KEBIJAKAN SOSIAL
KEBIJAKAN SOSIAL
KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
GEDE WIRATA
PENERBIT CV. PENA PERSADA
KEBIJAKAN SOSIAL
KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
Penulis:
Gede Wirata
ISBN: 978-623-455-281-2
Design Cover:
Xxxxxxx Xxx Xxxxxxxx
Layout:
Xxxxxxx Xxxxxxxx
Penerbit CV. Pena Persada
Redaksi :
Jl. Gerilya No. 000 Xxxxxxxxxx Xxxxxxx, Xxx. Banyumas Jawa Tengah
Email: xxxxxxxx.xxxxxxxxxxx@xxxxx.xxx Website: xxxxxxxxxxx.xxx Phone: (0000) 0000000
Anggota IKAPI : 178/JTE/2019
All right reserved Cetakan pertama: Juli 2022
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin penerbit
KATA PENGANTAR
Setiap masyarakat mempunyai kriterianya sendiri tentang kesejahteraan. Oleh karena itu, pertanyaan tentang jenis kesejahteraan dapat dijawab dengan kembali melihat pada misi bangsa yang dituliskan dalam Undang-Undang Dasar. Tujuan pokok kebijakan sosial adalah memberikan kunci bagi keadilan nasional dan kemakmuran sosial. Kesejahteraan sosial sebagai lembaga yang memberikan pelayanan pertolongan guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan kesehatan, standar kehidupannya dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial baik pribadi maupun kelompok dimana kebutuhan keluarga dan kebutuhan masyarakat terpenuhi.
Ada dua isu utama menyangkut kebijakan sosial dalam konteks negara-negara berkembang: pembangunan sosial dan keadilan sosial. Pembangunan sosial terdiri dari pendidikan, kesehatan, keamanan sosial, dan kebijakan perumahan. Keadilan sosial terdiri dari konflik, kompetensi yang rendah, ketertinggalan, dan tragedi. Kebijakan dibuat oleh pemerintah, tetapi pemberi layanan sosial adalah beragam, yang melibatkan pemerintah, pasar, sektor ketiga, keluarga dan individu. Xxxxxx kebijakan sosial sebagai pembangunan sosial, dan dengan demikian ada empat pembahasan yang terkait: pendidikan, kesehatan, keamanan sosial, dan perumahan.
Pembangunan adalah melawan ketidaksetaraan dan ketidakadilan. Pemerintah negara berkembang berusaha keras untuk melibatkan semua anggota masyarakat dalam proses pembangunan karena pembangunan menjadi hak warga negara, seperti yang diamanatkan oleh para bapak pendiri bangsa. Tetapi ada sebagian orang yang selalu tertinggal, tanpa sengaja atau disengaja. Hal ini membuat mereka tetap di belakang, sedangkan yang lainnya bergerak maju. Keberhasilan pembangunan nasional tidak hanya terkait pengembangan wilayah, namun mampu mewujudkan prinsip keadilan sosial dan mengikutsertakan kelompok masyarakat miskin dan marjinal dalam proses pembangunan itu sendiri. Namun demikian, pertumbuhan penduduk yang cepat disertai perkembangan fisik yang tidak
terkendali menyebabkan beberapa kawasan mengalami penurunan kualitas hidupnya.
Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia sudah dilaksanakan pemerintah semenjak orde lama tepatnya sejak tahun 1960-an melalui strategi pemenuhan kebutuhan pokok rakyat yang tertuang dalam Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede). Berdasarkan TAP MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969, pola pembangunan pada masa itu lebih ditujukkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang merata. Pembangunan pada saat itu berorientasi pada peningkatan pendapatan nasional yang membentuk kemakmuran rakyat Indonesia. Kemakmuran di wujudkan melalui berbagai kebijakan yang akan meningkatkan pendapatan secara mandiri. Bidang pendidikan, perumahan, dan kesehatan, mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Kemudian dilanjutkan kebijakan untuk peningkatan pendapatan nasional dan keluarga. Program peningkatan kualitas penduduk secara lengkap tertuang dalam dokumen Pembangunan Nasional Berencana Delapan Tahun (Penasbede, Tahun 1961- 1969). Kebijakan pemerintah pada masa itu terlihat jelas bahwa peningkatan kualitas masyarakat dalam menanggulangi kemiskinan merupakan tujuan utama pembangunan. Namun pada pelaksanaannya, pembangunan terhenti akibat krisis politik pada masa tahun 1965. Krisis politik pada saat itu justru menambah jumlah masyarakat miskin. Kegagalan dalam penanggulangan kemiskinan ini bukan semata- mata kesalahan dari pemerintah. Akan tetapi dikarenakan kondisi pada saat itu yang tidak menguntungkan untuk pembangunan. Kecenderungan dunia pada saat itu adalah pada politik, dan politik jarang bermakna membangun karena intinya adalah power strunggle.
Pada era orde baru ini berdasarkan sasarannya
pembangunan pemerintah dibagi menjadi 3 (tiga) periode:
1. Periode 1974-1988. Rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang dijalankan pemerintah, khususnya Repelita I-IV di tempuh melalui program sektoral dan regional. Program sektoral
merupakan program yang berorientasi pada peningkatan produksi dan pembangunan sarana dan prasarana yang menu njang pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) sepereti sandang, pangan, kesehatan. Sedangkan program regional untuk pengembangan potensi dan kemampuan sumber daya manusia khususnya daerah.
2. Periode 1988-1998. Selanjutnya periode 1988-1998, yaitu pda Repelita V-VI pemerintah melaksanakan program penanggulangan kemiskinan dengan strategi khusus menuntaskan masalah kesenjangan sosial- ekonomi. Jalur pembangunan ditempuh secara khusus dan mensinergikan program sektoral dan regional yang ada dalam koordinasi Inpres Nomor 3 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan yang akhirnya diwujudkan melalui program IDT (Inpres Desa Tertinggal) dan beberapa program lainnya. Pada dasarnya pada periode ini program yang dilaksanakan adalah meningkatkan program-program yang telah dilaksanakan sebelumnya.
3. Periode 19982007. Program yang dilaksanakan pada masa ini adalah program-program penanggulangan kemiskinan pada saat krisis dan pasca krisis ekonomi tahun 1997/1998. Krisis ekonomi mengakibatkan bertambahnya jumlah penduduk miskin.
Pemerintah mengganti dan mengembangkan kebijakan penanggulangan kemiskinan sesuai dengan era masa jabatan presiden. Secara ringkas jika disebutkan macam kebijakan yang diambil sesuai era presiden menjabat adalah sebagai berikut:
1. Era Presiden Xxxxxxxx: Jaring Pengaman Sosial; Program Penanggulangan Kemiskinan & Perkotaan; Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal; Program Pengembangan Kecamatan;
2. Era Presiden Xxxxxx: Xxxxxx Xxxxaman Sosial; Kredit Ketahanan Pangan-Program Penangggulangan Kemiskinan & Perkotaan;
3. Era Presiden Megawati: Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan; Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan.
4. Era Presiden SBY: Pembentukan Xxx Xxxxxxxxxx Penanggulangan Kemiskinan; Bantuan Langsung Tunai; Program Pengembangan Kecamatan; Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan; Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Selain program-program di atas telah dibuat juga Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang kemudian dintegrasi menjadi Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 yang kemudian dilanjutkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010.
Program kemiskinan yang saat ini dilakukan baik yang berasal dari pemerintah maupun non pemerintah umumnya hanya sementara, artinya program tersebut akan berjalan selama masih ada anggaran (dana), setelah dana habis maka selesai pula kegiatan program. Dengan kata lain bahwa program- program kemiskinan yang selama ini dilaksanakan berdasarkan pada pendekatan projek dan bukan pendekatan program. Tidak heran jika program pengentasan kemiskinan tidak berkelanjutan, akhirnya angka kemiskinan secara absolut di Indonesia tetap saja tinggi. Tampaknya dalam merumuskan sebuah kebijakan maupun program yang bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia perlu dilakukan beberapa tahapan kegiatan
Pada Masa Kepemimpinan Presiden Xxxx Xxxxxx, penanggulangan kemiskinan yang komprehensif memerlukan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha (sektor swata) dan masyarakat merupakan pihak-pihak yang memiliki tanggung jawab sama terhadap penanggulangan kemiskinan. Pemerintah telah melaksanakan penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar warga negara secara layak, meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat miskin, penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat serta melaksanakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam upaya mencapai masyarakat Indonesia yang sejahtera, demokratis dan berkeadilan. pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Dalam Peraturan Presiden ini disebutkan bahwa untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan, pemerintah menetapkan program perlindungan social yang meliputi: (a) Program Simpanan Keluarga Sejahtera; (b) Program Indonesia Pintar; (c) Program Indonesia Sehat.
Xxxxxxxx, Xxxx 2022
Penulis
DAFTAR ISI
A. Pengertian Kebijakan Sosial 1
1. Pengertin Kebijkan Publik 10
3. Analisis Kebijakan Publik 16
C. Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik 19
BAB II TEORI DAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN 29
A. Teori Negara Kesejahteraan 29
B. Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State) 35
C. Beberapa Ciri dan Model Negara Kesejahteraan
D. Landasan Filosofis-Politik Negara Kesejahteraan 43
BAB III KEBIJAKAN SOSIAL DITINJAU DARI TEORI SOSIOLOGI 52
A. Kebijakan Sosial dan Teori Sosiologi 52
C. Kebijakan Sosial dalam Perspektif Sosiologi 69
BAB IV KEBIJAKAN SOSIAL, SUATU TINJAUAN TEORITIS 84
C. Bidang Kebijakan Sosial 89
BAB V POLITIK KEBIJAKAN SOSIAL 95
A. Kebijakan adalah Keputusan 95
B. Keputusan Pemerintah sebagai Ideologi 99
C. Demokrasi-Sosial 106
D. Model Politik Neo Liberal Kebijakan Sosial 111
E. Model Politik Kebijakan Sosial 119
F. Mengembangkan Model Politik Kebijakan Sosial
Bangsa-Bangsa 125
BAB VI KEBIJAKAN SOSIAL DALAM KAITANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN SOSIAL, PELAYANAN
SOSIAL DAN PEKERJAAN SOSIAL 133
A. Kesejahteraan Sosial 133
1. Pengertian Kesejahteraan Sosial 133
2. Tujuan Penyelenggara Kesejahteraan Sosial 134
3. Fungsi-Fungsi Kesejahteraan Sosial 135
4. Fokus Usaha Kesejahteraan Sosial 136
B. Pelayanan Sosial 137
1. Pengertian Pelayanan Sosial 137
2. Bidang-bidang Pelayanan Sosial 138
3. Jenis Dan Cakupan Pelayanan Sosial 139
4. Pelayanan Sosial Personal (Personal Social Service) .146 C. Pekerjaan Sosial 147
1. Latar Belakang Pekerja Sosial 147
2. Tujuan Pekerjaan Sosial 148
3. Keberfungsian Sosial 149
4. Metode Pekerjaan Sosial 150
5. Fungsi dan Tugas Pekerjaan Sosial 154
BAB VII KEBIJAKAN SOSIAL SEBAGAI PEMBANGUNAN SOSIAL 156
A. Kebijakan Pendidikan 156
B. Kebijakan Kesehatan (Sosial) 173
C. Kebijakan Perumahan 180
D. Kebijakan Keamanan Sosial 186
BAB VIII PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM KEBIJAKAN SOSIAL 190
A. Permasalahan yang Dihadapi 190
B. Ketimpangan Ekonomi dan Keadilan Sosial Bagi
Segenap Bangsa Indonesia 193
C. Membangun Negara Kesejahteraan di Indonesia 195
D. Mendorong Reformasi Kebijakan Sosial yang Desentralistis dan Pemberdayaan Masyarakat 197
E. Penanggulangan Kemiskinan melalui Partisipasi Masyarakat Berbasis Lokal Genius di Provinsi Bali 204
F. Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Bali
melalui Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) 210
BAB IX KEBIJAKAN SOSIAL SEBAGAI KEADILAN SOSIAL 222
A. Konflik 222
B. Kompetensi Masyarakat yang Rendah 240
C. Tragedi 253
BAB X PEMBANGUNAN INKLUSIF SEBAGAI UPAYA MEREDUKSI SOCIAL EXCLUSION DI PERKOTAAN: KASUS KELOMPOK MARJINAL, PKL DAN MASYARAKAT MISKIN 255
A. Pembangunan Inklusif untuk Mereduksi Social
Exclusion 255
B. Eksklusi Sosial sebagai Ekses Pembangunan di
Wilayah Kota 258
C. Pendekatan Pembangunan Inklusif 261
BAB XI KEBIJAKAN SOSIAL DALAM MENANGGULANGI MASALAH KEMISKINAN 270
A. Altruisme, Solidaritas, dan Kebijakan Sosial 270
1. Pengertian Altruisme 270
2. Altruisme, Kekerabatan Xxx Xxxxxx-Balik 275
3. Syarat-Syarat Tindakan Altruistik 280
4. Altruisme Sebagai Dasar Solidaritas 283
5. Altruisme Sebagai Fondasi Kebi Jakan Sosial 284
B. Kebijakan Sosial Penanggulangan Kemiskinan 288
1. Kebijakan Sosial Penanggulangan Kemiskinan
pada Masa Orde Lama 288
2. Kebijakan Sosial Penanggulangan Kemiskinan
pada Masa Orde Baru 289
3. Kebijakan Sosial Penanggulangan Kemiskinan pada Masa Reformasi sebelum Era
Kepemimpinan Presiden Xxxx Xxxxxx 297
4. Kebijakan Sosial Penanggulangan Kemiskinan
pada Masa Kepemimpinan Presiden Xxxx Xxxxxx. 299
C. Kebijakan Pemerintah dalam Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial dalam Perspektif Negara
Kesejahteraan 305
D. Program Bantuan Sosial dari Pemerintah Indonesia
di Masa Pandemi COVID-19 310
DAFTAR PUSTAKA 317
KEBIJAKAN SOSIAL
KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Pengertian Kebijakan Sosial
Kebijakan sosial terdiri dari dua kata yang memiliki banyak makna, yakni kata ‘kebijakan’ dan kata ‘sosial’. Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Secara umum kebijakan atau policy dipergunakan untuk menunjukan perilaku seseorang aktor misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun lembaga tertentu untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Pada dasarnya terdapat banyak penjelasan dengan batasan-batasan atau pengertian mengenai kebijakan.
Kebijakan adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku atau oleh kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan-tujuan itu (Budiharjo, 1992: 12). Kebijakan menurut Xxxxx Xxxxxx ialah keputusan yang diambil oleh pemerintah atau pemimpin kelompok/organisasi sebagai kekuasaan untuk mengalokasikan nilai-nilai bagi masyarakat atau anggota kelompoknya secara keseluruhan (Abidin, 2004: 20). Sedangkan menurut Xxxxxxxx dan Xxxxxx (2004) kebijakan adalah alat untuk mengapai tujuan dimana kebijakan adalah program yang diproyeksikan berkenaan dengan tujuan, nilai dan praktek.
Henz Xxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxx merumuskan kebijakan sebagai keputusan yang tetap, ditandai oleh kelakuan yang berkesinambungan dan berulang-ulang pada mereka yang membuat kebijakan dan yang yang melaksanakan kebijakan yang telah dibuat (Nogi S dan Xxxxxxxxxxx, 2003: 3). Menurut Xxxxxxxx xxxxxxxxx merupakan upaya memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas keadilan dan kesejaheraan masyarakat. Dan dalam kebijakan setidaknya harus memenuhi empat hal penting yakni; (1) tingkat hidup masyarakat meningkat, (2) terjadi keadilan: By the law, social justice, dan peluang prestasi dan kreasi individual, (3) diberikan
peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi), dan (4) terjaminnya pengembangan berkelanjutan (Muhadjir, 2000: 15).
Selanjutnya Xxxxxxx dan Xxxxxx seperti yang dikutip oleh Xxxxxxxxxxx (2008: 25) bahawa kebijakan (policy) secara etimologi diturunkan dalam bahasa Yunani, yaitu “Polis” yang artinya kota (city). Pendapat ini menjelaskan kebijakan mengacu kepada cara-cara dari semua bagian pemerintahan mengarahkan untuk mengelola kegiatan mereka. Dalam hal ini, kebijakan berkenaan dengan gagasan pengaturan organisasi dan merupakan pola formal yang sama-sama diterima pemerintah atau lembaga sehingga dengan hal itu mereka berusaha mengejar tujuannya.
Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa kebijakan merupakan petunjuk dan batasan secara umum yang menjadi arah dari tindakan yang dilakukan dan aturan yang harus diikuti oleh para pelaku dan pelaksana kebijakan karena sangat penting bagi pengolahan dalam sebuah organisasi serta mengambil keputusan atas perencanaan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Dengan demikian kebijakan menjadi sarana pemecahan masalah atas tindakan yang terjadi.
Sementara itu menurut Weihrich dan Xxxxxx (1993: 123) kebijakan adalah alat membersihkan hati atau harapan yang mendorong, inisiatif tetatp dalam keterbatasan. Kebebasan tergantung pada kebijakan dan sebaliknya akan mereflesikan posisi dan kekuasaan dalam organisasi. Kebijakan juga adalah rencana, kebijakan itu sebagai peryataan atau pemahaman atau pengertian yang mengarahkan pikiran dalam membuat keputusan. Tidak semua kebijakan merupakan pernyataan, tetapi sering diimplikasikan dari tindakan menejer (Priatna, 2008: 15). Sementara Xxxxxx, xx.xx, (1992: 144) mengatakan bahwa kebijakan adalah sebagai tuntunan dalam berfikir untuk mengambil keputusan, keputusan tersebut diambil dalam batas-batas. Keputusan memerlukan tindakan tetapi dimaksudkan untuk menuntut manager dalam memutuskan komitmen.
Berarti kebijakan berdasarkan pendapat ini adalah sebagai pedoman untuk menuntun manager dalam membuat keputusan komitmen. Untuk itu kebijakan yang dibuat dapat meliputi ruang lingkup yang sempit maupun luas. Oleh karena itu Xxxxxxxxx, xx.xx, (1998: 11) berpendapat bahwa kebijakan pada tingkat publik ditujukan kepada tindakan yang diambil pemerintah untuk mempromosikan perhatian umum (masyarakat) banyak kebijakan publik (umum) mulai dari pajak, pertahanan nasional sampai perlindungan lingkungan mempengaruhi bisnis secara langsung. Kebijakan publik dan program ini membuat perbedaan antara keuntung1an dan kegagalan.
Lebih lanjut Xxxxxxxx mengatakan bahwa kebijakan dapat dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan subtantif dan kebijakan implementatif. Kebijakan subtantif adalah keputusan yang dapat diambil berupa memilih alternatif yang dianggap benar untuk mengatasi masalah. Tindak lanjut dari kebijakan subtantif adalah kebijakan implemtatif yaitu keputusan- keputusan yang berupa upaya-upaya yang harus dilakukan untuk melaksanakan kebijakan subtantif (Muhadjir, 2003: 90).
Dalam konteks kehidupan suatu negara, Kebijakan harus ditetapkan oleh Pemerintah setelah melalui tahapan atau proses perumusan terlebih dulu. Hal ini dilakukan karena posisi Pemerintah sebagai ‘orang tua’ masyarakat, Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin hak asasi manusia setiap warga negaranya termasuk terpenuhinya kebutuhan dasar mereka. Di samping itu, Pemerintah diberi kewenangan formal atau legalitas hukum untuk menetapkan kebijakan yang dalam pelaksanaannya harus menggunakan sumber daya publik.
Secara empiris kebijakan berupa undang-undang, petunjuk, dan program, dalam sebuah Negara kebijakan dianggap sebagai rangkaian tindakan yang dikembangkan oleh badan atau pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu, diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku untuk memecahkan masalah tertentu.
Dengan demikian berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat disimpukan bahwa kebijakan adalah sebagai rangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dari dasar pada masalah yang menjadi rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak, pernyataan cita-cita, prinsip, atau maksud dalam memecahkan masalah sebagai garis pedoman untuk manajeman dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan. Dengan kata lain sebagai pedoman untuk bertindak bagi pengambilan keputusan. Seperti halnya kata kebijakan, kata sosial pun memiliki beragam pengertian. Xxxxxxx (1992) mengelompokkan kata
sosial ke dalam (lima) pengertian:
1. Pengertian umum dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat hiburan atau sesuatu yang menyenangkan. Misalnya, kegiatan olah raga, rekreasi, bercakap-cakap dengan teman, jalan-jalan, sering disebut sebagai kegiatan sosial;
2. Lawan kata individual. Kata sosial memilikin pengertian sebagai sekelompok orang (group), atau sekelompok kolektifitas, seperti masyarakat (society), warga atau komunitas (community). Dalam konteks ini, istilah sosial juga mencakup pengertian publik atau kemaslahatan umum. Oleh karena itu orang sering mendefinisikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kepentingan publikatau kepentingan masyarakat luas (Hill, 1996);
3. Lawan kata ekonomi. Kata sosial berkonotasi dengan aktivitas-aktivitas masyarakat atau organisasi yang bersifat sukarela atau swadaya, yang tidak berorientasi mencari keuntungan finansial. Organisasi sosial, seperti Karang Taruna, PKK adalah organisasi yang menyelenggarakan berbagai kegiatan yangtidak mencari keuntungan yang berupa uang. Ini berbeda dengan organisasi ekonomi, seperti perusahaan, Perseroan Terbatas (PT), atau Bank yang tentunya kegiatan-kegiatannya bertujuan untuk mencari keuntungan ekonomi.
