KERANGKA KERJA PERENCANAAN PEMUKIMAN KEMBALI (RPF) DAN KERANGKA KERJA PROSES (PF) KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR REPUBLIK INDONESIA
KERANGKA KERJA PERENCANAAN PEMUKIMAN KEMBALI (RPF) DAN KERANGKA KERJA PROSES (PF)
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
III
III
DAFTAR LAMPIRAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
DAFTAR SINGKATAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
1.0 PENDAHULUAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
1.1 LATAR BELAKANG ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
1.3.1 Kerangka Kerja Perencanaan Pemukiman Kembali (RPF) 4
1.3.2 Kerangka Kerja Proses (PF) 4
1.4 RUANG LINGKUP ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
1.5 KATEGORISASI ORANG YANG TERKENA DAMPAK PROGRAM (OTDP) 8 1.6 ASAS DAN TUJUAN 9
1.7 PENGUNGKAPAN DAN KONSULTASI 11
2.0 KAJIAN RISIKO ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
2.1 GAMBARAN UMUM ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
2.2 KAJIAN PENGUASAAN TANAH 15
2.3 ANALISIS RISIKO ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
3.0 KERANGKA KERJA HUKUM DAN KELEMBAGAAN
22
3.1 KERANGKA KERJA HUKUM DAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH INDONESIA 22
3.2.1 Persyaratan Kebijakan Error! Bookmark not defined.
3.2.2 Kelayakan dan Hak OTDP 24
3.2.3 Analisis Kesenjangan terhadap Peraturan Pemerintah Indonesia
3.3 UPAYA PEMERINTAH INDONESIA YANG BERKELANJUTAN UNTUK MENANGANI PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH 26
3.3.1 Penyelesaian Batas Hutan Negara 26
3.3.2 Pengelolaan Hutan NKT di dalam Kawasan Konsesi dan Perkebunan Kelapa Sawit 26
3.3.3 Reformasi Agraria Error! Bookmark not defined.
4.0 PENGATURAN KELEMBAGAANERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
4.1.1 Pengaturan Pelaksanaan di Tingkat Nasional 28
4.1.2 Pengaturan Pelaksanaan di Tingkat Provinsi 31
4.1.3 Pengaturan Pelaksanaan di Tingkat Kabupaten/Kota 36
5.0 MANAJEMEN RISIKO DAN DAMPAK
41
5.1 KERANGKA KERJA PROSES ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
5.1.1 Kelayakan Error! Bookmark not defined.
5.1.2 Manajemen Risiko Pembatasan Akses di Dalam Kawasan Hutan . 41
5.1.3 Manajemen Risiko Pembatasan Akses di Luar Kawasan Hutan 43
5.1.4 Kerangka Panduan Error! Bookmark not defined.
5.2 PENYUSUNAN RENCANA AKSI (POA) 52
5.3 KERANGKA KERJA PERENCANAAN PEMUKIMAN KEMBALI 53
5.3.1 Proses untuk Penapis, Menyiapkan dan Menyetujui RAP 53
5.3.2 Penapisan Risiko Error! Bookmark not defined.
5.3.3 Pertimbangan Alternatif Error! Bookmark not defined.
5.3.4 Data Dasar dan Data Sosial Ekonomi 55
5.3.5 Persiapan Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP) 55
5.4 TINJAUAN DAN IZIN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
5.5 MEKANISME PENGADUAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
5.6 KONSENSUS, NEGOSIASI DAN RESOLUSI KONFLIK 61
5.7 PENGATURAN PENDANAAN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
5.8 PENGATURAN PENGUNGKAPAN DAN KONSULTASI 62
63
6.1 PEMANTAUAN INTERNAL ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
6.2 PEMANTAUAN INDEPENDEN ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED.
6.3 METODOLOGI PEMANTAUAN INDEPENDEN 65
6.3.1 Penyimpanan Basis Data 65
6.3.2 Laporan Error! Bookmark not defined.
6.3.3 Laporan Pemantauan Lanjutan 65
6.3.4 Laporan Evaluasi Pasca Pelaksaan (Ex-post) 65
DAFTAR TABEL
Table 1 Kawasan Hutan dan Area Penggunaan Lain di Provinsi Kalimantan Timur (2017) 14
Table 2 Konsesi di Kalimantan Timur 14
Table 3 Kawasan Kalimantan Timur berdasarkan PERDA No.1/2016 15
Table 5 Kajian Risiko Pemukiman Kembali dan Pembatasan Akses 19
Table 6 Badan Nasional yang terlibat dalam pelaksanaan ERP 28
Table 7 Badan dan Organisasi Daerah yang terlibat dalam pelaksanaan Program ER di Kalimantan Timur 31
Table 8 Pemangku Kepentingan di Tingkat Kabupaten dalam pelaksanaan RPF dan PF 37
Table 9 Pilihan Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan 43
Table 10 Klasifikasi Jenis Tanah dengan Kemungkinan Pemukiman Informal 44
Table 11 Daftar Negatif Kegiatan Sub Proyek 49
Table 12 Klasifikasi Risiko Sub Proyek 50
Table 13 Matriks Hak dan Kompensasi 9
Table 14 Bentuk Kompensasi 11
DAFTAR GAMBAR
Figure 1 Jenis tanah berdasarkan fungsinya di Kalimantan Timur (Keputusan KLHK No.278/2017) 13
Figure 2 Diagram Alir Penyelesaian Sengketa Kawasan Hutan yang Diduduki Berdasarkan Keputusan KKBP No.3/2018 60
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A1 Daftar Periksa Penapisan Pemukiman Kembali Secara Paksa dan Pembatasan Akses
Lampiran A2 Kajian Kesenjangan Peraturan tentang Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia tentang Pemukiman Kembali Secara Paksa
Lampiran A3 Draf Kerangka Acuan Kerja Untuk Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP) Lampiran A4 Kriteria Kelayakan Untuk Berbagai Kategori Orang yang Terkena Dampak
Lampiran A5 Prosedur Sumbangan Tanah Sukarela
DAFTAR SINGKATAN
APBN | Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara |
BAPPEDA | Badan Perencanaan Pembangunan Daerah |
BLU | Badan Layanan Umum |
BPDLH | Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup |
COP | Convention on the Parties – Pertemuan Para Pihak |
DDPI | Dewan Daerah Perubahan Iklim |
DGCC | Director General for Climate Change – Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim |
DLH | Dinas Lingkungan Hidup |
ERPA | Emission Reduction Plan Agreement – Kesepakatan Pembayaran Pengurangan Emisi |
ERPD | Emission Reduction Program Document – Dokumen Program Penurunan Emisi |
ESMF | Environmental and Social Management Framework – Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial |
FCPF-CF | Forest Carbon Partnership Facility – Carbon Fund – Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan-Dana Karbon |
FGRM | Feedback and Grievance Redress Mechanism – Mekanisme Penanganan Keluhan |
FREL | Forest reference emission levels – Tingkat rujukan emisi hutan |
GHG | Green House Gases – Gas Rumah Kaca (GRK) |
IPs | Indigenous Peoples – Masyarakat Adat |
IPPF | Indigenous Peoples Planning Framework – Kerangka Perencanaan Masyarakat Adat |
MoEF | Ministry of Environmental and Forestry – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) |
NGOs | Non-Government Organizations – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) |
OP | Operational Policies – Kebijakan Operasional |
OPD | Organisasi Perangkat Daerah |
P3SEKPI | Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim |
PIU | Project Implementing Unit – Unit Pelaksana Proyek (UPP) |
PoA | Plans of Action – Rencana Aksi |
RAP | Resettlement Action Plan – Rencana Aksi Pemukiman Kembali |
REDD | Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation – Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan |
1.0 PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF)1 telah memberikan hibah kepada Pemerintah Indonesia (GOI) untuk mendukung persiapan pelaksanaan REDD+ (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan). Hibah, bersama dengan sumber pendanaan lainnya, digunakan untuk meningkatkan kesiapan Indonesia dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan REDD+. Pada bulan Januari 2017, Paket Kesiapan Indonesia diserahkan dan disahkan oleh Komite Peserta FCPF2.
Program Pengurangan Emisi (selanjutnya disebut ERP) akan memajukan pelaksanaan REDD+ di tingkat nasional, dan dengan demikian berkontribusi pada pencapaian pengurangan emisi yang signifikan secara nasional dan internasional. Program ini juga diharapkan dapat membantu Indonesia dalam mencapai target ketahanan iklim dan komitmen internasionalnya.
ERP bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan di wilayah seluas 12,7 juta hektar (ha) yang terdiri dari Provinsi Kalimantan Timur. Sekitar setengah dari wilayah itu ditutupi oleh hutan tropis, yang merupakan rumah bagi kekayaan keanekaragaman hayati yang signifikan secara global dan menyokong banyak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal lainnya. Lebih dari 10% hutan Kalimantan Timur yang tersisa hilang selama dekade terakhir, dan kehilangan hutan ini terutama disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, perkebunan kayu, dan pertambangan, serta oleh pemicu lainnya. Selain hilangnya habitat dan layanan ekosistem utama lainnya, deforestasi dan degradasi telah menyebabkan emisi CO2 rata-rata sebanyak 29 juta MT per tahun.
ERP akan mengatasi deforestasi dengan mengatasi akar masalah tata kelola melalui reformasi kebijakan, dengan melibatkan perusahaan-perusahaan kelapa sawit dan kehutanan, dan dengan melibatkan masyarakat lokal. ERP diharapkan akan menyebabkan pengurangan emisi (kotor) sebanyak 34,9 juta MT CO2e selama periode ERPA lima tahun (2020-2024). Sekitar setengahnya diperkirakan berasal dari pengurangan deforestasi di dalam kawasan-kawasan yang dialokasikan untuk perkebunan.
Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Pengrusakan Hutan (REDD+) merupakan mekanisme insentif pembangunan rendah karbon yang diharapkan dapat mengatasi masalah sosial dan kelestarian lingkungan. Pelaksanaan REDD+ membutuhkan mekanisme pengamanan yang kuat untuk menghindari, dan jika tidak memungkinkan, meminimalkan dan mengkompensasi dampak negatif yang timbul dari pelaksanaannya. Melaksanakan Kerangka Kerja Pengamanan dalam REDD+ merupakan perjanjian global yang dihasilkan melalui Konferensi Para Pihak (COP) selama Konvensi Perubahan Iklim pada tahun 2010.
Pengamanan mencakup berbagai aspek terkait dari manajemen risiko lingkungan dan sosial di bawah Program. Konsep pengamanan REDD+ mencakup berbagai masalah, termasuk transparansi pengelolaan hutan nasional dan daerah, partisipasi inklusif dari berbagai pihak, termasuk kelompok rentan, penghormatan terhadap pengetahuan dan hak-hak Masyarakat Adat dan masyarakat lokal,
1 PCPF dibentuk tahun 2018 sebagai inisiatif multi-lateral yang dikelola oleh Bank Dunia untuk meningkatkan kesiapan REDD+ di negara-negara mitra dan untuk menguji coba mekanisme insentif yang akan meningkatkan pembayaran berbasis hasil REDD+ dalam skala besar (telah mempelopori pendanaan karbon tersebut di tingkat proyek selama lebih dari 10 tahun).
2 Dokumen berikut menunjukkan kemajuan Indonesia secara keseluruhan menuju kesiapan untuk REDD+ xxxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxx/xxx/xxxxx/0000/Xxx/XXXX%00Xxxxxxxxx%00X%00Xxxxxxx%00-
%20Final%20revised%20July%2028%20version.pdf.
konservasi keanekaragaman hayati dan hutan alam, pengalihan emisi dan risiko balik, dan pembagian keuntungan yang adil.
Meskipun ERP tidak memiliki risiko dan dampak yang terkait dengan pengalihan mata pencaharian dan pembatasan akses ke tanah dan hutan bagi masyarakat, terutama masyarakat adat, dokumen RPF dan PF disusun berkenaan dengan kearifan selama melaksanakan program.
Untuk memperkuat manajemen risiko dan dampak yang terkait dengan pemindahan mata pencaharian dan pembatasan akses, yang mungkin disebabkan oleh ketidakakuratan identifikasi dalam proses peningkatan manajemen sumber daya alam, Kerangka Kerja Perencanaan Pemukiman Kembali (RPF) telah disusun sebagai tindakan pencegahan apabila risiko pemukiman kembali dipertimbangkan. RPF juga mencakup Kerangka Kerja Proses (PF) untuk mengatasi risiko pembatasan akses bagi masyarakat yang bergantung pada hutan, termasuk Masyarakat Adat, akibat dari pelaksanaan ERP.
RPF dan PF dikembangkan melalui proses partisipatif yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di Kalimantan Timur termasuk pemerintah pusat dan daerah, universitas, dan LSM. Perhatian utama dari konsultasi tersebut adalah: (1) semua dokumen pengamanan (safeguards) harus menunjukkan kesesuaian dengan dokumen Pengembangan Program Pengurangan emisi (ERPD); (2) potensi dampak lingkungan dan sosial yang mungkin disebabkan oleh proyek harus diidentifikasi secara jelas melalui kajian yang dapat diandalkan dan dimitigasi. Manajemen dampak tersebut harus mematuhi Peraturan Indonesia dan Pengamanan Bank Dunia; (3) Dokumen Mekanisme Penanganan Keluhan (FGRM) dan Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Adat (IPPF) perlu mengakomodasi mekanisme tradisional lokal di samping Peraturan Indonesia dan Pengamanan Bank Dunia. Konsultasi lebih lanjut tentang RPF dan PF akan tetap merupakan proses berulang untuk memastikan partisipasi yang lebih luas dan inklusif dari para pemangku kepentingan sub-nasional, termasuk perwakilan masyarakat, dan pandangan mereka dapat diakomodasikan dalam pengembangan langkah-langkah pengamanan di bawah Program ini.
1.2 URAIAN ERP
Program ER akan mendukung gabungan dari kondisi yang memungkinkan dan promosi praktik manajemen berkelanjutan yang secara langsung akan mengatasi penyebab utama emisi yang dihasilkan dari kegiatan-kegiatan sektoral, termasuk perkebunan kayu, perkebunan, pertanian subsisten, akuakultur, praktik penebangan yang tidak berkelanjutan dan pembangunan infrastruktur. Desain program mempertimbangkan distribusi hutan yang tersisa, ancaman terhadap hutan-hutan tersebut, dan para pemangku kepentingan utama yang terlibat di masing-masing wilayah.
Kegiatan di bawah Program ER dikelompokkan menjadi lima komponen. Komponen 1 dan 2 membahas dua masalah tata kelola lintas sektoral yang diidentifikasi dalam analisis faktor-faktor yang menyebabkan deforestasi: tata kelola tanah yang lemah dan pengawasan dan administrasi hutan yang lemah. Masalah-masalah ini menjadi dasar banyaknya deforestasi terkait dengan masing- masing dari delapan faktor penyebab terdekat. Komponen ini dibangun di atas reformasi signifikan yang sedang berlangsung yang terjadi di tingkat nasional dan di Kalimantan Timur. Perbaikan tata kelola yang diusulkan sangat penting untuk mencapai dampak jangka panjang dan membentuk
bagian penting dari strategi untuk mengelola risiko balik dan untuk menghasilkan hasil yang adil dan
untuk investasi berkelanjutan dengan menciptakan tingkat kompetisi yang lebih setara.
manfaat non-karbon. Komponen ini juga akan berkontribusi untuk meningkatkan kerangka insentif
Komponen 1 secara langsung menangani masalah yang terkait dengan tumpang tindih perizinan dan konflik. Komponen 2 memperkuat kapasitas pemerintah untuk melindungi hutan yang tersisa. Dalam Kawasan Hutan, hal ini akan dicapai dengan memperkuat kapasitas lembaga pengelolaan hutan untuk mengawasi Kawasan Hutan. Di tanah di luar Kawasan Hutan, Program ini akan memperkuat peran desa dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan dan peran lembaga pemerintah dalam administrasi perkebunan.
Komponen 3 berkaitan dengan praktik manajemen perusahaan kelapa sawit dan kehutanan. Program ER akan bekerja dengan aktor-aktor utama untuk mendukung mereka dalam mengadopsi dan menerapkan pendekatan keberlanjutan, berpusat di sekitar kebijakan-kebijakan NKT dan SFM yang baru dikembangkan. Selain itu, komponen tersebut mencakup kegiatan-kegiatan untuk mengatasi penyebab utama kebakaran melalui bantuan teknis kepada perusahaan untuk pencegahan kebakaran dan dukungan untuk Sistem Pemantauan dan Manajemen Kebakaran Berbasis Masyarakat (CBFMMS).
Komponen 4 membahas deforestasi yang terkait dengan perambahan dan pertanian terutama dengan memberikan peluang mata pencaharian alternatif. Komponen ini akan mendukung program perhutanan sosial pemerintah, serta kemitraan di sekitar kawasan konservasi. Komponen ini akan berupaya memberikan peluang mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal, termasuk melalui program-program pembangunan desa, dengan demikian dapat mengatasi penyebab utama perambahan.
Komponen 5 mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan manajemen program, termasuk pemantauan dan evaluasi. Lampiran 4.1. menjelaskan rantai hasil dari tujuan pembangunan proyek dan Lampiran 4.2. menjelaskan ringkasan keseluruhan kegiatan utama dan indikator untuk pelaksanaan Komponen 1 hingga 4.
1.3 TUJUAN KERANGKA KERJA
Dokumen ini berisi dua kerangka kerja utama, Kerangka Kerja Perencanaan Pemukiman Kembali (RPF) dan Kerangka Kerja Proses (PF), yang telah dikembangkan untuk memperkuat langkah- langkah pengamanan saat ini untuk ERP. RPF dan PF berfungsi sebagai tindakan pencegahan untuk mengatasi risiko yang terkait dengan pemukiman kembali dan/atau pembatasan akses setelah pelaksanaan Program ER. Kerangka kerja ini telah dikembangkan untuk memenuhi persyaratan utama di bawah Kebijakan Operasional OP 4.12 Bank Dunia tentang Pemukiman Kembali Secara Paksa dan OP 4.10 tentang Masyarakat Adat, untuk dampak tertentu yang mempengaruhi masyarakat adat. Masing-masing kerangka kerja ini dijabarkan lebih lanjut dalam bagian berikut.
Dokumen RPF dan PF adalah bagian dari Pengamanan dan akan dirujuk silang dengan dokumen- dokumen pengamanan berikut ini:
Kajian Lingkungan dan Sosial Strategis (SESA);
Kerangka Kerja Pengelolaan Lingkungan dan Sosial (ESMF);
Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Adat (IPPF); dan
Mekanisme Penanganan Keluhan (FGRM).
1.3.1 Kerangka Kerja Perencanaan Pemukiman Kembali (RPF):
RPF mensyaratkan bahwa jika risiko pemukiman kembali secara paksa dipertimbangkan atau diperkirakan akan terjadi selama pelaksanaan ERP, setiap orang yang terkena dampak Program ini (selanjutnya disebut OTDP atau Orang yang Terkena Dampak Program) akan diajak bermusyawarah, diberikan kompensasi untuk biaya penggantian dan dibantu dengan langkah-langkah pemulihan untuk membantu mereka meningkatkan atau setidaknya mempertahankan kondisi hidup dan kapasitas untuk mendapatkan penghasilan yang mereka miliki sebelum adanya Program ini. Sekretaris Daerah (SEKDA) Provinsi dan/atau Dinas Kehutanan Provinsi yang berada di bawah pengawasan KLHK (DGCC) perlu memastikan bahwa Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP) untuk sub proyek dan/atau intervensi akan dipersiapkan oleh lembaga/pemerintah yang bertanggung jawab untuk melaksanakan sub-proyek dan/atau intervensi tersebut berdasarkan pedoman yang disediakan dalam dokumen ini untuk memastikan kepatuhan penuh dengan OP 4.12. Ketentuan khusus untuk menanggapi persyaratan kebijakan berdasarkan OP 4.10 tentang Masyarakat Adat perlu dimasukkan ke dalam perencanaan pemukiman kembali apabila Masyarakat Adat akan terkena dampak.
RAP ini mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) no. 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di Kawasan Hutan. Hal ini tentu akan membutuhkan izin dari Kepala Dinas Kehutanan yang mewakili inventaris dan tim verifikasi untuk menyelesaikan penguasaan tanah hutan. Di Area Penggunaan Lain (APL), RAP akan memerlukan izin dari kepala SEKDA (mewakili komite untuk pengadaan tanah kapan pun berlaku) untuk memastikan dikeluarkannya kompensasi yang tepat.
1.3.2 Kerangka Kerja Proses (PF)
Tujuan dari PF adalah untuk membentuk suatu proses di mana masyarakat yang berpotensi terkena dampak oleh pembatasan atas tanah dan sumber daya alam untuk tujuan konservasi dan perlindungan dapat terlibat dalam konsultasi dan negosiasi yang bermakna dan bermanfaat untuk mengidentifikasi dan menerapkan cara-cara untuk mengurangi dampak pembatasan akses. PF ini akan sangat terkait dengan program Pemerintah Indonesia yang sedang berjalan tentang Perhutanan Sosial dan Program Reforma Agraria yang lebih luas, yang diharapkan bermanfaat bagi masyarakat miskin yang tidak memiliki tanah di dan/atau di sekitar kawasan hutan.
PF berkaitan dengan Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Adat (IPPF - Lampiran 8 dokumen ESMF), yang telah dipersiapkan sebagai bagian dari ESMF untuk mengatasi risiko akses yang dapat berdampak pada Masyarakat Adat dan memungkinkan partisipasi mereka dalam pengembangan langkah-langkah mitigasi melalui proses persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior and informed consent). Selain itu, ketentuan-ketentuan terkait pengaturan pembagian manfaat harus dibuat melalui Mekanisme Pembagian Manfaat ERP untuk mengompensasi potensi dampak pembatasan akses tersebut.
Sama seperti RAP tertentu diperlukan sebelum pelaksanaan proyek yang melibatkan pemukiman kembali, demikian juga Rencana Aksi (PoA) yang disetujui Bank atau Rencana Pembangunan berbasis masyarakat yang ditargetkan yang diperlukan pada tahap pelaksanaan setiap kegiatan
Program ini, sebelum memberlakukan pembatasan akses yang dipertimbangkan. PoA/Rencana Pembangunan berbasis masyarakat ini harus menetapkan langkah-langkah khusus untuk membantu orang-orang yang kehilangan akses ke sumber daya alam di dalam taman dan kawasan lindung dan pembatasan penggunaan lahan, serta pengaturan pelaksanaan.
Premis dasar dari RPF dan PF adalah untuk memastikan bahwa setiap risiko yang dapat mengarah pada pemukiman kembali dan/atau pembatasan akses dengan dampak potensial pada pengalihan mata pencaharian terhadap masyarakat yang bergantung pada hutan, termasuk Masyarakat Adat di wilayah yang diwakili ERP dapat diidentifikasi sedini mungkin untuk memungkinkan penghindaran risiko dan dampak dan, jika tidak memungkinkan, tindakan-tindakan minimalisasi dan kompensasi sebagaimana tercantum dalam dokumen ini.
RPF dan PF disusun berdasarkan hasil dari:
Dokumen Program Pengurangan emisi (ERPD);
Kajian Lingkungan dan Sosial Strategis (SESA);
Kebijakan Pemerintah Indonesia (GoI) dan kebijakan pengamanan Bank Dunia tentang Pemukiman Kembali Secara Paksa OP 4.12;
Konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait, yang melibatkan DDPI, Dinas Kehutanan dan Sekretariat Daerah (SEKDA) Provinsi, UNMUL, dan LSM.3
Kajian sosial telah dilakukan selama persiapan ERP melalui Kajian Lingkungan dan Sosial Strategis (SESA). Risiko utama yang relevan dengan kerangka kerja ini disajikan di Bab 2 tentang Kajian Risiko terkait OP 4.12.
ERP akan dilaksanakan berdasarkan program, dan oleh karena itu lokasi yang tepat, sifat risiko dan dampak, dan skala tidak akan diketahui sampai kegiatan khusus di bawah masing-masing komponen dan sub-komponen ERP telah diputuskan selama pelaksanaan ERP. Oleh karena itu, pendekatan kerangka kerja telah diadopsi dan rencana aksi tertentu (misalnya Rencana Aksi Pemukiman Kembali, atau Rencana Aksi Proses) tidak dapat dikembangkan selama persiapan ERP. RPF dan PF menguraikan prinsip dan tujuan, kriteria kelayakan orang-orang yang direlokasi (displaced persons), cara kompensasi dan pemulihan mata pencaharian dan langkah-langkah mitigasi potensi risiko. Kerangka kerja ini menguraikan persyaratan perencanaan dan dokumentasi untuk sub proyek dan/atau intervensi dalam Program.
Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC - merujuk pada Kerangka Kerja Perencanaan Masyarakat Adat di Lampiran 8) akan diminta di antara masyarakat yang berpartisipasi sebelum pelaksanaan kegiatan yang mengarah pada pemukiman kembali secara paksa dan pembatasan akses dan penggunaan lahan. Konsultasi di tingkat desa mencakup topik-topik seperti perencanaan penggunaan lahan desa, dan dasar hukum untuk masyarakat lokal dan Masyarakat Adat sehubungan dengan implikasi Program terhadap akses mereka ke hutan dan penggunaan lahan.
3 Sedang dibahas, dan tidak ada lembaga khusus yang ditunjuk dalam proses ini.
Salah satu pendekatan utama dalam mengelola risiko yang dipertimbangkan dalam OP 4.12 adalah mekanisme perhutanan sosial (misalnya Hutan Desa), yang memungkinkan masyarakat untuk terus dan secara hukum memberikan persetujuan akses ke lahan hutan.
Kerangka Proses mengidentifikasi tipologi risiko berikut yang terkait dengan pembatasan akses dan pembatasan penggunaan lahan:
Pembatasan akses dan penggunaan lahan di sektor perkebunan. Beberapa desa berada di dalam Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK). Meskipun pemukiman kembali tidak diperlukan, pembatasan pada jenis pemanfaatan komoditas kehutanan dan non-kehutanan (seperti karet, ikan), disertai dengan penegakan hukum dapat berdampak pada sumber mata pencaharian yang ada. Perkebunan seperti kelapa sawit dilarang di wilayah ini dan pembatasan tersebut dapat merugikan petani kecil yang memanfaatkan lahan hutan untuk tujuan tersebut;
Batasan akses di wilayah konsesi perkebunan dan pertambangan. Pengelolaan lahan konsesi dapat berimplikasi pada penggunaan dan pendudukan lahan informal yang ada. Wilayah konsesi ini biasanya dijaga oleh personel penegak hukum (disewa oleh perusahaan/pemegang konsesi). Pengelolaan wilayah konsesi dan langkah-langkah penegakan hukum lebih lanjut dapat menyebabkan tingkat batas akses yang bervariasi bagi masyarakat lokal ke wilayah yang mereka tempati dan/atau manfaatkan untuk mata pencaharian; dan
Pembatasan akses di kawasan konservasi hutan. Pembentukan kawasan konservasi dapat membatasi akses masyarakat ke wilayah-wilayah ini dan karenanya dapat berimplikasi pada mata pencaharian, kegiatan keagamaan, dan/atau kegiatan budaya mereka.
Setiap risiko di atas perlu dikaji berdasarkan probabilitas, sifat, dan tingkat keparahannya. PF di Bagian 5.1 akan menguraikan lebih lanjut proses-proses utama dan langkah-langkah manajemen yang diperlukan untuk mengatasi risiko tersebut.
1.4 RUANG LINGKUP
OP 4.12 mengakui dua skenario utama yang mungkin terjadi di bawah ERP, termasuk:
Pemukiman kembali masyarakat yang bergantung pada hutan karena pendudukan dan/atau perambahan di kawasan konservasi utama. Kemungkinan kasus ini sangat kecil karena penyelesaian damai dari kepemilikan hutan sedang diusahakan oleh Pemerintah Indonesia di bawah skema perhutanan sosial dan
Pembatasan akses ke cagar alam dan/atau kawasan lindung lainnya, dan pembatasan akses yang disebabkan oleh sengketa/konflik penguasaan tanah dan sengketa/konflik dengan Perusahaan Perkebunan (kelapa sawit, karet, dll.), pertambangan, dan pembudidaya ikan.
sumbangan tanah sukarela diupayakan, prosedur disediakan di Lampiran A.5.
Proyek ER dapat menggunakan tanah ulayat dan adat, pengaturan atas hal ini akan ditentukan oleh pemerintah desa dan/atau melalui pertemuan adat yang dihadiri oleh semua anggota adat. Jika ada
Persyaratan kebijakan utama berdasarkan OP 4.10 juga berlaku apabila risiko di atas dianggap berpotensi berdampak pada Masyarakat Adat. IPPF telah disusun untuk tujuan ini dan dapat dilihat di Lampiran 9 ESMF.
Mungkin juga ERP dapat memperburuk sengketa dan konflik yang ada tentang sumber daya alam dan hak atas tanah. Dalam hal ini partisipasi masyarakat yang inklusif dan mediasi sengketa harus ditetapkan selama pelaksanaan ERP. Risiko tersebut telah dipertimbangkan berdasarkan OP 4.01 melalui proses SESA dan harus ditangani sebagai bagian dari desain proyek, terutama dalam Komponen 1.2 tentang Penyelesaian Sengketa.
Ruang lingkup masing-masing kerangka kerja dijelaskan sebagai berikut.
Kerangka Kerja Perencanaan Pemukiman Kembali: RPF mencakup dampak ekonomi dan sosial langsung yang disebabkan oleh sub-proyek dan/atau investasi dalam ERP, khususnya yang terkait dengan pemukiman kembali secara paksa dari masyarakat atau masyarakat yang bergantung pada hutan tanpa tuntutan hukum yang dapat diakui atas lahan hutan yang diduduki. Risiko tersebut sangat kecil. Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memastikan penyelesaian konflik secara damai dan mencari penyelesaian konflik penguasaan tanah melalui skema hutan sosial untuk memungkinkan masyarakat yang bergantung pada hutan untuk mengakses lahan hutan. Mungkin ada beberapa risiko residual setelah penyelesaian sengketa penguasaan tanah, yang dapat menanggalkan klaim seseorang atas tanah negara.
RPF berlaku untuk semua sub proyek dan / atau intervensi di bawah ERP yang mengakibatkan pemukiman kembali secara paksa, terlepas dari sumber pembiayaan. Kerangka kerja ini juga berlaku untuk kegiatan-kegiatan lain yang mengakibatkan pemukiman kembali secara paksa yang dinilai sebagai:
RPF berlaku untuk semua sub proyek dan/atau intervensi di bawah ERP yang mengakibatkan pemukiman kembali secara paksa, terlepas dari sumber pembiayaan. Kerangka kerja ini juga berlaku untuk kegiatan-kegiatan lain yang mengakibatkan pemukiman kembali secara paksa yang dinilai sebagai:
Berhubungan secara langsung dan signifikan dengan ERP;
Diperlukan untuk mencapai tujuan ERP sebagaimana dinyatakan dalam ERPD; dan
Dilaksanakan, atau direncanakan akan dilaksanakan, bersamaan dengan ERP.
Kerangka Kerja Proses: PF mensyaratkan bahwa jika ERP melibatkan pembatasan akses secara paksa ke cagar alam, kawasan lindung dan penggunaan lahan. Sifat pembatasan serta jenis tindakan yang diperlukan untuk memitigasi dampak negatif, harus ditentukan dengan partisipasi orang-orang yang direlokasi selama perancangan dan pelaksanaan Program. RPF menjelaskan proses partisipatif yang dengannya:
Komponen dan/atau kegiatan khusus akan dipersiapkan dan dilaksanakan;
Kriteria untuk kelayakan orang yang direlokasi dan/atau terkena dampak akan ditentukan;
Langkah-langkah untuk membantu orang-orang yang direlokasi dalam upaya mereka untuk meningkatkan mata pencaharian mereka, atau setidaknya untuk memulihkan mereka, secara nyata, sementara mempertahankan keberlanjutan intervensi, akan diidentifikasi; dan
Potensi konflik yang melibatkan orang yang direlokasi/terkena dampak akan diselesaikan.
Potensi pemindahan dampak yang serupa dengan orang-orang yang direlokasi/terdampak di wilayah tujuan yang baru dihindari.
RPF dan PF menguraikan pengaturan untuk melaksanakan dan memantau pelaksanaan rencana aksi yang perlu dipertimbangkan dalam kerangka kerja ini.
Untuk mencapai tujuan OP 4.12, perhatian khusus harus diberikan pada kebutuhan kelompok rentan di antara mereka yang direlokasi, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, yang tidak memiliki tanah, orang tua, perempuan dan anak-anak, Masyarakat Adat, etnis minoritas atau orang-orang yang direlokasi lainnya yang mungkin tidak dilindungi melalui undang-undang kompensasi tanah nasional.
Ada potensi kebutuhan untuk kegiatan fisik skala kecil, seperti pembibitan, atau fasilitas pemrosesan pasca-panen untuk HHBK, pelaksanaan kegiatan tersebut akan diprioritaskan di tanah ulayat yang dimiliki oleh desa dan kelompok adat. Pengaturan penggunaan lahan tersebut akan dilaksanakan melalui mekanisme berikut:
1.5 KATEGORISASI ORANG YANG TERKENA DAMPAK PROGRAM (OTDP)
Orang-orang yang terkena dampak program (OTDP) mencakup semua kategori orang yang mungkin terkena dampak relokasi secara paksa dan pembatasan akses sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan-kegiatan di bawah ERP. Kategori OTDP meliputi individu, rumah tangga, kelompok, dan masyarakat yang memiliki sertifikat kepemilikan tanah dan hak-hak hukum lainnya yang diakui atas tanah yang terkena dampak Program, serta individu, rumah tangga, kelompok, dan masyarakat lain yang saat ini menggunakan tanah atau hasil tanah tanpa memegang hak-hak hukum. Orang-orang yang tinggal di hutan lindung dan/atau hutan konservasi dianggap sebagai OTDP di bawah Program meskipun mereka mungkin dianggap penghuni ilegal dan/atau perambah. Hal ini sejalan dengan kategorisasi orang-orang yang direlokasi yang ditentukan dalam OP 4.12, khususnya di bawah kategori khusus poin b dan c (yaitu mereka yang tidak memiliki hak tanah formal atau klaim yang
dapat diakui atas tanah yang mereka duduki - lihat Bagian 3.2.2).
Lebih lanjut, OTDP adalah mereka yang mungkin merupakan:
Rumah tangga atau individu yang merupakan penduduk lokal di masyarakat dalam wilayah
tanah tersebut sedang ditanami;
yang diwakili ERP dan yang saat ini bertani, tinggal atau menggunakan lahan yang dianggap penting untuk tujuan konservasi dan perlindungan. Yang mencakup rumah tangga yang mempraktikkan budidaya menetap serta pertanian ladang atau pertanian rotasi, bahkan jika
Rumah tangga atau individu yang merupakan penduduk lokal di masyarakat dalam wilayah yang diwakili ERP yang saat ini mengelola hutan tanaman di mana hutan tersebut akan dinyatakan sebagai kawasan konservasi dan/atau kawasan perlindungan atau di mana akan
ada pembatasan penggunaan area tersebut (misalnya, tidak ada kegiatan pembalakan);
Individu dan/atau masyarakat yang tinggal di, atau dekat dengan, hutan konservasi dan/atau hutan lindung yang telah dipilih untuk ditempatkan di bawah manajemen yang diperkuat; dan
Individu dan/atau masyarakat yang memiliki atau menggunakan tanah pedesaan dan
diklasifikasikan sebagai kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT).
perkotaan (di luar Kawasan Hutan) yang sebagai akibat dari kegiatan ERP menghadapi pembatasan penggunaan dan pemanfaatan lahan dan sumber daya alam yang
Mereka yang bukan pemilik tanah atau properti yang terkena dampak tetapi mereka tinggal
atau menggunakan lahan secara informal dengan atau tanpa izin pemilik).
atau mata pencaharian mereka secara langsung bergantung pada, tanah atau properti yang terkena dampak (misalnya, penghuni liar, penyewa, mereka yang mendapatkan upah dari bekerja di lahan pertanian yang terkena dampak atau bekerja di usaha yang terkena dampak,
Kategori individu dan entitas berikut tidak didefinisikan sebagai OTDP berdasarkan RPF dan PF:
Perusahaan kehutanan negara yang jurisdiksinya dipilih untuk manajemen yang lebih kuat di bawah Program;
Perusahaan pertambangan yang statusnya tidak “bersih dan jelas” dan yang dikenakan pencabutan izin.
Dampak terhadap mata pencaharian terkait dengan pencabutan izin pertambangan (komponen 1.1. meningkatkan proses perizinan lahan hutan untuk perusahaan swasta (perizinan), sub-komponen
1.1.1. mencabut izin yang tumpang tindih, tidak bersih dan tidak jelas serta memberlakukan moratorium perizinan) akan ditangani melalui program pembangunan ekonomi masyarakat untuk menggantikan hilangnya mata pencaharian yang disebabkan oleh pembatasan sumber daya hutan karena penguatan batas untuk sektor swasta. Mungkin termasuk program pemerintah yang ruang lingkupnya berada di luar RPF dan PF:
1.6 ASAS DAN TUJUAN
Asas-asas yang dijabarkan dalam Kebijakan Operasional Bank Dunia 4.12 telah dimasukkan dalam pengembangan RPF dan PF ini. Asas-asas berikut akan berlaku:
Segala bentuk relokasi individu, rumah tangga, masyarakat dan kelompok akan dihindari sejauh mungkin. Pendekatan utama yang diusulkan meliputi:
o Untuk menghindari pemukiman kembali dan meminimalkan risiko pembatasan akses, ERP akan berupaya memfasilitasi inisiatif kehutanan sosial (di bawah sub-komponen 5.1.1) melalui proses partisipatif dengan masyarakat yang bergantung pada hutan. Perhutanan sosial diharapkan dapat memberikan keamanan penguasaan tanah dan akses berkelanjutan ke tanah dan sumber daya alam;
o Pertukaran tanah akan dilakukan jika kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan telah dikendalikan dan dikelola sebagai pemukiman, fasilitas umum/fasilitas sosial.
o Relokasi tanah pertanian dan/atau pemukiman untuk tujuan konservasi dan perlindungan akan dilakukan melalui proses damai berdasarkan kesepakatan bersama. RPF dan PF akan menguraikan langkah-langkah utama yang disyaratkan dalam OP 4.12; dan
o ERP berupaya untuk mengadopsi pendekatan partisipatif untuk melibatkan masyarakat yang bergantung pada hutan sebagai mitra penting untuk peningkatan manajemen hutan.
Semua alternatif untuk dihindari jika memungkinkan atau setidaknya meminimalkan pemukiman kembali akan dieksplorasi. Apabila pemukiman kembali tidak dapat dihindarkan, semua OTDP akan dikompensasi dengan menggunakan biaya penggantian yang menilai tanah menggunakan harga pasar ditambah biaya transaksi dan tidak ada penyusutan aset.
OTDP akan dibantu dalam upaya-upaya mereka untuk memulihkan mata pencaharian mereka dan diberikan langkah-langkah rehabilitasi untuk membantu mereka meningkatkan standar hidupnya, atau setidaknya memulihkan, secara nyata, standar kehidupan mereka ke tingkat pra-pemindahan atau ke tingkat sebelum awal pelaksanaan program, yang mana yang lebih tinggi.
RAP akan dikembangkan melalui proses konsultatif dengan OTDP dan akan diungkapkan kepada publik. FGRM yang berfungsi penuh akan didirikan di bawah ERP untuk memastikan bahwa masalah utama dan umpan balik dapat diidentifikasi sedini mungkin untuk memungkinkan langkah-langkah mitigasi yang responsif.
Kelompok rentan akan diidentifikasi, dan perhatian khusus akan diberikan kepada kelompok- kelompok ini selama pelaksanaan ERP. Segala risiko yang dipertimbangkan dalam RPF dan PF, yang dapat berdampak pada Masyarakat Adat, dan masyarakat Adat harus sesuai dengan IPPF (lihat IPPF - Lampiran 9 ESMF).
Segala tindakan yang menghasilkan dampak pemukiman kembali atau pembatasan akses
Dunia.
tidak akan dilakukan sampai kriteria kesiapan tertentu dipenuhi sepenuhnya. Termasuk konsultasi dan informasi yang cukup untuk masyarakat/individu sasaran, anggaran yang cukup untuk membiayai kompensasi transisional dan dukungan untuk langkah-langkah pemulihan mata pencaharian jangka panjang, waktu yang cukup untuk transisi di antara masyarakat/individu sasaran, peran dan tanggung jawab yang jelas di antara lembaga-
lembaga terkait, dan disetujui RAP dan PoA, dengan Tidak Adanya Keberatan dari Bank
Jika orang harus pindah ke lokasi lain karena pelaksanaan kegiatan Program, lembaga yang bertanggung jawab harus:
Menawarkan pilihan kepada orang-orang yang direlokasi di antara pilihan-pilihan pemukiman kembali yang layak, termasuk perumahan pengganti yang memadai atau kompensasi tunai jika diperlukan; dan
Memberikan bantuan relokasi yang sesuai dengan kebutuhan masing-masing kelompok
transaksi dan aset dengan biaya tanpa depresiasi.
orang yang direlokasi, dengan perhatian khusus yang diberikan pada kebutuhan orang miskin dan rentan. Perumahan alternatif dan/atau kompensasi tunai akan disediakan sebelum relokasi. Tempat pemukiman baru yang dibangun untuk orang yang direlokasi akan menawarkan kondisi kehidupan yang lebih baik. Dalam kasus orang yang direlokasi secara fisik dengan hak yang diakui atau dapat diakui, proyek akan menawarkan pilihan properti pengganti yang bernilai sama atau lebih tinggi, karakteristik dan keunggulan lokasi yang setara atau lebih baik, atau kompensasi tunai dengan nilai penggantian penuh, sesuai
dengan OP 4.12 . Kompensasi adalah untuk nilai tanah dengan harga pasar ditambah biaya
Apabila kegiatan ERP menyebabkan dampak perpindahan mata pencaharian karena kebutuhan untuk membatasi akses ke tanah dan sumber daya alam dan/atau relokasi, asas-asas berikut ini berlaku:
Memberikan bantuan yang ditargetkan (misalnya fasilitas kredit, pelatihan, atau peluang kerja) dan peluang untuk meningkatkan atau setidaknya mengembalikan kapasitas penghasilan pendapatan, tingkat produksi, dan standar hidup bagi orang-orang yang direlokasi secara ekonomi yang mata pencaharian atau tingkat pendapatannya terkena dampak buruk;
Memberikan dukungan transisional kepada orang-orang yang direlokasi secara ekonomi, jika perlu, berdasarkan perkiraan waktu yang diperlukan untuk memulihkan kapasitas penghasilan pendapatan, tingkat produksi, dan standar kehidupan mereka;
Setiap pembatasan akses dan manajemen dampak harus dilakukan melalui proses konsultasi dan konsensus.
Semua rencana aksi, termasuk RAP, PoA, dan Rencana Pembangunan berbasis masyarakat harus ditinjau dan diselesaikan oleh SEKDA Provinsi, KLHK, dan Bank Dunia. Pelaksanaan dari rencana tersebut akan diawasi oleh lembaga pelaksana terkait di bawah koordinasi teknis oleh SEKDA Provinsi. Apabila RAP diperlukan, SEKDA dapat melibatkan badan pemantau independen untuk mengawasi pelaksanaan rencana.
1.7 PENGUNGKAPAN DAN KONSULTASI
Rencana konsultasi ERP dirumuskan agar mencakup hal-hal berikut:
Keterlibatan awal dengan Pemerintah Provinsi di Kalimantan Timur. Hal ini terutama untuk membahas potensi perkebunan yang berkelanjutan (kelapa sawit), dan komitmen provinsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (rencana aksi provinsi untuk pengurangan emisi);
Persiapan untuk ERP yang mencakup konsultasi dalam fase kesiapan untuk mengembangkan Program Idea Note (PIN);
Pengenalan Xxxx Xxxxxx, dan pengembangan Dokumen Program ER (setelah menerima PIN);
Penilaian diri pada akhir fase kesiapan;
Konsultasi mengenai persiapan SESA, ESMF (IPPF, RPF, dan PF) dan FGRM;
Konsultasi mengenai hasil SESA, ESMF (IPPF, RPF, dan PF) dan FGRM (masalah utama di tingkat provinsi);
Konsultasi mengenai hasil SESA, ESMF (IPPF, RPF, dan PF) dan FGRM (verifikasi masalah- masalah utama di tingkat kabupaten); dan
Uji coba FPIC (konsultasi dengan masyarakat sasaran (topik tentang ERPD dan Pengamanan) berdasarkan pengambilan sampel.
Lampiran A.2 dari laporan SESA:
Konsultasi mengenai hasil SESA, ESMF (IPPF, RPF, dan PF) dan FGRM dilakukan di tingkat provinsi antara bulan Oktober 2018 dan Mei 2019 di Samarinda dan Balikpapan. Konsultasi ini dihadiri oleh berbagai pihak termasuk: Pemerintah, LSM, akademisi dan pemangku kepentingan terkait lainnya. Inti dari konsultasi ini dirangkum sebagai berikut dan dokumentasi konsultasi lengkap dapat dilihat di
Program ER merupakan upaya kolektif Pemerintah Indonesia untuk melindungi hutan Indonesia dan melindungi perubahan iklim dengan berkontribusi pada NDC;
Program ER mengadopsi berbagai perjanjian internasional seperti perjanjian Cancun dan Warsawa;
Program ER bertujuan untuk mengurangi emisi sebesar 18,4% dan manfaat yang diharapkan
pengelolaan sumber daya alam;
tidak hanya terbatas pada manfaat karbon tetapi juga aspek keberlanjutan lainnya dari
Program ER perlu menyiapkan berbagai pedoman peraturan dan operasional yang berlaku untuk pengamanan untuk membahas kebijakan pengamanan (safeguards) Bank Dunia;
Masukan lain dari para pemangku kepentingan termasuk:
o Proyek ERP diharapkan dapat mengidentifikasi keberadaan serta ukuran kawasan yang diklaim dan/atau dimiliki oleh Masyarakat Adat;
o Kriteria untuk identifikasi Masyarakat Adat sebagaimana tercantum dalam OP
khususnya yang berkaitan dengan penerapan IPPF;
4.10 sedikit berbeda dari peraturan Indonesia tentang Masyarakat Hukum Adat di mana pengakuan hukum dari pemerintah diakui sebelum hak-hak selanjutnya dapat diberikan. Oleh karena itu, beberapa konsensus akan diperlukan,
o Penyelesaian masalah, termasuk penyelesaian sengketa dapat mencakup
dan masalah tersebut; dan
mekanisme tradisional/lokal, tergantung pada tipologi dan kompleksitas sengketa
o Sehubungan dengan hal di atas, FGRM harus mengakomodasi mekanisme lokal/tradisional untuk menyelesaikan konflik/sengketa.
Untuk memastikan aksesibilitas dan partisipasi yang lebih inklusif, konsultasi lebih lanjut dari RPF dan PF akan tetap menjadi proses berulang selama pelaksanaan ERP.
Selama pelaksanaan ERP, informasi terkait dalam instrumen dan rencana aksi yang diperlukan, termasuk RAP atau PoA, akan diberikan dalam bentuk yang dapat diakses oleh pihak-pihak yang berpotensi terkena dampak. Metode dan pendekatan untuk konsultasi akan tetap sederhana, dapat diakses dan ramah pengguna, dengan kemungkinan penggunaan media lokal. Di tingkat lokasi, konsultasi terpisah akan berupaya untuk memfasilitasi partisipasi perempuan atau remaja dan mempertimbangkan ketersediaan, preferensi fasilitasi serta cara penyampaiannya.
RPF dan PF final dan yang dikonsultasikan akan diungkapkan di situs web Bank Dunia dan KLHK sebelum kajian program. Rencana aksi dan instrumen lain yang relevan dalam kerangka kerja ini akan diungkapkan dan disediakan bagi masyarakat dan individu yang berpotensi terkena dampak
sebelum konsultasi publik, dan versi final akan diungkapkan sebelum dimulainya kegiatan.
2.0 KAJIAN RISIKO
Kajian risiko Proyek terkait dengan Bagian 14.1.2.2 dari dokumen ERPD yang akan menggambarkan potensi risiko dan dampak lingkungan dan sosial, sebagai berikut:
2.1 GAMBARAN UMUM
RPF dan PF telah dipersiapkan untuk mengelola potensi risiko jika terjadi selama pelaksanaan ERP dan untuk memastikan konsistensi Program dengan OP 4.12 Bank Dunia tentang Pemukiman Kembali Secara Paksa serta dengan undang-undang dan peraturan Pemerintah Indonesia yang berlaku.
Total wilayah Provinsi Kalimantan Timur adalah 12.747.924 hektar, dimana 6.408.998 hektar (54%) masih ditutupi oleh hutan alam. Fungsi hutan di Kalimantan Timur dapat dikategorikan sebagai hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi terbatas, hutan produksi, dan hutan produksi yang dapat dikonversi (kawasan yang dapat dikonversi untuk penggunaan non-kehutanan). Lahan di luar kawasan hutan diklasifikasikan sebagai Area Penggunaan Lain (APL) - lihat Tabel 1. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertanggung jawab atas pengelolaan kawasan hutan, sedangkan Kementerian Agraria/Badan Pertanahan bertanggung jawab atas pengelolaan APL.
Sebagian besar hutan alam di provinsi ini ada di dalam kawasan hutan yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang beroperasi baik di dalam hutan produksi (KPHP) dan hutan lindung (KPHL). Sekitar 952.000 hektar berada di luar batas KPH dan sebagian besar dialokasikan untuk area penggunaan lain (APL). Kawasan konservasi memiliki unit manajemen yang mapan yang didukung oleh pemerintah pusat untuk secara ketat melindungi hutan alam yang tersisa.
Gambar 1 Jenis tanah berdasarkan fungsinya di Kalimantan Timur (Keputusan KLHK No.278/2017).
Tabel 1 Kawasan Hutan dan Kawasan Non-Hutan di Provinsi Kalimantan Timur (2017)
Rencana tata ruang | Kawasan Hutan | Kawasan Non-Total | Sub total |
Kawasan Hutan | 5.765.861,55 | 2.645.818,68 | 8.411.680,23 |
Xxxxx xxxxxxx | 1.752.238,32 | 105.415,40 | 1.857.653,72 |
Hutan produksi terbatas | 2.505.731,86 | 427.996,97 | 2.933.728,83 |
Hutan produksi | 1.304.720,72 | 1.752.485,49 | 3.057.206,22 |
Hutan konservasi | 155.762,41 | 285.987,99 | 441.750,39 |
Hutan produksi yang dapat dikonversi | 47.408,25 | 73.932,83 | 121.341,07 |
Kawasan Non-Hutan | 818.017,30 | 3.514.161,82 | 4.332.179,13 |
Kawasan Non-Hutan - Perkebunan | 669.304,67 | 2.624.868,65 | 3.294.173,32 |
Kawasan Non-Hutan – Lainnya | 148.712,63 | 889.293,18 | 1.038.005,81 |
KALIMANTAN TIMUR | 6.583.878,86 | 6.159.980,00 | 00.000.000,36 |
Di dalam zona penggunaan lahan hutan dan APL di atas, izin dan konsesi telah dialokasikan untuk penebangan selektif, perhutanan sosial, restorasi ekosistem, pertambangan, perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri. Pemegang izin bertanggung jawab untuk mengelola kawasan konsesi mereka, termasuk melindungi hutan alam yang tersisa dan kawasan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) yang masih ada di dalam konsesi mereka. Total kawasan hutan alam yang tersisa dalam konsesi diperkirakan empat juta hektar.
Tabel 2 Konsesi di Kalimantan Timur
No | Jenis Konsesi | Unit | Hutan yang tersisa pada 2016 (ha) |
1 | Penebangan (IUPHHK-HA) | 64 | 2.834.807 |
2 | Perkebunan Kayu (IUPHHK-HTI) | 42 | 325.416 |
3 | Perkebunan | 373 | 467.721 |
4 | Pertambangan | 1434 | 299.340* |
5 | Restorasi Ekosistem | 2 | 170.381 |
6 | Perhutanan sosial | 38 | 58.127 |
Catatan: * ukuran hutan yang tersisa untuk pertambangan berlisensi Clean and Clear (CnC)
Analisis tutupan lahan Kalimantan Timur menunjukkan penurunan kawasan hutan seluas 700.280 ha antara tahun 2006 dan 2016, yang setara dengan kehilangan hutan tahunan rata-rata 70.028 ha. Degradasi hutan primer menjadi hutan sekunder terjadi pada 71.672 ha pada periode yang sama.
Kajian ERPD dari pendorong dan penyebab utama deforestasi dan degradasi hutan menunjukkan bahwa ada tujuh pendorong utama yang diidentifikasi. Pendorong ini, diperingkat menurut skala relatif, meliputi: (1) hutan tanaman; (2) perkebunan; (3) penambangan; (4) pertanian subsisten; (5) kebakaran hutan dan lahan; dan (6) akuakultur. Oleh karena itu, analisis yang disajikan dalam RPF dan PF ini berlabuh dengan potensi implikasi untuk tindakan yang diusulkan untuk mengatasi
pendorong ini. Ruang lingkup analisis disajikan di Bab 1 dan tidak termasuk potensi dampak pada sektor swasta serta perusahaan milik negara akibat dari peningkatan pengelolaan hutan.
2.2 KAJIAN PENGUASAAN TANAH
Kurangnya hak-hak yang diakui secara jelas dan formal atas kawasan hutan adat telah menyebabkan tumpang tindihnya izin penggunaan lahan komersial dengan tanah adat, yang seringkali mengakibatkan konflik atau perampasan, atau keduanya. Badan Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK mencantumkan tiga sengketa yang sedang berlangsung antara masyarakat lokal dan perusahaan di Kalimantan Timur. Namun jumlah ini tidak menangkap skala hak-hak atas tanah yang tumpang tindih.
Penggunaan lahan Provinsi Kalimantan Timur telah diformalkan dalam Peraturan Daerah (PERDA) No.1/2016 tentang Rencana Tata Ruang Kalimantan Timur Tahun 2016-2036. Berdasarkan peraturan, total wilayah Kalimantan Timur adalah seluas 16.732.065 ha yang terdiri dari daratan dengan total wilayah seluas 12.875.992 ha dan laut dengan total wilayah seluas 3.856.073 ha. Rencana tata ruang menunjukkan bahwa total kawasan hutan (hutan konservasi-produksi, hutan produksi terbatas, hutan produksi, hutan lindung, dan konservasi cagar alam/konservasi alam) mencakup sekitar 50% dari semua kawasan, sementara kawasan perkebunan mencakup sekitar 19,5% dan kawasan pemukiman mencakup 2,4% di mana sengketa/konflik penguasaan tanah terjadi dalam masyarakat Adat, pemerintah dan Perusahaan Perkebunan.
Tabel 3 Kawasan Kalimantan Timur berdasarkan PERDA No.1/2016.
Penggunaan Lahan | Total (ha) |
Hutan Konservasi | 120.438 |
Hutan Produksi Terbatas | 2.908.255 |
Hutan Produksi | 3.027.100 |
Hutan Lindung | 1.844.970 |
Kawasan Industri | 32.887 |
Objek Wisata | 238.723 |
Area Memancing | 91.549 |
Kawasan Cagar Alam/ Konservasi Alam | 438.390 |
Laut (12 Mil) | 3.811.142 |
Konservasi Laut | 44.931 |
Perkebunan | 3.269.561 |
Pemukiman | 396.266 |
Tanaman Pangan dan Hortikultura | 412.096 |
Perairan | 95.756 |
Jumlah Keseluruhan | 16.732.065 |
Sumber: Peraturan Daerah Provinsi No. 1/2016
Berdasarkan penetapan kawasan hutan yang diformalkan dengan Surat Keputusan (SK) Kementerian Kehutanan No. 718/2014 tentang kawasan hutan di Kalimantan Timur, kawasan hutan tersebut diberi izin untuk mengelola (Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu [IUPHHK]) pembalakan (Hutan Alam [HA]) atau hutan tanaman (HT).
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Provinsi, alokasi kawasan Kelapa Sawit di Kalimantan Timur adalah 3.269.561 ha, dan, berdasarkan Statistik Minyak Sawit 2015 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, kawasan yang telah diberi izin hanya 849.609 ha atau sekitar 25,98% dari total alokasi perkebunan4. Sehingga, akan ada lebih banyak kawasan konsesi Kelapa Sawit di Kalimantan Timur sampai bertahun-tahun berikutnya dalam hal pemenuhan alokasi perkebunan dalam rencana tata ruang.
Pengakuan formal atas tanah adat di Kalimantan Timur ditetapkan oleh tim Komite Adat dan diatur berdasarkan Xxxaturan Gubernur No. 1/2015. Saat ini, ada 4 masyarakat Adat yang telah memperoleh pengakuan hukum atas keberadaan mereka dan menerima hak-hak tanah Adat. Masyarakat adat tersebut adalah Hemaq Beniung, Kekau, dan Hemaq Pasoq di Kabupaten Kutai Barat (Peraturan Kabupaten Kutai Barat No 9/2014, dan Mului di Kabupaten Paser melalui penerbitan Surat Keputusan No SK.413.3/2018).
Pemerintah telah memulai beberapa langkah untuk mengatasi sengketa terkait kepemilikan tanah. Tonggak sejarah nasional meliputi pengembangan pengadilan agraria khusus untuk menyelesaikan sengketa terkait penguasaan tanah, dan penerbitan Keputusan Presiden No. 88/2017 tentang penyelesaian sengketa penguasaan hutan. Di Kalimantan Timur ada banyak pengalaman dalam menyelesaikan konflik melalui konsiliasi, mediasi, dan arbitrasi. Selain itu, Dinas Kehutanan Provinsi telah membentuk Desk Resolusi Konflik Hutan, dan Dinas Perkebunan Provinsi telah mengembangkan Tim Terpadu untuk menyelesaikan konflik perkebunan.
Masyarakat setempat di Kalimantan Timur mengelola lahan untuk pemukiman, penanaman, dan untuk fasilitas sosial dan ibadah. Tata guna lahan lokal meliputi pengumpulan produk hutan non-kayu seperti resin damar dan rotan dan berbagai bentuk sistem wanatani. Sistem penggunaan lahan tersebut dapat melestarikan fungsi hutan yang penting, termasuk keanekaragaman hayati dan penyerapan gas rumah kaca (van Noordwijk et al. 2012, Tata et al. 2008). Kawasan-kawasan yang penting secara budaya juga mencakup kawasan pemakaman, mata air, dan teritorial leluhur.
Jenis klaim kepemilikan tanah tergantung pada riwayat masing-masing kelompok masyarakat. Masyarakat umumnya memperoleh kepemilikan tanah secara lisan, dengan bukti fisik atau tertulis. Pengakuan verbal adalah pengakuan kepemilikan kelompok masyarakat dan/atau kontrol atas tanah. Secara umum, pengetahuan dimiliki oleh Lembaga Tradisional (Adat), dan sebagian dimiliki oleh Perangkat Desa. Bukti fisik yang diakui dapat berupa kebun buah (memiliki berbagai nama lokal, seperti Lembo, Rondong/Kutai, Munaant/Tunjung, Simpukng/Benuaq) atau bukti sebelumnya yang digunakan dalam bentuk lain. Dokumen yang telah digunakan sebagai bukti kepemilikan meliputi: Sertifikat Tanah dari Kepala Desa, Surat Pernyataan Pelepasan Hak atas Tanah dari Camat atau Notaris, dan sertifikat tanah secara individu atau komunal atas kepemilikan tanah.
2.3 ANALISIS RISIKO
pelaksanaan Program.
Kegiatan utama Program ER sebagian besar berfokus pada bantuan teknis, reformasi kebijakan, peningkatan penegakan hukum, dan penyelesaian penguasaan tanah hutan. Risiko pemukiman kembali dianggap berada di tingkat hilir dan memerlukan kajian dan pemantauan lebih lanjut selama
4 Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Statistik Minyak Sawit tahun 2015 – 2017.
Risiko pemukiman kembali yang terkait langsung dengan kegiatan program dianggap kecil kemungkinannya. Program ini tidak memerlukan pengadaan tanah. Dengan rancangan dan peraturan Program, Pemerintah akan mengadopsi resolusi konflik secara damai dan berupaya mendukung resolusi konflik penguasaan tanah melalui pembangunan kapasitas kelembagaan, pengembangan regulasi dan skema hutan sosial untuk memungkinkan masyarakat yang bergantung pada hutan mengakses lahan hutan. Risiko residual setelah penyelesaian sengketa penguasaan tanah seperti penolakan klaim seseorang atas tanah negara saat ini tidak dipertimbangkan dalam operasi, namun
risiko tersebut akan membutuhkan pemantauan ketat oleh PMU sebagaimana dirinci dalam ESMF.
Berkelanjutan bagi Masyarakat).
Risiko pembatasan akses yang diakibatkan oleh zonasi hutan, penentuan blok pemanfaatan hutan dan/atau pemukiman penguasaan hutan, konservasi NKT dipertimbangkan dalam ERP. Pemetaan partisipatif akan diadopsi untuk memungkinkan konsensus masyarakat dan proses pengambilan keputusan kolektif. Dukungan untuk mata pencaharian alternatif bagi masyarakat setempat juga akan diberikan sebagai bagian dari kegiatan proyek (di bawah Komponen 4 tentang Penghidupan Alternatif
Mungkin juga ada potensi masalah warisan, khususnya yang terkait dengan penggunaan lahan dan konflik sumber daya alam karena praktik perizinan sebelumnya di mana Program akan beroperasi. setiap tindakan di kawasan yang mempunyai masalah warisan yang kompleks dengan potensi risiko sosial yang tinggi tidak akan dilakukan sampai kondisi atau kriteria kesiapan tertentu, yaitu kerangka kerja hukum, meditasi, dan kapasitas kelembagaan, konsensus kelembagaan, dll. tersedia.
Sekitar setengah dari penduduk Kalimantan Timur tinggal di daerah pedesaan dan banyak orang mempraktikkan bentuk pertanian ladang tradisionalnya. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan pergeseran budaya untuk mengadopsi praktik pertanian yang tidak berkelanjutan mengakibatkan situasi ketika bentuk pertanian ini, dalam beberapa kasus, menjadi tidak berkelanjutan dan juga mengarah pada deforestasi dan degradasi hutan. Perambahan juga diperburuk dengan penetapan batas zona hutan yang lebih jelas. Selain itu, kurangnya pilihan mata pencaharian alternatif dan hak atas tanah yang tidak memadai seringkali menjadi insentif untuk perambahan.
Ada kurangnya data kuantitatif tentang dampak perambahan pada hutan, namun, perambahan oleh petani kecil umumnya diyakini memiliki dampak kecil pada deforestasi di Indonesia, setidaknya dibandingkan dengan pembukaan hutan skala besar yang terkait dengan perluasan perkebunan skala industri. Tetapi di tingkat lokal, ada bukti bahwa pembukaan hutan skala kecil dapat memiliki dampak signifikan terhadap deforestasi, karena pentingnya tanaman tertentu secara regional. Analisis tutupan lahan menunjukkan bahwa pengembangan pertanian dilakukan pada lahan seluas
44.393 ha dari kawasan hutan gundul (6% dari total lahan).
Pemanfaatan hutan bakau oleh masyarakat juga diidentifikasi sebagai salah satu pendorong utama. Hutan bakau dapat ditemukan di sepanjang garis pantai Kalimantan Timur dan delta yang luas. Kawasan-kawasan ini memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat penting dan berfungsi sebagai penyerap karbon yang penting. Berdasarkan analisis spasial, total luas hutan bakau mencakup sekitar 170.000 ha pada tahun 2017, yang merupakan penurunan hampir 7% dari luasnya pada tahun 2006. Konversi ke kolam ikan dan udang dianggap sebagai penyebab terbesar degradasi dan penurunan hutan bakau (mangrove). Penyebab lain mencakup konversi ke pertanian, pengembangan kawasan industri dan perkotaan, dan penebangan kayu dan arang. Perubahan yang tercatat di kawasan hutan bakau selama periode itu adalah seluas 12.000 ha, yang cukup kecil dibandingkan dengan kehilangan hutan secara keseluruhan. Namun, konsultasi dengan para pemangku kepentingan setempat telah mengindikasikan bahwa sebagian besar kawasan hutan
bakau yang tersisa berada di bawah ancaman dari ekspansi budidaya perairan (akuakultur). Ada beberapa upaya konservasi untuk hutan bakau di Kalimantan Timur, dan hanya beberapa kawasan hutan bakau yang tergabung dalam kawasan yang dilindungi secara hukum. Akibatnya, area luas hutan bakau rentan terhadap dampak manusia.
Perambahan yang kian meningkat, dikombinasikan dengan praktik pengelolaan alam yang tidak berkelanjutan, seperti dijelaskan di atas, telah disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa yang paling relevan dirangkum sebagai berikut:
a. Pengawasan dan pengelolaan hutan yang tidak efektif. Kekurangan penting dalam kerangka tata kelola hutan Indonesia adalah lemahnya kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola lahan. Akibat langsung dari hal ini adalah tingginya tingkat pembalakan liar dan deforestasi yang terkait dengan manajemen konsesi yang buruk dan penebangan berlebihan. Kapasitas pemerintah untuk merencanakan, memantau, dan mengelola kegiatan di bidang kehutanan sangat penting untuk menerjemahkan pengembangan kebijakan tingkat nasional ke tingkat lokal dan untuk mencapai hasil positif bagi hutan dan masyarakat setempat. Pelaksanaan praktik pengelolaan hutan yang dapat diterima belum efektif karena kapasitas kelembagaan yang tidak selaras di tingkat lokal, termasuk kekurangan dana dan kekurangan tenaga. Pemerintah daerah, yang bertanggung jawab mengelola Hutan Lindung, belum melakukan tugasnya dengan baik. Sementara itu, tanggung jawab untuk pengelolaan kawasan Hutan Produksi sebagian besar terletak pada pemegang konsesi yang telah bertindak dengan sedikit pengawasan pemerintah di masa lalu.
b. Perencanaan tata ruang yang buruk menyebabkan tumpang tindih hak atas tanah, konflik, dan kurangnya akuntabilitas. Kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang memberikan izin penggunaan lahan telah berkontribusi pada tumpang tindih hak atas tanah, dan ini menyebabkan kurangnya investasi di sektor kehutanan dan kurangnya akuntabilitas untuk wilayah hutan yang luas. Tumpang tindih hak atas tanah sebagian dapat dikaitkan dengan kurangnya kejelasan dalam kerangka hukum yang mendasarinya, khususnya akibat implikasi yang bertentangan dari undang-undang No. 41/1999 tentang kehutanan dan undang-undang No. 26/2007 tentang penataan ruang. Analisis tutupan lahan mengungkapkan bahwa sekitar 11% dari deforestasi sejak tahun 2006 terjadi melalui penggunaan lahan di luar wilayah yang ditentukan. Pengembangan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) telah terhambat oleh kurangnya data dan informasi yang akurat dan oleh kurangnya rencana pembangunan sektoral yang terkoordinasi. Perencanaan tata ruang lebih lanjut terhambat oleh status kepemilikan tanah yang tidak jelas, kurangnya demarkasi batas wilayah hutan negara, kurangnya pengakuan hak adat dan lokal atas tanah, dan kurangnya kepemilikan di tingkat lokal. Hal ini menyebabkan konflik antar berbagai orang yang mengklaim kepemilikan tanah, dan kurangnya investasi dalam penggunaan lahan berkelanjutan jangka panjang.
c. Peluang mata pencaharian alternatif yang terbatas memfasilitasi perambahan. Perambahan sering dikaitkan dengan gabungan dari perlindungan hutan yang buruk, tekanan pertumbuhan penduduk dan peluang mata pencaharian alternatif yang terbatas. Produktivitas pertanian di Kalimantan Timur cenderung rendah, terutama karena petani kecil hanya memiliki akses terbatas ke teknologi dan keuangan. Hal ini mendorong intensifikasi pertanian, yang membutuhkan lebih banyak lahan dan seringkali merambah hutan alam.
Di bawah peraturan PPTKH, penyelesaian sengketa dijelaskan lebih lanjut dalam pasal no. 10 dan
11. Sehubungan dengan pasal 10, Hutan Negara yang telah diduduki dan digunakan setelah penetapan Hutan Negara sebagai hutan lindung di provinsi dengan luas setidaknya 30% dari total Hutan Negara atau di bawahnya, pemukiman kembali dapat dianggap sebagai pilihan. untuk penyelesaian penguasaan tanah dengan ketentuan bahwa tanah yang diduduki untuk pemukiman, kegiatan pertanian dan fasilitas sosial masih menunjukkan fungsi perlindungan dan/atau konservasi. Apabila kriteria ini tidak dapat dipenuhi, pertukaran lahan dapat dipertimbangkan.
Pasal 11 mengatur bahwa Hutan Negara yang telah diduduki dan digunakan setelah penetapan Hutan Negara sebagai hutan produksi di provinsi dengan luas lebih dari 30% dari total Hutan Negara, pertukaran lahan merupakan pendekatan yang lebih disukai.
Di bawah kebijakan saat ini, pemukiman kembali untuk pemukiman permanen tampaknya tidak mungkin karena Hutan Negara yang dimaksud tidak lagi memenuhi fungsi yang ditentukan (misalnya konservasi). Selain itu, ukuran total Hutan Negara di Provinsi Kalimantan Timur melebihi 30% dari keseluruhan jurisdiksi administratif. Karena alasan ini, kemungkinan pemukiman kembali seperti itu sangat kecil dan dapat dianggap sebagai residual. Kehutanan sosial dan pertukaran lahan dapat dianggap sebagai alternatif untuk pemukiman kembali berdasarkan PPTKH.
Di bawah Program Reformasi Agraria, Pemerintah Indonesia diberi mandat dan komitmen penuh untuk mempercepat program kehutanan sosial untuk memungkinkan akses berkelanjutan ke masyarakat yang bergantung pada hutan untuk memanfaatkan lahan yang telah mereka gunakan untuk kegiatan pertanian atau diklaim berdasarkan hak adat. Kehutanan sosial akan membentuk langkah mitigasi risiko inti berdasarkan PF.
Tabel 4 Kajian Risiko Pemukiman dan Pembatasan Akses.
Komponen/ Sub-komponen | Kegiatan | Risiko |
Komponen 1.2. Penyelesaian sengketa Sub-komponen 1.2.1 Penyelesaian sengketa penguasaan tanah yang ada | Kegiatan ini akan mempercepat dan memberlakukan penyelesaian penguasaan tanah bagi masyarakat di kawasan hutan sebagai berikut: (1) Kolaborasi Bersama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta dalam penerbitan keputusan bersama untuk penyelesaian konflik, perbaikan protokol penanganan konflik lokal; (2) pelatihan mediator yang tidak memihak; 3) melakukan pengembangan | Pembatasan akses khususnya bagi mereka yang tidak mengakui hak atas tanah dan sumber daya alam yang bersangkutan. Risiko lain yang dikaji juga mencakup: Peningkatan sengketa tanah yang ada di wilayah-wilayah dengan konflik yang sudah ada sebelumnya karena kurangnya mekanisme |
Komponen/ Sub-komponen | Kegiatan | Risiko |
kapasitas yang tepat. | penyelesaian sengketa yang dirasa adil; Risiko yang terkait dengan persepsi dan ekspektasi masyarakat dan pemangku kepentingan yang lebih luas tentang apa yang diharapkan akan diberikan oleh Program (misalnya, jaminan penguasaan tanah dalam kawasan hutan dan/atau kawasan berdasarkan konsesi dan pendudukan sebelumnya) yang dapat bermanifestasi dalam: (a) upaya individu dan/atau komunal untuk memperkuat hak kepemilikan/pemegang hak atas tanah terlepas dari lokasi (Kawasan Hutan atau Non-Hutan), (b) Spekulasi tanah karena pembukaan nilai potensi komersial bidang tanah. | |
1.2.2 Pengembangan kebijakan tentang penyelesaian sengketa lintas sektoral | Untuk mengatasi setiap wilayah yang tumpang tindih antara kehutanan dan pertambangan atau perkebunan, Biro Perekonomian Kantor Gubernur akan memimpin pengembangan kebijakan dan memfasilitasi prosesnya sampai Gubernur menandatangani peraturan pada akhir tahun 2018. Dan pada akhir tahun 2018, Gubernur telah menetapkan peraturan baru yaitu Xxxaturan Gubernur No. 50/2018 tentang perubahan Peraturan Gubernur no. 1/2018 tentang Tata Kelola proses Perizinan dan Non-Perizinan di Sektor Pertambangan, Kehutanan dan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Timur. | |
Komponen 2. Memperkuat Kapasitas Pemerintah untuk Administrasi Hutan Sub-component 2.1. Memperkuat Kapasitas Pemerintah untuk Administrasi Hutan | Penentuan batas wilayah KPH dan Blok Pemanfaatan Hutan akan dilakukan oleh KPH. Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur akan mengawasi kegiatan ini. Penentuan batas wilayah akan memastikan bahwa wilayah konsesi di dalam KPH tidak tumpang tindih dengan izin-izin lain atau tanah masyarakat. Penandaan batas wilayah akan dilakukan melalui pemetaan dan pengecekan lapangan di lapangan. Konsultasi dengan KLHK, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten akan dilakukan untuk memastikan tumpang tindih diminimalkan dan diselesaikan. | Penegasan kembali batas-batas wilayah hutan, atau penetapan fungsi hutan dapat mengakibatkan pembatasan akses dan/atau penolakan kelompok dan/atau klaim individu tertentu karena kurangnya bukti hukum. Selain itu, mungkin ada risiko yang terkait dengan potensi peningkatan klaim masyarakat karena kegiatan pemetaan, yang dapat meningkatkan ketegangan yang ada. Demarkasi batas wilayah hutan, yang berpotensi dengan pemasangan penanda/pos yang mudah terlihat dapat meningkatkan atau menciptakan ketegangan masyarakat dengan tim pemetaan dan/atau lembaga yang terlibat. Proyek ini juga dapat meningkatkan harapan masyarakat atas pengakuan hak-hak tanah terutama di Kawasan Hutan atau konsesi. |
Kajian di atas menyoroti bahwa risiko yang dipertimbangkan berdasarkan pelaksanaan ERP cenderung dikaitkan dengan pembatasan akses masyarakat yang bergantung pada hutan terhadap cagar alam dan/atau kawasan lindung lainnya karena regularisasi fungsi hutan dan penegakan hukum - bukan pemukiman kembali. Mungkin juga ada risiko bahwa ERP dapat memperburuk dan berdampak pada sengketa dan konflik yang ada mengenai sumber daya alam dan hak atas tanah jika tidak ada partisipasi masyarakat yang cukup dan inklusif dan mediasi sengketa yang ditetapkan selama pelaksanaan program. ERP telah mengidentifikasi calon penerima manfaat selama pelaksanaan program. Sekitar 150 desa akan terlibat dalam program ini. Berdasarkan kajian dan rezim peraturan saat ini, potensi risiko pemukiman kembali sangat kecil. Namun, sebagai tindakan pencegahan, RPF telah dipersiapkan untuk menjadi pedoman bagi lembaga penanggungjawab dan
pelaksana untuk mengidentifikasi, merespon, dan memantau apabila risiko pemukiman kembali tersebut terjadi.
Dalam keadaan lain, risiko yang diantisipasi dalam kerangka kerja ini kemungkinan akan menjadi bagian dari program pembangunan pemerintah yang lebih luas, yang mungkin dan/atau mungkin tidak terkait dengan ERP. Kerangka kerja ini berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap risiko hilir dan lembaga terkait yang berpartisipasi dalam ERP akan diwajibkan mengikuti ketentuan- ketentuan RPF dan PF.
Risiko lain yang telah dianggap sebagai bagian dari SESA meliputi:
a. Gender/ekslusi sosial: Pelaksanaan kegiatan ERP dapat berakibat negatif pada perempuan dan rumah tangga yang rentan dalam hal akses ke NTFP, akses ke tanah, partisipasi dalam pelaksanaan ERP, kurangnya konsultasi. Perempuan mungkin dirugikan sehubungan dengan akses ke dan penggunaan lahan hutan dan hak-hak tanah mereka kurang aman dibandingkan dengan laki-laki. Khususnya etnis minoritas, perempuan memiliki kebutuhan yang lebih besar akan sumber daya milik bersama, terutama yang berkaitan dengan hutan. Akses mereka terhadap informasi lebih rendah daripada laki-laki dan kecil kemungkinannya untuk terlibat aktif dalam konsultasi. Orang miskin terlepas dari jenis kelamin atau etnis cenderung menerima informasi yang memadai.
b. Warisan budaya: Kegiatan ER-P yang diusulkan dalam Program ER dapat secara tidak langsung berdampak pada kawasan yang mengandung situs-situs dengan sumber daya budaya fisik, termasuk Masyarakat Adat dan/atau Indigenous People. Masyarakat ini sering memiliki hubungan erat dengan kawasan hutan, termasuk hubungan spiritual, ada kemungkinan bahwa dalam kasus-kasus terisolasi, kegiatan ERP dapat mengganggu situs hutan sakral yang ditetapkan oleh penduduk desa. OP4.11 dicetuskan dan langkah mitigasi tersedia untuk mengatasi dampak- dampak tersebut.
c. Konsultasi dan penjangkauan yang efektif: kurangnya konsultasi dan penjangkauan yang berarti dapat menyebabkan rendahnya pembelian dan kepemilikan publik. Sebagai akibatnya, pelaksanaan FPIC juga dapat terhambat. Dalam hal BSP, mungkin ada kekhawatiran tentang distribusi manfaat yang tidak adil atau keraguan bahwa partisipasi dalam ERP bermanfaat karena manfaatnya bersifat spekulatif dan kecil.
3.0 KERANGKA HUKUM DAN KELEMBAGAAN
Kajian kerangka hukum dan kelembagaan terkait OP 4.12 akan didasarkan pada peraturan Pemerintah Indonesia dan Pengamanan Bank Dunia yang diuraikan sebagai berikut:
3.1 KERANGKA HUKUM DAN KELEMBAGAAN PEMERINTAH INDONESIA
Kerangka hukum dan kelembagaan Pemerintah Indonesia untuk menangani potensi pemukiman kembali (RPF) dan pembatasan akses (PF) dalam pelaksanaan ERP yaitu:
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR No. IX/2001);
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2012 tentang penyelenggaraan pengadaan tanah bagi pembangunan kepentingan umum (Direvisi dalam Peraturan Presiden No. 148 Tahun 2015). Peraturan ini mencakup definisi instansi pemerintah, prosedur, objek yang terkait dengan pengadaan tanah. Peraturan ini juga mendefinisikan pembangunan kepentingan umum dan nilai tanah;
Peraturan Presiden No. 62 Tahun 2018 tentang penanganan dampak sosial dalam rangka penyediaan tanah untuk pembangunan nasional. Peraturan ini juga menyatakan persyaratan untuk membentuk tim terpadu untuk memitigasi dampak sosial;
Keputusan Presiden No.88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan/PPTKH);
Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.
Secara umum, status tanah di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam dua administrasi, yang meliputi lahan hutan dan non-hutan. Kegiatan yang terkait dengan penguasaan tanah di Hutan Negara diatur berdasarkan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan terkait, yang meliputi Keputusan Presiden No. 88 tahun 2017 dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 tahun 2018. Lahan non-hutan diatur berdasarkan UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan juga peraturan khusus sektor seperti UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Hutan Negara dikelola di bawah yurisdiksi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sedangkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan (ATR/BPN) di tingkat Provinsi atau Kabupaten bertanggung jawab atas administrasi pertanahan di Area Penggunaan Lain. Karena ada dua lembaga pemerintahan utama yang bertanggung jawab untuk menangani penguasaan tanah, koordinasi tingkat program di tingkat kementerian menjadi sangat penting.
UU dan peraturan berikut ini menjabarkan asas dan prosedur yang terkait dengan potensi pengadaan tanah dan masalah pemukiman kembali yang terkait dengan ERP.
Keputusan Presiden No. 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan Xx Xxxaturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan: Peraturan-peraturan ini berusaha mengatasi pola sengketa atau konflik penguasaan tanah di dalam Hutan Negara. Peraturan ini menguraikan proses teknis untuk mengatasi sengketa atau konflik tersebut dan menawarkan beberapa skenario untuk penyelesaian sengketa termasuk pemukiman kembali, pertukaran lahan, daerah kantong, dan perhutanan sosial. Peraturan ini juga mengatur hak atas tanah adat melalui skema Hutan Adat.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria: UU ini mendefinisikan hak-hak dasar individu dan entitas swasta. UU ini menjelaskan peran negara terkait penggunaan langsung lahan serta hak asasi pribadi dan penggunaan lahan milik pribadi. Selain itu, UU ini mengakui hak tanah atas wilayah ulayat dan hukum adat, jika tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
3.2 PENGAMANAN BANK DUNIA
Pemukiman Kembali Secara Paksa (OP/BP 4.12). Kebijakan ini dipicu sebagai tindakan pencegahan untuk mengatasi potensi risiko yang terkait dengan pembatasan akses. Komponen dan sub-komponen yang relevan di mana risiko tersebut dianggap relevan disajikan di Tabel 4. Risiko pemukiman kembali dianggap kecil kemungkinannya dan risiko tersebut mewakili risiko hilir dan dapat terjadi sebagai akibat dari pelegalan penguasaan tanah untuk pemukiman informal baik di kawasan hutan maupun non-hutan.
Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) tentang Pemukiman Kembali Secara Paksa berlaku untuk komponen dan kegiatan tertentu di bawah ERP di mana risiko yang terkait dengan pembatasan akses dan pemukiman kembali dipertimbangkan. Kebijakan ini berlaku untuk semua orang yang terkena dampak secara ekonomi dan/atau fisik, terlepas dari jumlah orang yang terkena dampak, tingkat keparahan dampak dan legalitas kepemilikan tanah. Selain itu, Kebijakan ini memerlukan perhatian khusus untuk diberikan pada kebutuhan kelompok rentan terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, yang tidak memiliki tanah, orang tua, perempuan dan anak-anak, kelompok adat, etnis minoritas, anak yatim, dan orang-orang yang kurang beruntung lainnya.
3.2.1 Persyaratan Kebijakan
Kebijakan ini membedakan antara situasi yang melibatkan “pengambilan tanah secara paksa” (bagian 3[a]) dan “pembatasan akses secara paksa ke taman yang ditunjuk secara hukum dan kawasan lindung yang mengakibatkan dampak buruk pada mata pencaharian orang-orang yang direlokasi” (bagian 3)[b]). Dalam situasi di mana bagian 3(a) terjadi, misalnya relokasi fisik secara paksa, dan mungkin pembatasan akses yang terkait dengan relokasi tersebut, dilibatkan, maka diperlukan Kerangka Kerja Kebijakan Pemukiman Kembali. Apabila bagian 3(b) terjadi, misalnya pembatasan akses secara paksa tanpa relokasi fisik, maka diperlukan Kerangka Kerja Proses.
Apabila RPF tersedia dan pemukiman kembali diperlukan, RAP dikembangkan selama pelaksanaan proyek. RAP menetapkan rencana aksi secara terperinci untuk menangani situasi tertentu. RAP
dilakukan untuk setiap komponen proyek atau kegiatan di mana pemukiman kembali secara paksa akan terjadi ketika jelas di mana zona dampak akan terjadi. RAP harus sesuai dengan RPF.
Ketentuan berbeda diperlukan untuk pembatasan akses ke sumber daya alam di dalam kawasan lindung, kemudian untuk situasi yang melibatkan pengambilan tanah. Sebagai ganti RPF, Kerangka Kerja Proses diperlukan. Sama seperti RAP tertentu diperlukan sebelum pelaksanaan proyek yang melibatkan pemukiman kembali, demikian juga Rencana Aksi (PoA) yang disetujui Bank atau Rencana Pembangunan berbasis masyarakat bertarget yang diperlukan pada tahap pelaksanaan dari setiap kegiatan Program, sebelum memberlakukan pembatasan akses yang dipertimbangkan. PoA/Rencana Pembangunan berbasis masyarakat ini harus menetapkan langkah-langkah khusus yang diambil untuk membantu orang yang kehilangan akses ke sumber daya alam di dalam taman dan kawasan lindung, dan pengaturan pelaksanaan.
Kebijakan tersebut mensyaratkan bahwa sifat pembatasan akses ke sumber daya alam di dalam kawasan lindung, serta jenis tindakan yang diperlukan untuk memitigasi dampak negatif, ditentukan, dengan partisipasi orang-orang yang direlokasi selama perancangan dan pelaksanaan proyek.
3.2.2 Kelayakan dan Hak OTDP
Pada tahap ini, tidak mungkin untuk mengidentifikasi kategori orang yang mungkin terkena dampak. Dengan demikian tidak layak untuk melakukan sensus atau untuk memberikan perkiraan yang tepat dari total penduduk yang mungkin terkena dampak.
Berdasarkan Kebijakan Bank Dunia, orang-orang yang direlokasi dapat diklasifikasikan dalam salah satu dari tiga kelompok berikut:
a. Mereka yang memiliki hak hukum formal atas tanah (termasuk hak adat dan tradisional yang diakui berdasarkan hukum negara);
b. Mereka yang tidak memiliki hak hukum formal atas tanah pada saat sensus dimulai tetapi memiliki klaim atas tanah atau aset tersebut – asalkan klaim tersebut diakui berdasarkan hukum negara atau menjadi diakui melalui proses yang diidentifikasi dalam pemukiman kembali; dan
c. Mereka yang tidak memiliki hak hukum yang dapat diakui atau klaim atas tanah yang mereka duduki.
Orang-orang yang termasuk dalam kelompok (a) dan (b) diberikan kompensasi atas tanah yang hilang, dan bantuan lainnya. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok (c) diberi bantuan pemukiman kembali sebagai pengganti kompensasi atas tanah yang mereka duduki, dan bantuan lainnya, sebagaimana diperlukan, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam kebijakan ini, jika mereka menduduki kawasan proyek sebelum tanggal dimulainya tenggat (cut off date) yang ditetapkan oleh peminjam dan dapat diterima oleh Bank Dunia. Orang-orang yang merambah kawasan tersebut setelah tanggal dimulainya tenggat tidak berhak atas kompensasi atau bentuk lain dari bantuan pemukiman kembali. Semua orang yang termasuk dalam tiga kelompok (a), (b), atau (c) diberikan kompensasi atas kehilangan aset selain tanah.
3.2.3 Analisis Kesenjangan terhadap Peraturan Pemerintah Indonesia dan Pengamanan Bank Dunia
Kerangka kerja Pemerintah Indonesia untuk menangani penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH) diatur dalam Peraturan Presiden No. 88 tahun 2017. Beberapa langkah
untuk mengatasi pendudukan hutan dan/atau perambahan tergantung pada fungsi Hutan Negara yang bersangkutan (misalnya konservasi, perlindungan dan produksi). Program Reformasi Agraria, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi hak-hak orang miskin, termasuk penghuni informal di dalam Kawasan Hutan. Perhutanan sosial dianggap sebagai Kerangka Kerja Proses Pemerintah Indonesia untuk memberikan akses kepada masyarakat yang bergantung pada hutan ke tanah dan sumber daya alam untuk mata pencaharian. Namun, ada kekurangan ketentuan yang dikodifikasikan secara jelas dan formal dalam Undang-Undang yang berlaku yang sesuai dengan persyaratan utama OP 4.12 Bank Dunia. Peraturan yang berlaku tentang pengadaan tanah dan pemukiman kembali umumnya diabadikan dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang mungkin tidak selalu relevan dalam konteks ERP. Oleh karena itu, dengan tidak adanya ketentuan peraturan, kajian berikut menguraikan praktik umum dalam penyelesaian penguasaan tanah, khususnya di Hutan Negara. Analisis terperinci lebih lanjut tentang kesenjangan peraturan utama disediakan di Lampiran A2.
Secara umum, pemukiman kembali yang melanggar hukum untuk pemukiman informal di Tanah Negara dilarang berdasarkan undang-undang saat ini. Berdasarkan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH), tanah yang dipermasalahkan harus bebas dari segala sitaan dan/atau sengketa dengan pihak lain. Skema yang ditawarkan untuk penyelesaian penguasaan tanah hanya dapat diberlakukan ketika sengketa tanah telah diselesaikan melalui proses terpisah (misalnya mediasi dan/atau resolusi pengadilan). Instansi pemerintah yang terlibat dilarang memberlakukan penggusuran, mengkriminalisasi penuntut tanah, menutup akses ke tanah, dan/atau memaksakan segala bentuk pembatasan akses selama pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah hutan. Persyaratan ini akan memungkinkan investasi dalam fasilitasi dan pelibatan masyarakat, di mana Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk memberikan dukungan dan fasilitasi lebih lanjut berdasarkan ERP.
Selain itu, seperti yang ditunjukkan sebelumnya, risiko pemukiman kembali sangat kecil dalam konteks Kalimantan Timur. Berdasarkan peraturan PPTKH (Pasal no. 10), pemukiman kembali dapat dianggap sebagai pilihan untuk penyelesaian penguasaan tanah hutan apabila kawasan hutan tersebut diklasifikasikan dalam zona konservasi terlepas dari penggunaannya (misalnya pemukiman, lahan pertanian, dan penggunaan lahan lainnya). Di provinsi-provinsi di mana ukuran total Hutan Negara sama dengan atau kurang dari 30 persen dari ukuran total DAS dan/atau massa tanah dalam yurisdiksi administratif provinsi, pemukiman kembali juga dapat diterapkan untuk menangani pendudukan (baik untuk pemukiman dan/atau pendirian fasilitas publik dan sosial) di dalam hutan produksi berdasarkan rekomendasi dari tim inventarisasi dan verifikasi PPTKH. Dalam konteks Kalimantan Timur, ukuran total kawasan Hutan Negara adalah 8.411.680,23 ha, yang mewakili kurang lebih 66 persen dari total wilayah provinsi (12.743.859 ha). Rasio tersebut secara teoritis harus mengesampingkan risiko pemukiman kembali di atas dalam wilayah yang diwakili EK-JERP.
ESMF akan memastikan bahwa pemukiman kembali hanya akan diberlakukan ketika pilihan lain telah habis, dan ERP akan memastikan bahwa rencana aksi yang memenuhi persyaratan utama OP 4.12 serta OP 4.10 untuk Masyarakat Adat telah ada dan sudah berkonsultasi secara luas dengan pihak- pihak yang terkena dampak sebelum ada tindakan dengan pemukiman kembali dan/atau dampak pembatasan akses dapat dilakukan.
Mengenai kekhawatiran terkait dengan pembatasan akses, berdasarkan Program Reformasi Agraria, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi hak-hak orang miskin, termasuk penghuni informal di dalam kawasan Hutan Negara. Berdasarkan peraturan PPTKH saat ini, skema perhutanan
sosial dianggap sebagai pilihan yang lebih disukai untuk mengatasi masalah penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Oleh karena itu, Perhutanan Sosial dapat dianggap sebagai Kerangka Kerja Proses Pemerintah Indonesia untuk memberikan akses kepada masyarakat yang bergantung pada hutan atas tanah dan sumber daya alam untuk mata pencaharian.
3.3 UPAYA TERUS MENERUS DARI PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENGATASI PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAH
Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia telah membuat komitmen politik yang kuat untuk mengatasi masalah penguasaan tanah dan kemiskinan di antara masyarakat pedesaan, termasuk mereka yang menduduki dan menggunakan lahan di dalam kawasan hutan. Komitmen tersebut telah diterjemahkan ke dalam tindakan nyata, yang diharapkan dapat memberikan akses ke tanah dan sumber daya alam di antara masyarakat pedesaan yang miskin dan karenanya, meminimalkan risiko yang dipertimbangkan dalam kerangka kerja ini. Perkembangan kebijakan terbaru dirangkum sebagai berikut:
3.3.1 Penyelesaian Batas Kawasan Hutan
Langkah penting ke arah ini adalah penggambaran batas kawasan Hutan yang sedang berlangsung. Batas yang jelas antara kawasan Hutan dan lahan yang berada di luarnya, serta demarkasi yang jelas dari penetapan penggunaan lahan di dalam kawasan Hutan, diharapkan untuk meningkatkan kepastian hukum dalam pengelolaan hutan, dan untuk meningkatkan pengakuan publik atas hak-hak masyarakat.
Perkembangan positif lainnya adalah apa yang umumnya disebut sebagai “Kebijakan Satu Peta”. Upaya ini, yang pertama kali diluncurkan pada tahun 2012, melibatkan sinkronisasi peta yang digunakan oleh berbagai lembaga dan tingkat pemerintahan. Tujuan kebijakan ini adalah untuk membuat peta skala 1: 50.000 tunggal yang dapat berfungsi sebagai referensi geospasial standar, berdasarkan pada standar tunggal, satu basis data, dan satu geoportal. Selain itu, Pemerintah Indonesia sedang mengembangkan kadaster nasional dan melanjutkan penggambaran dan demarkasi lahan untuk ditetapkan sebagai kawasan hutan negara.
3.3.2 Pengelolaan Hutan NKT di dalam Kawasan Konsesi dan Perkebunan Kelapa Sawit
KLHK telah mengeluarkan sejumlah peraturan untuk mendukung pengelolaan Hutan dengan Nilai Konservasi Tinggi (HNKT) di dalam konsesi kehutanan (konsesi penebangan, konsesi hutan tanaman, dan konsesi restorasi ekosistem). Kementerian Pertanian dan Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan surat untuk mendukung pelaksanaan HNKT di dalam kawasan yang diberi izin untuk perkebunan. Sejumlah izin telah dikeluarkan, yang mengharuskan penerima izin untuk melindungi HNKT di dalam kawasan yang diberi izin.
Sejumlah kebijakan terkait dengan pengembangan dan pengelolaan Perkebunan di Kalimantan Timur diharapkan akan disertakan dalam rencana pembangunan provinsi dan kabupaten. Kebijakan- kebijakan ini memberikan justifikasi untuk:
Memprioritaskan peningkatan produktivitas daripada membangun perkebunan baru;
Mengarahkan pengembangan perkebunan baru kepada petani kecil di lahan dengan nilai stok karbon rendah (semak dan lahan terbuka di tanah mineral) melalui kemitraan dengan perusahaan perkebunan besar (rantai pasokan rendah emisi);
Mendorong percepatan perkebunan di kawasan-kawasan di mana izin telah dikeluarkan dan mengevaluasi izin yang ada;
Melindungi hutan alam dan lahan gambut dengan nilai stok karbon tinggi. Sejauh mungkin, memelihara hutan alam seluas 640.000 ha dan lahan gambut seluas 50.000 ha secara kolektif pada tahun 2030 di kawasan perkebunan yang dialokasikan; dan
Memastikan kepatuhan dengan prinsip-prinsip pengembangan perkebunan berkelanjutan.
3.3.3 Reformasi Agraria
Pemerintah sedang mengedepankan dua program yang berkaitan dengan reformasi tanah dan distribusi tanah yang bertujuan untuk menciptakan akses yang lebih adil ke lahan hutan dan untuk mengurangi konflik. Yang pertama adalah Program Reformasi Agraria yang mencakup 9 juta hektar lahan. Yang kedua adalah program yang berupaya mengalokasikan lahan kehutanan melalui berbagai skema perhutanan sosial. Program ini merupakan perjanjian antara negara dan masyarakat untuk mengakses dan menggunakan kawasan di dalam Hutan Negara untuk tujuan tertentu. Skema perhutanan sosial utama adalah Hutan Kemasyarakat (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan kemitraan.
3.3.4 Hutan Adat
Hutan Adat didefinisikan sebagai hutan yang terletak di dalam wilayah di mana masyarakat Adat memiliki hak tradisional (Adat). Untuk menyesuaikan peraturan hutan negara dengan keputusan penting Mahkamah Konstitusi Indonesia pada tahun 2013 tentang hutan Adat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengeluarkan peraturan tentang Hutan Adat dan Hutan Hak pada tahun 2019. Empat wilayah adat telah diakui di Kalimantan Timur berdasarkan Peraturan Gubernur No. 1 tahun 2015. Wilayah-wilayah ini termasuk hutan adat seluas 49 ha di desa Hemaq Beniung, hutan adat di Kekau seluas 4.026 ha, dan wilayah adat di Mului yang luasnya 7.803 ha. Selain itu, ada juga beberapa potensi klaim tanah Adat di dalam konsesi. Zona Tradisional dan Kemitraan Konservasi di Taman Nasional
Mulai tahun 2015, program konservasi telah dilakukan untuk memungkinkan masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan hasil hutan non-kayu di Zona Tradisional, di Taman Nasional yang ditetapkan. Zona ini dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat yang secara tradisional telah bergantung pada hasil hutan non-kayu tertentu yang ada di zona ini. Selain itu, Peraturan Dirjen KSDAE No. 6 tahun 2018 memberikan kemungkinan untuk kemitraan konservasi (yaitu, pembangunan berbasis masyarakat dan restorasi ekosistem) yang akan dibentuk antara pejabat taman nasional dan masyarakat setempat yang tinggal berdekatan dengan kawasan konservasi.
4.0 PENGATURAN KELEMBAGAAN
Kerangka kerja ini mengakui sifat tata kelola lahan di Indonesia yang kompleks dan fakta bahwa manajemen risiko pemukiman kembali dan pembatasan akses memerlukan koordinasi dan konsensus multi-sektoral. Dengan demikian, RPF dan PF telah dihasilkan untuk menguraikan langkah-langkah yang diperlukan di tingkat Program, termasuk pengaturan kelembagaan dan peran serta tanggung jawab untuk mengelola dampak potensi perpindahan yang timbul dari pelaksanaan ERP.
Pelaksanaan kerangka kerja ini akan disimpan di dalam Sekretaris Daerah (SEKDA) Provinsi sebagai badan pelaksana di Tingkat Provinsi di bawah koordinasi dengan lembaga pelaksana terkait di tingkat provinsi dan kabupaten. Pengawasan atas pemukiman kembali dan risiko pembatasan akses yang termasuk pelaksanaan proses yang dipandu oleh RPF dan PF ini akan difasilitasi oleh para ahli perlindungan lingkungan dan sosial di SEKDA. Namun, pelaksanaan RPF dan PF akan mengikuti peraturan tersebut. Peran lembaga penanggungjawab akan memberikan dampak yang signifikan untuk mendorong pelaksanaan RPF dan PF.
4.1.1 Pengaturan Pelaksanaan di Tingkat Nasional
Di tingkat pusat, pengaturan pelaksanaan terkait RPF dan PF akan dikelola di bawah Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (DGCC). Direktorat akan mengoordinasikan persiapan dokumen perencanaan pemangku kepentingan terkait termasuk P3SEKPI. DGCC akan berkoordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai Sektor Unggulan dari Xxx Xxxxxxxxxxxxx dan Verifikasi dan anggota lainnya untuk melakukan inventarisasi dan verifikasi kawasan hutan yang diduduki dan pelaksanaan RPF dan PF.
Sementara itu, DGCC juga akan berkoordinasi erat dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional untuk inventarisasi dan pelaksanaan RPF dan PF jika risiko diperkirakan terjadi di luar kawasan Hutan Negara akibat dari ERP.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian), sebagai ketua tim, akan membentuk tim percepatan untuk tim inventarisasi dan verifikasi kawasan hutan yang diduduki yang terdiri dari (1) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; (2) Kementerian Agraria dan Tata Ruang; (3) Kementerian Dalam Negeri; (4) Sekretaris Kabinet; dan (5) Kepala Staf Kepresidenan.
Tabel 5 Lembaga nasional yang terlibat dalam Pelaksanaan ERP
Lembaga Nasional | Status | Peran |
Tim Akselerasi untuk Inventarisasi dan Verifikasi Kawasan Hutan yang Diduduki | ||
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian | Ketua Tim | Memimpin tim percepatan inventarisasi dan verifikasi kawasan hutan yang diduduki; |
Lembaga Nasional | Status | Peran | |
| Sosialisasi dan koordinasi pelaksanaan penyelesaian | ||
sengketa; | |||
| Menentukan langkah-langkah dan kebijakan untuk | ||
menyelesaikan masalah yang muncul; | |||
| Menentukan jumlah kawasan; | ||
| Menentukan mekanisme pemukiman kembali; | ||
| Melakukan pemantauan, mengontrol dan | ||
memfasilitasi anggaran penyelesaian sengketa. | |||
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan | Anggota | | Anggota tim akselerasi; |
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional | Anggota | | Anggota tim akselerasi; |
Sekretaris Kabinet | Anggota | | Anggota tim akselerasi; |
Kepala Staf Kepresidenan | Anggota | | Anggota tim akselerasi; |
Kepala FORDA (KLHK)/P3SEKPI | Penasihat Teknis | | Rancangan Program |
| Konsultasi Metodologi (bantuan teknis) | ||
| Persiapan bagi lembaga-lembaga untuk pelaksanaan | ||
lapangan | |||
| Konsultasi dan Komunikasi dengan Tim Manajemen | ||
Fasilitas | |||
| Anggota Komite Pengarah | ||
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (KLHK) | Focal point REDD+ Nasional dan Badan Pelaksana | | Pengelolaan Pendaftaran Nasional Pembangunan dan pengelolaan FREL Pengelolaan MMR Finalisasi dan pelaksanaan pengamanan |
| Finalisasi dan pelaksanaan FGRM | ||
| Bantuan Teknis | ||
| Rekomendasi Pembayaran (BSM) | ||
| Anggota Komite Pengarah | ||
Deputi Bidang Koordinasi | Ketua Tim | | Melakukan koordinasi teknis pelaksanaan |
Pengelolaan Energi, Sumber Daya | penyelesaian sengketa kawasan hutan yang diduduki; | ||
Xxxx, dan Lingkungan Hidup, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; | | Mengembangkan strategi untuk menyelesaikan masalah; Memantau dan mengontrol pelaksanaan penyelesaian | |
sengketa kawasan hutan yang diduduki; | |||
| Mengembangkan dan menyerahkan rekomendasi | ||
kepada tim akselerasi. | |||
Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian | Wakil Ketua Tim | | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan | Anggota | | Anggota tim pelaksana |
Lembaga Nasional | Status | Peran |
Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungan dan Hutan Lindung, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Penegakan Hukum, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan; | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Tata Ruang, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional; | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Kementerian Dalam Negeri | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Deputi Bidang Ekonomi, Sekretariat Kabinet | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Sosial, Ekologi dan Budaya Strategis, Kantor Staf Presiden | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Deputi Bidang Informasi Geospasial Tematik, Badan Informasi Geospasial | Anggota | Anggota tim pelaksana |
Staf Ahli Bidang Ekonomi Maritim, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; | Sekretaris | Membantu Ketua tim melaksanakan perannya; |
Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. | Wakil Sekretaris | Membantu Ketua tim melaksanakan perannya; |
Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (Ditjen PPI) | Focal Point REDD+ Nasional dan Badan Pelaksana | Pengelolaan Pendaftaran Nasional Pembangunan dan pengelolaan FREL Pengelolaan MMR Finalisasi dan pelaksanaan rencana pengamanan Finalisasi dan pelaksanaan FGRM Bantuan Teknis |
Lembaga Nasional | Status | Peran | |
| Rekomendasi Pembayaran (BSM) Anggota Komite Pengarah | ||
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional | Lembaga yang berwenang | | Mendaftarkan, memverifikasi, dan secara resmi menetapkan sebidang tanah. |
Kementerian Pertanian | Lembaga yang berwenang | | Memberikan izin pada Perkebunan. |
Kepala FORDA (KLHK)/P3SEKPI | Penasihat Teknis | | Rancangan Program |
| Konsultasi Metodologi (bantuan teknis) | ||
| Persiapan lembaga-lembaga untuk pelaksanaan | ||
lapangan | |||
| Konsultasi dan Komunikasi dengan Tim Manajemen | ||
Fasilitas | |||
| Anggota Komite Pengarah |
4.1.2 Pengaturan Pelaksanaan di Tingkat Provinsi
Di tingkat provinsi, pihak yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan Program ER adalah Sekda Provinsi Kaltim, dengan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi bertindak sebagai koordinator atau melakukan pengelolaan Program ER sehari-hari. Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Provinsi akan memberi nasihat kepada SEKDA selama pelaksanaan Program ER.
Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) di Provinsi Kalimantan Timur adalah mitra utama dalam pelaksanaan Program ER. DDPI adalah organisasi multi-pemangku kepentingan yang telah mengoordinasikan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan rendah emisi di Provinsi Kalimantan Timur. Organisasi ini memiliki pengalaman yang nyata (serta infrastruktur operasional) dalam pengelolaan pendanaan donor pembangunan.
Penyelesaian sengketa pelaksanaan RPF dan PF di tingkat provinsi perlu ditetapkan sebagai mandat peraturan. Berikut ini adalah keterlibatan pemangku kepentingan dalam pelaksanaan RPF dan PF di Tingkat Provinsi.
Lembaga | Status | Peran | Peran Khusus |
ERP Team | |||
SEKDA Provinsi | Lembaga Penanggung jawab di Tingkat Provinsi | Bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pencapaian Program ER di Provinsi Kaltim Anggota Komite Pengarah | Mengkoordinasikan pelaksanaan RPF & PF dengan mengacu pada ERP yang disetujui dan dengan mempertimbangkan peraturan terkait dan prosedur operasional Bank Dunia. Menjabarkan arahan dan prosedur operasional dan |
Lembaga | Status | Peran | Peran Khusus | ||
| mendistribusikan tugas- tugas terkait pelaksanaan RPF-PF kepada instansi pemerintah pelaksana terkait Mengkoordinasikan formulasi pengelolaan dan kontrol penganggaran untuk mendukung ERP untuk administrasi yang tertib. Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan ERP dan mengambil keputusan yang diperlukan berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi internal dan eksternal. | ||||
Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) | Penasihat | | Memberikan saran dan masukan kepada pemerintah daerah sehubungan dengan Program ER Anggota Komite Pengarah | Untuk mengkatalisasi pelaksanaan ERP di lembaga pelaksana terkait Untuk menjembatani komunikasi antara Pemerintah Pusat (Nasional), Pemerintah Daerah (Sub-Nasional) dan Bank Dunia | |
Persyaratan Kapasitas | |||||
Terlatih dengan baik dalam proses fasilitasi | |||||
Komunikator yang baik | |||||
Pengetahuan yang baik tentang peran dan tanggung jawab dan wewenang berbagai pemangku kepentingan. | |||||
Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur | Lembaga pelaksana | | Tanggung jawab daerah untuk FREL dan MMR Pelaksanaan Program ER | | Memimpin lembaga pelaksana untuk melakukan program ERP berdasarkan arahan Sekda Provinsi; |
| Bertanggung jawab untuk mengelola program; | ||||
| Mendokumentasikan setiap bagian dari proses pelaksanaan program; | ||||
| Melaporkan |
Lembaga | Status | Peran | Peran Khusus | ||
pelaksanaan kegiatan ERP Persyaratan Kapasitas Memiliki pengetahuan yang baik tentang metode MRV Terlatih dengan baik pada aplikasi MRV Memiliki pengetahuan yang baik tentang program ER | |||||
Layanan Pemerintah Provinsi Lainnya (OPD) | Lembaga Pelaksana | | Pelaksanaan Program ER Memimpin proses konsultasi dalam masing-masing yurisdiksinya | | Untuk melakukan Program ER berdasarkan tanggung jawab masing-masing |
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Kalimantan Timur | Koordinator pelaksanaan di tingkat provinsi | | Mengkoordinasikan semua kegiatan yang dilakukan oleh OPD sehubungan dengan program ER | | |
Pengaturan Kelembagaan saat RPF dan PF di dalam kawasan hutan diperlukan | |||||
Dinas Kehutanan | Ketua Tim | | Untuk memastikan ERP di bawah sektor kehutanan dilakukan dengan cara yang tepat | Mengadakan sosialisasi di tingkat kabupaten; Menerima pendaftaran inventarisasi dan verifikasi; Mengumpulkan data lapangan; Melakukan analisis: data fisik dan yuridis bidang tanah di dalam kawasan hutan; dan lingkungan hidup; Mengembangkan rekomendasi dan menyerahkannya kepada gubernur; Memimpin dalam persiapan dan pengembangan RAP dan PoA di dalam kawasan hutan negara Persyaratan Kapasitas Memiliki pengetahuan yang baik tentang pengelolaan hutan Terlatih dengan baik dalam penyelesaian |
Lembaga | Status | Peran | Peran Khusus | ||
sengketa/manajemen konflik atas isu-isu pemanfaatan sumber daya hutan | |||||
BPN Provinsi | Sekretaris | | Membantu ketua tim untuk melakukan perannya | | Mempersiapkan semua data dan informasi yang diperlukan |
| Mencatat dan mendokumentasikan proses | ||||
Perencanaan Tata Ruang di Tingkat Provinsi | Wakil Sekretaris | | Membantu ketua tim untuk melakukan perannya | | Mempersiapkan semua data dan informasi yang diperlukan terutama data dan informasi spasial |
| Mencatat dan mendokumentasikan proses | ||||
Perencanaan Tata Ruang di Tingkat Kabupaten | Anggota | Anggota tim | | Mempersiapkan dan menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan terutama data dan informasi spasial di tingkat kabupaten | |
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi | Anggota | Anggota tim | | Mempersiapkan dan menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan terutama informasi kajian lingkungan hidup dan sosial | |
BPKH | Anggota | Anggota tim | | Mempersiapkan dan menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan terutama data dan informasi yang terkait dengan kawasan hutan | |
Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan | Anggota | Anggota tim | • Mempersiapkan dan menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan terutama data dan informasi perhutanan sosial | ||
KPH | Anggota | Anggota tim | | Mempersiapkan dan menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya hutan | |
BPN Kabupaten | Anggota | Anggota tim | | Mempersiapkan dan |
Lembaga | Status | Peran | Peran Khusus | ||
menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan terutama data dan informasi spasial di tingkat kabupaten | |||||
Camat | Anggota | Anggota tim | | Memfasilitasi operasi tim di tingkat kecamatan Menyediakan data dan informasi sosial dan ekonomi yang terkompilasi | |
Kepala Desa | Anggota | Anggota tim | | Memfasilitasi operasi tim di tingkat kecamatan | |
Pengaturan Kelembagaan saat RPF dan PF di Luar Kawasan Hutan Diperlukan | |||||
BPN Provinsi | Lembaga yang berwenang | | Mendaftarkan dan memberi izin atas bidang tanah; | | Mempersiapkan dan menyediakan semua data dan informasi yang diperlukan terkait pemanfaatan lahan |
Dinas Perkebunan Provinsi | Lembaga yang berwenang atas perkebunan | | Memantau dan mengontrol pelaksanaan Perkebunan Kelapa Sawit; | Mengumpulkan data lapangan yang terkait dengan perkebunan | |
Melakukan analisis: data fisik dan yuridis bidang konsesi perkebunan dan lingkungan hidup; | |||||
Mengembangkan rekomendasi terkait perkebunan dan menyerahkannya kepada gubernur | |||||
Memimpin dalam persiapan dan pengembangan RAP dan PoA di dalam kawasan perkebunan | |||||
Persyaratan Kapasitas | |||||
Memiliki pengetahuan yang baik tentang pengelolaan hutan | |||||
Terlatih dengan baik dalam penyelesaian sengketa/manajemen konflik atas isu pemanfaatan sumber daya hutan | |||||
Camat | Anggota | Anggota tim | | Memfasilitasi operasi tim di tingkat kecamatan Menyediakan data dan |
Lembaga | Status | Peran | Peran Khusus |
informasi sosial dan ekonomi yang terkompilasi | |||
Kepala Desa | Anggota | Anggota tim | Memfasilitasi operasi tim di tingkat kecamatan |
4.1.3 Pengaturan Pelaksanaan di Tingkat Kabupaten/Kota
pengamanan akan dilibatkan, akan ditugaskan untuk menjadi bagian dari komite pengarah.
persyaratan pengamanan dan pengalaman dalam mengelola risiko E&S, termasuk perwakilan upaya
Personil yang memiliki pengetahuan yang memadai tentang
Di tingkat kabupaten/kota, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten akan melaksanakan Program ER. Masing-masing pemerintah kabupaten/kota akan bertanggung jawab atas pelaksanaan Program ER di wilayahnya. Untuk memastikan koordinasi yang efektif di antara berbagai lembaga pelaksana, Komite Pengarah akan dibentuk untuk mewakili kepentingan Kementerian Pemerintah Nasional terkait dan Gubernur Kalimantan Timur. Anggota Komite Pengarah lain akan mewakili mitra pembangunan dan masyarakat sipil.
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten akan memberikan laporan kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi mengenai pelaksanaan Program ER. KLHK akan memimpin komite tingkat tinggi ini (Direktorat
Jenderal). Bank Dunia dan lembaga mitra terpilih akan diberi status pengamat. Rapat Komite Pengarah akan diadakan setiap 6 bulan untuk mengevaluasi kegiatan dan kemajuan. Rapat koordinasi teknis akan diadakan sesuai kebutuhan. Badan Lingkungan Hidup Kabupaten akan memimpin dan mengelola anggota komite pengarah di kabupaten dan memberikan laporan secara berkala kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi mengenai kemajuan pelaksanaan Program ER.
Pengaturan kelembagaan secara terperinci untuk Program ER di tingkat kabupaten akan dibentuk saat Program tersebut melibatkan pemukiman kembali secara paksa dan pembatasan akses.
Dalam segala kasus pemukiman kembali secara paksa dan pembatasan akses oleh ERP di dalam kawasan Hutan, KPH akan dilibatkan sebagai lembaga yang berwenang untuk mengelola masalah tersebut. Namun, jika ada pemukiman kembali secara paksa dan pembatasan akses di luar kawasan Hutan, Dinas Pertanahan Kabupaten akan memimpin proses untuk penyelesaian sengketa bersama dengan Dinas Perkebunan Kabupaten (jika tanah tersebut berada dalam konsesi perkebunan).
Tabel 7 Pemangku kepentingan di Tingkat Kabupaten dalam Pelaksanaan RPF dan PF
Lembaga | Status | Peran Utama | Peran Khusus dan Persyaratan Kapasitas | ||
Komite Pengarah ERP | |||||
SEKDA Kabupaten | Lembaga Penanggung Jawab di Tingkat Kabupaten/Kota dan Lokasi Lapangan | | Bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pencapaian Program ER di Kabupaten dan Lokasi Lapangan | - Mengkoordinasikan pelaksanaan RPF & PF di tingkat kabupaten/kota dengan mengacu pada ERP yang disetujui dan dengan mempertimbangkan peraturan terkait dan prosedur operasional Bank Dunia | |
- Menjabarkan arahan dan prosedur operasional dan mendistribusikan tugas- tugas terkait pelaksanaan RPF-PF kepada lembaga pemerintah pelaksana terkait di tingkat kabupaten/kota | |||||
- Mengkoordinasikan formulasi pengelolaan dan kontrol anggaran kabupaten/kota untuk mendukung ERP guna administrasi yang tertib | |||||
- Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan ERP dan mengambil keputusan yang diperlukan berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi internal di tingkat kabupaten dan arahan dari SEKDA provinsi | |||||
Badan Lingkungan Hidup Kabupaten | Lembaga Pelaksana/Mitra | | Bertanggung jawab atas operasional kegiatan terkait pelaksanaan ERP di tingkat kabupaten | | Menyelenggarakan pelaksanaan ERP di tingkat kabupaten; |
| Memimpin lembaga pelaksana untuk melakukan program ERP di tingkat kabupaten berdasarkan arahan Sekda Kabupaten; | ||||
| Bertanggung jawab untuk mengelola program; | ||||
| Memfasilitasi lembaga pelaksana untuk melakukan pelaksanaan RPF-PF di tingkat |
Lembaga | Status | Peran Utama | Peran Khusus dan Persyaratan Kapasitas | ||
kabupaten; Mendokumentasikan setiap bagian dari proses pelaksanaan program; Melaporkan pelaksanaan kegiatan ERP di tingkat kabupaten kepada Sekda Kabupaten dan kepada Badan Lingkungan Hidup Provinsi untuk pencapaian ER di tingkat kabupaten Persyaratan Kapasitas Memiliki pengetahuan yang baik tentang metode MRV Terlatih dengan baik pada aplikasi MRV Memiliki pengetahuan yang baik tentang program ER | |||||
Lembaga Pembangunan (Badan Perencanaan Tata Ruang, LSM, Dll.) | Mitra | | Mendukung dan berkontribusi pada pelaksanaan program; Bersama dengan Tim ERP mensosialisasikan Program ER; | Untuk mengkoordinasikan aktor pembangunan yang beroperasi di dalam wilayah kabupaten terhadap pencapaian ERP yang sesuai dengan rencana pembangunan kabupaten | |
Memfasilitasi warga desa untuk mendapatkan informasi mengenai program dan mekanisme; | |||||
Persyaratan Kapasitas | |||||
Memiliki kemampuan untuk memproyeksikan arah pembangunan sesuai dengan pencapaian pengurangan emisi | |||||
Memiliki kemampuan untuk mengantisipasi hilangnya peluang proyek akibat program pengurangan emisi | |||||
Focal Point | Bantuan Program dan pelibatan masyarakat | | Membantu lembaga pelaksana untuk menjalankan program dengan cara yang tepat; | | Menghubungkan masyarakat dengan lembaga pemerintah; Mencatat dan |
Lembaga | Status | Peran Utama | Peran Khusus dan Persyaratan Kapasitas | ||
melaporkan pelaksanaan ERP Persyaratan kapasitas Terlatih dengan baik dalam proses fasilitasi Komunikator yang baik Memiliki pengetahuan yang baik tentang tradisi lokal Memiliki pengetahuan yang baik tentang peran dan tanggung jawab dan kewenangan berbagai pemangku kepentingan | |||||
KPH | Lembaga yang berwenang dalam pengelolaan hutan | | Bertanggung jawab atas pelaksanaan ERP di dalam masing-masing kawasan KPH | Memimpin dalam setiap isu yang berkaitan dengan kawasan hutan (keluhan, sengketa, dll.) | |
Mengelola kawasan hutan; | |||||
Memantau dan mengontrol hutan dari perambahan; | |||||
Peningkatan batas | |||||
Persyaratan Kapasitas | |||||
Memiliki pengetahuan yang baik tentang usaha kehutanan | |||||
Terlatih dengan baik dalam penyelesaian sengketa/manajemen konflik atas isu pemanfaatan sumber daya hutan | |||||
Badan Pertanahan Kabupaten | Lembaga yang berwenang untuk pengelolaan tanah di luar kawasan hutan | | Memimpin setiap isu tanah di luar kawasan hutan negara; Mendaftarkan, mengelola tanah, mensertifikasi, dan menerbitkan perizinan tanah; | Menyediakan data dan informasi terkait pemanfaatan lahan/sertifikat tanah/status tanah Persyaratan Kapasitas S2 Jurusan Sistem Informasi Geografis | |
Memiliki pengetahuan yang baik tentang pemanfaatan lahan adat/tradisional | |||||
Dinas Perkebunan Kabupaten | Lembaga yang berwenang untuk memantau dan | | Memimpin setiap masalah yang melibatkan perkebunan; | | Mengidentifikasi dan memantau kegiatan perkebunan; |
| Membuat rekomendasi |
Lembaga | Status | Peran Utama | Peran Khusus dan Persyaratan Kapasitas |
kepada Bupati untuk kegiatan perkebunan Persyaratan Kapasitas Memiliki pengetahuan yang baik tentang usaha perkebunan Terlatih dengan baik dalam penyelesaian sengketa/manajemen konflik atas masalah perkebunan | |||
Camat | Administrator | Memfasilitasi warga desa untuk mendapatkan informasi mengenai ERP; Membantu focal point untuk mensosialisasikan ERP kepada penduduk desa. | |
Kepala Desa | Administrator | Memfasilitasi/membantu warga desa untuk mendaftarkan tanah; Membantu Focal point untuk mensosialisasikan ERP kepada penduduk desa. |
(OPD) dengan mandat kegiatan tersebut berdasarkan Program ER.
Potensi risiko yang terkait dengan pemukiman kembali dan pembatasan akses sebagian besar tidak diketahui pada tahap ini karena akan tergantung pada keadaan tertentu, terutama yang berkaitan dengan penyelesaian penguasaan tanah hutan, NKT, dan penutupan tambang. Hal ini menunjukkan
bahwa tanggung jawab untuk pelaksanaan RPF dan PF berada di dalam masing-masing lembaga
dan/atau pembatasan akses.
Apabila pemukiman kembali dan pembatasan akses dipertimbangkan, OPD yang relevan diharuskan untuk mengembangkan RAP dan PoA dengan dukungan teknis yang diberikan oleh tim pengamanan di PMU. Dokumen-dokumen ini akan ditinjau dan disetujui oleh layanan lingkungan tingkat Kabupaten dan/atau Provinsi, tergantung pada ruang lingkup geografi. Setelah ditinjau dan disetujui, dokumen- dokumen ini akan disahkan oleh SEKDA dan DGCC; tidak adanya keberatan dari Bank Dunia akan
diperlukan sebelum menyertakan kegiatan-kegiatan yang mengakibatkan pemukiman kembali
Untuk memastikan kualitas proses dan dokumen yang relevan, kapasitas yang memadai dari masing- masing lembaga ini sangat penting. Berdasarkan kajian kapasitas kelembagaan (Lampiran A.2 SESA), perlu dicatat bahwa beberapa lembaga yang berpartisipasi mungkin tidak familiar dengan persyaratan Bank Dunia berdasarkan OP 4.12 sehingga penguatan kapasitas, dan dukungan teknis yang intens akan diperlukan. Rencana pembangunan kapasitas Program untuk lembaga terkait
termasuk topik terkait RPF dan PF diuraikan dalam dokumen ESMF (Bagian 5.6).
5.0 MANAJEMEN RISIKO DAN DAMPAK
Bagian berikut menguraikan dua kerangka kerja utama, termasuk PF dan RPF yang dipertimbangkan dalam keseluruhan instrumen pengamanan untuk membahas ketentuan OP 4.12 Bank Dunia.
5.1 KERANGKA KERJA PROSES
Tujuan Kerangka Kerja Proses adalah untuk menetapkan proses di mana masyarakat yang berpotensi terkena dampak oleh pembatasan akses sumber daya alam ke hutan lindung yang berada di bawah wewenang pengelolaan KLHK dan Dinas Kehutanan Provinsi melalui Kesatuan Pengelolaan Hutannya (KPH) yang terlibat dalam proses konsultasi dan negosiasi setelah mendapat penjelasan dan bermakna (informed and meaningful consultations and negotiations) untuk mengidentifikasi dan melaksanakan cara-cara mengurangi atau memitigasi dampak dari pembatasan akses sumber daya.
PF dipersiapkan untuk mematuhi kebijakan Bank Dunia tentang pemukiman kembali secara paksa (OP/BP 4.12) dan Undang-Undang dan peraturan Pemerintah Indonesia. PF memberikan pedoman untuk pengembangan Rencana Aksi selama pelaksanaan proyek yang:
a. Mendefinisikan pembatasan akses ke sumber daya alam di kawasan lindung;
b. Mengidentifikasi dan mengkuantifikasi dampak yang mungkin ditimbulkan oleh pembatasan tersebut terhadap berbagai segmen masyarakat lokal;
c. Mengusulkan, melaksanakan dan memantau langkah-langkah perbaikan untuk mengkompensasi hilangnya aset-aset tersebut dan pendapatan yang terkait dengannya;
d. Memberikan mekanisme penanganan keluhan untuk menyelesaikan masalah yang mungkin timbul karena pembatasan akses ke sumber daya selama program berlangsung.
5.1.1 Kelayakan
Individu dan masyarakat yang akan mendapat manfaat dari Kerangka Kerja Proses adalah mereka yang bergantung pada sumber daya alam di dalam dan/atau dari hutan lindung dan konservasi, kawasan NKT (baik di dalam maupun di luar kawasan Hutan), serta setiap orang yang terkena dampak pembatasan akses karena peningkatan tindakan konservasi yang didukung oleh ERP.
Masyarakat dan individu ini mungkin mengalami pemindahan ekonomi/mata pencaharian meskipun mereka tidak rugi akibat relokasi fisik.
Individu dan masyarakat yang dianggap sebagai penghuni ilegal atau informal memenuhi syarat berdasarkan Kerangka Kerja Proses ini.
Ketentuan OP 4.10 (Masyarakat Adat) juga telah dipertimbangkan saat mempersiapkan Kerangka Kerja Proses. Rincian lebih lanjut tentang Indigenous People dan/atau Masyarakat Adat yang kemungkinan akan terkena dampak ER-P disertakan dalam IPPF.
5.1.2 Manajemen Risiko Pembatasan Akses Di Dalam Kawasan Hutan
Kawasan Hutan di Kalimantan Timur mencakup 8,4 juta hektar dan terdiri dari zona pemanfaatan lahan berikut: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan konversi. Hutan produksi
ditetapkan untuk alokasi konsesi penebangan, konsesi hutan tanaman, konsesi restorasi ekosistem, dan kawasan perhutanan sosial. Berdasarkan Undang-Undang Desentralisasi No. 23 tahun 2014, kawasan Hutan (dengan pengecualian kawasan konservasi hutan) dikelola oleh pemerintah provinsi dan dikendalikan oleh pemerintah nasional. Pengelolaan sehari-hari di kawasan ini merupakan mandat dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Semua kawasan hutan konservasi (seperti Cagar Alam, Suaka Margasatwa, dan Taman Nasional) dikontrol dan dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pusat.
Kerangka kerja pengaturan untuk penanganan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan (PPTKH) diatur dalam Peraturan Presiden No. 88 tahun 2017 dan Peraturan KLHK No. P.84 tahun 2015. Sebagai konsekuensi dari peraturan ini, tim percepatan PPTKH telah dibentuk oleh Pemerintah Indonesia dan diketuai oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (KKBP)5 dengan anggota KLHK, Kemendagri, Sekretariat Kabinet dan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP). Xxx percepatan PPTKH, yang didukung oleh gugus tugas pelaksanaannya yang dikelola oleh para kepala jenderal direktorat terkait dari kementerian-kementerian ini, bertanggung jawab untuk memfasilitasi proses penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, yang meliputi:
a. Mengkoordinasikan dan menyinkronkan pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan;
b. Menetapkan langkah-langkah dan kebijakan dalam penyelesaian masalah dan hambatan dalam pelaksanaan PPTKH;
c. Menentukan luas tanah maksimum yang dapat dialokasikan untuk menyelesaikan penguasaan tanah di dalam kawasan hutan;
d. Membangun mekanisme pemukiman kembali;
e. Melakukan pengawasan dan kontrol atas pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan; dan
f. Memfasilitasi ketentuan anggaran dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.
Tim inventarisasi PPTKH akan dibentuk di tingkat provinsi oleh gubernur dan bertanggung jawab untuk membantu tim percepatan PPTKH dan gugus tugas pelaksanaannya di tingkat nasional untuk tugas-tugas tertentu, yang meliputi:
a. Menerima proposal inventarisasi dan verifikasi pemanfaatan dan pendudukan tanah di dalam kawasan hutan yang secara kolektif disampaikan oleh bupati atau walikota;
b. Melakukan survei lapangan/pengumpulan data;
c. Melakukan analisis (1) data fisik dan yuridis bidang tanah dalam kawasan hutan; dan (2) ekosistem bidang tanah yang bersangkutan; dan
d. Menjabarkan rekomendasi untuk penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan untuk diteruskan kepada Gubernur untuk persetujuan.
Keputusan akhir terkait mekanisme penyelesaian penguasaan tanah ada pada tim percepatan PPTKH yang diselenggarakan di KKBP. Pelaksanaan/implementasi akan tetap menjadi tanggung jawab KLHK. Peraturan Presiden No. 88 tahun 2017 Jo. Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 tahun 2018 menetapkan beberapa langkah untuk mengatasi pendudukan dan/atau perambahan hutan tergantung pada fungsi kawasan hutan yang bersangkutan (yaitu,
5 Berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan
konservasi, lindung dan produksi), sebagaimana diuraikan dalam tabel berikut (Error! Reference source not found.):
Tabel 8 Pilihan untuk Penyelesaian Penguasaan Tanah di Dalam Kawasan Hutan
Pilihan | Ketentuan/Persyaratan |
Pendudukan dan/atau perambahan sebelum penunjukan kawasan hutan | |
Bidang tanah/bagian bidang tanah yang akan dikeluarkan (enclave) dan disingkirkan dari kawasan hutan | Tanah yang dimaksud telah diduduki dan/atau sertifikat tanah telah diberikan sebelum penunjukan kawasan hutan |
Pendudukan dan/atau perambahan setelah penunjukan kawasan hutan | |
Bidang tanah/bagian bidang tanah yang akan dipisahkan dan dikeluarkan dari kawasan hutan | Pendudukan untuk tujuan pemukiman dan/atau pendirian fasilitas umum dan sosial di kawasan yang tidak lagi diklasifikasikan sebagai zona perlindungan atau konservasi. Tanah tersebut telah digunakan untuk tujuan pertanian selama lebih dari 20 tahun berturut-turut. Catatan: Bidang tanah yang dikeluarkan (enclave) dapat dikenakan Skema Distribusi Tanah (TORA) dan pendaftaran, termasuk sertifikasi akan diproses melalui PTSL. |
Pertukaran tanah | Pendudukan untuk tujuan pemukiman dan/atau pendirian fasilitas umum dan sosial di kawasan yang tidak lagi diklasifikasikan sebagai zona perlindungan atau konservasi (berlaku untuk provinsi yang tutupan hutannya sama atau kurang dari 30% dari total ukuran DAS dan/atau massa tanah dalam yurisdiksi administratif provinsi). |
Skema perhutanan sosial | Tanah tersebut telah digunakan untuk keperluan pertanian selama kurang dari 20 tahun. Skema ini berlaku untuk provinsi yang ukuran kawasan hutannya sama dengan atau kurang dari 30% dari total ukuran DAS dan/atau massa tanah dalam yurisdiksi administratif provinsi terlepas dari lama pendudukan. |
Pemukiman kembali | Tanah tersebut diklasifikasikan dalam zona konservasi terlepas dari pemanfaatannya (misalnya permukiman, tujuan pertanian dan penggunaan lahan lainnya). Pendudukan untuk tujuan pemukiman dan/atau pendirian fasilitas publik di hutan lindung. Catatan: Di provinsi yang luas wilayah hutannya sama dengan atau kurang dari 30% dari total ukuran DAS dan/atau massa tanah dalam yurisdiksi administratif provinsi, pilihan pemukiman kembali juga dapat diterapkan pada pendudukan hutan untuk tujuan pemukiman dan/atau pendirian fasilitas publik dan sosial di hutan produksi berdasarkan kebijaksanaan KLHK. |
Agar mekanisme di atas dapat diberlakukan, tanah tersebut harus bebas dari segala halangn dan/atau sengketa dengan pihak lain. Selain itu, lembaga pemerintah (PPTKH) yang terlibat dilarang memberlakukan pengusiran paksa, kriminalisasi terhadap penuntut tanah, penutupan akses ke tanah dan/atau segala bentuk pembatasan akses selama pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah hutan. Persyaratan ini akan memungkinkan investasi dalam fasilitasi dan keterlibatan masyarakat selama pelaksanaan ERP sebagaimana dipandu oleh kerangka kerja ini.
5.1.3 Manajemen Risiko Pembatasan Akses Di Luar Kawasan Hutan Negara
Berdasarkan sub-komponen 1.2.2 - pengembangan kebijakan penyelesaian sengketa lintas-sektoral, ERP berupaya menangani setiap kawasan yang tumpang tindih antara kehutanan dan pertambangan
atau perkebunan, yang mungkin juga terletak di luar kawasan hutan. ERP akan mencari peraturan oleh Gubernur untuk memperkuat pelaksanaan baik inisiasi tingkat provinsi maupun nasional untuk menyelesaikan sengketa lintas sektor, termasuk yang melibatkan masyarakat dan perusahaan swasta. Peraturan gubernur sedang disusun dan sekarang sedang dibahas oleh semua sektor dan pemangku kepentingan. Biro Perekonomian di Kantor Gubernur akan memimpin pengembangan kebijakan dan memfasilitasi proses sampai peraturan dengan segera ditandatangani oleh Gubernur.
Wilayah di luar kawasan Hutan Kalimantan Timur mencakup luas 4,3 juta hektar. Pengelolaan tanah negara di luar kawasan Hutan berada di bawah mandat pemerintah kabupaten dan provinsi. Keseluruhan administrasi tanah di luar kawasan Hutan (APL) berada di bawah lingkup ATR/BPN.
Saat ini, ATR/BPN telah melaksanakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap atau yang selanjutnya disebut PTSL. PTSL adalah sistem pendaftaran tanah berbasis desa yang lengkap untuk sertifikasi untuk mencakup semua bidang tanah di desa demi desa yang terdaftar dan tidak terdaftar di kawasan non-Hutan. Berdasarkan pendekatan PTSL, semua bidang tanah di suatu desa akan dipetakan dan didaftarkan ke dinas pertanahan dan data yang bersangkutan dimasukkan ke dalam database elektronik (KKP). Bidang tanah yang sebelumnya tidak disertifikasi dan bebas dari halangan (yaitu tidak ada klaim yang bersaing, tidak ada tumpang tindih dengan Kawasan Hutan, konsesi dan bidang tanah lainnya) akan dinyatakan memenuhi syarat untuk penerbitan sertifikat. Tujuan menyeluruh dari program ini adalah untuk memberikan kejelasan pemanfaatan lahan dan kepemilikan hukum dan oleh karena itu, diharapkan untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dan konflik di kawasan non-hutan.
Terkait dengan kekhawatiran terkait pembatasan akses dan penggusuran di Kawasan non-Hutan, risiko tersebut hanya dapat terjadi dalam kasus di mana ada tindakan pihak ketiga (pemerintah, pemegang izin tanah non-hutan dan/atau pemilik tanah lainnya) untuk mengatur permukiman informal sebagai hasil dari proses penyelesaian sengketa dalam tanah APL. Tabel 6 memberikan analisis klasifikasi tanah di mana permukiman informal tersebut dapat ditemukan beserta masing-masing kerangka hukumnya.
Kerangka hukum tersebut berfungsi sebagai pedoman untuk memastikan bahwa pelaksanaan ERP mengklasifikasikan jenis tanah di mana ada pemukiman informal dan/atau perambahan dan ketika ada kemungkinan risiko konflik dan penggusuran sehingga tindakan yang diperlukan dapat dimobilisasi secara tepat waktu untuk mengatasi dan memitigasi risiko tersebut. Lebih lanjut, proyek ini berupaya untuk mencapai penyelesaian sengketa secara damai dan mempromosikan mekanisme alternatif (misalnya perhutanan sosial) dibandingkan pemukiman kembali untuk menangani penyelesaian sengketa penguasaan tanah, melalui kolaborasi bersama dengan lembaga terkait, serta dukungan teknis yang diberikan melalui pelaksanaan ERP.
Tabel 9 Klasifikasi Jenis Tanah dengan Kemungkinan Penyelesaian secara Informal
Klasifikasi Tanah | Kajian |
Tanah Negara | Peraturan Pemerintah RI No. 16 tahun 2014 tentang Pengelolaan Tanah mensyaratkan pemegang hak atas tanah untuk memastikan bahwa pemanfaatan dan penggunaan tanah: sesuai dengan rencana tata ruang kabupaten/provinsi; sesuai dengan fungsi perlindungan dan konservasi tanah yang bersangkutan untuk mencegah degradasi ekosistem. Penggunaan lahan di pulau-pulau kecil, tepi sungai, daerah aliran sungai, garis pantai, |
Klasifikasi Tanah | Kajian |
dataran banjir danau, dll., bergantung pada kepentingan umum, konservasi dan daya dukung lingkungan. Karena fungsi konservasi dan ekosistem, rencana tata ruang kabupaten dan/atau provinsi akan mempertahankan pengelolaan kawasan menjadi wewenang lembaga pemerintah terkait dan membatasi pendudukan dan penggunaan lahan di kawasan ini. Penghuni tidak berhak atas kepemilikan tanah pribadi, dan kawasan konsesi harus mengeluarkan (enclave) kawasan ini. Jika ada regularisasi penggunaan lahan, mungkin ada potensi risiko bahwa para penghuni ini akan menghadapi peningkatan pengawasan sehubungan dengan status pendudukan mereka, dengan potensi pembatasan penggunaan lahan lebih lanjut, dan penggusuran. Peraturan pemerintah terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU No.2 tahun 2012. Undang-undang ini mengharuskan pemerintah dan/atau entitas lain yang bertindak atas nama pemerintah untuk mengkompensasi kerugian yang mungkin ditimbulkan berdasarkan penilaian aset independen. Namun, masih ada masalah berkaitan dengan kompensasi untuk pemukim informal berkaitan dengan kompensasi tanah, yang saat ini belum tercakup dengan tidak adanya klaim sah dari tanah tersebut. | |
Tanah menurut izin HGU (Hak Guna Usaha) | Peraturan Pemerintah Indonesia No. 40 tahun 1996 memberikan hak kepada masyarakat, perusahaan swasta dan BUMN untuk mengolah tanah negara untuk tujuan pertanian dan peternakan. Izin HGU diberikan dengan jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk 35 tahun berikutnya dengan persyaratan-persyaratan tertentu (misalnya mematuhi kewajiban pajak, mengolah tanah sesuai dengan tujuannya, termasuk upaya untuk melestarikan, dll.). Peraturan Menteri ATR/BPN No.7 tahun 2017 lebih lanjut mengatur ketentuan dan mekanisme penentuan HGU. Jika dalam tanah HGU yang bersumber dari tanah negara dan Kawasan Hutan, ada pendudukan sebelumnya, pemegang hak atas tanah bertanggung jawab untuk membayar kompensasi kepada penghuni tanah tersebut berdasarkan kesepakatan bersama antara kedua belah pihak. Jika tanah dikategorikan sebagai kawasan adat, diperlukan persetujuan tertulis dari perwakilan masyarakat dan bagian dari wilayah yang diusulkan yang dianggap sakral dan/atau penting secara budaya akan dikeluarkan (enclave) berdasarkan persetujuan masyarakat. Di tanah kepemilikan perseorangan, kompensasi akan ditentukan berdasarkan kesepakatan penjual-pembeli yang bersedia. Oleh karena itu, penggusuran yang melanggar hukum dilarang berdasarkan UU Pemerintah Indonesia. Namun, dalam kasus-kasus di mana perambahan terjadi setelah pemberian izin, seringkali terjadi di kawasan yang tidak diolah dan/atau ditinggalkan, pemukiman berupa pendudukan lahan dapat terjadi baik melalui mediasi dan/atau kasus pengadilan. Jika ada bukti bahwa pendudukan tersebut disebabkan oleh kurangnya kemampuan pemilik HGU untuk mengelola tanah, izin mereka akan ditinjau lebih lanjut secara hukum, dengan kemungkinan pencabutan izin atau eksisi tanah yang diduduki oleh masyarakat untuk skema redistribusi tanah (TORA). |
Tanah bekas HGU | Tanah HGU kadaluwarsa yang telah diduduki oleh masyarakat tunduk pada skema TORA untuk memberikan jaminan penguasaan tanah bagi penghuninya asalkan memenuhi persyaratan kelayakan (misalnya lama dan sifat permukiman, tidak ada tanggungan hukum/statusnya bersih dan jelas, dll.). Agar tanah tersebut dapat ditransfer kepada penghuninya, tanah tersebut harus secara resmi ditetapkan statusnya sebagai tanah terlantar sesuai dengan peraturan Pemerintah Indonesia No. 11 tahun 2010. Namun, ATR/BPN sering terkendala oleh kurangnya kejelasan hukum sehubungan dengan penyerahan aset dari pemilik HGU sebelumnya karena peraturan (Keputusan Presiden) masih belum dikeluarkan. Akibatnya, ada ketidakpastian hukum baik bagi pemilik HGU sebelumnya, penghuni tanah dan pemerintah, yang seringkali mengakibatkan kebuntuan hukum yang mencegah setiap tindakan oleh semua pihak. |
Dengan kerangka hukum yang berkaitan dengan Tanah Negara serta tanah HGU, penggusuran pemukim informal dianggap tidak mungkin dan risiko tersebut akan menjadi kasus unik. Pemerintah
Indonesia bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ada proses hukum untuk memverifikasi klaim dan memberi kompensasi kepada mereka yang mungkin terusir. Penyelesaian penguasaan tanah dalam kepemilikan pribadi, termasuk HGU diselesaikan melalui negosiasi langsung antara pemegang hak atas tanah dan penghuni berdasarkan konsensus.
Berdasarkan Program Reformasi Agraria yang lebih luas6, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Presiden No. 86 tahun 2018, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melindungi hak-hak orang miskin, termasuk pemukim informal, yang menduduki tanah yang diklasifikasikan sebagai tanah negara dan HGU, termasuk tanah bekas HGU melalui skema TORA. Namun, penyelesaian penguasaan tanah berdasarkan TORA berada di luar ruang lingkup ERP dan ditangani di bawah program pembangunan Pemerintah Indonesia yang lebih luas. Kajian kapasitas kelembagaan pada lembaga pemerintah (dan pemangku kepentingan terkait lainnya) disediakan di Lampiran 6 SESA.
5.1.4 Kerangka Panduan
Bagian ini menjelaskan prosedur yang akan diadopsi untuk mengelola dampak lingkungan dan sosial yang terkait dengan pembatasan akses berdasarkan ERP. Pendekatan ini mencakup proses perencanaan partisipatif yang mencari FPIC dari individu dan masyarakat yang terkena dampak, dan prosedur untuk penapisan (screening), kajian (assessment), pemantauan (monitoring), dan pelaporan (reporting) dampak lingkungan dan sosial (E&S).
Empat tahap utama berikut adalah inti dari pendekatan manajemen pengamanan (safeguards) berdasarkan PF. Setiap tahap dibagi lagi menjadi langkah-langkah berikut:
5.1.4.1 Tahap 1: Proses Konsultasi dan Perencanaan Partisipatif
Langkah 1: Identifikasi masyarakat yang terkena dampak dan kelompok perhutanan sosial yang memenuhi syarat
Pendekatan ini terdiri dari identifikasi partisipatif masyarakat yang memenuhi syarat dan kebutuhan mereka, serta potensi implikasi ERP berkaitan dengan akses ke tanah dan sumber daya alam berdasarkan PF. Berbagai pilihan skema perhutanan sosial akan dibahas berdasarkan kriteria kelayakan serta proses dalam mendukung masyarakat ini dalam pengembangan Rencana Pengelolaan Hutan. PF menguraikan prosedur tentang cara memberi informasi, berkonsultasi, melibatkan, mendukung, dan memantau masyarakat yang berpartisipasi dengan cara meningkatkan mata pencaharian mereka dan meningkatkan peran mereka dalam pengelolaan hutan berkelanjutan.
Identifikasi kelompok-kelompok Perhutanan Sosial yang memenuhi syarat akan mencakup tinjauan dokumentasi yang tersedia dari Tim Terpadu tentang Kajian Kawasan Hutan Negara dan Perubahan Fungsi Hutan Negara dan Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah (Tim Inver PTKH). Jika ada keluhan yang diketahui sehubungan dengan peruntukan kawasan hutan negara, keluhan- keluhan tersebut akan dicatat oleh Tim Terpadu. Jika diketahui ada masalah atau sengketa penguasaan tanah di kawasan hutan negara, masalah atau sengketa tersebut akan dicatat oleh Xxx Xxxxx PTKH.
6 Pemerintah Indonesia telah membentuk program baru untuk Reformasi Agraria (Tanah Obyek Reforma Agraria/TORA). Reformasi agraria sesuai dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 adalah penataan ulang untuk restrukturisasi kepemilikan, kontrol dan penggunaan sumber daya agraria. Tujuannya adalah untuk menciptakan keadilan sosial, meningkatkan produktivitas, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Prasyarat utama untuk pelaksanaan reformasi agraria adalah dukungan politik dari pemerintah dan informasi yang akurat tentang sumber daya agraria (yaitu, tanah dan masyarakat).
Jika berdasarkan pada dokumentasi yang tersedia oleh kedua tim, ada masalah penggunaan lahan atau penguasaan tanah yang diketahui, konsultasi lebih lanjut dan penyelesaian sengketa akan dilakukan terlebih dahulu sebelum memproses langkah selanjutnya. Konflik dan/atau sengketa penguasaan tanah tersebut akan ditangani secara terpisah oleh lembaga terkait, tergantung pada tipologi dan/atau sifat konflik dan sengketa tersebut.
Langkah 2: Kajian Cepat Penguasaan Tanah
Kajian Cepat Penguasaan Tanah akan dilakukan di lokasi kelompok yang diidentifikasi pada langkah sebelumnya. Tujuan kajian cepat adalah untuk mengeksplorasi potensi adu klaim yang ada dan masalah penguasaan tanah yang belum terselesaikan sehubungan dengan kawasan hutan negara di mana kelompok tersebut telah menerima izin. Kajian tersebut menyangkut masalah penguasaan tanah yang mungkin ada antara kelompok Perhutanan Sosial dan masyarakat sekitar serta dalam masyarakat yang dikaji.
Jika konflik/masalah penguasaan tanah yang tidak terselesaikan ditemukan selama proses ini, masing-masing KPH akan menilai kemungkinan penyelesaian masalah dengan langkah-langkah mitigasi sederhana atau melalui konsensus. Proses menemukan solusi akan didasarkan pada sifat tradisional umum yang ada atau dapat diterima secara lokal sehingga sesuai dan layak. Jika tidak ada adu klaim atau masalah penguasaan tanah yang ditemukan selama kajian atau jika solusi masalah yang diidentifikasi dapat ditemukan, kelompok tersebut memenuhi syarat untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut melalui skema perhutanan sosial. Kajian ini juga akan menginformasikan kepada Program tentang potensi implikasi penyelesaian sengketa dan/atau konflik melalui proses yang ada. Atas dasar itu, lembaga pelaksana ERP tidak akan melaksanakan keputusan tanpa langkah-langkah mitigasi risiko yang dapat diterima jika potensi dampak terhadap mata pencaharian karena perpindahan ekonomi dinilai sangat parah.
Langkah 3: Pembaharuan/pengembangan Rencana Pengelolaan Hutan (RPH)
ERP akan mendukung kelompok-kelompok Perhutanan Sosial terpilih dalam memperbarui atau mengembangkan Rencana Pengelolaan Hutan (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) terkait untuk kawasan hutan negara tempat mereka telah menerima izin. Komponen-komponen utama proses RKU adalah:
Demarkasi batas konsesi yang dilakukan dalam kerja sama dan konsultasi dengan masyarakat
sekitar;
Pengorganisasian kawasan hutan menjadi blok atau zona, yaitu ke dalam zona konservasi dan/atau perlindungan dan pemanfaatan;
Rencana aktual untuk pengelolaan dan pemanfaatan hutan, misalnya kegiatan dan rencana kerja; dan
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan oleh BPSKL atau KPH kepada Direktur Direktorat Jenderal Xxxx Xxxxx Xxxxxxxxan Sosial dan Hutan Adat (BUPSHA) (dengan kemungkinan bantuan dari Pokja PPS).
RPH menjelaskan fitur-fitur bio-fisik dan sosial-ekonomi masing-masing kawasan hutan negara, termasuk identifikasi kemungkinan adanya kelompok-kelompok rentan. Lebih lanjut, rencana tersebut memuat status kelompok dan menurut UU dan peraturan, kemungkinan pembatasan dalam pemanfaatan kawasan hutan negara yang diberi izin. Sebagai bagian dari pembaruan/pengembangan RPH, ERP akan mendukung kelompok masyarakat dalam memastikan
bahwa Rencana Aksi (PoA) dikembangkan untuk memitigasi potensi dampak sosial-ekonomi yang dihasilkan dari pembatasan akses yang diberlakukan melalui kelompok menurut hukum. PoA tersebut akan diintegrasikan ke dalam RPH.
Proses partisipatif dalam mengembangkan RPH dan pengelolaan dampak sosial ekonomi akan berkonsultasi dengan masyarakat sasaran mengenai langkah-langkah mitigasi yang dapat diterima untuk menghindari dan/atau memitigasi dampak negatif kegiatan pengelolaan hutan. Ini menunjukkan bahwa dampak potensial yang dihasilkan dari kegiatan pengelolaan hutan (penanaman, pengelolaan hama, pemanenan, dll.) dan masing-masing tindakan mitigasinya akan didefinisikan sebagai bagian pengembangan RPH.
RPH juga akan memuat uraian tentang jenis usaha/sub proyek berbasis hutan yang ingin dikembangkan oleh kelompok melalui dana milik pemerintah atau BSP serta kajian awal potensi dampak yang berasal dari kegiatan ini serta langkah-langkah mitigasi yang sesuai. Sub-proyek ini akan ditapis sesuai dengan proses penapisan (screening) yang dijelaskan di Tahap 2. Kegiatan- kegiatan yang merupakan bagian dari daftar negatif kegiatan-kegiatan sub-proyek atau kegiatan- kegiatan yang membutuhkan ESIA/AMDAL lengkap (Tabel 2) tidak akan dibiayai oleh ERP
Langkah 4: Pengembangan Rencana Pengelolaan Hutan dan Pengembangan Rencana Bisnis
Setelah finalisasi dan persetujuan RPH, Kelompok Perhutanan Sosial akan didukung melalui (i) pengembangan kapasitas dan pelatihan tentang manajemen organisasi, pembangunan dan manajemen bisnis dan/atau pengelolaan hutan lestari; (ii) dukungan untuk pembentukan rencana bisnis untuk lokasi-lokasi agroforestri; dan (iii) penyediaan dana untuk kegiatan terpilih yang berkontribusi pada pelestarian hutan dan rehabilitasi hutan.
Pembangunan rencana bisnis akan didukung oleh ERP dalam kerja sama dan konsultasi dengan (antara lain) lembaga penelitian seperti Badan Litbang KLHK (atau FORDA) serta dengan Kementerian Perindustrian, Koperasi dan UKM, Perdagangan dan lembaga pemerintah provinsi dan kabupaten terkait. Sub proyek/kegiatan yang disajikan sebagai bagian dari rencana bisnis akan ditapis (screening) sehubungan dengan dampak lingkungan dan sosialnya, dan rencana mitigasi yang diperlukan akan dikembangkan. Langkah-langkah peningkatan kapasitas akan mencakup pelatihan tentang ESMF dan praktik pertanian yang baik serta kesadaran lingkungan.
5.1.4.2 Tahap 2: Penapisan Dampak Lingkungan dan Sosial
FPH, serta rencana bisnis dari kelompok masyarakat berisi proposal untuk kegiatan sub-proyek, yang mungkin didanai berdasarkan anggaran reguler dan BSP Pemerintah Indonesia. Penapisan dilakukan untuk mengidentifikasi potensi risiko dan dampak lingkungan dan sosial dan untuk membantu memutuskan jenis rencana pengelolaan dan peningkatan kapasitas apa yang diperlukan.
Kriteria-kriteria berikut akan dipertimbangkan selama proses penapisan dan kategorisasi:
a. Jenis proyek;
b. Lokasi dan ukuran proyek; dan
c. Dampak negatif yang diantisipasi.
Walaupun hukum Indonesia tidak secara khusus memperkirakan kajian dampak untuk kegiatan kelompok Perhutanan Sosial di kawasan hutan negara di mana kelompok tersebut diberikan izin, beberapa tingkat kajian lingkungan dan sosial akan diperlukan melalui proses berikut, yang terdiri dari dua dasar langkah:
Langkah 1: Penapisan terhadap daftar negatif
Sub proyek yang diusulkan diperiksa daftar negatif dampak lingkungan dan sosialnya (lihat Tabel 10 Daftar Negatif Kegiatan Sub-ProyekTabel 10). Sub proyek yang diusulkan termasuk kegiatan
yang disebutkan dalam daftar ini tidak akan didanai oleh ERP. Selain itu, ERP tidak akan mendanai sub proyek yang akan membutuhkan AMDAL lengkap seperti yang dijabarkan lebih lanjut dalam ESMF (yaitu sub proyek yang akan diklasifikasikan sebagai Kategori A atau Berisiko Tinggi)
Tabel 10 Daftar Negatif Kegiatan Sub-Proyek
No. | Kegiatan | Ya | Tidak |
1. | Pemukiman baru atau ekspansi di dalam hutan lindung dan hutan lindung yang diusulkan. | ||
2. | Persyaratan untuk pengadaan tanah berskala besar dari tanah/wilayah adat yang saat ini diduduki oleh negara atau masyarakat adat (untuk pertanian, perkebunan, dll.) oleh penduduk lokal (secara individu atau kolektif) | ||
3. | Persyaratan untuk pengadaan tanah berskala besar dari tanah yang saat ini diduduki oleh negara atau masyarakat adat (untuk pertanian, perkebunan, dll) oleh penduduk lokal pihak-pihak selain penduduk lokal (secara individu atau kolektif) | ||
4. | Menyebabkan kerugian atau kerusakan pada properti budaya, termasuk situs-situs arkeologis (prasejarah), paleontologis, historis, agama, budaya, dan nilai-nilai lingkungan/alam yang unik | ||
5. | Pembangunan jalan baru, rehabilitasi jalan, pengaspalan jalan, atau segala bentuk peningkatan jalan dalam hutan alam primer yang ada dan hutan lindung yang diusulkan | ||
6. | Konstruksi skala besar yang berpotensi memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap lingkungan sekitarnya | ||
7. | Operasi pembalakan komersial di hutan alam | ||
8. | Konversi hutan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) | ||
9. | Pembelian peralatan pembalakan untuk digunakan di hutan alam | ||
10. | Produksi, distribusi, dan perdagangan pestisida ilegal | ||
11. | Produksi atau perdagangan bahan perusak ozon (BPO) dengan mengacu pada fase bertahap di tingkat internasional | ||
12. | Produksi atau perdagangan produk atau kegiatan apa pun yang dianggap ilegal berdasarkan hukum negara tuan rumah (negara asal) atau berdasarkan konvensi dan perjanjian internasional | ||
13. | Produksi, perdagangan, penyimpanan atau pengangkutan bahan kimia berbahaya dalam jumlah besar, atau penggunaan bahan kimia berbahaya untuk tujuan komersil | ||
14. | Perdagangan spesies yang dilindungi atau produk satwa liar yang dilindungi | ||
15. | Perdagangan tanaman langka atau produk tanaman yang dilindungi | ||
16. | Segala kegiatan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan manusia | ||
17. | Setiap kegiatan yang secara signifikan menurunkan keanekaragaman hayati ekosistem hutan atau merusak habitat hutan di dalam kawasan KPH, termasuk konversi hutan alam |
Langkah 2: Kategorisasi Risiko
Berdasarkan penapisan awal dan kajian lingkungan dan sosial lebih lanjut (yaitu verifikasi dan konsultasi di lapangan), klasifikasi risiko akan dibuat, atas dasar langkah-langkah mitigasi risiko mana yang akan dimobilisasi. Contoh pedoman klasifikasi risiko yang telah diadopsi dalam proyek perhutanan sosial serupa yang dibiayai oleh Bank Pembangunan Jerman (KfW) disediakan di Tabel 11.
Tabel 11 Klasifikasi Risiko Sub-Proyek
Jenis Proyek | Kategori C (SPPL/tidak ada AMDAL) Resiko Rendah | Kategori B (UKL-UPL) Risiko Sedang | Kategori A/B+ (AMDAL) Risiko Tinggi |
Pengelolaan hutan dan tindakan agroforestri | Penggergajian & pemrosesan kayu (<2,000 m3) Produksi dan pemrosesan NTFP skala kecil (tidak ada ambang batas yang ditentukan) Pemrosesan rotan (pengawetan dan pemanasan) Penggilingan padi Pemrosesan perkebunan Pemrosesan dan pengemasan tanaman, hasil hutan, dan NTFP | Penggergajian & pemrosesan kayu (2.000- 6.000 m3) Operasi bisnis pemanfaatan kayu di hutan tanaman rakyat (≤10.000 ha) Pembangunan kawasan perkebunan di tanah area penggunaan lain atau tanah hutan negara yang direncanakan untuk konversi hutan (tanaman semusim: <3.000 ha, tanaman tahunan: <3.000 ha) Produksi dan pemrosesan NTFP skala menengah (tidak ada ambang batas yang ditentukan) Pembiakan tanaman alami dan/atau satwa liar di penangkaran untuk diperdagangkan (semua ukuran) | Penggergajian & pemrosesan kayu (>6.000 m3) Operasi bisnis pemanfaatan kayu di hutan tanaman rakyat (>5.000 ha) Operasi bisnis pemanfaatan kayu di hutan alam (semua ukuran) Pembangunan kawasan perkebunan di area penggunaan lain atau kawasan hutan negara yang direncanakan untuk konservasi hutan (tanaman semusim: >2.000 ha, tanaman tahunan: >3.000 ha). Produksi dan pemrosesan Produksi dan pemrosesan NTFP skala besar (tidak ada ambang batas yang ditentukan) Proyek yang melibatkan kegiatan pemindahan tanah (earth moving) (tanah yang direlokasi seluas >500,000 m³) |
Konstruksi, operasi dan pemeliharaan fasilitas dan bangunan berskala kecil (ekowisata, pemrosesan, komersial dan/atau administratif) | Pembangunan fasilitas ekowisata (ukuran bangunan:<5.000 m²) Pembangunan fasilitas pemrosesan (ukuran bangunan:<5.000 m²) Pembangunan bangunan komersial/administratif (ukuran bangunan:<5.000 m²) | Pembangunan fasilitas ekowisata (ukuran bangunan: 5.000– 10.000 m²) Pembangunan fasilitas pemrosesan (ukuran bangunan: 5.000– 10.000 m²) Ekowisata di hutan lindung/produksi (semua ukuran) Pembangunan taman rekreasi (non-tema) (<100 ha) Akomodasi turis/pengungjung (semua ukuran) | Pembangunan fasilitas ekowisata (ukuran bangunan:>10,000 m² atau luas tanah:>5 ha) Pembangunan fasilitas pemrosesan (ukuran bangunan: >10.000 m² atau luas tanah: >5 ha) dan Pembangunan taman rekreasi (non-tema) (>100 ha). |
Lain-lain | Produksi furnitur Produksi kerajinan kecil | Pembotolan air (semua ukuran) Konsumsi air (misalnya untuk pembotolan) di hutan | Pembotolan air (laju ekstraksi air tawar: >250 l/dtk, laju ekstraksi air tanah: >50 l/dtk di |
Jenis Proyek | Kategori C (SPPL/tidak ada AMDAL) Resiko Rendah | Kategori B (UKL-UPL) Risiko Sedang | Kategori A/B+ (AMDAL) Risiko Tinggi |
produksi/lindung (<30% dari debit air) Konsumsi air/air minum (50-250 l/dtk dari sungai/danau, 2,5-250 l/dtk dari mata air, 150 l/dtk dari air tanah) Instalasi pengolahan air (50-100 l/dtk) Tambak ikan yang memiliki teknologi (semi) canggih (<50 ha) Industri kerajinan tangan (>30 karyawan) | kawasan seluas < 10 ha). Tambak ikan dengan teknologi (semi) canggih (>50 ha) |
Ambang batas teknis :
AMDAL: Berdasarkan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012
UKL-UPL: Berdasarkan Surat Edaran B-5362/Dep I-1//LH/07/2010 dari Kementerian Lingkungan Hidup kepada semua Gubernur, Bupati, dan Kepala Badan Lingkungan Hidup di tingkat Provinsi dan Kabupaten (berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.13 tahun 2010 tentang UKL, UPL, SPPL) dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10/PRT/M/2008
5.1.4.3 Tahap 3: Manajemen Risiko Lingkungan dan Sosial
Setelah penapisan dan kategorisasi sub-proyek dan identifikasi dampak lingkungan dan sosial dan kebutuhan peningkatan kapasitas, dukungan teknis dan peningkatan kapasitas yang disesuaikan untuk kelompok masyarakat akan dimobilisasi untuk meningkatkan manfaat positif dan meminimalkan risiko terhadap lingkungan dan orang-orang sebagai akibat dari pelaksanaan sub-proyek. Proses ini akan dipasangkan dengan pemantauan kegiatan lingkungan dan sosial di tingkat lokasi, yang dapat dibangun dengan pendekatan-pendekatan berikut:
a. Pemantauan diri oleh kelompok;
b. Pemantauan oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (melalui Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial) dan anggotanya, yaitu KPH, LSM dan lainnya bilamana mungkin); dan
c. Pemantauan oleh pihak ketiga, termasuk kontraktor dan pemasok terpilih.
Evaluasi dan tinjauan akan berfokus pada proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan proyek yang diperlukan dalam ESMF, termasuk:
Catatan konsultasi dan proses Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (Free, Prior, Informed Consent) selama perencanaan kegiatan dan pelaksanaannya dengan Indigenous Peoples atau Masyarakat Adat dan masyarakat lokal. Kajian didasarkan pada kualitas keputusan apakah itu benar-benar dilakukan oleh masyarakat adat dan masyarakat lokal melalui mekanisme pengambilan keputusan yang sesuai dengan budaya, juga pelaksanaan rencana untuk memitigasi dampak negatif;
Catatan pelaksanaan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan, untuk menilai apakah
kegiatan tersebut melibatkan masyarakat adat dan masyarakat lokal;
Catatan konsensus yang dibuat dan perjanjian, termasuk keberatan selama tahap perencanaan;
Bukti RPH, termasuk langkah-langkah mitigasi lingkungan dan sosial terkait yang tertanam dalam keseluruhan perencanaan;
Catatan keseluruhan dukungan teknis dan peningkatan kapasitas dan persepsi pemangku kepentingan tentang dukungan yang diberikan.
Umpan balik dari masyarakat adat dan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan dan hasil mitigasi dampak negatif.
5.2 PERSIAPAN RENCANA AKSI (POA)
Seperti yang disyaratkan sebelumnya, rencana aksi (Plan of Action/PoA) dipersiapkan saat ERP dapat menyebabkan pembatasan akses ke sumber daya alam di kawasan yang dilestarikan dan dilindungi secara hukum dan kawasan ini akan diintegrasikan ke dalam Rencana Pengelolaan Hutan (RPH) perhutanan sosial. Tujuan PoA adalah untuk mengembangkan beberapa strategi/tindakan untuk memastikan masyarakat yang berpotensi terkena dampak berpartisipasi dalam desain komponen proyek, menentukan tujuan kebijakan pemukiman kembali, dan menerapkan dan memantau kegiatan proyek terkait.
PoA akan dikembangkan bersama dengan masyarakat yang terkena dampak untuk menggambarkan pembatasan yang disepakati, skema manajemen, langkah-langkah untuk membantu orang yang terkena dampak dan pengaturan untuk pelaksanaannya. Rencana aksi bisa memiliki banyak bentuk. Rencana aksi ini hanya dapat menggambarkan pembatasan yang disepakati, orang-orang yang terkena dampak, langkah-langkah untuk memitigasi dampak pembatasan ini, dan pengaturan pemantauan dan evaluasi. PoA ini akan dibentuk sesuai dengan Perhutanan Sosial dan Redistribusi Tanah yang sedang berjalan berdasarkan Reformasi Agraria Pemerintah Indonesia (sesuai dengan Peraturan Presiden No. 86 tahun 2018). Konsultasi akan dilakukan berdasarkan asas FPIC dan peraturan Pemerintah Indonesia.
Langkah indikatif konsultasi selama PoA akan dihubungkan dengan dokumen lain, terutama pada konsultasi dan proses FPIC di IPPF:
a. Persiapan: selama proses persiapan, ERP harus melakukan penapisan lokasi, identifikasi OTD, menyiapkan bahan konsultasi dalam konteks lokal, mengirim undangan ke OTD, menunjukkan kepedulian kepada OTD, dll.;
b. Konsultasi: ERP harus melakukan konsultasi dengan OTDP dalam semangat Persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (FPIC) untuk mendapatkan persetujuan atas solusi yang akan diambil sehubungan dengan pembatasan akses. Konsultasi dilakukan secara bebas dan sukarela tanpa manipulasi eksternal, campur tangan, atau paksaan, di mana para pihak yang diajak bermusyawarah memiliki akses sebelumnya ke informasi tentang maksud dan ruang lingkup proyek yang diusulkan dengan cara, bentuk, dan bahasa yang sesuai dengan budayanya. Konsultasi ini juga mengakui ketersediaan Organisasi Masyarakat Adat (OMA) seperti dewan penatua, kepala desa, dan pemimpin suku, dan memberikan perhatian khusus kepada wanita, pemuda, dan orang tua. Konsultasi perlu dimulai lebih awal untuk memberikan lebih banyak ruang dan waktu selama proses pengambilan keputusan.
c. Pengaturan PoA: PoA tertentu akan merujuk hasil konsultasi yang menjadi panduan bagi tim pelaksanaan ERP untuk membuat keputusan dan solusi dalam masalah pembatasan akses. Keputusan dan rekomendasi PoA akan didasarkan pada peraturan Pemerintah Indonesia.
PoA dimungkinkan untuk mengadopsi mekanisme, kearifan, dan kebijakan lokal sepanjang sesuai dengan peraturan Pemerintah Indonesia. Dokumen PoA harus mencerminkan uraian komponen program, identifikasi OTD, kondisi dasar masyarakat terkena dampak, metode pemulihan mata pencaharian, dan mekanisme penyelesaian sengketa/konflik yang mungkin terjadi dalam Program;
d. Perjanjian formal: perjanjian akan ditandatangani oleh semua peserta/perwakilan dari peserta untuk memformalkan PoA. Proses konsultasi akan dicatat dan didokumentasikan untuk memenuhi standar administrasi.
5.3 KERANGKA PERENCANAAN PEMUKIMAN KEMBALI
Di skenario kedua, jika pemukiman kembali masyarakat yang bergantung pada hutan dipertimbangkan dalam ERP meskipun dari jarak jauh, bagian-bagian berikut menguraikan proses- proses utama sebagai pedoman untuk persiapan Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP).
5.3.1 Proses untuk Penapis, Mempersiapkan dan Menyetujui RAP
Bagian ini menguraikan proses langkah demi langkah yang akan diambil proyek ER untuk menentukan apakah sub proyek akan mengakibatkan pemindahan fisik atau ekonomi, dan oleh karena itu apakah RAP diperlukan dan, jika iya, bagaimana menyiapkan dan melaksanakannya. Bagian 4.3 menjelaskan proses penapisan (screening), sementara bagian selanjutnya menjelaskan tindakan terperinci yang diperlukan untuk menyiapkan RAP. Proses penapisan yang disajikan di bawah ini akan memastikan bahwa sub proyek yang dipresentasikan ke proyek ER untuk pendanaan mematuhi persyaratan OP 4.12 dan Undang-Undang Indonesia No. 2 tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
5.3.2 Penapisan Risiko
Penapisan awal akan dilakukan oleh spesialis pengamanan lingkungan dan sosial terkait sebagaimana dipandu dalam kerangka kerja ini. Penapisan tersebut dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan memahami potensi risiko yang terkait dengan pembatasan akses dan pemukiman kembali berdasarkan komponen-komponen terkait yang dijelaskan di Tabel 4. Penapisan ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi kawasan konflik, klaim adat dan risiko terkaitnya jika ERP bertujuan untuk menargetkan kawasan ini. Jika kawasan-kawasan ini dinilai “berisiko tinggi” dengan menggunakan parameter sosial yang disepakati (yaitu, konflik, ketegangan, klaim tumpang tindih, sistem lokal yang tidak berfungsi untuk resolusi konflik, dll.), tim pengamanan di SEKDA akan memfasilitasi koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait untuk mendefinisikan pendekatan yang tepat serta sumber daya dan strategi keterlibatan. Kawasan-kawasan berisiko tinggi ini akan membutuhkan berbagai perlakuan sebelum kegiatan ERP dilaksanakan. Perlakuan-perlakuan ini termasuk memperkuat sistem mediasi sengketa lokal, fasilitasi tingkat desa, koordinasi dengan pihak- pihak yang berkonflik, dll. Berbagai perlakuan tersebut juga diharapkan untuk memfasilitasi konsensus bersama di antara pihak-pihak yang berkonflik.
Di mana ada kurangnya komitmen politik dan kelembagaan dan kapasitas di antara lembaga- lembaga utama untuk terlibat dan mengatasi risiko yang relevan terkait dengan demarkasi batas hutan dan penyelesaian sengketa, SEKDA, dengan rekomendasi dari lembaga terkait dan spesialis
pengamanan, akan menunda atau mengecualikan kawasan sasaran yang dimaksud sampai komitmen tersebut dapat dibuktikan.
Penapisan risiko pada tingkat kegiatan digunakan untuk mengidentifikasi jenis dan sifat potensi dampak terkait dengan kegiatan yang diusulkan dalam Proyek dan untuk memberikan langkah- langkah yang memadai untuk mengatasi dampak tersebut. Penapisan untuk masalah pemukiman kembali dan pembatasan akses harus menjadi bagian dari penapisan lingkungan dan sosial, sebagaimana dirinci dalam ESMF. Penapisan ini diharapkan untuk mengidentifikasi dan mempertimbangkan risiko yang relevan terkait dengan pembatasan akses dan pemukiman kembali sedini mungkin.
Formulir daftar periksa penapisan disediakan di Lampiran A1 dan akan dimasukkan ke dalam Manual Pelaksanaan Program. Daftar periksa penapisan akan diisi oleh Petugas Pembangunan Kabupaten dan diserahkan kepada Komite Pemukiman Kembali untuk keputusan. Apabila kelompok rentan dan terpinggirkan mungkin terkena dampak, IPPF memberikan rekomendasi tambahan apakah pembenaran untuk pemukiman kembali secara fisik dan/atau ekonomi dan/atau apakah pilihan yang diusulkan diberikan oleh kelompok rentan dan terpinggirkan yang terkena dampak.
5.3.3 Pertimbangan Alternatif
Atas dasar penapisan, Pemerintah Provinsi akan mengusulkan pilihan berikut mana yang harus diterapkan:
a. Desain dan/atau lokasi proyek alternatif dalam pandangan untuk menghindari dan/atau mengurangi risiko pemindahan;
b. Pilihan untuk menghindari dampak dan langkah-langkah mitigasi, termasuk persyaratan anggaran;
c. Jika pilihan-pilihan alternatif telah habis dan risiko tersebut tidak dapat dihindari, proses dan konsultasi diperlukan sehubungan dengan RPF dan PF.
Spesialis pengamanan di tingkat provinsi akan mengembangkan profil lingkungan dan sosial tingkat kabupaten yang akan diperbarui secara berkala berdasarkan informasi yang diberikan oleh lembaga pelaksana untuk memastikan bahwa risiko yang muncul diidentifikasi sebagaimana mestinya, dan sumber daya serta tindakan mitigasi yang diperlukan dapat dimobilisasi.
Tim pengamanan di SEKDA akan bertanggung jawab untuk menilai jika langkah-langkah mitigasi yang diperlukan, termasuk RAP, PoA dan/atau Rencana Pembangunan berbasis masyarakat yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga terkait sebagaimana disyaratkan dalam kerangka kerja, dapat diterima sesuai dengan OP 4.12 Bank Dunia dan apakah pelaksana yang bertanggung jawab memiliki kapasitas manajemen risiko yang memadai untuk melaksanakan rencana yang disepakati. Proyek dapat memberikan dukungan bantuan teknis kepada lembaga pelaksana terkait untuk memperkuat manajemen risiko lingkungan dan sosialnya, khususnya dalam menghindari risiko pemukiman kembali dan meminimalkan risiko yang terkait dengan pembatasan akses.
Berdasarkan Komponen 5, di tingkat provinsi dan kabupaten, ERP akan mendukung koordinasi antar lembaga pelaksana untuk memastikan bahwa data dan informasi yang berkaitan dengan penggunaan lahan dan pendudukan di kawasan Hutan Negara yang dihasilkan melalui kegiatan demarkasi batas
hutan dan proses penyelesaian sengketa disepakati bersama oleh masing-masing lembaga dan ada tindakan lanjutan untuk memitigasi potensi risiko dan dampak.
Program ini juga berupaya memfasilitasi koordinasi lintas-sektoral, khususnya untuk mengatasi kawasan tumpang tindih antara kehutanan dan pertambangan atau perkebunan. Koordinasi tersebut akan dipimpin oleh Xxxx Xxxekonomian Kantor Gubernur.
5.3.4 Data Dasar dan Data Sosial-Ekonomi
Hanya jika RAP diperlukan karena risiko pemukiman kembali yang diantisipasi akibat dari pelaksanaan kegiatan tertentu berdasarkan ERP, kajian dasar profil sosial-ekonomi OTDP akan diperlukan.
Aspek penting dalam mempersiapkan RAP adalah untuk menetapkan data dasar sosio-ekonomi yang tepat untuk mengidentifikasi orang-orang yang akan direlokasi oleh masing-masing sub proyek, untuk menentukan siapa yang akan memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi dan bantuan, dan untuk mencegah masuknya orang yang tidak memenuhi syarat atas manfaat ini.
OTDP dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok:
Mereka yang memiliki hak hukum formal atas tanah yang mereka duduki;
Mereka yang tidak memiliki hak hukum formal atas tanah, tetapi memiliki klaim atas tanah yang diakui atau dapat diakui berdasarkan hukum nasional termasuk tindakan-tindakan yang diberlakukan oleh rancangan kebijakan pertanahan; atau
Mereka yang tidak memiliki hak hukum yang dapat diakui atau klaim atas tanah yang mereka duduki.
Singkatnya, sensus mengkonsolidasikan informasi yang (1) memberikan informasi awal tentang skala pemukiman kembali yang akan dilakukan; (2) memberikan indikasi penelitian sosial ekonomi lebih lanjut yang diperlukan untuk mengukur kerugian yang akan dikompensasi dan, jika diperlukan, untuk merancang intervensi pembangunan yang sesuai; dan (3) menetapkan indikator yang dapat diukur di kemudian hari selama pemantauan dan evaluasi.
Data dasar untuk RAP sub proyek akan mencakup: jumlah orang; jumlah, jenis, dan luas rumah yang akan terkena dampak; jumlah, kategori dan luas petak perumahan dan lahan pertanian yang akan terkena dampak; dan aset produktif yang akan terkena dampak sebagai persentase dari total aset produktif. Komisioner Distrik yang ditugaskan kepada Kementerian Lahan dan Pemukiman, dari Komite Pemukiman Kembali akan memutuskan ruang lingkup RAP berdasarkan tinjauan data ini.
5.3.5 Persiapan Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP)
Isi tertentu RAP akan bergantung pada hal yang belum dikonfirmasi seperti lokasi, jumlah orang yang mungkin terkena dampak (dengan cara yang berbeda) dan memenuhi syarat untuk bantuan terkait pemukiman kembali. Apabila risiko tersebut dipertimbangkan, lembaga pelaksana yang bertanggung jawab perlu menyiapkan RAP.
Isi umum RAP meliputi:
a. Uraian proyek: Uraian proyek, kegiatan dan ringkasan potensi dampak pemukiman kembali.
b. Potensi dampak proyek: Uraian komponen proyek atau kegiatan yang menimbulkan pemukiman kembali; zona dampak dari komponen atau kegiatan tersebut; alternatif yang dipertimbangkan untuk menghindari atau meminimalkan pemukiman kembali; dan mekanisme yang dibentuk untuk meminimalkan pemukiman kembali, sejauh mungkin, selama pelaksanaan proyek.
c. Tujuan dan penelitian yang dilakukan: Tujuan program pemukiman kembali dan ringkasan penelitian yang dilakukan untuk mendukung perencanaan dan pelaksanaan pemukiman kembali.
d. Kerangka kerja pengaturan: Hukum dan peraturan terkait dan standar internasional termasuk kebijakan dan prosedur Bank Dunia.
e. Kerangka kerja kelembagaan: Lembaga dan tanggung jawab terkait untuk pemrograman pemukiman kembali.
f. Keterlibatan pemangku kepentingan: Jadwal konsultasi dan partisipasi serta interaksi dengan OTDP selama persiapan RAP. Pengaturan pengungkapan RAP.
g. Karakteristik sosial ekonomi: Temuan penelitian sosial ekonomi yang akan dilakukan dengan melibatkan orang-orang yang berpotensi direlokasi, termasuk hasil survei rumah tangga dan sensus, informasi tentang kelompok rentan, informasi tentang mata pencaharian dan standar hidup, penguasaan tanah dan sistem transfer, pemanfaatan sumber daya alam, pola interaksi sosial, layanan sosial dan infrastruktur publik.
h. Kelayakan: Definisi orang-orang yang direlokasi dan kriteria untuk menentukan kelayakan mereka atas kompensasi dan bantuan pemukiman kembali lainnya, termasuk tanggal dimulainya tenggat terkait.
i. Kajian dan kompensasi atas kerugian: Metodologi yang digunakan dalam menilai kerugian untuk menentukan biaya penggantiannya; dan uraian tentang jenis dan tingkat kompensasi yang diusulkan berdasarkan hukum lokal; dan langkah-langkah tambahan yang diperlukan untuk mencapai biaya penggantian untuk aset yang hilang.
j. Besarnya pemindahan: Ringkasan jumlah orang, rumah tangga, struktur, bangunan publik, bisnis, lahan pertanian, dan gereja yang akan terdampak.
matriks hak telah dipersiapkan sebagai bagian dari RPF, yang dapat dilihat di Lampiran A4.
Pedoman umum untuk mengembangkan
k. Kerangka kerja hak: Kategori orang terkena dampak dan pilihan apa sudah atau akan ditawarkan, lebih baik dirangkum dalam bentuk tabel.
l. Langkah-langkah pemulihan mata pencaharian: Berbagai langkah yang akan digunakan untuk meningkatkan atau memulihkan mata pencaharian orang-orang yang direlokasi.
m. Lokasi pemukiman kembali: Pemilihan lokasi, persiapan lokasi, dan relokasi, lokasi relokasi alternatif yang dipertimbangkan; penjelasan tentang lokasi yang dipilih, dan dampaknya pada masyarakat tuan rumah.
n. Perumahan, infrastruktur, dan layanan sosial: Rencana untuk menyediakan (atau membiayai penyediaan pemukim pindahan untuk) perumahan, infrastruktur (misalnya pasokan air bersih, jalan pengumpan), dan layanan sosial (misalnya sekolah, layanan kesehatan); rencana untuk
memastikan layanan yang berimbang dengan penduduk tuan rumah; pembangunan situs, teknik, dan desain arsitektur yang diperlukan untuk fasilitas ini.
o. Prosedur keluhan: Prosedur yang terjangkau dan mudah diakses untuk penyelesaian sengketa pihak ketiga yang timbul dari pemukiman kembali; keluhan tersebut harus mempertimbangkan ketersediaan sumber daya yudisial dan penyelesaian sengketa masyarakat dan tradisional.
p. Tanggung jawab organisasi: Kerangka kerja organisasi untuk melaksanakan pemukiman kembali, termasuk identifikasi lembaga yang bertanggung jawab untuk memberikan tindakan pemukiman kembali dan penyediaan layanan; pengaturan untuk memastikan bahwa ada koordinasi yang tepat antara lembaga dan yurisdiksi yang terlibat dalam pelaksanaannya; dan setiap tindakan (termasuk bantuan teknis) yang diperlukan untuk memperkuat kapasitas lembaga pelaksana dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pemukiman kembali; ketentuan untuk transfer ke pejabat daerah atau mereka yang dimukimkan kembali, tanggung jawab untuk mengelola fasilitas dan layanan yang disediakan dalam proyek dan untuk mentransfer tanggung jawab lain tersebut dari lembaga pelaksana pemukiman kembali, bila perlu.
q. Jadwal pelaksanaan: Jadwal yang mencakup semua kegiatan pemukiman kembali mulai dari persiapan hingga pelaksanaan, termasuk tanggal target untuk pencapaian manfaat yang diharapkan bagi mereka yang bermukim kembali dan tuan rumah mereka, dan menerapkan berbagai bentuk bantuan. Jadwal harus menunjukkan bagaimana kegiatan pemukiman kembali terkait dengan keseluruhan pelaksanaan proyek.
r. Biaya dan anggaran: Tabel yang menunjukkan perkiraan biaya terperinci untuk semua kegiatan pemukiman kembali, termasuk tunjangan inflasi, pertumbuhan penduduk, dan kemungkinan lain; jadwal pengeluaran; sumber dana; dan pengaturan aliran dana yang tepat waktu, dan pendanaan pemukiman kembali, jika ada, di kawasan di luar yurisdiksi lembaga pelaksana.
s. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan: Pengaturan pemantauan kegiatan pemukiman kembali lembaga pelaksana, dilengkapi dengan pemantau independen untuk memastikan informasi yang lengkap dan obyektif; indikator pemantauan kinerja untuk mengukur input, output, dan hasil kegiatan pemukiman kembali; keterlibatan orang-orang yang direlokasi dalam proses pemantauan; evaluasi dampak pemukiman kembali untuk jangka waktu tertentu setelah semua pemukiman kembali dan kegiatan pembangunan terkait telah selesai; penggunaan hasil pemantauan pemukiman kembali untuk menjadi pedoman bagi pelaksanaan selanjutnya.
5.4 TINJAUAN DAN IZIN
Sub proyek yang akan diusulkan oleh Dewan Distrik akan disetujui oleh Komite Pemukiman Kembali (RC). RC akan meninjau kelayakan sub-proyek berdasarkan kajian lapangan, yang mencakup hasil penapisan sosial dan lingkungan yang digunakan.
RAP akan diserahkan setelah selesai ke komite keputusan yang didesentralisasi untuk penapisan dan persetujuan sesuai dengan pengaturan administrasi kelembagaan proyek. Diperkirakan bahwa Dewan Distrik tidak akan memiliki kapasitas kelembagaan untuk mempersiapkan RAP atau penelitian selama awal program dan dengan demikian akan dibantu dan didukung oleh penyedia layanan
lokal/LSM. Kementerian Pertanahan harus memiliki perwakilan di tingkat kabupaten untuk memberikan dukungan teknis yang diperlukan di tingkat ini.
Setelah izin dari Komite Pemukiman Kembali, kegiatan kompensasi, pemukiman kembali, dan rehabilitasi RAP akan diselesaikan dengan memuaskan dan diverifikasi oleh masyarakat sebelum dana dapat dicairkan untuk pekerjaan sipil dalam sub proyek.
Lembaga Pelaksana dan Bank Dunia juga akan meninjau EMP dan RAP yang dikembangkan untuk subproyek. Untuk penjaminan kualitas, RAP yang dipersiapkan untuk subproyek harus diserahkan ke Bank Dunia untuk ditinjau untuk memastikan bahwa RAP dibuat sesuai dengan OP 4.12. Kesenjangan dalam kualitas harus diatasi melalui pelatihan di tingkat kabupaten untuk penyedia layanan dan pengulas terkait, yang didanai oleh proyek sebagai bagian dari anggaran untuk peningkatan kapasitas. Komisaris Tanah kemudian dapat meninjau RAP berikutnya yang dipersiapkan di seluruh sisa proyek, dengan proses peninjauan independen tahunan yang dipimpin oleh DGCC.
5.5 MEKANISME KELUHAN
Penanganan keluhan dipandu oleh Lampiran 7 ESMF dan berupaya mengarusutamakan mediasi sengketa dan proses yang ada sebagai bagian dari komponen 1.2 ERP tentang Penyelesaian Sengketa. Program ER memberikan mandat kepada SEKDA Provinsi sebagai badan penanggung jawab dan juga menangani penyelesaian sengketa. Namun, penyelesaian sengketa tanah di dalam kawasan Hutan Negara akan diselesaikan berdasarkan Keputusan Presiden No. 88 tahun 2017 Jo. Peraturan KKBP No. 3 tahun 2018 yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian akan menjadi Ketua di Tingkat Nasional dan Gubernur di tingkat lokal.
Pada saat RAP disetujui dan kompensasi individu, dan bantuan pemulihan mata pencaharian telah disediakan, individu dan rumah tangga terkena dampak akan diberitahu tentang proses untuk mengekspresikan ketidakpuasan dan untuk mencari ganti rugi. Prosedur keluhan akan cukup sederhana dan akan dikelola sejauh mungkin di tingkat lokal untuk memfasilitasi akses oleh OTD.
Semua keluhan terkait tidak terpenuhinya perjanjian kompensasi, tingkat kompensasi dan bantuan pemulihan mata pencaharian, atau penyitaan aset tanpa kompensasi harus ditujukan kepada kepala badan pelaksana yang bertanggung jawab melalui pengawasan dari SEKDA provinsi.
Semua upaya harus dilakukan untuk menyelesaikan keluhan secara damai. Mereka yang mencari ganti rugi dan ingin menyampaikan keluhan akan melakukannya dengan memberi tahu kepala desa atau pemimpin terpilih sebagai focal point masyarakat. Focal point ini akan menginformasikan dan berkonsultasi dengan lembaga pelaksana untuk menentukan validitas klaim. Jika valid, focal point akan memberi tahu pengadu dan dia akan dibantu. Jika klaim pengadu ditolak, masalah tersebut harus diajukan ke lembaga pelaksana untuk penyelesaian. Mediasi mungkin diperlukan untuk mengatasi keluhan ini.
Perlu dicatat bahwa di masyarakat lokal, orang perlu waktu untuk memutuskan untuk memberikan keluhan ketika dirugikan. Oleh karena itu, prosedur keluhan akan memastikan bahwa OTDP diberi informasi yang memadai tentang prosedur tersebut, sebelum aset mereka diambil. Mekanisme penanganan keluhan dirancang dengan tujuan menyelesaikan sengketa secepat mungkin, yang akan menjadi kepentingan semua pihak terkait dan karenanya, prosedur keluhan secara implisit mencegah merujuk masalah-masalah tersebut ke Pengadilan untuk penyelesaian.
Rencana kompensasi dan pemukiman kembali (kontrak) akan mengikat berdasarkan undang-undang dan akan mengakui bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur administrasi dan penguasaan tanah di kawasan pedesaan/desa. Hukum inilah yang digunakan dan dipahami penduduk yang tinggal di kawasan ini.
Semua keberatan atas pengadaan tanah harus dibuat secara tertulis, dalam bahasa yang dipahami dan familiar dengan OTD, oleh Pemimpin Daerah. Salinan pengaduan akan dikirim ke Tim Perencanaan Proyek dan Spesialis Pemukiman Kembali dan Menteri terkait untuk urusan tanah, dalam waktu 20 hari setelah pemberitahuan ke publik. Menyalurkan aduan melalui Pimpinan Lokal ditujukan untuk mengatasi masalah jarak dan biaya yang harus dihadapi oleh OTD.
Pimpinan Daerah harus memelihara catatan keluhan dan pengaduan, termasuk catatan diskusi, rekomendasi dan resolusi yang dibuat. Mekanisme keluhan akan mengikuti diagram alur yang telah dikembangkan dalam Kerangka Kerja Mekanisme Penanganan Keluhan (FGRM).
Prosedur untuk menangani keluhan harus sebagai berikut:
1. OTDP harus mengajukan keluhannya secara tertulis kepada Pimpinan Daerah/lembaga resmi. Catatan keluhan harus ditandatangani dan diberi tanggal oleh orang yang dirugikan. Apabila OTDP tidak dapat menulis, ia harus mendapatkan bantuan untuk menulis catatan itu dan membubuhi surat itu dengan cap jempolnya. Contoh formulir keluhan disediakan di Dokumen GRM;
2. Pimpinan Daerah/lembaga yang berwenang harus merespons pada hari tertentu (berdasarkan mekanisme kelembagaan) di mana setiap pertemuan dan diskusi yang akan diadakan dengan orang yang dirugikan harus dilakukan. Jika ada keluhan terkait dengan penilaian aset, para ahli mungkin perlu diminta untuk menilai kembali aset, dan ini mungkin memerlukan jangka waktu yang lebih lama. Dalam hal ini, Pemimpin Daerah harus memberi tahu orang yang dirugikan bahwa aduannya sedang dipertimbangkan;
3. Jika orang yang dirugikan tidak menerima tanggapan atau tidak puas dengan hasilnya dalam waktu yang disepakati, ia dapat mengajukan keluhannya ke tingkat yang lebih tinggi; dan
4. Pemerintah Daerah atau Dewan Kota kemudian akan berusaha untuk menyelesaikan masalah (melalui dialog dan negosiasi) dalam waktu 14 hari setelah pengaduan diajukan. Jika tidak ada kesepakatan yang dicapai pada tahap ini, maka pengaduan tersebut dibawa ke Pengadilan Hukum masing-masing negara.
GRM untuk Program ER akan merujuk ke dokumen FGRM.
GRM khusus tentang sengketa tanah di kawasan hutan akan didasarkan pada Keputusan Presiden No. 88 tahun 2017 dan mekanisme operasional akan didasarkan pada Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. 3 tahun 2018 dan Peraturan KLHK No. P.84 tahun 2015 (Gambar 2). Selain itu, GRM sengketa tanah di luar hutan akan mengacu pada UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan.
5.6 KONSENSUS, NEGOSIASI DAN RESOLUSI KONFLIK
Konsensus dan negosiasi sangat penting untuk mengatasi keluhan. Secara umum, orang sadar akan hak-hak mereka, komitmen mereka terhadap negara sebagai warga negara dan kesetiaan mereka pada masalah desa dan keluarga. Untuk alasan ini, banyak proyek masyarakat yang didanai pemerintah telah dilaksanakan tanpa hambatan dari OTDP.
Namun, beberapa proyek diketahui macet karena keterlambatan pencairan kompensasi. Oleh karena itu, negosiasi sebelumnya antara perwakilan Pemerintah dan penerima manfaat proyek, sangat penting untuk keberhasilan atau kegagalan proyek. Sebagai prinsip panduan, penekanan harus ditempatkan pada kesederhanaan dan kedekatan mekanisme resolusi konflik kepada OTDP dan hal- hal berikut harus dicatat:
a. Negosiasi dan kesepakatan dengan konsensus akan memberikan jalan terbaik untuk menyelesaikan setiap keluhan yang diungkapkan oleh masing-masing pemilik tanah atau rumah tangga yang terkena dampak proyek-proyek masyarakat. Keluhan ini harus disalurkan melalui Kepala atau pemimpin setempat.
b. Tim perencanaan Proyek harus memastikan bahwa pihak-pihak utama yang terlibat dalam mencapai konsensus secara bebas. Perwakilan pemerintah terkait harus dengan jelas memberi tahu masyarakat umum, tentang siapa yang bertanggung jawab atas kegiatan dan prosedur untuk menangani keluhan atau klaim kompensasi.
c. Keluhan harus ditangani selama proses verifikasi dan kajian. Jika solusi yang sesuai tidak ditemukan, tim Perencanaan Proyek harus menunda persetujuan proyek dan kegiatan proyek yang bersangkutan tidak akan diizinkan untuk dilanjutkan.
d. Keluhan yang solusinya belum ditemukan harus dirujuk kembali ke masyarakat untuk diskusi di mana Pemimpin Daerah dan Administrasi Distrik akan memperbaiki masalah yang menjadi perhatian untuk membantu para penuntut. Proses mediasi akan dilaksanakan sesuai dengan metode mediasi/resolusi konflik tradisional. Resolusi tersebut kemudian akan didokumentasikan pada formulir persetujuan terkait dan diverifikasi.
e. Jika perjanjian tidak dapat dicapai di tingkat masyarakat, pihak atau pihak-pihak yang dirugikan harus menyampaikan urusan mereka kepada tim Perencanaan Proyek yang akan merujuk mereka ke masing-masing Administrasi Distrik, dalam waktu 20 hari dari pertemuan verifikasi. Keluhan yang tidak dapat diselesaikan di tingkat Lokal dan Distrik harus diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Administrasi Distrik dan kepada lembaga pelaksana. Jika keluhan tetap belum terselesaikan di tingkat ini, keluhan tersebut dapat dirujuk ke pengadilan masing-masing negara.
5.7 PENGATURAN PENDANAAN
Kebijakan Bank Dunia mensyaratkan bahwa RPF dan PF memberikan uraian pendanaan langkah- langkah dukungan mata pencaharian alternatif dan/atau pemukiman kembali, termasuk persiapan dan peninjauan estimasi biaya, aliran dana dan pengaturan kontinjensi.
Pada tahap persiapan ini, di mana risiko pemukiman kembali dan pembatasan akses bersama dengan lokasinya tidak dapat ditentukan, dan jumlah OTDP tidak dapat diidentifikasi, tidak mungkin untuk memberikan estimasi anggaran atas total biaya pemukiman kembali yang mungkin terkait
dengan pelaksanaan RPF dan PF. Biaya keseluruhan dukungan mata pencaharian alternatif dan/atau pemukiman kembali tidak dapat ditentukan pada tahap ini, karena jumlah orang yang mungkin terkena dampak (bisa jadi nol), serta kapan atau di mananya masih tidak diketahui seperti halnya sifat, luas dan skalanya.
Jika terjadi pemukiman kembali, maka RAP atau PoA pertama-tama harus menentukan sumber khusus dana Pemerintah untuk digunakan untuk melaksanakan komitmen terkait pemukiman kembali yang dianggarkan.
Dana untuk melaksanakan penilaian inventarisasi dan rencana aksi pemukiman kembali akan disediakan oleh lembaga pelaksana. Secara umum, beban biaya kompensasi akan ditanggung oleh masing-masing lembaga pelaksana RAP.
SEKDA akan bertanggung jawab agar keuangan yang dibutuhkan tersedia dan/atau memastikan bahwa keuangan diarahkan menuju kegiatan RAP atau PoA.
5.8 PERSYARATAN PENGUNGKAPAN DAN KONSULTASI
Terdampak Proyek ditingkatkan atau setidaknya dipulihkan.
Semua informasi terkait dengan pemukiman kembali termasuk RAP dan PoA akan diungkapkan melalui situs web Program. Informasi terkait rencana ini akan disebarluaskan ke masyarakat yang terkena dampak dalam bahasa dan cara yang dapat diakses dan sesuai bagi mereka. Proyek ini akan berkonsultasi dan memfasilitasi partisipasi masyarakat dan orang terdampak, termasuk masyarakat tuan rumah, dalam proses pengambilan keputusan terkait pemukiman kembali. SEKDA dan DDPI akan memastikan bahwa konsultasi akan berlanjut selama pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
pembayaran kompensasi dan pemukiman kembali untuk mencapai bahwa kondisi kehidupan Orang
6.0 PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pemantauan adalah proses evaluasi berkesinambungan dari pelaksanaan ERP dan merespon risiko yang muncul yang dipertimbangkan dalam RPF dan PF. Proses pemantauan yang berfungsi memberikan loop umpan balik kepada lembaga terkait untuk mengatasi masalah sistematis serta risiko yang muncul selama pelaksanaan ERP, dan oleh karena itu prinsip-prinsip utama penghindaran risiko dan minimalisasi melalui RPF dan PF ini dapat dicapai.
6.1 PEMANTAUAN INTERNAL
Pemantauan risiko tingkat kabupaten akan dikembangkan dan dikelola oleh tim pengamanan di SEKDA, pemantauan rutin akan dilakukan berdasarkan pemantauan ESMF, di samping laporan pemantauan pengamanan reguler yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Pelaksanaan Pengamanan (SIS) REDD+. Kabupaten dengan profil berisiko tinggi akan menerima dukungan dan fasilitasi lebih lanjut untuk mengatasi potensi risiko yang sesuai dengan kerangka kerja ini.
Tim pengamanan SEKDA akan berhubungan secara berkala (mingguan) dengan masing-masing kepala/koordinator di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten untuk memberikan pembaruan jika ada risiko yang muncul.
Apabila RAP dan PoA diperlukan, pemantauan internal pelaksanaan RAP dan PoA dari sub proyek tetap menjadi tanggung jawab lembaga pelaksana dengan pengawasan dari tim pengamanan di SEKDA dan bantuan teknis dari konsultan program jika diperlukan. Lembaga pelaksana akan memantau kemajuan persiapan RAP dan pelaksanaan di seluruh laporan kemajuan rutin.
Kriteria pemantauan internal termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. Pembayaran kompensasi bagi rumah tangga terdampak untuk berbagai jenis kerusakan sesuai dengan kebijakan kompensasi yang diuraikan dalam rencana pemukiman kembali;
b. Pelaksanaan bantuan teknis, relokasi, pembayaran tunjangan dan bantuan relokasi;
c. Pelaksanaan pemulihan pendapatan dan hak atas bantuan pemulihan;
d. Penyebaran informasi dan prosedur konsultasi;
e. Pemantauan prosedur pengaduan, masalah yang ada yang membutuhkan perhatian yang dapat dikelola; dan
f. Memprioritaskan orang yang terkena dampak pada pilihan yang diusulkan.
Masing-masing lembaga pelaksana akan mengumpulkan informasi setiap bulan dari berbagai komite pemukiman kembali. Basis data yang melacak pelaksanaan Program pemukiman kembali akan dipertahankan dan diperbarui setiap bulan.
Lembaga-lembaga eksekutif akan menyerahkan laporan pemantauan internal tentang pelaksanaan RAP dan PoA sebagai bagian laporan triwulanan yang seharusnya mereka serahkan kepada SEKDA dan Bank Dunia. Laporan harus berisi informasi berikut:
a. Jumlah orang yang terkena dampak sesuai dengan jenis efek dan komponen program dan status kompensasi, relokasi dan pemulihan pendapatan untuk setiap item;
b. Biaya yang didistribusikan untuk kegiatan atau untuk pembayaran kompensasi dan biaya yang dikeluarkan untuk setiap kegiatan;
c. Daftar pengaduan luar biasa;
d. Hasil akhir pada penyelesaian pengaduan dan masalah-masalah luar biasa yang menuntut lembaga manajemen di semua tingkatan untuk diselesaikan; dan
e. Masalah yang muncul dalam proses pelaksanaan. .
6.2 PEMANTAUAN INDEPENDEN
Tujuan umum pemantauan independen adalah untuk secara berkala memasok pemantauan independen dan menilai hasil pada pelaksanaan tujuan pemukiman kembali, pada perubahan standar hidup dan pekerjaan, pemulihan pendapatan dan mata pencaharian OTD, efektivitas, dampak dan keberlanjutan hak-hak orang yang terkena dampak, dan tentang perlunya langkah-langkah mitigasi (jika ada) dalam upaya untuk membawa pelajaran strategis untuk pengembangan kebijakan di masa depan dan perencanaan program.
Apabila RAP diperlukan, SEKDA dan/atau KLHK akan menyewa organisasi untuk pemantauan dan evaluasi independen terhadap pelaksanaan RAP. Organisasi ini perlu dilengkapi dengan keahlian dalam kajian dampak sosial, termasuk pemukiman kembali, dan memiliki pengalaman dalam pemantauan independen terhadap RAP. Organisasi ini harus memulai pekerjaannya segera setelah pelaksanaan program dimulai.
Indikator-indikator berikut akan dipantau dan dievaluasi melalui pemantauan independen, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. Pembayaran kompensasi akan sebagai berikut: (a) pembayaran penuh harus dilakukan kepada semua orang yang terkena dampak secara memadai sebelum pengadaan tanah; (b) kecukupan pembayaran untuk mengganti aset yang terkena dampak;
b. Penyediaan bantuan untuk OTDP yang harus membangun kembali rumah mereka di tanah mereka yang tersisa, atau membangun rumah mereka di tempat-tempat baru sebagaimana diatur oleh proyek, atau di bidang tanah yang baru diberikan;
c. Bantuan untuk memulihkan sumber mata pencaharian/pendapatan;
d. Konsultasi masyarakat dan diseminasi publik mengenai kebijakan kompensasi: (a) OTDP harus sepenuhnya diberi informasi dan diajak bermusyawarah mengenai kegiatan pengadaan tanah, penyewaan dan relokasi; (b) lembaga pemantauan independen harus menghadiri setidaknya satu pertemuan konsultasi masyarakat untuk memantau prosedur konsultasi masyarakat, masalah dan isu yang timbul selama pertemuan, dan mengusulkan solusi; (c) kesadaran publik akan kebijakan kompensasi dan hak akan dikaji di antara OTDP; dan (d) kajian kesadaran akan berbagai pilihan yang tersedia untuk OTDP sebagaimana diatur dalam RAP;
e. Orang terkena dampak harus dipantau terkait pemulihan kegiatan produktif;
f. Kepuasan OTDP pada berbagai aspek RAP akan dipantau dan dicatat. Operasi mekanisme pengaduan dan kecepatan penyelesaian pengaduan akan dipantau; dan
g. Melalui pelaksanaan, tren standar kehidupan akan diamati dan disurvei. Setiap potensi masalah dalam pemulihan standar hidup dilaporkan dan langkah-langkah yang sesuai akan diusulkan untuk memastikan tujuan program terpenuhi.
6.3 METODOLOGI PEMANTAUAN INDEPENDEN
6.3.1 Penyimpanan Basis Data
Organisasi pemantauan independen akan memelihara basis data informasi pemantauan pemukiman kembali. Basis data ini akan berisi file hasil pemantauan independen, rumah tangga dipantau dan akan diperbarui berdasarkan informasi yang dikumpulkan dalam putaran pengumpulan data berturut- turut. Semua basis data yang disusun oleh SEKDA akan dapat diakses sepenuhnya oleh organisasi pemantau independen.
6.3.2 Laporan
Organisasi pemantau independen harus menyerahkan laporan berkala setiap enam bulan tentang temuan dalam proses pemantauan. Laporan pemantauan ini akan diserahkan ke SEKDA, dan kemudian SEKDA akan menyerahkannya kepada Bank Dunia dalam bentuk lampiran laporan kemajuan.
Laporan tersebut harus memuat: (i) laporan tentang kemajuan pelaksanaan RAP; (ii) penyimpangan, jika ada, dari ketentuan dan prinsip RAP; (iii) identifikasi masalah-masalah luar biasa dan solusi yang direkomendasikan sehingga badan-badan eksekutif diinformasikan tentang situasi yang sedang berlangsung dan dapat menyelesaikan masalah secara tepat waktu; dan (iv) laporan tentang kemajuan tindak lanjut masalah dan masalah yang diidentifikasi dalam laporan sebelumnya.
6.3.3 Laporan Pemantauan Lanjutan
Laporan pemantauan akan dibahas dalam pertemuan antara organisasi pemantau independen dan SEKDA. SEKDA akan mengadakan pertemuan segera setelah menerima laporan. Kegiatan tindak lanjut yang diperlukan akan dilakukan berdasarkan masalah dan masalah yang diidentifikasi dalam laporan dan diskusi tindak lanjut.
6.3.4 Laporan Evaluasi Setelah Kegiatan
Laporan ini adalah evaluasi pada titik waktu tertentu mengenai dampak penyelesaian pemukiman kembali untuk menilai apakah RAP sudah mencapai tujuan yang dinyatakan. Organisasi pemantau independen akan melakukan evaluasi proses pemukiman kembali dan dampaknya selama 6 hingga 12 bulan setelah selesainya semua kegiatan pemukiman kembali. Kuesioner survei untuk evaluasi digunakan berdasarkan pada basis data dalam sistem basis data program dan pertanyaan yang digunakan dalam kegiatan pemantauan.
Pada akhirnya, ringkasan evaluasi pemukiman kembali setelah kegiatan (ex-post) yang termasuk dalam Program Completion Report (PCR) akan dipersiapkan sebelum penutupan Program. Evaluasi tersebut mencakup dampak program (jumlah rumah tangga terkena dampak, ruang lingkup lahan yang diperoleh oleh subproyek, kompensasi yang dibayarkan kepada OTDP, setiap masalah yang tertunda akibat pengadaan tanah dan memberikan informasi jika mata pencaharian OTDP dipulihkan, atau setidaknya mempertahankan pelaksanaan pra-proyek.
Rencana Aksi Pemukiman Kembali tidak dapat dianggap lengkap sampai evaluasi setelah kegiatan (ex-post) dan audit penyelesaian program mengkonfirmasi bahwa semua rumah tangga terkena dampak telah menerima sepenuhnya semua kompensasi, bantuan dan proses pemulihan kehidupan seperti yang direncanakan.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran A1
Daftar Periksa Penapisan untuk Pemukiman Kembali Secara Paksa dan Pembatasan Akses Sub
Proyek
Daftar Periksa Penapisan untuk Pemukiman Kembali Secara Paksa dan Pembatasan Akses Sub Proyek
Nama sub proyek: | ||||
Kabupaten: | Desa: | |||
Uraian singkat tentang Lokasi dan Kegiatan yang Diusulkan dari Sub-Proyek | ||||
Potensi Risiko dan Dampak Pemukiman Kembali Secara Paksa dan Pembatasan Akses (Silahkan berikan tanda centang √) | ||||
Masalah | Ya | Tidak | Tidak Diketahui | Catatan |
I. Pengadaan Tanah Secara Paksa (Jika mencentang YA sebagai jawaban atas pertanyaan di bawah ini, sub proyek harus mempersiapkan Rencana Aksi Pemukiman Kembali) | ||||
1. Apakah subproyek memerlukan pengadaan tanah? | ||||
2. Apakah status kepemilikan tanah yang diusulkan untuk diadakan diketahui? | ||||
3. Apakah akan ada kerugian bangunan/dan/atau struktur karena pengadaan tanah? | ||||
4. Apakah akan ada kerugian pertanian seperti tanaman, pohon, dan/atau aset produktif lainnya akibat pengadaan tanah? | ||||
5. Apakah akan ada kerugian bisnis atau perusahaan karena pengadaan tanah? | ||||
6. Apakah akan ada kehilangan sumber pendapatan dan sarana mata pencaharian karena pengadaan tanah? | ||||
II. Pembatasan Akses (Jika mencentang YA sebagai jawaban atas pertanyaan di bawah ini, sub proyek harus mempersiapkan Rencana Aksi) | ||||
1. Apakah orang terkena dampak akan kehilangan akses ke kawasan hutan biasa karena pelaksanaan sub-proyek? | ||||
2. Apakah akses ke lokasi sub proyek yang diusulkan akan dibatasi? | ||||
3. Apakah ada perubahan penggunaan lahan di lokasi sub proyek yang diusulkan yang berdampak negatif pada masyarakat sekitar? | ||||
Informasi tentang Masyarakat Rentan: | ||||
1. Apakah ada orang terkena dampak yang dikategorikan rentan, yaitu miskin, rumah tangga yang dikepalai perempuan dan/atau rentan terhadap risiko kemiskinan? | ||||
2. Apakah ada orang terkena dampak yang dikategorikan sebagai masyarakat adat? | ||||
Persyaratan Dokumen/Rencana | ||||
Berdasarkan proses identifikasi potensi risiko dan dampak, sub proyek akan mempersiapkan dokumen- dokumen berikut (harap centang pilihan yang ada) | ||||
[ ] Rencana Aksi Pemukiman Kembali | [ ] Rencana Aksi | [ ] Tidak diperlukan dokumen | ||
Dokumen penapisan disusun oleh: Nama: | Disetujui oleh: Nama: |
Posisi: Institusi: | Posisi: Institusi: |
Lampiran A2
Kajian Kesenjangan Peraturan pada Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia tentang Pemukiman Kembali Secara Paksa
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
Tujuan Kebijakan | OTDP (Orang yang Terkena Dampak Proyek) harus dibantu dalam upaya mereka untuk meningkatkan mata pencaharian dan standar hidup mereka atau setidaknya untuk memulihkan mereka, secara riil, ke tingkat pra- pemindahan atau ke tingkat yang berlaku sebelum awal pelaksanaan proyek, mana pun yang lebih tinggi (Ayat 2.c) | UU No. 2/2012 menetapkan asas pengadaan tanah termasuk: kemanusiaan, keadilan, kemanfaatan, kepastian, keterbukaan, kesepakatan, keikutsertaan, kesejahteraan, keberlanjutan, dan keselarasan (Pasal 2). Sedangkan, yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses Pengadaan Tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik (Bab II, Asas dan Tujuan, Penjelasan Pasal 2(a). Penjelasan Pasal 2 (h) mendefinisikan yang dimaksud dengan “asas kesejahteraan” adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan Pihak yang Berhak dan masyarakat secara luas. | Peraturan panduan untuk pemukiman kembali di Kawasan Hutan berdasarkan PPTKH belum dirumuskan. | Secara umum, asas dalam UU No. 2 tahun 2012 selaras dengan tujuan kebijakan Bank Dunia. Kerangka Kerja ini mensyaratkan bahwa Kerangka Kerja Kebijakan Pemukiman Kembali dan Kerangka Kerja Proses yang dapat diterima untuk Pembatasan Akses dan Kerangka Kerja Pemukiman Kembali yang memenuhi Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) sudah ada sebelum dukunga proyek untuk menggambarkan batas-batas kawasan konservasi (di mana dengan peraturan PPTKH, pemukiman kembali dipertimbangkan). Penggusuran paksa tidak diizinkan berdasarkan ERP. |
Pemukiman Kembali sebagai Program Pembangunan Berkelanjutan | Kegiatan pemukiman kembali harus dipahami sebagai program pembangunan berkelanjutan, menyediakan sumber daya yang cukup untuk memungkinkan orang yang direlokasi untuk berbagi manfaat proyek (Ayat 2.b). | UU No. 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya memberikan pilihan kompensasi untuk pengadaan tanah karena pembangunan untuk kepentingan umum. Tingkat kompensasi ditentukan berdasarkan kajian yang dilakukan oleh penilai independen yang telah mendapat izin praktik kajian. | Tidak berlaku | Berbagai cara kompensasi selain uang tunai, terutama relokasi dan tanah, tidak diuraikan dengan cukup. Ketentuan OP 4.12 yang dijelaskan dalam RPF dan PF berlaku. |
Dampak langsung karena Pengadaan Tanah | Mencakup penyediaan manfaat untuk mengatasi dampak sosial dan ekonomi langsung yang disebabkan oleh pengadaan tanah termasuk pembatasan akses ke taman dan kawasan lindung yang ditunjuk secara | UU No.2 tahun 2012 berkaitan dengan kompensasi atas kehilangan tanah dan aset serta kerugian lain yang dapat disebabkan oleh pengambilan tanah untuk proyek. Setelah kompensasi yang adil diberikan, pertimbangan lebih lanjut dan | Tidak berlaku | Dampak negatif sosial dan ekonomi karena pembatasan akses ke taman dan kawasan lindung yang ditunjuk secara hukum tidak secara eksplisit tercakup dalam UU No. 2 tahun 2012. Ketentuan-ketentuan PF berlaku. |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
hukum yang mengakibatkan dampak buruk pada mata pencaharian (Ayat 3) | mitigasi dampak tidak diuraikan. | |||
Kegiatan Terkait | Mencakup dampak yang diakibatkan dari kegiatan lain jika dampak tersebut (i) terkait langsung dan signifikan dengan proyek yang diusulkan; (ii) diperlukan untuk tujuannya; dan (iii) dilaksanakan atau direncanakan untuk dilaksanakan bersamaan dengan proyek (Ayat 4) | Tidak tercakup | Tidak berlaku | Dampak tidak langsung dalam bentuk pemindahan dan pembatasan akses yang diberlakukan oleh lembaga pemerintah menggunakan data pemetaan yang didukung oleh proyek tercakup oleh ketentuan RPF dan PF. |
Kompensasi atas dampak tidak langsung yang disebabkan oleh pengadaan tanah atau bangunan | Merupakan praktik yang baik bagi peminjam untuk melakukan kajian sosial dan menerapkan langkah- langkah untuk meminimalkan dan memitigasi dampak ekonomi dan sosial yang merugikan, terutama kepada kelompok miskin dan rentan (Catatan Kaki 5) Menyatakan bahwa dampak lingkungan, sosial dan ekonomi lainnya yang tidak terjadi akibat pengambilan lahan harus ditangani berdasarkan OP 4.01 | Dampak tidak langsung tidak tercakup dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Namun, dampak tidak langsung diatur dalam UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (AMDAL) | Tidak berlaku | Dampak tidak langsung tidak tercakup dalam UU No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Dampak tidak langsung dalam bentuk pemindahan atau pembatasan akses yang diberlakukan oleh lembaga pemerintah menggunakan data pemetaan yang didukung oleh proyek tercakup oleh ketentuan RPF dan PF. |
Kompensasi dengan biaya penggantian penuh | Kompensasi atas tanah dan aset lainnya yang hilang harus dibayar dengan biaya penggantian penuh (Ayat 6.a (iii) dan Catatan Kaki 11) | UU No. 2 tahun 2012 (Penjelasan Umum, Ayat 5) menjelaskan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dilaksanakan dengan pemberian Ganti Kerugian yang layak dan adil Ayat 1, Ayat 3, Kajian Ganti Kerugian, Pasal 31 Bagian IV, pelaksanaan Pengadaan Tanah mengatur penetapan Penilai oleh BPN. Pasal 33 mengatur Penilaian besarnya nilai Ganti Kerugian oleh Penilai dilakukan | Tidak berlaku | Pada prinsipnya, pedoman penilaian oleh MAPPI memberikan kompensasi berupa biaya penggantian untuk tanah yang terkena dampak dan dampak non- fisik lainnya. Namun, tinjauan terperinci terhadap metodologi yang diadopsi oleh penilai mengungkapkan bahwa struktur penilaian mencakup “depresiasi tergantung pada kondisi fisik struktur yang terkena dampak”. Hal ini tidak |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
bidang per bidang tanah, meliputi tanah; ruang atas tanah dan bawah tanah; bangunan; tanaman; benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau kerugian lain yang dapat dinilai. Pedoman MAPPI (Masyarakat Profesi Penilai Indonesia) menentukan ganti kerugian berdasarkan harga pasar ditambah biaya transaksi dan biaya lainnya, ditambah premi (untuk menutupi lebih dari dan di atas biaya penilaian seperti biaya emosional). Faktor-faktor utamanya meliputi: -Properti (Aset Fisik) ✓ Tanah ✓ Bangunan & Fasilitas ✓ Tanaman ✓ Hal-hal lain yang berkaitan dengan tanah harus dipulihkan kepada pemilik properti setidaknya dengan kualitas yang sama dengan yang dimiliki sebelum pengadaan tanah. - Kerugian non-fisik ✓ Biaya transaksi ✓ Biaya pemindahan ✓ Kerugian bisnis yang sedang berjalan (gangguan bisnis) ✓ Kerugian lain yang bersifat khusus, subyektif dan sulit dihitung -Premium | sesuai dengan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12). Biaya penggantian penuh dicapai dengan menerapkan ketentuan RPF. | |||
Dukungan bagi orang-orang yang terkena | Bantuan keuangan (uang santunan) untuk semua orang yang terkena dampak proyek untuk mencapai tujuan | UU No. 2 tahun 2012 tidak mencakup penghuni ilegal (kecuali dengan itikad baik di tanah publik), perambah dan penyewa di | Tidak berlaku | Perpres No. 56 tahun 2017 mengatur kompensasi (bantuan keuangan/tunjangan) untuk struktur yang |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
dampak yang tidak memiliki hak hukum yang diakui atau klaim atas tanah yang mereka duduki | kebijakan (untuk meningkatkan mata pencaharian dan standar hidup mereka atau setidaknya untuk memulihkan mereka, secara riil, ke tingkat sebelum pemindahan atau ke tingkat yang berlaku sebelum awal pelaksanaan proyek, mana yang lebih tinggi (Ayat 15.c, 16 dan Catatan Kaki 20) | tanah milik pribadi. Masalah ini ditangani sampai batas tertentu oleh Peraturan Presiden (Perpres No. 56 tahun 2017).7 tentang “Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional”. Peraturan ini, dikeluarkan pada tanggal 31 Mei 2017, memberikan dasar hukum untuk memberikan kompensasi8 bagi penghuni ilegal (mereka yang menduduki tanah milik pihak lain). Namun, dalam praktiknya pendapat hukum diupayakan untuk menentukan apakah kompensasi dan/atau bantuan dapat diberikan kepada penghuni ilegal ini. Ayat 5, Pasal 40 mengatur tentang pembayaran kompensasi untuk bangunan, tanaman atau benda-benda lain di tanah | terkena dampak dan bantuan lainnya kepada rumah tangga terdampak tanpa hak hukum yang dapat diakui atau klaim atas tanah yang mereka duduki jika pendapat hukum merekomendasikannya. Namun, Perpres No. 56 tahun 2017 tidak memberikan bantuan apa pun kepada mereka yang tidak memiliki lahan, buruh dan mereka yang kehilangan pekerjaan karena proyek. Bantuan keuangan (uang santunan) akan diterapkan untuk semua orang yang terkena dampak proyek untuk mencapai tujuan kebijakan.. |
7 Peraturan Presiden No. 56 tahun 2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional (sebagaimana ditentukan dalam Perpres No. 3 tahun 2016 dan pembaruannya yaitu Perpres No. 59 tahun 2007). Peraturan ini menetapkan bahwa Pemerintah akan menangani dampak sosial kemasyarakatan terhadap penghuni tanah yang dimiliki oleh Pemerintah (nasional, provinsi dan kabupaten/kota), badan usaha milik negara, dan badan usaha milik daerah yang akan digunakan untuk proyek-proyek strategis nasional. Peraturan ini menetapkan kriteria penghuni tersebut (memiliki KTP yang disahkan oleh kecamatan dan tidak memiliki hak atas tanah; telah secara fisik mengendalikan dan menggunakan tanah secara terus menerus selama 10 tahun, dan telah mengendalikan dan menggunakan tanah dengan niat baik secara terbuka, tidak diperebutkan dan diakui dan dibuktikan benar oleh pemilik tanah dan/atau kepala desa); cakupan kompensasi dalam bentuk bantuan keuangan dan tunjangan (biaya untuk pembongkaran rumah, mobilisasi, sewa rumah dan dukungan untuk kehilangan pendapatan). Peraturan ini mewajibkan pemilik tanah untuk mempersiapkan Rencana Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (SIHP) untuk diserahkan kepada Gubernur, yang kemudian akan membentuk Tim Terpadu untuk melakukan inventarisasi dan memverifikasi penghuni dan tanah yang diduduki; menugaskan pihak independen untuk menghitung kompensasi; memfasilitasi masalah; merekomendasikan daftar penghuni yang memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi, jumlah kompensasi/tunjangan dan/atau bantuan keuangan, berdasarkan perhitungan pihak independen, mekanisme dan prosedur untuk memberikan kompensasi kepada penghuninya; dan mengontrol pelaksanaan pengiriman kompensasi. Tim Terpadu terdiri dari berbagai pejabat pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dan pemilik tanah. Berdasarkan rekomendasi dari Tim Terpadu, Gubernur akan menetapkan daftar penghuni yang memenuhi syarat untuk kompensasi; jumlah kompensasi dan mekanisme serta prosedur untuk memberikan kompensasi. Peraturan ini juga menentukan bahwa pemilik tanah harus menyediakan pembiayaan untuk kompensasi dan penghuni yang diberi kompensasi harus pindah dari tanah tersebut paling lama dalam tujuh hari setelah kompensasi diterima.
8 Kompensasi dibayarkan dalam bentuk bantuan keuangan dan tunjangan (uang santunan).
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
walaupun mereka tidak memegang atau memiliki sertifikat tanah dan jika mereka menduduki tanah dengan itikad baik. provides for Orang yang tidak memiliki tanah dan buruh diperkirakan tidak diberi kompensasi dan disediakan rehabilitasi yang terukur. Ini merupakan tanggung jawab pemilik tanah untuk memberikan kompensasi kepada mereka. | ||||
Kompensasi untuk struktur ilegal | Kompensasi dengan biaya penggantian penuh untuk semua struktur terlepas dari status hukum tanah dan struktur OTDP. | Ayat 5, Pasal 40 mengatur pembayaran kompensasi untuk bangunan, tanaman atau benda-benda lain di tanah walaupun mereka tidak memegang atau memiliki Hak Milik atas Tanah dan jika mereka menduduki tanah dengan itikad baik. | Ketentuan UU No. 2 tahun 2012 dan Perpres No. 56 tahun 2017 sampai batas tertentu memenuhi persyaratan kebijakan Bank Dunia. Namun, beberapa kategori penghuni ilegal (tidak dianggap pendudukan dengan itikad baik) tidak dicakup secara memadai oleh ketentuan ini. Semua struktur akan dikompensasi dengan biaya penggantian berdasarkan RPF. | |
Bantuan untuk Kelompok Rentan | Untuk mencapai tujuan kebijakan ini, perhatian khusus diberikan pada kebutuhan kelompok rentan di antara mereka yang direlokasi, terutama mereka yang berada di bawah garis kemiskinan, yang tidak memiliki tanah, orang tua, perempuan dan anak-anak, etnis minoritas, masyarakat adat, atau orang-orang yang direlokasi lainnya yang mungkin tidak dilindungi melalui undang-undang kompensasi tanah nasional (Ayat 8). | UU No. 2 tahun 2012 mensyaratkan analisis terperinci tentang risiko dan dampak terhadap masyarakat yang terkena dampak; peraturan ini tidak secara eksplisit membahas kebutuhan analisis dampak terhadap kelompok masyarakat tertentu (seperti kelompok rentan). Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan, seperti anak-anak, orang miskin, dan penyandang cacat berhak memperoleh perlindungan | Tidak berlaku | Secara keseluruhan, peraturan ini memberikan dasar hukum yang cukup untuk mencapai tujuan kebijakan. |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
lebih atas hak asasi manusia” (Pasal 5). Masalah gender juga telah diprioritaskan oleh Pemerintah Indonesia sebagai prioritas lintas sektor melalui Peraturan Presiden No. 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional mengamanatkan tindakan pemerintah tentang masalah gender melalui pengarusutamaan gender dalam setiap kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan. | ||||
Kompensasi atas kehilangan sumber pendapatan atau sarana mata pencaharian | Kehilangan sumber pendapatan harus diberikan kompensasi (baik orang yang terkena dampak harus pindah ke lokasi lain atau tidak) (Ayat 3a & 6) | Kerangka hukum Indonesia tidak menyediakan akses yang sebanding ke lapangan kerja dan peluang produksi. Pedoman penilaian MAPPI memberikan pertimbangan atas dampak non-fisik. | Tidak berlaku | Ketentuan hukum kurang mengakui hak atas kehilangan pendapatan dan sarana mata pencaharian karena pengadaan tanah. Ketentuan RPF dan PF berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. |
Rencana dan bantuan pemulihan pendapatan | Rencana pemukiman kembali atau kerangka kebijakan pemukiman kembali juga mencakup langkah-langkah untuk memastikan bahwa orang yang direlokasi: (i) Ditawari dukungan setelah pemindahan, selama masa transisi, berdasarkan estimasi waktu yang wajar yang mungkin diperlukan untuk memulihkan mata pencaharian mereka dan standar hidup dukungan tersebut dapat berupa pekerjaan jangka pendek, dukungan subsisten, pemeliharaan gaji | Setelah kompensasi yang adil diberikan, pertimbangan lebih lanjut dan mitigasi dampak tidak diuraikan. Kerangka hukum Indonesia tidak menyediakan akses yang sebanding untuk peluang kerja dan produksi. | Tidak berlaku | UU No. 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya tidak merinci pilihan dan pelaksanaan bantuan dan pemulihan mata pencaharian. Ketentuan RPF dan PF berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
atau pengaturan serupa; dan (ii) Diberikan dengan bantuan pembangunan selain langkah-langkah kompensasi yang dijelaskan di Ayat 6 (a) (iii), seperti persiapan lahan, fasilitas kredit, pelatihan, atau peluang kerja (Ayat 6c). | ||||
Bantuan Bagi Orang yang direlokasi Secara Fisik | Termasuk langkah-langkah untuk memastikan bahwa orang-orang yang direlokasi diberikan bantuan selama relokasi berupa; perumahan, atau lokasi perumahan, atau, sebagaimana disyaratkan, lokasi pertanian; dan ditawarkan dukungan setelah pemindahan, selama masa transisi, dan diberikan bantuan pembangunan selain langkah-langkah kompensasi (Ayat 6b&c dan Catatan Kaki 13 & 14) | UU No. 2 tahun 2012 tidak menyediakan bantuan khusus untuk orang-orang yang direlokasi selain menawarkan pilihan tanah pengganti dan pemukiman kembali. Selanjutnya Pasal 36 tidak menyediakan dukungan transisi & bantuan pembangunan dan penyediaan infrastruktur sipil dan layanan masyarakat. Prosedur penilaian MAPPI mengatur biaya pindah (tunjangan transportasi) | Tidak berlaku | Bantuan bagi rumah tangga yang direlokasi karena pengadaan tanah tidak dicakup oleh UU No. 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaannya (Perpres No. 71 tahun 2012). Ketentuan RPF berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. |
Tanah untuk Tanah | Preferensi diberikan pada strategi pemukiman kembali berbasis tanah untuk orang yang direlokasi yang mata pencahariannya berbasis tanah. Setiap kali tanah pengganti ditawarkan, pemukim pindahan diberikan tanah yang memiliki kombinasi dari potensi produktif, keunggulan lokasi, dan faktor- faktor lain setidaknya setara dengan manfaat tanah yang diambil (Ayat 11). | UU No. 2 tahun 2012 memberikan pilihan berupa tanah untuk tanah, tetapi prosedur terperinci untuk melaksanakan pilihan ini tidak dijelaskan. Ketentuan dalam Ayat 5 Pasal 77 dan Ayat 4 Pasal 78 (Perpres No. 71 tahun 2012) mengharuskan rumah tangga yang terkena dampak untuk melepaskan hak mereka tanpa menunggu ketersediaan tanah pengganti. | Tidak berlaku | UU No. 2 tahun 2012 dan Peraturan Pelaksanaan (Perpres No. 71 tahun 2012) tidak memberikan perincian tentang prosedur penggantian tanah. Selanjutnya, ketentuan dalam Ayat 5, Pasal 77 dan Ayat 4 Pasal 78 (Perpres No. 71 tahun 2012) bertentangan dengan Kebijakan OP 4.12 Bank Dunia yang mensyaratkan penyelesaian pengaturan relokasi sebelum rumah tangga yang terkena dampak direlokasi. Ketentuan RPF dan PF berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. |
Pilihan Kompensasi | Memberikan alternatif pemukiman kembali yang layak secara teknis dan ekonomis dan bantuan yang diperlukan, | Pasal 36 pada UU No. 2 tahun 2012 mengatur pilihan-pilihan kompensasi dalam bentuk: | Tidak berlaku | Penyediaan tanah pengganti tidak diuraikan tidak diuraikan dengan cukup. |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
termasuk (a) kompensasi cepat dengan biaya penggantian penuh untuk kehilangan aset akibat proyek; (b) jika ada bantuan relokasi selama relokasi dan perumahan, atau lokasi perumahan, atau lokasi pertanian dengan potensi produktif yang setara, sesuai kebutuhan; (c) dukungan transisi dan bantuan pembangunan, seperti persiapan lahan, fasilitas kredit, pelatihan, atau peluang kerja sebagaimana diperlukan, di samping langkah-langkah kompensasi; (d) kompensasi tunai untuk tanah ketika dampak pengadaan tanah terhadap mata pencaharian kecil; dan (e) penyediaan infrastruktur sipil dan layanan masyarakat sesuai kebutuhan. | a. Sejumlah uang tunai; b. Tanah pengganti; c. Pemukiman kembali d. Kepemilikan saham; dan e. Bentuk lain yang disetujui kedua belah pihak. Namun, Ayat 1 Pasal 75 dari Peraturan Pelaksanaan (Perpres No. 71 tahun 2012) menempatkan prioritas pada pembayaran kompensasi secara tunai. | Dalam praktiknya, hanya kompensasi tunai yang diprioritaskan dalam memutuskan bentuk kompensasi. Selanjutnya, Pasal 36 UU No. 2 tahun 2012 tidak menyediakan bantuan relokasi (kecuali untuk biaya pindah yang dicakup dalam prosedur penilaian MAPPI), dukungan transisi & bantuan pembangunan dan penyediaan infrastruktur sipil dan layanan masyarakat. Ketentuan RPF berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. | ||
Kelayakan untuk masyarakat adat | Tanah Masyarakat Adat dibahas di dalam kedua Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12 dan OP 4.10). Jika tanah masyarakat adat akan diambil, maka membutuhkan dukungan masyarakat luas dan FPIC. Preferensi diberikan untuk strategi pemukiman kembali berbasis tanah untuk kelompok-kelompok ini (lihat Ayat 11) yang sesuai dengan preferensi budaya mereka dan dipersiapkan melalui konsultasi dengan mereka (Ayat | Masyarakat adat dilindungi setelah mereka diakui secara hukum9. UU No. 39 tahun 1999 Pasal 6 tentang Hak Asasi Manusia mensyaratkan bahwa perbedaan dan kebutuhan MHA (Masyarakat Hukum Adat) harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah. Identitas mereka termasuk hak atas tanah adat harus dilindungi selaras dengan perkembangan saat ini. Ayat 5, Pasal 40 UU No. 2 tahun 2012 mengatur tentang Kompensasi untuk tanah | Tidak berlaku | UU No. 2 tahun 2012 tidak menentukan kelompok apa pun, termasuk masyarakat adat. UU ini berlaku untuk semua orang orang yang terkena dampak karena pengambilan tanah bagi pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum. Peraturan Pelaksanaan (Perpres No. 71 tahun 2012) tidak menentukan persyaratan apa pun untuk melakukan kajian sosial dan konsultasi dengan masyarakat adat dan FPIC |
9 Dalam BPN dan Peraturan Kehutanan, lembaga masyarakat adat harus diakui oleh pemerintah daerah, sementara lembaga yang mendukung masyarakat adat lebih memilih pengakuan berasal dari Komite Masyarakat Adat independen.
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
9) | adat dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disetujui oleh masyarakat adat terkait. Tanah yang terkena dampak yang secara pribadi/individu milik Masyarakat Adat diperlakukan dengan cara yang sama dengan rumah tangga terdampak lainnya. | |||
Masyarakat Tuan Rumah | Orang-orang yang direlokasi dan masyarakat mereka, dan masyarakat tuan rumah yang menerima mereka, diberikan informasi yang tepat waktu dan relevan yang menawarkan peluang untuk berpartisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan pemukiman kembali; infrastruktur dan layanan masyarakat yang disediakan seperlunya untuk meningkatkan, memulihkan, atau mempertahankan aksesibilitas dan tingkat layanan bagi orang-orang yang direlokasi dan masyarakat tuan rumah (Ayat 13 a&b) | Tidak tercakup dalam UU No. 2 tahun 2012 dan Peraturan Pelaksanaannya karena pilihan pemukiman kembali/relokasi tidak diuraikan secara memadai. Kerangka hukum juga tidak memerlukan integrasi orang-orang yang dimukimkan kembali ke masyarakat tuan rumah mereka dan tidak memperluas manfaat proyek untuk masyarakat tuan rumah. | Tidak berlaku | Masyarakat tuan rumah tidak secara eksplisit tercakup dalam UU No. 2 tahun 2012 dan Peraturan Pelaksanaannya (Perpres No. 71 tahun 2012) Namun, Pasal 1 UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman mengatur kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman dan nyaman. Lebih lanjut bersama dengan Peraturan Pemerintah No. 88 tahun 2014 tentang Pembinaan Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Pemukiman menetapkan bahwa setiap kejadian pemukiman kembali harus melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat. |
Instrumen Perencanaan Pemukiman Kembali | Untuk mencapai tujuan kebijakan ini, berbagai instrumen perencanaan digunakan, tergantung pada jenis proyek (Ayat 6). Rencana pemukiman kembali atau disingkat RAP diperlukan untuk semua operasi yang memerlukan pemukiman kembali secara paksa kecuali ditentukan lain (Ayat 17a dan | Pada tahap perencanaan persiapan proyek, Rencana Pengadaan Tanah (LAP) dipersiapkan oleh Xxx Xxxxadaan Tanah berdasarkan studi kelayakan. LAP selanjutnya diperbaharui dengan data tambahan sebagai Rencana Pembangunan Pengadaan Tanah, oleh Xxx Xxxsiapan yang dibentuk berdasarkan | Tidak berlaku | Ruang Lingkup Rencana Pembangunan Pengadaan Tanah tidak secara jelas mencakup kebutuhan akan survei sosial-ekonomi, identifikasi kelompok rentan, konsultasi publik dan partisipasi, dan persyaratan pemantauan dan evaluasi. Selanjutnya, Rencana Pembangunan tidak menyertakan |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
25) | Ayat 2, Pasal 8, Perpres No. 71 tahun 2012. Namun, ruang lingkup, format dan isi Rencana Pembangunan tidak sama dengan LARAP Bank Dunia untuk proyek. LARAP lebih berfokus pada prosedur pelaksanaan. | bantuan relokasi dan pemulihan mata pencaharian, bila perlu. Rencana Pembangunan Pengadaan :ahan tidak sepenuhnya mencakup elemen-elemen dan perincian yang ada dalam LARAP. Waktu persiapan Rencana Pengadaan Tanah dengan hasil inventarisasi bidang tanah yang terkena dampak harus ditingkatkan ke tahap perencanaan. Ketentuan RPF dan PF berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. | ||
Biaya Pemukiman Kembali untuk Disertakan Dalam Biaya Proyek | Biaya penuh atas pengadaan tanah dan/atau kegiatan pemukiman kembali yang diperlukan untuk mencapai tujuan proyek disertakan dalam total biaya proyek. | Meskipun UU No. 2 tahun 2012 menyaratkan rencana pengadaan tanah untuk menyertakan perkiraan biaya pengadaan tanah dan/atau pemukiman kembali, tetapi biasanya tidak menyertakan biaya untuk memberikan bantuan dan pemulihan mata pencaharian. Estimasi biaya dan proposal untuk alokasi anggaran dilakukan pada tahap perencanaan, dimana survei terperinci untuk masing-masing bidang tanah dan pengukuran dilakukan selama tahap pelaksanaan pengadaan tanah. | Tidak berlaku | Hukum lokal tidak menetapkan biaya pemukiman kembali untuk menjadi bagian dari total biaya proyek. Namun, Studi Kelayakan pada tahap perencanaan diperlukan untuk menyertakan biaya proyek secara keseluruhan serta estimasi biaya pengadaan tanah; dan analisis biaya- manfaat (cost-benefit analysis). Dengan kesimpulan, oleh karena itu diasumsikan bahwa biaya pemukiman kembali disertakan dalam biaya proyek secara keseluruhan. |
Partisipasi dan Konsultasi Publik | Orang-orang yang direlokasi harus diajak berkonsultasi secara bermakna dan harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemukiman kembali | Bab II mengatur pengadaan tanah dengan asas keterbukaan. Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa Pengadaan Tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada | Tidak berlaku | Ketentuan UU No. 2 tahun 2012 dan Peraturan Pelaksanaan (Perpres No. 71 tahun 2012) memiliki prosedur yang rumit untuk konsultasi publik di setiap tahap perencanaan dan persiapan pengadaan lahan. Namun, prosedur |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
(Ayat 6a, 13, 14 & 19) | masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan Pengadaan Tanah (Penjelasan Pasal 2 huruf e) „ Penjelasan Pasal 2 (g) mendefinisikan partisipasi sebagai dukungan melalui partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pengadaan Tanah, baik secara langsung maupun tidak langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan. Pasal 7, ayat 3 mengatur Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum diselenggarakan melalui perencanaan dengan melibatkan semua pengampu dan pemangku kepentingan. UU No. 2 tahun 2012 dan Peraturan Pelaksanaannya tidak mengatur tentang partisipasi pihak-pihak yang berhak dalam pemantauan dan evaluasi program pemukiman kembali. Konsultasi dengan OTDP diperlukan untuk mendapatkan izin atas lokasi proyek yang diusulkan, untuk menentukan bentuk kompensasi. UU dan peraturan menetapkan bahwa proses konsultasi dilakukan dengan pendekatan dialog. Negosiasi dilakukan dengan masing- masing rumah tangga yang terkena dampak secara individu untuk mencapai kesepakatan tentang tingkat kompensasi. | yang dijelaskan dalam UU No. 2 tahun 2012 & Peraturan Pelaksanaan tidak memastikan bahwa semua mode penyebaran informasi diterapkan dan rumah tangga yang terkena dampak mendapat informasi lengkap tentang semua pilihan mode kompensasi secara terperinci. Ketentuan RPF dan PF, dan ketentuan ESMF, berlaku untuk memenuhi persyaratan OP 4.12. |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
Pengungkapan Instrumen Perencanaan | Draf dokumen pemukiman kembali yang relevan tersedia di tempat yang dapat diakses oleh orang-orang yang direlokasi dan LSM lokal, dalam bentuk, cara, dan bahasa yang dapat dimengerti oleh mereka. Setelah diterima, Bank Dunia akan menyediakan dokumen tersebut untuk umum melalui InfoShop (Ayat 22 & Catatan Kaki 23). | Pasal 55 UU No. 2 tahun 2012 mengakui hak dari pihak yang berhak (rumah tangga yang terkena dampak) untuk memperoleh informasi tentang status dan penyelenggaraan Pengadaan Tanah. Pasal 16 mengatur pemberitahuan langsung atau tidak langsung mengenai rencana pembangunan pengadaan tanah kepada masyarakat umum dan mengadakan konsultasi publik untuk mencapai kesepakatan tentang lokasi rencana pembangunan (Pasal 19). Pendataan awal tentang orang-orang dan objek yang terkena dampak dari tanah yang dibebaskan (aset yang terkena dampak) untuk persiapan rencana pembangunan pengadaan tanah akan menjadi dasar untuk konsultasi publik dan untuk mencapai kesepakatan tentang lokasi (Pasal 18) Pasal 29 mengatur pengumuman kepada publik tentang hasil inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, yang dikumpulkan selama tahap pelaksanaan, di kantor desa/kelurahan, kantor kecamatan, dan tempat Pengadaaan Tanah dilakukan. | Tidak berlaku | Meskipun UU No. 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaan mengatur penyebaran informasi tentang tanah yang terkena dampak dan aset-aset lainnya, serta jumlah kompensasi yang berlaku untuk rumah tangga yang terkena dampak, tidak ada kejelasan tentang pengungkapan dokumen kepada publik: FS, LAP, dll. Draf RAP dan XxX akan diungkapkan kepada publik sesuai kebijakan Bank Dunia. |
Mekanisme Penanganan Keluhan | Mekanisme keluhan yang tepat dan dapat diakses ditetapkan (Ayat 13a & 14) | Mekanisme pengaduan karena ketidaksepakatan kompensasi dijelaskan dalam UU No. 2 tahun 2012 dan Peraturan Pelaksanaannya, termasuk bagaimana dan di mana mengajukan pengaduan, | Tidak berlaku | Ketentuan UU No. 2 tahun 2012 dan peraturan pelaksanaan (Perpres No. 71 tahun 2012) memiliki prosedur yang rumit dan terikat waktu untuk mengajukan pengaduan oleh rumah |
Lingkup/Topik | Ketentuan Kebijakan Bank Dunia (OP 4.12) | Kerangka Kerja Pemerintah Indonesia untuk Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum | Kerangka Kerja Pemukiman Kembali Pemerintah Indonesia untuk Pelegalan Penguasaan Tanah Hutan | Analisis dan Tindakan Mengisi Kesenjangan |
waktu untuk respon, dan prosedur peradilan. | tangga yang terkena dampak dan proses untuk menangani pengaduan dan keluhan. Namun demikian, tidak jelas apakah dokumentasi keluhan disediakan atau tidak. Keluhan akan didokumentasikan sesuai dengan GRM dari ESMF. | |||
Pemantauan dan Evaluasi | Diperlukan pemantauan yang memadai, baik secara internal maupun eksternal, oleh lembaga independen. Setelah menyelesaikan proyek, kajian diperlukan untuk menentukan apakah tujuan dari instrumen pemukiman kembali telah tercapai (Ayat 24) | Bagian Keenam, Pasal 51 UU No. 2 tahun 2012 mengatur pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan Pengadaan Tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Untuk proyek strategis, Instruksi Kementerian Namun, kerangka hukum tidak memerlukan pemantauan eksternal dampak Pengadaan Tanah/pemukiman kembali terhadap mata pencaharian dan standar hidup orang-orang yang direlokasi dan tidak memerlukan kajian apakah tujuan dari rencana pemukiman kembali telah tercapai. | Tidak berlaku | UU No. 2 tahun 2012 tidak mengatur pemantauan eksternal terhadap pelaksanaan pemukiman kembali dan evaluasi pasca pelaksanaan untuk menilai apakah tujuan rencana pemukiman kembali telah tercapai. Lebih lanjut, ada kekurangan dalam memberikan perincian tentang tujuan evaluasi. |
Lampiran A3
Draf Kerangka Acuan Kerja untuk Penjabaran Rencana Aksi Pemukiman Kembali (RAP)
DRAF KERANGKA ACUAN KERJA UNTUK PENJABARAN RENCANA AKSI PEMUKIMAN KEMBALI (RAP)
Template ini diambil dari OP 4.12 Lampiran A yang juga dapat dilihat di situs web Bank Dunia di xxx.xxxxxxxxx.xxx.
Ruang lingkup dan tingkat rincian rencana pemukiman kembali bervariasi dengan besar dan kompleksitas pemukiman kembali. Rencana tersebut didasarkan pada informasi terkini dan dapat diandalkan tentang (a) pemukiman kembali yang diusulkan dan dampaknya terhadap orang-orang yang direlokasi dan kelompok-kelompok lain yang terkena dampak negatifnya, dan (b) masalah hukum yang terlibat dalam pemukiman kembali. Rencana pemukiman kembali mencakup unsur-unsur di bawah ini, jika relevan. Bila ada unsur yang tidak relevan dengan keadaan proyek tertentu, maka harus dicatat dalam rencana pemukiman kembali.
Uraian sub proyek: Gambaran umum tentang sub proyek dan indentifikasi kawasan sub proyek.
Potensi Dampak: Identifikasi (a) komponen atau kegiatan sub proyek yang menyebabkan pemukiman kembali, (b) wilayah dampak komponen atau kegiatan tersebut, (c) alternatif yang dipertimbangkan untuk menghindari atau meminimalkan pemukiman kembali; dan (d) mekanisme yang dibentuk untuk dapat sejauh mungkin meminimalkan pemukiman kembali selama pelaksanaan proyek.
Tujuan: Tujuan utama dari program pemukiman kembali.
Studi sosial ekonomi: temuan studi sosial ekonomi yang akan dilakukan pada tahap awal persiapan proyek dan dengan keterlibatan orang-orang yang berpotensi direlokasi, termasuk;
(a) hasil survei sensus yang meliputi;
penghuni saat ini di kawasan yang terkena dampak untuk menetapkan dasar bagi rancangan program pemukiman kembali dan untuk mengecualikan arus masuk orang berikutnya dari kelayakan untuk mendapatkan kompensasi dan bantuan pemukiman kembali;
karakteristik standar rumah tangga yang direlokasi, termasuk uraian sistem produksi,
tenaga kerja, dan organisasi rumah tangga; dan informasi dasar tentang mata pencaharian (termasuk, jika relevan, tingkat produksi dan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan ekonomi formal dan informal) dan standar kehidupan (termasuk status kesehatan) dari penduduk yang direlokasi;
besarnya kerugian yang diperkirakan, total atau sebagian, dari aset, dan tingkat
pemindahan, fisik atau ekonomi;
informasi tentang kelompok atau orang-orang yang rentan, untuk siapa ketentuan khusus mungkin harus dibuat; dan
ketentuan untuk memperbarui informasi secara berkala tentang mata pencaharian dan standar hidup orang-orang yang direlokasi sehingga informasi terbaru tersedia pada saat pemindahan mereka.
(b) Studi lain menjelaskan berikut ini;
sistem penguasaan dan pengalihan lahan, termasuk inventarisasi sumber daya alam milik bersama di mana orang memperoleh mata pencaharian dan rezeki mereka, system hak menikmati hasil (usufruct) berbasis tanpa hak (termasuk penangkapan ikan, penggembalaan, atau penggunaan kawasan hutan) yang diatur oleh mekanisme alokasi lahan yang diakui secara lokal, dan isu-isu yang diangkat oleh berbagai sistem penguasaan tanah di kawasan sub proyek.
Pola interaksi sosial di masyarakat yang terkena dampak, termasuk sistem dukungan sosial, dan bagaimana mereka akan terkena dampak oleh sub proyek
Infrastruktur publik dan layanan sosial yang akan terkena dampak; dan
Karakteristik sosial dan budaya masyarakat yang direlokasi, termasuk uraian lembaga formal dan informal (misalnya organisasi masyarakat, kelompok ritual, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mungkin relevan dengan strategi konsultasi dan untuk merancang dan melaksanakan kegiatan pemukiman kembali.
Kerangka Kerja Hukum: Temuan analisis kerangka kerja hukum, meliputi;.
(a) ruang lingkup kekuatan domain unggulan dan sifat kompensasi yang terkait dengannya, baik dalam hal metodologi penilaian dan waktu pembayaran,
(b) prosedur hukum dan administrasi yang berlaku, termasuk uraian pemulihan yang tersedia untuk orang-orang yang direlokasi dalam proses peradilan dan jangka waktu normal untuk prosedur tersebut, dan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif yang tersedia yang mungkin relevan dengan pemukiman kembali di bawah sub proyek,
(c) hukum yang relevan (termasuk hukum adat dan tradisional) yang mengatur penguasaan
tanah, penilaian aset dan kerugian, kompensasi, dan hak penggunaan sumber daya alam, hukum adat pribadi terkait dengan pemindahan, dan hukum lingkungan dan undang-undang kesejahteraan sosial,
(d) hukum dan peraturan yang berkaitan dengan lembaga yang bertanggung jawab untuk
melaksanakan kegiatan pemukiman kembali,
(e) kesenjangan, jika ada, antara hukum lokal yang mencakup domain unggulan dan pemukiman kembali dan kebijakan pemukiman kembali Bank, dan mekanisme untuk menjembatani kesenjangan tersebut, dan,
(f) langkah hukum yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan kegiatan pemukiman kembali yang efektif di bawah proyek, termasuk, jika sesuai, suatu proses untuk mengakui klaim atas hak hukum atas tanah, termasuk klaim yang berasal dari penggunaan adat dan secara tradisional.
Kerangka Kelembagaan: Temuan analisis kerangka kelembagaan yang meliputi;
(a) identifikasi instansi yang bertanggung jawab atas kegiatan pemukiman kembali dan LSM yang mungkin memiliki peran dalam pelaksanaan proyek;
(b) kajian kapasitas kelembagaan dari lembaga dan LSM tersebut; dan
(c) langkah-langkah yang diusulkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dari lembaga dan LSM yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pemukiman kembali.
Kelayakan: Definisi orang yang direlokasi dan kriteria yang digunakan untuk menentukan kelayakan mereka atas kompensasi dan bantuan pemukiman kembali lain, termasuk tanggal dimulainya tenggat (cut-off date) yang relevan.
Penilaian aset dan perhitungan kompensasi atas kerugian: Metodologi yang akan digunakan dalam menilai kerugian untuk menentukan biaya penggantiannya; dan uraian tentang jenis dan tingkat kompensasi yang diusulkan berdasarkan hukum lokal dan tindakan tambahan yang diperlukan untuk mencapai biaya penggantian aset yang hilang.
Tindakan Pemukiman Kembali: Uraian tentang paket kompensasi dan tindakan pemukiman kembali lainnya yang akan membantu setiap kategori orang-orang yang direlokasi yang memenuhi syarat untuk mencapai tujuan OP 4.12. Selain layak secara teknis dan ekonomis, paket pemukiman kembali harus sesuai dengan preferensi budaya orang- orang yang direlokasi dan dipersiapkan dengan berkonsultasi dengan mereka.
Pemilihan lokasi, penyiapan lokasi, dan relokasi: Pertimbangkan lokasi untuk alternatif dari relokasi alternatif dan sampaikan penjelasan mengenai lokasi-lokasi yang dipilih, yang meliputi,
(a) pengaturan kelembagaan dan teknis untuk mengidentifikasi dan mempersiapkan lokasi
untuk relokasi, baik pedesaan maupun perkotaan, yang memiliki kombinasi antara potensi produktif, keunggulan lokal, dan faktor-faktor lainnya setidaknya sebanding dengan keunggulan dari lokasi lama, dengan perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan dan mengalihkan tanah dan sumber daya tambahan;
(b) tindakan apa pun yang diperlukan untuk mencegah spekulasi tanah atau masuknya
orang-orang yang tidak memenuhi syarat di lokasi yang dipilih;
(c) prosedur relokasi fisik di bawah proyek, termasuk jadwal persiapan dan pengalihan lokasi; dan
(d) pengaturan hukum untuk melegalkan hunian dan mengalihkan hak kepemilikan kepada para pemukim pindahan (resettlers)
Perumahan, insfrastruktur, dan pelayanan sosial: Rencana untuk menyediakan (atau untuk membiayai penyediaan pemukiman kembali) perumahan, infrastruktur (misalnya pasokan air bersih, jalan pengumpan), dan layanan sosial untuk menampung penduduk; setiap pembangunan lokasi, teknik, dan desain arsitektur yang diperlukan untuk fasilitas ini.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Uraian tentang batasa-batas wilayah relokasi; dan kajian dampak lingkungan dan pemukiman kembali yang diusulkan serta langkah- langkah untuk mengurangi dan mengelola dampaknya (dikoordinasikan sesuai dengan kajian lingkungan dari investasi utama yang memerlukan pemukiman kembali).
Partisipasi masyarakat: Uraian dari strategi untuk konsultasi dengan dan partisipasi dari para pemukim pindahan dan masyarakat tuan rumah, termasuk:
(a) uraian strategi untuk konsultasi dengan dan partisipasi dari para pemukim pindahan dan
masyarakat tuan rumah dalam perancangan dan pelaksanaan kegiatan pemukiman kembali,
(b) ringkasan dari pandangan yang disampaikan dan bagaimana pandangan ini
dipertimbangkan dalam mempersiapkan rencana pemukiman kembali,
(c) tinjauan terhadap alternatif pemukiman kembali yang disampaikan, dan pilihan yang diambil oleh orang-orang yang direlokasi mengenai pilihan yang tersedia bagi mereka,
termasuk pilihan terkait dengan bentuk kompensasi dan bantuan pemukiman kembali, untuk direlokasi sebagai individu, keluarga, atau sebagai bagian dari masyarakat atau kelompok masyarakat atau kekerabatan yang sudah ada sebelumnya, dengan mempertahankan pola organisasi kelompok yang ada, dan untuk mempertahankan akses terhadap kekayaan budaya (misalnya tempat ibadah, pusat ziarah, pemakaman); dan
(d) Pengaturan yang dilembagakan yang olehnya orang-orang yang direlokasi dapat
menyampaikan keprihatinan/keluhan mereka kepada pihak otoritas proyek selama perencanaan dan pelaksanaan, dan tindakan untuk memastikan bahwa kelompok rentan seperti kelompok rentan dan terpinggirkan, etnis minoritas, tidak memiliki tanah, dan perempuan terwakili secara memadai.
Integrasi dengan penduduk tuan rumah: Langkah-langkah untuk mengurangi dampak pemukiman kembali pada masyarakat tuan rumah, termasuk,
(a) konsultasi dengan masyarakat tuan rumah dan pemerintah daerah,
(b) mengatur untuk melakukan pelunasan pembayaran kepada masyarakat tuan rumah untuk tanah mereka atau aset lain yang diberikan kepada para pemukim pindahan,
(c) pengaturan untuk mengatasi semua konflik yang mungkin timbul antara para pemukim pindahan dan masyarakat tuan rumah; dan
(d) tindakan apa pun yang diperlukan untuk meningkatkan layanan (misalnya layanan pendidikan, pasokan air bersih, kesehatan, dan produksi) untuk masyarakat tuan rumah agar sesuai dengan layanan yang tersedia untuk para pemukim pindahan.
Prosedur keluhan: Prosedur yang terjangkau dan dapat diakses untuk penyelesaian sengketa dengan pihak ketiga yang timbul dari pemukiman kembali, mekanisme penanganan keluhan tersebut harus mempertimbangkan ketersediaan mekanisme peradilan dan mekanisme penyelesaian sengketa masyarakat dan secara tradisional.
Tanggung jawab organisasi: Kerangka kerja organisasi untuk melaksanakan pemukiman kembali, termasuk identifikasi lembaga yang bertanggung jawab atas penyerahan atau tindakan pemukiman kembali dan penyediaan layanan; pengaturan untuk memastikan koordinasi yang tepat antara lembaga dan yurisdiksi yang terlibat dalam pelaksanaan; dan tindakan apa pun (termasuk bantuan teknis) yang diperlukan untuk memperkuat kapasitas lembaga pelaksana dalam merancang dan melaksanakan kegiatan pemukiman kembali; ketentuan untuk pengalihan tanggung jawab untuk mengelola fasilitas dan layanan yang disediakan kepada pemerintah daerah atau pemukim pindahan itu sendiri dalam kaitan proyek dan pengalihan tanggung jawab lainnya dari lembaga pelaksana pemukiman kembali, jika sesuai.
Jadwal Pelaksanaan: Jadwal pelaksanaan mencakup semua kegiatan pemukiman kembali mulai dari persiapan sampai pelaksanaan, termasuk tanggal target untuk pencapaian manfaat yang diharapkan bagi para pemukim pindahan dan masyarakat tuan rumah dan mengakhiri berbagai bentuk bantuan. Jadwal tersebut harus menunjukkan bagaimana kegiatan pemukiman kembali terkait dengan pelaksanaan proyek secara keseluruhan.
Biaya dan anggaran: Tabel yang menunjukkan perkiraan biaya terperinci untuk semua kegiatan pemukiman kembali, termasuk tunjangan inflasi, pertumbuhan penduduk, dan biaya kontingensi lainnya; jadwal belanja/pengeluaran; sumber dana; dan pengaturan arus dana yang tepat waktu, dan pendanaan untuk pemukiman kembali, jika ada, di wilayah di luar yurisdiksi lembaga pelaksana.
Pemantauan dan evaluasi: Pengaturan pemantauan kegiatan pemukiman kembali oleh lembaga pelaksana, dilengkapi dengan pemantauan secara independen yang dianggap tepat oleh Bank Dunia, untuk memastikan tersedianya informasi yang lengkap dan obyektif; indikator pemantauan kinerja untuk mengukur masukan, keluaran, dan hasil untuk kegiatan pemukiman kembali; keterlibatan orang-orang yang direlokasi dalam proses pemantauan; evaluasi dampak pemukiman kembali untuk jangka waktu yang wajar setelah seluruh kegiatan pemukiman kembali dan pembangunan yang terkait telah selesai; menggunakan hasil pemantauan pemukiman kembali untuk menjadi pedoman bagi pelaksanaan selanjutnya.
Lampiran A4
Kriteria Kelayakan untuk Berbagai
Bentuk Kerugian
KRITERIA KELAYAKAN UNTUK MENENTUKAN BERBAGAI KATEGORI ORANG YANG TERKENA DAMPAK
Bab ini menetapkan kriteria kelayakan, yang diperlukan untuk menentukan siapa yang akan memenuhi syarat untuk pemukiman kembali dan manfaat, dan untuk mencegah masuknya orang yang tidak memenuhi syarat.
A ASAS-ASAS
Pengambilan tanah secara paksa mengakibatkan: relokasi atau kehilangan tempat tinggal; dan kehilangan aset atau akses ke aset atau kehilangan sumber pendapatan atau sarana mata pencaharian, terlepas dari apakah OTDP harus pindah ke lokasi lain atau tidak. Oleh karena itu, konsultasi yang berarti dengan orang-orang yang terkena dampak (secara langsung dan melalui perwakilan), pemerintah daerah dan pemimpin komunal dapat menetapkan kriteria dimana orang- orang yang direlokasi akan dianggap memenuhi syarat untuk kompensasi dan bantuan pemukiman kembali lainnya untuk memulihkan mata pencaharian. OP4.12 menyarankan tiga kriteria berikut untuk kelayakan:
(a) Mereka yang memiliki hak resmi secara hukum atas tanah (termasuk tanah adat/komunal, hak tradisional dan agama, yang diakui oleh Undang-undang);
(b) Mereka yang tidak memiliki hak resmi secara hukum atas tanah pada saat sensus dimulai tetapi memiliki klaim atas tanah atau aset dimana klaim tersebut diakui oleh undang-undang dan hukum lokal atau menjadi diakui melalui proses yang teridentifikasi dalam rencana pemukiman kembali;
(c) Mereka yang tidak memiliki hak resmi secara hukum yang diakui atau klaim atas tanah yang mereka duduki, gunakan atau untuk mendapatkan mata pencaharian mereka, tetapi diakui berdasarkan OP 4.12 Bank Dunia.
Yang dicakup dalam butir (a) dan (b) di atas harus diberikan kompensasi atas tanah yang hilang, dan bantuan lainnya sesuai dengan RPF ini. Orang-orang yang tercakup dalam butir (c) di atas akan diberikan bantuan pemukiman kembali sebagai pengganti kompensasi atas tanah yang mereka duduki, dan bantuan lainnya, sebagaimana diperlukan, untuk mencapai tujuan yang ditetapkan dalam RPF dan PF ini. Program ini juga akan berupaya mendukung pemulihan mata pencaharian OTDP ini melalui inisiatif perhutanan sosial dan skema lainnya (yaitu, penyediaan dukungan teknis untuk pengembangan keterampilan, akses ke pasar, dll.). Kategorisasi tersebut akan ditetapkan melalui sensus dasar apabila relokasi dipertimbangkan. Sensus ini mewakili tanggal dimulainya tenggat (cut- off date) dalam RPF.
Orang-orang yang merambah batas wilayah setelah tanggal dimulainya tenggat tidak berhak atas kompensasi atau bentuk bantuan pemukiman kembali lainnya. Semua orang yang termasuk dalam butir (a), (b) atau (c) di atas harus diberikan kompensasi atas kehilangan aset selain tanah. Oleh karena itu, jelas bahwa semua orang yang terkena dampak proyek terlepas dari status mereka atau apakah mereka memiliki sertifikat resmi, hak hukum atau tidak, penghuni liar atau merambah tanah secara ilegal, memenuhi syarat untuk beberapa jenis bantuan jika mereka menduduki tanah sebelum tanggal dimulainya tenggat hak. Orang-orang yang merambah wilayah setelah studi sosial ekonomi (sensus dan kajian) tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi atau segala bentuk bantuan pemukiman kembali.
B KRITERIA KELAYAKAN
Orang-Orang yang Terkena Dampak Proyek dapat diklasifikasikan dalam satu dari tiga kelompok yang tercantum di bagian Error! Reference source not found.. Proses ini akan melibatkan peninjauan dokumen penguasaan tanah yang dimiliki oleh penghuni, wawancara dengan rumah tangga dan kelompok di daerah yang terkena dampak. OTDP yang tercakup dalam butir (a) dan (b) diberikan kompensasi atas tanah yang hilang, dan bantuan lain yang memastikan bahwa mereka telah:
Diberi informasi tentang pilihan dan hak mereka terkait dengan pemukiman kembali;
Diajak bermusyawarah, ditawari pilihan-pilihan, dan diberi alternatif pilihan pemukiman kembali yang layak secara teknis dan ekonomis; dan
Diberi penggantian/kompensasi dengan segera dan efektif dengan biaya penggantian penuh untuk kerugian aset yang terkait langsung dengan proyek.
Tanah untuk kompensasi tanah akan diterapkan pada OTDP yang mungkin kehilangan tanah mereka. Semua OTDP terlepas dari status mereka atau apakah mereka memiliki sertifikat resmi, hak hukum atau tidak, penghuni liar atau merambah tanah secara ilegal, memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan jika mereka menduduki tanah sebelum tanggal dimulainya tenggat hak. Orang-orang yang merambah wilayah setelah studi social ekonomi (sensus dan kajian) tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan kompensasi atau segala bentuk bantuan pemukiman kembali. Oleh karena itu, akan ada paket kompensasi dan tindakan pemukiman kembali lainnya untuk membantu setiap kategori OTDP yang memenuhi syarat untuk mencapai tujuan kebijakan.
Kelayakan untuk Kompensasi Masyarakat
Penting juga untuk dicatat bahwa kelayakan tersebut dapat diklaim secara kolektif, misalnya, sebagai masyarakat atau kelompok agama dan tidak harus individu atau keluarga.
Masyarakat (di tanah ulayat) yang secara permanen kehilangan tanah dan/atau akses ke aset dan/atau sumber daya berdasarkan hak hukum atau adat akan berhak mendapatkan kompensasi. Alasan untuk ini adalah untuk memastikan bahwa status sosial ekonomi masyarakat sebelum proyek yang terkena dampak negatif, juga dipulihkan.
Kriteria kelayakan juga akan ditentukan oleh status pembangunan hingga saat studi dimulai dan selanjutnya akan ditentukan oleh persetujuan pembangunan lainnya yang dikeluarkan oleh kantor pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah utama yang akan diwawancarai oleh konsultan akan mencakup pejabat pemerintah Kabupaten, Divisi dan lokasi seperti petugas pertanian Kabupaten/divisi, para pejabat tingkat Kebupaten, ketua dan wakil ketua. OTDP lainnya termasuk: petani besar dan kecil yang teridentifikasi, pengusaha laki-laki dan perempuan, pemimpin perempuan dan pemimpin kelompok sosial lainnya.
Tabel 12 Matriks Hak dan Kompensasi
Jenis Kerugian | Penerapan | Definisi Rumah Tangga yang Terkena Dampak | Hak |