KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT OLEH PPAT/NOTARIS DI KOTA BANDA ACEH
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT OLEH PPAT/NOTARIS DI KOTA BANDA ACEH
TESIS
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh Gelas Magister Kenotariatan
Oleh:
XXXXXXXXXX NPM: 1920020041
PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA MEDAN
2022
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT OLEH PPAT/NOTARIS DI KOTA BANDA
Xxxxxxxxxx NPM: 1920020041
ABSTRAK
PPAT/Notaris memberikan solusi yaitu membuat suatu perjanjian yang bersifat mengikat antara pembeli dan penjual, dalam hal ini dikenal dengan nama PPJB, yang mana pada prakteknya sering menimbulkan permasalahan, baik konflik yang bersumber dari pembeli, penjual.
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaturan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertipikat, untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli tanah yang belum bersertifikat dan untuk mengetahui perlindungan hukum atas pengikatan perjanjian jualbeli atas tanah yang belum bersertipikat di Kota Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian yurisdis normatif, pendekatan penelitian terhadap sistematika hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. Pengaturan hukum PPJB atas tanah yang belum bersertipikat di Kota Banda Aceh telah ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata dengan berlandaskan pada pemberian surat kuasa terlebih dahulu yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata, sehingga putusan majelis hakim berdasarkan pada surat kuasa terlebih dahulu.
Kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli tanah yang belum bersertipikat terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata dengan iktikad baik, ini menjadi kekuatan hukum dalam pembuktian di persidangan.Perlindungan hukum atas pengikatan perjanjian jual beli atas tanah yang belum bersertipikat perlindungan hukum terhadap pemenuhan hak-hak para pihak apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi atau ingkar janji dalam PPJB sangat tergantung kepada kekuatan dari Perjanjian Pengikatan Jual beli yang dibuat.
Kata Kunci : Kekuatan Hukum, Perjanjian Pengikatan Jual Beli, Tanah, PPAT/Notaris
ii
LEGAL STRENGTH OF BUYING BINDING AGREEMENTS OF LAND THAT HAVE NOT BEEN CERTIFIED BY PPAT/NOTARY IN BANDA CITY
Xxxxxxxxxx NPM: 1920020041
ABSTRACT
PPAT/Notary provides a solution, namely making a binding agreement between the buyer and the seller, in this case known as PPJB, which in practice often causes problems, both conflicts originating from buyers and sellers.
This study aims to determine the legal arrangements for binding sale and purchase agreements on uncertified land, to determine the legal strength of binding agreements for sale and purchase of uncertified land and to determine legal protection for binding sale and purchase agreements on uncertified land in Banda Aceh City. The types of research used in this thesis are normative juridical research, research approaches to legal systematics, comparative law, and legal history. The legal arrangement of PPJB on uncertified land in Banda Aceh City has been confirmed in Article 1338 of the Civil Code based on the granting of a power of attorney in advance contained in Article 1792 of the Civil Code, so that the decision of the panel of judges is based on a power of attorney first.
The legal strength of the binding agreement for the sale and purchase of land that has not been certified is contained in Article 1338 of the Civil Code in good faith, this becomes the force of law in proving at trial. one of the parties defaults or breaks a promise in the PPJB very much depends on the strength of the Sale and Purchase Binding Agreement made.
Keywords: Legal Force, Sale and Purchase Binding Agreement, Land, PPAT/Notary
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur dipanjatkan khadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan memberikan kesehatan serta menganugerahkan rahmat dan karunia- Nya yang luar biasa sehingga penyusunan tesis yang berjudul “Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat Oleh PPAT/Notaris Di Kota Banda” dapat terselesaikan. Selanjutnya salawat beriring salam selalu terlafal kepada Nabi Besar Xxxxxxxx XXX yang telah membawa umatnya dari alam kebodohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Penyusunan tesis ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya kesempatan, bantuan, bimbingan, arahan, serta dorongan semangat dari berbagai pihak.
Tesis ini tidak mungkin berhasil tanpa bantuan para pihak yang berkontribusi dalam penyusunannya. Oleh karena itu penghargaan yang setinggi- tingginya dan ucapan terima kasih diberikan kepada
1. Bapak Prof. Xx. Xxxxxxxx, M.A.P. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
2. Bapak Xxxx. Xx. Xxxxxxx Xxxx, S.H., M.Hum. selakuk Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
iv
3. Ibu Assoc. Xxxx. Xx. Xxx Xxxxxxx, SH., M.H selaku Pembimbing 1 yang telah meluangkan waktunya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
4. Bapak Assoc Xxxx. Xx. Xxx Xxxxxx, S.H., M.Hum selaku Ka. Prodi dan Pembimbing 2 yang telah meluangkan waktunya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
5. Bapak Xx. Xxxx Xxxxxxxxx, S.H., X.Xx selaku Penguji 1 yang telah meluangkan waktunya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
6. Bapak Assoc Xxxx. Xx. X. Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.Hum selaku Penguji 2 yang telah meluangkan waktunya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
7. Bapak Xx. Xxxxxx, S.H., M.Hum selaku Penguji 3 yang telah meluangkan waktunya dalam penyelesaian penulisan tesis ini.
8. Xxxxxxxx (Xxx) Xxxxxxxx Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxx Xxx Xxxxx, Abang saya XX.Xxxxxxxxxxxx,X.XxX.,SH.,MP, Kakak saya Sry Agustynar Beserta dengan Kakak Ipar,Abang Ipar dan Semua Keponakan saya atas segala dukungan dan doanya.
9. Istri saya Xxxxxxxxx., atas segala motivasi, perhatian dan doa nya serta kesabaran menunggu di rumah selama beberapa waktu. Xxx Xxxxxx tercinta Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Anak ayah dalam kandungan Xxxx, ayah sayang dan cinta kalian.
10. Rekan rekan S-2 Magister Kenotariatan angkatan 2019 khususnya X.Xxxxx,SH.,MKn beserta istri dan keluarga yang telah membantu dengan ikhlas.
v
11. Kepada seluruh Dosen Pengajar di Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi penulis.
12. Kepada semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Tesis ini bukanlah merupakan karya yang sempurna disebabkan keterbatasan ilmu yang dimiliki, tidak luput dari kesilapan dan kekurangan baik dari susunannya maupun subtansinya, maka dengan segala kerendahan hati daharapkan kritik dan saran demi tercapainya kesempurnaan. Mudah-mudahan Tesis ini bermanfaat bagi pembaca, dan semoga Allah SWT meridhai segala sesuatu yang kita kerjakan. Aamiin yaa Rabbal’alamin.
Xxxxx, Xxxxxxx 2022 Xxxxxxx,
Xxxxxxxxxx
vi
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING i
ABSTRAK ii
KATA PENGANTAR iii
DAFTAR ISI v
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian 10
D. Manfaat Penelitian 10
E. Keaslian Penelitian 12
F. Kerangka Pikir 19
1. Kerangka Teori 19
2. Kerangka Konseptual 43
G. Metode Penelitian 59
1. Jenis Penelitian 59
2. Pendekatan Penelitian 61
3. Sifat Peneltian 63
4. Sumber Data 64
5. Teknik Pengumpulan Data 66
6. Analisis Data 66
BAB II. PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT
DI KOTA BANDA ACEH 68
A. Pengaturan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli 68
B. Kewenagan Pembuatan PPJB Oleh PPAT/Notaris 71
C. Analisis Pengaturan Hukum PPJB Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Di Kota Banda Aceh 76
vii
BAB III. KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT
DI KOTA BANDA ACEH 83
A. Tinjauan Umum Sertifikat Tanah 83
B. Aturan Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertipikat 88
C. Analisis Kekuatan Hukum PPJB Di Kota Banda Aceh 92
BAB IV. PERLINDUNGAN HUKUM ATAS PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI ATAS TANAH YANG BELUM
BERSERTIPIKAT DI KOTA BANDA ACEH 96
A. Pengertian dan Macam-macam Hak atas Tanah untuk Menjamin Kepastian Hukum 96
B. Perlindungan Hukum Jual Beli Tanah 104
C. Perlindungan Hukum Atas PPJB Di Kota Banda Aceh 109
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan 111
B. Saran 112
DAFTAR PUSTAKA 113
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah adalah merupakan kebutuhan yang primer dalam kehidupan manusia, selain sandang dan pangan. Tanah dibutuhkan manusia sejak lahir sebagai tempat bermukim dan melangsungkan kehidupan sebagai individu maupun komunal hingga akhir usia. Tanah berperan sebagai entitas yang sangat vital dalam dinamika pembangunan suatu negara sehingga diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tepatnya dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyebutkan bahwa:“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnyakemakmuran rakyat”.1
Kepastian dan serta rasa keadilan terhadap hak-hak warga negaranya baik hak perseorangan ataupun publik atas tanah dan juga bangunan di atasnya, pemerintah menekankan pentingnya pendaftaran hak atas tanah serta pengurusan izin mendirikan bangunan. Pemerintah mengatur mengenai tanah dan pendaftarannya tersebut di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.2
Jual Beli diatur dalam Buku III KUHPerdata, Bab Ke Lima tentang “Jual Beli”. Di dalam Pasal 1457 KUHPerdata merumuskan: “Jual Beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan
1 Suardi, 2005. Hukum Agraria, Badan Penerbit IBLAM, Jakarta, Halaman 1.
2 Ibid, Halaman 2.
1
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa jual beli melahirkan kewajiban secara bertimbal balik kepada para pihak yang membuat perjanjian jual beli tersebut. Dari sisi penjual, penjual diwajibkan untuk menyerahkan suatu kebendaan, selanjutnya dari sisi pembeli, pembeli diwajibkan untuk membayar harga pembelian kebendaan tersebut, yang juga merupakan suatu bentuk perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini adalah uang yang telah ditentukan nilai mata uang dan jumlahnya, hal ini adalah juga sejalan dengan rumusan Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi:3“Suatu perjanjian harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang- kurangnya ditentukan jenisnya. Jumlah barang itu tidak perlu pasti, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Perjanjian jual beli hak atas tanah dan bangunan berbeda dengan perjanjian jual beli pada umumnya yang diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian jual beli hak atas tanah dan bangunan, memiliki pengaturan secara khusus dalam pelaksanaannya. Perjanjian jual beli hak atas tanah dan bangunan secara umum harus memenuhi ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata. Perjanjian jual beli dalam pengertian KUHPerdata adalah merupakan perjanjian bernama yang diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan 1540 KUHPerdata, yaitu perjanjian yang dikenal dengan nama tertentu dan mempunyai pengaturannya secara khususdalam
3 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, 2004. Jual Beli, PT.Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,Halaman 48.
Undang-Undang.4
Perjanjian jual beli, mensyaratkan 2 (dua) tahapan, yaitu tahap perjanjian jual beli bersifat obligatoir, perjanjian jual beli lahir dengan cukup adanya kesepakatan mengenai harga dan barangnya, tidak mensyaratkan mengenai waktu pembayaran dan penyerahannya. Kesepakatan dalam perjanjian jual beli sesuai dengan Pasal 1457 KUHPerdata adalah mengenai harga dan barang. Kesepakatan ini belum menyebabkan beralihnya hak atas objek perjanjian dari pihak penjual kepada pihak pembeli.5
Tahap berikutnya adalah penyerahan (levering) benda yang menjadi objek perjanjian. Kesepakatan ini belum menyebabkan beralihnya hak atas objek perjanjian dari pihak penjual kepada pihak pembeli. Peralihan hak baru terjadi menurut ketentuan Pasal 1458 KUHPerdata setelah dilakukan penyerahan atas objek perjanjian. Penyerahan dalam perjanjian menurut Hukum Perdata merupakan waktu berpindahnya hak milik atas kebendaan, dimana dikenal adanyapenyerahan nyata dan penyerahan hak milik secara yuridis (kepercayaan) seperti yang terjadi pada perjanjian kredit bank.66
Jual beli tanah, yang menjadi objeknya adalah sertifikat tanah. Jika tanah sudah bersertifikat, tidak ada masalah. Sebagai pembeli tinggal mengecek keabsahan sertifikat tanah itu di kantor BPN setempat. Jika tanah yang akan beli belum atau tidak bersertifikat, maka harus dicek
4 Xxxxxxx Xxxxxx, Hukum 2002. Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Bandung:Citra Xxxxxx Xxxxx, Halaman 14.
5 R.Subekti, 2011. Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, Halaman 38.
6 Ibid, Halaman 39
keberadaan status tanah tersebut ke Kantor Kepala Desa atau Kantor Kelurahan setempat. Setelah status tanah tersebut benar terdaftar dan ada bukti kepemilikannya, maka tanah tersebut dapat diminta surat keterangan Kepala Desa atau Kelurahan setempat.
Pasal 39 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dimana PPAT berhak menolak apabila tanah yang belum terdaftar ternyata tidak ada surat keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut belum besertifikat dari Kantor BPN atau untuk tanah yang letaknya jauh dari Kantor BPN, surat keterangan dari pemegang hak yang bersangkutan yang dikuatkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat.
