KNOWLEDGE-BASED ECONOMY
TINJAUAN KRITIS KONSEP PEKERJA INTELEKTUAL DI ERA
KNOWLEDGE-BASED ECONOMY
AFRIZAL AS-SIDDIQ
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN KOTA MAKASSAR
2024
TINJAUAN KRITIS KONSEP PEKERJA INTELEKTUAL DI ERA
KNOWLEDGE-BASED ECONOMY
sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
disusun dan diajukan oleh
XXXXXXX XX-XXXXXX A021171519
kepada
DEPARTEMEN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS HASANUDDIN KOTA MAKASSAR
2024
ii
SKRIPSI
TINJAUAN KRITIS KONSEP PEKERJA INTELEKTUAL DI ERA KNOWLEDGE-BASED ECONOMY
disusun dan diajukan oleh
XXXXXXX XX-XXXXXX A021171519
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi pada tanggal 10 Januari 2024 dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan
Menyetujui, Panitia Penguji
No. Nama Penguji Jabatan Tanda Tangan
1. Xx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxxx, S.E.,M.Agr Ketua 1……………….
2. Xx. Xxxxxxx Xxxx, S.E.,MS Sekretaris 2……………….
3. Prof. Xxx. Xx. Xxxx X.X. Xxxxxxxxx, X.Xx.,Ph.D., CWM
Anggota 3…………….....
4. Xx. X. Xxxxxxxx Xxxxx, S.E.,MBA Anggota 4……………….
Ketua Departemen Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin
iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Xxxxxxx Xx-Xxxxxx
NIM : A021171519
Departemen/Program Studi : Manajemen/Strata 1 (S1)
Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul
TINJAUAN KRITIS KONSEP PEKERJA INTELEKTUAL DI ERA
KNOWLEDGE-BASED ECONOMY
Adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Makassar, 15 Januari 2024 Yang membuat xxxxxxxxxx,
Xxxxxxx As-Xxxxxx
v
PRAKATA
Puja dan puji kita panjatkan ke Allah SWT., Tuhan sang pemilik alam semesta beserta seluruh isinya. Hanya kepada-Nya kita memohon ampun dan ridho serta rasa syukur atas segala nikmat dan rahmat yang dilimpahkan kepada kita semua. Dia pula sang pemilik ilmu pengetahuan yang tanpanya kehidupan manusia akan berjalan dengan penuh kegelapan serta tak lagi menjadikan kebenaran sejati sebagai pencariannya. Shalawat dan salam kita panjatkan pula pada Xxxx Xxxxxxxx, keluarganya yang suci serta orang-orang yang telah menapaki jejak perjalanan dan perjuangan beliau dalam menegakkan keadilan dan keberpihakannya kepada kaum mustadh'afin (tertindas).
Skripsi ini bukan hanya studi yang dilakukan semata-mata untuk berkontribusi pada kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Lebih dari itu, studi ini adalah upaya pikiran dan praksis penulis dalam memahami kondisi pekerja hari ini yang sedang berjuang menghancurkan struktur eksploitatif kapitalisme. Tanpa pemahaman yang memadai, kiranya inisiatif-inisiatif yang bersifat transformatif hanyalah sebatas retorika belaka. Maka, melalui studi ini penulis mengharapkan adanya kebaruan dalam memahami situasi dan kondisi dari pekerja dan kapitalisme yang telah bermutasi. Dengan demikian, upaya pengorganisasian kelas pekerja menjadi kontekstual dengan mutasi kapitalisme pasca-Fordis hari ini dan transformasi sosial yang diperjuangkan mendapat makna yang sebenar- benarnya.
Studi ini bisa rampung tidak terlepas dari bantuan dalam berbagai macam bentuk dari berbagai pihak yang dikenal penulis. Untuk itu bagian ini didedikasikan kepada berbagai pihak yang bersangkutan. Adalah Xx. Xx. Xxxxxxxxx Xxxxx, S.E.,M.Agr selaku pembimbing utama yang telah menjadi tempat berkonsultasi
vi
dan penasihat bagi penulis. Xx. Xxxxxxx Xxxx, S.E.,MS selaku pembimbing pendamping yang terus memotivasi dan memberikan saran kepada penulis. Terima kasih juga kepada para penguji Prof. Xxx. Xx. Xxxx X.X. Xxxxxxxxx, X.Xx.,Ph.D., CWM dan Xx. X. Xxxxxxxx Xxxxx, S.E.,MBA atas pengujian, saran dan masukan terhadap bangunan pemikiran dan argumen penulis serta nasihat- nasihat di luar ranah akademik. Juga kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxxx Xxxxx, S.E., X.Xx., CIPM., serta Ketua Departemen Manajemen Xx. Xxxx Xxxxx, S.E.,MBA.,M.Phil dan seluruh pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang pernah mengampu mata kuliah yang diprogram oleh penulis. Tidak lupa pula jajaran Departemen Manajemen, khususnya Pak Tamsir dan Pak Bustan yang turut memudahkan pengurusan administrasi untuk ujian serta jajaran Akademik Fakultas yang mengarahkan dan juga memudahkan syarat administrasi yang diperlukan. Penulis juga khususkan ucapan terima kasih kepada Mama Xxxxxx, Kak Lia, Mama Aji, Kak Tia, Xxx Xxxxx, Pak Tarru dan Pak Bur yang kesemuanya adalah orang-orang yang selalu direpotkan oleh penulis selama di kampus.
Penulis ucapkan pula banyak terima kasih kepada kawan-kawan penulis selama di kampus seperti Xxxxx, Xxxx, Xxxxxx, Xxxx, Xxxxxx, Xxxxx, Eki, Bomang, Een, Xxxxx, Xxxxx, Xxxxx, Xxxx. Saudara-saudari penulis di Himpunan Mahasiswa Islam selain terlalu banyak untuk disebutkan juga merupakan tempat tumbuh- kembangnya pemikiran penulis antara lain Sutami, Kak Abot, Kak Agung, Kak Dede, Xxx Xxxxxx, Kak Xxxxx, Xxx Xxxx, Kak Agus, Xxx Xxxx, Kak Manceks, Kak Alhe, Kak Nur, Kak Ifan, Kak Ashraf, Kak Angga, Kak Dewi, Kak Vivi, Xxx Xxxx, Xxx Xxxxx, Xxx Xxxxx, Xxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxx, Xxx Xxxxx, Xxxxxx, Kumbang, Xxxxxx, Xxxxx, Xxxx, Xxxxx, Xxx, Xxxx, Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxxx, Xxxxxx, Xxxx, Xxxxx, Adul,Xxxx, Xxxxx, Icing, Xxxx, Xxxxx, Xxxxx, Xxx, Xxxxxx, Xxxxx, Gibe,
vii
Sauqi, Syakli, Xxx, Xxxx, Xxxxx, Xxxxxx, Xxxxx, Xxxxxx. Kawan-kawan di Redbooks yang tetap menjaga spirit intelektualitas dan gerakan anti-kapitalisme antara lain Kak Agung Tukule, Kak Fatwa, Kak Petta, Kak Ardan, Kak Ifan, Sute, Afifah, Xxxx, Xxxxx, Tika, Xxx, Xxxxxx, Kumbang, Xxxxx, Xxxxxx, Dina, Xxxxx, Xxxxxx, Xxxx, Xxxxx, Kak Novi. Rekan-rekan di ARC Bandung seperti Xxxxxx, Xxx Xxxxx, Xxxx, Xxxx, Xxxxx, Xxxx, Xxxxxxx, Xxxxxxx, Xxxxx, Xxxx, Xxxxx, Xxxxx, Xxxxx yang menemani penulis menjelajahi studi tentang kapitalisme agraria. Juga kepada teman-teman di IMMAJ FEB-UH, IMA FEB-UH, dan SEMA-FEB UH yang turut berkontribusi bagi karakter, pemikiran, dan gerakan penulis yang terus diuji selama di kampus.
Xxxxxx hormat dan kasih sayang penulis berikan kepada kedua orang tua dan keluarga penulis, X. Xxxxxxx Xxxx dan Hj. Sunnuraeny Xxxxxxx, serta saudara- xxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx dan Astrini Xxxxxx Xxxx yang mengajarkan arti dari “rumah”. Juga tak luput Xxxxx Xxxxx Xxxxx yang selama dua tahun belakangan memberikan motivasi dan semangat sebagai teman diskusi/debat selama menjalani kehidupan kampus dan organisasi.
Akhir kata, terima kasih sekali lagi kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian studi ini. Sebab karya ini tidaklah sempurna, maka sangat dibutuhkan saran, kritik serta pengujian terhadap argumen-argumen yang dikembangkan di dalamnya demi penyempurnaan karya ini.
Makassar, 15 Januari 2024
Xxxxxxx Xx-Xxxxxx
viii
ABSTRAK
Tinjauan Kritis Konsep Pekerja Intelektual di Era Knowledge-Based Economy
Afrizal As-Xxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx Xxxx
Xxxxxxxxxx ini adalah upaya menginvestigasi konsep pekerja intelektual di era knowledge-based economy melalui lensa manajemen kritis dan apakah pekerja (intelektual) berperan dalam mendorong perubahan organisasi bisnis. Tujuan penelitian ini adalah tinjauan terhadap konsep pekerja intelektual beserta perubahan organisasi bisnis yang diletakkan dalam latar sosio-ekonominya, yakni kapitalisme pasca-Fordisme. Menggunakan lensa manajemen kritis, penelitian ini tidak ingin terjebak dalam tinjauan etis-normatif, alih-alih melacak konfigurasi ekonomi-politik yang memungkinkan pekerja intelektual hadir sebagai sebuah konsep. Dalam penelitian ini, penulis menelusuri epos historis yang kemudian melahirkan sebentuk pekerja baru (pekerja intelektual), yaitu transisi dari Fordisme ke dalam rupa pasca-Fordisme. Dalam epos historis ini, kerja imaterial adalah kerja yang menempati posisi hegemonik dan termanifestasi dalam munculnya kerja intelektual sebagai salah satu bentuknya. Evolusi kontemporer organisasi bisnis pun tak terlepas dari transformasi kapitalisme pasca-Fordis. Dengan demikian, penelitian ini berkesimpulan bahwa konsep pekerja intelektual lebih baik diletakkan dalam bingkai besar kerja imaterial dan prinsip serta model jaringan adalah evolusi kontemporer organisasi bisnis.
Kata Kunci: Konsep Pekerja Intelektual, Knowledge-Based Economy, Manajemen Kritis, Kapitalisme Pasca-Fordisme, Evolusi Kontemporer Organisasi Bisnis.
ix
A Critical Review of the Concept of Intellectual Workers in the Era of Knowledge-Based Economy
Afrizal As-Xxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx Xxxx
This research is an attempt to investigate the concept of intellectual workers in the era of knowledge-based economy through the lens of critical management and whether workers (intellectuals) play a role in driving changes in business organizations. The purpose of this research is a review of the concept of intellectual workers and business organizational change placed in its socio-economic setting, namely post-Fordism capitalism. Using a critical management lens, this research does not want to be trapped in an ethical-normative review, but instead traces the political-economic configuration that allows intellectual labor to exist as a concept. In this research, the author traces a historical epoch that later gave birth to a new form of worker (intellectual worker), namely the transition from Fordism to a form of post-Fordism. In this historical epoch, immaterial labor is labor that occupies a hegemonic position and is manifested in the emergence of intellectual labor as one of its forms. The contemporary evolution of business organizations is inseparable from the transformation of post-Fordist capitalism. Thus, this research concludes that the concept of intellectual labor is better placed within the larger frame of immaterial labor and the principles and models of networking are the contemporary evolution of business organizations.
Keywords: Concept of Intellectual Workers, Knowledge-Based Economy, Critical Management, Post-Fordist Capitalism, Contemporary Evolution of Business Organizations.
x
2.1 Knowledge Based-Economy 15
2.1.1 Konteks Kemunculan Knowledge Based-Economy 16
2.1.2 Pengetahuan Sebagai Sumber Daya 20
2.1.3 Pilar Ekonomi Pengetahuan 23
2.2 Pekerja Intelektual (Knowledge Worker) 27
2.2.1 Konteks Kemunculan Pekerja Intelektual 27
2.2.2 Kerja Intelektual (Knowledge Work) 30
2.2.3 Peran Teknologi Informasi 33
2.3.2 Peran Organisasi dalam Kehidupan Sosial 36
BAB III METODE PENELITIAN 49
3.1 Jenis Penelitian 49
3.2 Jenis dan Sumber Data 50
3.2.1 Jenis Data 50
3.2.2 Sumber Data 50
3.3 Metode Pengumpulan Data 50
3.4 Metode Analisis Data 51
BAB IV TRANSISI DARI FORDISME KE PASCA-FORDISME 53
4.1 Krisis Fordisme dan Transisi Ke Pasca-Fordisme 53
4.2 Karakteristik Lini Produksi dan Manajemen Pekerja Era Pasca- Fordisme 63
BAB V KERJA IMATERIAL: MELAMPAUI GAGASAN KERJA INTELEKTUAL
............................................................................................................... 69
5.1 Kerja Imaterial: Konsep Kerja Kontemporer 70
xi
5.2 Anatomi Kerja Imaterial: Kerja Intelektual, Xxxxx Xxxxxxx dan Kerja Biopolitik 82
BAB VI EVOLUSI KONTEMPORER ORGANISASI BISNIS: MELACAK PERAN PEKERJA (INTELEKTUAL) 88
6.1 Evolusi Kontemporer Organisasi Bisnis 88
6.2 Melacak Peran Pekerja (Intelektual) Dalam Evolusi Organisasi Bisnis
............................................................................................................... 99
BAB VII PENUTUP 104
7.1 Kesimpulan 104
DAFTAR PUSTAKA 107
LAMPIRAN 112
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran 48
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbagai kalangan bersepakat bahwa terjadi tren baru di ranah ekonomi selama beberapa dekade terakhir dan merupakan fenomena yang sama sekali berbeda dari sebelumnya (Xxxxxxxx & Staines, 2009). Tren ini melibatkan perubahan fundamental terhadap cara kerja ekonomi, dan karenanya menandai keterputusan dari praktik ekonomi terdahulu. Pengetahuan menjadi komponen mendasar dari modus ekonomi ini. Dicirikan dengan aktivitas berbasis produksi, penyebaran dan konsumsi pengetahuan yang bertujuan untuk mengakselerasi kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Bentuk ekonomi yang telah disinggung di muka umumnya dikenal dengan nama ‘ekonomi pengetahuan’ (knowledge economy) atau ‘ekonomi-berbasis-pengetahuan’ (knowledge-based economy).
Ekonomi pengetahuan tidak lain daripada fase baru perkembangan ekonomi yang diiringi oleh suara penolakan terhadapnya. Oleh sebab itu terjadi perdebatan yang masih berlangsung di seputar klaim ini. Terlepas dari polemik yang tengah berlangsung; selama beberapa tahun terakhir, terjadi perubahan penting terkait bagaimana ekonomi bekerja yang tak mungkin diabaikan. Mengambil contoh apa yang terjadi di negara-negara maju, kini teknologi telah menjadi ujung tombak ekonomi. Hadirnya teknologi baru dan semakin hari kian canggih, dengan demikian, membawa potensi untuk merubah sifat dari kerja dan ekonomi (Xxxxxx & Xxxxxxxx, 2004). Seperti yang dapat diamati, sejak akhir 1950- an, penggunaan komputer pribadi semakin meningkat dan kemudian diikutii oleh
1
meluasnya penggunaan internet dan TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) lainnya secara dramatis berkontribusi pada peningkatan kemampuan untuk akses, pertukaran, dan menyimpan pengetahuan (Xxxxxxxx & Staines, 2009).
Di tengah mengemukanya bentuk ekonomi baru yang merujuk pada ekonomi pengetahuan, tidak ditemui kesepakatan kuat terkait definisi otoritatif atasnya. Akan tetapi, agar memiliki wawasan awal, salah satu definisi sarjana dipinjam untuk menjelaskan hal itu; Xxxxxx dan Snellman (2004) menyebut modus ekonomi ini umumnya mengacu pada sistem produksi dan jasa yang didasarkan pada kegiatan padat-pengetahuan dan karenanya bertumpu pada pengetahuan, mengejar inovasi tanpa henti dalam rangka berkontribusi untuk kemajuan di bidang teknologi dan ilmu pengetahuan. Pengertian umum ekonomi pengetahuan, dengan demikian, telah dikemukakan. Dengan aspek utama berupa ketergantungan pada pengetahuan, mengindikasikan bahwa ekonomi ini bergantung lebih besar pada barang ‘tak berwujud’ dibandingkan barang ‘berwujud’.
Pengetahuan sebagai salah satu aset tak ‘tak berwujud’, berperan penting dalam aktivitas ekonomi saat ini. Walaupun begitu sejak dahulu hingga kini tak ada praktik ekonomi yang tidak bertumpu pada pengetahuan dan itu nampak dalam pengorganisasian kerja yang menggabungkan tenaga kerja dan teknologi. Selain itu, berbeda dengan bahan baku dan produk dari bentuk ekonomi lainnya, pengetahuan memiliki watak ‘nonrivalrous’ (Mangabeira, 2020). Dalam artian ini, pengetahuan jika dikonsumsi secara bersamaan tak akan mungkin habis atau membuat orang lain tidak dapat memakainya. Bahkan ketika pengetahuan baru ditemukan dan dijadikan barang publik, konsumen baru tak perlu mengeluarkan biaya untuk mengkonsumsinya sebab pengetahuan tadi telah tersedia secara
cuma-cuma. Tetapi hal ini tidak berlaku dalam kegiatan pengembangan kemampuan untuk memahami dan menggunakan pengetahuan secara efektif, berkebalikan dengan pengetahuan yang telah menjadi barang publik dan karenanya tersedia tanpa biaya, sebab memerlukan biaya untuk melakukannya (Xxxxxxx, 2009).
Sehubungan dengan pengetahuan, Xxxxxxx (2009) pun mengemukakan bagaimana transformasi pengetahuan terjadi untuk kemudian menjelaskan dimensi sejarah ekonomi pengetahuan. Argumennya menyatakan bahwa selama tiga abad terakhir terjadi transformasi dalam pengetahuan. Transformasi tersebut mewujud dalam jumlah pengetahuan teknikal, selain itu aksesibilitas terhadap pengetahuan demikian juga mengalami hal serupa. Meningkatnya akses terhadap pengetahuan teknikal dimungkinkan melalui publikasi/penerbitan, universitas dan jaringan profesional. Implikasinya ialah dorongan atas proses produksi pengetahuan baru secara berkesinambungan, yang pada akhirnya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain dari karakteristik umum yang dijabarkan di atas, masih ada ciri lain ekonomi pengetahuan yang mesti dikemukakan, yakni posisi ekonomi pengetahuan yang kini amat dominan. Walaupun demikian, posisinya yang dominan terbatas oleh sifat insulernya. Tidak seperti praktik ekonomi pendahulunya, ekonomi pengetahuan tidaklah terikat dengan satu sektor produksi tertentu. Dapat ditemukan di manufaktur yang canggih, layanan/jasa padat- pengetahuan dan bahkan pertanian ilmiah. Namun kehadirannya di setiap sektor ekonomi berada di ‘pinggiran’. Persis di titik ini, terlihat paradoks ekonomi pengetahuan bahwa berkebalikan dengan kondisi sebelumnya, ekonomi pengetahuan malah memainkan peran utama di seluruh negara ekonomi utama di
dunia: baik itu di pusat negara-negara berkembang (seperti China, India, Brazil, dan Indonesia), maupun di negara-negara terkaya. Perubahan pembagian kerja skala dunia merupakan bukti dari dominasi ekonomi pengetahuan (Mangabeira, 2019b).
Fakta bahwa memang ekonomi pengetahuan hadir sebagai garda depan praktik ekonomi saat ini tidak dapat disangkal. Kendati demikian, manfaat dari perubahan yang dihasilkan tidak dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat akibat karakter insulernya. Oleh karena itu, posisinya yang berada di ‘pinggiran’ dalam artian terisolasi dari elemen masyarakat yang luas dan dinikmati hanya oleh segelintir orang, jika terus bertahan, justru hanya mendapatkan label ‘eksklusif’. Hal ini menuntut cara untuk mengubah sifat insularitas tersebut menjadi sesuatu yang inklusif (Mangabeira, 2019a). Jika hal ini diabaikan, sudah bisa dipastikan bahwa segenap potensi yang tersimpan dan terasosiasi dengan ekonomi pengetahuan tak mungkin bisa terealisasi bahkan bermanfaat untuk kemajuan masyarakat di masa depan.
Efek yang ditimbulkan oleh ekonomi pengetahuan pun tidak bisa diremehkan dan terbilang signifikan. Efeknya terhadap ekonomi, spesifik pada hubungan antara modal dan tenaga kerja, nyatanya merugikan tenaga kerja dengan pengaturan pasar yang sifatnya fleksibel. Sementara itu ekonomi pengetahuan juga diketahui sebagai penyebab dari stagnasi dan ketimpangan ekonomi. Ini tak lain akibat dari status insuler yang melekat pada ekonomi pengetahuan. Kemerosotan industri produksi massal dan tidak adanya dukungan ekonomi yang kuat pada tenaga kerja merupakan manifestasi sifat insulernya. Terdegradasinya sebagian besar tenaga kerja menjadi tenaga kerja rentan adalah konsekuensi paling parah yang mungkin terjadi. Kondisi demikian semakin
memperdalam segmentasi hirarkis yang berada tepat di inti ekonomi yang bebannya ditanggung secara tidak proporsional oleh tenaga kerja, pihak yang justru menciptakan proporsi besar kekayaan dalam ekonomi (Mangabeira, 2019a).
Dengan aneka efek yang ditimbulkan ekonomi pengetahuan dan sejak pengetahuan menjadi sumber daya sentral ekonomi, baik itu di negara maju maupun berkembang; satu perubahan penting yang mesti dicatat yakni watak kerja perlahan berubah. Kerja tak lagi bergantung pada keahlian melainkan pada pengetahuan. Keterampilan tetap eksis dan dibutuhkan namun keterampilan yang diperoleh dan digunakan mesti berdiri di atas fondasi pengetahuan. Pengetahuan pada gilirannya membantu guna menguasai keterampilan yang baru, bahkan yang paling canggih sekalipun. Oleh sebab itu, pengetahuan akan produktif hanya jika pengetahuan menjadi fondasi atas keterampilan yang dimiliki, yang kemudian turut memudahkan perolehan aneka keterampilan baru. Di samping itu, jika pengetahuan diaplikasikan juga bermanfaat guna memperkaya cakrawala imajinasi, selain keterampilan baru, bagi penggunanya (Drucker, 1969).
Hal tersebut merupakan bagian dari pengaruh pengetahuan yang merentang luas, yakni selain menjelma berupa modal utama dalam ekonomi saat ini, juga mengintroduksi gagasan kerja intelektual. Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxx Xxxx adalah nama-nama yang pertama-tama mempopulerkan istilah ini. Para intelektual tersebut menyebut Amerika Serikat sebagai tempat bermulanya kerja intelektual. Motif yang mendasari Amerika Serikat dijadikan patokan adalah mengemukanya tendensi yang mengarah pada informasionalisasi struktur sosial. Terbukti dengan semakin meningkatnya segmen tenaga kerja di sektor yang berkaitan dengan informasi sekaligus merupakan gejala dari perubahan struktural,
yakni pemusatan terhadap segala aktivitas yang menghasilkan dan mendistribusikan informasi dan pengetahuan (Pyӧriӓ, 2005).
Dalam aktivitas produksi dan distribusi pengetahuan yang semakin penting perannya, terdapat pekerja intelektual sebagai elemen fundamental yang kerjanya sarat dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Namun demikian, pemakaian teknologi informasi dan komunikasi tidak dapat sepenuhnya mengklasifikasikan kerja intelektual hari ini. Ada aspek yang lebih utama untuk dimasukkan dalam kategori kerja intelektual, yakni hubungannya dengan konten simbolik dalam kerjanya. Kerjanya dituntut lebih banyak berinteraksi dengan pengetahuan teoritis yang sifatnya abstrak, kompleks dan formal. Inilah alasan mengapa organisasi kerja kontemporer bergantung pada pendidikan formal dibandingkan pengalaman. Meski tidak mengesampingkan keterlibatan langsung: dalam praktik dan proses kerja itu sendiri. Namun selain bergantung pada pengetahuan teoritis, aspek penting dalam kerja intelektual yang mesti dimiliki pekerjanya, adalah kemampuan untuk kooperatif dan fleksibel dalam melakukan pekerjaannya (Pyӧriӓ, 2005).
Apalagi, kini, keuntungan dari pengetahuan akan lebih banyak diterima oleh orang yang bekerja dalam organisasi berskala besar. Dengan kata lain, bekerja sebagai seorang anggota dalam sebuah tim. Prasyarat utama bekerja dalam suatu tim adalah pekerja mesti fleksibel dan bersikap kooperatif dengan orang lain. Bagi pekerja intelektual yang dihadapkan dengan tuntutan untuk menjadi fleksibel dan kooperatif, hal ini tak lebih dari cerminan kondisi organisasi yang diliputi oleh kontingensi. Oleh sebab itu, watak kerja intelektual juga relatif tidak terstruktur dan kontingen. Dengan demikian, tak hanya pengetahuan teoritis, pengetahuan interpersonal juga sedemikian penting dimiliki pekerja intelektual
untuk menjawab tuntutan organisasi. Terlepas dari banyaknya tuntutan, organisasi sedemikian besar menawarkan keuntungan bagi pekerja intelektual (Pyӧriӓ, 2005).
Klaim demikian bukan sesuatu yang keliru dan tidak berdasar. Namun, tidaklah menunjukkan bahwa hanya pekerja intelektual yang bergantung pada organisasi, melainkan saling-ketergantungan dalam hubungan keduanya. Turriago-Xxxxx et al. (2016) menyatakan bahwa organisasi menemukan tempat utama di masyarakat, semenjak peralihan ke masyarakat-pengetahuan terjadi. Organisasi merupakan penghubung antara individu dan masyarakat, di mana organisasi sebagai sarana untuk mencapai tujuan individu. Oleh karena itu, guna merealisasikan tujuannya individu mesti bekerja dalam organisasi sekaligus berstatus pekerja (karyawan dalam istilah Drucker). Individu dengan posisinya sebagai pekerja/karyawan mendapatkan bayaran atas kerjanya serta berbagai keuntungan lainnya yang disediakan oleh organisasi (Drucker, 1969).
Di lain hal, Igielski (2017) berargumen bahwa organisasi dalam konteks bisnis, yakni perusahaan, tengah berada dalam pasar yang diliputi oleh tuntutan yang kian kompleks. Hal ini terjadi lantaran pasar atau lingkungan di mana perusahaan beroperasi mengalami banyak perubahan yang mengakibatkan persaingan sebagai suatu keniscayaan. Untuk bisa menjaga posisinya di tengah iklim kompetisi seperti itu, perusahaan harus secara efektif menggunakan berbagai modal atau sumber daya yang dimilikinya. Hanya dengan begitu, perusahaan dapat meraih kesuksesan dalam kondisi pasar yang senantiasa berubah. Perubahan tersebut, oleh Xxxxxxxx, dinilai sebagai manifestasi dari laju teknologi yang semakin tidak terbendung.
Investasi pada aset “tak berwujud” adalah manifestasi nyata dari perubahan yang berlangsung di dunia bisnis saat ini. McKinsey Global Institute (2021) dalam makalah berjudul “Getting Tangible About Intagible: The Future of Growth and Productivity?” menyatakan bahwa ekonomi masa pemulihan pasca- pandemi semakin bergerak menuju pertumbuhan yang didasarkan pada investasi barang “tak berwujud”, tidak lain merupakan karakteristik dunia yang disebut dematerialized world. Tren tersebut mengalami pula akselerasi, bahkan di tengah disrupsi ekonomi, seperti ketika pandemi COVID-19 melanda di tahun 2020-2021. Karena investasi pada aset “tak berwujud” berkorelasi dengan produktivitas dan pertumbuhan sektoral, maka perusahaan-perusahaan dalam berbagai tingkatan kinerja dengan sengaja berinvestasi secara besar-besaran untuk hal tersebut.
Tidak hanya itu, bila organisasi hendak meraih kesuksesan di tengah perubahan yang niscaya dalam lingkungan bisnis yang kompetitif, menuntut organisasi untuk bisa adaptif. Hal ini dikonfirmasi oleh survey yang dilakukan McKinsey & Company (2021) dengan responden yang berjumlah 2,190 responden di berbagai industri dan geografis. Masalah yang dikemukakan yaitu: apakah “agility” jika praktikkan dalam lingkup suatu organisasi, berdampak pada kesuksesan organisasi tersebut. Hasil survei menunjukkan bahwa organisasi yang mendorong transformasi “agile” yang sukses berimplikasi pada peningkatan kinerja yang signifikan dibandingkan dengan organisasi yang tidak menjalankannya.
Investasi aset “tak berwujud’ dan adaptasi perusahan, dalam bentuk transformasi “agile”, merupakan fitur-fitur dari ekonomi pengetahuan sebagai latar struktural di mana perusahaan beroperasi. Hal ini kemudian dibuktikan oleh temuan Koster (2023) dalam penelitiannya mengenai praktik organisasi di era
ekonomi pengetahuan, bahwa terdapat hubungan kuat dan positif antara intensitas pengetahuan dari ekonomi yang berlangsung dan praktik kerja padat- pengetahuan yang organisasi implementasikan. Bila berbagai penelitian sebelumnya hanya menekankan pada hubungan antara ekonomi pengetahuan dan perubahan watak kerja. Penelitian Koster mengisi kekosongan tersebut dengan menunjukkan pengaruh ekonomi pengetahuan terhadap praktik organisasi, menggunakan metode riset perbandingan organisasi di berbagai negara. Kesimpulan dari temuan penelitian ini menekankan bahwa struktur (ekonomi), bukan agen, secara signifikan mempengaruhi praktik organisasi.
Padahal, pekerja intelektual seperti yang diketahui, adalah elemen utama organisasi namun sumbangan berarti terhadap perubahan organisasi belum terlihat sejauh ini. Atas dasar itu, tak berlebihan bila dikatakan bahwa pengaruh struktur ekonomi terhadap praktik organisasi lebih superior dibandingkan pengaruh yang disebabkan oleh pekerja intelektual sebagai agen itu sendiri. Oleh karenanya, agar mendapatkan wawasan yang lebih seimbang, perlu didorong agenda penelitian yang bertujuan untuk memeriksa apakah terdapat kontribusi pekerja intelektual dalam hal perubahan organisasi.
Saran penelitian di atas perlu mendapatkan perhatian khusus sebab, sebagaimana dikatakan Tsoukas dan Chia (2002) bahwa perubahan adalah unsur utama realitas, maka penting melihat peran dan posisi pekerja, khususnya pekerja intelektual, perihal perubahan dalam lingkup organisasi. Apalagi pekerja intelektual, menurut Xxxxxxxx (2017) serta Sobocka-Szczapa (2020) adalah kunci kemajuan organisasi dan juga ekonomi hari ini. Bahkan mengikuti kesimpulan Gwaka xx.xx (2016) bahwa perubahan di lingkup organisasi tidak saja berasal dari
faktor eksternal melainkan juga faktor internal, mengindikasikan pekerja sebagai faktor internal bisa saja berkontribusi atas perubahan yang terjadi di organisasi.
Terlepas saran untuk mendorong penelitian terkait peran pekerja intelektual dalam konteks perubahan organisasi, hal lain yang mesti dimajukan dalam agenda penelitian berkaitan dengan pekerja intelektual adalah pendekatan manajemen kritis. Rupanya pendekatan manajemen arus-utama masih mewarnai dan mendominasi berbagai penelitian di bidang manajemen, tak terkecuali pembahasan tentang pekerja intelektual. Apabila merujuk pada gagasan Xxxxxx (2002) tentang ‘managerialism’ sebagai ideologi umum manajemen hari ini, manajemen tak lebih sebagai teknologi yang digunakan untuk mengontrol segala sesuatu di bawah kendali manusia. Dalam konteks “business as usual” yakni kapitalisme, manajemen kritis hadir sebagai alternatif, yang dibutuhkan agar membebaskan aktivitas sehari-hari pekerja dari dominasi bisnis yang fitur utamanya adalah akumulasi kapital (Klikauer, 2016).
Artikel jurnal berjudul “Retrofitting Drucker: Knowledge Work Under Cognitive Capitalism” (2014) adalah salah satu usaha bagaimana kerja intelektual diperiksa melalui pendekatan manajemen kritis. Melalui kacamata ini, kerja intelektual sebagai wawasan yang diambil dari pemikiran dan tulisan Xxxxx Xxxxxxx, diletakkan dalam konteks kapitalisme kognitif, fase kapitalisme yang menempatkan “general intellect” sebagai kekuatan produksi utama. Bahkan dalam analisis itu, kerja intelektual dihubungkan dengan problematisasi atas knowledge management. Tesis serupa juga dikembangkan, meskipun secara kronologsi hadir lebih dulu, oleh Xxxx Xxxxxx (2008) dalam disertasi yang disusunnya. Klaim Xxxxxx, bahkan lebih mengakar, sebab konsep pekerja intelektual dibongkar fondasi epistemologisnya dan diklaim sebagai konsep “liberal-demokratik”.
Melalui pendekatan manajemen kritis, pendiskusian dan perdebatan tentang manajemen disituasikan dalam dunia riil. Pendekatan manajemen kritis berusaha mengungkap karakteristik dunia yang dihuni oleh relasi sosial kapitalistik dan bagaimana akumulasi profit berjalan di atas penindasan dan eksploitasi pekerja. Pekerja menjadi sasaran utama opresi dan marginalisasi sebagai hasil dari ketidaksetaraan dalam hal sumber daya, kekuasaan dan otoritas yang berada dalam organisasi. Di bawah kondisi seperti ini, manajemen kritis berupaya mengakhiri eksploitasi pekerja dan mengemansipasinya dengan menciptakan lingkungan yang berkeadilan, bermoral dan etis (Akella, 2008).
Dengan misi mengakhiri dominasi dan penindasan yang dialami pekerja, manajemen kritis banyak bertaut dengan teori kritis. Hubungan dengan teori kritis terus diasah dan diperluas untuk memberikan kekuatan analitis yang berfungsi mempertanyakan legitimasi atas nilai dan asumsi manajemen tradisional. Teori kritis juga memandang dimensi etis-politik sebagai dimensi yang tidak terpisahkan dari manajemen sebagai suatu disiplin ilmu (Xxxxxxxx & Xxxxxxxx, 2003). Oleh karenanya, untuk membedakan manajemen kritis dari manajemen konvensional, kritik digunakan sebagai cara pandang kreatif atas isu manajemen (Klikauer, 2015).
Sebagai sebuah pendekatan yang berfungsi memeriksa secara mendalam dan menolak kemapanan sesuatu, pendekatan kritis diadopsi oleh penelitian ini untuk melanjutkan trajektori manajemen kritis. Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa masih terbatas literatur yang secara kritis membahas pekerja intelektual beserta kerja yang dilakukannya. Begitu pun yang terjadi sehubungan dengan perubahan organisasi, di mana organisasi dituntut untuk peka terhadap dinamika dan aspirasi zaman. Akibatnya adalah bukan hal mustahil menerima
ketiga hal tersebut sebagai sesuatu yang terberi dan mutlak. Untuk itu, penelitian ini berusaha mengisi celah dalam pembahasan mengenai ekonomi-pengetahuan, pekerja intelektual dan organisasi.
Berangkat dari kondisi yang telah disebutkan di atas, penulis mengangkat topik penelitian “Tinjauan Kritis Konsep Pekerja Intelektual di Era Knowledge- Based Economy”. Dengan ini diharapkan lahir karya yang berkontribusi untuk mempertanyakan dan menggugat paradigma dominan dalam lingkup manajemen.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang diangkat dan dijawab dalam penelitian ini mewujud dalam pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pekerja intelektual di era knowledge based-economy
ditinjau dari perspektif manajemen kritis?
2. Apakah kemunculan dan dominasi konsep pekerja intelektual mendorong perubahan organisasi bisnis?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian didasarkan pada masalah penelitian dan dirumuskan sebagai berikut:
1. Mengetahui bagaimana konsep pekerja intelektual di era knowledge based-economy ditinjau melalui lensa manajemen kritis.
2. Mengetahui apakah kemunculan dan dominasi konsep pekerja intelektual mendorong perubahan organisasi bisnis.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini terdiri atas dua hal, manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritisnya adalah mengingat dalam literatur manajemen arus-
utama masih sangat sangat terbatas penyelidikan mengenai pekerja intelektual, knowledge-based economy serta perubahan organisasi dengan menggunakan perspektif kritis, skripsi ini diharapkan mendorong perdebatan secara kritis dan menggugat perspektif dominan dalam mengkaji kedua hal tersebut. Sedangkan manfaat praktisnya adalah menjadi acuan bagi pengambil kebijakan dan praktisi bidang manajemen dalam memperkaya praktik di lingkup manajemen.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami garis besar setiap bab dalam penelitian ini, maka akan diuraikan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan landasan konseptual sebagai kerangka analisis yang terkait dengan topik penelitian dan menjadi acuan untuk mengembangkan kerangka pemikiran dalam penelitian ini.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini menguraikan jenis dan metode penelitian, jenis dan sumber data yang diperoleh, dan metode pengumpulan dan analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan hasil temuan penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian yang diangkat dan dijabarkan secara deskriptif.
BAB V PENUTUP
Bab ini memuat kesimpulan, saran, dan keterbatasan dalam penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Knowledge Based-Economy
Selama beberapa dekade terakhir banyak pihak yang bersepakat bahwa ekonomi, khususnya di negara-negara maju, telah memasuki tahapan baru. Fase baru perkembangan ekonomi ini disepakati secara umum dengan label ‘knowledge-based economy’ atau ekonomi berbasis pengetahuan. Aktivitas utama ekonomi tersebut berpusat pada produksi dan diseminasi pengetahuan (Xxxxxxxx & Xxxxxxx, 2009; Xxxxxx & Xxxxxxxx, 2004).
Di samping itu, sehubungan dengan definisi ekonomi pengetahuan, tidak ditemui kesepakatan kuat terkait definisi otoritatif atasnya (Xxxxxxx, 2009). Hal ini lantas membuat para sarjana mengajukan definisinya masing-masing. Kendati demikian, terdapat benang merah yang menyatukan setiap definisi para sarjana: pengetahuan sebagai pusat dari aktivitas ekonomi. Terlepas kondisi demikian, dalam tulisan ini, akan tetap dihadirkan definisi ekonomi pengetahuan untuk persamaan persepsi terkait kata tersebut.
Sebagai salah satu lembaga yang sering mempromosikan ide atau konsep ‘knowledge-based economy’, definisi OECD (Organisation For Economic Co- Operation And Development) menjadi acuan di sini. OECD (1996) mendefinisikan ekonomi pengetahuan sebagai “economies which are directly based on the production, distribution, and use of knowledge and information”. Definisi ini dipilih lantaran sering dijumpai artikel dalam mendefinisikan ekonomi pengetahuan merujuk pada definisi yang diajukan oleh OECD dan karenanya otoritatif menurut penulis.
15
Selain definisi, bagian ini juga akan membahas terkait konteks kemunculan, pengetahuan sebagai sumber daya, dan pilar dari ekonomi pengetahuan. Hal ini dimaksudkan sebagai gambaran awal untuk memahami ide atau konsep ‘knowledge-based economy’ beroperasi di realitas.
2.1.1 Konteks Kemunculan Knowledge Based-Economy
Selama beberapa dekade terakhir telah disepakati secara luas bahwa ekonomi di negara maju mengalami transformasi besar. Di Amerika Serikat dan seluruh negara maju lainnya, ekonominya semakin digerakkan oleh pengetahuan. Bentuk ekonomi yang didorong oleh produksi dan penyebaran pengetahuan ini secara umum dikenal sebagai ‘ekonomi berbasis-pengetahuan’ atau ‘ekonomi pengetahuan’. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh tentang ekonomi pengetahuan, perlu kiranya untuk menempatkannya dalam konteks kemunculannya. Bagian selanjutnya akan menelusuri dan menjelaskan konteks yang melatari kemunculan ekonomi pengetahuan.
Xxxxxxx (1969) dalam bukunya yang berjudul The Age of Discontinuity: Guidelines to Our Changing Society menyebut bahwa ‘industri pengetahuan’ menempati posisi penting dalam perekonomian Amerika Serikat. Ditunjukkan pula industri pengetahuan yang memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan dan informasi, mengalami peningkatan dalam proporsinya terhadap Produk Nasional Bruto Amerika Serikat selama tahun 1900an. Di tahun 1955, sektor tersebut menyumbang seperempat dari Produk Nasional Bruto; tahun 1965 telah menguasai sepertiga total produksi nasional dan di akhir 1970an mencapai setengah dari total produksi nasional.
Selain itu, Drucker menyebut bahwa ekonomi Amerika Serikat penghasilan dan pengeluarannya akan berpusat pada aktivitas memproduksi dan
mendistribusikan pengetahuan. Sebelumnya, ekonomi Amerika hanya menghasilkan barang dan jasa. Namun, setelah melewati Perang Dunia II terjadi peralihan menuju ekonomi pengetahuan. Dengan demikian, pekerja manual juga semakin ditinggalkan dan industri lebih banyak merekrut pekerja intelektual. Akan tetapi yang paling utama yakni pengetahuan menjadi ‘faktor produksi’ yang sentral di seluruh negara maju dan berkembang (Drucker, 1969).
Bukan sebuah kebetulan bahwa Xxxxxxx dan beberapa sarjana lainnya memilih untuk berkonsentrasi pada Amerika Serikat sebagai tempat bermulanya pekerja intelektual. Seperti halnya yang diutarakan oleh Pyӧriӓ (2005) bahwa perubahan ini terjadi disebabkan gejala informasionalisasi yang menjangkiti struktur sosial Amerika. Dalam artian, aktivitas di negara tersebut dipusatkan dan hanya berporos di seputar kreasi dan distribusi informasi. Sebagaimana hal ini diakui Cortada (1999), melalui studi yang dilakukan Xxxxxx, bahwa kerja intelektual hanya bisa dideteksi di Amerika Serikat dan tidak memiliki perbandingan di Asia dan Eropa Barat. Oleh sebab itu, pola Amerika menjadi asumsi awal untuk menjelaskan trajektori pekerja intelektual di tempat lain.
LaFayette xx.xx (2019) juga bersepakat bahwa ekonomi Amerika Serikat dan seluruh negara maju semakin digerakkan oleh pengetahuan. Transformasi menuju ekonomi pengetahuan merupakan transformasi terkini yang tengah dialami. Ekonomi pengetahuan merupakan bagian dari serangkaian transformasi ekonomi yang berlangsung selama berabad-abad. Jika diamati reorganisasi ekonomi yang terjadi sebelumnya, berturut-turut, adalah ekonomi industri dan ekonomi pertanian. Sejarah ekonomi yang terjadi seratus tahun terakhir bahkan dirangkum oleh Xxxxxxx sebagai perubahan dari pertanian menuju pengetahuan.
Transisi ke ekonomi pengetahuan adalah fakta meningkatnya pengakuan terhadap kebergantungan ekonomi pada pengetahuan. Oleh sebabnya, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial hanya terjadi apabila suatu negara mampu menghasilkan, menyesuaikan, dan menggunakan pengetahuan baru. Tidak hanya pengetahuan, keberhasilan transisi ini juga bergantung pada: penelitian, pendidikan, dan inovasi (Švarc & Xxxxx, 2017).
Secara historis, pengetahuan, lebih tepatnya sains, jika diletakkan dalam konteks industri dimulai sejak revolusi industri kedua sekitar tahun 1850. Semenjak saat itu produksi industrial mulai berlandaskan pada sains. Peristiwa yang menandai penerapan secara sistematis penelitian dan metode ilmiah dalam proses industrial adalah berdirinya industri kimia dan listrik. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai ‘industri pengetahuan’ pertama dalam sejarah industri. Industri, mulai saat itu, terus mengalami proses ‘scientification’. Proses scientification industri keberlangsungnya ditopang oleh pengetahuan ilmiah yang dihasilkan dari penelitian yang terorganisir dan terlembagakan dalam industri (Švarc & Dabić, 2017).
Hal serupa dikemukakan oleh Xxxxxx (2014) bahwa ‘ekonomi pengetahuan pertama’ merujuk pada Revolusi Industri yang terjadi di rentang tahun 1760 sampai 1850an. Di mana fenomena ini pertama kali terjadi di Inggris kemudian menyebar ke bagian tertentu dari Eropa Utara dan Barat. Menyoroti Inggris sebagai titik mula penyelidikan, akan membantu dalam rangka memahami ekonomi pengetahuan kini. Selain itu, pengetahuan mekanik dan inovasi teknologi dianggap sebagai faktor utama kemajuan ekonomi.
Dengan demikian, persamaan di antara kedua uraian di muka, yakni sejarah ekonomi pengetahuan dapat dilacak mundur ke sekitar tahun 1850an.
Meski begitu, Xxxxxx (2014) menganggap ekonomi pengetahuan baru yang lebih melibatkan banyak aspek kultural, berjejak pertama kali di Inggris dan kemudian meluas. Memang, Inggris, seringkali disebut olehnya karena arti pentingnya sebagai fase historis awal ekonomi pengetahuan. Sementara Xxxxx & Dabić (2017) menyatakan revolusi industri ketiga di Amerika Serikat pada tahun 1950an berkorelasi dengan model ekonomi pengetahuan masa kini. Revolusi industri ketiga ditandai oleh revolusi informasi dan bio-teknologi, yang aktor utamanya adalah perusahaan akademik spin-off kecil, yang melaluinya riset ilmiah dihasilkan lalu dikapitalisasi sekaligus menjadi aktivitas utama saat itu.
Bila sebelumnya jejak awal ekonomi pengetahuan didapati di masa industri awal, kali ini tahapan produksi pengetahuan dalam sejarah akan diuraikan untuk memberikan latar lebih luas bagi ekonomi pengetahuan. Produksi pengetahuan merupakan tahapan yang asal-muasalnya berada jauh di masa lampau. Jika dibandingkan dengan produksi pengetahuan, sejarah pendidikan masih terbilang muda. Hippe dan Fouquet (2018) mencatat ada empat tahapan besar produksi pengetahuan: bahasa, tulisan, mesin cetak, dan internet. Kini masyarakat tengah menikmati kemajuan yang berasal dari internet.
Fase pertama adalah bahasa. Umumnya bahasa diidentifikasi sebagai ciri pembeda manusia dari binatang. Bahasa diperkirakan tercipta sekitar 100,000 tahun yang lalu. Bahasa menjadi medium komunikasi antar sesama manusia yang hingga saat ini terus digunakan. Seiring intensitas yang semakin meningkat, bahasa mampu mendorong evolusi kebudayaan manusia. Satu-satunya instrumen yang melaluinya bahasa dapat digunakan adalah lisan. Fase kedua adalah tulisan yang diciptakan sekitar 10.000 tahun yang lalu. Melalui tulisan pengetahuan menjadi tersimpan dan bertahan dalam waktu yang lama. Kelebihan lainnya
adalah pengetahuan menjadi lebih tersistematis, presisi dan andal (Xxxxx & Xxxxxxx, 2018).
Sedangkan fase ketiga ialah mesin cetak. Mesin cetak, tentu saja, berkorelasi sangat kuat dengan tulisan. Hanya dengan media cetak, revolusi atas skala, jangkauan, biaya dan kecepatan tulisan dimungkinkan. Terutama berkat penemuan mesin cetak Gutenberg, jumlah sangat besar dari tulisan dapat dipublikasikan dan diakses oleh masyarakat umum. Dari ketiga fase di atas, yang paling utama adalah efek kualitatif yang ditimbulkan terhadap cara berpikir. Muatan atau apa yang dipikirkan pun turut berubah secara dramatis. Sementara fase keempat produksi pengetahuan mengacu pada penemuan internet. Seperti yang diketauhi, internet menyingkirkan batasan ruang dan waktu. Oleh karenanya internet diklaim mampu menyimpan jumlah pengetahuan yang hampir tak terbatas terlepas dari tempat dan waktu (Hippe & Fouquet, 2018).
2.1.2 Pengetahuan Sebagai Sumber Daya
Kini tidak ada satupun industri yang tidak mendasarkan aktivitasnya pada pengetahuan. Pengetahuan, bukan sains, yang menjadi sumber daya sentral ekonomi. Meski tak secara jelas menegaskan batas antara pengetahuan dan sains; Drucker mendefinisikan pengetahuan adalah informasi yang tersistematis, terarah, dan diterapkan secara sistematis dalam melakukan sesuatu. Pengetahuan mencakup domain yang lebih luas daripada sains, walau demikian, sains tetap terlibat dalam proses industri. Juga yang tak kalah penting adalah industri sebelum tahun 1850an masih didasarkan pengalaman, namun pengetahuan kini telah menggantikan pengalaman sebagai fondasi industri (Drucker, 1969)
Pentingnya pengetahuan di era ekonomi modern sebenarnya telah lama diakui oleh para sarjana, salah satunya adalah Xxxxx di awal tahun 1940. Namun baru mendapatkan pengakuan yang luas, efek dari terbitnya karya seminal Xxxxx Xxxxxxx di tahun 1980. Karya tersebut membawa implikasi besar pada teori ekonomi, yakni sepenuhnya mengakui pengetahuan sebagai elemen utama dalam proses produksi. Dalam artian ini, pengetahuan adalah aset yang unik sebab memliki peran ganda: berperan sebagai input sekaligus output proses produksi (Xxxx & Xxxxxxxx, 2004).
Berdasarkan Xxxx dan Xxxxxxxx (2004) pengetahuan sebagai output mengacu pada upaya ilmiah dan teknologis dalam rangka produksi pengetahuan baru. Contohnya, upaya ilmiah seperti publikasi jurnal atau buku sedangkan upaya teknologis merupakan penciptaan teknologi dan proses baru. Apa yang hendak dicapai dari proses produksi pengetahuan baru yakni inovasi. Inovasi memberikan nilai ekonomis pada pengetahuan yang eksis dan menciptakan siklus pengetahuan. Proses kumulatif dan integratif menjadi karakteristiknya. Proses demikian biasanya menciptakan suatu sintesis, hasil dari konvergensi atau integrasi. Di samping itu eksternalitas positif juga dihasilkan yakni proses pembelajaran.
Sementara pengetahuan sebagai input berhubungan dengan akumulasi pengetahuan yang berkait-kelindan dengan kemampuan. Kemampuan di sini diekspresikan sebagai: cara bagaimana pengetahuan diperoleh, digunakan, dan diaplikasikan ke dalam konteks dan domain spesifik oleh agen pembelajar (Xxxx & Xxxxxxxx, 2004). Agar agen mampu bertahan dalam proses inovasi, maka tidak ada cara lain selain meningkatkan kemampuan pembelajaran sebagai dasar tahap kemajuan selanjutnya. Bila diperhatikan apa yang hendak ditekankan di sini
adalah kemampuan unit atau agen ekonomi untuk berpartisipasi dalam siklus inovasi atau produksi pengetahuan baru.
Pengakuan atas pengetahuan yang bersumber dari posisi pentingnya dalam aktivitas ekonomi, mengarah pada revisi teori dan model ekonomi itu sendiri. Sama halnya dengan Xxxx dan Xxxxxxxx, OECD (1996) menyatakan bahwa analisis terhadap ekonomi sebagaimana realitas menjadikan pengetahuan sebagai faktor internal, tak lagi eksternal, terhadap fungsi produksi. Dalam hal ini, para ekonom berpaling untuk menekankan investasi pengetahuan, setelah meyakini pengetahuan merupakan kunci untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Koleksi pengetahuan dan pengunaannya tidak dapat dipungkiri mempengaruhi secara signifikan operasi perusahaan. Indikator ini berlaku terhadap berbagai macam perusahaan yang bergerak di berbagai bidang: ekonomi pertanian, industri bahkan pengetahuan itu sendiri. Konsekuensinya adalah pengetahuan juga termasuk dalam elemen modal dan faktor produksi, serupa faktor produksi tradisional: tanah, tenaga kerja, modal, aset finansial dan sebagainya. Di lain hal, bentuk modal lainnya tak akan efektif tanpa pengetahuan. Dengan demikian, pengetahuan bisa dikatakan sebagai aset yang bernilai tinggi. Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan sama halnya dengan memiliki keuntungan kompetitif terhadap kompetitor dan kunci untuk bersaing (LaFayette xx.xx, 2019).
Memang hingga saat ini, era ekonomi pengetahuan, sumber daya utama adalah pengetahuan. Akan tetapi menurut Xxxxxx (2001) pengetahuan sebagai sumber daya menimbulkan kebingungan mendalam di kalangan ekonom. Ini tak lain disebabkan oleh watak pengetahuan, yang mana tidak akan berkurang seiring pengunaannya. Bila dibandingkan faktor produksi tradisional atau barang fisik
yang makin sering digunakan akan habis, pengetahuan justru akan menjadi sangat bernilai seiring bertambah pengunaannya.
Selain itu, atribut lain dari pengetahuan adalah ‘scarcity-defying’. Berasal dari watak pengetahuan yang merupakan barang publik, di mana ketika pengetahuan ditemukan dan dijadikan barang publik maka tidak dibutuhkan biaya tambahan untuk orang lain mengaksesnya (Xxxxxxxx, 1999). Oleh sebabnya, pengetahuan tak akan menjadi sesuatu yang langka akibat dikonsumsi banyak orang. Tak hanya itu, pengetahuan juga memberikan keuntungan yang semakin meningkat ketika digunakan, berbeda dari barang fisik yang keuntungannya semakin menurun. Hal tersebut membuktikan bahwa pengetahuan sangatlah berbeda secara fundamental dari sumber daya lainnya.
Namun demikian, pengetahuan bukanlah sesuatu yang tidak membutuhkan biaya. Menurut Xxxxxxx (2009) biaya yang dikeluarkan untuk pengetahuan hanya jika seseorang hendak meningkatkan kemampuan untuk memahami dan memanfaatkan pengetahuan secara efektif. Xxxxxxxx (1999) menambahkan bahwa untuk ‘menubuhkan’ pengetahuan ke dalam seseorang atau benda juga mesti mengeluarkan biaya, dalam hal ini, waktu dan sumber daya.
2.1.3 Pilar Ekonomi Pengetahuan
Ekonomi pengetahuan sebagaimana diketahui merupakan ekonomi yang mendasarkan aktivitasnya, utamanya pada pengetahuan. Watak pengetahuan berbeda, secara fundamental, dari komponen utama ekonomi pendahulunya dikarenakan banyak sifat sentral dari barang publik yang dimilikinya seperti dikatakan Xxxxxxxx (1999). Tak hanya itu, pengetahuan memberikan keuntungan yang semakin meningkat tiap kali penggunaannya. Oleh karena sifatnya, kini pengetahuan merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi, dan karenanya
fundamental. Bahkan pertumbuhan ekonomi jangka-panjang yang berkelanjutan hanya dimungkinkan oleh penggunaan dan kreasi pengetahuan secara efektif.
Kendati pengetahuan adalah motor utama pertumbuhan ekonomi, transisi menuju ekonomi pengetahuan melibatkan beberapa elemen lain agar berhasil. Elemen ini pula yang dikatakan (Xxxx & Xxxxxxx, 2006) sebagai prasyarat atau pilar yang membuat pengetahuan menjadi mesin efektif pertumbuhan ekonomi. Selain itu, elemen tadi juga membentuk kerangka-kerja ekonomi pengetahuan yang dicanangkan oleh Bank Dunia dan digunakan untuk membantu negara- negara di dunia untuk bertransisi menuju ekonomi pengetahuan. Bahkan Knowledge Assessment Methodology (KAM) dan Knowledge Economy Index (KEI) dikonstruksi oleh Bank Dunia guna melengkapi perangkat kerjanya. Jika KAM adalah alat berbasis internet untuk mengukur sejauh mana kesiapan negara atau wilayah untuk transisi ke ekonomi pengetahuan, KEI menurut Hippe dan Xxxxxxx (2018) berupa aneka ragam indikator berkaitan dengan pilar ekonomi pengetahuan.
Dengan demikian, bagian berikutnya akan menguraikan pilar ekonomi pengetahuan yang telah disinggung di muka. Uraian ini tidak bermaksud menjabarkan pilar ekonomi pengetahuan secara komprehensif melainkan hanya pemaparan ringkas sebagai pengantar. Menurut (Xxxx & Xxxxxxx, 2004) ada empat pilar ekonomi pengetahuan seperti ditetapkan oleh Bank Dunia antara lain: rezim ekonomi dan kelembagaan, pendidikan dan keterampilan, infrastruktur informasi dan komunikasi, dan sistem inovasi. Keempat elemen inilah yang sekaligus menyusun pilar ekonomi pengetahuan sekaligus berbagai perangkat yang diciptakan Bank Dunia.
Pertama, populasi yang terdidik dan terampil. Menurut Xxxx dan Xxxxxxx (2006) populasi yang terdidik dan terampil sangatlah esensial di era ekonomi pengetahuan. Dengan keterampilan dan pendidikannya yang dimiliknya, tenaga kerja mampu untuk menciptakan, memperoleh, menyebarkan dan menggunakan pengetahuan yang relevan secara efektif. Kondisi demikian cenderung mengarah pada peningkatan produktivitas faktor total dan begitu pula pertumbuhan ekonomi. Oleh sebabnya pendidikan dasar yang menyediakan kapasitas untuk belajar dan menggunakan informasi, sedangkan pendidikan tingkat lanjut, dikhususkan untuk bidang teknik dan ilmiah, dan ditujukan untuk inovasi teknologi kian penting perannya bagi sumber daya manusia suatu negara.
Kedua, sistem inovasi yang efektif. Sistem inovasi nasional sendiri merupakan konsep yang ditemukan oleh para sarjana yang menstudi bidang sains dan tekonologi. Konsep ini ditemukan setelah kritisisme yang diarahkan kepada para ekonom, bahwa dalam teori dan model ekonometrikanya tidak memuat elemen kelembagaan (Godin, 2006). Kemajuan teknis adalah hasil dari pentingnya sistem inovasi yang efektif, sementara kemajuan teknis juga merupakan sumber utama dari pertumbuhan produktivitas. Sistem inovasi adalah hal yang mengacu pada jaringan kelembagaan, aturan dan prosedur yang mana merupakan elemen dan hubungan yang saling berinteraksi dan pada gilirannya mempengaruhi cara suatu negara dalam menciptakan, memperoleh dan menggunakan pengetahuan. Institusi dalam sistem inovasi suatu negara meliputi: universitas, pusat penelitian publik dan privat dan lembaga think-tank penghasil kebijakan (Chen & Xxxxxxx, 2006; Godin, 2006).
Ketiga adalah infrastruktur informasi yang memadai. Infrastruktur informasi dan teknologi komunikasi (TIK) ini dimaknai sebagai aksesibilitas, keandalan, dan
efisiensi dari berbagai alat yang dimaksudkan sebagai teknologi informasi dan komunikasi. Sebagaimana diketahui bahwa TIK adalah sesuatu yang mendasari perubahan fundamental ekonomi ke arah ekonomi pengetahuan dan juga diakui sebagai alat efektif untuk mempromosikan pertumbuhan dan pembangunan yang berkelanjutan. Dengan berbagai kelebihannya, yang paling utama adalah merevolusi kemampuan transfer pengetahuan dan informasi ke seluruh penjuru dunia dengan biaya yang murah dan melampaui batasan geografis. Oleh sebab itu, aliran informasi dan pengetahuan meningkat secara dramatis dan pada gilirannya mendorong kemajuan teknologi yang berujung pada peningkatan inovasi dan produktivitas (Chen & Xxxxxxx, 2006).
Keempat sekaligus terakhir yakni rezim ekonomi dan kelembagaan yang kondusif. Secara umum, rezim ekonomi dan kelembagaan yang kondusif ditujukan untuk menciptakan pula iklim bisnis yang kondusif. Dengan kata lain, menciptakan insentif di kalangan pelaku ekonomi agar mampu secara efektif dan efisien menciptakan dan menggunakan pengetahuan, dengan demikian, menyediakan kebijakan yang membentuk ekonomi sebagai tempat yang ramah untuk para pelaku ekonomi melakukan aktivitasnya (Xxxx & Xxxxxxx, 2006).
Setiap dari empat pilar ekonomi pengetahuan telah dijabarkan secara ringkas. Kesimpulan yang didapatkan sebagaimana Xxxx dan Xxxxxxx (2004) adalah dengan memperkuat empat pilar ekonomi pengetahuan tadi menuntun pada peningkatan produktivitas, yang pada gilirannya menopang laju pertumbuhan ekonomi. Memperkuat empat pilar tersebut bertujuan untuk meningkatkan secara kuantitas dan kualitas kumpulan pengetahuan yang digunakan untuk proses produksi. Melalui itu, produktivitas akan meningkat yang pada akhirnya berkontribusi mendorong pertumbuhan ekonomi.
2.2 Pekerja Intelektual (Knowledge Worker)
Pekerja intelektual merupakan produk dari ekonomi pengetahuan. Keduanya merupakan hal yang tak mungkin bisa dipisahkan. Relasi antara ekonomi pengetahuan dan pekerja intelektual adalah relasi ketergantungan. Sehingga, menjadi sia-sia apabila sistem ekonomi yakni ekonomi pengetahuan yang melahirkan suatu produk, diisolasi dari produknya sendiri, yakni pekerja intelektual.
Di samping itu, pekerja intelektual sebagai konsep perlu diklarifikasi lebih jauh. Sebab konsep ini menimbulkan kebingungan mendalam di kalangan sarjana. Untuk itu, definisi operasional pekerja intelektual akan dikemukakan di sini. Berdasarkan definisi Xxxxx X. Xxxxxxx (1969), pekerja intelektual adalah “the man or woman who applies to productive work ideas, concepts, information rather than manual skill or brawn. Definisi ini, menurut penulis cukup otoritatif sebab Xxxxx X. Xxxxxxx, sebagaimana klaim El-Farr (2009), adalah orang yang pertama kali mengintroduksi konsep pekerja dan kerja intelektual.
Pekerja intelektual merupakan fokus pembahasan kali ini. Jadi, secara umum, bagian ini akan menjelaskan pekerja intelektual, mulai dari konteks kemunculan, kerja intelektual (knowledge work), dan peran teknologi informasi. Dimensi di muka adalah kerangka dasar memahami pekerja intelektual sebagai sebuah konsep pekerja yang posisinya kini amat dominan di dunia bisnis. Atas dasar itu, uraian terkait aspek pekerja intelektual menjadi suatu kemestian.
2.2.1 Konteks Kemunculan Pekerja Intelektual
Kini pengetahuan, sebagaimana diakui secara luas, merupakan sumber daya sentral ekonomi. Kerja semakin dituntut untuk berpengetahuan dibandingkan pengalaman. Saat ini, organisasi menganggap pengetahuan sebagai aset yang
paling berharga dan karenanya penting untuk dipertahankan, tak lain karena sumber keunggulan kompetitif di tengah dunia persaingan yang semakin ketat. Oleh sebab itu, pengetahuan yang menubuh di pekerja intelektual, adalah sebuah keniscayaan untuk meningkatkan produktivitasnya dalam rangka keberhasilan suatu organisasi. Dengan demikian, tampaknya penting untuk menempatkan pekerja intelektual dalam latar yang lebih luas guna mendapatkan pemahaman memadai tentangnya.
Xxxxx Xxxxxxx adalah orang yang yang pertama kali mencetuskan istilah ‘knowledge worker’ atau ‘pekerja intelektual’ (El-Farr, 2009). Di tahun 1969 bukunya yang berjudul The Age of Discontinuity: Guideliness to Our Changing Society terbit dan itu pertama kalinya istilah knowledge worker dikemukakan. Walaupun sebelumnya, Xxxxx Xxxxxxx telah membuka jalan bagi para sarjana untuk memusatkan perhatiannya terhadap industri pengetahuan. Industri pengetahuan di sini dipahami sebagai industri yang aktivitasnya dipusatkan pada produksi, penyebaran dan konsumsi pengetahuan. Salah satu elemen penting dalamnya, sebagaimana Xxxxxxx xxxx, yakni pekerja intelektual. Bahkan menurut Xxxxxxx, kemunculan pekerja intelektual turut mengubah watak kerja.
Kemunculan pekerja intelektual sendiri menimbulkan pertanyaan bagi para sarjana. Pertanyaan itu berkisar pada faktor apa yang mendasari di balik kehadiran pekerja intelektual yang mendominasi hingga saat ini. Xxxxxxx (1969) menjelaskan bahwa kemunculan pekerja intelektual berkaitan erat dengan masa kerja individu yang semakin meningkat. Jawaban yang dikemukakannya menyangkal pandangan populer yang berlaku bahwa kini kerja kian kompleks dan menuntut, akibatnya lahirlah pekerja intelektual. Sekaligus jawaban itu ditujukan untuk menjawab faktor yang mendasari peralihan ke masyarakat sekaligus ekonomi
pengetahuan. Lebih lanjut, menurutnya, masyarakat modern lebih mengharapkan dan menuntut kerja didasarkan oleh pengetahuan dibandingkan pengalaman, yang mana cara tradisional melakukan kerja. Lantaran, orang-orang kini menempuh pendidikan formal dalam periode yang lebih lama. Karena itu pula pekerjaan lantas mengalami peningkatan kualitas.
Meningkatnya masa kerja individu dalam masyarakat modern tidak lain disebabkan oleh terobosan penting dalam sejarah umat manusia. Terobosan itu antara lain: pertanian ilmiah dan manajemen ilmiah. Kedua hal tersebut berperan penting dalam peningkatan masa kerja individu, yang pada gilirannya, memungkinkan perpanjangan waktu yang dihabiskan individu mengenyam pendidikan secara formal. Selain itu, dengan menunda untuk bekerja serta menerima pendapatan di masa-masa awal dan memilih untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, individu berharap mendapatkan keuntungan yang lebih besar di masa mendatang. Dengan kian lamanya waktu yang dihabiskan untuk mengenyam pendidikan, individu punya harapan yang berbeda dalam hal pekerjaan. Harapannya yaitu upah yang lebih tinggi serta berbagai keuntungan besar lainnya, terutama pekerjaan yang mengandalkan pikiran daripada fisik. Walaupun, sesungguhnya, harapan utama meraka yaitu karir (Drucker, 1969).
Xxxxxxx (1998) selaku editor dalam buku Rise of the Knowledge Worker, menjelaskan bahwa sampai saat itu pola Amerika Serikat menjadi titik mula penyelidikan untuk kemudian menjelaskan pekerja dan kerja intelektual di tempat lain. Pernyataan itu didukung oleh studi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai pekerja intelektual dan mengambil lokasi di Amerika Serikat, yang dibahas dalam salah satu bab di buku itu. Dalam studi para sarjana tersebut,
sebagaimana dijelaskan Xxxxxxx, angka-angka disertakan sebagai bukti bahwa persentase pekerja dan kerja intelektual semakin signifikan setelah pertengahan abad ke-20. Serupa dengan Cortada, Pyӧriӓ (2005) berpendapat bahwa bukan sebuah kebetulan para sarjana memilih Amerika Serikat melainkan terdapat gejala informasionalisasi struktur sosial yang ditunjukkan oleh Amerika Serikat.
Pyӧriӓ (2005) menambahkan bahwa angka-angka yang dipresentasikan oleh para sarjana dalam menunjukkan peningkatan pekerjaan di sektor jasa dan informasi di Amerika Serikat, hanya menampilkan aspek kuantitatif. Pemandangan seperti itu menurutnya, juga disampaikan oleh OECD, kehilangan aspek kualitatif yang tidak nampak di permukaan. Aspek kualitatif itu berkenaan dengan perubahan struktural yang melibatkan peran penting dari proses produksi, penyebaran, dan mendistribusikan informasi sebagaimana barang dan jasa. Kondisi demikian, menurutnya, ditunjukkan dengan semakin meningkatnya pekerjaan terutama di sektor informasi, merepresentasikan segmen tenaga kerja yang terus bertambah dan kian penting dalam ekonomi: pekerja intelektual.
2.2.2 Kerja Intelektual (Knowledge Work)
Pada dasarnya pekerja intelektual adalah elemen fundamental di era ekonomi pengetahuan. Apa yang dilakukan oleh pekerja intelektual disebutkan dalam istilah ‘knowledge work’ atau ‘kerja intelektual’. Ibarat dua sisi koin, dua hal yang berbeda ini merupakan satu kesatuan yang tak mungkin terpisahkan. Xxxxx
X. Xxxxxxx di paro kedua abad ke-20 adalah orang yang pertama kali memperkenalkan kedua konsep tersebut. Semenjak itu, gagasan kerja intelektual telah menarik perhatian besar dari para sarjana untuk studinya. Kerja intelektual, sebagaimana definisi umum yang digunakan El-Farr (2009), dimaknai sebagai kemampuan kognitif untuk menghasilkan, menggunakan, dan mengekstraksi nilai
dari pengetahuan. Berdasarkan definisi di muka, unsur utama kerja intelektual yakni, terletak pada kemampuan kognitif dan pengetahuan.
Umumnya kerja intelektual diasosiasikan dengan karakteristik seperti tuntutan intelektual, kreativitas, inovasi, fleksibilitas, kerjasama, interaksi, serta proses pembelajaran yang adaptif dan tanpa henti. Sedangkan El-Farr dan Pyӧriӓ secara bersama menunjukkan, merujuk pada Reich, bahwa kerja intelektual sangat erat hubungannya dengan analisis simbolik. Argumen kedua sarjana tersebut dilanjutkan dengan meyakini bahwa kerja intelektual sangat membantu dan relevan dalam hal mengindentifikasi, menyelesaikan dan menengahi masalah-masalah baru. Dengan argumen serupa, Pyӧriӓ menilai kriteria paling penting kerja intelektual adalah konten simbolik dan bagaimana hal itu dihadapkan dan dilakukan dalam konteks kontingensi di tempat kerja. Sementara El-Farr berargumen bahwa unsur dominan dan terpenting kerja intelektual berada pada produksi abstrak yang sangat bergantung pada pengetahuan tacit individu agar menjamin keunikan dan kontribusi vitalnya pada organisasi (Drucker, 1969; El- Farr, 2009; Pyӧriӓ, 2005).
Sementara itu diketahui bersama bahwa pengetahuan adalah aspek utama dari kerja intelektual. Kendati demikian, Drucker mengatakan hanya baru-baru ini pengetahuan dan kerja terlibat dalam hubungan yang sangat erat. Menurutnya, pengetahuan sangatlah berbeda jika diletakkan dalam konteks kerja intelektual. Apabila bagi para intelektual, pengetahuan berupa apa yang dituliskan dalam buku-buku; bertentangan dengan anggapan demikian, pengetahuan bagi Drucker, hanya jika informasi yang dimiliki diterapkan ketika melakukan sesuatu. Oleh sebabnya, sejarah ekonomi pengetahuan, khususnya kerja intelektual, bukanlah
‘sejarah intelektual’ melainkan sejarah yang tercipta ketika manusia menggunakan teknologi dalam kerjanya (Drucker, 1969).
Selain itu, menurut Xxxxxxx (1969), dengan peralihan ke ekonomi pengetahuan, kerja intelektual semakin mengemuka. Kerja semacam ini semakin dominan apabila ditinjau dari makin meningkatnya pekerjaan di sektor yang berkaitan dengan informasi dan pengetahuan di banyak negara. Dengan kemunculan kerja intelektual, banyak orang beranggapan bahwa kerja manual akan lenyap dan ditinggalkan. Namun tren yang berlangsung berlawanan dengan anggapan demikian. Meski kerja intelektual semakin menunjukkan dominasinya, bukan berarti kerja manual menghilang dan tak dibutuhkan, malahan akan didapati intensitas kerja manual yang kian berkurang dibandingkan sebelumnya. Semakin banyak permintaan melakukan kerja intelektual disebabkan tuntutan yang diciptakan oleh masyarakat modern dan jumlahnya tampak tak terhingga.
Pyӧriӓ (2005) menambahkan bahwa pertumbuhan pesat kerja intelektual mencerminkan perubahan besar dari moda produksi kapitalis yang tengah berlangsung. Dalam hal ini, moda produksi dalam sistem ekonomi umumnya terbagi dua: produksi industri tradisional yang berbasis pada tenaga kerja murah dan sumber daya alam serta investasi material berat sebagai sumber utama produktivitas ekonomi, sedangkan penggunaan informasi dan pengetahuan yang sekaligus menjadi sumber kekayaan ekonomi merupakan ciri produksi masyarakat pasca-industri. Jika yang pertama bertumpu pada aset fisik, yang belakangan menjadikan aset tak berwujud sebagai modal utama. Sementara itu, distingsi yang serupa dengan di muka bisa dibuat dengan membedakan antara kerja yang menghasilkan produk material (materi/energi) dan produk non-material (informasi/pengetahuan).
Berdasarkan uraian di atas, maka kerja intelektual berbeda dari kerja manual, sebab konten dan hasil dari kerja tersebut berupa benda non-material; oleh karenanya substansi kerja intelektual terletak pada proses bukan produk. Dengan demikian, atas dasar uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kerja intelektual adalah kerja yang bergantung utamanya pada benda tak berwujud yakni informasi dan pengetahuan sebagai konten dan produk kerja, bahwa proses adalah substansi kerja, dalam moda produksi terkini, masyarakat pasca-industri (Pyӧriӓ, 2005).
Bila sebelumnya kerja intelektual mengutamakan proses, LaFayette xx.xx (2019) dalam bukunya berjudul Knowledge Economies and Knowledge Work menambahkan wawasan baru tentang kerja intelektual yang berfokus pada konteks dan kapabilitas. Dalam penjelasannya, XxXxxxxxx xx.xx menilai peralihan ke ekonomi pengetahuan turut membawa perubahan pada watak kerja dan sebagai akibatnya pandangan atas kerja pun ikut berubah. Kerja tidak lagi bisa dipandang melalui sudut pandang ekonomi industrial. Kini kerja mesti dilihat dari segi konteks dan kapabilitas. Sederhananya, kapabilitas dimaksudkan sebagai usaha organisasi atau seseorang untuk memberikan nilai kepada pihak yang berkepentingan, sementara konteks merupakan lingkungan yang dirancang untuk mendukung pengembangan kemampuan. Kedua aspek tadi, dengan demikian, merubah pandangan dan mendefinisikan ulang kerja di era ekonomi pengetahuan.
2.2.3 Peran Teknologi Informasi
Salah satu hal yang seringkali ditemukan dari pekerja dan kerja intelektual adalah penggunaan teknologi informasi. Penggunaan teknologi informasi tidak hanya mencakup pekerjaan tersebut melainkan mencakup pekerjaan secara umum. Berdasarkan pengamatan penulis, kini sulit menemukan pekerjaan tanpa
didukung oleh teknologi informasi. Bila ada pekerjaan hari ini yang tak bertumpu dan tak mengandalkan hal tersebut, sudah bisa dipastikan produktivitas kerjanya akan berada jauh di bawah produktivitas rata-rata masyarakat. Menjadi suatu kemestian bekerja dengan melibatkan berbagai macam teknologi informasi yang ada. Tidak terkecuali bagi pekerja intelektual. Dengan demikian, kehadiran teknologi informasi telah menimbulkan efek signifikan terhadap cara ekonomi bekerja dan bagaimana kerja dilakukan. Oleh karenanya tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan teknologi telah memudahkan manusia, apalagi dalam hal kerja.
Ekonomi pengetahuan adalah contoh sedemikian pentingnya peran teknologi informasi. Xxxxxx dan Snellman (2004) menyatakan bahwa saat ini ekonomi di negara-negara maju dimotori oleh kemajuan teknologi yang didasarkan pada produksi dan distribusi informasi dan pengetahuan. Bahkan hal serupa kini tengah terjadi di negara-negara berkembang. Artinya, baik itu di negara maju atau berkembang, sekarang ekonominya amat bergantung pada perkembangan teknologi sekaligus penanda peralihan ke arah ekonomi pengetahuan. Dengan hampir seluruh negara ekonominya berbasis pengetahuan, telah terbukti teknologi informasi sebagai pilar penting ekonomi pengetahuan.
Hal demikian menjadi alasan mengapa negara-negara di dunia memusatkan aktivitas ekonominya pada pengetahuan, dalam upayanya menciptakan inovasi teknologi yang berkelanjutan. Sebab inovasi teknologi sering diasosiasikan dengan peningkatan jangka panjang produktivitas dan pekerjaan (OECD, 1996). Keuntungan lainnya yang diasosiasikan dengan teknologi adalah meningkatnya arus informasi dan pengetahuan. Dengan meningkatnya arus informasi dan pengetahuan, akan memudahkan perolehan teknologi yang kemudian hal ini berkontribusi pada peningkatan inovasi dan produktivitas (Chen
& Xxxxxxx, 2006). Sehingga investasi secara langsung kepada teknologi merupakan hal prioritas. Alhasil, akibat dorongan inovasi teknologi tersebut, perubahan watak ekonomi dan kerja menjadi tak terelakkan.
Teknologi informasi, seperti klaim di atas, telah mengubah jalannya pekerjaan dan kehidupan secara umum. Dalam kaitannya dengan itu, Xxxxxxx xx.xx (1995) mencatat ada empat kemampuan teknologi informasi yang perlu digarisbawahi. Pertama, kemampuan komputer menyediakan representasi simbolik dan sistematis atas realitas. Dengan begitu, pengetahuan konseptual dan berpikir sistemik adalah hal utama. Kedua, komputer mampu menghasilkan data, mengkalkulasi dan menyelesaikan masalah berbasis pengetahuan konseptual untuk diproses oleh kemampuan intelek dalam prosedur yang sistematis. Ketiga, teknologi informasi dapat diprogram dan reflektif atas apa yang terjadi secara aktual dan kekinian. Keempat, kemampuan konektivitas. Seperti yang telah diketahui bahwa teknologi informasi, dengan kemampuannya melintasi batasan ruang dan waktu, memudahkan berbagi informasi dan koordinasi suatu kegiatan. Dengan ini, berdasarkan penjelasan di muka, hadirnya teknologi beserta segala fiturnya membawa perubahan drastis terhadap dunia kerja yang mesti menyesuaikan dengan tren seperti itu.
2.3 Organisasi
2.3.1 Definisi Organisasi
Organisasi adalah sesuatu yang sulit untuk diamati. Bahkan dapat dikatakan organisasi adalah sebuah gagasan yang abstrak. Secara fisik, mungkin sulit untuk menunjuk objek yang kita maksud sebagai organisasi. Dunia ini diisi oleh berbagai bentuk bangunan, berbagai macam pekerja, dan berbagai tempat;
namun, meski tampak ada di mana-mana, organisasi hanya sebuah konsep yang diabstraksi atas hubungan yang terjadi di waktu dan lingkup tertentu.
Oleh karena organisasi adalah konsep yang abstrak, akan lebih mudah memahami dengan mencermati terlebih dahulu definisinya. Daft xx.xx (2020) mendefinisikan organisasi sebagai berikut: organisasi adalah sebuah entitas sosial yang memiliki tujuan bersama yang dirancang dengan sistem aktivitas yang terstruktur dan terkoordinasi serta terhubung dengan lingkungan eksternal. Sedangkan menurut Xxxxxxxx (2011) organisasi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua orang atau lebih yang bekerja sama demi mencapai suatu tujuan. Dari dua definisi tersebut, tidak ada perbedaan mendasar yang ditemukan. Kedua definisi memandang yang paling utama dari organisasi adalah kumpulan individu yang terlibat interaksi satu sama lain.
Hal senada disampaikan pula oleh Xxxx xx.xx (2020) yang berkata bahwa karena organisasi terdiri dari individu beserta relasinya satu sama lain, maka dari itu, elemen terpenting dari organisasi adalah individu dan interaksi yang terbangun dalamnya. Tanpa relasi beserta interaksi yang terjalin dalamnya, tidak mungkin suatu organisasi bisa eksis. Pentingnya individu dan jalinan interaksinya dapat dilihat dengan mengamati pembagian kerja dalam organisasi yang mana setiap orang dengan tugasnya masing-masing hanya mungkin menyelesaikan suatu tugas dengan bergantung pada tugas yang diselesaikan oleh orang lain.
2.3.2 Peran Organisasi dalam Kehidupan Sosial
Kehadiran organisasi sebetulnya masih relatif baru dalam sejarah umat manusia. Sulit menemukan jejak organisasi sebelum abad ke-19. Pada abad ke- 19 pun hanya sedikit organisasi dari berbagai ukuran dan kepentingan yang hadir. Baru di abad keduapuluh, organisasi skala besar muncul dan dalam
perkembangannya, memberikan dampak yang begitu besar. Pada saat itu, kehadiran korporasi modern adalah bukti paling mencolok, yang bahkan hingga saat ini masih terus menunjukkan pengaruhnya. Ditinjau dari dampak yang ditimbulkan, tak berlebihan jika mengatakan organisasi sedemikian sentral bagi kehidupan manusia (Daft & Xxxxxxxxx, 2015).
Atas dasar itu, menjadi urgen mengetahui alasan yang melatarbelakangi mengapa kondisi demikian bisa terjadi. Setidaknya ada empat alasan yang bisa dikemukakan terkait hal tersebut. Alasan pertama dan utama, yakni organisasi menyatukan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu (Xxxx & Xxxxxxxxx, 2015). Sumber daya yang terkumpul, oleh karenanya, dapat diatur dan dikoordinasikan sehingga aktivitas yang dijalankan bisa lebih efisien dan efektif. Bandingkan apabila sumber daya tersebar di berbagai tempat, maka lebih banyak biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan karena itu tidak lebih efisien dan efektif.
Dalam usahanya menjadi lebih efisien dan efektif, organisasi dituntut untuk terus berinovasi dalam operasinya, sekaligus sebagai alasan kedua yang melatarbelakangi urgensi organisasi. Karena alasan itu, organisasi terus mengembangkan kemampuan dan meninggalkan praktik yang cenderung kuno. Cara yang paling umum, sebagaimana Daft xx.xx (2020) utarakan, yakni melalui rekayasa ulang struktur organisasi dan praktik manajemen. Hal ini ditempuh agar organisasi bisa lebih adaptif sekaligus menyerap aspirasi zaman, serta mampu merespon permasalahan yang kini dihadapinya. Hanya dengan cara itu, di tengah dunia yang kian hari kian kompetitif, organisasi mampu bertahan dan terus melanjutkan usaha organisasionalnya dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Organisasi juga turut mengubah lingkungan sekitar yang dicirikan dengan perubahan yang cepat, selain, tidak hanya, beradaptasi kepada lingkungan tersebut (Daft xx.xx, 2020). Karakteristik ini menandai alasan ketiga mengapa organisasi sedemikian berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat. Adalah kemunculan korporasi modern sebagai bukti kuat yang menjelaskan alasan ini. Seiring kemunculan dan perkembangannya yang hingga saat ini telah mempekerjakan puluhan bahkan ratusan juta orang, korporasi modern membuat masyarakat umum bergantung kepada kehadiran sekaligus manfaat dari kehadirannya. Tentu saja, hari ini, jika ada orang yang tak memiliki pekerjaan dari penawaran yang disediakan oleh korporasi modern, seseorang berkemungkinan besar akan mengalami kesengsaraan dan penderitaan dalam hidupnya.
Daft dan Xxxxxxxxx (2015), berkebalikan dengan pernyataan di atas, menjelaskan bahwa organisasi hadir untuk menciptakan nilai terhadap semua pihak yang berkepentingan dan menjadi alasan terakhir dari pentingnya organisasi. Mulai dari pemilik, anggota, bahkan penerima manfaat dalam bentuk jasa atau produk yang ditawarkan organisasi. Dengan demikian, organisasi tidak hanya berupaya menggenapi tujuannya sendiri melainkan berusaha menebar manfaat kepada berbagai pihak sebagai motif kemunculannya di tengah-tengah masyarakat.
2.3.3 Perubahan Organisasi
Perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Perubahan terjadi setiap saat dan sulit untuk menyangkal terjadinya perubahan. Apabila ada yang tidak mau mengakui maka tentu saja perubahan akan melumat dirinya. Ketika perubahan berada di depan mata, pihak yang menghadapinya dipaksa untuk berpikir. Baik memikirkan apa penyebab perubahan maupun bagaimana
menangani perubahan itu. Oleh sebab itu, karena perubahan adalah sesuatu yang niscaya dan merupakan kondisi yang sering kali terjadi, pihak yang bersangkutan mesti selalu siap dalam merespon perubahan.
Untuk menjawab ketidakpastian yang diakibatkan oleh perubahan, maka dari itu penting menjelaskan pandangan tentang perubahan. Xxxxxxx dan Xxxxxxx (2016) megatakan terdapat dua metafora yang cocok untuk menggambarkan proses perubahan itu sendiri. Metafora pertama adalah metafora perairan tenang. Ambil contoh, sebuah kapal besar yang berlayar di laut yang tenang. Kapal besar ini telah melewati jalur laut yang tenang berulang kali dan karenanya mampu memprediksi kondisi yang akan terjadi. Namun kadang kala, badai datang menganggu perjalanan kapal tersebut. Badai ini dilihat hanya sebagai gangguan yang datang pada saat-saat tertentu, menganggu jalannya peristiwa dan kemudian kembali ke kondisi normal.
Sedangkan metafora kedua adalah metafora arung jeram. Sebagaimana arung jeram, kegiatan dengan menggunakan wahana tertentu untuk mengarungi jeram-jeram, kehidupan begitu juga adanya. Sehingga dalam metafora ini, gangguan adalah hal yang terjadi secara terus-menerus dan sulit untuk memastikan atau memprediksi kondisi di masa mendatang. Apalagi di dunia yang yang semakin didominasi oleh informasi dan pengetahuan, ketidakpastian akibat perubahan menjadi begitu jelas (Xxxxxxx & Xxxxxxx, 2016).
Sementara Xxxx xx.xx (2020) berbeda dengan pandangan sebelumnya mengatakan bahwa perubahan dapat dilihat dalam dua jenis. Perubahan ini dievaluasi melalui ruang lingkupnya, yakni perubahan gradual dan perubahan radikal. Perubahan gradual adalah serangkaian proses yang terjadi secara berkelanjutan dan tidak mengubah keseimbangan atau hanya berdampak pada
bagian tertentu. Hasil dari perubahan tersebut, sebagian besar dalam bentuk keuntungan kompetitif secara berkelanjutan. Di sisi lain, perubahan radikal justru menyebabkan perubahan total atau secara menyeluruh. Selain itu, perubahan radikal, karena efek yang ditimbulkannya sangat kuat, membuatnya begitu mencolok dan mendapatkan banyak perhatian.
Organisasi adalah salah satu contoh bagaimana perubahan mempengaruhi banyak aspek kehidupan. Kini perubahan adalah realitas yang hari ke hari dihadapi oleh organisasi. Maka metafora arung jeram lebih mendeskripsikan keadaan yang dihadapi organisasi, dibandingkan metafora perairan tenang yang agaknya sulit untuk dijadikan acuan hari ini. Perubahan yang dihadapi organisasi pun bisa bersumber dari faktor internal atau eksternal. Dengan demikian, para pihak yang berkepentingan mesti mampu mengelola perubahan agar organisasi mampu berjalan dan bertahan di tengah derasnya arus perubahan.
Xxxxxxx dan Xxxxxxx (2016) mendefinisikan perubahan organisasi sebagai perubahan terhadap aspek penting dalam organisasi. Ketiga aspek itu adalah struktur, orang, dan teknologi. Dengan ini, jenis perubahan bisa diklasifikasikan berdasar aspek tersebut. Lebih lanjut, dalam prosesnya mesti ada orang yang menjadi katalis untuk mengelola proses perubahan tersebut, disebut dengan istilah agen perubahan. Sedangkan Daft dan Xxxxxxxxx (2015) mengatakan bahwa perubahan organisasi adalah ide dan perilaku baru yang diadopsi oleh organisasi. Dalam artian ini, perubahan organisasi dibedakan dari inovasi organisasi, di mana hampir mirip dengan definisi yang telah dikemukakan namun diletakkan dalam konteks lingkungan eksternal organisasi.
Bila mengikuti definisi Xxxxxxx dan Coulter, perubahan dikategorisasikan ke dalam tiga jenis. Pertama adalah perubahan struktur. Jenis perubahan ini mencakup berbagai variabel yang berkaitan dengan struktur. Secara sederhana, struktur ditentukan oleh bagaimana melakukan pekerjaan dan siapa yang melakukannya. Dalam perubahan struktur, faktor internal atau eksternal organisasi bisa menjadi penyebab perubahan. Perubahan kedua adalah perubahan dalam segi teknologi. Perubahan ini melibatkan perubahan dalam perlengkapan, peralatan, atau pun metode baru. Contohnya yaitu otomatisasi atau komputerisasi. Faktor utama yang mendorong perubahan dalam aspek teknologi, tidak lain, disebabkan oleh faktor kompetitif atau inovasi baru dalam lingkup organisasi. Dengan teknologi yang semakin canggih, organisasi memanfatkaan itu untuk mengurangi beban biaya, dengan kata lain, lebih efisien dan efektif dalam operasionalnya. Sedangkan yang terakhir adalah perubahan orang. Perubahan dalam lingkup ini melibatkan perubahan seputar sikap, perilaku, harapan, dan persepsi seseorang. Metode umum yang dipakai untuk merubah orang-orang dalam organisasi, dikenal dengan istilah ‘pengembangan organisasi’.
Tak berbeda dengan jenis perubahan yang dijelaskan oleh Xxxxxxx dan Coulter, terdapat satu hal yang ditambahkan ke dalam jenis perubahan strategis organisasi milik Daft dan Xxxxxxxxx (2015). Dalam penjelasannya, hal yang baru yang ditemukan adalah perubahan yang berkenaan dengan produk dan jasa. Meski membuat kebingungan organisasi yang bermotif non-profit sebab produk dan pelayanan yang ditawarkan tidak begitu jelas dibandingkan organisasi yang bergerak mengejar laba. Namun demikian, bila dicermati secara seksama hal ini mungkin saja bermanfaat bagi organisasi non-profit, jika sudah berhasil mengidentifikasi apa saja yang menjadi produk dan jasa yang ditawarkannya. Dalam hal ini, contoh perubahan dalam segi produk dan jasa meliputi modifikasi
atas barang dan jasa yang sudah ada maupun memperkenalkan lini baru produk dan jasa.
Jenis-jenis perubahan organisasi di atas tetap harus memperhatikan berbagai elemen yang membuat perubahan berhasil. Setiap elemen ini mesti ada dan perubahan akan gagal ketika ada salah satu elemen yang hilang. Elemen pertama adalah ide. Setiap kali perubahan terjadi, ide pasti mendasari perubahan yang terjadi. Karena itu ide sangat vital bagi perubahan. Perubahan sendiri adalah perwujudan dari ide. Ide bisa saja berasal dari dalam atau luar organisasi. Kemudian, ada kebutuhan sebagai elemen kedua. Perubahan sebagai bentuk luar dari ide hanya berguna ketika memenuhi apa yang dibutuhkan organisasi. Hal ini terjadi sebab ada kesenjangan antara apa yang diharapkan dan apa yang dilakukan secara aktual. Elemen ketiga ialah adopsi. Ini hanya terjadi ketika pengambil keputusan memilih ide tertentu dan ide tersebut adalah hasil kesepakatan antara berbagai pihak. Sedangkan elemen keempat adalah implementasi. Implementasi berkaitan erat dengan adopsi, implementasi adalah kondisi ketika organisasi telah menggunakan apa yang sudah diadopsi sebelumnya. Sementara yang terakhir adalah sumber daya. Tanpa sumber daya berbagai elemen sebelumnya akan menjadi sia-sia. Hanya dengan sumber daya, perubahan dapat dijalankan. Maka dari itu, sumber daya begitu fundamental untuk melangsungkan perubahan. Sebab perubahan tidak terjadi dengan sendirinya.
2.3.4 Organisasi Bisnis
Organisasi ditinjau dari jenisnya tidaklah homogen. Dengan kata lain, organisasi bukanlah entitas yang tunggal melainkan beragam. Hal ini terkonfirmasi jika mengamati lingkungan sekitar. Bahwa organisasi adalah entitas yang tanpanya berbagai kegiatan di masyarakat tidak akan mungkin berjalan.
Organisasi hadir di berbagai ranah kehidupan masyarakat, oleh karena itu, berbeda pula jenisnya. Atas dasar itu, adalah naif ketika mengabaikan peran dan fungsi penting organisasi untuk membantu masyarakat dalam menjalankan aktivitasnya di berbagai sektor kehidupan, dalam rangka meraih kepentingannya.
Sebagai konsekuensi dari sektor yang beragam, jenis aktivitas organisasi yang ditemukan akan bervariasi pula, dan dengan demikian, klaim di atas tidaklah keliru. Dari segi aktivitas, organisasi bisnis adalah salah satu dari sekian banyak organisasi yang bisa disebutkan, yang kemudian menjadi fokus pembahasan di bagian ini. Pilihan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa organisasi bisnis merupakan lokus, di mana aktivitas ekonomi sehari-hari masyarakat bertumpu. Tanpa organisasi bisnis, sulit untuk membayangkan bagaimana masyarakat dapat memenuhi kebutuhan material, yang berlangsung melalui pertukaran di pasar. Sedemikian pentingnya, organisasi bisnis merupakan topik utama pembahasan ekonomi hingga hari ini.
Namun demikian, karena saking penting dan familiarnya, jarang ditemukan definisi yang tegas atas organisasi bisnis. Apabila hendak mendapatkan pemahaman yang memadai, definisi yang kokoh akan membantu mencapai hal tersebut. Akan tetapi, sama halnya dengan organisasi yang secara eksistensi beragam, definisi organisasi bisnis yang dikemukakan para sarjana juga tidaklah seragam. Hal ini terjadi lantaran, hingga kini, para sarjana masih memperdebatkan apa aspek utama dalam mendefinisikan organisasi bisnis. Konsekuensinya, dalam waktu dekat, tidak bakal muncul definisi yang menjadi kesepakatan bersama.
Dengan kondisi seperti itu, penulis tetap akan merujuk pada definisi yang diutarakan oleh sejumlah tokoh. Meski masih jadi isu yang diperdebatkan, definisi yang diajukan di sini mestilah definisi yang relevan dengan kondisi saat ini. Dalam
penalaran umum, organisasi bisnis kerap diideintikkan dengan perusahaan (firm/company) atau korporasi (corporation). Namun, jika dicermati secara seksama, terdapat perbedaan di antara dua hal tersebut. Untuk mengantisipasi perkara tersebut, penulis akan menyamakan organisasi bisnis dengan perusahaan. Mengikuti definisi Xxxxxxxx (2002) organisasi bisnis atau perusahaan dipahami sebagai “…a set of contracts with a central authority”.
Sedangkan Chendroyaperumal memberikan definisi yang, menurut klaimnya, agak berbeda dari yang lain. Sebab definisi yang dia kemukakan lebih menekankan aspek fungsional daripada definisi umum yang hanya berkutat pada aspek sosio-ekonomi atau legal-formal. Untuk itu definisi Chendroyaperumal (2008) akan dijabarkan sebagai berikut.
“a system wherein people associate themselves to invest their capital on the inputs (owned by people) to be converted into outputs by the people for the people to be sold in the market at a price to earn revenue to recover costs and make a profit (ethically and socially responsibly) to survive.”
Pada dimensi pembahasan yang lain, terdapat saling balas kritik, antara Xxxx dan Deakin beserta rekan penulisnya. Kedua pihak terlibat dalam pembahasan tentang perbedaan antara perusahaan dan korporasi; walau keduanya bersepakat mesti membedakan perusahaan dan korporasi. Namun, pembedaan tersebut ternyata menimbulkan implikasi yang serius dan tidak bisa ditolerir oleh kedua belah pihak. Bila Robé berpendapat bahwa perusahaan (firm) dan korporasi (corporations) memang sejatinya berbeda, bahkan lebih radikal, menurutnya, kacamata hukum hanya mengakui korporasi dan tidak halnya perusahaan. Hal ini kemudian lantas menimbulkan penolakan oleh Deakin dan kawan-kawan, yang menganggap argumen tersebut tidak berdasar. Deakin xx.xx
(2021) berargumen bahwa, tidak saja mengakui perusahaan dan korporasi, lebih jauh, mengakui hubungan fundamental antara aspek ekonomi dan legal-formal, dengan menyatakan perusahaan juga adalah entitas bisnis yang terlegitimasi.
2.4 Manajemen Kritis
Menurut Xxxxxxxx dan Xxxxxxxx (2003), manajemen secara umum dipahami hanya sebatas pengembangan aktivitas manajerial dan fungsi organisasi. Dalam hal ini, teori dan praktik manajemen hanya berkisar pada dua hal: efisiensi dan efektivitas. Pengetahuan manajemen diserahkan sepenuhnya kepada manajer. Bahkan manajer dianggap sebagai agen yang membawa rasionalitas dan inisiatif. Oleh karenanya, persoalan sosial, politik dan ekonomi hanya bisa diselesaikan oleh tataran elit teknokrat. Dengan begitu, pihak selain manajer hanya berperan sebagai objek atau instrumen belaka dalam aktivitas manajerial. Manajemen arus-utama, dalam hal ini, menampilkan diri sebagai status quo dan tertutup bagi pemeriksaan dan pendekatan yang sifatnya kritis.
Sehubungan dengan itu, Thayf xx.xx (2021) memberikan contoh, bahwa terdapat jarak yang sungguh lebar antara manajemen dan filsafat. Menurut Xxxxx xx.xx, filsafat bukan sesuatu yang lazim di kalangan teoritisi dan praktisi manajemen. Filsafat dinilai terlalu abstrak bagi manajemen yang kian pragmatis dan praktis. Padahal filsafat mampu menyediakan peralatan untuk mempreteli asumsi yang menopang suatu hal dan ketidakpuasan atas apa pun yang tampak di permukaan. Dengan demikian, filsafat menyediakan alat berfikir kritis dan analitis dalam menelaah suatu persoalan. Oleh sebab itu, pengabaian atas filsafat, justru hanya membuang berbagai keuntungan dan kontribusi pentingnya.
Manajemen konvensional, sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, menolak berbagai intervensi yang datang dari pendekatan dan analisa kritis.
Konsekuensinya, manajer menempati posisi istimewa karena menjalankan fungsi yang sangat “berharga” guna memenuhi kepentingan bersama berbagai pihak. Namun, pandangan ini absen melihat bahwa aktivitas dan fungsi manajerial hanya mampu secara utuh dipahami ketika diletakkan dalam konteks pengaturan tatanan politik-ekonomi yang lebih luas. Oleh sebabnya, tanpa pemeriksaan kritis, manajemen menjadi suatu ilmu yang dogmatis dan benar dengan sendirinya, seolah terbebas dari masalah. Hal ini mesti ditangani sebab mengabaikan watak politis dari manajemen dan persoalan sosial yang melingkupinya (Xxxxxxxx & Xxxxxxxx, 2003).
Atas dasar itu, muncul inisiatif untuk membentuk disiplin baru bernama ‘critical management studies’ (CMS) atau ‘studi manajemen kritis’. Berdasarkan Xxxxxxxx xx.xx (2009), kemunculan studi manajemen kritis sebagai sebuah gerakan yang mempertanyakan otoritas serta teori dan praktik manajemen arus- utama. Manajemen dilihat sebagai lembaga dan praktik sosial yang tertanam dan berkembang dalam formasi ekonomi kapitalisme. Oleh sebab itu, studi manajemen kritis menekankan fokusnya pada aspek dominasi dan kekuasaan yang tercipta dalam hubungan sosial tersebut. Dalam upaya untuk menentang hubungan dominasi yang mengemuka, studi manajemen kritis juga berusaha untuk membangun sebuah alternatif atau emansipasi atas kondisi demikian.
Asumsi bahwa teori dan praktik manajemen dominan hanya menguntungkan segilintir orang dan mengorbankan mayoritas adalah alasan mengapa studi manajemen kritis menentang manajemen yang dominan. Fenomena ini dixxxxxxxi sebagai ekspresi dari ideologi para elit yang menimbulkan kepercayaan bahwa manajemen dan organisasi adalah instrumen rasional untuk mewujudkan kesejahteraan banyak orang (Xxxxxxxx xx.xx, 2009). Bahkan dalam
pandangan Klikauer (2015), manajemen hadir sebagai fenomena yang berkelindan erat dengan perusahaan profit, sehingga tanpa profit tidak mungkin ada manajemen. Dengan demikian, teori dan praktik sehari-hari dari manajemen dan organisasi hanya berfungsi sebagai sarana melanggengkan status quo dalam rangka melestarikan berbagai bentuk eksploitasi dan penindasan.
Kondisi demikian membuat pendekatan yang sifatnya kritis menjadi tidak terelakkan dalam studi manajemen kritis. Selain untuk membedakannya dengan manajemen arus-utama, pendekatan kritis digunakan sebab membantu para pihak yang terlibat untuk berfikir analitis dan mendalam dalam memeriksa asumsi dan nilai yang berlaku (Thayf xx.xx, 2021). Namun apa yang disebut pendekatan kritis masih menjadi medan kontestasi. Dengan ini, studi manajemen kritis terlibat dalam hubungan yang begitu banyak dengan pendekatan kritis yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Oleh karena itu, sebagaimana Xxxxxxxx xx.xx (2009) katakan, bahwa adil untuk mengatakan studi manajemen kritis itu bersifat plural. Diversifikasi ini memberikan keuntungan sebab setiap pendekatan punya kontribusi tersendiri yang memperkaya wawasan yang ada.
Terinsipirasi oleh gagasan tersebut, penelitian ini memilih untuk melanjutkan dan mengadopsi pendekatan manajemen kritis. Berangkat dari kondisi manajemen konvensional dengan logika sarana-tujuan dan upaya untuk memperluas pemahaman atas manajemen dan organisasi, maka studi manajemen kritis menjadi sangat relevan untuk membongkar teori dan praktik manajemen yang tampil sehari-hari guna mewujudkan alternatif atas kondisi yang menguntungkan segelintir orang.
2.5 Kerangka Pemikiran
Adapun kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan sebagai berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran