PERJANJIAN PERKAWINAN PEMISAHAN HARTA BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 69/PUU-XIII/2015
PERJANJIAN PERKAWINAN PEMISAHAN HARTA BAGI PASANGAN SUAMI ISTRI DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 69/PUU-XIII/2015
PERSPEKTIF MAQASID AL SYARI’AH
TESIS
Oleh:
M SHIDQI NIM 503180016
PROGRAM MAGISTER PRODI AHWAL SYAKHSIYYAH PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2021
i
ABSTRAK
Perjanjian perkawinan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69 PUU-XIII/2015 ini memiliki tujuan yang mulia. Perjanjian perkawinan ini dibuat sebagai upaya anstisipatif ketika di kemudian hari mengalami hal-hal yang tidak diinginkan berupa konflik keluarga yang berdampak pada sengketa harta. Dengan ini penulis terdorong untuk mengkaji perjanjian perkawinan pemisahan harta menurut maqasid al syariah, dewasa ini permasalahan yang muncul adalah karena menurut hukum Islam pasti ada pro dan kontra, sehingga perlu dilakukan kajian yang komprehensif tentang bagaimana Maqasid Al Syari‟ah memandang konsep perjanjian perkawinan pemisahan harta. Berangkat dari problematika tersebut Xxxxxxx mengambil rumusan masalah: 1. Bagaimana analisis Xxxxxxx al syari‟ah terhadap argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015?, 2. Bagaimanakah analisis maqasid al syari‘ah terhadap implikasi perjanjian perkawinan pemisahan harta harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015?. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah hukum yang telah dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Dalam penelitian ini penulis mengambil kesimpulan Dalam perspektif hifdz an-nafs ( menjaga jiwa ) masuk dalam kategori peringkat kebutuhan sekunder (al-hajiyyah). Pemeliharaan akal (al-aql) dalam regulasi perjanjian perkawinan diaktualisasikan melalui penyediaan regulasi dan aturan, tahapan pembuatan perjanjian perkawinan, lembaga yang memiliki kuasa untuk membuat perjanjian perkawinan.
ii
ABSTRACT
The marriage agreement after the decision of the Constitutional Court (MK) Number 69 PUU-XIII / 2015 has a noble purpose. This marriage agreement is made as an anticipatory effort when in the future there are things that are not desired in the form of family conflicts that have an impact on property disputes. With this the author is encouraged to study the marriage agreement for the separation of assets according to maqasid al sharia, nowadays the problem that arises is because according to Islamic law there must be pros and cons, so it is necessary to do a comprehensive study of how Xxxxxxx Xx Xxxxx'ah views the concept of a marriage agreement of separation of assets. Departing from these problems, the authors take the formulation of the problem: 1. How is the Maqasid al syari'ah analysis of the legal arguments for the separation of husband and wife's assets after the decision of the constitutional court no. 69 / PUU-XIII / 2015 ?, 2. How is the analysis of maqasid al syari'ah on the implications of the marriage agreement for the separation of husband and wife's assets after the decision of the constitutional court no. 69 / PUU-XIII / 2015 ?. This research uses the normative juridical method or literature law research because it is carried out by examining library materials or secondary data, namely research on legal principles by identifying in advance the legal principles that have been formulated in the Constitutional Court Decision Number 69 / PUU- XIII / 2015. In this study, the authors conclude that in the perspective of hifdz an-nafs (keeping the soul) it falls into the category of secondary needs (al-hajiyyah). The maintenance of reason (al-aql) in the regulation of the marriage agreement is actualized through the provision of regulations and rules, the stages of making a marriage agreement, the institution that has the power to make a marriage agreement.
iii
iv
v
KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
PASCASARJANA
Tuaktt4itasi B ..,,...; SK BAN-PTN••~r: 1'199/SK/BAN-PT/Ak-SURV/PTIOIS
AJa.. 1: A p,...•b 15' P- ... U471 Telp.(OJ524) 81277Fu. (OJ524) 618'3
•••••••• Website: "tt"---ww.g •w1.i1ing no30,0x.xx Email: g 1Sf.a • 'ainpnorro·•x.xx
KEPUTUSAN DEW AN PEN GU.TI
Tesis yang ditulis M.Sbidqi, Nim 503180016, Program Magister Prodi Abwal Syakbsiyyab dengan juduJ : "perjanjian perkawinan pemisaban xxxxx bagi pasangan suami istri dalam putusan putusan mabkamab konstitusi no. 69/puu-xiii/2015 perspektif maqasid al syari'ab" telah dilaksanakan ujian tesis dalam sidang majelis Munaqasah tesis Pascasarjana lnstitut Agama lslam Negeri pada Bari Jum'at, tanggal 16 April 2021 dan dinyatakan LULUS.
Dewan Penguji
Nama Pen ii r. Xxx Xxxxx, X.Xx
IP 197106231998031002
etua Sidan
. Xxxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, X.Xx
IP 197207142000031005 en ii Utama
r. XxxxxxxX Xxxx, X.Xx IP 197605172002121002 n
No |
|
|
I. |
D N K |
|
2. |
Dr N P |
|
3. |
D N A |
|
vi
SURAT PERSETUJUAN PUBLIKASI
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama X. Sidqi
~ 503180016
Prodi
Judul Tesis
Ahwal Syakhsiyyah
Perjanjian Perkawinan Pemisahan Barta bagi Pasangan Suami Istri Dalam Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU- XID/2015 PenpektifMaqasid AI-Syari'ah
Menyatakan bahwa naskah tesis telah diperiksa dan disahkan oleh dosen pembimbing. Selanjutnya · saya bersedia naskah tersebut dipublikasikan oleh perpustakaan IAIN Ponorogo yang dapat diakses di xxxxxxx.xxxxxxxxxxxx.xx.xx. Adapun isi dari keseluruhan tulisan tersebut, sepenuhnya menjadi tanggung jawab dari penulis.
Demikian pemyataan saya untuk dapat dipergunakan semestinya.
Ponorogo, 20 Mei 2021
c·¥
PenuJis,
M.~Sidqi
NIM 503180016
vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian pernikahan memang belum umum dan dikenal luas di masyarakat, bahkan masih dipandang negatif sebagai sesuatu yang tabu, tidak etis dan pamali serta dianggap tidak sesuai dengan budaya ketimuran. Oleh karena itu, perjanjian perkawinan sebelum terjadinya pernikahan masih dianggab sebagai pantangan untuk dilakukan dan bisa menjadi sandungan yang memicu ketegangan tidak hanya diantara calon pasangan pengantin saja namun bisa merembet kepada kedua keluarga besar diantara kedua besan, ketika ide perjanjian perkawinan itu dimunculkan. Selain itu, perkawinan yang dipandang sebagai peristiwa sakral dalam membenuk ikatan keluarga bahagia yang berorientasi jangka panjang, menjadi sesuatu yang riskan dan ironis karena belum apa-apa sudah membuat perjanjian perkawinan yang seolah-olah menkonfirmasi jika perjalanan kehidupan rumah tangganya nanti akan mengalami permasalahan dan tak bertahan lama.
Dengan demikian, pasangan calon pengantin cenderung banyak menghindari membuat perjanjian perkawinan sebelum
dan sesaat berlangsungnya pernikahan. Tetapi seiring
1
perkembangan zaman dan semakin terbukanya pemikiran masyarakat, ditambah persoalan konfilk rumah tangga yang semakin kompleks, angka perceraian yang sangat tinggi, maka perjanjian perkawinan dapat menjadi sesuatu yang urgen untuk dilakukan.
Perikatan pernikahan tercantum dalam pasal 29 UU Perkawinan Tahun 1974.1 Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perjanjian perkawinan dilakukan sebelum ikrar diucapkan, berlaku semenjak perkawinan dilangsungkan, dan harus disahkan oleh notaris maupun pejabat pencatatan sipil. Artinya, tidak ada perjanjian yang dilakukan dalam
perkawinan, dan dapat dirubah dengan adanya kesepakatan yang sudah disetujui dari kedua belah pihak.
Peraturan tersebut tidak berlaku semenjak dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 69/PUU- XIII/2015 pada tanggal 27 Oktober 2016. Pada pokok
putusannya mengabulkan permohonan uji materi terhadap
1 A. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. B. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. C. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga
ketentuan mengenai Perjanjian Perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) UU. No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Mahkamah Konstitusi mengabulkan secara bersyarat permohonan dari Xxx Xxxxxx, seorang warga negara Indonesia yang menikah dengan warga negara Jepang. Putusan MKRI tersebut berdasarkan peristiwa pasangan suami istri dengan dasar yang ditentukan baru merasakan akan ada keperluan untuk menyusun perikatan pernikahan sepanjang dalam ikatan pernikahan. Putusan tersebut telah merevisi ketentuan-ketentuan mengenai masa pembuatan perjanjian
perkawinan2, pengakhirannya3, serta masa berlakunya.4
2 perubahann aturan dari yang sebelumnya perjanjian pernikahan hanya dapat dilakukan sebelum pernikahan berlangsung menjadi sebelum dilakukan atau sepanjang dalam ikatan pernikahan. Baca selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (1), Putusan Nomor
69/PUU-XIII/2015, 154, 156
3 Perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan dan lainnya tidak dapat diubah atau dicabut kecuali sesuai kesepakatan kedua belah pihak dan
sepanjang tidak merugikan pihak ketiga. Namun untuk masa berakhirnya
juga ditentukan secara spesifik, apakah perjanjian otomatis berakhir denganberakhirnya perkawinan, atau justru ada perjanjian perkawinan yang justru baru berlaku semenjak perjanjian diseoakati seperti perjanjian hak asuh anak dsb. Baca selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (1), Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, 157.
4 Perubahan masa berlaku dari semenjak perkawinan dilangsungkan , berubah menjadi semenjak perjanjian dilangsungkan, dan disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Namun belum ada ketentuan
apakah perjanjian perkawinan yang dilakukan dalam ikatan perkawinan berlaku surut atau tidak. Baca selengkapnya dalam Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (1), Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015, 156-157.
Perjanjian pernikahan setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 69 PUU-XIII/2015 ini memiliki tujuan yang mulia. Perjanjian pernikahan ini dibuat sebagai upaya anstisipatif ketika di kemudian hari mendapati sesuatu yang tidak diharapkan seperti konflik keluarga yang berdampak pada sengketa harta. Dengan adanya perjanjian perkawinan yang disepakati oleh kedua pasangan suami isteri tersebut dapat dijadikan sebagai pegangan dan perlindungan hukum dalam
menyelesaikan sengketa diantara kedua belah pihak.5
Hingga saat ini, perjanjian nikah memiliki arti yang beragam. Dan memecah pendapat masyarakat menjadi 2 (dua) golongan yaitu golongan pro dan kontra. Soetojo Prawiromidjojo dan Xxxx Xxxxxxxxx, sudah mengungkapkan bahwa perikatan pernikahan merupakan perikatan yang dibentuk oleh kedua mempelai pra atau pada ketika dilaksanakannya pernikahan untuk menentukan sebab-
akibatnya pernikahan terhadap harta kekayaan mereka.6 Senada
dengan Soetojo Prawiromidjojo dan Xxxx Xxxxxxxxx, R.Subekti juga menjelaskan bahwa perjanjian perkawinan adalah suatu
perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan
5 Haedah Fradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol. 0 Xx. 3 September (2008), 4.
6 R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan
Keluarga (Bandung: Alumni, 1987 ), 57.
mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang.7 Sejalan dengan definisi sebelumnya, Komar Andasasmita mengemukakan bahwa perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon suami istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.8 Secara umum, pada intinya perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami isteri. Pembentukan perikatan pernikahan mempunyai tujuan yaitu untuk menentukan munculnya akibat pernikahan yang terkait dengan harta kekayaan.9
Hal tersebut di atas, sejalan dengan ketentuan perjanjian perkawinan dalam konsep KUHPerdata yang pada prinsipnya mengenai harta benda dan kek ayaan, sedangkan ketentuan perjanjian perkawinan yang ada dalam Undang - undang Nomor 1 tahun 1974 secara eksplisit tidak menyebutkan obyeknya mengenai siapa saja sehingga dapat
disimpulkan bahwa perjanjian tersebut dapat mengenai
7 R.Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa,
1994),9.
8 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan
Penjelasannya (Bandung: Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jabar,
1990), 5.
9 Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang dan keluarga (Surabaya: Airlangga University Press), 87.
berbagai hal, selama tidak bertentangan dengan batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Adapun ketentuan yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam menurut penyusun sangat jelas mengenai obyeknya, yaitu berupa ta'lik talak, pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian.10 Menyangkut bentuk serta isi dari perjanjian pernikahan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam umumnya suatu perjanjian, kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya diberikan kepada kedua belah pihak asal tidak
bersinggungan dengan ketentuan umum atau tidak keluar dari undang-undang kesusilaan yang ada.
Pada dasarnya, perjanjian pernikahan bertujuan untuk memelihara kepentingan dan hak masing-masing dari suami, istri, bahkan kepentingan anak juga dapat diatur dalam perjanjian tersebut. Akan tetapi, kebanyakan masyarakat masih menganggap perjanjian perkawinan adalah sesuatu yang tabu. Padahal, adanya perjanjian perkawinan itu sangatlah penting terutama bagi keluarga yang rentan mengalami konflik keluarga. Dengan adanya perjanjian perkawinan dapat
memberikan perlindungan hukum yang bersifat preventif untuk
10 Sukardi Jurnal Katulistiwa, Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata,Undang -Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Journal of Islamic Studies, Volume 6 Nomor 1 (2016), 9.
mengantisipasi kepentingan maupun hak-hak semua pihak jika dikemudian hari terjadi konflik keluarga yang berujung pada sengketa harta kekayaan.
Perjanjian perkawinan sebagai upaya perlindungan hukum yang bersifat preventif dalam menghadapi terjadinya konflik-konflik keluarga berorientasi mewujudakan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi semua— pihak sebagaimana menjadi tujuan dari hukum itu sendiri. Sehingga dengan demikian, sebagaimana pernah dikemukanan oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxx bahwa hukum hadir dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan satu sama lain. Pengkoordinasian kepentingan-kepentingan tersebut dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-
kepentingan tersebut.11 Pada tahapan demikian, perjanjian
pernikahan merupakan usaha untuk memberikan kemanfaatan pada seluruh pihak supaya terciptanya suatu kesejahteraan yang tidak berat sebelah atau menguntungkan salah satu pihaksaja. perjanjian pernikahan juga tidak hanya sebagai upaya untuk menjaga harta kekayaan dari kedua belah atau masing-masing
pihak.
11 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
2000), 53.
Ditinjau dari status hukumnya, hukum perjanjian pernikahan itu juga tidak wajib dan juga tidak diharamkan. Artinya, perjanjian pernikahan hukumnya adalah mubah (boleh-boleh saja). Hubungan suami istri akan lebih aman dengan adanya perjanjian perkawinan. Apabila suatu saat mereka mengalami permasalahan yang mengakibatkan hubungan kekeluargaan mereka ternyata ―retak‖ bahkan berujung pada perceraian, maka mereka mempunyai modal
sesuatu yang dapat dijadikan pegangan serta dasar hukum.12
Pembuatan perjanjian pra nikah sangat dipengaruhi oleh perkembangan zaman, selain itu juga dipengaruhi degradasi mental, hal ini bertujuan untuk menghindari bahwa sebuah pernikahan hanya untuk kepentingan-kepentingan tertentu tanpa di dasari keikhlasan dari kedua belah pihak. Misal halnya tingkat sosial, penggabungan bisnis keluarga, memperoleh warisan atau semena-mena karena egoisnya.
Dengan itu penulis termotivasi untuk membahas tentang perjanjian perkawinan pemisahan harta dalam pandangan maqasid al syariah, pada zaman ini maslah yang datang sering disebabkan karena anggapan oleh hukum Islam selalu ada pro
dan kontra, sehingga perlu dilakukan kajian yang komprehensif
12 Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional
(Jakarta:Varia Peradilan, 2008), 273.
tentang yang mana Maqasid Al Syari‘ah menganggap konsep perikatan perkawinan pemisahan harta, apalagi secara fiqih memang penjanjian perkawinan ini tidak ada aturan didalamnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut diatas, maka dalam penelitian ini dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana analisis Xxxxxxx al syari‟ah terhadap argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU- XIII/2015?
2. Bagaimanakah analisis maqasid al syari‘ah terhadap implikasi perjanjian perkawinan pemisahan harta harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no.
69/PUU-XIII/2015?
C. Tujuan Penulisan
Setelah kajian atas rumusan masalah tersebut terjawab dalam penelitian ini, maka para pembaca diharapkan mampu:
1. Xxxxxxxxxx pandangan maqasid al syari‟ah terhadap argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam
putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU- XIII/2015.
2. Mengetahui analisis maqasid al syari‟ah terhadap perjanjian perkawinan pemisahan harta harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU-XIII/2015?
D. Kegunaan Penelitian
1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan mampu untuk mendeskripsikan teori maqasid Al Syari‟ah dalam menguraikan pentingnya perjanjian perkawinan sebagai perlindungan hukum dan langkah preventif dalam menghadapi problematika konflik-konflik keluarga yang melibatkan sengketa harta kekayaan. Peneliti mempunyai harapan besar bahwa teori maqasid al syari‟ah yang digunakan dalam penelitian ini mampu memberikan kejelasan hukum atas pentingnya perjanjian-perjanjian perkawinan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya dan para buruh migran pada khususnya akan pentingnya perjanjian perkawinan sebagai perlindungan keluarga. Dan penelitian ini dapat menjadi sumbangsih pemikirian dari peneliti dalam upaya memberikan solusi alternatif dalam ikut berperan menangani adanya
konflik-konflik keluarga. Dengan penyajian informasi ini dapat dijadikan dasar baik bagi para pemegang kebijakan, KUA, dan elemen masyarakat dalam mengedukasi masyarakat akan pentingnya perjanjian perkawinan.
E. Tinjauan Pustaka
Pembahasan mengenai tinjauan pustaka dalam penelitian ini perlu untuk dicantumkan. Karena dengan adanya kerangka teori peneliti mengupayakan sebuah analisis terhadap suatu data untuk menarik sebuah kesimpulan. Data yang ada tidak diadopsi seluruhnya, tetapi akan dilakukan penyesuaian- penyesuain dalam rangka menciptakan relevansi data, sehingga bisa memungkinkan terjadi perubahan konsep sebelumnya yang telah ditetapkan dengan konsep lain yang lebih tepat dan akurat, atau mengenyampingkan pandangan-pandangan teoritik atau temuan peneliti lain yang dianggab kurang relevan lagi dan diganti dengan pandangan teoritik lain yang lebih relevan. Beberapa referensi jurnal yang digunakan dalam pembuatan karya ilmiah ini antara lain.
Penelitian Gunadi yang berjudul perjanjian perkawinan menurut kitab undang-undang hukum perdata dan undang- undang nomor1tahun 1974. Penelitian ini membahas mengenai regulasi Perjanjian Perkawinan dalam tinjaun UUP Nomor 1
Tahun 1974 dan UU Hukum Perdata. Perjanjian pernikahan merupakan perjanjian yang dibuat oleh pasangan kedua mempelai dengan tujuan mengatur akibat-akibat pernikahan terkait harta kekayaan. Dalam pengertian tersebut menjelaskan bahwa perjanjian pernikahan mengatur mengenai kedua belah pihak yang melakukan perjanjian pernikahan, yang mana perjanjian tersebut terkait pengaturan harta kekayaan dan
akibatnya. 13
Undang-undang telah memberikan kemungkinan bagi seseorang yang belum mencapai usia dewasa untuk membuat perjanjian perkawinan, asalkan: 1). Kedua mempelai telah memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan pernikahan; 2). Mereka dibantu oleh pihak yang memberi izin untuk melangsungkan pernikahan; 3). rencana serta konsep dalam perjanjian harus mendapat persetujuan dari hakim pengadilan apabila pernikahan tersebut atas izin hakim.
Bentuk atau isi dari perjanjian pernikahan tersebut pada umumnya, kepada kedua mempelai diberikan kebebasan yang seluas-luasnya selama tidak bertentangan dengan undang- undang kesusilaan yang baik serta tidak melanggar ketertiban
umum.
13Gunadi, Perjanjian Perkawinan Menurutkitab Undang-Undang Hukum Perdatadan Undang-Undang nomor 1Tahun1974, Journal for Islamic Studies,Vol.1, (2018), 01.
Mengenai tujuan dan manfaat perikatan pernikahan diteliti oleh Xxxxxx Xxxxxx.14 Perikatan pernikahan merupakan sesuatu yang memiliki tujuan serta manfaat baik yaitu sarana dalam melakukan tindakan preventif yang mana apabila muncul kasus perceraian, dengan adanya akte Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat maka dapat memudahkan dalam
pemisahan harta gono-gini. Pada saat menjalani permasalahan perceraian antar mantan pasangan suami istri tidak menimbulkan perselisihan terkait pembagian harta benda. Namun dalam masyarakat memandang bahwa perjanjian pernikahan dipandang masih tabu, sehingga perikatan pernikahan jarang sekali diadakan.
Selain itu, perjanjian perkawinana sebagai perlindungan hukum dilakukan oleh Dyah Ochtorina Susanti Perjanjian pernikahan dianggap dapat digunakan Sebagai bahan dasar Perlindungan Hukum Bagi kedua belah pihak (Perspektif Maqashid Syari,ah).15 Hukum positif Indonesia dalam mengatur perjanjian perkawinan hanya yang bersifat
materialistik yang hanya mengatur pada hartanya saja.
14Haedah Fradz, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal
Dinamika Hukum, Vol.8 (2008), 03.
15Dyah Ochtorina Xxxxxxx, Perjanjian Kawin Sebagai Bentuk
Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami lstri (Perspektif Maqashid
Syari,ah). Ulul Albab: Jurnal Studi dan Penelitian Hukum Islam, No.2,
April 2018,1-30, ISSN 2596-6176 (online)
Mengenai hal tersebut, seharusnya perjanjian perkawinan bukan hanya pada hartanya saja akan tetapi mengatur tentang hal-hal misal dalam konsep keagamaannya atau tentang hal-hal yang bisa menyebabkan permasalahan-permasalahan bagi kedua mempelai sehingga dapat menjadi faktor timbulnya perceraian. Isi pada perjanjian nikah sebenarnya dapat membuat perjanjian yang lain yang bukan terkait harta pernikahan saja, seperti tentang pernikahan monogami, hak dan kewajiban kedua pasangan suami istri, serta perjanjian- perjanjian yang lain yang diharapkan oleh kedua mempelai. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan manfaat serta melindungi hubungan kedua mempelai serta mengurangi hal- hal yang dapat menyebabkan perceraian.
Tugas penguasa atau pemerintah serta DPR RI, seharusnya membuat kegiatan revisi terhadap isi dari peraturan dalam perikatan nikah, bahwa isi dari perjanjian tidak hanya memuat tentang harta saja, akan tetapi terkait hal- hal yang telah ditegaskan dan dijelaskan yang mana suami istri bisa membuat perikatan pernikahan yang isinya selain perikatan yang menyangkut harta. Dengan pertimbangan dari segi sisi utilities (kemanfatan) dan mengacu maqashid syari ah, maka perlu diatur dalam aturan tersendiri serta dari hal-hal yang bersangkutan dengan kepastian hukum yang bertujuan
pada memberikan jaminan dan melindungi bagi pasangan suami
istri.
Selain itu pula, perlu dilakukan inventarisir terhadap beberapa penelitian tentang implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Salah satunya adalah penelitian Xxx Xxxxxxxxxxx dengan judul Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan
Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris.16 Dengan
menggunakan metode penelitian hukum normatif penelitian ini memberitahu bahwa dampak dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 kepada pembuatan akta perjanjian pernikahan sesudah nikah yang telah dibuat dengan akta notaris akan merubah ketentuan hukum. Selama perkawinan berlangsung pengadaan perikatan pernikahan dapat dibuat oleh notaris tanpa harus di dahului dengan penetapan pengadilan yang berwenang. Dalam Putusan MK akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan setalah kawin terhadap status harta bersama inheren (berkaitan erat) dengan waktu mulai
berlakunya perjanjian tersebut dan mengikat terhadap pihak
16 Xxx Xxxxxxxxxxx, Implikkasi dan Akkibat Hukuum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat di Hadapan Notaris, Jurnal Lex Renaissance No. 1 VOL. 2 (2017), 16 – 34.
ketiga. Hasil Penelitian Xxx Xxxxxxxxxxx ini penting untuk dijadikan dasar bagi peneliti dalam menyelesaikan permasalahan pembuatan akta perjanjian perkawinan khususnya pada notaris.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Peneliti ini termasuk dalam jenis penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum kepustakaan karena dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka,1 yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap makna- makna dari hukum yang telah dirumuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Dalam desain karya ilmiah ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif, yaitu sebuah penelitian yang bertujuan mengungkap keadaan yang bersifat alamiah secara holistik. Penelitian kualitatif berupaya untuk menyajikan realitas sosial dan perspektif dari segi konsep, perilaku dan persepsi obyek yang diteliti.
2. Pendekatan Penelitian
Peneliti dalam menggunakan pendekatan peneliti dalam melakukan penelitian ini terdiri dari tiga jenis yaitu, yuridis – normatif – sosiologis.
a. Xxxxxxx merupakan letak dari pendekatan yuridis pada cara dalam memakai pendekatan serta pada prinsip-prinsip, konsep- konsep serta asas-asas hukum yang digunakan sebagai sarana dalam melihat, membahas, serta menganalisis dari problematika pembuatan perikatan sebelum nikah di Indonesia melalui analisis UU No 1 Tahun 1974 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang berhubungan
dengan tema sentral penelitian.17
b. Pendekatan Normatif merupakan pendekatan yang memandang dari segi problem dalam perikatan sebelum menikah di Indonesia dipandang dari segi legal formal maupun normatifnya. Arti legal formal dapat diartikan sebagai hal yang keterkaitan pada konsep halal haram, boleh atau tidak, dan lainnya. Yang mana yang dimaksud aturannya merupakan terkait ketentuan yang terkandung didalam nash serta
bagaimana Islam mengatur tentangnya. 18
17 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif
Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta : Raja Grafindu Persada, 2001), 13.
18 Khoirudin Nasution, Pengantar Studi Islam (Yogyakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), 153.
c. Pendekatan sosiologis merupakan gambaran tentang kondisi masyarakat yang lengkap dari mulai struktur, lapisan, serta berbagai kelas sosial lainnya yang saling berkaitan. Fenomena- fenomena dapat di analisa dengan ilmu dengan cara memunculkan faktor-faktor pendorong terjadinya hubungan tersebut, seperti yang disebut interaksi sosial dan kepercayaan atas keyakinan yang berdasarkan terbentuknya proses perikatan
sebelum menikah di Indonesia.19
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,1 yang mengungkapkan peraturan UU No 1 Tahun 1974 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian dan dideskripsikan menurut pandangan Maqasid Al Syari‟ah Jaser Auda.
4. Bahan Hukum
Sumber data dalam penelitian ini adalah :
a) Sumber data Hukum Primer: yaitu bahan hukum yang mengikat.1 Berupa hal-hal atas ketentuan perundang-
undangan yang mempunyai keterkaitan dengan objek
19 Abbudin Nata. Metodologi Studi Islam. (Jakarta: Xxxx Xxxxxxxx
Persada, 2002), 39.
penelitian, yaitu Undang-Undang No 1 Tahun 1974
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
b) Sumber data Hukum sekunder: bahan hukum yang terdiri dari buku-buku teks (textbooks), jurnal-jurnal hukum perdata dan hukum keluarga, dan kasus hukum yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan pada perkawinan campuran1. Buku tersebut antara lain:
1. Metode Maqasid al syariah Jasser Auda diterangkan dalam
buku yang berjudul ― Membumikan Hukum Islam Melalui
Maqasid al syariah ‖
2. Karya Jasser Auda dengan judul ― Al-Maqasid untuk
Pemula‖
c) Sumber data hukum tersier: bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder1, yang meliputi kamus hukum, dan encyclopedia.
5. Pengelolaan dan Analisis Sumber Data hukum
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian deskriptif analitis, maka analisa bahan hukum yang dipergunakan adalah analisis secara pendekatan kualitatif terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serta tersier.1
Meliputi isi dan struktur hukum positif dalam UU No 1 Tahun
1974, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015 yang dilakukan peneliti untuk menentukan isi atau
makna aturan hukum yang dijadikan rujukan menggunakan persepktif MAQASID AL SYARI‟AH Jaser Auda. Khususnya dalam menyelesaikan permasalahan perjanjian perkawinan pada masyarakat Indonesia.
E. Sistematika Pembahasan
Penulisa dalam menyusun penelitian ini terdiri dari lima bab. Sebagaimana maksud dari penulis antara bab satu dengan selanjutnya saling berkaitan dan ketergantungan secara sistematis. Sehungga dalam pembahasanya runtut dari mulai bab satu hingga bab lima menyambung. Jadi dapat di artikan bahwa untuk memahami penelitian ini maka harus dibaca dari bab awal hingga bab akhir atau bab lima.
Maka dari itu pembuatan karya ilmiah ini menggunakan metode kualitatif. Maka dalam pembentukan analisa ini membentuk pola induktif yaitu dari hal yang khusus ke hal yang umum. Dapat dimakna terdapat sebuah pemaparan dalam karya ilmiah ini, penjelasan tentang suatu hal yang dihubungkan pada kenyataan atau kejadian khusus, dan selanjutnya cara menarik kesimpulan dari cara pemaparan teori yang berdasarkan pada kenyataan dan teori yang sudah ada
(umum). Yang mana telah dijelaskan oleh Trianto yaitu penelitian yang bersifat induktif merupakan penelitian yang diawali dari pengelompokan data-data yang selanjutnya diolah dan disimpulkan dengan cara rasional sesuai pada dasar pengetahuan (teori) yang benar.20 Apabila digambarkan keterkaitan antara bab-bab dan sejauh mana cakupan penjelasannya tersebut maka dapat digambarkan sebagai
berikut:
Khusus
Bab 1: Dasar pijakan penelitian
Bab II: Eksplorasi Teori
Bab III: Pemaparan
Temuan data
Bab IV:Pengembangan Gagasan Berbasis Teori
Umum
Bab V: Kesimpulan
Tabel 1.1 Model penelitian Piramida Terbalik
20 Trianto, Pengantar Penelitian Pendidikan bagi Pengembangan
Profesi Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (Jakarta: Kencan, 2010), 155.
Maksud dari model Penelitian piramida terbalik tersebut digunakan supaya pembaca dapat dengan mudah memahai bacaan dengan cara yang tuntas dan komperhensif maka dapat dilihat pada isi serta maksud tesis secara keseluruhan dan benar. selanjutnya lagi maksud dari model gambar diatas agar mudahnya penulis dalam menulis atau menyusun tulisan ini, maka dari itu dianggap membutuhkan penjelasan model penyusunan tesis dan penjelasan tesis ini sesuai dengan penjabaran berikut:
Bab pertama mempunyai isi tentang cakupan penelitian yang menjadi dasar dilakukannya penelitian ini, pada bab ini dijabarkan mengenai fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori metode penelitian dan ditutup dengan penjabaran sistematika pembahasan. Secara umum penyampaian dalam bab ini mempunyai terkait keinginan agar pembaca dapat menemukan latar belakang penelitian ini, dan juga alasan teoritis yang bersumber dari bacaan yang kredibel dan memahami kenapa penelitian ini perlu untuk dilakukan. Selain itu pula, pada bab pertama ini juga dipaparkan mengenai keadaan peneliti dan posisi tesis ini dalam ranah keilmuwan yang orisinil, tetap berkorelasi dengan penelitian yang sebelumnya, dan memunculkan ciri khas yang menunjukkan bahwa tesis ini
berbeda dengan penelitian yang lainnya. Oleh karena itu, bab ini adalah landasan dari bab-bab selanjutnya, dan penulisan metodologis di bab selanjutnya. Sebagai dasar pengembangan teori, penohokan teori, penolakan atau dukungan atas sebuah teori. Bab pertama inilah yang akan menjadi dasar pengembangan teori pada bab selanjutnya.
Bab kedua memuat landasan teori yang meliputi konsep perjanjian perkawinan yang terungkap melalui pemikiran para ahli yang dikaitkan dengan konsep perjanjian yang terkandung dalam peraturan dan perundang-undangan. Bagaimana tujuan dan manfaat adanya perjanjian perkawinan dikaitkan dengan maqasid al syari‟ah.
Bab ketiga berisi pemaparan konsep harta perkawinan, perjanjian perkawinan dalam putusan MK No 69/PUU- XIII/2015 dan dampaknya terhadap perubahan UU No. 1
Tahun 1974. Perjanjian perkawinan sebagai perlindungan hukum. Data-data terkait dampak putusan MK terhadap perubahan UU No. 1 Tahun 1974, perubahan regulasi pada lembaga yang mengesahkan dan yang mengeluarkan akta perjanjian perrkawinan.
Bab keempat adalah berisis pembahasan mengenai argumentasi hukum dan pandangan Maqasid Al Syari‘ah
terhadap perjanjian menurut peraturan dan perundang- undangan.
Bab kelima, berisi tentang penutup di mana di dalamnya dijabarkan mengenai kesimpulan serta saran kemudian dilanjutkan dengan penulisan daftar referensi serta lampiran-lampiran.
25
BAB II
KONSEP PERJANJIAN PEMISAHAN HARTA GONO GINI DALAM PERJANJIAN PERKAWINAN PERKAWINAN SEBELUM DAN SESUDAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx’ah Xxxxxx Xxxx
Maqashid Al-Syariah adalah kata majemuk (idlafi) yang berasal pada suku kata yang disebut dengan Maqashid dan al-Syariah. Menurut bahasa, Maqashid adalah kata jamak (plural) dari kata maqshid. 21
Terdiri dari huruf qaf, shad, dan dal, yang artinya tujuan atau kesengajaan. Sementara kata al-Syariah secara bahasa berasal dari kata syara‟ayasyra‟usyar‟an yang artinya menyusun syariat atau undang-undang, menjelaskan serta menyatakan.22 Dikatakan syaralahumsyar‟an berarti ia telah memberi arah kepada mereka atau mempunyai makna sama yang artinya memberi arah jalan atau pedoman.
Sedangkan syariah secara terminologis beberapa ahli
beropini menurut Xxxx X.X Xxxxx mengungkapkan istilah
21 Xxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Al Syarî‟ah berhubungan Dengan
Metode Istinbath Hukum, Vol 19 (2017), 03.
22 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, “Teori Maqâshid Al-Syarî‟ah Dalam Hukum
Islam‖, dalam Jurnal Sultan Agung, Vol XLIV No. 118 (2009), 120.
25
canon law of Islam adalah hakikat syariah yang berarti semua aturan berupa nas-nas dari Allah. Sedangkan Satria Effendi mengungkapkan bahwa syariah adalah al-mushusha lmuqaddasah yakni nash suci yang tercantum dalam Al-Quran dan al-Hadist al-Mutawatirah, yang belum terpengaruhi dari penjabaran dari manusia, maka wilayah syariah ini mencakup
dalam hal I‟tiqaddiyah, amaliyah, dan khuluqiyah.23
Sedangkan para ulama mutakhirin berpendapat dari hal itu sudah terdapat adanya penyempitan makna syariah. Xxxxxx Xxxxxxxxx menyampaikan penjelasan terkait makna syariah bahwa syariah merupakan ketentuan aturan dan tata norma yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya agar dijadikan pedoman bagi manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhannya, tentang muamalah, bumi dan semua kehidupan. Sementara menurut Xxx Xx-Xxxxxx mengungkapkan bahwa syariah adalah aturan yang disampaikan Allah kepada hambanya agar hambanya meyakini serta mengamalkannya
demi kebutuhan dunia dan akhirat.24
23 La Jamaa, “Dimensi Ilahi dan Dimensi Insani dalam Maqâshid Al-
Syarî‟ah” dalam Jurnal Ilmu Syarî‘ah dan Hukum Vol. 45 No. II, (2011),
1255-1256.
24 Xxx Xxxxxxx, Teori Maqâshid Al Syarî‟ah Dan Hubungannya
Dengan Metode Istinbath Hukum, Vol 19 ( 2017), 03.
Dapat memahami arti dari maqashid al syariah secara etimologi, sehingga bisa membantu kita memahami maksud serta tujuan-tujuan disyariatkannya hukum Islam, terkait hal ini maqashid al-syariah mengindikasikan sangat berhubungan erat dengan hikmah dan illat. Maqashid al syariah sebagai salah satu cabang ilmu tertentu yang independen, beragam versi yang konkrit dan komprehensif tidak akan bisa ditemui lagi dalam disiplin ilmu ini yang notabene ditemurunkan oleh para ulama klasik. Meskipun demikian nantinya tetap akan menemui titik tolak konsep yang hampir sama.
Oleh sebab itu, secara tidak langsung banyak definisi maqashid al-syariah lebih sering diungkapkan oleh para ulama terbaru misal halnya Xxxxx xxx Xxxxx yang memisahkan maqashid al-syariah menjadi dua yakni maqashid al-syariah al ammah dan maqashid al-syariah al khashah. Yang pertama yang diartikan disini yaitu sebagai hikmah, rahasia dan tujuan diberlakukannya syariah secara general yang mencakup semua aspek syarî‘at dengan terkecuali hanya memfokuskan diri terhadap satu bidang. Bagian kedua diartikan sebagai sepaket dari cara khusus yang diterima oleh al-syâri‘ dengan tujuan mewujudkan kehidupan sejahtera manusia dengan cara memfokuskan kepada satu titik dari beberapa titik bidang
syari‘at yang sudah ada, misal tentang ekonomi, aturan hidup berkeluarga.
Sementara sesuai pendapat ‗Allal al-Fâsi merupakan cara dalam rangka melihat tentang apa tujuan pensyari‘atan di mana menjadi aturan yang dapat menentukan kesejahteraan dan menghindari kemafshadatan yang berisi kebaikan untuk
manusia.25 Xxxxxx xx-Xxxxxxx mengemukakan bahwa maqâsid
al-maqâsid al-syarî‟ah adalah unsur nilai dan tujuan syara' yang diungkapkan secara tidak langsung dalam keseluruhan atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Apa yang ditetapkan oleh syar‘i memandang unsur nilai serta sasaran- sasaran sebagai tujuan dan rahasia syarî‘ah, (Allah dan Nabi Xxxxxxxx merupakan sebagai pembuat syari‘at) dalam setiap ketentuan hukum.
Al-Syâthibi mengungkapkan bahwa tanggungan- tanggungan syarî‘ah semula kembali kepada penjagaan tujuan- tujuanya terhadap makhluk. Tujuan-tujuan ini tidak lepas dari tiga macam isi yaitu dlarûriyyât, hâjiyyât dan tahsîniyyât. Al- Syâri‘ mempunyai visi berisi setiap pembuatan hukum
bertujuan untuk menciptakan kebaikan umat manusia di dunia
25 H. Xxxxx Xxxx, “Relevansi Metode Kajian hukum Islam Klasik Dalam Pembaharuan hukum Islam Masa Kini”, dalam jurnal Innovatio, Vol. 6, No. 12, Edisi Juli-Desember.
dan di akhirat.26 Oleh karena itu dalam perbedaan opini dalam mengartikan Maqashid al-syarî‟ah tersebut, para ulama ushûl al-fiqh memiliki pendapat yang sama bahwa maqâshid al- syarî‟ah merupakan keinginan-keinginan sesungguhnya yang harus terwujud di dalam syarî‟at. Penerapan syarî‟at di dalam kenyataan hidup di dunia, yang di dalamnya untuk mewujudkan kemaslahatan dan kenyamanan untuk kehidupan di bumi ini, sehingga berpengaruh kepada kebaikan dunia dan kebaikan di akhirat.
Tujuan dari maqasid syari'ah yaitu sebagai alat untuk menwujudkan kedamaian serta kebaikan umat yang sepenuhnya, hal ini berlandaskan tujuan dari dibuatnya serta ditetapkannya peraturan dalam Islam merupakan sebagai sarana mewujudkan kedamaian makhluk dengan cara memelihara tujuan-tujuan syara'. Adapun beberapa dasar tujuan dibuatnya syara' yang harus dilindungi itu adalah 1) melindungi agama, 2) melindungi jiwa, 3) melindungi akal, 4) melindungi
keturunan dan 5) melindungi harta.27
26 Xxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Al Syarî‟ah Dan Hubungannya
Dengan Metode Istinbath Hukum, Vol 19 (2017), 03.
27 Xx-Xxxxxxx, Imam Xxx Xxxxx Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxx, Al-
Mustashfa min „Ilm Al-Ushul, Juz I, (Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyyah,
1983), 286-287.
Fiqh modern yang di tawarkan oleh Xxxxxx Xxxx berdasarkan Maqâshid Al Syarî‟ah. Islam merupakan agama yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan serta memberikan jawaban dari permasalahan dalam kehidupan manusia supaya seimbang dan selaras. Konsep ini yang akan diangkat oleh Jasser bagaimana agar kehidupan umat manusia bisa diterapkan sesuai aturan serta memberikan keuntungan bagi umat manusia, tentunya hal ini jasser menggunakan sebuah konsep atau sistem terbaru. Dalam Maqasid al-Shari‟ah as Philosophy of Law: A syistem Approach Xxxxxx Xxxx memaknai Maqasid menjadi empat makna, pertama, hukum yang mempunyai hikmah. Kedua, tujuan dari hukum adalah memperoleh akhir yang baik. Ketiga, basis dari hukum adalah kumpulan tujuan ilahiyah dan metode tentang akidah. Keempat, Mashalih. Dalam konsep Maqasid yang diberikan oleh Xxxxxx Xxxx, pokok paling utama adalah nilai dan Prinsip
kemanusian.28
Konsep Maqashid lama yang berusaha dikonstruk oleh
Jasser Auda yang mengarah kepada teori maqashid yang mempunyai sifat protection and preservation yang mengacu
28 Galuh Nashrullah Kartika Mayangsari R, Konsep Maqashid Al- Syariah Dalam Menentukan Hukum Islam (Perspektif Al-Syatibi dan Jasser Auda), Jurnal Al-Iqtishadiyyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah, ISSN Elektronik:, Volume: I., ISSUE I. (2014), 2442-
2282.
kepada development and rights. Konsep yang telah berkembang selama ini adalah teori maqashid yang berbentuk hirarkis, utama terjadi pada abad ke-20. Teori yang mengomentari beberapa klasifikasi kebutuhan (necessity) atau yang disebut teori modern ini, mempunyai alasan-alasan berikut ini: a) scope teori maqashid mencangkup semua hukum Islam, b) memiliki sifat individual; c) nilai-nilai bersifat paling universal dan pokok tidak dimasukkan, misal kebebasan dan keadilan (freedom); d) tidak mengarah pada sumber original/script akan
tetapi dideduksi dari kajian literature fiqhi,.29
Para ulama‘ kontemporer menentukan terkait kelas- kelas Maqāṣid al-Syarīah mereka memisahkan maqāṣid menjadi tiga kelas, yaitu maqāṣid „āmah (General maqāṣid/tujuan-tujuan umum), maqāṣid khāṣṣah (Specific maqāṣid /tujuan-tujuan khusus) dan maqāṣid juz`iyah (Partial maqāṣid/ tujuan-tujuan parsial).
Seluruh kondisi tasyri‟ atau bagian besar Maqāṣid
„āmah mempunyai arti, nilai-nilai dan arti umum, seperti keleluasaan, keadilan, kesetaraan dan kemudahan. Maqāṣid khaṣṣah merupakan kebaikan dan konsep yang memiliki tujuan untuk diwujudkan di dalam kajian khusus dalam syariah,
seperti yang memiliki tujuan tidak membahayakan dan
29 Ibid, 8.
merendahkan kaum wanita dalam tatanan hidup di keluarga, menghalang-halangi masyarakat untuk melanggar dan efek jera ketika memberikan sebuah ganjaran (hukuman), dalam muamalat memusnahkan gharar (ketidakjelasan), dan lain- lainnya. Sementara maqāṣid juz`iyah merupakan tujuan serta nilai yang ingin diwujudkan ketika pentasyri‘an aturan tertentu, misal yang memiliki keinginan kejujuran serta hafalan dengan ketentuan tentang orang yang menyaksikan harus lebih dari satu orang, menghapuskan kesukaran pada hukum, misal diperbolehkannya tidak berpuasa bagi manusia yang tidak
mampu berpuasa dikarenakan sakit, bepergian atau lainnya.30
Dalam segi yang lain, terdapat tiga tingkatan dalam piramida maqāṣid al-Sharīah, yaitu ḍarūriyah, ḥājiyah dan taḥsīniyah. Sementara pengkajian yang dilakukan oleh para ulama‘ klasik, al-Maqāṣid al-ḍarūriyah ketika memciptakan syariah Islam, lima hal pokok dalam kehidupan yang terangkum kedalam konsep yang bertujuan melindungi, yaitu: melindungi agama (hifẓ al-dīn), melindungi jiwa (hifẓ al-nafs), melindungi akal (hifẓ al-„aql), melindungi keturunan (hifẓ al- nasl) dan melindungi harta (hifẓ al-māl). Para ulama‘ klasik,
xxxxxxx xx-Xxxxxxx dan xx-Xxxxxxx menyebutnya dengan al-
30 Xxxxxx Xxxx, Fiqh al- Maqāṣid, h. 15-17; Xxxxxx Xxxx, Maqasid al-
Xxxxx‟ah as Philosophy of Islamic Law a Sistem Approach, (Herndon: IIIT,
2008), 5-17.
kulliyah al-khamsah menurutnya konsep itu dianggap sebagai usūl al-syariah dan menjadi suatu tujuan umum dari pembuatan syariah tersebut.
Xxxxxxx xx-Xxxxx‟ah yang disusun oleh ulama klasik memiliki kelas-kelas yang berbentuk piramida, yang diawali dari maqāṣid „amah sebagai intinya selanjutnya memiliki cabang-cabang menjadi maqāṣid khasah dan terakhir maqāṣid juz‟iyah. Selanjutnya selain itu disambung dengan al- ḍarūriyah, ḥājiyah selanjutnya tahsīniyah. Tujuan ia membentuk sesuai tingkat yang mana yang harus didahulukan ini apabila terdapat perdebatan antara maqāṣid satu dengan maqāṣid lainnya, maka yang utama yang diprioritaskan, yaitu mensegerakan melindungi agama atas jiwa, akal dan seterusnya.
Meski nampaknya konsep ini sederhana, akan tetapi kenyataannya pengaplikasian dari konsep tersebut kedalam realita kehidupan begitu susah dan rumit. Maka dari itu datanglah gambaran lain oleh para ulama kontemporer seperti Xxxxxxxxx ‗Xxxxxx dan Xxxxxx Xxxx memiliki pendapat berbeda dengan tatanan terdahulu. Mereka berpendapat maqāṣid al- Syarī‟ah tidak bersifat susunan piramid meskipun diatur dalam tingkatanya, bila mana maqāṣid terpisah antara atas dengan
bawah, akan tetapi menurutnya ia adalah sebuah xxxxxxxxx- xxxxxxxxx yang dapat bertemu serta bersinggungan (dawāir mutadākhilah wa mutaqāṭi‟ah), yang memiliki hubungan saling berhubungan satu dengan lainnya.31
Dalam bagian lain, kita tidak diperbolehkan memberi
batas konsep maqāṣid terkait hal-hal yang sudah ditetapkan para ulama klasik sebagaimana yang dijelaskan atas. Hal ini merupakan efek pada perubahan hukum yang disebabkan oleh perkembangan dan perubahan zaman. Misal perbedaannya apa yang pada zaman dahulu menurutnya tidak bernilai bisa jadi pada zaman ini menjadi barang yang bernilai, seperti dalam berbagai kelompok, jenis tumbuhan, jenis pekerjaan dan lainnya. Adapun, sesuatu pada situasi dan tempat lain sangat berharga akan tetapi pada tempat dan kondisi yang lain
menjadi tidak berharga.32
31 Xxxxxx Xxxx, Maqāṣid al-Ahkām al-Shar‟iyyah wa „Ilaluhā, diunduh darihttp: /xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/Xxxxxxxx_Xxxxxxxx/xxx/xxxxxxx0X.xxx diakses pada 25 Agustus 2019.
32 Dengan ini, menurut Xxxxxx Xxxx, dalam hal bagaimanapun maqāṣid merupakan hasil dari produk penelitian (istiqrā‘) para ulama‘ mujtahid dari nash-nash Syariah. sedang istiqrā‟ adalah refleksi dari taṣawwur teoritis yang terdapat dalam jiwa mujtahid. Taṣawwur ini dapat berubah sejalan dengan perkembangan pemikiran, kecerdasan dan perubahan kondisi dan
zaman. Xxxxxx Xxxx menganalogkan konsep ini dengan alam semesta,
sebagaimana pengetahuan manusia atasnya berkembang dan pemahaman manusia berubah dari zaman ke zaman seiring dengan penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi yang terus berkembang, lihat lebih lanjut, Jasser Auda,
Hal-hal sangat penting dipakai untuk mengkaji hukum Islam adalah Maqasid al syariah. Auda mengungkapkan bahwa maqasid al syariah sebagai perantara antara problem baru yang terdapat pada zaman ini dengan syariat Islam. Dengan demikian menurut Xxxxxx Xxxx, syari‘at Islam dapat menyumbangkan solusi terhadap problematika umat di zaman modern ini bukan malah sebaliknya. Menurut Xxxx, hukum Islam dapat menghasilkan kehidupan di masyarakat produktif dan humanis. Jika pada kenyataannya sekarang terjadi sebaliknya, maka terdapat kesalahan pada pemikiran tentang
syariat Islam.33
Apabila pada era klasik maqasid al syariah konsepnya merupakan pencegahan, yang condong bersifat hierarki dan sempit diakibatkan terbatasnya kemaslahatan untuk diri sendiri dan dimunculkan karena keterdesakan. Maka Maqasid al syariah pendapat Xxxx merupakan sebuah konsep universal untuk menjahui dari perselisihan antara makna lafaz dan makna teks. Dalam menafsirkan teks-teks al-quran dan hadist maka
Maqasid al syariah menjadi sebuat alat dan landasannya.34
Fiqh al-Maqāṣid, h. 18-19; op. cit, Jasser Auda, Maqasid al-Shariah, x. 21-
24.
33 Xxxxxx Xxxx, Maqasid Syariah, Dalil al-Mubtadi‘in London: al-
Ma‘had al-Alami li al-Fikri alIslami, 2008), 7, 32 dan 49.
34 ibid
B. Konsep Maqasid Al-Syari’ah Antara Pemikiran Al- Ghazali Dan Al-Syathibi
Meskipun di kalangan ulama ushul terdapat perbedaan
istilah antara satu dengan lainnya. Xxxxxxxx Xxx Xxxxx misalnya, menyebutnya dengan maqasid al-ahkam. Semenjak Xxxx xx-Xxx Xxx‘ban dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, mengistilahkan dengan maqasid al-tasri‘. Xxxxxxxxx xx-Xxxxx lebih banyak membahasakannya dengan al-maslahah, sedangkan maqashid al-syari‘ah merupakan istilah yang digunakan oleh Xxxx Xxxxx xx-Xxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxx Xxxxxx, namun pada prinsipnya perbedaan istilah itu sebenarnya mengandung pengertian sama. Untuk menghindari kekeliruan dan kesimpangsiuran semakaian istilah, maka dalam tulisan ini akan digunakan istilah maqashid al-syari‘ah semata.
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ―maqasahid al- syari‟ah” terdiri dari dua penggalan kata, yaitu ―Maqashid‖ dan ―al-syari‘ah‖ yang masing-masing punya makna tersendiri. Kata ‖maqashid‖ merupakan bentuk plural (jama‘) dan kata maqshid‖. Sedangkan akar katanya berasal dari kata verbal
―qashada‖, yang berarti menuju; bertujuan; berkeinginan dan berkesengajaan. Sedangkan pengertian ―syari‘ah‘ secara harfiah adalah sumber mata air atau sumber kehidupan. Kata
―syari‘ah‖ (tunggal) jamak ―syara‘i‖ berarti segala yang
diisyaratkan Allah kepada hambanya, di antaranya berupa aturan-aturan hukum. Perkataan ―syari‘ah‖ berarti peraturan, sesuai dengan makna yang dijumpai dalam Alquran surat al- Jatsiyah ayat 18: (kemudian kami jadikan kamu berada di atas syariat (peraturan atau undang-undang) dari urusan (agama) itu). Dengan demikian, secara etimologis maqasahid al- syari‟ah berarti tujuan Allah (Pembuatan hukum) penetapkan hukum terhadap hambanya, yang inti dari penerapan Syari‘at itu berorientasi untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia.
Kemudian dalam terminologi syari‘at terdapat di kalangan para ulama yang otoritatif dalam bidang ushul tentang pengertian maqashid al-syari‟ah. Dalam kaitan ini, Xxx Xxxxx xx- Xxxxxxx (w. 790H/1388 M) dalam bukunya ―al-Muwafaqat‖ menandaskan‖ bahwa yang dimaksud dengan maqashid al- syari‟ah ialah ketentuan-ketentuan hukum yang disyariatkan Allah untuk kemaslahatan manusia. Begitu pula, menurut
‗Xxxxx xx-Xxxxx dalam karyanya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan maqashid al-syari‟ah adalah tujuan yang dikehendaki syara‘ dan rahasia-rahasia yang ditetapkan (Allah) pada setiap hukum. Adapun inti dari Maqashid Al-Syari‟ah itu sendiri adalah tujuan yang dikehendaki syara‘ adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindari keburukan, atau
menarik manfaat dan menolak mudharat. Atau dengan kata lain seperti yang ditegaskan al-Syatibi bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukumnya adalah untuk terwujudnya kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, taklif pembenaan hukum) harus mengacu kepada wujudnya tujuan hukum itu. Sebab menurut al-Qardawi di mana ada maslahat, dilaksanakan hukum Allah.
Dengan demikian, lihat secara jelas bahwa betapa eratnya hubungan antara maqashid al-syari‟ah (tujuan hukum Islam) dengan kemaslahatan (maslahat). Pemaknaan terhadap maslahat para ulama mengungkapkannya dengan definisi yang berbeda-beda. Menurut al-Khawaizmi menyatakan maslahat merupakan pemeliharaan terhadap tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan dari mahluk (manusia). Sementara menurut al-hufi, maslahat secara urf merupakan sebab yang membawa kepada maslahat (manfaat), sedangkan dalam hukum Islam, maslahat merupakan sebab yang membawa akibat bagi tercapainya tujuan Syar‘i (Allah) baik dalam bentuk ibadah maupun ma‘amalah.
Sedangkan menurut al-Ghazali, maslahat makna asalnya merupakan maslaha dalam hukum Islam adalah setiap hal yang di maksudkan untuk memelihara tujuan syariat yang
pada intinya terangkum dalam al-mabaadi‘ al-khamsyah yaitu perlindungan terhadap agama (hifzd al-din), jiwa (hifzd al-nafs) akal (hifzd –„aql), keturunan (hifdz al-nasl), dan harta (hifzd al- maal). Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara kelima hal tersebut disebut maslahat, dan setiap hal yang membuat hilangnya lima unsur ini disebut mafsadah.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan diatas, dapat dipahami bahwa yang dimaksud Maqashid Al-Syari‟ah adalah tujuan Allah menetapkan hukum-hukum untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia, sekaligus juga menghindari berbagai kerusakan, baik di dunia maupun akhirat. Lebih jauh dimaksud at-Thufi tentang al-maslaha di sini adalah al-muslaha yang sejalan dengan tujuan syara‘. Ia berbeda dengan maslaha mursalah yang dinisbahkan kepada xxxxxx Xxxxxx. Maslahah dalam pengertian at-Thufi lebih luas dari pada itu. Namun dalam hal ini, at-Thufi tidak membagi menjadi tiga tingkatan menjadi haruriat,hajiat dan tahsiniat. Dan hal lain yang membedakan Thufi dengan ulama lainnya adalah bahwa al-maslaha itu terbatas hanya pada hal
muamalah, bukan ibadah.35
35 Suansar Khatib, Konsep Maqashid Al-Syari`Ah: Perbandingan Antara Pemikiran Al-Ghazali Dan Al-Syathibi, Mizani: Wacana Hukum, Ekonomi dan Keagamaan Volume 5, No. 1, 2018
C. Perjanjian perkawinan menurut Hukum Positif di
Indonesia
Kata perjanjian sesuai di kamus besar bahasa Indonesia adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih berupa tulisan maupun lisan, yang mana terjadi kesepakatan diantara masing-masing akan menaati dari hasil yang disetujui yang ada dalam perikatan tersebut.36 Menurut KUHPerdata pasal 1313 perjanjian merupakan suatu kejadian yang mana satu pihak melakukan janji dengan orang lain atau yang mana dua orang atau dua pihak membuat janji mengerjakan atau tidak
melakukan hal-hal tertentu. Seperti yang diungkapkan oleh Subekti, kata ― perikatan ‖ dalam bukunya III KUHP mempunyai makna sangat banyak dari perikatan, yang mana hal tersebut mengatur keterkaitan antara aturan sepenuhnya bukan terdapat dari perikatan atau persetujuan bersama. Yaitu perjanjian yang muncul akibat dari penyimpangan terhadap ketentuan hukum dan perjanjian yang muncul akibat dari
pengerjaan keperluan pihak lain yang pada dasarnya bukan
36 xxxxx://xxxx.xxx.xx/xxxxxxxxxx diakses pada tanggal 23 April 2019 pada pukul 11.00
berlandaskan kepada perikatan. Buku III kebanyakan perjanjian merupakan yang muncul dari suatu perikatan.37
kemudian ditentukan di dalam Instruksi Presiden R.I Nomor 1 Tahun 1991 terkait publikasi dan penginformasian Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI), Terkait perikatan pernikahan, yang mana perjanjian pernikahan dalam hal yang menyangkut harta bersama terdapat di dalam Pasal 47
KHI telah menyampaikan bahwa perikatan pernikahan bukan hanya dalam lingkup harta bersama yang diperoleh sepanjang pernikahan, tetapi harta yang dibawa oleh masing-masing pihak. Mengenai hal demikian, Xxxxxxxxx menjelaskan bahwa perikatan tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah yaitu perjanjian pernikahan terhadap harta bersama, yang mana dibuatnya perjanjian tersebut bertujuan untuk menyatukan atau membagi kekayaan individu yang diperoleh sepanjang pernikahan berjalan, hal ini sama dengan ketentuan yang telah
disepakati kedua belah pihak.38
Para ahli juga menegaskan dalam penjelasan lain tentang pengertian yang lain tentang pernikahan, seperti
pedapat WJS. Poerwadarminta dalam Kamus Umum bahasa
37 Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta : Intermessa ), 122.
38 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta
Bersama, (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2012), 2.
Indonesia dalam Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, perjanjian mempunyai arti sebagai suatu kesepakatan (lisan atau tertulis) pembuatnya adalah kedua belah pihak atau lebih yang mana berjanji akan menaati serta mengikuti apa
yang tertera dalam persetujuan itu.39
Definisi perjanjian yang diungkapkan oleh Wirjono Podjodikoro dan Damanhuri, yaitu harta bersama yang diperoleh secara bersama oleh kedua pihak yang memiliki suatu hubungan hukum, yang mana satu pihak dianggap berjanji atau berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal tertentu, sedangkan apabila melanggar maka dapat
dituntut oleh pihak.40
Wirjono Projodikoro dan Xxxxxxxxx juga mengatakan pernikahan apabila dikatakan perikatan apabila seorang wanita dan seorang lelaki mempunyai kesepakatan dalam melangsungkan pernikahan satu sama lainnya, yang mana suami istri tersebut saling menyetujui akan menaati atura- aturan hukum yang berjalan menyangkut hak-hak dan
kewajiban masing-masing mempelai selama berlangsungnya
39 Chairuman Pasaribu dan Xxxxxxxxxx X. Lubis, Hukum
Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 1.
40 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta
Bersama, (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2012), 1.
kehidupan keluarga, dan terkait setrata sosial di masyarakat dari anak cucu serta keturunannya.41
Berhubung pengertian perjanjian pernikahan tidak ditentukan dengan cara eksplisit di dalam perundang- undangan, akan tetapi dengan cara implisit ditentukan di beberapa peraturan perundang-undangan. Berikut ini adalah hasil komparasi Dyah Ochtorina Susanti dalam Jurnal Studi
dan Penelitian Hukum Ulul Albab:42
Isi Perjanjian Kawin |
KUHPerdata |
UU Perkawinan |
Kompilasi Hukum Islam |
Mengatur tentang Persatuan Harta Kekayaan (Harta Bersama) |
Calon suami istri berhak menyiapkan beberapa penyimpang an dari peraturan undangundang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian tidak menyalahi tata susilaan. (Pasal 139) |
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungka n, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat |
Perjanjian perkawinan meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masingmasing sepanjang hal itu tidak berentangan dengan hukum Islam. |
41 Damanhuri, Segi-Segi Hukum..., 2.
42 Dyah Ochtorina Susanti, Perjanjian pernikahan Sebagai sarana dalam Perlindungan Hukum Bagi Pasangan Suami Istri (Perspektif
Maqashid Syari‟ah), Jurnal Studi dan Pemikiran Hukum Islam Ulul Albab, Vol. 1, No. 2, (2018), 12-13.
|
|
perkawinan... (Pasal 29) |
(Pasal 47 ayat 2) |
Perikatan dilaksanakan pra nikah |
Karena pengaruh ancaman pembatalan, setiap perikatan pernikahan harus disusun melalui akta notaris sebelum berlangsungnya perkawinan (Pasal 47) |
Pada waktu atau sebelum pernikahan dilaksanakan, keduanya atas kesepakatan bersama bisa mementuk perikatan tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan.... (Pasal 29 ayat 1) |
Pada waktu atau pra nikah kedua calon suami istri bisa membuat perikatan tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah tentang kedudukan harta dalam perkawinan. (Pasal 47 ayat 1) |
perikatan tidak bersebrangan dengan norma kesusilaan, agama |
Calon kedua mempelai mempunyai hak untuk menyediakan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang skitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian tidak menyalahi tata susilaan. (Pasal 139) |
Perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan. (Pasal 29 ayat 2) |
Kedua calon pasangan suami istri bisa mengadakan perikatan pernikahan dalam bentuk: 1. Taklik talak, dan 2. Perjanji an lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. |
|
|
|
(Pasal 45) |
Tabel 2.1 hasil komparasi Dyah Ochtorina Susanti
Tabel diatas dibuat oleh Dyah Ochtorina Susanti sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 yang telah merubah waktu perjanjian perkawinan dalam UU No 1 Tahun 1974 dari dilakukan sebelum perkawinan menjadi sebelum dan selama dalam ikatan perkawinan. Namun dari ketiga aturan diatas bisa diambil sebuah garis kesamaan bahwa seluruh aturan perudang- undangan tentang perjanjian pernikahan menentukan terkait kekayaan atau harta benda atau harta yang diperoleh bersama.
KUHPerdata mengaturan seperti dalam Pasal 119
KUHPerdata menjelaskan demi hukum ketika dilangsungkannya perkawinan mulai berlaku pengumpulan secara keseluruhan antara harta kekayaan pasangan suami istri. Sebagaimana pengumpulan yang dibuat sepanjang pernikahan berlansung tidak dapat dirubah atau dihapuskan dengan tidak adanya kesepakatan dari suami maupun istri. Maka dari itu, apabila ingin menyimpangi dari isi tentang penggabungan harta tersebut, maka kedua mempelai perlu menempuh jalan melalui perikatan pernikahan yang mana telah diatur pada Pasal 139
KUHPerdata.
D. Hukum Perjanjian Perkawinan sebelum dan sesudah putusan Mahkamah Konstitusi
Kebanyakan terjadinya perikatan pernikahan di Indonesia ini dibuat karena terselip harta serta kekayaan yang tidak seimbang antara kedua mempelai, maksudnya harta kekayaan yang lebih besar pada satu pihak daripada pihak lain. Tujuan dari pembuatan perjanjian perkawinan tersebut yaitu untuk melakukan penyimpangan dari apa yang sudah menjadi penjelasan ketentuan terkait harta kekayaan yang dipersatukan. Mereka bebas dalam menghasilkan ketentuan hukum yang
dikehendakinya atas harta kekayaan yang menjadi obyeknya.43
Perjanjian perkawinan masuk dalam regulasi perjanjian perdata. Untuk melihat perjanjian tersebut berlaku atau tidak berlakunya, perjanjiannya harus lengkap syarat rukunya. Terdapat empat syarat dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Adanya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian mengenai hal-hal pokok dalam
perjanjian atau perikatan, seperti dalam pasal 1320
43 Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta
Bersama, (Bandung: Xxxxxx Xxxx, 2007), 14.
KUHPerdata bahwa karena adanya kekhilafan yang didapatkan melalui pemaksaan atau tipuan maka kata sah tidak berlaku. Kesalahan yang bukan menyebabkan batalnya suatu perikatan yaitu terjadinya kesalahan terkait hakikat benda yang menjadi inti perjanjian. Serta batalnya perjanjian akibat tekanan yang dilakukan oleh orang pembuat perjanjian.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa semua pihak paham dalam mengadakan perjanjian terkecuali dinyatakan di undang-undang bahwa pihak atau orang tersebut tidak cakap. Pihak-pihak tadi dijelaskan di KUHPerdata Pasal
1330 adalah yang pertama, pihak yang membuat perjanjian belum mencapai dewasa, kedua pihak yang akan membuat perjanjian merupakan yang ditaruh dibawah pengampunan, ketiga pihak yang akan membuat perjanjian adalah wanita yang sudah menikah. Akan tetapi bagian ketiga ini telah dihapus dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 terkait pernikahan yang mencantumkan bahwa hak dan kedudukan suami–istri yaitu seimbang.
3. Suatu hal tertentu
Pada pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata menjelaskan ― cuma benda-benda yang bisa dijualbelikan saja yang bisa dijadikan inti suatu perikatan‖, sementara pasal 1333
KUHPerdata menyatakan isi perikatan pernikahan harus memiliki inti dari benda yang paling sedikit tidak akan menjadi masalah benda yang sedikit asalkan masih dapat dihitung atau di tentukan harganya.
4. Sesuatu yang diperbolehkan
Perjanjian mempunyai isi yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau tidak bersebrangan dengan norma kesusilaan atau ketertiban umum Pasal 1335 KUHPerdata memberikan ketentuan bahwa ―perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan hukum.‖
Syarat pertama dan kedua harus dapat dipenuhi oleh subyek hukum. Adapun yang disebut syarat obyektif adalah syarat ketiga dan keempat karena obyek perjanjian harus dapat memenuhi kedua syarat ini. Batalnya sebuah perjanjian dikarenakan tidak terpenuhinya syarat subyektif, yaitu bila mana ada permintaan untuk pembatalan. Serta syarat obyektif bilamana tidak terpenuhi maka perikatan perkawinan tersebut
batal karena hukum.44 Namun terdapat beberapa pengkhususan
pada perjanjian perkawinan. Adanya putusan MK No. 69/PUU-
44 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx-xxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxxxx/
diakses pada tanggal 12 Desember 2020 pukul 12.30 WIB
XIII/2015 berdampak pada perubahan pasal 29 UU No. 1 Th.
1974 menjadi:
a. Ketika pada saat, belum dilangsungkannya atau sepanjang ikatan pernikahan kedua mempelai atas kesepakatan kedua belah pihak bisa membuat permohonan perikatan secara tertulis yang dilegalkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, sesudah berlakunya isi tersebut juga berlaku kepada pihak ketiga selama pihak ketiga terlibat.
b. Perjanjian tersebut tidak bisa dilegalkan misalkan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum, agama dan kesusilaan.
c. Perjanjian tersebut dapat berlaku mulai awal pernikahan dilakukan, kecuali ditentukan waktu memulainya dalam perikatan perkawinan.
d. Sepanjang pernikahan berlangsung, perikatan pernikahan bisa mencangkup harta pernikahan atau perikatan perjanjian lainnya, perjanjian tersebut tidak bisa diganti atau dihapus, kecuali apabila terdapat kesepakatan dari semua pihak pembuat perikatan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak
merugikan pihak ketiga.45
45 Dikutib dari salinan Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015
Suatu perjanjian yang mempunyai kekuatan hukum di mana sebelumnya hanya bisa dilakukan sebelum perkawinan dimulai, saat ini bisa dilakukan baik sebelum perkawinan maupun selama dalam ikatan perkawinan.
Lutfiana dalam tesis di Dalamsarjana IAIN Ponorogo,
membuat sebagai berikut ini:46
Sebelum Perkawinan dimulai
Menyepakati poin-poin yang akan dijadikan sebagai dasar perjanjian perkawinan kedua belah pihak
Dilakukan dihadapan Dispenduk bagi non-muslim, dan KUA bagi yang muslim
Dispenduk dan KUA mengeluarkan akta perjanjian perkawinan dan melegalisasi
Surat perjanjian perkawinan mengikat kedua belah pihak maupun pihak-pihak yang diikutsertakan dalam perjanjian
Gambar 2.1 Alur pembuatan surat perjanjian perkawinan sebelum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-
XIII/2015
46 Lutfiana Mayasari, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum Perjanjian Perkawinan di Indonesia Dalam Putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015, Xxxxx, IAIN Ponorogo
Sebelum perkawinan dimulai ataupun selama dalam ikatan perkawinan
Menghadap ke notaris untuk menyepakati perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Notaris melakukan pengecekan terhadap isi perjanjian, kemudian mengeluarkan akta perjanjian perkawinan
akta dari notaris diajukan ke dispenduk bagi pasangan suami istri non muslim, dan ke KUA untuk pasangan suami istri beragama Islam
Dispenduk maupun KUA melakukan pengecekan terhadap substansi perjanjian. JIka isi perjanjian tidak melanggar norma dan aturan yang ada, dikeluarkanlah form legalisasi perjanjian perkawinan
akta perjanjian dinyatakan legal, dan mengikat kedua belah pihak dan juga pihak ketiga sekaligus.
Gambar 2.2 Alur pembuatan surat perjanjian perkawinan
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015 dalam bagan diatas tampak jelas bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 berimplikasi besar pada perubahan sistem regulasi hukum perdata di Indonesia. Mengingat bahwa sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final, dan mengikat, maka ketentuan ataupun peraturan tentang hal serupa yaitu perjanjian perkawinan, baik yang tertulis dalam Kompilasi Hukum
Islam,47 Hukum Perdata,48 maupun UU No 1 Tahun 197449
tidak berlaku.
47 Inpres Nomor 1 Tahun 1974 Tentang KompilasiHukum Islam pasal
47
48 Bab Ketujuh Pasal 139 sampai dengan Pasal 167 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata
49 Bab V Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berisikan satu pasal, yaitupasal 29. Sedangkan pengertian perjanjian perkawinanini tidak
Sedangkan berlaku surut atau tidaknya perjanjian perkawinan yang dilakukan dalam ikatan pernikahan ditentukan oleh kedua mempelai. Selanjutnya dianalisis oleh pihak notaris adakah kemungkinan merugikan pihak ketiga maupun kedua belah pihak. Yang selanjutnya setelah disepakati oleh kedua belah pihak, notaris mengeluarkan akta perjanjian perkawinan.
Berkaitan dengan pembuatan akta perjanjian pemisahan harta sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015, maka notarislah yang diberi wewenang untuk membuat akta perjanjian perkawinan. Karena bukan sebagai lembaga pemerintahan, maka tidak ada aturan baru yang dikeluarkan sebagai implikasi dari putusan tersebut. Artinya notaris langsung bisa mengimplementasikan putusan tersebut tanpa harus menunggu ada regulasi baru. Pedoman yang digunakan oleh notaris dalam menafsirkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ini adalah
etika profesi.50
diperoleh penjelasan, yang ada hanya pengaturan kapan perjanjian kawin itu dibuat, mengatur keabsahan, saat berlakunya, dan dapat diubahnya perjanjian itu
50 N.G Yudara, Pokok-pokok Pemikiran di Seputar Kedudukan dan Fungsi Notaris serta Akta Notaris Menurut Sistem Hukum Indonesia, Majalah Renvoi No. 10.34.III, (2006), 74.
Dalam pasal 29 UU No 1 Tahun 1974 dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 muncul klausul yang berkaitan dengan pelimpahan wewenang pada notariat yaitu “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”. Merujuk pada teori das doppelte rech stanilitz Xxxxx Xxxxx, putusan MK tersebut secara otomatis menghapus dan atau merubah ketentuan pasal
29 UU No 1 Tahun 1974.51
Notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang membuat akta otentik mengenai perbuatan, perjanjian, dan penetapan. Maka putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII/2015 telah tepat. Perjanjian perkawinan diberi kedudukan sebagai akta otentik seperti akta lainnya. Di mana sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dibuat di depan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil dengan diberi form khusus yang disediakan oleh pihat terkait. Kekuatan dari surat perjanjian tersebut sebatas pada pengaturan perjanjian kedua belah pihak yaitu suami dan istri. Dengan perubahan aturan
yang dibuat, maka akta perjanjian yang dibuat notaris tersebut
51 Lutfiana, Harmonisasi dan Sinkronisasi Hukum....89.
mempunyai kekuatan hukum dan dapat dipergunakan sebagai pernyataan dari suatu perbuatan hukum dan dipergunakan sebagai alat pembuktian.52
Pihak yang diikat oleh perjanjian hanya mengikat secara personal dan juga tidak mengikat kepada pihak-pihak yang lain yang tidak mau memberikan kesepakatannya. Dalam membuat perjanjian seseorang hanya dapat mewakili atau menjadi dirinya sendiri dan tidak bisa mewakili orang lain untuk membuat perjanjian. Perjanjian hanya dapat berlaku pada
mereka yang membuat perjanjian tersebut.53
E. Tinjauam Umum mengenai Harta Bersama dalam
Perkawinan
1. Harta Bersama dalam Hukum Islam
Harta bersama merupakan harta yang diperoleh dari jerih payah atau usaha dari kedua mempelai selama berlangsungnya pernikahan. Dalam ilmu tasawuf sesungguhnya manusia tidak mempunyai apa-apa semua yang dimiliki selama didunia hanyalah titipan belaka. Jadi dapat kita tarik sedikit kesimpulan menurut ilmu tasawuf manusia atau suami istri tidak mempunyai apa-apa. Maka tidak akan terjadi perjanjian
pernikahan. Akan tetapi dalam pembahasan ini kita di
52 Lutfiana, 52.
53 xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxx-xxxx-xxxxxxxxxx/, diakses pada 12
Desember 2020.
hadapkan oleh realita yang terjadi di masyarakat. Yang mana banyak suami istri yang bercerai setelahnya terdapat perselisihan mengenai harta bersama. Memang tidak ditentukan di dalam kajian fikih (hukum Islam) klasik tentang konsep harta gono-gini atau harta bersama. Fikih Islam klasik merupakan suatu hasil hukum yang disusun oleh para ulama klasik, pada masa sebelum modern. Para ulama tersebut mengartikan fikih Islam sesuai pandangan kepercayaan mereka bahwa itu sudah sama dengan hal-hal yang disampaikan oleh Xxxxxxxxxxx Xxxxxxxx XXX. Sesungguhnya harta gono-gini dapat diartikan suatu cakupan hukum yang masih belum dikaji, atau bisa dibilang sebagai cakupan kajian hukum belum ada yang membahas. karena, harta gono-gini mempunyai hal-hal yang dapat dikembangkan dan urgent untuk dibahas pada zaman modern ini. Fikih Islam klasik mempunyai kajian, isu- isu yang sering dibicarakan merupakan terkait permasalahan pembahasan nafkah dan hukum waris. Hal ini yang sudah menarik perhatian untuk membahas tentang kajian fikih Islam klasik ketika memandang permaslahan harta benda dalam
pernikahan.54
Meskipun demikian, berdasarkan beberapa analisis menyatakan bahwa sesungguhnya permasalahan Harta gono-
54 Zulfiqar Mokodompit, Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini Dihubungkan Dengan Hukum Islam, dalam jurnal Lex Administratum, Vol. III/No. 6/Ags/2015, 169.
gini tetap ada didalam kajian hukum Islam. Dalam melakukan analisis ini dilakukan dengan pendekatan ijtihad dan qiyas terhadap produk hukum Islam yang sudah ada sebagai sarana perbandingan.55
Dalam pandangan zahri hamid bahwa hukum Islam lebih
mengatur terkait terpisahnya antara harta kekayaan suami dan harta kekayaan istri selama yang berkehendak tidak menentukan hal-hal lain (hal-hal yang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan). Kelonggaran yang diberikan oleh Hukum Islam juga kepada mereka berdua untuk membuat perjanjian perkawinan sesuai dengan apa yang diinginkan kedua belah pihak, dan akhirnya mereka terikat secara hukum
melalui perjanjian tersebut.56
Hukum Islam memandang terkait konsep yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya memiliki dampak memudahkan dalam pemisahan mana yang termasuk harta kekayaan suami dan mana harta kekayaan istri, yang mana harta kekayaan bawaan suami dan mana harta kekayaan bawaan istri sebelum pernikahan, mana harta kekayaan
suami/istri yang didapatkan secara sendiri-sendiri selama
55 Hadikusumo Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Bandung
:Mandar Maju, 2007), 7.
56 Xxxxx Xxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia(Bina Cipta, 1999), 110.
perkawinan berlangsung, serta yang mana harta gono-gini yang didapat dengan cara bersama selama berlangsungnya sebuah perkawinan. Hal ini sangat berguna dalam hal pemisahan harta tersebut dalam memisahkan antara harta kekayaan suami atau harta kekayaan istri apabila terjadi perceraian dalam
perkawinan yang sudah mereka bangun.57
Ketentuan dalam hukum Islam di atas akan tetap dapat digunakan sampai berakhirnya sebuah pernikahan atau meninggal dunianya dari salah satu dari kedua belah pihak. Terkait harta warisan, pandangan dari hukum Islam bahwa warisan yang telah ditinggalkan oleh suami/istri dibagi sesuai peraturan pembagian dalam hukum pewarisan Islam. Terkait harta warisan yang akan dibagi yaitu hak milik dari masing- masing suami/istri yang sudah meninggal dunia, yaitu setelah dipisahkannya dengan harta kekayaan suami/istri yang masih hidup. Harta milik atau yang diperoleh istri tidak dijadikan satu dengan harta warisan yang harus dibagi. Bahkan, istri mempunyai hak untuk memiliki harta pribadinya sendiri, dan dirinya juga mempunyai hak dari bagian harta peninggalan
suaminya.58
57 Xxxxx Xxxxx, Ibid, hal.110-111
58 Xxxxx Xxxxx, Ibid, hal. 111
Hukum Islam mempunyai pendirian bahwa harta yang didapatkan oleh suami sepanjang perkawinan berlangsung maka beralih jadi hak suami, sementara istri hanya mempunyai hak terhadap nafkah/harta yang telah diberikan oleh suaminya. Akan tetapi, dalam Al Quran dan hadis harta kekayaan yang didapatkan oleh suami sepanjang berlangsungnya pernikahan seutuhnya menjadi hak oleh suami, dan istri hanya terbatas atas nafkah yang diberikan suaminya. Al Quran dan hadis juga tidak menjelaskan secara jelas bahwa harta benda yang didapat suami ketika selama pernikahan, maka dapat diartikan istri juga
mempunyai hak terhadap harta tersebut.59
Moh. Xxxxx Xxxxxxx membagi pandangan hukum Islam tentang harta gono-gini ke dalam dua kelompok sebagai berikut:
a. Kelompok yang memandang tidak adanya harta gono-gini dalam lembaga Islam kecuali dengan konsep syirkah. Pandangan ini tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami dan istri karena perkawinan. Harta kekayaan istri tetap menjadi milik istri dan dikuasai sepenuhnya. Xxxxxxxx pula, harta suami tetap menjadi milik suami dan
dikuasai sepenuhnya. Dalam pandangan kelompok ini, istri
59 Zulfiqar Mokodompit, Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini Dihubungkan Dengan Hukum Islam, dalam jurnal Lex Administratum, Vol. III/No. 6 (2015), 170.
tetap dianggap cakap bertindak meskipun tanpa bantuan suaminya dalam soal apa pun, termasuk dalam hal mengurus harta benda sehingga dianggap bahwa istri itu dapat melakukan segala perbuatan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
b. kelompok yang menganggap dengan adanya harta gono- gini di dalam hukum Islam. Selain menyetujui aturan yang berlaku dalam UU pernikahan bahwa harta gono-gini itu diakui dan diatur didalam hukum positif, kumpulan ini juga melihat aturan tentang harta gono-gini itu seperti dengan kehendak dan aspirasi hukum Islam. Harta gono-gini yang dimaksud merupakan harta yang didapatkan oleh pasangan suami istri selama berlangsungnya hubungan pernikahan mereka berlangsung dan atas usaha mereka berdua atau
usaha salah seorang dari mereka.60
2. Harta Bersama dalam Hukum Positif di Indonesia
Dasar hukum tentang harta gono gini dapat ditelusuri melalui Undang-undang dan peraturan berikut ini :61
a. Undang-undang perkawinan pasal 35 ayat 1 menjelaskan
bahwa sesuai tujuan dengan harta gono-gini ( harta
60 Xxxxx Xxxxxxx, Harta Gono Gini Mencari Formula Yang Adil Untuk
Perempuan (Jakarta:Swara Rahima 2006), 29-35
61 Xxxx Xxxxxxxx, Analisis Xxxxxxx Xxxxxxx Harta Bersama (Gono Gini) Dalam Perkawinan Menurut Pandangan Hukum Islam Dan Hukum Positif, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 00 Xx. 01 (2013), 653.
bersama) merupakan : ―Harta benda yang didapat sepanjang masa pernikahan ― maksudnya, harta kekayaan yang didapatkan sebelum terbentuknya suatu pernikahan tidak disebut sebagai harta gono-gini.
b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 119, dijelaskan bahwa ―Sejak saat berlangsungnya suatu pernikahan, maka sesuai aturan hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara kedua belah pihak yaitu suami istri, selama tentang hal itu tidak diadakan ketentuan - ketentuan lain dalam perjanjian pernikahan. Harta bersama itu, selama pernikahan berlangsung, tidak dapat dihapuskan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri ―
c. Kompilasi Hukum Islam (Inpres no. 1 tahun 1991) pasal 85 dsebutkan bahwa : ―Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri‖ Pasal ini telah mencantumkan adanya harta gono gini dalam sebuah perkawinan. Dengan ungkapan lain Kompilasi Hukum Islam (KHI) mendukung terhadap apa adanya persatuan harta dalam sebuah perkawinan (gono-gini), meskipun harta sudah menyatu, akan tetapi tidak menutup kemungkinan apabila ada sejumlah harta milik masing- masing pasangan, baik suami maupun istri.
d. Kompilasi Hukum Islam pasal 86 ayat 1 dan 2, kembali
dinyatakan bahwa ― pada dasarnya tidak ada percampuran
antara harta suami dan harta istri karena perkawinan― Ayat (1). Pada ayat (2) nya lebih lanjut ditegaskan bahwa pada dasarnya harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya., demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.
Harta bersama dalam perkawinan ada tiga macam sebagai berikut :
a. Harta gono gini
Sebagaimana telah dijelaskan, harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan . Berdasakan KHI pasal
91 ayat (1) harta gono gini bisa berupa benda berwujud dan tidak berwujud. Suami istri harus menjaga harta gono gini dengan penuh amanah, sebagaimana diatur dalam KHI pasal 89. ―Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri, maupun hartanya sendiri‖
b. Harta Bawaan Harta bawaan
adalah harta benda milik masing-masing suami dan istri yang diperoleh sebelum terjadinya perkawinan atau yang diperoleh sebagai warisan dan hadiah ―Tentang harta, Undang-undang Perkawinan pasal 35 ayat (2) mengatur, Harta bawaan masingmasing suami dan istri sertaharta benda yang diperoleh masingmasing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing
sepanjang parapihak tidak menentukan lain―. Berdasarkan ketentuan ini, suami dan istri berhak memiliki sepenuhnya harta bawaannya masing-masing, asalkan tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Pernyataan yang sama juga diperkuat dalam KHI pasal 87 ayat 1. Harta bawaan bukan termasuk dalam klasifikasi harta gono gini. Suami / istri berhak mempergunakan harta bawaannya masing- masing dan juga dapat melakukan perbuatan hukum terhadapnya. Dasarnya adalah UU Perkawinan pasal 36 ayat (2) , dan hal ini senada juga dinyatakan dalam KHI pasal 87 ayat (2). Berdasarkan ketentuan ini, harta bawaan yang dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan tidak bisa diotak atik oleh pasangannya yang lain. Harta bawaan bisa saja menjadi harta gono gini jika pasangan calon pengantin menentukan hal demikian dalam perjanjian perkawinan yang mereka buat, atau dengan kata lain perjanjian perkawinan yang mereka sepakati menentukan adanya peleburan (persatuan) antara harta bawaan dan harta gono gini.
c. Harta Perolehan
adalah harta benda yang hanya dimiliki secara pribadi oleh masing-masing pasangan (suami istri) setelah terjadinya ikatan perkawinan. Seperti halnya harta bawaan, harta ini juga menjadi milik pribadi masing-masing pasangan, baik suami maupun istri, sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian perkawinan. Dasarnya adalah KHI pasal 87 ayat
(2).62
654.
62Etty Rochaeti, Analisis Xxxxxxx Xxxxxxx Harta Bersama (Xxxx Xxxx),
64
BAB III
ARGUMENTASI HUKUM PEMISAHAN HARTA SUAMI ISTRI DALAM PUTUSAN PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 69/PUU-XIII/2015
A. Deskripsi Argumentasi Hukum Pemisahan Harta
Suami Istri dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015
Maraknya perceraian terjadi di Indonesia menyebabkan banyak terjadinya perselisihan mengenai harta bersama. Yang mana harta tersebut diperoleh selama pernikahan berlangsung. Sistem atau model mencari nafkah atau harta kekayaan dalam masyarakat Indonesia terdapat banyak model. Xxx yang mencari harta hanya suaminya saja ada pula hanya istrinya mencari harta sebagai seorang TKW, dan ada juga yang mencari secara bersama-sama. Hal ini apabila tidak ada pemisahan atau pembagian yang sudah disahkan dalam akta tertentu, maka akan menimbulkan banyak konflik. Bukan hanya masalah perceraian yang dihadapi oleh negara ini, akan tetapi masalah yang timbul akibat perselisihan dalam pembagian harta juga. Maka dari itu di Indonesia diadakan
terkait perjanjian pernikahan. Di Indonesia bukan merupakan
63
sesuatu yang terkenal atau dibuat suatu keharusan tentang apa yang disebut perjanjian perkawinan. Meski demikian, akan tetapi ada apresiasi yang harus diberikan kepada pemerintah sebagai pembuat Undang-Undang aquo, tetap mengkondisikan kebutuhan-kebutuhan terkait dengan perjanjian pernikahan. Di sis yang lain, penganut adat ketimuran sendiri tidak sepenuhnya mempertimbangkan terkait dalam hal ini. Menurutnya pembuatan perjanjian perkawinan justru dianggap sebagai bentuk yang bersifat matrealisitis. Padahal pada aspek yang lain, pembuatan perjanjian pernikahan merupakan suatu usaha dari pemerintah untuk menampung kebutuhan
masyarakat serta perkembangan hukum di kemudian hari. 63
Perkembangan zaman yang semakin pesat ini juga berpengaruh terhadap perubahan aturan mengenai perjanjian perkawinan. Melalui Putusan No. 69/PUU-XIII/2015 untuk mengubah ketentuan mengenai masa pembuatan perjanjian
perkawinan, pengakhirannya, serta masa berlakunya.
63Syaifullahi Maslul, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu- Xiii/2015 Ditinjau Dari Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia Dan Asas- Asas Pembentukan Perjanjian, Jurnal Mahkamah IAIM NU Metro, Vol. 1, No. 2, (2016), 409-424
Perubahan aturan tersebut dikeluarkan berdasarkan argumentasi hukum yang jelas dan tegas.64
Dalam salinan putusan MK Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-XIII/2015 dijelaskan bahwa hukum perkawinan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Hukum Perdata, di mana mengenai harta perkawinan berlaku penyatuan harta kekayaan yang bersifat milik bersama. Penyatuan atau medeegendom ini berlaku manakala terdapat suatu hubungan hukum antara keduanya. Ketentuan ini diatur dalam pasal 119 KUHPerdata yang berbunyi:
―Sejak saat dilangsungkannya perkawinan maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri‖.
Dengan adanya ikatan pernikahan maka akan terbentuk pembagian harta persatuan, sehingga harta kekayaan yang didapatkan oleh suami sebelum dan selama berlangsungnya pernikahan dengan dasar hukum maka menjadi harta isteri,
demikian pula sebaliknya;
64Argumentasi ini didapat penelitia dari Salinan putusan MK No
69/Puu-Xiii/2015
Apabila seorang warga negara Indonesia menikah dengan warga negara asing, seluruh harta kekayaan yang mereka miliki akan menjadi harta kekayaan bersama. Apabila dikaitkan dengan pasal 21 ayat 3 UUPA, penggalan klausula yang berbunyi : ‖orang luar negeri yang setelah ditetapkannya Undang-undang ini mendapatkan hak milik akibat percampuran harta pernikahan‖ menjadi tepat, karena semua harta yang ia miliki oleh warga negara Indonesia sengan dasar hukum akan menjadi harta bersama dengan warga negara
asing;‖
Ketentuan mengenai peraturan harta bersama didalam perdata yang lebih sering dikenal sebagai percampuran buat tersebut, kemudian berubah karena diundangkannya UUPA No
1 Tahun 1974. Di mana dalam aturan tersebut secara spesifik disebutkan mengenai ketentuan harta bersama, dan menjadi hukum nasional perkawinan. Dalam penutup UUPA disebutkan bahwa dengan adanya UUPA, maka ketentuan yang diatur pada aturan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku;
Perihal harta benda perkawinan, UUPA menetukan sebagai berikut:
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak
(2) Mengenai harta bawaan masing-mmasing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Pengertian ―harta bersama‖ khusunya menyangkut kepemilikan lahan dan tanah inilah yang seringkali menimbulkan problematika. Banyak pihak beranggapan bahwa karena menjadi harta bersama, maka penguasaan dan kepemilikan baik secara fisik maupu secara legal menjadi
―milik bersama‖. Sehingga akibatnya adalah, dalam sebuah perkawinan campuran meskipun kepemilikan lahan ada pada WNI, namun karena menikah dengan XXX sehingga berubah menjadi milik bersama WNA, maka tetap saja kepemilikan
lahan dianggap illegal dan menyalahi aturan UUPA. Yaitu aturan dalam pasal 21 ayat 3 UUPA yang menyatakan bahwa hanya WNI sajalah yang berhak untuk memiliki asset tanah dan bangunan baik berstatus HGB maupun SHM.
Tentunya hal ini akan berdampak pada hilangnya hak konstitusional seorang WNI untuk mempunyai tanah dengan status Hak Milik dan Hak Guna di Indonesia. Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka ahli dalam persidangan Mahkamah Konstitusi menyetujui untuk dikeluarkannya hak milik dan hak guna bangunan dari harta bersama oleh WNI yang melakukan perkawinan campuran.
Guna menengahi perdebatan tentang perjanjian perkawinan khususnya dalam perjanjian pemisahan harta, maka perlu dilakukan analisis menggunakan perspektif maqashid al-syari'ah. Tujuan ditetapkannya suatu aturan atau yang sering disebut dengan pengertian maqashid al-syari'ah adalah suatu konsep penting dalam pembahasan di dalam hukum Islam. Oleh karena itu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para pemegang teori hukum menjadikan maqashid al- syari'ah sebagai aturan yang sangat perlu dipahami oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-syari'ah merupakan sebagai alat untuk menghasilkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan,
atau mengambil kemaslahatan dan menolak madharat. Makna yang seimbang dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena pemberlakuan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.65
Pembahasan mengenai maqashid al-syari'ah sangatlah
luas sekali. Untuk analisis pertama, penulis akan menggunakan pendapat Xxxx xx-xxxxxxx dan mengkorelasikan dengan hukum perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan. Dalam tulisannya Xxxx xx- Xxxxxxx menyatakan, bahwa kebutuhan manusia yang utama mencakup tiga hal penting, yaitu dharury, hajy dan tahsiny. Yang pertama adalah pemenuhan kebutuhan pokok yang mencakup lima hal penting, hifdz ad-din ( memelihara agama ), hifdz annafs (memelihara jiwa), hifdz al- aql ( memelihara akal), hifdz al-mal (memelahara hart), hifdz
al-irdl (memelihara kehormatan ).66
65 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syari'ah Dalam Hukum Islam, jurnal Sultan Agung Vol XIIV No. 118 Juni – Agustus 2009, 118.
66 Xxxxxx Xxxxx, Maqashid Al-Syari‟ah Dan Relevansinya Dalam
Konteks Kekinian, dalam xxxxx://xxxxx.xxxxxx.xxx/xxxxx/xxxxxxxxxxxx/000000-xxxxxxxx-xx-xxxxxxx- dan-relevansinya-dal-b1cebd53.pdf, diakses pada 20 Desember 2020.
B. Argumentasi Hukum Pemisahan Harta Suami Istri Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU- XIII/2015 perspektifTeori Maqashid al-syari'ah Xxxxxx Xxxx
Kajian Maqasid al-shari'ah dikembangkan Xxxxxx Xxxx melalui karyanya yang berjudul Maqasid al-shari'ah as philosophy of Islamic law: a Sistem Approach yang ingin mendobrak paradigma lama tertutupnya pintu ijtihad. Karya fenomenal ini merupakan sebuah pendekatan kekinian yang lahir dari alam modern dan mencoba menjawab tantangan umat Islam yang berkenaan dengan isu- isu kontemporer. Xxxxxx Xxxx menjadikan teori sistem sebagai pendekatan terhadap hukum Islam. Teori dan filsafat sistem muncul pada paruh kedua abad ke 20 M sebagai anti- tesis bagi filsafat modernis maupun postmodernis. Para teoritikus dan filsuf sistem menolak pandangan 'reduksionis' modernis bahwa seluruh pengalaman manusia dapat dianalisis menjadi sebab akibat. Di sisi lain, filsafat sistem juga menolak irasionalitas dan dekonstruksi postmodernis,
yang dianggapnya sebagai 'meta-narasi' postmodernis.67
67 Jasser Auda, Membumikan Hukum Islam Melalui Maqasid Syariah
(Bandung: Mizan,2015), hlm. 70.
Untuk mengaplikasikan teori sistem sebagai pendekatan dalam hukum Islam, Ada enam fitur sistem yang dioptimalkan Xxxxxx Xxxx sebagai pisau analisis, yaitu cognitive nature (watak kognisi), wholeness (keseluruhan), openness (keterbukaan), interrelated hierarchy, multi dimentionality dan purposefulness.
Xxxxxx mencoba membagi hierarki Maqasid ke dalam 3 kategori, yaitu: Pertama; Maqasid al-'Ammah (General Maqasid) adalah Maqasid yang mencakup seluruh maslahah yang terdapat dalam perilaku tasyri' yang bersifat universal seperti keadilan, persamaan, toleransi, kemudahan, termasuk aspek Dharuriyyat dalam Maqasid Klasik. Kedua; Maqasid Khassah (Spesific Maqasid) yaitu Maqasid yang terkait dengan maslahah yang ada dalam persoalan tertentu, misalnya tidak boleh menyakiti perempuan dalam ruang lingkup keluarga, dan tidak diperbolehkannya menipu dalam perdagangan dengan cara apa pun. Ketiga; Maqasid Juz'iyyah (Parcial Maqasid) yaitu Maqasid yang paling inti dalam suatu peristiwa hukum. Maslahah ini juga disebut hikmah atau rahasia. Contoh Maqasid ini adalah kebutuhan akan aspek kejujuran dan kuatnya ingatan dalam persaksian. Dalam kasus kriminal modern bisa jadi cukup dengan satu saksi yang adil dan tidak harus ada dua saksi asalkan yang
bersangkutan mampu menunjukkan sikap jujur dan data yang valid. Bangunan maqasid tersebut dapat digambarkan sebagaimana berikut:
Maqasid Umum (al Ammah) Maqasid Parsial (juz'iyyah) Maqasid Khusus (Khassah)
Ketiga kategori maqasid asy-syari'ah tersebut harus dilihat secara holistik, tidak terpisah-pisah dan bersifat hirarkis sebagaimana dalam teori maqasid klasik. Kesatuan maqasid ini sepenuhnya harus dilihat dalam spektrum atau dimensi yang lebih luas. Inilah pintu masuk untuk melakukan pembaharuan dalam merespon persoalan- persoalan konteks
zaman kekinian.68
Menurut Xxxxxx Xxxx, agar syariah Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemasahatan
umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan
68 Xxxxxxxx Xxxxxx, Pendekatan Sistem Jasser Auda terhadap Hukum
Islam : ke arah fiqh Post-Postmodernisme (Lampung: jurnal Kalam, volume
6, 2012), h 52.
zaman kekinian, maka cakupan dan dimenasi teori maqasid seperti yang telah dikembangkan pada hukum Islam klasik harus diperluas. Yang semula terbatas pada kemaslahan individu, harus diperluas dimensinya mencakup wilayah yang lebih umum; dari wilayah individu menjadi wilayah masyarakat atau umat manusia dengan segala tingkatannya, selanjutnya dijabarkan sebagai berikut:
Hifdz an-Din Hifdz al-Huriyyah al-I'tiqad
Perlindungan Agama Perlindungan Kebasan berkeyakinan
Hifdz al-Nafs Hifdz al-huquq al-Insan
Perlindungan jiwa Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hifdz al-Mal Perwujudan Solidaritas Sosial
Perlindungan Harta
Hifdz al-Aql Mengembangkan Ilmu
Perlindungan Akal dan Pengetahuan
berfikir ilmiah
Hifdz al-Nasl Hifdz al-usrah Perlindungan Perlindungan Keluarga Keturunan
1. Hifdz ad-Din (Memelihara Agama)
Agama merupakan sesuatu yang pokok di dunia ini. Karena seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur‘an manusia dan jin diciptakan ke dunia hanya untuk menyembah kepada Allah dalam arti manusia dan jin diwajibkan beragama. Selain itu dapat juga disimpulkan kehidupan tanpa adanya agama maka sia-sia. Manusia tanpa agama tidak dianggap jerih payahnya di dunia ini. Tanpa agama juga manusia akan mendapatkan kemadlaratan atau siksaan di akhirat. Maka dari itu para ulama menafsirkan memelihara agama merupakan kebutuhan manusia yang utama yang harus dipenuhi adalah beragama, karena hanya agamalah yang dapat mengendalikan nurani manusia. Sesuai dengan perintah Allah untuk tetap berusaha menegakkan agama dijelaskan dalam al-qur‘an (QS. Al-Syura :
13). Agama memang harus ditegakkan karena agamalah yang merupakan tempatnya akidah, ibadah dan muamalah yang telah disyari‘atkan oleh Allah SWT untuk menentukan hubungan antara manusia dengan Allah SWT, dan hubungan manusia antar sesamanya. Perintah syariat dari Allah SWT mewujudkan, mengukuhkan, dan mendirikannya melalui cara mewajibkan manusia untuk melakukan lima rukun Islam yaitu syahadah, mengerjakan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan melakukan haji bagi orang yang mampu.
Kewajiban yang diperintahkan dari Allah SWT yaitu manusia mengajak untuk beragama dengan hikmah dan nasihat yang baik. Perintah dari Allah SWT yang lain juga untuk menjaga agama, dengan demikian terwujudlah suatu konsep jihad demi melawan siapa saja yang akan atau berusaha merusak agama Islam. Begitu juga konsekwensi murtad, penyesatan, dan lain-
lain.69
Memelihara (menjaga) agama berdasarkan kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan :70
a. melindungi (menjaga) agama dalam tingkat kebutuhan primer (al-dharuriyyah), yaitu melindungi dan mengerjakan kewajiban keagamaan yang termasuk tingkat kebutuhan primer, misal kewajiban mengerjakan lima rukun Islam yaitu syahadah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah haji bagi orang yang mampu, apabila kewajiban tersebut tidak ditunaikan atau diabaikan maka terancamlah eksistensi agamanya.
b. melindungi (menjaga) agama kepada tingkat kebutuhan
sekunder (al-hajiyyah), yaitu melindungi dan melaksanakan
00 Xxxxxxxxxx, Xxxxxxxxxxxx Al-Maqashid Al-Khamsah (Agama, Jiwa, Akal, Keturunan Dan Harta) Dan Penerapannya Dalam Maslahah, jurnal Al-Qishthu Volume 13, Nomor 1 (2015), 21.
70Ibid, 26.
ketentuan agama, dengan tujuan menyimpang dari kesulitan, seperti mengerjakan shalat jama' dan qashar bagi orang yang sedang dalam bepergian (musafir), apabila hal ini tidak ditunaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya mempersulit orang yang akan mengerjakannya.
c. melindungi (menjaga) agama kepada tingkat al- tahsiniyyah, yaitu mengikuti segala arahan atau petunjuk agama guna menjunjung tinggi harga diri sebagai manusia, serta melengkapi dengan melaksanakan kewajiban- kewajibannya kepada Allah SWT, seperti halnya menutup aurat, baik di dalam shalat maupun di luar shalat, mensucikan badan, pakaian dan tempat, tidak mungkin apabila kewajibannya tidak dikerjakan, maka hal itu tidak akan mengancam eksistensi agama, dan juga tidak mempersulit orang yang melakukannya.
Berdasarkan penjelasan tentang memelihara (menjaga) agama berdasarkan kepentingannya, maka argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 masuk dalam kebutuhan peringkat al-tahsiniyyah. Perjanjian pemisahan harta dilakukan sebagai salah satu upaya menjalankan sesuai arahan agama guna menjunjung tinggi harga diri manusia, sekaligus
menyempurnakan dalam pelaksanaan kewajibannya kepada Allah SWT. Martabat yang dimaksud adalah dengan menghindari kemungkinan terjadinya konflik dalam suatu perkawinan, jika perkawinan tersebut berakhir dengan perceraian.
Beberapa akibat hukum yang diakibatkan dari perceraian, salah satunya adalah berkaitan dengan harta kekayaan bersama dalam selama berlangsungnya pernikahan. Adanya harta bersama pada saat terjadinya perkawinan secara berlangsung sedangkan harta bawaan didapat dari sebelum berlangsungnya pernikahan. Namun pada kenyataannya di Indonesia banyak keluarga-keluarga yang tidak mencatat terkait harta bersama yang telah dimilikinya. Pemisahan harta bawaan dan harta bersama itu masih jelas pembagiannya pada perkawinan yang masih baru, akan tetapi harta bawaan maupun harta bersama itu sudah sulit untuk dijelaskan secara terperinci
satu persatu pada usia perkawinan yang sudah tua.71
Perselisihan pembagian harta bersama setelah perceraian bisa diselesaikan menggunakan sistem
kekeluargaan. Namun jika sistem kekeluargaan tidak dapat
71 Fendra Yuli Hardiyanto, Pembagian Harta Bersama Setelah Perceraian Di Kecamatan Rengat Kabupaten Indragiri Hulu (Studi Kasus Terhadap Putusan Pengadilan Agama Rengat Nomor : 062/Pdt.G/2009/PA Rengat), JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 1 (2015), hal 11.
disepakati maka beralih pada kewenangan dari Pengadilan Agama dan perkara ini bisa diajukan setelah perceraian terjadi dan juga bisa diajukan bersamaan dengan gugatan/permohonan perceraian (akumulasi). Jika suatu perkara hukum sudah sampai pada ranah pengadilan, maka tentunya akan ada implikasi panjang. Yaitu membutuhkan saksi, dan melakukan pembagian harta bersama berdasarkan pengakuan yang tak jarang juga berujung pada konflik.
Dengan adanya perjanjian pemisahan harta, maka harta bersama yang diperoleh dalam masa perkawinan baik penerimaan itu lewat perantara isteri maupun lewat perantara suami akan langsung terbagi seperti harta pribadi dan harta bawaan. Harta bersama ini diperoleh sebagai ―hasil karya‖ dari suami isteri, atau suami atau isteri dalam kaitan dengan perkawinan. Dengan adanya perjanjian pemisahan harta, maka klausul harta suami istri akan otomatis berubah menjadi harta yang dihasilkan suami dan harta yang dihasilkan istri.
Oleh karena itu, argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no.
69/PUU-XIII/2015 dalam perkawinan ini sesuai dengan tujuan memelihara (menjaga) agama di tingkat al-tahsiniyyah. Jika perjanjian perkawinan tersebut tidak dilaksanakan karena tidak mungkin, maka tidak akan mempengaruhi terhadap kebaikan
eksistensi agama, dan jika dilakukan tidak mempersungkar orang yang melakukannya. Sebaliknya, justru mempermudah seseorang saat perceraian terpaksa harus terjadi.
Perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan juga bertujuan untuk menghasilkan pola relasi yang baik dalam mengerjakan agama, bagi suami istri. Tidak hanya dalam perceraian saja, namun perjanjian pemisahan harta ini juga mampu menciptakan ketenangan dalam rumah tangga yang harmonis karena dapat menjauhkan dari sikap suudzon antar pasangan. Dengan demikian hak ini digunakan secara tidak langsung untuk menciptakan situasi kondusif dalam rumah tangga untuk mengejewantahkan keberaagamaan seseorang. Sesuai dengan konsep Hifdz ad-din (memelihara agama) menjadi haq attadayyun (hak Beragama) yaitu hak untuk menjalankan ibadah dan mengerjakan ajaran-ajaran agama.
2. Memelihara Jiwa (al-nafs).
Selain memelihara agama yang seperti dijelaskan diatas tadi, memelihara jiwa juga sangat diharuskan. Karena agama tanpa adanya jiwa maka tidak dapat melaksanakannya. Meskipun manusia yang tanpa jiwa tidak akan diminta pertanggungjawabannya, karena tidak dianggap hidup. Sementara apabila dibandingkan dengan mempunyai jiwa
tetapi tidak beragama akan mendapatkan siksa di akhirat. Sementara agama tanpa jiwa maka tidak mendapatkan apa-apa. Dengan itu maka para ulama klasik menggolongkan menjaga jiwa menjadi nomor dua setelah menjaga agama. Menjaga (Memelihara) jiwa : diri manusia (nyawa): perintah dari agama Islam berupa mensyari‘atkan supaya mewujudkan serta melestarikan ras manusia dengan jalan perkawinan yang sah menurut hukum Islam serta dapat melanjutkan keturunan yang baik. Hal tersebut bertujuan agar bisa menjaga dan menjamin kehidupan manusia, kewajiban orang yang beragama Islam
secara pasti untuk makan, minum, pakaian dan lain-lain.72
Hifdz an-nafs ( menjaga jiwa ) menjadi haq al-hayat ( hak hidup ). Hak ini tidak hanya mempunyai makna sekedar sebagai alat untuk membela diri. Hak ini seyogyanya diarahkan sebagai motivasi untuk menjadikan kualitas kehidupan yang semakin baik khususnya bagi diri dan umumnya bagi masyarakat. Seharusnya adanya hak hidup dapat diorientasikan pada perbaikan mutu kehidupan manusia seutuhnya, bukan
secara parsial.73
72 Afrida, 22.
73 Xxxxxx Xxxxx, 9.
Terkait memelihara (menjaga) jiwa sesuai kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan :74
a) melindungi (menjaga) jiwa dalam tingkat kebutuhan primer (al-dharuriyyah), yaitu dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup maka manusia diharuskan makan, akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia kalau kebutuhan pokok tersebut diabaikan.
b) melindungi (menjaga) jiwa dalam tingkat kebutuhan sekunder (al-hajiyyah), misal dibolehkan berburu serta menikmati makanan-makanan yang halal dan lezat, apabila hal ini tidak dilakukan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya akan mempersulit hidupnya.
c) melindungi (menjaga) jiwa dalam peringkat al-tahsiniyyah, seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan atau etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
Argumentasi hukum pemisahan harta suami istri dalam putusan putusan mahkamah konstitusi no. 69/PUU- XIII/2015dalam perkawinan berdasarkan kepentingannya
dalam perspektif hifdz an-nafs ( menjaga jiwa ) masuk dalam
74Afrida, 26.
kategori peringkat kebutuhan sekunder (al-hajiyyah). Jika perjanjian pemisahan harta tidak dilakukan oleh pasangan suami istri, maka eksistensi manusia tidak akan terganggu. Namun jika tidak dilakukan, maka akan mempersulit suami istri ketika berpisah atau bercerai. Kesulitan akan dirasakan ketika perceraian terjadi dan tidak adanya dasar hukum yang dijadikan acuan kecuali persidangan.
Dengan terbuatnya sebuah perjanjian perkawinan, adanya kesempatan yang terbuka dari suami isteri. Tanpa harus merugikan salah satu pihak mereka juga dapat berbagi rasa sesuai keinginan–keinginan yang telah disepakati. Apabila melihat dari status hukumnya, perjanjian perkawinan itu mempunyai sifat dan hukumnya tidak wajib dan juga tidak diharamkan. Artinya, perjanjian perkawinan itu bersifat dan hukumnya adalah mubah (boleh-boleh saja diadakan). Akan tetapi dengan terbuatnya perjanjian pernikahan, hubungan suami isteri akan merasa aman karena apabila suatu saat hubungan kekeluargaan mereka ternyata ‖retak‖ bahkan berakhir pada perceraian, maka ada sesuatu yang dapat
dijadikan pegangan dan dasar hukum.75
75 Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum
Nasional, (Jakarta : Varia Peradilan, 2008), 273.
Tanpa adanya perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan maka tidak ada perlindungan hukum terhadap kekayaan dari kedua belah pihak, hal mana UU Perkawinan tidak menentukan terkait tujuan Perjanjian Perkawinan, semuanya diberikan sepenuhnya kepada pasangan suami istri.
Kesulitan lain yang mungkin dialami oleh pasangan suami istri yang tidak melakukan perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan adalah masalah hutang piutang. Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah hutang yang akan tetap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum pernikahan, selama pernikahan, setelah perceraian bahkan kematian. Ketika perceraian terjadi, kedua belah pihak akan membebankan hutang bersama kesalah satu pihak.
3. Memelihara Akal (al-aql).
Yang menempati urutan ke tiga yaitu menjaga akal. Menurut sebagian ulama menjaga akal di lakukan setelah memelihara agama dan jiwa karena manusia yang memiliki jiwa dan agama akan tetapi tidak berakal maka semua amalnya tidak dianggap atau tidak dipertanggungjawabkan. Sementara apabila manusia berakal akan tetapi tidak mempunyai agama
maka mereka akan mendapatkan siksa. Hifdz al-aql (menjaga akal), yaitu haq al-ta‟lim (hak mendapatkan pelayanan pendidikan). Dengan tujuan menghargai akal bukan berarti hanya sebatas memelihara kemampuan akal supaya tidak gila ataupun mabuk. Maksud dari penjagaan akal merupakan terpenuhinya hak intelektual bagi masing-masing individu yang berada dalam masyarakat. Termasuk dalam hal ini merupakan adanya kejadian pencurian terhadap karya, hak cipta dan kreasi seseorang. Hal tersebut merupakan bentuk dari perlindungan terhadap akal, seperti jaminan keamanan untuk karya-karya
intelektual.76
Terkait pemberian Allah swt tentang perlindungan akal untuk manusia, diwajibkan menuntut ilmu sebagai cara berbuat segala sesuatu untuk menjaga keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya.77 Pemberian layanan pendidikan dan insentif lain yang mengembangkan fungsi merupakan salah satu bentuk peningkatan intelektualitas, efektivitas dan kreativitas pikiran dan juga mencegah dari hal-hal yang dapat
merusaknya serta menghalangi tujuannya yang seharusnya
76 Xxxxxx Xxxxx, 9.
77 Xxxxxxxxxxx,. Ushul Fiqh. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008), 21.
tidak dilakukan seperti minuman keras dan memepercayai takhayul.78
Dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan tentang memelihara (menjaga) akal berdasarkan kepentingannya:79
a) melindungi (menjaga) akal dalam rangka pemenuhan kebutuhan primer (al-dharuriyyah), seperti diharamkan meminum minuman keras (al-khamar), jika ketentuan ini tidak dilaksanakan, maka akibatnya akan terancamnya eksistensi akal.
b) melindungi (menjaga) akal dalam tingkat kebutuhan sekunder (al-hajiyyah), seperti anjuran untuk mencari ilmu pengetahuan yang setinggi-tingginya, apabila hal ini tidak dilaksanakan, tidak juga merusak akal, tetapi akan mempersulit diri seseorang dalam bermasyarakat serta menjalani kehidupan dunia akhirat, dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
c) melindungi (menjaga) akal dalam tingkat al-tahsiniyyah, seperti halnya menjauhkan diri dari berbuat khayalan
kosong belaka atau mendengarkan sesuatu yang tidak ada
78 Xxxxxxxx, X. Maqasid al-Shari‟ah as Framework for Economic Develompment Theorization. International Journal of Islamic Economics and Finance Studies, (2016), 1-47.
79Afrida, 27.
gunanya, akan tetapi hal ini berkaitan erat dengan etika, hal ini tidak akan mengancam eksistensi akal secara langsung.
Menurut agama Islam syarat dalam melangsungkan perkawinan atau perjanjian pernikahan, bukan menentukan terkait masalah harta bersama secara tegas, baik Al-Qur‘ān ataupun Al-Ḥadīth, karena yang diintruksikan guna mencari rizki untuk nafkah secara jelas adalah suami, bukan istri, sementara itu istri mempunyai hak untuk mendapatkan nafkah dari sang suami, dan istri bertugas fokus dalam mengatur masalah urusan rumah tangga saja. Sedangkan dalam perjanjian perkawinan ada pemisahan harta antara suami dan istri, artinya pihak istri juga menjadi tulang punggung yang mencari nafkah.
Masyarakat Indonesia sebagai masyarakat dengan adat ketimuran, menganggap perjanjian sebagai perbuatan yang tidak etis. Menyepakati sesuatu yang berkaitan dengan materi, mencegah konflik, dan bahkan membahas perceraian, padahal maghligai perkawinan belum dijalani. Islam tentunya tidak mengajarkan seperti itu, tidak ada aturan perjanjian pemisahan harta dalam Islam, dan tidak ada membicarakan masalah keuangan sebelum menikah.
Namun masyarakat saat ini semakin berubah. Pernikahan tidak hanya masalah ikatan antara suami dan istri
namun juga mencakup sebuah komitmen keuangan dalam rumah tangga. Tak jarang suami dan istri yang membawa harta bawaan masing-masing, dan setelah pernikahan berlangsung dua-duanya berpenghasilan. perkawinan di Indonesia perlu dimusyawarahkan oleh wali atau kedua orang tua, sehingga dalam pembentukan point-point pada perjanjian yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, pada akhirnya menyangkut kepada keluarga antara kedua calon tersebut.
Berhubung dengan maraknya praktek-praktek perceraian yang terjadi dimacam-macam pengadilan di Indonesia, akhirnya warga membutuhkan suatu perjanjian dan kesepakatan.
Maka aturan yang diberlakukan di Indonesia baik dalam urusan harta bersama dan perjanjian perkawinan adalah pilihan yang tepat karena sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia. Pendapat dari Xxxxxx Xxxxxx yang dikutip oleh Xxxxxxx, mengungkapkan bahwa terdapat dua sudut pandang yang telah ditemukan di masyarakat tentang harta yang diperoleh suami-istri ketika pernikahan berlangsung. Pandapat itu didominasi dan berdasarkan pada
adat kebiasaan setempat, dan tidak didasarkan pada Syari‟āh
Islām.80
Pertama, masyarakat-masyarakat Islam yang telah membagi hak milik suami dan istri. Pada konsep ini tidak didapati harta milik bersama suami dan istri. Harta yang diperoleh suami selama pernikahan merupakan harta suami, tidak dianggap juga sebagai harta bersama (istri ikut memiliki). Dan apabila istri mempunyai penghasilan, maka hartanya akan dipisahkan dengan harta yang diperoleh suami.
Kedua, umat Islam yang sudah menggabungkan harta yang diperoleh suami dan harta yang diperoleh istri. Dalam hal ini mereka menganggap akad nikah terselipi dari persetujuan kongsi /shirkah. Maka ketika nikah sudah sah maka harta yang diperoleh, dijadikan sebagai harta milik bersama. tidak saling memperhitungkan banyak yang mana yang memperoleh harta tersebut. Dan juga tidak memeperhitungkan terkait siapa yang banyak mengeluarkan harta untuk mengurus rumah tangga. Apabila harta tersebut terdaftar maka tidak mempersoalkan terkait atas nama siapa harta tersebut. Jika terjadi perceraian,
maka keduanya mendapatkan harta tersebut sesuai pembagian
80 Ru‘fah Abdullah, Perjanjian Dalam Perkawinan Perspektif Hukum
Islam Dan Perundang-Undangan, jurnal Studi Gender dan Anak Vol. 3 No.
1, (2016), 36.
masing-masing. Begitu juga apabila salah satu dari suami atau istri itu meninggal dunia, maka harta tersebut akan dibagi menurut porsinya, baru setelahnya diselesaikan pembagian harta warisan almarhum dan hal-hal yang terkait dengan harta
warisan tersebut.81
Di Indonesia mempunyai hukum adat yang memiliki gagasan, kesatuan kekayaan tidaklah dari seluruh kekayaan suami-istri, satuan harta hanyalah kekayaan yang diperoleh bersama sepanjang masa pernikahan saja. Adapun terkait kekayaan yang didapatkan oleh masing-masing pihak selama pernikahan dan harta warisan yang ia dapatkan sepanjang
pernikahan, akan tetap menjadi kekayaan milik mereka.82
Melihat fakta dan tradisi yang terjadi di masyarakat Indonesia, maka perjanjian pemisahan harta dalam perkawinan sesuai dengan tujuan memelihara akal (al-aql) dalam maqashid al-syari'ah. Karena di dalam regulasi perjanjian perkawinan tersebut terdapat upaya untuk penjagaan terhadap akal, dan jaminan keamanan.
Sebuah perjanjian perkawinan dilakukan secara
prosedural dan dibuktikan dengan sebuah akad yang legal.
81 X.X.Xxxxxxx, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 122-123.
82 Ismuha, Pencarian Harta Bersama Suami Istri, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1965), 16.
Dibuat dengan proses yang panjang, diawali dengan pengajuan di notaris, kemudian pengesahan di dispenducapil bagi non muslim, dan pengesahan di KUA bagi yang beragama Islam. Akad yang tertulis di dalampun ditulis sedemikian rupa dan tidak bertentangan dengan etika agama dan sosial yang berlaku di Indonesia.
Peningkatan intelektualitas dan kualitas regulasi terus dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Salah