KETERANGAN PERUBAHAN
1
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-4
KETERANGAN PERUBAHAN
Perubahan ini berdasarkan hasil pertemuan yang melibatkan:
1. xx. Xxxxxx Xxxxxxxx (Dirjen Pencegahan dan Pengendalian, Kemkes)
2. xx. Xxxxxxx Xxxxxx, Sp.OG (K), Mars (Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kemkes)
3. dr. Xxxxxx Xxxxxxxxx, MQIH (Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemkes)
4. Prof. drh. Xxxx Xxxxxxxxxx, MSc, Ph.D (Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19)
5. xx. X. Xxxxxxxx Xxxxx, MPPM (Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan, Kementerian Kesehatan)
6. xx. Xxxxxx, MHP (Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi, Kementerian Kesehatan)
7. xx. Xxxxxxx Xxxxxxxxx, M.Kes (Direktur P2PML)
8. Xx. xx. Xxxx Xxxxxxxxx, MBiomed (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
9. xx. Xxxxx Xxxx Xxxxxx, Sp.KO (Direktur Kesling)
10. dr. Xxxxxx Xxxxx, MsC (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia);
11. xx. Xxxxxxxxx Xxxxxxx, MPH (Konsultan Global Fund ATM)
12. Xxxxxxxx Xxxxxx, SKM.,MSc PH (Balitbangkes)
13. xx. Xxxxxxxxx Xxxx, X.Xxx (Balitbangkes)
14. Perwakilan Biro Hukum dan Organisasi
15. Perwakilan Dit. Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat
16. Perwakilan Dit. Surveilans dan Karantina Kesehatan
Sehubungan adanya situasi dan perkembangan di Indonesia berikut kami sampaikan perubahan maupun tambahan pada:
1. BAB I : PENDAHULUAN
2. BAB II : SURVEILANS DAN RESPON
3. BAB III : MANIFESTASI KLINIS
4. BAB IV : PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
5. BAB V : PENGELOLAAN SPESIMEN DAN KONFIRMASI LABORATORIUM
6. BAB VI : KOMUNIKASI RISIKO DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
7. LAMPIRAN
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISESASE
(COVID-19)
Diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
Pengarah
xx. Xxxxxx Xxxxxxxx (Direktur Jenderal P2P)
Pembina
drg. X. Xxxxxx Xxxxxxxx, X.Xxxx (Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan); xx. Xxxxxxx Xxxxxxxxx, M.Kes (Direktur P2PML)
Penanggung Jawab
xx. Xxxxxx Xxxx Xxxxxxx (Kepala Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging); xx. Xxxxx Xxxxxxxxxx, MARS (Kepala Sub Direktorat ISPA)
Penyusun
xx. Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Sp.P(K), FISR (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia); xx. Xxxxx Xxxxxxxxxxxxxx Sp.A (Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso);
dr. Pompini Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Sp.P(K) (Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso); dr. Xxxxxx Xxxxxx, Sp.PD, KPTI (PAPDI/Rumah Sakit xx.Xxxxx Xxxxxxxxxxxx); xx. Xxxxx Xxxxxxxxx, Sp.P (RSPAD Xxxxx Xxxxxxx);
Xx. xx. Xxxx Xxxxxxxxx, MBiomed (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan); Prof. DR. Xx. Xxxxxx, MS., Xx.XX (K) (Ketua Umum PDS PatKLIn);
xx. Xxxxxxx Xxxxxxxx Sp. A (K) (Ikatan Dokter Anak Indonesia); xx. Xxxxx Xxx Xxxxxxx, Sp.A (Ikatan Dokter Anak Indonesia);
xx. Xxxx Xxxxxx, SpAn., KIC (Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia);
dr. I Xxxxxx Xxxxxx, MPH (Direktur Field Epidemiology Trip Program Indonesia); dr. Xxxxxx Xxxxx, MsC (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia);
xx. Xxxxxxx Xxxxxxxx, MPH (Ketua Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia); xx. Xxxxxxxxx Xxxxxxx, MPH (Konsultan Global Fund ATM);
Xxxxxxxxx, M.Biomed (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
xx. Xxxxx Xxxxxxxxxx, Xx.XX (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan); Xxxxxxx Xxxx Xxxxx, X.Xx, Apt (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan); Anjari, S.Kom, SH, MARS (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat);
Xxx Xxxxxxxxx, S.Sos, MKM (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat); Therisia Rhabina Noviandari Purba, MKM (Direktorat Promkes dan PM);
xx. Xxxx Xxxxxxxxx (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan); Kadar Supriyanto, SKM, M.Kes (KKP Kelas I Xxxxxxxx Xxxxx); Xxxx Xxxxxxxx (KKP Kelas I Tanjung Priok);
drh. Xxxx Xxxxxxxx (Direktorat P2PTVZ); dr. Xxxxxx Xxxxxxxx X (WHO Head Quarter); dr. Xxx Xxxxx xx (WHO Indonesia);
xx. Xxxxx Xxxxx Xxxx (WHO Indonesia);
xx. Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx (WHO Indonesia); xx. Xxxxxxxx Xxxxx, MSc ((WHO Indonesia);
xx. Xxxx Xxxx (Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga); Xxxxxxx Xxxxxx (Direktorat Kesehatan Kerja dan Olahraga); xx. Xxxxx Xxxxxxxxxx (Direktorat P2PML, Kemkes);
xx. Xxxx Xxxxxxx (Direktorat P2PML); Dahlia H (Direktorat P2ML);
Xxxx Xxxxxxxxx (Direktorat P2PML);
xx. Xxxxx Xxxx Xxxxxxx, MKM (Direktorat Surkarkes);
drh. Xxxxxx Xxxxx Prasetyowati, X.Xxx (Direktorat Surkarkes); xx. Xxxxxx Xxxxxxx, X.Xxxx (Direktorat Surkarkes);
xx. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx (Direktorat Surkarkes); Xxxxxxxxxx, SKM, X.Xxx (Direktorat Surkarkes); xx. Xxxxx xxxxxxx, Xx.XX (Direktorat Surkarkes); xx. Xxxxx Xxxxxxxxxx, MKM (Direktorat Surkarkes); dr. Xxxxxxx, X.Xxx (Direktorat Surkarkes);
xx. Xxxxxxxx Xxxxx, Xx.XX (Direktorat Surkarkes); Adistikah Aqmarina, SKM (Direktorat Surkarkes); Xxxxxxxxx Xxxxx, SKM (Direktorat Surkarkes);
Xxxxxx Xxxxxxxxxxxx, SKM, X.Xxxx (Direktorat Surkarkes); Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxx, SKM, MPH (Direktorat Surkarkes); xx. X. Xxxxxxx Xxxxx, X.Xxxx (Direktorat Surkarkes); Xxxxxxx, SKM, MPH (Direktorat Surkarkes);
Kursianto, SKM, X.Xx (Direktorat Surkarkes); Xxxxxxx Xxx Xxxxxx, SKM (Direktorat Surkarkes); Perimisdilla Xxxxxx, SKM (Direktorat Surkarkes); Xxxx Xxxxxxxx, SKM (Direktorat Surkarkes); Xxxxxxx, SKM (Direktorat Surkarkes);
Xxxx Xxxxxx, SST (Direktorat Surkarkes);
Xxx Xxxxxx Xxxxxx, SKM (Direktorat Surkarkes); Pra setiadi, SKM (Direktorat Surkarkes)
Editor
xx. Xxxxxxxx Xxxxx, Xx.XX; Adistikah Aqmarina, SKM; Xxxxxxxxx Xxxxx, SKM
Design Cover
Galih Alestya Timur
Alamat Sekretariat
Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 0-0 Xxxxxx X Xxxxxx 0, Xxxxxxx Xxxxxan 12950 Telp/Fax. (000) 0000000
Email/Website
xxxxxx.xxx@xxxxx.xxx; xxxx://xxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxx.xx.xx
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat karunia-Nya, “Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease (COVID-19) Revisi ke-4” ini selesai direvisi.
Seperti kita ketahui pada awal tahun 2020, COVID-19 menjadi masalah kesehatan dunia. Kasus ini diawali dengan informasi dari Badan Kesehatan Dunia/World Health Organization (WHO) pada tanggal 31 Desember 2019 yang menyebutkan adanya kasus kluster pneumonia dengan etiologi yang tidak jelas di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. Kasus ini terus berkembang hingga adanya laporan kematian dan terjadi importasi di luar China. Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menetapkan COVID-19 sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)/ Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Pada tanggal 12 Februari 2020, WHO resmi menetapkan penyakit novel coronavirus pada manusia ini dengan sebutan Coronavirus Disease (COVID- 19). Pada tanggal 2 Maret 2020 Indonesia telah melaporkan 2 kasus konfirmasi COVID-19. Pada tanggal 11 Maret 2020, WHO sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Pedoman ini merupakan revisi dari pedoman serupa yang diterbitkan pada 16 Maret 2020 dengan perubahan pada beberapa substansi sesuai perkembangan situasi dan pengetahuan. Pada pedoman ini dijelaskan mengenai:
1. Surveilans dan Respon
2. Manajemen Klinis
3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
4. Pengelolaan Spesimen dan Konfirmasi Laboratorium
5. Komunikasi Risiko dan Pemberdayaan Masyarakat
Pedoman ini ditujukan bagi petugas kesehatan sebagai acuan dalam melakukan kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Pedoman ini bersifat sementara dan akan diperbarui sesuai dengan perkembangan penyakit dan situasi terkini.
Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan pedoman ini, saya sampaikan terimakasih. Saya berharap pedoman ini dapat dimanfaatkan dengan baik serta menjadi acuan dalam kegiatan kesiapsiagaan.
Jakarta, 23 Maret 2020 Direktur Jenderal P2P
xx. Xxxxxx Xxxxxxxx
NIP 196203112014101001
DAFTAR ISI
KETERANGAN PERUBAHAN 1
TIM PENYUSUN 2
KATA PENGANTAR 4
DAFTAR ISI 5
DAFTAR GAMBAR 7
DAFTAR TABEL 8
DAFTAR LAMPIRAN 9
DAFTAR SINGKATAN 10
BAB I PENDAHULUAN 11
1.1 Latar Belakang 11
1.2 Tujuan Pedoman 12
1.3 Ruang Lingkup 12
BAB II SURVEILANS DAN RESPON 13
2.1 Definisi Operasional 13
2.2 Kegiatan Surveilans dan Karantina 15
2.3 Deteksi Dini dan Respon 19
2.4 Penyelidikan Epidemiologi 38
2.5 Pelacakan Kontak Erat/OTG 39
2.6 Pencatatan dan Pelaporan 43
2.7 Penilaian Risiko 44
BAB III MANAJEMEN KLINIS 45
3.1 Triage: Deteksi Dini Pasien dalam pengawasan
COVID-19 45
3.2 Tatalaksana Pasien di RS Rujukan 47
BAB IV | PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI ........................ 4.1 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Berkaitan | 57 |
dengan Pelayanan Kesehatan ............................................ 4.2 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Isolasi di Rumah (Perawatan di Rumah) ............................................. | 57 63 |
4.3 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Karantina 65
4.4 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes Pra Rujukan 68
4.5 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Penanganan Kargo. 70
4.6 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Pemulasaran Jenazah 70
BAB V PENGELOLAAN SPESIMEN DAN KONFIRMASI LABORATORIUM 72
5.1 Jenis Spesimen 72
5.2 Pengambilan Spesimen 73
5.3 Pengepakan Spesimen 76
5.4 Pengiriman Spesimen 77
5.5 Tata Kelola Rapid Test Antibodi dan Rapid Test Antigen 78
5.6 Konfirmasi Laboratorium 80
BAB VI KOMUNIKASI RISIKO DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 81
6.1 Langkah-Langkah Tindakan di dalam KRPM Bagi Negara-Negara yang Bersiap
Menghadapi Kemungkinan Wabah 82
6.2 Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon Awal KRPM Bagi Negara-Negara dengan Satu
atau Lebih Kasus yang Telah Diidentifikasi 85
6.3 Pencegahan Pada Level Individu dan Masyarakat 88
6.4 Protokol Kesehatan 90
6.5 Media Promosi Kesehatan 91
DAFTAR PUSTAKA 93
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 | Alur Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk dan Wilayah .................................................................... | 29 |
Gambar 2.2 | Contoh Hubungan Kontak Erat ……….…….................. | 40 |
Gambar 2.3 | Alur Pelaporan ................................................................ | 44 |
Gambar 5.1 | Lokasi Pengambilan Nasopharing ................................. | 75 |
Gambar 5.2 | Pemasukkan Swab ke dalam VTM ................................. | 75 |
Gambar 5.3 | Pengemasan Spesimen .................................................. | 76 |
Gambar 5.4 | Contoh Pengepakan Tiga Lapis ..................................... | 77 |
Gambar 5.5 | Alur Pemeriksaan Menggunakan Rapid Test Antibodi ... | 79 |
Gambar 5.6 | Alur Pemeriksaan Menggunakan Rapid Test Antigen .... | 79 |
Gambar 5.7 | Alur Pemeriksaan Spesimen COVID-19.......................... | 80 |
Gambar 6.1 | Contoh Media Promosi Kesehatan COVID-19 ............... | 91 |
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 | Kegiatan Karantina Sesuai Kondisi dan Status Pasien ……. | 15 |
Tabel 2.2 Tabel 3.1 | Kegiatan Deteksi Dini dan Respon di Wilayah ..................... Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19….............................................................. | 30 45 |
Tabel 3.2 | Pencegahan Komplikasi ……................................................ | 55 |
Tabel 5.1 | Jenis Spesimen Pasien COVID-19........................................ | 72 |
Tabel 5.2 | Perbedaan Kriteria Kasus dalam Konfirmasi Laboratorium... | 78 |
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 | Formulir Notifikasi HAC dan Penemuan Kasus Pelaku Perjalanan dari Negara Terjangkit .……………...……….. | 97 |
Lampiran 2 | Formulir Pemantauan Harian …………………………….. | 98 |
Lampiran 3 | Formulir Pemantauan Petugas Kesehatan .................... | 99 |
Lampiran 4 Lampiran 5 | Formulir Laporan Harian Data Kasus COVID-19 yang Dilakukan Pemeriksaan RT PCR …………………………. Formulir Laporan Harian Penemuan Kasus Konfirmasi, PDP, ODP, dan OTG ………………………………………. | 100 101 |
Lampiran 6 | Formulir Penyelidikan Epidemiologi ……........................ | 102 |
Lampiran 7 | Formulir Pengambilan dan Pengiriman Spesimen | |
Puslitbang BTDK .............................................................. | 105 | |
Lampiran 8 | Formulir Laporan Hasil Pemeriksaan Laboratorium…. | 107 |
Lampiran 9 | Tabel Rincian Kategori PDP, ODP, dan OTG …..…… | 108 |
Lampiran 10 | Algoritma Pelacakan Kontak ……………………………. | 110 |
Lampiran 11 | Formulir Pelacakan Kontak Erat/OTG ……………………. | 111 |
Lampiran 12 | Formulir Identifikasi Kontak Erat/OTG …………………… | 114 |
Lampiran 13 Lampiran 14 | Formulir Pendataan Kontak/OTG …………………........... Contoh Surat Pernyataan Sehat Pada OTG, ODP dan PDP Ringan .............................................................. | 115 116 |
Lampiran 15 Lampiran 16 | Alur Pelacakan Kasus Notifikasi dari IHR National Focal Point Negara Lain ……………………….………………….. Jenis Alat Pelindung Diri (APD) Berdasarkan Lokasi, Petugas dan Jenis Aktivitas ……………………..………… | 117 118 |
Lampiran 17 | Cara Pemakaian dan Pelepasan APD …………………… | 124 |
Lampiran 18 | Ringkasan Deteksi dan Respon Berdasarkan Kriteria Kasus ………………………………………………………… | 128 |
Lampiran 19 | Daftar Laboratorium Pemeriksa COVID-19 ..................... | 129 |
Lampiran 20 | Contoh Health Alert Card …………………………………. | 132 |
Lampiran 21 | Klasifikasi Gejala Infeksi COVID-19 ................................ | 133 |
Lampiran 22 Lampiran 23 | Lembar Kesediaan Karantina Rumah/ Perawatan Di Rumah (Isolasi Diri).......................................................... Alur Pengiriman Spesimen dan Pelaporan Hasil Pemeriksaan .................................................................... | 134 135 |
DAFTAR SINGKATAN
CoV : Coronavirus
EOC : Emergency Operation Center
MERS-CoV : Middle East Respiratory Syndrome SARS-CoV : Severe Acute Respiratory Syndrome WHO : World Health Organization
COVID-19 : Coronavirus Disease
KLB : Kejadian Luar Biasa
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IHR : International Health Regulation
PLBDN : Pos Lintas Batas Darat Negara
KKP : Kantor Kesehatan Pelabuhan
KKMMD : Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia KKM : Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
TGC : Xxx Xxxxx Cepat
NSPK : Norma, Standar, Prosedur, Kriteria
SDM : Sumber Daya Manusia
RS : Rumah Sakit
APD : Alat Pelindung Diri
HAC : Health Alert Card
KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
PHEIC : Public Health Emergrncy of International Concern
PHEOC : Public Health Emergency Operation Center
P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Dinkes : Dinas Kesehatan
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Fasyankes : Fasilitas pelayanan kesehatan
SOP : Standar Prosedur Operasional
ILI : Influenza Like Illness
SKDR : Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
UPT : Unit Pelayanan Teknis
CPAP : Continuous Positive Airway Pressure
FiO2 : Fraksi oksigen inspirasi
MAP : Mean Arterial Pressure
NIV : Noninvasive Ventilation
OI : Oxygenation Index
OSI : Oxygenation Index menggunakan SpO2
ODP : Orang Dalam Pemantauan
OTG : Orang Tanpa Gejala
PaO2 : Partial Pressure of Oxygen
PDP : Pasien Dalam Pengawasan
PEEP : Positive End-Expiratory Pressure
TDS : Tekanan Darah Sistolik
SD : Standar Deviasi
SpO2 : Saturasi oksigen
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Coronavirus adalah keluarga besar virus yang menyebabkan penyakit mulai dari gejala ringan sampai berat. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia. Virus penyebab COVID-19 ini dinamakan Sars-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia). Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
Tanda dan gejala umum infeksi COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari. Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian. Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan pada sebagian besar kasus adalah demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru.
Pada 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada tanggal 7 Januari 2020, Cina mengidentifikasi pneumonia yang tidak diketahui etiologinya tersebut sebagai jenis baru coronavirus (coronavirus disease, COVID-19). Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO telah menetapkan sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia/ Public Health Emergency of International Concern (KKMMD/PHEIC). Penambahan jumlah kasus COVID-19 berlangsung cukup cepat dan sudah terjadi penyebaran antar negara.
Sampai dengan tanggal 25 Maret 2020, dilaporkan total kasus konfirmasi 414.179 dengan 18.440 kematian (CFR 4,4%) dimana kasus dilaporkan di 192 negara/wilayah. Diantara kasus tersebut, sudah ada beberapa petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi. Pada tanggal 2 Maret 2020, Indonesia melaporkan kasus konfirmasi COVID-19 sebanyak 2 kasus. Sampai dengan tanggal 25 Maret 2020, Indonesia sudah melaporkan 790 kasus konfirmasi COVID-19 dari 24 Provinsi yaitu: Bali, Banten, DIY, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kep. Riau, Nusa Tenggara Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Lampung, Riau, Maluku Utara, Maluku dan Papua. Wilayah dengan transmisi lokal di Indonesia adalah DKI Jakarta, Banten
(Kab. Tangerang, Kota Tangerang), Jawa Barat (Kota Bandung, Kab. Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok, Kab. Bogor, Kab. Bogor, Kab. Karawang), Jawa Timur (kab. Malang, Kab. Magetan dan Kota Surabaya) dan Jawa Tengah (Kota Surakarta).
Berdasarkan bukti ilmiah, COVID-19 dapat menular dari manusia ke manusia melalui percikan batuk/bersin (droplet), tidak melalui udara. Orang yang paling berisiko tertular penyakit ini adalah orang yang kontak erat dengan pasien COVID-19 termasuk yang merawat pasien COVID-19. Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi adalah melalui cuci tangan secara teratur menggunakan sabun dan air bersih, menerapkan etika batuk dan bersin, menghindari kontak secara langsung dengan ternak dan hewan liar serta menghindari kontak dekat dengan siapapun yang menunjukkan gejala penyakit pernapasan seperti batuk dan bersin. Selain itu, menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) saat berada di fasilitas kesehatan terutama unit gawat darurat.
1.2 Tujuan Pedoman
1.2.1 Tujuan Umum
Melaksanakan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di Indonesia.
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Melaksanakan surveilans, deteksi dini, contact tracing, kekarantinaan kesehatan, serta penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)/wabah
2. Melaksanakan manajemen klinis
3. Melaksanakan pencegahan dan pengendalian infeksi
4. Melaksanakan pengelolaan spesimen dan konfirmasi laboratorium
5. Melaksanakan komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat
1.3 Ruang Lingkup
Pedoman ini meliputi surveilans dan respon KLB/wabah, manajemen klinis, pengelolaan spesimen dan konfirmasi laboratorium, pencegahan dan pengendalian infeksi, serta komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat.
BAB II
SURVEILANS DAN RESPON
2.1 Definisi Operasional
2.1.1 Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
1) Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yaitu demam (≥38oC) atau riwayat demam; disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat# DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang dengan demam (≥380C) atau riwayat demam atau ISPA DAN pada
14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
3) Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat** yang membutuhkan perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
2.1.2 Orang Dalam Pemantauan (ODP)
1) Orang yang mengalami demam (≥380C) atau riwayat demam; atau gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal*.
2) Orang yang mengalami gejala gangguan sistem pernapasan seperti pilek/sakit tenggorokan/batuk DAN pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi COVID-19.
2.1.3 Orang Tanpa Gejala (OTG)
Seseorang yang tidak bergejala dan memiliki risiko tertular dari orang konfirmasi COVID-19. Orang tanpa gejala (OTG) merupakan kontak erat dengan kasus konfirmasi COVID-19.
Kontak Erat adalah seseorang yang melakukan kontak fisik atau berada dalam ruangan atau berkunjung (dalam radius 1 meter dengan kasus pasien dalam pengawasan atau konfirmasi) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
Termasuk kontak erat adalah:
a. Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus tanpa menggunakan APD sesuai standar.
b. Orang yang berada dalam suatu ruangan yang sama dengan kasus (termasuk tempat kerja, kelas, rumah, acara besar) dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
c. Orang yang bepergian bersama (radius 1 meter) dengan segala jenis alat angkut/kendaraan dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
Catatan:
^Saat ini, istilah suspek dikenal sebagai pasien dalam pengawasan.
#Perlu waspada pada pasien dengan gangguan sistem kekebalan tubuh (immunocompromised) karena gejala dan tanda menjadi tidak jelas.
*negara/wilayah yang melaporkan transmisi lokal, dapat dilihat melalui situs xxxx://xxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxx.xx.xx.
**ISPA berat atau pneumonia berat (sesuai Bab III) adalah
⮚ Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.
⮚ Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya satu dari berikut ini:
- sianosis sentral atau SpO2 <90%;
- distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat);
- tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
- Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5 tahun,
≥30x/menit.
2.1.4 Kasus Konfirmasi
Pasien yang terinfeksi COVID-19 dengan hasil pemeriksaan tes positif melalui pemeriksaan PCR.
2.2 Kegiatan Surveilans dan Karantina
Upaya surveilans merupakan pemantauan yang berlangsung terus menerus terhadap kelompok berisiko. Sedangkan karantina merupakan pembatasan seseorang atau sekelompok orang dalam suatu wilayah termasuk wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Kegiatan surveilans merupakan bagian tidak terpisahkan dari karantina, selama masa karantina, surveilans dilakukan untuk memantau perubahan kondisi seseorang atau sekelompok orang. Ringkasan upaya karantina dijelaskan pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Kegiatan Karantina Sesuai Kondisi dan Status Pasien
Bentuk Karantina | Karantina Rumah (Isolasi Diri) | Karantina Fasilitas Khusus/ RS Darurat COVID-19 | Karantina Rumah Sakit |
Status | OTG, ODP, PDP Gejala Ringan | • ODP usia diatas 60 tahun dengan penyakit penyerta yang terkontrol, • PDP Gejala Sedang • PDP ringan tanpa fasilitas karantina rumah yang tidak memadai | PDP Gejala Berat |
Tempat* | Rumah sendiri/fasilitas sendiri | Tempat yang disediakan Pemerintah (Rumah sakit darurat COVID-19) | Rumah Sakit |
Pengawasan | • Dokter, perawat dan/atau tenaga kesehatan lain • Dapat dibantu oleh Bhabinkabtibnas, Babinsa dan/atau Relawan | • Dokter, perawat dan/atau tenaga kesehatan lain | Dokter, perawat dan/atau tenaga kesehatan lain |
Pembiayaan | • Mandiri • Pihak lain yang bisa membantu (filantropi) | • Pemerintah: BNPB, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat dan Kades • Sumber lain | • Pemerintah: BNPB, Gubernur, Bupati, Walikota, Camat dan Kades • Sumber lain |
Monitoring dan Evaluasi | Dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat | Dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat | Dilakukan oleh Dinas Kesehatan setempat |
Ket:*tempat perawatan kasus mempertimbangkan kondisi klinis, risiko penularan, dan kapasitas.
2.2.1 Orang Tanpa Gejala (OTG)
Kegiatan surveilans terhadap OTG dilakukan selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan kasus positif COVID-19. Terhadap OTG dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-14 untuk pemeriksaan RT PCR. Dilakukan pemeriksaan Rapid Test apabila tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, apabila hasil pemeriksaan pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan PHBS dan physical distancing; pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah karantina mandiri dengan menerapkan PHBS dan physical distancing; Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
Apabila OTG yang terkonfirmasi positif menunjukkan gejala demam (≥38⁰C) atau batuk/pilek/nyeri tenggorokan selama masa karantina maka:
a. Jika gejala ringan, dapat dilakukan isolasi diri di rumah
b. Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
c. Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan
Kegiatan surveilans terhadap OTG dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan harian (lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat. Orang tanpa gejala yang tidak menunjukkan gejala COVID-19, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 14).
2.2.2 Orang Dalam Pemantauan (ODP)
Kegiatan surveilans terhadap ODP dilakukan selama 14 hari sejak mulai munculnya gejala. Terhadap ODP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 untuk pemeriksaan RT PCR. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP (lampiran 7).
Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, dilakukan pemeriksaan
Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah isolasi diri di rumah; Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut,di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR. .
Apabila ODP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
a. Jika gejala sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
b. Jika gejala berat, dilakukan isolasi di RS rujukan
Kegiatan surveilans terhadap ODP dilakukan berkala untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan harian (lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat yang tidak memiliki gejala terkait COVID-19, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 14).
2.2.3 Pasien Dalam Pengawasan (PDP)
Kegiatan surveilans terhadap PDP dilakukan selama 14 hari sejak mulai munculnya gejala. Terhadap PDP dilakukan pengambilan spesimen pada hari ke-1 dan ke-2 untuk pemeriksaan RT PCR. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada BAB 5. Pengiriman spesimen disertai formulir pemeriksaan ODP/PDP (lampiran 7).
Jika tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, dilakukan pemeriksaan
Rapid Test. Apabila hasil pemeriksaan Rapid Test pertama menunjukkan hasil:
a. Negatif, tatalaksana selanjutnya adalah sesuai kondisi: ringan (isolasi diri di rumah), sedang (rujuk ke RS Darurat), berat (rujuk ke RS Rujukan); pemeriksaan ulang pada 10 hari berikutnya. Jika hasil pemeriksaan ulang positif, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut- turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
b. Positif, tatalaksana selanjutnya adalah adalah sesuai kondisi: ringan (isolasi diri di rumah), sedang (rujuk ke RS Darurat), berat (rujuk ke RS Rujukan); Pada kelompok ini juga akan dikonfirmasi dengan pemeriksaan RT PCR sebanyak 2 kali selama 2 hari berturut-turut, di Laboratorium pemeriksa yang mampu melakukan pemeriksaan RT PCR.
Apabila PDP yang terkonfirmasi menunjukkan gejala perburukan maka:
a. Jika gejala ringan berubah menjadi sedang, dilakukan isolasi di RS darurat
b. Jika gejala sedang berubah menjadi berat, dilakukan isolasi di RS rujukan Kegiatan surveilans terhadap PDP ringan dan PDP sedang dilakukan berkala
untuk mengevaluasi adanya perburukan gejala selama 14 hari. Petugas kesehatan dapat melakukan pemantauan melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir pemantauan harian (lampiran 2). Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat. Orang dalam pemantauan yang sudah dinyatakan sehat yang tidak memiliki gejala terkait COVID-19, ditetapkan melalui surat pernyataan yang diberikan oleh Dinas Kesehatan (lampiran 14).
2.2.4 Pelaku Perjalanan
2.2.4.1 Pelaku Perjalanan dari Negara/ Wilayah Terjangkit COVID-19 (melaporkan kasus konfirmasi tetapi bukan transmisi lokal)
Pelaku perjalanan dari negara/ wilayah terjangkit COVID-19 yang tidak bergejala wajib melakukan monitoring mandiri (self monitoring) terhadap kemungkinan munculnya gejala selama 14 hari sejak kepulangan. Setelah kembali dari negara/area terjangkit sebaiknya mengurangi aktivitas yang tidak perlu dan menjaga jarak kontak (≥ 1 meter) dengan orang lain.
2.2.4.2 Pelaku Perjalanan dari Negara/ Wilayah dengan Transmisi Lokal COVID-19
Pelaku perjalanan dari negara/ wilayah transmisi lokal maka harus melakukan karantina mandiri di rumah selama 14 hari sejak kedatangan dan bagi warga negara asing harus menunjukkan alamat tempat tinggal selama di karantina dan informasi tersebut harus disampaikan pada saat kedatangan di bandara. Selama masa karantina diharuskan untuk tinggal sendiri di kamar yang terpisah, menghindari kontak dengan anggota keluarga lainnya, dan tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah.
Terhadap dua kelompok pelaku perjalananan ini diberikan HAC dan petugas kesehatan harus memberikan edukasi jika dalam 14 hari timbul gejala, maka segera datangi fasilitas pelayanan kesehatan terdekat dan membawa HAC.
Kegiatan surveilans terhadap pelaku perjalanan yang tidak bergejala dilakukan melalui pemantauan HAC yang diberikan di pintu masuk negara. Petugas pintu masuk negara diharapkan melakukan notifikasi ke Dinas Kesehatan setempat sesuai dengan alamat yang tertera di HAC. Dinas Kesehatan yang menerima notifikasi dapat meningkatkan kewaspadaan dan diharapkan melakukan komunikasi risiko kepada pelaku perjalanan dengan memanfaatkan teknologi seperti telepon, pesan singkat dan lain-lain.
2.3 Deteksi Dini dan Respon
Kegiatan deteksi dini dan respon dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya OTG, ODP, PDP maupun kasus konfimasi COVID-19 dan melakukan respon adekuat. Upaya deteksi dini dan respon dilakukan sesuai perkembangan situasi COVID-19 dunia yang dipantau dari situs resmi WHO atau melalui situs lain:
• Situs resmi WHO (xxxxx://xxx.xxx.xxx/) untuk mengetahui negara terjangkit dan wilayah yang sedang terjadi KLB COVID-19.
• Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah xxx.xxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxx.xx.xx, xxx.xxxxx00.xxxxxx.xx.xx, xxx.xxxxx00.xx.xx dan lain-lain.
• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita yang berkembang terkait dengan COVID-19.
2.3.1 Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara
Dalam rangka implementasi International Health Regulation/ IHR (2005), pelabuhan, bandara, dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan kegiatan karantina, pemeriksaan alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan penyehatan. Implementasi IHR (2005) di pintu masuk negara adalah tanggung jawab Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi di pintu masuk negara. Kemampuan utama untuk pintu masuk negara sesuai amanah IHR (2005) adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan kapasitas dalam kondisi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).
Kegiatan di pintu masuk negara meliputi upaya detect, prevent, dan respond terhadap COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut dilaksanakan melalui pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan yang
datang dari wilayah/ negara terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor terkait.
2.3.1.1 Kesiapsiagaan
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi ancaman COVID-19 maupun penyakit dan faktor risiko kesehatan yang berpotensi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) lainnya di pintu masuk (pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN), diperlukan adanya dokumen rencana kontinjensi dalam rangka menghadapi penyakit dan faktor risiko kesehatan berpotensi KKM. Rencana Kontinjensi tersebut dapat diaktifkan ketika ancaman kesehatan yang berpotensi KKM terjadi. Rencana kontinjensi disusun atas dasar koordinasi dan kesepakatan bersama antara seluruh pihak terkait di lingkungan bandar udara, pelabuhan, dan PLBDN.
Dalam rangka kesiapsiagaan tersebut perlu dipersiapkan beberapa hal meliputi norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK), kebijakan dan strategi, Tim Gerak Cepat (TGC), sarana prasarana dan logistik, serta pembiayaan. Secara umum kesiapsiagaan tersebut meliputi:
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
• Membentuk atau mengaktifkan TGC di wilayah otoritas pintu masuk negara di bandara/ pelabuhan/ PLBDN. Tim dapat terdiri atas petugas KKP, Imigrasi, Bea Cukai, Karantina Hewan dan unit lain yang relevan di wilayah otoritas pintu masuk negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.
• Peningkatan kapasitas SDM yang bertugas di pintu masuk negara dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan melakukan pelatihan/drill, table top exercise, dan simulasi penanggulangan COVID-19.
• Meningkatkan kemampuan jejaring kerja lintas program dan lintas sektor dengan semua unit otoritas di bandara/ pelabuhan/ PLBDN.
b. Sarana dan Prasarana
• Tersedianya ruang wawancara, ruang observasi, dan ruang karantina untuk tatalaksana penumpang. Jika tidak tersedia maka menyiapkan ruang yang dapat dimodifikasi dengan cepat untuk melakukan tatalaksana penumpang sakit yang sifatnya sementara.
• Memastikan alat transportasi (ambulans) penyakit menular ataupun peralatan khusus utk merujuk penyakit menular yang dapat difungsikan setiap saat untuk mengangkut ke RS rujukan. Apabila tidak tersedia ambulans khusus penyakit menular, perujukan dapat dilaksanakan dengan prinsip-prinsip pencegahan infeksi (menggunakan Alat Pelindung Diri/ APD lengkap dan penerapan disinfeksi)
• Memastikan fungsi alat deteksi dini (thermal scanner) dan alat penyehatan serta ketersediaan bahan pendukung.
• Memastikan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
• Menyiapkan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat suportif (life-saving), alat kesehatan, APD, Health Alert Card (HAC), dan melengkapi logistik lain, jika masih ada kekurangan.
• Menyiapkan media komunikasi risiko atau bahan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) dan menempatkan bahan KIE tersebut di lokasi yang tepat.
• Ketersediaan pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 untuk petugas kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan pasien.
2.3.1.2 Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk Negara
Deteksi dini dan respon dilakukan untuk memastikan wilayah bandara, pelabuhan dan PLBDN dalam keadaan tidak ada transmisi. Berikut upaya deteksi dan respon yang dilakukan di pintu masuk negara:
a. Pengawasan Kedatangan Alat Angkut
1) Meningkatkan pengawasan alat angkut khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan alat angkut dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada alat angkut.
2) Memastikan alat angkut tersebut terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.
3) Jika dokumen lengkap dan/atau tidak ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut dapat diberikan persetujuan bebas karantina.
4) Jika dokumen tidak lengkap dan/ atau ditemukan penyakit dan/ atau faktor risiko kesehatan, terhadap alat angkut diberikan persetujuan karantina terbatas, dan selanjutnya dilakukan tindakan kekarantinaan kesehatan yang diperlukan (seperti disinfeksi, deratisasi, dsb).
5) Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes, RS rujukan, Kantor Imigrasi, dsb.
b. Pengawasan Kedatangan Barang
Meningkatkan pengawasan barang (baik barang bawaan maupun barang komoditi), khususnya yang berasal dari negara-negara terjangkit, terhadap penyakit maupun faktor risiko kesehatan, melalui pemeriksaan dokumen kesehatan dan pemeriksaan faktor risiko kesehatan pada barang (pengamatan visual maupun menggunakan alat deteksi).
c. Pengawasan Lingkungan
Meningkatkan pengawasan lingkungan pelabuhan, bandar udara, PLBDN, dan terbebas dari faktor risiko penularan COVID-19.
d. Komunikasi risiko
Melakukan penyebarluasan informasi dan edukasi kepada pelaku perjalanan dan masyarakat di lingkungan pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Dalam melaksanakan upaya deteksi dan respon, KKP berkoordinasi dengan lintas sektor terkait lainnya, seperti Dinkes di wilayah, RS rujukan, Kantor Imigrasi, Kantor Bea dan Cukai, maupun pihak terkait lainnya, serta menyampaikan laporan kepada Dirjen P2P, melalui PHEOC apabila menemukan pasien dalam pengawasan dan upaya-upaya yang dilakukan.
e. Pengawasan Kedatangan Orang
Secara umum kegiatan penemuan kasus COVID-19 di pintu masuk negara diawali dengan penemuan pasien demam disertai gangguan pernanapasan yang berasal dari negara/wilayah terjangkit. Berikut kegiatan pengawasan kedatangan orang:
1) Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel, penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara terjangkit, melalui pengamatan suhu dengan thermal scanner maupun thermometer infrared, dan pengamatan visual.
2) Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
3) Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam dan menunjukkan gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut, petugas KKP melakukan pemeriksaan dan penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang sesuai (lampiran 16).
4) Pengawasan kedatangan orang dilakukan melalui pengamatan suhu tubuh dengan menggunakan alat pemindai suhu massal (thermal scanner) ataupun thermometer infrared, serta melalui pengamatan visual terhadap pelaku perjalanan yang menunjukkan ciri-ciri penderita COVID-19.
5) Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal scanner/thermometer infrared maka pisahkan dan lakukan wawancara dan evaluasi lebih lanjut.
6) Tatalaksana terhadap pelaku perjalanan dilakukan sesuai dengan kriteria kasus dan kondisi.
Jika memenuhi kriteria PDP maka dilakukan:
1) Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien:
- Gejala ringan: Isolasi diri di rumah
- Gejala sedang: Rujuk ke RS Darurat
- Gejala berat: Rujuk ke RS Rujukan (lihat Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/169/2020 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Penyakit Infeksi Emerging Tertentu) dengan menggunakan ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
2) Melakukan tindakan penyehatan terhadap barang dan alat angkut
3) Mengidentifikasi penumpang lain yang berisiko (kontak erat/OTG)
4) Terhadap kontak erat (dua baris depan belakang kanan kiri) dilakukan observasi menggunakan formulir (lampiran 2)
5) Melakukan pemantauan terhadap petugas yang kontak dengan pasien. Pencacatan pemantauan menggunakan formulir terlampir (lampiran 3)
6) Pemberian HAC dan komunikasi risiko
7) Notifikasi ≤ 24 jam ke Ditjen P2P melalui PHEOC ditembuskan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan dilakukan pencatatan menggunakan formulir notifikasi HAC dan penemuan kasus (lampiran 1). Notifikasi ke Dinas Kesehatan dimaksudkan untuk koordinasi pemantauan kontak erat/OTG.
Bila memenuhi kriteria ODP maka dilakukan:
1) Tatalaksana sesuai diagnosis yang ditetapkan
2) Orang tersebut dapat dinyatakan laik/tidak laik melanjutkan perjalanan dengan suatu alat angkut sesuai dengan kondisi hasil pemeriksaan
3) Pemberian HAC dan komunikasi risiko mengenai infeksi COVID-19, informasi bila selama masa inkubasi mengalami gejala perburukan maka segera memeriksakan ke fasyankes dengan menunjukkan HAC kepada petugas kesehatan. Selain itu pasien diberikan edukasi untuk isolasi diri di rumah dan akan dilakukan pemantauan dan pengambilan spesimen oleh petugas kesehatan.
4) KKP mengidentifikasi daftar penumpang pesawat. Hal ini dimaksudkan bila pasien tersebut mengalami perubahan manifestasi klinis sesuai definisi operasional PDP maka dapat dilakukan pemantauan terhadap kontak erat
5) Notifikasi ≤ 24 jam ke Dinkes Prov dan Kab/Kota menggunakan formulir notifikasi HAC dan penemuan kasus (lampiran 1) untuk dilakukan pemantauan di tempat tinggal.
Pada penumpang dan kru lainnya yang tidak berisiko dan tidak bergejala juga dilakukan pemeriksaan suhu menggunakan thermal scanner, pemberian HAC, notifikasi ke wilayah dan komunikasi risiko. Kegiatan surveilans merujuk pada kegiatan surveilans bagi pelaku perjalanan dari area/negara terjangkit atau dari area/negara dengan transmisi lokal COVID-19.
Alur penemuan kasus dan respon di pintu masuk dapat dilihat pada gambar 2.1.
2.3.2 Deteksi Dini dan Respon di Wilayah
Deteksi dini di wilayah dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans rutin dan surveilans berbasis kejadian yang dilakukan secara aktif maupun pasif. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan adanya indikasi OTG, ODP, dan PDP COVID-19 yang harus segera direspon. Adapun bentuk respon dapat berupa verifikasi, rujukan kasus, investigasi, notifikasi, dan respon penanggulangan. Bentuk kegiatan verifikasi dan investigasi adalah penyelidikan epidemiologi. Sedangkan, kegiatan respon penanggulangan antara lain identifikasi dan pemantauan kontak, rujukan, komunikasi risiko dan pemutusan rantai penularan.
2.3.2.1 Kesiapsiagaan di Wilayah
Dalam rangka kesiapsiagaan menghadapi infeksi COVID-19 maka Pusat dan Dinkes melakukan kesiapan sumber daya sebagai berikut:
a. Sumber Daya Manusia (SDM)
• Mengaktifkan TGC yang sudah ada baik di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota.
• Meningkatkan kapasitas SDM dalam kesiapsiagaan menghadapi COVID-19 dengan melakukan sosialisasi, table top exercises/drilling dan simulasi COVID-19.
• Meningkatkan jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan lintas sektor terkait.
b. Sarana dan Prasarana
• Kesiapan alat transportasi (ambulans) dan memastikan dapat berfungsi dengan baik untuk merujuk kasus.
• Kesiapan sarana pelayanan kesehatan antara lain meliputi tersedianya ruang isolasi untuk melakukan tatalaksana, alat-alat kesehatan dan sebagainya.
• Kesiapan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
• Kesiapan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat-obat suportif (life saving), alat-alat kesehatan, APD serta melengkapi logistik lainnya.
• Kesiapan bahan-bahan KIE antara lain brosur, banner, leaflet serta media untuk melakukan komunikasi risiko terhadap masyarakat.
• Ketersediaan pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 untuk petugas kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan RS.
c. Pembiayaan
Bagi pasien dalam pengawasan yang dirawat di RS rujukan maka pembiayaan perawatan RS ditanggung oleh Pemerintah dan anggaran lain yang tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sebagaimana diatur dalam Permendagri No.101 Tahun 2018 tentang Standar Teknis Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Sub Urusan Bencana Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan Badan
Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penggunaan Dana Siap Pakai, Permenkes Nomor 59 tahun 2016 tentang Pembebasan Biaya Pasien Penyakit Infeksi Emerging Tertentu dan Kepmenkes Nomor: HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (2019-nCoV) Sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangannya.
2.3.2.2 Deteksi Dini dan Respon di Wilayah
Kegiatan penemuan kasus COVID-19 wilayah dilakukan melalui penemuan orang sesuai definisi operasional. Penemuan kasus dapat dilakukan di puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lain.
Bila fasyankes menemukan orang yang memenuhi kriteria PDP maka perlu melakukan kegiatan sebagai berikut:
1) Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien:
- Gejala ringan: Isolasi diri di rumah
- Gejala sedang: Rujuk ke RS Darurat
- Gejala berat: Rujuk ke RS Rujukan (lihat Kepmenkes Nomor HK.01.07/MENKES/169/2020 tentang Penetapan RS Rujukan Penanggulangan Penyakit Infeksi Emerging Tertentu) dengan menggunakan ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)
2) Memberikan komunikasi risiko mengenai penyakit COVID-19
3) Fasyankes segera melaporkan dalam waktu ≤ 24 jam ke Dinkes Kab/Kota setempat. Selanjutnya Dinkes Kab/Kota melaporkan ke Dinas Kesehatan Provinsi yang kemudian diteruskan ke Ditjen P2P melalui PHEOC. Menggunakan formulir laporan harian data kasus COVID-19 (lampiran 4)
4) Melakukan penyelidikan epidemiologi menggunakan formulir penyelidikan epidemiologi (lampiran 6), mengidentifikasi kontak erat menggunakan formulir (lampiran 12) dan pemantauan kontak erat menggunakan formulir (lampiran 2)
5) Dilakukan pengambilan spesimen berkoordinasi dengan Dinkes setempat untuk pengiriman dengan menyertakan formulir pengiriman spesimen (lampiran 7)
Bila memenuhi kriteria ODP maka dilakukan:
1) Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien
2) Komunikasi risiko mengenai penyakit COVID-19
3) Pasien melakukan isolasi diri di rumah tetapi tetap dalam pemantauan petugas kesehatan puskesmas berkoordinasi dengan Dinkes setempat menggunakan formulir (lampiran 2)
4) Fasyankes segera melaporkan secara berjenjang dalam waktu ≤ 24 jam ke Dinkes Kabupaten/Kota/Provinsi untuk selanjutnya dilaporkan ke PHEOC menggunakan formulir (lampiran 4 dan lampiran 5)
5) Pengambilan spesimen di fasyankes atau lokasi pemantauan
Bila kasus tidak memenuhi kriteria definisi operasional maka dilakukan:
1) Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien
2) Komunikasi risiko kepada pasien
Alur penemuan kasus dan respon di wilayah dapat dilihat pada gambar 2.1.
Deteksi di wilayah juga perlu memperhatikan adanya kasus kluster yaitu bila terdapat dua orang atau lebih memiliki penyakit yang sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam jangka waktu 14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja dan sebagainya.
Adapun, detail kegiatan deteksi dini dan respon untuk masing-masing instansi dapat dilihat pada tabel 2.2.
Jika dilaporkan kasus notifikasi dari IHR National Focal Point negara lain maka informasi awal yang diterima oleh Dirjen P2P akan diteruskan ke PHEOC untuk dilakukan pelacakan.
1. Bila data yang diterima meliputi: nama, nomor paspor, dan angkutan keberangkatan dr negara asal menuju pintuk masuk negara (bandara, pelabuhan, dan PLBDN) maka dilakukan:
• PHEOC meminta KKP melacak melalui HAC atau jejaring yg dimiliki KKP tentang identitas orang tersebut sampai didapatkan alamat dan no. telpon/HP.
• Bila orang yang dinotifikasi belum tiba di pintu masuk negara maka KKP segera menemui orang tersebut kemudian melakukan tindakan sesuai SOP.
• Bila orang tersebut sudah melewati pintu masuk negara maka KKP
melaporkan ke PHEOC perihal identitas dan alamat serta no. telpon/HP yang dapat dihubungi.
• PHEOC meneruskan informasi tersebut ke wilayah (Dinkes) dan KKP setempat untuk dilakukan pelacakan dan tindakan sesuai SOP.
2. Bila data yang diterima hanya berupa nama dan nomor paspor maka dilakukan:
• PHEOC menghubungi contact person (CP) di Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi Keimigrasian (dapat langsung menghubungi direktur atau eselon dibawahnya yang telah diberi wewenang) untuk meminta data identitas lengkap dan riwayat perjalanan.
• Setelah PHEOC mendapatkan data lengkap, PHEOC meneruskan ke wilayah (Dinkes) dan KKP setempat untuk melacak dan melakukan tindakan sesuai SOP.
Alur pelacakan kasus notifikasi dari IHR National Focal Point negara lain ini dapat dilihat pada lampiran 10.
Gambar 2.1 Alur Deteksi Dini dan Respon di Pintu Masuk dan Wilayah
Upaya deteksi dini dan respon di wilayah melibatkan peran berbagai sektor, yang dijelaskan pada tabel berikut: Tabel 2.2 Kegiatan Deteksi Dini dan Respon di Wilayah
INSTANSI | DETEKSI | RESPON | ||
PDP | ODP | OTG | ||
Puskesmas | • Melakukan surveilans Influenza Like Illness (ILI) dan pneumonia melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) termasuk kluster pneumonia • Melakukan surveilans aktif/pemantauan terhadap pelaku perjalanan dari wilayah/negara terjangkit selama 14 hari sejak kedatangan ke wilayah berdasarkan informasi dari Dinkes setempat (menunjukkan HAC) • Melakukan komunikasi risiko termasuk penyebarluasan media KIE mengenai COVID- 19 kepada masyarakat | • Tatalaksana sesuai kondisi: - Ringan: Isolasi diri di rumah - Sedang: Rujuk ke RS Darurat - Berat: Rujuk ke RS Rujukan • Saat melakukan rujukan berkoordinasi dengan RS • Rujukan pasien memperhatikan prinsip PPI • Notifikasi 1x24 jam secara berjenjang menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Xxxxxx Xxx/Kota • Mengidentifikasi kontak erat yang berasal dari | • Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien • Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Kab/Kota menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Xxxxxx Xxx/Kota • Melakukan pemantauan (cek kondisi kasus setiap hari, jika terjadi perburukan segera rujuk RS darurat/rujukan) • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara rutin menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes | • Melakukan pendataan kontak erat (OTG) menggunakan formulir (lampiran 13) • Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Kab/Kota menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan pemantauan (cek kondisi kasus setiap hari, jika terjadi perburukan segera rujuk RS darurat/rujukan) • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara rutin menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. |
• Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan pemangku kewenangan, lintas sektor dan tokoh masyarakat | masyarakat maupun petugas kesehatan • Melakukan pemantauan PDP yang isolasi rumah • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan kontak secara rutin menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Edukasi PDP ringan untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat • Pengambilan spesimen pada PDP ringan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen | • Melakukan komunikasi risiko, keluarga dan masyarakat • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen. | Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Melakukan komunikasi risiko, keluarga dan masyarakat • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen. | |
Fasyankes lain (RS, Klinik) | • Melakukan pemantauan dan analisis kasus ILI dan pneumonia dan ISPA Berat • Mendeteksi kasus dengan demam dan | • Tatalaksana sesuai kondisi: - Ringan: Isolasi diri di rumah - Sedang: Rujuk ke RS Darurat | • Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien • Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Kab/Kota menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) | • Melakukan pendataan kontak erat (OTG) menggunakan form (lampiran 13) • Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Kab/Kota |
gangguan pernafasan serta memiliki riwayat bepergian ke wilayah/negara terjangkit dalam waktu 14 hari sebelum sakit (menunjukkan HAC) • Melakukan komunikasi risiko termasuk penyebarluasan media KIE mengenai COVID- 19 kepada pengunjung | - Berat: Rujuk ke RS Rujukan • Saat melakukan rujukan berkoordinasi dengan RS • Rujukan pasien memperhatikan prinsip PPI • Notifikasi 1x24 jam ke Puskesmas/Dinkes Kesehatan Setempat menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Mengidentifikasi kontak erat yang berasal dari pengunjung maupun petugas kesehatan • Berkoordinasi dengan puskesmas/ dinkes setempat terkait pemantauan kontak erat • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan kontak secara rutin harian menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan pengunjung | • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan pengunjung lainnya • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen | menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan pengunjung lainnya • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen. |
Rumah Sakit Darurat/ Rujukan | • Melakukan surveilans ISPA Berat dan kluster pneumonia • Mendeteksi kasus dengan demam dan gangguan pernafasan serta memiliki riwayat bepergian ke wilayah/negara terjangkit dalam waktu 14 hari sebelum sakit (menunjukkan HAC) • Melakukan komunikasi risiko termasuk penyebarluasan media KIE mengenai COVID- 19 kepada pengunjung | • Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien • Isolasi pasien • Notifikasi 1x24 jam ke Dinas Kesehatan Setempat menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan pengunjung • Melakukan pemantauan kontak erat yang berasal dari keluarga pasien, pengunjung, petugas kesehatan • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan kontak secara rutin harian menggunakan form (lampiran 2 dan 3) | • Xxxxxxxxxxx sesuai kondisi pasien • Notifikasi 1x24 jam ke Dinas Kesehatan Setempat terkait pemantauan pasien menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga, dan pengunjung • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimenPengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen. | • Melakukan pendataan kontak erat (OTG) menggunakan form (lampiran 13) • Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinas Kesehatan Setempat terkait pemantauan pasien menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan pengunjung lainnya • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Pengambilan spesimen dan berkoordinasi dengan Dinkes setempat terkait pengiriman spesimen. |
Dinas Kesehatan Kab/Kota | • Melakukan pemantauan dan analisis kasus ILI dan | • Notifikasi 1x24 jam secara berjenjang ke Dinkes | • Notifikasi 1x24 jam secara berjenjang ke Dinkes Provinsi/PHEOC | • Melakukan pendataan kontak erat (OTG) menggunakan form |
pneumonia melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) dan ISPA Berat • Memonitor pelaksanaan surveilans COVID-19 yang dilakukan oleh puskesmas • Melakukan surveilans aktif COVID-19 rumah sakit untuk menemukan kasus • Melakukan penilaian risiko di wilayah • Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan sektor terkait | Provinsi/PHEOC menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Puskesmas • Koordinasi dengan puskesmas terkait pemantauan kontak • Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila diperlukan termasuk logistik laboratorium • Berkoordinasi dengan Puskesmas dalam melakukan pemantauan harian PDP ringan • Berkoordinasi dengan RS dan laboratorium dalam pengambilan dan pengiriman spesimen • Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara | menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Puskesmas • Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila diperlukan termasuk logistik laboratorium • Berkoordinasi dengan laboratorium dalam pengambilan dan pengiriman spesimen • Melakukan komunikasi risiko pada kelurga dan masyarakat • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Berkoordinasi dengan Puskesmas dalam melakukan pemantauan harian • Berkoordinasi dengan Puskesmas dan laboratorium terkait pengambilan dan | (lampiran 13) • Notifikasi kasus dalam waktu 1x24 jam ke Dinkes Provinsi menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada keluarga dan masyarakat • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Berkoordinasi dengan Puskesmas dalam melakukan pemantauan harian • Berkoordinasi dengan Puskesmas dan laboratorium terkait pengambilan dan pengiriman spesimen. |
rutin harian menggunakan form (lampiran 2 dan 3) | pengiriman spesimen | |||
Dinas Kesehatan Provinsi | • Melakukan pemantauan dan analisis kasus ILI dan pneumonia melalui Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR) dan ISPA Berat • Memonitor pelaksanaan surveilans COVID-19 • Meneruskan notifikasi laporan dalam pengawasan COVID-19 dari KKP ke Dinkes yang bersangkutan • Melakukan surveilans aktif COVID-19 untuk menemukan kasus • Melakukan penilaian risiko di wilayah • Membuat Surat Kewaspadaan yang ditujukan bagi Kab/Kota • Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan sektor terkait | • Notifikasi 1x24 jam secara berjenjang ke /PHEOC menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Melakukan penyelidikan epidemiologi berkoordinasi dengan Puskesmas • Koordinasi dengan puskesmas terkait pemantauan kontak • Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila diperlukan termasuk logistik laboratorium • Melakukan penilaian risiko • Berkoordinasi dengan RS dan laboratorium dalam pengambilan dan pengiriman spesimen • Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan kontak | • Notifikasi 1x24 jam ke PHEOC menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terkait pemantauan kasus • Melakukan pemantauan (cek kondisi kasus setiap hari, jika terjadi perburukan segera rujuk RS rujukan) • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara rutin harian menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • identifikasi kontak • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Kab/Kota. Berkoordinasi | • Melakukan pendataan kontak erat (OTG) menggunakan form (lampiran 13) • Notifikasi 1x24 jam ke PHEOC menggunakan formulir (lampiran 4 dan 5) • Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota terkait pemantauan kasus • Melakukan pemantauan (cek kondisi kasus setiap hari, jika terjadi perburukan segera rujuk RS rujukan) • Mencatat dan melaporkan hasil pemantauan secara rutin harian menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Melakukan komunikasi risiko baik kepada pasien, keluarga dan masyarakat |
secara rutin harian menggunakan formulir (lampiran 2 dan 3) • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Kab/Kota | dengan RS rujukan dan laboratorium dalam pengambilan dan pengiriman spesimen | • Edukasi pasien untuk isolasi diri di rumah. Bila gejala mengalami perburukan segera ke fasyankes • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Kab/Kota. Berkoordinasi dengan RS rujukan dan laboratorium dalam pengambilan dan pengiriman specimen | ||
Pusat | • Melakukan pemantauan dan analisis kasus ILI dan pneumonia melalui SKDR dan ISPA Berat • Melakukan analisis situasi secara berkala terhadap perkembangan kasus COVID-19 • Melakukan penilaian risiko nasional • Membuat Surat Kewaspadaan yang ditujukan bagi Provinsi dan Unit Pelayanan Teknis (UPT) • Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat baik melalui media cetak | • Menerima dan menganalisis laporan notifikasi PDP dari KKP/Dinkes Kab/Kota/Provinsi • Menerima dan menganalisis laporan hasil pemantauan • Melakukan penyelidikan epidemiologi bersama Dinkes Kab/Kota/Provinsi • Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila diperlukan • Melakukan dan melaporkan hasil | • Menerima dan menganalisis notifikasi ODP dari KKP/Dinkes Kab/Kota/Provinsi • Menerima dan menganalisis laporan hasil pemantauan • Melakukan penyelidikan epidemiologi bersama Dinkes Kab/Kota/Provinsi • Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila diperlukan • Melakukan dan melaporkan hasil pemeriksaan spesimen kasus COVID-19 | • Menerima dan menganalisis notifikasi OTG dari KKP/Dinkes Kab/Kota/Provinsi • Menerima dan menganalisis laporan hasil pemantauan • Melakukan penyelidikan epidemiologi bersama Dinkes Kab/Kota/Provinsi • Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila diperlukan • Melakukan dan melaporkan hasil |
atau elektronik • Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan lintas program dan sektor terkait | pemeriksaan spesimen kasus COVID-19 • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Kab/Kota/Provinsi • Melakukan notifikasi ke WHO jika ditemukan kasus konfirmasi • Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat baik melalui media cetak atau elektronik | • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Kab/Kota/Provinsi • Melakukan notifikasi ke WHO jika ditemukan kasus konfirmasi • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Prov/Kab/Kota • Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat baik melalui media cetak atau elektronik | pemeriksaan spesimen kasus COVID-19 • Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di Kab/Kota/Provinsi • Melakukan notifikasi ke WHO jika ditemukan kasus konfirmasi • Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat baik melalui media cetak atau elektronik |
2.4 Penyelidikan Epidemiologi
Setiap ODP, PDP dan kasus konfirmasi harus dilakukan penyelidikan epidemiologi menggunakan formulir (lampiran 6). Kegiatan penyelidikan epidemiologi dilakukan terutama untuk menemukan kontak erat/OTG menggunakan formulir (lampiran 11, 12, dan 13). Hasil penyelidikan epidemiologi dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan dalam rangka penanggulangan atau pemutusan penularan secara lebih cepat. Selain penyelidikan epidemiologi, kegiatan penanggulangan lain meliputi tatalaksana penderita, pencegahan, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan jenazah, komunikasi risiko, dan lai-lain yang dijelaskan pada masing-masing bagian.
2.4.1 Definisi KLB
Jika ditemukan satu kasus konfirmasi COVID-19 di suatu daerah maka dinyatakan sebagai KLB di daerah tersebut.
2.4.2 Tujuan Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan dengan tujuan mengetahui besar masalah KLB dan mencegah penyebaran yang lebih luas. Secara khusus tujuan penyelidikan epidemiologi sebagai berikut:
a. Mengetahui karakteristik epidemiologi, gejala klinis dan virus
b. Mengidentifikasi faktor risiko
c. Mengidentifikasi kasus tambahan
d. Memberikan rekomendasi upaya penanggulangan
2.4.3 Tahapan Penyelidikan Epidemiologi
Langkah penyelidikan epidemiologi untuk kasus COVID-19 sama dengan penyelidikan KLB pada untuk kasus Mers. Tahapan penyelidikan epidemiologi secara umum meliputi:
1. Konfirmasi awal KLB
Petugas surveilans atau penanggung jawab surveilans puskesmas/Dinas Kesehatan melakukan konfirmasi awal untuk memastikan adanya kasus konfirmasi COVID-19 dengan cara wawancara dengan petugas puskesmas atau dokter yang menangani kasus.
2. Pelaporan segera
Mengirimkan laporan W1 ke Dinkes Kab/Kota dalam waktu <24 jam, kemudian diteruskan oleh Dinkes Kab/Kota ke Provinsi dan PHEOC.
3. Persiapan penyelidikan
a. Persiapan formulir penyelidikan sesuai form terlampir (lampiran 5)
b. Persiapan Tim Penyelidikan
c. Persiapan logistik (termasuk APD) dan obat-obatan jika diperlukan
4. Penyelidikan epidemiologi
a. Identifikasi kasus
b. Identifikasi faktor risiko
c. Identifikasi kontak erat
d. Pengambilan spesimen di rumah sakit rujukan
e. Penanggulangan awal
Ketika penyelidikan sedang berlangsung petugas sudah harus memulai upaya- upaya pengendalian pendahuluan dalam rangka mencegah terjadinya penyebaran penyakit kewilayah yang lebih luas. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada hasil penyelidikan epidemiologi yang dilakukan saat itu. Upaya- upaya tersebut dilakukan terhadap masyarakat maupun lingkungan, antara lain dengan:
- Menjaga kebersihan/ higiene tangan, saluran pernapasan.
- Penggunaan APD sesuai risiko pajanan.
- Sedapat mungkin membatasi kontak dengan kasus yang sedang diselidiki dan bila tak terhindarkan buat jarak dengan kasus.
- Asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh.
- Apabila diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit dapat dilakukan tindakan isolasi dan karantina.
5. Pengolahan dan analisis data
6. Penyusunan laporan penyelidikan epidemiologi
2.5 Pelacakan Kontak Erat/OTG
Tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu identifikasi kontak (contact identification), pencatatan detil kontak (contact listing) dan tindak lanjut kontak (contact follow up). Algoritma pelacakan kontak (lampiran 10).
1. Identifikasi Kontak
Identifikasi kontak merupakan bagian dari investigasi kasus. Jika ditemukan kasus COVID-19 yang memenuhi kriteria kasus konfirmasi maka perlu segera untuk dilakukan identifikasi kontak erat. Identifikasi kontak erat ini bisa berasal dari kasus yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal terutama untuk mencari penyebab kematian yang mungkin ada kaitannya dengan COVID-19.
Informasi yang perlu dikumpulkan pada fase identifikasi kontak adalah orang yang mempunyai kontak dengan kasus dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala, yaitu:
a. Semua orang yang berada di lingkungan tertutup yang sama dengan kasus (rekan kerja, satu rumah, sekolah, pertemuan)
b. Semua orang yang mengunjungi rumah kasus baik saat di rumah ataupun saat berada di fasilitas layanan kesehatan
c. Semua tempat dan orang yang dikunjungi oleh kasus seperti kerabat, spa dll.
d. Semua fasilitas layanan kesehatan yang dikunjungi kasus termasuk seluruh petugas kesehatan yang berkontak dengan kasus tanpa menggunakan alat pelindung diri (APD) yang standar.
e. Semua orang yang berkontak dengan jenazah dari hari kematian sampai dengan penguburan.
f. Semua orang yang bepergian bersama dengan segala jenis alat angkut/kendaraan (kereta, angkutan umum, taxi, mobil pribadi, dan sebagainya)
Informasi terkait paparan ini harus selalu dilakukan pengecekan ulang untuk memastikan konsistensi dan keakuratan data untuk memperlambat dan memutus penularan penyakit. Untuk membantu dalam melakukan identifikasi kontak dapat menggunakan tabel formulir identifikasi kontak erat (lampiran 12).
Gambar 2.2. Contoh hubungan kontak erat
2. Pendataan Kontak Erat
Semua kontak erat yang telah diidentifikasi selanjutnya dilakukan wawancara secara lebih detail dan mendata hal-hal berikut ini yaitu
a. Identitas lengkap nama lengkap, usia, alamat lengkap, alamat kerja, nomer telepon, nomer telepon keluarga, penyakit penyerta (komorbid), dan sebagainya sesuai dengan formulir pelacakan kontak erat (lampiran 11).
b. selanjutnya petugas harus juga menyampaikan kepada kontak erat
• Maksud dari upaya pelacakan kontak ini
• Rencana monitoring harian yang akan dilakukan
• Informasi untuk segera menghubungi fasilitas layanan kesehatan terdekat jika muncul gejala dan bagaimana tindakan awal untuk mencegah penularan.
c. Berikan saran-saran berikut ini
• Membatasi diri untuk tidak bepergian semaksimal mungkin atau kontak dengan orang lain.
• Laporkan sesegera mungkin jika muncul gejala seperti batuk, pilek, sesak nafas, dan gejala lainnya melalui kontak tim monitoring. Sampaikan bahwa semakin cepat melaporkan maka akan semakin cepat mendapatkan tindakan untuk mencegah perburukan.
3. Tindak Lanjut Kontak Erat
a. Petugas surveilans yang telah melakukan kegiatan identifikasi kontak dan pendataan kontak akan mengumpulkan tim baik dari petugas puskesmas setempat, kader, relawan dari PMI dan pihak-pihak lain terkait. Pastikan petugas yang memantau dalam kondisi fit dan tidak memiliki penyakit komorbid. Alokasikan satu hari untuk menjelaskan cara melakukan monitoring, mengenali gejala, tindakan observasi rumah, penggunaan APD (lampiran 17) dan tindakan pencegahan penularan penyakit lain serta promosi kesehatan untuk masyarakat di lingkungan.
b. Komunikasi risiko harus secara pararel disampaikan kepada masyarakat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya stigma dan diskriminasi akibat ketidaktahuan.
c. Petugas surveilans provinsi bertindak sebagai supervisor bagi petugas surveilans kab/kota. Petugas surveilans kab/kota bertindak sebagai supervisor untuk petugas puskesmas.
d. Laporan dilaporkan setiap hari untuk menginformasikan perkembangan dan kondisi terakhir dari kontak erat.
e. Setiap petugas harus memiliki pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 yang didalamnya sudah tertuang pelacakan kontak dan tindakan yang harus dilakukan jika kontak erat muncul gejala. Petugas juga harus proaktif memantau dirinya sendiri.
4. Setelah melakukan orientasi, maka tim monitoring kontak sebaiknya dibekali alat-alat berikut ini,
a. Formulir pendataan kontak (lampiran 11)
b. Formulir monitoring harian kontak (lampiran 2)
c. Pulpen
d. Termometer (menggunakan thermometer tanpa sentuh jika tersedia)
e. Hand sanitizer (cairan untuk cuci tangan berbasis alkohol)
f. Informasi KIE tentang COVID-19
g. Panduan pencegahan penularan di lingkungan rumah
h. Panduan alat pelindung diri (APD) untuk kunjungan rumah
i. Daftar nomor-nomor penting
j. Sarung tangan
k. Masker bedah
l. Identitas diri maupun surat tugas
m. Alat komunikasi (grup Whatsapp dll)
5. Seluruh kegiatan tatalaksana kontak ini harus dilakukan dengan penuh empati kepada kontak erat, menjelaskan dengan baik, dan tunjukkan bahwa kegiatan ini adalah untuk kebaikan kontak erat serta mencegah penularan kepada orang-orang terdekat (keluarga, saudara, teman dan sebagainya). Diharapkan tim promosi kesehatan juga berperan dalam memberikan edukasi dan informasi yang benar kepada masyarakat.
6. Petugas surveilans kab/kota dan petugas survelans provinsi diharapkan dapat melakukan komunikasi, koordinasi dan evaluasi setiap hari untuk melihat perkembangan dan pengambilan keputusan di lapangan.
2.6 Pencatatan dan Pelaporan
Data penemuan kasus PDP, ODP, OTG COVID-19 yang dicatat dan dilaporkan sesuai dengan format dalam lampiran termasuk jika tidak ditemukan kasus (zero reporting).
2.6.1 Di Pintu Masuk Negara
Formulir yang digunakan di KKP adalah:
a. Formulir pemantauan petugas kesehatan (lampiran 3)
b. Formulir notifikasi HAC dan penemuan kasus (lampiran 1) yang dilaporkan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kab/Kota sesuai dengan tempat tinggal kasus serta ditembuskan ke PHEOC Ditjen P2P.
2.6.2 Di Wilayah
Formulir yang digunakan adalah:
a. Rumah Sakit, Klinik
- Formulir pemantauan (lampiran 2 dan lampiran 3)
- Formulir laporan harian penemuan kasus Konfirmasi, PDP, ODP dan OTG (lampiran 4 dan lampiran 5) yang dilaporkan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kab/Kota setempat.
- Formulir pengambilan dan pengiriman spesimen (lampiran 7)
b. Puskesmas/Dinas Kesehatan
- Formulir pemantauan (lampiran 2 dan lampiran 3)
- Formulir laporan harian penemuan kasus Konfirmasi, PDP, ODP dan OTG (lampiran 4 dan lampiran 5) yang dilaporkan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kab/Kota setempat.
- Formulir penyelidikan epidemiologi (lampiran 6)
- Formulir pengambilan dan pengiriman spesimen (lampiran 7)
- Formulir pelacakan kontak erat (lampiran 11)
- Formulir identifikasi kontak erat (lampiran 12)
- Formulir pendataan kontak (lampiran 13)
Setiap penemuan kasus baik di pintu masuk negara maupun wilayah harus melakukan pencatatan sesuai dengan formulir (terlampir) dan menyampaikan laporan. Melakukan pelaporan rutin harian dari penemuan kasus PDP, ODP, OTG COVID-19
secara berjenjang sampai ke Pusat melalui PHEOC, termasuk jika tidak ditemukan kasus (zero reporting) menggunakan formulir (lampiran 4 dan lampiran 5).
Selain formulir untuk kasus, formulir pemantauan kontak erat juga harus dilengkapi. Pelaporan harian dilaporkan setiap hari oleh Fasyankes ke Dinkes setempat secara berjenjang hingga sampai kepada Ditjen P2P dengan tembusan PHEOC. Untuk lebih memudahkan alur pelaporan dapat dilihat pada bagan berikut:
PHEOC:
Telp. 0000-0000-0000
Whatsapp: 0000-0000-0000 Email: xxxxxxxx@xxxxx.xxx
EOC
Gambar 2.3 Alur Pelaporan
2.7 Penilaian Risiko
Berdasarkan informasi dari penyelidikan epidemiologi maka dilakukan penilaian risiko cepat meliputi analisis bahaya, paparan/kerentanan dan kapasitas untuk melakukan karakteristik risiko berdasarkan kemungkinan dan dampak. Hasil dari penilaian risiko ini diharapakan dapat digunakan untuk menentukan rekomendasi penanggulangan kasus COVID-19. Penilaian risiko ini dilakukan secara berkala sesuai dengan perkembangan penyakit. Penjelasan lengkap mengenai penilaian risiko cepat dapat mengacu pada pedoman WHO Rapid Risk Assessment of Acute Public Health.
BAB III MANAJEMEN KLINIS
Manajemen klinis ditujukan bagi tenaga kesehatan yang merawat pasien ISPA berat baik dewasa dan anak di rumah sakit ketika dicurigai adanya infeksi COVID-19. Bab manifestasi klinis ini tidak untuk menggantikan penilaian klinis atau konsultasi spesialis, melainkan untuk memperkuat manajemen klinis pasien berdasarkan rekomendasi WHO terbaru. Rekomendasi WHO berasal dari publikasi yang merujuk pada pedoman berbasis bukti termasuk rekomendasi dokter yang telah merawat pasien SARS, MERS atau influenza berat.
3.1 Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19
Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik. Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 3.1) akan menentukan waktu yang tepat penerapan tatalaksana dan PPI. Pasien dengan gejala ringan, rawat inap tidak diperlukan kecuali ada kekhawatiran untuk perburukan yang cepat sesuai dengan pertimbangan medis. Penjelasan klasifikasi gejala dan tatalaksana dapat dilihat pada lampiran 21. Deteksi COVID-19 sesuai dengan definisi operasional surveilans COVID-19. Pertimbangkan COVID-19 sebagai etiologi ISPA berat. Semua pasien yang pulang ke rumah harus memeriksakan diri ke rumah sakit jika mengalami perburukan. Berikut manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19:
Tabel 3.1 Manifestasi klinis yang berhubungan dengan infeksi COVID-19
Uncomplicated illness | Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas. |
Pneumonia ringan | Pasien dengan pneumonia dan tidak ada tanda pneumonia berat. Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit dan tidak ada tanda pneumonia berat. |
Pneumonia berat / ISPA berat | Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar. Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah setidaknya |
satu dari berikut ini: • sianosis sentral atau SpO2 <90%; • distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan dinding dada yang berat); • tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang. Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea :<2 bulan, ≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit;>5 tahun, ≥30x/menit. Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada yang dapat menyingkirkan komplikasi. | |
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) | Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu. Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau nodul. Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak ditemukan faktor risiko. Kriteria ARDS pada dewasa: • ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau continuous positive airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi) • ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi) • ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi) • Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak diventilasi) Kriteria ARDS pada anak berdasarkan Oxygenation Index dan Oxygenatin Index menggunakan SpO2: • PaO2 / FiO2 ≤ 300 mmHg atau SpO2 / FiO2 ≤264: Bilevel noninvasive ventilation (NIV) atau CPAP ≥5 cmH2O dengan menggunakan full face mask • ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ Oxygenation Index (OI) <8 atau 5 ≤ OSI <7,5 • ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI <16 atau 7,5 ≤ OSI <12,3 • ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16 atau OSI ≥ 12,3 |
Sepsis | Pasien dewasa: Disfungsi organ yang mengancam nyawa disebabkan oleh disregulasi respon tubuh terhadap dugaan atau terbukti infeksi*. Tanda disfungsi organ meliputi: perubahan status mental/kesadaran, sesak napas, saturasi oksigen rendah, urin output menurun, denyut |
jantung cepat, nadi lemah, ekstremitas dingin atau tekanan darah rendah, ptekie/purpura/mottled skin, atau hasil laboratorium menunjukkan koagulopati, trombositopenia, asidosis, laktat yang tinggi, hiperbilirubinemia. Pasien anak: terhadap dugaan atau terbukti infeksi dan kriteria systemic inflammatory response syndrome (SIRS) ≥2, dan disertai salah satu dari: suhu tubuh abnormal atau jumlah sel darah putih abnormal. | |
Syok septik | Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L. Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia. |
Keterangan:
* Jika ketinggian lebih tinggi dari 1000 meter, maka faktor koreksi harus dihitung sebagai berikut: PaO2 / FiO2 x Tekanan barometrik / 760.
* Skor SOFA nilainya berkisar dari 0 - 24 dengan menilai 6 sistem organ yaitu pernapasan (hipoksemia didefinisikan oleh PaO2 / FiO2 rendah), koagulasi (trombosit rendah), hati (bilirubin tinggi), kardiovaskular (hipotensi), sistem saraf pusat (penurunan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale), dan ginjal (urin output rendah atau kreatinin tinggi). Diindikasikan sebagai sepsis apabila terjadi peningkatan skor Sequential [Sepsis-related] Organ Failure Assessment (SOFA) ≥2 angka. Diasumsikan skor awal adalah nol jika data tidak tersedia.
3.2 Tatalaksana Pasien di Rumah Sakit Rujukan
3.2.1 Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
a. Berikan terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat dan distress pernapasan, hipoksemia, atau syok.
- Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90% pada anak dan orang dewasa yang tidak hamil serta SpO2 ≥ 92%-95% pada pasien hamil.
- Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok, koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama resusitasi untuk mencapai target SpO2
≥94%;
- Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan baik, dan semua alat-alat
untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
- Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti COVID-19.
b. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien dengan ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanik.
c. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta kuman, serta pedoman pengobatan. Terapi empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.
d. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
e. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.
f. Xxxxxi pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi prognostik.
g. Xxxxxxxxxxx pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan penyesuaian dengan fisiologi kehamilan.
Persalinan darurat dan terminasi kehamilan menjadi tantangan dan perlu kehati-hatian serta mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin. Xxxxx dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak dan konsultan intensive care.
3.2.2 Pengumpulan Spesimen Untuk Diagnosis Laboratorium
Penjelasan mengenai bagian ini terdapat pada Bab V. Pengelolaan Spesimen dan Konfirmasi Laboraorium.
Pasien konfirmasi COVID-19 (pemeriksaan hari ke-1 dan ke-2 positif) dengan perbaikan klinis dapat keluar dari RS apabila hasil pemeriksaan Real Time-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dua hari berturut-turut menunjukkan hasil negatif. Apabila tidak tersedia fasilitas pemeriksaan RT PCR, pasien dengan perbaikan klinis dapat dipulangkan dengan edukasi untuk tetap melakukan isolasi diri di rumah selama 14 hari.
3.2.3 Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS
a. Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar
Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan atau hipoksemi walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (10 sampai 15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemi pada ARDS terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
b. Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO) atau ventilasi non invasif (NIV) hanya pada pasien gagal napas hipoksemi tertentu, dan pasien tersebut harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan klinis.
- Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen 60 L/menit dan FiO2
sampai 1,0; sirkuit pediatrik umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga banyak anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru obstruktif, edema paru kardiogenik), hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO, meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan. Pasien dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini pedoman berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan tentang HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
- Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas hipoksemi (kecuali edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi) atau penyakit virus pandemik (merujuk pada studi SARS dan pandemi influenza). Karena hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya intubasi, volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV. Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas terlatih dan berpengalaman untuk melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
- Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan NIV yang menggunakan interface yang sesuai dengan wajah sehingga tidak ada kebocoran akan mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien ekspirasi.
c. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi airborne Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
d. Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi kriteria ARDS.
1) Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) -60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60]
2) Pilih mode ventilasi mekanik
3) Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal = 8 ml/kg PBW
4) Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam waktu ≤ 2 jam sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg PBW
5) Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak lebih dari 35 kali/menit)
6) Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH dan tekanan
plateau
Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45. Protokol ventilasi mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan plateau−PEEP) di bandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau yang tinggi.
e. Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone position > 12 jam per hari
Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.
f. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat penggunaan ventilator.
g. Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah
Titrasi PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala dengan CPAP yang tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko.
h. Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150) tidak dianjurkan secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.
i. Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun sudah mendapat lung protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.
j. Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis. Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel).
3.2.4 Manajemen Syok Septik
a. Kenali tanda syok septik
- Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
- Pasien anak: hipotensi (Tekanan Darah Sistolik (TDS) < persentil 5 atau >2 standar deviasi (SD) di bawah normal usia) atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.
Keterangan: Apabila tidak ada pemeriksaan laktat, gunakan MAP dan tanda klinis gangguan perfusi untuk deteksi syok. Perawatan standar meliputi deteksi dini dan tatalaksana dalam 1 jam; terapi antimikroba dan pemberian cairan dan vasopresor untuk hipotensi. Penggunaan kateter vena dan arteri berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan pasien.
b. Resusitasi syok septik pada dewasa: berikan cairan kristaloid isotonik 30 ml/kg. Resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal berikan bolus cepat 20 ml/kg kemudian tingkatkan hingga 40-60 ml/kg dalam 1 jam pertama.
c. Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin untuk resusitasi.
d. Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan dan gagal napas. Jika tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan muncul tanda-tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena jugularis, ronki basah halus pada auskultasi paru, gambaran edema paru pada foto toraks, atau hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau hentikan pemberian cairan.
- Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan Ringer laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk bolus tambahan (250-1000 ml pada orang dewasa atau 10-20 ml/kg pada anak-anak) berdasarkan respons klinis dan target
perfusi. Target perfusi meliputi MAP >65 mmHg atau target sesuai usia pada anak-anak, produksi urin (>0,5 ml/kg/jam pada orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak), dan menghilangnya mottled skin, perbaikan waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya kesadaran, dan turunnya kadar laktat.
- Pemberian resusitasi dengan kanji lebih meningkatkan risiko kematian dan acute kidney injury (AKI) dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang efektif dalam meningkatkan volume intravaskular dibandingkan dengan cairan isotonik. Surviving Sepsis menyebutkan albumin dapat digunakan untuk resusitasi ketika pasien membutuhkan kristaloid yang cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum memiliki bukti yang cukup (low quality evidence).
e. Vasopresor diberikan ketika syok tetap berlangsung meskipun sudah diberikan resusitasi cairan yang cukup. Pada orang dewasa target awal tekanan darah adalah MAP ≥65 mmHg dan pada anak disesuaikan dengan usia.
f. Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat diberikan melalui intravena perifer, tetapi gunakan vena yang besar dan pantau dengan cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan infus. Vasopresor juga dapat diberikan melalui jarum intraoseus.
g. Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti dobutamine) jika perfusi tetap buruk dan terjadi disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan vasopresor.
- Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan dopamin) paling aman diberikan melalui kateter vena sentral tetapi dapat pula diberikan melalui vena perifer dan jarum intraoseus. Pantau tekanan darah sesering mungkin dan titrasi vasopressor hingga dosis minimum yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan mencegah timbulnya efek samping.
- Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada pasien dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya diberikan untuk pasien bradikardia atau pasien dengan risiko rendah terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold shock
(lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan warm shock (lebih jarang).
3.2.5 Pencegahan Komplikasi
Antisipasi Dampak | Tindakan |
Mengurangi lamanya hari penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV) | - Protokol penyapihan meliputi penilaian harian kesiapan untuk bernapas spontan - Lakukan pemberian sedasi berkala atau kontinyu yang minimal, titrasi untuk mencapai target khusus (walaupun begitu sedasi ringan merupakan kontraindikasi) atau dengan interupsi harian dari pemberian infus sedasi kontinyu |
Mengurangi terjadinya ventilator-associated pneumonia (VAP) | - Intubasi oral adalah lebih baik daripada intubasi nasal pada remaja dan dewasa - Pertahankan pasien dalam posisi semi-recumbent (naikkan posisi kepala pasien sehingga membentuk sudut 30-450) - Gunakan sistem closed suctioning, kuras dan buang kondensat dalam pipa secara periodik - Setiap pasien menggunakan sirkuit ventilator yang baru; pergantian sirkuit dilakukan hanya jika kotor atau rusak - Ganti alat heat moisture exchanger (HME) jika tidak berfungsi, ketika kotor atau setiap 5-7 hari |
Mengurangi terjadinya tromboemboli vena | - Gunakan obat profilaksis (low molecular-weight heparin, bila tersedia atau heparin 5000 unit subkutan dua kali sehari) pada pasien remaja dan dewasa bila tidak ada kontraindikasi. - Bila terdapat kontraindikasi, gunakan perangkat profilaksis mekanik seperti intermiten pneumatic compression device. |
Mengurangi terjadinya infeksi terkait catheter- related bloodstream | Gunakan checklist sederhana pada pemasangan kateter IV sebagai pengingat untuk setiap langkah yang diperlukan agar pemasangan tetap steril dan adanya pengingat setiap harinya untuk melepas kateter jika tidak diperlukan. |
Mengurangi terjadinya | Posisi pasien miring ke kiri-kanan bergantian setiap dua |
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien kritis/berat: Tabel 3.2 Pencegahan Komplikasi
ulkus karena tekanan | jam. |
Mengurangi terjadinya stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan | - Berikan nutrisi enteral dini (dalam waktu 24-48 jam pertama) - Berikan histamin-2 receptor blocker atau proton-pump inhibitors. Faktor risiko yang perlu diperhatikan untuk terjadinya perdarahan saluran pencernaan termasuk pemakaian ventilasi mekanik ≥48 jam, koagulopati, terapi sulih ginjal, penyakit hati, komorbid ganda, dan skor gagal organ yang tinggi |
Mengurangi terjadinya kelemahan akibat perawatan di ICU | Mobilisasi dini apabila aman untuk dilakukan. |
3.2.6 Pengobatan spesifik anti-COVID-19
Sampai saat ini tidak ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 untuk pasien dalam pengawasan atau konfirmasi COVID-19.
BAB IV
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
Berdasarkan bukti yang tersedia, COVID-19 ditularkan melalui kontak dekat dan droplet, bukan melalui transmisi udara. Orang-orang yang paling berisiko terinfeksi adalah mereka yang berhubungan dekat dengan pasien COVID-19 atau yang merawat pasien COVID-19.
Tindakan pencegahan dan mitigasi merupakan kunci penerapan di pelayanan kesehatan dan masyarakat. Langkah-langkah pencegahan yang paling efektif di masyarakat meliputi:
• melakukan kebersihan tangan menggunakan hand sanitizer jika tangan tidak terlihat kotor atau cuci tangan dengan sabun jika tangan terlihat kotor;
• menghindari menyentuh mata, hidung dan mulut;
• terapkan etika batuk atau bersin dengan menutup hidung dan mulut dengan lengan atas bagian dalam atau tisu, lalu buanglah tisu ke tempat sampah;
• pakailah masker medis jika memiliki gejala pernapasan dan melakukan kebersihan tangan setelah membuang masker;
• menjaga jarak (minimal 1 meter) dari orang yang mengalami gejala gangguan pernapasan.
4.1 Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan
Strategi-strategi PPI untuk mencegah atau membatasi penularan di tempat layanan kesehatan meliputi:
1. Menjalankan langkah-langkah pencegahan standar untuk semua pasien
Kewaspadaan standar harus selalu diterapkan di semua fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan yang aman bagi semua pasien dan mengurangi risiko infeksi lebih lanjut. Kewaspadaan standar meliputi:
a. Kebersihan tangan dan pernapasan;
Petugas kesehatan harus menerapkan “5 momen kebersihan tangan”, yaitu: sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur kebersihan atau aseptik, setelah berisiko terpajan cairan tubuh, setelah bersentuhan dengan pasien, dan setelah bersentuhan dengan lingkungan pasien, termasuk permukaan atau barang-barang yang tercemar. Kebersihan tangan mencakup:1) mencuci tangan dengan sabun dan air atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol; 2)
Cuci tangan dengan sabun dan air ketika terlihat kotor; 3) Kebersihan tangan juga diperlukan ketika menggunakan dan terutama ketika melepas APD.
Orang dengan gejala sakit saluran pernapasan harus disarankan untuk menerapkan kebersihan/etika batuk. Selain itu mendorong kebersihan pernapasan melalui galakkan kebiasaan cuci tangan untuk pasien dengan gejala pernapasan, pemberian masker kepada pasien dengan gejala pernapasan, pasien dijauhkan setidaknya 1 meter dari pasien lain, pertimbangkan penyediaan masker dan tisu untuk pasien di semua area.
b. Penggunaan APD sesuai risiko
Penggunaan secara rasional dan konsisten APD, kebersihan tangan akan membantu mengurangi penyebaran infeksi. Pada perawatan rutin pasien, penggunaan APD harus berpedoman pada penilaian risiko/antisipasi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan kulit yang terluka.
APD yang digunakan merujuk pada Pedoman Teknis Pengendalian Infeksi sesuai dengan kewaspadaan kontak, droplet, dan airborne. Jenis alat pelindung diri (APD) terkait COVID-19 berdasarkan lokasi, petugas dan jenis aktivitas (lampiran 16). Cara pemakaian dan pelepasan APD baik gown/gaun atau coverall (lampiran 17). COVID-19 merupakan penyakit pernapasan berbeda dengan pneyakit Virus Ebola yang ditularkan melalui cairan tubuh. Perbedaan ini bisa menjadi pertimbangan saat memilih penggunaan gown atau coverall.
c. Pencegahan luka akibat benda tajam dan jarum suntik
d. Pengelolaan limbah yang aman
Pengelolaan limbah medis sesuai dengan prosedur rutin
e. Pembersihan lingkungan, dan sterilisasi linen dan peralatan perawatan pasien. Membersihkan permukaan-permukaan lingkungan dengan air dan deterjen serta memakai disinfektan yang biasa digunakan (seperti hipoklorit 0,5% atau etanol 70%) merupakan prosedur yang efektif dan memadai.
2. Memastikan identifikasi awal dan pengendalian sumber
Penggunaan triase klinis di fasilitas layanan kesehatan untuk tujuan identifikasi dini pasien yang mengalami ISPA untuk mencegah transmisi patogen ke tenaga kesehatan dan pasien lain. Dalam rangka memastikan identifikasi awal pasien, fasyankes perlu memperhatikan: daftar pertanyaan skrining, mendorong petugas
kesehatan untuk memiliki tingkat kecurigaan klinis yang tinggi, pasang petunjuk- petunjuk di area umum berisi pertanyaan-pertanyaan skrining sindrom agar pasien memberi tahu tenaga kesehatan, algoritma untuk triase, media KIE mengenai kebersihan pernapasan.
Tempatkan pasien ISPA di area tunggu khusus yang memiliki ventilasi yang cukup Selain langkah pencegahan standar, terapkan langkah pencegahan percikan (droplet) dan langkah pencegahan kontak (jika ada kontak jarak dekat dengan pasien atau peralatan permukaan/material terkontaminasi). Area selama triase perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
• Pastikan ada ruang yang cukup untuk triase (pastikan ada jarak setidaknya 1 meter antara staf skrining dan pasien/staf yang masuk
• Sediakan pembersih tangan alkohol dan masker (serta sarung tangan medis, pelindung mata dan jubah untuk digunakan sesuai penilaian risiko)
• Kursi pasien di ruang tunggu harus terpisah jarak setidaknya 1 meter
• Pastikan agar alur gerak pasien dan staf tetap satu arah
• Petunjuk-petunjuk jelas tentang gejala dan arah
• Anggota keluarga harus menunggu di luar area triase-mencegah area triase menjadi terlalu penuh
3. Menerapkan pengendalian administratif
Kegiatan ini merupakan prioritas pertama dari strategi PPI, meliputi penyediaan kebijakan infrastruktur dan prosedur dalam mencegah, mendeteksi, dan mengendalikan infeksi selama perawatan kesehatan. Kegiatan akan efektif bila dilakukan mulai dari antisipasi alur pasien sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari sarana pelayanan.
Pengendalian administratif dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan meliputi penyediaan infrastruktur dan kegiatan PPI yang berkesinambungan, pembekalan pengetahuan petugas kesehatan, mencegah kepadatan pengunjung di ruang tunggu, menyediakan ruang tunggu khusus untuk orang sakit dan penempatan pasien rawat inap, mengorganisir pelayanan kesehatan agar persedian perbekalan digunakan dengan benar, prosedur–prosedur dan kebijakan semua aspek kesehatan kerja dengan penekanan pada surveilans ISPA diantara petugas kesehatan dan pentingnya segera mencari pelayanan medis, dan pemantauan kepatuhan disertai
dengan mekanisme perbaikan yang diperlukan.
Langkah penting dalam pengendalian administratif, meliputi identifikasi dini pasien dengan ISPA/ILI baik ringan maupun berat, diikuti dengan penerapan tindakan pencegahan yang cepat dan tepat, serta pelaksanaan pengendalian sumber infeksi. Untuk identifikasi awal semua pasien ISPA digunakan triase klinis. Pasien ISPA yang diidentifikasi harus ditempatkan di area terpisah dari pasien lain, dan segera lakukan kewaspadaan tambahan. Aspek klinis dan epidemiologi pasien harus segera dievaluasi dan penyelidikan harus dilengkapi dengan evaluasi laboratorium.
4. Menggunakan pengendalian lingkungan dan rekayasa
Kegiatan ini dilakukan termasuk di infrastruktur sarana pelayanan kesehatan dasar dan di rumah tangga yang merawat pasien dengan gejala ringan dan tidak membutuhkan perawatan di RS. Kegiatan pengendalian ini ditujukan untuk memastikan bahwa ventilasi lingkungan cukup memadai di semua area didalam fasilitas pelayanan kesehatan serta di rumah tangga, serta kebersihan lingkungan yang memadai. Harus dijaga jarak minimal 1 meter antara setiap pasien dan pasien lain, termasuk dengan petugas kesehatan (bila tidak menggunakan APD). Kedua kegiatan pengendalian ini dapat membantu mengurangi penyebaran beberapa patogen selama pemberian pelayanan kesehatan.
5. Menerapkan langkah-langkah pencegahan tambahan empiris atas kasus pasien dalam pengawasan dan konfirmasi COVID-19
a. Kewaspadaan Kontak dan Droplet
▪ Batasi jumlah petugas kesehatan memasuki kamar pasien COVID-19 jika tidak terlibat dalam perawatan langsung. Pertimbangkan kegiatan gabungan (misal periksa tanda-tanda vital bersama dengan pemberian obat atau mengantarkan makanan bersamaan melakukan perawatan lain).
▪ Idealnya pengunjung tidak akan diizinkan tetapi jika ini tidak memungkinkan. batasi jumlah pengunjung yang melakukan kontak dengan suspek atau konfirmasi terinfeksi COVID-19 dan batasi waktu kunjungan. Berikan instruksi yang jelas tentang cara memakai dan melepas APD dan kebersihan tangan untuk memastikan pengunjung menghindari kontaminasi diri.
• Tunjuk tim petugas kesehatan terampil khusus yang akan memberi perawatan kepada pasien terutama kasus konfirmasi untuk menjaga kesinambungan pencegahan dan pengendalian serta mengurangi peluang ketidakpatuhan menjalankannya yang dapat mengakibatkan tidak adekuatnya perlindungan terhadap pajanan.
• Tempatkan pasien pada kamar tunggal. Ruang bangsal umum berventilasi alami ini dipertimbangkan 160 L / detik / pasien. Bila tidak tersedia kamar untuk satu orang, tempatkan pasien-pasien dengan diagnosis yang sama di kamar yang sama. Jika hal ini tidak mungkin dilakukan, tempatkan tempat tidur pasien terpisah jarak minimal 1 meter.
• Jika memungkinkan, gunakan peralatan sekali pakai atau yang dikhususkan untuk pasien tertentu (misalnya stetoskop, manset tekanan darah dan termometer). Jika peralatan harus digunakan untuk lebih dari satu pasien, maka sebelum dan sesudah digunakan peralatan harus dibersihkan dan disinfeksi (misal etil alkohol 70%).
• Petugas kesehatan harus menahan diri agar tidak menyentuh/menggosok– gosok mata, hidung atau mulut dengan sarung tangan yang berpotensi tercemar atau dengan tangan telanjang.
• Hindari membawa dan memindahkan pasien keluar dari ruangan atau daerah isolasi kecuali diperlukan secara medis. Hal ini dapat dilakukan dengan mudah bila menggunakan peralatan X-ray dan peralatan diagnostik portabel penting lainnya. Jika diperlukan membawa pasien, gunakan rute yang dapat meminimalisir pajanan terhadap petugas, pasien lain dan pengunjung.
• Pastikan bahwa petugas kesehatan yang membawa/mengangkut pasien harus memakai APD yang sesuai dengan antisipasi potensi pajanan dan membersihkan tangan sesudah melakukannya.
• Memberi tahu daerah/unit penerima agar dapat menyiapkan kewaspadaan pengendalian infeksi sebelum kedatangan pasien.
• Bersihkan dan disinfeksi permukaan peralatan (misalnya tempat tidur) yang bersentuhan dengan pasien setelah digunakan.
• Semua orang yang masuk kamar pasien (termasuk pengunjung) harus dicatat (untuk tujuan penelusuran kontak).
• Ketika melakukan prosedur yang berisiko terjadi percikan ke wajah dan/atau badan, maka pemakaian APD harus ditambah dengan: masker bedah dan pelindung mata/ kacamata, atau pelindung wajah; gaun dan sarung tangan.
b. Kewaspadaan Airborne pada Prosedur yang Menimbulkan Aerosol
Suatu prosedur/tindakan yang menimbulkan aerosol didefinisikan sebagai tindakan medis yang dapat menghasilkan aerosol dalam berbagai ukuran, termasuk partikel kecil (<5 mkm). Tindakan kewaspadaan harus dilakukan saat melakukan prosedur yang menghasilkan aerosol dan mungkin berhubungan dengan peningkatan risiko penularan infeksi, seperti intubasi trakea, ventilasi non invasive, trakeostomi, resusistasi jantung paru, venitilasi manual sebelum intubasi dan bronkoskopi.
Tindakan kewaspadaan saat melakukan prosedur medis yang menimbulkan aerosol:
• Memakai respirator partikulat seperti N95 sertifikasi NIOSH, EU FFP2 atau setara. Ketika mengenakan respirator partikulat disposable, periksa selalu kerapatannya (fit tes).
• Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah).
• Memakai gaun lengan panjang dan sarung tangan bersih, tidak steril, (beberapa prosedur ini membutuhkan sarung tangan steril).
• Memakai celemek kedap air untuk beberapa prosedur dengan volume cairan yang tinggi diperkirakan mungkin dapat menembus gaun.
• Melakukan prosedur di ruang berventilasi cukup, yaitu di sarana-sarana yang dilengkapi ventilasi mekanik, minimal terjadi 6 sampai 12 kali pertukaran udara setiap jam dan setidaknya 160 liter/ detik/ pasien di sarana–sarana dengan ventilasi alamiah.
• Membatasi jumlah orang yang berada di ruang pasien sesuai jumlah minimum yang diperlukan untuk memberi dukungan perawatan pasien.
kewaspadaan isolasi juga harus dilakukan terhadap PDP dan konfirmasi COVID- 19 sampai hasil pemeriksaan laboratorium rujukan negatif.
4.2 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Isolasi di Rumah (Perawatan di Rumah)
Isolasi rumah atau perawatan di rumah dilakukan terhadap orang yang bergejala ringan dan tanpa kondisi penyerta seperti (penyakit paru, jantung, ginjal dan kondisi immunocompromised). Tindakan ini dapat dilakukan pada pasien dalam pengawasan, orang dalam pemantauan dan kontak erat yang bergejala dengan tetap memperhatikan kemungkinan terjadinya perburukan. Beberapa alasan pasien dirawat di rumah yaitu perawatan rawat inap tidak tersedia atau tidak aman. Pertimbangan tersebut harus memperhatikan kondisi klinis dan keamanan lingkungan pasien. Pertimbangan lokasi dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat. Perlu dilakukan informed consent (lampiran 22) terhadap pasien yang melakukan perawatan rumah.
Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat digunakan untuk pemantauan harus diidentifikasi dan dievaluasi sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan masyarakat.
Selama proses pemantauan, pasien harus selalu proaktif berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Petugas kesehatan yang melakukan pemantauan menggunakan APD minimal berupa masker. Berikut rekomendasi prosedur pencegahan dan pengendalian infeksi untuk isolasi di rumah:
1. Tempatkan pasien/orang dalam ruangan tersendiri yang memiliki ventilasi yang baik (memiliki jendela terbuka, atau pintu terbuka)
2. Batasi pergerakan dan minimalkan berbagi ruangan yang sama. Pastikan ruangan bersama (seperti dapur, kamar mandi) memiliki ventilasi yang baik.
3. Anggota keluarga yang lain sebaiknya tidur di kamar yang berbeda, dan jika tidak memungkinkan maka jaga jarak minimal 1 meter dari pasien (tidur di tempat tidur berbeda)
4. Batasi jumlah orang yang merawat pasien. Idelanya satu orang yang benar-benar sehat tanpa memiliki gangguan kesehatan lain atau gangguan kekebalan. Pengunjung/penjenguk tidak diizinkan sampai pasien benar-benar sehat dan tidak bergejala.
5. Lakukan hand hygiene (cuci tangan) segera setiap ada kontak dengan pasien atau lingkungan pasien. Lakukan cuci tangan sebelum dan setelah menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah dari kamar mandi, dan kapanpun tangan kelihatan kotor. Jika tangan tidak tampak kotor dapat menggunakan hand sanitizer, dan untuk tangan yang kelihatan kotor menggunakan air dan sabun.
6. Jika mencuci tangan menggunakan air dan sabun, handuk kertas sekali pakai direkomendasikan. Jika tidak tersedia bisa menggunakan handuk bersih dan segera ganti jika sudah basah.
7. Untuk mencegah penularan melalui droplet, masker bedah (masker datar) diberikan kepada pasien untuk dipakai sesering mungkin.
8. Orang yang memberikan perawatan sebaiknya menggunakan masker bedah terutama jika berada dalam satu ruangan dengan pasien. Masker tidak boleh dipegang selama digunakan. Jika masker kotor atau basah segera ganti dengan yang baru. Buang masker dengan cara yang benar (jangan disentuh bagian depan, tapi mulai dari bagian belakang). Buang segera dan segera cuci tangan.
9. Hindari kontak langsung dengan cairan tubuh terutama cairan mulut atau pernapasan (dahak, ingus dll) dan tinja. Gunakan sarung tangan dan masker jika harus memberikan perawatan mulut atau saluran nafas dan ketika memegang tinja, air kencing dan kotoran lain. Cuci tangan sebelum dan sesudah membuang sarung tangan dan masker.
10. Jangan gunakan masker atau sarung tangan yang telah terpakai.
11. Sediakan sprei dan alat makan khusus untuk pasien (cuci dengan sabun dan air setelah dipakai dan dapat digunakan kembali)
12. Bersihkan permukaan di sekitar pasien termasuk toilet dan kamar mandi secara teratur. Sabun atau detergen rumah tangga dapat digunakan, kemudian larutan NaOCl 0.5% (setara dengan 1 bagian larutan pemutih dan 9 bagian air).
13. Bersihkan pakaian pasien, sprei, handuk dll menggunakan sabun cuci rumah tangga dan air atau menggunakan mesin cuci dengan suhu air 60-900C dengan detergen dan keringkan. Tempatkan pada kantong khusus dan jangan digoyang-goyang, dan hindari kontak langsung kulit dan pakaian dengan bahan-bahan yang terkontaminasi.
14. Sarung tangan dan apron plastic sebaiknya digunakan saat membersihkan permukaan pasien, baju, atau bahan-bahan lain yang terkena cairan tubuh pasien. Sarung tangan (yang bukan sekali pakai) dapat digunakan kembali setelah dicuci
menggunakan sabun dan air dan didekontaminasi dengan larutan NaOCl 0.5%. Cuci tangan sebelum dan setelah menggunakan sarung tangan.
15. Sarung tangan, masker dan bahan-bahan sisa lain selama perawatan harus dibuang di tempat sampah di dalam ruangan pasien yang kemudian ditutup rapat sebelum dibuang sebagai kotoran infeksius.
16. Hindari kontak dengan barang-barang terkontaminasi lainya seperti sikat gigi, alat makan-minum, handuk, pakaian dan sprei).
17. Ketika petugas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan rumah, maka selalu perhatikan APD dan ikut rekomendasi pencegahan penularan penyakit melalui droplet.
4.3 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Karantina
Karantina dilakukan terhadap OTG untuk mewaspadai munculnya gejala sesuai definisi operasional. Lokasi karantina dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat. Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat digunakan untuk observasi harus diidentifikasi dan dievaluasi sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan masyarakat.
Setiap akan melakukan karantina maka harus mengkomunikasikan dan mensosialisasikan tindakan yang akan dilakukan dengan benar, untuk mengurangi kepanikan dan meningkatkan kepatuhan:
a. Masyarakat harus diberikan pedoman yang jelas, transparan, konsisten, dan terkini serta diberikan informasi yang dapat dipercaya tentang tindakan karantina;
b. Keterlibatan masyarakat sangat penting jika tindakan karantina harus dilakukan;
c. Orang yang di karantina perlu diberi perawatan kesehatan, dukungan sosial dan psikososial, serta kebutuhan dasar termasuk makanan, air dan kebutuhan pokok lainnya. Kebutuhan populasi rentan harus diprioritaskan;
d. Faktor budaya, geografis dan ekonomi mempengaruhi efektivitas karantina. Penilaian cepat terhadap faktor lokal harus dianalisis, baik berupa faktor pendorong keberhasilan maupun penghambat proses karantina.
Pada pelaksanaan karantina harus memastikan hal-hal sebagai berikut:
1. Tata cara dan perlengkapan selama masa karantina
Tatacara karantina meliputi:
a. Orang-orang ditempatkan di ruang dengan ventilasi cukup serta kamar single yang luas yang dilengkapi dengan toilet. jika kamar single tidak tersedia pertahankan jarak minimal 1 meter dari penghuni rumah lain. meminimalkan penggunaan ruang bersama dan penggunaan peralatan makan bersama, serta memastikan bahwa ruang bersama (dapur, kamar mandi) memiliki ventilasi yang baik.
b. pengendalian infeksi lingkungan yang sesuai, seperti ventilasi udara yang memadai, sistem penyaringan dan pengelolaan limbah
c. pembatasan jarak sosial (lebih dari 1 meter) terhadap orang-orang yang di karantina;
x. xxxxxxxxx dengan tingkat kenyamanan yang sesuai termasuk:
• penyediaan makanan, air dan kebersihan;
• perlindungan barang bawaan;
• perawatan medis;
• komunikasi dalam bahasa yang mudah dipahami mengenai: hak-hak mereka; ketentuan yang akan disediakan; berapa lama mereka harus tinggal; apa yang akan terjadi jika mereka sakit; informasi kontak kedutaan
e. bantuan bagi para pelaku perjalanan
f. bantuan komunikasi dengan anggota keluarga;
g. jika memungkinkan, akses internet, berita dan hiburan;
h. dukungan psikososial; dan
i. pertimbangan khusus untuk individu yang lebih tua dan individu dengan kondisi komorbid, karena berisiko terhadap risiko keparahan penyakit COVID-19.
2. Tindakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Minimal
Berikut langkah-langkah pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus digunakan untuk memastikan lingkungan aman digunakan sebagai tempat karantina
a. Deteksi dini dan pengendalian
- Setiap orang yang dikarantina dan mengalami demam atau gejala sakit pernapasan lainnya harus diperlakukan sebagai suspect COVID-19;
- Terapkan tindakan pencegahan standar untuk semua orang dan petugas:
• Cuci tangan sesering mungkin, terutama setelah kontak dengan saluran pernapasan, sebelum makan, dan setelah menggunakan toilet. Cuci tangan dapat dilkukan dengan sabun dan air atau dengan hand sanitizer yang mengandung alkohol. Peggunaan hand sanitizer yang mengandung alkohol lebih disarankan jika tangan tidak terlihat kotor. Bila tangan terlihat kotor, cucilah tangan menggunakan sabun dan air
• Pastikan semua orang yang diobservasi menerapkan etika batuk
• Sebaiknya jangan menyentuh mulut dan hidung;
- Masker tidak diperlukan untuk orang yang tidak bergejala. Tidak ada bukti bahwa menggunakan masker jenis apapun dapat melindungi orang yang tidak sakit.
b. Pengendalian administratif
Pengendalian administratif meliputi:
- Pembangunan infrastruktur PPI yang berkelanjutan (desain fasilitas) dan kegiatan;
- Memberikan edukasi pada orang yang diobservasi tentang PPI; semua petugas yang bekerja perlu dilatih tentang tindakan pencegahan standar sebelum pengendalian karantina dilaksanakan. Saran yang sama tentang tindakan pencegahan standar harus diberikan kepada semua orang pada saat kedatangan. Petugas dan orang yang diobservasi harus memahami pentingnya segera mencari pengobatan jika mengalami gejala;
- Membuat kebijakan tentang pengenalan awal dan rujukan dari kasus COVID- 19.
c. Pengendalian Lingkungan
Prosedur pembersihan dan disinfeksi lingkungan harus diikuti dengan benar dan konsisten. Petugas kebersihan perlu diedukasi dan dilindungi dari infeksi COVID- 19 dan petugas kebebersihan harus memastikan bahwa permukaan lingkungan dibersihkan secara teratur selama periode observasi:
- Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering disentuh seperti meja, rangka tempat tidur, dan perabotan kamar tidur lainnya setiap hari dengan disinfektan rumah tangga yang mengandung larutan pemutih encer (pemutih 1 bagian