Contract
KAJIAN TATAKELOLA
2022
KAJIAN ANALISIS KERENTANAN KORUPSI PADA RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DENGAN METODE CORRUPTION RISK ASSESSMENT (CRA)
XXX.XX.XX
KAJIAN ANALISIS KERENTANAN KORUPSI PADA RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DENGAN METODE CORRUPTION RISK ASSESSMENT (CRA)
LAPORAN KAJIAN ANALISIS KERENTANAN KORUPSI PADA RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DENGAN METODE CORRUPTION RISK ASSESSMENT (CRA)
Diterbitkan oleh:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Penyusun:
Syahdu Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxx Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx
Xxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx Xxx Xxxxxxxxxxx
Xxxxx Xxxxxx
Xxxxxx Xxxxx Xxxxxx
Pendukung:
Xxxxx Xxxxxxx
Supervisi:
Xxxxx Xxxxxxx
Penanggungjawab:
Xxxxx Xxxxx Xxxxxx
PERNYATAAN
KAJIAN ANALISIS KERENTANAN KORUPSI PADA RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH DENGAN METODE CORRUPTION RISK ASSESSMENT (CRA).
Laporan Hasil Kajian ini merupakan produk Direktorat Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sifat distribusi dan pemanfaatan laporan terbatas pada internal KPK dan instansi terkait. Dilarang menggandakan dan mengedarkan laporan ini tanpa izin dari KPK.
Direktur Monitoring
Kasatgas
/
Salinan
Daftar Istilah
BMP : Bobot Manfaat Perusahaan
CRA : Corruption Risk Assessment
E-Purchasing : Pembelian secara Elektronik / tata cara pembelian barang/jasa rnelalui sistem katalog elektronik.
HPS : Harga Perkiraan Sendiri / perkiraan harga barang/jasa yang ditetapkan oleh PPK.
KPA : Kuasa Pengguna Anggaran / pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/ Lembaga yang bersangkutan.
LKPP : Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
PA : Pengguna Anggaran / pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian Negara/Lembaga
/Perangkat Daerah.
Preferensi Harga : merupakan insentif bagi produk dalam negeri pada
pemilihan Penyedia berupa kelebihan harga yang dapat diterima.
PBJ : Pengadaan Barang Jasa
PBJP : Pengadaan Barang Jasa Pemerintah
Pelaku Usaha : badan usaha atau perseorangan yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
REPEAT ORDER : permintaan berulang untuk Penyedia yang sama.
SIKaP : Sistem Informasi Kinerja Penyedia (SIKaP) merupakan aplikasi database penyedia seluruh Indonesia dalam memenuhi pengadaan barang dan jasa pemerintah.
SPSE : SPSE (Sistem Pengadaan Secara Elektronik) merupakan aplikasi e-Procurement yang dikembangkan oleh Direktorat Pengembangan Sistem Pengadaan Secara Elektronik - LKPP untuk digunakan oleh Layanan Pengadaan Secara Elektronik di seluruh K/L/PD.
Toko Daring : sistem informasi yang memfasilitasi Pengadaan Barang/Jasa melalui penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik dan ritel daring.
TKDN : Tingkat Kandungan Dalam Negeri
Daftar Isi
BAB III. Hasil Analisis dan Rekomendasi 5
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan 15
Lampiran 2. Matriks CRA Regulasi 17
Ringkasan Eksekutif
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian atas regulasi Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan metode Corruption Risk Assessment (CRA) terhadap Regulasi Perpres PBJP yang menjadi objek kajian adalah :
1. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3. Draft Rancangan Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dari Direktorat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum (Dit. PSKPU) tertanggal 25 Juli 2022
CRA adalah instrumen pencegahan korupsi yang secara sistematis menganalisis dan menilai faktor-faktor penyebab korupsi dalam regulasi yang telah ada dan/atau masih dalam bentuk rancangan. Kajian ini meliputi 4 aspek, yaitu:
1. Kepatuhan, terdiri dari 3 kriteria, yakni beban kepatuhan, kecukupan peraturan disiplin dan perlakuan istimewa
2. Pelaksanaan, terdiri dari 3 kriteria, yaitu dasar pengambilan keputusan yang objektif, pemberian tugas pada pihak lain dan risiko salah alokasi bantuan pemerintah
3. Administrasi, terdiri dari 3 kriteria, yaitu aksesibilitas, transparansi dan kejelasan layanan publik
4. Pengendalian Korupsi, terdiri dari 2 kriteria, yaitu konflik kepentingan dan keandalan mekanisme anti korupsi
Permasalahan yang ditemukan dalam regulasi PBJP pada aspek CRA meliputi isu sebagai berikut:
1. Aspek Kepatuhan
a. Surat/Bukti Pesanan sebagai Kontrak Tidak Memuat Syarat dan Ketentuan yang Memadai (Pasal 28)
b. Potensi Terjadinya Korupsi karena Kriteria Kewajiban, Preferensi Harga dan Pengecualian Penggunaan Barang/Jasa TKDN Belum Memadai (Pasal 66 dan Pasal 67)
c. Tidak adanya sanksi bagi penyedia yang menjual produk di katalog elektronik lebih mahal daripada di tempat lain (Pasal 80)
d. Terdapat Penyedia yang Terindikasi Melakukan Korupsi tidak Masuk dalam Daftar Hitam Sistem Pengadaan Nasional (Pasal 9)
e. Penyebutan Merek untuk E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN Berpotensi Menimbulkan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (Pasal 19 Ayat (2) dan (2a))
2. Aspek Pelaksanaan
a. Pengaturan Pengecualian Kewajiban pada E-Purchasing Belum Memadai (Pasal 50)
b. Pengaturan Kriteria Repeat Order Belum Memadai untuk Mencegah Terjadinya Fraud (Pasal 38 ayat 5)
c. Kelemahan Sistem Sikap
3. Aspek Administrasi
a. Kelemahan Sistem Sikap
Untuk mengatasi permasalahan tersebut di atas, direkomendasikan perubahan regulasi yang memuat sejumlah ketentuan untuk menutup celah terjadinya korupsi tersebut, antara lain:
1. Pembatasan penggunaan Surat/Bukti Pesanan untuk PBJ sederhana dan dengan nilai yang dibatasi serta Penyedia wajib mencantumkan harga produk sebagai harga terbaik, dan mengatur sanksi bagi penyedia yang menjual harga lebih mahal dibandingkan tempat lain.
2. Menambahkan klausul penetapan Sanksi Daftar Hitam oleh LKPP untuk penyedia yang pengurusnya menjadi tersangka kasus korupsi dalam PBJ.
3. Menambahkan klausul kriteria RO berupa Metode pemilihan pada pekerjaan pertama melalui tender/seleksi; mengatur secara jelas terkait pekerjaan sejenis/serupa; batasan jeda waktu maksimal 6 bulan untuk pelaksanaan RO setelah pekerjaan selesai; batasan nilai pekerjaan (harga satuan) tidak lebih mahal dari pekerjaan sebelumnya
4. Penambahan klausul “atau yang setara/ekuivalen” dalam penyebutan merek dalam metode pengadaan melalui E-Purchasing, Tender Cepat dan Pemilihan Barang/Jasa TKDN sehingga tidak menutup kemungkinan atau peluang adanya produk alternatif yang memenuhi kebutuhan.
5. Penerapan kewajiban pembelian barang yang mengandung TKDN diarahkan pada barang yang sudah memiliki pangsa pasar/menunjukan nilai kompetitif; Preferensi harga barang dan konstruksi TKDN berlaku untuk semua metode pengadaan dengan nilai pengadaan yang mempersyaratkan HPS; Menghilangkan klausul pengecualian pada kewajiban penggunaan barang TKDN terkait informasi barang yang belum diproduksi di dalam negeri dan volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dari Menteri Perindustrian.
6. Menjadikan penilaian kinerja penyedia dalam SIKAP sebagai syarat wajib untuk mengikuti pelaksanaan Tender Cepat dan Penunjukan langsung; Menampilkan informasi pemeringkatan (rating) dan penambahan fitur pemberian komentar deskriptif pada aplikasi SIKAP; Memperbaiki aspek kriteria dan skor penilaian kinerja agar tidak membuka peluang calon penyedia Barang/Jasa yang memiliki kinerja buruk dipilih kembali.
BAB I. Pendahuluan
Dalam rangka percepatan peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi untuk menyukseskan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Presiden Xxxx Xxxxxx memberikan Instruksi kepada seluruh jajaran pemerintahan yang salah satunya berisikan untuk menetapkan dan/mengubah kebijakan dan/peraturan perundangan untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri dan pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi.
Saat ini Perpres Nomor 16 Tahun 2028 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang ditetapkan pada tanggal 16 Maret 2018 telah mengalami revisi/perubahan pertama sebagaimana Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 16 Tahun 2018 yang didalamnya sudah menyesuaikan tentang pengaturan penggunaan produk/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta koperasi yang mewajibkan Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah menggunakan produk usaha kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dan pengaturan pengerjaan jasa konstruksi
Adapun sektor sektor yang perlu didorong untuk tercapainya Instruksi presiden sehubungan dengan dilakukannya Revisi Perpres PBJ kedua dimaksud, antara lain mengenai Penguatan penggunaan Katalog Elektronik dan Toko Daring untuk penggunaan Produk Dalam Negeri dan Produk Usaha Mikro dan Kecil, Mengakomodasi inovasi dalam Pengadaan Barang Jasa Pemerintah dan Percepatan proses pengadaan. Terdapat beberapa hal yang menjadi fokus terkait dengan Revisi Perpres PBJ antara lain : 1) Penyederhanaan Proses Bisnis Katalog, 2) Sanggah, Daftar Hitam, Pengaduan, 3) Persaingan Usaha Tidak sehat, 4) Kewajiban Sertifikasi PBJ untuk Auditor, dan 5) Inovasi PBJ.
Berdasarkan uraian singkat perihal tersebut diatas, maka dilakukan perubahan kedua Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Nomor 16 Tahun 2018 oleh Pemerintah, dalam hal ini Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang mempersiapkan Rancangan Perpres. KPK melalui Direktorat Monitoring bertugas melakukan kegiatan Kajian Analisis Kerentanan Korupsi pada Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan Metode Corruption Risk Assessment (CRA) untuk mengidentifikasi risiko korupsi dan memberikan saran perbaikan kepada Pemerintah dalam hal ini Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sehingga tujuan penggunaan produk dalam negeri dan produk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Koperasi dapat tercapai. Diharapkan saran KPK terkait pencegahan potensi korupsi pada regulasi PBJ menjadi perhatian Pemerintah untuk ditindaklanjuti melalui perbaikan regulasi yang diperlukan.
BAB II. Gambaran Umum
Regulasi yang menjadi objek kajian dengan metode CRA ini terdiri atas 2 (dua) Perpres dan 1 (satu) Rancangan Perpres sebagai berikut:
1. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
2. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
3. Draft Rancangan Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dari Direktorat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum (Dit. PSKPU) tertanggal 25 Juli 2022
CRA adalah instrumen pencegahan korupsi yang secara sistematis menganalisis dan menilai faktor-faktor penyebab korupsi dalam regulasi yang telah ada dan/atau masih dalam bentuk rancangan1. Metode ini digunakan untuk mencapai beberapa tujuan, yakni:
1. Untuk mencegah terjadinya korupsi dengan terlebih dahulu menghilangkan peraturan yang memiliki celah perbuatan korup, misalnya peraturan yang tidak jelas, tidak memberikan kepastian, standar-standarnya tidak realistis, dan lain-lain
2. Untuk meletakkan fondasi bagi implementasi kebijakan anti-korupsi yang efisien dengan menganalisis dan menilai penyebab mendasar korupsi pada peraturan
3. Untuk meningkatkan keandalan dan kepastian kebijakan anti-korupsi dengan merasionalisasi kriteria penilaian dan meningkatkan transparansi prosedur administrasi dalam menyusun dan menegakkan hukum dan peraturan
Selain tujuan di atas, CRA (melalui penghilangan faktor penyebab korupsi dalam sebuah peraturan) bermanfaat mencegah biaya ekonomi dan sosial yang diakibatkan korupsi dan meningkatkan transparansi implementasi kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai perspektif pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan.
CRA dilakukan dengan menilai sebuah regulasi melalui beberapa aspek dan kriteria yang telah ditentukan. Aspek dan kriteria ini dipilih sebagai faktor-faktor yang dianggap dapat menjadi peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk melakukan korupsi. Aspek penilaian risiko korupsi dalam CRA terdiri dari :
1. Aspek Kepatuhan, yang terdiri atas 3 kriteria sebagai berikut:
a. Beban kepatuhan
Kriteria ini menentukan apakah beban kepatuhan (misalnya biaya, persyaratan atau kewajiban yang dibebankan pada publik, perusahaan, atau organisasi) adalah rasional dan tidak berlebihan jika dibandingkan dengan peraturan yang serupa.
b. Kecukupan peraturan disiplin
Kriteria ini menentukan apakah tingkat sanksi atas pelanggaran hukum cukup memadai dan juga tidak berlebihan dibandingkan dengan undang-undang sejenis.
c. Perlakuan istimewa
Kriteria ini menentukan apakah dalam peraturan terdapat perlakuan istimewa atau manfaat khusus yang diberikan untuk perusahaan, organisasi, atau orang tertentu.
1 Pedoman CRA, Direktorat Litbang KPK, 2020
2. Aspek Pelaksanaan, terdiri atas 3 kriteria sebagai berikut:
a. Dasar pengambilan keputusan yang objektif
Kriteria ini menentukan apakah peraturan yang mengandung diskresi telah dinyatakan dengan cara yang jelas, pasti, konkret, dan objektif (mis. Undang-undang telah menetapkan, siapa yang memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, ruang lingkup kewenangan tersebut, standar dan prosedur untuk melaksanakan kewenangan tersebut, dan lain-lain). Kriteria ini juga menentukan apakah ada mekanisme kontrol untuk mencegah penggunaan diskresi yang berlebihan.
b. Transparansi dan akuntabilitas dalam pemberian tugas pada pihak lain
Kriteria ini menentukan apakah pemberian kepercayaan dari pemerintah kepada pihak lain telah diatur dengan jelas (apakah ruang lingkup, batasan, prosedur pemilihannya, dan lain-lain telah didefinisikan dengan jelas dan dinyatakan dalam peraturan). Kriteria ini juga menentukan apakah telah tersedia mekanisme untuk memastikan akuntabilitas dalam proses yang dilakukan pihak yang telah diberi tugas atau yang telah diberi wewenang
c. Risiko salah alokasi atau penyalahgunaan bantuan pemerintah
Kriteria ini menentukan apakah ada redundansi dalam bantuan keuangan. Kriteria ini juga menilai risiko pemborosan anggaran akibat standar yang tidak jelas dalam bantuan keuangan; dan apakah ada mekanisme pemantauan untuk mencegah pemborosan/kebocoran anggaran
3. Aspek Administrasi, terdiri atas 3 kriteria sebagai berikut:
a. Aksesibilitas
Kriteria ini menentukan apakah tersedia ruang/akses yang memadai bagi para pemangku kepentingan yang terkait dengan sebuah peraturan, termasuk bagi publik, perusahaan, dan organisasi untuk berpartisipasi dalam prosedur administrasi (misalnya pembuatan kebijakan dan pengajuan keberatan).
b. Keterbukaan
Kriteria ini menentukan apakah informasi tentang proses administrasi (misalnya dokumen yang diperlukan, prosedur penanganan, dan lainnya) telah diinformasikan dengan memadai kepada para pemangku kepentingan dan publik.
c. Kejelasan dalam penyelenggaraan layanan publik dan proses administrasi
Kriteria ini menentukan apakah pemohon/pengguna layanan dapat dengan mudah memahami prosedur administrasi, dapat dengan mudah mempersiapkan dokumen atau persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh layanan dan dapat dengan mudah memperoleh kejelasan tentang proses administrasi (jumlah hari layanan, tahapan layanan, dan tracking layanan)
4. Aspek Pengendalian Korupsi, terdiri atas 2 kriteria sebagai berikut:
a. Konflik kepentingan
Kriteria ini untuk menentukan apakah ada standar, prosedur, atau mekanisme untuk mencegah situasi konflik kepentingan (yaitu kepentingan pribadi yang berdampak pada proses administrasi publik).
b. Keandalan mekanisme anti korupsi
Kriteria ini untuk menentukan apakah diperlukan penyusunan mekanisme kontrol terhadap korupsi atau penerapan regulasi anti-korupsi untuk mencegah risiko korupsi yang diakibatkan oleh penerapan undang-undang dan peraturan lainnya.
Dalam pelaksanaan kajian, dilakukan wawancara/diskusi dengan Kementerian/Lembaga dan ahli/pakar untuk mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh. Kementerian/Lembaga yang diwawancarai adalah LKPP, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), UKP PBJ KPK. Kemudian, ahli/pakar yang diminta masukannya memiliki kompetensi beraneka ragam diantaranya: bidang hukum dan pengadaan barang/jasa.
BAB III. Hasil Analisis dan Rekomendasi
Analisis regulasi Revisi Perpres PBJ dengan menggunakan metode CRA pada Draft Perpres PBJ meliputi isu sebagai berikut:
1. Permasalahan Pada Proses Bisnis Katalog Elektronik
a. Surat/Bukti Pesanan sebagai Kontrak Tidak Memuat Syarat dan Ketentuan yang Memadai (Pasal 28)
Penggunaan surat/bukti pesanan sebagai bentuk kontrak pada PBJ melalui e- Purchasing berpotensi menimbulkan permasalahan ketidakjelasan dalam pelaksanaan kontrak yang dapat merugikan salah satu pihak karena tidak semua syarat dan ketentuan tercantum dalam surat/bukti pesanan. Misalnya, kontrak pembelian alat kesehatan teknologi canggih yang disertai dengan pelatihan dan garansi berpotensi masalah dikemudian hari jika hanya menggunakan surat/bukti pesanan. Klaim pelatihan dan garansi akan sulit diminta ke penyedia karena tidak tercantum dalam surat/bukti pesanan.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek kepatuhan pada kriteria rasionalitas beban kepatuhan.
Rekomendasi
Klausul penggunaan surat/bukti pesanan sebagai bentuk kontrak dalam e-purchasing
dibatasi pada:
1. Pembelian/pembayaran barang dan jasa sederhana (contoh: barang habis pakai, konsumsi dan lainnya);
2. Nilai rupiah dibatasi pada nominal tertentu.
b. Pengaturan Pengecualian Kewajiban pada E-Purchasing Belum Memadai (Pasal 50) Ketentuan pengecualian kewajiban pengadaan dengan metode e-Purchasing
berpotensi menimbulkan permasalahan teknis dalam pelaksanaannya, yaitu bukti apa yang perlu didapatkan oleh PPK atau pejabat pengadaan pada masing-masing ketentuan huruf a. hingga g. sehingga gugur kewajiban pengadaan melalui e- Purchasing. Jika hal ini tidak diatur atau tidak distandarkan, ketentuan pengecualian kewajiban pelaksanaan e-Purchasing dapat dilaksanakan berbeda-beda di lapangan dan bisa menjadi alasan untuk menghindari pelaksanaan e-Purchasing. Contoh, pada ketentuan huruf d. semua Pelaku Usaha dalam Katalog Elektronik atau Toko Daring yang menjual barang/jasa yang dibutuhkan tidak menanggapi pesanan, dapat dipahami berbeda-beda dalam hal jangka waktu tunggu menanggapi pesanan. Apakah
1 (satu) hari, 1 pekan atau jangka waktu lain sehingga penyedia dinyatakan tidak menanggapi pesanan.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek pelaksanaan pada kriteria dasar pengambilan keputusan objektif (diskresi).
Rekomendasi
Perlu ditambahkan pengaturan mengenai ketentuan pengecualian kewajiban pelaksanaan e-Purchasing yang lebih detil, diantaranya:
1. Keterangan tertulis dari penyedia di katalog elektronik;
2. Jangka waktu yang disediakan untuk penyedia merespon pemesanan;
3. Tangkapan layar halaman produk di katalog elektronik pada saat proses pengadaan.
c. Tidak adanya sanksi bagi penyedia yang menjual produk di katalog elektronik lebih mahal daripada di tempat lain (Pasal 80)
Dengan dihapusnya Pasal 72 ayat (4), telah terjadi penyederhanaan proses produk barang dan jasa masuk ke dalam Katalog Elektronik. Penyedia diberi kebebasan untuk mencantumkan harga tayang di Katalog Elektronik tanpa membutuhkan persetujuan Pokja LKPP dan Kementerian/Lembaga teknis. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan harga barang dan jasa di Katalog Elektronik bukan merupakan harga terbaik (lebih mahal). Di sisi lain, telah muncul rencana ketentuan kewajiban pelaksanaan e-Purchasing jika barang telah tersedia di Katalog Elektronik maupun Toko Daring. Akibat dari permasalahan ini, instansi Pemerintah dapat mengalami pemborosan dalam PBJ.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek kepatuhan pada kriteria kecukupan peraturan disiplin
Rekomendasi
Perlu ditambahkan ketentuan:
1. Penyedia wajib mencantumkan harga produk di Katalog Elektronik sebagai harga terbaik;
2. Mengatur sanksi bagi penyedia bila menjual barang di Katalog Elektronik lebih mahal dibanding menjual di tempat lain.
2. Terdapat Penyedia yang Terindikasi Melakukan Korupsi tidak Masuk dalam Daftar Hitam Sistem Pengadaan Nasional (Pasal 9)
Perpres No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pasal 78 mengatur penetapan sanksi daftar hitam oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) atas usulan Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan atau Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah melalui proses pengusulan, pemberitahuan, keberatan, permintaan rekomendasi, pemeriksaan usulan, dan penetapan. Namun, sejumlah penyedia yang terlibat korupsi tidak masuk dalam daftar hitam Sistem Pengadaan Nasional (xxxxxxx.xx). Contohnya Kasus Korupsi PT. Mandala Hamonangan Sude dan PT. Pertani (Persero) sebagai penyedia dalam Pengadaan Bantuan Sosial Sembako Dalam Penanganan Dampak Covid-19 di Kementerian Sosial Tahun 2020 yang terbukti melakukan suap kepada Menteri Sosial tidak masuk dalam daftar hitam di laman xxxxxxx.xx. Hal ini terjadi karena kasus korupsi tersebut juga melibatkan PA, KPA, PPK dan Pejabat Pengadaan lainnya dan tidak ada pengaturan penetapan daftar hitam penyedia selain oleh PA/KPA. Akibatnya tidak adanya efek jera karena penyedia yang terindikasi melakukan korupsi masih dapat mengikuti proses PBJ lainnya.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek kepatuhan pada kriteria kecukupan peraturan disiplin.
Rekomendasi
Menambahkan klausul penetapan Sanksi Daftar Hitam oleh LKPP untuk penyedia yang pengurusnya menjadi tersangka kasus korupsi dalam PBJ.
3. Pengaturan Kriteria Repeat Order Belum Memadai untuk Mencegah Terjadinya Fraud (Pasal 38 ayat 5)
Dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Repeat Order (RO) masuk dalam cakupan pelaksanaan penunjukan langsung. Adapun dalam aturan sebelumnya, RO hanya diperbolehkan untuk pengadaan jasa konsultansi. Dalam draft revisi perpres, RO akan diperluas untuk pengadaan barang dan konstruksi. Penunjukkan langsung merupakan PBJ tanpa kompetisi yang sangat rawan untuk terjadinya penyimpangan/korupsi berupa konflik kepentingan, gratifikasi dan suap sehingga perlu diatur kriteria dan persyaratannya untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan tersebut Adapun draft revisi perpres saat ini baru mengatur pembatasan RO berupa frekuensi pengulangan (1 s.d 2 kali) dengan batasan nilai pekerjaan tertentu.
Draft revisi perpres belum cukup memuat klausul penting lainnya terkait kriteria pekerjaan dan kinerja penyedia yang dapat dilakukan RO untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan. Hal ini berpotensi mengakibatkan subjektivitas dan konflik kepentingan yang besar dalam proses penunjukkan penyedia, sehingga membuka celah terjadinya fraud/KKN dan kerugian negara karena terpilihnya penyedia yang tidak kompeten serta barang/jasa yang harganya tidak kompetitif.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek pelaksanaan pada kriteria dasar pengambilan keputusan yang objektif.
Rekomendasi
1. Memasukkan tambahan klausul kriteria RO berupa:
a. Metode pemilihan penyedia pada pekerjaan pertama melalui tender/seleksi;
b. Kriteria pekerjaan (mengatur yang jelas terkait pengertian pekerjaan sejenis/serupa);
c. Kriteria penyedia (mengatur syarat kinerja minimal baik dengan acuan referensi yang jelas);
d. Mengatur jeda waktu maksimal pelaksanaan RO paling lama 6 bulan setelah pekerjaan sebelumnya selesai; dan
e. Mengatur batasan nilai pekerjaan (harga satuan pekerjaan tidak lebih mahal dari pekerjaan sebelumnya dan membatasi nilai rupiah maksimal pada kriteria RO satu kali).
2. Mengamanatkan pengaturan tata cara RO dalam aturan turunan (Peraturan Lembaga). Poin-poin pengaturan kriteria dan tata cara RO Jasa Konsultansi dalam Surat Edaran LKPP No 3 Tahun 2022 dapat disempurnakan untuk barang dan konstruksi dan dinaikkan menjadi aturan yang lebih kuat untuk dapat dipedomani KLPD.
4. Penyebutan Merek untuk E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN Berpotensi Menimbulkan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (Pasal 19 Ayat
(2) dan (2a))
Berdasarkan Perpres 12 Tahun 2021 dan draft revisi Perpres, penyebutan merk diperbolehkan pada E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN dengan catatan minimal 2 merek untuk barang/jasa TKDN yang tersedia lebih dari satu. Tujuan dari diperbolehkannya penyebutan merek ini adalah untuk mempercepat proses dan memastikan ketepatan kegunaan barang misalnya dalam suku cadang atau komponen pelengkap.
Dengan diperbolehkannya penggunaan merek pada E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN membuka peluang terjadinya kecurangan, antara lain:
1. Potensi persaingan usaha tidak sehat
2. Potensi terjadinya suap/gratifikasi untuk dipilih merek tertentu
3. Potensi terjadinya persekongkolan antara penyedia dan pokja pemilihan untuk menentukan sejak awal pemilihan merek tersebut
Akibatnya, hal ini menimbulkan kerugian negara dan terpilihnya penyedia yang tidak kompeten serta barang/jasa yang harganya tidak kompetitif.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek kepatuhan pada kriteria pemberian perlakuan istimewa.
Rekomendasi
Penambahan klausul “atau yang setara/ekuivalen” dalam penyebutan merek dalam metode pengadaan melalui E-Purchasing, Tender Cepat dan Pemilihan Barang/Jasa TKDN sehingga tidak menutup kemungkinan atau peluang adanya produk alternatif yang memenuhi kebutuhan.
5. Potensi Terjadinya Korupsi karena Kriteria Kewajiban, Preferensi Harga dan Pengecualian Penggunaan Barang/Jasa TKDN Belum Memadai (Pasal 66 dan Pasal 67)
• Kewajiban penggunaan TKDN
Penerapan kewajiban pembelian barang/jasa TKDN yang diarahkan pada seluruh sektor berpotensi menimbulkan barang/jasa yang didapatkan oleh pemerintah bukan barang/jasa yang terbaik karena tidak semua barang/jasa TKDN sudah memiliki pangsa pasar/memiliki nilai kompetitif. Selain itu, hal ini mengakibatkan adanya barang/jasa TKDN yang diproduksi hanya diperuntukkan untuk pengadaan tertentu yang jenis dan fungsinya dapat digantikan oleh barang/jasa yang ada di pasar, sehingga tidak ada referensi harga pembanding untuk barang/jasa tersebut.
• Preferensi harga barang TKDN
Saat ini sudah terdapat preferensi harga untuk barang TKDN pada draft Perpres PBJ Pasal 67 dengan nilai 25%. Preferensi tersebut hanya digunakan untuk metode pengadaan dengan HPS di atas Rp 1 Miliar. Hal ini berpotensi mengakibatkan kemahalan harga pada pengadaan barang TKDN dengan HPS di bawah Rp 1 Miliar.
• Pengecualian kewajiban pembelian TKDN
Pengecualian kewajiban pembelian barang/jasa TKDN pada draft Perpres Pasal 66 ayat
(5) dapat dilaksanakan untuk barang yang belum diproduksi di dalam negeri dan volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan berdasarkan informasi dari Menteri Perindustrian. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya karena secara teknis akan menyulitkan dalam pengadaan. Misalnya, terdapat 3 instansi berbeda yang membutuhkan barang A masing-masing 50 buah di waktu yang bersamaan, sedangkan informasi dari Menteri Perindustrian barang tersebut hanya tersedia 100 buah. Tidak ada mekanisme yang jelas terkait instansi mana yang akan mendapatkan pengecualian terhadap pembelian barang A tersebut.
Hal ini tidak sesuai dengan aspek kepatuhan pada kriteria rasionalitas beban kepatuhan.
Rekomendasi
1. Penerapan kewajiban pembelian barang yang mengandung TKDN diarahkan pada barang yang sudah memiliki pangsa pasar/menunjukan nilai kompetitif;
2. Preferensi harga barang dan konstruksi TKDN berlaku untuk semua metode pengadaan dengan nilai pengadaan yang mempersyaratkan HPS;
3. Menghilangkan klausul pengecualian pada kewajiban penggunaan barang TKDN terkait informasi barang yang belum diproduksi di dalam negeri dan volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dari Menteri Perindustrian.
6. Kelemahan Sistem SIKAP
Terkait metode pengadaan Tender Cepat dan Penunjukan Langsung (salah satunya Repeat Order), dibutuhkan informasi terkait penilaian kinerja penyedia untuk menjamin kualitas penyedia dan hasil pekerjaan. Namun saat ini SIKAP belum menyediakan informasi handal yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pemilihan penyedia. Kelemahan tersebut meliputi:
1. Belum Seluruh Penyedia Barang/Jasa yang Memiliki Akun SPSE telah Mengisi Data Kualifikasi (Profile) pada Aplikasi SIKAP mengakibatkan Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah (K/L/PD) tidak dapat mendapatkan harga dan kualitas terbaik dari proses PBJ, baik melalui penunjukkan langsung secara elektronik atau melalui Tender Cepat.
2. Belum ditampilkannya pemeringkatan (rating) dan belum diakomodirnya pemberian komentar secara deskriptif oleh Pokja atau Pejabat Pengadaan kepada penyedia pada aplikasi SIKaP membuka peluang dipilihnya penyedia dengan rekam jejak berkinerja rendah.
3. Skala kriteria pada aspek penilaian kinerja dalam Peraturan LKPP No 4 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pelaku Usaha Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum cukup menunjukan penilaian yang objektif dan rasional. Contohnya tidak ada penilaian untuk penyedia dengan kinerja “buruk” dan skala penilaian kategori “baik” terlalu rendah (hanya mensyaratkan kualitas pekerjaan minimal 50% tidak memerlukan perbaikan). Hal ini berpotensi mengakibatkan dipilihnya penyedia yang tidak kompeten dalam pengadaan tender cepat dan penunjukkan langsung (repeat order).
Hal ini tidak sesuai dengan aspek pelaksanaan pada kriteria dasar pengambilan keputusan yang objektif dan aspek administrasi pada kriteria aksesibilitas.
Rekomendasi
1. Menjadikan penilaian kinerja penyedia dalam SIKAP sebagai syarat wajib untuk mengikuti pelaksanaan Tender Cepat dan Penunjukan langsung.
2. Menampilkan informasi pemeringkatan (rating) dan penambahan fitur pemberian komentar deskriptif pada aplikasi SIKAP untuk setiap pengadaan yang dikerjakan oleh setiap penyedia.
3. Memperbaiki aspek kriteria dan skor penilaian kinerja agar tidak membuka peluang calon penyedia Barang/Jasa yang memiliki kinerja buruk dipilih kembali.
7. Xxx Xxxx yang Perlu Menjadi Perhatian
Pada Peraturan Kepala LKPP No 9/ 2021 tentang Toko Daring dan Katalog Elektronik Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur pembelian melalui Katalog Elektronik dengan metode Negosiasi Harga, Mini-Kompetisi, dan Competitive Catalogue. Akibatnya, penggunaan metode tersebut memunculkan permasalahan kerentanan korupsi yang sama pada metode tender ataupun seleksi karena munculnya kontak-interaksi antara calon pembeli dan calon penyedia. Terlebih lagi, kontak-interaksi tersebut dilakukan di luar sistem dan tidak terdokumentasikan. Merujuk pada pembelian pada Toko
Daring/marketplace pada umumnya dimana pembelian dapat dilakukan secara langsung tanpa adanya kontak-interaksi calon pembeli dan calon penjual.
Rekomendasi
1. Dibuat ketentuan mengenai pencantuman harga satuan dan harga grosir suatu produk di Katalog Elektronik
2. Dibuat ketentuan larangan dan sanksi bagi calon pembeli dan calon penyedia yang melakukan kontak-interaksi di luar sistem Katalog Elektronik.
3. Menambahkan fitur harga grosir dan fitur komunikasi antara calon pembeli dan calon penyedia dalam sistem Katalog Elektronik.
BAB IV. Kesimpulan
Telah dilakukan rangkaian pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah lintas Instansi mulai dari Aparat Penegak Hukum, Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha serta lembaga lembaga berkepentingan lainnya yang bertujuan untuk melakukan mitigasi hal hal antara lain : 1) Prosedur dan Tindak lanjut pelaporan dari Masyarakat terkait dengan penyimpangan PBJP. 2) Pelaksanaan Audit untuk Kontrak Performance based Contract dan Supplied by Owner pada PBJ Pemerintah. 3) Pelaksanaan penayangan Daftar hitam bagi penyedia yang terkena sanksi akibat putusan pengadilan 4) Sertifikasi PBJ untuk Auditor dan 5) Permasalahan Persaingan Usaha tidak sehat pada PBJP
Pelaksanaan Revisi Peraturan Presiden tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada tahun 2022 ini, setelah diundangkan akan menjadikan Perpress ini memiliki makna yang sangat strategis untuk mendukung Kegiatan Persiapan, Pemindahan dan Pembangunan (P3) IKN yang membutuhkan biaya sebesar Rp466,98 triliun sebagaimana dalam Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2020 – 2024 dan beberapa proyek Strategis Nasional lainnya yang masih berproses serta proyek PBJP lainnya yang telah dianggarkan dalam APBN/APBD.
Kajian Analisis Kerentanan Korupsi pada Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dengan Metode CRA merupakan salah satu upaya mengidentifikasi risiko korupsi pada sektor PBJP dan memberikan saran perbaikan kepada Pemerintah, sehingga pelaksanaan kegiatan PBJP menjadi efektif, efisien, transparan, akuntabel, bebas korupsi.
CRA adalah instrumen pencegahan korupsi yang secara sistematis menganalisis dan menilai faktor-faktor penyebab korupsi dalam regulasi yang telah ada dan/atau masih dalam bentuk rancangan2. Metode ini digunakan untuk mencapai beberapa tujuan, yakni: mencegah terjadinya korupsi dengan terlebih dahulu menghilangkan peraturan yang memiliki celah perbuatan korup; meletakkan fondasi bagi implementasi kebijakan anti-korupsi yang efisien dengan menganalisis dan menilai penyebab mendasar korupsi pada peraturan: dan meningkatkan kehandalan dan kepastian kebijakan anti-korupsi dengan merasionalisasi kriteria penilaian dan meningkatkan transparansi prosedur administrasi dalam menyusun dan menegakkan hukum dan peraturan.
Regulasi Perpres PBJP yang menjadi objek kajian adalah Draft Rancangan Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dari Direktorat Pengembangan Strategi dan Kebijakan Pengadaan Umum (Dit. PSKPU) tertanggal 25 Juli 2022
2 Pedoman CRA, Direktorat Litbang KPK, 2020
Hasil analisis menunjukan masih ada beberapa permasalahan dalam Draft Rancangan Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang melanggar aspek-aspek yang CRA, diantaranya:
1. Permasalahan Pada Proses Bisnis Katalog Elektronik
2. Terdapat Penyedia yang Terindikasi Melakukan Korupsi tidak Masuk dalam Daftar Hitam Sistem Pengadaan Nasional (Pasal 9)
3. Pengaturan Kriteria Repeat Order Belum Memadai untuk Mencegah Terjadinya Fraud (Pasal 38 ayat 5)
4. Penyebutan Merek untuk E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN Berpotensi Menimbulkan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (Pasal 19 Ayat (2) dan (2a))
5. Potensi Terjadinya Korupsi karena Kriteria Kewajiban, Preferensi Harga dan Pengecualian Penggunaan Barang/Jasa TKDN Belum Memadai (Pasal 66 dan Pasal 67)
6. Kelemahan Sistem SIKAP
Untuk mengatasi hal-hal tersebut, direkomendasikan perubahan regulasi yang memuat sejumlah ketentuan untuk menutup celah terjadinya korupsi tersebut, antara lain:
7. Pembatasan penggunaan Surat/Bukti Pesanan untuk PBJ sederhana dan dengan nilai yang dibatasi serta Penyedia wajib mencantumkan harga produk sebagai harga terbaik, dan mengatur sanksi bagi penyedia yang menjual harga lebih mahal dibandingkan tempat lain.
8. Menambahkan klausul penetapan Sanksi Daftar Hitam oleh LKPP untuk penyedia yang pengurusnya menjadi tersangka kasus korupsi dalam PBJ.
9. Menambahkan klausul kriteria RO berupa Metode pemilihan pada pekerjaan pertama melalui tender/seleksi; mengatur secara jelas terkait pekerjaan sejenis/serupa; batasan jeda waktu maksimal 6 bulan untuk pelaksanaan RO setelah pekerjaan selesai; batasan nilai pekerjaan (harga satuan) tidak lebih mahal dari pekerjaan sebelumnya
10. Penambahan klausul “atau yang setara/ekuivalen” dalam penyebutan merek dalam metode pengadaan melalui E-Purchasing, Tender Cepat dan Pemilihan Barang/Jasa TKDN sehingga tidak menutup kemungkinan atau peluang adanya produk alternatif yang memenuhi kebutuhan.
11. Penerapan kewajiban pembelian barang yang mengandung TKDN diarahkan pada barang yang sudah memiliki pangsa pasar/menunjukan nilai kompetitif; Preferensi harga barang dan konstruksi TKDN berlaku untuk semua metode pengadaan dengan nilai pengadaan yang mempersyaratkan HPS; Menghilangkan klausul pengecualian pada kewajiban penggunaan barang TKDN terkait informasi barang yang belum diproduksi di dalam negeri dan volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dari Menteri Perindustrian.
12. Menjadikan penilaian kinerja penyedia dalam SIKAP sebagai syarat wajib untuk mengikuti pelaksanaan Tender Cepat dan Penunjukan langsung; Menampilkan informasi pemeringkatan (rating) dan penambahan fitur pemberian komentar deskriptif pada aplikasi SIKAP; Memperbaiki aspek kriteria dan skor penilaian kinerja agar tidak membuka peluang calon penyedia Barang/Jasa yang memiliki kinerja buruk dipilih kembali.
Dengan sejumlah perbaikan ketentuan dalam regulasi PBJP, diharapkan Pelaksanaan dalam Pengadaan Barang Jasa di semua lini pemerintahan pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara akuntabel dan tercegah dari praktik koruptif.
Daftar Pustaka
Direktorat Penelitian dan Pengembangan, 2020. Metode Corruption Risk Assessment (CRA) Dalam Pencegahan Korupsi Melalui Perbaikan Regulasi : Pembelajaran dari Korea Selatan. Komisi Pemberantasan Korupsi. Jakarta.
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021. Kemudahan Proyek Strategi Nasional. 2 Februari 2021. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 52. Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018. Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 22 maret 2018. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 33. Jakarta.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2021. Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. 2 Februari 2021. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 63. Jakarta.
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2022. Perubahan atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional. 20 Juli 2022. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 688. Jakarta.
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2021. Toko Daring dan Katalog Elektronik dalam Pengadaan Barang/jasa Pemerintah. 4 Mei 2021. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 491. Jakarta.
Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2018. Katalog Elektronik. 18 Juni 2018. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 764. Jakarta.
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016. Katalog Elektronik dan E-Purchasing.
31 Oktober 2016. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1642. Jakarta.
Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan
20 Juni 2022 - Diskusi Daring Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 | 20 Juli 2022 - Diskusi Luring di LKPP Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 |
3 Agustus 2022 - Diskusi Hybrid di LKPP dan Daring Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 | 11 Agustus 2022 - Diskusi Luring dengan ULP PBJ KPK terkait Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 |
12 Agustus 2022 - Diskusi dengan Ahli Hukum terkait Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 | 15 Agustus 2022 - Diskusi dengan icw dari UGM terkait Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 |
15 Agustus 2022 - Diskusi dengan Pakar PBJ dari UGM terkait Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 | 16 Agustus 2022 - Diskusi dengan Ahli PBJ dari IAPI terkait Pembahasan Masukan Rancangan Perpres PBJP 16/2018 |
Lampiran 2. Matriks CRA Regulasi
Aspek CRA | Perpres 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden 16 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah |
1. Kepatuhan | |
a. Kriteria Rasionalitas Beban Kepatuhan | 1. Surat/Bukti Pesanan sebagai Kontrak Tidak Memuat Syarat dan Ketentuan yang Memadai (Pasal 28) Penggunaan surat/bukti pesanan sebagai bentuk kontrak pada PBJ melalui e-Purchasing berpotensi menimbulkan permasalahan ketidakjelasan dalam pelaksanaan kontrak yang dapat merugikan salah satu pihak karena tidak semua syarat dan ketentuan tercantum dalam surat/bukti pesanan. Misalnya, kontrak pembelian alat kesehatan teknologi canggih yang disertai dengan pelatihan dan garansi berpotensi masalah dikemudian hari jika hanya menggunakan surat/bukti pesanan. Klaim pelatihan dan garansi akan sulit diminta ke penyedia karena tidak tercantum dalam surat/bukti pesanan. Rekomendasi Klausul penggunaan surat/bukti pesanan sebagai bentuk kontrak dalam e- purchasing dibatasi pada: . a. Pembelian/pembayaran barang dan jasa sederhana (contoh: barang habis pakai, konsumsi dan lainnya); b. Nilai rupiah dibatasi pada nominal tertentu. 2. Potensi Terjadinya Korupsi karena Kriteria Kewajiban, Preferensi Harga dan Pengecualian Penggunaan Barang/Jasa TKDN Belum Memadai (Pasal 66 dan Pasal 67) a. Kewajiban penggunaan TKDN Penerapan kewajiban pembelian barang/jasa TKDN yang diarahkan pada seluruh sektor berpotensi menimbulkan barang/jasa yang didapatkan oleh pemerintah bukan barang/jasa yang terbaik karena tidak semua barang/jasa TKDN sudah memiliki pangsa pasar/memiliki nilai kompetitif. Selain itu, hal ini mengakibatkan adanya barang/jasa TKDN yang diproduksi hanya diperuntukkan untuk pengadaan tertentu yang jenis dan fungsinya dapat digantikan oleh barang/jasa yang ada di pasar, sehingga tidak ada referensi harga pembanding untuk barang/jasa tersebut. b. Preferensi harga barang TKDN Saat ini sudah terdapat preferensi harga untuk barang TKDN pada draft Perpres PBJ Pasal 67 dengan nilai 25%. Preferensi tersebut hanya digunakan untuk metode pengadaan dengan HPS di atas Rp 1 Miliar. Hal ini berpotensi mengakibatkan kemahalan harga pada pengadaan |
barang TKDN dengan HPS di bawah Rp 1 Miliar. c. Pengecualian kewajiban pembelian TKDN Pengecualian kewajiban pembelian barang/jasa TKDN pada draft Perpres Pasal 66 ayat (5) dapat dilaksanakan untuk barang yang belum diproduksi di dalam negeri dan volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan berdasarkan informasi dari Menteri Perindustrian. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya karena secara teknis akan menyulitkan dalam pengadaan. Misalnya, terdapat 3 instansi berbeda yang membutuhkan barang A masing-masing 50 buah di waktu yang bersamaan, sedangkan informasi dari Menteri Perindustrian barang tersebut hanya tersedia 100 buah. Tidak ada mekanisme yang jelas terkait instansi mana yang akan mendapatkan pengecualian terhadap pembelian barang A tersebut. Rekomendasi 1. Penerapan kewajiban pembelian barang yang mengandung TKDN diarahkan pada barang yang sudah memiliki pangsa pasar/menunjukan nilai kompetitif; 2. Preferensi harga barang dan konstruksi TKDN berlaku untuk semua metode pengadaan dengan nilai pengadaan yang mempersyaratkan HPS; 3. Menghilangkan klausul pengecualian pada kewajiban penggunaan barang TKDN terkait informasi barang yang belum diproduksi di dalam negeri dan volume produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dari Menteri Perindustrian. | |
a. Kriteria Kecukupan Peraturan Disiplin | 1. Tidak adanya sanksi bagi penyedia yang menjual produk di katalog elektronik lebih mahal daripada di tempat lain (Pasal 80) Dengan dihapusnya Pasal 72 ayat (4), telah terjadi penyederhanaan proses produk barang dan jasa masuk ke dalam Katalog Elektronik. Penyedia diberi kebebasan untuk mencantumkan harga tayang di Katalog Elektronik tanpa membutuhkan persetujuan Pokja LKPP dan Kementerian/Lembaga teknis. Hal ini berpotensi menimbulkan permasalahan harga barang dan jasa di Katalog Elektronik bukan merupakan harga terbaik (lebih mahal). Di sisi lain, telah muncul rencana ketentuan kewajiban pelaksanaan e- Purchasing jika barang telah tersedia di Katalog Elektronik maupun Toko Daring. Akibat dari permasalahan ini, instansi Pemerintah dapat mengalami pemborosan dalam PBJ. Rekomendasi Perlu ditambahkan ketentuan: a. Penyedia wajib mencantumkan harga produk di Katalog Elektronik sebagai harga terbaik; b. Mengatur sanksi bagi penyedia bila menjual barang di Katalog Elektronik lebih mahal dibanding menjual di tempat lain. 2. Terdapat Penyedia yang Terindikasi Melakukan Korupsi tidak |
Masuk dalam Daftar Hitam Sistem Pengadaan Nasional (Pasal 9) Perpres No. 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) Pasal 78 mengatur penetapan sanksi daftar hitam oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA) atas usulan Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan/Agen Pengadaan atau Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah melalui proses pengusulan, pemberitahuan, keberatan, permintaan rekomendasi, pemeriksaan usulan, dan penetapan. Namun, sejumlah penyedia yang terlibat korupsi tidak masuk dalam daftar hitam Sistem Pengadaan Nasional (xxxxxxx.xx). Contohnya Kasus Korupsi PT. Mandala Hamonangan Sude dan PT. Pertani (Persero) sebagai penyedia dalam Pengadaan Bantuan Sosial Sembako Dalam Penanganan Dampak Covid-19 di Kementerian Sosial Tahun 2020 yang terbukti melakukan suap kepada Menteri Sosial tidak masuk dalam daftar hitam di laman xxxxxxx.xx. Hal ini terjadi karena kasus korupsi tersebut juga melibatkan PA, KPA, PPK dan Pejabat Pengadaan lainnya dan tidak ada pengaturan penetapan daftar hitam penyedia selain oleh PA/KPA. Akibatnya tidak adanya efek jera karena penyedia yang terindikasi melakukan korupsi masih dapat mengikuti proses PBJ lainnya. Rekomendasi Menambahkan klausul penetapan Sanksi Daftar Hitam oleh LKPP untuk penyedia yang pengurusnya menjadi tersangka kasus korupsi dalam PBJ. | |
3. Pemberian Perlakuan Istimewa | 1. Penyebutan Merek untuk E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN Berpotensi Menimbulkan Persaingan Usaha yang Tidak Sehat (Pasal 19 Ayat (2) dan (2a)) Berdasarkan Perpres 12 Tahun 2021 dan draft revisi Perpres, penyebutan merek diperbolehkan pada E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN dengan catatan minimal 2 merek untuk barang/jasa TKDN yang tersedia lebih dari satu. Tujuan dari diperbolehkannya penyebutan merek ini adalah untuk mempercepat proses dan memastikan ketepatan kegunaan barang misalnya dalam suku cadang atau komponen pelengkap. Dengan diperbolehkannya pengunaan merek pada E-Purchasing, Tender Cepat dan Barang/Jasa TKDN membuka peluang terjadinya kecurangan, antara lain: 4. Potensi persaingan usaha tidak sehat. 5. Potensi terjadinya suap/gratifikasi untuk dipilih merek tertentu. 6. Potensi terjadinya persekongkolan antara penyedia dan pokja pemilihan untuk menentukan sejak awal pemilihan merek tersebut. Akibatnya, hal ini menimbulkan kerugian negara dan terpilihnya penyedia yang tidak kompeten serta barang/jasa yang harganya tidak kompetitif. Rekomendasi Penambahan klausul “atau yang setara/ekuivalen” dalam penyebutan merek dalam metode pengadaan melalui E-Purchasing, Tender Cepat dan Pemilihan Barang/Jasa TKDN sehingga tidak menutup kemungkinan atau peluang adanya produk alternatif yang memenuhi kebutuhan. |
2. Pelaksanaan | |
a. Kriteria Dasar | 1. Pengaturan Pengecualian Kewajiban pada E-Purchasing Belum Memadai (Pasal 50) |
Pengambilan Keputusan Objektif | Ketentuan pengecualian kewajiban pengadaan dengan metode e-Purchasing berpotensi menimbulkan permasalahan teknis dalam pelaksanaannya, yaitu bukti apa yang perlu didapatkan oleh PPK atau pejabat pengadaan pada masing-masing ketentuan huruf a. hingga g. sehingga gugur kewajiban pengadaan melalui e- Purchasing. Jika hal ini tidak diatur atau tidak distandarkan, ketentuan pengecualian kewajiban pelaksanaan e-Purchasing dapat dilaksanakan berbeda- beda di lapangan dan bisa menjadi alasan untuk menghindari pelaksanaan e- Purchasing. Contoh, pada ketentuan huruf d. semua Pelaku Usaha dalam Katalog Elektronik atau Toko Daring yang menjual barang/jasa yang dibutuhkan tidak menanggapi pesanan, dapat dipahami berbeda-beda dalam hal jangka waktu tunggu menanggapi pesanan. Apakah 1 (satu) hari, 1 pekan atau jangka waktu lain sehingga penyedia dinyatakan tidak menanggapi pesanan. |
Rekomendasi | |
Perlu ditambahkan pengaturan mengenai ketentuan pengecualian kewajiban pelaksanaan e-Purchasing yang lebih detil, diantaranya: | |
a. Keterangan tertulis dari penyedia di katalog elektronik; b. Jangka waktu yang disediakan untuk penyedia merespon pemesanan; c. Tangkapan layar halaman produk di katalog elektronik pada saat proses pengadaan. | |
2. Pengaturan Kriteria Repeat Order Belum Memadai untuk Mencegah Terjadinya Fraud (Pasal 38 ayat 5) | |
Dalam Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, Repeat Order (RO) masuk dalam cakupan pelaksanaan penunjukan langsung. Adapun dalam aturan sebelumnya, RO hanya diperbolehkan untuk pengadaan jasa konsultansi. Dalam draft revisi perpres, RO akan diperluas untuk pengadaan barang dan konstruksi. Penunjukkan langsung merupakan PBJ tanpa kompetisi yang sangat rawan untuk terjadinya penyimpangan/korupsi berupa konflik kepentingan, gratifikasi dan suap sehingga perlu diatur kriteria dan persyaratannya untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan tersebut Adapun draft revisi perpres saat ini baru mengatur pembatasan RO berupa frekuensi pengulangan (1 s.d 2 kali) dengan batasan nilai pekerjaan tertentu. | |
Draft revisi perpres belum cukup memuat klausul penting lainnya terkait kriteria pekerjaan dan kinerja penyedia yang dapat dilakukan RO untuk meminimalisasi terjadinya penyimpangan. Hal ini berpotensi mengakibatkan subjektivitas dan konflik kepentingan yang besar dalam proses penunjukkan penyedia, sehingga membuka celah terjadinya fraud/KKN dan kerugian negara karena terpilihnya penyedia yang tidak kompeten serta barang/jasa yang harganya tidak kompetitif. | |
Rekomendasi | |
3. Memasukkan tambahan klausul kriteria RO berupa: a. Metode pemilihan penyedia pada pekerjaan pertama melalui |
tender/seleksi; b. Kriteria pekerjaan (mengatur yang jelas terkait pengertian pekerjaan sejenis/serupa); c. Kriteria penyedia (mengatur syarat kinerja minimal baik dengan acuan referensi yang jelas); d. Mengatur jeda waktu maksimal pelaksanaan RO paling lama 6 bulan setelah pekerjaan sebelumnya selesai; dan e. Mengatur batasan nilai pekerjaan (harga satuan pekerjaan tidak lebih mahal dari pekerjaan sebelumnya dan membatasi nilai rupiah maksimal pada kriteria RO satu kali). 4. Mengamanatkan pengaturan tata cara RO dalam aturan turunan (Peraturan Lembaga). Poin-poin pengaturan kriteria dan tata cara RO Jasa Konsultansi dalam Surat Edaran LKPP No. 3 Tahun 2022 dapat disempurnakan untuk barang dan konstruksi dan dinaikan menjadi aturan yang lebih kuat untuk dapat dipedomani KLPD. | |
3. Kelemahan Sistem Sikap Terkait metode pengadaan Tender Cepat dan Penunjukan Langsung (salah satunya Repeat Order), dibutuhkan informasi terkait penilaian kinerja penyedia untuk menjamin kualitas penyedia dan hasil pekerjan. Namun saat ini SIKAP belum menyediakan informasi handal yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pemilihan penyedia. Kelemahan tersebut meliputi: 4. Belum seluruh Penyedia Barang/Jasa yang Memiliki Akun SPSE telah Mengisi Data Kualifikasi (Profile) pada Aplikasi SIKAP mengakibatkan Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah (K/L/PD) tidak dapat mendapatkan harga dan kualitas terbaik dari proses PBJ, baik melalui penunjukkan langsung secara elektronik atau melalui Tender Cepat. 5. Belum ditampilkannya pemeringkatan (rating) dan belum diakomodirnya pemberian komentar secara deskriptif oleh Pokja atau Pejabat Pengadaan kepada penyedia pada aplikasi SIKaP membuka peluang dipilihnya penyedia dengan rekam jejak berkinerja rendah. 6. Skala kriteria pada aspek penilaian kinerja dalam Peraturan LKPP No 4 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pelaku Usaha Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum cukup menunjukan penilaian yang objektif dan rasional. Contohnya tidak ada penilaian untuk penyedia dengan kinerja “buruk” dan skala penilaian kategori “baik” terlalu rendah (hanya mensyaratkan kualitas pekerjaan minimal 50% tidak memerlukan perbaikan). Hal ini berpotensi mengakibatkan dipilihnya penyedia yang tidak kompeten dalam pengadaan tender cepat dan penunjukkan langsung (repeat order). Rekomendasi 1. Menjadikan penilaian kinerja penyedia dalam SIKAP sebagai syarat wajib untuk mengikuti pelaksanaan Tender Cepat dan Penunjukan langsung. 2. Menampilkan informasi pemeringkatan (rating) dan penambahan fitur pemberian komentar deskriptif pada aplikasi SIKAP untuk setiap pengadaan yang dikerjakan oleh setiap penyedia. 3. Memperbaiki aspek kriteria dan skor penilaian kinerja agar tidak |
membuka peluang calon penyedia Barang/Jasa yang memiliki kinerja buruk dipilih kembali. | |
3 Administrasi | |
a. Aksesibilitas | Kelemahan Sistem SIKAP Terkait metode pengadaan Tender Cepat dan Penunjukan Langsung (salah satunya Repeat Order), dibutuhkan informasi terkait penilaian kinerja penyedia untuk menjamin kualitas penyedia dan hasil pekerjaan. Namun saat ini SIKAP belum menyediakan informasi handal yang dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan pemilihan penyedia. Kelemahan tersebut meliputi: a. Belum seluruh Penyedia Barang/Jasa yang Memiliki Akun SPSE telah Mengisi Data Kualifikasi (Profile) pada Aplikasi SIKAP mengakibatkan Kementerian/Lembaga/ Pemerintah Daerah (K/L/PD) tidak dapat mendapatkan harga dan kualitas terbaik dari proses PBJ, baik melalui penunjukkan langsung secara elektronik atau melalui Tender Cepat. b. Belum ditampilkannya pemeringkatan (rating) dan belum diakomodirnya pemberian komentar secara deskriptif oleh Pokja atau Pejabat Pengadaan kepada penyedia pada aplikasi SIKaP membuka peluang dipilihnya penyedia dengan rekam jejak berkinerja rendah. c. Skala kriteria pada aspek penilaian kinerja dalam Peraturan LKPP No 4 Tahun 2021 tentang Pembinaan Pelaku Usaha Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah belum cukup menunjukan penilaian yang objektif dan rasional. Contohnya tidak ada penilaian untuk penyedia dengan kinerja “buruk” dan skala penilaian kategori “baik” terlalu rendah (hanya mensyaratkan kualitas pekerjaan minimal 50% tidak memerlukan perbaikan). Hal ini berpotensi mengakibatkan dipilihnya penyedia yang tidak kompeten dalam pengadaan tender cepat dan penunjukkan langsung (repeat order). Rekomendasi 1. Menjadikan penilaian kinerja penyedia dalam SIKAP sebagai syarat wajib untuk mengikuti pelaksanaan Tender Cepat dan Penunjukan langsung. 2. Menampilkan informasi pemeringkatan (rating) dan penambahan fitur pemberian komentar deskriptif pada aplikasi SIKAP untuk setiap pengadaan yang dikerjakan oleh setiap penyedia. 3. Memperbaiki aspek kriteria dan skor penilaian kinerja agar tidak membuka peluang calon penyedia Barang/Jasa yang memiliki kinerja buruk dipilih kembali. |
23