SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
XXXXXX XXXX : JURNAL HUKUM DAN SOSIAL
PERJANJIAN JUAL-BELI MENGGUNAKAN PECAHAN RUPIAH YANG TIDAK BERLAKU BERDASARKAN PERSPEKTIF PERLINDUNGAN KONSUMEN
SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
Xxxxx Xxxxxxxx 1*
Xxxxxx Xxxxxxxx 2*
*1 Universitas Xxxxxx Xxxx Banjarmasin
*email: xxxxxxxxxxxx@xxxxx.xxx
*email: xxxxxxxxxxxxxx000@xxxxx.xxx
Kata Kunci: Konsumen; Pelaku usaha; Perjanjian jual beli.
Keywords: Consumers; Sellers;
Abstrak
Tujuan Penelitian: untuk mengetahui keabsahan perjanjian jual belinya dan juga untuk mengetahui perlindungan hukum apa saja yang menjunjung hak-hak konsumen agar tidak dirugikan oleh para pelaku usaha.
Metode Penelitian yang digunakan menggunakan yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan terhadap KUHPerdata dan UUPK sebagai bahan hukum yang berkaitan dengan pembahasan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa perjanjian jual-beli pada produk yang menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku dianggap sebagai perjanjian yang cacat, karena terdapat cidera kesepakatan antara konsumen dan pelaku usaha. KUHPerdata dengan segala ketentuannya telah mengatur bahwa setiap perjanjian harus didasarkan dengan iktikad baik serta UUPK yang sudah memberikan perlindungan hukum bagi konsumen. Namun Peraturan Mentri Perdagangan No.35/M-DAG/PER/7/2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan hanya mengatur mengenai tata cara penetapan harga oleh pelaku usaha, tanpa ada pengaturan sanksi bagi pelaku usaha yang melanggar.
Abstract
Research Objectives: This study aims to determine the validity of the sale and purchase agreement and also to find out what legal protections uphold consumer rights so that they are not harmed by business actors.
The research method used is normative juridical by using an approach to the Civil Code and UUPK as legal material related to the discussion.
The results of this study state that sales and purchase agreements on products that use nominal rupiah that are not valid are considered as defective agreements, because there is a breach of agreement between the consumer and the business actor. The Civil Code with all its provisions stipulates that every agreement must be based on good faith and UUPK which has provided legal protection for consumers. However, Regulation of the Minister of Trade No.35/M- DAG/PER/7/2013 concerning Price Listing of Traded Goods and Service Tariffs only regulates the procedure for price fixing by business actors, without any provision of sanctions for business actors who violate it.
XXXXXX XXXX : JURNAL HUKUM DAN SOSIAL | Vol. I No.2, Juli (2023) | Page 243 – 254 | e-ISSN: 2985-3656
PENDAHULUAN
Dinamika perekonomian masyarakat sudah sangat berkembang dengan adanya berbagai macam tempat berbelanja, yaitu pasar tradisional dan pasar modern seperti mini market ataupun super market yang terdapat di lingkungan tempat tinggal kita. Dibandingkan dengan pasar tradisional, pasar modern menawarkan berbagai bentuk fasilitas yang dapat memudahkan dan memberikan kenyamanan bagi konsumen, seperti tempat yang bersih dan ruangan berpendingin, layanan customer service, serta area parkir yang luas dan tertata. Hadirnya pasar modern dengan menyuguhkan fasilitas tersebut, serta variasi produk yang beragam dan tersusun rapi dengan kenyamanan bertransaksi, tentu lebih diminati oleh masyarakat untuk berbelanja keperluan sehari-hari di pasar modern.
Di mini market ataupun super market juga sudah terdapat label yang mencantumkan harga pada produk-produk yang dijual dengan tujuan agar memudahkan konsumen. Hal tersebut merupakan kewajiban bagi pelaku usaha yang termasuk ke dalam kategori di atas usaha mikro, pencantuman harga produk tersebut harus secara jelas, dapat dibaca dan dilihat dengan mudah oleh konsumen, serta menggunakan mata uang dan nominal rupiah yang berlaku.
Namun pada kenyataannya terdapat pelaku usaha yang menjual produk dengan mencantumkan harga menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku, seperti yang terjadi pada salah satu super merket yang terletak di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pelaku usaha mencantumkan label harga menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku pada produk-produk yang dijual di super market tersebut. Contohnya seperti ada satu produk pembersih badan yang diberikan label harga sebesar Rp32.180,-. Ketika konsumen memutuskan untuk membeli produk tersebut dengan label harga demikian, maka pelaku usaha akan meminta konsumen membayar sebesar Rp32.200,-. Dikarenakan uang pecahan dengan nominal Rp20,- sudah tidak beredar, sehingga konsumen secara terpaksa sepakat dengan pelaku usaha untuk membayar produk tersebut walaupun dengan sedikit dirugikan.
Sebenarnya kerugian yang dialami oleh konsumen bukanlah kerugian yang besar, namun dari sisi pelaku usaha berpotensi mendapat keuntungan yang besar, jika dalam satu hari berhasil terjual produk tersebut kepada dua ratus konsumen maka keuntungan yang didapat mencapai Rp4.000,- hanya dalam waktu satu hari dan dengan satu jenis produk. Bayangkan jika pelaku usaha tersebut menerapkan pola label harga demikian terhadap setiap produk-produk yang ia jual, dalam waktu satu bulan pelaku usaha dapat mengambil keuntungan lebih besar. Kasus kecurangan pada transaksi jual-beli yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti contoh di atas, faktanya memang terjadi dan tentu saja merugikan konsumen.
Transaksi jual-beli termasuk ke dalam ranah hukum perjanjian, khususnya perjanjian jual-beli yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Pelaku usaha berkewajiban untuk mencantumkan label harga secara jelas, mudah dibaca dan dilihat juga menggunakan nominal rupiah yang berlaku, kewajiban tersebut merupakan bagian dari upaya itikad baik oleh pelaku usaha kepada konsumen. Namun dalam kasus kecurangan seperti ini, pelaku usaha telah melanggar salah satu hak dari hak-hak yang dimiliki oleh konsumen, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 4 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hak dan kewajiban bagi pihak konsumen dan pelaku usaha timbul karena adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak, sehingga sudah seharusnya kedua belah pihak paham akan hak dan kewajibannya masing-masing.
Praktik kecurangan dalam pencatuman label harga seperti kasus di atas terjadi dalam ranah hukum perjanjian, yang mana sudah diatur dalam KUHPerdata mengenai syarat sah-nya suatu perjanjian, sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan “untuk sah-nya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
1st Xxxxx Xxxxxxxx, 2st Xxxxxx Xxxxxxxx, | SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.”
Pada kasus perjanjian jual-beli mewajibkan adanya kesepakatan para pihak yang terkait, kesepakatan terjadi dengan berbagai cara, namun biasanya diawali dengan adanya penawaran dan penerimaan penawaran oleh kedua belah pihak dalam perjanjian jual-beli tersebut. Penawaran dan penerimaan penawaran dapat dilakukan secara tegas ataupun tidak tegas, asal dapat dipahami dan dimengerti oleh pihak yang menawar dan pihak yang menerima penawaran. Sehingga setiap kesepakatan dapat dilakukan dengan cara tertulis, lisan, menggunakan simbol-simbol tertentu atau dengan cara berdiam diri. (Xxxxxx Xxxx, 2007:14)
Berdasarkan asas konsensualitas yang terkandung dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau pesetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok tentang apa yang menjadi obyek perjanjian. Berpedoman pada asas konsensualitas tersebut, maka untuk menentukan apakah telah lahir suatu perjanjian dan kapan perjanjian itu lahir, harus mengetahui apakah telah terjadi kesepakatan dan kapan kesepakatan itu terjadi. Berkaitan dengan perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 1313, dimana dalam perjanjian ada kesepakatan antara kedua belah pihak, dan tidak diperkenankan ada pihak yang dirugikan. (Prasetyo. 2017:2)
Sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan di atas, kesepakatan merupakan bukti sah-nya terjadi sebuah perjanjian. Setiap sepakat juga harus terhindar dari unsur penipuan, paksaan dan kekhilafan. Artinya dalam perjanjian jual-beli, pelaku usaha tidak boleh melakukan kecurangan dalam menjual produk-produknya dengan tujuan untuk mencapai keuntungan lebih, yang merugikan konsumen. Seperti contoh kasus dalam penelitian ini, pelaku usaha secara dengan sengaja mencantumkan label harga menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku, lalu ketika konsumen memutuskan untuk membeli produk tersebut maka konsumen secara terpaksa sepakat dengan pembulatan harga karena konsumen tidak mempunyai pilihan lain, sehingga harus sepakat untuk membayar produk dengan label harga yang sudah ditetapkan oleh pelaku usaha.
Perbuatan kecurangan pelaku usaha yang mencantumkan harga produk menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku, seperti dalam contoh kasus diatas membuktikan bahwa adanya unsur paksaan dalam kesepakatan pada saat perjanjian jual-beli terjadi, karena konsumen terpaksa menyetujui pembulatan harga yang ditetapkan pelaku usaha atas produk yang dia beli, hal yang dilakukan oleh pelaku usaha tersebut dapat dianggap suatu perbuatan yang melanggar syarat sah perjanjian. Sebagaimana Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh-nya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1338 KUHPerdata akan berlaku secara otomatis jika perjanjian telah dilakukan dan disepakati. Tidak ada alasan lain untuk tidak dapat memenuhi isi suatu perjanjian yang telah disepakati bersama oleh para pihak atau lazimnya disebut sebagai penerapan asas pacta sunt servanda. Para pihak harus memenuhi perjanjian sebagaimana yang telah diatur bersama. Berdasarkan asas pacta sunt servanda dianggap sebagai undang-undang bagi para pihak yang menjalankan perjanjian. Bahwa, pada hakikatnya harus tercapainya prestasi oleh kedua pihak agar tidak ada yang dirugikan. (Xxxxx, Xxxx Xxxxxxx, and X. Xxxx & Xxxxxx. 2020:3)
Hukum perjanjian memberikan kebebasan bagi siapapun untuk menentukan isi dan bentuk serta dengan siapa perjanjian itu dibuat, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan melanggar ketertiban umum, berdasarkan Asas Kebebasan Berkontrak. Dengan adanya kebebasan dalam membuat perjanjian tersebut, sehingga terkadang menimbulkan permasalahan seperti adanya klausula baku dalam sebuah perjanjian, klausula baku adalah setiap ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu dalam sebuah perjanjian secara sepihak
XXXXXX XXXX : JURNAL HUKUM DAN SOSIAL | Vol. I No.2, Juli (2023) | Page 243 – 254 | e-ISSN: 2985-3656
oleh pelaku usaha yang wajib dipenuhi oleh konsumen. (Xxxxxxxxxx, R. M. 2010:4) Dalam praktiknya hal ini sering kali membuat kedudukan konsumen tidak seimbang dengan pelaku usaha. (Xxxxx Xxxxxxxxx, 2013:82)
Adapun jenis klausula baku yang dilarang yaitu klausula eksenorasi, yang dimaksud dengan klausula eksenorasi adalah pencantuman klausul dalam sebuah perjanjian dengan upaya menghindarkan seseorang atau badan usaha untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas. Terjadi demikian karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum. (Xxxxx Xxxxxxx, 2018:101) Untuk lebih jelasnya pembahasan tersebut dirumuskan dengan dua pokok masalah yaitu:
1. Bagaimana pengaturan transaksi jual-beli pada produk yang menggunakan label harga dengan pecahan rupiah yang tidak beredar?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen yang dirugikan dalam perjanjian jual-beli pada produk yang menggunakan label harga dengan pecahan rupiah yang tidak berlaku?
METODOLOGI
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu merupakan penelitian hukum dengan pendekatan perundang-undangan yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. (Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, 2004:82) Tipe penelitian yang dipergunakan yaitu penekanan pada pengkajian dan penelusuran hukum karena adanya Kekaburan Hukum, yaitu masih kurang jelasnya mengenai keabsahan perjanjian jual-beli pada produk yang menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku di Indonesia. (Hukumonline. 2023)
Dalam penelitian ini di gunakan pendekatan yuridis-normatif dengan mengkaji, meneliti dan menitik beratkan pada penggunaan data sekunder berupa sumber-sumber Hukum Perdata dan bahan-bahan kepustakaan yang terkait dengan penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Transaksi Jual-Beli Pada Produk Yang Menggunakan Label Harga Dengan Pecahan Rupiah Yang Tidak Beredar
Transaksi jual-beli merupakan sebuah bentuk perjanjian yang mana termasuk kedalam ranah hukum perjanjian, khususnya hukum perjanjian jual-beli yang diatur dalam Buku Ketiga KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata mengatakan definisi perjanjian adalah “suatu perjanjian merupakan suatu perbuatan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang atau lebih”.
Perjanjian jual-beli merupakan perjanjian yang bersifat timbal balik, yang mengakibatkan munculnya hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak yaitu pihak penjual dan pembeli, sehingga antara pihak penjual dan pihak pembeli dibebankan untuk melaksanakan kewajiban dan haknya masing-masing.
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxxx mendefinisikan tentang jual beli adalah suatu persetujuan atau perjanjian yang mengikat antara penjual dan pembeli. Penjual mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu barang yang disetujui bersama, dan pembeli mengikatkan diri untuk membayar harga barang yang telah disetujui bersama.
Pasal 1457 KUHPerdata menjelaskan mengenai pengertian perjanjian jual-beli, yaitu bahwa “jual-beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Selanjutnya Pasal 1458 KUHPerdata menyebutkan bahwa “jual-beli itu
1st Xxxxx Xxxxxxxx, 2st Xxxxxx Xxxxxxxx, | SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”.
Menurut Xxxxxx Xxxxxxxxx, ketika berbicara tentang harga maka berdasarkan hukum Romawi menentukan harga tersebut harus: verum, certum, dan jestum. Adapun yang dimaksud dengan verum adalah sungguh dimaksudkan yaitu harga produk harus serius. Harganya harus sungguh-sungguh tidak bermain-main. Selain harus sungguh-sungguh, tetapi juga harus justum, yakni adil. Dengan Certum berarti harga tersebut harus tertentu.
KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang sudah ditetapkan pada Pasal 1320 yang teridiri dari syarat subjektif dan syarat objektif, dengan menyebutkan empat syarat sebagai berikut: (Xxxxxxx, Xxxxx. 2012:6)
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya kedua belah pihak telah setuju untuk mengikatkan dirinya satu sama lain dalam sebuah perjanjian.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, artinya pihak-pihak dalam suatu perjanjian harus cakap hukum, yaitu dewasa atau tidak dalam pengampuan untuk membuat suatu perjanjian.
3) Suatu hal tertentu, artinya suatu perjanjian harus mempunyai objek/pokok yang dapat dilaksanakan.
4) Suatu sebab yang halal, artinya perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan keterbiban umum.
Kesepakatan yang merupakan syarat mutlak sahnya suatu perjanjian jual-beli, maka setiap sepakat harus terhindar dari unsur paksaan, penipuan dan kekhilafan yang dapat merugikan salah satu pihak dalam perjanjian. Sebagaimana Pasal 1321 KUHPerdata mengatakan bahwa “tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh-nya dengan paksaan atau penipuan”.
Pasal 1321 KUHPer menunjukan bahwa syarat kesepakatan harus disampaikan secara bebas agar mempunyai kekuatan mengikat karena kesepakatan yang diberikan dengan kekilhafan, paksaan dan penipuan maka kesepakatan yang diberikan tidak mempunyai kekuatan mengikat dan juga menimbulkan kecacatan pada kesepakatan. Terjadinya kecacatan pada kesepakatan dapat diuraikan sebagai berikut: (Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx. 2016:18)
1. Kekhilafan yang diatur dalam pasal 1322 KUHPer, terjadi jika salah satu pihak keliru dalam hal apa yang telah diperjanjikan, baik subjek ataupun objek dalam perjanjian tersebut. Tetapi pihak lain membiarkan kekhilafan tersebut terjadi.
2. Paksaan yang diatur dalam pasal 1323 sampai 1327 KUHPer. terjadi apabila pihak yang satu atau lebih dalam memberikan kesepakatannya mengalami tekanan, ancaman, atau paksaan, sehingga tidak terdapat kehendak yang bebas dalam menyampaikan kesepakatan tersebut.
3. Penipuan yang diatur dalam pasal 1328 KUHPer, terjadi apabila dalam menyampaikan kesepakatan pihak yang satu menyampaikan keterangan yang tidak benar sehingga membuat pihak lawan untuk memberikan persetujuan atau kesepakatan dalam perjanjian.
4. Penyalahgunaan keadaan, terjadi apabila dalam menyampaikan kesepakatan pihak yang satu memiliki posisi yang kuat baik dari segi ekonomis maupun psikologis sehingga meyalahgunakan keadaan yang membuat pihak lawan yang lemah untuk menyepakati hal-hal yang memberatkan dirinya.
Perjanjian jual-beli yang sudah memenuhi persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1320 KUHPerdata maka perjanjian itu dianggap sah dan mempunyai kekuatan hukum bagi kedua belah pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUHPerdata bahwa “setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain
XXXXXX XXXX : JURNAL HUKUM DAN SOSIAL | Vol. I No.2, Juli (2023) | Page 243 – 254 | e-ISSN: 2985-3656
oleh sepakat para pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian juga harus dilakukan dengan itikad baik”.
Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, maka dapat disimpulkan bahwa yang dapat membatalkan suatu perjanjian jual-beli itu ketika perjanjian tersebut tidak memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian sebagaimana telah ditetapkan. Perjanjian jual-beli dapat dianggap batal jika tidak memenuhi salah satu atau keempat syarat yang sudah disebutkan pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang terbagi menjadi syarat subjektif dan syarat objektif, syarat subjektif yaitu mewajibkan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang terhindar dari unsur paksaan, penipuan, serta kekhilafan, dan kecakapan pihak-pihak yang melakukan jual beli. Sedangkan syarat objektif yaitu suatu perjanjian jual beli harus mempunyai suatu hal tertentu atau objek/pokok yang dapat dilaksanakan, dan suatu sebab yang halal yaitu tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan keterbiban umum.
Menurut Xxxxx 1458 KUHPerdata, perjanjian jual-beli itu lahir ketika kedua belah pihak mencapai kata sepakat mengenai barang dan harga, yang berarti terdapat dua unsur pokok dalam terjadinya suatu perjanjian jual-beli yaitu adanya barang dan harga. Selanjutnya berdasarkan Pasal 1465 KUHperdata yang menyatakan bahwa, harga beli harus berdasarkan ketetapan kedua belah pihak, yang artinya pihak pembeli seharusnya mempunyai hak untuk menawar atau menetapkan harga barang dalam perjanjian jual-beli tersebut.
Dengan adanya dua unsur pokok yang terkandung dalam suatu perjanjian jual-beli yaitu barang dan harga, maka dengan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 35 /M-DAG/PER/7/2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan, pada Pasal 1 angka 4 menyebutkan deifinis barang yakni “barang adalah semua benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, bergerak dan tidak bergerak, dapat dihabiskan atau tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan atau dimanfaatkan oleh konsumen”. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa “harga adalah nilai barang dalam satuan jumlah atau kuantitas tertentu, yang ditetapkan dengan Rupiah”. Pencantuman mengenai harga juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan diatas, yang disebutkan pada Pasal 6 Ayat (2) dengan mengatakan bahwa “penetapan harga barang dan/atau tarif jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggunakan mata uang dan nominal Rupiah yang berlaku”. Selanjutnya Pasal 7 Ayat (1) menyebutkan “pelaku usaha yang memperdagangkan barang secara eceran dan/atau jasa bertanggung jawab atas kebenaran harga barang dan/atau tarif jasa yang dicantumkan”.
Pasal 1465 KUHPerdata mengatakan “Harga harus ditetapkan oleh kedua belah pihak”. Dalam hal harga ditetapkan oleh salah satu pihak saja maka dalam hal ini tidak bersesuai dengan pasal 1465 KUHPerdata. Akan tetapi dalam kenyataannya pembeli tidak mempunyai hak untuk melakukan penawaran harga ketika mereka melakukan transaksi jual beli di tempat-tempat perbelanjaan modern. Sehingga banyak kenakalan yang dilakukan oleh penjual, demi mendapatkan keuntungan yang banyak dan akhirnya merugikan konsumen, salah satunya dengan menetapkan harga yang mana pecahan rupiahnya tidak belaku. Sehingga pembeli dibebankan biaya harga yang lebih mahal untuk membulatkan harga jual produk yang mereka tawarkan.
B. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Yang Dirugikan Dalam Perjanjian Jual-Beli Pada Produk Yang Menggunakan Label Harga Dengan Pecahan Rupiah Yang Tidak Berlaku Di Indonesia
Terdapat dua asas utama yang terkandung dalam suatu perjanjian jual-beli, yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas konsensualisme. Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang memberikan kebebasan bagi siapapun untuk menentukan isi dan bentuk serta dengan siapa perjanjian itu dibuat, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
1st Xxxxx Xxxxxxxx, 2st Xxxxxx Xxxxxxxx, | SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
undang dan melanggar ketertiban umum. Sedangkan asas konsensualisme merupakan suatu perjanjian terbentuk ketika pihak yang satu secara sepakat untuk mengikatkan diri dengan pihak yang lain dalam suatu perjanjian. Adapun dua asas lainnya yang harus terpenuhi dalam suatu perjanjian jual-beli yakni asas itikad baik dan pacta sunt servanda, jika pelaksaan suatu perjanjian jual-beli sudah berdasarkan asas-asas ini maka seharusnya perjanjian tersebut dapat dikatakan adil bagi kedua belah pihak tanpa ada pihak yang dirugikan.
Namun pada kenyataannya seperti contoh kasus perjanjian jual-beli pada penelitian ini yang mana pelaku usaha secara sengaja mencantumkan laber harga dengan nominal rupiah yang tidak berlaku pada produk yang dijual lalu membulatkan harga pada konsumen melakukan pembayaran terhadap produk tersebut, maka sudah jelas terlihat praktik yang dilakukan pelaku usaha dalam contoh kasus ini dapat merugikan konsumen. (Xxxxx, Xxxxxx. 2019:12) Kerugian yang dialami oleh konsumen dalam pelaksanaan perjanjian jual-beli seperti ini membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha tidak sesuai dengan asas itikad baik dan bertentangan dengan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik.
Rumusan yang ada pada pasal 1338 KUHperdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, maksudnya adalah setiap perjanjian itu dilaksanakan dan keadilan, sebab setiap perjanjian harus dilaksanakan menurut kepatutan dan kepantasan, maksudnya meliputi semua yang dapat dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil yang dapat diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dari subjektifitas para pihak.
P. L. Wery mengatakan bahwa itikad baik mempunyai makna bahwa pihak satu dengan pihak lainnya harus berlaku tanpa tipu daya, tidak mengganggu pihak lain, dan tidak hanya memperhitungkan kepentingannya sendiri tetapi juga kepentingan pihak yang lain. (Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx. 2016:19) Sedangkan menurut Xxxxxxxx Xxxxx, itikad baik merupakan perbuatan yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam perjanjian untuk melaksanakan janji sebagaimana yang sudah disepakati dalam perjanjian tersebut. (Xxxxxxxx Xxxxx, 2009:23) Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx iktikad baik ada dua macam yaitu:
a. Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi para pihak dimulai ketika hubungan hukum telah terpenuhi. Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang beriktikad baik, sedang bagi pihak yang tidak beriktikad baik harus bertanggung jawab dan menanggung risiko. Iktikad baik semacam ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 1977 ayat (1) dan 1963 KUHPerdata, dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas barang melalui daluwarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
b. Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiaban yang termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata, bahwa harus bersifat objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik berat iktikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
Dalam hal perjanjian jual beli para pihak harus melaksanakan prestasi masing-masing dengan asas itikad baik berdasarkan 1338 ayat (3) KUHPerdata harus bersifat dinamis. Maknanya bahwa dalam melaksanakan prestasi kejujuran harus berjalan dalam hati sanubari para pihak yaitu pelaku usaha dan konsumen. Sehingga dalam hal ini para pihak harus selalu mengingat bahwa sebagai subjek hukum haruslah menjauhi perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Kedua belah pihak harus memperhatikan setiap hak dan kewajiban masing-masing yang lahir akibat dari perjanjian jual beli tersebut. Itikad baik harus dilaksanakan pada keseluruhan tahapan perjanjian. Hal ini bermakna bahwa itikad baik harus melandasi hubungan antara pelaku usaha dengan konsumen dimulai dari tahapan pra perjanjian dan pelaksanaan
XXXXXX XXXX : JURNAL HUKUM DAN SOSIAL | Vol. I No.2, Juli (2023) | Page 243 – 254 | e-ISSN: 2985-3656
perjanjian. Jadi itikad baik dalam perjanjian jual beli harus melingkupi proses perjanjian dari awal sampai akhir perjanjian, yaitu tahap menawarkan barang, menetapkan harga, menyerahkan produk yang tidak cacat dan menerima pembayaran.
Ketika pelaku usaha menetapkan harga jual dengan itikad baik, maka seharusnya mereka tidak boleh merugikan konsumen. Perbuatan yang merugikan ini bisa dikategorikan bahwa pelaku usaha tidak menjalankan asas ittikad baik dalam proses pelaksanaan perjanjian jual beli. Mengambil keuntungan secara terselung dari penetapan harga yang nominal rupiahnya tidak beredar, sehingga setiap konsumen akan dibebankan pembulatan harga agar pembayaran dapat terlaksana.
Pelaku usaha yang secara sengaja mencantumkan label harga menggunakan nominal rupiah yang tidak berlaku pada produk yang ia jual dapat dinyatakan tidak melaksanakan itikad baik dalam melakukan perjanjian jual-beli tersebut dengan konsumen karena ada kerugian yang dialami oleh pihak konsumen.
Pelaku usaha dalam menetapkan harga jual mempunyai kebebasan sebagaimana asas perjanjian jual beli yang memberikan naungan khusus. Akan tetapi sekali lagi undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya juga harus diperhatikan. Sebab sebagai pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi hak-hak konsumen. (Xxxxxx, Xxxx Xxxxx. 2020 : 5) Adapun yang menjadi kewajiban pelaku usaha sebagaimana yang tertuang di dalam pasal 7 Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yaitu:
a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Pihak konsumen yang dirugikan ini sudah semestinya mendapat perlindungan hukum. Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx, perlindungan hukum mempunyai sifat dasar untuk mengayomi dan melindungi suatu Hak Asasi Manusia yang dapat dilanggar atau dirugikan oleh orang lain, dengan tujuan agar hak-hak yang dimiliki masyarakat dapat terpenuhi oleh hukum. (Xxxxxxxx Xxxxxxx, 2000 : 54) Sedangkan menurut Xxxxxxxx X. Xxxxxx, perlindungan hukum merupakan suatu bentuk upaya untuk memberikan dan melindungi pertolongan terhadap subjek hukum, dengan berdasarkan pada pranata dan sarana hukum. (Xxxxxxxx X. Xxxxxx, 2011:10)
Teori perlindungan hukum yaitu bahwa hukum mempunyai tujuan untuk mengkoordinasikan beragam kepentingan yang berada di masyarakat, karena untuk dilaksankannya sebuah perlindungan kepentingan di satu pihak, hanya bisa dilakukan ketika kepentingan di lain pihak dibatasi. (Xxxxxxxxx, Xxxxxxx, and Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx. 2018:20) Hukum mengatur mengenai hak dan kepentingan manusia, sehingga menjadi otoritas tertinggi sebagai penentu berbagai kepentingan masyarakat yang perlu dilindungi dan dibatasi. (Xxxxxxxx Xxxxxxx. 2000:55)
1st Xxxxx Xxxxxxxx, 2st Xxxxxx Xxxxxxxx, | SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
Perlindungan hukum menurut Soekanto, yaitu perlindungan yang diberikan oleh perangkat hukum kepada subjek hukum, Soekanto mengatakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi dalam proses perlindungan hukum dan penegakannya, yaitu terdiri dari: (Hukumonline. 2023)
1) Faktor Undang-Undang, ialah pertauran tertulis yang mengikat secara umum dan ditetapkan oleh penguasa yang berwenang.
2) Faktor Penegak Hukum, ialah para pihak yang berperan dalam pelaksanaan hukum.
3) Faktor fasilitas dan sarana yang membantu pelaksanaan hukum, seperti masyarakat yang terampil dan perangkat- perangkat yang memadai.
4) Faktor Masyarakat, yaitu lingkungan di mana hukum itu diterapkan dan berlaku, serta masyarakat yang menerima dan mematuhi hukum yang berlaku itu.
5) Faktor Kebudayaan, ialah masyarakat yang menghormati hukum sebagai itikad dalam pergaulan masyarakat.
Perlindungan hukum merupakan konsep universal yang terdapat dalam negara hukum. Pada dasarnya perlindungan hukum terdiri dari dua bentuk, yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, yaitu sebagai berikut: (Xxxxxxxx X. Xxxxxx, 1987 : 29)
a) Perlindungan Hukum Preventif, yang pada hakikatnya bersifat pencegahan, diartikan sebagai upaya atau tindakan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, karena dengan adanya perlindungan hukum yang bersifat preventif maka memaksa pemerintah untuk mengambil keputusan secara hati-hati. Bentuk perlindungan hukum preventif termasuk dalam upaya hukum untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran hak dan membatasi kepentingan tertentu yang dapat merugikan pihak lain.
b) Perlindungan Hukum Represif, yakni perlindungan bagi masyarakat yang bersifat dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul akibat terjadinya suatu pelanggaran. Perlindungan ini merupakan bentuk tindakan atau upaya terakhir untuk melindungi masyarakat, dengan cara memberikan sanksi kepada pelanggar berupa hukuman atas pelanggaran yang telah terjadi.
Perlindungan hukum bagi konsumen juga sudah diatur melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sebagaimana pada Pasal 4 menyebutkan mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen yaitu terdiri dari:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Perbuatan pelaku usaha yang mencantumkan label harga menggunakan nominal rupiah tidak berlaku seperti contoh kasus dalam penelitian ini, selain merugikan pihak konsumen secara materiil yaitu yang seharusnya pihak
XXXXXX XXXX : JURNAL HUKUM DAN SOSIAL | Vol. I No.2, Juli (2023) | Page 243 – 254 | e-ISSN: 2985-3656
konsumen membayar produk tersebut dengan nilai Rp32.180,- tetapi ketika melakukan proses pembayaran pihak pelaku usaha membulatkan nominal harga tersebut menjadi Rp32.200,- sehingga akhirnya pihak konsumen mengalami kerugian senilai Rp20,-. Disamping kerugian materiil yang dialami pihak konsumen, disini pelaku usaha juga terbukti mengabaikan salah satu hak yang dimiliki oleh pihak konsumen sebagaimana disebutkan pada Pasal 4 UUPK huruf b yang menyebutkan bahwa konsumen memiliki “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan”, dan huruf c yang menyatakan konsumen memiliki “hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan jaminan barang dan/atau jasa”.
KESIMPULAN
Berdasarsarkan paparan di atas penulis menyimpulkan dua point yaitu:
1. Pengaturan transaksi jual-beli pada produk yang menggunakan label harga dengan nominal rupiah yang tidak berlaku di indonesia diatur dalam KUHPerdata melalui Pasal 1458 yang menyebutkan bahwa jual-beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, ketika setelahnya mencapai sepakat mengenai kebendaan dan harganya. Syarat-syarat sah suatu perjanjian juga diatur dalam Pasal 1320 yang menyebutkan ada empat syarat, yaitu kesepakatan, kecakapan, suatu sebab tertentu, dan sebab yang halal, selanjutnya Pasal 1321 menyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh-nya dengan paksaan atau penipuan. Suatu perjanjian juga harus dilakukan berdasarkan itikad baik menurut Pasal 1338. Pencantuman harga suatu produk juga sudah diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 35 /M-DAG/PER/7/2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan, pada Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan bahwa penetapan harga barang dan/atau tarif jasa harus menggunakan mata uang dan nominal Rupiah yang berlaku.
2. Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen yang dirugikan dalam perjanjian jual-beli pada produk yang menggunakan label harga dengan nominal rupiah yang tidak berlaku di indonesia, pada dasarnya perlindungan hukum terdiri dari dua bentuk, yakni perlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif, Perlindungan Hukum Preventif yang pada hakikatnya bersifat pencegahan, diartikan sebagai upaya atau tindakan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat, perlindungan hukum preventif termasuk dalam upaya hukum untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran hak dan membatasi kepentingan tertentu yang dapat merugikan pihak lain. Sedangkan Perlindungan Hukum Represif, yakni perlindungan bagi masyarakat yang bersifat dan berfungsi untuk menyelesaikan sengketa yang timbul akibat terjadinya suatu pelanggaran. Perlindungan hukum represif ini merupakan bentuk tindakan atau upaya terakhir untuk melindungi masyarakat, dengan cara memberikan sanksi kepada pelanggar berupa hukuman atas pelanggaran yang telah terjadi.
REFERENSI
Xxxxxx, Xxxxxxx, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Medan: Medan Area University Press
Xxxxxxx, Xxxxxxx, 2011, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotaritan, Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx
Xxxxxxx, Xxxx Isnaeni, 2015, Perjanjian Jual Beli, Surabaya: Revka Xxxxx Xxxxx KBBI, 2015, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama
Xxxxxxxxx, Xxxxxx, 2016, Perjanjian Jual Beli, Yogyakarta: FH UII Press
Xxxx, Xxxxxx 2007, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta: Raja Grafindo Persada
1st Xxxxx Xxxxxxxx, 2st Xxxxxx Xxxxxxxx, | SALE-PURCHASE AGREEMENTS USING RUPIAH DENOMINATIONS THAT ARE NOT VALID BASED ON CONSUMER PROTECTION PERSPECTIVES
Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxxx, 2004, Hukum dan Penelitian, Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx
, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx
Xxxxxxx, Xxxxx, 2018, Hukum Perlindungan Konsumen, Yogyakarta: Pustaka Baru Press
X. Xxxxxx, Xxxxxxxx, 2011, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Jogjakarta: Gajah Mada University Press
, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu Xxxxxxx, Xxxxxxxx, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx
X. Xxxxxxxx, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Bina Cipta
X. Xxxxxxx dan X. Xxxxxxxxxxxxx, 2017, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Balai Pustaka Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa
, 2010, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx
Xxxxxxxxx, Xxxxx, 2013, Perjanjian Utang Piutang, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Peraturan Perundang-undangan :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Peraturan Menteri Perdagangan No. 35 /M-DAG/PER/7/2013 tentang Pencantuman Harga Barang dan Tarif Jasa yang Diperdagangkan
Jurnal-jurnal Hukum :
Xxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, "Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx Perjanjian Dinyatakan Batal Demi Hukum" to-ra, II (April, 2016)
Xxxxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, “Tinjauan Xxxxxxx Xxxx Itikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak Kerjasama Investasi Antara Pengusaha Dan Investor” Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, I (Mei, 2016)
Xxxxxxx, Xxxxx, "Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata)" Jurnal Pelangi Ilmu, V (Maret, 2012)
Xxxxx, Xxxx Xxxxxxx, and X. Xxxx & Xxxxxx, "Implikasi asas pacta sunt servanda pada keadaan memaksa (force majeure) dalam hukum perjanjian indonesia" Jurnal Kertha Semaya, VIII (Januari, 2020)
Xxxxxxxxxx, X. X, "Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku" Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, IV (Mei, 2010)
Sinaga, Niru Anita,"Implementasi Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hukum Perjanjian" Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, I (Juni, 2020)
Xxxxxxxxx, Xxxxxxx, and Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, "Perlindungan hukum konsumen atas penerapan klausula baku" Jurnal Yudisial, III (Juli, 2018)
Xxxxx, Xxxxxx, "Penyalahgunaan Keadaan dalam Bentuk Perjanjian Baku" Kanun Jurnal Ilmu Hukum, III (Mei, 2019)