T E S I S
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN MULTI LEVEL MARKETING YANG BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
T E S I S
OLEH :
NAMA MHS. : XXXXXXXXX XXXXXXXX NO. POKOK MHS. : 13912034
BKU : HUKUM BISNIS
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2016
i
Man Jadda Wa Jadda...
Mempersembahkan karya terbaik ini untuk: Program Studi Magister Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Persembahan khusus kepada keluarga tercinta,
Para Guru dan Dosen yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya, Ketulusan doa dan dukungan kalian dalam madrasah kehidupan, menjadi cambuk semangat untuk terus berkarya.
PERNYATAAN ORISINALITAS
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, S. H.
NIM 13912034
BKU : Hukum Bisnis
Program : Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Yogyakarta Judul : Klausula Baku dalam Perjanjian Multi Level Marketing yang
Bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dalam kondisi sadar dan dapat dipertanggungjawabkan.
Yogyakarta, 15 Juni 2016
Penulis
Xxxxxxxxx Xxxxxxxx 13912034
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis dengan judul “Klausula Baku dalam Perjanjian Multi Level Marketing yang Bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha.” Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada sang revolusioner sejati, pembawa cahaya bagi umat manusia junjungan kita, Xxxx Xxxxxxxx XXX.
Sebuah proses yang cukup panjang dalam penulisan tesis ini tidak lepas dari doa, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan rasa terimakasih yang tak terhingga jazakumullah khairan kasiran kepada:
1. Dr. Xx. Xxxxxxx, X.Xx., selaku Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
2. Xx. Xxxxx Xxxxx Xxxxx, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
3. Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D., selaku Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
4. Xx. Xxxx Xxxxxx, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Tesis yang telah berkenan memberikan bimbingan serta pengarahan progresif dan konstruktif kepada penulis di sela-sela kesibukannya. Dengan penuh kesabaran dan kebijaksanaan telah bersedia membantu, membimbing, memberikan arahan-arahan dan menyemangati penulis dari awal hingga
akhir dalam penulisan tesis ini. Terimakasih kepada sang maha guru yang luar biasa ini;
5. Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxxxxxx, S.H., M.H., selaku anggota penguji yang telah memberikan ilmu dan masukan pada tesis ini sehingga dapat mendukung penulis dalam melakukan perbaikan dalam langkah ke depan;
6. Xxxxxxx Xxxxxxxx, S. H., LL.M., M..Hum., Ph.D. selaku anggota penguji yang telah memberikan ilmu dan masukan pada tesis ini sehingga dapat mendukung penulis dalam melakukan perbaikan dalam langkah ke depan;
7. Seluruh Dosen dan staf Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia yang telah membimbing dan memberikan ilmunya serta pelayanan dan kemudahan administrasi, Nurul Xxxxxxxx, Xxxxx Fahmanto, Ika Asriningsih, Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxx dan Zuri Ikhwanta, semoga tali silaturahmi ini terus terjalin.
8. Bapak dan Ibunda, Alm. Drs. H. Xxxxxxx S., BA, Dra. Xx. Xxxxxx, Bapak dan Ibunda Mertua sekalian, H. Syahrum dan Hj. Norhayati, terimakasih atas semua kepercayaan, perhatian, cinta dan doa serta kasih sayang tulus tanpa pamrih yang diberikan;
9. Istriku tercinta Xx. Xxxxxxxxx Xxxxxxx, S.T., anakku tersayang Xxxxx Xxxxx Xxxx Xxxxxx Xxxxx, terimakasih atas semua kepercayaan, perhatian, cinta dan doa serta kasih sayang tulus tanpa pamrih yang diberikan;
10. Adikku tercinta, Xxxxx Xxxxxxx Xxxx Xxxxx, terimakasih atas semua kepercayaan, perhatian, cinta dan doa serta kasih sayang tulus tanpa pamrih yang diberikan;
11. Rekan-rekan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, Angkatan XXX, Jiwa Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, Xxx Xxxxx, Xxxxxx Xxxxx, Daru Buana Sejati, Xxxx Xxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx, yang telah menemani dan menimba ilmu bersama dalam suka maupun duka di fakultas tercinta ini. Khususnya BKU Bisnis Angkatan XXX, Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx Xxxxxx, Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxx Xxxxx, dan Xxxxx Xxxx Xxxxxx, terima kasih atas sepenggal waktu yang tak kan pernah terlupakan, semoga ukhuwah tetap terjaga hingga akhir waktu;
12. Saudara, teman, rekan-rekan dan pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu maupun memberikan semangat.
Yogyakarta, 15 Juni 2016
Penulis Awalludin Norsandy
13912034
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Halaman Persetujuan ii
Halaman Pengesahan iii
Halaman Motto dan Persembahan iv
Pernyataan Orisinalitas v
Kata Pengantar vi
Daftar Isi ix
Abstrak xi
Bab I Pendahuluan 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Penelitian 7
E. Tinjauan Pustaka 7
F. Kerangka Teoritis 8
G. Metode Penelitian 18
1. Jenis Pendekatan Penelitian 18
2. Sumber Bahan Hukum 18
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 19
4. Analisis Bahan Hukum 19
Bab II Perjanjian, Xxxxxxxx Xxxx dan Hukum Persaingan usaha 21
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 21
1. Pengertian Perjanjian 21
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian 25
3. Perjanjian Keagenan 36
4. Perjanjian Distribusi Barang 39
B. Perjanjian Dengan Klausula Baku 42
C. Tinjauan Umum tentang MLM 49
D. Hukum Persaingan Usaha 60
Bab III Klausula Baku dalam Perjanjian Multi Level Marketing yang Bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha 63
A. Xxxxxxxx-Xxxxxxxx Xxxx yang Ada pada Perjanjian Multi Level Marketing
di Indonesia 63
B. Xxxxxxxx-Xxxxxxxx Baku yang Bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha 79
Bab IV Penutup 107
A. Kesimpulan 107
B. Saran 109
Daftar Pustaka 110
ABSTRAK
XXXXXXXX-XXXXXXXX BAKU DALAM PERJANJIAN MULTI LEVEL MARKETING YANG BERTENTANGAN DENGAN
HUKUM PERSAINGAN USAHA
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami berbagai jenis klausula baku yang ada pada perusahaan Multi Level Marketing (MLM) yang ada di Indonesia dan untuk memahami serta menganalisa bentuk-bentuk klausula baku yang masih ada dalam praktik bisnis di Indonesia yang bertentangan dengan hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia.
Perjanjian MLM yang ada di Indonesia telah melanggar prinsip-prinsip persaingan usaha tidak sehat yang dapat dilihat dari beberapa indikator di dalam perjanjian. Bentuk pelanggaran itu berupa pemberian hak eksklusif kepada pemasok untuk menyediakan barang dan/atau jasa. Barang yang dijual oleh perusahaan MLM yang umumnya berupa barang hanya diperoleh di stokist/kantor cabang di seluruh Indonesia.
Pelanggaran lainnya perusahaan MLM membatasi jumlah pemasok dalam hal ini distributor untuk menyediakan barang dan/atau jasa yaitu berdasarkan syarat dan ketentuan perusahaan MLM tersebut mengenai keanggotaan. Selain itu terdapat indikator yaitu pengendalian harga jual barang dan/atau jasa. Perusahaan MLM mengendalikan harga jual barang dan/atau jasa kepada para member yaitu tidak melebihi dari harga yang telah ditentukan di dalam katalog dan tidak boleh di bawah dari harga katalog yang telah dikurangi dengan beberapa persen sebagai potongan harga khusus bagi member.
Berkaitan dengan indikator tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian yang dilakukan oleh Perusahaan MLM dengan member (yang sebenarnya tidak dapat secara tegas dikualifikasikan sebagai agen atau distributor) potensial melanggar Pasal 5, 11 dan 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Perilaku pelaku usaha dalam praktik MLM yang ada di Indonesia mengarah pada pelanggaran Pasal 5, 11 maupun 19. Dalam kegiatan MLM dapat dilihat dari Perjanjian di dalam bisnis MLM adalah perjanjian antara pemasok barang dengan pelaku usaha. Penerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu. Pihak tertentu yang dimaksud di dalam syarat dan ketentuan perusahaan MLM dalam hal ini adalah member. Penerima barang dan/atau jasa harus bersedia membeli barang dan/atau jasa dari pelaku pemasok. Penerima produk diberikan potongan harga jika bersedia membeli produk lain dari pelaku pemasok. Mengingat pasal-pasal tersebut bukan merupakan pasal kumulatif sehingga tidak semua unsurnya harus terpenuhi untuk dapat dikatakan terjadi pelanggaran terhadap pasal-pasal atau pasal ini bersifat alternatif.
Kata Kunci: Xxxxxxxx Xxxx, Perjanjian MLM, Hukum Persaingan Usaha.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seperti yang telah lama diketahui perkembangan dunia bisnis pada umumnya mengalami banyak perubahan. Era globalisasi ekonomi dunia yang menjadi motor penggerak ekonomi menyebabkan area persaingan bisnis menjadi meluas. Indonesia secara khusus, mau tidak mau juga turut terbawa dalam arus perubahan dunia bisnis yang terjadi. Perkembangan dunia bisnis di Indonesia adalah dengan banyak ditemuinya berbagai macam sistem perdagangan yang salah satu diantaranya sistem bisnis Multi Level Marketing atau yang biasa dikenal dengan MLM. MLM menurut akar kata adalah singkatan dari Multi Level Marketing, multi berarti banyak dan level berarti jenjang atau tingkat sedangkan marketing artinya pemasaran. Jadi Multi Level Marketing adalah pemasaran yang berjenjang banyak.1
Sistem bisnis ini awalnya banyak dikembangkan oleh perusahaan- perusahaan di luar negeri, yang akhirnya mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Sistem bisnis ini menarik dengan adanya keeksklusifannya dimana hanya orang-orang yang telah terdaftar sebagai anggota, agen, distributor atau stockist-lah yang dapat membeli atau menikmati produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Sistem bisnis ini mampu menarik antusiasme masyarakat, terbukti dengan adanya seseorang leader dalam salah satu produk MLM yang memiliki passive income (pendapatan pasif atau tanpa melakukan aktifitas apapun). MLM biasanya membuat peserta atau anggotanya mencari anggota lain dengan imbalan tertentu secara berjenjang. Member yang mendapatkan banyak anggota yang rajin membeli barang akan mendapat keuntungan yang berlipat ganda daripada anggota atau member yang hanya membeli saja tanpa mencari anggota atau bawahan atau yang biasa dikenal dengan istilah downline. Dengan mendapatkan banyak anggota yang terdaftar, member tersebut memperoleh hasil marketing-nya dan dapat menularkan kemampuan mencari member kepada bawahan atau downline maka dipastikan orang itu akan sukses bermain MLM dan mendapatkan berbagai insentif maupun bonus.2
Problematika hukum dari sistem bisnis MLM dapat dilihat pada setiap distributor yang baru melakukan pendaftaran pada suatu Perusahaan Multi Level Marketing untuk menjadi bagian di dalam perusahaan tersebut yang diharuskan untuk melakukan pengisian pendaftaran keanggotaan. Para calon distributor tersebut mengisi form yang di dalamnya terdapat klausula baku “Saya adalah bukan karyawan atau perwakilan resmi...” dari suatu Perusahaan Multi Level Marketing. Hal ini terjadi pada mayoritas perusahaan yang bergerak di bidang Multi Level Marketing. Hal tersebut menjadi suatu permasalahan hukum tersendiri terutama apabila dilihat dari sudut pandang Hukum Persaingan Usaha.
Dalam konteks Multi Level Marketing, anggota baru atau distributor atau member bergerak memasarkan dan mendistribusikan produk perusahaan dan/atau pelayanan secara langsung ke konsumen dengan menjual langsung dan berdasarkan referensi hubungan. Member tidak digaji mewakili perusahaan dan membuat komisi berdasarkan volume penjualan. Para member yang lebih dahulu bergabung melakukan penjualan seiring membangun organisasi mereka sendiri dengan merekrut downline distributor independen lain yang melakukan hal yang sama sehingga seluruh organisasi (perusahaan) berkembang.3 Dengan arti lain perusahaan yang menggunakan konsep Multi Level Marketing pada umumnya memberikan peluang bisnis kepada membernya secara bebas. Artinya member bertindak sebagai distributor independen yakni tidak memiliki keterikatan kontrak dengan perusahaan MLM. Member akan memperoleh penghasilan yakni dengan cara memperkenalkan produk perusahaan MLM kepada distributor baru.4
Berdasarkan definisi tersebut terdapat 2 (dua) point penting yang harus dilakukan oleh seorang member diantaranya:
1. Member harus menawarkan dan memasarkan produk secara langsung kepada konsumen;
2. Member harus membentuk jaringan kerja serta diikuti dengan mengembangkan jaringan kerja tersebut. Dengan konsep tersebut para member juga diikat dan dikendalikan oleh Perusahaan MLM melalui kode etik yang menjadi pedoman bagi para member untuk menjalankan aktifitas bisnisnya.5
3 Lihat web xxxx://xx.xxxxxxxx.xxx/xxxxx-xxxxxxxx/xxxx.xxxxx?xxxxXxxxxxxXxxxxxxxx diakses 19 November 2014.
4 xxxx://xxxxxxxxxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxxx/000000000/00000/0/Xxxxxxx%00XX.xxx diakses pada 22 Desember 2014.
Sama seperti di dalam form pendaftaran member baru di dalam kode etik juga terdapat “klausula perjanjian” yang tidak mengenal seorang member sebagai karyawan atau bagian dari Perusahaan MLM. Sebagai contoh klausulanya adalah “Distributor bukan perwakilan agen resmi, karyawan Perusahaan sehingga tidak mempunyai wewenang mengikat atau berbicara atas nama perusahaan.”6 Sebagaimana pada umumnya para member untuk menjualkan atau memasarkan barang-barang milik perusahaan telah ditetapkan terlebih dahulu harga dan kesesuaiannya oleh Perusahaan MLM. Apabila hal ini dilihat dari kacamata hukum persaingan usaha menjadi suatu bentuk dari perjanjian Penetapan Harga yang telah dilarang oleh Undang-Undang.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat berbunyi “Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan.” Secara singkat telah terlihat secara jelas bahwa klausula baku atau standar yang dikeluarkan oleh Perusahaan MLM untuk merekrut member baru keanggotaannya yang bukan bagian dari Perusahaan telah menerapkan suatu larangan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
Selain melanggar larangan yang terdapat pada Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 sistem bisnis MLM juga menerapkan larangan yang ada pada Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana
diketahui sebagai Integrasi Vertikal.7 Hal ini dapat dilihat pada perjanjian yang dilakukan oleh Pelaku Bisnis MLM yang di dalamnya mengatur mengenai kode etik menjadi distributor atau agen atau member. Sebagai contoh Pengaturan Kode Etik Distributor dalam satu perusahaan MLM HWI (Health Wealth International) pada Pasal 11 Perjanjian,8 terdapat klausula baku mengenai Distribusi dan Ketentuan Harga Pokok sedangkan pada Pasal 11 ayat
(2) Perjanjian diatur mengenai “Distributor Dilarang Keras menjual produk PT. HWI kepada konsumen di bawah harga konsumen satuan (bukan berasal dari harga paket, promo atau harga khusus) yang telah ditetapkan pada lembar daftar harga konsumen terbaru.”9
Berbeda halnya apabila pembelian produk dilakukan oleh sesama Distributor atau apabila pembelian dilakukan setelah menjadi anggota atau member atau distributor dari Perusahaan MLM tersebut yang cenderung lebih murah dibandingkan dengan pembeli konsumen biasa. Hal inilah yang menjadikan larangan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut diterapkan pada sistem bisnis MLM. Dengan demikian Persaingan Usaha suatu produk sejenis menjadi tidak seimbang dan tidak sehat apabila diterapkan pada sistem bisnis MLM. Namun hingga kini perusahaan MLM di Indonesia justru
7 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan bahwa Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan, baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.
8 Kode Etik dan Peraturan Distributor PT. Health Wealth International (PT. HWI) dalam tulisan ini akan kita sebut dengan istilah Perjanjian saja.
semakin berkembang pesat dan makin menjamur meski terdapat kekurangan dan kelebihan atas penerapan bisnis MLM ini.
Oleh karena pertimbangan permasalahan hukum itulah penulis tertarik untuk dapat melakukan penelitian lebih dalam mengenai penerapan klausula- klausula baku yang diterima oleh para member dari Perusahaan MLM ditinjau dari perspektif Hukum Persaingan Usaha sehingga penulis berkesimpulan untuk melakukan penelitian Tesis ini dengan judul “Klausula Baku dalam Perjanjian Multi Level Marketing yang Bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha.”
B. Rumusan Masalah
Rumusan Masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apa saja jenis klausula-klausula baku yang ada pada perusahaan Multi Level Marketing (MLM) di Indonesia?
2. Benarkah klausula baku itu bertentangan dengan hukum persaingan usaha di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, peneliti bertujuan mengadakan penelitian ini guna:
1. Memahami berbagai jenis klausula baku yang ada pada perusahaan Multi Level Marketing (MLM) yang ada di Indonesia;
2. Memahami dan menganalisis bentuk-bentuk klausula baku yang masih ada dalam praktik bisnis di Indonesia dan bertentangan dengan hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Secara teoritis, penelitian ini dapat bermanfaat untuk pengembangan objek kajian hukum persaingan usaha di kalangan akademisi. Sedangkan secara empiris tentunya penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi kajian bagi pelaku usaha di bidang Multi Level Marketing maupun menjadi referensi perbaikan bagi Penegakan Hukum Persaingan Usaha dan Perlindungan konsumen di masa yang akan datang.
E. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui hasil-hasil penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan dan guna mengetahui orisinalitas sebuah karya ilmiah. Tinjauan pustaka juga berisi tentang review terhadap masalah dan hasil penelitian atau kajian yang sudah pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya terkait dengan masalah penelitian yang akan diteliti.10 Sejauh pengetahuan dan penelitian penulis terhadap judul dan permasalahan penelitian ini masih belum terdapat penelitian sejenis sebagaimana penulis akan melakukan penelitian. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx tahun 2011 dengan judul
10 Tim penulis, Buku Pedoman Penulisan Tugas Akhir (Tesis), (Yogyakarta: Program Pascasarjana FH UII, 2010), hlm. 12.
“Pelaksanaan Perjanjian dalam bisnis Multi Level Marketing (MLM) menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus K-Link). Penelitian tersebut meneliti mengenai apakah pelaksanaan perjanjian dalam bisnis MLM memenuhi unsur perjanjian tertutup pada kriteria Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dan bagaimana pengaruh perjanjian tersebut terhadap produsen dan distributor selaku pelaku usaha MLM. Penelitian tersebut lebih menitikberatkan pada Perjanjian distributor yang dianalisis secara normatif pada larangan perjanjian tertutup Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
F. Kerangka Teoritis
Teori atau doktrin dalam penelitian ini digunakan untuk menganalisis secara sistematis atau setidaknya untuk menjelaskan, memberi arti, memprediksi, meningkatkan sensitivitas penelitian, membangun kesadaran hukum dan sebagai dasar pemikiran penulis dalam melakukan penelitian ini.
Kaidah hukum perjanjian yang berlaku di Indonesia senantiasa mengacu pada kaidah yang terdapat pada KUHPerdata yang biasa dikenal dengan Burgerlijk Wetboek disingkat BW pada Pasal 1320. Isi kaidah yang menjadi syarat sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 tersebut adalah Sepakat, Kecakapan, Hal tertentu dan Causa (sebab, isi) yang halal.11 Keempat syarat itu menjadi indikator apakah suatu perjanjian tersebut dinyatakan sah dan dapat berlaku ataukah tidak.
Pengertian sepakat menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak.12 Sedangkan Kecakapan dapat diketahui melalui Pasal 1329 KUHPerdata adalah “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan- perikatan jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap.” Dan ketidakcakapan ditentukan oleh KUHPerdata pada Pasal 1330 “Tidak cakap untuk membuat persetujuan-persetujuan adalah Orang-orang belum dewasa; Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang, membuat persetujuan- persetujuan tertentu.”13 Kedua hal ini menjadi syarat subjektif atau syarat yang berkaitan dengan subjek perjanjian yang apabila cacat atau tidak terpenuhinya syarat ini akan memiliki akibat hukum terhadap perjanjian tersebut menjadi batal apabila dituntut pembatalannya dari salah satu pihak.
hlm. 4.
11 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan ke X, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995),
12 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, xx.xx., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT Citra
Xxxxxx Xxxxx, 2001), hlm. 74.
13 Ibid., hlm. 78.
Pengertian hal tertentu adalah barang yang menjadi objek suatu perjanjian.14 Hal ini diatur sebagaimana tercantum dalam Pasal 1332 “Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan.” Sedangkan Causa/Sebab yang halal menurut Yurisprudensi adalah isi atau maksud dari perjanjian sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 KUHPerdata.15 Kedua hal ini menjadi syarat objektif dari suatu perjanjian yang apabila syarat objektif ini cacat atau tidak terpenuhi maka terhadap perjanjian akan berakibat hukum menjadi batal demi hukum.
Perjanjian itu sendiri diartikan oleh KUHPerdata dalam Pasal 1313 adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Arti tersebut jelas mengindikasikan suatu asas konsensualisme atau adanya satu kesepakatan yang dibuat oleh para pihak. Kesepakatan ini mengakibatkan suatu perjanjian apabila dibuat secara sah akan mengikat para pihak menjadi Undang-Undang. Hal ini tertuang sebagaimana dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata.
Secara umum perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata yang menganut sistem terbuka yakni para pihak yang membuat perjanjan mempunyai kebebasan dalam menentukan serta mengatur bentuk maupun substansi dari perjanjian asalkan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Asas sistem terbuka dalam KUHPerdata ini adalah asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak di dalam pustaka-pustaka yang berbahasa Inggris
14 Xxxxxx Xxxxxxxx, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: PT Alumni, 2004), hlm. 209.
15 Ibid., hlm. 80-81.
dituangkan dengan istilah “Freedom Of Contract” atau “Liberty Of Contract” atau “Party Autonomy.” Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang universal sifatnya artinya dianut oleh hukum perjanjian di semua negara pada umumnya.16 Kebebasan berkontrak merupakan landasan yang kuat bagi perkembangan kontrak atau perjanjian yang seiring dengan dinamisasi zaman lebih mengedepankan adanya efisiensi waktu, biaya serta tenaga. Melalui landasan yang kuat inilah maka jenis perjanjian baku atau perjanjian yang bersifat standar mulai mengedepan serta merambah aspek-aspek hubungan hukum yang dibangun oleh karena adanya perjanjian.
Perjanjian baku adalah suatu kontrak yang dibuat hanya oleh satu pihak dalam kontrak tersebut bahkan seringkali kontrak tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya dengan mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausula-klausulanya dimana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk dapat bernegosiasi atau mengubah klasula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut sehingga biasanya perjanjian baku sangat berat
16 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Cetakan I, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal 18.
sebelah.17 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx juga mengemukakan ciri-ciri dari perjanjian baku yaitu:18
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat;
2. Masyarakat (debitor) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima perjanjian;
4. Bentuk tertentu (tertulis);
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Dengan diberlakukannya perjanjian baku tersebut timbul pertanyaan, apakah perjanjian baku itu telah memenuhi ketentuan syarat sahnya suatu perjanjian? Perjanjian baku atau standar sudah barang tentu akan berimplikasi terhadap kurangnya posisi tawar-menawar dari salah satu pihak yang membuat perjanjian. Hal inilah yang dalam tataran praktis di dunia Hukum Keperdataan menjadi satu kondisi yang memiliki kedudukan tidak seimbang diantara para pembuat perjanjian.
Pada setiap aktifitas bisnis saat ini dapat dipastikan terjadi suatu persaingan (competition) diantara para pelaku usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas serta memasarkan produk yang dimiliki baik barang/jasa sebaik mungkin agar diminati dan dibeli oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif sebaliknya dapat menjadi negatif bila dijalankan dengan perilaku negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan sistem ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif.19
17 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Cetakan III, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2007), hlm. 76.
18 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Perjanjian Baku (standard), Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 11.
19 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), hlm. 8.
Plus minus kondisi Persaingan diantara para pelaku usaha tersebut menyebabkan Negara memiliki peran serta andil dalam memajukan hak-hak ekonomi warga negaranya. Salah satu perlindungan atau peran negara tersebut adalah dengan menciptakan suatu kondisi persaingan yang sehat serta adil di masing-masing pelaku usaha yang sekaligus juga warga negaranya tanpa memperlakukan warga negara dengan diskriminatif ekonomi.
Di Indonesia sejak tahun 1980an diskursus mengenai persaingan usaha ini telah mencuat dan digaungkan ketika masa reformasi ekonomi dilakukan yakni berkisar pada tahun 1999 dan 2000. Hal tersebut ditandai dengan diberlakukan atau diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pada masa itu berkembang mekanisme saling “makan” diantara para pelaku usaha. Pelaku Usaha besar menyingkirkan Pelaku Usaha Kecil maupun menengah. Situasi ini jelas membuat pemerintah Negara Republik Indonesia bersikap dengan mengambil alih permainan/persaingan atau kompetisi bagi para pelaku usaha yang bergerak di Negaranya.
Penataan kembali kegiatan usaha di Indonesia ditandai dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang berasaskan kepada demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dengan kepentingan umum. Tujuannya untuk menjaga kepentingan umum dan melindungi konsumen, menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang,
mencegah praktik-praktik monopoli serta menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam rangka meningkatkan ekonomi nasional.20
Dari konsideran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dapat diketahui falsafah mendasar yang mendorong lahirnya dan memuat dasar-dasar pemikiran dari adanya Undang-Undang tersebut yaitu:
a. Bahwa pembangunan bidang ekonomi harus diarahkan kepada terwujudnya kesejahteraan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
b. Bahwa demokrasi dalam bidang ekonomi menghendaki adanya kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar;
c. Bahwa setiap orang yang berusaha di Indonesia harus berada dalam situasi persaingan sehat dan wajar sehingga tidak menimbulkan adanya pemusatan kekuatan ekonomi pada pelaku usaha tertentu dengan tidak terlepas dari kesepakatan yang telah dilaksanakan oleh Negara Republik Indonesia terhadap perjanjian-perjanjian Internasional.
Dengan demikian tujuan dari pengaturan mengenai iklim usaha atau persaingan usaha oleh negara diharapkan bagi warganya dapat berkompetisi dengan sehat dan seimbang diantara pelaku usaha sehingga dapat meminimalisir adanya penguasa dari pelaku usaha. Berdasarkan Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tersebut pada pengaturannya mengenal ada 3
20 Devi Meyliana, Hukum Persaingan Usaha “Studi Konsep Pembuktian terhadap Perjanjian Penetapan Harga dalam Persaingan Usaha,” (Malang: Setara Press, 2013), hlm. 1.
(tiga) ragam/bentuk pelanggaran dari persaingan usaha diantaranya Perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan posisi dominan. Setiap bentuk pelanggaran tersebut memiliki karakteristik masing-masing. Sebagai contoh yang terdapat di dalam Undang-Undang tersebut, bentuk Perjanjian yang dilarang diantaranya Oligopoli (Pasal 4), Penetapan Harga (Pasal 5), Diskriminasi harga dan diskon (Pasal 6 sampai dengan 8), Pembagian wilayah (Pasal 9), Pemboikotan (Pasal 10), Kartel (Pasal 11), Trust (Pasal 12), Oligopsoni (Pasal 13), Integrasi Vertikal (Pasal 14), Perjanjian Tertutup (Pasal 15) dan Perjanjian dengan Luar Negeri (Pasal 16). Pada bentuk kegiatan yang dilarang adalah pada Monopoli (Pasal 17), Monopsoni (Pasal 18), Persaingan Pasar (Pasal 19), Dumping (Pasal 20), Manipulasi Biaya Produksi (Pasal 21), Persekongkolan (Pasal 22). Sedangkan pada Posisi Dominan contoh-contoh yang dilarang adalah Kegiatan posisi dominan yang bersifat umum (Pasal 25), Jabatan rangkap atau kepengurusan terafiliasi (Pasal 26), Pemilikan saham atau terafiliasi (Pasal 27), Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan perusahaan (Pasal 28 dan Pasal 29).
Mengerucut pada penelitian ini penulis ingin membatasi aspek teoritik pada bentuk-bentuk Pelanggaran yang terjadi yakni pada Penetapan Harga dan praktik monopoli yang berdasarkan perjanjian baku dari Perusahaan Multi Level Marketing tersebut menyentuh ranah ketiga pelanggaran itu.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 melarang perjanjian antar produsen dimana produsen menetapkan harga yang harus dibayar pembeli untuk barang dan/atau jasa yang diperdagangkan di pasar bersangkutan yang
sama dari segi faktual dan geografis.21 Larangan melakukan perjanjian penetapan harga menyebabkan tidak dapat berlakunya hukum pasar tentang harga yang terbentuk dari penawaran dan permintaan (supply and demand). Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan bahwa “Pelaku Usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan.”
Perjanjian Penetapan Harga dikecualikan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam tiga hal yakni:22
a. Perjanjian harga yang diizinkan seperti penentuan harga yang dilakukan oleh pemerintah;
b. Perjanjian harga yang dibuat dalam joint venture;
c. Perjanjian Harga Langsung.
Sedangkan pada kegiatan monopoli dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terdapat pada Pasal 17 yang menyebutkan bahwa “Bentuk monopoli yang dilarang ialah apabila memenuhi unsur-unsur melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa atau barang dan jasa tertentu, melakukan kegiatan penguasaan atas pemasaran produk barang, jasa atau barang dan jasa tertentu, penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.23
Pengertian Monopoli sendiri menurut R. S. Khemani dan D.W. Xxxxxxx adalah upaya perusahaan atau kelompok perusahaan yang relatif besar dan memiliki posisi dominan untuk mengatur atau meningkatkan kontrol terhadap
21 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx, op.cit., hlm. 96.
22 Ibid., hlm. 98.
23 Xxxx Xxxxxxxx, op.cit., hlm. 21-22.
pasar dengan cara berbagai praktik anti kompetitif seperti penetapan harga yang mematikan (predatory pricing), pre-emptive of facilities dan persaingan yang terttutup.24
Selain itu Xxxx Xxxxxx juga memberikan batasan definisi dari Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.25 Sedangkan Praktik Monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.26 Dari batasan-batasan pengertian monopoli tersebut dapat kita lihat bahwa kegiatan monopoli haruslah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:27
1) Perusahaan melakukan penguasaan atas produksi suatu produk dan/atau melakukan penguasaan atas pemasaran suatu produk;
2) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli;
3) Penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik persaingan usaha tidak sehat;
Dengan demikian untuk dapat menentukan suatu perbuatan yang dilakukan oleh Perusahaan Multi Level Marketing apakah merupakan kegiatan Monopoli ataukah Perjanjian Penetapan Harga maka perlu dianalisis lebih dalam berkenaan dengan pemenuhan masing-masing unsur dari kegiatan tersebut.
24 R.S. Khemani dan D.W. Xxxxxxx, Glossary of Industrial Organization Economics and Competition Law, sebagaimana dikutip A.M. Xxx Xxxxxxxxx, Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: UI Press, 2003), hlm. 249.
25 Xxxx Xxxxxx, Kumpulan Slide Perkuliahan Hukum Persaingan Usaha, (Yogyakarta: Pascasarjana FH UII, 2010).
26 Ibid.
27 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx, op. cit., hlm. 150.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Pendekatan Penelitian
Penelitian yang telah dilakukan yakni penelitian normatif dimana lebih mengedepankan pengonsepsian hukum sebagai law in doctrine meliputi nilai-nilai, norma-norma hukum positif ataupun putusan pengadilan. Dalam penelitian ini cakupan penelitian yakni seperti penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum yang keseluruhannya ternaung dalam pendekatan konseptual penelitian.28
Penelitian ini menggunakan 3 pendekatan yaitu :29
b. Pendekatan kebijakan yakni pendekatan dalam pembuatan keputusan yang berorientasi kepada tujuan yang hendak dicapai;
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian normatif diperlukan bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat diantaranya yang akan digunakan oleh Penulis pada
28Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: UI Press, 2010), hlm. 51.
29 Ibid., hlm. 40.
penelitian ini adalah Pertama, Konstitusi atau Hukum Dasar dalam hal ini Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 setelah amandemen. Kedua, Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tema penelitian ini yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Ketiga, Perjanjian-perjanjian yang berlaku dan digunakan oleh Perusahaan- perusahaan Multi Level Marketing.
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Cara atau teknik pengumpulan data yang dilakukan di dalam penelitian ini diterapkan dengan dua cara yakni studi pustaka yang biasa dilakukan dengan mengkaji jurnal, hasil penelitian hukum dan literatur- literatur yang berhubungan dengan penelitian. Kedua, Studi Dokumen yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan dan kode etik serta perjanjian antara anggota Multi Level Marketing (MLM) dengan perusahaan Multi Level Marketing (MLM).
4. Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang bersifat deskriptif maka analisis yang digunakan bersifat kualitatif yakni dengan
mencari unsur-unsur pokok dari gambaran umum kemudian unsur-unsur pokok tersebut dikaitkan satu sama lain. Dengan demikian sumber data yang berupa hukum tersebut dikumpulkan dan disusun secara sistematis untuk selanjutnya dianalisis oleh penulis.
BAB II PERJANJIAN, KLAUSULA BAKU,
DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian diatur di dalam Buku III KUHPerdata tentang Perikatan bab kedua bagian kesatu sampai bagian keempat. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Definisi tersebut oleh para Sarjana Hukum dianggap memiliki kelemahan karena di satu pihak kurang lengkap dan di pihak lainnya terlalu luas. Dianggap kurang lengkap karena hanya merumuskan perjanjian sepihak saja padahal dalam kehidupan sehari-hari di samping perjanjian sepihak juga dapat dijumpai suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai hak dan kewajiban. Perjanjian inilah yang disebut dengan perjanjian timbal-balik. Perjanjian timbal-balik ini juga merupakan perjanjian yang seharusnya tercakup dalam batasan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut.30
Sebaliknya dikatakan terlalu luas karena perjanjian menurut Pasal tersebut diartikan sebagai suatu perbuatan. Apabila setiap perjanjian dikatakan sebagai suatu perbuatan maka segala perbuatan baik yang bersifat hukum atau tidak dapat dimasukkan dalam suatu perjanjian misalnya
30 Xxxxxxxx Xxxxxx, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.
45.
perbuatan melawan hukum, perwakilan xxxxxxxx dan hal-hal mengenai xxxxx xxxxx.00
Atas dasar alasan-alasan itulah maka para Sarjana Hukum merasa perlu untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian. Subekti memberikan definisi perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.32 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx memberikan definisi perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.33
Sedangkan menurut X. Setiawan perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut yaitu “Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum serta menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Sehingga perumusannya menjadi Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.34
Berdasarkan ketiga pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan kata sepakat untuk melaksanakan sesuatu hak yang merupakan hubungan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi kedua pihak tersebut.
31 Ibid, hlm. 46.
32 Subekti, Aneka Perjanjian, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 1995), hlm. 3.
33 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 97.
34 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1979), hlm. 49.
Menurut Pasal 1233 KUHPerdata perjanjian adalah salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian memberikan hak pada pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut.
Dalam hal debitor tidak melaksanakan perjanjian yang telah disepakati tersebut maka kreditor berhak untuk menuntut pelaksanaan kembali perjanjian yang belum, tidak sepenuhnya atau tidak sama sekali dilaksanakan atau yang telah dilaksanakan secara bertentangan atau tidak sesuai dengan yang diperjanjikan dengan atau tidak disertai dengan penggantian berupa bunga, kerugian dan biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditor.
Jika diperhatikan dengan seksama, rumusan yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak) lainnya yang berhak atas prestasi tersebut.
Rumusan tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu ada dua pihak dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak
atas prestasi tersebut (kreditor). Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari satu atau lebih orang bahkan dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu atau lebih badan hukum.35
Selanjutnya jika dibaca dan disimak dengan baik rumusan yang diberikan dalam Pasal 1314 KUHPerdata, rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut dikembangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa atas prestasi yang wajib dilakukan oleh debitor dalam perjanjian tersebut, debitor yang berkewajiban tersebut dapat meminta dilakukannya kontra prestasi dari lawan pihaknya tersebut (dalam KUHPerdata yang diterjemahkan oleh. R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx disebut dengan istilah dengan atau tanpa beban).
Kedua rumusan tersebut memberikan banyak arti bagi ilmu hukum. Dengan adanya kedua rumusan yang saling melengkapi tersebut dapat kita katakan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang bersifat sepihak (dimana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi).
Dengan demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan dengan kewajiban berprestasi yang saling bertimbal balik. Debitor pada satu sisi menjadi kreditor pada sisi yang lain pada saat yang bersamaan. Ini adalah karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perxxxxxxx. Pada perikatan yang lahir dari Undang-Undang, hanya ada satu
35 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 92.
pihak yang menjadi debitor dan pihak lain yang menjadi kreditor yang berhak atas pelaksanaan prestasi tersebut.36
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diketahui bahwa perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Jadi dengan demikian perjanjian sebagai sumber perikatan berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut.
2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Keabsahan suatu perjanjian (syarat sahnya perjanjian) diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal (tidak terlarang).
Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang digolongkan ke dalam:
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subjektif), dan
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif).37
Unsur subjektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Hal ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak dapat mengikat sepanjang tidak dibatalkan oleh salah satu pihak.
Unsur objektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan objek yang diperjanjikan dan causa dari objek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Apabila salah satu dari syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum (void/void ab initio). Hal ini mengandung konsekuensi bahwa perjanjian yang terjadi antara para pihak dianggap tidak pernah terjadi di hadapan hukum sehingga para pihak tidak dapat saling menuntut kepada pihak lainnya untuk dipenuhinya kewajiban yang timbul akibat perjanjian.
Sebagaimana pendapat Subekti tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan
oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim.38
Keabsahan atau syarat sahnya suatu perjanjian memerlukan 4 (empat) syarat dan dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Ketentuan yang mengatur tentang kesepakatan tercantum dalam Pasal 1321 sampai Pasal 1328 KUHPerdata. Kata sepakat di sini adalah persesuaian kehendak antara para pihak mengenai hal-hal yang menjadi pokok perjanjian, apa yang dikehendaki pihak yang satu disetujui oleh pihak yang lain.
Mengenai kata sepakat ini di dalam KUHPerdata tidak ada pengaturannya lebih lanjut, KUHPerdata dalam Pasal 1321 hanya mengatur mengenai tidak adanya kata sepakat. Bunyi Pasal 1321 KUHPerdata tersebut adalah tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
Jadi menurut Pasal 1321 KUHPerdata tersebut jika dalam suatu perjanjian terdapat unsur-unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan berarti perjanjian tersebut tidak mempunyai unsur kata sepakat dan karena kata sepakat merupakan salah satu syarat untuk sahnya perjanjian maka perjanjian yang dibuat dengan tidak ada kata sepakat mengakibatkan tidak sahnya perjanjian itu.
“Paksaan (dwang) terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena takut pada ancaman, kekhilafan (dwaling) dapat terjadi mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak- pihak yang mengadakan perjanjian, penipuan (bedrog) terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar disertai dengan kelicikan-kelicikan sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.”39
KUHPerdata tidak menjelaskan yang dimaksud dengan kekhilafan (dwaling) tetapi membatasi kekhilafan yang merusak kesepakatan adalah kekhilafan mengenai hakikat barang yang menjadi pokok perjanjian dan kekhilafan mengenai diri seseorang. Menurut Subekti kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang yang menjadi objek perjanjian ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu.40
Paksaan (dwang) diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata yang merumuskan bahwa suatu paksaan terjadi bila terdapat perbuatan yang sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang yang berpikiran sehat dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Menurut Subekti bahwa yang dimaksud dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psikis) jadi bukan paksaan badan (fisik).41 Xxxxxxxx juga paksaan yang dilakukan terhadap suami atau istri dari pihak perjanjian atau sanak keluarga dalam garis ke atas maupun ke bawah (Vide Pasal 1325 KUHPerdata) dan paksaan yang
39 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT Intermasa, 1989), hlm. 135.
40 Subekti, Aneka Perjanjian, op,cit, hlm. 23.
dilakukan oleh pihak ketiga (Vide Pasal 1323 KUHPerdata), yang dimaksud dengan pihak ketiga di sini adalah pihak di luar perjanjian.
Penipuan (bedrog) merupakan salah satu alasan yang merusak kesepakatan. Penipuan yang berupa tipu muslihat dari salah satu pihak yang sedemikian rupa sehingga menjadi terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak akan membuat perikatan itu jika tidak ada tipu muslihat (Vide Pasal 1328 KUHPerdata). Menurut Subekti bahwa penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan- keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perijinannya.42
Selain penyebab cacat kehendak yang diatur dalam KUHPerdata, dalam perkembangannya ada bentuk atau faktor penyebab cacat kehendak yang diatur dalam yurisprudensi yang lazim disebut penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence).
Penyalahgunaan keadaan (undue influence) dapat terjadi apabila seseorang menggerakkan hati orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan menyalahgunakan keadaan yang sedang dihadapi oleh orang tersebut. Misalnya saja salah satu pihak mempunyai kedudukan yang lebih unggul di bidang ekonomi atau status sosial sehingga pihak tersebut melakukan tekanan sedemikian rupa kepada pihak lain dengan menyalahgunakan kedudukannya dalam perjanjian. Penyalahgunaan keadaan terjadi apabila orang mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa pihak lain karena keadaan darurat,
ketergantungan, tidak dapat berfikir panjang, keadaan jiwa yang abnormal atau tidak berpengalaman tergerak untuk melakukan suatu perbuatan hukum meskipun ia tahu atau seharusnya mengerti bahwa sebenarnya ia harus mencegahnya.43
b. Adanya Kecakapan untuk membuat suatu Perjanjian
Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUHPerdata. Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan kecuali jika oleh Undang-Undang tidak dinyatakan tidak cakap.
Adanya kecakapan ini diperlukan mengingat bahwa:
Orang yang membuat suatu perjanjian itu nantinya akan terikat oleh karena itu ia harus mampu untuk menginsyafi benar-benar akan tanggungjawab atas perbuatannya itu dan ia harus sungguh-sungguh bebas atas harta kekayaannya.”44
KUHPerdata tidak mengatur lebih lanjut mengenai siapa yang cakap bertindak. Pasal 1330 KUHPerdata hanya menyebutkan siapa yang tidak cakap untuk membuat perikatan yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
c. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua membuat perjanjian-perjanjian tersebut.
43 Xxxxxxxx Xxxxxx, op.cit., hlm. 61.
Dilihat dari sudut keadilan bahwa orang yang membuat suatu perjanjian nantinya akan terikat oleh perjanjian itu seyogyanya mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban umum karena yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggungjawab yang dipikul oleh seorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, kedudukannya sama dengan seorang anak yang belum dewasa yang harus diwakili oleh orang tua atau walinya maka seorang dewasa yang telah ditaruh di bawah pengampuan harus diwakili oleh pengampu atau kuratornya.45
Penulis berkesimpulan dari ketentuan tersebut yang cakap membuat suatu perjanjian adalah mereka yang berada di luar Pasal 1330 KUHPerdata yaitu:
1) Orang-orang yang sudah dewasa;
2) Mereka yang tidak ditaruh di bawah pengampuan;
3) Mereka yang oleh Undang-Undang tidak dilarang untuk membuat perjanjian-perjanjian tersebut.
Keadaan dewasa yang memenuhi syarat undang-undang disebut kedewasaan. Orang dewasa atau dalam kedewasaan cakap atau mampu
(bekwaam, capable) melakukan semua perbuatan hukum. Misalnya membuat perjanjian, melakukan perkawinan, membuat surat wasiat dan lain sebagainya. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yaitu sebagaimana telah diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang tersebut bahwa syarat batas usia sebagai dewasa atau cakap menurut hukum adalah 18 (delapan belas) tahun. 46
c. Adanya Suatu Hal Tertentu
Pasal 1332 sampai Pasal 1334 KUHPerdata mengatur syarat adanya suatu hal tertentu dalam perjanjian. Objek yang tertentu di sini adalah prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian dan prestasi itu adalah merupakan pokok perjanjian. Apa yang menjadi hak dan kewajiban dari para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus jelas dan tegas.
Pasal 1332 KUHPerdata mengatur bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian.
Pasal 1333 KUHPerdata mengatur bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan atau dihitung.
46 Xxxxx Xxxxxxxxx, Cakap Hukum, Bidang Perkawinan dan Perjanjian, (Yogyakarta: Insania Cita Press, 2006), hlm. 49.
Ketentuan pasal tersebut mengisyaratkan bahwa “Secara sepintas dengan rumusan “pokok perjanjian berupa barang yang telah ditentukan jenisnya” tampaknya KUHPerdata hanya menekankan pada perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu. Namun demikian jika kita perhatikan lebih lanjut rumusan tersebut hendak menegaskan kepada kita semua bahwa apapun jenis perikatan baik itu perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, KUHPerdata hendak menjelaskan bahwa semua jenis perikatan tersebut pasti melibatkan kebendaan atau eksistensi dari suatu kebendaan yang tertentu.47
Pasal 1334 KUHPerdata mengatur benda atau barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari juga dapat dijadikan objek perjanjian tetapi tidaklah diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal mengenai warisan itu sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu.
Selain itu barang yang baru akan ada di kemudian hari tidak boleh dijadikan objek hibah.48 Apabila hal ini terjadi maka berakibat perjanjian tersebut batal. Pengecualian-pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1334 ayat (2) KUHPerdata dan Pasal 1667 KUHPerdata.
d. Adanya Sebab yang Halal
Pasal 1335 KUHPerdata sampai Pasal 1337 KUHPerdata mengatur adanya sebab yang halal sebagai syarat sahnya perjanjian. Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang,
47 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, op.cit., hlm 154.
48 Pasal 1667 KUHPerdata menyatakan bahwa hibah hanyalah dapat mengenai benda- benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekadar mengenai hibahnya adalah batal.
tidaklah mempunyai kekuatan. Definisi atau pengertian sebab yang dimaksud dalam pasal 1320 KUHPerdata mengacu pada ketentuan Pasal 1335 KUHPerdata bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah bukan tanpa sebab, bukan sebab yang palsu dan bukan sebab yang terlarang. Pasal 1336 KUHPerdata menyatakan jika tidak dinyatakan suatu sebab tetapi ada sebab yang tidak dilarang atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan itu, perjanjian itu adalah sah.
Pada dasarnya Undang-Undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi alasan atau dasar dibentuknya perjanjian tertentu yang ada diantara para pihak. Atau Undang-Undang memang tidak mempedulikan apakah yang merupakan dan yang ada di dalam benak setiap manusia yang membuat dan mengadakan perjanjian melainkan Undang-Undang hanya memperhatikan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian yang dibuat tersebut merupakan prestasi yang dilarang oleh hukum.
Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau ketertiban umum. Menurut Xxxxxx Xxxxxx sebab atau causa di sini ialah apa yang menjadi isi nurani dari pihak-pihak dalam perjanjian tersebut. Maksudnya motif dari perjanjian atas dasar mana pihak yang bersangkutan menghendaki perjanjian itu.49
49 Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Perdata AB, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 19.
Kalau dilihat pengertian yang diberikan oleh Xxxxxx Xxxxxx, sebab atau causa dari perjanjian itu dititikberatkan pada motif atau sebab alasan sudah jelas barulah perjanjian tersebut dapat dilaksanakan. Subekti mengartikan sebab atau causa itu adalah maksud dan tujuan dari perjanjian itu. Jadi yang dititikberatkan adalah perbuatan dari para pihak tersebut bukan motif yang mendorong para pihak membuat perjanjian itu.
Pengertian sebab atau causa yang diartikan oleh Subekti lebih sesuai dengan pengertian sebab atau causa yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata terutama syarat keempat untuk suatu perjanjian yaitu sebab yang halal dinyatakan di dalam Undang-Undang tidak peduli apa yang mendorong orang itu membuat perjanjian tetapi yang diperhatikan hanyalah tindakan dari orang-orang tersebut. Sebab atau causa yang halal adalah isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan hukum atau Undang-Undang.
Sebab (oorzaak, causa) bukanlah hubungan sebab akibat sehingga pengertian causa di sini tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan ajaran kausaliteit. Karena Pasal 1335, Pasal 1336 dan Pasal 1337 KUHPerdata membedakan sebab yang halal ini dengan:
a. Perjanjian tanpa kausa yaitu suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat kerena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan;
b. Sebab yang halal yaitu jika tidak dinyatakan sesuatu sebab tetapi ada suatu sebab yang halal ataupun jika ada suatu sebab lain dari pada yang dinyatakan, perjanjiannya namun demikian adalah sah;
c. Sebab terlarang adalah apabila dilarang oleh Undang-Undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Menurut yurisprudensi kausa ditafsirkan dengan isi atau maksud dari perjanjian. Melalui syarat kausa di dalam praktik maka ia merupakan upaya untuk menempatkan perjanjian di bawah pengawasan hakim. Hakim dapat menguji apakah tujuan dari perjanjian itu dapat dilaksanakan dan apakah isi perjanjian tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
3. Perjanjian Keagenan
Untuk memasarkan dan menjual produk industri baik berupa barang maupun jasa kepada konsumen, pelaku usaha atau produsen memiliki 2 (dua) pilihan yaitu memasarkan atau menjual sendiri produk tersebut atau dalam kegiatan pemasaran dan penjualan produk tersebut kepada konsumen dilakukan oleh agen atau distributor yang telah ditunjuk. Di dalam hukum kontrak atau hukum bisnis dikenal perjanjian keagenan (agency agreement). Agen (agent) adalah seorang yang diberikan kewenangan oleh prinsipal (principail) untuk mewakili dirinya untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pihak
ketiga. Hubungan hukum antara prinsipal dan agen didasarkan pada perjanjian keagenan.50
Pada dasarnya keagenan adalah perjanjian antara seorang perantara dan prinsipal (principail). Perantara mengikatkan diri kepada prinsipal untuk melakukan suatu perbuatan hukum untuk kepentingan prinsipal. Dengan kata lain, keagenan dapat dimaknai sebagai perjanjian antara seorang prinsipal dan seorang perantara dimana prinsipal memberikan kewenangan kepada perantara untuk mengadakan perjanjian dengan pihak ketiga untuk kepentingan prinsipal.51
Xxxxxxxxx adalah orang yang memberikan tugas kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan orang lain untuk kepentingannya. Sedangkan perantara adalah orang yang memegang kuasa atau di bawah pengawasan prinsipal. Di dalam perjanjian keagenan menjualkan produk prinsipal kepada konsumen dengan harga yang telah ditetapkan oleh prinsipal. Prinsipal wajib memberikan komisi atau imbalan lain kepada perantara sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Apabila keperantaraan tersebut dilakukan tanpa komisi atau imbalan lain maka hal tersebut harus dinyatakan secara tegas. Komisi atau imbalan lain tersebut jika tidak diperjanjikan akan diberikan sesudah perikatan atau syarat- syarat yang ditentukan dalam perjanjian keperantaraan terpenuhi.52
50 Xxxxxx Xxxxxxxxx, op.cit., hlm. 247
51 Ibid., hlm. 248.
52 Ibid., hlm. 250.
Suatu keagenan dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis yaitu:53
a. Agen manafaktur (manafacture‟s agent) yaitu agen yang berhubungan langsung dengan pihak (manafaktur) untuk melakukan pemasaran atas seluruh atau sebagian barang-barang hasil produksi tersebut;
b. Agen penjualan (selling agent) adalah agen yang merupakan wakil dari pihak penjual yang bertugas untuk menjual barang-barang milik pihak prinsipal kepada pihak konsumen;
c. Agen pembelian (buying agent) adalah agen yang merupakan wakil dari pihak pembeli yang bertugas untuk membeli barang-barang untuk pihak prinsipal;
d. Agen khusus (special agent) adalah agen yang diberikan wewenang khusus kasus satu per satu atau melakukan sebagian saja dari transaksi tersebut;
e. Agen umum (general agent) adalah agen yang diberikan wewenang secara umum untuk melakukan seluruh transaksi atas barang-barang yang telah ditentukan;
f. Agen tunggal/eksklusif (sole agent, exclusive agent) adalah penunjukan satu agen untuk mewakili prinsipal untuk suatu wilayah tertentu.
Anatomi perjanjian keagenan yaitu judul (title), pembukaan, komparisi, premis, penunjukan agen, wilayah dan jangka waktu.
53 Xxxxx Xxxxx, Pengantar Bisnis Modern (Bisnis Modern di Era Global), (Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2002), hlm. 246-247.
Sedangkan anatomi perjanjian keagenan sendiri yaitu berisi hak dan kewajiban agen, berakhirnya perjanjian, hukum yang berlaku (jika melibatkan orang atau badan hukum asing), penyelesaian sengketa, lain- lain, penutup, tanda tangan para pihak.54
Jadi secara umum dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian keagenan yang dikecualikan adalah jika:
a) Agen bertindak untuk dan atas nama prinsipal;
b) Harga jual suatu barang atau jasa ditetapkan oleh prinsipal;
c) Prinsipal menanggung risiko akibat perjanjian antara agen dengan pihak ketiga;
d) Hubungan antara prinsipal dengan agen adalah hubungan kerja yang berada pada tingkat pertama;
e) Agen mendapatkan komisi atau salary dari hubungan kerja tersebut.
4. Perjanjian Distribusi Barang (Distributorship Agreement)
Distributor adalah seorang pedagang yang membeli barang dari pabrikan atau manufacturer (biasa disebut sebagai produsen atau prinsipal) untuk dijual kembali oleh distributor tersebut atas nama dirinya sendiri. Distributor mendapatkan barang tersebut melalui perjanjian jual beli. Perjanjian distributor ini terjadi setelah prinsipal sebagai penjual menunjuk pembeli sebagai distributor. Setelah distributor mendapatkan barang tersebut dari prinsipal, distributor wajib memasarkan dan menjualnya
54 Ibid.
kepada konsumen wilayah pemasaran dan penjualan yang ditentukan (wilayah kedistribusian).55 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian distributor adalah perjanjian antara prinsipal dan distributor untuk memasarkan dan menjual produk yang dihasilkan prinsipal kepada konsumen. Secara yuridis barang yang dijual oleh prinsipal tersebut adalah barang miliknya sendiri. Distributor hanya menjual produk atau barang tersebut di wilayah kedistribusiannya. Distributor mendapatkan keuntungan dari margin atau selisih antara harga pembelian dari prinsipal dan harga penjualan kepada konsumen.56
Terdapat beberapa karakteristik yang terlihat berkaitan dengan hubungan antara prinsipal dan distributor yaitu:57
a. Distributor berlaku seperti seorang penjual kembali (re-seller) suatu produk dalam wilayah kedistribusiannya. Akibatnya prinsipal biasanya memberikan dan menjamin distributor bahwa hanya dia yang berhak melakukan pemasaran dan penjual produk dimaksud di wilayah tersebut. Prinsipal tidak dapat melakukan pemasaran dan penjualan sendiri di wilayah tersebut. Ini adalah perjanjian yang bersifat exclusive namun ada kalanya bersifat non-exclusive. Di dalam perjanjian non-exclusive selain distributor yang menjual produk prinsipal, prinsipal masih berhak untuk menjual produk dimaksud di wilayah yang sama;
55 Ibid., hlm. 257.
56 Ibid.
b. Hubungan antara prinsipal dan distributor tidak bersifat sementara (ad-hoc) tetapi dalam suatu periode tertentu;
c. Ada hubungan yang sangat erat diantara kedua belah pihak sehingga diperlukan adanya komitmen atau loyalitas disributor. Distributor tidak boleh memasarkan dan menjual produk serupa pada pabrikan yang lain selama perjanjian distribusi antara prinsipal dan distributor masih berjalan.
Anatomi perjanjian distribusi barang (distributorship agreement) yaitu berisi judul, pembukaan, komparisi, premis, penunjukan dan wilayah distribusi, jangka waktu, merek dan kemasan, pembelian pertama, kesesuaian program produksi, penyerahan barang dan tanggungjawab, laporan penjualan dan persediaan barang, ketentuan dan syarat-syarat, harga penjualan, penjualan oleh pihak kedua, promosi, larangan, sisa produksi, hukum yang berlaku, perselisihan, penutup dan tandatangan.58
Antara agen dengan distributor memiliki perbedaan prinsipil dalam hal-hal sebagai berikut:59
a. Hubungan dengan prinsipal
Hubungan dengan prinsipal berbeda antara agen dengan distributor. Seorang agen akan menjual barang dan/atau jasa untuk dan atas nama pihak prinsipalnya sementara seorang distributor bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri (independent tender);
b. Pendapatan perantara
58 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Materi Kuliah Hukum Kontrak, (Yogyakarta: Magister Hukum Universitas Islam Indonesia, 2015).
Pendapatan seorang agen adalah berupa komisi dari hasil penjualan barang dan/atau jasa kepada konsumen sementara bagi distributor pendapatannya adalah berupa laba dari selisih harga beli (dari prinsipal) dengan harga jual kepada konsumen;
c. Pengiriman barang
Dalam hal keagenan barang dikirim langsung dari prinsipal kepada konsumen sedangkan dalam hal distribusi barang dikirim kepada distributor dan baru dari distributor dikirim kepada konsumen;
d. Pembayaran harga barang
Pihak prinsipal akan langsung menerima pembayaran harga dari pihak konsumen tanpa melalui agen sedangkan dalam hal distribusi pihak distributorlah yang menerima harga bayaran dari konsumen.
B. Perjanjian dengan Xxxxxxxx Xxxx
Perjanjian baku atau standar berasal dari istilah yang dikenal dalam bahasa Belanda yaitu standard contract atau standard voorwaarden. Belum terdapat keseragaman mengenai istilah yang dipergunakan untuk perjanjian standar di luar negeri. Kepustakaan Jerman mempergunakan istilah Allgemeine Geschafts Bedingun, standard vertrag, standaard-konditionen dan dalam bahasa Inggris disebut dengan standard contract.
Timbulnya perjanjian standar di dalam lalu lintas hukum kontrak nasional dan internasional dilandasi oleh kebutuhan akan pelayanan yang efektif dan efisien terhadap kegiatan transaksi. Oleh karena itu, agar perjanjian standar dapat
memberikan pelayanan yang cepat, isi dan syarat (conditional) perjanjian standar harus ditetapkan terlebih dahulu secara tertulis dalam bentuk formulir kemudian digandakan dalam jumlah tertentu sesuai dengan kebutuhan. Formulir-formulir tersebut kemudian ditawarkan kepada para konsumen secara massal tanpa memperhatikan perbedaan kondisi mereka satu dengan yang lain. Kontrak standar adalah konsep janji-janji tertulis yang disusun tanpa membicarakan isinya serta pada umumnya dituangkan dalam perjanjian-perjanjian yang tidak terbatas jumlahnya namun sifatnya tertentu.60
Pengertian perjanjian standar menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx adalah perjanjian yang isinya sudah dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.61 Perjanjian standar atau lebih sering disebut dengan standard contract atau perjanjian standar adalah perjanjian yang baik bentuk, isi maupun cara penutupannya dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan serta disebarluaskan secara sepihak oleh salah satu pihak (biasanya pelaku usaha) tanpa kesepakatan dengan pihak lainnya (biasanya konsumen atau pelanggan).62
Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx mengemukakan pendapatnya dimana pengertian perjanjian standar adalah perjanjian yang mendasarkan pada berlakunya peraturan standar yang menyangkut segi yuridis dan segi teknisnya yang ditunjukkan dalam rumusan kontrak.63 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx menyebut perjanjian standar atau perjanjian baku atau perjanjian adhesi ialah “Perjanjian
60 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, op. cit, hlm. 65.
61 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 49.
62 Ibid., hlm. 49.
63 Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, op. cit., hlm. 55.
yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan, dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausula-klausulanya.
Karakter suatu perjanjian standar dapat dikemukakan sebagai berikut:64
a. Isi kontrak telah ditetapkan secara tertulis dalam bentuk formulir yang digandakan;
b. Penggandaan kontrak dimaksudkan untuk melayani permintaan para konsumen yang berfrekuensi tinggi (sering dan banyak/massal);
c. Konsumen dalam banyak hal menduduki posisi tawar-menawar (kedudukan transaksional) yang lebih rendah daripada produsen.
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengemukakan tentang ciri-ciri dari suatu perjanjian baku yaitu:65
a. Masyarakat atau debitor sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
b. Terdorong oleh kebutuhannya debitor terpaksa menerima perjanjian tersebut;
c. Bentuk tertentu yaitu secara tertulis;
d. Telah dipersiapkan secara massal dan kolektif.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian dan ciri-ciri dari perjanjian standar tersebut di atas adalah bahwa perjanjian standar adalah perjanjian yang
isinya berdasarkan peraturan standar yang dituangkan dalam bentuk formulir tertentu. Perjanjian standar dengan demikian di dalamnya berlaku adagium, take it or leave it contract maksudnya yaitu apabila setuju silakan ambil dan apabila tidak tinggalkan saja artinya perjanjian tidak dilakukan.66
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx mengklasifikasikan standard contract tersebut ke dalam 2 (dua) kelompok. Pertama, perjanjian standar umum yaitu perjanjian yang bentuk dan isinya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh kreditor kemudian disodorkan pada debitor. Kedua, perjanjian standar khusus yaitu perjanjian ini ditetapkan oleh pemerintah secara sepihak dan diberlakukan bagi para pihak.67
Perjanjian baku yang hidup dan bertumbuhkembang di dalam kehidupan masyarakat sangat banyak jenis dan jumlahnya, secara umum perjanjian baku berdasarkan jenisnya dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Perjanjian baku sepihak yaitu merupakan perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu yang memiliki kedudukan ekonomi atau status sosial yang lebih tinggi dibandingkan pihak lainnya;
b. Perjanjian baku yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu merupakan perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek berupa hak- hak atas tanah;
c. Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat yaitu merupakan perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat tersebut.
Dalam suatu perjanjian standar, khususnya perjanjian standar yang sepihak (adhesion contract) terdapat suatu kondisi yang banyak menarik perhatian para ahli hukum perjanjian, yaitu terdapatnya beberapa klausula dalam kontrak tersebut yang sangat memberatkan salah satu pihak. Klausula berat sebelah ini disebut dengan klausula eksemsi (exemption clausule) yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah exoneratie clausule. Klausula eksemsi adalah suatu klausula dalam kontrak yang membebaskan atau membatasi tanggungjawab dari salah satu pihak jika terjadi wanprestasi. Padahal menurut hukum tanggungjawab tersebut mestinya dibebankan kepadanya.68
Menurut Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, yang dimaksud dengan klausula eksemsi atau klausula eksonerasi disebut sebagai klausula yang berisi pembatasan pertanggungjawaban dari kreditor.69 Secara yuridis teknis, syarat eksemsi dalam suatu kontrak biasanya dilakukan melalui 3 (tiga) metode sebagai berikut:70
a. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap kewajiban-kewajiban hukum yang biasanya dibebankan kepada salah satu pihak. Misalnya dilakukan melalui upaya perluasan pengertian force majeure (keadaan darurat);
b. Metode pengurangan atau bahkan penghapusan terhadap akibat hukum karena pelaksanaan kewajiban yang tidak benar. Misalnya pengurangan atau
68 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Buku Kedua),
(Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2003), hlm. 98.
penghapusan ganti kerugian jika terjadi wanprestasi dari salah satu pihak dalam kontrak;
c. Metode menciptakan kewajiban-kewajiban tertentu kepada salah satu pihak dalam kontrak. Misalnya tanggungjawab salah satu pihak tetapi dibebankan kepada pihak lain dalam hal terjadi kerugian kepada pihak ketiga yang berada di luar kontrak.
Dengan melihat kenyataan bahwa bargaining position pada praktiknya tidak terdapat keseimbangan posisi tawar, maka Undang-Undang Konsumen mengatur mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa “Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipatuhi oleh konsumen.”71
Dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) dikatakan bahwa para pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian dimana klausula baku tersebut akan mengakibatkan:
a. Pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;
71 AZ. Xxxxxxxx, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Xxxx Xxxxx, 1999), hlm. 25.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Ayat (2) menyebutkan bahwa “Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.” Ayat (3) menyebutkan bahwa “Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dinyatakan batal demi hukum.” Ayat (4) menyatakan bahwa
“Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
C. Tinjauan Umum tentang MLM (Multi Level Marketing)
Sistem skema piramida dalam distribusi barang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan: “Pelaku usaha distribusi dilarang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan barang.” Sistem skema piramida sebagai kegiatan usaha yang bukan dari hasil penjualan barang dengan memanfaatkan peluang keikutsertaan mitra usaha untuk mendapatkan imbalan terutama dari biaya partisipasi orang yang ikut serta kemudian. Dalam skema piramida pendapatan utama alias terbesar dari seorang mitra usaha berasal dari biaya partisipasi mitra usaha yang ikut serta kemudian istilah umumnya biaya pendaftaran anggota. Oleh karena itu Pasal 105 Undang- Undang Perdagangan melarang penggunaan skema piramida dalam distribusi barang dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak 10 (sepuluh) milyar rupiah.
Mitra usaha dalam MLM mempunyai fungsi ganda dalam sistem penjualan langsung/berjenjang. Mitra usaha dapat digolongkan ke dalam pengusaha mandiri seperti distributor maupun golongan perwakilan perusahaan seperti agen. Dalam melakukan penyaluran barang dari produsen kepada konsumen, pihak perusahaan MLM hanya bergantung pada mitra usaha untuk dan dalam hal ini hubungan
diantara mereka hanya didasari oleh perjanjian distribusi yang juga memuat kode etik yang telah dibuat dengan standar perjanjian baku oleh perusahaan MLM.72
Kegiatan usaha perdagangan dengan sistem penjualan langsung (direct selling) diselenggarakan berdasarkan perjanjian tertulis antara perusahaan dengan mitra usaha dengan memperhatikan kode etik dan peraturan perusahaan. Perjanjian tertulis yang dibuat oleh perusahaan dan mitra usaha tersebut harus dibuat dalam Bahasa Indonesia yang sekurang-kurangnya memuat sebagai berikut:73
a. Persyaratan menjadi mitra usaha;
b. Hak dan kewajiban para pihak;
c. Program pembinaan, bantuan pelatihan dan fasilitas yang diberikan perusahaan dan/atau jaringan pemasaran kepada mitra usaha;
d. Jangka waktu perjanjian;
e. Jaminan pembelian kembali;
f. Ganti rugi atas barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kualitas dan jenis yang diperjanjikan;
g. Ketentuan tentang pemberian komisi, bonus dan penghargaan lainnya, dan penyelesaian perselisihan.
MLM menurut akar kata adalah singakatan dari Multi Level Marketing. Multi berarti banyak dan level berarti jenjang atau tingkat. Sedangkan marketing artinya pemasaran. Jadi MLM adalah pemasaran yang berjenjang banyak.74 Mc.
72 xxxx://xxxxxxx.xxxxx.xx.xx diakses tanggal 12 Februari 2016.
73 xxxx://xxxxxxxxxxx.xxx diakses tanggal 12 Februari 2016.
74 Xxxxxxx Xxxxx, Strategi MLM secara Cerdas dan Halal, (Jakarta:PT. Elex Media Komputindo, 2000), hlm. 3.
Xxxxxx berpendapat bahwa pemasaran (marketing) menyangkut perencanaan secara efisien penggunaan sumber-sumber dan pendistribusian barang dan jasa dari produsen ke konsumen sehingga tujuan kedua pihak (produsen dan konsumen) tercapai. Lebih tegasnya ia mengatakan bahwa pemasaran menunjukkan performence kegiatan bisnis yang menyangkut penyaluran barang dan jasa dari produsen ke konsumen untuk memuaskan konsumen dan mencapai tujuan produsen.75
Selain itu dikatakan pula MLM merupakan bentuk lain dari direct selling yang merekrut pengusaha-pengusaha independen yang bertindak sebagai distributor untuk produk-produknya yang pada gilirannya merekrut dan menjual produk-produk yang akhirnya merekrut orang lain untuk menjual produk-produk mereka, biasanya di rumah-rumah pelanggan. Kompensasi seorang distributor merupakan suatu persentase dari hasil penjualan seluruh kelompok yang direkrut distributor dan juga pendapatan dari suatu penjualan langsung ke pelanggan eceran.
Network marketing (pemasaran jaringan) atau yang lebih dikenal dengan MLM merupakan salah satu metode atau sistem perpindahan produk yang tercepat laju pertumbuhannya. Dinamakan network marketing karena merupakan sebuah jaringan kerja pemasaran yang di dalamnya terdapat sejumlah orang yang melakukan pekerjaan pemasaran produk dan/atau jasa. Tetapi orang lebih mengenal MLM daripada network marketing.
75 Xxxxxx Xxxx, Marketing (edisi satu), (Yogyakarta: BP FE dan LMP2M AMP-YKPN, 1986), hlm. 13.
Sistem kerja pada bisnis MLM secara garis besar mencakup antara lain:76
a. Menjadi distributor. Bisnis MLM dimulai dengan bergabung sebagai anggotanya. Sebagai langkah awal menjadi distributor sebuah perusahaan MLM. Setiap perusahaan memiliki syarat-syarat yang berbeda satu sama lain pada setiap perusahaan.
b. Menjual Produk. Menjual produk dalam MLM merupakan unsur marketing.
Hal yang penting ada produk yang bergerak dari produsen ke konsumen dan itu sebabnya dikatakan jantung MLM adalah “menjual.” Karena semakin besar omset penjualan maka semakin besar pula keuntungan yang didapatkan. Pada dasarnya kekuatan bisnis MLM ada pada si penjual independen antara lain:
1) Dapat bekerja full time penuh waktu maupun paruh waktu;
2) Sebagai seorang wiraswasta cukup dengan investasi/modal awal yang tidak cukup besar;
3) Memperoleh kompensasi dari produk yang dijualnya sendiri dan atas produk yang dijualnya oleh orang-orang/jaringan yang direkrut.
Menjual dalam MLM itu sebenarnya bukan hanya untuk mendapatkan keuntungan langsung. Tetapi lebih dari itu, “menjual” berarti menyebarkan informasi tentang produk. Dengan menjual berarti semakin banyak orang yang mengenal produk. Orang-orang yang sudah mengenal itu pada akhirnya akan diajak untuk ikut bergabung menjalankan bisnis ini. Jadi “menjual” dalam MLM mempunyai fungsi ganda. Selain mendapatkan
keuntungan langsung juga sebagai sarana sponsorisasi yaitu mengajak orang ikut bergabung.
c. Menjadi sponsor. Fungsi ganda dari “menjual” yakni dapat langsung mensponsori orang yang sudah ditawari produk. Supaya banyak orang yang ikut maka seorang distributor harus mengajak orang lain yaitu kenalannya terutama teman dan keluarga. Mengajak dan mengajarkan dalam bisnis MLM ini disebut mensponsori. Siapa saja dapat disponsori asalkan manusia dewasa dan cakap hukum. Prospek yaitu orang yang sudah dikenal. Jika belum dikenal maka kita dapat melakukan prospecting yaitu mengajak kenalan dan melakukan hubungan baik dengan orang baru. Ini perlu karena selanjutnya harus ada kerjasama sebagai mitra usaha.
Pada umumnya ada 2 (dua) metode untuk mengajak seseorang bergabung dalam bisnis MLM yakni:77
a. Melalui pengenalan produk. Setelah mengkonsumsi produk kemudian tertarik untuk ikut bergabung menjalankan bisnisnya. Meskipun tidak terlalu aktif kalau sebagai anggota mendapatkan kemudahan. Setidaknya dapat membeli dengan harga distributor. Kalau aktif akan mendapatkan komisi dan bonus sesuai dengan prestasi yang bersangkutan;
b. Melalui peluang bisnisnya yaitu tertarik dengan keuntungan dari bisnis tersebut. Dengan bergabung ada kemungkinan mendapatkan komisi serta bonus yang disediakan perusahaan sesuai dengan aturan yang ada. Untuk menjalankan otomatis membeli produknya.
c. Membangun jaringan. Menjalankan MLM harus ada strateginya, tidak asal jalan. Setelah bergabung, menjual produk, menjadi sponsor maka tugas selanjutnya adalah membangun jaringan/organisasi. Organisasi yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Sebagaimana tujuan sebuah bisnis adalah untuk mendapatkan profit (keuntungan). Organisasi ini perlu dibangun sesuai dengan rencana bisnis masing-masing perusahaan MLM sehingga hasilnya maksimal.78 Sebagai ilustrasi adalah A mengajak B, B kemudian mengajak C, C mengajak D, D mengajak E dan seterusnya. Dipandang dari sisi A maka B adalah level pertama, C adalah level kedua dan seterusnya. Membangun organisasi sampai ke level empat berarti membangun kedalaman. Selanjutnya untuk mendapatkan hasil yang maksimal A harus mensponsori orang lain juga secara langsung misalnya F dan G, begitu juga yang dilakukan B. Selain mensponsori C harus mensponsori H dan I sehingga organisasi A selain mendalam juga melebar. Melebar itu prestasi yang murni dari A dan B karena A secara langsung mengajak dan mengajarkan lagi kenalannya sehingga organisasi ini benar-benar kuat dan solid.
Hal terakhir yang dilakukan setelah organisasi terbentuk adalah melakukan pembinaan. Dalam MLM ini merupakan tugas seorang distributor setelah menjadi sponsor. Di dalam perusahaan-perusahaan MLM biasanya terdapat pembinaan langsung dari perusahaan melalui training. Training yang diberikan berupa pemahaman tentang menjalankan bisnis dengan baik sesuai marketing plan
perusahaan sering terjadi dalam bentuk seminar atau pemberian alat bantu. Di perusahaan PT. Health Wealth International (PT. HWI) maupun perusahaan bernama moment pembinaan lebih difokuskan pada seminar yang diadakan oleh kantor-kantor cabang terdekat.
Penjualan langsung sudah dikenal sejak manusia melakukan pertukaran dalam bentuk barang yang dikenal dengan istilah barter atau pertukaran barang dengan barang sampai manusia mengenal uang sebagai alat pembayaran yang dapat diterima secara umum. Sistem ini sebagai bentuk pertukaran ekonomi yang mengiringi pertumbuhan perusahaan modern telah berkembang pesat menjadi pemasaran jaringan.
Pada akhir abad ke-19, penjualan langsung mulai dikenal sebagai sistem pemasaran modern yakni pada saat Xxxxx Xx Xxxxxx mendirikan perusahaan The California Perfume Company di New York pada tahun 1886. Xx Xxxxxx kemudian mengubah nama perusahaannya menjadi Avon-The Company for Women pada tahun 1939. Sampai hari ini Avon telah berhasil menembus pasar internasional yang tersebar di sekitar 131 negara. Pada tahun 1996 Avon berhasil mencapai total penjualan secara internasional senilai 4,8 miliar dollar Amerika. Penjualan ini melibatkan lebih dari 2,3 juta wanita dari seluruh dunia dan selama lebih dari 110 tahun kiprahnya di bisnis penjualan langsung telah melibatkan lebih dari 400 juta wanita di seluruh dunia. Xxxxxxx Xxxxxxx pernah menempatkan
Avon sebagai perusahaan yang memberikan posisi manajemen paling banyak kepada wanita diantara fortune 500.79
Sejarah mulai mencatat suatu pola penjualan baru yang disebut sebagai Multi Level Marketing atau MLM pada sekitar tahun 1930-an sampai 1940-an ketika produk Nutrilite yang berasal dari Amerika dan berkedudukan di California City didistribusikan oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya sebagai distributor. Produk Nutrilite adalah sebuah produk makanan suplemen dimana perusahaannya menerapkan sistem bonus 2% (dua persen) dari omzet penjualan kepada setiap penjual atau distributor yang dapat menjual dan mengajak orang lain untuk bergabung dan mengembangkan jaringannya.
Menurut sejarahnya yang sudah berusia lebih dari setengah abad, industri MLM merupakan industri pemicu produk menjual mulai dari kategori produk perawatan pribadi tradisional, perawatan rumah dan keluarga, vitamin (suplemen nutrisi), produk hiburan dan pendidikan. Dengan beberapa kategori tersebut memposisikan perusahaan MLM untuk dapat masuk pada pasar dunia.80 Di Inggris dan sebagian negara-negara Eropa, sistem MLM mulai bersinar pada awal tahun 1980-an sehingga banyak orang menjuluki industri ini sebagai gelombang tahun delapan puluhan. Selanjutnya industri ini memperoleh momentum peningkatan dan tumbuh menjadi industri terhormat pada tahun 1990an.
Di Indonesia tercatat perusahaan CNI merupakan pioner MLM. Berdiri di Bandung dengan nama PT. Nusantara Sun Chorella Tama kemudian berganti nama menjadi PT. Centranusa Insancemerlang atau kadang-kadang disebut juga
79 Moch. Xxxxxxx Xxxx, Kontroversi Bisnis MLM, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), hlm. 107-108.
80 Ibid., hlm. 116.
Creative Network International. Pindah ke Jakarta kemudian membuka cabang di Amerika dan Hongkong. Setelah lama berkiprah, CNI baru mendaftarkan perusahaannya di suatu asosiasi yang menggabungkan perusahaan baik yang melakukan direct selling yang single level maupun yang multi level. Yakni Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia atau sering disebut dengan APLI. Organisasi ini merupakan anggota KADIN bagian dari World Federation Direct Selling Association (WFSDA).81
Beberapa perusahaan MLM yang terdaftar antara lain PT. CNI, PT. Amway Indonesia, PT. Tianshi Indonesia/Tiens, PT. Orindo Alam Ayu/Oriflame dan masih banyak lagi. Perusahaan tersebut merupakan salah satu contoh perusahaan MLM yang perkembangan bisnisnya sangat diperhitungkan hingga saat ini.82
Secara umum ada 2 (dua) jenis MLM yang ada di Indonesia, yaitu:83
a. MLM Tradisional yaitu MLM yang masih memanipulasi sistem untuk meraih keuntungan sepihak. MLM jenis ini terlihat masih membodohi para pelakunya. MLM ini masih mengambil keuntungan dari sisa bonus yang belum terbagikan. MLM ini masih mengeksploitasi para mitra usahanya. MLM ini tidak transparan dalam pembagian keuntungannya. MLM yang bukan merupakan bisnis murni dimana perusahaan masih mengambil keuntungan dari sistem yang dirancangnya;
b. MLM Modern yaitu MLM yang sekarang ini sedang berkembang pesat di Indonesia. MLM jenis ini kebalikan dari MLM Tradisional yaitu MLM yang tidak memanipulasi sistem. MLM yang murni bisnis dimana
81 xxxx://xxx.xxxx.xx.xx diakses 19 Februari 2016.
82 Ibid.,
83 xxxx://xxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx diakses 17 Februari 2016.
perusahaan dan mitra usaha mendapatkan keuntungan dari jual beli bukan dari memanipulasi sistem. MLM yang membagikan seluruh bonusnya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. MLM yang tidak mengambil keuntungan dari bonus yang belum terbagikan. MLM yang tidak mengeksploitasi para mitra usahanya, selain itu MLM jenis ini juga menawarkan cara kerja yang lebih sederhana melalui kecanggihan teknologi yang ditawarkan.
Dasar hukum MLM diatur di dalam Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan. Di dalam bisnis MLM jenisnya dipersamakan atau disebut dengan istilah Penjualan Langsung (direct selling).
Menurut Xxxxx 1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 32/M- DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perdagangan yang dimaksud dengan penjualan langsung (direct selling) adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu melalui jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh mitra usaha yang bekerja atas dasar komisi dan/atau bonus berdasarkan hasil penjualan kepada konsumen di luar lokasi eceran tetap.
Sedangkan yang dimaksud dengan mitra usaha di dalam Pasal 1 angka 4 adalah anggota mandiri jaringan pemasaran atau penjualan yang berbentuk badan usaha atau perseorangan dan bukan merupakan bagian dari struktur organisasi perusahaan yang memasarkan atau menjual barang dan/atau jasa kepada konsumen akhir secara langsung dengan mendapatkan imbalan berupa komisi dan/atau bonus atas penjualan.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Xxxxxx Xxxxxx, terdapat 157 perusahaan MLM yang ada di Indonesia yang terdaftar di Kementerian Perdagangan. Perusahaan MLM diwajibkan melaporkan kegiatan usahanya setiap tahun kepada Kementerian Perdagangan. Diperkirakan jumlah ini akan bertambah dengan diterbitkannya Permendag 32/2008.84
Di dalam Permendag 32/2008 diatur mengenai syarat-syarat sebuah MLM. Misalnya perusahaan MLM harus memiliki alur distribusi produk yang jelas dari perusahaan sampai dengan konsumen akhir. Kemudian bonus dan komisi atas penjualan produk yang diberikan kepada mitra usaha dan jaringan pemasaran di bawahnya paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah penjualan produk. Selain itu perusahaan MLM harus memberikan jaminan pembelian kembali produk dan alat bantu dari mitra usaha tersebut diberhentikan atau mengundurkan diri setelah dikurangi biaya administrasi 10% (sepuluh persen).
Perusahaan MLM wajib memiliki SIUPL (Surat Izin Penjualan Langsung). Untuk perusahaan baru akan diberikan SIUPL sementara dengan masa berlaku 1 (satu) tahun dan dapat ditingkatkan menjadi SIUPL. Tetap dengan masa berlaku selama perusahaan menjalankan kegiatan usahanya. Di APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia) sendiri, setiap MLM yang akan menjadi anggota APLI harus mempunyai SIUPL. Jika sudah mempunyai SIUPL maka perusahaan tersebut
mudah untuk dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu pemerintah harus bertindak tegas kepada perusahaan MLM yang tidak mempunyai izin.85
D. Hukum Persaingan Usaha
Pelaku usaha yang berkecimpung dalam dunia usaha tidak lepas dari praktik monopoli dan persaingan atau kompetisi. Kegiatan usaha dalam kompetensi acap kali menimbulkan persaingan tidak sehat yang menjurus pada praktik monopoli yang melahirkan perbuatan curang, persekongkolan/konspirasi dalam tender, kartel, oligopoli, pemboikotan dan sebagainya antar pelaku usaha maupun dengan para birokrat pemerintahan. Dalam pembangunan ekonomi yang seiring dengan timbulnya kecenderungan globalisasi perekonomian, maka bersamaan dengan itu semakin banyak pula tantangan yang dihadapi dalam dunia usaha, antara lain persaingan usaha atau perdagangan yang menjurus kepada persaingan produk/komoditi atau tarif sebab perekonomian sekarang merupakan globalisasi antar negara. Sejak adanya AFTA dan APEC pada tahun 1967 di kawasan Asia, maka pemerintah Indonesia sejak awal harus bersungguh-sungguh mempersiapkan segala sesuatu untuk ikut serta dalam lingkaran perdagangan regional dan internasional terutama dari segi perangkat hukum atau perundang- undangan.
Dalam hal ini penting disadari bahwa berlakunya liberalisasi perdagangan dunia yang bebas dan adil (free trade and fair trade), yaitu dimana pangsa pasar secara ekonomis akan ditentukan oleh keunggulan komoditi. Akibatnya akan
timbul persoalan masalah tarif dan kebijakan protektif. Dua hal tersebut harus dihilangkan karena perdagangan dunia akan menggunakan sistem perdagangan bebas dan adil. Kondisi tersebut membawa konsekuensi dan pengaruh bagi perekonomian Indonesia karena negara kita merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perdagangan global dalam tatanan dan kesatuan ekonomi tanpa batas.86
Sementara itu perkembangan peraturan dalam lingkup nasional, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat merupakan Undang-Undang atau ketentuan khusus (lex specialis) dalam hal menanggulangi tindak kejahatan di bidang praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang saat ini telah digunakan sebagai pengganti dari Pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melanggar hukum dan Pasal 382 bis KUHP tentang tindakan persaingan curang (lex generalis) kecuali tindak pidana umum dalam KUHP.
Pendekatan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang Persaingan Usaha dapat digunakan dengan 2 (dua) teori pendekatan oleh otoritas KPPU untuk menganalisis apakah telah terjadi atau tidak indikasi pelanggaran Undang-Undang tersebut oleh pelaku usaha. Pendekatan pertama adalah pendekatan secara yuridis (hukum) dan yang kedua adalah pendekatan ekonomi. Secara yuridis ada dua pendekatan yang dapat diterapkan yaitu pendekatan per se illegal dan pendekatan rule of reason. Kedua pendekatan ini digunakan oleh KPPU untuk menganalisis terhadap indikasi pelanggaran Undang-Undang dan menindak pelaku usaha yang secara terang-terangan melanggar Undang-Undang.
86 Xxxxxxxx dan Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 3.
Sedangkan berdasarkan teori ekonomi, KPPU dapat juga melakukan analisis bila terjadi pelanggaran berdasarkan pada kondisi relevant market (pasar bersangkutan), market power (kekuatan pasar), barrier to entry (hambatan masuk pasar) dan pricing strategy (strategi harga) yang diberlakukan oleh pelaku usaha. Dari aspek pendekatan ekonomi, KPPU dapat menentukan masalah kegiatan ekonomi pelaku usaha misalnya apakah kegiatan ekonomi pelaku usaha itu berpengaruh kepada tingkat persaingan atau apakah kegiatan ekonomi pelaku usaha itu mengakibatkan kondisi perekonomian semakin memburuk.
BAB III
KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN MULTI LEVEL MARKETING
YANG BERTENTANGAN DENGAN HUKUM PERSAINGAN USAHA
A. Xxxxxxxx-Xxxxxxxx Xxxx yang Ada pada Perjanjian Multi Level Marketing (MLM) di Indonesia
Multi Level Marketing (MLM) merupakan sistem pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan distributor yang dikenal dengan istilah upline (tingkat atas) dan downline (tingkat bawah) dimana pola pemasaran ini telah dikenal sejak tahun 1930 dengan berdirinya Anway Corporation dan produknya yang bernama Nutrilite oleh Xxxx Xxxxxxxx.00
Pola pemasaran ini merupakan salah satu rule model yang banyak digunakan pelaku usaha dalam memasarkan produk yang mereka jual. Ketika berbicara tentang Multi Level Marketing (MLM) maka yang terlintas di pikiran diantaranya CNI, Tienshi, PT. Usahajaya Ficooprasional (PT. UFO BKB Syariah), PT. Moment Jaya Indonesia (Moment), PT. Health Wealth International (PT. HWI) dan K-Link. Menurut APLI (Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia) saat ini anggota mereka telah berjumlah sampai dengan 87 (delapan puluh tujuh) perusahaan. Dengan statistik penjualan produk yang cukup baik dan menguntungkan. Perusahaan tersebut kebanyakan merupakan penanaman modal asing yang ada di Indonesia. Beberapa perusahaan yang menggunakan metode pemasaran melalui Multi Level Marketing (MLM)
87 Xxxxx Xxxxxxx, op. cit., hlm. 25.
adalah PT. Usahajaya Ficooprasional (PT. UFO BKB Syariah), PT. Moment Jaya Indonesia (Moment), PT. Health Wealth International (PT. HWI). Peneliti akan menganalisa kegiatan MLM yang dilakukan oleh PT. Usahajaya Ficooprasional (PT. UFO BKB Syariah), PT. Moment Jaya Indonesia (Moment), PT. Health Wealth International (PT HWI).
PT. Usahajaya Ficooprasional (PT. UFO BKB Syariah), PT. Moment Jaya Indonesia (Moment), PT. Health Wealth International (PT. HWI) adalah perusahaan Multi Level Marketing (MLM) yang ada di Indonesia. PT. Usahajaya Ficooprasional (PT. UFO BKB Syariah), PT. Moment Jaya Indonesia (Moment), PT. Health Wealth International (PT. HWI) adalah perusahaan penyedia produk-produk kesehatan yang bermutu tinggi yang didukung oleh Sumber Daya Manusia yang berpengalaman sehingga mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada pelanggannya serta memberikan harapan baru bagi para anggotanya, peluang untuk menikmati kesehatan yang prima, mendapatkan kesejahteraan dan mewujudkan semua impian yang selama ini belum terlaksana.
PT. UFO BKB Syariah memberikan sebuah sistem yang sangat spektakuler dan lain dari pada yang lain. PT. UFO BKB Syariah (UFO) dan Pengusaha Bisnis Jasa (PBJ) mempunyai hubungan yang mengikat berdasarkan perjanjian yang untuk pertama kalinya dinyatakan dalam Pernyataan Pemohon untuk menjadi anggota PBJ UFO dan perjanjian lainnya yang mengikat serta tidak terpisahkan dari Pernyataan Pemohon untuk menjadi PBJ UFO.
Perkembangan PT. UFO BKB Syariah dalam kurun waktu yang relatif singkat mengalami peningkatan yang sangat signifikan, hal ini ditandai dengan pertumbuhan keanggotaan (member) PBJ UFO yang terus meningkat yang pada akhirnya meningkatkan daya jual perusahaan terhadap produk juga bertambah. Keadaan ini dapat tercapai karena didukung dengan sistem serta strategi maupun konsep marketing yang baik.
PT. Moment Jaya Indonesia memiliki visi menjadi pilihan terbaik perusahaan yang menyediakan produk-produk kesehatan alami terbaik dengan cara penjualan langsung. Sedangkan misi PT. Moment Jaya Indonesia adalah selalu membuat perubahan menuju kehidupan yang lebih baik.
Produk-produk unggulan PT. Moment Jaya Indonesia:
1. Moment Propolis (Brazilian Propolis). Propolis berasal dari kata Yunani yaitu pro yang berarti pertahanan, polis yang berarti kota. Jadi arti bebas dari kata propolis adalah sistem pertahanan kota. Propolis adalah suatu zat yang dihasilkan oleh lebah dimana lebah tersebut mengumpulkan pucuk daun-daun yang muda untuk kemudian dicampur dengan air liurnya, digunakan untuk menambal dan menyeterilkan sarang. Propolis bersifat disinfektan (anti bakteri) yang membunuh semua kuman yang masuk ke sarang lebah. Lebah melekatkan sarangnya dengan propolis untuk melindungi semua yang ada di dalam sarang tersebut dari serbuan kuman, virus atau bakteri misal ratu lebah, telur, bayi lebah dan madu. Sifat disinfektan alami yang terkandung dalam propolis sangat ampuh dalam membunuh kuman terbukti dengan ditemukannya seekor tikus dalam
sarang lebah yang telah mati selama kurang lebih 5 (lima) tahun dalam keadaan tidak membusuk;
2. Moment Bio Cell. Moment Bio Cell adalah produk premium yang sangat diandalkan untuk memicu dan membantu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan manusia (HGH) secara alami dari kelenjar pituitary yang berada di bagian bawah otak yang terbuat dari protein susu kedelai, sel induk apel dan strawberry. Hormon Pertumbuhan manusia (HGH) adalah hormon yang bertanggungjawab atas pertumbuhan manusia sejak dilahirkan sampai tutup usia. Hormon ini bertugas untuk menjaga agar semua organ di dalam tubuh tetap berfungsi dan bekerja secara prima. Produksi HGH yang prima dihasilkan pada saat usia manusia antara 1-20 tahun dan akan terus menurun setelah usia 20 tahun. Di samping karena faktor usia, HGH di dalam tubuh manusia akan terus menurun karena gaya hidup tidak sehat, hilangnya collagen, oksidasi/polusi, bertumpuknya toksin di dalam tubuh. Produksi dari HGH ini sangat mempengaruhi produksi hormon-hormon lain di dalam tubuh;
3. Moment Coffee. American Journal of Epidemiology menyebutkan bahwa kandungan anti oksidan pada kopi mampu membuat aliran darah dari tubuh ke otak semakin lancar sehingga menghindari kejadian pecahnya pembuluh darah dan penyumbatan pembuluh darah. Kandungan kafein di dalamnya mampu menurunkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 dengan cara menjaga sensivitas tubuh terhadap insulin;
4. Moment Glucogen. Moment Glucogen adalah nutrisi alami yang salah satu bahan dasarnya diambil dari buah yang diimport dari Jepang yang merupakan pemicu utama untuk tubuh dalam menghasilkan suatu zat penting yaitu glutathione. Glutathione ini merupakan protein yang secara alami diproduksi di dalam tubuh yang sangat berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh dan juga regenerasi sel serta berperan vital sebagai antioksidan dan antitoksin. Tanpa peran glutathione, limfodit tidak akan menghasilkan antibodi untuk melawan jahatnya infeksi bakteri dan virus yang membahayakan tubuh. Fungsi dari glutathione sendiri sangat dapat dirasakan secara langsung dan akan nampak dari luar dengan adanya perbaikan kesehatan tubuh secara menyeluruh seperti salah satu contohnya adalah kulit kita menjadi cerah.
Moment dipasarkan dengan sistem Multi Level Marketing (MLM). Produk yang dijual oleh Moment merupakan barang eksklusif yang hanya dapat didapatkan melalui para member (anggota moment) atau dengan kata lain seseorang dapat belanja sendiri ke aneka kantor cabang moment yang ada di Indonesia setelah orang tersebut menjadi member moment atau melalui pembelian secara online atau dengan menghubungi salah seorang member moment yang dikenal. Cara bergabung dengan 3 (tiga) paket sebagai pilihan pertimbangan yaitu:88
1. Paket silver dengan pembelian produk seharga Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) ditambah dengan uang pendaftaran Rp. 100.000,00 (seratus ribu
88 Buku Manual Moment Change Your Life.
rupiah). Paket silver ini artinya hanya mempunyai 1 titik hak usaha. Jadi yang harus ditransfer adalah sebesar Rp. 1.100.000,00 (satu juta seratus ribu rupiah);
2. Paket gold dengan pembelian produk seharga Rp. 3.000.000,00 (tiga juta rupiah) ditambah dengan uang pendaftaran Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Paket gold ini artinya akan mempunyai 3 titik hak usaha. Jadi yang harus ditransfer adalah sebesar Rp. 3.100.000,00 (tiga juta seratus ribu rupiah). Tapi karena ada bonus 1 pasangan disitu maka akan mendapatkan cash back sebesar Rp. 125.000,00 (seratus dua puluh lima ribu rupiah) yang akan ditransfer keesokan harinya;
3. Paket platinum dengan pembelian produk seharga Rp. 7.000.000,00 (tujuh juta rupiah) ditambah dengan uang pendaftaran Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah). Paket platinum ini artinya akan mempunyai 7 titik usaha. Dalam paket ini berhak mendapatkan 5 bonus pasangan dimana cash back yang diterima 5 pasangan x Rp. 125.000,00 = Rp. 625.000,00 (enam ratus dua puluh lima ribu rupiah) yang akan ditransfer keesokan harinya.