4. Melibatkan manusia sebagai lawan dari pengertian benda atau binatang. Pembangunan sosial dapat dijelaskan sebagai pembangunan kualitas manusia yang berbeda dengan pembangunan fisik atau infastruktur, seperti pembangunan gedung, jalan, jembatan.
5. Berkaitan dengan hak asasi manusia baik sebagai individu maupun anggota masyarakat. Misalnya, selain setiap orang memiliki hak asasi (human right), seperti hak hidup dan menyatakan pendapat secara bebas, juga memiliki haksosial (social right), seperti kesamaan hak dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, perumahan atau berpartisipasi dalam pembangunan.
Dalam kaitannya dengan kebijakan sosial, maka kata sosial dapat diartikan baik secara generik atau luas maupun spesisfik ecara generik, kata sosial menunjuk pada pengertian umum mengenai bidang-bidang atau sektor-sektor. pembangunan yang menyangkut aspek manusia dalam konteks masyarakat atau kolektfiitas. Istilah sosial dalam pengertian ini, mencakup antara lain bidang pendidikan, kesehatan, politik, hukum, budaya, atau pertanian. Dalam arti spesifik atau sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung (disadvantaged group) dan kelompok rentan (vulnerable group). Kata sosial disini menyangkut program-program dan 6 atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial, seperti kemiskinan, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial dan tuna susila, kenakalan remaja.
Istilah kebijakan sosial diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial seperti ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxxx (1992). Menurut
Xxxxxxx, perencanaan sosial adalah perencanaan perundang- undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara. Sehingga meskipun pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, dimasyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Xxxxxxx, 1992).
Beberapa ahli seperti Xxxxxxxx, Xxxx, Xxxxxxx, Xxxxxx, Xxxxxxx dan Xxxx juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer), serta fasilitas- fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan sosial (Xxxxxx, 1986).
Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yangmemiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melaluipenyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Xxxxxxxx, 1965)
Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya-biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial. Kebijakan sosial merupakan strategi-strategi, tindakan-tindakan, atau rencana- rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Xxxxxxx, 1981).
Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (wellare), baik dalam arti luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang menunjuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan kolektif tertentu guna melindungi kesejahteraan rakyat (Xxxxxxx, 1995).
Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan warganya (Hill, 1996). Pengertian dari kata sosial, menunjuk pada manfaat-manfaat atau bantuan-bantuan kesejahteraan sosial (social welfare benefits).
Manfaat dan bantuan kesejahteraan sosial yang tercakup dalam pengertian ini antara lain meliputi; perlindungan sosial (social protection) bagi kelompok-kelompok rentan dan tidak beruntung/jaminan sosial (social security) baik yang berbentuk bantuan sosial (social assistance) maupun asuransi sosial (social insurance)/program pemeliharaan penghasilan/pelayanan kesehatan/ rehabilitasi sosial para penderita cacat, eks narapidana, wanita atau pria tuna susila atau eks penderita penyakit kronis/perawatan kesehatan mental/pendidikan dan pelatihan bagi penganggur/pelayanan bagi manusia yang berusia lanjut/perawatan dan perlindungan anak/konseling perkawinan dan keluarga/serta pelayanan rekreasi dan pengisian waktu luang.
Istilah kebijakan sosial dapat diartikan sebagai kebijakan yang menyangkut aspek sosial dalam pengertian spesifik, yakni yang menyangkut bidang kesejahteraan sosial. Pengertian kebijakan sosial ini selaras dengan pengertian perencanaan sosial sebagaimana yang dikemukakan oleh Xxxxxxx (1992), bahwa perencanaan sosial adalah perencanaan perundang- undangan tentang pelayanan kesejahteraan sosial yang pertama kali muncul di Eropa Barat dan Amerika Utara. Pengertian perencanaan sosial diintegrasikan secara meluas, di masyarakat Barat berkembang anggapan bahwa perencanaan sosial senantiasa berkaitan erat dengan perencanaan kesejahteraan sosial (Xxxxxxx, 1992).
Beberapa ahli seperti Xxxxxxxx, Xxxx, Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxxxxx dan Xxxx (Xxxxxxx, 2005: 10) juga mengartikan kebijakan sosial dalam kaitannya dengan kebijakan kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik (public policy). Kebijakan publik meliputi semua kebijakan yang berasal dari pemerintah, seperti kebijakan ekonomi, transportasi, komunikasi, pertahanan keamanan (militer) serta fasilitas umum lainnya (air bersih, listrik). Kebijakan sosial merupakan suatu tipe kebijakan publik yang diarahkan untuk mencapai tujuan- tujuan sosial (Xxxxxx, 1986), kemudian beberapa pendapat lain mengenai kebijakan sosial:
1. Kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan tindakan yang memiliki dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara melalui penyediaan pelayanan sosial atau bantuan keuangan (Xxxxxxxx, 1986)
2. Kebijakan sosial adalah perencanaan untuk mengatasi biaya sosial, peningkatan pemerataan, dan pendistribusian pelayanan dan bantuan sosial (Rein, 1970).
3. Kebijakan sosial adalah strategi tindakan-tindakan, atau rencana-rencana untuk mengatasi masalah sosial dan memenuhi kebutuhan sosial (Xxxxxxx, 1981)
4. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang berkaitan dengan kesejahteraan (welfare), baik dalam yang luas, yang menyangkut kualitas hidup manusia, maupun dalam arti sempit, yang merujuk pada beberapa jenis pemberian pelayanan koleksi tertentu kaitannya koleksi tertentu guna melindungi kesejahtreraan rakyat (Xxxxxxx, 1995)
5. Kebijakan sosial adalah studi mengenai peranan negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat (Hill. 1996)
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan publik yang bertujuan untuk menangani permasalahan sosial dan dalam pemenuhan kebutuhan sosial bagi masyarakat.
Xxxxxxx (1981), dan Xxxxxxx dan Specht (1986) melihat kebijakan sosial dari tiga sudut pandang, yakni kebijakan sosial sebagai proses (process), sebagai produk (product), dan sebagai kinerja atau capaian (performance). Sebagai suatu proses, kebijakan sosial menunjuk pada tahapan perumusan kebijakan dalam kaitannnya dengan variabel-variabel sosio-politik dan teknik metodologis. Kebijakan sosial merupakan suatu tahapan untuk membuat sebuah rencana tindak (plan of action) yang dimulai dari pengidentifikasian kebutuhan (assessing need), penetapan alternatif-alternatif tindakan, penyeleksian strategi- strategi kebijakan, sampai pada evaluasi terhadap pengimplementasian kebijakan. Xxxxxx (1986) memberi istilah terhadap makna kebijakan sebagai proses ini sebagai
pengembangan kebijakan (policy development) yang maknanya menunjuk pada proses perumusan kebijakan (policy formulation). Sebagai suatu produk, kebijakan sosial adalah hasil dari proses perumusan kebijakan atau perencanaan sosial. Dalam pengertian ini kebijakan sosial mencakup segala bentuk peraturan, perundang-undangan atau proposal program yang berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan berbagai kegiatan atau proyek. Dimensi kedua dari kebijakan ini melihat kebijakan sosial sebagai rumusan strategi (frormulated strategy), atau merujuk pada pendapat Kahn (1973), sebagai suatu rencana induk (standing plan). Perlu dijelaskan di sini bahwa peraturan atau perundang-undangan adalah sebuah kebijakan namun tidak semua kebijakan adalah peraturan atau perundang- undangan, tetapi dapat pula berbentuk naskah kebijakan atau policy paper, atau dalam tradisi negara-negara barat biasanya
dikenal dengan nama white paper dan green paper.
Sebagai suatu kinerja (performance), kebijakan sosial merupakan deskripsi atau evaluasi terhadap hasil-hasil pengimplementasian produk kebijakan sosial atau pencapaian tujuan suatu rencana pembangunan. Kebijakan sosial dalam pengertian ini menyangkut kegiatan analisis untuk melihat dampak atau pengaruh yang terjadi pada masyarakat, baik yang bersifat positif maupun negatif, sebagai akibat dari diterapkannya suatu peraturan, perundang-undangan, atau suatu program. Secara khusus, dimensi ketiga kebijakan sosial ini seringkali diistilahkan dengan analisis kebijakan sosial (social policy analysis).
Di negara-negara barat, kebijakan sosial sebagian besar menjadi tanggung jawab pemerintah. Ini dikarenakan sebagian besar dana untuk kebijakan sosial dihimpun dari masyarakat (publik) melalui pajak. Di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Swedia dan Norwegia serta di negara-negara Eropa Barat seperti Xxxxxxx, Xxxxxx, Inggris, dan Prancis, pelayanan- pelayanan sosial menjadi bagian integral dari sistem negara kesejahteraan (welfare state) yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan dasar di bidang sosial dan medis untuk
segalakelompok usia (anak-anak, remaja, lanjut usia) dan status sosial ekonomi (orangkaya maupun orang miskin).
Terjadinya pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government (pemerintahan) ke governance (tata kelola), kebijakan sosial dipandang bukan lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari ”penguasa orang banyak” yang diidentikkan dengan pemerintah, ke ”bagi kepentingan orang banyak” yang diidentikan dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Para analis kebijakan dan kelompok pemikir yang independent kemudian muncul sebagai profesi baru yang banyak berperan mengkritisi beroperasinya kebijakan sosial dan kemudian mengajukan saran-saran perbaikan demi terwujudnya good governance sejalan dengan menguatnya semangat demokratisasi, civil society dan transparansi.
B. Kebijakan Publik
1. Pengertin Kebijkan Publik
Kebijakan publik menurut Xxxxxx Xxx dalam Understanding Public Policy (1987:17) adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik. Sedangkan menurut Xxxxx X.X Xxxxx dalam Xxxxx (2012:5) kebijakan publik atau kebijakan negara sebagai An sanctioned course of action addressed to particular problem or group of related problems that affect society at large (Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu masalah atau sekolompok masalah tertentu yang saling berkaitan mempengaruhi sebagian besar masyarakat). Pendapat kedua ahli tersebut di atas, kebijkan publik merupakan sesuatu yang dilakukan ataupun tidak dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah publik.
Selanjutnya Xxxxxxxx xxx Xxxxxx (2004: 18) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai a projected program of goals, values and practices (Suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah) dan juga mengemukakan bahwa kebijaksanaan publik sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Berdasarkan pendapat di atas maka dikatakan suatu kebijaksanaan memuat 3 elemen yaitu:
a. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
b. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
c. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Implikasi dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas adalah: pertama, bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kedua, bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat- pejabat pemerintah. Ketiga, bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah. Keempat, bahwa kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Kelima, bahwa kebijakan pemerintah selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
Implikasi lain mengenai kebijakan publik yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas bahwa setidaknya ada empat esensi yang terkandung dalam pengertian kebijakan publik yaitu, pertama kebijakan publik merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah. Kedua, kebijakan publik tidak hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan. Ketiga, kebijakan publik baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan
dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Keempat, kebijakan publik harus senantiasa ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan publik dapat menegaskan bahwa pemerintah yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terssebut diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam apa yang oleh Xxxxx Xxxxxx di sebut sebagai authorities in apolitical system yaitu penguasa dalam suatu sistem politik yang terlibat dalam masalah-masalah sehari-hari yang telah menjadi tanggung jawab atau perannya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat dirumuskan makna kebijakan publik adalah:
a. Segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh Pemerintah.
b. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan perorangan atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administrator publik.
c. Kebijakan publik merupakan kebijakan yang nilai manfaatnya harus senantiasa ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Menurut Xxxxxx (2012: 36), dalam bukunya Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, berpendapat bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang dilakukan suatu pemerintah pada periode tertentu ketika terjadi suatu subyek atau krisis. Sedangkan menurut Xxxxxxxx (2013: 5) dikatakan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga/ badan-badan Pemerintah dan Pejabat-pejabatnya.
Implikasi dari pendapat kedua ahli di atas adalah:
a. Bahwa kebijakan itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau tindakan yang berorientasi pada maksud dan tujuan.
b. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan Pemerintah/Pejabat pemerintah.
c. Bahwa kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan Pemerintah.
d. Bahwa kebijakan itu berdasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang bersifat memaksa.
Pakar lain Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxx (1980: 5-6) mengatakan bahwa kebijakan publik berarti serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana untuk mencapai tujuan tersebut. Namun dalam konteks kebijakan publik ini, seperti dirangkum Xxxxxxxx (2012:23- 24) menyatakan, bahwa kedua ahli tersebut menyatakan sebagai semua pilihan atau tindakan dan melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan kebijakan, yaitu: (1) perumusan kebijakan; (2) pelaksanaan kebijakan; (3) penilaian kebijakan atau evaluasi.
Pandangan para ahli tersebut, menunjukkan bahwa makna kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan pemerintah guna melaksanakan suatu kegiatan yang diawali dari pembuatan atau perumusan, pelaksanaan dan penilaian atau evaluasi kebijakan. Mengacu pada pandangan dari beberapa pakar kebijakan publik, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan penataan reklame yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru merupakan langkah kebijakan publik dengan dasar hukum Peraturan Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak reklame.
2. Proses Kebijkan Publik
Menurut Xxxx (1981: 35) proses kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Sedangkan Winarno (2012:35) mengemukakan bahwa proses
pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Proses-proses penyusunan kebijakan publik tersebut dibagi ke dalam beberapa tahapan. Tahapan- tahapan kebijakan publik adalah sebagai berikut:
a. Tahap Penyusunan Agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Sebelumnya masalah-masalah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk dapat masuk ke dalam agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus kebijakan. Pada tahap ini suatu masalah mungkin tidak disentuh sama sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan- alasan tertentu ditunda untuk waktu yang lama.
b. Tahap Formulasi Kebijakan
Xxxxxxx telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives / policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.
c. Tahap Adopsi Kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.
d. Tahap Implementasi Kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, keputusan program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksana- kan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.
e. Tahap Evaluasi Kebijakan
Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan.
Pemaparan tentang tahap kebijakan yang telah diuraikan di atas menunjukan bahwa tahap kebijakan tersebut merupakan suatu proses yang saling terkait yang mempengaruhi satu sama lain. Tahap awal adalah penyusunan agenda, dalam tahap tersebut dilakukanya identifikasi persoalan (masalah) publik yang akan dibahas dalam tahap berikutnya, yaitu formulasi. Setelah diformulasikan, pada tahap adopsi akan dipilih alternatif yang baik agar dijadikan solusi bagi pemecahan masalah publik. Kebijakan yang telah diputuskan dan disahkan akan diimplementasikan untuk meraih tujuan awal yang ditentukan. Pada tahap akhir, evaluasi kebijakan. Pada penelitian ini merupakan tahap akhir dari tahap-tahap kebijakan di atas, penelitian ini akan menilai ketepatan, manfaat, dan efektivitas hasil kebijakan yang telah dicapai melalui implementasi dan kemudian dibandingkan dengan tujuan kebijakan yang telah ditentukan.
3. Analisis Kebijakan Publik
Dunn (1981:96) berpendapat analisis kebijakan merupakan: Suatu bentuk analisis yang mengahasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan dalam analisa kebijakan, kata analis digunakan dalam pengertian yang paling umum, termasuk penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah komponen tetapi juga perancangan dan sintesa alternatif-alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pandangan- pandangan terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipatif sampai mengevaluasi suatu program yang lengkap. Beberapa analisis kebijakan bersifat informal, meliputi tidak lebih proses berfikir yang keras dan cermat, sementara yang lainnya memerlukan pengumpulan data yang ekstensif dan penghitungan yang teliti dengan menggunakan proses matematis yang canggih.
Selain itu menurut Xxxx (1981:97), analisis kebijakan: Analisis kebijakan merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan secara konseptual tidak termasuk menggumpulkan informasi.
Sejalan dengan pendapat di atas, Xxxxxx dan Xxxxxxx (2006: 91) mengatakan: Analisis kebijakan adalah evaluasi sistematis yang berkenaan dengan fisibilitas teknis dan ekonomi serta viabilitas politis alternatif kebijakan, strategi implementasi kebijakan, dan adopsi kebijakan. Analis kebijakan yang baik mengintegrasikan informasi kualitatif dan kuntitatif, mendekati permasalahan dari berbagai
persfektif, dengan menggunakan metode yang sesuai untuk menguji fisibilitas dari opsi yang ditawarkan.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, maka dapat dinyatakan dapat mengkaji sesuatu masalah public diperlukan teori, informasi dan metodologi yang relevan dengan identifikasi masalah akan tepat dan akurat. Suatu kebijakan selalu mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah publik. Analis kebijakan harus dapat jelas, realistis dan terukur. Analisis memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif-alternatif. Hal-hal yang sifat ekonomi (efisiensi) politik (konsensus antar stakeholder), administrasif (kemungkinan efektif yang menyangkut nilai- nilai abstrak yang fundamental seperti etika dan falafah (equity, equality).
Xxxx (1981: 117-124) mengelompokkan bentuk- bentuk Analisis Kebijakan sebagai berikut:
a. Analisis Kebijakan Prospektif
Berupa produksi dan transpormasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan di implementasikan cenderung mencari cara beroprasinya para ekonom, analis sistem dan peneliti operasi.
b. Analisis kebijakan Retrosfektif
Analisis ini dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis:
1) Analis yang berorentasi pada disiplin, sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik dan sosiologi, yang mengembangkan dan menguji teori yang menerangkan sebab-sebab dan konsekwensi kebijakan.
2) Analis yang berorentasi pada masalah (Problem- Orentid analyst) Kelompok ini sebagian besar berusaha menerangkan sebab-sebab dan konsekwensi kebijakan, tetapi kurang menaruh perhatian pada pada
pengembangan dan pengujian teori yang dianggap penting dalam ilmu sosial.
3) Analis yang berorintasi pada aplikasi (Aplication- orented) kelompok analis yang umumnya dari Ilmuan Politik, Sosiologi, pekerja sosial dan Administarsi Publik dan Penelitian Evaluasi. Berusaha menerangkan sebab-sebab dan konsekwensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. lebih jauh tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan publik dari para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan.
Analisis kebijakan retrosfektif seperti yang dikemukakan Xxxx di atas menunjukan bahwa analisis kebijakan meliputi analisis yang berorientasi pada disiplin, pada masalah, dan pada aplikasi. Orientasi pada disiplin lebih menekankan pada disiplin ilmu, sedangkan orientasi pada masalah lebih menekankan pada penyebab terjadinya masalah dan orientasi pada aplikasi lebih berfokus pada konsekuensi atau dampak dari kebijakan yang telah dibuat.
c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi
Mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transpormasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Menurut para analis setiap saat terus menerus mentranspormasikan dan mengahasilkan informasi. Kegiatan analis ini berulang-ulang terus menerus tanpa ujung sebelum masalah kebijakan yang memuaskan ditemukan.
Berdasarkan beberapa bentuk analisis kebijakan yang ada, penulis berkecendrungan untuk terlibat dalam analisis kebijakan retrosfektif yang berorentasi pada aplikasi dimana
penulis menekankan pada implementasi dari kebijakan dan dampak yang dimunculkan dari kebijakan tersebut.
C. Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Publik
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan kebijakan sosial adalah bisa dipandang sebagai satu bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Xxxxxxx, xx.xx, (2006: 4): In short, social policy refers to what governments do when they attempt to improve the quality of people’s live by providing a range of income support, community services and support programs. Artinya, kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya.
Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan), dan pengempangan (developmental). Kebijakan sosial adalah ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak sosial warganya (Xxxxxxx, 2005).
Dalam garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan sosial, dan sistem perpajakan (Xxxxxxx, 2000). Berdasarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap perundang- undangan, hukum atau peraturan daerah yang menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial berbentuk perundang-undangan.
1. Peraturan dan perundang-undangan. Pemerintah memiliki kewenangan membuat kebijakan publik yang mengatur pengusaha, lembaga pendidikan, perusahaan swasta agar mengadopsi ketetapan-ketetapan yang berdampak langsung pada kesejahteraan.
2. Program pelayanan sosial. Sebagian besar kebijakan diwujudkan dan diaplikasikan dalam bentuk pelayanan sosial yang berupa bantuan barang, tunjangan uang, perluasan kesempatan, perlindungan sosial, dan bimbingan sosial (konseling, advokasi, pendampingan).
3. Sistem perpajakan. Dikenal sebagai kesejahteraan fiskal. Selain sebagai sumber utama pendanaan kebijakan sosial, pajak juga sekaligus merupakan instrumen kebijakan yang bertujuan langsung mencapai distribusi pendapatan yang adil.
Kebijakan sosial seringkali melibatkan program-program bantuan yang sulit diraba atau dilihat secara kasat mata (intangible aids). Karenanya, masyarakat luas kadang-kadang sulit mengenali kebijakan sosial dan membedakannya dengan kebijakan publik lainnya. Secara umum, kebijakan publik lebih luas daripada kebijakan sosial. Kebijakan transportasi, jalan raya, air bersih, pertahanan dan keamanan merupakan beberapa contoh kebijakan publik. Sedangkan kebijakan mengenai jaminan sosial, seperti bantuan sosial dan asuransi sosial yang umumnya diberikan bagi kelompok miskin atau rentan, adalah contoh kebijakan sosial.
Setiap negara memiliki perbedaan dalam mengkategorikan kebijakan publik dan kebijakan sosial. Di Inggris misalnya, kebijakan mengenai air bersih termasuk pada kebijakan sosial. Di China, kebijakan sosial mencakup pemberian makanan dan pakaian kepada masyarakat yang kurang mampu. Sedangkan di Belanda, kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activities) merupakan bagian penting dari kebijakan sosial (Xxxxxxx, 1995).
Sebagaimana dibahas secara lebih detail dalam buku penulis yang lain, Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial (Xxxxxxx, 2007), kebijakan sosial sejatinya merupakan kebijakan kesejahteraan (welfare policy), yakni kebijakan pemerintah yang secara khusus melibatkan program-program pelayanan sosial bagi kelompok- kelompok kurang beruntung (disadvantegd groups), yakni para Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS), seperti keluarga miskin, anak telantar, pekerja anak, korban HIV/AIDS, penyalahguna Narkoba dan kelompok-kelompok rentan lainnya, baik secara ekonomi maupun psikososial.
Indonesia merupakan negara yang menganut model negara kesejahteraan (Xxxxxxx, 2007) namun Kebijakan sosial atau Kebijakan kesejahteraan sosial di Indonesia seringkali dipandang sebagai bagian dari Kebijakan Publik atau dengan kata lain posisinya tidak lebih penting dari Kebijakan-kebijakan (publik) di bidang ekonomi, pertahanan dan keamanan, kesehatan dan pendidikan. Lebih buruk lagi adalah pandangan mengenai kebijakan sosial sebagai langkah pengamanan apabila kebijakan publik di bidang lainnya membawa dampak negatif menurunnya kemampuan masyarakat sehingga kebijakan sosial digunakan sebagai jaring pengaman untuk mencegah terjadinya aksi sosial atau bahkan mungkin revolusi. Kebijakan sosial di Indonesia belum dirasakan dan dibutuhkan sebagai kebijakan publik karena selama ini kebijakan sosial lebih diarahkan untuk menangani permasalahan residual, rehabilitasi dan bantuan. Kebijakan sosial di Indonesia masih dijabarkan sebagai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 34 (sebelum amandemen) dalam arti sempit dan implementasinya dilakukan dalam sedikit sekali kegiatan dengan anggaran yang sangat terbatas, seperti penyelenggaraan panti-panti sosial untuk anak terlantar atau lanjut usia terlantar atau bantuan-bantuan yang bersifat stimulan bagi keluarga fakir miskin. Yang lebih memprihatinkan lagi, kebijakan sosial yang relatif sedikit dan terbatas itupun tidak memiliki daya ungkit terhadap masyarakat lemah yang menjadi sasarannya dan justru
pihak-pihak pengambil keputusan dan pelaksana kebijakanlah yang diuntungkan, baik dari sisi nama baik maupun keuntungan materiil. Keprihatinan penulis terhadap masih lemahnya kebijakan sosial di Indonesia mendorong penulis untuk menyampaikan sedikit ulasan mengenai kebijakan sosial yang belum berpihak kepada masyarakat lemah.
Kebijakan publik dengan berbagai pengertiannya, sesungguhnya tetap mempunyai arah dan tujuan yang sama, yaitu untuk membawa kebaikan terutama bagi masyarakat yang lemah. Kebijakan publik bisa bertujuan untuk membawa kebaikan bagi seluruh warga negara tetapi bisa juga ditujukan untuk sebagian saja, misalnya kebijakan publik di bidang pendidikan yang dikenal dengan wajib belajar pendidikan dasar (9 tahun) berlaku untuk seluruh anak Indonesia yang berusia 7 sampai 15 tahun sedangkan kebijakan publik di bidang rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana hanya diperuntukkan bagi masyarakat yang menjadi korban bencana. Beberapa pengertian kebijakan publik menurut pendapat para ahli adalah sebagai berikut :
1. Dalam buku ‘Kebijakan Sosial sebagai Kebijakan Xxxxxx’ yang ditulis oleh Xxxxxxx (2007) dikemukakan bahwa Kebijakan (policy) adalah sebuah instrumen pemerintahan yang tidak saja diartikan sebagai ‘government (menyangkut aparatur negara) tetapi juga ‘governance’ yang menyangkut pengelolaan sumber daya publik.
2. Masih dalam buku yang sama, Xxxxxxx mengutip pendapat ahli (Xxxxxxxx and Xxxxx, 2005) bahwa kebijakan publik pada umumnya mengandung pengertian mengenai apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
3. Xxxxxxx (2007) juga mengemukakan pendapat Hogwood dan Xxxx (1990) yang menyatakan bahwa kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu.
4. Menurut Xxxxxx Xxxxxxxx (1971) yang dikutip oleh Xxxx Xxxxxxx (2007), kebijakan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.
5. Xxxxxxx Xxxx (1969) menyarankan agar kebijakan dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta konsekuensi-konsekuensinya bagi mereka yang bersangkutan daripada sebagai suatu keputusan tersendiri (Winarno, 2012).
Dari beberapa definisi di atas, penulis melihat beberapa unsur utama dalam kebijakan publik, yaitu :
1. Merupakan instrumen atau seperangkat atau serangkaian tindakan pemerintahan.
2. Merupakan pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
3. Ditetapkan untuk mencapai hasil-hasil tertentu.
4. Terdapat sejumlah konsekuensi yang akan berdampak pada banyak orang.
Penulis sendiri mencoba merumuskan kebijakan publik sebagai suatu alternatif rencana tindakan yang dipilih untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan oleh suatu masalah sekaligus meningkatkan kemampuan orang (individu, kelompok dan masyarakat) untuk mengatasi resiko tersebut.
Mencermati apa yang ditulis oleh Xxxxxxx (2007) mengenai Dimensi kebijakan publik, maka unsur-unsur kebijakan sebagaimana telah dikemukakan ternyata terdapat pada setiap dimensi kebijakan publik, baik dimensi kebijakan publik sebagai tujuan, sebagai pilihan tindakan yang legal maupun sebagai hipotesis. Lebih jauh, penulis ingin memberikan pendapat mengenai unsur konsekuensi yang diakibatkan oleh penetapan suatu kebijakan. Tidak dapat dipungkiri bahwa penetapan suatu kebijakan publik akan membawa dampak terhadap masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh, kebijakan publik untuk memberi perhatian besar di bidang pertahanan dan
keamanan akan menyebabkan banyak anggaran negara yang terserap ke bidang tersebut dan (mungkin) akan mengurangi alokasi anggaran untuk bidang lainnya. Apabila anggaran atau subsidi pemerintah dikurangi di bidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi maka biaya pendidikan, kesehatan dan harga- harga kebutuhan pokok akan meningkat sehingga beban masyarakat akan bertambah. Kebijakan publik di bidang pertahanan dan keamanan mungkin membawa konsekuensi yang tidak berpihak pada masyarakat lemah namun setiap warga negara Indonesia juga perlu berjiwa besar dan memandang dengan jernih bahwa kebijakan tersebut memberikan dampak positif yaitu peningkatan pertahanan dan keamanan bangsa dan negara Indonesia terhadap berbagai ancaman dari luar negeri dan bahwa setiap warga negara diharapkan meningkatkan kemampuannya sehingga dapat ikut berpartisipasi dengan berbagai cara untuk mempertahankan keamanan dan keutuhan bangsa ini.
Pendapat kebijakan sosial sebagai kebijakan publik juga dikemukakan oleh Xxxxxxx, xx.xx, (2006) menyatakan bahwa kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup manusia melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya (Xxxxxxx, 2007). Meskipun kebijakan sosial merupakan kebijakan publik tetapi kebijakan sosial tidak sepopuler kebijakan di bidang lainnya. Hal ini terjadi tidak saja di Indonesia tetapi hampir di semua negara. Kebijakan sosial dipandang sebagai kebijakan tambahan yang perlu ditetapkan apabila konsekuensi suatu kebijakan di bidang lain membawa dampak (positif maupun negatif) atau membawa masalah baru bagi masyarakat. Sebagai contoh, keberhasilan penerapan kebijakan bidang kesehatan yang membawa konsekuensi positif terhadap meningkatnya usia harapan hidup manusia menyebabkan meningkatnya populasi lanjut usia. Peningkatan populasi lanjut usia ini kemudian dipandang sebagai suatu masalah sosial karena sebagian besar lanjut usia tersebut tidak
produktif dan tidak mampu mengurus dirinya sendiri. Kebijakan sosial untuk menangani permasalahan lanjut usia sebagaimana kemudian ditindaklanjuti dengan penetapan Undang-undang tentang Lanjut Usia dan program-program pelayanan bagi lanjut usia lebih terkesan sebagai upaya penanganan yang menggunakan pola pelayanan residual. Penulis berpendapat bahwa lebih baik kebijakan sosial untuk penanganan lanjut usia diarahkan dan ditindaklanjuti dengan program-program penyiapan individu, kelompok dan masyarakat menghadapi masa tua dengan kehidupan yang mapan atau peningkatan nilai-nilai sosial budaya dan peningkatan kemampuan masyarakat untuk memberikan pelayanan bagi lanjut usia.
Namun demikian, perlu diingat kebijakan sosial bukanlah kebijakan publik yang dapat membuat seorang pemimpin atau pejabat penting negara menjadi populer. Di samping itu, konsekuensi logis yang paling terasa dalam penerapan kebijakan sosial adalah terjadinya pengeluaran anggaran negara yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang dapat langsung dirasakan (benefit), tidak seperti halnya dalam penetapan kebijakan di bidang ekonomi. Oleh karena itu, Pemerintahan Indonesia sejak merdeka sampai dengan sekarang belum merasa perlu untuk memberi perhatian khusus atau menetapkan berbagai kebijakan sosial. Penulis setuju dan sangat menghargai apa yang digambarkan oleh Xxxxxxx (2007) bahwa Indonesia telah memiliki kebijakan-kebijakan sosial sejak awal masa kemerdekaan. Penulis juga setuju serta memberikan apresiasi terhadap diamandemennya UUD NRI 1945 Pasal 34 dan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tetapi sejauh ini penulis memandang bahwa kebijakan sosial belum sepenuhnya mendapat tempat sebagai kebijakan publik yang ditetapkan Pemerintah untuk membantu masyarakat lemah dan implementasi kebijakan sosial di negara ini belum mempunyai daya ungkit terhadap peningkatan kesejahteraan sosial warga negaranya.
Berbagai kebijakan sosial yang ditetapkan oleh pemerintah di Indonesia lebih banyak diwarnai oleh nuansa bidang ekonomi. Salah satu contoh adalah berbagai implementasi kebijakan sosial yang diarahkan kepada pola bantuan usaha ekonomi produktif atau kelompok usaha bersama (KUBE). Filosofi dan ideologi kebijakan sosial yang melahirkan berbagai program pemberian bantuan tersebut mungkin baik tetapi tanpa didukung dengan kebijakan sosial untuk menyadarkan masyarakat terhadap hak asasinya sebagai manusia, kebijakan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat menyatakan kebutuhannya, kebijakan untuk menggali potensi yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri serta kebijakan untuk menyiapkan masyarakat dalam mengelola bantuan yang diberikan maka berbagai program bantuan yang diberikan menjadi sia-sia. Kebijakan sosial juga tidak dapat diterapkan tanpa didukung kebijakan di bidang lainnya. Sebagai contoh, kebijakan untuk memberikan bantuan langsung tunai bagi masyarakat miskin pasca naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) tidak akan pernah berhasil karena tidak ada kebijakan di bidang pendidikan (misalnya biaya sekolah yang murah), kebijakan bidang tenaga kerja (menciptakan lapangan pekerjaan) dan berbagai kebijakan lainnya. Penulis menilai bahwa kebijakan pemberian bantuan langsung tunai (BLT) yang ditetapkan oleh Pemerintah lebih kepada upaya meredam gejolak dan aksi sosial masyarakat. Penulis melihat penetapan kebijakan sosial untuk pemberian bantuan langsung tunai sebagai “keputusan dalam kesempitan” yang ditetapkan Pemerintah untuk menghindari hal-hal negatif yang tidak diinginkan, antara lain : kemungkinan terjadinya revolusi. Pemerintah tentunya belajar dari pengalaman jatuhnya rezim orde lama yang utamanya disebabkan oleh kondisi perekonomian negara yang carut marut dan jatuhnya rezim orde baru pasca krisis moneter tahun 1997- 1998.
Hal yang paling ironi yang penulis lihat dari berbagai implementasi kebijakan sosial adalah pemberian bantuan yang
tidak membuat fakir miskin menjadi kaya (atau sekurang- kurangnya tidak lagi miskin) tetapi justru membuat segelintir orang menjadi semakin makmur. Pemberian bantuan yang harus diberikan dalam bentuk barang (paket usaha kios, hewan ternak, alat dan bibit pertanian, alat-alat otomotif dan lain sebagainya) yang penyediaannya harus melalui pihak ketiga hanya membuat panitia pengadaan (panitia lelang) dan penyedia barang atau jasa (rekanan) menjadi kaya. Bantuan yang disediakan lebih sering tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tidak sesuai dengan spesifikasi dan bahkan tidak sampai ke tangan masyarakat. Dengan dalih sesuai peraturan perundang-undangan maka bantuan yang disediakan melalui pihak ketiga pun harus dikenai segala bentuk pajak yang berlaku. Bantuan senilai Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) untuk 1 kelompok yang terdiri dari 10 KK setelah melalui berbagai proses pelelangan dan pemajakan hanya akan bernilai tidak lebih dari Rp. 3.500.000,- (tiga juta lima ratus ribu rupiah) di tangan suatu kelompok keluarga fakir miskin. Penulis menilai bahwa implementasi kebijakan sosial yang berujung bantuan tersebut hanya merupakan “kesempatan dalam kesempitan”. Sungguh tidak adil, bantuan untuk fakir miskin masih harus dikenai pajak sementara orang-orang kaya dapat membeli lebih banyak mobil baru karena Pemerintah lebih memilih untuk menurunkan nilai pajak kendaraan bermotor demi menjaga prestise di mata pasar dunia dan teknologi.
Pasca otonomi daerah, Pemerintah di berbagai tingkatan wilayah bukan hanya tidak memberi perhatian terhadap issu- issu sosial yang terjadi tetapi bahkan memandang kebijakan sosial sebagai kebijakan yang akan terlaksana dengan sendirinya secara lancar apabila kebijakan di bidang ekonomi dan lain-lain berhasil diterapkan. Hal ini terbukti dari banyaknya Panti-panti sosial yang ditutup, minimnya anggaran daerah untuk pembangunan bidang kesejahteraan sosial dan dihapus atau dileburnya instansi-instansi sosial di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Penulis menyadari bahwa kebijakan sosial tidak identik dengan Dinas Sosial tetapi perlu rasanya untuk
menyamakan persepsi bahwa Dinas Sosial merupakan salah satu implementasi dari kebijakan sosial dan merupakan instrumen untuk melaksanakan kebijakan sosial itu sendiri.
Penulis diingatkan kembali melalui tulisan Xxxxxxx (2007) bahwa pelayanan sosial mencakup berbagai sektor, yaitu jaminan sosial, perumahan, kesehatan, pendidikan dan pelayanan sosial personal. Pengertian ini membuat penulis harus menyadari betul bahwa kebijakan sosial tidak hanya diimplementasikan dalam bentuk pemberian bantuan bagi anak terlantar, korban narkotika, penyandang cacat atau fakir miskin. Kebijakan sosial memiliki fungsi pencegahan, penyembuhan dan pengembangan. Dinas Sosial di berbagai daerah mungkin lebih banyak melaksanakan fungsi penyembuhan (rehabilitasi) daripada fungsi lainnya sehingga masyarakat kurang percaya bahwa Instansi ini mampu melakukan dua fungsi lainnya (apabila didukung oleh Pemerintah yang berkuasa). Sudah saatnya Pemerintah mempertimbangkan bahwa fungsi kebijakan sosial untuk pencegahan dan pengembangan perlu didukung sepenuhnya dengan anggaran yang memadai, tenaga-tenaga pelaksana yang profesional dan tahapan pencapaian tujuan yang dapat diukur. Kebijakan sosial memang tidak memberikan kontribusi material (benefit) langsung kepada negara dan masyarakat tetapi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat di suatu negara akan membawa peningkatan di berbagai bidang lainnya. Kebijakan sosial bukan milik Dinas Sosial tetapi sebaliknya, dengan adanya kebijakan sosial maka dibentuklah Dinas-dinas Sosial di berbagai daerah. Dengan paradigma baru di orde reformasi, tidaklah penting untuk menamai Instansi yang menjadi pelaksana kebijakan sosial sebagai ‘dinas sosial’tetapi yang lebih penting adalah menetapkan kebijakan sosial yang berpihak kepada masyarakat lemah dan mendukung implementasinya dengan perangkat (instansi, aparat atau tenaga pelaksana dan anggaran) yang memadai.
BAB II
TEORI DAN KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN
A. Teori Negara Kesejahteraan
Teori Welfare State (Teori Negara Kesejahteraan) awalnya muncul dari teori hukum alam atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Xxxxx (427-347 SM), Xxxxxxxxxxx (384-322 SM), dan Xxxx (333-262 SM). Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral (Xxxxxxxx, 2007: 18).
Hukum alam menurut Xxxxxx Xxxxxxx adalah ketentuan akal yang bersumber dari Tuhan yang bertujuan untuk kebaikan dan dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat untuk disebarluaskan. Eksistensi dam konsep hukum alam selama ini, masih banyak dipertentangkan dan ditolak oleh sebagian besar filosof hukum, tetapi dalam kanyataannya justru tulisan-tulisan pakar yang menolak itu, banyak menggunakan faham hukum alam yang kemungkinan tidak disadarinya. Salah satu alasan yang mendasari penolakkan sejumlah filosof hukum terhadap hukum alam, karena mereka masih mengganggap pencarian terhadap sesuatu yang absolut dari hukum alam, hanya merupakan suatu perbuatan yang sia-sia dan tidak bermanfaat (Xxxxxx Xxx, 2004: 116).
Terjadi perbedaan pandangan para filosof tentang eksistensi hukum alam, tetapi pada aspek yang lain juga menimbulkan sejumlah harapan bahwa pencarian pada yang “absolut” merupakan kerinduan manusia akan hakikat keadilan. Hukum alam sebagai kaidah yang bersifat “universal, abadi, dan berlaku mutlak”, ternyata dalam kehidupan modern sekalipun tetap akan eksis yang terbukti dengan semakin
banyaknya orang membicarakan masalah hak asasi manusia (Xxxxxx Xxx, 2004: 116).
Hukum abadi adalah kebijakan atau rencana abadi Tuhan berkaitan dengan pencarian alam semesta atau dunia dengan segala isinya. Hukum kodrat adalah perwujudan kebijaksanaan atau rencana abadi tadi dalam kodrat manusia. Hukum manusia adalah ketentuan tertentu dari akal budi manusia demi kepentingan bersama yang dibuat oleh orang yang peduli terhadap komunitas dan diberlakukan secara merata bagi semua orang. Selanjutnya hukum ini harus memenuhi syarat formal dan material tertentu. Secara formal hukum manusia harus adil dan dimaksudkan untuk kesejahteraan manusia. Secara materiil: pertama, hukum manusia sah kalau begitu saja mengungkapkan hukum kodrat; kedua, hukum manusia sah kalau merupakan kesimpulan logis dari hukum kodrat; ketiga, hukum manusia sah kalau memberi keterangan dalam hal yang memang harus di atur, tetapi dari segi hukum kodrat masih tetap terbuka kepada pengaturan mana yang mau dipilih (Xxxxxxxx, 2011: 85). Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban (Supanto, 2021). Perkembangan masyarakat akan mengakibatkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum semakin kompleks. Banyak pakar-pakar filsafat hukum yang melahirkan aliran atau mashab. Salah satunya adalah aliran Utilitarianisme. Penganut aliran ini menganggap bahwa tujuan hukum adalah memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat
(the greatest happiness of the greatest number of people).
Aliran Utilitarianisme merupakan aliran yang melihat tujuan hukum sebagai kemanfaatan bagi masyarakat. Tokoh- tokoh aliran ini adalah Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx Xxxx dan
Xxxxxx xxx Xxxxxxx. Teori utilitas (utilitarisme) yang dipelopori oleh Xxxxxx Xxxxxxx selanjutnya dikembangkan oleh Xxxx Xxxxxx Xxxx. Xxxxxx Xxxxxxx yang dikutip Saphiro menyebutkan:
Alam telah menempatkan umat manusia di bawah kendali dua kekuasaan, rasa sakit dan rasa senang. Hanya keduanya yang menunjukkan apa yang seharusnya kita lakukan, dan menentukan apa yang akan kita lakukan. Standar benar dan salah di satu sisi, maupun rantai sebab akibat pada sisi lain, melekat erat pada dua kekuasaan itu. Keduanya menguasai kita dalam semua hal yang kita lakukan, dalam semua hal yang kita ucapkan, dalam semua hal yang kita pikirkan : setiap upaya yang kita lakukan agar kita tidak menyerah padanya hanya akan menguatkan dan meneguhkannya (Saphiro, 2006: 13).
Xxxxxxx menjelaskan lebih lebih jauh bahwa asas manfaat melandasi segala kegiatan berdasarkan sejauh mana tindakan itu meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan kelompok itu; atau, dengan kata lain meningkatkan atau melawan kebahagiaan itu (Saphiro, 2006: 14). Utilitarisme disebut lagi suatu teleologis (dari kata Yunani telos= tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa-apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik (Xxxxxxx, 2007: 67). Teori utilitas merupakan pengambilan keputusan etika dengan pertimbangan manfaat terbesar bagi banyak pihak sebagai hasil akhirnya (the greatest happiness for the greatest number). Artinya, bahwa hal yang benar didefenisikan sebagai hal yang memaksimalisasi apa yang baik atau meminimalisir apa yang berbahaya bagi kebanyakan orang. Semakin bermanfaat pada semakin banyak orang, perbuatan itu semakin etis. Dasar moral dari perbuatan hukum ini bertahan paling lama dan relatif paling banyak digunakan. Utilitarianisme (dari kata utilis berarti manfaat) sering disebut pula dengan aliran konsekuensialisme karena sangat berorientasi pada hasil perbuatan (Ernawan, 2007: 93).
Dalam utilitarian ada dua esensi mengenai hukum itu sendiri, yaitu tujuan hukum dan wujud keadilan adalah untuk mewujudkan the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk sebanyak- banyaknya orang). Kemudian menurut Xxxxxxx, tujuan perundang-undangan adalah untuk menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat, sehingga perundang-undangan harus memenuhi 4 tujuan, yaitu (a) to provide subsitence (untuk memberi nafkah hidup); (b) to provide abundance (untuk memberikan makanan yang berlimpah); (c) to provide security (untuk memberikan perlindungan); (d) to attain equility (untuk mencapai persamaan. Jadi salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat (Xxxxxx Xxx, 1996: 267). Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya hukum dapatt melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam masyarakat. Dengan perlindungan hukum yang pokok, akan terwujud tujuan hukum secara umum yakni ketertiban, keamanan, ketentraman, kedamaian, kebenaran, keadilan, kesejahteraan.
Dalam Teori Negara Hukum Kesejahteraan disebutkan bahwa sejarah kelahiran Teori Negara Kesejahteraan menjadi landasan dan kedudukan dan fungsi pemerintahan dalam konsep negara modern (Utrecht, 2008: 28). Negara kesejahteraan merupakan antitesis dari negara hukum formal (klasik), yang dilandasi pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggaraan kekuasaan negara. Konstruksi intelektual yang menandai sebuah teori negara kesejahteraan memiliki tujuan pokok antara lain: pertama, mengontrol dan mendayagunakan sumber daya sosial ekonomi untuk kepentingan publik; kedua, menjamin pendistribusian kekayaan secara adil dan merata; ketiga, mengurangi kemiskinan; keempat, menyediakan asuransi sosial bagi masyarakat miskin; kelima, menyediakan subsidi untuk layanan sosial bagi disadvantage people; keenam, memberikan proteksi bagi setiap warga negara
(Alhumami, 2005). Dari tujuan negara modern tersebut, dapat dimaknai bahwa teori negara kesejahteraan tidak semata-mata berorientasi untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara, akan tetapi lebih menekankan pada upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Berkaitan dengan negara kesejahteraan, Xxxxxxx (2000: 6) menyatakan bahwa welfare state adalah a state which benefits its citizen in accordance with certain set of principles, from cradle to grave. Fungsi negara semacam itulah yang menjadi keharusan bagi peran kontekstual negara-negara modern. Pergeseran konsep ini sekaligus mengubah skema peran sosial pemerintah yang semula sekedar subordinate terhadap legislasi parlemen, menjadi berperan aktif untuk mampu mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan melalui kebijakan regulasi operasional dan berbagai diskresi untuk tujuan mencegah menajamnya kesenjangan sosial serta mengupayakan terwujudnya social welfare.
Berkaitan dengan konsep negara kesejahteraan yang merupakan revisi dari konsep negara pasif, Xxxxxxxxxx (2004: 223) menguraikan bahwa dalam konsep negara kesejahteraan, negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi negara intervensionis abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Melalui intervensi ini, fungsi negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada di luar jangkuan fungsi negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan sosial kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus, seperti social security, kesehatan, kesejahteraan sosial, pendidikan dan pelatihan serta perumahan. Di samping itu, kegiatan intervensi negara itu juga meluas sampai pada pengaturan terhadap berbagai aktivitas masyarakat, baik secara individual maupun badan-badan koletif (corporate bodies) untuk
maksud mengubah kondisi hidup dan kehidupan individu dan kelompok penduduk secara relatif cepat.
Mengomentari konsep negara pengurus versi Bung Xxxxx, Xxxxxxxxxxx (2004: 227) lebih jauh berpendapat bahwa kecenderungan intervensionistis ini muncul dan berkembang di mana-mana, termasuk di negara-negara baru yang muncul sebagai akibat proses dekolonisasi global pada abad ke-20. Indonesia, tak terkecuali, juga dipengaruhi oleh gagasan negara kesejahteraan ini. Seperti dikemukakan oleh Hatta dalam sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, negara Indonesia yang akan didirikan dengan konstitusi yang sedang mereka rumuskan dalam sidang BPUPKI itu adalah negara pengurus. Apa yang dimaksudkan oleh Hatta dengan negara pengurus itu, tidak lain adalah negara kesejahteraan atau welfare state. Hal ini tercermin dalam rumusan UUD NRI 1945, yaitu dalam Bab XIV mengenai kesejahteraan sosial. Dengan demikian, pada abad ke-20 ini konsep negara kesejahteraan ini menjadi populer, dan secara cepat mempengaruhi cara kerja berbagai pemerintah di seluruh penjuru dunia.
Jadi, perspektif teori negara kesejahteraan lebih menekankan kepada negara agar berperan secara aktif dalam mengelola dan mengorganisasi dan mengelola perekonomian yang di dalamnya mencakaup tanggung jawab negara untuk menjamin ketersediaan pelayanan kesejahteraan dasar dalam tingkat tertentu bagi warga negara. Dari uraian tersebut dapat dirumuskan konsep kesejahteraan umum sebagai “keseluruhan perasyarat-prasarat sosial yang memungkinkan atau mempermudah manusia untuk mengembangkan semua nilainya”, atau sebagai ”jumlah semua kondisi kehidupan sosial yang diperlukan agar masing-masing individu, keluarga- keluarga, dan kelompok-kelompok masyarakat dapat mencapai kebutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih utuh dan cepat” (Suseno, 2003: 314).
Berdasarkan uraian tentang teori negara kesejahteraan, jika dihubungkan dengan cita-cita negara Indonesia yang menjatuhkan pilihan pada negara kesejahteraan. Hal tersebut
tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 menegaskan bahwa ”Pemerintahan melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Para pendiri negara dalam menjatuhkan pilihan negara kesejahteraan, dilandasi alasan-alasan yang sekaligus menjadi alat ukur kesuksesan dalam menjalankan sistem negara kesejahteraan, sebagai berikut: pertama, untuk mempromosikan efisiensi ekonomi; kedua, untuk mengurangi kemiskinan; ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (social equality); keempat, mempromosikan integritas sosial atau menghindarkan eksklusif sosial; kelima, mempromosikan stabilitas sosial; dan keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian individu (Tim Peneliti PSIK Universitas Paramadina, 2008: 21-22).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri utama negara kesejahteraan adalah munculnya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warganya. Dengan kata lain, ajaran welfare state merupakan bentuk konkrit dari peralihan prinsip staatsonthouding, yang membatasi peran negara dan pemerintah untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, menjadi staatsbemoeienis yang menghendaki negara dan pemerintah terlibat aktif dalam kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan kesejahteraan umum, disamping menjaga ketertiban dan keamanan.
B. Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Besarnya perhatian atas isu negara kesejahteraan (welfare state), mengingat bahwa negara kesejahteraan (welfare state) dianggap sebagai jawaban yang paling tepat atas bentuk keterlibatan negara dalam memajukan kesejahteraan rakyat. Keyakinan ini diperkuat oleh munculnya kenyataan empiris mengenai kegagalan pasar (market failure) dan kegagalan negara (state failure) dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Menurut Xxxxx dan Xxxxxxxx (2002: 34), pada dekade tahun 1970-an studi kontemporer tentang negara kesejahteraan modern mendapatkan banyak perhatian, baik dari kalangan
sejarawan (historians), ilmuwan politik (political scientists), dan ilmuwan-ilmuwan sosial lainnya.
Membangun negara kesejahteraan, menjadi obsesi banyak negara baru terutama di Asia yang merdeka setelah Perang Dunia II. Beberapa negara seperti Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura, telah cukup berhasil membangun negara kesejahteraannya (Triwibowo dan Bahagio, 2006: xvii). Demikian pula, negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945, didesain sebagai Negara Kesejahteraan (welfare state). Menurut Xxxxxxx (2007: 9), kata kesejahteraan (welfare) di dalamnya paling tidak mengandung tiga subklasifikasi, yakni: (1) Social welfare, yang mengacu kepada penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic welfare, yang mengacu kepada jaminan keamanan melalui pasar atau ekonomi formal; dan (3) State welfare, yang mengacu kepada jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui agen dari negara. Negara Kesejahteraan (welfare state) secara singkat didefinisikan sebagai suatu negara dimana pemerintahan negara dianggap bertanggung jawab dalam menjamin standar kesejahteraan hidup minimum bagi setiap warga negaranya.
Negara modern adalah personifikasi dari tata hukum
(Soemardi, 2010: 225). Artinya, negara dalam segala akifitasnya senantiasa didasarkan pada hukum. Negara dalam konteks ini lazim disebut sebagai negara hukum. Dalam perkembangan pemikiran mengenai negara hukum, dikenal dua kelompok negara hukum, yakni negara hukum formal dan negara hukum materiil. Negara hukum materiil ini dikenal juga dalam istilah Welfarestate atau negara kesejahteraan. Menurut Xxxxx Xxxxxxxxxxx (2005: 121) Ide negara kesejahteraan ini merupakan pengaruh dari faham sosialis yang berkembang pada abad ke- 19, yang populer pada saat itu sebagai simbol perlawanan terhadap kaum penjajah yang Kapitalis-Liberalis.
Dalam perspektif xxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxxx berpendapat
: Law is nothing but the very life of mindkind in organized groups and the condition which make possible peaceful co- existence of masses of individuals and social groups and the
coorporation for other ends than more existence and propagation
(Soetikno, 1976: 88).
Dalam pemahaman ini, Xxxxxxx Xxxxxxxx nampak menggambarkan bahwa untuk mencapai Social Welfare, yang pertama harus diketahui adalah apa yang mendorong masyarakat yang hidup dalam satu tingkatan peradaban tertentu untuk mencapai tujuan mereka. Pendapat Lunsteds mengenai social welfare ini hampir sama dengan pendapat Xxxxxx Pound, namun demikian ia ingin menegaskan bahwa secara faktual keinginan sebagian besar manusia yaitu ingin hidup dan mengembangkannya secara layak.
Melihat pandangan mengenai social welfare tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa bidang social welfare mencakup semangat umum untuk berusaha dengan dalil-dalilnya dan adanya jaminan keamanan, sehingga dapat dibuktikan bahwa ketertiban hukum harus didasarkan pada suatu skala nilai-nilai tertentu, yang tidak dirumuskan dengan rumus-rumus yang mutlak akan tetapi dengan memperhatikan kepentingan- kepentingan masyarakat yang berubah-ubah mengikuti perubahan zaman, keadaan, dan perubahan keyakinan bangsa.
Kunci pokok dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Mengenai hal ini, Xxxxxx Xxxxxxxx berpendapat bahwa jaminan kesejahteraan seluruh rakyat merupakan hal pokok bagi negara modern. Selanjutnya menurut Habermas, jaminan kesejahteraan seluruh rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state (Poggi, 2002: 126). Selanjutnya C.A. Kulp dan Xxxx X, resiko-resiko tersebut dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang berisiko fundamental dan kelompok berisiko khusus (Kertonegoro, 2007: 7).
Dalam negara kesejahteraan, menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxx, kedua kelompok resiko tersebut harus mendapatkan perhatian untuk diatasi. Alasannya adalah karena resiko fundamental sifatnya adalah makro kolektif dan
dirasakan oleh seluruh atau sebagaian besar masyarakat sebagaimana resiko ekonomis. Sedangkan resiko khusus yaitu resiko yang sifatnya lebih kepada makro individual, sehingga dampaknya dirasakan oleh perorangan atau unit usaha (Kertonegoro, 2007: 7-8).
Dengan demikian, dalam hakekatnya negara kesejahteraan dapat digambarkan keberadaannya sebagai pengaruh dari hasrat manusia yang mengharapkan terjaminnya rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan agar tidak jatuh ke dalam kesengsaraan. Alasan tersebut dapat digambarkan sebagai motor penggerak sekaligus tujuan bagi manusia untuk senantiasa mengupayakan berbagai cara demi mencapai kesejahteraan dalam kehidupannya. Sehingga ketika keinginan tersebut telah dijamin dalam konstitusi suatu negara, maka keinginan tersebut harus dijamin dan negara wajib mewujudkan keinginan tersebut. Dalam konteks ini, negara ada dalam tahapan sebaga negara kesejahteraan.
Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham Negara Kesejahteraan. Hal ini ditegaskan oleh para Perintis Kemerdekaan dan para Pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa negara demokratis yang akan didirikan adalah “Negara Kesejahteraan” (walvaarstaat) bukan “Negara Penjaga Malam” (nachtwachterstaat). Dalam pilihan terkait konsepsi negara kesejahteraan Indonesia ini, Moh. Hatta menggunakan istilah “Negara Pengurus” (Xxxxx, 2009: 299). Prinsip Welfare State dalam UUD NRI 1945 dapat ditemukan rinciannya dalam beberapa pasal, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi.
Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam UUD NRI 1945, menurut Xxxxx Xxxxxxxxxx Konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution) sebagaimana juga terlihat dalam konstitusi Negara Rusia, Bulgaria, Cekoslowakia, Albania, Italia, Belarusia, Iran, Suriah dan Hongaria. Selanjutnya menurut Xxxxx, sejauh menyangkut corak muatan yang diatur dalam UUD NRI 1945, nampak dipengaruhi oleh corak
penulisan konstitusi yang lazim ditemui pada Negara-negara sosialis (Xxxxxxxxxxx, 2005: 124).
Di dalam UUD NRI 1945, kesejahteraan sosial menjadi judul khusus Bab XIV yang didalamnya memuat pasal 33 tentang sistem perekonomian dan pasal 34 tentang kepedulian negara terhadap kelompok lemah (fakir miskin dan anak telantar) serta sistem jaminan sosial. Ini berarti, kesejahteraan sosial sebenarnya merupakan flatform sistem perekonomian dan sistem sosial di Indonesia. Sehingga, sejatinya Indonesia adalah negara yang menganut faham “Negara Kesejahteraan" (welfare state) dengan model “Negara Kesejahteraan Partisipatif” (participatory welfare state) yang dalam literatur pekerjaan sosial dikenal dengan istilah Pluralisme Kesejahteraan atau welfare pluralism. Model ini menekankan bahwa negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial (sosial security), meskipun dalam operasionalisasinya tetap melibatkan masyarakat. Sedangkan menurut Xxxxxxxx, Kedua pasal tersebut merupakan suatu hubungan kausalitas yang menjadi dasar disahkannya UUD NRI 1945 oleh para pendiri negara, karena baik buruknya Perekonomian Nasional akan ikut menentukan tinggi rendahnya Kesejahteraan Sosial.
C. Beberapa Ciri dan Model Negara Kesejahteraan (Welfare State)
Terdapat beberapa ciri dan model dari negara kesejahteraan. Menurut Xxxxxx (1999:4) negara kesejahteraan (welfare state) bukan hanya satu bentuk saja, tetapi memiliki banyak ragam program dan kebijakan (programmes and policies) dan kombinasi yang berbeda. Secara detail, ada beragam model negara kesejahteraan yang sudah berkembang, khususnya di negara-negara maju di Eropa dan Amerika. Perbedaan model negara kesejahteraan biasanya dikarenakan perbedaan penekanan tujuan dalam kebijakan setiap negara, yang disesuaikan dengan kondisi, situasi, dan realitas yang mereka hadapi.
Menurut Xxxxxx (1999) dalam Simarmata (2008: 19) negara kesejahteraan sering diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind). Konsep kesejahteraan juga terkait erat dengan kebijakan sosial-ekonomi yang berupaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat secara umum. Beberapa bidang yang paling mendesak untuk diperhatikan dalam kebijakan kesejahteraan adalah masalah pendidikan, kesehatan dan penyediaan lapangan kerja.
Selanjutnya Xxxx (1998) dalam Simarmata (2008: 19-20) mengidentifikasi beberapa hal penting ketika kita bicara mengenai peran negara kesejahteraan. Beberapa hal itu adalah:
Pertama, bahwa sumber kesejahteraan masyarakat tidak hanya berasal dari negara. Sumber kesejahteraan masyarakat bisa berasal dari: (1) Kesejahteraan masyarakat dapat mengalir lewat gaji atau pemasukan (income) dari tempat di mana ia bekerja. Gaji yang layak dan aturan pekerjaan yang manusiawi dapat membawa waarga pada kehidupan yang sejahtera. Selain itu, adanya jaminan ketika mereka menghadapi masa sulit, seperti sakit atau di-PHK juga menjadi ukuran penting bagi kesejahteraan masyarakat; (2) Adanya kemampuan untuk menyisihkan sebagian dari pendapatannya juga menjadi ukuran kesejahteraan warga negara. Kemampuan itu dimungkinkan bila mereka sudah mendapatkan gaji yang lebih dari cukup. Bagaimana mungkin mereka dapat menabung atau membuat asuransi secara pribadi ketika gaji yang mereka terima sangat jauh dari cukup. Karenanya, kelayakan gaji menjadi pengandaian bagi inisiatif untuk menyisihkan sebagian dari penghasilannya; (3) Selain itu, sumber kesejahteraan juga bisa datang dari donasi warga yang lebih mampu secara sukarela. Pemberian sukarela ini memang tidak hanya dalam bentuk uang. Ia bisa saja diberikan dalam bentuk penjualan barang di bawah harga pasar atau memberikan tambahan waktu libur kepada para pekerja; dan(4) Sementara peran negara bagi perwujudan kesejahteraan datang lewat kebijakan pemberian
uang tunai atau dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits in kind).
Kedua, yang patut diperhatikan dalam sistem negara kesejahteraan adalah bahwa cara penyampaian (modes of delivery) sumber daya kesejahteraan juga beragam. Menurutnya, penyampaian manfaat kesejahteraan itu, misalnya, bisa dilakukan dengan cara memberikan pelayanan gratis (seperti pelayanan kesehatan tanpa biaya) atau memberikan uang lewat peringanan pajak, dan sebagainya.
Ada beberapa alasan mengapa suatu pemerintahan memiliki sistem negara kesejahteraan. Alasan-alasan tersebut menjadi tujuan sekaligus juga menjadi alat ukur kesuksesan dalam menjalankan sistem negara kesejahteraan. Menurut Xxxxxx (1999:22), terdapat enam hal yang dijadikan sebagai alasan mengapa memilih negara kesejahteraan, yaitu: Pertama, adalah untuk mempromosikan efisiensi ekonomi (promoting economic efficiency); Kedua, untuk mengurangi kemiskinan (reducing proverty); Ketiga, mempromosikan kesamaan sosial (promotingsocial equality); Keempat, mempromosikan integrasi sosial atau menghindari eksklusi sosial (promoting social integration and avoiding social exclusion); Kelima, mempromosikan stabilitas sosial (promoting social stability); dan Keenam, mempromosikan otonomi atau kemandirian individu (promoting autonomy). SementaraCommission on Social Justice menyebutkan ada Tujuh alasan mengapa alasan pentingnya negara kesejahteraan, yaitu: (1)Prevent poverty where possible and relieve it where necessary; (2) Protect people against risks arising in the labour market and from family; (3) change; (4) Redistribute resources from richer to poorer members of society; (5) Redistribute resources of time and money over people’s life-cycles; (6)Encourage personal independence; dan (7) Promote social cohesion.
Secara umum, paling tidak terdapat tiga model utama
tentang Negara Kesejahteraan (Simarmata, 2008: 31-33). Ketiga model utama ini dapat dijabarkan secara sederhana, sebagai berikut:
Pertama, Model Liberal atau Residual (Anglo-Saxon) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Dukungan sosial yang means-tested, atau terbatas, atau bersyarat, dan lebih berupa jaring pengaman;
(2) Upaya negara yang lebih besar dipusatkan pada upaya menciptakan skema pembiayaan supaya warga negara dapat berpartisipasi (kembali) dalam arus besar ketenagakerjaan; dan
(3) Secara sekaligus, pengembangan industri dan perdagangan dikembangkan terlebih dahulu (precursory) untuk menciptakan akses atas barang dan jasa, serta daya beli yang berkelanjutan. Contoh negara penganut model ini adalah: Amerika Serikat, Kaanada, dan Australia.
Kedua, Model Konservatif (Korporatis, Continental Europe) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Negara mengusahakan skema kesejahteraan yang dikelola oleh negara; (2) Dalam produksi dan pengorganisasian, negara bukan satu-satunya pelaksana, melainkan juga kolaborasi warga negara/pekerja dengan sektor swasta, dan juga pajak negara yang dikaitkan dengan tunjangan tertentu; (3) Namun demikian, pajak dapat dikatakan tetap tinggi, yang ini terkait dengan pembiayaan secara meluas kebutuhan-kebutuhan warga negara, termasuk hal-hal yang tidak dapat dibiayai dengan kolaborasi warga negara/pekerja dan sektor swasta; dan (4) Arah dari skema kesejahteraan terutama membiayai kondisi-kondisi dimana warga negara ”sakit” baik secara sosial (pengangguran, cacat, tua, dan sebagainya) maupun secara fisik (soal kesehatan), sehingga seringkali model ini disebut model proteksi sosial.Contoh negara penganut model ini adalah: Austria, Xxxxxxxx, Xxxxxx, dan Italia.
Ketiga, Model Sosial-Demokratis (Redistributif- Institusional) dengan ciri-ciri meliputi: (1) Satu skema pajak dipakai untuk membiayai keseluruhan pembiayaan skema kesejahteraan; (2) Skema kesejahteraan ini mencakup layanan yang menyeluruh dengan standar setinggi-tingginya, dan akses yang semudah-mudahnya (universal coverage), warga negara dianggap mempunyai hak atas pengaturan skema kesejahteraan. Kebijakan negara diarahkan pada integrasi industri dan
perdagangan dengan skema-skema kesejahteraan itu. Contoh ini adalah negara-negara: Skandinavia, seperti: Swedia dan Norwegia. (prinsip equity); dan (3) Kebijakan negara diarahkan pada integrasi industri dan perdagangan dengan skema-skema kesejahteraan itu. Contoh negara penganut model ini adalah negara-negara: Skandinavia,seperti: Swedia dan Norwegia.
Sementara, Esping-Xxxxxxxx (Triwibowo & Bahagijo, 2006:14) membagi tipologi negara kesejahteraan ke dalam tiga bentuk, yakni: (1) Residual welfarestate, yang meliputi negara seperti Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Amerika Serikat, dengan basis rezim kesejahteraan liberal dan dicirikan dengan jaminan sosial yang terbatas terhadap kelompok target yang selektif serta dorongan yang kuat bagi pasar untuk mengurus pelayanan publik; (2) Universal Welfare State, yang meliputi negara seperti Denmark, Finlandia, Norwegia, Swedia, dan Belanda, dengan basis rezim kesejahteraan demokrat dan dicirikan dengan cakupan jaminan sosial yang universaldan kelompok target yang luas serta tingkat dekomodifikasi yang ekstenfif; dan (3) Social Insurance Welfare State, yang meliputi negara seperti Australia, Belgia, Xxxxxxxx, Xxxxxx, Italia, dan Spanyol dengan basis rezim kesejahteraan konservatif dan dicirikan dengan sistem jaminan sosial yang tersegmentasi serta peran penting keluarga sebagai penyedia pasok kesejahteraan.
D. Landasan Filosofis-Politik Negara Kesejahteraan
Xxxxxan tentang Negara kesejahteraan (welfare state) sendiri tampil sebagai sebuah discursive practice sejak pertengahan abad ke-20. Sebagaimana dikatakan Myles dan Xxxxxxxx (2002:34), bahwa pada dekadetahun 1970-an studi kontemporer tentang negara kesejahteraan modern mendapatkan banyak perhatian, baik dari kalangan sejarawan (historians), ilmuwan politik (political scientists), dan ilmuwan- ilmuwan sosial lainnya.
Menurut Hobsbawn (dalam Simarmata, 2008: 349), implementasi terhadap gagasan tersebut merupakan cerminan dari proses perkembangan demokrasi dan kapitalisme terutama
di Eropa, dimana kehadirannya tidak dapat dilepaskan dari proses negosiasi politik antara artikulasi perjuangan politik kalangan kiri dan kelas pekerja dengan perkembangan formal social kapitalisme. Benturan-benturan antara kelas pekerja dan modal berhasil didamaikan dengan terbangunnya common platform penataan Negara berbasiswelfare state. Platform tersebut terwujud dalam berbagai program-program seperti pemenuhan berbagai kebutuhan mendasar manusia (basic human needs) oleh Negara pada bidang pendidikan, perawatan kesehatan, penyediaan perumahan yang layak, perawatan untuk anak- anak, pemenuhan kebutuhan ekonomibagi mereka yang lanjut usia, pengangguran maupun mereka yang memiliki kekurangan fisik. Beberapa program-program Negara kesejahteraan telah diakomodasi oleh perkembangan Negara di Eropa sejak abad ke-19 (Moon, 2004; dalam Simarmata, 2008: 349).
Menurut Esping-Anderson (Simarmata, 2008: 349-350), ketika kita menelaah prinsip-prinsip utama dari bentuk Negara kesejahteraan yang terdiri atas: Pertama, pengakuan terhadap hak-hak social yang melekat pada tiap-tiap warga negara (socialcitizenship); Kedua, demokrasi yang menyeluruh (full democracy); Ketiga, relasi systemsocial-ekonomi berbasis industry modern; Keempat, hak untuk mendapatkan pendidikan dengan perluasan system pendidikan modern secara massif. Keempat prinsip tersebut menegaskan tentang bagaimana Negara kesejahteraan berdiri di atas fondasi pentingnya peran Negara untuk menjalankan prinsip-prinsip keadilan social, solidaritas dan kesetaraan di atas landasan formal social masyarakat kapitalistik.
Meskipun Negara kesejahteraan menempatkan pentingnya pemenuhan keadilan social melalui proses distribusi ekonomi dari Negara kepada rakyat, namun dengan merujuk pada empat prinsip asasi dari Negara kesejahteraan di atas, tidak membuat welfare state abai terhadap dinamika pasar bebas dan pentingnya efisiensi ekonomi. Negara kesejahteraan justru berpijak pada prinsip-prinsip keadilan social, demokrasi social yang memperjuangkan kesetaraan tiap-tiap warga Negara,
pengutamaan manusia sebagai makhluk sosial, dan efisiensi ekonomi yang berbasis ekonomi pasar namun responsif terhadap keberlanjutan kehidupan publik.
Terdapat Empat prinsip umum dari Negara Kesejahteraan (Welfare State), yakni: (1) Prinsip Hak-Hak Sosial dalam Negara Demokrasi; (2) Prinsip Welfare Rights; (3) Prinsip Kesetaraan Kesempatan Bagi Warga Negara; dan (4) Prinsip Keseimbangan Otoritas Publik dan Ekonomi, dan Efisiensi Ekonomi. Keempat prinsip umum dari Negara Kesejahteraan (Welfare State) memiliki relevansi dan sinergi dengan tujuan dari pembangunan negara Republik Indonesia.
Selanjutnya penjelasan tentang keempat prinsip umum dari Negara kesejahteraan tersebut adalah sebagai berikut (Simarmata: 350-358):
Pertama, Prinsip Hak-Hak Sosial dalam Negara Demokrasi. Seiring dengan trend gelombang pasang demokrasi liberal pasar bebas yang saat ini tengah berkibar-kibar di seluruh dunia, faham demokrasi tengah direduksi habis-habisan ke dalam aspek yang hanya bersifat teknis procedural. Xxxx Xxxxxxxxxx (1991) misalnya memaknai demokrasi sebatas system yang memfasilitasi penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui cara-cara non-kekerasan. Sementara Xxxxx Xxxxxxx (1993) memandang demokrasi telah terkonsolidasikan ketika setiap agensi-agensi politik sepakat dengan demokrasi sebagai satu-satunya aturan main yang sah. Pandangan demokrasi secara minimalis ini selain mereduksi makna demokrasi, juga telah meruntuhkan pandangan demokrasi substansial sebagai suatu political action untuk memperjuangkan kemuliaan warga Negara sebagai pemilik sah kedaulatan politik.
Dalam diskursus demokrasi, seperti diuraikan oleh TH Xxxxxxxx (1965), pembentukan Negara kesejahteraan merupakan salah satu pilar esensial dari Negara demokratik. Sehingga tidak ada Negara demokrasi tanpa hadirnya pemenuhan terhadap hak-hak sosial bagi tiap-tiap warganya. Dengan kata lain pemenuhan hak-hak social dari warga Negara adalah inheren sebagai tanggungjawab Negara demokratik. Tatanan demokrasi
dalam konteks ini tidak dapat direduksi hanya pada penataan aturan-aturan main prosedural politik untuk memilih pejabat publik. Pemenuhan hak-hak sosial dari warga Negara sejalan dengan tujuan substansial demokratik untuk memberikan pemenuhan standar kehidupan sosial masyarakat yang baik, sehingga ia dapat menggunakan hak-hak sipil dan politiknya secara utuh. Tujuan mendasar dari pengedepanan prinsip hak- hak sosial ini adalah agar warga Negara dapat mengaktualisasikan sepenuhnya segenap potensi kemampuan dirinya dan terhindar dari proses pemiskinan struktural.
Kedua, Prinsip Welfare Rights. Secara filosofis keberadaan wacana Negara kesejahteraan ditopang oleh ide filosofis tentang keadilan sosial terutama berhubungan dengan keadilan distributif. Kebijakan Negara kesejahteraan tidak serta merta memenuhi kebutuhan-kebutahan dari tiap-tiap individu, namun demikian kebijakan publik yang dilakukan oleh Negara kesejahteraan memiliki tujuan untuk mendistribusikan pendapatan secara adil bagi seluruh warga Negara. Salah satu aspek keadilan sosial yang ditekankan sebagai landasan filosofis dari Negara kesejahteraan adalah berhubungan dengan hak tiap-tiap warganegara untuk hidup secara layak (welfare rights). Konsepsi tentang welfare rights memandang bahwa hak-hak asasi manusia tidak cukup dipahami dalam pengertian negatif yang dipahami oleh kaum liberal seperti Xxxxxx Xxxxxx (1969: 118-172) dalam Four Essays on Liberty (Kehidupan tiap-tiap manusia harus dijaga dari kemungkinan koersi dan intervensi dari kekuatan diluar dirinya), namun hak yang melekat dalam diri manusia juga harus dimaknai dalam pengertian positif sehubungan dengan pentingnya pemenuhan pada akses sumber-sumber daya yang penting bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Prinsip pengakuan terhadap welfare rights menjaga agar tiap-tiap system hak kepemilikan yang diterapkan tidak merampas hak dari tiap-tiap orang maupun kelompok- kelompok social yang terpinggirkan kehilangangan akses sumber-sumber daya yang fundamental bagi kehidupan dirinya. Konsepsi welfare rights menjadi jangkar pengamatan
agar hak-hak rakyat untuk mengakses sarana-sarana kehidupan yang esensial untuk dirinya tetap dapat dijamin. Sehingga prinsip common good (kebaikan bersama) yang mengikat kehidupan tiap warganegara tetap dapat dipertahankan. Prinsip welfare rights berpijak pada pemenuhan nilai-nilai fundamental kemanusiaan melalui program-program social untuk memenuhi hajat hidup layak bagi setiap warganegara.
Ketika kita memahami substansi keadilan sosial secara radikal, welfare rights sendiri merupakan hak yang secara esensial melekat dalam diri manusia. Dalam pengertian ini suatu masyarakat dapat dipandang sebagai masyarakat berkeadilan, ketika didalamnya hak-hak social tersebut telah terjamin sejalaan dengan jaminan terhadap hak-hak sipil dan politik. Hak bagi tiap-tiap orang untuk hidup secara layak merupakan bagan dari pre-political rights, dimana hak tersebut telah melekat dalam diri manusia sebelum ia masuk menjadi warga politik. Dalam konteks demikian maka kehidupan politik akan bermakna ketika tatanan politik (political order) bertugas untuk melayani dan merealisaasikan hak-hak tersebut. Sejalan dengan kerja politik tersebut, suatu masyarakat berkeadilan dinilai ketika ia mampu mewujudkan akses seluas-luasnya bagi public agar tiap- tiap warganya dapat hidup secara layak.
Untuk menjamin hak-hak tersebut dapat diperoleh oleh tiap-tiap warga negara, maka diperlukan inisiatif aktif dan tanggung jawab pemerintah untuk menjaga dan merealisasikan pemenuhan hak-hak sosial tersebut. Kebutuhan-kebutuhan sosial mendasar bagi tiap-tiap orang seperti pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh barang-barang publik seperti air dan listrik, layanan kesehatan, dan hak untuk bertempat tinggal dan memiliki rumah dan kebutuhan sosial lainnya menjadi orientasi utama dari tugas Negara untuk memperjuangkannya. Untuk merealisasikannya, maka mekanisme pajak progresif maupun system transfer pendapatan merupakan standar minimal yang dilakukan Negara kesejahteraan (welfarestates).
Ketiga, Prinsip Kesetaraan Kesempatan Bagi Warga Negara. Xxxxxxan filosofis dari relevansi Negara kesejahteraan
juga ditopang oleh basis keadilan social redistributive atas prinsip kesetaraan kesempatan bagi setiap warga Negara. Moon (2004:214) menggunakan konsep keadilan redistributif dari Xxxx Xxxxx untuk menjelaskan prinsip kesetaraan kesempatan bagi warga Negara dalam konstruk Negara kesejahteraan. Apabila dalam prinsip filosofis tentang welfare rights sebelumnya telah dibahas tentang hak-hak tiap-tiap orang untuk hidup layak yang menyangkut hak atas pendidikan, rumah, air serta listrik, dan lain-lain. Tiap-tiap warga negara untuk dapat hidup secara layak dan terjamin kebutuhan hidupnya juga harus memiliki akses dan pengalaman untuk meraih berbagai posisi dan karer sehubungan dengan keberadaan lapangan kerja yang ada di masyarakat.
Seseorang ketika lahir dan tumbuh telah terikat pada posisi kelasnya masing-masing. Dalam konteks ini tidak semua orang memiliki akses yang setara untuk bekerja sesuai dengan pilihannya masing-masing. Sehingga kehadiran Negara kesejahteraan berperan untuk mengatasi hambatan-hambatan socialyang harus dihadapi oleh tiap-tiap orang berkaitan denganposisi kelas mereka.Akses kepada pendidikan yang layak dan redistribusi asset-aset produktif sangat berperan dalam pemenuhan akses kepada pekerjaan yang layak. Sehubungan dengan pemenuhan kesempatan yang setara kepada setiap warga untuk dapat bekerja secara layak inibersifat kontekstual bagisetiap Negara. Formasi sosial yang eksis di tiap- tiap Negara menentukan formulasi seperti apa yang cocok dalam implementasinya. Dalam kecenderungan masyarakat agraris yang dominan seperti di Indonesia misalnya,dimana akses kepada tanah menjadi fundamental agar mereka dapat hidup secara layak, maka desain reformassi agrarian yang berkeadilan menjadi salah jalan utama untuk mewujudkan kesetaraan akses bagi tiap-tiap warga Negara.
Keempat, Prinsip Keseimbangan Otoritas Publik dan Ekonomi, dan Efisiensi Ekonomi. Seiring dengan kemenangan rezim pengetahuan demokrasi liberal-pasar bebas, muncul pandangan yang saat ini menjadi wacana hegemonik tentang
keutamaan pasar bebas dalam ruang public. Dalam paradigm neo-liberal masyarakat dipahami sebagai kumpulan jumlah individu-individu, sehingga upaya untuk memenuhi kepentingan masyarakat dijalankan dengan memenuhi kebutuhan agregatif dari tiap-tiap orang. Dalam pandangan kaum neo-liberal, institusi pasar bebas tempat proses transaksi jual beli berlangsung merupakan institusi utama yang harus ditegakkan agar tiap-tiap orang akan dapat terpenuhi kebutuhan dirinya.
Negara kesejahteraan berangkat dari pemahaman yang berbeda. Dalam pandangan filosofis Negara kesejahteraan, pasar bebas tidak dapat dibiarkan berjalan sendirian untuk mengatur kompleksitas kehidupan publik. Pada kenyataannya mekanisme pasar bebas tidak dapat menentukan prioritas sosial dan menanggulangi persoalan-persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial.Ketika mekanisme pasar bebas dibiarkan berjalan tanpa batasan dan regulasi, justru semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial, kemiskinan dan ketidakadilan. Prinsip mengejar kepentingan diri seluas-luasnya dalam arena pasar bebas, hanya akan mengakomodasi mereka yang dapat membayar dan memberi keuntungan dalam transaksi ekonomi yang diakui untuk mendapatkan fasilitas bagi kenyamanan hidupnya. Alih-alih bersikap egalitarian karena dapat memuaskan kepentingan tiap-tiap individu, mekanisme pasar bebas justru menjadi kerangka institusional yang berperan untuk mengekslusi setiap kepentingan dari mereka yang paling terpinggirkan secara ekonomi.
Secara lebih jauh pengedapanan rezim pasar bebas tanpa mempersiapkan perangkat regulasi yang tepat diatur oleh otoritas public, hanya akan menghancurkan fondasi dasar kehidupan publik yang berangkat dari ikatan relasi sosial. Sistem pasar bebas buta terhadap agenda prioritas dari kepentingan-kepentingan bersama. Keuntungan yang dihasilkan memberikan pertumbuhan dan keuntungan material, namun dalam jangka panjang, sistem pasar bebas yang berjalan eksesif tanpa batasan hanya akan menghancurkan ikatan-ikatan
sosial yang mengintegrasikan kehidupan bersama dalam ruang publik. Prinsip kebaikan bersama akan hancur digerus oleh prinsip pasar bebas yang berlandaskan efisiensi ekonomi dan kepentingan diri.
Kondisi ini sejak awal telah diperingatkan oleh founding father sistem kapitalisme yaitu Xxxx Xxxxx. Bagi Xxxxx mekanisme mekanisme pasar bebas dengan sendirinya akan sangat berbahaya bagi tatanan publik, ketika masing-masing orang hanya mengejar kepentingan egoistik dirinya sendiri. Institusi pasar bebas memerlukan topangan karakter solidaritas dan kepercayaan yang bersumber dari semangat komunitas, agar baik penjual dan pembeli dapat duduk bersama secara setara dalam proses transaksi pasar. Masyarakat Eropa abad ke-
18 jaman disaat Xxxx Xxxxx hidup memperlihatkan spirit loyalitas, altruism dan solidaritas begitu besar yang tumbuh dari kehidupan komunitas masyarakat sipil yang sehat tengah tergerus oleh kolonisasi wilayah ekonomi berbasis pasar bebas ke dalam setiap wilayah kehidupan publik.
Berbeda dengan rezim pengetahuan pasar bebas, paradigm welfare state menegaskan pentingnya peran Negara sebagai otoritas politik berperan sebagai agensi yang menggerakkan dan mengatur kehidupan publik. Pentingnya Negara dalam prinsip welfare state tidak ditempatkan untuk menggusur peran pasar bebas, namun Negara menjadi penting guna mendorong agar pasar bebas dapat berfungsi dengan baik dan tidak meminggirkan kepentingan bersama. Dengan demikian yang menjadi perhatian dari penyeru welfare state bukanlah pengedepanan peran Negara diatas pasar, namun yang paling penting adalah bagaimana menempatkan keterlibatan pasar maupun Negara secara tepat untuk menggerakkan kehidupan publik.
Menurut Xxxxxxxxx dan Bahagijo (2006:21), berangkat dari pengakuan terhadap pentingnya baik otoritas pasar maupun Negara, desain Negara kesejahteraan secara filosofis justru tidak menghalangi prinsip efisiensi ekonomi. Negara kesejahteraan justru bermaksud menggerakkan roda
perekonomian secara positif untuk mendorong agar setiap sumber daya manusia dimanfaatkan secara produktif untuk menggerakkan aktivitas ekonomi, dengan memenuhi kebutuhan dasar dari tiap-tiap orang. Selanjutnya prinsip Negara kesejahteraan juga berniat untuk mendorong partisipasi penuh pada pasar tenaga kerja maupun aktivitas investasi dan menabung.
BAB III
KEBIJAKAN SOSIAL DITINJAU DARI TEORI SOSIOLOGI
A. Kebijakan Sosial dan Teori Sosiologi
Kebijakan sosial berasal dari nilai-nilai, kenyataan, dan teori-teori sosial. Oleh karena itu, argumen tentang kebijakan sosial sebagian besar didasarkan pada sosiologi (Xxxxx, 2006: 35), sebuah studi tentang realita sosial sebagai suatu entitas. Sosiologi berbeda dengan psikologi yang cenderung memandang masyarakat sebagai kumpulan individu.
Sosiologi klasik memfokuskan penelitiannya pada pemahaman masyarakat. Namun, dengan perubahan dalam masyarakat, sosiologi yang ada saat ini telah berkembang menjadi studi yang tidak hanya berusaha untuk “memahami realita sosial” tetapi juga studi dengan tujuan untuk mengeksploitasi pemahaman untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dengan mempelajari cara masyarakat berinteraksi dan mendapatkan keseimbangan institusional untuk meneapai masyarakat yang ideal. Pendekatan sosiologi ini dikembangkan sebagai akibat dari pertumbuhan jumlah pertanyaan dan masalah yang tidak terpecahkan dalam masyarakat. Oleh karena alasan itulah maka sosiologi kontemporer sangat terkait dengan subjek kesejahteraan sosial.
Ketika sosiologi mengalihkan tujuannya pada kesejahteraan sosial, kebijakan sosial berubah. Studi ini dikenal kembali ketika Xxxxxxx Xxxxxxx yang memperkenalkan studi “administrasi sosial” dan kemudian “kebijakan sosial” di Inggris pada 1960an. Namun demikian, kebijakan sosial telah menjadi bagian dari sosiologi bahkan sebelum disiplin ilmu ini dibawa Oleh Titmuss. Oleh karena itu, penting untuk memahami sosiologi sebagai platform dasar kebijakan sosial.
Istilah sosiologi berasal dari kata “socius” yang berarti ”masyarakat” dan “logos” berarti “berbicara”. Sosiologi adalah ilmu yang “membicarakan tentang masyarakat”. Secara historis,
sosiologi diperkenalkan sebagai ilmu pengetahuan Oleh Xxxxxxx Xxxxx pada abad ke-18. Ia dipercaya memiliki pengetahuan yang lebih luas daripada Xxxxx, Xxxxxxxxx, Xxx Xxxxxx, Xxxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxxx, J.J. Xxxxxxxx, sampai St. Xxxxx. Pemikiran Xxxxx tentang sosiologi cukup banyak memperkaya dasar ilmu pengetahuan dari para pendahulunya.
Xxxxx adalah seorang filsuf Prancis, penemu studi sosiologi dan doktrin positivisme. Ia memperkenalkan sosiologi statis, yang memfokuskan pada hukum dan peraturan yang menyatakan bahwa masyarakat sebagai sosiologi dinamis, yang memfokuskan pada perubahan dan perkembangan. Ia juga memperkenalkan tiga fase pengetahuan: teleologi, ketika masyarakat gejala-gejala sosial berdasarkan pada nilai-nilai agama; fase metafisik ketika masyarakat menginterpretasikan gejala-gejala sosial berdasarkan pada rasionalitas mereka, dan kemudian fase positivistik ketika masyarakat menginterpretasikan gejala-gejala sosial melalui verifikasi ilmiah.
Pasca Comte, sosiologi telah memasuki “padang rumput” ilmu sosial yang kaya, ketika ia berkembang paling tidak menjadi enam aliran pemikiran: Geografi dan lingkungan, Organik dan evolusi, Formal, Psikologi, Ekonomi, dan Hukum.
Aliran pemikimn geografi dun lingkungan dikembangkan oleh Xxxxxx Xxxxxx (1821-1862) dan Le Play (1806-1888) yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tergantung pada iklim dan tanah; pernyataan tersebut diperkuat oleh pemikiran E. Xxxxxxxxxx dalam Civilization and Climate (1915) yang menyatakan bahwa mentalitas manusia tergantung pada iklim tempat tinggal mereka.
Aliran pemikiran organik dan evolusi dikembangkan oleh Xxxxxxx Xxxxxxx (1820-1903), W.G. Summer (1840-1910), Xxxxx Xxxxxxxx (1855-1917), dan Xxxxxxxxx Xxxxxxx (1855-1936). Xxxxxxx menyatakan bahwa organisme dibedakan dengan semakin meningkatnya kompleksitas dan diferensiasi di antara bagian-bagiannya. Konsep intinya adalah: kompleksitas-
diferensiasi-integrasi. Proses perubahan tidak akan menghasilkan apapun tanpa mekanisme “KDI” kompleksitas, diferensiasi, dan integrasi. Ia kemudian dikenal sebagai “prinsip-prinsip sosiologi”.
Di lain pihak, Xxxxxxxx memperkenalkan Division of Labor yang memunculkan gagasan bahwa elemen prinsip masyarakat adalah solidaritas. Jika solidaritas semakin buruk maka akan terjadi anomie, suatu kondisi di mana masyarakat kehilangan arah sebagai akibat dari ketidakmampuan untuk menilai aktivitas-aktivitas dengan nilai-nilai serta norma-norma yang ada. Pembagian buruh dalam fungsi masyarakat untuk menciptakan diferensiasi keterampilan yang saling melengkapi. Kondisi ini menjadi landasan bagi solidaritas yang kuat dan alamiah.
Tonnies menyatakan bahwa hubungan antara warga negara menentukan kehidupan sosialnya. Ada dua jenis hubungan sosial: gemeinschaft, yang berarti hubungan didasarkan pada perasaan, simpati, pribadi, dan kepentingan bersama; dan gesellscahft, yang berarti kepentingan rasional, bersifat sementara, dan hubungan yang tidak bersifat pribadi.
Aliran pemikiran formal dikembangkan oleh Xxxxxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxxx (1858-1918), Xxxxxxx xxx Xxxxx (1876-1961), Xxxxxx Xxxxxxxxx (1867-1953). Xxxx menyatakan pentingnya regulasi judisial untuk mengatur hubungan di antara warga negara. Simmel mengemukakan bahwa semua institusi dalam masyarakat dibentuk menurut kategori superioritas, subordinasi, dan konflik. Semua hubungan sosial ada dalam salah satu dari tiga bentuk tersebut atau merupakan kombinasi dari ketiganya. Dalam hubungan ini, seorang manusia menjadi anggota masyarakat dengan melakukan dua proses sekaligus: individualisasi and sosialisasi.
Aliran pemikiran psikologi dikembangkan oleh Xxxxxxx Xxxxx (1843-1904), Xxxxxx Xxxxx (1854-1926), Xxxxxxx X. Xxxxxx (1864-1924), dan L.T. Hobhouse (1864-1929). Tarde menerangkan tentang gejala sosial yang berjalan dalam kerangka mental dari setiap individu: imitasi, oposisi, adaptasi, dan inovasi.
Sedangkan Xxxxxx mengembangkan konsep Kelompok Primer yang menyatakan bahwa kelompok pertama manusia ditandai dengan hubungan pribadi yang dekat, di mana perasaan dan emosi berkembang secara bebas.
Aliran pemikiran ekonomi dikembangkan oleh Xxxx Xxxx (1818-1883) dan Xxx Xxxxx (1864-1920). Xxxx dalam das Kapital menyatakan bahwa selama masyarakat terstruktur dalam kelas- kelas, kelas penguasa atau kapitalis akan terus menerus menggabungkan kekuasaan dan kekayaan tanpa batas. Sedangkan kelas yang diperintah atau proletariat hidup dalam keadaan yang terus-menerus dieksploitasi oleh kelas penguasa. Oleh karenanya, Xxxxx mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi dan kekayaan masyarakat tergantung pada nilai- nilainya. Dalam Protestant Ethics and Spirit of Capitalism Xxxxx menyatakan bahwa kapitalisme muncul dari komunitas Kristen di Eropa dan didorong oleh “nilai-nilai Protestan”. Dikatakan bahwa kerja keras adalah sikap terima kasih kepada Tuhan atas kehidupan yang telah diberikan kepada umat manusia. Dua nilai utama, bekerja dan berhemat yang sama dengan menginvestasi dan mengakumulasi modal, menjadi mesin kapitalisme.
Akhirnya, Aliran pemikiran hukum dikembangkan oleh Xxxxx Xxxxxxxx (1855-1917) dan Xxx Xxxxx (1864-1920). Xxxxxxxx mengemukakan aliran pemikiran hukum setelah memperkenalkan konsep Division of Labor. Ia menempatkan premis bahwa aturan hukum dan regulasi serta hukuman harus mengarahkan kehidupan manusia berdasarkan pada dua pertimbangan: sifat pelanggaran dun keyakinan masyarakat terhadap perbuatan baik dan buruk. Xxxxx juga berkontribusi dalam aliran ini dengan temuannya bahwa elemen hukum rasional telah mendukung perkembangan kapitalisme.
Geografi dan Lingkang
Xxxxxx Xxxxxx (1821-1862), Le Play (1806-1888), E. Huntington (1915, Civilization and Climate)
Organik dan Evolusi
Xxxxxxx Xxxxxxx (1820-1903, X.X Xxxxxx (1840-1910), Xxxxx Xxxxxxxx (1855-1917), Xxxxxxxxx Xxxxxxx (1855-
Formal
SOSIOLOGI
Psikologi
Xxxxxxx Xxxxx (1843-1904), Xxxxxx Xxxxx (1854-1926), Xxxxxxx X. Coopey (1864-
1924), X.X Xxxxxxxx (1864-1929)
Ekonomi
Xxxx Xxx (1818-1882), Xxx Xxxxx (1864-1920)
Hukum
Xxxxx Xxxxxxx, Xxx Xxxxx
Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxxx (1853- 1918), Xxxxxx xxx Xxxxx (1876-1961),
Xxxxxx Xxxxxxxxx (1867-1953)
Ada banyak lagi aliran pemikiran dalam sosiologi kontomporor, tetapi dua aliran utama adalah aliran fungsional struktural dan aliran konflik (Xxxxxxxx, 2007). Aliran fungsional struktural mempunyai kerangka masyarakat sebagai sistem kompleks yang bagian-bagiannya bekerja bersama untuk menghasilkan solidaritas dan stabilitas. Dua tokoh terkemuka dari aliran tersebut adalah Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx X. Xxxxxx. Teori ini memandang sosiologi sebagai sarana untuk memahami, dan lebih fokus untuk menciptakan serta memantapkan. Di lain pihak, konflik sosial adalah kerangka masyarakat sebagai arena ketidaksetaraan yang menimbulkan konflik dan perubahan. Pakar teori Kelompok Frankfurt, Konflik-Gender, dan Konflik-Ras berada di sisi ini. Aliran ini mempromosikan gagasan bahwa “sosiologi adalah resep”; oleh karena itu, tujuannya adalah mengubah masyarakat.
Juga ada sosiologi mikro, seperti yang dikembangkan oleh Xxxxxxx Xxxxxx pada Symbolic Interaction yang memandang masyarakat sebagai produk interaksi individu setiap hari.
Namun, Xxxxxx tidaklah sendirian. Sosiologi kontemporer mikro diperkaya dengan banyak pemikiran, seperti Dramaturgy dari Xxxxxx Xxxxxxx yang melihat masyarakat sebagai drama di mana setiap orang memiliki topengnya sendiri, karena fungsinya dalam masyarakat; untuk meringankan hubungan masyarakat; setiap orang adalah aktor dan aktris. Juga ada etno- metodologi yang dikembangkan oleh Xxxxxx Xxxxxxxxx yang memandang masyarakat sebagai realita yang menerima semua realitas untuk menjaga kehidupan agar terus berjalan. Sedangkan Xxxxx Xxxxxx, penemu Social Reality, mempercayai realitas sosial sebagai produk dari kekuasaan.
B. Makna Kebijakan Sosial
Ada dua cabang pemahaman yang menyangkut kebijakan sosial, cabang pertama yang telah digunakan di negara-negara maju, dan cabang lainnya di negara-negara yang belum berkembang.
Di negara-negara maju, kebijakan sosial dikembangkan dari studi administrasi sosial untuk mempersiapkan orang- orang yang akan bekerja dalam pelayanan sosial (Xxxxxxx, 2000: 1). Xxxxxan tersebut dituliskan dalam karya Xxxxx Xxxxxxxx yang berjudul; Social Policy and Administration (1965).
Ia menyebutkan bahwa administrasi sosial pertama kali dlperkenalkan di Inggris sebelum PD I sebagai subjek pelatihan dan pendidikan bagi mereka yang ingin mempersiapkan diri mereka sendiri untuk terllbat dalam banyak bentuk usaha sosial dan amal (dikutip oleh Xxxxxxx, 2000: 1). Oleh karena itu, pelayanan sosial adalah area di mana kebijakan sosial dimulai (Xxxxxxx, 2000: 1). Singkat kata, di negara-negara maju, seperti yang diperkenalkan di Inggris, kemudian Eropa dan AS serta Amerika Utara; “kebijakan sosial berarti untuk memecahkan permasalahan”. Studi tersebut sebetulnya telah berakar lama sebelum Xxxxxxxx menyebutkannya, seperti yang kita ketahui bahwa pada abad 16-17 terjadi peristiwa besar di Inggris yang mengubah peradaban manusia. Peristiwa tersebut adalah “revolusi industri”. Selama revolusi industri, industri-industri
tekstil bermunculan di London dan menjadi bisnis besar. Baron- baron xxxx, yang disebut juga sebagai “Kapitalis” oleh pendiri sosialisme dan komunisme Xxxx Xxxx, menguasai industri- industri tersebut.
Revolusi industri memperkenalkan mesin-mesin dunia baru yang dioperasikan di pabrik-pabrik dan manajemen modal usaha. Seperti sebuah magnet besar, banyak pekerja pertanian, bukan pemilik tanah, pindah ke kota London, dan menjadi generasi pertama buruh dalam industri-industri tekstil. Para pemilik industri hidup dalam kemewahan, tetapi para pekerja hidup dalam kesengsaraan. Kapitalisme pertama memiliki gaya yang sangat jelas: “para pemilik modal mengeksploitasi mereka yang tidak mempunyai modal-pekerja”.
Produk samping generasi pertama kapitalisme adalah kemiskinan besar-besaran di London. Generasi pertama kapitalisme menciptakan disparitas besar antara mereka yang kaya dan miskin, menyebabkan banyak kemiskinan di Inggris dan AS. Hal ini dapat dibuktikan dari pemikiran ekstrem Xxxx dalam bukunya Das Kapital dan film Xxxxxxx Xxxxxxx yang berjudul Modern Times (1936). Meskipun kisah dalam film tersebut tidak nyata namun saya percaya ia mempertahankan kebenaranKemiskinan menjadi masalah yang parah. Meskipun sebelum revolusi industri kemiskinan telah merajalela, isu tersebut sebetulnya tersembunyi dikawasan pedesaan jauh dari ibukota Inggris. Oleh karena itu, Undang-undang bagi Kaum Miskin kemudian diperkenalkan di Inggris antara abad ke-16 17 (Hill, 1993: 13). Undang-undang bagi Kaum Miskin bertujuan untuk menyelamatkan kaum miskin, dan/atau untuk menjaga kekayaan masyarakat yaitu kaum kapitalis. Undang-undang menjaga keselamatan kekayaan dalam posisi sosialnya yang baru, karena membebani pemerintah untuk mengganti rugi pemborosan kapitalis generaisi baru. Sampai saat ini, ada banyak praktik industri yang memindahkan “pemborosan industrinya” kepada pemerintah. Meskipun kalangan industri berpendapat bahwa mereka telah membayar pajak untuk mengganti rugi pemborosan, harus dipertanyakan nilai trade off
dari “pembuat masalah” dengan “biaya beban yang dipindahkan”. Selain itu semua, biaya tersebut milik masyarakat bukan “pembuat masalah”.
Suatu pendekatan baru diperkenalkan di Jerman. Pada abad ke-18 Perdana Menteri Xxxx xxx Xxxxxxxx mendirikan asuransi kesehatan sosial-universal pertama bagi masyarakat, khususnya bagi kaum miskin. Kebijakan tersebut diadopsi oleh Inggris dan A5 Pada abad ke 19 (Hill: 1993: 1719). Setelah Perang Dunia II, gagasan kebijakan sosial dibentengi dengan kemunculan kembali “negara kesejahteraan” dan praktik kesejahteraan sosial di antara negara-negara Eropa, khususnya Inggris dan Jerman. Ia berperan sebagai “cek pembayaran" dari pemerintah beberapa negara Eropa bagi warga negara mereka untuk mengganti rugi kehidupannya yang sangat menderita yang telah mereka alami selama Perang Dunia II (1942-1945).
Xxxxxxx Xxxxxx Xxxmuss (1907-1973) adalah tokoh yang paling menonjol dalam perkembangan ilmu ini. Dalam esainya “Social Division of Welfare” yang ditulis pada 1955, Titmuss berpendapat bahwa mustahil untuk memahami efek kebijakan kesejahteraan selain dari masyarakat lainnya karena ada banyak saluran yang disampaikan oleh “kesejahteraan” (Xxxxxxx, 2000: 2).
Studi kebijakan sosial telah dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi dari Barat. Studi ini memfokuskan pada “pemecahan masalah sosial” yang berbeda dengan fokus Studi di negara-negara berkembang (Xxxxxxxxxxx, 1988). “Apakah ini berarti bahwa kebijakan sosial di negara-negara berkembang tidak memecahkan masalah?” Ia memecahkan masalah, tetapi memecahkan masalah bukanlah satu-satunya tujuan. Kebijakan sosial di negara berkembang didesain untuk memecahkan masalah serta untuk melakukan pembangunan sosial.
“Apakah pembangunan (development) itu?” Pembangunan adalah istilah yang sangat terkait dengan negara- negara yang baru muncul pasca Perang Dunia II. Pembangunan adalah proses “mempercepat perubahan sosial”. Pembangunan adalah “perubahan sosial yang dipaksakan”. Oleh karena itu,
pembangunan selalu direncanakan, direkayasa, dan dikendalikan, karena tujuan pembangunan adalah: untuk menciptakan perbaikan “lompatan katak (frog-leap)”, untuk meninggalkan ketertinggalan. Oleh karenanya, pembangunan adalah “sebuah kata milik negara berkembang”. Kata negara berkembang mengacu pada negara-negara yang baru mendapatkan kemerdekaan pada 1940-an dan sesudahnya; sedangkan negara-negara lain di Eropa, yang dulunya adalah negara penjajah, dan merupakan dua negara di Amerika Utara- Kanada dan AS, telah menjadi negara-negara maju. Bahkan Eropa yang menderita parah setelah Perang Dunia II masih lebih maju dalam hal ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebebasan.
Pada mulanya sebagian besar negara berkembang memahami bahwa pembangunan semata berperan sebagai kemajuan sektor ekonomi dan teknologi. Pemahaman yang dangkal terbukti merugikan. Pembangunan menciptakan masalah baru, seperti ketidaksetaraan ekonomi dun ketidakstabilan sosial. “Mengapa?” karena seperti pembangunan manusia, ada fasa “maturitas” dalam setiap kemajuan. Ada 2 meter, 100 kilogram, anak laki-laki berusia 12 tahun yang secara fisik seperti seorang laki-laki dewasa, tetapi secara mental tetap seperti seorang anak. Orang tidak dapat membiarkan anak itu berkeliaran dan menemukan kehidupannya sendiri. Kematangan sosial adalah sesuatu yang tidak dapat dimiliki negara. “Apakah kematangan sosial itu?" Kematangan sosial adalah pendidikan, meskipun bukan segalanya. Kematangan sosial adalah kemampuan masyarakat untuk memecahkan setiap konflik secara damai.
Ketika kita membahas tentang pembangunan, ia paling terkait dengan isu keterbelakangan. Dalam pendekatan klasik, keterbelakangan ekonomi memerlukan pembangunan ekonomi. Tetapi ada keterbelakangan lain, yaitu keterbelakangan sosial yang memerlukan pembangunan sosial. Baik keterbelakangan ekonomi dan sosial adalah keterbelakangan mutlak karena kesenjangan antara negara-negara berkembang dengan negara- negara maju adalah jauh.
Ada dua keterbelakangan lain, tetapi mereka bersifat relatif, yaitu keterbelakangan politik dan keterbelakangan budaya. Keterbelakangan politik adalah keterbelakangan relatif, karena indikator keterbelakangan adalah tingkat demokratik sistem politik. Hal ini berarti, semakin demokratis sistem politik dalam suatu negara, maka ia akan dianggap semakin maju. Dalam konteks ini, demokrasi yang paling maju adalah demokrasi liberal. Negara-negara yang kurang demokratis biasanya mengalami kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang parah. Sebagian besar negara Afrika berada dalam kategori ini. Sebagian negara Asia termasuk Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka, Laos, Kamboja, and Myanmar juga termasuk. Namun, China adalah sebuah perkecualian. China bukanlah negara demokratik tetapi menjadi raksasa ekonomi. Malaysia dan Singapura dikritik karena tidak begitu demokratis, tetapi pembangunan ekonomi dan sosialnya jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara yang lebih demokratis di kawasan tersebut. Singapura disebut sebagai “Negara Dunia Pertama” dan bukan lagi sebagai “Negara Dunia Ketiga”, suatu sebutan bagi negara berkembang dan negaya yang kurang berkembang.
Keterbelakangan budaya juga merupakan konsep dan fakta yang bersifat relatif. Ia mengacu pada negara-negara yang lebih menghargai nilai-nilai tradisional daripada nilai-nilai modern. Tentu saja, sebagian besar negara Afrika dan sebagian negara Asia Tenggara dikategorikan dalam kelompok ini. Keterbelakangan budaya memperburuk kehidupan masyarakat. Kurangnya teknologi menjadikan kaum perempuan di Sahara sampai Bangladesh mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bagi keluarganya. Banyak di antara mereka harus berjalan berkilo-kilometer hanya untuk mendapatkan satu kendi air bahkan dengan air yang kadang-kadang tidak bersih. Tetapi, gambaran tersebut dipotret dengan cara berbeda oleh Jepang yang kaya akan nilai-nilai tradisional, yang diwarisi dari masa lalu dan masih dipertahankan sampai saat ini (seperti upacara
minum teh, sampai semangat Bushido), diperhitungkan sebagai salah satu ekonomi terbesar dunia.
Namun, karena keterbelakangan sosial dan ekonomi merupakan keterbelakangan absolut, mereka menarik perhatian dari sebagian besar pembuat kebijakan di negara-negara berkembang. Perpaduan antara keterbelakangan sosial-ekonomi dan tingkat pembangunan di negara-negara berkembang mengakibatkan perbedaan pendekatan kebijakan sosial untuk memasukkan pembangunan sosial.
Pembangunan sosial adalah pembangunan ke arah pembangunan manusia, keadilan sosial, dan ke arah kesejahteraan sosial. Pembangunan manusia adalah sebuah konsep pembangunan baru yang merupakan perluasan dari pembangunan ekonomi. Keberhasilan setiap pembangunan dinyatakan dalam tingkat PDB, Pendapatan Per Kapita, dan lain- lain.
Primitif | Tradisional | Moderen | |
Mata Pencaharian | Berburu dan merabu | Pertanian | Industri dan informasi |
Teknilogi | Tidak ada sampai rendah | Rendah sampai menengah | Tinggi |
Gaya Hidup | Nomade | Terikat alam | Mengatasi alam |
Tipe Perkawinan | Homogeni | Homogeni sampai heterogeni | Sebagaian besar heterogeni |
Pertimbangan | Magis | Relijius | Rasional dan ilmiah |
Fokus Kehidupan | Etnisitas | Harmoni | Perubahan |
Orientasi | Tidak ada | Orientasi masa lalu | Orientasi masa depan |
Filsafat | Kehidupan adalah tentang pertahanan hidup | “Kehidupan adalah seperti roda” | “Kehidupan adalah seperti anak panah” |
Cara Hidup | Insting | Kebiasaan | Managemen |
Pembangunan ekonomi telah mengubah negara-negara berkembang menjadi negara-negara kaya dalam bidang ekonomi, menyebabkan bentuk pembangunan lain luput dari perhatian, yaitu pembangunan manusia. Kritik-kritik terhadap pembangunan adalah bahwa pembangunan terlalu banyak menekankan pada isu ekonomi sampai penerima penghargaan nobel dalam bidang ekonomi Prof. Xxxxxxx Xxx mempromosikan model Indikator Pembangunan Manusia (Human Development Indicators) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai Indeks Pembangunan Manusia/IPM (Human Development Index/HDI) pada 1990-an. Indikatornya adalah ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Pembangunan gender ditambahkan ke dalam IPM pada 1996.
IPM menjadi indikator global untuk mengukur jumlah pembangunan yang telah dicapai. Namun, pembangunan sosial lebih dari sekadar pembangunan manusia, pembangunan sosial adalah tentang transformasi masyarakat tradisional ke masyarakat modern.
Pemahaman dasar tentang kebijakan sosial adalah pemahamanan tentang kesejahteraan sosial. Ia berhubungan dengan pendidikan masyarakat, perawatan kesehatan, perumahan dan keamanan sosial. Namun demikian, pembangunan sosial di negara-negara berkembang lebih banyak menuntut daripada sekadar kesejahteraan sosial.
Pembangunan di negara-negara berkembang akan selalu menciptakan warga negara marginal yaitu mereka yang tidak mempunyai akses terhadap proses perkembangan dan oleh karenanya tertinggal dalam proses pembangunan. Ia mengakibatkan masalah sosial, baik dalam sektor ekonomi dan sosial. Kebijakan sosial diperlukan untuk memecahkan masalah sosial. Permasalahan sosial di negara-negara berkembang memiliki karakteristik yang berbeda.
Masalah sosial di negara-negara berkembang berhubungan dengan keadilan sosial. Masalah tersebut adalah tentang ketidaksetaraan dalam hal gender. Ia juga berhubungan dengan masalah pengangguran. Tentang masalah kaum miskin,
tentang kaum difabel, tentang diskriminasi, tentang konflik, tentang perdagangan manusia, tentang kriminalitas serta para korbannya. Permasalahan sosial juga menyangkut ketertinggalan dan masyarakat yang terisolasi.
Ada tiga isu utama dalam kebijakan sosial: keadilan sosial, pembangunan sosial, dan kesejahteraan sosial.
Pertanyaannya adalah: “Mengapa kita selalu memiliki pemikiran tentang kesejahteraan sosial terlebih dahulu daripada isu-isu lainnya?” Kesejahteraan sosial adalah keprihatinan Barat terhadap keterbelakangan negara-negara berkembang. Negara maju dianggap menerapkan kebijakan sosial agar dapat memecahkan permasalahan sosial global. Sudut pandang Barat terhadap kebijakan publik diadopsi dari gagasan bahwa untuk memecahkan permasalahan sosial berarti dengan mereformasi sosial. Kemudian konsep tersebut dipikirkan oleh para pemikir Timur di negara-negara berkembang, meskipun seperti di negara negara berkembang, pembangunan sosial di negara- negara Barat pasca Perang Dunia II tidak dimulai dari nol dan negara-negara Barat tersebut tidak mengalami masalah keterbelakangan.
Social development
Social welfare
Social justice
Pertanyaannya adalah, “mengapa para pemikir dari negara negara maju selalu mempunyai pemikiran tentang kebijakan sosial kesejahteraan sosial sebagai sarana untuk memecahkan masalah sosial bukcm dengan mempertimbangkan isu-isu pembangunan sosial yang lebih luas dun relevan?” Ada dua alasan bagi hal tersebut. Pertama, berasal dari pemikiran bahwa pembangunan sosial merupakan bagian dari kesejahteraan sosial sebagai bagian dari kesejahteraan sosial yang perlu untuk dipecahkan. Alasan kedua adalah hegemoni budaya (lihat Xxxxxxxx, 1986). Sebagian siswa pergi menuntut ilmu ke negara maju, seperti Inggris, selama bertahun-tahun mereka diajar oleh para profesor yang meyakini bahwa kebijakan sosial adalah tentang kesejahteraan sosial agar dapat memecahkan permasalahan sosial. Perkembangan teori tersebut berhubungan dengan masyarakat di dalamnya. Kebijakan sosial di Inggris, sebagai contoh, merupakan respons terhadap permasalahan sosial yang terjadi di Inggris pasca revolusi industri (Hill, 1993), pasca Perang Dunia I (Donisson, 1965), clan pasca Perang Dunia II (Xxxxxxx, 2000).
Sebagian pemikir dari dunia Barat telah memastikan para siswanya dari ncgara-negara berkembang untuk mengembangkan teori-teorinya sendiri yang tepat untuk diterapkan di masyarakatnya. Walaupun sebagian pakar Barat mengembangkan model pembangunan yang cocok untuk negara-negara berkembang, seperti jaringan komunikasi untuk penyebaran inovasi (Xxxxxx, 1986), administrasi publik dalam masyarakat yang prismatik (Xxxxx, 1995). Pendekatan yang dibuat dengan penyesuaian tersebut membantu para pemikir dari negara-negara berkembang untuk melihat relevansi kebijakan sosial yang diterapkan dengan masyarakatnya (Nugroho, 2009). ’
Bagi negara-negara berkembang, sekali lagi, kebijakan sosial bukan hanya tentang pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial, tetapi lebih luas daripada hal-hal tersebut. Pembangunan sosial adalah tentang mengubah masyarakat menjadi masyarakat baru atau peradaban baru yang belum
pernah mereka tinggali dan rasakan, karena saat ini dinikmati oleh negara-negara maju.
Kebijakan sosial bukan hanya tentang kemiskinan melainkan juga tentang mengembangkan kualitas masyarakat yang kurang berpendidikan agar menjadi lebih terdidik. Kebijakan sosial juga membantu mereka yang kurang mampu untuk mengakses proses pembangunan. Ia juga tidak hanya tentang permasalahan sosial dari komunitas yang tertinggal, tetapi permasalahan sosial yang ada ratusan tahun yang lalu di bawah penjajahan.
Negara-negara Eropa menyebut kesejahteraan sosial sebagai “pay-check” bagi warga negara mereka untuk mengganti rugi malapetaka yang dialami selama Perang Dunia II dan di negara-negara berkembang, ketentuan kesejahteraan sosial berperan sebagai “pay-check” dari para pemimpin untuk membayar ratusan tahun kondisi di bawah penjajahan sebagai akibat dari penjajahan.
Kebijakan sosial di negara-negara berkembang dimulai dari nol, karena “keterbelakangan sosial”; yang berbeda dengan kebijakan sosial di negara maju dengan hanya permasalahan sosial yang ada. Oleh karena itu, kita perlu meningkatkan pemahaman kita bahwa kebijakan sosial di negaranegara berkembang lebih dari hanya kesejahteraan sosial, tetapi juga mencakup pembangunan dan keadilan sosial.
Ada satu keyakinan tentang kebijakan sosial yang dibagi bersama antara barat, timur, negara-negara berkembang, dan negara-negara maju. Secara budaya, gagasan “negara kesejahteran” tidak dikembangkan di abad pertengahan, tetapi berakar dari kerinduan akan “surga di dunia”; impian untuk membangun kembali surga di dunia manusia. Kebijakan sosial tidak hanya semata membuat manusia beradab seperti yang dinyatakan dalam kepercayaan masyarakat Barat, dari Dewa Matahari di Mesir sampai Inca, dari agama Hellenic sampai agama Kristen dan Islam. Diceritakan dari generasi ke generasi; dari masyarakat ke masyarakat; dari Raja ke Raja berikutnya; dan dari para orangtua kepada anak-anak mereka. Para
pemimpin yang bijak dari Raja, Ratu, Xxxxxx, Xxxxxx, Presiden, dan Perdana Menteri diwajibkan untuk memenuhi kerinduan masyarakat akan surga di dunia, yaitu kesejahteraan sosial. Pada hakikatnya, kesejahteraan sosial bukanlah semata tentang kekayaan; kesejahteraan sosial adalah tentang hidup dalam suasana yang saling menyayangi dan harmonis, hidup dalam komunitas di mana semua impian dapat terpenuhi.
Dengan demikian, “Seperti apakah kebijakan sosial di negaranegara berkemban gitu?”
Setiap pemerintah di negara-negara berkembang yang demokratis dipilih oleh masyarakat agar dapat membawa agenda masyarakat, yaitu “agenda publik”, sebagai ideologi dan politik mereka. Agenda tersebut adalah tentang kepentingan masyarakat yang mewujudkan norma-norma dan nilai-nilai sosial masyarakat. Pemerintah harus memperhitungkan agenda dalam keputusan-keputusan mereka, karena keputusan tersebut merupakan “trade-of ” untuk suara rakyat dalam pemilihan umum. Xxxx tetap berkuasa, pemimpin politik harus “membeli” kebutuhan warga negara dan dengan demikian kepentingan mereka juga. Kemudian dirumuskan sebagai “visi pemerintah”, sebagai sebuah bukti bahwa pemerintah bertekad untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi masyarakat. Hal ini adalah “harapan masyarakat”. Ia merupakan perwujudan dari visi pemerintah. Ia merupakan premis untuk disampaikan kepada para pemilih dalam pemilihan umum. Tugas utamanya adalah “bagaimana menyampaikan harapan tersebut?” Ia disampaikan dengan keputusan. Oleh karena itu, kebijakan adalah keputusan pemerintah. Kebijakan sosial adalah keputusan pemerintah pada kehidupan sosial untuk mencapai harapan masyarakat akan masa depan yang lebih baik.
Perlu untuk diingat, jika kita belajar di negara-negara maju (yaitu Inggris, Jerman, Swiss), kita akan belajar tentang kesejahteraan sosial yang pada hakikatnya hanya sebagai kesejahteraan sosial semata, tetapi apabila kita adalah siswa di negara berkembang, kita akan mempelajari tiga isu sekaligus: kesejahteraan sosial, pembangunan sosial, keadilan sosial.
Pertanyaannya adalah, “Apa yang perlu didahulukan? Kebijakan sosial atau kesejahteraan sosial?” Berdasarkan diskuusi saya dengan Xxxx Xxxxx Xxxxxxxx, seorang Profesor Administrasi dan Keadilan Sosial, University of Malaya, maka kami menyimpulkan bahwa dalam konteks negara berkembang kebijakan sosial sebaiknya didahulukan, dan kemudian diikuti Oleh kesejahteraan sosial. “Mengapa?” Karena seperti yang telah kita bahas sebelumnya agenda kebijakan sosial di negara berkembang tidak hanya sekedar tentang merespons permasalahan sosial, tetapi juga menciptakan masyarakat masa depan yang lebih baik.
Social developme
Social welfare
Social justice
Oleh karenanya, kebijakan sosial bu-kan merupakan tindakan yang pasif, tetapi tindakan yahg aktif. Ia menciptakan, ia menghasilkan.
Keputusan pemerintah tentang kehidupan sosial
Budaya, norma, dan nilai masyarakat
Idiologi dan politik pemerintah
“Agenda ” publik
Xxxxx untuk dsamp aikan
Visi pemerintah
Harapan masyaaraakat
C. Kebijakan Sosial dalam Perspektif Sosiologi
Apakah kebijakan sosial itu? Tidak mudah untuk mendefim'sikan kebijakan sosial, seperti yang dinyatakan Oleh Xxxxxxx X. Xxxxxxxx bahwa kebijakan sosial adalah istilah yang kabur, karena batas-batasnya sulit didefinisikan, sementara itu isinya kaya.
“Dalam maknanya yang paling luas, kebijakan sosial mencakup semua kebijakan yang diarahkan kepada pembuatan perubahan struktur masyarakat, dan karena tidak ada kebijakan yang dapat diabaikan dari hal ini, kebijakan sosial akan menjadi sekadar nama lain untuk kebijakan pemerintah” (Xxxxxxxx, 1976: 11)
Kebijakan Sosial
Perbandingan Sosial Kesejahtraan Sosial
Oxford Concise Dictionary of Sociology mendefinisikan kebjiakan sosial sebagai konsep yang kabur:
“serangkaian gagasan yang lebih atau kurang jelas tentang apa yang seharusnya dilakukan dalam lingkungan tertentu, yang sering kali ditetapkan dalam tulisan, dan biasanya secara resmi diadopsi oleh badan pembuat keputusan yang terkait” (Xxxxxxxx, 1994: 492).
Definisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan sosial memiliki berbagai konsep.
Xxxxxxx Internet-Linked Dictionary mendefinisikan Kerja Sosial sebagai kebijakan pemerintah dalam kesejahteraan dan studi akademik tentang pembangunan, implementasi, dan dampak (Xxxxxxxxxxx Xxxx, 2006: 350). Definisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan sosial merupakan bagian dari kebijakan pemerintah dan juga bagian dari ilmu pengetahuan akademik.
Bagi Xxxxxxx kebijakan sosial adalah menyangkut tatanan hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan yang hidup bersama dalam masyarakat, atau dengan prinsipprinsip yang mengatur kegiatan individu dan kelompok sejauh mereka memengaruhi kehidupan dan kepentingan orang lain (dikutip dari Titmuss, 1977: 11). Sementara itu, Xxxxxxx menyebutkan bahwa kebijakan sosial lebih terkait dengan lingkungan komunal (dikutip dari Titmuss, 1977: 15).
TH. Xxxxxxxx (1965) mendefinisikan kebijakan sosial sebagai kebijakan pemerintah yang mempunyai dampak langsung terhadap kesejahteraan warga negara, dengan menyediakan layanan dan pendapatan bagi mereka. Inti pokoknya terdiri dari jaminan sosial, bantuan publik, kesehatan dan pelayanan kesejahteraan, serta kebijakan perumahan.
Xxxxx Xxxx mendefinisikan kebijakan sosial sebagai studi kebutuhan sosial dan fungsi organisasi layanan sosial atau sistem kesejahteraan sosial untuk memenuhi kebutuhan tersebut dalam kondisi yang langka (dikutip dari M Titmuss, 1977: 11).
Xxxxxxx Xxxxxxx, seorang intelektual yang menyatakan gagasannya tentang kebijakan publik sebagai ilmu pengetahuan di Inggris, mendefinisikan kebijakan sosial sebagai perhatian terhadap alokasi berbagai sumber daya yang terbatas untuk memenuhi berbagai kebutuhan sosial (Titmuss, 1977: 14). Titmuss melihat bahwa kebijakan sosial adalah masalah ekonomi untuk merespons adanya hukum kelangkaan.
Titmuss (1977) menyatakan bahwa kebijakan sosial dapat dipahami sebagai: Administrasi sosial, Pelayamm sosial, Kesejahteraan sosial, Keamamm sosial, dun Negara kesejahteraan. Ia menyebutkan bahwa kebijakan adalah prinsip yang mengatur tindakan dengan tujuan tertentu seperti yang dinyatakannya bahwa konsep kebijakan hanya bermakna jika kita yakin bahwa kita dapat mengubah dalam berbagai bentuk. Oleh karena itu, Titmuss menyatakan bahwa, kita tidak memiliki kebijakan tentang cuaca, karena kita tidak dapat mengubah cuaca, karena kebijakan adalah tindakan yang berorientasi kata.
Titmuss (1974) kemudian menerangkan bahwa kebijakan sosial hanya merupakan bagian dari mekanisme pengaturan diri yang dibangun menjadi sistem sosial alamiah. Kebijakan sosial dapat dipandang sebagai instrumen perubahan positif; sebagai bagian yang dapat diprediksi dan dapat dihitung dari keseluruhan proses politik. Kebijakan sosial tidak secara otomatis bereaksi dalam menginvestasikannya dengan halo of altruism. Ia menyatakan nilai yang meyakini bahwa kebijakan sosial tidak menunjukkan kepatuhan terhadap partai politik atau ideologi apa pun.
Titmuss mengemukakan tiga pemahaman dasar kebijakan sosial:
1. Pemahaman dasar kebijakan bertujuan untuk bersifat dermawan kebijakan memberikan kesejahteraan bagi warga negara.
2. Pemahaman dasar kebijakan mencakup sasaran ekonomi serta non-ekonomi.
3. Pemahaman dasar kebijakan melibatkan tindakan redistribusi progresif sumber daya dari mereka yang kaya
kepada kaum miskin (Titmuss, 1977: 29). Kita akan melihat bahwa hal ini adalah kelemahan pemahaman kebijakan sosial di masa lampau: kebijakan sosial didesain semata untuk memburukkan manusia atau komunitas. Sedangkan dalam pemahaman kontemporer, kebijakan sosial adalah hak sosial, yang berarti bagi setiap orang dan komunitas tanpa memandang baik atau buruknya.
Titmuss (1977) untuk sementara, mengembangkan tiga model kebijakan sosial:
1. Model Kesejahteran Residual Kebijakun Sosial, dengan perumusan Kebijakan Sosial yang didasarkan pada premis bahwa ada dua saluran alamiah (atau diberikan secara sosial): pasar swasta dan keluarga Titmuss menyatakan bahwa lembaga-lembaga kesejahteraan mulai bertindak hanya ketika saluran-saluran tersebut rusak dan lembaga sebaiknya hanya berjalan sementara. Pendekatan tersebut didasarkan pada teori konstruk masyarakat organik- mekanistik-biologis (Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxx-Xxxxx, 1' Xxxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx) (Titmuss, 1977: 30).
2. Model Prestasi-Kinerja lndustrial dan Kebijakun Sosial, dimana kesejahteraan sosial dipahami sebagai tambahan bagi perekonomian. Kebutuhan sosial sebaiknya dipenuhi berdasarkan pada manfaat, performa kerja, dan produktivitas. Model ini disebut oleh Titmuss sebagai “Model Tangan Anak Gadis (Handmaiden model)”, karena pendekatan tersebut didasarkan pada teori-teori ekonomi dan psikologi, yang menyangkut insentif, upaya dan penghargaan, serta pembentukan kelas dan kelompok yang loyal (Titmuss, 1977: 31).
3. Model Redistributif Institusional Kebijakan Sosial; di mana' kesejahteraan sosial dipahami sebagai lembaga utama yang terintegrasi dalam masyarakat, memberikan pelayanan universal di luar pasar menurut prinsip kebutuha an. Model ini menggabungkan sistem redistribusi dalam perintah seputar sumber daya setiap saat, karena pend katan tersebut
didasarkan pada teori efek pengganda perubahan sosial, sistem ekonomi, dan kesetaraan sosial (Titmuss, 1977: 31).
Klasifikasi Titmuss mencerminkan gagasan yang dikembangkan oleh masyarakat dari Barat dan masyarakat Kapitalis. Pembagian model kebijakan sosial ini juga tercermin dalam karya Xxxxxx-Xxxxxxxx. Xxxxxxxx menuliskan tentang “Tiga Dunia Rezim Kapitalisme Kesejahteraan (Three Worlds of Welfare Capitalism Regime)”:
1. Neo-liberal, dengan tiga karakter: rendahnya de- komodifikasi, sangat terstratifikasi, intervensi dan regulasi negara dalam pelayanan sosial berbasis pasar. Negara yang mempraktikkan model ini adalah Amerika Serikat.
2. Sosial demokrat, dengan tiga karakter: tingginya de- komodifikasi, stratifikasi yang rendah, intervensi negara dan ketetapan keuangan secara langsung. Negara yang mempraktikkan model ini adalah negara-negara Skandinavia.
3. Korporatis, dengan tiga karakter: tingginya de-komodifikasi, sangat terstratifikasi, intervensi negara dan regulasi pasar keuangan. Negara yang mempraktikkan model ini adalah Jerman (Xxxxxx-Xxxxxxxx, 1990: 55).
Xxxxxx menyatakan bahwa istilah kebijakan sosial tidak hanya digunakan untuk menyebut tindakan sosial di dunia nyata. Ia menambahkan bahwa kebijakan sosial adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menghasilkan kesejahteraan dan juga untuk menunjukkan studi akademik tindakan tersebut (Xxxxxx, 1997: 1).. Xxxxxx mendefinisikan kebijakan sosial sebagai teori dan praktik serta menggunakan frasa tujuan yang berbeda seperti yang akan kita bahas dalam bab berikutnya.
Xxxxx Xxxxxxx menjelaskan kebijakan sosial sebagai suatu studi tentang hubungan antara kesejahteraan dan masyarakat, dan cara terbaik dari kebijakan sosial adalah dengan
memaksimalkan kesejahteraan dalam masyarakat (dikutip dari Xxxxxxx, 2000: 3).
Xxxxxx XxXxxx & Xxxxx Xxxxxxxx mendefinisikan kebijakan sosial sebagai prinsip-prinsip dan pelaksanaan tindakan yang memengaruhi seluruh kualitas kehidupan serta keadaan individu dalam kelompok dan hubungan intra sosial mereka (DuBois & Krogsrud, 2010: 249). Kebijakan sosial diidentifikasi sebagai pemerintah dan atau kebijakan publik yang membahas ketidaksetaraan dalam lembaga sosial, memperbaiki kualitas kehidupan orang-orang yang tidak beruntung, dan memberikan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan (DuBois & Krogsrud, 2010: 249).
Xxxx X. Xxxxxxxx memandang kebijakan sosial dari cara masyarakat merespons permasalahan sosial. Hal ini adalah strategi formal yang memengaruhi bagaimana masyarakat berjalan (Xxxx X. Xxxxxxxx, 2010: 17).
Seorang pakar dari Malaysia, Xxxxxxx, mendefinisikan kebijakan sosial sebagai keputusan dalam bentuk pilihanpilihan untuk memecahkan masalah-masalah dengan serangkaian program yang melibatkan hukum dan peraturan (Xxxxxxx, 1997).
Pakar kebijakan sosial Malaysia, Xxxx Xxxxx,
mendefinisikan, kebijakan sosial sebagai intervensi sosial yang mengikuti panduan struktur sosial dalam konteks masyarakat, waktu, kondisi, dan ruang.
Pertannya, “Apakah kebijakan sosial itu?" Sebelum menjawab pertanyaan ini, Saya ingin mendasarkan pemahaman saya pada gagasan dari dua pemikir, Xxxxxxx dan de Haan. “Kebijakan sosial adalah tentang kebijakan” seperti yang dinyatakan oleh Xxxxxxx (2000: 4). “Kebijakan sosial adalah bagian dari kebijakan publik” seperti yang dikemukakan oleh de Haan (2007: 14). Oleh karena itu, kebijakan sosial harus tentang kebijakan publik.
Pertanyaan selanjutnya, “Apakah kebz'jakan publik itu?”. Kebijakan publik menurut Xxx (1987) yang diaktualisasi oleh Xxxxxxx, xx.xx, (2014: 79) adalah apapun pilihan pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah publik (Dye (1987) yang diaktualisasi oleh Xxxxxxx, xx.xx, 2014: 79). Sedangkan menurut Xxxxx X.X Xxxxx dalam Xxxxx (2012:5) kebijakan publik atau kebijakan negara sebagai An sanctioned course of action addressed to particular problem or group of related problems that affect society at large (Suatu tindakan bersanksi yang mengarah pada suatu masalah atau sekolompok masalah tertentu yang saling berkaitan mempengaruhi sebagian besar masyarakat) (Chiff J.O Udaji dalam Xxxxx, 2012:5).
Pendapat kedua ahli tersebut di atas, kebijkan publik merupakan sesuatu yang dilakukan ataupun tidak dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah publik.
Selanjutnya Xxxxxx (2014: 18) mengatakan bahwa kebijakan publik sebagai a projected program of goals, values and practices (Suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah) dan juga mengemukakan bahwa kebijaksanaan publik sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan (Kaplan, 2014: 18). Berdasarkan pendapat di atas maka dikatakan suatu kebijaksanaan memuat 3 elemen yaitu:
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai;
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan;
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
Implikasi dari pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas adalah: pertama, bahwa kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada tujuan. Kedua, bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. Ketiga, bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar-
benar dilakukan oleh pemerintah. Keempat, bahwa kebijakan publik itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Kelima, bahwa kebijakan pemerintah selalu dilandaskan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat memaksa (otoritatif).
Implikasi lain mengenai kebijakan publik yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas bahwa setidaknya ada empat esensi yang terkandung dalam pengertian kebijakan publik yaitu, pertama kebijakan publik merupakan penetapan tindakan-tindakan pemerintah. Kedua, kebijakan publik tidak hanya dinyatakan tetapi dilaksanakan. Ketiga, kebijakan publik baik untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu itu mempunyai dan dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Keempat, kebijakan publik harus senantiasa ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Dengan demikian, kebijakan publik dapat menegaskan bahwa pemerintah yang secara sah dapat berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terssebut diwujudkan dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena pemerintah termasuk ke dalam apa yang oleh Xxxxx Xxxxxx di sebut sebagai authorities in apolitical system yaitu penguasa dalam suatu sistem politik yang terlibat dalam masalah-masalah sehari- hari yang telah menjadi tanggung jawab atau perannya.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat dirumuskan makna kebijakan publik adalah:
1. Segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh Pemerintah.
2. Kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan perorangan atau golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain lembaga administrator publik.
3. Kebijakan publik merupakan kebijakan yang nilai manfaatnya harus senantiasa ditujukan untuk kepentingan masyarakat.
Menurut Xxxxxx (2012: 36), dalam bukunya Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi Kebijakan atau Program, berpendapat bahwa kebijakan publik adalah suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip atau tindakan yang dilakukan suatu pemerintah pada periode tertentu ketika terjadi suatu subyek atau krisis (Parker, 2012: 36). Sedangkan menurut Xxxxxxxx (2013: 5) dikatakan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga/badan- badan Pemerintah dan Pejabat-pejabatnya (Xxxxxxxx, 2013: 5). Implikasi dari pendapat kedua ahli di atas adalah:
1. Bahwa kebijakan itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau tindakan yang berorientasi pada maksud dan tujuan.
2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan Pemerintah/Pejabat pemerintah.
3. Bahwa kebijakan itu merupakan apa yang benar-benar dilakukan Pemerintah.
4. Bahwa kebijakan itu berdasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang bersifat memaksa.
Pakar lain Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxx yang diaktualisasi oleh Xxxxxx xx.xx, (2016: 87-88) mengatakan bahwa kebijakan publik berarti serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana untuk mencapai tujuan tersebut (Xxxxxxxx dan Xxxxxxxxx yang diaktualisasi oleh Xxxxxx xx.xx, 2016: 87-88). Namun dalam konteks kebijakan publik ini, seperti dirangkum Xxxxxxxx (2012:23-24) menyatakan, bahwa kedua ahli tersebut menyatakan sebagai semua pilihan atau tindakan dan melihat kebijakan publik dalam tiga lingkungan kebijakan, yaitu: (1) perumusan kebijakan; (2) pelaksanaan kebijakan; (3) penilaian kebijakan atau evaluasi (Xxxxxxxx, 2012:23-24).
Pandangan para ahli tersebut, menunjukkan bahwa makna kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan pemerintah guna melaksanakan suatu kegiatan yang diawali dari pembuatan atau perumusan, pelaksanaan dan penilaian atau evaluasi kebijakan. Mengacu pada pandangan dari beberapa pakar kebijakan publik, maka dapat dikatakan bahwa kebijakan penataan reklame yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Pekanbaru merupakan langkah kebijakan publik dengan dasar hukum Peraturan Nomor 4 Tahun 2011 tentang pajak reklame.
Xxxxxxxx (2001) menyatakan bahwa ada kekurangan konsensus menyangkut beberapa definisi kebijakan publik. Saya lebih memilih “pendekatan strategis-pragmatis” daripada pemahaman kebijakan publik, sehingga saya memilih definisi Dye (1987). Dye mengemukakan bahwa kebijakan publik adalah apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Ia menambahkan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah melakukannya, dan apa perbedaan yang dapat dihasilkannya (Dye, 1987). Dengan model matematis-etimologis, kebijakan publik didefinjsikan sebagai:
Kebijakan Publik = Kebijakan + Publik
Kebijakan adalah keputusan autoritatif. Keputusan yang dibuat oleh orang yang memegang kekuasaan, formal atau informal. Sedangkan publik adalah sekelompok orang yang dihubungkan dengan isu khusus. Publik adalah lingkungan di mana orang menjadi warga negara, ruang di mana warga negara berinteraksi, di mana negara dan masyarakat berada. Oleh karena itu, kebijakan publik adalah Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan keputusan untuk mengatur kehidupan publik untuk mencapai misi bangsa. Bangsa selalu terdiri dari dua lembaga, yaitu negara dan masyarakat. Misi bangsa selalu dinyatakan secara tegas dalam Konstitusi.
Dalam sepuluh tahun pengalaman saya mengajar, meneliti, dan belajar, saya menyimpulkan bahwa keunggulan bangsa sangat tergantung pada kompetensi bangsa untuk mengembangkan keunggulan kebijakan (Nugroho, 2009: 1).
Agar dapat memahami kebijakan publik baik dalam teori dan praktik, maka bermanfaat untuk memahami tentang model penetapan kebijakan yang paling sederhana. Dalam sebuah sistem politik yang independen negara, bangsa, atau tanah air paling tidak selalu memiliki empat elemen kebijakan: politik, sosial, ekonomi, dan infrastruktur. Kebijakan politik (publik) adalah tentang hukum, keadilan, keamanan, administrasi publik, demokrasi, pemerintahan, dan sejenisnya. Kebijakan sosial (publik) menyangkut pembangunan sosial dan keadilan sosial. Kebijakan ekonomi (publik) adalah menyangkut fiskal, moneter, peluang kerja, ekspor-impor, industrialisasi, pajak, dan sejenisnya. Kebijakan infrastruktur (publik) berjalan pada utilitas publik, infrastruktur publik, pelestarian lingkungan, air, sanitasi, transportasi, dan sejenisnya.
Kebijakan publik berbeda dengan kebijakan sosial karena kebijakan sosial lebih berhasrat kepada manusia dalam konteks masyarakat. Kebijakan publik bukan hanya tentang masyarakat, tetapi kualitas kesehatan; ia bukan hanya tentang menciptakan lapangan kerja tetapi juga memecahkan masalah kemiskinan.
Kebijakan Politik
Kebijakan Sosial
Kebijakan Publik
Kebijakan Insfrastruktur
Kebijakan Ekonomi
Dalam kaitan dengan kebijakan publik dan penetapannya, kebijakan sosial tidak hanya tentang pembangunan ekonomi dan bisnis, pembangunan fisik dan infrastruktur, pembangunan politik, pembangunan sosial yang mengatasi ketidakadilan sosial agar dapat mencapai kesejahteraan sosial.
Kebijakan sosial adalah tentang keputusan dan bukan hanya tentang program, proyek, atau intervensi sebagai komponen kebijakan sosial. Kebijakan sosial adalah tentang keputusan untuk bertindak atau tidak bertindak dan apa hasil yang mungkin didapat. Dengan demikian, kebijakan sosial adalah kebijakan pemerintah, yaitu tentang pembangunan sosial, keadilan sosial, dan kesejahteraan sosial.
Cara Dasar Investasi | Metode Varian | Contoh-Contoh |
Keuntungan tunai | Non kontribusi universal Kontributor universal Selektif | Manfaat bagi anak Pensiun Dukungan pendapat |
Banyak pelayanan | Universal Selektif | Pelayanan rumah sakit, sekolah Resep obat gratis, beasiswa pendidikan tinggi |
Subsidi | Kupon Subsidi umum | Kupon penitipan anak, kartu bus Jalur transportasi publik “sosial” |
Regulasi | Peluang hukum yang sama | |
Peraturan | Layanan katering sekolah | |
Nasihat | Pusat bantuan perumahan | |
Gatekeeping | Perawatan komunitas |
Dalam beberapa contoh, kebijakan sosial adalah suatu intervensi, meskipun bukan segalanya. Sebagai perbandingan, Xxxxxx memberikan panduan untuk memahami model dan metode kebijakan sosial sebagai intervensi.
D. Model Kebijakan Sosial
Diskursus kebijakan sosial adalah karena isu kesejahteraann dan oleh karena itu menyejahterakan negara. Xxxxxx menyatakan bahwa negara yang sejahtera adalah ekonomi pasar dengan regulasi publik untuk tujuan tertentu. Ia berfungsi sebagai sarana untuk mengatasi kegagalan pasar dan untuk membantu segmen masyarakat yang lebih miskin (Xxxxxx, 2003: 15). Ada tiga model kebijakan sosial berkenaan dengan negara yang sejahtera. Pertama, model kebijakan sosial yang menempatkan pengurangan kemiskinan sebagai agenda inti. Model tersebut diimplementasikan oleh negara-negéra Anglo Saxon, seperti Inggris, AS, Australia, dan Selandia Baru. Kedua, model kebijakan sosial yang memfokuskan pada perlindungan orang-orang yang bekerja. Model tersebut sebagian besar diimplementasikan oleh negara-negara Eropa Tengah, khususnya Jerman dan Xxxxxxx. Ketiga, model kebijakan sosial yang memberikan perlindungan minimum bagi semua orang dan juga melindungi pendapatan masyarakat. Model tersebut diimplementasikan oleh negara-negara Skandinavia dan Belanda. Namun, seperti yang dinyatakan Esping-Xxxxxxxx (1999), sejak 1990-an, perbedaan ketiga tipe negara yang sejahtera tersebut menjadi kurang jelas.
Model | Fokus kemiskinan | Melindungi pekerja | Perlindungan minimum bagi masyarakat dan para pekerja |
Negara | Inggris, Amerika Serikat, Australia | Jerman, Prancis | Norwegia, Swedia, Denmark, Belanda |
Pemerintah | Masyarakat | |
Regulator | Kebijakan sosial | Diatur sendiri |
Operator | Departemen sosial | Lembaga sosial |
Juga ada diferensiasi antara model di mana negara berperan sebagai regulator, dan negara sebagai operator atau pengatur program. Pada kenyataannya, pemerintah dan masyarakat dapat melakukan keduanya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dinyatakan kebijakan sosial merupakan disiplin ilmu dan praktik. Sebagai suatu disiplin ilmu, kebijakan sosial disusun dari berbagai disiplin ilmu, seperti sosiologi, psikologi, ekonomi, pendidikan, demografi, kesehatan, hukum dan kriminologi. Kebijakan sosial fokus pada studi pembangunan sosial, keadilan sosial, dan kesejahteraan sosial. Kebijakan sosial adalah keputusan pemerintah pada pembangunan sosial, keadilan sosial, dan kesejahteraan sosial; mengenai perumusan, implementasi, kontrol, dan kinerja.
Cross Fretilizer
The study of
social polity
Int erse ct
The Practice of social policy
Cross Fretilizer
Kebijakan sosial sebagai disiplin ilmu dan praktik berjalan “berdampingan” karena studi ini bertujuan untuk mempertinggi kaulitas praktik, dan praktik bertujuan untuk mengembangkan kekayaan studi kebijakan sosial. Studi kebijakan sosial menjalankan proses pemupukan silang.
BAB IV KEBIJAKAN SOSIAL, SUATU
TINJAUAN TEORITIS
A. Tujuan Kebijakan Sosial
Tujuan kebijakan sosial adalah kesejahteraan sosial tetapi jenis kesejahteraan sosial seperti apa? Setiap masyarakat mempunyai kriterianya sendiri tentang kesejahteraan. Oleh karena itu, pertanyaan tentang jenis kesejahteraan dapat dijawab dengan kembali melihat pada misi bangsa yang dituliskan dalam Undang-Undang Dasar. Tujuan pokok kebijakan sosial adalah memberikan kunci bagi keadilan nasional dan kemakmuran sosial. Salah satu dari banyak tujuan kebijakan sosial adalah untuk mempertahankan integrasi dan harmoni di dalam bangsa (Hill, 1993: 5) sebagai bahan dasar untuk stabilitas politik dan pembangunan, dan terutama untuk memastikan kemajuan dan pertumbuhan ekonomi.
2
Idiologi
Idiologi dan politik
Hubungan idiologi politik dan kebijakan publik
Hubungan ideology politik dan kebijakan sosial
Kebijakan sosial sangat terkait dengan kebijakan- kebijakan lain, khususnya politik dan ekonomi. Kebijakan sosial adalah kebijakan yang diperlukan dan harus ada. Praktik kebijakan publik di Asia, seperti Singapura, Taiwan, Korea
Selatan, dan Jepang sejalan dengan kebijakan sosial. Malaysia dan Indonesia juga sedang memulai untuk mengintegrasikan kebijakan publik dan kebijakan sosial. Negara-negara tersebut bahkan meletakkan kebijakan sosial di jantung kebijakan publik. ”Bagaimana kebijakan sosial berjalan?” Ada dua isu yang terkait: kebijakan sosial berhubungan dengan ideologi, dan kebijakan sosial dalam hal pengeluaran pemerintah harus bersaing dengan kebijakan-kebijakan lain untuk alokasi
anggaran (Hill, 1993: 4-5).
Oleh karena kebijakan sosial adalah keputusan pemerintah, dengan demikian kebijakan sosial terkait dengan politik (Hill, 1993) dan politik adalah tentang ideologi. Di sini, kita sedang berusaha untuk menjalankan hubungan ideologi dan politik dengan kebijakan publik dan kebijakan sosial.
Pertanyaan pertama adalah: ”Apakah ideologi itu?” Ideologi adalah kepercayaan tentang kebaikan. Ideologi sosialis percaya bahwa kepentingan masyarakat berada di atas kepentingan individu yang disebut kebaikan. Ideologi individualis percaya pada kebaikan kepentingan individu yang terlebih dahulu harus dilayani sebelum kepentingan umum. Ideologi kapitalis percaya pada akumulasi modal individu dan modal liberal dalam skema pasar bebas sebagai kebaikan. Ideologi komunis, di lain pihak, mempercayai bahwa kebebasan individu akan merusak masyarakat; Oleh karenanya pemerintah harus membentuk masyarakat sebagai satu kesatuan di bawah satu pe’ rintah tunggal dari penguasa atau pemerintah. Sehingga, karena ideologi adalah kepercayaan akan kebaikan, setiap masyarakat memiliki kepercayaannya sendiri akan kebaikan.
Pertanyaan selanjumya adalah:”Apakah hubungan antara ideologi dun politik?” Ideologi selalu bersifat politis dan bukan hanya ideologi semata. Ideologi adalah tentang siapa yang mempunyai kekuasaan untuk menentukan apa yang baik dan apa yang tidak baik. Kebaikan selalu ditentukan oleh kekuasaan dan kewenangan. Kekuasaan dan kewenangan dimiliki oleh lembaga-lembaga politik dalam sistem politik apa pun.
Selanjutnya, ”Apa hubungan antara ideologi politik dun kebijakan publik?” Ideologi politik menentukan bagaimana kebijakan publik dipahami dan oleh karenanya dikembangkan dan dijalankan sebagai akuntabilitas dan tanggung jawab politik bagi pemegang kekuasaan dan kewenangan.
Singkat kata, ideologi menentukan kebijakan sosial, khususnya dalam hal ”menentukan tujuan kebijakan sosial”. Oleh karenanya, di sebagian negara, tujuan kebijakan sosial berubah ketika ideologi negara berubah, dari federasi Rusia dan negara-negara bekas sosialis di Eropa Timur sampai negara- negara demokratis baru menjadi negara-negara demokratik, seperti Indonesia.
Idiologi
Kebijakan Sosial
Apakah demikian? Seiring dengan hal ini, kita sampai pada kebijaksanaan Xxxxxxx Xxxx tentang sasaran kontributif kebijakan sosial: ”kontribusi kebijakan sosial adalah mengintegrasikan dan membangun harmoni dalam bangsa” (Hill, 1997, 4-5).
Kebijakan sosial adalah tentang menyatukan masyarakat sebagai satu kesatuan. Kebijakan sosial tidak diperkenalkan secara paksa, tetapi melalui proses nilai dan tindakan alamiah, saling memengaruhi antara individu dan kelompok di dalam masyarakat.
B. Fungsi Kebijakan Sosial
Kebijakan ada karena fungsi yang ditujukannya, dan keberadaan kebijakan tergantung pada kapabilitas melayani fungsi yang dilakukannya. Xxxx Xxxxx (2006) menyatakan bahwa ada lima fungsi kebijakan sosial: