PERJANJIAN KAWIN DALAM PERSPEKTIF HAKIKAT PERKAWINAN
PERJANJIAN KAWIN DALAM PERSPEKTIF HAKIKAT PERKAWINAN
PRENUPTIAL AGREEMENT IN THE PERSPECTIVE OF THE ESSENCE OF MARRIAGE
XXXX XXXXX AABIDIYAANY XXXXX XXXXX P3600208041
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
PERJANJIAN KAWIN DALAM PERSPEKTIF HAKIKAT PERKAWINAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Magister Kenotariatan
Disusun dan diajukan oleh
XXXX XXXXX AABIDIYAANY XXXXX XXXXX
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2013
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini
Nama : Xxxx Xxxxx Aabidiyaany Xxxxx Xxxxx Nomor Mahasiswa : P3600208041
Program Studi : Magister Kenotariatan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Xxxxxxxx, Xxxx 2013 Yang Menyatakan,
XXXX XXXXX AABIDIYAANY XXXXX XXXXX
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat ALLAH SWT yang telah menganugerahkan berkat, kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : PERJANJIAN KAWIN DALAM PERSPEKTIF HAKIKAT PERKAWINAN.
Tesis ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana S-2 pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam tesis ini, baik dalam substansi maupun sistematika penyajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaannya lebih lanjut.
Dalam proses perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini, penulis telah banyak menerima dukungan moriil maupun materiil dari berbagai pihak, untuk itu melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah mendukung penulis dalam studi selama ini. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terima kasih kepada ayahanda X. Zainal AM yang senantiasa membimbing dan menanamkan arti kehidupan kepada anaknya, dan ibunda tercinta Hj. Xxxx Xxx yang tak pernah letih mendoakan kesuksesan bagi anaknya. Ucapan terima kasih penulis juga sampaikan secara khusus kepada, yang terhormat:
1. Bapak Xxxx. Xx. Xxxxxxx Xxxxxxxx, S.H. sebagai Ketua Komisi Penasihat dan Ibu Dr. Padma D. Xxxxx, S.H., M.H. sebagai Anggota Komisi Penasihat atas bantuan dan bimbingan yang diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian ini, pelaksanaan penelitiannya, sampai dengan penulisan tesis ini.
2. Ibu Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., M.H., X.Xx. selaku Ketua Pengelola Program Studi Magister Kenotariatan.
3. Rektor Universitas Hasanuddin, Direktur Pascasarjana dan jajarannya, Dekan Fakultas Hukum dan jajarannya.
4. Para penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam pembuatan tesis ini, diantaranya Ibu Xx. Xxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H.; Ibu Xx. Xxx Xxxxxxx, S.H., M.H.; dan Ibu Xx. Xxxxxxxxx Xxxx, S.H., M.H., X.Xx.
5. Ketua Pengadilan Negeri Makassar dan jajarannya.
6. Kepala Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil dan jajarannya.
7. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Makassar dan jajarannya.
8. Para Notaris yang tergabung dalam Ikatan Notaris Indonesia (INI)
9. Suami Penulis, yang tercinta Xxxxxx Xxxxxx, S.H. yang dengan setia dan penuh pengertian, tekun berdoa dan selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi.
10. Sahabat penulis, Xxx Xxxxxxxx Xxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx yang juga turut mendoakan dan memotivasi penulis, terima kasih atas pertalian persahabatan kita.
11. Seluruh pihak yang telah membantu penulis sejak awal penelitian hingga selesainya tesis ini.
Dengan kerendahan hari, penulis berharap kiranya tesis ini dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi siapa saja yang membutuhkan informasi sehubungan dengan materi tesis ini.
Xxxxxxxx, Xxxx 2013
Xxxx Xxxxx Aabidiyaany Xxxxx Xxxxx
ABSTRAK
XXXX XXXXX AABIDIYAANY XXXXX XXXXX. Perjanjian Kawin dalam Perspektif Hakikat Perkawinan (dibimbing oleh Xxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxx X. Liman).
Penelitian ini bertujuan mengetahui perjanjian kawin dalam perspektif hakikat perkawinan.
Penelitian ini dilakukan di Kota Makassar yaitu pada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, Kantor Urusan Agama, Pengadilan Negeri dan Kantor-kantor Notaris. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 35 orang yakni 24 orang yang sudah menikah (12 pasang suami isteri, 2 pasang diantarnya adalah pelaku perjanjian kawin), 2 orang pegawai Kependudukan dan Catatan Sipil, 2 orang Pegawai Kementerian Agama, 2 orang Panitera Pengadilan Negeri Makassar dan 5 orang Notaris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/ kerohanian sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir, tetapi juga unsur batin. Oleh karena itu, perkawinan tidak hanya dititikberatkan pada masalah birahi atau biologis semata, melainkan juga kewajiban untuk menciptakan hubungan kemanusiaan yang harmonis, saling membangun untuk kehidupan yang damai, sejahtera lahir batin untuk melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas, dan beradab dalam kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan.Kedua, Perjanjian kawin selain memiliki pengaruh positif juga memiliki pengaruh negatif terhadap ikatan perkawinan. Salah satu pengaruh positif dari perjanjian tersebut adalah apabila calon suami isteri mempunyai pandangan yang sama dan xxxxx tentang perjanjian kawin, maka tidak akan ada masalah bagi keduanya, sebaliknya apabila calon suami isteri mempunyai pandangan yang berbeda terhadap perxxxxxan kawin, maka bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman dan saling curiga yang akan mempengaruhi keharmonisan rumah tangga. Ada atau tidak ada perjanjian kawin dalam suatu perkawinan bukanlah suatu jaminan perkawinan akan berjalan mulus, bahagia dan jauh dari konflik rumah tangga.
Kata kunci: Perjanjian kawin, hakikat perkawinan.
ABSTRACT
XXXXSITTI AABIDIYAANY XXXXX XXXXX. Prenuptial Agreement in the Perspective of the Essence of Marriage (Supervised by Xxxxxxx Xxxxxxxx and Xxxxx X. Liman).
The study aims to investigate prenuptial agreement in the perspective of the essencee of marriage. It was carried outin the demography and civil registry office, religion ministry office of Makassar, the district courts of the city and notarial office. The samples consistof 35 persons comprising 24 married ones(12 couples of whom two are the takers of prenuptial agreement), 2 employees of the demography and civil registry office, 2 officers of religion department office of Makassar, 2 court clerks and5 notaries of the city.
The study indicates that firstly marriage has such a close relationship with religion/spirituality that marriage has not only a physical element but also spiritual one. Therefore, the essence of marriage is not only placed on merely biological needs but also on harmonious human relationship, supporting each other for a peaceful life, physically and spiritually prosperous, and to bring in to the world healthy, smart, and civilised young generation in their state as God‟s creation. Secondly, the prenuptial agreement has both positive and negative consequences onthe marriage bond. one of the positive consequences is if the potential couple share the same idea and understand the prenuptial agreement, there will no problem for them to conduct the marriage. On the contrary if they have different idea on the agreement, un easiness and suspicion will affect the relationship and further inflict the harmony of relationship in the family. Whether or not the prenuptial agreement exists in the family, it may not guarantee that the marriage will run smoothly, happilyand far away from family conflict.
Keywords: Prenuptial agreement, the essence of the marriage.
Daftar Isi
Prakata .................................................................................................... | iv |
Abstrak..................................................................................................... | vi |
Abstract ................................................................................................... | vii |
Daftar Isi ................................................................................................. | viii |
Daftartabel ............................................................................................... | ix |
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ | 1 |
A. LatarBelakangMasalah.................................................................. | 1 |
B. RumusanMasalah ......................................................................... | 5 |
C. Tujuan Penelitian........................................................................... | 6 |
D. ManfaatPenelitian.......................................................................... | 6 |
BAB II TINJAUANPUSTAKA.................................................................... | 7 |
A. SejarahUndang-undangPerkawinan.............................................. | 7 |
B. TinjauanTentangPerkawinan......................................................... | 13 |
1. Pengertian, ArtidanTujuanPerkawinan ...................................... | 13 |
2. SahnyaPerkawinan ................................................................... | 16 |
3. Syarat-syaratPerkawinan .......................................................... | 17 |
4. Asas-asasPerkawinan............................................................... | 19 |
C. Perjanjian Kawin............................................................................ | 23 |
1. PengertianPerxxxxxxx Xxxxx ...................................................... | 23 |
2. Syarat-syarat dan Tata Cara Perjanjian Kawin ......................... | 25 |
3. Tujuan Dan Manfaat Perjanjian Kawin ...................................... | 30 |
4. Xxxxxx dan Isi Perjanjian Kawin ............................................... | 32 |
5. Waktu Pembuatan Perjanjian Kawin ........................................ | 33 |
6. Berlakunya Perjanjian Kawin..................................................... | 35 |
7. Macam-macam Perjanjian Kawin.............................................. | 35 |
8. Akibat Hukum dari Perjanjian Kawin ......................................... | 40 |
D. Harta Perkawinan .......................................................................... | 42 |
1. Jenis-jenis Harta Perkawinan.................................................... | 42 |
2. Harta Bersama ......................................................................... | 44 |
3. Pengaturan Harta Bersama 53
E. Kerangka Pikir 60
F. Definisi Operasional 61
BAB III METODEPENELITIAN 62
A. RancanganPenelitian 62
B. LokasiPenelitian 62
C. PopulasidanSampel 63
D. Jenis Data 64
E. InstrumenPengumpul Data 65
F. Analisis Data 65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 66
A. Mewujudkan Keluarga Bahagia Melalui IkatanPerkawinan 66
B. PengaruhPerjanjianKawin Terhadap Tujuan Perkawinan 78
BAB V PENUTUP 96
A. Kesimpulan 96
B. Saran 98
DAFTARPUSTAKA
DaftarTabel
Tabel1 : Pendaftaran perjanjian kawin pada Kantor Kementerian Agama Kota Makassar 81
Tabel2 : Pendaftaran perjanjiankawin pada Pengadilan Negeri Kota Makassar 81
Tabel3 : Pendaftaran perjanjian kawin pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar 82
Tabel4 : Pernyataan responden (pelaku perjanjian kawin) seputar
perjanjian kawin 86
Tabel5 : Pernyataan responden bukan pelaku perjanjian kawin
(yang sudah menikah) seputar perxxxxxxx xxxxx 87
Tabel6 : Pernyataan responden tentang setuju/ tidak setuju adanya perjanjian kawin. 91
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Usia hukum sebenarnya sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri, karena dimana ada manusia, disitu ada hukum yang mengaturnya dan mempunyai kesinambungan antara hukum yang berlaku sekarang dengan hukum yang berlaku sebelumnya hingga dimasa-masa lampau. Xxxxxxxxpun manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum,peristiwa hukum yang pasti dialami oleh manusia antara lain kelahiran dan kematian, sedangkan peristiwa hukum lainnya yang juga akan dilalui manusia, salah satunya yang terpenting adalah perkawinan. Itulah sebabnya hukum perkawinan merupakan hukum yang selalu aktual dan diperlukan oleh manusia.
Perkawinan adalah sebuah perkara yang memiliki banyak makna dan tujuan bagi manusia dan kemanusian itu sendiri, kapanpun dan dimanapun serta oleh siapapun.1Secara umum pengertian perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuanmembentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Sementara prinsip atau
1Nur Xxxxxx Xxxxxx, Fikih Rumah Tangga Perspektif Al-Qur’an dalam Mengelola Konflik Menjadi Harmoni, eLSAS, Jakarta, 2010, Hal. 3.
2Hilman Xxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Indonesia menurut: Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Mandar Maju,Bandung, 2007, hal. 6.
asas dari suatu perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa dalam proses perkawinan yang dicita-citakan itu sudah tentu mereka mengharapkan perkawinan dapat berjalan dengan lancar dan bahagia selama lamanya sesuai dengan prinsip atau asas dari suatu perkawinan.3
Perkawinan bukan semata-mata hanya hubungan antara pria dan wanita, bukan juga semata-mata hubungan antara calon suami dan istri, namun perkawinan jauh lebih agung dan terhormat daripada sekedar hubungan-hubungan lahir yang gampang diputuskan.4Perkawinan ialah akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan karena ikatan suami isteri, dan membatasi hak dan kewajiban antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram.5
Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, yang dengan sendirinya tentu akan menimbulkan akibat-akibat hukum, yaitu adanya hak dan kewajiban di antara para pihak yang melangsungkan perkawinan. Dengan kata lain suatu perkawinan menimbulkan adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami isteri yang terikat perkawinan tersebut. Akibat hukum yang ditimbulkan oleh perkawinan amat penting, tidak saja
Lihat juga Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Tanya Jawab Undang-undang Perkawinan, PeraturanPelaksanaan, Xxxxxxx Xxxxxxxx,Jakarta., 1991, hal. 23.
3Lihat Xxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan ( Undang- undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), Liberty,Yogyakarta, 2007, hal. 5.
4Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Sekitar Pembentukan Undang-undang Perkawinan Beserta Pelaksanaannya, Jakarta, 1974, hal. 45.
5Mustofa Xxxxx, Pengantar Hukum Keluarga, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hal. 9.
dalam hubungan kekeluargaannya, tetapi juga dalam bidang harta kekayaannya.6Akibat hukum dalam hubungan kekeluargaan diatur oleh hukum keluarga, sedangkan akibat hukum dalam bidang harta kekayaan diatur oleh hukum benda perkawinan. Akibat perkawinan terhadap harta kekayaan dalam perkawinan merupakan masalah yang menarik untuk dibahas dan ditinjau secara mendalam, mengingat sebelum perkawinan dilakukan masing-masing pihak membawa sendiri harta bendanya dan kemudian selama perkawinan para pihak memperoleh harta perkawinan yang diusahakan secara bersama-sama atau sendiri.7
Apabila calon suami isteri berkehendak lain mengenai harta yang akan dibawa ke dalam perkawinan, maka sebelum perkawinan berlangsung, undang-undang memungkinkan bagi mereka calon suami istri untuk membuat perjanjian kawin, yaitu suatu perjanjian mengenai harta benda suami dan istri selama perkawinan mereka, yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.
Adapun perjanjian kawin (prenuptial agreement), yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon suami isteri yang akan menikah dan berlaku sejak perkawinan itu dilangsungkan.8Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan atau disebut Undang-undang
6J. Xxxx Xxxxxxxx, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Menurut Burgerlijk Wetboek dan Undang Undang Perkawinan, Laksbang Grafika, Yogyakarta, 2012, hal. 1.
Lihat juga Xxxx Xxxxxxx, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-gini, Yogyakarta, Pustaka Yustisia, 2011, hal.3
7Ibid
8Ahmad Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, Perjanjian Pranikah: Solusi Bagi Wanita, Jurnal Studi Gender dan Anak, hal. 2.
Perkawinan (selanjutnya disingkat UUP), perjanjian kawin tersebut diatur dalam BAB VII,Pasal 139-Pasal 167BurgerlijkWetboekatau disebut juga Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPerdata), namun tidak berarti setelah diundangkannya UUP maka pasal-pasal tersebut yang dimaksud di dalam KUHPerdata menjadi tidak berlaku, hal itu dikarenakan masih ada beberapa hal-hal yang kurang atau tidak cukup diatur dalam UUP.
Setelah diundangkannya UUP, mengenai perjanjian kawin ini diatur dalam Pasal 29, bahwa:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.9
Di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, perjanjian kawin adalah sesuatu hal yang tak lazim atau belum biasa dilakukan dan bahkan menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan suami isteri mengajukan untuk membuat perjanjian kawin.
Ada berbagai persoalan yang mengganjal ketika perjanjian kawin diterapkan oleh calon suami isteri.Di samping persoalan budaya, ada juga persoalan yang berkaitan dengan keyakinan bahwa perkawinan adalah
9Undang-undang Perkawinan di Indonesia (Surabaya: Arkola), hal 15
sesuatu yang sakral, suci, dan agung.10Suami isteri harus mempertahankan perkawinannya demi kesakralan, kesucian, dan keagungan perkawinan tersebut.Karena suatu perkawinan itu tidak hanya meliputi hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan.Sehingga pada dasarnya perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengikat lahir batin dengan dasar iman.
Menurut pandangan manapun, baik hukum maupun sosial, baik etika maupun moral, perkawinan merupakan suatu hubungan yang sakral dan kekal, yang harus dilakukan dengan tulus ikhlas, penuh tanggung jawab, dan bebas dari pada perhitungan untung rugi. Oleh karena perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian kawin masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas maka penulistertarik untuk mengkaji masalah Perjanjian Kawin dalam Perspektif Hakikat Perkawinan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Sejauh mana ikatan perkawinan mewujudkan keluarga yang bahagia?
2. Seberapa jauh pengaruh perjanjian kawin terhadap tujuan perkawinan?
10A. Xxxxxx X. Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Srigunting, Jakarta, 1996, hal. 206
C. Tujuan Penelitian
Dengan mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui sejauh mana ikatan perkawinan dapat mewujudkan keluarga yang bahagia.
2. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh perjanjian kawin terhadap tujuan perkawinan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara langsung maupun tidak langsung antara lain :
1. Manfaat secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kepentingan negara dan masyarakat, khususnya bidang hukum perkawinan.
2. Manfaat secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu, khususnya ilmu hukum tentang masalah hukum perkawinan dan keluarga, sehingga dapat menambah referensi ilmiah yang berguna untuk pengembangan ilmu hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sejarah Undang-undang Perkawinan
Perlu diketahui bahwa pada akhir tahun 1950 dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak, dan Rujuk bagi umat Islam. Panitia ini bertugas meninjau kembali semua peraturan perkawinan dan menyusun suatu Rancangan Undang-undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat pada waktu itu.11Anggotanya terdiri dari orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Mr. Xxxxxx Xxxxx.12
Pada akhir tahun 1952 panitia tersebut selesai membuat suatu Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum yang berlaku untuk semua golongan dan agama, dan peraturan- peraturan khusus yang mengatur hal-hal yang hanya mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952, panitia tersebut menyampaikan RUU Perkawinan Umum serta daftar pertanyaan
11Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Op.Cit, hal 43.
12 Xxxxxxxx Xxxxx, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal. 234.
umum yang mengenai undang-undang tersebut kepada semua organisasi- organisasi yang pusat maupun lokal dengan permintaan supaya masing- masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut.13
Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain:
1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 tahun bagi laki-laki dan 15 tahun bagi perempuan;
2. Suami istri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyrakat;
3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama/perdata yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
4. Harta pembawaaan dan harta yang diperoleh masing-masing, sendiri tetap menjadi milik masing-masing dan harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama;
5. Perceraian diatur dengan keputusan Pendadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan khusus Islam;
6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.14
Dalam rancangan-rancangan yang diajukan oleh komisi ini, terdapat pendapat-pendapat yang menyatakan perlunya suatu undang-undang umum yang mengatur perkawinan seluruh Warga Negara Indonesia dan sekaligus mengatur secara khusus perkawinan berbagai kelompok agama.Walaupun RUU Perkawinan ini telah berhasil diselesaikan, namun dalam pembahasannya diparlemen mengalami penundaan. Atas suatu inisiatif yang diprakarsai oleh sekelompok anggota parlemen dibawah pimpinan Ny. Soemarni, maka akhirnya Rancangan Undang-Undang Perkawinan mulai dibahas dalam parlemen. Pada saat itu telah ada tiga buah Rancangan Undang-Undang Perkawinan yaitu dua buah Rancangan Undang-Undang berasal dari komisi yang diketuai oleh Mr. Xxxxxx Xxxxx dan satu buah Rancangan Undang-Undang dari Ny. Soemarni dan kawan-kawan.
Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, Rancangan Undang-Undang Ny. Soemarni tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya,
kendati pun memperoleh perhatian besar dari sejumlah anggota DPR, rancangan tersebut tampaknya tidak berpeluang untuk dibicarakan. Para anggota dari Partai Islam mengadakan perlawanan, terutama terhadap asas
monogami yang dikandung rancangan tersebut.15Namun setelah kembali kepada Undang-undang Dasar 1945 dibawah Dekrit 5 Juli 1959, oleh Presiden berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1959 dibentuk Majelis Permusyawaratan Sementara (MPRS) yang berfungsi dan bertugas seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam sidang Umum I di Bandung, MPRS menetapkan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969 sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Dalam ketetapan ini ditegaskan bahwa asas-asas pembinaan hukum nasional supaya sesuai dengan haluan Negara dan berlandaskan pada hukum adat yang tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur serta tetap memperhatikan kenyataan-kenyataan yang hidup di Indonesia, termasuk faktor agama, adat, dan lain-lainnya dari masyarakat Indonesia. Bahkan dalam Ketetapan tersebut, diingatkan pula bahwa dalam penyempurnaan Undang-undang Perkawinan dan Hukum Waris supaya diperhatikan adanya faktor-faktor agama, adat, dan lain-lainnya.16
Pada tahun 1963 diadakan Seminar Hukum Nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) bersama-sama dengan Persahi yang dalam salah satu agenda tersebut meliputi pulasan Hukum Perkawinan, dan sejak saat itu LPHN meninjau
15Ibid, hal. 236.
16 Ibid
masalah Undang-undang Perkawinan.17 Selanjutnya pada tahun 1966 Menteri Kehakiman menugaskan kembali pada LPHN untuk menyusun Rancangan Undang-undang Hukum Perkawinan yang bersifat nasional dengan berlandaskan Pancasila. Pada tanggal 22 Mei 1967 Pemerintah telah menyampaikan Rancangan Undang-undang tentang Pernikahan Umat Islam, yang kemudian disusul oleh Rancangan pada bulan Oktober 1968.Namun kedua Rancangan Undang-undang itu tidak dapat diselesaikan oleh DPRGR bersama-sama dengan pemerintah.18
Setelah terbentuknya DPR hasil pemilihan umum tahun 1971, pada tanggal 31 Juli 1973, kedua Rancangan Undang-undang Tersebut, kemudian ditarik kembali oleh pemerintah, bersamaan dengan disampaikannya Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan kepada DPR untuk dibicarakan guna mendapatkan persetujuan DPR dengan prioritas utama.19Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan yang diajukan Pemerintah terdiri atas 15 Bab dengan 72 Pasal dan 4 Bagian, yang substansinya banyak mendapat pengaruh dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen. Karenanya apabila Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan tersebut kita pelajari dengan seksama, maka di antara pasal-pasalnya ada yang bertentangan
17Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Op.Cit, hal. 7.
18Ibid.
19Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 239.
dengan hukum Islam.20Hal itu menyebabkan banyaknya reaksi pro dan kontra dari kelompok-kelompok dan individu-individu yang menyatakan kepuasan maupun keberatan terhadap Rancangan Undang-undang tersebut.Namun agar proses pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan berjalan lancar, maka diadakan suatu kesepakatan- kesepakatan agar tidak mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum Islam.
Setelah melalui pembicaraan dan pembahasan yang panjang, akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973, DPR mengambil keputusan menyetujui disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan dengan perubahan perumusan dan dihapuskan beberapa pasal, yang merupakan hasil Panitia Kerja Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan untuk menjadi Undang-undang Perkawinan. Selanjutnya pada tanggal 2 Januari 1974 Rancangan Undang-undang tentang Perkawinan yang telah disetujui, disahkan dan diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berlaku secara efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 berhubung diperlukan langkah-langkah persiapan dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan, sehingga segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-undang Tahun1974 dapat berjalan dengan aman, tertib, dan lancar.21
20Ibid.
21Ibid, hal. 242.
B. Tinjauan Tentang Perkawinan
1. Pengertian, Arti dan Tujuan Perkawinan
Dalam Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, disebutkan bahwaperkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.22 Sedangkan Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, perkawinan diartikan sama dengan pernikahan, yaitu hal (perbuatan) nikah, dimana pernikahan itu sendiri berasal dari kata dasar nikah yang berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri (dengan resmi).23Semantara pada Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa perkawinan mitsaaqan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.24
Perkawinan yang dalam istilah agama disebut „‟Nikah” ialah: melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk
22K. Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982, hal. 14
23Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990, hal. 614.
24Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Op.Cit, hal. 180
mewujudkan suatu kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.25
Semantara Menurut Xxxxx Xxxxxxx sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxx, Perkawinan adalah suatu perjanjian suci antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk membentuk keluarga bahagia, kekal dan abadi. Jika arti sebuah perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, maka tujuan dari perkawinanadalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Tuhan Yang Maha Esa menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami isteri dapat membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.26Berdasarkan pengertian dan tujuan perkawinan tersebut di atas, maka dirumuskan unsur-unsur perkawinan sebagai berikut:27
a. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin. Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat (hubungan formal), yaitu mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untukhidup bersama sebagai suami istri. Hal ini dapat dilihat karena dibentuk oleh undang-undang, hubungan mana mengikat bagi kedua belah pihak dan
25Ny. Xxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 8.
26Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2010, hal. 31
27Mohd. Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal. 45.
Lihat juga Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia (UI Press), 2007, hal. 47.
pihak lain atau masyarakat.28 Adapun Ikatan batin merupakan hubungan tidak formal, ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ikatan batin inilah yang dapat dijadikan dasar fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia.29
b. Adanya unsur ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita,sebagai suami istri mengandung arti bahwa dalam waktu yang sama seorang suami tidak diperbolehkan untuk kawin lagi dengan wanita lain. Dalam hal ini mengandung asas monogami. Dalam keadaan tertentu asas monogami dapat dikesampingkan, akan tetapi diperbolehkan bagi mereka yang yang diperkenankan oleh agama dan undang-undang untuk menikah lagi dengan alasan dan syarat-syarat yang telah ditentukan.
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Hal ini dapat diartikan, bahwa mereka itu haruslah berlangsung terus-menerus seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. Pemutusan perkawinan atau perceraian karena sebab-sebab lain daripada kematian diberikan suatu pembatasan yang ketat, sehingga suatu pemutusan perkawinan karena perceraian (cerai hidup), merupakan jalan akhir setelah jalan lain tidak dapat ditempuh lagi.
28Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata Indonesia, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1990, hal. 74.
29R. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 2006, hal. 38.
d. Perkawinan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya bahwa perkawinan itu tidak begitu saja menurut kemauanpihak-pihak, melainkan sebagai karunia Tuhan kepada manusia sebagai makhluk yang beradab.
2. Sahnya Perkawinan
Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai akibat hukum yang akan berhubungan dengan sahnya perkawinan tersebut. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah, maka akibat hukumnya perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara dan anak yang lahir dari perkawinan tersebut merupakan anak yang tidak sah.
Pasal 2 ayat (1) UUP menetapkan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.Berdasarkan bunyi ketentuan dalam pasal tersebut di atas, sahnya suatu perkawinan selain harus menurut hukum agamanya, juga harus menurut kepercayaan dari agamanya itu yang dianut oleh calon mempelai yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 2 ayat 1 UUP menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu, sepanjang tidak bertentangan dengan atau tidak ditentukan lain dalamundang-undang ini. Pengertian hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, juga termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu. Dengan demikian, dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 UUP maka tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamadan kepercayaannya itu, hal ini sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.30
Sedangkan dalam Pasal 2 ayat 2 UUP menyatakan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang seperti kelahiran dan kematian, yang dinyatakan dalam suatu surat keterangan atau akta resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan.Tujuanpencatatan perkawinan, adalah untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut menjadi jelas, baik bagi pihak suami isteri, maupun pihak lain atau masyarakat, dan sebagai alat bukti tertulis yang otentik. Perbuatan pencatatan tidak menentukan sahnya suatu perkawinan namun hanya bersifat administratif, yaitu yang menyatakan bahwa perkawinan itu memang ada dan benar terjadi.31
3. Syarat-Syarat Perkawinan
Ada dua syarat perkawinan, yaitu syarat materil (syarat inti) dan syarat formal (syarat lahir).32Syarat materiil adalah syarat yang ada dan melekat pada diri pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan, disebut juga
30Rachmadi Usman, Op.Cit, hal. 270.
31K. Xxxxxxx Xxxxx, Op.Cit, hal. 16.
32Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (BW), Jakarta, Bina Aksara, 1986, hal. 101.
syarat-syarat subjektif. Adapun syarat-syarat formal adalah tata cara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut hukum agama dan undang- undang, disebut juga syarat-syarat objektif.33
Persyaratan perkawinan diatur secara limitatif di dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 UUP, yang meliputi persyaratan materiil maupun persyaratan formal. Perlu diingat selain harus memenuhi persyaratan perkawinan menurut UUP, bagi mereka yang hendak melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi persyaratan perkawinan yang diatur atau ditentukan di dalam hukum agamanya atau kepercayaan agamanya masing- masing, termasuk ketentuan dalam perundang-undangan lain yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu.
Persyaratan materiil berkenaan dengan calon mempelai yang hendak melangsungkan perkawinan, meliputi:
a. Persyaratan orangnya:
1. Berlaku umum bagi semua perkawinan:
i. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai;
ii. Xxxxx mempelai sudah berumur 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita;
iii. Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali bagi seorang laki-laki yang beristri lebih dari seorang;
iv. Bagi wanita tidak sedang berada dalam jangka waktu tunggu atau masa iddah.
33Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hal. 76.
2. Berlaku khusus bagi perkawinan orang tertentu:
i. Tidak terkena larangan/halangan melakukan perkawinan, baik menurut Undang-undang maupun hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
ii. Tidak terkena larangan kawin kembali untuk ketiga kalinya setelah kawin dan bercerai lagi untuk kedua kalinya berdasarkan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
b. Izin yang harus diperoleh:
1. Izin orang tua/wali calon mempelai;
2. Izin pengadilan bagi mereka yang hendak beristri lebih dari seorang (berpoligami).34
4. Asas-asas Perkawinan
Dalam UUP ditentukan prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan, yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Prinsip atau asas- asas yang tercantum dalam UUP adalah sebagai berikut:35
a. Asas Perkawinan Kekal
Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup.Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan
34Racmadi Usman, Op.Cit, hal. 264.
35Ibid.
sejahtera. Prinsip perkawinan kekal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1 UUP yang menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa.
b. Asas Perkawinan Menurut Hukum Agama atau Kepercayaan Agamanya Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing- masing agama dan kepercayaannya. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan (kafa’ah) agama sebagai dasar untuk melakukan perkawinan. Kedua calon mempelai harus yang seagama atau seiman, kecuali hukum agamanya atau kepercayaannya itu menentukan lain.
c. Asas Perkawinan Terdaftar
Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.Perkawinan yang tidak dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-undang Perkawinan.
d. Asas Perkawinan Monogami
Undang-undang Perkawinan menganut asas Monogami, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaaan. Artinya dalam waktu yang bersamaan, seorang suami atau isteri dilarang menikah dengan wanita atau pria lain.
e. Poligami sebagai Pengecualian
Dalam hal tertentu, perkawinan poligami diperkenankan sebagai pengecualian perkawinan monogami, sepanjang hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya.Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
f. Asas Tidak Mengenal Perkawinan Poliandri
Hikmah utama perkawinan poliandri dilarang adalah untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk dan juga untuk kepastian hukum seorang anak.
g. Perkawinan Didasarkan pada Kesukarelaan atau Kebebasan Berkehendak
Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, setiap perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita. Perkawinan merupakan
salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu perkawinan harus didasarkan pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami isteri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga.
Persetujuan secara sukarela ini sesungguhnya tampak pada saat diadakannya peminangan atau pelamaran terlebih dahulu oleh calon mempelai laki-laki terhadap calon mempelai wanita untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak.36
h. Keseimbangan Hak dan Kedudukan Suami Istri
Hak dan kedudukan suami istri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat seimbang.Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu.Suami berkedudukan sebagai kepala rumah tangga dan isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga.Dalam memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami isteri.
i. Asas Mempersukar Perceraian
Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera, maka UUP menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan bila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang
36Soemiyati, Op.Cit, hal.
pengadilan setelah hakim atau juru pendamai tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Demikian pula hukum perkawinan Islam menganggap perceraian sebagai “pintu darurat” dan ini baru dapat dilakukan setelah proses tertentu. Karena perkawinan tidak saja berkaitan dengan hukum belaka, tetapi juga berkaitan dengan refleksi moral dan kemanusiaan.
C. Perjanjian Kawin
1. Pengertian Perjanjian Kawin
Perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.37Pengertian perjanjian dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1313 bahwa suatu perjajian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.38
Mengenai pengertian perjanjian kawinitu sendiri, dalam UUP terutama dalam Pasal 29, tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perjanjian kawin, termasuk tentang isi dari perjanjian kawin. Dalam pasal tersebut hanya disebutkan bahwa pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
37Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, hal 299.
38R. Subekti, R. Xxxxxxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 338.
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Kemudian pada ayat berikutnya diterangkan tentang batasan yang tidak boleh dilanggar dalam membuat perjanjian kawin, yaitu perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Menurut Xxxxx 139 KUHPerdata, secara umum perjanjian kawin dibuat oleh dua orang calon suami isteri sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan. Namun pada praktiknya, perjanjian kawin tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan tetapi juga mengenai hak asuh anak dan hal-hal lain yang menjadi kesepakatan calon suami isteri sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan.
Menurut Xxxxx Xxxxxxx, perjanjian kawin atau prenuptial agreement (tanda tangan harta terpisah) adalah perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan, sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka.39
Sedangkan menurut X. Xxxxxx, Perjanjian kawin adalah perjanjian mengenai harta atau mengenai beheer atas harta.40 Dengan demikian, perjanjian kawin baru perlu kalau calon suami isteri pada saat akan menikah
39 Xxxxx Xxxxxxx, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian: Pentingnya Perjanjian Perkawinan Untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Jakarta, Visimedia, 2008, hal. 78
40J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1993, hal.147
memang telah mempunyai harta atau selama perkawinan mengharapkan (melihat kemungkinan) didapatnya harta.41
Dari pengertian yang dikemukakan X. Satrio di atas,dapat dikatakan bahwa perjanjian kawin hanyalah mengatur mengenai harta kekayaan suami istri dalam perkawinan saja, dimana dalam perjanjian kawin tersebut, calon suami atau calon istri dapat menyatakan kehendak mereka terhadap harta perkawinan, apakah mereka akan bersepakat untuk menyatukan harta mereka atau mereka melakukan penyatuan harta hanya secara terbatas atau mereka memutuskan untuk tidak melakukan penyatuan harta sama sekali dalam perkawinan yang mereka jalani.
2. Syarat-syarat dan Tata Cara Perjanjian Kawin
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perjanjian kawin sebagai persetujuan atau perikatan antara calon suami istri itu pada prinsipnya sama dengan perjanjian-perjanjian pada umumnya, sebab satu sama lain terikat kepada Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Adapun untuk membuat suatu perjanjian kawin harus memenuhi beberapa syarat dan ketentuan, antara lain:
41Ibid.
Lihat juga X. Xxxx Xxxxxxxx, OpCit, hal. 17 dan Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Harta Perkawinan dan Waris Menurut Kitab Undang-undang hukum Perdata (Teori dan Praktek), Jawa Barat, Ikatan Notaris Indonesia, 1987, hal. 54.
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
Calon suami isteri yang akan membuat perxxxxxan kawin harus berdasarkan persetujuan bersama, dalam arti apa yang dikehendaki calon suami harus juga dikehendaki oleh calon isteri, begitu juga sebaliknya.Suatu kesepakatan yang dinyatakan karena salah pengertian, paksaan atau penipuan adalah tidak sah.Karena persetujuan itu diberikan dengan cacat kehendak.Persetujuan yang mengandung cacat kehendak dapat dimintakan pembatalan oleh pengadilan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Perjanjian kawin harus dibuat oleh orang yang cakap bertindak hukum, karena secara hukum ia akan memikul beban perjanjian. Kecakapan ini diukur dari calon tersebut apakah telah dewasa dan tidak berada dalam pengampuan. Tentang hal ini kita lihat Pasal 6 ayat 2 UUP yang menyatakan: Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tuanya. Sedangkan Pasal 50 UUP menyatakan: Anak yang belum mencapai umur
18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada dalam kekuasaan wali.
Untuk melangsungkan perkawinan pasangan yang belum mencapai umur 21 tahun perlu izin orang tua, hal ini berarti anak yang berada di bawah batas tersebut dianggap belum mampu bertindak hukum secara sempurna sehingga dalam hal ini untuk membuat perjanjian kawin pun harus mendapat izin orang tuanya.
Xxxxx usia dewasa 21 tahun juga dianut oleh KUHPerdata. Orang yang telah dewasa (berumur 21 tahun) mempunyai kecakapan bertindak, yang meliputi untuk mengikatkan diri secara sah kepada orang lain. Juga dalam pembuatan akta perjanjian kawin, calon suami-isteri yang telah mencapai umur 21 tahun berwenang untuk membuat perjanjian yang demikian.Namun, khususnya di dalam pembuatan perjanjian kawin, undang-undang memberikan kemungkinan bagi mereka yang belum mencapai usia dewasa, untuk membuat perjanjian yang demikian, asalkan dipenuhi syarat:
a. Xxxx bersangkutan telah memenuhi syarat untuk melangsungkan pernikahan;
b. Dibantu oleh mereka, yang izinnya diperlukan untuk melangsungkan pernikahan. Jadi, calon suami-isteri memerlukan bantuan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut.
Dalam hal perkawinannya berlangsung dengan izin hakim, maka rencana perjanjian kawin tersebut (konsepnya) harus mendapat persetujuan Pengadilan (Pasal 151 KUHPerdata).42
3. Suatu hal tertentu.
Maksudnya adalah mengenai apa isi perjanjian kawin itu, misalnya percampuran harta benda pribadi, pemisahan harta bersama dan sebagainya. Objek perjanjian kawin bisa terhadap barang-barang yang sudah ada atau barang-barang yang akan ada dikemudian hari.
42J. Xxxxxx, Op.Cit, hal. 150-152
4. Suatu sebab yang halal.
Isi perjanjian kawin tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama, dan kesusilaan.
X. Xxxxxxx Xxxxx, menjelaskan Pasal 29 UUP yang mengatur tentang perjanjian kawin. Menurut ketentuan tersebut, bahwa kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan. Lebih lanjut, beliau mengatakan: “Perjanjian tersebut dapat diadakan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dengan syarat bahwa perjanjian itu tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan”.43
Berbeda dengan perjanjian kawin menurut KUHPerdata, maka perjanjian kawin menurut UUP walaupun adanya keharusan dalam bentuk tertulis, tidak secara tegas menentukan diharuskannya dalam bentuk otentik.44Artinya perjanjian kawin dapat dibuat sendiri oleh calon suami isteri, hanya saja perjanjian tersebut harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada saat perkawinan mereka dilangsungkan.
Menurut isi ketentuan Pasal 29 UUP, perjanjian kawin harus memenuhi syarat-syarat berikut ini: 45
1. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan;
2. Dalam bentuk tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
43 X. Xxxxxxx Xxxxx, Op.Cit, hal. 32
44Herlien Xxxxxxx, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Buku Kedua, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx. 2010. hal. 13.
45Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hal. 88.
3. Isi perjanjian kawin tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan;
4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;
5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah;
6. Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan (Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975);
Perjanjian kawin tidak dapat diubah selama perkawinan berlangsung, kecuali apabila kedua belah pihak saling menyetujui untuk mengubahnya, dan perubahan itu tidak merugikan pihak ketiga jika perjanjian kawin itu mengikat kepada pihak ketiga.Perubahan serta pencabutan perjanjian kawin tersebut wajib didaftarkan di Kantor Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 50 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam.46
Xxxxxxxxx menyimpulkan mengenai tata cara perjanjian kawin menurut Pasal 29 UUP dan Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:47
1. Perjanjian kawin dilakukan atas persetujuan calon suami istri.
2. Perjanjian kawin dibuat secara tertulis.
3. Perjanjian kawin disahkan oleh Pegawai Pencatat Pernikahan.
4. Perjanjian kawin tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
46A. Xxxxxxxxx HR, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 20.
47Ibid.
5. Perjanjian kawin tidak dapat dirubah kecuali atas persetujuan bersama suami istri dan tidak merugikan pihak ketiga.
6. Perjanjian dapat dicabut atas persetujuan suami istri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan dan pendaftaran tersebut diumumkan oleh suami istri dalam suatu surat kabar setempat dan apabila dalam tempo (6) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
Poin yang terakhir di atas, berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 149 KUHPerdata yang menyatakan, “Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun, tidak boleh diubah.48
3. Tujuan dan Manfaat Perjanjian Kawin
Setiap pasangan calon suami isteri yang akan membuat perjanjian kawin pasti dilandasi dengan adanya tujuan yang jelas. Tujuan inilah yang akan mengarahkan kepentingan mereka dalam menentukan ketentuan- ketentuan apa yang perlu dicantumkan dalam isi perjanjian.49
Perjanjian kawin dibuat dengan tujuan:50
48Prof. R. Subekti, S.H., R. Xxxxxxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 36
49 Xxxxx Xxxxxxx, Op.Cit,hal. 80
50R. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, Xxxxxxxxxx Xxxxx, Hukum Orang dan Keluarga (personen en familie-recht), Surabaya, Airlangga University Press, 2008, hal.74.
1. Membatasi atau meniadakan sama sekali kebersamaan harta kekayaan menurut undang-undang;
2. Mengatur pemberian-pemberian (schenking) dari suami kepada isteri atau sebaliknya, atau pemberian hadiah timbal balik antara suami dan isteri (Pasal 168 KUHPerdata);
3. Membatasi kekuasaan suami terhadap barang-barang kebersamaan yang ditentukan oleh Pasal 124 ayat 2 KUHPerdata, sehingga „‟tanpa bantuan” isterinya , sang suami tidak dapat melakukan perbuatan- perbuatan yang bersifat memutus (beschikken). Hal yang sama berlaku juga terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak yang dibawa isteri (aanbrengst) atau terhadap benda-benda yang diperolehnya sepanjang perkawinan yang beratasnamakan isteri (Pasal 140 ayat 3 KUHPerdata);
4. Mengatur pemberian testamen dari suami untuk isteri atau sebaliknya, atau sebagai hibah timbal balik (Pasal 169 KUHPerdata);
5. Mengatur pemberian hadiah (schenking) oleh pihak ketiga kepada suami dan atau isteri (Pasal 176 KUHPerdata);
6. Mengatur testamen dari pihak ketiga kepada suami dan atau isteri (Pasal 178 KUHPerdata)
Perjanjian kawin dibuat untuk melindungi secara hukum harta bawaan masing-masing pihak (suami-isteri).Sehingga, perjanjian kawin dapat berfungsi sebagai media hukum untuk menyelesaikan masalah harta bersama jika perkawinan harus berakhirkarena perceraian.
4. Xxxxxx dan Isi Perjanjian Kawin
Pasal 29 UUP tidak menjelaskan hal-hal apa saja yang dapat diatur dalam suatu perjanjian kawin.Batasan yang diberikan hanyalah perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian perjanjian kawin menurut UUP tidak terbatas pada masalah harta perkawinan saja, tetapi dapat juga mengatur mengenai hal lain.
Pasal 139 KUHPerdata mengandung suatu asas bahwa calon suami istri bebas untuk menentukan isi perjanjian kawin yang dibuatnya. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh beberapa larangan yang harus diperhatikan oleh calon suami-isteri yang akan membuat perxxxxxxx xxxxx.
Asas kebebasan kedua belah pihak dalam menentukan isi perjanjian kawin dibatasi dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:51
a. Perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan atau denganketertiban umum (Pasal 139 KUHPerdata).
b. Perjanjian itu tidak boleh menyimpang dari kekuasaan yang oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata diberikan kepada suami selaku kepala rumah tangga, misalnya tidak boleh dijanjikan bahwa isteri akan mempunyai tempat kediaman sendiri (Pasal 140 ayat (1) KUHPerdata)
c. Dalam perjanjian itu suami isteri tidak boleh melepaskan hak mereka untuk mewaris (Pasal 141 KUHPerdata)
51R. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, Xxxxxxxxxx Xxxxx, Xx.Xxx, hal. 85
d. Dalam perjanjian itu tidak boleh ditentukan bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang lebih besar daripada bagiannya dalam keuntungan (Pasal 142 KUHPerdata).
Pitlo berpendapat sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxxxxxxxxxxx dan Xxxx Xxxxxxxxx dalam bukunya, bahwa janji yang demikian harus dianggap tidak ada karena bertentangan dengan undang-undang.Dengan demikian suami isteri masing-masing menanggung setengah bagian dari hutang maupun keuntungan.52
e. Dalam perjanjian itu tidak boleh secara umum ditunjuk begitu saja
kepada peraturan yang berlaku dalam suatu negara asing(Pasal 143 KUHPerdata).
Yang dilarang bukanlah mencantumkan isi hukum asing denganperincian pasal demi pasal, tetapi menunjuk secara umum pada hukum asing itu.Larangan ini dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum mengenai hak-hak suami istri, terutama untuk kepentingan pihak ketiga yang mungkin tidak menguasai hukum negara asing yang ditunjuk.
f. Janji itu tidak boleh dibuat dengan kata-kata umum bahwa kedudukan mereka akan diatur oleh hukum adat dan sebagainya.
5. Waktu Pembuatan Perjanjian Kawin
Dalam Pasal 147 KUHPerdata, menyebutkan bahwa perjanjian kawin tersebut harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan. Pasal ini
52Prawirohamidjojo, Xxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit, hal 80.
berhubungan erat dengan Pasal 149 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setelah perkawinan dilangsungkan, perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak dapat diubah. Dengan kata lain, antara suami isteri selama perkawinan mereka hanya akan terjadi satu macam hukum harta perkawinan.53
Ketentuan tersebut merupakan penjabaran salah satu asas yang terdapat dalam KUHPerdata yaitu bahwa selama perkawinan berlangsung termasuk kalau perkawinan tersebut disambung kembali setelah suatu ketika terputus karena perceraian, bentuk harta perkawinan dalam keluarga harus tetap tidak berubah. Hal ini dimaksudkan demi perlindungan terhadap pihak ketiga (kreditur) agar ia tidak bisa sewaktu-waktu dihadapkan kepada situasi yang berubah-ubah, yang dapat merugikan dirinya (dalam arti jaminan harta debitur atas piutang kreditur).54
Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, ketentuan yang terdapat dalam UUP, yaitu pada Pasal 29 ayat 1, menentukan bahwa perjanjian kawin dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan atau pada saat perkawinan dilangsungkan.Dengan demikian mengenai waktu pembuatan perjanjian kawin dalam UUP ditentukan lebih luas dengan memberikan dua macam waktu untuk membuat perjanjian kawin, yaitu sebelum dan pada saat perkawinan dilangsungkan.
53Komar Xxxxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 67
54J. Xxxxxx, Op.Cit, hal. 154
6. Berlakunya Perjanjian Kawin
Pasal 29 Ayat 3 UUP mengatur bahwa “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung”.Hal senada juga dinyatakan dalam Pasal 147 Ayat 2 KUHPerdata bahwa, Perjanjian mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan”. Dengan kata lain, sebelum perkawinan dilangsungkan, maka perjanjian kawin itu belum berlaku. Oleh karenanya, perjanjian kawin kadang diistilahkan dengan “perjanjian pranikah”.Maksudnya, perjanjian tersebut memang dibuat sebelum berlangsungnya perkawinan.55
7. Macam-macam Perjanjian Kawin
Para calon suami isteri dapat memperjanjikan segala bentuk pengecualian atas persatuan atas harta kekayaan (secara bulat) yang diinginkan, antara lain dapat diatur perjanjian pisah harta sama sekali dan perjanjian kawin yang merupakan campuran kekayaan secara terbatas yaitu persatuan untung dan rugi dan persatuan hasil dan pendapatan.
a. Pisah Harta Sama Sekali
Di Indonesia, kebanyakan masyarakatnya melakukan perkawinan dengan kebersamaan harta (tanpa perjanjian kawin) atau apabila dibuat perjanjian kawin, meniadakan sama sekali kebersamaan harta. Sehingga di
55Happy Susanto, Op.Cit, hal. 93
dalam praktek, perjanjian kawin yang banyak diadakan adalah yang meniadakan sama sekali persatuan harta kekayaan.
Menurut Pasal 144 KUHPerdata untuk meniadakan sama sekali persatuan harta kekayaan, yaitu menghendaki agar harta mereka sepanjang perkawinan terpisah sama sekali, maka para pihak di dalam perjanjian xxxxx harus menyatakan secara tegas, bahwa antara mereka calon suami isteri itu juga tidak menghendaki adanya persatuan untung dan rugi.
Dengan adanya perjanjian kawin seperti itu, maka masing-masing suami isteri tetap menjadi pemilik dari barang-barang yang mereka bawa masuk ke dalam perkawinan dan di samping itu karena setiap bentuk persatuan telah mereka kecualikan, maka hasil yang masing-masing mereka peroleh sepanjang perkawinan baik yang berupa hasil usaha, maupun hasil yang keluar dari harta milik pribadi mereka, tetap menjadi milik pribadi masing-masing suami isteri yang bersangkutan.
Dengan demikian dalam perjanjian ini hanya ada dua kelompok harta dalam perkawinan yaitu harta kekayaan pribadi suami dan harta kekayaan pribadi isteri.56
b. Persatuan Untung dan Rugi
Perjanjian kawin dengan persatuan atau kebersamaan keuntungan dan kerugian terjadi bilamana calon suami isteri menyatakan dengan tegas- tegas bahwa mereka menghendaki bentuk perjanjian itu dalam akta
perjanjian kawinnya.57Ketentuan mengenai persatuan untung dan rugi ini diatur dalam Pasal 155 KUHPerdata yang menyebutkan sebagai berikut:
”Jika dalam perjanjian kawin oleh kedua calon suami isteri hanyalah diperjanjikan bahwa dalam persatuan perkawinan mereka akan berlaku persatuan untung dan rugi, maka berartilah perjanjian yang demikian, bahwa, dengan sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang, setelah berakhirnya persatuan suami isteri, segala keuntungan pada mereka, yang diperoleh sepanjang perkawinan, harus dibagi antara mereka berdua, seperti pun segala kerugian harus mereka pikul berdua pula”.58
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa antara suami isteri tidak ada persatuan bulat harta perkawinan, tetapi antara mereka masih ada persatuan harta yang terbatas, yaitu persatuan untung dan rugi saja, keuntungan dan kerugian menjadi hak dan tanggungan suami isteri bersama-sama, dan harta yang dibawa ke dalam perkawinan yang sudah ada pada saat pernikahan oleh suami isteri tetap menjadi hak dan karenanya menjadi harta pribadi masing-masing suami isteri yang membawanya atau memilikinya, dengan demikian terbentuklah tiga kelompok harta yaitu harta persatuan yang terbatas berupa persatuan untung dan rugi, harta pribadi suami, dan harta pribadi isteri.59
Jadi bila diperjanjikan persatuan untung dan rugi, maka semua keuntungan yang diperoleh dan semua kerugian yang diderita sepanjang perkawinan menjadi bagian dan beban suami isteri menurut perbandingan yang sama besarnya yaitu satu berbanding satu.
57Soetojo Prawirohamidjojo, Xxxx Xxxxxxxxx, Op.Cit, hal 88
58Subekti, Xxxxxxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 37
Untuk sedapat mungkin mencegah adanya kesulitan pembuktian dikemudian hari, maka benda-benda tak terdaftar harus diperincikan dengan jelas, di dalam perjanjian kawin yang bersangkutan, atau di dalam suatu laporan yang ditandatangani suami isteri dihadapan Notaris, dilampirkan dalam perjanjian kawin yang bersangkutan (Pasal 165).60
Mengenai pengertian keuntungan sebagaimana diatur dalam Pasal 157 KUHPerdata, disebutkan sebagai berikut:
”Yang dinamakan keuntungan dalam persatuan suami isteri ialah, tiap-tiap bertambahnya harta kekayaan mereka sepanjang perkawinan yang disebabkan hasil harta kekayaan mereka dan pendapatan mereka masing-masing, karena usaha dan kerajinan mereka dan karena penabungan pendapatan-pendapatan yang tak dapat dihabiskan, yang dinamakan kerugian ialah tiap-tiap berkurangnya harta kekayaan, disebabkan pengeluaran yang melampaui pendapatan”61
Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanaman kembali harta pribadi atau benda yang dibeli dengan hasil penjualan harta pribadi tetap menjadi harta pribadi, akan tetapi hasil yang keluar dari padanya merupakan harta bersama. Jadi pokoknya merupakan harta pribadi tetapi hasilnya masuk harta persatuan.Serta penerimaan hibah, hibah wasiat ataupun warisan tidak dianggap sebagai keuntungan. Jadi apa yang diterima secara cuma-cuma oleh suami isteri merupakan harta pribadi yang bersangkutan. Tetapi kalau benda tersebut diberikan kepada suami isteri bersama-sama, maka benda tersebut menjadi milik pribadi bersama- sama suami isteri.62
60Ibid, hal. 176-177
61Subekti, Xxxxxxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 37,
Menurut Pitlo sebagaimana dikutip J. Satrio dalam bukunya: kata ”keuntungan” bisa mempunyai arti ganda. Keuntungan dapat berarti saldo akhir yaitu kelebihan atau sisa yang diperoleh dengan memperbandingkan persatuan untung dan rugi yang ada pada saat permulaan dengan pada waktu berakhir.Disamping itu, keuntungan dapat juga berarti bagian aktiva dari kekayaan yang disamping passivanya membentuk persatuan untung dan rugi.63
Sementara itu, yang dimaksud dengan kerugian menurut Pasal 157 KUHPerdata di atas adalah tiap-tiap berkurangnya harta kekayaan, disebabkan pengeluaran yang melebihi pendapatan.Rumusan tersebut di atas, hanya cocok untuk kerugian dalam arti saldo, yaitu hutang-hutang yang pada saat berakhirnya persatuan (terbatas) masih belum dilunasi. Tetapi karena undang-undang tak memberikan penjelasan mengenai hutang-hutang persatuan (terbatas) yang telah dilunasi, maka disimpulkan bahwa semua pengeluaran seperti itu merupakan pengeluaran persatuan dengan perkataan lain merupakan beban persatuan.
Menurut pendapat Pitlo64 adalah tidak adil, bahwa penetapan apakah suatu pengeluaran merupakan pengeluaran atau beban prive atau persatuan, digantungkan pada apakah hutang atau pengeluaran tersebut sudah dilunasi atau belum.Jadi asas pokoknya semua hutang yang dibuat untuk kepentingan suami isteri bersama-sama masuk dalam persatuan.
63Ibid, hal. 178-179
64Ibid, hal. 180-181
c. Perjanjian Persatuan Hasil dan Pendapatan
Dasarnya adalah KUHPerdata Pasal 164 yang menyebutkan, “perjanjian bahwa antara suami dan isteri hanya akan berlaku persatuan hasil dan pendapatan, berarti secara diam-diam suatu ketiadaan persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut undang-undang dan ketiadaan persatuan untung dan rugi”.Dalam hal ini persatuan hanya meliputi hasil dan pendapatan saja, tidak termasuk persatuan untung dan rugi.Jika terjadi kerugian, yang bertanggung jawab adalah suami sebagai kepala rumah tangga.
Pasal 146 KUHPerdata juga mengatur bahwa, “Dalam hal tidak adanya perjanjian kawin, maka segala hasil dan pendapatan dari harta kekayaan si isteri adalah tersedia bagi suami”.Artinya, jika pasangan calon suami isteri tidak membuat perjanjian kawin, hasil dan pendapatan dari kekayaan isteri dapat juga menjadi bagian dari harta bersama (gono-gini).65
8. Akibat Hukum dari Perjanjian Kawin
Perjanjian kawin yang telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan/Nikah berlaku mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi pihak calon suami isteri dan pihak ketiga, sejauh pihak ketiga tersangkut.
Jika perjanjian kawin yang telah dibuat suami isteri tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap perjanjian yang dibuat, maka
65Happy Susanto, Op.Cit, hal. 106
secara otomatis memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan gugatan perceraian, hal ini seperti dinyatakan dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi sebagai berikut:
Pelanggaran atas perjanjian kawin memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan Xxxxx atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.66
Perjanjian kawin yang memenuhi syarat-syarat tentang sahnya perjanjian-perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat-syarat khusus menurut pasal 29 UUP, (telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan) harus dipandang berlaku sesuai dengan undang-undang bagi pihak yang berjanji.67
Dalam hal ini, pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa:
Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan i‟tikad baik.68
Dengan demikian apabila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian dan merugikan pihak lain, maka bagi pihak yang dirugikan dapat menuntut haknya itu ke pengadilan baik tuntutan mengenai pelaksanaan perjanjian maupun tuntutan ganti rugi.69
66Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Op.Cit, hal. 195
67Damanhuri, Op.Cit, hal. 22.
68Subekti, Xxxxxxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 342
69Damanhuri, Op.Cit, hal. 22
D. Harta Perkawinan
1. Jenis-jenis Harta Perkawinan
Kalau memperhatikan asal usul harta yang didapat suami istri, maka dapat disimpulkan dalam empat sumber yaitu:
1. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau isteri.
2. Harta hasil usaha sendiri sebelum mereka menikah.
3. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan.
4. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami atau isteri dan selain harta warisan.70
Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat disebut harta kekayaan. Konsep harta kekayaan sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum yang keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitik beratkan pada nilai kegunaan, sebaliknya dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.Harta bersama yang dimiliki suami isteri dari segi hukum diatur dalam Pasal 35 dan 36 UUP sebagaimana yang tersebut di bawah ini.
Pasal 35:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.
70 Xxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 29
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sipenerima para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
(1) Mengenai harta bersama suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai harta bersama diatur dalam Bab XII tentang harta kekayaan dalam perkawinan, dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97.Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa:
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.”
Adapun jenis-jenis harta bersama di dalam pasal 91 Kompilasi Hukum Islam dinyatakan sebagai berikut:
(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak, dan surat-surat berharga.
(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Memperhatikan pasal-pasal tersebut di atas bahwa yang dianggap sebagai harta bersama adalah berupa benda milik suami isteri yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai hukum, yaitu mempunyai nilai kegunaan dan ada aturan hukum yang mengatur.Harta bersama dapat berupa benda berupa benda berwujud yang meliputi harta bergerak dan tidak bergerak serta harta bersama dapat berbentuk surat-surat berharga dan harta bersama dapat berupa benda tidak berwujud berupa hak dan kewajiban.
Menurut Pasal 499 KUHPerdata pengertian benda meliputi barang dan hak.Barang adalah benda berwujud sedangkan hak adalah benda tak berwujud.Pada benda melekat suatu hak.Setiap pemilik benda adalah juga pemilik hak atas bendanya itu.Hak atas benda milik tersebut adalah hak milik yang disingkat dengan milik saja.Jadi harta bersama termasuk harta milik suami isteri dapat berupa hak dan kewajiban yang harus ditanggung suami isteri.71
2. Harta Bersama
a. Pengertian Harta Bersama Menurut Hukum Adat
Dalam hukum adat, harta bersama merupakan bagian dari harta perkawinan.Harta perkawinan adalah harta benda yang dapat digunakan
71 Xxxxxxxxx Xxxx,hal. 30-31
oleh suami-isteri untuk membiayai biaya hidup mereka sehari-hari beserta anak-anaknya.
Harta perkawinan dalam hukum adat, menurut Ter Haar72, dapat dipisah menjadi empat macam sebagai berikut:
a. Harta yang diperoleh suami atau isteri sebagai warisan atau hibah dari kerabat masing-masing dan dibawa ke dalam perkawinan.
b. Harta yang diperoleh suami atau isteri untuk diri sendiri serta atas jasa diri sendiri sebelum perkawinan atau dalam masa perkawinan.
c. Harta yang dalam masa perkawinan diperoleh suami dan isteri sebagai milik bersama.
d. Harta yang dihadiahkan kepada suami dan istri bersama pada waktu pernikahan.
Hukum adat juga mengatur pembagian harta bersama ketika perkawinan berakhir akibatperceraian. Tidak ada keseragaman dalam hukum adat mengenai tata cara pembagian harta bersama. Namun demikian yang menjadi arus utama dalam pembagian harta bersama adalah bahwa suami atau isteri masing-masing mendapat separoh dari harta bersama.73
b. Pengertian Harta Bersama Menurut KUHPerdata
KUHPerdata juga mengatur masalah harta bersama dalam perkawinan.Pasal 119 KUHPerdata menyatakan bahwa mulai sejak
72Muhamad Xxxx Xxxxxxx, Harta Bersama: Antara Konsepsi dan Tuntutan Keadilan, 2006, hal 2
73Ibid
terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki isteri.Penyatuan harta ini sah dan tidak bisa diganggu gugat selama perkawinan tidak berakhir akibat perceraian atau kematian. Namun, kalau pasangan suami isteri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjiandi depan notaris sebelum perkawinan dilangsungkan, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 139-Pasal 154 KUHPerdata. Adapun berkaitan dengan pembagian harta bersama, Pasal 128 KUHPerdata.menetapkan bahwa kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.74
c. Pengertian Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dalam Bab XIII Kompilasi Hukum Islam (KHI), masalah harta bersama diatur dalam Pasal 85 - Pasal 97.
Pasal 85 KHI menjelaskan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing- masing suami atau isteri.
Pada Pasal 86 Ayat (1) KHI, menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan, sementara Xxxxx 86 Ayat (2) mengatur bahwa harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Hal ini selaras dengan ketentuan
74Ibid, hal.10
dalam Al-Qur‟an dan Hadist yang selalu menisbatkan harta kepada pemiliknya, suami atau istri dan kita tidak mendapatkan penyebutan yang mengindikasikan kepemilikan bersama terhadap harta.75
Pasal 87 Ayat (1) KHI, mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperolehmasing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian kawin, sedangkan Pasal 87 Ayat (2) KHI menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah, atau lainnya.
Pasal 88 KHI menjelaskan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Pasal 89 KHI menyatakan bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri, sementara Xxxxx 90 menyatakan bahwa isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya. Pasal 91 terdiri dari empat ayat: (1) harta bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak beruwujud; (2) harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dansurat-surat berharga; (3) harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak dan
75Xxxx Xxxxxxx, Op.Cit, hal.128
kewajiban; dan (4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lain.
Pasal 92 KHI menyatakan bahwa suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
Pasal 93 KHI terdiri dari 4 ayat: (1) pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing; (2) pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama; (3) bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami; (4) bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.
Pasal 94 KHI terdiri dari dua ayat: (1) harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri; (2) pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.
Pasal 95 tediri dari dua ayat: (1) dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal
136 ayat (2), suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya;
(2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.
Pasal 96 KHI terdiri dari dua ayat: (1) apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; (2) pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.
Dan yang terakhir, Pasal 97 KHI mengatur bahwa janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Dari pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam di atas, dapat dipahami bahwa hukum Islam Indonesia pada dasarnya menerima ketentuan- ketentuan adat tentang harta bersama dalam perkawinan, bahkan menerima gagasan tentang kesetaraan suami dan isteri dalam masalah harta bersama tersebut.76
d. Pengertian Harta Bersama Menurut UUP
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, harta bersama diartikan sebagai “harta yang diperoleh secara bersama di dalam perkawinan”.77Harta bersama merupakan salah satu macam dari sekian banyak harta yang dimiliki seseorang.Dalam kehidupan sehari-hari, harta mempunyai arti penting bagi seseorang karena dengan memiliki harta dia dapat memenuhi
76Ibid, hal. 7
77Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Op.Cit, hal. 299.
kebutuhan hidup secara wajar dan memperoleh status sosial yang baik dalam masyarakat.Arti penting tersebut tidak hanya dari segi kegunaannya (aspek ekonomi) melainkan juga dari segi keteraturannya (aspek hukum).Secara ekonomi orang sudah biasa bergelut dengan harta yang dimilikinya, tetapi secara hukum orang mungkin belum banyak memahami aturan hukum yang mengatur tentang harta, apalagi harta yang didapat suami istri selama masa perkawinan.
Ketidakpahaman mengenai ketentuan hukum yang mengatur tentang harta bersama dapat menyulitkan untuk memfungsikan harta bersama tersebut secara benar. Oleh karena itu terlebih dahulu perlu dikemukakan beberapa pengertian mengenai apa yang dimaksud harta bersama.
Menurut Xxxxxx Xxxxxx seperti yang dikutip oleh Xxxxxxxxx bahwa “Harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah warisan. Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan.”78
Pengertian tersebut sejalan dengan Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan Pasal 35 UUP yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
78Damanhuri, Op.Cit, hal. 27
bawah penguasaan masing-masing si penerima, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.79
Menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxxxx, menyatakan bahwa: “Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitik beratkan pada nilai kegunaan, sebaliknya dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.”
Sedangkan menurut pendapat Xxxxx Xxxxx, yang dikutip oleh Xxxxxxxxx, bahwa “harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.”
Memperhatikan pendapat dan analisa di atas, bahwa harta bersama adalah harta yang didapat atau diperoleh selama perkawinan. Harta tersebut akan menjadi harta bersama, jika tidak ada perjanjian mengenai status harta tersebut sebelum atau pada saat dilangsungkannya pernkawinan.Kecuali, harta yang didapat itu diperoleh dari hadiah atau warisan atau bawaan masing-masing suami isteri yang dimiliki sebelum dilangsungkan perkawinan sebagaimana dijelaskan di atas seperti yang tercantum pada Pasal 35 ayat
(2) UUP.80
79Tim Penyusun, Op.Cit, hal. 16
80 Xxxxxxxxx, Op.Cit, hal. 27
Menurut hukum Islam, pada dasarnya harta suami isteri itu terpisah, jadi masing-masing mempunyai hak untuk menggunakan atau membelanjakan hartanya dengan sepenuhnya, tanpa boleh diganggu oleh pihak lain.Harta benda yang menjadi hak sepenuhnya masing-masing pihak ialah harta bawaan masing-masing sebelum terjadi perkawinan ataupun ataupun yang diperoleh masing-masing pihak dalam masa perkawinan yang bukan merupakan usaha bersama, misalnya: menerima warisan, hibah, hadiah, dan lain sebagainya.
Dalam UUP Pasal 35, menyebutkan bahwa harta dalam perkawinan terdiri dari harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan menjadi milik bersama suami isteri, oleh karena itu terhadap harta bersama, suami isteri dapat bertindak hanya atas persetujuan bersama.
Hukum Islam tidak mengatur harta bersama kedalam ikatan perkawinan, yang ada hanya menerangkan tentang adanya hak milik pria atau wanita.Hal ini dapat kita lihat di dalam Al-Quran Surat An-Nisa Ayat 32 yang menyebutkan “Dan janganlah kamu iri terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain, karena bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan.
3. Pengaturan Harta Bersama
a. Berdasarkan UUP
Harta Benda dalam perkawinan pada UUP hanya diatur dalam 3 pasal, yakni Pasal 35, 36, dan 37 sebagai berikut:
Pasal 35 yang berbunyi:
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.81
Pasal 36 yang berbunyi:
(1) Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.82
Pasal 37 yang berbunyi:
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.83
Pasal 35 Ayat 1 tersebut di atas, telah memberikan ketegasan bahwa keseluruhan harta benda yang diperoleh selama dalam ikatan perkawinan adalah harta bersama, sedang pada ayat (2) memberikan pengecualian, terhadap harta bersama yakni hadiah dan harta warisan tidak termasuk dalam harta bersama melainkan harta bawaan.
81 Xxx Xxnyusun, Op.Cit, hal. 16
82Ibid, hal. 17
83Ibid
Sedang dalam Pasal 36 dijelaskan tentang hak suami atau isteri terhadap harta benda dalam perkawinan, baik itu harta bersama maupun harta bawaan.Pasal 36 ayat (1) memberi penjelasan bahwa baik suami atau isteri dalam menggunakan harta bersama harus atas persetujuan bersama, dan ayat (2) memberikan hak sepenuhnya kepada masing-masing pihak (suami atau isteri) untuk menggunakan dan memanfaatkan harta bawaannya.
Berkenaan dengan Pasal 36 ayat (2) ini, J. Satrio berpendapat bahwa hak yang paling penuh adalah hak milik dan orang yang mempunyai hak milik mempunyai wewenang yang paling luas dalam pengurusan maupun pemilikan. Sehingga untuk masing-masing pihak dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa harus meminta persetujuan dari pihak yang lain (suami atau isterinya).84
Realitas sosial menunjukkan bahwa bukan hanya suami yang dapat mendatangkan harta dari hasil pekerjaan (usahanya) melainkan juga isteri, meskipun demikian hasil yang diperoleh suami atau isteri selama masih dalam ikatan perkawinan, maka tetap merupakan harta bersama (suami atau isteri).
Keuntungan yang diperoleh dari harta bersama sudah tentuakan menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama, sudah pasti keuntungan yang dihasilkan pun menjadi harta bersama.
84 J. Xxxxxx, Op.Cit, hal. 200
Salah satu persoalan yang timbul dari harta bersama dan harta milik pribadi masing-masing suami isteri adalah apabila harta pribadi suami atau isteri dijadikan modal usaha dan keuntungannya digunakan membeli benda lain. Apakah harta benda yang dibeli dari hasil keuntungan tersebut termasuk dalam harta bersama atau tetap menjadi harta milik pribadi suami atau isteri.
Dari persoalan yang muncul di atas, menurut Xxxxx Xxxxxxx bahwa penghasilan yang diperoleh dari harta pribadi suami isteri akan menjadi objek harta bersama. Dengan demikian fungsi harta pribadi dalam perkawinan adalah sebagai penopang dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga, sekalipun hak dan pemilikan harta pribadi tetap mutlak berada di bawah kekuasaan pemiliknya, namun harta pribadi tidak terlepas fungsinya dari kepentingan keluarga.85
Sedang dalam Pasal 37 di atas, dijelaskan bahwa:
Apabila kedua suami isteri bercerai, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukum masing- masing” disini adalah agama, hukum adat, danhukum-hukum yang lain (sebagaimana dalam penjelasan pasal).86
b. Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
Berbeda dengan UUP yang hanya mengatur harta bersama dalam 3 pasal, Kompilasi Hukum Islam mengatur persoalan harta bersama dalam 13 pasal, yakni Pasal 85 sampai Pasal 97, namun dalam pembahasan ini, penulis tidak kemukakan pasal-pasal tersebut secara keseluruhan.
85Xxxxx Xxxxxxx, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama; Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 (Cet. III; Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), hal. 299
86Tim Penyusun, Op.Cit, hal. 17
Pengaturan yang dikemukakan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam terdiri dari:
1. Adanya harta bersama dan harta pribadi dalam ikatan perkawinan
Hal ini terdapat dalam Pasal 85 sampai Pasal 87, yang masing- masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85 KHI berbunyi:
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.87
Pasal 86 KHI berbunyi:
Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri karena perkawinan.88
Pasal 87 KHI berbunyi:
(1) Mengatur bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
(2) Menyatakan bahwa suami dan isteri mempunyai hak sepenuhya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, shadaqah, atau lainnya.89
2. Hak dan kewajiban suami atau isteri terhadap harta bersama dan harta pribadi masing-masing.
Pasal 86 Ayat (2) KHI yang berbunyi:
Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.90
87Ibid, hal. 207
88Ibid, hal. 208
89Ibid 90Ibid
Pasal 89 KHI yang berbunyi:
Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri.91
Pasal 90 KHI yang berbunyi
Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang ada padanya.92
Pasal 92 KHI yang berbunyi:
Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.93
Dari beberapa pasal di atas, dapat dipahami bahwa suami dan isteri berhak dan berkewajiban untuk memelihara harta masing-masing dan harta bersama.Selain itu suami isteri juga bertanggung jawab atas harta pribadi pasangannya.Kedua suami isteri tersebut tidak bisa menggunakan harta bersama untuk kepentingan pribadi ataupun untuk kepentingan bersama tanpa ada persetujuan suami atau isterinya.
3. Pertanggungjawaban terhadap hutang dalam perkawinan.
Harta bersama tidak hanya berupa harta yang bisa dimiliki, namun bisa juga berupa hutang bersama dalam perkawinan, sehingga penyelesaiannya pun harus dilakukan secara bersama-sama. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
(1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing;
91Ibid
92Ibid
93Ibid. hal. 209
(2)Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama;
(3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami;
(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.94
Berdasarkan Pasal 93 tersebut di atas, secara jelas dikemukakan tentang siapa-siapa yang berkewajiban atas pembayaran hutang.Yakni apabila hutang atau pinjaman itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan pribadi, maka masing-masing pribadi yang melunasinya. Namun apabila peminjaman tersebut dilakukan untuk kepentingan keluarga, maka harta yang digunakan untuk melunasinya dibebankan kepada harta bersama, namun bila tidak mencukupi, maka harta pribadi suami yang digunakan untuk membayarnya, sedang apabila tetap tidak mencukupi, maka harta isteri sebagai jalan terakhir.
4. Harta bersama bagi suami yang beristeri lebih dari seorang
Berbeda halnya dengan pembahasan pada Undang-undang Perkawinan, pada Kompilasi Hukum Islam diatur tentang pembagian bagi laki-laki yang beristeri lebih dari seorang. Hal ini terlihat bahwa Kompilasi Hukum Islam adalah pelengkap dan penyempurna dari UUP
Persoalan harta bersama bagi isteri lebih dari seorang, telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 94 sebagai berikut:
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri;
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.95
Dalam pasal tersebut terlihat jelas bahwa harta bersama dari perkawinan seorang suami yang lebih dari seorang (poligami) masing- masing berdiri sendiri, isteri pertama mempunyai bagian tersendiri, demikian pula isteri kedua, ketiga, dan keempat.Pembagian masing-masing isteri tersebut dihitung sejak terjadi perkawinan, baik perkawinan isteri pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Perjanjian Kawin Dalam Perspektif Hakikat Perkawinan
E. Kerangka Pikir
(X2)
Pengaruh perjanjian kawin terhadap tujuan perkawinan
1. Proses pelaksanaan perjanjian kawin oleh para pihak.
2. Alasan para pihak membuat Perjanjian kawin.
3. Manfaat perjanjian kawin bagi para Pihak.
(X1)
Sejauh mana ikatan perkawinan mewujudkan keluarga yang bahagia
1. Ikatan lahir dan batin dalam perkawinan
2. Upaya-upaya untuk mewujudkan keluarga bahagia
(Y)
Menciptakan Keluarga Bahagia dan Kekal Dengan Keridaan Tuhan Yang Maha Esa
F. Definisi Operasional
1. Perjanjian adalah persetujuan tertulis ataupun dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
2. Perkawinan adalah suatuikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri.
3. Perxxxxxxx Xxxxx adalahperjanjian tertulis yang dibuat oleh pasangan calon suami isteri sebelum perkawinan mereka dilangsungkan, dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka.
4. Xxxxxxx Xxxxxxxxan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
5. Keluarga Bahagia adalah keluarga yang harmonis, aman dan damai sehingga tercipta ketenangan dan kebahagiaan lahir dan batin.
6. Ikatan Lahir adalah ikatan formal, ikatan yang dapat dilihat atau nampak.
7. Ikatan Batinadalah merupakan ikatan psikologis, ikatan yang tidak nampak secara langsung.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode normatif- empiris. Artinya, penulis selain mengkaji objek penelitian dari aspek hukum positif, juga akan mengkaji objek penelitian berdasarkan kenyataan- kenyataan yang terjadi dalam masyarakat yang dianggap relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
B. Lokasi Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini penulis memilih Kota Makassar sebagai lokasi penelitian dalam hal ini penelitian dilakukan di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, Kantor Urusan Agama (KUA) yang dibawahi oleh Kementerian Agama, Pengadilan Negeri dan Kantor-kantor Notaris.
Adapun alasan yang mendasari Penulis memilih Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, Kantor Urusan Agama serta Pengadilan Negeri sebagai lokasi penelitian adalah karena pada kantor-kantor tersebutlah dilakukan Pendaftaran dan Pencatatan Perjanjian Kawin. Sedangkan alasan Penulis memilih kantor Notaris, karena Notaris adalah Pejabat Publik yang berwenang membuat perjanjian kawin dalam bentuk
Akta Notaris dan juga karena tempat-tempat tersebut di atas, dianggap dapat mewakili dalam memberikan data dan informasi tentang penelitian ini.
C. Populasi dan Sampel
Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat kota Makassar, Kantor-kantor Instansi Pemerintah Kota Makassar antara lain terbatas pada Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil, Kantor Urusan Agama, Pengadilan Negeri serta Notaris Kota Makassar.
Banyaknya jumlah masyarakat kota Makassar dan pegawai pada kantor-kantor tersebut di atas sehingga menyebabkan adanya kesulitan dalam pengumpulan data untuk menemukan generalisasi yang berlaku secara umum,oleh karena itu digunakan hanya sebagian dari populasi sebagai sampel yang dipandang representative, maka yang diambil sebagai sampel dalam penelitian ini adalah 12 pasangan suami isteri, 2 pasang diantaranya adalah para pihak (pelaku) dalam perjanjian kawin sedangkan
10 pasangan lainnya bukanlah para pihak atau pelaku dalam perjanjian kawin. Selain itu, juga ditarik sebagai sampel adalah pegawai kependudukan dan catatan sipil yang terdiri dari 2 orang yaitu Kepala Bidang Akta Perkawinan dan Perceraian dan Kepala Seksi Perkawinan, Pegawai Kantor Kementerian Agama sebagai instansi yang membawahi Kantor Urusan Agama (KUA) sebanyak 2 orang yang terdiri dari Kepala Kantor dan seorang staf bagian Urusan Agama Islam (URAIS), Panitera Pengadilan Negeri Makassar sebanyak 2 orang serta Notaris Kota Makassar sebanyak 5 orang.
D. Jenis Data
Sesuai dengan obyek yang akan diteliti oleh penulis, maka jenis/sumber data penelitian tersebut dapat berupa:
1. Data Primer.
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung melalui hasil wawancara dan sejumlah keterangan atau fakta dari pihak-pihak terkait di lokasi penelitian.
2. Data sekunder mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, media massa dan sumber-sumber kepustakaan lainnya.96
Yang terdiri dari:
1. Bahan hukum primer97 adalah merupakan bahan hukum yang paling utama dan pokok, yang digunakan sebagai dasar dalam penyusunan tesis ini, yaitu:
1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
3) Kompilasi Hukum Islam
2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang berkaitan langsung dengan masalah yang diteliti, yang dalam hal ini adalah buku-buku yang membahas tentang perkawinan dan perjanjian kawin
96Sarjoeno Sukanto, Pengantar Penelitin Hukum, Cet.III, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal. 12.
97Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif), yang terdiri atas: (a) peraturan perundang-undangan (b) catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan dan (c) putusan hakim.
X. Xxxxxxxxx Xxx, M.A., Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 47.
serta penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini yang dapat berupa literatur dan karya tulis ilmiah lainnya.
E. Instrumen Pengumpul Data.
1. Wawancara.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengadakan wawancara secara langsung dengan responden seputar permasalahan yang sedang diteliti.
2. Kuesioner
Berupa beberapa daftar pertanyaan yang dibuat dan ditujukan kepada responden.
3. Dokumentasi
Yaitu dengan cara mengambil data dan dokumen-dokumen atau arsip-arsip yang diberikan oleh kantor instansi terkait.
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian ini, baik data primer maupun data sekunder diolah dan dianalisis dengan cara kualilatif98, yang kemudian disajikan secara deskriptif sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan yang merupakan hasil penelitian.
98Analisis Kualitatif adalah merupakan suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh subjek penelitian secara tertulis atau lisan dan juga perilaku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.
Sarjoeno Sukanto, Op.Cit, hal. 250.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Mewujudkan Keluarga Bahagia Melalui Ikatan Perkawinan
Secara umum pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan perkawinan yang dilakukan dengan jalan akad nikah, seperti yang telah diatur oleh Islam, adalah ikatan atau janji yang kuat, seperti yang disebut Al-Quran sebagai mitsaqan ghalidhan sebagaimana disebutkan dalam surat An-Nisa ayat 21:
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami isteri). Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”
Dalam Islam, hakikat perkawinan adalah untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Sebagaimana diketahui bahwa manusia pada dasarnya terdiri dari lahir dan batin, oleh karena itu, sesuai dengan keadaannya banyak pula ragam kebutuhan manusia.Secara fisik, kehidupan manusia minimal memerlukan empat kebutuhan pokok yang terdiri dari sandang, pangan, papan serta obat-obatan. Apabila kebutuhan pokok ini telah tercukupi, kadang orang masih memerlukan kebutuhan fisik lainnya, seperti misalnya pendidikan, perhiasan, kendaraan, hiburan dan lain sebagainya yang
kesemuanya itu diharapkan dapat membuat kehidupan fisiknya menjadi lebih baik dan bahagia. Agar dapat mewujudkan semua kebutuhan itu maka orang kemudian bekerja dan berjuang untuk mendapatkan penghasilan.Makin maju dan berhasil seseorang bekerja, maka makin besar pula penghasilan yang didapatkannya sehingga memungkinkannya untuk dapat mencukupi segala kebutuhan hidupnya.
Selain kebutuhan fisik tersebut di atas, manusia memerlukan pula pemenuhan kebutuhan batin, misalnya perhatian, penghargaan, kasih sayang, cinta,harapan dan juga agama. Agama yang merupakan kumpulan tata cara kehidupan untuk dapat mencapai kebahagiaan duniawi maupun surgawi diperlukan agar orang memiliki landasan moral dan kemantapan dalam setiap tindakan, ucapan maupun pikirannya.
1. Ikatan Lahir dan Batin dalam Perkawinan
Undang-Undang Perkawinan merumuskan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sini nampak tujuan ideal suatu perkawinan, yang mana perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/ kerohanian sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir, tetapi juga unsur batin.
Ikatan lahir dalam perkawinan adalah merupakan ikatan formal yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, ikatan yang dapat dilihat atau
nampak.Dimana iIkatan ini mengungkapkan adanya suatu hubungan, yaitu hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untukhidup bersama sebagai suami istri. Ikatan formal ini adalah nyata, baik yang mengikat dirinya, yaitu suami atau isteri, anak maupun bagi orang lain, yaitu masyarakat luas.Oleh karena itu, perkawinan pada umumnya diinformasikan kepada masyarakat luas agar mereka dapat mengetahuinya.Pemberitahuan ini dapat ditempuh dengan berbagai cara, seperti mengadakan pesta/resepsi perkawinan ataupun juga dengan memasang iklan dan atau pengumuman melalui media massa.
Sedangkan ikatan batin adalah merupakan ikatan psikologis, ikatan yang tidak nampak secara langsung. Antara pasangan suami isteri harus ada ikatan ini, harus saling mencintai satu dengan yang lainnya serta tidak adanya unsur paksaan di dalam perkawinan.Bila perkawinan dilakukan dengan unsur paksaan dan tidak adanya rasa cinta kasih antara satu dengan yang lain, maka dalam perkawinan tersebut tidak akanada ikatan batin.Ikatan batinyang terdapat dalam perkawinan merupakan pertalian jiwa yangterjadi karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri.
Hakikat dari suatu perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri. Jadi, perkawinan bukan sekedar ikatan formal belaka, tetapi juga ikatan batin antara pasangan yang sudah resmi sebagai suami dan isteri. Artinya kedua orang initidak hanya terikat secara lahir atau secara fisik, tetapi juga terikat secara batin.
Terjalinnya ikatan lahir dan ikatan batin antara pasangan suami isteri, merupakan dasar utama dalam membentuk dan membina hubungan keluarga yang bahagia dan kekal.
2. Keluarga Bahagia
Semua agama menginginkan pasangan suami isteri yang telah atau akan membina suatu rumah tangga akan bersifat langgeng. Dimana terjalin keharmonisan diantara suami isteri yang saling mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa damai dalam rumah tangganya.
Dalam Al-Qur‟an Surat Ar Ruum Ayat 21 yaitu:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Ada tiga hal utama yang disampaikan Allah SWT dalam ayat tersebut, dikaitkan dengan kehidupan rumah tangga yang ideal menurut Islam, yaitu Sakinah (as-sakinah), Mawadah (al-mawaddah), Rahmah (ar- rahmah).Secara harfiah atau etimologi, sakinah diartikan sebagai ketenangan, ketentraman dan kedamaian jiwa. Sakinah dalam Al-Qur‟an adalah suasana damai yang melingkupi rumah tangga, dimana masing- masing pihak, suami atau isteri menjalankan perintah Allah SWT dengan tekun, saling menghormati dan saling toleransi.Dari suasana sakinah (as- sakinah) tersebut, akan muncul rasa saling mengasihi dan menyayangi (al- mawaddah), sehingga rasa tanggung jawab antara kedua belah pihak akan
semakin tinggi. Sehingga ungkapan Xxxxxxxxxx XXX, “Baitii Jannatii”, bahwa rumahku adalah surgaku, merupakan ungkapan yang sangat tepat tentang bangunan rumah tangga atau keluarga ideal. Dimana dalam pembangunannya berdasarkan Islam dengan berlandaskan iman danihsan, tanpa mengurangi keinginan terhadap tuntutan kebutuhan hidup sebagaimana layaknya manusia yang tak lepas dari hajat keduniaan, baik yang bersifat kebendaan maupun bukan.
Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah, merupakan suatu keluarga dambaan bahkan merupakan tujuan dalam suatu perkawinan. Sakinah itu didatangkan Allah SWT, ke dalam hati para nabi dan orang- orang yang beriman, maka untuk mewujudkan keluarga sakinah harus melalui usaha maksimal, baik melalui usaha batiniah yakni memohon ridho kepada Allah SWT, maupun berusaha secara lahiriah yakni berusaha untuk memenuhi ketentuan baik yang datangnya dari Allah SWT dan Rasul-Nya, maupun peraturan yang dibuat oleh para pemimpin dalam hal ini pemerintah yang berupa peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, misalnya Undang-undang Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan merumuskan perkawinan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari sini nampak tujuan ideal suatu perkawinan, yang mana perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/ kerohanian sehingga perkawinan bukan hanya memiliki unsur lahir, tetapi juga unsur batin.
Perkawinan tidak hanya semata-mata menjadi urusan kedua mempelai saja, akan tetapi perkawinan merupakan sesuatu yang diridhoi oleh Tuhan Xxxx Xxxx Esa sebagai suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Mereka dipersatukan dengan saling mencintai dan menyayangi dengan harapan dapat membuahkan hasil dari cintanya, yakni keturunan yang sah dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal untuk mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga yang damai.
Namun demikian, bahagia dan kekalnya suatu rumah tangga yang akan dicapai itu tergantung kepada masing-masing pasangan suami istri yang bersangkutan. Artinya, apabila sebuah rumah tangga itu tidak dijalani dengan sikap keterbukaan, saling perhatian dan menyayangi satu sama lain serta saling berfikir positif, maka hal ini dapat memicu dan menimbulkan konflik terhadap sebuah rumah tangga.
Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat kemanusiaan, yakni hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia, dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang sesuai syariah.
Esensi perkawinan tidak dititikberatkan pada masalah birahi atau biologis semata, tetapi pada kewajiban untuk menciptakan hubungan
kemanusiaan yang harmonis, hubungan saling membangun untuk sebuah kehidupan yang damai, sejahtera lahirbatin, serta hubungan untuk melahirkan generasi manusia yang sehat, cerdas, dan beradab dalam kedudukan manusia sebagai makhluk Tuhan.
Perkawinan dapat dilihat dari tiga segi pandangan, yaitu segi hukum, segi sosial dan dari segi agama. Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan, yang didalamnya mengandung suatu komitmen bersama dan menuntut adanya penunaian hak dan kewajiban bagi keduanya. Salah satu alasan mengapa perkawinan dikatakan sebagai suatu perjanjian yang kuat ialah karena cara mengadakan ikatan perkawinan telah diatur terlebih dahulu dengan akad nikah dan disertai dengan rukun dan syarat tertentu. Dimana perkawinan dalam Islam maupun dalam agama lainnya tidak untuk jangka waktu tertentu, tetapi selama maut memisahkan. Oleh karena itu, baik suami maupun isteri mesti berusaha memelihara rumah tangga yang tenang dan penuh kedamaian lahir batin.
Menurut pendapat M. Nanlohy99:
“Perkawinan itu komitmen untuk hidup bersama dengan ikatan lahir dan xxxxxx. Suatu perkawinan yang ideal itu, adalah menerima pasangan hidup apa adanya dan melalui segala tantangan hidup yang ada dengan saling bahu membahu bersama pasangan hidupnya”.
Hal senada juga dikemukakan oleh Xxx Xxxxxx Xxxxxx Baco100,
bahwa:
99Pendeta GPIB Mangaseang, Wawancara di Makassar, Tanggal10 Juni 2012
“Perkawinan adalah sebuah perilaku turun temurun dari umat manusia, sebagai suatu sarana yang dipandang baik, benar dan sah untuk melegalkan suatu hubungan untuk melanjutkan proses regenerasi dan kesinambungan hidup dalam kehidupan umat manusia itu sendiri”.
Sementara dari segi sosial, perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara sesama anggota keluarga. Dari keluarga xxxx kemudian lahiranak- anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun menjadi suatu masyarakat yang besar.
Selain itu, suatu penilaian yang umum juga dalam perkawinan bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak menikah. Khusus bagi kaum wanita, dengan perkawinan akan memberikan kedudukan sosial yang tinggi, karena ia sebagai isteri dan wanita mendapat hak-hak tertentu dan dapat melakukan tindakan hukum dalam berbagai lapangan muamalat (masyarakat).
Pandangan suatu perkawinan dari segi agama sangat penting, sebab dalam agama perkawinan dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah SWT, demikian sebagaimana dimaksudkan dalam Al Quran Surat An-Nisa ayat 1.
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari satu diri dan darinya Allah menciptakan
100Dosen Fakultas Syariah Universitas Islam Xxxxxx Xxxxxxxx, Wawancara di Makassar Tanggal 16 Juni 2012
pasangannya. Lalu dari keduanya Allah memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak. Maka bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling mengasihi satu sama lain.”
Tujuan substansial dari perkawinan adalah sebagai berikut:
1. Menyatukan dua karakter yang berbeda
Bagi umat Islam, salah satu tanda terbesar dan nikmat teragung yang telah diberikan Allah SWT kepada manusia adalah diciptakannya kecenderungan dalam diri manusia untuk hidup berpasang-pasangan.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Az-Zariyat ayat 49:
“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”
Seorang laki-laki diberikan naluri untuk tertarik kepada kecantikan dan kelembutan seorang perempuan, begitu juga seorang perempuan diberikan naluri untuk tertarik kepada kegagahan dan ketegasan seorang laki-laki.Ketertarikan ini memiliki fungsi alami untuk mempertahankan dan mengembangkan kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri.Lebih jauh dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan bertahan hidup, ketertarikan ini menciptakan kenikmatan ketika dijalankan dijalur yang telah ditentukan.
Kebersamaan merupakan sarana bagi seorang laki-laki memenuhi kebutuhannya yang ada pada seorang perempuan, demikian pula seorang perempuan akan mendapatkan apa yang dibutuhkannya dalam diri seorang laki-laki. Kebutuhan yang mencakup semua aspeknya, kebutuhan biologis dan kebutuhan psikologis sehingga dengan terpenuhinya semua kebutuhan
itu seorang laki-laki dan perempuan akan merasakan ketenangan dalam hidup.
2. Untuk Memperoleh Keturunan Yang Sah Demi Kelangsungan Hidup Manusia
Salah satu tujuan perkawinan adalah mereproduksi keturunan, agar manusia tidak punah dan hilang ditelan sejarah. Untuk memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan pokok dari perkawinan itu sendiri.Memperoleh anak dalam perkawinan bagi penghidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal).
Setiap orang yang melaksanakan perkawinan, tentu mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan atau anak. Keinginan manusia untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena anak-anak itulah nanti yang diharapkan akandapat membantu orang tuanya pada hari tuanya kelak. Tentu saja setiap orang tua akan mengharapkan anak-anak yang saleh dan tahu berbakti pada orangtua. Di samping itu menurut tuntunan ajaran agama Islam, yang disebutkan dalam salah satu Hadist:
“bahwa apabila orang meninggal dunia, hanya tiga perkara saja yang masih bisa memberikan pertolongan kepadanya, yaitu: pertama sedekahyang telah dikeluarkannya, kedua ilmunya yang masih memberikan manfaat bagi orang banyak dan ketiga anak yang saleh (baik) yang memohonkan doa untuknya”.
Berdasarkan hadist tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa anak itu merupakan penolong bagi kedua orang tuanya baik dalam kehidupannya didunia maupun di akhirat kelak.
Sedang aspek yang umum atau universal yang berhubungan dengan keturunan atau anak ialah karena anak-anak itulah yang menjadi penyambung keturunan seseorang dan yang akan selalu berkembang untuk meramaikan dan memakmurkan dunia ini.Hanya dengan perkawinanlah penyambung keturunan dengan cara yang sah dan teratur dapat terlaksana dan selain itu keturunan yang diperoleh melalui perkawinan akan terhindarkan dari pencampuradukan keturunan atau nasab. Sehingga setiap orangtua akan tahu siapa anak-anaknya dan dapat bertanggungjawab terhadap mereka, demikian juga sebaliknya.
3. Memenuhi Kebutuhan Hidupjasmani dan Xxxxxx
Perkawinanadalah fitrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Perkawinan bertujuan untuk menyalurkan kebutuhan syahwat manusia dengan jalan yang dibenarkan oleh Allah SWT dan mengendalikan hawa nafsu dengan cara yang terbaik.
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al- Quran dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. PenghargaanIslam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkansebanding dengan separuh agama. Xxxxxxxxxx XXX bersabda:
“Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dariagamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yangseparuhnya lagi”.(Hadist Riwayat Xxxxxxxx dan Xxxxx)”.
Tuhan menciptakan manusia dalam jenis kelamin yangberbeda- beda,yaitu jenis laki-laki dan jenis perempuan.Sudah menjadi kodrat bahwa antara kedua jenis itu saling mengandung daya tarik.Dilihat dari sudut biologis daya tarik itu ialah kebirahian atau seksual.Sifat kebirahian atau seksual yang biasanya didapati pada diri manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah merupakan tabiat kemanusian.Agama pun juga mengakui bahwa ada rasa gairah antara laki-laki dan perempuan secara timbal balik.Dengan perkawinan, pemenuhan tuntutan tabiat kemanusian itu dapat disalurkan secara sah.
4. Membentuk dan Mengatur Rumahtangga dengan Dasar Cinta Kasih Ikatan perkawinan kalau kita bandingkan dengan ikatan-ikatan lain
yang biasanya dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat, merupakan ikatan yang paling teguh dan paling kuat.Mengapa hal itu bisa terjadi, sedangkan kita semua mengetahui bahwa pada umumnya antara laki-laki dan perempuan sebelum melaksanakan perkawinan pada umumnya tidak ada ikatan apapun.Satu-satunya alat untuk memperkokoh ikatan perkawinan itu adalah rasa cinta dan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan secara timbal balik.Di atas dasar cinta dan kasih sayang inilah kedua belah pihak yang melakukan ikatan perkawinan itu berusaha membentuk rumahtangga yang bahagia.Dari rumahtangga tadi kemudian lahir anak-anak, kemudian bertambah luas menjadi rumpun keluarga demikian seterusnya sehingga tersusun masyarakat besar.
Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami isteri dalam suatu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Tuhan Yang Maha Esa menjadikan unit keluarga yang dibina dengan perkawinan antara suami isteri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.
B. Pengaruh Perjanjian Kawin Terhadap Tujuan Perkawinan
Dalam dunia perkawinan dikenal suatu istilah perjanjian kawin, dimana perjanjian kawin merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh pasangan calon suami isteri sebelum melangsungkan perkawinan dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan perkawinan mereka mengenai harta perkawinan. Dimana isi perjanjian kawin itu tidak boleh bertentangan dan menyalahi kaidah hukum, agama dan kesusilaan. Secara umum, perjanjian kawin berisi pengaturan harta calon suami isteri, yang mengatur ketentuan bagaimana harta kekayaan mereka akan dibagi jika dikemudian hari terjadi masalah hingga menyebabkan perpisahan dan perceraian dalam perkawinan mereka. Perjanjian kawin mulai berlaku sejak perkawinan mereka dilangsungkan.
Berdasarkan uraian di atas maka, perjanjian kawin yang dibuat oleh calon suami isteribertujuan untuk mengatur akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka, sehingga intiperxxxxxan xxxxx adalah kesepakatan antara calon suami isteri yang akan menikahuntuk memisahkan kepemilikan harta kekayaan mereka pada saat mengarungi bahtera rumah tangga.
Secara hukum, perjanjian kawin dibolehkan berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam segi agama khususnya Islam, menurut Muh. Xxxxxx Abdullah101 telah disebutkan dalam Al-Qur‟an Surat An Nisa Ayat 21 bahwa:
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami isteri). Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”
Berdasarkan ayat tersebut di atas, terlihat jelas bahwa ikatan atau hubungan suami isteri telah diikat dengan perjanjian yang kuat dan harus dipertanggung jawabkan secara bersama. Perkawinan merupakan suatu bentuk perjanjian itu sendiri dimana ketika calon suami isteri akan menikah, mereka diikat dengan perjanjian suci tersebut. Walaupun kemudian tidak ada larangan dalam Islam untuk membuat perjanjian kawin, sepanjang perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan dalam agama Islam.
Dalam hukum Islam, kekayaan suami dan isteri masing-masing terpisah satu dengan lainnya. Harta benda milik suami isteri pada waktu perkawinan dimulai tetap menjadi milik mereka masing-masing. Jadi dalam
101Pembina Kerohanian Kemensos RI , Wawancara di Makassar, Tanggal 18 Juni 2012
hukum Islam, status harta benda seseorang tidak berubah dengan adanya perkawinan.
Sedangkan dalam KUHPerdata menganggap sebaliknya,bahwa apabila suami isteri pada waktu akan melakukan perkawinan tidak mengadakan perjanjian kawin pisah harta di antara mereka maka akibat dari perkawinan itu adalah percampuran kekayaan suami dan isteri menjadi satu kekayaan milik mereka bersama.
Setelah dilakukan penelitian (bulan April 2012 – bulan Mei 2012) pada beberapa instansi yang berwenang melakukan pendaftaran dan atau pencatatanperjanjian kawin seperti, Kementerian Agama Kota Makassar dalam hal ini KUA,Pengadilan Negeri Kota Makassar, dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa ternyata sangat kurang sekali pasangan calon suami isteri di Kota Makassar yang membuat perjanjian kawin.
Untuk mengetahui banyaknya perjanjian kawin di Kota Makassar dalam kurun waktu tahun 2008 – 2012, maka berikut ini akan disajikan dalam bentuk tabel mengenai data-data pendaftaran dan atau pencatatan perjanjian kawin pada beberapa instansi pemerintah tersebut di atas, yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Data tentang Pendaftaran perjanjian kawin pada Kantor Kementerian Agama Kota Makassar (Tahun 2008 – 2012).
No | KUA | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | |||||
P | PK | P | PK | P | PK | P | PK | P | PK | ||
1 | Bontoala | 659 | 0 | 332 | 0 | 1.400 | 0 | 761 | 0 | 694 | 0 |
2 | Biringkanaya | 909 | 0 | 566 | 0 | 1.400 | 0 | 1.625 | 0 | 1.273 | 0 |
3 | Makassar | 925 | 0 | 540 | 0 | 1.566 | 0 | 1.661 | 0 | 1.137 | 0 |
4 | Mamajang | 449 | 0 | 248 | 0 | 719 | 0 | 647 | 0 | 422 | 0 |
5 | Mariso | 470 | 0 | 344 | 0 | 899 | 0 | 801 | 0 | 610 | 0 |
6 | Panakukang | 1.099 | 0 | 798 | 0 | 1.922 | 0 | 1.827 | 0 | 1.290 | 0 |
7 | Xxxxx | 1.509 | 0 | 878 | 0 | 2.491 | 0 | 2.395 | 0 | 1.968 | 0 |
8 | Tamalate | 1.600 | 0 | 933 | 0 | 2.546 | 0 | 2.396 | 0 | 1.938 | 0 |
9 | Ujung Pandang | 499 | 0 | 275 | 0 | 611 | 0 | 575 | 0 | 331 | 0 |
10 | Ujung Tanah | 453 | 0 | 354 | 0 | 740 | 0 | 841 | 0 | 569 | 0 |
11 | Wajo | 402 | 0 | 336 | 0 | 909 | 0 | 799 | 0 | 252 | 0 |
12 | Rappocini | 1.050 | 0 | 652 | 0 | 1.846 | 0 | 1.427 | 0 | 1.119 | 0 |
13 | Manggala | 883 | 0 | 548 | 0 | 1.315 | 0 | 1.447 | 0 | 941 | 0 |
14 | Tamalanrea | 585 | 0 | 302 | 0 | 867 | 0 | 874 | 0 | 699 | 0 |
Jumlah | 11.090 | 0 | 7.106 | 0 | 19.231 | 0 | 18.076 | 0 | 13.243 | 0 |
Sumber data sekunder setelah diolah, Tahun 2008 – 2012.
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan 2012 jumlah keseluruhan perkawinan yang tercatat adalah 68.746 perkawinan, namun dari sekian banyak perkawinan tersebut tidak satupun pasangan calon suami isteri yang membuat perjanjian kawin dan mendaftarkannya pada kantor-kantor urusan agama kota Makassar.
Tabel2: Pendaftaran Perjanjian Kawin pada Pengadilan Negeri Makassar
No | Tahun | Perjanjian Kawin |
1 | 2008 | 2 |
2 | 2009 | 3 |
3 | 2010 | 2 |
4 | 2011 | 2 |
5 | 2012 | 2 |
Jumlah | 11 |
Sumber data sekunder setelah diolah, Tahun 2008 – 2012.
Berbeda dengan Tabel 1 sebelumnya dimana sama sekali tidak terdapat perjanjian kawin, data pada Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan 2012, terdapat 11 perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan calon suami isteri yang pendaftaran dan atau pencatatannya dilakukan di Pengadilan Negeri Makassar.
Tabel 3: Pendaftaran Perjanjian Kawin padaDinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Makassar
No | Tahun | Perjanjian Kawin | Perkawinan |
1. | 2008 | 3 | 996 |
2. | 2009 | 0 | 1.111 |
3. | 2010 | 4 | 785 |
4. | 2011 | 2 | 895 |
5. | 2012 | 6 | 872 |
Jumlah | 15 | 4.659 |
Sumber data sekunder setelah diolah, Tahun 2008 – 2012.
Hampir sama dengan Tabel 2 di atas, data pada tabel 3 menunjukkan bahwa dalam kurun waktu tahun 2008 sampai dengan 2012, pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipilterdapat 15 perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan calon suami isteri. Jumlah tersebut juga sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan banyaknya jumlah perkawinan yang tercatat pada instansi tersebut yaitu 4.659 perkawinan.
Berdasarkan hasil penelitian melalui wawancara dengan Xxxxx Wahid102, dikatakanbahwa :
“Dari tahun 2008–2012, berdasarkan data pada Kantor-kantor Urusan Agama seluruh Kota Makassar, sampai dengan hari ini tidak ada pasangan suami isteri yang membuat perjanjian kawin selain yang telah
102Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Makassar, wawancara tanggal 13April 2012
tertera pada halaman akhir buku nikah (taklik talak), itupun banyak pasangan suami isteri yang tidak mau membacakan isi dari taklik talak tersebut, karena pembacaan isi taklik talak bukanlah merupakan kewajiban dari suami untuk membacakannya, tetapi untuk melindungi hak- hak si isteri.”
Hal ini dibenarkan oleh X. Kusumawardani,103 yang menyatakan
bahwa:
“Selama ini tidak pernah ada perjanjian kawin yang terdaftar di Kantor Urusan Agama manapun diseluruh Kota Makassar, yang ada hanyalah taklik talak yang terdapat di halaman akhir buku nikah suami isteri, perxxxxxan lain selain taklik talak tidak pernah ditemukan.”
Melihat kondisi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa perjanjian kawin di Kota Makassar tidak begitu populer, hal itu disebabkan karena sebagian besar masyarakat menganggap bahwa mengadakan suatu perjanjian mengenai harta antara calon suami dan isteri, dirasakan banyak orang merupakan hal yang tidak pantas, bahkan dapat menyinggung perasaan. Undang-undang Perkawinan menganut asas bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan merupakan harta bersama dan harta bawaan dari masing-masing suami isteri adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain, sehingga untuk terpisahnya harta yang dibawa suami isteri dari harta bersama, tidak perlu ditempuh melalui perjanjian kawin.
Hampir senada dengan itu, Xxxxxxxxx Alie104 berpendapat bahwa:
“Dalam hukum adat di Indonesia tidak dikenal adanya lembaga perjanjian kawin, lembaga tersebut diadopsi dari hukum perdata barat yang kemudian diatur dalam Undang-undang Perkawinan.
103Staff Bagian Urusan Agama Islam (Urais) Kementerian Agama Kota Makassar, Wawancara tanggal 16 April 2012
104Notaris di Kota Makassar, wawancara tanggal 11 Mei 2012
Perjanjian kawin mengenai pemisahan harta kekayaan dalam perkawinan tidaklah perlu dibuat oleh calon suami isteri, karena dalam Undang- undang Perkawinan sudah disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami isteri, dan harta benda yang diperoleh seperti hadiah atau warisan, tetap berada di bawah penguasaan mereka masing- masing”.
Sementara menurut pendapat Hj. Ria Trisnomurti105, bahwa:
“Walaupun lembaga perjanjian kawin tersebut telah diadopsi di Undang- undang Perkawinan dan ada kebebasan bagi calon suami isteri untuk membuat perjanjian kawin, kenyataannya hampir semua perkawinan yang terjadi di Kota Makassar adalah perkawinan tanpa perjanjian kawin.
Xxxxx atau tidaknya membuat perxxxxxan kawin kembali kepada calon suami isteri tersebut, apakah mereka membutuhkannya atau tidak”.
Lebih lanjut dikatakan bahwa106:
“Kurangnya calon suami isteri yang membuat perjanjian kawin disebabkan masyarakat di kota Makassar masih menganggap perjanjian kawin sesuatu yang tabu dan tidak pantas dilakukan. Berbeda dengan masyarakat di kota-kota besar seperti di Jakarta, perjanjian kawin bukanlah sesuatu yang asing, apalagi dikalangan artis dan pengusaha”.
Bagi calon suami isteri yang membuat perjanjian kawin sebelum perkawinannya berlangsung biasanya dilandasi oleh beberapa pertimbangan.Menurut Oktario Ramiz107, pada dasarnya ada beberapa alasan atau pertimbangan yang mendasari calon suami isteri membuat perjanjian kawin sebelum perkawinan berlangsung, yaitu:
1. Adanya sikap individualistik
Sikap individualistik dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesiayang semakin subur seiring dengan pengaruh lingkungan, perkembangan dan kemajuan zaman. Sikap individualis ini pada akhirnya terbawa olehorang-orang yang yang akan melakukan perkawinan, berupa pembuatan perjanjian kawin.
105Notaris di Kota Makassar, wawancara tanggal 11 Mei 2012
106Ibid
107 Notaris di Kota Makassar, wawancara tanggal 15 Mei 2012
2. Adanya pergeseran fungsi dan peran dalam rumah tangga Pergeseran fungsi, peran ataupun kedudukan seorang isteri dalam sebuah perkawinan saat ini mulai berubah, yaitu semula sebagai ibu rumah tangga biasa yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga yang ikut mencari nafkah.Pergeseran fungsi ini membuat kedudukan isteri semakin dinamis, sehingga pola pikir mereka menjadi lebih realistis termasuk dalam masalah harta kekayaan dalam perkawinannya.
3. Pandangan suami isteri terhadap harta kekayaan
Pandangan suami isteri saat ini semakin kritis dan realistis dalam berumah tangga.Xxx tersebut berpengaruh terhadap meningkatnya kesadaran suami isteri terhadap masalah harta kekayaan, dalam perkawinan.Banyak diantara suami isteri saat ini memandang masalah harta kekayaan sebagai sesuatu yang sensitif dan sewaktu-waktu dapat mengakibatkan terjadinya konflik dalam rumah tangga, sehingga diperlukan semacam pengaman terhadap harta bendanya.
Untuk memperoleh gambaran mengenai perjanjian kawin itu sendiri menurut pendapat masyarakat kota makassar pada umumnya dan pelaku perjanjian kawin pada khususnya maka, berikut ini akan disajikan dalam bentuk tabel hasil wawancara dan kuesioner terhadap para pelaku perjanjian kawin di Kota Makassar dan termasuk pula pendapat dari sebagian mereka yang telah melangsungkan perkawinan namun tidak membuat perjanjian kawin.
Tabel 4 di bawah ini menunjukkan jawaban responden berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner pada 2 pasangan suami isteri yang membuat perjanjian kawin, atau dalam hal ini mereka adalah pelaku perjanjian kawin
Tabel4: Pernyataan responden (pelaku perjanjian kawin) seputar perjanjian kawin:
No | Pertanyaan | Pasangan A (EO-NN) | Pasangan B (SD-NN) |
1. | Apa itu perjanjian kawin dan setujukah dengan adanya perjanjian kawin? | - Perjanjian(persetujuan) yang dibuat calon suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka. - Setuju dengan dibuatnya perjanjian kawin. | - Kesepakatan yang dibuat antara calon sami isteri sebelum perkawinan dilangsungkan/ dicatatkan (biasanya dalam lapangan harta kekayaan) dasarnya pasal 29 UUP. - Secara pribadi tidak setuju dengan adanya perjanjian kawin. |
2. | Mengapa anda membuat perjanjian kawin? | Atas kemauan sendiri | Atas desakan orang tua |
3. | Apa yang diharapkan terhadap perjanjian kawin yang dibuat? | Sebagai tindakan preventif untuk melindungi harta kekayaan seandainya salah satu pihak(suami/isteri) pailit. | Diharapkan tidak ada masalah mengenai harta kekayaan selama berlangsungnya rumah tangga dan selain itu diharapkan dapat melindungi harta keluarga jatuh ke salah satu pihak. |
4. | Apakah perjanjian kawin menjamin status perkawinan bahagia? | Perjanjian kawin tidak menjamin suatu perkawinan berjalan bahagia dan tentram, tetapi dengan adanya perjanjian tersebut, diharapkan tidak akan ada lagi masalah dikemudian hari sehingga kebahagian dapat tercapai. | Perjanjian kawin bukanlah suatu jaminan perkawinan dapat berjalan mulus dan bahagia, bahagianya suatu perkawinan tergantung dari kedua suami isteri itu sendiri dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. |
5. | Apa itu keluarga bahagia? | Keluarga yang saling menghormati diantara anggota keluarga sehingga tercipta keluarga yang damai dan harmonis. | Keluarga yang harmonis dimana tercipta kebahagiaan baik secara batiniah maupun lahiriah. |
Sumber data primer setelah diolah, Tahun 2012 – 2013.
. Dari hasil wawancara dan kuesioner tersebut dapat disimpulkan bahwa meskipun kedua pasangan responden tersebut paham dan tahu mengenai arti, tujuan dan manfaat perjanjian kawin, namun tidak berarti mereka semua menghendakinya, sebab salah satu dari pasangan pelaku perjanjian kawin di atas secara pribadi tidak setuju untuk membuat perjanjian kawin, tetapi karena atas desakan orang tuanya sehingga mereka akhirnya setuju untuk membuat perjanjian kawin sebagaimana yang diinginkan orang tuanya.
Sebagai bahan perbandingan untuk menambah pengetahuan kita, berikut ini penulis juga akan sajikan hasil wawancara dan kuesioner dalam bentuk tabel terhadap responden yang bukan pelaku perjanjian kawin.
Tabel 5: Pernyataan Responden bukan pelaku perjanjian kawin (yang sudah menikah) seputar perjanjian kawin.
No | Responden | Apa yang dimaksud perjanjian kawin | setujukah dengan perjanjian kawin | Apa tujuan perkawinan | Apa yang dimaksud keluarga bahagia |
1. | AR-AC | Perjanjian antara suami dan isteri | Tidak setuju | Untuk ibadah | Apabila kasih sayang, pengertian dan kepercayaan terjaga. |
2. | DY-RA | Perjanjian yang dibuat sebelum menikah yang berkaitan dengan harta. | Tidak setuju | Untuk membentuk sebuah keluarga dan meneruskan keturunan | Keluarga yang hidup aman, damai dan tentram |
3. | AA-MT | Perjanjian yang dilakukan sebelum menikah dan berisi kesepakatan mengenai kedua | Setuju, selama tidak Memberat kan dan | Membina keluarga xxxxxxx, mawaddah, warahmah, | Keluarga yang lahir batin merasa berkecukupan dari segala |
belah pihak baik itu berupa materil dan immaterial | merugikan salah satu pihak | melanjutkan keturunan. | aspek | ||
4. | CS-MS | Xxxxxxxxan yang dibuat dan disepakati oleh calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan. | Tidak Setuju | Untuk membentuk keluarga, memperoleh keturunan dan menyatukan dua insan yang berbeda. | Keluarga yang terdiri dari bapak, ibu, dan anak, dimana mereka mampu mengatur dan mengelola keluarga mereka dengan baik. |
5. | RS-DP | Perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dan memuat sebab akibat dari yang akan terjadi pada saat perkawinan. | Tidak setuju | Membentuk suatu keluarga yang bahagia | Keluarga bahagia adalah tercukupinya kebutuhan materil dan immaterial |
6. | AS-FR | Perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan yang mengatur tentang perlindungan harta kekayaan | Setuju | Menyatukan dua insan yang saling mencintai dalam suatu keluarga untuk mendapatkan keturunan. | Keluarga aman dan tentram, yang saling menghargai perbedaan pendapat, menerima kekurangan dan kelebihan. |
7. | XX-XX | Xxxxxxxxan yang dibuat oleh calon suami isteri | Tidak setuju | Menyatukan dua manusia yang berbeda sifat dan latar belakang menjadi satu keluarga | Keluarga yang harmonis dan mengerti hak dan kewajiban masing-masing. |
8. | NR-AM | Perjanjian yang dilakukan oleh calon suami isteri sebelum perkawinan dalam hal mengatur harta kekayaan mereka. | Tidak setuju | Membentuk sebuah keluarga, mempunyai keturunan, dan menyalurkan kebutuhan biologis. | Keluarga yang tentram dan harmonis, saling menghormati, menghargai, dan saling menerima satusamalain. |
9. | ED-ED | Kesepakatan yang dilakukan calon suami isteri sebelum melakukan perkawinan | Tidak setuju | Membentuk sebuah keluarga | Keluarga yang seluruh anggota keluarganya merasa aman dan tentram, serta jauh dari konflik. |
10 . | EH-IW | Perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan dan dibuat oleh notaris. | Tidak setuju | Membentuk sebuahkeluarg adalam membina dan mempertahan kangaris keturunan manusia. | Keluarga yang semua aspek dalam keluarga berjalan selaras dan seimbang. |
Sumber data primer setelah diolah, Tahun 2012 – 2013.
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa dari sepuluh pasangan suami isteri, 2 pasangan diantaranya setuju dengan adanya perjanjian kawin yang dibuat bagi pasangan suami isteri yang ingin menikah (setelah terlebih dahulu dijelaskan kepada mereka lebih mendalam mengenai apa itu perxxxxxan kawin), sedangkan 8 pasangan lainnya tetap tidak setuju dengan adanya perxxxxxan kawin meskipun telah penulis jelaskan secara mendalam keuntungan dalam membuat perjanjian kawin.
Sebagaimana dipahami bersama, perjanjian kawin diadakan untuk mengatur harta perkawinan. Perjanjian ini dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing pihak, suami ataupun istri. Perjanjian kawin diharapkan dapat menyelesaikan masalah yang kira-kira akan timbul selama berlangsungnya masa perkawinan.
Beberapa manfaat perjanjian kawin menurut Xxxxxxx Xxxxx bagi pasangan calon suami isteri khususnya calon istri, antara lain;
a. Harta yang diperoleh isteri sebelum perkawinan, harta bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Maka jadi jelas apa saja harta milik istri.
b. Bila suatu saat terjadi perceraian maka perjanjian kawin ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.