LAPORAN AKHIR KELOMPOK KERJA
LAPORAN AKHIR KELOMPOK KERJA
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA KEDAULATAN ENERGI
PUSAT ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM NASIONAL BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI
TAHUN 2016
DAFTAR ISI
Kata Pengantar | ............................................................................ | i |
Daftar Isi | ............................................................................ | iii |
BAB I | Pendahuluan ...................................................... | 1 |
A. Latar Belakang ............................................. | 1 | |
B. Permasalahan ............................................. | 12 | |
C. Tujuan Kegiatan ........................................... | 12 | |
D. Ruang Lingkup Analisis dan Evaluasi ......... | 13 | |
E. Metode Analisis dan Evaluasi Hukum ........... | 14 | |
F. Sistematika Penulisan .................................. | 20 | |
BAB II | Politik Hukum Kedaulatan Energi .................... | 22 |
A. Politik Hukum Kedaulatan Energi dalam UU | ||
Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi .......... | 23 | |
B. Politik Hukum Kedaulatan Energi dalam | ||
Peraturan Perundang-undangan Terkait ....... | 25 | |
BAB III | Analisis dan Evaluasi Berdasarkan Kesesuaian Asas Peraturan Perundang-Undangan ............... | 31 |
A. Penilaian Kesesuaian Norma Undang-Undang | ||
Terhadap Indikator Asas .............................. | 31 | |
B. Penilaian Kesesuaian Norma Peraturan | ||
Pemerintah Terhadap Indikator Asas ............ | 16 | |
C. Penilaian Kesesuaian Norma Peraturan |
Presiden Berdasarkan Indikator Asas 68
BAB IV Analisis dan Evaluasi Hukum Berdasarkan
Potensi Disharmoni Peraturan Perundang- 72 Undangan ........................................................
A. Potensi Disharmoni Kewenangan ............. 72
BAB V Analisis dan Evaluasi Hukum Berdasarkan Efektivitas Implementasi Peraturan Perundang- Undangan ........................................................ 78
A. Masalah Substansi Hukum ...................... 80
B. Masalah Struktur Hukum ........................ | 87 | |
C. Masalah Budaya Hukum .......................... | 93 | |
D. Masalah Pelayanan Hukum ...................... | 96 | |
BAB VI | Penutup ............................................................. | 98 |
A. Simpulan .................................................... | 98 | |
B. Rekomendasi Umum ..................................... | 104 | |
C. Rekomendasi Khusus ................................... | 110 | |
Daftar Pustaka | ........................................................................... | 120 |
Lampiran | A. SK Pelaksana Kegiatan |
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Energi merupakan sektor penting bagi pembangunan Indonesia. Tidak hanya dalam soal pemasukan kepada devisa Negara, tetapi juga menentukan dalam perkembangan kemajuan peradaban Indonesia. Keberadaan energi sangat penting karena perannya dalam roda politik dan pemerintahan perekonomian, kehidupan sosial serta pertahanan dan keamanan. Energi merupakan sumber daya alam penting dan strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga menjadi kewenangan Negara untuk menguasainya dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Kedaulatan energi adalah “hak suatu negara dan bangsa untuk secara mandiri menentukan kebijakan pengelolaan energi untuk mencapai ketahanan dan kemandirian energi”.1 Definisi ini menjelaskan bahwa Indonesia dianggap sebagai sebuah negara yang memiliki kedaulatan energi nasional manakala kebijakan nasional terkait dengan energi dan tatakelolanya direncanakan, dibuat dan dilaksanakan secara mandiri yakni tidak ada ketergantungan, infiltrasi, dan tekanan-tekanan dari kekuatan eksternal baik negara maupun lembaga-lembaga atau organisasi lain. Hal ini bukan berarti Indonesia tidak bisa melakukan kerjasama dengan pihak lain, tetapi kerjasama dan tukar-
1 Sampe L. Purba, “Ketahanan, Kemandirian, atau Kedaulatan Energi,” Media Indonesia, 8 September 2016, xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxx/xxxx/00000/xxxxxxxxx-xxxxxxxxxxx- atau-kedaulatan-energi/2016-09-08, diakses 26 Oktober 2016.
menukar informasi atau perjanjian-perjanjian terkait masalah tatakelola energi nasional harus bebas dari tekanan dari, dan ketergantungan terhadap kepentingan dari luar.
Sementara yang dimaksud dengan ketahanan energi nasional adalah “suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi, akses masyarakat terhadap energi pada harga terjangkau (rasional) dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.”2 Ketahanan energi adalah sebuah gambaran sampai sejauhmana energi dapat disediakan secara tepat waktu dan terjamin ketersediaannya dengan harga yang terjangkau dan mutu yang dapat diterima. Indikator yang digunakan untuk menggambarkan ketahanan energi antara lain (1) jumlah energi (availibility) baik sumber daya maupun cadangan energi, (2)ketersediaan infrastruktur (accessability), (3)harga energi (affordability), (4)kualitas energi (acceptability), serta (5)portofolio atau bauran energi (energi mix). Disamping itu ketahanan energi juga mempunyai elemen (6)keberlanjutan (sustainability), sehingga energi dituntut untuk dikelola dengan memperhatikan daya dukung lingkungan (environment).
Indonesia adalah Negara yang memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang berlimpah, termasuk sumber daya energi. Peranan Indonesia di bidang energi sangat besar, misalnya Indonesia adalah salah satu eksportir batubara dan LNG (Liquefied Natural Gas) terbesar di dunia. Kekayaan tersebut sebenarnya merupakan modal untuk menjadi negara besar. Namun demikian, sampai saat ini permintaan energi di Indonesia masih didominasi oleh energi yang tidak terbarukan (energi fosil).
2 Xxxxxxxx XX Hikam: Ketahanan Energi Indonesia 2015-2025 Tantangan dan Harapan
(Jakarta: CV. Rumah Buku, 2014), hlm. 8.
Pada tahun 2013, energi fosil menyumbang 94.3 persen dari total kebutuhan energi (1.357 juta barel setara minyak). Sisanya 5,7 persen dipenuhi dari Energi Baru dan Terbarukan (selanjutnya disingkat EBT). Dari jumlah tersebut, minyak menyumbang 49,7 persen, gas alam 20,1 persen, dan batubara 24,5 persen. Separuh dari minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri harus diimpor, baik dalam bentuk minyak mentah (crude oil) maupun produk minyak. Dengan kondisi tersebut, ketahanan energi Indonesia tentu menjadi sangat rentan terhadap gejolak yang terjadi di pasar global.3 Produksi minyak mentah (crude oil) terus mengalami penurunan. Sepanjang 5 (lima) tahun terakhir, produksi rata-rata minyak bumi di bawah 1 juta barel per hari (bph). Pada tahun 2012, produksi minyak bumi mencapai 945 ribu bph, terus menurun menjadi 824 ribu bph pada tahun 2013 dan 789 ribu bph pada tahun 2014 dari target 919 rb bph.4
Negara Republik Indonesia, secara alami sesungguhnya memiliki potensi yang sangat besar dalam hal sumber-sumber energi baik sumber energi fosil maupun EBT. Namun demikian, potensi tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal sehingga tidak dapat memberikan jaminan kepada keberlangsungan kedaulatan dan ketahanan energi nasionalnya. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia sudah menjadi salah satu negara pengimpor minyak dan gas sejak Tahun 2004 sebagai akibat dari peningkatan konsumsi di dalam negeri yang tak terkendali di samping ketidak berhasilan di dalam tatakelola energi nasional, khususnya di bidang eksplorasi minyak dan gas. Kondisi seperti ini jelas berdampak serius terhadap bukan saja
3 Ibid, hlm. 68.
4 BAPPENAS, Evaluasi RPJMN 2010-2014
perekonomian nasional, tetapi yang lebih penting lagi adalah terhadap kedaulatan dan ketahanan energi.
Posisi ketahanan energi Indonesia semakin merosot dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan data yang dirilis Dewan Energi Dunia, Indonesia berada di peringkat ke-69 dari 129 negara pada Tahun 2014. Peringkat itu melorot dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada Tahun 2010, Indonesia ada di peringkat ke-29 dan pada Tahun 2011 turun ke peringkat ke-47. Indonesia akan terus menjadi nett importir jika tidak melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan cadangan minyak baru. Sampai saat ini 60 persen kebutuhan BBM nasional masih impor dan semakin besar impor maka semakin besar ketergantungan Indonesia terhadap harga BBM dunia.
Banyak permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi dalam rangka kedaulatan energi antara lain pertama, sumber daya energi yang sampai saat ini masih difungsikan sebagai sumber pendapatan nasional. Energi fosil gas dan batubara misalnya, diekspor dalam jumlah yang besar. Hal ini dapat dilihat dari peranan Indonesia sebagai salah satu eksportir batubara dan gas terbesar di dunia. Kedua, pemberian subsidi terhadap harga energi oleh pemerintah sehingga menyebabkan terganggunya stabilitas keuangan Negara dan perekonomian nasional. Subsidi terhadap harga energi yang terus membengkak dari tahun ke tahun tidak hanya membebani perekonomian Negara tetapi juga menyebabkan pola konsumsi energi masyarakat menjadi boros. Subsidi energi ini juga mengakibatkan pengembangan EBT menjadi tidak berjalan. Ketiga, terbatasnya infrastruktur yang menghubungkan lokasi terdapatnya sumber energi ke konsumen seperti pelabuhan, loading-unloading facility dan jaringan distribusi yang membentuk
konektivitas nasional yang mengakibatkan akses masyarakat terhadap energi menjadi terbatas dan menurunkan kemampuan pemerintah untuk menyediakan eneri dalam jumlah cukup dan berkualitas bagi masyarakat dan industri. Konektivitas tersebut dibangun mulai dari sumber energi hingga ke pusat konsumsi energi dengan skema-skema tertentu. Tujuannya adalah untuk menjamin tercapainya target pertumbuhan ekonomi yang berbasiskan ketahanan energi. Keempat, belum optimalnya pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) seperti hidro, panas bumi, xxxxx, xxxxx, kelautan dan biomassa. Meskipun Indonesia memiliki sumber daya energi terbarukan yang berlimpah, namun pengembangannya masih berskala kecil, padahal pengembangan energi untuk jangka panjang perlu mengoptimalkan pemanfaatan EBT untuk mengurangi pangsa penggunaan energi fosil. Persoalannya adalah energi di Indonesia bergantung pada azas pengelolaan. Seharusnya pemerintah harus berpegang pada azas keadilan dan keberlangsungan dalam merumuskan kebijakan energi. Produksi minyak dan gas bumi dalam negeri harus ditahan agar keberlanjutannya bisa terjaga sebab cadangan minyak dan gas bumi di Indonesia sudah menipis. Oleh karena itu pemerintah tidak perlu mematok lifting atau produksi minyak dan gas bumi terlalu tinggi tetapi fokus pada bagaimana mengatasi persoalaan ketersediaan cadangan energi hingga beberapa puluh tahun kedepan.5
Menurut data, panas bumi dengan potensi lebih dari 28.617 MW baru dimanfaatkan sebesar 1.341 MW, sementara tenaga air dengan potensi 75.000 MW baru dimanfaatkan 7.059 MW dan pembangkit biomassa dengan potensi sebesar 13.662 MW baru
5 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/xxxx/xx000x0x0000000/xxxxxxxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxx- pengelolaan-energi-nasional diakses pada tanggal 10 April 2016
dimanfaatkan 1.772 MW.6 Di antara sumber daya EBT, biomassa baik untuk bahan bakar pembangkit listrik atau sebagai bahan baku untuk diolah menjadi bahan bakar nabati (BBN) sebab dapat mengurangi ketergantungan pada BBM yang saat ini sekitar 50% berasal dari impor, juga ramah lingkungan sehingga bisa mengurangi pencemaran. Pengembangan EBT menghadapi kendala karena biaya investasi yang masih tinggi, belum ada intensif yang memadai, harga jual EBT masih lebih tinggi dibandingkan dengan energi fosil, kurangnya pengetahuan dalam mengadaptasi fasilitas energi bersih, serta potensi sumberdaya EBT pada umumnya kecil dan tersebar. Kelima, dari sisi disparitas wilayah, kebutuhan energi yang sangat besar di wilayah pulau Jawa sedangkan potensi sumberdaya yang dimiliki sangat terbatas. Sementara itu di luar Jawa yang memiliki potensi sumberdaya energi yang besar hanya membutuhkan energi yang relatif kecil. Keenam, permasalahan infrastruktur di wilayah luar pulau Jawa yang masih sangat kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Infrastruktur yang masih sangat kurang ini menjadi penghambat utama dalam pengembangan wilayah serta pemerataan akses masyarakat terhadap energi. Ketujuh, mafia minyak dan gas bumi atau pemburu rente yang melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha minyak dan gas bumi secara legal dan merugikan Negara secara massif, antara lain turunnya produksi minyak dan gas bumi sejak 2001, inefisiensi tata kelola dan lemahnya ketahanan energi nasional sebagai akibat dari terus meningkatnya impor minyak. Untuk mengurai praktik mafia minyak dan gas bumi tidaklah mudah karena tidak ada peraturan yang dilanggar. Seringkali praktik mafia ini
6 Xxxx Xxxxxxxx, Permasalahan dan Kebijakan Energi Saat Ini, Outlook Energi Indonesia 2014 & Seminar Bersama BPPT dan BKK-PII, Jakarta, 2016, hlm 10.
dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah hukum yang ada. Bisa saja secara normatif hukumnya sudah baik, namun dalam pelaksanaannya disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab atau bisa juga karena substansi hukumnya yang lemah sehingga dapat dimanfaatkan oleh para pemburu rente energi.
Kehadiran mafia minyak dan gas bumi sudah diakui keberadaannya oleh pemerintah saat ini. Menurut Menteri BUMN Xxxx Xxxxxxxx praktek mafia minyak dan gas bumi beroperasi lewat beragam regulasi (tata kelola) resmi yang ada. Hal senada juga diakui oleh Menteri ESDM saat itu, Xxxxxxxx Xxxx. Menurutnya, mafia minyak dan gas bumi mencari keuntungan dari pengelolaan sektor minyak dan gas bumi yang tidak transparan. Sebagai contoh, salah satu sistem yang diciptakan mafia adalah soal cara PLN membeli gas dari pihak ketiga untuk keperluan pembangkit listrik. Padahal gas tersebut diproduksi Pertamina. Kenapa PLN tidak membeli saja langsung ke Pertamina? Lalu kenapa kilang minyak Negara tidak dibangun? Sebab sampai saat ini Indonesia juga belum memiliki cadangan penyangga energi yang dapat memberikan jaminan pasokan dalam waktu tertentu apabila terjadi kondisi krisis dan darurat energi. Oleh karena tidak mempunyai kilang yang memadai, saat ini Indonesia hanya mempunyai cadangan bahan bakar berbasis minyak untuk 18-23 hari. Padahal sepuluh tahun lalu Indonesia bisa mempunyai simpanan untuk 30 hari. Akibatnya saat ini Indonesia sudah tidak mempunyai cadangan untuk pemakaian dalam kondisi darurat (strategic reserve).7 Sejumlah aturan memiliki celah untuk dimainkan oleh mafia minyak dan gas bumi
7 Xxxxxxxx XX Hikam, Op. Cit., hlm 107-111.
karena tidak disertai dengan aturan teknis yang ketat dan transparan. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas bumi misalnya, membolehkan ada perusahaan selain Pertamina menjual BBM kepada konsumen ritel. Meski bisa menguntungkan bila dilihat dari sisi persaingan bebas, konsekuensinya perusahaan asing boleh mendirikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Saat ini banyak perusahaan asing yang telah mengantongi izin mendirikan SPBU merek asing di Indonesia. Mereka masing-masing memiliki hak mendirikan
20.000 SPBU. Artinya, jika subsidi BBM premium dicabut, akan ada ratusan ribu SPBU merek asing siap berdiri di Indonesia. Mereka mengantisipasi migrasi besar-besaran konsumsi BBM premium ke BBM kelas pertamax. Masih dalam UU Minyak dan gas bumi, disebutkan bahwa perusahaan daerah berhak mendapat bagian kontrak 10% dari total pengelolaan minyak dan gas bumi. Pola yang disebut dengan participating interest atau hak berpartisipasi ini bertujuan baik, yakni agar daerah ikut menikmati hasil usaha minyak yang bersumber dari wilayahnya. Namun dalam prakteknya hak kontrak inilah yang dimainkan oleh para pemegang kewenangan di daerah. Banyak BUMD yang tidak berkompeten melaksanakan bisnis ini akhirnya memanfaatkan hak partisipasi itu untuk menjalankan praktek percaloan sektor minyak dan gas bumi. Permainan lainnya adalah penyelundupan minyak ke luar negeri dari hasil curian minyak mentah dan kemudian ditampung terlebih dahulu di kilang-kilang yang dimiliki pihak-pihak tertentu. Kedelapan, permasalahan yang juga seringkali menghambat banyak disebabkan faktor ketidakpastian hukum dan perizinan. Masalah ketidakpastian hukum seperti adanya tumpang tindih lahan serta tumpang tindih berbagai peraturan dan kebijakan di tingkat daerah apalagi dengan kondisi
pengelolaan sumber daya alam minyak dan gas bumi di daerah pasca pemberlakuan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah). Menurut Direktur Pembinaan Hulu Usaha Minyak dan Gas Bumi Xxxxx Xxxxxxxx, 86 persen permasalahan menyangkut minyak dan gas bumi justru terjadi sektor non teknis, seperti regulasi dan perizinan. Sedangkan sisanya 14 persen sektor teknis yang meliputi, letak, medan, dan tingkat kesulitan eksplorasi. Tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah, mengakibatkan terhambatnya proses eksplorasi minyak dan gas bumi. Perizinan dalam pengelolaan minerba merupakan masalah yang sangat pelik. Kasus yang paling banyak ditemui terkait izin adalah tumpang tindihnya izin di dalam satu wilayah yang sama, dalam arti terhadap satu wilayah pertambangan terdapat beberapa izin sehingga saling tumpang tindih. Sejauh ini total ada 345 izin minyak dan gas bumi, diantaranya 101 izin ada di daerah (provinsi dan Kabupaten/Kota). Perizinan yang harus dipenuhi bidang hulu minyak dan gas bumi yakni 69 jenis perizinan. Proses perizinan di provinsi ada 31, sedangkan kabupaten/kota ada 53. Lebih dari 5000 izin per tahun dan 600.000 lembar dokumen persyaratan yang diterbitkan 17 instansi terkait dan izin tidak bisa terbit jika tak ada harmonisasi antara pusat dan daerah. Ketidaksinkronan ini secara otomatis menghambat produksi minyak dan gas bumi. Padahal seharusnya produksi minyak dan gas bumi tidak boleh terhenti sekalipun terjadi perbedaan pendapat antara pemerintah pusat dan daerah. Produksi minyak dan gas bumi bisa berhenti apabila membahayakan manusia. Seharusnya kita tidak mencari permasalahan supaya produksi tidak berjalan, tapi carilah aturan- aturan yang bisa menyiasati agar produksi tetap berjalan.8
8xxxx://xxxxxx.xxxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxx-xxxxxx-xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxx-xxxxxxxxxx-
Persoalan dari UU Pemerintahan Daerah adalah dalam Pasal
14 Ayat (1) yang secara tegas dinyatakan bahwa terkait urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Selain itu, walaupun dalam urusan pemerintahan di bidang batu bara tidak dicantumkan secara tegas di dalam batang tubuh UU, tetapi bidang ini dimasukkan dalam lampiran UU Pemda yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari UU sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) sehingga penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang minerba dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi. Disisi lain pembagian kewenangan terkait penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang minerba yang ada dalam UU Minerba masih dibagi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.9
Dari berbagai persoalan tersebut sudah seharusnya pemerintah membuat kebijakan energi nasional yang dapat memberikan peranan penting dalam usaha mencapai kedaulatan energi. Kedaulatan energi adalah hak seluruh rakyat, bangsa dan Negara untuk menetapkan kebijakan energi, tanpa campur tangan Negara lain. Kedaulatan energi mencakup eksplorasi dan produksi energi yang cukup dan merata; melakukan diversifikasi agar tersedia banyak pilihan energi; termasuk energi baru terbarukan; serta melakukan konservasi energi, efisiensi pemanfaatannya untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan energi bagi masyarakat.
Upaya untuk itu sebenarnya telah dilakukan. Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang
9 Xxxxx Xxxxxx, Perubahan Undang-Undang Pertambangan Mineral Dan Batubara: Upaya Untuk Menata Kembali Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia, (BPHN: Jurnal Rechtsvinding Online, Jakarta, 15 Mei 2015)
Energi yang menjadi acuan dalam pengelolaan energi nasional. Pengelolaan energi ini meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya harus dilakukan secara terus menerus guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan dalam pelaksanaannya harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.10 UU Energi memiliki keterkaitan dengan banyak UU yang terkait dengan sektor energi dan lingkungan diantaranya UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi, UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, UU Nomor 6 Tahun 1994 tentang Ratifkasi Konvensi Perubahan Iklim, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dari banyaknya keterkaitan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut PUU) di sektor energi seringkali menimbulkan adanya potensi tumpang tindih, disharmonis diantara PUU yang ada. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Badan Pembinaan Hukum Nasional melakukan Analisis dan Evaluasi Hukum terkait kedaulatan energi dalam rangka mendukung program pemerintah yang masuk dalam prioritas ke 7 Nawacita yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik yang terdapat dalam RPJMN Tahun 2015-2019 bidang kedaulatan energi dan ketenagalistrikan, dimana arah kebijakan dan strategi pembangunan dalam RPJMN 2015-2109 adalah meningkatkan upaya berkelanjutan pembangunan ekonomi melalui strategi ketahanan energi utamanya peningkatan akses masyarakat terhadap energi, peningkatan efisiensi dan bauran energi nasional dan juga
10 Penjelasan umum, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
Rencana Kerja Pemerintah atau RKP yang diatur dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2015 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2016.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, terdapat beberapa permasalahan yang diidentifikasikan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan analisis dan evaluasi hukum dalam rangka kedaulatan energi. Adapun permasalahan dalam kegiatan ini adalah:
1. Bagaimana kesesuaian antara peraturan perundang- undangan yang terkait dengan Kedaulatan Energi, dengan asas materi muatan peraturan perundang-undangan?
2. Apakah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Kedaulatan Energi berpotensi tumpang tindih atau disharmoni?
3. Apakah kendala penerapan peraturan perundang-undangan yang terkait Kedaulatan Energi di lapangan?
4. Bagaimana efektivitas peraturan perundang-undangan terkait dengan Kedaulatan Energi di lapangan?
C. Tujuan Kegiatan
Tujuan dilaksanakannya kegiatan analisis dan evaluasi hukum dalam rangka kedaulatan energi adalah:
1. Menilai kesesuaian antara asas materi muatan peraturan perundang-undangan dan indikator terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Kedaulatan Energi.
2. Menilai peraturan perundang-undangan yang disharmoni atau tumpang tindih terkait Kedaulatan Energi.
3. Menganalisis kendala dan implementasi penerapan peraturan perundang-undangan terkait Kedaulatan Energi di lapangan.
4. Menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan terkait Kedaulatan Energi.
D. Ruang Lingkup Analisis dan Evaluasi
Analisis dan evaluasi hukum ini dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan terkait kedaulatan energi berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan obyek analisis dan evaluasikan hukum yaitu:
1. Jenis Undang-Undang
1. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas;
2. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi;
3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba;
4. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan;
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2014 Tentang Panas Bumi.
2. Jenis Peraturan Pemerintah:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas PP Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2012 Tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak Dan Gas Bumi Di Aceh;
3. Jenis Peraturan Presiden:
1. Peraturan Presiden RI No. 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi.
E. Metode Analisis dan Evaluasi Hukum
Analisis dan evaluasi hukum dalam rangka kedaulatan energi dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif. Metode ini dilakukan melalui studi pustaka dengan menelaah data sekunder, yaitu berupa Peraturan Perundang-undangan atau dokumen hukum lainnya, hasil penelitian, pengkajian, serta
referensi lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diidentifikasi.
Pengumpulan data dalam analisis dan evaluasi dilakukan dengan menggunakan studi kepustakaan, yang sumber datanya diperoleh dari:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat berupa UUD NRI Tahun 1945, peraturan perundang-undangan, Putusan Mahkamah Konstitusi serta dokumen hukum lainnya yang berkaitan dengan kedaulatan energi.
2. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti risalah sidang, dokumen penyusunan peraturan yang terkait dengan penelitian ini dan hasil-hasil penelitian, kajian, jurnal dan hasil pembahasan dalam berbagai media yang terkait dengan kedaulatan energi.
3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang, seperti kamus hukum dan bahan lain di luar bidang hukum yang dipergunakan untuk melengkapi data penelitian.
Untuk mendukung analisis terhadap data sekunder, maka kegiatan analisis dan evaluasi hukum ini juga dilengkapi dengan diskusi (focus group discussion/FGD), rapat dengan Narasumber dan pemangku kepentingan. Selain itu, juga dilaksanakan Diskusi Publik di Provinsi Aceh dalam rangka mempertajam analisis. Instrumen Analisis dan Evaluasi empiris berupa matriks masalah- masalah yang terkait dengan efektifitas pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan dan aspek budaya hukum.
Analisis dan evaluasi hukum ini menggunakan beberapa dimensi penilaian, yaitu: 1) penilaian ketentuan pasal berdasarkan
kesesuaian asas peraturan perundang-undangan; 2) penilaian berdasarkan potensi disharmoni, baik antara peraturan perundang-undangan, maupun antar pasal dalam sauatu peraturan perundang-undangan; dan 3) penilaian berdasarkan efektivitas implementasi peraturan perundang-undangan. Penggunaan penilaian ketiga dimensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penilaian berdasarkan kesesuaian asas
Setiap ketentuan pasal dinilai kesesuaiannya dengan asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Adapun asas-asas yang digunakan dalam analisis dan evaluasi ini adalah:
a. asas kejelasan rumusan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaan;
b. asas materi muatan. Materi muatan Peraturan perundang- undangan harus mencerminkan asas materi muatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentgukan Peraturan Perundang- undangan, yaitu:
1) Xxxxxxxxxx
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk ketentraman masyarakat.
2) Kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
3) Kebangsaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
4) Kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
5) Kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang- undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6) Bhineka Tunggal Ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
7) Keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
9) Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
10) Keseimbangan, keserasian dan keselarasan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.
2. Penilaian Berdasarkan Potensi Disharmoni
Penilaian ini dilakukan dengan pendekatan normatif, terutama untuk mengetahui adanya disharmoni pengaturan.
3. Penilaian Berdasarkan Efektivitas Implementasi Peraturan Perundang-undangan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai kejelasan tujuan yang hendak dicapai serta berdayaguna dan berhasilguna sebagaimana dimaksud dalam
asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Penilaian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan terkait kedaulatan energi sesuai dengan yang diharapkan. Penilaian ini perlu didukung dengan data empiris yang terkait dengan implementasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kedaulatan energi.
Pelaksanaan analisis dan evaluasi hukum dilaksanakan dengan kegiatan meliputi:
1. Melakukan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait kedaulatan energi. Inventarisasi juga dilakukan terhadap data dukung berupa Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai hasil pengujian Undang-Undang yang terkait, Putusan Mahkamah Agung mengenai hasil pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang terkait, dan perjanjian internasional yang terkait;
2. Melakukan analisis terhadap pemenuhan indikator asas pada masing-masing peraturan perundang-undangan terkait kedaulatan energi;
3. Menginventarisir secara normatif dan empiris potensi tumpang tindih dan disharmoni;
4. Melakukan analisis dan penilaian terhadap efektivitas Implementasi peraturan perundang-undangan berdasarkan temuan normatif dan empiris terkait kedaulatan energi;
5. Menyusun simpulan dan rekomendasi.
F. Sistematika Penulisan
Analisis dan Evaluasi ini akan disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I merupakan bab pendahuluan yang di dalamnya menguraikan beberapa aspek, mulai dari latar belakang, pemilihan isu, paparan isu aktual disertai data awal serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. Selain itu, didalam pendahuluan berisikan tujuan, ruang lingkup dan metode analisis dan evaluasi.
Bab II memuat politik hukum kedaulatan energi. Bab ini akan menguraikan mengenai politik hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, yang mencerminkan arah kebijakan dari pemerintah atau Negara dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi.
Bab III mengenai analisis dan evaluasi peraturan perundang-undangan terhadap kesesuaian asas-asas. Bab ini akan menguraikan kesesuaian ketentuan pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan terhadap asas peraturan perundang-undangan berdasarkan kejelasan rumusan dan asas materi muatan. Untuk memudahkan dalam membaca, bab ini divisualisasikan dalam bentuk tabel.
Bab IV memuat analisis dan evaluasi berdasarkan potensi disharmoi peraturan perundang-undangan. Bab ini akan menguraikan analisis dan evaluasi berdasarkan potensi disharmoni, baik antar pasal maupun antar peraturan perundang-undangan.
Bab V memuat analisis dan evaluasi berdasarkan efektifitas implementasi peraturan perundang-undangan. Analisis dan evaluasi terkait efektifitas dapat terkait dengan
substansi hukum, struktur hukum, budaya hukum, maupun pelayanan hukum.
Bab VI memuat simpulan dan rekomendasi dari hasil analisis dan evaluasi. Rekomendasi terdiri dari rekomendasi umum, yang berisi saran terkait dengan substansi hukum, struktur hukum, ataupun budaya hukum, sedangkan rekomendasi khusus berisi saran normatif, yang didasarkan pada hasil analisis pada Bab III, Bab IV, dan Bab V.
BAB II
POLITIK HUKUM KEDAULATAN ENERGI
Politik hukum yang dimaksud dalam laporan ini adalah arah kebijakan pemerintah atau negara mengenai arah pengaturan hukum dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi, yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan11. Dengan kata lain bahwa salah satu perwujudan dari politik hukum kedaulatan energi di antaranya berupa peraturan perundang-undangan. Bab ini akan menguraikan politik hukum kedaulatan energi yang terkandung dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi, sebagai UU utama (terkait langsung), dan juga politik hukum UU lain yang terkait dengan kedaulatan energi.
Dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2010-2050 terdapat
9 (Sembilan) kebijakan yang menjadi acuan bagi pemerintah dalam pemanfaatan energi dalam negeri, yaitu:
1. Mengubah paradigma sumber daya energi sebagai komoditas menjadi modal pembangunan nasional;
2. Meningkatkan efisiensi, konservasi, dan pelestarian lingungan hidup dalam pengelolaan energi;
3. Meningkatkan pangsa sumber daya energi baru dan terbarukan (EBT);
4. Meningkatkan cadangan terbukti energi fosil dan mengurangi pangsanya dalam bauran energi nasional;
5. Meningkatkan pengelolaan energi secara mandiri, penciptaan lapangan kerja, kemampuan penelitian,
11[1] xxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxxxxx.xx.xx/xxx-xxx-xxx/000-xxxxxxx-xxxxxxxxx-xxxxxxxx.xxxx
pengembangan penerapan (litbang RAP), dan peran industri dan jasa energi dalam negeri;
6. Memeratakan akses terhadap energi minyak dan gas bumi dan listrik bagi masyarakat kota dan desa;
7. Mengamankan pasokan energi, khususnya listrik dan minyak dan gas bumi untuk jangka pendek, menengah, dan panjang;
8. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya energi dalam pembangunan ekonomi nasional;
9. Menetapkan dan mengamankan cadangan penyangga energi nasional.
A. Politik Hukum Kedaulatan Energi dalam UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
Politik hukum dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi, secara umum dapat merujuk pada Undang-undang Nomor
30 Tahun 2007 tentang Energi). UU tentang Energi ini dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan utama yang mencerminkan politik hukum Kedaulatan Energi. Mengapa utama, karena dalam konsiderans menimbang UU tersebut, memuat masalah umum sumber daya energi di Indonesia baik dari aspek filosofis, yuridis maupun sosiologis. Hal ini menunjukkan bahwa politik hukum Kedaulatan Energi secara umum (pada tingkat nasional) tertuang dalam UU ini. Dengan demikian UU tentang Energi dapat dijadikan rujukan (mempunyai fungsi payung) bagi peraturan perundang-undangan lain yang akan mengatur terkait dengan sumber daya Energi.
Dalam konsiderans menimbang dan penjelasan umum dari UU ini terkandung makna bahwa peranan energi sangat penting
bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional, oleh karenanya, pengelolaan sumber daya energi harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal dan terpadu. Selain itu juga ditegaskan bahwa cadangan sumber daya energi tidak terbarukan terbatas jumlahnya, maka perlu diadakan kegiatan penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin bagi generasi yang akan datang.
Materi pokok yang diatur dalam UU ini diarahkan untuk mengatur masalah:
a. Penguasaan sumber daya energi;
b. Cadangan penyangga energi guna menjamin ketahanan energi nasional;
c. Penanggulangan keadaan krisis dan darurat energi, serta harga energi;
d. Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan, penyediaan dan peningkatan energi baru dan energi terbarukan, sesuai dengan kewenangannya;
e. Kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengaturan di bidang energi;
f. Kebijakan energi nasional, rencana umum energi nasional dan pembentukan dewan energi nasional;
g. Hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi;
h. Pembinaan dan pengawasan kegiatan pengelolaan energi;
i. Penelitian dan pengembangan, yang diarahkan terutama untuk pengembangan energi baru dan energi terbarukan dalam menunjang pengembangan industri energi nasional yang mandiri.
Dalam Penjelasan Umum UU ini termaktub pula politik hukum kedaulatan energi, yang diarahkan pada penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya energi dalam rangka
peningkatan kesejahteraan rakyat, dan harus selaras, serasi dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup.
B. Politik Hukum Kedaulatan Energi dalam Peraturan Perundang- undangan Terkait
Politik hukum dalam rangka Kedaulatan Energi dalam UU tentang Energi yang sangat ideal, perlu disandingkan dengan politik hukum yang terkandung dalam undang-undang terkait lainnya, untuk dapat menilai apakah saling mendukung satu sama lain atau tidak. Untuk mengukur apakah politk hukum undang-undang terkati lainnya mendukung terrwujudnya kedaulatan energi atau tidak, maka Pokja menentukan beberapa kriteria yang diambil dari kata kunci arah kedaulatan energi yang terkanadung dalam Konsiderans Menimbang dan Penjelasan Umum dari UU tentang Energi, yang merupakan politik hukum dari UU Energi itu sendiri. Beberapa kriteria tersebut adalah:
- Pengelolaan sumber energi dilakukan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal dan terpadu;
- Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya energi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat;
- Pengelolaan sumber daya energi yang memperhatikan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dengan fungsi lingkungan hidup;
- Berorientasi pada penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin bagi generasi yang akan datang;
- Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pemanfaatan, penyediaan dan peningkatan energi baru dan energi terbarukan, sesuai dengan kewenangannya;
- Penelitian dan pengembangan, yang diarahkan terutama untuk pengembangan energi baru dan energi terbarukan dalam
menunjang pengembangan industri energi nasional yang mandiri;
- Kemudahan prosedur dan insentif bagi pihak-pihak yang melakukan pemanfaatan, penyediaan dan pengusahaan sumber energi baru dan terbarukan;
- Jaminan hak dan peran masyarakat dalam pengelolaan energi.
1. UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
Dalam konsiderans menimbang, disebutkan bahwa pengelolaan minyak dan gas Bumi (minyak dan gas bumi) harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pengaturan minyak dan gas bumi dimaksudkan untuk menciptakan kegiatan usaha minyak dan gas bumi yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan berwawasan pelestarian lingkungan, serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional.
Politik hukum UU Minyak dan gas bumi ini juga terkandung dalam Penjelasan Umum, yang menyebutkan tujuan dari UU ini, yaitu:
a. terlaksana dan terkendalinya Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam dan sumber daya pembangunan yang bersifat strategis dan vital;
b. mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing;
c. meningkatnya pendapatan negara dan memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya bagi perekonomian nasional, mengembangkan dan memperkuat industri dan perdagangan Indonesia;
d. menciptakan lapangan kerja, memperbaiki lingkungan, meningkatnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Tujuan UU ini mendukung politik hukum kedaulatan energi, karena memenuhi indikator: „Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya energi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat‟. Namun arah politik hukum ini tidak menegaskan penting Indonesia untuk pelan-pelan melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil (dalam hal ini minyak dan gas bumi).
2. UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba
Dalam konsiderans menimbang dinyatakan bahwa kebutuhan dari pengaturan ini adalah untuk dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien, dan benvawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan.
Kemudian, pada Penjelasan Umum ditegaskan pula bahwa UU ini adalah untuk menjawab tantangan utama yang dihadapi pertambangan mineral dan batubara (minerba), yaitu globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat. Bahwa usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia dan mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
Tujuan UU ini mendukung politik hukum kedaulatan energi, karena memenuhi indikator: „Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya energi dalam rangka
peningkatan kesejahteraan rakyat‟. Namun arah politik hukum ini tidak menegaskan penting Indonesia untuk pelan-pelan melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil (dalam hal ini minerba).
3. UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrtikan
Dalam konsiderans menimbang dusebutkan bahwa usaha penyediaan listrik dikuasai oleh Negara, dan perlu ditingkatkan agar ketersediaannya cukup, merata dan bermutu. Peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan perlu ditingkatkan, namun juga harus memperhatikan keselamatan manusia dalam pemanfaatan ketenagalilstrikan.
Sedangkan dalam Penjelasan Umum ditegaskan bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan dipergunakm untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, melalui kebijakan, pengaturan, pengawasan, dan melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik. Pemerintah dan pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan, termasuk pelaksanaan pengawasan di bidang keteknikan.
Pemanfaatan ketenagalistrikan untuk sebesar-besarnya kemakmuran merupakan indikator yang mendukung politik hukum bagi kedaulatan energi, namun sayangnya UU ini tidak mengandung politik hukum yang mengarahkan pada orientasi penganekaragaman sumberdaya energi di bidang ketenagalistrikan, terutama sumber energi baru dan terbarukan. Padahal kewajiban Pemerintah dan Pemda dalam pemanfaatan, penyediaan dan peningkatan energi baru
terbarukan sudah menjadi kebijakan yang digariskan oleh UU Xxxxxx.
4. UU Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
Dalam konsiderans menimbang disebutkan bahwa Panas Bumi merupakan energi ramah lingkungan yang potensinya besar dan pemanfaatannya belum optimal sehingga perlu didorong dan ditingkatkan secara terencana dan terintegrasi guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. UU ini juga dimaksudkan untuk menjaga keberlanjutan dan ketahanan energi nasional serta efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan Panas Bumi.
Pada Penjelasan Umum UU ini ditegaskan bahwa Panas Bumi merupakan kekayaan alam yang harus dikuasai negara dan dikelola untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Penyediaan, pemanfaatan dan pengelolaan panas bumi diharapkan dapat membantu program Pemerintah untuk pemanfaatan energi bersih yang sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca. Di samping untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil, pemanfaatan panas Bumi diperuntukan menumbuhkan pusat pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan perekonomian masyarakat. Pengaturan ini dalam rangka mendukung Pemerintah untuk fokus melakukan penyelenggaraan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung yang digunakan sebagai pembangkitan tenaga listrik.
Politik hukum yang terkandung dalam UU ini sangat mendukung politik hukum kedaulatn energi yang digariskan oleh UU tentang Energi. Tujuan pengaturan Panas Bumi ini tidak hanya memenuhi indikator Penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaan sumber daya energi dalam rangka peningkatan
kesejahteraan rakyat, tapi juga berorientasi pada penganekaragaman sumber daya energi agar ketersediaan energi terjamin bagi generasi yang akan datang, karena mendorong terlepas dari ketergantungan energi fosil. Tidak hanya itu, pemanfaatan panas bumi juga dapat mengurasi efek rumah kaca, artinya politik hukum UU ini juga memenuhi indikator
„pengelolaan sumber daya energi yang memperhatikan keselarasan, keserasian dan keseimbangan dengan fungsi lingkungan hidup‟, serta „pemenuhan kewajiban pemerintah dan Pemda dalam pemanfaatan, penyediaan dan peningkatan energi baru dan energi terbarukan‟.
Jika melihat pada politik hukum UU ini, maka seharusnya sumber energi panas bumi menjadi prioritas utama bagi pemerintah dalam rangka mewujudkan kedaulatan energi dibandingkan pemanfaatan minyak dan gas bumi dan minerba.
BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI
BERDASARKAN KESESUAIAN ASAS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Penilaian Kesesuaian Norma Undang-Undang Terhadap Indikator Asas
1. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
UU Energi terdiri dari 34 (tiga puluh empat) pasal dan berlaku seluruhnya. Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Pasal 2 Kejelasan rumusan | Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). asas adalah nilai-nilai yang menjiwai seluruh norma yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan petunjuk no. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan asas-asas dicabut, cukup elaborasi asas ada dalam naskah akademik. | √ | |
2. | Pasal 3 Kejelasan | Penyebutan tujuan pengelolaan energy tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
rumusan | akademiknya. Jika sangat diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkam. Misalnya rumusan diganti dengan: “pengelolaan energi harus ditujukan untuk: “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekuensi jika pengelolaan energi tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud) | |||
3. | Pasa 22 Kejelasan rumusan | Pendelegasian untuk diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah. Kata “dan/atau” menimbulkan makna yang ambigu, apakah diatur dengan PP atau Pemda. Selain itu juga tidak sesuai dengan teknik penyusunan PUU, yaitu bahwa pendelegasian kewenangan mengatur harus tegas menyebutkan jenis PUU nya. Maka ketentuan ini tidak sesuai dengan petunjuk No. 200 – 202 Lampiran II UU No. 12/2011. | √ | |
4. | Pasal 25 Kekeluargaan | Tanggung jawab konservasi energi dibebankan kepada pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Lebih lanjut, pada ayat (3) diatur bahwa pengguna dan produsen peralatan hemat energi yang melaksanakan konservasi enegri diberi kemudahan dan insentif oleh Pemerintah dan/atau Pemda. Catatan: Ayat (4) pada dasarnya merupakan ketentuan yang tidak memiliki arti yang signifikan. Artinya, jika ayat (4) ditiadakan tidak akan mengubah kondisi hukum apapun. Sebab kata “disinsentif” yang | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
digunakan dalam kalimat “diberi diinsentif oleh pemerintah dan/atau pemda” artinya adalah pemerintah/pemda tidak memberi insentif. Sehingga untuk alasan efisien, ayat (4) sebaiknya dihilangkan. | ||||
5. | Pasal 28 | Pengawasan kegiatan pengelolaan sumber daya energi selain dilakukan oleh pemerintah juga dilakukan oleh masyarakat. Ketentuan ini sudah mencerminkan prinsip keadilan, namun tidak menyebutkan bentuk pengawasan yang bisa dilakukan oleh masyarakat dan bagaimana mekanismenya. Untuk mempertegas asas keadilan, perlu ditambahkan secara umum dalam penjelasannya, dan dapat diatur lebih lanjut dengan PUU di bawahnya. | √ |
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Minyak dan gas bumi)
UU Minyak dan gas bumi terdiri dari 67 (enam puluh tujuh) pasal, namun sejumlah pasal statusnya sudah dinyatakan bertentangan oleh Mahkamah Konstitusi. UU ini tiga kali diajukan judicial review ke MK, yaitu pada tahun 2003 dan 2012. Hasil putusan MK tersebut adalah:
1. Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 membatalkan Pasal 12, Pasal 22 dan Pasal 28 ayat (2) ;
2. Putusan MK No. 36/PUU-X/2012 membatalkan Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), pasal 11, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63;
3. Putusan MK No. 10/PUU-X/2012 menyatakan:
- Frasa “setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “setelah ditentukan oleh pemerintah daerah”;dan
- Frasa “Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan” dalam Pasal 14 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Penentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh”;
Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Pasal 1 (23) | Angka 23 dibatalkan oleh MK (Put. MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
2. | Pasal 2 | Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki oprator norma). Asas adalah nilai-nilai yang menjiawai seluruh norma yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan petunjuk no. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Sehingga sebaiknya norma yang menyebutkan asas-asas dicabut, cukup elaborasi asas ada dalam naskah akademik. | √ | |
3. | Pasal 3 | Penyebutan tujuan penyelenggaraan kegiatan usaha minyak dan gas bumi tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
memiliki operator norma). Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkam. Misalnya rumusan diganti dengan: “peneyelenggaraan usaha minyak dan gas bumi harus ditujukan untuk: “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekwensi jika pengelolaan energi tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud) | ||||
4. | Pasal 4 | Ayat (3) dibatalkan MK (Put. MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
5. | Pasal 11 | Ayat (1) dibatalkan MK (Put. MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
6. | Pasal 12 | Kata “berkonsultasi dengan Pemerintah daerah” perlu disesuaikan dengan kewenangan pemerintah provinsi dalam pembagian urusan pemerintahan konkuren berdasarkan UU 23 Tahun 2014 sub urusan Minyak dan gas bumi. Di mana tidak ada lagi kewenangan provinsi dan kab/kota untuk penyelenggaraan minyak dan gas bumi. Sehingga pasal ini perlu direvisi. Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh MK (Putusan MK No. 002/PUU-I/2003) | √ | |
7. | Pasal 20 | Ayat (3) dibatalkan MK (Put. MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
8. | Pasal 21 | Ayat (1) dibatalkan MK (Put. MK No. 36/PUU-X/2012) | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
9. | Pasal 22 | Penyerahan maksimal 25% bagian dari hasil produksi minyak dan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri berpotensi pengerukan energi fosil dalam negeri yang lebih besar oleh negara asing, mengingat ijin usaha eksploitasi minyak dan gas bumi sebagian besar dimiliki asing. Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh MK (Putusan MK No. 002/PUU-I/2003) | √ | |
10. | Pasal 28 | Ayat (2) yang menyatakan bahwa harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan peda mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar, berpotensi merugikan Hak masyarakat akan kebutuhan bahan bakar minyak, perlu direvisi. Pasal ini juga sudah dibatalkan oleh MK (Putusan MK No. 002/PUU-I/2003) | √ | |
11. | Pasal 41 | Ayat (2) dibatalkan MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
12. | Pasal 44 | dibatalkan MK(Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
13. | Pasal 45 | dibatalkan MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
14. | Pasal 48 | Ayat (1) dibatalkan oleh MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
15. | Pasal 49 | dibatalkan MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
16. | Pasal 59 | Huruf a dibatalkan MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
17. | Pasal 61 | dibatalkan MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ | |
18. | Pasal 63 | dibatalkan MK (Putusan MK No. 36/PUU-X/2012) | √ |
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
UU Minerba terdiri dari 175 (seratus tujuh puluh lima) pasal, dan beberapa ketentuan pasal telah di dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Putusan MK No. 10/PUU-X/2012, yaitu: Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 9 ayat (2), Pasal 14 ayat (1), dan Pasal 17. Berikut tabel penilaian terhadap pasal- pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Pasal 2 | Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Asas adalah nilai-nilai yang menjiwai seluruh norma yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan petunjuk nomor 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Sehingga sebaiknya norma yang menyebutkan asas-asas dicabut, cukup elaborasi asas ada dalam naskah akademik. | √ | |
2. | Pasal 3 | Penyebutan tujuan pengelolaan mineral dan batubara tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki oprator | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
norma). Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkam. Misalnya rumusan diganti dengan: “pengelolaan mineral batubara harus ditujukan untuk “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekwensi jika pengelolaan energi tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud) | ||||
3. | Pasal 4 | Ketentuan ini mempertegas bahwa penguasaan sumber daya minerba di tangan Negara, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Pada hakekatnya ketentuan ini merupakan penjabaran dari apa yang dimaksud oleh Pasal 33 ayat (3), yaitu bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kema kmuran rakyat”. Namun demikian, pada ayat (2) menyebutkan bahwa penguasaan minerba diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau Pemda perlu ditinjau ulang, karena bahan galian minerba merupakan asset strategis nasional. Selain itu dari segi teknologi dan dampak lingkungan tidak semua pemda menguasai persoalannya, sehingga banyak menimbulkan ekspoitasi yang merusak lingkungan tatnpa penanganan dari Pemda. | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
4. | Pasal 6 | Rincian Kewenangan pemerintah dalam pengelolaan pertambangan minerba. Ayat (1) dibatalkan oleh MK, sepanjang tidak dimaknai setelah ditentukan oleh Pemda (Putusan MK No. 10/PUU-X/2012) | √ | |
5. | Pasal 7 | Rincian Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan minerba, perlu disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 ttg Pemda. | √ | |
6. | Pasal 8 | Rincian Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan minerba, perlu disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 ttg Pemda. | √ | |
7. | Pasal 9 | WP sebagai landasan kegiatan pertambangan, mencerminkan prinsip keberlanjutan. Ayat (2) di batalkan oleh MK (Putusan MK No. 10/PUU-X/2012) | √ | |
8. | Pasal 14 | Penetapan WUP berkoord dengan DPR dan pemda setempat. Ayat (1) di batalkan oleh MK (Putusan MK No. 10/PUU-X/2012) | √ | |
9. | Pasal 15 | Perlu disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda. | √ | |
10. | Pasal 17 | Penetapan WUP berkoordinasi dengan DPR dan pemda setempat, | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
dibatalkan oleh MK (Putusan MK No. 10/PUU-X/2012) | ||||
11. | Pasal 21 | Perlu disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda. | √ | |
12. | Pasal 23 | Kewenangan bupati/walikota perlu sidsesuaikan dengan UU 23/2014 | √ | |
13. | Pasal 27 | WPN untuk kepentingan strategis nasional, yaitu untuk cadangan komoditas tertentu dan daerah konservasi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. Catatan: Namun pada ayat (4), juga pada Bab X dan Bab XI yang mengatur IUPK, asas berkelanjutan menjadi lemah. Perubahan WPN menjadi WIUPK tidak jelas arah dan kebijakan yang akan dituju. Pasal ini juga berpotensi bertentangan dengan masalah konservasi hutan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (4) UU 4 tahun 1999 ttg Kehutanan. Perppu No. 1 Tahun 2004 jo. UU 19/2004 yang menambahkan pasal 83A dan 83B yang meyangkut IUP pada hakekanya hanya untuk menghindari ketidakpastian pada masalah ijin usaha pertambangan. Untuk itu perlu diatur bahwa ijin pertambangan di wilayah hutan konservasi tidak boleh diperpanjang. | √ | |
14. | Pasal 28 | Ketentuan ini pada dasarnya mengatur pengecualian bagi pasal sebelumnya (pasal 27) mengenai WPN. Untuk memastikan asas keberlanjutan berjalan dengan baik, maka ketentuan pasal ini | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
perlu pengaturan yang lebih tegas, yaitu dengan mengubah kata “dapat” menjadi kata “wajib”. Sehingga berbunyi: “perubahan status WPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 menjadi WPUK wajib mempertimbangkan:…..”. Dengan demikian ketentuan ini memilki konsekuensi jika tidak mempertimbangkan kriteria-kriteria dimaksud. Untuk itu pasal ini perlu direvisi. | ||||
15. | Pasal 37 | perlu disesuaikan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda. | √ | |
16. | Pasal 40 | Syarat-syarat dan criteria yang harus dipenuhi pemegang IUP. Ayat (6) dan (3) yang member kewenangan kepada Bupati/walikota sudah tidak sesuai dengan UU 23/2014 tentang Pemda, mengenai pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba, yang sudah tidak memberikan kewenangan kepada bupati/walikota untuk mengeluarkan ijin. | √ | |
17. | Pasal 43 | Mineral dan batu bara yang tergali pada masa eksplorasi atas dasar IUP, wajib dilaporkan dan jika ingin menjual, wajib seizin pemerintah. Perlu ditambahkan sanksinya jika ada pelanggaranya, yang terintgrasi dengan pasal ini. Catatan: Pasal 43 ayat (2) ambigu dengan aturan yang terkandung dalam Pasal 36 dan Pasal 41. Yaitu bahwa satu IUP hanya diperuntukan bagi IUP tertentu (eksplorasi dan/atau operasi produksi). | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
Ditegaskan oleh Pasal 41 bahwa IUP tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUP. Namun dengan adanya pasal 43 ayat (2) ini justru memberi peluang bagi pelanggaran dari pasal 41. Pasal ini harus disempurnakan, bagaimana sebenarnya kebijakan Pemerintah terhadap IUP ini. | ||||
18. | Pasal 44 | Pemberian ijin sementara oleh menteri, gubernur, Bupati/walikota, perlu disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda. | √ | |
19. | Pasal 48 | Pemberian IUP pengoperasian produk, perlu disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang Minerba menurut UU 23/2014 tentang Pemda. | √ | |
20. | Pasal 51 | Cara pemberian WIUP logam dengan lelang. Catatan: Pasal 51 terkait dengan pasal 1 angka 31. Ketentuan ini tidak mencerminkan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan indicator pembatasan kepemilikan individu dan korporasi. Wilayah pertambangan dan wilayah usaha pertambangan seharusnya sepenuhnya dikuasai oleh Negara, oleh karenanya tidak boleh direduksi dengan menyerahkannya kepada perorangan/korporasoi pemegang IUP. Karena “wilayah” pada hakekatnya merupakan penguasaan. Akan sangat riskan dengan menyerahkan 100.000 hektar wilayah kepada perseorangan/korporasi. Untuk mengatur mengenai besaran luas | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
usaha pertambangan apakah tidak cukup dengan menyebutkannya dalam ketentuan mengenai IUP nya, sehingga tidak ada lagi ketentuan mengenai WIUP. | ||||
21. | Pasal 67 | Pelimpahan kewenangan kepada camat dari walikota/bupati utk pmberian IPR, tidak dapat dilakukan lagi karena tidak sesuai dengan Pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU 23/2014, dimana bupati/walikota sudah tidak lagi mempunyai kewenangan pemberian ijin. | √ | |
22. | Pasal 81 | Mineral dan batu bara yang tergali pada masa eksplorasi atas dasar IUPK, wajib dilaporkan dan jika ingin menjual, wajib seizin pemerintah. Perlu ditambahkan sanksinya jika ada pelanggaranya, yang terintgrasi dengan pasal ini | √ | |
23. | Pasal 91 | Ketentuan ini menyatakan bahwa pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan prasarana dan sarana umum untuk keperluan pertambangan. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, karena tidak memihak pada kepentingan umum. Ketentuan ini perlu direvisi, agar lebih jelas sarana umum yang seperti apa yang dapat dimanfaatkan dan apa yang tidak boleh dimanfaatkan, ditinjau dari aspek dampaknya. Hal ini diperlukan agar pengusahaan pertambangan tidak mengganggu fasilitas umum yang tidak sesuai dengan peruntukannya. | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
24. | Paasal 93 | Ketentuan ini mengandung larangan, namun sanksinya tidak dilekatkan pada pasal ini, maka perlu direvisi agar larangan dan sanksi administratifnya terintegrasi dalam satu pasal. | √ | |
25. | Pasal 104 | Perlu disesuaikan denganPembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertmbangan sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014 | √ | |
26. | Pasal 114 | Perlu penyesuaian kewenangan bupati/walikota sesuai dengan UU 23/2014 | √ | |
27. | Pasal 118 | Pengembalian IUP dn IUPK kepada menteri, gubernur, bupati/walikota, perlu disesuaikan Pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU 23/2014, dimana bupati/walikota sudah tidak lagi mempunyai kewenangan memberian ijin. | √ | |
28. | Pasal 119 | Kemungkinan IUP dan IUPK dicabut dengan alasan kepentingan umum dan LH perlu dipertahankan, namun normanya disesuaikan kewenangan masing-masing, antara Menteri, gubernur dan bupati/walikota. | √ | |
29. | Pasal 121 | Pada ayat (1) bagi pemegang IUP atau IUPK yang berakhir karena alasan tertentu (dikembalikan atau dicabut) tetap wajib menyelesaikan dan memenuhi kewajibannya. Namun demikian, pada ayat (2) pasal ini dinegasikan dengan kemingkinan dapat dianggap telah dipenuhi, dengan persetujuan Menteri. gubernur/bupati/walikota. Untuk menghindari ini sebaiknya | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
diberi perbedaan, mana yang dapat dianggap telah selesai, dan mana yang tidak bias dianggap telah selesai kewajibannya. Jika berakhir dengan alasan dicabut karena tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP/IUPK sebaiknya tidak bisa dianggap telah selesai, sehingga perlu ada pengecualian saja. | ||||
30. | Pasal 122 | Pengembalian IUP /IUPK yang sudah berakhir kepada Xxxxxxx/gub/bupati/walikota, perlu disesuaikan dengan kewenangan bupati/walikota sebagaimana diatur dalam UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda. | √ | |
31. | Pasal 139 | pembinaan yang dimaksud: pemberian pedoman dan standar, bimbingan, supervisi, pendidikan, pelatihan perencanaan, penelitan dan lain-lain. Pada ayat (3) pelimpahan kewenangan pembinaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, perlu disesuaikan dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan (UU 23 Tahun 2014) | √ | |
32. | Pasal 140 | Pengawasan dilakukan oleh menteri dan dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan kab/kota. Khusus untuk kab/kota perlu disesuaikan. | √ | |
33. | Pasal 141 | Perlu diberikan kewenangan yang tegas dan jelas kepada inspektur tambang, sehingga tidak hanya mengawasi keselamatan kerja, tetapi juga benar-benar mengawasi pengelolaan lingkungan hidup, pascatambang, juga pengawasan jumlah produksi, jumlah ekspor dan kualitas bahan tambang | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
serta material hasil tambang lainnya untuk dijual atau diekspor. | ||||
34. | Pasal 143 | Bupati/walikota tidak lagi diberikan kewenangan penerbitan ijin maupun pembinaan dan pengawasan di bidang minerba. Maka ketentuan ini harus disesuaikan | √ | |
35. | Pasal 151 | Jenis jenis sanksi administratif, diperlukan untuk menjamin kepastian hukum, namun teknik penulisan sanksi administratif menurut teknik penulisan PUU dalam Lampiran II UU 12/2011, diletakan pada masing-masing larangan yang dikenakan sanksi, bukan dilekatkan pada satu pasal, berbeda dengan teknnik penulisan ketentuan pidana (petunjuk no. 64-66 lampiran II UU 12 Tahun 2011). Oleh karena itu ketentuan ini harus dicabut, dan seluruh ketetnuan sanksi dilekatkan pada pasal2 yang memiliki sanksi administratif. | √ |
4. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan
UU Ketenagalistrikan terdiri dari 58 (lima puluh delapan) pasal dan berlaku seluruhnya. Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekoemndasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Pasal 2 ayat (1) Ayat (2) | - Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). asas adalah nilai-nilai yang menjiawai seluruh norma yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan petunjuk no. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan asas-asas dicabut, cukup elaborasi asas ada dalam naskah akademik. - Penyebutan tujuan pembangunan ketenagalistrikan tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkam. - Misalnya rumusan diganti dengan: “pembangunan ketenagalistrikan harus ditujukan untuk:...... “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekuensi jika pembangunan ketenagalistrikan tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud) | √ | |
2. | Pasal 5 | Perlu disesuaikan dengan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda, di mana Kab/Kota tiak memiliki kewenangan untuk menentukan kebijakan usaha ketenagalistrikan (lihat Lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren huruf CC, sub urusan Ketenagalistrikan) | √ | |
3. | Pasal 10 | Ada potensi ketidaksinkronan antara ayat (2) dan ayat (3). Ayat (2) menyatakan bahwa usaha penyediaan listrik dapat dilakukan secara terintegrasi. Kata “dapat” dalam kaidah norma hukum memiliki arti | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekoemndasi | |
Revisi | Cabut | |||
yang bersifat boleh, artinya boleh ya/tidak. Sedangkan pada ayat (3) ditegaskan bahwa usah penyediaan listrik dilakukan oleh 1 badan usaha. Kemudian pada ayat (4) kembali menyatakan kemungkinan adanya usaha penyediaan listrik yang hny meliputi distribusi dan/atau penjualan. Jika merujuk pada Putusan MK No. 001-021/PUU-I/2003 yang membatalkan UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan secara keseluruhan, yang menyatakan bahwa undbundled (pemisahan usaha) penyediaan listrik bertentangan dengan makna yag terkandung dalam Pasal 33 UUD NRI 1945, maka seharusnya ayat (2) dan ayat (4) direvisi dengan kalimat yang tegas, bahwa pengusahaan penyediaan listrik harus dilakukan secara terintegrasi dari hilir sampai hulu (pembangkitan, transmisi, distribusi dan penjualan listrik), yaitu PLN. | ||||
4. | Pasal 11 | Usaha penyediaan tenaga listrik dalam hal pembangkitan, perlu diatur bahwa PLN dapat bekerja sama dengan sektor pemerintahan lainnya yang melakukan di bidang energi dan atau kelitbangan energi. Hal ini membuka kemungkinan sumber daya lain dalam pembangkitan listrik (tenaga panas bumi, tenaga nuklir dan tenaga air) dapat dipergunakan semaksimal mungkin. Pada ayat (1) mengandung arti bahwa usaha penyediaan tenaga listrik dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, swasta, koperasi dan swadaya masyarakat. Namun tidak menyatakan syarat-syarat dan | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekoemndasi | |
Revisi | Cabut | |||
batasan yang berlaku bagi pengusahaan oleh swasta, BUMD. Seharusnya tetap dilaksanakan oleh BUMN (PLN) namun dapat bekerjasama dengan pihak lain, dengan PLN sebagai holding company (Putusan MK Put MK No. 001-021/PUU-I/2003, hlm. 348) | ||||
5. | Pasal 16 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
6. | Pasal 17 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
7. | Pasal 27 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
8. | Pasal 28 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
9. | Pasal 33 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
10. | Pasal 35 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
11. | Pasal 37 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
12. | Pasal 39 | Perlu diberikan ketentuan mengenai sanksi pidana nya, dan dimasukkan dalam bab ketentuan Pidana. (perlu penambahan | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekoemndasi | |
Revisi | Cabut | |||
sanksi pidana pada bab XV) | ||||
13. | Pasal 42 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
14. | Pasal 45 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
15. | Pasal 34 | Tariff listrik dapat berbeda-beda sesuai dengan wilayah usaha masing-masing daerah, berpotensi merugikan konsumen. Hal ini perlu dipertimbangkan kembali. | √ | |
16. | Pasal 48 | Penulisan sanksi administratif tidak perlu dicantumkan dalam satu pasal tersendiri, melainkan melekat pada pasal-pasal yang mencantumkan larangan dan memberi sanksi administratif (lihat petunjuk No. 64-66 lampiran II UU No. 12/2011). | √ |
5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
UU Panas bumi terdiri dari 88 (delapan puluh delapan) pasal dan berlaku seluruhnya. Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Ps. 2 | Dalam teknik penulisan norma, penyebutan asas tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
asas adalah nilai-nilai yang menjiawai seluruh norma yang berisi pengaturan. Hal ini sejalan dengan petunjuk no. 98 Lampiran II UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PUU. Oleh karena itu sebaiknya norma yang menyebutkan asas-asas dicabut, cukup elaborasi asas ada dalam naskah akademik. | ||||
2. | Ps.3 | Penyebutan tujuan penyelenggaraan kegiatan panas bumi tidak diperlukan, karena tidak akan operasional (tidak memiliki operator norma). Tujuan dapat dituangkan dalam penjelasan umum dari UU dan naskah akademiknya. Jika sangat diperlukan, maka harus dituangkan dalam bentuk penulisan norma yang benar agar dapat dioperasionalkam. Misalnya rumusan diganti dengan: “penyelenggaraan panas bumi harus ditujukan untuk:...... “ (Kata “harus” di sini berfungsi sebagai operator norma, dan dengan demikian memiliki konsekwensi jika pengelolaan energi tidak ditujukan sebagaimana yang dimaksud) | √ | |
3. | Ps. 26 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
4. | Ps. 27 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
5. | Ps. 31 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar memenuhi asas kepastian hukum | √ | |
6. | Ps. 32 | Perlu diatur masalah sanksinya (sanksi administratif), agar | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
memenuhi asas kepastian hukum | ||||
7. | Ps. 40 | Penulisan sanksi administratif tidak perlu dicantumkan dalam satu pasal tersendiri, melainkan melekat pada pasal-pasal yang mencantumkan larangan dan memberi sanksi administratif (lihat petunjuk No. 64-66 lampiran II UU No. 12/2011). | √ | |
8. | Pasal 67 - 77 | - Penegakan hukum untuk sanksi pidana perlu merujuk pada hukum materiil dan hukum formil dalam hukum pidana (KUHP dan KUHAP). Dalam KUHP membedakan antara aturan umum untuk kejahatan dan aturan umum untuk pelanggaran (antara lain dalam aturan atau ketentuan tentang percobaan, concursus daluwarsa dan sebagainya). Tidak ditetapkanya kualifikasi delik apakah tindak pidana yang dimuat tersebut apakah kejahatan ataukah pelanggaran telah menyebabkan tidak dapat diberlakukannya beberapa aturan umum dalam KUHP - Petunjuk No. 121 Lampiran II UU 12/2011 menyatakan bahwa sehubungan adanya pembedaan antara tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran dalam KUHP, maka rumusan ketentuan pidana harus menyatakan secara tegas kualifikasi dari perbatan yang diancam pidana, apakah kejahan atau pelanggaran. Untuk itu perlu penambahan pasal yang menyatakan kualifikasi perbuatan yang diancam pidana pada pasal 66-77. | √ (dengan penamba han pasal mengena i kualifika si tindak pidanany a) |
B. Penilaian Kesesuain Norma Peraturan Pemerintah (PP) Terhadap Indikator Asas
1. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi
PP ini terdiri dari 100 (seratus) pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari Pasal
8 ayat (1), pasal 30, pasal 43, dan pasal 49 UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Beberapa pasal dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi telah dibatalkan dan tidak berlaku lagi berdasarkan Putusan MK. Beberapa pasal tersebut tidak termasuk pasal-pasal yang mendelegasikan PP ini, sehingga seluruhnya masih berlaku. Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Ps.16 | Memberikan satu ijin usaha untuk kegiatan pengolahan dan tidak memberikan ijin usaha lagi terhadap kegiatan pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga karena merupakan kelanjutan kegiatan pengolahan, bertentangan dengan asas keadilan | √ | |
2. | Ps.18 | Pemberian izin usaha penyimpanan kepada badan usaha yang melakukan kegiatan dan penyimpanan dan kegiatan pengangkutan sebagai penunjang menimbulkan hak warga Negara dalam akses pemenafaatan SDA tidak ada sehingga perlu di revisi. Pada pasal 18 ayat (1) keikutsertaan asing tidak dibatasi , pasal 18 ayat | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
(1) perlu direvisi | ||||
3. | Ps.19 | Pemberian izin usaha penyimpanan kepada badan usaha yang melakukan kegiatan dan penyimpanan dan kegiatan pengangkutan sebagai penunjang menimbulkan hak warga Negara dalam akses pemenafaatan SDA tidak ada sehingga perlu di revisi Pada pasal 19 ayat (1) keikutsertaan asing tidak dibatasi , untuk memenuhi indikator asas ini maka pasal ini perlu direvisi | √ | |
4. | Ps.24 | Pasal24 ayat (1) mengenai kegiatan pengolahan gas bumi menjadi LNG, LPG dan Gas to Liquefied di bolehkan selama untuk memperoleh keuntungan dan bukan merupakan kelanjutan kegiatan usaha hulu, hal ini kadang bisa disalahgunakan oleh badan usaha, hal ini tidak sesuai dengan asas kebangsaaan dan asas kenusantaraan | √ | |
5. | Ps.27 | Hak khusus yang diberikan oleh badan pengatur kepada badan usaha tidak sesuai dengan asas keadilan dan tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap warga Negara | √ | |
6. | Ps.35 | Pemberian penyesuaian hak khusus tidak seseua dengan asas keadilan sehingga perlu di hilangkan | √ | |
7. | Ps.46 | Pemberian izin pemegang izin usaha niaga umum dapat melakukan kegiatan niaga untuk melayani konsumen besar tidak sesuai dengan | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
asas keadilan karena tidak memberikan kesempatan dan peluang yang pada setiap warga Negara akan menyebabkan sitem kartel | ||||
8. | Ps.47 | Pasal 47 ayat (1) Badan usaha pemegang izin usaha niaga berkewajiban memiliki dan/atau menguasai fasilitas dan sarana penyimpanan serta jaminan suplai dari sumber di dlaam negeri dan/atau luar negeri, ayat ini memberikan hak penuh kepada badna usaha untuk menguasai fasilitas dan sarana penyimpanan hal ini bertentangan dengan asas kebangsaan dan perlu di cabut | √ | |
9. | Ps.49 | Dalam pasal 50 aya(1) bahwa pengguna langsung yang mempunyai atau menguasai fasilitas pelabuhan dan/atau terminal laut penerima dapat melakukan impor BBM, BBG, dan bahan bakar lain dan/atau langsung untuk penggunaan sendiri, kata-kata dapat itu dapat disalahgunakan sehingga pasal 50 ayat (1) untuk dihapusa atau di revisi karena tidak memenuhi asas kebangsaan | √ | √ |
10. | Ps.50 | Larangan bagi pengguna langsung untuk menjual BBM, BBG dan bahan bakar lain dan hasil olahan akan dikenakan sanksi pidana dan denda, sudah memenuhi asas ketertiban dan kepastian hukum | ||
11. | Ps.51 | Pasl 51 ayat (1) dan ayat (2) tidak memenuhi asas keadilan, sehingga harus direvisi | √ | |
12. | Ps.69 | Kewajiban badan usaha memberikan kesempatan kepada penyalur yang ditunjuk oleh badan usaha melalui seleksi bertentangan dengan asas | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
kebangsaan, seharusnya badan usaha tidak melakukan seleksi pada penyalur, Karena yang melakukan seleksi harusnya adalah badan pengatur. Ketentuan pasal ini harus diganti | ||||
13. | Ps.70 | Kewajiban Badan usaha pemegang izin usaha niaga melakukan penayluran BBM jenis minyak tanah kepada badan penaylur yang ditunjuk badan usaha melalui seleksi jelas melanggar asas kebangsaan , ketentuan ini harus di hapus | √ |
2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi
PP ini terdiri dari 104 pasal dan status berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari Pasal 8, Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20 ayat (6), Pasal 21 ayat (3), Pasal 22 ayat (2), Pasal 31 ayat (5), Pasal 37, dan Pasal 43 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. Perkara 002/PUU-I/2003 tentang Permohonan Uji Formil dan Materiil terhadap Pasal 12 ayat (3) dan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Ps. 4 | Penawaran wilayah kerja sebagaimana tertuang dalam ayat (2) berupa penawaran melalui lelang atau penawaran langsung. Disini ada celah adanya KKN jika penawaran wilayah kerja dilakukan secara langsung. | √ | |
2. | Ps. 5 | Seharusnya PT. Pertamina sebagai perusahaan Negara diberikan hak kekuasaan yang penuh dalam hal permohonan wilayah kerja hulu, sehingga kedaulatan Negara bisa terjaga | √ | |
3. | Ps. 7 | Pasal 7 ini ada inkonsisten karena di ayat (1) ada kata-kata wajib namun di ayat (2) ada kata-kata dapat sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang berbeda | √ | |
4. | Ps. 10 | Pasal ini tidak mencerminkan asas kenusantaraan dan Negara tidak mempunyai hak kedaulatan yang mutlak | √ | |
5. | Ps. 14 | Pasal ini tidak konsisten karena kata dapat dapat diartikan banyak interpretasi | √ | |
6. | Ps. 18 | Ada ketidak sesuaian antara ayat (4) dengan ayat(5) dalam ayat (4) kontraktor wajib menyimpan data yang dipergunakan diwilayah hukum pertambangan Indonesia, sedang ayat (5) menyatakan bahwa kontraktor dapat menyimpan salinan data diluar wilayah hukum pertambangan Indonesia. (ayat 5 harus di cabut) | √ | |
7. | Ps. 19 | Pasal 19 ayat (1), (2), dan (3) mengatur tentang kewajiban badan usaha untukmenyerahkan seluruh data yang diperoleh kepada menteri, namun ayat (4) menyebutkan badan usaha dapat mengajukan permohonan izin kepda menteri untuk menyimpan dan menggunakan | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
salinan data dari wilayah kerjanya hal ini bertentangan dengan ayat (1), (2), dan (3) karena badan ushaa tersebut telah mengalihkan semua interesnya kepada badan usaha tetap lain, sehingga pasal 19 ayat (4) harus di cabut karena tidak sesuaid engan asas kebangsaan | ||||
8. | Ps. 21 | Pasal ini inkonsinsten dengan pasal 19 ayat (5) | √ | |
9. | Ps. 25 | Seharusnya untuk urusan kontrak kerja sama buan dilakukan oleh menteri tapi oleh badan usaha milik negara, sehingga negera punya kedaulatan terhadap hasil kekayaan bumi. | √ | |
10. | Ps. 27 | Ketentuan pasal 27 ini tidak memberikan peluang bagi setiap warga Negara terhadap akses pemanfaatan sumber daya alam karena untuk jangka waktu eksplorasi ditetapkan selama 6 tahun dan dapat diperpanjang sampai 4 tahun ini bisa jadia pada saatb eksplorasi badan usaha telah melakukan eksplorasi besar-besaran dan tidak menyisakan bahan eksplorasi untuk yang lain | √ | |
11. | Ps. 28 | Ketentuan pasal 28 ini tidak memberikan peluang bagi setiap warga Negara terhadap akses pemanfaatan sumber daya alam karena Negara tetap tidak akan mendapatkan untung (perlu direvisi) | √ | |
12. | Ps. 29 | Ketentuan pasal 29 perlu dicabut karena bertentangan dengan pasal 33 UUD NRI 1945 | √ | |
13. | Ps. 31 | Pasal ini tidak menyebutkan sanksi terhadap kontraktor yang melanggaran perjanjian kerja | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
14. | Ps. 32 | Seharusnya disebutkan mengenai sanksi terhadap kontraktor yang tidak melaksanakan kewajibannya bukan hanya pembatalan kontrak kerja sama | √ | |
15. | Ps. 33 | Pasal ini tidak sesuai dengan pasal 33 UUD | √ | |
16. | Ps. 34 | Seharusnya bukan kontraktor yang menawarkan participating interest 10% tapi memang harus melibatkan BUMD | √ | |
17. | Ps. 35 | Pasal ini tidak mencerminkan asas kebangsaan, dimana negara tidak berdaulat penuh atas hasil kekayaan bumi nya | √ | |
18. | Ps. 41 | Unitisasi antara kontraktor dengan komtraktor lain mengenai wilayah kerja yang memasuki wilayah kerja kontraktor lain akan semakin membuka keran pintu asing semakin besar menggerogoti kekayaan alam kita | √ | |
19. | Ps. 44 | Kelebihan kapasitas dalam pengolahan lapangan, pengangkutan, penyimpanan dan penjualan dapat dijadikan cadangan negara kenapa harus dijual kepada pihak lain (akan menyebabkan kartel) | √ | |
20. | Ps. 45 | Pasal ini tidak berorientasi pada manfaat sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat | √ | |
21. | Ps. 48 | Pasal 48 walaupun sudah diubah dengan PP 55 tahun 2009 namun masih tidak mengedepankan kepentingan nasional. | √ | |
22. | Ps. 49 | Pasal ini sangat mengedepankan kepemilikan asing dan kedauatan negara dalam penguasaaan hasil kekayaan bumi menajadi kerdil karena | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
perjainan dilakukan antara kontraktor dan negara | ||||
23. | Ps. 52 | Seharusnya pajak untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi di khususkan jangan dibuat sama dengan umum | √ | |
24. | Ps. 53 | Masalah pengenaan pajak yang dibayarkan oleh kontraktor sebaiknya di tetapkan langsung oleh pemerintah tidak perlu kontraktor disuruh memilih mengenai jenis pajak yang harus mereka bayarkan jadi ketentuan pasal 53 di revisi | √ | |
25. | Ps. 58 | untuk besaran fee sebaiknya tidak berdasarkan penawaran dari badan usaha/badan usaha tetap, tetapi dari pemerintah yang telah menetapkan dan menghitunag jumlah produksi minyak dan gas bumi yang diaapat | √ | |
26. | Ps. 68 | Pasal ini inkonsisten, karena membolehkan wilayah kerja kontraktor yang belum dilaksanakan eksplorasi dan eksploitasi untuk dipergunakan oleh pihak lain | √ | |
27. | Ps. 69 | Ketentuan dalam pasal 69ayat (2) ini sangat merugikan bagi warga sekitar karena pembangunann fasilitas kontraktor. | √ | |
28. | Ps. 70 | Seharusnya ROW pipa transmisi minyak dan gas bumi dapat digunakan oleh semua kontrkator jangan hanya kontraktor yang memiliki ROW, dan harus di kendalikan oleh pemerintah. | √ | |
29. | Ps. 90 | Seharusnya kontrak kerjasama tidak dilakukan oleh pemerintah dengan kontraktor, tapi oleh perusahaan negara dengan kontraktor sehingga | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
negara tetap mempunyai kedaulatan | ||||
30. | Ps. 91 | Badan pelaksana seharusnya tidak sebagai pengedaIian dan pengawasan terhadap pelaksanaan kontrak kerja sama , karena hasi; minyak dan gas bumi merupakan mutlak milik negara | √ | |
31. | Ps. 92 | Badan pelaksana tidak perlu mengkoordinasikan kontraktor dengan departemen-departemen terkait untuk melakukan hubungan | √ | |
32. | Ps. 94 | Kekayaan alam yang mengelola harus perusahaan negara dalam pola B to B yaitu bussiness to bussiness. Tidak bentuk izin, bentuknya adalah bentuk bisnis negara. Kalau urusan minyak dan gas bumi dikelola oleh perusahaan negara, sehingga yang berkontrak adalah perusahaan negara dengan perusahaan swasta (kontraktor) | √ | |
33. | Ps. 96 | Antara ayat (1) dan ayat (2) tidak sinkron karena ada ayat pengecualian terhadap pengembangan lapangan Gas Bumi | √ | |
34. | Ps. 100 | 1. Penunjukan badan usaha atau kontraktor untuk melaksanakan penjuaan minyak dan gas bumi negara secara langsung oelh badan pelaksana berpotensi menimbulkan korupsi. 2. Badan usaha/kontraktor diberikan wewenang untuk memindahkan hak kepemilikan atas Minyak dan/atau Gas Bumi bagian Negara kepada pembeli pada titik penyerahan berdasarkan perjanjian jual dan beli Minyak dan/atau Gas Bumi yang terkait ini menyalahi UUD 45 pasal 33 3. Kontrak kerjasama sebaiknya jangn dibuat oleh pemerintah tapi oleh perusahaan negar yang beregrak dalam bidang Migas, sehingga | ˅ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
kedaulatan negara tetap terjaga. | ||||
35. | Ps. 101 | Badan pelaksana tidak seharusnya melakukan penagwasan atas pelaksanaan perjanjian tetapi biarkan diserahkan oleh perusahaan milik negara | √ | |
36. | Ps. 103 | Ketentuan-ketentuan mengenai kontrak kerjasama sebaiknya tidak diatur dengan keputusan menteri | √ |
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan
PP ini terdiri dari 41 (empat puluh satu) pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari pasal 12, pasal 19, pasal 25, pasal 33 dan pasal 89 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. PP ini tetap dipertahankan karena seluruh norma ketentuan Pasal dalam PP ini sudah sesuai dengan asas dan indikator.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara
PP ini terdiri dari 112 (seratus dua belas) pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari Pasal 5 ayat (5), Pasal 34 ayat (3), Pasal 49, Pasal 63, Pasal 65 ayat (2), Pasal 71 ayat (2),
Pasal 76 ayat (3), Pasal 84, Pasal 86 ayat (2), Pasal 103 ayat (3), Pasal 109, Pasal 111 ayat (2), Pasal
112, Pasal 116, dan Pasal 156 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Ps. 6 | Pemberian izin oleh Pemerintah pada pasal ini juga mengatur tentang pemberian izin terhadap badan usaha swasta dalam rangka penanaman modal asing oleh Menteri. Pasal ini harus merujuk pada UU Penanaman Modal tentang bagaimana penanaman modal asing di Indonesia, agar tidak terjadi penyalahgunaan izin yang diberikan. | √ | |
2. | Ps. 7A | Pemegang izin usaha pertambangan tidak boleh memindahkan IUP dan IUPKnya kepada pihak lain yang tidak memiliki IUP atau IUPK, agar tidak terjadi penyalahgunaan izin oleh pihak lain tersebut. | √ | |
3. | Ps. 60 | Panitia lelang merekomendasikan kepada Menteri pemenang lelang WIUPK mineral logam dan/atau batubara. Panitia lelang harus merupakan pihak yang netral dan tidak memiliki kepentingan dalam penentuan siapa yang menjadi pemenang WIUPK. | √ |
5. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah 23 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik
PP ini terdiri 55 (lima puluh lima) pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari : Pasal 14, Pasal 24, Pasal 30 ayat (4), Pasal 36, Pasal 44 ayat (7), Pasal 45 ayat (4), Pasal 46 ayat (4), dan
Pasal 48 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
PP ini merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. Pada akhir Desember 2010 dan Mei 2014, UU Ketenagalistrikan ini pernah diujimaterilkan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam putusannya, MK menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh pemohon. Kemudian PP ini juga telah mengalami perubahan oleh PP Nomor 23 Tahun 2014. Perubahan yang dimaksud berupa perubahan dan penambahan dengan menyisipkan beberapa ayat pada pasal-pasal tertentu sehingga PP No. 14 Tahun 2012 jo. PP Nomor 23 Tahun 2014 masih berlaku seluruhnya. Berikut tabel penilaian terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Ps. 7 | Pasal ini dijelaskan lebih lanjut pada Pasal 9, namun yang harus dijelaskan adalah mekanisme penunjukan 1 badan usaha tersebut, sebab di penjelasan tidak disebutkan | √ | |
2. | Ps. 11 | - Ijin usaha tenaga listrik diberikan dalam jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang. - Dalam penjelasan pasal tidak disebutkan berapa lama jangka waktu dapat diperpanjang, shingga Pasal ini tidak memberikan kepastian dan kejelasan rumusan | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
3. | Ps. 12 | Asas kepastian hukum terjamin jika tidak ada izin usaha penyediaan tenaga listrik yang baru | √ | |
4. | Ps. 16 | - Pada ayat 1, yang dimaksud adalah self evaluation, tidak dijelaskan adanya evaluasi oleh pihak lain - Jika dari hasil evaluasi diperlukan perubahan, pemegang ijin usaha tenaga listrik mengajukan rencana perubahan tersebut kepada Menteri, Gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya untuk memperoleh pengesahan. - Dari ayat ini dapat dairtikan bahwa pemerintah bersifat pasif atau menunggu dan pemegang izin usaha yang lebih bersikap aktif - Pemerintah bersifat aktif ketika ada klausula “dalam hal tertentu” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat 1, dimana definisi hal tertentu dijelskan dalam penjelasannya bahwa Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” antara lain adanya perubahan kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan ketenagalistrikan. - Dalam hal ini pemegang izin usaha penyediaan tenag listrik wajib mengubah rencana usaha penyediaan tenaga listrik (Pasal 17 ayat 2) dan disampaikan kepada Menteri. Gubernur, atau Xxxxxx/Walikota sesuai dengan kewenangannya untuk memperoleh pengesahan | √ | |
5. | Ps. 18 | Makna pasal ini sangat luas dan berpotensi menjadi pasal karet, karena tergantung persepsi masing-masing pihak, dipenjelasan juga tidak dijelaskan lebih lanjut | √ | |
6. | Ps. 19 | Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus disesuaikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait pembagian urusan pusat dan daerah | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
7. | Ps. 20 | Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus disesuaikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait pembagian urusan pusat dan daerah | √ | |
8. | Ps. 22 | Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus disesuaikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait pembagian urusan pusat dan daerah | √ | |
9. | Ps. 23 | Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus disesuaikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait pembagian urusan pusat dan daerah | √ | |
10. | Ps. 32 | Pembagian kewenangan pusat dan daerah harus disesuaikan dengan UU Nomor 23 Tahun 2014 terkait pembagian urusan pusat dan daerah | √ |
6. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2012 tentang Usaha Penunjang Tenaga Listrik
PP ini terdiri dari 27 (dua puluh tujuh) pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari pasal 16 ayat(4), pasal 26, pasal 48 ayat(3) UU No. 38 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan. PP ini tetap dipertahankan karena seluruh norma ketentuan Pasal dalam PP ini sudah sesuai dengan asas dan indikator.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
PP tentang Kebijakan Energi Nasional terdiri dari 33 (tiga puluh tiga) pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari Pasal 11 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi.
Dengan berlakunya PP ini maka Perpres No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dicabut dan tidak berlaku lagi (pasal 32 PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional). Penilaian terhadap kesesuaian norma PP Kebijakan Energi Nasional dengan asas dan indikatornya adalah: bahwa seluruh ketentuannya memenuhi asas/prinsip peraturan perundang-undangan, sehingga PP Kebijakan Energi Nasional ini direkomendasikan untuk tetap dipertahankan.
8. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi Di Aceh
PP No.23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan SDA Minyak dan gas bumi di Aceh terdiri dari 94 pasal dan berlaku seluruhnya. PP ini merupakan delegasi dari Pasal 160 ayat
(5) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. PP ini mengamanatkan untuk pembentukan Badan Pengelolaan Minyak dan gas bumi Aceh (BPMA) di Aceh paling lama tanggal 5 Mei 2016. Pada saat terbentuknya BPMA, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Perjanjian Kontrak Kerja Sama Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi antara Satuan Kerja Khusus Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Minyak dan gas bumi) dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang berlokasi di Aceh dialihkan kepada BPMA (Pasal
90 huruf b PP No. 23 Tahun 2015 Tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh). Penilaian terhadap kesesuaian norma PP Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi Di Aceh dengan asas dan indikatornya dapat dijelaskan sebagai berikut:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Ps. 66 | Pasal ini sangat rentan untuk disalahgunakan. Harus ada mekanisme yang jelas dalam proses penunjukan | √ | |
2. | Ps. 67 | - Kewenangan yang dimiliki penjual sangat besar baik dari mulai pemasaran, negosiasi, perjanjian jual beli dan perjanjian lainnya. - Hal ini dibutuhkan pengawasan sehingga kewenangan yang diberikan tidak disalahgunakan - Maksud perjanjian lainnya ini arti kalimantnya sangat luas dan berpotensi tidak memenuhi asas kepastian hukum | √ |
C. Penilaian Kesesuain Norma Peraturan Presiden (Perpres) Berdasarkan Indikator Asas
Dalam Analisis dan Evaluasi Hukum Kedaulatan Energi ini menilai 1 (satu) Perpres yaitu Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Perpres ini terdiri dari 20 (dua puluh) pasal dan berlaku seluruhnya. Perpres ini merupakan delegasi dari tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012. PP ini merupakan tindaklanjut atas pengalihan pelaksanaan tugas, fungsi dan organisasi Badan Pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, serta untuk mengatur penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 tanggal 13 November 2012.
Berikut tabel penilaian Perpres Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi terhadap pasal-pasal yang bermasalah berdasarkan kesesuaian indikator asas:
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
1. | Pasal 1 | Tugas menteri ESDM adalah membina, mengkoordinasikan dan mengawasi penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha hulu dan hilir. Seharusnya tugas pembinaan dan pengawasan diserahkan saja ke perusahaan nehgara yang menangai usha hulu dan hilir pemerintah hanya sebagai regulator | √ | |
2. | Pasal 2 | Seharusnya tugas pengendalian, pengawasan, dan evaluasi diserahkans aja kepada perusahaan negara yang bergerak dibidang minyak dan gas bumi, karena SKK minyak dan gas bumi juga merupakan perwakilan negara sehingga kedaulatan negara bisa tetap terjaga. | √ | |
3. | Pasal 3 | Komisi pengawas yang dibentuk semua berasal dari unsur pemerintah, seharusnya pengawas diserahkan pada unsur diluar pemerintah yang berkompeten dan mereka melaporkan hasilnya kepada menteri ESDM. | √ | |
4. | Pasal 4 | Tugas Komisi Pengawas sebaiknya hanya sebagai memberikan masukan terhadap usulan kebijakan strategis dan rencana kerja SKK Migas saja. | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
5. | Pasal 5 | Ada tumpang tindih kewenangan antara Komisi Pengawas dengan Kementerian ESDM dan SKK Migas. | √ | |
6. | Pasal 8 | UU 22 tahun 2001 Pasal 45 (1) Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) merupakan badan hukum milik negara. (2) Badan Pelaksana terdiri atas unsur pimpinan, tenaga ahli, tenaga teknis, dan tenaga administratif. (3) Kepala Badan Pelaksana diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. Dari ketentuan ini dapat dilihat bahwa SKK miags merupakan badan hukum milik negara yang diberi wewenang untuk melaksanakan tugas: penyelenggaraan pengelolaan kegiatan usaha huiu minyak dan gas bumi. SKK minyak dan gas bumi adalah unsur dari pemerintah, yang melakukan kontrak kerja dengan perusahaan, sehingga tetap saja pemerintah tidak mempunyai kedaulatan karena diikat dengan kontrak | √ | |
7. | Pasal 9 | Penataan Struktur organsiasi SKK Migas sesuai pasal 7 Perpres 9 tahun 2013 dilakukan oleh Menteri, namun justru kepala SKK Minyak dan gas bumi bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Walaupun menteri adalah pembantu Presiden yang setiap hasil pelaksanaannya wajib dilaporkan ke Presiden namun karena posisi SKK Migas ada dalam lingkungan Kementerian ESDM seharusnya setiap hasil kegiatannya dilaporkanke Menteri ESDM. | √ |
No | Pasal | Analisis | Rekomendasi | |
Revisi | Cabut | |||
8. | Pasal 18 ayat (1) | Biaya operasional dalam rangka pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, berasal dari jumlah tertentu dari bagian negara dari setiap kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, seharusnya biaya operasional pengelolaan kegiatan usaha hukum dibebankan kepada kontraktor | √ |
BAB IV
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM BERDASARKAN POTENSI DISHARMONI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Potensi Disharmoni Kewenangan
Untuk menganalisis dan mengevaluasi potensi disharmoni kewenangan dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan bidang energi dilakukan persandingan ketentuan pasal dari beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
2. UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara
3. UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda
5. UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
6. UU No.3 Tahun 2014 tentang Perindustiran
7. UU No. 25 Tahu 2007 tentang Penanaman Modal
8. UU No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian
Persandingan potensi disharmoni dilakukan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
No. | Pasal PUU | Potensi disharmoni dengan PUU Lain | Analisis |
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan gas bumi | |||
Pasal 31 | UU No. 12 Tahun 1985 xxxxxxxxxxx telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang PBB UU No. 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18 Tahun 2000 dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN) | Pada pasal ayat (2) disebutkan bahwa penerimaan Negara berupa pajak terdiri dari: pajak-pajak, bea masuk, bea impor dan cukai, pajak daerah dan retribusi daerah. Sedang ayat (4) huruf b, disebutkan bahwa kewajiban membayar pajak dilakukan sesuai dengan ketentuan PUU di bidang perpajakan. Artinya bahwa masalah perpajakan di bidang Minyak dan gas bumi harus pula merujuk pada UU PBB, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, UU Bea Cukai, serta UU Pajak Pertambahan Nilai. | |
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah | |||
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba | |||
Pasal 15, Pasal. 21, Pasal 23, Pasal. 104, Pasal. 114, Pasal 118 | UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda | Pembagian urusan pemerintahan konkuren sub bidang pertambangan sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 (Lampiran huruf CC), Pemerintahan Kota/Kabupaten sudah |
No. | Pasal PUU | Potensi disharmoni dengan PUU Lain | Analisis |
tidak diberikan kewenangan untuk mengurusi bidang Minerba. | |||
Pasal 128 | UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994 tentang PBB UU No. 8 Tahun 1983, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 18 Tahun 2000 dan UU No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN) | Bahan tambang (Minerba) tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai/PPN, padahal bahannya Un-Renewable, yang berasal dari dalam bumi masih berbentuk massive/padat kemudian ditransportasi, dikecilkan, serta dicuci yang tentunya nilainya bertambah karena sudah berbentuk kerikil & bersih dari sebagian lumpur atau bahan-bahan kotoran (Ore atau Konsentrat). | |
Pasal 27 | UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya | Penetapan WPN (Wilayah Pencadangan Negara) yang berubah menjadi WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan Khusus), yang berada dalam hutan konservasi (Pasal 83A dan 83B UU No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang) walaupun dengan persetujuan DPR, akan bertabrakan dengan UU No. 5 Tahun 1990 karena dalam UU dimaksud untuk kawasan hutan konservasi |
No. | Pasal PUU | Potensi disharmoni dengan PUU Lain | Analisis |
tidak dapat dilakukan kegiatan untuk pertambangan. Kawasan konservasi dilarang untuk kegiatan pertambangan karena kawasan konservasi merupakan kawasan yang memiliki fungsi sebagai penyangga dan penyeimbang kehidupan yang harus dilindungi dan dilestarikan. Fungsi ini menjadi sangat penting karena kawasan ini mempunyai peranan baik secara hidrologis, ekologis, serta keanekaragaman hayati. Kegiatan pertambangan akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi fungsi kawasan ini. | |||
Pasal 112 | Pasal 7 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) | UU PM menganut asas yang tidak membedakan perlakuan terhadap asal negara. Sedangkan pasal 112 menentukan tentang keharusan divestasi saham dari kepemilikan asing kepada pemerintah/Pemda/BUMN/BUMD/badan swasta nasional setelah 5 tahun. Namun pasal ini tidak disharmoni dengan adanya pasal 7 ayat (1) UU PM yang menentukan bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang. Oleh karenanya, pasal 112 UU MInerba adalah ketentuan khusus dari |
No. | Pasal PUU | Potensi disharmoni dengan PUU Lain | Analisis |
pasal 4 ayat (2) UU PM, yang menyatakan bahwa dalam menetapkan kebijakan, Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Oleh karena itu, meskipun tampak berpotensi disharmoni, namun ternyata pasal ini saling melengkapi. | |||
UU No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan | |||
Pasal 46 ayat (3) | Pasal 36 ayat 1 UU No. 20 tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian | Terdapat juga peraturan yang mengatur lembaga pemerintah terkait dengan penetapan pemenuhan standar. Contohnya untuk lembaga inspeksi teknik, Komite Akreditasi Nasional (KAN) dapat menerbitkan akreditasi lembaga inspeksi sesuai SNI ISO 17020 tetapi tidak diakui akreditasinya oleh Kementerian Teknis (Kementerian ESDM). Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian Pasal 36 ayat (1), yang berhak menerbitkan akreditasi adalah KAN sehingga harus ada sinergi antarlembaga di pemerintahan agar tidak menerbitkan 2 (dua) akreditasi pada kegiatan yang sama. Adanya peraturan yang berbeda pada lembaga pemerintah untuk kegiatan akreditasi atau |
No. | Pasal PUU | Potensi disharmoni dengan PUU Lain | Analisis |
sertifikasi yang sama, tentunya akan menimbulkan biaya kepengurusannya yang dikeluarkan oleh setiap lembaga atau badan usaha. Sehingga biaya untuk penerbitan sertifikat menjadi lebih mahal. Sebaiknya ada kajian terhadap kegiatan peraturan yang sama seperti pada proses akreditasi dan sertifikasi di ketenagalistrikan. |
BAB V
ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM BERDASARKAN EFEKTIVITAS IMPLEMENTASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memenuhi asas „kejelasan tujuan‟ yang hendak dicapai,
„berdayaguna‟ dan „berhasilguna‟. Pemenuhan ketiga asas tersebut menunjukan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan efektivitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis maupun yuridis. Hal ini sejalan dengan asas pembentukan peraturan perundang- undangan yang baik, sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Demikian juga halnya pada saat dilakukan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan, aspek tersebut perlu dinilai. Evaluasi atau penilaian ini perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana manfaat dari pembentukan suatu peraturan perundang-undangan terkait masalah Kedaulatan Energi sesuai dengan arah politik hukumnya. Penilaian ini dilakukan terhadap hasil penelusuran permasalahan implementasi dan/atau efektivitas peraturan perundang- undangan, yang diperoleh baik dari data primer maupun data sekunder, yang terkait dengan implementasi peraturan perundang-undangannya.
Data primer diperoleh dari beberapa kegiatan yaitu Rapat dengan Narasumber yang memiliki keahlian terkait bidang energi,
diskusi publik terkait kedaulatan energi dan Focus Group Discussion Analisis dan Evaluasi Hukum mengenai Kedaulatan Energi. Berikut penjabaran analisis terhadap data primer tersebut:
A. Masalah Substansi Hukum
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
• Limbah tailing telah menimbun dan mencemari sekitar 110 km persegi, sedangkan 20 sampai 40 km bentangan sungai Ajkwa sudah tercemar, dan 133 km persegi lahan subur tertutup tailing, dan pada saat musim penghujan/banjir, kawasan tercemar. Perubahan arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan tropis lebih kurang 21 km persegi dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa (data dan fakta kontrak Freeport. 4 Nov 2010) • Pasal 67 ayat (2), kewenangan untuk mengeluarkan IUP dari gubernur sampai ke Camat, maka yang terjadi adalah setiap kabupaten/kota mengeluarkan izin, bahkan ada kabupaten yang mengeluarkan 150 izin. (Tapi pasal ini harus disesuaikan dengan UU No. 2 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah) | Tidak ada pengaturan yang tegas mengenai sinergitas pertambangan dengan konservasi lingkungan hidup | UU Minerba belum secara tegas mengatur mengenai perencanaan yang sinergi dengan Lingkungan Hidup. Seharusnya pasal, ayat, huruf dan angka pada kedua undang-undang harus memuat aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; Harus mengandung dan menentukan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kehati-hatian, pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, dan prinsip pencemar membayar (polluters pays principle); Harus menentukan tahapan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dari tahapan perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum; harus memuat sanksi yang tegas. |
• Sejak izin diberikan oleh pemerintah daerah lebih dari 10331 izin sudah dikeluarkan yang akan mengancam 13 juta hektar hutan lindung yang berpotensi memperbesar bencana hidrologis seperti banjir dan tanah longsor, |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
belum lagi oknum yang memfasilitasi tambang liar. • Jaringan advokasi tambang mencatat hingga tahun 2013 sudah terjadi 396 konflik akibat pertambangan, sebanyak 71 jiwa melayang dan 584 warga mengalami kekerasan (Kompas 14 Agustus 2015 hlm 14 dan 20 Agustus 2015 hlm. 14) | ||
Sejak tahun 2011 sampai Agustus 2015, | UU Minerba belum secara tegas mengatur | |
lubang galian bekas tambang sudah | mengenai perencanaan yang sinergi | |
mengakibatkan 11 anak tewas, semua kolam | dengan Lingkungan Hidup. Seharusnya | |
itu terletak di area perusahaan tidak dipagari | Tidak ada | Pasal, ayat, huruf dan angka pada kedua |
oleh perusahaan tambang yang hanya | pengaturan yang | undang-undang harus memuat aspek |
meninggalkan malapetaka dan selalu meminta | tegas mengenai | perlindungan dan pengelolaan lingkungan |
korban. | sinergitas pertambangan | hidup; Harus mengandung dan menentukan prinsip-prinsip perlindungan |
dengan konservasi | dan pengelolaan lingkungan hidup | |
lingkungan hidup | kehati-hatian, pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, dan | |
prinsip pencemar membayar (polluters | ||
pays principle); Harus menentukan | ||
tahapan perlindungan dan pengelolaan | ||
lingkungan hidup dari tahapan | ||
perencanaan, pemanfaatan, | ||
pengendalian, pemeliharaan, pengawasan | ||
dan penegakan hukum; harus memuat |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
sanksi yang tegas. | ||
Eksplorasi minyak dan gas bumi, PT. Newmont | UU MIgas belum secara tegas mengatur | |
Minahasa Rayadi NTT mengakibatkan | mengenai perencanaan yang sinergi | |
pencemaran. Sekitar 70% kerusakan | dengan Lingkungan Hidup. Seharusnya | |
lingkungan di Indonesia disebabkan oleh operasi pertambangan. | Tidak ada pengaturan yang tegas mengenai sinergitas pertambangan dengan konservasi lingkungan hidup | pasal, ayat, huruf dan angka pada kedua undang-undang harus memuat aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; Harus mengandung dan menentukan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kehati-hatian, pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, dan |
prinsip pencemar membayar (polluters | ||
pays principle); Harus menentukan | ||
tahapan perlindungan dan pengelolaan | ||
lingkungan hidup dari tahapan | ||
perencanaan, pemanfaatan, | ||
pengendalian, pemeliharaan, penagwasan | ||
dan penegakan hukum; harus memuat | ||
sanksi yang tegas. | ||
Potensi EBT khususnya Air dan Panas Bumi | Belum adanya | Air merupakan potensi EBT yang |
umumnya berada dalam kawasan hutan, | regulasi yang | berlimpah di Indonesia, maka dibutuhkan |
sehingga pemanfaatannya memerlukan | mengatur | pengaturan yang mendorong untuk |
koordinasi dan kebijakan antar K/L. | pemanfaatan | percepatan pemajuan teknologi yang |
Pemanfaatan potensi air menjadi tenaga listrik | potensi air menjadi | dapat mengubah potensi air menjadi |
oleh pihak swasta tidak optimal, kecuali yang | listrik layaknya | sumber daya listrik. |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
dikembangkan oleh PLN/BUMN. | regulasi yang mengatur pemanfaatan panas Bumi. | |
• Bahan tambang (minerba) tidak dikenakan | Tidak diatur | Perubahan nilai barang hasil tambang |
Pajak Pertambahan Nilai/PPN, padahal | mengenai pajak | dari yang kotor menjadi bersih atau dari |
bahannya Unrenewable, yang berasal dari | pertambahan nilai | tidak berguna menjadi berguna atau |
dalam bumi masih berbentuk massive/padat | (PPN) terhadap | dikatakan nilainya bertambah, yang |
kemudian ditransportasi, dikecilkan, serta | barang hasil | berarti hasil tambang ini dapat dikenakan |
dicuci yang tentunya nilainya bertambah | tambang. | Pajak Pertambahan Nilai). |
karena sudah berbentuk kerikil & bersih dari | Berbeda dengan barang hasil pertanian | |
sebagian lumpur atau bahan-bahan kotoran | dan hasil hutan yang dikenai PPN, barang | |
(Ore atau Konsentrat). | hasil tambang tidak dikenakan PPN. Padahal Usaha tambang dilakukan tanpa | |
modal dalam Penyediaan Bibit, | ||
Penanaman, & Pemeliharaan tanaman, | ||
tapi langsung dapat berproduksi. Produk | ||
tambang hasil smelterisasi (bukan bahan | ||
mentah yang berupa ore atau konsentrat, | ||
harga ore/bijih/konsentrat) harganya | ||
mencapai lebih dari 100 kali lipat. Jika | ||
dibandingkan dengan bahan mentah, | ||
hasil smelter harganya jauh lebih tinggi, | ||
yang tentunya pemerintah dan pedagang | ||
tambang akan mendapat keuntungan |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
berpuluh atau beratus kali lipat, bila dilakukan smelterisasi terlebih dahulu, dapat dilihat dari tabel ini: Sumber: Kontan,4 Nov. 2013; 3 Des.2013; 30 Des 2013; arus. Untuk itu di dalam Undang-Undang ini perlu ditambahkan pasal dan nilai barang dari yang kotor menjadi bersih atau dari tidak berguna menjadi berguna atau dikatakan nilainya bertambah, yang berarti hasil tambang ini dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai), Untuk itu di dalam Undang-Undang ini perlu ditambahkan pasal yang mengatur bahwa: hasil produksi Mineral dan Batubara wajib dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dibayar langsung kepada negara sesuai dengan |
Jenis | Harga Bijih/ Konsentrat ($/ton) | Harga Hasil smelter ($/ton) | Beda harga ($/ton) |
Tembaga | 80 | 8.000 | 100 x |
Pasir besi | 00 | 000 | 00 x |
Bauksit | 17 | 2.500 | 147 x |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
harga penjualan/pembelian waktu itu, tanpa dikurangi biaya apapun. | ||
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 14 Urusan Pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Pusat Pasal 399 Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang yang mengatur keistimewaan dan kekhususan daerah tersebut. Dengan dikeluarkannya PP No. 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama SDA Migas di Aceh, maka minyak dan gas bumi tetap menjadi kewenangan bersama antara pemerintah dan | Tidak relevan dengan kondisi saat ini (UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda) | Ketentuan Pasal 14 dan Pasal 399 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda ini menyebabkan sebagian Kab/Kota di Aceh masih terjadi multitafsir, ada yang tetap menggunakan menggunakan UU No. 11 Tahun 2006 dan ada yang menggunakan UU No. 23 Tahun 2014, namun ada surat edaran dari Gubernur Aceh bahwa sebelum ada peraturan khusus mengenai turunan dari UU No.11 Tahun 2006 maka mengacu pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Sedangkan PP No. 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama SDA Minyak dan gas bumi di Aceh, yang merupakan pelaksanaan dari Pasal 160 UU 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dari sudut pandang teori hierarkis seharusnya tidak boleh menyimpangi UU, dalam hal ini adalah UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda. Maka perlu dilakukan harmonisasi |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
Pemerintah Aceh. Pasal 156 UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (1) Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. (2) Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan | terhadap Pasal 14 dan Pasal 399 UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda, Pasal 156 UU 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP No. 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama SDA Minyak dan gas bumi di Aceh. | |
Pemerintah banyak digugat penambang yang izinnya dicabut pemerintah karena tumpang tindih lahan, contohnya: hingga Februari 2016, tercatat 10331 IUP yang terdaftar, 6365 ber- status clean & clear (C&C), 3787 Non C&C dan 179 dicabut. (sumber: Kontan, 20 Juni 2016, hal.1) | Kekosongan pengaturan | Perlu diatur mengenai Izin Pertambangan sebelum dikeluarkan harus mendapat terlebih dahulu rekomendasi Clean and Clear dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. |
B. Masalah Struktur Hukum
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
Keterbatasan infrastruktur energi (seperti terbatasnya kilang dalam negeri), yang mengakibatkan berkurangnya akses masyarakat terhadap energi. Hal ini dapat mengakibatkan pemerintah tidak memiliki kemampuan yang cukup dalam menyediakan energi yang cukup dan berkualitas kepada masyarakat dan industri; | Kurangnya Sarana Prasarana | • Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 • UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang diatur dalam Bab III dan Bab IV • UU No. 30 Tahun 2007 tentang Energi • PP No. 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional • Pertamina berencana membangun kilang baru di Tuban dan Bontang. Grass Root Refinery (GRR) West 1 Tuban dijadwalkan terbangun pada 2021, GRR East I Bontang pada 2023, dan GRR West 2 serta East 2 Bontang pada 2030. GRR Tuban direncanakan selesai 2021, capex atau investasi yang dibutuhkan US$ 12-14 miliar. Pertamina diberi penugasan khusus oleh pemerintah untuk |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
membangunnya. | ||
Kurangnya sempurnanya tata kelola Pemerintahan, dan koordinasi lintas sektor dan koordinasi pusat daerah yang tidak harmonis turut memberikan kontribusi terhambatnya pencapaian target kedaulatan energi | Koordinasi Lembaga kurang baik | Masalah klasik yang selalu menjadi penyebab implementasi perundang- undangan tidak berjalan optimal adalah lemahnya koordinasi baik lintas sektor maupun koordinasi pusat dan daerah. Masih tingginya ego sektoral para pemangku kepentingan menyebabkan terhambatnya tata kelola energi yang optimal |
Lemahnya dukungan perbankan dan lembaga keuangan dalam negeri dalam pendanaan pembangunan fisik sektor energi | Kurangnya Sarana Prasarana | Sektor energi membutuhkan biaya yang sangat tinggi, sementara belum tentu eksplorasi tersebut berhasil atau tidak. Hal ini menjadikan lembaga perbankan harus ekstra hati-hati dalam memberikan kreditnya oleh karena investasi energi merupakan investasi yang beresiko tinggi. |
Khusus mengenai pertambangan batubara di Aceh: Permasalahan energi di Aceh bukan pada ketersediaan sumber batubara namun lebih kepada penggunaan produk batubara itu sendiri. Sebagai gambaran: karakteristik batubara di Aceh pada | Kurangnya Sarana Prasarana | Penggunaan batubara dengan kadar air dan nilai kalori di bawah spesifikasi pembangkit akan berpengaruh pada performa dan emisi yang dihasilkan. Artinya kapasitas dan efisiensi akan turun, |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
umumnya berkalori rendah dan memiliki kandungan air yang tinggi. Desain PLTU yang ada saat ini (Unit Nagan 1 dan Nagan 2) tidak sesuai dengan karakteristik batubara yang ada pada mulut tambang dan banyaknya masalah teknis pada pengoperasiannya. | sedangkan emisi CO2 dan SO2 akan naik. Artinya bahwa dengan adanya kebijakan menggunakan batubara dengan kalori rendah di satu sisi bisa menjawab masalah, namun pada sisi lain bisa menyebabkan inefisiensi pada PLTU dan kurang ekonomis. Oleh karena itu secara ekonomis penggunaan batubara Aceh tidak menguntungkan bagi PLN karena menggunakan tonase yang lebih banyak karena menggunakan batubara yang lembab artinya berpengaruh pada kapasitas dan energi akan turun dan CO2 akan naik. | |
• Iuran produksi/royalti untuk batubara/PKP2B 13,5%, non PKP2B, 5%-7% dengan produksi tidak dibatasi oleh pemerintah. Royalti ini dibayarkan kepada pemerintah setelah dipotong dengan biaya marketing, administrasi dll, dimana potongannya bisa mencapai 6%-9% dari total royalti. | Masalah pada integritas SDM penentu kebijakan | Peraturan perundang-undangan di tingkat UU secara umum telah mengakomodir tentang kedaulatan energi kita untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat banyak, yang jadi masalah pasar dalam negeri kita sendiri kurang dan pada |
• Bea keluar mineral dan batubara berdasarkan | tataran pelaksanaannya yang |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis | |
Permenkeu tertulis bea keluar 20% tetapi dapat dinegosiasikan menjadi 5% yang sebelumnya dituangkan dalam peraturan pemerintah, peraturan menteri atau memorandum of understanding. | banyak masalah dan/atau terkait kredibilitas penentu kebijakan. Sehingga bisa terjadi hal-hal sebagaimana disebutkan dalam kolom 1, yang sebenarnya | ||
Kondisi seperti ini sangat merugikan Negara, namun dilegalisasi dengan kebijakan tertulis (PP/Permen/MoU) | merugikan Negara, namun „dibungkus‟ dengan kebijakan tertulis. | ||
Kebijakan terkait di antaranya: | |||
• Permen No 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara • Permen ESDM No. 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara & Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan & Pemurnian • Permen ESDM No. 11 Tahun 2016 tentang Penetapan Kawasan Rawan Bencana Geologi | |||
Pengawasan penambangan, produksi dan | Masalah | kuantitas | Perlu diberikan kewenangan yang |
penjualan, serta kualitas batubara/mineral | SDM | tegas dan jelas kepada Inspektur | |
seringkali tidak terjangkau pemerintah. Sedangkan | Tambang, sehingga tidak hanya |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
Inspektur Tambang hanya mengawasi Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3), laporan/data penjualan/ekspor didapat dari perusahaan yang menjual minerba. Jumlah inspektur tambang yang sangat kurang untuk seluruh kawasan pertambangan di Indonesia. Contohnya di wilayah Kalimantan Timur, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis 1.440 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kaltim hanya diawasi 17 inspektur tambang. Padahal rasio ideal inspektur tambang dengan jumlah izin yang diawasi yakni 1:5. Dengan demikian, satu inspektur tambang di Kaltim mengawasi sekitar 85 IUP. (sumber: Tribun Kaltim, | mengawasi keselamatan kerja, tetapi juga benar-benar mengawasi pengelolaan lingkungan hidup, pascatambang, juga pengawasan jumlah produksi, jumlah ekspor dan kualitas bahan tambang serta material hasil tambang lainnya untuk dijual atau diekspor. Dalam Pasal 141 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba, Inspektur Tambang hanya diberi kewenangan untuk mengawasi masalah: teknis pertambangan, konservasi sumber daya minerba, keelamatan pertambangan, K3 pertambangan, dan penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan. | |
Pada era globalisasi saat ini, serbuan tenaga kerja asing sulit dibendung, kecuali dengan sertifikasi kompetensi/kecakapan para pekerja, oleh karena itu setiap pekerja harus mempunyai kompetensi sesuai bidangnya. | Masalah kapasitas SDM | UU tentang Minerba perlu ditambahkan pasal bahwa “Setiap pekerja tambang harus mempunyai sertifikasi kompetensi sesuai dengan keahliannya secara berkala”. |
Kekurangan dalam infrastruktur minyak dan gas, berpotensi membahayakan keamanan nasional. Keterbatasan kilang-kilang minyak (dengan alasan keekonomian), yang kini rata-rata berusia diatas 30 | Masalah sarana dan prasarana | Beberapa implikasi yang strategis dari kelemahan tata kelola energi nasional yang membahayakan keamanan nasional adalah antara |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
tahun, dan miskinnya infrastuktur gas akan menghambat pasokan dan distribusi energi dan berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kebutuhan pembangunan kilang- kilang baru sudah sangat mendesak karena ia dapat menjamin ketahanan energi. | lain: 1. Keterbatasan sediaan BBM nasional yang hanya dalam kisaran 18-23 hari. Bandingkan dengan Tiongkok (50 hari), AS (90 hari), negara-negara OECD juga 90 hari. 2. Indonesia sudah tak memiliki cadangan untuk pemakaian dalam kondisi darurat. Jika terjadi aksiden di Selat Malaka atau di jalur impor minyak, maka risiko terhadap keamanan nasional akan sangat besar. 3. Karena cadangan sediaan yang kecil itu, Indonesia juga sangat rentan terhadap permainan impor minyak. Karena itu negeri kita sering harus membeli minyak ketika harga sedang tinggi di pasar. |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis | |
80% (delapan puluh per seratus) karyawan Industri | Masalah | kapasitas | Dengan besarnya presentase |
Minyak dan gas bumi berada pada Jasa Penunjang. | SDM | karyawan industri minyak dan gas | |
Dalam perlakuan atas nama kesetaraan dan | bumi yang berada pada jasa | ||
keadilan, Jasa Penunjang justru terkesampingkan, | penunjang, ini berarti keberadaan | ||
bahkan menjadi korban kesewenang-wenangan | jasa penunjang memiliki peran yang | ||
akibat hukum yang tidak diberlakukan secara adil. | vital pada industri minyak dan gas | ||
Kewajiban dan hak Jasa Penunjang dalam Industri | bumi. Hal ini seharusnya menjadi | ||
Minyak dan gas bumi tidak berimbang, kewajiban | perhatian bagi pemerintah, sebab | ||
telah dilakukan secara profesional, namun hak | kadangkala pemerintah dalam | ||
Jasa Penunjang tidak dipenuhi sebagaimana | menegakkan kedaulatan energi | ||
mestinya, bahkan digantung tanpa kepastian. | terbentur oleh perlakuan | ||
Regulasi dan kebijakan atas nama Pengaturan | diskriminatif terhadap jasa | ||
Industri Minyak dan gas bumi, terasa tidak | penunjang bahkan terdapat | ||
berpihak pada Jasa Penunjang. | pembedaan perlakuan antara jasa | ||
penunjang dalam negeri dengan jasa | |||
penunjang luar negeri. |
C. Masalah Budaya Hukum
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
Ketergantungan pada energi fosil, harga energi fosil yang masih disubsidi, impor energi fosil terutama minyak, semakin tinggi. Kebijakan subsidi yang kian membengkak dari tahun ketahun, menyebabkan semakin borosnya penggunaan | Masalah pemahaman masyarakat dan aparat yang | • Pasal 33 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 • UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang diatur |
Permasalahan Empiris | Penyebab Permasalahan | Analisis |
energi dan merugikan perkembangan ekonomi nasional, menjadi persoalan yang masih belum sepenuhnya teratasi dengan optimal. | berwenang | dalam Bab III dan Bab IV • UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi • PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional |
Hampir semua peraturan perundang-undangan menunjukkan keberpihakan kepada peningkatan kemampuan usaha dalam negeri, namun pada kenyataannya, peran Perusahaan Jasa Penunjang Dalam Negeri (PJPMDN) masih sangat terbatas. Sanksi pelanggaran akibat kejadian fatality (meninggal dunia) dikenakan sanksi kategori hitam yang artinya hukuman berupa tidak dapat mengikuti lelang selama satu tahun namun kenyataannya ada perusahaan yang bisa lolos sebelum satu tahun atau ganti nama perusahaan. Sanksi pelanggaran massive terhadap prosedural dan substansial tidak ditindak dengan asas keadilan dan terjadi diskriminatif dalam hal pemberlakukan sanksi terhadap Perusahaan Nasional. | Masalah pemahaman dan kapasitas aparat berwenang | Perlu perhatian dari instansi pembina pengelolaan minyak dan gas bumi dan minerba (Kementerian ESDM) |