BAB II
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN LEASING DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Perjanjian pada umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perikatan adalah:1 suatu hubungan hukum antara sejumlah subjek-subjek hukum; sehubungan dengan itu, seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap pihak lain.
Dengan pengertian yang demikian, maka dalam suatu perikatan terkait berbagai unsur-unsur. Pertama, adanya hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum. Hubungan yang diatur oleh hukum biasa disebut dengan perikatan yang lahir karena undang-undang. Misalnya terikatnya orang tua untuk mendidik dan memelihara anak-anaknya. Sementara itu, hubungan yang diakui oleh hukum biasa disebut dengan perikatan karena perjanjian. Dikatakan demmikian karena hubungan hukum itu telah dibuat oleh para pihak (subjek hukum) sedemikian rupa sehingga mengikat kedua belah pihak dan berlaku sebagai undang-undang (hukum). Kedua, antara seseorang dengan satu atau beberapa orang. Maksudnya adalah perikatan itu bisa berlaku terhadap seseorang atau dengan satu atau beberapa orang, yang dalam hal ini
1 Xxxxxxxx Xxxxx, Hukum Bisnis, RajaGrafindo, Jakarta, 2008, Hlm. 22.
25
adalah para subjek hukum atau para penyandang hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum. Ketiga, melakukan atau tidak melakukan dan memberikan sesuatu. Melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan memberikan sesuatu didalam perikatan disebut dengan prestasi, atau objek dari perikatan. Subjek hukum dalam melakukan perjanjian bebas menentukan isi dari perjanjian.
Perjanjian menurut rumusan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, definisinya adalah:2 suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih
Menurut Subekti definisi perjanjian yaitu: suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain, dan pihak yang lain tersebut berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu3
Sedangkan pengertian perjanjian menurut para ahli adalah sebagai berikut:4
1. Menurut pendapat Sri Soedewi Masjehoen Sofwan menyebutkan bahwa perjanjin itu adalah “suatu peruatan hukum dimana seorarng atau lebih mengingatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih”.
2. Menurut R xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx menyebutkan sebagai berikut “suatu perjanjian diartikan sebagai suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak , dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
3. A,Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxx bahwa perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana seorang lain itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”
Berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam perjanjian sebagai berikut:5 Pertama, adanya Kaidah Hukum. Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan undang-undang, traktat
2 Subekti dan Xxxxxxxxxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Xxxxxxx Xxxxxxxx, Jakarta, 2003, Hlm. 338.
3 Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1984, Hlm. 1.
4 Griswanti Lena, Perlindungan Hukum Terhadap Penerima Lisensi Dalam Perjanjian, Tesis, Universitas Gadjah Mada, 2005, Hlm. 87.
5 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, Hlm. 58.
dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contoh jual beli lepas, jual beli Tahunan dan lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal dari hukum adat.
Kedua, subjek hukum. Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtsperson. Rechtsperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang memiliki utang. Ketiga, adanya Prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur, prestasi terdiri dari memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, tidak berbuat sesuatu. Keempat, kata sepakat. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, kata sepakat adalah salah satu syarat sahnya perjanjian yang terkandung dalam pasal 1320 KUHPerdata. Kelima, akibat hukum. Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum atau dapat dituntut apabila tidak dipenuhinya prestasi. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.
2. Jenis-jenis Perjanjian
Menurut Xxxxxxx, perjanjian dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:
a. Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan hak dan kewajiban kepada kedua pihak yang membuat perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli Pasal 1457 KUHPerdata dan perjanjian sewa menyewa Pasal 1548 KUHPerdata. Dalam perjanjian jual beli hak dan kewajiban ada di kedua belah pihak. Pihak penjual berkewajiban menyerahkan barang yang dijual dan berhak mendapat pembayaran dan pihak pembeli berkewajiban membayar dan hak menerima barangnya.
b. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang dibuat dengan meletakkan kewajiban pada salah satu pihak saja. Misalnya perjanjian hibah. Dalam hibah ini kewajiban hanya ada pada orang yang menghibahkan yaitu memberikan barang yang dihibahkan sedangkan penerima hibah tidak mempunyai kewajiban apapun. Penerima hibah hanya berhak menerima barang yang dihibahkan tanpa berkewajiban apapun kepada orang yang menghibahkan.
c. Perjanjian dengan percuma adalah perjanjian menurut hukum terjadi keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya hibah (schenking) dan pinjam pakai Pasal 1666 dan 1740 KUHPerdata.
d. Perjanjian konsensuil, riil dan formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dianggap sah apabila telah terjadi kesepakatan antara pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi barangnya harus diserahkan. Misalnya perjanjian penitipan barang pasal 1741 KUHPerdata dan perjanjian pinjam mengganti Pasal 1754 KUHPerdata.
Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang- undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT. Misalnya jual beli tanah, undang-undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.
e. Perjanjian bernama atau khusus dan perjanjian tak bernama
Perjanjian bernama atau khusus adalah perjanjian yang telah diatur dengan ketentuan khusus dalam KUHPerdata Buku ke tiga Bab V sampai dengan bab XVIII. Misalnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, hibah dan lain-lain.
Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus dalam undang- undang. Misalnya perxxxxxxx xxxxxxx, perjanjian keagenan dan distributor, perjanjian kredit.
3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPeradata menentukan adanya 4 (empat ) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni:6 Pertama, adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan dirinya; Kedua, kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan; Ketiga, suatu hal tertentu; dan Keempat, suatu sebab (causa) yang halal.
Persyaratan tersebut diatas berkenan baik mengenai subjek maupun objek perjanjian. Persyaratan yang pertama dan kedua berkenan dengan subjek perjanjian atau syarat subjektif. Persyaratan yang ketiga dan keempat berkenan dengan objek perjanjian atau syarat objektif. Pembedaan kedua persyaratan tersebut dikaitkan pula dengan masalah batal demi hukumnya (nieteg atau null and ab initio) dan dapat dibatalkannya (vernietigbaar = voidable) suatu perjanjian.
Apabila syarat objektif dalam perjanjian tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut batal demi hukum atau perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi maka Perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku.
a. Kata Sepakat
Kata sepakat didalam perjanjian pada dasarnya adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para pihak didalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau kesepakatannya (Toestemming) jika ia memang menghendaki apa yang disepakati. Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx melukiskan pengertian
6 Subekti dan Xxxxxxxxxxxxx, Op Cit, Hlm. 330.
sepakat sebagai persyaratan kehendak yang disetujui (Overeenstemande Wilsverklaring) antar para pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (Offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie).7 X.Xxxxxx menyebutkan ada beberapa cara mengemukakan kehendak tersebut, yakni: Pertama, Secara tegas. 1) Dengan akte otentik. 2) Dengan akte di bawah tangan. Kedua, Secara diam-diam. Sekalipun undang-undang tidak secara tegas mengatakan, tetapi dari ketentuan-ketentuan yang ada, antara lain pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa pada asasnya, kecuali diterntukan lain, undang-undang tidak menentukan cara orang menyatakan kehendak.8
Suatu perjanjian dapat mengandung cacat hukum atau kata sepakat dianggap tidak ada jika terjadi hal-hal yang disebut di bawah ini, yaitu: Pertama, Paksaan (dwang). Setiap tindakan yang tidak adil atau ancaman yang menghalangi kebebasan kehendak para termasuk dalam tindakan pemaksaan. Di dalam hal ini, setiap perbuatan atau ancaman melanggar undang-undang jika perbuatan tersebut merupakan penyalahgunaan kewenangan salah satu pihak dengan membuat suatu ancaman, yaitu setiap ancaman yang bertujuan agar pada akhirnya pihaklain memberikan hak. Kewenangan ataupun hak istimewanya. Paksaan dapat berupa kejahatan atau ancaman kejahatan, hukuman penjara atau ancaman hukuman penjara, penyitaan dan kepemilikan yang tidak sah, atau ancaman penyitaan atau kepemilikan suatu benda atau tanah yang dilakukan secara tidak sah, dan tindakan-tindakan lain yang melanggar undang-undang, seperti tekanan ekonomi, penderitaan fisik dan mental, membuat seseorang dalam keadaan takut, dan lain-lain.9 Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx, paksaan (duress) adalah setiap tindakan intimidasi mental. Contohnya adalah ancaman
7 Xxxxxxxxx, Xxxxxx., Aspek-aspek Hukum Franchise dan keberadaannya dalam hukum Indonesia, Majalah Unisa UII, Yogyakarta, 1992, Hlm. 11.
8 Satrio. J, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya. Alumni, Bandung. 1999. Hlm. 46.
9 Ibid, Hlm. 48
kejahatan fisik dan hal ini dapat dibuat penuntutan terhadapnya. Jika ancaman kejahatan fisik tersebut merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan oleh hukum maka dalam hal ini ancaman tersebut tidak diberi sanksi hukum, dan dinyatakan bahwa tidak ada paksaan sama sekali. Selain itu paksaan juga bisa dikarenakan oleh pemerasan atau keadaan di bawah pengaruh terhadap seseorang yang mempunyai kalainan mental.10
Kedua, Penipuan (bedrog). Penipuan (fraud) adalah tindakan tipu muslihat. Menurut Xxxxx 1328 KUHPerdata dengan tegas menyatakan bahwa penipuan merupakan alasan pembatalan perjanjian. Dalam hal ada penipuan, pihak yang ditipu, memang memberikan pernyataan yang sesuai dengan kehendaknya, tetapi kehendaknya itu, karena adanya daya tipu, sengaja diarahkan ke suatu yang bertentangan dengan kehendak yang sebenarnya, yang seandainya tidak ada penipuan, merupakan tindakan yang benar. Dalam hal penipuan gambaran yang keliru sengaja ditanamkan oleh pihak yang satu kepada puhak yang lain. Jadi, elemen penipuan tidak hanya pernyataan yang bohong, melainkan harus ada serangkain kebohongan (samenweefsel van verdichtselen), serangkain cerita yang tidak benar, dan setiap tindakan/sikap yang bersifat menipu. Dengan kata lain, penipuan adalah tindakan yang bermaksud jahat yang dilakukan oleh satu pihak sebelum perjanjian itu dibuat. Perjanjian tersebut mempunyai maksud untuk menipu pihak lain dan membuat menandatangani perjanjian itu. Pernyataan yang salah itu sendiri bukan merupakan penipuan, tetapi hal ini disertai dengan tindakan yang menipu.11
Tindakan penipuan tersebut harus dilakukan oleh atau atas nama pihak dalam kontrak. Seseorang yang melakukan tindakan tersebut haruslah mempunyai maksud atau niat untuk menipu. Tindakan itu harus merupakan tindakan yang mempunyai
10 Gautama. Xxxxxxx, Business Law, Citra Aditya, Jakarta, 1995. Hlm 23.
11 J. Satrio, Op Cit, Hlm. 51.
maksud jahat, contohnya, merubah nomor seri pada sebuah mesin. Kelalaian untuk menginformasikan pelanggan atas adanya cacat tersembunyi pada suatu benda buka merupakan penipuan karena hal ini tidak mempunyai maksud jahat dan hanya merupakan kelalaian belaka. Selain itu, tindakan tersebut haruslah berjalan secara alami bahwa pihak yang ditipu tidak akan membuat perjanjian melainkan karena adanya unsur penipuan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penipuan terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu: (1) merupakan tindakan yang bermaksud jahat , kecuali untuk kasus kelalaian dalam menginformasikan cacat tersembunyi pada suatu benda; (2) sebelum perjanjian tersebut dibuat; (3) dengan niat atau maksud agar pihak lain menandatangani perjanjian; (4) tindakan yang dilakukan semata-mata hanya dengan maksud jahat. Ketiga, Kesesatan atau Kekeliruan (dwaling). Dalam hal ini, salah satu pihak atau beberapa pihak memiliki persepsi yang salah terhadap objek atau sebjek yang terdapat dalam perjanjian.
Ada 2 (dua) macam kekeliruan. Pertama, error in person, yaitu kekeliruan pada orangnya, misalnya, sebuah perjanjian yang dibuat dengan artis terkenal tetapi kemudian perjanjian tersebut dibuat dengan artis yang tidak terkenal hanya karena dia mempunyai nama yang sama. Kedua, error in subtantia yaitu kekeliruan yang berkaitan dengan kerakteristik suatu benda, misalnya seseorang yang membeli lukisan Xxxxxx Xxxxxxxx, tetapi setelah sampai di rumah orang itu baru sadar bahwa lukisan yang di belinya tadi adalah lukisan tiruan dari Xxxxxx Xxxxxxxx. Di dalam kasus yang lain, agar suatu perjanjian dapat dibatalkan, tahu kurang lebih harus mengetahui bahwa rekannya telah membuat perjanjian atas dasar kekeliruan dalam hal mengindentifikasi subjek atau orangnya.
Ketiga, Penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheiden). Penyalahgunaan keadaan terjadi manakala seseorang di dalam suatu perjanjian dipengaruhi oleh suatu hal yang menghalanginya untuk melakukan penilaian (judgment) yang bebas dari pihak lainnya, sehingga ia tidak dapat mengambil putusan yang independen. Penekanan tersebut dapat dilakukan karena salah satu pihak memiliki kedudukan khusus (misalnya kedudukan yang dominan atau memiliki yang bersifat fiduciary dan confidence). Xxx Xxxxx menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan tersebut dapat terjadi karena keunggulan ekonomi maupun karena kejiwaan.
b. Kecakapan untuk Mengadakan Perikatan
Syarat sahnya perjanjian yang kedua menurut Pasal 1320 KUHPerdata adalah kecakapan untuk membuat perikatan (om eene verbintenis aan te gaan). Di sini terjadi percampuradukan penggunaan istilah perikatan dan perjanjian. Dari kata “membuat” perikatan dan perjanjian dapat disimpulkan adanya unsur “niat” (sengaja). Hal yang demikian itu dapat disimpulkan cocok untuk perjanjian yang merupakan tindakan hukum. Apalagi karena unsur tersebut dicantumkan sebagai ubsur sahnya perjanjian, maka tidak mungkin tertuju kepada perikatan yang timbul karena undang-undang. Menurut X. Satrio, istilah yang tepat untuk menyebut syaratnya perjanjian yang kedua ini adalah : kecakapan untuk membuat perjanjian.
Pasal 1329 KUHperdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap. Kemudian Xxxxx 1330 menyatakan bahwa ada beberapa orang tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni: Pertama, orang yang belum dewasa; Kedua, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; dan Ketiga, orang-orang perempuan dalam pernikahan, (setelah diundangkannya Undang-undang no 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat 2 maka perempuan dalam perkawinan dianggap cakap hukum).
Seseorang di katakan belum dewasa menurut pasal 330 KUHPerdata jika belum mencapai umur 21 Tahun. Seseorang dikatakan dewasa jika telah berumur 21 Tahun atau berumur kurang dari 21 Tahun, tetapi telah menikah. Dalam perkembangannya, berdasar Pasal 47 dan 50 UU No. 1 Tahun 1974 kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan orang tua atau wali sampai umur 18 Tahun.
Selanjutnya Mahkamah Agung melalui Putusan No. 447/Sip/1976 tanggal 13 Oktober 1976 menyatakan bahwa dengan berlakunya UU No 1 Tahun 1974, maka batas seseorang berada di bawah kekuasaan perwalian adalah 18 Tahun, bukan 21 Tahun. Xxxxx X. Cheseemen 37 menjelaskan bahwa di dalam sistim common law, seseorang dikatakan belum dewasa jika belum berumur 18 Tahun (Tahun) dan 21 Tahun (pria) . dalam perkembangannya, umumnya negara-negara bagia di Amerika Serikat telah mensepakati bahwa kedewasaan tersebut ditentukan jika seseorang telah berumur 18 Tahun yang berlaku baik bagi wanita maupun pria.12
Seseorang yang telah dewasa dapat tidak cakap melakukan perjanjian, jika yang bersangkutan diletakan di bawah pengampuan (curatele atau conservatorship). Seseorang dapat diletakan di bawah pengampuan jika yang bersangkutan gila, dungu (xxxxxxxxxxxx), mata gelap (razernij), lemah akal (zwakheid van vermogens) atau juga pemboros. Orang yang demikian itu tidak menggunakan akal sehatnya, dan oleh karenanya dapat merugikan dirinya sendiri. Seseorang yang telah dinyatakan pailit juga tidak cakap untuk melakukan perikatan tertentu. Seseorang yang telah dinyatakan pailit untuk membuat suatu perikatan yang menyangkut harta kekayaannya. Ia hanya boleh melakukan perikatan yang mengungkapkan budel pailit, dan itupun harus sepengetahuan kuratornya.
c. Suatu Hal Tertentu
12 Ibid, Hlm. 33.
Syarat sahnya perjanjian yang ketiga adalah adanya suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp). Pasal 1333 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak) yang paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu. Suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu (centainty of terms), berarti bahwa apa yang diperjanjiakan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
Istilah barang dimaksud di sini apa yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak. Zaak dalam bahasa belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek perjanjian tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa.
J. Satrio menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam perjanjian adalah objek prestasi perjanjian. Isi prestasi tersebut harus tertentu atau paling sedikit dapat ditentukan jenisnya.
KUHPerdata menentukan bahwa barang yang dimaksud tidak harus disebutkan, asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan. Misalnya mengenai perjanjian “panen tembakau dari suatu ladang dalam Tahun berikutnya”adalah sah. Perjanjian jual beli “teh untuk seribu rupiah” tanpa penjelasan lebih lanjut, harus dianggap tidak cukup jelas.
d. Kausa Hukum yang Halal
Syarat sahnya perjanjian yang keempat adalah adanya kausa hukum yang halal. Kata kausa yang diterjemahkan dari kata oorzaak (Belanda) atau causa (Latin) bukan berarti sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian, tetapi mengacu kepada isi dan tujuan perjanjian itu sendiri. Misalnya dalam perjajian jual beli, isi dan
tujuan atau kausanya adalah pihak yang satu menghendaki hak milik suatu barang, sedangkan pihak lainnya menghendaki uang.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka apabila seseorang membeli pisau di suatu toko dengan maksud membunuh orang, maka jual beli tersebut mempunyai kausa yang halal. Apabila maksud membunuh tersebut dituangkan di dalam perjanjian, misalnya penjual pisau menyatakan hanya bersedia menjual pisaunya jika pembeli membeli menbunuh orang dengan pisaunya, disini tidak ada kausa hukum yang halal.
Menurut Xxxxx 1335 jo 1337 KUHPerdata bahwa suatu kausa dinyatakan terlarang jika bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Suatu kausa dikatakan bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang, jika kausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku.
Untuk menentukan apakah suatu kausa perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden) bukanlah masalah yang mudah, karena istilah kesusilaan ini sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda antara daerah yang satu dan daerah atau antara kelompok masyarakat yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Kausa hukum dalam perjanjian yang terlarang juga apabila bertentangan ketertiban umum, keamanan Negara, keresahan dalam masyarakat, dan karenanya dikatakan mengenai masalah ketatanegaraan. Didalam konteks Hukum Perdata International (HPI), ketertiban umum dapat dimaknai sebagai sendi-sendi atau asas-asas hukum suatu negara. Kuasa hukum yang halal ini di dalam sistim common law dikenal dengan istilah legaliti yang dikaitkan dengan public policy. Suatu kontrak dapat menjadi tidak sah (illegal) jika bertentangan dengan public policy. Walaupun sampai
sekarang belum ada definisi public policy jika berdampak negatif pada masyarakat atau menggangu keamanan dan kesejahteraan masyarakat (public’s safety and welfare).13
4. Ketentuan-ketentuan Umum dalam Perjanjian
a. Somasi
Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari ingebrekerstelling. Somasi diatur dalam pasal 1238 KUHPerdata dan pasal 1243 KUHPerdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.
Somasi timbul disebabkan debitur tidak memenuhi prestasinya, sesuai dengan yang diperjanjikan. Ada tiga hal terjadinya somasi, yaitu:14 Pertama, debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima sekeranjang apel seharusnya sekeranjang jeruk. Kedua, debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan. Tidak memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu kelambatan melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan prestasi. Penyebab tidak melaksanakan prestasi sama sekali karena prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau karena debitur terang-terangan menolak memberikan prestasi. Ketiga, prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur setelah lewat waktu yang diperjanjikan.
b. Wanprestasi
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi. Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Seorang
13 Xxxxxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxx., Perjanjian Baku (Standar), perkembangannya di Indonesia, Alumni, Bandung, 1980, Hlm. 21.
14 X.X, Xxxxx, Hukum Kontrak, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2008,
Hlm. 96.
debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Ada 4 (empat) akibat adanya wanprestasi, yaitu sebagai berikut : Pertama, Perikatan tetap ada. Kedua, debitur harus membayar ganti rugi kepada kreditur. Ketiga, beban resiko beralih untuk kerugian debitur, jika halangan tersebut timbul setelah debitur wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak kreditur. Keempat, jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditur dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan pasal 1266 KUHPerdata
c. Ganti Rugi
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian sedangkan ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dengan debitur .
d. Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang overmacht (keadaan memaksa) dapat dilihat dan dibaca dalam pasal 1244 KUHPerdata dan padal 1245 KUHPerdata. Pasal 1244 KUHPerdata berbunyi:
“debitur harus dihukum untuk mengganti biaya kerugian dan bunga, bila tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang
tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada i’tikad buruk kepadanya.”
Selanjutnya dalam pasal 1245 KUHPerdata berbunyi:
“tidak ada penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang olehnya”.
Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitur untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga, yaitu: Pertama, adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Kedua, terjadinya secara kebetulan. Ketiga, keadaan memaksa.
e. Risiko
Dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang resiko). Resicoleer adalah suatu ajaran, yaitu seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian, jika ada sesuatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian. Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana salah satu pihak aktif melakukan prestasi sedangkan pihak lainnya pasif. Perjanjian timbal ballik adalah suatu perjanjian yang kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat keduanya.15
5. Azas-azas Hukum Perjanjian
Asas hukum menurut xxxxxxx xxxxxxxxxxx adalah pikiran dasar yang melatar belakangi pembentukan hukum positif. Asas hukum tersebut pada umumnya tertuang di
15 Ibid, Hlm. 103.
dalam peraturan yang konkrit, akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiawai atau melatar belakangi pembentukannya. Karena sifat asas tersebut adalah abstrak dan umum. Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
a. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
b. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Disamping dua azas diatas masih ada beberapa azas dalam hokum perjanjian, yaitu:
a. Asas Mengikat sebagai Undang-undang (pacta sunt servanda)
Dalam perjanjiaan terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan dan kebiasaan yang mengikat para pihak.
Asas kekuatan mengikat atau asas facta sun servanda ini dapat diketahui di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa :
“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Adapun maksud dari asas ini tidak lain untuk mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak, maka sejak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian sejak saat itu perjanjian mengikat para pihak seperti undang-undang.
b. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik berasal dari hukum Romawi. Di dalam hukum Romawi asas ini disebut Bonafides. Dalam hukum perjanjian dikenal asas itikad baik, yang artinya bahwa setiap orang yang membuat suatu perjanjian harus
dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini dapat dibedakan atas itikad baik yang subyektif dan itikad baik yang obyektif.
Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang atas dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap bathin seseorang pada saat
diadakan suatu perbuatan hukum. Sedang Itikad baik dalam pengertian yang obyektif dimaksudkan adalah pelaksanaan suatu perjanjian yang harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasakan patut dalam suatu masyarakat.
c. Xxxx Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPer menegaskan bahwa:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.”
Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana terdapat dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan.
Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya
6. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c. Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d. Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
1) Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
2) Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
3) Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e. Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g. Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Xxxx. Xxxxxxx permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
2) Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j. Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang- undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh Tahun. Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B. Perjanjian Leasing
1. Pengertian Leasing
Istilah leasing berasal dari bahsa inggris yakni dari kata lease yang berarti sewa. Pengertian leasing menurut surat Pasal 1 Keputusan Bersama MenteriKeuangan dan Menteri Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/KPB/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 adalah:
”Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu,
berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah disepakati bersama”.
Definisi leasing dalam surat keputusan bersama tersebut difokuskan pada pengertian leasing pada financial lease, artinya bahwa penyewa guna usaha atau pada masa akhir kontrak diberikan hak opsi, yaitu untuk membeli objek atau memperpanjangnya. Ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian leasing yang terkandung dalam keputusan surat bersama tersebut, yaitu:16
a. penyediaan barang modal,
b. jangka waktu tertentu,
c. pembayaran dilakukan secara berkala, dan
d. adanya hak opsi, yaitu memilih untuk membeli objek atau memperpanjangnya.
Dalam kamus Black Laws Dictionary, yang diartikan dengan lease adalah any agreement which gives rises to relationship of landlord and tenant (real proverty) or lessor and lesse (real or personal proverty). Artinya, leasing adalah sebuah persetujuan untuk menimbulkan hubungan antara pemilik tanah dengan petani (benda tidak bergerak) atau antara lessor dengan lesse (benda tidak bergerak atau benda bergerak).17
Definisi diatas difokuskan pada persetujuan tentang objek dan subjek leasing. Subjek leasing dalam definisi ini adalah pemilik tanah dan penyewa tanah atau antara lessor dengan lesse sebagai penyewa, sedangkan objeknya berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak.
Perjanjian leasing tergolong kepada perjanjian tidak bernama. Perjanjian jenis ini disebut perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat. Keberadaan perjanjian baik nominaat maupun innominaat tidak terlepas dari adanya sistem yang berlaku dalam hukum perjanjian itu sendiri.
16 Salim. HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominat Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 139.
17 Ibid
Leasing sebenarnya berasal dari kata lease yang berarti menyewakan. Di Indonesia, leasing lebih sering diistilahkan dengan nama “sewa guna usaha”. Sewa Guna Usaha adalah suatu perjanjian dimana lessor menyediakan barang (asset) dengan hak penggunaan oleh lessee dengan imbalan pembayaran sewa untuk suatu jangka waktu tertentu. Secara umum leasing artinya equipment funding, yaitu pembiayaan peralatan atau barang modal untuk digunakan pada proses produksi suatu perusahaan baik secara langsung maupun tidak.
Subekti mengartikan leasing adalah perjanjian sewa-menyewa yang telah berkembang dikalangan pengusaha, dimana lessor (pihak yang menyewakan, yang sering merupakan perusahaan leasing) menyewakan suatu perangkat alat-alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk sevis, pemeliharaan, dan lain-lain pada lesse (penyewa) untuk suatu jangka waktu tertentu.18
Dalam rumusan tersebut, subekti mengkonstruksikan leasing sebagai berikut:
a. leasing sama dengan sewa-menyewa,
b. subjek hukum yang terkait dalam perjanjian tersebut adalah pihak lessor dan lesse,
c. objeknya perangkat alat perusahaan (mesin-mesin) termasuk pemeliharaan dan lain-lain,
d. adanya jangka waktu sewa.
Kelemahan dari definisi ini adalah tidak mencantumkan hak opsi dan jumlah angsuran yang harus dibayarkan oleh pihak lesse, padahal hakikat dari lembaga leasing adalah ada atau tidak adanya hak opsi. Definisi lain juga dikemukakan oleh Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx yang mengatakan bahwa leasing adalah suatu perjanjian dimana si penyewa barang modal (lesse) menyewa barang modal untuk usaha tertentu, dan jumlah angsuran tertentu.19
18 X.Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxan, Op. Cit.,hlm. 55
19 Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Perjanjian, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1988, hlm. 28
Sewa-menyewa atau perjanjian sewa-menyewa diatur pada pasal 1548 s.d. pasal 1600 KUHPerdata. Ketentuan yang mengatur tentang perjanjian sewa menyewa terdapat dalam pasal 1548 KUHPerdata yang menyebutkan:
“Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya.”
Definisi yang dikemukakan oleh Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx Xxxxxx tersebut memandang bahwa institusi leasing merupakan suatu kontrak atau perjanjian antara para pihak lesse dengan pihak lessor. Oleh karena itu, antara lesse dengan pihak lessor terdapat hubungan hukum sewa menyewa. Objek yang disewa adalah barang modal. Jangka waktu dan jumlah angsuran ditentukan oleh para pihak.
Oleh karena adanya kelemahan dari berbagai definisi yang dipaparkan diatas, maka menurut Xxxxx, H.S mengatakan bahwa lesing merupakan kontrak sewa menyewa yang dibuat antara pihak lessor dengan lesse, dimana pihak lessor menyewakan kepada lesse barang-barang produksi yang harganya mahal, untuk digunakan oleh lesse, dan pihak lesse berkewajiban untuk membayar harga sewa sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dengan disertai hak opsi, yaitu untuk membeli atau memperpanjang sewa.20
Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi terakhir ini adalah:
a. adanya subjek hukum, yaitu pihak lessor dan lesse,
b. adanya objek, yaitu barang-barang modal yang harganya mahal,
c. adanya jangka waktu tertentu,
d. adanya sejumlah angsuran yang dimana pembayaran ini merupakan harga sewa barang tersebut, dan
e. adanya hak opsi.
20 Salim. HS, Op. Cit., hlm. 141
Hak opsi merupakan hak dari lesse untuk membeli atau memperpanjang objek
leasing. Sedangkan cirri-ciri perxxxxxxx xxxxxxx adalah sebagai berikut:21
a. adanya hubungan tertentu antara jangka waktu perjanjian dengan unsur ekonomis barang yang menjadi objek perjanjian.
b. adanya pemisahan kepentingan atas benda yang menjadi objek perjanjian. Hak milik secara yuridis tetap berada pada pihak lessor (pihak yang menyewakan) dan hak menikmati benda diserahkan kepada lesse (penyewa).
c. adanya kewajiban untuk memberikan penggantian atas kenikmatan yang diperoleh.
2. Dasar Hukum Perjanjian Leasing
Seperti yang kita ketahui pengaturan leasing dalam hal ini masih sangat sederhana,dan pelaksanaan sehari-hari didasarkan kepada kebijaksanaan yang tidak bertentangan dengan Surat Keputusan Menteri yang ada. Surat Keputusan Tiga Menteri Tahun 1974 mengenai leasing. Adalah peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk itu. Surat Keputusan itu dan lain-lain peraturan yang dikeluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian- perjanjian dan kegiatan leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan obligatory atau bersifat memaksa. Sumber hukum yang lebih luas dan mendalam yang melandasi dan mendasari kegiatan leasing dewasa ini di Indonesia antara lain:22
a. Umum (General)
1) Asas concordantie hukum berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang- Undang Dasar 1945 pasca amandemen atas hukum perdata yang berlaku bagi penduduk eropa.
2) Pasal 1338 KUHPerdata mengenai asas kebebasan berkontrak serta asas-asas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam bab I Buku III KUHPerdata. Pasal ini memberikan kebebasan kepada semua pihak untuk memilih isi pokok perjanjian mereka sepanjang hal ini tidak betentangan dengan Undang- Undang, kepentingan atau kebijaksanaan umum.
3) Pasal 1548 sampai 1580 KUHPerdata (Buku III sampai dengan Buku IV), yang berisikan ketentuan mengenai sewa-menyewa sepanjang tidak ada dilakukan penyimpangan oleh para pihak. Pasal ini membahas hak dan kewajiban lessee.
b. Khusus
1) Surat Keputusan Bersama(SKB) Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan RI No. KEP.122/MK /IV/2/1974, No.32/M/SK/1974 dan No.30/KPB/1974 tertanggal 7 Februari 1974 tentang perizinan usaha leasing.
21 Ibid
22 Chapter II, Aspek Hukum Mengenai Leasing, diunduh pada
xxxx://xxxxxxxxxx.xxx.xx.xx/xxxxxxxxx/000000000/00000/0/Xxxxxxx%00XX.xxx, tanggal 6 April 2017
2) Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK /IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang perizinan usaha leasing.
3) Surat Keputusan (SK) Menteri Keuangan RI No.KEP/649/MK /IV/5/1974, tertanggal 6 Mei 1974 tentang penegasan ketentuan pajak penjualan dan besarnya bea materi terhadap usaha leasing.
4) Surat Edaran Direktorat Jendral Moneter No. PENG-307/DJM/IIL 7/7/1974 tertanggal 8 Juli 1974, tentang:
a) Tata cara perizinan.
b) Pembatasan usaha.
c) Pembukaan.
d) Tingkat suku bunga.
e) Perpajakan.
f) Pengawasan dan Pembinaan.
5) Surat Keputusan Menteri Perdagangan No.34/KP/II/B1980 tertanggal 1 Februari 1980, mengenai lisensi/perizinan untuk kegiatan usaha sewa-beli (hire purchase), jual-beli dengan angsuran atau cicilan dan sewa-menyewa.
6) Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 31 Agustus 1983 tentang ketentuan perpanjangan izin usaha perusahaan leasing dan perpanjangan penggunaan tenaga warga Negara asing pada perusahaan leasing.
7) Surat Edaran Dirjen Moneter dalam negeri No.SE.4835/1983 tanggal 1 September 1983 tentang tata cara dan prosedur pendirian kantor cabang dan kantor perwakilan perusahaan leasing.
8) Surat Keputusan SK Menteri Keuangan RI No.S.742/MK.011/1984 tanggal 12 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
9) Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No.SE.28/PJ.22/1984 tanggal 26 Juli 1984 mengenai PPh pasal 23 atas usaha financial leasing.
10) Keputusan Menteri Keuangan RI No.1169/KMK.01/1991 tentang kegiatan sewa guna usaha
Dengan demikian maka untuk pembuatan perjanjian leasing yang harus mengatur hak kewajiban dan hubungan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dari peraturan-peraturan dan pedoman -pedoman tersebut diatas.
Pembeli benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia bebas dari tuntuan hukum, jika pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tersebut sesuai dengan harga pasar.
Penggunaan, penggabungan, pencampuran, atau pengalihan benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia yang disetujui penerima Fidusia tidak berakibat ia akan kehilangan jaminan Fidusia atas benda tersebut.
Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis dari penerima Fidusia.
3. Para Pihak Dalam Perjanjian Leasing
Setiap transaksi leasing sekurang-kurangnya melibatkan 4 (empat) pihak yang berkepentingan, yaitu : lessor, lessee, supplier, dan bank atau kreditor.
a. Lessor
Lessor adalah perusahaan leasing atau pihak yang memberikan jasa pembiayaan kepada pihak lessee dalam bentuk barang modal. Lessor dalam financial lease bertujuan untuk mendapatkan kembali biaya yang telah dikeluarkan untuk membiayai penyediaan barang modal dengan mendapatkan keuntungan. Sedangkan dalam overating lease, lessor bertujuan mendapatkan keuntungan dari penyediaan barang serta pemberian jasa- jasa yang berkenaan dengan pemeliharaan serta pengoverasian barang modal tersebut.
b. Lessee
Lesse adalah perusahaan atau pihak yang memperoleh pembiayaan dalam bentuk barang modal dari lessor. Lessee dalam financial lease bertujuan mendapatkan pembiayaan berupa barang atau peralatan dengan cara pembayaran angsuran atau secara berkala. Pada akhir kontrak, lessee memiliki hak opsi atas barang tersebut. Maksudnya, pihak lessee memiliki hak untuk membeli barang yang di-lease dengan harga berdasarkan nilai sisa. Dalam overating lease, lessee dapat memenuhi kebutuhan peralatannya di samping tenaga overator dan perawatan alat tersebut tanpacrisiko bagi lessee terhadap kerusakan.
c. Supplier
Supplier adalah perusahaan atau pihak yang mengadakan atau menyediakan barang untuk dijual kepada lessee dengan pembayaran secara tunai oleh lessor. Dalam mekanisme financial lease, supplier langsung menyerahkan barang kepada lessee tanpa melalui pihak lessor sebagai pihak yang memberikan pembiayaan. Sebaliknya, dalam overating lease, supplier menjual barangnya langsung kepada lessor dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, yaitu secara tunai atau berkala.
d. Bank
Dalam suatu perjanjian atau kontrak leasing, pihak bank atau kreditor tidak terlibat secara langsung dalam kontrak tersebut, namun pihak bank memegang peranan dalam hal penyediaan dana kepada lessor, terutama dalam mekanisme leverage lease di mana sumber dana pembiayaan lessor diperoleh melalui kredit bank. Pihak supplier dalam hal ini tidak tertutup kemungkinan menerima kredit dari bank, untuk memperoleh barang-barang yang nantinya akan dijual sebagai objek leasing kepada lessee atau lessor.
Dalam setiap transaksi leasing di dalamnya selalu melibatkan 3 pihak utama, yaitu:
a. Lessor adalah perusahaan sewa guna usaha atau di dalam hal ini pihak yang memiliki hak kepemilikan atas barang.
b. Lessee adalah peruahaan atau pihak pemakai barang yang bisa memiliki hak opsi pada akhir perjanjian
c. Supplier adalah pihak penjual barang yang disewagunausahakan.
C. Perbuatan Melawan Hukum
1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Hukum di Prancis yang semula juga mengambil dasar-dasar dari hukum Romawi, yaitu teori tentang culpa dari Lex Aquilla, kemudian terjadi proses generalisasi, yakni dengan berkembangnya suatu prinsip perbuatan melawan hukum yang sederhana, tetapi dapat menjaring semua (catch all), berupa perbuatan melawan hukum yang dirumuskan sebagai perbuatan yang merugikan orang lain, yang menyebabkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian tersebut harus mengganti kerugian. Rumusan tersebut kemudian diambil dan diterapkan di xxxxxx Xxxxxxx yang kemudian oleh Belanda dibawa ke Indonesia, yang rumusan seperti itu sekarang temukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia. Rumusan perbuatan melawan hukum yang berasal dari KUH Perdata Prancis tersebut pada paruh kedua abad ke-19 banyak mempengaruhi perkembangan teori perbuatan melawan hukum (tort) versi hukum Anglo Saxon.23
Perkembangan sejarah tentang perbuatan melawan hukum di xxxxxx Xxxxxxx dapat dibagi dalam tiga periode yaitu :
a. Periode sebelum Tahun 1838
Adanya kodifikasi sejak Tahun 1838 membawa perubahan besar terhadap pengertian perbuatan melawan hukum yang diartikan pada waktu itu sebagai on wetmatigedaad (perbuatan melanggar undang-undang) yang berarti bahwa suatu perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang.
b. Periode antara Tahun 1838-1919
Setelah Tahun 1883 sampai sebelum Tahun 1919, pengertian perbuatan melawan hukum diperluas sehingga mencakup juga pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain. Dengan kata lain perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak subjektif
23 Xxxxx Xxxxx I, Perbandingan Hukum Perdata, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2005, hlm. 80
orang lain. Dalam hal ini Pasal 1365 KUH Perdata diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in committendo) sedangkan Pasal 1366 KUH.Perdata dipahami sebagai perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo). Apabila suatu perbuatan (berbuat atau tidak berbuat) tidak melanggar hak subjektif orang lain atau tidak melawan kewajiban hukumnya/tidak melanggar undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak termasuk perbuatan melawan hukum.
c. Periode setelah Tahun 1919
Terjadi penafsiran luas melalui putusan Hoge Raad terhadap perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1401 BW Belanda atau 1365 KUH Perdata Indonesia kasus Lindenbaum versus Xxxxx. Perkembangan tersebut adalah dengan bergesernya makna perbuatan melawan hukum, dari semula yang cukup kaku kepada perkembangannya yang luas dan luwes.
Menurut sistem Common Law sampai dengan penghujung abad ke-19, perbuatan melawan hukum belum dianggap sebagai suatu cabang hukum yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan sekumpulan dari writ (model gugatan yang baku) yang tidak terhubung satu sama lain.24
Penggunaan writ ini kemudian lambat laun menghilang. Seiring dengan proses hilangnya sistem writ di Amerika Serikat, maka perbuatan melawan hukum mulai diakui sebagai suatu bidang hukum tersendiri hingga akhirnya dalam sistem hukum Anglo Saxon, suatu perbuatan melawan hukum terdiri dari tiga bagian:25
a. Perbuatan dengan unsur kesengajaan (dengan unsur kesalahan)
b. Perbuatan kelalaian (dengan unsur kesalahan)
24 Ibid, hlm. 81
25 Ibid, hlm.3
c. Perbuatan tanpa kesalahan (tanggung jawab mutlak).
Menurut Pasal 1365 KUHPerdata, maka yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang yang karena salahnya telah menimbulkan kerugian bagi orang lain. Ilmu hukum mengenal 3 (tiga) kategori dari perbuatan melawan hukum, yaitu : 26
a. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan
b. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan (tanpa unsur kesengajaan maupun kelalaian)
c. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Dengan demikian tiap perbuatan melanggar, baik sengaja maupun tidak sengaja yang sifatnya melanggar. Berarti unsur kesengajaan dan kelalaian di sini telah terpenuhi. Kemudian yang dimaksud dengan hukum dalam Pasal tersebut di atas adalah segala ketentuan dan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis dan segala sesuatu yang dianggap sebagai hukum. Berarti jelas bahwa yang dilanggar itu adalah hukum dan yang dipandang atau dianggap sebagai hukum, seperti undang-undang, adat kebiasaan yang mengikat, keputusan hakim dan lain sebagainya.
Selanjutnya agar pelanggaran hukum ini dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, akibat dari pelanggaran hukum itu harus membawa kerugian bagi pihak lain. Karena adakalanya pelanggaran hukum itu tidak harus membawa kerugian kepada orang lain, seperti halnya seorang pelajar atau mahasiswa tersebut dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, padahal dalam hal itu ada peraturan yang dibuat oleh sekolah atau universitas masing-masing.
Dengan demikian antara kalimat "tiap perbuatan melanggar hukum", tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, bahkan harus sejalan dalam mewujudkan
26 Xxxxx Xxxxx XX, Perbuatan Melawan Hukum, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2002, hlm.3.
pengertian dari perbuatan melawan hukum tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut di atas.
Dalam arti sempit, perbuatan melawan hukum diartikan bahwa "orang yang berbuat pelanggaran terhadap orang lain atau ia telah berbuat bertentangan dengan suatu kewajiban hukumnya sendiri".27 Setelah adanya arrest dari Hoge Raad 1919 Nomor 110 tanggal 31 Januari 1919, maka pengertian perbuatan melawan hukum lebih diperluas, yaitu :28
“Hal berbuat atau tidak berbuat itu adalah melanggar hak orang lain, atau itu adalah bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang berbuat (sampai di sini adalah merupakan perumusan dari pendapat yang sempit), atau berlawanan baik dengan kesusilaan maupun melawan kepantasan yang seharusnya ada di dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri atau benda orang lain)”.
Dengan demikian pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas berdasarkan pernyataan di atas, bahwa perbuatan itu tidak saja melanggar hak orang lain dan bertentangan dengan kewajiban hukum dari pelakunya atau yang berbuat, tetapi perbuatan itu juga berlawanan dengan kesusilaan dan kepantasan terhadap diri atau benda orang lain, yang seharusnya ada di dalam masyarakat, dalam arti bertentangan dengan ketentuan- ketentuan yang tidak tertulis, seperti adat istiadat dan lain-lain.
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx berpendapat, bahwa perbuatan melawan hukum dalam arti sempit hanya mencakup Pasal 1365 KUHPerdata, dalam arti pengertian tersebut dilakukan secara terpisah antara kedua Pasal tersebut. Sedangkan pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti luas adalah merupakan penggabungan dari kedua Pasal tersebut.
27 X.X.X.Xxxxxx, Pengantar Study Hukum Perdata (Diterjemahkan Oleh I.S. Adiwinata), Xxxxxxxi Pers, Jakarta, 2004, hlm.184.
28 Ibid, hlm.185
Lebih jelasnya pendapat tersebut adalah :29
Perbuatan dalam arti "perbuatan melawan hukum" meliputi perbuatan positif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "daad" (Pasal 1365) dan perbuatan negatif, yang dalam bahasa asli bahasa Belanda "nataligheid" (kelalaian) atau "onvoorzigtgheid" (kurang hati-hati) seperti ditentukan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata.
Dengan demikian Pasal 1365 KUHPerdata untuk orang-orang yang betul-betul berbuat, sedangkan dalam Pasal 1366 KUHPerdata itu untuk orang yang tidak berbuat. Pelanggaran kedua Pasal ini mempunyai akibat hukum yang sama, yaitu mengganti kerugian. Perumusan perbuatan positif Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan negatif Pasal 1366 KUHPerdata hanya mempunyai arti sebelum ada putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx 31 Januari 1919, karena pada waktu itu pengertian melawan hukum (onrechtmatig) itu masih sempit. Setelah putusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx tersebut, pengertian melawan hukum itu sudah menjadi lebih luas, yaitu mencakup juga perbuatan negatif. Ketentuan Pasal 1366 KUHPerdata itu sudah termasuk pula dalam rumusan Pasal 1365 KUHPerdata.
Berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum di atas, baik yang secara etimologi, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, keputusan Mahkamah Xxxxx Xxxxxxx dengan arrest tanggal 31 Januari 1919 dan pendapat para sarjana hukum, walaupun saling berbeda antara satu sama lainnya, namun mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penegasan terhadap tindakan-tindakan seseorang yang telah melanggar hak orang lain atau yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri, sementara tentang hal tersebut telah ada aturannya atau ketentuan-ketentuan yang mengaturnya, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, seperti adat kebiasaan dan lain sebagainya.30
29 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx., Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002, hlm.142
30 Ibid, hlm.144.
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materil.31
a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil.
Ajaran sifat melawan hukum materil adalah memenuhi semua unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela. karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum yang tidak tertulis.
2. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum ialah :32
a. Perbuatan itu harus melawan hukum (onrechtmatig).
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
c. Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan (kelalaian).
d. Antara perbuatan dan kerugian yang timbul harus ada hubungan kausal.
hlm. 21
31 Xxxxx XX, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
32 Ibid, hlm. 24
Berbeda halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh X. Xxxxxxxx, yang mengatakan :
Pasal 1365 memuat beberapa unsur yang harus dipenuhinya, agar supaya dapat menentukan adanya suatu perbuatan melanggar hukum. Unsur pertama adalah perbuatan itu harus melanggar undang-undang. Perbuatan itu menimbulkan kerugian (unsur kedua), sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab. Unsur ketiga ialah harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.33
Menurut pernyataan di atas unsur dari perbuatan melawan hukum itu adalah sebagai berikut :34
a. Perbuatan itu harus melanggar undang-undang.
b. Perbuatan itu mengakibatkan kerugian, sehingga antara perbuatan dan akibat harus ada sebab musabab.
c. Harus ada kesalahan di pihak yang berbuat.
Dibandingkan kedua unsur-unsur tersebut di atas, jelas terlihat perbedaannya, dimana menurut pendapat Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakannya lebih luas, jika dibandingkan dengan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh X. Xxxxxxxx. Kalau perbuatan yang dikemukakan Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx lebih luas, yaitu terhadap hukum yang termasuk di dalamnya Undang-Undang. Sedangkan perbuatan yang dikemukakan R. Xxxxxxxx, hanya terhadap Undang-undang saja. Kemudian antara perbuatan dan akibat terdapat hubungan kausal (sebab musabab), menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx merupakan salah satu unsur, sedangkan menurut R. Xxxxxxxx digabungkan dengan unsur perbuatan itu menimbulkan kerugian.
Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx menyebutkan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum yaitu :35
33 R. Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Xxxxxxx Xxxxxxxx, Jakarta, 2001, hlm.82.
a. Perbuatan itu harus melawan hukum
Prinsipnya tentang unsur yang pertama ini telah dikemukakan di dalam sub bab di atas, yaitu di dalam syarat-syarat perbuatan melawan hukum. Dalam unsur pertama ini, sebenarnya terdapat dua pengertian, yaitu "perbuatan" dan "melawan hukum". Namun keduanya saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Keterkaitan ini dapat dibuktikan dengan dua cara, yaitu dengan cara penafsiran bahasa, melawan hukum menerangkan sifatnya dari perbuatan itu dengan kata lain "melawan hukum" merupakan kata sifat, sedangkan "perbuatan" merupakan kata kerja. Sehingga dengan adanya suatu "perbuatan" yang sifatnya "melawan hukum", maka terciptalah kalimat yang menyatakan "perbuatan melawan hukum".
Kemudian dengan cara penafsiran hukum. Cara penafsiran hukum ini terhadap kedua pengertian tersebut, yaitu "perbuatan", untuk jelasnya telah diuraikan di dalam sub bab di atas, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti sempit, hanya meliputi hak orang lain, dan kewajiban si pembuat yang bertentangan atau hanya melanggar hukum/undang-undang saja. Pendapat ini dikemukakan sebelum adanya arrest Hoge Raad Tahun 1919. Sedangkan dalam arti luas, telah meliputi kesusilaan dan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan barang-barang orang lain. Pendapat ini dikemukakan setelah pada waktu arrest Hoge Raad Tahun 1919 digunakan.
b. Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian.
Kerugian yang dimaksud di dalam unsur kedua ini, Undang-undang tidak hanya menjelaskannya tentang ukurannya dan yang termasuk kerugian itu. Undang-undang hanya menyebutkan sifat dari kerugian tersebut, yaitu materiil dan imateriil. “Kerugian ini dapat bersifat kerugian materil dan kerugian inmateril, Apa ukurannya, apa yang
termasuk kerugian itu, tidak ada ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang sehubungan dengan perbuatan melawan hukum”.36
Dengan pernyataan di atas, bagaimana caranya untuk menentukan kerugian yang timbul akibat adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Karena undang-undang sendiri tidak ada menentukan tentang ukurannya dan apa saja yang termasuk kerugian tersebut. Undang-undang hanya menentukan sifatnya, yaitu materil dan inmateril.
Termasuk kerugian yang bersifat materil dan inmateril ini adalah :37
1) Materil, maksudnya bersifat kebendaan (zakelijk). Contohnya : Kerugian karena kerusakan tubrukan mobil, rusaknya rumah, hilangnya keuntungan, keluarnya ongkos barang dan sebagainya.
2) Immateril, maksudnya bersifat tidak kebendaan. Contohnya : Dirugikan nama baik seseorang, harga diri, hilangnya kepercayaan orang lain, membuang sampah (kotoran) di pekarangan orang lain hingga udara tidak segar pada orang itu atau polusi, pencemaran lingkungan, hilangnya langganan dalam perdagangan.
Berdasarkan pernyataan di atas, apakah contoh-contoh tersebut telah memenuhi ukuran dari kerugian yang diisebabkan oleh perbuatan melawan hukum. Hal ini dapat saja terjadi, karena undang-undang itu sendiri tidak ada mengaturnya. Namun demikian bukan berarti orang yang dirugikan tersebut dapat menuntut kerugian orang lain tersebut sesuka hatinya. Karena ada pendapat yang mengatakan :38
“Hoge Raad berulang-ulang telah memutuskan, bahwa kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum, ketentuannya sama dengan ketentuan yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian (Pasal 1246- 1248), walaupun ketentuan tersebut tidak dapat langsung diterapkan. Akan tetapi jika penerapan itu dilakukan secara analogis, masih dapat diperkenankan.”
Dalam praktek hukumnya, pernyataan di atas dapat dibuktikan kebenarannya, bahwa secara umum pihak yang dirugikan selalu mendapat ganti kerugian dari si pembuat perbuatan melawan hukum, tidak hanya kerugian yang nyata saja, tetapi keuntungan yang seharusnya diperoleh juga diterimanya. Dengan demikian, kerugian
36 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx., Op.Cit, hlm.148
37 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata, Pembinaan UPN, Jakarta, 2006, hlm.83
yang dimaksud pada unsur kedua ini, dalam prakteknya dapat diterapkan ketentuan kerugian yang timbul karena wanprestasi dalam perjanjian. Walaupun penerapan ini hanya bersifat analogi. Namun tidak menutup kemungkinan terlaksananya penerapan ketentuan tersebut terhadap perbuatan melawan hukum. Alasannya, karena tidak adanya pengaturan lebih lanjut dari Undang-undang tentang hal tersebut, sehingga masalah ini dapat merupakan salah satu masalah pengembangan hukum perdata, yang layak untuk diteliti.
c. Perbuatan itu hanya dilakukan dengan kesalahan.
Kesalahan dalam uraian ini, ialah perbuatan yang disengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan atau yang perbuatan itu melawan hukum (onrechtmatigedaad).
Menurut hukum perdata, seseorang itu dikatakan bersalah jika terhadapnya dapat disesalkan bahwa ia telah melakukan/tidak melakukan suatu perbuatan yang seharusnya dihindarkan. Perbuatan yang seharusnya dilakukan/tidak dilakukan itu tidak terlepas dari pada dapat atau tidaknya hal-hal itu dikira-dira. Dapat dikira-kira itu harus diukur secara objektif, artinya manusia normal dapat mengira-ngirakan dalam keadaan tertentu perbuatan seharusnya dilakukan/tidak di lakukan.39
Berdasarkan pendapat di atas, berarti perbuatan melawan hukum itu adalah perbuatan yang sengaja atau lalai melakukan suatu perbuatan. Kesalahan dalam unsur ini merupakan suatu perbuatan yang dapat dikira-kira atau diperhitungkan oleh pikiran manusia yang normal sebagai tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukannya perbuatan itu. Dengan demikian, melakukan atau tidak melakukan dapat dikategorikan ke dalam bentuk kesalahan. Pendapat di atas dapat dimaklumi, karena sifat dari hukum adalah mengatur, yang berarti ada larangan dan ada suruhan. jika seseorang melakukan suatu perbuatan, perbuatan mana dilarang oleh undang-undang, maka orang tersebut
dinyatakan telah bersalah. Kemudian jika seseorang tidak melakukan perbuatan, sementara perbuatan itu merupakan perintah yang harus dilakukan, maka orang tersebut dapat dikatakan telah bersalah. Inilah pengertian kesalahan dari maksud pernyataan di atas.
Kemudian ada pendapat lain yang menyatakan bahwa "kesalahan itu dapat terjadi, karena : disengaja dan tidak disengaja".40 Tentunya yang dimaksud dengan disengaja dan tidak disengaja dalam pernyataan di atas adalah dalam hal perbuatan. Apakah perbuatan itu disengaja atau perbuatan itu tidak disengaja. Tentang disengaja dan tidak disengaja berarti kesalahan itu dapat terjadi dan dilakukan akibat dari suatu kelalaian. Jika kelalaian dapat dianggap suatu unsur dari kesalahan, maka menurut pandangan hukum, kodrat manusia sebagai makhluk yang tidak pernah luput dari kesalahan dan kesilapan, merupakan satu pedoman dasar di dalam menentukan bahwa perbuatan itu termasuk ke dalam suatu perbuatan yang melawan hukum dan tidak dapat dipungkiri lagi. Tetapi di dalam kenyataannya, kenapa masih banyak orang yang telah melakukan perbuatan melawan hukum, dapat menghindari dirinya dari tuduhan dan gugatan tersebut dalam arti mengingkari perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan kepadanya.
Perbuatan yang memang disengaja, berarti sudah ada niat dari pelakunya atau si pembuat. Tetapi jika perbuatan itu tidak disengaja untuk dilakukan, dalam arti unsur kesilapan, suatu contoh dalam hal pembayaran harga barang dalam jual beli tanah yang dilakukan si pembeli, apakah si pembeli dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum, menurut pendapat di atas. Atau seorang kasir pada suatu bank, yang silap melakukan perhitungan terhadap rekening si nasabah. Apakah perbuatan si kasir
tersebut dapat dikatakan sebagai suatu kesalahan dan kepadanya dapat digugat Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut.
d. Antara perbuatan dan kerugian ada hubungan kausal.
Pasal 1365 KUH. Perdata, hubungan kausal ini dapat terlihat dari kalimat perbuatan yang karena kesalahaannya menimbulkan kerugian. Sehingga kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan, atau kerugiaan itu merupakan akibat dari perbuatan. Hal yang menjadi masalah di sini, apakah kerugian itu merupakan akibat perbuatan, sejauhmanakah hal ini dapat dibuktikan kebenarannya. Jika antara kerugian dan perbuatan terdapat hubungan kausalitas (sebab akibat), maka sudah pasti dapat dikatakan bahwa setiap kerugian merupakan akibat dari suatu perbuatan. Apakah pendapat tersebut tidak bertentangan dengan hukum alam, yang menyatakan bahwa terjadinya alam ini, mengalami beberapa proses yang disebabkan oleh beberapa faktor yang saling berkaitan.
Kemudian menurut pendapat sarjana sosiologi, timbulnya hukum di dalam masyarakat hukum hanya disebabkan adanya faktor persaingan hidup dalam masyarakat itu sendiri, tetapi dipengaruhi oleh disebabkannya adanya faktor kehidupan lainnya, seperti faktor biologis, faktor kejiwaan, faktor keamanan dan faktor-faktor kebendaan lainnya. Tujuannya untuk mengatur dan melindungi serta mengayomi hidup dan kehidupannya, baik secara individu maupun secara kelompok dalam masyarakat.41
Berarti, dilihat dari uraian di atas, hubungan kausalitas tersebut terdiri dari beberapa sebab yang merupakan peristiwa, sehingga kerugian bukan hanya disebabkan adanya perbuatan, tetapi terdiri dari beberapa syarat dari perbuatan.
: 42
Hal ini sesuai dengan pendapat atau teori yang dikemukakan oleh Xxx Xxxx, yaitu
“Harus dianggap sebagai sebab dari pada suatu perubahan adalah semua syarat-syarat yang harus ada untuk timbulnya akibat. Karena dengan hilangnya salah satu syarat tersebut, akibatnya tidak akan terjadi dan oleh sebab tiap-tiap syarat-syarat tersebut conditio sine qua non untuk timbulnya akibat, maka setiap syarat dengan sendirinya dapat dinamakan sebab.”
Hubungan kausalitas yang merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum dapat dikatakan bahwa kerugian itu timbul disebabkan adanya perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
Xxxxxxxxx Xxxxxxxx menyatakan bahwa unsur-unsur perbuatan melawan hukum itu adalah : 43
Dari pengertian Pasal 1365 KUH. Perdata tersebut dapat ditarik beberapa unsur perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yaitu :
1. Perbuatan.
2. Melanggar.
3. Kesalahan.
4. Kerugian.
Diperhatikan pernyataan di atas dan jika dibandingkan dengan pembagian unsur- unsur yang telah dikemukakan terdahulu, perbedaan-perbedaan unsur-unsur tersebut sangat jelas terlihat. Hubungan kausalitas atau sebab musabab yang termasuk salah satu unsur atau bagian dari salah satu unsur perbuatan yang mengakibatkan kerugian, menurut pendapat para sarjana terdahulu. Sementara menurut Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, hubungan kausalitas atau sebab musabab ini bukan merupakan salah satu unsur dari perbuatan melawan hukum.44
Tidak termasuknya hubungan kausalitas tersebut ke dalam unsur-unsur perbuatan melawan hukum disebabkan tidak terdapatnya hubungan kausalitas tersebut di dalam pengertian Pasal 1365 KUHPerdata, sehingga sarjana tersebut hanya melihat hal-hal yang jelas dan nyata saja dari bunyi Pasal tersebut, dalam arti ia hanya melihat hal-hal
42 X.Xxxxxxxx, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Bina Cipta, Bandung, 2007, hlm.87
43 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, Op.Cit, hlm.82
yang tersurat. Sedangkan hubungan kausalitas menurut pendapat sarjana yang lain, itu merupakan hal yang tersirat. Sehingga tidak perlu disebutkan sebagai salah satu unsur.
Selain itu, kelihatannya unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh Xxxxxxxxx Xxxxxxxx ini jelas sederhana jika dibandingkan dengan dengan unsur-unsur yang dikemukakan oleh sarjana yang lain. Namun demikian secara kenyataannya, unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dikemukakan oleh para sarjana di atas mempunyai maksud dan tujuan yang sama, yaitu memberi penjelasan dan penegasan terhadap kriteria-kriteria dari suatu perbuatan yang melawan hukum, dengan kata lain, unsur manapun yang digunakan dan ditetapkan, tujuannya tetap menerangkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum.45
3. Subjek Perbuatan Melawan Hukum
Menurut Xxxxxxxxx Xxxxxxxx bahwa "yang dinyatakan bersalah adalah subjek hukum atau orang (person), karena subjek diakui mempunyai hak dan kewajiban".46 Berarti berdasarkan pernyataan tersebut dinyatakan bersalah adalah subjek hukum yang dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum adalah juga subjek hukum, alasannya karena subjek hukum mempunyai hak dan kewajibaan.
Subjek dalam kamus istilah hukum adalah "pokok, subjek dari hubungan hukum, orang pribadi atau badan hukum yanag dalam kedudukan demikian berwenang melakukan tindakan hukum".47 Berarti yang termasuk dikatakan atau digolongkan sebagai subjek dalam pandangan hukum adalah orang pribadi dan badan hukum. Kemudian yang dimaksud dengan subjek hukum adalah orang pribadi atau badan hukum yang dalam kedudukannya sebagai subjek mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum. Dengan demikian yang termasuk subjek perbuatan melawan hukum adalah orang pribadi
45 X. Xxxxx Xxxxxxx., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 2002, hlm.42
46 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx., Op.Cit, hlm.89
47 N.E. Xxxxx., Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, 2003, hlm.549.
atau badan hukum yang telah melakukan tindakan atau perbuatan yang sifatnya melawan hukum.
4. Tuntutan Ganti Kerugian Karena Perbuatan Melawan Hukum
Ada hubungan yang erat antara ganti rugi yang terjadi karena adanya wanprestasi dalam suatu perjanjian dengan apa yang dikenal dengan ganti rugi sebagai akibat perbuatan melawan hukum (onrechtmetige daad). Sebab dengan tindakan debitur dalam melaksanakan kewajiban "tidak tepat waktu" atau "tidak layak", adalah jelas merupakan pelanggaran hak kreditur. Setiap pelanggaran hak orang lain, berarti pula merupakan perbuatan melawan hukum atau onrechtmatigedaad.
“Memang hampir serupa onrechtmatigedaad dengan wanprestasi, itu sebabnya dikatakan bahwa wanprestasi adalah juga merupakan "genus specifik" dari onrechtmatigedaad seperti yang dirumuskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata”.48 Dengan demikian, jika diperhatikan bahwa para ahli menyebutkan juga bahwa ketentuan tentang ganti rugi yang terdapat di dalam bagian wanprestasi tersebut juga berlaku akan halnya dengan ganti rugi sebagai akibat dari adanya perbuatan melawan hukum tersebut. Dengan pengertian lain, ketentuan ganti rugi dalam wanprestasi dapat diberlakukan secara analogis dalam hal adanya ganti rugi karena perbuatan melawan hukum.
Menurut Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx bahwa yang dimaksudkan dengan ganti kerugian itu ialah "ganti kerugian yang timbul karena debitur melakukan wanprestasi karena lalai".49 Sebagai perbandingan tentang ganti kerugian disebabkan wanprestasi dan ganti rugi sebagai akibat adanya perbuatan yang melawan hukum, berikut ini akan dikutipkan Pasal 1243 KUHPerdata dan Pasal 1365 KUHPerdata.
Pasal 1243 KUHPerdata, dengan tegas disebutkan bahwa penggantin biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur
48 X. Xxxxx Xxxxxxx., Op.Cit, hlm.61
49 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx., Op.Cit, hlm.39.
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Sedangkan dalam Pasal 1365 KUH. Perdata disebutkan bahwa tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut.
Jika diperhatikan dengan seksama kedua kutipan pasal tersebut, jelas tidak ada disebutkan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan ganti rugi itu sendiri, hanya saja, ganti rugi dalam hal wanprestasi berdasarkan Pasal 1245 KUHPerdata baru timbul bilamana debiturnya telah dinyatakan berada dalam keadaan lalai setelah dilakukannya peringatan tetapi tetap juga dilalaikannya. Sedangkan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata juga tidak disebutkan tentang apa yang dimaksud dengan pengertian ganti rugi itu.50
50 Ibid, hlm.41