PERJANJIAN PERKAWINAN PEMISAHAN HARTA BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 69/PUU-XIII/2015
PERJANJIAN
PERKAWINAN
PEMISAHAN
HARTA
BAGI
PASANGAN
SUAMI
ISTRI
DALAM
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
NO. 69/PUU-XIII/2015
PERSPEKTIF MAQASID AL SYARI’AH
TESIS
Oleh:
M SHIDQI NIM 503180016
PROGRAM MAGISTER PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2021
i
Perjanjian
perkawinan
dalam
putusan
Mahkamah
Konstitusi (MK)
Nomor
69
PUU-XIII/2015
ini
memiliki
tujuan
yang
mulia.
Perjanjian
perkawinan
ini
dibuat sebagai
upaya
anstisipatif
ketika
di
kemudian
hari
mengalami
hal-hal
yang
tidak
diinginkan
berupa
konflik
keluarga
yang
berdampak
pada
sengketa
harta.
Dengan
ini
penulis
terdorong
untuk
mengkaji
perjanjian
perkawinan
pemisahan
harta
menurut
maqasid
al
syariah,
dewasa
ini
permasalahan
yang
muncul
adalah
karena
menurut
hukum
Islam
pasti
ada
pro
dan
kontra,
sehingga
perlu
dilakukan
kajian
yang
komprehensif
tentang
bagaimana
Maqasid
Al
Syari‟ah
memandang
konsep
perjanjian
perkawinan
pemisahan
harta.
Berangkat
dari
problematika
tersebut
Xxxxxxx
mengambil
rumusan
masalah:
1.
Bagaimana
analisis
Xxxxxxx
al syari‟ah
terhadap
argumentasi
hukum pemisahan
harta
suami
istri
dalam
putusan
putusan
mahkamah
konstitusi
No.
69/PUU-XIII/2015?,
2. Bagaimanakah
analisis
maqasid
al
syari‘ah
terhadap
implikasi
perjanjian
perkawinan
pemisahan
harta
harta
suami
istri
dalam
putusan
putusan
mahkamah
konstitusi
No.
69/PUU-XIII/2015?.
Penelitian
ini menggunakan
metode
yuridis
normatif
atau
penelitian
hukum kepustakaan
karena
dilakukan
dengan
cara
meneliti
bahan
pustaka
atau
data
sekunder
belaka,
yaitu
penelitian
terhadap
asas-asas
hukum
dengan
cara
mengadakan
identifikasi
terlebih
dahulu
terhadap
kaidah
hukum
yang
telah
dirumuskan
dalam
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
69/PUU-XIII/2015.
Dalam
penelitian
ini
penulis
mengambil
kesimpulan
Dalam
perspektif
hifdz
an-nafs
(
menjaga
jiwa
) masuk dalam
kategori
peringkat
kebutuhan
sekunder
(al-hajiyyah).
Pemeliharaan
akal
(al-aql)
dalam
regulasi
perjanjian
perkawinan
diaktualisasikan
melalui
penyediaan
regulasi
dan
aturan,
tahapan
pembuatan
perjanjian
perkawinan,
lembaga
yang
memiliki
kuasa
untuk membuat
perjanjian
perkawinan.
ii
The
marriage
agreement
after
the
decision
of
the
Constitutional
Court
(MK)
Number
69
PUU-XIII
/
2015
has
a noble
purpose.
This
marriage
agreement
is
made
as
an
anticipatory
effort
when
in
the
future
there
are
things
that
are
not
desired
in
the form
of
family
conflicts
that
have
an
impact
on
property
disputes.
With
this
the
author
is
encouraged
to
study
the marriage
agreement
for
the
separation
of
assets
according
to maqasid
al
sharia,
nowadays
the problem
that
arises
is
because
according
to
Islamic
law
there
must
be
pros
and
cons,
so
it
is necessary
to
do
a
comprehensive
study
of
how
Xxxxxxx
Xx Xxxxx'ah
views
the
concept
of
a marriage
agreement
of separation
of
assets.
Departing
from
these
problems,
the authors
take the
formulation
of
the
problem:
1.
How
is
the Maqasid
al
syari'ah
analysis
of
the
legal
arguments
for
the separation
of husband
and
wife's
assets
after
the decision
of the
constitutional
court
no.
69
/
PUU-XIII
/
2015
?,
2.
How is
the analysis
of maqasid
al
syari'ah
on
the implications
of the marriage
agreement
for
the separation
of husband
and
wife's
assets
after
the
decision
of
the
constitutional
court
no.
69
/ PUU-XIII
/
2015
?.
This
research
uses
the
normative
juridical
method
or
literature
law research
because
it
is
carried
out
by
examining
library
materials
or
secondary
data,
namely
research
on legal
principles
by
identifying
in
advance
the
legal
principles
that
have
been
formulated
in
the
Constitutional
Court
Decision
Number
69
/
PUU-
XIII
/
2015.
In
this
study,
the authors
conclude
that
in
the
perspective
of
hifdz
an-nafs
(keeping
the
soul)
it
falls
into
the
category
of
secondary
needs
(al-hajiyyah).
The maintenance
of
reason
(al-aql)
in
the regulation
of the marriage
agreement
is
actualized
through
the provision
of
regulations
and
rules,
the
stages
of
making
a marriage
agreement,
the
institution
that
has
the
power
to
make
a
marriage
agreement.
iii
iv
v
KEMENTERIAN
AGAMA
REPUBLIK INDONESIA INSTITUT
AGAMA
ISLAM
NEGERI
PONOROGO
PASCASARJANA
Tuaktt4itasi B ..,,...; SK BAN-PTN••~r: 1'199/SK/BAN-PT/Ak-SURV/PTIOIS
AJa.. 1: A p,...•b 15' P- ... U471 Telp.(OJ524) 81277Fu. (OJ524) 618'3
•••••••• Website: "tt"---ww.g •w1.i1ing no30,0x.xx Email: g 1Sf.a • 'ainpnorro·•x.xx
KEPUTUSAN DEW AN PEN GU.TI
Tesis yang ditulis M.Sbidqi, Nim 503180016, Program Magister Prodi Abwal Syakbsiyyab dengan juduJ : "perjanjian perkawinan pemisaban xxxxx bagi pasangan suami istri dalam putusan putusan mabkamab konstitusi no. 69/puu-xiii/2015 perspektif maqasid al syari'ab" telah dilaksanakan ujian tesis dalam sidang majelis Munaqasah tesis Pascasarjana lnstitut Agama lslam Negeri pada Bari Jum'at, tanggal 16 April 2021 dan dinyatakan LULUS.
Dewan Penguji
Nama Pen ii r. Xxx Xxxxx, X.Xx
IP 197106231998031002
etua Sidan
. Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, X.Xx
IP 197207142000031005 en ii Utama
r. XxxxxxxX Xxxx, X.Xx IP 197605172002121002 n
No |
|
|
I. |
D N K |
|
2. |
Dr N P |
|
3. |
D N A |
|

vi
SURAT PERSETUJUAN PUBLIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama X. Sidqi
~ 503180016
Prodi
Judul Tesis
Ahwal Syakhsiyyah
Perjanjian Perkawinan Pemisahan Barta bagi Pasangan Suami Istri Dalam Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU- XID/2015 PenpektifMaqasid AI-Syari'ah
Menyatakan bahwa naskah tesis telah diperiksa dan disahkan oleh dosen pembimbing. Selanjutnya · saya bersedia naskah tersebut dipublikasikan oleh perpustakaan IAIN Ponorogo yang dapat diakses di xxxxxxx.xxxxxxxxxxxx.xx.xx. Adapun isi dari keseluruhan tulisan tersebut, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penulis.
Demikian pemyataan saya untuk dapat dipergunakan semestinya.
Ponorogo, 20 Mei 2021
c·¥
PenuJis,
M.~Sidqi
NIM
503180016
vii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian pernikahan memang belum umum dan dikenal luas di masyarakat, bahkan masih dipandang negatif sebagai sesuatu yang tabu, tidak etis dan pamali serta dianggap tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan sebelum terjadinya pernikahan masih dianggab sebagai pantangan untuk dilakukan dan bisa menjadi sandungan yang memicu ketegangan tidak hanya diantara calon pasangan pengantin saja namun bisa merembet kepada kedua keluarga besar diantara kedua besan, ketika ide perjanjian perkawinan itu dimunculkan. Selain itu, perkawinan yang dipandang sebagai peristiwa sakral dalam membenuk ikatan keluarga bahagia yang berorientasi jangka panjang, menjadi sesuatu yang riskan dan ironis karena belum apa-apa sudah membuat perjanjian perkawinan yang seolah-olah menkonfirmasi jika perjalanan kehidupan rumah tangganya nanti akan mengalami permasalahan dan tak bertahan lama.
Dengan demikian, pasangan calon pengantin cenderung banyak menghindari membuat perjanjian perkawinan sebelum
dan sesaat berlangsungnya pernikahan. Tetapi seiring
1
perkembangan
zaman
dan
semakin
terbukanya
pemikiran
masyarakat,
ditambah
persoalan
konfilk
rumah
tangga
yang
semakin
kompleks,
angka
perceraian
yang
sangat
tinggi,
maka perjanjian
perkawinan
dapat
menjadi
sesuatu
yang
urgen
untuk
dilakukan.
Perikatan pernikahan tercantum dalam pasal 29 UU Perkawinan Tahun 1974.1 Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan dilakukan sebelum ikrar diucapkan, berlaku semenjak perkawinan dilangsungkan, dan harus disahkan oleh notaris maupun pejabat pencatatan sipil. Artinya, tidak ada perjanjian yang dilakukan dalam
perkawinan, dan dapat dirubah dengan adanya kesepakatan yang sudah disetujui dari kedua belah pihak.
Peraturan tersebut tidak berlaku semenjak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 69/PUU- XIII/2015 pada tanggal 27 Oktober 2016. Pada pokok
putusannya mengabulkan permohonan uji materi terhadap
1 A. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. B. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. C. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga
ketentuan
mengenai
Perjanjian
Perkawinan
yang
diatur dalam
Pasal
29
ayat
(1),
ayat
(3)
dan
ayat
(4)
UU.
No.1
Tahun
1974 tentang
Perkawinan.
Mahkamah
Konstitusi
mengabulkan
secara
bersyarat
permohonan
dari
Xxx
Xxxxxx,
seorang
warga
negara
Indonesia
yang
menikah
dengan
warga
negara
Jepang.
Putusan
MKRI
tersebut
berdasarkan
peristiwa
pasangan
suami istri
dengan
dasar
yang
ditentukan
baru
merasakan
akan
ada
keperluan
untuk
menyusun
perikatan
pernikahan
sepanjang
dalam
ikatan
pernikahan.
Putusan
tersebut
telah
merevisi
ketentuan-ketentuan
mengenai
masa
pembuatan
perjanjian
perkawinan2, pengakhirannya3, serta masa berlakunya.4
2 perubahann aturan dari yang sebelumnya perjanjian pernikahan hanya dapat dilakukan sebelum pernikahan berlangsung menjadi sebelum dilakukan atau sepanjang dalam ikatan pernikahan. Baca selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (1), Putusan Nomor
69/PUU-XIII/2015, 154, 156
3 Perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan dan lainnya tidak dapat diubah atau dicabut kecuali sesuai kesepakatan kedua belah pihak dan
sepanjang tidak merugikan pihak ketiga. Namun untuk masa berakhirnya
juga ditentukan secara spesifik, apakah perjanjian otomatis berakhir denganberakhirnya perkawinan, atau justru ada perjanjian perkawinan yang justru baru berlaku semenjak perjanjian diseoakati seperti perjanjian hak asuh anak dsb. Baca selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (1), Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, 157.
4 Perubahan masa berlaku dari semenjak perkawinan dilangsungkan , berubah menjadi semenjak perjanjian dilangsungkan, dan disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Namun belum ada ketentuan
apakah perjanjian perkawinan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan berlaku surut atau tidak. Baca selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (1), Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, 156-157.
Perjanjian
pernikahan
setelah
putusan
Mahkamah
Konstitusi
(MK)
Nomor
69
PUU-XIII/2015
ini
memiliki
tujuan
yang
mulia.
Perjanjian
pernikahan
ini
dibuat
sebagai
upaya
anstisipatif
ketika
di
kemudian
hari
mendapati
sesuatu
yang
tidak
diharapkan
seperti
konflik
keluarga
yang
berdampak
pada
sengketa
harta.
Dengan
adanya
perjanjian
perkawinan
yang
disepakati
oleh kedua
pasangan
suami isteri
tersebut
dapat
dijadikan
sebagai
pegangan
dan
perlindungan
hukum dalam
menyelesaikan sengketa diantara kedua belah pihak.5
Hingga saat ini, perjanjian nikah memiliki arti yang beragam. Dan memecah pendapat masyarakat menjadi 2 (dua) golongan yaitu golongan pro dan kontra. Soetojo Prawiromidjojo dan Xxxx Xxxxxxxxx, sudah mengungkapkan bahwa perikatan pernikahan merupakan perikatan yang dibentuk oleh kedua mempelai pra atau pada ketika dilaksanakannya pernikahan untuk menentukan sebab-
akibatnya pernikahan terhadap harta kekayaan mereka.6 Senada
dengan Soetojo Prawiromidjojo dan Xxxx Xxxxxxxxx, R.Subekti juga menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan adalah suatu
perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan
5 Haedah Fradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 0 Xx. 3 September (2008), 4.
6 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan
Keluarga (Bandung: Alumni, 1987 ), 57.
mereka
yang
menyimpang
dari
asas
atau
pola
yang
ditetapkan
oleh
undang-undang.7
Sejalan
dengan
definisi
sebelumnya,
Komar
Andasasmita
mengemukakan
bahwa
perjanjian
perkawinan
adalah
perjanjian
yang
diadakan
oleh
bakal
atau
calon
suami
istri
dalam
mengatur
(keadaan)
harta
benda
atau
kekayaan
sebagai
akibat
dari
perkawinan
mereka.8
Secara
umum,
pada
intinya
perjanjian
perkawinan
berisi
tentang
pengaturan
harta
kekayaan
calon
suami
isteri.
Pembentukan
perikatan
pernikahan
mempunyai
tujuan
yaitu
untuk
menentukan
munculnya
akibat
pernikahan
yang
terkait
dengan
harta
kekayaan.9
Hal tersebut di atas, sejalan dengan ketentuan perjanjian perkawinan dalam konsep KUHPerdata yang pada prinsipnya mengenai harta benda dan kek ayaan, sedangkan ketentuan perjanjian perkawinan yang ada dalam Undang - undang Nomor 1 tahun 1974 secara eksplisit tidak menyebutkan obyeknya mengenai siapa saja sehingga dapat
disimpulkan bahwa perjanjian tersebut dapat mengenai
7 R.Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa,
1994),9.
8 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan
Penjelasannya (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jabar,
1990), 5.
9 Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang dan keluarga (Surabaya: Airlangga University Press), 87.
berbagai
hal,
selama
tidak
bertentangan
dengan
batas-batas
hukum,
agama
dan
kesusilaan.
Adapun
ketentuan
yang
ada
dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
menurut
penyusun
sangat
jelas
mengenai
obyeknya,
yaitu
berupa
ta'lik
talak,
pencampuran
harta
pribadi
dan
pemisahan
harta
pencaharian.10
Menyangkut
bentuk
serta
isi
dari
perjanjian
pernikahan
tersebut,
sebagaimana
yang
terdapat
dalam
umumnya
suatu
perjanjian,
kebebasan
atau
kemerdekaan
seluas-luasnya
diberikan
kepada
kedua
belah
pihak
asal
tidak
bersinggungan dengan ketentuan umum atau tidak keluar dari undang-undang kesusilaan yang ada.
