KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA ACEH (KUA) TAHUN ANGGARAN 2021
KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA ACEH (KUA) TAHUN ANGGARAN 2021
PEMERINTAH ACEH TAHUN 2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... | i |
DAFTAR TABEL .............................................................................................................. | iii |
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... | iv |
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .............................................................................................. | 1 |
1.2 Tujuan Penyusunan KUA ............................................................................. | 3 |
1.3 Dasar Hukum Penyusunan KUA .................................................................. | 4 |
BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO 2.1 Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Aceh Tahun 2020 dan 2021 | 6 |
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto dan Pertumbuhan Ekonomi Aceh. | 6 |
2.1.2 Pemerataan Pembangunan Ekonomi................................................... | 8 |
2.1.3 Ketenagakerjaan dan Tingkat Pengangguran...................................... | 9 |
2.1.4 Tingkat Kemiskinan ........................................................................... | 11 |
2.1.5 Xxxxxxx xxx Xxxxxxx................................................................................. | 12 |
2.1.6 Indeks Pembangunan Manusia ........................................................... | 13 |
2.1.7 Perkembangan Indikator Lainnya ....................................................... | 14 |
2.2 Perkiraan Tahun 2019 ................................................................................... | 17 |
2.3 Rencana Target Ekonomi Makro Tahun 2020 .............................................. | 20 |
2.3.1 Pertumbuhan Ekonomi Global............................................................ | 20 |
2.3.2 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ....................................................... | 21 |
2.3.3 Perkiraan Perekonomian Aceh Tahun 2020 ....................................... | 22 |
2.4 Tantangan dan Prospek Perekonomian Aceh 2021....................................... | 25 |
BAB III ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN | |
PENDAPATAN DAN BELANJA ACEH (RAPBA) 3.1 Asumsi Dasar Yang Digunakan Dalam APBN............................................. | 27 |
3.1.1 Sasaran Ekonomi Makro Tahun 2021................................................. | 28 |
3.1.2 Xxxxxxx ............................................................................................... | 28 |
3.2 Laju Inflasi .................................................................................................. | 28 |
3.3 Pertumbuhan Ekonomi ................................................................................ | 29 |
3.4 Asumsi Lain-Lainnya................................................................................... | 29 |
BAB IV KEBIJAKAN PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN ACEH
4.1 Pendapatan Aceh 31
4.1.1 Kebijakan Perencanaan Pendapatan Aceh 2021 31
4.1.2 Target Pendapatan Aceh Tahun 2021 34
4.1.3 Upaya-Upaya Pemerintah Aceh Dalam Mencapai Target 35
4.2 Belanja Aceh 37
4.2.1 Kebijakan Perencanaan Belanja Aceh Tahun 2021 37
4.2.2 Kebijakan Belanja Operasi, Belanja Modal, Belanja Transfer,
dan Belanja Tidak Terduga 38
4.2.3 Kebijakan Pembangunan Aceh, Kendala yang Dihadapai, Strategi dan Prioritas, Pembangunan Aceh yang Disusun Secara Teritegrasi Dengan Kebijakan dan Prioritas Pembangunan Nasional yang
Akan Dilaksanakan di Daerah 39
4.2.3.1 Kendala Yang Dihadapi dalam Penyelenggaraan Urusan
Pemerintah Daerah 39
4.2.3.2 Strategi Penanganan Permasalahan Pembangunan Aceh 44
4.2.3.3 Sasaran dan Prioritas Pembangunan 49
4.2.4 Kebijakan Belanja Aceh 52
4.3 Pembiayaan Aceh 53
4.3.1 Kebijakan Penerimaan Pembiayaan Aceh 53
4.3.2 Kebijakan Pengeluaran Pembiayaan Aceh 54
BAB V PENUTUP 55
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 | Perkembangan PDRB Migas dan Non Migas Aceh 2011-2019 (Xxxxxxx Xxxxxx) ........................................................................................ | 6 |
Tabel 2.2 | PDRB Aceh ADHK Berdasarkan Lapangan Usaha, 2019 - Triwulan I 2020 | 7 |
Tabel 2.3 | Komponen Ketenagakerjaan Provinsi Aceh Periode 2013-2019.............. | 10 |
Tabel 2.4 | Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) berdasarkan Pendidikan, Februari 2020 ........................................................................ | 11 |
Tabel 2.5 | Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Aceh Tahun 2013 – 2019 ................................................................................... | 12 |
Tabel 2.6 | Perkembangan Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh Tahun 2012 – 2019 .......................................................................... | 12 |
Tabel 2.7 | Tingkat Inflasi/Deflasi Provinsi Aceh Year on Year (2016-2018) Menurut Kota/Kabupaten di Aceh........................................................................... | 13 |
Tabel 2.8 | Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Berdasarkan Indikator Pembentuk di Provinsi Aceh, 2019.............................................................................. | 14 |
Tabel 2.9 | Angka Kematian Ibu (AKI) Tahun 2015-2019......................................... | 14 |
Tabel 2.10 | Prevalensi Balita Dengan Stunting di Aceh Tahun 2007– 2019............... | 15 |
Tabel 2.11 | Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Rumah Bersalin, Puskesmas, Klinik, Posyandu, Polindes Di Provinsi Aceh Tahun 2018 dan 2019................................................................................ | 15 |
Tabel 2.12 | Ketersediaan Tenaga Medis di Aceh tahun 2015 – 2019 ......................... | 15 |
Tabel 2.13 | Jumlah Kepesertaan dan Anggaran JKA Tahun 2015 – 2020 .................. | 16 |
Tabel 2.14 | Proporsi Panjang Jalan Provinsi dan Nasional, Kondisi Mantap Tahun 2015 – 2019 ................................................................................... | 17 |
Tabel 2.15 | Realisasi dan Capaian Indikator RKPA 2016-2019.................................. | 19 |
Tabel 4.1 | Realisasi, APBA dan Proyeksi Pendapatan Aceh 2018-2020 .................. | 31 |
Tabel 4.2 | Proyeksi Pendapatan Aceh 2021............................................................... | 32 |
Tabel 4.3 | Realisasi, APBA dan Proyeksi Pembiayaan Aceh 2018-2020 ................. | 37 |
Tabel 4.4 | Target Belanja Aceh Tahun 2021 ............................................................. | 38 |
Tabel 4.5 | Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah, Permasalahan dan Isu Strategis............................................................................................... | 49 |
Tabel 4.6 | Realisasi, APBA dan Proyeksi Pembiayaan Aceh 2018-2021 ................. | 54 |
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Gambar 2.1
Tahapan dan Jadwal Proses Penyusunan APBA ...................................... 3
Indeks Ketimpangan Wilayah (Indeks Xxxxxxxxxx) Aceh
Tahun 2015 – 2019 ................................................................................... 8
Gambar 2.2 Perkembangan Indeks Gini Aceh dan Indonesia 2015-2019 .................... 9
Gambar 2.3 Struktur Ketenagakerjaan Aceh, Februari 2020........................................ 10
Gambar 2.4 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Februari 2020 ................... 11
Gambar 2.5 Perkembangan IPM Aceh Tahun 2010 – 2018 ......................................... 13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 89 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Rancangan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) berdasarkan RKPA dengan mengacu pada pedoman penyusunan APBD. Lebih lanjut Pasal 89 ayat (1) menyatakan Rancangan KUA memuat; a) kondisi ekonomi makro daerah; b) asumsi penyusunan APBD; c) kebijakan Pendapatan Daerah; d) kebijakan Belanja Daerah; e) kebijakan Pembiayaan Daerah; dan f) strategi pencapaian. Dengan telah ditetapkannya Peraturan Gubernur Aceh Nomor 42 Tahun 2020 tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2021, selanjutnya Pemerintah Aceh melakukan penyusunan Kebijakan Umum APBA Tahun Anggaran 2021 yang digunakan sebagai bahan dan landasan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) Tahun Anggaran 2021.
Pembangunan daerah yang baik didasarkan pada perencanaan yang bertumpu pada penetapan
prioritas pembangunan berbasis pada aspirasi rakyat melalui mekanisme Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah yang mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Rencana pembangunan yang akan dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) selayaknya merupakan hasil kesepakatan antara Pemerintah Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dalam bentuk Nota Kesepakatan tentang Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja (KUA). KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan pendapatan, belanja, dan pembiayaan, maupun asumsi dasar yang digunakan pada satu periode anggaran. Selain itu dokumen ini juga memuat proyeksi kemampuan anggaran dan pendapatan dengan memperhatikan kondisi pendapatan dan belanja pada tahun sebelumnya. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) adalah program prioritas dan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada perangkat daerah untuk setiap program dan kegiatan sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah yang berorientasi pada aspirasi masyarakat dan pengarusutamaan gender.
KUA dan PPAS Tahun Anggaran 2021 disusun berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Aceh
(RKPA) Tahun 2021 sebagaimana tertuang pada Peraturan Gubernur Aceh Nomor 42 Tahun 2020 tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2021. RKPA Tahun 2021 disusun melalui beberapa pendekatan perencanaan, baik secara; teknokratis, partisipatif, politis, atas-bawah dan bawah-atas (top-
down/bottom-up) melalui proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan Aceh. RKPA disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Penyusunan KUA Tahun Anggaran 2021 dilakukan untuk mencapai tujuan Pembangunan Aceh
berdasarkan 4 (empat) Prioritas yaitu; 1) Mendorong Pemulihan Agro Industri dan Pemberdayaan UMKM, 2) Peningkatan Sumber Daya Manusia yang berdaya saing, 3) Penguatan Ketahanan dan Kemandirian Pangan, dan 4) Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan. Dapat disampaikan bahwa empat prioritas pembangunan tersebut diselaraskan dengan program unggulan Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2017-2022.
Prioritas Pembangunan Aceh 1, yakni mendorong pemulihan agroindustri dan pemberdayaan
UMKM meliputi: a) Program Pelatihan Kerja dan Produktivitas Tenaga Kerja, b) Program Promosi Penanaman Modal, c) Program Perencanaan dan Pembangunan Industri, d) Program Pengembangan Ekspor, e) Program Pengembangan Ekonomi Kreatif melalui Pemanfaatan dan Perlindungan HKI, f) Program Peningkatan Daya Tarik Destinasi Pariwisata, g) Program Pengembangan UMKM, dan h) Program Pengembangan Ketenagalistrikan.
Prioritas Pembangunan Aceh 2, yakni Peningkatan Sumber Daya Manusia yang Berdaya Saing,
meliputi : a) Program Pengelolaan Pendidikan, b) Program Pendidik dan Tenaga Kependidikan, c) Program Pengembangan Sumber Daya Manusia, d) Program Pendidikan Daerah, e) Program Pengembangan Daya Saing Keolahragaan, dan f) Program Pembinaan Perpustakaan.
Prioritas Pembangunan Aceh 3, yakni Penguatan Ketahanan dan Kemandirian Pangan, meliputi;
a) Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana Pertanian, b) Program Penyuluhan Pertanian, c) Program Pengelolaan Perikanan Budidaya, d) Program Pengelolaan Perikanan Tangkap, dan e) Program Pengelolaan Sumber Daya Ekonomi untuk Kedaulatan dan Kemandirian Pangan. Prioritas Pembangunan Aceh 4, yakni Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan, meliputi : a) Program Pemenuhan Upaya Kesehatan Perorangan dan Kesehatan Kesehatan Masyarakat, b) Program Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan, dan c) Program Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan.
Berdasarkan prioritas pembangunan yang telah diselaraskan dengan 22 program unggulan sebagaimana dimaksud di atas, maka KUA Tahun Anggaran 2021 disusun sebagai pedoman penyusunan PPAS yang didasari kebutuhan untuk mencapai tujuan dan sasaran serta memberikan arah kebijakan dalam rangka pencapaian target kinerja pemerintah termasuk kinerja anggaran, outcome, benefit serta impact dari suatu program dan kegiatan sehingga terjadi peningkatan penyediaan pelayanan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Setelah dokumen KUA Tahun Anggaran 2021 tersusun, Pemerintah Aceh menyerahkan kepada DPRA sesuai dengan Pasal 90 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah untuk dibahas dan disepakati bersama.
Selanjutnya KUA dan PPAS yang telah disepakati masing-masing dituangkan ke dalam Nota Kesepakatan yang ditandatangani bersama antara Gubernur Aceh dan DPRA paling lambat minggu kedua bulan Agustus. Berdasarkan Nota Kesepakatan tersebut sesuai dengan Pasal 89 Peraturan Menteri Dalam Negeri 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Kepala Daerah menerbitkan Surat Edaran Kepala Daerah
perihal Pedoman Penyusunan RKA SKPD dan RKA-PPKD.
Sesuai dengan Pasal 91 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan bahwa apabila Gubernur Aceh dan DPRA tidak menyepakati bersama Rancangan KUA dan Rancangan PPAS paling lama 6 (enam) minggu sejak disampaikan kepada DPRA, Gubernur Aceh menyampaikan Rancangan Qanun Aceh tentang APBA kepada DPRA berdasarkan RKPA, Rancangan KUA dan Rancangan PPAS untuk dibahas dan disetujui bersama.
Sesuai dengan Pasal 310 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa RKA-SKPD yang telah disusun disampaikan kepada Pejabat Pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya. Untuk alur proses perencanaan dan penganggaran dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 1.1
Tahapan dan Xxxxxx Proses Penyusunan APBA
RKPA 2021
Gubernur menyusun Rancangan KUA berdasarkan RKPA dibantu TAPA
TAPA melaporkan Rancangan KUA ke Gubernur awal Xxxx
Xxxxxxxx Aceh menyampaikan rancangan KUA ke DPRA bulan Juli
Penyusunan dan Pembahasan RKA-SKPA dan RKA PPKA serta Penyusunan Raqan APBA
Gubernur Aceh menerbitkan Pedoman Penyusunan RKA-SKPA Paling lambat minggu ke III Bulan Agustus
Nota Kesepakatan KUA Paling lambat minggu ke II Agustus
Pembahasan TAPA bersama Banggar DPRA
Penyampaian Rancangan Qanun APBA ke DPRA paling lambat minggu ke II bulan September
Persetujuan Bersama DPRA dan Gubernur Aceh tentang RAPBA paling lambat 1 bulan sebelum dimulainya tahun anggaran
Berdasarkan Gambar 1.1, dokumen RKPA Tahun Anggaran 2021 merupakan dokumen strategis dalam perencanaan pembangunan dan menjadi acuan dokumen dalam penyusunan KUA Tahun Anggaran 2021 yang kemudian akan dijadikan dasar bagi penyusunan RAPBA Tahun Anggaran 2021.
1.2 Tujuan Penyusunan KUA
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusunan KUA bertujuan:
1. Menyediakan kerangka ekonomi makro tahun 2021 yang akuntabel, meliputi; pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indikator makroekonomi lain guna menjadi dasar perencanaan pembangunan Aceh, dan APBA Tahun Anggaran 2021;
2. Mewujudkan capaian indikator kinerja pembangunan Aceh sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pembangunan Aceh (RKPA) Tahun 2021;
3. Memberikan arah dan kebijakan dalam penyusunan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Tahun Anggran 2021 yang akan dijadikan pedoman bagi seluruh SKPA dalam menyusun Rencana Kerja dan Anggaran;
4. Memberikan kebijakan pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan daerah yang
komprehensif dan sistematis untuk dijadikan dasar dalam penyusunan APBA Tahun Anggaran 2021.
1.3 Dasar Hukum Penyusunan KUA
Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh disusun mengacu pada aturan:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara;
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional;
3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh;
4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah beberapa kali, diubah terakhir dengan undang-undang Nomor 9 tahun 2015 tentang perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional;
9. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
10. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024;
11. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2020 tentang Standar Harga Satuan Regional;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 95 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Aceh;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 86 Tahun 2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengendalian dan Evaluasi Pembangunan Daerah, Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah, serta Tata Cara Perubahan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 70 Tahun 2019 tentang Sistem Informasi Pemerintahan Daerah;
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 90 Tahun 2019 tentang Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2020 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah Tahun 2021;
18. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh;
19. Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus Sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Qanun Aceh Nomor 1 tahun 2018 tentang Perubahan Ketiga Atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus;
20. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2012 – 2032;
21. Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh (RTRWA) Tahun 2013-2023;
22. Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh;
23. Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2019 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2017-2022;
24. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 78 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pemanfaatan Dana Otonomi Khusus Aceh Tahun 2008-2027;
25. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 44 Tahun 2016 tentang Percepatan Perencanaan Pembangunan berbasis e-rencana;
26. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 22 Tahun 2019 tentang petunjuk Teknis Pengelolaan Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otonomi Khusus;
27. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 42 Tahun 2020 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2021.
28. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-3708 Tahun 2020 tentang Hasil Verifikasi dan Validasi Pemutakhiran Klasifikasi, Kodefikasi dan Nomenklatur Perencanaan Pembangunan dan Keuangan Daerah.
BAB II
KERANGKA EKONOMI MAKRO ACEH
2.1 Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Aceh Tahun 2020 dan 2021
Perkembangan ekonomi makro Nasional saat ini turut mempengaruhi kondisi ekonomi makro Aceh pada tahun 2020 yang mengalami ketidakpastian dan volatile. Beberapa indikator ekonomi makro yang diukur diantaranya adalah: pertumbuhan ekonomi melalui Produk Domestik Regional Bruto (PDRB dibandingkan tahun-tahun sebelumnya), Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), Tingkat Kemiskinan, Laju Inflasi, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan Perkembangan Indikator lainnya.
2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto dan Pertumbuhan Ekonomi Aceh
Secara umum gambaran perekonomian Aceh tercermin dari pencapaian nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh yang merupakan akumulasi dari tujuh belas lapangan usaha sesuai komposisi masing-masing, seperti; 1) Pertanian, Kehutanan, & Perikanan, 2) Pertambangan & Penggalian, 3) Industri Pengolahan, 4) Pengadaan Listrik dan Gas, 5) Pengadaan Air, 6) Konstruksi, 7) Perdagangan Besar & Eceran, Reperasi Mobil dan Sepeda Motor, 8) Transportasi dan Pergudangan, 9) Penyediaan Akomodasi, Makan & Minum, 10) Informasi dan Komunikasi, 11) Jasa Keuangan, 12) Real Estate, 13) Jasa Perusahaan, 14) Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, & Jaminan Sosial Wajib, 15) Jasa Pendidikan, 16) Jasa Kesehatan & kegiatan sosial, dan 17) Jasa Lainnya. Nilai PDRB Aceh dihitung atas dasar harga konstan tahun dasar 2010 selama sepuluh tahun terakhir (2011-2020) tanpa migas mengalami peningkatan. Penentuan tahun dasar mengacu pada rekomendasi Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sebagaimana tertuang dalam SNA 2008 melalui penyusunan kerangka Supply and Use Tables (SUT).
Berdasarkan atas dasar harga konstan 2010 (ADHK 2010), PDRB triwulan II 2020 adalah sebesar 40,06 triliun rupiah, turun 1,2 triliun rupiah dari triwulan I 2020 sebesar 41,26 triliun rupiah. Xxxxx PDRB ADHK 2010 tanpa migas, pada triwulan I 2020 mengalami penurunan sebesar 1,47 triliun rupiah dari 40,18 triliun rupiah menjadi sebesar 38,71 triliun rupiah. Selisih antara PDRB Migas dan Non Migas untuk tahun 2020 Triwulan II Rp1,47 Triliun atau hanya 3,4% ketergantungan ekonomi Aceh pada sektor migas. Berikut detil perkembangan PDRB Aceh.
Tabel 2.1 Perkembangan PDRB Migas dan
Non Migas Aceh 2011- 2019 (Triliun Rupiah)
Uraian | Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) 2010 | |||||||||
2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | Triw.II 2020 | |
PDRB | 104,87 | 108,91 | 111,99 | 113,84 | 112,66 | 116,39 | 121,24 | 126,82 | 132,09 | 40,06 |
PDRB Non Migas | 89,84 | 104,97 | 98,44 | 102,52 | 106,58 | 111,07 | 115,66 | 120,89 | 125,92 | 38,71 |
Sumber : PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha, Triwulan I 2020
Berbeda dengan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) untuk tahun 2019 sebesar Rp164,21 Triliun, dan PDRB Non Migas Rp158,56 Triliun. Xxxxx PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dengan migas menurut pengeluaran selama tahun 2015-2019 mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, nilai PDRB sebesar 129,09 triliun rupiah, kemudian pada tahun 2016 naik menjadi 136,84 triliun rupiah. Xxxxx PDRB ADHB ini terus meningkat di tahun 2017 menjadi 145,81 triliun rupiah dan di tahun 2018 sebesar 155,91 triliun rupiah. Pada tahun
2019, nilai PDRB sudah mencapai 164,21 triliun rupiah. Kenaikan PDRB tertinggi terjadi di tahun 2018 yaitu sebesar 6,93 persen atau naik 10,10 triliun rupiah dari tahun 2017. Selama kurun waktu lima tahun Aceh telah mengalami kemajuan perekonomian dengan kenaikan PDRB ADHB sebesar 35,12 triliun rupiah.
Bila diperhatikan lebih detil lapangan usaha penyumbang PDRB pada tahun 2019, masih didominasi lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, & Perikanan baik dengan migas maupun tanpa migas sebesar Rp48.514,99 Milyar (29,5 persen), diikuti oleh; Perdagangan Besar & Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor Rp25.468,96 Milyar (15,5 persen), dominasi ketiga oleh lapangan usaha Administrasi Pemerintahan, Pertahanan, dan Jaminan Sosial Wajib Rp16.831,19 Milyar (10,2 persen), keempat Konstruksi Rp15.789,99 Milyar (9,6 persen), dan Transportasi dan Pergudangan, serta Pertambangan dan Penggalian, dan Industri Pengolahan menduduki peringkat kelima, keenam, dan ketujuh dengan memberikan peran sebesar 6,4 persen, 4,8 persen dan 4,7 persen.
Lebih jauh pertumbuhan ekonomi triwulan I 2020 tumbuh Rp1,13 triliun menjadi 41,26 Trilyun (ADHB) atau 3,17 persen dari 38,84 Trilyun triwulan I tahun 2019 dengan Xxxxx, dan 4,26 persen Xxxxx Xxxxx. Namun secara triwulanan (Q to Q) ekonomi Aceh triwulan I-2020 dibanding triwulan IV-2019 turun sebesar 4,51 persen dengan migas dan turun 4,01 persen tanpa migas (Tabel 2.2). Informasi PDRB ini dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Aceh guna mendorong pengembangan perekonomian Aceh kedepannya, mengingat sektor ekonomi dan lapangan usaha merupakan andalan masyarakat.
Tabel 2.2
PDRB Aceh ADHK Berdasarkan Lapangan Usaha, 2019 - Triwulan II 2020
Xxxx xxxx | Uraian | 201 | 2020 | ||||||||
II | III | IV | Total | I | II | Total | |||||
Rp | % | Rp | % | ||||||||
A | Pertanian, Kehutanan, & Perikanan | 9,07 | 9,2 | 9,27 | 9,14 | 36,68 | 27,8% | 9,62 | 9,25 | 18,87 | 29,1% |
B | Pertambangan & Penggalian | 2,41 | 2,36 | 2,49 | 2,37 | 9,63 | 7,3% | 2,28 | 2,90 | 5,18 | 7,99% |
1. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi | 1,28 | 1,21 | 1,28 | 1,22 | 4,99 | 3,8% | 1,00 | 1,73 | 2,73 | 4,21% | |
2. Pertambangan dan Pengalian Non Migas | 1,13 | 1,15 | 1,21 | 1,15 | 4,64 | 3,5% | 1,28 | 1,17 | 2,45 | 3,78% | |
C | Industri Pengolahan | 1,47 | 1,67 | 1,64 | 1,56 | 6,34 | 4,8% | 1,47 | 1,61 | 3,08 | 4,75% |
1. Industri batubara & Pengilangan Non Migas | 0,28 | 0,29 | 0,31 | 0,3 | 1,18 | 0,9% | 0,28 | 0,30 | 0,58 | 0,89% | |
2. Industri Non Migas | 1,19 | 1,38 | 1,33 | 1,26 | 5,16 | 3,9% | 1,11 | 1,31 | 2,42 | 3,73% | |
D | Pengadaan Listrik, Gas | 0,05 | 0,05 | 0,05 | 0,05 | 0,20 | 0,2% | 0,05 | 0,06 | 0,11 | 0,17% |
E | Pengadaan Air | 0,01 | 0,01 | 0,01 | 0,01 | 0,04 | 0,0% | 0,01 | 0,01 | 0,02 | 0,03% |
F | Konstruksi | 2,81 | 2,66 | 3,18 | 3,91 | 12,56 | 9,5% | 3,35 | 3,30 | 6,65 | 10,25% |
G | Perdagangan Besar& Xxxxan, & Reperasi Mo | 5,01 | 5,27 | 5,01 | 5,03 | 20,32 | 15,4% | 4,74 | 4,78 | 9,52 | 14,68% |
H | Transportasi & Pergudangan | 2,43 | 2,39 | 2,54 | 2,49 | 9,85 | 7,5% | 2,32 | 1,18 | 3,5 | 5,40% |
I | Penyediaan Akomodasi & Makan Mium | 0,43 | 0,46 | 0,45 | 0,45 | 1,79 | 1,4% | 0,41 | 0,39 | 0,8 | 1,23% |
J | Informasi dan Komunikasi | 1,12 | 1,15 | 1,16 | 1,19 | 4,62 | 3,5% | 1,28 | 1,35 | 2,63 | 4,05% |
K | Jasa Keuangan | 0,57 | 0,57 | 0,58 | 0,62 | 2,34 | 1,8% | 0,61 | 0,60 | 1,21 | 1,87% |
L | Real Estate | 1,34 | 1,38 | 1,39 | 1,4 | 5,51 | 4,2% | 1,41 | 1,35 | 2,76 | 4,26% |
M,N | Jasa Perusahaan | 0,21 | 0,22 | 0,21 | 0,23 | 0,87 | 0,7% | 0,21 | 0,20 | 0,41 | 0,63% |
O | Administrasi Pemerintah, Pertahanan & JSW | 2,56 | 3,02 | 3,01 | 3,26 | 11,85 | 9,0% | 2,67 | 2,94 | 5,61 | 8,65% |
P | Jasa Pendidikan | 0,78 | 0,89 | 0,92 | 0,94 | 3,53 | 2,7% | 0,84 | 0,91 | 1,75 | 2,70% |
Q | Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial | 0,90 | 1,02 | 1,03 | 1,04 | 3,99 | 3,0% | 0,97 | 0,95 | 1,92 | 2,96% |
S | Jasa Lainnya | 0,45 | 0,48 | 0,49 | 0,49 | 1,91 | 1,4% | 0,48 | 0,45 | 0,93 | 1,43% |
PDRB | 31,62 | 32,80 | 33,4 | 34,18 | 132,03 | 100% | 32,64 | 32,2 | 64,86 | 100% | |
PDRB Non Migas | 30,66 | 31,31 | 31,8 | 32,67 | 125,92 | 31,36 | 61,54 |
Sumber : PDRB ADHK Menurut Lapangan Usaha Triwulan II 2020, diolah.
2.1.2 Pemerataan Pembangunan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas merupakan pertumbuhan ekonomi yang dapat dinikmati oleh masyarakat secara merata pada suatu regional tertentu. Kualitas pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari ketimpangan distribusi pembangunan ekonomi dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Ketimpangan ini dapat diukur salah satunya adalah dengan Indeks Xxxxxxxxxx. Pertumbuhan ekonomi yang cepat namun tidak diimbangi dengan pemerataan akan menimbulkan ketimpangan wilayah. Ketimpangan wilayah (regional disparity) terlihat dengan adanya wilayah yang maju dengan wilayah yang terbelakang atau kurang maju. Hal ini dikarenakan kebijakan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah kurang memperhatikan besar kecilnya pertumbuhan ekonomi suatu daerah/wilayah.
Indeks Xxxxxxxxxx (IW) diperoleh menggunakan data PDRB per kapita dan jumlah penduduk kabupaten/kota. Angka indeks berkisar antara 0 dan 1. Jika IW mempunyai nilai 0 maka tidak terdapat kesenjangan antara wilayah atau antar kabupaten kota. Sedangkan jika IW mempunyai nilai 1 maka wilayah tersebut mempunyai tingkat kesenjangan yang sangat tinggi.
Gambar 2.1
Indeks Ketimpangan Wilayah (Indeks Xxxxxxxxxx) Aceh Tahun 2015 – 2019
Sumber: Badan Pusat Statistik Aceh, 2020
Gambar 2.1 diatas menujukkan kondisi ketimpangan wilayah di Provinsi Aceh yang tercermin dari Indeks Xxxxxxxxxx. Xxxxxx menunjukkan bahwa IW semakin menurun, dimana pada tahun 2015 Indeks Xxxxxxxxxx sebesar 0,41 persen dan mengalami penurunan pada tahun 2019 menjadi 0,349 persen, ini menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan ekonomi antar kabupaten/kota di Aceh semakin baik. Pemerataan pembangunan ekonomi ini terjadi dikarenakan adanya program pemerintah dalam melakukan percepatan pembangunan ekonomi yang sangat didukung oleh dana otonomi khusus.
Selain Indeks Xxxxxxxxxx untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat juga
dengan Indeks Gini (Gini Ratio). Gini Rasio berguna untuk membandingkan dan mengukur tinggi atau rendahnya ketimpangan distribusi pendapatan penduduk secara kuantitatif. Distribusi pendapatan makin merata apabila nilai Koefisien Gini mendekati nol (0). Sebaliknya, suatu distribusi pendapatan dikatakan makin tidak merata apabila nilai Koefisien Gini makin mendekati satu (1). Berikut klasifikasi Indeks Gini.
- Indeks Gini < 0,3
- Indeks Gini 0,3-0,5
- Indeks Gini > 0,5
= Ketimpangan rendah
= Ketimpangan moderat
= Ketimpangan tinggi
Indeks Gini (IG) Provinsi Aceh sejak tahun 2015 mengalami fluktasi, dimana IG pada tahun 2015 Provinsi Aceh sebesar 0,330 persen. IG Provinsi Aceh sempat mengalami peningkatan sebesar 0,333 persen pada tahun 2016, dan setelah tahun 2016 IG Provinsi Aceh terus mengalami penurunan dari tahun 2017, 2018 dan tahun 2019 masing-masing sebesar 0,329 persen, 0,325 persen, dan 0,319 persen. Saat ini IG Provinsi Aceh masih dibawah IG Nasional yang berada pada nilai 0,380 persen tahun 2019, yang artinya ketimpangan pendapatan di Provinsi Aceh masih lebih rendah dibandingkan ketimpangan pendapatan secara nasional.
Gambar 2.2
Perkembangan Indeks Gini Aceh dan Indonesia 2015-2019
Sumber : Badan Pusat Statistik Aceh, 2019 (diolah)
Angka Indeks Gini (IG) yang berada pada kisaran 0,3 persen menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di Provinsi Aceh masih tergolong moderat atau sedang. Namun demikian Angka IW dan Angka IG ini sebaiknya dapat ditekan Pemerintah Aceh dengan melakukan kebijakan yang mengarah pada penuntasan ketimpangan wilayah dan ketimpangan pendapatan sampai dengan dibawah angka 0,3 persen, bahkan jika memungkinkan mendekati angka 0, sehingga pemerataan pembangunan ekonomi antar wilayah dan distribusi pendapatan antar penduduk dapat terjadi secara proporsional serta tidak menimbulkan kecemburuan sosial antar wilayah dan penduduk.
2.1.3 Ketenagakerjaan dan Tingkat Pengangguran
Hasil proyeksi jumlah penduduk Provinsi Aceh tahun 2019 Badan Pusat Statistik Aceh yaitu sebanyak 5.371.532 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,71 persen dibandingkan data penduduk tahun 2018. Secara gender, jumlah penduduk laki-laki sebanyak 2.638.828 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.687.704 jiwa.
Berdasarkan Gambar 2.3 diatas, tercatat dari 5,3 juta jiwa penduduk Aceh termasuk usia kerja sebanyak 3.772 ribu orang, dimana 2.510 ribu orang merupakan angkatan kerja dan 1.262 orang bukan angkatan kerja. Angkatan kerja yang bekerja sebanyak 2.374 ribu orang dalam kondisi bekerja dan 136 ribu orang pengangguran.
Gambar 2.3
Struktur Ketenagakerjaan Aceh, Februari 2020
Sumber: Badan Pusat Statistik Aceh, 2020
Pengangguran di Provinsi Aceh sangat berfluktuatif selama beberapa tahun terakhir ini. Tahun 2013 merupakan tahun yang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar selama 7 tahun terkahir ini, yaitu sebesar 10,30 persen dari jumlah penduduk usia kerja tahun tersebut. Persentase pengangguran ini terus mengalami penurunan, dimana pada tahun 2019 TPT Aceh sebesar 6,20 persen atau sebanyak 146.622 orang. Ini menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh telah mampu menekan persentase pengangguran sebesar 0,16 persen dibandingkan tahun sebelumnya (2018) yang berada pada kisaran 6,36 persen atau sebanyak 149.723 orang.
Berikut Tabel 2.3 sekaligus memperlihatkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) di
Provinsi Aceh dari tahun ke tahun sejak 2013 terus mengalami peningkatan yaitu dari 62,07 persen menjadi 64,54 persen untuk tahun 2019.
Tabel 2.3
Komponen Ketenagakerjaan Provinsi Aceh Periode 2013-2019
Komponen Ketenagakerjaan | Tahun | ||||||
2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | |
Penduduk Usia 15+ (orang) | 3.276.943 | 3.367.943 | 3.440.634 | 3.513.965 | 3.590.825 | 3.663.250 | 3.666.320 |
a. Angkatan Kerja (orang) | 2.034.107 | 2.123.312 | 2.182.824 | 2.257.943 | 2.288.777 | 2.353.440 | 2.366.320 |
Bekerja (orang) | 1.824.586 | 1.931.823 | 1.966.018 | 2.087.045 | 2.138.512 | 2.203.717 | 2.219.698 |
Pengangguran (orang) | 209.521 | 191.489 | 216.806 | 170.898 | 150.265 | 149.723 | 146.622 |
b. Bukan Angkatan Kerja | 1.242.836 | 1.244.631 | 1.257.810 | 1.256.022 | 1.302.048 | 1.309.810 | 1.300.000 |
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja | 62,07% | 63,04% | 63,44% | 64,26% | 63,74% | 64,24% | 64,54% |
Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT (%) | 10,30% | 9,02% | 9,93% | 7,57% | 6,57% | 6,36% | 6,20% |
Sumber: Badan Pusat Statistik Aceh, April 2020
Bila diperhatikan lebih detail tingkat partisipasi kerja sebagaimana paparan di atas terjadi kesenjangan angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan. Dimana disparitas angkatan kerja antara laki-laki dan perempuan sebesar 33,85 persen pada kuartal I 2020, lebih tinggi 2,86 persen dibandingkan dengan kuartal I 2019 sebesar 30,99 persen. Hal ini mengindikasikan perlu perhatian serius pemerintah aceh, melalui peningkatan implementasi pengarusutamaan gender untuk menyelesaikan permasalahan keadilan kesempatan kerja pada angkatan kerja perempuan.
Gambar 2.4
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), Februari 2020
Sumber: Badan Pusat Statistik Aceh, April 2020
Lebih lanjut distribusi pengangguran berdasarkan kelompok pendidikan untuk tahun 2
019,
pengangguran terbesar berasal dari penduduk yang menamatkan pendidikan SMK dan SMA masing- masing 10,76 persen dan 8,50 persen. Selanjutnya diikuti lulusan diploma dan sarjana dengan kontribusi 7,45 persen dan 7,04 persen dan pendidikan di Sarjana. Beberapa hal perlu menjadi perhatian Pemerintah Aceh dan dijawab sesegera mungkin, terutama pengangguran pada lulusan SMTA Kejuruan seharusnya mampu diserap pasar, serta Pemerintah Aceh harus mampu menyediakan pelatihan khusus dan lapangan kerja yang dibutuhkan bagi SMTA Umum terutama bagi kebutuhan tenaga kerja di Aceh.
Tabel 2.4
Perkembangan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) berdasarkan Pendidikan, Februari 2020
PENDIDIKAN | Tahun | |||||||
2012 | 2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | |
≤SD | 4,58 | 4,90 | 4,41 | 3,09 | 3,07 | 2,32 | 3,22 | 2,90 |
SMTP | 8,91 | 9,87 | 8,39 | 7,01 | 3,01 | 4,53 | 3,42 | 5,04 |
SMTA Umum | 15,74 | 16,40 | 14,46 | 17,65 | 12,96 | 10,74 | 9,83 | 8,50 |
SMTA Kejuruan | 13,68 | 13,42 | 11,31 | 14,79 | 14,85 | 10,95 | 10,72 | 10,76 |
DIPLOMA I/II/III/AKADEMI | 6,02 | 11,73 | 10,94 | 13,69 | 5,79 | 8,20 | 5,92 | 7,45 |
UNIVERSITAS | 7,45 | 9,20 | 9,42 | 9,91 | 10,77 | 8,06 | 9,30 | 7,04 |
TPT | 9,10 | 10,12 | 9,02 | 9,93 | 7,57 | 6,57 | 6,36 | 6,20 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, 2020
2.1.4 Tingkat Kemiskinan
Jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Ini mengindikasikan bahwa semakin kuatnya kinerja pemerintah dalam menekan jumlah kemiskinan di Provinsi Aceh. Namun demikian peningkatan jumlah penduduk miskin sempat terjadi pada tahun 2018 sebesar 9,69 ribu orang (5 persen), dari 829,80 ribu orang tahun 2017 menjadi 839,49 ribu orang tahun 2018, dan mengalami penurunan jumlah penduduk miskin kembali tahun 2019 menjadi 819,44 ribu orang. Hal ini mengindikasikan keberhasilan Pemerintah Aceh menekan jumlah kemiskinan yang sempat meningkat melalui program dan kegiatan yang dilakukan pada tahun 2019.
Tabel. 2.5
Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Provinsi Aceh Tahun 2013 – 2019
Indikator Makro | Satua n | Capaian | ||||||
2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | ||
Jumlah | % | 17,72 | 18,05 | 17,11 | 16,43 | 15,92 | 15,97 | 15,32 |
Penduduk | Ribu | 855,7 | 837,4 | 859,4 | 841,3 | 829,8 | 839,4 | 819,4 |
Miskin | Orang | 1 | 2 | 1 | 1 | 0 | 9 | 4 |
Sumber : Aceh Dalam Angka, 2020.
Lebih jauh bila diperhatikan Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh tampak bahwa Indeks Kedalamam Kemiskinan Aceh sempat meningkat pada tahun 2013 sebesar 3,2 persen dari sebelumnya 3,07 persen tahun 2012. Setelah tahun 2013 Indeks Kedalaman Kemiskinan terus mengalami penurunan sampai dengan tahun 2019 menjadi sebesar 2,64 pers en. Tidak hanya Indeks Kedalaman Kemiskinan, Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh juga terus mengalami penurunan dari tahun 2016, dimana pada tahun 2016 ini sempat mengalami peningkatan 0,87 persen dari tahun sebelumnya 0,84 persen (tahun 2015). Tahun 2019 Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh menurun menjadi 0,66 persen. Ini mengindikasikan program kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh berdampak pada pengurangan keparahan dan kedalam kemiskinan yang ada ditengah masyarakat Aceh.
Tabel. 2.6
Perkembangan Indeks Kedalaman dan Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh Tahun 2012 – 2019
Rincian | Tahun | |||||||
2012 | 2013 | 2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | |
Indeks Kedalaman Kemiskinan Nasional | 1,90 | 1,89 | 1,75 | 1,84 | 1,74 | 1,79 | ||
Indeks Kedalaman Kemiskinan Aceh | 3,07 | 3,20 | 3,14 | 3,10 | 3,06 | 2,97 | 2,84 | 2,64 |
Indeks Keparahan Kemiskinan Nasional | 0,48 | 0,48 | 0,44 | 0,51 | 0,44 | 0,46 | ||
Indeks Keparahan Kemiskinan Aceh | 0,83 | 0,83 | 0,86 | 0,84 | 0,87 | 0,80 | 0,75 | 0,66 |
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2020, diolah
2.1.5. Inflasi dan Deflasi
Inflasi Aceh dari tahun ke tahun semakin baik, hal ini ditunjukkan dengan menurunnya tingkat inflasi dari tahun ke tahun (year on year), meskipun secara triwulan masih berfluktuatif. Inflasi Aceh secara umum pada tahun 2019 turun menjadi 1,69 persen dari 1,84 persen pada tahun 2018. Angka ini lebih rendah dari angka inflasi Nasional tahun 2019 yang mencapai 2,72 persen. Inflasi tertinggi terjadi pada bulan Mei 2019 yang mencapai 1,27 persen, sedangkan pada bulan Februari terjadi deflasi tertinggi sebesar 0,60 persen.
Inflasi tertinggi pada Mei 2019 secara dominan disumbang oleh Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxan
sebesar 3,83 persen dan Kelompok Sandang sebesar 2,38 persen. Sedangkan deflasi tertinggi pada Februari 2019 secara dominan disumbang oleh Kelompok Bahan Makanan 3,69 persen. Namun demikian tingkat inflasi sebesar 1,69 persen ini hendaknya dapat dijaga oleh Pemerintah Aceh. Tercatat sampai dengan akhir tahun 2019 Provinsi Aceh mengalami deflasi sebesar 0,15 persen bila dibandingkan dengan inflasi tahun 2018 sebesar 1,84 persen. Deflasi saat ini perlu dipertahankan dan jika mungkin untuk diturunkan serendah mungkin, agar daya beli masyarakat terhadap barang-barang kebutuhannya semakin membaik, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat dicapai, terutama bagi masyarakat yang memiliki pendapatan rendah dan tergolong miskin.
Tabel 2.7
Tingkat Inflasi/Deflasi Provinsi Aceh Year on Year (2016-2018) Menurut Kota/Kabupaten di Aceh
Inflasi (% YoY) | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 |
Banda Aceh | 3,08 | 4,86 | 1,97 | 0,96 |
Lhokseumawe | 4,79 | 2,87 | 2,05 | 1,93 |
Meulaboh | 3,81 | 4,76 | 0,96 | 2,05 |
Aceh 3,95 4,25 1,84 1,69
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh 2020, Diolah
Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk menjaga stabilitas inflasi/deflasi antara lain:
1) Menjamin kecukupan pasokan komoditas penyumbang inflasi utama melalui peningkatan produksi.
2) Meningkatkan efisiensi distribusi barang atau komoditas inflasi melalui perbaikan infrastruktur konektivitas (jalan, pelabuhan, bandara, telekomunikasi) dan informasi.
3) Melakukan koordinasi yang intens antara pemerintah, Bank Indonesia, produsen komoditas,
pengusaha, pedagang dan aparat hukum, termasuk kerjasama antara provinsi/kabupaten/kota dalam penyediaan komoditas penyumbang inflasi dan suku bunga.
4) Pemerintah Aceh perlu melakukan kebijakan normalisasi ekonomi dengan mempertimbangkan kecukupan ketersediaan uang ditengah masyarakat, memperhatikan ketersediaan barang dan populasi penduduk jika kondisi deflasi semakin buruk.
Meskipun demikian deflasi yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun berakibat turunnya
harga-harga barang terutama pada komoditas makanan dalam jangka pendek, hal ini akan melemahkan semangat produsen bahan makanan dalam melakukan produksi, namun dalam jangka panjang ini akan menguatkan nilai mata uang atas barang dan jasa yang dibutuhkan.
2.1.6. Indeks Pembangunan Manusia
Pembangunan manusia di Provinsi Aceh pada tahun 2019 terus mengalami kemajuan yang ditandai dengan terus meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM adalah ukuran ringkas rata-rata capaian/keberhasilan dimensi utama pembangunan manusia, yaitu: umur panjang dan hidup sehat, mempunyai pengetahuan, dan memiliki standar hidup yang layak. Pada tahun 2018, IPM Provinsi Aceh mencapai 71,19 dan meningkat menjadi 71,90 di tahun 2019. Sejak tahun 2016, pembangunan manusia di Provinsi Aceh berstatus “tinggi”, naik peringkat jika dibanding tahun 2015 yang statusnya “sedang.”
Gambar 2.5
Perkembangan IPM Aceh Tahun 2010 – 2018
Sumber : Berita Resmi Statistik Prov. Aceh, 2019.
Tabel 2.8
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Berdasarkan Indikator Pembentuk di Provinsi Aceh, 2019
Sumber : Aceh Dalam Angka, 2020
71,90
9.603
9,18
14,30
69,87
Aceh
IPM
Pengeluaran Per Kapita
Rata-Rata Lama Sekolah
Umur Harapan Kabupaten/Kota Harapan Lama
Hidup Sekolah
2.1.7. Perkembangan Indikator Lainnya
A. Pendidikan
Pada periode 2010 hingga 2016, angka rata-rata lama sekolah tumbuh sebesar 1,20 persen per tahun. Meningkatnya angka rata-rata lama sekolah menjadi sinyal positif bahwa semakin banyak penduduk yang bersekolah. Pada tahun 2016 sampai tahun 2019, angka rata- rata lama sekolah di Provinsi Aceh telah mencapai 8,86 tahun sampai 9,18 tahun, artinya rata- rata pendidikan penduduk Aceh minimal SLTP (Kelas III SMP). Pertumbuhan positif ini merupakan modal dasar dalam membangun kualitas manusia Aceh yang lebih baik. Meskipun demikian diharapakan pendidikan penduduk Aceh minimal 14 Tahun, artinya setara Diploma atau SMA Plus.
B. Kesehatan
Indikator kesehatan penting dan sangat sensitif untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat, antara lain; Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Harapan Hidup (AHH), Status Gizi, tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan dan tenaga medis kesehatan, Jaminan Kesehatan, serta wabah pandemi COVID-19 yang masih sedang terjadi.
AKI adalah rasio kematian ibu selama masa kehamilan, persalinan dan nifas dan
pengelolaannya di setiap 100,000 kelahiran hidup. Penanganan AKI yang terjadi selama masa kehamilan, persalinan dan nifas sejak tahun 2015 sampai dengan 2019 masih kurang baik terbukti kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas masih tergolong besar dimana pada tahun 2015 sebanyak 134 ibu. Peningkatan kematian ibu pada masa kehamilan, persalinan dan nifas terus meningkat hingga tahun 2019 dimana terjadi 172 kematian ibu. Tingginya AKI disebabkan banyak hal, seperti rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan ibu hamil. Persoalan kematian yang terjadi lantaran indikasi yang lazim muncul yakni pendarahan, keracunan kehamilan, aborsi, dan infeksi. Faktor lain yang cukup penting penyebab tingginya AKI adalah pemberdayaan perempuan yang tak begitu baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga dan lingkungan masyarakat.
Tabel 2.9
Angka Kematian Ibu (AKI)Tahun 2015-2019
Tahun | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 |
Angka Kematian Ibu (/100.000 Lahir Hidup) | 134 | 167 | 143 | 139 | 172 |
Sumber: Dinas Kesehatan Aceh, 2020
AKB adalah jumlah bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. AKB di Provinsi Aceh dari tahun 2015-2019 terus mengalami penurunan dimana 12 orang kematian bayi tahun 2015 dan turun menjadi 9
orang kematian bayi untuk tahun 2019. Penurunan angka kematian bayi terjadi karena beberapa faktor antara lain semakin baiknya pelayanan kesehatan dan gizi yang baik.
Secara umum status gizi balita di Aceh masih sangat memprihatinkan, jika dibandingkan
dengan standar yang ditetapkan oleh WHO, maka status gizi balita di Aceh untuk semua kategori yaitu; kurus, gizi kurang dan pendek tergolong dalam masalah yang mengkhawatirkan dan perlu penanganan yang serius dari berbagai pemangku kepentingan. Persentase balita stunting di Aceh lebih tinggi dibandingkan kasus stunting nasional bahkan tertinggi di Sumatera, meskipun dari tahun ketahun semakin membaik. Tercatat 44,6 persen balita lahir di tahun 2007 mengalami stunting dan menurun menjadi 34,19 persen untuk tahun 2019.
Tabel 2.10
Prevalensi Balita Dengan Stunting di Aceh Tahun 2007– 2019
Tahun | |||||
2007 | 2010 | 2013 | 2018 | 2019 | |
Aceh | 44,6 | 39,0 | 41,5 | 37,1 | 34,18 |
Nasional | 36,8 | 35,6 | 37,2 | 30,8 | 27,67 |
Sumber: Riskedes 2018 dan SSGBI 2019
Jumlah fasilitas kesehatan berupa Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus pada tahun 2019 sebanyak 66 unit dan 2 unit. Puskesmas di seluruh Aceh pada tahun 2019 adalah sebanyak 359 unit, dengan sebanyak 7.413 Posyandu dan 2.801 Polindes. Tenaga kesehatan yang tersedia di Provinsi Aceh tahun 2019 tercatat ada 1.974 orang dokter, 8.567 orang perawat, serta
10.398 orang tenaga bidan.
Tabel 2.11
Rumah Sakit Umum, Rumah Sakit Khusus, Rumah Bersalin, Puskesmas, Klinik, Posyandu, Polindes Di Provinsi Aceh Tahun 2018 dan 2019
Rumah Sakit Umum | Rumah Sakit Khusus | Rumah Bersalin | Puskesmas | Posyandu | Polindes | |||||||
2018 | 2019 | 2018 | 2019 | 2018 | 2019 | 2018 | 2019 | 2018 | 2019 | 2018 | 2019 | |
Aceh | 55 | 66 | 12 | 2 | 1 | - | 351 | 359 | - | 7.413 | 2.337 | 2.801 |
Sumber: Aceh Dalam Angka, 2020
Tabel 2.12
Ketersediaan Tenaga Medis di Aceh tahun 2015 – 2019
Tenaga Medis | Tahun | ||||
2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | |
Dokter Umum | 1.187 | 1.234 | 2.034 | 1356 | 1557 |
Dokter Spesialis | 300 | 565 | 738 | 606 | 723 |
Dokter Gigi | 240 | 234 | 265 | 269 | 373 |
Tenaga Kesehatan lainnya | 26.696 | 25.789 | 31.747 | 35.116 | 25.088 |
Sumber: Dinas Kesehatan Aceh, 2020
Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) merupakan program kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui pembayaran premi bagi seluruh penduduk Aceh diluar yang ditanggung oleh Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Nasional, PNS, TNI/Polri, dan peserta mandiri. Pada tahun 2011 JKA dialihkan menjadi Jaminan Kesehatan Rakyat Aceh (JKRA), saat ini JKRA dikelola oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kepesertaan JKRA meningkat setiap tahunnya, tahun 2019 peserta JKRA telah berjumlah
2.102.731 jiwa dengan besar anggaran sejumlah Rp611.557.484.950. Tahun 2020 kepesertaan JKRA semakin meningkat dengan jumlah sebanyak 2.329.597 orang dengan anggaran premi Rp815.697.733.500.
Tabel 2.13
Jumlah Kepesertaan dan Anggaran JKA Tahun 2015 – 2020
Keterangan | Tahun | |||||
2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 | |
Jumlah Peserta (jiwa) | 1.647.013 | 2.066.979 | 2.086.126 | 2.009.031 | 2.102.731 | 2.329.597 |
Anggaran Premi JKA (Rp) | 438.308.664.518 | 532.511.267.125 | 555.692.673.000 | 515.747.055.000 | 611.557.484.950 | 815.697.733.500 |
Sumber: Dinas Kesehatan Aceh, 2020
Tahun 2020 Premi Januari-Maret sebesar Rp42.000,- per orang per bulan, sementara April-Desember 2020 menjadi Rp25.500,- sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 64 tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Peraturan Presiden ini juga menyatakan bahwa untuk tahun 2021 premi yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Daerah yang memberlakukan Jaminan Kesehatan bagi penduduknya adalah sebesar Rp35.000,- per orang per bulan.
Usia Harapan Hidup (UHH) menggambarkan panjang umur penduduk dalam suatu wilayah. Secara umum, UHH orang Aceh tidak banyak mengalami peningkatan selama periode 2015-2019. UHH hanya sedikit meningkat dari 69,50 di tahun 2015 menjadi 69,87 di tahun 2019 dan masih berada dibawah angka Nasional sebesar 71,34. UHH ini juga mulai terganggu dengan merebaknya pandemi COVID-19. Dimana berdasarkan analis kesehatan usia yang paling rentan terdampak COVID-19 adalah usia lanjut.
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia adalah pandemi virus yang sedang berlangsung dari penyakit Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), penyakit menular yang disebabkan oleh Corona Virus Disease sindrom pernapasan akut berat 2 (SARS-CoV-2). Kasus positif COVID-19 menyebar di Indonesia pertama kali pada 2 Maret 2020. Pada 9 April, pandemic sudah menyebar ke 34 provinsi dengan Jakarta, Jawa Timur, dan Jawa Barat sebagai provinsi paling terpapar. Sampai tanggal 28 Mei 2020, Indonesia telah melaporkan 24.538 kasus positif, sehingga menempati peringkat kedua terbanyak di Asia Tenggara. Namun bila memperhatikan angka kematian akibat COVID-19. Indonesia menempati peringkat kelima terbanyak di Asia dengan 1.496 kematian. Namun, angka kematian diperkirakan jauh lebih tinggi dari data yang dilaporkan.
COVID-19 juga sudah menyebar ke Provinsi Aceh, tercatat pada tanggal 14 Juli 2020 terdapat 110 kasus positif, dengan rincian 41 orang dirawat, 64 orang sembuh dan 5 orang meninggal dunia. Penyebaran COVID-19 di Provinsi Aceh masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan provinsi yang ada di Indonesia, hal ini yang membuat provinsi Aceh masih tergolong dalam zona kuning. Namun demikian perlu kewaspadaan bersama untuk mencegah penyebaran COVID-19, agar tidak berdampak pada kesehatan masyarakat dan perekonomian serta dapat membatasi penyebaran COVID-19 di provinsi Aceh.
C. Infrastuktur Jalan
Infrastruktur jalan saat ini menunjukkan tingkat yang beragam. Pengelolaan jalan dibagi menjadi tiga, antara lain; jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota. Berdasarkan
data statistik jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten/kota sejak tahun 2015 s/d tahun 2019 tercatat tidak mengalami penambahan panjang jalan. Panjang jalan Negara total 2.102,08 km. Untuk tahun 2019, kondisi baik 1.203,61 km. (57,3 persen), kondisi sedang 828,54 km. (39,4 persen), sisanya kondisi rusak ringan dan berat sepanjang 69,9 km atau sebesar 3,3 persen. Adapun total panjang jalan provinsi 1.781,72 km., tercatat dengan kondisi baik 1.297,35 km (72,8 persen), kondisi sedang 72,03 km (5,6 persen), kondisi rusak 412,23 km atau sebesar 23,1 persen. Sementara jalan Kabupaten/Kota sepanjang 23.650,05 km.
Tabel 2.14
Proporsi Panjang Jalan Provinsi dan Nasional, Kondisi Mantap Tahun 2015 – 2019
Tahun | Jalan Provinsi | Jalan Nasional | ||||||
Panjang Jalan (Km) | Kondisi Mantap | Panjang Jalan (Km) | Kondisi Mantap | |||||
Baik (B) (Km) | Sedang (S) (Km) | Proporsi | Baik (B) (Km) | Sedang (S) (Km) | Proporsi | |||
2015 | 1.781,72 | 624,00 | 407,02 | 0,58 | 2.102,08 | 1.334,08 | 621,46 | 0,93 |
2016 | 1.781,72 | 741,78 | 360,85 | 0,62 | 2.102,08 | 1.522,17 | 477,11 | 0,95 |
2017 | 1.781,72 | 823,43 | 306,08 | 0,63 | 2.102,08 | 982,08 | 1.019,76 | 0,95 |
2018 | 1.781,72 | 870,79 | 324,14 | 0,67 | 2.102,08 | 1.161,86 | 812,22 | 0,94 |
2019 | 1.781,72 | 1.297,35 | 72,03 | 0,77 | 2.102,08 | 1.203,61 | 828,54 | 0,97 |
Sumber : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Aceh 2020 dan Satker P2JN Aceh 2020
Arah pengembangan prasarana transportasi jalan di Aceh adalah untuk mewujudkan pembangunan ekonomi wilayah yang berdaya saing. Peningkatan prasarana angkutan barang/massal yang memadai dan terintegrasi antar sektor dan antar wilayah untuk mewujudkan perluasan pasar dan menciptakan kompetisi melalui keamanan, kenyamanan dan kemudahan konektivitas menuju pusat- pusat aktivitas ekonomi menjadi sangat penting. Interaksi antar kabupaten/kota dalam wilayah Aceh dapat memudahkan akses terhadap berbagai sumber daya ekonomi yang ada di masyarakat.
2.2. Perkiraan Tahun 2019
Proyeksi indikator makro ekonomi berdasarkan RKPA Tahun 2019 tercatat 16 indikator yang mencapai/melampaui target, sedangkan 13 indikator lain tidak tercapai target. Nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Migas dan PDRB Tanpa Migas Aceh yang dihitung atas dasar harga konstan pada tahun 2019 meningkat namun capaiannya masih di bawah target RKPA Tahun 2019.
Adapun 16 indikator makro ekonomi berdasarkan RKPA tahun 2019 yang mencapai dan
melampaui target adalah:
1) Tingkat Inflasi yang di targetkan untuk tahun 2019 sebesar 4 persen mampu ditekan Pemerintah Aceh dengan capaian 1,69 persen.
2) Struktur PDRB (ADHK) sisi penawaran menunjukkan capaian melampaui target yang ditetapkan pada beberapa lapangan usaha berikut:
a) Pertambangan dan Penggalian ditargetkan Rp9,48 triyun ditutup untuk tahun 2019 dengan capaian Rp9,63 triliun.
b) Listrik dan Gas terealisasi sebesar Rp210 Milyar melampui target yang ditetapkan sebesar Rp200 Milyar
c) Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang terealisasi sebesar Rp50 Milyar melampaui target yang ditetapkan sebesar Rp40 Milyar
d) Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum ditargetkan Rp1,70 triliun terealisasi Rp1,79 triliun
e) Jasa Keuangan dan Asuransi ditargetkan Rp2,28 trilyun terealisasi Rp2,34 trilyun
f) Real Estate ditargetkan Rp5,37 triliun terealisasi Rp5,51 trilyun
g) Jasa Perusahaan ditargetkan Rp850 milyar terealisasi Rp870 milyar
h) Jasa Pendidikan ditargetkan Rp3,33 trilyun terealisasi Rp3,53 trilyun
i) Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial ditargetkan Rp3,89 trilyun terealisasi Rp3,99 trilyun
j) Jasa lainnya ditargetkan Rp1,85 trilyun terealisasi Rp1,90 trilyun
3) Struktur PDRB (ADHK) sisi permintaan menunjukkan bahwa:
a) Pengeluaran Komsumsi Rumah Tangga dengan target Rp73,39 trilyun terealisasi Rp73,73 trilyun
b) Pengeluaran Komsumsi LNPRT ditargetkan Rp2,54 trilyun terealisasi Rp2,67 trilyun
c) Ekspor Luar Negeri ditargetkan Rp2,13 trilyun terealisasi Rp4,01 trilyun
d) Net Ekspor Antar Daerah ditargetkan -Rp16,40 trilyun terealisasi -Rp12,48 trilyun
4) Tingkat Pengangguran ditargetkan 6,26 persen terealisasi 6,20 persen
Tabel 2.15
Realisasi dan Capaian Indikator RKPA 2016-2019
NO | Indikator Makro | Satuan | Realisasi | Target | Capaian | |||||
2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2019 | % | |||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 7 | 8 | 9 | 10 | ||
1 | PDRB (ADHK) | Rp | (Tril) | 116,38 | 121,26 | 126,82 | 134,01 | 132,09 | 98,6% | |
2 | Tingkat Pertumbuhan Ekonomi/PDRB (ADHK) | % | 3,31 | 4,19 | 4,61 | 5,25 | 4,15 | 79,0% | ||
3 | Tingkat Inflasi | % | 3,95 | 4,25 | 1,84 | 4 | 1,69 | 42,3% | ||
4 | Struktur PDRB Sisi Penawaran (ADHK) | |||||||||
- | Pertanian, Kehutanan dan Perikanan | Rp | (Tril) | 32,36 | 34,05 | 35,43 | 37,63 | 36,68 | 97,5% | |
- | Pertambangan dan Penggalian | Rp | (Tril) | 8,12 | 8,58 | 9,15 | 9,48 | 9,63 | 101,6% | |
- | Industri Pengolahan | Rp | (Tril) | 6,09 | 5,91 | 6,41 | 6,53 | 6,34 | 97,1% | |
- | Pengadaan Listrik dan Gas | Rp | (Tril) | 0,18 | 0,18 | 0,2 | 0,2 | 0,21 | 105,0% | |
- | Pengadaan Air, Pengelolaan Sampah, Limbah dan Daur Ulang | Rp | (Tril) | 0,04 | 0,04 | 0,04 | 0,04 | 0,05 | 125,0% | |
- | Konstruksi | Rp | (Tril) | 12,16 | 11,65 | 11,95 | 12,87 | 12,57 | 97,7% | |
- | Perdagangan Besar dan Eceran;Reparasi Mobil dan Sepeda Motor | Rp | (Tril) | 18,31 | 18,95 | 19,73 | 20,94 | 20,32 | 97,0% | |
- | Transportasi dan Pergudangan | Rp | (Tril) | 8,88 | 9,33 | 9,58 | 10,31 | 9,86 | 95,6% | |
- | Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum | Rp | (Tril) | 1,39 | 1,54 | 1,67 | 1,7 | 1,79 | 105,3% | |
- | Informasi dan Komunikasi | Rp | (Tril) | 4,19 | 4,32 | 4,4 | 4,77 | 4,63 | 97,1% | |
- | Jasa Keuangan dan Asuransi | Rp | (Tril) | 1,97 | 2,06 | 2,08 | 2,28 | 2,34 | 102,6% | |
- | Real Estate | Rp | (Tril) | 4,51 | 4,86 | 5,16 | 5,37 | 5,51 | 102,6% | |
- | Jasa Perusahaan | Rp | (Tril) | 0,74 | 0,77 | 0,82 | 0,85 | 0,87 | 102,4% | |
- | Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib | Rp | (Tril) | 9,95 | 10,81 | 11,49 | 11,95 | 11,85 | 99,2% | |
- | Jasa Pendidikan | Rp | (Tril) | 2,74 | 3,01 | 3,25 | 3,33 | 3,53 | 106,0% | |
- | Jasa Kesehatan dan Kegiatan Sosial | Rp | (Tril) | 3,22 | 3,52 | 3,71 | 3,89 | 3,99 | 102,6% | |
- | Jasa lainnya | Rp | (Tril) | 1,54 | 1,67 | 1,76 | 1,85 | 1,9 | 102,7% | |
5 | Struktur PDRB Sisi Permintaan (ADHK) | |||||||||
- | Pengeluaran Komsumsi Rumah Tangga | Rp | (Tril) | 66,34 | 66,41 | 71,03 | 73,39 | 73,73 | 100,5% | |
- | Pengeluaran Komsumsi LNPRT | Rp | (Tril) | 2,13 | 2,3 | 2,4 | 2,54 | 2,67 | 105,1% | |
- | Pengeluaran Komsumsi Pemerintah | Rp | (Tril) | 22,51 | 22,7 | 21,53 | 25,08 | 23,32 | 93,0% | |
- | Pembentukan Modal Tetap Bruto | Rp | (Tril) | 40,51 | 40,53 | 40,75 | 44,79 | 43,51 | 97,1% | |
- | Perubahan Inventori | Rp | (Tril) | 0,03 | 3,82 | 0 | 4,22 | 0,02 | 0,5% | |
- | Ekspor Luar Negeri | Rp | (Tril) | 1,07 | 1,93 | 3,3 | 2,13 | 4,01 | 188,3% | |
- | Impor Luar Negeri | Rp | (Tril) | -1,37 | -1,58 | 1,76 | -1,75 | 2,7 | -254,3% | |
- | Net Ekspor Antar Daerah | Rp | (Tril) | -14,83 | -14,84 | -10,41 | -16,4 | -12,48 | 76,1% | |
6 | Jumlah Penduduk Miskin | Ribu- orang | 841,31 | 829,8 | 831,5 | 779,92 | 809,76 | 3,8% | ||
7 | Tingkat Pengangguran | % | 7,57 | 6,57 | 6,36 | 6,26 | 6,2 | 99,0% |
Sumber: Aceh Dalam Angka 2019, Diolah
Capaian ini merupakan upaya konkrit yang terus dilaksanakan Pemerintah Aceh dalam merealisasikan rencana kerja yang telah ditetapakan dan sepakati dengan DPRA sebagai mitra Kerja Pemerintah Aceh. Meskipun demikian ada 13 indikator makro ekonomi belum dapat mencapai target yang telah direncanakan Pemerintah Aceh, yaitu: PDRB (ADHK), Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
(ADHK), tujuh lapangan usaha Struktur PDRB sisi penawaran, empat struktur PDRB sisi permintaan dan Jumlah penduduk miskin.
2.3 Rencana Target Ekonomi Makro Tahun 2020
2.3.1. Pertumbuhan Ekonomi Global
Ekonomi global masih diselimuti kondisi ketidakpastian. Pertumbuhan ekonomi global diprediksi melambat menjadi 2,8 persen, lebih rendah proyeksi tahun 2019 yaitu 2,9 persen. Negara Maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang semua diprediksi akan mengalami perlambatan ekonomi, termasuk China. Ketidakpastian global masih akan semakin parah jika perang dagang antara Amerika Serikat dan China terus berlanjut. Dampak langsung dari perang dagang tersebut adalah melemahnya perdagangan global. Selain itu, Pada tahun 2020, Federal Reserves diprediksi untuk meningkatkan suku bunga acuan (FFR) hingga menjadi 3 persen. Begitu juga, Uni Eropa juga akan menormalisasi kebijakan moneter ketat. Kenaikan suku bunga acuan tersebut dapat berdampak pada arus balik modal dari Indonesia sehingga memaksa otoritas moneter akan menaikan suku bunga acuan sebagai tindakan untuk menarik arus modal yang volatile tersebut.
Ada 10 risiko ekonomi global yang perlu diwaspadai di tahun 2020;
a) Prediksi ekonom bahwa tahun ini akan terjadi resesi global, yang dipicu oleh resesi akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China.
b) Risiko peningkatan suku bunga. Banyak investor dan pengusaha khawatir bahwa kondisi tingkat bunga rendah tahun 2020 akan segera berakhir. Inflasi dan tingkat bunga jangka panjang kemungkinan akan naik. Tetapi dapat dipastikan tidak akan ada agenda bahwa bank sentral utama dunia akan menaikkan tingkat suku bunga. The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) dipastikan akan menjadi penentu dalam kebijakan ini, dan dapat dipastikan di tahun pemilu 2020 ini The Fed tidak akan menaikkan suku bunga.
c) Uni Eropa telah terasuki epidemi Euroskepticism, sehingga daya tahan Uni Eropa semakin kuat.
d) Meskipun kinerja ekonomi Eropa saat ini telah stabil yang ditopang oleh kebijakan pelonggaran moneter Bank sentral Eropa dan sentimen politik saat ini berbalik menentang fiscal austerity, sehingga tidak terpengaruh perang dagang antara Amerika dan China. Namun ekonomi Jerman yang memang masih di ambang krisis atau hampir resesi. Sehingga jika resesi di Uni Eropa terjadi, maka kemungkinan resesi Eropa adalah risiko ekonomi terbesar di tahun 2020.
e) Risiko yang berasal dari gangguan terhadap perdagangan minyak. Terbunuhnya Jenderal Iran
Xxxxxx Xxxxxxxxx oleh AS, memicu kekhawatiran akan terjadi perang antara AS dan Iran, sehinga harga minyak akan meroket. Diperkirakan resesi akibat dari krisis minyak ini masuk dalam skenario moderat.
f) Risiko moderat karena increased protectionism. Perang dagang antara AS dan China telah menjadi
faktor negatif dan telah dikalkulasi oleh pasar. Perjanjian “phase one” menyimpulkan bahwa eskalasi perang dagang tidak akan terjadi di tahun ini. Hanya saja, masih meninggalkan kekhawatiran bahwa akan terjadi pergeseran perang dagang dengan Uni Eropa serta gagalnya pembicaraan perjanjian Brexit.
g) Risiko moderat terhadap pertumbuhan ekonomi global tahun ini adalah rasio utang perusahaan AS
telah meningkat ke level yang belum pernah terjadi sebelumnya, suatu level yang jauh melebihi
tatkala terjadi sebelum krisis 2008. Kondisi ini tidak akan memacu risiko krisis, selama suku bunga tidak dinaikkan. Karena itu, corporate leverage hanya merupakan ancaman kecil untuk tahun 2020.
h) Risiko moderat lainnya adalah runtuhnya industri mobil. Tahun lalu penjualan otomotif turun tajam,
sehingga mengempaskan ekonomi Jerman sebagai eksportir mobil dan mesin terbesar dunia. Penurunan kinerja industri otomotif tersebut bukan semata-mata masalah siklus ekonomi tetapi lebih karena struktural, karena dampak dari keprihatinan terhadap lingkungan, perubahan sosial, serta transisi energi dan teknologi. Namun peluang pemulihan sektor industri otomotif akan terjadi tahun ini, karena itu sektor otomotif dipastikan tidak akan menciptakan banyak masalah lagi.
i) Risiko yang bersumber dari technology sector. Awalnya sektor ini dianggap sebagai inovator dan
agen pertumbuhan, misalnya Facebook, Apple, Amazon, dan Google di AS, tetapi sekarang justru dicap sebagai monopolis dan memanipulasi politisi serta mengeksploitasi konsumen. Diperkirakan tekanan terhadap model bisnis ini akan semakin kencang tahun ini.
j) Risiko tertinggi adalah kondisi politik AS dapat dipastikan akan memicu kepanikan sebelum 3
November 2020. Pemilu presiden Amerika menurut Konsensus Global Markets akan berpengaruh pada risiko ekonomi. Kemenangan Presiden Xxxxxx Xxxxx pada periode kedua akan semakin protectionist, semakin suka perang dan sulit diprediksi sehingga ekonomi global semakin tidak pasti. Sebaliknya, kalau pesaingnya memenangkan pemilu, baik itu Xxxxxx Xxxxxxx atau Xxxxxxxxx Xxxxxx, berakibat serius pada gangguan empat sektor ekonomi AS; kesehatan, keuangan, teknologi, dan energi. Karena itu pertumbuhan ekonomi 2020 masih akan lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi global 2019.
Perekonomian China diperkirakan akan lambat seiring dengan pembatasan akibat Pandemi
Covid-19 dan ini berdampak pada mitra dagangnya di seluruh dunia. Wabah tersebut telah membuat sejumlah rantai bisnis global khawatir. Beberapa maskapai penerbangan, termasuk British Airways, United Airlines dan Lufthansa menunda penerbangan, dan para wisatawan membatalkan perjalanan ke China. Sejumlah bisnis termasuk Apple dan Starbucks memperingatkan dampak potensial pada rantai pasokan dan penjualan mereka. Xxxx Xxxxxx menutup resor dan taman hiburannya di Shanghai dan Xxxx Xxxx. Google Alphabet Inc juga menutup sementara kantornya di China, Xxxx Xxxx, dan Taiwan. Virus corona kemungkinan akan memiliki dampak negatif terbesar pada sektor barang dan jasa di dalam dan di luar China, yang bergantung pada konsumen dan produk perantara mereka.
2.3.2. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Asian Development Outlook (ADO) 2019 Update, publikasi ekonomi dari Asian Development Bank (ADB) merevisi proyeksi ekonominya untuk Indonesia sebesar 5,2 persen pada 2020. ADB memprediksi bahwa konsumsi yang kuat akan membuat Indonesia mampu meneruskan pertumbuhan ekonominya di tahun 2020. Prediksi tersebut dapat berhasil dengan asumsi fundamental perekonomian Indonesia masih solid. Posisi fiskal yang dikelola dengan baik, harga-harga yang stabil, serta cadangan devisa pada posisi yang cukup aman. Diperlukan investasi yang lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan, dengan fokus pada daya saing dan pengembangan sumber daya manusia sebagai kuncinya.
Pada tahun 2020, investasi swasta akan terus membaik seiring dengan ekspektasi berbagai
kebijakan reformasi baru untuk meningkatkan iklim usaha dan mempercepat modernisasi perekonomian. Belanja konsumen diharapkan dapat mempertahankan pertumbuhan yang kuat pada tahun ini dan tahun depan, ditopang oleh naiknya pendapatan rumah tangga, pertumbuhan lapangan kerja, dan inflasi yang rendah. Inflasi kemungkinan akan tetap stabil sebesar 3,2 persen tahun ini dan
3,3 persen pada 2021, sehingga akan membantu mempertahankan momentum belanja swasta. Inflasi inti diperkirakan akan tetap terjaga dan harga pangan juga tidak berubah.
Defisit transaksi berjalan diperkirakan terkendali pada 2,7 persen dari produk domestik bruto
(PDB) tahun 2019. Namun, investasi dan pertumbuhan ekonomi yang mulai melaju diperkirakan akan menyebabkan defisit transaksi berjalan melebar ke 2,9 persen PDB pada 2020. Sektor jasa diperkirakan akan menjaga pertumbuhan tetap tinggi, didorong oleh populasi kaum muda yang terus bertambah sehingga meningkatkan penggunaan jasa online. Di sektor industri, konstruksi kemungkinan akan diuntungkan oleh pembangunan properti perkotaan. Komitmen pemerintah untuk mengadopsi teknologi baru juga akan meningkatkan kemampuan manufaktur dan membawa peningkatan daya saing dalam jangka menengah.
Risiko eksternal terhadap proyeksi perekonomian Indonesia di antaranya adalah ketegangan
perdagangan global dan melemahnya momentum perdagangan, yang harus terus diawasi. Melemahnya investasi juga perlu menjadi perhatian dan Indonesia harus tetap melanjutkan langkah-langkah reformasi guna mendiversifikasi perekonomian dan bersiap meraih peluang terkait perubahan rantai pasokan global.
2.3.3 Perkiraan Perekonomian Aceh Tahun 2020
Kinerja ekonomi triwulan II-2020 tercatat tumbuh 1,82% (yoy), lebih rendah dibanding triwulan sebelumnya (3,17%, yoy). Ditinjau dari sisi pengeluaran, deselerasi pertumbuhan ekonomi dikarenakan defisit neraca ekspor antar daerah yang melebar. Sementara itu dari sisi Lapangan Usaha (LU), perlambatan kinerja ekonomi disebabkan oleh LU perdagangan, serta pertambangan dan penggalian. Pada triwulan II-2020, perekonomian Aceh diperkirakan akan tumbuh lebih lambat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, hal ini diperparah akibat dampak dari pandemi COVID-19.
Secara umum, realisasi APBD di Provinsi Aceh hingga triwulan I-2020 meningkat dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Pada triwulan I-2020, tingkat realisasi pendapatan terhadap pagu APBD di Provinsi Aceh meningkat dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Peningkatan realisasi pendapatan tersebut utamanya bersumber dari naiknya realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Demikian pula dengan tingkat realisasi belanja terhadap pagu APBD yang mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Peningkatan realisasi belanja APBD terutama didorong oleh naiknya realisasi belanja barang dan jasa, belanja sosial serta belanja transfer.
Inflasi Provinsi Aceh pada triwulan II-2020 sebesar 1,36% (yoy), menurun dibanding triwulan
sebelumnya yaitu sebesar 3,84% (yoy). Angka inflasi tersebut tercatat lebih tinggi dari inflasi nasional dan bahkan menempatkan Aceh sebagai provinsi dengan laju inflasi tertinggi di Sumatera. Peningkatan tingkat Inflasi Aceh terjadi seiring dengan meningkatnya harga komoditas pada kelompok makanan, minuman (volatile food) dan cukai rokok, peningkatan iuran BPJS kesehatan dengan rata-rata hampir sebesar 100 persen di semua kelas, serta penghapusan subsidi untuk pelanggan listrik 900VA khusus golongan rumah tangga mampu dan kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya. Sementara itu, pada triwulan III-2020 inflasi Aceh diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan priode sebelumnya.
Khusus pada sektor perikanan BMKG memprediksikan tangkapan komoditas perikanan akan
membaik di tahun 2020, mengingat suhu air di wilayah laut Aceh akan lebih hangat dan lebih cocok untuk ikan dibandingkan dengan suhu di akhir tahun 2019 yang relatif lebih dingin.
Beberapa rekomendasi terkait upaya mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengendalian inflasi berdasarkan kondisi ekonomi Aceh:
1. Dalam upaya meningkatkan kinerja ekonomi di tahun 2020, realisasi anggaran pemerintah serta ketepatan alokasinya menjadi salah satu kunci utama meningkatkan pertumbuhan. Realisasi anggaran tersebut terutama ditujukan untuk program pengembangan ekonomi yang memiliki multiplier effect besar untuk mendorong pertumbuhan, yaitu pada pembangunan infrastruktur lapangan usaha pertanian, kehutanan dan perikanan, serta industri pengolahan. Komoditas tersebut terutama dapat difokuskan pada komoditas yang memiliki daya ungkit dan potensi yang besar bagi perekonomian yakni kopi, padi, xxxxx, xxxxx, hasil perikanan, serta komoditas penyumbang inflasi (bawang merah dan cabai merah). Selain itu, satu sektor jasa yang dapat menjadi quick wins selain komoditas-komoditas pertanian tersebut adalah peningkatan sektor pariwisata halal (Halal Tourism).
2. Untuk mengatasi dampak global dan nasional COVID-19 di Aceh, diperlukan kebijakan
penanganan wabah virus dan percepatan stimulus perekonomian di Aceh berupa langkah strategis sebagai berikut :
(i) Optimalisasi APBA, fokus pada usaha peningkatkan realisasi APBA serta ketepatan
alokasinya, terutama untuk program penanganan COVID-19 dan stimulus aktivitas ekonomi yang memiliki multiplier effect besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada sektor riil seperti pertanian dan perikanan yang ditopang oleh industri pengolahan.
(ii) Pembiayaan ekonomi melalui optimalisasi skema kemudahan perizinan, penundaan
kredit, subsidi dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap masyarakat yang terkena dampak langsung maupun tidak langsung.
(iii) Dukungan pemasaran digital (digital marketing). Dukungan digital marketing menjadi faktor penting dalam aktivitas usaha di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital. Contoh dukungan digital marketing seperti; membantu pengenalan produk, menjaring kepercayaan konsumen, kepastian dan penetrasi pasar hingga pemangkasan rantai distribusi yang tidak perlu.
(iv) Optimalisasi penggunaan teknologi. Penerapan teknologi di sisi hulu dapat menjadikan
proses produksi lebih efisien dan sesuai standar, sehingga produk yang dihasilkan memiliki kualitas sesuai yang diinginkan. Sisi hilir, peningkatan teknologi juga dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produk olahan melalui penggunaan teknologi terkini, termasuk dalam hal komunikasi kepada konsumen dan pelayanan.
3. Mengurangi ketergantungan ekonomi Aceh terhadap daerah lain, maka diperlukan peningkatan produktivitas terutama pada sektor-sektor unggulan di setiap kabupaten/kota, seperti pertanian, perikanan, dan pariwisata. Program kerja yang telah dan akan dianggarkan dalam APBA dan APBK harus mengutamakan keberpihakan terhadap peningkatan produktivitas usaha masyarakat dan diharmonisasikan dengan program yang dirancang baik di tingkat provinsi maupun pusat. Sebagai contoh di sektor perkebunan, replanting terhadap tanaman yang sudah tua dan produktivitasnya rendah perlu segera dilakukan. Selain itu, teknik budidaya diantaranya sistem pengairan, metode bercocok tanam, ataupun penanganan pasca panen perlu disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan produksi. Apabila teknik yang ada saat ini dirasakan sudah kurang aplikatif dan tidak memberikan output yang optimal, maka petani dapat diedukasi dan atau difasilitasi dengan teknik dan sarana produksi yang lebih baik. Duplikasi kegiatan yang sudah berhasil dilakukan di provinsi bahkan negara lain, serta
harmonisasi program antara Pemerintah Aceh, Pusat, dan kabupaten/kota akan memberi
multiplier effect yang besar.
4. Melakukan pemberdayaan UMKM melalui pengembangan kapasitas seperti pelatihan digital marketing dan digital financing yang terarah dan berkesinambungan, perluasan akses pasar melalui pengiriman karya/produk-produk UMKM ke berbagai pameran domestik dan internasional, bantuan pembiayaan dengan penambahan alokasi anggaran APBA bagi pengembangan UMKM, kemudahan perizinan, serta penyediaan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi UMKM, terutama ketersediaan industri kemasan (packaging).
5. Peningkatan surplus neraca perdagangan provinsi Aceh dengan meningkatkan produksi dan
pemasaran komoditas unggulan untuk ekspor, terutama komoditas pertanian, perikanan, serta pariwisata. Penguatan ini dilakukan khususnya pada komoditas strategis yang sudah memiliki pondasi kuat di pasar ekspor seperti kopi, xxxxx, xxxxx, ikan, buah pinang, dan sektor pariwisata, khususnya pariwisata halal.
Surplus neraca perdagangan dapat dilakukan melalui kerjasama dengan kementrian terkait yang memiliki program khusus pengembangan ekspor dan dengan kedutaan Republik Indonesia di negara-negara tujuan ekspor utama untuk membantu memasarkan produk unggulan dimaksud. Selain itu, dalam rangka peningkatan neraca perdagangan tersebut, perlu adanya terobosan-terobosan dalam bentuk perbaikan objek wisata, khususnya di wilayah Sabang, Banda Aceh, Pulau Banyak, Aceh Tengah (Takengon), Simeulue dan Aceh Besar, dalam bentuk hard infrastructure maupun soft infrastructure.
Untuk mengantisipasi peningkatan inflasi dan deflasi pada tahun 2020, maka optimalisasi pengendalian inflasi di Aceh dilakukan melalui program dan strategi sebagai berikut:
1. Memfokuskan penyediaan pasokan komoditas pangan penyumbang utama inflasi, yaitu komoditas beras, cabai merah, bawang merah, serta komoditas perikanan tangkap (tongkol, udang basah, cumi- cumi, dan dencis) terkait faktor cuaca melalui menyediakan cold storage. Optimalisasi keberadaan Toko Tani Indonesia di samping pasar konvensional untuk membantu meningkatkan kelancaran distribusi barang ke masyarakat. Disamping itu, perlu adanya peningkatan pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) dalam rangka mencegah praktik penimbunan bahan pangan melalui kerja sama Satuan Petugas Pangan (Satgas Pangan). Optimalisasi program Sistem Resi Gudang (SRG) juga perlu untuk diprioritaskan guna mendorong peningkatan stok dan menjaga ekspektasi pasar.
2. Menggencarkan berbagai kegiatan pengendalian inflasi yang bersifat preventif melalui pemantauan
stok dan produksi komoditas bahan makanan secara disiplin setiap bulan melalui program operasi pasar, beras sejahtera, dan pasar murah sebagai dasar dalam pelaksanaan intervensi pengendalian harga.
3. Penguatan basis data yang kuat dan terintegrasi, terutama terkait database stok dan neraca pangan
baik di level produksi (hulu) maupun pasar (hilir) yang bersifat real time dan dapat dijadikan rujukan setiap bulannya. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya pertemuan khusus antar lembaga/dinas terkait untuk membahas penyusunan database disamping menjaga ketersediaan stok dan penyalurannya, dan stabilisasi harga pasar sehingga tidak merugikan petani. Kerjasama atau Memorandum of Understanding (MoU) antar daerah, khususnya dalam bentuk kesepakatan penyediaan pasokan bahan baku dan kesediaan menampung serta menyerap bahan baku tersebut.
2.4 Tantangan dan Prospek Perekonomian Aceh 2021
Pembangunan Aceh pada tahun 2021 diselenggarakan dengan tema yaitu “Pemulihan Ketahanan Ekonomi dengan Fokus Pengembangan Agroindustri, Pemberdayaan UMKM, Peningkatan Ketahanan Pangan, dan Optimalisasi Pelayanan Kesehatan”. Bank Indonesia memperkirakan tantangan perekonomian di Aceh kedepan perlu disikapi secara positif guna mengantisipasi berlanjutnya ketegangan ekonomi global sebagai dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China dan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menjadi sumber kerentanan korporasi dan dapat mempengaruhi kegiatan ekspor-impor.
Permintaan ekspor luar negeri yang melambat seiring dengan perlambatan World Trade Volume
(WTV), serta semakin tingginya persaingan produk khususnya produk China, menjadi salah satu tantangan guna meningkatkan kinerja korporasi. Hal ini sejalan dengan kinerja ekspor yang tumbuh melambat dibanding periode sebelumnya.
Prospek perekonomian Aceh tahun 2021 menunjukkan masih terbuka peluang pengembangan
investasi yang tersebar diberbagai bidang. Namun untuk mendorong masuknya investasi ini tentu diperlukan kerjasama semua pihak dalam percepatan implementasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Industri (KI) dan pusat pertumbuhan lainnya di Aceh. Hadirnya KEK di Lhokseumawe diharapkan dapat menambah daya tarik investasi karena adanya berbagai kemudahan yang diberikan pemerintah. Kawasan ini dibentuk dengan berbagai insentif yang ditawarkan seperti keringanan pajak, kemudahan pengurusan izin, hingga isu sosial lingkungan dan pelayanan cepat. Kawasan ini berpotensi berkembang karena Aceh memiliki potensi Sumber Daya Alam yang besar untuk di industrialisasi seperti; batubara, minyak dan gas, kopi, kelapa sawit, kelapa, nilam, pinang, kakao, atsiri, ikan dan lain- lain. Prospek pengembangan sektor kepariwisataan juga dinilai penting untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Fokus pengembangan pariwisata halal di Aceh menjadi sangat penting untuk direalisasikan
karena tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh (RPJMA) 2017-2022. Untuk itu Pemerintah Aceh perlu meningkatkan promosi pariwisata Aceh bagi wisatawan muslim yang berasal dari Negara Timur Tengah, Malaysia dan Brunei Darussalam. Saat ini beberapa provinsi di Indonesia melakukan penolakan terhadap wisatawan mancanegara, khususnya wisatawan China. Mengingat Negara China adalah asal muasal wabah COVID-19.
Pemerintah Aceh juga telah mempersiapkan sebuah kajian akademis untuk memanfaatkan
sumber daya alam yang potensial menjadi komoditas unggulan. Hasil kajian diharapkan mampu menjadi kebijakan strategis dalam penyusunan program dan kegiatan prioritas yang berguna untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menciptakan kesempatan kerja dan menurunkan angka kemiskinan di Aceh.
Pertumbuhan ekonomi Aceh ditargetkan dalam RPJMA tahun 2021 sebesar 5,75 persen namun
dengan berbagai pertimbangan asumsi dan kondisi ekonomi global yang berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia maka target pertumbuhan ekonomi Aceh direvisi menjadi kisaran 3,15-4,21 persen. Beberapa kebijakan yang ditempuh dalam mencapai target revisi pertumbuhan ekonomi Aceh adalah:
1. Peningkatan produksi industri pengolahan melalui penumbuhan dan inkubasi industri rintisan
berbasis teknologi/kreatif/industri 4.0, penyempurnaan kemudahan perizinan dan iklim investasi serta pendekatan klasterisasi dan aglomerasi seperti sentra Industri Kecil Menengah (IKM) dan Kawasan Industri (KI).
2. Pembangunan pariwisata halal dengan menetapkan regulasi yang mengatur tentang pariwisata halal dengan pemenuhan Standar Pelayanan Minimum (SPM) wisata halal (sarana dan prasarana, amenitas dan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia yang berbasis syariah/halal).
3. Meningkatkan neraca perdagangan dan produktivitas komoditas unggulan
4. Peningkatan daya saing produk Badan Usaha Milik Gampong (BUMG)/Koperasi/UMKM melalui diversifikasi produk, promosi, packaging, quality control (sertifikasi SNI, Halal, PIRT, BPOM) dengan orientasi pasar domestik dan global.
5. Pembiayan UMKM atau Badan Usaha lainnya melalui sistim syariah.
6. Menekan laju inflasi melalui operasi pasar dan terjaminnya penyediaan komoditi konsumsi kebutuhan bahan pokok.
7. Peningkatan kualitas SDM berjiwa entrepreneur dengan memanfaatkan komoditi dan hilirisasi produk unggulan daerah.
Sedangkan untuk strategi pemerataan dilaksanakan melalui:
1. Pemenuhan standar layanan minimum dan mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap fasilitas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar/pemukimam.
2. Reformasi Pertanahan untuk lahan pertanian bagi masyarakat miskin melalui penetapan regulasi.
3. Peningkatan kapasitas penyuluh pertanian dengan didukung alat mesin pertanian yang memiliki teknisi operator berkualitas.
4. Peningkatan keahlian angkatan kerja melalui pelatihan vokasi berbasis kompetensi, kerjasama dengan dunia usaha dan dunia industri sehingga tercipta relevansi lembaga pendidikan dan pelatihan dengan pasar tenaga kerja (link and match)
5. Penguatan BUMG sebagai engine of growth di pedesaan, melalui penguatan kelembagaan, dan manajemen.
6. Pembangunan infrastruktur yang terintegrasi melalui pembangunan jalan, jembatan dan irigasi
menuju pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
BAB III
ASUMSI DASARDALAMPENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA ACEH (RAPBA)
3.1 Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN
Pemerintah dan DPR telah menyepakati asumsi dasar makro ekonomi Indonesia dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja (RAPBN) 2021 dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik dan prospek pelemahan ekonomi global dampak dari COVID-19, sebagai berikut:
• Pertumbuhan Ekonomi: 4,5 – 5,5 persen
• Inflasi: 2,0 – 4,0 persen
• Kurs Rupiah terhadap USD $: Rp13.700 - Rp14.900 per USD
• SBN 10 Tahun : 6,29 persen - 8.29 persen
• Tingkat Pengangguran Terbuka: 7,7%-9,1%
• Kemiskinan: 9,2% - 9,7%
• Indeks Gini Rasio: 0,377-0,379
• Indeks Pembangunan Manusia: 72,78-72,95
• Xxxxx Xxxxx Petani dan Nelayan : 102-104
Sebagai perbandingan, asumsi makro ekonomi Indonesia dalam APBN 2020 :
• Pertumbuhan ekonomi: 5,2–5,5 persen
• Inflasi: 2,0–4,0 persen
• Kurs Rupiah terhadap USD $: Rp14.000-Rp14.500 per USD
• SPN 3 bulan : 5 persen-5.5 persen
• Indonesian Crude Price (ICP) : USD55 per barel
• Lifting minyak bumi : 695–840 ribu barel per hari
• Lifting gas alam : 1.191-1.300 ribu barel setara minyak per hari
Perekonomian global penuh ketidakpastian, namun kinerja ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir masih terjaga dan tumbuh dalam tingkat yang cukup baik. Walau begitu, beberapa tantangan ekonomi dan sosial perlu diperhatikan, antara lain kemiskinan, kesenjangan antar kelompok pendapatan hingga antar-wilayah, serta berbagai permasalahan sosial lainnya seperti isu kesetaraan gender dan isu pelestarian lingkungan. APBN sebagai instrumen kebijakan ekonomi yang sangat penting harus terus dirancang dan diarahkan untuk membangun fondasi perekonomian yang kokoh, kuat, berdaya saing tinggi, mampu menciptakan kesempatan kerja serta mampu mengurangi kemiskinan dan kesenjangan.
Asumsi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 dinilai oleh Menteri Keuangan akan semakin
kurang menentu dan volatile dibandingkan tahun ini, namun pemerintah harus tetap optimis akan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi yang ada. Untuk mencapai target tersebut pemerintah perlu menjaga ketat tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga mengingat konstribusi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi adalah tingkat konsumsi. Untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2021, konsumsi harus tumbuh mencapai 4,5 persen hingga 5,5 persen. Hal itu didukung dengan bertambahnya jumlah masyarakat berpendapatan menengah. Masyarakat berpendapatan
menengah merupakan komponen yang bisa membantu pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Aspek lainnya agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang membaik pada tahun 2021 adalah dukungan oleh DPR dalam pembentukan regulasi yang baik dan reformasi kebijakan yang menyeluruh dan tepat sasaran.
3.1.1 Sasaran Ekonomi Makro Tahun 2021
Sasaran Ekonomi Makro 2020, menyebutkan arah kebijakan ekonomi tahun 2021 memperhatikan lingkungan global, nasional dan internal Aceh, dan menargetkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 berkisar antara angka 4,5-5,5 persen. Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan stabilitas ekonomi yang terjaga tersebut, sasaran kuantitatif tingkat pengangguran terbuka tahun 2021 diperkirakan sebesar 7,7-9,1 persen, dan tingkat kemiskinan dipatok sekitar 9,2-9,7 persen. Target makro lainnya diharapakan IPM akan meningkat sebesar 72,78-72,95 persen dan Gini Rasio dipatok menjadi 0,377-0,379 persen pada tahun 2021. Sementara nilai tukar petani dan nelayan dipatok pada kisaran 102-104, yang artinya harga beli barang pertanian dan perikanan 2-4 persen diatas harga sebenarnya barang pertanian dan perikanan, hal ini dilakukan untuk memberi keuntungan dan gairah produktivitas pada sektor ini.
3.1.2 Moneter
Dalam Asumsi Makro Ekonomi Indonesia 2021 memuat Tingkat Suku Bunga berada pada level 6,29–8,29 persen. Tingkat suku bunga tersebut bisa saja dicapai dengan cara menekan tingkat inflasi. Artinya, solusi pencapaian suku bunga kredit rendah adalah dengan menjaga stabilitas harga bahan pokok terutama melancarkan pasokan. Sementara untuk asumsi dasar makro terkait kurs Rp13.700- Rp14.900 per USD. Bank Indonesia melihat bahwa The Fed akan meningkatkan suku bunga acuan (FFR) hingga 3 persen di tahun 2020 yang berpengaruh pada SBN 10 tahun, untuk menghindari pengaruh yang besar pada SBN pemerintah dan DPR mematok SBN 10 tahun pada kisaran 6,29-8,29 persen. Suku bunga FFR ditingkatkan hingga 3 persen guna mendongkak pertumbuhan ekonomi AS. Demikian pula Uni Eropa akan melakukan normalisasi kebijakan moneter ketat. Sementara pematokan suku bunga SBN dilakukan guna menarik arus modal yang volatile dan mengurangi jumlah uang beredar dalam rangka normalisasi ekonomi. Dengan strategi ini diharapkan berdampak pada permintaan produk dari Indonesia semakin meningkat dan ikut memperbaiki iklim ekonomi domestik sehingga diprediksi akan menguatkan nilai tukar rupiah.
3.2 Laju Inflasi
Inflasi pada triwulan II-2020 mengalami peningkatan dibandingkan triwulan IV-2019. Pada triwulan II-2020 laju inflasi Aceh diperkirakan berada pada kisaran 1,36 persen s/d 3,48 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan realisasi triwulan IV-2019 dengan realisasi 1,69 persen. Peningkatan laju inflasi disebabkan melemahnya tekanan kelompok volatile food yang cukup signifikan ditengah menguatnya tekanan terhadap kelompok administered price (harga komoditas yang diatur pemerintah) dan kelompok inti (potensi kenaikan harga bahan bakar dan bahan baku/pendukung impor), serta dampak pandemi COVID-19.
Adanya upaya pengetatan pengawasan atas kebijakan tata niaga komoditas bahan pangan serta pasokan beras yang memadai diperkirakan akan menjadi faktor penurun tekanan inflasi volatile food. Selanjutnya, pasca periode high season akhir tahun, tekanan inflasi angkutan udara (administered price) diperkirakan akan menurun dibandingan triwulan sebelumnya. Sementara itu, dari inflasi kelompok inti,
konsumsi masyarakat yang semakin terkendali pasca akhir tahun juga akan membantu mengurangi jumlah tekanan dari sisi kelompok inflasi tersebut.
3.3 Pertumbuhan Ekonomi
Secara tahunan ekonomi Aceh tahun 2020 mengalami pertumbuhan sebesar 3,17 persen, namun secara triwulanan (Q to Q) Ekonomi Aceh dengan migas Triwulan I-2020 mengalami penurunan dibanding Triwulan IV-2019 sebesar 4,55 Persen dari 34,19 triliun menjadi 32,63 triliun (ADHK). Bahkan Menteri Keuangan, mengungkapkan secara nasional perekonomian Indonesia di kuartal II-2020 akan negatif 4,3 persen atau lebih dalam dari proyeksi sebelumnya yakni minus 3,8 persen.
Data BPS Aceh menunjukkan kontribusi pertumbuhan ekonomi Aceh terbesar sampai dengan triwulan I-2020 masih bersumber dari sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 29,5 persen dari 18 sektor Penyumbang PDRB. Untuk itu Pemerintah Aceh harus memberi perhatian yang serius terhadap sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan, karena sektor ini yang mampu bertahan, selain mata pencaharian masyarakat Aceh masih didominasi oleh sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan. Alasan kuat lainnya mendorong potensi ekonomi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan bukanlah tanpa alasan yang kuat mengingat rencana fungsionalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Xxxx Xxxxxxxxxxx, Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, dan Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) akan membutuhkan bahan baku dari hasil sektor ini, berkembangnya sektor ini juga akan mendorong sektor perdagangan dan transportasi.
Sektor pertambangan perlu menjadi perhatian mengingat semakin membaiknya pasokan gas kepada PT. PIM Aceh guna meningkatkan produksi dan ekspor pupuk. Prediksi kecenderungan meningkatnya sektor pariwisata, khususnya wisata halal diprediksikan perlu terus dijaga keberlanjutannya dengan memprioritaskan pembangunan destinasi pariwisata secara komprehensif dan terintegrasi sehingga dapat menarik lebih banyak wisatawan.
Pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan indikator makro lainnya bukanlah tanpa
tantangan bagi perekonomian. Resiko banjir dan kekeringan serta bencana alam lainnya dapat menyebabkan target produksi pertanian tidak mampu dicapai. Karena itu perlu diantisipasi melalui kegiatan prioritas seperti asuransi bencana alam agar ketahanan ekonomi lebih baik.
3.4 Asumsi Lain-Lainnya
Pemerintah Aceh secara keseluruhan dalam menjalankan roda pembangunan masih sangat mengandalkan dana transfer Pemerintah Pusat dalam bentuk Dana Perimbangan dan Dana Otsus. Proyeksi penerimaan Dana Perimbangan dan Xxxx Xxxxx pada tahun 2020 sebesar 83,02 persen meningkat 0,38 persen bila dibandingkan dengan total penerimaan pada tahun 2019 sebesar 82,64 persen dari total pendapatan Aceh. Untuk tahun 2021 diperkirakan Dana Perimbangan dan Dana Otsus akan diterima oleh Pemerintah Aceh sebesar 83,68 persen dari total pendapatan Aceh sebesar Rp14.183.394.212.942,- Kebijakan pemerintah pusat terhadap dana perimbangan daerah yang tidak mengikat dan disesuaikan dengan kondisi keuangan nasional berdampak kurang baik terhadap laju pembangunan daerah, terutama di Aceh yang mengandalkan dana transfer pemerintah pusat, termasuk alokasi dana desa.
Alokasi dana desa perlu terus didorong guna menggerakkan ekonomi perdesaan dan
menyediakan lapangan kerja padat karya untuk pembangunan infrastruktur perdesaan, serta pembiayaan dan kegiatan ekonomi sosial lainnya. Alokasi dana tersebut akan memberikan banyak manfaat dalam pengentasan kemiskinan perdesaan. Kebijakan Pemerintah Pusat tersebut harus disikapi sangat hati-hati oleh pemerintah daerah dalam menetapkan program prioritas daerah, jangan sampai mengganggu jalannya program prioritas yang telah direncanakan.
BAB IV
KEBIJAKAN PENDAPATAN, BELANJA DAN PEMBIAYAAN ACEH
Kebijakan Umum Anggaran (KUA) merupakan arah pembangunan daerah dalam satu tahun anggaran yang disepakati dan dijadikan acuan dalam penyusunan prioritas dan plafon anggaran sementara serta Rancangan APBD. Pasal 1 angka 4, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah Rencana Keuangan Tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Perda.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam konteks ke-Acehan sesuai Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh. Dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, pasal 1 angka 9 menyatakan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disebut dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh yang disingkat dengan APBA.
Kebijakan keuangan Aceh dilakukan terkait tiga fungsi utama yaitu; alokasi, distribusi, dan
stabilisasi. Fungsi alokasi merupakan tugas pemerintah untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi yang dimiliki untuk mempengaruhi perekonomian Aceh. Fungsi distribusi kesejahteraan masyarakat dilakukan untuk pemerataan kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan dan peruntukan. Sedangkan fungsi stabilisasi sangat erat kaitannya dengan kerawanan baik internal maupun eksternal yang dapat memberikan pengaruh negatif dalam perekonomian. Dalam hirarki pemerintahan, dua fungsi pertama merupakan ranah utama dari pemerintah daerah sedangkan fungsi stabilisasi sering membutuhkan kebijakan moneter agar efektif yang merupakan kewajiban pemerintah pusat.
Fungsi alokasi dan distribusi secara umum dilakukan melalui kebijakan keuangan. Kebijakan
keuangan Pemerintah Aceh terdiri dari; kebijakan pendapatan, kebijakan belanja, dan kebijakan pembiayaan. Kebijakan Pendapatan Aceh diarahkan pada optimalisasi Pendapatan Asli Aceh. Selama ini, penerimaan Aceh masih didominasi oleh penerimaan dana perimbangan. Dominasi ini menunjukkan ketergantungan fiskal Aceh terhadap Pemerintah sehingga kebijakan pendapatan Aceh difokuskan pada penguatan kemampuan memungut pajak dan retribusi daerah (taxing power).
Kebijakan belanja Aceh diarahkan pada peningkatan kualitas belanja (quality spending) melalui alokasi belanja yang lebih besar pada program dan kegiatan dengan elastisitas positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran serta stabilitas harga barang. Sedangkan kebijakan pembiayaan pembangunan diarahkan pada penggunaan dana sisa lebih perhitungan anggaran tahun sebelumnya (SiLPA) secara efektif dan efisien melalui penyertaan modal pemerintah dan peningkatan kapasitas investasi yang berdasarkan pada kinerja investasi (performance based).
Mengingat keterbatasan kemampuan daerah dalam memperoleh pendapatan, sementara
kebutuhan anggaran belanja dan pembiayaan sangat besar sehingga diperlukan adanya arah kebijakan anggaran yang mengupayakan keseimbangan antara kemampuan pendapatan dengan kebutuhan
belanja dan pembiayaan untuk menekan terjadinya defisit anggaran. Kebijakan Anggaran daerah merupakan faktor penting dalam perencanaan pembangunan Aceh yang selanjutnya berpengaruh pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Penyusunan anggaran tahun 2021 ini secara umum disusun secara rasional dengan
memperhatikan kondisi keuangan daerah dan skala prioritas pembangunan Aceh. Dalam hal ini belanja Aceh tidak melampaui kemampuan pendapatan dan pembiayaan daerah. Prinsip pengelolaan keuangan daerah, pendapatan Aceh diproyeksikan pada besaran pendapatan yang optimis tercapai, sedangkan pada belanja merupakan batas tertinggi yang dapat dibelanjakan.
4.1. Pendapatan Aceh
4.1.1 Kebijakan Perencanaan Pendapatan Aceh Tahun 2021
Pasal 179 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) menjelaskan bahwa Pendapatan Aceh bersumber dari: (1) Pendapatan Asli Aceh; (2) Dana Perimbangan;
(3) Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx & Xxxx Penyesuaian; dan (4) Lain-lain Pendapatan yang Sah. Bila diperhatikan proyeksi realisasi masing-masing sumber pendapatan Aceh tersebut untuk tahun 2020 adalah; Pendapatan Asli Aceh sebesar Rp2.077.451.729.526,-, Dana Perimbangan sebesar Rp3.363.473.123.415,-, sementara Xxxx Xxxxxxx Khusus & Dana Penyesuaian Lain-lain Pendapatan Aceh yang Sah bersumber dari Dana Otonomi Khusus & Dana Penyesuaian adalah sebesar Rp6.071.989.118.210,- Berikut detil Realisasi, APBA dan usulan Proyeksi Pendapatan Aceh 2018-2020:
Tabel 4.1
Realisasi, APBA dan Proyeksi Pendapatan Aceh 2018-2020
No | Uraian | Realisasi | APBA 2020 | |
2018 | 2019 | |||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
4.1 | PENDAPATAN ASLI ACEH | 2.359.385.393.645 | 2.701.071.098.623 | 2.077.451.729.526 |
4.1.1 | Pajak Aceh | 1.309.081.813.533 | 1.409.256.468.026 | 1.215.255.563.827,2 |
4.1.2 | Retribusi Aceh | 00.000.000.000 | 00.000.000.000 | 0.000.000.000 |
4.1.3 | Hasil Pengelolaan kekayaan Aceh yang dipisahkan | 181.654.111.575 | 182.385.550.448 | 181.700.799.036 |
4.1.4 | Lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah | 847.886.679.083 | 1.092.510.210.680 | 675.544.807.800 |
4.2 | PENDAPATAN TRANS FER PEMERINTAH PUSAT DANA PERIMBANGAN | 3.735.791.721.607 | 4.083.015.165.765 | 3.363.473.123.415 |
4.2.1 | Xxxx Xxxx Hasil Pajak/Bukan Pajak | 191.892.691.947 | 211.948.683.718 | 164.866.238.689 |
4.2.2 | Dana Alokasi Umum (DAU) | 2.060.263.235.000 | 2.126.193.327.000 | 1.802.553.802.000 |
4.2.3 | Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx (DAK) | 1.483.635.794.660 | 1.744.873.155.047 | 1.396.053.082.726 |
4.3 | LAIN-LAIN PENDAPATAN ACEH YANG SAH | 8.332.605.869.546 | 8.774.800.085.743 | 6.071.989.118.210 |
4.3.1 | Pendapatan Hibah | 2.495.898.598 | 4.213.306.021 | 00.000.000.000 |
4.3.4 | Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus | 8.330.109.970.948 | 8.770.586.779.722 | 6.051.294.910.076 |
JUMLAH PENDAPATAN ACEH (4.1 + 4.2 + 4.3) | 14.427.782.984.798 | 15.558.886.350.131 | 11.512.913.971.151 |
Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2021
Berbeda dengan struktur pendapatan Pemerintah Aceh tahun 2020, struktur Pendapatan Pemerintah Aceh Tahun 2021 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Berdasarkan peraturan ini struktur pendapatan pemerintah daerah terdiri dari: 1) Pendapatan Asli Daerah, 2) Pendapatan Transfer, dan 3)Lain-Lain Pendapatan Aceh yang Sah. Untuk pendapatan transfer terdiri dari; a) Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat, dan b) Transfer Antar Daerah. Berdasarkan struktur keuangan tersebut, maka Pemerintah Aceh pada tahun 2021 mengusulkan kepada DPRA sebesar Rp16.990.469.972.136,- (Enam belas trilliun Sembilan ratus Sembilan puluh miliar empat ratus enam puluh Sembilan juta sembilan ratus tujuh puluh dua ribu seratus tiga puluh enam rupiah).
Proyeksi struktur pendapatan tahun 2021 didominasi oleh kelompok sumber pendapatan
transfer 82,82 persen, khususnya bersumber dari pendapatan transfer pemerintah pusat dengan proyeksi mengacu kepada APBA 2020 yaitu sebesar Rp11.747.573.555.400,- atau sebesar 82,82 persen dari rencana jumlah pendapatan Aceh. Proyeksi kontribusi sumber Pendapatan Asli Aceh dengan nilai Rp2.401.682.455.965,- atau sebesar 16,93 persen dari total rencana pendapatan. Lain-lain Pendapatan Aceh yang Sah merupakan kontribusi ketiga sebesar 0,24 persen dari jumlah Pendapatan Aceh.
Tabel 4.2
Proyeksi Pendapatan Aceh 2021
No | Uraian | Proyeksi Pe ndapatan Aceh 2021 | |
Target Anggaran | % | ||
1 | 2 | 3 | 4 |
4 | PENDAPATAN DAERAH | 14.183.394.212.942 | 100% |
4.1 | PENDAPATAN ASLI ACEH | 2.401.682.455.965 | 16,93% |
4.1.1 | Pajak Aceh | 1.374.555.532.889 | 57,23% |
4.1.2 | Retribusi Aceh | 00.000.000.000 | 0,50% |
4.1.3 | Hasil Pengelolaan kekayaan Aceh yang dipisahkan | 182.385.550.448 | 13,26% |
4.1.4 | Lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah | 832.607.817.928 | 60,57% |
4.2 | PENDAPATAN TRANSFER | 11.747.573.555.400 | 82,82% |
4.2.1 | Pendapatan Transfer Pe merintah Pusat | 11.747.573.555.400 | 82,82% |
4.2.1.01 | Dana Perimbangan | 3.941.745.750.400 | 33,55% |
4.2.1.02 | Dana Insentif Daerah | 0 | 0,00% |
4.2.1.03 | Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx | 7.805.827.805.000 | 66 % |
4.2.2 | Transfer Antar Daerah | 0 | 0,00% |
4.2.2.01 | Pendapatan Bagi Hasil | 0 | 0,00% |
4.2.2.02 | Bantuan Keuagan | 0 | 0,00% |
4.3 | LAIN-LAIN PENDAPATAN ACEH YANG SAH | 00.000.000.000 | 0,24% |
4.3.1 | Pendapatan Hibah | 00.000.000.000 | 80,29% |
4.3.2 | Dana Darurat | 0 | 0,00% |
4.3.3 | Lain-Lain Pendapatan Sesuai Ketentuan Perundang-Undangan | 6.728.200.000 | 19,7% |
Usulan Pendapatan Pemerintah Aceh ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pendapatan Pemerintah Aceh masih sangat besar pada Pemerintah Pusat dengan tingkat ketergantungan pendapatan sebesar 82,82 persen atau Rp11.747.573.555.400,-, serta pendapatan diluar dari Pendapatan Asli Aceh dan pendapatan transfer, berupa Lain-Lain Pendapatan Aceh yang Sah sebesar Rp34.138.201.577,-. Terlihat bahwa kemandirian anggaran pendapatan Pemerintah Aceh hanya 16,93 persen. 16,93 persen Pendapatan Pemerintah Aceh ini merupakan akumulasi sumber pendapatan
yang ditopang oleh; Pendapatan Pajak Aceh, Pendapatan Retribusi Aceh, Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh yang Dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Aceh (PAA) yang sah.
Hal yang harus diperhatikan pada tahun 2021 penerimaan dari Dana Otonomi Khusus memasuki tahun ketiga belas, artinya Dana Otonomi Khusus hanya 2 tahun lagi yaitu 2021-2022 yang didapatkan secara maksimal yaitu sebesar 2 persen dari DAU Nasional, setelah itu akan berkurang menjadi 1 persen dari penerimaan DAU Nasional dan berakhir pada tahun 2027. Di samping itu, penerimaan dari bagi hasil hidrokarbon makin berkurang karena fase lapangan produksi minyak dan gas Aceh memasuki fase penurunan (depleting) dan cenderung tidak bisa lagi menjadi tumpuan fiskal bagi pembangunan Aceh. Dengan kenyataan ini, Pemerintah Aceh harus membuat kebijakan pendapatan Aceh untuk berupaya memandirikan penerimaan Aceh melalui peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemungutan pajak dan retribusi, zakat, serta menggali sumber pendapatan lainnya, sebagai Pendapatan Asli Aceh guna kemandirian keuangan.
Dalam rangka memaksimalkan pendapatan Aceh, maka ditetapkan beberapa kebijakan yang masih menjadi prioritas pada tahun 2021 sebagai berikut:
1. Melakukan Intensifikasi pemungutan pajak termasuk pemungutan piutang pajak, melalui optimalisasi pelayanan publik yang didukung oleh peningkatan kualitas SDM, dukungan teknologi dan prasarana lainnya, termasuk melakukan penagihan terhadap penunggak pajak Aceh. Serta penerapan pajak progresif bagi kenderaan bermotor.
2. Mengoptimalkan peran dan kontribusi serta pengelolaan Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) dan
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) agar dapat berperan aktif secara baik dalam menjalankan fungsi dan tugasnya maupun sebagai kekuatan yang dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Aceh (PAA). Selain mengoptimalkan peran dan kontribusi BUMA dan BLUD (intensifikasi), perlu dilakukan penambahan BUMA dan BLUD (ekstensifikasi) guna memberikan tambahan sumber pendapatan dari kedua badan ini.
3. Mengoptimalkan Pendapatan Aceh melalui Dana Perimbangan sesuai dengan ketentuan
perundangan yang berlaku, seperti Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) melalui dukungan analisa data yang diperlukan Pemerintah baik instrumen umum Indeks Fiskal Netto, maupun instrumen khusus berupa karateristik wilayah; Mengoptimalkan penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) baik pajak maupun bukan pajak untuk semakin mencapai keseimbangan fiskal secara vertikal yang proporsional.
4. Meningkatkan koordinasi dan kerjasama dengan segenap instansi/institusi baik vertikal
maupun horizontal dalam rangka mengoptimalkan pendapatan terutama bersumber dari pajak dan restribusi daerah serta kesadaran dalam berzakat.
5. Memberikan insentif kepada wajib pajak dengan memperluas jangkauan dan mempermudah pelayanan, dengan membuka tempat-tempat pelayanan pajak Aceh, retribusi Aceh dan pendapatan lainnya di kabupaten/kota sepanjang dapat meningkatkan penerimaan pendapatan Aceh serta sistemisasi proses pelayanan berbasis online demi efisiensi dan transparansi pelayanan pendapatan Aceh, serta memberikan keringanan terhadap pajak tertentu.
6. Meningkatkan sosialisasi dalam rangka menggugah kesadaran masyarakat tentang pentingnya
manfaat pajak dan retribusi untuk kesinambungan pembangunan Aceh melalui pemanfaatan berbagai media dalam rangka intensifikasi pemungutan pajak Aceh, retribusi Aceh, dan
penerimaan lain-lain yang sah.
7. Melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi sumber pendapatan asli Aceh sebagaimana dimungkinkan oleh perundang-undangan yang berlaku melalui penambahan sumber pendapatan baru.
4.1.2 Proyeksi Pendapatan Aceh Tahun 2021
Proyeksi target Jumlah Pendapatan Aceh tahun 2021 masih bersumber dari Pendapatan Asli Aceh, Pendapatan Transfer, Lain-lain Pendapatan Aceh Yang Sah. Peningkatan Proyeksi pendapatan ini tidaklah serta merta, namun dipengaruhi oleh beberapa kondisi, seperti:
1. Penerimaan negara yang mengalami peningkatan sehingga memberi pengaruh positif terhadap
pendapatan Aceh.
2. Pendapatan yang diterima Pemerintah Aceh terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
3. Kemampucapaian target pertumbuhan ekonomi nasional yang telah disepakati oleh Eksekutif dengan Legislatif setiap tahunnya.
Memperhatikan kondisi diatas, Pemerintah Aceh mengusulkan target pendapatan Tahun 2021. Jumlah Pendapatan Aceh tahun 2021 diperkirakan sebesar Rp14.183.394.212.942,- (Empat belas trilliun seratus delapan puluh tiga miliar tiga ratus sembilan puluh empat juta dua ratus dua belas ribu sembilan ratus empat puluh dua rupiah). Proyeksi pendapatan ini diperkirakan bersumber dari Pendapatan Asli Aceh, Pendapatan Transfer, dan Lain-Lain Pendapatan Aceh Yang Sah.
1) Pendapatan Asli Aceh (PAA)
Pendapatan Asli Aceh terdiri dari pajak Aceh, retribusi Aceh, hasil pengelolaan kekayaan Aceh yang dipisahkan dan lain-lain Pendapatan Asli Aceh yang sah. Dalam merencanakan target pendapatan daerah dari kelompok Pendapatan Asli Aceh dilakukan secara rasional dengan mempertimbangkan realisasi penerimaan tahun lalu, potensi, dan asumsi pertumbuhan ekonomi yang dapat mempengaruhi terhadap masing-masing jenis penerimaan, objek penerimaan serta rincian objek penerimaan.
Pendapatan Aceh yang bersumber dari Pendapatan Asli Aceh (PAA) pada tahun 2021 diusulkan
Pemerintah Aceh sebesar Rp2.401.682.455.965,-. (Dua trilliun empat ratus satu miliar enam ratus delapan puluh dua jut a empat rat us lima pul uh lima ribu sembilan rat us enam pul uh lima rupiah ) atau sekitar 16,93 persen dari target pendapatan Aceh tahun 2021. Kontribusi Pendapatan Asli Aceh ini ditargetkan bersumber dari Pendapatan Pajak Aceh sebesar Rp1.374.555.532.889,- atau sebesar 57,23 persen dari target PAA. Pendapatan Retribusi Daerah Rp12.133.554.700,- atau sebesar 0,50 persen dari target PAA. Pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh yang Dipisahkan
Rp182.385.550.448,- (13,26 persen), serta Lain-lain PAA Yang Sah Rp832.607.817.928,- atau
sebesar 60,57 persen.
2) Pendapatan Transfer
Pendapatan Aceh tahun 2021 juga berasal dari Dana Perimbangan. Kontribusi dana perimbangan dalam pendapatan Aceh terdiri dari: (1) Dana bagi hasil pajak/bukan pajak/SDA, yang merupakan bagian dari: penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); penerimaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan penerimaan Pajak Penghasilan (PPh Pasal 25 dan Pasal 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh Pasal 21); (2) Dana bagi hasil bukan pajak/sumber daya alam lain yaitu bagian dari kehutanan; bagian dari perikanan; bagian dari pertambangan umum; bagian dari pertambangan panas bumi; bagian dari pertambangan minyak; dan bagian dari pertambangan gas
bumi; (3) Dana Alokasi Umum (DAU); dan (4) Dana Alokasi Khusus (DAK).
Pendapatan yang bersumber dari Dana Perimbangan besarannya sangat tergantung dari pendapatan bruto negara dan ditransfer ke daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Formula yang akan ditransfer ke daerah adalah diatur dengan undang-undang sesuai dengan jenis pendapatan, sedangkan besaran nominalnya untuk tahun 2021 ini akan ditetapkan dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia. Berdasarkan analisa logis terhadap jenis pendapatan Bagi Hasil Pajak/Bagi Hasil Bukan Pajak, dan Dana Alokasi Umum, Dana bagi hasil pajak diperkirakan tetap, tidak mengalami peningkatan. Sedangkan Dana bagi hasil yang bersumber dari hidrokarbon dan sumber daya alam lain serta Dana Tambahan bagi hasil minyak dan gas bumi sangat tergantung pada lifting dan harga migas di pasar dunia.
Target pendapatan Aceh yang bersumber dari Pendapatan Transfer tahun 2021 diusulkan sebesar Rp11.747.573.555.400,- (sebelas triliun tujuh ratus empat puluh tujuh miliar lima ratus tujuh puluh tiga juta lima ratus lima puluh lima ribu emp a t r a t us rupiah ) atau sekitar 82,82 persen dari Total Jumlah Pendapatan Aceh tahun 2021. Target penerimaan pendapatan ini merupakan akumulasi dari sumber Pendapatan Transfer Pemerintah Pusat Pajak Rp11.747.573.555.400-.
3) Lain-Lain Pendapatan Aceh yang Sah
Pendapatan Aceh yang bersumber dari Pendapatan Lain-lain Pendapatan Aceh yang Sah terdiri dari Dana Otonomi Khusus, Dana Penyesuain dan Dana hibah. Untuk Dana Otonomi Khusus sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat (2) Pasal 183 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, diketahui Dana Otsus memiliki masa waktu tertentu. Untuk jangka waktu 20 tahun, mulai tahun pertama (2008) sampai tahun kelima belas (2022) Pemerintah Aceh mendapatkan Dana Otsus setara dengan 2 persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Sementara itu, untuk tahun keenam belas (2023) sampai tahun kedua puluh (2027) Pemerintah Aceh memperoleh Xxxx Xxxxx setara dengan 1 persen dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Dana tersebut merupakan Dana Transfer dari Pemerintah Pusat lainnya yang menjadi salah satu sumber pendapatan terbesar Pemerintah Aceh. Penetapan besaran Dana Otsus setiap tahunnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia.
Diperkirakan pendapatan Aceh yang bersumberLain-Lain Pendapatan Aceh Yang Sah berjumlah
Rp34.138.201.577,- (tiga puluh empat miliar seratus tiga puluh delapan juta dua ratus satu ribu lima ratus tujuh puluh tujuh rupiah) atau 0,24 persen dari total jumlah pendapatan Aceh yang ditargetkan. Sementara porsi terbesar taget Lain-Lain Pendapatan Aceh Yang Sah berasal dari Lain-Lain PendapatanSesuai Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang di usulkan Rp6.728.200.000,-, atau 19,7 persen dari Lain-lain Pendapatan Aceh yang sah. Sisanya Rp27.410.001.577,- berupa pendapatan hibah.
4.1.3. Upaya-Upaya Pemerintah Aceh dalam Mencapai Target
Bagian pendapatan Aceh yang sangat dipengaruhi oleh kinerja pengelolaan pendapatan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh adalah berasal dari Pendapatan Asli Aceh (PAA). Penerimaan target PAA sangat tergantung dari hasil optimalisasi melalui upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan Pajak, Retribusi, dan pengelolaan zakat Aceh. Agar target PAA tahun 2021 dapat terpenuhi sebagaimana yang telah direncanakan, maka Pemerintah Aceh akan melakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Penyederhanaan sistem dan prosedur administrasi pemungutan pajak dan retribusi;
2. Optimalisasi pemungutan pajak dan retribusi.
3. Meningkatkan sosialisasi tentang kewajiban membayar pajak, retribusi, dan zakat bagi masyarakat;
4. Meningkatkan koordinasi lintas instansi dalam rangka penertiban ketaatan pajak;
5. Optimalisasi dari kinerja Badan Usaha Milik Aceh (BUMA) dan Badan layanan Umum Daerah (BLUD) secara intensif, serta penambahan jumlah BUMA dan BLUD secara ekstensif; dan
6. Mencari dan memungut sumber-sumber objek pajak dan retribusi baru sesuai dengan peraturan
yang berlaku (ekstensifikasi);
7. Pemanfaatan Aset Aceh secara komersial dengan tetap memperhatikan peraturan yang berlaku.
Upaya intensifikasi dan ekstensifikasi pajak daerah dan retribusi daerah serta lain-lain pendapatan yang sah terus ditingkatkan sesuai dengan potensi pungutan. Regulasi Peraturan Daerah (Qanun) tentang Pendapatan Daerah yang tidak bertentangan dengan kebijakan investasi (pro investasi), mengoptimalkan kinerja Badan Usaha Milik Aceh terutama PT. Bank Aceh Syariah untuk memberikan konstribusi kepada Pemerintah Aceh. Menyelenggarakan pelayanan prima melalui pengadaan sarana dan prasarana yang dapat memberikan kenyamanan dan keamanan serta pelayanan yang cepat dan sederhana dengan didukung oleh teknologi informasi yang memadai.
Perkiraan Pendapatan Asli Aceh yang direncanakan tetap mengacu kepada ketentuan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian lalu lintas dan Retribusi Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Kerja Asing. Retribusi Aceh merupakan bagian yang cukup berarti dari penerimaan Pendapatan Asli Aceh (PAA). Retribusi ini terkait dengan pengelolaan kepemilikan sumber daya alam yang dikuasai oleh Pemerintah Aceh dan pungutan atas pelayanan publik. Pelayanan publik yang baik dan luas berpengaruh secara positif terhadap peningkatan retribusi Aceh.
Penetapan zakat sebagai salah satu sumber Pendapatan Asli Aceh (PAA) yang diamanatkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Zakat, harta wakaf, dan harta agama dikelola oleh Baitul Mal Aceh. Oleh karena itu, potensi ini perlu ditangani secara tepat dengan mempersiapkan Qanun dan manajemen yang baik untuk mengelolanya. Dalam rangka tercapainya arah kebijakan pendapatan Aceh tersebut, maka perlu ditetapkan beberapa langkah strategis sebagai berikut:
1. Peningkatan pendataan objek dan subjek pajak yang lebih intensif dan akurat.
2. Peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, melalui peningkatan prasarana dan sarana kerja termasuk pelayanan dengan mobil SAMSAT Keliling dan pembentukan Kantor SAMSAT baru secara bertahap di setiap ibukota kabupaten/kota.
3. Peningkatan kerjasama dengan instansi terkait (Kepolisian/Ditlantas, Jasa Raharja, DLLAJ,
Pertamina serta Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral).
4. Peningkatan ketrampilan petugas pemungut pajak.
5. Sosialisasi dan peningkatan operasional pemeriksaan lapangan terhadap wajib pajak.
6. Menggali sumber-sumber pendapatan baru, sesuai dengan peluang dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh.
4.2 Belanja Aceh
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Belanja Daerah terdiri dari; Belanja Operasi, Belanja Modal, Belanja Transfer, dan Belanja Tidak Terduga.
Secara akumulasi, keempat kelompok belanja tersebut dialokasikan untuk mendanai
pelaksanaan Urusan Pemerintahan Wajib yang Terkait Pelayanan Dasar, Urusan Pemerintahan Wajib yang Tidak Terkait Pelayanan Dasar, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Pendukung, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Penunjang, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Pengawas, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Pemerintahan Umum, dan Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Kekhususan.
4.2.1 Kebijakan Perencanaan Belanja Aceh Tahun 2021
Belanja Aceh difokuskan untuk penyelenggaraan Urusan Wajib Pelayanan Dasar, Urusan Wajib Tidak Terkait Pelayanan Dasar yang diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat sebagai upaya memenuhi kewajiban pemerintah daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan), penurunan angka kemiskinan melalui pembangunan rumah dhuafa/layak huni, fasilitas umum yang layak difokuskan untuk penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan dan pembangunan jalan tembus lintas tengah yang menghubungkan antar kabupaten.
Oleh karena, itu alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan, pembangunan fasilitas
umum, pelayanan kesehatan, peningkatan mutu pendidikan (termasuk beasiswa), pembangunan sarana dan prasarana publik (infrastruktur) tetap menjadi prioritas utama penganggaran, dengan sasaran program/kegiatan yang juga memberi dampak nyata terhadap percepatan pembangunan ekonomi daerah, pengurangan kemiskinan dan pengangguran, serta pemerataan pembangunan di seluruh wilayah. Xxxxxxxan realisasi APBA untuk tahun 2019 menunjukkan realisasi Rp15.580.681.141.595,- sementara proyeksi realisasi APBA tahun 2020 sebesar Rp15.827.709.393.003,-.
Tabel 4.3
Realisasi APBA dan Proyeksi Belanja Aceh 2018-2020
No | Uraian | Realisasi | APBA | |
2018 | 2019 | 2020 | ||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 |
5.1 | Belanja Tidak Langsung | 3.921.682.874.047 | 6.561.242.659.256 | 8.770.594.990.770 |
5.1.1 | Belanja Pegawai | 2.252.421.231.440 | 2.413.124.841.360 | 2.829.021.380.732 |
5.1.4 | Belanja Hibah | 693.406.385.956 | 798.025.196.865 | 788.203.468.878 |
Belanja Subsidi | 0 | 0 | 0 | |
5.1.5 | Belanja Bantuan Sosial | 228.272.910.000 | 6.991.800.000 | 1.085.908.441.946 |
5.1.6 | Belanja Bagi Hasil Kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa | 642.408.224.651 | 691.068.684.916 | 883.489.947.529 |
5.1.7 | Belanja Bantuan Keuangan Kepada Provinsi/ Kab./ Kota dan Pemerintah Desa dan Partai Politik | 105.125.417.600 | 2.647.193.239.504 | 2.744.211.282.721 |
5.1.8 | Belanja Tidak Terduga | 48.704.400 | 4.838.896.611 | 439.760.468.964 |
5.2 | Belanja Langsung | 8.384.623.313.432 | 9.019.438.482.340 | 7.057.114.402.233 |
5.2.1 | Belanja Pegawai | 617.004.872.886 | 704.453.132.183 | 805.372.144.612 |
5.2.2 | Xxxxxxx Xxxxxx dan Jasa | 5.263.677.310.810 | 5.166.704.036.582 | 4.157.224.230.332 |
5.2.3 | Belanja M odal | 2.503.941.129.736 | 3.148.281.313.575 | 2.094.518.027.289 |
JUMLAH BELANJA ACEH (5.1+5.2) | 12.306.306.187.479 | 15.580.681.141.596 | 15.827.709.393.003 |
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dimana Penyusunan struktur belanja daerah berbasis Sistim Informasi Pemerintah Daerah (SIPD). Belanja operasi merupakan proyeksi belanja terbesar untuk tahun 2021 dengan nilai Rp8.568.932.037.593,- atau 57,74 persen dari rencana jumlah belanja Aceh. diikuti belanja transfer sebesar 21,84 persen, belanja modal 19,88 persen dan belanja tidak terduga 0,54 persen. Berikut Rencana Anggaran Pemerintah Aceh tahun 2021.
Tabel 4.4
Target Belanja Aceh Tahun 2021
No | Jenis Belanja | Target Belanja 2021 | |
Jumlah | % | ||
1 | 2 | 3 | 4 |
1 | Belanja Operasi | 8.568.932.037.593 | 57,74% |
2 | Belanja Modal | 2.950.259.081.497 | 19,88% |
3 | Belanja Tidak Terduga | 00.000.000.000 | 0,54% |
4 | Belanja Transfer | 3.241.864.064.782 | 21,84% |
Jumlah Belanja | 14.841.275.954.424 | 100% |
Sumber: Rencana Kerja Pemerintah Aceh 2021
Dalam pelaksanaan kebijakan belanja Aceh tahun 2021, diperkirakan ada beberapa asumsi pokok yang dapat mempengaruhi langsung diantaranya adalah:
1. Perkiraan penerimaan pendapatan Aceh diharapkan dapat terpenuhi, sehingga dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan perekonomian Aceh dan mampu mencukupi kebutuhan pelayanan dasar serta penyelenggaraan pemerintahan;
2. Perkiraan kebutuhan belanja Aceh dapat mendanai program-program strategis Aceh untuk mendukung dan menjaga target pencapaian indikator kinerja (Key Performance Indicators) yang telah ditetapkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh dan dokumen Teknokratik RPJMA 2017- 2022.
3. Terlaksananya pembahasan, kesepakatan, dan penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tepat waktu sesuai mekanisme dan peraturan yang berlaku;
4. Terkendalinya laju inflasi nasional, regional dan daerah, terutama berkaitan dengan belanja pemerintah;
5. Terlaksananya kesepakatan bersama dan pengesahan RAPBA tahun 2021 tepat waktu.
4.2.2 Kebijakan Belanja Operasi, Belanja Modal, Belanja Transfer, dan Belanja Tidak Terduga
Kebijakan Belanja Operasi, Belanja Modal, Belanja Transfer, dan Belanja Tidak Terduga sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, yaitu :
1. Belanja Operasi adalah pengeluaran anggran untuk kegiatan sehari-hari Pemerintah Daerah
yang memberi jangka pendek.
2. Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan asset tetap alinnya yang memberi manfaat lebih dari 1 (satu) periode akuntansi.
3. Belanja Tidak Terduga adalah pengeluaran anggaran atas beban APBD untuk keperluan darurat termasuk keperluan mendesak yang tidak dapat diprediksi sebelumnya.
4. Belanja Transfer adalah pengeluaran uang dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Daerah lainnya dan/atau dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Desa.
4.2.3 Kebijakan Pembangunan Aceh, Kendala yang Dihadapi, Strategi dan Prioritas Pembangunan Aceh yang Disusun Secara Terintegrasi dengan Kebijakan dan Proritas Pembangunan Nasional yang Akan Dilaksanakan di daerah.
Arah kebijakan pembangunan Aceh tahun 2021 diprioritaskan pada pelaksanaan program/kegiatan yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkualitas melalui pengurangan angka kemiskinan dan pengangguran, pemenuhan aksesibilitas dan kualitas kesehatan, pengurangan kesenjangan antar wilayah melalui pengembangan kawasan strategis dan penguatan konektifitas, peningkatan ketahanan pangan dan energi, penguatan dinul islam dan peningkatan kualitas pendidikan peningkatan investasi dan nilai tambah hasil pertanian, industri kreatif dan pariwisata, optimalisasi sumberdaya alam berkelanjutan dan penurunan resiko bencana, penataan reformasi birokrasi serta penguatan perdamaian.
Dalam beberapa tahun terakhir beberapa indikator makro pembangunan telah menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik, namun demikian masih terdapat kendala dan permasalalahan yang dihadapi dan perlu mendapat perhatian.
4.2.3.1 Kendala Yang Dihadapi dalam Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Daerah Berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan RKPA Tahun 2021, secara makro ekonomi Aceh dapat disimpulkan bahwa permasalahan pembangunan Aceh terdiri dari beberapa aspek:
1. Aspek Geografi dan Demografi
a. Karakteristik Lokasi dan Wilayah
1) Tingginya alih fungsi lahan
b. Demografi
1) Tingginya indeks ketergantungan penduduk
c. Wilayah Rawan Bencana
2) Masih tingginya potensi bencana alam;
3) Masih tingginya Indeks Risiko Bencana (IRB);
4) Masih rendahnya upaya mitigasi dan adaptasi bencana.
d. Sosiologi
5) Belum berfungsinya peran kelembagaan wali nanggroe;
6) Belum optimalnya peran ulama dalam pembangunan;
7) Belum optimalnya peran kelembagaan adat.
2. Aspek Kesejahteraan Masyarakat
a. Kesejahteraan dan Pemerataan Ekonomi
1) Rendahnya pertumbuhan PDRB Aceh
2) Fluktuasi harga pangan strategis masih tinggi
3) Pendapatan perkapita masyarakat masih rendah
4) Indeks Gini, ketimpangan pendapatan cenderung meningkat
5) Kemiskinan
a) Tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi;
b) Masih tingginya indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan.
6) Tingginya tingkat pengangguran terbuka
b. Kesejahteraan Sosial
1) Masih rendahnya angka rata-rata lama sekolah;
2) Masih tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi dan angka kematian balita;
3) Masih rendahnya angka harapan hidup;
4) Beberapa kabupaten/kota masih memiliki IPM di bawah rata-rata Aceh.
c. Fokus Seni Budaya
1) Belum adanya even rutin seni budaya;
2) Belum optimalnya pelestarian budaya, seni, adat, dan adat istiadat Aceh;
3) Promosi situs-situs budaya menjadi wisata religi belum optimal.
3. Aspek Pelayanan Umum
a. Layanan Urusan Keistimewaan Aceh
a) Belum optimalnya penerapan pendidikan islami pada setiap jenjang pendidikan;
b) Masih tingginya angka pelanggaran Syariat Islam;
c) Masih lemahnya kualitas aparatur pembina Syariat Islam;
d) Belum optimalnya pemanfaatan dan pengelolaan Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Wakaf (ZISWAF);
e) Belum seluruh dayah terakreditasi;
f) Terbatasnya kuantitas dan kualitas da'i di wilayah perbatasan, terluar dan terisolir;
g) Masih lemahnya pengarusutamaan Syariat Islam dalam pembangunan;
h) Belum optimalnya pelaksanaan prinsip-prinsip ekonomi Islam;
i) Belum optimalnya pelaksanaan UUPA sesuai dengan prinsip-prinsip MoU Helsinki secara konsisten dan komprehensif;
j) Belum optimalnya peningkatan kesejahteraan eks kombatan, eks tapol/napol dan korban konflik;
k) Lemahnya pengenalan sejarah konflik Aceh dan upaya pengenangan para syuhada korban konflik
b. Layanan Urusan Wajib
1) Layanan Urusan Wajib Dasar
a) Pendidikan
✓ Belum maksimalnya pemeliharaan dan peningkatan infrastruktur pendidikan (terutama di daerah terpencil, terluar dan terisolir);
✓ Belum meratanya prasarana dan sarana pendidikan;
✓ Rendahnya mutu dan distribusi guru yang berkualitas;
✓ Masih lemahnya kualitas pendidikan menengah dan kualitas pembelajaran;
✓ Belum optimalnya tatakelola lembaga pendidikan.
✓ Belum optimalnya akses layanan pendidikan dan pelatihan keterampilan.
b) Kesehatan
✓ Masih tingginya angka stunting
✓ Masih rendahnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan ibu, anak, remaja dan lanjut usia yang berkualitas;
✓ Masih rendahnya pengendalian penyakit menular dan penyakit tidak
menular serta kesehatan lingkungan;
✓ Masih rendahnya akses pelayanan kesehatan dasar dan rujukan yang berkualitas;
✓ Masih rendahnya budaya melayani oleh tenaga kesehatan dalam pelayanan kesehatan;
✓ Belum optimalnya pengawasan obat dan makanan;
✓ Belum optimalnya ketersediaan, penyebaran, dan mutu sumberdaya tenaga manusia kesehatan;
✓ Masih rendahnya ketersediaan alat kesehatan yang memenuhi standar;
✓ Belum maksimalnya pemeliharaan dan peningkatan infrastruktur kesehatan;
✓ Masih rendahnya pelayanan kesehatan jiwa dan fasilitas pendukungnya.
c) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
✓ Belum maksimalnya pemeliharaan dan peningkatan infrastruktur;
✓ Belum dikelolanya potensi sumber daya air secara optimal;
✓ Masih kurangnya pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan RTRW;
✓ Masih terjadinya kekurangan debit andalan.
d) Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman
✓ Masih rendahnya akses masyarakat terhadap hunian layak huni, aman dan terjangkau;
✓ Belum optimalnya penyediaan infrastruktur dasar kawasan permukiman
meliputi sarana air bersih, persampahan, drainase lingkungan, jalan lingkungan dan gedung strategis provinsi;
✓ Masih banyaknya kawasan kumuh yang belum tertangani;
✓ Kebutuhan rumah layak huni bagi masyarakat miskin masih tinggi.
e) Sosial
✓ Belum optimalnya pengarusutamaan gender dan hak anak dalam pembangunan;
✓ Belum optimalnya perlindungan anak, perempuan serta Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS);
✓ Belum optimalnya pemanfaatan potensi dan sumber kesejahteraan sosial (PSKS);
✓ Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak;
✓ Terbatasnya pengetahuan perempuan dalam mendidik anak;
✓ Terbatasnya keterampilan perempuan.
2) Layanan Urusan Wajib Tidak terkait Pelayanan Dasar
a) Ketenagakerjaan
✓ Partisipasi perempuan dalam angkatan kerja rendah;
✓ Tingginya pengangguran pada jenjang pendidikan SMA, Diploma dan sarjana;
✓ Masih tingginya pengangguran pada usia muda.
b) Pangan
✓ Rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan;
✓ Rendahnya kualitas konsumsi pangan dan gizi masyarakat;
✓ Rendahnya mitigasi gangguan terhadap ketahanan pangan;
✓ Terbatasnya prasarana dan sarana ketahanan pangan;
✓ Banyaknya wilayah dan keluarga rawan pangan;
✓ Rendahnya diversifikasi pangan.
c) Kepemudaan dan Olahraga
✓ Belum maksimalnya keterlibatan pemuda dalam pembangunan;
✓ Tingginya kerentanan pemuda terhadap penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang serta pergaulan bebas;
✓ Masih lemahnya pembinaan dan kelembagaan olahraga;
✓ Minimnya ujicoba dan kompetisi olahraga;
✓ Terbatasnya prasarana dan sarana olahraga;
✓ Minimnya prestasi olahraga.
d) Pertanahan
✓ Masih terjadinya sengketa dan konflik pertanahan.
e) Lingkungan Hidup
✓ Belum optimalnya skema pengendalian perubahan iklim;
✓ Belum optimalnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup berkelanjutan.
f) Perhubungan
✓ Masih rendahnya kondisi sarana prasarana dan fasilitas perhubungan
g) Koperasi dan UKM
✓ Rendahnya kualitas SDM koperasi dan UKM;
✓ Rendahnya dukungan pembiayaan usaha.
h) Kependudukan dan Pencatatan Sipil
✓ Belum optimalnya penataan administrasi kependudukan dan pencatatan sipil
3) Layanan Urusan Pilihan
a) Pariwisata
✓ Masih rendahnya lama kunjungan wisatawan;
✓ Belum optimalnya promosi dan pemasaran pariwisata dengan brand “The Light of Aceh”;
✓ Lemahnya kelembagaan destinasi wisata;
✓ Minimnya sarana dan prasarana pariwisata.
b) Pertanian
✓ Rendahnya produktivitas tanaman pangan;
✓ Rendahnya produktivitas tanaman perkebunan;
✓ Rendahnya produksi daging unggas dan ruminansia;
✓ Rendahnya nilai tambah komoditi pertanian.
c) Kehutanan
✓ Belum optimalnya konservasi keanekaragaman hayati;
✓ Belum optimalnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan perhutanan sosial;
✓ Masih rendahnya pengamanan kawasan hutan;
✓ Meningkatnya luas lahan kritis;
✓ Belum optimalnya penyelesaian konflik tenurial;
✓ Masih terjadinya konflik satwa.
d) Energi dan Sumber Daya Mineral
✓ Masih kurangnya energi baru terbarukan dalam bauran energi;
✓ Belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya air untuk sumber energi.
e) Perdagangan
✓ Defisit perdagangan masih tinggi;
✓ Indeks keterbukaan perdagangan rendah.
f) Perindustrian
✓ Rendahnya kontribusi sektor industri pengolahan terhadap ekonomi Aceh
g) Kelautan dan Perikanan
✓ Belum optimalnya pemasaran hasil perikanan;
✓ Rendahnya nilai tambah dan lemahnya daya saing komoditas perikanan;
h) Transmigrasi
✓ Lemahnya kualitas SDM transmigrasi;
✓ Terbatasnya prasarana dan sarana transmigrasi;
✓ Banyaknya kawasan transmigrasi yang terlantar;
✓ Pembinaan dan pendampingan terhadap warga transmigrasi masih kurang.
4) Penunjang Urusan
a) Perencanaan Pembangunan
✓ Belum terbangunnya Sistem Satu Data Pembangunan dan Terpadu;
✓ Belum optimalnya konsistensi antar dokumen perencanaan dan penganggaran;
✓ Belum terkoneksi dan terintegrasinya data dan informasi pembangunan;
✓ Perencanaan pembangunan belum sepenuhnya didukung oleh data dan fakta.
✓ Penetapan APBA belum tepat waktu.
b) Keuangan
✓ Belum optimalnya pengelolaan aset;
✓ Belum optimalnya pengelolaan Pendapatan Asli Daerah (PAD)
c) Kepegawaian Serta Pendidikan dan Pelatihan
✓ Belum optimalnya reformasi birokrasi dan pelayanan publik;
✓ Belum optimalnya penempatan pimpinan OPD sesuai dengan keahlian;
✓ Lemahnya kualitas SDM aparatur pemerintah sesuai dengan bidang keahlian;
✓ Terbatasnya prasarana dan sarana pelayanan pemerintahan.
d) Penelitian dan Pengembangan
✓ Belum optimalnya Research and Development (R and D);
e) Pengawasan
✓ Lemahnya sistem pengawasan dan penilaian kinerja aparatur pemerintah sesuai Standar Pelayanan Minimal.
4. Aspek Daya Saing Daerah
a. Kemampuan Ekonomi Daerah
1) Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga Perkapita
2) Rendahnya Xxxxx Xxxxx Petani dan Xxxxxxx
b. Fasilitas Wilayah/Infrastruktur
1) Persentase Rumah Tangga (RT) yang Menggunakan Air Bersih
a) Masih rendahnya akses air bersih
2) Rasio Ketersediaan Daya Listrik
a) Belum optimalnya fungsi transmisi jaringan listrik
3) Persentase Rumah Tangga yang Menggunakan Listrik
c. Iklim Berinvestasi
1) Ketersediaan sarana dan prasarana investasi masih minim;
2) Kelembagaan kawasan industri dan status lahan masih menjadi kendala;
3) Persepsi investor terhadap iklim investasi di Aceh belum membaik.
d. Sumber Daya Manusia
1) Lemahnya kualitas dan produktivitas tenaga kerja;
2) Rendahnya perlindungan tenaga kerja;
3) Belum tersedianya kelembagaan pelatihan yang representatif.
4.2.3.2 Strategi Penanganan Permasalahan Pembangunan Aceh
Penanganan permasalahan pembangunan dilakukan dengan strategi:
1) Peningkatan sumber Penerimaan Keuangan dan Pengelolaan Aset Daerah
Pendapatan Transfer pada tahun 2021 memberikan kontribusi terbesar terhadap Pendapatan Aceh dibandingkan dengan pendapatan lainnya. Sebaliknya kontribusi Pendapatan Asli Aceh (PAA) masih tergolong kecil. Pemerintah Aceh masih sangat tergantung pada penerimaan Xxxx Xxxxx dalam membiayai pembangunan Aceh. Strategi yang dapat dilakukan optimalisasi berbagai potensi sumber penerimaan melalui ekstensifikasi dan intensifikasi sumber-sumber PAA, seperti:
a. Peningkatan Pendapatan Pajak Aceh dengan cara maksimalisasi pendapatan pajak yang ada
dan menciptakan sumber pajak yang baru.
b. Peningkatan Retribusi Aceh dengan cara maksimalisasi pendapatan retribusi yang ada dan menciptakan sumber retribusi yang baru.
c. Optimalisasi pendapatan Hasil Pengelolaan Kekayaan Aceh yang Dipisahkan, seperti
pemanfaatan aset daerah secara produktif,
d. Lain-lain PAA yang Sah dilakukan dengan cara mendorong:
✓ Kemandirian BLUD, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber penerimaan PAA, dan meminimalisir subsidi APBA terhadap BLUD yang ada.
✓ Kemandirian BUMA dengan cara melakukan evaluasi terhadap: Bank Aceh, BPR
Mustaqim dan PTPA, agar dapat memberikan kontribusi terhadap PAA, serta mendorong pembentukan BUMA sektor produktif.
2) Peningkatan kualitas birokrasi, tata kelola, dan pelayanan publik;
Peningkatan kualitas birokrasi, tata kelola, dan pelayanan publik (Aceh Peumulia) difokuskan untuk:
a. Peningkatan kualitas pelayanan publik yang mudah, cepat, berkualitas dan bebas pungutan.
b. Menempatkan pimpinan SKPA sesuai dengan latar belakang dan bidang keahlian.
c. Menjadikan aparatur pemerintah sebagai pelayan bagi masyarakat.
3) Penguatan nilai-nilai ke-Islaman dan budaya ke-Acehan;
Meningkatnya dukungan dana APBA dalam penegakan syariat Islam sesuai dengan amanah Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam yang mewajibkan alokasi minimal 5 (lima) persen dari total APBA, diharapkan mampu mengatasi lemahnya pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh dengan melakukan strategi:
a. Penguatan pemahaman, penghayatan dan pengamalan masyarakat terhadap terminologi Dinul Islam, Hukum Islam, Fiqh Islam dan literatur lain terkait Syariat Islam.
b. Melakukan sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan Syariat Islam dengan kabupaten/kota dalam Provinsi Aceh guna meningkatkan kesamaan persepsi tentang Dinul Islam.
c. Peningkatan kualitas dan kuantitas Da’i Perbatasan serta pelaksanaan Isbat Nikah bagi masyarakat.
d. Peningkatan kemampuan peserta didik dalam membaca Al-Qur’an, dan Hadist.
e. Mendorong kualitas tenaga pelaksana secara menyeluruh, serta melakukan koordinasi aparatur maupun ulama.
4) Penguatan perdamaian secara berkelanjutan;
Penguatan perdamaian secara berkelanjutan (Aceh Damee) difokuskan:
a. Menuntaskan aturan turunan UUPA untuk diimplementasikan dalam pembangunan dan kehidupan masyarakat.
b. Menciptakan situasi damai yang berkelanjutan (sustainable peace) melalui penuntasan proses reintegrasi dan membangun nilai-nilai perdamaian bagi seluruh lapisan masyarakat.
5) Pemenuhan ketahanan dan kemandirian pangan;
Pemenuhan ketahanan dan kemandirian pangan (Aceh Troe; Aceh Meugoe dan Meulaot) difokuskan:
a. Pemenuhan bahan pangan dan gizi bagi seluruh rakyat Aceh secara mandiri dan mengurangi ketergantungan kepada daerah lain.
b. Menjamin ketersediaan dan pemerataan pangan bagi segenap lapisan masyarakat Aceh dan secara bertahap guna kemandirian kebutuhan pangan.
6) Pengembangan pertanian dan perikanan;
Pengembangan pertanian dan perikanan (Aceh Meugoe dan Meulaot) difokuskan:
a. Peningkatan produktivitas dan nilai tambah yang memberi manfaat bagi pembangunan pertanian dan perikanan di Aceh.
b. Mengelola rantai pasok (supply chain) produksi pada sector pertanian dan perikanan sekaligus mendorong peningkatan ekspor-impor.
c. Meningkatkan nilai tambah (value added) hasil produksi pertanian dan perikanan dengan menciptakan industri pengolahan barang pertanian dan barang perikanan yang memiliki peluang menambah pendapatan daerah.
7) Pengembangan industri, perdagangan, koperasi dan UMKM;
Strategi pengembangan industri, dan koperasi dan UMKM (Aceh Kaya) ditujukan:
a. Mendorong tumbuhnya industri sesuai dengan sumber daya daerah dan memproteksi produk-produk yang dihasilkan.
b. Membangun basis industri guna menghadapi berakhirnya dana otonomi khusus dan melindungi tumbuhnya industri lokal.
c. Meningkatkan ekonomi masyarakat dan penyediaan lapangan kerja dan menciptakan lapangan kerja sesuai kebutuhan lapangan kerja Aceh.
8) Pengembangan pariwisata;
Strategi pengembangan pariwisata (Aceh Kaya) RPJMA 2017-2022 difokuskan:
a. Meningkatkan jumlah kunjungan wisata domestik dan mancanegara guna mendongkrak pendapatan asli daerah dan masyarakat pelaku usaha pariwisata.
b. Melakukan sinergi program wisata dengan prinsip Syariat Islam yang diterapkan di Aceh melalui program Pariwisata Islami (Halal Tourism).
c. Mendorong implementasi Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPARDA) Aceh melalui penerbitan regulasi.
9) Ketenagakerjaan;
Strategi untuk menekan angka pengangguran di Aceh dilakukan:
a. Menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai dengan pertumbuhan angkatan kerja.
b. Meningkatkan kemampuan SDM yang rendah melalui pelatihan dan mendorong pendidikan yang berorientasi pada kondisi sumber daya daerah.
c. Mendorong pendidikan vokasional yang berorientasi dengan kondisi sumberdaya Aceh yang tersedia.
10) Ketersediaan dan ketahanan energi;
Strategi ketersediaan dan ketahanan energi (Aceh Energi) dengan fokus:
a. Penyediaan sumber energi bagi konsumsi rumah tangga dan industri.
b. Mendorong investasi, terutama investasi asing pada energi baru dan terbaharukan yang lebih murah dan ramah lingkungan.
11) Pemenuhan data yang berkualitas, terpusat dan terintegrasi;
Strategi pemenuhan data yang berkualitas dan terintegrasi (Aceh SIAT) guna perencanaan (planning) dan pembuatan keputusan (decision making) berbasis data (evidence-based) dengan fokus:
a. Ketersediaan data yang terpusat dan terintegrasi melalui Sistem Informasi Aceh Terpadu (SIAT).
b. Keterbukaan akses informasi sehingga mudah di akses (accessible) dalam basis perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program pembangunan sesuai dengan prinsip evidence-based planning.
12)Pengembangan infrastruktur dasar dan konektivitas antar wilayah;
Strategi pengembangan infrastruktur dasar dan konektivitas antar wilayah (Aceh Seumeugot) difokuskan:
a. Menurunkan kesenjangan wilayah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sesuai dengan RTRW Aceh.
b. Peningkatan kualitas infrastruktur dasar (irigasi, air baku, infrastruktur pemukiman meliputi sarana air bersih, persampahan, drainase lingkungan, jalan lingkungan dan gedung strategis provinsi).
c. Perbaikan konektivitas antar wilayah agar dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat Aceh.
13) Pemenuhan perumahan dan permukiman layak huni;
Strategi pemenuhan perumahan dan pemukiman (Aceh Seuninya) difokuskan pada terpenuhinya perumahan dan pemukiman yang sesuai standar minimum kesehatan dan dapat mengangkat martabat masyarakat.
14) Peningkatan kualitas dan pelayanan pendidikan;
Strategi peningkatan pendidikan dengan fokus pada:
a. Peningkatan APS, angka rata-rata lama sekolah, APK dan APM.
b. Peningkatan mutu pendidikan peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan.
c. Peningkatan kualitas layanan pendidikan.
d. Distribusi pemerataan pendidik antar wilayah maupun antar mata pelajaran secara proporsional.
e. Peningkatan dan pengembangan akses dan kualitas pendidikan kejuruan (vokasi) sesuai dengan kondisi sumberdaya Aceh.
15) Peningkatan kualitas pemuda dan prestasi olahraga;
Strategi peningkatan kualitas pemuda dan prestasi olahraga (Aceh Teuga) dengan tujuan mencegah risiko penyalahgunaan narkotika dan zat adiktif, pergaulan bebas, dan reduksi karakter ke-Acehan dikalangan pemuda difokuskan pada:
a. Peningkatan prestasi olahraga di tingkat nasional dan regional dengan menyediakan fasilitas olahraga yang dapat diakses seluruh rakyat Aceh secara merata.
b. Memberikan ruang bagi segenap rakyat Aceh untuk berprestasi dalam berbagai cabang olahraga.
c. Mengembangkan inovasi dan jiwa enterprenur pemuda untuk menghindari pengangguran intelektual dan berkembangnya industri kreatif di Aceh.
16) Peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan;
Strategi peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan (Aceh Seujahtra) difokuskan untuk:
a. Peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan, Penanganan Stunting dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
b. Pembangunan dan pengembangan rumah sakit regional dan rujukan.
c. Penyediaan tenaga kesehatan terlatih dan peningkatan Jaminan Kesehatan Aceh.
17) Pengarusutamaan gender, perlindungan anak dan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS);
Strategi pengarusutamaan gender, perlindungan anak dan PMKS (Aceh Seujahtra) difokuskan:
a. Peningkatkan indeks pembangunan gender, indeks pemberdayaan gender dan kesejahteraan PMKS.
b. Meningkatkan usia harapan hidup perempuan, rata-rata lama sekolah perempuan, dan pengeluaran perkapita perempuan.
c. Meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan yang tergambar dari keterwakilan perempuan di lembaga legislatif dan pengambil kebijakan.
18) Penanggulangan kerawanan bencana, pengelolaan sumberdaya alam, dan lingkungan hidup.
Strategi kerawanan bencana, pengelolaan sumberdaya alam, dan lingkungan hidup (Aceh Green) difokuskan:
a. Mitigasi dan manajemen risiko bencana melalui penerapan KATAM yang menyesuaikan dengan perubahan iklim dapat menurunkan risiko gagal panen komoditas pertanian.
b. meningkatkan indeks kualitas lingkungan hidup
c. Pengendalian lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan yang didukung partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan menurunkan dampak risiko bencana.
4.2.3.3 Sasaran dan Prioritas Pembangunan
Sesuai dengan arah kebijakan pembangunan Aceh Tahun 2021 sebagaimana yang tertuang didalam RPJMA Tahun 2017-2022, serta mengingat arahan pemerintah pusat terkait dengan penanganan Covid-19, maka Tema RKPA Tahun 2021 adalah : ” Pemulihan Ketahanan Ekonomi dengan Fokus Pengembangan Agroindustri, Pemberdayaan UMKM, Peningkatan Ketahanan Pangan, dan Optimalisasi Pelayanan Kesehatan”. Tema tersebut masih disesuaikan dengan Unggulan Aceh Hebat yang terkait tema tersebut di atas adalah sebagai berikut: 1) Aceh Meuadab, 2) Aceh Pemulia,
3) Aceh Seujahtra, 4) Aceh Kreatif, 5) Aceh Carong, 6) Aceh Teuga, 7) Aceh Meugoe dan Meulaot, dan 8) Aceh Kaya. Disamping itu, untuk mendukung arah kebijakan Tahun 2021 RPJMA 2017-2022, maka Pemerintah Aceh menetapkan 4 (empat) Prioritas Pembangunan Aceh Tahun 2021 sebagai berikut:
1. Mendorong Pemulihan Agroindustri dan pemberdayaan UMKM
2. Peningkatan Sumber Daya Manusia yang Berdaya Saing
3. Penguatan Ketahanan dan Kemandirian Pangan
4. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan
Prioritas pembangunan Aceh Tahun 2021 ditetapkan melalui diagram skematis yang menunjukkan urutan proses dari setiap prioritas pembangunan sampai dengan indikasi kegiatan prioritas. Untuk menetapkan pembangunan daerah dilakukan dengan metode pembobotan untuk menentukan skor terhadap masing-masing kriteria, yaitu: (1) prioritas janji politik yang perlu diwujudkan (xxxxx Xxxxxxxx); (2) memiliki pengaruh yang besar/signifikan terhadap pencapaian sasaran pembangunan nasional (RKP Tahun 2019); (3) dampak yang ditimbulkannya terhadap publik;
(4) memiliki daya ungkit untuk pembangunan daerah; dan (5) merupakan tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah, Berdasarkan hasil pembobotan, maka ditetapkan 4 (empat) Prioritas Pembangunan Aceh Tahun 2021.
Tabel 4.5
Keterkaitan Prioritas Pembangunan Daerah, Permasalahan dan Isu Strategis
N o | Prioritas Permasalahan | Isu strategis 2021 Sebelum Covid | Isu Strategis 2021 Pasca Covid-19 | Penajaman Prioritas Pembangunan Aceh |
Penyediaan lapangan pekerjaan melalui pengembangan ekonomi kawasan berbasis komoditi dan SDA | Banyaknya | 1. Mendorong Pemulihan Agroindustri dan pemberdayaan UMKM | ||
Pemutusan | ||||
1 | Masih tingginya jumlah penduduk miskin dan rentan yang tidak bekerja (pengangguran) | Hubungan Kerja selama Pandemi Covid-19 yang meningkatkan | ||
Angka | ||||
Pengangguran | ||||
Mempersiapkan SDM industri | Menurunnya semangat wirausaha serta kesulitan akses modal masyarakat kecil dan menengah sebagai imbas dari Pandemi Covid-19 | |||
2 | rumahan dan tenaga kerja sehingga bisa menyerap untuk sektor | |||
industri yang ada di Aceh. | ||||
Mendorong perbankan di Aceh | ||||
untuk melakukan pembiayaan | ||||
kepada sektor real dalam | ||||
3 | mendukung kegiatan industry | |||
pengolahan di Aceh sehingga | ||||
memberikan kontribusi sebagai | ||||
nilai tambah di Aceh |
N o | Prioritas Permasalahan | Isu strategis 2021 Sebelum Covid | Isu Strategis 2021 Pasca Covid-19 | Penajaman Prioritas Pembangunan Aceh |
4 | Memfokuskan kepada peningkatan pengolahan dari sumberdaya (komoditas unggulan Aceh) berbasis industry rumah tangga maupun KUKM, | Defisit perdagangan antar Daerah masih sangat tinggi | ||
5 | Rendahnya pendapatan penduduk miskin dan rentan | Peningkatan nilai tambah usaha ekonomi melalui pengembangan ekonomi kawasan berbasis komoditi | ||
6 | masih rendahnya kualitas dan akses infrastruktur dasar penduduk miskin | peningkatan kualitas dan akes infrastruktur dasar bagi masyarakat miskin dan rentan | Terhambatnya pelaksanan pembangunan infrastruktur akibat adanya PSBB selama Pandemi Covid-19 | |
7 | Belum optimalnya pelayanan arus transportasi orang, barang dan jasa baik darat, laut maupun udara | Pengembangan infrastruktur dasar dan konektivitas antarwilayah | ||
8 | Pelayanan transportasi darat, laut, udara yang aman, nyaman, efisien dan terpadu yang mendukung mobilitas orang dan barang belum optimal. | |||
9 | Belum optimalnya penangangan infrastruktur dasar kawasan permukiman | Pemenuhan perumahan dan permukiman layak huni | ||
10 | Belum optimalnya ketahanan energy dan pengelolaan potensi sumber daya mineral | Peningkatan Ketersediaan dan ketahanan energi | ||
11 | Masih adanya penduduk miskin dan rentan yang tidak memiliki akses energi | Penyediaan dan peningkatan akses terhadap sumber energi murah/terjangk au | ||
12 | Belum optimalnya tata kelola sumber daya air dan pengendalian banjir | Pemenuhan ketahanan dan kemandirian pangan | Produktifitas Agroindustri yang terhambat akibat Pandemi Covid-19 | |
13 | Prestasi Olahraga dan Kepemudaan masih minim tingkat Nasional dan Regional | peningkatan prestasi olahraga dan kepemudaan ditingkat nasional dan regional | Semakin Terhambatnya Peningkatan kualitas SDM Aceh Pasca Covid-19 | 2. Peningkatan Sumber Daya Manusia yang Berdaya Saing |
14 | Masih rendahnya daya saing SDM Aceh | Peningkatan kualitas SDM Aceh yang memiliki daya saing | ||
15 | Penguatan kapasitas SDM dan Kelembagaan Korban Konflik belum terlaksana secara optimal dan menyeluruh |
N o | Prioritas Permasalahan | Isu strategis 2021 Sebelum Covid | Isu Strategis 2021 Pasca Covid-19 | Penajaman Prioritas Pembangunan Aceh |
16 | Belum terelaksananya keseluruhan tugas, fungsi , dan wewenang Badan Reintegrasi Aceh sesuai amanat Qanun Aceh no. 6 tahun 2015 | |||
17 | lemahnya pemahaman agama penduduk miskin dan rentan | peningkatan pemahaman agama dan praktek-praktek kehidupan islami bagi penduduk miskin dan rentan | ||
18 | Masih lemahnya Implemantasi Syariat Islam bagi Masyarakat Aceh | penguatan pelaksanaan Aqidah, Syariah, dan Akhlak dalam tatanan kehidupan masyarakat | ||
19 | rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk miskin dan rentan | Peningkatan akses dan kualitas pendidikan dan ketrampilan penduduk miskin dan penduduk rentan miskin | ||
20 | Belum akuratnya data korban konflik | Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Korban Konflik | ||
21 | penduduk miskin dengan tingkat Kerawanan gizi yang tinggi | Tingginya angka Stunting | Meningkatnya kerawanan pangan akibat Pandemi Covid-19 | 3. Penguatan Ketahanan dan Kemandirian Pangan |
22 | rendahnya kemampuan penduduk miskin dan rentan untuk memenuhi kebutuhan pangan | Penyediaan pangan aman dan terjangkau serta diversifikasi pangan | ||
23 | Masih rendahnya cakupan air bersih penduduk miskin dan rentan | Penyediaan dan peningkatan akses terhadap air bersih | Belum optimalnya penanganan Kesehatan Fisik dan Sosia akibat Pandemi Covid-19 | 4. Peningkatan Kualitas Pelayanan Kesehatan |
24 | Belum optimalnya pelestarian sumber daya alam dan peningkatan kualitas lingkungan hidup | Penanggulangan kerawanan bencana, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup | ||
25 | Belum baiknya tata kelola upaya penanggulangan bencana | |||
26 | Belum optimalnya penyelenggaraan penanggulangan bencana dan penurunan resiko bencana |
Sumber: Rencana Kerja Perangkat Daerah Tahun 2021
Paparan isu strategis serta prioritas Aceh yang telah dirumuskan pada RPJMA 2017-2022 masih relevan dengan dinamika terkini. Prioritas pembangunan Aceh Tahun 2021 merupakan agenda pembangunan pemerintah Aceh tahunan yang menjadi tonggak capaian menuju sasaran 5 (lima) tahunan dalam RPJMA Tahun 2017-2022 melalui rencana program pembangunan Aceh tahunan. Prioritas pembangunan Aceh dirumuskan dari isu strategis, strategi dan kebijakan pembangunan Aceh, yang diselaraskan dengan sasaran misi RPJMA tahun berjalan melalui skenario common goals berbasis tematik sektoral, berkorelasi dengan pencapaian prioritas pembangunan nasional (RKP), serta memperhatikan kebijakan pengembangan wilayah dan pembangunan dalam RTRW Aceh Tahun 2013- 2033 dan peraturan perundang-undangan terbaru.
4.2.4 Kebijakan Belanja Aceh
Beberapa asumsi pokok yang akan mempengaruhi Kebijakan Belanja Aceh ke depan adalah:
1. Perkiraan penerimaan pendapatan Aceh diharapkan dapat terpenuhi, sehingga dapat memberikan dukungan terhadap pertumbuhan perekonomian Aceh dan mampu mencukupi kebutuhan pelayanan dasar serta penyelenggaraan pemerintahan.
2. Perkiraan kebutuhan belanja Aceh dapat mendanai program-program unggulan Aceh dalam mendukung dan menjaga target indikator yang ditetapkan.
Belanja penyelenggaraan urusan wajib diprioritaskan untuk melindungi dan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dalam upaya memenuhi kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar, pendidikan, kesehatan, fasilitas sosial, dan fasilitas umum yang layak serta mengembangkan sistem jaminan sosial.
Setelah mempedomani rencana alokasi pendapatan Aceh, maka Anggaran tersebut
didistribusikan untuk Urusan Pemerintahan yang meliputi: Urusan Pemerintahan Wajib yang Terkait Pelayanan Dasar, Urusan Pemerintahan Wajib yang Tidak Terkait Pelayanan Dasar, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Pendukung, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Penunjang, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Pengawas, Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Pemerintahan Umum, dan Urusan Pemerintahan Pilihan Unsur Kekhususan.
Urusan Pemerintahan Wajib yang Terkait dengan Pelayanan Dasar, meliputi: a) Pendidikan; b)
Kesehatan; c) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang; d) Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman;
e) Ketentraman, Ketertiban Umum dan Pelindungan Masyarakat; dan f) Sosial.
Urusan Pemerintahan Wajib yang Tidak Terkait Pelayanan Dasar, meliputi: a) Tenaga Kerja; b) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; c) Pangan; d) Pertanahan; e) Lingkungan Hidup; f) Administrasi Kependudukan dan Catatan Sipil; g) Pemberdayaan Masyarakat dan Desa; h) Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana; i) Perhubungan; j) Komunikasi dan Informatika; k) Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah; l) Penanaman Modal; m) Kepemudaan dan Olahraga; n) Persandian; o) Kebudayaan; p) Perpustakaan; dan q) Kearsipan.
Urusan Pemerintahan Pilihan, meliputi: a) Kelautan dan Perikanan; b) Pariwisata; c) Pertanian;
d) Kehutanan; e) Energi dan Sumber Daya Mineral; f) Perdagangan; g) Perindustrian; dan h) Transmigrasi.
Urusan Pemerintahan Unsur Pendukung, meliputi: a) Sekretariat Daerah, dan b) Sekretariat DPRA. Urusan Pemerintahan Unsur Penunjang, meliputi; a) Perencanaan; b) Keuangan; c) Kepegawaian;
d) Pendidikan dan Pelatihan; dan e) Penghubung. Urusan Pemerintahan Unsur Pengawas, yaitu
Inspektorat. Urusan Pemerintahan Unsur Pemerintahan Umum, yaitu Kesatuan Bangsa Dan Politik, serta Urusan Pemerintahan Unsur Kekhususan, meliputi: a) Syari’at Islam; b) Majelis Permusyawaratan Ulama; c) Majelis Adat Aceh; d) Baitul Mal; dan e) Reintegrasi Aceh.
4.3 Pembiayaan Aceh
Dalam struktur APBA, selain komponen pendapatan dan belanja Aceh terdapat juga pembiayaan Aceh, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan Aceh tersebut meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus. Pembiayaan Aceh terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Kebijakan dalam menyertai Pembiayaan Aceh yang dapat ditempuh adalah optimalisasi sumber penerimaan pembiayaan yang dapat dilakukan secara cepat, yaitu dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SilPA) Tahun Sebelumnya yang didasarkan pada perhitungan yang cermat dan rasional, selain itu juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran pembiayaan antara lain untuk penyertaan modal (investasi), pembentukan dana cadangan.
Asumsi dasar yang menyertai dalam penetapan kebijakan pembiayaan di atas adalah alternatif
pembiayaan dari sisi penerimaan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pembiayaan dari sisi pengeluaran. Alternatif penerimaan pembiayaan yang bisa dikembangkan seperti: pinjaman daerah, penerbitan surat obligasi dan penjualan aset, baik yang akan dipergunakan untuk penyertaan modal maupun pembayaran angsuran hutang pokok yang akan jatuh tempo, ataupun program pengeluaran pembiayaan lainnya yang timbul sebagai akibat dari pengembangan alternatif penerimaan pembiayaan.
4.3.1 Kebijakan Penerimaan Pembiayaan Aceh
Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Keuangan Aceh. Pasal 60 ayat (2) menyatakan Penerimaan Pembiayaan Aceh mencakup: 1) Sisa Lebih Perhitungan Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA); 2) Pencairan dana cadangan; 3) Hasil penjualan kekayaan Aceh yang dipisahkan; 4) Penerimaan pinjaman Aceh; 5) Penerimaan kembali pemberian pinjaman; 6) Penerimaan piutang Aceh; dan 7) Penerbitan obligasi Aceh.
Pemerintah Aceh dapat menerima hibah dari luar negeri dengan kewajiban memberitahukan
kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Penerimaan hibah bersifat tidak mengikat secara politis baik terhadap Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh dan tidak mempengaruhi kebijakan Pemerintah Aceh tidak dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan tidak bertentangan dengan ideologi negara. Dalam hal hibah mensyaratkan adanya kewajiban yang harus dipenuhi Pemerintah seperti hibah yang terkait dengan pinjaman dan yang mensyaratkan adanya dana pendamping, harus dilakukan melalui Pemerintah dan diberitahukan kepada DPRA.
Melihat perkembangan realisasi anggaran Tahun 2020 yang sedang dilaksanakan maka dapat diperkirakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya yang merupakan Penerimaan Pembiayaan pada Tahun 2021 diproyeksikan sebesar Rp2.887.075.759.194,- (Dua triliun delapan ratus delapan puluh tujuh milyar tujuh puluh lima juta tujuh ratus lima puluh Sembilan ribu seratus Sembilan puluh empat rupiah). Berikut Ringkasan Realisasi, APBA, dan Proyeksi Pembiayaan periode tahun 2018-2021.
Tabel 4.6
Realisasi, APBA dan Proyeksi Pembiayaan Aceh 2018-2021
No | Uraian | Realisasi | APBA 2020 | Proyeksi Pembiayaan Aceh 2021 | |
2018 | 2019 | ||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 |
6.1 | Penerimaan Pembiayaan | 907.571.981.763 | 1.652.595.332.255 | 1.822.307.878.779 | 2.887.075.759.194 |
6.1.01 | Penggunaan SILPA | 907.571.981.763 | 1.652.595.332.255 | 1.822.307.878.779 | 2.887.075.759.194 |
6.2 | Pengeluaran Pembiayaan | 00.000.000.000 | 72.000.000.000 | 0 | 80.000.000.000 |
6.2.01 | Pembentukan Xxxx Xxxxxxan | 00.000.000.000 | 72.000.000.000 | 0 | 80.000.000.000 |
6.2.02 | Penyertaan Modal Daerah | 0 | 0 | 0 | 15.000.000.000 |
-Penyertaan Modal Ke PEMA | 0 | 0 | 0 | 10.000.000.000 | |
-Penyertaan Modal Ke Baitul Muttaqin | 0 | 0 | 0 | 5.000.000.000 | |
6.3 | Pembiayan Netto | 832.981.076.626 | 1.580.595.332.255 | 1.822.307.878.779 | 2.807.075.759.194 |
4.3.2 Kebijakan Pengeluaran Pembiayaan Aceh
Pengeluaran pembiayaan terdiri dari pengeluaran yang ditujukan pada; 1) Pembentukan Dana Cadangan, 2) Penyertaan Modal (investasi) Pemerintah Aceh, 3) Pembayaran Pokok Utang, 4) Pemberian Pinjaman, dan 5) Pembayaran Nilai Nominal Obligasi. Namun untuk tahun 2021 keperluan pengeluaran pembiayaan direncanakan untuk pembentukan dana cadangan sebesar Rp65.000.000.000 (enam puluh lima milyar rupiah) dan Rp 15.000.000.000 (Lima belas milyar rupiah) dipergunakan untuk penyertaan modal daerah.
BAB V
P E N U T U P
Penyusunan Kebijakan Umum APBA (KUA) Tahun Anggaran 2021 telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, di mana Kepala Daerah diwajibkan menyusun Rancangan KUA berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA). Penyusunan KUA Tahun Anggaran 2021 juga telah mengikuti Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 95 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah Aceh serta telah adanya persetujuan bersama antara Gubernur Aceh dan DPR Aceh atas Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh.
KUA Tahun Anggaran 2021 merupakan dokumen yang didalamnya memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun. Selain itu, KUA Tahun Anggaran 2021 merupakan salah satu dokumen perencanaan pembangunan yang menjadi dasar dalam penyusunan Nota Kesepakatan tentang Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) Tahun Anggaran 2021 dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) Tahun Anggaran 2021. Sinkronisasi kebijakan pemerintah daerah dapat diwujudkan dalam penyusunan Kebijakan Umum Anggaran yang disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) sebagai dasar dalam penyusunan APBA Tahun 2021.
Untuk menjamin terwujudnya sinergisitas pelaksanaan Kebijakan Umum APBA Tahun 2021,
sangat diperlukan komitmen bersama untuk melakukan pembangunan yang berkeadilan dan merata sehingga visi dan misi Pemerintah Aceh yang telah ditetapkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Aceh diharapkan dapat tercapai berdasarkan sasaran dan kebijakan.
Syukur Alhamdulillah akhirnya usulan Rancangan KUA dan PPAS Tahun Anggaran 2021 dapat diselesaikan tepat waktu, semoga usulan Rancangan KUA dan PPAS ini dapat dijadikan pertimbangan dan dapat disepakati bersama antara DPRA dengan Pemerintah Aceh.