BAB II
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN BAKU, WANPRESTASI, JUAL- BELI ONLINE, PENGANGKUTAN BARANG
A. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang dimana pihak satu berhak untuk menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk melakukan tuntutan tersebut. Unsur-unsur dari perjanjian yang pertama, kaidah hukum. Kaidah hukum ini terbagi menjadi dua macam yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum tertulis adalah kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum tidak tertulis adalah kaidah hukum yang hidup dan tumbuh dari kehidupan masyarakat. Seperti jual beli lepas, jual beli tahunan dan lain-lain. Yang kedua, subjek hukum. Subjek hukum adalah suatu badan atau manusia yang menjadi pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam sebuah perjanjian yaitu kreditur dan debitur. Kreditur merupakan pihak yang berpiutang sedangkan debitur merupakan pihak yang memiliki utang. ketiga, adanya prestasi. Prestasi menurut Buku III KUHPerdata Pasal 1234 setiap perikatan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Keempat, adanya kesepakatan.
29
Kesepakatan merupakan penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Kata sepakat sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Buku III KUHPerdata Pasal 1320. Kelima, akibat hukum. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak menimbulkan akibat hukum yang dapat dituntut jika suatu saat salah satu pihak tidak melakukan prestasinya. (Retna, 2012)
Overeenkomst merupakan Bahasa Belanda yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia yaitu perjanjian. Para ahli dan sarjana hukum di Indonesia memberikan definisi dari sebuah perjanjian dan persetujuan sebagai berikut :
a. Menurut Subekti memberikan definisi bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dua orang tersebut saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.
b. Menurut X. Setiawan mengartikan perjanjian yang ada di dalam Pasal 1313 KUHPerdata tidak lengkap dan sangat luas, sehingga harus diperbaiki definis perjanjian tersebut. Perbuatan diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan dan menimbulkan akibat-akibat hukum. isi Pasal 1313 KUHPerdata ditambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya”, sehingga R. Setiawan memberikan perumusan tentang definisi perjanjian menjadi perjanjian adalah perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
c. Menurut XXXX Xxxxxxxxxxxxxx, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang berlaku. (Taufik, 2022)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pengertian di dalam Buku III Pasal 1313 yang menyatakan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx memberikan pendapat bahwa dalam Pasal 1313 KUHPerdata memiliki kelemahan seperti definisi perjanjian tidak menyebutkan tujuan, sehingga pengertia tersebut tidak jelas untuk pihak-pihak yang mengikatkan diri, oleh karena itu kekurangan tersebut para pihak yang ingin mengikatkan dirinya harus melengkapi pengertian perjanjian yaitu dengan adanya suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya terhadap perjanjian untuk melakukan suatu hal dalam lapangan hukum harta kekayaan. (Xxxxxxxxxx, 2013, hlm. 80)
Perjanjian harus ada dua orang pihak atau lebih yang dimana para pihak tersebut harus saling mengikatkan diri dengan kesepakatan dan menimbulkan akibat hukum sehingga, perjanjian tersebut sudah jelas akan melahirkan sebuah perikatan. (Xxxxx, 2013, hlm. 160)
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan definisi tentang perikatan yaitu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda yang dilakukan oleh dua orang atau lebih, untuk memberikan hak kepada salah satu pihak untuk menuntut barang dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata juga mengatur tentang hubungan-hubungan hukum antara orang atau hak-hak perorangan sehingga, Buku III Kitab Undang- Undang Hukum Perdata berupa tuntutan. Pihak yang berhak untuk menuntut disebut dengan pihak berpiutang atau kreditur sedangkan pihak yang wajib untuk memenuhi tuntutan disebut dengan pihak berhutang atau debitur dan barang yang dapat dituntut disebut dengan prestasi yang menurut Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa menyerahkan suatu barang, melakukan suatu perbuatan dan tidak melakukan perbuatan. (Dadang, 2011, hlm. 6)
2. Unsur-Unsur Perjanjian
Dalam sebuah perjanjian terdapat 3 (tiga) unsur-unsur perjanjian sebagai berikut :
1) Unsur Esensialia
Unsur esensialia merupakan unsur yang harus ada di dalam suatu perjanjian karena tanpa adanya unsur esensialia ini maka perjanjian yang dibuat dan diselenggarakan oleh para pihak tidak akan sah karena tidak adanya unsur esensialia. Pasal 1320 KUHPerdata yang menjelaskan syarat sahnya suatu perjanjian merupakan unsur dari esensialia yang menetukan terbentuknya suatu perjanjian.
2) Unsur Naturalia
Unsur naturalia merupakan unsur yang sangat melekat dengan perjanjian karena unsur ini disebut juga sebagai unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian atau dengan kata lain sudah ada secara diam-diam sehingga, dengan sendirinya unsur ini dianggap ada dalam perjanjian. Pasal 1339 KUHPerdata Jo Pasal 1347 KUHPerdata yang berbunyi :
Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
Pasal 1339 KUHPerdata Xx Xxxx 1347 KUHPerdata ini menjelaskan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat apa yang ada di dalam isi perjanjian saja tetapi, berlandaskan juga terhadap keadilan, kebiasaan dan undang-undang. Lalu Pasal 1347 KUHPerdata menjelaskan bahwa :
Syarat-syarat yang diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukan dalam persetujuan.
Pasal 1347 KUHPerdata ini mempertegas bahwa kebiasaan merupakan termasuk ke dalam perjanjian walaupun tidak disebutkan di dalam perjanjian akan tetapi kebiasaan itu merupakan syarat yang melengkapi suatu perjanjian.
3) Unsur Aksidentalia
Unsur aksidentalia ini merupakan unsur sebagai pelengkap di dalam sebuah perjanjian, dimana kententuan-ketentuan yang diatur secara khusus oleh para pihak sesuai dengan kehendak syarat khusus yang ditentukan bersama-sama oleh para pihak.
3. Jenis- jenis Perjanjian
Terdapat beberapa jenis-jenis perjanjian sebagai berikut :
1) Perjanjian Sepihak
Perjanjian sepihak yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak saja, tetapi dalam perjanjian tersebut terdapat para pihak yang terdiri dari pihak debitur dan kreditur.
2) Perjanjian timbal baik
Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang memberikan hak kepada salah satu pihak dan pihak lainnya memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan.
3) Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual merupakan perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang telah dikatakan sah apabila perjanjian tersebut telah terjadi kata sepakat bagi para pihak yang membuat suatu perjanjian. Pasal 1338 KUHPerdata menjelaskan bahwa perjanjian tersebut memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
4) Perjanjian Riil
Perjanjian rill merupakan perjanjian yang berlaku saat sudah terjadinya penyerahan barang, dengan kata lain perjanjian ril dilakukan oleh dua orang atau lebih, yang keterikatan para pihak bukan ditentukan oleh kesepakatan, tetapi terjadi setelah dilakukannya penyerahan atas barang yang telah dijanjikan. Contohnya perjanjian penitipan barang, perjanjian pinjam pakai.
5) Perjanjian Formil
Perjanjian formil merupakan perjanjian dengan adanya kata sepakat tetapi harus dibuat dalam bentuk tertulis dengan mencantumkan akta yang dibuat oleh Notaris . Contohnya perjanjian kuasa atas pembebanan hak tanggungan, perjanjian tersebut harus dibuat dalam bentuk otentik oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau notaris.
6) Perjanjian Cuma-Cuma
Perjanjian Cuma-Cuma dijelaskan di dalam Pasal 1314 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :
Suatu perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Dari bunyi pasal 1314 KUHPerdata di atas maka dapat dikatakan bahwa, perjanjian cuma-cuma merupakan perjanjian yang hanya memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja.
7) Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebedaan adalah perjanjian dimana salah satu pihak menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lainna. Contohnya perjanjian jual-beli.
8) Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligator adalah perjanjian yang memberikan hak dan kewajiban kepada para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian obligator juga timbul karena adanya kesepakatan dari para pihak, yang bertujuan untuk menimbulkan suatu perikatan untuk kepentingan pihak satu atas beban yang lain atau timbal balik.
9) Perjanjian Liberatoir
Perjanjian liberatoir adalah perjanjain yang dimana para pihak menghapuskan kewajiban. Pasal 1438 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Pembebasan sesuatu utang tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
10) Perjanjian bernama dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama merupakan perjanjian diberikan nama dan peraturan khusus dalam undang-undang. Contoh dari perjanjian bernama adalah perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, perjanjian kerjan dan lan-lain. Sedangkan perjanjian tak bernama perjanjian yang tidak diberikan nama dan peraturan khusus di dalam undang-undang. Contohnya perjanjian sewa-beli.
11) Perjanjian untung-untungan
Pasal 1774 KUHPerdata memberikan ketentuan tentang perjanjian untung-untungan :
Suatu perjanjian untung-untungan adalah suatu perjanjian yang hasilnya mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah perjanjian penanggungan, bunga cagak hidup, perjudian dari pertaruhan. Perjanjian yang pertama diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Perjanjian untung-untungan ini mengenai prestasi atau objeknya ditentukan dikemudian.
12) Perjanjian Campuran
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang memiliki ciri-ciri dari perjanjian bernama, jenis perjanjian ini tidak diatur dalam undang- undang, tetapi perjanjian campuran ini memiliki nama dan unsur-unsur yang sama dengan perjanjian bernama. Contohnya perjanjian sewa- beli, dimana terdapat perjanjian jual beli yaitu penjual sewa menerima pembayaran lunas dan pembeli menjadi pemilik, lalu terdapat juga perjanjian sewa-menyewa karen selama pembeli sewa membayar secara mengangsur, ia berkedudukan sebagai penyewa sehingga, pembeli sewa dapat menggunakan benda yang dibeli-sewa tersebut.
13) Perjanjian Publik
Perjanjian publik merupakan perjanjian yang dikuasai oleh hukum publik, pihak yang terlibat di dalam perjanjian publik ini yaitu pemerintah dan pihak lain dari swasta. Kedua pihak tersebut terdapat hubungan atasan dan bawahan tidak berkedudukan yang sama .
14) Perjanjian pembuktian
Perjanjian pembuktian merupakan perjanjian diaman para pihak berkeinginan untuk menetapkan alat-alat bukti yang digunakan apabila terjadinya perselisihan antara para pihak. Pelanggaran yang terjadi dari perjanjian pembuktian ini akan berakibat hukum dalam bidang hukum acara. (Setiawan, 2014, hlm. 54–61)
4. Asas-Asas Perjanjian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur asas-asas dalam perjanjian sebagai berikut :
1) Asas Konensualisme
Asas konsensualisme merupakan kesepakatan antara para pihak yang membuat suatu perjanjian dan menimbulkan akibat hukum setelah adanya kata sepakat dari para pihak. kesepakatan dalam sebuah perjanjian menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian yang diatur di dalam Pasal 1320 KUHperdata ayat (1).
2) Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebaan kepada para pihak untuk membuat isi perjanjian tersebut tetapi tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini diatur di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
3) Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan asas yang harus ada di dalam perjanjian, karena dengan adanya asas itikad baik ini para pihak harus berlandaskan itikad baik dalam melaksanakan sebuah perjanjian. Asas itikad baik ini diatur di dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.
4) Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum merupakan kepastian dari sebuah kekuatan mengikat dalam perjanjian sebagai undang-undang bagi para pihak yg membuat sebuah perjanjian.
5) Asas Kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat yang diatur secara tegas saja tetapi, juga dalam keadaan kebiasaan yang dilakukan. Asas kebiasaan ini diatur dalam Pasal 1339 Jo 1347 KUHPerdata.
6) Asas Kepatutan
Asas kepatutan merupakan hubungan antara para pihak yang memberikan rasa keadilan dalam masyarakat. Asas kepatutan ada di dalam ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata. (Setiawan, 2014, hlm. 50–
54)
7) Asas Kekuatan Mengikat
Asas kekuatan mengikat terdapat di dalam pasal 1338 ayat (1) yang menentuan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang yang membuatnya. Dengan adanya asas ini menuntut para pihak harus mentaati janji yang sudah disepakati bersama sebagaimana mentaati undang-undang. Tetapi, suatu perjanjian tidak hanya terikat dengan apa yang telah disepakati di dalam isi perjanjian saja, karena perjanjian juga terikat oleh sifat kepatutan, keadaan, kebiasaa, dan undang- undang yang berlaku, yang diatur dalam Pasal 1339 Jo 1347 KUHPerdata.
5. Syarat Sah Perjanjian
Dalam praktiknya, untuk membuat suatu perjanjian maka, diperlukan syarat-syarat perjanjian yang bertujuan untuk perjanjian yang dibuat tersebut dianggap sah secara hukum. syarat sahnya perjanjian diatur di dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320. Adapun 4 (empat) syarat sahnya perjanjian sebagai berikut :
1. Kesepakatan
Kesepakatan antara para pihak sangat diperlukan di dalam sebuah perjanjian. Kesepakatan ini harus dicapai tanpa adanya paksaan, penipuan, ataupun kehkilafan dari para pihak. Jika dalam menjalankan perjanjian adanya unsur kekhilafan, paksaa, atau penipuan maka melanggar syarat sahnya perjanjian. Pasal 1321 KUHPerdata menjelaskan bahwa tiada suatu perjanjian pun
mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
2. Kecakapan
Pihak-pihak yang akan membuat sebuah perjanjian haruslah cakap menurut hukum, Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan, jika oleh undang-undang tidak dinyatakan tak cakap. Dari isi Pasal 1329 KUHPerdata tersebut menjelaskan bahwa setiap orang cakap untuk membuat sebuah perjanjian akan tetapi, Pasal 1330 KUHPerdata memberikan pengecualian terhadap cakapnya seseorang yaitu Orang-orang yang belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, orang-orang perempuan, dalam hal-hal ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu.
Pasal 330 KUHPerdata menyebutkan bahwa orang yang belum dewasa adalah orang yang belum berusia 21 tahun dan apabila perkawinan mereka cerai sebelum berusia 21 tahun, mereka tidak kembali lagi dalam status sebagai belum dewasa. Tetapi, dengan dilekuarkannya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 50 ayat 1 menjelaskan bahwa anak yang belum dewasa yaitu anak yang belum berusia 18 tahun atau belum pernah menikah.
Membahas tentang di bawah pengampuan dalam Pasal 233 KUHPerdata dijelaskan bahwa setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang- kadang cakap menggunakan pikirannya. Seseorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya. Dari penjelasan Pasal 233 KUHPerdata menyebutkan bawah orang-orang yang di bawah pengampuan jika akan melakukan sebuah perbuatan hukum haruslah diwakilkan oleh orang tua atau walinya.
3. Hal Tertentu
Hal tertentu disini maksudnya adalah dalam sebuah perjanjian harus memiliki objek tertentu yang dapat ditentukan. Objek dalam perjanjian dapat berupa benda atau jasa, Pasal 1333 KUHPerdata menentukan suatu perjanjian harus memiliki pokok suatu benda yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
4. Sebab yang halal
Membuat sebuah perjanjian tidak boleh bertentang dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum berdasarkan Pasal 1337 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang
atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. (Setiawan, 2014, hlm. 66–75)
Syarat yang pertama dan kedua merupakan syarat subjektif karena berkaitan dengan pihak-pihak dalam perjanjian, dan apabila syarat pertama dan kedua ini di tidak terpenuhi maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berkaitan dengan objek dalam perjanjian, dan apabila syarat ketiga dan keempat tersebut tidak terpenuhi maka dikatakan batal demi hukum atau perjanjian tersebut tidak pernah terjadi.
B. Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Baku
1. Pengertian Perjanjian Baku
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx memberikan definisi tentang perjanjian baku yaitu baku yang artinya patokan, ukuran, dan acuan sehingga, perjanjian baku dapat menjadi pegangan umum atau perjanjian yang isinya dibakukan dan dimasukan ke dalam bentuk formulir. (Herawati, 2020)
Kepustakaan Inggirs menyebut perjanjian baku sebagai standarized agreement atau standarized Contract, sedangkan menurut kepustakaan Belanda disebut dengan standaarizedvoorwaarden standardcontract. Dengan adanya perjanjian baku yaitu dapat memberikan kemudahan atau kepraktisan untuk para pihak karena jumlah debitur yang sangat banyak yang tidak memungkinkan untuk membuat perjanjian satu persatu sehingga, untuk memudahkan kreditur maka dibuatlah suatu perjanjian yang isinya telah dibuat oleh kreditur sebelumnya lalu perjanjian tersebut diberikan
kepada debitur dalam bentuk formulir, lalu jika debitur setuju dengan isi perjanjian yang telah dibuat oleh pihak kreditur maka debitur hanya perlu mentandatangani saja formulir tersebut. Debitur diberikan pilihan untuk setuju atau tidak dengan perjanjian yang telah diberikan oleh pihak kreditur, jika debitur tidak setuju maka debitur tidak perlu mentandatangani perjanjian tersebut (take it or leave it)
Perjanjian baku atau perjanjian standar adalah suatu perjanjian yang isi dan syarat-syaratnya sudah ditentukan oleh salah satu pihak dan dibuat dalam suatu formulir yang dimana salah satu pihak hanya perlu menyetujui atau menolak perjanjian tersebut. Para ahli memberikan definisi mengenai perjanjian baku atau perjanjian standar sebagai berikut :
a. Menurut Xxxxx, perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian, dengan adanya kemauan dan kepercayaan yang memberikan kepercayaan bahwa para pihak dapat mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut atau dengan kata lain para pihak secara sukarela menyetujui isi perjanjian tersebut.
b. Menurut Xxxxx Xxxxxx, orang-orang yang menandatangani perjanjian bertanggungjawab terhadap isi perjanjian yang akan ditandatangani sehingga, jika seseorang memberikan tandatangan dalam formulir perjanjian baku artinya seseorang tersebut membangkitkan rasa percaya dan mengetahui isi perjanjian baku tersebut karena, tidak mungkin seseorang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.
c. Menurut Xxxxxxx, perjanjian baku memiliki kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan dalam kehidupan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. (Xxxxx, 2017)
Munculnya perjanjian baku terjadi secara tidak langsung karena adanya asas kebebasan berkontrak yang diatur di dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Para pihak tidak bisa melakukan negoisasi dalam menentukan isi perjanjian karena, perjanjian tersebut sudah ditentukan terlebih dahulu oleh salah satu pihak yang menyebabkan tidak terlalu menguntungkan bagi pihak lainnya. Sering sekali yang dapat keuntungan kedudukan dari perjanjian baku adalah pelaku usaha. Perjanjian baku bersifat baku karena dalam perjanjian tersebut tidak dapat dinegoisasikan atau tidak dapat di tawar oleh pihak lainnya. (Xxxxxxxxxx, 2023)
Keabsahan perjanjian baku yang hanya ditanda tangani oleh salah satu pihak saja tidak ada ketentuan yang menjelaskan bahwa suatu perjanjian dianggap sah jika ditandatangani oleh kedua belah pihak, begitupun dengan perjanjian secara lisan atau dengan perjanjian dengan isyarat pun secara umum di perbolehkan di dalam hukum. sehingga perjanjian baku diperbolehkan dilakukan akan tetapi, tidak boleh melanggar Pasal 1320 KUHPerdata sebagai syarat sahnya perjanjian dan Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa pelaku usaha dalam membuat perjanjian baku dilarang untuk mengalihkan tanggungjawab kepada konsumen, Pasal 18 menjelaskan bahwa Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
2. Jenis-Jenis Perjanjian Baku
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx membedakan jenis-jenis perjanjian baku menjadi 4 (empat) jenis, yaitu :
1. Perjanjian baku sepihak
Perjanjian baku sepihak atau perjanjian adhesi merupakan perjanjian yang dimana isinya telah ditentukan oleh pihak yang lebih kuat kedudukannya dalam perjanjian tersebut. Kreditur memiliki kedudukan yang lebih kuat dibandingkan dengan debitur.
2. Perjanjian baku timbal balik
Perjanjian baku timbal balik merupakan perjanjian yang dimana isinya ditentukan oleh kedua belah pihak. Para pihak yang terdapat di dalam perjanjian baku timbal balik yaitu pihak majikan (kreditur) dan pihak buruh (debitur), kedua belah pihak ini terikat oleh organisasi, contohnya perjanjian buruh kolektif.
3. Perjanjian baku yang ditentukan oleh notaris atau advokat
Perjanjian baku yang ditentukan oleh notaris atau advokat ini merupakan perjanjian yang sejak awal sudah disediakan oleh notaris atau advokat untuk memenuhi permintaan pihak lain yang membutuhkan bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.
4. Perjanjian baku yang ditetapkan pemerintah
Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah merupakan perjanjian yang dimana isinya telah ditentukan oleh pemerintah untuk perbuatan-perbuatan hukum. contohnya perjanjian yang mempunya objek hak-hak atas tanah. (Sinaga, 2018)
3. Para Pihak Dalam Perjanjian Baku
Membuat perjanjian baku terdapat pihak-pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut, Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian baku yaitu terdiri dari pihak pelaku usaha (kreditur) dan pihak konsumen (debitur). Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen Pasal 1 angka 3 memberikan definisi tentang pelaku usaha adalah setiap orang pererangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pelaku usah yang dimaksud berupa perusahaan, koperasi, BUMN, pedagang, distributor, korporasi, dan lain-lain.
Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga memberikan definisi tentang konsumen dalam Pasal 1 angka 2, konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Pengertian konsumen ini setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa yang digunakan untuk tujuan tertentu. (Tri, 2011, hlm. 25)
Keterikatan antara para pihak menimbulkan hak dan kewajiban dan hubungan hukum yang dilindungi oleh hukum sehingga, masyarakat akan aman dalam melakukan kepentingannya. Perlindungan hukum ini memberikan jaminan bahwa para pihak akan mendapatkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya, seperti dalam perjanjian baku pihak pelaku usaha memilki hak dan kewajiban begitu pula sebaliknya pihak konsumen juga memiliki hak dan kewajibannya. Adapun hak-hak dan kewajiban- kewajiban dari pelaku usaha dan konsumen yaitu :
Hak-hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.
Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut :
1. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Pasal 6 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen mengatur tentang hak-hak dari pelaku usaha sebagai berikut :
1. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya
Kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 7 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen sebagai berikut :
1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian
Kegiatannya yang dilakukan oleh pelaku usaha berkewajiban untuk beritikad baik sesuai dengan asas perjanjian yang diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Upaya perlindungan bagi konsumen yang efektif apabila konsumen mengalami kerugian akibat pelaku usaha maka, Undang- Undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur tanggung jawab pelaku usaha di dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 28.
C. Tinjauan Umum Mengenai Wanprestasi
1. Pengertian Wanprestasi
Wanprestatie dalam Bahasa Belanda yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah wanprestasi, artinya salah satu pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dalam sebuah perjanjian. Para ahli memberikan beberapa pendapat mengenai wanprestasi sebagai berikut :
a. Menurut Xxxxx Xxxxxxx memberikan definisi mengenai wanprestasi yaitu tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan waktu yang telah disepakati dalam perjanjian. Oleh karena itu, apabila terdapat salah satu pihak mengalami kerugian akibat dari wanprestasi maka pihak yang mengalami kerugian tersebut dapat menuntut pemenuhan perjanjian, ganti rugi, atau pembatalan perjanjian.
b. Menurut Xxxxx, wanprestasi merupakan tidak terpenuhinya atau lalainya salah satu pihak untuk melakukan kewajiban dari sebuah perjanjian antara kreditur dan debitur yang telah disepakati bersama. (Xxxx, 2021, hlm. 8)
c. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx membeikan pendapat mengenai wanprestasi, yaitu tidak terpenuhinya prestasi dalam sebuah perjanjian, artinya tidak terepnuhinya kewajiban yang seharusnya dilakukan sebagaimana di dalam isi perjanjin. Dalam Bahasa Indonesia terdapat istilah pelaksanaan daripada janji untuk
prestasi juga ketidak adaan pelaksanaan janji untuk prestasi”.
(Xxxxxxxxxxxx, 2012, hlm. 18)
d. Subekti memberikan definisi mengenai wanprestasi sebagai suatu kealpaan atau kelalaian yang memiliki 4 (empat) ciri-ciri sebagai berikut :
1. Tidak melaksanakan apa yang telah disanggupi;
2. Melaksanakan apa yang telah dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang telah dijanjikan;
3. Melaksanakan apa yang telah disanggupi, tetapi tidak sesuai dengan waktu atau terlambat;
4. Melaksanakan yang tidak diperbolehkan di dalam perjanjian. (Subekti.R, 2014, hlm. 50)
Wanprestasi timbul apabila jika salah satu pihak tidak memenuhi apa yang telah menjadi kewajibannya yang telah disepakati di dalam perjanjian. Wanprestasi dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Dalam melakukan perjanjian apabila suatu saat terjadi keadaan dimana pihak debitur atau kreditur tidak melaksanakan kewajiban (prestasi) maka, pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi.
Ketepatan waktu sangat penting dalam sebuah perjanjian, karena dalam sebuah perjanjian para pihak menginginkan prestasinya dilakukan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Prestasi dalam sebuah perjanjian merupakan suatu hal yang wajib dipenuhi oleh para pihak dan jika para pihak tidak memenuhi prestasinya maka akan terjadinya wanprestasi.
Wanprestasi terjadi dimana keadaan debitur maupun kreditur tidak melaksanakan atau lalai melaksanakan perjanjian yang telah disepakati yang disebabkan karena kesengajaan, kelalaian, atau keadaan memaksa (force mejeur).
2. Timbulnya Wanprestasi
Salah satu pihak dapat dinyatakan lalai atau wanprestasi apabila salah satu pihak tersebut melakukan sebagai berikut :
1. Terpenuhinya prestasi tetapi tidak tepat waktu
Prestasi harus dipenuhi oleh para pihak tetapi dalam pelaksanaannya salah satu pihak tidak memenuhi prestasi sesuai dengan apa yang telah disepakati bersama dalam perjanjian.
2. Terpenuhinya prestasi tetapi tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan
Salah satu pihak memenuhi prestasinya akan tetapi, terjadinya kekeliruan atau tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan bersama. Maka, salah satu pihak tersebut tidak dapat memenuhi prestasinya.
3. Tidak terpenuhinya prestasi
Prestasi yang tidak dapat dipenuhi oleh salah satu pihak baik itu karena disengaja maupun tidak disengaja maka, dapat dikatakan lalai atau wanprestasi. (X.Xxxxxx, 2013, hlm. 84)
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi yaitu yang pertama, adanya kelalaian, jika salah satu pihak dalam perjanjian mendapatkan kerugian dari pihak lainnya yang diakibatkan karena adanya kelalaian atau kesengajaan maka, pihak yang dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban. Kelalaian merupakan dimana salah satu pihak kurang berhati-hati yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Sehingga, dapat dikatakan lalai apabila tidak melakukan sesuatu yang telah diatur di dalam Pasal 1234 KUHPerdata yaitu memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Kedua, adanya keadaan memaksa, Keadaan memaksa ini diatur di dalam Pasal 1245 KUHPerdata yang menjelaskan :
Tidaklah biaya ganti rugi dan bunga, harus digantikan, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan terlarang.
keadaan memaksa merupakan keadaan dimana tidak terpenuhinya prestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karne kesalahannya, melainkan peristiwa tersebut terjadi karena tidak dapat diketahui atau terjadi secara tiba-tiba. Keadaan memaksa ini salah satu pihak yang tidak memenuhi prestasinya tidak dapat disalahkan karena keadaan memaksa tersebut terjadi di luar kemampuan para pihak.
Keadaan memaksa dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu sebagai berikut :
1. Keadaan memaksa absolut (mutlak), keadaan dimana tidak memungkinkan lagi para pihak untuk melaksanakan perjanjian tersebut.
2. Keadaan memaksa relatif (tidak mutlak), keadaan dimana dalam perjanjian tersebut para pihak masih bisa melaksanakan perjanjian, akan tetapi diperlukan pengorbanan yang besar dari para pihak.
Syarat-syarat jika salah satu pihak melakukan wanprestasi sebagai berikut :
1. Syarat materil
Syarat ini terjadi jika salah satu pihak melakukan kelalaian atau kesengajaan, wanprestasi yang diakibatkan oleh debitur maupun kreditur bisa disebabkan karena kesalahan dan kelalaian yang menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban, selain itu keradaan memaksa yang terjadi diluar kemampuan debitur maupun kreditur.
2. Syarat formil
Somasi atau peringatan dilakukan kepada salah satu pihak yang sudah dinyatakan melakukan wanprestasi. Somasi merupakan teguran dari salah satu pihak untuk memperoleh
prestasi yang sudah disepakati bersama di dalam perjanjian. Jika pretasi tidak terpenuhi oleh salah satu pihak yang terbukti melakukan wanprestasi maka, pihak lainnya dapat memberikan somasi atau surat teguran. Pasal 1238 KUHPerdata menjelaskan bahwa untuk melakukan somasi harus menggunakan surat perintah atau dengan akta sejenisnya.
3. Akibat Wanprestasi
Seseorang yang melakukan wanprestasi dapat mengakibatkan sebagai berikut :
1. Berhak atas pemenuhan prestasi, apabila masih memungkinkan;
2. Membayar atas kerugian yang dialami oleh pihak yang mengalami kerugian;
3. Membatalkan perjanjian, akibat wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak sanksi yang dapat dilakukan oleh pihak yang mengalami kerugian.
4. Peralihan resiko, akibat peralihan resiko ini dilakukan apabila perjanjian yang dilakukan objeknya suatu barang, Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata yang menjelaskan bahwa jika si berutang lalai dalam menyerahkan, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.
5. Membayar biaya perkara jika sampai pengadilan, pihak yang dirugikan dapat menuntut tuntutan pemenuhan perjanjian,
pemenuhan perjanjian beserta ganti rugi, ganti rugi saja, pembatalan perjanjian, dan pembatalan perjanjian beserta dengan ganti rugi. (Komariah, 2019, hlm. 142)
Ganti rugi yang diakibatkan dari wanprestasi, jika para pihak yang membuat perjanjian tidak dapat melakukan kewajibannya yang sudah disepakati bersama, maka menurut hukum dapat meminta pertanggung jawaban jika salah satu pihak yang membuat perjanjian tersebut mengalami kerugian. (Xxxxx.M, 2014, hlm. 233)
Ganti rugi diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mulai dari Pasal 1243 hingga Pasal 1252. Penggatian kerugian dapat dituntut berdasarkan 3 (tiga) jenis yaitu biaya (konsten), bunga (interesten), dan rugi (schaden).
a. Biaya (Konsten)
Biaya yang dimaksud adalah uang yang dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, akibat dari wanprestasi dari sebuah perjanjian atau tidak terpenuhinya sebuah prestasi.
b. Rugi (Schaden)
Rugi atau kerugian yaitu berkurangnya nilai kekayaan dari salah satu pihak yang diakibatkan karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak.
c. Bunga (Interesten)
Bunga merupakan keuntungan yang seharusnya didapatkan, akan tetapi tidak didapatkan oleh salah satu pihak yang disebabkan adanya wanprestasi dari perjanjian.
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx memberikan pendapatnya dari Pasal 1246 KUHPerdata, unsur-unsur dari ganti rugi yaitu biaya yang sudah dikeluarkan, kerugian yang diakibatkan dari kerusakan atau hilangnya barang akibat kelalaian salah satu pihak, dan keuntungan atau bunga yang diharapkan. (Xxxxx et al., 2022, hlm. 47)
D. Tinjauan Umum Mengenai Jual-Beli Online
1. Pengertian Jual-Beli Online
Undang-Undang No 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Internet merupakan teknologi yang digunakan untuk berbagai kepentingan yang dapat menyatukan media audio, visual, dan telekomunikasi. Internet untuk zaman sekarang menjadi salah satu kebutuhan bagi masyarakat karena menggunakan media internet sangat efisien dan efektif bagi kehidupan.
Jual-beli online menimbulkan sebuah perjanjian yang disebut juga dengan perjanjian jual-beli. Dari perjanjian jual-beli tersebut terdapat hak dan kewajiban dari para pihak yang diatur secara tertulis yang bertujuan
untuk terhindarnya dari resiko yang tidak diinginkan. Para pihak yang tidak melaksanakan tanggungjawabnya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakat oleh para pihak, pihak yang mendapatkan kerugian dapat mengajukan pertanggungjawaban berupa ganti rugi.
Jual-beli online menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 1 angka 17 memberikan definisi bahwa transaksi elektronik atau jual-beli elektronik adalah perjanjian yang menggunakan media elektronik, baik internet atau lainnya. Ciri-ciri jual-beli yang mengunakan media elektronik yaitu :
a. Adanya perjanjian atau kontrak yang ditawarkan berupa dagangan;
b. Perjanjian dilakukan melalui internet;
c. Transaksi dilaksanakan dengan jarak jauh;
d. Perjanjian dibuat dengan jaringan sosial;
e. Kebebasan untuk mengakses barang atau benda yang dijual.
Perjanjian jual-beli dilakukan oleh pelaku usaha (merchant) yang menjual barang dan konsumen (buyer) sebagai pembeli. Dalam melakukan jual-beli online terdapat perantara (provider) sebagai penyedia jasa yaitu layanan internet dan bank sebagai sarana pembayaran, adapun layanan ekspedisi sebagai sarana untuk mengirimkan barang kepada konsumen.
Dalam kegiatan jual-beli online pelaku usaha atau penjual menawarkan suatu barang untuk dijual menggunakan media elektronik internet, penjual akan memasukan penawaran tersebut melalui media massa, kemuda pembeli atau konsumen dapat leluasa memilih dan membeli barang yang dibutuhkan melalui media elektronik. Kemudia transaksi jual-beli online ini akan menimbulkan akibat hukum yaitu sebuah perjanjian yang dilakukan secara elektronik, Pasal 1 angka 17 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa kontrak elektronik merupakan perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya. Pelaku usaha yang melakukan perdagangan melalui media elektronik ini wajib mencantumkan informasi mengenai syarat-syarat kontrak dan produk yang dijual secara lengkap dan benar. (Wahyu & Xxxxxx, 2018)
2. Para Pihak Dalam Jual-Beli Online
Kegiatan jual-beli online melibatkan beberapa pihak baik yang terlibat secara langsung maupun secara tidak langsung. Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi jual-beli online sebagai berikut :
1. Penjual (Merchant)
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008 Pasal 1 angka 6 menjelaskan bahwa penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat. Penjual merupakan pelaku usaha yang menawarkan
barangnya melalui media internet. Penjual harus memiliki account platform online shopping untuk memasukan barang yang akan dijual, kemudian penjual harus memiliki salah satu account bank untuk menerima pembayaran dari pembeli.
2. Pembeli (buyer)
Pembeli atau konsumen dalam transaksi jual-beli online adalah pihak yang melakukan pemesanan barang dan/atau jasa melalui media internet.
3. Jasa Pengiriman atau Ekspedisi
Jasa pengiriman barang merupakan pihak perantara antara penjual dan pembeli yang bertugas untuk mengirimkan barang dari penjual hingga sampai ketangan pembeli.
3. Keabsahan Jual-Beli Online
Transaksi jual-beli online ini, penjual akan diberikan pilihan bebas untuk menjual produk apa saja selama tidan bertentangan dengan hukum positif Indonesia, kemudia pembeli dengan bebas dapat memilih produk apa saja yang ditawarkan oleh penjual. Kemudian jika pembeli sudah memilih produk yang dibutuhkan dan menerima tawaran yang telah ditentukan oleh penjual lalu pembeli akan melakukan pembayaran. Dari kegiatan tersebut dapat disimpulkan bahwa pembeli telah meneriman dan menyetujui tawaran dari penjual, maka terciptalah sebuah perjanjian elektronik antara penjual dan pembeli.
Perjanjian jual-beli online yang dilakukan melalui media elektronik ini harus memenuhi unsur-unsur perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang bertujuan para pihak mendapatkan perlindungan hukum dam memiliki kekuatan hukum tetap. Apabila dalam perjanjian jual-beli tersebut salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya maka, pihak yang mendapatkan kerugikan dapat meminta pertanggung jawaban.
Jual-beli online memberikan kemudahkan dan lebih efesien bagi masyarakat, akan tetapi dalam jual-beli online ini apakah unsur-unsur perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata telah terpenuhi seluruhnya atau tidak, karena pihak-pihak yang melakukan transaksi di dalam jual-beli online tidak bertemu secara langsung sehingga tidak tahu apakah para pihak sudah cakap atau tidak. Oleh karena itu, untuk menentukan para pihak sudah cakap, platform online shopping akan meminta data pribadi berupa nomor KTP, usia, tanggal lahir, dan lain-lain yang bertujuan untuk menjamin kecakapan seseorang untuk melakukan transaksi jual-beli secara online. Suatu sebab yang halal menjadi yang menjadi syarat sah nya perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata maka, tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Lalu barang yang diperjual-belikan dalam jual-beli online harus sesuai dengan aturan hukum positif Indonesia.
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2019 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik Pasal 46 ayat (2) menjelaskan bahwa perjanjian elektronik dianggap sah apabila terdapat kesepakatan para pihak, dilakukan oleh subjek hukum yang cakap atau berwenang untuk mewakili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, terdapat hal tertentu, lalu objek transaksi tidak diperbolehkan bertentangan denga peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum. Kemudian Pasal 47 ayat (2) Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 2019 menjelaskan bahwa kontrak elektronik yang menggunakan klausula baku, harus sesuai dengan aturan tentang klausula baku sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. (X.Xxxxxx, 2018)
4. Penyelesaian Permasalahan Dalam Jual-Beli Online
Jual-beli online yang dapat dilakukan dimanapun dan kapanpun ini memberikan kemudahan dan lebih efisien tetapi, sering sekali terjadinya sengketa dalam jual-beli online ini. Upaya yang dilakukan untuk menyelesaikan sengketa jual-beli online terdapat beberapa pilihan yaitu sebagai berikut :
1. Melalui litigasi
Pihak yang mendapatkan kerugian dari jual-beli online sebelum mengajukan gugatan kepada pengadilan, pihak yang dirgikan dapat mengajukan somasi yang telah diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Jika sudah melakukan somasi tetapi pihak yang mendapatkan kerugian belum juga mendapatkan ganti rugi
maka, pihak mendapatka kerugian tersebut dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.
2. Melalui Non-Litigasi
Para-pihak yang melakukan jual-beli online bersengketa maka, pihak-pihak yang terlibat dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui non-litigasi yang terdiri dari :
a. Ngoisasi, negoisasi merupakan para pihak melakukan tawar menawar untuk memecahkan masalah secara damai. Negoisasi ini dilaksanakan karena para pihak masih memiliki rasa kepercayaan dan keyakinan bahwa permasalahan dapat diselesaikan dengan cepat, para pihak beritikad baik untuk menyelesaikan permasalahannya. Agar negoisasi berjalan dengan lancar maka yang harus dilakukan yaitu para pihak saling terbuka tentang permasalahan, para pihak saling beritikad baik untuk menyelesaikan permasalahan secara cepat dan damai, para pihak yang dapat melakukan negoisasi adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan atau kewenangan dalam mengambil keputusan.
b. Mediasi, mediasi merupakan penyelesaian permasalahan yang menggunakan mediator sebagai pihak ketiga atau mediator. Pihak ketiga berkewajiban untuk mempertemukan kepentingan pihak-pihak yang
bersengketa, membatu pihak-pihak yang bersengketa untuk mengambil keputusan yang tidak berat sebelah. Pihak ketiga juga tidak dapat mengambil keputusan dalam menyelesaikan masalah karena, hasil dari mediasi hanya para pihak yang bersengketa yang dapat mengambil keputusan, pihak ketiga atau mediator hanya mengesahkan kesepakatan tersebut. Tahpan-tahapan untuk melakukan mediasi yaitu pertama, pemilihan mediator oleh para pihak, kedua, mediator membuat forum mediasi, ketiga, mengumpulkan data-data, keempat, para pihak mulai melaksanakan negoisasi untuk pemecahan masalah, keempat, pengambilan keputusan oleh para pihak yang dibuat dalam sebuah akta kesepakatan (akta kompromi).
c. Melalui Arbitrase, arbitrase merupakan penyelesaian sengketa melalui peradilan umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomo 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Pasal 1 ayat 1. Sehingga lembaga arbitrase berwenang untuk menyelesaikan sengketa dan mengapuskan kewenangan pengadilan. Transaksi elektronik yang dilakukan lintas negara pilihan untuk menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase sangatlah tepat karena memiliki sifat
internasional dalam menyelesaikan sengketa, sifat internasional yang dimaksud apabila para pihak tidak berkewarganegaraan yang sama sehingga, penyelesaian sengketanya dilakukan di luar objek negara yang memiliki negara yang sama. (Anggraeni & Rizal, 2019)
E. Tinjauan Umum Mengenai Pengangkutan Barang
1. Pengertian Pengangkutan Barang
Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 1 angka 3 memberikan definisi mengenai pengangkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan.
Para ahli memberikan beberapa pendapat mengenai definisi dari perjanjian pengangkutan sebagai berikut :
1. Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx memberikan definisi mengenai perjanjian pengangkutan yaitu kegiatan yang memuat barang dan penumpang ke dalam alat pengangkut yang membawa barang dan penumpang dari satu tempat ke tempat tujuan yang telah ditentukan dengan selamat kemudian pengirim tau penumpang akan mengikatkan diri untuk membayar biaya pengangkutan.
2. Subekti menjelaskan bahwa perjanjian pengangkutan merupakan sebuah perjnjian antara pihak satu menyanggupi untuk membawa barang atau orang dari satu tempat ke tempat lainnya, sedangkan pihak lainnya menyanggupi untuk membayar biaya ongkos.
3. Purwosutjipto memberikan definisinya mengenai perjanjian pengangkutan yaitu suatu perjanjian timbal balik antara pihak pengangkut dengan pihak pengirim, dimana para pihak antara pihak pengangkut mengikatkan diri untuk melakukan pengangkutan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat lainnya sesuai tujuan yang telah ditentukan dengan selamat, sedangkan pengirim akan mengikatkan dirinya untuk membayar biaya angkutan. (Xxxx & Xxxxxxx, 2021, hlm. 147)
Perjanjian pengakutan dilakukan oleh perusahaan pengangkutan dengan pihak yang akan mengirimkan barang. Perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian dimana para pihak antara pihak perusahaan pengangkutan yang berkewajiban untuk mengangkut barang dari suatu tempat ke tempat lainnya dan pihak yang akan mengirimkan barang berkewajiban untuk melakukan pembayaran biaya atas pengangkutan barang tersebut. Dalam praktiknya perjanjian pengangkutan ini dibuat secara baku atau perjanjian baku. Perjanjian pengangkutan dituangkan dalam bentuk perjanjian baku atau kontrak standar dimana isi perjanjiannya sudah ditentukan oleh pihak pengangkut dan membatasi tanggungjawab dari
pihak pengangkut. Sedangkan untuk pengangkutan orang ditandai dengan bukti berbentuk karcis atau tiket penumpang.
Objek dalam perjanjian pengangkutan yaitu barang dan orang, dalam pengangkutan barang ditandai dengan bukti pengiriman berupa surat angkutan dan sifatnya wajib yang berisikan tentang muatan yang diangkut dan tanggungjawab dari pengangkut. Alat pengangkutan berupa kendaraan bermotor, mobil, kapal laut niaga, dan pesawat udara. Untuk kendaraan bermotor dan mobil wajib memenuhi aturan dalam Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu pengujian kendaraan dan pendaftaran kendaraan.
Perjanjian pengangkutan terjadi apabila telah dibuatnya surat angkutan (vrachbrief). Tujuan dibuatnya surat angkutan ini sebagai alat bukti dari perjanjian pengangkutan. Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menjelaskan bahwa surat angkutan merupakan persetujuan antara pengirim atau ekspeditur pada pihak satu dan pengangkut atau juragan perahu pada pihak lain dan surat itu memuat selain apa yang kiranya telah disetujui oleh kedua belah pihak seperti misalnya mengenai waktu dalam mana pengangkutan telah harus selesai dikerjakannya dan mengenai pergantian ganti rugi dalam hal keterlambatan, memuat juga :
1. Nama dan berat atau ukuran barang-barang yang diangkut, begitupun merek-merek dan bilangannya;
2. Nama orang kepada siapa barang-barang dikirimkan;
3. Nama dan tempat si pengangkut atau juragan perahu;
4. Jumlah upahan pengangkut;
5. Tanggal;
6. Tanda tangan si pengirim atau ekspeditur. Surat angkutan itu, ekspeditur harus membubuhkan dalam registrasi hariannya.
Pasal 90 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menjelaskan jika perjanjian pengangkutan dikatakan sah jika dituangkan ke dalam surat angkutan yang artinya perjanjian pengangkutan bersifat tertulis. Perjanjian pengangkutan terjadi karena adanya penawaran dari pihak pengangkut, penawaran yang dilakukan oleh pengangkut dilakukan dengan cara langsung atau tidak langsung. Contohnya dalam ekspedisi pengiriman barang, untuk penawaran secara langsung pihak pengirim akan menghubungi langsung pihak pengirim dengan jasa media massa, radio, dan lain-lain, sedankan penawaran secara tidak langsung dilakukan dengan cara pihak pengirim akan menghubungi pengangkut barang dan kemudian akan menyerahkan barang tersebut yang sudah disetuji persyaratannya. (Rahayu, 2007, hlm. 11)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menjelaskan mengenai ekspeditur dalam Pasal 86 yang menyebutkan bahwa ekspeditur adalah seseorang yang pekerjaannya menyelenggarakan pengangkutan barang- barang dagangan dan barang-barang lain di darat atau di perairan. Lalu Pasal 87 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang menjelakan bahwa ekspeditur harus menjamin pengiriman secara rapih dan cepat mengenai
barang-barang dagangan dan barang-barang yang sudah diterimanya untuk menjamin pengiriman yang baik. Ekspeditur juga harus menanggung kerusakan atau kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang yang diterimanya dari pengirim yang disebabkan karena kelalaian atau kesalahan pihak ekspeditur penjelasan tersbut diatur juga di dalam Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Menurut pendapat Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, berakhirnya perjanjian pengakutan sebagai berikut :
a. Jika keadaan tidak terjadi peristiwa yang menyebabkan kerugian, maka perbuatan yang digunakan sebagai ukuran adalah saat melakukan pembayaran dan penyerahan biaya pengangkutan, untuk pengangkutan barang di tempat tujuan yang telah disepakati.
b. Jika terjadinya peristiwa yang menyebabkan kerugia, maka perbuatan yang digunakan sebagai ukuran adalah penyelesaian kewajiban untuk membayar ganti rugi.
2. Para Pihak Dalam Pengangkut Barang
Untuk melakukan pengiriman barang terdapat pihak-pihak yang terlibat sebagai berikut :
1. Pihak Pengangkut
Pihak pengangkut adalah pihak yang melakukan pengangkutan barang dari satu tempat ke tempat yang lain yang
telah ditentukan. Pihak pengangkut ini terdapat 2 (dua) arti sebagai berikut :
1) Ekspeditur (carrier), Carrier merupakan pihak pengangkut yang mengirimkan barang dan membuat perjanjian.
2) Pihak yang Melaksanakan Pengangkutan (Actual Carrier), Actual Carrier merupakan piha yang mengangkut barang atau orang yang telah dipercaya oleh perusahaan untuk mengangkut barang ke tempat tujuan.
2. Pihak Pengirim
Pihak pengirim merupakan pihak yang melakukan pembayaran biaya pengangkutan sebagai pemilik barang berupa manusia pribadi, perusahaan perorangan, perusahaan persekutuan, badan hukum, bukan badan hukum.
3. Pihak Penerima
Pihak penerima merupakan pihak ketiga yang memiliki hak untuk menerima barang dari pihak pengirim.
3. Hak dan Kewajiban Pihak Pengangkut Barang
Pihak-pihak yang akan melakukan pengiriman barang terikat oleh sebuah perjanjian pengangkutan yang berupa perjanjian baku. Akibat hukum dari terjadinya sebuah perjanjian yaitu para pihak memiliki hak-hak dan kewajiban bagi para pihak. Dalam melakukan perjanjian pengangkutan barang harus sesuai dengan syarat sah perjanjian Pasal 1320 KUHPerdata yaitu sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan hukum, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
Dalam perjanjian pengangkutan yang bersifat timbal balik, terdapat hak dan kewajiban bagi para pihak, Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 186 hingga Pasal 196 menjelaskan mengenai hak-hak dan kewajiban bagi pengangkut sebagai berikut :
1. Hak Pengangkut
a. Pihak pengangkut mempunyai hak untuk menahan barang yang akan diangkut jika pihak pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajiban dalam batas wakut yang sudah ditetapkan berdasarkan dengan perjanjian pengangkutan;
b. Pihak pengangkut mempunyai hak untuk meminta biaya tambahan atas barang yang disimpan dan tidak diambil sesuai dengan kesepakatan;
c. Pihak pengangkut mempunyai hak untuk menjual barang yang diangkut secara lelang sesuai dengan peraturan perundang-
undangan apabila pihak pengirim atau penerima tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan dengan kesepakatan;
d. Pihak pengangkut mempunyai hak untuk memusnahakan barang yang diangkut jika barang tersebut berbahaya dan mennggangu dalam penyimpanannya;
e. Pihak pengangkut mempunyai hak untuk menurunkan barang yang diangkut apabila membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan;
2. Kewajiban Pengangkut
a. Pihak pengangkut wajib untuk mengangkut barang setlah dibuat dan disepakatinya perjanjian pengangkutan;
b. Pihak pengangkut wajib untuk wajib untuk mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayarkan oleh pihak pengirim jika terjadi pembatalan pengangkutan;
c. Pihak pengangkut wajib untuk mengganti kerugian yang dialami oleh pihak pengirim akibat kelalaian dalam melakukan pengangkutan;
d. Pihak pengangkut wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pihak pengirim akibat perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.
e. Pihak pengangkut wajib untuk bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh pihak pengirim karena barang
tersebut musnah, hilang, atau rusak akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali terbukti bahwa musnah, hilang, atau rusaknya barang disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau kesalahan pengirim.
Undang-Undang Hukum Dagang memberikan aturan mengenai hak- hak dan kewajiban bagi pihak pengirim barang yaitu sebagai berikut :
1. Hak Pengirim Barang
a. Pihak pengirim memiliki hak atas ganti rugi yang diderita akibat tidak diserahkannya barang sebagaimana mestinya;
b. Pihak pengangkut memiliki hak atas penggantian kerugian yang dideritanya akibat tidak sesuainya mengenai barang.
c. Pihak pengirim memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan atas pengangkutan barang dari tempat pemuatan hingga tempat tujuan dengan selamat.
2. Kewajiban Pengirim Barang
a. Pihak pengirim barang setelah melakukannya penyerahan barang, pihak pengirim wajib untuk membayar biaya angkutan;
b. Pihak pengirim dapat meminta agar pihak pengangkut memberikan tanda terima barang (konosemen) tentang barang yang diterimanya untuk diangkut.
4. Tanggungjawab Pengangkut Barang
Pengiriman barang dapat mengakibatkan permasalahan apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Pihak yang dirugikan dapat meminta ganti rugi kepada pihak yang melakukan kelalaian dalam menjalankan kewajibannya. Tanggung jawab hukum timbul apabila terdapat kesalahan yang berupa wanprestasi dalam perjanjian pengiriman barang.
Wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian pengiriman barang berupa tidak terpenuhinya prestasi dalam pelaksanaan pengiriman barang contohnya barang yang dikirin oleh pihak pengangkut barang hilang dan barang tersebut tidak sampai kepada tangan penerima barang. Akibat dari wanprestasi tersebut, pihak yang melakukan kelalaian berkewajiban untuk bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atas kerugian yang diderita pihak lainnya. Pelaksanaan tanggung jawab pihak pengirim barang akibat kelalaian yaitu dapat dituntut mengenai ganti rugi Pasal 88 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa Ia juga harus menanggung kerusakan atau kehilangan barang-barang dagangan dan barang-barang sesudah pengirimannya yang disebabkan oleh kesalahan atau keteledoran. (Xxxxxxxxxx, 1995, hlm. 72)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai tanggung jawab akibat kelalaian dari para pihak yang melakukan perjanjian pengangkutan, Pasal 1236 KUHPerdata menjelaskan bahwa pengangkut wajib untuk memberikan ganti rugi atas biaya dan rugi bunga yang seharusnya diterima, dan apabila pihak pengangkut tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat untuk menyelamatkan barang-barang angkutan. Bilamana barang yang diangkut hilang atau terlambat dari waktu yang telah ditentukan, maka dapat menuntut ganti rugi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata yang mejelaskan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum, yang memberikan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut. (Xxxxxxxxxx, 1995, hlm. 75–76)
Pihak yang melakukan kelalaian atau wanprestasi dalam memenuhi prestasinya dan menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1243 hingga Pasal 1252. Pihak yang mengalami kerugian yang akan menuntut ganti rugi harus membuktikan bahwa pihak yang melakukan kelalaian atau wanprestasi yang menimbulkan kerugian harus menuntut ganti rugi berupa biaya, rugi, dan bunga yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Kerugian yang diduga atau sepatutnya diduga pada waktu perikatan;
b. Kerugian akibat langsung dari wanprestasi. (Komariah, 2019, hal.
152)