KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN LEGAL CERTAINTY FOR THE FORM OF UNIFYING SALE AND PURCHASE AGREEMENT FLATS
TESIS
KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN
LEGAL CERTAINTY FOR THE FORM OF UNIFYING SALE AND PURCHASE AGREEMENT FLATS
Oleh :
XXXXXX XXXXXXXX, S.H. NIM. 160720201005
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN 2019
TESIS
KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN
LEGAL CERTAINTY FOR THE FORM OF UNIFYING SALE AND PURCHASE AGREEMENT FLATS
Oleh :
XXXXXX XXXXXXXX, S.H. NIM. 160720201005
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN 2019
KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN
LEGAL CERTAINTY FOR THE FORM OF UNIFYING SALE AND PURCHASE AGREEMENT FLATS
TESIS
Untuk memperoleh Gelar Magister dalam Program Kenotariatan Pada Program Pascasarjana Universitas Jember
Oleh :
XXXXXX XXXXXXXX, S.H.
160720201005
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS HUKUM MAGISTER KENOTARIATAN 2019
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL 08-01-2019
Oleh :
Dosen Pembimbing Utama,
Prof. Dr. M. Xxxxxxx, S.H., M.Hum. CN. NIP. 19630308 198802 1001
Dosen Pembimbing Anggota,
Xx. Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. NIP. 19740922199903 1003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Jember
Dr. Moh. Xxx , S.H., M.H. NIP. 197210142005011002
Tesis dengan judul :
KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN
LEGAL CERTAINTY FOR THE FORM OF UNIFYING SALE AND PURCHASE AGREEMENT FLATS
Oleh :
XXXXXX XXXXXXXX, S.H. NIM. 160720201005
Dosen Pembimbing Utama, | Dosen Pembimbing Anggota, |
Prof. Dr. M. Xxxxxxx, S.H., M.Hum. CN | Xx. Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. |
NIP. 19630308 198802 1001 | NIP. 19740922199903 1003 |
Mengesahkan,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Jember
Fakultas Hukum Dekan
Xx. Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H.
NIP. 19740922199903 1003
Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 15
Bulan : Januari
Tahun : 2019
Diterima oleh Panitia Penguji Fakultas Hukum Universitas Jember,
Ketua, | Sekretaris, | |
Xxxx. Xx. Xxxxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. NRP. 780018001 | Dr. Xxxxx, X.X., M.Hum. NIP. 195612061983031003 | |
ANGGOTA PANITIA PENGUJI : | ||
1. | Prof. Dr. M. Xxxxxxx, S.H., M.Hum. CN NIP. 19630308 198802 1001 | (..................................... ) |
2. | Xx. Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. NIP. 19740922 199903 1003 | (..................................... ) |
3. | Xx. Xxxx Xxxxxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. NIP. 19801026 200812 2001 | (..................................... ) |
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Tesis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (Magister Kenotariatan), baik di Universitas Jember maupun di perguruan tinggi lain.
2. Tesis ini merupakan hasil dari gagasan, ide, pemikiran, dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan dari Tim Pembimbing.
3. Dalam Tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan maupun daftar pustaka.
4. Apabila ternyata dalam naskah tesis ini dapat dibuktikan adanya unsur- unsur jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi akademik maupun saksi lainnya yang berlaku di lingkungan Universitas Jember.
Jember, 15 Januari 2019 Xxxx membuat pernyataan,
XXXXXX XXXXXXXX, S.H. NIM. 160720201005
Xxxxxx Xxxxxxxxxxxxx, segala Puja dan Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah Ta’ala, Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas segala Rahmat, Petunjuk, serta Hidayah yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul: Kepastiam Hukum Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Susun; Penulisan tesis ini merupakan tugas akhir sebagai syarat untuk menyelesaikan Program Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Jember serta mencapai gelar Magister Kenotariatan periode tahun 2019.
Pada kesempatan ini mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan dalam penulisan skripsi ini, antara lain :
1. Drs. Moh.Xxxxx, X.Xx. Ph. D., selaku Rektor Universitas Jember.
2. Xx. Xxxxx Xxxxxxx, SH., M.Hum., Selaku Pejabat Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember dan Dosen Pembimbing Anggota atas bimbingan, petunjuk, arahan dan motivasinya serta telah mengajari Penulis untuk bertanggungjawab.
3. Prof. Dr. H.M. Xxxxxxx, S.H., M.Hum., CN. Selaku Dosen Pembimbing Utama atas bimbingan, petunjuk, arahan dan motivasinya serta telah mengajari Penulis untuk bertanggungjawab.
4. Xxxx. Xx. Xxxxxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H., selaku Ketua Penguji dan Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, yang memberikan bimbingan, saran, ide dan kesempatan untuk memacu penulis menghasilkan sebuah gagasan penulisan hukum secara normatif.
5. Dr. Dyah Ochtorina S,S.H., M.Hum, selaku Dosen Mata Kuliah Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, yang memberikan kontribusi pemikiran dalam penyusunan proposal ini.
6. Dr. Xxxxx, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Penguji yang telah membimbing dan bersedia menyisihkan waktu untuk berdiskusi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh demi penyempurnaan tesis.
7. Para Guru Besar dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan arahan pemikiran ilmiah kepada Penulis.
8. Seluruh Civitas Akademika Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jember atas segala bantuan.
9. Ayahanda tercinta I Xxxxx Xxxxx dan Ibunda tercinta Xxxxxxxxx.
10. Suamiku tercinta X.XxxxxXxxxxx.
11. Anak-anakku tercinta yaitu Putra Kesatu Xxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx, Putra Kedua Eyko Xxxxxxx Xxxxxx, Putra Ketiga Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx. Semoga Allah Ta’ala senantiasa menjaga mereka.
12. Teman-teman dan Xxxxxxx penulis pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Jember; semua angkatan 2016 yang penulis cintai.
Semoga amal baik semuanya mendapatkan balasan setimpal oleh
Allah
Jember, 15 Januari 2019 Penulis,
XXXXXX XXXXXXXX, S.H. NIM.160720201005
MOTTO
“Xxxxan pernah izinkan pengetahuan Anda menghalangi jalan kebenaran” “Never allow your knowledge to be in the way of truth”
(Xxxxx Xxxxx: all best hello happiness, hal.82)
Dengan mengucapkan puji syukur atas rahmat Allah Ta’ala, penulis persembahkan Tesis ini untuk:
1. Ayahanda tercinta I Xxxxx Xxxxx dan Ibunda tercinta Xxxxxxxxx.
2. Xxxx – adik tersayang Xxxxx Xxx Xxxxx Xxxxxxx, Xxxx Xxx Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxx Xxx Xxxxxxx, Xxxx Xxx Xxxxxxxxxxx.
3. Suamiku tercinta X.XxxxxXxxxxx.
4. Anak-anakku tercinta Xxxxx Xxxxxxxxxx Xxxxx Xxxxxx, Eyko Xxxxxxx Xxxxxx, Xxxx Xxxxxxx Xxxxxx. Semoga Allah Ta’ala menjaga mereka.
5. Alamamater tercinta Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, tempat penulis menimba ilmu sejak tahun 2010.
Pembangunan rumah susun sangat memberi dampak positif terhadap masyarakat berpenghasilan rendah . Dalam pembelian rumah susun yang harus diperhatikan adalah aspek hukum kontraktual yang mendasari. Salah satu permasalahan yang akan timbul adalah mengenai status kepemilikan atas aset properti atau satuan rumah susun yang telah dipesan dan dilaksanakan Proses Pengikatan Jual Beli karena meskipun telah dilaksanakan Proses Pengikatan Jual Beli, secara hukum kepemilikan tersebut belum beralih kepada konsumen karena dalam hal ini konsumen belum memegang Akta Jual Beli maupun sertipikat Hak Milik Satuan Rumah Susun, maka dari itu dengan adanya Undang- undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang rumah susun khususnya Pasal 43 yang didalamnya telah mengatur tentang bentuk perjanjian pengikatan jual beli dalam pembelian rumah susun . Tujuan dari penulisan tesis ini yaitu: Secara umum, dapat dimanfaatkan sebagai sumbangan ilmu pengetahuan dalam pengembangan ilmu hukum tentang Perikatan Jual Beli Rusun serta dapat juga sebagai bahan bacaan bagi akademisi Hukum Properti; Secara khusus, yaitu menelaah makna perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris, serta mengetahui, memahami, dan menguraikan kepastian hukum dan konsep pengaturan ke depan bagi para pihak terkait perjanjian pengikatan jual beli Rusun yang dibuat dihadapan notaris. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah Xxxxxxx Xxxxxxxx, artinya permasalahan yang diangkat, dibahas, dan diuraikan dalam penelitian ini difokuskan dengan menerakan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan
perundang-undangan (statue approach ), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan Xxxxx (case approach) dan teori kepastian hukum serta teori perlindungan hukum. Hasil penelitian ini adalah yang pertama bentuk perjanjian pengikatan jual rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris dapat diartikan dengan bentuk akta yang dilegalisasi dan bentuk akta otentik, padahal keduanya memiliki kekuatan hukum yang berbeda. Kedua, beberapa kajian pendekatan kasus terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris memiliki implikasi hukum terhadap kepastian hukum yang berbeda – beda yang dijadikan dasar oleh Xxxxx untuk memberi putusan dalam setiap gugatan berbeda. Ketiga, Konsep pengaturan kedepan untuk menjamin kepastian hukum dalam pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dalam pembelian rumah susun maka seharusnya akta perjanjian pengikatan jual beli tersebut harus akta Otentik karena untuk lebih menjamin kepastian hukum jika kedepannya terjadi wanprestasi, untuk rumah susun menengah kebawah seharusnya peran penting pemerintah dalam hal ini sangatlah penting dengan mengeluarkan kebijakan terkait bantuan subsidi biaya pembuatan perjanjian pengikatan jual beli tersebut, subsidi terkait biaya-biaya notaris maupun terkait instansi lainnya.
SUMMARY
The construction of flats is very positive for low-income communities. In purchasing a flat that must be considered is the underlying contractual legal aspects. One of the problems that will arise is regarding ownership status of property assets or apartment units that have been ordered and carried out because the sale and purchase binding process has been carried out, legally the ownership has not been transferred to consumers because in this case the consumer has not held The Sale and Purchase Deed and Certificate of Ownership of the Flat Unit, therefore the existence of Law Number 20 of 2011 concerning flats, especially Article 43, which has regulated the form of sale and purchase agreement in the purchase of flats. The purpose of writing this thesis is: In general, it can be used as a contribution of knowledge in the development of legal knowledge about Flat- Sale Bonding Engagement and can also be a reading material for Property Law academics; Specifically, it examines the meaning of the agreement on sale and purchase of flats made in the presence of a Notary, as well as knowing, understanding, and outlining legal certainty and future regulatory concepts for parties related to Flatbed sale and purchase agreement made before a notary. The research method used in writing this thesis is juridical normative, meaning that the problems raised, discussed, and described in this study are focused on applying the rules or norms in positive law. The research method used is the legislative approach (statue approach), conceptual approach (conceptual approach), Case approach (case approach) and legal certainty theory and legal protection theory. The results of this study are the first forms of binding agreements to sell flats
made before a Notary can be interpreted by the form of a legalized deed and an authentic deed form, even though both have different legal powers. Second, several case study approaches related to the form of binding agreements for sale and purchase of flats made before a Notary have legal implications for different legal certainties which are used as a basis by the Judge to give a decision in each different claim. Third, the concept of future regulation to ensure legal certainty in the making of sale and purchase agreements in the purchase of flats should be an authentic deed of sale and purchase agreement because to guarantee legal certainty if in the future there will be a default role for the high-rise apartment in this case it is very important by issuing a policy related to subsidizing the cost of making the sale and purchase binding agreement, subsidies related to notary fees and related to other agencies.
DAFTAR ISI
SAMPUL LUAR i
SAMPUL DALAM ii
PRASYARAT GELAR MAGISTER iii
PERSETUJUAN iv
PENGESAHAN v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI vi
PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS vii
KATA PENGANTAR viii
MOTTO ix
PERSEMBAHAN x
RINGKASAN xi
SUMMARY xv
DAFTAR ISI xvii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 11
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 12
1.3.1 Tujuan Penelitian 12
1.3.2 Manfaat 12
1.4 Orisinalitas Penelitian 13
1.5 Metodologi Penelitian 17
1.5.1 Tipe Penelitian 18
1.5.2 Pendekatan Masalah 18
1.5.3 Sumber Bahan Hukum 21
1.5.4 Xxxxxxx Xxxxx Hukum 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 24
2.1 Perjanjian berdasarkan Buku III KUH-Perdata 24
2.1.1 Definisi Perjanjian 24
2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian 27
2.1.3 Asas – asas Hukum Perjanjian 29
2.2 Pengertian Akta Autentik. 31
2.3 Pengertian Akta Dibawah Tangan 34
2.4 Rumah Susun 35
2.5 Teori Kepastian Hukum 42
2.6 Teori Perlindungan Hukum 47
BAB III SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL 51
BAB IV PEMBAHASAN 54
4.1 Bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun “yang dibuat dihadapan Notaris” 54
4.1.1 Latar Belakang pasal 43 Undang – undang Rumah Susun 58
4.1.2 Konsep perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan Notaris 60
4.1.3 Titik temu makna perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan Notaris 66
4.2 Kepastian hukum bagi para pihak terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris 81
4.2.1 Implikasi Hukum pada saat Perjanjian Pengikatan Jual
Beli dibuat dihadapan Notaris dalam bentuk Legalisasi 83
4.2.3 Implikasi Hukum pada saat Perjanjian Pengikatan Jual
Beli dibuat dihadapan Notaris dalam bentuk Notariil 85
4.2.4 Perbedan resiko – resiko Perjanjian Pengikatan Jual Beli
yang dibuat dihadapan Notaris 87
4.3 Konsep pengaturan kedepan perjanjian pengikatan jual beli rumah susun dalam rangka menjamin kepastian hukum 91
4.3.1 Kekuatan pembuktian akta dibawah tangan 91
4.3.2 Kekuatan Pembuktian Akta Notariil 93
4.3.3 Perjanjian Pengikatan Jual Beli secara Notariil 96
BAB V PENUTUP 99
5.1 Kesimpulan 99
5.2 Saran 103
DAFTAR PUSTAKA 104
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Salah satu hal penting tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, karena itu tujuan negara tersebut dimaktubkan dalam pembukaan Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NKRI 1945) alinea keempat.Bentuk perlindungan hukum dalam hal ini adalah rasakeadilan bagi bangsa yang merupakan salah satu tujuan hukum. Dalam pasal 28 huruf H ayat 1 yang berbunyi “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin , bertempat tinggal , dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.
Undang – undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA merupakan perangkat hukum yang mengatur dibidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal yang didasarkan pada hukum adat sebagai hukum yang asli yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern. Disini menunjukkan adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional. Hukum Adat yang dimaksud disini adalah hukum adat yang sudah di saneer , yaitu apabila Hukum Adat tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Nasional. 1 Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat di UUPA, yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD NKRI 1945 yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu “ atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalamPasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang – orang baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain serta badan – badan hukum “.
Adapun salah satu landasan dalam kebijakan pembangunan perumahan dan penyediaan tanah-tanah guna menjawab tuntutan kebutuhan perumahan dan pemukiman serta digunakan untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan perumahan dan pemukiman adalah berdasarkan Undang-Undang nomor 1 tahun 1964 tentang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor
6 tahun 1962 tentang Pokok-Pokok Perumahan (Lembaran Negara Tahun 1962 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2476) menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2611)2 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman yang sekarang terakhir telah diubah dengan Undang Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Undang-
Undang nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman selanjutnya disebut Undang-Undang perumahan dan pemukiman. Undang-Undang sebagai landasan hukum dan penjabaran kebijaksanaan pemerintah baik yang langsung maupun tidak langsung dengan pengadaan perumahan ditingkat nasional maupun daerah, sangat diperlukan dalam memberikan arahan dan rambu-rambu dalam pelaksanaan di lapangan.3 Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman menyebutkan bahwa perumahan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan sedangkan pemukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.4
Di negara Indonesia yang terkenal dengan tingkat kepadatan penduduknya maka banyak sekali ditemui berbagai macam properti yang dijual oleh pihak pengembang untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam hal ini terkait kebutuhan tempat tinggal. Sementara itu idealnya dalam konteks properti harusnya aturan – aturan yang diberlakukan harus sama terhadap perlakuan pelindungan hukum pihak-pihak yang berkaitan dengan properti. Adapun macam-macam properti yang dalam pengaturannya harus sama antara lain : tanah, rumah, ruko, rumah susun.
Landasan hukum dalam pembangunan Rumah Susun ini adalah Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sebagai Pengganti Undang
3 Xxxxxxx Xxxxxxx, Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah. PT. Alumni, Bandung, 2009, hal 20
4 Ibid., hal 4
– Undang sebelumnya yaitu Undang – Undang nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum, kebutuhan setiap orang serta partisipasi dan tanggung jawab Pemerintah maupun kewajiban negara dalam penyelanggaraan rumah susun. Undang – undang Nomor
20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun selanjutnya diknal sebagai Undang – Undang Rumah Susun (UURS).
Kenyataannya terkait hal diatas hanya rumah susun (rusun) saja yang ada undang – undangnya yaitu Undang – Undang no 20 tahun 2011 tentang Rumah Susun selanjutnya disebut UURS, khususnya dalam pasal 43 (1) yang berbunyi “proses jual beli sarusun sebelum pembangunan rumah susun selesai dilakukan melalui PPJB yang dibuat dihadapan Notaris”. Penerapan / praktek yang terjadi di lapangan masih banyak perjanjian pendahuluan jual beli properti yang hanya berbentuk kwitansi maupun perjanjian jual beli dibawah tangan hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman pihak – pihak akan pentingnya akta yang dibuat dihadapan Notaris untuk bukti adanya transaksi jual beli yang terjadi serta untuk pembuktian bila ada pihak – pihak yang mengingkarinya transaksi tersebut atau dengan kata lain adanya wanprestasi. Selama ini pemahaman para pihak untuk pembuatan akta dihadapan Notaris pastinya akan menambah biaya serta efesiensi waktu juga. Padahal akta yang dibuat dihadapan Notaris sangat penting untuk kekuatan pembuktian dalam persidangan jika terjadi gugatan.
Sistem hukum pembuktian di Indonesia untuk peradilan perdata, terdapat alat bukti tulisan sebagai salah satu alat bukti yang dapat diajukan dalam persidangan, dalam Pasal 1866 Burgelijk Wetboek dalam tesis ini disingkat (BW)
menyatakan alat pembuktian meliputi bukti tertulis , bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Pembuktian dengan tulisan dapat dilakukan dengan tulisan dapat dilakukan dengan tulisan yang autentik dan tulisan dibawah tangan. Dalam Pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2014 perubahan atas Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris selanjutnya dalam tesis ini disebut (UUJN). Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang ini.
Akta yang dibuat dihadapan Notaris diperlukan karena ada dua alasan yaitu diperintah oleh Undang-Undang dan untuk kepentingan pembuktian. Untuk alasan pertama, Undang-Undang memerintahkan supaya sebuah perbuatan yang dilakukan dengan menuangkan dalam akta notaris yang merupakan sebuah kewajiban. Kemudian alasan kedua untuk kepentingan pembuktian, hal ini karena suatu peristiwa yang dituangkan dalam sebuah akta tujuannya dipergunakan untuk pembuktian peristiwa yang telah lalu. Apabila akta tersebut berupa akta notaris maka akan semakin dapat dipercaya karena mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna karena patut dipercaya kebenarannya dan tidak memerlukan alat bukti lain.
Aktivitas bisnis pada dasarnya senantiasa didasari oleh aspek hukum bisnis terkait sektor rumah susun yang memberikan efek diberbagai bidang(multiplier effect), yakni dengan mendorongserangkain aktivitas sektor ekonomi yang lain maka proses yang mendukung aktivitas bisnis tersebut perlu memperhatikan aspek hukum kontraktual yang mendasari dan merangkai selutuh aktivitas bisnis
mereka. Seluruh kegiatan ekonomi baik dalam bidang jasa maupun barang pada dasarnya akan selalu membutuhkan produk Rumah Susun / Apartemen sebagai salah satu faktor produksi. Salah satu permasalahan yang akan timbul adalah mengenai status kepemilikan atas aset properti atau satuan rumah susun yang telah dipesan dan dilaksanakan Proses Pengikatan Jual Beli karena meskipun telah dilaksanakan Proses Pengikatan Jual Beli , secara hukum kepemilikan tersebut belum beralih kepada konsumen karena dalam hal ini konsumen belum memegang Akta Jual Beli maupun sertpikat Hak Milik Satuan Rumah Susun.
Pembangunan perumahan yang dilakukan oleh Pemerintah maupun pihak pengembang merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.Pembangunan perumahan atau hunian yang berbentuk rumah susun atau apartemen yang dapatmengurangi penggunaan tanah dan membuat ruang terbuka yang lebih lega merupakan salah satu alternatifnya.5Sebidang tanah dapat digunakan secara optimal untuk menjadi tempat tinggal bertingkat yang dapat menampung sebanyak mungkin orang melalui pembangunan Rumah Susun atau Apartemen. Optimasi sampai beberapa tingkat akan lebih efektif daripada optimasi secara horizontal. 6
Kepemilikan properti diatur dalam berbagai dasar hukum yang tersebar dalam bentuk peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu :
1. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 Tentang Rumah Susun.
hlm. 77
5Urip santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, Jakarta,2010,
3Arie S. Hutagalung, “Condominium dan Permasalahannnya”, dalam Urip Santoso, , Pendaftaran
Xxx Xxxalihan Hak Atas Tanah, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm. 78
2. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1984 Tentang bentuk dan tata cara pengisian serta pendaftaran akta pemisahan rusun.
3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1989, tentang Bentuk dan Tata cara pengisian serta pendaftaran Akta Pemisahan Akta Rumah Susun.
4. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1989 Tentang bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah serta Penerbitan sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun.
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Rumah Susun.
6. Peraturan Menteri Pekerjaan umum Nomor 60 /PRT/1992 yang mengatur teknis pembangunan Rumah Susun.
7. Peraturan Daerah DKI Nomor 2 Tahun 1991 Tentang Rumah Susun di DKI Jakarta.
8. Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 924 Tahun 1991 Tentang Rumah Susun di DKI Jakarta.
9. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang PPH Jual Beli Tanah dan Bangunan.
10. Undang – Undang nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman
Tidak jarang meskipun telah di buatkan perjanjian tertulis dalam hal perbuatan hukum tetapi masih banyak di temui terjadinya wanprestasi antara pihak yang terkait yang masuk dalam suatu perjanjian tertulis tersebut.Banyak unsur – unsur yang mempengaruhinya salah satunya kelalaian salah satu pihak
yang menyebabkan munculnya wanprestasi. Untuk mengamankan suatu perbuatan hukum tersebut peran Pejabat Umum yang berwenang sangatlah penting untuk mengkonstantir keinginan para pihak yang ingin melaksanakan atau membuat perjanjian, dalam hal ini Notaris.Notaris adalah pejabat umum, diangkat dan di berhentikan oleh suatu kekuasaan umum, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Notaris sebagai pejabat umum yang bertugas untuk memberikan pelayanan alat bukti tertulis , khususnya berupa akta autentik dalam bidang hukum perdata. Keberadaan Notaris merupakan pelaksanaan dari hukum pembuktian. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum , prinsip Negara hukum , menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan pada kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa Notaris.
Adapun beberapa kasus yang terjadi terkait properti yang dalam pembuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Belinya menggunakan akta dibawah tangan antara lain :
- Kasus Mangga Dua Court, permasalan status tanah dalam akta PPJB yang dibuat oleh legal pihak pengembang tidak pernah dijelaskan secara detail bahwa status tanah Hak Guna Bangunan diatas Hak Pengelolaan, pihak pembeli mengetahui bahwa tanah tersbeut merupakan Hak Guna Bangunan murni, jadi untuk biaya proses perpanjangan status tanah tersebut dibebankan pada pihak pembeli / penghuni hal itu yang menjadi pokok permasalahan kerna pihak pembeli merasa dirugikan.
- Kasus Apartemen Maple Park, dalam perkara no. 88 / Pdt.G / 2016 / PN.JKT.UTR, pembuatan akta PPJB dibawah tangan pokok permasalahan yang terjadi adalah developer melanggar isi akta PPJB terkait ketentuan waktu penandatanganan AJB, Developer wanprestasi (alasan-alasan yang diberikan pelaku pembangunan kepada pembeli tidak diatur dalam PPJB antara lain biaya
– biaya pajak, biaya SHM SRS, Biaya Notaris / PPAT, biaya selisih kenaikan NJOP), developer telah melakukan akta pemisahan tahun 2013, akan tetapi hak warga untuk mendapatkan sertipikat tidak langsung diproses. Resiko yang harus diterima pembeli antara lain : pembeli terancam tidak bisa memproses terkait kepemilikan SHMSRS, pembeli merasa dirugikan secara waktu serta materi.
- Kasus Sipoa Grup (Sidoarjo), perkara gugatan no 308/PDT.G/2018/PN.SBY , pihak pembeli merasa dirugikan secara waktu dan materi karena mereka tergiur proyek sipoa grup pada saat pihak sipoa launching produk tahun 2014 dengan iming – iming harga perunit murah dan angusran juga murah apalagi mereka merasa ditipu oleh Bupati Sidoarjo karena pada saat launching produk bupati tersebut ikut andil dalam hal mempromosikan , setelah uang dari para calon pembeli masuk dan antara pihak pengembang dan pihak pembeli tanda tangan PPJB yang disiapkan oleh legal pihak pengembang, tetapi hingga saat ini tidak ada kejelasan proses pembangunannya .
- Kasus Tanah Kavling pokok permasalahan karena pada saat itu pihak pengembang terlalu cepat menjual unit – unit kavlingan padahal pada saat itu nama disertipikat masih atas nama pemilik tanah yang oleh pihak pengembang
hanya diberikan uang pembelian yang belum lunas jadi pihak pengembang masih belum bisa balik nama setelah unit kavling dijual kepada pihak pembeli timbul permasalahan bahwa pemilik lahan meninggal dunia alhasil sertipikat tanah tersebur harus melalui proses jatuh waruis ke para ahli waris pemilik lahan, yang membuat pihak pembeli merasa dirugikan karena pada saat penandatanganan PPJB dibawah tangan yang sudah disiapkan oleh pihak pengembang didalamnya tidak diatur hal demikian , kalaupun mau menuntut resikonya malah pembeli makin dipersulit terkait status kepemilikan tanahnya.
Suatu aturan / norma pada dasarnya terbentuk dengan ideal karena sebelum terbentuk norma tersebut pasti ada sejarah maupun latar belakang terkait alasan – alasan yang mendasarinya apalagi dalam setiap norma minimal harus mewakili asas keadilan, kepastian hukum, asas kemanfaatan. Terkait undang – undang rumah susun terdapat pasal yang secara khusus mengatur tentang PPJB rumah susun yang harus dibuat dihadapan Notaris. Hal itu diatur karena alasan – alasan ingin meminimalkan resiko – resiko yang sering terjadi dan ingin mewujudkan asas – asas dalam pelaksanaannya.
Konsep kedepan untuk meminimalkan resiko – resiko antara para pihak dan untuk menjamin kepastian hukum dengan menimbang terkait kekuatan pembuktian suatu akta serta mewujudkan asas keseimbangan maka sudah seharusnya ada peraturan maupun undang – undang yang mengatur tentang keharusan jual beli properti dibuat secara Notariil. Akta notariil sendiri dibuat menyangkut kekuatan pembuktian , maka secara ideal PPJB rumah susun haruslah
dibuat dihadapan Notaris. Hal ini menyangkut rasa aman, rasa keadilan, rasa kesimbangan bagi para pihak.
Berdasarkan uraian diatas kemudian penulis tertarik untuk mengkaji secara lebih mendalam dalam suatu karya ilmiah yang berbentuk Tesis, dengan judul “KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI DALAM PEMBELIAN RUMAH SUSUN”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat diformulasikan rumusan masalah sebagai berikut:
1) Apa bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris ?
2) Bagaimanakah kepastian hukum bagi para pihak terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan notaris?
3) Bagaimanakah konsep kedepan bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun dalam rangka menjamin kepastian hukum?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
1) Mengkaji dan menganalis bentuk perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris;
2) Mengkaji dan menganalis kepastian hukum bagi para pihak terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan notaris
3) Mengkaji dan menganalis konsep kedepan bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun dalam rangka menjamin kepastian hukum
1.3.2 Manfaat
Diharapkan dari penulisan tesis ini, dapat mcnghasilkan pendapat hukum tentang “KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN”.
Adapun manfaat secara rinci dari penulisan tesis ini dapat ditinjau dari tiga perspektif, yakni:.
1. Perspektif akademis, untuk meningkatkan nilai tambah pengembangan ilmu hukum terutama dibidang HukumPerdata yang terkait dengan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli ;
2. Perspektif praktis, dapat digunakan sebagai masukan terutama bagi para notaris yang membuat akta- akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli terkait Rumah Susun, serta merupakan upaya mendukung program legislasi baik dalam tataran Law Making maupun Law Reborn guna menciptakan Peraturan Perundang-undangan sehingga memiliki kepastian hukum tanpa meniadakan nilai-nilai keadilan yang diharapkan.
1.4 Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian tesis yang ada pada Program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Jember belum ditemukan judul tesisterkait “KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN” akan tetapi hasil penelusuran
dan pengamatan kepustakaan yang dilakukan di Universitas lain , ditemukan beberapa tesis mengenai rumah susun yang terkait dengan judul tesis peneliti yaitu “KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
RUMAH SUSUN”, antara lain :
1. Penelitian tesis yang dilakukan oleh XXXXX XXX XXXXXX tahun 2010 dengan judul “PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBELI RUMAH SUSUN”. Rumusan masalah dalam penelitian tersebut adalah7 :
a. Bagaimana kedudukan perjanjian pengikatan jual beli rumah susun menurut KUH-Perdata?
b. Apakah klausula dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut telah mampu melindungi kepentingan pembeli satuan rumah susun?
Tipe penelitian Xxxxxxx Xxxxxxxx, sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian terkait jawaban atas rumusan masalahnya antara lain Kedudukan hukum PPJB-HAT dapat diterima sebagai hukum yang hidup dalam praktik masyarakat Indonesia, serta untuk mengisi kekosongan norma hukum. Hasil penelitian rumusan masalah yang kedua perlindungan hukum bagi calon pembeli yang beritikat baik dan telah membayar lunas dalam hal terjadi kebatalan perjanjian diberikan dalam bentuk adanya kuasa mutlak dan klausula yang tercantum dalam PPJB-HAT.
2. Penelitian tesis yang dilakukan oleh XXXXXXX XXXXXXX SARI tahun 2016 dengan judul “KEBERADAAN PERJANJIAAN PENGIKATAN JUAL BELI
7Retno Ima Astuti, “Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Rumah Susun”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gajah
SATUAN RUMAH SUSUN TERHADAP PENGEMBANG YANG
DINYATAKAN PAILIT”. Rumusan masalah dalam penelitian tersebutadalah 8
a. Bagaimana Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli bagi pembeli satuan Rumah Susun?
b. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli satuan rumah susun terhadap pengembang yang dinyatakan Pailit?
Tipe penelitian Xxxxxxx Xxxxxxxx, sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian dari rumusan masalahnya antara lain perjanjian Pengikatan Jual beli merupakan perjanjian awal untuk kepastian hukum dalam pembelian suatu rumah susun sebelum adanya pembuatan akta jual beli. Hasil penelitian rumusan masalah kedua perlindungan hukum bagi calon pembeli yang beritikat baik dan telah membayar lunas dalam hal terjadi kepailitan pengembang dalam hal ini pihak pembeli tidak akan dirugikan karena ada perjanjian diberikan dalam bentuk adanya kuasa mutlak dan klausula yang tercantum dalam PPJB-HAT.
Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah beberapa penelitian tesis terdahulu yang terkait “KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN”yaitu :
Nama | Judul | Rumusan Masalah | Tipe Penelitian | Hasil Penelitian |
1. XXXXX XXX XXXXXX, | Perjanjian Pengikatan Jual | 1. Bagaimana kedudukan perjanjian | Xxxxxxx Xxxxxxxx | 1. Kedudukan hukum PPJB- |
8Rosalia Puspita Sari,” Keberadaan Perjanjian Pengikatan Jual Beli satuan Rumah Susun Terthadap Pengembang Yang Dinyatakan Pailit”, Tesis, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
2010 | Beli Sebagai Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Pembeli Rumah Susun (Tesis XXXXX XXX XXXXXX, 2010, Universitas Gajah Mada) | pengikatan jual beli rumah susun menurut KUH-Perdata? 2. Apakah klausula dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut telah mampu melindungi kepentingan pembeli satuan rumah susun? | sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan sekunder | HAT dapat diterima sebagai hukum yang hidup dalam praktik masyarakat Indonesia, serta untuk mengisi kekosongan norma hukum 2.Perlindungan hukum bagi calon pembeli yang beritikat baik dan telah membayar lunas dalam hal terjadi kebatalan perjanjian diberikan dalam bentuk adanya kuasa mutlak dan klausula yang tercantum dalam PPJB- HAT. |
2.XXXXXX XXXXXXX SARI, 2016 | Keberadaan Perjanjian | 1. Bagaimana Implikasi Perjanjian Pengikatan Jual Beli bagi pembeli satuan Rumah Susun? 2. Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli satuan rumah susun terhadap pengembang yang dinyatakan Pailit? | Xxxxxxx Xxxxxxxx | 1. Perjanjian Pengikatan |
Pengikatan Jual | sumber | Jual beli | ||
Beli Satuan | bahan | merupakan | ||
Rumah Susun | hukum | perjanjian | ||
Terhadap | yang | awal untuk | ||
Pengembang | digunakan | kepastian | ||
yang dinyatakan | adalah | hukum dalam | ||
Pailit (TESIS | bahan | pembelian | ||
XXXXXXX | xxxxx | suatu rumah | ||
PUSPITASARI, | primer dan | susun | ||
2016, | sekunder | sebelum | ||
Universitas | adanya | |||
Airlangga) | pembuatan | |||
akta jual beli | ||||
2. Perlin- | ||||
dungan | ||||
hukum bagi | ||||
calon | ||||
pembeli yang | ||||
beritikat baik | ||||
dan telah | ||||
membayar | ||||
lunas dalam | ||||
hal terjadi | ||||
kepailitan | ||||
pengembang | ||||
dalam hal ini | ||||
pihak | ||||
pembeli tidak | ||||
akan |
dirugikan karena ada perjanjian diberikan dalam bentuk adanya kuasa mutlak dan klausula yang tercantum dalam PPJB- HAT. |
1.5 Metodologi Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut. 9
1.5.1 Tipe Penelitian
Tipe Penelitian dalam Tesis ini adalah penelitian hukum berdasarkan pendapat dari Xxxx. Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx yang menyatakan bahwa ; lalu apakah perlu istilah penelitian hukum normatif ? Menurut pendapat Profesor Xxxxx Xxxxxx tidak perlu, karena istilah Legal Research atau bahasa Belanda
9Xxxxx, Xxxxxx xxxxxxx, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm 60
Rechtsonderzoek selalu normatif sama halnya dengan istilah Xxxxxxx Normatif yang sebenarnya juga tidak dikenal dalam penelitian hukum. Jika tipe penelitian harus dinyatakan dalam suatu tulisan , cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan pernyataan demikian sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan – bahan yang digunakan harus dikemukakan. 10
1.5.2 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan oleh penulis dalam penulisan tesis ini digunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan Kasus (case approach). Pendekatan perundang –undangan (statue approach) dilakukan dengan menelaah semua undang – undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani yaitu Undang – Undang nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun khususnya pada pasal 43 ayat 1 undang – undang rumah susun. Berdasarkan pendekatan ini akan dikaji kesesuaian antara undang – undang satu dengan undang – undang lain untuk mendapatkan argumentasi yang sesuai. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan , karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral tertutup yang mempunyai sifat – sifat sebagai berikut : 11
1. Comprehensive , artinya norma – norma hukum yang ada didalamnya terkait antara satu sama lainnya secara logis
10Xxxxx, Xxxxxx xxxxxxx, Penelitian Hukum, Prenadamedia Group, Jakarta, 2016, hlm 60
11 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Diktat Metode Penulisan dan Penelitian Hukum, (jember: fakultas Hukum Universitas jember,2012),hlm.36
2. All inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak aka nada kekurangan hukum
3. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain norma – norma hukum tersebut juga tersusun secara hirarkis.
Pendekatan undang – undang ini sebagai alur pemikiran untuk mendapatkan kesimpulan dari permasalahan tentang “KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN”. Pendekatan
konseptual (Conceptual Approach) beranjak dari pandangan – pandangan dan doktrin – doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Konsep (Inggris : concept, Latin : conceptus dari concipere yang berarti memahami , menerima, menangkap), merupakan gabungan dari kata con (bersama) dan capere (menangkap, menjinakkan). Konsep dalam pengertian yang relevan adalah unsur- unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi yang kadangkala menunjuk pada hal – hal universal yang diabstraksikan dari hal – hal yang partikular. Salah satu fungsi logis dari konsep ialah memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari sudut pandangan praktis dan sudut pengetahuan dalam pikiran dan atribut – atribut tertentu. berkat fungsi tersebut , konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata dengan objek –objek tertentu. Penggabungan itu memungkinkan ditentukannya arti kata-kata secara tepat dan menggunakannya dalam proses pikiran.12 Pemahaman akan perundang-undangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun
12 Xxxxxx Xxxxx , Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, hlm.481-483
suatu argumentasi hukum dalam menyelesaikan isi yang dihadapi.13 Pendekatan ini menjadi penting sebab pemahaman terhadap pandangan / doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum dapat menjadi pijakan untuk membangun argumentasi hukum ketika menyelesaikan isu hukum yang dihadapi. Pandangan / doktrin akan memperjelas ide-ide dengan memberikan pengertian – pengertian hukum, konsep hukum, maupun asas hukum yang relevan dengan permasalahan. Dalam hal ini terkait isu hukum yang sedang ditangani asas keadilan yang menjadi dasar karena keadilan merupakan salah satu tujuan hukum. Pendekatan Kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat di lihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Pendekatan Kasus (case approach) dalam penelitian ini adalah Putusan no. 399/Pdt.G/2013/PN.Xxx dan Putusan no. 869/Pdt.G/2013/PN.SBY, kedua putusan merupakan kasus terkait wanprestasi perjanjian pengikatan jual beli dalam pembelian unit rumah susun.
1.5.3 Sumber Bahan Hukum
Sesuai dengan fokus utama penelitian yaitu yuridis normatif, maka sumber bahan hukum yang hendak dikumpulkan adalah sumber bahan hukum dari hukum positif yang meliputi bahan – bahan hukum, baik bahan hukum primer , bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.14 Sumber bahan hukum diperoleh dari:
a. Bahan Hukum Primer
13 Ibid , Hlm 36
14 Xxxxx Xxxxxxx , Xxxxx dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , (Malang : Edisi Revisi II,Banyumedia Publishing,2006) Hlm.11
Bahan hukum yang bersifat mengikat karena memiliki otoritas hukum, dalam penelitian tesis ini terdiri dari :
1. Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUD NKRI 1945)
2. Burgerlijk Wetbook
3. Undang – undang jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 Tentang Perubahan Peraturan pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
5. Undang – Undang nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun sebagai Pengganti Undang – Undang sebelumnya yaitu Undang – Undang nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun;
6. Undang – Undang nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan – bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan pedoman – pedoman resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku – buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal – jurnal hukum dan komentar – komentar atas putusan pengadilan. Sumber bahan hukum sekunder yang digunakan pada penulisan tesis ini adalah buku- buku literature, tulisan – tulisan hukum, artikel hukum yang diakses melalui internet maupun jurnal – jurnal yang relevan dengan permasalahan yang dibahas.
1.5.4 Analisa Bahan Hukum
Proses analisa bahan hukum merupakan proses menemukan jawaban dari pokok permasalahan. Proses ini dilakukan dengan cara : 15
1. Mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal – hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan;
2. Pengumpulan bahan – bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan – bahan non hukum;
3. Melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan – bahan yang telah dikumpulkan;
4. Menarik kesimpulan dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum.
Hasil analisis bahan penelitian tersebut kemudian diuraikan dalam pembahasan guna menjawab permasalahan yang diajukan sampai pada kesimpulan. Kesimpulan tersebut dilakukan dengan cara memberikan preskripsi yaitu apa yang seharusnya dilakukan agar dapat memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Hal ini sesuai dengan karakter ilmu hukum yang bersifat preskriptif dan terapan. 16 Terkait demikian diharapkan di dalam suatu penulisan tesis ini dapat memperoleh jawaban atas rumusan masalah, sehingga memperoleh hasil yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah.
15 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Op.Cit,Hlm.171
16 Xxxx , Xxx.000
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perjanjian berdasarkan Buku III KUH-Perdata
2.1.1 Definisi Perjanjian
Istilah perjanjian sering disebut dengan persetujuan yang berasal dari bahasa belanda yakni overeenkomst. Kata “Kontrak” sebenarnya merupakan adopsi dari kata “contract” yang berasal dari bahasa Inggris . Sedangkan “perjanjian” sebagai terjemahan dari “agreement” dalam bahasa Inggris. Menurut Subekti “Suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua belah pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu , dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.17
Menurut Mr.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, pengertian Perjanjian yaitu :18
“Perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal , sedang pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.”
Menurut pendapat dari Xxxxxx Xxxxxx, bahwa perjanjian adalah :19
“Suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan antara kedua belah pihak atau lebih dimana pihak yang satu berkewajiban memberikan sesuatu prestasi atas nama pihak yang lain mempunyai hak terhadap prestasi itu.”
Menurut X.Xxxxx Xxxxxxx, perxxxxxxx atau xxxxxxxxxxx adalah: :
“suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberi kekutana hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak yang lain untuk menunaikan prestasi”
17Subekti, Hukum Perjanjian , Intermassa, Jakarta,1987,hlm 1
18Mr.Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, 1957,hlm 9
19Xxxxxx Xxxxxx, Hukum Perdata, PT.Pembimbing Masa, Jakarta, 1967, hlm 15
Perjanjian berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dijelaskan dalam Pasal 1313 Bab II Buku Ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yakni : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain ataulebih”. 20 Berdasarkan pasal tersebut perjanjian merupakan perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan diri atas kehendaknya sendiri dan mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Masyarakat Indonesia kerap kali mengalami kebingungan terhadap pengertian dari istilah Perjanjian dan Kontrak. Perjanjian , diartikan secara luas meliputi berbagai bidang seperti Perjanjian Bilateral , Perjanjian Kawin, Perjanjian Xxxx Xxxx, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian Xxxx Xxxx Xxxxx, Perjanjian Waralaba dan lain –lain . Disisi lain , Kontrak diartikan sebagai perjanjian yang khusus dibuat dibidang bisnis seperti Kontrak Jual Beli , Kontrak Sewa , Kontrak Ekspor, Kontrak Sewa Beli dan lain – lain.
Buku III BW berjudul “ Tentang Perikatan”. Perkataan “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti lebih luas dari perkataan “Perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada persetujuan atau perjanjian , yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan melanggar hukum dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan. Tetapi, sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan- perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian, jadi berisikan hukum perjanjian.
20Subektidan R. Xxxxxxxxxxxxx. KitabUndangUndangHukumPerdata, EdisiRevisi. Jakarta
:XxxxxxxXxxxxxxx, 1995.. Hlm. 338
Hubungan hukum dalam perjanjian , bukan suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang terdapat dalam harta benda kekeluargaan. Dalam hubungan hukum kekayaan keluarga, dengan sendirinya timbul hubungan hukum antara anak dengan kekayaan orang tuanya seperti yang daitur dalam hukum waris. Lain halnya dalam perjanjian , hubungan hukum antara pihak yang satu dengan yang lain tidak bisa timbul dengan sendirinya hubungan tersebut tercipta oleh karena adanya”tindakan hukum”. Tindakan hukumyang dilakukan oleh pihak – pihak lah yang menimbulkan hubungan hukum perjanjian , sehingga terhadap satu pihak diberi hak oleh pihak yang lain untuk memperoleh prestasi. Sedangkan pihak yang lain itupun menyediakan diri dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan prestasi.
Filosofi dibuatnya akta perjanjian adalah untuk memberikan kepastian hukum tentang hak – hak dan kewajibanpara pihak. Kepastian hukum , yang dalam bahasa Inggris disebut legal certainty , sedangkan dalam bahasa Belanda disebut rechtzekerheid adalah ketentuan – ketentuan hukum atau klausula – klausula yang mampu menjamin hak dan kewajiban para pihak. Kepastian itu , meliputi :
a. Tanggal dibuatnya perjanjian;
b. Para pihaknya;
c. Kehendak para pihak atau objeknya;dan
d. Tanda tangan.
2.1.2 Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPerdata, mengatur mengenai syarat sahnya suatu perjanjian antara lain :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Maksudnya ialah para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus sepakat atau setuju mengenai hal – hal pokok dari perjanjian tersebut, pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
Terdapat 4 (empat) teori yang mencoba memberikan penyelesaian persoalan ini yaitu sebagai berikut :
a. Uiting theorie (teori saat melahirkan kemauan)
Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain.
b. Verzental theorie (teori saat mengirim surat penerimaan)
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan dikirimkan pada si penawar.
c. Ontvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan)
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat penerimaan sampai dialamat si penawar.
d. Xxxxxxxxxx theorie ( teori saat mengetahui surat penerimaan)
Menurut teori ini perjanjian baru terjadi apabila si penawar telah membuka dan membaca surat penerimaan itu.
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian / kecakapan
Cakap (bekwaan) merupakan syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu perundang-undangan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu.
Pasal 330 KUHPerdata menetukan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan , kecuali undang – undang menentukan bahwa ia tidak cakap , mengenai orang – orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian dapat kita temukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata antara lain :
7. Orang – orang yang belum dewasa
8. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
9. Orang – orang perempuan yang telah kawin. Ketentuan ini menjadi hapus dengan berlakunya Undang – Undang nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Karena pasal 31 undang – undang ini menentukan bahwa hak dan kedudukan suami istri adalah seimbang dan masing – masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Suatu hal tertentu / objek tertentu
Mengenai hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1332 dan 1333 KUHPerdata, Pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa :
“Hanya barang – barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok suatu perjanjian “.
Sedangkan Pasal 1333 KUHPerdata menetukan :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung”.
4. Suatu sebab yang diperkenankan / diperbolehkan
Maksudnya ialah isi dari perjanjian tidak dilarang oleh undnag – undang atau tidak bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata), selain itu Pasal 1335 KUHPerdata juga menetukan bahwa suatu perjanjian yang dibuat tanpa sebab atau dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang adalah tidak mempunyai kekuataan hukum.
2.1.3 Asas – asas Hukum Perjanjian
a. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
yaitu suatu prinsip yang menegaskan kepada para pihak membuat / menentukan sendiri isi perjanjian atau bebas untuk menentukan bentuk dari perjanjian itu. Sepanjang perjanjian memenuhi syarat – syarat sebagai suatu kontrak, tidak melanggar hukum, kesusilaan serta ketertiban umum. Menurut Xxxxx 1338 ayat (1) KUHPerdata , “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang – undang bagi mereka yang membuatnya”.
b. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sun Servanda)
Jika terjadi sengketa dalam pelaksanaan perjanjian misalnya salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) maka hakim dengan keputusannya dapat memaksa agar pihak yang melanggar itu melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai perjanjian bahkan hakim dapat memerintahkan pihak yang lain membayar ganti rugi. Putusan pengadilan itu merupakan jaminan bahwa hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian memiliki kepastian hukum secara pasti memiliki perlindungan hukum.
c. Asas Konsensualisme (consensualism)
Xxxx konsensualisme berarti kesepakatan yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip ini adalah dalam hal undang – undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap suatu perjanjian misalnya syarat harus tertulis contoh perjanjian jual beli beli tanah merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.
d. Xxxx Xxxxxx Xxxx (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam pasal 1338 ayat (3) BW yang berbunyi “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik “. Asas ini merupakan asas bahwa para pihak , yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Itikad baik berarti keadaan batin para pihak dalam membuat dan melaksanakan perjanjian harus jujur , terbuka dan saling percaya. Keadaan batin para pihak itu tidak boleh dicemari oleh maksud-maksud untuk melakukan tipu daya atau menutup-nutupi keadaan sebenarnya. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam yakni :
1. Asas itikad baik nisbi , seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek
2. Asas itikad baik mutlak , penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma – norma yang obyektif
e. Xxxx Kepribadian (personality)
Asas kepribadian berarti isi perjanjian hanya mengikat para pihak secara personal , tidak mengikat pihak – pohak lain yang tidak memberikan kesepakatannya. Seseorang hanya dapat mewakilidirinya sendiri dan tidak dapat mewakili dirinya sendiri dan tidak dapat mewakili orang lain dalam membuat perjanjian. Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan / atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja dengan kata lain perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya.
2.2. Pengertian Akta Autentik.
Dalam Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata telah dijelaskan bahwa akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan dalam undang – undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu ditempat akta itu dibuat. Begitu halnya dengan akta notaris sebagai akta autentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak
yang menilai atau menyatakan tidak benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum yang berlaku.21
Dari ketentuan yang tercantum dalam Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata juncto Pasal 1 angka 1, Pasal 15 dan Pasal 38 Undang – Undang Jabatan Notaris dapat kita ketahui bahwa untuk dapatnya suatu akta diklasifikasikan sebagai akat otentik harus dipenuhi :
a. Syarat Formal yaitu syarat yang berkenaan dengan bentuk akta yaitu harus ditetapkan oleh undang-undang.22
b. Syarat Material / substansial yaitu syarat yang berkenaan dengan substansi yang dimuat dalam akta, dimana Notaris berwenang untuk membuatnya.23
c. Syarat Teritorial yaitu syarat yang berkenaan atau terikat dengan kewenanganNotaris atau wilayah dimana akta dibuat.24
d. Syarat Personal yaitu syarat yang berkenaan dengan pembuat akta, yaitu Pejabat Umum , dalam hal ini Notaris , disamping kewenangan yang bersangkutan atas diri pihak yang berkepentingan dalam akta dan para saksi.25
21SyafranSofyan.Notaris “OpenbareAmbteren”.xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxx/ read/analisis/ 384 / notaris- openbare-amtbtenaren-syafran-xxxxxx/ > 30 Mei 2014.
22Betapa pentingnya bentuk akta ini dapat kita lihat rumusan pengertian akta otentik dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , dimana syarat ini ditempatkan pada urutan pertama , disamping dapat kita lihat pula dalam Pasal 38 Undang –undang Jabatan Notaris , yang didalamnya dimuat pengaturan tentang bentuk akta. Lebih dari itu dapat kita lihat pula dalam Pasal 42 Undang-undang yang sama yang mengatur tentang sanksi atas pelanggaran salah satu diantaranya pelanggaran terhadap Pasal 38.
23Dari pengertian tentang Pejabat Umum maupun pengaturan tentang akta otentik yang tercantum dalam Hukum Perdata (Hukum Acara Perdata), dalam hal ini dalam Buku Ke IV Bab I dan Bab II, dalam HIR , Bab IX , Bagian Kedua tentang Bukti, dan RBg, Titel V tentang Bukti dalam perkara Perdata , dapat kita pahami bahwa ruang lingkup kewenangan Notaris dalam membuat alat bukti berada dalam ruang lingkup hukum perdata (hukum acara perdata), dan itupun masih dibatasi berdasar Pasal 15 ayat (1) UUJN bagian akhir.
24Sekalipun kewenangan Notaris meliputi 1 (satu) Propinsi yang meliputi tempat kedudukannya, namun yang harus diingat adalah Notaris tidak berwenang secara berturut-turut dengan tetap menjalankan jabatan diluar tempat kedudukannya.
25Mengenai masalah jumlah saksi , demikian pula derajatnya, yang harus diingat disamping Pasal 40, harus diingat pula Pasal 16 ayat (1) huruf m UUJN, dan Pasal 994 Undang – undang Hukum Perdata.
e. Syarat temporal, yaitu syarat yang berkenaan dengan waktu pembuatan akta dimana Notaris harus mempunyai kewenangan atas waktu tersebut. 26
f. Syarat prosedural yaitu syarat yang berkenaan atau terkait dengan prosedur atau tata cara pembuatan akta.
Apabila salah satu atau lebih dari syarat – syarat diatas tidak terpenuhi maka akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta dibawah tangan bahkan batal. Menurunnya kekuatan pembuktian atau batalnya akta berdampak pada batalnya perbuatan hukum yang dinyatakan dalam akta , manakala akta tersebut merupakan syarat keberadaan atas perbuatan hukum yang dinyatakan dalam akta , misalnya dalam pendirian Perseroan terbatas dan yayasan , 27 sehingga perbuatan hukum yang bersangkutan dianggap yang tidak pernah ada atau terjadi.28
Prosedur Pembuatan Akta Notaris , dalam pembuatan akta Notaris , pertama-tama yang harus dipahami dan diperhatikan adalah mengenai bentuk dan susunan akta , dimana akta Notaris terdiri dan terbagi dalam tiga bagian , yaitu :
a. Awal akta atau Kepala Akta terdiri dari judul akta, nomor akta, jam , hari, tanggal , bulan , tahun dan nama lengkap serta tempat kedudukan Notaris
b. Badan Akta
c. Akhir atau penutup Akta
26Contohnya adalah Notaris dalam keadaan cuti maupun belum mengangkat sumpah.
27Pasal 7 ayat (1) Undang – undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal 9 ayat
(2) Undang – undang Nomor 16 Tahun 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan yang diubah dengan Undang – undang Nomor 28 tahun 2004. Untuk lebih mudah dalam mengetahui bahwa suatu akta otentik (akta Notaris) merupakan syarat keberadaan , biasanya dalam Undang – undang digunakan kalimat “dengan kata Notaris”.
28Dalam hubungannya dengan Akta Otentik yang berisi perbuatan , perjanjian, atau penetapan, terdapat beberapa kemungkinan yaitu : akta maupun perbuatan, perjanjian, penetapan,yang diatur di dalamnya sah, aktanya sah, namun perbuatan , perjanjian atau penetapan yang diatur didalamnya batal atau dapat dibatalkan; aktanya batal atau hanya mempunyai kekuatan pembuktian seperti akta dibawah tangan , sedangkan perbuatan, perjanjian atau penetapan yang diatur didalamnya sah; akta maupun perbuatan, perjanjian, atau penetapan yang diatur didalamnya batal.
2.3 Pengertian Akta Dibawah Tangan
Akta dibawah tangan adalah akta yang dibuat tidak dihadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Pasal 101 ayat b Undang – Undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, menyatakan bahwa akta dibawah tangan , yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak – pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum didalamnya. Daya kekuatan pembuktian akta bawah tangan tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Dalam undang – undang ditentukan bahwa akta bawah tangan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang lengkap sepanjang tanda tangan dalam akta tersebut diakui keasliannya sedangkan apabila tanda tangan atau tulisannya dipungkiri, maka proses pemeriksaan kepalsuan harus diselesaikan terlebih dahulu.
Dari ketentuan pasal 1878 KUHPerdata terdapat kekhususan akta dibawah tangan, yaitu akta harus seluruhnya ditulis dengan tangan sipenandatangan sendiri, atau setidak-tidaknya, selain tanda tangan, harus ditulis dengan tangannya si penandatangan adalah suatu penyebutan yang memuat jumlah atau besarnya barang / uang yang terutang. Dengan kekhususan ini dimaksudkan apabila ketentuannya harus dipenuhi , maka akta tersebut hanya sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan. Tentang pengakuan tanda tangan apabila dikemukakan dimuka hakim, menurut Xxxx. Xx. X. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx pengakuan itu berbunyi “tanda tangan ini betul tanda tangan saya dan isi tulisan adalah benar”. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang
membuatnya, apabila suatu akta dibawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta dibawah tangan tersebut , sehingga sesuai pasal 1857 KUHPerdata akta dibawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu akta autentik. Perjanjian dibawah tangan terdiri dari :
a. Akta dibawah tangan biasa
b. Akta Waarmeking, adalah suatu akta dibawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan , maka Notaris tidak bertanggung jawab terhadap materi / isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
c. Akta Legalisasi, adalah suatu akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak namun penandatangannya disaksikan oleh atau dihadapan Notaris.
Akta dibawah tangan sengaja di buat untuk pembuktian oleh para pihak tanpa bantuan dari pejabat yang berwenang. Ketentuan mengenai akta dibawah tangan dapat ditemukan dalam pasal 1874 KUHPerdata ayat 1.29
2.4 Rumah Susun
Rumah susun adalah salah satu bentuk rumah sebagaimana ditentukan dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Negara Indonesia memberlakukan peraturan tentang peruaturan tentang rumah susun pada 31 Desember 1985,
29Pasal 1874 ayat 1 : “ sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan , akta – akta yang ditandatangani dibawah tangan , surat-surat, register- register, surat – surat urusan rumah tangga dan lain – lain , tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum
bersamaan dengan disahkan dan diundangkannya Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun. Pada 10 November 2011, Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang rumah susun dinyatakan tidak berlaku bersamaan dengan disahkan dan diundangkannya Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Dalam memori penjelasan UU no, 20/2011 disebutkan bahwa penyelanggaraan rumah susun pada dasarnya bertujuan untuk menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau , meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang, mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh, mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan , memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi, memberdayakan para pemangku kepentingan, serta memberikan kepastian hukum dalam penyediaan , kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun. 30 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang – undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun , dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Rumah Susun adalah :
“Bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan , yang terbagi dalam bagian – bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal dan vertikal dan merupakan satuan – satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama”.
Rumah susun yang dimaksud dalam Undang – undang ini adalah istilah yang memberikan pengertian hukum bagi bangunan gedung bertingkat yang senantiasa mengandung sistem kepemilikan perseorangan dan hak bersama yang
30 Xxxxxx Xxxxxx dan Wida Peace Ananta, “Hukum Bisnis Properti Di Indonesia”, Grasindo, Jakarta, 2017, hlm.130
penggunaanya untuk hunian atau bukan hunian. Ciri khas dari rumah susun adalah adanya sifat “kebersamaan” dari rumah susun. Pengertian rumah susun sebagaimana pasal 1 angka 1 UU no. 20/2011 mengandung kebersamaan dalam istilah bagian bersama , benda bersama, dan tanah bersama. Ketiga istilah tersebut memiliki definisi atau pengertian sebagaimana dijelaskan berikut :
1. Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan – satuan rumah susun. (vide pasal 1 angka 5 UU no. 20 Tahun 2011)
2. Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun , melainkan bagian yang dimiliki bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama. (vide pasal 1 angka 6 UU no.20/2011)
3. Tanah bersama adalah sebidang tanah hak atau tanah sewa untuk bangunan yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persayaratan izin mendirikan bangunan. (vide pasal 1 angka 4 UU no.20/2011)
Rumah susun memiliki keterkaitan dengan tanah. Secara logis, pendirian rumah susun akan selalu menyangkut pada persoalan tentang tanah. Tentu harus dibedakan konsep tanah menurut hukum Indonesia dengan konsep tanah Eropa Barat. Menurut UUPA, bagi tanah berlaku asas pemisahan horizontal ( horizontal scheiding) yaitu antara tanah dan benda-benda yang terletak diatasnya sebagai bagian – bagian terpisah, hal mana membedakannya dengan hukum tanah Eropa Barat yang menganut asas accessie (tanah dan benda yang terletak diatasnya menjadi satu kesatuan. Xxxx.Xxxxx Xxxxxxx dengan tegas menyatakan bahwa hak
milik atas satuan rumah susun (HMSRS) bukan hak atas tanah , tetapiberkaitan dengan tanah.31
Secara fundamental, UU no. 20/2011 mengandung sejumlah asas, sebagaimana diuraikan secara lengkap berikut ini : 32
1. Kesejahteraan , yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak bagi masyarakat agar mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
2. Keadilan dan pemerataan, yaitu memberikan hasil pembangunan dibidang rumah susun agar dapat dinikmati secara proporsional dan merata bagi seluruh rakyat.
3. Kenasionalan , yaitu memberikan landasan agar kepemilikan sarusun dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan nasional.
4. Keterjangkauan dan kemudahan, yaitu memberikan landasan agar hasil pembangunan rumah susun dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, serta mendorong terciptanya iklim kondusif dengan memberikan kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
5. Keefisienan dan kemanfaatan , yaitu memberikan landasan penyelenggaraan rumah susun yang dilakukan dengan memaksimalkan potensi sumber daya tanah , teknologi rancang bangunan, dan industri bahan bangunan yang sehat serta memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.
31 Xxxxx Xxxxxxx,Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang – Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya, Jilid-1 Hukum Tanah Nasional, Jakarta:Djambatan,2008, hlm348
32 Xxxxxx Xxxxxx dan Wida Peace Ananta, “Hukum Bisnis Properti Di Indonesia”, Grasindo, Jakarta, 2017, hlm.134
6. Kemandirian dan kebersamaan , yaitu memberikan landasan penyelanggaran rumah susun bertumou pada prakarsa , swadaya, dan peran serta masyarakat sehingga mampu membangun kepercayaan , kemampuan , dan kekuatan sendiri serta terciptanya kerja sama antar pemangku kepentingan.
7. Kemitraan , yaitu memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling mendukung.
8. Keserasian dan keseimbangan , yaitu memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan dengan mewujudkan keserasian dan keseimbangan pola pemanfaatan ruang.
9. Keterpaduan , yaitu memberikan landasan agar rumah susun diselenggarakan secara terpadu dalam hal kebijakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengendalian.
10. Kesehatan , yaitu memberikan landasan agar pembangunan rumah susun memenuhi standar rumah sehat , syarat kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat.
11. Kelestarian dan berkelanjutan , yaitu memberikan landasan agar rumah susun diselenggarakan dengan menjaga kesimbangan lingkungan hidup dan menyesuaikan dengan kebutuhan yang terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk dan keterbatasan lahan.
12. Keselamatan, kenyamanan , dan kemudahan, yaitu memberikan landasan agar bangunan rumah susun memenuhi persyaratan keselamatan, yaitu kemampuan bangunan rumah susun mendukung beban muatan , pengamanan bahaya
kebakaran dan bahaya petir , persyaratan kenyamanan ruang dan gerak antar ruang , pengondisian udara, pandangan, getaran, dan kebisingan, serta persyaratan kemudahan hubungan ke, dari dan di dalam bangunan, kelengkapan prasarana, dan sarana rumah susun termasuk fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut usia.
13. Keamanan , ketertiban dan keteraturan, yaitu memberikan landasan agar pengelolaan dan pemanfaatan rumah susun dapat menjamin bangunan , lingkungan dan penghuni dari segala gangguan dan ancaman keamanan , ketertiban dalam melaksanakan kehidupan bertempat tinggal dan kehidupan sosialnya, serta keteraturan dalam pemenuhan ketentuan administratif.33
Berdasarkan asas – asas sebagaimana diatas, pasal 3 UU No. 20/2011 menjabarkan beberapa tujuan dari pengundangan undang – undang rumah susun, antara lain sebagai berikut :
1. Menjamin terwujudnya rumah susun yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan sehat , aman, harmonis dan berkelanjutan serta menciptakan permukiman yang terpadu guna membangun ketahanan ekonomi, sosial dan budaya;
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan ruang dan tanah , serta menyediakan ruang terbuka hijau dikawasan perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang perkotaan dalam menciptakan kawasan permukiman yang lengkap serta serasi dan seimbang dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan;
33 Lihat pasal 2 UU no. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun , beserta memori penjelasannya
3. Mengurangi luasan dan mencegah timbulnya perumahan dan permukiman kumuh;
4. Mengarahkan pengembangan kawasan perkotaan yang serasi , seimbang , efisien dan produktif;
5. Memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi yang menunjang kehidupan penghuni dan masyarakat dengan tetap mengutamakan tujuan pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak , terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah;
6. Memberdayakan para pemangku kepentingan dibidang pembangunan rumah susun;
7. Menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah susun yang layak dan terjangkau , terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dalam lingkungan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan dalam suatu sistem tata kelola perumahan dan permukiman yang terpadu;
8. Memberikan kepastian hukum dalam penyediaan , kepenghunian, pengelolaan, dan kepemilikan rumah susun.
Arah kebijaksanaan rumah susun di Indonesia tercantum dalam Undang- undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun yang berisi 2 (dua) unsur pokok yaitu :
a. Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan , dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepadatan tinggi;
b. Konsep pengembangan hukum, dengan menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimikili secara perseorangan dengan pemilikan
bersama atas benda , bagian dan tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni, yang dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya dapat bertindak.
Berdasarkan arah kebijakan sebagaimana tersebut diatas , maka tujuan pembangunan rumah susun adalah :
a. Untuk pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat dalam lingkungan sehat;
b. Untuk mewujudkan pemukiman yang serasi dan seimbang;
c. Untuk meremajakan daerah-daerah kumuh;
d. Untuk mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan;
e. Untuk mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk.
2.5 Teori Kepastian Hukum
Kepastian hukum bersumber dari pemikiran positifis dari dunia hukum yang dianut oleh aliran Xxxxxxx Xxxxxxxx, yang dipandang dari sudut ilmu hukum positif/normatif atau yuridis dogmatik, tujuan hukum dititik beratkan pada segi kepastian hukumnya, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini hukum tak lain hanya kumpulan aturan. Bagi aliran ini tujuan hukum tidak lain dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum34. Selanjutnya menurut Xxxxx Xxx menjelaskan maksud pada penganut aliran ini “janji hukum” yang tertuang dalam rumusan
34 Xxxxx Xxx, Menguak Takbir Hukum (Suatu Kajian Filosofis Xxx Xxxxxxxxxx,(jakarta: Xxxxxxx Xxxxxxx, 1996), hlm 94-95.
aturan tadi, merupakan “kepastian” yang harus diwujudkan. Aliran ini melupakan bahwa sebenarnya “janji hukum” itu bukan suatu yang “harus” tetapi suatu yang “seharusnya”. Dapat mengerti bahwa apa yang seharusnya (sollen) belum tentu terwujud dalam kenyataan (sein).
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxx terlebih dahulu harus menciptakan suatu kepastian pula di dalam tubuhnya sendiri. Tuntutan yang terakhir ini mendatangkan beban formal yang wajib dipenuhinya yaitu susunan tata aturan yang penuh konsistensi.35 Menurut Xxxxxxxx sebagaimana dikutip oleh Xxxx Xxxxxxxx Teori kepastian Hukum adalah hubungan antara keadilan dan kepastian hukum. Teori kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenang-wenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang dibebankan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa Pasal dalam Undang-undang melainkan juga konsistensi antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah diputuskan. 36
Kepastian hukum dalam perundang-undangan mengandung pengertian dalam hal substansi hukum dan dalam norma hukum agar perundang-undangan yang dibuat berkeadilan dan bermanfaat. Menurut xxxx xxxxxx, norma hukum
35 Xxxxxxxx Xxxxxxxx Dan M. Isnaeni, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Dalam Kerangka Tata Hukum Indonesia, Jurnal Hukum Ekonomi, Agustus 1996, Edisi V, hal 34.
Hlm 158
36 Xxxxxxx, Xxxxx Xxxxxx,Pengantar Ilmu Hukum,(Jakrta: Kencana Pranada Media Group, 2008)
adalah aturan, pola atau standart yang perlu diikuti, kemudian dijelaskan bahwa fungsi norma hukum adalah:
a. Memerintah (gebeiten);
b. Melarang (verbeiten);
c. Menguasakan (ermachtigen);
d. Membolehkan (erlauben);
e. Menyimpang dari ketentuan (derogoereen).37
Norma hukum pada hakekatnya juga merupakan unsur pokok dalam peraturan perundang-undangan. Pada kepustakaan Eropa Kontinental, mengenai apa yang dimaksud dengan peraturan perundangan atau wet in materiele zin, gezets in materiellen sinne, mengandung tiga unsur pokok , yaitu:
1. Norma hukum (rechtsnormen);
2. Berlaku keluar (naar buiten werken);
3. Bersifat umum dalam arti luas (algemeenheid in ruinme zin)
Sifat norma hukum dalam peraturan perundang-undangan dapat berupa perintah (gebod), larangan (verbod), pengizinan (toestemming), dan pembebasan (vrijstelling).38
Teori kepastian hukum dipergunakan apabila suatu peraturan dibuat dan diundangkan serta diatur secara jelas dan logis, mengandung pengertian sebagai berikut:
a. Adanya aturan hukum yang konsisten dan dapat diterapkan, yan ditetapkan oleh pemerintah;
37 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 2006), Hlm
11
38 ibid
b. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukuum tersebut secara konsisten dan berpegang pada aturan hukum tersebut;
c. Sebagian besar rakyat pada dasarnya conform (mengikuti) pada aturan tersebut;
d. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan aturan hukum tersebut. 39
Kepastian hukum merupakan wujud asas legalitas yang dimaknai oleh xxxxxxx Xxxxxxx dari dua sisi yaitu:
1. Dari sisi warga Negara sebagai kelanjutan dari prinsip pembatasan kekuasaan Negara terhadap perseorangan adalah pelanggaran terhadap hak-hak individual itu hanya dapat dilakukan apabila diperbolehkan dan berdasarkan peraturan- peraturan hukum.
2. Dari sisi Negara, yaitu tiap tindakan Negara harus berdasarkan hukum.
Peraturan perundang-undangan yang diadakan terlebih dahulu merupakan batas kekuasaan bertindak Negara.40
Nilai kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara dari kekuasaan yang bertindak sewenang – wenang , sehingga hukum memberikan tanggung jawab pada negara untuk menjalankannya. Nilai itu mempunyai relasi yang erat dengan instrumen hukum positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam hukum
39 I Xxxxx Xxxxxx Wairovana, Implementasi Good Governance Dalam Legislasi Daerah., Oreasi Ilomiah Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2008, Hlm 21
40 Xxxxxxx Xxxxxxx, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1973), Hlm 9
positif. 41 Dalam hal ini kepastian hukum berkedudukansebagai suatu nilai yang harus ada dalam setiap hukum yang dibuat dan diterapkan. Sehingga hukum itu dapat memberikan rasa keadilan dan dapat mewujudkan adanya ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat , berbangsa dan bernegara.42
Secara filsafat hukum diharapkan dapat memenuhi aspek ontologi yaitu menciptakan ketentraman dan kebahagian bagi hidup manusia, sebagai suatu tujuan yang ingin dicapai setiap manusia dan merupakan hakikat dari hukum itu sendiri. Menurut Xxxx Xxxxxxxx hakekat hukum juga menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan masyarakat yang adil.43 Bagi aliran positivisme, tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum , karena adanya kepastian hukum, fungsi hukum dapat berjalan dengan baik dan mampu mempertahankan ketertiban. Kepastian hukum adalah syarat mutlak setiap peraturan, persoalan keadilan dan kemanfaatan hukum bukan alasan pokok dari tujuan hukum tetapi yang penting adalah kepastian hukum.44
Ajaran positivisme timbul pada abad 19 dan termasuk jenis filsafat abad modern. Kelahirannya hampir bersamaan dengan empirisme. Kesamaan diantara keduanya antara lain bahwa keduanya mengutamakan pengalaman. Perbedaannya
, positivisme hanya membatasi diri pada pengalaman – pengalaman objektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman – pengalaman batiniah atau pengalaman yang subjektif. Tokoh terpenting aliran positivisme adalah Xxxxxx Xxxxx (1798-1857), Xxxx Xxxxxx Xxxx (1806-1873), dan Xxxxxxx Xxxxxxx (1820-
41Xxxx Xxxxxxx, Filsafat Hukum Mazhab dan Reflkesinya, Remaja Rosdakarya Offset, Bandung , 1994,hlm 27
42Ibid, hlm 27
43Xxxx Xxxxxxxx, 1995, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hlm 75
44Ridwan Xxxxx A, 2005, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Bogor,
hlm 71
1903). Kepastian mengandung beberapa arti , diantaranya adanya kejelasan , tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu dengan hukum yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber keraguan.
Hukum di negara berkembang ada dua pengertian tentang kepastian hukum menurut Xxxxxx Xxxxxxxx yaitu kepastian oleh karena hukum, dan kepastian dalam atau dari hukum. Menjamin kepastian oleh karena hukum menjadi tugas dari hukum . hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian dalam hubungan – hubungan kemasyarakatan adalah hukum yang berguna , sedangkan kepastian dalam atau dari hukum tercapai apabila hukum itu sebanyak – banyaknya hukum undang – undang, dalam undang – undang tersebut tidak tidak ada ketentuan yang saling bertentangan (undang-undang berdasarkan pada sistem logis dan pasti). Undang – undang tersebut dibuat berdasarkan kenyataan hukum dan undang – undang tersebut tidak ada istilah – istilah hukum yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.45
2.6 Teori Perlindungan Hukum
Kehadiran hukum dalam masyarakat adalah untuk mengintegrasikan danmengkoordinasikan kepentingan-kepentingan yang biasa bertentangan antara satusama lain. Maka dari itu, hukum harus bisa mengintegrasikannya
45E.Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan Keenam, P.T Penerbit Balai Pustaka Ichtiar, Jakarta, 1973. Hal.26
sehinggabenturan-benturan kepentingan itu dapat ditekan seminimal mungkin.Dalam hal terkait pembelian rumah susun perlindungan hukum sangatlah penting untuk menjamin hak – hak dari penjual maupun pembeli.
Secara kebahasaan, kata perlindungan dalam bahas Inggris disebut denganprotection. Istilah perlindungan menurut KBBI dapat disamakan dengan istilahproteksi, yang artinya adalah proses atau perbuatan memperlindungi, sedangkanmenurut Black’s Law Dictionary, protection adalah the act of protecting.46Dalam hal memahami hukum ada konsep konstruksi hukum. Terdapat tigajenis atau tiga macam konstruksi hukum yaitu, pertama, konstruksi hukum dengancara memperlawankan. Maksudnya adalah menafsirkan hukum antara aturanaturan dalam peraturan perundang-undangan dengan kasus atau masalah yang dihadapi. Kedua, konstruksi hukum yang mempersempit adalah membatasi prosespenafsiran hukum yang ada di peraturan perundang-undangan dengan keadaanyang sebenarnya. Ketiga, konstruksi hukum yang memperluas yaitu konstruksiyang menafsirkan hukum dengan cara memperluas makna yang dihadapi sehinggasuatu masalah dapat dijerat dalam suatu peraturan perundang- undangan.
Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yangberbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikanoleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah. Dengan demikian, perlindunganhukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk
46 Xxxxx X. Xxxxxx, Black’s Law Dictionary, ninth edition, (St. xxxx: West, 2009), h.1343.
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warga negaranya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan bagi yangmelanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.47Pengertian perlindungan adalah tempat berlindung, hal (perbuatan dansebagainya) memperlindungi. Dalam KBBI yang dimaksud dengan perlindungan adalah cara, proses, dan perbuatan melindungi. Sedangkan hukum adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah atau yang data berlaku bagi semua orang dalam masyarakat (negara). Pengertian perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikanterhadap subyek hukun dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifatpreventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum,yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban,kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.48
Adapun pendapat yang dikutip dari bebearpa ahli mengenai perlindungan hukum sebagai berikut:
1. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxx perlindungan hukum adalah adanya upayamelindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu HakAsasi Manusia kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangkakepentingannya tersebut.49
47 Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum”, Republika, 24 Mei 2004.
43 Rahayu, Pengangkutan Orang, xxx.xxxxxxx.xxx.xx.xx. Peraturan Pemerintah RI, Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Tatacara Perlindungan Korban dan Saksi Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat Undang-Undang RI, Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,2009
49 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2003),h.121.
2. Menurut Setiono perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untukmelindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yangtidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban danketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.50
3. Menurut Xxxxxxx perlindungan hukum adalah kegiatan untuk melindungiindividu dengan menyerasikan hubungan nilai-nilai atau kaidah- kaidah yangmenjelma dalam sikap dan tindakan dalam menciptakan adanya ketertibandalam pergaulan hidup antara sesama manusia.51
4. Menurut Xxxxx Xxxxxxx perlindungan hukum yaitu merupakan segala upaya yang dapat menjamin adanya kepastian hukum, sehingga dapat memberikanperlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersangkutan atau yang melakukan tindakan hukum.52
Suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabilamengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.
2. Jaminan kepastian hukum.
3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.
4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.
50Setiono, “Rule of Law”, (Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2004), h.3.
46Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, (Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret, 2003), h. 14.
47 Xxxxx Xxxxxxx, “Perlindungan Konsumen dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumenatas Kendaraan Bermotor dengan Fidusia”, artikel diakses pada 1 Juni 2015 darihttp://xxxxxx.xxxxxx.xx.xx/xxx0/xxxxxxxxxxxx.xxxx.
BAB III
SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL
Penulis memberikan kerangka konseptual untuk menjawab isu hukum yang ada dalam penelitian tesis ini sebagaimana telah dijabarkan dalam rumusan masalah serta mempermudah alur berpikir. Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek akan melahirkan teori-teori yang berbeda, terkait itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan – pembatasan (kerangka) baik teori maupun konsepsional merupakan hal yang penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah. Pentingnya kerangka konseptual dan landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum , dikemukakan juga oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamuji, bahwa kedua kerangka tersebut merupakan unsur yang sangat penting.53
Telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka beberapa pokok pikiran sebelum menyusun kerangka konseptual tentang Teori Kepastian Hukum, Teori Perlindungan Hukum, Perjanjian berdasarkan buku III KUH-Perdata, Akta Otentik, Akta Dibawah Tangan serta teori yang berkaitan dengan rumusan masalah, agar peneliti mempunyai kerangka berpikir dalam memecahkan masalah dalam penelitian.
Sesuai dengan judul Tesis ini adalah “Kepastian Hukum Bentuk Perjanjian Pengikatan Jual Beli Rumah Susun” yang dikemukakan dalam tiga rumusan masalah. Pada rumusan masalah yang pertama dikandung maksud bentuk
53 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 1986, hlm.7
perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris dengan batu uji yaitu menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan juga menggunakan teori kepastian hukum. Selanjutnya untuk menjawab rumusan masalah kedua, peneliti mendiskripsikan kepastian hukum bagi para pihak terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan notaris, dengan batu uji menggunakan pendekatan perundang- undangan, konseptual, kasus dan juga menggunakan teori kepastian hukum. Adapun menjawab rumusan masalah ketiga yaitu konsep pengaturan bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam hal ini peneliti menggunakan batu uji pendekatan perundang- undangan, konseptual, teori perlindungan hukum dan juga menggunakan teori kepastian hukum.
Agar mempermudah gambaran konseptual guna menjawab setiap rumusan masalah yang diajukan , maka peneliti membuat gambar berbentuk skema dihalaman berikutnya.
Batu uji : menggunakan Pendekatan perundang- undangan , konseptual dan juga menggunakan teori Kepastian Hukum, teori perlindungan hukum
Batu uji : menggunakan Pendekatan
perundang-undangan , Pendekatan kasus dan juga menggunakan teori Kepastian Hukum
Batu uji : menggunakan Pendekatan
perundang-undangan , konseptual, dan juga menggunakan teori Kepastian Hukum
SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL
“KEPASTIAN HUKUM BENTUK PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI RUMAH SUSUN”
Bagaimanakah konsep pengaturan bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun dalam rangka menjamin kepastian hukum susun
Bagaimanakah kepastian hukum bagi para pihak terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan notaris
Apa bentuk perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat dihadapan Notaris
KESIMPULAN DAN SARAN
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Bentuk perjanjian pengikatan jual beli “yang dibuat dihadapan Notaris”
Makna adalah arti atau maksud yang tersimpul dari suatu kata, jadi makna dengan bendanya sangat bertautan dan saling menyatu. Jika suatu kata tidak bisa dihubungkan dengan bendanya, peristiwa atau keadaan tertentu maka kita tidak bisa memperoleh makna dari kata itu54 Makna merupakan bentuk response dari stimulus yang diperoleh pemeran dalam komunikasi sesuai dengan asosiasi maupun hasil belajar yang dimiliki.55 Makna kata dapat menjadi jelas jika sudah digunakan dalam suatu kalimat.
Kata-kata yang berasal dari dasar yang sama sering menjadi sumber kesulitan atau kesalahan berbahasa, maka pilihan dan penggunaannya harus sesuai dengan makna yang terkandung dalam sebuah kata. Agar bahasa yang dipergunakan mudah dipahami, dimengerti, dan tidak salah penafsirannya, dari segi makna yang dapat menumbuhkan resksi dalam pikiran pembaca atau pendengar karena rangsangan aspek bentuk kata tertentu.
Ada beberapa istilah yang berhubungan dengan pengertian makna kata, sebagai berikut:56
54 Xxxxxxx Xxxxxxxx. Tata Bahasa Indonesia. Cetakan II. (Jakarta: Xxxxxxxxx, 1984), hlm 19 55 Xxxxx Xxxxx. Linguistik Umum, Cetakan IV, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2012), hlm 20 56 Xxxxxxxx Xxxxxxx. Ejaan Yang Disempurnakan dan Seputar Kebahasa-Indonesiaan,
Cetakan IV, (Bandung: Ruang Kata, 2013), hlm 6
1. Makna Referensial
Sebuah kata atau leksem disebut bermakna referensial kalau ada referensnya, atau acuannya.
2. Makna Nonreferensial
Sebuah kata atau leksem yang tidak memiliki refensnya atau yang diacu oleh kata tersebut.
3. Makna Leksikal
Makna leksikal adalah makna suatu kata sebelum mengalami proses perubahan bentuk. Makna lesikal disebut pula makna kampus.
4. Makna Gramatikal
Makna gramatikal adalah makna suatu kata setelah kata itu mengalami proses gramatikalisasi, seperti pengimbuhan, pengulangan, atau pemajemukan. Makna gramatikal sangat bergantung pada struktur kalimatnya. Oleh karena itu, makna gramatikal disebut pula makna struktural.
5. Makna Denotasi
Makna denotatif adalah makna suatu kata sesuai dengan konsep asalnya, tanpa mengalami perubahan makna atau penambahan makna. Makna denotasi disebut pula makna lugas.
6. Makna Konotasi
Makna konotasi adalah makna suatu kata berdasarkan berdasarkan perasaan atau pemikiran orang. Makna konotasi dapat dianggap sebagai makna denotasi yang mengalami penambahan makna. Penambahan tersebut berupa pengiasan
atau perbandingan dengan benda atau hal lainnya. Oleh karena itu, makna konotasi disebut pula makna kias atau makna kontekstual.
7. Makna Konseptual
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau asosiasi apapun.
8. Makna Asosiatif
Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah lleksem atau kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan sesuatu yang berada diluar bahasa.
9. Makna Idiom
Makna idiom adalah satuan ujuran yang maknanya tidak dapat “diramalkan” dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal.
Ada dua macam idiom, yaitu:
a. Idiom penuh
Idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu.
b. Idiom sebagian
Idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri.
10. Makna Peribahasa
Makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya.
11. Makna Kias
Tampaknya penggunaan istilah arti kiasan ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh karena itu, semua bentuk bahasa (baik kata, frase, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, atau arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan.
Menurut Xxxxx Xxxxxx Anshori57, akta sendiri ialah surat yang berguna sebagai alat bukti yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Penandatanganan surat wajib dilakukan sehingga dapat berbentuk akta yang berasal dari Pasal 1864 KUHPerdata tetapi tidak dapat diberlakukan menjadi akta otentik karena tidak disahkan oleh pegawai yang tidak berwenang atau cakap (van onbevoegheid of onbekwaamheid van den ambtenaar). Akta yang ditandatangani oleh para pihak mempunyai kekuatan (kracht) yang disebut tulisan di bawah tangan (onderhandsch geschrift). Tanda tangan memberikan ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Pendek kata, akta adalah surat yang ditandatangani dengan maksud dan sengaja yang berisi klausula-klausula dari kesepakatan pembuatnya sebagai alat bukti.
Ada dua teori dalam pembuatan akta otentik. Secara teoritis, akta yang di tandatangani oleh Notaris menjadi akta otentik secara teoritis ialah surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Yang dimaksud dengan sejak semula dengan sengaja yaitu sejak awal tujuan daripada surat itu dibuat sebagai pembuktian di kemudian hari apabila terjadi sengketa di
57 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Lembaga Kenotariatan Indonesia: Perspektif Hukum dan Etika, (Yogyakarta: UII Press, 2009), hlm 18.
antara para pihak. Bentuk surat lain yaitu surat korespondensi yang mana surat ini dibuat dengan sengaja sebagai lalu lintas surat menyurat tanpa adanya suatu perjanjian atau perikatan dalam ranah yuridis58.
Berdasar UUJN, akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang- undang ini. Ada 2 (dua) jenis atau golongan akta Notaris, menurut Xxxxx Xxxxx00, yaitu: (1) akta yang dibuat oleh (door) Notaris disebut dengan istilah Akta Relaas atau Berita Acara, (2) akta yang dibuat di hadapan Notaris (ten overstaan) Notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Pihak atau Akta Parti
4.1.1 Latar belakang pasal 43 Undang – undang Rumah Susun
Undang – undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, mengatur tentang rumah susun dari mulai pengadaan tanah , perijinan, pemilikan juga mengenai pembentukan perhimpunan penghuninya , adalah semua menjadi inisiatif pengembang karenanya konsumen juga harus memperhatikan pengembang yang beritikad baik. Pelaku pembangunan dalam hal ini dapat memasarkan unit rumah susun dengan menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli dihadapan Notaris hal itu diatur dalam Pasal 43 UU Rumah Susun.
Latar belakang pembuatan pasal 43 UU Rumah Susun , mengapa pembuat undang – undang begitu detail mengatur syarat yang harus dipenuhi pengembang , dan bagaimana pelaksanaannya oleh pengembang dan konsumen , proyek pembangunan rumah susun pemasarannya harus menyesuaikan dengan peraturan dalam Undang – Undang Rumah Susun yang baru terbit menggantikan UU no. 16
58 Ibid
59 Xxxxx Xxxxx, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2008), hlm 45
Tahun 1985, khusus Pasal 43 UU Rumah Susun mengatur tentang proses jual beli sebelum pembangunan rumah susun selesai.
Beberapa pengembang yang berencana membangun ditahun 2011 ragu tentang bagaimana pelaksanaan peraturan baru ini, pengembang mengalami kebingungan karena dari sisi bisnis pengembang dalam membangun apartemen dan tempat usaha , juga membutuhkan kepastian dana dari masyarakat, kepastian pembeli meski itu hanya berupa perikatan, hal ini diperlukan untuk kelancaran perputaran keuangan (cash flow) pengembang. Program pemasaran yang dilakukan sebelum pembangunan dimulai, dengan cara launching product , para calon pembeli, sudah menyetorkan dana awal mereka, dengan menandatangani surat pemesanan, dan pembayaran booking fee , apabila berminat maka dilanjutkan dengan pelunasan dengan membayar tunai atau cara kredit.
Selama Undang – Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Satuan Rumah Susun berlaku para pelaku pembangunan melakukan penjualan rumah susun sebelum melakukan penjualan rumah susun sebelum pembangunan selesai dengan cara menjual “gambar” berupa leaflet yang berisi gambar menarik yang menerangkan tentang produk atau berupa maketsebuah miniatur model bangunan yang akan dibuat untuk memvisualisasikan hasil rancangan bangunan dan dalam hal melakukan transaksi jual beli ini tentu saja memiliki kekuatan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH-Perdata , bahwa perjanjian akan menjadi undang – undang bagi para pihak, akan tetapi objek perjanjian yang masih belum terlihat wujudnya berpotensi dapat dibatalkan jika salah satu pihak menggugat.
Teori hukum yang relevan untuk menganalisis secara kritis permasalahan ini adalah teori kepastian hukum (legal certainty), kata kepastian hukum yang bermakna sesuatu yang bersifat pasti , setelah hukum diundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara , dan bagi yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi menurut hukum itu juga. Teori kepastian hukum yang dikutip oleh Xxxxxxx
L. Tanya dalam buku Teori hukum yaitu teori Xxxxxx Xxxxxxxx yang menyatakan bahwa hukum tidak hanya sebagai tatanan formal dari norma- norma , menurut Xxxxxxxx mengemban nilai keadilan bagi kehidupan konkret manusia, dan untuk melengkapi keadilan dan finalitas itu, dibutuhkan kepastian. Karenanya hukum harus memberikan solusi lewat jalan “ukuran umum kebahagiaan” hak – hak individu dilindungi demi memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
4.1.2 Konsep perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan Notaris
a. Legalisasi
Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a UU Jabatan Notaris, Notaris, dalam jabatannya, berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan, dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini, merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan, yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan, atau oleh para pihak, di atas kertas yang bermaterai cukup, dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus, yang disediakan oleh Notaris.
Ringkasnya, poin dari legalisasi ini adalah, para pihak membuat suratnya, dibawa ke Notaris, lalu menandatanganinya di hadapan Notaris, kemudian dicatatkan dalam Buku Legalisasi. Tanggal pada saat penandatanganan
dihadapan Notaris itulah, sebagai tanggal terjadinya perbuatan hukum, yang melahiran hak dan kewajiban antara para pihak.
Penjelasan detailnya, Notaris dapat pula membacakan/menjelaskan isi dari surat tersebut atau hanya mengesahkan tanda tangan dan kepastian tanggalnya saja. Poinnya tetap pada para pihak harus membubuhkan tanda tangannya di hadapan Notaris, untuk kemudian tanda tangan tersebut disahkan olehnya. Notaris menetapkan kepastian tanggal, sebagai tanggal ditandatanganinya perjanjian di bawah tangan antara para pihak. Notaris kemudian menuliskan redaksi Legalisasi pada surat tersebut.
Pengesahan tanda tangan dan penetapan kepastian tanggal, dicatatkan dalam buku khusus, yaitu Buku Legalisasi. Notaris yang menyaksikan dan mengesahkan tanda tangan, menetapkan kepastian tanggal, sebagai pejabat yang diberi kewenangan oleh UU untuk menjelaskan /membenarkan/ memastikan bahwa benar pada tanggal sebagaimana tertulis dalam Buku Legalisasi, para pihak membuat perjanjian di bawah tangan dan menghadap padanya untuk menandatangani surat tersebut. Redaksi yang tertulis di lembar legalisasi tersebut, sebatas itulah pertanggungjawaban Notaris.Artinya, dokumen/surat yang dibuat di bawah tangan tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen)
karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut.
b. Notariil
Akta otentik adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang – undang dibuat oleh atau dihadfapan pegawai –pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Maka yang dimaksud sebagai akta otentik harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Bentuknya sesuai Undang – Undang
Bentuk dari akta notaris , akta perkawinan, akta kelahiran dan lain – lain sudah ditentukan format dan isinya oleh Undang – Undang . Namun ada juga akta-akta yang bersifat perjanjian kedua belah pihak yang isinya berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak.
2. Dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang
Dalam hal ini yang disebut pejabat umum yang berwenang bukan hanya Notaris , karena tidak hanya notaris yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta yang bersifat otentik. Notaris hanya berwenang untuk membuat akta-akta otentik yang berkaitan dengan hubungan dan hak-hak keperdataan seseorang, pendirian serta perubahan usaha dan lain sebagainya. Untuk pembuatan akta nikah kewenangan berada ditangan pejabat KUA (Kantor Urusan Agama) / pejabat pencatatan
sipil, akta-akta tanah kewenangannya pada Pejabat Pembuat Akta Tanah, dan seterusnya.
3. Kekuatan pembuktian yang sempurna
Dalam hal diperlukan sebagai alat bukti di Pengadilan misalnya, akta- akta otentik tersebut merupakan bukti yang tidak dapat disangkal lagi. Kecuali pihak lawan atau pengajuan bukti lain yang menyatakan sebaliknya.
Ketentuan mengenai kewenangan Notaris untuk membuat akta otentik diatur dalam UUJN dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, disebutkan bahwa Notaris merupakan pejabat umum, yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam UU ini atau berdasarkan UU lainnya. Frasa “ditempat dimana akta dibuat”dalam Pasal 1868 KUHPerdata, berhubungan dengan tempat kedudukan Notaris, bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di wilayah kabupaten atau kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN) wilayah jabatan Notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).
Mengenai kewenangan Notaris, pasal 15 ayat (1) UUJN memberikan jabarannya, bahwa Notaris , dalam jabatannya , berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian , dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan / atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta Otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kuti[an akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang- undang.
Akta Notaris atau Notariil Akta, dalam Pasal 1 angka 7 UUJN, dimaknai sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UU ini. Secara gramatikal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, akta dimaknai sebagai surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan, pengakuan, keputusan, dan sebagainya) tentang peristiwa hukum yang dibuat menurut peraturan yang berlaku , disaksikan dan disahkan oleh pejabat resmi. Sampai pada titik ini , sudah jelas kiranya mengenai posisi, fungsi, tugas dan wewenang Notaris.Bahwa dalam jabatannya, Notaris berwenang membuat akta otentik.
4.1.3 Titik temu makna perjanjian jual beli yang dibuat dihadapan Notaris
Berbicara mengenai perjanjian pengikatan jual beli, merupakan perjanjian yang tidak berbeda dengan perjanjian pada umumnya. Perjanjian ini lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan berbentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu terobosan baru yang lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah dan bangunan yang akhirnya menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli.
Pejabat pembuat akta tanah akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya karena belum selesainya semua persyaratan tersebut, untuk tetap dapat melakukan jual beli maka para pihak sepakat bahwa jual beli akan dilakukan setelah Akta Jual Beli (AJB) sudah dibalik nama ke atas nama pihak penjual dan sertifikat tanah hak milik adat akan di urus oleh salah satu satu pihak, untuk menjaga agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang di minta bisa diurus maka biasanya pihak yang akan melakukan jual beli menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama perjanjian pengikatan jual beli.
Berkaitan dengan pengertian perjanjian pengikatan jual beli menurut para ahli antara lain :
1. Menurut X.Xxxxxxx, dikatakan bahwa “perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi terlebih dahulu untuk dapat dilakukan jual beli.
2. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx , Perjanjian Pengikatan Jual beli adalah : “Perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas . Pada umumnya perjanjian pengikatan jual beli mengandung janji –janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh satu pihak atau para pihak sebelum dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak.”
Pada prinsipnya , pihak penjual dan pihak pembeli menginginkan bahwa barang atau benda yang akan menjadi objek jual beli dapat diserahkan dan diterima oleh masing – masing pihak , namun, dalam praktiknya, ada perjanjian
jual beli, dimana objeknya belum dapat dialihkan kepada calon pembeli, karena belum dilengkapi dokumen – dokumen yang berkaitan dengan objek tersebut dan/atau harga barang belum dilunasi secara penuh oleh calon pembeli.para pihak menginginkan bahwa objek dan harga tetap akan dijual dan dibeli oleh kedua belah pihak , untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak – hak dan kewajiban mereka maka perlu dibuatkan akta perjanjian, yang disebut dengan akta perjanjian pengikatan jual beli.
Akta perjanjian pengikatan jual beli yang dalam bahasa Inggris disebut dengan deed the binding sale and purchase agreement, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan acte bindende koopovereenkomst merupakan surat tanda bukti yang memuat klausula-klausula yang berkaitan dengan perjanjian pengikatan jual beli. Ada empat suku kata yang terkandung dalam akta perjanjian pengikatan jual beli , yang meliputi :
a. Akta;
b. Perjanjian;
c. Pengikatan; dan
d. Jual beli.
Ada dua pihak yang terkait dalam kontrak ini , yaitu : promisor adalah orang yang melaksanakan atau menyampaikan atau menawarkan kehendak atau niatnya, sedangkan promisee adalah orang yang ditujukan terhadap kehendak atau niat tersebut.
Hal mendasar yang diatur dalam UU No. 20/2011, pada intinya antara lain mengenai jaminan kepastian hukum kepemilikan dan kepenghunian atas sarusun
bagi masyarakat berpenghasilan rendah, adanya badan yang menjamin penyediaan rumah susun umum dan rumah susun khusus ; pemanfaatan barang milik negara / daerah berupa tanah dan pendayagunaan tanah wakaf; kewajiban pelaku pembangunan rumah susun komersial untuk menyediakan rumah susun umum; pemberian insentif kepada pelaku pembangunan rumah susun umum dan rumah susun khusus; bantuan dan kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah; serta perlindungan konsumen.
Saat melakukan transaksi jual beli tanah, bangunan, rumah, rusun, ruko, atau properti lain, akan banyak mendengar istilah yang perlu dipahami, seperti Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Pengikatan Jual Beli (PJB), Akta Jual Beli (AJB). Istilah-istilah tersebut berkaitan dengan cara peralihan hak atas tanah dan bangunan. Untuk memahaminya, perlu menekankan bahwa istilah tersebut memiliki perbedaan pada proses dan bentuk perbedaan hukumnya :
1. Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan AJB resmi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum, isi PPJB adalah kesepakatan penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan. Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan karena suatu sebab tertentu seperti pembayaran harga belum lunas. Di dalam PPJB memuat perjanjian- perjanjian, seperti besarnya harga, kapan waktu pelunasan dan dibuatnya AJB. Hal Penting Mengenai Perjanjian PPJB
A. Obyek Pengikatan Jual Beli
Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) mencakup beberapa obyek yang harus ada. Obyek pengikatan jual-beli ada tiga. Tiga obyek itu meliputi luas bangunan beserta gambar arsitektur dan gambar spesifikasi teknis, lokasi tanah yang sesuai dengan pencantuman nomor kavling dan luas tanah beserta perizinannya. Soal penguraian obyek tanah dan bangunan harus dijelaskan secara detail. Jangan sampai ada data dan informasi yang kurang.
B. Kewajiban dan Jaminan Penjual
Bagi penjual yang hendak menawarkan properti yang dijual pada pembeli maka wajib membangun dan menyerahkan unit rumah atau kavling sesuai dengan yang ditawarkan kepada pembeli, sehingga PPJB menjadi pegangan hukum untuk pembeli. Dalam pembuatan PPJB, pihak penjual bisa memasukkan klausul pernyataan dan jaminan bahwa tanah dan bangunan yang ditawarkan sedang tidak berada dalam jaminan utang pihak ketiga atau terlibat dalam sengketa hukum. Apabila ada pernyataan yang tidak benar dari penjual, calon pembeli dibebaskan dari tuntutan pihak manapun mengenai properti yang hendak dibelinya.
C. Kewajiban bagi Pembeli
Kewajiban pembeli adalah membayar cicilan rumah atau kavling dan sanksi dari keterlambatan berupa denda. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995 menjelaskan bahwa besar denda keterlambatan adalah 2/1000 dari jumlah angsuran per hari keterlambatan.
Calon pembeli juga bisa kehilangan uang mukanya apabila pembelian secara sepihak.
D. Isi Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Sesuai Keputusan Pemerintah.
PPJB diatur berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 9 Tahun 1995. Perjanjian ini merupakan salah satu kekuatan hukum sekaligus jaminan hukum pada saat membeli rumah. Secara garis besar, PPJB berisikan 10 faktor penting, yaitu:
• Pihak yang melakukan kesepakatan;
• Kewajiban bagi penjual;
• Uraian obyek pengikatan jual beli;
• Jaminan penjual;
• Waktu serah terima bangunan;
• Pemeliharaan bangunan;
• Penggunaan bangunan;
• Pengalihan hak;
• Pembatalan pengikatan;
• Penyelesaian Perselisihan
Bagi calon konsumen sebelum menandatangani PPJB seharusnya waspada, gunakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas dan jujur. Karena Pasal 42 ayat (2) UUPKP (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman), menegaskan bahwa perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
a). status pemilikan tanah; b). hal yang diperjanjikan;
c). kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;
d). ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan
e). keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).
Hal yang sama juga ditegaskan di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun Pasal 43 ayat (2). Sanksinya bagi pelaku usaha yang melanggar dapat dikenakan denda pidana Rp. 4 milyar. Dalam membuktikan suatu perkara perdata, yang dicari adalah kebenaran formil, yaitu kebenaran yang didasarkan sebatas pada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak yang berperkara. Oleh karena itu, umumnya suatu bukti tertulis berupa surat atau dokumen memang sengaja dibuat oleh para pihak untuk kepentingan pembuktian nanti, apabila sampai ada sengketa. Dalam pembuktian suatu perkara perdata, Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau Pasal 164 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (RIB/HIR) telah mengatur jenis alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, yaitu:
Pasal 1870 KUH Perdata :
“Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya.”
Sebagai informasi, PPJB adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh calon penjual dan calon pembeli suatu tanah/bangunan sebagai pengikatan awal sebelum para pihak membuat Akta Jual Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Biasanya PPJB akan dibuat para pihak karena adanya syarat-syarat atau keadaan-keadaan yang harus dilaksanakan terlebih dahulu oleh Para Pihak sebelum melakukan AJB di hadapan PPAT. Dengan demikian PPJB tidak dapat disamakan dengan AJB yang merupakan bukti pengalihan hak atas tanah/bangunan dari penjual kepada pembeli.
Hal mana ada pihak yang menggunakan PPJB tersebut sebagai bukti dalam gugatannya setelah 10 (sepuluh) tahun PPJB tersebut dibuat. Hal tersebut bisa saja dilakukan oleh pihak tersebut apabila memang ada hal yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perjanjian atau dengan pihak-pihak lain yang mendapat hak dari PPJB tersebut. Dengan demikian, apabila ada pihak-pihak lain di luar pihak-pihak dalam PPJB, yang digugat dalam perkara tersebut, pihak yang menggugat harus dapat membuktikan adanya hubungan hukum antara penggugat dengan pihak-pihak di luar PPJB tersebut. Hal ini sejalan dengan Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 4 K/Rup/1958 tertanggal 13 Desember 1958, yang memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Untuk dapat menuntut seseorang di depan pengadilan adalah syarat mutlak bahwa harus ada perselisihan hukum antara kedua belah pihak yang berperkara.”
Selain itu, mengingat rentang waktu sejak dibuatnya PPJB tersebut sampai dengan perkara tersebut bergulir di pengadilan belumlah melebihi masa Daluwarsa yang ditentukan oleh hukum untuk menuntut, yaitu selama 30 (tiga puluh) tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1967 KUH Perdata, yang berbunyi sebagai berikut:
“Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagipula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.”
2. Pengikatan Jual Beli (PJB)
PJB adalah kesepakatan antara penjual untuk menjual properti miliknya kepada pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PJB bisa dibuat karena alasan tertentu seperti belum lunasnya pembayaran harga jual beli dan belum dibayarkannya pajak-pajak yang timbul karena jual beli.
PJB ada dua macam yaitu PJB lunas dan PJB tidak lunas. PJB lunas dibuat apabila harga jual beli sudah dibayarkan lunas oleh pembeli kepada penjual tetapi belum bisa dilaksanakan AJB, karena antara lain pajak-pajak jual beli belum dibayarkan, sertifikat masih dalam pengurusan dan lain-lain. Dalam pasal-pasal PJB tersebut dicantumkan kapan AJB akan dilaksanakan dan persyaratannya. Di dalam PJB lunas juga dicantumkan kuasa dari penjual kepada pembeli untuk menandatangani AJB, sehingga penandatanganan AJB tidak memerlukan
kehadiran penjual. PJB lunas umum dilakukan untuk transaksi atas objek jual beli yang berada diluar wilayah kerja notaris atau PPAT yang bersangkutan. Berdasarkan PJB lunas bisa dibuatkan AJB di hadapan PPAT di tempat lokasi objek berada.
PJB tidak lunas, dibuat apabila pembayaran harga jual beli belum lunas diterima oleh penjual. Di dalam pasal-pasal PJB tidak lunas sekurang-kurangnya dicantumkan jumlah uang muka yang dibayarkan pada saat penandatanganan akta PJB, cara atau termin pembayaran, kapan pelunasan dan sanksi-sanksi yang disepakati apabila salah satu pihak wanprestasi. PJB tidak lunas juga harus ditindaklanjuti dengan AJB pada saat pelunasan.
3. Akta Jual Beli (AJB)
AJB adalah akta otentik yang dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak atas tanah dan bangunan. Pembuatan AJB sudah diatur sedemikian rupa melalui Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 08 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran Tanah, sehingga PPAT tinggal mengikuti format-format baku yang sudah disediakan. Pembuatan AJB dilakukan setelah seluruh pajak- pajak yang timbul karena jual beli sudah dibayarkan oleh para pihak sesuai dengan kewajibannya masing-masing.
Langkah selanjutnya adalah mengajukan pendaftaran peralihan hak ke kantor pertanahan setempat atau yang lazim dikenal dengan istilah balik nama. Dengan selesainya balik nama sertifikat maka hak yang melekat pada tanah dan bangunan sudah berpindah dari penjual kepada pembeli.
Walaupun dalam prakteknya Perjanjian Pengikatan Jual Beli sudah sering digunakan namun ternyata terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli hanya dipakai asas umum perjanjian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dengan kata lain belum pernah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak atas tanah. Kekuatan Hukum Dari Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Yang Dibuat Oleh Notaris Dalam Pelaksanaan Pembuatan Akta Jual Belinya Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya bahwa Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan sebuah terobosan hukum yang dipakai oleh para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah. Pengikatan Jual Beli (PJB) dipakai untuk memudahkan para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah, karena jika mengikuti semua aturan yang ditetapkan dalam melakukan jual-beli hak atas tanah, tidak semua pihak dapat memenuhinya dalam sekali waktu, seperti membayar harga jual beli yang disepakati. Dalam Peraturan tentang hak atas tanah, diantaranya adalah Undang- Undang Pokok Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak 44 Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan lain-lain, diatur setiap perbuatan hukum yang berkaitan dengan hak atas tanah. Setiap orang yang akan melakukan perbutan hukum yang berikaitan dengan hak atas tanah wajib tunduk kepada semua peraturan yang berkaitan dengan hak atas tanah. Contohnya dalam hal jual-beli hak atas tanah, di mana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah (PPAT), diatur bahwa dalam melakukan jual-beli hak atas tanah harus dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal tanah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang daerah kerjanya meliputi daerah tempat tanah yang diperjualbelikan itu berada. Selain itu akta pemindahan haknya (akta jual belinya) juga dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan akta jual-beli tersebut merupakan akta otentik, dimana bentuk dan isinya telah ditentukan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sebelum dapat melakukan jual-beli dihadapan pejabat yang berwenang, dalam hal tanah adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual-beli tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain, dan sebagainya. Disamping itu jual-beli telah dibayar secara lunas dan semua pajak yang berkaitan dengan jual-beli seperti pajak penjual (SSP) dan pajak pembeli yaitu (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan/BPHTB) juga telah dilunasi oleh pihak yang akan melakukan jual-beli. Setelah semua hal tersebut dilengkapi atau terpenuhi, barulah para pihak yang akan melakukan jual-beli tanah dapat melakukan jual-beli hak atas tanah dan pembuatan akta jual-beli tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta selanjutnya melakukan pendaftaran tanah untuk pemindahan haknya. Namun apabila persyaratan-persyaratan tersebut
belum dipenuhi maka pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli hak atas tanah belum bisa dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan juga akan menolak untuk membuatkan akta jual belinya sebagai akibat belum terpenuhinya semua syarat tentang pembuatan akta jual beli (AJB), yang dengan sendirinya jualbeli hak atas tanah belum bisa dilakukan. Keadaan tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan atau bahkan bisa merugikan terhadap para pihak yang melakukan jual beli hak atas tanah. Karena dengan keadaan tersebut pihak penjual di satu sisi harus menunda dulu penjualan tanahnya, agar semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi, yang dengan sendirinya juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan uang dari penjualan hak atas tanahnya tersebut. Hal yang sama juga berlaku terhadap pihak pembeli, dengan keadaan tersebut pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan hak atas tanah yang akan dibelinya. Untuk mengatasi hal tersebut, dan guna kelancaran tertib administrasi pertanahan maka dibuatlah Akta Pengikatan Jual Beli (PJB), dimana isinya sudah mengatur tentang jual beli tanah namun formatnya baru sebatas pengikatan jual beli yaitu suatu bentuk perjanjian yang merupakan atau dapat dikatakan sebagai perjanjian penduhuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli sebenarnya diatur dalam perundang-undangan yang dinamakan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli. Menurut X. Subekti. dalam bukunya, Pengikatan jual beli adalah perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya causa-causa yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat hak atas tanah belum terdaftar atas nama penjual dan masih dalam
proses balik namanya, dan belum terjadinya pelunasan harga obyek jual beli atau sertifikat masih diroya. Sedangkan Xxxxxxx Xxxxxxx, menyatakan perjanjian pengikatan jual-beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas. Berbicara tentang kekuatan hukum yang dimiliki oleh Perjanjian Pengikatan Jual-Beli, maka kita harus mengkaji tentang Perjanjian Pengikatan Jual-Beli secara lebih mendalam. Seperti telah diterangkan sebelumnya bahwa Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB) merupakan sebuah terobosan hukum yang dilakukan oleh kalangan Notaris untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan jual-beli hak atas tanah sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, yang disampaikan pada Konperda IPPAT (Konperensi Daerah Ikatan PPAT) Jawa Tengah pada tanggal 15 Februari 2004, disamping hakim yang menemukan hukum adalah Notaris. Notaris memang bukan hakim yang harus memeriksa dan mengadili perkara, namun Notaris mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penerapan yang diperintahkan oleh peraturan umum atau diminta oleh yang bersangkutan. Notaris menghadapi masalah hukum Konkrit yang diajukan oleh klien yang minta dibuatkan akta. Masalah hukum Konkrit atau peristiwa yang diajukan oleh klien merupakan peristiwa Konkrit yang masih harus dipecahkan atau dirumuskan menjadi peristiwa hukum yang merupakan tugas Notaris, disinilah Notaris melakukan penemuan hukum. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx tersebut terlihat, bahwa penemuan hukum yang dilakukan dan diterapkan oleh
Notaris yang dalam hal ini yaitu tentang pemakaian perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB) dalam membantu pelaksanaan jual beli hak atas tanah atau sebagai perjanjian pendahuluan sebelum pembuatan Akta Jual Beli bukanlah sesuatu hal yang melanggar ketentuan dan norma hukum yang ada, sehingga Pengikatan Jual Beli (PJB) sah-sah saja untuk diterapkan dan dipakai. Karena menurut Guru Besar Universitas Gajah Mada Yogyakarta Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, penemuan hukum bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah hukum Konkrit. Dalam hal ini penemuan hukum yang dilakukan oleh Notaris adalah Pengikatan Jual Beli (PJB) dimana penemuan tersebut adalah untuk memecahkan rumitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak sebelum melakukan jual-beli sesuai dengan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang hak atas tanah, dimana semua persyaratan tersebut tidak selamanya dapat dipenuhi dalam sekali waktu oleh para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah. Posisi Pengikatan Jual Beli (PJB) yang merupakan sebuah penemuan hukum dengan sendiriya tidak diatur atau belum diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada terutama peraturan perundangundangan yang menyangkut tentang hak atas tanah, sedangkan kita tahu bahwa semua perbuatan hukum yang dilakukan menyangkut tanah harus mengkuti peraturan perundang-undangan yang menyangkut tentang hak atas tanah. Dengan keadaan tersebut maka penulis berpendapat terhadap pengikatan jual beli dapat berlaku dua kedudukan tergantung bagaimana perjanjian Pengikatan Jual Beli (PJB) itu dibuat. Pengikatan Jual Beli (PJB) pada dasarnya merupakan perjanjian dibawah tangan, hanya saja jika dilakukan atau dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang, yaitu Notaris, maka
menjadi akta notaril yang bersifat akta otentik. Sedangkan apabila pengikatan jual beli tidak dibuat di hadapan pejabat umum maka Pengikatan Jual Beli (PJB) menjadi akta di bawah tangan, dan untuk Akta dibawah tangan lebih lanjut diatur dalam Pasal 1874 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Sebagai tulisan-tulisan di bawah tangan dianggap akta-akta yang ditanda tangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain, tulisan yang dibuat tanpa perantara seorang pegawai umum. Dengan penanda tanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah diperjelaskan kepada orang itu, dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan dihadapan pegawai tadi. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. Dengan Undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang pernyataan dan pembukuan termaksud.” Maksud dari pasal di atas adalah mengatur mengenai akta dibawah tangan yang baru mempunyai kekuatan pembuktian kepada Pihak Ketiga apabila setelah dibuat pernyataan di depan Notaris, caranya adalah dengan menandatangani akta tersebut dihadapan Notaris atau pejabat yang ditunjuk untuk pengesahan tanda tangan, dengan menjelaskan isinya terlebih dahulu kepada Para Pihak baru kemudian dilakukan penandatanganan dihadapan Notaris atau Pejabat Umum yang berwenang. Dari keterangan di atas terlihat bahwa untuk Pengikatan Jual Beli (PJB) yang tidak dibuat di hadapan pejabat umum atau akta dibawah tangan baru
mempunyai kekuatan terhadap pihak ketiga antara lain apabila dibubuhi suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang Notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1874 dan Pasal 1880 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pernyataan tertanggal ini lebih lazimnya disebut Legalisasi dan Waarmerking
4.2 Kepastian hukum bagi para pihak terkait bentuk perjanjian pengikatan jual beli rumah susun yang dibuat dihadapan Notaris
4.2.1 Ratio decidendi Putusan nomor 399/Pdt.G/2013/PN.Sby
Putusan tersebut terjadi pada tanggal 13-5-2013 (tigabelas Mei duaribu tigabelas) pada kasus jual beli rumah susun antara Tuan DJOKOWALUYO sebagai Pembeli sekaligus Pihak Penggugat melawan PT. PUNCAK KERTAJAYA PERMAI sebagai Pengembang sekaligus Pihak Tergugat I dan Xxxx XXXXX XXXXX XXXXXXX, SE sebagai Xxxxx Xxxxxxxx XX. Kasus ini berawal dari pembelian rumah susun yang ada di Surabaya, Tuan XXXXXXXXXXX sebagai pembeli membeli rumah susun kepada PT.PUNCAK KERTAJAYA PERMAI yang diwakili oleh Xxxx XXXXX XXXXX XXXXXXX, SE pada tanggal 17-02-2011 (tujuhbelas Pebruari duaribu sebelas) sesuai dengan Surat Perjanjian Jual Beli nomor 01/10/A/II/2011 yang ditanda tangani kedua belah pihak dihadapan Notaris serta diLegalisasi oleh Notaris tersebut. Pada tanggal 10-07-2013 (sepuluh Juli duaribu tigabelas) telah dilakukan proses mediasi tapi gagal. Dalam gugatan ini Pengadilan Negeri memenangkan perkara kepada Pihak