Pada dasarnya, perjanjian pernikahan bertujuan untuk memelihara kepentingan dan hak masing-masing dari suami, istri, bahkan kepentingan anak juga dapat diatur dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat masih menganggap perjanjian perkawinan adalah sesuatu yang tabu. Padahal, adanya perjanjian perkawinan itu sangatlah penting terutama bagi keluarga yang rentan mengalami konflik keluarga. Dengan adanya perjanjian perkawinan dapat
memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif untuk
10 Sukardi Jurnal Katulistiwa, Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Journal of Islamic Studies, Volume 6 Nomor 1 (2016), 9.
mengantisipasi
kepentingan
maupun hak-hak
semua
pihak jika
dikemudian hari
terjadi
konflik
keluarga
yang
berujung
pada
sengketa
harta
kekayaan.
Perjanjian perkawinan sebagai upaya perlindungan hukum yang bersifat preventif dalam menghadapi terjadinya konflik-konflik keluarga berorientasi mewujudakan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi semua— pihak sebagaimana menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Sehingga dengan demikian, sebagaimana pernah dikemukanan oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxx bahwa hukum hadir dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-
kepentingan tersebut.11 Pada tahapan demikian, perjanjian
pernikahan merupakan usaha untuk memberikan kemanfaatan pada seluruh pihak supaya terciptanya suatu kesejahteraan yang tidak berat sebelah atau menguntungkan salah satu pihaksaja. perjanjian pernikahan juga tidak hanya sebagai upaya untuk menjaga harta kekayaan dari kedua belah atau masing-masing
pihak.
11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 53.
Ditinjau
dari
status
hukumnya,
hukum
perjanjian
pernikahan
itu
juga
tidak
wajib
dan
juga
tidak
diharamkan.
Artinya,
perjanjian
pernikahan
hukumnya
adalah
mubah
(boleh-boleh
saja).
Hubungan
suami istri
akan
lebih aman
dengan
adanya
perjanjian
perkawinan.
Apabila
suatu
saat
mereka
mengalami
permasalahan
yang
mengakibatkan
hubungan
kekeluargaan
mereka
ternyata
―retak‖
bahkan
berujung
pada
perceraian,
maka
mereka
mempunyai
modal
sesuatu yang dapat dijadikan pegangan serta dasar hukum.12
Pembuatan perjanjian pra nikah sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman, selain itu juga dipengaruhi degradasi mental, hal ini bertujuan untuk menghindari bahwa sebuah pernikahan hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu tanpa di dasari keikhlasan dari kedua belah pihak. Misal halnya tingkat sosial, penggabungan bisnis keluarga, memperoleh warisan atau semena-mena karena egoisnya.
Dengan itu penulis termotivasi untuk membahas tentang perjanjian perkawinan pemisahan harta dalam pandangan maqasid al syariah, pada zaman ini maslah yang datang sering disebabkan karena anggapan oleh hukum Islam selalu ada pro
dan
kontra,
sehingga
perlu
dilakukan
kajian
yang
komprehensif
12 Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional
(Jakarta:Varia Peradilan, 2008), 273.
tentang
yang
mana
Maqasid
Al Syari‘ah
menganggap
konsep
perikatan
perkawinan
pemisahan
harta,
apalagi
secara
fiqih
memang
penjanjian
perkawinan
ini
tidak
ada
aturan
didalamnya.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana analisis Xxxxxxx al syari‟ah terhadap argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU- XIII/2015?
2. Bagaimanakah analisis maqasid al syari‘ah terhadap implikasi perjanjian perkawinan pemisahan harta harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no.
69/PUU-XIII/2015?
C. Tujuan Penulisan
Setelah kajian atas rumusan masalah tersebut terjawab dalam penelitian ini, maka para pembaca diharapkan mampu:
1. Xxxxxxxxxx pandangan maqasid al syari‟ah terhadap argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam
putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU- XIII/2015.
2.
Mengetahui
analisis
maqasid al
syari‟ah
terhadap
perjanjian
perkawinan
pemisahan
harta
harta
suami
istri
dalam
putusan
putusan
mahkamah
konstitusi
no. 69/PUU-XIII/2015?
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu untuk mendeskripsikan teori maqasid Al Syari‟ah dalam menguraikan pentingnya perjanjian perkawinan sebagai perlindungan hukum dan langkah preventif dalam menghadapi problematika konflik-konflik keluarga yang melibatkan sengketa harta kekayaan. Peneliti mempunyai harapan besar bahwa teori maqasid al syari‟ah yang digunakan dalam penelitian ini mampu memberikan kejelasan hukum atas pentingnya perjanjian-perjanjian perkawinan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan para buruh migran pada khususnya akan pentingnya perjanjian perkawinan sebagai perlindungan keluarga. Dan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih pemikirian dari peneliti dalam upaya memberikan solusi alternatif dalam ikut berperan menangani adanya
konflik-konflik
keluarga.
Dengan
penyajian
informasi
ini
dapat
dijadikan
dasar
baik
bagi
para
pemegang
kebijakan,
KUA,
dan
elemen
masyarakat
dalam
mengedukasi
masyarakat
akan
pentingnya
perjanjian
perkawinan.
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai tinjauan pustaka dalam penelitian ini perlu untuk dicantumkan. Karena dengan adanya kerangka teori peneliti mengupayakan sebuah analisis terhadap suatu data untuk menarik sebuah kesimpulan. Data yang ada tidak diadopsi seluruhnya, tetapi akan dilakukan penyesuaian- penyesuain dalam rangka menciptakan relevansi data, sehingga bisa memungkinkan terjadi perubahan konsep sebelumnya yang telah ditetapkan dengan konsep lain yang lebih tepat dan akurat, atau mengenyampingkan pandangan-pandangan teoritik atau temuan peneliti lain yang dianggab kurang relevan lagi dan diganti dengan pandangan teoritik lain yang lebih relevan. Beberapa referensi jurnal yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah ini antara lain.
Penelitian Gunadi yang berjudul perjanjian perkawinan menurut kitab undang-undang hukum perdata dan undang- undang nomor1tahun 1974. Penelitian ini membahas mengenai regulasi Perjanjian Perkawinan dalam tinjaun UUP Nomor 1
Tahun
1974
dan
UU
Hukum
Perdata.
Perjanjian
pernikahan
merupakan
perjanjian
yang
dibuat
oleh
pasangan
kedua
mempelai
dengan
tujuan
mengatur
akibat-akibat
pernikahan
terkait
harta
kekayaan.
Dalam
pengertian
tersebut
menjelaskan
bahwa
perjanjian
pernikahan
mengatur
mengenai
kedua
belah
pihak
yang
melakukan
perjanjian
pernikahan,
yang
mana perjanjian
tersebut
terkait
pengaturan
harta
kekayaan
dan
akibatnya. 13
Undang-undang telah memberikan kemungkinan bagi seseorang yang belum mencapai usia dewasa untuk membuat perjanjian perkawinan, asalkan: 1). Kedua mempelai telah memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan; 2). Mereka dibantu oleh pihak yang memberi izin untuk melangsungkan pernikahan; 3). rencana serta konsep dalam perjanjian harus mendapat persetujuan dari hakim pengadilan apabila pernikahan tersebut atas izin hakim.
Bentuk atau isi dari perjanjian pernikahan tersebut pada umumnya, kepada kedua mempelai diberikan kebebasan yang seluas-luasnya selama tidak bertentangan dengan undang- undang kesusilaan yang baik serta tidak melanggar ketertiban
umum.
13Gunadi, Perjanjian Perkawinan Menurutkitab Undang-Undang Hukum Perdatadan Undang-Undang nomor 1Tahun1974, Journal for Islamic Studies,Vol.1, (2018), 01.
Mengenai
tujuan
dan
manfaat
perikatan
pernikahan
diteliti
oleh
Xxxxxx
Xxxxxx.14
Perikatan
pernikahan
merupakan
sesuatu
yang
memiliki
tujuan
serta
manfaat
baik
yaitu
sarana
dalam
melakukan
tindakan
preventif
yang
mana
apabila
muncul
kasus
perceraian,
dengan
adanya
akte
Perjanjian
Perkawinan
yang
telah
dibuat
maka
dapat
memudahkan
dalam
pemisahan harta gono-gini. Pada saat menjalani permasalahan perceraian antar mantan pasangan suami istri tidak menimbulkan perselisihan terkait pembagian harta benda. Namun dalam masyarakat memandang bahwa perjanjian pernikahan dipandang masih tabu, sehingga perikatan pernikahan jarang sekali diadakan.
Selain itu, perjanjian perkawinana sebagai perlindungan hukum dilakukan oleh Dyah Ochtorina Susanti Perjanjian pernikahan dianggap dapat digunakan Sebagai bahan dasar Perlindungan Hukum Bagi kedua belah pihak (Perspektif Maqashid Syari,ah).15 Hukum positif Indonesia dalam mengatur perjanjian perkawinan hanya yang bersifat
materialistik yang hanya mengatur pada hartanya saja.
14Haedah Fradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol.8 (2008), 03.
15Dyah Ochtorina Xxxxxxx, Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami lstri (Perspektif Maqashid
Syari,ah). Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, No.2,
April 2018,1-30, ISSN 2596-6176 (online)
Mengenai
hal
tersebut,
seharusnya
perjanjian
perkawinan
bukan
hanya
pada
hartanya
saja
akan
tetapi
mengatur
tentang
hal-hal
misal
dalam
konsep
keagamaannya
atau
tentang
hal-hal
yang
bisa
menyebabkan
permasalahan-permasalahan
bagi
kedua
mempelai
sehingga
dapat
menjadi
faktor
timbulnya
perceraian.
Isi
pada
perjanjian
nikah
sebenarnya
dapat
membuat
perjanjian
yang
lain
yang
bukan
terkait
harta
pernikahan
saja,
seperti
tentang
pernikahan
monogami,
hak
dan
kewajiban
kedua
pasangan
suami
istri,
serta
perjanjian-
perjanjian
yang
lain
yang
diharapkan
oleh
kedua
mempelai.
Dengan
demikian
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
serta
melindungi
hubungan
kedua
mempelai
serta
mengurangi
hal-
hal
yang
dapat
menyebabkan
perceraian.
Tugas penguasa atau pemerintah serta DPR RI, seharusnya membuat kegiatan revisi terhadap isi dari peraturan dalam perikatan nikah, bahwa isi dari perjanjian tidak hanya memuat tentang harta saja, akan tetapi terkait hal- hal yang telah ditegaskan dan dijelaskan yang mana suami istri bisa membuat perikatan pernikahan yang isinya selain perikatan yang menyangkut harta. Dengan pertimbangan dari segi sisi utilities (kemanfatan) dan mengacu maqashid syari ah, maka perlu diatur dalam aturan tersendiri serta dari hal-hal yang bersangkutan dengan kepastian hukum yang bertujuan
pada memberikan jaminan dan melindungi bagi pasangan suami
istri.
Selain
itu
pula,
perlu
dilakukan
inventarisir
terhadap
beberapa
penelitian
tentang
implikasi
putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
69/PUU-XIII/2015.
Salah
satunya
adalah
penelitian
Xxx
Xxxxxxxxxxx
dengan
judul
Implikasi
dan
Akibat
Hukum
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor 69/PUU-
XIII/2015
terhadap
Pembuatan
Akta
Perjanjian
Perkawinan
Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris.16 Dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif penelitian ini memberitahu bahwa dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 kepada pembuatan akta perjanjian pernikahan sesudah nikah yang telah dibuat dengan akta notaris akan merubah ketentuan hukum. Selama perkawinan berlangsung pengadaan perikatan pernikahan dapat dibuat oleh notaris tanpa harus di dahului dengan penetapan pengadilan yang berwenang. Dalam Putusan MK akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan setalah kawin terhadap status harta bersama inheren (berkaitan erat) dengan waktu mulai
berlakunya perjanjian tersebut dan mengikat terhadap pihak
16 Xxx Xxxxxxxxxxx, Implikkasi dan Akkibat Hukuum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris, Jurnal Lex Renaissance No. 1 VOL. 2 (2017), 16 – 34.
ketiga.
Hasil
Penelitian
Xxx
Xxxxxxxxxxx
ini
penting
untuk dijadikan
dasar
bagi
peneliti
dalam
menyelesaikan
permasalahan
pembuatan
akta
perjanjian
perkawinan
khususnya
pada
notaris.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,1 yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap makna- makna dari hukum yang telah dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Dalam desain karya ilmiah ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang bertujuan mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik. Penelitian kualitatif berupaya untuk menyajikan realitas sosial dan perspektif dari segi konsep, perilaku dan persepsi obyek yang diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Peneliti
dalam
menggunakan
pendekatan
peneliti
dalam
melakukan
penelitian
ini
terdiri
dari
tiga
jenis
yaitu,
yuridis
– normatif
– sosiologis.
a. Xxxxxxx merupakan letak dari pendekatan yuridis pada cara dalam memakai pendekatan serta pada prinsip-prinsip, konsep- konsep serta asas-asas hukum yang digunakan sebagai sarana dalam melihat, membahas, serta menganalisis dari problematika pembuatan perikatan sebelum nikah di Indonesia melalui analisis UU No 1 Tahun 1974 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang berhubungan
dengan tema sentral penelitian.17
b. Pendekatan Normatif merupakan pendekatan yang memandang dari segi problem dalam perikatan sebelum menikah di Indonesia dipandang dari segi legal formal maupun normatifnya. Arti legal formal dapat diartikan sebagai hal yang keterkaitan pada konsep halal haram, boleh atau tidak, dan lainnya. Yang mana yang dimaksud aturannya merupakan terkait ketentuan yang terkandung didalam nash serta
bagaimana Islam mengatur tentangnya. 18
17 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : Raja Grafindu Persada, 2001), 13.
18 Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), 153.
c.
Pendekatan
sosiologis
merupakan
gambaran
tentang
kondisi masyarakat
yang
lengkap
dari
mulai
struktur,
lapisan,
serta
berbagai
kelas
sosial
lainnya
yang
saling
berkaitan.
Fenomena-
fenomena
dapat
di
analisa
dengan
ilmu
dengan
cara
memunculkan
faktor-faktor
pendorong
terjadinya
hubungan
tersebut,
seperti
yang
disebut
interaksi
sosial
dan
kepercayaan
atas
keyakinan
yang
berdasarkan
terbentuknya
proses
perikatan
sebelum menikah di Indonesia.19
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,1 yang mengungkapkan peraturan UU No 1 Tahun 1974 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian dan dideskripsikan menurut pandangan Maqasid Al Syari‟ah Jaser Auda.
4. Bahan Hukum
Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a) Sumber data Hukum Primer: yaitu bahan hukum yang mengikat.1 Berupa hal-hal atas ketentuan perundang-
undangan
yang
mempunyai
keterkaitan
dengan
objek
19 Abbudin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Xxxx Xxxxxxxx
Persada, 2002), 39.
penelitian, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
b)
Sumber
data
Hukum
sekunder:
bahan
hukum
yang
terdiri
dari
buku-buku
teks
(textbooks),
jurnal-jurnal
hukum perdata
dan
hukum
keluarga,
dan
kasus
hukum
yang
berkaitan
dengan
perjanjian
perkawinan
pada
perkawinan
campuran1.
Buku
tersebut
antara
lain:
1. Metode Maqasid al syariah Jasser Auda diterangkan dalam
buku yang berjudul ― Membumikan Hukum Islam Melalui
Maqasid al syariah ‖
2. Karya Jasser Auda dengan judul ― Al-Maqasid untuk
Pemula‖
c) Sumber data hukum tersier: bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder1, yang meliputi kamus hukum, dan encyclopedia.
5. Pengelolaan dan Analisis Sumber Data hukum
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, maka analisa bahan hukum yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serta tersier.1
Meliputi isi dan struktur hukum positif dalam UU No 1 Tahun
1974, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015 yang dilakukan peneliti untuk menentukan isi atau
makna
aturan
hukum
yang
dijadikan
rujukan
menggunakan
persepktif
MAQASID
AL
SYARI‟AH
Jaser
Auda.
Khususnya
dalam
menyelesaikan
permasalahan
perjanjian
perkawinan
pada
masyarakat
Indonesia.
E. Sistematika Pembahasan
Penulisa dalam menyusun penelitian ini terdiri dari lima bab. Sebagaimana maksud dari penulis antara bab satu dengan selanjutnya saling berkaitan dan ketergantungan secara sistematis. Sehungga dalam pembahasanya runtut dari mulai bab satu hingga bab lima menyambung. Jadi dapat di artikan bahwa untuk memahami penelitian ini maka harus dibaca dari bab awal hingga bab akhir atau bab lima.
Maka dari itu pembuatan karya ilmiah ini menggunakan metode kualitatif. Maka dalam pembentukan analisa ini membentuk pola induktif yaitu dari hal yang khusus ke hal yang umum. Dapat dimakna terdapat sebuah pemaparan dalam karya ilmiah ini, penjelasan tentang suatu hal yang dihubungkan pada kenyataan atau kejadian khusus, dan selanjutnya cara menarik kesimpulan dari cara pemaparan teori yang berdasarkan pada kenyataan dan teori yang sudah ada
(umum).
Yang
mana
telah
dijelaskan
oleh
Trianto
yaitu
penelitian
yang
bersifat
induktif
merupakan
penelitian
yang
diawali
dari
pengelompokan
data-data
yang
selanjutnya
diolah
dan
disimpulkan
dengan
cara
rasional
sesuai
pada
dasar
pengetahuan
(teori)
yang
benar.20
Apabila
digambarkan
keterkaitan
antara
bab-bab
dan
sejauh
mana cakupan
penjelasannya
tersebut
maka
dapat
digambarkan
sebagai
berikut:
Khusus
Bab 1: Dasar pijakan penelitian
Bab II: Eksplorasi Teori
Bab III: Pemaparan
Temuan data
Bab IV:Pengembangan Gagasan Berbasis Teori
Umum
Bab V: Kesimpulan
Tabel
1.1
Model
penelitian
Piramida
Terbalik
20 Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembangan
Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Kencan, 2010), 155.
Maksud
dari
model
Penelitian
piramida
terbalik
tersebut
digunakan
supaya
pembaca
dapat
dengan
mudah
memahai
bacaan
dengan
cara
yang
tuntas
dan
komperhensif
maka
dapat
dilihat
pada
isi
serta
maksud
tesis
secara
keseluruhan
dan
benar.
selanjutnya
lagi
maksud
dari
model
gambar
diatas
agar
mudahnya
penulis
dalam
menulis
atau
menyusun
tulisan
ini,
maka
dari
itu
dianggap
membutuhkan
penjelasan
model penyusunan
tesis
dan
penjelasan
tesis ini
sesuai
dengan
penjabaran
berikut:
Bab pertama mempunyai isi tentang cakupan penelitian yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini, pada bab ini dijabarkan mengenai fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori metode penelitian dan ditutup dengan penjabaran sistematika pembahasan. Secara umum penyampaian dalam bab ini mempunyai terkait keinginan agar pembaca dapat menemukan latar belakang penelitian ini, dan juga alasan teoritis yang bersumber dari bacaan yang kredibel dan memahami kenapa penelitian ini perlu untuk dilakukan. Selain itu pula, pada bab pertama ini juga dipaparkan mengenai keadaan peneliti dan posisi tesis ini dalam ranah keilmuwan yang orisinil, tetap berkorelasi dengan penelitian yang sebelumnya, dan memunculkan ciri khas yang menunjukkan bahwa tesis ini
berbeda
dengan
penelitian
yang
lainnya.
Oleh
karena
itu,
bab
ini
adalah
landasan
dari
bab-bab
selanjutnya,
dan
penulisan
metodologis
di
bab
selanjutnya.
Sebagai
dasar
pengembangan
teori,
penohokan
teori,
penolakan
atau
dukungan
atas
sebuah
teori.
Bab
pertama
inilah
yang
akan
menjadi
dasar
pengembangan
teori
pada
bab
selanjutnya.
Bab kedua memuat landasan teori yang meliputi konsep perjanjian perkawinan yang terungkap melalui pemikiran para ahli yang dikaitkan dengan konsep perjanjian yang terkandung dalam peraturan dan perundang-undangan. Bagaimana tujuan dan manfaat adanya perjanjian perkawinan dikaitkan dengan maqasid al syari‟ah.
Bab ketiga berisi pemaparan konsep harta perkawinan, perjanjian perkawinan dalam putusan MK No 69/PUU- XIII/2015 dan dampaknya terhadap perubahan UU No. 1
Tahun 1974. Perjanjian perkawinan sebagai perlindungan hukum. Data-data terkait dampak putusan MK terhadap perubahan UU No. 1 Tahun 1974, perubahan regulasi pada lembaga yang mengesahkan dan yang mengeluarkan akta perjanjian perrkawinan.
Bab keempat adalah berisis pembahasan mengenai argumentasi hukum dan pandangan Maqasid Al Syari‘ah
terhadap
perjanjian
menurut
peraturan
dan
perundang-
undangan.
Bab kelima, berisi tentang penutup di mana di dalamnya dijabarkan mengenai kesimpulan serta saran kemudian dilanjutkan dengan penulisan daftar referensi serta lampiran-lampiran.
25

BAB II
KONSEP
PERJANJIAN
PEMISAHAN
HARTA
GONO
GINI
DALAM
PERJANJIAN
PERKAWINAN
PERKAWINAN
SEBELUM
DAN
SESUDAH
PUTUSAN
MAHKAMAH
KONSTITUSI
A. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx’ah Xxxxxx Xxxx
Maqashid Al-Syariah adalah kata majemuk (idlafi) yang berasal pada suku kata yang disebut dengan Maqashid dan al-Syariah. Menurut bahasa, Maqashid adalah kata jamak (plural) dari kata maqshid. 21
Terdiri dari huruf qaf, shad, dan dal, yang artinya tujuan atau kesengajaan. Sementara kata al-Syariah secara bahasa berasal dari kata syara‟ayasyra‟usyar‟an yang artinya menyusun syariat atau undang-undang, menjelaskan serta menyatakan.22 Dikatakan syaralahumsyar‟an berarti ia telah memberi arah kepada mereka atau mempunyai makna sama yang artinya memberi arah jalan atau pedoman.
Sedangkan syariah secara terminologis beberapa ahli
beropini menurut Xxxx X.X Xxxxx mengungkapkan istilah
21 Xxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Al Syarî‟ah berhubungan Dengan
Metode Istinbath Hukum, Vol 19 (2017), 03.
22 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, “Teori Maqâshid Al-Syarî‟ah Dalam Hukum
Islam‖, dalam Jurnal Sultan Agung, Vol XLIV No. 118 (2009), 120.
25
canon
law
of
Islam
adalah
hakikat
syariah
yang
berarti
semua
aturan
berupa
nas-nas
dari
Allah.
Sedangkan
Satria
Effendi
mengungkapkan
bahwa
syariah
adalah
al-mushusha
lmuqaddasah
yakni
nash
suci
yang
tercantum
dalam
Al-Quran
dan
al-Hadist
al-Mutawatirah,
yang
belum
terpengaruhi
dari
penjabaran
dari
manusia,
maka
wilayah
syariah
ini
mencakup
dalam hal I‟tiqaddiyah, amaliyah, dan khuluqiyah.23
Sedangkan para ulama mutakhirin berpendapat dari hal itu sudah terdapat adanya penyempitan makna syariah. Xxxxxx Xxxxxxxxx menyampaikan penjelasan terkait makna syariah bahwa syariah merupakan ketentuan aturan dan tata norma yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya agar dijadikan pedoman bagi manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhannya, tentang muamalah, bumi dan semua kehidupan. Sementara menurut Xxx Xx-Xxxxxx mengungkapkan bahwa syariah adalah aturan yang disampaikan Allah kepada hambanya agar hambanya meyakini serta mengamalkannya
demi kebutuhan dunia dan akhirat.24
23 La Jamaa, “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqâshid Al-
Syarî‟ah” dalam Jurnal Ilmu Syarî‘ah dan Hukum Vol. 45 No. II, (2011),
1255-1256.
24 Xxx Xxxxxxx, Teori Maqâshid Al Syarî‟ah Dan Hubungannya
Dengan Metode Istinbath Hukum, Vol 19 ( 2017), 03.
Dapat
memahami
arti
dari
maqashid
al
syariah
secara
etimologi,
sehingga
bisa
membantu
kita
memahami
maksud serta
tujuan-tujuan
disyariatkannya
hukum
Islam,
terkait
hal
ini maqashid
al-syariah
mengindikasikan
sangat
berhubungan
erat
dengan
hikmah
dan
illat.
Maqashid
al
syariah
sebagai
salah
satu
cabang
ilmu
tertentu
yang
independen,
beragam
versi
yang
konkrit
dan
komprehensif
tidak
akan
bisa ditemui
lagi
dalam
disiplin
ilmu
ini
yang
notabene
ditemurunkan
oleh
para
ulama
klasik. Meskipun demikian
nantinya
tetap
akan
menemui
titik
tolak
konsep
yang
hampir
sama.
Oleh sebab itu, secara tidak langsung banyak definisi maqashid al-syariah lebih sering diungkapkan oleh para ulama terbaru misal halnya Xxxxx xxx Xxxxx yang memisahkan maqashid al-syariah menjadi dua yakni maqashid al-syariah al ammah dan maqashid al-syariah al khashah. Yang pertama yang diartikan disini yaitu sebagai hikmah, rahasia dan tujuan diberlakukannya syariah secara general yang mencakup semua aspek syarî‘at dengan terkecuali hanya memfokuskan diri terhadap satu bidang. Bagian kedua diartikan sebagai sepaket dari cara khusus yang diterima oleh al-syâri‘ dengan tujuan mewujudkan kehidupan sejahtera manusia dengan cara memfokuskan kepada satu titik dari beberapa titik bidang
syari‘at yang sudah ada, misal tentang ekonomi, aturan hidup berkeluarga.
Sementara
sesuai
pendapat
‗Allal
al-Fâsi
merupakan
cara
dalam
rangka
melihat
tentang
apa
tujuan
pensyari‘atan
di mana
menjadi
aturan
yang
dapat
menentukan
kesejahteraan
dan
menghindari
kemafshadatan
yang
berisi
kebaikan
untuk
manusia.25 Xxxxxx xx-Xxxxxxx mengemukakan bahwa maqâsid
al-maqâsid al-syarî‟ah adalah unsur nilai dan tujuan syara' yang diungkapkan secara tidak langsung dalam keseluruhan atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Apa yang ditetapkan oleh syar‘i memandang unsur nilai serta sasaran- sasaran sebagai tujuan dan rahasia syarî‘ah, (Allah dan Nabi Xxxxxxxx merupakan sebagai pembuat syari‘at) dalam setiap ketentuan hukum.
Al-Syâthibi mengungkapkan bahwa tanggungan- tanggungan syarî‘ah semula kembali kepada penjagaan tujuan- tujuanya terhadap makhluk. Tujuan-tujuan ini tidak lepas dari tiga macam isi yaitu dlarûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Al- Syâri‘ mempunyai visi berisi setiap pembuatan hukum
bertujuan
untuk
menciptakan
kebaikan
umat
manusia
di
dunia
dan
di
akhirat.26
Oleh
karena
itu
dalam
perbedaan
opini
dalam
mengartikan
Maqashid
al-syarî‟ah
tersebut,
para
ulama
ushûl
al-fiqh
memiliki
pendapat
yang
sama
bahwa
maqâshid
al-
syarî‟ah
merupakan
keinginan-keinginan
sesungguhnya
yang
harus
terwujud
di
dalam
syarî‟at.
Penerapan
syarî‟at
di
dalam
kenyataan
hidup
di
dunia,
yang
di
dalamnya
untuk mewujudkan
kemaslahatan
dan
kenyamanan
untuk
kehidupan
di
bumi
ini,
sehingga
berpengaruh
kepada
kebaikan
dunia dan
kebaikan
di akhirat.
Tujuan dari maqasid syari'ah yaitu sebagai alat untuk menwujudkan kedamaian serta kebaikan umat yang sepenuhnya, hal ini berlandaskan tujuan dari dibuatnya serta ditetapkannya peraturan dalam Islam merupakan sebagai sarana mewujudkan kedamaian makhluk dengan cara memelihara tujuan-tujuan syara'. Adapun beberapa dasar tujuan dibuatnya syara' yang harus dilindungi itu adalah 1) melindungi agama, 2) melindungi jiwa, 3) melindungi akal, 4) melindungi
keturunan dan 5) melindungi harta.27
26 Xxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Al Syarî‟ah Dan Hubungannya
Dengan Metode Istinbath Hukum, Vol 19 (2017), 03.
27 Xx-Xxxxxxx, Imam Xxx Xxxxx Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxx, Al-
Mustashfa min „Ilm Al-Ushul, Juz I, (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1983), 286-287.
Fiqh
modern
yang
di
tawarkan
oleh
Xxxxxx
Xxxx berdasarkan
Maqâshid
Al
Syarî‟ah.
Islam
merupakan
agama
yang
mengedepankan
nilai-nilai
kemanusiaan
serta
memberikan
jawaban
dari
permasalahan
dalam
kehidupan
manusia
supaya
seimbang
dan
selaras.
Konsep
ini
yang
akan
diangkat
oleh
Jasser
bagaimana
agar
kehidupan
umat
manusia bisa
diterapkan
sesuai
aturan
serta
memberikan
keuntungan
bagi
umat
manusia,
tentunya
hal
ini
jasser
menggunakan
sebuah
konsep
atau
sistem
terbaru.
Dalam
Maqasid
al-Shari‟ah
as
Philosophy
of Law:
A
syistem
Approach
Xxxxxx
Xxxx memaknai
Maqasid
menjadi
empat
makna,
pertama,
hukum yang
mempunyai
hikmah.
Kedua,
tujuan
dari
hukum
adalah
memperoleh
akhir
yang
baik.
Ketiga,
basis
dari
hukum
adalah
kumpulan
tujuan
ilahiyah
dan
metode tentang
akidah.
Keempat,
Mashalih.
Dalam
konsep
Maqasid
yang
diberikan
oleh
Xxxxxx
Xxxx,
pokok
paling
utama
adalah
nilai
dan
Prinsip
kemanusian.28
Konsep Maqashid lama yang berusaha dikonstruk oleh
Jasser Auda yang mengarah kepada teori maqashid yang mempunyai sifat protection and preservation yang mengacu
28 Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Konsep Maqashid Al- Syariah Dalam Menentukan Hukum Islam (Perspektif Al-Syatibi dan Jasser Auda), Jurnal Al-Iqtishadiyyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, ISSN Elektronik:, Volume: I., ISSUE I. (2014), 2442-
2282.
kepada
development
and
rights.
Konsep
yang
telah
berkembang
selama
ini
adalah
teori
maqashid
yang
berbentuk
hirarkis,
utama terjadi
pada
abad
ke-20.
Teori
yang
mengomentari
beberapa
klasifikasi
kebutuhan
(necessity)
atau
yang
disebut teori
modern
ini,
mempunyai
alasan-alasan
berikut
ini:
a)
scope
teori
maqashid mencangkup
semua
hukum
Islam,
b) memiliki
sifat
individual;
c)
nilai-nilai
bersifat
paling
universal
dan
pokok tidak
dimasukkan,
misal
kebebasan
dan
keadilan
(freedom);
d)
tidak
mengarah
pada
sumber
original/script
akan
tetapi dideduksi dari kajian literature fiqhi,.29
Para ulama‘ kontemporer menentukan terkait kelas- kelas Maqāṣid al-Syarīah mereka memisahkan maqāṣid menjadi tiga kelas, yaitu maqāṣid „āmah (General maqāṣid/tujuan-tujuan umum), maqāṣid khāṣṣah (Specific maqāṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid juz`iyah (Partial maqāṣid/ tujuan-tujuan parsial).
Seluruh kondisi tasyri‟ atau bagian besar Maqāṣid
„āmah mempunyai arti, nilai-nilai dan arti umum, seperti keleluasaan, keadilan, kesetaraan dan kemudahan. Maqāṣid khaṣṣah merupakan kebaikan dan konsep yang memiliki tujuan untuk diwujudkan di dalam kajian khusus dalam syariah,
seperti
yang
memiliki
tujuan
tidak
membahayakan
dan
29 Ibid, 8.
merendahkan
kaum
wanita
dalam
tatanan
hidup di
keluarga,
menghalang-halangi
masyarakat
untuk melanggar
dan
efek
jera
ketika
memberikan
sebuah
ganjaran
(hukuman),
dalam
muamalat
memusnahkan
gharar
(ketidakjelasan),
dan
lain-
lainnya.
Sementara
maqāṣid
juz`iyah
merupakan
tujuan
serta
nilai
yang
ingin
diwujudkan
ketika
pentasyri‘an
aturan
tertentu,
misal
yang
memiliki
keinginan
kejujuran
serta
hafalan
dengan
ketentuan
tentang
orang
yang
menyaksikan
harus
lebih dari
satu
orang,
menghapuskan
kesukaran
pada
hukum,
misal
diperbolehkannya
tidak
berpuasa
bagi
manusia
yang
tidak
mampu berpuasa dikarenakan sakit, bepergian atau lainnya.30
Dalam segi yang lain, terdapat tiga tingkatan dalam piramida maqāṣid al-Sharīah, yaitu ḍarūriyah, ḥājiyah dan taḥsīniyah. Sementara pengkajian yang dilakukan oleh para ulama‘ klasik, al-Maqāṣid al-ḍarūriyah ketika memciptakan syariah Islam, lima hal pokok dalam kehidupan yang terangkum kedalam konsep yang bertujuan melindungi, yaitu: melindungi agama (hifẓ al-dīn), melindungi jiwa (hifẓ al-nafs), melindungi akal (hifẓ al-„aql), melindungi keturunan (hifẓ al- nasl) dan melindungi harta (hifẓ al-māl). Para ulama‘ klasik,
xxxxxxx
xx-Xxxxxxx
dan
xx-Xxxxxxx
menyebutnya
dengan
al-
30 Xxxxxx Xxxx, Fiqh al- Maqāṣid, h. 15-17; Xxxxxx Xxxx, Maqasid al-
Xxxxx‟ah as Philosophy of Islamic Law a Sistem Approach, (Herndon: IIIT,
2008), 5-17.
kulliyah
al-khamsah
menurutnya
konsep
itu
dianggap
sebagai
usūl
al-syariah
dan
menjadi
suatu
tujuan
umum
dari
pembuatan
syariah
tersebut.
Xxxxxxx xx-Xxxxx‟ah yang disusun oleh ulama klasik memiliki kelas-kelas yang berbentuk piramida, yang diawali dari maqāṣid „amah sebagai intinya selanjutnya memiliki cabang-cabang menjadi maqāṣid khasah dan terakhir maqāṣid juz‟iyah. Selanjutnya selain itu disambung dengan al- ḍarūriyah, ḥājiyah selanjutnya tahsīniyah. Tujuan ia membentuk sesuai tingkat yang mana yang harus didahulukan ini apabila terdapat perdebatan antara maqāṣid satu dengan maqāṣid lainnya, maka yang utama yang diprioritaskan, yaitu mensegerakan melindungi agama atas jiwa, akal dan seterusnya.
Meski nampaknya konsep ini sederhana, akan tetapi kenyataannya pengaplikasian dari konsep tersebut kedalam realita kehidupan begitu susah dan rumit. Maka dari itu datanglah gambaran lain oleh para ulama kontemporer seperti Xxxxxxxxx ‗Xxxxxx dan Xxxxxx Xxxx memiliki pendapat berbeda dengan tatanan terdahulu. Mereka berpendapat maqāṣid al- Syarī‟ah tidak bersifat susunan piramid meskipun diatur dalam tingkatanya, bila mana maqāṣid terpisah antara atas dengan
bawah,
akan
tetapi
menurutnya
ia
adalah
sebuah
xxxxxxxxx-
xxxxxxxxx
yang
dapat
bertemu
serta
bersinggungan
(dawāir
mutadākhilah
wa
mutaqāṭi‟ah),
yang
memiliki
hubungan
saling
berhubungan
satu
dengan
lainnya.31
Dalam bagian lain, kita tidak diperbolehkan memberi
batas konsep maqāṣid terkait hal-hal yang sudah ditetapkan para ulama klasik sebagaimana yang dijelaskan atas. Hal ini merupakan efek pada perubahan hukum yang disebabkan oleh perkembangan dan perubahan zaman. Misal perbedaannya apa yang pada zaman dahulu menurutnya tidak bernilai bisa jadi pada zaman ini menjadi barang yang bernilai, seperti dalam berbagai kelompok, jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Adapun, sesuatu pada situasi dan tempat lain sangat berharga akan tetapi pada tempat dan kondisi yang lain
menjadi tidak berharga.32
31 Xxxxxx Xxxx, Maqāṣid al-Ahkām al-Shar‟iyyah wa „Ilaluhā, diunduh darihttp: /xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/Xxxxxxxx_Xxxxxxxx/xxx/xxxxxxx0X.xxx diakses pada 25 Agustus 2019.
32 Dengan ini, menurut Xxxxxx Xxxx, dalam hal bagaimanapun maqāṣid merupakan hasil dari produk penelitian (istiqrā‘) para ulama‘ mujtahid dari nash-nash Syariah. sedang istiqrā‟ adalah refleksi dari taṣawwur teoritis yang terdapat dalam jiwa mujtahid. Taṣawwur ini dapat berubah sejalan dengan perkembangan pemikiran, kecerdasan dan perubahan kondisi dan
zaman. Xxxxxx Xxxx menganalogkan konsep ini dengan alam semesta,
sebagaimana pengetahuan manusia atasnya berkembang dan pemahaman manusia berubah dari zaman ke zaman seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang terus berkembang, lihat lebih lanjut, Jasser Auda,
Hal-hal
sangat
penting
dipakai
untuk mengkaji
hukum Islam
adalah
Maqasid
al
syariah.
Auda
mengungkapkan
bahwa
maqasid al
syariah
sebagai
perantara
antara
problem
baru
yang
terdapat
pada
zaman
ini
dengan
syariat
Islam.
Dengan
demikian
menurut
Xxxxxx
Xxxx,
syari‘at
Islam
dapat
menyumbangkan
solusi
terhadap
problematika
umat
di zaman
modern
ini
bukan
malah
sebaliknya.
Menurut
Xxxx,
hukum Islam
dapat
menghasilkan
kehidupan
di masyarakat
produktif
dan
humanis.
Jika
pada
kenyataannya
sekarang
terjadi
sebaliknya,
maka
terdapat
kesalahan
pada
pemikiran
tentang
syariat Islam.33
Apabila pada era klasik maqasid al syariah konsepnya merupakan pencegahan, yang condong bersifat hierarki dan sempit diakibatkan terbatasnya kemaslahatan untuk diri sendiri dan dimunculkan karena keterdesakan. Maka Maqasid al syariah pendapat Xxxx merupakan sebuah konsep universal untuk menjahui dari perselisihan antara makna lafaz dan makna teks. Dalam menafsirkan teks-teks al-quran dan hadist maka
Maqasid al syariah menjadi sebuat alat dan landasannya.34
Fiqh al-Maqāṣid, h. 18-19; op. cit, Jasser Auda, Maqasid al-Shariah, x. 21-
24.
33 Xxxxxx Xxxx, Maqasid Syariah, Dalil al-Mubtadi‘in London: al-
Ma‘had al-Alami li al-Fikri alIslami, 2008), 7, 32 dan 49.
34 ibid
B. Konsep Maqasid Al-Syari’ah Antara Pemikiran Al- Ghazali Dan Al-Syathibi
Meskipun
di
kalangan
ulama
ushul
terdapat
perbedaan
istilah antara satu dengan lainnya. Xxxxxxxx Xxx Xxxxx misalnya, menyebutnya dengan maqasid al-ahkam. Semenjak Xxxx xx-Xxx Xxx‘ban dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, mengistilahkan dengan maqasid al-tasri‘. Xxxxxxxxx xx-Xxxxx lebih banyak membahasakannya dengan al-maslahah, sedangkan maqashid al-syari‘ah merupakan istilah yang digunakan oleh Xxxx Xxxxx xx-Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, namun pada prinsipnya perbedaan istilah itu sebenarnya mengandung pengertian sama. Untuk menghindari kekeliruan dan kesimpangsiuran semakaian istilah, maka dalam tulisan ini akan digunakan istilah maqashid al-syari‘ah semata.
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ―maqasahid al- syari‟ah” terdiri dari dua penggalan kata, yaitu ―Maqashid‖ dan ―al-syari‘ah‖ yang masing-masing punya makna tersendiri. Kata ‖maqashid‖ merupakan bentuk plural (jama‘) dan kata maqshid‖. Sedangkan akar katanya berasal dari kata verbal
―qashada‖, yang berarti menuju; bertujuan; berkeinginan dan berkesengajaan. Sedangkan pengertian ―syari‘ah‘ secara harfiah adalah sumber mata air atau sumber kehidupan. Kata
―syari‘ah‖ (tunggal) jamak ―syara‘i‖ berarti segala yang
diisyaratkan
Allah
kepada
hambanya,
di
antaranya
berupa
aturan-aturan
hukum.
Perkataan
―syari‘ah‖
berarti
peraturan,
sesuai
dengan
makna
yang
dijumpai
dalam
Alquran
surat
al-
Jatsiyah
ayat
18:
(kemudian
kami
jadikan
kamu
berada
di
atas
syariat
(peraturan
atau
undang-undang)
dari
urusan
(agama)
itu).
Dengan
demikian,
secara
etimologis
maqasahid
al-
syari‟ah
berarti
tujuan
Allah
(Pembuatan
hukum)
penetapkan
hukum
terhadap
hambanya,
yang
inti
dari
penerapan
Syari‘at
itu
berorientasi
untuk
mewujudkan
kemaslahatan
umat manusia.
Kemudian dalam terminologi syari‘at terdapat di kalangan para ulama yang otoritatif dalam bidang ushul tentang pengertian maqashid al-syari‟ah. Dalam kaitan ini, Xxx Xxxxx xx- Xxxxxxx (w. 790H/1388 M) dalam bukunya ―al-Muwafaqat‖ menandaskan‖ bahwa yang dimaksud dengan maqashid al- syari‟ah ialah ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Begitu pula, menurut
‗Xxxxx xx-Xxxxx dalam karyanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari‟ah adalah tujuan yang dikehendaki syara‘ dan rahasia-rahasia yang ditetapkan (Allah) pada setiap hukum. Adapun inti dari Maqashid Al-Syari‟ah itu sendiri adalah tujuan yang dikehendaki syara‘ adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindari keburukan, atau
menarik
manfaat
dan
menolak
mudharat.
Atau
dengan
kata
lain seperti
yang
ditegaskan
al-Syatibi
bahwa
tujuan
utama Allah
menetapkan
hukumnya
adalah
untuk
terwujudnya
kemaslahatan
hidup
manusia
di
dunia dan
di
akhirat.
Oleh
sebab
itu,
taklif
pembenaan
hukum)
harus
mengacu
kepada
wujudnya
tujuan
hukum
itu.
Sebab
menurut
al-Qardawi
di mana
ada
maslahat,
dilaksanakan
hukum Allah.
Dengan demikian, lihat secara jelas bahwa betapa eratnya hubungan antara maqashid al-syari‟ah (tujuan hukum Islam) dengan kemaslahatan (maslahat). Pemaknaan terhadap maslahat para ulama mengungkapkannya dengan definisi yang berbeda-beda. Menurut al-Khawaizmi menyatakan maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari mahluk (manusia). Sementara menurut al-hufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada maslahat (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syar‘i (Allah) baik dalam bentuk ibadah maupun ma‘amalah.
Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan maslaha dalam hukum Islam adalah setiap hal yang di maksudkan untuk memelihara tujuan syariat yang
pada
intinya
terangkum
dalam
al-mabaadi‘
al-khamsyah
yaitu
perlindungan
terhadap
agama
(hifzd
al-din),
jiwa
(hifzd
al-nafs)
akal
(hifzd
–„aql),
keturunan
(hifdz
al-nasl),
dan
harta
(hifzd
al-
maal). Setiap
hukum
yang
mengandung
tujuan
memelihara
kelima
hal
tersebut
disebut
maslahat,
dan
setiap
hal
yang
membuat
hilangnya
lima
unsur
ini
disebut
mafsadah.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud Maqashid Al-Syari‟ah adalah tujuan Allah menetapkan hukum-hukum untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia, sekaligus juga menghindari berbagai kerusakan, baik di dunia maupun akhirat. Lebih jauh dimaksud at-Thufi tentang al-maslaha di sini adalah al-muslaha yang sejalan dengan tujuan syara‘. Ia berbeda dengan maslaha mursalah yang dinisbahkan kepada xxxxxx Xxxxxx. Maslahah dalam pengertian at-Thufi lebih luas dari pada itu. Namun dalam hal ini, at-Thufi tidak membagi menjadi tiga tingkatan menjadi haruriat,hajiat dan tahsiniat. Dan hal lain yang membedakan Thufi dengan ulama lainnya adalah bahwa al-maslaha itu terbatas hanya pada hal
muamalah,
bukan
ibadah.35
35 Suansar Khatib, Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-Ghazali Dan Al-Syathibi, Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 5, No. 1, 2018
C. Perjanjian perkawinan menurut Hukum Positif di
Indonesia
Kata perjanjian sesuai di kamus besar bahasa Indonesia adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih berupa tulisan maupun lisan, yang mana terjadi kesepakatan diantara masing-masing akan menaati dari hasil yang disetujui yang ada dalam perikatan tersebut.36 Menurut KUHPerdata pasal 1313 perjanjian merupakan suatu kejadian yang mana satu pihak melakukan janji dengan orang lain atau yang mana dua orang atau dua pihak membuat janji mengerjakan atau tidak
melakukan hal-hal tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Subekti, kata ― perikatan ‖ dalam bukunya III KUHP mempunyai makna sangat banyak dari perikatan, yang mana hal tersebut mengatur keterkaitan antara aturan sepenuhnya bukan terdapat dari perikatan atau persetujuan bersama. Yaitu perjanjian yang muncul akibat dari penyimpangan terhadap ketentuan hukum dan perjanjian yang muncul akibat dari
pengerjaan
keperluan
pihak
lain
yang
pada
dasarnya
bukan
36 xxxxx://xxxx.xxx.xx/xxxxxxxxxx diakses pada tanggal 23 April 2019 pada pukul 11.00
berlandaskan kepada perikatan. Buku III kebanyakan perjanjian merupakan yang muncul dari suatu perikatan.37
kemudian
ditentukan
di
dalam
Instruksi
Presiden
R.I
Nomor 1
Tahun
1991
terkait
publikasi
dan
penginformasian
Kompilasi
Hukum
Islam
(selanjutnya
disebut
KHI),
Terkait
perikatan
pernikahan,
yang
mana
perjanjian
pernikahan
dalam
hal
yang
menyangkut
harta
bersama
terdapat
di
dalam
Pasal
47
KHI telah menyampaikan bahwa perikatan pernikahan bukan hanya dalam lingkup harta bersama yang diperoleh sepanjang pernikahan, tetapi harta yang dibawa oleh masing-masing pihak. Mengenai hal demikian, Xxxxxxxxx menjelaskan bahwa perikatan tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah yaitu perjanjian pernikahan terhadap harta bersama, yang mana dibuatnya perjanjian tersebut bertujuan untuk menyatukan atau membagi kekayaan individu yang diperoleh sepanjang pernikahan berjalan, hal ini sama dengan ketentuan yang telah
disepakati kedua belah pihak.38
Para ahli juga menegaskan dalam penjelasan lain tentang pengertian yang lain tentang pernikahan, seperti
pedapat
WJS.
Poerwadarminta
dalam
Kamus
Umum
bahasa
37 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermessa ), 122.
38 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta
Bersama, (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2012), 2.
