BAB II
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, PERJANJIAN JUAL BELI, APARTEMEN/RUMAH SUSUN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM
A. Perjanjian Pada Umumnya
1. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Ketentuan pasal 1313 KUHPerdata tersebut menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx sebenarnya banyak mengandung kelemahan yang dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Hanya menyangkut sepihak saja, hal ini dapat dilihat dari kalimat “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan diri bersifat sepihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusannya adalah saling mengikatkan diri sehingga ada konsensus di antara para pihak;
b. Kata “perbuatan” juga mencakup tanpa konsensus. Pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming). Tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata persetujuan;
40
c. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian dalam pasal tersebut adalah terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, xxxxx xxxxx, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal saja;
d. Perumusan pasal 1313 KUHPerdata tersebut di atas tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa.1
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas maka perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Beberapa Sarjana Hukum yang memberikan definisi mengenai perjanjian adalah sebagai berikut:
x. X. Xxxxxxxx menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”2
b. Menurut Subekti definisi dari perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau
hlm.
1 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Xxxxx Xxxxxxx Bhakti, Bandung, 1990,
2 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm. 4.
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu.”3
x. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx menyatakan bahwa: “Perjanjian adalah sebagai perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal dengan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”4
Berdasarkan pengertian perjanjian yang dikemukakan oleh beberapa sarjana hukum tersebut di atas, maka dapat disimpulkan menurut pendapat penulis bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih, dalam lapangan harta kekayaan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang terbagi dalam 4 (empat) syarat, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian
c. Suatu Hal Tertentu
d. Suatu Sebab yang Halal
hlm. 19.
3 Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2006, hlm. 1.
4 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale Bandung, Bandung, 2008,
Berdasarkan uraian syarat sahnya perjanjian yang telah dijelaskan di atas, maka terkait dengan syarat pertama dan kedua dinamakan dengan syarat subjektif sementara syarat ketiga dan keempat dinamakan dengan syarat objektif. Terkait denga syarat subjektif tersebut, apabila tidak dipenuhi, maka akibat hukumnya adalah perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan. Artinya para pihak harus memenuhi unsur ini, dimana kesepakatan maupun unsur kecakapan harus dipenuhi, dapat dibatalkan membawa konsekuensi, bahwa perjanjian itu telah membawa akibat terhadap para pihak bahwa terhadap perjanjiannya sejak adanya gugatan atau putusan pengadilan terhadap suatu perjanjian itu menjadi dapat dibatalkan, karena adanya gugatan atau putusan pengadilan tersebut, dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak, misalnya untuk yang belum cakap menurut hukum diajukan oleh orang tua atau walinya, atau ia sendiri apabila sudah cakap.5
Sedangkan bila syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akibatnya batal demi hukum, yang membawa konsekuensi bahwa dari sejak semula perjanjian itu menjadi tidak membawa akibat hukum apa- apa, karena perjanjian ini telah bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum maupun kesusilaan, jadi secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian dan demikian tidaklah dapat pihak yang satu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar
5 X. Xxx Xxxxxxxx, loc.cit
hukumnya tidak ada.6 Perjanjian pada pokoknya bisa dibuat bebas, tidak terikat bentuk, dan tercapai tidak secara formil, tetapi cukup melalui konsensus belaka, sebagaimana ditegaskan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa kesepakatan oleh para pihak, yang berada dalam perjanjian, mengikat bagi para pihak. Sepakat oleh merka yang mengikatkan diri adalah hal yang esensial dalam perjanjian, sehingga dengan kata sepakat tersebut, suatu perjanjian memenuhi keabsahan sehingga dapat mengikat pihak-pihak yang membuatnya.7
Sepakat juga berlaku karena kedua belah pihak sama-sama setuju hal- hal yang pokok dari suatu perjanjian yang diadakan. Pihak-pihak tersebut menghendaki suatu hal pokok yang bersifat timbal balik disepakati oleh para pihak. Oleh karenanya terjadilah persesuaian kehendak yang dapat dilakukan dengan cara:
a. Bahasa yang sempurna dan tertulis;
b. Bahasa yang sempurna secara lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu asal dipahami atau diterima pihak lawan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa terjadinya kesepakatan dapat terjadi secara tertulis maupun tidak tertulis, dengan adanya kesepakatan atau meeting point antara kedua belah pihak. Kata sepakat ini seringkali menjadi dasar atas berlakunya perjanjian, dan satu pihak dapat
6 Ibid.
7 X. Xxx Xxxxxxxx, loc.cit
menuntut kewajiban dari pihak lain berdasarkan perjanjian tersebut. Menentukan saat terjadinya perjanjian dalam arti adanya persesuaian kehendak dari para pihak ada beberapa teori, yaitu:
a. Teori Ucapan (uitingstheory), menurut teori ini kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut. Jadi ini dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan ballpoint untuk menyatakan menerima.
b. Teori Pengiriman (verzendtheory) menurut teori ini kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima penawaran mengirimkan telegram. Teori ini sangat teoritis karena menganggap terjadinya kesepakatan secara otomatis.
c. Teori Pengetahuan (vernemingstheory) menurut teori ini kesepakatan terjadi apbila pihak yang menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan) tetapi penerimaan tersebut belum diterimanya.
d. Teori Penerimaan (onvangstheory) menurut teori ini kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.8
Momentum terjadinya perjanjian adalah pada saat terjadinya persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditur dan debitur, namun dalam praktek sering terjadi antara pernyataan dan kehendak tidak sesuai, dan untuk menjawab ini ada tiga teori, yaitu:
8 Ibid.
a. Teori Kehendak (wilstheory) menurut teori ini perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran kehendaklah yang menyebabkan terjadinya perjanjian;
b. Teori Pernyataan (verclaringstheory) menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui orang lain, akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Apabila terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan, perjanjian tetap terjadi;
c. Teori kepercayaan (vertrouwnstheory) menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan di sini artinya pernyataan yang benar-benar dikehendaki oleh para pihak, sesuai yang diperjanjikan.9
Menurut pasal 1321 KUHPerdata kata sepakat yang mengabsahkan perjanjian dikecualikan dalam kedaan tertentu yaitu:
a. Kekhilafan (dwaling)
Suatu perjanjian mengandung unsur kekhilafan apabila para pihak, baik secara bersama ataupu masing-masing telah dipengaruhi oleh pandangan atau kesan yang ternyata tidak benar. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan atau disadari oleh masing-masing pihak tersebut. Pada sepengetahuan atau disadari oleh masing-masing pihak tersebut. Pada
9 Ibid.
prinsipnya Pasal 1322 KUHPerdata memiliki dua ketentuan pokok. Pertama kekhilafan bukanlah alasan untuk membatalkan perjanjian. Kedua terdapat pengecualian terhadap perjanjian tersebut, sehingga pembatalan perjanjian tetap dapat dilakukan karena kekhilafan tertentu. Objek kekhilafan yang dikecualikan disini menurut KUHPerdata terdiri dari beberapa hal:
1) Kekhilafan terhadap objek barang, yaitu kekhilafan yang terjadi atas objek dari perjanjian, sehingga terjadi kesalahfahaman terhadap objek perjanjian. Bagi para pihak objek perjanjian yang sesungguhnya tidak sesuai yang diperjanjikan dalam perjanjian.
2) Kekhilafan terhadap subjek perjanjian, yaitu kesalahan menyangkut pihak yang dimaksud dalam perjanjian. Misalnya terjadi karena kesamaan nama, alamat dan lain-lain, sehingga pihak yang dimaksud tertukar.
b. Paksaan (geweld)
Paksaan diatur dalam Pasal 1323 KUHPerdata bahwa perjanjian dapat dibatalkan apabila terjadi paksaan, baik dari pihak tertentu maupun dari pihak ketiga, sedangkan pengertian paksaan, diatur dalam Pasal 1324 KUHPerdata yaitu apabila sebuah perbuatan dilakukan sedemikian rupa sehingga mengakibatkan ketakutan pada orang yang melakukan perjanjian dan rasa terancam terhadap dirinya atau kekayaannya secara terang dan nyata, oleh karena itu makna paksaan
adalah kekerasan jasmani atau ancaman mempengaruhi kejiwaan yang menimbulkan ketakutan pada orang lain.
c. Penipuan (bedrog)
Penipuan diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata sebagai perbuatan yang juga dapat membatalkan perjanjian yaitu apabila terjadi tipu muslihat terhadap salah satu pihak, yang sudah pasti tidak akan sepakat apabila tahu senyatanya isi perjanjian tersebut. Penipuan ini pada prinsipnya harus dibuktikan dan tidak bisa dipersangkakan. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxx Xxxxx bahwa konsekuensi hukum jika syarat kesepakatan kehendak tidak terpenuhi dalam suatu kontrak, sama halnya tidak terpenuhinya syarat kewenangan membuat perikatan, dan oleh karenanya bila syarat kesepakatan kehendak ini tidak terpenuhi, maka akibat hukumnya adalah “dapat dibatalkan” (vernietigebaar voidable).10
3. Asas-asas Perjanjian
a. Asas kebebasan berkontrak, yaitu asas dimana setiap orang dapat secara bebas membuat perjanjian selama memenuhi syarat sah perjanjian dan tidak melanggar hukum, kesusilaan, serta ketertiban umum. Sesuai dengan pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi :
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya artinya perjanjian apapun dan dengan siapapun selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum yang berlaku maka perjanjian tersebut sah.”
10 ibid
b. Asas Kepastian Hukum, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan oleh karenanya dilindungi oleh hukum, sehingga bila terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian, maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar para pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan isi perjanjian yang dibuat.
c. Asas Itikad Baik dalam pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu kedaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur, terbuka dan saling percaya. Kedaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud- maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan yang sebenarnya.
d. Asas Konsensualisme dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu kesepakatan, pada dsaarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat diucapkan atau dinyatakan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu kecuali dalam hal undang-undang memberika syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian.
e. Asas kepribadian dalam pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal, tidak mengikat pihak-pihak lain yang tidak memberika kesepakatannya, seseorang hanya dapat mewakili dirinya sendiri
dan tidak dapat mewakil orang lain dalam membuat perjanjian. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi yang membuatnya.
f. Asas Pacta Sunt Servanda dalam pasal 1338 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata adalah asas kepastian hukum dalam perjanjian, yaitu para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum dan karenanya dilindungi oleh hukum, sehingga jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan perjanjian.
4. Wanprestasi
Perkataan wanprestasi beraasal dari Bahasa Belanda yaitu wanprestatie yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang. Wanprestasi adalah suatu sikap dimana seseorang tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagimana yang telah ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur,11 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx mengatakan bahwa:
Wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam Bahasa Indonesia dapat dipakai
11 Xxxxx X Xxxxxxx, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004, hlm. 15.
istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.”
R Subekti mengemukakan bahwa “wanprestasi” itu adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 (empat) macam yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang telah disanggupi akan dilakukannya;
b. Melaksanakan apa yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
c. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
d. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.12
Xxxxx Xxxxxxx memberikan definisi tentang wanprestasi yaitu:
Sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Sehingga menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut pembatalan perxxxxxxx.
Sebelum mengetahui wanprestasi lebih mendalam ada baiknya dahulu kita mengenal yang dimaksud dengan prestasi. Prestasi adalah sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.13
Pasal 1234 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu”. Prestasi merupakan sebuah esensi daripada suatu perikatan.
12 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Pembimbing Masa, Jakarta, 1970, hlm.
50.
13 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Xxxxxx Xxxxxx, Bandung,
1990, hlm. 201.
Apabila esensi ini tercapai dalam arti dipenuhi oleh debitur maka perikatan itu berakhir. Agar esensi itu dapat tercapai yang artinya kewajiban tersebut dipenuhi oleh debitur maka harus diketahui sifat-sifat dari prestasi tersebut, yakni:
a. Harus sudah tertentu atau dapat ditentukan;
b. Harus mungkin;
c. Harus diperbolehkan (Halal);
d. Harus ada manfaatnya bagi kreditur;
e. Terdiri dari suatu perbuatan atau serentetan perbuatan.14 Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Si berhutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berhutan akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi (ingebrekestelling), dan adapun bentuk-bentuk somasi menurut Pasal 1238 KUHPerdata adalah:
a. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan, dan dengan surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara liasan kepada debitur kapan selambat-lambatnya dia harus berprestasi.
14 Ibid, hlm. 203.
b. Akta
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupu akta Notaris.
c. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya wanprestasi.15
Wanprestasi merupakan tidak dapat memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan, tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasan, yaitu:
a. karena kesalahan debitur, baik dengan sengajak tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;
b. karena keadaan memaksa (overmacht), force majeure, jadi diluar kemampuan debitur, artinya debitur tidak bersalah.16
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
b. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
15 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi dan Perjanjian Konsinansi, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, 2010, xxxx://xxxxx.xxxx.xx.xx.xxx0x000xxxx0000x00000000x0000x0.xxx, diunduh pada Sabtu 7 April 2018.
16 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, loc.cit.
c. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.17
Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada 4 (empat) macam yaitu:
a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikannya;
c. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.18
Cara mengetahui sejak kapan debitur dalam kedaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak, dan dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya ia memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkan dalam perikatan,19 dan dalam hal debitur tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dan ada unsur kelalaian dan salah, maka ada akibat hukum yang atas tuntutan dari kreditur bisa menimpa debitur, sebagaimana diatur dalam Pasal
17 J. Satrio, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1999, hlm. 84.
18 Ibid.
19 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, op.cit, hlm. 204.
1236 KUHPerdata dan pasal 1243 KUHPerdata, juga diatur pada Pasal 1237 KUHPerdata.20
Pasal 1236 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Si berutang adalah wajib untuk memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan bendanya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.
Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak di penuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanaya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggan waktu yang telah dilampaukannya.
Pasal 1236 KUHPerdata dan Pasal 1243 KUHPerdata berupa ganti dalam arti:
a. Sebagai pengganti dari kewajiban prestasi perikatannya;
b. Sebagian dari kewajiban perikatan pokoknya atau disertai ganti rugi atas dasar cacat tersembunyi;
c. Sebagai pengganti atas kerugian yang diderita kreditur;
d. Tuntutan keduanya sekaligus baik kewajiban prestasi pokok maupun ganti rugi keterlambatannya.21
Pasal 1237 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang,” dan
20 Tinjauan Umum Tentang Wanprestasi dan Perjanjian Konsinyasi, loc.cit.
21 Ibid.
ayat (2) menyatakan bahwa : “Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya.”
5. Overmacht
Overmacht berasal dari bahsa Belanda atau Force Majeure dalam bahasa Perancis yang berarti suatu ke 22 adaan yang merajalela dan menyebabkan rang tidak dapat menjalankan tugasnya. Overmacht dalam arti luas berarti suatu keadaan di luar kekuasaan manusia yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tidak dapat memenuhi prestasinya.
Ahli hukum juga memeberikan pandangannya mengenai keadaan memaksa (Force Majeure/Overmacht) diantaranya adalah sebagai berikut:
x. X. Xxxxxxx
Debitur menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan itu disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga, dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul diluar dugaan tadi, atau dengan perkataan lain yaitu hal tidak terlaksananya perjanjian atau kelambatan dalam pelaksanaan itu, bukanlah disebabkan karena kelalaiannya. Ia tidak dapat dikatakan salah atau alpa, dan orang yang tidak salah tidak boleh dijatuhi sanksi-sanksi yang diancamkan atas kelalaian dan untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht), selain kedaan itu “di
22 Xxxx Xxxxxx, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hlm. 425.
luar kekuasaannya” si debitur dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikil risikonya oleh si debitur.23
Debitur yang mengalami keadaan memaksa atau overmacht, tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena si debitur tidak dalam keadaan beritikad buruk atau wanprestasi.24 Pasal 1244 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.
Pasal 1245 KUHPerdata menyatakan bahwa:
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.
B. Perjanjian Jual Beli
1. Pengertian Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli diatur dalam pasal 1457-1540 KUHPerdata. Menurut Xxxxx 1457 KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual untuk berjanji menyerahkan sesuatu
23 Rahmat S. S. Soemadipradja, Penjelasan Hukum Tentang Keadaan Memaksa, Nasional Legal Reform Program, Jakarta, 2010, hlm. 7.
24 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak, PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, Jakarta, 2015, hlm. 89.
barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pengertian yang diberikan Pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:25
a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.
b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
Menurut Xxxxx X.X, Perjanjian jual beli adalah Suatu Perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pihak pembeli. 26 Beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar harga dan berhak menerima objek tersebut.27
a. Adanya subjek hukum, yaitu penjual dan pembeli.
b. Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang dan harga.
c. Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual dan pembeli.
Unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang dan harga, dimana antara penjual dan pembeli harus ada kata sepakat tentang harga dan benda yang menjadi objek jual beli. Suatu perjanjian jual beli yang
25 X.Xxxxx Xxxxxxx, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 181.
26 Xxxxx X.X, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 49.
27 Ibid
sah lahir apabila kedua belah pihak telah setuju tentang harga dan barang. Sifat konsensual dari perjanjian jual beli tersebut ditegaskan dalam pasal 1458 yang berbunyi “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.28
Apabila terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak terjadi kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan (BW) atau biasa disebut unsur naturalia.29 Walaupun telah terjadi persesuaian antara kehendak dan pernyataan, namun belum tentu barang itu menjadi milik pembeli, karena harus diikuti proses penyerahan benda yang tergantung kepada jenis bendanya yaitu:30
28 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1995, hlm. 2.
29 Xxxxx Xxxx, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 127.
30 Xxxxx X.X, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 49.
a. Benda bergerak
Penyerahan benda bergerak dilakukan dengan penyerahan nyata dan kunci atas benda tersebut.
b. Piutang atas nama dan benda tak bertubuh
Penyerahan akan piutang atas nama dan benda tak bertubuh lainnya dilakukan dengan sebuah akta otentik atau akta di bawah tangan.
c. Benda tidak bergerak
Untuk benda tidak bergerak, penyerahannya dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan, di kantor penyimpan Hipotek.
Menurut hukum adat Indonesia yang dinamakan jual beli, bukanlah pesetjuan belaka, yang berada di antara kedua belah pihak, tetapi adalah suatu penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli dengan maksud memindahkan hak milik atas barang itu. Dengan demikian dalam hukum adat setiap hubungan jual beli tidak mengikat kepada asas atau sistim obligator atau sistem yang lainnya.
2. Syarat Sahnya Perjanjian dan Xxxx-Xxxx
a. Syarat Sahnya Perjanjian:
Syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata, yang terbagi dalam 4 (empat) syarat, di antaranya adalah sebagai berikut:
1) Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri
Menurut X. Xxxxxxx, yang dimaksud dengan sepakat adalah kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.31
2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian
Para pihak yang mengadakan suatu perjanjian harus “cakap” menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pemikirannya adalah cakap menurut hukum. 32 Cakap berarti mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya, dengan kata lain sudah dapat mengendalikan apa yang diperbuatnya serta mampu mempertanggung jawabkannya.
3) Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, yaitu prestasi yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian, dan merupakan objek perjanjian. 33 Sekurang-kurangnya objek perjanjian harus mempunyai jenis tertentu sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya”, dan
31 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1983, hlm. 11.
32 Ibid, hlm. 17.
33 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, op.cit, hlm. 93.
ayat (2) menyatakan bahwa: “Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung.”
4) Suatu Sebab yang Halal
Undang-undang tidak memberi pengertian causa atau sebab, dan yang dimaksud dengan causa dalam hal ini adalah bukan hukum dan akibat, tetapi isi atau maksud dari perjanjian, dengan demikian yang dimaksud dengan sebab (oorzak/causa) bukanlah mengenai sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian tetapi isi perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian itu harus memuat sebbab atau causa yang diperbolehkan.34
b. Xxxx-Xxxx dalam perjanjian jual beli:
1) Asas Kebebasan Berkontrak (Freedom of Contract)
Asas kebebasan berkontrak secara tidak langsung diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Menurut Xxxxxx, menjelasakan bahwa dengan mendasarkan kata semua, maka berarti semua orang bebas untuk mengadakan perjanjian yang memuat apa saja dan syarat-syarat perjanjian macam apapun (menentukan secara bebas apa yang menjadi hak, kewajiban dan tanggungjawab sepanjang tidak melanggar
34 Tinjauan Umum Mengenai Perjanjian Kerja, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010 xxxx://xxxxxxxxxx.xxx.xx.xx/xxx, diunduh pada Senin 2 April 2018.
ketertiban umum) adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap orang pada dasarnya telah membuat kontrak (perjanjian) yang berisi dan macam apapun asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang dan ketertiban umum.35
2) Asas Konsensual (Concensualism)
Asas ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata yang memuat syarat sahnya perjanjian yaitu kesepakatan para pihak untuk membuat perjanjian. Menurut asas konsensual, pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sah dilahirkan sejak terciptanya kesepakatan, dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila telah sepakat mengenal hal-hal yang pokok dan tidaklah perlu suatu formalitas.36 Jadi perjanjian para pihak terjadi hanya dengan kata sepakat tanpa memerlukan formalitas tertentu.
Pengecualian asas ini adalah perjanjian riil dan perjanjian formil, perjanjian riil misalnya perjanjian pinjam pakai yang menurut Pasal 1740 KUHPerdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyek perjanjian. Perjanjian formal misalnya perjanjian perdamaian yang menurut Pasal 1851
35 Absori, Hukum Ekonomi Indonesia (Beberapa Aspek Pengembangan Pada Era Liberalisme Perdagangan), Muhammadiyah University Press UMS, Surakarta, 2006, hlm. 85.
36 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Internusa, Jakarta, 1991, hlm. 1.
ayat (2) KUHPerdata perjanjian harus dituangkan secara tertulis.37
3) Asas Kekuatan Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)
Asas kekuatan mengikatnya perjanjian atau disebut juga asas pacta sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Pasal tersebut menegaskan bahwa apabila seseorang membuat perjanjian secara sah atau memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata, maka perjanjian itu berakibat bagi para pihak yang membuatnya, yaitu perjanjian itu berlaku sebagai undang- undang bagi para pihak yang membuatnya.38
4) Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama di dalam membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subjektif dapat diartikan sebagai sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu
37 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu di PT.Xxxxxx Xxxxxxxxx, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009, xxxx://xxxxxxx-xxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxxx-xxxxxxxxx.xxx.xx.xx/, yang diunduh pada Rabu 4 April 2018.
38 Ibid.
diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian objektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut dalam masyarakat. 39 Xxxxx Xxxxx menyatakan bahwa:
Rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan” suatu kontrak. Sebab unsur “itikad baik” dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang legal” dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.40
Berdasarkan asas ini, para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Secara teoritis, asas itikad baik dapat dibedakan menjadi 2 (dua), di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Itikad baik menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx memahami itakad baik dalam anasir subjektif ini sebagai itikad baik yang ada pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Itikad baik pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum biasanya
39 X. Xxxxx Xxxxxxxxx M, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 20.
40 Xxxxx Xxxxx, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Cipta Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2001, hlm. 81.
berupa pengiraan dalam hati sanubari yang bersangkutan, bahwa syarat-syarat yang diperlukan bagi mulai berlakunya hubungan hukum itu sudah dipenuhi semua. Jika kemudian ternyata bahwa sebenarnya ada syarat yang tidak terpenuhi, maka pihak yang beritikad baik ini dianggap seolah-olah syarat tersebut telah dipenuhi semua, atau dengan kata lain pihak yang beritikad baik ini tidak boleh dirugikan sebagai akibat dari tidak dipenuhinya syarat tersebut.41
2. Itikad baik objektif, yaitu pada saat pelaksanaan perjanjian harus sesuai dengan kepatutan dan keadilan serta dalam hal ini pun itikad baik nampak pada tindakan yang akan dilakukan oleh kedua belah pihak, khususnya tindakan sebagai pelaksanaan perjanjian, dan dalam melakukan tindakan inilah itikad baik harus berjalan dalam sanubari seseorang berupa selalu mengingat bahwa manusia itu sebagai bagian dari sebuah masyarakat harus jauh dari sifat merugikan pihak lain, kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan tidak boleh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri sendiri atau dengan kata lain, itikad baik dalam melaksanakan hak dan kewajiban pada hubungan hukum bersifat lebih
41 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 2006, hlm. 56.
dinamis. Sedangkan sifat dari kejujuran pada waktu mulai berlakunya hubungan hukum lebih statis.42
5) Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki agar kedua belah pihak dapat memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang disepakatinya. Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Berdasarkan asas keseimbangan, kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang. Asas keseimbangan dalam perjanjian diperkuat dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”.
6) Asas Kepribadian
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kepribadian diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dariapada untuk dirinya sendiri”.
42 Ibid, hlm. 61-62.
Pasal 1340 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya, kemudian ayat (2) menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317.” Ketentutan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan bahwa: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal 1317 KUHPerdata tersebut mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan, sedangkan di dalam pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkam juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, dan jika dibandingkan kedua pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang
memperoleh hak dari yang membuatnya. Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki raung lingkup yang luas.43
Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil merumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut:
a. Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari;
b. Asas persamaan hukum, yang mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras;
c. Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik;
43 Xxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, loc.cit
d. Asas kepastian hukum, perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya;
e. Asas moralitas terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat daalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral), yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya;
f. Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya;
g. Asas kebiasaan dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti;
h. Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu
mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah.44
3. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
a. Subjek Perjanjian Jual Beli
Pada dasarnya perjanjian jual beli adalah perbuatan hukum. Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa atau sudah menikah.
b. Objek Perjanjian Jual Beli
Objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah:45
1) Benda atau barang orang lain
2) Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang.
3) Bertentangan dengan ketertiban, dan
4) Kesusilaan yang baik
Pasal 1457 KUHPerdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut pasal 499 KUHPerdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki.
44 Tim Naskah Akademis BPHN, Naskah Akademis Lokakarya Hukum Perikatan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 1985.
45 Xxxxx X.X, op.cit, hlm. 51.
Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijua dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli
hak dari penjual menerima harga barang yang telah dijualnya dari pihak pembeli sesuai dengan kesepakatan harga antara kedua belah pihak.
a. Hak dan Kewajiban Penjual
1) Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan, KUHPerdata mengenal tiga jenis benda yaitu benda bergerak, benda tidak bergerak dan benda tidak bertubuh maka penyerahan hak miliknya juga ada tiga macam yang berlaku untuk masing-masing barang tersebut yaitu:46
a. Penyerahan Benda Bergerak
Mengenai penyerahan benda bergerak terdapat dalam Pasal 612 KUHPerdata yang menyatakan penyerahan kebendaan bergerak, terkecuali yang tak bertubuh dilakukan dengan penyerahan yang nyata akan kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan dalam mana kebendaan itu berada.
b. Penyerahan Benda Tidak Bergerak
46 Xxxxx Xxxx, op.cit, hlm. 128.
Mengenai penyerahan bendak tidak bergerak diatur dalam Pasal 616-620 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa penyerahan barang tidak bergerak dilakukan dengan balik nama. Untuk tanah dilakukan dengan akta PPAT sedangkan yang lain dilakukan dengan akta notaris.
c. Penyerahan Benda Tidak Bertubuh
Diatur dalam Pasal 613 KUHPerdata yang menyebutkan penyerahan akan piutang atas nama dilakukan dengan akta notaris atau akta dibawah tangan yang harus diberitahukan kepada debitur secara tertulis, disetujui dan diakuinya. Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu, penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.
2) Menanggung kenikmatan tentram atas barang tersebut dan menanggung terhadap cacat-cacat tersembunyi.
b. Hak dan Kewajiban Pembeli
Dari Pembeli adalah menerima barang yang telah dibelinya, baik secara nyata maupun secara yuridis. Ada 3 kewajiban pokok pembeli yaitu:47
1) Memeriksa barang-barang yang dikirim oleh Penjual
2) Membayar harga barang sesuai dengan kontrak
47 Xxxxx X.X, op.cit, hlm. 56.
3) Menerima penyerahan barang seperti disebut dalam kontrak
Kewajiban pembeli untuk membayar harga barang termasuk tindakan mengambil langkah-langkah dan melengkapi dengan formalitas yang mungkin dituntut dalam kontrak atau oleh hukum dan peraturan untuk memungkinkan pelaksanaan pembayaran. Tempat pembayarn yang disepakati kedua belah pihak.
Kewajiban pihak pembeli adalah:
a. Membayar harga barang yang dibelinya sesuai dengan janji yang telah dibuat.
b. Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli, misalnya ongkos antar biaya akta dan sebagainya kecuali kalau diperjanjikan sebaliknya.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa kewajiban dari pihak pembeli adalah merupakan hak bagi pihak penjual dan sebaliknya kewajban penjual adalah merupakan hak bagi pembeli.
5. Bentuk-bentuk Perjanjian Jual Beli
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan tulisan yang dapat bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.
Dengan demikian bentuk tertulis tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja, tetapi merupakan syarat untuk adanya perjanjian tersebut. Misalnya perjanjian mendirikan Perseroan Terbatas harus dengan akta Notaris. Bentuk perjanjian jual beli ada dua yaitu:
a. Lisan, yaitu dilakukan secara lisan dimana kedua belah pihak bersepakat untuk mengikatan dirinya melakukan perjanjian jual beli yang dilakukan secara lisan.
b. Tulisan, yaitu perjanjian jual beli dilakukan secara tertulis biasanya dilakukan dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah tangan.
Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai- pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.48
Mengenai akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata berdasarkan inisiatif pembuatnya akta otentik dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Akta Pejabat (acte amtelijke)
Akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu dengan mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya. Jadi inisiatifnya tidak berasal dari orang yang namanya diterangkan di dalam akta itu. Contohnya akta kelahiran.
48 Xxxxxx Xxxxxxxx, Cara Pintar Memilih dan Mengajukan Kredit, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2003, hlm. 10.
2. Akta Para Pihak (acte partij)
Akta para pihak adalah akta yang inisiatif pembuatannya dari para pihak di hadapan pejabat yang berwenang. Contohnya akta sewa menyewa.
Akta di bawah tangan adalah akta yang dibuat untuk tujua pembuktian namun tidak dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.49 Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian berdasarkan pengakuan dari para pihak yang membuatnya. Hal ini bermakna kekuatan pembuktian akta di bawah tangan dapat dipersamakan dengan akta otentik sepanjang para pembuat akta di bawah tangan mengakui dan membenarkan apa yang telah ditandatanganinya. Dengan kata lain akta di bawah tangan merupakan akta perjanjian yang baru memiliki kekuatan hukum pembuktian apabila diakui oleh pihak- pihak yang menandatanganinya sehingga agar akata perjanjian tersebut tidak mudah dibantah, maka diperlukan pelegalisasian oleh notaris, agar memiliki kekuatan hukum pembuktian yang kuat seperti akta otentik.
Perbedaan prinsip antara akta di bawah tangan dengan akta otentik adalah jika pihak lawan mengingkari akta tersebut, akta di bawah tangan selalu dianggap palsu sepanjang tidak dibuktikan keasliannya, sedangkan akta otentik selalu dianggap asli kecuali terbukti kepalsuannya. Maksudnya adalah jika suatu akta di bawah tangan
49 Ibid
disangkal oleh pihak lain, pemegang akta di bawah tangan harus dapat membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut, sedangkan apabila akta otentik disangkal oleh pihak lain, pemegang akta otentik tidak perlu membuktikan keaslian akta tersebut tetapi pihak yang menyangkal yang harus membuktikan bahwa akta otentik tersebut adalah palsu. Oleh karena itu, pembuktian akta di bawah tangan disebut pembuktian keaslian sedangkan pembuktian akta otentik adalah pembuktian kepalsuan.
C. Pengertian Apartemen/Rumah Susun
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, rumah susun diartikan sebagai gedung atau bangunan bertingkat, terbagi atas beberapa tempat tinggal (masing-masing) untuk satu keluarga, serta disamakan artinya dengan flat.50
Apartemen/rumah susun merupakan jawaban agar dalam pemenuhan perumahan permukiman dapat merata dan adil mengingat sempitnya lahan kota namun pertumbuhannya sangat pesat yang kemudian dapat menimbulkan tumbuhnya permukiman kumuh. Sekarang ini pembangunan rumah susun dikota besar terus mengalami peningkatan pesat, khususnya yang saat ini tumbuh subur sebagai salah satu gaya hidup bagi kalangan menengah ke atas adalah hidup dipermukiman apartemen atau kondonium, Apartemen/rumah susun
50 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa, edisi keempat (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2008) hlm. 118.
juga membuat ruang kota lebih luas dan dapat digunakan sebagai peremajaan kota khususnya daerah kumuh.51
Antara rumah susun dan apartemen pada dasarnya adalah sama, yaitu bangunan bertingkat yang dimiliki secara bersama dan bagian atau satuan yang dapat dimiliki secara terpisah. tetapi dari kenyataan yang ada dalam praktek terdapat beberapa perbedaan antara rumah susun dan apartemen, yaitu :
1. Pada rumah susun jelas dan selalu berfungsi sebagai rumah, artinya tempat tinggal atau hunian sedangkan apartemen artinya terpisah sehingga apartemen secara harfiah berarti ruang-ruang yang terpisah, isitilah “apartemen” tidak dijelaskan secara tegas fungsinya.
2. Rumah susun jelas merupakan suatu apartemen sedangkan apartemen belum tentu rumah susun.
3. Pemilik satuan rumah susun memiliki atau memegang Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sedangkan pemilik (satuan) apartemen memegang atau mempunyai hak apartemen.52
Jenis-jenis pada kepemilikan rumah susun pun dibagi menjadi 4 (empat) bagian sesuai dengan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun, yaitu:
hlm. 217.
51 Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Rumah Susun & Apartemen, Jakarta, Sinar Graafika, 2012.
52 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Tinjauan yuridis terhadap jual beli apartemen the peak, 2011 Vo.
1, No, 1.
1. Rumah Susun Umum adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
2. Rumah Susun Khusus adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan khusus
3. Rumah Susun Negara adalah Rumah susun yang dimiliki Negara dan berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian, sarana pembinaan keluarga, serta penunjang pelaksanaan tugas pejabat dan/atau pegawai negeri.
4. Rumah Susun Komersial adalah rumah susun yang diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan.
Dalam sistem rumah susun terdapat 2 (dua) elemen pokok dalam sistem kepemilikannya, yaitu :
1. Kepemilikan yang bersifat perorangan yang dapat dinikmati secara terpisah.
2. Kepemilikan bersama yang tidak dapat dimiliki secara perorangan tetapi dimiliki bersama dan dinikmati bersama.
Pembangunan perumahan dan permukiman merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan pekerjaan serta menggerakan kegiatan ekonomi dalam rangka penigkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.53
Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang perumahan dan kawasan permukiman bahwa kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan, yang berfungsi sebagai
53 Xxxx Xxxxxx dkk, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, Jakarta, Rineke Cipta, 1990. hlm
27.
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung kehidupan dan penghidupan.
Secara khusus, pengaturan mengenai rumah susun diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun dan juga terangkum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang rumah susun. Pengertian dari rumah susun sendiri menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu llingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupu vertical dan merupakan satuan-satuan yang masing- masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengna bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun mengatur secara khusus tentang persyaratan pembangunan mengenai rumah susun, berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun syarat untuk membangun rumah susun adalah pembangunan rumah susun dilakukan melalui perencanaan teknis, pelaksanaan dan pengawasan teknis. Selanjutnya dalam Pasal 24 Undang- Undang Nomor 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun menegaskan bahwa persyaratan pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan administratif yaitu perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan yang meliputi :
1. Status hak atas tanah, dan
2. Izin mendirikan bangunan (IMB)
Setelah persyaratan administratif terlaksana, selanjutnya dalam pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan teknis yaitu persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan yang meliputi :
1. Tata bangunan yang meliputi persyaratan peruntukan lokasi serta intensitas dan arsitektur bangunan, dan
2. Keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan
Serta pembangunan rumah susun harus memenuhi persyaratan ekologis yaitu persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan rumah susun.
D. Perbuatan Melawan Hukum
1. Istilah Perbuatan Melawan Hukum
Istilah perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disbeut dengan “onrechtmatige daad” atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “tort”. Kata “tort” berasal dari kata latin “torquere” atau “tortus” dalam bahasa Prancis, seperti kata “wrong” berasal dari
bahasa Prancis “wrung”, yang artinya kesalahan atau kerugian (injury).54
2. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Pasal 1365 sampai dengan Pasal 1380 KUHPerdata mengatur tentang perbuatan melawan hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum tertulis dalam Pasal 1365 KUHPerdata, bahwa “Setiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Selain itu pengertian perbuatan melawan hukum menurut pendapat para ahli berbeda-beda, namun secara umum masing-masing memberikan gambaran sifat melwan hukum itu sendiri. Berikut ada beberapa definisi lain yang pernah diberikan terhadap perubatan melawan hukum, yaitu:55
a. suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sepenuhnya ada suatu hubungan hukum, dimana perbuatan atau tidak berbuat tersebut, baik merupakan suatu perbuatan biasa maupun juga merupakan suatu kecelakaan.
b. Tidak memenuhi suatu kewajiban yang dibebankan oleh hukum, kewajiban mana ditunjukan terhadap setiap orang pada umumnya
54 Xxxxx Xxxxx, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), op.cit, hlm. 2.
55 Ibid, hlm. 4.
dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut dapat dimintakan suatu ganti rugi.
c. Suatu kesalah perdata (civil wrong) terhadap mana suatu ganti kerugian dapat dituntut yang bukan merupakan wanprestasi terhadap kontrak, atau wanprestasi terhadap kewajiban trust, ataupun wanprestasi terhadap kewajiban equity lainnya.
d. Suatu kerugian yang tidak disebabkan oleh wanprestasi terhadap kontrak, atau lebih tepatnya, merupakan suatu perbuatan yang merugikan hak-hak orang lain yang diciptakan oleh hukum yang tidak terbit dari hubungan kontraktual.
e. Sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang secara bertentangan dengan hukum melanggar hak orang lain yang diciptakan oleh hukum, dan karenanya suatu ganti rugi dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan.
3. Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum
Berikut adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi agar seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum:56
1). Adanya Suatu Perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali oleh suatu perbuatan dari si pelakunya. Umumnya diterima anggapan bahwa dengan perbuatan disini dimaksudkan baik berbuat sesuatu maupun tidak berbuat sesuatu, misalnya tidak berbuat sesuatu, padahal dia mempunyai kewajiban hukum untuk membuatnya, kewajiban
56 Ibid, hlm. 10-14.
mana timbul dari hukum yang berlaku. Karena itu terhadap perbuatan melawan hukum, tidak ada unsur “persetujuan atau kata sepakat” dan tidak ada unsur “sebab yang diperbolehkan” sebagaimana yang terdapat dalam kontrak.
2). Perbuatan Tersebut Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan tersebut haruslah melawan hukum. Saat ini, unsur melawan hukum diartikan dalam arti yang seluas- luasnya, yaitu meliputi:
a) Perbuatan yang melanggar undang-undang yang berlaku;
b) Yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum;
c) Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
d) Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
e) Perbuatan yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam bermasyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
3). Adanya Kesalahan Dari Pihak Pelaku
Undang-undang dan yurisprudensi mensyaratkan perbuatan melawan hukum harus dekanakan Pasal 1365 KUHPerdata, dan pelaku haruslah mengandung unsur kesalahan dalam melaksankan perbuatan tersebut. Karena tanggung jawab tanpa kesalahan tidak termasuk tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Bila dalam hal tertentu diperlukan tanggung jawab tanpa kesalahan
tersebut, hal tersebut tidaklah didasari atas Pasal 1365 KUHPerdata, tetapi didasrkan undang-undang lain.
Karena Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya unsur kesalahan dalam suatu perbuatan melawan hukum, maka perlu diketahui cakupan dari unsur kesalahan tersebut. Suatu tindakan dianggap oleh hukum mengandung unsur kesalahan sehingga dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
a) Ada unsur kesengajaan;
b) Ada unsur kelalaian;
c) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf, seperti keadaan
overmacht, membela diri, tidak waras dan lainnya.
4). Adanya Kerugian Bagi Korban
Adanya kerugian bagi korban juga merupakan syarat agar gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata dapat dipergunakan. Berbeda dengan kerugian karena wanprestasi yang hanya mengenal kerugian materil, kerugian karena perbuatan melawan hukum di samping kerugian materil, yursiprudensi juga mengakui konsep kerugian imateril yang juga akan dinilai dengan uang.
5). Adanya Hubungan Kausal Antara Perbuatan Dengan Kerugian Hubungan kausal antarra perbuatan yang dilakukan dengan
kerugian yang terjadi juga merupakan syarat dari suatu perbuatan melawan hukum. Untuk hubungan sebab akibat ada dua macam teori,
yaitu teori hubungan faktual dan teori penyebab kira-kira. Hubungan sebab akibat secara faktual hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara fakta telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya kerugian dapat merupakan penyebab secara faktual asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan penah terdapat tanpa penyebab. Sedangkan konsep teori “sebab kira-kira” merupakan bagian yang paling membingungkan dan paling banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum. Kadang-kadang untuk penyebab jenis ini disebut juga dengan istilah legal cause atau dengan berbagai penyebutan lainnya.
4. Perbuatan Melawan Hukum dengan Unsur Kesengajaan
a. Pengertian kesengajaan
Dalam perbuatan melawan hukum, unsu kesengajaan baru dianggap ada manakala dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut, telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai korban tersebut. Unsur-unsur kesengajaan dalam suatu tindakan manakala memenuhi elemen-elemen sebagai berikut:57
1) Adanya kesadaran (state of mind) untuk melakukan.
2) Adanya konsekuensi dari perbuatan. Jadi, bukan hanya adanya perbuatan saja.
3) Kesadaran untuk melakukan, bukan hanya untuk menimbulkan konsekuensi, melainkan juga adanya kepercayaan bahwa dengan
57 Ibid, hlm. 47.
tindakan tersebut “pasti” dapat menimbulkan konsekuensi tersebut.
Hubungan dengan akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindakan kesengajaan tersebut, “rasa keadilan” memintakan agar hukum lebih memihak kepada korban dari tindakan tersebut, sehingga dalam hal ini, hukum lebih menerima pendekatan yang “objektif”. Penggunaan pendekatan objektif terhadap akibat dari perbuatan kesengajaan tersebut, membawa konsekuensi-konsekuensi yuridis sebagai berikut:58
1) maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum yang lain dari yang terjadi
2) maksud sebenarnya untuk melakukan perbuatan melawan hukum terhadap orang lain, bukan terhadap korban
3) tidak perlu punya maksud untuk merugikan atau maksud yang bermusuhan
4) tidak punya maksud, tetapi tahu pasti bahwa akibat tertentu akan terjadi
b. Konsekuensi Unsur Kesengajaan Terhadap Masalah Ganti Rugi Perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan
mempunyai derajat kesalahan yang lebih berat dibanding perbuatan melawan hukum dengan unsur kelalaian. Dalam hal ini ganti rugi
58 Ibid, hlm. 48.
kepada korban, hukum memberlakukannya secara berbeda-beda. Untuk itu, dapat dijelaskan sebagai berikut:59
1) Ganti rugi aktual
Ganti rugi aktual (actual damages) merupakan kerugian yang benar-benar diderita secara aktual dan dapat dihitung dengan mudah sehingga keluar angka kerugian sekian rupiah. Kerugian aktual seperti ini berlaku tidak hanya terhadap perbuatan melawan hukum dengan unsur kesengajaan saja tetapi berlaku juga terhadap semua jenis perbuatan melawan hukum.
2) Ganti rugi penghukuman
Ganti rugi penghukuman (purnitive damages) merupakan suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang melebihi jumlah kerugian yang sebenarnya. Besarnya jumlah ganti rugi dimaksudkan sebagai hukuman bagi si pelaku. Ganti rugi penghukuman ini layak diterapkan terhadap kasus-kasus kesengajaan yang berat. Misalnya diterapkan terhadap penganiayaan berat atas seseorang tanpa rasa perikemanusiaan.
3) Ganti rugi nominal
Ganti rugi nominal (nominal damages) merupakan ganti rugi berupa pemberian sejumlah uang, meskipun kerugian sebenarnya tidak bisa dihitung dengan uang. Bahkan, bisa jadi tidak ada kerugian materil sama sekali. Dalam kasus perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan layak
59 Ibid, hlm. 50.
diterapkan ganti rugi nominal ini dan kurang layak untuk kasus kelalaian.
c. Model-model Perbuatan Melawan Hukum yang Mengandung Unsur Kesengajaan
Bagi hukum tentang perbuatan melawan hukum, prinsip dasarnya tertuang dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Artinya, setiap perbuatan yang melawan hukum dan menimbulkan kerugian bagi orang lain membebankan kewajiban ganti rugi bagi pelaku yang bersalah. Kemudian, dikembangkan doktrin-doktrin modern tentang tanggung jawab mutlak. Akan tetapi, ada beberapa model perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam bentuk yang sama oleh orang-orang tanpa terikat dengan dimensi ruang dan waktu, sehingga disepanjang sejarah hukum terciptalah model- model baku bagi perbuatan melawan hukum. Akan tetapi perbuatan melawan hukum yang tidak dalam kategori tersebut, tetap dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang dapat dijerat dengan Pasal 1365 KUHPerdata, Pasal 1366 KUHPerdata dan Pasal 1367 KUHPerdata.
Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Pasal 1367 KUHPerdata menyatakan:
Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
Majikan-majikan dan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili xxxxxx-xxxxan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka didalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.
Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang- tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.
Tanggung jawab yang disebutkan diatas berakhir jika orang tua-orang tua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab itu.
Berikut model baku dari perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan, perbuatan tersebut adalah sebagai berikut:60
60 Ibid, hlm. 51-69.
a) Perbuatan melawan hukum berupa ancaman untuk penyerangan dan pemukulan terhadap manusia
b) Perbuatan melawan hukum berupa pemukulan atau melukai orang lain
c) Perbuatan melawan hukum berupa penyanderaan illegal
d) Perbuatan melawan hukum berupa penyerobotan tanah milik orang lain
e) Perbuatan melawan hukum berupa penguasaan benda bergerak milik orang lain secara tidak sah
f) Perbuatan melawan hukum berupa pemilikan secara tidak sah benda milik orang lain
g) Perbuatan melawan hukum berupa perbuatan yang menyebabkan tekanan jiwa orang lain
h) Perbuatan melawan hukum karena kebisingan
i) Perbuatan melawan hukum berupa kebohongan yang merugikan orang lain
j) Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap hubungan kontrak
k) Perbuatan melawan hukum berupa intervensi terhadap keuntungan prospektif