PENERAPAN ASAS KONSENSUALISME PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT.
PENERAPAN ASAS KONSENSUALISME PADA PERJANJIAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK MEMPUNYAI SERTIFIKAT.
(STUDI LAPANGAN PT. SARULLA OPERATION LtdDI KECAMATAN PAHAE JULU).
JURNAL
OLEH:
IINEIRENE XXXXXXXX XXXXXXXXX NIM: 150200128
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
JURNAL
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
IINEIRENE XXXXXXXX XXXXXXXXX NIM: 120200438
DEPARTEMEN HUKUM PERDATA
Disetujui oleh:
Ketua Departemen
Xx. Xxxxxxxx Xxxxxxxxx, SH.,M.Hum Nip. 196602021991032002
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Xxx Xxxxxxx, SH.,MS Xxxxxxx Xxxxx, SH.,M.Hum NIP.
196204211988031004 NIP.196402161989111001
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2019
CURICULUM VITAE
A. DATA PRIBADI
Nama Lengkap | Iineirene Xxxxxxxx Xxxxxxxxx | |
Jenis Kelamin | Perempuan | |
Tempat, Tanggal Lahir | Titi Besi, 21 April 1997 | |
Kewarganegaraan | Indonesia | |
Status | Belum Menikah | |
Identitas | NIK KTP 0000000000000000 | |
Agama | Xxxxxxx Xxxxxxxxx | |
Alamat Domisili | Jl. Jamin Ginting No. 000 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx | |
Alamat Asasl | Sibaganding, Tapanuli Utara | |
No Telp. | 082168420285 | |
B. PENDIDIKAN FORMAL
Tahun | Institusi Pendidikan | Jurusan | IPK |
2002-2008 | SD NEGERI 173264 Sibaganding | - | - |
2008-2011 | SMP NEGERI 3 Pahae Julu | - | - |
2011-2015 | SMA NEGERI 1 Pahae Julu | IPA | - |
2015-2019 | Universitas Sumatera Utara | Ilmu Hukum | 3,40 |
C. DATA ORANG TUA
Nama Ayah/Ibu : Alm. Gr. Xxxxxxxx Xxxxxxxxx/Egein Sitompul Pekerjaan : Petani
Alamat : Sibaganding, Tapanuli Utara
ABSTRAK
Prof. Dr. Xxx Xxxxxxx, SH.,MS* Xxxxxxx Xxxxx, SH.,M.Hum** Iineirene Xxxxxxxx Xxxxxxxxx***
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar adanya musyawarah. Kemudian, Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar yang nantinya akan menhasilkan suatu kesepakatan atau konsensus, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian. Permasalahnnya adalah, Bagaimana penerapan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) terhadap perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat?, Bagaimana ketentuan hukum perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat menurut Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)?, dan Bagaimana proses pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat antara PT. Sarulla Operation Ltd. dan pemegang hak atas tanah.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan menggunakan data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan dan empiris, melaluimproses penelitian di lapangan, yang berasal dari data primer yang diperoleh dari PT. Sarulla Operations Ltd (SOL) dengan cara melakukan wawancara, observasi maupun laporan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses pelepasan hak atas tanah menerapkan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) yaitu ketentuan yang terdapat dalam suatu perjanjian konsensus pada umumnya, bahwa pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat akan dianggap sah apabila memiliki SKT (Surat Keterangan Tanah), dan bahwa dalam setiap proses pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh Sarulla Operations Ltd (SOL), dilakukan berdasarkan suatu kesepatan atau konsensus tanpa tekanan atau paksaan.
Kata Kunci : Asas Konsensualisme, Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah yang tidak mempunyai sertifikat .
ABSTRACT
Prof. Dr. Xxx Xxxxxxx, SH.,MS* Xxxxxxx Xxxxx, SH.,M.Hum** Iineirene Xxxxxxxx Xxxxxxxxx***
Relinquishment or surrender of land rights is the activity of releasing the legal relationship between the holder of land rights and the land under his control by providing compensation on the basis of deliberation. Then, Deliberation is a process or hearing activity which will result in an agreement or consensus, with an attitude of mutual acceptance of opinions and desires based on voluntary attitudes between the holder of land rights and those who need land to obtain agreement on the form and amount of compensation . The problem is, How is the application of the Principle of Consensualism in Civil Law (Burgerlijk Wetboek) on agreements to release land titles that do not have certificates? release of land rights that do not have certificates between PT. Sarulla Operation Ltd. and holders of land rights.
The research method used is normative legal research, using secondary data in the library and empirical, through the research process in the field, which is derived from primary data obtained from PT. Sarulla Operations Ltd (SOL) by conducting interviews, observations and reports
The results showed that in the process of releasing land rights applying the Consensualism Principle in Civil Law (Burgerlijk Wetboek) is a provision contained in a consensus agreement in general, that the release of land rights that do not have certificates will be considered valid if they have SKT (Land Certificate) ), and that in every process of releasing land rights carried out by Sarulla Operations Ltd (SOL), carried out based on an agreement or consensus without pressure or force.
Keywords: Consensualism Principle, Agreement on Relinquishment of Land Rights who have no certificate.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan kebutuhan pokok bagi setiap mahluk hidup, yang digunakan sebagai tempat tinggal (tempat tinggal sukarela, tempat tinggal yang dipilih, dan rumah kematian) dan tempat berpijak. Bagi tanah juga berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi mereka yang mencari nafkah melalui usaha pertanian dan perkebunan, berdagang, serta sebagai tempat pemakaman saat manusia meninggal dunia.
Selain memiliki fungsi yang penting bagi kehidupan manusia, tanah juga memiliki arti penting bagi kehidupan manusia, karena kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Hal ini sejalan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria1 yang selanjutnya disebut UUPA disebutkan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dengan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang abadi, dengan kata lain bahwa dari lahir sampai meninggal manusia akan tetap membutuhkan tanah dan melibatkan tanah dalam kehidupannya.
Jika dilihat dari segi sifatnya, tanah adalah sesuatu yang bersifat tetap atau tidak berubah, sedangkan kebutuhan dan jumlah penduduk selalu berubah dan cenderung semakin meningkat. Dengan sifat yang bertolak belakang tersebut, seringkali terjadi permasalahan yang timbul yang terkait dengan tanah2. Permasalahan tanah harus dapat dihindari atau diantisipasi, sehingga dalam penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaannya yang dianggap perlu untuk diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatan serta sekaligus terselenggaranya perlindungan hukum bagi rakyat dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan.3
Di Indonesia sendiri, pengaturan mengenai tanah tidak hanya dapat ditemukan dalam Hukum Adat yang digunakan sebagi dasar Hukum Tanah Nasional, melainkan dalam KUHPerdata khususnya dalam Buku II yang membahas mengenai kebendaan,
ayat (3)
1Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal 1
2Dwi Xxxx Xxxxxxxxx, Pelaksanaan Akta Pelepasan Hak Sebagai Alas Hak Untuk Mengajukan
Permohonan Peralihan Dan Perubahan Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Di Kabupaten Brebes, Jurnal Akta, 2018, Vol.5, No.1.hal. 248
3Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
serta dapat ditemukan dalam UUPA sebagai unifikasi Hukum tentang Bumi (tanah), Air dan Ruang Angkasa di Indonesia. Ketiga jenis hukum ini sama-sama mengatur tentang tanah namun ada sedikit perbedaan diantara ketiganya, yaitu dari sudut pandang hukumnya.
Dalam Hukum Agraria kata sebutan “tanah” dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa, “Atas bukti kepemilikan menguasai dari Negara ... ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberkan dan dipunyai oleh orang-orang...” Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi), sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar.
Dalam Hukum Perdata (Bw) khususnya dalam Buku II, tanah dianggap sebagai suatu benda. Hal tersebut dilatarbelakangi karena tanah dapat dijadikan sebagai objek hukum, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum (manusia atau badan hukum) dan yang dapat menjadi pokok (obyek) suatu hubungan hukum, serta tanah dapat dikuasai oleh subyek hukum itu sendiri.4
Sebagai salah satu benda yang dapat dijadikan sebagai objek dalam melakukan suatu perbuatan hukum, diatas sebidang tanah dapat dilakukan beberapa perbuatan hukum seperti, jual beli, pembebasan hak atas tanah, pelepasan hak atas tanah dan sebagainya. Jenis-jenis perbuatan hukum tersebut haruslah dilakukan sesuai dengan syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang. Adalah sebuah hal yang penting untuk mengetahui terlebih dahulu ketentuan hukum mana yang akan digunakan atau diterapkan apabila hendak melakukan suatu perbuatan hukum di atas sebidang tanah. Misalnya dalam hal melakukan perjanjian pelepasan hak atas tanah,maka harus dilakukan berdasarkan ketentuan perjanjian yang telah diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat sah nya suatu perjanjian.
Penerapan Hukum Perdata (Bw) dalam hal perjanjian adalah hal yang penting untuk dilakukan, karena dengan adanya penerapan tersebut maka perjanjian yang kelak akan dibuat akan memiliki dasar dan tolak ukur dalam proses pembuatannya, seperti dalam hal menentukan perjanjian apa yang akan dilakukan, apa objek yang diperjanjikan, ketentuan para pihak dalam perjanjian tersebut dan sebagainya. Misalnya
4Trisadidni Usanti, Lahirnya Hak Kebendaan, Artikel, 15 Januari 2017, hal. 44
dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah jenis perjanjian yang digunakan adalan perjanjian Konsensual yang menggunakan Asas Konsensualitas sebagai dasar pelaksanaannya. Adanya Xxxx Konsensualitas dalam pembuatan dan pelaksanaannya, akan memberikan tolak ukur kepada para pihak dalam pembuatan perjannjian pelepasan hak atas tanah tersebut. Seperti dalam menentukan kedudukan para pihak dalam perjanjian yaitu pemegang hak milik atas tanah dan penerima hak atas tanah. Dalam pelepasan hak atas tanah, tidak ditemukan sebutan penjual dan pembeli atau kreditur dan debitur, namun adanya perbedaan dalam penyebutannya tidak membuat kedudukan pihak-pihak tersebut berbeda dalam pembuatan perjanjian. Dengan kata lain, pemegang hak milik atas tanah berkedudukan sebagai orang yang menyerahkan suatu benda, yang dalam pelepasan hak atas tanah adalah tanah, dan penerima hak atas tanah berkedudukan sebagai orang yang harus memberikan sejumlah uang atau dalam pelepasan hak atas tanah dikenal dengan sebutan “ganti rugi”.
Dalam pelaksanaan suatu perjanjian pelepasan hak atas tanah, bukan hanya ketentuan Hukum Perdata (Bw) yang digunakan sebagai dasar dan tolak ukur dalam pembuatan dan pelaksanaan perjanjian nantinya, namun khusus mengenai pelepasan hak atas tanah penganturannya dapat ditemukan dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah, penerapan Peraturan Presiden tersebut hanya akan mengatur mengenai tata cara pelepasan hak tanah, syarat-syarat yang harus dipenuhi agar dapat melakukan pelepasan hak atas tanah tentang pemberian ganti kerugian dan penyebutan para pihak.
Pentingnya penerapan Asas Konsesualisme dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah adalah sebagai suatu tolak ukur dalam hal pembuatan baik maupun dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tersebut nantinya. Jika dilihat dari tata cara pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pelepasan hak atas tanah adalah perbuatan hukum yang dilakukan berdasarkan adanya suatu kesepatan atau konsensus antara pemegang hak milik atas tanah dan penerima hak atas tanah, maka dalam Hukum Perdata (Bw) jenis perjanjian yang akan dibuat dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah tersebut adalah perjanjian konsensual, yaitu perjanjian yang timbul karena ada persetujuan atau kesepakatan kehendak antara pihak-pihak dalam perjanjian.
Tanah yang yang menjadi objek dari perjanjian pelepasan hak tanah adalah sebidang tanah yang tidak bersertifikat. Apabila dalam perjanjian jual beli sebidang tanah, maka tanah yang menjadi objek perjanjian jual beli tersebut haruslah memiliki surat sertifikat tanah yang jelas. Berbeda dengan perjanjian jual beli, perjanjian pelepasan hak atas tanah tidak memiliki sertifikat tanah oleh para pihak dalam perjanjian. Dengan adanya sertifikat hak milik atas tanah yang jelas, maka perbuatan hukum atas tanah yang akan diserahkan kepada pihak lain akan memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat, karena sertifikat hak milik atas tanah membuktikan tentang berhak atau tidaknya seseorang atas kepemilikan tanah tersebut.
Jika sertifikat atas tanah merupakan bukti kepemilikan hak milik atas tanah yang menentukan tentang kekuata hukum pembuktian pada suatu perjanjian jual beli, lalu bagaimanakah dengan kekuatan hukum pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas yang tidak bersertifikat?. Lantas, apakah pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat tersebut dianggap tidak sah menurut Asas Konsensualisme dalam Hukum Perdata (Bw) ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka penting adanya penerapan Asas Konsensualisme dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah agar dapat diketahui bagaimana pandangan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perdata (Bw) mengenai pelaksanaan suatu perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat sebagai alas hukum dari perbuatan hukum tersebut.
Dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang pada notabenenya tanah yang menjadi objek perjanjian tidak mempunyai sertifikat, akan menimbulkan pertanyaan seperti, bagaimanakah kekuatan hukum dari perjanjian yang dilakukan diatas pelepasan hak atas tanah tersebut, sementara dalam perjanjian tersebut tidak disertakan dengan sertifikat hak atas tanah. Dalam melakukan perjanjian pelepasan hak atas tanah, penting untuk dimengatahui bagaimana kekuatan hukum dari perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat, karna apabila suatu perbuatan hukum tidak mempunyai kekuatan hukum (legalitas), maka para pihak dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah tidak memiliki dasar dalam melaksanakan perjanjian tersebut.
Dalam pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah, bukan hanya penerapan Asas Konsensualisme dan kekuatan hukum perjanjian yang akan dilakukan nantinya saja yang penting untuk diperhatikan. Dalam praktek lapangannya ada juga bagian-bagian lagi yang tak kalah pentingnya yaitu tentang bagaimana proses pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat dan bagaimana
bentuk (hasil atau surat) yang dikeluarkan dari perjanjian pelepasan hak atas tanah tersebut.
Pentingnya bagaimana proses pelaksanaan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifkat untuk dibahas adalah untuk mengetahui, apakah proses yang dilakukan dalam prakteknya di lapangan sudah sesuai dengan apa yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagai peraturan yang mengenai tata cara pelepasan hak atas tanah, dan pentinya dibahas mengenai apa bentuk (hasil) adalah untuk mengetahui kedalam bentuk apakah dituangkan perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak bersertifikat yang telah dilaksanakan. Apakah hanya dalam bentuk surat kesepakatan yang ditandatangani oleh para pihak atau dalam bentuk akta. Keberadaan bentuk (hasil atau surat) dalam sebuah perjanjian akan sangat berguna untuk kedua belah pihak nantinya. Apabila salah satu pihak melakukan ingkar janji atau wanprestasi, maka dapat dilihat kembali perjanjian yang sudah dituangkan dalam bentuk surat atau akta tersebut tentang bagaimana para pihak mengatur tentang perbuatan ingkar janji.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka skripsi ini membahas permasalahan tersebut dalam skripsi dengan judul Penerapan Asas Konsensualisme Pada Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah Yang Tidak Memiliki Sertifkat. (Studi lapangan PT. SARULLA OPERATION Ltd DI KECAMATAN PAHAE JULU).
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perdata terhadap Perjanjian Pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat
Suatu Perjanjian adalah suatu peristiwa seorang berjanji kepada seorang lain atau adanya dua orang atau lebih saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau lebih yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian itu berupa suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
Perjanjian ialah salah satu sumber dari perikatan disamping sumber-sumber lain. Xxxxxxxxan melahirkan perikatan yang menciptakan kewajiban pada salah satu pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan kepada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada pihak kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelksanaan prestasi dalam perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. Dalam hal debitur tidak melaksanakan perjanjian tersebut, maka kreditur berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian yang belum dilaksanakan atau telah dilaksanakan namun secara bertentangan, dengan atau tidak disertai dengan penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh kreditur.
Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan. Pada kenyataannya, perikatan paling banyak diterbitkan dan bersumber dari suatu perjanjian, namun terdapat pula sumber-sumber lain yang melahirkan perikatan. Sumber lain ini tercakup dengan nama Undang-Undang. Jadi, ada perikatan yang lahir dari suatu “Perjanjian” dan ada perikatan yang lahir berdasarkan ketentuan Undang-Undang.Dalam KUHPerdata terdapat beberapa asas yang digunakan sebagai dasar atau tolak ukur dalam membuat suatu perjanjian, salah satu asasnya ialah Asas Konsensualitas. Asas ini timbul dari salah satu syarat sahnya suatu perjanjian yang dimuat dalam Pasal 1320 Bw yaitu “kesepakatan atau konsensus”.
Xxxx Xxxxxxxxxxxxxx merupakan asensial dari Hukum Perjanjian dimana kata “sepakat” mereka yang mengikatkan diri telah dapat melahirkan Perjanjian.Kesepakatan (toestemming) merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas konsensualitas adalah asas yang menentukan bahwa suatu
perjanjian yang dibuat antara dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera setelah para pihak dalam perjanjian tersebut mencapai kesepakatan atau konsensus, meskipus kesepatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata ini berarti pada prisipnya perjanjian yang mengikat sebagi perikatan dan berlaku bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas.5
Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut sudah bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut. Xxxx konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang ada dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata, terlihat pada istilah “kesepakatan” dimana menurut asas ini perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat. Di sini yang ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti dari hukum kontrak.
Asas konsensualisme juga hendaknya juga tidak diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsesualisme yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung jawab dalam lalu lintas hukum, orang yang beriktikad baik, yang berlandaskan pada “satunya kata satunya perbuatan”, sehingga dengan asumsi bahwa yang berhadapan dalam berkontrak itu adalah para “gentleman”, maka akan terwujud juga “gentleman agreement” diantara para pihak. Apabila kata sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka yang sebenarnya, dalam arti terjadi cacat kehendak, maka dalam hal ini akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. Pada akhirnya, pemahaman terhadap asas konsensualisme tidak terpaku sekedar mendasarkan pada kata sepakat saja, tetapi syarat-syarat lain dalam Pasal 1320 KUH Perdata dianggap telah terpenuhi, sehingga kontrak tersebut menjadi sah.
Tercapainya suatu konsensus/kesepakatan dalam perjanjian memang sudah dianggap sah, namun adakalanya undang-undang menetapkan, bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan perjanjian itu dilakukan secara tertulis (perjanjian
5xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxx-xxxx-xxxxxxxxxx, diakses pada tanggal 27 Juli 2019 pukul
16.25 WIB
“perdamaian”) atau dengan akta notaris (perjanjian penghibahan barang tetap), tetapi hal yang demikian itu merupakan suatu pengecualian. Pada umumnya suatu perjanjian itu dianggap sudah sah dalam artian sudah mengikat, apabila sudah tercapai kesepakatan oleh para pihak mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu. Misalnya perjanjian Jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, jenis-jenis tersebut merupakan perjanjian yang konsensuil atau yang berasal dari adanya konsensus/ kesepakatan.6
Asas Konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat perjanjian yang tidak mewujudkan kesepakatan yang sesungguhnya. Hal ini disebabkan adanya kecacatan kehendak (wilsgebreke) yang mempengaruhi timbulnya perjanjian. Dalam KUHPerdata cacat kehendak meliputi tiga hal, yaitu :
1) Kesesatan atau dwaling.
2) Penipuan atau bedrog.
3) Paksaan atau dwang.
Kesep akatan yang sesungguhnya dalam perjanjian merupakan perwujudan dari dua kehendak atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan dan atau untuk tidak dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan dan tentang akibat hukum apa yang akan timbul jika salah satu dari pihak dalam perjanjian tidak melakukan apa yang sudah disepakati bersama dalam isi perjanjian.
Dari aspek hukumnya, akibat hukum perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam pasal 1320 jo. pasal 1338 KUHPerdata akan berlaku sebagai undang-undang dan mengikat para pihak yang mengakibakan setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan apa yang telah disepakati sebelumnya, maka akan dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janjji
6Prof Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 15
yang memberikan kepada pihak yang dirugikan untuk menuntut atas kerugian yang ditanggungnya.
Tercapainya suatu kesepakatan mengenai suatu hal pokok dalam suatu perjanjian atau perikatan yang dapat dimaknai sebagai asas konsensualitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang berbunyi : untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. sepakat merka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. Jadi suatu perjanjian atau kontrak, harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang ditentukan dalam pasal tersebut. Dengan dipenuhinya syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya. Syarat sepakat merupakan syarat yang logis, karena dalam perjanjian setidaktidaknya harus ada dua orang atau dua pihak yang saling berhadap-hadapan dan mempunyai kehendak yang saling mengisi. Dimana sepakat yang dimaksudkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata ini, adalah sepakat pada saat lahimya suatu perjanjian, bukan pada saat pelaksaanaan perjanjian.
Dari ketentuan tersebut di atas, dalam praktiknya juga terjadi pada kontrak kerja antara PT. Chevron Pacific Indonesia dengan PT. Budimas Pundinusa Alert, yaitu dalam rangka kontrak kerja pelaksanaan pekerjaan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di daerah operasional PT. Chevron Pacific Indonesia areal Sumatera.7 Penerapan asas konsensualitas ini, tercapai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu terwujudnya penandatangan Surat Kontrak Nomor 1323 OK tertanggal03 November 2004, dimana pihak PT Chevron Pacific Indonesia diwakili oleh Xxxxx Xxxxxxxx, selaku Manager OE HES, dan pihak PT. Budimas Pundinusa Alert diwakili oleh X. Xxxxx- Xxxxx selaku Direktur Utama PT. Budimas Pundinusa Alert, penandatanganan surat
7xxxxx://xxxxxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxxx/xxxxxx/000000000/0000/XXX%00000.xxx?xxxxxxxxx0&
isAllowed=y, diakses pada tanggal 27 Juli 2019 pukul 16.45 WIB
kontrak tersebut bertempat di Rumbai Pekanbaru. Dimana kesepakatan kontrak kerja ini, diadakan atas dasar kemauan para pihak atau penawaran yang dilakukan oleh pihak PT. Chevron Pacific Indonesia sebagai pihak yang mengadakan penawaran urnurn atau yang mengadakan tender atau lelang diterima atau diakseptir oleh pihak PT. Budimas Pund'inusa Alert, dengan tanpa paksaan, kekhilafan, maupun penipuan. Sehingga dari kesepakatan tersebut lahirlah suatu perjanjian atau kontrak diantara kedua belah pihak dan mengikat sebagaimana layak undang-undang, yang tercantum dalam pasal-pasal dalam kontrak tersebut. Selanjutnya akan tercipta suatu hubungan hukum di antara para pihak, hubungan hukum tersebut adalah suatu hubungan perjanjian untuk melakukan pekerjaan jasa-jasa dalam rangka pencegahan dan penanggulangan kebakaran di daerah operasional PT Chevron Pacific Indonesia, areal sumatera, yaitu melipvti perumahan, industri dan lapangan Duri.8
B. kekuatan Hukum Perjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah yang tidak mempunyai Sertifikat menurutPeraturanPresiden No. 36 Tahun 2005 tentangPengadaan Tanah bagiPelaksanaan Pembangunan untukKepentinganUmum
Pelaksanaan pengadaan tanah menurut Permendagri Nomor 15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara Pembebasan Tanah dalam pengadaan tanah dikenal istilah pembebasan tanah, yang berarti melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat diantara pemegang atau penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi. Menurut Pasal 1 angka 6 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan
8Ibid
hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
Sedangkan di dalam Pasal 1 angka 2 Keppres Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum menyatakan bahwa : “Pelepasan atau penyerahan hak adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti kerugian atas dasar musyawarah”.9 Kemudian untuk musyawarah itu diatur dalam butir ke 5 (lima) yang menyatakan bahwa: “Musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar, dengan sikap saling menerima pendapat dan keinginan yang didasarkan atas sikap kesukarelaan antara pihak pemegang hak atas tanah dan pihak yang memerlukan tanah untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian”.
Setelah berlakunya Keppres Nomor 55 Tahun 1993 istilah tersebut berubah menjadi pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah. Oleh karena itu, segi-segi hukum materiilnya pelaksanaan pelepasan hak atau pelepasan hak atas tanah pada dasarnya sama dengan pembebasan tanah, yaitu Hukum Perdata.
Dengan perkataan lain bahwa keabsahan atau ketidak absahan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagai cara pengadaan tanah ditentukan ada tidaknya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang berarti sah tidaknya perbuatan hukum yang bersangkutan, berlaku antara lain syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.10 Perbedaannya hanya terdapat pada segi-segi intern administrasinya
9Pasal 1 butir 2 Keppres Nomor 55 Tahun 19931993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
10Xxxxx Xxxxxxx, Xxxxx-Xxxxx Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Makalah, 1990, hal.4.
yaitu pembebasan tanah pada umumnya berdasarkan pada Permendagri Nomor 15 Tahun 1975, sedangkan pelepasan atau penyerahan hak-
hak atas tanah berdasarkan Keppres Nomor 55 Tahun 1993.11
Menurut Xxxx. Xxxxx Xxxxxxx, SH, yang dimaksud dengan pelepasan hak atas tanah adalah setiap perbuatan yang dimaksud langsung maupun tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak atau penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang berhak atau penguasa tanah tersebut. 12 Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapat ganti kerugian berupa :
1. Uang;
2. Tanah Pengganti;
3. Pemukiman Kembali;
Pada dasarnya, pelepasan hak atas tanah meliputi banyak aspek. Seperti, pelepasan hak atas tanah dalam rangka pembaharuan hak atau perubahan hak, pelepasan hak atas tanah dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan swasta maupun pelepasan hak atas tanah bagi perusahaan dalam rangka penanaman modal.13
Perolehan tanah dalam pengadaan tanah untuk kepentingan peusahaan swasta dapat ditempuh dengan cara pemindahan hak atas tanah melalui jual beli atau pelepasan hak atas tanah. Antara jual beli dengan pelepasan hak atas tanah mempunyai syarat sah dan prosedurnya. Cara memperoleh hak atas tanah melalui pelepasan hak atas tanah, merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh baik oleh pihak pemerintah maupun swasta. Menurut Xxxxx 1 angka 3 Keputusan Menteri Negara Agrari/Kepala
11Oloan Sitorus dan Xxxxx Xxxxxxx, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Yogyakarta, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, 2004, hal.10.
12Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1996, hal.89
13xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xx0xxx000x0xxx0/xxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxxx-xxx-
atas-tanah/, diakses pada tanggal 13 Maret 2019, pukul 01.04 WIB.
Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal jo. Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, yang dimaksud pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak milik atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan pemberian ganti rugi atas dasar musyawarah. Menurut Xxxxxx Xxxxxx, pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dilakukan melalui musyawarah berdasarkan kesepakatan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemilik tanah dan pihak yang membutuhkan tanah. 14Dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah terdapat unsur pemberian ganti kerugian. Ganti kerugian diberikan oleh pihak yang memerlukan tanah ( pihak pemerintah dan pihak swasta), kepada pihak pemegang hak milik atas tanah. Bentuk dan besarnya kerugian ditetapkan atas dasar kesepakatan dalam musyawarah antara pihak yang memerlukan tanah dan pemegang hak milik atas tanah.
Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah dapat dilakukan apabila sudah tercapai kesepakatan dalam musyawarah antara pihak yang membutuhkan tanah dengan pemegang hak milik atas tanah mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian, maka dibuatlah Akta Pelepasan Hak (APH) atas tanah atau Surat Pernyataan Pelepasan Hak Atas Tanah (SPPHT). Seiring dengan penandatanganan dibuatlah akta pelepasan hak atas tanah atau surat pernyataan pelepasan hak atas tanah, maka pihak yang membutukan tanah menyerahkan ganti kerugian secara langsung kepada pemegang hak milik atas tanah.
14Ahcmad Xxxxxx, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Bayumedia, Malang, 2007, hal.121.
Menurut Arie. X. Xxxxxxxxxx, acara pelepasan hak ini ditempuh jika pihak yang bermaksud memperoleh dan menguasai tanah yang berstatus Hak Milik atau eks Hak Milik Adat, namun tidak memenuhi syarat sebagai subjek pemegang hak atas tanah tersebut melalui pemindahan/peralihan hak secara langsung. 15Pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya ditempuh oleh perusahaan swasta disebabkan perusahaan swasta tidak dapat memperoleh tanah yang berstatus hak Milik melalui cara jual beli atas tanah. Perusahaan swasta tidak memenuhi syarat sebagai subjek hukum Hak Milik ditempuh melalui cara pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya dengan pemberian ganti kerugian.
Xxxxx Xxxxxxx menyatakan bahwa dengan pelepasan hak atas tanah tidak berarti hak atas tanah berpindah dari pemegang haknya kepada pihak lain yang memberi ganti kerugian, melainkan hak tersebut hapus dan kembali menjadi tanah negara atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara.16 Pelepasan hak atas tanah merupakan salah satu penyebab hapusnya hak milik atas tanah dan bukan pemindahan hak atas tanah. Dengan pelepasan hak atas tanah oleh pemegang haknya, hak milik atas tanah tidak berpindah kepada perusahaan swasta, melainkan hak milik atas tanah menjadi hapus dan hak milik atas tanah kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara.
Ketika kedua belah pihak yaitu pihak yang membutuhkan tanah dan pemegang hak milik atas tanah telah mencapai suatu kata sepakat dalam musyawarah yang telah mereka lakukan, maka disaat tanah tersebut secara sah diserahkan hak milik nya kepada pihak lain, dan juga pemegang hak milik atas tanah sudah menerima ganti kerugian yang layak dari pihak yang membutuhkan tanah tersebut, maka disaat itu juga perbuatan hukum tersebut juga harus dicatatkan kedalam sebuah akta yang dibuat langsung
hal.179.
15Arie. X. Xxxxxxxxxx, Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005,
16Xxxxx Xxxxxxx, op.cit, hal.168.
dihadapan Notaris, sebagai pembuktian bahwa tanah tersebut sudah dilepaskan hak milik nya kepada pihak lain dan pelepasan hak atas tanah ini secara otomatis menghapus hak pemilik sebelumnya terhadap tanah tersebut.
C. PenerapanAsasKonsensusalismedalamPerjanjian Pelepasan Hak Atas Tanah yang tidak mempunyai Sertifikat antara PT. Sarulla Operation Ltd dan pemegang Hak atas tanah
Suatu perjanjian dianggap sah sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata adalah 17
1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) suatu hal tertentu;
4) suatu sebab yang halal.
Xxxxxx “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya” merupakan landasan yang mendasari dua orang atau lebih untuk mengikatkan diri sehingga melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. kesepakatan yang telah dicapai tersebut menjadi prinsip bahwa perjanjian harus mengikat sebagai suatu perikatan dan berlaku bagi para pihak yang berjanji walaupun hanya bersifat formalitas atau secara lisan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kesepakatan wajib dipatuhi oleh setiap pihak dalam perjanjian.
Dari aspek hukumnya, akibat hukum perjanjian yang sudah dibuat dan disepakati oleh para pihak berdasarkan apa yang telah ditentukan dalam pasal 1320 jo. pasal 1338 KUHPerdata akan berlaku mengikat para pihak dan bersifat obligatoir, yang
17Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
mengakibakan setiap perjanjian yang dibuat harus benar-benar dilaksanakan. Apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakan apa yang telah disepakati sebelumnya, maka akan dikategorikan sebagai perbuatan wanprestasi atau ingkar janji. Sehingga pihak-pihak yang mengikatkan diri diharuskan menyelesaikan urusan atas timbulnya kerugian dari wanprestasi yang dilakukan oleh salah seorang pihak dengan memberikan somasi atau teguran atas tindakan ingkar janji tersebut kepada pihak yang telah wanprestasi terhadap kewajiban yang harus dipenuhi sesuai perjanjian.
Dengan terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak kreditur untuk menuntut pembatalan kontrak dan/atau ganti rugi. Pada umumnya dalam praktek, somasi diajukan tiga kali. Dimana somasi pertama umumnya berupa peringatan yang masih ringan, karena kreditur masih meyakini bahwa dengan peringatan tersebut debitur dengan sukarela akan melaksanakan somasi. Jika kondisinya somasi pertama tidak dihiraukan atau pihak-pihak dalam perjanjian tidak mencapai penyelesaian wanprestasi maka kreditur akan melayangkan somasi kedua kemudia ketiga.
Dalam proses pelepasan hak atas tanah yang dilakukan oleh PT. SOL dengan para pemegang hak atas tanah terdiri dari beberapa tahapan termasuk pemetaan tanah digital (PTD), pemberian tanda atau patok tanah sebagai pertanda bahwa tanah tersebut adalah tanda yang dibutuhkan SOL, koordinasi dengan Kepala Desa setempat dan pihak SOL melakukan penelitian tentang pemilik yang sah atas tanah tersebut sekarang. Jika pemilik tanah yang sekarang adalah pemegang yang sah hak atas tanah maka pihak SOL akan berhubungan untuk mendiskusikan dan menyepakati beberapa kesepakatan yang akan diambil nantinya dengan pemegang yang sah hak atas tanah dan status tanah (hak milik atau hak guna usaha).
Pihak SOL mengadakan pertemuan dan melakukan musyawarah terkait dengan nilai besaran ganti rugi atas pelepasan sejumlah hak atas tanah berdasarkan ketentuan yang
berlaku. Walaupun dalam prosesnya terjadi ketidaksetujuan beberapa pemegang hak atas tanah tetapi pihak SOL tetap menyesuaikan besaran nilai ganti kerugian yang ditawarkan oleh pihak SOL. Sehingga keadaan masing-masing pihak menyetujui isi perjanjian antara pihak ditandai dengan penandatanganan Akta Pelepasan Hak atas Tanah (APH). Dengan ditandatanganinya APH tersebut, maka telah terjadi kesepakatan secara tertulis diantara pihak SOL sebagai pemberi ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah sebagai pihak yang melepaskan hak atas tanah. Dengan terselesaikannya urusan dalam perjanjian maka timbullah peralihan hak milik atas tanah tersebut kepada pihak SOL
Sehingga dapat dimaknai bahwa pada proses pelepasan hak atas tanah dari para pemegang hak atas tanah tersebut kepada pihak SOL, dalam proses ini hal yang perlu yang diperhatikan yang pertama adalah adanya proses pendahuluan sebagaimana yang siterangkan yang pada hasilnya berdasarkan kesepakatan pihak-pihak dalam perjanjian yang dalam hal ini adalah pemegang hak atas tanah dan pihak SOL mencapai suatu kesepakatan dan menuangkannya dalam sebuah akta yaitu Akta Pelepasan Hak atas Tanah (APH) beserta dengan ganti kerugian tersebut.
Hal kedua yang dibahas yang dibahas adalah bagaimana pelepasan hak atas tanah untuk kepentingan umum. Dalam pelepasan hak atas tanah ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak sebagaimana tercantum dalam setiap bagian Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembagunan untuk Kepentingan Umum. Syarat-syarat tersebut dicabarkan sebagai berikut:18
1) pelaksanaan pengadaan hak atas tanah dengan cara pelepasan hak atas tanah harus dilakukan dengan sebaik-baiknya;
18bagian Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembagunan untuk Kepentingan Umum
2) dilaksanakan dengan memperhatikan peranan tanah dalam kehidupan manusia;
3) prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah;
4) dilaksanakan dengan prinsip musyawarah.
Sebagaimana tercantum dalam penjelasan dari Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,19 terdapat alat bukti tertulis untuk dapat membuktikan kepemilikan atas tanah yang dapat digunakan bagi pendaftaran hak-hak lama dan merupakan dokumen yang lengkap untuk kepentingan pendaftaran tanah antara lain akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubuhi kesaksian oleh Kepala Adat/Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.20 Dalam keadaan tanah yang tidak memiliki sertifkat, maka kepala desa berperan sebagai pihak yang berwenang untuk mengeluarkan suatu Surat Keterangan Tanah yang menerangkan bahwa tanah tersebut adalah benar tanah milik pemegangnya saat ini dan menyatakan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa (gugatan).
Berdasarkan bunyi Pasal 39 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dapat dipahami bahwa Kepala Desa berwenang untuk membuat surat keterangan yang menguatkan sebagai bukti hak dengan yang bersangkutan yang menguasai bidang Tanah tersebut. Untuk daerah-daerah Kecamatan di luar kota tempat kedudukan Kantor Pertanahan, surat Keterangan Kepala Kantor Pendaftaran tanah dapat dikuatkan dengan surat pernyatan Kepala Desa.
19Mhd. Xxxxx Xxxxx, dan Abd. Xxxxx Xxxxx, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Bandung, Mandar Maju, 2012, hal.62.
20xxxx://xxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxx-xx-xxxxx-xxxxxx-xxxxxxx-xxxxx.xxxx, diakses pada tanggal 2 April 2019, Pukul : 02.14 WIB.
Berdasarkan bukti kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat yang berupa surat keterangan tanah yang diterbitkan oleh Kepala Desa yang disahkan oleh Kecamatan setempat berdasarkan Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dikategorikan sebagai alas hak yang diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah, oleh karena itu apabila terjadi kesalahan atau adanya cacat hukum dalam penerbitan alas hak tersebut akan berakibat batal atau tidak sahnya sertipikat yang diterbitkan karena kesalahan prosedur penerbitan sertifikat.
Dalam hal pelepasan hak atas tanah aspek pertama adalah PT. SOL melakukan optimalisasi survei ke lapangan tempat tanah tersebut dengan melakukan survei lamgsung terhadap pemegang sah hak atas tanah yang telah dipatok oleh pihak SOL sebelumnya untu menghindari terjadinya kesalahan tentang setiap kesepakatan yang nantiya akan di diskusikan dan disepakati oelh para pihak dengan benar. Intinya pihak SOL mencaritahu tentang kebenaran terkait hak atas tanah tersebut secara langsung kepada pemilik.
Aspek kedua, pihak SOL memberitahukan tujuan patok tanah-tanah milik para pemegang hak atas tanah dan memberitahukan bahwa tanah tersebut memiliki tanaman ditumbuhkan diatasnya. Selanjutnya aspek ketiga bahwa setiap hak atas tanah yang telah dilepaskan kepada pihak SOL akan diberikan penghormatan yang layak berupa sejumlah uang sebagai ganti kerugian dengan memperhatikan pendapatan total ekonomi dalam suatu negara (Gross National Product) dan ditambah 80% dari GNP Indonesia serta memberikan ganti kerugian juga atas tanaman yang tumbus diatas tanah tersebut sesuai dengan jenis tanamannya. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan dalam Keppres Nomor 55 Tahun 1993 yang sejatinya mengatur hal yang sama dengan Perpres
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, bahwa pelepasan hak dibarengi dengan pemberian ganti kerugian sebagaimana diatur xxxx Xxxxx 00 xxxxxxxx xxxxx-bentuk ganti kerugian yaitu: 1) uang;
2) tanah pengganti; dan/atau 3) pemukiman kembali.
Aspek terakhir, pada Pasal 1 angka 6 Perpres Nomor 36 Tahun 2005 menyatakan pelepasan hak atas tanah merupakan kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak milik atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Ketentuan inilah yang mendasari pihak SOL mengadakan pertemuan dengan para pemegang hak atas tanah tersebut. Pada pertemuan kedua pihak SOL dan pemegang hak atas tanah melakukan musyawarah mufakat mengenai besaran ganti rugi yang diberikan oleh pihak SOL kepada para pemegang hak atas tanah tersebut.
Pelepasan hak atas tanah tersebut kepada pihak SOL ditindaklanjuti dengan membuat SKT bagi pemegang hak atas tanah yang belum memiliki sertifikat hak milik atas tanah yang akan dilepas itu oleh Kepala Desa setempat. SKT ini menjadi bukti kepemilikan para pemegang hak atas tanah yang melakukan pelepasan. SKT tersebut diurus dan ditanda tangani oleh Kepala Desa dan juga harus diketahui oleh Camat setempat dan ditanda tanagani.
Proses pelepasan hak atas tanah oleh pemegang hak atas tanah yang masih tidak bersertifikat kepada PT. Sarulla Operation Ltd, sejatinya telah menginterpretasikan aspek-aspek asas konsensualisme. Hal ini telah merinci dan membandinkan antara ketentuan proses pelepasan hak atas tanah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dengan perjanjian antara PT. SOL
dan pemegang hak atas tanah. Sehingga penulis memiliki pandangan bahwa proses pelepasan hak atas tanah antara PT. SOL dan pemegang hak atas tanah telah memenuhi ketentuan hukum.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Asas Konsensualisme pada perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat, dapat dilihat dari jenis perjanjian yang digunakan yaitu perjanjian konsensual, yang timbul karena adanya suatu kesepakatan atau konsensus di antara para pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam pelaksanaan setiap prosesnya dilakukan atas dasar suatu kesepakatan diantara para pihak dan adanya itikad baik dari pihak yang membutuhkan tanah tersebut (pemberi ganti kerugian), tanpa adanya paksaan maupun tekanan terhadap para pemegang hak atas tanah untuk melepaskan hak atas tanahya. Tanah yang dijadikan sebagai objek dalam pelepasan hak atas tanah adalah tanah dengan status hak milik. Dalam penentuan besaran nilai ganti kerugian, musyawarah adalah satu-satunya cara yang dilakukan dalam menyepakati seberapa besar ganti kerugian yang akan diberikan kepada pemegang hak atas tanah. Perjanjian pelepasan hak atas tanah yang dilakukan antara pihak yang membutuhkan tanah (pemberi ganti kerugian) dengan pemegang hak atas tanah, akan dituangkan dalam sebuah surat/akta otentik yang disebut dengan APH atau Surat Pelepasan Hak Atas Tanah (SPHT) yang dikeluarkan oleh Notaris.
2. Kekuatan hukum perjanjian pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat menurut Hukum Perdata dianggap sah. Apabila tanah yang akan
dilepaskan mempunyai SKT dimana SKT tersebut akan menerangkan tentang kepemilikan yang sah atas tanah akan akan dilepaskan hak miliknya.
3. Proses pelepasan hak atas tanah yang tidak mempunyai sertifikat antara PT. Sarulla Operation Ltd. terdiri dan pemegang hak atas tanah terdiri dari 6 tahapan yaitu :
a. Dilakukan pemetaan atas taah-tanah yang akan dilepaskan haknya, atau dikenal dengan istilah “PLOT” ;
b. Melakukan koordinasi dengan Kepala Desa setempat (desa di Kecamatan Pahae Julu dan Xxxxx Xxx
c. Melakukan survei lapangan terkait lokasi tanah yang telah di Plot dan survei terhadap para pemilik yang sah tanah-tanah tersebut ;
d. Dilakukannya 2 pertemuan, yaitu pertemuan pertama antara pihak SOL dengan para pemegang hak atas tanah untuk memberikan sosialisai tentang tujuan dari kedatangan pihak SOL, pertemuan kedua untuk melakukan musyawarah terkait besaran ganti kerugian atas tanah yang akan dilepaskan haknya;
e. Memberitahukan kepada para pemegang hak atas tanah, yang belum memiliki sertifikat hak mlik atas tanahnya, untuk mengurus SKT yang dikeluarkan oleh Kepala Desa;
x. Xxlakukannya pelepasan hak atas tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan ditandatanganinya APH yang dikeluarkan oleh Notaris yang bekerja di wilayah Tapanuli Utara sebagai pejabat yang berwenang.
Maka,dari ringkasan proses pelepasan hak atas tanah dapat dilihat bahwa penerapann asas konsensualisme dalam perjanjian pelepasan hak atas tanah yang dilakukan antara PT. SOL dengan Pemegang Hak atas Tanah telah sesuai, yaitu dengan
mengutamakan atau menggunakan cara musyawarah untuk mencapai kesepakatan/Konsensus dalam perjanjian. Jika perjannjian tersebut pun ditinjau dari kententuan Pepres No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum telah dilaksanakan dengan sukarela dan tanpa adanya paksaan dari pihak yang membutuhkan tanah.
B. Saran
1. Sebaiknya setiap perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak, dilakukan atas dasar kesepakatan atau konsensus dalam setiap proses pembuatan perjanjian, misalnya dalam hal menentukan ketentuan-ketentuan apa saja yang akan dimuat dalam perjanjian, tentang kesepakatan tentang pemenuhan prestasi maupun ketentuan tentang apabila salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat memenuhi prestasinya (wanprestasi).
2. Sebaiknya para pemegang hak atas tanah mendaftarkan tanah milik mereka kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional untuk memperoleh sertifikat hak milik atas tanah, yang dapat digunakan sebagai alas hak dan bukti yuridis yang kuat sah dibandingkan dengan SKT dalam melakukan perbuatan hukum pelepasan hak atas tanah.
3. Sebaiknya pemegang hak atas tanah yang tidak mau melepaskan hak atas tanahnya kepada pihak SOL, tidak bersikap arogan dan egois terhadap besaran nilai ganti kerugian yang ditawarkan oleh pihak SOL yang menginginkan bahwa tanah mereka seharusnya diberikan nilai ganti kerugian yang lebih besar dibanding yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Subekti. 1987Hukum Perjanjian, Jakarta:PT Intermasa
Xxxxxxx, Xxxxx dan Xxxxx Xxxxxxx.. 2004Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.
HarsonoBoedi. 1996. Hukum Agraria Indonesia. Djambatan: Jakarta,
Xxxxxx, Xxxxxx. 2007.Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum.Bayumedia: Malang
Xxxxxxxxxx, Xxxx. S.2005. Tebaran Pemikiran seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI:Jakarta.
Xxxxx,Xxx,Xxxxx dan Abd. Xxxxx Xxxxx. 2012.Hukum Pendaftaran Tanah. Edisi Revisi. Bandung: Mandar Maju
Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Pasal
Keppres Nomor 55 Tahun 1993 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembagunan untuk Kepentingan Umum
Jurnal, Artikel dan Makalah
Xxxxxxxxx, Xxxx, Dwi.Pelaksanaan Akta Pelepasan Hak Sebagai Alas Hak Untuk Mengajukan Permohonan Peralihan Dan Perubahan Hak Guna Bangunan Yang Jangka Waktunya Telah Berakhir Di Kabupaten Brebes” dalam Jurnal Akta Volume.5, No.1 (.hal. 248)
Xxxxxx, Xxxxxxxx, “Lahirnya Hak Kebendaan” dalamArtikel, 15 Januari 2017, (hal. 44) Xxxxxxx,Xxxxx. “Aspek-Aspek Yuridis Penyediaan Tanah Dalam Rangka Pembangunan
Nasional” dallam Makalah, 1990,9 hal.4)
Internet
xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxx-xxxx-xxxxxxxxxx, diakses pada tanggal 27 Juli 2019 pukul 16.25 WIB
xxxxx://xxxxxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxxx/xxxxxx/000000000/0000/XXX%00000.xxx?xxxxxxxxx 1& isAllowed=y, diakses pada tanggal 27 Juli 2019 pukul 16.45 WIB xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxxxx/xx0xxx000x0xxx0/xxxxx-xxxxxxxxxx- pelepasan-hak-atas-tanah/, diakses pada tanggal 13 Maret 2019, pukul 01.04 WIB
xxxx://xxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxx-xx-xxxxx-xxxxxx-xxxxxxx-xxxxx.xxxx, diakses pada tanggal 2 April 2019, Pukul : 02.14 WIB.