Siapapun dapat menjadi anggota/Business Account (BA) Independen Moment dimana wajib berusia minimal 18 (delapan belas) tahun dengan melengkapi, menandatangani dan mengembalikan aplikasi keanggotaan termasuk pesanan aktivasi untuk 1 (satu) BA, 3 (tiga) BA atau 7 (tujuh) BA beserta semua dokumen yang dipersyaratkan (KTP dan fotokopi buku tabungan milik pribadi) serta biaya keanggotaan.
Namun apabila mendaftar sebagai badan hukum (Perusahaan, yayasan dan lain-lain) maka diperlukan dokumen tambahan yang berlaku di Indonesia dimana harus mengisi addendum pendaftaran keanggotaan group serta seluruh identitas anggota yang akan menjadi team member termasuk jabatan, tanggungjawab, nomor KTP yang masih berlaku dari setiap anggota dan dokumen lainnya yang memperlihatkan spesifikasi jenis usaha secara legal (Akte pendirian perusahaan, SIUP, NPWP). Moment atas pertimbangannya sendiri berhak menolak, memberikan persetujuan atas permohonan aplikasi keanggotaan yang diajukan tanpa harus memberikan alasan.89
Setelah melakukan tahapan di atas atau setelah pemohon atau calon konsultan melakukan pendaftaran maka seseorang secara langsung menjadi anggota/business account (BA) moment. Dalam menjalankan bisnis dengan sistem MLM ini seorang BA moment harus terlebih dahulu memahami dan mematuhi kode etik yang mana terdapat di buku manual yang diberikan. Karena setiap pasal, pasal demi pasal dalam perjanjian kode etik BA atau tata tertib keanggotaan menjadi sesuatu yang akan mengikat secara hukum apabila suatu saat terjadi pelanggaran dari salah satu pihak baik dilakukan oleh pihak perusahaan ataupun pihak BA.
Salah satu yang dapat dilakukan untuk melihat adanya persaingan usaha dalam kegiatan praktik Multi Level Marketing (MLM) dalam hal ini yang diteliti oleh penulis adalah PT. UFO BKB Syariah, Moment dan PT. HWI dapat dilihat dari indikator-indokator yang terdapat di dalam toolkit. Toolkit
89 Buku Manual Moment.
merupakan cara untuk melakukan penilaian tersebut yang mana toolkit merupakan suatu metode praktis bagi para regulator dan pembuat Undang- Undang untuk digunakan dalam mengidentifikasi pembatas penting terhadap persaingan usaha. Metode toolkit mengunakan daftar periksa persaingan usaha yang menunjukkan apabila usulan Undang-Undang atau peraturan berpotensi untuk merugikan persaingan usaha secara signifikan.90
Sebagian besar peraturan tidak menimbulkan risiko yang signifikan dapat merugikan persaingan usaha, proses penilaian persaingan usaha dimana daftar periksa tersebut merupakan tahap awalnya, memberikan kerangka kerja analis yang diperlukan oleh para regulator dan pembuat Undang-Undang dalam rangka mengurangi atau menghindari masalah-masalah persaingan usaha yang potensial. Hal tersebut dilakukan dengan membantu para regulator dan pembuat Undang-Undang dalam mengidentifikasi kerugian potensial terhadap persaingan usaha sementara tetap melanjutkan usaha untuk mencapai tujuan- tujuan kebijakan yang diinginkan.91
Penilaian praktik MLM terhadap persaingan usaha harus dilaksanakan lebih lanjut apabila usulan yang bersangkutan membawa akibat yaitu membatasi jumlah atau cakupan pemasok. Hal ini dapat diperkirakan akan terjadi apabila usulan yang bersangkutan:92
1. Memberikan hak eksklusif kepada satu pemasok untuk menyediakan barang dan/atau jasa (Pasal 11 pada PT. HWI). Pemberian hak eksklusif untuk memproduksi barang tertentu atau menyediakan jasa tertentu
90 Toolkit OECD.pdf, Penilaian Persaingan Usaha, Xxxxx X: Prinsip-Prinsip., hlm. 9.
91 Ibid., hlm. 10.
92 Ibid., hlm. 11-15.
menunjukkan pembentukan suatu monopoli swasta. Hak-hak eksklusif dalam banyak hal merupakan hambatan masuk utama. Hak-hak eksklusif dapat diperkirakan akan menghasilkan penetapan harga monopoli dan menimbulkan masalah-masalah lainnya yang terkait dengan penggunaan kekuatan pasar. Akibat-akibat tersebut tidak mungkin dihindari sepenuhnya melalui peraturan karena para regulator sering kali lalai atau hanya sedikit berhasil mencegah penggunaan kekuatan pasar dan melindungi konsumen. Oleh karena itu hak-hak tersebut harus dibatasi dan hanya ditetapkan setelah adanya pertimbangan yang cermat tentang harga-harga yang akan dibebankan, jangka waktu hak-hak tersebut dan cara alternative untuk mencapai tujuan-tujuan yang sama;
2. Menetapkan suatu lisensi, ijin atau proses otorisasi sebagai persyaratan untuk kegiatan operasional (Pasal 9 PT. UFO BKB Syariah). Lisensi dan perijinan yang diperlukan untuk kegiatan operasional membatasi jalan masuk. Persyaratan-persyaratan kualifikasi dapat berupa standar-standar minimum pendidikan formal dan/atau pengalaman dan mungkin mencakup persyaratan karakter yang baik. Sebagai contoh, apa yang disebut sebagai uji kepatutan dan kelayakan adalah sesuatu yang biasa di bidang keuangan untuk dapat diikutsertakan dalam suatu kapasitas resmi di tingkat perusahaan atau dewan. Terkadang dapat diterapkan uji kepentingan umum yang mewajibkan para calon pendatang di pasar untuk menunjukkan adanya kebutuhan untuk jasa tambahan yang akan disediakan dan dalam keadaan-keadaan tertentu bahkan bahwa masuknya calon pendatang di
pasar tersebut tidak membawa dampak negatif terhadap usaha para peserta industri yang ada. Persyaratan lisensi atau perijinan sering kali lebih ketat daripada yang diperlukan untuk tujuan perlindungan konsumen dan dapat mengurangi pilihan konsumen dengan cara yang tidak semestinya serta dapat menciptakan kelangkaan semu sehingga menyebabkan kenaikan harga;
3. Membatasi kemampuan jenis pemasok tertentu untuk menyediakan barang atau jasa (Kode Etik Keanggotaan Moment bagian A). Terkadang pemerintah membatasi kemampuan jenis-jenis pemasok lainnya untuk ikut serta dalam suatu kegiatan tertentu, seperti membatasi atau melarang pemberian jasa-jasa oleh para perantara berbiaya rendah, layanan minimum atau perantara yang meminta biaya atas jasa. Pembatasan tersebut seringkali berlebihan dengan membatasi secara tidak wajar jumlah pemasok, mengurangi persaingan usaha diantara para pemasok dan menyebabkan harga yang lebih tinggi atau jangka waktu kontrak yang kurang menarik bagi para konsumen;
4. Menaikkan biaya masuk atau keluar secara signifikan oleh satu pemasok (Pasal 11 ayat (3) PT. HWI). Peraturan-peraturan yang menaikkan biaya- biaya terkait dengan memasuki pasar atau keluar dari suatu pasar akan memiliki kecenderungan untuk mendorong sejumlah calon pendatang pasar dan dengan demikian seiring berjalannya waktu akan mengurangi jumlah peserta di pasar tersebut. Pemerintah terkadang mengambil langkah untuk meminimalisir dampak persaingan usaha dari ketentuan-ketentuan tersebut
dengan memberikan pengecualian-pengecualian yang ditujukan pada sasaran tertentu;
5. Menciptakan hambatan geografis kepada perusahaan-perusahaan untuk memasok barang, jasa atau tenaga kerja atau melakukan penanaman modal (Pasal 8 PT. UFO BKB Syariah). Terkadang peraturan-peraturan membatasi arus barang-barang, jasa-jasa, modal dan/atau tenaga kerja lintas batas yuridiksi yang sering kali digunakan sebagai instrumen kebijakan daerah. Pembatasan tersebut akan mengurangi area geografis persaingan usaha secara semu bagi ketentuan suatu barang atau jasa. Hal tersebut dapat mengurangi pemasok dan memungkinkan bagi para pemasok untuk menggunakan kekuatan pasar dan menaikkan harga.
Praktik PT. UFO BKB Syariah, Moment dan PT. HWI melanggar prinsip persaingan usaha tidak sehat karena beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut, produk yang eksklusif membuat produk PT. UFO BKB Syariah, Moment dan PT. HWI sulit untuk didapatkan di pasar, warung, toko kosmetik, maupun apotek karena produk tersebut hanya dapat ditemui atau hanya dapat dibeli di kantor cabang masing-masing yang ada di seluruh Indonesia yang mana untuk melakukan pemesanan atas produk tersebut, seorang pemakai (user) hanya dapat membelinya pada consultant masing- masing produk atau dapat juga menjadi member (anggota). Produk yang eksklusif inilah yang membuat PT. UFO BKB Syariah, Moment dan PT. HWI dapat dengan mudah menentukan harga dan membatasi jumlah pemasok.
Jika dilihat dari klausula-klausula perjanjian, maka indikator yang dilanggar adalah mengenai pemberian hak eksklusif kepada satu pemasok untuk menyediakan barang dan/atau jasa dan membatasi kemampuan jenis pemasok tertentu untuk menyediakan barang dan/atau jasa.
1. Pengendalian harga jual barang dan/atau jasa. Pemerintah sering kali mengatur harga pada sektor-sektor monopoli tradisional seperti utilitas. Jenis-jenis pengendalian harga ini mungkin bermanfaat bagi para konsumen dan menjadi suatu pengimbang terhadap tidak adanya alternatif- alternatif konsumen. Namun pengendalian harga juga terkadang diterapkan dalam keadaan dimana terdapat banyak calon pemasok bagi konsumen yang sama. Apabila harga minimum ditetapkan, para pemasok dengan biaya rendah tidak dapat memperoleh pangsa pasar dengan menawarkan nilai yang lebih baik kepada para konsumen dan sebaliknya jika ditetapkan dengan harga maksimum, inisiatif pemasok untuk melakukan inovasi dengan menyediakan produk terbaru dan/atau berkualitas tinggi pada hakikatnya dapat dikurangi dan para pemasok dapat secara efektif mengkoordinasikan harga-harga yang mereka miliki dalam kisaran harga maksimal. Peraturan harga minimum terkadang merupakan bentuk tanggapan terhadap persaingan usaha yang ketat. Peraturan harga minimum umumnya dianggap sebagai suatu cara untuk melindungi pemasok kecil terhadap persaingan usaha yang tidak sehat;
2. Membatasi pemasangan iklan dan pemasaran. Peraturan-peraturan yang membatasi kemampuan para pemasok untuk mengiklankan dan
memasarkan barang dan/atau jasa sering kali diterapkan untuk membatasi iklan yang palsu. Pembatasan pemasangan iklan dan pemasaran dilakukan secara terlalu luas dan membatasi persaingan usaha secara tidak wajar. Pembatasan ini sangat menyulitkan terutama bagi para calon konsumen tentang keberadaan mereka di pasar;
3. Menentukan standar kualitas produk yang memberikan keuntungan yang tidak wajar bagi pemasok tertentu dibandingkan dengan pemasok lainnya atau yang berada di atas tingkatan yang akan dipilih oleh beberapa pelanggan yang memiliki informasi yang memadai (well informed). Peraturan penetapan standar sering kali membawa manfaat bagi para konsumen dan dapat membantu dalam rangka mendorong masuknya jenis produk baru dengan memastikan bahwa produk-produk baru dari para pemasok tersebut sesuai namun penetapan standar juga dapat membawa keuntungan yang tidak wajar bagi pemasok-pemasok tertentu;
4. Meningkatkan biaya-biaya pemasok tertentu dibandingkan dengan pemasok yang lainnya (Pasal 8 PT. HWI). Terkadang tanpa disengaja peraturan-peraturan membawa efek menaikkan biaya bagi pemasok tertentu dibandingkan dengan pemasok lainnya yang mana peraturan tersebut dapat sangat berpotensi menyebabkan distorsi dalam hubungan persaingan usaha dalam industri yang bersangkutan karena menyebabkan peningkatan biaya bagi pemasok lainnya.
Perjanjian-perjanjian tersebut melanggar prinsip persaingan usaha tidak sehat karena beberapa akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut.
Perusahaan-perusahaan tersebut menciptakan suasana terjadinya penetapan harga jual minimum dan maksimum, harga minimum yang dijual yaitu merupakan harga maksimum yang terdapat di dalam katalog kemudian dikurangi beberapa persen. Maksud dari kata menciptakan di sini adalah secara tidak tampak, perusahaan tersebut sebagai pelaku usaha dan pemasok barang tidak campur tangan dalam metode pemasaran yang dilakukan oleh jaringan yang dimilikinya. Namun sebenarnya mereka ikut berperan untuk keberhasilan dalam menjual produk yang dijual. Produk-produk yang eksklusif inilah yang membuat mereka dengan mudah menentukan harga dan membatasi jumlah pemasok.
Dilihat dari perjanjian yang ada, maka indikator-indikator dalam persaingan usaha tidak sehat yang dilanggar adalah pengendalian harga jual barang dan/atau jasa. Pemasaran terbagi pada wilayah tertentu saja dan memuat syarat dan ketentuan tertentu. Selain itu juga terdapat keterlibatan produsen dengan memberikan fasilitas tempat untuk pertemuan-pertemuan di kantornya. Setiap jaringan pemasaran akan mengadakan pertemuan atas inisiatif upline (tingkat atas) yang mana mereka akan memberikan fasilitas berupa tempat maupun katalog. Sehingga metode pemasaran tersebut dinamakan pola vertical marketing system.
Terdapat indikasi adanya kartel dalam perjanjian ini. Terdapat pihak- pihak yang sama dalam beberapa perusahaan MLM walaupun indikasi tersebut sangat sulit dibuktikan karena kerahasiaan anggota. Kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya
sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan/atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar. Kartel akan memaksa konsumen membayar lebih mahal suatu produk, baik itu barang mewah maupun barang-barang yang biasa diperlukan masyarakat seperti obat-obatan dan vitamin. Kartel akan merugikan perekonomian karena para pelaku usaha anggota kartel akan setuju untuk melakukan kegiatan yang berdampak pada pengendalian harga seperti pembatasan jumlah produksi yang akan menyebabkan inefisiensi alokasi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tidak efisien sehingga menaikkan biaya rata-rata produksi suatu barang atau jasa dalam suatu industri.
Kartel menggunakan berbagai cara untuk mengkoordinasikan kegiatan mereka seperti melalui pengaturan produksi, penetapan harga secara horizontal, kolusi tender, pembagian wilayah, pembagian konsumen secara non-teritorial, dan pembagian pangsa pasar. Akan tetapi perlu pula kita sadari bahwa kartel yang efektif tidaklah mudah untuk dicapai. Bagaimanapun terdapat kecenderungan para pelaku usaha akan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan perusahaannya masing-masing. Salah satu syarat terjadinya kartel adalah harus ada perjanjian atau kolusi antara pelaku usaha. Ada dua bentuk kolusi dalam kartel, yaitu:
a. Kolusi eksplisit, dimana para anggota mengkomunikasikan kesepakatan mereka secara langsung yang dapat dibuktikan dengan adanya dokumen
perjanjian, data mengenai audit bersama, kepengurusan kartel, kebijakan- kebijakan tertulis, data penjualan dan data-data lainnya.
b. Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia. Biasanya yang dipakai sebagai media adalah asosiasi industri, sehingga pertemuan-pertemuan anggota kartel dikamuflasekan dengan pertemuan-pertemuan yang legal seperti pertemuan asosiasi.
Walaupun tidak diketahui berapa besar kerugian konsumen sebagai akibat adanya kartel namun kecenderungan yang terjadi memperlihatkan bahwa kelebihan harga karena kartel cukup besar. Hal ini karena harga dari kesepakatan perjanjian kartel merupakan harga yang lebih tinggi dari harga yang tercipta karena persaingan. Pengalaman di berbagai negara, memperlihatkan bahwa harga kartel bisa mencapai 400% (empat ratus persen di atas harga pasar). Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa kerugian akibat kartel dapat mencapai miliaran bahkan triliunan rupiah. Lebih lanjut lagi sebenarnya kartel bukan hanya merugikan konsumen tetapi juga merugikan perkembangan perekonomian suatu bangsa karena kartel menyebabkan terjadinya inefisiensi sumber-sumber daya baik itu sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya ekonomi lainnya.
Melihat dampak praktek kartel yang dapat menghalangi terciptanya persaingan usaha yang sehat, maka diperlukan adanya suatu pedoman yang mampu memberikan pemahaman yang lebih baik tentang larangan kartel sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. Kartel
adalah salah satu dari beberapa jenis perbuatan yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. Pelaku usaha beserta pesaing mereka merealisasikannya melalui beberapa tindakan seperti membatasi jumlah produk (supply), penetapan harga, pembagian wilayah dan konsumen (geographical and consumen allocation), bid rigging atau bergiliran untuk menjadi pemenang tender, grup boykot, dan lain sebagainya. Asosiasi industri sering digunakan sebagai medium untuk menentukan harga secara resmi maupun tidak resmi melalui perjanjian secara eksplisit dan tertulis. Penetapan harga diumumkan kepada publik secara terbuka yang kemudian dapat saja menjadi semacam standardisasi harga untuk pelaku usaha lainnya dalam industri serupa tanpa menjadi anggota asosiasi tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 telah ditetapkan elemen dalam perjanjian yaitu cukup adanya unsur perbuatan yang dilakukan oleh lebih dari satu pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun baik tertulis maupun tidak tertulis. Dengan demikian telah terlihat adanya unsur meeting of mind atau persetujuan tentang perikatan untuk melakukan perbuatan tersebut.93
B. Xxxxxxxx-Xxxxxxxx Baku yang Bertentangan dengan Hukum Persaingan Usaha
Integrasi vertikal adalah bagian dari hambatan vertikal (vertical restraint). Hambatan vertikal adalah segala praktik yang bertujuan untuk
93 Lihat Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.
mencapai suatu kondisi yang membatasi persaingan dalam dimensi vertikal atau dalam perbedaan jenjang produksi (stage of production) atau dalam usaha yang memiliki keterkaitan sebagai rangkaian produksi atau rangkaian usaha. Kebanyakan praktik hambatan vertikal didasarkan atau mengikuti suatu kesepakatan diantara pelaku usaha pada jenjang produksi yang berbeda namun masih dalam satu rangkaian yang terkait. Misalnya antara produsen dan distributor atau penjual produknya.94
Larangan terhadap segala praktik yang menghambat secara vertikal disebabkan dapat mendukung suatu tindakan anti persaingan, memperbesar kekuatan pasar serta dapat dijadikan alat untuk melakukan segmentasi pasar secara geografis.95
Integrasi vertikal diatur pada Pasal 14 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sebagai berikut:
“Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan/atau jasa tertentu dimana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengolahan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.”
Secara umum bahwa yang dimaksud dengan integrasi vertikal adalah suatu penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu. Hubungan antar perusahaan dalam suatu pasar merupakan hubungan yang kompleks. Di satu pihak, suatu perusahaan
94 Persaingan Sehat Sejahterakan Rakyat, KPPU, hlm. 7.
95 Xxxxxxx Xxxxx Xxxxx, op.cit., hlm. 116-117.
tergantung pada perusahaan lain untuk memasok bahan baku. Di lain pihak, perusahaan tersebut juga tergantung pada perusahaan distribusi yang menjual produk-produknya di pasar.96
Namun yang harus dipertegas dalam pasal ini adalah penguasaan perjanjian produksi bukan distribusi. Dengan kata lain pasal ini melarang terjadinya hambatan persaingan usaha yang diakibatkan oleh perjanjian yang bertujuan untuk menguasai produksi.
Dampak negatif dari integrasi vertikal semakin jelas jika terdapat masalah monopoli di hilir atau di hulu. Praktik integrasi vertikal dilarang sepanjang menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat.
Sebagaimana dalam perjanjian:
1. Pasal 4 ayat (3) PT. HWI tentang Hak Distributor menyatakan
“Seorang distributor berhak menempatkan orang yang disponsorinya sesuai dengan dimana ia ingin menempatkannya.”
2. Kode etik keanggotaan Moment bagian B.11 tentang Pembajakan Downline: “Seorang BA tidak diperkenankan untuk menganjurkan atau membujuk downline dari garis kesponsoran lain untuk bergabung di garis kesponsorannya. Apabila hal itu terjadi dan terbukti, maka BA tersebut akan kehilangan keanggotaannya di Moment. Hal ini termasuk juga dalam hal penjualan produk.”
96 Xxxxxxx Xxx Xxxxxxx, Pengaturan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Puslitbang/Diklat Mahkamah Agung, 2001), hlm. 42.
3. Pasal 1 ayat (6) tentang Pengertian: “Organisasi Mitra I (biasanya disebut upline) adalah sponsor anda, sponsor dari sponsor anda, sponsornya lagi dan seterusnya.”
4. Pasal 1 ayat (7) tentang Pengertian: “Organisasi Mitra II (biasanya disebut downline) adalah organisasi downline yang secara pribadi anda sponsori sendiri. Sebagaimana pula semua orang lain yang disponsori oleh mereka.”
5. Pasal 1 ayat (8) tentang Pengertian: “Organisasi Mitra III (biasanya disebut crossline) adalah organisasi yang berada di bawah anda dan berdampingan di samping Mitra II dan seterusnya.”
6. Pasal 8 ayat (9) tentang Larangan Bagi PBJ UFO: “PBJ UFO dilarang mempengaruhi PBJ UFO lain untuk pindah jaringan.”
Pada prinsipnya seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Karena itu, dilarang setiap perjanjian yang bertentangan dengan kebebasan tersebut dan dapat mengakibatkan timbulnya persaingan tidak sehat. Perjanjian yang dapat membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau pemasok disebut istilah perjanjian tertutup. Apa yang disebut dengan perjanjian tertutup ini termasuk ke dalam apa yang disebut dengan larangan pembatasan distribusi yang vertikal.97
97 Berbeda dengan Pasal 50 huruf b yang mengecualikan perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri serta perjanjian waralaba. Hal ini dimaksudkan agar pemegang kekayaan intelektual dapat menentukan dan mengatur sendiri pemanfaatan hak tersebut yang biasanya dilakukan melalui
Perjanjian tertutup adalah perjanjian yang mengkondisikan bahwa pemasok dari suatu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli tidak akan membeli produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan tersalur kepada pihak lain. Seorang pembeli (biasanya distributor) melalui perjanjian tertutup mengondisikan bahwa penjual atau pemasok produk tidak akan dijual atau memasok setiap produknya kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu.
Perjanjian tertutup dilarang oleh Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yakni sebagai berikut:
1. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan/atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan/atau tempat tertentu;
2. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan/atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
3. Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok:
pengorganisasian sistem distribusi. Dan pasal tentang perjanjian tertutup ini juga berbeda dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang hanya memuat hambatan horizontal.
a. Harus bersedia membeli barang dan/atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok atau;
b. Tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.
Pasal 15 ayat (1) dan (2) melarang setiap bentuk kesepakatan mengikat eksklusif (kontrak penjualan atau kewajiban memasok eksklusif) dan juga melarang kesepakatan penjualan mengikat selektif. Dalam bidang usaha penyalur, maka pelaku usaha dilarang membuat perjanjian bahwa hanya pembeli tertentu yang akan dipasok atau hanya memasok atau tidak memasok pembeli pada wilayah tertentu. Dengan demikian terdapat dua batasan yang dilakukan yakni pelaku usaha dibatasi hanya dapat menunjuk penyalur tertentu dan juga tidak diizinkan untuk mempercayakan suatu wilayah tertentu kepada penyalur tersebut.
Adapun pada Pasal 15 ayat 3 mencakup perilaku harga penjualan kembali kecuali dalam hal penetapan harga minimum.98 Undang-undang melarang perjanjian tertutup secara per se artinya tidak dibutuhkan suatu pembuktian akan adanya dampak kepada persaingan untuk menetapkan legal atau ilegalnya praktik tersebut.
Dalam hukum persaingan usaha dikenal dengan perjanjian tertutup (collusive dealing). Perjanjian tertutup berarti perjanjian yang mengkondisikan bahwa pemasok dari suatu produk akan menjual produknya hanya jika pembeli
98 Dalam hal penetapan harga jual kembali dalam harga penetapan minimum telah diatur pada Pasal 8, artinya Pasal 8 tidak mengatur penetapan harga lainnya seperti harga maksimum atau harga pas.
tidak akan membeli produk pesaingnya atau untuk memastikan bahwa seluruh produk tidak akan tersalur kepada pihak lain. Seorang pembeli (biasanya distributor) melalui perjanjian tertutup mengkondisikan bahwa penjual atau pemasok produk tidak akan dijual atau memasok setiap produknya kepada pihak tertentu atau pada tempat tertentu.99
Sebagaimana dalam perjanjian:
1. Pasal 5 ayat (7) PT. HWI tentang Kewajiban Distributor:
“Dilarang mensponsori, menganjurkan, membujuk distributor lain untuk pindah ke perusahaan MLM lain dengan cara dan alasan apapun.”
Pasal 5 ayat (8) PT. HWI tentang Kewajiban Distributor menyatakan “Distributor yang telah berperingkat Emerald ke atas dilarang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam aktifitas perusahaan MLM lain.”
2. Kode etik keanggotaan Moment bagian A: “Dalam keadaan apapun saya tidak akan menggunakan jaringan kerja moment untuk pemasaran produk- produk lain selain yang disetujui oleh Moment.”
3. Pasal 6 ayat (11) tentang Hak dan Kewajiban Pengusaha Bisnis Jasa: “PBJ tidak diperbolehkan untuk menjual atau memajang produk/jasa UFO di lokasi penjualan eceran, termasuk salon kecantikan, tempat potong rambut, tempat perawatan kesehatan, toko-toko obat atau apotek, toko kelontong atau toko makanan kesehatan, toko militer, kantor profesional, pameran dagang, pasar terbuka lain apapun yang dianggap oleh UFO sebagai lokasi penjualan eceran, sekalipun tujuannya bukan untuk dijual. Produk/jasa
UFO tidak diizinkan untuk dipakai dalam jenis kegiatan pengumpulan dana.”
4. Pasal 6 ayat (21) tentang Hak dan Kewajiban Pengusaha Bisnis Jasa: “Seorang PBJ UFO yang juga aktif dalam bisnis lain tidak diperbolehkan untuk mempromosikan, membicarakan, mengundang, mendorong atau berusaha membujuk PBJ lain untuk bergabung dengan perusahaan lain atau membeli atau menjual produk-produk atau layanan-layanan lain selain daripada produk-produk UFO. Pelanggaran terhadap aturan ini akan mengakibatkan sanksi yang berat termasuk kemungkinan diputuskannya/dicabutnya keanggotaan PBJ Ufonya.”
5. Pasal 8 ayat (13) tentang Larangan Bagi PBJ UFO: “Maha Bintang UFO dilarang untuk bergabung dengan Multi Level Marketing atau perusahaan lain yang sejenis.”
Menjadi seorang penguasa pasar adalah keinginan semua pelaku usaha karena penguasaan pasar akan memiliki korelasi positif dengan tingkat keuntungan yang mungkin dapat diperoleh oleh pelaku usaha. Untuk mendapatkannya tidak jarang pelaku usaha melakukan tindakan yang unfair dan bertentangan dengan hukum. Pasal ini memang tidak merumuskan berapa besar penguasaan pasar atau berapa besar pangsa pasar satu pelaku usaha namun satu pelaku usaha yang melakukan penguasaan pasar akan mempunyai posisi dominan di pasar.100
Kegiatan penguasaan pasar yang dilarang adalah ketika penolakan atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama. Menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu dapat diklasifikasikan sebagai berikut:101
1. Menolak pesaing (refusal to deal). Menolak atau menghalang-halangi pelaku usaha tertentu (pesaing) dalam hal melakukan usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Salah satu cara yang sering kali digunakan untuk menyingkirkan pesaing adalah dengan menerapkan strategi refusal to deal;
2. Menghalangi konsumen yaitu menghalang-halangi pihak konsumen dari pelaku usaha lain (pesaing) untuk tidak melakukan atau meneruskan hubungan usaha dengan pihak usaha pesaing tersebut. Yang dilakukan oleh pelaku usaha ini adalah dengan mengadakan upaya perjanjian antara distributor dari pelaku usaha tersebut yang memasarkan produknya dengan pihak grosir, pengecer, ritel atau toko yang menjual produknya tersebut kepada masyarakat. Perjanjian ini diikat dalam upaya promo yang digelar oleh pelaku ataupun ritel yang dapat memasarkan produknya, namun tidak boleh menjual produk-produk lain. Perjanjian yang mengikat kedua pihak dengan konsekuensi apabila para grosir, pengecer maupun ritel ini menjual barang lain, maka akan diberhentikan pengiriman barang oleh distributor. Dan ini bagi para grosir, pengecer maupun ritel akan jelas merugikan karena produk dari pelaku usaha ini memang diminati oleh para konsumen dengan tingkat permintaan dan penjualan yang besar. Dengan perjanjian
101 Naskah akademik tentang persaingan usaha dan anti monopoli, hlm. 78-80.
inilah kemudian bagi para pelaku usaha lain akan mengalami kesulitan di dalam memasarkan produknya karena grosir, pengecer maupun ritel ini menolak untuk menjual produknya tersebut;
3. Pembatasan peredaran produk. Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar yang bersangkutan;
4. Diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu pesaingnya;
5. Melakukan jual rugi (predatory pricing). Pemasokan produk dengan cara jual rugi yaitu dengan menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya karena tidak mampu lagi bersaing. Setelah perusahaan-perusahaan saingan tersebut bangkrut maka perusahaan yang menerapkan strategi predatory pricing tersebut menguasai pasar dan dapat menerapkan harga supra competitive. Penetapan harga supra competitive setelah pesaing-pesaing bangkrut dapat digunakan untuk menutup kerugian pada saat perusahaan itu menjual rugi;
6. Penetapan biaya secara curang. Melakukan kecurangan atau memanipulasi dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang merupakan komponen harga produk sehingga harga lebih rendah daripada harga sebenarnya.
Salah satu substansi yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah Pasal 8 yang mengatur mengenai larangan membuat perjanjian yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan/atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan/atau jasa yang diterimanya dengan