RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 68/PUU-XVIII/2020
RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 68/PUU-XVIII/2020
“Perbedaan Tafsir Konstitusional Terkait Usia Pensiun Pegawai PT. PLN (Persero)”
I. PEMOHON
1. Xxx Xxxxxxxx (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);
2. Xxxxxxx (selanjutnya disebut sebagai Pemohon II). (selanjutnya disebut sebagai para Pemohon).
Bertindak secara perorangan dan/atau dalam jabatannya selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (Pengurus SP PLN Indonesia) dan oleh karenanya bertindak untuk dan atas nama Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia).
II. OBJEK PERMOHONAN
Pengujian materiil Pasal 154 huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
III. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Pemohon menjelaskan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menguji Undang-Undang adalah:
1. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945;
2. Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”;
3. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal undang- undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
4. Bahwa objek pengujian adalah Pasal 154 huruf c Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU 13/2003), maka Mahkamah berwenang untuk menguji permohonan a quo.
IV. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON (LEGAL STANDING)
1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK:
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
(a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang-undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga Negara.”;
2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-V/2007 dimana kemudian putusan-putusan tersebut ditegaskan dalam putusan-putusan berikutnya, parameter kerugian konstitusional telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun parameter tersebut adalah sebagai berikut:
a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
c. kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi.
d. adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya Undang- Undang yang dimohonkan untuk diuji.
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.;
3. Bahwa para Pemohon adalah perorangan Warga Negara Indonesia (WNI) dan juga tercatat sebagai pegawai pada PT. PLN (Persero) sejak tahun 2002 dan peserta Jaminan Pensiun pada BPJS Ketenagakerjaan;
4. Bahwa para Pemohon selain sebagai pegawai juga merupakan pengurus pada Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (selanjutnya disebut sebagai SP PLN Indonesia) yang tercatat pada Instansi Dinas Tenaga Kerja Kota Palembang Nomor 330/Disnaker/2019 tanggal 9 Januari 2019 serta diakui secara resmi oleh PT. PLN (Persero) sebagaimana surat Executive Vice President Human Capital Management System PT. PLN (Persero) Nomor 0307/SDM.06.01/DIVHCMS/2019 tanggal 12 Februari 2019 perihal Pemberitahuan;
5. Bahwa pengesahan Pemohon I sebagai Ketua Umum SP PLN Indonesia didasarkan pada Hasil Musyawarah Pembentukan Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (Pembentukan SP PLN Indonesia) Nomor 09/BA/PEMBENTUKAN/SP-PLN-INDONESIA/2018 tentang Penetapan Ketua Umum Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia) dan Keputusan Musyawarah Pembentukan Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia) Nomor 08/KEP/ PEMBENTUKAN/SP-PLN-INDONESIA/2018 tentang Pengesahan dan Penetapan Ketua Umum Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia);
6. Bahwa pengesahan Xxxxxxx XX sebagai Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia) berdasarkan Keputusan Ketua Umum Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia) Nomor KEP.002.002/KETUM/SP-PLN-INDONESIA/II/2019 tanggal 22 Februari 2019;
7. Bahwa berdasarkan Pasal 8 huruf b Anggaran Dasar Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (AD SP PLN Indonesia) menyatakan “Serikat
Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (SP PLN Indonesia) berfungsi mewakili organisasi dan anggotanya baik di dalam maupun di luar Pengadilan”;
8. Bahwa berdasarkan Pasal 14 angka (1) dan angka (2) Anggaran Dasar Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia (AD SP PLN Indonesia) menyatakan:
1) Anggota Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia terdiri dari Anggota Biasa dan Anggota Luar Biasa;
2) Anggota Biasa Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia adalah seluruh pegawai PT. PLN yang mendaftarkan diri menjadi anggota Anggota Serikat Pekerja PT. PLN (Persero) Indonesia;
9. Bahwa berdasarkan Anggaran Rumah Tangga Serikat PT. PLN (Persero) Indonesia (XXX XX PLN Indonesia) Pasal 6 huruf f yaitu:
(f). “Anggota berhak memperoleh perlindungan dan pembelaan dari organisasi dalam menghadapi persoalan ketenagakerjaan yang menyangkut diri anggota bersangkutan baik secara perorangan atau kelompok.”
10. Bahwa para Pemohon mendalilkan berdasarkan Pasal 51 UU MK memiliki kerugian konstitusional dan berhak mengajukan permohonan pengujian UU 13/2003. Menurut para Pemohon, pemberlakuan pasal undang-undang a quo telah mengakibatkan kerugian konstitusional para Pemohon, dikarenakan bunyi frasa “perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama” di dalam ketentuan pasal undang-undang a quo, yang mengatur tentang usia pensiun para Pemohon dan seluruh anggota para Pemohon, menimbulkan perbedaan penafsiran (multitafsir) dalam menentukan usia pensiun para Pemohon dan seluruh anggota para Pemohon;
11. Bahwa karena timbulnya perbedaan penafsiran (multitafsir) dalam menentukan usia pensiun para Pemohon dan seluruh anggota para Pemohon, maka hilangnya kepastian hukum serta perlakuan yang adil dan layak terhadap diri para Pemohon dan seluruh anggota para Pemohon.
V. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN DAN NORMA UUD 1945
A. NORMA YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN
• UU 13/2003:
1. Pasal 154 huruf c:
“Penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
(c). Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.”
B. NORMA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
1. Pasal 28D ayat (1):
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
2. Pasal 28D ayat (2):
“Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.”
VI. ALASAN PERMOHONAN
1. Bahwa para Pemohon dan seluruh anggota biasa adalah pegawai pada PT. PLN (Persero), selain sebagai pegawai, para Pemohon dan seluruh anggota biasa para Pemohon juga terdaftar sebagai Peserta Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan, sehingga para Pemohon dan seluruh anggota biasa para Pemohon selain tunduk pada UU 13/2003 juga secara mutatis mutandis tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU 24/2011);
2. Bahwa isi dari Pasal 154 huruf c UU 13/2003 adalah,
“Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
(c). Pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
3. Bahwa Pasal 154 huruf c UU 13/2003, menimbulkan multi tafsir dalam menentukan usia pensiun bagi pekerja/buruh dalam suatu perusahaan, dimana pengusaha dapat menafsirkan usia pensiun pekerja/buruh tersebut sesuai dengan keinginan dan kehendak dari pengusaha itu sendiri. Hal tersebut menimbulkan keresahan dan ketidakpastian hukum bagi pekerja/buruh, hal tersebut terjadi karena terdapat perbedaan batasan usia pensiun yang termaktub di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan;
4. Bahwa hal tersebut juga diatur berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) 2010-2012 beserta perubahannya antara serikat pekerja PT. PLN (Persero) dengan PT. PLN (Persero), usia pensiun seorang pekerja terdapat perbedaan aturan antara pekerja satu dengan pekerja yang lainnya dalam 1 (satu) perusahaan yang sama, yaitu sebagian pekerja pensiun di usia 46 tahun dan sebagian lagi pensiun di usia 56 tahun, hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 15 Surat Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 1337.K/DIR/2011 tentang Perubahan atas Keputusan Direksi PT. PLN (Persero) Nomor 379.K/DIR/2010 tentang Human Capital Management System, sedangkan berdasarkan UU 40/2004 pada Pasal 39 secara jelas menyebutkan “Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan perundang- undangan”, serta mengenai usia pensiun secara tegas tertuang di dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun yang merupakan Petunjuk Pelaksanaan Pasal 41 ayat (8) dan Pasal 42 ayat (2) UU 40/2004, yang menyatakan:
Pasal 15 ayat (1): untuk pertama kali usia pensiun ditetapkan 56 (lima puluh enam) tahun;
ayat (2): mulai 1 Januari 2019, usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi 57 (lima puluh tujuh) tahun; dan
ayat (3): usia pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya bertambah 1 (satu) tahun untuk setiap 3 (tiga) tahun berikutnya sampai mencapai usia pensiun 65 tahun (enam puluh lima) tahun.
5. Bahwa karena terdapat perbedaan usia pensiun pegawai PT. PLN (Persero) yang termaktub di dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Tahun 2010-2012 PT. PLN (Persero), surat Keputusan Direksi PT. PLN (Persero), dan peraturan perundang-undangan, sehingga hal ini menimbulkan diskriminasi terhadap usia pensiun di antara para pegawai.
VII. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 154 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 154 huruf c Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sepanjang frasa “perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama” dihapuskan atau tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya;
Atau,
Jika Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).