BAB II
BAB II
TINJAUAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa: "Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih". Ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx sebenarnya banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini dapat dilihat dari kalimat ”satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri bersifat satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak;
b. Kata ”perbuatan” juga mencakup tanpa consensus. Pengertian ”perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata persetujuan;
49
c. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, xxxxx xxxxx, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal;
d. Perumusan pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.52
Berdasarkan alasan yang dikemukan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang memberikan defenisi mengenai perjanjian adalah sebagai berikut:
x. X. Xxxxxxxx menyatakan bahwa: ”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.” 53
b. Menurut Subekti definisi dari perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu.” 54
x. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak berjanji atau
52 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Xxxxx Xxxxxxx Bhakti, Bandung, 1990, hlm.
78.
53 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 4.
54 Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta 2006, hlm.1.
dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.” 55
Berdasarkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum tersebut di atas, maka dapat disimpulkan menurut pendapat penulis bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, dalam lapangan harta kekayaan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang terbagi dalam 4 (empat) syarat, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Menurut X. Subekti, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.56
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian
Para pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau
55 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, 2008, hlm.19.
56 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1983, hlm. 11.
akilbaliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.57 Cakap berarti mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari berbuatan yang dilakukannya, dengan kata lain sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggung jawabkannya.
c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, yaitu prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian.58 Sekurang-kurangnya objek perjanjian harus mempunyai jenis tertentu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”, dan ayat (2) menyatakan bahwa: “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
d. Suatu Sebab yang Halal
Undang-undang tidak memberi pengertian causa atau sebab, dan yang dimaksud dengan causa dalam hal ini adalah bukan hukum dan akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian, dengan demikian yang dimaksud dengan sebab (oorzaak/causa) bukanlah mengenai sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi isi perjanjian
57 Ibid, hlm 17.
58 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 93.
itu sendiri. Isi perjanjian itu harus memuat sebab atau causa yang diperbolehkan.59
Berdasarkan uraian syarat sahnya perjanjian yang telah dijelaskan di atas, maka terkait dengan syarat pertama dan kedua dinamakan dengan syarat subjektif sementara syarat ketiga dan keempat dinamakan dengan syarat objektif. Terkait dengan syarat subjektif tersebut, apabila tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan.
Artinya para pihak harus memenuhi unsur ini, dimana kesepakatan maupun unsur kecakapan harus dipenuhi, dapat dibatalkan membawa konsekuensi, bahwa perjanjian itu telah membawa akibat terhadap para pihak bahwa terhadap perjanjiannya sejak adanya gugatan atau putusan pengadilan terhadap suatu perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan, karena adanya gugatan atau putusan pengadilan tersebut, dapat dimintakan pembatatalan (cancelling) oleh salah satu pihak, misalnya untuk yang belum cakap menurut hukum diajukan oleh orang tua atau walinya, atau ia sendiri apabila sudah cakap.60
Sedangkan bila syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu akibatnya batal demi hukum, yang membawa konsekuenksi bahwa dari sejak semula perjanjian itu menjadi tidak membawa akibat hukum apa-apa, karena perjanjian ini telah bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan, jadi secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian dan
59 Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Kerja, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010 xxxx://xxxxxxxxxx.xxx.xx.xx/xxx, diunduh pada Jum’at 12 Mei 2017, pukul
14.13 WIB.
60 X. Xxx Xxxxxxxx, loc.cit
dengan demikian tidaklah dapat pihak yang satu menuntut pihak lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada.61 Perjanjian pada pokoknya dapat dibuat bebas, tidak terikat bentuk, dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1320 KUHPerdata bahwa kesepakatan oleh para pihak, yang berada dalam perjanjian, mengikat bagi para pihak. Sepakat oleh mereka yang mengikatkan diri adalah hal yang esensial dalam perjanjian, sehingga dengan kata sepakat tersebut, suatu perjanjian memenuhi keabsahan sehingga dapat mengikat pihak-pihak yang membuatnya.62
Sepakat juga berlaku karena kedua belah pihak sama-sama setuju hal-hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Pihak-pihak tersebut menghendaki suatu hal pokok yang bersifat timbal balik disekati oleh para pihak. Oleh karenanya terjadilah persesuaian kehendak yang dapat dilakukan dengan cara :
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. Bahasa yang sempurna secara lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis maupun tidak tertulis, dengan adanya kesepakatan atau meeting point antara kedua belah pihak. Kata sepakat ini seringkali menjadi dasar atas berlakunya perjanjian, dan satu pihak dapat menuntut kewajiban dari pihak
61 Ibid.
62 X. Xxx Xxxxxxxx, loc.cit
lain berdasarkan perjanjian tersebut. Menentukan saat terjadinya perjanjian dalam arti adanya persesuaian kehendak dari para pihak ada beberapa teori, yaitu:
a. Teori Ucapan (uitingstheory), menurut teori ini kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. Jadi ini dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima.
b. Teori Pengiriman (verzendtheory) Menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menarima penawaran mengirimkan telegram. Teori ini sangan teoritis karena menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheory) Menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan) tetapi penerimaan tersebut belum diterimanya.
d. Teori Penerimaan (onvangstheory) Menurut teori ini kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.63
Momentum terjadinya perjanjian adalah pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditur dan debitur, namun dalam praktek sering terjadi antara pernyataan dan kehendak tidak sesuai, dan untuk menjawab ini ada tiga teori, yaitu :
a. Teori Kehendak (wilstheory) menurut teori ini perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian;
63 Ibid.
b. Teori Pernyataan (verclaringstheory) menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain, akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Apabila terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan, perjanjian tetap terjadi;
c. Teori Kepercayaan (vertrouwnstheory) menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan di sini artinya pernyataan yang benarbenar dikehendaki oleh para pihak, sesuai yang diperjanjikan.64
Menurut Xxxxx 1321 KUHPerdata kata sepakat yang mengabsahkan perjanjian dikecualikan dalam keadaan tertentu yaitu :
a. Kekhilafan (dwaling)
Suatu perjanjian mengandung unsur kekhilafan apabila para pihak, baik secara bersama-sama ataupun masing-masing telah dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan atau disadari oleh masing-masing pihak tersebut. Pada prinsipnya Pasal 1322 KUHPerdata memiliki dua ketentuan pokok. Pertama kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian. Kedua terdapat pengecualian terhadap perjanjian tersebut, sehingga pembatalan perjanjian tetap dapat dilakukan karena kekhilafan tertentu. Objek kekhilafan yang dikecualikan disini menurut KUHPerdata terdiri dari bebarapa hal :
64 Ibid.
1) Kekhilafan terhadap objek barang, yaitu kekhilafan yang terjadi atas objek dari perjanjian, sehingga terjadi kesalahfahaman terhadap objek perjanjian. Bagi para pihak objek perjanjian yang sesungguhnya tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian.
2) Kekhilafan terhadap subjek perjanjian, yaitu kesalahan menyangkut pihak yang dimaksud dalam perjanjian. Misalnya terjadi karena kesamaan nama, alamat dan lain-lain, sehingga pihak yang dimaksud tertukar.
b. Paksaan (geweld)
Paksaan diatur dalam Pasal 1323 KUHPerdata bahwa perjanjian dapat dibatalkan apabila terjadi paksaan, baik dari pihak tertentu maupun dari pihak ketiga, sedangkan pengertian paksaan, diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata yaitu apabila sebuah perbuatan dilakukan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan ketakutan pada orang yang melalukan perjanjian dan rasa terancam terhadap dirinya atau kekayaannya secara terang dan nyata, oleh karena itu makna paksaan adalah kekerasan jasmani atau ancaman mempengaruhi kejiwaan yang menimbulkan ketakutan pada orang lain.
c. Penipuan (bedrog)
Penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata sebagai perbuatan yang juga dapat membatalkan perjanjian yaitu apabila terjadi tipu muslihat terhadap salah satu pihak, yang sudah pasti tidak akan sepakat apabila tahu senyatanya isi perjanjian tersebut. Penipuan
ini pada prinsipnya harus dibuktikan dan tidak bisa dipersangkakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxx Xxxxx bahwa konsekuensi hukum jika syarat kesepakatan kehendak tidak terpenuhi dalam suatu kontrak, sama halnya tidak terpenuhinya syarat kewenangan membuat perikatan, dan oleh karenanya bila syarat kesepakatan kehendak ini tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah “dapat dibatalkan” (vernietigebaar voidable).65
3. Undue Influence (Penyalahgunaan Keadaan)
Istilah penyalahgunaan keadaan dalam hukum Indonesia merupakan padanan dari istilah misbruik van omstandigheden dan undue influence, 66 bila perjanjian terbentuk atas dasar ketidakpatutan atau ketidakadilan yang terjadi pada suatu hubungan para pihak yang tidak seimbang, maka hal itu dinamakan undue influence (hubungan yang berat sebelah). Terbentuknya ajaran tentang penyalahgunaan keadaan adalah disebabkan belum adanya (waktu itu) ketentuan Burgerlijk Wetboek (Belanda) yang mengatur hal itu, di dalam hal seorang hakim menemukan adanya keadaan yang bertentangan dengan kebiasaan, maka sering ditemukan putusan hakim yang membatalkan perjanjian itu untuk seluruhnya atau sebagian.67
Penyalahgunaan keadaan dikategorikan sebagai kehendak yang cacat, karena lebih sesuai dengan isi dan hakekat penyalahgunaan keadaan itu
65 Ibid.
66 Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx,1991, Black’s Law Dictionary, St.Xxxx Xxxx; West Publishing Co, hlm.1062.
67 Xxxxx P.Xxxxxxxxxx, Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian (Berbagai Perkembangan Hukum Di Belanda), Liberty Jogyakarta, 1991, hlm. 41.
sendiri. Ia tidak berhubungan dengan syarat-syarat obyektif perjanjian melainkan mempengaruhi syarat-syarat subyektif, lebih lanjut xxx Xxxxx membedakan penyalahgunaan karena keunggulan ekonomis dan keuanggulan kejiwaan sebagai berikut :
1. Persyaratan-persyaratan untuk penyalahgunaan keunggulan ekonomis;
2. Satu pihak harus mempunyai keunggulan ekonomis terhadap yang lain;
3. Pihak lain terpaksa mengadakan perjanjian;
4. Persyaratan untuk adanya penyalahgunaan keunggulan kejiwaan;
5. Salah satu pihak menyalahgunakan ketergantungan relatif, seperti hubungan kepercayaan istimewa antara orang tua dan anak, suami isteri, dokter pasien, pendeta jemaat;
6. Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan seperti adanya gangguan jiwa, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, kondisi badan yang tidak baik dan sebagainya.68
Xxxxxx yang memberi indikasi adanya penyalahgunaan keadaan dalam perbuatan hukum atau kontrak adalah :
1. Adanya syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan (unfair contract terms);
2. Nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan;
68 Xxx Xxxxx, Diktat Kursus Hukum Perikatan yang diterjemahkan Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Yogyakarta, 1987, hlm.15-21.
3. Apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali membuat perjanjian, yang memberatkan;
4. Ternyata nilai hak dan kewajiban bertimbal balik kedua pihak adalah sangat tidak seimbang.69
4. Asas-asas Perjanjian
a. Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas kebebasan berkontrak secara tidak langsung diatur Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Xxxxxx, menjelaskan bahwa dengan mendasarkan kata semua, maka berarti semua orang bebas untuk mengadakan perjanjian yang memuat apa saja dan syarat-syarat perjanjian macam apapun (menentukan secara bebas apa yang menjadi hak, kewajiban dan tanggungjawab sepanjang tidak melanggar ketertiban umum) adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya telah membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.70
b. Asas Konsensual (Concensualism)
Asas ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak untuk
69 Ny. Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, Perjanjian Menurut Hukum Indonesia, varia peradilan, Tahun V No.56 Mei 1990, hlm.134.
70Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme Perdagangan), Muhammadiyah University Press UMS, Surakarta, 2006, hlm. 85.
membuat perjanjian. Menurut asas konsensual, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sah dilahirkan sejak terciptanya kesepakatan, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila telah sepakat mengenal hal-hal yang pokok dan tidaklah perlu suatu formalitas.71 Jadi perjanjian para pihak terjadi hanya dengan kata sepakat tanpa memerlukan formalitas tertentu.
Pengecualian asas ini adalah perjanjian riil dan perjanjian formil, perjanjian riil misalnya perjanjian pinjam pakai yang menurut Pasal 1740 KUHPerdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyek perjanjian. Perjanjian formal misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851 ayat (2) KUHPerdata perjanjian harus dituangkan secara tertulis.72
c. Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjianm (Pacta Sunt Servanda)
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal tersebut menegaskan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian secara sah atau memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian itu berakibat bagi para pihak yang
71 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta, 1991, hlm 1.
72 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu di PT.Xxxxxx Xxxxxxxxx, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009, xxxxx://xxxxxxx-xxxxxxxx–xxxxx-xxxxxxxxxxx-xxxxxxxxx.xxx.xx.xx/, yang diunduh pada Rabu 12 Mei 2017 pukul 18.32 WIB.
membuatnya, yaitu perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.73
d. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik di sini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseoraang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diaadakan perbuatan hukum. Sedangkn itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat.74 Xxxxx Xxxxx menyatakan bahwa:
Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuat-an” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.75
73 Ibid.
74 X. Xxxxx Xxxxxxxxx M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 20
75 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2001, hlm. 81.
Berdasarkan asas ini, para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Secara teoritis, asas itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua), di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Itikad baik subjektif menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx memahami itikad baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya berupa pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua, atau dengan kata lain pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.76
b. Itikad baik objektif, yaitu pada saat pelaksanaan perjanjian harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan dan dalam hal ini pun itikad baik nampak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan sebagai pelaksanaan perjanjian, dan dalam melakukan tindakan inilah itikad baik
76 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 2006, hlm. 56.
harus berjalan dalam sanubari seseorang berupa selalu mengingat bahwa manusia itu sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri atau dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban pada hubungan hukum bersifat lebih dinamis. Sedangkan sifat dari kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.77
e. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki agar kedua pihak dapat memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang disepakatinya. Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Berdasarkan asas keseimbangan, kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. Asas keseimbangan dalam perjanjian diperkuat dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
77 Ibid, hlm. 61-62.
f. Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kepribadian diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.” Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya,” hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya, kemudian ayat (2) menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.” Ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal 1317 KUHPerdata tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan, sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya, dan jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.78
5. Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari Bahasa Belanda yaitu wanprestatie yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur,79 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx mengatakan bahwa:
Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”
R. Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 (empat) macam yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya;
78 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, loc.cit
00 Xxxxx X Xxxxxxx, Xxxxxx Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004, hlm.15.
b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang diperjanjikan;
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.80
Xxxxx Xxxxxxx memberikan definisi tentang wanprestasi yaitu:
Sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbul-kan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perjanjian.
Sebelum mengetahui wanprestasi lebih mendalam ada baiknya dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.81 Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suaru perikatan. Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut ,yakni :
a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
b. Harus mungkin;
80 R.Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm.
50.
81 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Xxxxxx Xxxxxx, Bandung,
1990, hlm. 201.
c. Harus diperbolehkan (halal);
d. Harus ada manfaatnya bagi kreditur;
e. Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.82 Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (ingebrekestelling), dan adapun bentuk – bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah:
a. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan, dan dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi.
b. Akta
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta Notaris.
c. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.83
82 Ibid, hlm. 203.
83 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi dan Perjanjian Konsinyasi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, 2010,
Wanprestasi merupakan tidak dapat memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan, tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu :
a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;
b. Karena keadaan memaksa (overmarcht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur, artinya debitur tidak bersalah.84
Adapun bentuk – bentuk dari wanprestasi yaitu :
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetap tidak tepat waktunya.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.85
Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
xxxxx://xxxxx.xxxx.xx.xx.xxx0x000xxxx0000x00000000x0000x0.xxx, diunduh pada Sabtu 12 Mei 2017, pukul 18.30 WIB.
84 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, loc.cit.
85 J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1999, hlm.84.
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikan-nya;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.86 Cara mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi,
perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak, dan dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan perstasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan,87 dan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata, juga diatur pada Pasal1237 KUHPerdata.88
Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Si berutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.
86 Ibid.
87 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, op.cit, hlm. 204.
88 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi dan Perjanjian Konsinyasi, loc.cit.
Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak di penuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampau-kannya.
Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti rugi dalam arti:
a. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya;
b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi;
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur;
d. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi keterlambatannya.89
Pasal 1237 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang,” dan ayat (2) menyatakan bahwa: “Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.”
6. Overmacht
Overmacht berasal dari bahasa Belanda atau Force Majeure dalam bahasa Perancis yang berarti suatu keadaan yang merajalela dan menyebabkan orang tidak dapat menjalankan tugasnya. Overmacht dalam
89 Ibid.
arti luas berarti suatu keadaan di luar kekuasaan manusia yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat memenuhi prestasinya.90
Beberapa ahli hukum juga memberikan pandangannya mengenai keadaan memaksa (Force Majeure/Overmacht) diantaranya adalah sebagai berikut:
x. X. Xxxxxxx
Debitur menunjukkan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi, atau dengan perkataan lain yaitu hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian, dan untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht), selain keadaan itu “di luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si debitur.91
90 Xxxx Xxxxxx, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 425.
91 Rahmat S.S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010, hlm. 7.
b. Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx
Overmacht adalah keadaan di mana debitur sama sekali tidak mungkin memenuhi perutangan (absolute overmacht) atau masih memungkinkan memenuhi perutangan, tetapi memerlukan pengorbanan besar yang tidak seimbang atau kekuatan jiwa di luar kemampuan manusia atau dan menimbulkan kerugian yang sangat besar (relative overmacht).92
x. Xxxxxxxx Xxxxxx
Mengartikan overmacht atau keadaan memaksa adalah debitur tidak melaksanakan prestasi karena tidak ada kesalahan maka akan berhadapan dengan keadaan memaksa yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.93
Debitur yang mengalami keadaan memaksa atau overmacht, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena si debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk atau wanprestasi.94 Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Jika ada alas an untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggung-jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUHPerdara menyatakan bahwa:
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak
92 Ibid.
93 Ibid.
94 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Jakarta, 2015, hlm. 89.
disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
Overmacht ini tidak ada kesalahan dari pihak yang tidak memenuhi prestasinya, sehingga menyebabkan suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan, dan unsur–unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah:
1) Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan benda yang menjadi objek perikatan, ini selalu bersifat tetap;
2) Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau sementara;
3) Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur.95
Overmacht dapat dibedakan menjadi dua macam, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Overmacht objektif
Terjadi atas benda yang merupakan objek kontrak tersebut. Artinya keberadaan benda tersebut sedemikian rupa tidak mungkin lagi dipenuhi prestasinya sesuai kontrak tanpa adanya unsur kesalahan dari pihak debitur, dan sebagai contohnya adalah : A melakukan perjanjian jual beli sapi dengan B, ditengah perjalanan sapi yang akan dijual kepada B mati tersambar petir sehingga A tidak dapat melakukan kewajibannya kepada B. Ketidakmungkinan debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi debitur
95 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, op.cit, hlm.27.
tertentu menurut ajaran overmacht objektif tersebut dengan physical impossibility.
b. Overmacht Subjektif
Teori ini menyatakan bahwa Debitur dikatakan dalam keadaan overmacht, apabila pemenuhan prestasi itu bagi debitur itu sendiri memang tidak dapat dilakukan, tetapi orang lain mungkin masih bisa melakukan”, dan sebagai contohnya adalah: Seorang Arsitek yang pada suatu hari seharusnya ia menggambar pola rumah milik kliennya namun arsitek tersebut jatuh sakit dikarenakan tangannya mengalami infeksi yang parah sehingga Arsitek tersebut tidak dapat melaksanakan kewajibannya untuk menggambar pola rumah milik kliennya. Ketidakmungkinan debitur untuk memenuhi prestasi hanya bagi debitur tertentu menurut ajaran overmacht subjektif tersebut difficultas (menimbulkan kaberatan).96
Adanya peristiwa yang dikategorikan sebagai overmacht membawa konsekuensi (akibat hukum), sebagai berikut :
1) Kreditor tidak dapat menuntut pemenuhan prestasi;
2) Debitur tidak dapat lagi dinyatakan lalai;
3) Debitur tidak wajib membayar ganti rugi;
4) Xxxxxx tidak dapat menuntut pembatalan dalam perjanjian timbal balik;
5) Perikatan dianggap gugur.97
96 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Jakarta, 2015, hlm. 90.
97 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011. hlm. 272.
6. Perbuatan Melawan Hukum
a. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Istilah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebelum tahun 1919 oleh Hoge Raad diartikan secara sempit, yakni tiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Menurut ajaran yang sempit sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk menuntut ganti kerugian karena suatu perbuatan melawan hukum, suatu perbuatan yang tidak bertentangan dengan undang- undang sekalipun perbuatan tersebut adalah bertentangan dengan hal- hal yang diwajibkan oleh moral atau hal-hal yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat.
Pengertian perbuatan melawan hukum menjadi lebih luas dengan adanya keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindebaum lawan Xxxxx. Hoge Raad telah memberikan pertimbangan yaitu :
Bahwa dengan perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) diartikan suatu perbuatan atau kealpaan, yang atau bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan kesusilaan, baik pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda, sedang barang siapa karena salahnya sebagai akibat dari perbuatannya itu telah mendatangkan kerugian pada orang lain, berkewajiban membayar ganti kerugian.98
98 M.A. Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, Perbuatan Melawan Hukum, cet.2, Xxxxxxx Xxxxxxxx, Jakarta, 1982, hlm. 25-26.
Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata. Gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1365 tersebut biasanya dikaitkan dengan Pasal 1371 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi: “penyebab luka atau cacatnya sesuatu badan atau anggota badan dengan sengaja atau kurang hati-hati, memberikan hak kepada si korban untuk, selain penggantian biaya pemulihan, menuntut ganti kerugian yang disebabkan oleh luka cacat tersebut”.
Menurut Xxxxx Xxxxx, perbuatan melawan hukum adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip-prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.99
Menurut X. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum ialah bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangna dari masyarakat.100 Lebih lanjut beliau mengatakan, bahwa istilah “onrechtmatige daad” dirafsirkan secara luas, sehingga meliputi juga
3.
13.
99 Xxxxx Xxxxx, Perbuatan Melawan Hukum, PT.Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2002, hlm.
100 X. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 1994, hlm.
suatu hubungan yang bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam pergaulan hidup masyarakat.101
Menurut salah satu ahli hukum terkemuka asal Belanda, perbuatan melawan hukum yaitu “delict” adalah “elke eenzijdige evenwichtsverstoring, elke eenzijdige inbreak op de materiele en immateriele levensgoerden van een persoon of een, een eenheid vormende, veelheid van persoon/een groop”102 (tiap-tiap gangguan dari keseimbangan, tiap-tiap gangguan pada barang-barang kelahiran dan kerohanian dari milik hidup seseorang atau gerombolan orang- orang).
b. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum Pasal 1365 dan Pasal 1370 KUHPerdata, maka dalam melakukan gugatan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Adanya suatu perbuatan, yaitu Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh perbuatan si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan di sini dimaksudkan, baik berbuat sesuatu (secara aktif) maupun tidak berbuat sesuatu (dalam arti pasif), misalnya tidak berbuat sesuatu padahal ia berkewajiban untuk membantunya, kewajiban mana timbul dari hukum yang berlaku (karena ada juga kewajiban yang timbul dari kontrak). Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum tidak ada unsur persetujuan atau
101 Ibid.
102 Ter Haar, Beginselen en stelsel van het Adatrecht, hlm. 216.
kata sepakat dan tidak ada juga unsur “causa yang diperbolehkan” sebagai mana yang terdapat dalam kontrak.103
2) Perbuatan yang melawan hukum, yaitu suatu perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukum dari si pembuat sendiri yang telah diatur dalam undang-undang.104
3) Harus ada kesalahan, syarat kesalahan ini dapat diukur secara objektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa dalam keadaan seperti itu manusia yang normal dapat menduga kemungkinan akan timbulnya akibat dan kemungkinan ini akan mencegah manusia yang baik untuk berbuat atau tidak berbuat, secara subyektif, yaitu dengan dibuktikan bahwa apakah si pembuat berdasarkan keahlian yang ia miliki dapat menduga akan akibat dari perbuatannya.
Selain itu orang yang melakukan perbuatan melawan hukum harus dapat dipertanggungjawaban atas perbuatannya, karena orang yang tidak tahu apa yang ia lakukan tidak wajib membayar ganti rugi. Sehubungan dengan kesalahan in terdapat dua kemungkinan:
a) Orang yang dirugikan juga mempunyai kesalahan terhadap timbulnya kerugian. Dalam pengertian bahwa jika orang yang dirugikan juga bersalah atas timbulnya kerugian, maka sebagian dari kerugian tersebut dibebankan kepadanya kecuali jika perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan sengaja.
103 Xxxxxxx Xxxxxxx, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm. 185.
104 Ibid.
b) Kerugian ditimbulkan oleh beberapa pembuat. Jika kerugian itu ditimbulkan karena perbuatan beberapa orang maka terhadap masing-masing orang yang bertanggung jawab atas terjadinya perbuatan tersebut dapat dituntut untuk keseluruhannya.
4) Harus ada kerugian yang ditimbulkan, kerugian yang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum dapat berupa : 105
a) Kerugian materiil, dimana kerugian materiil dapat terdiri dari kerugian yang nyata-nyata diderita dan keuntungan yang seharunya diperoleh. Jadi pada umumnya diterima bahwa si pembuat perbuatan melawan hukum harus mengganti kerugian tidak hanya untuk kerugian yang nyata-nyata diderita, juga keuntungan yang seharusnya diperoleh.
b) Kerugian idiil, dimana perbuatan melawan hukum pun dapat menimbulkan kerugian yang bersifat idiil seperti ketakutan, sakit dan kehilangan kesenangan hidup.
Menentukan luasnya kerugian yang harus diganti umumnya harus dilakukan dengan menilai kerugian tersubut, untuk itu pada asasnya yang dirugikan harus sedapat mungkin ditempatkan dalam keadaan seperti keadaan jika terjadi perbuatan melwan hukum. Pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi tidak hanya kerugian yang telah ia derita pada waktu diajukan tuntutan akan tetapi juga apa yang ia akan derita pada waktu yang akan datang.
105 Ibid.
5) Adanya hubungan causal antara perbuatan dan kerugian. Untuk memecahkan hubungan causal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian, terdapat dua teori yaitu : 106
a) Condition sine qua non, dimana menurut teori ini orang yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu bertanggung jawab jika perbuatannya condition sine qua non menimbulkan kerugian (yang dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat).
b) Adequate veroorzaking, dimana menurut teori ini si pembuat hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dari pada perbuatan melawan hukum.
Terdapat hubungan causal jika kerugian menurut aturan pengalaman secara layak merupakan akibat yang dapat diharapkan akan timbul dari perbuatan melawan hukum. Unsur-unsur tersebut berlaku kumulatif, artinya harus terpenuhi seluruhnya. Apabila unsur-unsur di atas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang- undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap
106 Ibid.
diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.
Pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), dengan demikian hakim harus dapat menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan sesorang dalam hubungannnya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat ditentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya. Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang bertanggung jawab, bukan hanya atas kerugian yang disebabkan pebuatan-perbuatan, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan kelalaian atau kesembronoannya.”
B. Perlindungan Konsumen
1. Pengertian Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen menurut Az. Xxxxxxxx adalah hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah- kaidah yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup.107 Pengertian Perlindungan Konsumen
107 Xxxxxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta, Grasindo, 2000, hlm. 9
dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selanjutnya disingkat UUPK adalah “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen”.
Pengertian Konsumen dalam Pasal 1 Angka 2 UUPK menyatakan bahwa: “Setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan’’.
Pengertian pelaku usaha terdapat dalam Pasal 1 Angka 3 UUPK yang menyatakan bahwa:
Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
2. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 UUPK 8 Tahun 1999, yaitu:
a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang dikonsumsi dan digunakan.
e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen berdasarkan Pasal 3 UUPK memiliki beberapa tujuan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Perlindungan konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hakhaknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan tujuan dari usaha yang akan dicapai atau keadaan yang akan diwujudkan, oleh karena itu, tujuan perlindungan konsumen perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan dipersiapkan sejak dini. Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen disusun secara bertahap, mulai dari penyadaran hingga pemberdayaan. Pencapaian tujuan perlindungan konsumen tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan tersebut, tetapi dengan melihat urgensinya, misalnya tujuan meningkatkan kualiatas barang, pencapaiannya tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai adalah meningkatkan kesadaran konsumen, idealnya, pencapaian tujuan perlindungan konsumen dilakukan secara serempak.108
3. Hak dan Kewajiban Konsumen Dan Pelaku Usaha
a. Hak Konsumen
Pasal 4 UUPK mengatur tentang hak konsumen, di antaranya adalah sebagai berikut:
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat- kan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
108 Xxxxx Xxxxxxxx, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen
Bandar Lampung, Universitas lampung, 2007, hlm. 40-41
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
x. xxx unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hakhak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen
Pasal 5 UUPK mengatur tentang kewajiban konsumen, diantaranya adalah sebagai berikut:
Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
x. xxxxikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
c. Hak Pelaku Usaha
Pasal 6 UUPK mengatur tentang hak pelaku usaha, di antaranya adalah sebagai berikut:
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hokum sengketa konsumen;
x. xxx untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang -undangan lainnya.
d. Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 7 UUPK mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, di antaranya adalah sebagai berikut:
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
4. Teori tentang Tanggung Jawab
a. Pengertian Tanggung Jawab
Tanggung jawab menurut kamus umum Bahasa Indonesia adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya. Berkewajiban menanggung, memikul tanggung jawab, menanggung segala sesuatunya, dan menanggung akibatnya. Tanggung jawab hukum adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatan yang disengaja maupun tidak disengaja. Tanggung jawab juga berarti
berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban. Adapun pengertian tanggung jawab hukum menurut para ahli sarjana.
Menurut Xxxxxx Xxxxx, tanggung jawab hukum adalah sebagai sesuatu akibat lebih lanjut dari pelaksanaan peranan, baik peranan itu merupakan hak dan kewajiban ataupun kekuasaan. Secara umum tanggung jawab hukum diartikan sebagai kewajiban untuk melakukan sesuatu atau berprilaku menurut cara tertentu tidak menyimapang dari peraturan yang telah ada, 109 dan selanjutnya menurut Titik Triwulan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seorang untuk menuntut orang lain sekaligus berupa hal yang melahirkan kewajiban hukum orang lain untuk memberi pertanggungjawabannya.110
b. Teori Tanggung Jawab
Menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx teori tanggung jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa teori, yaitu :111
1) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga
000 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Administrasi Negara Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,1988, hlm. 23.
110 Titik Triwulan dan Xxxxxx Xxxxxxx, Perlindungan Hukum bagi Pasien, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2010, hlm. 48.
111 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Xxxxxx Xxxxx, 2010, hlm.
503.
merugikan penggugat atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan mengakibatkan kerugian.
2) Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum yang sudah bercampur baur (interminglend).
3) Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa mempersoalkan kesalahan (stirck liability), didasarkan pada perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya meskipun bukan kesalahannya tetap bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat perbuatannya.
c. Prinsip Tanggung Jawab
Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:112
1) Kesalahan (liability based on fault);
2) Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);
3) Praduga tidak selalu bertanggung jawab (presumption of nonliability);
4) Tanggung jawab mutlak (strict liability);
5) Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).
112 Xxxxxx Xxx Xxxx Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 31.
Penjelasan dari prinsip-prinsip tanggung jawab di atas adalah sebagai berikut:
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata, khususnya dalam Pasal 1365, 1366, dan 1367 KUHPerdata. Prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPer yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhnya empat unsur pokok, yaitu:
a) Adanya perbuatan;
b) Adanya unsur kesalahan;
c) Adanya kerugian yang diterima;
d) Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.
2) Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggungjawab (presumption of liability), prinsip ini meyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia membutikan ia tidak berselah. Jadi beban pembuktian ada ada si tergugat.
3) Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab (presumption of nonliability), prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip ini untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam
lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah hukum pengangkutan, kehilngan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang, dan dalam hal ini, pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat diminta pertanggung jawaban.
4) Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (strict liability), Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikan dengan prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminologi diatas. Strict liability adalah prinip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualian.
5) Prinsip Tanggung Jawab dengan Pembatasan (limitation of liability principle), prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk mencantumkan sebagai klasula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuat. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha, dalam UUPK seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menetukan klausul yang merugikan konsumen.