TESIS
TESIS
IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN HIBAH ANTARA PT. VALE INDONESIA DENGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 001/NHPD-SULTENG/I/2016 DAN NOMOR : 970/01/DISPENDA/2016 TENTANG DANA HIBAH
Oleh : XXXXXX XXXXXX
NIM. 166010200112024
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2018
i
IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN HIBAH ANTARA PT. VALE INDONESIA DENGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI TENGAH NOMOR : 001/NHPD-SULTENG/I/2016 DAN NOMOR : 970/01/DISPENDA/2016 TENTANG DANA HIBAH
RINGKASAN
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsep kepatutan dan kewajaran dalam penyaluran dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang selama ini belum diatur secara jelas dalam berbagai peraturan perundang – undangan yang terkait khususnya dalam Undang – undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan aturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan. Kekaburan hukum ini berimplikasi pada munculnya beragam perspektif mengenai CSR dan pelaksanaannya dilapangan, dimana salah satunya yaitu pengalihan dana CSR menjadi hibah melalui perjanjian hibah yang dilakukan antara PT Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu apakah penyaluran dana CSR berbentuk hibah memenuhi unsur kepatutan dan kewajaran dan bagaimana implikasi yuridisnya terhadap perjanjian yang dilakukan antara PT Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor 001/NHPD- SULTENG/I/2016 dan Nomor: 970/01/DISPENDA/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Dana Hibah. Tujuan dalam penelitian ini yaitu untuk menemukan konsep kepatutan dan kewajaran dalam penyaluran dana CSR dan kemudian menganalisis implikasi hukumnya terhadap dana CSR yang disalurkan dalam bentuk hibah. Teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalah dalam penelitian ini yaitu teori Corporate Social Responsibility, teori kemanfaatan, teori kepastian hukum, dan teori tanggung jawab. Metode Penelitian yang digunakan dalam tesis ini yaitu yuridis normative dengan menggunakan pendekatan perundang – undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan kasus. Adapun sumber dan jenis bahan hukum yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang bersumber dari studi kepustakaan, penelusuran internet, dan wawancara. Sedangkan pengumpulan bahan hukum dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan analisis interpretasi.
Hasil penelitian dalam tesis ini menemukan bahwa penyaluran dana CSR berbentuk hibah bertentangan dengan asas kepatutan dan kewajaran dalam artian melanggar substansi penyaluran CSR berdasarkan peraturan perundang – undangan terkait. Hal tersebut membawa implikasi yuridis tidak terpenuhinya unsur obyektif dan subyektif pada perjanjian yang dilakukan oleh PT Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, yang berakibat pada perjanjian yang dilakukan antara PT Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
ii
JURIDICAL IMPLICATION OF GRANT CONTRACT BETWEEN PT. VALE INDONESIA AND PROVINCIAL GOVERNMENT OF SULAWESI TENGAH NUMBER 001/NHPD-SULTENG/I/2016 AND NUMBER: 970/01/DISPENDA/2016 ON 14 JANUARY 2016 CONCERNING TO GRANT FUNDING
SUMMARY
This research aims to find fit and proper concept on channelization of Corporate Social Responsibility (CSR) funding that the legislations are not clearly regulate this issue, especially in the Law Number 40 Year 2007 on Limited Liability Companies and its delegate regulation which is Government Regulation Number 47 Year 2012 on Social and Environmental Responsibility. This vague of norm brought consequences related to the existing of many perspectives on CSR and its implementation in the field, which is one of them, namely transfer of CSR funding to the grant through grant contract conducted by PT Vale Indonesia and Provincial Government of Sulawesi Tengah.
The research questions of this research is whether the channelization of CSR funding, in the form of grant, has fulfilled the fit and proper element and how is the juridical implication towards contract conducted by PT Vale Indonesia and Provincial Government of Sulawesi Tengah Number 001/NHPD- SULTENG/I/2016 and NUMBER: 970/01/DISPENDA/2016 on 14 January 2016
concerning to Grant Funding. The aim of this research is to find fit and proper concept on channelization of CSR and then analyse the legal implication of CSR funding which is channelization in the form of grant. Theories that were used as a tool of analysis to answer problems in this research namely theory of Corporate Social Responsibility, theory of utilization, theory of legal certainty, and theory of responsibility. The research methods used in this thesis was normative legal research using statute approach, conceptual approach, and case approach. Xxxxxxxx, the source and type of legal materials are primary legal materials and secondary legal materials which were from literature study, searching from internet, and interview. Furthermore, the aggregation of legal sources conducted by qualitative using interpretation analysis.
The results of this thesis found that the channelization of CSR funding in the form of grant is in conflict with fit and proper principles or in other words broke the essence of channelization of CSR based on related legislations. It brought legal implication that the objective and subjective element of contract conducted by PT Vale Indonesia and Provincial Government of Sulawesi Tengah was not fulfilled, then it effected on the contract conducted by PT Vale Indonesia and Provincial Government of Sulawesi Tengah became legally null and void and can be canceled.
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wa syukurillah, rasanya hanya itu kata yang pantas terucap atas semua karunia yang terus dan selalu diberikan Allah SWT untuk semua peristiwa dan orang – orang istimewa yang dihadirkan dalam kehidupan penulis, termasuk salah satunya diberi kesempatan untuk menempuh studi di Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, dan menyelesaikannya dengan satu karya ilmiah yang berjudul “Implikasi Yuridis Perjanjian Hibah antara PT. Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor : 001/NHPD-Sulteng/2016 dan Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana Hibah.”
Penulis menyadari karya ilmiah/Tesis ini tidak akan rampung sebagaimana mestinya tanpa adanya kontribusi dari berbagai pihak, baik materi, waktu, tenaga maupun fikiran yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini hingga layak untuk dipresentasikan. Olehnya, pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar – besarnya, kepada:
1. Ibu Xx. Xxxxx Xxx Xxxxxxxxxx, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I penulis dan Ibu Xx. Xxxxxxx, S.H.,LL.M, selaku Dosen Pembimbing II penulis, atas bimbingan, ilmu, dan waktunya yang telah diluangkan untuk penulis dalam berdiskusi dan memberikan banyak pencerahan ilmu untuk dimasukkan dalam penelitian ini hingga layak menjadi sebuah karya ilmiah;
2. Bapak Xx. Xxxxxxx Xxxxx’xx, S.H.,X.Xx, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Bapak Xx. Xxxx Xxxxxxxxxxx, S.H., M.Hum,
iv
selaku Ketua Program Studi Pascasarjana Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, atas waktu dan kebijakannya yang banyak membantu selama proses perkuliahan maupun penyelesaian studi penulis;
3. Seluruh civitas academika pada program Pascasarjana Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, atas ilmu dan waktunya yang banyak membantu dalam proses perkuliahan maupun penyelesaian studi penulis;
4. Xxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx (Almarhum) dan Ibunda Xxxxxxx Xxxxxxxx (Almarhumah), atas doa dan pendidikan terbaik yang kalian tanamkan dikebersamaan kita yang singkat semoga menjadi amal jariyah yang terus mengalir untuk kalian, serta untuk kakak – kakak xxxxxxx, Xxxxxx S.Pd, Xxxxxxxxx S.E, Xxxxxxlah, S.Pd., M.Pd, Safa’at S.xxx, Xxxx S.Kom, dan ipar
– ipar serta keponakan penulis, atas support dan doanya selama ini;
5. Xxxxx Xxxxx X. X. Xxx, S.E dan Xxx Xxxxx Xxxx Xxxxxx, S.P, M.P, atas supportnya dalam segala hal, baik materi maupun moril yang telah banyak diberikan selama ini, semoga segala kebaikan kalian menjadi amalan terbaik yang bisa penulis teladani untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sebanyak – banyaknya makhluk-Nya;
6. Rekan – rekan mahasiswa Pascasarjana Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Kelas Jakarta angkatan 2016, khususnya untuk Xxxxx Xxxxxxx X.X.,X.Xx, Xxxxxxx Xxxxxxxx X.X.,X.Xx, dan Poliana S.H.,X.Xx, atas perhatian dan supportnya selama proses perkuliahan dan penyelesaian studi penulis; dan
7. Kepada semua pihak yang telah membantu dan mendoakan selama ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
v
Ibarat tak ada gading yang tak retak, begitupun dalam penulisan karya ilmiah/Tesis ini, yang masih terdapat banyak kekurangan. Olehnya, masukan dan kritikan dari berbagai pihak sangat penulis harapkan agar kiranya dapat membantu pengembangan penelitian ini dimasa yang akan datang. Akhir kata, penulis berharap melalui karya ilmiah/Tesis ini bisa memberikan banyak manfaat kepada berbagai pihak terutama kepada pihak – pihak yang konsen terhadap isu – isu sosial dan lingkungan di negara ini.
Malang, 14 Desember 2018
Xxxxxx Xxxxxx
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS
RINGKASAN ------------------------------------------------------------------------ i
SUMMARY -------------------------------------------------------------------------- ii
XXXX XXXXXXXXX -------------------------------------------------------------- iii
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------- vi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LatarBelakang----------------------------------------------------------------- 1
1.2 Rumusan Masalah 15
1.3 Tujuan Penelitian 16
1.4 Manfaat Penelitian 16
1.5 Kerangka Teoritik 18
1.6 Orisinalitas Penelitian 29
1.7 Desain Penelitian 32
1.8 Metode Penelitian 33
1.9 Definisi Konseptual 38
1.10 Sistematika Penulisan 40
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauam Umum tentang Corporate Social
Responsibility (CSR) menurut Hukum Indonesia 42
2.2 Tinjauan Umum tentang Pemerintah Daerah dan
Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Hukum Indonesia 72
2.3 Tinjauan Umum tentang Perjanjian dan Hibah
menurut Hukum Indonesia 85
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Analisis tentang Asas Wajar dan Patut dalam
Penyaluran Dana CSR berbentuk Perjanjian Hibah 104
3.2 Implikasi Xxxxxxx Xxxxxxxxan Hibah antara PT Vale
Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor : 001/NHPD-SULTENG/2016 dan Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana Hibah 126
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 140
4.2 Saran 141
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 : Orisinalitas Penelitian 29
2. Tabel 2 : Perbedaan CSR dan Hibah 120
LAMPIRAN
vii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia hingga saat ini, secara umum lebih didasarkan pada pemenuhan kebutuhan investasi dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi. Menurut Xxxxxx, dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Pertambangan yang sekarang telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), pengelolaan sumber daya alam di Indonesia pada sektor pertambangan masih berorientasi pada kekuatan modal besar, dimana pengelolaan sumber daya alam belum mengarah pada ecological and sustainable sense melainkan masih dipahami dalam konteks economics sense.1
UU Minerba tersebut awalnya dibentuk dengan tujuan memberikan kemudahan dan insentif yang menguntungkan kepada investor sebagai upaya dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi, namun ternyata kebijakan ini justru menimbulkan polemik dimasyarakat. Kebijakan yang diterapkan menyebabkan iklim pertambangan menjadi tidak kondusif dan terjadi resistensi masyarakat, seperti terjadinya unjuk rasa, penyerobotan lahan, pemblokiran jalan dan tindakan anarkis lainnya yang dilakukan oleh masyarakat sebagai upaya menentang keberadaan perusahaan dilingkungan mereka. Kondisi ini semakin diperburuk oleh rendahnya apresiasi perusahaan terhadap berbagai tuntutan masyarakat,
1 Xxxxxx Xxxxxx, Corporate Social Responsibility, dari Voluntary menjadi Mandatory,
(Jakarta : Xxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, 2012), hlm. 1.
1
2
misalnya pemberian harga yang wajar terhadap pembebasan tanah, ganti rugi atas kerusakan lingkungan, penyerapan tenaga kerja lokal, pembagian keuntungan, dan lain sebagainya.
Secara umum, masyarakat sebenarnya dapat memahami falsafah bisnis perusahaan, dimana untuk dapat bertahan dalam dunia bisnis maka harus mengoptimalkan keuntungan. Namun, seiring dengan perkembangan dinamika masyarakat, perubahan cara pandang masyarakat pun turut berkembang. Masyarakat menginginkan adanya transparansi dalam setiap pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan ekonomi di daerah mereka. Selain itu, perubahan tersebut juga berpengaruh pada daya kritis dan keberanian masyarakat dalam mengemukakan aspirasi mereka secara lebih terbuka ketika ada hak – hak mereka yang diabaikan.
Perubahan paradigma ini, semestinya menjadi bahan instropeksi bagi pelaku bisnis, bahwa perusahaan bukan lagi sebagai entitas yang hanya berorientasi pada keuntungan (profit orientate) semata, melainkan sebuah entitas badan hukum (recht persoon) yang harus beradaptasi dengan lingkungan dimana dia berada, serta dapat dimintai pertanggungjawabannya sebagaimana subjek hukum lainnya.2 Disinilah konsep tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility untuk selanjutnya di singkat CSR) berlaku.
CSR, secara khusus tidak hanya sebatas pada aktivitas kedermawanan (Charity) atau aktivitas yang bersifat sukarela (Voluntary) sebagaimana pemahaman yang mendominasi pelaku bisnis di Indonesia selama ini, tetapi CSR harus dipahami sebagai “kewajiban” asasi perusahaan yang melekat dan menjadi
2Ibid., hlm. 5.
3
“roh kehidupan” dalam suatu sistem bisnis.3 CSR merupakan konsekuensi logis atas adanya “hak” perusahaan yang diberikan oleh negara untuk menjalankan bisnisnya secara berkesinambungan dalam sebuah lingkungan bisnis. Apabila tidak ada keselarasan antara “kewajiban” dan “hak” maka dalam area tersebut akan terbentuk dua kubu yaitu gainers dan losers, dimana keduanya dapat saling mengeksploitasi dan mematikan satu sama lain.4
Dalam prinsip CSR perusahaan di tuntut untuk tidak hanya mementingkan dan bertanggungjawab pada corporate value (nilai perusahaan) yang digambarkan dengan kondisi keuangan yang stabil saja, melainkan juga harus bertanggungjawab pada sosial dan lingkungan tempat perusahaan tersebut melakukan kegiatan usahanya.5 CSR merupakan komitmen perusahaan untuk berperan aktif dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.6
Pewajiban CSR pada perusahaan berpegang teguh bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan perwujudan dari etika, norma, dan nilai moral yang sepatutnya wajib dilaksanakan perusahaan. Sebab jika dilihat dari sudut pandang kepentingan pemangku perusahaan, CSR dapat dijadikan sebagai sarana peningkatan citra dan social license to operate bagi perusahaan.7 Artinya keberlangsungan perusahaan secara sosial tergantung pada penerimaan dan dukungan dari masyarakat (stakeholder) tempat perusahaan tersebut
3Xxxxxxx Xxxx, Dekonstruksi CSR dan Reformasi Paradigma Bisnis dan Akuntansi,
(Jakarta : Erlangga, 2011), hlm. 63.
4Pendapat Dellaports dkk sebagaimana dikutip dalam Xxxxxxx Xxxx, Ibid.
5Budi Untung, CSR dalam Dunia Bisnis, (Yogyakarta : Xxxx Xxxxxx, 2014) , hlm. 17.
6Pasal 1 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
7Saipullah Xxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx, Pengantar CSR, Sejarah, Pengertian dan Praksis,
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2015), hlm. 101.
4
melaksanakan usahanya. Perusahaan tidak dapat menjalankan bisnisnya secara berkelanjutan jika tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat. Olehnya, CSR harus dipahami sebagai sebuah tuntutan dan kebutuhan perusahaan jika ingin bertahan dan mengembangkan bisnisnya dalam jangka waktu yang lama.
Di Indonesia penerapan CSR mulai di atur dalam peraturan perundang – undangan yaitu pada tahun 2007 dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Undang – Undang Penanaman Modal) dan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Meskipun sebelumnya esensi dasar CSR telah berjalan sejak tahun 1970 – an dengan jenis kegiatan yang bervariasi, mulai hanya sebatas pemberian donasi sampai pada terintegrasinya kegiatan tersebut sebagai program perusahaan dalam mengoperasikan usahanya.8 Namun dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan Perseroan Terbatas yang kegiatan usahanya bergerak dibidang dan / atau yang berkaitan dengan sumber daya alam sebagaimana fokus masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Dalam Pasal 74 ayat (1) dan (2) UUPT dinyatakan bahwa :9
“(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.”
8Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, (Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2009), hlm. 33.
9Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
5
Dalam kedua ayat tersebut di atas terlihat jelas bahwa setiap perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan kegiatan CSR dimana penganggarannya tetap memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Kemudian dalam ayat (3) masih dalam pasal yang sama, dijelaskan pula bahwa perusahaan yang tidak melaksanakan kegiatan CSR akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.10
Sebagai representasi regulasi pelaksanaan CSR di Indonesia, Pasal 74 UUPT tentu saja belum mengakomodir kebutuhan pelaksanaan kegiatan CSR di lapangan yang begitu kompleks, sebab dalam ketiga ayat tersebut, tidak dijabarkan secara detail mengenai standar kegiatan yang memenuhi pengertian patut dan wajar sebagaimana disebutkan dalam pasal 74 ayat (2) UUPT tersebut, kemudian berapa jumlah yang harus dikeluarkan perusahaan dalam kegiatan CSR, apakah pelaksanaan CSR harus dilakukan langsung oleh perusahaan atau dapat dilakukan melalui sistem kemitraan dengan pihak lain, serta apa sanksi kepada perusahaan ketika CSR tidak dilaksanakan. Berangkat dari hal tersebut, para regulator menyepakati penambahan satu ayat lagi dalam Pasal 74 yang kemudian menjadi cikal bakal dibentuknya PP CSR sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 74 UUPT tersebut. Dalam ayat (4) Pasal 74 UUPT tersebut dijelaskan bahwa aturan atau ketentuan mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
10Pasal 74 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
6
Sebagai aturan pelaksanaan dari UUPT, ada 3 hal yang menjadi tujuan dibentuknya PP CSR tersebut sebagaimana dijelaskan dalam aturan penjelasannya, yaitu untuk :11
“1. Meningkatkan kesadaran perusahaan terhadap pelaksanaan tanggung jawab sosial dan lingkungan di Indonesia;
2. Memenuhi perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan; dan
3. Menguatkan pengaturan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang telah diatur dalam berbagai pengaturan perundang – undangan sesuai dengan bidang kegiatan usaha perusahaan yang bersangkutan.”
Namun, aturan yang diharapkan mampu menguatkan aturan yang telah ada sebelumnya, hanya mengatur setidaknya 7 point, dimana point – point itu kemudian dijabarkan ke dalam sembilan pasal yang terdapat di dalamnya. Point Pertama yaitu penekanan terhadap kegiatan CSR yang dilakukan oleh perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam dilaksanakan berdasarkan Undang – Undang. Kedua, dalam melaksanakan kegiatan CSR, perusahaan dapat melaksanakannya di dalam maupun di luar lingkungan perusahaan. Ketiga, rencana kegiatan dan anggaran yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan CSR harus dimuat dan berdasarkan rencana kerja tahunan perusahaan. Keempat, pelaksanaan kegiatan CSR harus mempertimbangkan kepatutan dan kewajaran. Kelima, laporan tahunan perusahaan harus memuat rincian pelaksanaan CSR yang kemudian dipertanggungjawabkan kepada RUPS. Keenam, penegasan sanksi terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan kegiatan CSR. Ketujuh, penghargaan akan
11 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
7
diberikan oleh instansi berwenang kepada perusahaan yang telah melaksanakan CSR.
Dari ketujuh point tersebut, memang memberi sedikit titik terang pada beberapa aturan CSR yang sebelumnya tidak diatur dalam UUPT. Namun, tentu saja ke tujuh point tersebut belum mampu mengakomodir kebutuhan pelaksanaan CSR secara proporsional. Sebab, kompleksitas penerapan CSR membutuhkan peraturan yang lebih komprehensif agar tidak menimbulkan multitafsir dalam pelaksanaannya seperti saat ini.
Tidak bisa dipungkiri jika aturan yang belum memadai dalam UUPT dan PP CSR tersebut berdampak pada praktik pelaksanaan CSR dilapangan yang memiliki makna berbeda dengan tujuan diadakannya program CSR itu sendiri. CSR yang seharusnya mampu berkontribusi terhadap pembangunan berkelanjutan (sustainable) sebagaimana amanat dalam UUPT dan PP CSR yang salah satunya dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat, menjadi tidak tepat sasaran. Perusahaan melakukan CSR hanya sebagai penggugur kewajiban yang bersifat insidentil bukan sebagai bentuk kepedulian dan kebutuhan interaksi perusahaan dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dilingkungan produksinya. Maka tidak heran jika di Indonesia banyak kegiatan – kegiatan CSR yang bersifat philanthropy atau charity saja dan mengenyampingkan nilai sustainablenya. Salah satu contohnya yaitu kegiatan CSR perusahaan pertambangan di Kota Balikpapan. Perusahaan tersebut melakukan kegiatan CSR dengan membuat jalan atau memperbaiki jalan pedesaan yang rusak disekitar wilayah tempat perusahaan tersebut beroperasi. Namun disisi lain, perusahaan tidak memperbaiki dan mengganti kerugian masyarakat akibat kegiatan
8
operasionalnya berupa limbah dari aktivitas pertambangannya. Akibatnya, masyarakat melakukan aksi protes sebagai bentuk kekecewaan mereka karena merasa masih dirugikan oleh aktivitas perusahaan tersebut. Sementara dipihak lain, perusahaan merasa telah melakukan kewajiban CSRnya dalam bentuk perbaikan jalan pedesaan.12
Dari contoh kasus di atas menunjukkan bahwa UUPT dan PP CSR belum mampu menjadi payung hukum yang dapat dijadikan rujukan semua pihak untuk menilai apakah suatu perusahaan telah melakukan kegiatan CSR sebagaimana mestinya. Bahkan menurut Xxxxxxxx Xxxxxx, Chairman Most Valued Busines Indonensia (MVB), dalam MVB Indonesia 2017 Annual Conference, di Indonesia masih banyak perusahaan yang belum menerapkan program CSR sama sekali dalam bisnisnya.13
Berdasarkan hal tersebut di atas, setidaknya ada 2 kelemahan mendasar menurut penulis dalam konsep CSR yang terdapat dalam UUPT maupun PP CSR.
Pertama, dalam Pasal 1 angka 3 UUPT menyatakan bahwa : 14
“Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.”
12Badan Keahlian DPR RI, Naskah Akademik Rancangan Undang – Undang tentang Tanggung jawab Sosial Perusahaan, 2016, diakses dari xxxxx://xxxxxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxx/xxxxxx-xxxxxxxx/xxxxxx-xxxx/xxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx-0.xxx, pada hari Sabtu, 9 Juni 2018, pukul 14.00 WIB.
13Indah Pujiastuti, Masih Banyak Bisnis Abaikan CSR, diakses dari xxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx/000000-xxxxx-xxxxxx-xxxxxx-xxxxxxx-xxx.xxxx, pada hari Sabtu, 21 Juli 2018, pukul 21. 28 WIB.
14 Pasal 1 angka 3 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
9
Yang artinya bahwa setiap kegiatan CSR yang dilaksanakan perusahaan harus mempertimbangkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, dimana aspek ekonomi, sosial maupun lingkungan harus menjadi prioritas utama di dalamnya. Namun, dalam Pasal 5 ayat (1) PP CSR sebagai aturan pelaksanaan dari UUPT menjelaskan bahwa kegiatan CSR yang akan dilaksanakan oleh perusahaan harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran baik rencana kegiatan maupun anggarannya.15 Kemudian dalam aturan penjelasannya, dijelaskan bahwa “kepatutan dan kewajaran merupakan kebijakan perseroan, yang disesuaikan dengan kemampuan keuangan Perseroan, dan potensi risiko yang mengakibatkan tanggung jawab sosial dan lingkungan yang harus ditanggung oleh Perseroan sesuai dengan kegiatan usahanya yang tidak mengurangi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang – undangan yang terkait dengan kegiatan usaha Perseroan.”16
Jika dicermati penjelasan dari Pasal 5 ayat (1) tersebut, maka makna kata kepatutan dan kewajaran dalam kegiatan CSR diserahkan pada kebijakan perusahaan baik dalam bentuk rencana kegiatan maupun jumlah anggaran yang akan dikeluarkan oleh perusahaan sesuai dengan kemampuan keuangan perusahaan. Yang artinya bahwa tidak ada standar baku Nasional untuk menetapkan apakah suatu kegiatan CSR dapat dikategorikan memenuhi standar pembangunan ekonomi berkelanjutan sebagaimana amanat dalam Pasal 1 angka 3 UUPT. Hal inilah yang kemudian menjadikan kegiatan CSR sangat bervariasi di Indonesia baik dari jumlah anggaran yang dikeluarkan perusahaan, bentuk
15 “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dalam menyusun dan menetapkan rencana kegiatan dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) harus memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pasal 5 ayat (1). 16Penjelasan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.”
10
kegiatan CSR, prosedur pelaksanaannya dilapangan, maupun objek yang menjadi sasaran kegiatan CSR.
Kedua, selain konsep kepatutan dan kewajaran yang tidak memiliki standar baku yang jelas, dalam UUPT dan PP CSR juga tidak mengatur sanksi yang jelas terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan kegiatan CSR. Dalam Pasal 74 ayat
(3) dijelaskan bahwa :17
“Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.”
Kemudian dalam Pasal 7 PP CSR juga hanya menjelaskan bahwa :18
“Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.”
Dari kedua pasal yang mengatur tentang sanksi dalam pelaksanaan CSR tersebut bermakna sangat ambigu. Di satu sisi mewajibkan pelaksanaan kegiatan CSR terhadap perusahaan namun disisi lain tidak menjelaskan secara detail mengenai sanksi yang akan diterapkan ketika suatu perusahaan tidak melaksanakan kegiatan CSR, dan hanya mengamanatkan kepada peraturan perundang – undangan lain tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut terkait peraturan perundang – undangan mana yang dimaksud.
Kelemahan atau lebih tepatnya kekaburan hukum ini kemudian mengakibatkan perbedaan mendasar dalam memandang CSR, yang kemudian berdampak pada munculnya berbagai rumusan tentang CSR serta program yang termasuk di dalamnya, sesuai dengan perspektif masing – masing pihak
17 Pasal 74 ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
18Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
11
sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya. Selain itu, ketidakjelasan pelaksanaan kegiatan CSR dalam peraturan tersebut juga dapat memicu konflik kepentingan dan rawan disalahgunakan. Misalnya, dari pihak perusahaan bisa saja menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menghindar dari kewajiban pelaksanaan CSR. Sebab tidak bisa dipungkiri jika pelaku bisnis di Indonesia saat ini masih didominasi oleh paradigma lama dimana perusahaan lebih berorientasi pada keuntungan semata. Kalaupun perusahaan melaksanakan kegiatan CSR, masih sebatas pemberian donasi kepada masyarakat, bukan sebagai bentuk kewajiban atau tanggung jawab perusahaan dalam mengembangkan perekonomian masyarakat secara berkelanjutan. Sementara dilain pihak, pemerintah daerah bersikukuh untuk mengkoordinir bahkan terlibat langsung dalam pelaksanaan program CSR di daerahnya. Sebab, selain anggaran dari pemerintah pusat, program CSR juga menjadi salah satu hal yang paling potensial untuk mendukung misinya dalam mensejahterakan masyarakat meskipun pada kenyataannya dana CSR banyak disalahgunakan oleh Pemerintah Daerah.
Akibatnya, setahun terakhir puluhan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah), Perda (Peraturan Daerah) dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya dengan beragam bentuk mengenai pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) bermunculan di berbagai daerah di Indonesia. DPRD dan Pemerintah baik Pemerintah Provinsi, Kabupaten maupun Kota, dengan hanya mengacu pada inisiatif dan pengalaman daerah lainnya, beramai – ramai mengusulkan pembuatan Perda Tanggung Jawab Sosial Perusahaan.19
19Public Interest Research & Advocacy Center (PIRAC), Studi Dampak Implementasi Peraturan Daerah tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Makalah pada Diskusi Publik, Jakarta, 14 Desember 2016, hlm. 3.
12
Pemerintah Provinsi Jawa Timur salah satunya, dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, ruang lingkup pelaksanaan CSR di daerah tersebut telah diatur secara detail dalam Pasal - pasalnya. Dalam Pasal 6 Perda tersebut menjelaskan bahwa kegiatan CSR meliputi “pembiayaan penyelenggaraan kesejahteraan sosial, kompensasi pemulihan dan/atau peningkatan fungsi lingkungan hidup, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi berbasis kerakyatan yang berkualitas.”20 Kemudian dalam Pasal – Pasal berikutnya dijabarkan pula secara terperinci mengenai pengelolaan dan pelaksanaan CSR yang beroperasi diwilayah tersebut.
Perda Jawa Timur merupakan satu dari sekian banyak kasus dimana pemerintah daerah terlibat langsung dalam pelaksanaan CSR di Indonesia. Setidaknya berdasarkan hasil penelitian dari PIRAC (Public Interest Research & Advocacy Center), terdapat 90 kebijakan yang telah disahkan dan secara khusus mengatur mengenai tanggung jawab Sosial Perusahaan.21 Selain itu, kajian PIRAC juga mengungkapkan bahwa Perda – Perda CSR yang sudah disahkan, konsep CSR umumnya direduksi menjadi sebatas pemberian sumbangan “donasi” dari perusahaan untuk membantu Pemerintah Daerah dalam mengatasi persoalan
– persoalan daerah. Bahkan, di beberapa daerah sampai menentukan jenis program dan besaran persentase dana CSR yang harus diserahkan. 22
Di Provinsi Sulawesi Tengah sendiri, yang menjadi lokus penelitian penulis, keterlibatan pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah dalam pelaksanaan program CSR juga terjadi. Berdasarkan Surat PT Vale Indonesia Nomor C &
20 Pasal 6 Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan.
21Public Interest Research & Advocacy Center (PIRAC), Op. Cit., hlm. 2.
22Ibid, hlm. 3.
13
EAJ/VII/2015 tanggal 31-07-2015 tentang Dana Tambahan untuk Kontribusi Pengembangan Masyarakat, pada tanggal 14 Januari 2016, Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah bersama PT Vale Indonesia sepakat untuk mengalihkan pengelolaan dana CSR PT. Vale Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan alasan agar pelaksanaannya lebih maksimal, transparan, dan akuntabel. Keinginan kedua belah pihak tersebut kemudian dituangkan ke dalam bentuk Perjanjian Hibah antara PT. Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor: 001/NHPD-Sulteng/I/2016 dan Nomor: 970/01/DISPENDA/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Dana hibah.
Dalam Perjanjian Hibah tersebut disepakati bahwa PT. Vale Indonesia memberikan dana sebesar Rp. 11, 7 Miliar kepada Pemerintah Sulawesi Tengah, dimana dana tersebut dimaksudkan untuk mendanai kegiatan – kegiatan di bidang
:23
“a. Pembangunan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan, pendidikan dan sosial masyarakat;
b. Pembangunan infrastruktur di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah;
c. Pengembangan perekonomian masyarakat Provinsi Sulawesi Tengah;
d. Pemenuhan HAM dan Perlindungan Hukum bagi masyarakat tidak mampu di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah; dan
e. Kegiatan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung mendukung peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Provinsi Sulawesi Tengah.”
Selanjutnya oleh Pemerintah Sulawesi Tengah dana tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam APBD Perubahan Tahun 2016 dengan dasar sebagai
pendapatan daerah dari sektor lain – lain yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal
285 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan
23Perjanjian Hibah Antara PT. Vale Indonesia dan Pemerintah Sulawesi Tengah Nomor : 001/NHPD-Sulteng/I/2016 dan Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana Hibah, hlm. 2.
23Ibid. hlm. 3.
14
Pasal 4 Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah. Dana
tersebut kemudian di distribusikan kepada 11 SKPD dan 3 Biro Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tengah.24
Jika dikaji lebih dalam berdasarkan UUPT dan PP CSR, yang merupakan
dasar hukum dari pelaksanaan kegiatan CSR di Indonesia, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa CSR adalah biaya kontribusi perusahaan atas
resiko produksi dalam konteks sosial ekologis, yang merupakan tanggung jawab
perusahaan sepenuhnya pada korban terdampak atau masyarakat lingkar tambang
dan sekitarnya. Sehingga Pemerintah Sulawesi Tengah seharusnya hanya sampai
pada batas memediasi pelaksanaan program CSR agar dapat terlaksana secara
tepat guna, bukan dengan mengambil alih pengelolaan dana CSR tersebut apalagi
hingga memasukkannya ke dalam APBD Perubahan Tahun 2016, yang tentu saja
sangat bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku
khususnya peraturan perundang – undangan terkait penyaluran dana CSR kepada
masyarakat.
Peran Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang berkaitan dengan
aktivitas perusahaan seharusnya hanya sebatas melakukan monitoring dengan
perangkat analis terkait Dampak Lingkungan dan Sosial (Amdalsos), dan
mengkaji sejauh mana perusahaan mampu memberikan manfaat kepada
masyarakat setempat. Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak berhak
mengatur atau mencampuri CSR PT. Vale Indonesia yang merupakan domain
perusahaan khususnya mengenai pengelolaan dananya, kecuali dalam hal
24Lebih lanjut dapat dilihat pada lampiran Perjanjian Hibah Antara PT. Vale Indonesia dan Pemerintah Sulawesi Tengah Nomor : 001/NHPD-Sulteng/I/2016 dan Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana Hibah.
15
kerjasama antar stakeholder yang didasarkan pada program dan skala prioritas
perusahaan dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat.
Berangkat dari penjelasan tersebut di atas, maka kegiatan CSR sebenarnya
merupakan tanggung jawab secara langsung PT. Vale Indonesia dan tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain apalagi mengubahnya ke dalam bentuk dana hibah
dan memasukkannya ke dalam APBD Perubahan Tahun 2016. Olehnya menarik
untuk dikaji sejauhmana dana CSR PT. Vale Indonesia yang dirubah dalam
bentuk hibah dan kemudian dimasukkan ke dalam APBD Perubahan Pemerintah
Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2016 ini, memenuhi standar kepatutan dan
kewajaran sebagaimana amanat dalam peraturan perundang – undangan yang
terkait dengan CSR, dan bagaimana implikasi yuridisnya ketika perjanjian hibah
tersebut tidak memenuhi asas kepatutan dan kewajaran.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah dana CSR dalam bentuk Hibah tidak memenuhi asas kepatutan dan kewajaran?
2. Bagaimanakah Implikasi yuridis Perjanjian Hibah antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan PT. Vale Indonesia Nomor 001/NHPD- SULTENG/I/2016 dan Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Dana Hibah ketika tidak memenuhi asas kepatutan dan kewajaran?
16
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini yaitu untuk pengembangan ilmu hukum khususnya dibidang Hukum Kenotriatan. Hal ini meliputi pemahaman tentang pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang menjadi tanggungjawab perusahaan dan implikasi hukum terkait adanya pengalihan pengelolaan dana CSR perusahaan kepada Pemerintah Daerah dalam bentuk Dana Hibah.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Sebagai bahan kajian bagi dunia pengetahuan hukum perdata khususnya dalam bidang hukum perusahaan. Mengingat litaratur mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) masih sangat terbatas, sehingga penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bahan acuan dalam penanganan kasus – kasus yang berkaitan dengan penyaluran dana CSR Perusahaan. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan baru bagi masyarakat umum dan bermanfaat bagi pengembangan penelitian ke arah penajaman analisis di waktu yang akan datang.
1.4.2 Manfaat Praktis :
a. Manfaat Penelitian bagi Perusahaan
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman kepada perusahaan dalam melaksanakan program CSR agar dalam pelaksanaannya tetap melibatkan stakeholder setempat tanpa berbenturan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.
17
b. Manfaat Penelitian bagi Pemerintah Daerah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan pengetahuan bagi Pemerintah Daerah agar dalam membuat kebijakan terkait pemanfaatan dana CSR perusahaan yang beroperasi diwilayahnya, tidak memposisikan diri sebagai pengguna langsung melainkan sebagai mediator yang memudahkan proses penyaluran dana CSR agar tersalurkan secara tepat guna kepada masyarakat yang berhak.
c. Manfaat Penelitian bagi Masyarakat.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi masyarakat agar lebih kritis dalam menyikapi dan mengawal proses penyaluran dana CSR, sehingga penyalurannya tepat sasaran dan tidak merugikan masyarakat yang berhak menerimanya khususnya masyarakat lingkar tambang yang terkena dampak langsung dari aktivitas produksi perusahaan.
d. Manfaat Penelitian bagi Praktisi Hukum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi praktisi hukum khususnya Notaris dalam memberikan bantuan hukum berupa konsultasi ataupun penyuluhan hukum kepada pihak – pihak yang terkait mengenai proses penyaluran dana CSR yang tepat dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia.
e. Manfaat Penelitian bagi Anggota Legislatif
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia untuk merevisi kembali Undang – Undang Perseroan Terbatas dan Undang – Undang terkait lainnya
18
agar mekanisme pengelolaan dan penyaluran dana CSR perusahaan dapat diakomodir secara lebih detail dan spesifik dalam Rancangan Undang – Undang berikutnya.
1.5 Kerangka Teoritik
Ilmu hukum selalu berkaitan dengan teori hukum dalam perkembangannya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dua variable atau lebih yang telah diuji kebenarannya dikategorikan sebagai teori. Sehingga dalam hal ini teori merupakan sebuah keterangan atau penjelasan mengapa suatu gejala dapat terjadi. Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan, dimana batasan dan sifat suatu teori menurut Xxxx X. Xxxxxxxxx dalam bukunya “Asas – asas Penelitian Behavioral”, edisi Indonesia, yaitu seperangkat konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan – hubungan antar veriabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi gejala tersebut.25 Dalam penelitian ini untuk menganalisa lebih dalam lagi mengenai Implikasi Yuridis Perjanjian Hibah Antara PT. Vale Indonesia dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah Nomor : 001/NHPD- Sulteng/I/2016 dan Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana Hibah, maka digunakan beberapa teori yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Teori – teori yang digunakan dalam penelitian ini akan dijelaskan sebagai berikut :
1.5.1 Teori Kemanfaatan (Utilitarianisme)
Teori kemanfaatan atau teori utilitarianisme pertama kali dikenalkan oleh Xxxxxx Xxxxxxx pada tahun 1748. Menurut Xxxxxxx hukum sebagai tatanan
25Fred N. Xxxxxxxxx, Asas-asas Penelitian Behavioral, Edisi Indonesia, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1996), Cetakan Kelima, hlm. 14.
19
hidup bersama harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Untuk dapat menyokong kebahagiaan tersebut cara yang paling efektif yaitu dengan memelihara rasa keamanan individu, sebab dengan terjaminnya kebebasan dan keamanan individu maka kebahagiaan dapat tercapai secara maksimal.26
Pemahaman Xxxxxxx jika dikaitkan dengan kebijakan hukum maka baik dan buruknya hukum haruslah di ukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan kebijakan hukum tersebut. Suatu kebijakan atau ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat – akibat yang dihasilkan dari penerapannya memberikan banyak kebaikan dan mengurangi penderitaan ditengah masyarakat. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya memberikan akibat – akibat yang tidak adil, merugikan, dan memberi penderitaan kepada masyarakat.27
Pada saat itu persoalan yang dihadapi Xxxxxxx yaitu bagaimana cara menilai baik buruknya suatu kebijakan politik, ekonomi maupun legal yang berdampak secara moral kepada masyarakat. Dalam hal ini Xxxxxxx menilai bahwa hal yang paling objektif yaitu bagaimana melihat suatu kebijakan atau tindakan tertentu yang berdampak baik bagi masyarakat banyak atau malah sebaliknya justru memberi kerugian kepada masyarakat.28
Sehingga prinsip utama dari teori kemanfataan ini sebenarnya yaitu mengenai tujuan dan evaluasi hukum, dimana tujuan hukum sendiri yaitu memberikan sebanyak – banyaknya manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat,
26 Xxxxxxx X Xxxxx, dkk, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta : Genta Publishing, 2013), Cetakan ke IV, hlm. 83.
27 Ibid. hlm. 84.
28 Ibid.
20
sementara evaluasi lebih pada akibat – akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum tersebut.29
Jika dihubungkan dengan masalah dalam penelitian ini, sebagai produk hukum maka peraturan perundang – undangan terkait penerapan CSR di Indonesia, seharusnya memberikan manfaat dan kesejahteraan kepada semua individu yang terkait di dalamnya. Namun pada kenyataannya, peraturan perundang – undangan tersebut justru menimbulkan beragam conflict of interest di tengah masyarakat, antara pihak perusahaan, pemerintah setempat dan masyarakat lingkar tambang yang terdampak.
1.5.2 Teori Kepastian Hukum (Legal Certainty)
Teori kepastian hukum awalnya bersumber dari pemikiran kaum legal positivism di dunia hukum, yang melihat hukum dalam wujud kepastian undang – undang. Menurut mereka hukum tidak lain hanyalah kumpulan norma – norma hukum, asas – asas hukum, dan dan aturan – aturan hukum, sehingga bagi penganut aliran ini hukum semata – mata bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum.”30
Pada Tahun 1961 teori Xxxxxx Xxxxxxxx memberikan kontribusi yang mendasar bagi perkembangan teori ini melalui bukunya Einfuehrung in Die Rechtswissenchaft. Menurutnya dalam menyikapi fenomena hukum modern, maka terdapat tujuan atau cita hukum yang dapat membimbing manusia dalam kehidupannya berhukum.31 Untuk mewujudkan tujuan atau cita hukum tersebut,
29Ibid. hlm. 85.
30Xxxxxx Xxx, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang – Undang (Legislasiprudence), (Jakarta : Prenada Media Group 2009), hlm. 284.
31 Ibid. hlm. 289.
21
menurut Xxxxxxxx harus ditopang oleh tiga nilai dasar (Grundwerten) yaitu Keadilan (Gerechtigkeit), kemanfatan (Zweckmaeszigkeit), dan kepastian hukum (Rechtssicherkeit).32
Menurut Xxxxxxxx, dalam penerapan ketiga nilai dasar tersebut harus menggunakan asas prioritas sebab jika tidak maka akan terjadi benturan atau ketegangan diantara ketiganya. Menurutnya asas prioritas pertama yaitu keadilan, kedua adalah kemanfaatan dan yang ketiga yaitu kepastian hukum. Nilai dasar kemanfaatan dan kepastian hukum tidak boleh bertentangan dengan keadilan, begitupun halnya dengan nilai dasar kepastian hukum yang tidak boleh bertentangan dengan kemanfaatan.33
Bagi Xxxxxxxx, aspek keadilan menunjuk pada kesamaan hak di depan hukum. Aspek finalitas, menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma
– norma yang memajukan kebaikan), benar – benar berfungsi sebagai peraturan yang di taati. Dapat dikatakan bahwa dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka opersional hukum.34
Kepastian hukum pada dasarnya yaitu menyangkut masalah “Law Sicherkeit durh das Recht,” yaitu untuk memastikan bahwa pencurian, pembunuhan dan segala macam prilaku negatif lainnya merupakan kejahatan. Menurut Professor
32 Ibid.
33 Ibid.
34 Xxxxxxx X Xxxxx, dkk. Op. Cit., hlm. 118.
22
Sacjipto Xxxxxxxx, ada empat hal yang berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu : 35
“1. Bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundang – undangan (Gesetzliches Recht);
2. Hukum selalu didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan merupakan suatu rumusan penilaian yang nantinya akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”, “kesopanan”;
3. Fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas untuk menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, disamping juga mudah dijalankan;
4. Hukum itu tidak boleh sering di ubah – ubah untuk menimbulkan kepastian hukum dalam masyarakat.”
Menurut Professor Xxxxxxxx Xxxxxxxx kepastian hukum merupakan ikon yang menjadi dasar hukum modern saat ini, sebab tidak dapat dipungkiri jika masyarakat modern sangat membutuhkan yang namanya kepastian dalam berbagai interaksinya dengan sesamanya. Kepastian hukum seolah telah menjadi sebuah ideologi masyarakat dalam kehidupan berhukumnya. Meskipun untuk mewujudkan kepastian hukum dalam masyarakat tidak serta merta ada ketika negara hukum terbentuk, melainkan dibutuhkan proses – proses lain, antara lain yaitu proses psikologis dan politik.36
Dalam norma hukum tertulis, kepastian menjadi ciri yang tidak dapat dipisahkan, sebab hukum tanpa adanya nilai kepastian akan kehilangan makna. Kepastian menjadi pedoman berprilaku setiap orang untuk itulah kepastian menjadi salah satu dari tujuan hukum, agar keteraturan dalam kehidupan masyarakat dapat terwujud.37
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kepastian hukum itu mempunyai relasi yang erat dengan instrument hukum positif dan peranan negara dalam
35 Xxxxxx Xxx, Op.Cit., hlm. 293.
36 Ibid. hlm. 290.
37 Xxxxxxx X Xxxxx, dkk, Op. Cit., hlm. 118.
23
mengaktualisasikannya pada hukum positif. Jika dihubungkan dalam kasus penelitian ini maka peraturan perundang – undangan yang dibuat seyogyanya untuk menciptakan kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dan mampu mempertahankan ketertiban dalam masyarakat dan meminimalisir conflict of interest di antara para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan CSR.
1.5.3 Teori Corporate Social Responsibility (CSR)
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan satu bentuk tindakan yang berangkat dari pertimbangan etis perusahaan yang diarahkan untuk meningkatkan ekonomi yang tentunya disertai dengan peningkatan kualitas hidup bagi karyawan berikut keluarganya dan masyarakat sekitar yang terdampak serta masyarakat umum secara lebih luas.
Dalam konteks global, konsep awal Corporate Social Responsibility (CSR) secara eksplisit dikemukakan oleh Xxxxxx R. Xxxxx melalui karyanya yang berjudul ‘Social Responsibilities of the Businessmen’.”38 Meskipun dalam karyanya tersebut Xxxxx hanya memberikan landasan awal pengenalan terhadap pelaku bisnis terkait kewajiban dalam menetapkan tujuan bisnis yang selaras dengan nilai – nilai dalam masyarakat.39 Namun, prinsip – prinsip tanggung jawab yang dikemukakan Xxxxx mendapat pengakuan publik dizaman itu hingga kemudian Xxxxx secara aklamasi dinobatkan sebagai bapak CSR. 40
Ditahun 1960 – an, prinsip – prinsip yang dikemukakan Xxxxx terus dikembangkan oleh berbagai ahli sosiologi bisnis lainnya seperti Xxxxx Xxxxx,
38Ismail Solihin, Corporate Social Responsibility : From Charity to Sustainability,
(Jakarta : Salemba Empat, 2015), hlm. 15.
40Ibid. hlm. 16.
24
yang menambahkan dimensi tanggung jawab dengan memperkenalkan konsep
Iron Law of Responsibility, dimana menurut Xxxxx bahwa :41
“Tanggungjawab sosial para pelaku bisnis sejalan dengan kekuasaan sosial yang mereka miliki, oleh karenanya bila pelaku usaha mengabaikan tanggung jawab sosial maka hal ini bisa mengakibatkan merosotnya kekuatan sosial perusahaan.”
Argument – argument Xxxxx ini kemudian menjadi cikal bakal berkembangnya konsep CSR di tahun 1970 –an. Selain itu, konsep Xxxxx ini juga menjadi kiblat akan pentingnya reputasi dan legitimasi publik atas keberlangsungan suatu perusahaan.
Seiring dengan pesatnya perkembangan sektor dunia usaha dari masa ke masa, konsep CSR pun mengalami perkembangan, terlebih setelah Xxxx Xxxxxxxxx menuangkan konsep CSR dalam bukunya berjudul With Forks : The Tripple Bottom Line in 21st Century Business 1998. Menurut Xxxxxxxxx dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan bahwa idealnya CSR adalah berpijak pada tiga prinsip utama, yaitu : profit (keuntungan), people (masyarakat), dan planet (lingkungan). Dengan keberadaan CSR dalam perusahaan, diharapkan bisnis yang dijalankan tidak semata – mata mementingkan profit sebesar – besarnya, melainkan juga harus turut berperan aktif dalam pembangunan masyarakat dan lingkungan disekitarnya.42
Selanjutnya konsep CSR dikembangkan lagi secara lebih teoritis dan sistematis oleh Xxxxxx X. Xxxxxx dalam konsep piramida tanggung jawab sosial perusahaan yang memberikan justifikasi logis mengapa sebuah perusahaan perlu
41Ibid. hlm. 17.
42Kata Sambutan Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx dalam buku Xxxx Xxxxxx, CSR dalam Dunia Bisnis, (Yogyakarta : Xxxx Xxxxxx, 2014), hlm. ix.
25
menerapkan Tanggung jawab Sosial dan lingkungan bagi masyarakat disekitarnya. Xxxxxx membagi komponen – komponen tanggung jawab sosial perusahaan tersebut menjadi empat kategori yaitu :43
“a. Economic Responsibilities, kata kuncinya adalah: make a profit. Dalam kategori ini motif utama perusahaan adalah menghasilkan laba/keuntungan, dimana Laba adalah fondasi dari sebuah perusahaan. Perusahaan harus memiliki nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat agar perusahaan dapat hidup terus (survive) dan berkembang.
b. Legal Responsibilities, kata kuncinya : obey the law. Dalam kategori ini Perusahaan diharapkan dalam menjalankan bisnisnya harus menaati hukum. Dalam proses mencari laba, perusahaan tidak boleh melanggar peraturan dan hukum yang telah ditetapkan pemerintah.
c. Ethical Responsibilities, kata kuncinya : be ethical. Dalam kategori ini Perusahaan di tuntut untuk bersikap etis dalam menjalankan bisnisnya. Sebab etika bisnis menunjukkan refleksi moral yang harus dimiliki oleh pelaku bisnis baik secara individu maupun secara kelembagaan (perusahaan). Dalam hal ini perusahaan memiliki kewajiban untuk menjalankan praktek bisnis yang baik, benar, adil, dan fair. Norma- norma masyarakat perlu menjadi rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan.
d. Discretionary Responsibilities, kata kuncinya : be a good citizen. Dalam kategori ini perusahaan dituntut selain harus memperoleh laba, taat hukum dan berperilaku etis, perusahaan juga harus memberikan kontribusi yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua elemen masyarakat khususnya masyarakat terdampak.”
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dampak pelaksanaan CSR merupakan isu penting yang sejalan dengan menguatnya tuntutan masyarakat agar pelaksanaan program CSR tidak semata – mata hanya bersifat charity saja, melainkan dapat memberikan kontribusi pada peningkatan perekonomian masyarakat secara berkesinambungan.
1.5.4 Teori Tanggung Jawab
Dalam kamus hukum terdapat dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah
43Ismail Solihin, Op.,Cit., hlm. 21- 22.
26
hukum yang luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab. Menurut Xxxxxx, Liability meliputi semua karakter hak dan kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang. Sementara Responsibility lebih pada hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, termasuk putusan, ketrampilan, kemampuan dan kecakapan yang meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility menunjuk pada pertanggungjawaban politik.44
Pada dasarnya konsep tanggung jawab sosial tidak berbeda jauh dengan konsep tanggung jawab pada umumnya. Dalam teori tanggung jawab lebih dimaknai dalam arti liability sebab lebih ditekankan pada makna tanggung jawab yang berasal dari ketentuan peraturan perundang – undangan, sementara teori tanggung jawab sosial bersumber dari kebebasan positif sehingga lebih ditekankan pada tanggung jawab dalam responsibility.45
Bila teori tanggung jawab dihubungkan dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab perusahaan dalam hal ini lebih ditekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholders dalam arti yang luas bukan pada kepentingan perusahaan semata. Konsep tanggung jawab disini yaitu tanggung jawab perusahaan atas segala kegiatan usahanya yang berdampak
00Xxxxxx X.X, Xxxxx Xxxxxxxxxxxx Xxxxxx, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.
335-337.
45Xxxxxx Xxxxxx, Op. Cit., hlm. 54.
27
pada orang – orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan tempat perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya.
Sebagai badan hukum (recht person) maka dapat dikategorikan perusahaan cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dalam arti bahwa dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh organ atau pengurusnya, dimana dalam prosesnya tidak menutup kemungkinan terjadinya kekhilafan atau kelalaian yang harus dipertanggungjawabkan. Secara teoritis, sebagai badan hukum perusahaan dapat bertanggung jawab melalui dua proses, yaitu pertanggungjawaban secara yuridis atau hukum dalam arti tanggung jawab dalam makna liability, dan pertanggungjawaban secara moral atau etis dalam arti tanggungjawab dalam makna responsibility.46
Sementara itu jika teori tanggung jawab dikaitkan dengan pemerintah daerah selaku pihak yang berwenang, maka pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu: 47
“a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab ditujukan pada manusia selaku pribadi.
x. Xxxxx fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.”
Suatu konsep yang terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang yang bertanggung jawab secara
46Ibid., hlm. 57.
47Xxxxxx X.X, Op.Cit., hlm. 365.
28
hukum atas perbuatan tertentu bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi dalam kasus perbuatannya bertentangan atau berlawanan hukum. Sanksi dikenakan karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggungjawab.
Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab: pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).48 Tanggung jawab mutlak yaitu suatu perbuatan menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang dan ada suatu hubungan antara perbuatan dengan akibatnya. Tiada hubungan antara keadaan jiwa si pelaku dengan akibat dari perbuatannya.
Menurut Xxxx Xxxxxx dalam teorinya tentang tanggung jawab hukum menyatakan bahwa, seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu dan dia memikul tanggung jawab hukum, yang artinya bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatannya bertentangan dengan hukum.49 Lebih lanjut Xxxx Xxxxxx menyatakan bahwa50:
“Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hukum disebut kekhilafan (negligence); dan kekhilafan biasanya dipandang sebagai satu jenis lain dari kesalahan (culpa), walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan menghendaki, dengan atau tanpa maksud jahat, akibat yang membahayakan.”
Xxxx Xxxxxx selanjutnya membagi tanggung jawab menjadi 4 (empat) bagian yang terdiri dari :51
48Jimly Xxxxxxxxxxx dan Xxx Xxxx’xx, Xxxxx Xxxx Xxxxxx tentang Hukum, Jakarta : Konstitusi Press, 2006), hlm. 61.
49Xxxx Xxxxxx, General Theory Of Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, terjemahan Soemardi, (Jakarta : BEE Media Indonesia, 2007), hlm. 81.
50Ibid., hlm. 83.
51Xxxx Xxxxxx, Teori Hukum Murni, terjemahan Xxxxxx Xxxxxxxx, (Bandung : Nuansa & Nusamedia, 2006), hlm. 140.
29
“a. Pertanggungjawaban individu yaitu seorang individu bertanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri;
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain;
x. Xxxtanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian;
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak sengaja dan tidak diperkirakan.”
1.6 Orisinalitas Penelitian
Tabel 1 : Orisinalitas Penelitian
No | Data Tesis | Persamaan | Perbedaan |
1. | Xxxxx Xxx’xxx, S.H, Implementasi Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai Modal Sosial pada PT. Newmont, Universitas Diponegoro, 2009 | Membahas mengenai respon Perusahaan dalam mengimplementasikan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sesuai dengan amanat Pasal 74 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. | Dalam Tesisnya Xxxxx Xxx’xxx, SH, membahas mengenai efektivitas kegiatan – kegiatan CSR yang telah dilakukan PT Newmont kepada masyarakat lingkar tambang dan sekitarnya pada berbagai sektor dalam meredam resistensi masyarakat yang kian meningkat terhadap keberadaan PT. Newmont, sedangkan dalam penelitian ini, penulis membahas mengenai pengalihan pengelolaan CSR PT. Vale Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah. |
2. | Xxxxx Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, S.H, Tinjauan Yuridis Mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan/CSR Bukan Sebagai | Membahas mengenai kewajiban Perusahaan dalam melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (CSR) sebagai wujud tanggung jawab | Dalam Tesisnya, Xxxxx Xxx Xxxxxxx XX, membahas mengenai CSR PT. Inco Tbk (dalam bentuk Nikel kadar rendah sebanyak 222.000 wmt) yang diserahkan kepada |
30
Barang Milik Negara atau Barang Milik Daerah, Universitas Indonesia, 2015 | perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam. | masyarakat Kabupaten Kolaka melalui Bupati Kolaka, yang dituangkan dalam bentuk Perjanjian Serah Terima Pengelolaan dan Pemanfaatan Nikel Kadar Rendah. Oleh Bupati Kolaka Nikel tersebut kemudian dijual kepada PT. KMI melalui Perjanjian Jual Beli Nikel Kadar Rendah. Dalam prosedur pengelolaannya Bupati Kolaka tidak memperlakukan Nikel Kadar Rendah tersebut sebagaimana Barang Milik Daerah. Olehnya dalam penelitian Tesisnya, Johny lebih fokus pada kedudukan CSR dalam UUPT jika dihubungkan dengan peraturan perundang – undangan yang terkait dengan Keungan Negara (untuk mengetahui apakah dana CSR PT. Inco tersebut termasuk dalam Barang Milik Daerah Kolaka), sementara dalam Penelitian ini, penulis lebih fokus pada keabsahan dana CSR PT. Vale Indonesia yang dirubah bentuknya menjadi Dana Hibah kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang kemudian dimasukkan ke dalam APBD Perubahan Tahun 2016. | |
3. | Xxxxx Xxxx, S.H, Xxxxxxan Xxxxxxx Xxxxxxxx Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan | Membahas mengenai pelaksanaan kegiatan CSR sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan kepada masyarakat disekitarnya. | Dalam Tesisnya, Xxxxx Xxxx, SH, membahas mengenai kegiatan CSR PT. Tirta Investama Klaten yang tidak berdampak signifikan pada peningkatan perekonomian |
31
(Corporate Social Responsibility) PT. Tirta Investama Klaten Pasca Berlakunya Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas demi Terwujudnya Pembangunan Berkelanjutan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2016 | masyarakat setempat. Dalam penelitiannya Vredy menyimpulkan bahwa setiap perusahaan dalam melaksanakan kegiatan CSR, harus benar – benar menganggarkan dan memperhitungkan tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagai sebuah etika bisnis yang mencerminkan nilai kepatutan dan kelayakan sebagaimana di atur dalam Pasal 74 ayat (2) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sementara dalam penelitian ini, peneliti akan membahas mengenai implikasi yuridis terhadap pihak – pihak yang terkait dalam penyaluran dana CSR di Sulawesi Tengah yaitu PT. Vale Indonesia dan Pemerintah Sulawesi Tengah. |
32
1.7 Desain Penelitian
Latar Belakang Masalah :
• Dasar Hukum pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR) di Indonesia yaitu Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas masih terdapat banyak kelemahan mendasar dalam memenuhi kompleksitas pelaksanaan CSR dilapangan.
• Kekosongan hukum ini kemudian mengakibatkan perbedaan dalam memandang CSR, yang kemudian berdampak pada munculnya berbagai rumusan tentang CSR serta program yang termasuk di dalamnya, sesuai dengan perspektif masing – masing pihak.
• Puluhan Raperda (Rancangan Peraturan Daerah), Perda (Peraturan Daerah) dan kebijakan Pemerintah Daerah lainnya dengan beragam bentuk mengenai pengelolaan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (CSR) bermunculan di berbagai daerah di Indonesia.
• Di Sulawesi Tengah, tanggal 14 Januari 2016, pengelolaan CSR PT. Vale Indonesia sebesar 11,7 M, dialihkan pengelolaannya kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, dan dituangkan dalam bentuk Perjanjian Hibah Nomor Nomor: 001/NHPD-Sulteng/I/2016 dan Nomor: 970/01/DISPENDA/2016 tentang Dana hibah, yang kemudian dana tersebut dimasukkan ke dalam APBD Perubahan Tahun 2016 dan didistribusikan ke 11 SKPD dan 3 Biro Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah.
Kajian Pustaka :
1. Corporate Social Responsibility
2. Pemerintah daerah dan pengelolaan Keuangan Daerah
3. Perjanjian dan Hibah
Permasalahan Hukum :
1. Apakah dana CSR dalam bentuk Hibah Daerah tidak memenuhi asas wajar dan patut?
2. Bagaimanakah Implikasi yuridis Perjanjian Hibah Antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah dengan PT. Vale Indonesia Nomor : 970/01/DISPENDA/2016 tanggal 14 Januari 2016 tentang Dana Hibah yang tidak memenuhi asas wajar dan patut?
Kerangka Teoritik :
1. Teori Kemanfaatan
2. Teori Kepastian Hukum
3. Teori Corporate Social Responsibility
4. Teori Tanggung Jawab
Metode Penelitian :
Penelitian ini merupakan penelitian Hukum Yuridis Normatif dengan menggunakan pendekatan Perundang – undangan, pendekatan kasus dan pendekatan konseptual.
33
1.8 Metode Penelitian
1.8.1 Jenis Penelitian.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang membahas mengenai doktrin – doktrin atau asas - asas dalam ilmu hukum.52 Penelitian ini dilakukan dengan cara menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas - asas, konsepsi, norma, kaidah dari peraturan perundang – undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Dalam penelitian yang sedang penulis teliti, terdapat kejanggalan dalam pelaksanaan CSR, dimana dalam kasus tersebut terdapat pengalihan dana CSR milik PT Vale Indonesia kepada Pemprov Sulteng melalui Perjanjian Hibah antara kedua belah pihak, yang kemudian dana tersebut dimasukkan ke dalam APBD Perubahan Pemprov Sulawesi Tengah Tahun 2016. Atas dasar itulah penulis ingin mengkaji apakah perubahan dana CSR menjadi hibah tersebut telah benar atau melanggar menurut peraturan perundang – undangan yang terkait bagaimana implikasi yuridis terhadap perjanjian hibah yang disepakati oleh kedua belah pihak tersebut.
1.8.2 Pendekatan Penelitian.
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan 3 (tiga) pendekatan yaitu sebagai berikut :
a. Pendekatan Perundang – undangan (Statute Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang diteliti. Dalam pendekatan ini, penulis melakukan analisis terhadap Pasal 1 angka 1 dan Pasal 74
52 Xxxxxxxxx Xxx, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika , 2014), hlm. 24.
34
Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (PP CSR) yang penulis gunakan untuk menjawab rumusan masalah
angka satu. Selanjutnya penulis juga akan menganalisis Pasal 1320 KUH Perdata, Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 huruf a Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang
– Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang penulis gunakan untuk menjawab rumusan masalah angka 2.
b. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan ini berdasarkan pada pandangan dan doktrin yang berkembang
di dalam ilmu hukum atau terdapat dalam sebuah Undang – Undang. Pendekatan
ini menjadi penting karena pemahaman terhadap pandangan/doktrin yang terdapat
dalam sebuah Undang – Undang dapat menjadi pijakan untuk membangun
argumentasi hukum dalam menyelesaikan isu hukum yang diteliti. Dalam
penelitian ini, penulis akan menganalisis konsep atau prinsip yang terkandung
dalam peraturan perundang – undangan sebagaimana yang telah penulis sebutkan
dalam Pendekatan Perundang – undangan (Statuta Appproach) di atas mengenai
tanggung jawab perusahaan dalam melaksanakan program CSR dan asas
kepatutan dan kewajaran dalam pelaksanaannya.
c. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Pendekatan ini pada dasarnya dilakukan dengan cara memusatkan diri
secara intensif pada suatu obyek tertentu untuk mendapatkan gambaran terperinci
mengenai suatu kasus. Dalam penelitian ini, penulis akan mendalami kasus
35
pengalihan pengelolaan dana CSR PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk kepada
Universitas Soedirman (UNSOED) Surabaya. Dalam kasus tersebut UNSOED
mendapatkan dana hibah dari PT. Xxxxx Xxxxxxx (Persero) Tbk sebagaimana
disebutkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama Antara PT. Xxxxx Xxxxxxx
(Persero) Tbk dengan Nomor 342/0505/UAT/2011 dan Nomor 1397/H23/KU.05/2011 tanggal 5 Agustus 2011.53 Namun yang membedakan dengan kasus yang penulis teliti yaitu dalam kasus tersebut, PT. Aneka Tambang
(Persero) Tbk merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dimana
keuangan negara yang dimasukkan dalam PT. Aneka Tambang (Persero) Tbk
tersebut secara yuridis merupakan bagian dari keuangan negara, sementara dalam
kasus yang penulis teliti, PT. Vale Indonesia murni badan hukum milik swasta.
Olehnya dalam penelitian ini, penulis akan menganalisis kekeliruan pengalihan
dana CSR PT. Vale Indonesia kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah
melalui dokumen – dokumen perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak dan
penulis juga akan melakukan wawancara kepada beberapa anggota DPRD
Provinsi Sulawesi Tengah yang hadir dalam rapat pembahasan APBD Perubahan
Tahun 2016, dimana dana CSR yang telah berubah bentuk menjadi Dana Hibah
tersebut dimasukkan ke dalam batang tubuh APBD Perubahan Tahun 2016.
53Putusan Mahkamah Agung Nomor 156 PK/PID.SUS/2015 Tahun 2016 terhadap Permohonan Peninjauan Kembali Xxxx. Xxx, Xx.X. xxx Xxxxxxxx; dkk., 2016, diakses dari : xxxxx://xxxxxxx.xxxxxxxxxxxxx.xx.xx/xxxxxxx/x00x00000x000xx00xx0xx000000x000,
pada hari Senin, 19 Maret 2018, pukul 16.30 WIB.
36
1.8.3 Jenis dan Sumber Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang memiliki otoritas
(autoritatif),54 sebab bahan hukum ini dibentuk secara resmi oleh lembaga negara
dan/atau badan – badan pemerintahan, dimana dalam upaya penegakkannya
dilakukan secara resmi oleh aparat negara berdasarkan daya paksa.55 Dalam
penelitian ini bahan hukum primer yang penulis gunakan yaitu berbagai macam
peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan Tanggung Jawab Sosial
dan Lingkungan Perseroan Terbatas yaitu Pasal 74 Undang – Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47
Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas,
serta peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan hibah daerah yaitu
Pasal 4 ayat (1) Peraturan pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah
Daerah. Adapun sumber bahan hukum dari bahan hukum primer ini yaitu dari
studi kepustakaan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum sekunder merupakan semua dokumen tidak resmi tentang
hukum yang dapat memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer. 56 Dalam
penelitian ini, penulis menggunakan bahan hukum sekunder berupa buku – buku,
jurnal, tesis, makalah hasil seminar dari pakar hukum, serta bahan hukum lain
yang memiliki keterkaitan erat dengan permasalahan yang dibahas dalam
54Ibid., hlm. 47.
55Soetandyo Xxxxxxxxxxxxxx, Hukum Konsep dan Metode, (Malang : Setara Press, 2013), hlm. 68.
56Xxxxxxxxx Xxx, Op. Cit., hlm. 54.
37
penelitian ini. Adapun sumber bahan hukum dari bahan hukum sekunder ini yaitu
dari studi kepustakaan, penelusuran internet serta wawancara dengan salah satu
anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah dan pengurus CSR Indonesia.
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam rangka pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu teknik pengumpulan bahan secara kualitatif. Peneliti mengumpulkan bahan
hukum yang terdapat dalam peraturan perundang – undangan, buku – buku,
jurnal, tesis, makalah hasil seminar dari pakar hukum dan data dari sumber –
sumber lain yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini.
1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian Interpretasi
Sistematis yaitu metode yang melihat bahwa hukum sebagai suatu kesatuan dalam
sistem peraturan, dimana dalam jenis penelitian ini dilakukan dengan cara
menafsirkan suatu peraturan dan menghubungkannya dengan peraturan hukum
lainnya dalam sistem hukum secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba menafsirkan prosedur
pelaksanaan CSR berdasarkan UUPT dan PP CSR sebagai dasar hukum dalam
pelaksanaan kegiatan CSR di Indonesia, kemudian penulis menghubungkannya
dengan peraturan perundang - undangan lainnya yang terkait dengan peraturan
mengenai CSR dan konsep CSR melalui bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder dari studi kepustakaan yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan
jawaban mengenai konsep kepatutan dan kewajaran dalam tanggung jawab dalam
38
CSR secara lebih rinci dan detail, dan bagaimana hubungan konsep tanggung
jawab tersebut dengan kasus yang sedang diteliti.
1.9 Definisi Konseptual
Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari gejala – gejala tertentu. Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep antara lain yaitu :
1.9.1 Perjanjian Hibah
Pengertian hibah menurut bahasa Indonesia adalah pemberian secara cuma – cuma melalui pengalihan hak dari seseorang kepada orang lain atas suatu barang tanpa adanya ganti rugi maupun penggantian dikemudian hari atas barang yang telah diberikan tersebut. Dalam hibah juga tidak diperkenankan untuk menarik atau mencabut kembali barang yang telah diberikan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak dan urgent sebagaimana diatur dalam Pasal 1688 KUH Perdata.57
Sementara hibah daerah sendiri yaitu pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah atau sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukkannya dan dilakukan melalui perjanjian.58
57Suatu penghibahan tidak dapat dicabut dan karena itu tidak dapat pula dibatalkan, kecuali dalam hal-hal berikut:
1. jika syarat-syarat penghibahan itu tidak dipenuhi oleh penerima hibah;
2. jika orang yang diberi hibah bersalah dengan melakukan atau ikut melakukan suatu usaha pembunuhan atau suatu kejahatan lain atas diri penghibah;
3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya. (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, Pasal 1688)
58Pasal 1 butir 10 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
39
1.9.2 Pemerintah Daerah
Arti kata pemerintah dalam makna yang sempit yaitu keseluruhan dari organ
– organ yang menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara pengertian pemerintah
daerah yaitu kepala daerah yang merupakan unsur penyelenggara Pemerintah
Daerah dalam meimpin pelaksanaan urusan pemerintahan sebagai bagian dari
kewenangan daerah otonom.59 Pemerintah Daerah yang dimaksud meliputi
Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah lainnya sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.60
Dalam menyelenggarakan roda pemerintahannya sebagai daerah otonom,
pemerintahan daerah berwenang untuk membuat Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah sebagai penjabaran dari peraturan perundang – undangan yang
tingkatannya lebih tinggi serta tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum.61
1.9.3 Perseroan Terbatas
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.62 Istilah “perseroan” menunjuk pada cara menentukan modal, yaitu terbagai dalam saham, sedangkan istilah “terbatas” menunjuk pada batas tanggung jawab pemegang saham, yaitu hanya sebatas jumlah nominal saham yang dimiliki.63
59 Pasal 1 butir 3 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
60 Pasal 1 butir 2 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah.
61 Suharizal dan Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Pemerintahan Daerah, Setelah Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta : Thafa Media, 2017), hlm. 54.
62 Pasal 1 butir 1 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
63Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Keempat Revisi,
40
Perseroan sebagai badan hukum, bermakna bahwa perseroan merupakan subjek hukum, dimana perseroan sebagai sebuah badan yang dapat dibebani hak dan kewajiban seperti halnya manusia. Subjek hukum adalah sesuatu yang dapat atau cakap melakukan perbuatan hukum atau melakukan tindakan perdata atau membuat suatu perikatan. Subjek hukum yang dikenal oleh para ahli hukum ada dua macam, yaitu: Orang pribadi (natural person) dan Badan hukum (legal entity).64
1.10 Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penelitian ini terdiri dari IV BAB, dimana dalam setiap BAB memiliki sub – sub BAB tersendiri, yang secara garis besarnya akan diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teori, kerangka konseptual, orisinalitas penulisan, design penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Pada Bab ini akan membahas mengenai kajian pustaka yang peneliti gunakan dalam menganalisis permasalahan hukum dalam penelitian ini yaitu mengenai Perjanjian Hibah, Pemerintah Daerah dan Perseroan Terbatas.
(Bandung : PT. Citra Xxxxxx Xxxxx), 2010, hlm. 109.
64Hardijan Xxxxx, Perseroan Terbatas Dan Aspek Hukumnya, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm. 17.
41
BAB III : PEMBAHASAN
Pada Bab ini penulis akan menganalisis mengenai patut tidaknya dana CSR yang diubah bentuknya menjadi dana Hibah berdasarkan asas kepatutan dan kewajaran dalam hukum perjanjian tepatnya Pasal 1320 KUH Perdata, serta peraturan lainnya terkait pengalihan dana CSR ke dalam bentuk hibah.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bab terakhir dan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Pada bab ini penulis akan menyimpulkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab – bab sebelumnya. Kemudian peneliti akan menutupnya dengan memberikan beberapa saran yang kiranya diperlukan dan bermanfaat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Hukum Indonesia
2.1.1 Sejarah CSR dunia dan Indonesia
Corporate Social Responsibility (CSR) atau di Indonesia dikenal dengan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perusahaan telah menjadi pemikiran para pembuat kebijakan sejak lama, bahkan pada zaman Hammurabi pada tahun 1700 SM, ditemukan sekitar 282 hukum yang memuat sanksi bagi para pengusaha yang lalai dalam menjaga kenyamanan warga atau yang menyebabkan kematian pelanggannya akibat produk yang dihasilkannya. Salah satu sanksi yang terdapat dalam kode Hammurabi yaitu hukuman mati kepada pengusaha yang menyalahgunakan izin penjualan minuman.65
Namun perkembangan CSR baru sangat terasa pada tahun 1960 – an, ketika Perang Dunia II telah usai dan masyarakat secara global telah pulih serta mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Sejumlah kalangan mulai fokus pada persoalan kemiskinan dan keterlebakangan yang semula diabaikan. Hal tersebut kemudian mendorong lahirnya berbagai aktivitas terkait pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi.
Perkembangan CSR juga ditandai dengan ide Xxxxxx R Xxxxx dalam bukunya yang berjudul Social Responsibility of The Businessmen dan dianggap
65Hangga Xxxxx Xxxxxxx, “CSR : Sekilas Sejarah dan Konsep”, xxxx://xxx.xxxxxxxx.xxx/, diakses pada hari Kamis, 9 Agustus 2018, pukul 15.30 WIB.
42
43
sebagai toggak bagi perkembangan CSR modern. Dalam bukunya tersebut, Xxxxx mengatakan bahwa, “obligation of businessman to pursue those policies, to make those decisions or to follow those line of action which are diserable in term of the objectives and values of our society.” Menurut Xxxxx, dalam menjalankan usahanya, perusahaan diwajibkan untuk sejalan dengan nilai – nilai dan tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat tempat dimana perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya. Prinsip – prinsip tanggung jawab yang dikemukakan Xxxxx tersebut kemudian menjadi dasar pijakan banyak kalangan khususnya kalangan dunia usaha, yang kemudian menobatkan Xxxxx sebagai bapak CSR secara aklamasi. Sejak saat itu, referensi – referensi mengenai CSR mulai bermunculan diberbagai belahan dunia dengan mengacu pada prinsip tanggung jawab sosial yang dikemukakan oleh Xxxxx.66
Pada tahun 1970 – an berbagai ahli sosialogi bisnis lainnya seperti Xxxxx Xxxxx, juga memperkenalkan konsep CSR yaitu Iron Law of Social Responsibility. Menurut Xxxxx, penekanan pada tanggung jawab sosial perusahaan memiliki korelasi positif dengan besarnya perusahaan. Studi ilmiah yang dilakukan Xxxxx menemukan bahwa semakin besar dampak yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan, maka semakin besar pula beban tanggung jawab perusahaan pada masyarakat, begitupun dengan kedudukan sosial perusahaan yang harus sepadan dengan tanggung jawab sosial mereka.
Kemudian masih di era yang sama pada tahun 1970 – 1980 konsep CSR diperluas lagi oleh Xxxxx X Xxxxxx secara lebih teoritis dan sistematis dalam
66 Xxxx Xxxxxx, Corporate Social Responsibility, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm 37.
44
konsep piramida tanggung jawab sosial perusahaan yang memberikan justifikaksi logis mengapa sebuah perusahaan perlu menerapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan bagi masyarakat disekitarnya.67 Pembagian CSR terangkum dalam “Four Part Model of Corporate Social Responsibility”, yang digambarkan menjadi sebuah piramida dengan empat lapisan yaitu :
1. Tanggung Jawab ekonomis. Tanggung jawab perusahaan dalam point ini yaitu make a profit, dimana motif utama perusahaan yaitu menghasilkan laba sebagai fondasi perusahaan. Sebab perusahaan harus memiliki nilai tambah ekonomi sebagai prasyarat untuk terus dapat hidup dan berkembang.
2. Tanggung jawab Legal. Makna dalam tanggung jawab ini, perusahaan harus patuh dan taat pada hukum atau peraturan perundang – undangan yang berlaku dalam segala aktivitasnya, baik dalam proses mencari laba, melaksanakan kegiatan CSR, maupun aktivitas lainnya.
3. Tanggung Jawab Etis. Tanggung jawab dalam point ini yaitu perusahaan harus bersikap etis, baik, benar, adil dan fair dalam menjalankan praktek bisnisnya. Perusahaan harus menjunjung tinggi norma – norma dalam masyarakat dan menjadikannya sebagai rujukan bagi perilaku organisasi perusahaan.
4. Tanggung Jawab filantropis. Makna dalam tanggung jawab ini yaitu perusahaan dituntut untuk memberikan kontribusi yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kualitas kehidupan semua pihak. Sehingga dalam posisi ini, pemilik maupun
67 Ibid., hlm. 37 – 39.
45
karyawan yang bekerja diperusahaan memiliki tanggung jawab ganda, yaitu tanggung jawab terhadap perusahaan dan kepada publik.
Kemudian pada tahun 1972, sebuah buku yang berjudul “The Limits to Growth”, yang merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome, mengemukakan bahwa pertumbuhan yang cepat baik dalam bidang kependudukan maupun industrialisasi telah melahirkan peningkatan yang dramatis dalam produksi dan konsumsi dunia, yang pada gilirannya akan membawa masalah kekurangan sumber daya alam dan polusi lingkungan yang tidak dapat terorganisir dengan baik.68 Buku tersebut meski mendapat banyak kritikan dari berbagai kalangan, namun juga menarik perhatian banyak pihak secara global untuk lebih perduli kepada isu – isu lingkungan dan sosial, sebab pesan dari buku tersebut sangat relevan dengan kondisi yang dihadapi saat ini, dimana pertumbuhan dunia terus menerus terjadi dalam segala hal, sementara bumi yang kita pijak ini memiliki keterbatasan daya dukung, termasuk keterbatasan memikul limbahnya, sehingga yang akan dihadapi manusia adalah kehancuran lingkungan, bahkan nampaknya kehancuran itu lebih cepat daripada yang diduga.
Selanjutnya perkembangan konsep CSR semakin besar melalui konsep yang dikemukakan oleh Xxxx Xxxxxxxxx melalui konsep 3P (profit, people, dan planet) yang dijabarkan dalam bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Botton Line of Twentieth Century Business” yang diterbitkan pada tahun 1997. Menurut Xxxxxxxxx, sebuah perusahaan jika ingin bertahan lama dalam dunia usahanya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan 3P tersebut, dimana bukan hanya
68 Xxxxx Xxxxxxxx, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR, (Jakarta : Fascho Publishing, 2007), hlm. 5.
46
keuntungan (profit) yang menjadi prioritas, melainkan juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Kemudian konsep CSR semakin berkembang pesat dan menyebar keberbagai belahan dunia setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002. 69
Di Indonesia sendiri, gagasan tentang CSR sudah menyita banyak pihak sejak tahun 1990 – an, meskipun sebenarnya pada tahun 1970 – an istilah CSR sudah mulai berkembang. Seperti hal lahirnya CSR didunia, di Indonesia, istilah atau konsep CSR juga hadir ketika kegiatan - kegiatan CSR sebenarnya telah dilakukan dengan nama yang berbeda. Pada masa itu kegiatan perusahaan yang secara faktual mendekati konsep CSR dalam hal peran serta dan kepeduliannya terhadap aspek sosial dan lingkungan dinamakan CSA (Corporate Social Activity). Meskipun pada penerapannya kegiatan CSA lebih pada konsep charity dan philanthropy, yang lebih dipahami sebatas derma perusahaan agar dipandang baik oleh masyarakat atau dapat dikatakan kegiatan tersebut lebih pada pencitraan positif perusahaan.70
Beberapa tahun kemudian ide tentang CSR mulai berkembang di Indonesia dan pemerintah mulai berfikir untuk melakukan intervensi dalam pelaksanaan CSR dengan tujuan memperluas lingkup CSR, yang tidak hanya bertanggung jawab pada pemegang saham, namun juga bertanggung jawab kepada stakeholders dan lingkungan dimana perusahaan tersebut melakukan kegiatan usahanya. Awal mula munculnya ide ini lahir atas desakan organisasi – organisasi
69 Ibid., hlm. 6-7.
70 Xxx Xxxx, “Corporate Social Responsibility (CSR)”. Edisi 1, (Jakarta : Graha Ilmu, 2011), hlm. 96.
47
masyarakat sipil atas praktek dan cara – cara perusahaan yang tidak etis bahkan dapat dikategorikan kejahatan korporasi dalam beberapa kasus. Meskipun awal dimasukkannya konsep CSR dalam peraturan perundang – undangan di Indonesia mengalami pro dan kontra dalam bentuk wujudnya yang semula hanya bersifat voluntary menjadi mandatory.
Kemudian pada tahun 1994, pemerintah Indonesia mulai mengatur kegiatan CSR dalam regulasi yaitu melalui Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 316/KMK/016/1994 tentang Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi oleh Badan Usaha Milik Negara, yang setelahnya dikukuhkan lagi dalam Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No. Kep- 236/MBU/2003, dimana dalam aturan tersebut menetapkan bahwa setiap perusahaan diwajibkan menyisihkan laba setelah pajak sebesar 1% (satu persen) sampai 3% (tiga persen), yang dikenal dengan nama PKBL (Program Kemitraan Bina Lingkungan). Dalam kegiatan PKBL ini terdapat dua program yaitu kegiatan penguatan usaha kecil melalui bantuan pinjaman dana bergulir dan kegiatan pendampingan (program kemitraan) serta kegiatan pemberdayaan sosial masyarakat (kegiatan bina lingkungan). Kegiatan BKPL ini awalnya merupakan kegiatan CSR yang diformulasikan untuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) atau perusahaan dimana operasionalnya tidak berhubungan langsung dengan pemanfaatan sumber daya alam, seperti perusahaan yang bergerak dibidang perbankan, telekomunikasi dan lain sebagainya.71
Pada beberapa tahun setelahnya perkembangan CSR terus berkembang di Indonesia yang ditandai dengan diaturnya kegiatan CSR dalam beberapa
71 Firdaus, “Corporate Social Responsibiliity”, Jurnal ilmiah Hukum, Fakultas Hukum Universitas Riau, Edisi 1, No. 1, 2010.
48
peraturan perundang – undangan, meskipun istilah yang digunakan dalam peraturan – peraturan tersebut masih sangat beragam dalam menyebutkan kegiatan CSR. Nanti setelah tahun 2007 dalam Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 baru disebutkan secara eksplisit tentang Tanggung Jawab Soosial dan Lingkungan, yang kemudian di kukuhkan lagi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 74 UUPT. Dengan adanya peraturan – peraturan tersebut mewajibkan perusahaan untuk melaksanakan kegiatan CSR yang rencana kegiatan dan anggarannya diperhitungkan sebagai biaya Perusahaan.72
2.1.2 Pengertian CSR dalam Peraturan Perundangan – undangan di Indonesia.
Pengertian Tanggung jawab Sosial dan Lingkungan (CSR) adalah komitmen perusahaan untuk berkontribusi pada keseimbangan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan yang terangkum dalam konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan. Sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan, kegiatan CSR menjadi penting untuk dilaksanakan secara konkrit oleh perusahaan, mengingat keberadaan perusahaan selain memberikan kontribusi pada perkembangan ekonomi nasional khususnya bagi perusahaan berskala besar yang bergerak dibidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, juga mengeksploitasi sumber – sumber daya alam, yang berdampak pada terjadinya degradasi lingkungan yang parah. Oleh karenanya aturan dalam penerapan CSR sangat
72Amrul Xxxxxxxxx Xxxxx, “Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas,” Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang – Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Vol. 6 No. 2 Juni 2009, hlm. 345.
49
dibutuhkan sebagai pengontrol bagi aktivitas perusahaan yang tidak memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Konsep CSR sendiri sebenarnya sejalan dengan Pasal 33 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45), dimana dalam Pasal 33 ayat (4) dijelaskan bahwa setiap pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya dalam rangka memperoleh keuntungan harus memperhatikan keadaan lingkungan sekitar dan lingkungan sosial tempat kegiatan usahanya beroperasi.73
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 tersebut dapat dicermati jika tanggung jawab atas kesejahteraan masyarakat Indonesia bukan semata – mata menjadi tanggung jawab salah satu pihak saja, melainkan menjadi tanggung jawab semua pihak yang turut menikmati kekayaan alam Negara ini. Salah satu tanggung jawab tersebut dibebankan kepada pengusaha sebagai pelaku usaha yang secara langsung mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia dan memperoleh keuntungan dari aktivitasnya tersebut.
Awal penerapan CSR di Indonesia pada mulanya bersifat sukarela (voluntary), sehingga penerapannya pun bebas tafsir dan tergantung pada kepentingan masing – masing perusahaan. Nanti di tahun 2007, CSR diatur dalam Pasal 1 UUPT dan kemudian secara normatif diatur dalam Pasal 74. Konsekuensi dari dimasukkannya klausula CSR dalam Pasal 74 tersebut, keberadaan CSR telah memiliki daya atur, daya ikat, dan daya paksa. Aktivitas CSR yang semula bersifat sukarela karena hanya berdasarkan tanggung jawab moral pelaku usaha (responsibility) berubah menjadi tanggung jawab hukum (liability), sebab menjadi
73“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” (Pasal 33 ayat (4) UUD 1945)
50
objek hukum yang dapat dipaksakan, dimana apabila tidak dilaksanakan akan dikenai sanksi.74 Adapun regulasi di Indonesia yang terkait dengan kegiatan CSR yaitu sebagai berikut :
a. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)
Sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, manusia memiliki Hak Asasi yang melekat pada dirinya, dimana hak tersebut harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap orang dalam rangka menjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia, bahkan wajib dilindungi oleh negara, hukum, dan pemerintah. Dalam Pasal 9 UU HAM disebutkan bahwa : 75
“a. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya;
b. Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin;
c. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Kemudian dalam Pasal 11 disebutkan juga bahwa setiap orang berhak atas pemenuhan kebutuhan dasarnya untuk tumbuh dan berkembang secara layak.76 Berdasarkan ketentuan kedua pasal tersebut jika dihubungkan dengan konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan, maka seyogyanya setiap perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya harus memenuhi hak masyarakat khususnya masyarakat lingkar tambang yang terkena dampak langsung dari aktivitas produksinya, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 9 ayat (3).
74 Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI. Op.,Cit. hlm. 3-4.
75 Pasal 9 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
76 Pasal 11 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
51
b. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Minyak dan Gas Bumi)
Dalam UU Minyak dan Gas Bumi memang tidak secara eksplisit mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Namun bila ditelaah secara mendalam, ketentuan Pasal 11 ayat (3) UU tersebut menyinggung secara tersirat mengenai CSR. Dalam Pasal 11 ayat (3) tersebut dijelaskan jika sebuah Kontrak Kerja Sama wajib memuat 17 poin ketentuan – ketentuan pokok. Dua diantara ke - 17 point tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak – hak masyarakat adat menjadi ketentuan pokok yang harus dimuat dalam Kontrak Kerja Sama tersebut. Dimana dalam Pasal 1 angka 19 yang menjelaskan mengenai pengertian Kontrak Kerja Sama menyebutkan bahwa hasil dari kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi dipergunakan untuk sebesar – besarnya untuk kemakmuran rakyat.77
c. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN)
Hubungan tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan UU BUMN dapat dilihat pada Pasal 88 dan Pasal 90 UU BUMN. Dimana dalam Pasal 88 UU BUMN dijelaskan bahwa :78
“(1) BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil / koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.”
77 Pasal 1 angka 19 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
78 Pasal 88 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
52
Kemudian dalam Pasal 90 BUMN dijelaskan bahwa :79
“BUMN dalam batas kepatutan hanya dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan sosial dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.”
Sebagaimana perintah dalam Pasal 88 UU BUMN tentang ketentuan lebih lanjut mengenai penyisihan dan penggunaan laba, maka ketentuan tersebut ditindak lanjuti dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-09/NIBU/07/2015 tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) Badan Usaha Milik Negara. Keberadaan Peraturan Menteri tersebut yaitu untuk mengatur penyaluran dana dari Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan, yang mana kedua program tersebut bertujuan untuk meningkatkan kemandirian usaha kecil dan pemberdayaan kondisi sosial masyarakat. Selain itu, dari program yang dicanangkan pemerintah melalui kedua program tersebut diharapkan dapat menciptakan pemerataan pembangunan melalui pemberdayaan masyarakat dengan memberinya kesempatan berusaha.
d. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU Penanaman Modal)
Dalam UU Penanaman Modal, tanggung jawab sosial perusahaan diatur dalam Pasal 15 huruf b. dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa :80
“Setiap Penanam modal berkewajiban :
a. Menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik;
b. Melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan;
c. Menghormati tradisi budaya masyarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal.”
79 Pasal 90 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
80 Pasal 15 huruf b Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
53
Kemudian dalam aturan penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa setiap perusahaan penanaman modal melekat sebuah tanggung jawab yang mengharuskannya untuk menciptakan keseimbangan dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
e. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
Dalam UUPT tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dalam Pasal 1 angka 3 yang menyebutkan bahwa Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.81
Selanjutnya ketentuan lain yang juga terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam UUPT yaitu dalam pasal 74, dimana dalam ketentuan Pasal tersebut menjelaskan bahwa :82
“(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaanya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.”
81 Pasal 1 angka 3 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
82 Pasal 74 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
54
Dari penjelasan Pasal 74 di atas, dapat ditarik satu benang merah bahwa tujuan dari ketentuan Pasal tersebut yaitu mencoba menciptakan hubungan yang seimbang dan serasi antara Perusahaan dengan masyarakat dalam segala hal baik dari segi norma, budaya maupun lingkungannya. Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang menjadi kewajiban setiap perusahaan yang kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam, dapat dilaksanakan di dalam maupun di luar lingkungan Perusahaan.
f. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba)
Dalam UU Minerba aktivitas CSR tidak disebutkan secara eksplisit dan Istilah yang dipergunakanpun yaitu program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 108 ayat (1) UU Minerba yang menyebutkan bahwa Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.83 Sementara dalam Pasal 1 angka 28 UU Minerba, pemberdayaan masyarakat disebutkan sebagai usaha dalam rangka meningkatkan kemampuan masyarakat agar tingkat kehidupannya menjadi lebih baik.84
g. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) Hubungan UU Lingkungan Hidup dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dapat dilihat dari penerapan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) sebagai upaya prefentive yang dilakukan
83Pasal 108 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
84Pasal 1 angka 28 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
55
pemerintah dalam mengendalikan dampak secara dini akibat aktivitas perusahaan.
Dalam Pasal 1 angka 11 UU Lingkungan dijelaskan bahwa :85
“Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Kemudian pada Pasal 1 angka 12 dijelaskan juga bahwa :86
“Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”
Selanjutnya, dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan secara terperinci mengenai hubungan antara tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan dengan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) dijelaskan bahwa :87
“(1) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup;
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan dibawah ini :
85 Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
86 Pasal 1 angka 12 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
87 Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
56
a. Adanya bencana alam atau peperangan;
b. Adanya keadaan terpaksa diluar kemampuan manusia; atau
c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
Berdasarkan penjelasan dari ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) dan ayat
(2) tersebut, maka secara otomatis perusahaan bertanggung jawab secara mutlak membayar ganti rugi pada saat terjadinya pencemaran lingkungan hidup. Namun, dalam kesempatan berbeda ketika perusahaan mampu membuktikan beberapa alasan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35 ayat (2), maka perusahaan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi.
h. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin (UU Penanganan Fakir Miskin)
Dalam UU Penanganan Fakir Miskin terdapat dua Pasal yang menyinggung mengenai CSR yaitu Pasal 36 ayat (1) huruf c yang menyebutkan bahwa dana yang disisihkan dari perusahaan merupakan salah satu dari sumber pendanaan penanganan fakir miskin. Kemudian dalam Pasal 36 ayat (2) kembali ditekankan bahwa dana sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c, digunakan sebesar – besarnya untuk penanganan fakir miskin.
Kemudian dalam Pasal 41 ayat (3) dijelaskan pula bahwa :88
“Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j berperan serta dalam menyediakan dana pengembangan masyarakat sebagai perwujudan dari tangngung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin.”
i. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (UU Panas Bumi)
88 Pasal 41 ayat (3) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.
57
Tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan di jelaskan secara gamblang pada satu Pasal dalam UU Panas Bumi, yaitu Pasal 65 ayat (2) huruf b, yang berbunyi :89
“Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Panas Bumi masyarakat berhak untuk
: memperoleh manfaat atas kegiatan pengusahaan Panas Bumi melalui kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan dan/atau pengembangan masyarakat sekitar.”
j. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba)
Sebagai aturan pelaksana dari UU Minerba, maka dalam PP Minerba ini menjelaskan lebih lanjut mengenai apa yang telah diatur dalam UU Minerba mengenai pemberdayaan dan pengembangan masyarakat. Bahkan aturan mengenai pemberdayaan dan pengembangan masyarakat diatur dalam satu BAB khusus yaitu BAB XII yang terdiri dari empat pasal. Salah satunya yaitu Pasal 108 yang menjelaskan bahwa :90
“Setiap pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 110 ayat (1) bahwa pelanggaran dari ketentuan tersebut akan dikenai sanksi administratif sebagaimana yang diatur dalam ayat (2) dan ayat (3).
89 Pasal 65 ayat (2) huruf b Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.
90 Pasal 108 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
58
k. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (PP CSR)
PP CSR merupakan Peraturan Pemerintah yang diperintahkan pembentukkannya oleh UUPT sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 47 UUPT. Dalam PP CSR ini terdapat 9 Pasal yang seluruhnya mengatur tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan. Dalam Pasal 2 PP CSR dijelaskan bahwa sebagai subjek hukum maka perusahaan memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan,91 dimana tanggung jawab tersebut wajib dilakukan oleh perusahaan yang bergerak dibidang dan/atau berhubungan dengan sumber daya alam,92 dan pelaksanaannya dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar lingkungan perusahaan.93 Kemudian Direksi sebagai organ penyelenggara perusahaan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan CSR setelah mendapat persetujuan dari Dewan Komisaris atau RUPS berdasarkan rencana kerja tahunan perusahaan, 94yang diperhitungkan sebagai biaya perusahaan95 dengan tetap memperhatikan unsur kepatutan dan kewajaran.96
Banyaknya peraturan perundang – undangan yang mengatur mengenai CSR dalam beragam penamaan dan konsepnya, mengindikasikan bahwa pemerintah Indonesia sejak dulu telah memahami akan pentingnya kehadiran CSR sebagai salah satu instrument pendukung pembangunan perekonomian bangsa.
91 Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
92 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
93 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
94 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
95 Pasal 5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
96 Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.
59
Namun sayangnya, keinginan itu tidak ditindaklanjuti secara serius sehingga aturan yang ada tidak memiliki daya paksa yang kuat terhadap para pelaku usaha di Indonesia.
2.1.3 Ruang Lingkup CSR
Di Indonesia, pada awal perkembangan CSR, pelaksanaannya hanya merupakan tindakan yang bersifat sukarela yang berdampak hanya kepada orang – orang disekitar perseroan. Namun, ketika diberlakukannya UUPT, pelaksanaan CSR berdampak pula kepada orang – orang disekitar perseroan maupun masyarakat sekitar karena telah memiliki dasar hukum yang kuat.
Pada awalnya, ruang lingkup CSR hanya mengenai perlindungan terhadap hak – hak karyawan, konsumen dan mitra, serta masyarakat umum yang bertempat tinggal disekitar perseroan. Namun saat ini lingkup CSR mengalami perkembangan pesat, dimana CSR juga dituntut untuk peduli terhadap lingkungan hidup, menghargai HAM, dan berbisnis yang bebas dari suap dan korupsi. Ruang lingkup CSR dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Ruang Lingkup CSR dalam Arti Sempit97
1. CSR Kepada Karyawan
Baik di Eropa maupun di Amerika pada awal indutrialisasi, kondisi tenaga kerja tidak mendapatkan perhatian dan perlindungan. Tenaga kerja diperlakukan layaknya budak yang tenaganya diperas habis – habisan, bahkan timbul istilah perbudakan modern (modern slavery). Pada saat itu, tidak peraturan baku dalam
97 International Standard ISO 26000 : Guideline on Social Responsibility, (Jeneva: ISO, 2010), hlm. 79.
60
bekerja, misalnya peraturan mengenai jam kerja, usian pekerja, system upah, keselamatan kerja, serta perlindungan terhadap hak – hak pekerja.
Kondisi inilah yang kemudian mendorong para ahli untuk memberikan kritikan terhadap sistem perburuhan yang mengabaikan nilai – nilai kemanusiaan. Seiring dengan banyaknya kritikan dari berbagai pihak, hingga proses indutrialisasi di Eropa dan Amerika mulai memperhatikan hak – hak pekerja. Kondisi serupa juga menyebar ke beberapa negara maju termasuk juga negara – negara berkembang seperti Indonesia, salah satunya dengan berlakunya Undang – Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
2. CSR Kepada Stakeholder
Stakeholder yang dimaksud disini yaitu pihak – pihak eksternal yang turut mempengaruhi jalannya perseroan baik secara langsung maupun tidak langsung dan memiliki hubungan hukum baik secara kontraktual maupun karena undang – undang perseroan, yaitu konsumen dan mitra kerja :
a. Konsumen
Keberadaan konsumen yang terlibat dengan perseroan lahir secara kontraktual, baik secara formal dalam perjanjian tertulis maupun secara informal, yaitu ketika konsumen mengkonsumsi produk yang dijual oleh perxxxxxx selaku pelaku usaha. Dalam hal ini perseroan hanya dapat dimintai pertanggungjawaban hukum sepanjang ada hubungan kontraktual dengan konsumen.
b. Xxxxx Xxxxx (Rekanan, Kreditor, Supplier)
Dalam rangka untuk memenuhi proses produksi, kebanyakan perseroan besar, banyak melakukan kerja sama dengan berbagai perusahaan –
61
perusahan kreditor, dan rekanan atau supplier. Hubungan kedua pihak ini berdasarkan hubungan kontraktual. Dalam konteks CSR, hubungan antara perseroan dengan perusahaan local sebagai supplier ataupun rekanan tidak hanya terbentuk atas dasar ketentuan kontrak dan perhitungan ekonomi saja, melainkan dampak sosial ekonomi juga harus dipertimbangkan. Dalam aktivitas bisnisnya setidaknya perseroan diharapkan melibatkan mitra bisnisnya, seperti mempertimbangkan kepentingan mitra pada setiap pengambilan keputusan, misalnya ketika akan menghentikan usahanya, merger, akuisisi dan lain – lain.
3. CSR Kepada masyarakat Umum
Keberhasilan CSR dalam pembangunan masyarakat secara eksplisit dapat diukur berdasarkan perkembangan kualitas hidup dari masyarakat, yaitu mengacu pada nilai keadilan, kesetaraan atas kesempatan, pilihan dan partisipasi, dan kebersamaan. Pergeseran nilai tanggung jawab negara kepada warga negara dalam pembangunan menjadi tanda adanya perkembangan dalam konsep ini.
b. Ruang Lingkup CSR Dalam Arti Luas.98
1. CSR Terhadap Lingkungan Hidup
Umumnya lingkungan hidup sering dihubungkan dengan konsep CSR. Baik pemerintah, NGO, maupun lembaga – lembaga internasional, telah melakukan banyak upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Dibanyak negara peraturan – peraturan mengenai lingkungan hidup telah diatur secara
98 Ibid., hlm. 98.
62
formal dalam regulasi mereka. Sebab, banyak pihak telah menyadari jika konsep CSR dalam lingkungan hidup menjadi tanggung jawab semua pihak, karena mengingat generasi masa depan juga berhak menikmati ketersediaan sumber daya alam dan penggunaan lingkungan hidup yang sehat.
2. CSR Terhadap Hak Asasi Manusia
Pemahaman akan kekuatan ekonomi dapat membahayakan hak dan martabat manusia, banyak pihak menganjurkan terjadinya penyatuan antara kekuatan ekonomi dengan perlindungan HAM. Keberadaan HAM terus diupayakan agar menjadi perhatian bagi aktivitas perseroan. Ketika berbicara mengenai HAM dalam konteks CSR, seringkali dihubungkan dengan persoalan ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan hak –hak sipil masyarakat lainnya, misalnya hak politik dan hak ekonomi.
3. CSR dan Anti Korupsi
Saat ini isu korupsi juga telah masuk dalam ruang lingkup CSR. Karena keberadaan praktek korupsi sangat berpengaruh pada keberlanjutan pembangunan dunia, yang tentunya akan berakibat pada kerusakan struktur masyarakat dan menciptakan kemiskinan. Awal mula digagasnya isu korupsi ke dalam lingkup CSR terjadi pada tahun 1970-an di Kongres Amerika. Hal tersebut didasari oleh fakta korupsi yang dilakukan multinasional corporation dalam berinvestasi di negara – negara berkembang. Kejadian ini memberikan pelajaran bahwa perseroan bisa saja melakukan penyimpangan atau kejahatan, dan tentunya akan berdampak buruk terhadap sosial ekonomi. Disinilah lahir prinsip transparansi dan akuntabilitas keuangan perseroan melalui Good Corporate Governance.
63
Menurut Xxxxxx dan Xxx dalam melaksanakan kegiatan CSR ada beberapa pilihan yang dapat dilakukan oleh perusahaan, yaitu :
a. Cause Promotions
Dalam Cause Promotions perusahaan berusaha untuk meningkatkan awareness masyarakat mengenai isu tertentu, dimana isu ini tidak harus berhubungan dengan lingkup bisnis perusahaan. Dalam hal ini perusahaan mengajak masyarakat untuk turut berkontribusi meluangkan waktu maupun dana untuk membantu mengatasi atau mencegah masalah tersebut. Dalam pelaksanaanya perusahaan dapat melaksanakan programnya sendiri ataupun bekerjasama dengan lembaga lain.
b. Cause Related Marketing
Pada aktivitas CSR ini perusahaan berkomitmen untuk menyumbangkan persentase tertentu dari penghasilannya untuk suatu kegiatan sosial berdasarkan penjualan produknya. Dalam hal ini perusahaan mengajak masyarakat untuk membeli atau menggunakan produknya, baik barang maupun jasa, dimana sebagian dari keuntungan yang didapat perusahaan akan didonasikan untuk membantu atau mengatasi masalah tertentu. Di Indonesia, pelaksanaan Cause Related Marketing ini terutama ditujukan untuk beasiswa, penyediaan air bersih, pemberian layanan kesehatan, dan pengembangan usaha kecil dan menengah. Contoh penerapannya yaitu sabun Lifebuoy yang pernah mengampanyekan “Berbagi Sehat” dimana sebagian hasil penjualan sabun tersebut didonasikan untuk membangun fasilitas MCK diseluruh Indonesia.
b. Corporate Social Marketing
64
Aktivitas CSR dalam konteks ini yaitu mengembangkan dan melaksanakan kampanye untuk mengubah perilaku masyarakat dengan tujuan meningkatkan kesehatan, menjaga kelestarian lingkungan hidup serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Fokus kegiatan CSR pada point ini biasanya pada isu dibidang kesehatan misalnya mengurangi kebiasaan merokok, HIV/AIDS, Kanker. Sementara dibidang keselamatan misalnya keselamatan berkendara, kemudian untuk bidang lingkungan hidup milasnya konservasi air, polusi, pengurangan penggunaan pestisida.
c. Corporate Philanthrophy
Bisa dikatakan bentuk CSR yang paling tua adalah kegiatan Corporate Philanthrophy, dimana perusahaan memberikan kontribusi secara langsung dalam bentuk dana, jasa atau alat kepada pihak yang membutuhkan, baik perorangan maupun kelompok tertentu. Pada aktivitas CSR ini perusahaan biasanya memberikan sumbangan langsung berupa uang tunai, bingkisan/paket bantuan atau pelayanan secara cuma – cuma, misalnya pemberian bantuan peralatan tulis menulis untuk anak – anak disekitar lingkungan perusahaan, memberikan jasa layanan imunisasi kepada anak – anak di daerah terpencil.
d. Corporate Volunteering
Dalam aktivitas CSR ini, perusahaan mendorong atau mengajak karyawan, rekan pedagang eceran atau para pemegang franchise untuk ikut terlibat dalam program CSR yang dicanangkan perusahaan. Kegiatan ini lebih pada memasyarakatkan etika perusahaan melalui komunikasi korporat misalnya mendorong karyawan untuk menjadi sukarelawan bagi komunitas,
65
menyarankan kegiatan sosial atau aktivitas amal tertentu yang bisa diikuti oleh para karyawan, membantu karyawan untuk menemukan kegiatan sosial yang akan dilaksanakan melalui survei ke wilayah yang diperkirakan membutuhkan bantuan sukarelawan, dan kegiatan lainnya yang melibatkan karyawan dan pihak lainnya yang terkait dengan aktivitas perusahaan untuk turut terlibat dalam kegiatan – kegiatan sosial perusahaan.
e. Social Responsible Business
Dalam kegiatan Social Responsible Business ini, untuk mengurangi dampak buruk terahadap lingkungan dan masyarakat, perusahaan melakukan perubahan terhadap salah satu atau keseluruhan system kerjanya. Pada aktivitas CSR ini perusahaan melaksanakan aktivitas bisnisnya melampaui aktivitas bisnis yang diwajibkan oleh hukum serta melaksanakan investasi yang mendukung kegiatan sosial dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan komunitas dan memelihara lingkungan hidup. Social Responsible Business dilakukan dengan membuat fasilitas yang memenuhi bahkan melebihi tingkat keamanan lingkungan dan keselamatan yang ditetapkan, mengembangkan perbaikan proses produksi barang dan jasa seperti berbagai kegiatan untuk mengurangi penggunaan bahan – bahan yang berbahaya, mengurangi penggunaan bahan kimia dalam proses peningkatan pertumbuhan tanaman pangan, menghentikan penawaran produk yang ditenggarai membahayakan kesehatan manusia meskipun produk itu legal, memilih pemasok berdasarkan kriteria kesediaan mereka menerapkan dan memelihara aktivitas sustainable development, dan aktivitas lainnya dimana
66
menjunjung tinggi kualitas produksi dan memberikan pelayanan maksimal terhadap masyarakat.99
2.1.4 Praktik CSR di Indonesia
Seiring dengan perkembangan isu lingkungan di dunia internasional, konsep dan aplikasi CSR juga semakin berkembang dan diterapkan dibanyak negara dengan pendekatan yang berbeda, termasuk juga di Indonesia. CSR tidak saja menjadi suatu kewajiban sosial perusahaan, namun juga sebagai konsep pengembangan masyarakat secara berkelanjutan. Sayangnya, di Indonesia dikarenakan belum diaturnya secara detail pelaksanaan CSR dan belum adanya pemahaman yang sama tentang CSR, sebagian besar perusahaan di Indonesia belum menjalankan konsep CSR sebagaimana mestinya. Bahkan menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (LHK), Xxxx Xxxxxxx Xxxxx, mengatakan bahwa kepedulian industri di Indonesia masih sangat parah terhadap fungsi tanggung jawab sosial perusahaan, karena berdasarkan data dilapangan yang menerapkan program CSR kurang dari 50 % terutama di bidang lingkungan.100
Di Indonesia CSR bukan lagi sebatas wacana karena telah adanya aturan yang mengatur tentang kegiatan tersebut, namun pada pelaksanaannya CSR baru sebatas fenomena “CSR Peduli,” yaitu aktivitas reaktif dan bersifat temporer tergantung situasi dan keadaan yang terjadi disekitar perusahaan, wajar jika kemudian jumlah perusahaan yang menerapkan CSR masih di bawah angka 50%, sebab CSR dilakukan hanya untuk menaikkan citra positif perusahaan semata.
99Xxxxxx Xxxxxx & Xxxxx Xxx. Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause. (New Jersey: 2005, Xxxx Xxxxx & Sons, Inc), hlm. 134.
100Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan, “Laporan Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2018,” xxxx://xxx.xxxxxx.xx.xx/xxxxxx.xxx, diakses pada hari Jumat, 27 Juli 2018, pukul 20. 30 WIB.
67
Meskipun pada dasarnya kegiatan public relation seperti itu tidak menyalahi prinsip solidaritas kemanusiaan, namun hal tersebut akan menjadi aktivitas simbolis belaka dalam konteks CSR.
Selain itu, fakta lain terkait penerapan CSR oleh perusahaan - perusahaan di Indonesia, yaitu sebatas meredam konflik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar perusahaan. Misalnya seperti kasus PT. Freeport di Papua dan PT. Newmont di Minahasa, dimana resistensi masyarakat terhadap keberadaan perusahaan sangat tinggi bahkan hingga memakan korban jiwa. Hal ini tentu saja sangat menyulitkan upaya pemberdayaan masyarakat secara komprehensif. Banyak fakta menunjukkan bahwa kegiatan CSR yang dilakukan dengan motif seperti itu, dilakukan secara parsial, tidak terencana, tidak partisipatif, dan pada akhirnya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.101
Namun ditengah banyaknya image negative mengenai penerapan CSR oleh perusahaan di Indonesia, beberapa perusahaan mampu mengangkat status CSR ke arah yang lebih baik dengan menjadikannya sebagai bagian dari upaya brand building serta peningkatan image positif perusahaan. Misalnya PT. Bogasari, yang memiliki program CSR yang terintegrasi dengan strategi perusahaan, melalui pendampingan kepada para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) berbasis terigu, dimana keberadaan program CSR tersebut justru menguntungkan juga untuk perusahaan karena para pelaku UMKM tersebut akan menjadi konsumen utama dari produk perusahaan mereka. Kemudian pada PT. Unilever yang memiliki program CSR pada petani kedelai. Dengan kegiatan CSR PT Unilever, sangat membantu petani dalam meningkatkan kualitas produksi
101 Xxxxx XX, Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hlm. 270.
68
sekaligus menjamin kelancaran distribusi. Sedangkan PT Unilever juga sangat diuntungkan dalam kegiatan CSRnya, yaitu dengan ketersediaan pasokan bahan baku setiap produksi mereka yang berbasis kedelai, seperti kecap Bango, yang merupakan produk andalan mereka.102
Penerapan CSR secara benar oleh beberapa perusahaan di atas membuktikan bahwa kegiatan CSR jika diimplementasikan dengan baik, keuntungan perusahaan bukan hanya menaikan citra positif perusahaan dimata masyarakat, namun juga merupakan simbiosis mutulisme antara perusahaan dan masyarakat, dimana kegiatan CSR tersebut dapat menguntungkan kedua belah pihak.
Di Indonesia dalam penerapan CSR setidaknya ada empat model pola CSR yang diterapkan oleh perusahaan, yaitu :
a. Keterlibatan Langsung
Pada model ini perusahaan melaksanakan secara langsung dan mandiri kegiatan CSRnya tanpa melibatkan pihak lain, misalnya dalam melaksanakan kegiatan sosial atau menyerahkan sumbangan kepada masyarakat dilakukan perusahaan tanpa perantara. Biasanya sebuah perusahaan menugaskan salah satu pejabat seniornya untuk menjalankan tugas ini, seperti sekretaris perusahaan, pimpinan bidang Hubungan Masyarakat (Humas) atau seseorang yang memiliki tugas yang berkaitan dengan Hubungan Masyarakat.
b. Melalui Yayasan atau Organisasi Sosial Perusahaan
Pada model ini perusahaan mendirikan Yayasan sendiri yang struktur organisasinya berada langsung di bawah perusahaan atau groupnya. Model
102Mukti Fajar ND, Tanggung Jawab Perusahaan di Indoensia ‘Mandatory vs Voluntery’, Cetakan I, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009), hlm 209 – 212.
69
pelaksanaan CSR seperti ini sangat lazim dilakukan pada negara – negara maju. Biasanya, untuk melaksanakan kegiatannya, yayasan ini memperoleh suntikan dana secara rutin dari perusahaan, baik untuk modal awal pendirian yayasan, dana rutin dalam menjalankan operasional yayasan dan kegiatan rutin yayasan, maupun dana abadi yang akan dimanfaatkan oleh yayasan dalam kegiatan yang bersifat temporer.
x. Xxxxxxxx dengan Pihak Lain
Dalam model penerapan CSR seperti ini, perusahaan akan melibatkan pihak ketiga sebagai mitranya. Biasanya perusahaan akan bekerjasama dengan lembaga sosial atau organisasi non-pemerintah (NGO/LSM), instansi pemerintah, Universitas atau media massa, baik dalam mengelola dana maupun dalam melaksanakan kegiatan sosialnya. Beberapa lembaga sosial yang bekerjasama dengan perusahaan dalam menjalankan CSR antara lain seperti Palang Merah Indonesia (PMI), Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI), Dompet Dhuafa. Sementara dari instansi pemerintah yang bermitra melaksanakan CSR dengan perusahaan seperti Lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI), Depdiknas, Depkes, Depsos. Untuk pihak Universitas yang melaksanakan kerjasama dengan perusahaan dalam melaksanakan CSR seperti Universitas Indonesia, Institut Tekhnologi Bandung, Insitut Pertanian Bogor. Kemudian untuk media massa yang bermitra dengan perusahaan yaitu DKK Kompas, Kita peduli Indosiar, dll.
d. Mendukung atau bergabung dalam Suatu Konsorsium
Pada model penerapan CSR seperti ini, perusahaan turut mendirikan, menjadi anggota atau mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan
70
dengan tujuan sosial tertentu. Pada model ini, kebanyakan kegiatan CSR lebih berorientasi pada pemberian hibah yang kebanyakan direalisasikan dalam model hibah pembangunan. Biasanya, pihak konsorsiun atau lembaga yang dipercayai oleh perpusahaan yang mendukung secara proaktif akan mencarikan mitra kerjasama dari kalangan lembaga operasional dan kemudian akan menyepakati sebuah program yang akan dikembangkan bersama.103
Sementara implementasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan – perusahaan yang bergerak dibidang sumber daya alam di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indonesian Business Links, dilakukan dengan empat metode, yaitu :
a. Program donor, sumbangan (Charity Program), kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan berbagai relasi public untuk membantu masyarakat misalnya dalam hal kesehatan dan pendidikan;
b. Program lestari (Sustainable Program), kegiatan ini lebih pada kegiatan – kegiatan yang bersifat jangka panjang yang memberikan keuntungan kepada masyarakat sekitar melalui penyediaan fasilitas yang dibutuhkan.
c. Program Pemberdayaan (empowerment Program).
d. Program Kemitraan (Partnership Program), kegiatan ini melibatkan berbagai pihak untuk meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat yaitu pihak perusahaan, pemerintah dan masyarakat itu sendiri.104
103 Xxxx Xxxxx Xxxxxxxxx, Perkembangan Corporate Social Responsibility di Indonesia,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 54.
104Wismiarti, “CSR dan Prospek CSR bidang Lingkungan di masa Depan”. Makalah pada Lokakarya CSR Bidang Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB, (Bogor : 2006), hlm. 3.
71
Umumnya, proses kegiatan CSR dilakukan melalui beberapa tahapan mulai dari menentukan populasi atau kelompok sasaran, mengidentifikasi masalah dan kebutuhan kelompok sasaran, merancang program kegiatan dan cara – cara pelaksanaannya, menentukan sumber pendanaannya, mengajak pihak – pihak yang akan dilibatkan, selanjutnya melaksanakan kegiatan atau mengimplementasikan program, hingga akhirnya memonitor serta mengevaluasi kegiatan.
Selain itu, di Indonesia terdapat juga jenis CSR yang disebut Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), dimana PKBL ini merupakan istilah CSR untuk BUMN diseluruh Indonesia. Dasar hukum PKBL yaitu Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/12/2016 yang direvisi melalui PER- 02/MBU/7/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-09/MBU/07/2015 tentang Program Kemitraan dan Program Bina Lingkungan (PKBL) Badan Usaha Milik Negara, yang menyatakan bahwa BUMN wajib membentuk unit kerja khusus yang menangani langsung masalah pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, dimana besaran alokasi PKBL yaitu sebesar 4% dari laba bersih. Kegiatan – kegiatan PKBL meliputi program Kemitraan yang mayoritas sasarannya adalah UMKN dan Program Bina Lingkungan yang terbagi atas bantuan bencana alam, kesehatan masyarakat, pendidikan dan pelatihan masyarakat, keagamaan, pengembangan sarana umum, dan pelestarian alam, pengentasan kemiskinan dan bentuk program lainnya yang terkait dengan upaya peningkatan kapasitas Mitra Binaan Program Kemitraan.
72
2.2 Tinjauan Umum tentang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah Menurut Hukum Indonesia
2.2.1 Pemerintah Daerah
Pemerintah Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas – luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.105
Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah, Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menjadi unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah,106 yang artinya bahwa fungsi dan peran penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut tidak hanya di emban oleh Kepala Daerah.
Adapun pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Presiden Republik Indonesia, memegang kekuasaan pemerintahan Republik Indonesia. Sedangkan penyelenggara pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati atau walikota, dan seluruh perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.107
Menurut Xxxxxxxx, hubungan fungsi pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilaksanakan melalui mekanisme otonomi daerah, yang meliputi desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Hubungan ini bersifat koordinatif, administratif yang artinya hakikat fungsi pemerintahan
105 Pasal 1 butir 2 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
106 Pasal 1 butir 3 dan 4 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
107Siswanto Xxxxxxx, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm. 5.
73
tersebut tidak ada yang saling membawahi, namun demikian fungsi dan peran pemerintah daerah juga mengemban tugas pemerintahan pusat sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.108
Penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dibagi menjadi dua golongan yaitu kewenangan pemerintah daerah yang diperoleh berdasarkan daerah otonom dan kewenangan pemerintah daerah sebagai kewenangan adminstratif.
Dalam Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menjelaskan mengenai tugas dan wewenang daerah sebagai daerah otonom, dalam hal ini diwakili oleh kepala daerah sebagai representasi dari pemerintahan daerah. Adapun kewajiban kepala daerah yaitu :109
1. “Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2. Mentaati seluruh ketentuan peraturan perundang – undangan;
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
4. Menjaga etika dan norma dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan derah;
5. Menerapkan tata pemerintahan yang bersih dan baik;
6. Melaksanakan program strategi nasional;
7. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi.”
Sebagai daerah otonom tugas dari kepala daerah meliputi :110
1. “Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh DPRD;
2. Memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat;
3. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD, untuk dibahas bersama DPRD;
108 Ibid.
109 Xxxx Xxxxxxxxxx, Kapita Selecta Penyelenggaraan Pemerintah Daerah (Bandung : Fokus Media, 2000), hlm. 98.
110 Suharizal dan Xxxxxx Xxxxxxxx, Op.,Cit. hlm. 125.
74
4. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RAPBD, rancangan Perda tentang Perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama;
5. Mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah;
6. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang – undangan.”
Sedangkan kewenangan kepala daerah yaitu :111
1. “Mengajukan rancangan Perda;
2. Menetapkan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama DPRD;
3. Menetapkan perkada dan keputusan kepala daerah;
4. Mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat;
5. Melaksanakan wewenang lain berdasarkan peraturan perundang – undangan.”
Tujuan dari penyelenggaraan pemerintahan sendiri sebagaimana tertuang dalam alinea ke – 4 pembukaan UUD 1945 yaitu “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Amanat UUD 1945 tersebut kemudian dilaksanakan dengan membentuk pemerintahan secara bertingkat dengan segala fungsi dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi baik ditingkat pusat maupun daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana tercantum dalam konsiderans UU Pemerintahan Daerah bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
111 Ibid., hlm. 125 – 126.
75
Berdasarkan pelaksanaan pemerintahan daerah maka kewenangan pemerintahan daerah terdiri dari tiga asas yaitu sebagai berikut :112
1. “Asas desentralisasi yaitu asas yang mencerminkan adanya penyerahan wewenang dari pemerintah kepada pemerintah daerah sebagai daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya didaerah.
2. Asas dekonsentrasi yaitu kewenangan yang menyangkut penerapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatan pemerintah pusat yang diberikan kepada pemerintah daerah berdasarkan arahan dan kebijakan umum pemerintah pusat. Dalam hal ini peemrintah daerah hanya merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat.
3. Xxxx tugas pembantuan yaitu kewenangan yang diberikan oleh instansi atas kepada instansi yang berada di bawahnya dalam bentuk penugasan sehingga instansi yang diberi tanggungjawab tersebut wajib untuk melaporkan tugas tersebut kepada instansi yang menugaskannya.”
Berdasarkan asas – asas yang telah dijelaskan di atas, pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan secara efisien, transparan, bertanggungjawab, tertib, adil, patuh, dan taat pada peraturan perundang – undangan.
2.2.2 Pengelolaan Keuangan Daerah
Keuangan daerah atau anggaran daerah merupakan rencana kerja pemerintah daerah dalam satu periode tertentu. Semua hak dan kewajiban pemerintah daerah dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut menjadi bagian dari keuangan daerah. Yang artinya bahwa keuangan daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam bentuk uang (rupiah) yang digunakan untuk membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
112 Suharizal dan Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Pemerintahan Daerah setelah Perubahan UUD 1945, (Yogyakarta : Thafa Media, 2017), hlm. 114 – 115.
76
Berdasarkan prinsip otonomi daerah, keuangan dikelola oleh pemerintah daerah guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya keuangan daerah serta untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan terhadap masyarakat. Pengelolaan keuangan daerah merupakan seluruh kekgiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban serta pengawasan keuangan daerah. 113 Dalam Undang – Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menetapkan landasan terkait penataan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, yaitu antara lain memberikan keleluasaan dalam menetapkan produk pengaturan yaitu sebagai berikut :
a. Dalam peraturan daerah mengatur tentang pokok – pokok pengelolaan keuangan daerah;
b. Sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah diatur dengan Surat Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Peraturan Daerah tersebut;
c. Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada DPRD mengenai pengelolaan keuangan daerah dan kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi dan efektifitas keuangan;
d. Laporan pertanggungjawaban keuangan daerah tersebut merupakan dokumen daerah sehingga dapat diketahui oleh masyarakat.114
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengeloaan Keuangan Daerah (PP Pengelolaan Keuangan Daerah), yang mengatur mengenai
113 Xxxxxx Xxxxxxx, Dana Hibah dan Bantuan Sosial Pemerintah Daerah, (Jakarta : PPM, 2014), hlm. 7.
114 Ibid., hlm. 16.
77
pengelolaan keuangan daerah merupakan aturan yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal – hal yang bersifat prinsipil seperti norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah. Sementara untuk sistem dan prosedur secara rinci mengenai pengelolaan keuangan daerah ditetapkan oleh masing – masing daerah. Adapun pokok – pokok yang diatur dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah memuat beberapa hal, yaitu :
1. Perencanaan dan Penganggaran
Pengaturan pada aspek perencanaan lebih diarahkan secara detail agar semua proses penyusunan APBD dapat dilakukan secara maksimal sehingga dapat menunjukkan latar belakang pengambilan keputusan dalam menetapkan arah kebijakan umum, skala prioritas dan penetapan alokasi, serta distribusi sumber daya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Olehnya, dalam mekanisme penyusunan APBD yang diatur berdasarkan peraturan pemerintah ini akan memperlihatkan alur dan skema pertanggungjawaban dalam pelaksanaan pemerintahan, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah dalam kurun waktu satu tahun.
APBD sendiri merupakan instrumen untuk mewujudkan pelayanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat demi tercapainya tujuan bernegara. Untuk menjamin agar penyusunan APBD dapat dilakukan secara tepat, maka dibutuhkan landasan administrative dalam mengelola anggaran daerah yang mengatur beberapa hal antara lain prosedur dan teknis penganggaran yang harus diikuti secara tertib dan taat asas. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan anggaran daerah antara lain yaitu :
a. Setiap pendapatan yang akan direncanakan merupakan perkiraan yang
78
terukur secara rasional dan dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, sedangkan belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi pengeluaran belanja.
b. Penganggaran pengeluaran harus didukung dengan adanya kepastian tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup dan tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan yang belum tersedia atau tidak mencukupi kredit anggarannya dalam APBD atau Perubahan APBD.
c. Semua penerimaan dan pengeluaran daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening Kas Umum Daerah.115
Proses penyusunan APBD pada dasarnya untuk menyelaraskan kebijakan ekonomi makro dan sumber daya yang tersedia, sehingga dapat mengalokasikan sumber daya tersebut secara tepat sebagaimana kebijakan pemerintah dan persiapan kondisi terhadap pelaksanaan pengelolaan anggaran secara baik. Oleh karena itu, pengaturan penyusunan anggaran merupakan hal penting sehingga APBD dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Adapun fungsi anggaran pada APBD yaitu :
a. Pada dasarnya anggaran dapat memberikan arah kebijakan perekonomian dan menggambarkan secara tegas penggunaan sumber daya yang dimiliki masyarakat;
b. Anggaran memiliki fingsi utama yaitu sebagai sarana untuk mencapai keseimbangan ekonomi makro dalam perekonomian;
c. Anggaran dapat dijadikan sarana sekaligus pengendali dalam rangka
115 Xxxxxx Xxxxxx, Pengelolaan Keuangan Daerah, (Jakarta : Indeks, 2007), hlm. 124.
79
mengurangi ketimpangan dan kesenjangan dalam berbagai hal disuatu negara.
2. Penatausahaan Keuangan Daerah dan Pelaksanaannya.116
Kepala daerah berfungsi sebagai pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah serta pengelola keuangan daerah, dimana kekuasaan tersebut kemudian dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan akiba daerah selaku pejabat keuangan daerah dan selanjutnya dilaksanakan oleh satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran atau barang daerah, yang berada di bawah koordinasi sekretaris daerah. Tujuan pemisahan tersebut yaitu untuk memberikan kejelasan pembagian wewenang serta tanggung jawab guna mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan.
Dalam PP Pengelolaan Keuangan Daerah juga mengatur beberapa aspek yaitu :
a. Memberikan peran serta tanggung jawab yang lebih besar kepada pejabat pelaksana anggaran,
b. Mengatur tentang system pengeluaran dan system pembayaran;
x. Xxxxatur tentang manajemen kas dan perencanaan keuangan;
d. Mengatur tentang pengelolaan piutang;
e. Mengatur tentang penatausahaan dan pertanggungjawaban APBD; serta
x. Xxxxatur tentang akuntansi dan pelaporan.117
Dalam hal pengeloaan keuangan daerah dilaksanakan oleh bendahara umum daerah. Adapun tugas dan kewenangan dari bendahara umum daerah selain
116 Ibid., hlm. 130.
117 Xxxxxx Xxxxxxx.,Op.,Cit, hlm. 20.
80
menyimpan uang, bendahara umum juga berwenang memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah ditunjuk, serta mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD. APBD sendiri berdasarkan ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara memiliki fungsi yaitu :118
a. Fungsi otoritas
Dalam rangka untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada setiap tahun anggaran pemerintah harus berpatokan pada ABPD, yang artinya APBD menjadi dasar dari pelaksanaan aktivitas pemerintahan daerah.
b. Fungsi perencanaan
APBD merupakan pedoman bagi pemerintah dalam merencanakan kegiatan pada setiap tahun anggaran.
c. Fungsi Pengawasan
APBD dijadikan dasar untuk menilai apakah penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
d. Fungsi Alokasi
APBD menjadi dasar dalam mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi Distribusi
Kebijakan dalam APBD harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi Stabilisasi
118 Ibid.,hlm. 26.
81
APBD harus menjadi alat dalam memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, struktur dalam APBD diklasifikasikan berdasarkan urusan pemerintahan dan organisasi yang bertanggung jawab dalam melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang – undangan119. Adapun struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Namun karena dalam penelitian ini penulis hanya ingin meneliti mengenai pintu masuk dana CSR ke dalam APBD, maka penulis hanya akan membahas struktur APBD pada Pendapatan Daerah.
Pendapatan Daerah
Semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, menambah ekuitas dana lancar, yang menjadi hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dikembalikan oleh daerah masuk dalam kategori Pendapatan Daerah. Berdasarkan Pasal 285 ayat (1) dijelaskan bahwa :
“(1) Sumber pendapatan Daerah terdiri atas :
a. Pendapatan asli daerah meliputi :
1. Pajak;
2. Retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4. Lain – lain pendapatan asli daerah yang sah.
b. Pendapatan transfer; dan
x. Xxxx – lain pendapatan daerah yang sah.”
Adapun penjelasan terperinci yang masuk dalam kategori pendapatan daerah yaitu
:
a. Pendapatan Asli Daerah
119 Ibid.,hlm.27.
82
Pendapatan Asli Daerah (PAD) yaitu semua pendapatan yang diperoleh daerah berdasarkan peraturan perundang – undangan dalam rangka mengumpulkan dana untuk membiayai kegiatan dan keperluan daerah. PAD terdiri atas :
1. Pajak Daerah
Pajak daerah yaitu pungutan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Pajak daerah ini dibagi menjadi dua yaitu pajak daerah yang ditetapkan ditetapkan oleh peraturan daerah dan pajak negara yang pengelolaan dan penggunaannya diserahkan kepada daerah.
2. Retribusi Daerah
Retribusi daerah yaitu pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
3. Hasil Kekayaan Pengelolaan Daerah yang Dipisahkan
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan yaitu penerimaan yang berupa hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, yang terdiri dari bagian laba Perusahaan Daerah Air Minum, bagian laba lembaga keuangan bank, bagian laba lembaga keuangan non bank, bagian laba perusahaan milikdaerah lainnya dan bagian laba atas penyertaan modal/investasi kepada pihak ketiga.
4. Lain – Lain PAD yang Sah
Lain – lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah yaitu meliputi penjualan kekayaan daerah yang tidak dapat dipisahkan, seperti jasa giro, pendapatan
83
Bungan dan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah.
b. Pendapatan Transfer
Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana perimbangan terdiri dari :
1. Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil ini bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar – daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi.
3. Xxxx Xxxxxxx Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan ABPN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
c. Lain – Lain Pendapatan Daerah yang Sah
1. Hibah Tidak Mengikat
84
Hibah dalam hal ini yaitu hibah tidak mengikat yang artinya bahwa hibah tersebut ada batas akhirnya tergantung pada kemampuan keuangan daerah dan kebutuhan atas kegiatan tersebut dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hibah disini dapat berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga, organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat.
2. Xxxx Xxxxxxx dari Pemerintah
Dana Darurat yaitu dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami bencana, peristiwa luar biasa, dan/atau krisis solvibilitas. Pemerintah mengalokasikan dana darurat ini untuk keperluan mendesak yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD.
3. Lain – lain Pendapatan
Dana ini terdiri dari dana bagi hasil pajak dari provinsi ke kabupaten atau kota, dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, bantuan keuangan dari provinsi atau pemerintah daerah lainnya.
3. Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
Dalam rangka menjaga agar pengelolaan keuangan daerah akuntabel dan transparan, maka pemerintah daerah wajib menyampaikan pertanggungjawabannya berupa :
a. Laporan realisasi;
x. Xxxxxx;
c. Laporan arus kas;
85
d. Catatan atas laporan keuangan.
Laporan keuangan daerah sebelum diserahkan kepada masyarakat melalui DPRD, terlebih dahulu harus diperiksa oleh BPK, yang penyusunannya harus sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Fungsi pemeriksaan dalam pengelolaan keuangan daerah merupakan salah satu fungsi yang tidak dapat dipisahkan dari manajemen keuangan daerah. Pemeriksaan laporan keuangan daerah dilaksanakan oleh BPK sesuai dengan Pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945. Sebagai auditor, BPK diwajibkan untuk bersikap independen dan netral dalam melaksanakan pemeriksaan keuangan daerah dan harus sesuai dengan standar audit yang berlaku karena BPK berwenang memberikan pendapat atas kewajaran laporan keuangan.
2.3 Tinjauan Umum tentang Perjanjian dan Hibah menurut Hukum Indonesia
2.3.1 Perjanjian
Kitab Undang – Undang Hukum perdata dibagi ke dalam empat buku, dimana dalam buku ke - III KUH Perdata mengatur mengenai perikatan yang berisikan hal – hal mengenai perikatan pada umumnya. Selain itu diatur pula sumber mengenai perikatan itu sendiri sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yaitu :
“Tiap – tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan baik karena undang – udang.”
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa sumber – sumber perikatan dapat berupa perjanjian maupun undang – undang. Perikatan yang bersumber dari perjanjian misalnya, jual – beli, tukar menukar, sewa – menyewa,
86
hibah, pinjam pakai dan lain – lain, sedangkan perikatan yang bersumber dari undang – undang adalah zaakwaarneming, ocerschuldigde betaling, onrechtmatige daad.
a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Dimana perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Menurut Xxxxx 1313 KUH Perdata perjanjian didefinisikan sebagai :
“Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalam suatu perjanjian terdapat dua pihak yaitu pihak yang berhak menuntut sesuatu dan pihak yang berkewajiban memenuhi sesuatu. Jika dilihat dari skema peristiwa hukum perumusan tersebut disatu sisi terlalu luas dan disi lain terlalu sempit. Kata “perbuatan” dapat mencakup perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) atau zaakwaameming yang didalamnya tidak mengandung unsur janji. Dan perumusan tersebut tidak mencakup kedua hal itu, sehingga kata “perbuatan” sebaiknya diganti dengan kata “perbuatan hukum”. Selanjutnya dari kalimat “mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih,” hanya menggambarkan perjanjian sepihak saja, padahal suatu perjanjian ada perjanjian sepihak dan ada perjanjian timbal balik. Sehingga agar mencakup perjanjian timbal balik maka harus ditambahkan kalimat “atau kedua pihak saling mengikatkan dirinya.” Dengan demikian perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu
87
orang atau lebih mengikatkan dirinya, terhadap satu orang atau lebih dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.120
Senada dengan hal tersebut, Subekti juga merumuskan pengertian dari perjanjian yaitu suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.121
Sementara Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx mengartikan jika perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kedua belah pihak, dimana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu, sedangkan pihak – pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.”122
Berdasarkan rumusan perjanjian yang telah diuraikan tersebut di atas maka dapat disimpulkan jika dalam suatu perjanjian terdapat beberapa unsur, yaitu :
1. Adanya pihak – pihak. Dalam hal ini pihak – pihak yang dimaksud disebut sebagai subyek perjanjian, dimana dapat berupa manusia pribadi maupun badan hukum. Syarat untuk dapat berposisi sebagai subyek perjanjian maka pihak tersebut harus mampu atau cakap dalam melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang – Undang.
2. Adanya persetujuan para pihak. Persetujuan yang dimaksud yaitu adanya kesepakatan yang bersifat tetap, bukan pada saat perundingan, sebab perundingan merupakan tindakan pendahuluan untuk mencapai suatu persetujuan. Sementara persetujuan tersebut diwujudkan untuk penerimaan
120X. Xxxxxx, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, (Bandung : PT. Citra Aditya : 2001), hlm. 24-27.
121 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : PT. Intermasa : 1987), hlm. 1.
122 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung : Bale : 1989) , hlm. 9.
88
tanpa syarat atas suatu tawaran dari apa yang ditawarkan pihak yang satu dan diterima oleh pihak lainnya. Umumnya hal yang ditawarkan atau dirundingkan yaitu syarat – syarat dan obyek perjanjian. Dengan disetujuinya oleh masing – masing pihak terkait syarat – syarat dan obyek perjanjian tersebut, maka disitulah timbul perseujuan, yang mana persetujuan ini adlah salah satu dari syarat perjanjian.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai. Dalam hal ini, tujuan diadakannya perjanjian terutama yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak – pihak tertentu, dimana kebutuhan tersebut dapat terpenuhi hanya dengan mengadakan perjanjian dengan pihak lain. Tujuan disni sifatnya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang – undang.
4. Adanya prestasi yang dilaksanakan. Dengan melakukan perjanjian, maka secara otomatis akan timbul kewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut atau prestasi, dimana prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak – pihak lain sesuai dengan syarat – syarat perjanjian, misalnya pembeli berkewajiban membayar harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang.
5. Adanya bentuk tertentu. berdasarkan ketentuan undang – undang suatu perjanjian baru mempunyai kekuatan hukum mengikat dan kekuatan bukti jika adanya bentuk yang telah ditentukan. Bentuk tertentu tersebut biasanya berupa akta atau perjanjian yang dibuat secara tertulis.
6. Adanya syarat – syarat tertentu. Syarat – syarat tertentu ini sebenarnya adalah isi dari perjanjian, karena dari syarat – syarat itulah dapat diketahui
89
hak dan kewajiban pihak – pihak. Syarat – syarat ini biasa terdiri dari syarat
– syarat pokok yang akan menimbulkan hak dan kewajiban pokok, misalnya mengenai Bungan, jangka waktu, dan juga syarat – syarat pelengkap atau tambahan, misalnya mengenai cara pembayarannya, cara penyerahannya, dan lain sebagainya.
b. Syarat Sahnya Perjanjian
Sebuah perjanjian yang sah harus memenuhi beberapa syarat yang telah ditentukan oleh undang – undang agar perjanjian tersebut dapat diakui secara hukum. Adapun syarat yang dimaksud sebagai persyaratan atas sahnya sebuah perjanjian dijelaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
“Untuk sahnya perjanjian – perjanjian, diperlukan emapt syarat :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak terlarang.”
Ke empat syarat tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang dibedakan ke dalam dua unsur, yaitu :
a. Syarat subyektif yaitu dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian, dan
b. Syarat obyektif yaitu dua unsur pokok yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian.
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak – pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut. Sementara unsur obyektif mencakup keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang
90
tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat syarat tersebut menyebabkan cacatnya perjanjian tersebut, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika pelanggaran terhadap unsur subyektif), atau batal demi hukum (ketika tidak terpenuhinya unsur obyektif), yang artinya bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.
a. Syarat Subyektif
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa syarat subyektif sahnya perjanjian, dapat tercapai pada dua kondisi, yaitu terjadinya kesepakatan secara bebas di antara para pihak yang mengadakan atau melangsungkan perjanjian dan adanya kecakapan dari pihak – pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut.
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Dalam Pasal 1321 KUH Perdata dijelaskan bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.” Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, secara a contrario, dapat dikatakan bahwa pada dasarnya kesepakatan bebas dianggap terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat oleh para pihak, kecuali dapat dibuktikan bahwa perjanjian tersebut terjadi karena adanya kekhilafan, paksaan maupun penipuan. Yang artinya sepakat merupakan pertemuan dua keinginan yang saling melengkapi dan dapat dinyatakan baik
91
secara tegas maupun secara diam – diam namun maksudnya adalah menyetujui apa yang dikehendaki pihak lain.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Adanya kecakapan untuk bertindak dalam hukum merupakan syarat subyektif kedua terbentuknya perjanjian yang sah diantara para pihak. Dalam hal ini kecakapan bertindak berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut berbeda secara prinsip, namun jika membahas mengenai kecakapan bertindak untuk melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan bertindak tidak dapat dilupakan. Jika kedewasaan seseorang menjadi dasar kecapakan untuk bertindak dalam hal melakukan tindakan atau perbuatan hukum, maka kewenangan berkaitan dengan kapasitas seseorang yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Sebab, bisa saja seseorang yang cakap bertindak dalam hukum tetapi tidak berwenang untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Dan begitupun sebaliknya, seseorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan perbuatan hukum, namun ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum. Dalam Pasal 1329 KUH Perdata dijelaskan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan, jika ia oleh undang – undang dinyatakan tidak cakap.” Dari ketentuan pasal tersebut dapat diartikan bahwa pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali bagi mereka yang oleh undang – undang dinyatakan tidak cakap. Mengenai pihak – pihak yang dikecualikan dalam Pasal 1329 KUH Perdata tersebut, dijelaskan dalam pasal 1330 KUH Perdata yaitu :
c. “Orang yang belum dewasa;
d. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;