ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK BULGARIA
ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK BULGARIA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : XXXX XXX XXXX NIM. E 1105118
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2009
PERSETUJUAN PEMBIMBING
ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK BULGARIA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun oleh : XXXX XXX XXXX NIM : E 1105118
Disetujui Untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing
Dosen Pembimbing Co. Pembimbing
Xxxxxxx Xxxxxxx, X.X Xxxx Xxxxxxxx, S.H
NIP. 131 571 661 NIP.132 086 307
PENGESAHAN PENGUJI
ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK BULGARIA
Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun oleh :
XXXX XXX XXXX
NIM : E 1105118
Telah diterima dan disahkan oleh Xxx Xxxxuji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari :
Tanggal :
TIM PENGUJI
1. Xxx Xxxxxxx Xxxxxx, S.H, M.Hum :……………………………..
NIP. 131 571 611
2. Xxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H, M.Hum : ...............................................
NIP. 000 000 000
3. Xxxxxxx Xxxxxxx, S.H : ...……………………………
NIP. 131 413 175
Mengetahui :
Dekan
(Xxxxxxxx Xxxxx, S.H., M.Hum.) NIP. 130 890 431
HALAMAN MOTTO
“ Jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu yang demikian itu sungguh berat kecuali orang-orang yang khusu` “.
(QS. Al Baqarah : 45)
“ Sesungguhnya setelah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada Tuhan-Mulah hendaknya kamu berharap ”.
(QS. Al Insyiqaaq : 6-8)
“Pilihanlah yang menentukan siapa sebenarnya dirimu lebih dari kemampuanmu ”
( X.X Xxxxxxx)
“walau besok langit akan runtuh keadilan dan kebenaran harus tetap ditegakkan”
HALAMAN PERSEMBAHAN
Penulisan hukum (skripsi) ini kupersembahkan kepada :
❖ Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxx dan Ibunda Xxxxxxi tercinta
❖ Kakakku Xxxx Xxxx Wati dan Xxxxxxxx Xxx Xxxxxx
❖ Adik Xxxxx Xxxxxxx X
❖ Keluargaku
❖ Rekan-rekan Fakultas Hukum tahun 2005.
❖ Almamaterku.
ABSTRAK
XXXX XXX XXXX, E 1105118,. ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK
BULGARIA.Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Penulisan Hukum (Skripsi).2009.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang aspek-aspek hukum perjanjian internasional dalam Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Kota Montana.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuan penelitiannya termasuk penelitian hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik Pengumpulan data yang di pergunakan yaitu melalui studi pustaka. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis)
Berdasarkan penelitian diperoleh hasil bahwa kerjasama Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana dituangkan kedalam sebuah perjanjian dalam bentuk Memorandum Saling Pengertian atau Memorandum of Understanding ( MoU ) dan merupakan perjanjian internasional tertulis antar pemerintah. Perjanjian Kota Bersaudara ( sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana telah memenuhi unsur-unsur perjanjian internasional dan subyek hukum internasional dalam perjanjian ini adalah pada dasarnya negara yang diwakili oleh Pemerintah Daerah. Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana termasuk perjanjian bilateral, perjanjian internasional khusus atau tertutup, perjanjian yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang terikat, perjanjian ini dirumuskan dalam 3 bahasa yaitu bahasa Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Bulgaria, masuk kedalam perjanjian internasional antar negara, walaupun yang bertindak sebagai subyeknya adalah Pemerintah Daerah, perjanjian ini merupakan suatu perjanjian internasional yang kelahirannya atau pembentukannya diprakarsai oleh negara atau negara-negara, berlakunya perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang berlaku khusus. Saran yang dapat penulis berikan berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan kesimpulan adalah perlunya diadakan sosialisasi kepada masyarakat tentang adanya program kerjasama Kota Bersaudara (sister-city) sehingga masyarakat dapat mengetahui dan menikmati hasil dan pelaksanaan dari program kerjasama ini. Adanya peningkatan potensi daerah sehingga Pemerintah Daerah mampu menjalin kerjasama program Kota Bersaudara (sister-city) dengan negara lain.
Kata Kunci: Sister- city, Aspek-aspek hukum,Perjanjian internasional.
ABSTRACT
XXXX XXX XXXX, E 1105118. THE ABSTRACT OF INTERNATIONAL TREATY OF LAW IN SISTER CITY PERJANJIAN AMONG GOVERNMENT CITY OF SURAKARTA OF REPUBLIC OF INDONESIA AND GOVERNMENT CITY OF MONTANA OF REPUBLIC OF BULGARIA. FACULTY OF LAW. SEBELAS MARET UNIVERSITY. SKRIPSI. 2009
The purpose of this research is to know the aspect of international treaty of law in sister city treaty among the government city of Surakarta and government city of Montana.
This research is a descriptive research and it is a normative research of law, if it was seen from the purpose of the research, the data which was used was secondary data. The technique of collecting data used library study. The data analysis used content analysis.
Based on the research, it can be obtained result that the cooperation among government city of Surakarta and government city of Montana was implied into a treaty in form of Memorandum of Understanding (MoU) and it is written international treaty between the governments. The treaty of sister city between government of Surakarta and the government city of Montana has fulfill the substance of International treaty and the subject of International law and the subject of this treaty is a country represented by Regional government. The treaty of sister city between government of Surakarta and the government city of Montana is a bilateral treaty, specific international treaty or closed, the treaty that born specific law for parties included, this treaty is formulized in three language, nearly Indonesian language, English, and Bulgarian language. This international treaty included international treaty among the country, although the subject was regional government reformation made by countries, the run of this treaty is international treaty that has specific role. Based on the discussion and conclusion research, the writers suggest that the society need socialization about the cooperation program of sister city cooperation, so the society know and enjoy the result and the implementation of this cooperation program. The increase of regional potential caused the regional government is able to make cooperation program of sister city with other country.
Key word: sister city, the aspect of international treaty of law
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang serta diiringi rasa syukur kehadirat Illahi Rabbi, penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul ”ASPEK- ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA” dapat penulis
selesaikan.
Penulisan hukum ini membahas tentang aspek-aspek hukum perjanjian internasional dalam Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Kota Montana.
Saat ini belum banyak peneliti atau penulis yang membahas tentang perjanjian Kota Bersaudara (sister city). Hal ini karena perjanjian Kota Bersaudara (sister city) tidak banyak orang awam yang mengetahui. Oleh karena itu penulis berusaha untuk menganalisis fakta- fakta dengan ketentuan hukum mengenai aspek-aspek perjanjian internasional dalam perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil sehingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada :
1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum UNS.
2. Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, S.H dan Xxx Xxxx Xxxxxxxx, X.X xxxxxx pembimbing penilsan hukum (skripsi), yang telah menyediakan waktu, arahan dan pikirannya untuk memberikan bimbingan bagi tersusunnya penulisan hukum (skripsi) ini.
3. Xxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., X.Xx selaku pembimbing akademis.
4. Xxxxx Xxxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H., M.S selaku ketua bagian Hukum Internasional.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan Fakultas Hukum UNS.
6. Bapak tercinta yang selalu memberikan semangat serta motivasi agar xxxxxx selalu mengenyam pendidikan kejenjang tertinggi. Ibunda tersayang, yang telah memeras keringat, airmata, doa, harapan untuk menjadikan ananda seperti sekarang, semoga ananda dapat membalas budi dengan memenuhi harapan bapak dan ibunda.
7. Mbak Xxxx Xxxx Xxxx, Mas Iim berserta keponakanku Xxxxx dan adikku Xxxxx Xxxxxxx X yang telah bersama-sama melewati tawa, tangis serta uraian cerita di setiap pemberhentian hidup yang kita bangun bersama.
8. Xxxxx Xxxxxxxx, S.H atas semua kritikan, perdebatan, pembelajaran, petualangan dan doa-doanya serta atas semua hal yang telah dilakukan dan diberikan.
9. Sahabat karibku dan teman-temanku :Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxx, Prasasti Xxxx Xxxxxxxx, S.H, Xxxx Xxxxxxxxx, Xxxxx Xxxxxxxxx, Xxxxxxx Xxxxxxxx, Xxxx Xxxxxxxxx,S.H, Xxxx Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxx X.X, Xxxxxxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxx, Xxxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxxxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxxxx H, Xxxxxxxx, Xxxxx Xxxx Xxxxxxx, Xxx Xxxxx Xxxxxx, Xxxxx,
Xxxxxxxxxx Xxxx X, Xxxxxxxx yang telah bersama-sama mengukir prasasti yang indah di kampus tercinta.
10. Teman-teman sejatiku : Xxxxxxx Xxxxxxxxx, Xxx’xxxx X.X dan Kustariningrum, S.E.
11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyusunan skripsi ini.
Dengan selesainya penulisan hukum yang berjudul ”Aspek-Aspek Hukum Perjanjian Internasional Dalam Perjanjian Kota Bersaudara (Sister City) Antara Pemerintah Kota Surakarta Dan Pemerintah Kota Montana” ini, dapat memberikan manfaat bagi kita semua. Penulis tak lupa mengintrospeksi diri bahwa pada penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna. Maka dari itu penulis mengharapkan kritikan, masukan dan saran yang bersifat membangun, agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dan acuan bagi penulis.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Surakarta, Juni 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN iv
ABSTRAK vi
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI xi
DAFTAR LAMPIRAN xiii
BAB I PENDAHULUAN 1
X. Xxxxx Belakang Masalah 1
B. Perumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 6
E. Metode Penelitian 7
F. Sistematika Skripsi 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 13
A. Kerangka Teori 13
1. Kedudukan perjanjian internasional dalam hukum
internasional 13
2. Aspek- aspek perjanjian internasional 16
a. Istilah-istilah perjanjian internasional 16
b. Pengertian perjanjian internasional 20
c. Unsur-unsur perjanjian internasional 22
d. Subyek-subyek perjanjian internasional 25
e. Bentuk-bentuk perjanjian internasional 31
x. Xxxxx-macam perjanjian internasional 33
g. Unsur-unsur formal perjanjian internasional. 36
h. Proses perumusan dan mulai berlakunya perjanjian internasional 37
i. Pembatalan dan berakhirnya suatu perjanjian internasional. 44
3. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional 46
a. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
Hubungan Luar Negeri 46
b. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional 48
c. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah 48
4. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kota Bersaudara
(Sister City) 53
B. Kerangka Pemikiran 56
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 58
X. Xxxxx Penelitian 58
1. Perjanjian Kota Bersaudara ( Sister-City) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana 58
B. Pembahasan 72
1. Aspek-aspek Hukum Perjanjian Kota Bersaudara
(sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan
Pemerintah Kota Montana 72
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN 90
A. Simpulan 90
B. Saran 92
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I : Surat Keterangan Penelitian
Lampiran II : MoU Kota Bersaudara ( sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana
BAB I PENDAHULUAN
X. Xxxxx Belakang Masalah
Perwujudan atau realisasi dari hubungan internasional dalam bentuk perjanjian internasional, sudah sejak lama dilakukan oleh negara-negara di dunia. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa selama masih berlangsungnya hubungan antar bangsa maka akan selalu muncul perjanjian-perjanjian internasional ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:1).
Perjanjian internasional sendiri merupakan salah satu sumber hukum internasional, yang seharusnya ditaati dan dihormati oleh negara- negara yang bersangkutan. Atas dasar pertimbangan pentingnya peranan dan kedudukan perjanjian internasional tersebut, akhirnya Komisi Hukum Internasional menjadikan hukum perjanjian internasional sebagai salah satu bidang hukum internasional yang perlu dikodifikasikan. Oleh karena itu lahirlah Konvensi Wina 1969 (the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties) konvensi yang mengatur tentang hukum perjanjian internasional antar negara.
Dalam Konsiderans kedua Konvensi Wina 1969 menyatakan , bahwa peranan perjanjian internasional semakin bertambah penting maupun sebagai sarana untuk mengembangkan kerjasama internasional secara damai antara bangsa-bangsa. Dalam konsideran tersebut disamping menggambarkan fakta mengenai peranan perjanjian internasional juga mengandung suatu pandangan ke depan yang sekaligus juga merupakan pengakuan arti pentingnya perjanjian internasional ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:52).
Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah merupakan instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subyek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subyek hukum internasional lainya (Boer Mauna, 2000:82).
Pada awalnya perjanjian internasional hanya dilakukan antar negara saja, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional dan antara Organisasi Internasional dan Organisasi Internasional di sebutkan perjanjian internasional dapat dilakukan antar negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dengan organisasi internasional
Pada prinsipnya subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah negara, negara bagian, tahta suci atau vatikan, wilayah perwalian, organisasi internasional, kaum belligerensi, dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:18)
Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional maka Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Yang dimaksud Pemerintah
Republik Indonesia disini yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, ditingkat pusat dan daerah, dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana pembuatan perjanjian internasional tersebut dengan Menteri ( Xxxxxx Xxxxxxxx, 2006 : 3 )
Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang telah membuka peluang keikutsertaan daerah sebagai salah satu komponen dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri sehingga sekarang banyak kegiatan hubungan luar negeri yang dilakukan oleh pemerintahan daerah termasuk dalam hal pembuatan perjanjian internasional.
Salah satu bentuk dari perjanjian yang dilakukan antara pemerintah daerah adalah perjanjian sister city atau kota kembar. Kota kembar atau kota bersaudara adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antarpenduduk. Kota kembar umumnya memiliki persamaan keadaan demografi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep kota kembar bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat bermanfaat bagi program pertukaran pelajar dan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan (kota_kembar, xxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx).
Di Indonesia fenomena kerjasama dengan konsep Kota Kembar ini sudah banyak dilakukan seperti kerjasama Kota Kembar antara Jakarta dengan beberapa kota antara lain, Los Angeles, Rotterdam, Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxxx, Xxxxxx, Tokyo, Seoul, Bangkok, Casablanca dan lain-lain, Surabaya dengan beberapa kota yaitu, Bussan ( Korsel ), Osaka dan Kochi ( Jepang ), Seattle ( USA ), Yogyakarta dengan Savanah ( USA ), Gang Buk gu ( Korsel ), Hefei ( RRC ), Bandung dengan kota Braunschweig ( Jerman ), dan masih banyak kota-kota lain yang telah membuat kerjasama Kota Kembar dengan kota-kota di luar negeri.
Kerjasama ini sangat penting artinya dalam pengelolaan “ Kota bagi semua” (city for all ) ( xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx/xxxxxx/.).
Pemerintah Kota Surakarta dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya dan sebagai bentuk pelaksanaan otonomi daerah telah melakukan hubungan kerjasama dengan Kota Montana, Bulgaria. Kerjasama tersebut berbrntuk konsep Kota Bersaudara ( sister- city) yang kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian yang berbentuk nota kesepakatan yaitu Memorandum Saling Pengertian atau Memorandum of Understanding ( MOU). Tujuan dari adanya konsep kerjasama Kota Bersaudara ( sister-city ) adalah untuk meningkatkan dan memperluas kerjasama yang efektif dan saling menguntungkan bagi pemerintah kedua kota yang mencakup beberapa bidang, yaitu bidang pembangunan ekonomi daerah, pengelolaan lingkungan dan limbah, sistem dan infrastruktur transportasi, pariwisata dan kebudayaan, serta pengembangan sumber daya manusia dan sebagainya.
Berdasarkan latar belakang, maka penulis tertarik untuk mempelajari, memahami dan meneliti secara lebih mendalam mengenai perjanjian yang dibuat dalam kerjasama internasional dalam bentuk sister city Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana, Bulgaria, dan selanjutnya penulis menyusunnya dalam suatu penulisan hukum yang berjudul: “ASPEK-ASPEK HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM PERJANJIAN KOTA BERSAUDARA (SISTER CITY) ANTARA PEMERINTAH KOTA SURAKARTA REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KOTA MONTANA REPUBLIK BULGARIA”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam suatu penelitian sangatlah penting, yaitu untuk menegaskan dan membatasi pokok masalah sehingga mempermudah
penulis dalam mencapai sasaran. Rumusan masalah biasanya berisi pertanyaan yang kritis, sistematis, dan respresentative untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : ”Bagaimanakah aspek-aspek hukum perjanjian internasional dalam Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta Republik Indonesia dan Pemerintah Kota Montana Republik Bulgaria?”
C. Tujuan Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah dengan mengumpulkan berbagai data dan informasi, kemudian dirangkai dan dianalisis yang bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan juga dalam rangka pemecahan masalah- masalah yang dihadapi (Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1986:2 ).
Tujuan merupakan target yang ingin dicapai sebagai pemecahan atas permasalahan yang dihadapi ( tujuan obyektif ) maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan ( tujuan subyektif ). Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah
1. Tujuan Obyektif
Untuk mengetahui aspek-aspek hukum perjanjian internasional dalam Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
uan subyektif
a. Untuk memperoleh data serta informasi yang penulis pergunakan dalam penyusunan skripsi sebagai syarat dalam mencapai gelar Sarjana Statra Satu dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti dan untuk menambah pengetahuan penulis tentang aspek-aspek hukum perjanjian internasional terhadap Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
c. Sebagai cara untuk menerapkan serta mendalami teori dan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam setiap penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang diharapkan sehubungan dengan penelitian ini adalah:
1. Manfaat teoristis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan serta pemikiran yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan ilmu hukum internasional pada khususnya mengenai aspek-aspek Hukum Perjanjian Internasional dalam Perjanjian Kota
Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan masukan serta pengetahuan bagi para pihak yang berkompeten dan terkait langsung dengan penelitian ini khususnya bagi Pemerintah Kota Surakarta.
b. Meningkatkan wawasan dalam pengembangan pengetahuan bagi peneliti akan permasalahan yang diteliti, dan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dan referensi bagi peneliti selanjutnya yang berminat pada hal yang sama.
x. Xxxxx memberi masukan dan sumbangan pemikiran bagi mahasiswa, dosen maupun pembaca lain sabagai pemerhati Hukum Internasional khususnya Hukum Perjanjian Internasional yang berkaitan tentang aspek-aspek Hukum Perjanjian Internasional terhadap Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan langkah bagi pedoman untuk memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang suatu obyek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Xxxxxxxx Xxxxxxxx mengemukakan bahwa metodologi penelitian adalah:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis, dan konstiten ( Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 2005 : 42).
Penelitian sebagai suatu kegiatan terencana dilakukan dengan metode ilmiah yang bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun suatu gejala atau hipotesa yang ada.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut,
1. Jenis Penelitian
Dengan berpedoman pada judul dan latar belakang masalah, maka jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder (Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, 1985:15).
Penelitian jenis normatif adalah jenis penelitian yang menggunakan perumusan-perumusan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar penelitian ( Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 2005 : 53).
Penelitian ini meneliti bahan pustaka atau data sekunder dan juga mengunakan perumusan-perumusan yang terdapat dalam perundang- undangan yang berkaitan dengan perjanjian internasional, perjanjian Kota Bersaudara serta kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian internasional.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat diskriptif. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainya. (Xxxxxxxx Xxxxxxxx, 1986:10).
Data yang diberikan dalam penelitian ini berupa gambaran umum lokasi Kota Surakarta dan Kota Montana, Republik Bulgaria serta data-data mengenai Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta Republik Indonesia dan Pemerintah Kota Montana Republik Bulgaria.
3. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yang antara lain meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku, makalah, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, artikel yang berkaitan dengan perjanjian internasional, perjanjian Kota Bersaudara dan kewenangan Pemerintah daerah dalam pembuatan perjanjian internasional.
4. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah sumber data sekunder. Yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah bahan- bahan kepustakaan yang dapat berupa dokumen-dokumen resmi, buku-buku, makalah, hasil-hasil penelitian yang berbentuk laporan, artikel yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti
Sumber data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional
2. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
3. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
4. UU NO.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
5. Keputusan Menteri Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor: SK.09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah
6. Surat Edaran Menteri Luar Negeri Nomor: 193/1652/PUOD tentang Perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (sister-city) dan Antar Propinsi (sister-province) Dalam dan Luar Negeri
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku- buku, makalah, artikel, dokumen-dokumen resmi, karya tulis yang berbentuk laporan yang semuanya berisi tentang Hukum Perjanjian Internasional dan perjanjian Kota Bersaudara (Sister City) Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier sebagai pendukung data sekunder dari bahan hukum primer dan sekunder yaitu kamus bahasa Inggris dan ensiklopedia tentang perjanjian internasional dan perjanjian Kota Bersaudara (sister-city).
5. Teknik Pengumpulan Data
Merupakan teknik untuk pengumpulan data dari salah satu atau beberapa sumber data yang ditentukan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen yaitu pengumpulan data sekunder. Penulis mengumpulkan buku-buku, makalah, artikel, dokumen-dokumen resmi, karya tulis yang berbentuk laporan yang kesemuanya berisi tentang Hukum Perjanjian Internasional dan perjanjian Sister City Pemerintah Kota
Surakarta dengan Pemerintah Kota Montana dan bahan-bahan lain yang mendukung.
6. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik analisis isi (content analysis) . Menurut Xxxxx analisis isi adalah metodologi penelitian yang memanfaatkan perangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen. Dalam penulisan hukum ini analisis isinya adalah mengenai Konvensi Wina 1969. dan MOU ( Memorandum of Understanding) Sister City Pemerintah Kota Surakarta dengan Pemerintah Kota Montana dan peraturan-peraturan lainya yang mengatur tentang perjanjian internasional.
F. Sistematika Skripsi
Agar skripsi ini dapat tersusun sacara teratur dan berurutan sesuai dengan kehendak yang dituju dan dimaksud dengan judul skripsi, maka dalam sub bab ini penulis akan pembuat sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis mengemukakan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab kedua ini memuat dua sub bab yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka teori meliputi tinjauan umum tentang kedudukan hukum perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional, aspek-aspek perjanjian Internasional, tinjauan umum tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian internasional dan tinjauan umum tentang Kota Bersaudara ( sister-city ).
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ketiga ini berisi tentang pokok-pokok permasalahan yang ingin dikemukakan berdasarkan rumusan masalah yaitu tentang hasil penelitian yang meliputi gambaran umum lokasi kota Surakarta dan kota Montana, latar belakang pembentukan perjanjian Kota Bersaudara Antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana, Proses dan tahapan pembuatan perjanjian Kota Bersaudara Antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana, pokok-pokok isi perjanjian Kota Bersaudara Antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana, pembahasan yang meliputi aspek-aspek hukum perjanjian internasional dalam Perjanjian Kota Bersaudara (sister city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian yang berisikan simpulan- simpulan yang didapat dari penelitian serta berisi saran-saran sebagai tindak lanjut dari kesimpulan-kesimpulan yang didapat.
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Kedudukan Perjanjian Internasional dalam Hukum Internasional Kedudukan perjanjian internasional dalam hukum internasional adalah
sebagai salah satu sumber hukum internasional. Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat internasional. Dalam Pasal 38 ayat 1 dari Statuta the International Court of Justice (ICJ) disebutkan sumber hukum internasional yaitu: perjanjian internasional, (international convention), kebiasaan internasional ( international costom ), prinsip-prinsip hukum umum ( general principle of law ), putusan-putusan pengadilan internasional ( judicial decissions ), dan ajaran-ajaran ahli hukum dari berbagai negara yang memiliki reputasi internasional ( the teaching of the most highly qualified publicists of various nations). Selain sumber-sumber hukum internasional yang disebutkan dalam Pasal 38 ayat 1 dari Statuta the International Court of Justice (ICJ) juga terdapat sumber-sumber hukum internasional lainya yaitu: putusan organ organisasi internasional, equity dan kode etik dan moral (Xxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2006:53-54.).
Hukum internasional yang sebagian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional membuat kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awalnya menjadi sumber hukum internasional yang utama tergeser.
Mengingat pentingnya peranan dan kedudukan perjanjian internasional, maka Komisi Hukum Internasional menaruh perhatian penting dan menjadikan bidang hukum perjanjian internasional sebagai salah satu bidang hukum internasional yang dipandang perlu dikembangkan dan dikodifikasi secara progresif.
Atas dasar pertimbangan pentingnya peranan dan kedudukan perjanjian internasional tersebut akhirnya lahirlah konvensi yang mengatur tentang hukum perjanjian internasional antar negara yang dikenal dengan nama Konvensi Wina 1969 (the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties), yang mulai berlaku pada tanggal 27 Januari 1980. Adapun substansi Konvensi Wina 1969 meliputi Bagian-Bagian dan masing-masing Bagian terdiri dari Pasal-Pasal ( tidak semuanya) ada yang dibagi lagi menjadi Ayat- ayat, ayat-ayat ada beberapa yang dibagi menjadi sub ayat. Tegasnya Konvensi Wina terdiri dari 8 Bagian, dan kedelapan Bagian ini terdiri dari 85 Pasal. Bagian pertama merupakan Bagian Pengantar, terdiri dari 5 Pasal yaitu Pasal 1 sampai Pasal 5. Bagian Kedua mengatur tentang pembuatan atau
perumusan dan mulai berlakunya suatu perjanjian internasional dan terbagi dalam tiga seksi dan semuanya meliputi 19 Pasal, dari Pasal 9 sampai dengan Pasal 25. Bagian ketiga berkenaan dengan penghormatan, penerapan, dan penafsiran suatu perjanjian internasional, terdiri dari dari 4 seksi dan 12 Pasal yaitu Pasal 26 sampai Pasal 38. Bagian keempat berkenaan dengan amandemen dan modifikasi atas suatu perjanjian internasional, terdiri dari 3 Pasal yaitu Pasal 39, 40, dan 41. Bagian kelima mengatur tentang ketidaksahan, pengakhiran dan penundaan berlakunya suatu perjanjian internasional terdiri dari lima seksi dan 30 Pasal, yaitu Pasal 42 sampai Pasal
72. Bagian keenam berupa ketentuan-ketentuan lain, terdiri dari tiga Pasal yaitu Pasal 73, Pasal 74, Pasal 75. Bagian Ketujuh mengatur tentang penyimpanan, pemberitahuan, perbaikan, dan pendaftaran suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 5 Pasal, yaitu Pasal 76 sampai Pasal 80. Bagian kedelapan yang merupakan bagian terakhir, berkenaan dengan ketentuan- ketentuan akhir, yaitu berupa ketentuan yang dari segi sistematikanya memang layak ditempatkan pada bagian paling akhir dari suatu naskah perjanjian , terdiri dari 5 Pasal, yaitu Pasal 81 sampai Pasal 85.
Pada perkembangan selanjutnya, disepakati pula konvensi tentang hukum perjanjian internasional antar negara dan organisasi internasional dan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional, yang selanjutnya dikenal dengan nama Konvensi Wina 1986 (the Vienna
Convention on the Law of Treaties between State and International Organisation and between International Organisation and International Organisation).
Pengertian hukum perjanjian internasional sendiri adalah suatu kaidah yang mengatur prinsip-prinsip perjanjian yang diadakan antara subyek hukum internasional yaang bertujuan untuk mengakibatkan suatu akibat hukum tertentu yang diatur dalam lingkup hukum internasional.
Dari uraian-uraian diatas bahwa dengan di bentuknya Konvensi Wina 1969 (the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties) dan Konvensi Wina 1986 (the Vienna Convention on the Law of Treaties between State and International Organisation and between International Organisation and International Organisation, bahwasanya konsensus inilah yang menyebabkan terbentuknya hukum perjanjian internasional sehingga dapat ditemukan atau dikenal sebagai kaidah hukum internasional. Jadi dapat pula dikatakan bahwa perjanjian internasional merupakan tempat menemukan hukum.
Selain itu, dengan terbentuknya perjanjian internasional, perjanjian ini mengikat bagi para pihak yang membuatnya, sehingga dapat pula dikatakan bahwa perjanjian internasional merupakan dasar atau sumber mengikat hukum internasional. Jadi perjanjian internasional merupakan sumber hukum internasional formal (F.A Xxxxxx Xxxxxx, 1989:68).
2. Aspek-aspek Perjanjian Internasional
a. Istilah perjanjian internasional
Praktek pembuatan suatu perjanjian internasional diantara negara- negara selama ini melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah, maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasionalnya tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya.
Konvensi Wina tahun 1969 dan Xxxxxxxx Wina Tahun 1986 yang mengatur tentang perjanjian internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement (Boer Mauna, 2000:89).
Dalam perjanjian internasional sendiri digunakan berbagai macam istilah, antara lain sebagai berikut: ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:27).
1) Traktat atau Treaty
Istilah Traktat atau Treaty adalah istilah yang banyak digunakan untuk perjanjian internasional yang substansinya tergolong penting bagi para pihak.
Terminologi treaty mencakup segala macam bentuk persetujuan internasional yang materinya merupakan hal-hal yang sangat prinsipil. (Boer Mauna, 2000:90).
Istilah Treaty digunakan oleh Konvensi Wina 1969 maupun Konvensi Wina 1986 dalam arti sebagai perjanjian internasional tertulis secara umum ( Pasal 2 ayat 1 huruf a). Namun Treaty sebagai salah satu instrument biasanya digunakan dalam perjanjian-perjanjian multilateral baik terbatas maupun terbuka yang mengatur hal-hal yang dianggap sangat penting, biasanya hal-hal tersebut bukan hal yang sederhana dan diatur secara mendetail (F.A Xxxxxx xxxxxx, 1989:49).
2) Konvensi atau Convention
Pada umumnya konvensi digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional multilateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang berlaku secara luas baik dalam lingkup regional maupun umum ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:28).
Konvensi umumnya memberikan kesempatan kepada masyarakat internasional untuk berpartisipasi secara luas. Konvensi biasanya bersifat Law –making yang artinya merumuskan kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional (Boer Mauna, 2000:91).
3) Persetujuan atau Agreement
Istilah persetujuan digunakan untuk perjanjian internasional yang substansinya bersifat teknis dan administratif. Jika dibandingkan dengan treaty ataupun konvensi, persetujuan mempunyai ruang lingkup yang lebih sederhana dan relatif kecil ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:32).
Agreement biasanya digunakan dalam perjanjian- perjanjian yang para pihaknya terbatas atau tertentu (F.A Xxxxxx Xxxxxx, 1989:49)
4) Piagam atau Charter
Istilah charter umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional. Penggunaan istilah ini berasal dari Magna Carta yang dibuat pada tahun 1215. (Boer Mauna, 2000:92). Istilah charter sendiri nantinya akan digunakan sebagai konstitusi dari sebuah organisasi internasional. PBB sendiri menggunakan istilah charter yang disebut Charter of the United Nations
5) Kovenan atau Covenant
Covenant sendiri pengertiannya sama dengan pengertian charter yaitu, sebagai perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi internasional. Akan tetapi ada juga suatu perjanjian yang bukan merupakan konstitusi organisasi internasional memakai istlah covenant yaitu Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik, tanggal 16 Desember 1966 (International Covenant on Civil and Political Right of December 16, 1966) ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:31)
6) Protokol atau Protocol
Menurut X.X Xxxxxx, protokol merupakan jenis perjanjian internasional yang kurang formal ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:34). Penggunaan istilah protokol itu sendiri mempunyai berbagai macam keanekaragaman yaitu: Protocol of Signature, Optional Protocol dan Protocol Based on a Framework Treaty.
Protokol juga merupakan perjanjian tambahan dari suatu perjanjian induk. Salah satu contoh protokol tambahan adalah Protokol tambahan I dan Protokol Tambahan II yang perjanjian induknya adalah Konvensi Jenewa.
7) Deklarasi atau Declaration
Deklarasi juga merupakan suatu perjanjian dan berisikan ketentuan-ketentuan umum dimana pihak-pihaknya berjanji untuk melakukan kebijaksanan-kebijaksanan tertentu dimasa yang akan datang. (Boer Mauna, 2000:93). Pada umumnya isi dari deklarasi tersebut lebih merupakan kesepakatan antar para pihak yang bersifat umum dan berisi tentang hal-hal yang bersifat pokok saja.
X.X Xxxxxx membedakan deklarasi menjadi tiga definisi yaitu, Deklarasi sebagai suatu treaty yang sempurna, deklarasi sebagai instrument yang kurang formal yang berfungsi sebagai lampiran dari suatu treaty atau convention dan deklarasi sebagai suatu persetujuan yang kurang formal, karena menyangkut hal-hal yang kecil arti pentingnya (F.A Xxxxxx Xxxxxx, 1989:52).
8) Statuta atau Statute
Statuta biasanya digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang dijadikan sebagai landasan konstitusi suatu organisasi internasional atau lembaga internasional.
9) Pakta atau Pacta
Istilah pakta dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang militer, pertahanan dan keamanan ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:33).
10) MoU (Memorandum of Understanding)
MoU merupakan perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional suatu perjanjian induk. Sepanjang materi yang diatur bersifat teknis, MoU dapat berdiri sendiri dan tidak memerlukan adanya
perjanjian induk. Perjanjian ini pada umumnya akan berlaku setelah penandatanganan tanpa memerlukan pengesahan (Boer Mauna, 2000:95).
b. Pengertian perjanjian internasional
Dalam pengrtian yang umum dan luas, perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut persetujuan, traktat, ataupun konvensi, adalah “Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum internasional” ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:12).
Pengertian tersebut dirasa masih sangat umum dan luas. Hukum perjanjian Internasional yang mengatur perjanjian internasional membagi pengertian perjanjian internasional menjadi dua macam.
Pertama adalah perjanjian internasional antara negara dan negara sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1969 yang menyatakan sebagai berikut:
Treaty means an international agreement concluded between states in written form and governed by internasional law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its perticular designation.
Perjanjian artinya , suatu persetujuan internasional yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur
oleh hukum internasional, baik berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun namanya.
Kedua adalah perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan organisasi internasional, sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986, sebagai berikut:
Treaty means an international agreement governed by international law and concluded in written form:
between one or more States and one or more international organisations; or
Between internasional organisations, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its perticular designation.
Perjanjian berarti suatu persetujuan internasioanl yang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalam bentuk tertulis:
antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasi internasional; atau
sesama organisasi internasional, baik berupa satu instrumen tunggal atau berupa dua atau lebih instrumen yang saling berkaitan tanpa memandang apapun namanya.
( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:14).
Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx merumuskan perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan persetujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu (Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, 1976:84).
Dalam hal lain pengertian perjanjian internasional dibedakan menjadi dua golongan yaitu “treaty contract” dan “law making treaties”. Treaty Contract sendiri adalah perjanjian-perjanjian seperti kontrak atau perjanjian dalam hukum perdata yang mengakibatkan hak dan kewajiban antar pihak- pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan Law Making Treaties adalah perjanjian yang meletakan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi masyarakat internasional secara keseluruhan (Yudha Bhakti Xxxxxxxxxxxxx, 2003:107).
Dalam pasal 1 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri disebutkan pengertian perjanjian internasional sebagai berikut:
Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun, yang diatur oleh hukum internasional dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek hukum internasional lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia yang bersifat hukum publik.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa perjanjian internasional merupakan kata sepakat antara subyek hukum internasional dalam bentuk tertulis mengenai obyek tertentu dan diatur dalam hukum internasional.
c. Unsur-unsur perjanjian internasional
Didalam pengertian Perjanjian Internasional dapat dijabarkan beberapa unsur atau klasifikasi yang harus dipenuhi oleh suatu perjanjian internasional, unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:
1) Kata sepakat
Kata sepakat adalah merupakan unsur yang sangat esensial dari suatu perjanjian, termasuk perjanjian internasional. Kata sepakat adalah inti dari suatu perjanjian. Kata sepakat ini yang dirumuskan atau dituangkan kedalam naskah pasal-pasal perjanjian. Naskah pasal-pasal tersebut merupakan cerminan dari kata sepakat dari para pihak.
2) Subyek-subyek hukum
Subyek-subyek hukum yang dimaksud disini adalah subyek- subyek hukum internasional. Dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya tertutup dan substansinya lebih bersifat teknis, pihak-pihak yang melakukan perundingan adalah juga pihak-pihak yang terikat pada perjanjian. Perjanjian internasional yang sifatnya terbuka dan isinya mengenai hal yang lebih bersifat umum, antara pihak yang melakukan perundingan dengan pihak yang terikat dengan perjanjian tersebut belum tentu sama.
Pada prinsipnya subyek-subyek hukum internasional yang mampu dan dapat membuat perjanjian internasional dan terikat dengan
perjanjian tersebut adalah Negara, negara bagian, tahta suci atau Vatikan, wilayah perwalian, organisasi internasional, kaum belligerensi, dan bangsa yang sedang memperjuangkan haknya.
3) Berbentuk tertulis
Perjanjian internasional dibuat secara tertulis dimaksudkan sebagai perwujudan kata sepakat para pihak yang otentik dan dapat mengikat para pihak yang membuatnya. Kata sepakat itu di rumuskan dengan bahasa dan tulisan yang telah dikehendaki para pihak.
Bahasa yang digunakan dalam suatu perjanjian internasional pada umumnya adalah bahasa internasional atau bahasa Inggris, tetapi ada pula perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua atau lebih bahasa. Huruf yang digunakan adalah huruf Latin, walaupun tidak dilarang jika para pihak menggunakan huruf lain.
Dengan bentuk yang tertulis ini, maka akan terjamin adanya ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya.
4) Obyek tertentu
Obyek dari suatu perjanjian internasional adalah suatu hal yang diatur di dalamnya. Biasanya nama dari suatu perjanjian internasional
diambil dari obyek dari perjanjian itu sendiri, maka secara otomatis suatu perjanjian internasional haruslah mempunyai suatu obyek yang akan diatur didalamnya.
5) Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional
Setiap perjanjian internasional akan melahirkan suatu hubungan hukum yang berupa hak dan kewajiban bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, dari sejak perundingan, pemberlakuan, pelaksanaannya dengan segala permasalahan yang timbul serta pengakhiran berlakunya perjanjian, seluruhnya harus tunduk terhadap hukum internasional.
Hal ini berarti bahwa perjanjian tersebut harus bercirikan atau bersifat internasional. Dengan terpenuhinya semua unsur-unsur di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara perjanjian yang tunduk pada hukum internasional yang bersifat publik dan perjanjian atau kontrak- kontrak internasional yang tunduk pada hukum perdata atau hukum perdagangan atau hukum kontrak internasional yang bersifat privat atau keperdataan ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:18)
d. Subyek-subyek perjanjian internasional
Subyek-subyek hukum perjanjian internasional yang dimaksud disini adalah subyek-subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan untuk mengadakan ataupun menjadi pihak atau peserta dalam suatu perjanjian internasional.
Dalam sejarah perkembangannya, pada awalnya hanya negara yang diakui sebagai subyek hukum internasional. Akan tetapi pada awal abad keduapuluh dan terutama setelah Perang Dunia ke II, dengan semakin meningkatnya hubungan internasional dan lahirnya organisasi internasional yang bersifat permanen, maka tidak hanya negara yang diakui sebagai subyek hukum internasional saja akan tetapi juga organisasi internasional dan subyek-subyek hukum internasional lainya selain daripada negara (non- state entities) ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:18).
Tidak semua subyek hukum internasional dapat atau memiliki kemampuan untuk mengadakan ataupun sebagai pihak peserta pada perjanjian internasional. Ada yang mempunyai kapasitas penuh, ada yang memiliki kapasitas terbatas, bahkan ada yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk mengadakan ataupun sebagai pihak peserta pada perjanjian internasional.
Tegasnya subyek-subyek hukum internasional yang memiliki kemampuan untuk mengadakan perjanjian internasional adalah:
1) Negara
Negara adalah subyek hukum internasional yang paling utama, karena negara memiliki kedaulatan. Dengan kedaulatannya tersebut negara mempunyai hak dan kemampuan penuh untuk mengadakan suatu perjanjian internasional.
Negara dalam hal mempunyai kemampuan penuh berarti tidak ada dari pihak lain yang dapat membatasi suatu negara dalam mengadakan atau membuat suatu perjanjian internasional. Kalaupun ada pembatasan- pembatasan bagi negara untuk mengadakan perjanjian internasional itu hanya lebih bersifat politis daripada yurisdis ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:19).
2) Negara bagian
Negara bagian hanya terdapat dalam suatu negara federasi atau federal. Dalam hubungannya dengan mengadakan hubungan internasional ada dua cara dari negara federasi:
Pertama adalah negara federal yang hubungan-hubungan internasionalnya dilaksanakan oleh pemerintah negara federal, sedangkan pemerintah negara bagian hanya mengatur dan mengurus
masalah-masalah dalam negeri, dan tidak mengatur dan mengurus masalah-masalah internasional. Jadi dalam hal mengadakan perjanjian internasional negara bagian tidak mempunyai kapasias dalam mengadakan ataupun membuat perjanjian internasional.
Kedua adalah negara federal yang memberikan hak-hak dan kewenangan kepada negara bagiannya dalam batas-batas tertentu untuk mengadakan hubungan-hubungan internasional. Jadi dalam hal ini negara bagian mempunyai kapasitas dalam mengadakan ataupun membuat perjanjian internasional.
Ada tidaknya kewenangan dari negara bagian dalam melakukan hubungan-hubungan internasional maupun sejauh mana diakui adanya kewenangan tersebut, tergantung pada pengaturannya di dalam konstitusi dari negara federal itu masing-masing.
3) Tahta suci atau Vatikan
Tahta suci atau Vatikan yang dikepalai oleh Paus sebagai pemimpin Gereja Katolik, juga diakui sebagai subyek hukum internasional. Diakuinya Tahta Suci sebagai subyek hukum internasional mempunyai latar belakang tersendiri. Walaupun bukan sebagai negara dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi Tahta Suci mempunyai kedudukan sama seperti negara. Tahta Suci dapat membuka hubungan
diplomatik dengan negara manapun maupun dengan organisasi internasional, demikian pula dapat ikut serta menjadi pihak dalam suatu perjanjian internasional ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:21)
4) Wilayah Perwalian
Wilayah perwalian adalah wilayah yang semula merupakan wilayah jajahan dari negara-negara kolonial yang karena kalah dalam Perang Dunia ke I, lalu diubah statusnya menjadi wilayah mandat dalam kerangka Liga Bangsa-Bangsa. Dengan bubarnya Liga Bangsa-Bangsa yang kemudian digantikan oleh PBB maka wilayah mandat diubah menjadi wilayah perwalian.
Bab XII pasal 87 Piagam PBB secara khusus mengatur tentang sistem perwalian internasional, dengan menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah perwalian yang ditempatkan dibawah negara yang dipandang mampu bertindak sebagai walinya, dengan pengawasan Dewan Perwalian.
Meskipun wilayah perwalian belum sepenuhnya merdeka, tetapi dapat diberikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban internasional serta dapat menjadi pihak dalam suatu perjanjian internasional.
5) Organisasi Internasional
Organisasi internasional didirikan melalui suatu konvrensi internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang menjadi konstitusi dari suatu organisasi internasional itu sendiri yang biasanya disebut dengan piagam, covenan, atau statuta. Kedudukan organisasi internasional sendiri adalah sejajar atau setara dengan negara-negara, oleh karena itu maka organisasi internasional dapat mengadakan atau terlibat dalam hubungan-hubungan internasional.
Hak, kekuasaan dan kewenangan suatu organisasi internasional dalam mengadakan atau menjadi pihak dalam perjanjian internasional, terbatas pada bidang atau ruang lingkup kegiatannya atau apa yang menjadi maksud dan tujuan dari organisasi internasional itu sendiri.
Yang membedakan organisasi internasional dengan negara dalam hal hak, kekuasaan dan kewenangannya dalam mengadakan suatu perjanjian internasional adalah negara mempunyai kedaulatan sehingga memiliki ruang lingkup yang lebih luas di badingkan dengan organisasi internasional yang tidak mempunyai kedaulatan.
Perjanjian internasional antara negara dan organisasi internasional serta antara organisasi internasional dan organisasi internasional, diatur dalam pasal 2 ayat 1 butir a Konvensi Wina 1986.
6) Kelompok yang sedang berperang atau kaum belligerensi Kaum Belligerensi adalah kaum pemberontak yang sudah
mencapai tingkatan yang lebih kuat dan mapan, baik secara politik, organisasi, dan militer sehingga tampak sebagai suatu kesatuan politik yang mandiri. Kemandirian kelompok semacam ini tidak hanya ke dalam tetapi juga keluar. Dalam pengertian, bahwa batas-batas tertentu dia sudah mampu menampakkan diri pada tingkatan internasional atas keberadaannya sendiri (Xxxxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxxx, 2006:125).
Dalam berbagai kasus disebutkan, pemerintah yang berkuasa duduk sederajat dengan kaum belligerensi untuk menandatangani perjanjian genjatan senjata ataupun perjanjian perdamaian. Hal ini berarti kaum belligerensi mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat dengan pemerintahan yang berkuasa, maupun dengan negara- negara lain dalam hal pembuatan ataupun menjadi pihak dalam perjanjian internasional.
7) Bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya.
Untuk memberikan definisi yang tepat bagi bangsa yang sedang memperjuangkan hak-haknya pastilah akan dipengaruhi oleh
pertimbangan-pertimbangan yang bersifat politis. Sebelum memperoleh kemerdekaannya, bangsa-bangsa yang terjajah itu memperjuangkan hak- haknya dan didalam memperjuangkan hak-haknya tersebut ada negara- negara yang sudah mengakui kepribadian internasionalnya secara mandiri, khususnya oleh negara-negara yang bersimpati atas perjuanganya.
Negara-negara yang bersimpati tersebut bersedia mengadakan perjanjian dalam kedudukan sama sederajat dengan bangsa yang memperjuangkan hak-haknya tersebut.
8) Subyek-subyek hukum internasional lainnya
Dewasa ini mulai bermunculan subyek hukum internasional lainnya, selain yang telah disebutkan di atas. Pada awalnya tidak begitu besar arti dan peranannya bagi perkembangan hukum internasional namun akhir-akhir ini sangat berpengaruh bagi perkembangan dunia internasional. Subyek-subyek hukum internasional lainnya ini juga memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban, tetapi sangat terbatas.
Subyek-subyek hukum internasional semacam ini seperti negara-negara bagian atau wilayah dari suatu negara bagian, pemerintah daerah ( kota atau propinsi ), LSM, Perusahaan Multinasional ( MNCs ), media daerah, kelompok-kelompok minoritas, bahkan individu. Subyek-
subyek hukum diatas disebut sebagai non state actor ( Xxxxxx Xxxxxxxx, 2006 : 22 )
Pemerintah daerah ( kota atau propinsi ) sebagai subyek hukum internasional juga mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas.
Kewenangan kota atau propinsi untuk dapat melakukan hubungan luar negeri dalam hal ini melakukan perjanjian internasional dengan kota atau propinsi lain timbul karena adanya otonomi daerah. Dalam perundang-undangan di Indonesia yaitu UU No. 32 Tahun 2004 membawa dimensi baru bagi pelaksanaan hubungan luar negeri. Pada dasarnya pelaksanaan politik luar negeri merupakan wewenang pemerintah pusat, namun seiring dengan adanya otonomi daerah, kebijaksanaan hubungan luar negeri dan diplomasi oleh pemerintah pusat antara lain juga diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi daerah, dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) ( Xxxxxx Xxxxxxxx, 2006 : 23 )
Selain dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga disebutkan dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa ”Hubungan luar negeri merupakan setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah...”, UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 1 bahwa “Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun non departemen, ditingkat pusat dan daerah yang mempunyai rencana membuat perjanjian internasional...”. Disebutkan juga dalam Keputusan Menteri Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor: SK.09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah dan Surat Edaran Menteri Luar Negeri Nomor: 193/1652/PUOD tentang Perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (sister-city) dan Antar Propinsi (sister-province) Dalam dan Luar Negeri, tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian internasional. Berdasarkan peraturan perundang-undangan diatas Penulis menyimpulkan bahwa Pemerintah Daerah merupakan subyek hukum internasional.
e. Bentuk- bentuk perjanjian internasional
Pada umumnya bentuk perjanjian internasional hanya dibedakan menjadi dua yaitu perjanjian internasional yang berbentuk tidak tertulis atau lisan (unwritten agreement atau oral agreement) dan perjanjian internasional dalam bentuk tertulis ( written Agreement)
1) Perjanjian internasional tidak tertulis
Perjanjian internasional tidak tertulis pada umumnya adalah merupakan pernyataan secara bersama atau secara timbal balik yang diucapkan oleh kepala negara, kepala pemerintahan, ataupun menteri luar negeri, atas nama negaranya masing-masing mengenai suatu masalah tertentu yang menyangkut kepentingan para pihak.
Dapat dikatakan juga, suatu perjanjian internasional tidak tertulis adalah berupa pernyataan sepihak yang dikemukakan oleh pejabat- pejabat atau organ-organ pemerintahan negara yang berwenang, yang kemudian pernyataan tersebut ditanggapi secara positif oleh pejabat- pejabat atau organ-organ pemerintahan negara lain yang berkepentingan sebagai tanda persetujuannya ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:35).
Dalam hal pembentukannya, perjanjian internasional tidak tertulis tidak memerlukan prosedur pembuatan seperti halnya perjanjian internasional tertulis. Terdapat tiga macam bentuk perjanjian tidak tertulis, yaitu: (F.A Xxxxxx xxxxxx, 1989:54).
a) Perjanjian Internasional Lisan
b) Deklarasi Unilateral atau Deklarasi Sepihak
c) Persetujuan Diam-Diam.
2) Perjanjian internasional tertulis
Perjanjian internasional tertulis adalah bentuk yang sering digunakan dalam hukum internasional maupun dalam hubungan- hubungan internasional. Perjanjian internasional dalam bentuk tertulis mempunyai kepastian hukum bagi para pihak. Adapun beberapa macam bentuk perjanjian internasional dalam bentuk tertulis antara lain adalah:
a) Perjanjian internasional yang berbentuk perjanjian antar negara.
Perjanjian ini biasanya merupakan perjanjian yang dilihat dari segi isinya tergolong sangat penting, baik bagi para pihaknya ataupun sebagai kaidah hukum yang berlaku umum. Untuk dapat mengetahui apakah perjanjian itu merupakan perjanjian antar negara, dapat dilihat dari kata-kata pembukaannya yang digunakannya, yaitu “ the States Parties”.
b) Perjanjian internasional yang berbentuk perjanjian antar kepala negara
Seperti halnya perjanjian yang berbentuk antar negara, perjanjian ini pun juga mengenai masalah yang tergolong penting. Perjanjian ini ditandatangani oleh kepala negara masing-masing pihak. Dalam kata pembukanya, perjanjian ini menggunakan kata- kata: “The High Contracting Perties……”.
c) Perjanjian internasional yang berbentuk antar pemerintah Dalam perjanjian ini, wakil-wakil para pihaknya adalah
menteri-menteri dalam bidangnya masing-masing sebagai wakil dari pemerintahannya. Pada umumnya perjanjian ini berisi hal-hal yang lebih bersifat teknis, dan merupakan perjanjian yang sifatnya tertutup. Perjanjian ini menggunakan kata-kata pembuka sebagai berikut: “The Government of…….And The Government of……”.
d) Perjanjian internasional dalam bentuk antar kepala negara dan kepala pemerintah
Perjanjian ini merupakan perjanjian internasional yang ditandatangani oleh kepala negara dan kepala pemerintahan. Dalam kata pembukanya, perjanjian ini menggunakan kata-kata: “The High Contracting Perties……” (I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:37-39).
f Macam-macam perjanjian internasional
Macam-macam perjanjian internasional antara lain (I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:39-50).
1) Perjanjian internasional yang ditinjau dari segi jumlah negara-negara pesertanya
Ditinjau dari segi jumlah negara-negara pesertanya, perjanjian internasional dibedakan menjadi dua , yaitu:
a) Perjanjian Internasional bilateral, yaitu suatu perjanjian Internasional yang pihak-pihak atau negara peserta yang terikat dalam perjanjian tersebut hanya dua pihak saja atau 2 negara saja
b) Perjanjian internasional multilateral, yaitu suatu perjanjian Internasional yang pihak-pihak atau negara peserta yang terikat dalam perjanjian tersebut lebih dari dua pihak.
2) Perjanjian internasional ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan kepada negara-negara untuk menjadi pihak atau peserta
Ditinjau dari segi kesempatan yang diberikan negara untuk menjadi pihak atau peserta didalamnya, dibedakan antara:
a) Perjanjian internasional khusus atau tertutup, yaitu perjanjian internasional yang substansinya merupakan kaidah hukum yang khusus, dan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Perjanjian ini juga tidak memberi kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut atau menjadi pihak dalam perjanjian ini.
b) Perjanjian internasional terbuka, yaitu perjanjian yang terbuka bagi negara-negara yang semula tidak ikut dalam perundingan yang melahirkan perjanjian tersebut.
3) Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya Keterbukaan dan ketertutupan suatu perjanjian internasional,
berhubungan erat dengan kaidah hukum yang dilahirkan dari perjanjian tersebut. Atas dasar itulah suatu perjanjian dapat dibedakan antara:
a Perjanjian yang melahirkan kaidah hukum yang khusus berlaku bagi para pihak yang terikat.
b Perjanjian yang melahirkan kaidah hukum yang berlaku dalam suatu kawasan tertentu.
c Perjanjian yang melahirkan suatu kaidah yang berlaku umum.
4) Perjanjian internasional ditinjau dari segi bahasanya
Apabila ditinjau dari segi bahasa yang digunakan untuk merumuskan perjanjian internasional, maka dapat dibedakan tiga macam perjanjian internasional, yaitu:
a) Perjanjian internasional yang dirumuskan dalam satu bahasa.
b) Perjanjian internasional yang dirumuskan dalam dua bahasa atau lebih tetapi hanya yang dirumuskan dalam satu bahasa tertentu saja yang sah dan mengikat para pihak.
c) Perjanjian internasional yang dirumuskan dalam lebih dari dua bahasa atau lebih dan semuanya merupakan naskah yang sah, otentik, dan mempunyai kekuatan yang mengikat para pihak.
5) Perjanjian internasional ditinjau dari segi substansi hukum ynag dikandungnya.
Dapat dikemukakan, bahwa suatu perjanjian internasional terbuka umum, merupakan perumusan dari pelbagai kaidah hukum internasional. Secara garis besar, ada 3 macam perjanjian internasional yang jika ditinjau dari segi kaidah hukum yang dirumuskan didalamnya, yaitu:
a) Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dalam bidang yang bersangkutan.
b) Perjanjian internasional yang seluruh pasalnya merupakan perumusan dari kaidah-kaidah hukum internasional yang sama sekali baru.
c) Perjanjian internasional yang substansinya merupakan perpaduan antara kaidah-kaidah hukum kebiasaan internasional dan kaidah- kaidah hukum internasional yang sama sekali baru.
6) Perjanjian internasional ditinjau dari pemrakarsanya
Lahirnya suatu perjanjian internasional didorong oleh adanya kebutuhan untuk mengatur suatu obyek yang dihadapi secara bersama- sama oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Dengan demikian pasti ada pihak yang pertama kali mengambil inisiatif atas pembentukan suatu perjanjian internasional yang bersangkutan. Atas dasar hal tersebut maka perjanjian internasional dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
a) Perjanjian internasional yang kelahirannya atau pembentukannya diprakarsai oleh negara atau negara-negara.
b) Perjanjian internasional yang kelahirannya atau pembentukannya diprakarsai oleh organisasi internasional.
7) Perjanjian internasional yang ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya Ditinjau dari segi ruang lingkup berlakunya, perjanjian
internasional dibedakan menjadi:
a) Perjanjian internasional yang berlaku khusus, yaitu hanya berlaku bagi negara-negara yang terikat didalamnya tanpa memandang letak geografis dari negara masing-masing.
b) Perjanjian internasional regional atau kawasan, yaitu ruang lingkup berlakunya terbatas pada suatu kawasan tertentu saja.
c) Perjanjian internasional umum atau universal, yaitu yang substansi dan ruang lingkupnya berlakunya dseluruh dunia.
g. Unsur-unsur formal perjanjian internasional.
1. Mukadimah
a) Biasanya dimulai dengan menyebut negara-negara peserta.
b) Penjelasan tentang semangat perjanjian.
c) Pernyataan umum tentang program politik negara-negara peserta.
d) Merupakan dasar moral dan politik dari batang tubuh.
e) Tidak mempunyai kekuatan mengikat.
2. Batang tubuh
Merupakan isi dari perjanjian itu sendiri.
3. Klausula-klausula penutup
a) Bagian dari batang tubuh.
b) Bukan lagi mengenai isi pokok.
c) Tentang mekanisme pengaturan tentang mulai berlakunya syarat- syarat berlaku, lama berlaku, amandemen, revisi, aksesi dan lain- lain.
4. Ketentuan Tambahan (Annex)
a) Ketentuan teknik atau tambahan tentang mengenai satu pasal atau keseluruhan perjanjian dan terpisah dari perjanjian
b) Satu kesatuan dan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan pasal-pasal perjanjian.
h. Proses perumusan dan mulai berlakunya perjanjian internasional
1) Dari pendekatan informal menuju langkah formal
Pihak-pihak yang akan membuat atau merumuskan suatu perjanjian internasional terlebih dahulu melakukan pendekatan- pendekatan, baik secara informal maupun secara formal dalam rangka mencapai suatu kesepakatan untuk membuat suatu perjanjian mengenai suatu masalah tertentu.
Kesepakatan-kesepakatan hasil pendekatan informal akan dilanjutkan menjadi kesepakatan-kesepakatan untuk mengadakan suatu perjanjian internasional yang mengatur tentang pokok masalah yang akan dibicarakan.
Apabila semua sudah dipandang memadai, dapat dilanjutkan dengan langkah-langkah formal dalam merumuskan suatu perjanjian internasional sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.
2) Penunjukan wakil-wakil yang akan mengadakan perundingan
Untuk mengadakan perundingan dalam rangka merumuskan suatu perjanjian internasional, maka para pihak terlebih dahulu menunjuk wakil-wakil yang akan mengadakan perundingan tersebut, yang merupakan suatu delegasi dari masing-masing pihak.
Penunjukan wakil-wakil ini sepenuhnya merupakan masalah dalam negeri dari masing-masing negara, yang diatur dalam hukum
nasionalnya. Pada umumnya orang yang ditunjuk sebagai wakil- wakilnya adalah warga negaranya sendiri, sedangkan orang asing dapat ditunjuk hanya sebatas sebagai penasehat delegasi atau sebagai konsultan ahli ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:94).
3) Kuasa penuh (Full Power)
Wakil-wakil yang telah ditunjuk oleh pemerintah negaranya masing-masing, akan dilengkapi dengan kuasa penuh atau full power yang berfungsi sebagai bukti, bahwa orang atau individu tersebut secara sah mewakili negaranya dalam perundingan untuk merumuskan naskah perjanjian ataupun melakukan tindakan-tindakan lain yang dipandang perlu dalam kaitannya dengan perjanjian tersebut. Disamping itu, kuasa penuh juga berfungsi untuk menunjukan ruang lingkup tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh pemerintah negaranya sendiri ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:95).
Full powers menurut Xxxxxxxx Wina adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk mewakili negaranya dalam berunding, menerima atau membuktikan keaslian naskah suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan suatu perjanjian. Perlu dicatat bawha full powers bukan satu-satunya dokumen yang dimiliki oleh suatu delegasi ke suatu konferensi bilateral
maupun multilateral. Suatu delegasi yang menghadiri suatu konferensi internasional dalam kerangka organisasi internasional biasanya dilengkapi dengan credentilas atau surat kepercayaan (Boer Mauna, 2000:100-101)
Full powers diatur dalam pasal 7 dan 8 Konvensi Wina 1969. Pasal 7 ayat 1 berkenaan dengan kewajiban menyerahkan kuasa penuh dari wakil negara dan ayat 2 berkenaan dengan pejabat-pejabat negara yang tidak membutuhkan kuasa penuh.
Pejabat-pejabat yang dimaksud dalam pasal 7 ayat 2 tersebut adalah Kepala Negara, Kepala Pemerintah, Menteri Luar Negeri, Kepala Missi Diplomatik, dan Kepala Perwakilan yang diakreditasi oleh suatu negara pada suatu Konferensi internasional atau suatu organisasi internasional atau salah satu dari organnya. Mereka tidak membutuhkan full powers karena tugas dan fungsinya dengan sendirinya dipandang sebagai wakil dari negaranya.
Selanjutnya dalam pasal 8 ditegaskan kemungkinan adanya orang yang tidak menunjukan kuasa penuh dari organ pemerintah negaranya yang berwenang tetapi bertindak mengadakan perundingan untuk merumuskan maupun mengadopsi suatu perjanjian internasional.
Tindakan yang demikian ini dipandang tidak menimbulkan akibat
hukum apapun, kecuali kemudian tindakannya itu dibenarkan oleh pemerintah negaranya. ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:105).
4) Penerimaan naskah perjanjian (Adoption of the text)
Tahap penerimaan naskah perjanjian ini menunjukan para pihak yang melakukan perundingan telah berhasil mencapai kesepakatan atas naskah perjanjian, meskipun kesepakatan itu belum merupakan kesepakatan final atau belum merupakan naskah yang definitif.
Berdasarkan pasal 9 ayat 2 Konvensi Wina 1969, penerimaan suatu naskah perjanjian internasional dilakukan berdasarkan persetujuan dari semua negara yang ikut berpartisipasi dalam merumusan naskah perjanjian itu, kecuali penerimaan naskah yang lahir melalaui Konferensi internasional seperti ditentukan dalam pasal 8 ayat 2.
Dalam pasal 8 ayat 2 tersebut, penerimaan naskah yang dirumuskan melalui suatu konferensi internasional dilakukan dengan persetujuan dari 2/3 (dua per tiga) dari negara-negara yang hadir dan memberikan suaranya, kecuali dengan suatu suara mayoritas yang sama negara-negara itu menerapkan peraturan yang berbeda. Hal ini merupakan cerminan dari asas demokrasi ( I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:106-107).
5) Kesaksian naskah perjanjian (Authentication of the text)
Kesaksian adalah suatu perbuatan dalam proses pembuatan perjanjian yang mengakhiri secara pasti naskah yang telah dibuat. Bila naskah sudah disahkan maka naskah itu tidak boleh diubah lagi.
Menurut pasal 10 Konvensi Wina 1969, pengesahan naskah suatu perjanjian dilakukan menurut prosedur yang terdapat dalam naskah perjanjian itu sendiri atau sesuai kesepakatan para pihak. Kalau tidak ditentukan sebelum pengesahan tersebut maka dapat dilakukan dengan pembubuhkan tanda tangan atau paraf dibawah naskah perjanjian atau tanda tangan dalam suatu final act. Kesaksian naskah perjanjian merupakan suatu tindakan formal yang menyatakan bahwa naskah perjanjian tersebut telah diterima oleh konferensi (Boer Mauna, 2000: 108).
6) Persetujuan terikat pada perjanjian
Setelah naskah perjanjian secara resmi diterima sebagai naskah yang otentik, perjanjian itu belum mengikat para pihak sebagai hukum internasional positif, kecuali jika saat kesaksian naskah sekaligus juga sebagai pernyataan persetujuan untuk terikat pada perjanjian.
Oleh karena itu, satu tahap yang harus dilalui oleh suatu negara adalah pernyataan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian.
Dalam pasal 11 Konvensi Wina 1969 ditegaskan beberapa cara untuk
menyatakan persetujuan untuk terikat pada suatu perjanjian, yaitu: (I Xxxxx Xxxxxxxxx, 2002:110).
a) Penandatanganan (signature)
b) Pertukaran Instrumen yang membentuk perjanjian (exchange of instrument constituting a treaty)
c) Ratifikasi (ratification)
d) Akseptasi (acceptance)
e) Persetujuan atau Aksesi (approval or accession)
f) Cara lain yang disepakati (or by any other means if so agreed).
7) berlakunya perjanjian internasional
Mulai berlakunya suatu perjanjian Mulai internasional pada umumnya ditentukan oleh klausula penutup dari perjanjian itu sendiri. Berikut ini adalah cara-cara dan klausula-klausula bagaimana suatu perjanjian internasional mulai berlaku dalam suatu perjanjian-perjanjian tertentu (Boer Mauna, 2000: 125-132).
a) Xxxxx berlakunya perjanjian internasional segera sesudah tanggal penandatangan
Bagi perjanjian-perjanjian bilateral tertentu yang materinya tidak begitu penting dan biasanya merupakan suatu perjanjian pelaksanaan, maka perjanjian ini mulai berlaku sejak penandatanganan. Jadi pada prinsipnya dapat dinyatakan berlaku setelah adanya penandatanganan.
Berdasarkan prakteknya, perjanjian yang memakai klasula ini dibuat dalam bentuk arrangement, exchange of notes, MoU dan lain-lain. Pada umumnya kata segera setelah penandatangann tersebut adalah tanggal penandatanganan, dan rumusan klausulanya berbunyi sebagai berikut: “Perjanjian ini berlaku sejak mulai ditandatangani”
b) Notifikasi telah dipenuhinya persyaratan konstitusional Suatu perjanjian bilateral yang tidak berlaku setelah
penandatanganan haruslah disahkan dahulu sesuai dengan prosedur konstitusional yang berlaku di negara masing-masing pihak. Untuk dapat berlakunya perjanjian tersebut secara efektif maka setelah pengesahan, hal tersebut harus diberitahukan pada pihak-pihak lainnya dan demikian pula sebaliknya.
Tanggal mulai berlakunya secara efektif perjanjian tersebut umumnya adalah tanggal notifikasi terakhir dari kedua notifikasi dari para pihak dari perjanjian tersebut. Dalam prakteknya penggunaan klausula ini mengalami berbagai variasi rumusan, akan tetapi titik tolaknya tetap pada tanggal notifikasi terakhir.
c) Pertukaran piagam pengesahan
Suatu perjanjian baik bilateral maupun multilateral dapat mensyaratkan para pihak pada perjanjian tersebut untuk membuat piagam pengesahan. Piagam pengesahan ini dibuat oleh masing- masing negara pihak setelah mereka mengesahkan perjanjian tersebut sesuai dengan prosedur dan konstitusional yang berlaku di negara masing-masing.
Bagi perjanjian-perjanjian bilateral, kedua piagam pengesahan tersebut haruslah dipertukarkan untuk dapat berlakunya perjanjian. Dalam pertukaran tersebut diadakan upacara pertukaran piagam pengesahan dengan pembuatan suatu proses-verbal. Piagam pengesahan ini biasanya menyebutkan bahwa perjanjian ini akan berlaku pada tanggal pertukaran piagam pengesahan.
d) Penyimpanan piagam pengesahan
Bagi perjanjian multilateral yang memerlukan piagam pengesahan mengingat banyaknya pihak-pihak dalam perjanjian pada perjanjian tersebut maka piagam pengesahannya tidaklah dipertukarkan seperti pada perjanjian bilateral. Dalam hal ini, piagam pengesahan haruslah disimpan atau didepositkan disuatu tempat atau negara tertentu.
Perjanjian multilateral sebagaimana disebutkan diatas, biasanya mulai berlaku setelah didepositkannya jumlah tertentu piagam pengesahan dari negara-negara penandatanganan. Jadi setelah jumlahnya terpenuhi maka perjanjian tersebut akan secara efektif mulai berlaku.
e) Aksesi
Bagi perjanjian-perjanjian yang bersifat terbuka maka negara
yang tidak ikut menandatangani suatu perjanjian dapat menjadi pihak pada perjanjian tersebut dikemudian hari.
Persetujuan suatu negara untuk diikat dalam suatu perjanjian dinyatakan dalam aksesi bilamana:
(1) Dalam perjanjian ditentukan bahwa itu dapat dinyatakan oleh negara tersebut dengan aksesi; atau
(2) Sebaliknya ditentukan bahwa negar-negara yang berunding sepakat bahwa persetujuan itu dapat dinyatakan oleh negara tersebut dengan cara aksesi
(3) Semua pihak kemudian sepakat bahwa persetujuan itu dapat dinyatakan oleh negara tersebut dengan cara aksesi.
i. Pembatalan dan berakhirnya suatu perjanjian internasional
1) Pembatalan Perjanjian
Konvensi Wina 1969 menetapkan, alasan-alasan yang dapat diajukan suatu negara untuk membatalkan suatu perjanjian yang telah disepakati itu. Alasan-alasan itu antara lain:
a) Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum nasional salah satu peserta tersebut yang bertalian dengan kewenangan atau kompetisi kuasa penuh negara yang bersangkutan (Pasal 46 dan 47 ).
b) Adanya unsur kesalahan berkenaan dengan suatu fakta atau keadaan pada waktu perjanjian dibuat ( Pasal 48 ).
c) Adanya unsur penipuan oleh suatu negara peserta terhadap negara peserta lainya pada waktu embentukan perjanjian ( Pasal 49 ).
d) Adanya kelicikan atau akal bulus, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap mereka yang menjadi kuasa penuh atau negara peserta tertentu ( Pasal 50 ).
e) Adanya unsur paksaan dalam arti penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan kepada seorang kuasa penuh atau negara peserta tertentu ( Pasal 51 dan 52) .
f) Pada waktu pembuatan perjanjian tersebut ada ketentuan yang bertentangan dengan suatu kaedah dasar ( Pasal 53 ).
Disini dapat disimpulkan, bahwa pembatalan suatu perjanjian internasional berkaitan erat dengan keabsahan perjanjian internasional tersebut. Adanya faktor- faktor yang mencemari unsur kewajaran pada saat pembentukan perjanjian internasional itu, akan menyebabkan dibatalkannya perjanjian karena dianggap tidak sah ( Invalid ).
2) Berakhirnya suatu Perjanjian
Berakhirnya suatu perjanjian internasional menurut Konvensi Wina 1969 terdapat dalam Pasal 54, 56, 60, 61, 62, 64, dan 73, yaitu antar lain:
a) Berakhir atas persetujuan pihak-pihak perxxxxxxx (Pasal 54 ).
b) Berakhir berdasar kententuan dari perjanjian internasional bersangkutan ( Pasal 56 ).
c) Berakhir karena permusuhan ( Pasal 73 ).
d) Berakhir karena suksesi ( Pasal 73 ).
e) Berakhir karena pelanggaran besar ( Pasal 60 ).
f) Perjanjian internasional tidak mungkin dilaksanakan ( Pasal 61).
g) Perubahan keadaan Doktrin Rebuc Sic Stantibus ( Pasal 62).
h) Norma-norma baru.
3. Tinjauan Umum Tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pembuatan Perjanjian Internasional
a Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Hubungan Luar Negeri Kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembuatan perjanjian
internasional dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Hubungan Luar Negeri, di dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hubungan luar negeri merupakan setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. Hal ini berarti
bahwa Pemerintah Daerah juga dapat mengadakan hubungan dengan luar negeri. Pemerintah Daerah yang akan mengadakan hubungan dengan luar negeri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut seperti disebutkan dalam Keputusan Mentri Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesian Nomor SK.09/A/KP/XII/2006/01 :
1) Dengan negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan dalam rangka Kesatuan Negara Repulik Indonesia.
2) Sesuai dengan bidang kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional Republik Indonesia.
3) Mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
4) Tidak menganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
5) Tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri masing- masing negeri.
6) Berdasarkan asas persamaan hak dan tidak saling memaksakan kehendak.
7) Memperhatikan prinsip persamaan kedudukan, pemberian manfaat dan saling menguntungkan bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat.
8) Mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan nasional dan daerah serta pemberdayaan masyarakat.
Di dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Hubungan Luar Negeri menyebutkan bahwa Presiden dapat menunjuk pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain untuk menyelenggarakan hubungan luar negeri di bidang
tertentu dan ayat 2 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, pejabat negara selain Menteri Luar Negeri, pejabat pemerintah, atau orang lain sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri.
Di dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Hubungan Luar Negeri juga disebutkan bahwa Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, yang mempunyai rencana membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut kepada menteri.
Sedangkan dalam Pasal 14 disebutkan bahwa Pejabat lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, yang akan menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antar Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, harus mendapat surat kuasa dari Menteri.
b Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Hubungan luar negeri biasanya terdapat kesepakatan yang diwujudkan dalam bentuk perjanjian internasional. Termasuk dalam bentuk perjanjian internasional Kota Bersaudara, hal ini berarti bahwa dalam mengadakan hubungan luar negeri tersebut pemerintah daerah dapat membuat perjanjian
internasional. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal tersebut menyebutkan “ Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi rencana tersebut dengan Menteri. Menteri yang dimaksud disini adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang hubungan luar negeri dan politik luar negeri yang dengan kata lain adalah Mentri Luar Negeri ( Pasal 1 ayat 9 ). Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional juga menjadi dasar acuan untuk menciptakan one door policy dalam mekanisme pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, termasuk pula dalam pembuatan perjanjian sister city. Yang dimaksud one door policy disini adalah adanya peranan Departemen Luar Negeri dalam memberikan pandangan politis dan yurisdis mengenai rencana pembuatan perjanjian internasional.
c Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Tidak hanya dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional saja yang memuat ketentuan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam mengadakan hubungan luar negeri dan perjanjian internasional tetapi dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah juga menyebutkan mengenai hal tersebut. Mengenai kewenangan ini dituangkan dalam Pasal 42 ayat 1 sub f, dalam Pasal tersebut disebutkan bahwa DPRD memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah dan Pasal 42 ayat 1 sub g menyebutkan bahwa DPRD memberikan persetujuan tentang kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah.
Dalam rangka otonomi daerah, pemerintah daerah dimungkinkan membuat kerjasama internasional dan perjanjian internasional yang menyangkut kepentingannya. Pengertian otonomi daerah menurut Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri bardasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi dari Pemerintah kepada daerah otonom pada dasarnya terdapat dua pola yang lazim diterapkan secara universal yaitu:
a. Pola otonomi terbatas yakni kewenangan daerah hanya terbatas pada urusan-urusan pemerintahan yang diterapkan secara limitatif oleh peraturan perundang-undangan yang ada.
b. Pola otonomi luas ( General competence ) yakni daerah yang diberikan kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang terkait dengan kepentingan masyarakat daerah tersebut kecuali urusan pemerintahan yang diterapkan menjadi kewenangan pemerintah. Pengecualian yang lazim diberlakukan adalah urusan-urusan pemerintahan yang memiliki dampak nasional maupun internasional seperti politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal nasional, yustisi, dan agama ( Xxx Xxxxxxx Xxxx. 2007 Xxxxxxx dan Pemerintahan Aceh http:// xxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx,/ 2007 /01 /otonomi-aceh.html.)
Dalam penjelasan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan prinsip-prinsip otonomi daerah yaitu:
a. Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-undang daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan, peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
b. Prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteaan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 jo UU No. 32 Tahun 2004 yang menjadi prinsip-prinsip Penyelenggaraan otonomi daerah yaitu:
a. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan pemerataan serta potensi keanekaragaman daerah.
b. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
c. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d. Pelaksanan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara daerah serta antar daerah.
e. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
x. Xxxxxxxx pula kawasan-kawasan khusus yang dikembangkan oleh pemerintah, atau pihak lain seperti kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan
pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan peraturan pemerintah daerah otonom.
g. Pelaksanan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawas, fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah.
h. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil daerah.
i. Pelaksanaan atas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah pada daerah tapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta SDM dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang melaporkan.
a. Pemerintahan daerah mempunyai kewenangan/urusan yang seluas- luasnya untuk menyelenggarakan, atas prakarsa sendiri, seluruh urusan pemerintahan yang tidak berdampak terhadap daerah lain;
b. Untuk kewenangan/urusan yang diberikan kepada daerah yang berdampak pada daerah lain, pemerintah dapat membatasi atau mengatur kewenangan/urusan tersebut atas kepentingan negara, dengan cara dan
ruang lingkup yang tertuang dalam kerangka peraturan perundang- undangan negara;
c. Kekuasaan negara untuk intervensi terhadap kewenangan/urusan daerah otonom melalui peraturan perundang-undangan negara pada gilirannya dibatasi oleh prinsip-prinsip otonomi daerah yang tertuang dari konstitusi/undang-undang.
Karena urusan pemerintahan dalam suatu bidang pemerintahan tertentu pada umumnya saling terkait secara erat, maka pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus bekerjasama dalam melaksanakan urusan pemerintahan tersebut yang menjadi tanggung jawabnya.
4. Tinjauan Umum tentang Perjanjian Kota Bersaudara (Sister City)
Salah satu bentuk dari perjanjian yang dilakukan antara pemerintah kota adalah adanya perjanjian sister city atau kota kembar. Kota kembar atau kota bersaudara adalah konsep penggandengan dua kota yang berbeda lokasi dan administrasi politik dengan tujuan menjalin hubungan budaya dan kontak sosial antarpenduduk. Kota kembar umumnya memiliki persamaan keadaan demografi dan masalah-masalah yang dihadapi. Konsep kota kembar bisa diumpamakan sebagai sahabat pena antara dua kota. Hubungan kota kembar sangat bermanfaat bagi program pertukaran pelajar dan kerjasama di bidang budaya dan perdagangan (kota_kembar, xxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx).
Fenomena hubungan internasional antar kota (sister city) telah berkembang pesat di manca negara, demikian juga di Indonesia. Hingga saat ini sebanyak 47 pemerintah kota dan 16 pemerintah propinsi di Indonesia telah melaksanakan hubungan kemitraan ini. Berbagai kebijakan serta anjuran telah
dikeluarkan oleh Pemerintah agar Pemerintah Kota/Daerah dapat memanfaatkan hubungan ini untuk memacu pertumbuhan kota/daerah. Namun di sisi lain, hubungan kemitraan kota belum dikenal dan dipahami secara luas, bahkan hanya terbatas pada sebagian jajaran pemerintahan, khususnya Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Kota/Daerah, padahal hubungan kemitraan kota idealnya dilaksanakan secara sinergi antar inslansi pemerintah dan antara pemerintah dan masyarakat (kota_kembar, xxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx).
Pada dasarnya tujuan utama kerjasama antara kota dari negara yang berbeda adalah menjembatani hubungan antara masyarakat kota disatu negara dengan masyarakat kota di negara lain sebagai people to people diplomacy.
Selain itu kerjasama ini juga dapat dijadikan trobosan dalam mencari pasar dan promosi investasi disamping untuk mengoptimalkan potensi yang ada.
Kerjasama sister city atau kota kembar disini berarti hubungan kemitraan antar suatu kota disuatu negara dengan kota dinegara lainya (Mimbar Hukum, Xxxxxxxxx xxxxxxxxxx,91).
Di Eropa sendiri program kerjasama ini disebut dengan Twin Towns, Frienship Towns, di Jerman disebut Partner Towns (Parterstadte), di Amerika Utara dan Australia dan Asia disebut Sister cities dan dinegara-negara bekas Soviet disebut Brother cities (kota_kembar, xxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx).
Program kerjasama internasional sister city ini dimaksudkan untuk membangun kerjasama menyeluruh pada tingkat kota, memajukan kebudayaan,
serta mendorong perkembangan ekonomi. Dan yang menjadi tujuannya yaitu (xxx.xxxxxx-xxxxxx.xxx.xx/Xxxxxxxx/xxxx/xxxxx.xxxxx.):
a. Memperkuat kerjasama antar kota-kota yang ada didunia.
b. Menyediakan kesempatan bagi para pejabat kota dan penduduk untuk merasakan dan menjelajahi kebudayaan lain dalam kerjasama masyarakat jangka panjang.
c. Menciptakan keadaan yang membuat perkembangan ekonomi dan masyarakat dapat diimplementasikan dan diperkuat.
d. Merangsang lingkungan yang masyarakatnya berusaha belajar, bekerja dan menyelesaikan masalah-masalah bersama secara kreatif dalam timbal balik budaya, pendidikan, perkotaan, bisnis, profesi, dan pertukaran secara teknik dan proyek-proyek.
e. Mengkolaborasikan organisasi-organisasi di dunua dan yang berbagi tujuan serupa.
Kerjasama sister city ini dikonsep secara unik dan memiliki dua jalan yaitu memberi dan menerima segala hal yang didapat dari kedua belah pihak. Program ini mengarah pada hubungan yang terencana dan berkelanjutan antara kota-kota yang melakukan program ini. Kerjasama ini memacu interaksi diantara orang-orang di kota yang berbeda negara dan budaya.
Di Indonesia kerjasama sister city ini juga dapat dijadikan terobosan dalam mencari pasar, promosi investasi, juga sebagai sarana untuk mengoptimalkan potensi yang ada.
Pemerintah Propinsi
1. UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri
2. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
3. UU NO.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
4. Keputusan Menteri Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor: SK.09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah
5. Surat Edaran Menteri Luar Negeri Nomor: 193/1652/PUOD tentang Perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (sister-city) dan Antar Propinsi (sister-province) Dalam dan Luar Negeri
Pemerintah Pusat
Kewenangan Hubungan Luar Negeri
B. Kerangka Pemikiran
Perjanjian Sister City
Pemerintah Kota
Surakarta
Pemerintah Kota Montana
Aspek-aspek Perjanjian Internasional | ||
Konvensi Wina 1969 | ||
Pemberian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam hal otonomi daerah yaitu pemberian hak, kewenangan, dan kewajiban pemerintah daerah untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat daerahnya sendiri harus sesuai dengan undang-undang. Yang dimaksud dengan pemerintah daerah adalah pemerintah daerah propinsi dan pemerintah daerah kabupaten atau kota, khususnya kota Surakarta. Pemberian otonomi daerah ini berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Salah satu contoh kewenangan pemerintah daerah dalam hal ini adalah dapat mengadakan suatu kerjasama internasional. Kewenangan Pemerintah Daerah dalam melakukan kerjasama internasional dalam hal pembuatan perjanjian internasional diatur dalam UU No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Keputusan Menteri Luar Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor: SK.09/A/KP/XII/2006/01 tentang Panduan Umum Tata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah, Surat Edaran Menteri Luar Negeri Nomor: 193/1652/PUOD tentang Perihal Tata Cara
Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (sister-city) dan Antar Propinsi
(sister-province) Dalam dan Luar Negeri.
Kerjasama internasional yang akan kita bahas disini adalah dalam bentuk perjanjian internasional khususnya perjanjian kota kembar ( sister city) antara kota Surakarta dengan Kota Montana, Bulgaria. Dalam penelitian ini penulis akan membatasi kajiannya hanya memgenai aspek-aspek perjanjian internasional dalam perjanjian Kota kembar (Sister city) antara Pemerintah kota Surakarta dengan Pemerintah kota Montana , Bulgaria. Dimana aspek-aspek tersebut ditinjau dari konvensi Wina 1969.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
X. Xxxxx Penelitian
Perjanjian Kota Bersaudara ( Sister-City) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana
a. Gambaran Umum Lokasi Kota Surakarta dan Kota Montana 1). Gambaran Umum Lokasi Kota Surakarta
S
ecara geografis Kota Surakarta terletak di dataran rendah dengan ketinggian kurang lebih 92 meter diatas permukaan air laut, yang berarti lebih rendah atau hampir sama tingginya dengan permukaan sungai Bengawan Solo. Kota Surakarta terletak antara 110 derajat 45’ 15” dan 110 derajat 45’ 35” Bujur Timur dan antara 7 derajat 36” dan
7 derajat 56’ Lintang Selatan. Kota Surakarta berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur, Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan, dan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar disebelah barat. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai 44,06 km2 yang terbagi dalam 5 kecamatan, yaitu: Kecamatan Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari. Sebagian besar lahan dipakai sebagai pemukiman sebesar 61,47 %, untuk kegiatan ekonomi memakan tempat berkisar antar 20% dari luas lahan yang ada. Sektor industri di Kota Surakarta meliputi industri logam, mesin, dan kimia. Produk unggulan Kota Surakarta meliputi
mebel, tekstil dan garmen, makanan dan minuman, material, jamu tradisional, kemasan dan aksesoris.
Wilayah administrasi Kota Surakarta terbagi dalam 5 kecamatan dan 51 kelurahan. Jumlah RW tercatat sebanyak 592 dan jumlah RT sebanyak 2.664. dengan jumlah KK sebesar 127.742 KK, maka rata-rata jumlah KK setiap RT sekitar 48 KK. Berdasarkan hasil survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2005, jumlah penduduk kota Surakarta mencapai 534.540 jiwa dengan rasio jenis kelamin 88,4 yang artinya bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 88 penduduk laki-laki. Tingkat kepadatan penduduk kota Surakarta mencapai 12.716 jiwa/km2.
D
asar hukum sebutan atau nama Kota Surakarta baru dimulai sejak adanya Undang-undang Nomor. 18 tahun 1965 tanggal 1 September 1965 dan Ketetapan MPRS Nomor. XXI / MPRS/ 1966 dan jika kita lihat sejak lahir mengalami 7 kali periode perubahan sebutan nama tersebut. Yang pada akhirnya masuk pada periode Pemerintah Kota Surakarta dimulai dengan berlakunya Undang-undang Nomor. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah sampai dengan sekarang. Bentuk pemerintaham terdiri dari Lembaga Eksekutif sebagai pelaksana kegiatan pemerintahan dan Lembaga Legislatif atau Dewan sebagai kontrol Lembaga Eksekutif.
2). Gambaran Umum Lokasi Kota Montana
Montana merupakan pusat dari sebuah wilayah administratif yang terletak di utara-barat Bulgaria (113 km dari Sofia) di sepanjang sungai Ogosta. Didirikan di Roma pertama kali sebagai sebuah
benteng pertahanan, kemudian pada 1891 berubah menjadi sebuah kota. Sejak tahun 1991 Montana menjadi kota penting administrasi dan pusat industri di Bulgaria (xxxx://xxxxxxx-xxxx.xxxx/).
Montana mempunyai iklim sedang, dengan 2 musim yaitu musim dingin dan musim panas. Temperatur rata-rata sekitar 2 derajat Celcius pada bulan Januari dan 25 derajat celcius pada bulan Juli. Pada 15-20 tahun terakhir temperatur mencapai 35-40 derajat Celcius pada saat musim panas yang tidak biasa (xxxx://xxxxxxx-xxxx.xxxx/).
Kota Montana di bagi ke dalam 11 distric yaitu: Berkovitza, Boitchinovtzi, Brusartzi, Varshetz, Valtchedrum, Georgy Damyanovo LOM, Montana, Chiprovtzi dan Iakimovo Ekonomi. Kota Montana berbatasan dengan sungai Danube di wilayah utara, dan untuk wilayah barat daya berbatasan dengan Republik Serbia dan Montenegro dan Kecamatan Sofia, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Vratza dan di sebelah barat laut berbatasan dengan Kabupaten Vidin (xxxx://xxxxxxx-xxxx.xxxx/).
Luas wilayah Kota Montana sekitar 3.635 km dengan jumlah penduduk 170.217 jiwa ( menurut data resmi tahun 2004 ) dan rata-rata kepadatan penduduk sekitar 47,7 jiwa/km2. Sektor industri merupakan sektor paling penting di Montana. Sektor industri di Montana adalah metelurgi, produksi logam mesin, produksi makanan dan minuman, perdagangan dan layanan teknis (xxxx://xxxxxxx- xxxx.xxxx/xxxx_xx_xxxxxxx.xxxx).
D
b. Latar Belakang Pembentukan Perjanjian Kota Bersaudara ( Sister-City) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana
Negara Indonesia secara de jure ( legal formal ) merujuk pada idiologi sistem Kesejahteraan Negara ( welfare state ) dimana pembangunan kesejahteraan sosial merupakan wujud dari kewajiban negara dalam menjamin hak-hak dasar warga negara. Negara Indonesia dalam melaksanankan kewajibannya untuk pembangunan kesejahteraan sosial tentunya tidak dapat melaksanakannya sendiri, sehingga perlu adanya pembagian tugas dan wewenang dengan pemerintah di bawahnya yang kemudian diwujudkan dengan sistem otonomi daerah. Dengan adanya otonomi daerah, Pemerintah Daerah harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, seiring dengan pelayanan yang harus disediakan.
Sejalan dengan pelaksanan otonomi daerah, Pemerintah Daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan Pemerintah Daerah dalam rangka peningkatan
kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerahnya, daerah dapat mengadakan hubungan kerjasama dengan pihak luar negeri. Melalui kerjasama ini, diharapkan daerah dapat mengatasi segala kekurangannya baik segi sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Bentuk kerjasama daerah dapat dikembangkan dalam berbagai program dan proyek pembangunan yang lebih efektif dan efisien, disamping itu daerah juga dapat mengatasi kekurangan dari segi pemodalan maupun untuk tranfer teknologi.
Sesuai dengan kebijakan Pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia, pelaksanaan hubungan luar negeri harus mempunyai dampak ekonomis. Dalam arti, bidang-bidang kerjasama haruslah mengandung unsur alih teknologi dan ilmu pengetahuan. Disamping itu, kerjasama luar negeri dapat dilaksanakan apabila negara tersebut mempunyai hubungan diplomatik dan harus memperhitungkan asas manfaat.
Pada dasarnya hubungan kerjasama dengan pihak luar negeri dapat terjadi melalui beberapa tahap, antara lain:
1) Melalui kontak-kontak Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dengan pejabat-pejabat setempat;
2) Melalui kontak-kontak Perwakilan Negara sahabat di Indonesia dengan pejabat-pejabat setempat;
3) Melalui kontak-kontak langsung antara pejabat-pejabat daerah di dalam negeri dengan pejabat-pejabat daerah di luar negeri.
Salah satu bentuk hubungan kerjasama dengan pihak luar negeri yang sering dilakukan oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten atau Kota adalah kerjasama dalam bentuk konsep sister province dan sister city. Dalam konteks kerjasama sister province dan
sister city pada dasarnya ada beberapa kriteria yang menjadi dasar dibentuknya sister province dan sister city. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Luar Negeri Nomor: 193/1652/PUOD/1993 Tertanggal 26 April 1993 Perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Kerjasama Antar Kota (Sister City ) Xxx Xxxxx Propinsi ( Sister Province ) Dalam Dan Luar Negeri, bahwa pembentukan hubungan kerjasama sister province dan sister city harus didasarkan pada beberapa kriteria sebagai berikut:
1) Adanya kesamaan kedudukan dan status administrasi;
2) Adanya kesamaan besaran dan fungsi;
3) Adanya kesamaan karakteristik;
4) Adanya kesamaan permasalahan;
5) Adanya ilmu dan teknologi yang dapat dialihkan;
6) Adanya komplementaritas antara kedua belah pihak dalam bidang ekonomi, sehingga dapat menimbulkan aliran barang antara kedua belah pihak.
Dalam pembentukan sister province dan sister city diperlukan suatu bentuk perjanjian kerjasama yang mana usulan pembentukan hubungan kerjasama sister province dan sister city kemudian disampaikan ke Departemen dalam Negeri untuk mendapatkan persetujuan dari Menteri Luar Negeri, kemudian harus melalui pentahapan sebelum peresmian berupa penandatanganan Naskah Hubungan Kerjasama.
Adapun kebijakan umum mengenai hubungan kerjasama sister province dan sister city, adalah sebagai berikut:
1) Antara kedua Negara dari kedua Propinsi, atau Kota yang akan bekerjasama harus memiliki hubungan diplomatik.
2) Tidak mengganggu stabilitas politik dan keamanan dalam negeri.
3) Tidak membebani keuangan negara.
4) Berdasar atas asas persamaan hak, tidak saling memaksakan kehendak, dan tidak mengarah pada campur tangan urusan dalam negeri masing- masing negara.
5) Saling menguntungkan kedua belah pihak.
6) Sejalan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan program pembangunan nasional.
7) Proses penyusunan kerjasama difasilitasi oleh pemerintah pusat
8) Kerjasama harus seimbang atau sederajad ditinjau dari segi posisi/ status administrasi masing-masing.
9) Pelaksanaan kerjasama dalam bentuk MoU sudah ditanda tangani oleh kedua belah pihak.
Ruang lingkup atau bidang kerjasama sister province dan sister city meliputi spesifik, fokus dan merupakan bidang unggulan atau rencana unggulan masing-masing pihak. Selain itu mencakup juga bidang-bidang yang memiliki manfaat yang tinggi bagi pembangunan daerah masing- masing pihak. Adanya kerjasama sister province dan sister city biasanya diprakarsai oleh calon mitra kerjasama di luar negeri, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kota sendiri.
Dengan adanya kerjasama sister province dan sister city diharapkan dapat mempunyai manfaat bagi kedua belah pihak. Manfaat-manfaat tersebut adalah sebagai berikut :
1) Dapat menjadi sarana tukar-menukar pengetahuan dan pengalaman pengelolaan pembangunan bidang-bidang yang dikerjasamakan;
2) Mendorong tumbuhnya prakarsa dan peran aktif pemerintah daerah, masyarakat dan swasta;
3) Meningkatkan optimalisasi pengelolaan potensi daerah;
4) Mempererat persahabatan pemerintah dan masyarakat kedua pihak;
5) Dapat menjadi sarana tukar-menukar kebudayaan dalam rangka memperkaya kebudayaan daerah.
Pemerintah Kota Surakarta dalam pelaksanaan otonomi daerah telah melakukan hubungan kerjasama dengan Kota Montana Xxxxxxxx Xxxxxxxx. Kerjasama tersebut terbentuk konsep kerjasama Kota Bersaudara yang kemudian dituangkan dalam suatu perjanjian yang berbentuk nota kesepakatan yaitu Memorandum of Understanding ( MoU ).
Latar belakang adanya hubungan kerjasama ini adalah karena perkembangan kota Surakarta pada beberapa waktu terakhir ini menunjukan gambaran yang menggembirakan, secara makro beberapa indikator positif dari perbaikan perekonomian dan industri di kota Surakarta tersebut dapat dilihat dari banyaknya investor yang mulai menanamkan modalnya di kota Surakarta dan kunjungan beberapa Konsulat Jendral perdagangan dari negara asing seperti Australia, Bulgaria, dan Jerman.
Dengan mempertimbangkan bahwa antara kota Surakarta dengan kota Montana memiliki persamaan pada beberapa sektor antara lain adalah memiliki produk-produk unggulan yang sama, tingkat kebudayaan yang sama, sistem otonomi dan pendidikan yang sama, maka telah disepakati untuk menjalin kerjasama dalam bentuk sister city.
Secara teknis pelaksanan kerjasama luar negeri yang sudah berjalan selama ini sebenarnya merupakan inisiatif Pemerintah Kota Surakarta sendiri yang kemudian difasilitasi oleh pemerintah Pusat. Tujuan dilakukannya konsep kerjasama kota bersaudara (sister city) ini adalah untuk meningkatkan dan memperluas kerjasama yang efektif dan saling menguntungkan bagi pemerintah kedua kota tersebut.
Adapun landasan yurisdis kerjasama kota bersaudara yang dilakukan Pemerintah Kota Surakarta adalah :
1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah;
2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri;
3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional;
4) Keputusan Presiden RI Nomor 102 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Depaetemen;
5) SKB Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Luar Negeri Nomor 30 Tahun 1998, Nomor SK.006.A/EK/I/98/01 Tanggal 23 Januari Tentang Promosi Potensi Ekonomi Di Luar Negeri;
6) Permendagri Nomor 275 Tahun 1982 Tentang Pedoman Koordinasi Kerjasama Pembangunan Antar Daerah;
7) Permendagri Nomor 1 Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Hubungan Dan Kerjasama Luar Negeri Dijajaran Depdagri;
8) Permendagri Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Pedoman Perjalanan Dinas Luar Negeri Bagi Pejabat/Pegawai Di Lingkungan Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Daerah Dan Pimpinan Serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
9) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor: 193/1652/PUOD tanggal 26 April 1993 Perihal Tata Cara Pembentukan Hubungan Karjasama Antar Kota ( Sister City ) Dan Antar Propinsi ( Sister Province ) Dalam Dan Luar Negeri.
x. Xxxxxx dan Tahapan Pembuatan Perjanjian Kota Bersaudara ( Sister-City) Antara Pemerintah Kota Surakarta Dan Pemerintah Kota Montana
Paparan mengenai proses dan tahapan pembuatan perjanjian Kota Bersaudara ( Sister-City) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana di bagi dalam 3 proses utama yang di ikuti oleh tahapan- tahapan terentu pada setiap prosesnya. Adapun ketiga proses tersebut adalah sebagai berikut:
1) Proses pra penandatanganan draft MoU
a) Tahapan penjajagan
Dalam tahapan ini dilakukan penjajagan dengan tukar menukar profil daerah antara kedua belah pihak. Pada tahapan ini disarankan untuk memanfaatkan seoptimal mungkin perwakilan negara atau kedutaan masing-masing negara.
b) Penyusunan dan penandatanganan LOI ( letter of intent )
Apabila keinginan untuk bekerjasama mendapat sambutan positif dari masing-masing pihak, maka Pemerintah Daerah mengajukan permohonan fasilitas berupa Rapat Interdep kepada Pusat Administrasi Kerjasama luar Negeri c.q Departeman Dalam Negeri untuk penyusunan LOI. LOI yang tersusun jika tidak ada perubahan, dapat dilakukan penandatanganan oleh kedua belah pihak. Bila ada perubahan, dilaporkan kepada pusat untuk dilakukan perbaikan.
c) Tahap persetujuan DPRD ( Dewan Perwakilan Rakyat Daerah )
LOI yang sudah ditandatangani oleh kedua belah pihak kemudian diteruskan ke DPRD untuk mendapatkan persetujuan DPRD.
d) Penyusunan draft MOU
Setelah mendapatkan persetujuan DPRD, Pemerintah Daerah mengajukan permohonan fasilitas berupa Rapat Interdep kepada Pusat Administrasi Kerjasama luar Negeri c.q Departeman Dalam Negeri untuk penyusunan draft/rancangan Memorandum of Understanding ( MoU ). Draft MoU hasil Rapat Interdep, kemudian disampaikan oleh Departemen Dalam Negeri ke Sekretariat Negara guna mendapatkan persetujuan Pemerintah. Apabila draft MoU tersebut tidak memerlukan perbaikan, maka Sekretariat Negara akan mengeluarkan Surat Persetujuan Pemerintah atas isi rancangan MoU tersebut. Surat Persetujuan Pemerintah ditujukan kepada Sekretariat Jendral Departemen Luar Negeri.
2). Penandatanganan draft MoU
Draft MoU yang sudah mendapatkan persetujuan Sekretariat Negara disampaikan Departemen Dalam Negeri kepada Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi yang bersangkutan. Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi kemudian membahas draft MoU dengan Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi di luar negeri calon mitra kerjasama. Bila draft MoU dapat diterima oleh Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi di luar negeri calon mitra kerjasama, maka kedua belah pihak membubuhkan paraf persetujuan draft MoU tersebut. Namun bila memerlukan perubahan, maka Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi harus menyampaikan perubahan tersebut ke Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Dalam Negeri akan mengirimkan draft MoU yang sudah diperbaiki kepada Sekretariat
Negara untuk meminta surat persetujuan. Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi selanjutnya mengajukan permohonan Surat Kuasa ( Full Power ) kepada Menteri Luar Negeri melalui Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan draft MoU yang telah diparaf masing- masing pihak. Setelah dilakukan pertimbangan, Sekertaris Jendral Departemen Dalam Negeri atas Nama Menteri Luar Negeri untuk penerbitan Surat Kuasa penandatanganan MoU.
Setelah Surat Kuasa terbit Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi selanjutnya dapat melakukan penandatanganan MoU dengan Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi mitra kerjasama di luar negeri. Penandatanganan dapat dilakukan di dalam negeri atau di luar negeri. MoU yang sudah ditandatangani kemudian diserahkan oleh Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi kepada Departemen Dalam Negeri ( asli ) untuk di simpan, dan kapada Departemen Luar Negeri (Copy).
3). Proses pasca penandatanganan draft moU
a) Pelaksanan kerjasama
Sesudah MoU ditandatangani maka dokumen tersebut mengikat kedua belah pihak dan program yang telah disepakati dapat mulai di laksanakan. Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi dapat mengalokasikan dana yang mungkin timbul dalam kerjasama tersebut melalui APBN, APBD dan sumber-sumber lain yang sah. Tahap awal dari pelaksanaan kerjasama dapat di buat beberapa kelompok kerja yang bertugas untuk membahas sektor- sektor prioritas kerjasama.
b) Evaluasi pelaksanan kerjasama
Evaluasi dilakasanakan untuk melihat apakah program kerjasama lancar dan ada manfaatnya atau tidak. Untuk itu Pemerintah Kota atau Pemerintah Propinsi wajib memberikan laporan secara periodik kepada Departemen Dalam Negeri tentang pelaksanan kerjasama tersebut.
Dari hasil evaluasi jika dipandang perlu, Menteri Dalam Negeri dapat mengadakan konsultasi dengan Menteri Luar Negeri untuk melakukan peninjauan kembali kerjasama.
d. Pokok-Pokok Isi Perjanjian Kota Bersaudara ( Sister-City) Antara Pemerintah Kota Surakarta Dan Pemerintah Kota Montana
MoU Kota Bersaudara ( Sister-City) Antara Pemerintah Kota Surakarta Dan Pemerintah Kota Montana terdiri dari 7 pasal dan dibuat pada tanggal 19 Febuari 2007 di kota Surakarta dan ditandatangani oleh Walikota Kota Surakarta dan Wakil Walikota Kota Montana.Adapun pokok-pokok pasal dari isi MoU tersebut adalah sebagai berikut:
1). Tujuan dan lingkup kerjasama
Para pihak akan membentuk kerjasama Kota Bersaudara untuk meningkatkan dan memperluas kerjasama yang efektif dan saling menguntungkan bagi pembangunan kedua kota yang disesuaikan dengan kemampuan dana dan teknis dalam bidang sebagai berikut:
a) Pembangunan ekonomi daerah;
b) Pengelolaan lingkungan dan limbah;
c) Sistem dan infrastruktur transportasi;
d) Pariwisata dan kebudayaan;
e) Pengembangan Sumber Daya Manusia;
f) Dan bidang-bidang lain yang di sepakati bersama oleh para pihak.
2). Pendanaan
Kegiatan-kegiatan yang diatur dalam MoU ini dilaksanakan berdasarkan ketersediaan dana dan sumber daya manusia yang dimiliki oleh para pihak, dan ketersediaan sumber-sumber lain yang disetujui oleh para pihak.
3). Pengaturan teknis
Untuk memfasilitasi pelaksanaan MoU ini para pihak dapat membuat pengaturan-pengaturan, program-program, proyek-proyek atau rencana-rencana kerja dalam kerangka MoU ini, yang mencakup bidang-bidang yang tercantum pada Pasal 1.
4). Kelompok kerjasama
a) Untuk melaksanakan bidang-bidang kegiatan, para pihak sepakat untuk membentuk suatu kelompok kerja bersama. Kelompok kerja bersama akan menyiapkan, merekomendasikan, memantau dan mengevaluasi kegiatan-kegiatan jangka pendek dan menengah.
b) Kelompok kerja bersama akan bertemu setiap tahun, secara bergantian di Surakarta atau Montana. Apabila pertemuan tidak dapat dilaksanakan karena suatu hal, maka dokumen-dokumen
dapat dipertukarkan sebagai pengganti pertemuan tersebut.
5). Penyelesaian perbedaan
Setiap perbedaan yang timbul dari penafsiran atau pelaksanaan MoU ini akan diselesaikan sacara damai melalui konsultasi atau negosiasi antara para pihak.
6). Amandemen
MoU ini dapat diubah atau diperbaiki. Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan perubahan atau perbaikan secara tertulis. Perbaikan atau perubahan yang disepakati oleh para pihak akan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari MoU ini. Perbaikan atau perubahan tersebut akan berlaku pada tanggal yang ditentukan oleh para pihak.
7). Pemberlakuan, pengesahan, dan pengakhiran
a) MoU ini mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan.
b) MoU ini berlaku selama 5 tahun kecuali salah satu pihak berkeinginan untuk mengakhiri MoU ini dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis sekurang-kurangnya 6 bulan sebelumnya.
c) Apabila MoU ini berakhir pengaturan-pengaturan, program- program proyek-proyek atau rencana-rencan kerja tersebut selesai.
B. Pembahasan
Aspek-Aspek Hukum Perjanjian Internasional Dalam Perjanjian Kota Kembar (sister-city) Antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
a. Istilah perjanjian internasional
Praktek pembuatan suatu perjanjian internasional diantara negara- negara selama ini melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala berbeda pemakaianya menurut negara, wilayah, maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasionalnya tersebut umumnya tidak mengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya.
Konvensi Wina tahun 1969 dan Xxxxxxxx Wina Tahun 1986 yang mengatur tentang perjanjian internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement (Boer Mauna, 2000:89).
Dalam kerjasama Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana dituangkan kedalam sebuah perjanjian dalam bentuk Memorandum Saling Pengertian atau Memorandum of Understanding (MoU).
Sacara harafiah MoU dapat dikatakan sebagai Nota Kesepakatan atau Memorandum Saling Pengertian. MoU sacara hukum dapat diartikan sebagai suatu dokumen sah yang menggambarkan suatu persetujuan/ perjanjian antar para pihak dan merupakan suatu alternatif yang lebih formal dibanding suatu kontrak (XxxxxxxxxxxxXxxxxxxxx.xxx. xxx.xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/XXX).
MoU Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana adalah bentuk perjanjian internasional yang memiliki sifat khas atau tipical. Sifat khas dari MoU Kota Bersaudara
(sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana adalah subyek hukum yang membuat perjanjian ini, yaitu Pemerintah Daerah. Digunakannya istilah MoU karena istilah ini yang sering menjadi instrumen yang bersifat teknis yang digunakan dalam hubungan kerjasama antar wilayah dalam kerangka otonomi daerah di Indonesia seperti halnya kerjasama Kota Bersaudara (Sister city ).
b. Unsur-unsur Perjanjian Internasional
Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian internasional apabila memenuhi unsur-unsur atau klasifikasi perjanjian internasional. Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana telah memenuhi unsur- unsur perjanjian internasional, yaitu:
1) Kata sepakat
Kata sepakat adalah merupakan unsur dari salah satu syarat sahnya suatu perjanjian, tanpa adanya kata sepakat antara para pihak maka tidak akan ada perjanjian. Dalam hal pembentukan perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) merupakan sebuah kesepakatan antara Pemerintah Surakarta dan Pemerintah Kota Montana yang diwakili oleh Walikota masing-masing pemerintah kota dalam hal ini Walikota Surakarta dan Walikota Montana. Kata sepakat inilah yang kemudian dirumuskan dalam naskah pasal-pasal perjanjian sebagai pencerminan kata sepakat dari para pihak.
2) Subyek-subyek hukum
Subyek hukum dalam hal ini adalah subyek hukum internasional
yang terikat dalam perjanjian. Dalam perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) ini yang bertindak sebagai subyek hukum adalah Pemerintah Surakarta dan Pemerintah Kota Montana. Namun demikian peranan Walikota dalam perjanjian ini sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kerjasama kota kembar tersebut.
3) Berbentuk tertulis
Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana merupakan bentuk perjanjian tertulis yang dirumuskan dalam bahasa dan tulisan yang dipahami dan disepakati oleh kedua belah pihak. Perjanjian tersebut dirumuskan dalam tiga bahasa yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Bulgaria dan Bahasa Inggris.
4) Obyek tertentu
Obyek dari Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana tersebut adalah mengenai pembangunan kedua kota yang diarahkan dalam enam bidang yaitu:
a) Pembangunan ekonomi daerah;
b) Pengelolaan lingkungan dan limbah;
c) Sistem dan infrastruktur transportasi;
d) Pariwisata dan kebudayaan;
e) Pengembangan Sumber Daya Manusia;
f) Dan bidang-bidang lain yang disepakati barsama oleh para pihak.
5) Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional
Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana pada dasarnya tunduk pada aturan hukum internasional. Dapat dilihat dari keseluruhan dari proses pembentukan yang meliputi perundingan, perumusan naskah perjanjian, pemberlakuan, pelaksanaan dan pengakhiran tunduk pada aturan hukum internasional, yaitu Konvensi Wina 1969.
c. Subyek Perjanjian Internasional
Seperti halnya telah diuraikan diatas, bahwa Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Kota Surakarta dan Pemerintah Kota Montana telah memenuhi unsur-unsur perjanjian internasional khususnya subyek-subyek hukum. Dalam hal ini, subyek hukum internasional yang dapat membuat Perjanjian Kota Bersaudara (sister-city) antara Pemerintah Surakarta dan Pemerintah Kota Montana adalah Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Surakarta dan Pemerintah Kota Montana.
Pemerintah daerah ( kota atau propinsi ) sebagai subyek hukum internasional juga mempunyai hak dan kewajiban yang terbatas. Kewenangan kota atau propinsi untuk dapat melakukan hubungan luar negeri dalam hal ini melakukan perjanjian internasional dengan kota atau propinsi lain timbul karena adanya otonomi daerah. Dalam perundang- undangan di Indonesia yaitu UU No. 32 Tahun 2004 membawa dimensi baru bagi pelaksanaan hubungan luar negeri. Pada dasarnya pelaksanaan politik luar negeri merupakan wewenang pemerintah pusat, namun seiring dengan adanya otonomi daerah, kebijaksanaan hubungan luar negeri dan diplomasi oleh pemerintah pusat antara lain juga diarahkan untuk memberdayakan dan mempromosikan potensi daerah, dalam kerangka