BAB II
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN KEAGENAN, PERJANJIAN PEMBERIAN KUASA, PERJANJIAN KERJASAMA, PERBANKAN DAN LAKU PANDAI
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Bab II Buku III KUH Perdata Indonesia menyamakan kontrak dengan perjanjian. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUH Perdata, yakni “Perikatan yang lahir dari kontrak atau perjanjian”.55 Digunakannya kata “atau” diantara “kontrak” dan “perjanjian” menunjukkan kepada kita, bahwa kata “perjanjian” dan “kontrak” menurut Buku III KUH Perdata adalah sama dan cara penyebutannya secara berturut-turut seperti tersebut di atas memang disengaja dengan tujuan untuk menunjukkan, bahwa pembuat undang-undang menganggap kedua istilah tersebut mempunyai arti yang sama.56
Sampai saat ini istilah “kontrak” atau “perjanjian” seringkali masih dipahami secara rancu dalam praktik bisnis. Pelaku bisnis banyak yang memahami bahwa kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang berbeda. Padahal, secara dogmatik, KUH Perdata sebagai produk hukum kontrak warisan kolonial Belanda menggunakan istilah “overeenkomst” dan “contract” untuk pengertian yang sama, sebagaimana dapat dicermati dari judul Buku III titel kedua tentang “Perikatan – Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian” yang dalam
55Xxxxxx Xxxxxxxxx, Loc.Cit
56X.Xxxxxx, Loc.Cit
bahasa Belanda sebagai bahasa aslinya yakni “xxx xxxxxxxxxxxxxx die uit contract of overeenkomst geboren worden”.57
Pemahaman yang berbeda tentang istilah “kontrak” dengan “perjanjian” atau “persetujuan” ditegaskan oleh X.Xxxxxxx. Istilah kontak, menurut X.Xxxxxxx mempunyai pengertian yang lebih sempit, karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang dibuat secara tertulis.58 Lebih lanjut Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx menjelaskan bahwa sistematika KUH Perdata Buku III tentang Hukum Perikatan mengatur tentang overeenkomst yang apabila diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak adalah terjemahan dari contract dalam Bahasa Inggris.59
Istilah “kontrak” dalam istilah “hukum kontrak” merupakan kesepadanan dari istilah “contract” dalam bahasa Inggris. Istilah kontrak dalam bahasa Indonesia sebenarnya sudah lama ada, dan bukan merupakan istilah yang asing. Misalnya dalam hukum kita sudah lama dikenal istilah “kebebasan berkontrak”, bukan kebebasan “berperjanjian”, “berperhutangan”, atau “berperikatan”.60
Grotius memahami kontrak adalah suatu perbuatan sukarela dari seseorang yang membuat janji tentang sesuatu kepada seseorang lainnya dengan penekanan bahwa masing-masing akan menerimanya dan melaksanakannya sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Kontrak bahkan dipahami oleh Xxxxxxx lebih dari sekedar janji, karena kontrak dibuat berdasakan kehendak bebas dan kekuatan
57Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Persfektif Filsafat, Teori, dan Praktik Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2012, hlm 15
58X.Xxxxxxx, Hukum Perjanjian, dalam bukunya Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, hlm 15
59Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Op.Cit, hlm 17
60Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2007, hlm 2
personal dari individu-individu yang membuatnya, yang didukung oleh harta kekayaan yang mereka miliki yang dapat dialihkan berdasarkan kontrak tersebut.61
Kontrak, menurut Hartkamp adalah tindakan hukum yang terbentuk dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan perihal aturan bentuk formal oleh perjumpaan pernyataan kehendak yang saling bergantung satu sama lain sebagaimana dinyatakan oleh dua atau lebih pihak, dan dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak serta atas beban pihak lainnya atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah (semua) pihak bertimbal balik.62
Selanjutnya, Xxxxkamp juga memaparkan ciri atau karakteristik lainnya dari pengertian kontrak, sebagai berikut:63
1) Kontrak bentuknya bebas, namun untuk beberapa kontrak tertentu, suatu bentuk khusus dipersyaratkan oleh peraturan perundang – undangan;
2) Tindakan hukum harus terbentuk oleh atau melalui kerja sama dari dua atau lebih pihak;
3) Pernyataan kehendak yang berkesesuaian tersebut tergantung satu dengan yang lainnya;
4) Kehendak dari para pihak harus ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; dan
61Ibid, hlm 19
62Hartkamp, dalam Xxxxxxx Xxxxxxx, dalam Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, hlm 19-20
63Ibid,
5) Akibat hukum ini ditimbulkan demi kepentingan satu pihak dan atas beban pihak lainnya, atau demi kepentingan dan atas beban kedua belah pihak.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan perjanjian sebagai persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang ada dalam persetujuan itu.64 Sedangkan menurut Xxxxx Xxxxxxx, kontrak adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan para pihak yang lain untuk menunaikan prestasi.65 Unsur dari wujud pengertian perjanjian tersebut di atas adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum harta kekayaan antara dua orang (person) atau lebih.
Menurut Subekti, kontrak adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengatakan bahwa, kontrak dapat diartikan sebagai hubungan yang terjadi diantara dua orang atau lebih, yang terletak di dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak yang lainnya wajib memenuhi prestasi itu.66
Xxxxxxx Prodjodikiro, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap tidak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
64Departemen Pendidikan Nasional, KBBI, dalam Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perikatan (Teori Hukum dan Teknis Pembuatan kontrak, Kerja sama, dan Bisnis, Setara Press, 2016, hlm 15
65Xxxxx Xxxxxxx, Segi-Segi Hukum, dalam Xxxxxx Xxxxxxx, Loc.Cit
66Subekti, Op.Cit, hlm 15-16
melakukan suatu hal, sedangkan pihak yang lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji tersebut.67 Terkait adanya perbedaan penafsiran definisi kontrak dan perjanjian atau perikatan oleh beberapa ahli, misalnya X.X Xxxxxxxxxx, X.Xxxxxx, Xxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx, dan lainnya yang memberikan pengertian sama antara perjanjian dan kontrak.68
Menurut Xxxxx 1313 KUH Perdata perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.69 Definisi tersebut dianggap tidak lengkap dan terlalu luas. Dikatakan tidak lengkap, karena definisi tersebut hanya mengacu kepada perjanjian sepihak saja. Hal ini terlihat dari rumusan kalimat “yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih”.70
Mengingat kelemahan tersebut, X.Xxxxxx mengusulkan agar rumusan diubah menjadi “perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri”. X.Xxxxxx membedakan perjanjian dalam arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin. Dalam arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan
67Ratna Xxxxx Xxxxxxx, Loc.Cit
68Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Perikatan..., hlm 16
69Ratna Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014, hlm 2
70Ridwan Xxxxxxxxx, Loc.Cit
hukum dalam lapang hubungan harta kekayaan saja sebagimana diatur dalam Buku III KUH Perdata.71
Xxxxxx Found menyatakan bahwa “memenuhi janji” adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan sosial. Hukum kontrak berkaitan dengan pembentukan dan melaksanakan suatu janji. Suatu janji adalah suatu pernyataan tentang sesuatu kehendak yang akan terjadi atau tidak terjadi pada masa yang akan datang.72 Dapat dikatakan bahwa xxxxx merupakan pernyataan yang dibuat oleh seseorang kepada orang lain yang menyatakan suatu keadaan tertentu. Janji itu mengikat dan janji itu menimbulkan utang yang harus dipenuhi.73
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx perjanjian hendaknya dibedakan dengan janji. Walaupun janji itu didasarkan pada kata sepakat, tetapi kata sepakat itu tidak untuk menimbulkan akibat hukum, yang berarti bahwa apabila janji itu dilanggar, tidak ada akibat hukumnya atau tidak ada sanksinya.74
2. Unsur-Unsur Perjanjian
Dari beberapa definisi kontrak di atas dapat diketahui unsur-unsur yang terdapat di dalam kontrak. Penarikan kesimpulan unsur-unsur tersebut disesuaikan dengan makna kontrak yang berkembang di Indonesia.75 Dari makna kontrak yang
71Ibid, hlm 58-59
72Xxxxx XxXxx Xxxxxx dan Xxxxxxx X.Xxxxx dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia Dalam persepektif perbandingan (bagian pertama)cetakan pertama, FH UII Press, Yogyakarta, 2014, hlm 57
73X.Xxxxxx, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1995, hlm 146
74Sudikno Mertokusumo dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, hlm 58
75Ibid, hlm 66
berkembang di Indonesia dan Belanda dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa unsur yang terdapat dalam kontrak, yaitu:76
1) Ada para pihak;
2) Ada kesepakatan yang membentuk kontrak;
3) Kesepakatan itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum; dan
4) Ada objek tertentu.
Dikaitkan dengan sistem hukum kontrak yang berlaku di Indonesia, unsur- unsur perjanjian tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi, yaitu unsur essentialia, unsur naturalia, dan unsur accidentalia. Menurut X.Xxxxxx, unsur- unsur itu lebih hanya diklasifikasikan dalam dua klasifikasi saja, yaitu unsur essentalia dan bukan unsur essentalia.77
Unsur essentialia adalah unsur yang harus ada di dalam suatu perjanjian. Unsur ini merupakan sifat yang harus ada dalam perjanjian. Sifat ini menentukan atau mengakibatkan suatu perjanjian tercipta.78 Tanpa adanya unsur ini, maka tidak ada perjanjian. Misalnya di dalam perjanjian jual beli, unsur adanya barang dan harga barang adalah yang mutlak ada di dalam perjanjian jual beli. Unsur mutlak yang harus ada di dalam perjanjian sewa-menyewa adalah kenikmatan atas suatu barang dan harga sewa.79
Unsur naturalia adalah unsur perjanjian yang oleh hukum diatur tetapi dapat dikesampingkan oleh para pihak. Bagian ini merupakan sifat alami perjanjian
76Ibid
77X.Xxxxxx, ...Buku I, dalam bukunya Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia, hlm 66 78Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hlm 25 79Ibid,
secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti penjual wajib menjamin bahwa barang tidak ada cacat (vrijwaring).80
Unsur accidentalia adalah unsur yang merupakan sifat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak. Misalnya, di dalam suatu perjanjian jual –beli tanah, ditentukan bahwa jual-beli ini tidak meliputi pohon atau tanaman yang berada di atasnya.81
Di dalam sistem common law, kontrak dimaknai sebagai persetujuan (agreement) antara pihak lainnya yang melakukan penerimaan atas penawaran tersebut (acceptance). Tanpa adanya kesepakatan bersama (mutual assent), maka tidak ada kontrak. Konsep ini sebenarnya sama dengan konsep kesepakatan berdasarkan hukum perjanjian Indonesia dan Belanda.82
Dengan konsep tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur utama dalam kesepakatan adalah penawaran dan penerimaan. Orang yang membuat penawaran disebut offeror, dan orang yang menerima tawaran tersebut disebut offeree.83
The oxford Universal Dictonary mendefinisikan penawaran (offer) sebagai pernyataan kehendak untuk memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu atau membayar sesuatu. Definisi hukum mengenai penawaran serupa dengan definisi di atas. Di dalam hukum, suatu penawaran adalah suatu pernyataan kehendak dari pihak yang satu (offeror) mengenai kehendaknya untuk melakukan suatu kewajiban dengan syarat-syarat tertentu. Pernyataan kehendak itu dibuat dengan
80Ibid, 81Ibid, 82Ibid, 83Ibid,
maksud agar ada penerimaan (accepance) dari syarat-syarat itu oleh pihak lainnya
(offeree), dan offeror akan terikat untuk melaksanakan kewajibannya.84
Penawaran adalah janji atau komitmen untuk melakukan atau tidak melaksanakan suatu perbuatan pada masa yang akan datang.85 Penawaran ini adalah manifestasi keinginan untuk mengadakan suatu tawar-menawar (bergain) kepada pihak lainnya. Suatu penawaran akan valid apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:86
1) Penawaran harus serius, ada maksud yang secara objekif untuk terikat terhadap penawaran;
2) Isi penawaran harus tertentu dan rasional;dan
3) Penawaran harus disampaikan kepada pihak yang akan menerima penawaran.
Unsur berikutnya dari kontrak adalah penerimaan (acceptance). Tanpa adanya penerimaan, tidak ada kontrak. Penerimaan dapat didefinisikan sebagai kesepakatan akhir dari offere terhadap persyaratan penawaran. Penerimaan dapat dilakukan dengan cara tertentu. Penerimaan dapat dilakukan secara tegas (eksplisit) atau dilakukan secara tidak langsung yang dapat ditafsirkan dari perbuatan atau perilaku (implisit) offeree.87
84Lim Kit-Wyedan Xxxxxx Yet, Contract Law, dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia..., hlm 67-68
85Xxxxx XxXxx Xxxxxx dan Gayland X.Xxxxx, dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia..., hlm 68
86Ibid,
87Lim Kit-Wye dan Xxxxxx Yet, dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia..., hlm
68
3. Syarat Sah Perjanjian
Mengikat atau tidak mengikatnya suatu kontrak terhadap para pihak yang membuatnya tergantung kepada sah atau tidak sahnya kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu kontrak dapat dipastikan dengan mengujinya menggunakan instrumen hukum yang terkonkritisasi dalam wujud syarat-syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana diatur secara sitematis dalam Buku III KUH Perdata, yaitu :88
1) Syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata;
2) Syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu Pasal 1335, Pasal 1339, dan Pasal 1347.
Khusus Pasal 1320 KUH Perdata dapat ditegaskan sebagai instrumen hukum yang pokok untuk menguji sahnya suatu kontrak yang dibuat oleh para pihak, karena Pasal tersebut menentukan adanya empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu kontrak, yaitu :89
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de toestemming van degenen die zich verbinden);
2) Cakap untuk membuat suatu kontrak (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan);
3) Objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat ditentukan (eene bepald onderwerp objekt);
4) Sebab atau kausa yang tidak dilarang (eene geoorloofde oorzak).
88Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx, Op.Cit, hlm 110
89Ibid,
Syarat sahnya suatu kontrak yang kesatu (sepakat mereka yang mengikatkan dirinya) dan syarat kedua (cakap untuk membuat suatu kontrak) disebut syarat subjektif, karena menyangkut subjek hukum, yaitu orang-orang atau pihak-pihak yang membuat kontrak. Sedangkan syarat ketiga (objek atau pokok persoalan tertentu atau dapat ditentukan) dan keempat (sebab atau kausa yang tidak dilarang) disebut sebagai syarat objektif karena menyangkut objek hukum yang diperjanjikan oleh orang-orang atau subjek hukum yang membuat kontrak tersebut.90
Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut berakibat kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif).91 Adapun penjelasan mengenai syarat sahnya perjanjian, yaitu sebagai berikut :
Pertama, adalah adanya kata sepakat. Pada dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati.92 Di dalam pembentukan kata sepakat (toesteming) terdapat unsur penawaran (offer, offerte) dan penerimaan (acceptance, acceptatie). Kata sepakat pada prinsipnya adalah terjadinya
90Ibid, hlm 110-111
91Kartini Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm 94
92X.Xxxxxx, ...Dari Perjanjian, dalam buku Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia..., Op.Cit, hlm 168
persesuaian antara penawaran dana penerimaan. Kata sepakat itu sendiri pada dasarnya adalah pertemuan antara dua kehendak.93
Penawaran adalah pernyataan dari satu pihak mengenai usul suatu ketentuan perjanjian atau usul untuk menutup perjanjian kepada pihak lainnya yang menerima penawaran. Adapaun penerimaan adalah persetujuan akhir terhadap suatu penawaran. Apabila penawaran itu telah diterima atau disetujui oleh pihak lainnya, maka terjadi penerimaan. Disini terjadi persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Saat penerimaan itulah yang menjadi unsur penting dalam menentukan lahirnya perjanjian.
Persesuaian kehendak saja tidak akan menciptakan atau melahirkan perjanjian. Kehendak itu harus dinyatakan atau dengan kata lain harus ada pernyataan kehendak. Pernyataan kehendak tersebut harus merupakan bahwa yang bersangkutan menghendaki timbulnya hubungan hukum.94
Berkaitan dengan bentuk pernyataan kehendak, KUH Perdata mensyaratkan sebuah kontrak atau perjanjian harus dituangkan dalam bentuk formal dan tertentu (tertulis) seperti perjanjiaan perdamaian. Pernyataan kehendak itu sendiri dapat diungkapkan dalam berbagai cara. Dapat secara tegas dan dapat pula secara diam- diam. Ada beberapa cara menyatakan kehendak secara tegas, yaitu pernyataan secara tegas dengan tertulis, pernyataan secara tegas dengan lisan, dan pernyataan secara tegas dengan tanda.95
Kedua, adanya kecakapan yang para pihak yang membuat perjanjian. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat
93Xxxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit, hlm 168
94Ibid, hlm 169
95Ibid, hlm 170-171
perjanjian, kecuali apabila undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata tidak menentukan siapa yang cakap melakukan perbuatan untuk mengadakan perjanjian, tetapi menentukan secara negatif, yaitu siapa yang tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Orang-orang yang tidak cakap tersebut, yaitu:96
1) Orang yang belum dewasa;
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan
3) Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang- undang, dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang yang dilarang untuk membuat perjanjian tertentu.
Hukum perikatan Indonesia sama sekali tidak menentukan tolak ukur atau batasan umur agar seseorang dinyatakan dewasa. Buku III KUH Perdata tidak menentukan tolak ukur kedewasaan tersebut. Ketentuan tentang batasan umur ditemukan dalam Buku I KUH Perdata tentang orang.97
Berdasarkan Buku I Pasal 330 KUH Perdata, seseorang dianggap dewasa jika dia telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum perjanjian Indonesia tidak menentukan batasan umur untuk menentukan kedewasaan. Batasan umur sebagai tolak ukur kedewasaan tersebut diatur dalam hukum perorangan atau hukum keluarga.98
Ketiga, adanya obyek tertentu. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu, suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu (certainty of terms). Suatu hal tertentu yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata adalah kewajiban debitur dan
96Ibid, hlm 176
97Ibid,
98Ibid, hlm 177
hak kreditur. Ini berarti bahwa hal tertentu itu adalah apa yang diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak. Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata menentukan, suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Zaak atau benda dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan.99
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxxx, bahwa objek perikatan adalah prestasi, maka perjanjian atau kontrak sebagai bagian dari perikatan, juga memiliki objek yang sama yaitu prestasi. Pokok persoalan di dalam kontrak adalah prestasi. Prestasi harus tertentu atau setidak-tidaknya harus dapat ditentukan.100
X.Xxxxxx juga menyatakan bahwa objek perjanjian adalah isi dari prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan. Jika Pasal 1332 dan Pasal 1334 KUH Perdata berbicara tentang zaak yang menjadi objek perjanjian, maka zaak di sini adalah objek perjanjian. Zaak dimaksud dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata, adalah zaak dalam arti prestasi berupa “perilaku tertentu” hanya mungkin untuk prestasinya adalah untuk memberikan sesuatu.101
Keempat, adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa di dalam ilmu hukum sebenarnya mengandung makna perlu adanya dasar yang melandasi hubungan hukum di bidang kekayaan. Dasar inilah yang dinamakan kausa. Pembuat undang- undang ketika mengatakan suatu perjanjian tidak memiliki kausa hukum atau kausanya tidak halal, maka perjanjian tidak sah, sebenarnya hendak menyatakan
99Ibid, hlm 186
100Ibid,
101X.Xxxxxx, ....Dari Perjanjian, dalam Buku Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia,
hlm 187
bahwa suatu perjanjian hanya akan memiliki akibat hukum jika memenuhi dua syarat. Syarat yang pertama yang menyatakan bahwa tujuan perjanjian mempunyai dasar yang pantas atau patut. Syarat yang kedua menyatakan bahwa perjanjian itu harus mengandung sifat yang sah.102
Halal disini maksudnya adalah kausa hukum yang ada tidak bertentangan peraturan perundang-undangan atau ketertiban umum, atau kesusilaan. Pasal 1335 Xx Xxxxx 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.103
4. Jenis Perjanjian
Pasal 1319 KUH Perdata menyebutkan dua kelompok perjanjian yang (oleh undang-undang) diberikan suatu nama khusus kita sebut perjanjian bernama (bernoemde atau nominaatcontract) dan perjanjian yang dalam undang-undang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu yang kita sebut perjanjian tidak bernama (onbenoemde atau innominatcontraction).104
Nama-nama yang dimaksud adalah nama-nama yang diberikan oleh undang- undang, seperti jual beli, sewa-menyewa, perjanjian pemborongan, perxxxxxxx xxxxxxxx, dan lain-lain. Dan di samping undang-undang memberikan nama tersendiri, undang-undang juga memberikan pengaturan secara khusus atas
102Ibid, hlm 189-190
103Ibid,
104X.Xxxxxx, Hukum Perjanjian (Perjanjian Pada Umumnya), Citra Xxxxxx Xxxxx, 1992, hlm
115
xxxxxxxxxx-perjanjian bernama. Dari contoh-contoh tersebut nampak, bahwa perjanjian bernama tidak hanya terdapat di dalam KUH Perdata saja, tetapi juga di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang bahkan di dalam undang-undang yang tersendiri.105
Diluar perjanjian yang bernama sesuai dengan dianutnya asas kebebasan berkontrak di dalam KUH Perdata terdapat bermacam-macam perjanjian lain, yang secara teoritis tidak terbatas variasinya dan ada diantaranya yang oleh masyarakat diberi nama tertentu.106 Oleh karena itu hal tersebut yang sering dikatakan sebagai perjanjian tidak bernama. Perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomst/innominaat) adalah perjanjian yang belum diatur di dalam KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat.107
Perbedaan diantara perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama bukan dimaksudkan untuk membedakan antara perjanjian-perjanjian yang timbul dalam praktik sehari-hari yang memakai atau diberi nama tertentu dengan nama yang baik. Yang kita namakan perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang diberikan nama dan pengaturan secara khusus dalam titel V sampai dengan titel XIX Buku III KUH Perdata, dalam Kitab-Kitab Hukum Dagang dan di dalam perundang-undangan lain.108
Jadi perjanjian bernama adalah perjanjian-perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturannya secara khusus dalam undang- undang. Dengan demikian sekarang kita tahu, bahwa perjanjian tak bernama
105Ibid
106Ibid, hlm 116
107Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet I, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2001, hlm 67
108X.Xxxxxx, Loc.Cit
adalah perjanjian-perjanjian yang belum mendapat pengaturannya secara khusus dalam undang-undang.109
Lahirnya perjanjian tidak bernama dimungkinkan karena Buku III KUH Perdata mempunyai sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak, seperti diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat berdasarkan persetujuan atau kesepakatan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, yang dikenal dengan asas pacta sunt servanda.110
Perjanjian yang dibuat secara sah adalah yang dibuat sesuai ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, adanya obyek, dan adanya kausa halal mutlak harus terpenuhi agar perjanjian tersebut menjadi sah secara hukum. Beberapa contoh perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian sewa beli, fidusia, franchise, leasing, konsinyasi,111 keagenan, dan masih banyak lagi perjanjian tidak bernama di Indonesia terutama dalam kegiatan bisnis.
B. Perjanjian Keagenan
1. Pengertian Keagenan
Pengertian Agen menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Xxxxxx dan/atau Jasa
109Ibid,
110xxxx://xxx.x-xxxxxxx.xxxx.xx.xx/0000/0/XX000000.xxx, diakses terakhir tanggal 7 Januari 2017 pukul 18.30 WIB
111Ibid,
mendefinisikan yang dimaksud dengan agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dikuasi oleh prinsipal yang menunjuknya.112 Dari pengertian tersebut, agen memiliki karakter-karakter sebagai berikut :113
1) Agen adalah perusahaan perdagangan nasional;
2) Xxxx bertindak selaku perantara;
3) Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipalnya;
4) Hubungan hukum antara prinsipal dan agen dituangkan dalam bentuk perjanjian keagenan;
5) Tujuan ditunjuknya agen adalah untuk pemasaran barang atau jasa;
6) Agen tidak perlu melakukan pemindahan hak atas barang atau jasa yang dikuasakan padanya oleh prinsipalnya.
Agen (agent) adalah seseorang yang diberikan kewenangan oleh prinsipal (principal) untuk mewakili dirinya untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pihak ketiga.114 Sedangkan di dalam bukunya Purwosutjipto yang dimaksud dengan agen adalah orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara dengan pihak ketiga.115
112Xxxx Xxxxxxx, Keagenan (Agency) Prinsip-Prinsip Dasar, Teori, dan Problematika Hukum Keagenan, 2015, Ghalia Indonesia, Bogor, hlm 70-71
113Ibid, hlm 71
114Xxxxx Xxxxx, dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2013, hlm 247
115H.M.N.Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm 47
Pasal 1 butir 14 – 19 Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 23 Tahun 1998, menjabarkan agen sebagai berikut :116
1) Agen tunggal pemegang merek (ATPM) termasuk agen pemegang lisensi adalah perorangan atau badan usaha yang ditunjuk untuk dan atas nama pabrik pemilik merek barang tertentu untuk melakukan penjualan dalam partai besar barang dari pihak tersebut.
2) Agen adalah perorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya untuk melakukan pembelian, penjualan/pemasaran tanpa melakukan pemindahan fisik barang.
3) Agen pabrik (manufactures agent) adalah agen yang melakukan kegiatan penjualan atas nama dan untuk kepentingan pabrik yang menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang.
4) Agen penjualan (sales agent) adalah agen yang melakukan penjualan atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang.
5) Agen pembelian (purchasing agent) adalah agen yang melakukan pembelian atas nama dan untuk kepentingan pihak lain yang menunjuknya tanpa melakukan pemindahan fisik barang.
6) Agen penjualan pemegang merek (APPM) adalah agen yang melakukan penjualan atas nama dan untuk kepentingan agen tunggal pemegang merek (ATPM) yang menunjuknya.
116KRMT.Titodiningrat, Ichtisar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, dalam Sentosa Sembiring, Hukum Dagang, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2008, hlm 119 - 121
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 terdapat beberapa istilah yang merujuk pada praktik-praktik perdagangan khususnya terkait dengan agen. Beberapa istilah tersebut adalah :117
1) Agen adalah perusahaan perdagangan nasional yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan perjanjian untuk melakukan pemasaran tanpa melakukan pemindahan hak atas fisik barang dan/atau jasa yang dikuasi oleh prinsipal yang menunjuknya.
2) Agen tunggal adalah perusahaan perdagangan nasional yang mendapatkan hak eksklusif dari prinsipal berdasarkan perjanjian sebagai satu-satunya agen di Indonesia atau wilayah pemasaran tertentu.
3) Sub agen agen adalah perusahaan perdagangan nasioanal yang bertindak sebagai perantara untuk dan atas nama prinsipal berdasarkan penunjukan atau perjanjian dari agen atau agen tunggal untuk melakukan pemasaran.
Pada kegiatan perdagangan, yang dimaksud dengan agen adalah seseorang atau badan yang usahanya adalah menjadi perantara yang diberi kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu, misalnya melakukan transaksi atau membuat perjanjian antara seseorang dengan siapa ia mempunyai hubungan yang tetap (prinsipal) dengan pihak ketiga, dengan mendapatkan imbalan jasa.118 Agen bukanlah karyawan prinsipal, ia hanya melakukan perbuatan tertentu atau mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga, dan pada pokoknya agen merupakan kuasa prinsipal.
117Agus Xxxxxxxx dkk, Pengantar Hukum dagang, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm
118
118Badan Pembinaan Hukum Nasional, dalam Aries Buwana, Op.Cit, hlm 33
Secara lebih lanjut, keagenan diartikan sebagai suatu hubungan hukum dimana seseorang atau pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama (pihak) prinsipal untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan agen sepanjang dilakukan dalam batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya.119 Dengan perkataan lain, apabila seorang agen dalam bertindak melampaui batas kewenangannya, maka ia bertanggung jawab secara sendiri atas tindakan tersebut.
Menurut Xxxxx Xxxxxx, keagenan didefinisikan sebagai hubungan yang timbul dimana satu pihak yang disebut sebagai agen bertindak untuk pihak lainnya yang disebut prinsipal. Berdasarkan tindakan agen, prinsipal, dan pihak ketiga masuk ke dalam hubungan kontraktual. Umumnya, agen dapat bertindak demikian karena prinsipal telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan tindakan yang dimaksud dan agen menyetujui untuk melakukannya.120 Pada dasarnya keagenan adalah perjanjian antara seorang perantara dan prinsipal. Perantara mengikatkan diri kepada prinsipal untuk melakukan suatu perbuatan hukum untuk kepentingan prinsipal. Dengan perkataan lain, keagenan dapat dimaknai sebagai perjanjian antara seorang prinsipal dan seorang perantara, di mana prinsipal memberikan kewenangan kepada perantara untuk mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga untuk kepentingan prinsipal.121 Hubungan hukum
antara prinsipal dan agen didasarkan pada perjanjian keagenan.122
119X.Xxxxx Xxxxxxxx, Pemahaman Terhadap Beberapa Aspek Dalam Perjanjian, Xxxxxxxx, No.2, 1996, hlm 174
120Aries Buwana, Op.Cit, hlm 29 121Xxxxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit, hlm 248 122Ibid,
Perjanjian keagenan merupakan salah satu bentuk perjanjian tidak bernama atau dengan kata lain suatu perjanjian yang tidak mendapatkan pengaturan secara khusus dalam KUHPerdata. Meskipun terkandung aspek “perwakilan”, perjanjian keagenan tidak sepenuhnya sama dengan perjanjian pemberian kuasa (lastgeving).123
Dalam buku Himpunan Peratutan Keagenan dan distributor yang diterbitkan oleh Departemen Perdagangan RI yang diterbitkan pada tahun 2006 mendefinisikan yang dimaksud dengan perjanjian keagenan adalah perjanjian antara prinsipal dan agen di mana prinsipal memberikan amanat kepada agen untuk dan atas nama prinsipal menjualkan barang dan atau jasa yang dimiliki atau dikuasai oleh prinsipal”.124 Pasal 22 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 disebutkan mengenai pengakhiran perjanjian, bahwa perjanjian keagenan yang masih berlaku, dapat berakhir atas dasar persetujuan dari kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan dan ketentuan hukum yang berlaku.
Beberapa sebab yang dapat mengakibatkan berakhirnya perjanjian keagenan sebelum masa berlakunya berakhir adalah :125
1) Perusuhaan dibubarkan;
2) Perusahaan menghentikan usaha;
3) Dialihkan hak keagenan;
4) Bangkrut atau terjadinya kepailitan;
123Xxxxxxxx Xxxxx, Tinjauan Xxxxxxx Xxxjanjian Keagenan, Loc.Cit
124Departemen Perdagangan RI, Himpunan Peraturan Keagenan dan Distributor, dalam Xxxx Xxxxxxxx dkk, Pengantar Hukum Dagang, ibid, hlm 109
125Ibid,
5) Perjanjian tidak diperpanjang.
2. Para Pihak dalam Perjanjian Keagenan
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa dalam keagenan terdapat 3 (tiga) pihak, yaitu :
4) Prinsipal
Prinsipal sebagai salah satu pihak di dalam perjanjian keagenan yaitu perorangan atau perusahaan yang memberi perintah/kuasa, mengangkat atau menunjuk pihak tertentu (agen) untuk melakukan suatu perbuatan hukum.126 Pasal
1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 mendefinisikan yang dimaksud dengan prinsipal adalah perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum di luar negeri atau di dalam negeri yang menunjuk agen atau distributor untuk melakukan penjualan barang dan/atau jasa yang dimiliki/dikuasai.
Xxxxxxxxx adalah orang yang memberikan tugas kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan orang lain untuk kepentingannya. Seorang prinsipal memiliki kewenangan yang diberikan kepada seoarang agen. Kewenangan tersebut, dapat diberikan secara lisan, tertulis, atau diam-diam. Bentuk keagenan yang lazim terjadi adalah dimana prinsipal menunjuk secara eksplisit (tegas) seorang agen untuk mewakili prinsipal. Agen secara khusus ditunjuk oleh prinsipal untuk melakukan beberapa perbuatan secara umum. Penunjukkan agen tersebut akan mencakup pembentukan hubungan kontraktual antara prinsipal dan
126Dalam Aries Buwana, Loc.Cit
agen. Penunjukkan secara eksplisit tersebut dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis.127
Prinsipal wajib memberikan komisi atau imbalan atau imbalan lain kepada perantara sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Apabila keperantaraan itu dilakukan tanpa komisi atau imbalan lain, maka hal tersebut harus dinyatakan secara tegas. Komisi atau imbalan lain tersebut jika tidak diperjanjikan akan diberikan sesudah perikatan atau syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian keperantaraan dipenuhi.128
Dalam bukunya Xxxxxx Xxxxx yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Bisnis (Introduction to Business Law) menyebutkan bahwa seorang prinsipal berkewajiban untuk membayarkan komisi yang telah disepakati kepada perantara dan mengganti semua pengeluaran yang diadakan oleh perantara.129 Jadi dapat disimpulkan bahwa seorang prinsipal merupakan pihak yang memberikan kewenangan atas namanya kepada seorang untuk melakukan suatu perbuatan hukum untuk bertindak dan atas nama prinsipal.
5) Agen
Penjelasan mengenai agen telah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Namun dapat disumpulkan bahwa yang dimaksud dengan agen (agent) adalah seorang yang diberikan kewenangan oleh prinsipal (principal) untuk mewakili dirinya untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan
127Xxxxxx Xxxxxxxxx, Loc.Cit
128Ibid, hlm 250
129Xxxxxx Xxxxx, Op.Cit, hlm 33-34
pihak ketiga.130 Perantara adalah orang yang memegang kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum berdasarkan kuasa atau di bawah pengawasan prinsipal.131 Seorang agen atau perantara adalah orang yang membawa prinsipalnya mengadakan hubungan kontraktual dengan pihak ketiga. Artinya, perantaralah yang membuat kontrak dengan orang lain, tetapi kontrak ini tidak mengikat atas perantara sendiri, melainkan mengikat atas orang-orang yang diwakilinya. Dalam hubungan keperantaraan tipikal, perantara membuat kontrak, lalu menyingkir.
Tinggalah kontrak di antara prinsipal dan pihak ketiga itu saja.132
Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-DAG/PER/3/2006 Pasal 20 ayat (3) seorang agen memiliki kewajiban untuk melindungi kepentingan dan kerahasiaan prinsipal terhadap barang dan/atau jasa yang diageni sesuai yang disepakati dalam perjanjian.133 Sedangkan dalam ayat (1) disebutkan bahwa agen, agen tunggal, sub agen, distributor, distributor tunggal atau sub distributor berhak mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan dan pelayanan purna jual dari prinsipal, serta secara teratur mendapatkan informasi tentang perkembangan produk.134
Perantara memiliki kewajiban untuk menyimpan keterangan yang menurut prinsipal atau menurut kepatutan harus dirahasiakan terhadap pihak ketiga. Perantara tidak diperkenankan untuk mengambil keuntungan rahasia atau menerima suap, komisi, atau sejenisnya yang berasal dari perikatan yang
130Xxxxx Xxxxx, dalam Xxxxxx Xxxxxxxxx, Loc.Cit
131Ibid, hlm 248
132Xxxxxx Xxxxx, Loc.Cit
133Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 / M-DAG / PER / 3 / 2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/atau Jasa
134Ibid,
dibuatnya untuk kepentingan perantara, meskipun hal itu tidak merugikan kepentingan prinsipal.135
Tanpa izin prinsipal, perantara dilarang melakukan tindakan yang menimbulkan pertentangan antara kepentingan sendiri dan kewajiban sebagai perantara. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa kepentingan prinsipal tidak disampingi untuk kepentingan perantara.136 Tanpa izin prinsipal, perantara tidak diperkenankan melimpahkan lebih lanjut pelaksanaan tugasnya kepada pihak lain. Pihak lain tersebut tidak mempunyai hubungan langsung dengan prinsipal, kecuali jika prinsipal secara tegas memberikan izin kepada perantara untuk melimpahkan lebih lanjut itu, jika pelimpahan itu dilakukan tanpa izin prinsipal.137
Dalam bukunya Xxxxxx Xxxxx yang berjudul Dasar-Dasar Hukum Bisnis (Introduction to Business Law) menyebutkan tentang hak dan kewajiban seorang agen atau perantara. Adapun kewajiban dari seorang agen atau perantara yaitu sebagai berikut :138
1. Perantara wajib mentaati instruksi yang diberikan oleh prinsipalnya, walaupun ia berpendapat instruksi itu keliru. Tentu kadang-kadang prinsipal mengharapkan nasihat dari perantara, bahkan mungkin alasan prinsipal memperkerjakan perantara ialah untuk memanfaatkan keahlian dan ketelitiannya. Perantara tidak boleh mendelegasikan tugasnya kepada orang lain, kecuali pendelegasian tersebut sudah disetujui prinsipal, sudah
135Ridwan Xxxxxxxxx, Loc.Cit
136Ibid,
137Ibid, hlm 251
138Xxxxxx Xxxxx, Op.Cit, hlm 30-31
merupakan adat kebiasaan dalam perniagaan, atau pendelegasian yang terjadi hanya menyangkut soal-soal adminitratif.
2. Perantara tidak boleh membiarkan kepentingan pribadinya berbenturan dengan kepentingan prinsipal.
3. Perantara tidak boleh mengambil keuntungan rahasia atau menerima suap dari pihak ketiga.
4. Apabila perantara menerima komisi rahasia atau suap, konsekuensi- konsekuensi yang menyusul kemudian dapat digugatkan kepadanya.
5. Perantara tidak boleh mengungkapkan informasi rahasia yang diketahui selama bertugas sebagai perantara. Segala sesuatu yang berhubungan dengannya wajib diberitahukan kepada prinsipal, begitu pula dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan keperantaraan tersebut yang diketahuinya.
Adapun hak-hak dari seorang agen atau perantara, yaitu sebagai berikut:139
1. Hak penggantian pembayaran (re-imbursement). Xxxxxxxxx harus mengganti semua biaya masuk akal yang dikeluarkan perantara dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Walaupun jumlah yang diganti tidak ditentukan, kewajiban ini dapat dilaksanakan berdasarkan quantum meruit (sebanyak yang menjadi haknya).
2. Set-off (kemudahan untuk memilih alternatif, yang diberikan penggugat kepada tergugat). Apabila prinsipal mengajukan tuntutan hukum terhadap perantara atas pelanggaran tugas, perantara dapat menggunakan hak set-
139Ibid, hlm 33
off untuk jumlah berapa pun yang menjadi haknya sebagai komisi atau indemnitas untuk biaya-biaya yang sudah dikeluarkan.
3. Hak untuk menahan barang. Apabila prinsipal tidak membayar komisi yang telah disepakati atau indemnitas kepada perantara dan perantara memegang barang-barang prinsipal dalam pengawasannya, maka, tergantung kondisi, perantara dapat menggunakan hak menahan barang- barang tersebut dan mempertahankannya sampai prinsipal melaksanakan kewajibannya.
4. Mengajukan proses hukum untuk mendapatkan komisi atau upah yang telah disepakati. Perantara berhak atas komisi setelah tugas-tugas keperantaraannya selesai dipenuhi.
6) Pihak ketiga,
Pihak ketiga dalam perjanjian keagenan atau keperantaraan yaitu pihak yang dihubungi oleh agen dengan siapa transaksi diselenggarakan. Xxxx membuat perxxxxxan dengan pihak ketiga mengenai transaksi yang dikuasakan kepadanya (agen) tersebut.
Dari sudut pandang praktis, persoalannya dapat dipertimbangkan dari sudut pandang pihak ketiga yaitu tidak mungkin seorang perantara berkeliaran setiap saat dengan mengenakan cap bertuliskan “perantara”. Pihak ketiga mengetahui fakta itu hanya jika perantara memberitahukan orang yang bertransaksi dengannya bahwa dirinya adalah seorang perantara.140 Dalam situasi normal keperantaraan, perantara memberitahu pihak ketiga bahwa dia adalah perantara yang bertindak
140Xxxxxx Xxxxx, Op.Cit, hlm 24
bagi prinsipal tertentu. Dalam hal ini, pihak ketiga mengetahui kedudukan perantara dan kontrak yang akan terjalin berlangsung di antara prinsipal dan pihak ketiga itu.141
Pihak ketiga inilah yang akan melakukan transaksi dengan agen yang telah ditunjuk oleh prinsipal. Seorang agen bertindak atas nama prinsipal akan berhubungan dengan pihak ketiga dalam melakukan sebuah perbuatan hukum yang salah satunya terdiri dari pembuatan kontrak atau perjanjian. Perbuatan hukum tersebut dilakukan atas dasar kewenangan yang diberikan oleh prinsipal kepada agen dalam melakukan sebuah hubungan hukum dengan pihak ketiga.
Jadi pihak ketiga akan secara otomatis mempercayai seorang agen yang memiliki pengesahan secara resmi dari prinsipalnya. Apabila terjadi kerugian yang diderita oleh pihak ketiga akibat adanya agen maka pihak ketiga akan meminta pertanggungjawabannya kepada prinsipal sepanjang perbuatan yang dilakukan agen merupakan kewenangan yang disebutkan secara tegas didalam perjanjian keagenan antara agen dan prinsipal.
3. Hubungan Hukum Para Pihak
1) Hubungan antara Prinsipal dan Perantara
Mengingat bahwa agen secara umum berperan sebagai perantara, maka setelah prinsipal dan pihak ketiga masuk ke dalam hubungan kontraktual, agen akan keluar dari hubungan ini kecuali dalam hal yang berkaitan dengan hak atas imbalan atau pemberian ganti rugi yang ia miliki terhadap prinsipal, dan lebih khusus lagi terhadap pihak ketiga. Dengan demikian, tanpa izin dari prinsipal
141Ibid,
yang diberikan setelah mendapat informasi, agen dilarang menempatkan dirinya dalam posisi dimana kewajiban-kewajibannya kepada prinsipal dapat berbenturan dengan kepentingannya sendiri.142
Sehubungan agen dalam kegiatannya bertindak mewakili prinsipalnya berdasarkan kuasa maka hubungan antara agen dengan prinsipalnya, sifatnya, tidak seperti hubungan antara majikan dengan buruh. Dalam perjanjian perburuhan yang paling penting adalah penyediaan tenaga kerja semata-mata dengan memperoleh upah, disamping itu terdapat kedudukan buruh yang lebih rendah daripada majikan, dimana hal demikian itu tidak dijumpai pada hubungan antara agen dan prinsipal.143
Hubungan antara prinsipal dengan agen sering dikatakan sebagai hubungan keagenan karena prinsipal menggunakan istilah agen sebagai perantara dalam melakukan perbuatan hukumnya dengan pihak ketiga. Menurut Xxxx Xxxxxxx dalam bukunya yang berjudul Keagenan (Agency) Prinsip-Prinsip Dasar, Xxxxx, dan Problematika Hukum Keagenan menyebutkan bahwa hubungan antara prinsipal dengan agen adalah fiduciary relationship, dimana prinsipal mengizinkan agen untuk bertindak atas nama prinsipal, dan agen berada di bawah pengawasan prinsipal.144
Lebih lanjut disebutkan dalam Black’s Law Dictonary, bahwa “agency is the fiduciary relation wich results from the manifestation of consent by one person to
142Aries Buwana, Op.Cit, hlm 35-36
143Ibid,
144Xxxx Xxxxxxx, Loc.Cit
another that the other shall act on his behalf and subject to his control, and consent by the other so to act”.145
Berdasarkan pengertian tersebut, agency adalah hubungan yang didasarkan pada sebuah kepercayaan penuh yang merupakan manifestasi dari kesepakatan para pihak yang mana seseorang menyetujui untuk melakukan tindakan atau perbuatan hukum tertentu untuk dan atas nama orang lain, serta di bawah pengawasan dan persetujuan orang lain.146
Agency adalah keterikatan hubungan antara dua pihak yang mana pihak satu sering disebut dengan agent, yaitu pihak yang diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan untuk dan atas nama serta di bawah pengawasan pihak lain, yaitu prinsipal. Principal adalah pihak yang memberikan kewenangan pada agen untuk melakukan tindakan tertentu serta melakukan pengawasan tindakan agen. Sedangkan pihak yang melakukan transaksi dengan agen disebut dengan third party.147
Keterikatan hubungan dua pihak tersebut dituangkan dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan perjanjian keagenan (agency agreement), yang mana dengan mendasarkan pada perjanjian tersebut agen diberikan kewenangan untuk melakukan transaksi, negosiasi kontrak dengan pihak ketiga yang akan mengikat pihak prinsipal dalam kontrak tersebut. Namun demikian, agency secara umum dapat terjadi baik dengan cara dibuatkan perjanjian tertulis (written agreement) ataupun terjadi dengan cara lisan (orally), walaupun perjanjian tertulis lebih menjamin keamanan para pihak. Di beberapa negara, perjanjian tertulis
145Jurnal Xxxx Xxxxxxx, Prinsip Fiduciary Duties dalam Dunia Keagenan (Agency), Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hlm 181
146Ibid, 147Ibid, 182
dipersyaratkan untuk adanya keagenan yang akan berlangsung lebih dari satu tahun.148
2) Hubungan antara Prinsipal dan Pihak Ketiga
Perantara bertindak atas nama prinsipal, sehingga perantara dalam perikatan itu tidak sebagai para pihak dalam perjanjian. Prinsipal berhak menggugat pihak ketiga dan pihak ketiga berhak menuntut kepentingan prinsipal untuk memenuhi perikatan perantara yang bertindak untuk kepentingan prinsipal atau di dalam ruang lingkup pelaksanaan tugasnya atau setelah prinsipal mengesahkan perikatan itu telah dibuat perantara tanpa kewenangan yang diberikan prinsipal.149
Pihak ketiga dan prinsipal yang keberadaan dan namanya diketahui oleh pihak ketiga itu wajib memenuhi perikatan yang dibuat oleh perantara, jika perikatan itu dibuat oleh perantara berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada oleh prinsipal.150 Perikatan yang diadakan perantara untuk prinsipal yang keberadaan dan namanya tidak diketahui tidak mengikat prinsipal, kecuali jika prinsipal secara sukarela memenuhi perikatan itu atau jika prinsipal kemudian memberitahukan identitasnya kepada pihak ketiga dan pihak ketiga menyatakan opsinya untuk meminta prinsipal itu sebagai pihak yang harus memenuhi perikatan. Opsi yang diajukan oleh pihak ketiga itu memberikan hak kepada prinsipal untuk menuntut pemenuhan kepada pihak ketiga itu.151
148Ibid,
149Ibid, hlm 251
150Ibid, 151Ibid,
C. Perjanjian Pemberian Kuasa
1. Pengertian Pemberian Kuasa
“Pemberian Kuasa”, adalah suatu perbuatan hukum yang bersumber pada persetujuan atau perjanjian yang sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena bermacam-macam alasan, di samping kesibukan sehari-hari sebagai anggota masyarakat yang telah maju (modern), sehingga tindakan memberi atau menerima kuasa, perlu dilakukan untuk menyelesaikan salah satu atau beberapa masalah tertentu.152
Dalam lapangan hukum materiil, hal ini diatur dalam Bukum III, Bab XIV KUH Perdata, Pasal 1792 – Pasal 1819. Dan dalam lapangan hukum formil, diatur dalam Pasal 123 H.I.R. (Reglemen Indonesia yang dibaharui, Stb.1941 no.44). Dalam masalah “pemberian kuasa”, harus selalu ada 2 (dua) pihak atau lebih, yakni pemberi kuasa (lastgever) dan penerima kuasa (lasthebber), sehingga demi “tertib hukum”, hal ini perlu diatur secara cermat dan sebaik-baiknya, untuk menghindari perselisihan atau bentrokan-bentrokan yang terjadi dalam masyarakat. Pemberi kuasa adalah orang yang telah dewasa dan tidak berada di bawah pengampuan (Pasal 1330 KUH Perdata).153
Menurut Xxxxx 1798 KUH Perdata, seorang anak yang belum dewasa dapat ditunjuk menjadi penerima kuasa, tetapi pemberi kuasa tidak dapat menuntut penerima kuasa (yang masih belum dewasa), jika terjadi hal-hal yang merugikan penerima kuasa. Si pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan
152Xxxxx X.Xxxxxxx, Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata, 1982, Tarsito, Bandung, hlm 1
153Ibid,
siapa si kuasa telah bertindak dalam kedudukannya, dan menuntut dari padanya pemenuhan persetujuannya (Pasal 1799 KUH Perdata).154
Pembahasan tentang masalah “pemberian kuasa” sebenarnya tidak dapat dilepaskan dan berkaitan erat dengan masalah “perwakilan” (vertegenwoordiging), karena pemberian kuasa akan menerbitkan “perwakilan”, yakni adanya seseorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum.155 Pasal 1792 KUH Perdata mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pemberian kuasa. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.156
Makna kata-kata “untuk atas namanya”, berarti bahwa yang diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa, sehingga segala sebab dan akibat dari persetujuan ini menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari pemberi kuasa dalam batas-batas kuasa yang diberikan (Pasal 1807 ayat (2) KUH Perdata).157 Sedangkan yang dimaksud dengan “menyelenggarakan suatu urusan” adalah melakukan suatu “perbuatan hukum”, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai sutau akibat hukum.158
Orang yang telah diberikan kuasa (ia dinamakan “juru kuasa” atau juga “kuasa” saja) melakukan perbuatan hukum tersebut “atas nama” orang yang memberikan kuasa atau juga dikatakan bahwa ia “mewakili” si pemberi kuasa. Artinya adalah bahwa apa yang dilakukan itu adalah “atas tanggungan” si pemberi
154Ibid,
155Subekti, Op.Cit, hlm 2
156Lihat Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
157Xxxxx X.Xxxxxxx, Op.Cit, hlm 3
158R.Subekti, Aneka Perjanjian, 1995, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, Ctk ke-10, hlm 141
kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadilah hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Atau bahwa, kalau yang dilakukan itu berupa membuat (menutup) suatu perjanjian, maka si pemberi kuasalah yang menjadi “pihak” dalam perjanjian itu.159
Menurut jenisnya, pemberian kuasa dibedakan menjadi dua, yaitu kuasa di bawah tangan dan kuasa notariil atau akta yang dibuat oleh notaris.160 Pemberian kuasa di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang suratnya dibuat sendiri oleh para pihak atau dengan kata lain tidak dibuat oleh pejabat notaris. Pembuatan surat kuasa secara bawah tangan memiliki beberapa kelebihan, seperti lebih cepat dalam pembuatannya, lebih praktis bahasanya, serta lebih rendah biaya karena hanya cukup menyediakan kertas, alat tulis, dan materai tempel sesuai dengan ketentuan yang berlaku.161
Sedangkan pemberian kuasa notariil merupakan pemberian kuasa dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh pejabat notaris. Kuasa notariil atau yang lazim disebut dengan akta kuasa adalah draft kuasa yang dibuat oleh dan atas buah pikiran dari pejabat notaris itu sendiri atau dapat juga draft tersebut merupakan draft standar yang telah ada dan lazim digunakan oleh pejabat notaris.162
Dalam Pasal 1795 KUH Perdata dikenal ada 2 (dua) jenis surat kuasa :
1) Surat Kuasa Umum
2) Surat Kuasa Khusus
159Ibid,
160Dalam Xxxxxxxx Xxxxxxx, Loc.Cit
161Ibid, 162Ibid,
Suatu pemberian kuasa yang diberikan secara umum adalah meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan yang meliputi segala kepentingan pemberi kuasa, kecuali perbuatan pemilikan (Pasal 1796 KUH Perdata). Sedangkan suatu pemberian kuasa yang diberikan secara khusus adalah hanya mengenai suatu kepentingan tertentu atau lebih, karena itu diperlukan suatu pemberian kuasa yang menyebutkan dengan tegas perbuatan mana yang dapat dilakukan oleh penerima kuasa, misalnya untuk mengalihkan hak barang bergerak atau tidak bergerak.
Bentuk pemberian kuasa dalam Pasal 1793 KUH Perdata ditentukan sebagai berikut :
1) Akta Otentik
2) Akta dibawah tangan
3) Surat Biasa
4) Aurat Lisan
5) Diam-diam
Dalam hal tertentu, pihak-pihak dalam “pemberian kuasa”, terikat pada syarat-syarat formil, dalam hal :
1) Surat kuasa yang harus otentik :
a. Kuasa perkawinan (Pasal 79 KUH Perdata)
b. Kuasa menghibahkan (Pasal 1682 KUH Perdata)
c. Kuasa melakukan hypotek (Pasal 1171 KUH Perdata)
2) Surat kuasa yang ditandatangani dengan cap jempol, tandatangan tersebut harus dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, karena cap jempol tanpa
legalisir dari pejabat yang berweang bukan merupakan tandatangan. Yang berhak memberi legalisir adalah Camat, Bupati, Walikota, dan notaris.
3) Pemberi kuasa diluar negeri harus dilegalisir oleh kedutaan besar luar negeri.
4) Kuasa dengan lisan, diam-diam, dan melaui surat biasa, harus dinyatakan dengan tegas dimuka Pengadilan, jika diberikan kepada advokat untuk suatu kepentingan dimuka persidangan.
2. Kewajiban Para Pihak dalam Pemberian Kuasa
KUH Perdata memberikan aturan yang lebih rinci tentang kewajiban pemberi kuasa dan penerima kuasa, yaitu sebagai berikut :
Kewajiban penerima kuasa, terdiri dari :
1) Pasal 1800 KUH Perdata, menyatakan bahwa penerima kuasa wajib melaksanakan kuasanya, menanggung kerugian segala biaya, dan menanggung segala kerugian apabila tidak dilaksanakannya kuasa tersebut
2) Pasal 1801 KUH Perdata, menyatakan bahwa penerima kuasa wajib bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan atas kelalaian-kelalaian di luar kuasa.
3) Pasal 1802 KUH Perdata, menyatakan bahwa penerima kuasa wajib memberikan laporan tentang apa yang telah penerima kuasa lakukan kepada pemberi kuasa.
Adapun yang menjadi kewajiban pemberi kuasa, yaitu sebaai berikut :
1) Pasal 1807 KUH Perdata, menyatakan bahwa pemberi kuasa wajib memenuhi segala perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa sesuai dengan isi dari kuasa.
2) Pasal 1808 KUH Perdata, menyatakan bahwa pemberi kuasa wajib mengembalikan semua persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh penerima kuasa, dan wajib untuk membayar upah kepada penerima kuasa sesuai yang telah diperjanjikan.
3) Pasal 1809 KUH Perdata, menyatakan bahwa pemberi kuasa wajib membayar segala kerugian yang diderita oleh penerima kuasa sewaktu menjalankan kuasanya, tetapi tidak dalam hal perbuatan yang kurang hati- hati.
Selanjutnya, adapun yang menjadi berakhirnya sebuah perjanjian pemberian termuat dalam Pasal 1813 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut :163
1) Atas kehendak pemberi kuasa;
2) Atas permintaan penerima kuasa;
3) Persoalan yang dikuasakan telah dapat diselesaikan;
4) Salah satu pihak meninggal dunia;
5) Salah satu pihak berada dibawah pengampuan;
6) Salah satu pihak dalam keadaan pailit;
7) Karena perkawinan perempuan yang memberi/menerima kuasa;
8) Atas keputusan pengadilan (Pasal 1814 KUH Perdata).
163Xxxxx X.Xxxxxxx, Op.Cit, hlm 7
Penghentian kuasa atas kehendak pemberi kuasa, tidak mengikat pihak ketiga, selama hal itu belum diberitahukan kepadanya, oleh karena itu hendaknya diumumkan melalui surat-surat kabar (Pasal 1815 KUH Perdata).164
D. Perjanjian Kerjasama
Perjanjian kerjasama adalah persetujuan suatu permufakatan atau kesepakatan para pihak untuk mengadakan prestasi dan menimbulkan adanya suatu hubungan kontraktual (hak dan kewajiban) para pihak dalam mencapai tujuan bersama. Pada dasarnya suatu perjanjian kerjasama ini berawal dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak yang bersangkutan.
Perumusan hubungan perjanjian senantiasa diawali dengan proses negosiasi diantara para pihak. Melalui proses negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk adanya kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar menawar tersebut.165 Sebuah perjanjian kerjasama mucul ketika terjadinya perbedaan kepentingan, maka disitulah dipertemukan melalui adanya kesepakatan para pihak.
Kesepakatan para pihak pada umumnya dituangkan dalam bentuk perjanjian baik secara tertulis maupun lisan. Isi dari perjanjian kerjasama akan mengikat para pihak dan harus mencerminkan keseimbangan, artinya bahwa jangan sampai ada salah satu pihak yang posisinya berada di bawah pihak lainnya, contohnya adalah perjanjian baku.
164Ibid,
165xxxx://xxxxxxxxxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxxx/000000000/00000/0/Xxxxxxx%00X.xxx, diakses pada hari Kamis, 26 Januari 2017, pukul 21.30 WIB
Namun, di dalam KUH Perdata mengenal asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang sistem hukum perdata khusunya hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Asas kebebasan berkontrak yang dianut Buku III KUH Perdata merupakan hukum pelengkap yang boleh dikesampingkan oleh para pihak yang membuat kontrak.166
Dengan kebebasan berkontrak orang dapat menciptakan jenis kontrak baru yang sebelumnya tidak dikenal di dalam perjanjian bernama dan isinya menyimpang dari kontrak bernama yang diatur oleh undang-undang, yakni Buku III KUH Perdata. Kontrak tersebut dikenal sebagai kontrak tidak bernama. Pasal 1338 KUH Perdata mengakui asas kebebasan bekontrak dengan menyatakan, bahwa semua perjanjian dimuat secara sah mengikat para pihak sebagai undang- undang. 167
Xxxx kebebasan berkontrak merupakan inti daripada perjanjian kerjasama ini yang mengandung pengertian bahwa para pihak bebas memperjanjikan apa saja yang mereka kehendaki selama itu tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Mengenai bentuk dan isi dari perjanjian diserahkan kepada kesepakatan pihak yang melakukan perjanjian kerjasama.168
Ini sesuai dengan ketentuan mengenai perikatan dalam KUH Perdata, khususnya dalam Buku III KUH Perdata yang mempunyai sifat terbuka dan adanya asas kebebasan berkontrak.169 Perjanjian kerjasama tergolong kedalam perjanjian tidak bernama karena tergolong di luar peraturan KUH Perdata dan
166Ridwan Xxxxxxxxx, Loc.Cit
167Ibid, hlm 86 – 87
168Wirjono Xxxxxxxxxx, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu Sumur Bandung, 1985, hlm 58
169Ibid,
merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat pada umumnya.170
E. Perbankan
1. Pengertian
Apabila berbicara tentang Lembaga Keuangan Bank, ada dua istilah yang perlu dijelaskan lebih dahulu, yaitu Perbankan dan Bank. Perbankan diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, selanjutnya disebut UU Nomor 10 tahun 1998. Menurut ketentuan Pasal 1 angka (1) UU Nomor 10 Tahun 1998, Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
Pada angka (2) Pasal tersebut ditentukan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.171 Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami bahwa pengertian perbankan itu lebih luas dibandingkan dengan pengertian bank. Pengertian perbankan merupakan rumusan umum yang abstrak mencakup 3 (tiga) aspek utama, yaitu :172
a. Kelembagaan Bank;
b. Kegiatan usaha Bank;
170Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisi, Yogyakarta, 2000, hlm
60
171Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxx, Lembaga Keuangan dan Pembiayaan, Citra
Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000, hlm 33
172Ibid, hlm 34
c. Cara dan proses pelaksanaan kegiatan usaha Bank.
Sedangkan pengertian bank merupakan rumusan khusus yang konkret mencakup 2(dua) aspek utama, yaitu :173
1) Badan usaha Bank (corporate company);
2) Kegiatan usaha Bank (business activities).
Sebagai lembaga yang menjalankan usaha di bidang jasa keuangan bank bukanlah sembarang badan usaha, melainkan yang secara hukum memiliki status yang kuat dengan kekayaan sendiri yang mampu melayani kebutuhan masyarakat, karena itu dipercaya oleh masyarakat. Berdasarkan rumusan definisi bank, dapat dipahami pula bahwa kegiatan usaha bank pada pokoknya meliputi 3 (tiga) bentuk kegiatan, yaitu :174
1) Menghimpun dana;
2) Menyalurkan dana; dan
3) Memberikan jasa keuangan.
Bank adalah tulang punggung pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, pengawasan dan pembinaan terhadap bank oleh bank Indonesia sebagai bank sentral sangat menentukan. Semuanya diatur dalam Undang-Undang Perbankan.175
2. Fungsi Lembaga Perbankan
Di Indonesia lembaga keuangan bank selain memiliki fungsi sebagai lembaga intermediasi tetapi bank juga memiliki misi dan fungsi yang khusus yaitu sebagai agen perubahan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan
173Ibid, 174Ibid, 175Ibid,
guna mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Fungsi tersebut merupakan penjabaran dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.176 Dengan demikian, pemerintah dapat menugaskan dunia perbankan untuk melaksanakan program yang ditujukan guna megembangkan sektor-sektor perekonomian tertentu atau memberikan perhatian yang lebih besar pada koperasi dan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.177
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxx ada dua jawaban mengapa bank sebagai lembaga intermediasi “First, the presence of informations costs undermines the ability of a potential lender to find the most appropriate borrower, in the absence of intermediation. Second, borrowers and lenders have different liquidity preferences”.178
Maksud dari pengertian tersebut di atas alasan mengapa bank sebagai lembaga intermediasi ialah pertama pabila tidak ada kalau tidak ada intermediasi maka akan keluar biaya lebih banyak dan akan semakin sulit untuk bisa mendapatkan debitur yang paling sesuai. Kedua, debitur dan kreditur memiliki tingkat likuiditas yang berbeda.
Sebagai badan usaha, bank juga berorientasi bisnis mencari keuntungan selain dengan melakukan fungsi intermediasi juga melalui jasa pelayanan (services)
176Ibid, hlm 106
177Ibid,
178Andika Persada Putera, dalam Jurnal yang berjudul Karakteristik Keagenan Bank, Kepala Bidang Hukum Bank Permata Cabang Darmo, Surabaya, hlm 260
guna mendukung fungsi intermediasi tersebut, melayani transaksi keuangan dan lalu lintas pembayaran sehingga disebut agent of services. Jadi berkaitan dengan fungsi agent of services, setiap industri maupun individu tidak lepas dari kebutuhan pelayanan bank.
Oleh karena itu, bank selalu dituntut meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dalam bentuk inovasi berbagai produk dan pelayanan.179 Berkaitan pula dengan pesatnya perkembangan perekonomian nasional serta lingkungan eksternal perbankan, seperti lembaga keuangan bukan bank, pasar modal, perusahaan sekuritas, asuransi serta kebutuhan masyarakat, menyebabkan jasa- jasa dan produk-produk perbankan turut berkembang dan bervariasi.180
Sebagai contoh saat ini lembaga keuangan perbankan di Indonesia telah mengeluarkan produk baru yaitu mekanisme Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) yang mana produk tersebut merupakan layanan bank tanpa menggunakan kantor bank secara fisik, melainkan menggunakan pihak ketiga yang disebut sebagai agen dengan tujuan agar layanan perbankan dapat menjangkau semua kalangan masyarakat di Indonesia.
F. Laku Pandai
Laku Pandai singkatan dari Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif, yaitu program penyediaan layanan perbankan dan/atau layanan keuangan lainnya melalui kerjasama dengan pihak lain (agen bank) dan
179Ibid, 180Ibid,
didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.181 Laku Pandai merupakan suatu program dari lembaga perbankan yang belum lama telah diterapkan di Indonesia berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK 03/2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif yang selanjutnya disingkat POJK No 19/POJK 03/2014 tentang Laku Pandai.
Berdasarkan POJK Nomor 19/POJK 03/2014 tentang Laku Pandai Pasal 1 angka 3 yang dimaksud dengan Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif yang selanjutnya disebut Laku Pandai adalah kegiatan menyediakan layanan perbankan dan/atau layanan keuangan lainnya yang dilakukan tidak melalui jaringan kantor, namun melalui kerjasama dengan pihak lain dan perlu didukung dengan penggunaan sarana teknologi informasi.182 Sedangkan yang dimaksud dengan keuangan inklusif adalah suatu keadaan dimana seluruh masyarakat dapat menjangkau akses layanan keuangan secara mudah dan memiliki budaya untuk mengoptimalkan penggunaan jasa keuangan.183
Penerapan program pelayanan Laku Pandai ini dilatarbelakangi oleh :184
1) Masih banyak anggota masyarakat yang belum mengenal, menggunakan atau mendapatkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya.
181xxxx://xxx.xxx.xx.xx/xx/Xxxxx/Xxxx-Xxxxxx.xxxx, diakses Senin, 5 Desember 2016, pukul
21.30 WIB
182Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif
183Pasal 1 angka 5 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 19/POJK.03/2014 Tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor Dalam Rangka Keuangan Inklusif
184xxxx://xxx.xxx.xx.xx/xx/Xxxxx/Xxxx-Xxxxxx.xxxx, diakses Senin, 5 Desember 2016, pukul
21.30 WIB
Antara lain, karena bertempat tinggal di lokasi yang jauh dari kantor bank atau adanya biaya atau persyaratan yang memberatkan.
2) OJK, industri perbankan, dan industri jasa keuangan lainnya berkomitmen mendukung terwujudnya keuangan inklusif.
3) Pemerintah Indonesia mencanangkan program Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) pada Juni 2012, satu program di antaranya adalah branchless banking.
4) Branchless banking yang ada sekarang perlu dikembangkan agar memungkinkan layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya menjangkau segenap lapisan masyarakat di seluruh Indonesia.
Adapun yang menjadi tujuan dari Layanan Laku Pandai ini, yaitu :185
1) Menyediakan produk-produk keuangan yang sederhana, mudah dipahami dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang belum dapat menjangkau layanan keuangan saat ini.
2) Dengan semakin banyaknya anggota berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah di Indonesia menggunakan layanan keuangan/perbankan, diharapkan kegiatan ekonomi masyarakat dapat semakin lancar sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan antar wilayah di Indonesia terutama antara desa
– kota.
Kegiatan Laku Pandai di Indonesia memiliki potensi besar dalam meningkatkan fungsi Bank sebagai lembaga intermediasi khususnya distribusi
185Buku Saku Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai)
layanan keuangan untuk masyarakat kurang mampu maupun masyarakat yang berada di daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh kantor-kantor Bank.186 Sehingga fungsi Bank yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dapat terwujud.
Ada beberapa produk yang disediakan oleh Laku Pandai, diantaranya :
1) Tabungan dengan karakteristik Basic Saving Account (BSA), yaitu tabungan yang memiliki karakteristik seperti, tanpa batas minimum baik untuk saldo maupun transaksi tunai, ada batas maksimum saldo dalam rekening yang telah ditetapkan oleh POJK.
2) Kredit atau Pembiayaan kepada Nasabah Mikro, yang dapat mengajukan program ini adalah semua orang yang telah memiliki tabungan BSA paling singkat enam (6) bulan sepanjang memenuhi pertimbangan tertentu dari bank penyelenggara.
3) Produk keuangan lainnya seperti Asuransi Mikro, yaitu produk asuransi yang ditujukan untuk proteksi masyarakat berpenghasilan rendah, dengan premi yang rendah. Contoh, asuransi kesehatan untuk penyakit demam berdarah dan tipus, asuransi kecelakaan, da sebagainya.
POJK Nomor 19/POJK 03/2014 tentang Laku Pandai menyebutkan bahwa di dalam pelaksanaan layanan Laku Pandai tersebut membutuhkan pihak ketiga yang disebut agen. Agen di dalam Layanan Keuangan tersebut yaitu Pihak (perorangan dan/atau badan hukum) yang bekerjasama dengan bank penyelenggara Laku Pandai dan menjadi kepanjangan tangan bank untuk menyediakan layanan
186Dalam Nurtjipto, Loc.Cit
perbankan dan layanan keuangan lainnya sesuai yang diperjanjikan kepada masyarakat dalam rangka keuangan inklusif.187
Agen perorangan diberikan syarat oleh bank penyelenggara untuk dapat menjadi agen Laku Pandai diantaranya, merupakan penduduk setempat, memiliki kegiatan di lokasi sebagai sumber penghasilan utama (misalnya guru, pensiunan, kepala adat, pemilik warung, atau pimpinan/pemilik perusahaan tidak berbadan hukum), dan memiliki kemampuan, kredibilitas, reputasi, dan integritas. Sedangkan untuk agen yang berbadan hukum disyaratkan oleh bank penyelenggara, diantaranya badan hukum tersebut melakukan kegiatan dibidang keuangan atau memiliki retail outlet, memiliki kegiatan usaha di lokasi, memiliki teknologi informasi yang memadai, dan memiliki reputasi, kredibilitas, dan kinerja yang baik.188
G. Akad, Keagenan dan Pemberian Kuasa dalam Perspektif Islam
1. Akad
Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari al-a‟qd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt). Sedangkan sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa definisi yang diberikan untuk akad, di antaranya adalah:189
187Buku Saku Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai)
188Ibid,
189M Mufattachatin, dalam tulisan yang berjudul Konsep Perjanjian (Akad) dalam Perspektif Islam, UIN Surabaya, 2009, hlm 19
1) Menurut Pasal 262 Mursyd al-Hairan, akad merupakan “pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan qabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad”.
2) Adapun pengertian lain, akad adalah “pertemuan ijab dan qabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya”.
Dengan demikian, ijab-qabul adalah suatu perbuatan atau pernyataan untuk menunjukkan suatu keridaan dalam berakad diantara dua orang atau lebih, sehingga terhindar atau keluar dari suatu ikatan yang tidak berdasarkan syara’. Oleh karena itu, dalam Islam tidak semua bentuk kesepakatan atau perjanjian dapat dikategorikan sebagai akad, terutama kesepakatan yang tidak didasarkan pada keridhaan dan syariat Islam.190
Dari beberapa istilah yang telah dijelaskan diatas, dapat memperlihatkan tiga kategori, bahwasannya:191
Pertama, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan qabul adalah jawaban persetujuan yang diberikan oleh mitra akad sebagai tanggapan dari penawaran dari pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul.
190Ibid, hlm 20
191Ibid, hlm 21
Kedua, akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang merepresentasikan kehendak pihak lain. Tindakan hukum satu pihak, seperti janji memberi hadiah, wasiat, wakaf atau penetapan hak bukanlah akad, karena tindakan-tindakan tersebut tidak merupakan dua pihak dan karenanya tidak memerlukan qabul.
Ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. Lebih tegas lagi, tujuan akad adalah maksud bersama yang dituju dan yang hendak diwujudkan oleh para pihak melalui pembuatan akad. Akibat hukum akad dalam hukum Islam di sebut “hukum akad” (hukm al-„aqad).
2. Keagenan
Disisi lain dalam konsepsi Islam diberikan suatu kejelasan mengenai hubungan yang berkaitan dengan suatu bentuk kerjasama antara Agen dan Prinsipal. Bentuk relasi yang mendasari keberadaan hubungan tersebut muncul dari konsep dasar amanah dalam kerangka kemutlakan tunggal atas kuasa Illahi. Dalam hal ini Xxxxxxxxx menjelaskan bahwa amanah adalah sesuatu yang dipercayakan kepada orang lain untuk digunakan semestinya sesuai dengan keinginan yang mengamanahkan.192
Ini artinya bahwa pihak yang mendapat amanah tidak memiliki kewajiban penguasaan (pemilikan) mutlak atas apa yang diamanahkan. Ia memiliki kewajiban untuk memelihara amanah tersebut dengan baik dan memanfaatkannya sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi amanah.193
3. Pemberian Kuasa
192Elfianto, dalam tulisannya yang berjudul Agency Theori dalam Perspektif Syariah, Dosen Fakults Ekonomi Universitas Tamansiswa Padang, hlm 41
193Ibid, hm 41
Dalam peradilan Islam masalah perwakilan atau bantuan hukum yang dilakukan oleh para kuasa hukum juga dikenal dengan adanya lembaga wakalah, karena memang dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pertolongan pihak lain termasuk masalah hukum. Para fuqoha sependapat bahwa setiap akad yang boleh dilakukan oleh orangnya sendiri maka berarti boleh diwakilkan kepada orang lain.194
Xxxxxxxxxxx Xx-Xxxxxx dalam kitab Fiqh „ala Mazahib al-Arba‟ah
mendefinisikan al-Wakalah sebagai berikut :195
Wakalah menurut bahasa, al-Wakalah atau al-Wiklah memiliki beberapa pengertian antara lain al-Mara‟at wa al-Hifzu dan al-tafwid al-I‟timad dalam bahasa Indonesia berarti perwakilan, pendelegasian, atau pemberian kuasa (mandat). Para fuqoha menghendaki wakalah dalam pengertian yang kedua, namun dengan beberapa ketentuan sehingga lebih spesifik daripada pengertian bahasa. Oleh karena itu dalam mendefinisikan wakalah mereka mengatakan “memberikan kekuasaan kepada orang lain yang akan bertindak atas namanya untuk suatu perbuatan yang memang dapat diwakilkan”.
194Xxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, dalam Skripsi yang berjudul Kedudukan Perempuan sebagai Kuasa Hukum Permohonan dalam Mengucapkan Ikrar Talak Perspektif Hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010, hlm 11
195Ibid, hlm 12