LAMPIRAN I [ DRAFT ] PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR XXX TAHUN 2019
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM GAMBUT ACEH
---------------------------------------------------------------------------------------------------
DOKUMEN VERSI 0.4 TANGGAL 30 OKTOBER 2019
PEMBAHASAN OLEH DIT. PKG – KLHK, 28 NOV. 2020
LAMPIRAN I [ DRAFT ] PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR XXX TAHUN 2019
TENTANG RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM GAMBUT ACEH
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI ACEH
LAMPIRAN I [ DRAFT ]
PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR XXX TAHUN 2019
TENTANG RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT ACEH
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
EKOSISTEM GAMBUT ACEH
---------------------------------------------------------------------------------------------------
DOKUMEN VERSI 0.4 TANGGAL 30 OKTOBER 2019 PEMBAHASAN OLEH DIT. PKG – KLHK, 28 NOV. 2020
PEMERINTAH DAERAH PROVINSI ACEH
Tentang Dokumen :
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT ACEH
RPPEG ACEH
LAMPIRAN I
Rancangan Peraturan Gubenrur Aceh Nomor xxx Tahun 2019 Tentang Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Aceh
Dokumen ini merupakan ouput kegiatan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) Aceh Khususnya di Rawa Tripa Kerjasama Dinas LHK Aceh dan Yayasan Ekosistem Lestari dengan dukungan pendanaan dari TFC-Sumatera.
-
[ DRAFT ] Dokumen Versi 0.4 Tanggal 30 Oktober 2019 Pembahasan oleh Dit. PKG – KLHK, 28 Nov. 2020
Xxx Xxnyusun :
Taskforce RPPEG DLHK
Surat Keputusan Kadis LHK Aceh Nomor 800.5/116/KPTS/2018 Tanggal 31 Desember 2018
• M. Xxxx, S.Hut, M,Si., Kabid. Perlindungan dan Konservasi Sumberdaya Alam
• Xxxxx Xxx Xxxxxxx, S.Hut, X.Xx., Kepala BKSDA Aceh
• Xxxxxxxx Xxxxxx, SP., MP., Kabid. Pengolahan dan Pemasaran Distanbun Aceh.
• Xxxxxxx, S.Hut, X.Xx., Kasie Pengendalian Perubahan Iklim Dinas LHK Aceh
• Xxxxx Xxxxxxxx, S.Hut., Kasi Pengendalian Kerusakan Darat Dinas LHK Aceh
• Lestari Suci DS, X.Xx., MT., Staf Bidang P2SP Bappeda Aceh
• Xx. Xxxx Xxxxx, X.Xx., Staf pengajar Fakultas Pertanian Unsyiah
• Dr. Ir. Syahrul, X.Xx., Staf pengajar Fakultas Pertanian Unsyiah
• Xxxx Xxxx Xxxxxxx, S.Hut, X.Xx., Staff Seksi Pengendalian Perubahan Iklim Dinas LHK Aceh
• Xxxx Xxxxx, S.Hut, M.P., Staff Seksi Pengendalian Perubahan Iklim Dinas LHK Aceh
• X. Xxxxx Xxxxxxxx, Konsultan
• Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Yayasan Ekosistem Lestari – YEL
• M. Xxxxxx Xxxx, SRI - Praktisi Kelembagan Adat
• Xxxxxx Xxxxx. Yayasan HaKA
• Xxxxxxxx, Xxxxxxxxx
Penanggung Jawab :
Xx. Xxxxxxx, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh
DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN ACEH TAHUN 2020
PENGANTAR
Laporan Akhir Rumusan RPPEG Aceh disusun berdasarkan Sistematika yang diberikan oleh Direktorat Pencegahan Kerusakan Gambut, Kementrian LHK yang merupakan Lampiran Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pedoman Penyusunan RPPEG.
Upaya dan Proses untuk melengkapi materi dan muatan susbtansi dalam Laporan ini terus dilakukan sambil menunggu jadwal pembahsan bersama Xxx Xxnyusun dalam FGD Lanjutan dan akan dilakukan konsultasi publik (workshop) untuk mendapatkan masukan dari stakeholder di Aceh. Bersamaam dengan perumusan Xxxaturan Gubernur yang akan menjadi legalitas Dokumen RPPEG yang sedang disusun, Xxx Xxnyusun masih harus melakukan konsultasi dengan Kementrian LHK sebagai tahapan akhir proses perumusan Dokumen.
Atas masukan, konfirmasi dan kontribusi tim penyusun, diucapkan terimakasih.
-
Beberapa Catatan Untuk Finalisasi Dokumen :
1. Masukan menyeluruh untuk semua bagian dalam Dokumen Laporan masih diperlukan dari Tim Penyusun sampai dengan proses akhir Dokumen yang akan dibakukan dengan Peraturan Gubernur Aceh Tentang RPPEG Aceh.
2. Untuk melengkapi muatan Bab I Bagian 1.1, masih diperlukan perangkuman materi terkait relevansi dan kedudukan Dokumen RPPEG Aceh dengan Dokumen Perencanaan Strategis berikut :
• Strategi dan Rencana Aksi Pelaksanaan REDD-Plus Aceh
• Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisis Gas Rumah Kaca
• Rencana Aksi Daerah Pengentasan Kemiskinan
• Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
3. Khusus Bab II Bagian 2.4, Rumusan Isu Strategis Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang dikelompokkan dalam Isu Strategis Ekonomi, Sosial dan Lingkungan, masih diperlukan masukan dan konfirmasi lanjutan dengan melengkapi rankuman informasi masalah utama pada setiap isu strategis.
4. Untuk melengkapi muatan substansi Bab IV dan Bab V, maka Desain Matrik Renaksi RPPEG (File: //Tabel Program dan Renaksi RPPEG.docx) di lampirkan untuk memudahkan kompilasi masukan rencana aksi.
5. Sebagai Bahan Analisis dan Rumusan Informasi KHG, pada Lampiran 1 diberikan Hasil Tabulasi Tipologi KHG berdasarkan pada Fungsi-KHG, Kawasan/Fungsi Hutan – SK.103-2015, Penguasaan Ruang (perizinan), dan Tutupan Hutan (2017). Ada 18 tipologi KHG dalam ekosistem gambut Aceh. Tipologi KHG diperlukan sebagai pendekatan umum untuk merumuskan muatan substansi pada Bab IV dan Bab V.
6. Sebagai informasi kelengkapan basis data pada setiap KHG, kompilasi dan analisis spasial yang dilakukan telah mengumpulkan data/informasi pada setiap KHG. Sementara ada 26 Dataset dalam format shapefile yang sudah dikompilasi untuk melengkapi basis data khg, diserahkan sebagai kelengkapan Laporan Akhir RPPEG kepada DLHK pada akhir kegiatan nanti.
7. Sebagai Rujukan Utama Perumusan Materi pada Bab IV dan bab V, ikut dilampirkan pada Lampiran 2, Rangkuman dari Dokumen Strategi Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan di Indonesia. Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup. Tahun 2012.
8. Untuk merumuskan konsep kelembagaan pengelolaan berbasis bentang alam dengan unit kelola ruang berdasarkan kewenangan Aceh dan Kabupaten/Kota diberikan pada Lampiran 3. Model pengelolaan dengan unit operasionalnya KHG sampai pada tingkat tapak (komunitas), diberikan pada Lampiran 4.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iv
1.1. Posisi, Kedudukan dan Relevansi RPPEG 1
1.1.1. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap RPPLH 3
1.1.2. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap Perencanaan Pembangunan 4
1.1.3. Relevansi Muatan RPPEG terhadap Perencanaan Pembangunan 8
1.1.4. Relevansi Muatan RPPEG dengan Isu Global dan Isu Lokal 19
1.2. Tujuan (Goals), Sasaran, dan Ruang Lingkup Penyusunan RPPEG 24
1.2.1. Tujuan Penyusunan RPPEG 24
1.2.2. Sasaran Penyusunan RPPEG 24
1.2.3. Ruang Lingkup Penyusunan RPPEG 24
1.4. Metodologi Penyusunan Dokumen RPPEG 29
BAB II KONDISI, POTENSI DAN ISU STRATEGIS 30
2.1. Kondisi Ekosistem Gambut 30
2.1.1. Karakteristik Ekosistem Gambut 31
2.1.2. Kesatuan Hidrologis Gambut 42
2.1.3. Fungsi Ekosistem Gambut 44
2.1.4. Status Kawasan Ekosistem Gambut 45
DAFTAR TABEL
Tabel II-1. Distribusi Fungsi KHG berdasarkan Kabupaten dan Kecamatan Liputan 43
DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Skema posisi, relevansi dan keterkaitan RPPEG dengan dokumen perencanaan 2
Gambar I-2. Tahapan dan aktivitas penyusunan dokumen RPPEG Aceh 29
Manusia selalu memanfaatkan sumber daya alam lingkungan (termasuk wilayah ekosistim gambut) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang identik dengan istilah pembangunan. Pembangunan yang terus berjalan selalu memanfaatkan lingkungan baik langsung maupun tidak langsung, meskipun perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat mengatasi batas hambatan yang ditimbulkan alam, namun kenyataannya masalah dan kerusakan lingkungan sulit dihindari sehingga mengganggu dan mengancam keberadaan manusia dan habitat penghuninya.
Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi Lingkungan Hidup. Sebagai konsekuensinya, maka kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus memperhatikan pelestarian Lingkungan Hidup. Salah satu Lingkungan yang harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, dan asas keadilan adalah kawasan ekosistem gambut. Selain itu, pengelolaan kawasan ekosistem gambut sudah selayaknya dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat Aceh.
Guna mencapai kondisi ekosistem gambut yang ideal tersebut diperlukanlah perencanaan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, yang tidak hanya mengatur kondisi ekosistem gambut, akan tetapi juga pengelolaan sumber daya alam yanmg terdapat di wialyah gambut secara efektif dan efisien, serta menyediakan arahan dan rencana bagi Pemerintah Aceh untuk melaksanakan berbagai kegiatan Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut baik berupa kegiatan yang secara langsung maupun tidak langsung.
Untuk melaksanakan tujuan di atas, diperlukan adanya regulasi yang jelas dan terstruktur. Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut, merupakan upaya untuk memberikan kepastian hukum dalam perencanaan dan menjadi pedoman bagi Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan pemangku kepentingan lainnya, dalam mengelola dan memanfaatkan Ekosistem Gambut.
1.1. Posisi, Kedudukan dan Relevansi RPPEG
Posisi RPPEG terhadap regulasi yang lain dapat dilihat pada diagram yang tersajikan pada Gambar 1.
ISU GLOBAL |
ISU NASIONAL |
STRATEGI DAN KEBIJAKAN |
RENCANA PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut • Pemanfaatan • Pemeliharaan • Pengendalian • Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim RPPEG Nasional RPPEG Provinsi RPPEG Kab/Kota KepMen LHK No. SK.246/2020 SKENARIO RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH (Menuju Aceh Green) • Rencana Tata Ruang Wilayah • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah • Rencana Pembangunan Rendah Karbon Daerah • Rencana Pembangunan Lainnya Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pada Setiap Dokumen Perencanaan Daerah |
Gambar I.1 Skema posisi, relevansi dan keterkaitan RPPEG dengan dokumen perencanaan lainnya.
1.1.1. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap RPPLH
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungannya dalam kurun waktu tertentu.
Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi Lingkungan Hidup. Sebagai konsekuensinya, maka kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus memperhatikan pelestarian Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, Lingkungan Hidup di Aceh harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan Lingkungan Hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat Aceh.
Pada sisi lain, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi berbagai ekosistem, antara lain ekosistem gambut. Sementara itu, dalam RPPLH Aceh disebutkan bahwa penyusunan RPPLH dilakukan dengan memperhatikan kondisi dan fungsi penggunaan lahan, antara lain hutan rawa dan rawa, yang sebagiannya adalah lahan gambut.
Selanjutnya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG) adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah Ekosistem Gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungannya dalam kurun waktu 20 tahun. Posisi RPPEG Aceh dalam konteks ini adalah sebagai dokumen perencanaan yang menjadi pendukung RPPLH khususnya untuk Ekosistem Gambut dengan memuat secara khusus tentang potensi, masalah, serta perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Dokumen RPPEG Aceh menjadi dasar rencana pemanfaatan sumber daya alam Ekosistem Gambut di dalam RPPLH Aceh dan sebagai Dokumen perencanaan dengan muatan substansi Potensi Ekosistem Gambut. Permasalahan Ekosistem Gambut, dan Upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Ekosistem Gambut.
RPPEG Aceh merupakan turunan dari RPPEG Nasional (Tingkat Provinsi) yang akan menjadi pedoman dan rujukan dalam perumusan berbagai Dokumen Perencanaan lainnya Khususnya RPPLH Aceh yang juga merupakan turunan RRPLH Nasional. Harmonisasi RPPEG dengan Dokumen Perencanaan lainnya mulai dari tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota Penting dilakukan untuk memastikan konsitensi perencanaan dan upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh sebagai bagian dari mandat pembangunan yang berkelanjutan.
Dokumen RPPLH merupakan Dokumen pendamping atau pemandu implementasi Rencana Pembangunan yang selaras dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan yang berfungsi
sebagai indikator manfaat, dampak dan keberlanjutannya pada bentang alam, dalam hal ini khususnya Ekosistem Rawa Gambut.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) Aceh adalah dokumen yang menyediakan arahan dan rencana bagi Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh untuk melaksanakan berbagai kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup baik berupa kegiatan yang secara langsung dan tidak langsung dalam kurun waktu 30 tahun (2017-2047). Dokumen RPPLH berdasarkan pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu. RPPLH disusun secara hirarki yang terdiri atas RPPLH Nasional, RPPLH Propinsi dan RPPLH kabupaten/kota. Dalam Pasal 10 Ayat 4, lebih lanjut ditegaskan bahwa Dokumen RPPLH memuat 4 substansi rencana utama, yaitu pemanfaatan/pencadangan sumberdaya alam, pemeliharaan dan perlindungan kualitas/fungsi lingkungan hidup, pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian sumberdaya alam, dan adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim.
Dokumen RPPLH Aceh saat ini sedang dalam proses legislasi di Sekretariat Daerah Aceh dan telah melewati proses konsultasi dengan kementrian LHK. Selanjutnya perlu dilakukan harmonisasi muatan substasi antara RPPEG kedalam RPPLH, sesuai amanat Peraturan- Perundangan baik UU Nomor 32 Tahun 2009 maupun Turunannya.
1.1.2. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap Perencanaan Pembangunan
A. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap RPJP dan RPJM
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut harus terintegrasi dengan perencanaan pembangunan lainnya baik dari aspek pengelolaan ruang, arah kebijakan dan strategi keterpaduan program dan kegiatan. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap RPJP dan RPJM
Perencanaan Pembangunan adalah suatu proses untuk mementukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan atau prioritas, dengan memperhitungkan sumberdaya yang tersedia untuk mencapai tujuan pembangunan. Perencanaan Pembangunan di Aceh mencakup penyelenggaraan makro semua fungsi pemerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara terpadu dalam wilayah kewenangannya. Perencanaan Pembangunan dimaksud adalah perencanaan pembangunan yang disusun secara terpadu oleh semua SKPA dan instansi terkait serta Kabupaten/Kota, termasuk instansi pemeritnah pusat, dalam wilayah kewenangan masing- masing.
Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang, 20-tahun dilaksanakan melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM, 5-tahunan) dan setiap tahunnya diimplementasikan dalam Rencana Kerja Pemerintah. Semua dokumen rencana pembangunan tersebut tentu harus
melalui proses harmonisasi lintas kewenangan sehingga pembagian urusan pembangunan terukur dan dapat ditelusuri. Dalam konteks ini, Dokumen RPPEG sebagai rencana tematik dengan unit ruang kelola berbasis KHG, memiliki posisi penting sebagai acuan dan masukan muatan susbstansi untuk rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sebagai bagian dari RPPLH.
Posisi RPPEG Aceh dalam Perencanaan Pembangunan Aceh dan Kabupaten/Kota adalah sebagai dokumen pendukung dalam memperhitungkan sumber daya yang tersedia khususnya Eksosistem Gambut serta untuk menjaga keterpaduan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut dengan bidang kehidupan lainnya dalam rencana pembangunan jangka panjang (RPJPN/RPJPD) dan rencana pembangunan jangka menengah (RPJMN/RPJMD). Kedudukan RPPEG dalam rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah disamping menjadi acuan dalam perumusan atau revisi rencana pembangunan tersebut, juga menjadi pedoman pemanfaatan sumber daya alam pada ekosistem gambut yang termuat dalam kedua Dokumen Perencana tersebut.
B. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap RTRW
Pengelolaan ruang wilayah harus dilakukan sesuai dengan kaedah penataan ruang yang baik untuk memastikan keberlanjutan pembangunan, yang diwujudkan melaui perencanaan struktur dan pola ruang yang ditujukan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, dan perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Posisi RPPEPG Aceh terhadap penyelenggaraan penataan ruang di Aceh adalah sebagai dokumen pendukung perencanaan tata ruang untuk memenuhi prinsip dan maksud diatas. Dengan posisi tersebut, kedudukan RPPEG Aceh selanjutnya menjadi dasar untuk membangun keharmonisan antara Ekosistem Gambut dengan lingkungan alam lainnya dan lingkungan buatan, dasar untuk memperkuat keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam pada ekosistem gambut, dan menjadi dasar untuk merumuskan upaya pencegahan dampak negatif terhadap ekosistem gambut akibat pemanfaatan ruang.
Penataan ruang dalam wilayah kewenangan Aceh, terdiri dari penataan ruang wilayah dengan hirarki dari Nasional, Aceh dan Kabupaten/Kota beserta turunannya yang dibakukan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Disamping itu, untuk melasanakan ketentuan peraturan-perundangan dalam penataan ruang, perumusan RPPEG Aceh juga memiliki arti penting sebagai dasar untuk penguatan muatan substansi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional atau RTR-KSN Kawasan Ekosistem Leuser yang mencakup 17 KHG dalam
wilayah pesisir Barat-Selatan Aceh dari Kabupaten Aceh Barat sampai Kabupaten Aceh Singkil. Posisi RPPEG Aceh dan kedudukannya juga penting terkait dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh dan turunannya. Posisi RPPEG dalam hal ini menjadi rujukan deliniasi ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatannya pada bentang alam ekosistem gambut dengan unit kelola berbasis KHG.
C. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 berisi arahan makro pemanfaatan dan penggunaan spasial atau ruang dan potensi
Kawasan hutan untuk pembangunan kehutanan dan pembangunan di luar kehutanan yang
menggunakan kawasan hutan dalam skala nasional untuk jangka waktu 20 tahun. RKTN Tahun 2011-2030 menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Makro Penyelenggaraan Kehutanan, penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Rencana Pengelolaan Hutan di tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), penyusunan Rencana Pembangunan Kehutanan, penyusunan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan, koordinasi perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah antar sektor, dan/atau pengendalian kegiatan pembangunan kehutanan.
Posisi RPPEG Aceh terhadap RKTN Tahun 2011-2030 sebagai dokumen pendukung untuk arahan makro pemanfaatan dan penggunaan ruang dan potensi ekosistem gambut yang berada dalam kawasan hutan baik untuk pembangunan kehutanan maupun non-kehutanan. Meningat sebagian besar kawasan ekosistem gambut di Aceh berada diluar kawasan hutan, maka posisi RPRPEG Aceh menjadi sangat strategis sebagai acuan untuk arahan pemanfaatan ruang diluar kawasan hutan yang sebagian arealnya ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut. Selanjutnya kedudukan RPPEG dalam RKTN Tahun 2011-2030 menjadi acuan dalam: (1) Penyusunan Rencana Makro Penyelenggaraan Kehutanan khususnya di Ekosistem Gambut (2) Penyusunan Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Rencana Pengelolaan Hutan di tingkat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Ekosistem Gambut (3) Penyusunan Rencana Pembangunan Kehutanan di Ekosistem Gambut (4) Penyusunan Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan di Ekosistem Gambut (5) Koordinasi perencanaan pembangunan jangka panjang dan menengah antar sector di Ekosistem Gambut (6) Pengendalian kegiatan pembangunan kehutanan di Ekosistem Gambut.
D. Posisi dan Kedudukan RPPEG terhadap Perencanaan Strategis lainnya
Ekosistem Gambut yang terdiri dari 36 KHG di Aceh menempati bentang alam yang secara pengelolan ruang dan tematiknya berada dalam kesatuan managemen yang memiliki batas ruang dan kewenangan serta fungsi yang berbeda. Pengelolaan kawasan konservasi yang menjadi kewenangan pemerintah dan ruangnya bersamaan dengan beberapa KHG terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. RPPEG yang berbasis KHG dan merupakan bagian wilayah dalam kawasan konservasi tersebut tentu saja harus menjadi bagian harmonisasi dengan Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi setiap Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Suaka Marga Satwa dan Taman Nasional).
Pada Saat bersamaan, wilayah unit managemennya Kesatuan Pegelolaan Hutan (KPH) di Aceh yang diberi mandate mengelola kawasan hutan dibagi berdasarkan Daerah Aliran Sungai yang mencakup seluruh kawasan DAS dari hulu sampai hilir dengan batas garis pantai, sehingga kewenangan pengelolannya juga mencakup kawasan rawa gambut atau ekosistem gambut di bagian hilir. Unit kelola ekosistem gambut dalam RPPEG berbasis KHG sejatinya menjadi bagian dalam pengelolaan KPH dengan unit managemen terkecilnya resort pengelolaan hutan. Harmonisasi RPPG kedalam Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang KPH mutlak diperlukan untuk memastikan konsistensi perlindungan dan pengelolaan ruang termasuk 36 KHG, ekosistem gambut di dalamnya sebagai bagian dari wilayah kerja KPH 1, 4, 5 dan 6. Dokumen RPPEG juga menajdi acuan dan masukan dalam penyesuaian Rencana Tata Hutan pada setiap KPH yang terdapat KHG dalam wilayahnya.
Posisi RPPEG dalam perencannaan strategis lainnya di Aceh sebagai dokumen pelengkap untuk memperkuat muatan substansi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dengan unit kelola ruang terkecilnya KHG dalam setiap Dokumen Perencanaan Strategis Lainnya tersebut. Posisi ini memberikan kedudukan bagi Dokumen RPPEG Aceh untuk dijadikan rujukan dan sandingan untuk mendukung dan memperkuat muatan substansi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh serta harmonisasinya pada bentang alam yang direncanakan melalui lintas perencanaan. Perencanaan Strategis Lainnya terkait RPPEG Aceh antara Lain :
• Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
• Rencana Strategis dan Rencana Aksi (SRAP) REDD-Plus, Penurunan Emisis Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Lahan dan Hutan.
• Rencana Aksi Daerah Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
• RPHJP dan Dokumen Tata Hutan KPH 1 Periode Tahun 2016 – 2025, dengan cakupan wilayah kerja Pidie, Aceh Besar dan Aceh Jaya.
• RPHJP dan Dokumen Tata Hutan KPH 4 Periode 1019 – 2028, dengan cakupan wilayah kerja Kabupaten Aceh Barat, Sebagian Nagan Raya dan Siemeulu.
• RPHJP dan Dokumen Tata Hutan KPH 4 Periode 1019 – 2028, dengan cakupan wilayah kerja Sebagian Kabupaten Nagan Raya, Aceh Barat Daya dan Gayo Lues.
• RPHJP dan Dokumen Tata Hutan KPH 6 Periode 2016 – 2025, dengan cakupan wilayah kerja Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
• Rencana Pengelolaan Jangka Panjang Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Kabupaten Aceh Selatan, Kota Subulussalam Dan Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh Periode 2019 – 2028.
• Rencana Pengelolaan dan Rencana Zonasi Taman Nasional Gunung Leuser
1.1.3. Relevansi Muatan RPPEG terhadap Perencanaan Pembangunan
A. Relevansi Muatan RPPEG terhadap RPPLH
Muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) adalah potensi, masalah lingkungan hidup secara umum dan keseluruhan, serta upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara umum dan keseluruhan. Muatan ini sangat relevan dengan RPPEG yang memuat secara lebih rinci potensi, masalah, serta upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungannya dalam kurun waktu 20 tahun namun khusus untuk Ekosistem Gambut. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 menegaskan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
- menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
- menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
- menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
- mencapai keserasian, keselarasan, keseimbangan lingkungan hidup; dan
- menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
- menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
- mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana;
- mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
- mengantisipasi isu lingkungan global.
Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi perlindungan dan pengelolaan pada ekosistem:
- tanah untuk produksi biomassa;
- terumbu karang;
- mangrove
- padang lamun;
- Gambut;
- karst; dan/atau
- lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomot 71 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosisem Gambut hanya mengatur mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Sedangkan Ketentuan mengenai perlindungan dan pengelolaan ekosistem lainnya diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Lingkup pengaturan dan mandat Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut meliputi:
- perencanaan;
- pemanfaatan;
- pengendalian;
- pemeliharaan;
- pengawasan;
- sanksi administratif.
Dari batasan Undang-Undang dan Peraturan Turunannya diatas, dapat dipahami bahwa relevansi muatan substansi RPPEG dan RPPLH sangat kuat. RPPEG merupakan bagian dari RPPLH, muatan substansi dalam Dokumen RPPEG Aceh sejatinya akan menjadi bagian dan melengkapi muatan substansi khusus terkait ekositem gambut kedalam Dokumen RPPLH Aceh. Kedua Dokumen ini atau secara integratif akan menjadi panduan bagi instansi dan stakeholder kunci pembangunan di Aceh dalam pelaksanaan pembangunan lintas sektor dan bentang alam dan lintas hiierarki kewenangan, untuk memastikan harmonisasi program dan ruang untuk pembangunan dan keberlanjutannya.
B. Relevansi Muatan RPPEG terhadap RPJP dan RPJM
Secara makro, RPJP dan RPJM memuat sustansi perencanaan pembangunan dan urusan pemerintahan yang berkaitan dengan penyelenggaraannya. Sedangkan Rencana Pembangunan Aceh lainnya yang didalamnya juga memuat turunan Rencana Pembangunan Nasional memuat rencana makro keseluruhan aspek pembangunan lintas sektor dan bentang alam. Sedangkan RPPEG memuat substansi tersebut secara khusus dan terbatas pada ekosistem gambut dengan cakupan bentang alam dalam batasan ekositem gambut. Dokumen RPPEG memuat substansi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut dengan unit kelola terkecil Kesatuan Hidrologis Gambut atau KHG, sedangkan pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Jangka Menengah (RPJM) serta turunannya unit kelola dengan yurisdiksi administratif terkecil adalah Desa atau batas admintrasi pemerintahan lainnya.
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut harus terintegrasi dengan perencanaan pembangunan lainnya baik dari aspek pengelolaan ruang, arah kebijakan dan strategi keterpaduan program dan kegiatan. Oleh karena itu, maka Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut harus menjadi slah satu dokumen yang menjadi dasar dalam :
- Penyusunan dan peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh dan Kabupaten/Kota.
- Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh.
- Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten/Kota
- Penyusunan Rencana Strategis Daerah, Instansi Teknis terkait dan perencanaan lainnya di ekosistem gambut.
Untuk memastikan relevansi muatan substansi yang disusun dalam Dokumen RPPEG dan Rencana pembangunan Jangka Panjang Aceh, maka penting dilakukan proses harmonisasi dan integrasi rumusan RPPEG dengan muatan substansi Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2012-2032. RPJP Aceh saat ini telah memasuki periode ke-2 (2018 – 2022) pelaksanaannya dan akan berakhir pada tahun 2032 mendatang. Perbedaan Periode perencanaan tesebut perlu disikapi untuk menentukan proses harmonisasi dan internalisasi muatan substansi RPPEG kedalam RPJP Aceh setelah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh melalui proses reviisi secara berkala terhadap Qanun RPJP tersebut. Pilihan kedua adalah proses harmonisasi tanpa merubah Qanun RPJP yang dilakukan melalui integrasi program dan deliniasi ruang pada tataran program dan implementasinya.
RPJP Aceh yang dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2012-2032 menegaskan bahwa pembangunan Aceh yang juga merupakan penjabaran dari pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat dari generasi ke generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi kebutuhan masa sekarang dengan mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang dengan menerapkan prinsip- prinsip pembangunan berkelanjutan. Untuk itu, dalam 20 tahun kedepan sangat penting dan mendesak bagi Aceh untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah pembangunan, antara
lain di bidang pengelolaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaan sehingga dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta berdaya saing ditingkat nasional maupun internasional.
Beberapa penekanan kebijakan tentang lingkungan dalam RPJP yang sangat relevan terhadap penyusunan RPPEG antara lain adalah:
- Pelestarian fungsi dan potensi keanekaragaman hayati sebagai pendukung pembangunan berkelanjutan dilaksanakan dengan mengintegrasikan aktivitas pembangunan, konservasi keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumberdaya alam;
- Penurunan tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan menerapkan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya alam terbarukan dan tidak terbarukan;
- Peningkatan kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan melestarikan lingkungan hidup dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat dalam penanggulangan permasalahan lingkungan; dan peningkatan kapasitas masyarakat terutama generasi muda agar tanggap terhadap isu-isu lingkungan yang sedang berkembang sebagai bekal menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan di masa mendatang;
- Penerapan konsep mitigasi dalam manajemen penanganan bencana dilaksanakan dengan menata pola dan struktur ruang yang tepat dengan memperhatikan kawasan rawan bencana; menerapkan sistem peringatan dini melalui penyebaran informasi yang efektif kepada masyarakat; meminimalkan resiko bencana yang dilakukan melalui pembangunan berbagai prasarana fisik dan penggunaan teknologi yang ramah lingkungan;
Selanjutnya dengan berpedoman pada RPJP Aceh, untuk periode jangka menengah (lima tahunan) Pemerintah Aceh menyusun RPJM. Dalam hal ini tahapan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh dibagi dalam 4 (empat) tahapan (disesuaikan dengan masa jabatan Gubernur Aceh terpilih), yaitu: Tahap I Tahun 2012-2017, Tahap II Tahun 2018-2022, Tahap III Tahun 2023-2027, dan Tahap IV Tahun 2028-2032.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh Tahap II Tahun 2017 – 2022, telah disusun dan telah ditetapak dengan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2019 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh Tahun 2017-2022 . RPJM Aceh tersebut memuat visi pembangunan “Aceh Hebat” yaitu “Terwujudnya Aceh yang Damai dan Sejahtera Melalui Pemerintahan yang Bersih, Adil dan Melayani”. Visi pembangunan ini diterjemahkan kedalam 10-Misi Pembangunan dan 15-Program Strategis serta dilaksanakan melaui 9-Prioritas Pembangunan selama periode 5-Tahun.
Substansi RPPEG sangat relevan dengan RPJM Tahap II (Tahun 2018-2022) yang salah satu programnya adalah peningkatan kualitas lingkungan hidup sebagai bagian dari penguatan upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dilakukan melalui perbaikan sanitasi dan kesehatan masyarakat dan didukung oleh pengelolaan sektor-sektor sumberdaya alam secara adil dan lestari. Fokus program lainnya antara lain adalah pencapaian target-target tujuan pembangunan millenium dan mendukung pengembangan agroindustri di Aceh untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan infrastruktur dan prasarana wilayah lainnya secara proposrsional diarahkan untuk mendukung produktivitas dan nilai tambah produk lokal dengan tetap menjaga/ mendapatkan nilai jasa lingkungan dan mengurangi dampak buruk yang mungkin terjadi.
Pada RPJM Tahap III (Tahun 2023-2027) tujuan utama ada pada pemantapan basis pengembangan industri manufaktur yang sejalan dengan berkembangnya agroindustri. Pembangunan dibidang ekonomi diarahkan untuk lebih memantapkan pengembangan industri manufaktur yang berbasis kepada keunggulan sumberdaya alam yang tersedia (dengan tetap menjaga kelestariannya) dan teknologi yang semakin berkembang.
Dalam konteks perumusan RPPEG, uraian keterkaitan dan relevansi muatan substansi dengan RPJM Aceh 2017 -2022 diatas dapat difokukan pada misi ke-10 yang secara langsung membuat mandat terkait lingkungan hidup dan ekosistem gambut didalamnya. Misi lainnya baik secara kebijakan maupun programatik dalam implementasinya juga menajdi bagian integratif yang relevan untuk dirujuk dan diperkaya dengan muatan substansi RPPEG. Misi pembangunan “Aceh Hebat” ke-10 (yang sangat relevan dengan RPPEG) adalah:
Pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur terintegrasi, dan lingkungan yang berkelanjutan. Melalui Misi 10 ini akan dibangun dan dikembangkan infrastruktur berkelanjutan dan terintegrasi di seluruh sektor-sektor pembangunan Aceh.
Kemudian, dalam Sembilan-Program Prioritas Pembangunan RPJM Aceh, 2017-2022, yang sangat relevan dengan RPPEG adalah Program penanganan infrastruktur terintegrasi dan penanganan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan kebencanaan.
Dalam RPJM Aceh (2017-2022) juga terdapat 15-Program Strategis. Salah satu program strategis yang sangat kuat relevansinya dengan RPPEG adalah program Aceh Green. Program strategis Acèh Green adalah pembangunan dan peningkatan kualitas infrastruktur terintegrasi, dan lingkungan yang berkelanjutan. Penegasan terhadap pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang sensitif terhadap resiko bencana alam dengan konsep pembangunan antara lain:
- Mendesain rencana pertumbuhan hijau Aceh (green growth plan) sebagai bagian dari implementasi azas berkelanjutan dalam pembangunan Aceh;
- Melakukan langkah-langkah strategis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim;
- Menerapkan strategi mitigasi dan manajemen resiko bencana melalui penguatan kapasitas tim tanggap darurat dan penyadartahuan masyarakat
- Membangun rencana pemulihan spesies kunci yang kritis terancam punah;
- Membangun manufaktur bagi penyediaan kayu alternatif (wood polymer composite) dalam rangka mengantisipasi lonjakan kebutuhan kayu dunia untuk pencegahan degradasi hutan
RPJM Aceh selanjutnya akan menjadi pedoman bagi :
- SKPA dalam menyusun Renstra-SKPA dan seluruh pemangku kepentingan di Aceh dalam melaksanakan kegiatan pembangunan selama kurun waktu 2017-2022;
- Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyusun RPJM Kabupaten/Kota.
- Pemerintah Aceh dalam penyusunan RKPA setiap tahunnya.
Dari rangkuman muatan substansi yang relevansi sangat kuat dalam kedua Dokumen Perencanaan tersebut diatas, maka dapat dipastikan pentingnya muatan substansi RPPEG yang secara terpisah atau menjadi bagian dalam dokumen RPPLH harus menjadi muatan dalam dokumen RPJP dan RPJM Aceh dan Kabupaten/Kota di Aceh. Proses internalisasi dapat dilakukan pada saat penyusunan, revisi dan aktualisasi kedalam program yang dilaksanakan pada kawasan ekosistem gambut atau terkait dan berdampak terhadap eksistensi ekosistem gambut di Aceh. Salah satu modalitas yang dimandatkan peraturan perundangan adalah melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan dokumen lingkungan dalam rangka mendapatkan ijin lingkungan setiap kegiatan yang berpotensi mengakibatkan dampak negative terhadap lingkungan dengan cakupan luas tertentu secara sistematis.
C. Relevansi Muatan RPPEG terhadap RTRW
Penyelenggaraan tata ruang antara lain berdasarkan pada prinsip keterpaduan dan keberlanjutan. Berdasarkan Undang-Undang No 26 Tahun 2007, perencanaan tata ruang sebagai proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang ditujukan untuk mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia, dan perlindungan fungsi ruang dan pencegahandampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Muatan substansi RPPEG harus menjadi
bagian dalam Rencana Tata Ruang Wilayah pada berbagai hierarki, terutama pada tingkat detail yaitu RTRW Kabupaten/Kota dan RTDTR serta turunannya. Disamping itu secara substantif, RPPEG penting pula untuk dimuat dalam penataan ruang kawasan seperti Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota, dan Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan ruang tematik-sektoral dan kawasan tertentu juga menjadi target pengkayaan substansi dari Dokumen RPPEG. Semua kegiatan penyelenggaraan penataan ruang sejatinya menjadikan muatan substantif dalam RPPEG untuk pengaturan ruang khusus ekosistem gambut sebagai masukan dan dasar penentuan struktur dan pola ruang sebagai Rencana.
Integrasi dan harmonisasi muatan substansi RPPEG dan RTRWA pada tingkat provinsi dan RTRWK pada wilayah Kabupaten/Kota adalah upaya untuk memastikan setiap rencana pemafaatan ruang tidak dan meminimumkan dampak negatif terhadap keberlanjutan sumberdya alam, termasuk ekosistem gambut didalamnya. Masukan substansi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut kedalam RTRW adalah untuk memperkuat substansi pengendalian pemanfaatan ruang yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan dan sumberdaya serta menyiapkan upaya mitigasi dan adaptasi sebagai konsekuensi pemanfaatan ruang wilayah. Modalitas internalisasi muatan substansi RPPEG kedalam Dokumen RTRW baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota serta penataan ruang lainnya dapat dilakukan pada saat penyusunan, revisi dan harmonisasi dalam implementasi programatik yang mempersyaratkan konsistensi ruang kelola dengan unit bentang alam tertentu.
Khusus untuk ekosistem gambut, KHG merupakan unit kelola terkecil atau tapak yang diugunakan dalam perlindungan dan pengelolaannya yang dapat dilakukan harmonisasi ruang pada bentang alam yang sama untuk berbagai penataan ruang atau zonasi perlindungan dan pengelolaan lainnya. Kesepakatan multipihak untuk melakukan harmonisasi dan membangun konsistensi penataan ruang berbasis bentang alam dan ekosistem diperlukan, pembakuan kesepakatan ini dapat disusun dalam bentuk Dokumen Kebijakan yang berkekuatan Hukum Tetap seperti Qanun dan Peraturan Kepala Daerah untuk lingkup Aceh, bagi Nasional menyesuaikan dengan ketentuan peraturan-perundangan.
Untuk membangun kesamaan pemahaman, rangkuman substansi penataan ruang yang termuat dalam Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2023 berikut diharapkan menjadi gambaran umum tentang kuatnya relevansi muatan substansi RPPEG Aceh dan Penataan Ruang lintas hierarki di Aceh. Relevansi ini dapat dilihat dari rumusan kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah Aceh meliputi pengembangan struktur ruang wilayah Aceh dan pengembangan pola ruang wilayah Aceh. Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah Aceh meliputi:
- Peningkatan fungsi-fungsi pelayanan pada pusat-pusat kegiatan dalam wilayah Aceh sesuai dengan hierarki dan fungsi yang ditetapkan;
- peningkatan akses pelayanan pusat-pusat dalam wilayah Aceh yang merata dan berhierarki;
- peningkatan akses dari dan ke luar wilayah Aceh, baik dalam lingkup nasional maupun lingkup internasional;
- peningkatan kualitas pelayanan dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, energi, telekomunikasi, sumberdaya air yang merata di seluruh wilayah Aceh.
Kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi:
- peningkatan kualitas kawasan lindung yang telah menurun fungsi perlindungannya dan penjagaan kualitas kawasan lindung yang ada;
- pemeliharaan dan perwujudan kelestarian lingkungan hidup;
- pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
Strategi pengembangan kawasan lindung meliputi:
- Strategi pengembangan kawasan lindung berupa peningkatan kualitas kawasan lindung yang telah menurun menurut fungsi perlindungannya dan penjagaan kualitas kawasan lindung yang ada meliputi: (1) mengembalikan dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budidaya sebelumnya dalam rangka mewujudkan dan memelihara keseimbangan ekosistem wilayah; (2) meningkatkan kualitas kawasan hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung, yaitu kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi; (3) mengeluarkan secara bertahap bentuk-bentuk kegiatan yang berada di dalam kawasan lindung yang tidak sesuai dengan fungsi perlindungan dan/atau dapat merusak fungsi perlindungan kawasan lindung.
- Strategi pengembangan kawasan lindung berupa pemeliharaan dan perwujudan kelestarian lingkungan hidup meliputi: (1) menetapkan kawasan lindung dan/atau fungsi perlindungan di ruang darat, ruang laut, ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi; (2) menetapkan proporsi luas kawasan lindung di daratan wilayah Aceh paling sedikit 40 % (empat puluh persen) dari luas darat wilayah, dan luas kawasan hutan dalam wilayah Aceh paling sedikit 60 % (enam puluh persen) dari luas darat wilayah.
- Strategi pengembangan kawasan lindung berupa pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi: (1) menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup; (2) melindungi kemampuan daya dukung lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya; (3) melindungi kemampuan daya tampung lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lainnya yang dibuang ke dalamnya; (4) mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
(5) mengendalikan pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; (6) mengelola sumberdaya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfatannya secara bijaksana, dan sumberdaya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; (7) membatasi pengembangan kegiatan budidaya di kawasan rawan bencana, yaitu hanya untuk kegiatan yang mempunyai daya adaptasi bencana.
Dalam Kontek Pengelolaan Kawasan Strategis Nasional, Sebagian dari KHG di Aceh berada dalam cakupan wilayah KSN Kawasan Ekosistem Leuser yang ditetapkan dalam RTRWN (PP 26/2008 dan perubahannya PP 13/2017). Substansi RPPEG sangat penting untuk menjadi muatan dalam RTR-KSN KEL yang ditetapkan dengan Xxxaturan Presiden karena memuat semua rencana perlindungan dan pengelolaan kawasan ekosistem penting tidak hanya untuk Aceh dan Indonesia, tetapi juga bagi dunia International. KEL yang ditetapkan dengan sudut kepentingan daya dukung lingkungan hidup diprioritaskan penataan ruangya karena kawasan ini meiliki nilai strategis nasional dari aspeks lingkungan hidup yang mencakup perlindungan bentang alam, keragaman hayati, keunikan budaya dengan dan fungsi kawasan ini sebagai penyangga kehidupan manusia dan ekosistem dalam batas dampak kawasan tersebut.
Ekosistem Gambut merupakan salah satu ekosistem penting atau esensial yang menjadi pembangun formasi keunikan landscape KEL dan terkonsentrasi di pantai barat-selatan yang dikelompokkan dalam 17 Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) dengan luas mencapai 222,384.05 ha atau 65,54% dari total luas KHG di Aceh. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor SK.130/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional Skala 1 : 250.000, Ekosistem Gambut Aceh tersebar dalam Kawasan Rawa Sepanjang Pesisir Barat – Selatan yang dikelompokkan dalam 36 KHG dengan total luas 339,282 ha. Luasan tersebut terbagi kedalam 36 KHG dengan proporsi fungsi lindung 178,662 ha (53%) dan fungsi budidaya 160,622 ha (47%).
Relevansi Muatan RPPEG terhadap RTRW dan penataan ruang lainnya sangat penting dipahami dan internalisasi muatan substantif tersebut harus menjadi bagian dalam muatan utama rencana tata ruang yang terdiri struktur ruang dan pola ruang. RPPEG yang didasarkan pada pendekatan spasial baik untuk Peta Kawasan Hidrologis Gambut dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut merupakan unit kelola ruang pada bentang alam yang sama dengan alokasi ruang dalam RTRW. Harmonisasi dan internalisasi muatan substansi RPPEG ke dalam RTRW adalah untuk memastikan perwujudan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang tidak menegasikan upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut sebagai bentang alam dengan ekosistem penting di dalamnya. Rumusan RPPEG Aceh setelah ditetapkan dengan Peraturan Gubernur Aceh harus dilanjutkan dengan proses internalisassi kedalam RTRWA dan RTRWK yang dalam wilayah adminitratifnya terdapat KHG, sehingga upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh dapat dilaksanakan secara terukur dan berkelanjutan.
Karena seluruh KHG di Aceh berada dalam kawasan pesisir, maka Dokumen RPPEG yang disusun juga penting untuk dipaduserasikan dengan seluruh proses dan Dokumen perencanaan wilayah pesisir yang dibukukan dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Aceh dan turunannya. Dokumen RPPEG dalam hal ini menjadi rujukan deliniasi ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatannya pada setiap Kesatuan Hidrologis Gambut.
D. Relevansi Muatan RPPEG terhadap Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Relevansi Muatan RPPEG terhadap Rencana Kehutanan Tingkat Nasional RPPEG memuat potensi, masalah, dan upaya perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, yang
sebagiannya berada di dalam kawasan hutan, sehingga memiliki relevansi kuat dengan
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030 yang berisi arahan makro pemanfaatan dan penggunaan spasial atau ruang dan potensi Kawasan hutan untuk pembangunan kehutanan dan pembangunan di luar kehutanan yang menggunakan kawasan hutan dalam skala nasional.
Sejalan dengan itu, RPPEG Aceh juga memiliki relevansi yang kuat untuk memperkuat substansi RPPEG Nasional sekaligus menjadi masukan bagi RKTN Tahun 2011 – 2030. Walaupun untuk saat ini tingkat kedetailan data dan informasi yang digunakan masih sama dengan RPPEG Nasional, namun secara bertahap RPPEG Aceh dapat dilakukan pembaruan data dengan tingkat kedetailan sesuai yang dipersyaratkan Paeraturan-Perundangan. Masukan dari tingkat tapak berbasis KHG dari Aceh untuk RKTN dan RPPEG Nasional tentu akan memperkuat akurasi fakta ruang pada tingkat tapak dan masalah aktual di lapangan semakin detail dapat dipahami. Dari masukan tersebut RPPEG Nasioan maupun RKTN secara berkala dapat memperbaharui fakta, kebutuhan dan arahan upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut pada tingkat KHG
di Aceh dan implementasinya dapat dilakukan singkronisasi dengan Pengeloalan Kawasan Hutan dan Ekosistem Gambut secara bersamaan dengan batasan unit ruang definitif berbasis KHG.
E. Relevansi Muatan RPPEG terhadap Perencanaan Strategis lainnya
Relevansi Muatan RPPEG terhadap Perencanaan Strategis lintas kewenangan lainnya yang perlu memperhitungkan sumber daya yang tersedia serta untuk menjaga keterpaduan perlindungan dan pengelolaannya baik dalam Rencana Strategis Nasional dan Daerah maupun Rentra Kawasan dan Tematik/Sektoral lainnya. Dalam konteks perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut di Aceh, berdasarkan distribusi spasial, 36-KHG tersebut berada dalam bentang alam yang sekaligus menjadi wilayah kerja UPT KPH Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh Wilayah 1, 4, 5, dan 6. Fakta ruang kelola tersebut akan mempertegas bahwa relevansi muatan subtansi RPPEG Aceh akan menjadi substansi penting dalam RPJPH KPH tersebut. Relevansi ini dibangun berdasarkan keunikan manajemen ruang KPH di Aceh yang menggunakan wilayah Daerah Aliran Sungai sebagai batas wilayah kerjanya dan mencakup bentang alam dari hulu sampai hilir dengan batas garis pantai di pesisir. KPH di Aceh menggunakan Daerah Aliran Sungai sebagai dasar dileniasi wilayah kerjan didasarkan pada pertimbangan bahwa hutan Aceh harus dikelola dengan pendekatan terintegrasi dari kawasan hulu sampai ke hilir DAS atau aliran sungai.
Beberapa KHG juga menjadi bagian dari kawasan konservasi yaitu Suaka Margasatwa Rawa Singkil dan Taman Nasional Gunung Leuser. Dalam berada Kawasan Suaka Alam SM Rawa Singkil yang cakupan wilayahnya meliputi Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam terdapat 1-KHG dengan total luas 81,824.9 ha, 27,762.3 berfungsi lindung dan 54,062.6 fungsi budidaya. Dalam Kawasan Pelestarian Alam TN Gunung Leuser yang wilayahnya mencakup Kabupaten Aceh Barat Daya, Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Gayo Lues dan Kabupaten Aceh Tenggara terdapat 2-KHG dengan total luasan 11,035.9 ha, 6,435.1 ha berfungsi lindung dan 4,600.8 ha budidaya. Berikut luasan KHG dalam wilayah kerja KPH :
• Wilayah Kerja KPH-I terdapat 6-KHG dengan total luas 25,973.6 ha, 7,697.4 ha berfungsi lindung18,276.2 ha budidaya.
• Wilayah Kerja KPH-IV terdapat 6-KHG dengan total luas 45,882.8 ha, 18,084.5 ha berfungsi lindung dan 27,798.2 ha budidaya.
• Wilayah Kerja KPH-V terdapat 9-KHG dengan total luas 81,398.2 ha, 30,223.4 ha berfungsi lindung 51,174.8 ha budidaya.
• Wilayah Kerja KPH-VI terdapat 19-KHG dengan total luas 182,751.5 ha, 83,500.0 ha berfungsi lindung dan 99,251.5 ha budidaya.
Dari Fakta sebaran KHG dan kewenangan pengelolaan kawasan di atas, dapat ditentukan relevansi muatan substansi RPPEG dan Muatan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi masing-masing. RPHJP KPH (KPH 1, 4, 5, dan 6) dan RP Kawasan Konservasi sudah memasukkan Gambut ke dalam rencana pengelolaan mereka, sesuai dengan wilayah kewenangan masing-masing.
Disamping beberapa relevansi muatan RPPEG Aceh perencanaan strategis yang telah diuraikan diatas, masih perlu dilengkapi uraiannya dengan revansi muatan substansi RPPEG Aceh dengan:
• Strategi dan Rencana Aksi Pelaksanaan REDD-Plus Aceh
• Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisis Gas Rumah Kaca
• Rencana Aksi Daerah Pengentasan Kemiskinan
• Rencana Aksi Daerah Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
1.1.4. Relevansi Muatan RPPEG dengan Isu Global dan Isu Lokal
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) telah ditetapkan sebagai angenda pembangunan global untuk periode 2016-2030 oleh para pemimpin
193 negara anggota PBB Di Markas Besar PBB pada 25 September tahun 2015. SDGs diarahkan untuk mengatasi hambatan utama dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, antara lain ketidakadilan, konsumsi yang tidak berkelanjutan, lemahnya kapasitas kelembagaan, dan degradasi lingkungan yang dinegasikan MDGs. SDGs terdiri atas 17 goals, 169 target dan 230 indikator. Ekosistem gambut dengan luasan yang signifikan dan berkaitan erat dengan isu sosial dan ekonomi menjadi sangat relevan dengan SDGs, tidak terbatas hanya pada goal 15, yaitu ekosistem daratan, namun juga dengan goal lainnya.
Apalagi saat ini pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pada tahun 2016 atau satu tahun setelah Paris Agreement (Persetujuan Paris) untuk menghadapi perkembangan isu perubahan iklim, pemerintah Indonesia juga telah turut meratifikasi kesepakatan tersebut dan mengeluarkan UU No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Persetujuan Paris. Melalui Persetujuan Paris Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi 29%-41% pada tahun 2030, dengan sektor kehutanan sebagai target utama reduksi emisi. Eksosistem Gambut sangat relevan dengan isu perubahan iklim karena kandungan karbon yang sangat tinggi di Ekosistem Gambut.
Selain itu pada tahun 1994, Indonesia juga telah mengesahkan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa Mengenai Keanekargaman Hayati melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994. Keanekaragaman hayati berperan penting untuk berlanjutnya proses evolusi serta terpeliharanya keseimbangan ekosistem dan sistem kehidupan biosfer. Keanekaragaman meliputi ekosistem, jenis dan genetic yang mencakup hewan, tumbuhan, dan jasad renik yang perlu dijamin keberadaan dan keberlanjutannya. Ekosistem Gambut, selain menjadi salah satu ekosistem yang memiliki kekhasan sebagai ekosistem, juga memiliki kekayaan keanekaraman hayati hewan, tumbuhan, dan jasad renik. Oleh karena itu, menjamin keberadaan dan keberlanjutan Ekosistem Gambut sangat relevan dengan isu keanekaragaman hayati global.
Gambut mempunyai karakteristik yang unik dan memiliki fungsi yang beragam seperti pengatur tata air, pengendali banjir, sebagai habitat (tempat hidup) anekaragam jenis makhluk hidup, dan sebagai gudang penyimpan korbon sehingga berperan sebagai pengendali kesetabilan iklim global. Selain memiliki fungsi yang beragam, ekosistem gambut merupakan sumberdaya alam, antara lain berupa plasma nutfah, komoditi kayu, dan hasil hutan non kayu yang secara turun temurun telah menjadi sumber penghidupan masyarakat setempat.
Dalam upaya pencegahan perubahan fungsi ekosistem gambut, setiap negara mempunyai kepentingan yang sama yaitu mempertahankan dan meningkatkan fungsi ekosistem gambut untuk pengembangan pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan dan menjaga kesetabilan iklim global. Agar gambut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat kualitas gambut yang diinginkan, maka perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut menjadi sangat penting.
Konteks Lokal dan Kondisi Aktual:
Tersusunnya RPPLH Provinsi
Dalam penyusunan RPPLH, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui, yakni inventarisasi lingkungan hidup, Pengolahan Data dan Informasi Hasil Inventarisasi Lingkungan Hidup, Analisis Data dan Informasi, Penentuan Target Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penyusunan Muatan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Terintegrasinya RPPLH dalam Rencana Pembangunan Provinsi
Sesuai dengan amanah UU Nomor 32 tahun 2009, RPPLH menjadi dasar penyusunan dan dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (Pasal 10, Ayat 5). Diharapkan jika dokumen RPPLH tersedia maka bisa langsung diimplementasikan ke dalam RPJM Daerah sehingga menjadi salah satu indikator keberhasilan pembangunan daerah. Untuk periode tahun 2013 – 2017, RPPLH belum terintegrasi di dalam RPJM daerah.
Tersedianya Dokumen KLHS Provinsi
Landasan hukum pelaksanaan KLHS tercantum dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut undang-undang tersebut, Kajian Lingkungan Hidup Strategis adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Sesuai UU PPLH Pasal 15 Ayat 1 Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat KLHS untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan wilayah dan/atau Kebijakan Rencana Program (KRP).
Peningkatan Indeks Kualitas Air
Indeks pencemaran air dapat digunakan untuk menilai kualitas badan air, dan kesesuaian peruntukan badan air tersebut. Informasi indeks pencemaran juga dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas badan air apabila terjadi penurunan kualitas dikarenakan kehadiran senyawa pencemar. Indeks Pencemaran Air (IPA) dalam 4 (empat) tahun terakhir berfluktuatif dari 56,50 (2013) meningkat menjadi 58,02 (2014), 57,79 (2015) terus menurun menjadi 57,12 pada tahun 2016 namun pada tahun 2017 kembali meningkat menjadi 67,84.
Peningkatan Indeks Kualitas Udara
Jika melihat hasil pengukuran Indeks Kualitas Udara di Aceh, maka menunjukkan trend yangmenurun dan ini menjadi indikasi yang mengkhawatirkan bagi kondisi udara di Aceh dan tentunya memerlukan perhatian lebih dari berbagai stakeholder. Indeks Pencemaran Udara (IPU) dalam 4 (empat) tahun terakhir berfluktuatif dari 77,70 (2013) meningkat menjadi 97,70 (2014),
60,07 (2015) terus menurun menjadi 56,80 pada tahun 2016 namun pada tahun 2017 kembali meningkat menjadi 89,87. Untuk mengatasi hal ini perlu dilakukan berbagai upaya untuk menyelamatkan lingkungan dan polusi udara.
Peningkatan Indeks Kualitas Tutupan Lahan
Kerusakan hutan yaitu penurunan luas tutupan lahan hutan yang diakibatkan oleh perambahan hutan. Degradasi hutan di daerah hulu akan berdampak terhadap daerah hilir dan bahkan menimbulkan dampak secara global baik berdampak langsung maupun tidak langsung pada seluruh komponen lingkungan baik fisik, kimia, biologi maupun sosial ekonomi dan sosial budaya. Luas kawasan terbuka akibat deforestasi mengakibatkan tingginya aliran sedimen dari kawasan pengunungan ke wilayah yang lebih rendah yang biasanya didiami oleh banyaknya penduduk. Hal ini berdampak juga pada menurunnya kualitas air permukaan yang biasanya digunakan oleh penduduk di Aceh untuk aktifitas sehari-hari dan aktifitas pertanian. Jika kondisi ini tidak segera ditangani akan berpotensi meningkatkan intensitas bencana seperti banjir,
kekeringan dan tanah longsor. Indeks Tutupan Hutan (ITH) dalam 4 (empat) tahun terakhir berfluktuatif dari 63,71 persen (2013) meningkat menjadi 65,64 persen (2014 dan 2015). Selanjutnya terjadi penurunan pada tahun 2016 menjadi 55,63 persen dan kembali meningkat menjadi 65,18 persen pada tahun 2017. Hal ini mempunyai kaitan dengan aktivitas perambahan hutan baik di kawasan lindung maupun kawasan hutan produksi.
Laporan Inventarisasi GRK
Inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) bertujuan untuk menyediakan informasi secara berkala mengenai tingkat, status dan kecenderungan perubahan emisi gas rumah kaca termasuk simpanan karbon di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Secara nasional Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen pada tahun 2019 untuk 5 (lima) sektor prioritas: kehutanan dan ekosistem gambut, pertanian, energi dan transportasi, industri dan limbah. Pengendalian perubahan iklim merupakan salah satu tantangan terbesar bagi kehidupan manusia pada saat ini dan akan datang. Berbagai kejadian alam telah menunjukkan bahwa perubahan suhu, kenaikan permukaan air laut, curah hujan, dan iklim ekstrim telah mengakibatkan berbagai dampak buruk terhadap kehidupan. Faktor penyebab utama dari perubahan iklim tersebut adalah meningkatnya Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Komitmen Pemerintah Aceh untuk menurunkan laju emisi dari kebakaran lahan dan deforestasi sebesar 7 persen atau sebesar 42.875.908,18 ton CO2 . Komitmen Pemerintah Aceh tersebut diutamakan pada kabupaten-kabupaten yang emisinya besar seperti Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Selatan dan Aceh Singkil. Beberapa upaya yang dapat menurunkan emisi CO2 antara lain: melalui rehabilitasi hutan dan lahan, perlindungan dan konservasi sumberdaya hutan, pengembangan pengelolaan kinerja persampahan dan pengelolaan ruang terbuka hijau.
Laporan Pelaksanaan Aksi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Provinsi
Pemerintah Aceh menginisiasi aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui Program Kampung Iklim (Proklim). Pembangunan desa proklim bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perubahan iklim dan dampak yang ditimbulkannya. Pembangunan Proklim diharapkan dapat memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi perubahan iklim serta memberikan kontribusi terhadap upaya pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK).
Kehutanan
Luas kawasan hutan Aceh sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.103/MenLHK-II/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.865/Menhut-II/2014 tanggal 29 September 2014 tentang Kawasan Hutan dan Konservasi Perairan Provinsi Aceh adalah seluas 3.575.243,13 Ha. Luas kawasan hutan Aceh
sebesar 60 persen dari luas total daratan sebesar 5.888.087 ha. Ditinjau dari peran hutan dalam mendukung daya dukung dan daya tampung lingkungan maka kondisi hutan Aceh perlu dijaga dengan baik.
Kerusakan Kawasan Hutan
Persentase kerusakan hutan di Aceh tahun 2013 sampai 2017 berfluktuasi. Kerusakan hutan tertinggi pada tahun 2015 mencapai 12.236 ha atau 0,34 persen dari total luas kawasan hutan. Penyebab kerusakan hutan antara lain perambahan permukiman liar, perladangan liar, kebakaran hutan dan illegal logging. Kerusakan kawasan hutan dapat menimbulkan beragam masalah dan kerugian dalam bentuk hilangnya sumberdaya hutan dan kemerosotan fungsi ekologis yang tak ternilai. Dalam rangka menekan laju kerusakan hutan Pemerintah Aceh telah melakukan operasi pemberantasan illegal logging dan tertanganinya kasus illegal logging, operasi pengendalian dan pemadaman kebakaran hutan serta rehabilitasi hutan dan lahan kritis. Kerusakan kawasan hutan juga berakibat berkurangnya habitat satwa. Beberapa organisasi masyarakat sipil mencatat bahwa laju berkurangnya populasi satwa dilindungi atau satwa kunci di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) pada tahun 2011 – 2017 mencapai angka cukup tinggi. Setidaknya populasi gajah yang hilang mencapai 14 persen, sedangkan harimau mencapai 4 persen, dan orangutan sebesar 4 persen.
Rasio Luas Kawasan Lindung
Kawasan lindung merupakan kawasan yang fungsi utamanya melindungi kelestarian fungsi sumberdaya alam, sumberdaya buatan serta nilai budaya dan sejarah bangsa. Penetapan luas kawasan hutan dan perairan yang secara khusus dialokasikan untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan telah dilakukan oleh pemerintah melalui penetapan hutan lindung melalui Peraturan Gubernur Nomor 19 tahun 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan Aceh yang diperbaharui dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 170 tahun 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Provinsi Aceh.
Penyelesaian Konflik Tenurial
Konflik Tenurial Dalam Kawasan Hutan adalah berbagai bentuk perselisihan atau pertentangan klaim penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pengunaan kawasan hutan. Jenis konflik tenurial yang terjadi di kawasan hutan Aceh seperti batas kawasan, pemilikan dan penguasaan lahan, perizinan, akibat tumpang tindih kebijakan, pemanfaatan dan pengelolaaan sumberdaya hutan oleh masyarakat hukum adat dan perhutanan sosial. Pencegahan konflik tenurial dalam kawasan hutan dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh melalui UPTD KPH dengan upaya pemetaan potensi konflik, sosialisasi penyuluhan, pemantapan batas kawasan hutan serta pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar hutan.
1.2. Tujuan (Goals), Sasaran, dan Ruang Lingkup Penyusunan RPPEG
1.2.1. Tujuan Penyusunan RPPEG
Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Aceh bertujuan untuk mendokumentasikan potensi dan permasalahan serta merumuskan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut Aceh sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk memastikan kemafaatan dan keberlanjutannya.
1.2.2. Sasaran Penyusunan RPPEG
Sasaran Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut adalah:
- Terwujudnya penataan ekosistem gambut sesuai dengan karakteristik dan daya dukung ekosistem gambut dengan menetapkan Fungsi Lindung dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut.
- Tersusunnya rencana dan implementasi perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut secara terpadu, terarah dan terperinci yang meliputi aspek pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, dan pengawasan
1.2.3. Ruang Lingkup Penyusunan RPPEG
Kegiatan penyusunan Dokumen RPPEG Aceh dilaksanakan dengan ruang lingkup perumusan muatan substansi berikut ;
- Perencanaan Ekosistem Gambut
- Pemanfaatan Ekosistem Gambut
- Pengendalian Ekosistem Gambut
- Pengendalian Ekosistem Gambut
- Pencegahan Kerusakan Ekosistem Gambut
- Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Gambut
- Pemulihan Kerusakan Ekosistem Gambut
- Pemeliharaan Ekosistem Gambut
- Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim
- Pengawasan Ekosistem Gambut
- Penegakan Hukum
1.3. Kerangka Hukum
Undang-Undang :
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
- Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang.
- Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
- Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.i.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
- Undang-undang No 5 Tahun 1960 – Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- Undang-undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
- Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
- Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan LH
- Undang-undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
Peraturan Pemerintah :
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.l.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
- PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang PPE Gambut
- PP Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan PPE Gambut
- PP Nomor 13 Tahun 2017 jo PP Nomor 26 Tahun 2008 tentang RTRWN
Peraturan dan Keputusan Menteri
- Permen No 14 Tahun 2017 – Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Gambut
- Permen No 15 Tahun 2017 – Pengukuran Muka Air Tanah Gambut
- Permen No 16 Tahun 2017 – Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut
- Permen No 17 Tahun 2017 – Pembangunan Hutan Tanaman Industri
- Permen No 77 Tahun 2015 – Tata Cara Penanganan Areal yang Terbakar dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Pada Hutan Produksi.
- Permen No 83 Tahun 2016 – Perhutanan Sosial
- Kepmen No 129 Tahun 2017 – Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional
- Kepmen No 130 Tahun 2017 – Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional
- Kepmen No 295 Tahun 2017 – Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Skala 1:50.000 Pada KHG Pulau Bengkalis, KHG Pulau Tebing Tinggi, KHG Sungai Kampar – Sungai Gaung, KHG Sungai Gaung – Sungai Batang Tuaka, dan KHG Sungai Kapuas – Sungai Terentang.
Peraturan dan Keputusan Dirjen :
- Perdirjen PPKL Nomor P.3 Tahun 2018 – Pedoman Pembangunan Infrastruktur Pembasahan Untuk Pemulihan Gambut
- Perdirjen PPKL Nomor P.4 Tahun 2018 – Pedoman Tugas Pembantuan Restorasi Gambut 2018.
- Perdirjen PPKL Nomor P.5 Tahun 2018 – Juknis Penyusunan Dokumen Rencana Pemulihan Bagian Usaha dan Kegiatan
- Perdirjen PPKL Nomor P.10 Tahun 2018 – Pedoman Penilaian Keberhasilan Pemulihan Ekosistem Gambut bagi Usaha
- Keputusan Dirjen PPKL Nomor SK.40 Tahun 2018 – Penetapan Status Kerusakan Ekosistem Gambut
Qanun Aceh :
- Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh Tahun 2012-2032 (Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 46);
- Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh Tahun 2013-2023 (Lembaran Aceh Tahun 2014 Nomor 1, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 62);
- Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh (Lembaran Aceh Tahun 2016 Nomor 13, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 87);
- Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe (Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 8, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 45) sebagaimana telah diubah dengan Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2013 tentang Lembaga Wali Nanggroe (Lembaran Aceh Tahun 2013 Nomor 9, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 53).
- Qanun Aceh Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh tahun 2013 – 2033, Lembaran Aceh tahun 2014 Nomor 1;
- Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh Tahun 2012-2032. (Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 9; Tambahan Lembaran Aceh Tahun 2012 Nomor 9).
- Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam;
- Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh;
- Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Qanun Aceh Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi
dan Dana Otonomi Khusus. (Lembaran Aceh Tahun 2016 Nomor 13, Tambahan Lembaran Aceh Nomor 85);
- Qanun Aceh Nomor 13 tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Aceh. (Lembaran Aceh Tahun 2016 Nomor 16, Tambahan Lembaran Aceh 87);
Peraturan Gubernur :
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Di Aceh. Berita Daerah Aceh Tahun 2016 Nomor 20.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Pemberian Insentif Pengelolaan Lingkungan Hidup Di Aceh. Berita Daerah Aceh Tahun 2016 Nomor 24.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 55 Tahun 2016 Tentang Pola Kemitraan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berita Daerah Aceh Tahun 2016 Nomor 58.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 57 Tahun 2016 Tentang Pelaksanaan Pemantauan Xxx Xxxxawasan Lingkungan Hidup. Berita Daerah Aceh Tahun 2016 Nomor 59.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Penanganan Konflik Tenurial Dalam Kawasan Hutan Aceh. Beriata Daerah Aceh Tahun 2017 Nomor 9.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 34 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian Izin Lokasi Di Aceh Dengan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Berita Daerah Aceh Tahun 2016 Nomor 36.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 65 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perusahaan Di Aceh. Berita Daerah Aceh Tahun 2016 Nomor 69.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemanfaatan Kawasan Budidaya di dalam Kawasan Ekosistem Leuser Dalam Wilayah Aceh, Beriata Daerah Aceh Tahun 2014 Nomor 4.
- Peraturan Gubernur Aceh Nomor 116 Tahun 2018 Tentang Rencana Aksi Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan / Sustainable Development Goals Aceh Tahun 2018 – 2022. Berita Daerah Aceh Tahun 2018 Nomor 116.
- Peraturan Gubernur No 85 Tahun 2012 Tentang Recana Aksi Daerah untuk Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Berita Daerah Aceh Tahun 2012 Nomor …….
- Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Strategi dan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforstasi dan Degradasi Hutan Aceh. Berita Daaerah Aceh Tahun 2014 Nomor 2.
1.4. Metodologi Penyusunan Dokumen RPPEG
Metode penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistim Gambut ini terdiri dari lima tahapan, yaitu persiapan, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data / perumusan RPPEG dan penyusunan draft final RPPEG (pelaporan). Alur dan aktivitas dalam penyusunan dokumen RPPRG ini dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Gambar I-2. Tahapan dan aktivitas penyusunan dokumen RPPEG Aceh
BAB II
KONDISI, POTENSI DAN ISU STRATEGIS PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT
2.1. Kondisi Ekosistem Gambut
Proses pembentukan gambut bermula dari adanya genangan di daerah rawa, danau dangkal atau daerah cekungan yang secara berangsur-angsur ditumbuhi tumbuhan air/vegetasi lahan basah. Tumbuhan yang mati mengalami proses pelapukan secara tidak sempurna dan secara bertahap membentuk lapisan-lapisan gambut. Daerah cekungan ini juga dimungkinkan terisi oleh limpasan air sungai yang membawa bahan erosi dari hulunya, sehingga timbunan gambut dapat bercampur dengan bahan mineral. Gambut yang terbentuk disebut sebagai gambut topogen, biasanya relatif subur (gambut eutrophic).
Dalam proses perkembangannya, tumbuhan yang tumbuh di atas gambut topogen akan membentuk lapisan gambut baru yang secara bertahap membentuk kubah gambut (dome) memiliki permukaan cembung dimana proses pembentukannya tidak dipengaruhi oleh limpasan air sungai. Gambut yang berkembang di atas gambut topogen disebut sebagai gambut ombrogen yang tingkat kesuburannya lebih rendah (gambut oligotrophic) dari gambut topogen, karena hanya dipengaruhi oleh air hujan dan tidak ada pengkayaan mineral. Puncak kubah gambut adalah tempat tertinggi dan paling tebal di dalam suatu ekosistem gambut. Walaupun puncak kubah gambut secara visual terlihat datar, namun akumulasi bahan organik di daerah puncak kubah tersebut ketebalannya dapat mencapai lebih dari 10 meter.
Ekosistem gambut yang merupakan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) secara spasial dibatasi oleh dua sungai yang mengapitnya. Di dalam suatu KHG tanggul sungai, rawa, dan kubah gambut berinteraksi secara dinamis dimana lingkungan biofisik, unsur kimia, dan organisme saling mempengaruhi membentuk keseimbangan. Oleh sebab itu KHG harus diperlakukan sebagai satu kesatuan pengelolaan ekosistem gambut yang tidak boleh dipisahkan oleh batas administrasi.
Berkaitan dengan proses pembentukan ekosistem gambut sebagaimana diuraikan di atas, yang dimaksud dengan “ekosistem gambut” adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh menyeluruh dalam kesatuan hidrologis gambut yang saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitasnya. Adapun yang dimaksud dengan “kesatuan hidrologis gambut” adalah ekosistem gambut yang letaknya berada di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa atau genangan air. Selanjutnya “karakteristik ekosistem gambut” adalah sifat alami gambut yang terdiri atas sifat fisika, kimia, biologi, dan jenis sedimen di bawahnya, yang menentukan daya dukung kawasan ekosistem gambut sebagai media tumbuh, keanekaragaman hayati, dan hidrotopografinya.
2.1.1. Karakteristik Ekosistem Gambut
Menurut lokasi pembentukannya, gambut dapat terbentuk dalam sistem rawa danau, sistem rawa belakang tanggul sungai besar (backswamp) yang biasanya disebut sebagai sistem rawa lebak, dan dalam sistem rawa pantai. Sistem rawa danau dapat terbentuk sebagai bagian danau bekas krater volkan (volcanic crater), danau tapal kuda (oxbow lake), danau dalam sistem karst (sinkhole, doline), danau sebagai bagian dari sistem struktural seperti lipatan (folding system). Gambut dalam sistem rawa danau ini biasanya berada di dalam daratan (pulau, atau kontinen), oleh karena itu sering disebut sebagai gambut pedalaman. Batas fungsional ekologis gambut dalam sistem rawa danau ini adalah batas danau itu sendiri.
Sistem rawa lebak merupakan bagian dari sistem daerah aliran sungai (DAS), namun sub- ekosistem ini sangat berbeda dengan sub-ekosistem lain dalam sistem DAS. Oleh karena itu dalam pengelolaannya adalah spesifik. Batas wilayah eko-fungsional sistem gambut di rawa lebak adalah tanggul sungai utama, anak-anak sungai di kanan-kirinya, dan daratan.
Sistem rawa pantai merupakan sistem yang berhubungan dengan batas daratan dan lautan. Sistem rawa pantai ini terbentuk oleh karena kenaikan permukaan air laut (transgression). Oleh karena itu maka dasar (basement) dari lapisan gambut dapat merupakan beberapa unit geomorfologi seperti tanggul alami (natural levee), dataran pelimpasan (crevasse splay-deposit plain), punggung pasir pantai (natural beach ridges), gumuk pasir (sand dunes), sedimen mangrove (mangrove sediments) dan lainnya. Batas dari sistem rawa pantai ini adalah lautan, dan daratan baik pada bagian kiri-kanan dan hulunya. Dalam beberapa kasus di dalam sistem pulau atau delta ini dimungkinkan berbentuk kubah (dome) dengan sistem hidrologis yang khas. Dinamika sistem hidrologis dalam kubah gambut ini sangat menentukan dinamika kehidupan yang didukungnya.
Beragamnya proses dan lingkungan pembentukan lahan gambut, menyebabkan kondisi masing- masing lahan gambut berbeda sehingga dibutuhkan manajemen yang spesifik dan berbeda dengan tempat lainnya. Uraian mengenai karakteristik gambut di atas menjadi pertimbangan bahwa lahan gambut harus dikembangkan secara utuh, atau dengan kata lain bahwa pengelolaan lahan gambut harus berbasiskan KHG tanpa sekatan batas adminsitratif wilayah. Disamping itu, pengetahuan yang cukup terhadap kondisi dan kharakteristik ekosistem gambut berdasarkan fakta lapangan yang akurat diperlukan untuk memastikan intervensi pengelolaan akan memberikan manfaat jangka panjang dan terhindar dari kerusakan dan penurunan fungsi ekologis setiap KHG.
Karakteristik lahan gambut meliputi sifat- sifat fisik gambut yaitu hidrotopografi, kematangan, bobot isi dan ketebalan gambut, daya hantar hidrolik, dan sedimen di bawah gambut. Gambut tropika terbentuk dari sisa-sisa pepohonan, dan secara spesifik memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan gambut suptropika yang terbentuk dari sedge atau lumut-lumutan. Seperti gambut
tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan Lignin dan Selulosa (Xxxxxxxxx, 1988). Karena lambatnya proses dekomposisi, di dalam lapisan gambut sering dijumpai adanya timbunan batang, cabang dan akar tumbuhan besar yang terawetkan dan strukturnya relatif masih tampak jelas.
Ekosistem gambut Rawa Singkil dan Rawa Tripa merupakan perpaduan dari bentuk rawa lebak dan rawa pantai karena keduanya dilewati oleh badan sungai dan lokasinya berada dekat pantai. Pada ekosistem Rawa Singkil wilayahnya dilalui oleh Krueng Singkil. Selanjutnya pada Ekosistem Rawa Tripa dilewati oleh 4 buah sungai yang mengapit 3 kubah gambut, yaitu Krueng Tripa, Krueng Seunaam, Krueng Seumayam, dan Krueng Batee. Fenomena seperti itu menciptakan suatu dinamika biofisik yang unik, diantaranya terkait dengan kedalaman gambut, cadangan karbon, tingkat kesuburannya, kondisi habitat (tawar dan payau), dan komposisi vegetasi serta satwa yang hidup di dalam ekosistem ini termasuk ikan dan makrozoobentos (Djufti, Xxxxxxxx, dan Muhlisin dalam PIU-SERT Unsyiah, 2013).
Hidrotopografi
Hidrotopografi mencerminkan kaitan antara topografi gambut dengan permukaan air tanah. Pada kawasan gambut yang mempunyai kubah, semakin ke pusat kubah permukaan air tanah semakin dalam. Dengan demikian apabila dibuat saluran drainase, air cenderung akan keluar dari kawasan gambut tersebut. Pada kawasan gambut yang tidak mempunyai kubah, air tanah selalu menggenang pada saat musim hujan atau saat fluktuasi air naik (contohnya kasus Rawa Lebak). Pada kawasan ini air tanah lebih sulit diatur kecuali dibuat penahan (folder).
Pengetahuan mengenai karakteristik hidrotopografi sangat penting untuk pengaturan tata air pada ekosistem gambut. Pembuatan saluran lepas dari kubah langsung menuju sungai atau laut akan menyebabkan keluarnya air dalam jumlah besar dari kawasan ekosistem gambut. Apabila air yang keluar terjadi secara berlebihan maka akan menyebabkan over drainaged sehingga akan menyebabkan turunnya muka air tanah. Dampak lanjutannya adalah terjadinya amblesan (subsiden) dan gambut yang mengalami pengerinan akan rawan terbakar. Dalam keadaan kering maka material gambut akan mudah teroksidasi yang diistilahkan dengan proses dekomposisi secara aerob sehingga pelepasan CO2 ke udara ambien akan semakin bertambah.
Daya Hantar Hidrolik
Gambut memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal (mendatar) yang cepat, sehingga dapat memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Pada kondisi drainase berlebihan, maka daya hantar hidrolik yang cepat ini akan menyebabkan tanah gambut cepat kehilangan air pada bagian kubahnya. Sebaliknya gambut memiliki daya hidrolik vertikal (ke atas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan,
meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Selain itu, gambut juga mempunyai sifat kering tak balik, artinya gambut yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim akan mengalami kerusakan yang sulit untuk dipulihkan kembali (irrevessible) sehingga sulit berfungsi untuk menyerap air kembali.
Sedimen di Bawah Gambut
Pengalaman menunjukkan bahwa hampir semua lahan gambut yang bermasalah selalu berhubungan dengan meningkatnya kemasaman tanah pada lahan tersebut sebagai akibat dari teroksidasinya mineral pirit di bawah lapisan gambut. Tipe sedimen di bawah lapisan gambut sangat bervariasi karena gambut di Indonesia terbentuk di lingkungan yang sangat beragam. Secara garis besar dapat dibagi menjadi:
- Gambut pleistosen teras, di atas sedimen kuarsa putih (seperti di Palangkaraya, Berengbengkel Pangkalan Bun, Tanjung Puting) dan umumnya berkembang menjadi hutan Kerangas, atau di atas sedimen liat.
- Gambut sistem sungai, di atas sedimen liat dengan lingkungan pengendapan sungai (Rawa Lakbok, Rawa Pening), atau di atas sedimen kapur (Kolonodale Sulteng).
- Gambut sistem pantai, di atas sedimen mangrove, laguna, beting pasir, dan pasir pantai.
Masing-masing sedimen di bawah gambut tersebut menunjukkan sifat yang sama sekali berbeda, karena itu prinsip kebijakan pengelolaan lahan gambut harus sangat memperhatikan aspek ini.
Flora dan Fauna
Dari hutan alam gambut ditemukan tidak kurang dari 50 jenis pohon yang sudah teridentifikasi, dan beberapa di antaranya mulai harus dilindungi karena hampir habis akibat penebangan untuk keperluan properti, furnitur, dan pasar ekspor. Di samping itu juga dihasilkan berbagai hasil hutan non-kayu seperti getah, rotan, madu, buah-buahan hutan, tanaman hias, bahan baku obat-obatan tradisional, bulu binatang buruan, serta dihasilkan juga tumbuhan bawah sebagai sumber pakan satwa liar. Demikian pula dengan fauna, ditemukan kelimpahan amfibi, reptil, sejumlah mamalia, dan aves, serta biota perairan seperti plankton, dan benthos yang merupakan indikator pencemaran perairan.
Nilai, Fungsi, dan Manfaat
Gambut menjadi isu penting dalam sepuluh tahun terakhir, ketika dunia mulai menyadari fungsinya sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan karbon dunia. Gambut Indonesia menyimpan karbon sebesar 46 GT (atau 46x109 ton), sehingga memiliki peran yang cukup besar sebagai penjaga iklim global. Apabila gambut tersebut terbakar atau mengalami kerusakan, materi ini akan mengeluarkan gas terutama CO2,
N2O, dan CH4 ke udara dan dapat memicu terjadinya perubah iklim dunia serta dampak negatif lanjutan lainnya.
Sebagai habitat unik bagi kehidupan beraneka macam flora dan fauna, bila lahan ini mengalami kerusakan, dunia akan kehilangan ratusan spesies flora dan fauna, karena tidak mampu tumbuh pada habitat lainnya. Keanekaragaman hayati yang hidup di habitat lahan gambut merupakan sumber plasma nutfah yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat-sifat varietas atau jenis flora dan fauna komersial sehingga diperoleh komoditas yang tahan penyakit, berproduksi tinggi, atau sifat-sifat menguntungkan lainnya.
Lahan gambut juga merupakan habitat ikan air tawar yang merupakan komoditas dengan nilai ekonomi yang tinggi dan penting untuk dikembangkan, seperti seperti gabus, toman, jelawat, tapah, dsb. Lahan gambut juga sangat berpotensi sebagai sarana budidaya pertanian atau perkebunan berkelanjutan sepanjang tetap memperhatikan kaidah-kaidah konservasi dan menggunakan teknologi yang tepat, serta pemilihan komoditas yang adaptif.
Menurut laporan inisial survey Tim Monitoring YLI-AFEP (2008) bahwa di hutan rawa Tripa gambut dijumpai lebih dari 300 jenis tumbuhan sebagai makanan satwa dan bernilai ekonomis tinggi, diantaranya cemenggang (Nessia sp.) dan malaka (Tetrameristra glabra) yang merupakan makanan utama Orangutan, ramin (Gonystylus bancanus), meranti (Shorea sp.), pulai (Alstonia sp.). Selain itu juga hutan gambut Rawa Tripa juga berfungsi sebagai habitat bagi berbagai jenis satwa langka, diantaranya orang utan (Pongo abelii), mentok rimba (Cairina scutulata), harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), buaya muara (Crocodilus porosus), beruang madu (Helarctos malayanus), burung rangkong (Buceros sp.) (PIU-SERT Unsyiah, 2013). Beradasarkan hasil penelitian PIU-SERT Unsyiah (2013) berhasil ditemukan sebanyak 41 jenis tumbuhan kelompok herba pada kawasan Rawa Gambut Tripa yang disurvei , namun dari jenis tersebut di atas hanya sebagian kecil yang umum dijumpai pada hutan rawa gambut yaitu Colocasia argentia, Colocasia longifolia, Colocasia esculenta, Colocasia gigantea, Typonium flagelliformis, Asplenium nidus, Neprolepis radicans, Pandanus immersus, Pandanus amarylifolius, Zingiber zerumbet, Costus spiciosus, Costus spiralis, Costus malacensis, Dipcranopteris linearis.
Selanjutnya di perairan dalam kawasan Hutan Rawa gambut Tripa diprediksi hidup lebih kurang 40 spesies ikan (Mukhlisin dalam PIU-SERT Unsyiah, 2013). Komunitas ikan yang hidup di Ekosistem Rawa Tripa memiliki Indek Keanekaragamannya (H) berkisar 1,23-2,71 dan tergolong sedang. Selanjutnya komunitas makrozoobentos di kawasan Rawa Gambut Tripa didominasi oleh kelas Gastropoda. Gastropoda memiliki daya adaptasi hidup yang lebih baik dibandingkan dengan kelas yang lain, karena gastropoda pada umumnya memiliki cangkang tebal dan kuat, sehingga organisme tersebut tidak mudah dimangsa oleh predator dan dapat berlindung dalam cangkang
jika keadaan lingkungan kurang menguntungkan, bahkan dapat bepindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan cara merayap sehingga kelimpahannya termasuk tinggi. Selain itu diduga gastropoda dapat hidup dan berkembang dengan baik pada berbagai jenis substrat yang memiliki kesediaan makanan yang cukup dan kondisi fisika kimia perairan yang mendukung.
Peta rangkuman informasi dasar KHG yang terdapat di Aceh telampir di lampiran …
Keberadaan Flora dan Fauna Yang Dilindungi
Kawasan SM Rawa Singkil yang sebagian besar berupa lahan basah memiliki keanekaragaman tumbuhan yang tinggi. Onrizal dan Mansor (2016) melaporkan bahwa pada hutan rawa gambut di kawasan ini ditemukan 54 jenis pohon dalam plot pengamatan seluas 1 ha. Pada kawasan yang terdampak gempa dan tsunami 26 Desember 2004 dan 28 Maret 2005, Onrizal et al. (2009) menemukan berbagai jenis tumbuhan berkayu dengan diameter 5 cm ke atas, yakni 25 jenis di hutan rawa gambut, 8 jenis di hutan mangrove dan 13 jenis di hutan pantai dengan luas plot pengamatan masing-masing adalah 0,9 ha. Selanjutnya, YLI (2013) menemukan sebanyak 122 jenis tumbuhan berkayu pada plot pengamatan sekitar 96 ha.
Pohon Sialang (Koompasia malaccensis) merupakan salah satu jenis pohon yang tumbuh di kawasan SM Rawa Singkil yang merupakan tempat utama bersarang lebah madu. Selain itu, pohon ini juga ditemukan sebagai tempat bersarangnya orangutan Sumatera. Selain kaya tumbuhan berkayu, kawasan SM Rawa Singkil juga kaya jenis tumbuhan bawah atau tumbuhan tidak berkayu. Hasil pengamatan oleh Xxxxxxx (2017), telah teridentifikasi sebanyak 134 jenis tumbuhan bawah yang tergolong ke dalam 42 suku. Jenis-jenis tumbuhan bawah tersebut termasuk kelompok keladi, xxxxxxx, xxxxx, kantong semar, pandan dan rumput. Seluruh jenis kantong semar (Nephentes spp.) merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan peraturan di Indonesia (PP Nomor 8 Tahun 1999).
Jenis-jenis kantong semar yang tumbuh di kawasan SM Rawa Singkil adalah Nepenthes ampullaria, Nepenthes mirabilis, Nepenthes rafflesiana, Nepenthes reinwardtiana, Nepenthes tobaica dan Nepenthes × hookeriana. Jenis kantong semar Nepenthes × hookeriana merupakan jenis kantong semar hibrit dari jenis N. ampullaria dan N. rafflesiana yang banyak dijumpai di alam. Selanjutnya, jenis-jenis anggrek tanah dan efifit yang banyak dijumpai di SM Rawa Singkil antara lain adalah Spathoglottis plicata, Claderia viridiflora, Bulbophyllum macranthum, Dendrobium platygastrium, Coelogyne merrillii dan Coelogyne miniata.
Sebanyak 40 jenis tumbuhan air telah teridentifikasi tumbuh pada habitat riparian di tepi sungai di kawasan SM Rawa Singkil. Jenis bakung-bakung (Hanguana malayana) merupakan jenis yang paling dominan tumbuh di kawasan riparian. Anggrek pensil (Papilionanthe hookeriana) merupakan anggrek yang dapat tumbuh bersamaan dengan tumbuhan bakung-bakung dalam
hamparan yang luas. Kawasan riparian, juga merupakan habitat yang baik bagi berbagai jenis tumbuhan air yang unik, seperti jenis keladi Lasia spinosa, tumbuhan pakis mengapung seperti kiambang (Salvinia molesta) dan teratai (Nymphaena pubescens).
Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil dibentuk pada tahun 1998 adalah untuk perlindungan orangutan Sumatera, gajah Sumatera, beruang madu, badak Sumatera dan perlindungan satwa lainnya. Berdasarkan kegiatan inventarisasi yang telah dilakukan, orangutan Sumatera (Pongo abelii) dijumpai hampir di seluruh kawasan kecuali pada kawasan yang telah terganggu. Berdasarkan PHVA tahun 2016 (Utami-Atmoko, 2017), sebaran orangutan Sumatera di SM Rawa Singkil mencapai 67.614 ha atau 82,7% dari total luas kawasan. Gajah Sumatera dan badak Sumatera tidak ditemukan di dalam kawasan SM Rawa Singkil berdasarkan berbagai hasil survey setelah penunjukan SM Rawa Singkil. Gajah Sumatera ditemukan di luar kawasan SM Rawa Singkil terutama daerah bagian utara dan timur kawasan (Rumapea dkk. 2017, 2018), sedangkan Badak Sumatera berada di wilayah Kabupaten Aceh Tenggara pada ketinggian 2.000 m.
Beruang madu (Helarctos malayanus) memiliki sebaran pada sepertiga kawasan (Gambar 8), sedangkan Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatrensis) dan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) belum ditemukan bukti keberadaannya di dalam kawasan SM Rawa Singkil berdasarkan survey yang dilakukan oleh CII (2009), YEL (2010), YLI (2013), LESTARI USAID & BKSDA Aceh (2017). Kepadatan populasi orangutan Sumatera di SM Rawa Singkil tergolong paling tinggi (1,75 ind/km2) dibandingkan habitat lainnya (Wich dkk., 2016).
Secara keseluruhan, terdapat 20 jenis mamalia yang hidup di SM Rawa Singkil. Berdasarkan daftar merah (Red List) oleh IUCN (2018), sebanyak 3 jenis mamalia tergolong jenis yang sangat terancam punah atau kritis (critically endangered), yakni orang utan Sumatera, Harimau Sumatera dan trenggiling, kemudian 4 jenis tergolong jenis yang terancam punah atau genting (endangered), yakni beruang madu, ungko (gibbon), siamang dan berang-berang, dan 3 jenis tergolong jenis yang rentan punah (vulnerable), yakni beruk, rusa sambar dan kedih.
Satwa yang memiliki sebaran terluas adalah Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dengan sebaran lebih dari 90%, diikuti oleh kera ekor panjang (Macaca fascicularis) dengan sebaran lebih dari 80% dan bajing kelapa (Callosciurus notatus) dengan sebaran hampir mencapai 80%. Secara lengkap sebaran mamalia yang dijumpai di SM Rawa Singkil berdasarkan hasil kompilasi berbagai survey yang dilakukan oleh CII (2009), YEL (2010), YLI (2013), LESTARI USAID & BKSDA Aceh (2017).
Kawasan Rawa Singkil merupakan kawasan yang sangat atraktif bagi burung. Xxxxxx et al. (1992) melaporkan bahwa Rawa Singkil atau Singkil Barat merupakan habitat bagi 157 jenis burung. YEL (2010) melaporkan 72 jenis burung dijumpai pada survey pada Juli 2010 di SM Rawa Singkil. Selanjutnya, melalui survey dalam periode 2011 dan 2012, YLI (2013) menemukan
sebanyak 123 jenis burung yang termasuk ke dalam 33 suku di dalam kawasan SM Rawa Singkil. Sebanyak 32 jenis dari 123 jenis burung yang dilaporkan oleh YLI (2013) berstatus dilindungi di Indonesia serta 20 jenis lainnya meskipun belum dilindungi di Indonesia, namun telah berstatus dilindungi menurut IUCN dan CITES. Oleh karena itu, sebanyak 52 jenis dari 123 jenis burung yang dilaporkan ditemukan di SM Rawa Singkil oleh YLI (2013) merupakan jenis yang telah dilindungi. Dari 52 jenis burung yang dilindungi tersebut, sebanyak 5 jenis merupakan jenis migran, dimana sebanyak 4 jenis bermigrasi dari belahan utara ke Indonesia, yakni Cekakak Cina, Cangak Merah, Kicuit Hutan dan Sikatan Mugimaki. Burung jenis Kuntul Kerbau merupakan jenis yang bermigrasi dari belahan utara dan selatan sekaligus ke Indonesia.
Sebanyak 15 jenis herpetofauna teridentifikasi menghuni kawasan SM Rawa Singkil. Jenis kura- kura (Heosemys spinosa) dan labi-labi (Amyda cartilaginea) tercatat sebagai jenis dengan status rentan (Vulnarable) dan katak rawa (Limnonectes malesianus) sebagai jenis yang hampir terancam (Near Threatened) menurut daftar merah IUCN (2017). SM Rawa Singkil juga merupakan habitat bagi buaya muara (Crocodylus porosus).
Berdasarkan daftar pada IUCN Red List of Threatened Species (IUCN 2018), terdapat 1 jenis biota air dengan status mulai terancam (near thteatened, NT) secara global, yakni ikan wale-wale atau bale-bale (Ompok bimaculatus) terutama akibat pemanenan dan konsumsi yang tinggi terhadap jenis ini. Sedangkan sebagian besar tergolong tidak terancam (least concern, LC) sebanyak 11 jenis dan sisanya (7 jenis) belum dievaluasi statusnya oleh IUCN (Tabel 3). Muchlisin dkk (2017) melaporkan bahwa kawasan ekosistem rawa Singkil juga merupakan daerah penyebaran belut tropika jenis Anguilla bicolor bicolor.
Rawa Singkil .....
Sebaran Habitat Satwa Kunci berdasarkan data historis diberikan pada Gambar 2.3 yang terdiri dari Orangutan, Burung Asli, Harimau dan Gajah. Data sebaran habitat historis tersebut memmberikan indikasi bahwa pada sebagian KHG pernah dan masih menjadi habitat satwa kunci tersebut sampai saat ini. Khususnya orangutan, untuk kawasan rawa gambut Tripa-Babah Rot, Kluet dan Trumon-Singkil masih sangat tinggi frekuensi perjumpaan dengan manusia. Pada saat bersamaan jumlah yang harus dievakuasi keluar kawasan karena keterancamannya semakin banyak setiap tahunnya. Pembukaan lahan yang masif dalam kawasan, khususnya Tripa-Babah Rot maasih berlangsung terutama pada lahan-lahan bekas HGU dan perambahan kawasan yang masih tersisa tutupan hutannya.
Perlu validasi ulang dari sumber utama berikut :
• RPHJP KPH 1, 4, 5, dan 6
• RP SM Rawa Singkil
• Laporan YEL 2016
• Laporan TPSF Unsyiah 2013
Peta distribusi habitat satwa terlampir dilampiran….
Ketebalan Gambut :
Ketebalan gambut yang dijumpai dalam keadaan alami sangat tergantung dengan umur pembentukkan tanah gambut tersebut. Berdasarkan lokasi tempat terbentuknya gambut dapat dibagi kedalam: gambut pantai dan gambut pedalaman. Gambut pantai (coastal peat) umumnya mempunyai ketebalan lebih tipis dari pada gambut pedalaman yang terbentuk pada teras pleistosen. Berkaitan dengan kedua sifat sebelumnya, umumnya pada lapisan permukaan gambut cenderung lebih matang dan kerapatannya semakin tinggi. Ketiga hal ini sangat menentukan kesuburan dan daya dukung lingkungan gambut.
Dari Hasil Penelitian di Kawasan Rawa Tripa pada beberapa KHG yang berada di dalamnya kedalaman gambut berkisar dari 50–800 cm. Dari hampir 60,000 ha Kawasan Ekosistem Gambut di Rawa Tripa, gambut dengan kedalaman lebih dari 50 cm mencapai 53,114 ha, dan 20,791 ha diantaranya memiliki kedalaman > 300 cm. Hasil Penelitian PIU-SERT Unsyiah (2013) rata-rata kedalaman gambut dari 16-plot dan 65 titik sampel adalah 361,28 cm, dengan kedalaman beragam mulai dari kedalaman minimum 50 cm hingga maksimum mencapai 840 cm. Selanjutnya berdasarkan YEL dalam Xxxxx Xxxx (2013) wilayah yang tingkat kedalaman gambut yang terluas (13.532 Ha) adalah memiliki kedalaman 100-200 meter (22%), kemudian baru diikuti wilayah yang tingkat kedalaman 200-300 m seluas 10.835 Ha (19%); kedalaman 300-400 m
seluas 7.997 Ha (14%); kedalaman 50-100 m seluas 8.052 Ha (14%); kedalaman 400-500 m
seluas 7.152 Ha (12%); kedalaman 25-50 m seluas 4.485 Ha (8%); kedalaman 500-600 m seluas 3.827 Ha (8%); dan lainnya relatif kecil.
Ekosistem hutan rawa gambut di kawasan SM Rawa Singkil memiliki ketebalan gambut yang bervariasi hingga dapat mencapai lebih dari 7 m. Lapisan gambut tebal tersebut terbentuk dari tumpukan bahan organik (serasah) sejak jutaan tahun lalu. Ekosistem hutan rawa gambut ini juga berperan sebagai habitat utama bagi berbagai fauna teresterial, arboreal dan air.
Ketebalan Gambut pada KHG diluar kawasan masih perlu dilakukan penelitian dan inventarisasi agar informasinya akurat. Berdasarkan pengamatan di lapangan, beberapa KHG yang berada diluar Kawasan Rawa Tripa-Babah Rot dan Rawa Truomon–Singkil masih terdapat areal lahan gambut dengan kedalaman yang lebih dari 3 meter. Fakta ini dapat dijadikan indikator untuk mengkonfirmasi deliniasi fungsi ekosistem gambut dalam Peta KHG, indikator utamanya kondisi tegakan tanaman kelapa sawit tumbuhnya miring. Meskipun demikian pengukuran akurat tetap
diperlukan, sehingga deliniasi kedalaman gambut pada semua KHG dapat dipastikan dalam proses penetapan fungsi lindung dan budidaya yangi akurat.
Proporsi Berat Bahan Gambut :
Parameter lainnya yang juga penting dalam pendugaan daya dukung gambut adalah bobot isi tanah. Bobot isi tanah merupakan besaran berat tanah kering (g) dibagi volume tanah utuh (cm3). Variasi nilai bobot isi ini sangat erat hubungannya dengan tingkat kematangan gambut. Semakin matang gambut semakin besar nilai bobot isinya.
Seperti halnya tingkat kematangan gambut, parameter bobot juga isi masih ditetapkan dengan metodologi kurang sesuai untuk gambut tropika. Padahal nilai bobot isi ini diperlukan untuk semua perhitungan, seperti penentuan kandungan unsur-unsur, kandungan padatan dan keadaan porositas tanah.
Berat isi (bulk density) atau sering disebut juga dengan istilah berat volume merupakan sifat fisik tanah yang menunjukkan berat masa padatan dalam suatu volume tertentu. Berat isi atau BD umumnya dinyatakan dalam satuan g cm-3 atau kg dm-3 atau t m-3 . BD merupakan sifat fisik tanah yang paling sering dianalisis, karena bisa dijadikan gambaran awal dari sifat fisik tanah lainnya seperti porositas, bearing capacity, dan potensi daya menyimpan air. Tanah dengan nilai BD relatif rendah umumnya mempunyai porositas yang tinggi, sehingga potensi menyerap dan menyalurkan air menjadi tinggi, namun jika nilai BD terlalu rendah menyebabkan tanah mempunyai daya menahan beban (bearing capacity) yang rendah.
BD tanah gambut yang sangat rendah yaitu <0,1 g cm-3 ditemukan pada gambut fibrik (mentah) yang terletak di lapisan bawah, sedangkan gambut pantai dan gambut yang terletak di jalur aliran sungai mempunyai BD yang relatif lebih tinggi, yakni >0,2 g cm-3 (Tie and Lin, 1991) karena adanya pengaruh bahan mineral, namun masih jauh dibanding BD tanah mineral yang berkisar 0,7-1,4 g cm-3 .Hasil penelitian Dariah et al. (2012) menunjukkan besarnya pengaruh tingkat kematangan gambut terhadap besarnya BD gambut, semakin matang gambut, rata-rata BD gambut menjadi lebih tinggi.
Karakteristik Substratum di Bahan Lapisan Gambut :
Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Xxxxxxx et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al,
1997; Xxxxxxx-Adhi, 1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral.
Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2–6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung.
Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh (Gambar 5). Pertumbuhan seperti ini dianggap menguntungkan karena memudahkan bagi petani untuk memanen sawit.
Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Xxxxxxx-Adhi, 1988). Gambut yang terbakar menghasilkan energi panas yang lebih besar dari kayu/arang terbakar. Gambut yang terbakar juga sulit dipadamkan dan apinya bisa merambat di bawah permukaan sehingga kebakaran lahan bisa meluas tidak terkendali.
Kematangan tanah gambut yang menunjukkan tingkat dekomposisi gambut merupakan salah satu parameter penting dalam pendugaan daya dukung gambut. Demikian pentingnya informasi tersebut sehingga tingkat dekomposisi ini dijadikan dasar untuk penilaian sub-order dalam sistem taksonomi tanah. Berdasarkan tingkat dekomposisinya, gambut dibedakan menjadi gambut dengan tingkat kematangan fibrik, hemik dan saprik. Gambut dengan tingkat kematangan fibrik adalah gambut dimana bahan organiknya masih belum terlalu terdekomposisi dan dicirikan dengan masih terlihatnya sifat-sifat dari jaringan tanaman. Sebaliknya gambut dengan tingkat kematangan saprik adalah gambut dimana bahan organiknya telah terdekomposisi lanjut, sedangkan hemik adalah gambut dimana tingkat dekomposisi bahan organik antara keduanya. Tingkat dekomposisi gambut sangat berhubungan dengan kesuburannya, tanah yang mempunyai tingkat kematangan saprik lebih subur dari pada tanah dengan tingkat kematangan fibrik.
Perlu diperhatikan bahwa parameter tingkat kematangan gambut tersebut hingga saat ini masih ditetapkan dengan metodologi yang tidak mencerminkan sifat gambut tropika yang sebenarnya. Dari penelitian terakhir telah diajukan metodologi yang lebih tepat untuk klasifikasi kematangan gambut, dan menghasilkan nilai kerapatan tanah yang jauh lebih rendah dari data yang selama ini digunakan.
Karakteristik Tanah dan Kedalaman Lapisan Pirit :
Kedalaman pirit adalah jarak kedalaman lapisan tanah yang mengandung pirit (FeSO2) dari permukaan tanah. Daerah yang mengalami interaksi antara air sungai tawar dengan air laut, sering merupakan daerah/tempat optimum pembentukan pirit yang ditunjang oleh bahan organik dan keadaan reduktif.
Lapisan pirit terbentuk pada tanah endapan fluviatil gaya besi, tergenang air salin atau air payau yang kaya kandungan bahan organik dan belerang sangat sesuai bagi pembentukan dan akumulasi pirit. (Dent, 1986), Mineral pint akan membahayakan bagi pertumbuhan tanaman bila mengalami oksidasi dan melepaskan asam sulfat dengan jumlah > 2% (IPG Xxxxxxx-Adhi, 1992) . Kedalaman pint sangat penting diketahui berkaitan dengan pengaturan air (saluran drainase) Untuk mengetahui adanya lapisan pint dilakukan dengan oksidasi cepat pada contoh tanah segar dengan hidrogen peroksida (H202 30%), dengan cara diteteskan. Apabila terjadi pembuihan (reaksi) berwarna kekuningan, maka tanah tersebut mengandung pint . Dapat juga dilakukan secara sederhana akan tetapi memerlukan waktu 3 minggu yaitu mengambil/mengangkat contoh tanah tersebut ke permukaan tanah, disimpan di tempat teduh maka akan tampak perubahan warna tanah menjadi kuning jerami atau sering juga tercium bau tidak sedap. Adapun kedalaman pint dibagi dalam 4 kelas yaitu :
- < 50 cm : dangkal
- 51 - 100 cm : sedang
- 100 - 150 cm : dalam
- > 150 cm : sangat dalam Pirit dapat juga diketahui :
- Bila saluran-saluran atau petak-petak lahan dipenuhi rumput purun, maka menunjukkan di dalam tanah terdapat pint yang telah teroksidasi .
- Bila di tanggul saluran atau tanggul jalan terdapat bongkah tanah berbercak kuning jerami, menunjukkan adanya lapisan pint dari lapisan tanah yang telah terangkat.
- Adanya sisa kulit kayu atau ranting kayu yang hitam mengarang, di sekitarnya ada bercak kuning jerami.
Sebagai rangkuman dari kondisi sistem lahan, jenis tanah dan relevansi karakteristik gambut untuk upaya perlindungan dan pengelolaannya, pada Gambar 2.4, disajikan Informasi Tematik KHG yang terdiri dari Peta Land System (a), Peta jenis Tanah (b), Peta Kemampuan lahan (c). Tabulasi Data atribut ketiga Peta tersebut saat ini sedang dilakukan proses abstraksi dan analisis lanjutan.
Peta Jenis Tanah dan Sistem Lahan terlampir di lampiran…..
2.1.2. Kesatuan Hidrologis Gambut
Kesatuan Hidrologis Gambut atau KHG adalah Ekosistem Gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut, dan/atau pada rawa. KHG merupakan unit managemen ruang pada tingkat tapak untuk perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor SK.130/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional Skala 1:250.000, Ekosistem Gambut Aceh tersebar dalam Kawasan Rawa Sepanjang Pesisir Barat–Selatan. Dalam wilayah Aceh, terdapat 36 KHG dengan total luas 339,282 ha 178,662 ha atau 53% dari kawasaan tersebut berfungsi lindung dan 160,622 ha atau 47% lainnya ditetapkan dengan fungsi budidaya.
36-KHG Aceh tersebut terkonsentrasi dalam beberapa Kawasan Rawa Gambut, 17-KHG dengan total luas 222,384.05 ha berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang tersebar dalam 3-Rawa utama, yaitu Rawa Tripa, Rawa Kluet, dan Rawa Trumon-Singkil. Kawasan Ekosisem Leuser dalam Rencana Tata Ruang Nasional ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional dengan fungsi daya dukung lingkungan.
Distribusi spasial 36-KHG dalam konteks pengelolaan kawasan berada dalam wilayah kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan (UPT DLHK Aceh) dan Kawasan Konservasi yang terdiri atas TN. Gunung Leuser dan SM. Rawa Singkil (UPT KLHK). Beberapa KHG saat ini berada dalam peruntukan lahan untuk HGU yang umumnya ditanami Kelapa Sawit.
Peta Wilayah Kewenangan Pengelolaan dan Konsesi terlampir di lampiran…
Tabel II-1. Distribusi Fungsi KHG berdasarkan Kabupaten dan Kecamatan Liputan
Kabupaten | Kecamatan | Luas (KHG) | |
Budidaya | Lindung | ||
Aceh Jaya | Darul Hikmah | 1,196.6 | 1,570.7 |
Aceh Jaya | Panga | 1,255.0 | 6,807.2 |
Aceh Jaya | Pasie Raya | 1,851.6 | 453.1 |
Aceh Jaya | Sampoinit | 549.0 | 3,209.8 |
Aceh Jaya | Setia Bakti | 2,134.4 | 1,147.2 |
Aceh Jaya | Teunom | 4,705.6 | 5,663.4 |
Jumlah | 11,692.2 | 18,851.4 | |
Aceh Barat | Arongan Lambalek | 1,686.4 | 1,382.3 |
Aceh Barat | Bubon | 2,947.7 | 792.9 |
Aceh Barat | Xxxxx Xxxxxxxx | 2,540.0 | 574.7 |
Aceh Barat | Kaway enam belas | 1,666.5 | 498.2 |
Aceh Barat | Meureubo | 1,004.6 | 626.7 |
Aceh Barat | Samatiga | 1,708.5 | 8,049.8 |
Aceh Barat | Woyla | 813.6 | 628.5 |
Aceh Barat | Woyla Barat | 349.1 | 1,171.2 |
Jumlah | 12,716.4 | 13,724.3 | |
Nagan Raya | Darul Makmur | 22,152.1 | 15,615.6 |
Nagan Raya | Kuala | 2,914.0 | 1,654.2 |
Nagan Raya | Kuala Pesisir | 2,792.3 | 3,445.3 |
Nagan Raya | Tadu Raya | 4,834.9 | 8,687.3 |
Nagan Raya | Tripa Makmur | 6,877.5 | 2,468.6 |
Jumlah | 39,570.7 | 31,871.1 | |
Aceh Barat Daya | Babah Rot | 8,247.7 | 6,406.8 |
Aceh Barat Daya | Blang Pidie | 64.9 | 10.8 |
Aceh Barat Daya | Kuala Batee | 168.7 | 7,546.8 |
Aceh Barat Daya | Lembah Sabil | 71.6 | 369.5 |
Aceh Barat Daya | Manggeng | 338.7 | 435.9 |
Aceh Barat Daya | Setia | 231.8 | 141.7 |
Aceh Barat Daya | Susoh | 43.7 | 1,248.7 |
Aceh Barat Daya | Tangan Tangan | 87.8 | 227.8 |
Jumlah | 9,254.8 | 16,388.0 | |
Aceh Selatan | Bakongan | 2,309.8 | 2,315.3 |
Aceh Selatan | Kluet Selatan | 141.1 | 6,745.0 |
Aceh Selatan | Kluet Timur | 854.4 | 115.2 |
Aceh Selatan | Kluet Utara | 471.1 | 306.7 |
Aceh Selatan | Kota Bahagia | 1,371.6 | 2,303.5 |
Aceh Selatan | Labuhan Haji | 241.9 | 96.9 |
Aceh Selatan | Labuhan Haji Barat | 161.3 | 127.3 |
Aceh Selatan | Labuhan Haji Timur | 166.6 | 105.2 |
Aceh Selatan | Pasie Raja | 991.6 | 146.8 |
Aceh Selatan | Samadua | 169.4 | 171.0 |
Aceh Selatan | Sawang | 136.3 | 71.1 |
Aceh Selatan | Tapaktuan | 17.3 | 398.2 |
Aceh Selatan | Trumon | 355.8 | 73,880.6 |
Aceh Selatan | Trumon Tengah | 492.9 | 1,682.9 |
Aceh Selatan | Trumon Timur | 303.1 | 5,942.4 |
Jumlah | 8,184.1 | 94,408.0 | |
Subulussalam | Longkip | 3,583.0 | 2,471.0 |
Subulussalam | Rundeng | 9,939.9 | 2,001.4 |
Subulussalam | Xxxxxx Xxxxxx | 1,927.1 | 1,502.1 |
Jumlah | 15,450.0 | 5,974.5 | |
Singkil | Danau Paris | 5,405.7 | 2,144.8 |
Singkil | Gunung Meriah | 303.0 | 3,694.0 |
Singkil | Kota Baharu | 16,854.4 | 1,917.2 |
Singkil | Kuala Baru | 3,869.2 | 657.7 |
Singkil | Singkil | 4,612.1 | 8,045.9 |
Singkil | Singkil Utara | 1,054.1 | 8,298.8 |
Singkil | Singkohor | 328.9 | - |
Singkil | Suro Makmur | 458.7 | 268.9 |
Jumlah | 32,886.1 | 25,027.4 | |
Total Aceh (ha) | 129,754.3 | 206,244.7 |
2.1.3. Fungsi Ekosistem Gambut
Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut dilakukan dengan tata cara penentuan Fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Peraturan Menteri LHK Nomor P.14 Tahun 2017, meliputi Fungsi Lindung Ekosistem Gambut dan Fungsi Budidaya Ekosistem Gambut. Pasal 10 ayat (1) menjelasakan bahwa penentuan fungsi lindung Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dilakukan dengan kriteria meliputi: (a) Gambut dengan kedalaman mulai 3 (tiga) meter; (b) Gambut pada kawasan lindung di luar kawasan hutan, hutan lindung dan hutan konservasi sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
(c) Ekosistem Gambut yang ditetapkan untuk moratorium pemanfaatan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9 ayat (2) menjelaskan bahwa Kawasan Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung paling sedikit seluas 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh Kesatuan Hidrologis Gambut, yang letaknya dimulai dari 1 (satu) atau lebih puncak kubah gambut. Puncak kubah gambut ditentukan dengan mempertimbangkan kedalaman gambut dan ketinggian permukaan gambut, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (3). Selanjutnya Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, ditentukan pada areal dalam Kesatuan Hidrologis Gambut di luar kriteria fungsi lindung Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
2.1.4. Status Kawasan Ekosistem Gambut
Penetapan Status KHG didasarkan pada posisi bentang alamnya yang berada dalam wilayah adminstratif pemerintahan dengan rangkuman sebagai berikut :
- 1 KHG Lintas Provinsi, berada dalam wilayah dua provinsi.
- 4 KHG Lintas Kabupaten/Kota, berada dalam wilayah dua kabupaten/kota.
- 31 KHG Kabupaten/Kota, sepenuhnya berada dalam wilayah satu kabupaten/kota