PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA ATAS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DILANGSUNGKAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 69/PUU- XIII/2015
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA ATAS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DILANGSUNGKAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
TESIS
Oleh :
NAMA MHS : XXXXXXX XXXX XXXXXXXXXX, SH.
NO. POKOK MHS. : 15921076
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA ATAS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DILANGSUNGKAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
TESIS
Oleh :
NAMA MHS : XXXXXXX XXXX XXXXXXXXXX, SH. NO. POKOK MHS. : 15921076
Telah diujikan dihadapan Xxx Xxxxuji dalam Ujian Akhir/Tesis dan dinyatakan LULUS pada hari Jumat, 18 Oktober 2019
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2019
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
Sesungguhnya sesudah kesulitan akan ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain dan hanya kepada Tuhanmulah kamu berharap
(Qs. Al-Insyiroh : 6-8)
Persembahan : Puji syukur kepada Tuhan YME atas segala rakhmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kekuatan, kesehatan dan kesabaran untuk ku dalam mengerjakan tesis
ini. Kupersembahkan tesisku ini untuk almamaterku tercinta, Program Studi Magister Kenotariatan , Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, Rasa hormatku dan terimakasihku kepada para keluargaku tercinta, Suamiku tercinta Xxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Anak-anakku tercinta Tavisha Avaira Bayu dan Kandisha Keinarra Xxxx, Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, Ayahanda Xxxxx Xxxxxxx, Adikku Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Sahabatku teman seangkatan yang senantiasa menjadi penyemangat penulisan tesis ini, Xxxxxxxxxxx terutama pembimbingku dan Penguji yang selalu
memberikan bimbingan dan arahan kepada ku.
SURAT PERNYATAAN
ORISINALITAS KARYA TULIS ILMIAH/TUGAS AKHIR MAHASISWA MAGISTER KENOTARIATAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :
Nama : Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx, S.H. No. Mahasiswa : 15921076
Adalah benar-benar mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) berupa Tesis dengan Judul :
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PIHAK KETIGA ATAS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DILANGSUNGKAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015”
Karya ilmiah ini saya ajukan kepada Xxx penguji dalam Ujian Xxxxx yang diselenggarakan oleh Magister Xxxxxxxxxxan UII Yogyakarta.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini saya menyatakan :
1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya sendiri yang dalam penyusunan tunduk dan patuh terhadap kaidah, etika dan norma-norma penulisan sebuah karya tulis ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Bahwa saya menjamin hasil karya ilmiah ini adalah benar-benar asli (orisionil), bebas dari unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai melakukan perbuatan ‘penjiblakan karya ilmiah (plagiat)’;
3. Bahwa meskipun secara prinsip hak milik atas karya ilmiah ini adalah pada saya, namun demi untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat akademik dan pengembangannya saya memberikan kewenangan kepada perpustakaan Magister Hukum UII Yogyakarta dan Perpustakaan dilingkungan Universitas Islam Indonesia untuk mempergunakan karya ilmiah saya tersebut.
Selanjutnya berkaitan dengan hal diatas (terutama pernyataan pada butir no 1 dan 2), saya sanggup menerima sanksi baik sanksi administratif, akademik, bahkan sanksi pidana, jika saya terbukti secara kuat dan meyakinkan telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari pernyataan tersebut, saya juga akan bersifat kooperatif untuk hadir menjawab, pembuktian, melakukan pembelaan terhadap hak-hak saya serta menandatangani Berita Acara terkait yang menjadi hak dan kewajiban saya, di depan “Majelis’ atau Tim’ Penguji Tesis Magister Hukum Universitas Islam Indonesia yang ditunjuk oleh pimpinan program Magister Hukum UII, apabila tanda-tanda plagiat disinyalir ada/terjadi pada karya ilmiah saya ini oleh pihak Magister Hukum UII.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, dengan sadar serta tidak ada tekanan dalam bentuk apapun dan oleh siapapun.
Dibuat di Yogyakarta Pada Tanggal, 20 Oktober 2019
Yang membuat pernyataan
(Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx)
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Ketiga atas Perjanjian Perkawinan yang Dibuat Setelah Perkawinan Dilangsungkan Pasca Putusan Makhamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015” guna memenuhi sebagian persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum di Universita Islam Indonesia.
Penulis menyadari kelemahan serta keterbatasan yang ada sehingga dalam menyelesaikan skripsi ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :
1. Bapak Xxxx. Xx. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, S.H., M.H. dan Xxx Xxxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan dalam penulisan Tesis, sehingga dalam proses penulisan Tesis dapat berlangsung secara baik dan benar.
2. Seluruh dosen Universitas Islam Indonesia, terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan selama proses belajar mengajar saat sedang berlangsung dalam perkuliahan.
3. Suami dan anak-anakku tercinta, serta kedua orangtua dan adik yang selalu meluangkan waktu dan memberikan dorongan, serta memberikan semangat pada saat proses penulisan Tesis sedang berlangsung .
4. Xxxxxxx dan teman-teman yang selalu memberikan informasi terbaik serta memberikan pengarahan dalam penulisan Tesis, dan tak lupa juga selalu memberikan nasehat-nasehat kepada penulis, sehingga penulis terdorong untuk cepat menyelesaikan penulisan Tesis
5. Seluruh pihak dan kalangan yang telah banyak membantu dalam penulisan Tesis ini, tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis mengucapkan banyak terimakasih, berkat bantuan dan dorongan dari seluruh pihak, penulis dapat menyelesaikan Tesis ini hingga mendapatkan gelar Magister Kenotariatan.
Penulis menyadari bahwa Tesis ini masih banyak kekurangan baik isi maupun susunannya. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis juga bagi para pembaca.
Yogyakarta, 20 Oktober 2019
(Xxxxxxx Xxxx Xxxxxxxxxx)
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ....................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ v
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
D. Orisinalitas Penelitian .................................................................................. 7
E. Kerangka Teori ............................................................................................ 8
F. Metode Penelitian ......................................................................................... 28
BAB II KONSEKUENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI PEMBUATAN DAN PERUBAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MK NOMOR 69/PUU-XIII/2015
A. Pemilikan Harta Bersama dalam Perkawinan .............................................. 33
1. Pengertian Harta Bersama .................................................................... 33
2. Jenis-jenis Harta Bersama .................................................................... 41
B. Xxxxxx dan Jenis Perjanjian Perkawinan ..................................................... 44
C. Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Campuran ................................. 49
D. Syarat-syarat dan Prosedur Pembuatan dan Perubahan
Perjanjian Perkawinan ........................................................................................... 53
E. Konsep Perjanjian Perkawinan dalamHukum Islam ................................... 54
F. Konsekuensi dan Akibat Hukum dadi Pembuatan Pejanjian Perkawinan setelah Perkawinan Pasca Putusan MK
Nomor 69/PUU-XIII/2015 .......................................................................... 68
BAB III UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK KETIGA APABILA PERJANJIAN PERKAWINAN DIBUAT PASCA DILANGSUNGKANNYA PERKAWINAN
A. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK
Nomor 69/PUU-XIII/2015 ........................................................................... 74
1. Langkah dan syarat-syarat membuat Perjanjian Perkawinan
Setelah Perkawinan berlangsung ............................................................. 74
2. Muatan isi Perjanjian Perkawinan ........................................................... 80
3. Pengesahan Perjanjian Perkawinan ......................................................... 82
4. Mulai Berlakunya, Perubahan, dan Pencabutan Perjanjian
Perkawinan .............................................................................................. 83
B. Upaya Perlindungan Hukum Bagi Pihak Ketiga Apabila Perjanjian
Perkawinan Dibuat Pasca Dilangsungkannya Perkawinan .......................... 84
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 108
B. Saran 109
DAFTAR PUSTAKA 111
ABSTRAK
Penelitian ini mengenai perlindungan hukum terhadap pihak ketiga atas perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Penelitian ini dibuat untuk menganalisi konsekuensi dan akibat hukum dari pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan pasca putusan MK Nomor 69/PUU- XIII/2015 dan menganalisis upaya perlindungan hukum bagi pihak ketiga apabila perjanjian perkawinan dibuat pasca dilangsungkannya perkawinan.
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dengan penelitian kepustakaan, yang dianalisis dengan analisis kualitatif dengan langkah berpikir sistematis secara desktiptif normatif, melihat dan menemukan kebenaran suatu pernyataan yang konsisten dengan pernyataan sebelum-sebelumnya dengan menelaah suatu perundang-undangan yang logis atau rasional.
Perjanjian perkawinan yang dibuat dalam masa perkawinan memberikan beberapa akibat hukum baik secara. Akibat hukum yang ditimbulkan karena pembuatan perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 antara lain, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada saat, atau dalam masa perkawinan, berlakunya sesuai kesepakatan para pihak, dan harus didaftarkan pada petugas pencatat perkawinan supaya berlaku juga bagi pihak ketiga. Regulasi yang belum tegas mengenai perjanjian ini pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak ketiga yang tersangkut, maka dari itu sangatlah penting sebelum perjanjian ini dibuat, pasangan suami istri terlebih dahulu mengumumkannya kemedia masa, dan apabila tidak ada pihak lain yang keberatan barulah perjanjian dibuat, dan pasangan suami istri menginventarisasi harta dan menuangkan perjanjian ini dengan akta Notaris yang didalamnya tertulis pemisahan harta dan utang secara tegas dan menuliskan pihak- pihak yang bertanggung jawab bila suatu hari terjadi sengketa, serta tak lupa untuk mendaftarkannya kepada petugas pencatat perkawinan, supaya pihak ketiga tidak dirugikan dan mendapatkan kepastian hukum.
Kata Kunci : Perjanjian perkawinan, postnuptial agreement, perlindungan hukum
ABSTRACT
The decision of the Constitutional Court Number 69 / XIII-PUU / 2015 which provides an opportunity for married couples to make marital agreements during the marriage, will be a problem in the future, among others, related to the execution that will be carried out by creditors when a marriage agreement is separated, thus also the responsibility of the husband or wife for the credit agreement, therefore the results of the judicial review of the arrangement of the marriage agreement give rise to legal uncertainty for third parties. This research was made to analyze the legal consequences and consequences of making and changing marital agreements made after the marriage took place after the Constitutional Court decision No. 69/2015 and analyzed legal protection efforts for third parties if the marriage agreement was made after the marriage took place.
The legal material collection technique in this study with library research, which was analyzed by qualitative analysis with steps of normative descriptive systematic thinking, saw and found the truth of a statement that was consistent with prior statements by examining a logical or rational legislation.
The marriage agreement made during the marriage gives several consequences both legally, psychologically, and sociologically. The legal consequences caused by the making of the marriage agreement after the Constitutional Court decision No. 69 / period, validity according to the agreement of the parties, and must be registered with the marriage registrar also applies to third parties. The unequivocal regulation regarding this agreement after the Constitutional Court decision Number 69 / XIII- PUU / 2015 caused legal uncertainty for the third party involved, therefore it was very important this agreement was made with a Notary deed, in good faith the parties who made it, and did not forget to register it with the marriage record officer, so that the third party is not harmed and gets legal certainty.
Keywords : marriage agreement, postnuptial agreement, protection of the law
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makluk sosial manusia mempunyai naluri untuk selalu ingin hidup bersama dan saling berinteraksi dengan sesamanya. Perkawinan terjadi karena adanya dorongan dari dalam diri setiap manusia untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Sudah menjadi kodrat alam dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan ada daya saling tarik-menarik satu sama lainnya untuk hidup bersama.1
Perkawinan merupakan suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita untuk menjadi suami istri dengan tujuan membentuk suatu keluarga. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), pengertian perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Apabila dilihat dari pengertian tersebut jelas bahwa setiap rumah tangga yang dibentuk memiliki tujuan untuk kehidupan yang lebih baik bagi keduanya, akan tetapi keinginan tersebut tidak selalu berjalan sesuai dengan harapan, dalam sebuah rumah tangga pastilah terjadi suatu percekcokan atau perselisihan baik besar maupun kecil yang tidak dapat dihindarkan. Perselisihan tersebut dapat berakhir dengan baik atau malah
1 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cet. Keenam, (Bandung : SumurBandung, 1981), hlm. 7.
menimbulkan suatu perceraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi perceraian diantaranya, moral, adanya peninggalan kewajiban atau tanggung jawab, kawin di bawah umur, menyakiti jasmani, cacat biologis, perselisihan terus menerus, dan perbedaan agama.2
Di Indonesia menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf g taklik talak adalah merupakan alasan perceraian yang diajukan oleh isteri jika suami melanggar taklik talak, seperti dalam penjelasan Pasal 39 UU Perkawinan dan Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, perceraian dapat terjadi karena alasan sebagai berikut :
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
2 “Tingginya Angka Perceraian Di Yogyakarta Menjadi Perhatian KPP” dalam xxxx://xxx.xxxx-xxx.xx.xx/xxxxxxxxx-xxxxx-xxxxxxxxxx-xx-xxxxxxxxxx-xxxxxxx-xxxxxxxxx-xxx/ Akses 23 November 2015
6. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7. Suami melanggar taklik talak;
8. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Angka perceraian di Indonesia tercatat sebanyak sebanyak 419.268 pasangan bercerai sepanjang 2018.3 Perceraian yang kerap dan mudah terjadi ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian pasangan suami istri terutama bagi pasangan yang sama-sama memiliki tingkat perekonomian yang kuat. Kekhawatiran mereka terhadap perselihihan pembagian harta ketika terjadi perceraian menimbulkan keinginan untuk membuat sebuah perjanjian pemisahan harta yang sering disebut dengan perjanjian perkawinan, perjanjian perkawinan ini adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri yang mengatur tentang akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka yang menurut Pasal 29 UU Perkawinan dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkan perkawinan dilangsungkan, akan tetapi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, saat ini pasangan suami istri dapat membuat suatu perjanjian pemisahan harta yang dibuat setelah terjadinya perkawinan seperti yang tertulis dalam Pasal Pasal 29 UU Perkawinan.
(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
3 xxxxx://xxxxxxx.xxxxxxxxxxxxx.xx.xx/ Akses 3 April 2019
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.
(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.
Terdapat beberapa perbedaan yang terjadi terkait dengan perjanjian perkawinan setelah direvisinya Pasal 29 UU Perkawinan, yaitu :
1. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perjanjian perkawinan, sekarang dapat juga dibuat sepanjang perkawinan,
2. Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejaka perkawinan dilangsungkan, sekarang dapat juga berlaku mulai saat yang diperjanjikan oleh suami isteri,
3. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat diubah oleh kedua belah pihak, sekarang disamping dapat dapat diubah, juga dapat dicabut oleh kedua belah pihak.
Putusan tersebut dibuat berdasarkan gugatan Nyonya Xxx Xxxxxx , dengan Perkara Nomor 69/PUU-XIII/2015, mengenai kasusnya yang merasa hak- haknya sebagai warga Indonesia yang terenggut akibat pernikahannya dengan Warga Negara Asing dan tidak memiliki perjanjian pisah harta dengan suaminya. Dalam gugatannya, Nyonya Xxx Xxxxxx merasa terdiskriminasi, tidak mendapatkan hak konstitusionalnya sebagai warga negara Indonesia karena perkawinannya dengan warga negara asing, sehingga Nyonya Xxx Xxxxxx tidak
dapat memiliki hak milik maupun hak guna bangunan seumur hidupnya selama ia berstatus sebagai istri dari warga negara asing, seperti yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan 36 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa, seorang perempuan yang kawin dengan warga negara asing dilarang untuk membeli tanah dan atau bangunan dengan status Xxx Xxxx Xxxxxxan.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai perjanjian kawin tersebut merupakan sebuah solusi bagi pasangan suami istri yang belum membuat perjanjian perkawinan, berencana akan membuat perjanjian perkawinan ataupun merubah perjanjian perkawinan yang telah dibuat ditengah perjalanan perkawinan, bahkan mencabut perjanjian perkawinan mereka apabila keduabelah pihak menghendaki, akan tetapi hal tersebut menimbulkan dimensi baru baik terhadap akibat hukum harta benda perkawinan, kepastian hukum bagi pihak ketiga dan dapat menimbulkan permasalahan kepemilikan hak atas tanah yang berkaitan dengan suami istri yang berbeda kewarganegaraan.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberikan peluang bagi suami atau isteri membuat perjanjian perkawinan selama perkawinan, dan bilamana telah terikat pada perjanjian kredit yang ditaati dengan membuat perjanjian perkawinan tentu akan menjadi masalah dikemudian hari antara lain berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi yang akan dilakukan oleh kreditor bilamana dibuat perjanjian perkawinan pisah harta, demikian pula terhadapanya tanggung jawab suami atau isteri masing-masing terhadap perxxxxxan kredit tersebut, oleh karenanya hasil yudisial review terhadap pengaturan perjanjian perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak ketiga.
B. Rumusan Masalah
Menimbang berbagai faktor yang menjadi gugatan Nyonya Xxx Xxxxxx, maka Mahkamah Konstitusi membuat revisi tentang perjanjian perkawinan Pasal 29 dalam UU Perkawinan, akan tetapi yang menjadi permasalah saat ini setelah munculnya revisi tentang perjanjian perkawinan dalam UU Perkawinan adalah :
1. Apa konsekuensi dan akibat hukum dari pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015?
2. Bagaimana upaya perlindungan hukum bagi pihak ke-3 (tiga) apabila perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris pasca dilangsungkannya perkawinan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dijelaskan tersebut, tujuan dari penelitian tesis adalah :
1. Untuk menganalisis konsekuensi dan akibat hukum dari pembuatan dan perubahan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah berlangsungnya perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015?
2. Untuk menganalisis upaya perlindungan hukum bagi pihak ke-3 (tiga) apabila perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris pasca dilangsungkannya perkawinan.
D. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran terhadap judul penelitian yang ada pada Program Megister Hukum Kenotariatan, ditemukan sedikitnya 2 (dua) judul penelitian terkait tentang perjanjian perkawinan yakni: (1). Tesis atas nama Xxxxxxxxxxxxxxx, Universitas Diponegoro, Semarang dengan judul Akibat Hukum Pendaftaran Perjanjian Perkawinan terhadap Pihak Ketiga dan (2). Perlindungan Hukum yang Berkeadilan Bagi Pihak Ketiga Pada Perjanjian Perkawinan yang Belum Disahkan atas nama Xxxx Xxx Xxxxxxxxxxxxx dari Universitas Brawijaya Malang.
Penelitian ini berbeda dengan kedua penelitian tersebut diatas. Penelitian ini fokus membahas mengenai perlindungan yang dapat diberikan terhadap pihak ketiga ketika terjadi perjanjian perkawinan setelah adanya revisi UU Perkawinan Pasal 29 berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/-XIII/2015, yang menyebutkan bahwa saat ini pasangan suami istri dapat membuat suatu perjanjian pemisahan harta yang dibuat setelah terjadinya perkawinan.
Oleh karena itu, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi yaitu kejujuran, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah sehingga dengan demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritisi yang sifatnya konstruktif (membangun).
E. Kerangka Teori
1. Perjanjian Pada Umumnya
a. Pengertian Perjanjian
Pada prinsipnya perjanjian atau kontrak terdiri dari satu atau serangkaian janji yang dibuat para pihak dalam kontrak. Esensi kontrak itu sendiri adalah kesepakatan (agreement).4
Perjanjian menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1313, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
R. Subekti, menyatakan “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.5
Dari pengertian-pengertian tersebut, unsur-unsur yang melekat dalam suatu perjanjian antara lain:6
1) Hubungan hukum
Adalah hubungan yang diatur dan diakui oleh hukum yang pada akhirnya akan menimbulkan akibat hukum antara para pihak
4 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia dalam Prespektif Perbandingan (bagian pertama), (Yogyakarta: FH UII Press,2014), hlm.57.
5 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta:PT.Intermasa,1994), hlm. 1.
6 Xxxxxx Xxxxxxxxx, Hukum Kontrak Indonesia, (Yogyakarta: FH UII Press,, 2014), hlm.66
yang di dalamnya melekat hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lainnya.
2) Kesepakatan yang membentuk kontrak
Adalah keseluruhan hak dan kewajiban para pihak dalam suatu perikatan harus memiliki nilai kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.
3) Para pihak
Adalah subjek dalam sebuah perikatan atau perjanjian
4) Objek tertentu
Adalah objek perikatan, prestasi merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam suatu perikatan atau perjanjian. Pada Pasal 1234 KUHPerdata memberikan klasifikasi prestasi sebagai berikut:
a) Memberikan sesuatu,
b) Berbuat sesuatu,
c) Tidak berbuat sesuatu.
Prestasi sebagai objek perikatan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
a) Harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan,
b) Objeknya diperkenankan oleh hukum,
c) Prestasi itu harus mungkin dilaksanakan.
b. Syarat Sahnya Perjanjian
Hal terpenting dalam hukum perjanjian adalah penentuan keabsahan suatu perjanjian. Tolok ukur keabsahan tersebut di dalam system hukum Indonesia dapat ditemukan di KUHPerdata Pasal 1320. Syarat sahnya suatu perjanjian menurut KUHPerdata Pasal 1320 yaitu:
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri (de toesteming van xxxxxxx die zich verbiden),
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan),
3) Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp), dan
4) Suatu sebab yang tidak terlarang (een geoorloofde oorzaak).
Sehubungan dengan keempat syarat dalam Pasal 1320 BW tersebut diatas terdapat penjelasan lebih lanjut terkait dengan konsekuensi tidak dipenuhinya masing-masing syarat dimaksud. Pertama, syarat kesempatan dan kecakapan merupakan unsur subjektif karena berkenaan dengan diri orang atau subjek yang membuat kontrak. Kedua, syarat objek tertentu dan kausa yang diperbolehkan merupakan unsur objektif.7
7 Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Hukum Perjanjian Asas Prposionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta:Prenadamedia,2014), hlm. 160
c. Asas-asas Kontrak atau Perjanjian
Hukum kontrak atau perjanjian memberikan kebebasan kepada subjek kontrak untuk melakukan dengan beberapa batasan tertentu, sesuai yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu :
1) Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya,
2) Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat atau sesuai kesepakatan para pihak atau karena alasan undang- undang yang dinyatakan cukup untuk itu,
3) Perjanjian tersebut harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas-asas kontrak yang dikandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata sebagai berikut :
1) Asas Konsensualisme,
2) Asas pacta sunt servanda,
3) Asas kebebasan berkontrak, dan
4) Asas itikad baik.
2. Perkawinan di Indonesia
a. Pengertian Perkawinan
Perkawinan sebagai perbuatan hukum merupakan suatu perbuatan yang mengandung hak dan kewajiban bagi individu-individu yang melakukannya. Seorang pria dengan seorang wanita setelah melakukan perkawinan akan menimbulkan akibat-akibat hukum yaitu antara lain
mengenai hubungan hukum antara suami istri dan mengenai harta benda perkawinan serta penghasilan mereka.8
Dalam KUHPerdata, pengertian perkawinan tidak dengan tegas diatur ketentuannya seperti Pasal 26 yang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata dan Pasal 27 bahwa perkawinan menganut prinsip monogami. Pasal 103 menyatakan bahwa suami dan isteri harus saling setia, tolong menolong dan bantu membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah definisi tentang perkawinan, ilmu hukum berusaha membuat definisi perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan negara dan bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal abadi.9
Perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2, menyatakan perkawiana dalam hukum Islam adalah, akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
8 Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Perdata (Syarat Sahnya Perkawinan, Hak dan Kewajiban Suami Istri, Harta Benda Perkawinan), (Jakarta:Rizkita,2009), hlm. 128.
9 Xxxx Xxxx Xxxxxxxxx, Hukum Perdata, (Bandung:Pustaka Setia,2015), hlm. 132.
merupakan ibadah. Kata mitsaqan ghalidhan ini ditarik dari firman
Allah SWT yang terdapat pada Surat An-Nisa ayat 21
اظيلِ غ
اًقاَثيم
مْ ك
نْ م
نذْ خ
َأو ض
عبَ ىَل
مْ كض
عبَ ىض
فْ َأ دْ َقو
ُهنَ وُذخ
ْأَت ف
يْ كو
Artinya:
“Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan kepada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (xxxxxxxx xxxxxxxxx)”.
b. Tujuan Perkawinan
Di dalam Pasal 1 UU Perkawinan dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Sebagaimana dijelaskan dari Pasal 1 tersebut bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.10
Adapun pentingnya perkawinan bagi kehidupan manusia, khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:
10 Xxxxxx Xxxx Xxxxxx, Hukum Perkawinan Indonesia (Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama), (Bandung: Masdar Maju, 2007), hlm. 1.
1) Dengan melakukan perkawinan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai mahluk yang terhormat di antara makhluk-makhluk tuhan lainnya.
2) Dengan melaksanakan perkawinan dapat terbentuk satu rumah tangga di mana kehidupan dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tenteram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami istri.
3) Dengan melaksanakan perkawinan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam rumah tangga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih.
4) Dengan terjadinya perkawinan maka timbullah sebuah keluarga yang merupakan inti dari pada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.
5) Melaksanakan perkawinan dengan mengikuti ketentuan- ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi orang Islam.11
11 Xxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-UndangPerkawinan (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan), (Yogyakarta : Liberty, 1997), hlm. 4.
c. Akibat Hukum Perkawinan
Perkawinan sebagai lembaga hukum, mempunyai akibat yang penting dalam kehidupan para pihak yang melangsungkan perkawinan.12 Akibat-akibat hukum yang timbul setelah terjadinya perkawinan diantarannya:
1) Akibat hukum dari perkawinan terhadap suami istri menurut Xxxxx 30 sampai dengan 34 UU Perkawinan, yang isinya:
a) Xxxxx istri memikul kewajiban hukum untuk menegakan rumah tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat.
b) Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir-batin yang satu kepada yang lain.
x) Xxx dan kedudukan istri seimbang dengan suami dalam kehidupan rumah tangga dan perxxxxxx hidup bersama masyarakat.
x) Xxxxx istri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
e) Xxxxx adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan rumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan istri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
12 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung : Citra Xxxxxx Xxxxxx, 1993), hlm. 28.
f) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama.
2) Akibat Hukum dari perkawinan terhadap harta benda bersama dalam perkawinan menurut UU Perkawinan Pasal 35 :
a) Harta bawaan dari suami atau istri
Yaitu harta yang telah dimiliki oleh suami atau istri sebelum perkawinan dilangsungkan dan harta yang diperoleh oleh suami atau istri sepanjang perkawinan yang berasal dari hadiah atau warisan. Untuk harta bawaan ini UU Perkawinan, pada Pasal 36 ayat (2) menyatakan : mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Dari keterangan di atas terlihat bahwa untuk harta bawaan baik suami maupun istri menjadi pihak yang mandiri untuk melakukan apa saja terhadap harta bawaan tersebut tanpa memerlukan bantuan dari pihak suami atau istri.
b) Harta Bersama
Yaitu segala harta yang diperoleh oleh suami atau istri sepanjang perkawinan kecuali yang diperoleh karena hibah atau warisan. Maksudnya harta yang diperoleh oleh suami-istri sepanjang perkawinan berlangsung sampai terjadinya perceraian. Terhadap harta bersama ini suami ataupun istri hanya dapat bertindak apabila terdapat persetujuan dari kedua
belah pihak, dengan kata lain suami baru dapat bertindak atas harta bersama apabila telah mendapatkan persetujuan dari pihak istri, demikian juga istri baru dapat betindak atas harta bersama apabila telah mendapatkan persetujuan dari pihak suami.
3) Akibat Hukum dari perkawinan terhadap keturunan menurut UU Perkawinan Pasal 35:
Mengenai keturunan juga diatur dalam UU Perkawinan dalam Bab IX, Pasal 42 sampai dengan 44, UU Perkawinan mengenal adanya anak sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42). Hal itu berarti anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah adalah anak yang tidak sah. Apa yang diatur oleh UU Perkawinan tentang anak sah (dan anak tidak sah sebagai konsekuensi sebaliknya) tidaklah berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata. Bagi seorang anak yang tidak sah UU Perkawinan menentukan bahwa anak itu hanya mempunyai hubungan dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1). Dengan demikian ia hanya dapat mewaris harta atas peninggalan ibunya.
Seorang suami dapat melakukan penyangkalan atas sahnya anak yang dilahirkan dari istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1) UU Perkawinan. Untuk membuktikan asal usul anak, dapat dilakukan dengan:
a) Akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
b) Jika hal itu tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tantang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat.
c) Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
Anak luar kawin (anak tidak sah) menurut UU Perkawinan tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya.
3. Perjanjian Perkawinan
a. Latar belakang perjanjian perkawinan
Konsep perjanjian perkawinan pada awalnya berasal dari hukum perdata barat, akan tetapi undang-undang kini sudah mengaturnya, sehingga sudah diperbolehkan untuk dibuat di Indonesia asalkan tidak melanggar ketentuan-ketentuan dan norma-norma yang berlaku.
Perjanjian perkawinan pada dasarnya sangat bermanfaat bagi sebuah perkawinan, meskipun tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yang bersifat kekeluargaan. Namun, demi kepastian hukum dan kemaslahatan kedua belah pihak perjanjian perkawinan
dapat dilaksanakan karena tuntutan perkembangan kehidupan manusia.
Alasan dibuatnya perjanjian perkawian adalah untuk menyimpangi ketentuan hukum perundang-undangan yang mengatur mengenai percampuran harta kekayaan pribadi masing-masing suami istri, selain itu yang menjadi latar belakang diadakannya perjanjian perkawinan adalah apabila diantara pasangan calon suami istri terdapat perbedaan status sosial yang menyolok, atau memiliki harta kekayaan pribadi yang seimbang, atau si pemberi hadiah tidak ingin sesuatu yang dihadiahkan kepada salah seorang suami istri berpindah tangan kepada pihak lain, atau masing-masing suami istri tunduk kepada hukum yang berbeda seperti terjadi pada perkawinan campuran. 13
Pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat dengan beberapa alasan antara lain:14
1) Apabila terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih beasar pada salah satu pihak daripada pihak yang lain.
2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.
3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai kata salah satu jatuh maka yang lain tidak tersangkut.
13 Xxxxxxxxx,X.X, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama,cet. Ke II
(Bandung : Mandar Maju,2012), hlm. 14.
14 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxxx, Pluralisme dalam Perundang - undangan Perkawinan Indonesia, (Surabaya: Airlangga Pres, 2002), hlm. 58.
4) Atas utang-utang mereka yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung gugat sendiri-sendiri.
5) Keinginan untuk mendapatkan hak milik atas tanah apabila menikah dengan warga negara asing.
b. Pengertian Perjanjian Perkawinan Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Perjanjian perkawinan sebenarnya muncul dari budaya barat, perjanjian perkawinan menurut asalnya merupakan terjemahan dari kata “huwelijksevoorwaarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Istilah ini terdapat dalam KUH Perdata, UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Huwelijk sendiri menurut bahasa berarti: perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, sedangkan voorwaard berarti syarat.15
Perjanjian perkawinan pada dasarnya berada dalam lingkup hukum keluarga yang tunduk pada ketentuan dalam Buku I BW. Perjanjian perkawinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya, seperti yang diatur dalam Buku III BW. Namun, prinsip dasar Buku III BW juga berlaku terhadap perjanjian perkawinan. Keabsahan suatu perjanjian perkawinan juga tunduk pada ketentuan syarat sah perjanjian pada umumnya perjanjian harus dibuat dengan memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
15 Xxxxxxx, “Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam”, Jurnal Khatulistiwa – Journal of Islamic Studies, Edisi No.1 Vol.6 (2016), hlm. 19.
1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) kecakapan untuk membuat perikatan;
3) suatu hal tertentu; dan
4) suatu sebab yang diperbolehkan.
Indonesia masih menjunjung tinggi adat ketimuran. Bahkan masyarakat menganggap perjanjian ini menjadi persoalan yang sensitif tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat Islam dan ketimuran dan lain sebagainya.16
Perjanjian perkawinan dibuat secara sukarela dan dibuat secara tertulis atau dilakukan di hadapan pengacara dan notaris yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Perjanjian perkawinan dikenal dalam bahasa Inggris sebagai Prenuptial Agreement. Prenuptial Agreement merupakan bentuk bahasa Inggris dari perjanjian perkawinan tepatnya perjanjian pranikah atau perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya perkawinan. Perjanjian perkawinan itu sendiri merupakan istilah yang diambil dari judul Bab V UU Perkawinan yang berisi satu Pasal yaitu Pasal 29, yang didalamnya tidak dijelaskan mengenai pengertian perjanjian perkawinan, hanya mengatur tentang keabsahan, saat berlakunya, dan dapat diubahnya perjanjian, akan tetapi dari perjanjian perkawinan tersebut dapat diartikan sebagai perjanjian yang dibuat
16 Xxxxx Xxxxxxx, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, cet. Ke-III
(Jakarta: Visimedia, 2008), hlm. 83.
oleh calon suami atau calon istri untuk mengatur akibat-akibat perkawinannya terhadap harta kekayaan mereka. Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai perjanjian perkawinan, Pasal 45 dinyatakan bahwa kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan (Pasal 47).
Terdapat beberapa perbedaan mengenai aturan-aturan tentang perjanjian perkawinan dalam
KUHPerdata, UU Perkawinan, maupun Kompilasi Hukum Islam, diantaranya :
1) Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa dibuat dengan akta notaris atau dibuat dibawah tangan, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam dibuat dengan Taklik Talak atau dalam bentuk perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah;
2) Menurut KUHPerdata, perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangusngkan, sedangkan menurut UU Perkawinan, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum atau
pada saat perkawinan dilangsungkan, dan dalam Kompilasi Hukum Islam dibuat pada waktu atau sebelum berlangsungnya perkawinan;
3) Menurut KUHPerdata, sepanjang perkawinan perjanjian perkawinan tidak dapat diubah dengan cara apapun juga, sedangkan menurut UU Perkawinan, prinsipnya perjanjian perkawinan tidak dapat diubah sepanjang perkawinan kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga, sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam, perjanjian perkawinan ini dapat dicabut berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
c. Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan
Pada umumnya perjanjian kawin dibuat berdasarkan beberapa hal, diantaranya apabila terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak yang lain, kedua belah pihak masing-masing membawa harta kekayaan yang cukup besar, masing-masing pihak memiliki usaha sehingga apabila salah satu pihak mengalami pailit pihak yang lain tidak tersangkut, dan atas hutang-hutang yang para pihak miliki sebelum perkawinan para pihak menanggung masing-masing. Sehingga dengan dibuatnya perjanjian perkawinan maka suami maupun istri mendapatkan perlindungan hukum terhadap harta mereka masing masing.
Perjanjian perkawinan ini meskipun masih dianggap tabu dan tidak etis dalam masyarakat Indonesia, akan tetapi sangat penting untuk dibuat oleh pasangan suami istri karena perjanjian perkawinan ini sangatlah bermanfaat untuk mengatur permasalahan-permasalahan yang sekiranya akan timbul selama perkawinan dan apabila suatu saat terjadi perceraian, seperti:
1) Tentang pemisahan harta kekayaan, jika tidak ada harta gono- gini, harus dibuat sebelum perkawinan dan harus dicatatkan ditempat pencatatan perkawinan,
2) Tentang pemisahan hutang, dalam perjanjian perkawinan dapat diatur mengenai masalah hutang yang akan tetaap menjadi tanggungan dari pihak yang membawa hutang. Hutang yang dimaksud adalah hutang yang terjadi sebelum perkawinan, selama perkawinan, setelah perceraian, bahkan kematian.
3) Tanggung jawab terhadap anak-anak hasil perkawinan tersebut terutama mengenai masalah biaya hidup anak, dan biaya pendidikan harus diatur sedemikian rupa seberapa besar kontribusi masing-masing orang tua, dalam hal ini tujuannya agar kesejahteraan anak-anak tetap terjamin.17
4) Jika salah satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka maka tidak perlu meminta ijin dari kawan kawinnya.
17 Xxxxxx Xxxxxx, Tujuan dan Manfaat Perjanjian Perkawinan, Jurnal Dinamika Hukum, edisi No.3 Vol.8 (2008), hlm. 252.
5) Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka akan ajukan, tidak lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari kawan kawinnya, dalam hal menjaminkan asset yang terdaftar atas nama salah satu dari mereka.
d. Perjanjian Perkawinan Internasional
Dunia internasional juga mengenal perjanjian perkawinan, perjanjian ini sering disebut dengan Prenuptial Agreement atau perjanjian pranikah, perjanjian pranikah ini sangatlah populer di Belanda, sekitar 25% pasangan dari seluruh pasangan yang menikah di Belanda membuat perjanjian perkawinan ini sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka. Perjanjian pranikah di Amerika Serikat sekitar 5% pasangan telah menandatangani perjanjian perkawinan.18
Selain prenuptial, dunia internasional juga mengenal perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan terjadi yang disebut postnuptial agreement. Seperti prenuptial agreement, postnuptial agreement perjanjian ini dibuat untuk mengantisipasi hal-hal yang mungkin akan terjadi setelah perceraian atau kematian dan berisi tentang aset-aset pasangan dan pembagian harta apabila terjadi perceraian atau kematian. 19
18 Xxxxxx Xxxxxx, Should we write prenuptial contracts?, European Economic Review 51 (2007), hlm. 338.
19 Xxxxxxxx Xxxxxx, Why Postnuptial Agreements Are on the Rise Postnups primarily spell out how assets and liabilities would be split upon divorce or death, The Wall Street Journal March 12-13, (2016), hlm. 1.
Alasan umum bagi seseorang untuk menyarankan pasangannya membuat postnupial agreement adalah untuk memberikan hukuman pada pasangannya atas perilaku buruk yang dilakukan, seperti perselingkuhan, atau untuk menunjukkan komitmen terhadap pernikahan yang retak dengan menjamin penyelesaian yang lebih bijak bagi pasangan apabila perkawinan tidak berjalan dengan baik.
Kontrak ini biasanya juga dibuat karena pasangan suami istri ingin mengubah kesepakatan keuangan yang sebelumnya telah ditetapkan dalam prenuptial agreement.
e. Perjanjian Perkawinan Menurut Islam
Kompilasi Hukum Islam memuat 8 (delapan) Pasal tentang perjanjian perkawinan, yaitu Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Istilah yang digunakan juga sama yaitu perjanjian perkawinan. Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa kedua calon suami istri (dalam Kompilasi Hukum Islam disebut mempelai) dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1) Ta'lik Talak
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam bisa disebut juga Perjanjian Pranikah karena dalam KHI dibuat tertulis dan pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan.dan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
Tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1 dan 2 KHI). Begitu juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan (Pasal 87 ayat 1 KHI). Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (Pasal 48 ayat 1 KHI).
Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah. Perjanjian tersebut dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan. Sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat. Apabila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat
kepada pihak ketiga. Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga (Pasal 50 KHI).
f. Perjanjian Perkawinan setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/-XIII/2015
Semenjak keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, pada tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan berkaitan dengan pembuatan perjanjian perkawinan. Apabila sebelumnya perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan saja maka kini perjanjian perkawinan dapat juga dibuat oleh suami isteri sepanjang perkawinan mereka. Pasangan suami isteri, yang sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan tidak membuat perjanjian perkawinan, jika mereka ingin membuat perjanjian perkawinan sepanjang perkawinan mereka tidak lagi harus meminta penetapan pengadilan untuk keperluan pembuatan perjanjian perkawinan tersebut, seperti yang telah beberapa kali terjadi. Mereka yang ingin membuat perjanjian perkawinan dapat
membuat perjanjian perkawinan tersebut dihadapan Notaris.
F. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah sesuatu yang dapat memberikan data atau informasi penelitian. Objek penelitian ini adalah Perjanjian Perkawinan
Yang Dibuat Setelah terjadinya Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan supaya masyarakat mengetahui apasajakah konsekuensi dan akibat hukum dari pembuatan ataupun perubahan perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015 serta dikemudian hari bermanfaat bagi masyarakat serta para notaris untuk memformulasikan perjanjian perkawian yang dibuat setelah perkawinan yang didalamnya melindungi kedua belah pihak maupun pihak-pihak lain yang terkait.
3. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yakni suatu metode pendekatan yang menekankan penelitian pada asas-asas, kaidah, dan teori dari hasil penelitian kepustakaan20, dengan penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari :
a. Bahan Hukum primer
Yakni bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini, yang terdiri dari : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Pelaksana Republik
20 Xxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 11
Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1046 tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak, dan Rujuk, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU/-XIII/2015, Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor : 459/Pdt/P/2007/PN.Jkt.Tmr serta peraturan-peraturan lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yakni bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-buku dan diktat-diktat literatur tentang perdata atau perkawinan, hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan21.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan pengumpulan data sekunder melalui penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, penetapan pengadilan, buku- buku, karya ilmiah, artikel, majalah/jurnal hukum, dan sumber lainnya yang terkait.
21 Suratman dan x.Xxxxxxx Dillah. Metode Penelitian Hukum , Cetakan Kesatu, (Bandung: Alfabeta,2013), hlm. 51.
5. Pendekatan Penelitian
Pendekatan diperlukan dalam sebuah karya tulis ilmiah untuk lebih menjelaskan dan mencapai maksud serta tujuan penelitian tersebut. Pendekatan tersebut dimaksudkan agar pembahasan sesuai dengan ruang lingkup pembahasan dapat terfokus pada permasalahan yang dituju.
Terdapat beberapa pendekatan yang dikenal dalam penelitian, yaitu pendekatan Undang-Undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)22
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan, dimana dengan pendekatan-pendekatan tersebut penyusun akan mendapat informasi dari berbagai aspek mengenai perlindungan hukum terhadap pihak ketiga atas perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach),
6. Analisis Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, dengan langkah berpikir sistematis, bahan hukum primer dianalisis dengan menggunakan langkah-langkah normatif dan kemudian dilanjutkan pembahasan dengan secara analisis desktiptif.
22 Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxx, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.22.
Analisis bahan hukum sekunder dilakukan dengan penelaahan dengan mengacu pada petunjuk yang mampu menjelaskan tentang pokok bahasan permasalahan, dan bahan hukum tersier dilakukan penelaahan dengan mengacu pada petunjuk yang mampu menjelaskan mengenai istilah-istilah. Bahan-bahan hukum tersebut kemudian diolah dan dibahas dengan metode Koherensi-sinkronisasi-logical sequence, yaitu melihat dan menemukan kebenaran suatu pernyataan yang konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dengan cara menelaah atau mengkaji suatu perundang-undangan, apakah peraturan perundang-undangan tersebut sudah serasi secara vertikal maupun horisontal yang dianalisis
secara sistematis sesuai urutan yang logis atau rasional.
BAB II
KONSEKUENSI DAN AKIBAT HUKUM DARI PEMBUATAN DAN PERUBAHAN PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII/2015
A. Pemilikan Harta Bersama dalam Perkawinan
1. Pengertian Harta Bersama
Salah satu akibat hukum dari perkawinan adalah terciptanya harta benda perkawinan, yaitu harta bersama dan harta pribadi, menurut Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta bersama suami-istri hanyalah meliputi harta-harta yang diperoleh suami-istri sepanjang perkawinan sehingga disimpulkan bahwa termasuk harta bersama adalah hasil dan pendapatan suami, hasil dan pendapatan istri, sedangkan harta pribadi menurut Pasal 35 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harta yang sudah dimiliki suami atau istri pada saat perkawinan dilangsungkan dan harta benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan tidak masuk ke dalam harta bersama kecuali mereka memperjanjikan lain. Harta pribadi tersebut dapat dibedakan lagi meliputi harta bawaan suami atau istri yang bersangkutan, harta yang diperoleh suami atau istri sebagai hadiah, hibah, atau warisan.
Menurut Pasal 66 UU Perkawinan dinyatakan segala hal yang berkaitan dengan perkawinan sepanjang diatur oleh UU Perkawinan maka akan berlaku aturan yang ada di dalam UU Perkawinan. Sebagai
contoh, KUHPerdata mengatur masalah perjanjian kawin dimana masalah perjanjian perkawinan inipun diatur dalam UU Perkawinan. Terhadap masalah tersebut, maka menurut Pasal 66 Untuk masalah perjanjian perkawinan harus menggunakan perjanjian perkawinan menurut UU Perkawinan. Dengan demikian, saat ini tidak dapat lagi digunakan perjanjian perkawinan berdasarkan KUHPerdata.
Suami memiliki hak yang sangat luas untuk mengurus harta kekayaan bersama dalam perkawinan seperti hak untuk menjual, memindahtangankan, dan membebani tanpa campur tangan istrinya seperti yang diatur dalam KUHPerdata Pasal 124.23
Oleh karena itu, undang-undang memberikan beberapa upaya untuk memperkuat kedudukan istri :24
a. Wewenang untuk meminta pemisahan harta kepada Xxxxx apabila pengurusan yang dilakukan oleh suami sangat buruk, dengan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 186 KUHPerdata;
b. Wewenang untuk meminta agar suaminya diletakkan di bawah pengampuan (curatele), dengan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 434 ayat (3) KUHPerdata; dan
c. Wewenang untuk meminta pelepasan diri atas harta bersama apabila terjadi perceraian, sebagaimana diatur dalam Pasal 132 KUHPerdata. Tindakan ini bertujuan untuk menghindarkan diri dari
23 Khomariah, Hukum Perdata, (Malang,: UMM Press 2004), hlm. 54.
24 Ibid., hlm. 55.
penagihan utang bersama, baik utang yang telah diperbuat oleh suami maupun oleh si istri itu sendiri. Akan tetapi tetap tidak mungkin untuk menghindarkan diri dari utang pribadi.25
Secara etimologi, harta bersama terdiri dari dua kata, harta dan bersama yang dapat diartikan masing-masing, harta adalah barang- barang (uang) dan sebagainya yang menjadi kekayaan26. Bersama menurut kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai berbarengan, jadi harta bersama dapat diartikan sebagai harta yang diperoleh secara bersama-sama dalam suatu perkawinan.
Xxxxxx Xxxxxx dalam bukunya yang berjudul Hukum Kekeluargaan di Indonesia juga mengatakan bahwa harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri- sendiri yaitu suami dan istri selama masa perkawinan.
Kemudian Xxxx. Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Harta Kekayaan menyatakan bahwa:27
Konsep harta bersama yang merupakan harta kekayaan dapat ditinjau dari segi ekonomi dan dari segi hukum, walaupun kedua segi tinjauan itu berbeda, keduanya ada hubungan satu sama lain. Tinjauan dari segi ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaan, sebaliknya tinjauan dari segi hukum menitikberatkan pada aturan hukum yang mengatur.
25 Subekti, Loc. Cit., hlm. 33.
26 WJS, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 347.
27 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Harta Kekayaan, (Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 1994), hlm. 9.
Menurut Xxxxx Xxxxx, bahwa “harta bersama adalah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.28
Harta bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah seorang dari mereka diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila terjadi perceraian maka masing- masing pihak isteri maupun suami berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama.
Undang-undang Perkawinan mengatur harta bersama dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan Pasal 35 ayat (2) mengatur bahwa harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau warisan, berada dibawah penguasaan masing-masing. Berbeda dengan konsep KUHPerdata, harta bersama menurut UU Perkawinan hanya meliputi harta-harta yang diperoleh suami istri, sepanjang perkawinan saja. Artinya harta yang diperoleh selama tenggang waktu, antara saat peresmian perkawinan, sampai
00Xxxxx Xxxxx, Xxxxxxxx Xxxxxxx xxxxxxx Harta Bersama, Mimbar Hukum, Nomor 33, Tahun VIII (1997), hlm. 59.
perkawinan tersebut putus, baik putus karena kematian salah seorang diantara mereka (cerai mati), maupun karena perceraian (cerai hidup).29 Pada hakikatnya harta benda perkawinan suami istri meliputi harta yang dibawa kedalam perkawinan oleh suami istri (harta bawaan) dan harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung (harta bersama). Dalam UU Perkawinan menganut asas perpisahan harta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 yang menggolongkan harta dalam perkawinan terbagi harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama
diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, yaitu:
a. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan berlangsung.
b. Harta yang diperoleh sebagai hadiah atau pemberian atau warisan apabila ditentukan deimikian.
c. Utang-utang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami istri.
Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan. Harta bersama tersebut pada umumnya akan dibagi dua secara proposional kepada masing-masing pihak apabila terjadi perceraian, sedangkan apabila perkawinan putus disebabkan oleh kematian salah satu pihak maka harta bersama tetap pada keadaan semula dikuasai oleh pihak yang masih hidup.30
29 X.Xxxxxx, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung:Citra Xxxxxx Xxxxx, 1993), hlm. 189.
30 Xxxxxx Xxxxxxx, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung:Tarsito 1984), hlm. 45.
Undang-undang Perkawinan tidak menguraikan lebih lanjut mengenai wujud dan ruang lingkup dari harta bersama itu, tetapi meskipun demikian, telah tertanam suatu kaidah hukum bahwa semua harta yang diperoleh selama masa perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama.31
Pada dasarnya semua harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan menjadi yurisdiksi harta bersama yang dikembangkan dalam proses peradilan. Berdasarkan pengembangan tersebut maka harta perkawinan yang termasuk yurisdiksi harta bersama adalah sebagai berikut, Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yang menentukan bahwa berkaitan dengan harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, hal ini mencerminkan suatu kedudukan yang setara terhadap kekuasaan atas harta bersama dalam perkawinan. Kedudukan yang setara antara suami dan istri terhadap harta bersama tersebut, maka lahirlah tanggung jawab dari suami dan istri tersebut manakala mereka secara bersama-sama atau salah satu dari mereka melakukan suatu perbuatan hukum.32
Hal ini berarti bahwa apabila suami yang menjadikan harta bersama sebagai objek jaminan hutang, maka dalam penjaminan itu harus mendapatkan persetujuan istrinya. Demikian pula sebaliknya, apabila
31 Xxxxx Xxxxx, Aplikasi asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Istri dalam Penjaminan Harta Bersama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: CV. Xxxxxx Xxxx, 2006), hlm. 46.
00Xxxxx Xxxx X.(I), Harta Benda Perkawinan: Kajian Terhadap Kesetaraan Hak dan Kedudukan Suami dan Isteri atas Kepemilikan Harta dalam Perkawinan, (Bandung: Xxxxxx Xxxxxxx, 2015), hlm. 25.
istri bertindak sebagai pihak yang menjaminkan, maka hal tersebut harus dilakukan dengan persetujuan suaminya. Dengan demikian suami dan istri tidak diperbolehkan menjual atau memindahtangankan harta bersama tanpa persetujuan kedua belah pihak.33
Suami dan istri dapat melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama mereka dengan persetujuan satu sama lain, apabila tidak ada persetujuan darei salah satu pihak, maka perbuatan hukum tersebut tidaklah sah. Perbuatan hukum yang dapat dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak seperti, menyewakan, menjual, memebeli ataupun menjadikan harta bersama menjadi jaminan kredit. Apabila dalam suatu perjanjian kredit tercapai kesepakatan anatara suami dan istri untuk menjaminkan harta bersama mereka, maka keduanya harus melakukan penandatanganan secara bersama-sama. Jika salah satu pihak tidak bersedia menandatangani atau karena suatu hal tidak dapat hadir untuk menandatangani perjanjian, maka perjanjian kredit tersebut batal atau ditolak oleh bank.
Ada dua pendapat tentang harta bersama menurut hukum Islam, menurut pendapat pertama, jika harta bersama tersebut merupakan syirkah sepanjang ada kerjasama antara keduanya maka harta tersebut dinamakan harta bersama, dan jika terjadi perceraian baik cerai mati maupun cerai hidup, harta bersama itu harus dibagi secara berimbang. Berimbang disini dimaksudkan ialah sejauh mana masing-masing pihak
33 Ibid., hlm. 74.
mamasukkan jasa dan usahanya dalam menghasilkan harta bersama itu dahulunya.
Pada kalangan mazhab Syafi’i terdapat empat macam yang disebut
harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat, dan syirkat), yaitu :
1. Syarikat inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta tertentu, misalnya bersyarikat untuk membeli suatu barang dan keuntungannya untuk mereka berdua.
2. Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing- masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya (upah) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut, berburu, dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya.
3. Syarikat mufawadlah, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dengan tenaganya dan masing-masing diantara mereka mengeluarkan modalnya, masing- masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak lain.
4. Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta, yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada mereka.
Dari keempat macam syarikat di atas mahzab Hanafi dan Xxxxxi hanya menerima syarikat inan karena syarikat ini merupakan muamalah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dalam rangka
mempertahankan hidupnya. Begitu pula dengan Mahzab Syafi’i meskipun membagi syarikat menjadi 4 (empat) macam tetapi dalam praktik peradilan mereka hanya menganut syarikat inan saja.
Pendapat yang kedua, harta yang diperoleh selama perkawinan disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan suami atau istri yang membeli, terdaftar atas nama suami atau istri, dan dimana letak harta bersama tersebut, maka apabila terjadi perceraian harta dibagi dua sebagaimana tertera dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam.
2. Jenis-jenis Harta Bersama
Harta benda antara suami istri dalam sebuah perkawinan tidak semuanya merupakan harta bersama, apabila melihat dari asal usul harta yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa terdapat empat sumber, yaitu:34
a. Harta hibah dan harta warisan yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri,
b. Harta hasil usaha sendiri sebelum terjadi perkawinan,
c. Harta yang diperoleh pada saat perkawinan atau karena perkawinan, dan
d. Harta yang diperoleh selama perkawinan selain dari hibah khusus untuk salah seorang dari suami istri dan selain harta warisan.
34 Op.Cit., hlm.29
Dari sumber harta tersebut maka, ada dua golongan harta perkawinan yaitu harta bersama yang dimiliki dan dikuasai bersama dan harta masing-masing dari suami dan istri.
Keempat sumber harta yang didapat tersebut dapat juga disebut dengan sumber kekayaan. Sumber kekayaan tersebut ditinjau dari segfi ekonomi dan dari segi hokum yang keduanya berkaitan satu sama lain. Tinjauan ekonomi menitikberatkan pada nilai kegunaannya sedangkan pada segi hokum menitikberatkan pada aturan hokum yang mengaturnya. Harta bersama yang dimiliki suami istri dari segi hokum diatur dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 dan Pasal 36, sebagai berikut :
Pasal 35 :
a. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda bersama,
b. Harta bawaan dari masing masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing penerima, para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36:
a. Mengenai harta bersama suami istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
b. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), harta bersama diatur dalam Bab XII tentang harta kekayaan dalam perkawinan dalam Pasal 85 sampai dengan Pasal 97. Pada Pasal 85 KHI menyatakan bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. Adapun jenis-jenis harta bersama disebutkan dalam Pasal 91 KHI, yaitu :35
a. Harta bersama sebagaimana disebut dalam Pasal 85 diatas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
b. Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, dan surat-surat berharga.
c. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.
d. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Melihat dari isi Pasal tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dianggap sebagai harta bersama adalah berupa benda milik suami istri yang mempunyai nilai ekonomi dan nilai hukum, yaitu yang memiliki nilai keguanaan dan ada aturan hukum yang mengatur. Harta bersama dapat berupa benda berwujud yang meliputi benda bergerak
35 Op.Cit., hlm. 30
dan benda tidak bergerak serta harta bersama dapat juga berbentuk surat berharga dan dapat juga berupa benda tidak berwujud seperti hak dan kewajiban.
B. Bentuk dan Jenis Perjanjian Perkawinan
1. Bentuk Perjanjian Perkawinan
Bentuk perjanjian perkawinan di dalam Putusan MK ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi, bahwa ”(...) kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis baik dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau otentik untuk disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris (...)”. Hal ini berarti bahwa, Perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk di bawah tangan dapat diajukan untuk disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau notaris.36
Akan tetapi pada Pasal 147 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan tegas menentukan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman pembatalan. Syarat ini dimaksudkan supaya:37
a. Perjanjian perkawinan tersebut dituangkan dalam bentuk akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat;
36 Pasal 3 PP 103/2015 tentang Pemilikan rumah Tempat Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing menyebutkan bahwa perjanjian pisaharta antara suami istri dibuat dengan akta notaris. berbeda dengan Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan cukup dibuat dalam perjanjian tertulis, berarti dapat dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau akta notaris.
37 J. Satrio. Hukum Harta Perkawinan. (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxxx.0000), hlm.153.
b. Memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami- Isteri atas harta benda mereka, mengingat perjanjian perkawinan mempunyai akibat yang luas. Untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan seseorang yang benar-benar menguasai hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua syarat dengan teliti. Hal ini berkaitan dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan harus tetap sepanjang perkawinan tersebut. Suatu kekeliruan dalam merumuskan syarat dalam perjanjian perkawinan tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang perkawinan.
2. Jenis-jenis Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan memiliki beberapa jenis, perjanjian ini dapat digolongkan sebagi berikut :
a. Percampuran laba-rugi (gemeenscap van winst en verlies)
yaitu seluruh pendapat yang diterima suami istri yang didapatkan secara cuma- cuma (hibah atau warisan) dan penghasilan yang mereka terima akan menjadi milik bersama begitu pula semua kerugian atau pengeluaran menjadi tanggungan bersama.
b. Percampuran penghasilan (gemeenschap van vruchten en inkomsten)
yaitu yang terjadi dalam perjanjian ini hanya persatuan penghasilan saja. Penghasilan yang diterima oleh masing-masing pihak menjadi harta bersama tetapi untuk pengeluaran atau kerugian yang diperoleh ditanggung oleh masing-masing pihak.
c. Pemisahan harta secara bulat (keseluruhan)
yaitu seluruh harta, baik harta sebelum dan sepanjang perkawinan berlangsung menjadi hak dari masing-masing suami isteri tersebut. Bentuk Perjanjian Kawin inilah yang paling sering dibuat dalam praktiknya. Karena dengan adanya pemisahan harta secara sepenuhnya inilah, maka antara suami dan isteri tersebut bisa melakukan perbuatan hukum sendiri atas hartanya tersebut.
Jenis perjanjian perkawinan juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 45 dan 47 ayat 2.
Jenis-jenis perjanjian perkawinan menurut KHI Pasal 45 adalah sebagai berikut :
a. Ta’lik talak.
Ta’lik talak menurut ketentuan KHI Pasal 1 huruf (e) adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam akta nikah berupa xxxxx xxxxx yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang. Ta’lik talak itu sendiri berisi ketentuan apabila sewaktu-waktu suami atau istri:
1) meninggalkan istri dua tahun berturut-turut,
2) tidak memberi nafkah wajib kepada istri tiga bulan lamanya,
3) menyakiti badan/jasmani istri,
4) membiarkan (tidak mempedulikan) istri enam bulan atau lebih.
Apabila istri tidak ridla (ikhlas) dan mengadukannya ke Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh pengadilan atau petugas tersebut, kemudian istri juga membayar uang sebesar Rp.50,- sebagai iwadl (pengganti) kepada suami, maka jatuhlah talak satu suami kepada istri.
b. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum islam.
Apabila perjanjian yang telah disepakati bersama antara suami dan isteri, tidak dipenuhi oleh salah satu pihak, maka pihak lain berhak untuk mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama untuk menyelesaikannya. Dalam hal pelanggaran dilakukan suami misalnya isteri berhak meminta pembatalan nikah atau sebagai alasan perceraian dalam gugatannya. Xxxxxxxx juga sebaliknya jika isteri yang melanggar perjanjian di luar taklik talak, suami berhak mengajukan perkaranya ke Pengadilan Agama.38
Sementara jika dilihat penggunaannya, seperti dalam praktek di Indonesia, taklik talak adalah terjadinya talak (perceraian) atau perpisahan antara suami dan isteri yang digantungkan kepada sesuatu, dan sesuatu ini dibuat dan disepakati pada waktu dilakukan akad nikah. Maka pelanggaran terhadap apa yang disepakati inilah yang menjadi dasar terjadinya perceraian (talak) atau perpisahan.
38 Xxxxx Xxxxx, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
162.
Berdasarkan substansi inilah menjadi dasar untuk mengatakan bahwa taklik talak pada prinsipnya sama dengan perjanjian perkawinan yang dapat menjadi dasar dan alasan terjadinya perceraian atau perpisahan antara suami dan isteri. Misalnya dalam buku nikah Indonesia, xxxxxx taklik, berisi perjanjian perkawinan.39
Di dalam peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal 11 menyebutkan:
1) Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2) Perjanjian yang berupa taklik talak dianggap sah kalau perjanjian itu diucapkan dan ditandatangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
3) Sighat taklik talak ditentukan oleh Menteri Agama.
Dalam Pasal 47 (2) disebutkan bahwa, perjanjian itu dapat berupa harta pribadi atau pemisahan harta pencarian masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Mengenai
39 Menurut Xxxxxx Xxxxxx terdapat macam-macam sifat perjanjian, yaitu:
a. Syarat-syarat yang menguntungkan isteri, seperti syarat untuk tidak dimadu. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini ada yang mengatakan sah dan ada yang mengatakan tidak sah.
b. Syarat-syarat yang bertentangan dengan apa yang dikehendaki oleh maksud akad itu sendiri. Seperti tidak boleh mengadakan hubungan kelamin, tidak ada hak waris di antara suami isteri, tidak boleh berkunjung kepada kedua orang tua, dan lain-lain. Syarat-syarat semacam itu tidak sah dan tidak mengikat.
c. Syarat-syarat yang bertentangan dengan ketentuan syara’, seperti jika akad nikah sudah dilangsungkan, agar masing-masing pindah agama, harus makan daging babi, dan sebagainya. Perjanjian semacam ini tidak sah, dan bahkan akad nikahnya juga tidak sah. Xxxxx Xxxxx Xxxxx, Xxxx Xxxxxx, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, 1983), hlm.114.
bentuk perjanjian perkawinan yang lain meliputi permasalahan sebagai berikut:
Hal yang menyangkut kedudukan harta dalam perkawinan:
1) Boleh berisi percampuran harta pribadi,
2) Pemisahan harta pencaharian masing-masing,
3) Kewenangan pembebanan harta pribadi dan harta bersama,
4) Perjanjian perkawinan mengenai harta tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini ditunjukkan untuk melindungi istri atas hasil pencahariannya.40
C. Perjanjian Perkawinan dalam Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia (UU Perkawinan Pasal 57). Perkawinan yang memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan dalam Undang- Undang Perkawinan dinyatakan dan diakui sebagai perkawian sah dengan segala akibat hukumnya.41 Akibat hukum perkawinan sah adalah timbul hubungan hukum antara suami dan istri, antara orang-tua dan anak, antara wali dan anak, serta harta kekayaan dalam perkawinan,42 dan dalam
40 Moh. Xxxxxx, Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 1998) hlm. 84-85.
41 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Xxxxxx Xxxxx, 2010), hlm.101.
42 Ibid.
Undang-Undang Perkawinan, tidak dikenal adanya pemisahan harta setelah perkawinan berlangsung.
Maka dari itu setelah adanya putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) atau WNI dengan WNI yang lupa ataupun belum membuat perjanjian perkawinan memiliki kemungkinkan untuk membuat perjanjian perkawinan yang sering disebut dengan postnuptial agreement atau perjanjian perkawinan yang dibuat pada masa perkawinan. Postnuptial agreements, also known as post-marital agreements, are agreements entered into after a marriage has taken place43.
Dengan membuat postnuptial agreement, maka akan terjadi pemisahan harta kekayaan sesuai dengan kehendak suami dan istri, dengan demikian masing-masing pihak dapat bertanggung jawab atas harta bendanya tanpa bergantung satu sama lain.
Akan tetapi terdapat beberapa permasalahan dalam pembuatan postnuptial agreement, diantaranya pada masa berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemilikan hak atas tanah (tertentu) pada perkawinan campuran antara WNI dengan WNA.
WNI yang menikah dengan WNA, setelah perkawinan, memang tidak diperbolehkan untuk memiliki hak atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal demikian sesuai dengan
43 Xxxx Xxxxxx, 2016, “Post Marital Agreement in Indonesia”. Dalam xxxx://xxx.xxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/xxxxxxx/00-xxxx-xxxxxxx-xxxxxxxxx-xx-xxxxxxxxx, diakses tanggal 11 Januari 2017.
Pasal 35 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta yang diperoleh setelah perkawinan, dan suami atau istri yang berstatus sebagai WNA akan turut menjadi pemilik atas harta bersama tersebut. Sedangkan merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, WNA tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan.
Oleh karena itu, seorang WNI yang menikah dengan WNA, setelah menikah tidak bisa lagi memperoleh Xxx Xxxxx, atau Xxx Xxxx Xxxxxxan, atau Xxx Xxxx Xxxxx, karena akan menjadi bagian dari harta bersama yang dimilikinya dengan pasangan WNA-nya. Apabila ingin tetap memiliki hak atas tanah setelah melakukan perkawinan dengan WNA tersebut, maka pasangan tersebut harus membuat perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai pemisahan harta.
Berikut adalah beberapa keuntungan yang diperoleh dengan membuat perjanjian perkawinan bagi suami istri baik perkawinan sesama WNI maupun perkawinan campuran:
1. Suami dan istri memiliki kebebasan untuk mengelola harta bendanya tanpa bergantung satu sama lain.
2. Dalam hal kepemilikan Tanah, pada Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dikatakan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik, oleh karena itu WNI yang melakukan Perkawinan dengan WNA dimana
terjadi percampuran harta, akan kesulitan untuk memperoleh hak milik, dengan demikian pembuatan postnuptial agreement menjadi jalan keluar bagi WNI yang melakukan perkawinan dengan WNA untuk melakukan pemisahan harta dan mendapatkan hak milik atas tanah.
3. Supaya dapat mengajukan kredit pada bank, karena terdapat peraturan dibeberapa bank yang mencantumkan perjanjian pernikahan bagi pasangan perkawinan campuran yang akan mengajukan kredit. Pertimbangannya adalah Peraturan BI No. 7/14/PBI 2005 tentang pembatasan transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing oleh bank bagi Pihak Asing, Pihak Asing disini adalah WNA termasuk yang memiliki izin menetap atau izin tinggal di Indonesia. Kemudian pasangan perkawinan campuran yang mengajukan kredit kepada bank akan terganjal oleh peraturan tersebut apabila mereka tidak memiliki perjanjian pernikahan yang di dalamnya terdapat Pasal mengenai pisah harta. Jika tidak memiliki perjanjian yang dimaksud, maka dianggap memiliki harta bersama dan tentunya pihak bank tidak dapat memberikan pinjaman bagi pihak asing sesuai dengan peraturan tersebut.
4. Pembuatan postnuptial agreement juga penting dilakukan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut utang piutang masing-masing pihak, terutama dalam menjalankan Perseoran Terbatas untuk mencegah dimasukannya seluruh harta yang dimiliki masing-masing pihak kedalam boedel pailit.
D. Syarat-syarat dan Prosedur Pembuatan dan Perubahan Perjanjian Perkawinan
Masih banyak masyarakat yang belum atau tidak membuat perjanjian perkawinan karena terkendala kurangnya sosialisasi mengenai persyaratan- persyaratan yang dibutuhkan untuk kelengkapan pembuatan perjanjian perkawinan, maupun teknis pengurusannya. Berapapun usia perkawinan pasangan suami istri asalkan telah sepakat untuk membuat perxxxxxan perkawinan yang tidak merugikan pihak ketiga.
Berikut adalah dokumen-dokumen yang harus dipersiapkan oleh pasangan suami istri yang akan membuat perjanjian perkawinan :
1. Foto copy surat nikah dan menunjukkan aslinya;
2. Foto copy KTP suami dan istri dan menunjukkan aslinya;
3. Foto copy kartu keluarga dan menunjukkan aslinya;
4. Foto copy kutipan akta perkawinan atau dengan nama lain yang diterbitkan oleh negara lain.
Setelah dokumen-dokumen lengkap, pasangan suami istri atau calon suami istri bisa membawanya ke Notaris yang dipilih, kemudian Notaris akan membuatkan akta tersebut dan para pihak menandatanganinya. Setelah di tandatangani, perjanjian perkawinan ini sudah berlaku bagi para pihak, akan tetapi belum memngikat bagi pihak ketiga. Salinan akta Perjanjian Perkawinan harus didaftarkan atau dilaporkan terlebih dahulu kepada Instansi Pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) Instansi Pelaksana,
yaitu Kantor Catatan Sipil untuk pasangan kawin non muslim dan Kantor Urusan Agama untuk yang muslim.
E. Konsep Perjanjian Perkawinan dalam Hukum Islam
Islam pada dasarnya tidak mengenal istilah perjanjian perkawinan, hanya dalam literatur fikih terdapat istilah dengan maksud yang sama yaitu ijab qobul yang disertai dengan syarat tau persyaratan dalam perkawinan, dibuktikan dengan adanya beberapa aturan yang mengatur mengenai perjanjian ini. Status perjanjian perkawinan dalam hukum Islam adalah mubah, yaitu boleh untuk dilakukan, bahkan lebih condong kepada dianjurkan (bersifat perintah), namun tidak ada janji berupa konsekuensi berupa pahala terhadapnya. Dengan kata lain, Mubah yakni apabila dikerjakan tidak berpahala dan tidak berdosa, jika ditinggalkanpun tidak berdosa dan tidak berpahala. Hukum ini cenderung diterapkan pada perkara yang lebih bersifat keduniaan.44
Hukum perkawinan termasuk ke dalam bagian hukum Islam yang memerlukan bantuan kekuasaan negara.45 Artinya dalam pelaksanaan dan pemberlakuannya, negara harus terlebih dahulu memberikan landasan yuridisnya, karena negara merupakan kekuasaan yang paling legalitas dan berkekuatan untuk hal ini.46
Macam Perjanjian Perkawinan menurut hukum Islam, yaitu :
44 xxxxx://xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxx, diakses tgl 27 April 2019
45 Xxxxxxx MK, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2010), hlm. 10
46 Xxxxx Xxxxx, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2006), hlm. 96
1) Ta’lik Talak
Ta’lik talak berasal dari dua kata yaitu taklik dan talak. Menurut bahasa talak atau ithlaq berarti melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.
Ta’lik atau muallak artinya bergantung. Dengan demikian pengertian ta’lik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan kepada suatu syarat. Atau ta’lik talak adalah talak yang digantungkan terjadinya terhadap suatu peristiwa tertentu sesuai dengan perjanjian. Atau ta’lik talak adalah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah diperjanjikan lebih dulu. Atau menggantungkan jatuhnya talak dengan terjadinya hal yang disebutkan setelah akad nikah. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa taklik talak adalah talak yang jatuhnya digantungkan pada suatu perkara.
Ta’lik Talak menurut KHI Pasal 45 yaitu, perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang), harta kekayaan/harta bersama, poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sedangkan dalam Pasal 46 KHI berbunyi:
a) Isi ta’lik talak tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
b) Apabila keadaan yang disyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi di kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, istri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan agama.
c) Perjanjian ta’lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Berdasarkan pada ketentuan di atas, maka dapat dikatakan bahwa:
a) Isi ta’lik talak sudah ditentukan oleh Menteri Agama dan diterbitkan oleh Departemen Agama, karena yang melakukan perjanjian ta’lik talak ini adalah orang Islam saja, maka isi perjanjian ta’lik talak tersebut tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.
b) Apabila suami melanggar perjanjian taklik talak tersebut, maka istri harus mengajukannnya ke pengadilan agama. Karena perceraian di Indonesia terjadi apabila dilakukan di hadapan para hakim dalam sidang di pengadilan agama. Hal ini bisa juga dikatakan sebagai talak yang dijatuhkan oleh hakim.
c) Ta’lik talak tidak wajib hukumnya, akan tetapi sekali taklik talak diucapkan maka tidak dapat dicabut kembali, dalam hal ini ta’lik talak sangat mengikat bagi yang mengadakan perjanjian taklik talak ini.
Bunyi Ta’lik Xxxxx adalah sebagai berikut :
“Sesudah akad nikah saya (pengantin laki-laki) berjanji dengan sesungguh hati, bahwa saya akan mempergauli isteri saya bernama (pengantin perempuan) dengan baik (xx’xxxxxxx xxx xx’xxx) menurut ajaran Islam. Kepada isteri saya tersebut saya menyatakan sighat taklik sebagai berikut:
Apabila saya:
a) Meninggalkan isteri saya 2 (dua) tahun berturut-turut;
b) Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
c) Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau
d) Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;
dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp.10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya satu kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial”
Menurut Hukum Islam, seorang suami mempunai hak talak sedangkan istri tidak. Xxxxx adalah hak suami, karena dialah yang berminat melangsungkan perkawinan, dialah yang berkewajiban memberi nafkah, dia pula yang wajib membayar mas kawin, mut’ah, serta nafkah dan iddah. Di samping itu laki-laki adalah orang yang lebih sabar terhadap sesuatu yang tidak disenangi oleh perempuan. Laki-laki tidak akan segera menjatuhkan talak apabila marah atau ada kesukaran yang menimpanya. Sebaliknya kaum wanita itu lebih cepat marah, kurang tabah sehingga ia cepat-cepat minta cerai hanya karena ada
sebab yang sebenarnya sepele atau tidak masuk akal. Karena itulah kaum wanita tidak diberi hak untuk menjatuhkan talak.47
Meskipun istri tidak mempunyai hak talak, akan tetapi ia dapat mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya. Hal ini dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 114 KHI, yang selengkapnya berbunyi “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian”. Dengan adanya hak untuk mengajukan gugatan itu apabila seorang istri ingin bercerai dengan suaminya, tentu saja didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum, maka ia dapat mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama. Dengan demikian, dalam hal perceraian, hak antara seorang suami dan istri adalah seimbang.48
Dasar Hukum Ta’lik Talak :
a) Qur’an surat An Nisa ayat 128
Artinya :
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Xxxx tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b) KHI Pasal 45 dan Pasal 116
47 Xxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, Peradilan Agama dan Hukum Islam di Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 64.
48 Ibid., hlm. 64-65.
Alasan perceraian menurut KHI Pasal 116 adalah sebagai berikut :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut- turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c) Salah satu pihak mendapat hukuman selama 5 tahun atau lebih berat setelah perkawinannya berlangsung.
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban suami istri.
f) Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk rukun lagi dalam rumah tangga.
g) Suami melanggar taklik talak.
h) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Perjanjian perkawinan menurut hukum Islam dan KUHPerdata memiliki kesamaan unsur, namun terdapat sedikit perbedaan antara Ta’lik Talak dengan perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 46 ayat (3) KHI yang
menyatakan bahwa perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Xxxxx Xxxxx menguraikan dalam Fikih Sunnah bahwa perjanjian perkawinan yang disebut sebagai taklik talak ada dua macam bentuk:49
a) Ta’lik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian melakukan peker-jaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Dan taklik talak seperti ini disebut dengan ta’liq qasami.
b) Ta’lik yang dimaksudkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syarat ta’liq. Taklik seperti ini disebut dengan ta’liq syarti. Dari kedua bentuk taklik talak di atas dapat dibedakan dengan kata-
kata yang diucapkan oleh suami. Pada ta’liq qasamy, suami bersumpah untuk dirinya sendiri. Sedangkan pada taklik talak suami mengajukan syarat dengan maksud jika syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada isterinya.
Negara-negara Islam di luar Indonesia juga mengkonsepkan
perjanjian perkawinan dan ta’lik talak, berikut uraian singkatnya :
a) Malaysia
Dalam perundang-undangan Keluarga Muslim Malaysia,
dimungkinkan untuk membuat ta’lik talak maupun perjanjian
49 X. Xxxx Xxxx, Perceraian Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), hlm. 41-
42
perkawinan. Diatur dalam Pasal 22 Undang-undang Selangor (Islamic Family Law of State of Selangor, Enactment 2003). Ta’lik talak tersebut mengandung 3 hal, yaitu pertama suami meninggalkan isteri selama 4 bulan, disengaja atau tidak. Kedua, suami tidak memberikan nafkah sementara isteri patuh kepada suami. Ketiga, suami melakukan sesuatu yang membuat isteri cacat/sakit. Hukum mengucapkan sighat ta’lik talak di Malaysia tidak wajib, namun tetap berlaku meskipun tidak
Diucapkan.50
b) Singapura
Dalam perundang-undangan keluarga Singapore, aturan tentang kemungkinan dibuatnya ta’lik talak tercantum dalam Formulir (form) Nomor 4. Dalam formulir ini diberikan kemungkinan kepada isteri mengajukan perpisahan dengan empat alasan. Pertama, suami meninggalkan isteri selama 4 bulan, disengaja atau tidak. Kedua, suami tidak memberikan nafkah, sementara isteri patuh kepada suami. Ketiga, suami melakukan sesuatu yang membuat isteri rusak/sakit badan dan hartanya, dan menyebabkan kehilangan kehormatan. Alasan ini berlaku dengan syarat isteri mengadukan ke pengadilan, ketika pengaduan terbukti, maka jatuh
talak satu.51
50 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, “Menjamin Hak Perempuan dengan Taklik Talak dan Perjanjian Perkawinan”, Jurnal UNISIA, Vol. XXXI No. 70, Desember 2008, hlm. 339.
51 Ibid., hlm. 340.
c) Maroko
Perundang-undangan Perkawinan Maroko, masalah ta’lik talak dicantumkan pada Pasal 31 the Code of Personal Status 1957-1958 (Qanûn al-Akhwâl al-Syakhsîyah). Isi dari Pasal ini bahwa isteri boleh menetapkan dalam akad nikah bahwa suaminya tidak akan poligami. Jika suaminya berpoligami, isteri berhak mengajukan perceraian. Isi dari Pasal ini secara khusus hanya menyinggung poligami sebagai alasan kemungkinan terjadi perceraian, yang diajukan isteri karena keberatan.52
d) Siriah
Masalah ta’lik talak tercantum dalam Pasal 14 Qanûn al- Akhwâl al- Syaksîyah Syria Nomor 59 Tahun 1953. Pada ayat (i) disebutkan, manakala dalam satu akad nikah dibuat taklik talak yang bertentangan dengan syariat, maka ta’liknya tidak sah, tetapi akad nikahnya sendiri tetap sah. Ayat (ii) dalam satu akad nikah yang menetapkan ta’lik talak untuk kepentingan isteri, maka ketetapan berlaku, dengan syarat tidak bertentangan dengan syari‘at, tidak merugikan pihak ketiga, dan tidak menghilangkan hak suami. Ayat
(iii) dimana isteri menetapkan ta’lik dalam akad nikah, yang menghilangkan hak pihak ketiga atau hak isteri, meskipun berlaku bagi suami, tetapi dapat menjadi dasar bagi isteri untuk minta cerai apabila dilanggar suami. Dalam Pasal ini tidak disebutkan dan tidak
52 Ibid.
dibatasi alasan yang boleh dicantumkan dalam taklik talak. Dengan aturan ini malah memungkinkan mencantumkan cakupan alasan yang lebih luas.
Menurut beberapa penelitian, alasan yang paling umum dicantumkan dalam taklik talak Siriah adalah suami tidak boleh pergi ke luar negeri mencari pekerjaan. Alasan ini didorong oleh kenyataan banyaknya kasus suami yang pergi mencari pekerjaan di luar negeri, namun kemudian tidak pulang lagi dan menikah lagi di negara tempat tinggalnya. Fenomena ini menjadi momok bagi wanita dan orang tua di Siriah.53
e) Yaman Utara
Undang-undang Yaman Utara Tahun 1978 (Qanûn al-Usrah), masalah taklik talak dicantumkan dalam Pasal 4, bahwa satu perkawinan yang ada taklik (perjanjian perkawinan) yang sah dan berlaku bagi pihak-pihak, maka perkawinannya adalah sah dan perjanjian pun berlaku. Kemudian ditambahkan, perjanjian tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan bersama.54
f) Lebanon
Lebanon Law on Family Rights 1917-1962, yang dicantumkan dalam Pasal 38. Pasal ini berisi, ketika seorang wanita menetapkan dengan suaminya bahwa suami tidak poligami, maka tindakan
53 Ibid.
54 Ibid.
poligami suami dapat menjadi alasan isteri untuk minta talak, baik isteri pertama maupun isteri kedua.55
g) Somalia
Ta’lik talak dalam Undang-undang Perkawinan Somalia (Family Code of Somalia Nomor 23 Tahun 1975) dicantumkan dalam Pasal
43. Pasal ini memuat sejumlah alasan yang memungkinan pasangan suami dan isteri untuk berpisah. Alasan-alasan dimaksud
ada tujuh yaitu:
(1) Salah satu pasangan mengidap penyakit yang menghalangi mereka mengadakan hubungan seksual, dan penyakit dimaksud dibuktikan oleh hasil pemeriksaan (keterangan) dokter,
(2) Tidak diketahui keberadaanya selama empat tahun,
(3) Fakir miskin yang mengakibatkan suami tidak dapat mencukup nafkah keluarga,
(4) Kedua suami dan isteri miskin, dan mereka tidak dapat menyelesaikannya selama enam bulan,
(5) Terjadi perselisihan serius antara pasangan suami dan isteri, dan juru damai (arbitrador) tidak mampu mendamaikan,
(6) Salah satu pasangan tidak dapat melakukan hubungan seksual, dan,
(7) Isteri berhak mintai cerai disebabkan suami poligami yang diijinkan oleh hakim, sesuai dengan Pasal 13.
Isi Pasal 13 Hukum Perkawinan Somalia adalah kemungkinan poligami bagi suami dan harus mendapatkan ijin dari pengadilan dengan sejumlah alasan. Alasan-alasan dimaksud adalah:
(1) Isteri mandul yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter,
(2) Isteri mengidap penyakit berkepanjangan (tidak dapat disembuhkan) dan mengakibatkan tidak dapat melakukan hubungan seksual, yang dibuktikan oleh dokter,
(3) Isteri dipenjara lebih dari satu tahun,
(4) Isteri meninggalkan rumah tanpa alasan yang jelas, dan
(5) Karena ada kepentingan sosial, yang ijin untuk ini dikeluarkan oleh menteri kehakiman dan menteri agama. Dengan demikian, dalam perundang-undangan Somalia,
meskipun ada kemungkinan poligami, dengan ijin dan dengan syarat-syarat tertentu, tetapi poligami suami ini dapat menjadi alasan isteri minta cerai.56
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam mendefinisikan perjanjian perkawinan sebagai suatu kesepakatan bersama bagi calon suami dan calon istri yang harus dipenuhi apabila mereka sudah menikah, tetapi jika salah satu tidak memenuhi ataupun melanggar perjanjian
perkawinan tersebut maka salah satunya bisa menuntut meminta untuk membatalkan perkawinannya begitu juga sebaliknya, sebagai sanksi atas tidak dipenuhinya perjanjian perkawinan tersebut.
Sahnya sebuah perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris dan akibat hukumnya mengikat para pihak (suami dan istri) apabila para pihak melanggar isi perjanjian. Perjanjian perkawinan harus menuhi dua syarat yaitu : kedua belah pihak yang melakukan akad yang secara langsung terlibat dalam perjanjian memiliki kelayakan untuk melakukan akad, sehingga akad tersebut dianggap sah dan objek akad harus suci, bisa digunakan dengan cara yang disyariatkan, harus bisa diserahterimakan dan harus diketahui wujudnya.57 Secara khusus perjanjian perkawinan ini dikaji menurut pandangan masyarakat yang tunduk pada Hukum Islam.
Dalam Kompilasi Hukum Islam tidak menjelaskan secara rinci mengenai perjanjian perkawinan ini, hanya menyatakan tidak bertentangan dengan hukum Islam dan memenuhu syarat sahnya perjanjian, yaitu :
a) Xxxxxx yang mengenai diri pribadi, artinya bahwa calon suami istri tersebut adalah laki-laki dan perempuan yang xxxx (berakal), balig (dewasa), merdeka dan tidak dipaksa, baik yang belum pernah menikah ataupun yang sudah pernah menikahtelah bersepakat untuk
57 Xxxxxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung
: PT. Citra Xxxxxx Xxxxx, 2001), hlm. 252.
membuat perjanjian perkawinan mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.
b) Syarat-syarat cara pembuatan perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan dibuat secara tertulis, baik perjanjian di bawah tangan maupun berupa akta perjanjian perkawinan yang dibuat di hadapan Notaris, dan isi perjanjian perkawinan tidak bertetangan dengan hukum Islam dan kesusilaan.
c) Syarat-syarat mengenai isi perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan dapat meliputi percampuran harta pribadi, dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam tercantum dalam KHI Pasal 47 ayat 2. Perjanjian perkawinan dapat juga menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau syarikat, tercantum dalam KHI Pasal 47 ayat
3. Apabila perjanjian perkawinan berisi tentang pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika dibuat perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut , dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga diatur dalam Pasal 48 Kompilasi Hukum Islam.
F. Konsekuensi dan Akibat Hukum dari pembuatan dan perubahan Perjanjian Perkawinan setelah perkawinan pasca putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 Setelah munculnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU- XIII/2015, perjanjian perkawinan dapat dibuat oleh pasangan suami setelah perkawinan berlangsung, terdapat beberapa landasan dibuatnya perjanjian perkawinan setelah terjadinya perkawinan, lebih rinci adalah sebagai
berikut :58
1. Adanya kealpaan dan ketidaktahuan.
Bahwa dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada ketentuan yang mengatur tentang Perjanjian Kawin sebelum pernikahan dilangsungkan.
2. Adanya risiko yang mungkin timbul dari harta bersama.
Para pemohon mengkhawatirkan akan adanya risiko terhadap harta bersama mereka dalam perkawinan, karena pekerjaan para pemohon memiliki konsekuensi dan tanggung-jawab pada harta pribadi, sehingga masing-masing harta yang didapat bisa tetap menjadi milik pribadi dari para pemohon.
3. Adanya sikap individual.
Sikap individual tersebut dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang semakin subur, karena pengaruh lingkungan dan peradaban manusia yang semakin liberal dan meniru kehidupan barat yang pada
58 Xxxxxx Xxxxxxxxxx dan Xxxxx Xxxxxxxxx. “Akibat Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Setelah Perkawinan Berlangsung”, Privat Law Vol. III No 2 Juli-Desember 2015, hlm. 91
akhirnya terbawa oleh pasangan suami-istri untuk melakukan pembuatan Perxxxxxxx Xxxxx. “Bahwa Hukum Islam (Al Quran dan Al Hadist) tidak mengenal lembaga Perjanjian Kawin. Lembaga Perjanjian Kawin dikenal karena pengaruh lingkungan dan meniru kehidupan barat yang liberal”.
4. Adanya keinginan untuk tetap memiliki sertipikat dengan hak milik atas tanah.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria dan Peraturan Pelaksanaannya dinyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia yang bisa mempunyai sertipikat dengan hak milik atas tanah dan apabila yang bersangkutan, setelah memperoleh sertipikat Xxx Xxxxx kemudian menikah dengan eks patriat (bukan WNI), maka dalam waktu 1 tahun setelah pernikahannya itu, maka ia harus melepaskan hak milik atas tanah tersebut, kepada subyek hukum lain yang berhak.
Oleh karena sebab-sebab tersebut, tidak sedikit pula pasangan- pasangan yang kemudian membuat perjanjian perkawinan setelah perkawinan mereka dilangsungkan, akibat pembuatan perjanjian perkawinan dapat ditinjau dari beberapa segi, diantaranya :59
1. Secara hukum para pihak saling terkait dengan adanya perjanjian perkawinan, dan masing-masing harus melaksanakan kewajiban dan haknya. Para pihak juga harus siap dengan konsekuensi hukum yang
59 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, “PerjanjianPerkawinandalam Pandangan Hukum Islam”, Serat
Acitya-Jurnal Ilmiah, UNTAG Semarang, hlm. 128
akan timbul bila melakukan pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.
2. Secara psikologi, perjanjian perkawinan akan menimbulkan perasaan tidak percaya terhadap pasangan hidupnya. Ia akan dibayangi perasaan takut apabila pasangan melakukan pelanggaran terhadap perjanjian. Kecemasan ini akan menyebabkan ketidakbahagiaan dalam menjalani rumah tangga.
3. Secara sosiologis atau budaya, perjanjian perkawinan menimbulkan adanya culture shock. Masyarakat Timur yang kekeluargaannya tidak mengenal individualisme tentu menolak adanya perjanjian perkawinan. Perjanjian ini dianggap sebagai hal yang tabu karena mementingkan harta saja. Meskipun tidak selamanya perjanjian perkawinan berorientasi pada harta dalam perkawinan.
Dalam putusan MK disebutkan di dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa ”Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”. Adanya putusan MK Nomor 69 Tahun 2015 terhadap kapan dibuatnya perjanjian perkawinan berakibat hukum diantaranya60:
1. Dengan diperbolehkannya pembuatan perjanjian perkawinan pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, berarti bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja yakni sebelum perkawinan menurut hukum, masing-masing agamanya dan
60 Ibid
kepercayaannya, sebelum pencatatan perkawinan Pegawai Pencatat Perkawinan atau selama perkawinan berlangsung;
2. Saat berlakunya perjanjian perkawinan adalah sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Penentuan tanggal berlakunya perjanjian perkawinan sejak perkawinan dilangsungkan untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan akan berakibat terhadap harta benda perkawinan yang telah terjadi sebelum perjanjian perkawinan dibuat. Dengan demikian akibat serta kepastian hukumnya terhadap pihak ketiga tergantung pada penentuan kapan berlakunya perjanjian perkawinan;
3. Selain kapan dibuatnya perjanjian perkawinan, diperbolehkannya selama perkawinan berlangsung atas persetujuan kedua belah pihak (suami- isteri) mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan yang dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, asal perubahan dan pencabutan tidak merugikan pihak ketiga;
4. Atas perubahan dan pembatalan perjanjian perkawinan harus pula disahkan oleh pejabat pencatat perkawinan yang tidak jelas dinyatakan di dalam MK tapi sebaiknya pengesahan tersebut harus dilakukan agar berlaku terhadap pihak ke tiga.
5. Untuk suami isteri yang bersangkutan, jika berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa, Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya, maka perjanjian kawin tersebut merupakan kehendak dan kesepakatan mereka sendiri, sehingga akan mengikat mereka sendiri.61
6. Terhadap harta benda perkawinan, yaitu:62
a. untuk harta benda yang ada sebelum perjanjian kawin dibuat berdasarkan penetapan, maka akan menjadi tanggung jawab bersama.
b. Untuk harta benda yang akan diperoleh setelah perjanjian kawin dibuat berdasarkan penetapan, maka hal tersebut akan menjadi tanggung jawab masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian kawin tersebut.
7. Terhadap pihak ketiga, pembuatan perjanjian kawin yang didasarkan pada penetapan Pengadilan Negeri yang berhubungan dengan pihak ketiga akan berlaku sejak tanggal penetapan Pengadilan Negeri dikeluarkan dan telah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Sehingga pihak ketiga dalam hal ini tidak dirugikan jika terjadi sesuatu dikemudian hari, karena sudah ada kesepakatan pemisahan harta sebelumnya.63
Apabila dicermati lebih dalam, perjanjian perkawinan berlaku terhitung sejak perjanjian perkawinan tersebut dibuat, tidak akan membawa banyak permasalahan hukum terkait dengan adanya pembuatan perjanjian
61 Xxxxx Xxxx Xxxxxxxx, “Pertaruhan Esensi Itikad Baik dalam Pembuatan Perjanjian Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”, Jurnal Notariil, Vol. 1, No. 2, (2017), hlm.73
62 Ibid., hlm.74
63 Ibid.
perkawinan tersebut, sebab perjanjian perkawinan tersebut hanya membawa akibat hukum terhadap harta benda yang diperoleh setelah dibuatnya perjanjian perkawinan tersebut. Namun apabila perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan mulai berlaku sejak dilangsungkan perkawinan maka akan menimbulkan beberapa permasalahan terkait dengan status harta benda yang telah ada sebelumnya yang menurut hukum merupakan harta bersama karena diperoleh sepanjang perkawinan.64
Dibuatnya perjanjian kawin dalam masa perkawinan membawa akibat terhadap perubahan status hukum harta benda serta utang yang terdapat atau diperoleh di dalam perkawinan tersebut yang sangat berkaitan erat dengan pihak ketiga. Dengan demikian seharusnya pembuatan perjanjian perkawinan tersebut tidak boleh merugikan pihak ketiga. Namun demikian sampai dengan saat ini belum dibuat regulasi yang mengatur tatacara pembuatan perjanjian kawin dalam masa perkawinan sehingga membuka ruang interprestasi secara luas.65
64 Xxxxxx Xxxx Xxxxxx. “Kedudukan Hukum Perjanjian Perkawinan yang dibuat Setelah Perkawinan terhadap Pihak Ketiga (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 69/PUU- XIII/2015). Jurnal Hukum dan Kenotariatan. Hlm. 176.
65 Ibid., hlm. 177
BAB III
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PIHAK KETIGA APABILA PERJANJIAN PERKAWINAN DIBUAT DIHADAPAN NOTARIS PASCA DILANGSUNGKANNYA PERKAWINAN
A. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
Perjanjian perkawinan pada awalnya diatur dalam buku I KUHPerdata sebelum lahirnya UU Perkawinan, akan tetapi sebagian aturan dalam KUHPerdata khususnya mengenai masalah perkawinan sudah tidak berlaku lagi ketika munculnya UU Perkawinan. Ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian perkawinan dalam KUHPerdata diatur secara menyeluruh pada Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Pada Pasal 119 KUHPerdata, menghendaki bahwa saat perkawinan berlangsung maka terjadilah persatuan antara harta kekayaan suami dan istri, sepanjang mengenai itu dengan perxxxxxan kawin tidak diadakan ketentuan lain.
Perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing suami atau istri, walaupun dalam undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan kepada kedua calon yang akan menikah, asalkan isinya tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, hukum dan agama.66
66Xxxx Xxxx, Perlukah Perjanjian Perkawinan?, Xxxxxxxxx.xxx, diakses pada tanggal 10 Mei 2018.
Perjanjian perkawinan harus dibuat dengan memenuhi sarat-sarat umum sahnya suatu perjanjian sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, selain syarat umum mengenai sahnya suatu perjanjian dalam membuat perjanjian perkawinan calon suami-istri juga harus memperhatikan persyaratan khusus mengenai perjanjian perkawinan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut meliputi diri pribadi, bentuk dan isi perjanjian perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan permohonan Nyonya Xxx Xxxxxx, seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang melakukan perkawinan dengan seorang Warga Negara Jepang (WNA). Permohonan ini diajukan oleh pemohon dikarenakan ia dan suaminya mengalami permasalahan saat membeli satu unit rumah susun di daerah Jakarta. Akan tetapi setelah dibayar lunas, rumah susun tersebut tidak kunjung diserahkan oleh pengembang, dan bahkan pada akhirnya perjanjian pembelian rumah susun itu pun juga dibatalkan secara sepihak oleh pihak pengembang dengan alasan suami pexxxxx adalah seorang WNA dan pemohon tidak memiliki perjanjian perkawinan. Pengembang menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA dan Pasal 35 ayat (1) UU 1 Tahun 1974, seorang perempuan yang menikah dengan WNA dilarang membeli tanah dan/atau bangunan dengan Hak Guna Bangunan, atau dengan kata lain tidak boleh memiliki Hak Milik dan Hak Guna Bangunan atas benda tidak bergerak. Oleh karenanya pengembang memutuskan untuk tidak melakukan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB)
ataupun Akta Jual Beli (AJB) dengan pemohon karena hal tersebut melanggar Pasal 36 ayat (1) UUPA. Sehingga pemohon merasa bahwa hak konstitusionalnya sebagai warga negara telah dilanggar atau dirampas.
Berdasarkan alasan inilah kemudian pemohon yaitu Nyonya Xxx Xxxxxx mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi yang pokok permohonannya adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang- Undang, yaitu pengujian Pasal 21 ayat (1), ayat (3) dan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar- Dasar Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA), serta Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap UUD 1945. Adapun substansi Pasal- Pasal dari dua undang-undang yang hendak diuji adalah menyangkut hak- hak warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan dengan warga negara asing yang tidak memiliki perjanjian perkawinan pisah harta untuk mempunyai Hak Milik dan Hak Guna Bangunan. Akhirnya pada tanggal 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Nyonya Xxx Xxxxxx selaku pemohon yang berkaitan dengan pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) dengan mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, serta menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya. Adapun amar putusannya adalah sebagai berikut:67
67 Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxxx, “ Implikasi Xxxxxxx Xxxjanjian Perkawinan yang Dibuat Selama dalam Ikatan Perkawinan Terhadap Utang Bersama Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015”. Legality, ISSN: 2549-4600, Vol.26, No.1, Maret 2018-Agustus 2018, hlm. 95-117.
1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;
2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuataan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”;
3. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
4. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”;
5. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”;
6. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat
mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.
Putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 telah mengubah norma dan tatanan pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan, baik mengenai kapan dibuatnya maupun dapat diubah atau dicabutnya perjanjian perkawinan. Selain hal tersebut perubahan atas Pasal 29 UUPerk tidak saja berlaku bagi pasangan perkawinan campuran WNA- WNI yang telah mengajukan permohonan MK 69/2015 tersebut akan tetapi berlaku pula bagi pasangan perkawinan antara WNI-WNI.
Pembuatan perjanjian perkawinan dapat dilakukan pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan, berarti bahwa perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja yakni sebelum perkawinan menurut hukum, masing-masing agamanya dan kepercayaannya, sebelum pencatatan perkawinan Pegawai Pencatat Perkawinan atau selama perkawinan berlangsung.
Selain kapan dibuatnya perjanjian perkawinan, diperbolehkannya selama perkawinan berlangsung atas persetujuan kedua belah pihak (suami- isteri) mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan yang dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, asal perubahan dan pencabutan tidak merugikan pihak ketiga. Ini berarti bahwa perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan dapat dilakukan terhadap perjanjian
perkawinan yang telah dibuat baik sebelum atau setelah putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015.
Peristiwa yang harus diperhatikan di dalam praktik adalah apabila dilakukannya perubahan berkali-kali atau pencabutan dan pembuatan kembali perjanjian perkawinan.
1. Muatan dan isi Perjanjian Perkawinan
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (4) putusan MK No. 69/PUU- XIII/2015 perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, sehingga dengan demikian oleh para pihak dapat bebas menentukan isi perjanjian perkawinan tersebut, hanya perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:68
a. Tidak dapat diperjanjikan, bahwa salah satu pihak akan menanggung hutang yang lebih besar daripada bagiannya dalam laba persatuan, yang menurut Asser-De Boer ketentuan tersebut batal demi hukum.69
b. Untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan sebaiknya dibuat daftar harta mana yang telah dimiliki sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan yang ditandatangani suami-isteri dan dilekatkan pada minuta.
68Xxxxxx Xxxxxxx, Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 dan Permasalahannya, Makalah pada Loka Karya Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK 69/2015, Universitas Padjadjaran, 5 April 2017
69 C. Xxxxx-X. xx Xxxx, Personen-en Familierecht, zestiende druk, Xxxxxx-Xxxxxxxx , 2001, hlm. 301
c. Apabila pencantuman atas benda tidak dicantumkan dalam minuta maka atas penambahan benda yang ternyata diluar pengetahuan pihak yang bersangkutan dapat dibuktikan dengan cara lainnya. Apabila dikemudian hari timbul perselisihan mengenai kepemilikan atas benda yang tidak dapat dibuktikan tersebut, akan dianggap sebagai milik para pihak masing-masing untuk bagian yang sama besar. Anggapan tersebut tidak boleh merugikan para kreditor dari pasangan tersebut.
d. Ada kemungkinan dimuatnya ketentuan terhadap berlakunya perjanjian perkawinan dengan ketentuan bersyarat demikian pula dengan ketetapan waktu atau termin (termijn).70 Misalnya, perjanjian perkawinan berlaku apabila telah dilahirkan seorang anak atau setelah perkawinan berlangsung 10 (sepuluh) tahun. Menurut Xxxxx-Xx Xxxx demikian juga Xxx Xxx Xxxxxx ketentuan demikian akibat eksternnya adalah bahwa perjanjian perkawinan tersebut secara keseluruhan batal, sedangkan daya kerja terhadap pihak ketiga dianggap bahwa antara suami istri terjadi perkawinan dengan harta campur. 71
70 Syarat menangguhkan bergantung pada peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu akan terjadi, perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum peristiwanya belum terjadi. Syarat batal apabila dipenuhi menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan (Pasal 1253 KUHPerd). Ketetapan waktu (termin) tidak menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaannya dan memberi kepastian kepada pihak ketiga bahwa prestasi pasti akan dilakukan pada waktu yang telah dijanjikan (Pasal 1268 KUHPerdata).
71C. Xxxxx-X. xx Xxxx, Op.Cit., hlm. 304
e. Perjanjian perkawinan tidak boleh menunjuk berlakunya perundang- undangan asing sebagai pilihan hukumnya.
f. Tidak boleh mengurangi segala hak disandarkan pada kekuasaan suami dan kekuasaan orang tua, juga hak yang diberikan undang- undang kepada suami-isteri yang hidup terlama.
g. Tidak boleh melepaskan hak yang diberikan undang-undang kepada mereka atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah, pun tidak boleh mengatur harta peninggalan itu.
h. Tidak boleh suami istri saling menunjuk sebagai ahliwaris masing- masing atau menjanjikan apa yang harus dimuat dalam surat wasiat masing-masing.
2. Pengesahan Perjanjian Perkawinan setelah Putusan MK No. 69/PUU XIII/2015
Bentuk perjanjian perkawinan di dalam Putusan MK ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan berbunyi, bahwa ”(...) kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis baik dibuat dalam bentuk dibawah tangan atau otentik untuk disahkan pegawai pencatat perkawinan atau Notaris. Perjanjian tersebut dapat disahkan asal tidak melanggar batasan-batasan hukum, agama, kesusilaan dan ketertiban umum sehingga apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawian atau Notaris berarti dapat dijamin bahwa isi perjanjian perkawinan adalah benar dan sah. Selain telah terjamin isi dan keabsahannya, perjanjian perkawinan yang telah disahkan juga Apabila
belum/tidak disahkan perjanjian perkawinan tersebut oleh pegawai pencatat perkawinan, maka perjanjian perkawinan hanya berlaku terhadap kedua belah pihak suami-istri berdasarkan asas Pakta sund servanda (Putusan MA No. 585 K/Pdt/2012).72
3. Mulai berlakunya, Perubahan, dan Pencabutan Perjanjian Perkawian Undang-undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
Perjanjian perkawinan berlaku ketika perkawinan dilangsungkan, akan tetapi setelah putusan MK No 69/PUU-XIII/2015disebutkan dalam Pasal 29 ayat (3) :
“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung,
kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.”
Ketentuan mulai berlakunya perjanjian perkawinan sejak perkawinan dilangsungkan merupakan ketentuan umum dengan pengecualian ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Berlakunya perjanjian perkawinan terhadap pihak ketiga tergantung selain setelah disahkan oleh petugas pencatat perkawinan juga penentuan kapan berlakunya perjanjian perkawinan membawa akibat yang berbeda.
Penentuan tanggal berlakunya perjanjian perkawinan sejak perkawinan dilangsungkan untuk perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang perkawianan akan berakibat terhadap harta benda perkawinan yang telah terjadi sebelum perjanjian perkawinan dibuat. Keputusan suami istri untuk membuat perxxxxxan perkawinan selama dalam
perkawinan apabila ditentukan berlakunya sejak perkawinan berlangsung membawa dampak terhadap muatan isi perjanjian perkawinan berkaitan dengan harta bersama yang telah terbentuk sehingga harta bersama telah terjadi sebelum perjanjian perkawinan dan perpisahan harta terjadi sejak dibuatnya perjanjian perkawinan.73
Selama dalam masa perkawinan, suami istri dapat melakukan perubahan atas perjanjian perkawinan dan kemungkinan pula dilakukan beberapa kali perubahan atau dicabut dan dibuat kembali perjanjian perkawinan yang baru. Peristiwa tersebut harus mendapat perhatian khusus karena akibat yang terjadi terhadap harta kekayaan suami istri dapat mempengaruhi hubungan keperdataan terhadap pihak ketiga walaupun belum tentu akan merugikan pihak ketiga tetapi memerlukan ketelitian dari notaris untuk menentukan mana harta yang merupakan harta bersama dan mana yang merupakan harta milik suami atau istri.
B. Perlindungan Hukum terhadap Pihak ketiga dalam Perjanjian Perkawinan Pergeseran makna perjanjian kawin akibat adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang memperbolehkan dibuatnya perjanjian kawin selama masa perkawinan membawa dampak bagi hubungan dengan pihak ketiga terlebih jika sebelum dibuatnya perjanjian kawin tersebut sudah ada hubungan antara suami istri dengan pihak ketiga. Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka apabila para pihak tidak menentukan kapan perjanjian perkawinan tersebut
mulai berlaku maka akan dimaknai perjanjian perkawinan mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Hal tersebut tentunya akan melahirkan permasalahan akibat adanya perubahan status hukum terhadap harta benda dalam perkawinan yang sebelumnya dalam persatuan bulat menjadi terpisah jika sebelumnya telah ada perbuatan hukum yang berkaitan dengan pihak ketiga, misalnya perjanjian kredit.
Sebagai contoh, misalkan sepasang suami istri melakukan perjanjian kredit dengan bank, dengan memberikan sebuah rumah harta bersama sebagai jaminannya, kemudian ditengah perjalanan perkawinan mereka membuat perjanjian perkawinan yang isinya mengatur mengenai pemisahan atau membagi harta benda menjadi penguasaan masing-masing. Apabila terjadi perubahan status kepemilikan terhadap rumah yang digunakan sebagai jaminan tersebut, maka posisi pihak bank sebagai kreditur akan menjadi rentan untuk dirugikan karena apabila terjadi wanprestasi, maka pihak bank tidak akan serta merta dengan mudah melakukan eksekusi terhadap objek jaminan tersebut.
Namun jika pihak ketiga bisa membuktikan bahwa yang dijadikan ja- minan utang atau diperjanjikan sebagai jaminan dalam bentuk apapun diperoleh sebelum atau sesudah dikeluarkannya penetapan Pengadilan Negeri, maka pihak ketiga dapat menuntut pelunasannya terhadap harta bersama dari suami isteri. Sedangkan utang yang dibuat oleh salah satu pihak suami atau isteri setelah penetapan tersebut, maka pihak ketiga dapat menagih pelunasannya terhadap pihak suami atau pihak isteri yang
berhutang. Dalam hal ini harus ada pencatatan yang rapi tentang harta yang bersangkutan dan segala jenis perikatan yang pernah dibuat oleh mereka yang berkaitan dengan pihak ketiga, karena hal ini akan menjadi alat bukti.74 Oleh karena itu terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan serta dilakukan untuk dapat melindungi pihak ketiga dalam pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat setelah terjadinya perkawinan, diantaranya :
1. Perjanjian perkawinan harus dibuat dihadapan Notaris
a. Kewenangan Notaris dalam Pembuatan, Perubahan, dan Pengesahan Perjanjian Perkawinan
Setelah adanya putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis baik dalam bentuk di bawah tangan atau otentik untuk disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris. Perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk dibawah tangan dapat diajukan untuk disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris.
Seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan tidak dapat disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan apabila melanggar batas-batas hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum, sehingga dengan interprestasi a contrario dapat dikatakan bahwa setelah disahkan
74 Sony, Op.Cit., hlm. 74
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan berarti telah dijamin bahwa isi perjanjian perkawinan adalah benar dan sah. Selain jaminan atas isi perjanjian perkawinan maka dengan adanya pengesahan, perjanjian perkawian berlaku juga untuk pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Melibatkan Notaris untuk mengesahkan perjanjian perkawinan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana bentuk dan cara pengesahannya, apakah dapat menjamin atau tidaknya pelanggaran batas-batas hukum, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum dan mempunyai fusngsi publisitas yang sama terhadap pihak ketiga yang terkait? Apakah pengesahan dalam artian Pasal 15 ayat (2)a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris jo Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang didalamnya tertulis “mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus”.
Akta yang dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan maupun dalam bentuk akta otentik keduanya harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan agar mempunyai sifat publisitas dan berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut demikian Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan.