MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KAJIAN AKADEMIK:
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
-----
KAJIAN AKADEMIK:
HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
i
BADAN PENGKAJIAN MPR RI 2022
KAJIAN AKADEMIK : HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Penasehat:
PIMPINAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI
Xxx. Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, M.S.
Xxx. Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Bc.IP., X.Xx Xx. Xxxxx X. Xxxxxx, X.X.
Xx. X. Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxx
Xxxxxxxx:
Prof. Dr. H. Ma’ruf Xxxxxxx, S.H., M.H.
Penanggung Jawab:
Agip Munandar
Tim Peneliti:
Xxxx Xxx Xxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, Ngesti D. Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxx Xxxxxx’, Xxx Xxxxx Xxxxx, X. Xxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxx’an, Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx, Xxxx Trengginas Xxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx
Xxxxxx:
Xxxxx Xxxxx, Xxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxx
Penerbit:
Badan Pengkajian MPR RI
Redaksi:
Gedung Bharana Graha Lt. 3 Kompleks MPR RI
Jl. Jenderal Xxxxx Xxxxxxx No. 6, Jakarta Pusat Cetakan pertama, 2022
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit
KATA PENGANTAR
Perkembangan politik hukum terkait dengan Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berjalan sangat dinamis pasca penetapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undangan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Perkembangan sebagaimana dimaksud tidak terlepas dari perkembangan otonomi daerah itu sendiri. Gagasan Otonomi daerah merupakan sebuah upaya konstruktif dalam memfasilitasi kebijakan pemerintah yang strategis untuk dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Xxxxxxx sendiri serasal dari kata “autos” yang memiliki arti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan, kemudian dikembangkan oleh para ahli sebagai “zetwetgeving” atau pengundangan sendiri, mengatur dan memerintah sendiri, atau pemerintahan secara sendiri. Oleh karena otonomi daerah merupakan sebuah pintu bagi Daerah untuk memerintah pemerintahan sesuai dengan prakarsa, kebutuhan, dan kepentingan rakyatnya sendiri, otonomi daerah juga sering dikatakan sebagai katalistaor adanya hubungan kemitraan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat di daerah. Hal ini terjadi karena intisari dari otonomi daerah yang mengandung dua inti pokok, yaitu: from closed participation become open participation atau demokratisasi, dan from centralization heavy become decentralization heavy atau desentralisasi.
Sehubungan dengan uraian diatas maka disusunlah kajian akademik yang disajikan dalam laporan hasil penelitian. Dalam laporan hasil penelitian akademik ini segala puji dan rasa syukur tim penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia yang berlimpah tiada henti sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kajian akademik sampai pada tahap ini, khususnya dengan terselesaikannya penelitian akademik dengan judul, “Kajian Akademik Hubungan Pusat dan Daerah” yang diprakarasi atas kerjasama antara Biro Pengkajian Konstitusi Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA) Universitas Brawijaya Tahun 2022. Penelitian ini dilandasi semangat bahwa Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 sampai dengan 2002 telah membawa perubahan yang sangat fundamental dalam struktur ketatanegaraan. Perubahan signifikan yang dihasilkan dari perubahan UUD NRI 1945 tersebut salah satunya adalah mengenai hubungan antara Pusat dan Daerah yang terkandung di dalam ketentuan Pasal 18.
Tak lupa diucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya penulis juga haturkan kepada:
1. X. Xxxxxxx Xxxxxxxx, S.E., M.B.A, selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
2. Xx. Xxxxx Xxxxxxx, selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3. X. Xxxxx Xxxxxx, selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
4. Xxxxxxx Xxxxxxxxx S.S., M.M., selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
5. Xx. X. Xxxxxxx Xxxxxx, SQ., M.A. selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
6. Xx. X. Xxxxxxxxxxx Xxxxx, S.E, M.M, M.B.A. selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
7. Dr. H. M. Xxxxxxx Xxx Xxxxx, M.A. selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
8. X. Xxxxxx Xxxxxxx, X.Xx. selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
9. X. Xxxxx Xxxx , S.H, X.Xx. Xx.X selaku Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
10. Prof. Xx. Xx. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxx, selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
11. Prof. Dr. Xx'xxx Xxxxxxx, S.H., M.H. selaku Sekretaris Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
12. Xxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H., selaku Kepala Bagian Sekretariat Badan Pengkajian Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
13. Xxxx. Xxxxxx, X.Xx., X.Xx., Xx.X.Xxx.Xx., selaku Rektor Universitas Brawijaya; dan
14. serta pihak-pihak lain yang turut membantu selesainya laporan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis yakin naskah ini masih sangat jauh dari kata sempurna, sehingga masukan dan kritik akan selalu penulis harapkan memperbaiki laporan ini. Akhir kata penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam proses pembuatan laporan ini penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa mengampuni kesalahan kita dan berkenan menunjukkan jalan yang benar.
Malang, Desember 2022
Penulis
SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL MPR RI
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Esa atas diterbitkannya buku KAJIAN AKADEMIK : HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH,
yang merupakan hasil penelitian bersama antara Badan Pengkajian MPR dengan Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.
Dalam kerangka memperluas cakrawala pengetahuan dan memperkaya khazanah pemahaman ketatanegaraan, Sekretariat Jenderal MPR RI sebagai unsur pendukung bagi pelaksanaan tugas-tugas konstitusional MPR RI membukukan berbagai materi kajian ketatanegaraan untuk menambah khazanah pemikiran pembaca dan kalangan dunia akademis, serta menjadi bahan rujukan anggota MPR RI dalam melakukan pengkajian komprehensif akan sistem ketatanegaraan di Indonesia. Buku ini juga diharapkan menjadi pendorong dan penyemangat untuk terus- menerus melakukan pekerjaan kajian-kajian ilmiah.
Akhir kata, semoga penerbitan buku Kajian Akademik ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat kepada masyarakat luas sehingga dapat meningkatkan pemahaman ketatanegaraan Indonesia baik dalam konteks masa kini ataupun masa yang akan datang.
Sekretaris Jenderal MPR RI,
Prof. Dr. H. MA’RUF CAHYONO, S.H., M.H.
SAMBUTAN PIMPINAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Sebuah konstitusi mempunyai peran untuk mempertahankan esensi keberadaan sebuah negara dari pengaruh berbagai perkembangan yang bergerak dinamis. Oleh karena itu, konstitusi yang ideal adalah hasil dari penyesuaian dan penyempurnaan untuk mengikuti segala perkembangan, khususnya yang berkaitan dengan keinginan hati nurani rakyat.
Konstitusi secara alamiah akan terus berkembang sesuai dengan dinamika dan kebutuhan masyarakatnya. Karena itu, konstitusi yang ada harus dapat terus menyesuaikan dengan tuntutan zaman, terutama dalam menghadapi tantangan kehidupan bernegara. Perubahan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilakukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) turut dihadapkan pada perkembangan nilai-nilai masyarakat yang tumbuh dan berkembang, sehingga perlu menjadi pertimbangan untuk melakukan penyesuaian.
Salah satu tugas MPR yang pelaksanaannya dilakukan Badan Pengkajian MPR adalah mengkaji sistem ketatanegaraan, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta pelaksanaannya. Dari hasil pengkajian yang telah dilakukan dan aspirasi yang berkembang yang berhasil dihimpun sejak Badan Pengkajian dibentuk, terdapat usulan dan gagasan mengenai perlunya melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap pasal-pasal di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tahun 2022 ini, Badan Pengkajian MPR bermaksud menggali secara lebih mendalam mengenai: 1) Pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Analisis kesesuaian Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penetapan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Akhir kata, semoga buku ini dapat menjadi tahap awal dalam menyajikan ruang pemikiran, gagasan dan kaidah secara akademis, serta dapat menjadi rujukan ilmiah bagi seluruh Anggota MPR dalam menjalankan wewenang dan tugas konstitusionalnya.
Terima kasih, selamat membaca, selamat berpikir, dan salam konstitusi.
Ketua,
Xxx. XXXXXX XXXXXX XXXXXXX, M.S.
Wakil Ketua,
Xxx. XXXX XXXXXXXXX XXXXXXX, Bc.IP.,X.Xx
Wakil Ketua,
Xx. X. XXXXXXX XXXXXXXXX
Wakil Xxxxx,
XXXXX XXXXX XXXXXX, S.H.
Wakil Xxxxx,
XXXXX
RINGKASAN
Xxxx Xxx Xxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, Ngesti D. Xxxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxx Xxxxxx’, Xxx Xxxxx Arrsa,
X. Xxxxx Xxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxx’an, Xxxxxx R. Xxxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxx. Biro Pengkajian Konstitusi Bekerjasama dengan Pusat Pengembangan Otonomi Daerah (PPOTODA), Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2022, “Kajian Akademik Hubungan Pusat dan Daerah” Alamat Email: xxxx.xxxxxxxxxx@xxxxx.xxx.xx.xx, xxxx.xxxxxxxxxx@xxxxx.xxx, xxxxxxx@xxxxx.xxx
Perkembangan politik dan hukum ditengarai telah mempengaruhi terjadinya pola konfigurasi hubungan pusat dan daerah yang sejatinya sudah terstruktur dalam konstitusi sebuah negara Kesatuan. Kedudukan Konstitusi sendiri merupakan “character of nation” yang membawa cita-cita, gagasan, konsep dan ideologi sebagai dasar susunan dan sendi berbangsa-bernegara. Bagi bangsa Indonesia cita-cita Kemerdekaan Negara Republik Indonesia kemudian menjadi konsekuensi logis akan dikenal dan ditemukannya suatu konstitusi sebagai dasar pembentukan suatu Negara, serta dalam rangka menyusun dan menyatakan diri sebagai suatu Negara dalam bingkai Negara Kesatuan Republi Indonesia atau dikenal dengan sebutan NKRI. Dalam perkembangannya Hubungan Pusat dan Daerah yang didentifikasi terlah beralangsung sejak desentralisatie wet 1903 yang ditandai dengan pola dominan sentralisasi. Banyak kemajuan yang dicapai kendati demikian dalam implementasi baik pola dominan sentralisasi, dominan desentralisasi, pola keseimbangan / equilibrium dan pola efektifitas dan efisiensi ditengarai belum memberikan dampak yang signifikan bagi kemajuan pembangunan di Daerah. beranjak dari uraian tersebut maka disusunlah kajian akademik dengan tema: Hubungan Pusat dan Daerah oleh Biro Pengkajian Konstitusi MPR- RI dan Pusat Pengembangan Otonomi Daerah Universitas Brawijaya. Dalam kajian akademik ini dirumuskan beberapa identifikasi permasalahan hukum (legal issue) antara lain (1) Bagaimana pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan (2) Bagaiamana kesesuaian dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penetapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan sebelumnya, tujuan penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” dirumuskan
sebagai berikut (1) Untuk mendiskripsikan, mengkaji dan menganalisis secara holistik dan komprehensif pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan (2) Untuk mendiskripsikan, mengkaji dan menganalisis kesesuaian dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penetapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Kegunaan Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah” (1) Kegunaan Teoritik, diharapkan penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” ini mampu menjadi dasar pengembangan khasanah keilmuan dan teori, dalam ranah hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum dan kebijakan pemerintahan daerah, khususnya terkait dengan desain hubungan pusat dan daerah. Selanjutnya, secara teoritik pembuatan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” sebagai “quality control” yang menentukan kualitas model otonomi daerah di Indoensia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Kegunaan Praktis Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“ Hubungan Pusat dan Daerah” ini secara aplikatif dan praktis sebagai kerangka acuan atau pedoman bagi Pemerintah pusat dan Daerah dalam merumuskan kebijakan stategis di sektor yang berkaitan dengan otonomi daerah seperti politik, ekonomi dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). Sedangkan, baik bagi masyarakat, perguruan tinggi, maupun LSM diharapkan dalam penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah” ini dapat menjadi sumber rujukan dan informasi mengenai kebutuhan mendasar dari pembangunan pelayanan, baik Kewenangan, Administrasi, Keuangan, dan Pengawasan.
Pengkajian Akademik ini menggunaka metode penelitian Xxxxxxx Normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Adapun hasil dalam penelitian kajian akademik hubungan pusat dan daerah ini (1) bahwa, perkembangan hubungan pusat dan daerah berdasarkan ketentuan Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI 1945 telah memasuki Fase ke-IX dari pelaksanaan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Berdasarkan hasil identifikasi, maka hubungan antara pusat dan daerah diketemukan pola: (1) dominan sentralisasi; (1) dominan desentralisasi; (3) keseimbangan/equilibrium dan (4) efektivitas dan efesiensi penyelenggaraan Pemerintah Daerah. sehubungan dengan keempat pola sebagiamana dimaksud dalam perkembangannya cita-cita
hubungan antara pusat dan daerah justru cenderung mengarah pada upaya yang berifat dominan pada pola sentralisasi. Pola dominan sentralisasi sebagaimana dimaksud Nampak pada berbagai kebijakan yang dipandang telah memangkas pelaksanaan bandul Otonomi Daerah di tingkat Kabupaten/Kota melalui penetapan Undang-Undang Cipta Kerja dan/atau Undang-Undang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. kondisi ini tentu akan bertolakbelakang pada cita-cita Otonomi Daerah mengingat format hubungan pusat-daerah di masa depan tidak akan lepas pada kebutuhan Desentralisasi baik kewenagan, keuangan (Fiskal), pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan administrasi dan pengawasan yang selalu mengalami “Spanning Interest” dan berujung pada titik temu bernama “Conditio Sine Qua Non” untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang diarahkan untuk: (1) mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah; dan (2) efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara Pemerintah Pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Lebih lanjut pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah dimasa depan dalam konteks Desentralisasi dilaksanakan melalui mekanisme klasterisasi antar daerah dengan memperhatikan faktor ekologis dan kondisional (kondisi ekonomi, sosial, dan politik). Sehingga, menelaah bagaimana format hubugan ideal antara Pusat- Daerah adalah bebas sepanjang mengatasi masalah kesenjangan fiskal (fiscal disparities) diantara Daerah-Daerah dan memperhatikan beberapa Legal Basis diantaranya Legal basis of intergovernmental transfer system, Procedures for establishing and modifying intergovernmental transfer, Conditional and unconditional transfers, dan Dispute resolution and adjudication.
Dalam konteks implementasi ketentuan pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945, untuk mendesain kerangka kesesuaian terhadap: (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota; serta (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Dengan membuat sistem klasterisasi dalam hubungan antara Pusat dan Daerah, tujuan daripada klasterisasi sebagaimana dimaksud untuk memberikan jaminan agar dalam proses pelaksanaan
Otonomi Daerah tidak terjadi sentralisasi dan pada akhirnya Desain Hubungan Pusat-Daerah tidak diberlakukan secara homogen bagi seluruh satuan pemerintahan di Daerah baik pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota mengingat homogenitas didalam pelaksanaannya justru mengarah pada politik sentralisasi yang selama ini dipandang telah gagal melahirkan demokratisasi dan kesejahteraan di Daerah. Dalam kajian akademik ini direkomendasikan sebagai berikut (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui biro pengkajian Konstitusi menyampaikan hasil pelaporan pengkajian kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah untuk melakukan evaluasi terhadap implementasi Pasal 18 dan Pasal 18A UUD NRI Tahun 1945 yang secara regulasi melahirkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Mengingat dalam praktik Otonomi Daerah hubungan pusat dan daerah mengarah pada dominasi sentralisasi baik dalam hal kewenangan, keuangan, pelayanan umm, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya, dan aspek administrasi dan pengawasan. (2) Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui biro pengkajian Konstitusi menyusun pendalaman terkait dengan desain hubungan pusat dan daerah berbasis pada klasterisasi Otonomi sehingga kedepan pelaksanaan Otonomi Daerah dalam bingkai negara kesatuan Indonesia tidak lagi dilaksanakan berdasarkan konsep homogenitas otonomi akan tetapi mengarah pada konsep heterogenitas otonomi berbasis klaster. (3) Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui biro pengkajian Konstitusi dan/atau alat kelengkapan Majelis Lainnya untuk menjadikan evaluasi hubungan pusat dan daerah berbasis pada konsep konsep heterogenitas otonomi berbasis klaster melalui berbagai dimensi program dan/atau kegiatan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Kata Kunci : Pemerintah Pusat, Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Otonomi Daerah, Klasterisasi, Wewenang, HKPD
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR iii
SAMBUTAN SEKRETARIS JENDERAL MPR XX x
SAMBUTAN PIMPINAN BADAN PENGKAJIAN MPR RI vi
RINGKASAN viii
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR BAGAN xv
DAFTAR GAMBAR xvi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. LATAR BELAKANG 1
B. IDENTIFIKASI MASALAH 11
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN 11
1. Tujuan Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah” 11
2. Kegunaan Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah” 12
D. SISTEMATIKA PENULISAN 13
BAB II KONSEP HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH 14
A. GRAND THEORY (GT) TEORI NEGARA KESATUAN 15
B. MIDDLE THEORY (MT) 18
1. Teori Pemerintahan Daerah 18
2. Teori Negara Kesejahteraan 23
3. Teori Daya Saing Daerah 25
C. APPLIED THEORY (AT) 29
1. Teori Hubungan Pengawasan 29
2. Teori Hubungan Administrasi 33
3. Teori Hubungan Keuangan 37
BAB III PERKEMBANGAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH 41
A. PENGATURAN IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH SESUAI AMANAT YANG TERTUANG DALAM UNDANG-
UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945 41
1. Perkembangan Hubungan Pusat Dan Daerah Sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945 43
2. Perkembangan Regulasi Di Bidang Hubungan Pusat Dan Daerah 54
3. Format Ideal Hubungan Pusat Dan Daerah Di Masa Depan 69
B. KESESUAIANPASAL 18 A UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945DENGAN PENETAPAN UNDANG-UNDANG DIBIDANG PEMERINTAHAN DAERAH (TERMASUK HUBUNGAN KEUANGAN PEMERINTAHAN PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH PASCA PENETAPAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022) 98
1. Evaluasi Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Aspek Kewenangan 98
2. Evaluasi Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Aspek Keuangan 124
3. Evaluasi Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Aspek Pelayanan Umum 136
4. Evaluasi Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Aspek Pemanfaatan Sumber Daya Alam Dan Sumber Daya Lainnya 153
5. Evaluasi Hubungan Pusat Dan Daerah Dalam Aspek Administrasi Dan Pengawasan 159
BAB IV PENUTUP 172
A. KESIMPULAN 172
B. SARAN 174
DAFTAR PUSTAKA 176
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Perbandingan Perkembangan Pengaturan Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 44
Tabel 2 Perbandingan Latar Belakang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berkaitan dengan Otonomi Daerah 71
Tabel 3 Klasifikasi Kemandirian Fiskal Daerah 83
Tabel 4 Klasifikasi IKF di Indonesia (Per-Provinsi) sampai dengan 2020 83
Tabel 5 Klasifikasi IKF berdasarkan level tingkat Pemerintahan (Nasional) 84
Tabel 6 Konstruksi Proses Manajemen di Daerah 86
Tabel 7 Matriks Rasionalisasi Pasal 3 Undang-Undang Pelayanan Publik terhadap Hubungan Pusat-Daerah 142
Tabel 8 Evaluasi terhadap Hubungan Pusat-Daerah dalam Aspek Pelayanan Umum 150
DAFTAR BAGAN
Bagan 1 Desain Penelitian 15
Bagan 2 Kerangka Konstitusional Ideologi, Tujuan dan Pilihan Bentuk Negara Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 43
Bagan 3 Skema Kesatuan/Unitarisme 52
Bagan 4 Fase Pemerintahan Daerah 59
Bagan 5 Pembagian Urusan Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 68
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Peta Pendapatan Asli Daerah 2020 81
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konfigurasi hubungan pusat dan daerah sejatinya sudah terstruktur dalam konstitusi sebuah negara Kesatuan. Konstitusi merupakan “character of nation”1 yang membawa cita-cita, gagasan, konsep dan ideologi sebagai dasar susunan dan sendi berbangsa- bernegara. Kemerdekaan Negara Republik Indonesia kemudian menjadi konsekuensi logis akan dikenal dan ditemukannya suatu konstitusi sebagai dasar pembentukan suatu Negara, serta dalam rangka menyusun dan menyatakan diri sebagai suatu Negara.2 Memaknai anasir-anasir tersebut maka pada tanggal 18 Agustus 1945, Naskah Asli Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan sebagai konstitusi negara dalam sebuah dokumen formal. Menurut Xxx Xxxxxxxxx, dengan mengutip pernyataan X.X.X Xxxxxxxxx, dokumen formal tersebut berisi:3
1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu yang lampau;
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu yang sekarang maupun untuk masa yang akan datang;
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
1 Lihat pernyataan Xxxxxx Xxxxxxxx, Guru Besar Hukum Tata Negara pada Universitas Melbourne Austraria “A constitution is more than a social contract… its rather than an expression of the general wiil of nation. It’s a reflection of its history, fears, concerns, aspirations and indeed, the soul of nations” dalam Xxxxx Xxxxx dan Xxxx Xxx Xxxxxxxxx, Memahami Konstitusi, Makna dan Aktualisasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm ix.
2 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Xxxx Xxxxx, 1989), hlm 10.
3 Sri Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang-Batang Tubuh UUD 1945 (Sebelum dan Sesudah Perubahan UUD 1945), (Bandung: PT Alumni, 2006), hlm 3.
Esensi kehadiran konstitusi adalah sebagai perwujudan paham “pembatasan kekuasaan”4 dan produk konfigurasi hubungan pertama antara pusat dan daerah.5 Posisi vital dan strategis konstitusi, kemudian berkenaan dasar keberadaanya sebagai kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.6 Menurut Xxxxx S Xxxxxxxx,7 konstitusi atau UUD 1945 merupakan pemberi pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan Negara harus dijalankan. Kehadiran konstitusi dipahami pula sebagai barometer kehidupan berbangsa dan bernegara yang syarat dengan bukti sejarah perjuangan sekaligus ide-ide dasar yang digariskan oleh the Founding Fathers.
Dalam rangka mencapai tujuan nasional dan melaksanakan penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila, maka norma- norma dalam UUD 1945 menjadikannya sebagai konstitusi ekonomi, konstitusi politik dan konstitusi sosial yang harus menjadi bintang pemandu kehidupan politik, ekonomi dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). Sehingga kemudian berdasar prinsip supermasi hukum dan segala norma didalam UUD 1945 harus ditegakkan, dielaborasi
4 Dikenal pula dengan paham “konstitualisme” atau teori “konstitusi” yang memiliki arti “pembatasan terhadap kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak sewenang-wenang” lihat I Dewa Xxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxxx dan Xxxxxxxxx, Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, (Malang: Setara Press, 2015), hlm 1. Pembatasan kekuasaan sebagai makna dasar negara konstitusional telah dimulai sejak Magna Charta (1213) yang kemudian diikuiti oleh jaminan dan perlindungan hak asasi seperti diatur dalam Bill of Right.
5 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, Aspirasi Pemerintahan Konstituional di Indonesia Studi Socio-Legal atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Grafitti, 1995), hlm 177.
6 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Konstitusi Bernegara, Praksis Kenegaraan Bermatabat dan Demokratis, (Malang: Setara Press, 2016), hlm 10.
7 A. Xxxxx X. Xxxxxxxx, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1990), hlm 215.
dan dijadikan pedoman dalam membangun Indonesia yang bermatabat.8
Salah satu subtansi yang tidak lepas dari UUD NRI 1945 adalah Otonomi Daerah. Otonomi daerah adalah sebuah upaya konstruktif dalam memfasilitasi kebijakan pemerintah yang strategis untuk dapat langsung dirasakan oleh masyarakat. Berasal dari kata “autos” yang memiliki arti sendiri dan “nomos” yang berarti aturan, kemudian dikembangkan oleh para ahli sebagai “zetwetgeving” atau pengundangan sendiri, mengatur dan memerintah sendiri, atau pemerintahan secara sendiri.9 Oleh karena otonomi daerah merupakan sebuah pintu bagi daerah untuk memerintah pemerintahan sesuai dengan prakarsa, kebutuhan, dan kepentingan rakyatnya sendiri,10 otonomi daerah juga sering dikatakan sebagai transportasi adanya hubungan kemitraan yang dibangun oleh pemerintah dan masyarakat, khususnya masyarakat di daerah. Hal ini terjadi karena intisari dari otonomi daerah yang mengandung dua inti pokok, yaitu: from closed participation become
8 Xxxxxxxxx Xxxxxx, ‘Constitution Making and the Legitimacy of the Constitution’, (Xxxxxx Xxxxxxx: National constitutions in the Era of Integration, 1999), hlm 19.
9 Xxxxxx X. Situmorang dan Cormentya Sitanggang, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hlm 60.
10 Bandingkan dengan pendapat Van Der Pot yang menyatakan bahwa otonomi berarti peraturan dan pemerintahan dari urusan sendiri, C.J. Franseen bahwa otonomi adalah hak mengatur sendiri urusan daerah setempat yang menyesuaikan peraturan yang sudah dibuat dengannya, RDH. Xxxxxxxxxxxxxxxx, bahwa otonomi selain berarti regelling juga bestuur, serta Wajong bahwa otonomi adalah kebebasan untuk memelihara serta memajukan daerah melalui kekhususan dan keuangan sendiri, juga dengan hukum dan pemerintahan sendiri. Dalam Xxxxxx M. Situmorang dan Cormentya Xxxxxxxxxx, Xxxx.
open participation atau demokratisasi,11 dan from centralization heavy become decentralization heavy atau desentralisasi.12
Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemandirian kepada daerah dan pemerintah pusat mendemokratisasikan penyelenggaraan dan pertanggungjawaban atas daerah sejauh tidak menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping demokratisasi, pokok adanya otonomi daerah adalah diterapkannya konsep desentralisasi sebagai antitesis dari sentralisasi kewenangan dari pemerintah pusat. Desentralisasi lebih dipandang sebagai jaminan adanya konsep pembagian kekuasaan dan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom. Sehingga dalam menjalankan pemerintahan, tidak akan tercipta dominasi sentralistik pemerintah pusat, tetapi lebih menghargai keberagaman daerah dan pemberdayaan kemampuan daerah (local capacity empowerment) yang ditunjukkan dengan fungsi-fungsi pemerintahan daerah.
11 Demokratisasi adalah sebuah bangunan yang mengaplikasikan paradigma good governance dalam pemerintahan. UNDP dalam Xxxxxx Xxxxxxxx mengkategorikan unsur dalam pemerintahan dengan good governance adalah menerapkan sistem partisipasi, penegakan hukum, transparansi, daya tangkap, berorientasi pada konsensus, keadilan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Dalam kerangka otonomi daerah, unsur-unsur yang berkaitan diterapkan pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan publik di daerah yang dalam operasionalnya akan dapat melindungi dan memenuhi tuntutan serta kebutuhan masyarakat. Pemerintah daerah akan jadi lebih leluasa dalam memanfaatkan secara maksimal potensinya dan dapat memberikan pelayanan pada masyarakat di daerahnya masing-masing. Penerapan demokratisasi akan memberikan ruang bagi daerah untuk mengurus agar masing-masing daerah merasa diberi tempat yang layak dalam bernegara, sehingga akan muncul semangat persatuan yang menghindarkan keinginan bagi daerah untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Xxxxx Xxxxx menyebutkan melalui pemberian otonomi daerah, daerah akan menyelenggarakan pemerintahan daerah sebagaimana semestinya, daerah yang semula dibuat seakan tergantung pada pemerintah pusat akan lebih diberdayakan untuk mandiri, urusan rumah tangga di daerah tidak lagi terbatas dan serba diawasi, serta keuangan daerah yang pada awalnya serba tergantung akan diberi keleluasaan untuk diorganisir sesuai kebutuhan
12 Rispa Ngindana, dkk, APBD Partisipatif: Sebuah Harapan yang Terabaikan, (Malang: UB Press, 2012), hlm 3-4.
Selanjutnya, hubungan desentralisasi di dalam otonomi daerah tersebut menurut Xxxxx Xxxxx adalah bahwa setelah adanya pengakuan kebebasan sebagai daerah dengan otonomi sendiri, perlu dilakukannya desentralisasi sebagai pemberian wewenang tersebut dalam sistem rumah tangganya. Lebih lanjut, sistem rumah tangga terkait dengan hubungan pusat dan daerah yang berada dalan prinsip desentralisasi, Xxxxx Xxxxx menyebutkan terdapat tiga macam, di antaranya:13
1. Sistem Rumah Tangga Daerah Formil
Dasar pemikiran dalam sistem ini adalah tidak adanya pembedaan urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Teoritisnya, segala keleluasaan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam mengurus sendiri segala aktifitas pemerintahan adalah urusan rumah tangga daerah, sehingga tidak ada perincian pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah.
2. Sistem Rumah Tangga Daerah Materiil
Berlatarbelakang pada ketidakpastian yang ditimbulkan dari sistem rumah tangga formil maka dalam sistem rumah tangga daerah materiil ini lebih diperinci semua pembagian tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pemerintahan.
3. Sistem Rumah Tangga Daerah Riil
Sistem rumah tangga ini adalah sistem yang memadukan antara kedua sistem rumah tangga yang lain untuk menghindari kesenjangan antara keduanya. Upaya sinergitas yang dimiliki oleh sistem rumah tangga daerah
13 Xxxxx Xxxxx, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hlm 26.
riil ini berasal dari nilai-nilai yang terkandung dalam sistem rumah tangga formil dan materiil.
Sistem rumah tangga tersebut lebih dikhususkan untuk memberi pengaturan terhadap apa yang menjadi wewenang dan bukan wewenang dari pemerintah daerah dalam pemerintahan di Indonesia dalam rangka menghindari ketimpangan wewenang yang terjadi di pemerintahan. Xxxxxxxx X. Xxxxxx menyatakan bahwa urusan pemerintahan di samping merupakan urusan pemerintah nasional juga dilakukan oleh satuan-satuan pemerintahan di level bawahnya. Oleh karena itu pengaturan pelimpahan wewenangnya bisa bersifat penuh atau sebagian (medebewind).14
Kembali kepada intisari dari Otonomi Daerah, keduanya, baik demokratisasi dan desentralisasi, merupakan upaya perimbangan skema kebijakan secara top down dengan bottom up15 dalam sistem pemerintahan. Kedua model arah kebijakan tersebut sangat perlu diterapkan di Indonesia, mengingat negara Indonesia yang berbentuk negara kesatuan, mengharapkan konsekuensi positif yang dapat dihasilkan melalui pengembangan otoritas dan partisipasi para elit daerah dan masyarakat. Hal ini akan berbanding terbalik dengan daya ketergantungan masyarakat dan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Semakin tinggi otonomi daerah dapat diterapkan maka semakin rendah daya ketergantungan masyarakat dan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan UUD NRI 1945, maka desain konfigurasi hubungan pusat dan daerah tidak lepas dari rasionalisasi terhadap konsep demokratisasi dan desentralisasi pemerintahan yang
14 Xxxxxxxx X. Xxxxxx, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,
(Yogyakarta: UGM Press,1995), hlm 112.
15 Pola top down tidak lepas dari kebijakan masing-masing bidang di tingkat nasional (pusat), peran eksekutif dan legislatif daerah, serta organisasi perangkat daerah. Sedangkan pola bottom up lebih bersifat menampung aspirasi masyarakat, Rispa Ngindana, Loc Cit.
berekuivalensi dengan konsep otonomi daerah dijalankan oleh pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota16. Pemerintah daerah tersebut menjalankan fungsinya sebagai subsistem wilayah negara, utamanya dalam bentuk negara kesatuan17 yang dimiliki Indonesia. Berbeda dengan penerapan otoritas yang dimiliki oleh negara serikat, subsistem kewilayahan di Indonesia dengan ciri khasnya sebagai negara kesatuan, menerapkan prinsip keterpaduan dan subsidiaritas.
Otonomi daerah yang menerapkan prinsip keterpaduan mengamanahkan masing-masing daerah otonom dalam melaksanakan otoritasnya di bidang pemerintahan daerah sesuai dengan kebijakan nasional yang dibuat serta dijalankan dengan sebaik-baiknya di tingkat pemerintahan lokal. Karena apabila tidak diurus dan dikelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap subsistem lain, yang dalam hal ini adalah pemerintah daerah lain, karena adanya kesenjangan yang terjadi antar daerah otonom. Otonomi daerah memiliki ruang lingkup interaksi utama, yaitu politik, ekonomi, serta sosial dan budaya.18 Pada tahun 2022,
16 Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan
17 Secara historis, sama halnya dengan negara-negara serikat, negara kesatuan pada umumnya tidak hanya berasal dari satu negara, tetapi dua atau lebih negara yang berdaulat. Corak dasar yang membedakannya adalah pada bentuk negara serikat (federasi), negara bergabung menyerahkan sebagian kedaulatannya. Sementara pada bentuk negara kesatuan, seluruh kedaulatan diserahkan pada sebuah kekuasaan bersama dalam bingkai negara kesatuan
18 Di bidang politik, otonomi adalah hasil dari proses desentralisasi dan demokratisasi yang melahirkan berbagai kepala daerah untuk memfasilitasi kebutuhan masyarakat. Dari kebijakan kepala daerah yang dipilih secara demokratis inilah pemerintahan harus bisa dijalankan secara efektif untuk kepentingan rakyat. Di bidang ekonomi, otonomi daerah dipandang sebagai alat yang dapat mentransformasikan kebijakan ekonomi nasional ke dalam kebijakan daerah yang disesuaikan dengan kebutuhan daya guna dan sumber daya daerah. Lebih dari itu, otonomi daerah juga merupakan aspek penting untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih sejahtera.Sedangkan di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah berfungsi sebagai penyaring nilai-nilai budaya yang masuk ke masyarakat. Otonomi harus lebih dipandang untuk memelihara harmonisasi sosial masyarakat yang ada sesuai dengan perkembangan zaman.Xxxxxxxx HR,
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi desain/konfigurasi hubungan antara pusat dan daerah dengan beberapa pokok diantaranya:
1. perumus dan pelaksana Undang-Undang berusaha menyeimbangkan kontekstualitas dan eksistensi pemerintah daerah. Hal ini didukung oleh Pasal 9 yang menyebutkan urusan pemerintahan dibagi menjadi tiga urusan yang terdiri atas urusan pemerintahan absolut, konkuren, dan umum;
2. pengutamaan konsep otonomi daerah melalui sistem rumah tangga materiil daripada sistem formal dan nyata (riil), sehingga melalui dekonsentrasi suatu sistem pemerintah memiliki kewenangan luas dalam melaksanakan isu strategis di daerah;
3. pemerintah pusat dan provinsi diberikan kewenangan besar untuk mengawasi kota atau kabupaten. Provinsi yang sebelumnya memiliki daya tawar lemah dan terbatas, diperkuat dengan penambahan fungsi dan kewenangan kepada gubernur;
4. efisiensi dan efekfitas lebih diutamakan dengan menggerus otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Prinsip-prinsip demokrasi, peran- serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhakan potensi dan keanekaragaman daerah terabaikan.
Hubungan yang dibentuk melalui pengaturan model otonomi daerah dalam Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut melahirkan sebuah alur penyelenggaraan negara, yang menurut Xxxxxxx XX harus terdapat 5 hal yang menguatkan pemerintahan, yaitu badan pemerintahan (institutional), kewenangan pemerintah (authority), cara memerintah (method), wilayah pemerintahan (local), dan sistem pemerintahan dalam menjalankan fungsi pemerintahan.
Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, (Kerjasama Pustaka Pelajar (dan) Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan, 2002), hlm 173-175.
Perjalanan dinamika moedel otonomi daerah ini kemudian pada tahun 2022 disinyalir lebih dalam dengan terbitnya Undang- Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Eksistensi dari Undang-Undang ini merupakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu:
1) mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien;
2) mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah;
3) mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah; serta
4) harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
Melalui dinamika Model Otonomi Daerah yang dipilih salah satunya dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah menjadi bahasan menarik untuk melihat garis besar anatomi Hubungan Pusat dan Daerah dalam Bingkai Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejatinya telaah terhadap hubungan pusat dan daerah juga tidak lepas dari penekanan pada Landasan filosofis Bangsa Indonesia yang ditunjukkan dalam Pancasila dan kemudian disemboyankan dalam “Bhineka Tunggal Ika” melahirkan konsep teoritik dan yuridis yang sangat unik dalam pemerintahan di Indonesia. Kemajemukan dan keberagaman yang dibangun dari eksistensi perbedaan budaya, suku, agama, ras, dan lainnya, yang dimiliki oleh Indonesia ditampung dalam suatu wadah negara kesatuan dengan pembagian kekuasaan secara vertikal diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi hal tersebut.19 Sehingga, dengan adanya latar belakang tersebut menjadi menarik untuk melakukan kajian terkait hubungan Pusat dan Daerah berdasakran relevansi antara Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan konfigurasi hubungan pusat-daerah dalam UUD NRI 1945 dengan memperhatikan beberapa indikator diantaranya:
a. Kewenangan
b. Administrasi
c. Keuangan
d. Pengawasan
19 Xxxxxxx Xxxxxxx Jati, Inkonsistensi Paradigma Otonomi Daerah di Indonesia: Dilema Sentralisasi atau Desentralisasi, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 4, Desember 2012, hlm 754.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Beranjak dari uraian latar belakang permasalahan di atas maka dalam rangka penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah” dirumuskan beberapa identifikasi permasalahan hukum (legal issue) antara lain:
1. Bagaimana pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Bagaiamana kesesuaian dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penetapan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN
1. Tujuan Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah”
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan sebelumnya, tujuan penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” dirumuskan sebagai berikut:
a) Untuk mendiskripsikan, mengkaji dan menganalisis secara holistik dan komprehensif pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Untuk mendiskripsikan, mengkaji dan menganalisis kesesuaian dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penetapan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
2. Kegunaan Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR “Hubungan Pusat dan Daerah”
a) Kegunaan Teoritik
Diharapkan penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” ini mampu menjadi dasar pengembangan khasanah keilmuan dan teori, dalam ranah hukum tata negara, hukum administrasi negara, hukum dan kebijakan pemerintahan daerah, khususnya terkait dengan desain hubungan pusat dan daerah. Selanjutnya, secara teoritik pembuatan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” sebagai “quality control” yang menentukan kualitas model otonomi daerah di Indoensia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b) Kegunaan Praktis
Penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” ini secara aplikatif dan praktis sebagai kerangka acuan atau pedoman bagi Pemerintah pusat dan Daerah dalam merumuskan kebijakan stategis di sektor yang berkaitan dengan otonomi daerah seperti politik, ekonomi dan sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market). Sedangkan, baik bagi masyarakat, perguruan tinggi, maupun LSM diharapkan dalam penyusunan Kajian Akademik Badan Pengkajian MPR“Hubungan Pusat dan Daerah” ini dapat menjadi sumber rujukan dan informasi mengenai kebutuhan mendasar dari pembangunan pelayanan, baik Kewenangan, Administrasi, Keuangan, dan Pengawasan.
D. SISTEMATIKA PENULISAN
Penelitian ini terbagi menjadi beberapa bab yang terdiri atas: BAB I Pendahuluan
BAB II Kajian Teoritik Hubungan Pusat Dan Daerah BAB III Hasil Dan Pembahasan
BAB IV Penutup DAFTAR PUSTAKA
BAB II
KONSEP HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Dalam upaya untuk membangun kesinambungan analisis terhadap topik penelitian tentang hubungan Pusat dan Daerah maka diperlukan adanya konstruksi hukum guna Menyusun kerangka teoritis agar dalam menganalisis permasalahan hukum seputar bagaimana pengaturan ideal hubungan pusat dan daerah sesuai amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta kesesuaian dalam Undang- Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan penetapan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxxxxx & Pfaltzgraff dalam sebuah artikel di laman website20, mengemukakan bahwa teori adalah alat intelektual yang berfungsi (1) membantu menyusun pengetahuan kita, menanyakan pertanyaan-pertanyaan penting, dan memandu perumusan prioritas dalam penelitian dan menyeleksi metode yang digunakan dalam penelitian, (2) membantu menghubungkan pengetahuan di satu bidang dengan bidang yang lain dan memberikan kerangka untuk mengevaluasi rekomendasi kebijakan, baik eksplisit maupun implisit.
Dengan demikian penggunaaan kerangka pemikiran dalam penelitian ini diklasifikasikan dalam Grand Theory, Middle Theory dan Applied Theory. Kedudukan Grand Theory (GT) merupakan dasar lahirnya teori-teori lain dalam berbagai level. Disebut makro karena teori-teori ini berada pada level makro. Lebih lanjut Middle Theory (MT) merupakan teori yang berada pada level mezo/menengah dimana fokus kajiannya makro dan mikro.
20Dougherty& Pfaltzgraff, diakses dari xxxx://xxxxxxx.xxxxx.xx.xx/ eColls/ eThesisdoc/Bab2/2012-1-00468-mn%20bab%202.pdf, diakses pada tanggal 1 September 2022
Sedangkan Applied Theory (AT) merupakan teori yang berada di level mikro dan siap diaplikasikan. Merujuk pada kerangka konseptualxxxxx Xxxxxxxxx & Pfaltzgraff maka Peneliti mengidentifikasi Grand Theory (GT), Middle Theory (MT) dan Applied Theory (AT) untuk diterapkan pada penulisan karya tulis ini dalam skema kerangka pemikiran sebagai berikut:
Bagan 1 Desain Penelitian
Grand Theory (GT)= Teori Negara Kesatuan
Midddle Theory (MT)= Teori Pemerintahan Daerah
Middle Theory (MT)= Teori Negara Kesejahteraan
Middle Theory (MT)= Teori Daya Saing Daerah
Applied Theory (AT)= Teori Hubungan Pengawasan
Applied Theory (AT)= Teori Hubungan Administrasi
Applied Theory (AT)= Teori Hubungan Keuangan
A. GRAND THEORY (GT) TEORI NEGARA KESATUAN
Pilihan bentuk negara merupakan salah satu materi muatan konstitusi. Sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan dibentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehendak negara sebagaimana dimaksud pada akhirnya dituangkan di dalam
batang tubuh UUD 1945 yaitu pada ketentuan Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi bahwa, Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Lebih lanjut ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah, yang diatur dengan undang-undang. **). Sehubungan dengan pengaturan tersebut maka secara berkelanjutan ketentuan Pasal 18A Ayat (1) menyebutkan bahwa Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**) Selanjutnya ketentuan
(2) menyebutkan bahwa Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang- undang.**).
Secara konseptual tim Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya21 mengemukakan bahwa “Cita Negara” terjemah dari “Staatsidee”. Sebagaimana pernyataan Soepomo bahwa Cita Negara adalah “dasar pengertian negara” atau “aliran pikiran negara”. Mengutip pendapat Oppenheim Cita Negara diartikan sebagai “hakekat yang paling dalam dari negara” sebagai ”kekuatan yang menbentuk negara-negara”. Xxxxxxx Xx Haan negara adalah produk dari pertumbuhan paguyuban masyarakat dalam
21 Materi Perkuliahan Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Materi ini juga diimplementasikan pada Rencana Pembelajaran Semester (RPS) Mata Kuliah Hukum Tatat Negara Tahun 2022
memenuhi kehendaknya mengorganisasikan diri ke dalamnya. berbeda dengan ajaran teori perjanjian sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxxx, Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxx, bahwa konsep Cita Negara berangkat dari gambaran manusia sebagai individu yang terlepas dari hubungan masyarakat mengadakan perjanjian membentuk dan menunjuk penguasa yang membawa mereka terikat dalam suatu paguyuban.
Sejarah cita negara bangsa Indonesia yaitu membentuk negara dengan struktur sosial asli Indonesia namun juga modern mengikuti perkembangan dan tuntutan jaman. Penyusun UUD 1945 berpendapat “Cita Negara Indonesia” (Indonesia Staatsidee) haruslah berasal dan diambil dari cita paguyuban masyarakat Indonesia (devolksgemeenschapsidee) sendiri. Xxxxx Xxxxx mengemukakan bahwa masuknya kolonial ke bumi nusantara bukanlah masuk kewilayah/lahan yang kosong, tetapi sudah terbentuk pranata-pranata sosial masyarakat. Pranata-pranata sosial sebagai bentuk pemerintahan asli Indonesia oleh pemerintah penjajah tidak dihapuskan, tetapi dibiarkan hidup berkolaborasi dengan sistem yang dibangun pemerintah penjajah.
Dengan demikian maka Dalam Pembukaan UUD dinyatakan dengan jelas bahwa “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dalam naskah pembukaan UUD 1945 ini diterima aliran negara persatuan, negara yang melindungi dan meliputi segenap bangsa seluruhnya.
Bentuk negara kesatuan Republik Indonesia merupakan amanat UndangUndang Dasar 1945. Pasal 1 ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa "Negara Indonesia ialah negara kesatuan, yang berbentuk Republik". Prinsip yang terkandung pada negara kesatuan ialah, bahwa yang memegang tampuk
kekuasaan tertinggi atas segenap urusan negara adalah Pemerintah Pusat (central government) tanpa adanya gangguan oleh delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada pemerintah daerah (local government).22
X. Xxxxx Xxxxx mengatakan :23 “Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan Negara ini tidak dibagi antara Pemerintah Pusat (central government) sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan Negara dalam Negara Kesatuan itu tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan bahwa pemegang kekuasaan tertinggi di negara itu adalah Pemerintah Pusat”. Tanggungjawab pelaksanaan pemerintahan tetap berada di tanagan pemerintah pusat, namun dikarenakan salah satu asas yang dipergunakan dalam sistem pemerintahan di Indonesia adalah asas negara kesatuan yang didesentralisasikan maka ada tugas-tugas yang diurus sendiri oleh daerah sehingga lahirlah hubungan kewenangan dan pengawasan antara pusat dan daerah.24
Negara kesatuan adalah landasan batas dan isi dari otonomi sehingga muncul aturan yang mengatur mekanisme keseimbangan tuntutan kesatuan dengan tuntutan otonomi yang kemudian memunculkan kemungkinan spanning dari kondisi tarik menarik antara dua kecenderungan tersebut.25
B. MIDDLE THEORY (MT)
1. Teori Pemerintahan Daerah
Negara Indonesia merupakan Negara dengan bentuk Kesatuan yang terdiri dari daerah-daerah, yang mana ini
22 B. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia, Yogyakarta, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2003,H.91
23 X.Xxxxx Xxxxx, Op.cit., hlm 8
24 Dr. Ni'matul Huda, Op.cit., hlm 8
00 Xxxxx Xxxxx, Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945, UNISKA, Jakarta, 1993, hlm 3
sesuai dengan ketentuan konstitusi yang tercantum pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945) Pasal 18 Ayat (1) yang berbunyi “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. **)”. Sebagai bukti penghormatan daerah- daerah yang memiliki karakteristik dan lokalistik tersendiri, pemerintahan memberikan hak kepada daerah-daerah untuk melakukan proses pengurusan rumah tangga daerah sesuai dengan kondisi keadaan masyarakat dan nilai-nilai yang dianut oleh warga daerahnya, hlm ini sesuai dengan Pasal 18 Ayat (2) yang berbunyi “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan**)”. Asas Otonomi daerah sendiri memiliki pengertian yakni kekuasaan untuk mengatur sendiri (selfregelen) dan mengelola sendiri (self besturen).26 Sedangkan kewajiban daerah yang telah diberikan pemerintahan dalam bentuk hak untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah sendiri, secara horizontal menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya dan secara vertical dalam menjalankan kewenangan penyelenggaran pemerintahan daerah wajib taat dan terikat dengan pemerintahan negara secara keseluruhan.27
Menurut Xxxxxxxxx28, Otonomi Daerah adalah adalah pemberian hak, wewenang, dan kewajiban kepada daerah
26 Xxxxxxxx, Xxxxxx. "Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah." Jurnal Hukum Positum 1, no. 1 (2016): 83-93.
27 ibid
28 Xxxxxx Xxxxxxxx Salam, Otonomi Daerah dalam Perspektif lingkungan, nilai dan sumber daya, (jakarya: Djembatan) Hlm 88 – 89.
memungkinkan daerah tersebut dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna, dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Kemudian menurut Xxxx Xxxxxxx, Otonomi Daerah dimaknai sebagai prinsip, yang berarti menghormati kehidupan regional mneurut riwayat, adat, dan sifat daerah lain.Hal ini menjadikan sistem penyelenggaran pemerintahan daerah, tentu memiliki varian keunikan masing-masing. Namun dalam proses penyelenggaran pemerintahan daerah, tentu pemerintahan pusat memberikan standart penyelenggaran pemerintahan daerah agar terjaminya kesejahteraan warga daerah. standart ini wajib dipatuhi dan diikuti oleh daerah yang nantinya diharapkan dapat diimplemetasikan sesuai dengan kondisi lokalistik dan keunikan daerah masing-masing.
Kewajiban pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan sesuai standar yang diberikan oleh pemerintah pusat, diberikan dalam rupa wewenang. Kewenangan merupakan dasar subtansi yang dilaksanakan oleh pejabat pemerintah untuk menjalankan kewajiban atau tugas mereka.29 Menurut Cahyandari30, Kewenangan memiliki makna sebagai Hak dan Otoritas. Kewenangan sendiri dapat dilihat melalui 3 aspek, pendapat ini dikemukan oleh Xxxxxxxxx00, yakni sumber wewenang, cara memperoleh kewenangan dan bagaimana pelaksanaan wewenang tersebut.
29 Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxx, and Xxxx Xxxxxxxxxx. "General Principles of Good Governance in Administrative Court Decision Regarding Request for Review of Abuse of Authority." Jurnal Dinamika Hukum 21, no. 3 (2022): 461-479.
30 Xxxxxxxxxx, Xxxx. (2020). Upaya Pemerintah Daerah dalam Pencegahan dan Penanggulangan Wabah Virus Korona. Cakrawala: Jurnal Litbang Kebijakan. 14(1). 7681.
31
Pada kewenangan pemerintahan daerah menjalankan penyelenggaran otonomi daerah, merupakan kewenangan yang dilihat melalui sumber wewenang. Sumber wewenang pelaksanaan otonomi daerah sendiri tercantum pada amanat konstitusi yang kemudian secara jelas dijabarkan melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemda), hlm ini dikarenakan peraturan tersebut lahir dari proses legislasi yang disusun oleh pemerintah dan perwakilan rakyat. 32
Pemerintahan Daerah dalam menjalakan penyelenggaran urusan pemerintahan dilaksanakan sesuai dengan asas deseentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam proses menjalankan asas tersebut, kewenangannya mengembang tugas urusan pemerintahan terdapat pada urusan pemerintah konkuren yang terdiri dari urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar, meliputi:
a) pendidikan;
b) kesehatan;
c) pekerjaan umum dan penataan ruang;
d) perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e) ketentraman, ketertiban umum, dan perlindungan masyrakat; dan
f) sosial.
Sedangkan urusan pemerintahan pilihan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar yakni meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
32 Op.Cit. Xxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxx, and Xxxx Xxxxxxxxxx
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
h. pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
x. xxxxxxxx, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m. kepemudaan dan olah raga;
n. statistik;
o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
Dan kemudian adapun urusan pemerintahan pilihan yang meliputi:
a. kelautan dan perikanan;
b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan;
e. energi dan sumber daya mineral;
f. perdagangan;
g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Keseluruhan kewenangan ini, merupakan upaya pemenuhan pelayanan bagi warga daerah atau dikenal pemerintah sebagai aktor pelayanan publik. Dalam menjalankan pelayanan publik pemerintahan daerah memegang teguh yang telah tercantum pada Undang-Undang Nomro 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yakni:
a. kepentingan umum;
b. kepastian hukum;
c. kesamaan hak;
d. keseimbangan hak dan kewajiban;
e. keprofesionalan;
f. partisipatif;
g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif;
h. keterbukaan;
i. akuntabilitas;
j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
k. ketepatan waktu; dan
l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Diharapakan adanya ketentuan yang ada ini dapat memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan warga masyarakat daerah.
2. Teori Negara Kesejahteraan
Indonesia sebagai penganut konsep negara kesejahteraan atau dikenal sebagai welfare state, memiliki tanggungjawab besar untuk memajukan kesejahteraan peradaban manusia di negeri ini. Konsep ini sesuai dengan cita–cita bangsa yang tercantum pada staatsfundamentalnorm yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) alinea ke-IV, menyatakan bahwasanya “…Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Pemilihan negara kesejahteraan ini dianggap sebagai jawaban yang paling tepat untuk melibatkan Negara kedalam urusan warga negara nya untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara sesuai dengan ideology negara. Menurut Xxxxxx yang dikutip oleh Simarmata, Negara Kesejahteraan sering diasosiasikan dengan proses distribusi sumber daya yang ada kepada publik, baik secara tunai maupun dalam bentuk tertentu (cash benefits or benefits
in kind). Menurut pandangan Xxxxxxx makna Kesejahteraan (Welfare State) sendiri mengandung tiga tiga subklasifikasi, yakni: (1) Social welfare, yang mengacu kepada penerimaan kolektif kesejahteraan; (2) Economic welfare, yang mengacu kepada jaminan keamanan melalui pasar atau ekonomi formal; dan (3) State welfare, yang mengacu kepada jaminan pelayanan kesejahteraan sosial melalui agen dari negara.
Konsep Negara kesjahteraan sendiri lahir dari gagasan Xxxxxx Xxxxxx pada abad ke – 18 yang berbunyi “the greatest happiness (atau welfare) of the greatest number of their citizens”. Xxxxxxx menggunakan istilah ‘utility’ (kegunaan) untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan. Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang ia kembangkan, Xxxxxxx berpendapat bahwa sesuatu yang dapat menimbulkan kebahagiaan ekstra adalah sesuatu yang baik. Sebaliknya, sesuatu yang menimbulkan sakit adalah buruk. Menurutnya, aksi-aksi pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagian sebanyak mungkin orang. Xxxxxan Xxxxxxx mengenai reformasi hukum, peranan konstitusi dan penelitian sosial bagi pengembangan kebijakan sosial membuat ia dikenal sebagai “bapak negara kesejahteraan” (father of welfare states).
Tokoh lain yang turut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx (1942) dan T.H. Xxxxxxxx (1963). Di Inggris, dalam laporannya mengenai Social Insurance and Allied Services, yang terkenal dengan nama Xxxxxxxxx Report, Xxxxxxxxx menyebut want, squalor, ignorance, disease dan idleness sebagai ‘the five giant evils’yang harus diperangi33. Dalam laporan itu, Beveridgemengusulkan sebuah sistem asuransi sosial komprehensif yang
33 Xxxxxxx, 1995; Xxxxxxx, et al, 2006
dipandangnya mampu melindungi orang dari buaian hingga liang lahat (from cradle to grave). Pengaruh laporan Xxxxxxxxx tidak hanya di Inggris, melainkan juga menyebar ke negara- negara lain di Eropadan bahkan hingga ke AS dan kemudian menjadi dasar bagi pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut. Namun sistem ini memiliki kekurangan. berpijak pada prinsip dan skema asuransi, ia tidak dapat mencakup resiko-resiko yang dihadapi manusia terutama jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial gagal merespon kebutuhan kelompok- kelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua tunggal, serta mereka yang tidak dapat bekerja dan memperolehpendapatan dalam jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak adekuat, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara minimal. Adapun Negara Kesejahteraan dalam konteks kapitalisme, Xxxxxxxx berargumen bahwa warga negara memiliki kewajiban kolektif untuk turut memperjuangkan kesejahteraan orang lain melalui lembaga yang disebut negara. Ketidaksempurnaan pasar dalam menyediakan pelayanan sosial yang menjadi hak warga negara telah menimbulkan ketidakadilan. Ketidakadilan pasar harus dikurangi oleh negara untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak-dampak negatif kapitalisme.
3. Teori Daya Saing Daerah
Peningkatan kemakmuran merupakan sasaran pembangunan ekonomi di semua negara. strategi peningkatan nilai tambah atas setiap kegiatan produksi eksisting maupun yang baru merupakan pembuka jalan bagi peningkatan alokasi bagi pihak pihak yang memberikan kontribusi atas penciptaan nilai tambah tersebut yaitu pekerja, pemoda, pemilik sumber daya alam, dan pengusaha serta kepada negara yaitu pajak.
untuk memperbesar nilai tambah antara lain melalui peningkatan daya saing produk yang dihasilkan serta daya saing perekonomian. diman amembangun dan menumbuhkan daya saing mikro dan makro menjadi salah satu pendekatan pembangunan ekonomi dan sosial yang strategis.34
Daya saing merupakan salah satu kriteria untuk menentukan keberhasilan dan pencapaian sebuah tujuan yang lebih baik oleh suatu negara dalam peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi. Daya saing diidentifikasikan dengan masalah produktifitas, yakni dengan melihat tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Meningkatnya produktifitas ini disebabkan oleh peningkatan jumlah input fisik modal dan tenaga kerja, peningkatan kualitas input yang digunakan dan peningkatan teknologi.35
Pendekatan yang sering digunakan untuk megukur daya saing dilihat dari beberapa indikator yaitu keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif, ada juga keunggulan absolut. Dalam pandangan Taringan Keunggulan komperatif adalah suatu kegiatan ekonomi yang menurut perbandingan lebih menguntungkan bagi pengmbangan daerah. Istilah “comparative adventage” (keunggulan komparatif) digambarkan sebagai bentuk pembuktian bahwa apabila ada dua negara saling berdagang dan masing-masing negara mengkonsentrasikan diri untuk mengeksport barang yang bagi negara tersebut memiliki keunggulan yang komperatif maka kedua negara tersebut akan beruntung. Teryata ide tersebut bukan saja bermanfaat dalam perdagangan internasional
34 Xxxx Xxxxxxxxxx, Daya Saing Daerah Konsep, Kajian dan Kebijakan,
Bandung, UNPAD Press, 2016, hm 1
35 Xxxxxx Xxxxxxxx. Daya Saing Daerah Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, Yogyakarta: BPFE, 2002, hlm 5
tetapi juga sangat penting di perhatikan dalam ekonomi regional.36
Keunggulan kompetitif adalah suatu keunggulan yang dapat diciptakan dan dikembangkan. Ini merupakan ukuran daya saing suatu aktifitas kemampuan suatu negara atau suatu daerah untuk memasarkan produknya di luar daerah atau luar negeri. Maka dari itu, dalam pandnagan Tarigan, seorang perencana wilayah harus memiliki kemampuan untuk menganalisa potensi ekonomi wilayahnya. Dalam hal ini kemampuan pemerintah daerah untuk melihat sektor yang memiliki keunggulan/kelemahan di wilayahnya menjadi semakin penting. Sektor ini memilik keunggulan, memiliki prospek yang lebih baik untuk dikembangkan dan diharapkan dapat mendorong sektor-sektor lain untuk berkembang. Bank Indonesia dan Universitas Padjajaran dalam penelitiannya menetapkan faktor-faktor pembentuk daya saing daerah yaitu:
a. Perekonomian daerah
b. Keterbukaan
c. Sistem Keuangan
d. Infrastruktur dan Sumber Daya Alam
e. Ilmu pengetahuan dan teknologi
f. Sumber Daya Manusia
g. Institusi, tata pemerintahan dan kebijakan pemerintah
h. Manajemen ekonomi mikro.37
World Economic Forum (WEF) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan perekonomian nasional untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
36 Xxxxxxx, X. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Malang, Bumi Aksara, 2005, hlm 75
37 Xxx Xxnyusun, Draft Panduan Indeks Daya Saing Daerah 2020, Jakarta, Deputi Bidang Penguatan Inovasi Kementerian Riset Dan Teknologi/BRIN, 2020, hlm 32
berkelanjutan. Institute for Management Development (IMD) mendefinisikan daya saing nasional sebagai kemampuan suatu negara dalam menciptakan nilai tambah dalam rangka menambah kekayaan nasional dengan cara mengelola aset dan proses, daya tarik dan agresivitas, globality dan proximity, serta model ekonomi dan sosial. Lebih lanjut WEF menyebutkan ada beberapa faktor penting yang membentuk daya saing nasional antara lain: (1) institusi; (2) infrastruktur;
(3) kondisi makroekonomi; (4) pendidikan dasar dan kesehatan; (5) pendidikan tinggi dan pelatihan; (6) efisiensi pasar barang; (7) efisiensi pasar tenaga kerja; (8) pembangunan pasar keuangan; (9) ketersediaan teknologi; (10) luas pasar;
(11) kemudahan berusaha; (12) inovasi.38
Sementara itu, Institute for Management Development menilai kemampuan daya saing negara didasarkan pada 4 faktor utama, yaitu: (1) Kinerja perekonomian, terdiri dari 83 kriteria yang mencakup ekonomi domestik, perdagangan internasional, investasi internasional, tenaga kerja dan harga.;
(2) Efisiensi pemerintah, terdiri dari 70 kriteria yang mencakup keuangan publik, kebijakan fiskal, kerangka kerja institusional, peraturan perundangan dunia usaha dan kerangka kerja masyarakat. ; (3) Efisiensi dunia usaha, terdiri dari 71 kriteria yang mencakup produktivitas dan efisiensi, pasar tenaga kerja, keuangan, praktek manajemen, perilaku dan nilai-nilai. ; dan (4) Infrastruktur, terdiri dari 114 kriteria yang mencakup infrastruktur dasar, infrastruktur teknologi, infrastruktur ilmu pengetahuan, kesehatan, lingkungan dan pendidikan.39
Sedangkan European Commission memberikan penilaian daya saing daerah yang dirangkum dalam Regional
38 Xxx Xxnyusun, Ibid, hlm 32
39 Xxx Xxnyusun, Ibid, hlm 32
Competitiveness Index (RCI) didasarkan pada 11 pilar, yaitu:
(1) institusi; (2) stabilitas makroekonomi; (3) infrastruktur; (4) kesehatan; (5) pendidikan dasar; (6) pendidikan tinggi dan pendidikan seumur hidup; (7) efisiensi pasar tenaga kerja; (8) luas pasar; (9) ketersediaan teknologi; (10) kemudahan usaha; dan (11) inovasi.40
C. APPLIED THEORY (AT)
1. Teori Hubungan Pengawasan
Xxxxx Xxxxxxxxx menyatakan pengawasan dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah suatu proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.41 Secara umum ditinjau dari segi Hukum Administrasi Negara, pengawasan menurut pendapat Prajudi Atmosudirdjo42 diartikan sebagai proses kegiatan-kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan atau diperintahkan. Adapun menurut Sujamto43 pengawasan adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas sesuai dengan yang semestinya atau tidak.
Xxxxxxx Xxxxxx44 mendefinisikan pengawasan sebagai
The process of monitoring activities to ensure they are being
40 Xxx Xxnyusun, Ibid, hlm 32
41 Xxxxx Xxxxxxxxx, Naskah Lepas Masalah-masalah Hukum Otonomi Daerah (Arti Pengawasan), (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, 2003), hlm. 1.
42 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 81.
00 Xxxxxxx, Xxxxxxxx Xxxxertian di Bidang Pengawasan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 19.
44 X. Xxxxxx Xxxxxxx, Hukum Keuangan Negara, (Jakarta: Grasindo, 2009), hlm. 131.
accomplished as planned and correcting any significant devisions.
Secara bebas, maknanya adalah bahwa pengawasan merupakan suatu proses pengamatan terhadap suatu pekerjaan, untuk menjamin pekerjaan tersebut sesuai dengan yang direncanakan. Di dalamnya terdapat pengoreksian beberapa pemikiran yang saling berhubungan). Apabila menurut Xxxxx’x Law Dictionary,45 definisi pengawasan adalah:
The direct or indirect power to direct the management and policies of a person or entity, whether trouh ownership of voting securities, by contact, or otherwise; the power of authority to manage, direct, or overse (the principal exerdised control over the agent), or to exercise power or influence over (the judge controlled the proceedings), to regulate or govern by law.
Maknanya adalah bahwa pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen. Pengawasan ditujukan untuk memastikan suatu pelaksanaan kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan untuk pencapaian tujuan. Melalui pengawasan dapat dilakukan penilaian apakah suatu entitas telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif, efisien dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku).46
Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonom yaitu pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum daerah dan
45 Redaksi Berita Transparansi, “Pengertian Pengawasan Keuangan Daerah dan Jenis-Jenisnya Menurut Para Ahli”, xxxx://xxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxxxxxx-xxxxxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxxx-xxx- jenis-jenisnya-menurut- para-ahli/, diakses 22 September 2022
46 Xxxxx X. Gamer, Black’s Law Dictionary, Eight Edition, (St. Xxxx Xxxx: West, a Thomson Business, 2004), p. 353.
tindakan tertentu organ pemerintahan daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang mengesahkan (goedkeuring), Pengawasan represif adalah wewenang pembatalan (vernietiging) atau penangguhan(schorsing).
Peraturan daerah yang berlaku sebagai undang-undang bagi daerah, proses penyusunan maupun implementasinya perlu dipantau secara terus menerus untuk memberikan jaminan kepada publik bahwa semua ketentuan yang diatur dalam perda tersebut sudah mengikuti norma-norma/ kaidah- kaidah yang berlaku yaitu memenuhi persyaratan sebagai peraturan yang baik. Ateng Syafrudin47 menyebutkan 3 (tiga) tujuan dari pelaksanaan pengawasan, berkenaan dengan penyelenggaraan tugas- tugas pemerintahan daerah, yakni;
• Untuk menjaga kewibawaan pemerintah daerah dan kepentingannya;
• Untuk menghindari atau mencegah penyalahgunaan wewenang;
• Untuk mencegah kelalaian dalam administrasi yang dapat merugikan negara atau daerah.
Kriteria-kriteria di atas penting untuk menjadi pertimbangan dalam melakukan pengawasan, sehingga tujuan dari kegiatan pengawasan tersebut dapat tercapai. Paling tidak tujuan pengawasan itu adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas-tugas organisasi. H. Bohari mengatakan bahwa agar hal-hal tersebut tercapai maka harus menjaga agar rencana itu dalam realisasinya tetap terarah pada tujuan yang telah ditentukan dan menjaga agar pelaksanaannya itu dijalankan sesuai
47 Ibid.
dengan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Selain itu, perlu juga menjaga agar tugas itu dijalankan berdaya guna sesuai dengan tujuan dan melakukan usaha-usaha untuk mengatasi hambatan, mengendalikan penyimpangan- penyimpangan, serta akibat-akibatnya.48Pengawasan dapat dibedakan menurut sifat/bentuk, tujuannya, ruang lingkupnya, dan metodenya. Beberapa macam pengertian pengawasan dapat diuraikan sebagai berikut.49
Pengawasan menurut sifat/bentuk dan tujuannya dapat dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu: pengawasan preventif, dan pengawasan represif/pengawasan detektif. Pertama, Pengawasan Preventif. Pengawasan preventif dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks pemerintahan daerah, pengawasan preventif mempunyai tujuan mencegah penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan daerah. Xxxxx Xxxxx berpendapat bahwa pengawasan preventif ini berkaitan dengan wewenang mengesahkan (goedkeuring).50
Tujuan pengawasan preventif menurut Xxxxxxxxx Xxxxxx antara: mencegah terjadinya tindakan- tindakan yang menyimpang dari dasar yang telah ditentukan dan memberi pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara efesien dan efektif. Selain itu juga untuk menentukan sasaran dan tujuan yang akan dicapai dan menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.51 Kedua, Pengawasan
48 H. Bohari, Hukum Anggaran Negara, (Jakarta: Rajawali Pers. 1995), hlm.
117-118.
49 Xxxxxxxxx Xxxx, ”Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia”, Disertasi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana Doktor Ilmu Hukum, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 2006), Tidak Dipublikasikan, hlm. 91-95.
50 Xxxxx Xxxxx, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum (PSH), Fakultas Hukum UII, 2001), hlm. 154.
51 Kerja Sama Antara Pusat Studi Kajian Negarafakultas Hukum Universitas
Represif/Detektif. Prinsipnya, pengawasan dilaksanakan setelah dilakukannya tindakan yakni dengan membandingkan antara hal yang telah terjadi dengan hal yang direncanakan terjadi. Dalam hal pembentukan produk hukum daerah dan tindakan tertentu organ pemerintah daerah, pengawasan ini menurut Xxxxx Xxxxx berupa wewenang pembatalan (Verneitiging) atau penangguhan (schorsing).52
2. Teori Hubungan Administrasi
Administrasi diartikan sebagai suatu proses pengorganisasian sumber-sumber sehingga tugas pekerjaan dalam organisasi tingkat apa pun dapat dilaksanakan dengan baik.53 Xxxxxxx X. Xxxxx,54 mendefinisikan administrasi sebagai kegiatan-kegiatan kelompok kerjasama untuk mencapai tujuan-tujuan bersama. Xxxxxxx X. White dalam Inu Kencana Xxxxxxx dkk.,55 mendefinisikan administrasi adalah suatu proses yang umum ada pada usaha kelompok– kelompok, baik pemerintah maupun swasta, baik sipil maupun militer, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Xxxxxx Xxxxx,56 mendefinisikan administrasi adalah suatu daya upaya yang kooperatif, yang mempunyai tingkat rasionalitas yang tinggi. Xxxxxx & Xxxxxx,57 mengatakan bahwa suatu ilmu yang mempelajari apa yang dikehendaki rakyat melalui pemerintah, dan cara mereka memperolehnya. Administrasi
Padjadjaran Bandung, “Penelitian Pola Hubungan Antara Pusat Dan Daerah”, xxxxx://xxx.xxxxxx.xxx/xxx/00000000/Xxxx-Xxxxxxxx-Xxxxxx- Pusat-Dan- Daerah-UNPAD, diakses 22 September 2022
52 Xxxxx Xxxxx, loc.cit.
53 Xxxxxxxx, Pengantar Ilmu Administrasi Negara, Cetakan Pertama, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2019), hlm 1.
54 Xxxxxxx Xxxxx X, Administrative Behavior: Perilaku Administrasi. Jakarta: Bumi Aksara, 2004, hlm 3.
55 Kencana Inu Syafi'ie, dkk, Ilmu Administrasi Publik. Jakarta: Xxxxxx Xxxxx, 1999.
56 Xxxxxx Xxxxx, Pengantar Studi Public Administration: Terjemahan, Cemerlang, 1997.
57 Xxxxxx, Administrasi Negara: Terjemahan. Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hlm 20.
juga mementingkan aspek-aspek konkrit dari metode-metode dan prosedur-prosedur manajemen.
Administrasi negara mempunyai tiga arti utama, yaitu:
1. Sebagai salah satu fungsi pemerintah
2. Sebagai aparatur (machinery) dan aparat (apparatus) dari pemerintah,
3. Sebagai proses penyelenggaraan tugas pekerjaan pemerintah yang memerlukan kerja sama secara tertentu.
Administrasi negara, terutama dipergunakan dalam arti yang kedua dan ketiga yang dapat didefinsikan sebagai keseluruhan dari struktur, unit organsasi, dan proses, yang di dalamnya terjadi keputusan-keputusan yang dinyatakan atau dianggap oleh negara sebagai mengikat semua pihak yang bersangkutan.58
Dalam ilmu administrasi, administrasi berarti pimpinan dan pengendalian organisasi secara keseluruhan (administration is the overall governance and control of an organization).59 Sehubungan dengan pengertian administarsi tersebut tampaknya mudah, tetapi dalam praktiknya sulit karena suatu Negara secara keseluruhan. Definisi atau rumusan tersebut tampaknya mudah, tetapi dalam praktiknya sulit karena suatu Negara besar seperti Negara Republik Indonesia mempunyai ribuan unit organisasi administrasi Negara yang besar atau kecil. Dengan perkataan lain terdapat ribuan administrator Negara, yang masing-masing menjalankana administrator Negara Republik Indonesia menurut kedudukan masing-masing di dalam kerangka Organisasi Negara Republik Indonesia. Kedudukan administrator tersebut bertingkat-tingkat. Ada administrator
58 Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm 15.
59 Ibid.
yang menjadi kepala “holding” ada yang berkedudukan sebagai koordinator, ada yang berkedudukan sebagai kepala gabungan, ada yang berkedudukan sebagai kepala kantor besar membawahi berbabagi kantor cabang.
Administrasi Negara, seperti telah diuraikan di atas, dijalankan oleh semua pejabat pemerintah (yang secara otomatis) merangkap sebagai pejabat administrasi Negara) dan semua pejabat admnistarsi negara murni (yang tidak mempunyai wewenang pemerintahan). Setiap pejabat pemerintah memimpin suatu unit organisasi yang sangat kecil. Lebih rumit lagi, sistem organisasinya bermacam-macam, yakni :
a. Sistem organisasi sentral, terdiri atas:
• Organisasi sentral langsung
• Organisasi dekonsentral
b. Sistem organisasi desentral, terdiri atas :
• Desentralisasi (otonomi) fungsional (otorita, dan sebagainya)
• Desentralisasi teritorial
c. Desentralisasi sosial (daerah I, daerah II) terdiri atas :
• Tugas pembantuan
• Otonomi penuh
d. Sistem organisasi otonomi rural, desa
Dengan mengikuti kedudukan pemerintah, administrasi Negara pun bertingkat-tingkat. Pejabat pemerintah (dalam arti sempit) adalah pejabat Negara yang mempunyai wewenang politik Negara, artinya wewenang menetapkan peraturan atau ketentuan yang berlaku bagi masyarakat umum secara mengikat (mempunyai kekuatan undang-undang). Para pejabat tersebut mempunyai kekuasaan atau wewenang politik untuk kepentingan Negara. Peraturan atau ketentuan regulatif
dari seorang pejabat, administrasi Negara hanya mempunyai daya laku intern, artinya hanya berlaku terhadap pejabat- pejabat bawahannya, tidak berlaku terhadap warga masyarakat atau instansi luar karena seorang pejabat admnistrasi Negara tidak mempunyai kekuasaan atau wewenang politik, sehingga tidak boleh adu dengan kekuatan dengan warga masyarakat.
Salah satu teori negara demokratis modern menyatakan bahwa institusi-institusi demokrasi haruslah mempunyai local foundation (dasar lokal) sebagai kekuatan menghadapi perluasan kekuatan nasional. Keberadaan Pemerintah lokal dan demokrasi partisipasi politik akan bermakna jelas dengan peningkatan partisipasi lokal.60 Argumen yang mendasarinya adalah semakin besar unit nasional, semakin banyak waktu yang dibutuhkan dalam membentuk koalisi politik dan berakibat semakin besar pula perbedaan antar kelompok dan individu. Pemerintah lokal lebih memungkinkan terjadinya partisipasi karena lebih memungkinkannya kontak personal baik secara langsung maupun melalui jaringan siapa mengenai siapa seperti dalam bentuk Negara Kota Yunani Kuno. Masalahnya skala kumpulan manusia untuk memobilisasi sumberdaya dalam mencapai tujuan ternyata lebih besar daripada ukuran partisipasi yang diberikan. Jawaban dilema diatas adalah pembagian pemerintahan dalam beberapa tingkatan atau pembentukan pemerintah lokal atau otonomi daerah.
Reformasi pemerintah pusat ke daerah dan reformasi pemerintah daerah bukan hanya pembentukan di bidang administrasi biasa, melainkan suatu restrukturisasi politik yang hakiki dari hubungan antara berbagai macam tingkatan
60 Ibid, hlm 75.
pemerintah. Jawaban bagi reformasi ini adalah kemunculan konsep pemerintahan daerah yang mandiri dengan tiga rangkaian nilai-nilai penting yang terkandung dalam konsep itu yaitu: “kebebasan atau otonomi, demokrasi atau partisipasi dan efisiensi".
Perkembangan politik lokal atau terwujudnya pemerintahan lokal menstimulasi terbentuknya globalisasi demokratisasi lokal yang ditandai dengan Pertama, hubungan lokal dengan negara asing ataupun lembaga keuangan internasional. Kedua, hubungan antarkota dalam hubungan antar negara yang berwujud gerakan sister-city (kota kembar). Kedua hubungan tersebut merupakan cerminan dari demokrasi partisipatif pemerintahan lokal yang melampaui batas nation state. Menjadi tugas pemerintah pusat untuk mengatur hubungan ini melalui kebijakan publik agar tidak menciptakan negara dalam negara.
3. Teori Hubungan Keuangan
Perumusan keuangan negara dapat ditinjau melalui pendekatan dari sisi obyek, subyek, proses dan tujuan.61 Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dilihat dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun barang yang dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi keseluruhan pelaku yang terkait dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/ataudikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan
61 Paulian Y Amtiran dan Aldarine Molidya, “Pengelolaan Keuangan Negara”, Journal Of Management (SME’s) Vol. 12, No.2, 2020, hlm 207.
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Dari sisi proses, seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.
Sesuai asas money follows function, penyerahan kewenangan daerah juga dibarengi dengan penyerahan sumber-sumber pembiayaan yang sebelumnya dipegang oleh Pemerintah Pusat. Diharapkan Daerah mampu untuk melaksanakan segala urusannya sendiri sebab sumber- sumber pembiayaan juga sudah diserahkan. Jika mekanisme tersebut sudah terwujud maka cita-cita kemandirian Daerah dapat direalisasikan.
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx,62 dalam mengeksplorasi tentang desentralisasi fiskal maka ada tiga hal utama yang patut diperhatikan. Pertama, asumsinya adalah bahwa daerah merupakan bagian utama yang akan memberikan pelayanan publik. Kedua, adanya hubungan yang kompleks antara daerah dengan pergerakan masyarakat. Ketiga, pembagian keuangan kepada masing-masing daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan hubungan antara level pemerintah maupun hubungan dengan daerah lain. Oleh karena itu, dalam pengambilan kebijakan harus dipertimbangkan empat hal, yakni, pemerataan daya saing
62 Xxxxxxx Xxxxxxx, Fiscal Decentralization, 2010.
daerah, pembagian dana antar pemerintah daerah, keadilan dan kesetaraan, serta pola pertanggungjawaban.
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah adalah menyangkut pembagian tanggung jawab untuk melaksakanakan kegiatan-kegiatan tertentu antara tingkat- tingkat pemerintahan dan pembagian sumber penerimaan untuk menutup pengeluaran akibat kegiatan-kegiatan tersebut. Tujuan utamanya adalah untuk mencapaui perimbangan antara berbagai pembagian, disamping itu antara potensi dan sumber daya masing-masing daerah dapat sesuai. Intisari dari hubungan pusat-daerah adalah menyangkut pembagian kekuasaan; tentang hak mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah termasuk bagaimana memperoleh dan membelanjakannya. Hubungan tersebut mencermikan tujuan politik yang mendasar karena perannya menentukan bobot kekuasaan yang dijalankan pemda dalam seluruh sistem pemerintahan dalam mana hubungan itu harus serasi (harmonis) dengan peranan yang dimainkan pemda yang bersangkutan.63
Sumber-sumber pembiayaan yang diserahkan kepada Daerah nantinya akan dimanifestasikan lewat struktur PAD yang kuat. PAD inilah sumber pembiayaan yang memang benar-benar digali dari Daerah itu sendiri sehingga dapat mencerminkan kondisi riil Daerah. Jika nantinya struktur PAD sudah kuat, boleh dikatakan Daerah tersebut memiliki kemampuan pembiayaan yang juga kuat. Untuk itu tentu dibutuhkan suatu struktur industri yang mantap beserta obyek pajak dan retribusi yang taat. Sementara DAU dan berbagai bentuk transfer dari Pemerintah Pusat seyogyanya
63 Rahmatullah, Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Makalah, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politikuniversitas Hasanuddin, hlm 19.
hanya bersifat pendukung bagi pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Sebagai suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta pemerataan antar Daerah secara adil dan proporsional, demokratis dan transparan, dengan tetap memperhatikan potensi, kondisi dan kebutuhan Daerah sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cara penyelenggaraan kewenangan tersebut termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangannya Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah.
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang diserahkan, dilimpahkan, dan ditugas bantukan kepada Daerah.
BAB III
PERKEMBANGAN HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
A. PENGATURAN IDEAL HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH SESUAI AMANAT YANG TERTUANG DALAM UNDANG- UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Gagasan Negara kesatuan sebagaimana dimaksud merupakan baian yang tidak terpisahkan dari ketentuan konstistusi (incorporate in constitution) termaktub di dalam Pembukaan (Preambulle) Undang-Undang Dasar. Selain daripada itu rumusan Pembukaan UUD sebagaimana dimaksud diilhami dari nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Secara redaksional amanat Pembukaan UUD menyatakan: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan
peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat xxxxxxx Xxxxx Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pada pernyataan Alinea Ke-IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud bisa kita ketemukan ruh daripada tujuan dibentuknya negara yang menganut paham cita Negara Persatuan dan Kesatuan. Berikut ini tim peneliti ilustrasikan kosepsi paradigmatik gagasan konstitusional tentang tujuan dan bentuk negara melalui ragaan sebagai berikut:
Bagan 2 Kerangka Konstitusional Ideologi, Tujuan dan Pilihan Bentuk Negara Dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Sumber: bahan hukum sekunder, diolah 2022
1. Perkembangan Hubungan Pusat Dan Daerah Sebelum dan Setelah Amandemen UUD 1945
Bentuk negara kesatuan yang kita pilih dankitapertahankan hingga saatini secara historis telah mengalami pasang surut dan tantangan yang luar biasa sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh sang Proklamator-Xxxxxxxx Xxxxx. Sejarah dan tantangan atas kelahiran negara kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak saja muncul dari dalam negeri akan tetapi juga dari luar negeri. Ditilik dari sudut historis bentuk
negarakesatuanyangkitapilihini tentu tidak terlepas dari pengalaman sejarah negara kerajaan yang pernah berjaya di masa lampau, yaitukerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kejayaan bekaskedua kerajaan nasional dimasa lampau tersebut setidak- telahmemberikanpemahamandaninspirasi sejarah yang amat kuat akan pentingnya persatuan nasional dalam wadah negara.64
Berdasarkan pada uraian sebelumnya bahwa terdapat relasi ideologis konstitusional antara sile ke-3 Pancasila dengan tujuan negara serta pilihan bentuk Negara. Sehubungan dengan hal tersebut berikut penulis identifikasi perbedaaan gagasan konstitusional pelaksanaan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum dan sesudah dilakukannya amandemen terhadap UUD.
Tabel 1 Perbandingan Perkembangan Pengaturan Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD
No | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Analisis/ Keterangan |
1 | Pasal 1 (1) Negara Indonesia ialah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. | Pasal 1 (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar. ***) (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. ***) | Kedudukan Pembukaan UUD merupakan ruh bagi rumusan didalam batang tubuh UUD. Sehubungan dengan hal itu maka, perubahan mendasar hubungan antara Pusat dan Daerah pasca amandemen yaitu terkair dengan perubahan format supremasi parlemen menjadi supremasi konstitusi. Sedangkan pilihan |
64Imam Ropii, 2015, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah (Konsepsi dan Dinamikanya), MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 2015 hlm 40
No | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Analisis/ Keterangan |
bentuk negara kesatuan dengan sistem republik tetap dipertahankan untuk emmastikan bahwa Indonesia menolak ide negara federalistik dan sistem pemerintahan monarki. | |||
2 | Pasal 18 Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa. | Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten,dankotait umempunyai pemerintahandaerah ,yang diatur dengan undang-undang. **) (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **) (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki | Perkembangan paradigma pilihan bentuk Negara terjadi mankala sebelum amandemen UUD 1945 sistem pemerimtahan negara dan pilihan bentuk negara tetap mempraktikkan model Negara kesatuan akan tetapi perbedaan mendasar ada pada asas penyelenggaraannya dari sentralisasi berubah menjadi desentralisasi yang melahirkan konsep otonomi daerah. Gagasan ini dipilih ebagai bentuk respon tuntutan reformasi yang menyatakan bahwa politik sentralisasi telah gagal membawa Indonesia pada zona pembangunan dan ksejahteraan. |
No | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Analisis/ Keterangan |
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **) (4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. **) (5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecualiurusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **) (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **) (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan |
No | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Analisis/ Keterangan |
pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang. **) | |||
Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **) (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang- undang. **) | |||
Pasal 18B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan |
No | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Gagasan Hubungan Pusat dan Daerah sebelum Amandemen UUD 1945 | Analisis/ Keterangan |
daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang- undang. **) (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. **) |
Sumber: bahan hukum sekunder, diolah 2022
Berdasarkan tabel di atas, maka begitu strategis dan mendasarnya persoalan susunan negara ini, maka dalam konstitusi dilakukan melalui pembagian wilayah NKRI ini ke dalam daerah- daerah (provinsi dan kabupaten dan kota) yang memiliki pemerintahan sendiri untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya melalui asas desentralisasi disamping juga asas dekosentrasi sebagai salah satu karakterdari bentuk Negara kesatuan.
Penerapan asas desentralisasi ini merupakan tindaklanjut dari pembagian atas wilayah Indonesia tersebut. pembagian daerah-
daerah dan dibentuknya pemerintahan daerah akan melahirkan pemerintahan yang berposisi sebagai pemerintah pusat dan pemerintahan yang berposisi sebagai pemerintahan daerah. Konstelasi penyelenggaraan pemerintahan yang demikian akan melahirkan wewenang, hak dan kewajiban dan hubungan antar susunan pemerintahan. Dalam posisi/kedudukan yang demikian akan sangat rentan terjadinya tarik menarik kepentingan dan sangat mungkin terjadinya ketegangan (spanning) jika pola hubungan dan kedudukan yang dibangun kurang tepat dan kurang harmonis.
Pemahaman yang baik dan benar atas kedudukan, hak, wewenang serta kewajiban dalam hubungan pusat dan daerah akan memperkuat peneguhan dalam berbangsa dan bernegara melalui sikap saling menghargai dan menghormati keberagaman antar daerah dengan segala potensi dan kekurangan yang dimiliki. Kini rumah besar berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keluarga besar berupa bangsa itu harus dikelola secara benar sesuai dengan kaidah agama, konstitusi, hukum dan berbagai kearifan local yang telah diakui dan dijamin keberadaannya oleh Konstitusi.
Konsepsi bernegara dalam hal ini tujuan dan pilihan bentuk negara menjadi sangat penting mengingatIstilah negara (state) dalam kebahasaan Italia disebut sebagai Lo Stato yang berasal dari bahasa Italia yang kemudian menjelma menjadi perkataan Le ‘Etat dalam bahasa Perancis, The State dalam bahasa Inggirs atau Deer Staat dalam bahasa Jerman dan De Staat dalam bahasa Belanda. Kata Lo Stato yang dalam bahasa Indonesia di terjemahkan menjadi Negara yang diartikan sebagai suatu sistem tugas-tugas atau fungsi-fungsi publik dan alat-alat perlengkapan yang teratur di dalam Wilayah (daerah) tertentu.65
65C.S.T Kansil dan Xxxxxxxxx X.X. Kansil, 2010, Perbandingan Hukum Adminsitrasi Negara, Jakarta: Rineka Cipta hlm 6
Menurut Xxxxx Xxxxxxxxxx organisasi negara hadir dan diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Jika negara- bangsa yang didirikan disandarkan pada prinsip kedaulatan rakyat dan ditujukan kepada seluruh bangsa yang terdiri atas beragam suku, budaya, dan agama, maka mekanisme demokrasi menjadi satu-satunya pilihan dalam proses pembentukan kesepakatan bersama.
Dalam konsep demokrasi mengutamakan adanya dan pentingnya pluralisme dalam masyarakat.66 Dalam konteks tersebut gagasan kelahiran negara bangsa (nation state) merupakan fakta empiris kelahiran NKRI yang sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Mengacu pada uraian diatas terdapat perbedaan antara teori negara dan teori bernegara. Sebagaimana diutarakan oleh Xxxxxx menjelaskan bahwa:67
“Teori negara yang menjadi titik pusat pembahaannya ialah masalah wibawa, kekuasaan dari pemerintah, membahas negara sebagi suatu struktur kekuasaan, mwngapa seseorang atau misalnya teori tentang pembenaran kekuasaan negara (rechtsvardiging theorie), teori kekuasaan (Machten theorie), dan lain-lain. (dalam konteks ini pada waktu membahas teori negara lebih melihat negara dari sudut hukum). Sementara itu teori bernegara lebih memusatkan perhatian pada wadah pengorganisasian diri dari suatu masyarakat paguyuban bangsa. Negara dianggap sebagai wadah perwujudan tempat masyarakat bangsa mengorganisasikan dirinya, Xxxxxxxx menamakan teori bernegara ini sebagai Staatbildung theorie.(dalam konteks ini pada waktu membahas teori negara lebih melihat negara dari sudut sosiologis dan filsafat)”.
66Jimly, Xxxxxxxxxxx, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cetakan Kedua, Jakarta: Konstitusi Press hlm 257
67 Azhari, Teori Bernegara Bangsa Indonesia di kutip Ulang oleh Isrok, 2011, Negara Xxxx Xxxxx Ditinjau Dari Aspek Bernegara yang Demokratis Berkeadilan, Malang: Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang HTN FH Universitas Brawijaya, 2011, hlm 4-5
Berdasarkan pendapat di atas maka berdasarkan teori yang ada sebagaimana diutarakan oleh Xxxxx Xxxxxxx, mengutip Soepomo teori bernegara Indonesia harus bersumber pada alam dan budaya bangsa atau suasana kebatinan bangsa Indonesia. Cara pandang bernegara sebagaimana dimaksud dapat di tinjau dari:68
a. cara pandang individualistik, berdasarkan teori perjanjian masyarakat (Xxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxxx, dan XX. Xxxxxxxx) yang memandang negara sebagai status hukum (state) suatu masyarakat hukum (legal society) sebagai hasil perjanjian masyarakat (social contral).
b. cara pandang sosialis komunis, berdasarkan teori kelas (Xxxx Xxxx, Xxxxxx dan Xxxxx) bahwa negara adalah alat bagi mereka yang ekonominya kuat menekan ekonomi yang lemah. Perihal penekanan inilah yang melahirkan gagasan hegemoni negara. Sebagaimana diutarakan oleh Xxxxx Xxxxxxxxxx00 bahwa dasar ideologi yang dikembangkan dari pemikiran Xxxx Xxxx yang dilanjutkan oleh Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxx ini berisi sistem berpikir mulai dari tataran nilai dan prinsip dasar dan dikembangkan hingga praktis operasional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. cara pandang integralistik, berdasarkan kesatuan organis (Xxxxx, Xxxx Xxxxxx, Xxxxxxx) menurut Soepomo cara pandang ini perpotensi menimbulkan negara kekuasaan. Menurut pikiran ini negara ialah tidak untuk menjamin kepentingan seseorang atau golongan, akan tetapi menjamin kepentingan masyarakat seluruhnya sebagai persatuan. Negara ialah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala
68Xxxxx Xxxxxxx, dalam Isrok, 2011, Negara Xxxx Xxxxx Ditinjau Dari Aspek Bernegara yang Demokratis Berkeadilan, Op.Cit hlm 12-13
69Jimly Xxxxxxxxxx, Xxxx
anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan persatuan masyarakat yang organis.70
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka makna integralistik yang diperkenalkan oleh Xxxxxxx pada saat mengucapkan pidato dihadapan BPUPKI, sebagai berikut:
“Yang terpenting dalam Negara yang berdasar aliran pikiran integraal ialah penghidupan bangsa seluruhnya. Negara tidak memihak kepada suatu golongan yang kuat, atau paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan”.
Dari sudut sejarah hukum ketatanegaraan Indonesia teori integralistik ini dipandang cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Hal ini terungkap dalam kalimatnya, sebagai berikut:
“... jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat indonesia, maka negara kita harus berdasar atas pikiran (staatidee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya,yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun.”
Dalam kontek pemahaman ketatanegaraan pola pemerintahan di Indonesia mengikuti perkembangan teori Negaradan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Konsep Negara Kesatuan memperlihatkan pola Negara kesatuan yang kemudian membentuk dan membagi wilayah dan kewenangannya kepada daerah-daerah. Karenanya, konteks Negara Kesatuan membuat pola kekuasaan Negara berada pada Pusat lalu kemudian akan di bagi ke daerah-daerah. Berikut ini penulis paparkan skema sistem unitarisme melalui ragaan sebagai berikut:
Bagan 3 Skema Kesatuan/Unitarisme
70Soepomo, Pidato pada tanggal 31-5-1945. Dalam Rapat Badan Penyelidik Untuk Persiapan Indonesia Merdeka, di Gedung Chuoo Sangi-in di Jakarta, Forum Keadilan No. 22, hlm.25.
Sumber: bahan hukum sekunder, diolah 2022
Berdasarkan skema di atas maka, bentuk dan susunan negara yang dipilih oleh bangsa Indonesia adalah negara kesatuan (unitary state), yang berpemerintahan (regeringsform) republik dan berkedaulatan rakyat (democratic state).71 Untuk itu maka kerangka kerja (frame work) bernegara sesuai dengan cita negara tersebut disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar (written constitution) berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan Indonesia, dan kerakyatan, serta keadilan sosial, yang kemudian disebut Pancasila. Hal demikian terekam dalam Pembukaan UUD 1945 yang selengkapnya menyatakan,
“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
71 Xxxxx Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxxxxx & Konstitusionalisme Indonesia, ibid hlm 75.
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka Indonesia sebagai negara-bangsa (nation state), sesungguhnya terbentuk dengan latar belakang kemanusiaan dan keadilan dan bertujuan untuk mewusjudkan hal-hal terkait dengan kemanusiaan dan keadilan, yang dalam elaborasinya adalah perlindungan, kesejahteraan, kecerdasan, dan berpartisipasi dalam mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia.
2. Perkembangan Regulasi Di Bidang Hubungan Pusat Dan Daerah
Bentuk negara kesatuan yang dipilih dan dipertahankan hingga saat ini secara historis telah mengalami pasang surut dan tantangan yang luar biasa sesaat setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh sang duo Proklamator Xxxxxxxx Xxxxx. Sejarah dan tantangan atas kelahiran negara kesatuan Republik Indonesia tersebut tidak saja muncul dari dalam negeri akan tetapi juga dari luar negeri. bentuk negara kesatuan juga merupakan salah satu hasil pemikiran keras dan mendalam dari para pendiri republik tercinta ini.72 Kini bangunan 2 Pasal 1 ayat
(1) UUD 1945 menegaskan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik. Ketentuan ini merupakan bukti bahwa bentuk negara kesatuan telah melewati proses yang mendalam saat pembentukan konstitusi. Dalam amandemen sama sekali tidak disentuh dan bahkan diperkuat sebagai wujud dari komitmen untuk negara kesatuan Republik Indonesia yang berdiri kokoh diantara berbagai negara di dunia akan terus dipertahankan dan sekaligus menjadi komitmen seluruh komponen anak bangsa
72 Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menegaskan, Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik.
Indonesia. Puncaknya bentuk negara kesatuan merupakan pilihan yang sudah final, yang selanjutnya memikirkan bagaimana membangun tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang mengarah pada penguatan dari bentuk Negara tersebut. Mengingat luasnya wilayah dan Kondisi geografis negara kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari beribu ribu pulau besar dan kecil, jumlah penduduk yang besar dan dengan ribuan etnik suku, bahasa, budaya yang multikultural merupakan kekayaan yang amat mahal yang tidak dapat terbeli dengan apapun karena juga sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Sistem pemerintahan yang demokratis dengan tetap menghormati corak dan hakhak asli masyarakat tidaklah mungkin dilakukan dengan system pemerintahan yang sentralistis.73
Dalam perspektif penyelenggaraan pemerintahan, kondisi tersebut tentu sangat mustahil jika penyelenggaraan urusan pemerintahan hanya ditangani oleh pemerintah pusat saja dapat berjalan secara merata, adil dan demokratis. Kondisi geografis wilayah negara yang demikian tentu akan sangat tepat jika negara kesatuan ini kemudian dibagi-bagi menjadi daerahdaerah besar (provinsi) dan daerah provinsi dibagi-bagi lagi ke dalam daerah kabupaten dan kota untuk diserahi urusan pemerintahan tertentu yang dikenal dengan otonomi daerah dengan sistem desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18, yang menjadi sumber utama dalam penyelenggaraan otonomi dapat dipahamkan sebagai normatifisasi gagasan-gagasan yang mendorong pemakaian otonomi sebagai bentuk dan cara menyelenggarakan pemerintahan tingkat daerah. Moh. Hatta tahun 1932 yakni 13 tahun sebelum Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan- menulis, bahwa hak
73 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxx, Otonomi Daerah Titik Berat otonomi dan Urusan Rumah Tangga Daerah (Pokokpokok Pikiran Menuju Reformasi Hukum di Bidang Pemerintahan Daerah). Universitas Atmajaya : Yogyakarta, 1998. hal.16
menentukan nasib sendiri terdapat juga di kota, dan desa. Kota, desa atau daerah akan mendapat otonomi dan tugas pembantuan.
Menurut Moh. Hatta, keperluan memberikan otonomi dan tugas pembantuan kepada kota, desa, atau daerah yaitu dalam rangka melak- sanakan dasar kedaulatan rakyat dan keperluan setempat yang berlain.74 Mengenai tugas pembantuan Moh. Hatta masih mempergunakan istilah zelfbestuur-istilah lama yang dipergunakan sebelum van Vollen- hoven memperkenalkan istilah medebewind. Pemikiran untuk mem- berikan otonomi kepada daerah kemudian dibicarakan pada saat penyusunan UUD 1945, walaupun tidak nampak perdebatan-perdebatan mengenai hal itu. Sepanjang yang diketemukan dalam buku Muh. Xxxxx, (Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945) dapatlah dikatakan bahwa Xxxxxxxx yang paling terdahulu membicarakan me- ngenai pemerintahan daerah bahkan mengajukan rumusan dalam satu naskah Undang-Undang Dasar. Untuk dapat mengetahui pembicaraan tersebut, di bawah ini akan dikutip berbagai pernyataan baik di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), maupun di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengenai pemerintahan daerah. Dalam pembicaraan tanggal 29 Mei 1945 (BPUPKI), Xxxxx mengutarakan:
"Negeri, Desa dan segala persekutuan hukum adat yang dibaharui dengan jalan rasionalisme dan pembaharuan zaman, dijadikan kaki susunan negara sebagai bagian bahwa".8 "Antara bagian atas dan bagian bawah dibentuk bagian tengah sebagai Pemerintahan Daerah untuk menjalankan Pemerintahan Urusan Dalam, Pangreh Praja"." Pada pembicaraan 29 Mei 1945 tersebut, Xxxxx juga melampirkan rancangan sementara perumusan Undang- Undang Dasar yang memuat tentang Pemerintahan Daerah dan berbunyi:
"Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
74 Dalam Buku Perjalanan Historis Pasal 18 UUD 1945 karangan Xx. Xxxxx Manana SH,m MXL, UNSIKA, halaman 9.
Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa"."
Adanya naskah Undang-Undang Dasar yang dipersiapkan Xxxxx, diakui oleh Xxxxxxxx selaku Ketua Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, dan dijadikan Xxxxxxxx sebagai salah satu dasar untuk meminta Xxxxx duduk dalam Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Permintaan ini yang diajukan oleh Xxxxxxxx pada saat pembentukan Panitia Perancang Undang- Undang Dasar ditolak oleh Xxxxxxxx selaku Ketua BPUPKI. Setelah penolakan yang terjadi, diakan rapat dan dengar pendapat dari Xxxxxx, Xxxx, Ratulangi dalam pemahaman dasar dasar secara tepat tentang Pemerintah Daerah dalam UUD Tahun 1945. Dasar dasar itu adalah :
1. Pertama: Pemerintahan daerah merupakan susunan pemerintahan dalam negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Kedua : Pemerintahan daerah yang dikehendaki adalah pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (daerah otonom). Dengan perkataan lain, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur mengenai daerah otonom.
3. Ketiga: Pemerintahan daerah tersusun dari sebanyak- banyaknya dua tingkat. Desa (dan satuan semacam desa) merupakan satuan pemerin- tahan dibawah. Dengan demikian, menjadi nyata bahwa pemerintahan desa merupakan kesatuan yang integral dalam susunan pemerintahan daerah.
4. Keempat: Pemerintahaan daerah disusun dengan memperhatikan hak- hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa yaitu desa (dan satuan semacam desa)
dan satuan pemerintahan asli lainnya (zelfbesturende landschappen) yang kemudian disebut swapraja.
5. Kelima: Pemerintahan daerah diselenggarakan berdasarkan otonomi seluas-luasnya
Ketentuan dalam Pasal 18 UUD Tahun 1945 sebagai dasar pembentukan pemerintahan daerah telah menegaskan bahwa dasar permusyawaratan juga diadakan pada tingkat daerah. Dengan demikian, permusyawaratan/perwakilan tidak hanya terdapat pada pemerintahan tingkat pusat, melainkan juga pada pemerintahan tingkat daerah, dengan kata lain konstitusi UUD Tahun 1945 dalam Pasal 18 menentukan bahwa pemerintahan daerah dalam susunan daerah besar dan kecil harus dijalankan melalui permusyawaratan atau harus mempunyai badan perwakilan. Jika dilihat secara historical, Rezim Pemerintah Daerah dari awal kemerdekaan samapi dengan saat ini di bagi menjadi IX Fase yang dapat dilihat pada alur berikut ini :
Bagan 4 Fase Pemerintahan Daerah
FASE I (1945-1948)
FASE II (1948-1957)
FASE III (1957-1965)
FASE IV (1965-1974) FASE V(1974-1999) FASE VI (1999-2004)
FASE VIII (2004-2014)
FASE VIII (2014-SEKARANG) FASE IX (2021-CIPTA KERJA)
Sumber : Modifikasi dari buku karangan Xxxx. Xx. X. Xxxx Xxxxxxxxx
Dari awal kemerdekaan sampai saat ini pemerintah daerah mengalami IX fase naik turun pemerintahan. Hal ini karena pengaturan yang sangat dinamis mengenai Pemerintah Daerah. Setiap fase pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Fase I75 yakni pada tahun 1945-1948 yang dimana belum terdapat pengaturan mengenai pemerintahan daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Selain itu digunakan pula aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah (KND) dan juga
75 Xxxx. Xx. X. Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx., SH., MH, H. Syafaat Anugrah Pradana., SH MH, Pokok pokok Pemerintah Daerah, Rajawali Press, Depok, Hal5
berdasarkan pada ketentuan UUD Tahun 1945 yang telah ditetapkan itu, khususnya Pasal 18 (berbunyi "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa" yang akan menjadi dasar dalam pengaturan tentang pemerintahan daerah di Indonesia.
Pada fase II76 yakni pada tahun 1948-1957 sudah ditetapkan peraturan yang mengatur mengenai Pemerintah Daerah yakni padaUndang-Undang Pokok No 22 Tahun 1948tentang Pemerintah Daerah. Undang-undang ini adalah undang-undang pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah otonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesia merdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu Tingkat daerah Otonom Tingkat I, Tingkat daerah Otonom Tingkat II, dan Tingkat daerah Otonom Tingkat III.
Pada Fase III77 pada tahun 1957-1965 diberlakukan Undang Undang No 1 Tahun 1957 tentang Pokok Pokok Pemerintah Daerah. UU ini menggantikan UU No. 22 Tahun 1948 dan UU NIT No. 44 Tahun 1950, secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa yang disebut daerah swatantra dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah
76 Ibid
istimewa. Sistem otonomi yang dianut UU No. 1 Tahun 1957 memperkenalkan konsep yang berbeda dengan UU No. 1 Tahun 1945 dan UU No. 22 Tahun 1948 yaitu sistem otonomi riil, yang dalam penjelasan umumnya disebut "sistem rumah tangga nyata". Untuk mendalami latar belakang lahirnya konsep otonomi ini memang tidak terlepas dari ketentuan Pasal 131 UUDS 1950 yang berbunyi:
1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (autonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang- undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara;
2. Kepala daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri;
3. Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas- tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah igaditangganya.
Perubahan bentuk pemerintahan daerah dilakukan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang didasari pada berlakunya kembali UUD Tahun 1945 berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959.
Selanjudnya pada Fase IV78 pada tahun 1965 sampai 1974 diberlakukan undang undang nomor 18 tahun 1965 tentang pokok pokok pemerintah daerah yang menggantikan rezim UU No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959, Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1960. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah
otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah. Undang- undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "pemerintah daerah". Pemerintah daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya di mana pemerintahan lokal terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Legislatif) dan Kepala Daerah dibantu Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian (Eksekutif).
Fase V79 adalah fase pemerintah daerah pada tahun 1974 sampai 1999, dimana pada masa ini berlaku UU no 5 Tahun 1974 tentang Pokok pokok pemerintah daerah yang menggantikan UU 18 Tahun 1965 dikarenakan tidak dapat diterapkan. Fase ini dalam menyelenggarakan pemerintah daerah dibentuk suatu secretariat dan perangkat daerah dan dinas dinas daerah
Fase VI80 pada tahun 1999-2004, Pada fase ini berlaku Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1974. UU ini menyatukan daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah Administratif. Terdapat 3 (tiga) jenis daerah otonom pada periode ini yaitu daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota. Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hierarki daerah otonom.
Fase VII81 pada tahun 2004-2014, pada fase ini berlaku UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Menurut UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi tersebut dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Pemberlakuan UU No. 12 Tahun 2008
79 Ibid
80 Ibid
81 Ibid
tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebabkan karena beberapa hal yang menjadi pertimbangan guna mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu:
1. Penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah telah terjadi perubahan terutama setelah putusan Mahkamah Konstitusi tentang calon perseorangan;
2. Undang-undang sebelumnya belum mengatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang menggantikan kepala daerah yang meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya; dan
3. Undang-undang sebelumnya belum mengatur mengenai pengisian kekosongan jabatan wakil kepala daerah yang meninggal dunia, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus dalam masa jabatannya.
Fase VIII82 pada tahun 2014 sampai sekarang, berlaku UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga perlu diganti. Perubahan secara signifikan terhadap undang- undang pemerintahan daerah dewasa ini bertujuan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memerhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan dan kekhasan suatu daerah dalam sistem negara Kesatuan Republik
82 Ibid
Indonesia. Perwujudan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah juga menjadi pertimbangan dalam perubahan undang-undang ini di mana perlu peningkatan mengenai aspek hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah dan antardaerah, potensi dan keanekaragaman daerah, serta peluang dan tantangan persaingan global dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara.
Fase IX pada tahun 2021 sampai sekarang, kedudukan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah masih memiliki kedudukan, namun pada beberapa pasal tertentu dalam UU 23 Tahun 2014 telah diubah dengan terbitnya UU 11 Tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Undang-undang Cipta Kerja menempatkan wewenang pemerintah daerah di bawah presiden dalam melaksanakan atau membentuk peraturan undang-undang. Kini presiden mengambil alih kewenangan yang sebelumnya milik pemda. Pasal 174 UU Cipta Kerja menambahkan satu aturan soal hubungan pemerintah pusat dan daerah. Pasal ini mengatur kewenangan pemerintah daerah hanya sebagai bagian dari kewenangan presiden.
Berdasarkan pada analisa di atas mengenai sejarah perkembangan terhadap pemerintah daerah, dapat di lihat dan dinilai mengenai pemberian kewenangan terhadap pemerintah daerah oleh p[emerintah pusat, yang awalnya bersifat sentralistik menjadi desentraslisasi. Jika diliat dari tinjauan kewenangan. Dimulai pada pasal 18 UUD NRI 1945 hingga Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu kewenangan pemerintahan daerah menurut pasal 18 Undang- Undang Dasar NRI 1945 adalah kewenangan mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan ketentuan undang-undang (otonom). Adapun
kewenangan itu sendiri lahir atau diperoleh yang terdapat tiga kategori kewenangan, yaitu atribusi, mandat, dan delegasi. 83
a. Atribusi
Atribusi adalah Pemberian kewenangan kepada badan/lembaga/pejabat negara tertentu yang diberikan oleh pembentuk UUD maupun pembentuk UU. Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru untuk dan atas nama yang diberi wewenang tersebut.84 Sehingga dapat dikatakan bahwa atribusi merupakan kewenangan baru yang diberikan/berasal langsung dari peraturan perundang- undangan. Kewenangan atribusi biasanya diberikan oleh UUD dalam bentuk pembagian kekuasaan negara. Contoh, Keuangan pusat yang diberikan ke daerah sehingga menjadi urusan daerah untuk mengelola.
b. Delegasi
Delegasi adalah Pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau pejabat Tata Usaha Negara lainnya. Jadi suatu delegasi tentu harus didahului dengan adanya atribusi wewenang.85 sehingga dapat diartikan bahwa delegasi kewenangan merupakan pelimpahan atau penyerahan kewenangan yang telah ada dari badan/lembaga/pejabat negara kepada badan/lembaga/pejabat negara lain.
c. Mandat
Mandat merupakan bentuk pelimpahan kekuasaan, tapi tidak sama dengan delegasi, karena mandataris (penerima mandat) dalam melaksanakan tugasnya tidak bertindak atas
83 Xxxxx Xxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Administrasi, Bayumedia Publishing, Malang, 2004. Hal 79
84 Xxx Xxxxxxxxx, Hukum Administrasi Negara, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012. Hal. 89
+85 Ibid.
nama diri sendiri, akan tetapi atas nama si pemberi kuasa, karenanya yang bertanggung jawab adalah pemberi kuasa. Kewenangan mandate terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan, kecuali memang dilarang secara tergas. Untuk mengetahui secara tepat bentuk perbuatan pemerintahan yang dilakukan atas dasar wewenang mandat dapat dilihat dari tanda atas nama (a.n) ataupun tanda untuk beliau (u.b).86
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, definisi otonomi daerah sebagai berikut: “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”87
Otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri dengan menghormati peraturan perundangan yang berlaku.88 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor
9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut: “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
86 Xxxxx Xxxxxxx Op. Cit. Hal 78
87Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
88Xxxxx Xxxxxxxxx, 2007, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo, Jakarta, hlm 30.
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Contoh daerah otonom (local self-government) adalah kabupaten dan kota.
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kabupaten dan kota berdasarkan asas desentralisasi. Dengan digunakannya asas desentralisasi pada kabupaten dan kota, maka kedua daerah tersebut menjadi daerah otonom penuh.89 Dari pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa otonomi daerah dapat diartikan sebagai wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah baik kabupaten maupun kota untuk mengatur, mengurus, mengendalikan dan mengembangkan urusannya sendiri sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing dan mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku dan mengikatnya. Menitik berat pada hal tersebut, berikut ini pembagian urusan kewenangan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
89Ibid, hlm 29.
1. Pertahanan
2. Keamanan
3. Agama
4. Yustisi
5. Politik Luar Negeri
6. Moneter & Fiskal
ABSOLUT
Bagan 5 Pembagian Urusan Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
URUSAN PEMERINTAHAN
PEMERINTAH AN UMUM
KONKUREN
1. Kelautan & Perikanan
2. Pariwisata
3. Pertanian
4. Kehutanan
5. Energi & Sumber Daya Mineral
6. Perdagangan
7. Perindustria
WAJIB
Non Pelayanan Dasar
Pelayanan Dasar
PILIHAN
Sumber: bahan hukum sekunder, diolah 2022
Kewenangan pemerintah merupakan dasar utama baik setiap tindakan dan perbuatan hukum dari setiap level pemerintahan, dengan adanya dasar kewenangan yang sah. Cara memperoleh kewenangan tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan yang bersifat nasional, regional, dan local. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut,
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren.
3. Format Ideal Hubungan Pusat Dan Daerah Di Masa Depan
Hubungan pemerintah pusat dan daerah oleh Xxxxxx dan Xxxxxxx dikonsepsikan dalam tiga bentuk hubungan sebagai berikut:90
a. The relative autonomy model.
Dalam model relative autonomi pemerintah pusat memberikan kebebasan/kewenangan bertindak yang lebih besar kepada daerah dalam kerangka tugas dan tanggungjawab yang telah dirumuskan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan pemberian kewenangan dan kebebasan melalui peraturan perundang-undangan tersebut pemerintah daerah menjadi lebih leluasa dalam bertindak. Dalam kondisi yang demikian daerah akan memiliki keleluasaan dalam mengatur dan mengurus urusan yang menjadi wewenangnya.
90 Xxxxx Xxxxxx, Pola Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah (slide), Seminar Nasional dan Refleksi Akhir Tahun 2009, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (HTN) dan Hukum Administrasi Negara (HAN) Jawa Timur, Hotel Panorama- Jember 27 – 29 Desember 2009. Dikutip oleh Xxxx Xxxx’I, Pola Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah Dalam Otonomi Daerah (Konsepsi Dan Dinamikanya), MAKSIGAMA JURNAL HUKUM Tahun 18 Nomor 1 periode Nov. 201, hlm 44, lihat juga Xxxxxxx Xxxx dan Xxxx Xxxxx, A ContestedConcept: The Relative Autonomy of the State, diakses di xxxxx://xxx. xxxxx.xx /albo/docs /1989/A% 20Contested%20Concept.pdf, diakses pada 19 November 2022.
b. The agency model.
Dalam model agency ini di mana daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti, sehingga daerah hanya sebagai agen (penyalur/pelaksana saja) dari pemerintah pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijakan pemerintah pusat. Keberadaan pemerintah daerah tak lebih sebagai perangkat dari pemerintah pusat yang hanya berperan sebagai perangkat yang harus dengan patuh melaksnakan kebijakan pemerintah pusat.
c. The interaction model.
Dalam model interaction ini, keberadaan dan peran pemerintah daerah ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Jika interaksi yang dibangun antara pusat dan daerah berjalan dengan baik dan dapat saling mengisi maka kepercayaan pemerintah pusat terhadap daerah akan semakin besar dan luas demikian juga sebaliknya jika interaksi antara pusat dan daerah tidak baik maka akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan pusat terhadap daerah.
Melalui pandangan Xxxxxx dan Xxxxxxx diatas, apabila melihat kondisi eksisting Indonesia upaya mencari titik temu dan desain ideal hubungan Pusat-Daerah telah terjalin sejak tahun 1903 melalui Desentralitaie Wet 1903 yang kemudian dilanjutkan dengan beberapa peraturan Perundang-Undangan dengan latar belakang pengundangan sebagai berikut:
Tabel 2 Perbandingan Latar Belakang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan berkaitan dengan Otonomi Daerah
No | Peraturan | Karakter | Bentuk Hubungan | Latar Belakang |
1. | Undang- | Desain Awal | interaction | Merupakan |
Undang | (tidak | model | aturan | |
Nomor 1 | melanjutkan | pertama dan | ||
tahun 1945 | desain | bersifat | ||
tentang | sebelumnya) | sementara | ||
Kedudukan | dalam | |||
Komite | mendesan | |||
Nasional | bentuk dan | |||
Daerah; | sistem | |||
administrasi | ||||
ketatanegaraa | ||||
n di Indonesia. | ||||
2. | Undang- | Desain Awal | interaction | Desain |
Undang | (tidak | model | pertama | |
Nomor 22 | melanjutkan | Otonomi | ||
tahun 1948 | desain | Daerah dengan | ||
tentang | sebelumnya) | pertimbangan | ||
Penetapan | agar | |||
Aturan- | Pemerintahan | |||
Aturan | daerah yang | |||
Pokok | dapat | |||
Mengenai | memenuhi | |||
Pemerintah | harapan | |||
an Sendiri | rakyat, bersifat | |||
Di Daerah- | “collegial” | |||
Daerah | berdasarkan | |||
Yang | kedaulatan |
No | Peraturan | Karakter | Bentuk Hubungan | Latar Belakang |
Berhak | rakyat | |||
Mengatur | (demokrasi) | |||
Dan | dengan | |||
Mengurus | ditentukan | |||
Rumah | batas-batas | |||
Tangganya | kekuasaannya | |||
Sendiri; | . | |||
3. | Undang- | Desain Awal | The | Pembaharuan |
Undang | (tidak | agency | desain | |
Nomor 1 | melanjutkan | model | ketatanegaraa | |
tahun 1957 | desain | n terhadap | ||
tentang | sebelumnya) | Pemerintah | ||
Pokok- | daerah, | |||
Pokok | penegasan | |||
Pemerintah | bahwa Urusan | |||
an Daerah; | Pusat adalah | |||
urusan yang | ||||
bersifat | ||||
“Umum” dan | ||||
tidak | ||||
dijabarkan | ||||
dalam Undang- | ||||
Undang. | ||||
4. | Dekrit | Desain Awal | The | Penegasan |
Presiden | (tidak | agency | untuk | |
Nomor 6 | melanjutkan | model | Menyusun | |
tahun 1959 | desain | kembali bentuk | ||
tentang | sebelumnya) | dan susunan | ||
serta |
No | Peraturan | Karakter | Bentuk Hubungan | Latar Belakang |
Pemerintah | kekuasaan, | |||
Daerah; | tugas dan | |||
kewajiban | ||||
Pemerintah | ||||
Daerah. | ||||
5. | Undang- | Desain lanjutan | interaction | Pembaharuan |
Undang | (mempertimbangk | model | desain | |
Nomor 18 | an desain | Pemerintahan | ||
Tahun 1965 | hubungan | Daerah sesuai | ||
tentang | Pemerintah | dengan | ||
Pokok- | Pusat-Daerah | manifestasi | ||
Pokok | dalam Peraturan | politik NKRI | ||
Pemerintah | sebelumnya) | yang | ||
an Daerah; | dicantumkan | |||
dalam GBHN | ||||
dan Dekrit | ||||
Presiden 1959 | ||||
agar Daerah- | ||||
Daerah dapat | ||||
berswadaya | ||||
dan | ||||
berswasembad | ||||
a. | ||||
6. | Undang- | Desain Awal | The | Penyeragaman |
Undang | (tidak | agency | dan penertiban | |
Nomor 5 | melanjutkan | model | kedudukan | |
Tahun 1974 | desain | Pemerintah | ||
tentang | sebelumnya) | Daerah dalam | ||
Pokok- | rangka |
No | Peraturan | Karakter | Bentuk Hubungan | Latar Belakang |
Pokok | pelaksanaan | |||
Pemerintah | pembangunan | |||
an di | Negara dan | |||
Daerah; | stabilitas | |||
Politik. | ||||
7. | Undang- | Desain Awal | The | Perubahan |
Undang | (tidak | relative | Desain | |
Nomor 22 | melanjutkan | autonomy | Pemerintah | |
Tahun 1999 | desain | model | Daerah yang | |
tentang | sebelumnya) | menekankan | ||
Pemerintah | terhadap | |||
Daerah; | prinsip-prinsip | |||
demokrasi, | ||||
peran serta | ||||
masyarakat, | ||||
pemerataan | ||||
dan keadilan, | ||||
serta | ||||
memperhatika | ||||
n potensi dan | ||||
keanekaragam | ||||
an Daerah. | ||||
8. | Undang- | Desain Lanjutan | The | Peningkatan |
Undang | (tidak | relative | efisiensi dan | |
Nomor 32 | mendekonstruksi, | autonomy | efektivitas | |
Tahun 2004 | justru cenderung | model | penyelenggara | |
tentang | upgrade/melakuk | an | ||
Pemerintah | an pembaharuan | pemerintahan | ||
Daerah; dan | terhadap desain | daerah perlu |
No | Peraturan | Karakter | Bentuk Hubungan | Latar Belakang |
hubungan | ditingkatkan | |||
Pemerintah | dengan lebih | |||
Pusat-Daerah | memperhatika | |||
dalam Peraturan | n aspek-aspek | |||
sebelumnya) | hubungan | |||
antar-susunan | ||||
pemerintahan | ||||
dan antar- | ||||
pemerintahan | ||||
daerah, potensi | ||||
dan | ||||
keanekaragam | ||||
an daerah, | ||||
peluang dan | ||||
tantangan | ||||
persaingan | ||||
global. | ||||
9. | Undang- | Desain Lanjutan | The | bahwa |
Undang 23 | (tidak | relative | efisiensi dan | |
Tahun 2014 | mendekonstruksi, | autonomy | efektivitas | |
tentang | justru cenderung | model | penyelenggara | |
Pemerintah | upgrade/ | an | ||
Daerah. | melakukan | pemerintahan | ||
pembaharuan | daerah perlu | |||
terhadap desain | ditingkatkan | |||
hubungan | dengan lebih | |||
Pemerintah | memperhatika | |||
Pusat-Daerah | n aspek-aspek | |||
hubungan |
No | Peraturan | Karakter | Bentuk Hubungan | Latar Belakang |
dalam Peraturan | antara | |||
sebelumnya) | Pemerintah | |||
Pusat dengan | ||||
daerah dan | ||||
antardaerah, | ||||
potensi dan | ||||
keanekaragam | ||||
an daerah, | ||||
serta peluang | ||||
dan tantangan | ||||
persaingan | ||||
global. |
Sumber: bahan hukum primer, diolah 2022
Pasang surut model hubungan antara Pusat-Daerah dalam bingkai Pemeirntah Daerah sebagaimana terlihat dalam berbagai perubahan Peraturan terkait kemudian menemui resep bakunya sejak 1999 yang kemudian dilanjutkan oleh 2004 dimana Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjadi titik awal dalam perancangannya diannulir oleh aksioma “fiskal”, sehingga mengedapankan prinsip efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kondisi ini menggambarkan bahwa keberadaan Pemerintahan Daerah merupakan fondasi yang sama pentingnya dengan keberadaan pemerintah pusat itu sendiri dalam upaya mencapai tujuan pembangunan yaitu mengembangkan potensi alam dan tatanan sosial serta membangun kesejahteraan masyarakat.
Konsekuensinya, setelah seperempat abad merespon Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku selama 25 tahun dan tumbangnya rezim orde baru, maka
pemerintahan sekali lagi mereset titik temu aspek-aspek karakter dan potensi daerah melalui pencabutan Undang-Undang tersebut dan menggantinya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Apabila dilihat dari sejarah perjalanan panjang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dikaitkan dengan perkembangan hukum untuk mendukung otonomi daerah, maka perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang pemerintahan daerah tersebut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan pada tanggal 7 Mei Tahun 1999 dengan Lembaran Negara nomor 60 Tahun 1999, dan secara yuridis formal penyelenggaraan otonomi daerah dapat diharapkan sesuai dengan amanat kontitusi negara kita yaitu dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat.91 Sejak dinaungkan konsep Otonomi Daerah dan penekanan terhadap Desentralisasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Indonesia mengenal istilah “Desentralisasi Fiskal” sebagai instrument yang digunakan oleh pemerintah dalam mengelola pembangunan guna mendorong perbaikan pelayanan masyarakat dan peningkatan perekonomian daerah maupun nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan karakteristik pembaharuan (upgrade/modifikasi) semula dikenalkan pada era 1970an92 secara setengah-setengah kemudian dipertegas pada tahun 2001 ditandai dengan lahirnya Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan mempertimbangkan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan
91 Xxxxxxxxx, dkk, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm xvii. Xxxx Xxxxxx, Op. Cit., hlm 48.
92 Kuncoro, Xxxxxxx, Xxxxxxxx, Dcscntralisasi Fiskal di Indonesia - Dilema Otonomi dan Keterganiungan. Priza No.4 Tahun XXIV, 1995, hlm 4
penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih luas, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah mengalami dua kali perubahan, yaitu melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang menandai awal reformasi desentralisasi fiskal baru sekali mengalami perubahan, yaitu melalui Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, setelah melalui analisis dan pertimbangan yang cermat, Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (RUU HKPD) yang merupakan revisi atas Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 7 Desember 2021.
Rekam jejak kondisi desentralisasi fiskal sejak tahun 2001, Pemerintah telah meningkatkan dana transfer dalam APBN dengan sangat signifikan yaitu 145,06% dari Rp33,07 triliun (2000) menjadi Rp81,05 triliun (2001). Dalam dua dekade, jumlah dana transfer terus meningkat dari Rp81,05 triliun (2001) menjadi Rp812,97 triliun (2019) dan sedikit menurun di tahun 2020 menjadi Rp762,54 triliun sebagai dampak pandemi Covid-19. Melalui dana transfer diharapkan dapat mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah (kesenjangan vertikal) dan antarpemerintah daerah (kesenjangan horizontal) untuk mengakselerasi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dana transfer dari APBN kemudian menjadi sumber utama pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang selama dua dekade porsinya rata-rata sebesar 66,81% dari total pendapatan daerah. Selain itu, peran PAD sebagai sumber pendapatan APBD terus meningkat yang ditunjukkan
dengan peningkatan rasio PAD terhadap total pendapatan daerah dari 14,69% (2001) menjadi 23,67% (2020).93
Namun sayangnya, anekdot terhadap Fiskalisasi yang ada di Indonesia tidak dapat mengubah paradigma “Jawa” sentris. Kemandirian fiskal merupakan indikator utama dalam mengukur kemampuan pemerintah daerah untuk membiayai sendiri kegiatan pemerintahan daerah, tanpa tergantung bantuan dari luar, termasuk dari pemerintah pusat. Dengan indikator ini dapat diketahui kondisi ketidakseimbangan fiskal vertikal (fiscal vertical imbalance) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam kerangka desentralisasi fiskal, untuk meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi pemerintah daerah, maka disahkan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Melalui UU tersebut, pemerintah daerah diberi wewenang yang lebih luas untuk mengumpulkan PAD melalui perluasan objek pajak daerah, retribusi daerah, dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif pajak. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dengan dilimpahkannya sebagian besar kewenangan keuangan kepada pemerintah daerah, termasuk kewenangan untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah, maka setiap daerah didorong untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kebijakan dan strategi yang dikembangkan secara transparan dan akuntabel.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa adanya desentralisasi fiskal juga berkonsekuensi terhadap Pemerintah Daerah untuk bertanggung jawab dan wewenang terhadap sumber-
93 Ubaidi S Xxxxxx, Xxxx Xxxxxxx, Dua Dekade Implementasi Desentralisasi Fiskal di Indoensia, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Jakarta, 2022, hlm ix lihat juga Tim Penyusun, Kerangka Ekonomi Makro Dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal: Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Struktural, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Jakarta, 2022, hlm 232
sumber daya baik personil, pendanaan, dan beberapa hal lainnya dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah.94 Sementara pelaksanaan kebijakan otonomi daerah pada dasarnya merupakan tanggapan atas berbagai aspirasi daerah di Indonesia, yang telah cukup lama menginginkan peningkatan peran dan kemandirian dalam mengelola kewenangan dan tanggung jawabnya untuk pelayanan masyarakat dan pembangunan daerah. Pelaksanaan desentralisasi fiskal didasarkan kepada tujuan pencapaian kemandirian daerah, khususnya dalam mendukung pelaksanaan pembangunan dan pertumbuhan daerah serta pelayanan prima kepada masyarakat.95 Sebagiamana disebutkan diawal, maka bentuk implementasi dari Desentralisasi Fiskal dapat dilihat dalam gambaran umum volume TKD/TKDD96 yang tersebar di masing-
94 Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan anggaran atau keuangan, baik secara administrasi maupun pemanfaatannya. Oleh karenanya, salah satu makna desentralisasi fiskal dalam format penyerahan otonomi di bidang keuangan kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintesifikasian peranan dan pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Dalam Xxxxx, W.E. Fiscal Federalism. New York: Harcourt Brace Xxxxxxxxx, 1972, Dalam Xxxxx, Analisis Dinamis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Efisiensi Belanja Kesehatan Dan Kesejahteraan: Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan, Jurnal Info Artha Vol.6, No.1, (2022), hlm 53
95 Xxxxxxxx, X. K, Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim: Suatu Pengantar: Analisis Kapasitas Fiskal dan Belanja Fungsi Lingkungan Hidup Studi Kasus: Provinsi di Indonesia, Bogor: Penerbit IPB Press, 2019, hlm 131, lihat juga Xxxxx, Analisis Dinamis Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Efisiensi Belanja Kesehatan Dan Kesejahteraan: Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Sulawesi Selatan, Jurnal Info Artha Vol.6, No.1, (2022), hlm 53
96 TKDD terdiri dari 4 (empat) unsur utama, yaitu Pertama, Dana Perimbangan, terdiri dari: (i) Dana Transfer Umum (DTU), yaitu jenis dana transfer yang dialokasikan untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan daerah, dengan memperhatikan aspek otonomi, serta keseimbangan dan pemerataan kemampuan keuangan daerah, meliputi Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH); (ii) Dana Transfer Khusus (DTK), yaitu dana yang dialokasikan ke daerah untuk mendanai kegiatan yang sudah diarahkan atau ditentukan penggunaannya untuk meningkatkan layanan publik dan pencapaian prioritas nasional, terdiri dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan DAK Nonfisik. Kedua, Dana Insentif Daerah (DID), yang dialokasikan untuk memberikan insentif dan sekaligus sebagai instrumen untuk memacu peningkatan kinerja daerah dalam pengelolaan keuangan, penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pelayanan dasar publik, serta kesejahteraan masyarakat. Ketiga, Dana Otonomi Khusus (Otsus), Dana Tambahan Infrastruktur (DTI), dan Dana Keistimewaan (Dais), yaitu jenis dana transfer yang dialokasikan khusus untuk daerah-daerah yang mendapatkan kebijakan