DAFTAR ISI
i
DAFTAR ISI
1
BAB II NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA
PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
............................................................................................................ 3
BAB III PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
18
32
ii
39
BAB VI PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
48
54
iii
64
68
BAB IXA PENDELEGASIAN WEWENANG
73
73
73
74
UNDANG-UNDANG KONSOLIDASI KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN ENGLISH VERSION
75
iv
SUSUNAN DALAM SATU NASKAH
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2021
(1) | Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ***) |
(2) | Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. ***) |
(3) | Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. ***) |
(4) | Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. ***) |
(5) | Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. ***) |
(6) | Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. ***) |
(7) | Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. ***) |
(8) | Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. ***) |
(9) | Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. ***) |
(10) | Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
(11) | Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
(12) | Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. ***) |
(13) | Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. ***) |
(14) | Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. ***) |
1
(15) | Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. ***) |
(16) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. ***) |
(17) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. ***) |
(18) | Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. ***) |
(19) | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. ***) |
(20) | Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. ***) |
(21) | Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. ***) |
(22) | Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. ***) |
(23) | Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. ***) |
(24) | Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. |
(25) | Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
(26) | Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. ***) |
(27) | Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. ***) |
(28) | Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
(29) | Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. ***) |
(30) | Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. ***) |
(31) | Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. ***) |
(32) | Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***) |
2
(33) | Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga. ***) |
(34) | Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Xxxxx Xxxxx. ***) |
(35) | Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Xxxxx Xxxxx. ***) |
(36) | Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan. ***) |
(37) | Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Xxxxx Xxxxx atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak. ***) |
(38) | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu. ***) |
(39) | Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. ***) |
(40) | Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung. ***) |
(41) | Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung. ***) |
Penjelasan Pasal 1
Cukup jelas.
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
(1) | Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. ***) | |
(1a) | Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan. ******) | |
(2) | Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. ***) | |
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan: ***) | |
a. | tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau | |
b. | tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu. |
3
(4) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). ***) | |
(4a) | Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. ***) | |
(5) | Dihapus. ******) | |
(6) | Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila: ***) | |
a. | diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; | |
b. | Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha; | |
c. | Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau | |
d. | dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. | |
(7) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. ***) | |
(8) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. ***) | |
(9) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. ***) | |
(10) | Dalam rangka penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan. ******) |
Penjelasan Pasal 2
Ayat (1)
Semua Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
Persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya.
Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta.
Wanita kawin selain tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak atas namanya sendiri agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
4
Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut merupakan suatu sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak. Oleh karena itu, kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Selain itu, Nomor Pokok Wajib Pajak juga dipergunakan untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan. Dalam hal berhubungan dengan dokumen perpajakan, Wajib Pajak diwajibkan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak yang dimilikinya. Terhadap Wajib Pajak yang tidak mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai berdasarkan Undang- Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Pengusaha orang pribadi berkewajiban melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan, sedangkan bagi Pengusaha badan berkewajiban melaporkan usahanya tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Pengusaha dan tempat kegiatan usaha dilakukan.
Dengan demikian, Pengusaha orang pribadi atau badan yang mempunyai tempat kegiatan usaha di wilayah beberapa kantor Direktorat Jenderal Pajak wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak baik di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha maupun di kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan.
Fungsi pengukuhan Pengusaha Kena Pajak selain dipergunakan untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak yang sebenarnya juga berguna untuk melaksanakan hak dan kewajiban di bidang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serta untuk pengawasan administrasi perpajakan.
Terhadap Pengusaha yang telah memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Xxxx Xxxxx dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak maupun Pengusaha Kena Pajak tertentu, Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan kantor Direktorat Jenderal Pajak selain yang ditentukan pada ayat (1) dan ayat (2), sebagai tempat pendaftaran untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Selain itu, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai tempat usaha tersebar di beberapa tempat, misalnya pedagang elektronik yang mempunyai toko di beberapa pusat perbelanjaan, di samping wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak, juga diwajibkan mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dilakukan.
Ayat (4)
Terhadap Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak yang tidak memenuhi kewajiban untuk mendaftarkan diri dan/atau melaporkan usahanya dapat diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan. Hal ini dapat dilakukan apabila berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak ternyata orang pribadi atau badan atau Pengusaha tersebut telah memenuhi syarat untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
5
Ayat (4a)
Ayat ini mengatur bahwa dalam penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan harus memperhatikan saat terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif dari Wajib Pajak yang bersangkutan. Selanjutnya terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dikecualikan dari pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun Pemerintah berkaitan dengan kewajiban Wajib Pajak untuk mendaftarkan diri dan hak untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, misalnya terhadap Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan pada tahun 2008 dan ternyata Wajib Pajak telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan terhitung sejak tahun 2005, kewajiban perpajakannya timbul terhitung sejak tahun 2005.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Penggunaan nomor induk kependudukan sebagai identitas Wajib Pajak orang pribadi memerlukan pengintegrasian basis data kependudukan dengan basis data perpajakan yang digunakan sebagai pembentuk profil Wajib Pajak, serta dapat digunakan oleh Wajib Pajak dalam rangka pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya.
Data kependudukan dan data balikan dari pengguna merupakan data kependudukan dan data balikan dari pengguna sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai administrasi kependudukan.
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
Penjelasan Pasal 2A
Cukup jelas.
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. ***) |
6
(1a) | Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(1b) | Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Xxxxx atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(3) | Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah: ***) | |
a. | untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak; | |
b. | untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau | |
c. | untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. | |
(3a) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa. ***) | |
(3b) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(3c) | Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(4) | Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(5) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(5a) | Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran. ***) | |
(6) | Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(7) | Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila: ***) | |
a. | Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1); | |
b. | Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6); | |
c. | Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau | |
d. | Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. | |
(7a) | Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak. ***) | |
(8) | Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
7
Penjelasan Pasal 3
Ayat (1)
Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. | pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak; |
b. | penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak; |
c. | harta dan kewajiban; dan/atau |
d. | pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. |
Bagi Pengusaha Kena Pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. | pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan |
b. | pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. |
Bagi pemotong atau pemungut pajak, fungsi Surat Pemberitahuan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya.
Yang dimaksud dengan mengisi Surat Pemberitahuan adalah mengisi formulir Surat Pemberitahuan, dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara itu, yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. | benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; |
b. | lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan |
c. | jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan. |
Surat Pemberitahuan yang telah diisi dengan benar, lengkap, dan jelas tersebut wajib disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan oleh pemotong atau pemungut pajak dilakukan untuk setiap Masa Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir Surat Pemberitahuan disediakan pada kantor-kantor Direktorat Jenderal Pajak dan tempat-tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak yang diperkirakan mudah terjangkau oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Wajib Pajak juga dapat mengambil Surat Pemberitahuan dengan cara lain, misalnya dengan mengakses situs Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh formulir Surat Pemberitahuan tersebut.
Namun, untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirimkan Surat Pemberitahuan kepada Wajib Pajak.
8
Ayat (3)
Ayat ini mengatur tentang batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang dianggap cukup memadai bagi Wajib Pajak untuk mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembayaran pajak dan penyelesaian pembukuannya.
Ayat (3a)
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, antara lain Wajib Pajak usaha kecil, dapat:
a. | menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau |
b. | menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan. |
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada ayat (3) huruf b, atau huruf c karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (5)
Untuk mencegah usaha penghindaran dan/atau perpanjangan waktu pembayaran pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang harus dibayar sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, perlu ditetapkan persyaratan yang berakibat pengenaan sanksi administrasi berupa bunga bagi Wajib Pajak yang ingin memperpanjang waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Persyaratan tersebut berupa keharusan menyampaikan pemberitahuan sementara dengan menyebutkan besarnya pajak yang harus dibayar berdasarkan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan, sebagai lampiran pemberitahuan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Ayat (5a)
Dalam rangka pembinaan terhadap Wajib Pajak yang sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan ternyata tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan, terhadap Wajib Pajak yang bersangkutan dapat diberikan Surat Teguran.
Ayat (6)
Mengingat fungsi Surat Pemberitahuan merupakan sarana Wajib Pajak, antara lain untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak dan pembayarannya, dalam rangka keseragaman dan mempermudah pengisian serta pengadministrasiannya, bentuk dan isi Surat Pemberitahuan, keterangan, dokumen yang harus dilampirkan dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sekurang-kurangnya memuat jumlah peredaran, jumlah penghasilan, jumlah Penghasilan Kena Pajak, jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan atau kelebihan pajak, serta harta dan kewajiban di luar kegiatan usaha atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.
9
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilengkapi dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sekurang-kurangnya memuat jumlah Dasar Pengenaan Pajak, jumlah Pajak Keluaran, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, dan jumlah kekurangan atau kelebihan pajak.
Ayat (7)
Surat Pemberitahuan yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan Surat Pemberitahuan. Oleh karena itu, Surat Pemberitahuan dari Wajib Pajak yang disampaikan, tetapi tidak dilengkapi dengan lampiran yang dipersyaratkan, tidak dianggap sebagai Surat Pemberitahuan dalam administrasi Direktorat Jenderal Pajak. Dalam hal demikian, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Demikian juga apabila penyampaian Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar telah melewati 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis, atau apabila Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan tersebut dianggap sebagai data perpajakan.
Ayat (7a)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Pada prinsipnya setiap Wajib Pajak Pajak Penghasilan diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan. Dengan pertimbangan efisiensi atau pertimbangan lainnya, Menteri Keuangan dapat menetapkan Wajib Pajak Pajak Penghasilan yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan, misalnya Wajib Pajak orang pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak, tetapi karena kepentingan tertentu diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak.
(1) | Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. ***) |
(2) | Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. ***) |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. ***) |
(4) | Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. ***) |
(4a) | Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak. ***) |
(4b) | Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b. ***) |
(5) | Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
10
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (4a)
Yang dimaksud dengan Laporan Keuangan masing-masing Wajib Pajak adalah laporan keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak.
Contoh:
PT A memiliki saham pada PT B dan PT C. Dalam contoh tersebut, PT A mempunyai kewajiban melampirkan laporan keuangan konsolidasi PT A dan anak perusahaan, juga melampirkan laporan keuangan atas usaha PT A (sebelum dikonsolidasi), sedangkan PT B dan PT C wajib melampirkan laporan keuangan masing-masing, bukan laporan keuangan konsolidasi.
Ayat (4b)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan memuat hal-hal mengenai, antara lain, penelitian kelengkapan, pemberian tanda terima, pengelompokan Surat Pemberitahuan Lebih Bayar, Kurang Bayar, dan Nihil, prosedur perekaman dan tindak lanjut pengelolaannya, yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
Penjelasan Pasal 5
Cukup jelas.
(1) | Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Xxxxx Xxxxx ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Xxxxx Xxxxx diberikan bukti penerimaan. ***) |
(2) | Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(3) | Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap. ***) |
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
11
Ayat (2)
Dalam rangka peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara elektronik.
Ayat (3)
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau dengan cara lain merupakan bukti penerimaan, apabila Surat Pemberitahuan dimaksud telah lengkap, yaitu memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6).
(1) | Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. ***) | |
(2) | Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap: ***) | |
a. | Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia; | |
b. | Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; | |
c. | Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia; | |
d. | Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia; | |
e. | Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; | |
f. | Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi; | |
g. | Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Xxxaturan Menteri Keuangan; atau | |
h. | Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Maksud pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana diatur pada ayat ini adalah untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan dan meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
Ayat (2)
Bencana adalah bencana nasional atau bencana yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. ***) |
(1a) | Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. ***) |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) |
12
(2a) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) | |
(2b) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****) | |
(3) | Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu: *****) | |
a. | tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau | |
b. | menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, | |
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d, sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. | ||
(3a) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. *****) | |
(4) | Walaupun Direktur Jenderal Xxxxx telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. ******) | |
(5) | Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak: | |
a. | batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan; atau | |
b. | jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa, | |
dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) | ||
(5a) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****) | |
(6) | Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. ***) |
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Terhadap kekeliruan dalam pengisian Surat Pemberitahuan yang dibuat oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak masih berhak untuk melakukan pembetulan atas kemauan sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan. Yang dimaksud dengan "mulai melakukan tindakan pemeriksaan" adalah pada saat Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
13
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan tetapi belum menerbitkan surat ketetapan pajak, kepada Wajib Pajak baik yang telah maupun yang belum membetulkan Surat Pemberitahuan masih diberikan kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan, yang dapat berupa Surat Pemberitahuan Tahunan atau Surat Pemberitahuan Masa untuk tahun atau masa yang diperiksa. Pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tersebut dilakukan dalam laporan tersendiri dan harus mencerminkan keadaan yang sebenarnya sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang sesungguhnya terutang. Namun, untuk membuktikan kebenaran laporan Wajib Pajak tersebut, proses pemeriksaan tetap dilanjutkan sampai selesai.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Sehubungan dengan diterbitkannya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali atas suatu Tahun Pajak yang mengakibatkan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan tahun berikutnya atau tahun-tahun berikutnya, akan dilakukan penyesuaian rugi fiskal sesuai dengan surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dalam penghitungan Pajak Penghasilan tahun-tahun berikutnya, pembatasan jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut dimaksudkan untuk tertib administrasi tanpa menghilangkan hak Wajib Pajak atas kompensasi kerugian. Dalam hal Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan lewat jangka waktu 3 (tiga) bulan atau Wajib Pajak tidak mengajukan pembetulan sebagai akibat adanya surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, Direktur Jenderal Pajak akan memperhitungkannya dalam menetapkan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Untuk Jelasnya diberikan contoh sebagai berikut:
14
Contoh 1:
PT A menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2021 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar | Rp200.000.000,00 |
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2020 sebesar | Rp150.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak sebesar | Rp 50.000.000,00 |
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan, dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp70.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Xxxxx akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto | Rp200.000.000,00 |
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007 | Rp 70.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak | Rp130.000.000,00 |
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp50.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp150.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp130.000.000,00 (Rp200.000.000,00 - Rp70.000.000,00)
Contoh 2:
PT B menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2008 yang menyatakan:
Penghasilan Neto sebesar | Rp300.000.000,00 |
Kompensasi kerugian berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 sebesar | Rp200.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak sebesar | Rp100.000.000,00 |
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2007 dilakukan pemeriksaan dan pada tanggal 6 Januari 2010 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp250.000.000,00.
Berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut Direktur Jenderal Xxxxx akan mengubah perhitungan Penghasilan Kena Pajak tahun 2008 menjadi sebagai berikut:
Penghasilan Neto | Rp300.000.000,00 |
Rugi menurut ketetapan pajak tahun 2007 | Rp250.000.000,00 (-) |
Penghasilan Kena Pajak | Rp 50.000.000,00 |
Dengan demikian penghasilan kena pajak dari Surat Pemberitahuan yang semula Rp100.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp200.000.000,00) setelah pembetulan menjadi Rp50.000.000,00 (Rp300.000.000,00 - Rp250.000.000,00).
(1) | Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. ***) |
(2) | Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. ***) |
(2a) | Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) |
15
(2b) | Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) |
(2c) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****) |
(3) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. ***) |
(3a) | Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(4) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. *****) |
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(1) | Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
16
(1a) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(2) | Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Adanya tata cara pembayaran pajak, penyetoran pajak, dan pelaporannya, serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan diharapkan dapat mempermudah pelaksanaan pembayaran pajak dan administrasinya.
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. ***) |
(1a) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. ***) |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. ***) |
(3) | Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) |
(3a) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****) |
(4) | Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
17
Penjelasan Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah diadakan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan lebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan :
a. | untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak; |
b. | untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan; |
c. | untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan; |
d. | untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan; |
e. | untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Xxxxxx Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau |
f. | untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Xxxxxx Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan |
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
Pasal 12
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. ***) |
(2) | Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
(3) | Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. ***) |
18
Penjelasan Pasal 12
Ayat (1)
Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
a. | pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga; |
b. | pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Xxxxx Xxxxxx dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau |
c. | pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan. Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2), oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). Berdasarkan Undang-Undang ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak. |
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak.
Ayat (3)
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut: ******) | |
a. | terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar; | |
b. | Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; | |
c. | terdapat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); | |
d. | terdapat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; | |
e. | kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau | |
f. | Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. | |
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya |
19
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) | ||
(2a) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) | |
(2b) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****) | |
(3) | Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa: | |
a. | bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 (satu) Tahun Pajak; | |
b. | bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut; | |
c. | kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar; atau | |
d. | kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor. | |
(3a) | Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya. *****) | |
(3b) | Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. ******) | |
(3c) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 20% (dua puluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. ******) | |
(4) | Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud. *****) | |
(5) | Dihapus. *****) | |
(6) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
20
Ayat (3)
Ayat ini mengatur sanksi administrasi dari suatu ketetapan pajak karena melanggar kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d. Sanksi administrasi berupa kenaikan merupakan suatu jumlah proporsional yang harus ditambahkan pada pokok pajak yang kurang dibayar.
Besarnya sanksi administrasi berupa kenaikan berbeda-beda menurut jenis pajaknya, yaitu untuk jenis Pajak Penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen), untuk jenis Pajak Penghasilan yang dipotong oleh orang atau badan lain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen), sedangkan untuk jenis Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (3c)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Dihapus.
Penjelasan Pasal 13A
Dihapus.
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila: *****) | |
a. | Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; | |
b. | dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; | |
c. | Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga; | |
d. | pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak; | |
e. | pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; | |
f. | dihapus; | |
g. | dihapus; |
21
h. | terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal: *****) 1. diterbitkan keputusan; 2. diterima putusan; atau 3. ditemukan data atau informasi, yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak; atau | |
i. | terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4). | |
(2) | Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. ***) | |
(3) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) | |
(4) | Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. *****) | |
(5) | Dihapus. *****) | |
(5a) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****) | |
(5b) | Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. *****) | |
(5c) | Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (5b): *****) | |
a. | Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; | |
b. | Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya banding; dan | |
c. | Surat Tagihan Pajak atas sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum. | |
(6) | Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Surat Tagihan Pajak menurut ayat ini disamakan kekuatan hukumnya dengan surat ketetapan pajak sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
Ayat (3)
Cukup jelas.
22
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. ***) |
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. ***) |
(3) | Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. ***) |
(4) | Dihapus. *****) |
(5) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. *****) |
Penjelasan Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam Jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan keterangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan juga harus diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, tetapi bukan pemeriksaan ulang.
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak akan mungkin diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang
23
Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran- lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. | tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau |
b. | pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang. |
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
1. | Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000.00 biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000.00 sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap. |
2. | Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap. |
3. | Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang- barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Xxxx Xxxxx pembeli. Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Xxxx Xxxxx tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. |
24
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***) |
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Xxxxx tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. ***) |
(4) | Apabila diminta oleh Xxxxx Xxxxx, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***) |
Penjelasan Pasal 16
Ayat (1)
Pembetulan menurut ayat ini dilaksanakan dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik sehingga apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi perlu dibetulkan sebagaimana mestinya. Sifat kesalahan atau kekeliruan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak.
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a. | Surat Ketetapan Pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; |
b. | Surat Tagihan Pajak; |
c. | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak; |
d. | Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; |
e. | Surat Keputusan Pembetulan; |
f. | Surat Keputusan Keberatan; |
g. | Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi; |
h. | Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi; |
i. | Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau |
j. | Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. |
Ruang Lingkup pembetulan yang diatur pada ayat ini terbatas pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
25
a. | kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo; |
b. | kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau |
c. | kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak. |
Pengertian "membetulkan" pada ayat ini, antara lain, menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan, tergantung pada sifat kesalahan dan kekeliruannya.
Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pembetulan lagi karena jabatan.
Ayat (2)
Untuk memberikan kepastian hukum, permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diputuskan dalam batas waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima.
Ayat (3)
Dalam hal batas waktu 6 (enam) bulan terlampaui, tetapi Direktur Jenderal Xxxxx belum memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
Dengan dianggap dikabulkannya permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. ***) |
(2) | Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(3) | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. ***) |
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. | Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; |
b. | Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau |
c. | Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. |
26
Ayat (2)
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. ***) |
(2) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 17A
Ayat (1)
Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Nihil diterbitkan untuk:
a. | Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; |
b. | Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau |
c. | Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. |
Ayat (2)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. ***) |
(1a) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(2) | Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. ***) |
(3) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. *****) |
27
(4) | Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a): *****) | |
a. | tidak dilanjutkan dengan penyidikan; | |
b. | dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau | |
c. | dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, | |
dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. | ||
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diberikan dalam hal pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan: *****) | |
a. | tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3); atau | |
b. | dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan karena dilakukan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B. | |
(6) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) | |
(7) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****) |
Penjelasan Pasal 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan "sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan" adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
28
Ayat (7)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. ***) | |
(2) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:***) | |
a. | tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; | |
b. | tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; | |
c. | Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan | |
d. | tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. | |
(3) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. ***) | |
(4) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***) | |
(5) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. ***) | |
(6) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila: ***) | |
a. | terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
b. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut; | |
c. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau | |
d. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. | |
(7) | Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 17C
Ayat (1)
Terhadap permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu setelah dilakukan penelitian harus diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
a. | 3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan; |
b. | 1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai |
sejak permohonan diterima secara lengkap, dalam arti bahwa Surat Pemberitahuan telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6). Permohonan dapat disampaikan dengan cara mengisi kolom dalam Surat Pemberitahuan atau dengan surat tersendiri. Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan konfirmasi kebenaran kredit pajak.
Ayat (2)
Termasuk dalam pengertian kepatuhan penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
a. | tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir; |
29
b. | dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan |
c. | Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya. Bahwa Wajib Pajak tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan pada tanggal 31 Desember. Utang pajak yang belum melewati batas akhir pelunasan tidak termasuk dalam pengertian tunggakan pajak. |
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang telah memperoleh pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Surat ketetapan pajak tersebut dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (5)
Untuk mendorong Wajib Pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, maka apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Untuk jelasnya cara penghitungan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
1) Pajak Penghasilan
- Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp80.000.000,00.
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. | Pajak Penghasilan yang terutang sebesar | Rp100.000.000,00 |
b. | Kredit pajak, yaitu: - Pajak Penghasilan Pasal 22 - Pajak Penghasilan Pasal 23 - Pajak Penghasilan Pasal 25 | Rp 20.000.000,00 Rp 40.000.000,00 Rp 90.000.000,00 |
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
- | Pajak Penghasilan yang terutang sebesar | Rp100.000.000,00 | |
- | Kredit Pajak: | ||
- Pajak Penghasilan Pasal 22 | Rp 20.000.000,00 | ||
- Pajak Penghasilan Pasal 23 | Rp 40.000.000,00 | ||
- Pajak Penghasilan Pasal 25 | Rp 90.000.000,00 (+) | ||
Rp150.000.000,00 | |||
- | Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak | ||
Rp 80.000.000,00 (-) | |||
- | Jumlah pajak yang dapat dikreditkan | Rp 70.000.000,00 (-) | |
Pajak yang tidak/kurang dibayar | Rp 30.000.000,00 | ||
Sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% | Rp 30.000.000,00 (+) | ||
Jumlah yang masih harus dibayar | Rp 60.000.000,00 |
30
2) Pajak Pertambahan Nilai
- Pengusaha Xxxx Xxxxx telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebesar Rp60.000.000,00
- Dari pemeriksaan diperoleh hasil sebagai berikut:
a. | Pajak Keluaran | Rp100.000.000,00 |
b. | Kredit pajak, yaitu Pajak Masukan | Rp150.000.000,00 |
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan sebagai berikut:
- | Pajak Keluaran | Rp100.000.000,00 |
- | Kredit Pajak: | |
- Pajak Masukan | Rp150.000.000,00 | |
- Jumlah Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak | Rp 60.000.000.00 (-) | |
- | Jumlah pajak yang dapat dikreditkan | Rp 90.000.000,00 (-) |
Pajak yang kurang dibayar | Rp 10.000.000,00 | |
Sanksi administrasi kenaikan 100% | Rp 10.000.000,00 (+) | |
Jumlah yang masih harus dibayar | Rp 20.000.000,00 |
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. ***) | |
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah: ***) | |
a. | Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; | |
b. | Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; | |
c. | Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau | |
d. | Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. | |
(3) | Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) | |
(4) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***) | |
(5) | Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen). ***) |
Penjelasan Pasal 17D
Ayat (1)
Cukup jelas.
31
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mengurangi penyalahgunaan pemberian kemudahan percepatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan setelah memberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (5)
Untuk memotivasi Wajib Pajak agar melaporkan jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 17E
Cukup jelas.
(1) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak. ***) |
(2) | Dihapus. ***) |
Penjelasan Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
(1) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) |
32
(2) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitungpenuh 1 (satu) bulan. *****) |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. *****) |
(4) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. *****) |
Penjelasan Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(1) | Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. ***) | |
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila: ***) | |
a. | Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; | |
b. | Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; | |
c. | terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; | |
d. | badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau | |
e. | terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. | |
(3) | Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. ***) |
33
Penjelasan Pasal 20
Ayat (1)
Apabila jumlah utang pajak tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran atau sampai dengan tanggal jatuh tempo penundaan pembayaran, atau Wajib Pajak tidak memenuhi angsuran pembayaran pajak, penagihannya dilaksanakan dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Penagihan pajak dengan Surat Paksa tersebut dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penagihan seketika dan sekaligus" adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(1) | Menteri Keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. |
(2) | Pelaksanaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang meliputi pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra atau yurisdiksi mitra. |
(3) | Pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian internasional secara resiprokal. |
(4) | Negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional. |
(5) | Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perjanjian bilateral atau multilateral yang mengatur kerja sama mengenai hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak, meliputi: a. persetujuan penghindaran pajak berganda; b. konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan; atau c. perjanjian bilateral atau multilateral lainnya. |
(6) | Bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra. |
(7) | Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan instrumen legal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat: a. nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan; dan b. identitas penanggung pajak atas klaim pajak. |
(8) | Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan dasar penagihan pajak yang dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra. |
(9) | Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra ditampung dalam rekening pemerintah lainnya sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi mitra. |
Penjelasan Pasal 20A
Ayat (1)
Undang-Undang ini memberi wewenang kepada Menteri Keuangan melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra.
34
Yang dimaksud dengan "bantuan penagihan pajak" adalah fasilitas bantuan penagihan pajak yang terdapat di dalam perjanjian internasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara resiprokal untuk melakukan penagihan atas utang pajak yang diadministrasikan oleh Direktur Jenderal Pajak atau otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Ayat (2)
Dalam pelaksanaan kerja sama bantuan penagihan pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan kegiatan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra. Pelaksanaan bantuan penagihan pajak tersebut meliputi pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Ayat (3)
Penerapan prinsip resiprokal dalam ayat ini dimaksudkan Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan bantuan penagihan pajak kepada pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra sepanjang pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tersebut juga memberikan bantuan penagihan pajak yang setara kepada Pemerintah Indonesia. Misalnya, tindakan penagihan pajak akan dilakukan sampai dengan memberitahukan Surat paksa dalam hal negara mitra atau yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan penagihan pajak sampai dengan memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "perjanjian internasional" adalah perjanjian bilateral atau multilateral yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional, yang menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah mengikatkan dirinya dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra mengenai kerja sama atas hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak. Termasuk dalam perjanjian internasional di antaranya konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan (convention on mutual administrative assistance in tax matters).
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "nilai klaim pajak" adalah nilai uang yang dimintakan bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra yang memuat antara lain nilai pokok pajak yang masih harus dibayar, sanksi administratif, dan biaya penagihan yang dikenakan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Sementara itu, biaya penagihan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Xxxxx dalam rangka pemberian bantuan penagihan pajak ditanggung oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra yang meminta bantuan penagihan pajak, dalam hal klaim pajak dapat tertagih, dan berlaku sebaliknya. Biaya penagihan tersebut dicatat sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Dalam hal klaim pajak tidak dapat tertagih, biaya penagihan pajak yang sudah dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak ditanggung oleh negara.
Klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan pajak oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra tidak
dalam sengketa (yang sudah inkrah) di negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Huruf b
Identitas penanggung pajak paling kurang memuat nama, nomor identitas, dan alamat penanggung pajak.
35
Ayat (8)
Klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra merupakan dasar penagihan pajakyang akan dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan perundang- undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra.
Nilai klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra kedudukannya dipersamakan dengan utang pajak. Oleh karena itu, atas nilai klaim pajak tersebut dilakukan tindakan penagihan pajak oleh Direktur Jenderal pajak melalui kegiatan menegur atau memperingatkan, menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa, melaksanakan penyitaan, menjual barang yang telah disita, mengusulkan pencegahan, dan melaksanakan penyanderaan sesuai dengan ketentuan perundangundangan di bidang perpajakan.
Tindakan penagihan pajak dilakukan secara setara dengan tindakan yang dilakukan oleh negara mitra atau yurisdiksi mitra. Misalnya, tindakan penagihan pajak akan dilakukan sampai dengan memberitahukan Surat Paksa dalam hal negara mitra atau yurisdiksi mitra melakukan bantuan tindakan penagihan pajak sampai dengan memberitahukan Surat Paksa atau tindakan yang dapat dipersamakan dengan itu.
Tindakan penagihan pajak dilakukan terhadap penanggung pajak yang identitasnya tercantum dalam klaim pajak.
Ayat (9)
Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra ditampung dalam rekening pemerintah lainnya yang terpisah dari rekening kas negara atau modul penerimaan negara sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi mitra. Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra bukan merupakan Penerimaan Negara sehingga tidak dicatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara karena tidak termasuk dalam ranah keuangan negara.
(1) | Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. ***) | |
(2) | Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. ***) | |
(3) | Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: ***) | |
a. | biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak; | |
b. | biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau | |
c. | biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. | |
(3a) | Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. ***) | |
(4) | Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. ***) | |
(5) | Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut: ***) | |
a. | dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau | |
b. | dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan. |
36
Penjelasan Pasal 21
Ayat (1)
Ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum.
Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
(1) | Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. ***) | |
(2) | Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila: ***) | |
a. | diterbitkan Surat Paksa; | |
b. | ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung; | |
c. | diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau | |
d. | dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
Penjelasan Pasal 22
Ayat (1)
Saat daluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak Surat Tagihan Pajak dan surat ketetapan pajak diterbitkan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan, keberatan, banding atau Peninjauan Kembali, daluwarsa penagihan pajak 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ayat (2)
Daluwarsa penagihan pajak dapat melampaui 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila:
a. | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut. |
37
b. | Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
c. | Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut. |
d. | Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(1) | Dihapus. ***) | |
(2) | Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap: ***) | |
a. | pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang; | |
b. | keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak; | |
c. | keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau | |
d. | penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan | |
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. | ||
(3) | Dihapus. ***) |
Penjelasan Pasal 23
Ayat (1)
Dihapus.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dihapus.
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
Penjelasan Pasal 24
Menteri Keuangan mengatur tata cara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.
38
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:***) | |
a. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; | |
b. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; | |
c. | Surat Ketetapan Pajak Nihil; | |
d. | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau | |
e. | pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. | |
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. ***) | |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. ***) | |
(3a) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. ***) | |
(4) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan. ***) | |
(5) | Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. ***) | |
(6) | Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak. ***) | |
(7) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. ***) | |
(8) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). ***) | |
(9) | Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. ******) | |
(10) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan. ******) |
Penjelasan Pasal 25
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah rugi, jumlah pajak, dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana mestinya, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak.
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak. Yang dimaksud dengan "suatu" pada ayat ini adalah 1 (satu) keberatan harus diajukan terhadap 1 (satu) jenis pajak dan 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak.
39
Contoh:
Keberatan atas ketetapan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak 2009 harus diajukan masing-masing dalam 1 (satu) surat keberatan tersendiri. Untuk 2 (dua) Tahun Pajak tersebut harus diajukan 2 (dua) buah surat keberatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "alasan yang menjadi dasar penghitungan" adalah alasan-alasan yang jelas dan dilampiri dengan fotokopi surat ketetapan pajak, bukti pemungutan, atau bukti pemotongan.
Ayat (3)
Batas waktu pengajuan surat keberatan ditentukan dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan maksud agar Wajib Pajak mempunyai waktu yang cukup memadai untuk mempersiapkan surat keberatan beserta alasannya.
Apabila ternyata bahwa batas waktu 3 (tiga) bulan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Wajib Pajak karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak (force majeur), tenggang waktu selama 3 (tiga) bulan tersebut masih dapat dipertimbangkan untuk diperpanjang oleh Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (3a)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (4)
Permohonan keberatan yang tidak memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan surat keberatan, sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Ayat (5)
Tanda penerimaan surat yang telah diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak atau oleh pos berfungsi sebagai tanda terima surat keberatan apabila surat tersebut memenuhi syarat sebagai surat keberatan. Dengan demikian, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak tanggal penerimaan surat dimaksud.
Apabila surat Wajib Pajak tidak memenuhi syarat sebagai surat keberatan dan Wajib Pajak memperbaikinya dalam batas waktu penyampaian surat keberatan, batas waktu penyelesaian keberatan dihitung sejak diterima surat berikutnya yang memenuhi syarat sebagai surat keberatan.
Ayat (6)
Agar Wajib Pajak dapat menyusun keberatan dengan alasan yang kuat, Wajib Pajak diberi hak untuk meminta dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, Direktur Jenderal Xxxxx berkewajiban untuk memenuhi permintaan tersebut.
Ayat (7)
Ayat ini mengatur bahwa jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila
40
Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen).
Contoh:
Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 19, tetapi dikenai sanksi administratif sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 30% x (Rp750.000.000,00 - Rp200.000.000,00) = Rp165.000.000,00.
Ayat (10) Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. ***) |
(2) | Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. ***) |
(3) | Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. ***) |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. ***) |
(5) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Xxxxx tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. ***) |
Penjelasan Pasal 26
Ayat (1)
Terhadap surat keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak, kewenangan penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan ketentuan batasan waktu penyelesaian keputusan atas keberatan Wajib Pajak ditetapkan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
Dengan ditentukannya batas waktu penyelesaian keputusan atas keberatan tersebut, berarti akan diperoleh suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak selain terlaksananya administrasi perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ayat ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan. Surat ketetapan pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan meskipun telah ditegur secara tertulis, tidak memenuhi kewajiban menyelenggarakan pembukuan, atau menolak untuk memberikan kesempatan kepada pemeriksa memasuki tempat- tempat tertentu yang dipandang perlu, dalam rangka pemeriksaan guna menetapkan besarnya jumlah
41
pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak tidak dapat membuktikan ketidakbenaran surat ketetapan pajak secara jabatan, pengajuan keberatannya ditolak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
(1) | Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(2) | Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. ***) |
(3) | Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan. ***) |
(4) | Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya. ***) |
Penjelasan Pasal 26A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Xxxx dapat memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh keadilan dalam penyelesaian keberatannya, dalam tata cara sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur, antara lain, Wajib Pajak dapat hadir untuk memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). ***) |
(2) | Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. ***) |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. ***) |
(4) | Dihapus. ***) |
(4a) | Apabila diminta oleh Xxxxx Xxxxx untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Xxxxx harus memberikan keterangan secara tertulis hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permintaan tertulis diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. ******) |
(5) | Dihapus. ***) |
(5a) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada |
42
saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. ***) | |
(5b) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). ***) |
(5c) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. ******) |
(5d) | Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. ******) |
(5e) | Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Xxxxx mengajukan permohonan peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau dihentikan. ******) |
(5f) | Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. ******) |
(5g) | Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. ******) |
(6) | Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang. ***) |
Penjelasan Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (4a)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dihapus.
Ayat (5a)
Ayat ini mengatur bahwa bagi Wajib Pajak yang mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan.
Ayat (5b)
Cukup jelas.
Ayat (5c)
Cukup jelas.
43
Ayat (5d)
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 60% (seratus persen) sebagaimana dimaksud pada ayat ini.
Contoh:
Untuk Tahun Pajak 2023, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) diterbitkan terhadap PT A. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak hanya menyetujui pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Wajib Pajak telah melunasi sebagian SKPKB tersebut sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan kemudian mengajukan keberatan atas koreksi lainnya. Direktur Jenderal Pajak mengabulkan sebagian keberatan Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Selanjutnya Wajib Pajak mengajukan permohonan banding dan oleh Pengadilan Pajak diputuskan besarnya pajak yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah). Dalam hal ini, baik sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 maupun sanksi administratif berupa denda sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) tidak dikenakan. Namun, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp450.000.000,00 - Rp200.000.000,00) = Rp150.000.000,00.
Ayat (5e)
Cukup jelas.
Ayat (5f)
Dalam hal terhadap Putusan Banding diajukan permohonan peninjauan kembali oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak dan berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali mengakibatkan jumlah pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak bertambah, terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Contoh 1:
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) terhadap Wajib Pajak untuk Tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang bayar dengan nilai Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak tidak menyetujui seluruhnya pajak yang masih harus dibayar, sehingga tidak ada pembayaran atas SKPKB yang dilakukan oleh Wajib Pajak sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan oleh Xxxxx Xxxxx, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan yang isinya menolak seluruh keberatan Wajib Pajak. Wajib Pajak kemudian mengajukan permohonan banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menerima seluruh banding Wajib Pajak. Berdasarkan Putusan Banding tersebut, tidak terdapat pajak yang masih harus dibayar oleh Wajib Pajak. Direktur Jenderal Xxxxx kemudian mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil Putusan Peninjauan Kembali mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar Rp3.000.000.000,00 ditambah sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini yaitu sebesar 60% x Rp3.000.000.000,00 = Rp 1.800.000.000,00.
Contoh 2:
Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) terhadap Wajib Pajak untuk Tahun Pajak 2023 dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan badan yang sebelumnya disampaikan oleh Wajib Pajak berstatus kurang bayar dengan nilai Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak menyetujui jumlah pajak yang masih harus dibayar sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) sehingga Wajib Pajak melakukan pembayaran atas SKPKB sejumlah yang disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebelum pengajuan keberatan. Berdasarkan pengajuan keberatan oleh Xxxxx Xxxxx, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan
44
Surat Keputusan Keberatan yang isinya menolak seluruh keberatan Wajib Pajak. Wajib pajak kemudian mengajukan permohonan banding dan Hakim Pengadilan Pajak memutuskan menerima sebagian banding Wajib Pajak dan menyatakan pajak yang kurang dibayar menjadi sebesar Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Mengingat bahwa Wajib Pajak telah melakukan pembayaran sebelum pengajuan keberatan yang jumlahnya senilai dengan Putusan Banding, maka tidak terdapat pajak yang harus dilunasi berdasarkan Putusan Banding oleh Wajib Pajak dan tidak dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5d). Direktur Jenderal Xxxxx kemudian mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Hasil putusan Peninjauan Kembali mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan bahwa jumlah pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak adalah sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam hal ini, Wajib Pajak harus melunasi kurang bayar sebesar Rp3.000.000.000,00 - Rp600.000.000,00 = Rp2.400.000.000,00, ditambah sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat ini, yaitu sebesar 60% x (Rp3.000.000.000,00 Rp600.000.000,00) = Rp 1.440.000.000,00.
Ayat (5g)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Dihapus.
Penjelasan Pasal 27A
Dihapus.
(1) | Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. *****) | |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan: | |
a. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar; | |
b. | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan; | |
c. | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau | |
d. | Surat Ketetapan Pajak Nihil. *****) | |
(3) | Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. *****) | |
(4) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan: *****) | |
a. | berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan | |
b. | diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(5) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. *****) | |
(6) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. *****) | |
(7) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dihitung: *****) |
45
a. | sejak tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak; | |
b. | sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak; atau | |
c. | sejak tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak. | |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. *****) |
Penjelasan Pasal 27B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. |
(2) | Prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh: a. Wajib Pajak dalam negeri; b. Direktur Jenderal Pajak; c. pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda; atau d. warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi. |
46
(3) | Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan: a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; b. permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau c. pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b. |
(4) | Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak: a. melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama; atau b. menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama. |
(5) | Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan bersama. |
(6) | Surat keputusan tentang persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a) atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. |
Penjelasan Pasal 27C
Ayat (1)
Cukup jelas Yang dimaksud dengan "prosedur persetujuan bersama" atau mutual agreement procedure adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Agar prosedur persetujuan bersama dapat secara efektif mendorong Wajib Pajak untuk mendapatkan keadilan dan mengeliminasi pemajakan berganda, perlu diatur interaksinya dalam hal prosedur persetujuan bersama dilaksanakan bersamaan dengan proses penyelesaian sengketa domestik, khususnya pengajuan banding dan. peninjauan kembali. Ayat ini menegaskan bahwa dalam hal putusan banding atau peninjauan kembali telah diucapkan terlebih dahulu sebelum dicapainya persetujuan bersama tetapi sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama tidak diputus dalam putusan banding atau peninjauan kembali, perundingan dalam rangka prosedur persetujuan bersama dilanjutkan.
Dalam hal putusan banding atau peninjauan kembali juga memutus sengketa yang diajukan prosedur persetujuan bersama maka perundingan tetap dapat dilanjutkan dengan mendasarkan posisi runding Direktur Jenderal Pajak pada putusan banding atau peninjauan kembali. Dalam hal persetujuan bersama tidak dapat dicapai dengan posisi runding tersebut, Direktur Jenderal Xxxxx dapat mengusulkan untuk menghentikan perundingan dengan memperhatikan ketentuan dan kaidah dalam negosiasi dan perundingan internasional, khususnya terkait pelaksanaan prosedur persetujuan bersama.
Ayat (5)
Cukup jelas.
47
Ayat (6)
Cukup jelas.
BAB VI PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
(1) | Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. ***) |
(2) | Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. ***) |
(3) | Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. ***) |
(4) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. ***) |
(5) | Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. ***) |
(6) | Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. ***) |
(7) | Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. ***) |
(8) | Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Xxxxx Xxxxx setelah mendapat izin Menteri Keuangan. ***) |
(9) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. ***) |
(10) | Dihapus. ***) |
(11) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. ***) |
(12) | Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
48
Ayat (5)
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan:
a. | stelsel pengakuan penghasilan; |
b. | tahun buku; |
c. | metode penilaian persediaan; atau |
d. | metode penyusutan dan amortisasi. |
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti build operate and transfer (BOT) dan real estat.
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode tertentu.
Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi lain dibayar.
Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut:
1) | Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan. |
2) | Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak- hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi. |
3) | Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten). |
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan stelsel campuran.
Ayat (6)
Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. Perubahan metode pembukuan harus diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.
Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusutan aktiva tetap dengan menggunakan metode penyusutan tertentu.
Contoh:
Wajib Pajak dalam tahun 2008 menggunakan metode penyusutan garis lurus atau straight line method. Jika dalam tahun 2009 Wajib Pajak bermaksud mengubah metode penyusutan aktiva dengan menggunakan metode penyusutan saldo menurun atau declining balance method, Wajib Pajak harus minta persetujuan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Pajak yang diajukan sebelum dimulainya
49
tahun buku 2009 dengan menyebutkan alasan dilakukannya perubahan metode penyusutan dan akibat dari perubahan tersebut.
Selain itu, perubahan periode tahun buku juga berakibat berubahnya jumlah penghasilan atau kerugian Wajib Pajak. Oleh karena itu, perubahan tersebut juga harus mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak.
Tahun Pajak adalah sama dengan tahun kalender kecuali Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
Apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan Tahun Pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 (enam) bulan pertama atau lebih.
Contoh:
a. | Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008. |
b. | Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009. |
Ayat (7)
Pengertian pembukuan telah diatur dalam Pasal 1 angka 29. Pengaturan dalam ayat ini dimaksudkan agar berdasarkan pembukuan tersebut dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Selain dapat dihitung besarnya Pajak Penghasilan, pajak lainnya juga harus dapat dihitung dari pembukuan tersebut. Agar Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dapat dihitung dengan benar, pembukuan harus mencatat juga jumlah harga perolehan atau nilai impor, jumlah harga jual atau nilai ekspor, jumlah harga jual dari barang yang dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, jumlah pembayaran atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan yang tidak dapat dikreditkan.
Dengan demikian, pembukuan harus diselenggarakan dengan cara atau sistem yang lazim dipakai di Indonesia, misalnya berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan, kecuali peraturan perundang- undangan perpajakan menentukan lain.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Pencatatan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan pekerjaan bebas meliputi peredaran atau penerimaan bruto dan penerimaan penghasilan lainnya, sedangkan bagi mereka yang semata-mata menerima penghasilan dari luar usaha dan pekerjaan bebas, pencatatannya hanya mengenai penghasilan bruto, pengurang, dan penghasilan neto yang merupakan objek Pajak Penghasilan.
Di samping itu, pencatatan meliputi pula penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
Ayat (10)
Dihapus.
Ayat (11)
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama
10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan.
50
Ayat (12)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) | |
(2) | Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. ***) | |
(3) | Wajib Pajak yang diperiksa wajib: ***) | |
a. | memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; | |
b. | memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau | |
c. | memberikan keterangan lain yang diperlukan. | |
(3a) | Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. ***) | |
(3b) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) | |
(4) | Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***) |
Penjelasan Pasal 29
Ayat (1)
Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
a. | menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau |
b. | tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.
Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, di antaranya:
a. | pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan; |
b. | penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; |
c. | pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; |
d. | Wajib Pajak mengajukan keberatan; |
e. | pengumpulan bahan guna penyusunan Xxxxx Xxxxhitungan Penghasilan Neto; |
f. | pencocokan data dan/atau alat keterangan; |
g. | penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; |
h. | penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai; |
i. | pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; |
51
j. | penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau |
k. | pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. |
Ayat (2)
Pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas pemeriksa yang jelas identitasnya. Oleh karena itu, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan, serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus menjelaskan tujuan dilakukannya pemeriksaan kepada Wajib Pajak.
Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pendapat dan simpulan petugas pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan serta berlandaskan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Petugas pemeriksa harus melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Apabila Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan atau pembukuan dengan menggunakan proses pengolahan data secara elektronik (electronic data processing/EDP), baik yang diselenggarakan sendiri maupun yang diselenggarakan melalui pihak lain, Wajib Pajak harus memberikan akses kepada petugas pemeriksa untuk mengakses dan/atau mengunduh data dari catatan, dokumen, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak.
Berdasarkan ayat ini Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Keterangan tertulis misalnya:
a. | surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik; |
b. | keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya; |
c. | surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau |
d. | surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup. |
Keterangan lisan misalnya:
x. | xxxxxxxxx tentang proses pembukuan Wajib Pajak; |
b. | wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau |
c. | wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus. |
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (3b)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk mencegah adanya dalih bahwa Wajib Pajak yang sedang diperiksa terikat pada kerahasiaan sehingga pembukuan, catatan, dokumen serta keterangan-keterangan lain yang diperlukan tidak dapat diberikan oleh Wajib Pajak maka ayat ini menegaskan bahwa kewajiban merahasiakan itu ditiadakan.
52
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:***)
a. | Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau |
b. | terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko |
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor.
Penjelasan Pasal 29A
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan menjadi lebih sederhana dan cepat penyelesaiannya sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Mengingat pemeriksaan dapat dilakukan melalui Pemeriksaan Kantor dan jangka waktu pemeriksaannya cukup singkat, Direktur Jenderal Pajak melalui Wajib Pajak dapat meminta kertas kerja pemeriksaan yang dibuat oleh Akuntan Publik.
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b. ***) |
(2) | Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 30
Ayat (1)
Dalam pemeriksaan dapat ditemukan adanya Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b, yakni tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan pemeriksaan.
Dalam hal demikian, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa dipandang perlu memberi kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa untuk melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak bergerak.
Penyegelan merupakan upaya terakhir pemeriksa untuk memperoleh atau mengamankan buku, catatan, dokumen termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
Penyegelan data elektronik dilakukan sepanjang tidak menghentikan kelancaran kegiatan operasional perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
53
(1) | Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
(2) | Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. ***) |
(3) | Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. ***) |
Penjelasan Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk lebih memberikan keseimbangan hak kepada Wajib Pajak dalam menanggapi temuan hasil pemeriksaan, dalam tata cara pemeriksaan tersebut, antara lain, mengatur kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam batas waktu yang ditentukan, hasil pemeriksaan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(1) | Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal: ***) | |
a. | badan oleh pengurus; | |
b. | badan yang dinyatakan pailit oleh kurator; | |
c. | badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan; | |
d. | badan dalam likuidasi oleh likuidator; | |
e. | suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau | |
f. | anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. | |
(2) | Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. ***) | |
(3) | Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) | |
(3a) | Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. ******) |
54
(4) | Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. ***) |
Penjelasan Pasal 32
Ayat (1)
Dalam Undang-Undang ini ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.
Ayat (2)
Ayat ini menegaskan bahwa wakil Wajib Pajak yang diatur dalam Undang-Undang ini bertanggung jawab secara pribadi atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang.
Pengecualian dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Xxxxx apabila wakil Wajib Pajak dapat membuktikan dan meyakinkan bahwa dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, tidak mungkin dimintai pertanggungjawaban.
Ayat (3)
Ayat ini memberikan kelonggaran dan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk meminta bantuan pihak lain yang memahami masalah perpajakan sebagai kuasanya, untuk dan atas namanya, membantu melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Bantuan tersebut meliputi pelaksanaan kewajiban formal dan material serta pemenuhan hak Wajib Pajak yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud dengan "kuasa" adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (3a)
Untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan, seora5rg kuasa yang ditunjuk oleh Wajib Pajak harus memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Kompetensi tertentu antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan. Oleh karena itu, kuasa dapat dilakukan oleh konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ayat (4)
Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan dalam ayat ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.
(1) | Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi. |
(3) | Penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berlaku secara mutatis mutandis terhadap pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penyelenggara sistem elektronik, selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap penyelenggara sistem elektronik dimaksud dapat dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberikan teguran. |
55
(5) | Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah diberikan teguran, terhadap pihak lain tidak dikenai sanksi pemutusan akses. |
(6) | Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan pemutusan akses, terhadap pihak lain dilakukan normalisasi akses kembali. |
(7) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang melakukan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan melakukan normalisasi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 32A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk meningkatkan realisasi potensi perpajakan serta untuk mengoptimalkan pengenaan pajak, dapat diterapkan skema pemotongan dan/atau pemungutan pajak (withholding tax) melalui penunjukan pemotong dan/atau pemungut pajak, yaitu pihak lain.
Pihak lain yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak merupakan subjek pajak baik dalam negeri maupun luar negeri, yang terlibat langsung atau yang memfasilitasi transaksi misalnya dengan menyediakan sarana atau media transaksi, termasuk transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Contoh 1:
PT ABC adalah Wajib Pajak dalam negeri yang menyediakan peer to peer lending platform di Indonesia. Tuan A meminjamkan sejumlah dana kepada Turan B melalui platform tersebut. Dalam skema ini, meskipun PT ABC hanya sebagai perantara transaksi antara Tuan A dan Tuan B dalam peer to peer lending platform, Menteri Keuangan dapat menunjuk PT ABC sebagai pihak lain untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh Tuan A dari Tuan B.
Contoh 2:
R Inc. merupakan perusahaan yang menyediakan situs untuk berbagi video yang berkedudukan di luar Indonesia. Xxxx X, seorang pencipta konten (content creator) mendapatkan penghasilan dari R Inc.. Dalam transaksi ini, R Inc. merupakan pihak lain yang dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada Tuan C.
Contoh 3:
PT DEF merupakan penyedia marketplace platform dalam negeri sebagai wadah pedagang barang dan/atau penyedia jasa untuk memasang penawaran barang dan/atau jasa. PT PQR merupakan Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penawaran barang melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF. Tuan Z melakukan pembelian barang yang ditawarkan oleh PT PQR melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF. PT DEF dapat ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai pemungut PPN untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PT PQR kepada Tuan Z yang dilakukan melalui marketplace platform yang disediakan oleh PT DEF.
Ayat (3)
Pengaturan mengenai penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sesuai Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang- Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berlaku juga terhadap pihak lain, termasuk subjek pajak yang berada di luar wilayah hukum Indonesia.
56
Ayat (4)
Penyelenggara sistem elektronik merupakan penyelenggara sistem elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Dihapus.
Penjelasan Pasal 33
Dihapus. ***)
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) | |
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Xxxxx untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) | |
(2a) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: ***) | |
a. | pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau | |
b. | pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. | |
(3) | Demi kepentingan negara, dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang- Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. ******) | |
(4) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. ***) | |
(5) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. ***) |
Penjelasan Pasal 34
Ayat (1)
Setiap pejabat, baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan, antara lain:
57
a. | Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Xxxxx Xxxxx; |
b. | data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; |
c. | dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia; |
d. | dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan. |
Ayat (2)
Para ahli, seperti ahli bahasa, akuntan, dan pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Xxxxx untuk membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan adalah sama dengan petugas pajak yang dilarang pula untuk mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ayat (2a)
Keterangan yang dapat diberitahukan adalah identitas Wajib Pajak dan informasi yang bersifat umum tentang perpajakan.
Identitas Wajib Pajak meliputi:
1. | nama Xxxxx Xxxxx; | |
2. | Nomor Pokok Wajib Pajak; | |
3. | alamat Wajib Pajak; | |
4. | alamat kegiatan usaha; | |
5. | merek usaha; dan/atau | |
6. | kegiatan usaha Wajib Pajak. | |
a. | Informasi yang bersifat umum tentang perpajakan meliputi: | |
b. | penerimaan pajak secara nasional; | |
c. | penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak; | |
d. | penerimaan pajak per jenis pajak; | |
e. | penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha; | |
f. | jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar; | |
g. | register permohonan Wajib Pajak; | |
h. | tunggakan pajak secara nasional; dan/atau | |
i. | tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak. |
Ayat (3)
Kerja sama yang dimaksud dalam ayat ini merupakan pemberian atau pertukaran data dan/atau informasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain untuk kepentingan negara dalam rangka menghimpun penerimaan negara maupun penerimaan daerah atau menjalankan administrasi pemerintahan yang baik serta mendukung kebijakan pemerintah.
Dalam surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan harus dicantumkan nama Wajib Pajak, nama pihak yang ditunjuk, dan nama pejabat, ahli, atau tenaga ahli yang diizinkan untuk memberikan keterangan atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak.
Surat izin yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan dalam rangka pelaksanaan kerja sama untuk kepentingan negara dapat tidak mencantumkan nama Wajib Pajak tetapi tetap mencantumkan jenis data sesuai yang tercantum dalam kerja sama.
Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal yang dipandang perlu oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan pada sidang pengadilan dalam perkara pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan, demi kepentingan peradilan, Menteri Keuangan memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak dan para ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) atas permintaan tertulis hakim ketua sidang.
58
Ayat (5)
Ayat ini merupakan pembatasan dan penegasan bahwa keterangan perpajakan yang diminta hanya mengenai perkara pidana atau perdata tentang perbuatan atau peristiwa yang menyangkut bidang perpajakan dan hanya terbatas pada tersangka yang bersangkutan.
(1) | Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. ***) |
(2) | Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. ***) |
(3) | Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
Penjelasan Pasal 35
Ayat (1)
Untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, atas permintaan tertulis Direktur Jenderal Pajak, pihak ketiga yaitu bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan pihak ketiga lainnya yang mempunyai hubungan dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak atau penagihan pajak atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan harus memberikan keterangan atau bukti-bukti yang diminta.
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Untuk kepentingan perpajakan, pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
(1) | Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). ***) |
(2) | Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). ***) |
59
Penjelasan Pasal 35A
Ayat (1)
Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Dalam rangka pelaksanaan ketentuan ini, sumber, jenis, dan tata cara penyampaian data dan informasi kepada Direktorat Jenderal Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ayat (2)
Apabila data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang diberikan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain belum mencukupi, untuk kepentingan penerimaan negara, Direktur Jenderal
Pajak dapat menghimpun data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan sehubungan dengan terjadinya suatu peristiwa yang diperkirakan berkaitan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dengan memperhatikan ketentuan tentang kerahasiaan atas data dan informasi dimaksud.
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: ***) | ||
a. | mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya; | ||
b. | mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar; | ||
c. | mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau | ||
d. | membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa: | ||
1. | penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau | ||
2. | pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. | ||
(1a) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. ***) | ||
(1b) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali. ***) | ||
(1c) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. ***) | ||
(1d) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Xxxxx tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. ***) | ||
(1e) | Apabila diminta oleh Xxxxx Xxxxx, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c). ***) | ||
(2) | Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***) |
60
Penjelasan Pasal 36
Ayat (1)
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Selain itu, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan, permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (1d)
Cukup jelas.
Ayat (1e)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
(1) | Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***) |
(2) | Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. ***) |
(3) | Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. ***) |
(4) | Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. ***) |
61
(5) | Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. ***) |
Penjelasan Pasal 36A
Ayat (1)
Dalam rangka mengamankan penerimaan negara dan meningkatkan profesionalisme pegawai pajak dalam melaksanakan ketentuan undang-undang perpajakan, terhadap pegawai pajak yang dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak yang tidak sesuai dengan undang-undang sehingga mengakibatkan kerugian pada pendapatan Negara dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Ayat ini mengatur pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak, misalnya apabila pegawai pajak melakukan pelanggaran di bidang kepegawaian, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melanggar peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Apabila pegawai pajak dianggap melakukan tindak pidana, pegawai pajak dapat diadukan karena telah melakukan tindak pidana. Demikian juga, apabila pegawai pajak melakukan tindak pidana korupsi, pegawai pajak dapat diadukan karena melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam keadaan demikian, Wajib Pajak dapat mengadukan pelanggaran yang dilakukan pegawai pajak tersebut kepada unit internal Departemen Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pegawai pajak dalam melaksanakan tugasnya dianggap berdasarkan iktikad baik apabila pegawai pajak tersebut dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
(1) | Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak. |
(3) | Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
62
Penjelasan Pasal 36C
Cukup jelas.
(1) | Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(3) | Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 36D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah. **)
Penjelasan Pasal 37
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu undang-undang memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.
(1) | Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tangal 28 Pebruari 2009, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Xxxaturan Menteri Keuangan. ****) |
(2) | Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. ***) |
Penjelasan Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup jelas.
63
Ayat (2)
Cukup jelas.
orang yang karena kealpaannya: *****)
a. | tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau |
b. | menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar |
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Penjelasan Pasal 38
Cukup jelas.
(1) | Setiap orang yang dengan sengaja: ***) | |
a. | tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; | |
b. | menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; | |
c. | tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; | |
d. | menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap; | |
e. | menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29; | |
f. | memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah- olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya; | |
g. | tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain; | |
h. | tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau | |
i. | tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut. | |
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. | ||
(2) | Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. | |
(3) | Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. |
64
Penjelasan Pasal 39
Ayat (1)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang berat mengingat pentingnya peranan penerimaan pajak dalam penerimaan negara.
Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana di bidang perpajakan, bagi mereka yang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan, dikenai sanksi pidana lebih berat, yaitu ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana yang diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Penyalahgunaan atau penggunaan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau penyampaian Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan permohonan restitusi pajak dan/atau kompensasi pajak atau pengkreditan pajak yang tidak benar sangat merugikan negara. Oleh karena itu, percobaan melakukan tindak pidana tersebut merupakan delik tersendiri.
Setiap orang yang dengan sengaja:
a. | menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau |
b. | menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Xxxx Xxxxx |
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
Penjelasan Pasal 39A
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40
Penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun dari sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.
Yang dimaksud dengan "penuntutan" adalah penyampaian surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau kepada terlapor.
65
(1) | Pejabat yang karena kealpaanya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). |
(2) | Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
(3) | Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. |
Penjelasan Pasal 41
Ayat (1)
Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.
Pengungkapan kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat ini dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat ini yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.
Ayat (3)
Tuntutan pidana terhadap pelanggaran kerahasiaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak.
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
Penjelasan Pasal 41A
Agar pihak ketiga memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 maka perlu adanya sanksi bagi pihak ketiga yang melakukan perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini.
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah).
66
Penjelasan Pasal 41B
Seseorang yang melakukan perbuatan menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menghalangi penyidik melakukan penggeledahan dan/atau menyembunyikan bahan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini dikenai sanksi pidana.
(1) | Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
(2) | Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). |
(3) | Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). |
(4) | Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
Penjelasan Pasal 41C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Dihapus.
Penjelasan Pasal 42 *)
Dihapus.
(1) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. |
67
Penjelasan Pasal 43
Ayat (1)
Yang dipidana karena melakukan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan tidak terbatas pada Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, kuasa Wajib Pajak, pegawai Wajib Pajak, Akuntan Publik, Konsultan Pajak, atau pihak lain, tetapi juga terhadap mereka yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
(1) | Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(1a) | Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan. ******) |
(2) | Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. ******) |
(3) | Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi. |
(4) | Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 43A
Ayat (1)
Informasi, data, laporan, dan pengaduan yang diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak akan dikembangkan dan dianalisis melalui kegiatan intelijen dan/atau kegiatan lain yang hasilnya dapat ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau tidak ditindaklanjuti.
Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
(1) | Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. |
(2) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: ******) |
68
a. | menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; | |
b. | meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
c. | meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
d. | memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
e. | melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut; | |
f. | meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
g. | menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; | |
h. | memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
i. | memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; | |
j. | melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang- Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat | |
k. | menghentikan penyidikan; dan/atau | |
l. | melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(3) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. ***) | |
(4) | Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. ***) |
Penjelasan Pasal 44
Ayat (1)
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
69
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Penyitaan untuk tujuan pemulihan kerugian pada pendapatan negara dapat dilakukan terhadap barang bergerak ataupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Penyitaan dilakukan oleh penyidik dengan ketentuan sesuai dengan hukum acara pidana, antara lain:
1. harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat;
2. dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan dan segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Pemblokiran dilakukan dengan melakukan permintaan pemblokiran ke pihak berwenang seperti bank, kantor pertanahan, kantor samsat dan lain-lain.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dalam hal: ******)
a. Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3);
b. tidak terdapat cukup bukti;
c. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
d. demi hukum.
Penjelasan Pasal 44A
Dalam hal penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dihentikan kecuali karena peristiwanya telah daluwarsa, maka surat ketetapan pajak tetap dapat diterbitkan
70
(1) | Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. ***) |
(2) | Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi: ******) a. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; b. kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau c. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. |
(2a) | Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi: ******) a. kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; atau b. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. |
(2b) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. ******) |
(2c) | Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa. ******) |
(3) | Dihapus. ******) |
Penjelasan Pasal 44B
Ayat (1)
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan sepanjang perkara pidana tersebut belum dilimpahkan ke pengadilan.
Ayat (2)
Dalam hal proses penyidikan telah menetapkan tersangka yang lebih dari 1 (satu) orang atau badan, maka setiap tersangka juga memiliki hak untuk mengajukan permohonan penghentian penyidikan untuk dirinya sendiri.
Permohonan penghentian penyidikan dilakukan oleh tersangka setelah melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak.terutang yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda.
Contoh:
Penyidik melakukan penyidikan terhadap PT XYZ dengan kerugian pada pendapatan negara sebesar Rp100.000.000,00. Terhadap kasus tersebut dilakukan penetapan tersangka terhadap A dan B. Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa A menerima manfaat sebesar Rp15.000.000,00, sedangkan B menerima manfaat sebesar Rp5.000.00,00. A dan B kemudian mengajukan permohonan penghentian penyidikan dan meminta informasi kerugian pada pendapatan negara yang harus mereka lunasi.
Berdasarkan manfaat yang diterima A dan B maka jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi dalam rangka permohonan penghentian penyidikan adalah sebagai berikut:
71
1. A harus melunasi sebesar (Rp.15.000.000,00/Rp20.000.000,00) x Rp100.000.000,00 = Rp75.000.000,00
2. B harus melunasi sebesar (Rp.5.000.000,00/Rp20.000.000,00) x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00
Ayat (2a)
Mengingat penanganan perkara pidana di bidang perpajakan lebih mengedepankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan, kesempatan terdakwa untuk melunasi jumlah kerugian pada pendapatan negara; jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar; jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak; jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan pajak yang dilakukan, sesuai dengan proporsi yang menjadi bebannya ditambah sanksi administratif berupa denda diperluas sampai dengan tahap persidangan.
(1) | Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. |
(2) | Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus. |
Penjelasan Pasal 44C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Lamanya pidana penjara sebagai subsider pidana denda ditentukan dalam putusan pengadilan.
(1) | Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tindak pidana di bidang perpajakan tetap dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. |
(2) | Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hadir pada sidang sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang. |
Penjelasan Pasal 44D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
72
BAB IXA PENDELEGASIAN WEWENANG
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai: a. jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; b. pemberian dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (21) c. penampungan dan pengiriman hasil penagihan pajak atas klaim pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (9); d. pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27C ayat (1); e. pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a); f. penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (2); g. penetapan, penagihan, dan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (3); h. pemberian teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (4) serta permintaan pemutusan dan normalisasi akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (7); dan i. permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (1) dan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) dan ayat (2a), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
Penjelasan Pasal 44E
Cukup jelas.
Terhadap pajak-pajak yang terhutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
Penjelasan Pasal 45
Meskipun Undang-Undang Perpajakan yang lama telah dicabut dengan diundangkannya Undang-Undang ini, untuk menampung penyelesaian penetapan pajak-pajak terutang pada masa atau tahun pajak sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang pelaksanaannya masih berdasarkan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan lama, maka Undang-Undang ini menentukan jangka waktu berlakunya peraturan perundang-undangan lama sampai dengan tanggal 31 Desember 1988. Penentuan jangka waktu lima tahun tersebut disesuaikan dengan daluwarsa penagihan pajak.
Dengan berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
73
Penjelasan Pasal 46
Pasal 47
Dihapus. *)
Penjelasan Pasal 47
Ketentuan pasal ini dihapus, karena secara substantif merupakan materi dari Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan dan telah diatur dalam Undang-Undang tersebut.
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
Penjelasan Pasal 47A
Dalam rangka memberikan kepastian kepada Wajib Pajak maka mengenai hak dan kewajiban perpajakan yang belum diselesaikan untuk tahun pajak 2000 dan sebelumnya tetap diberlakukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994.
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Penjelasan Pasal 48
Untuk menampung hal-hal yang belum cukup diatur mengenai tata cara atau kelengkapan yang materinya sudah dicantumkan dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dengan demikian lebih mudah mengadakan penyesuaian pelaksanaan Undang-Undang ini dan tata cara yang diperlukan.
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku pula bagi Undang-Undang perpajakan lainnya kecuali apabila ditentukan lain.
Penjelasan Pasal 49
Cukup jelas.
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
Penjelasan Pasal 50
Cukup jelas.
74
v
Undang-Und ang Kon solidasi PPN & PPnBM English Version
TABLE OF CONTENT
75
77
CHAPTER III TAX STIPULATION AND ASSESSMENT
91
Article 13 92
Article 13A 93
Article 14 94
Article 15 95
Article 16 97
Article 17 98
Article 17A 99
Article 17B 99
Article 17C 101
Article 17D 103
Article 17E 103
vi
CHAPTER IV TAX BILLING 104
Article 18 104
Article 19 104
Article 20 105
Article 20A 105
Article 21 107
Article 22 108
Article 23 109
Article 24 109
CHAPTER V OBJECTION AND APPEAL 110
Article 25 110
Article 26 112
Article 26A 113
Article 27 113
Article 27A 116
Article 27B 116
Article 27C 117
CHAPTER VI BOOKKEEPING AND AUDITING 118
Article 28 118
Article 29 121
Article 29A 123
Article 30 123
Article 31 124
CHAPTER VII SPECIAL PROVISIONS 124
Article 32 124
Article 32A 125
Article 33 127
Article 34 127
Article 35 128
Article 35A 129
Article 36 129
Article 36A 131
Article 36B 131
Article 36C 132
vii
Article 36D 132
Article 37 132
Article 37A 132
CHAPTER VIII CRIMINAL PROVISIONS 133
Article 38 133
Article 39 133
Article 39A 134
Article 40 135
Article 41 135
Article 41A 135
Article 41B 136
Article 41C 136
Article 42 136
Article 43 136
CHAPTER IX INVESTIGATION 137
Article 43A 137
Article 44 138
Article 44A 139
Article 44B 140
Article 44C 141
Article 44D 141
CHAPTER IXA DELEGATION OF AUTHORITY 142
Article 44E 142
CHAPTER X TRANSITIONAL TERMS 142
Article 45 142
Article 46 142
Article 47 143
Article 47A 143
CHAPTER XI CLOSING PROVISIONS 143
Article 48 143
Article 49 143
Article 50 143
viii
COMPILATION INTO SINGLE DOCUMENT OF LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 6 OF 1983 REGARDING GENERAL PROVISIONS AND PROCEDURES OF TAXATION AS AMENDED SEVERAL TIMES, LASTLY BY LAW OF THE REPUBLIC OF INDONESIA NUMBER 7 OF 2021
(1) Tax is a mandatory contribution to the state that is owed by an individual or corporate that is coercive in nature based on Law, without receiving any direct compensation and to be used for the state’s need for the greatest prosperity of the people. ***)
(2) Taxpayer is an individual or corporate, including tax payer, tax withholder, and tax collector, who have the taxation rights and obligations in accordance with the provisions in the tax laws and regulations. ***)
(3) Entity is a group of persons and/or capitals which constitutes a unit whether doing business or not including limited liability company, commanditaire company, other companies, state-owned enterprise or regionally-owned enterprise in whatever name and form, firm, joint venture, cooperative, pension fund, partnership, association, foundation, mass organization, socio-political organization, or other organizations, institution and other forms of corporate including collective investment contracts and permanent establishments. ***)
(4) Entrepreneur is an individual or corporate in any form which in its business activity or work produces goods, imports goods, exports goods, carries on trade business, utilizes intangible goods from outside the customs area, carries on service business, or utilizes services from outside the customs area. ***)
(5) Taxable Entrepreneur is any Entrepreneur who delivers Taxable Goods and/or delivers Taxable Services imposed with taxes based on the Value Added Tax Law of 1984 and the amendments thereto.
***)
(6) Taxpayer Identification Number is the number given to the Taxpayer as a means in tax administration which is used as a personal identification or identity of Taxpayer in exercising his/her tax rights and in performing his/her tax obligations. ***)
(7) Tax Period is a period of time that becomes the basis for the Taxpayer to calculate, deposit, and report the tax payable within a certain period as determined in this Law. ***)
(8) Fiscal Year is a period of 1 (one) calendar year unless the Taxpayer uses a book year that is different from the calendar year. ***)
(9) Portion of Fiscal Year is part of the period of 1 (one) Fiscal Year. ***)
(10) Tax payable is A tax that must be paid at a time, in a Tax Period, in a Fiscal Year, or in a fraction of Fiscal Year in accordance with the provisions in the tax laws and regulations. ***)
(11) Tax Return is a letter the Taxpayer uses to report the calculation and/or payment of taxes, tax objects and/or non-tax objects, and/or assets and liabilities in accordance with the provisions in the tax laws and regulations. ***)
(12) Periodic Tax Return is a Tax Return for a Tax Period. ***)
(13) Annual Tax Return is a Tax Return for a Fiscal Year or a fraction of Fiscal Year. ***)
(14) Tax Payment Slip is a proof of payment or deposit of tax that has been made by using a form or has been made in another way to the state cash account through a payment place designated by the Finance Minister. ***)
(15) Tax Assessment Letter is an assessment letter including Tax Underpayment Assessment Letter, an Additional Tax Underpayment Assessment Letter, Nil Tax Assessment Letter, or Tax Overpayment Assessment Letter. ***)
(16) Tax Underpayment Assessment Letter is a tax assessment letter that determines the amount of tax principal, the amount of tax credit, the amount of tax principal underpayment, the amount of administrative sanction, and the amount of outstanding tax. ***)
(17) Additional Tax Underpayment Assessment Letter is a tax assessment letter that determines the
75
stipulated additional tax amount. ***)
(18) Nil Tax Assessment Letter is a tax assessment letter that determines the amount of tax principal equal to the amount of tax credit or no tax is payable and no tax credit. ***)
(19) Tax Overpayment Assessment Letter is a tax assessment letter that determines the amount of tax overpayment because the amount of tax credit is larger than the tax payable or should not be payable.
***)
(20) Tax Collection Letter is a letter to collect a tax and/or administrative sanction in the form of interest and/or fine. ***)
(21) Distress Warrant is a warrant to pay the tax indebtedness and tax collection fee. ***)
(22) Tax Credit for Income Tax is a tax paid by the Taxpayer himself plus the tax principal payable in the Tax Collection Letter due to the Income Tax in the current year is unpaid or underpaid, plus the tax withheld or collected, plus the tax on incomes paid or payable abroad, subtracted by pre-refund of the tax surplus, which is deducted from the tax payable. ***)
(23) Tax Credit for Value Added Tax is Input Tax that can be credited after deducting the pre-refund of the tax surplus or after deducting the compensated tax, which is deducted from the tax payable. ***)
(24) Independent job is a work carried out by an individual who has special skill in a business to earn income that is not bound by an employment relationship. ***)
(25) Audit is a series of activities to collect and process data, information, and/or evidences carried out objectively and professionally based on an audit standard to test the compliance with the tax obligations and/or for other purposes to the effect of implementing the provisions in the tax laws and regulations.
***)
(26) Preliminary Evidence is a condition, action, and/or evidence in the form of statement, writing, or thing that can provide an indication of strong allegation that a criminal act in taxation sector is being or has been committed by anyone that may result in loss(es) to state revenue. ***)
(27) Preliminary Evidence Examination is an examination carried out to obtain preliminary evidences on the occurrence of an alleged crime in taxation sector. ***)
(28) Tax Bearer is an individual or corporate who is responsible for payment of tax, including representatives who exercise the rights and fulfill the obligations of a Taxpayer in accordance with the provisions in the tax laws and regulations. ***)
(29) Bookkeeping is a recording process that is carried out regularly to collect the financial data and information including assets, liabilities, capitals, incomes and costs, as well as the total acquisition and delivery prices of goods or services, which is closed by preparing the financial statements in the form of balance sheets, and the income statements for the period of the relevant Fiscal Year. ***)
(30) Research is a series of activities carried out to assess the completeness of filling out of the Notification Letter and attachments thereto, including an assessment of the correctness of writing and calculation thereof. ***)
(31) Investigation of criminal act in taxation sector is a series of actions taken by the investigator to seek and collect the evidences with which they make clear the crime in taxation sector that occurred and find the suspect. ***)
(32) Investigator is a certain Civil Servant official within the Directorate General of Taxes who is given with special authority as investigator to investigate criminal acts in taxation sector in accordance with the provisions in the laws and regulations. ***)
(33) Notice of Tax Correction is a decision letter that corrects any typing error, calculation error, and/or mistakes in the application of certain provisions in the tax laws and regulations as contained in the tax assessment letter, Tax Collection Letter, Notice of Tax Correction, Objection Decision Letter, Administrative Sanction Reduction Decision Letter, Administrative Sanction Elimination Decision Letter, Tax Assessment Reduction Decision Letter, Tax Assessment Cancellation Decision Letter, Advance Tax Overpayment Refund Decree, or Interest Repayment Decree. ***)
(34) Objection Decision Letter is a decision letter on the objection to a tax assessment letter or to a withholding or collection by a third party filed by a Taxpayer. ***)
(35) Appeal Verdict is an award of the tax court on an appeal against the Objection Decision Letter filed by a Taxpayer. ***)
(36) Lawsuit Award is an award of the tax court on the lawsuit against matters which, under the provisions
76
in the tax laws and regulations, can be sued. ***)
(37) Judicial Review Award is an award of the Supreme Court on the application for judicial review filed by the Taxpayer or by the Director General of Taxes against an n Appeal Verdict or Lawsuit Award from the tax court. ***)
(38) Advance Tax Overpayment Refund Decree is a decision letter that determines the amount of advance tax overpayment refund for a certain Taxpayer. ***)
(39) Interest Repayment Decree is a decision letter that determines the amount of interest benefit given to the Taxpayer. ***)
(40) Date sent is the delivery postal stamp date, the facsimile date, or in case of being delivered in person, the date when the letter, decision, or award is delivered in person. ***)
(41) Date received is the delivery postal stamp date of, the facsimile date, or in case of being received in person, the date when the letter, decision, or award is received in person. ***)
Elucidation of Article 1
Self-explanatory
TAXPAYER IDENTIFICATION NUMBER, TAXABLE ENTREPRENEUR CONFIRMATION, NOTIFICATION LETTER, AND TAX PAYMENT PROCEDURES
(1) Every Taxpayer who has fulfilled the subjective and objective requirements in accordance with the provisions in the tax laws and regulations shall be obliged to register him-/herself with the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the residence or domicile of the Taxpayer and to him/her a Taxpayer Identification Number is issued. ***)
(1a) The Taxpayer Identification Number as referred to in paragraph (1) for individual Taxpayer who is an Indonesian resident shall use the personnel registration number. ******)
(2) Every Taxpayer as an Entrepreneur who is subject to taxes based on the Value Added Tax Law of 1984 and the amendments thereto, shall be obliged to report his/her business to the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the residence or domicile of the Entrepreneur, and the place where business activity is carried out to be confirmed to be Taxable Entrepreneur. ***)
(3) The Director General of Taxes may determine: ***)
a. the place of registration and/or the place of reporting of the business other than those stipulated in paragraphs (1) and (2); and/or
b. the place of registration in the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the domicile and office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the place where business activity is carried out, for certain individual entrepreneur Taxpayer.
(4) The Director General of Taxes issues a Taxpayer Identification Number and/or confirms a Taxable Entrepreneur on in officio basis if the Taxpayer or Taxable Entrepreneur does not perform their obligations as referred to in paragraph (1) and/or paragraph (2). ***)
(4a) Tax obligations for the Taxpayer to whom the Taxpayer Identification Number is issued and/or who is confirmed as Taxable Entrepreneur on in officio basis as referred to in paragraph (4) commences when the Taxpayer fulfills the subjective and objective requirements in accordance with the provisions in the tax laws and regulations, not later than 5 (five) years prior to the issuance of Taxpayer Identification Number and/or his/her confirmation as a Taxable Entrepreneur. ***)
(5) Deleted. ******)
(6) Abolition of Taxpayer Identification Number is carried out by the Director General of Taxes in the event:
***)
a. an application for abolition of Taxpayer Identification Number is submitted by the Taxpayer and/or his/her heir if the Taxpayer ceases to meet the subjective and/or objective requirements in accordance with the provisions in the taxation laws;
77
b. Corporate Taxpayer is liquidated due to winding-up or merger;
c. Taxpayer with permanent establishment stop his/her business activity in Indonesia; or
x. the Director General of Taxes deems necessary to abolish the Taxpayer Identification Number of a Taxpayer who has no longer fulfilled the subjective and/or objective requirements in accordance with the provisions in the taxation laws.
(7) The Director General of Taxes, after conducting an audit, must make a decision on the application for abolition of Taxpayer Identification Number within 6 (six) months for individual Taxpayer or 12 (twelve) months for corporate Taxpayer, as of the date the application is received completely. ***)
(8) The Director General of Taxes may, due to his/her position or at the request of the Taxpayer, revoke a Taxable Entrepreneur confirmation. ***)
(9) The Director General of Taxes, after conducting the audit, must make a decision onthe application for revocation of Taxable Entrepreneur confirmation within 6 (six) months as of the date the application is received completely. ***)
(10) To the effect of use of the personnel registration number to be Taxpayer Identification Number as referred to in paragraph (1a), the minister who carries out domestic government affairs provides the population data and the user feedback data to the Finance Minister to be integrated with the taxation database.
******)
Elucidation of Article 2
Paragraph (1)
All Taxpayer who has fulfilled the subjective and objective requirements in accordance with the provisions in the tax laws and regulations based on the self-assessment system, shall be obliged to register themselves with the Directorate General of Taxes office to be recorded as Taxpayers and at the same time to obtain the Taxpayer Identification Number.
The subjective requirements are requirements that conform to the provisions regarding the tax subject in the Income Tax Law of 1984 and the amendments thereto.
Objective requirements are requirements for tax subject who receives or earns income or shall be obliged to make withholding/collection in accordance with the provisions in the Income Tax Law of 1984 and the amendments thereto.
The obligation to register themselves also applies to married women who are subject to tax separately due to living separately based on a judge's decision or requested in writing based on an income and assets separation agreement.
A married woman other than those specified above may register herself to obtain a Taxpayer Identification Number in her own name so that she can exercise her rights and perform her tax obligations apart from her husband's tax rights and obligations.
The Taxpayer Identification Number is a means in the tax administration that is used as a personal identification or identity of the Taxpayer. Therefore, to each Taxpayer is only assigned with one Taxpayer Identification Number. In addition, the Taxpayer Identification Number is also used to maintain the orderliness in tax payments and in the tax administration supervision. In terms of dealing with the tax documents, the Taxpayer shall be obliged to specify his/her Taxpayer Identification Number. Any Taxpayer who fails to register him/herself to obtain a Taxpayer Identification Number is subject to sanctions in accordance with the provisions in the tax laws and regulations.
Paragraph (1)
Self-explanatory.
Paragraph (2)
Every Taxpayer as an Entrepreneur who is subject to Value Added Tax under the Value Added Tax Law of 1984 and the amendments thereto shall be obliged to report his/her business to be confirmed to be Taxable Entrepreneur.
Individual entrepreneur shall be obliged to report his/her business to the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the domicile of the Taxpayer and the place where business activity is carried out, whereas a corporate entrepreneur shall be obliged to report his/her business to the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the domicile of the Entrepreneur and the place where business activity is carried out.
78
Thus, an individual or corporate Entrepreneur who has a place of business activity within the area of several offices of the Directorate General of Taxes shall be obliged to report his/her business to be confirmed to be Taxable Entrepreneur both in the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the residence or domicile of the Entrepreneur and in the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the place where business activity is carried out.
Function of the Taxable Entrepreneur confirmation is, in addition to know the real identity of the Taxable Entrepreneur, is also useful for exercising the rights and performing the obligations in the field of Value Added Tax and the Sales Tax of Luxury Goods as well as for supervision of tax administration.
Any Entrepreneur who has fulfilled the requirements as Taxable Entrepreneur, but fails to report his/her business to be confirmed as Taxable Entrepreneur is subject to sanctions in accordance with the provisions in the tax laws and regulations.
Paragraph (3)
As to a certain Taxpayer and Taxable Entrepreneur, the Director General of Taxes may determine the office of the Directorate General of Taxes other than those specified in paragraphs (1) and (2), to be a place of registration to obtain the Taxpayer Identification Number and/or Taxable Entrepreneur Confirmation.
In addition, for certain individual entrepreneur Taxpayers, namely individual Taxpayer who has business places spread across several places, for example an electronic trader who has shops in several shopping centers, in addition to being obliged to register him/herself in the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the residence of the Taxpayer, is also obliged to register him/herself in the office of the Directorate General of Taxes whose working area covers the place where his/her business activity is carried out.
Paragraph (4)
To a Taxpayer or Taxable Entrepreneur who fails to meet the obligation to register and/or report his/her business, a Taxpayer Identification Number and/or Taxable Entrepreneur confirmation may be issued on in officio basis. This can be carried out if, based on the data obtained or owned by the Directorate General of Taxes, it is evident that such an individual or corporate or Entrepreneur has met the requirements to obtain a Taxpayer Identification Number and/or is confirmed to be Taxable Entrepreneur.
Paragraph (4a)
This paragraph provides that in the issuance of Taxpayer Identification Number and/or confirmation to be Taxable Entrepreneur on in officio basis, must pay attention to the time of fulfillment of the subjective and objective requirements of the relevant Taxpayer. Further, such a Taxpayer is not exempted from fulfilling his/her tax obligations in accordance with the provisions in the tax laws and regulations. This is intended to provide legal certainty to both the Taxpayer and the Government in relation to the Taxpayer's obligation to register him/herself and the right to obtain the Taxpayer Identification Number and/or to be confirmed to be Taxable Entrepreneur, for example, to the Taxpayer a Taxpayer Identification Number was issued on in officio basis in 2008 and it turned out that the Taxpayer has met the subjective and objective requirements in accordance with the provisions in the tax laws and regulations effective as of 2005, its tax obligations shall arise since 2005.
Paragraph (5)
Deleted. Paragraph (6)
Self-explanatory.
Paragraph (7)
Self-explanatory.
Paragraph (8)
Self-explanatory.
Paragraph (9)
Self-explanatory.
79
Paragraph (10)
The use of the personnel registration number to be identity of individual Taxpayer requires the integration of the population database with the taxation database that is used to form the Taxpayer profile, and can be used by the Taxpayer to the effect of exercising his/her rights and/or performing his/her tax obligations.
The population data and the user feedback data are population data and user feedback data as specified in the laws and regulations governing the population administration.
The Tax Period is equal to 1 (one) calendar month or another period as regulated by the Regulation of the Finance Minister up to maximum of 3 (three) calendar months.
Elucidation of Article 2A
Self-explanatory.
(1) Every Taxpayer shall be obliged to fill out the Tax Return correctly, completely, and clearly, in the Indonesian language by using Latin letters, Arabic numerals, Rupiah currency unit, and sign and submit it to the office of the Directorate General of Taxes where the Taxpayer is registered or confirmed or another place as stipulated by the Director General of Taxes. ***)
(1a) Taxpayer who has obtained permit from the Finance Minister to maintain the bookkeeping in a foreign language and in a currency other than Rupiah, shall be obliged to submit a Tax Return in the Indonesian language by using a permitted currency unit other than Rupiah, the implementation of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(1b) The signing as referred to in paragraph (1) can be carried out in usual manner, with stamp signature, or electronic or digital signature, all of which having the same legal effect, and the implementation procedure of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(2) The Taxpayer as referred to in paragraph (1) and paragraph (1a) shall take by him/herself the Tax Return at the place as determined by the Director General of Taxes or shall take in another way the implementation procedure of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister.
(3) The deadlines for submission of the Tax Return are as follows: ***)
a. for the Periodic Tax Return, not later than 20 (twenty) days as of the Tax Period end;
b. for the Annual Income Tax Return of individual Taxpayer, not later than 3 (three) months as of the Fiscal Year end; or
c. for Annual Income Tax Return of Corporate Taxpayer, not later than 4 (four) months as of the Fiscal Year end.
(3a) Taxpayers with certain criteria may report several Tax Periods in 1 (one) Periodic Tax Return. ***)
(3b) Taxpayers with certain criteria and the reporting procedures as referred to in paragraph (3a) shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(3c) The deadline of and the procedures for reporting of withholding tax and collection by the government treasurer and certain agencies shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister.
***)
(4) Taxpayers may extend the period of submission of the Annual Income Tax Return as referred to in paragraph (3) for maximum of 2 (two) months by submitting a written notification or in other ways to the Director General of Taxes the provisions of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(5) The notification as referred to in paragraph (4) must be furnished with the provisional calculation of the tax payable within 1 (one) Fiscal Year and the Tax Payment Slip as proof of settlement of the underpaid tax payable, the provisions of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
80
(5a) If the Notification Letter is not submitted within the deadline as referred to in paragraph (3) or the deadline for extension of submission of the Annual Tax Return as referred to in paragraph (4), a Warning Letter may be issued. ***)
(6) The form and contents of the Tax Return as well as the information and/or documents to be attached, and the method to be used to submit the Tax Return shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(7) A Notification Letter is deemed not submitted if: ***)
a. The Notification Letter is not signed as referred to in paragraph (1);
b. The Notification Letter is not fully enclosed with the information and/or documents as referred to in paragraph (6);
c. The Notification Letter that states an overpayment is submitted after 3 (three) years as of the Tax Period end, a fraction of Fiscal Year or Fiscal Year, and the Taxpayer has been reprimanded in writing; or
d. The Notification Letter is submitted after the Director General of Taxes has carried out the audit or has issued a tax assessment letter.
(7a) If the Notification Letter is deemed not submitted as referred to in paragraph (7), the Director General of Taxes shall be obliged to notify the Taxpayer of the same. ***)
(8) Excluded from the obligations as referred to in paragraph (1) are certain Income Tax Taxpayers who shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
Elucidation of Article 3
Paragraph (1)
Function of the Tax Return for the Income Tax Taxpayers is as a means to report and account for the calculation of the actual amount of tax payable and to report on:
a. payment or settlement of taxes that have been made by the Taxpayer him/herself and/or through withholding or collection by another party within 1 (one) Fiscal Year or a fraction of Fiscal Year;
b. incomes which are tax objects and/or not tax objects;
c. assets and liabilities; and/or
d. payments from the withholders or collectors on withholding or collection of other individual or corporate taxes within 1 (one) Tax Period in accordance with the provisions in the tax laws and regulations.
For a Taxable Entrepreneur, function of the Tax Return is as a means to report and account for the calculation of the amounts of Value Added Tax and Sales Tax on Luxury Goods that are actually payable and to report on:
a. crediting of the Input Tax against the Output Tax; and
b. payment or settlement of taxes that have been made by the Taxable Entrepreneur him/herself and/or through another party within one Tax Period, in accordance with the provisions in the tax laws and regulations.
For tax withholders or collectors, function of the Tax Return is as a means to report and account for the taxes they have withheld or collected and deposited.
Filling out the Tax Return means to fill out a Tax Return form, in paper form and/or in electronic form, correctly, completely, and clearly in accordance with the instructions for filling out given based on the provisions in taxation laws and regulations.
Meanwhile, correct, complete, and clear means, in filling out the Tax Return means:
a. correct means correct in calculations, including correct in application of the provisions of the tax laws and regulations, in writing out, and in accordance with the real situation;
b. complete means to contain all elements related to tax objects and other elements that must be reported in the Tax Return; and
c. clear means to report the origins or sources of the tax objects and other elements that must be reported in the Tax Return.
The Tax Return that has been filled out correctly, completely, and clearly shall be submitted to the office of the Directorate General of Taxes where the Taxpayer is registered or confirmed or another place as the Director General of Taxes may determine.
81
The obligation to submit the Tax Return by the tax withholders or collectors shall be performed for every Tax Period.
Paragraph (1a)
Self-explanatory Paragraph (1b)
Self-explanatory Paragraph (2)
In order to provide services and convenience to the Taxpayers, the Tax Return form is provided at the offices of the Directorate General of Taxes and other places as the Director General of Taxes may determine that are estimably easily accessible to the Taxpayers. In addition, the Taxpayers can also acquire the Tax Return in other ways, for example by accessing the Directorate General of Taxes’ website to obtain the Tax Return form.
However, in order to provide better services, the Director General of Taxes may send the Tax Return to the Taxpayers.
Paragraph (3)
This paragraph provides the deadline for submission of the Tax Return which is deemed fairly adequate for the Taxpayer to prepare everything related to the payment of taxes and the settlement of its bookkeeping.
Paragraph (3a)
Taxpayers with certain criteria, including small enterprise Taxpayers, may:
a. submit the Periodic Income Tax Return Article 25 for several Tax Periods at once provided that the payment of all taxes that required to be paid-off under the Periodic Tax Return shall be made at the same time not later than in the last Tax Period; and/or
b. submit Periodic Tax Return other than those referred to in letter a for several Tax Periods at once provided that the payment of each of the Tax Period shall be made in accordance with the deadline for the relevant Tax Period
Paragraph (3b)
Self-explanatory.
Paragraph (3c)
Self-explanatory.
Paragraph (4)
If a Taxpayer, either individual and corporate, turns out to be unable to submit the Tax Return within the period as specified in paragraph (3) letter b, or letter c due to the extent of business activities and the technical problems in the preparation of financial statements, or other causes so that it is difficult to meet the deadline for completion and require relaxation from the determined deadline, the Taxpayer may extend the submission of the Annual Income Tax Return by submitting a written notification or in other ways, for example by electronic notification to the Director General of Taxes.
Paragraph (5)
In order to prevent the efforts of evasion and/or payment period extension of tax payable within 1 (one) Fiscal Year that must be paid prior to the deadline for submission of the Annual Tax Return, it is necessary to stipulate requirements that result in the imposition of administrative sanction in the form of interests for Taxpayers who intends to extend the time for submitting the Annual Income Tax Return
The aforesaid requirements are in the form of obligation to submit a temporary notification by stating the amount of tax to be paid based on provisional calculation of tax payable within 1 (one) Fiscal Year and the Tax Payment Slip as proof of settlement, as an attachment to the notification on extension of submission of the Annual Income Tax Return.
Paragraph (5a)
To the effect of fostering the Taxpayer who, until the prescribed time limit, has not submitted his/her Tax Return, a Warning Letter may be issued to the relevant Taxpayer.
82
Paragraph (6)
Considering the function of the Tax Return is a means form the Taxpayer, among other things, to report and account for the calculation of the amounts of tax and its payments, within the framework of uniformity and for ease in its filling out and administration, the form and contents of the Tax Return, information, documents that must be enclosed and the method to be used to submit the Tax Return shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister.
The Annual Income Tax Return shall at least contain total turnover, total income, total Taxable Income, total tax payable, total tax credit, total tax overpaid or underpaid, as well as assets and liabilities outside the business activity or independent job for individual Taxpayer.
Annual Income Tax Return of a Taxpayer who shall be obliged to maintain the bookkeeping must be accomplished with the financial statements in the form of balance sheets and income statement as well as other information required to calculate the amount of Taxable Income.
Periodic Tax Return of Value Added Tax shall at least contain the amount of Tax Imposition Base, total Output Tax, total Input Tax that can be credited, and total tax underpaid or overpaid.
Paragraph (7)
The signed Tax Return and the attachments thereto are one unity which constitutes a validity element of the Tax Return. Therefore, a Tax Return from a Taxpayer that is submitted, but not furnished with the required attachments, is not considered as a Tax Return in the administration of the Directorate General of Taxes. In such a case, the relevant Tax Return shall be deemed as taxation data.
Likewise, if a Tax Return stating an overpayment is submitted exceeding 3 (three) years as of the Tax Period end, a fraction of Fiscal Year, or the Fiscal Year and the Taxpayer has been reprimanded in writing, or if the Tax Return is submitted after the Director General of Taxes has conducted the audit or has issued a tax assessment letter, such a Tax Return shall be deemed as taxation data.
Paragraph (7a)
Self-explantory.
Paragraph (8)
In principle, every Income Tax Taxpayer shall be obliged to submit a Tax Return. On consideration of efficiency or other considerations, the Finance Minister may determine Income Tax Taxpayers who are exempted from the obligation to submit the Tax Return, for example, individual Taxpayers who receive or earn income below the Non-Taxable Income, but for certain interests, shall be obliged to have a Taxpayer Identification Number.
(1) Taxpayers shall be obliged to fill out and submit the Tax Return correctly, completely, clearly, and to sign it. ***)
(2) The corporate Tax Return must be signed by the management board or the board of directors. ***)
(3) In the event the Taxpayer appoints a proxy with a special power of attorney to fill out and sign the Tax Return, such a special power of attorney must be attached to the Tax Return. ***)
(4) Annual Income Tax Return of a Taxpayer who shall be obliged to maintain the bookkeeping must be enclosed with financial statements in the form of balance sheets and income statement as well as other information required to calculate the amount of Taxable Income. ***)
(4a) The Financial Statements as referred to in paragraph (4) are the financial statements of each Taxpayer.
***)
(4b) In the event the financial statements as referred to in paragraph (4a) are audited by a Public Accountant but are not attached to the Tax Return, the Tax Return shall be deemed incomplete and unclear, thus the Tax Return shall be deemed not submitted as referred to in Article 3 paragraph (7) letter b. ***)
(5) The procedure for receipt and processing of Tax Return shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
83
Elucidation of Article 4
Paragraph (1)
Self-explanatory.
Paragraph (2)
Self-explanatory.
Paragraph (3)
Self-explanatory.
Paragraph (4)
Self-explanatory.
Paragraph (4a)
Financial Statements of each Taxpayer means the financial statements on the results of business activity of each Taxpayer.
Example:
PT A holds shares in PT B and PT C. In this example, PT A has the obligation to attach the consolidated financial statements of PT A and its subsidiaries, as well as attach the financial statements of business of PT A (before consolidation), whereas PT B and PT C shall be obliged to attach their respective financial statements, rather than consolidated financial statements.
Paragraph (4b)
Self-explanatory.
Paragraph (5)
Procedures for receipt and processing of Tax Return contain the matters concerning, among other things, the checking of completeness, the giving of receipt, the grouping of Overpaid, Underpaid, and Nil Tax Returns, the recording procedures and follow-up of its management, which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister.
In order to submit the Tax Return, the Director General of Taxes in certain cases may determine a place other than the place as referred to in Article 3 paragraph (1).
Elucidation of Article 5
Self-explanatory.
(1) Tax Return that is submitted in person by the Taxpayer to the office of the Directorate General of Taxes must be given with a receipt date by the appointed official and a proof of receipt is given to the Taxpayer.
***)
(2) Submission of Tax Return can be sent by post with a proof of mail delivery or by other manners as regulated by or based on the Regulation of the Finance Minister. ***)
(3) The proof of receipt and the sending date of letter for submission of the Tax Return as referred to in paragraph (2) are deemed as a receipt proof and date as long as such a Tax Return is complete. ***)
Elucidation of Article 6
Paragraph (1)
Self-explanatory.
84
Paragraph (2)
To the effect of improvement of services to the Taxpayers and in line with the development of information technology, other manners are needed for the Taxpayers to fulfill their obligation to submit the Tax Return, for example, submitted electronically.
Paragraph (3)
The proof of receipt and the sending date of letter for submission of the Tax Return by post or by other means constitutes a proof of receipt, if the relevant Tax Return is complete, namely meeting the requirements as referred to in Article 3 paragraph (1), paragraph (1a), and paragraph (6).
(1) If the Tax Return is not submitted within the period as referred to in Article 3 paragraph (3) or the extended deadline of the Tax Return submission as referred to in Article 3 paragraph (4), an administrative sanction shall be imposed in the form of fines of Rp. 500.000,00 (five hundred thousand rupiah) for Periodic Tax Return of Value Added Tax, Rp. 100.000,00 (one hundred thousand rupiah) for other Periodic Tax Returns, and Rp. 1.000.000,00 (one million rupiah) for Annual Income Tax Returns of corporate Taxpayer and Rp. 100.000,00 (one hundred thousand rupiah) for Annual Income Tax Returns of individual Taxpayer. ***)
(2) The imposition of administrative sanctions in the form of fines as referred to in paragraph (1) shall not be made against: ***)
a. Individual Taxpayers who have passed away;
b. Individual Taxpayers who are no longer carrying on business activity or independent job;
c. Individual Taxpayers with foreign citizen status who are no longer residing in Indonesia;
d. Permanent Establishments which are no longer carrying out activities in Indonesia;
e. Corporate Taxpayers who are no longer carrying on business activity but not yet dissolved in accordance with the prevailing provisions;
f. Treasurers who are not making payments anymore;
g. Taxpayers who are affected by disaster, the provisions of which shall regulated by the Regulation of the Finance Minister; or
h. Other Taxpayers who shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister.
Elucidation of Article 7
Paragraph (1)
The purpose of administrative sanction imposition in the form of fines as specified in this paragraph is for the purpose of tax administration compliance and to improve the Taxpayers’ compliance in performing the obligation to submit Tax Return.
Paragraph (2)
Disaster is a national disaster or a disaster as the Finance Minister may determine.
(1) Xxxxxxxx may, at his/her own desire, correct the Tax Return which has been submitted by submitting a written statement, provided that the Director General of Taxes has not conducted an audit. ***)
(1a) In the event the Tax Return correction as referred to in paragraph (1) states a loss or overpayment, the Tax Return correction must be submitted not later than 2 (two) years prior to the stipulation expiry. ***)
(2) In the event the Taxpayer corrects his/her Annual Tax Return by him/herself which results in the tax payable becoming larger, he/she is subject to administrative sanction in the form of interest at a monthly interest rate as stipulated by the Finance Minister on the total underpaid tax, calculated as from the submission time.
The Tax Return expires until the payment date, and shall be imposed for maximum of 24 (twenty-four) months, and a fraction of month is calculated fully as 1 (one) month. *****)
85
(2a) In the event the Taxpayer corrects his/her Annual Tax Return by him/herself which results in the tax payable becoming larger, he/she is subject to administrative sanction in the form of interest at a monthly interest rate as stipulated by the Finance Minister on the total underpaid tax, calculated as from the due date of payment up to the payment date, and shall be imposed for maximum of 24 (twenty four) months, and a fraction of month is calculated fully as 1 (one) month. *****)
(2b) The monthly interest rate determined by the Finance Minister as referred to in paragraph (2) and paragraph (2a) is calculated based on the basic interest rate plus 5% (five percent) and divided by 12 (twelve) which applies on the sanction calculation commencement date. *****)
(3) Even though the preliminary evidence examination has been carried out, the Taxpayer may, at his/her own desire, disclose by a written statement, his/her misdemeanors, namely: *****)
a. failing to submit a Tax Return; or
b. submitting a Tax Return with incorrect or incomplete contents, or enclosing information with incorrect contents,
as referred to in Article 38 or Article 39 paragraph (1) letters c and d, as long as an investigation commencement has not been notified to the Public Prosecutor through the investigator official of the State Police of the Republic of Indonesia.
(3a) The disclosure of misdemeanors as referred to in paragraph (3) shall be furnished with the settlement of underpayment of the amount of tax that are actually payable along with the administrative sanction in the form of fine at 100% (one hundred percent) of the total underpaid tax. *****)
(4) Even though the Director General of Taxes has conducted an audit, provided that the Director General of Taxes has not submitted a notification of audit results, the Taxpayer may, with his/her own awareness, disclose in a separate report any incorrect filling out of Tax Return that has been submitted in accordance with the real situation, and the audit process shall still be continued. ******)
(5) The underpaid tax that arises as a result of the disclosure of incorrect filling out of the Tax Return as referred to in paragraph (4) must be paid fully by the Taxpayer before a separate report is submitted along with the administrative sanction in the form of interest at a monthly interest rate determined by the Minister of Finance of the underpaid taxes, which is calculated as from:
a. the deadline for submission of Annual Tax Return expires up to the payment date, for disclosure of incorrect filling out of Annual Tax Return; or
b. the payment due expires up to the payment date, for disclosure of incorrect filling out of Periodic Tax Return,
and shall be imposed for maximum of 24 (twenty-four) months, and a fraction of month is calculated fully as 1 (one) month. *****)
(5a) The monthly interest rate determined by the Finance Minister as referred to in paragraph (5) is calculated based on the basic interest rate plus 10% (ten percent) and divided by 12 (twelve) which applies on the sanction calculation commencement date. *****)
(6) Taxpayer may correct the Annual Tax Return which has been submitted, in the event the Taxpayer receives a tax assessment letter, Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Appeal Verdict, or Judicial Review Award of the previous Fiscal Year or several previous Fiscal Years, which state a fiscal loss different from the fiscal loss that has been compensated in the Annual Tax Return to be corrected, within 3 (three) months as of its receipt of tax assessment letter, Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Appeal Verdict, or Judicial Review Award, provided that the Director General of Taxes has not conducted an audit. ***)
Elucidation of Article 8
Paragraph (1)
As to the error in filling out the Tax Return made by the Taxpayer, the Taxpayer still has the right to make correction at his/her own desire, provided that the Director General of Taxes has not commenced to conduct an audit. "Commencing to conduct an audit" means when the Tax Audit Notification Letter is submitted to the Taxpayer, his/her representative, proxy, employee, or an adult family member of the Taxpayer.
Paragraph (1a)
Stipulation expiry means a period of 5 (five) years as of the time when a tax is due or the expiry of a Tax Period, a fraction of Fiscal Year, or a Fiscal Year, as referred to in Article 13 paragraph (1).
Paragraph (2)
Self-explanatory.
86
Paragraph (2a)
Self-explanatory.
Paragraph (2b)
Self-explanatory.
Paragraph (3)
Self-explanatory.
Paragraph (3b)
Self-explanatory.
Paragraph (4)
Even though the Director General of Taxes has conducted an audit but has not issued a tax assessment letter, the Taxpayers who have or have not corrected the Tax Return are still given with the opportunity to disclose the incorrect filling out of the Tax Return that has been submitted, which can take the form of an Annual Tax Return or a Periodic Tax Return for the year or period audited. Such a disclosure of incorrect filling out of the Tax Return shall be made in a separate report and must reflect the actual situation so as to know the actual amount of the tax payable. However, to prove the truth of such a Taxpayer's report, an audit process will continue until finish.
Paragraph (5)
Self-explanatory.
Paragraph (5a)
Self-explanatory.
Paragraph (6)
In relation to the issuance of a tax assessment letter, Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Appeal Verdict, or Judicial Review Award for a Fiscal Year that results in a fiscal loss different from the fiscal loss that has been compensated in the Annual Tax Return of the next year or the next years, a Fiscal loss adjustment will be made in accordance with the tax assessment letter, Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Appeal Verdict, or Judicial Review Award in calculating the Income Tax for the next years, such a limitation period of 3 (three) months is intended for administration orderliness without eliminating the Taxpayer's rights to the compensation for losses. In the event the Taxpayer corrects the Tax Return exceeding the period of 3 (three) months or the Taxpayer does not file a correction as a result of the presence of tax assessment letter, Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Appeal Verdict, or Judicial Review Award of the previous Fiscal Year or several previous Fiscal Years, which state a fiscal loss different from the fiscal loss that has been compensated in the Annual Income Tax Return, the Director General of Taxes will take this into account in determining the tax obligations of the Taxpayer.
For clarity, the following example is given:
Example 1:
PT A submits an Annual Income Tax Return of 2008 which states:
Net Income Rp 200,000,000,00
Compensation for losses based on the 2007 Annual Income Tax Return Rp 150,000,000,00 (-) Taxable Income Rp 50,000,000,00
The 2007 Annual Income Tax Return was examined, and on 6 January 2010 a tax assessment letter was issued stating a fiscal loss of Rp 70.000.000,00.
Based on the tax assessment letter, the Director General of Taxes will change the calculation of the 2008 Taxable Income to become as follows:
Net Income Rp 200,000,000,00
Loss according to the 2007 tax assessment Rp 70,000,000,00 (-)
Taxable Income Rp 130,000,000,00
87
Thus, the taxable income from the Tax Return which was originally Rp.50.000.000,00 (Rp.200.000.000,00 - Rp.150.000.000,00), after the correction became Rp.130.000.000,00 (Rp.200.000.000,00 - Rp. 70.000.000,00).
Example 2:
PT B submits the 2008 Annual Income Tax Return stating:
Net Income Rp 300,000,000,00
Compensation for losses based on the 2007 Annual Income Tax Return Rp 200,000,000,00 (-) Taxable Income Rp 100,000,000,00
The 2007 Annual Income Tax Return was examined and on 6 January 2010 a tax assessment letter was issued stating a fiscal loss of Rp250.000.000,00.
Based on the tax assessment letter, the Director General of Taxes will change the calculation of the 2008 Taxable Income to become as follows:
Net Income Rp 300,000,000,00
Loss according to the 2007 tax assessment Rp 250,000,000,00 (-)
Taxable Income Rp 50,000,000,00
Thus, the taxable income from the Tax Return which was originally Rp.100.000.000,00 (Rp.300.000.000,00 - Rp.200.000.000,00), after correction became Rp.50.000.000,00 (Rp.300.000.000,00 - Rp.250.000.000,00).
(1) The Finance Minister determines the due date for payment and deposit of tax payable for a time or a Tax Period for each type of tax, not later than 15 (fifteen) days as of the time the tax becomes due or the Tax Period expiry. ***)
(2) Underpayment of tax that is payable based on the Annual Income Tax Return must be paid fully before the Income Tax Return is submitted. ***)
(2a) Payment or deposit of tax as referred to in paragraph (1), which is made after the due date for payment or deposit of tax, is subject to administrative sanction in the form of interest at a monthly interest rate determined by the Finance Minister calculated as from the payment due date up ,to the actual payment date, and shall be imposed for maximum of 24 (twenty four) months and a fraction of month is calculated fully as 1 (one) month. *****)
(2b) On the payment or deposit of tax as referred to in paragraph (2) which is made after the due date for submission of Annual Tax Return, an administrative sanction shall be imposed in the form of interest at a monthly interest rate determined by the Finance Minister that is calculated as from the end of deadline for submission of the Annual Tax Return up to the actual payment date, and shall be imposed for maximum of 24 (twenty four) months and a fraction of month is calculated fully as 1 (one) month. *****)
(2c) The monthly interest rate determined by the Finance Minister as referred to in paragraph (2a) and paragraph (2b) is calculated based on the basic interest rate plus 5% (five percent) and divided by 12 (twelve) which applies on the sanction calculation commencement date. *****)
(3) The Tax Collection Letter, Tax Underpayment Assessment Letter, as well as the Additional Tax Underpayment Assessment Letter, and the Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Appeal Verdict, as well as the Judicial Review Award, which cause the amount of outstanding tax increases, must be paid fully within 1 (one) month as of the issuance date. ***)
(3a) For small enterprise Taxpayers and Taxpayers in certain regions, the settlement period as referred to in paragraph (3) can be extended up to maximum of 2 (two) months, the rovisions of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(4) The Director General of Taxes may, at the request of the Taxpayer, give approval to the payment in installments or postponement of payment of taxes including the underpayment as referred to in paragraph (2) the implementation of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. *****)
88
Elucidation of Article 9
Paragraph (1)
The deadline for payment and deposit of tax payable for a time or a Tax Period shall be determined by the Finance Minister with the deadline not exceeding 15 (fifteen) days as of the time when the tax becomes due or the Tax Period expiry. Delay in such a payment and deposit results in imposition of administrative sanction in accordance with the provisions in the tax laws and regulations.
Paragraph (2)
Self-explanatory.
Paragraph (2a)
Self-explanatory.
Paragraph (2b)
Self-explanatory.
Paragraph (2c)
Self-explanatory.
Paragraph (3)
Self-explanatory.
Paragraph (3a)
Self-explanatory.
Paragraph (4)
Self-explanatory.
(1) Taxpayer is obligated to pay or deposit the tax payable by using a Tax Payment Slip to the state cash account through the payment place as specified by or based on a Regulation of the Finance Minister.
***)
(1a) The Tax Payment Slip as referred to in paragraph (1) serves as a proof of tax payment if has been legalized by the authorized official of the payment receiving office or if it has been validated, the provisions of which shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
(2) The procedures for payment, deposit of taxes, and the reporting thereof and the procedures for installment and postponement of the tax payment shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
Elucidation of Article 10
Paragraph (1)
Self-explanatory.
Paragraph (1a)
Self-explanatory.
Paragraph (2)
The existence of procedures for payment, deposit of taxes, and the reporting thereof and the procedures for installment and postponement of the tax payment that shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister, is expected to be able to facilitate the implementation of tax payments and its administration.
89
(1) At the request of the Taxpayer, any tax overpayment as referred to in Article 17, Article 17B, Article 17C, or Article 17D shall be refunded, provided that if found that the Taxpayer has a tax indebtedness, it will be taken into account straight away to settle first such a tax indebtedness. ***)
(1a) Any tax overpayment as a result of any Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Administrative Sanction Reduction Decision Letter, Administrative Sanction Elimination Decision Letter, Tax Assessment Reduction Decision Letter, Tax Assessment Cancellation Decision Letter, and Appeal Verdict or Judicial Review Award, as well as the Interest Repayment Decree shall be refunded to the Taxpayer provided that if found that the Taxpayer has a tax indebtedness, it will be taken into account straight away to settle first such a tax indebtedness. ***)
(2) The tax overpayment refund as referred to in paragraph (1) and paragraph (1a) shall be made not later than 1 (one) month as of the application for the tax overpayment refund is received in relation to issuance of the Tax Overpayment Assessment Letter as referred to in Article 17 paragraph (1), or as of the issuance of Tax Overpayment Assessment Letter as referred to in Article 17 paragraph (2) and Article 17B, or as of the issuance of Advance Tax Overpayment Refund Decree as referred to in Article 17C or Article 17D, or as of the issuance of Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Administrative Sanction Reduction Decision Letter, Administrative Sanction Elimination Decision Letter, Tax Assessment Reduction Decision Letter, Tax Assessment Cancellation Decision Letter or Interest Repayment Decree, or as of the receipt of Appeal Verdict or Judicial Review Award, that results in such a tax overpayment. ***)
(3) If the tax overpayment refund is made after the period of 1 (one) month, the Government shall provide interest compensations at a monthly interest rate determined by the Finance Minister for the delay in tax overpayment refund, calculated as of the deadline for issuance of Tax Overpayment Refund Decree expiry up to the time of actual overpayment refund and shall be given for maximum of 24 (twenty four) months, and a fraction of month is calculated fully as 1 (one) month. *****)
(3a) The monthly interest rate determined by the Finance Minister as referred to in paragraph (3) is calculated based on the basic interest rate divided by 12 (twelve) that applies on the interest compensations calculation commencement date. *****)
(4) The procedures for calculation and refund of tax overpayment shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister. ***)
Elucidation of Article 11
Paragraph (1)
If, after calculating the actual amount of tax payable with the amount of tax credit, reveals a surplus (the amount of tax credit is greater than the amount of tax payable) or a tax payment which is otherwise not payable has been made, the Taxpayer has the right to ask for a tax overpayment refund, provided that the Taxpayer does not have any tax indebtedness.
In the event the Taxpayer still has any tax indebtedness including all types of taxes either at the center and at its branches, such an overpayment must be first calculated with the tax indebtedness and if there is still a surplus, it shall be refunded to the Taxpayer.
Paragraph (1a)
Self-explanatory.
Paragraph (2)
In order to guarantee legal certainty for Taxpayers and for administrative compliance, the deadline for tax overpayment refunding is stipulated not later than 1 (one) month:
a. for Tax Overpayment Assessment Letter as referred to in Article 17 paragraph (1), calculated as from the receipt date of written application for the tax overpayment refund;
b. for the Tax Overpayment Assessment Letter as referred to in Article 17 paragraph (2) and Article 17B, calculated as from the issuance date;
c. for Advance Tax Overpayment Refund Decree as referred to in Article 17C and Article 17D, calculated as from the issuance date;
d. for Objection Decision Letter, Notice of Tax Correction, Administrative Sanction Reduction Decision Letter, Administrative Sanction Elimination Decision Letter, Tax Assessment Reduction Decision Letter, Tax Assessment Cancellation Decision Letter, or Interest Repayment Decree, calculated as
90
from the issuance date;
e. for the Appeal Verdict, calculated as from the receipt of the Appeal Verdict by the Office of the Directorate General of Taxes which is competent to execute the court judgment; or
f. for the Judicial Review Award, calculated as from the receipt of the Judicial Review Award by the Office of the Directorate General of Taxes which is competent to execute the court judgment.
up to the issuance of the Tax Overpayment Refund Decree.
Paragraph (3)
Self-explanatory.
Paragraph (3a)
Self-explanatory.
Paragraph (4)
Self-explanatory.
TAX STIPULATION AND ASSESSMENT
(1) Every Taxpayer shall be obliged to pay the taxes payable in accordance with the provisions in the tax laws and regulations, without relying on the existence of tax assessment letter. ***)
(2) The amount of Tax payable according to the Tax Return submitted by the Taxpayer is the amount of tax payable in accordance with the provisions in the tax laws and regulations. ***)
(3) If the Director General of Taxes obtains any evidence that the amount of tax payable according to the Tax Return as referred to in paragraph (2) is incorrect, the Director General of Taxes shall stipulate the amount of tax payable.. ***)
Elucidation of Article 12
Paragraph (1)
A tax is principally payable at the time of incurrence the taxable tax object, however, for the purpose of tax administration, the time a tax becomes payable is:
a. at a time, for Income Tax withheld by a third party;
b. at the end of period, for Income Tax withheld by the employer, or collected by another party on a business activity, or by a Taxable Entrepreneur for collection of the Value Added Tax on Goods and Services and the Sales Tax on Luxury Goods; or
c. at the end of the Fiscal Year, for Income Tax.
The amount of tax payable that has been either withheld, collected, or which must be paid by the Taxpayer upon the coming of the payment time or period as referred to in Article 9 and Article 10 paragraph (2), must be deposited by the Taxpayer to the state cash account through a payment place that shall be regulated by or based on a Regulation of the Finance Minister as referred to in Article 10 paragraph (1).
Based on this Law, the Directorate General of Taxes is not obliged to issue the tax assessment letter on all of the Tax Returns submitted by the Taxpayers. Issuance of a tax assessment letter is only limited to certain Taxpayers that are resulted from incorrectness in filling out the Tax Return or due to the discovery of fiscal data not reported by the Taxpayer.
Paragraph (2)
This provision provides that a Taxpayer who has calculated and paid the amount of tax payable correctly in accordance with the provisions in the tax laws and regulations, and has reported it in the Tax Return, do not need to be given with either tax assessment letter or Tax Collection Letter.