut menemui masalah di pekerjaannya, namun karyawan memiliki atasan yang bisa membantunya untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
d. Rekan Kerja
Sejauh mana rekan kerja pandai secara teknis, memiliki rekan kerjadengan sikap dan nilai-nilai yang sama baiknya dengan karyawan tersebut, selalu memberi dukungan secara sosial, serta kooperatif dan ramah. Rekankerja disini adalah rekan sesama karyawan atau supervisor. Misalnya saat karyawan mengalami kesulitan pada pekerjaannya, rekan kerjanya dapat membantu memberikan dukungan semangat atau motivasi dan dapat diajak diskusi mengenai pekerjaan tersebut.
e. Promosi Pekerjaan
Dalam konteks guru promosi pekerjaan yang dimaksud adalah macam-macam penata sampai macam-macam pembina. Contohnya, seorang guru yang akan naik pangkat, misalnya dari pangkat penata muda, golongan ruang III/a menjadi penata muda tingkat I, golongan ruang III/b.
Seperti penjelasan di atas, peneliti menggunakan aspek yang dimana menurut Spector (Spector, 2000) aspek-aspek kepuasan kerja terbagi menjadi sembilan
aspek. Aspek – aspek ini dijadikan sebagai indikator dalam penelitian yang nantinya akan digunakan dalam pembuatanskala kepuasan kerja. Kepuasan kerja perawat di definisikan sebagai suatu perbedaan antara harapan suatu profesi dengan kenyataan yang dialami oleh profesi tersebut. Kepuasan kerja merupakan suatu indikator yang signifikan mengenai apa yang dirasakan oleh seseorang terhadap profesinya dan bagaimana seseorang memenuhi tugas dalam profesinya (Xxxxx et al., 2016). Bekerja di lingkungan keperawatan memberikan kesempatan untuk berinteraksi dalam lingkungan yang berbeda, berinteraksi dengan tenaga kesehatan yang berbeda-beda dan mendapatka upah yang adil dan sesuai). Kepuasan ketja perawat dapat ditinjau dari aspek psikologis, sosiolodi dan perilaku organisasi (Hsu et al., 2015).
Kepuasan kerja perawat merupakan sebuah konsep yang kompleks dapat melihat kepuasan dari berbagai sudut dan persepsi yang berbeda-beda. Kepuasan kerja perawat sengat berhubungan erat dengan teori kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh Xxxxxxx Xxxxxx. Berdasarkan Teori kebutuhan dasar (Tezcan Uysal & Genç, 2017) tersebut pemenuhan kebutuhan seorang karyawan dapat digunakan untuk mempelajari kepuasan kerja karyawan (X. Xxx et al., 2016).
b. Teori-Teori Kepuasan Kerja
Kepuasan kerja didefinisikan dalam literatur dengan beberapa ahli teori sesuai dengan kondisi kerja mereka sendiri. Bagian dari bab ini bertujuan untuk memberikan sorotan dari teori-teori utama dan untuk memberikan perspektif yang luas dari perkembangan utama dalam kepuasan kerja selama beberapa dekade terakhir.
Ada berbagai teori yang menjelaskan hal-hal yang membuat seseorang puas terhadap pekerjaan mereka. Menurut (Xxxxxxxx et al., 2010) kepuasan kerja bila dilihat dari outcome maka dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu process theories dan content theories. Teori proses (process theories) membedakan variabel seperti kebutuhan, nilai-nilai, harapan, persepsi, dan bagaimana variabel-variabel tersebut dikombinasikan untuk menjelaskan kepuasan kerja. Teori proses pada dasarnya berusaha menjawab pertanyaan bagaimana menguatkan, mengarahkan, memelihara, dan menghentikan perilaku individu agar setiap individu bekerja giat sesuai dengan keinginan manajer. Adapun teori proses yang dikenal menurut (Xxxxxxxx, 2015), yaitu teori harapan (expectacy theory), teori keadilan (equity theory), dan teori pengukuhan (reinforcement theory).
Menurut (Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxxx, 2009), berpendapat bahwa ada empat teori kepuasan kerja, antara lain: 1) Teori keseimbangan; semua nilai yang diterima pegawai yang dapat menunjang pelaksanaan kerja. Misalnya, pendidikan, pengalaman, skill, usaha, peralatan pribadi, dan jam kerja. 2) Teori perbedaan; mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. 3) Teori pemenuhan kebutuhan; menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bergantung pada terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pegawai. Pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Makin besar kebutuhan pegawai terpenuhi, makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai akan merasa tidak puas. 4) Teori pandangan kelompok; Menurut teori ini, kepuasan kerja pegawai bukanlah bergantung pada
pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Kelompok acuan tersebut dijadikan tolak ukur untuk menilai dirinya maupun lingkungannya. Jadi, pegawai akan lebih merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan.
Dari uraian di atas, maka yang dimaksud dengan teori kepuasan menurut Xxxxxxxxxxxx adalah teori tentang perasaan yang menyokong atau tidak menyokong diri pegawai yang berhubungan dengan pekerjaannya maupun dengan kondisi dirinya. Terdapat tiga macam Teori Kepuasan menurut (Xxxx, 2009) tentang kepuasan kerja, antara lain: (1). Teori Ketidaksesuaian (Discrepancy Theory) mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Sehingga apabila kepuasannya diperoleh melebihi dari yang cliinginkan, maka orang akan lebih puas lagi, sehingga terdapat discrepancy, tetapi merupakan discrepancy yang positif. Kepuasan kerja seseorang tergantung pada selisih antara sesuatu yang dianggap akan didapatkan dengan apa yang dicapai. (2) Teori Keadilan (Equity Theory) orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung pada ada atau tidaknya keadilan (equity) dalam suatu situasi, khususnya situasi kerja. Menurut teori ini komponen utama dalam teori keadilan adalah input, xxxxx, keadilan, clan ketidakadilan.
Input adalah faktor bernilai bagi karyawan yang dianggap mendukung pekerjaannya, seperti pendidikan, pengalaman, kecakapan, jumlah tugas dan peralatan atau perlengkapan yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaannya. Hasil adalah sesuatu yang dianggap bernilai oleh seseorang yang diperoleh dari
pekerjaannya, seperti upah/gaji, keuntungan sampingan, simbol, status, penghargaan dan kesempatan untuk berhasil atau aktualisasi diri. Sedangkan orang selalu membandingkan dapat berupa di organisasi yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya di masa lalu.
Menurut teori, seseorang akan membandingkan rasio input dirinya dengan rasio input orang lain. Bila perbandingan tersebut dianggap cukup adil, maka karyawan akan merasa puas. Bila perbandingan itu tidak seimbang tetapi bias menguntungkan bias menimbulkan kepuasan, tetapi bias pula tidak. Namun, apabila perbandingan itu tidak seimbangakan timbul ketidakpuasan. (3) Xxxxx Xxx Xxxxxx (Two Factor Theory) Menurut teori ini kepuasan kerja dan ketidakpuasan kerja merupakan hal yang berbeda. Kepuasan dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan bukanlah suatu variabel yang kontinu. Teori ini merumuskan karakteristik pekerjaan menjadi dua kelompok yaitu satisfiers atau motivator dan dissatisfier atau hygiene. Menurut Xxxxxxxx seperti dikemukakan Xxxxxxx (2001), faktor-faktor yang menghantar kepada kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari factor factor yang menghantar kepadaketidakpuasan kerja. Lebih lanjut Herzberg mengemukakan bahwa Xxxxx dari "kepuasan" bukanlah "ketidakpuasan" seperti yang diyakini orang secara tradisional. Namun, Xxxxxxxx menyatakan bahwa lawan "kepuasan" adalah "tidak ada kepuasan" dan lawan "ketidakpuasan" adalah "tidak ada ketidakpuasan". Penelitian ini memilih Equity Theory, Prinsip teori ini adalah bahwa seseorang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas sesuatu atau faktor penentu, elemen equity meliputi tiga hal, yaitu: Inputs, Outcome dan Comparisons Persona.
Ada berbagai teori yang mencoba menjelaskan kepuasan kerja dalam literatur, di antara teori-teori ini, yang menonjol dibagi menjadi dua kategori: teori konten dan teori proses. Teori konten mengidentifikasi faktor-faktor yang mengarah pada kepuasan atau ketidakpuasan kerja dan menyarankan bahwa kepuasan kerja menjadi kenyataan ketika kebutuhan karyawan untuk pertumbuhan dan aktualisasi diri dipenuhi oleh pekerjaan mereka. Teori proses mencoba untuk menggambarkan interaksi antara variabel untuk kepuasan kerja dan menjelaskan kepuasan kerja dengan melihat seberapa baik pekerjaan memenuhi harapan dan nilai seseorang. Masing-masing dari dua kelompok teori telah dieksplorasi oleh banyak peneliti. Teori Konten adalah Teori Hirarki Kebutuhan Xxxxxx, Xxxxxxx- ERG, Teori Dua Xxxxxx Xxxxxxxx, Teori Kebutuhan McClelland; dan teori proses adalah Teori Harapan Vroom, Teori Penetapan Tujuan Xxxxx, Teori Ekuitas Xxxxx dan Teori Karakteristik Pekerjaan, dll.
Seperti disebutkan di atas, kepuasan kerja tidak dapat menjadi pengganti motivasi, tetapi ini adalah konsep yang terkait. Beberapa teori tentang kepuasan kerja didasarkan pada teori motivasi, dan beberapa di antaranya dapat dianggap sebagai teori kepuasan kerja. Oleh karena itu, kedua teori kepuasan kerja dan motivasi sangat terkait satu sama lain.
Sebelum menjelaskan isi utama dan teori proses kepuasan kerja, beberapa perkembangan dalam literatur disebutkan di bagian berikut: Teori kepuasan kerja dimulai dengan gagasan “Manajemen Ilmiah” atau “Taylorisme” oleh Xxxxxx pada tahun 1911. Xxxxxx, Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx mengusulkan model insentif gaji
untuk memotivasi orang di tempat kerja (Xxxxxxx, 1995). Menurut ide ini, orang hanya dapat dimotivasi oleh uang.
c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja
Sampai saat ini, beberapa pendekatan yang dikembangkan untuk penentuan kepuasan kerja karyawan dan banyak penelitian telah dilakukan tentang faktor- faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan dalam literatur. Oleh karena itu, diperoleh informasi latar belakang yang signifikan tentang faktor-faktor yang terkait dan mempengaruhi kepuasan kerja.
Irin (2009) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja sebagai berikut; perasaan sukses, hubungan dengan manajemen dan karyawan, keamanan kerja, tanggung jawab, pengakuan, gaji tinggi, kesempatan promosi, kejelasan peran, partisipasi dalam keputusan, kebebasan, kerja terkoordinasi yang baik, kurangnya kontinuitas, relokasi, kinerja, kepuasan hidup, dan stres kerja yang dirasakan (Çınar dan Xxxxxxxxx, 2012). Semua jenis penelitian ini mendukung gagasan bahwa kepuasan karyawan memiliki banyak aspek dan dipengaruhi oleh berbagai faktor (Zaim, et al., 2012). Kepuasan kerja adalah sebagai suatu sikap umum seseorang individu terhadap pekerjaanya. Kepuasan kerja (job satisfaction) adalah suatu perasaan positif tentang pekerjaan yang dihasilkan dari suatu evaluasi dari karakteristiknya (Xxxxxxx & Judge, 2015).
Menurut (Xxxxxxx & Judge, 2015) menyatakan bahwa ada 6 faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu (1) Pekerjaan itu sendiri, (2) Gaji, (3) Promosi,
(4) Pengawasan, (5) Xxxxx Xxxxx, dan (6) Keseluruhan (Xxxxxxx & Judge, 2015:50).
Menurut (Xxxxxxx, 2011) menyatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yang dapat digunakan Job Descriptive index (JDI) (Xxxx, 2005:36) yaitu : 1. Pembayaran, seperti gaji dan upah 2. Pekerjaan itu sendiri 3. Promosi pekerjaan 4. Kepenyelian (supervisi) 5. Rekan kerja
Menurut beberapa penelitian lain dalam literatur, faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja dapat diurutkan sebagai berikut: gaji, tunjangan, sifat pekerjaan, tekanan, pengembangan karir, pendidikan dan pelatihan, sifat pekerjaan, gaya manajemen, keselamatan, keamanan kerja, penghargaan. , latihan, beban kerja, membayar, peluang promosi, dukungan organisasi karir, penghargaan, pertemuan, lingkungan kerja secara keseluruhan, lingkungan departemen, kondisi fisik, ekuitas, berbagai tugas, konflik antar kelompok, dukungan organisasi yang dirasakan, komitmen organisasi, pendelegasian kekuasaan, komunikasi , integrasi organisasi, ambiguitas peran, komunikasi dengan manajemen, gaya manajemen, komunikasi antara rekan kerja dan kelompok lain, kerja tim dan kerjasama, pengembangan pribadi, isi pekerjaan, berbagai tugas, tanggung jawab, jam kerja, pengaturan waktu, pengakuan atasan, karakteristik pekerjaan , kejelasan pekerjaan, konflik peran, peluang kemajuan, budaya organisasi, keselamatan di tempat kerja, hubungan baik dengan rekan kerja, teknologi, suasana di tempat kerja, beban kerja, perasaan pencapaian, kinerja, peluang kemajuan, kelelahan kerja, pergantian, ketidakhadiran, sistem evaluasi kinerja, kompensasi, citra organisasi dan budaya organisasi.
d. Pengukuran Kepuasan Kerja
Menurut (Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxxx, 2013) mengemukakan pengukuran kepuasan kerja dapat dilakukan dengan menggunakan skala indeks deskripsi jabatan, skala kepuasan kerja berdasarkan ekspresi wajah, serta angket kepuasan kerja, yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengukuran Kepuasan Kerja dengan Skala Indeks Deskripsi Jabatan
Dalam penggunaan pengukuran kepuasan kerja ini seorang karyawan akan ditanya mengenai pekerjaan maupun jabatannya yang dirasakan sangat baik dan sangat buruk, dan dalam skala pengukurannya dilakukan dengan memperhatikan sikap dari lima area, yaitu kerja, pengawasan, upah, promosi, dan co-worker.
2. Pengukuran Kepuasan Kerja
Berdasarkan Ekspresi Wajah Pengukuran kepuasan kerja seseorang karyawan dapat dilakukan dengan skala berupa berbagai seri gambar wajah-wajah orang, mulai dari sangat gembira, netral, cemberut, dan sangat cemberut. karyawan diminta untuk memilih ekspresi wajah yang sesuai dengan kondisi pekerjaan yang dirasakan pada saat ini.
3. Pengukuran Kepuasan Kerja dengan Angket
Pengukuran dengan menggunakan skala ini dapat dilihat dari pekerjaan yang dirasakan sangat tidak puas, tidak puas, netral, memuaskan, dan sangat memuaskan. Karyawan diminta memilih satu alternatif jawaban yang sesuai dengan kondisi pekerjaannya.
2.1.4 Coping Strategy
a. Definsi Coping Strategy
Coping Strategy bertujuan untuk mengatasi situasi dan tuntutan yang dirasa menekan, menantang, membebani dan melebihi sumberdaya (resources) yang dimiliki. Sumberdaya coping yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi Coping Strategy yang akan dilakukan dalam menyelesaikan berbagai
Menurut Xxxxxxxx & Xxxxx (2011), coping adalah usaha untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi semua bentuk perilaku dan pikiran (negatif atau positif) yang dapat mengurangi kondisi yang membebani individu agar tidak menimbulkan stres.
Sedangkan menurut Xxxxxxx (2006), coping adalah strategi memecahkan masalah yang paling sederhana dan realistis dengan cara memanajemen tingkah laku, guna untuk membebaskan diri dari berbagai masalah nyata maupun tidak nyata, dan coping adalah usaha secara perilaku dan kognitif untuk mengurangi, mengatasi, dan tahan terhadap tuntutan.
Stres yang sedang dialami oleh seseorang dapat diataasi dengan melakukan management stress yang di dalam ilmu psikologi dikenal dengan sebutan coping stress strategies. Menurut (Xxxxxx et al., 2014), coping stress strategies adalah suatu bentuk penerapan untuk mengurangi stress dan meningkatkan skill coping melalui proses kognitif dan tingkah laku.
Coping Stretegy adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh individu untuk mentolerir, menguasai, meminimalkan, atau mengurangi efek dari stress, dan
individu dapat memasukkan strategi perilaku dan strategi psikologis (Xxxxxx et al., 2014). Konsep Coping Stretegy menurut (Maryam, 2017), mengatakan bahwa perilaku coping dapat juga dikatakan sebagai transaksi yang dilakukan individu untuk mengatasi berbagai tuntutan (internal dan eksternal) sebagai sesuatu yang membebani dan mengganggu kelangsungan hidupnya.
Menurut (Xxxxxxx, 2006), menjelaskan dua Coping Strategy sebagai berikut:
1. Coping terfokus masalah, individu melakukan suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Cara tindakan dalam coping terfokus masalah melituti tiga cara yaitu plan full problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Confrontative coping, yaitu reaksi untuk mengubah keadaan yang menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Seeking social support, yaitu bereaksi dengan mencari dukungan emosional.
2. Coping terfokus emosi, individu melakukan berbagai usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi, tanpa melakukan usaha mengubah stresor secara langsung. Dalam strategi ini terdapat lima cara. Pertama self controlling, yaitu bereaksi dengan melakukan regulasi, baik dalam perasaan maupun tindakan. Contohnya: saya mencoba untuk menyimpan perasaan saya untuk diri sendiri, atau tidak merusak hal-hal yang mendukung saya membiarkan beberapa alternative kesempatan tetap terbuka. Kedua Distancing, yaitu tidak melibatkan diri dalam permasalahan. Contohnya: percaya pada nasib. Ketiga Escape
avoidance, yaitu menghindar atau melarikan diri dari masalah yang dihadapi. Contohnya: tidur lebih lama dari biasanya atau menghindar dari orang lain. Keempat Accepting responsibility, yaitu bereaksi dengan menumbuhkan kesadaran akan peran diri dalam permaslahan yang dihadapi, dan berusaha mendudukkan segala sesuatu sebagaimana mestinya. Contohnya: saya berjanji pada diri sendiri bahwa segala sesuatunya akan berbeda dimasa yang akan datang, atau mengkritik diri sendiri, dan kelima Positive reappraisal, yaitu bereaksi dengan menciptakan makna positif dalam diri, yang bertujuan untuk mengembangkan diri termasuk melibatkan hal-hal yang religious. Contohnya: saya mencarai pertolongan Tuhan atau saya berdoa lebih sering dari biasanya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model Coping Strategy ada dua yaitu coping yang terfokus masalah dan coping yang terfokus emosi dimana keduanya terdapat perbedaan. Coping yang tefokus masalah dimana individu melakuakn suatu tindakan atau perbuatan untuk memecahkan masalah atau mengubah situasi.
Terdapat tiga cara tindakan memecahkan masalah yaitu dengan mencari dukungan emosional atau mencari support dari orang lain agar dapat membantu atau meringankan beban atau permasalahannya tersebut dan juga mengambil suatu tindakan yang penuh dengan resiko. Coping Strategy yang kedua yaitu terfokus emosi dimana seseorang memecahkan masalah tanpa melakukan usaha untuk mengubah stressor secara langsung, seperti seseorang lebih memilih untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan YME dengan cara lebih sering berdoa dari sebelumnya cara ini yang paling banyak digunakan oleh orang-orang untuk
menenangkan perasaannya ketika mempunyai permasalahan, memilih untuk berdiam diri atau lebih memilih untuk terbuka dan menceritakan kepada orang lain.
b. Strategi Mengatasi Stress (Coping Strategi)
Stres yang dialami seseorang akan menimbulkan dampak, baik yang positif maupun yang negatif. Dampak positif dapat diamati dari munculnya semangat, gairah yang berlanjut dengan meningkatnya kinerja dan kepuasaan kerja. Sedangkan dampak negatif bersifat merugikan, misalnya cemas, takut, lesu yang berlanjut dengan muncul nya berbagai gejala baik fisik, psikologis maupun prilaku.
Menurut (Xxx, 1987) coping adalah suatu bentuk perilaku pemecahan masalah, jika pemecahan masalah gagal maka akan menghasilkan stress. Coping melibatkan strategi kognitif dan perilaku dan dipresentasikan dengan penyesuaian kepada situasi atau penyesuaian dari situasi. Coping berhasil jika sumber dari masalah dapat diatasi atau stress yang alami secara langsung dapat dikurangi. Apakah sukses atau tidak, ada suatu mekanisme balikan yang mengubah persepsi orang terhadap lingkungan kerja dan aspek lain dari proses coping. Mencoba menguasai suatu situasi masalah atau berhadapan dengan pengalaman tentangnya disebut “coping” .
Kemudian menurut (Xxxxxxx, Xxxxxxx S and Xxxxxxx, 1984) coping dapat didefiniskan sebagai usaha kognitif dan perilaku untuk mengelola tekanan eksternal dan / atau tuntuan internal yang dinilai melebihi kemampan sumber daya individu. Selanjutnya coping merupakan suatu proses. Pada mulanya individu dihadapkan pada suatu situasi. Ia kemudian memberikan penilaian terhadap situasi tersebut.
Apakah situasi ini dirasakan mengancam atau apakah ia merasakan emosi-emosi negative pada saat berada dalam situasi tersebut. Bila jawabannya “ya” berarti situasi tersebut dinilai sebagai situasi yang menekan, menentang atau stuasi tersebut merupakan stressor bagi individu. Keadaan ini mengarahkan individu kepada dua kemungkinan reaksi yang bersifat emosional dan berusaha mengatasi masalah.
Coping yang dinilai individu pun tidak selalu langsung mengatasi masalah (problem focused) tapi dapat pula hanya berupaya mengurangi emosi negative yang muncul (emotion focused). Untuk upaya semacam ini, Lazarus menyetarakannya dengan reaksi yang bersifat emosional tersebut diatas (distress, negative emotional response). Setelah melakukan reaksi-reaksi tersebut, individu bersangkutan kemudian melakukan evaluasi kembali, untuk melihat apakah upaya yang telah dilakukan tersebur dinilai berhasil atau belum. Langkah ini membuat individu membuat penilaian kembali (secondary appraisal) apakah emosi yang tidak menyenangkan tersebut telah berkurang dan apakah masalah yang dihadapi telah teratasi atau belum.
Keberhasilan suatu upaya yang telah dilakukan dalam mengatasi tekanan bukan berarti terhentinya perilaku coping, karena stressor mungkin saja tetap ada atau kembali ada. Umumnya perilaku coping yang dinilai berhasil akan kembali dilakukan bila individu mengalami tekanan yang sama atau serupa. Sebaliknya kegagalan individu dari suatu perilaku coping tertentu kemudian menjadi ‘possibly stress event’ untuk dinilai kembali oleh individu bersangkutan apakah kegagalan itu kemudian menjadi ancaman tersendiri bagi dirinya.
Dari definisi coping diatas, dapat dikemukakan karakteristik coping meliputi;
(1) coping mengacu pada suatu upaya yang diarahkan melalui tindakan, (2) tindakan tersebut meliputi perilaku atau tindakan kognitif, (3) tindakan coping difokuskan pada adanya tuntutan yang dialami oleh seseorang, ketika itu beban melebihi kapasistasnya, dan (4) sasaran umum dari tindakan coping adalah menghilangkan ketidakseimbangan yang dialami antara tuntutan dan kapasistas.
x. Xxxxxxxx Proses Coping
Meskipun diketahui bahwa awal dari perilaku coping adalah anggapan adanya suatu keadaan yang menekan dan menimbulkan emosi negative, perlu dipertimbangkan pula adanya kemungkinan individu tidak mengemukakan perasaan negative nya meskipun ia merasakannya.
Dengan demikian, istilah coping juga digunakan untuk menggambarkan kumpulan strategi berupa tindakan nyata dan tersembunyi dimana seseorang menganggapnya sebagai konfrontasi atau tantangan. Strategi individual tersebut meliputi respon pemecahan masalah, seperti mendapatkan informasi, mempertimbangkan alternative dan membuat keputusan untuk melakukan tindakan, berkomunikasi yang dapat diamati, seperti mendiskusikan situasi dan bekerjasama dengan orang lain dan operasi kognitif yang tidak dapat diamati, seperti meminimalkan distress atau memfokuskan pada aspek-aspek positif dari suatu situasi.
Dinamika proses coping dijelaskan oleh (Xxxxxx, 1995) sebagaimana disajikan pada gambar dibawah ini;
Gambar 2.3 Coping Process (Xxxxxx, 2011). The dynamics of the coping process.
Berdasarkan gambar diatas, Nampak bahwa proses coping dimulai ketika individu menghadapi kejadian sarat stress (stressful events). Individu melakukan penilaian awal (primary appraisal) untuk menentukanarti dari kejadian tersebut. Kejadian-kejadian tersebut dapat dirasakan sebagai hal yang positif, netral atau negative. Setelah penilaian awal terhadap stressor dilakukan, kemudian ia melakukan penilaian sekunder (secondary appraisal) dilakukan, kemudian ia melakukan peniliana terhadap kemampuan coping dan sumber-sumberny, untuk menentukan pilihan tindakan apa yang sepatutnya dilakukan.
Selanjutnya menurut (Xxxxxx, 1995) coping ini terdiri dari gaya konfrontatif, gaya menghindari dan gaya katarsis. Gaya konfrontatif lebih tepat digunakan dalam upaya menghadapi stress yang melibatkan pemikiran, misalnya masalah pekerjaan,
gaya menghindar lebih efektif untuk menghadapi ancaman yang tidak berlangsung lama, sedangkan gaya katarsis adalah penyaluran pemikiran, perasaan atau perilaku tentang hal yang bersifat traumatic. Disamping itu faktor kepribadian yang lain yang mempengaruhi respon dan strategi mengatasi stress sebagai sumber internal, meliputi; self efficacy (keyakinan diri untuk mampu mengendalikan atau menyesuaikan dengan tuntunan yang stressful), sikap optimis, sense of personal control yaitu perasaan mempunyai control diri terhadap kejadian sarat stress dan self esteem. Kecuali itu semua, adanya koherensi, hidup bermakna, bertujuang dan adanya selera humor, disebutkan sebagai factor sumber daya internal yang bisa meningkatkan kemampuan coping.
Upaya coping bukan hanya dipengaruhi oleh beberapa hal yang bersifat internal, tetapi juga oleh sumberdaya eksternal. Sumber daya eksternal yang meliputi; dukungan social, stressor kehidupan yang lain, dan stressor yang berwujud misalnya kemampuan keuangan dan ketersediaan waktu. Mereka yang memiliki sumberdaya yang lebih baik, misalnya Pendidikan yang lebih tinggi, keadaan keuangan yang lebih baik, disertai banyak sahabat ternyata dapat meningkatkan kemampuan coping sehingga memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap stress.
Sumber sosial meliputi; keluarga, teman, pekerjaan dan jaringan agensi local yang diperluas. Sedangkan sumber fisik meliputi; Kesehatan yang prima, energi fisik yang sesuai, rumah yang fungsional dan stabilitas minimum financial. Respon dan strategi mengatasi stress ini misalnya; mencari informasi tambahan, melakukan Tindakan langsung atau mengerjakan pekerjaan yang lain.
Proses selanjutnya menurut Xxxxxx adalah melakukan tugas-tugas coping (coping tasks) misalnya; (1) mengurangi bahaya yang muncul dari kondisi lingkungannya, (2) membiarkan atau menyesuaikan terhadao kejadian atau realitas negative tersebut, (3) memelihara citra diri yang positif, (4) mempertahankan keseimbangan emosioanl dan (5) melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain.
Hasil dari tugas coping tersebut disebut coping outcome yang merupakan konsekuensi dari respon dan strategi mengatasi stress yang te;ah dipilihnya. Jika tugas-tugas coping berhasil, maka coping outcome dapat berupa berfungsinya factor psikologis sehingaa individu yang bersangkutan dapat meneruskan aktivitas- aktivitas seperti biasanya. Sautu keberhasilan dalam upaya coping dapat melepaskan orang lain dari bahaya, menghilangkan perasaan tidak nyaman, memberikan perasaan bahagia , bangga dan lega.
Apa yang dilakukan pada suatu coping tergantung pada situasi yang dihadapi, tujuan dan keyakinan seseorang dan hasil yang segera dapat dirasakan. Suatu coping haruslah bersifat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan, agar berhasil. Oleh karena itu coping bukanlah sekedar seperangkat strategi yang siap pakai, tetapi merupakan pila yang berubah-ubah, bersikfat responsive terhadap apa yang terjadi.
d. Teori-teori Strategi Mengatasi Stres
Teori-teori strategi mengatasi stress yang telah dikenal dewasa ini salah satunya : model Xxxxxxx Xxxxxxx dan model Xxxxxxxx.
(1). Model Xxxxxxx Xxxxxxx
Menurut (Lazarus & Xxxxxxx’x, 2017), strategi mengatasi stress terdiri dari,
(1) coping terfokus (problem- focused coping), dan (2) coping terfokus emosi (emoticon-focused coping). Dalam coping terfokus masalah, individu melakukan suatu Tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Individu akan cenderung menggunakan perilaku ini bila dirinya menilai situasi yang dihadapinya masih dapat dikontrolnya dan ia yakin akan dapat mengubah situasi.
Cara tindakan dalam coping terfokus masalah meliptui 3 cara : (1) planful problem solving, yaitu berekasi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah. Contohnya, saya mencoba untuk memulai suatu strategi tentang apa yang harus diambil, (2) confrontative coping, yaitu reaksi untuk mengubah keadaan yang menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil. Contohnya melakukan sesuatu walau tidak yakin akan berhasil, tetapi paling tidak telah berbuat sesuatu. atau berusaha menghubungi orang yang bertanggung jawab agar merubah keputusannya. (3) seeking social support, yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional. Contohnya menerima simpati dan pengertian dari orang lain. Atau membicarakan masalah terssebut pada seseorang yang dapat membantu sesuatu yang konkrit.
Kemudian pada coping terfokus, individu melakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha mengubah