Indonesia
dalam
Chairuman
Pasaribu
dan
Suhrawardi
K. Lubis,
perjanjian
mempunyai
arti
sebagai
suatu
kesepakatan
(lisan
atau
tertulis)
pembuatnya
adalah
kedua
belah
pihak
atau
lebih
yang
mana
berjanji
akan
menaati
serta
mengikuti
apa
yang tertera dalam persetujuan itu.39
Definisi perjanjian yang diungkapkan oleh Wirjono Podjodikoro dan Damanhuri, yaitu harta bersama yang diperoleh secara bersama oleh kedua pihak yang memiliki suatu hubungan hukum, yang mana satu pihak dianggap berjanji atau berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal tertentu, sedangkan apabila melanggar maka dapat
dituntut oleh pihak.40
Wirjono Projodikoro dan Xxxxxxxxx juga mengatakan pernikahan apabila dikatakan perikatan apabila seorang wanita dan seorang lelaki mempunyai kesepakatan dalam melangsungkan pernikahan satu sama lainnya, yang mana suami istri tersebut saling menyetujui akan menaati atura- aturan hukum yang berjalan menyangkut hak-hak dan
kewajiban masing-masing mempelai selama berlangsungnya
39 Chairuman Pasaribu dan Xxxxxxxxxx X. Lubis, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 1.
40 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta
Bersama, (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2012), 1.
kehidupan keluarga, dan terkait setrata sosial di masyarakat dari anak cucu serta keturunannya.41
Berhubung
pengertian
perjanjian
pernikahan
tidak
ditentukan
dengan
cara
eksplisit
di
dalam
perundang-
undangan,
akan
tetapi
dengan
cara
implisit
ditentukan
di beberapa
peraturan
perundang-undangan.
Berikut
ini adalah
hasil
komparasi
Dyah
Ochtorina
Susanti
dalam
Jurnal
Studi
dan Penelitian Hukum Ulul Albab:42
Isi Perjanjian Kawin |
KUHPerdata |
UU Perkawinan |
Kompilasi Hukum Islam |
Mengatur tentang Persatuan Harta Kekayaan (Harta Bersama) |
Calon suami istri berhak menyiapkan beberapa penyimpang an dari peraturan undangundang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian tidak menyalahi tata susilaan. (Pasal 139) |
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungka n, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat |
Perjanjian perkawinan meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masingmasing sepanjang hal itu tidak berentangan dengan hukum Islam. |
41 Damanhuri, Segi-Segi Hukum..., 2.
42 Dyah Ochtorina Susanti, Perjanjian pernikahan Sebagai sarana dalam Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami Istri (Perspektif
Maqashid Syari‟ah), Jurnal Studi dan Pemikiran Hukum Islam Ulul Albab, Vol. 1, No. 2, (2018), 12-13.
|
|
perkawinan... (Pasal 29) |
(Pasal 47 ayat 2) |
Perikatan dilaksanakan pra nikah |
Karena pengaruh ancaman pembatalan, setiap perikatan pernikahan harus disusun melalui akta notaris sebelum berlangsungnya perkawinan (Pasal 47) |
Pada waktu atau sebelum pernikahan dilaksanakan, keduanya atas kesepakatan bersama bisa mementuk perikatan tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan.... (Pasal 29 ayat 1) |
Pada waktu atau pra nikah kedua calon suami istri bisa membuat perikatan tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah tentang kedudukan harta dalam perkawinan. (Pasal 47 ayat 1) |
perikatan tidak bersebrangan dengan norma kesusilaan, agama |
Calon kedua mempelai mempunyai hak untuk menyediakan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang skitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian tidak menyalahi tata susilaan. (Pasal 139) |
Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. (Pasal 29 ayat 2) |
Kedua calon pasangan suami istri bisa mengadakan perikatan pernikahan dalam bentuk: 1. Taklik talak, dan 2. Perjanji an lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. |
|
|
|
(Pasal 45) |
Tabel 2.1 hasil komparasi Dyah Ochtorina Susanti
Tabel diatas dibuat oleh Dyah Ochtorina Susanti sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 yang telah merubah waktu perjanjian perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974 dari dilakukan sebelum perkawinan menjadi sebelum dan selama dalam ikatan perkawinan. Namun dari ketiga aturan diatas bisa diambil sebuah garis kesamaan bahwa seluruh aturan perudang- undangan tentang perjanjian pernikahan menentukan terkait kekayaan atau harta benda atau harta yang diperoleh bersama.
KUHPerdata
mengaturan
seperti
dalam
Pasal
119
KUHPerdata menjelaskan demi hukum ketika dilangsungkannya perkawinan mulai berlaku pengumpulan secara keseluruhan antara harta kekayaan pasangan suami istri. Sebagaimana pengumpulan yang dibuat sepanjang pernikahan berlansung tidak dapat dirubah atau dihapuskan dengan tidak adanya kesepakatan dari suami maupun istri. Maka dari itu, apabila ingin menyimpangi dari isi tentang penggabungan harta tersebut, maka kedua mempelai perlu menempuh jalan melalui perikatan pernikahan yang mana telah diatur pada Pasal 139
KUHPerdata.
D.
Hukum
Perjanjian
Perkawinan
sebelum
dan
sesudah
putusan
Mahkamah
Konstitusi
Kebanyakan terjadinya perikatan pernikahan di Indonesia ini dibuat karena terselip harta serta kekayaan yang tidak seimbang antara kedua mempelai, maksudnya harta kekayaan yang lebih besar pada satu pihak daripada pihak lain. Tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan tersebut yaitu untuk melakukan penyimpangan dari apa yang sudah menjadi penjelasan ketentuan terkait harta kekayaan yang dipersatukan. Mereka bebas dalam menghasilkan ketentuan hukum yang
dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.43
Perjanjian perkawinan masuk dalam regulasi perjanjian perdata. Untuk melihat perjanjian tersebut berlaku atau tidak berlakunya, perjanjiannya harus lengkap syarat rukunya. Terdapat empat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Adanya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai hal-hal pokok dalam
perjanjian
atau
perikatan,
seperti
dalam
pasal
1320
43 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta
Bersama, (Bandung: Xxxxxx Xxxx, 2007), 14.
KUHPerdata
bahwa
karena
adanya
kekhilafan
yang
didapatkan
melalui
pemaksaan
atau
tipuan
maka kata
sah
tidak
berlaku.
Kesalahan
yang
bukan
menyebabkan
batalnya
suatu
perikatan
yaitu
terjadinya
kesalahan
terkait
hakikat
benda
yang
menjadi
inti
perjanjian.
Serta
batalnya
perjanjian
akibat
tekanan
yang
dilakukan
oleh orang
pembuat
perjanjian.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa semua pihak paham dalam mengadakan perjanjian terkecuali dinyatakan di undang-undang bahwa pihak atau orang tersebut tidak cakap. Pihak-pihak tadi dijelaskan di KUHPerdata Pasal
1330 adalah yang pertama, pihak yang membuat perjanjian belum mencapai dewasa, kedua pihak yang akan membuat perjanjian merupakan yang ditaruh dibawah pengampunan, ketiga pihak yang akan membuat perjanjian adalah wanita yang sudah menikah. Akan tetapi bagian ketiga ini telah dihapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait pernikahan yang mencantumkan bahwa hak dan kedudukan suami–istri yaitu seimbang.
3. Suatu hal tertentu
Pada pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata menjelaskan ― cuma benda-benda yang bisa dijualbelikan saja yang bisa dijadikan inti suatu perikatan‖, sementara pasal 1333
KUHPerdata
menyatakan
isi
perikatan
pernikahan
harus
memiliki
inti
dari
benda
yang
paling
sedikit
tidak
akan
menjadi
masalah
benda
yang
sedikit
asalkan
masih
dapat
dihitung
atau
di tentukan
harganya.
4. Sesuatu yang diperbolehkan
Perjanjian mempunyai isi yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau tidak bersebrangan dengan norma kesusilaan atau ketertiban umum Pasal 1335 KUHPerdata memberikan ketentuan bahwa ―perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.‖
Syarat pertama dan kedua harus dapat dipenuhi oleh subyek hukum. Adapun yang disebut syarat obyektif adalah syarat ketiga dan keempat karena obyek perjanjian harus dapat memenuhi kedua syarat ini. Batalnya sebuah perjanjian dikarenakan tidak terpenuhinya syarat subyektif, yaitu bila mana ada permintaan untuk pembatalan. Serta syarat obyektif bilamana tidak terpenuhi maka perikatan perkawinan tersebut
batal karena hukum.44 Namun terdapat beberapa pengkhususan
pada
perjanjian
perkawinan.
Adanya
putusan
MK
No.
69/PUU-
44 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx-xxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxxxx/
diakses pada tanggal 12 Desember 2020 pukul 12.30 WIB
XIII/2015 berdampak pada perubahan pasal 29 UU No. 1 Th.
1974 menjadi:
a.
Ketika
pada
saat,
belum
dilangsungkannya
atau
sepanjang
ikatan
pernikahan
kedua
mempelai
atas
kesepakatan
kedua
belah
pihak
bisa
membuat
permohonan
perikatan
secara
tertulis
yang
dilegalkan
oleh pegawai
pencatat
perkawinan
atau
notaris,
sesudah
berlakunya
isi
tersebut
juga
berlaku
kepada
pihak ketiga
selama
pihak ketiga
terlibat.
b. Perjanjian tersebut tidak bisa dilegalkan misalkan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum, agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut dapat berlaku mulai awal pernikahan dilakukan, kecuali ditentukan waktu memulainya dalam perikatan perkawinan.
d. Sepanjang pernikahan berlangsung, perikatan pernikahan bisa mencangkup harta pernikahan atau perikatan perjanjian lainnya, perjanjian tersebut tidak bisa diganti atau dihapus, kecuali apabila terdapat kesepakatan dari semua pihak pembuat perikatan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak
merugikan
pihak ketiga.45
45 Dikutib dari salinan Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015
Suatu
perjanjian
yang
mempunyai
kekuatan
hukum
di mana
sebelumnya
hanya
bisa
dilakukan
sebelum
perkawinan
dimulai,
saat
ini
bisa dilakukan
baik
sebelum
perkawinan
maupun selama
dalam
ikatan
perkawinan.
Lutfiana dalam tesis di Dalamsarjana IAIN Ponorogo,
membuat sebagai berikut ini:46
Sebelum Perkawinan dimulai
Menyepakati poin-poin yang akan dijadikan sebagai dasar perjanjian perkawinan kedua belah pihak
Dilakukan dihadapan Dispenduk bagi non-muslim, dan KUA bagi yang muslim
Dispenduk dan KUA mengeluarkan akta perjanjian perkawinan dan melegalisasi
Surat perjanjian perkawinan mengikat kedua belah pihak maupun pihak-pihak yang diikutsertakan dalam perjanjian
Gambar 2.1 Alur pembuatan surat perjanjian perkawinan sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015
46 Lutfiana Mayasari, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Perjanjian Perkawinan di Indonesia Dalam Putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015, Xxxxx, IAIN Ponorogo
Sebelum perkawinan dimulai ataupun selama dalam ikatan perkawinan
Menghadap ke notaris untuk menyepakati perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Notaris melakukan pengecekan terhadap isi perjanjian, kemudian mengeluarkan akta perjanjian perkawinan
akta dari notaris diajukan ke dispenduk bagi pasangan suami istri non muslim, dan ke KUA untuk pasangan suami istri beragama Islam
Dispenduk maupun KUA melakukan pengecekan terhadap substansi perjanjian. JIka isi perjanjian tidak melanggar norma dan aturan yang ada, dikeluarkanlah form legalisasi perjanjian perkawinan
akta
perjanjian
dinyatakan
legal,
dan
mengikat
kedua
belah
pihak
dan
juga
pihak
ketiga
sekaligus.
Gambar 2.2 Alur pembuatan surat perjanjian perkawinan
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015 dalam bagan diatas tampak jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 berimplikasi besar pada perubahan sistem regulasi hukum perdata di Indonesia. Mengingat bahwa sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, dan mengikat, maka ketentuan ataupun peraturan tentang hal serupa yaitu perjanjian perkawinan, baik yang tertulis dalam Kompilasi Hukum
Islam,47 Hukum Perdata,48 maupun UU No 1 Tahun 197449
tidak berlaku.
47 Inpres Nomor 1 Tahun 1974 Tentang KompilasiHukum Islam pasal
47
48 Bab Ketujuh Pasal 139 sampai dengan Pasal 167 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata
49 Bab V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berisikan satu pasal, yaitupasal 29. Sedangkan pengertian perjanjian perkawinanini tidak
Sedangkan
berlaku
surut
atau
tidaknya
perjanjian
perkawinan
yang
dilakukan
dalam
ikatan
pernikahan
ditentukan
oleh kedua
mempelai.
Selanjutnya
dianalisis
oleh pihak
notaris
adakah
kemungkinan
merugikan
pihak ketiga
maupun
kedua
belah
pihak.
Yang
selanjutnya
setelah
disepakati
oleh kedua
belah
pihak, notaris
mengeluarkan
akta
perjanjian
perkawinan.
Berkaitan dengan pembuatan akta perjanjian pemisahan harta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015, maka notarislah yang diberi wewenang untuk membuat akta perjanjian perkawinan. Karena bukan sebagai lembaga pemerintahan, maka tidak ada aturan baru yang dikeluarkan sebagai implikasi dari putusan tersebut. Artinya notaris langsung bisa mengimplementasikan putusan tersebut tanpa harus menunggu ada regulasi baru. Pedoman yang digunakan oleh notaris dalam menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ini adalah
etika profesi.50
diperoleh penjelasan, yang ada hanya pengaturan kapan perjanjian kawin itu dibuat, mengatur keabsahan, saat berlakunya, dan dapat diubahnya perjanjian itu
50 N.G Yudara, Pokok-pokok Pemikiran di Seputar Kedudukan dan Fungsi Notaris serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, Majalah Renvoi No. 10.34.III, (2006), 74.
Dalam
pasal
29 UU
No
1 Tahun
1974
dalam
putusan
Mahkamah
Konstitusi
Nomor
69/PUU-XIII/2015
muncul klausul
yang
berkaitan
dengan
pelimpahan
wewenang
pada
notariat
yaitu
“Pada
waktu,
sebelum
dilangsungkan
atau selama
dalam ikatan perkawinan
kedua
belah
pihak atas persetujuan
bersama
dapat
mengajukan
perjanjian
tertulis
yang
disahkan
oleh
pegawai
pencatat
perkawinan
atau
notaris,
setelah
mana isinya
berlaku
juga
terhadap
pihak ketiga
sepanjang
pihak
ketiga
tersangkut”.
Merujuk
pada
teori
das doppelte
rech
stanilitz
Xxxxx
Xxxxx,
putusan
MK
tersebut
secara
otomatis
menghapus
dan
atau
merubah
ketentuan
pasal
29 UU No 1 Tahun 1974.51
Notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan penetapan. Maka putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 telah tepat. Perjanjian perkawinan diberi kedudukan sebagai akta otentik seperti akta lainnya. Di mana sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dibuat di depan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan diberi form khusus yang disediakan oleh pihat terkait. Kekuatan dari surat perjanjian tersebut sebatas pada pengaturan perjanjian kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Dengan perubahan aturan
yang
dibuat,
maka
akta
perjanjian
yang
dibuat
notaris
tersebut
51 Lutfiana, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum....89.
mempunyai
kekuatan
hukum
dan
dapat
dipergunakan
sebagai
pernyataan
dari
suatu
perbuatan
hukum
dan
dipergunakan
sebagai
alat
pembuktian.52
Pihak yang diikat oleh perjanjian hanya mengikat secara personal dan juga tidak mengikat kepada pihak-pihak yang lain yang tidak mau memberikan kesepakatannya. Dalam membuat perjanjian seseorang hanya dapat mewakili atau menjadi dirinya sendiri dan tidak bisa mewakili orang lain untuk membuat perjanjian. Perjanjian hanya dapat berlaku pada
mereka yang membuat perjanjian tersebut.53
E. Tinjauam Umum mengenai Harta Bersama dalam
Perkawinan
1. Harta Bersama dalam Hukum Islam
Harta bersama merupakan harta yang diperoleh dari jerih payah atau usaha dari kedua mempelai selama berlangsungnya pernikahan. Dalam ilmu tasawuf sesungguhnya manusia tidak mempunyai apa-apa semua yang dimiliki selama didunia hanyalah titipan belaka. Jadi dapat kita tarik sedikit kesimpulan menurut ilmu tasawuf manusia atau suami istri tidak mempunyai apa-apa. Maka tidak akan terjadi perjanjian
pernikahan.
Akan
tetapi
dalam
pembahasan
ini
kita
di
52 Lutfiana, 52.
53
xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxx-xxxx-xxxxxxxxxx/,
diakses
pada
12
Desember 2020.
hadapkan
oleh
realita
yang
terjadi
di
masyarakat.
Yang
mana
banyak
suami istri
yang
bercerai
setelahnya
terdapat
perselisihan
mengenai
harta
bersama.
Memang
tidak
ditentukan
di
dalam
kajian
fikih
(hukum
Islam)
klasik
tentang
konsep harta
gono-gini
atau
harta
bersama.
Fikih
Islam
klasik merupakan
suatu
hasil
hukum
yang
disusun
oleh
para
ulama klasik,
pada
masa
sebelum
modern.
Para
ulama
tersebut
mengartikan
fikih
Islam
sesuai
pandangan
kepercayaan
mereka
bahwa
itu
sudah
sama
dengan
hal-hal
yang
disampaikan
oleh
Xxxxxxxxxxx
Xxxxxxxx
XXX.
Sesungguhnya
harta
gono-gini
dapat
diartikan
suatu
cakupan
hukum
yang
masih
belum
dikaji,
atau
bisa
dibilang
sebagai
cakupan
kajian
hukum
belum
ada
yang
membahas.
karena,
harta
gono-gini
mempunyai
hal-hal
yang
dapat
dikembangkan
dan
urgent
untuk
dibahas
pada
zaman
modern
ini.
Fikih
Islam
klasik mempunyai
kajian,
isu-
isu
yang
sering
dibicarakan
merupakan
terkait
permasalahan
pembahasan
nafkah
dan
hukum
waris.
Hal
ini
yang
sudah
menarik
perhatian
untuk
membahas
tentang
kajian
fikih
Islam
klasik
ketika
memandang
permaslahan
harta
benda
dalam
pernikahan.54
Meskipun
demikian,
berdasarkan
beberapa
analisis
menyatakan
bahwa
sesungguhnya
permasalahan
Harta
gono-
54 Zulfiqar Mokodompit, Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini Dihubungkan Dengan Hukum Islam, dalam jurnal Lex Administratum, Vol. III/No. 6/Ags/2015, 169.
gini
tetap
ada
didalam
kajian
hukum
Islam.
Dalam
melakukan
analisis
ini
dilakukan
dengan
pendekatan
ijtihad
dan
qiyas
terhadap
produk
hukum
Islam
yang
sudah
ada
sebagai
sarana
perbandingan.55
Dalam pandangan zahri hamid bahwa hukum Islam lebih
mengatur terkait terpisahnya antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri selama yang berkehendak tidak menentukan hal-hal lain (hal-hal yang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Kelonggaran yang diberikan oleh Hukum Islam juga kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan apa yang diinginkan kedua belah pihak, dan akhirnya mereka terikat secara hukum
melalui perjanjian tersebut.56
Hukum Islam memandang terkait konsep yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya memiliki dampak memudahkan dalam pemisahan mana yang termasuk harta kekayaan suami dan mana harta kekayaan istri, yang mana harta kekayaan bawaan suami dan mana harta kekayaan bawaan istri sebelum pernikahan, mana harta kekayaan
suami/istri yang didapatkan secara sendiri-sendiri selama
55 Hadikusumo Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Bandung
:Mandar Maju, 2007), 7.
56 Xxxxx Xxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia(Bina Cipta, 1999), 110.
perkawinan
berlangsung,
serta
yang
mana
harta
gono-gini
yang
didapat
dengan
cara
bersama
selama
berlangsungnya
sebuah
perkawinan.
Hal
ini
sangat
berguna
dalam
hal
pemisahan
harta
tersebut
dalam
memisahkan
antara
harta
kekayaan
suami
atau
harta
kekayaan
istri
apabila
terjadi
perceraian
dalam
perkawinan yang sudah mereka bangun.57
Ketentuan dalam hukum Islam di atas akan tetap dapat digunakan sampai berakhirnya sebuah pernikahan atau meninggal dunianya dari salah satu dari kedua belah pihak. Terkait harta warisan, pandangan dari hukum Islam bahwa warisan yang telah ditinggalkan oleh suami/istri dibagi sesuai peraturan pembagian dalam hukum pewarisan Islam. Terkait harta warisan yang akan dibagi yaitu hak milik dari masing- masing suami/istri yang sudah meninggal dunia, yaitu setelah dipisahkannya dengan harta kekayaan suami/istri yang masih hidup. Harta milik atau yang diperoleh istri tidak dijadikan satu dengan harta warisan yang harus dibagi. Bahkan, istri mempunyai hak untuk memiliki harta pribadinya sendiri, dan dirinya juga mempunyai hak dari bagian harta peninggalan
suaminya.58
57 Xxxxx Xxxxx, Ibid, hal.110-111
58 Xxxxx Xxxxx, Ibid, hal. 111
Hukum
Islam
mempunyai
pendirian
bahwa
harta
yang
didapatkan
oleh
suami
sepanjang
perkawinan
berlangsung
maka beralih
jadi
hak
suami,
sementara
istri
hanya
mempunyai
hak
terhadap
nafkah/harta
yang
telah
diberikan
oleh
suaminya.
Akan
tetapi,
dalam
Al Quran
dan
hadis
harta
kekayaan
yang
didapatkan
oleh
suami
sepanjang
berlangsungnya
pernikahan
seutuhnya
menjadi
hak
oleh
suami,
dan
istri
hanya
terbatas
atas
nafkah
yang
diberikan
suaminya.
Al
Quran
dan
hadis
juga
tidak
menjelaskan
secara
jelas
bahwa
harta
benda
yang
didapat
suami
ketika
selama
pernikahan,
maka
dapat
diartikan
istri
juga
mempunyai hak terhadap harta tersebut.59
Moh. Xxxxx Xxxxxxx membagi pandangan hukum Islam tentang harta gono-gini ke dalam dua kelompok sebagai berikut:
a. Kelompok yang memandang tidak adanya harta gono-gini dalam lembaga Islam kecuali dengan konsep syirkah. Pandangan ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya. Xxxxxxxx pula, harta suami tetap menjadi milik suami dan
dikuasai
sepenuhnya.
Dalam
pandangan
kelompok
ini,
istri
59 Zulfiqar Mokodompit, Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini Dihubungkan Dengan Hukum Islam, dalam jurnal Lex Administratum, Vol. III/No. 6 (2015), 170.
tetap
dianggap
cakap
bertindak
meskipun
tanpa
bantuan
suaminya
dalam
soal
apa
pun,
termasuk
dalam
hal
mengurus
harta
benda
sehingga
dianggap
bahwa
istri
itu
dapat
melakukan
segala
perbuatan
hukum dalam
kehidupan
bermasyarakat.
b. kelompok yang menganggap dengan adanya harta gono- gini di dalam hukum Islam. Selain menyetujui aturan yang berlaku dalam UU pernikahan bahwa harta gono-gini itu diakui dan diatur didalam hukum positif, kumpulan ini juga melihat aturan tentang harta gono-gini itu seperti dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Harta gono-gini yang dimaksud merupakan harta yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama berlangsungnya hubungan pernikahan mereka berlangsung dan atas usaha mereka berdua atau
usaha salah seorang dari mereka.60
2. Harta Bersama dalam Hukum Positif di Indonesia
Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut ini :61
a. Undang-undang perkawinan pasal 35 ayat 1 menjelaskan
bahwa sesuai tujuan dengan harta gono-gini ( harta
60 Xxxxx Xxxxxxx, Harta Gono Gini Mencari Formula Yang Adil Untuk
Perempuan (Jakarta:Swara Rahima 2006), 29-35
61 Xxxx Xxxxxxxx, Analisis Xxxxxxx Xxxxxxx Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 00 Xx. 01 (2013), 653.
bersama)
merupakan
:
―Harta
benda
yang
didapat
sepanjang
masa
pernikahan
― maksudnya,
harta
kekayaan
yang
didapatkan
sebelum
terbentuknya
suatu
pernikahan
tidak
disebut sebagai
harta
gono-gini.
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 119, dijelaskan bahwa ―Sejak saat berlangsungnya suatu pernikahan, maka sesuai aturan hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara kedua belah pihak yaitu suami istri, selama tentang hal itu tidak diadakan ketentuan - ketentuan lain dalam perjanjian pernikahan. Harta bersama itu, selama pernikahan berlangsung, tidak dapat dihapuskan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri ―
c. Kompilasi Hukum Islam (Inpres no. 1 tahun 1991) pasal 85 dsebutkan bahwa : ―Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri‖ Pasal ini telah mencantumkan adanya harta gono gini dalam sebuah perkawinan. Dengan ungkapan lain Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendukung terhadap apa adanya persatuan harta dalam sebuah perkawinan (gono-gini), meskipun harta sudah menyatu, akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila ada sejumlah harta milik masing- masing pasangan, baik suami maupun istri.
d. Kompilasi Hukum Islam pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali
dinyatakan bahwa ― pada dasarnya tidak ada percampuran
antara
harta
suami
dan
harta
istri
karena
perkawinan―
Ayat
(1).
Pada
ayat
(2) nya
lebih
lanjut
ditegaskan
bahwa
pada
dasarnya
harta
istri
tetap
menjadi
hak
istri
dan
dikuasai
penuh
olehnya.,
demikian
juga
harta
suami
tetap
menjadi
hak
suami
dan
dikuasai
penuh
olehnya.
Harta bersama dalam perkawinan ada tiga macam sebagai berikut :
a. Harta gono gini
Sebagaimana telah dijelaskan, harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan . Berdasakan KHI pasal
91 ayat (1) harta gono gini bisa berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Suami istri harus menjaga harta gono gini dengan penuh amanah, sebagaimana diatur dalam KHI pasal 89. ―Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri‖
b. Harta Bawaan Harta bawaan
adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah ―Tentang harta, Undang-undang Perkawinan pasal 35 ayat (2) mengatur, Harta bawaan masingmasing suami dan istri sertaharta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang
parapihak
tidak
menentukan
lain―.
Berdasarkan
ketentuan
ini,
suami
dan
istri
berhak
memiliki
sepenuhnya
harta
bawaannya
masing-masing,
asalkan
tidak
ditentukan
lain
dalam
perjanjian
perkawinan.
Pernyataan
yang
sama
juga
diperkuat
dalam
KHI
pasal
87
ayat
1.
Harta
bawaan
bukan
termasuk
dalam
klasifikasi
harta
gono
gini.
Suami
/ istri
berhak
mempergunakan
harta
bawaannya
masing-
masing dan
juga
dapat
melakukan
perbuatan
hukum
terhadapnya.
Dasarnya
adalah
UU Perkawinan
pasal
36 ayat
(2) ,
dan
hal
ini
senada
juga
dinyatakan
dalam
KHI
pasal
87
ayat
(2).
Berdasarkan
ketentuan
ini,
harta
bawaan
yang
dimiliki
secara
pribadi
oleh
masing-masing
pasangan
tidak
bisa
diotak
atik
oleh
pasangannya
yang
lain.
Harta
bawaan
bisa
saja
menjadi
harta
gono
gini
jika
pasangan
calon
pengantin
menentukan
hal
demikian
dalam
perjanjian
perkawinan
yang
mereka
buat,
atau
dengan
kata
lain perjanjian
perkawinan
yang
mereka
sepakati
menentukan
adanya
peleburan
(persatuan)
antara
harta
bawaan
dan
harta
gono
gini.
c. Harta Perolehan
adalah harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan. Seperti halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat
(2).62
654.
62Etty Rochaeti, Analisis Xxxxxxx Xxxxxxx Harta Bersama (Xxxx Xxxx),
64

ARGUMENTASI
HUKUM
PEMISAHAN
HARTA
SUAMI
ISTRI
DALAM
PUTUSAN
PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 69/PUU-XIII/2015
A. Deskripsi Argumentasi Hukum Pemisahan Harta
Suami Istri dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015
Maraknya perceraian terjadi di Indonesia menyebabkan banyak terjadinya perselisihan mengenai harta bersama. Yang mana harta tersebut diperoleh selama pernikahan berlangsung. Sistem atau model mencari nafkah atau harta kekayaan dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak model. Xxx yang mencari harta hanya suaminya saja ada pula hanya istrinya mencari harta sebagai seorang TKW, dan ada juga yang mencari secara bersama-sama. Hal ini apabila tidak ada pemisahan atau pembagian yang sudah disahkan dalam akta tertentu, maka akan menimbulkan banyak konflik. Bukan hanya masalah perceraian yang dihadapi oleh negara ini, akan tetapi masalah yang timbul akibat perselisihan dalam pembagian harta juga. Maka dari itu di Indonesia diadakan
terkait perjanjian pernikahan. Di Indonesia bukan merupakan
63
sesuatu
yang
terkenal
atau
dibuat
suatu
keharusan
tentang
apa
yang
disebut
perjanjian
perkawinan.
Meski
demikian,
akan
tetapi
ada
apresiasi
yang
harus
diberikan
kepada
pemerintah
sebagai
pembuat
Undang-Undang
aquo,
tetap
mengkondisikan
kebutuhan-kebutuhan
terkait
dengan
perjanjian
pernikahan.
Di sis
yang
lain,
penganut
adat
ketimuran
sendiri
tidak
sepenuhnya
mempertimbangkan
terkait
dalam
hal
ini.
Menurutnya
pembuatan
perjanjian
perkawinan
justru
dianggap
sebagai
bentuk
yang
bersifat
matrealisitis.
Padahal
pada
aspek
yang
lain,
pembuatan
perjanjian
pernikahan
merupakan
suatu usaha
dari
pemerintah
untuk
menampung
kebutuhan
masyarakat serta perkembangan hukum di kemudian hari. 63
Perkembangan zaman yang semakin pesat ini juga berpengaruh terhadap perubahan aturan mengenai perjanjian perkawinan. Melalui Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 untuk mengubah ketentuan mengenai masa pembuatan perjanjian
perkawinan, pengakhirannya, serta masa berlakunya.
63Syaifullahi Maslul, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu- Xiii/2015 Ditinjau Dari Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia Dan Asas- Asas Pembentukan Perjanjian, Jurnal Mahkamah IAIM NU Metro, Vol. 1, No. 2, (2016), 409-424
Perubahan aturan tersebut dikeluarkan berdasarkan argumentasi hukum yang jelas dan tegas.64
Dalam
salinan
putusan
MK
Putusan Mahkamah
Konstitusi
Nomor
69/Puu-XIII/2015
dijelaskan
bahwa
hukum perkawinan
di
Indonesia
mengacu
pada
Undang-Undang
Hukum
Perdata,
di
mana mengenai
harta
perkawinan
berlaku
penyatuan
harta
kekayaan
yang
bersifat
milik
bersama.
Penyatuan
atau
medeegendom
ini
berlaku
manakala
terdapat
suatu
hubungan
hukum
antara
keduanya.
Ketentuan
ini
diatur dalam
pasal
119 KUHPerdata
yang
berbunyi:
―Sejak saat dilangsungkannya perkawinan maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri‖.
Dengan adanya ikatan pernikahan maka akan terbentuk pembagian harta persatuan, sehingga harta kekayaan yang didapatkan oleh suami sebelum dan selama berlangsungnya pernikahan dengan dasar hukum maka menjadi harta isteri,
demikian
pula
sebaliknya;
64Argumentasi ini didapat penelitia dari Salinan putusan MK No
69/Puu-Xiii/2015
Apabila
seorang
warga
negara
Indonesia
menikah
dengan
warga
negara
asing,
seluruh
harta
kekayaan
yang
mereka
miliki
akan
menjadi
harta
kekayaan
bersama.
Apabila
dikaitkan dengan
pasal
21 ayat
3
UUPA,
penggalan
klausula yang
berbunyi
:
‖orang
luar
negeri
yang
setelah
ditetapkannya
Undang-undang
ini
mendapatkan
hak
milik
akibat
percampuran
harta
pernikahan‖
menjadi
tepat,
karena
semua
harta
yang
ia
miliki
oleh
warga
negara
Indonesia
sengan
dasar
hukum
akan
menjadi
harta
bersama
dengan
warga
negara
asing;‖
Ketentuan mengenai peraturan harta bersama didalam perdata yang lebih sering dikenal sebagai percampuran buat tersebut, kemudian berubah karena diundangkannya UUPA No
1 Tahun 1974. Di mana dalam aturan tersebut secara spesifik disebutkan mengenai ketentuan harta bersama, dan menjadi hukum nasional perkawinan. Dalam penutup UUPA disebutkan bahwa dengan adanya UUPA, maka ketentuan yang diatur pada aturan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku;
Perihal harta benda perkawinan, UUPA menetukan sebagai berikut:
Pasal 35
(1)
Harta
benda
yang
diperoleh
selama
perkawinan
menjadi
harta
bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
(2) Mengenai harta bawaan masing-mmasing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pengertian ―harta bersama‖ khusunya menyangkut kepemilikan lahan dan tanah inilah yang seringkali menimbulkan problematika. Banyak pihak beranggapan bahwa karena menjadi harta bersama, maka penguasaan dan kepemilikan baik secara fisik maupu secara legal menjadi
―milik bersama‖. Sehingga akibatnya adalah, dalam sebuah perkawinan campuran meskipun kepemilikan lahan ada pada WNI, namun karena menikah dengan XXX sehingga berubah menjadi milik bersama WNA, maka tetap saja kepemilikan
lahan
dianggap
illegal
dan
menyalahi
aturan
UUPA.
Yaitu
aturan
dalam
pasal
21
ayat
3
UUPA
yang
menyatakan
bahwa
hanya
WNI
sajalah
yang
berhak
untuk
memiliki
asset
tanah
dan
bangunan
baik
berstatus
HGB
maupun SHM.
Tentunya hal ini akan berdampak pada hilangnya hak konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah dengan status Hak Milik dan Hak Guna di Indonesia. Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka ahli dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menyetujui untuk dikeluarkannya hak milik dan hak guna bangunan dari harta bersama oleh WNI yang melakukan perkawinan campuran.
Guna menengahi perdebatan tentang perjanjian perkawinan khususnya dalam perjanjian pemisahan harta, maka perlu dilakukan analisis menggunakan perspektif maqashid al-syari'ah. Tujuan ditetapkannya suatu aturan atau yang sering disebut dengan pengertian maqashid al-syari'ah adalah suatu konsep penting dalam pembahasan di dalam hukum Islam. Oleh karena itu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para pemegang teori hukum menjadikan maqashid al- syari'ah sebagai aturan yang sangat perlu dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah merupakan sebagai alat untuk menghasilkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan,
atau
mengambil
kemaslahatan
dan
menolak
madharat.
Makna
yang
seimbang
dengan
inti
dari
maqashid
al-syari'ah
tersebut
adalah
maslahat,
karena
pemberlakuan
hukum
dalam
Islam
harus
bermuara
kepada
maslahat.65
Pembahasan mengenai maqashid al-syari'ah sangatlah
luas sekali. Untuk analisis pertama, penulis akan menggunakan pendapat Xxxx xx-xxxxxxx dan mengkorelasikan dengan hukum perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Dalam tulisannya Xxxx xx- Xxxxxxx menyatakan, bahwa kebutuhan manusia yang utama mencakup tiga hal penting, yaitu dharury, hajy dan tahsiny. Yang pertama adalah pemenuhan kebutuhan pokok yang mencakup lima hal penting, hifdz ad-din ( memelihara agama ), hifdz annafs (memelihara jiwa), hifdz al- aql ( memelihara akal), hifdz al-mal (memelahara hart), hifdz
al-irdl (memelihara kehormatan ).66
65 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, jurnal Sultan Agung Vol XIIV No. 118 Juni – Agustus 2009, 118.
66 Xxxxxx Xxxxx, Maqashid Al-Syari‟ah Dan Relevansinya Dalam
Konteks Kekinian, dalam xxxxx://xxxxx.xxxxxx.xxx/xxxxx/xxxxxxxxxxxx/000000-xxxxxxxx-xx-xxxxxxx- dan-relevansinya-dal-b1cebd53.pdf, diakses pada 20 Desember 2020.
B.
Argumentasi
Hukum
Pemisahan
Harta
Suami
Istri
Dalam
Putusan
Mahkamah
Konstitusi
No.
69/PUU-
XIII/2015
perspektifTeori
Maqashid
al-syari'ah
Xxxxxx Xxxx
Kajian Maqasid al-shari'ah dikembangkan Xxxxxx Xxxx melalui karyanya yang berjudul Maqasid al-shari'ah as philosophy of Islamic law: a Sistem Approach yang ingin mendobrak paradigma lama tertutupnya pintu ijtihad. Karya fenomenal ini merupakan sebuah pendekatan kekinian yang lahir dari alam modern dan mencoba menjawab tantangan umat Islam yang berkenaan dengan isu- isu kontemporer. Xxxxxx Xxxx menjadikan teori sistem sebagai pendekatan terhadap hukum Islam. Teori dan filsafat sistem muncul pada paruh kedua abad ke 20 M sebagai anti- tesis bagi filsafat modernis maupun postmodernis. Para teoritikus dan filsuf sistem menolak pandangan 'reduksionis' modernis bahwa seluruh pengalaman manusia dapat dianalisis menjadi sebab akibat. Di sisi lain, filsafat sistem juga menolak irasionalitas dan dekonstruksi postmodernis,
yang
dianggapnya
sebagai
'meta-narasi'
postmodernis.67
67 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah
(Bandung: Mizan,2015), hlm. 70.
Untuk
mengaplikasikan
teori
sistem
sebagai
pendekatan
dalam
hukum
Islam,
Ada
enam
fitur
sistem
yang
dioptimalkan
Xxxxxx
Xxxx
sebagai
pisau
analisis,
yaitu
cognitive
nature
(watak
kognisi),
wholeness
(keseluruhan),
openness
(keterbukaan),
interrelated
hierarchy,
multi
dimentionality
dan
purposefulness.
Xxxxxx mencoba membagi hierarki Maqasid ke dalam 3 kategori, yaitu: Pertama; Maqasid al-'Ammah (General Maqasid) adalah Maqasid yang mencakup seluruh maslahah yang terdapat dalam perilaku tasyri' yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan, toleransi, kemudahan, termasuk aspek Dharuriyyat dalam Maqasid Klasik. Kedua; Maqasid Khassah (Spesific Maqasid) yaitu Maqasid yang terkait dengan maslahah yang ada dalam persoalan tertentu, misalnya tidak boleh menyakiti perempuan dalam ruang lingkup keluarga, dan tidak diperbolehkannya menipu dalam perdagangan dengan cara apa pun. Ketiga; Maqasid Juz'iyyah (Parcial Maqasid) yaitu Maqasid yang paling inti dalam suatu peristiwa hukum. Maslahah ini juga disebut hikmah atau rahasia. Contoh Maqasid ini adalah kebutuhan akan aspek kejujuran dan kuatnya ingatan dalam persaksian. Dalam kasus kriminal modern bisa jadi cukup dengan satu saksi yang adil dan tidak harus ada dua saksi asalkan yang
bersangkutan
mampu
menunjukkan
sikap
jujur
dan
data
yang
valid.
Bangunan
maqasid
tersebut
dapat
digambarkan
sebagaimana
berikut:
Maqasid Umum (al Ammah) Maqasid Parsial (juz'iyyah) Maqasid Khusus (Khassah)
Ketiga kategori maqasid asy-syari'ah tersebut harus dilihat secara holistik, tidak terpisah-pisah dan bersifat hirarkis sebagaimana dalam teori maqasid klasik. Kesatuan maqasid ini sepenuhnya harus dilihat dalam spektrum atau dimensi yang lebih luas. Inilah pintu masuk untuk melakukan pembaharuan dalam merespon persoalan- persoalan konteks
zaman kekinian.68
Menurut Xxxxxx Xxxx, agar syariah Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemasahatan
umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan
68 Xxxxxxxx Xxxxxx, Pendekatan Sistem Jasser Auda terhadap Hukum
Islam : ke arah fiqh Post-Postmodernisme (Lampung: jurnal Kalam, volume
6, 2012), h 52.
zaman
kekinian,
maka
cakupan
dan
dimenasi
teori
maqasid
seperti
yang
telah
dikembangkan
pada
hukum
Islam
klasik
harus
diperluas.
Yang
semula
terbatas
pada
kemaslahan
individu,
harus
diperluas
dimensinya
mencakup
wilayah
yang
lebih
umum;
dari
wilayah
individu
menjadi
wilayah
masyarakat
atau
umat
manusia
dengan
segala
tingkatannya,
selanjutnya
dijabarkan
sebagai
berikut:
Hifdz an-Din Hifdz al-Huriyyah al-I'tiqad
Perlindungan Agama Perlindungan Kebasan berkeyakinan
Hifdz al-Nafs Hifdz al-huquq al-Insan
Perlindungan jiwa Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hifdz al-Mal Perwujudan Solidaritas Sosial
Perlindungan Harta
Hifdz al-Aql Mengembangkan Ilmu
Perlindungan Akal dan Pengetahuan
berfikir ilmiah
Hifdz al-Nasl Hifdz al-usrah Perlindungan Perlindungan Keluarga Keturunan
1. Hifdz ad-Din (Memelihara Agama)
Agama
merupakan
sesuatu
yang
pokok di
dunia
ini.
Karena
seperti
yang
dijelaskan
dalam
Al-Qur‘an
manusia
dan
jin
diciptakan
ke dunia hanya
untuk
menyembah
kepada
Allah dalam
arti
manusia
dan
jin
diwajibkan
beragama.
Selain
itu
dapat
juga
disimpulkan
kehidupan
tanpa
adanya
agama
maka
sia-sia.
Manusia
tanpa agama
tidak
dianggap
jerih
payahnya
di dunia
ini.
Tanpa
agama
juga
manusia
akan
mendapatkan
kemadlaratan
atau
siksaan
di
akhirat.
Maka dari
itu
para
ulama menafsirkan
memelihara
agama
merupakan
kebutuhan
manusia yang
utama
yang
harus
dipenuhi
adalah
beragama,
karena
hanya
agamalah
yang
dapat
mengendalikan
nurani
manusia. Sesuai
dengan
perintah
Allah untuk
tetap
berusaha
menegakkan
agama
dijelaskan
dalam
al-qur‘an
(QS.
Al-Syura
:
13). Agama memang harus ditegakkan karena agamalah yang merupakan tempatnya akidah, ibadah dan muamalah yang telah disyari‘atkan oleh Allah SWT untuk menentukan hubungan antara manusia dengan Allah SWT, dan hubungan manusia antar sesamanya. Perintah syariat dari Allah SWT mewujudkan, mengukuhkan, dan mendirikannya melalui cara mewajibkan manusia untuk melakukan lima rukun Islam yaitu syahadah, mengerjakan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan melakukan haji bagi orang yang mampu.
Kewajiban
yang
diperintahkan
dari
Allah
SWT
yaitu
manusia mengajak
untuk
beragama
dengan
hikmah
dan
nasihat
yang
baik.
Perintah
dari
Allah
SWT
yang
lain
juga
untuk
menjaga
agama,
dengan
demikian
terwujudlah
suatu
konsep
jihad
demi
melawan
siapa saja
yang
akan
atau
berusaha
merusak
agama
Islam.
Begitu
juga
konsekwensi
murtad,
penyesatan,
dan
lain-
lain.69
Memelihara (menjaga) agama berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan :70
a. melindungi (menjaga) agama dalam tingkat kebutuhan primer (al-dharuriyyah), yaitu melindungi dan mengerjakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkat kebutuhan primer, misal kewajiban mengerjakan lima rukun Islam yaitu syahadah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji bagi orang yang mampu, apabila kewajiban tersebut tidak ditunaikan atau diabaikan maka terancamlah eksistensi agamanya.
b. melindungi (menjaga) agama kepada tingkat kebutuhan
sekunder (al-hajiyyah), yaitu melindungi dan melaksanakan
00 Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxxxxxx Al-Maqashid Al-Khamsah (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan Dan Harta) Dan Penerapannya Dalam Maslahah, jurnal Al-Qishthu Volume 13, Nomor 1 (2015), 21.
70Ibid, 26.
ketentuan
agama,
dengan
tujuan
menyimpang
dari
kesulitan,
seperti
mengerjakan
shalat
jama'
dan
qashar
bagi
orang
yang
sedang
dalam
bepergian
(musafir),
apabila
hal
ini
tidak
ditunaikan,
maka tidak
akan
mengancam
eksistensi
agama,
melainkan
hanya
mempersulit
orang
yang
akan
mengerjakannya.
c. melindungi (menjaga) agama kepada tingkat al- tahsiniyyah, yaitu mengikuti segala arahan atau petunjuk agama guna menjunjung tinggi harga diri sebagai manusia, serta melengkapi dengan melaksanakan kewajiban- kewajibannya kepada Allah SWT, seperti halnya menutup aurat, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, mensucikan badan, pakaian dan tempat, tidak mungkin apabila kewajibannya tidak dikerjakan, maka hal itu tidak akan mengancam eksistensi agama, dan juga tidak mempersulit orang yang melakukannya.
Berdasarkan penjelasan tentang memelihara (menjaga) agama berdasarkan kepentingannya, maka argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 masuk dalam kebutuhan peringkat al-tahsiniyyah. Perjanjian pemisahan harta dilakukan sebagai salah satu upaya menjalankan sesuai arahan agama guna menjunjung tinggi harga diri manusia, sekaligus
menyempurnakan
dalam
pelaksanaan
kewajibannya
kepada
Allah
SWT.
Martabat
yang
dimaksud
adalah
dengan
menghindari
kemungkinan
terjadinya
konflik
dalam
suatu
perkawinan,
jika
perkawinan
tersebut
berakhir
dengan
perceraian.
Beberapa akibat hukum yang diakibatkan dari perceraian, salah satunya adalah berkaitan dengan harta kekayaan bersama dalam selama berlangsungnya pernikahan. Adanya harta bersama pada saat terjadinya perkawinan secara berlangsung sedangkan harta bawaan didapat dari sebelum berlangsungnya pernikahan. Namun pada kenyataannya di Indonesia banyak keluarga-keluarga yang tidak mencatat terkait harta bersama yang telah dimilikinya. Pemisahan harta bawaan dan harta bersama itu masih jelas pembagiannya pada perkawinan yang masih baru, akan tetapi harta bawaan maupun harta bersama itu sudah sulit untuk dijelaskan secara terperinci
satu persatu pada usia perkawinan yang sudah tua.71
Perselisihan pembagian harta bersama setelah perceraian bisa diselesaikan menggunakan sistem
kekeluargaan. Namun jika sistem kekeluargaan tidak dapat
71 Fendra Yuli Hardiyanto, Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Rengat Nomor : 062/Pdt.G/2009/PA Rengat), JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 1 (2015), hal 11.
disepakati
maka beralih
pada
kewenangan
dari
Pengadilan
Agama
dan
perkara
ini
bisa
diajukan
setelah
perceraian
terjadi
dan
juga bisa
diajukan
bersamaan
dengan
gugatan/permohonan
perceraian
(akumulasi).
Jika
suatu perkara
hukum
sudah sampai
pada
ranah
pengadilan,
maka tentunya
akan
ada
implikasi
panjang.
Yaitu
membutuhkan
saksi,
dan
melakukan
pembagian
harta
bersama
berdasarkan
pengakuan
yang
tak jarang
juga
berujung
pada
konflik.
Dengan adanya perjanjian pemisahan harta, maka harta bersama yang diperoleh dalam masa perkawinan baik penerimaan itu lewat perantara isteri maupun lewat perantara suami akan langsung terbagi seperti harta pribadi dan harta bawaan. Harta bersama ini diperoleh sebagai ―hasil karya‖ dari suami isteri, atau suami atau isteri dalam kaitan dengan perkawinan. Dengan adanya perjanjian pemisahan harta, maka klausul harta suami istri akan otomatis berubah menjadi harta yang dihasilkan suami dan harta yang dihasilkan istri.
Oleh karena itu, argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no.
69/PUU-XIII/2015 dalam perkawinan ini sesuai dengan tujuan memelihara (menjaga) agama di tingkat al-tahsiniyyah. Jika perjanjian perkawinan tersebut tidak dilaksanakan karena tidak mungkin, maka tidak akan mempengaruhi terhadap kebaikan
eksistensi
agama,
dan
jika dilakukan
tidak
mempersungkar
orang
yang
melakukannya.
Sebaliknya,
justru
mempermudah
seseorang
saat
perceraian
terpaksa
harus
terjadi.
Perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan juga bertujuan untuk menghasilkan pola relasi yang baik dalam mengerjakan agama, bagi suami istri. Tidak hanya dalam perceraian saja, namun perjanjian pemisahan harta ini juga mampu menciptakan ketenangan dalam rumah tangga yang harmonis karena dapat menjauhkan dari sikap suudzon antar pasangan. Dengan demikian hak ini digunakan secara tidak langsung untuk menciptakan situasi kondusif dalam rumah tangga untuk mengejewantahkan keberaagamaan seseorang. Sesuai dengan konsep Hifdz ad-din (memelihara agama) menjadi haq attadayyun (hak Beragama) yaitu hak untuk menjalankan ibadah dan mengerjakan ajaran-ajaran agama.
2. Memelihara Jiwa (al-nafs).
Selain memelihara agama yang seperti dijelaskan diatas tadi, memelihara jiwa juga sangat diharuskan. Karena agama tanpa adanya jiwa maka tidak dapat melaksanakannya. Meskipun manusia yang tanpa jiwa tidak akan diminta pertanggungjawabannya, karena tidak dianggap hidup. Sementara apabila dibandingkan dengan mempunyai jiwa
tetapi
tidak
beragama
akan
mendapatkan
siksa
di
akhirat.
Sementara
agama
tanpa
jiwa
maka
tidak
mendapatkan
apa-apa.
Dengan
itu
maka para
ulama
klasik
menggolongkan
menjaga
jiwa
menjadi
nomor
dua
setelah
menjaga
agama.
Menjaga
(Memelihara)
jiwa
:
diri
manusia (nyawa):
perintah
dari
agama
Islam
berupa
mensyari‘atkan
supaya
mewujudkan
serta
melestarikan
ras
manusia
dengan
jalan
perkawinan
yang
sah
menurut
hukum
Islam
serta
dapat
melanjutkan
keturunan
yang
baik.
Hal
tersebut
bertujuan
agar
bisa
menjaga
dan
menjamin
kehidupan
manusia,
kewajiban
orang
yang
beragama
Islam
secara pasti untuk makan, minum, pakaian dan lain-lain.72
Hifdz an-nafs ( menjaga jiwa ) menjadi haq al-hayat ( hak hidup ). Hak ini tidak hanya mempunyai makna sekedar sebagai alat untuk membela diri. Hak ini seyogyanya diarahkan sebagai motivasi untuk menjadikan kualitas kehidupan yang semakin baik khususnya bagi diri dan umumnya bagi masyarakat. Seharusnya adanya hak hidup dapat diorientasikan pada perbaikan mutu kehidupan manusia seutuhnya, bukan
secara
parsial.73
72 Afrida, 22.
Terkait memelihara (menjaga) jiwa sesuai kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan :74
a)
melindungi
(menjaga)
jiwa
dalam
tingkat
kebutuhan
primer
(al-dharuriyyah),
yaitu
dalam
rangka
pemenuhan
kebutuhan
hidup
maka
manusia
diharuskan
makan,
akan
berakibat
terancamnya
eksistensi
jiwa
manusia
kalau
kebutuhan
pokok tersebut
diabaikan.
b) melindungi (menjaga) jiwa dalam tingkat kebutuhan sekunder (al-hajiyyah), misal dibolehkan berburu serta menikmati makanan-makanan yang halal dan lezat, apabila hal ini tidak dilakukan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
c) melindungi (menjaga) jiwa dalam peringkat al-tahsiniyyah, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
Argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU- XIII/2015dalam perkawinan berdasarkan kepentingannya
dalam
perspektif
hifdz
an-nafs
(
menjaga
jiwa
)
masuk
dalam
74Afrida, 26.
kategori
peringkat
kebutuhan
sekunder
(al-hajiyyah).
Jika
perjanjian
pemisahan
harta
tidak
dilakukan
oleh
pasangan
suami
istri,
maka eksistensi
manusia
tidak
akan
terganggu.
Namun
jika
tidak
dilakukan,
maka
akan
mempersulit
suami istri
ketika
berpisah
atau
bercerai.
Kesulitan
akan
dirasakan
ketika
perceraian
terjadi
dan
tidak
adanya
dasar
hukum
yang
dijadikan
acuan
kecuali
persidangan.
Dengan terbuatnya sebuah perjanjian perkawinan, adanya kesempatan yang terbuka dari suami isteri. Tanpa harus merugikan salah satu pihak mereka juga dapat berbagi rasa sesuai keinginan–keinginan yang telah disepakati. Apabila melihat dari status hukumnya, perjanjian perkawinan itu mempunyai sifat dan hukumnya tidak wajib dan juga tidak diharamkan. Artinya, perjanjian perkawinan itu bersifat dan hukumnya adalah mubah (boleh-boleh saja diadakan). Akan tetapi dengan terbuatnya perjanjian pernikahan, hubungan suami isteri akan merasa aman karena apabila suatu saat hubungan kekeluargaan mereka ternyata ‖retak‖ bahkan berakhir pada perceraian, maka ada sesuatu yang dapat
dijadikan
pegangan
dan
dasar
hukum.75
75 Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum
Nasional, (Jakarta : Varia Peradilan, 2008), 273.
Tanpa
adanya
perjanjian
pemisahan
harta
dalam
perkawinan
maka
tidak
ada
perlindungan
hukum
terhadap
kekayaan
dari
kedua
belah
pihak,
hal
mana
UU Perkawinan
tidak
menentukan
terkait
tujuan
Perjanjian
Perkawinan,
semuanya
diberikan
sepenuhnya
kepada
pasangan
suami istri.
Kesulitan lain yang mungkin dialami oleh pasangan suami istri yang tidak melakukan perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan adalah masalah hutang piutang. Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian. Ketika perceraian terjadi, kedua belah pihak akan membebankan hutang bersama kesalah satu pihak.
3. Memelihara Akal (al-aql).
Yang menempati urutan ke tiga yaitu menjaga akal. Menurut sebagian ulama menjaga akal di lakukan setelah memelihara agama dan jiwa karena manusia yang memiliki jiwa dan agama akan tetapi tidak berakal maka semua amalnya tidak dianggap atau tidak dipertanggungjawabkan. Sementara apabila manusia berakal akan tetapi tidak mempunyai agama
maka
mereka
akan
mendapatkan
siksa.
Hifdz
al-aql
(menjaga
akal),
yaitu
haq
al-ta‟lim
(hak
mendapatkan
pelayanan
pendidikan).
Dengan
tujuan
menghargai
akal
bukan
berarti
hanya
sebatas
memelihara
kemampuan
akal
supaya
tidak
gila
ataupun
mabuk.
Maksud
dari
penjagaan
akal
merupakan
terpenuhinya
hak
intelektual
bagi
masing-masing
individu
yang
berada
dalam
masyarakat.
Termasuk
dalam
hal
ini
merupakan
adanya
kejadian
pencurian
terhadap
karya,
hak
cipta
dan
kreasi
seseorang.
Hal
tersebut
merupakan
bentuk
dari
perlindungan
terhadap
akal,
seperti
jaminan
keamanan
untuk
karya-karya
intelektual.76
Terkait pemberian Allah swt tentang perlindungan akal untuk manusia, diwajibkan menuntut ilmu sebagai cara berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya.77 Pemberian layanan pendidikan dan insentif lain yang mengembangkan fungsi merupakan salah satu bentuk peningkatan intelektualitas, efektivitas dan kreativitas pikiran dan juga mencegah dari hal-hal yang dapat
merusaknya
serta
menghalangi
tujuannya
yang
seharusnya
76 Xxxxxx Xxxxx, 9.
77 Xxxxxxxxxxx,. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), 21.
tidak dilakukan seperti minuman keras dan memepercayai takhayul.78
Dapat
dibedakan
menjadi
tiga
tingkatan
tentang
memelihara
(menjaga)
akal
berdasarkan
kepentingannya:79
a) melindungi (menjaga) akal dalam rangka pemenuhan kebutuhan primer (al-dharuriyyah), seperti diharamkan meminum minuman keras (al-khamar), jika ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka akibatnya akan terancamnya eksistensi akal.
b) melindungi (menjaga) akal dalam tingkat kebutuhan sekunder (al-hajiyyah), seperti anjuran untuk mencari ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya, apabila hal ini tidak dilaksanakan, tidak juga merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam bermasyarakat serta menjalani kehidupan dunia akhirat, dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
c) melindungi (menjaga) akal dalam tingkat al-tahsiniyyah, seperti halnya menjauhkan diri dari berbuat khayalan
kosong belaka atau mendengarkan sesuatu yang tidak ada
78 Xxxxxxxx, X. Maqasid al-Shari‟ah as Framework for Economic Develompment Theorization. International Journal of Islamic Economics and Finance Studies, (2016), 1-47.
79Afrida, 27.
gunanya, akan tetapi hal ini berkaitan erat dengan etika, hal ini tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
Menurut
agama
Islam
syarat
dalam
melangsungkan
perkawinan
atau
perjanjian
pernikahan,
bukan
menentukan
terkait
masalah
harta
bersama
secara
tegas,
baik
Al-Qur‘ān
ataupun
Al-Ḥadīth,
karena
yang
diintruksikan
guna mencari
rizki
untuk
nafkah
secara
jelas
adalah
suami, bukan
istri,
sementara
itu
istri
mempunyai
hak
untuk
mendapatkan
nafkah
dari
sang
suami,
dan
istri
bertugas
fokus
dalam
mengatur
masalah
urusan
rumah
tangga saja.
Sedangkan
dalam
perjanjian
perkawinan
ada
pemisahan
harta
antara
suami
dan
istri,
artinya
pihak
istri
juga
menjadi
tulang
punggung
yang
mencari
nafkah.
Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat dengan adat ketimuran, menganggap perjanjian sebagai perbuatan yang tidak etis. Menyepakati sesuatu yang berkaitan dengan materi, mencegah konflik, dan bahkan membahas perceraian, padahal maghligai perkawinan belum dijalani. Islam tentunya tidak mengajarkan seperti itu, tidak ada aturan perjanjian pemisahan harta dalam Islam, dan tidak ada membicarakan masalah keuangan sebelum menikah.
Namun masyarakat saat ini semakin berubah. Pernikahan tidak hanya masalah ikatan antara suami dan istri
namun
juga mencakup
sebuah
komitmen
keuangan
dalam
rumah
tangga.
Tak
jarang
suami
dan
istri
yang
membawa
harta
bawaan
masing-masing,
dan
setelah
pernikahan
berlangsung
dua-duanya
berpenghasilan.
perkawinan
di
Indonesia
perlu
dimusyawarahkan
oleh wali
atau
kedua
orang
tua, sehingga
dalam
pembentukan
point-point
pada
perjanjian
yang
telah
disetujui
oleh kedua
belah
pihak,
pada
akhirnya
menyangkut
kepada
keluarga
antara
kedua
calon
tersebut.
Berhubung dengan maraknya praktek-praktek perceraian yang terjadi dimacam-macam pengadilan di Indonesia, akhirnya warga membutuhkan suatu perjanjian dan kesepakatan.
Maka aturan yang diberlakukan di Indonesia baik dalam urusan harta bersama dan perjanjian perkawinan adalah pilihan yang tepat karena sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Pendapat dari Xxxxxx Xxxxxx yang dikutip oleh Xxxxxxx, mengungkapkan bahwa terdapat dua sudut pandang yang telah ditemukan di masyarakat tentang harta yang diperoleh suami-istri ketika pernikahan berlangsung. Pandapat itu didominasi dan berdasarkan pada
adat kebiasaan setempat, dan tidak didasarkan pada Syari‟āh
Islām.80
Pertama,
masyarakat-masyarakat
Islam
yang
telah
membagi
hak
milik
suami dan
istri.
Pada
konsep
ini
tidak
didapati
harta
milik
bersama
suami
dan
istri.
Harta
yang
diperoleh
suami
selama
pernikahan
merupakan
harta
suami, tidak
dianggap
juga
sebagai
harta
bersama
(istri
ikut
memiliki).
Dan
apabila
istri
mempunyai
penghasilan,
maka
hartanya
akan
dipisahkan
dengan
harta
yang
diperoleh
suami.
Kedua, umat Islam yang sudah menggabungkan harta yang diperoleh suami dan harta yang diperoleh istri. Dalam hal ini mereka menganggap akad nikah terselipi dari persetujuan kongsi /shirkah. Maka ketika nikah sudah sah maka harta yang diperoleh, dijadikan sebagai harta milik bersama. tidak saling memperhitungkan banyak yang mana yang memperoleh harta tersebut. Dan juga tidak memeperhitungkan terkait siapa yang banyak mengeluarkan harta untuk mengurus rumah tangga. Apabila harta tersebut terdaftar maka tidak mempersoalkan terkait atas nama siapa harta tersebut. Jika terjadi perceraian,
maka
keduanya
mendapatkan
harta
tersebut
sesuai
pembagian
80 Ru‘fah Abdullah, Perjanjian Dalam Perkawinan Perspektif Hukum
Islam Dan Perundang-Undangan, jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 3 No.
1, (2016), 36.
masing-masing.
Begitu
juga
apabila
salah
satu
dari
suami
atau
istri
itu
meninggal
dunia,
maka
harta
tersebut
akan
dibagi
menurut
porsinya,
baru
setelahnya
diselesaikan
pembagian
harta
warisan
almarhum
dan
hal-hal
yang
terkait
dengan
harta
warisan tersebut.81
Di Indonesia mempunyai hukum adat yang memiliki gagasan, kesatuan kekayaan tidaklah dari seluruh kekayaan suami-istri, satuan harta hanyalah kekayaan yang diperoleh bersama sepanjang masa pernikahan saja. Adapun terkait kekayaan yang didapatkan oleh masing-masing pihak selama pernikahan dan harta warisan yang ia dapatkan sepanjang
pernikahan, akan tetap menjadi kekayaan milik mereka.82
Melihat fakta dan tradisi yang terjadi di masyarakat Indonesia, maka perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan sesuai dengan tujuan memelihara akal (al-aql) dalam maqashid al-syari'ah. Karena di dalam regulasi perjanjian perkawinan tersebut terdapat upaya untuk penjagaan terhadap akal, dan jaminan keamanan.
Sebuah perjanjian perkawinan dilakukan secara
prosedural dan dibuktikan dengan sebuah akad yang legal.
81 X.X.Xxxxxxx, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 122-123.
82 Ismuha, Pencarian Harta Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1965), 16.
Dibuat
dengan
proses
yang
panjang,
diawali
dengan
pengajuan
di notaris,
kemudian
pengesahan
di dispenducapil
bagi
non muslim,
dan
pengesahan
di
KUA
bagi
yang
beragama
Islam.
Akad
yang
tertulis
di
dalampun
ditulis
sedemikian
rupa
dan
tidak
bertentangan
dengan
etika
agama
dan
sosial
yang
berlaku
di
Indonesia.
Peningkatan intelektualitas dan kualitas regulasi terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah