PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN REGULER PERIODE II TAHUN ANGGARAN 2021
PERJANJIAN PELAKSANAAN PENELITIAN REGULER PERIODE II TAHUN ANGGARAN 2021
NOMOR : 1550-Int-KLPPM/UNTAR/X/2021
Pada hari ini Selasa tanggal 05 bulan Oktober tahun 2021 yang bertanda tangan di bawah ini:
1. Nama : Xxx Xxx Xxxx, Ph.D.
Jabatan : Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Alamat : Letjen X. Xxxxxx Xx.0, Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 00000 selanjutnya disebut Pihak Pertama
2. Nama : Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA. Jabatan : Dosen Tetap
Fakultas: Hukum
Alamat : Letjen X. Xxxxxx No. 0, Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx, 00000
Bertindak untuk diri sendiri dan atas nama anggota pelaksana penelitian : Nama : Xxxx. Xx. Xxxx xxxxxx, S.H., M.M., X.Xx.
Jabatan : Dosen Tetap
Serta atas nama asisten pelaksanaan penelitian :
1. Nama (NIM) : Xxxxxx Xxxxxx (205180001) Fakultas : Hukum
2. Xxxx (NIM) : Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx (205180089) Fakultas : Hukum
3. Nama (NIM) : Shrishti (205190263) Fakultas : Hukum
4. Xxxx (NIM) : Xxxxxxx Xxxx Xxxxxx (205200013)
Fakultas : Hukum selanjutnya disebut Pihak Kedua
Pasal 1
(1). Pihak Pertama menugaskan Pihak Kedua untuk melaksanakan Penelitian atas nama Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Tarumanagara dengan judul “Interpretasi Hukum Terkait Pasal 28 Ayat (2) Khususnya Frasa Antar Golongan dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.
(2). Biaya pelaksanaan penelitian sebagaimana dimaksud ayat (1) di atas dibebankan kepada Pihak Pertama melalui anggaran Universitas Tarumanagara.
(3). Besaran biaya pelaksanaan yang diberikan kepada Pihak Kedua sebesar Rp 11.000.000,- (sebelas juta rupiah), diberikan dalam 2 (dua) tahap masing-masing sebesar 50%.
(4). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap I akan diberikan setelah penandatanganan Perjanjian Pelaksanaan Penelitian.
(5). Pencairan biaya pelaksanaan Tahap II akan diberikan setelah Pihak Kedua
melaksanakan Penelitian, mengumpulkan:
a. Hard copy berupa laporan akhir sebanyak 5 (lima) eksemplar, logbook 1(satu) eksemplar, laporan pertanggungjawaban keuangan sebanyak 1 (satu) eksemplar, luaran penelitian; dan
b. Softcopy laporan akhir, logbook, laporan pertanggungjawaban keuangan, dan luaran penelitian.
(6). Rincian biaya pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terlampir dalam Lampiran Rencana Penggunaan Biaya dan Rekapitulasi Penggunaan Biaya yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam perjanjian ini.
(7). Penggunaan biaya penelitian oleh Pihak Kedua wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak melampaui batas biaya tiap pos anggaran yang telah ditetapkan; dan
b. Peralatan yang dibeli dengan anggaran biaya penelitian menjadi milik Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(8). Daftar peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) di atas wajib diserahkan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah penelitian selesai.
Pasal 2
(1). Pelaksanaan kegiatan Penelitian akan dilakukan oleh Pihak Kedua sesuai dengan proposal yang telah disetujui dan mendapatkan pembiayaan dari Pihak Pertama.
(2). Pelaksanaan kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sejak
Juli – Desember 2021.
Pasal 3
(1). Pihak Pertama mengadakan monitoring dan evaluasi (MONEV) terhadap pelaksanaan penelitian yang dilakukan oleh Pihak Kedua.
(2). Pihak Kedua diwajibkan mengikuti kegiatan MONEV sesuai dengan jadwal yang ditetapkan oleh Pihak Pertama.
(3). Pihak Kedua menyerahkan laporan kemajuan, logbook pelaksanaan penelitian serta wajib mengisi lembar MONEV dan draft artikel luaran wajib sebelum MONEV.
Pasal 4
(1). Pihak Kedua wajib mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran.
(2). Laporan Akhir disusun sesuai Panduan Penelitian ditetapkan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
(3). Logbook yang dikumpulkan memuat secara rinci tahapan kegiatan yang telah dilakukan oleh Pihak Kedua dalam pelaksanaan Penelitian.
(4). Laporan Pertanggungjawaban yang dikumpulkan Pihak Kedua memuat secara rinci penggunaan biaya pelaksanaan Penelitian yang disertai dengan bukti-bukti.
(5). Batas waktu pengumpulan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan luaran wajib berupa Artikel di Jurnal/Prosiding Nasional Terakreditasi/Internasional Bereputasi.
(6). Apabila Pihak Kedua tidak mengumpulkan Laporan Akhir, Logbook, Laporan Pertanggungjawaban Keuangan, dan Luaran sebagaimana disebutkan dalam ayat (5), maka Pihak Pertama akan memberikan sanksi.
(7). Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa proposal penelitian pada periode berikutnya tidak akan diproses untuk mendapatkan pendanaan pembiayaan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat.
Pasal 5
(1). Dalam hal tertentu Pihak Kedua dapat meminta kepada Pihak Pertama untuk memperpanjang batas waktu sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (5) di atas dengan disertai alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2). Pihak Pertama berwenang memutuskan menerima atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan 1 (satu) kali.
Pasal 6
(1). Pihak Pertama berhak mempublikasikan ringkasan laporan penelitian yang dibuat Pihak Kedua ke dalam salah satu jurnal ilmiah yang terbit di lingkungan Universitas Tarumanagara.
(2). Pihak Kedua memegang Hak Cipta dan mendapatkan Honorarium atas penerbitan ringkasan laporan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3). Pihak Kedua wajib membuat poster penelitian yang sudah/sedang dilaksanakan, untuk dipamerkan pada saat kegiatan Research Week tahun terkait.
(4). Pihak Kedua wajib membuat artikel penelitian yang sudah dilaksanakan untuk diikut sertakan dalam kegiatan International Conference yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat.
(5). Penggandaan dan publikasi dalam bentuk apapun atas hasil penelitian hanya dapat dilakukan oleh Pihak Kedua setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Pihak Pertama.
Pasal 7
(1). Apabila terjadi perselisihan menyangkut pelaksanaan penelitian ini, kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara musyawarah.
(2). Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diserahkan kepada Pimpinan Universitas Tarumanagara.
(3). Keputusan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bersifat final dan mengikat.
Demikian Perjanjian Pelaksanaan Penelitian ini dibuat dengan sebenar-benarnya pada hari, tanggal dan bulan tersebut diatas dalam rangkap 2 (dua), yang masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama.
Pihak Pertama
Jap Tji Beng, Ph.D
Pihak Kedua
Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA
RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
Rencana Penggunaan Biaya | Jumlah |
Honorarium | Rp 2.200.000,- |
Pelaksanaan Penelitian | Rp 8.800.000,- |
REKAPITULASI RENCANA PENGGUNAAN BIAYA (Rp)
No. | Pos Anggaran | Tahap I | Tahap II | Jumlah |
1. | Honorarium | 1.100.000,- | 1.100.000,- | 2.200.000,- |
2. | Pelaksanaan Penelitian | 4.400.000,- | 4.400.000,- | 8.800.000,- |
Jumlah | 5.500.000,- | 5.500.000,- | 11.000.000,- |
Jakarta, 05 Oktober 2021 Peneliti,
(Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA)
LAPORAN AKHIR PENELITIAN REGULER YANG DIAJUKAN KE LEMBAGA PENELITIAN DAN
PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT
INTERPRETASI HUKUM TERKAIT PASAL 28 AYAT (2) KHUSUSNYA FRASA ANTAR GOLONGAN DALAM PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Disusun oleh:
Ketua Tim
Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA / 0018018403
Anggota Peneliti:
Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.H., M.M., X.Xx / 0307026701
Anggota Mahasiswa:
Xxxxxx Xxxxxx | (205180001) |
Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx | (205180089) |
Xxxx Xxxx Xxxxxxxxx | (205180084) |
Shrishti | (205190263) |
Xxxxxxx Xxxx Xxxxxx | (205200013) |
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TARUMANAGARA
JAKARTA AGUSTUS, 2021
HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
Periode 2 / Tahun 2021
1. Judul : Interpretasi Hukum Tekait Pasal 28 ayat (2) Khususnya Frasa Antar Golongan dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
2. Ketua Tim
a. Nama dan Gelar : Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA
b. NIDN/NIK 0018018403
x. Xxxxxan/Gol : Lektor
d. Program Studi : Hukum
e. Fakultas : Hukum
x. Xxxxxx Keahlian :
g. Alamat Kantor : Jl. Letjen X. Xxxxxx, Xx. 1 Jakarta Barat 11440
h. Nomor HP/Tlp/Email : xxxxx@xx.xxxxx.xx.xx
3. Anggota Tim Penelitian
a. Jumlah Anggota : Dosen 1 orang
b. Nama Anggota I/Keahlian : Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.H., M.M., X.Xx
c. Jumlah Mahasiswa : 5 orang
d. Nama Mahasiswa I/NIM : Xxxxxx Xxxxxx (205180001)
e. Nama Mahasiswa II/NIM : Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx (205180089)
x. Xxxx Mahasiswa III/NIM : Xxxx Xxxx Xxxxxxxxx (205180084)
g. Nama Mahasiswa IV/NIM : Shrishti (205190263)
x. Xxxx Mahasiswa V/NIM : Xxxxxxx Xxxx Xxxxxx (205200013)
4. Lokasi Kegiatan Penelitian : Pengadilan Negeri
5. Luaran yang dihasilkan : Jurnal Nasional
6. Jangka Waktu Pelaksanaan : Periode II (Juli-Desember)
7. Biaya yang diajukan ke LPPM : Rp 30.000.000,-
Jakarta, 18 Agustus 2021
Menyetujui,
Ketua LPPM Ketua Tim
Xx. Xxx Xxx Xxxx, Ph.D. Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA NIK: 10381047 NIK: 0018018403
RINGKASAN
Kehadiran Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kerap kali menjadi sorotan di tengah masyarakat. UU ITE memiliki dampak yang serius di tengah globalisasi perubahan teknologi dan Informasi yang berevolusi yang cepat, sehingga mampu mempengaruhi perilaku masyarakat dalam merespons sebuah isu yang terjadi. Teknologi tersebut juga memiliki dampak buruk dalam bentuk Ujaran kebencian atau hate speech yang merupakan tindakan menyebarkan rasa kebencian dan permusuhan yang bersifat SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Salah satunya di dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE sebagaimana bunyi di dalam pasal tersebut dinilai mengandung unsur ambiguitas, di mana hal tersebut tidak sesuai dengan pemenuhan asas legalitas dalam hukum pidana terhadap terjaminnya suatu kepastian hukum. Perluasan makna “antargolongan” yang menjadi bersifat multitafsir menimbulkan pemahaman yang berbeda-beda dalam pengunaan pasal tersebut dan dianggap semakin mempersempit ruang lingkup kebebasan berpendapat masyarakat. Dalam hal tersebut juga disertai dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi pada 28 Maret 2018 yang memperluas pemahaman mengenai konsep “antargolongan” tidak hanya berdasarkan kepada unsur suku, ras, dan agama saja. Hal tersebut disertai dengan alasan mengenai hukum yang harus dapat bersifat dan bergerak dengan dinamis sehingga berjalan beriringan bersama perkembangan tatanan masyarakat. Pemahan secara multitafsir tersebut dikhawatirkan akan dapat menimbulkan perpecahan, di mana hal tersebut bertentangan dengan negara Indonesia yang menganut prinsip Pancasila. Maka permasalahan yang muncul dari uraian latar belakang tersebut adalah bagaimana interpretasi frasa antar golongan dalam Pasal 28 ayat (2) dalam penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Metode penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan terlebih dahulu, menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan kasus (case approach). Luaran yang diharapkan adalah artikel ilmiah yang dipublikasikan dalam Jurnal Nasional berakreditas. Dengan adanya penafsiran yang jelas, maka interpretasi frasa “antargolongan” dapat digunakan dan tidak menjadi ambigu dikemudian hari.
Kata Kunci: UU ITE, Frasa, Antargolongan
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................... i
RINGKASAN ........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 5
BAB III METODE PENELITIAN............................................................................ 8
BAB IV RINCIAN BIAYA DAN JADWAL 12
DAFTAR PUSTAKA 13
LAMPIRAN 15
A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN
Pada masa era modern sekarang ini, penggunaan teknologi merupakan suatu kebutuhan sehari-hari di dalam kehidupan masyarakat. Perkembangan teknologi yang pada masa kini akan menghadapi era revolusi industri 4.0 tentunya membawa laju dinamika pertumbuhan teknologi yang semakin pusat. Kecanggihan teknologi kini ikut mengambil peran di dalam berbagai kegiatan masyarakat, membuktikan kemampuan teknologi untuk dapat memberikan informasi secara cepat, serta menghubungkan komunikasi antara satu sama lain dengan sangat instan. Namun sangat disayangkan, terkadang berbagai data atau informasi tersebut tidak dimanfaatkan dan disaring dengan baik. Berdasarkan catatan yang dipaparkan oleh Kepala Polda Metro Jaya, pada tahun 2020 telah terdapat 443 kasus hoax dan ujaran kebencian (hate speech); 1.448 akun telah ditake down, dan 14 kasus penyidikan yang dilakukan hingga tuntas.1
Setiap orang memiliki kebebasan berpendapat yang telah diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada Pasal 19 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas- batas wilayah”.
Kebebasan mengeluarkan pendapat tersebut merupakan hak asasi dan hak konstitusional setiap warga negara yang pelaksanaannya harus dijamin dan dijunjung tinggi oleh negara sehingga dilindu//ngi dengan cara diatur di dalam peraturan perundang-undangan tertinggi di negara Indonesia yaitu di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) yakni Pasal 28E ayat (3) dan 28F Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.”
Pada Pasal 28F UUD NRI 1945 menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
1 Xxxx Xxxxx, “Polda Metro Tangani 443 Kasus Cyber Selama 2020, 1.448 Akun Di-take down”, (detikNews, 2020), diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x-0000000/xxxxx- metro-tangani-443-kasus-cyber-selama-2020-1448-akun-di-take-down
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
Selain itu, kebebasan mengeluarkan pendapat juga diatur di dalam undangundang, di antaranya di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Internasional Convenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik).
Akan tetapi, berdasarkan Pasal 28J UUD 1945, kebebasan berpendapat tersebut juga dibatasi oleh kewajiban untuk menghormati hak asasi orang lain. Kebebasan berpendapat ini juga dibatasi dalam teknologi informasi dengan tujuan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Dengan ini diperlukan peran pemerintah dalam mencegah konten ilgal yang di sebar di sosial media. Yang dimaksud dengan illegal adalah penghinaan, pencemaran nama baik, melanggar kesusilaan, pemerasan, pengamcaman, dan lain sebagainya yang dapat mengakibatkan dampak negative dalam bentuk kebencian atau perumushan berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan.
Ujaran kebencian yang kerap kali ditemukan di media sosial adalah berdasarkan unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Di mana isu tersebut bersifat sensitive dan provokatif, serta dengan jelas bertentangan dengan Pasal 2 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948.2 Deklarasi tersebut juga yang menjadi acuan bagi pemerintah untuk menciptakan suatu instrumen dalam memenuhi asas kepastian hukum (rechtmatigheid) dan penegakkan konsep negara Pancasila. Terlepas dari sifatnya yang mengikat dan memaksa, hukum sendiri juga memiliki sifat yang dinamis dalam pengaturannya mengikuti perkembangan jaman. Pada akhirnya dalam berupaya
2 Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Ps. 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.”
mewujudkan hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) membahas permasalahan tersebut dan diundangkan pada 21 April 2008 dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).3
Eksistensi dari UU ITE ini kerap kali menimbulkan pro kontra di tengah kalangan masyarakat sehingga mengalami revisi dan disahkan kembali menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008. Namun walau telah disetujui, nyatanya masih terdapat segelintir golongan yang mengkritik perubahan pasal tersebut. Salah satunya yaitu terkait dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang merupakan salah satu peraturan dalam hukum positif Indonesia yang dipergunakan untuk membatasi perbuatan-perbuatan yang melanggar di media sosial terkait dengan rasa kebencian dan juga unsur suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) yang menjadi salah satu sorotan dalam penafsirannya.4 Pasal tersebut berbunyi, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Bunyi di dalam pasal tersebut dinilai mengandung unsur ambiguitas, di mana hal tersebut tidak sesuai dengan “lex certa, lex stricta, lex scripta” sebagai salah satu prinsip pemenuhan asas legalitas dalam hukum pidana terhadap terjaminnya suatu kepastian hukum. Sebagaimana mengacu dalam prinsip tersebut, maka di dalam suatu perumusan harus dapat bersifat mengerucut dan ketat sehingga tidak ada peluasan makna di dalamnya. Apabila terdapat suatu penafsiran secara meluas, maka tentunya akan terjadi perluasan terhadap ketentuan di dalamnya dan kemungkinan akan berdampak pada penggunaannya yang berada di luar batas-batas yang telah ditentukan.
Di dalam Pasal 28 ayat (2) tidak menyebutkan secara spesifik mengenai ketentuan antar golongan seperti apa yang ditentukan di dalamnya, sehingga dalam pasal tersebut menimbulkan adanya pengaturan yang kabur (vage normen) dan multitafsir di dalam penerapannya. Apabila mengacu kepada Pasal 156 KUHP maka pengertian mengenai makna golongan ditujukan kepada perbedaan tiap-tiap bagian yang dimiliki rakyat Indonesia berdasarkan ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturuan, kebangsaan, atau
3 Maskun, “Kejahatan Siber Cyber Crime Suatu Pengantar”, Kencana, Jakarta, 2013, hlm. 27.
4 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Ps.28 ayat (2): “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
kedudukan menurut Hukum Tata Negara. Perluasan antar golongan dalam Pasal 28 ayat
(2) UU ITE lahir semenjak dikeluarkannya Putusan Nomor 76/PUU-XV/2017 oleh Mahkamah Konstitusi pada 28 Maret 2018.5 Putusan tersebut dipertimbangkan dengan pemahaman bahwa tatanan sosial serta masyarakat yang semakin kompleks dan terus berkembang tidak dapat hanya digolongkan berdasarkan suku, agama, dan ras (SARA) saja. Kondisi tersebut juga dikatakan sebagai upaya bentuk negara demokrasi, pemerintah tidak dapat mengabaikan keragaman tersebut begitu saja.
Pada faktanya, adanya sebuah kasus yang dianggap telah melanggar ketentuan dari pasal tersebut dimana suatu video yang telah diedit di upload ke media sosial Facebook oleh Xxxx Xxxx. Video tersebut merupakan pidato Ahok di Kepulauan Seribu dimana Ahok mengucapkan Surat Al-Maidah 51. Akibat dari penyebaran video tersebut, sebagian umat muslim menganggap bahwa agamanya telah di nodai oleh Ahok yang pada faktanya terjadi demo yang menuntut Ahok untuk dipenjara atas dugaan penodaan agama.6
Dampak dari perbuatan penyebaran video tersebut, Xxxx Xxxx dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial yang menyebabkan dirinya dikenai pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Xxxx Xxxx telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media sosial yang mengandung unsur SARA. Terkait dengan hal tersebut, keterangan dari Xxxx Xxxx sendiri mengatakan bahwa tujuan dari menyebarkan video tersebut adalah untuk mengajak para pengguna media sosial lainnya berdiskusi, bukan untuk menyebarkan rasa kebencian yang mengandung unsur SARA. Oleh karena berdasarkan keterangan dari Xxxx Xxxx tersebut, menimbulkan adanya pemahaman yang multitafsir terkait ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE tersebut terhadap penggunaanya pada kasus Xxxx Xxxx yang dapat dikatakan mampu bertentangan dengan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi di media sosial.
Ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE pada faktanya masih memerlukan penjelasan terkait maksud dari rasa kebencian tersebut dan juga terkait dengan perbuatan-perbuatan yang di anggap melanggar ketentuan pasal tersebut. Hal tersebut berguna untuk mencegah adanya pelanggaran terkait hak kebebasan berpendapat di media sosial dan
5 Indonesia, Putusan Nomor 76/PUU-XV/2017, Paragraf 3.14.2: “bahkan melalui putusan Mahkamah ini dipertegas bahwa istilah “antar golongan” tidak hanya meliputi suku, agama, dan ras, melainkan meliputi lebih dari itu yaitu semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama, dan ras.”
6 Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI, 2014, Panduan Optimalisasi Media Sosial Untuk Kementerian Perdagangan RI, Cetakan I, Kementerian Perdagangan RI, Jakarta Pusat, hlm. 26-27.
juga untuk tidak menimbulkan kesan multitafsir atau norma kabur terhadapan ketentuan pasal tersebut di masa yang akan datang. Hal tersebut berdasarkan fakta yang terjadi banyaknya perbuatan-perbuatan yang belum tentu dapat dianggap melanggar peraturan perundang-undangan. Selain itu juga perlunya batasan-batasan terkait perbuatan di media sosial. Hal ini karena setiap perbuatan di media sosial, memungkinkan untuk memberikan pengaruh bagi opini publik yang berkembang di masyarakat. Salah satu kasus yang pernah terjadi yang dapat dikatakan merupakan suatu pelanggaran hak kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah kasus Prita Mulyasari terhadap Rumah Sakit Omni Internasional.7
Pasal 28 ayat (2) UU ITE sangat berpotensial menimbulkan kesulitan dalam penerapannya dikarenakan mengandung aturan hukum yang kabur (vage normen) yang terdapat pada konsep “antargolongan”. Pasal tersebut tidak memberikan penjelasan yang jelas dan tegas mengenai makna dan kriteria dari konsep “antargolongan” sehingga pasal tersebut dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda, yang mana dapat ditafsirkan secara meluas atau menyempit. Contoh tafsir meluas yaitu orang yang hendak mengeluarkan pendapatnya berupa kritikan kepada pemerintah melalui media elektronik, tidak menutup kemungkinan dapat dianggap sebagai ancaman dan dapat dilaporkan menggunakan pasal tersebut, sedangkan contoh tafsir menyempit yaitu konsep “antargolongan” dapat saja diartikan sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 163 IS, yaitu pembagian golongan penduduk menjadi golongan Eropa, golongan Timur Asing, dan golongan Bumiputera. Berbeda halnya dengan suku, agama, dan ras yang memang sudah jelas maknanya.
Dengan adanya pemaknaan yang terlalu luas tersebut dapat menimbulkan pertanyaan, apakah golongan seperti golongan partai politik, golongan pejabat, golongan pendukung gubernur, golongan pendukung presiden, golongan disabilitas, dan sebagainya juga termasuk golongan yang dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Sedangkan dalam hukum pidana terdapat prinsip lex certa, lex stricta, dan lex scripta. Menurut Xxx Xxxxxxxxx, lex certa artinya perumusan perbuatan pidana dalam undang- undang harus diuraikan unsur-unsurnya secara jelas dan rinci, lex stricta artinya harus didefinisikan secara jelas dan rigid tanpa samar-samar sehingga tidak ada perumusan
7 Xxxxxx Xxx Xxxxx Xxxxx, Jurnal : Komunikasi dan Media Sosial (Communications and Social Media), Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Semarang
yang ambigu mengenai suatu perbuatan pidana, sedangkan lex scripta artinya perumusan perbuatan pidana harus dituangkan secara tertulis dalam suatu perundang-undangan.8
Sedangkan Hukum antargolongan adalah keseluruhan peraturan atau keputusan hukum yang menunjukkan hukum manakah yang berlaku, dalam hubungan hukum antara warga negara dalam satu negara. Pada mulanya, hukum antargolongan terdapat pada masa Hindia Belanda yang dikenal dengan istilah intergentiel recht, interpersonal law, interracial law.9 Hukum antargolongan timbul sebagai akibat dari politik Pemerintah Kolonial Belanda yang pada prinsipnya ingin memecah belah bangsa Indonesia. Hukum antargolongan tersebut yakni pembagian golongan penduduk Indonesia serta pembagian sistem hukum yang berlaku bagi golongan penduduk tersebut. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) juncto Pasal 131 IS yakni:10
1. Golongan Eropa, yang meliputi :
a. Belanda;
b. Bukan Belanda tetapi dari Eropa;
c. Jepang;
d. Lain-lain yang hukum keluarganya sama dengan Belanda, Amerika, Australia, dan lainnya;
e. Keturunan dari keempat golongan di atas. Terhadap golongan ini berlaku:
a. Hukum perdata menggunakan BW (Burgerlijk wet Boek) dan WvK (Wetboek van Koophandel);
b. Hukum pidana menggunakan Wvs (Wetboek xxx Xxxxxxxxxx);
c. Hukum acara perdata menggunakan Reglement of de Burgerlijke, sedangkan hukum acara pidana menggunakan Reglement of Straf vor dering.
2. Golongan Timur Asing, yang meliputi :
a. Cina;
b. Bukan Cina (India, Arab). Terhadap golongan ini berlaku:
a. Khusus untuk Cina hanya berlaku hukum perdata BW dan WvK;
8 Xxxxxxxxx Xxxxx, Xxxx Xxxxxxx, Xxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Pidana Dalam Perspektif (Pustaka Larasan 2012). Hlm.43-44.
9 Yu Un Oppusunggu, ‘Arti Penting Hukum Antartata Hukum Untuk Indonesia’ (2018) 7 RechtsVinding. Hlm. 150.
10 Xxxx Xxx Xxxxxxxxx, ‘Hukum Perdata (Penggolongan Penduduk)’ (Wordpress, 2013), accessed 09 Desember 2021.
d. Untuk warga negara Timur Asing bukan Cina:
1) Hukum perdata berlaku hukum adat mereka (kecuali yang tunduk pada hukum Eropa);
2) Hukum pidana berlaku WvS.
3) Hukum acara tidak diatur sehingga dapat mengikuti golongan Eropa atau terkadang pribumi.
3. Golongan Bumiputera, yang meliputi:
a. Indonesia asli;
b. Keturunan lain yang sudah lama menetap di Indonesia sehingga sudah melebur ke dalam Indonesia asli.
Terhadap golongan ini berlaku :
a. Hukum perdata menggunakan Hukum Adat, BW, WvK untuk beberapa pengecualian;
b. Hukum pidana menggunakan WvS;
c. Hukum acara perdata menggunakan IR (Inlands Reglement), sedangkan hukum acara pidana menggunakan HIR (Herziene Inlands Reglement).
Setelah negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang berbentuk republik, maka aturan tersebut sudah tidak berlaku. Saat ini, Indonesia dapat dibedakan secara jelas penduduknya berdasarkan suku, agama, dan ras.
Berdasarkan perbedaan tersebut, maka perlu untuk dikaji lebih lanjut mengenai kriteria dari konsep “antargolongan” agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda- beda sehingga pasal tersebut dapat digunakan secara lebih presisi dan tepat yang dapat secara efektif memberikan rasa keadilan, tetapi di sisi lain juga tidak membunuh (membungkam) kebebasan warga negara untuk mengeluarkan pendapat.
Namun, apabila dilihat melalui Pasal 4 Huruf (b) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis serta dalam Convention On the Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination, dengan jelas dapat dipahami bahwa hal tersebut bertitik tolak berdasarkan suku, rasa, agama. Di mana hal tersebut sangat berbahaya karena dapat merusak Hak Asasi Manusia dan menimbulkan gejolak dalam berkehidupan sosial. Disebutkannya frasa “antargolongan” dalam UU ITE tidak memiliki penjelasan secara khusus baik dalam konvensi maupun Undang-Undang, sehingga hal tersebut dikhawatirkan nantinya akan tidak memiliki kekuatan hukum yang tetap dan mutlak. Perluasan antar golongan UU ITE juga dikhawatirkan berbahaya dalam praktiknya di lingkup sosial, dimana hal tersebut nantinya dapat menjadi pedang bermata
dua serta mempersempit ruang kebebasan berpendapat masyarakat. Oleh karena itu, sangat penting adanya parameter yang telah ditentukan secara spesifik dalam memahami frasa tersebut dalam pemenuhan due process of law kepada masyarakat. Berdasarkan hal inilah, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul: INTERPRETASI HUKUM TERKAIT PASAL 28 AYAT (2) KHUSUSNYA FRASA ANTAR GOLONGAN DALAM PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
B. Permasalahan
Dari latar belakang permasalahan yang sudah diuraikan tersebut di atas, maka muncul permasalahan yang ingin diteliti, yaitu:
1. Xxxxxxxxx interpretasi frasa antar golongan dalam Pasal 28 ayat (2) dalam penerapan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini dibagi menjadi dua,sumbangan untuk perkembangan ilmu pengetahuan secara teoritik, dan kedua, sumbangan bagi pembangunan/masyarakat luas secara praktis.11 Penelitian tentang ini diharapkan dapat memiliki kegunaan bagi ilmu pengetahuan maupun bagi pembangunan/masyarakat luas. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkandapat mempunyai kegunaan akademik maupun kegunaan praktis.
1. Kegunaan Akademik
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. Berkaitan dengan pengembangan hukum pelaksanaan pidana. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penambahan bahan-bahan informasi kepustakaan dan bahan ajar di bidang yang berkaitan dengan penegakan hukum informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.
2. Kegunaan Praktis
11 Xxxxx Xxxx. Noah, Reka Bentuk Penyelidikan: Falsafah, Teori dan Praktis, Sebuah Buku Mesra Pengguna, Universiti Putera Malaysia, Serdang, 2002, hlm. 128.
Penelitian diharapkan dapat memberikan masukan bagi aparat penegak hukum, khususnya dalam melakukan penegakan hukum dan penanganan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik di Indonesia. Dengan adanya pemahaman tersebut, aparat penegak hukum khususnya Xxxxx, Xxxxx pada Pengadilan Negeri diharapkan dapat mengimplementasikannya.
a) Tindak Pidana
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tindak pidana merupakan segala tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana dalam bentuk kejahatan. Maka dari itu segala bentuk perilaku dan perbuatan yang telah tercantum di undang-undang dan ditentukan dilarang dilakukan harus dihindari. Setiap warga Negara berkewajiban untuk menaati apapun kewajiban- kewajiban serta larangan- larangan sebagaimana yang telah dicantumkan dalam undang- undang, peraturanperaturan oleh pemerintah, di tingkat pusat maupun daerah. Jika terjadi pelanggaran maka orang tersebut dapat dijatuhkan sanksi pidana sesuai yang telah diatur.
Ahli Xxxxxx Xxx Xxxxx mengemukakan unsur-unsurnya tindak pidana adalah :12
a. Perbuatan manusia yang telah dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan;
b. Perbuatan yang melawan hukum;
c. Mengandung unsur kesalahan;
d. Perbuatan tersebut patut untuk dijatuhkan pidana dipidana.
b) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
Pada masa ini, terdapat berbagai hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan suatu individu dalam masyarakat. Salah satu hal tersebut adalah teknologi informasi. Teknologi informasi atau yang dalam bahasa Inggris dikenal sebagai information technology adalah istilah umum untuk teknologi apa pun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan, dan/atau menyebarkan informasi.
Individu-individu yang hidup di masyarakat pada umumnya sangat dependen pada teknologi informasi dalam kesehariannya. Semakin besar pengaruh teknologi informasi dalam kehidupan manusia, maka semakin besar pula risiko teknologi informasi untuk disalahgunakan. Pada realitanya, banyak hal buruk yang dapat terjadi melalui teknologi informasi. Oleh karena itu, pemerintah merasa bahwa teknologi informasi tidak hanya perlu diperhatikan, tetapi juga perlu diatur dalam hukum.
Salah satu instrumen hukum yang mengatur teknologi informasi adalah Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo. Undang-
12 Xxxx Xxxxxx Xxxxxx Xxxxx, Hukum Pidana 1, Cet. 2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 346
undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”).
UU ITE ini pertama kali disahkan oleh Presiden Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx dan DPR RI pada 21 April 2008. UU ITE adalah UU yang mengatur tentang informasi serta transaksi elektronik, atau teknologi informasi secara umum.
Pada peraturan tersebut dapat dilihat bahwa Informasi Elektronik diartikan sebagai satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail/e-mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sedangkan Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
UU ini memiliki yurisdiksi yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
UU ITE sendiri memiliki asas dan tujuan. Berikut asas dan tujuan yang harus dicapai:
Asas : Pemanfaatan Teknologi ITE dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.
Tujuan : Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:
1. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
2. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;
3. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;
4. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan
5. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
Pada dasarnya secara filosofi, eksistensi UU ITE bertujuan untuk menjadi suatu instrumen dan wadah hukum dalam memastikan ruang lingkup transaksi dan informasi elektronik dapat berjalan dengan baik, sehingga dapat menjamin kemanan dan kesejahteraan masyarakat dalam kegiatan e-commerce. Ahli Hukum Teknologi Informasi dan Komunikasi, Xxxxxxx Xxxxxx juga menyampaikan bahwa tujuan dari dibentuknya UU ITE adalah untu mengatur tentang informasi dan dokumentasi yang berkaitan dengan bukti elektronik, serta sistem elektronik lainnya.13 Namun dikarenakan segala sesuatu yang berada di internet akan menjadi terbuka dan bersifat tanpa batas (borderless) sehingga dalam UU ITE disertakan juga beberapa regulasi lain terkait kaidah dan batasan-batasan di dalam sosial media. Secara spesifik salah satunya adalah Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang bertujuan untuk mencegah terjadinya bentuk permusuhan (vijanschap) dan perpecahan dalam suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Di mana hal tersebut bersifat sangat sensiti dan provokatif, sehingga tidak sesuai dengan Indonesia sebagai negara yang menganut Bhinekka Tunggal Ika.
Berdasarkan catatan data dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), pada tahun 2017 terdapat 46 kasus yang dilaporkan ke kepolisian dan 27 kasus yang dibawa ke persidangan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, sedangkan pada tahun 2018 terdapat 41 kasus yang dilaporkan ke kepolisian dan 35 kasus yang dibawa ke persidangan dengan ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Beberapa contoh kasus dan putusan tersebut diantaranya:
1. Kasus penghinaan Presiden Xxxxxx dan beberapa pejabat lain oleh Xxxx Xxxxxxx dengan melakukan penyebaran ujaran kebencian di media sosial melalui akun Facebook. Pada tanggal 27 Februari 2017, ia ditangkap dengan dugaan telah melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE.14 Sebagaimana juga telah diberikan putusan oleh Xxxxxxx Xxxxx Pengadilan Negeri Lubukbasung, Sumatera Barat pada tanggal 24 Juli 2017 menyatakan bahwa presiden serta berbagai pejabat pelaku pemerintah lainnya juga termasuk ke dalam ketentuan kategori antargolongan.
13 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, “Ahli: Bidang Penyiaran Bukan Jangkauan UU ITE”, diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxx.xxxx.xx/xxxxx.xxx?xxxxxxxx.Xxxxxx&xxx00000
14 Atlas Maulana, “Penghina Presiden Xxxxxx Divonis 15 Bulan Penjara”, (Xxxxxxxxxx.xxx, 2017), diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/000000/xxxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx- divonis-15-bulan-penjara
2. Kasus penyebaran kebencian melalui akun sosial media di Instagram oleh I Xxxx Xxx Xxxxxx alias Xxxxxx. Komentar yang dipaparkan oleh Jerinx dianggap telah melakukan penyebaran kebencian dan pencemaran nama baik terhadap pihak IDI Bali. Sehingga ia digugat dengan Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) di mana berdasarkan ketentuan yang dicantumkan dalam pasal tersebut, ujaran kebencian yang dilakukan oleh Jerinx mengandung unsur SARA di dalamnya.
3. Kasus cuitan ujaran kebencian kepada Ahok yang dilakukan oleh Xxxxx Xxxxx melaui akun Twitter-nya, di mana dalam cuitan tersebut dimuat sebuah unsur SARA dengan mengaitkan agama di dalamnya. Sehingga ia diduga telah melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.15 Dalam kasus ini pengertian antargolongan dintunjukan kepada golongan para pendukung Ahok.
4. Kasus yang dialami oleh Xxxxxx Xxx Xxxxxxx yang merupakan seorang jurnalis dan aktivis. Xxxxxx xxxxxxxxx oleh polisi pada September 2019 yang dengan secara spesifik dianggap telah melanggar Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) UU ITE. Di mana melalui cuitan yang dipublikasikannya di Twitter yang memuat konten menyamakan kepemimpinan Xxxxxxxx Xxxxx Umum PDI-P dengan Aung San Suu Kyi sebagai Penasehat Negara Myanmar.16 Dalam hal tersebut ia tidak dinyatakan menimbulkan ujaran kebencian terhadap unsur suku, agama, dan ras; melainkan ia dianggap menimbulkan kebencian terhadap suatu golongan, yaitu golongan pemerintah yang ditentukan termasuk dalam kategori antargolongan.
5. Kasus yang menjerat seorang santri pesantren bernama Xxxxxxxxxx, ia ditangkap oleh Xxx Xxxxx Crime Polda Jawa Timur pada tanggal 7 Juni 2017 dengan dugaan telah melanggar Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Hal tersebut disebabkan oleh gambar meme yang ia publikasikan dalam akun Facebook-nya, di mana dalam konten tersebut dianggap mengandung unsur penghinaan kepada pihak petinggi Polri sampai dengan kepala negara. Sehingga di dalam kasus ini
15 Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, “Kasus-Kasus Hukum Yang Pernah Menjerat Xxxxx Xxxxx” (Xxxxx.xx, 2019), diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxx.xxxxx.xx/xxxxx-xxxxx-xxxxx-xxxx-xxxxxx-xxxxxxxx- xxxxx-dhani-dfiB
16 Xxxx Xxxxxxxxx, “Repdem Jatim Laporkan Xxxxxx Xxx Xxxxxxx Terkait Status Di FB”, (Xxxxxxx0.xxx, 201), diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://x.xxxxxxx0.xxx/xxxxxxxx/xxxx/0000000/xxxxxx-xxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx-xxx-xxxxxxx-xxxxxxx-xxxxxx-xx-xx
penggunaan frasa antargolongan ditunjukan kepada para petinggi Polri dan kepala negara.17
Berdasarkan berbagai kasus yang telah dipaparkan di atas, Pasal 28 ayat (2) di dalam UU ITE masih bersifat multitafsir terhadap penggolongan di dalam penggunaan kata “antargolongan”. Di mana di dalam pasal tersebut tidak disebutkan dan ditentukan secara spesifik mengenai pemaknaan di dalam kata tersebut, sehingga penafsiran yang meluas menyebabkan eksistensi dari Pasal 28 ayat (2) menjadi pedang bermata dua. Tidak hanya itu kehadiran dari pasal tersebut justru dianggap sebagai pembatas kebebasan berekspresi bagi masyarakat, terutama sebagai suatu negara demokrasi dalam menyuarakan aspirasi kepada pemerintah. Oleh karena itu berdasarkan penjabaran di atas maka penting adanya untuk melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai konsep dan pengaturan “antargolongan”, di mana hal ini tentu dengan sepenuhnya menjadi tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam pemenuhan asas legalitas untuk menciptakan hak berpendapat yang adil dan sama dalam Iequality before the law.
c) Ujaran Kebencian
Ujaran Kebencian (Hate Speech) merupakan Tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.
Dalam arti hukum, Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.
Website yang menggunakan atau menerapkan Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini disebut (Hate Site). Kebanyakan dari situs ini menggunakan Forum Internet dan Berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu. Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau
17 Xxxxxx Xxxxxx, ‘Pembuat Meme Menghina Presiden Di Facebook, Seorang Pemuda Ditangkap’, (Xxxxxx.xxx, 2017), diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/xxxx.xxxx
kelompok lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain. 18 Adapun Surat Edaran Kapolri No: SE/06/X/2015 yang mengatur secara lebih spesifik mengenai ujaran kebencian.
Ujaran kebencian dapat berbentuk antara lain:19
a. Penghinaan;
b. Pencemaran nama baik;
c. Penistaan;
d. Perbuatan tidak menyenangkan;
e. Memprovokasi;
x. Xxxxhasut;
g. Penyebaran berita bohong;
dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
Ujaran kebencian yang bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat dalam berbagai komunitas dibedakan dari aspek:
1) Suku;
2) Agama;
3) Aliran keagamaan;
4) Keyakinan/kepercayaan;
5) Ras;
6) Antargolongan;
7) Warna kulit;
8) Etnis;
9) Gender;
10) Kaum difabel (cacat); dan
11) Orientasi seksual.20
Ujaran kebencian dapat dilakukan melalui berbagai media, antara lain:
18 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kejahatan dan Tindak Pidana Komputer, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2009, hlm 38
19 Angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran kebencian (hate speech), hlm 2
20 Angka 2 huruf g Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran kebencian (hate speech), hlm 3
1) Dalam orasi kegiatan kampanye;
2) Spanduk atau banner;
3) Jejaring media sosial;
4) Penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi);
5) Ceramah keagamaan;
6) Media massa cetak maupun elektronik;
7) Pamflet.
d) Media Sosial
Internet menciptakan berbagai peluang baru dalam kehidupan masyarakat, sekaligus menciptakan peluang kejahatan yang baru. Internet merupakan salah satu media komunikasi yang populer karena aksesnya yang cepat. Media sosial merupakan sekelompok aplikasi berbasis internet di atas dasar ideologi dan teknologi web 2.0. Internet telah menjadi salah satu upaya komunikasi yang cepat dan efektif. Pengguna media sosial bisa mengakses media sosial dimanapun dan kapanpun.
Media sosial memberi peluang untuk orang-orang berpartisipasi, dan membuat konten berupa blog, wiki, forum, jejaring sosial, dan ruang dunia virtual oleh teknologi multimedia. Dengan berjalannya waktu, media sosial semakin canggih dan sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat.
Perkembangan dari adanya berbagai media sosial ini menimbulkan dampak yang muncul di masyarakat. Secara konsep, media sosial memiliki peran mendasar yaitu untuk berbagi informasi, forum diskusi dan komunitas virtual. Peran dasar tersebut memiliki sifat yang terbuka, pastisipatif, mendrong percakapan, komunitas dan menghubungkan antar pengguna nya.
Masyarakat yang menggunakan media sosial pun akhirnya menjadi produsen informasi, menyajikan ruang yang terbuka untuk diskusi dan merespon informasi, dan menghasilkan komunitas virtual. Media sosial mempunyai ciri-ciri, antara lain:21
1. Konten yang disampaikan dibagikan kepada banyak orang yang tak terbatas.
2. Isi pesan muncul tanpa ada yang menghambat.
3. Isi disampaikan secara online.
21 Tim Pusat Humas Kementerian Perdagangan RI, “Panduan Optimalisasi Media Sosial untuk Kementrian Perdagangan RI”, (Jakarta: Pusat Hubungan Masyarakat, 2014), hlm. 27
4. Konten dapat diterima dengan cepat secara online, dan penerimaannya juga bisa tertunda tergantung pada waktu interaksi para pengguna.
5. Media sosial menjadikan penggunanya sebagai kreator dan aktor yang memungkinkan dirinya untuk beraktualisasi diri.
6. Dalam konten media sosial terdapat aspek fungsional, seperti identitas, percakapan, berbagi, kehadiran, hubungan, reputasi, dan kelompok
Ujaran kebencian (Hate Speech) di era digitalisasi dilakukan melalui media elektronik dan media massa cetak yaitu :
1) Melakukan kegiatan transmisi, distribusi atau menyebarkan informasi dan dokumen eleketronik sehingga membuat informasi elektronik dan dokumen elektronik yang memuat konten pencemaran nama baik dan penginaan tersebut dapat diakses oleh khalayak umum.
2) Melakukan penyebaran berita yang tidak benar atau berita bohong dengan tujuan untuk menimbulkan rasa permusuhan dan kebencian antar individu atau kelompok tertentu yang didasarkan atas agama, suku, rasa serta antar golongan.
e) Effectivitas Undang-Undang ITE
Suatu Undang-Undnag menjadi effective jika yang berperan menaatinya. Dalam hal ini, kami akan membahas mengenai peran pemerintah dan masyarakat dalam menjalani Undang-Undang ITE.
Pasal 40 UU No. 19 Tahun 2016 tentang ITE menyebut bahwa:
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan Teknologi Informasi dan Transaksi Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2b) Dalam melakukan pencegahan s6lagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.
(3) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki . data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
(4) Instansi atau institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus membuat Dokumen Elektronik dal rekam cadang elektroniknya serta menghubungkannya ke pusat data tertentu untuk kepentingan pengamanan data.
(5) Instansi atau institusi lain selain diatur pada ayat (3) membuat Dokumen Elektronik dan rekam cadang elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), ayat (2b), dan ayat (3) diatur dalam peraturan pemerintah.
Peran masyarakat diatur dalam Pasal 41 UU ITE, yaitu
(1) masyarakat dapat berperan meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi melalui penggunaan dan penyelenggaraan sistem elektronik dan transasksi elektronik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
(2) peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui lembaga yang dibentuk oleh masyarakat; dan ayat (3) lembaga sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat memiliki fungsi kunsultasi dan mediasi.
Dalam menjamin efektivitas maka dibutuhkan penegakan hukum yang merupakan lembaga-lembaga yang menerapkan seperti pengadilan, kejaksaan, kepolisian, pejabat- pejabat yang memegang peran sebagai pelaksanaan atau penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi dan segi-segi administratif seperti proses peradilan, pengusutan, penahanan dan seterusnya.
Penegak hukum harus mampu mengakomodasi harapan masyarakat agar rasa keadilan timbul. Implementasi undang-undang ini khususnya dalam penegakan hukum, membutuhkan partisipasi masyarakat untuk membuat laporan atau pengaduan. Untuk itu undang-undang akan efektif bilamana dapat memberikan motivasi kepada masyarakat untuk dapat menggunakan kewajiban melaporkan adanya kejahatan tersebut sehingga penegak hukum dapat menindak lanjuti laporan atau pengaduan mayarakat untuk menjaga kewibawaan aparat penegak hukum agar tidak dituduh telah menyelewengkan perkara. Berdasarkan uraian di atas, peran pemerintah dan masyarakat dan juga peran penegak hukum sangat penting dalam menjamin kepastain
hukum. Selanjutnya, akan dipaparkan sejauh mana efektivitas UU ITE dalam menjamin informasi dan transaksi elektronik terkhusus terhadap ketentuan pidananya.22
Efektivitas berlakunya aspek pidana dalam UU ITE dilihat dari aspek substansi dan struktur hukumnya yang meliputi penegak hukum, sumber daya aparatur penegak hukumnya, peran serta masyarakat dalam konteks penegakan hukum dan harus didukung sarana dan prasarana supaya penegakan hukum terwujud dengan baik.
Secara substansial UU ITE mengatur dua hal pokok, yakni masalah informasi elektronik dan transaksi elektronik. Perkembangan pemanfaatan informasi elektronik dewasa ini, sudah memberikan kenyamanan dan kemanfaatannya, seperti adanya media sosial yang dijadikan sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain secara mudah.
Pemanfaatan informasi elektronik, juga dimanfaatkan oleh kalangan Pemerintahan seperti lembaga-lembaga pemerintah baik sipil maupun TNI/Polri, Komisi pemilihan Umum Indonesia, untuk secara otomatis memanfaatkan informasi elektronik untuk kepentingan pengawasan dan pengendalian fungsi pemerintahan.
Jika dilihat dari karakteristik operasionalnya, UU ITE merupakan salah satu wujud penerapan ideologi yakni untuk menciptakan keadilan sosial yang berperikemanusiaan yang adil dan beradab. Undang-undang ini juga membangun keserasian dalam tata kehidupan manusia di bidang perekonomian dan membangun perekonomian sesuai tradisi bangsa Indonesia, serta menciptkan lingkungan yang serasi, aman, berkelanjutan khususnya dalam mengatur tata lalu lintas di dunia maya.
Secara umum, efektivitas UU ITE dalam melindungi kepentingan masyarakat masih perlu diuji. Undang-undang ini merupakan sebuah peraturan perundangan yang ditunggu, terutama dalam mempercepat berlangsungnya e-government. Selama ini, banyak wilayah yang belum berani melahirkan sistem transasksi elektronik dalam kepemerintahan, karena belum yakin terhadap pijakan hukum. Masih banyak pertanyaan terhadap kepastian hukum yang terdapat didalamnya. UU ITE dalam pemerintahan memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun pemerintahan yang responsive, dan melalui penegakan hukum bagi ITE diharapakn akan mampu melindungi kepentingan warga masyarakat terhadap penggunaan transaksi elektronik. Di samping itu, untuk memberikan arah dan pedoman bagi penegak hukum dalam
22 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, “Efektivitas Penerapan Undang-Undang ITE dalam Tindak Pidana Cyber Crime”,
(xxxxxx.xxxxxxxx.xx.xx) (2016), hlm. 21. file:///C:/Users/userpc/Downloads/440- 1488 -1 SM. pdf
melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan melalui dunia maya atau kejahatan jaringan komputer (Cyber Crime).
Efektivitas hukum tidak lepas dari permasalahan penegakan hukum yang merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal. Oleh karena itu, keberhasilan penegakan hukum akan dipengaruhi oleh hal-hal tersebut. Secara umum sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxx, ada lima faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:
a. Faktor hukumnya sendiri;
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
f) Perubahan UU ITE
Menurut X.X Xxxxxxx: “Hukum sebagai alat pembaharuan sosial (a tool of social engineering) harus dapat digunakan untuk memberi jalan terhadap perkembangan yang terjadi di masyarakat, terutama terhadap perkembangan perkembangan di bidang teknologi. Untuk itu pengaturan ahli teknologi sebagai tolak ukur kemajuan Negara miskin dan berkembang harus dapat diatur dalam hokum tersendiri”
Bunyi Pasal 28 Ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008: Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
Pada perubahan UU ITE bunyi Pasal tersebut menjadi: Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menghasut, mengajak, atau mempengaruhi sehingga menggerakkan orang lain, mendistribusikan, dan/atau mentransmisikan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, kebangsaan, ras, atau jenis kelamin, yang dilakukan melalui sarana Informasi Elektronik, dan/atau Dokumen Elektronik.
g) Perlindungan Hukum
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum dalam menjalankan pemerintahan berpedoman pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai produk hukum yang tertinggi serta berdasarkan pada Pancasila sebagai dasar negara, sehingga menjadi suatu ketetapan apabila hukum yang akan dibuat harus bermuara pada Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila.
Sesuai dengan amanat yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Dasar untuk melindungi segenap warga negara termasuk untuk mendapatkan perlindungan hukum atas hak-hak sebagai warga negara, maka peran negara dalam bentuk nyata terkait dengan konsep perlindungan hukum yaitu dengan cara membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan peraturan tersebut tidak hanya terbatas pada hak semata namun juga diiringi dengan kewajiban serta sanksi yang mutlak untuk disertakan dan menjadi konsekwensi hukum yang diterima apabila peraturan tersebut tidak dilaksanakan oleh masyarakat itu sendiri.”
A. Sifat Penelitian
BAB III METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif-empiris. Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang menggunakan data sekunder, sedangkan penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang menggunakan data primer.23 Jenis penelitian empiris, yaitu penelitian yang melihat hukum tidak hanya dari kacamata perundang-undangan saja tapi melihat hukum dalam implementasinya. Data yang dibutuhkan primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan cara wawancara mendalam, data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Pendekatan Penelitian menggunakan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan yuridis sosiologis, hukum disini bukan dikonsepkan sebagi rules tetapi sebagai regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam alam pengalaman.
B. Bahan Penelitian
Oleh karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris, maka bahan penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi data sekunder maupun data primer. Data sekunder adalah data yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan, sedangkan data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari subyek penelitian.
Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mencari kaedah atau norm dengan menggunakan metode penemuan hukum, sedangkan penelitian lapangan bertujuan untuk memperoleh fakta mengenai perilaku dari subjek hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.
1. Penelitian kepustakaan
a) Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan adalah data sekunder beupa kaedah atau norm asas-asas hukum,kaedah-kaedah hukum dan sistimatik hukum.
b) Bahan
23 Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1994, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 52 .
Bahan hukum data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan pustaka melalui perpustakaan, dokumen-dokumen, peraturan perundangan, putusan pengadilan dan tulisan-tulisan lain yang berhubungan dengan permasalahan, yang terdapat antara lain di dalam:
1) Bahan hukum primer
Penelitian kepustakaan yang berupa bahan hukum primer terdiri dari:
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari :
i. Berbagai bahan kepustakaan yang berkaitan dengan hukum pidana dan hukum acara pidana yang berkaitan dengan materi penelitian.
ii. Berbagai hasil penelitian, makalah-makalah seminar/workshop, tulisan- tulisan dan komentar-komentar para pakar hukum atau pihak lain yang berkaitan dengan materi penelitian.
c) Cara pengumpulan data
Cara pengumpulan data dalam penelitian kepustakaan ini adalah dengan merujuk kepada bahan-bahan yang didokumentasikan.24
d) Alat pengumpul data
Alat yang dipergunakan dalam penelitian kepustakaan adalah studi dokumen, yaitu studi dengan cara mempelajari data baik berupa buku, laporan hasil penelitian, makalah seminar, tulisan para ahli, putusan-putusan pengadilan dan semua peraturan yang berkaitan dengan materi penelitian.
1) Data
Data yang diperoleh dalam penelitian lapangan adalah data primer dan merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sampel/subyek penelitian.
2) Cara pengumpulan data
Cara pengumpulan data dalam penelitian lapangan ini yaitu dengan cara wawancara25 dengan sampel /subjek penelitian.26
3) Alat pengumpulan data
24 Xxxxxx Xxxxx, 1999, Research methodology: a step-by-step guide for beginners. Xxxxxxx Xxxxxx Longman Australia Pty. Limited. Melbourne. hlm.104.
25 ibid, hlm.105.
26 Sampel adalah sebahagian daripada keseluruhan (populasi) (Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, 1993. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktek. Ed. Revisi II, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm.25.
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data-data ilmiah yang diambil dari sumber media, buku, kepustakaan.
C. Jalannya Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan melalui 3 (tiga) tahapan. Pertama, penelitian kepustakaan. Tahap ini dilaksanakan dengan pengumpulan data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tersier. Selanjutnya dilakukan studi dokumen terhadap ketiga macam bahan hukum tersebut untuk mendapatkan gambaran secara garis besar mengenai objek penelitian. Kedua, penyusunan. Tahap ini dimulai dengan penyusunan materi. Materi tersebut disusun menjadi satu kesatuan yang rampung. Ketiga, pengolahan dan analisis data serta penyusunan laporan penelitian. Dalam tahap ini data penelitian diolah dan dianalisis yang kemudian dituangkan dalam hasil penelitian dan pembahasan. Selanjutnya, hasil penelitian dan pembahasan tersebut disusun dalam bentuk Laporan Penelitian setelah dilakukan proses perbaikan dan penyempurnaan melalui forum seminar hasil penelitian.
D. Analisis Data
Analisis Data dilakukan secara kualitatif, dengan pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Kedua, metode ini lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Model analisis kualitatif yang digunakan adalah (kngan cara mengkaji obyek penelitian kemudian diproyeksikan pada standar norma-norma hukum/peraturan perundang-undangan yang berlaku ideal yang diharapkan selanjutnya ditafsirkan (diinterpresatsikan) berdasar teori (theoritical interpretation) dan untuk kemudian ditarik generalxxxxx sebagai rumusan yang bersifat ideal (ius constitutum). Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara sebagai berikut:
1. Data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan dipilih dan dihimpun, kemudian disusun dalam suatu kerangka yang sistimatis untuk memudahkan analisisnya. Kemudian diadakan analisis yaitu data yang telah dipilih dan dihimpun tersebut kemudian dikelompokan, dihubungkan dan dibandingkan satu sama lain.
A. Rincian Biaya
BAB IV
RINCIAN BIAYA DAN JADWAL
No. | JENIS PENGELUARAN | BIAYA YANG DIUSULKAN (Dalam rupiah) |
1. | Gaji/honorarium (2 peneliti, | 7.500.000 |
@3.750.000) | ||
Gaji / honorarium (5 mahasiswa | 2.500.000 | |
@500.000) | ||
2. | Bahan-bahan (Material Penelitian : ATK, Kertas, Tinta) | 2.500.000 |
3. | Internet dan Pulsa | 5.000.000 |
4. | Konsumsi, rapat dan pengumpulan data | 7.000.000 |
5. | Lain-lain (komunikasi, praproposal, proposal, laporan akhir) | 5.500.000 |
Total Anggaran PenelitianKeseluruhan | 30.000.000 | |
(==Tiga Puluh Juta rupiah ==) |
X. Xxxxxx
Penelitian ini akan dilaksanakan melalui pengambilan data, baik di Pengadilan Negeri maupun wawancara narasumber.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Maskun. (2013). Kejahatan Siber Cyber Crime Suatu Pengantar. Kencana.
Jurnal
Xxxxxxxxxx, X. (2020). Konsep “Antargolongan” dalam Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Media Iuris, Vol.3 (2), 199-222. xxxxx://x-xxxxxxx.xxxxx.xx.xx/XX/xxxxxxx/xxxx/00000
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Indonesia, Putusan Nomor 76/PUU-XV/2017.
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
Koran Online
Xxxxxxxx, X. X. (2019, Januari 28). Kasus-Kasus Hukum Yang Pernah Menjerat Xxxxx Xxxxx. Xxxxx.xx. Diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxx.xxxxx.xx/xxxxx- kasus-hukum-yang-pernah-menjerat-xxxxx-dhani-dfiB
Xxxxx, X. (2020, Desember 24). Polda Metro Tangani 443 Kasus Cyber Selama 2020, 1.448 Akun Di-take down. detikNews. Diakses 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxxx.xxxxx.xxx/xxxxxx/x-0000000/xxxxx-xxxxx-xxxxxxx-000-xxxxx-xxxxx- selama-2020-1448-akun-di-take-down
Xxxxxx, X. (2017, Juni 9). Pembuat Meme Menghina Presiden Di Facebook, Seorang Pemuda Ditangkap. Xxxxxx.xxx. Diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxx.xxx/xxxx/0000/00/00/00000000/xxxx.xxxx
Xxxxxxxxx, X. (2017, September 7). Repdem Jatim Laporkan Xxxxxx Xxx Xxxxxxx Terkait Status Di FB. Xxxxxxx0.xxx. Diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://x.xxxxxxx0.xxx/xxxxxxxx/xxxx/0000000/xxxxxx-xxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx-xxx- xxxxxxx-terkait-status-di-fb
Xxxxxxx, X. (2017, Juli 16). Penghina Presiden Xxxxxx Xxvonis 15 Bulan Penjara. Xxxxxxxxxx.xxx. Diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxx.xxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/000000/xxxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxx-00- bulan-penjara
Xxxxxxxx, W. I. (2021, Maret 5). Antargolongan di UU ITE. Xxxxxxxx.xxx. Diakses pada 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxxxxxxx.xxx/xxxxxxxx-xxxxx-x/xxxxxxxxxxxxx-xx- uu-ite-1vHU0ycZfyS
Xxxxxxx, X. (2019, Februari 12). Menakar makna “antar-golongan” dalam Pasal 28 (2) UU ITE. Xxxxxxxxx.xx. Diakses 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxxxxxxxx.xx/xxxxxxx- amp/telatah/menakar-makna-antar-golongan-dalam-pasal-28-2-uu-ite
Website Internet
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2020, Maret 03). Ahli: Bidang Penyiaran Bukan Jangkauan UU ITE. Diakses 16 Agustus 2021, melalui xxxxx://xxx.xxxx.xx/xxxxx.xxx?xxxxxxxx.Xxxxxx&xxx00000
LAMPIRAN
Lampiran I
Susunan Personalia Peneliti
No. | Nama | NIDN/NIK/ NIM | Fakultas | Tugas |
1. | Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx X.X., M.Hum., MPA | 0018018403 | Hukum | Ketua Tim |
2. | Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.H., M.M., X.Xx | 0018018403 | Hukum | Anggota Tim |
3. | Xxxxxx Xxxxxx | 205180001 | Hukum | Anggota Mahasiswa |
4. | Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx | 205180089 | Hukum | Anggota Mahasiswa |
5. | Xxxx Xxxx Xxxxxxxxx | 205180084 | Hukum | Anggota Mahasiswa |
6. | Shrishti | 205190263 | Hukum | Anggota Mahasiswa |
7. | Xxxxxxx Xxxx Xxxxxx | 205200013 | Hukum | Anggota Mahasiswa |
Lampiran 2
Biodata Ketua Tim Peneliti
1. Nama Lengkap | Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA |
2. NIK / NIDN | 0018018403 |
3. Jabatan | Dosen Tetap |
4. Pangkat/golongan | Lektor |
5. Tempat, tanggal lahir | Pontianak, 18 Januari 1984 |
6. Jenis kelamin | Laki-laki |
7. Agama | Islam |
8. Institusi Asal | Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara |
9. Bidang Kehalian | Hukum Pidana |
10. Alamat Institusi | Jl. Letjen S. Xxxxxx No. 1 Jakarta Barat 11440 |
11. E-mail |
Lampiran 3
Biodata Anggota Tim Penelti
1. Nama Lengkap | Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.H., M.M., X.Xx. |
2. NIK / NIDN | 0307026701 |
3. Jabatan | Dekan Fakultas |
4. Pangkat/golongan | |
5. Tempat, tanggal lahir | |
6. Jenis kelamin | Laki-laki |
7. Agama | Islam |
8. Institusi Asal | Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara |
9. Bidang Kehalian | |
10. Alamat Institusi | Jl. Letjen S. Xxxxxx No. 1 Jakarta Barat 11440 |
11. E-mail |
Lampiran 4 Biodata Mahasiswa
No | Nama | NIM | Tempat Tanggal Lahir | Jenis Kelamin | |
1. | Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx | 205180089 | Jakarta, 01 Desember 2000 | Perempuan | |
2. | Xxxxxx Xxxxxx | 205180001 | Jakarta, 02 Januari 2001 | Perempuan | |
3. | Xxxx Xxxx Xxxxxxxxx | 205180084 | Porsea, 13 Maret 1999 | Laki-Laki | |
4. | Shrishti | 205190263 | Jakarta, 24 Maret 2001 | Perempuan | |
5. | Xxxxxxx Xxxx Xxxxxx | 205200013 | Jakarta,12 September 2001 | Perempuan |
Lampiran 5 Justifikasi Anggaran
No | Uraian | Jumlah |
1 | HONORARIUM ( 2 tahap @1.000.000,-) | 2.000.000 |
2 | KONSUMSI | 4.000.000 |
3 | TRANSPORTASI | 700.000 |
4 | PENGADAAN LAPORAN | 4.300.000 |
Jumlah | 11.000.000 |
Lampiran 6 Identitas Peneliti
IDENTITAS PENELITI
Judul Penelitian : Interpretasi Hukum Tekait Pasal 28 ayat (2)
Khususnya Frasa Antar Golongan dalam Penerapan Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
1 Ketua Peneliti :
a. NamaLengkap : Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.Hum., MPA
b. JenisKelamin : Laki-Laki
c. NIP 198401182009121005
d. JabatanStruktural : -
e. JabatanFungsional : Lektor
f. Fakultas / Jurusan: Hukum
g. Alamat Surat :
x. Xxxxxx Kantor : Jl. Xxxxxx X.Xxxxxx Xx.0, Xxxxxxx 00000 x. Telepon / Fax 000000000000
j. Email : xxxxx@xx.xxxxx.xx.xx
2 Peneliti :
a. NamaLengkap : Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.M., M.H., X.Xx
b. JenisKelamin : Laki-Laki
c. NIP :
d. JabatanStruktural : -
e. JabatanFungsional : Lektor Kepala
f. Fakultas / Jurusan: Hukum
g. Alamat Surat :
x. Xxxxxx Kantor : Jl. Xxxxxx X.Xxxxxx Xx.0, Xxxxxxx 00000
i. Telepon / Fax :
j. Email :
k. Anggota Pengusul : | |
a) Xxxxxx Xxxxxx | (205180001) |
b) Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxx | (205180089) |
c) Xxxx Xxxx Xxxxxxxxx | (205180084) |
d) Xxxxx Xxxxxxxx | (205180071) |
e) Shrishti | (205190263) |