Praktek jual beli tanah dalam masyarakat menjadi sebuah bukti pelaksanaaan sistem hukum, sistem terang tunai menunjukkan bahwa pembeli memberikanlangsung sejumlah uang untuk harga tanah yang telah disepakati dan disaat itu juga tanah beralih kepada pembeli. Tanah bersertifikat lebih dimudahkan pada transaksi jual beli karena pada akhirnya secara bersama sama antara penjual dan pembeli tinggal membalikkan nama pemilik awal terhadap pemilik baru.
Tanah yang tidak memiliki sertifikat biasanya terlebih dahulu mengurus sertifikat untuk selanjutnya melakukan penjualan, walaupun pada kenyataanya banyak dijual secara terang tunai yang oleh pembeli di sertifikatkan. Kenyataan yang terjadi ditengah tengah masyarakat tidak seluruhnya pembeli mampu membeli secara langsung sebagaimana terang tunai yang dimaksudkan diatas.
Perjanjian yang mana dituliskan secara jelas oleh kedua belah pihak untuk mengikat perbuatan jual beli yang dilakukan. Perjanjian yang dilakukan oleh pembeli dan penjual disebut Perjanjian Pengikat Jual Beli (PPJB). Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) merupakan salah satu wujud kebebasan berkontrak yang diberikan dan terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Pemahaman tentang pengertian perjanjian pengikatan jual beli dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan kata perjanjian dan pengikatan jual beli.
Selain xxxxx-xxxxx biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penadatanganan akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di pejabat pembuat akta tanah (PPAT) telah terpenuhi.7
Menurut R.Subekti perjanjian dimaknai sebagai, “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya, dimana para pihak dalam perjanjian itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.8 Pengikatan jual beli dipahami sebagai “suatu perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
7 Xxxx Xxxxxx Xxxxx dan Xxxx Xxxxxxxx, Perbedaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli LunasDengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tidak Lunas, Jurnal Akta, Vol. 4 No. 4 Desember 2017, Halaman. 633.
8 R. Subekti, 1986.Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Bandung: Alumni, Halaman 3.
dilaksanakannya jual beli, karena adanya unsur- unsur yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk dapat melakukan jual beli”.9
Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat diketahui bahwa perjanjian pengikatan jual beli dimaksudkan sebagai suatu perbuatan para pihak yang saling mengikatkan diri atau berjanji akan melakukan suatu perjanjian jual beli. Pada umumnya, suatu perjanjian pengikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak, sebelum perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak dilakukan.10
PPJB berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum, apabila hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli telah dilaksanakan seutuhnya. Pengikatan dimaksudkan sebagai perjanjian pendahuluan dari maksud utama atau tujuan akhir para pihak yaitu untuk melakukan peralihan hak melalui perjanjian jual beli. PPJB berakhir apabila para pihak telah melakukan perjanjian jual beli. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat diketahui bahwa perjanjian pengikatan jual beli secara umum berfungsi sebagai perjanjian awal atau perjanjian pendahuluan yang memberikan penegasan bagi para pihak untuk melakukan perjanjian pokok (perjanjian jual beli), serta menyelesaikan suatu hubungan hukum antara para pihak, apabila janji-janji yang telah
9 Xxxxxxx Xxxxxxx,2004. Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Mutlak, Majalah Renvoi, Jakarta,Edisi Tahun I, Halaman 57.
10 Xxxxxxx Xxxxxxx, 2009. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, PT.Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, Halaman 270.
disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut telah dilaksanakan seutuhnya.
Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendataran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997) menyatakan bahwa: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 tersebut sesungguhnya tidak menentukan mengenai sah atau tidaknya serta terjadinya suatu peralihan hak atas tanah, misalnya melalui jual beli, tetapi mengatur mengenai pendaftaran peralihan haknya. Artinya, bahwa mengenai sah atau tidaknya serta terjadinya suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah tidak tergantung dari ada atau tidak adanya akta PPAT tersebut, serta dilakukan dan/atau tidak dilakukan dihadapan PPAT.
Hal tersebut tampak dalam ketentuan Pasal 37 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan, bahwa: “Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik, dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar
pemindahan hak yang bersangkutan”.
Secara garis besar, beberapa tahapan proses jual beli di hadapan PPAT/Notaris, yaitu adanya pembayaran pajak penjual dan pajak pembeli, cek fisik asli sertifikat tanah, penandatanganan AJB, validasi, dan sebagainya. Akan tetapi, dikarenakan suatu hal, proses AJB tersebut terkendala misalnya salah satu pihak pada waktu tertentu tidak bisa hadir, atau status objek jual beli masih dijaminkan atau diagunkan di bank, atau objek jual beli masih proses pemecahan sertifikat, dan sebagainya. Oleh karena itu, PPAT/Notaris memberikan solusi yaitu membuat suatu perjanjian yang bersifat mengikat antara pembeli dan penjual, dalam hal ini dikenal dengan nama PPJB, yang mana pada prakteknya sering menimbulkan permasalahan, baik konflik yang bersumber dari pembeli, penjual, bahkan dari PPAT/Notaris, yang notabene PPJB ini merupakan perjanjian pendahuluan.11
Salah satu kota yang melakukan praktik PPJB yakni Kota Banda Aceh, dimana masyarakat lebih senang melakukan PPJB dikarenakan karena tidak adanya pembuatan sertifikat yang berulang-ulang dalam pemecahan sertifikat bangun hasil. Kasus yang terjadi di Kota Banda Aceh dengan Putusan Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Bna mengenai pembelian tanah, Bahwa setelah meninjau lokasi tanah dan melihat surat-suratnya, Penggugat pun tertarik dan setuju membeli 1 kaplingan tanah tersebut seharga yang ditawarkan. Penggugat kemudian membayar uang muka (DP) sebesar Rp
11 Alfiansyah, I Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, Urgency Hinding Sale Agreement Deed Of Land That Made By Notary, Jurnal Program Studi Magister Kenotariatan Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Halaman. 7.
80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) kepada Tergugat IV selaku kuasa dari Tergugat I, II dan III sebagiamana kwitansi tertanggal 22 April 2019. Sedangkan sisanya sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah) disepakati Penggugat dan Tergugat IV akan Penggugat bayar secara bertahap sebagaimana Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 25 April 2019 yang dibuat dihadapan Notaris.12
Bahwa karena Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibawah tangan tanggal 25 April 2019 adalah sifatnya masih “Perjanjian/Janji” bukan berbentuk “Akta Jual Beli” dan hubungan hukum dalam pengikatan jual beli tersebut adalah hanya sebatas antara Penggugat dan Tergugat IV sedangkan Tergugat I, II dan III sebagai pemilik sah objek jual beli tidak mengetahuinya, maka duduk perkara a quo adalah didasari pada peristiwa hukum Wanprestasi antara Penggugat dan Tergugat IV, sehingga keliru menurut hukum Penggugat mendalilkan perkara a quo adalah gugatan perbuatan melawan hukum sehingga atas dasar tersebut beralasan gugatan Penggugat tidak dapat diterima.13
Berdasarkan paparan latar belakang diatas maka peneliti memiliki ketertarikan melakukan penelitian dalam bentuk tesis dengan judul “Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat Oleh PPAT/Notaris Di Kota Banda”.
12 Putusan Pengadilan Xxxxxx Xxxxx Aceh Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Bna
13 Putusan Pengadilan Xxxxxx Xxxxx Aceh Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Bna
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka yang menjadipermasalahan pokok dalam penulisan tesis ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertipikat di kota Banda Aceh?
2. Bagaimanakah kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli tanah yangbelum bersertipikat di kota Banda Aceh?
3. Bagaimana perlindungan hukum atas pengikatan perjanjian jual beli atas tanah yang belum bersertipikat di Kota Banda Aceh?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian dalam tesis ini adalah:
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum perjanjian pengikatan jual beli atastanah yang belum bersertipikat di kota Banda Aceh.
2. Untuk mengetahui kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli tanahyang belum bersertifikat di kota Banda Aceh.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum atas pengikatan perjanjian jual beli atas tanah yang belum bersertipikat di Kota Banda Aceh.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat untuk
menambah pengetahuan di bidang hukum khususnya mengenai kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertifikat di Banda Aceh.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Strata 2 (S2) pada Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utaraserta menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertifikat di Banda Aceh.
b. Bagi Masyarakat yaitu memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat mengenai kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertifikat di Banda Aceh.
c. Bagi Kalangan Akademis yaitu menambah ilmu pengetahuan dan sumber referensi dalam hukum perdata agraria.
d. Memberikan informasi sekaligus masukan atau jalan keluar mengenai masalah-masalah yang timbul dalam kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertifikatdi Banda Aceh.
e. Dapat digunakan sebagai pedoman bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan khususnya di Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara dan dibeberapa pustaka lain, penelitian dengan judul “Kekuatan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli Atas Tanah Yang Belum Bersertifikat Di Banda Aceh” memiliki kemiripan dengan beberapa judul penelitian yang sudah pernah dilakukan sebelumnya, antara lain yaitu:
1. Tesis atas nama I Made Xxxx Xxxxxxxx, NIM 1604552215, dengan judul Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Dalam Transaksi Peralihan Hak Atas TanahDan/Atau Bangunan. Fakultas Hukum Universitas Udayana, Tahun 2016. Adapun yang menjadi pembahasan dalam penelitian tersebut, Metode penulisan ini adalah penulisan bersifat deskriptif-analistis dan metode penelitian menggunakan Metode Penelitian Normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu berorientasi pada data yang bersumber dari literatur maupun sejenisnya terkait penyusunan karya ilmiah ini. Dalam karya ilmiah ini, nantinya bertujuan supaya dapat diketahui kekuatan hukum dan perlindungan hukum dari adanya PPJB tersebut, sebagai perjanjian pendahuluan untuk menuju AJB.
2. Tesis atas nama Xxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxxxx, NIM157011052, dengan judul Analisis Xxxxxxx Xxxxxxx Izin Peralihan Hak Atas Tanah Sebelum Pembuatan Akta PPAT Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997 (Studi di
Kabupaten Asahan), Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2018. Hasil dari penelitian tesis ini, bahwa dalam pelaksanaan pemberian izin peralihan hak atas tanah khususnya tanah pertanian di Kabupaten Asahan mempunyai prosedur dan aturan yang harus dipenuhi dalam proses peralihan hak atas tanah pertanian. Adanya keharusan izin yang harus diperoleh dalam proses peralihan hak atas tanah pertanian tersebut dalam pelaksanaannya masih ada ditemukan kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai pentingnya izin tersebut baik dari pihak masyarakat maupun PPAT sehingga itu menjadi hambatan yang dianggap mempersulit oleh masyarakat. Pentingnya izin dalam peralihan hak atas tanah pertanian untuk menjaga pengalihfungsian tanah pertanian yang semakin lama semakin berkurang sehingga harus diatur secara khusus dan untuk mengantisipasi peralihan hak atas tanah pertanian sehingga tidak jatuh pada satu orang yang berlebihan dari yang diperlukan demikian pula tanah pertanian tidak jatuh pada orang lain yang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan.
3. Tesis atas nama Xxxx Xxxxxxxxx, NIM 157011234, dengan judul Kepastian Hukum Akta Pejanjian Jual Beli Yang Objeknya Diagunkan di Bank, Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2017. Tesis ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris yang bersifat deksriptif analitis, dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum
primer, sekunder, dan tersier. Analisis terhadap data-data tersebut dilakukan secara kualitatif dan ditarik kesimpulan dengan menggunakan kerangka berfikir deduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwasanya akta perjanjian jual beli yang objeknya diagunkan di bank batal demi hukum karena tidak memenuhi nya syarat obyektif didalam pasal 1320 KUHPerdata yakni: ayat (3) dan
(4) serta melanggar ketentuan UU Nomor 4 Tahun 1996, Pasal 11 ayat (2) huruf g tentang Hak Tanggungan. Dan didalam perjanjian jual beli yang objeknya diagunkan dibank notaris sebagai pejabat umum harus berpegang teguh kepada kode etik jabatan notaris. Berdasarkan pasal 15 ayat (2) huruf E Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014, untuk memberikan penyuluhan hukum kepada para pihak terhadap akta yang dibuatnya. Serta memberikan perlindungan hukum kepada pembeli sebagai pihak yang dirugikan dengan cara terlebih dahulu memeriksa keberadaan bukti kepemilikan hak atas tanah atau bangunan yang menjadi obyek perjanjian, juga memberikan perlindungan hukum secara represif dan preventif kepada pembeli.
4. Penelitian dengan judul “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Dihadapan PPAT” yang ditulis Xxxx Xxxx Xxxxx Utama, I Xxxxxx Xxxxxxxxx, Ni Xxxxx Xxxxx Xxx Astiti Fakultas Hukum, Universitas Warmadewa di jurnal Preferensi Hukum. Bagi kehidupan manusia, tanah
mempunyai peranan yang penting karena terdapat hubungan langsung antar manusia dengan tanah. Tanah merupakan modal utama dan terbesar dari Indonesia. Permasalahan dari penelitian ini adalah 1) Apakah dasar dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah oleh para pihak? 2) Apakah PPAT berwenang membuat akta jual beli hak atas tanah berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak? Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif dengan studi kepustakaan dari bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Perjanjian Pengikatan Jual Beli dibuat oleh para pihak karena perjanjian yang mengikat penjual kepada pembeli agar tidak menawarkan objek yang diperjualbelikan kepada pembeli lainnya, serta harga objek yang diperjualbelikan sudah pasti harganya dan tidak ada kenaikan harga. 2) Pejabat Pembuat Akta Tanah memiliki wewenang dalam membuat akta jual beli hak atas tanah berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli oleh para pihak itu tercantum dalam pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Dalam hal ini diharapkan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam membuat akta jual beli sesuai dengan Undang – Undang yang berlaku.
5. Peneltian dengan judul “Analisis Wewenang Notaris Dalam Pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Milik Atas
Tanah Di Kota Makassar” yang ditulis oleh Sry Wahyuni di Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana, Universitas Bosowa. Penelitian ini ditujukan untuk menganalisis kewenangan notaris dalam membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli dan menganalisis perlindungan hukum terhadap para pihak Atas akta Notaris dalam perjanjian pengikatan jual beli hak milik atas tanah di Kota Makassar. Penelitian ini adalah penelitan hukum empiris yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Penelitian ini menjawab masalah yakni wewenang Notaris dalam pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanah yang ada di Kota Makassar merupakan kewenangan yang melekat pada Notaris untuk membuat akta mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan Perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Autentik termasuk perjanjian pengikatan jual beli dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli dapat digunakan sebagai bentuk perlindungan hukum bagi para pihak yang termuat dalam perjanjian tersebut dan dapat menjadi salah satu alat bukti jika suatu saat terjadi perselisihan antara para pihak karena akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli diakui sebagai alat bukti yang sah dan akurat bagi para pihak yang melakukan transaksi perjanjian jual beli sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang bahwa akta autentik digunakan sebagai alat bukti dengan pembuktian sempurna
dihadapan hukum.
6. Judul penelitian “Tanggung Jawab Notaris Dalam Sengketa Para Pihak Terkait Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Dibuatnya” yang ditulis oleh Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx di Program Magister Kenotariatan, Universitas Andalas. Notaris sebagai pejabat umum yang ditunjuk oleh Pemerintah yang memiliki kewenangan (bevoegdheid) dan tanggung jawab yang apabila dikaji secara komprehensif, berpotensi dikenai tuntutan administratif, perdata hingga pidana saat terjadi sengketa terkait akta yang dibuatnya. Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah;
1) Bagaimana Kedudukan Hukum Notaris dan Para Pihak dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli? 2) Bagaimana tanggungjawab para pihak atas kesepakatan dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuat dihadapan notaris? 3) Bagaimana Bentuk Pertanggungjawaban Notaris dalam sengketa Para Pihak terkait Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang dibuatnya ? Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dangan pendekatan undang- undang (statute approach). Data yang digunakan adalah data sekunder yang berupa; bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa notaris bertanggungjawab secara administratif, perdata dan pidana terhadap akta serta proses terbentuknya akta itu sendiri, sehingga notaris perlu melaksanakan suatu kebijakan yang berlandaskan peraturan agar dirinya, akta yang
dibuatnya serta para pihak dapat terlindungi secara hukum.
7. Judul penelitian “Kepastian Hukum Pengenaan Pajak Penghasilan Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertipikat” yang tulis oleh Made Xxxxx Xxxxxxxxx di Fakultas Hukum, Universitas Jember, Indonesia. Rumusan masalah yang digunakan yaitu, apakah pembayaran pajak oleh pihak penjual dalam pembayaran pajak penghasilan atas jual beli tanah yang belum bersertipikat sudah memenuhi prinsip kepastian hukum. metode yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan Dalam permohonan hak baru atas tanah dan/atau banguna yang belum bersertipikat yang dialihkan setelah bersertipikat, pengenaan PPh F PHTB tidak memenuhi aspek keadilan karena akan terjadi pengenaan PPh F BPHTB berkali-kali atas subjek yang sama dan atas objek yang sama, sedangkan pengenaan BPHTB telah memenuhi aspek keadilan, karena pengenaan BPHTB kepada pemohon didasarkan pada perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dari negara, dan pengenaan BPHTB kepada pembeli didasarkan pada perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan dari pemohon hak baru selaku penjual.
Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian- penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Hasil dari penelitian diatas membedakan penelitian ini dengan penelitian terdahulu. Dengan demikian penelitian ini
adalah asli baik dari segi substansi maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.
F. KERANGKA PIKIR
1. Kerangka Teoritis
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.14 Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.15 Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pikiran atau butir- butir pendapat teori, tesis sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berfikir dalam penulisan.16 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.17 Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.
Teori bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa terjadi
14 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1982. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas IndonesiaPress, Halaman 6.
15 11JJ. M. Wuisman, 1996. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asas-Asas, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Halaman 203.
16 X. Xxxxx Xxxxx, 1994. Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Xxxxxx Xxxxx, Halaman 80.
17 13Lexy J. Xxxxxxx, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, Halaman 3
gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Teori bukanlah pengetahuan yang sudah pasti,tetapi harus dianggap sebagai petunjuk untuk analisis dari hasil penelitian yang dilakukan. Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya menundukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori merupakan suatu penjelasan yang berupaya menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.18
Pada dasarnya teori yang berkenaan dengan judul di atas adalah teori yang berkenaan dengan kepastian hukum oleh Xxxxxx Xxxxx. Kepastian hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta teori kemanfaatan hukum, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat, karena adanya tertib hukum (rechtsorde). Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umumitu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.19
Tugas pokok hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, sebab
18 Xxxxx Xxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif danEmpiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, Halaman 134.
19 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2008. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Kencana Pranada MediaGroup, Halaman 158.
ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur, hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya, oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tidak akan mungkin dipisah-pisahkan.20
Menurut Xxxxxxxxx, tugas teori hukum adalah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu filsafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.21
Sistem merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian- bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain, yaitu kaedah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum perupakan sistem normatif. Dengan kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur- unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama kearah tujuan kesatuan.22
Suatu sistem adalah kumpulan asas-asas yang terpadu, yang merupkan landasan, dimana dibangun tertib hukum. Berdasarkan teori sistem ini, dapatdirumuskan bahwa sistem hukum lelang, jaminan fidusia dan leasing adalah merupakan kumpulan asas-asas hukum yang merupakan landasan,
20 X. Xxxxx Xxxxxxx, 2006. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata,Jakarta: Sinar Grafika, Halaman 122.
21 X.Xxxx Xxxxxxxx, Meuwissen, 2007. Tentang Pengembanan Hukum,Ilmu Hukum, TeoriHukum, Dan Filsafat Hukum, Bandung : PT, Xxxxxx Xxxxxxx, Halaman 31.
22 Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, 2007. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta : Liberty, Halaman 18.
tempat berpijak di atas mana hukum itu. Jadi dengan adanya ikatan asas- asas hukum tersebut, berarti hukum lelang, jaminan fidusia dan leasing merupakan suatu sistem hukum. Landasan teoritis akan memuat teori, konsep, serta asas-asas yang digunakan menganalisis permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini, adapun teorinya yaitu:
a. Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum berarti dapat ditentukan hukum apa yang berlaku untuk masalah-masalah yang konkret dan kedua, kepastian hukumberarti perlindungan hukum. Oleh Roscue Xxxxx bahwa adanya kepastian hukum memungkinkan adanya “Predictability” yang artinya terukur dan dapat diperhitungkan.23 Menurut E. Utrecht bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerhaid) dalam pergaulan manusia.24 Dengan adanya pemahaman kaidah-kaidah hukum tersebut, masyarakat sungguh-sungguh menyadari bahwakehidupan bersama akan tertib apabila terwujud kepastian dalam hubungan antara sesama manusia.25 Tanpa kepastian hukum orangtidak tahu apa yang diperbuatnya sehingga akhirnya timbul kesalahan. Tetapi jika terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum dan ketat menaati peraturan hukum maka akibatnya akan kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Adapun yang terjadi peraturannya tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan secara ketat,lex dura sad tamenscripta (undang- undang itu
23 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2009. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Kencana PrenadaMedia Group, Halaman 158.
24 Xxxx Xxxxxx, 2012. Ilmu Hukum,Medan : Pustaka Bangsa Press, Halaman 34.
25 Xxxxxxxxx, 1995. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, Halaman 49-50.
kejam, tetapi memang demikian bunyinya).26 Kepastian hukum meliputi unsur kepastian hak, kepastian subjek dan kepastian objek. Lahirnya kepastian terhadap unsur- unsur tersebut berkaitan erat dengan efektifitas pelaksanaan sistem hukum pertanahan dalam masyarakat.27 Sehubungan dengan pemberian kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah, baik mengenai subyek maupun obyeknya, maka pemerintah mengharuskan dilakukan pengumuman mengenai hak-hak atas tanah.28 Teori kepastian hukum ini sesuai dengan tujuan dari pendaftaran tanah yaitu untuk suatu kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah. Sedangkan Xxx Xxxx mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat.29
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Xxx
M. Xxxx sebagaimana dikutip oleh Xxxxxxxx, yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu masyaratkan sebagai berikut:
1) “Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
26 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, 1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty,Halaman 136.
27 Xxxxxxx Xxxxx, 2008. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta:Penerbit Republka, Halaman 8.
28 Xxxxxx Xxxxxxxx, 2003. Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya: Arkola Surabaya, Halaman 78.
29 C. S. T. Kansil, 2002. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,
Jakarta:Balai Pustaka, Halaman 44.
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilakunya terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan”.30
Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bias dijawab secara normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis. “Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian tidak menimbulkan keraguan-raguan (multi- tafsir) dan logis dalam arti menjadi sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian”.31 Kepastian hukum merupakan suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu, kelompok maupun organisasi terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum.
30 Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Xxxxxx Xxxxxxx, Bandung, Halaman. 85.
31 Xxx Xxxxxxx Xxxx, 2003, Kepastian Hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Xxxxxxx Xxxxxxxx, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, Halaman. 25.
Xxx Xxxxxx dalam bukunya the Morality of Law mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. “Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesat untuk hal-hal tertentu;
b. Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
c. Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
d. Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
e. Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
f. Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
g. Tidak boleh sering diubah-ubah;
h. Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari- hari”.32
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. “Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif”.
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat,
32 Lon L. Xxxxxx, 1964, The Morality of Law, Yale University Press, New Haven, Halaman. 31.
baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.33
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxx, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut :34
1) “Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
2) Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
3) Asas kemanfaatan hukum zwechmatigheid atau doelmatigheid
atau utility”.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme, “lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa, summon ius, summa injuria, summa lex, summa crux yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum
33 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, Halaman
158.
34 Dwika, “Keadilan dari Dimensi Sistem Hukum”, xxxx://xxxxx.xxxxxxxxxx.xxx.,
diakses pada tanggal 21 Agustus 2022
satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah keadilan”.35
Menurut Utrecht, “kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu”.36
Kepastian hukum ini berasal dari ajaran yuridis-dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tidak lain hanya kumpulan aturan.37 “Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian”.
Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus
35 Dosminikus Rato, 2010, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo, Yogyakarta, Halaman 59.
36 Xxxxxx Xxxxxxxx, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, Halaman 23.
37 Xxxxxx Xxx, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Penerbit Toko Gunung Agung, Jakarta, Halaman. 82-83.
diperhatikan, yaitu: “kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proposional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut. Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku dan akan menimbulkan rasa tidak adil”.
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan yang baik dan jelas dalam suatu Undang-Undang dan akan jelas pula penerapanya.
Dengan kata lain kepastian hukum itu berarti tepat hukumnya, “subjeknya dan objeknya serta ancaman hukumanya. Akan tetapi kepastian hukum mungkin sebaiknya tidak dianggap sebagai elemen yang mutlak ada setiap saat, tapi sarana yang digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi. Jika
dikaitkan dengan kepastian hukum dalam bidang hukum pertanahan maka sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, peraturan pelaksanaanya akan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lain”.
Adapun tujuan pokok dari Undang-Undang Pokok Agraria adalah :
1) “Untuk meletakan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional.
2) Menjadi dasar dalam mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3) Menjadi dasar dalam mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Artinya kepastian hukum dalam bidang hukum pertanahan adalah para pemegang hak harus memperoleh kepastian mengenai haknya dan adanya instruksi yang jelas bagi pemerintah. “Hal ini diwujudkan dengan penyelenggaraan pendaftaran tanah yang bersifat recht-kadaster, sehingga dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum.38 Dengan demikian oleh karena itu bahwa dengan terkaitnya dari beberapa kajian teori di atas untuk memperjelaskan dari kaitannya dengan judul tesis yang penulis angkat dengan diperjelaskan dikarenakan Pelepasan hak atas tanah dilaksanakan apabila subyek yang memerlukan tanah tidak memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak atas tanah yang diperlukan sehingga tidak dapat
38 Xxxxxxx Xxxxxxxx Xxxx, 2014, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum, Upaya Hukum Masyarakat yang Terkena Pembebasan dan Pencabutan Hak, Jala Permata Aksara, Jakarta, Halaman 20-21.
diperoleh dengan hak atas tanah dan pemegang hak atas tanah bersedia untuk melepaskan hak atas tanahnya”. Pelepasan tanah ini hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan kesepakatan dari pihak pemegang hak baik mengenai teknik pelaksanaannya maupun mengenai besar dan bentuk kerugian yang akan diberikan terhadap tanahnya. Dengan adanya pelepasan hak, maka tanah yang bersangkutan menjadi tanah negara.
Dengan demikian kepastian hukum mengandung dua pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan Pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum maka individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap Individu. Dalam penelitian ini teori kepastian hukum diperlukan agar masyarakat mendapatkan kepastian hukum dalam kepemilikan tanah baik itu tanah yang dimiliki dari proses peralihan hak atas tanah ataupun tidak. Karenanya untuk mendapatkan kepastian hukum masyarakat haruslah mengetahui ketentuan hukum dan pelaksanaan pemberian izin peralihan hak atas tanah yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Peranan notaris dalam hal ini adalah memberikan pelayanan kepada masyarakat, untuk menciptakan suatu alat bukti autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, membebaskan atau menyadarkan anggota masyarakat dari penipuan atau iktikad tidak baik dari orang-orang tertentu dan untuk menjamin hak dan kewajiban para
pihak yang berkepentingan, dengan demikian antara notaris dan para pihak yang membutuhkan jasa notaris harus memiliki integritas dan moralitas yang tinggi demi terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi semua pengguna jasa notaris.39
b. Teori Perjanjian
Subekti mengatakan melalui pendapatnya perikatan merupakan suatu bentuk hubungan dalam lingkup hukum yang melibatkan duaorang atau dua pihak yang saling berhubungan, dimana masing-masing pihak memiliki kewajiban yang harus dipenuhi. Masing-masing pihak memiliki kewajiban antara lain ada pihak yang menuntut dan ada pihak yang harus berkewajiban memenuhi tuntutan yang dilayangkan pihak lain. Perjanjian tidak jauh beda dengan perikatan karena istilah tersebut memang sama. Perjanjian menurut Subekti adalah seseorang yang berjanji kepada orang lain, janji yang dilakukan dua orang tersebut bertujuan untuk melakukan sesuatu.40
Pendapat Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx tidak jauh berbeda dengan pendapat Subekti. Perikatan merupakan keadaan atau perisitiwa hukum yang dilakukan antara orang satu dengan orang lain untuk mengadakan suatu hubungan hukum. Pada intinya Perjanjian atau perikatan merupakan suatu perjanjian yang dilakukan antara kedua belah pihak dimana
39 Xxxxxx Xxxxx, Xxx Xxxxxx & Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Hak Waris Yang Mengalami Degradasi Nilai Pembuktian (Studi Putusan PN Cianjur No. 259/PID.B/2015/PN.CJR), Journal of Education, Humaniora and Social Sciences (JEHSS), Vol 4, No. 4, Mei 2022, Halaman. 2405-2415.
40 Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2017.Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportentertaiment BerbasisNilai Keadilan, Jurnal Pembaharuan Hukum. Vol. 4. No. 1. Halaman 66.
menimbulkan kata sepakat dan menimbulkan sbuat akibat hukum.41
Pasal 1313 KUHPerdata menjelaskan bahwa“Suatu perjanjian (persetujuan) adalah suatu perbuatan dengan nama satu orang, atau lebihmengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.42 Maksud dari pasal diatas adalah bahwa sebuah persetujuan merupakan suatu perbuatan dilakukan oleh satu orang dengan orang lain atau lebih dan mengikatkan dirinya kepada orang lain.
Selain pasal diatas juga terapat Pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur perjanjian, bahwasannya:43“Semua persetujuan yang dibuat sesuai deengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujan ini tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan- alasan yang ditentukan undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik“. Artinya suatu perjanjian harus didasari dengan itikad baik. Asas Konsensualitas yang dijelaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata memberikan pengertian bahwa suatu perjanjian harus dilaksanakan atas dasar kesepakatan antara kedua belah pihak. Tanpa adanya kesepakatan antara kedua belah pihak tidak akan terjadi sebuah perjanjian, karena dalam perjanjian tidak boleh ada yang dirugikan. Terdapat pihak yang menuntut hak, dan juga terdapat pihak yang harus memenuhi
41 Ibid.
42 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313.
43 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338.
tuntutantersebut.44
Syarat sahnya perjanjian juga telah diatur pula dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Terdapat syarat subyektif dan syarat obyektif sebagai syarat sahnya perjanjian.45
1) Syarat Subyektif:
a) Sepakat (Pasal1321-1328)
Kata sepakat harus timbul dari hati nurani setiap pihak yang melakukan perjanjian tanpa ada suatu paksaan apapun dari pihak lain. Perjanjian dianggap cacat apabila mengandung paksaan atau intimidasi, mengandung penipuan yang timbul dari sebuah kejahatan tipu muslihat serta mengandung kekhilafan atau kekeliruan terhdap obyek maupun subyek perjanjian atau biasa disebut error in persona. Kesepakatan yang telah terjadi karena adanya paksaan dan hal hal lain yang disebutkan diatas bisa dibatalkan.46
b) Cakap (Pasal 1329-1331)
Kata cakap adalah seseorang yang dianggap mampu melakukan perjanjian. Pihak yang dianggap cakap merupakan pihak yang telah dewasa usianya yaitu usia 21 tahun, apabila di usia dibawah 21 tahun telah menikah maka telah dianggap cakap melakukan sebuah perjanjian, pihak yang tidak
44 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit, Halaman 66.
45 Xxxxxxx Xxxxxxxx, Op. Cit, Halaman 69-70.
46 Ibid.
terganggu jiwanya serta orang berada dibawah pengampunan.
2) Syarat Obyektif:
a) Suatu hal tertentu (Pasal1332-1334)
Suatu hal tertentu menyebutkan bahwa sebuah perjanjian harus terdapat objek yang diperjanjikan. Objek tersebut berupa barang yang dapatdiperdagangkan. Barang-barang yang menjadi obyek merupakn barang yang tidak dilarang dalam Undang- undang. Apabila tidak terdapat objek dalam sebuah perjanjian makan perjanjian tersebut batal demi hukum.
b) Suatu sebab atau kuasa yang halal (Pasal 1335-1337) Sahnya kausa yang halal merupakan persetujuan yang telah ditentukan dalam sebuah perjanjian. Apabila obyek yang ada dalam sebuah perjanjian adalah illegal dan bertentangan dengan norma- norma yang ada, bertentangan dengan kesusilan, dan bertengan dengan Undang-undang maka perjanjian tersebut batal demi hukum.47
Mengenai batasan tersebut para sarjana hukum perdata pada umumnya berpendapat bahwa definisi atau batasan atau juga dapat disebut rumusan perjanjian yang terdapat dalam ketentuan Pasal
47 Ibid
1313 KUH Perdata kurang lengkap dan bahkan dikatakan terlalu luas sehingga banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan tersebut antara lain:
a) Hanya menyangkut sepihak saja
Di sini dapat diketahui dari rumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata mengikatkan merupakan kata kerja yang sifatnya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedangkan dari maksud perjanjian itu mengikatkan diri dari dua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya perumusan mengikatkan diri. Jadi Nampak adanya kosensus/ kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
1) Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan.
Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan :
a. Melaksanakan tugas tanpa kuasa.
b. Perbuatan melawan hukum.
Dari kedua hal tersebut di atas merupakan tindakan/perbuatan yang mengandung adanya konsensus. Juga perbuatan itu sendiri pengertiannya sangat luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah hukum.
b) Pengertian perjanjian terlalu luas
Untuk pengertian perjanjian di sini dapat diartikan juga
pengertian perjanjian yang mencakup melangsungkan perkawinan, xxxxx xxxxx. Padahal perkawinan sendiri sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga, yang menyangkut hubungan lahir batin. Sedangkan yang dimaksudkan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata adalah hubungan antara debitur dan kreditur terletak dalam lapangan kekayaan saja selebihnya tidak. Jadi yang dimaksudkan perjanjian kebendaan saja bukan perjanjian personal.
c) Tanpa menyebut persetujuan
Dalam rumusan Pasal tersebut tidak disebutkan apa tujuan untuk mengadakan perjanjian sehingga pihak-pihak mengikatkan dirinya itu tidaklah jelas maksudnya untuk apa
Sehubungan dengan hal itu, R. Setiawan mengemukakan pendapatnya, mengenai kelemahan, dari Pasal 1313 KUH Pedata, yang mengatakan bahwa :48
Perlu diadakannya perbaikan, mengenai definisi tersebut, yaitu :
(1) Perbuatan yang harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbutan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
(2) Menambahkan perikatan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313.
Sehingga perumusannya menjadi: “persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum, antara dua orang tersebut, yang dinamakan dengan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
48 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta, 1999, hlm 23
suatu perjanjian antara dua orang yang membuatnya. Definisi perikatan tidak ada dirumuskan dalam undang-undang, tetapi dirumuskan sedemikian rupa dalam ilmu pengetahuan hukum. Perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitur), berkewajiban memenuhi prestasi.
c. Teori Perlindungan hukum
Sistem pemerintahan negara sebagaimana yangtelah dicantumkan dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, diantaranya menyatakan prinsip, “Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum(rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar)”. “Unsur utama negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan fundamental rights tentang fundamental / hak asasi manusia. Tujuan dari perlindungan hukum adalah untuk melindungi hak asasi manusia yang dilanggar oleh orang lain, dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat untuk menikmati semua hak yang diberikan oleh undang- undang”.49
Dalam konteks Ilmu Hukum, teori perlindungan hukum sering dimaknai sebagai suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik fisik
49M. Xxxxx Xxxxxxx, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm.76.
maupun mental, kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun yang diberikan pada proses litigasi dan/atau non litigasi. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain, pada setiap hubungan hukum tentu menimbulkan hak dan kewajiban, selain itu masing-masing anggota masyarakat tentu mempunyai hubungan kepentingan yang berbeda-beda dan saling berhadapan atau berlawanan, dan untuk mengurangi ketegangan dan konflik maka dibutuhkan adanya hukum yang mengatur dan melindungi kepentingan tersebut yang dinamakan perlindungan hukum. Dengan demikian, setiap produk hukum termasuk perjanjian berkewajiban memberikan rasa nyaman kepada semua pihak yang terkait dengan produk hukum bersangkutan.50
Menurut Xxxxxxxxxx dikutip dari Xxxxxxxx Xxxxxxx bahwa, “perlindungan hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan. Perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak”.51
50 Xxx Xxxxxx Machini Yasa, Eksekusi Objek Jaminan Kendaraan Bermotor Dalam Perjanjian Pembiayaan Non Bank Yang Tidak Didaftarkan Jaminan Fidusia, Denpasar : Tesis, 2014, Halaman 32.
51Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Xxxxxx Xxxxxx, Bandung, 2000, hlm. 53.
Fungsi dari perlindungan hukum menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx bahwa, “fungsi hukuum dan perlindungan hukum, sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia dapat terlindungi. Dalam mencapai tujuannya hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antara perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum”.52
Perlindungan hukum harus melalui tahapan yaitu, “perlindungan hukum yang dihasilkan dari ketentuan hukum dan semua ketentuan hukum yang diberikan oleh masyarakat. Ini pada dasarnya adalah kesepakatan komunitas yang mengatur hubungan perilaku antar anggota masyarakat, serta antara individu dan pemerintah yang diyakini mewakili kepentingan masyarakat”.53
Teori Perlindungan hukum menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx pada dasarnya merupakan perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum. Selanjutnya, Soekanto menerangkan bahwa selain peran penegak hukum, ada
52Sudikno Mertokusumo, Perlindungan Hukum Bagi rakyat Indonesia, PT.Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm.2.
53Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000, hlm. 54
lima lain yang mempengaruhi proses penegakan hukum dan perlindungannya sebagaiberikut:
1. Faktor undang-undang, yakni peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa yang sah.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam penegakan hukum, baik langsung dan tidak langsung.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, seperti sumber daya manusia yang terampil atau alat- alat yang memadai.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan tempat hukum berlaku danditerapkan. Penerimaan dalam masyarakat akan hukum yangberlaku diyakini sebagai kunci kedamaian.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.
Setiap perjanjian atau kontrak idealnya harus memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. Namun, nyatanya tidak selalu demikian, kadang-kadang ada pihak yang dirugikan. Terkait hal itu, maka perlu adanya perlindungan hukum sebagai antisipasinya. Perlindungan hukum merupakan suatu usaha memberikan hak-hak kepada pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Jika dikaitkan dengan dunia perbankan, wujud perlindungan bagi pihak bank maupun debitur tertuang dalam bentuk perjanjian kredit. Dalam perjanjian yang
dibuat antara bank dengan debitur, pada substansinya akan berisi hak dan kewajiban masing- masing para pihak. Terhadap isi perjanjian tersebut, para pihak harus menjalankan atau mentaati dengan sebaik-baiknya.
Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum yang diinginkan oleh manusia adalah terwujudnya ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meski pada umumnya yang sering terjadi dalam praktek ketiga nilai-nilai dasar tersebut sering bersitegang, tetapi harus diupayakan ketiga nilai dasar tersebut bersamaan.54
Perlindungan hukum yang preventatife merupakan perlindungan hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitife. Sehingga perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan besar artinya bagi tindak pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak.55
Perlindungan hukum yang sifat represif berfungsi untuk
54 Xxx Xxxxxxx, Perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual Terhadap Pengrajin Kerajinan Tangan, DE LEGA LATA Jurnal Ilmu Hukum Fakultas Hukum UMSU, Volume 5 Nomor 1, Januari-Juni 2020, Halaman. 37-50
55 Xxxxx X.X. xxx Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis Dan Disertasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta 2016, hlm 264
menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi dua badan yaitu sebagai berikut:56
1. Pengadilan dalam lingkup peradilan umum
2. Instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi.
Xxxxxxxxxx mengutip istilah teori perlindungan hukum dari Xxxxxxx bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan, yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang
56 Suciati, “Perlindungan Hukum Terhadap Petani Dalam Menggapai Negara Kesejahteraan (Welfare State)”, Jurnal Moral Kemasyarakatan, Vol.1, No. 2, Desember 2016, hlm. 152
dianggap mewakili kepentingan masyarakat.57
2. Kerangka Konseptual
Konsep berasal dari bahasa latin, conceptus yang memilki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.58 Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori konsepsi yang di terjemahkan sebagai suatu usaha membawa suatu dari abstrak menjadi suatu yang kongkrit yang disebut dengan Operational definition.59
Kerangka konseptual merupakan abstrak dari kerangka teoritis. Kerangka konsep pada hakikatnya adalah mengenai definisi operasional mulai dari judul sampai dengan masalah yang diteliti.60 Kerangka konseptual dalam sebuah penelitian harus jelas. Ketidak jelasan konsep dalam sebuah penelitian akan menimbulkan pengertian atau persepsi yang berbeda dengan yang dimaksud oleh peneliti. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. Konsepsional merupakan defenisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional terdiri dari variabel-variabel yang ingin menentukan
57 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Ilmu Hukum , Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2000, hlm 53
58 Xxxxxxxxxx Xxx Xxxx Xxxxxxxxxx, 2000.Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, Halaman 122.
59 Xxxxx Xxxxx, 2000. Penemu Agama Dalam Indeonsia, Universitas Trisakti,Jakarta, Halaman 15.
60 Ediwarman, 2016, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Panduan Penulisan Skripsi, Tesis, dan Disertasi, Yogyakarta, Cetakan ketiga, Genta Publishing, halaman 66.
adanyahubungan empiris.61
Konsep penelitian merupakan suatu kesatuan pengertian tentang suatu ha1 atau persoalan yang perlu dirumuskan. Dalam merumuskan suatu pengertian kita harus dapat menjelaskan sesuai dengan maksud peneliti dalam memakainya.
Untuk mempermudah alur berfikir dari penelitian ini, maka dapat dilihat dari kerangka konseptual dibawah ini yang mana setiap variable pada kerangka pemikiran meimiliki fungsi masing-masing dalam menciptakan hukum. Kerangka konseptual diharapkan akan memeberikan gambaran dan mengarahkan asumsi mengenai domain yang diteliti. Kerangka konseptual memberikan petunjuk kepada peneliti di dalam merumuskan masalah penelitian.
Pengertian-pengertian konsep yang dipakai dalam penelitian ini perlu diuraikan agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep- konsep yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari perumusan Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian dalam pasal tersebut adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan (verbintenisscheppende overeenkomst) atau
61 Xxxxxxxxxxxxxxxx, 1980, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Cet. III, Gramedia: Jakarta, halaman 21.
perjanjian yang obligatoir.62
Sedangkan pengertian Perjanjian dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) diatur dalam Pasal 1313 yaitu : suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana 1 (satu) orang atau lebih mengikatkan diri terhadap 1 (satu) orang lain atau lebih.63
Dari definisi perjanjian yang diterangkan di atas terlihat bahwa suatu perjanjian merupakan suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji atau kesanggupan oleh para pihak, baik secara lisan maupun secara tertulis untuk melakukan sesuatu atau menimbulkan akibat hokum.
Syarat sahnya suatu atau sebuah perjanjian terdapat dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), yang berbunyi : untuk sahnya sebuah perjanjian diperlukan empat syarat : Sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.64
Keempat syarat tersebut merupakan syarat yang mutlak yang harus ada atau dipenuhi dari suatu perjanjian, tanpa syarat-syarat tersebut maka perjanjian dianggap tidak pernah ada. Kedua syarat yang pertama yaitu kesepakatan para pihak dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan dinamakan syarat subyektif karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian,
62 J. Satrio, 2001. Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, CetakanKedua, Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, Halaman 11.
63 R.Subekti dan R. Tjitrosoedibio, 1980, Kamus Hukum, Jakarta : PT Xxxxxxx Xxxxxxxx, Halaman 338.
64 Ibid, Halaman. 339
sedangkan dua syarat yang terakhir yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal, dinamakan syarat obyektif dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi salah satu atau keduanya, maka perjanjian dapat dituntut pembatalannya. Dalam arti, bahwa salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang menuntut pembatalan tersebut, adalah salah satu pihak vang dirugikan atau pihak yang tidak cakap.
b. Pengertian Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Pengikatan adalah tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, maupun karena undang-undang, yang dapat ditafsirkan bahwa perikatan lahir karena perjanjian atau undang-undang, dengan kata lain undang-undang dan perjanjian adalah sumber perikatan.65
Sedangkan, Jual beli adalah jual beli ditegaskan sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.66
Pengertian Perjanjian pengikatan jual beli dapat kita lihat dengan cara memisahkan kata dari Perjanjian pengikatan jual beli menjadi perjanjian dan pengikatan jual beli. Perjanjian pengertiannya dapat dilihat pada sub bab sebelumnya, sedangkan Pengikatan Jual Beli pengertiannya menurut X. Subekti dalam bukunya adalah
65 Ibid, Halaman 3.
66 Kitab Undang-Undang Hukum Perata Pasal 1457
perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga.67 Sedang menurut Xxxxxxx Xxxxxxx, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.68
Dari pengertian yang diterangkan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian perjanjian pengikatan jual beli merupakan sebuah penjanjian pendahuluan yang dibuat sebelum dilaksanakannya perjanjian utama atau perjanjian pokoknya.
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat- syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dan akta jual beli dapat ditanda tangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT) seperti janji untuk melakukan
67 R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Bandung : Bina Cipta, Halaman. 75
68 Xxxxxxx Xxxxxxx, artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak” Majalah Renvoi, edisi tahun I, No 10, Bulan Maret 2004, Halaman. 57.
pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagiman diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).69
Selain xxxxx-xxxxx biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penadatanganan akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah (PPAT), baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di pejabat pembuat akta tanah (PPAT) telah terpenuhi.
c. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Hubungan posisional dengan Pejabat ibarat 2 (dua) sisi mata uang yang sama, di satu sisi posisinya permanen (lingkungan kerja tetap) dan di sisi lain bisa diisi oleh masyarakat sebagai pendukung hak dan kewajibannya, sehingga yang mengisi atau melaksanakannya. Jabatan yang dimaksud dengan pejabat atau pegawai negeri sipil adalah mereka yang menjalankan hak dan kewajiban jabatan tersebut.
69 Xxxxx Xxxxxxx, 2008, Praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris Di Jakarta Timur, Tesis, Program Pasca Sarjanauniversitas Diponegoro Semarang, Halaman. 38.
Setiap tindakan yang diambil oleh pejabat di bawah otoritasnya merupakan implementasi dari posisi ini.70
PPAT adalah pejabat yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan sebagai pengganti kesepakatan yang bertujuan untuk mengalihkan hak atas tanah, pemberian hak atas tanah baru, jaminan tanah, atau pinjaman uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.71
PPAT dalam bahasa Inggris disebut dengan “land deed officials, sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut dengan land titles registrar, mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena pejabat ini diberi kewenangan oleh negara, untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta-akta lainnya di negara Republik Indonesia maupun di luar negeri”.72
Institusi PPAT telah ada semenjak tahun 1961 (“berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah (PP ini telah dicabut dan disempurnakan dengan PP No. 24 Tentang Pendaftaran Tanah yang diundangkan tanggal 8 Juli Tahun 1997”) dengan sebutan Pejabat saja. Bahwa, “yang dimaksud dengan pejabat adalah PPAT sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 11 Tahun 1961 tentang
70Xxxxx Xxxxx, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2009, Halaman. 18
71Effendi Peranginangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 2007, Halaman. 436.
72H. Xxxxx, H.S., Teknik Pembuatan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2016, Halaman. 85.
Bentuk Akta.73 Ketentuan Pasal 19 PP No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, menggunakan istilah “Pejabat”, sedangkan penyebutan secara lengkap istilah Pejabat Pembuat Akta Tanah ditemukan pada Pasal 1 PMA No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta”.
PPAT merupakan “pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing. Dalam kedudukan sebagai yang disebutkan di atas, maka akta-akta yang dibuat oleh PPAT merupakan akta autentik. Pengertian perbuatan hukum pembebanan hak atas tanah yang pembuatan aktanya merupakan kewenagan PPAT, meliputi pembuatan akta pembebanan hak guna bangunan atas tanah hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Undang-Undang Pokok Agraria dan pembuatan akata dalam rangka pembebanan hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini”.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
Pasal 1 angka 5 menyatakan: PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
73Xxxxx Xxxxx, Mexxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx dan PPAT Indonesia, Bandung:
Citra Xxxxxx Xxxxx, 2009, hlm. 253.
Tanah Menurut ketentuan Pasal 1 angka 24 menyatakan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta tanah tertentu.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa PPAT adalah: Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
4. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1, PPAT adalah:
Pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.
PP tersebut kemudian diubah dengan PP No. 24 Tahun 2016 tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah yang mana terdapat penambahan untuk melayani masyarakat dibidang pertanahan dalam pendaftaran hak atas tanahnya di Kantor Pertanahan.
5. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 31 Tahun 2016 tentang Tata Cara Ujian, Magang dan Pengangkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa: Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disingkat PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
Menurut Xxxxx Xxxxxxx, PPAT sebagai PNS sebagaimana tertuang dalam berbagai ketentuan di atas, menurut Xxxxx Xxxxxxx, konsep PNS seseorang yang dipercayakan oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerah tertentu.74
Mengenai tugas pokok dan wewenang PPAT menurut ketentuan Pasal 2 PP nomor 37 Tahun 1998 bahwa:
a. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.
b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
74Xxxxx Xxxxxxx, “PPAT Sejarah, Tugas dan Kewenangannya”, Xxxxxxx Xxxxxx, Xx. 884. IV, Januari, Jakarta, 2007.
1) jual beli;
2) tukar menukar;
3) hibah;
4) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5) pembagian hak bersama;
6) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
7) pemberian Hak Tanggungan;
8) pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan”.
Tugas utama PPAT adalah melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah sesuai dengan Pasal 19 ayat (2) UUPA dan mengembangkannya lebih lanjut dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang pencantuman daftar properti sebagai berikut:
a. Kegiatan Pendaftaran tanah untuk pertama kali (Opzet atau Initial Registration). Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah untuk pertama kali menurut Pasal 1 angka 9 PP No. 24 Tahun 1997, adalah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 atau PP No. 24 Tahun 1997. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali ini dapat dilakukan secara sistematik dan sporadik.
b. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Bijhouding atau
Maintenance).
Digunakan untuk memelihara data pendaftaran tanah sesuai
dengan Pasal 1 angka 12 PP no. 24 Tahun 1997 adalah tindakan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan hukum dalam kartu pendaftaran tanah, kantor pendaftaran tanah, daftar nama, dokumen pengukuran, kantor pendaftaran tanah dan sertifikat dengan perubahan selanjutnya. Data pendaftaran tanah disimpan jika data fisik atau hukum tentang subjek pendaftaran tanah berubah. Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan data fisik dan hukum kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat yang dimasukkan dalam register tanah.
Kewenangan PPAT, “yang dalam bahasa Inggris, disebut dengan authory, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan autoriteit atau gezag merupakan kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada PPAT untuk membuat akta”. Kewenangan PPAT berdasarkan Pasal 3 dan 4 PP. 37 Tahun 1998, tentang:
1. Pemindahan hak atas tanah;
2. Pemindahan hak milik atas satuan rumah susun;
3. Pembebanan hak atas tanah; dan
4. Surat kuasa membebankan hak tanggungan”.
Selain itu, saat melakukan suatu tindakan, PPAT harus diimplementasikan di ruang kerjanya. Namun, ada pengecualian untuk aturan ini. Artinya PPAT dapat melakukan tindakan yang tidak semuanya dalam satu ruang kerja. Dengan syarat, “salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang menjadi objek perbuatan hukum
tersebut terletak di dalam daerah kerjanya”, Akta itu, seperti:
1. Akta tukar menukar;
2. Akta pemasukan ke dalam perusahaan; atau
3. Akta pembagian hak bersama.
Atas dasar uraian di atas maka tugas pokok PPAT adalah membantu Kepala Dinas Pertanahan Kabupaten / Kota dalam mewujudkan salah satu tujuan pendaftaran tanah, yaitu pengelolaan tanah yang benar sesuai dengan Pasal 3 PP no. 24 tahun 1997 melalui akta yang menjadi dasar pendaftaran perubahan data pertanahan.
Akta PPAT wajib dibuat sedemikian rupa dan PPAT bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat untuk sahnya perbuatan hukum yang bersangkutan. Ketentuan Pasal 12 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998 menyatakan, “Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya. Berdasarkan ketentuan Pasal ini maka PPAT tidak diperkenankan untuk membuat akta di luar wilayah yang menjadi wewenangnya sehingga apabila PPAT membuat akta di luar wilayah kerjanya, maka akta tersebut dianggap tidak sah sebagaimana dilihat dari ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata bahwa, suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai termaksud diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan Pasal 12
ayat (1) PP Nomor 37 Tahun 1998 ini kemudian diubah sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 2016 yaitu, Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah provinsi”. Ketentuan lebih lanjut mengenai daerah kerja PPAT diatur dengan Peraturan Menteri.
Disamping tugas pokok yang telah disebutkan, PPAT juga berkewajiban sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya;
2) Menyimpan asli dari akta-akta yang dibuatnya.75
Semula sertifikat PPAT diterbitkan dengan menggunakan formulir yang tertera pada formulir sertifikat dalam UU Pertanian Nomor 11 Tahun 1961 (dijelaskan lebih rinci dalam Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997). PPAT diperlukan untuk menggunakan ini:
a. Formulir-formulir yang tercetak atau;
b. Formulir-formulir yang terstensil atau diketik dengan mempergunakan kertas HVS 70/80 gram dengan ukuran A3 dengan persetujuan Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah;
c. Formulir-formulir yang tercetak hanya dapat dibeli di kantor pos”.
Dengan adanya, “Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997) menegaskan bahwa akta PPAT dibuat dengan bentuk blanko yang disediakan oleh Badan Pertanahan Nasional atau instansi yang ditunjuk yang berarti
75Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, Halaman. 6-7.
bahwa tanpa adanya xxxxxx akta yang dicetak oleh Badan Pertanahan Nasional maka PPAT tidak dapat menjalankan jabatannya dalam membuat akta-akta PPAT. Dalam rangka pembuatan akta-akta PPAT tersebut (8 jenis akta), ditentukan pula bentuk akta-akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara pengisiannya, serta formulir yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23, sebagaimana diatur pada Pasal 96 ayat (1) dan (2) Perka BPN Nomor 3 Tahun 1997”.
Pada tahun 2012, “langkah strategis dilakukan untuk memberikan pelayanan, terutama terkait hubungan antara Kantor Negara dan Pejabat Otorisasi Sertifikat Tanah dengan ditetapkannya “Perka BPN Nomor 8 Tahun 2012 yang memungkinkan setiap PPAT dalam menjalankan jabatannya membuat desain sendiri akta-akta yang berhubungan di bidang pertanahan, baik yang menyangkut peralihan hak seperti Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam Perusahaan, akta Pembagian Hak Bersama maupun dalam bidang jaminan (pertanggungan) pembuatan akta Pemberian Hak Tanggungan, Akta Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan juga pelayanan pembuatan akta Pemberian Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik”. Sebelumnya setiap pelayanan yang berhubungan dengan peralihan hak dan pembebanan jaminan, harus selalu menggunakan blanko (formulir) akta yang telah disediakan oleh BPN setempat dengan format yang telah ditetapkan, namun
ketentuan Pasal 96 Perka BPN Nomor 8 Tahun 2012 menghapus ketentuan Pasal 96 ayat (2) Perka BPN nomor 3 Tahun 1997, kemudian dalam ketentuan Pasal 96 ayat (4) Perka BPN Nomor 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa, “Penyiapan dan pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh masing- masing Pejabat Pembuat Akta Tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti, Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara atau Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus. Ketentuan, Perka BPN Nomor 8 Tahun 2012 ini memberikan jalan bagi PPAT untuk lebih kreatif lagi dalam pembuatan akta-akta terkait dengan peralihan hak atas tanah”.
Xxxxx Xxxxxxxxxxx menyatakan, “akta otentik yang dibuat PPAT berfungsi sebagai alat bukti yang otentik di pengadilan. Akan tetapi, akta otentik itu sendiri tidak dapat dijadikan obyek gugatan TUN. Sebagai bukti hukum, akta otentik itu sendiri bersifat perdata, bukan obyek hukum tata usaha negara. Disamping itu PPAT juga tidak dapat dianggap sebagai Pejabat TUN yang keputusannya mengandung norma yang bersifat konkrit, individuil dan final”.76
Peran akta PPAT dalam “jual beli hak atas tanah dan / atau bangunan Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 1363 / K / Sip
/ 1997 mendalilkan bahwa Pasal 19 PP Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menyatakan bahwa PPAT - Akta hanya sebagai bukti dan tidak menyatakan bahwa Akta merupakan syarat mutlak untuk sahnya suatu
76Jimly Xxxxxxxxxxx, “Independensi dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Media Notariat Edisi April-Juni 2003, Halaman. 74.
pembelian dan penjualan real estat”.77
Fungsi akta PPAT juga sebagai, “alat bukti menjadi sangat penting dalam membuktikan akan suatu perbuatan hukum yang menjadi dasar timbulnya hak atau perikatan dimana hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak atau guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantahkan suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Tanpa adanya akta otentik yang di buat dihadapan seorang PPAT maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut.
G. METODE PENELTIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian yurisdis normatif yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas- asas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan Perundang-undangan yang bersifat
77 Xxxxxxx Xxxxxx, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Halaman. 78.
teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.78 Penelitian hukum normatif dikonsepkan sebagai apa yang tertulis
didalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.79 Penelitian hukum doktrinal dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan peraturan perundang- undangan. Peraturan tersebut dikumpulkan dengan cara mengkoleksi publikasi-publikasi dan dokumen-dokumen yang mengandung peraturan- peraturan hukum positif. Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, kemudian diklasrifikasi secara sistematis untuk melakukan inventarisasi data sebagai bahan perpustakaan saat melakukan penelitian serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia.80
Dalam penelitian ini peneliti melakukan penelitian terhadap kekuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli atas tanah yang belum bersertifikat di Kota Banda Aceh.
3.2 Pendekatan Penelitan
Penelitian merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Penelitian memerlukan suatu metodelogi
78 Xxxxx Xxxxxxx, 2008. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu MediaPublishing, Malang, Halaman 25-26.
79 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, Halaman 43.
80 Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2011. Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, Halaman 81-82.
yang tepat agar dapat menganalisa suatu masalah secara akurat sekaligus memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut. Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran suatu sistematis, metodelogi dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa terhadap data yang telah dikumpulkan sehingga tanpa metodelogi seorang peneliti tidak mungkin mampu menemukan dan menganalisa suatu permasalahan untuk mengungkap kebenaran. Dengan metodelogi ini, diharapkan agar dapat mengetahui dukungan satu sama lain sehingga peneilitian ini mempunyai bobot yang cukup memadai dan memberi kesimpulan-kesimpulan yang tidak meragukan.
Metode yang dipakai dalam penelitian untuk penulisan skripsi ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.81
Penelitian ini dilakukan guna untuk mendapatkan bahan-bahan berupa: teori- teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan hukum yang berhubungan dengan pokok bahasan. Ruang lingkup penelitian hukum normatif menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx meliputi:82
81 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, 2013.Penelitian Hukum Normatif Suatu TinjauanSingkat, Cetakan ke-15, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Halaman 13-14.
82 Ibid, Halaman 14.
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara vertikal dan horisontal.
d. Perbandingan hukum.
e. Sejarah hukum.
Dalam penelitian ini, ruang lingkup penelitian ini akan dilakukan penelitian dengan cara menarik asas hukum, dimana dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun tidak tertulis.83
Penelitian ini dapat digunakan untuk menarik asas-asas hukum dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, penelitian ini juga, dapat digunakan untuk mencari asas hukum yang dirumuskan baik secara tersirat maupun tersurat.84
Pendekatan yang digunakan dalam menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini yaitu :
a. Pendekatan Undang-Undang (statue approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis, pendekatan undang- undang ini akan membuka kesempatan bagi peneliti untuk mengetahui karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan norma dalam
83 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1996. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, Halaman
63.
84 Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2003. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, Halaman 27-28.
pembuatan PPJB atas tanah. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan suatu isu yang dihadapi.85
b. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian- pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan- pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum dan memecahkan isu yang dihadapi.
c. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus- kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
3.3 Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan,
hlm. 93.
85 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum Edisi Pertama, Jakarta: Kencana, 2005,
dan untuk menentukan frekuensi sering terjadi.86 Dan juga metode yang bertujuan mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap suatu objek penelitian yang diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan yang berlaku umum.
Dalam hal ini tidak mungkin seorang peneliti akan melakukan penelitiandan menuliskan laporan hasil penelitiannya secara sempurna bila ia tidak menguasai metodenya. Penguasaan metode penelitian akan bermanfaat secara nyata bagi seorang peneliti dalam melakukan tugas penelitian. Peneliti akan dapat melakukan penelitian lebih benar sehingga hasil yang diperoleh tentu berkualitas prima.
3.4 Sumber Data
Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka atau penelitian hukum yang datanya diperoleh melalui bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, seperti:87
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan pustaka yang berisikan peraturan Perundang-undangan, yang antara lain terdiri dari:
86 Xxxxxx Xxx, 2004. Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, Halaman 58.
87 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxx Xxxxxxx, 2014. Penelitian Hukum Normatif, Jakarta
:PT.Raja Grafindo Persada, Halaman 12.
a) Undang-undang Dasar 1945 RI
b) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960;
c) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
d) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer berupa buku-buku yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
3. Bahan hukum tersier, yakni yang memberikan informasi lebih lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus besar Bahasa Indonesia.88
Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini juga digunakan data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu pada Pejabat Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Notaris/PPAT di wilayah Kota Banda Aceh.
3.5 Teknik Pengumpulan Data
88 Ibid, Halaman 23-24.
Adapun untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut:
1. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum tersier dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka (libraryresearch) yaitu dengan cara mengumpulkan semua peraturan Perundang-undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.89
2. Pedoman Wawancara
Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data pendukung dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak- pihak yang telah ditentukan sebagai informan yaitu pada Pejabat Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Notaris/PPAT di wilayah Kota Banda Aceh.
3.6 Analisis Data
Dalam suatu penelitian sebelumnya perlu disusun secara sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah
89 Ibid, Halaman 23-24.
yang sifatnya kualitatif. Kualitatif berarti akan dilakukan analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur didalam bahan hukum primer.90
Semua data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (libraryresearch) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisa dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah yang akan diteliti.
Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti teori-teori, dalil-dalil atau prinsip- prinsip dalam bentuk proposisi- proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus.
Hasil akhir dari analisis ini adalah penarikan kesimpulan dari perumusan masalah yang bersifat umum (dalam perundang-undangan) terhadap permasalahan kongkrit (dalam rumusan masalah) dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat dijawab.91
BAB II
PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
90 Xxxxxxxxx Xxx, 2009. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 105.
91 Xxxxx Xxxxx N.D., dan Xxxxxxxx Xxxxxx. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatifdan Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Halaman 122.
ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIPIKAT DI KOTA BANDA ACEH
A. Pengaturan Hukum Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Jual beli tidak tunduk pada hukum perdata tetapi tunduk pada hukum adat yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Dalam kehidupan manusia, tanah sangatlah penting karena terdapat hubungan langsung antar manusia dengan tanah, karena tanah merupakan modal utama dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu Hukum Tanah diatur dalam Pasal 19 ayat 1,2,3, dan 4 UUPA. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki wewenang melakukan peralihan hak atas tanah dan pembebanan hak atas tanah. Peralihan hak atas tanah diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, serta pembebanan hak atas tanah diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itu dapat dibuat dihadapan pejabat yang berwenang yaitu notaris sebagai akta otentik dan bisa juga Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) itu dapat dibuat melalui akta dibawah tangan. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut.92 Disamping itu, akta
92 Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Dan Kuasa Untuk Menjual Yang Dibuat Oleh Notaris,
dibawah tangan adalah Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tersebut hanya dibuat oleh pembeli dan penjual di bawah tangan, tanpa melibatkan notaries atau pejabat berwenang lainnya, dan harus melibatkan dua orang saksi orang dewasa. Saksi tersebut bertujuan untuk dapat menjadi keterangan lebih jika kelak terjadi sengketa.93
Jenis-jenis Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) yaitu Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) yang belum lunas merupakan belum dilunasinya pembayaran harga yang sudah ditentukan itu. Dan Akta Pengikatan Jual Beli (APJB) yang sudah lunas merupakan sudah dilunasinya pembayaran tersebut namun itu belum bisa dilaksanakan pembuatan Akta Jual Beli nya karena ada beberapa proses yang belum terselesaikan, seperti belum terselesainya proses pemecahan sertifikat, dalam proses penggabungan dan berbagai alasan lain yang menyebabkan AJB belum bisa dibuat. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara lunas biasanya pada umumnya, terdapat kuasa menjual. Kegunaan Kuasa ini bertujuan agar pembeli memberikan penjaminan kepada konsumen yang membayarkan unas tetapi belum bisa balik nama sertifikat karena ada ketentuan yang belum terpenuhinya. APPJB memiliki enam unsur yaitu: memiliki surat tanda bukti, Harus ada pejabat berwenang, memiliki subjek hukum, memilik objek hukum, adanya hak dan kewajiban dan syarat yang harus dipenuhi.
Menurut Xxxxxxx/PPAT, perbedaan PPJB dengan AJB terdapat pada
Jurnal Independent, Vol 1, No 2, 2013, Halaman. 60
93 Xxxxx Xxx Xxxxxxxxx, Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Terikat Jaminan Bank (Studi Kasus Putusan Nomor 704K/PDT/2016), Notary Indonesia, Vol 1, No 001 (2019), Halaman. 23
sifat otentikasinya. PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat di bawah tangan atau akta nonotentik. PPJB merupakan ikatan awal antara penjual dan pembeli tanah yang bersifat di bawah tangan atau akta nonotenti. Sedangkan, AJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh Notaris/PPAT dan merupakan syarat dalam jual beli tanah. Dengan dibuatnya AJB oleh Notaris/PPAT, maka tanah sebagai obyek jual beli telah dapat dialihkan atau balik nama dari penjual kepada pembeli.94
Pemegang hak atas tanah memiliki wewenang terhadap tanah yang dimilikinya yaitu: wewenang umum merupakan yang dimaksud pemegang hak atas tersebut memiliki tugas penuh dalam mengelola tanah tersebut seperti yang diatur dalam UUPA, kewenangan khusus pemegang hak atas tanah tersebut hanya mempunyai kewenangan untuk menggunakan tanahnya yang sesuai macam hak atas tanahnya. Macam hak atas tanah yaitu: hak atas tanah bersifat tetap merupakan hak yang dimiliki oleh pihak sesuai dengan UUPA, hak atas tanah yang akan ditetapkan UU merupakan hak atas tanah yang baru akan lahir dikemudian hari yang langsung ditetapkan UU, hak atas tanah bersifat sementara merupakan hak atas tanah yang bersifat sementara dan itu dapat dihapuskan.
B. Kewenagan Pembuatan PPJB Oleh PPAT/Notaris
Pembuatan PPJB diberikan kewenanagan kepada PPAT berwenang
94 Hasil Wawancara dengan Notaris/PPAT
membuat AJB hak atas tanah berdasarkan perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh para pihak itu tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.95
Kewenangan itu tidak semua akta dapat dibuat oleh PPAT yang termasuk adalah akta tukar menukar, akta hibah, akta pemasukan ke dalam perusahaan, akta pembagian hak bersama, akta hak guna bangunan,hak pakai, hak tanggungan. Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu memiliki fungsi yaitu Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai bukti diadakan perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menjadi dasar pendaftaran perubahan data tanah ke Kantor BPN Kabupaten/ Kota sesuai wilayah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memiliki karakteristik, seperti Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin tau, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, tanggung jawab, rendah hati, melayani, berbagi, mengampuni. PPAT memliki kewajiban dalam membuat AJB berdasarkan PPJB oleh para pihak seperti memiliki kepribadian yang baik dan sangat menjunjung tinggi martabat dan kehormatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, bersikap profesional khusus bidang hukum, memiliki karakteristik tanggung
95 Xxxxxxx, X.Xxx Xxxxxx, 2004, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia), Jakarta: Prestasi Pustaka, Halaman.
jawab, mandiri, jujur dan tidak berpihak atau netral.96
Selanjutnya, Notaris juga berwenang membuata akta yakni, akta yang dibuat oleh notaris berkedudukan sebagai akta autentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan UUJN. Ada 2 (dua) dua akta notaris, yaitu:97
1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas) Akta relaas adalah akta yang dibuat notaris atas permintaan para pihak, agar notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh pihak yang berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan oleh para pihak, agar tindakan tersebut dituangkan dalam suatu akta notaris.
2. Akta yang dibuat di hadapan notaris (akta partij) Akta partij) adalah akta yang dibuat dihadapan notaris atas permintaan para pihak, notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan notaris.
Menurut hasil wawancara, Akta Pengikatan Jual Beli dibuat dengan 2 cara yaitu:
1. Akta pengikatan jual beli yang baru merupakan janji-janji karena harga belum lunas (PJB Belum Lunas);
2. Akta Pengikatan Jual Beli yang pembayarannya sudah dilakukan secara Lunas, namun belum bias dilaksanakan pembuatan akta jual belinya
96 Xxxx Xxxx Xxxxx Utama, I Xxxxxx Xxxxxxxxx, Ni Xxxxx Xxxxx Xxx Astiti, Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Sebagai Dasar Pembuatan Akta Jual Beli Dihadapan PPAT, Jurnal Preferensi Hukum, Vol. 2, No. 1 – Februari 2021, Halaman. 180.
97 Xxxxx Xxxxx, 2008. Sanksi Perdata dan Administritif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, PT. Xxxxxx Xxxxxxx: Bandung. Halaman. 103
dihadapan PPAT karena masih ada yang belum selesai. (PJB Lunas)98
Jika PJB Belum Lunas, maka didalamnya tidak ada kuasa kecuali syarat-syarat pemenuhan suatu kewajiban jika pembayaran sudah lunas dan dibuatkan PJB Lunas maka didalamnya dibarengi dengan Kuasa untuk menjual dari Penjual kepada Pembeli. Maka Notaris atau PPAT langsung membuatkan Akta Jual Beli untuk kemudian memproses baliknama sertifikatnya.
Setelah perjanjian pengikatan jual beli memuat semua keinginan para pihak maka ditandatangani oleh para pihak, 2 (dua) orang saksi dan Notaris yang bersangkutan. Perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh notaris dituangkan secara jelas perbuatan hukum apa yang dilakukan oleh para pihak. Dengan telah ditanda tanganinya akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) maka perjanjian itu mengikat kedua belah pihak dan berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 1338 KUHPerdata, menyatakan:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal 1338 KUHPerdata juga dikatakan suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, maksudnya pada saat mulai berlakunya suatu hubungan hukum dipenuhinya syaratsyarat untuk dimulainya hubungan hukum (perjanjian jual beli) dan pada waktu pelaksanaan hak dan kewajiban
98 Hasil Wawancara dengan Notaris/PPAT
para pihak harus melaksanakannya sesuai yang telah disepakati dan ditandatangani dalam akta perjanjian pengikatan jual beli.
Perjanjian pengikatan jual beli ini beberapa pihak yang terlibat selain notaris yaitu penjual dan pembeli yang mempunyai kedudukan yang berbeda. Adapun kedudukan para pihak dan notaris dalam perjanjian pengikatan jual beli, sebagai berikut:99
1. Notaris
Kedudukan notaris dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah:
a. Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik yang berhubungan perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang dikehendaki para pihak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1), (2) UUJN.
b. Notaris menuangkan apa yang dikendaki oleh para pihak asal tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
c. Notaris memastikan apa yang menghambat tidak bisa ditandatangani akta jual beli harus selesai sebelum akta jual beli ditandatangani, misalnya: pembayaran harga transaksi jual beli belum lunas maka harus dilunasi saat ditandatangani akta jual beli.
2. Penjual
Kedudukan penjual dalam perjanjian pengikatan jual beli, sebagai berikut:
a. Penjual harus menjamin bahwa tanah dan bangunan yang menjadi objek dari perjanjian pengikatan jual beli:
99Aulia Gumilang Rosadi, Tanggung Jawab Notaris Dalam Sengketa Para Pihak Terkait Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Yang Dibuatnya, JCH (Jurnal Cendekia Hukum) Volume 5 Nomor 2, Maret 2020, Halaman. 250.
1) Tidak sedang terlibat sengketa apapun.
2) Tidak dikenakan suatu sitaan.
3) Adalah miliknya Pihak Pertama dan hanya bisa dipindahtangankan oleh Pihak Pertama.
4) Tidak sedang dijaminkan untuk menjamin suatu hutang berupa apapun
b. Memberikan keterangan dan identitas yang benar kepada notaris.
c. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah diatur dalam perjanjian pengikatan jual beli, misalnya: pemegang haknya sudah meninggal sehingga ada proses turun waris yang bertindak dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah semua ahli waris. Ahli waris harus menyelesaikan proses turun waris baik kelengkapan untuk pengurusan waris ke atas nama ahli waris.
d. Penjual tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang dengan nyata melanggar perjanjian pengikatan jual beli tanah, misalnya menjual obyek dari perjanjian tersebut kepada pihak lain.
3. Pembeli
Kedudukan pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli adalah melakukan kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli, misalnya melakukan pembayaran jual beli apabila pembayaran dilakukan secara bertahap.
Dasar hukumnya terdapat dalam Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyebutkan, “Pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang kuasa yang digunakan untuk memindahtangankan benda yang sejatinya hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya saja. Maka dari itu, untuk kuasa menjual ini, diperlukan suatu pemberian kuasa dengan kata-kata yang tegas di dalam aktanya (Pasal 1796 KUHPerdata).
C. Analisis Pengaturan Hukum PPJB Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat Di Kota Banda Aceh
Perkara yang terjadi di wilayah kota Banda Aceh Putusan 6/Pdt.G/2021/PN Bna, telah mengajukan gugatan sebagai berikut:
1. Bahwa Tergugat I, II dan III adalah pemilik tanah seluas 1.924 M2 (seribu sembilan ratus dua puluh empat meter persegi) terletak di Desa Lampeuot Kecamatan Banda Raya Kota Banda Aceh sebagaimana Sertipikat Hak Milik No.2113/ Lampeuot an. Xxxx Xxxxxxx Xxx, Xxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx yang hendak dijual secara berkapling;
2. Bahwa untuk menjualkan tanah tersebut, Tergugat I, II dan III menunjuk dan memberi kuasa penuh kepada Tergugat IV untuk mengurus dan menjalankan penjualan atau dengan cara lain melepaskan hak atas tanah tersebut sebagaimana Surat Kuasa Menjual No. 14 tanggal 22 November 2018 yang dibuat oleh Xxx Xxxxxxxx Xxxxx, S.H. Notaris/ PPAT di Banda Aceh Turut Tergugat I
3. Bahwa pada tanggal 22 April 2019, Tergugat IV bertemu Penggugat menawarkan 1 (satu) kapling tanah tersebut
dengan harga RP 205.000.000,- (dua ratus lima juta rupiah) per kapling. Harga tersebut sudah termasuk biaya surat-surat jual beli dan balik nama Sertipikat. Tergugat IV bersama Tergugat III pun menunjukkan tanah kaplingan dimaksud yakni bagian dari tanah SHM No.2113/ Lampeuot yang sudah dipisahkan kedalam Sertipikat Hak Milik No. No.02183/ Lampeuot an. X.Xxxxxxx Xxx Cs seluas 220 (dua ratus dua puluh meter persegi) dengan batas-batas sebagai berikut:
• Utara berbatas dengan parit kecil/ tanah Xxxxxx Xx;
• Selatan berbatas dengan Jalan dan tanah kaplingan X. Xxxxxxx Xxx Cs (SHM.02185);
• Xxxxx berbatas tanah kaplingan X.Xxxxxxx Xxx Cs (SHM No.02180 dan No.02184);
• Barat berbatas parit kecil/ tanah Xxxxxx Xx dan tanah X.Xxxxxxx Xxx Cs (SHM No.02120);
4. Bahwa setelah meninjau lokasi tanah dan melihat surat- suratnya, Penggugat pun tertarik dan setuju membeli 1 kaplingan tanah tersebut seharga yang ditawarkan. Penggugat kemudian membayar uang muka (DP) sebesar Rp 80.000.000,- (delapan puluh juta rupiah) kepada Xxxxxxxx XX selaku kuasa dari Tergugat I, II dan III sebagiamana kwitansi tertanggal 22 April 2019. Sedangkan sisanya sebesar Rp 125.000.000,- (seratus dua puluh lima juta rupiah) disepakati Penggugat dan Tergugat IV akan Penggugat bayar secara
bertahap sebagaimana Surat Perjanjian Pengikatan Jual Beli tanggal 25 April 2019 yang dibuat dihadapan Notaris Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, S.H., X.Xx ic. Turut Tergugat II;
5. Bahwa setelah Penggugat melunasi keseluruhan harga tanah kaplingan tersebut melalui Tergugat IV, sekira bulan Januari 2020, Penggugat meminta agar Para Tergugat menyelesaikan balik nama sertipikat tanah tersebut namun karena saat itu Penggugat masih pendidikan di Jakarta belum bisa menandatangani akta jual beli tanah tersebut, Tergugat IV meminta akta jual beli dan proses balik nama sertipikat tanah tersebut diselesaikan setelah Penggugat pulang ke Banda Aceh;
6. Bahwa setelah Penggugat pulang ke Banda Aceh sektiar bulan Juni 2020, Penggugat menemui Tergugat IV meminta proses balik nama sertipikat tanah tersebut diselesaikan. Akan tetapi Tergugat IV mengaku belum bisa memproses akta jual beli dan balik nama sertipikat tanah kaplingan Penggugat tersebut dengan alasan Tergugat I, II dan III tidak mengakui lagi atau telah mengingkari kuasa menjual yang pernah diberikan kepada Tergugat IV dan asli sertipikat tanah tersebut belum diserahkan oleh Tergugat I, II dan III kepada Tergugat IV;
7. Bahwa setelah mendengar pengakuan Tergugat IV tersebut, Penggugat pun menemui Tergugat III meminta supaya Akta Jual Beli dan balik nama sertipikat tanah kaplingan Penggugat diselesaikan
karena Penggugat telah melunasi keseluruhan harga tanah tersebut melalui Tergugat IV selaku kuasa Tergugat I, II dan III. Akan tetapi Tergugat III mengaku belum bisa menyerahkan asli sertipikat tanah tersebut dengan alasan belum cukup menerima keseluruhan uang tanahnya dari Tergugat IV sedangkan menurut Tergugat IV ianya telah menyetorkan uang tanah kepada Tergugat III sebesar Rp 1.460.000.000,- (satu milyar empat ratus enam puluh juta rupiah) termasuk uang dari Penggugat sebesar Rp 205.000.000,- (dua ratus lima juta rupiah);
8. Bahwa adanya pertentangan internal yang sengaja dibuat oleh Para Tergugat dan tolak-menolak mengenai pembayaran tanah kaplingan Penggugat tersebut, telah dijadikan alasan oleh Para Tergugat belum menyelesaikan dan menyerahkan tanah serta sertipikat tanah kaplingan tersebut kepada Penggugat. Padahal semestinya permasalahan internal antara Para Tergugat tersebut tidak sepatutnya merugikan Xxxxxxxxx selaku pembeli yang beritikad baik;
9. Bahwa Penggugat telah berulang kali mengajak Para Tergugat duduk mufakat menyelesaikan permasalahan tersebut secara baik- baik, akan tetapi Para Tergugat tidak ada itikad baik dan terkesan menghindar serta saling menyalahkan yang menyebabkan Penggugat menderita kerugian baik secara materiil maupun moriil karena sampai saat ini Penggugat belum juga mendapatkan hak-hak Penggugat atas tanah tersebut maupun sertipikatnya. Maka untuk
mendapatkan hak-hak Penggugat dan penyelesaian yang berkepastian atas permasalahan tersebut, Penggugat mengajukan gugatan ini ke Pengadilan Xxxxxx Xxxxx Aceh untuk dapat kiranya diadili dan diputuskan sebagaimana mestinya menurut hukum;
10. Bahwa atas perbuatan Para Tergugat yang telah sengaja menimbulkan pertentangan internal, tolak menolak mengenai pelunasan tanah kaplingan Penggugat serta mengingkari dan atau tidak mengakui lagi kuasa menjual yang pernah dibuat oleh Para Tergugat sebagai alasan belum juga menyerahkan tanah dan sertipikat tanah yang sudah lunas dibayar Penggugat adalah merupakan perbuatan yang tidak beritikad baik dan melawan hukum dan sangat merugikan Penggugat;
11. Bahwa oleh karena Penggugat melakukan perikatan, pelunasan dan atau tranksaksi jual beli tanah terperkara seluas 220 M2 sebagaimana dalam Sertipikat Hak Milik No.02183/ Lampeuot adalah dengan Tergugat IV selaku kuasa dari Tergugat I, II dan III sebagaimana Surat Kuasa Menjual No.14 tanggal 22 November 2018 yang dibuat dihadapan Turut Tergugat I, akan tetapi belakangan Tergugat I, II dan III mengingkari dan atau tidak mengakui lagi pelunasan tanah kaplingan Penggugat melalui Tergugat IV sedangkan uang tanah tersebut sudah lunas Penggugat bayar melalui Tergugat IV, maka beralasan Penggugat mohon agar Pengadilan Xxxxxx Xxxxx Aceh menyatakan Surat Kuasa Menjual No. 14 tanggal 22
November 2018 tersebut adalah sah dan mengikat Tergugat I, II, III dan IV dalam kaitan perikatan dan atau transaksi jual beli tanah terperkara kepada Penggugat;
12. Bahwa oleh karena Penggugat telah melunasi tanah terperkara sebesar Rp 205.000.000,- (dua ratus lima juta rupiah) melalui Tergugat IV selaku kuasa yang sah dari Tergugat I, II dan III, akan tetapi kemudian Tergugat I, II dan III mengingkari atau tidak mengakui pelunasan tanah melalui Tergugat IV tersebut karena ada permasalahan intern dengan Tergugat IV, maka beralasan Penggugat mohon agar Pengadilan Xxxxxx Xxxxx Aceh menyatakan pembayaran atau pelunasan tanah terperkara melalui Tergugat IV selaku kuasa Tergugat I, II dan III adalah sah;
13. Bahwa oleh karena perikatan jual beli dan pelunasan tanah terperkara yang Penggugat lakukan adalah dengan orang yang cakap, berkuasa atau berhak atas tanah terperkara yakni Tergugat IV selaku kuasa yang sah dari Tergugat I, II dan III, maka Penggugat mohon agar Pengadilan Xxxxxx Xxxxx Aceh menyatakan jula beli tanah terperkara antara Penggugat dengan Para Tergugat tersebut adalah sah;
Majelis hakim dalam perkara Putusan Nomor 6/Pdt.G/2021/PN Bna, menjadikan dasar bahwa, Kuasa untuk menjual ini, bisa masuk sebagai klausul dalam PJB, bisa juga berdiri sendiri, berbentuk akta tersendiri. Jadi, ketika tanda tangan, menandatangani dua akta: PJB dan Akta Kuasa Untuk
Menjual. Dalam hal Kuasa untuk menjual masuk sebagai klausul dalam PJB, maka yang ditandatangani hanyalah akta PJB saja.
BAB III
KEKUATAN HUKUM PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH
YANG BELUM BERSERTIPIKAT DI KOTA BANDA ACEH
A. Tinjauan Umum Sertifikat Tanah
Dalam Pasal 1 angka 20 PP No. 24 Tahun 1997 yang dimaksud sertifikat adalah:
“Surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.”
Buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya. (Pasal 1 angka 19 PP No. 24 Tahun 1997). Menurut Xxx Xxxxxx Xxxxxxx,100 yang dimaksud dengan Sertifikat adalah surat tanda buktii hak yang terdiri salinan buku tanah dan surat ukur, diberi sampul, dijilid menjadi satu, yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional.
Surat Ukur adalah dokumen yang memuat data fisik suatu bidang tanah dalam bentuk peta dan uraian. (Pasal 1 angka 17 PP No. 24 Tahun 1997) Peta Pendaftaran adalah peta yang menggambarkan bidang atau bidang-bidang tanah untuk keperluan pembukuan tanah (Pasal 1 angka 15 PP No. 24 Tahun 1997).
Sertifikat diberikan bagi tanah-tanah yang sudah ada surat ukurnya ataupun tanah-tanah yang sudah diselenggarakan Pengukuran Desa demi
100 Xxx Xxxxxx Xxxxxxx, 2002, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I- Pemberian Hakatas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan Permasalahannya, Jakarta :Prestasi Pustaka, Halaman. 12.
Desa, karenanya Sertifikat merupakan pembuktian yang kuat, baik subyek maupun obyek ilmu hak atas tanah.
Adapun pengertian Sertifikat Tanah adalah:101
a. Di dalam hukum Agraria pengertian sertifikat pada dasarnya merupakan abstraksi dari daftar umum hak atas tanah dan merupakan satu-satunya pembuktian formal hak atas tanah dan merupakan satu-satunya pembuktian formal hak atas tanah; atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sertifikat merupakan turunan atau salinan dari buku tanah dan surat ukur.
b. Daftar Umum didalam rangkah pendaftaran tanah terdiri dari daftar tanah; daftar nama; daftar buku tanah, dan daftar surat ukur yang merupakan hasil kegiatan inventarisasi (pendaftaran tanah) Desa demi Desa atau sporandis dalam rangka pelayanan masyarakat.
c. Surat Ukur adalah akta Authentik yang secara jelas menguraikan objek hak atas tanah, letak, luas, tanda dan petunjuk batas dan sebagainya.
d. Gambar Tanah, dapat diperoleh melalui kutipan peta tanah (Krawangan).
Mengenai jenis Sertifikat Tanah Xxxxxx Xxxxxxx berpendapat bahwa sampai saat ini ada 3 jenis Sertifikat Yaitu :102
a. Serifikat hak atas tanah yang biasa disebut Sertifikat
101 Xxx Xxxxx Xxxxx dan Abd. Xxxxx Xxxxx, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah. Ed.Rev, Medan: Xxxxxx Xxxx, Halaman. 204.
102 Xxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit. Halaman. 125.
b. Sertifikat hak atas tanah yang sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dikenal sebagai Serifikat Hypotheek dan Sertifikat Credietverband. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 4 Ttahun 1996 tentang Hak Tanggungan, penyebutan Sertifikat Hypoteek dan Sertifikat credietverband sudah tidak digunakan lagi yang ada penyebutannya adalah Sertiffikat Hak Tanggungan saja.
c. Sertifikat hak milik atas satuan rumah susun
Hal-hal yang dibuktikan dalam sertifikat hak atas tanah yaitu:103
1) Jenis Hak Tanah
Sertifikat hak atas tanah dapat diketahui tentang status hukum yang dipunyai apakah berstatus Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Pakai atau Pengelolaan, selain hak milik hak-hak tersebut kesemuanya dapat diketahui juga tentang jangka waktu hak itu diberikan dan kapan waktunya berakhir.
2) Nama Pemegang Hak
Nama pemegang hak dapat diketahui pada kolom kedua bagian atas dari salinan Buku Tanah pada sertifikat tersebut. Apabila hak berganti, maka nama pemegang terdahulu atau pertama dicoret oleh pejabat yang berwenang dan selanjutnya pada kolom pencatatan peralihan hak atau perubahan hak dituliskan, nama
103 Xxxxx Xxxxxxx. Op Cit, hlm. 472.
pemegang hak yang baru dan juga ditulis sebab perubahannya, bisa dengan dijual-beli, hibah, warisan, lelang ataupun tukar-menukar.
3) Keterangan Fisik
Tanah Karena dalam sertifikat hak atas tanah terdapat surat ukur, maka dari surat ukur inilah dapat diketahui tentang bentuk (gambar peta) dari bidang tanah, luas tanah, letak tanah, yang mencakup (Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, serta Propinsi), keadaan tanah dan bangunan-bangunan yang ada diatasnya.
4) Beban di atas Tanah Hak
Dari bagian salinan buku tanah pada sertifikat tersebut dapat diketahui apakah ada beban hak tanggungan di atas tanah hak tersebut, atau ada hak sewa, atau ada sita atas perintah Pengadilan.
5) Peristiwa yang berhubungan dengan Tanah
Semua peristiwa penting sehubungan dengan tanah tersebut atau tertentu juga dicatat oleh Kantor Pertanahan dalam sertifikat, misalkan adanya jual-beli, atau hibah serta lelang dalam suatu PT atau terjadinya pewarisan atau adanya penyitaan dan terjadinya beban-beban seperti diuraikan di atas, atau sebaliknya dengan penghapusannya.
a. Kekuatan Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria sertifikat merupakan surat tanda
bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dengan demikian sertifikat hak atas tanah yang ditegaskan oleh peraturan perundang-undangan tersebut sebagai surat tanda bukti hak, jadi sudah dijamin mempunyai kekuatan hukum sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai pemilikan terhadap hak atas tanah. Kekuatan hukum sertifikat hak atas tanah sebagai bukti pemilikan hak atas tanah tergantung dari sistem publikasi pendaftaran tanah yang dipakai.
Indonesia dalam hal ini Undang-Undang Pokok Agraria menganut sistem Publikasi negatif yang mengandung unsur positif yang berarti masih dimungkinkan dilakukan perubahan didalam sertifikat oleh Kantor Pertanahanapabila terjadi kekeliruan, dengan dilandasi oleh peraturan harus berusaha dengan sekuat tenaga supaya sertifikat yang dikeluarkan jangan sampai keliru misalkan sebelum dikeluarkan sertifikat dilakukan pengumuman terlebih dahulu melalui Kantor Kecamatan dan Kelurahan/Desa dimana tanah tersebut berada.
b. Jenis-jenis Sertifikat
Sertifikat ada 3 (tiga) jenis, yaitu :
1) Sertpikat Hak atas Tanah adalah surat tada bukti hak yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur yang diberi sampul dan dijilid menjadi satu.
2) Sertifikat Hak Tanggungan adalah surat tanda bukti hak yang terdiri dari salinan buku tanah Hypotheek / creditverband yang dibuat oleh pejabat pembuat akta tanah dan diberi sampul yang bentuknya khusus untuk dijilid menjadi satu.
3) Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun adalah merupakan alat bukti pemilikan Satuan Rumah Susunnya, sekaligus juga merupakan alat bukti hak bersama atas tanah bersama, bagian bersama dan benda bersama yang bersangkutan sebesar nilai perbandingan proporsionalnya.104
B. Aturan Jual Beli Tanah Yang Belum Bersertipikat
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hak kepada pemilik tanah dengan menerbitkan sertifikat untuk memberi rasa aman kepada pemilik tanah akan haknya pada tanah tersebut. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang terdapat didalamnya, sepanjang data-data tersebut sesuai dengan kebenarannya yang terdapat dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Kekuatan pembuktian sertifikat tidak lepas dari alas hak untuk penerbitan sertifikat tersebut. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah, suatu pengakuan penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah secara perorangan atau bersama atau badan hukum yang namanya ditulis didalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar, ukuran
104 Xxx Xxxxxx Xxxxxxx. Hukum Agraria ( pertanahan Indonesia ) Jilid 2. ( Jakarta : Prestasi Pustaka ), hlm. 58.