Untuk selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON II
Untuk selanjutnya disebut sebagai : PEXXXXX XX
3. Nama : Xxxxxxx Xxxxxx Umur : 33
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Perangkat Desa dan Petani Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Xx.Xxxxxx, XX 0/XX 0, Xxxx Xxxxxxxxxx,
Kec.Cisompet, Kab.Garut Untuk selanjutnya disebut sebagai : PEXXXXX XXX
4. Nama : Xxxxx Xxxxxxxx Umur : 36
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Perangkat Desa dan Petani Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Dusun Xxxxxxx XX 00/XX 00, Xxxx Xxxxxxxxx,
Kec. Buah Dua, Kab.Sumedang Untuk selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON IV
5. Nama : Xxxx Xxxxxxxx Xxxx : 39
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan Kebangsaan
: Karyawan Swasta dan Petani Indonesia
Alamat : Dusun Xxxxxxxx, XX 00/XX 00, Xxxx Xxxxxxxx
Kec.Xxxxxxxx, Kab.Sumedang Untuk selanjutnya disebut sebagai : PEMOHON V
Untuk selanjutnya secara keseluruhan Pemohon tersebut disebut sebagai PARA PEMOHON.
PARA PEMOHON dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495, Lembaran Negara Republik Indonesia No. 157, 2015, Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5717) yang selanjutnya disebut “UU Desa”, (Bukti P- 2) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selanjutnya disebut “UUD NRI 1945” (Bukti P-1).
1. DASAR PERTIMBANGAN PENGAJUAN PERMOHONAN
a. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1) Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 menyatakan: ―”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
2) Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD NRI 1945 menyatakan: ―”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum”;
3) Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak atau kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD yang juga didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan: ―”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI tahun 1945”;
4) Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pelindung konstitusi (the guardian of constitution). Apabila terdapat undang-undang yang berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan
membatalkan keberadaan UU tersebut secara menyeluruh ataupun per pasalnya;
5) Bahwa sebagai pelindung konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal- pasal yang ada di undang-undang agar berkesesuaian dengan norma- norma konstitusi. Tafsir Mahkamah Konstiusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal dari undang-undang tersebut merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang memiliki kekuatan hukum. Sehingga terhadap pasal-pasal yang memiliki makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multitafsir dapat pula dimintakan penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
Bahwa berdasarkan hal-hal di atas, maka jelas bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berwenang memeriksa dan mengadili permohonan pengujian ini. Bahwa oleh karena objek permohonan pengujian ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili permohonan a quo.
b. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
1) Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip Negara Hukum;
2) Bahwa Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari “constitutional rights” setiap warga Negara Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara.
Dengan kesadaran inilah Para Pemohon kemudian memutuskan untuk mengajukan Permohonan Pengujian Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU Desa yang bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
3) Bahwa Para Pemohon terdiri atas:
a. Nama : Xxxxxx Xxxxxx Xxxx : 44
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Perangkat Desa dan Petani
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Dusun Xxxx, XX 00/ XX 0, Xxxx Xxxxxx, Xxx. Buah Dua
Kab. Sumedang
Untuk selanjutnya disebut
sebagai : PEXXXXX X
b. Nama : Xxxxxx Xxxxxxx Umur : 58
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Karyawan Swasta dan Petani
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Dusun Xxxxxxxx, XX 0/XX 0, Xxxx Xxxx Xxxx, Xxx.Conggeang
Untuk selanjutnya disebut
sebagai : PEXXXXX XX
c. Nama : Xxxxxxx Xxxxxx Umur : 33
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Perangkat Desa dan Petani
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Xx.Xxxxxx, XX 0/XX 0,
Desa Margamulya, Kec.Cisompet
Untuk selanjutnya disebut
sebagai : PEXXXXX XXX
d. Nama : Xxxxx Xxxxxxxx Umur : 36
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Perangkat Desa dan Petani
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Dusun Xxxxxxx XX 00/XX 00, Xxxx Xxxxxxxxx, Xxx. Buah Dua Kab.Sumedang
Untuk selanjutnya disebut
sebagai : PEXXXXX XX
e. Nama : Xxxx Xxxxxxxx Xxxx : 39
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan Kebangsaan
: Karyawan Swasta dan Petani
: Indonesia
Alamat : Dusun Xxxxxxxx, XX 00/XX 00, Xxxx Sukasari Kec.Sukasari Kab. Sumedang
Untuk selanjutnya disebut
sebagai : PEXXXXX X
Kami PARA PEMOHON adalah perorangan WNI yang tinggal di desa sebagai warga desa yang bekerja sebagai perangkat desa merangkap petani dan karyawan swasta merangkap petani.
4) Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: (a) perorangan WNI, (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam undang- undang, (c) badan hukum publik dan privat, atau (d) lembaga negara”.
5) Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-III/2005 dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan berikutnya, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi, yakni:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
c. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan
d. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi.
c. Pemohon Perorangan Warga Negara Indonesia:
1) Bahwa Pemohon I merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Perangkat Desa dan petani bertempat tinggal di Dusun Jemo, RT 19/RW 6, Desa Nagrak, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang, melampirkan bukti-bukti kuat bahwa terdapat disharmoni antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan
UUD NRI 1945 yang berakibat pada tidak diberikannya barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa sehingga rakyat desa tetap miskin;
2) Bahwa Pemohon II merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta dan petani bertempat tinggal di Dusun Peundeuy, RT 2/ RW 5, Desa Padaasih, Kecamatan Conggeang, Kabupaten Sumedang, melampirkan bukti-bukti kuat bahwa terdapat disharmoni antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan UUD NRI 1945 yang berakibat pada tidak diberikannya barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa sehingga rakyat desa tetap miskin;
3) Bahwa Pemohon III merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Perangkat Desa dan petani bertempat tinggal di Kampung Cibaur,RT 1/ RW 3, Desa Margamulya, Kecamatan Cisompet, Kabupaten Garut melampirkan bukti-bukti kuat bahwa terdapat disharmoni antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan UUD NRI 1945 yang berakibat pada tidak diberikannya barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa sehingga rakyat desa tetap miskin;
4) Bahwa Pemohon IV merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Perangkat Desa dan petani bertempat tinggal di Dusun Palasah, RT 6/ RW 4,Desa Ciawitali, Kecamatan Buah Dua, Kabupaten Sumedang,melampirkan bukti-bukti kuat bahwa terdapat bahwa terdapat disharmoni antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dengan UUD NRI 1945 yang berakibat pada tidak diberikannya barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa sehingga rakyat desa tetap miskin;
5) Bahwa Pemohon V merupakan warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai Karyawan Swasta dan petani bertempat tinggal di Dusun Sukasari, RT 1/ RW 1, Desa Sukasari, Kecamatan Sukasari, Kabupaten Sumedang, melampirkan bukti-bukti kuat bahwa bahwa terdapat disharmoni antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa dengan UUD NRI 1945 yang berakibat pada tidak diberikannya barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa sehingga rakyat desa tetap miskin;
d. Obyek Permohonan Pengujian
Permohonan pengujian ini adalah UU No. 6/2014 tentang Desa
khususnya Pasal 1 sampai dengan Pasal 95.
2. ALASAN PERMOHONAN PENGUJIAN
a. Latar Belakang Pengujian UU 6/2014 tentang Desa Khususya Pasal 1 sampai dengan Pasal 95
UU Desa dibuat tidak memenuhi aspek filosofis, juridis, dan sosiologis. Filosofis artinya melihat UU Desa dari sisi hakekatnya (ontologi), metode mencari kebenaran hakekat (epistemologi), dan nilai guna dan manfaatnya (aksiologi).
UU Desa dilihat dari aspek filosofis.
Dalam UU No. 6/2014 Desa diberi pengertian dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut.
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berdasarkan definisi tersebut Desa terdiri atas dua obyek material: (1) desa dan (2) desa adat. Kedua obyek material tersebut didefinisikan secara sama yaitu “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Frasa “kesatuan masyarakat hukum” adalah terjemahan bebas bahasa Belanda ”rechtsgemeenschap”. Dalam dokumen konstitusi negara Indonesia frasa rechtsgemeenschap tercantum dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Ahli hukum tata negara menerjemahkan rechtsgemeenschap sama dengan persekutuan hukum. Penyusun UU No. 23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah menerjemahkan rechtsgemeenschap sama dengan kesatuan masyarakat hukum atau daerah otonom.
Dalam hukum tata negara Hindia Belanda rechtsgemeenschap adalah badan hukum berbasis komunitas/masyarakat (rechtspersoon van gemeenschap van messen). Badan hukum berbasis komunitas/masyarakat ini asal-usulnya adalah komunitas mandiri. Melalui teori erkenning (pengakuan), komunitas mandiri ini diakui sebagai badan hukum berbasis komunitas/masyarakat (rechtsgemeenschap) lalu diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan lokal (locale bestuur) berdasarkan UU Desentralisasi tahun 1903 dan peraturan pelaksanannya.
Setelah menjadi badan hukum berbasis komunitas/masyarakat, urusan- urusan komunitas/masyarakat yang sudah diselenggarakan oleh komunitas yang bersangkutan secara mandiri diakui (erkened) oleh negara sebagai urusan pemerintahan formal. Kemudian sejalan dengan perkembangan dan kebutuhan komunitas/masyarakat yang makin banyak, urusan-urusan yang diselenggarakan tersebut ditambah melalui instrumen desentralisasi dan medebewind (tugas pembantuan) dari pemerintah pusat sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan badan hukum masyarakat tersebut.
Pemerintah Hindia Belanda pertama kali melakukan erkenning terhadap komunitas-komunitas (gemeenschappen) keturunan Belanda yang pada akhir abad ke-19 terbentuk di Batavia (Jakarta), Xxxxxx, Xxxxxxxxxx (Bogor), Semarang, Surabaya, Onderafdeeling Komering, Sukabumi,
Amboina, dan lain-lain. Di bawah UU Desentralisasi tahun 1903 melalui kebijakan erkenning komunitas-komunitas perkotaan yang terbentuk tersebut disahkan menjadi badan hukum komunitas (rechtsgemeenschap) perkotaan. Rechtsgemeenschap yang berukuran besar menjadi daerah otonom gewestelijke ressort, yang berukuran sedang menjadi daerah otonom plaatselijke ressort, yang berukuran kecil menjadi daerah otonom gemeente (kotamadya) sedangkan yang berukuran kecil di luar Jawa menjadi daerah otonom groupsgemeenschap (kota kecil).
Jadi, rechtsgemeenschap (kesatuan masyarakat hukum atau persekutuan hukum) hakekatnya adalah badan hukum berbasis komunitas/masyarakat yang dalam disipilin ilmu pemerintahan dan administrasi negara sekarang sudah menjadi istilah teknis “daerah otonom” sebagaimana dimuat dalam Ketentuan Umum Pasal 1 angka 12 UU No. 23/20141.
UU Desa hakekatnya bukan mengatur daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum (rechtsgemeenschap) sebagaimana kami jelaskan di atas melainkan melanjutkan beleid pemerintah kolonial menegarakan komunitas asli (inheems gemeenschap) di bawah kebijakan poilitik adatstaatsrecht yaitu mengatur pemerintahan pribumi berdasarkan hukum Eropa dengan menyerap adat istiadat setempat. Kebijakan ini dimulai pada zaman Daendels melalui kebijakan sebagai berikut.
1. Staat De Nederlands of Indische Bezittingen Tahun 1809;
2. Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 juncto Revenue Instruction 1814 zaman Raffles;
3. Herzien Inlandsch Reglement 1848 (HIR 1848);
4. Regeringsreglement 1854 (RR 1854) Pasal 71;
5. Indische Staatsregeling 1922 (IS 1922) Pasal 128;
1 Pasal 1 angka 12 UU No. 23/2014 berbunyi, “Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. IGO 1906 untuk Jawa-Madura juncto Stbl No. 83/1906 juncto Stbl No. 212/1907;
7. De ordonnantie van 27 September 1918 (Staatsblad No. 677), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Sumatra’s Westkust;
8. De ordonnantie van 26 Juli 1919 (Staatsblad No. 453), tot vaststelling van regelen omtrent het beheer en andere huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Banka en Onderhoorigheden;
9. De ordonnantie van 12 December 1919 (Staatsblad No. 814), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Palembang;
10. De ordonnantie van 26 Augustus 1922 (Staatsblad No. 564), tot vaststelling van de bepalingen met betrekking tot de regeling van de huishoudelijke belangen der Inlandsche gemeenten in het gewest Lampongsche Districten;
11. De ordonnantie van 21 September 1923 (Staatsblad No. 469), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Tapanoeli;
12. De ordonnantie van 21 September 1923 (Staatsblad No. 471), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Amboina;
13. De ordonnantie van 21 Februari 1924 (Staatsblad No. 75), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Belitoeng;
14. De ordonnantie van 11 Juni 1924 (Staatsblad No. 275), tot vaststelling van bepalingen met betrekking tot het bestuur der Inlandsche gemeenten in het gewest Zuideren Oosterafdeeling van Borneo;
15. De ordonnantie van 12 Januari 1931 (Staatsblad No. 6), tot vaststelling van nieuwe bepalingen betreffende de regeling en het bestuur van de huishouding der Inlandsche gemeenten in het gewest Benkoelen;
16. De ordonnantie van 30 Maart 1931 (Staatsblad No. 138), tot vaststelling van bepalingen betreffende de regeling en het bestuur van de huishouding der Inlandsche gemeenten in de Minahasa (gewest Manado);
17. IGOB Tahun 1938.
18. Desa Ordonnantie 1941;
19. Xxxxx Xxxxxxx No. 27 tahun 1942 juncto Xxxxx Xxxxxx No. 7 tahun 1944.
Semua beleid penjajah (Belanda, Inggris, dan Jepang) tersebut tidak menjadikan inheems gemeenschap (desa, nagari, gampong, dan lain-lain) sebagai badan hukum atau persekutuan hukum berbasis komunitas/masyarakat (daerah otonom). Inheems gemeenschap tetap dibiarkan sebagaimana aslinya tapi diatur dalam hukum Eropa di bawah kontrol Negara (Xxxxxxxx,1947). Semua beleid tersebut hanya menegarakan inheems gemeenschap untuk dijadikan instrumen negara dalam menjalankan kebijakan politik dan ekonomi negara.
Beleid tersebut juga disebut kebijakan adatstaatrecht yaitu mengatur lembaga-lembaga pribumi yang sudah eksis dengan hukum Eropa dengan menyerap adat istiadat setempat. Berdasarkan kebijakan adatstaatrecht, inheems gemeenschap tidak diintegrasikan ke dalam sistem pemerintahan formal menjadi bagian binnenlands bestuur (pemerintahan dalam negeri atau pemerintahan pangreh praja) sebagaimana diatur dalam UUD Hindia Belanda tahun 1854 (RR 1854) dan ke dalam locale bestuur (pemerintahan lokal/daerah) sebagai daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum Eropa: gewestelijke ressort, plaatselijke ressort, stadsgemeente (kotapraja), regentschap (kabupaten),
dan groepsgemeenschap (kota kecil di luar Jawa)) sebagaimana diatur dalam Decentralisatiewet 1903 juncto Bestuurhervormingwet 1922 dan peraturan pelaksanaannya. Inheems gemeenschap dibiarkan sebagai lembaga masyarakat desa di luar stelsel pemerintahan formal. Penempatan lembaga komunitas/masyarakat asli di luar sistem pemerintahan formal disebut pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied).
Xxxx. Xx. Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx0 dan Prof. Dr. J. H. A. Logemann3 menjelaskan bahwa hukum tata negara Hindia Belanda mengatur dua model pemerintahan: (1) pemerintahan langsung (rechtstreeks bestuurd gebied atau direct bestuurd gebied) dan (2) pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied). Model pemerintahan langsung adalah pemerintahan yang langsung diselenggarakan oleh pejabat pemerintah dalam negeri (binnenlands bestuur ambtenaar) dengan menggunakan hukum Eropa sedangkan model pemerintahan tidak langsung adalah model pemerintahan dimana pemerintah hanya mengontrol kepala-kepala rakyat (volkshoofd) yaitu sultan/raja yang berkuasa pada zelfbesturende landschap (daerah swapraja) dan kepala desa yang berkuasa pada inlandsche gemeente (desa, nagari, gampong, marga, dan lain-lain) dengan menggunakan hukum Eropa yang menyerap adat kebiasaan setempat. Sultan/raja diberi kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan hukum kesultanan/kerajaan masing-masing dan kepala desa juga diberi kebebasan untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan kebiasaan yang berlaku dalam desanya masing-masing.
2 Xxxx. Xx. Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx. 1908. Het Staatsrecht der Zelfregerende Gemeenschappen. Nederlands: Nijhooft.
3 Prof. Dr. J. H. A Xxxxxxxx. 1947. Staatrecht van Nederlands-Indie, Bandung: NV. Maatchappij
Vorkink.
Politik hukum adatstaatrech terhadap desa ditinggalkan penjajah Jepang saat menjajah Indonesia. Jepang mengatur desa dengan mengimpor lembaga mirip desa yang berasal dari negaranya yaitu buraku (Xxxx Xxxxxxxx, 1988)4. Kebijakan ini membuat lembaga desa asli bentukan komunitas perdesaan tercerabut dari akarnya dan akhirnya tinggal nama. Sejak desa diatur dengan Xxxxx Xxxxxx No. 27/1942 jo. Osamu Seirei No. 7/1944 kemudian diperkuat oleh regim Orde Baru di bawah UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa lembaga desa asli yang sudah menjadi adat kebiasaan komunitas desa hilang berganti dengan lembaga desa yang berasal dari Jepang. Status desa juga tetap ditempatkan di luar sistem pemerintahan formal sebagaimana poisisinya pada zaman penjajah Belanda sebelumnya.
Berdasarkan fakta di atas politik hukum Desa di bawah UU No. 6 tahun 2014 menganut dua model: (1) mereplikasi kebijakan penjajah Belanda yaitu menempatkan lembaga desa di luar sistem pemerintahan resmi sebagai pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied) di bawah kontrol pejabat pemerintah dan
(2) meneruskan kebijakan penjajah Jepang yaitu melanjutkan pemerintahan ku masa penjajahan Jepang dalam praktik pemerintahan desa sekarang5.
Berdasarkan hal tersebut maka status pemerintah desa di bawah UU No. 6/2014 bukan bagian dari sistem pemerintahan formal. Jadi, sama dengan pemerintah desa zaman penjajahan Belanda. Pemerintah desa merupakan pemerintahan tidak langsung di bawah kontrol pejabat pemerintah: camat, bupati, gubernur, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dan Menteri Dalam Negeri. Struktur organisasi, fungsi, tugas, dan mekanisme kerja pemerintah desa berbeda
4 Xxxx Xxxxxxxx. 1998. Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, Ithaca, USA: Cornell University Press, diterjemahkan oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxx. 2015. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Depok: Komunitas Bambu.
5 Xxxxx Xxxxxxxxx, 2020, Desa, Nagari, Gampong, Marga, dan Sejenisnya Pemerintahan Warisan Kolonial yang Inkonstitusional. Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.
100% dengan struktur organisasi, fungsi, tugas, mekanisme kerja lembaga desa asli yang dibentuk oleh komunitas perdesaan. Struktur organisasi, fungsi, tugas, mekanisme kerja pemerintah desa di bawah UU No. 6/2014 relatif sama dengan pemerintah ku zaman penjajahan Jepang (1942-1945) juncto UU No. 5/1979.
Jadi, hakekatnya UU Desa bukan mengatur obyek material desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau persekutuan hukum atau daerah otonom tapi hanya melanjutkan kebijakan politik hukum pemerintah penjajah tehadap penegaraan lembaga masyarakat desa oleh Negara melalui model pemerintahan tidak langsung (niet rechtstreeks bestuurd gebied atau indirect bestuurd gebied) di bawah kontrol pejabat pemerintah dan penggantian lembaga desa asli bentukan komunitas perdesaan dengan lembaga baru yang diimpor dari Jepang.
Dari aspek epistimologi, metode yang digunakan untuk memvalidasi dan menjustifikasi hakekat Desa sebagaimana ditulis dalam Naskah Akademik UU Desa sangat tidak sahih. Dalam Naskah Akademik dijelaskan bahwa Desa identik dengan zelfbesturende lanschappen. Xxxxxxxx Xxxxxxxx Xxxx (1911)6 menjelaskan bahwa zelfbesturende lanschappen adalah kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan pribumi yang melakukan Perjanjian Politik (Acte van Verband) kepada pemerintah Hindia Belanda baik karena penundukan atau atas kemauan sendiri. Zelfbesturende lanschappen diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Daerah Swapraja. Zelfbesturende Lanschappen atau Daerah Swapraja adalah lembaga politik/kekuasaan pribumi yang dipimpin oleh sultan/raja dan diselenggarakan berdasarkan hukum kesultanan/kerajaan masing- masing. Zelfbesturende Lanschappen diatur dalam Zelfbestuuregeling 1938. Contoh zelfbesturende lanschappen adalah Kasultanan Yogyakarta di Jawa, Kasultanan Langkat di Sumatera, Kasultanan Pontianak di
6 H. J. Spit. 1911. De Indische Zelfbesturende Landschappen. S’-Gravenhage: Drukkerij van Het Nederland.
Kalimantan Barat, Kasultanan Buton di Sulawesi, Kasultanan Ternate di Maluku, dan lain-lain.
Jadi, mengindetikkan Desa dengan zelfberturende lanschappen adalah kesalahan epistemologi yang sangat fatal.
Metode menemukan hakekat Desa juga dijelaskan dalam Penjelasan UU No. 6/2014 sebagai berikut.
Undang-Undang ini disusun dengan semangat penerapan amanat konstitusi, yaitu pengaturan masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 18B ayat (2) untuk diatur dalam susunan pemerintahan sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (7). Walaupun demikian, kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat mengenai pengaturan hak ulayat merujuk pada ketentuan peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan. Dengan konstruksi menggabungkan fungsi self-governing community dengan local self government, diharapkan kesatuan masyarakat hukum adat yang selama ini merupakan bagian dari wilayah Desa, ditata sedemikian rupa menjadi Desa dan Desa Adat.
Frasa tersebut makin mengaburkan hakekat Desa yang diatur dalam UU Desa ini. Desa yang dimaksud dalam frasa tersebut obyek materiil yang mana. Apakah ku zaman penjajahan Jepang yang direvitalisasi oleh UU No. 5/1979 menjadi Pemerintahan Desa yang kemudian dilanjutkan oleh UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 atau kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945. Dan menjadi makin kabur ketika dijelaskan bahwa Desa yang diatur dalam UU No. 6/2014 adalah satuan pemerintahan dengan konstruksi gabungan self-governing community dengan local self government. Secara akademis penjelasan ini tidak bisa diterima karena self-governing community adalah konsep sosiologi yang artinya komunitas yang mengatur dirinya sendiri sedangkan local self government adalah konsep administrasi negara yang artinya pemerintah lokal otonom atau daerah otonom yang di dalam Penjelasan 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) disebut locale rechtsgemeenschap. UU Desa khususnya Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 hanya mengatur organisasi sosial politik yang diberi
tugas pemerintahan oleh negara. Tidak ada satu pasal pun yang mengatur
community.
Dari sisi nilai manfaat dan nilai guna (aksiologi) UU Desa tidak memberi nilai manfaat dan nilai guna bagi peningkatan kesejahteraan umum dan pencerdasan kehidupan bangsa khusunya rakyat desa. Pertama, nilai manfaat dan nilai guna dari sisi barang publik dan jasa publik yang diterima rakyat desa. UU Desa tidak mengatur dan mengurus barang publik dan/atau jasa publik (urusan pemerintahan) yang menjadi kebutuhan rakyat desa karena urusan pemerintahan sudah dibagi habis pada pemerintah pusat, pemerintah daerah otonom provinsi, dan pemerintah daerah otonom kabupaten/kota. UU Desa sama sekali tidak mengatur dan mengurus barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa. UU Desa hanya mengatur kewenangan formal, bukan kewenangan materiil dan/atau riil yang bukan barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan rakyat desa.
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa hanya memberi empat kewenangan:
(1) kewenangan berdasarkan hak asal-usul, (2) kewenangan lokal berskala Desa, (3) kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan (4) kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 19). Dalam kajian local government kewenangan demikian disebut kewenangan formil. Kewenangan formil tidak jelas wujud materiil dan riilnya.
Xxxxxx Xxxx (1924)7 dalam disertasinya yang berjudul “De Autonomie van Het Indonesisch Dorp” menemukan data bahwa otonomi asli desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal, sejak Desa dikooptasi oleh Negara melalui beleid yang kami sebutkan di atas terkikis
7 Xxxxxx Xxxx. 1924. De Autonomie van het Indonesische Dorp. Leiden: X.X.Xxxxxxxx.
kemudian hilang. Xxxxx Xxxxxxx (2000)8 dalam bukunya “Abis Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Regim Orde Baru” menemukan data bahwa otonomi asli desa sejak diberlakukan UU No. 5 tahun 1979 hilang. Xxxxxxx, dkk (2008)9 dalam bukunya “Runtuhnya Gampong di Aceh” menemukan data bahwa otonomi asli Gampong di Aceh sudah hilang.
Jadi, berdasarkan riset ilmiah, kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa sudah tidak ada. Peraturan Menteri Dalam Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa yang merinci kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala Desa hanya mengada-ada dalam arti materiilnya tidak ada tapi diada-adakan. Peraturan Menteri Dalam Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor 44 Tahun 2016 ini bias Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam arti beberapa mterielnya hanya ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di luar Jawa Tengah dan Jawa Timur sama sekali tidak ada.
Adapun kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota fakta riilnya hanyalah tugas untuk melaksanakan program dan proyek Kementerian Desa dan PDTT, Kementerian Sosial, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian/Lembaga Nonkementerian lain, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Semua program dan proyek ini tidak berupa pemberian barang publik dan/atau jasa publik yang diperlukan rakyat desa yang berdampak kepada peningkatan kesejahteraan dan pencerdasan kehidupan rakyat desa. Barang publik dan/atau jasa publik yang diperlukan rakyat desa untuk meningkatkan kecerdasan dan kesejahterannya adalah pemberian pendidikan kepada anak-anak desa dan orang dewasa yang tidak sekolah, pemberian perawatan kesehatan
8 Yando R. Xxxxxxx 2000. Abih Tandeh: Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru.Jakarta:Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).
9 Xxxxxxx, dkk. 2008. Runtuhnya Gampong di Aceh.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
orang desa, pemberian irigasi tersier, penyediaan bibit padi/jagung/kedelai, penyediaan bibit, pupuk, obat-obatan pertanian, penyediaan alat-alat dan sarana-prasarana produksi pertanian, transportasi publik perdesaan, penyediaan air bersih di desa, pengurusan sanitasi, penyediaan lembaga keuangan petani, penyediaan pasar desa, pelayanan KTP dan KK, penjaminan keamanan, penyediaan utilitas desa, dan penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum desa.
Kami, para pemohon yang penduduk asli desa sangat tahu persis bahwa UU Desa ini tidak mempunyai nilai manfaat dan nilai guna bagi peningkatan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat desa. Xxxx Xxxx dari APBN peruntukannya sudah ditentukan oleh Pemerintah Pusat c.q Kementerian Desa dan PDTT. Berdasarkan Peraturan Presiden 104 Tahun 2021 Tentang Rincian Pendapatan dan Belanja Negara dan Peraturan Menteri Desa dan PDTT Nomor 7 Tahun 2021 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, penggunaan Dana Desa telah ditetapkan. Sesuai dengan Xxxaturan Menteri Desa ini maka Dana Desa harus digunakan untuk membiayai pendataan Desa, pemetaan potensi dan sumber daya, dan pengelolaan teknologi informasi dan komunikasi sebagai upaya memperluas kemitraan untuk pembangunan Desa, pengembangan Desa wisata, penguatan ketahanan pangan nabati dan hewani, pencegahan stunting, pengembangan Desa inklusif, mitigasi dan penanganan bencana alam dan nonalam, dan Bantuan Langsung Tunai. Program ini menghabiskan 68% Xxxx Xxxx. Sisanya yang 32% digunakan untuk biaya-biaya rutin, insentif Guru PAUD, dan insentif Kader Kesehatan.
Jadi jelas, sesuai dengan Peraturan Menteri Desa dan PDTT Nomor 7 Tahun 2021 tersebut Dana Desa sama sekali tidak mengatur adanya pos anggaran yang berdampak signifikan terhadap memajukan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan rakyat desa berupa pemberian barang dan/atau jasa publik: pendidikan rakyat desa, perawatan kesehatan rakyat
desa, air minum rakyat desa, pengurusan sanitasi rakyat desa, transportasi publik desa, pengurusan anak yatim dan anak terlantar yang ada di desa, pengurusan pertanian (persawahan, perkebunan, perikanan, peternakan, pernelayanan), pengurusan irigasi tersier, penyediaan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, alat pertanian), penyediaan sarana-prasarana ekonomi rakyat desa, dan utilitas desa.
Dilihat dari sisi kelembagaan, UU Desa juga tidak mempunyai nilai manfaat dan nilai guna. Lembaga desa sebagaimana dijelaskan oleh Aiko Kurasawa10 merupakan lembaga yang diimpor dari Jepang yaitu buraku lalu diterapkan di Indonesia saat Jepang menjajah Indonesia (1942-1945) dengan sebutan ku. Saat regim Orde Baru berkuasa lembaga ku ini direvitalisasi melalui UU No. 5/1979. Nomenklaturnya diganti menjadi pemerintahan desa dan ditambah lembaga baru yaitu Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Lembaga ini diteruskan di bawah pengaturan UU No. 22/1999 dengan sedikit perubahan yaitu LMD diganti Badan Perwakilan Desa. Lembaga ini diteruskan lagi di bawah pengaturan UU No. 32/2004 dengan sedikit perubahan yaitu Badan Perwakilan Desa menjadi Badan Permusyawaratan Desa. Lembaga ini diteruskan lagi di bawah pengaturan UU No. 6 Tahun 2014 dengan tambahan lembaga baru yaitu Musyawarah Desa. Lembaga tingkat desa ini sejak diatur dalam IGO 1906, IGOB 1938, UU No. 5 Tahun 1979, UU No. 22 Tahun 1999, UU No.
32 Tahun 2004, dan UU No. 6 Tahun 2014 adalah organisasi negara tingkat desa yang tidak jelas statusnya dalam sistem administrasi negara modern di bawah UUD NRI 1945.
Perlu diketahui bahwa organisasi negara dalam sistem administrasi negara modern terdiri atas organisasi negara pusat dan lokal/daerah (model negara kesatuan). Organisasi negara pusat terdiri atas lembaga legislatif, eksekutif, dan judikatif. Lembaga eksekutif terdiri atas presiden
10 Xxxx Xxxxxxxx. 1988. Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, Ithacam USA: Cornell University Press
dan para pembantunya yang membentuk pemerintahan pusat. Pemerintahan pusat terdiri atas pemerintah pusat di pusat dan pemerintah pusat di daerah. Pemerintah pusat di pusat terdiri atas presiden, menteri, dan kepala lembaga nonkementerian sedangkan pemerintah pusat di daerah terdiri atas wilayah administrasi (local state-government) dan instansi vertikal (field administration). Adapun pemerintah lokal/daerah (local self-government) adalah pemerintahan badan hukum komunitas/masyarakat (rechtsgemeenschap11) yang di negara Indonesia diberi istilah teknis daerah otonom atau kesatuan masyarakat hukum. Berdasarkan Pasal 18, 18A, 18B ayat (1) UUD NRI 1945 pemerintah lokal/daerah terdiri atas daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota, daerah otonom khusus, dan daerah otonom istimewa.
Pemerintah desa di bawah UU No. 6/2014 bukan pemerintah pusat di pusat, bukan pemerintah pusat di daerah, bukan daerah otonom provinsi, bukan daerah otonom kabupaten/kota, bukan daerah otonom khusus, dan bukan daerah otonom istimewa. Pemerintah desa juga bukan organisasi perangkat daerah (OPD) daerah otonom kabupaten/kota sebagaimana kelurahan. Dengan demikian, pemerintah desa tidak jelas statusnya dalam sistem administrasi negara modern Indonesia. Jadi, ia bukan pemerintah pusat (presiden dan kabinet), bukan pemerintah pusat di daerah atau wilayah administrasi (local state-government), bukan kantor cabang atau ranting dari kementerian/lembaga pusat di daerah (instansi vertikal atau field administration), bukan daerah otonom (local self- government), dan juga bukan organisasi perangkat daerah otonom. Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx (2013)12 ahli hukum tata negara dari UNPAD menyebut pemerintah desa adalah pemerintahan bayang-bayang. Prof.
11 Ahli hukum tata negara menerjemahkan rechtsgemeenschap sama dengan persekutuan hukum sedangkan ahli pemerintahan menerjemahkannnya sama dengan kesatuan masyarakat hukum. Dalam tulisan ini rechtsgemeenschap diterjemahkan sama dengan badan hukum komunitas/masyarakat atau badan hukum berbasis komunitas/masyarakat.
12 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxx. 2013. "Pasal 18B ayat (2)”, dalam Xxxxxxxxxx, Xxx et al (ed), Satu Dasawarsa Perubahan UUD 1945. Bandung: Fakultas Hukum UNPAD-PSKN FH Unpad.
Xx. Xxxx Xxxxxxxxxx dan Poliando (2017)13, guru besar ilmu pemerintahan dari IPDN menyebutnya sebagai pemerintahan kuasi daerah otonom. Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxxxxxx (2020)14 guru besar pemerintahan daerah dari Universitas Terbuka menyebutnya sebagai pemerintahan semu/palsu.
Pemerintah desa hakekatnya bukan bagian birokrasi negara. Pemerintah desa hanya organisasi sosial politik bentukan negara dengan UU dengan fungsi kontrol dan mobilisasi rakyat desa sebagaimana dijelaskan oleh Xxxx Xxxxxxxx (1988). Organisasi sosial politik bentukan negara dengan UU dengan fungsi kontrol dan mobilisasi rakyat desa oleh Xxxxxxxx Xxxxxxxxxx (1974)15 disebut korporatisme negara (state corporatism).
Karena status pemerintah desa bukan bagian birokrasi negara melainkan hanya sebagai korporatisme negara maka desain, struktur, dan aparatur organisasi pemerintah desa tidak diatur berdasarkan prinsip-prinsip dan aturan birokrasi negara modern sebagaimana diajarkan oleh Xxx Xxxxx. Struktur organisasinya terdiri atas kepala desa, sekretaris desa, tiga kepala urusan, tiga kepala seksi, dan kepala dusun. Organisasinya tidak mempunyai departemen (lembaga sektoral sebagai pelaksana kebijakan umum) yang melaksanakan kebijakan organisasi. Struktur organisasi ini mirip organisasi adhoc yang melaksanakan event temporer semisal Panitia HUT Kemerdekaan RI. Aparaturnya bukan ASN yang direkrut, dikembangkan, digaji, dipromosikan, dan dipensiun sebagaimana diatur dalam UU No. 5/2014. Tata kelolanya tradisional dalam arti tidak mengikuti tata kelola organisasi modern. Akibatnya tugas negara yang harus diselenggarakan secara birokratis, teknokratis, dan profesional tidak bisa dilaksanakan oleh pemerintah desa.
13 Xxxx Xxxxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxx. 2017. Politik Desentralisasi di Indonesia. Bandung: IPDN Press.
14 Xxxx. Xx. Xxxxx Xxxxxxxxx, X.Xx. 2020. Pemerintah Desa, Nagari, Gampong, Marga, Xxx
Sejenisnya Pemerinthan Tidak Langsung Warisan Kolonial Yang Inkonstitusional. Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka
15 Xxxxxxxxx Xxxxxxxxx. 1974. Still the Century of Corporatism? Dalam The Review of
Politics, Vol. 36, No.1, hal. 85-131.
Akan tetapi, dengan struktur organisasi yang sederhana tersebut pemerintah desa diperlakukan mirip pemerintah kabupaten dalam ukuran mini. Akibatnya Negara mendlolimi perangkat desa. Perangkat desa bukan ASN tapi diberi tugas sama dengan perangkat daerah kabupaten: menyusun RPJM, RKP, APBDes, dan Laporan Pertanggungjawaban. Pemerintah desa tidak mempunyai Badan Perencanaan Pembangunan Desa sebagaimana Pemerintah Kabupaten mempunyai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) tapi dipaksa membuat RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), RKPDes (Rencana Kerja Pembangunan Desa) per tahun, dan APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) per tahun yang mirip dengan RPJM Kabupaten, RKP Kabupaten, dan APBD Kabupaten, dan Laporan Pertanggungjawaban. Perangkat desa dan anggota Badan Permusyaratan Desa (BPD) tidak ada yang sarjana hukum tapi dipaksa membuat Peraturan Desa yang sama dengan Peraturan Daerah.
Dengan status aparatur pemerintah desa yang tidak jelas ini, maka kami (PARA PEMOHON) dan seluruh aparatur pemerintah desa di Indonesia didlolimi oleh Negara. Negara memaksa kami untuk setiap hari memakai seragam ASN lengkap dengan simbol Korpri dan masuk jam kerja sesuai dengan jam kerja ASN padahal kami bukan ASN. Pemaksaan ini membuat kami tertekan secara psikologis dan malu karena diolok-olok masyarakat, “bukan ASN kok berpakaian dan bergaya ASN”. Tugas kami adalah melaksanakan tugas Negara tapi Negara tidak memberikan hak gaji, kenaikan pangkat dan gaji, tunjangan, THR, pelatihan, mutasi, gaji ke-13, dan pensiun sesuai dengan aparatur yang diberi tugas melaksanakan tugas negara (ASN, polisi, dan TNI).
Dengan menggunakan Pasal 49 dan Pasal 53 UU No. 6/2014 banyak kepala desa yang menduduki jabatan baru menggantikan kepala desa sebelumnya memberhentikan perangkat yang sudah ada lalu mengganti
dengan orang baru yang direkrut dari Tim Suksesnya. Di Provinsi Jawa Barat banyak perangkat desa menjadi korban kebijakan “bedol desa” kepala desa baru ini. Dalam kondisi ini perangkat desa tidak bisa berbuat- apa. Beberapa perangkat desa yang dipecat kepala desa baru mengajukan gugatan ke PTUN. Sebagian ada yang menang sehingga bisa menjabat kembali. Sebagian besar tidak melakukan gugatan ke PTUN karena tidak mempunyai biaya dan tidak percaya diri.
Ketika ada perangkat desa yang menjadi korban kesewenang-wenangan kepala desa dan pihak lain, yang bersangkutan kesulitan mencari undang- undang yang pas yang bisa dijadikan dasar hukum atas statusnya. Mendasarkan diri pada UU No. 5/2014 tentang ASN tidak bisa karena perangkat desa bukan ASN. Mendasarkan diri pada UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga tidak bisa karena perangkat desa bukan buruh perusahaan, bukan pegawai kontrak pada pemerintah, juga bukan pegawai alih daya.
Di bawah pengaturan UU Desa, kami (Para Pemohon yang berstatus perangkat desa) juga didiskriminasi oleh Negara. Pada Pemerintah Daerah Otonom Kota terdapat aparatur yang fungsi, tugas, dan kewajibannya sama dengan kami yaitu aparatur kelurahan. Akan tetapi, mereka ASN. Karena ASN mereka mempunyai hak-hak sebagai ASN: gaji tetap per bulan, pelatihan pra jabatan, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan hari raya, tunjangan kinerja, gaji ke-13, kenaikan pangkat dan golongan, pelatihan dalam jabatan, promosi jabatan, dan pensiun. Hal ini sangat berbeda dengan kami. Kami hanya menerima penghasilan tetap per bulan yang besarnya tidak sama dengan standar ASN. Sudah begitu penghasilan tetap ini tidak bisa kami terima tiap bulan. Seringkali kami baru menerima tiga bula (dirapel). Kami tidak menerima pelatihan pra jabatan, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan hari raya, tunjangan kinerja, gaji ke-13, kenaikan pangkat dan golongan, pelatihan dalam jabatan, promosi jabatan, dan pensiun.
Pihak yang didlolimi dan didiskriminasi oleh Negara tidak hanya Para Pemohon dan seluruh perangkat desa tapi juga seluruh warga desa di Indonesia. Warga desa seluruh Indonesia didlolimi oleh Negara karena Negara tidak membentuk satuan pemerintahan formal sebagaimana Negara membentuk satuan pemerintahan formal berupa kelurahan kepada warga kota. Kepada warga desa, Negara hanya membentuk pemerintahan semu/bayang-bayang/kuasi. Akibatnya warga desa tidak mendapatkan barang publik dan/atau jasa publik yang dibutuhkan dari Negara. Warga desa membutuhkan barang publik dan/atau jasa pubik dari negara berupa pendidikan, perawatan kesehatan, air minum, pengurusan sanitasi, pengurusan anak yatim dan anak terlantar, pengurusan pertanian (persawahan, perkebunan, perikanan, peternakan, pernelayanan), pengurusan irigasi tersier, penyediaan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, alat pertanian), penyediaan sarana-prasarana ekonomi rakyat desa, utilitas desa, dan pemberian kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Pemerintah Desa tidak mengurus barang publik dan/atau jasa publik tersebut. Warga desa yang membutuhkan KTP dan KK hanya diberi Surat Pengantar. Di sini Pemerintah Desa hanya bertindak sebagai perantara (tussenpersoon) antara pemerintah formal (kabupaten) dengan rakyat desa. Warga desa yang sebagian besar petani sawah sehingga membutuhkan irigasi pengairan, Pemerintah Desa tidak mengurus. Akibatnya para petani sawah hanya mengandalkan air hujan atau berusaha mencari air secara swadaya dengan biaya sendiri. Tugas pokok pemerintah desa secara faktual hanya menarik pajak bumi dan bangunan (PBB), membuatkan Surat Pengantar, melaksanakan tugas pemerintah kabupaten (Posyandu, Satgas Desa Layan Anak, Desa Tangguh Bencana, pusat kesejahteraan sosial, kampung keluarga berencana), melaksanakan tugas Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi melalui Dana Desa (membangun infrastruktur, pelatihan-pelatihan ibu-ibu PKK, mendirikan BUMDES, dan melaksanakan proyek SDG’s, bantuan langsung tunai, ketahanan
pangan, membuat indeks desa membangun), melaksanakan tugas Kementerian Dalam Negeri (membuat administrasi desa, membuat laporan, membuat RPJM Desa, RKP Desa, profil desa, evaluasi desa, membuat aset desa), melaksanakan tugas Kementerian Sosial (membagi bantuan non tunai, program keluarga sejahtera, beras miskin, input data terpadu kesejahteraan sosial), melaksanakan tugas Kantor Pajak yaitu menarik pajak bumi dan bangunan, dan lain-lain tugas yang dibebankan kepadanya. Pemerintah Desa tidak diberi kewenangan untuk memberikan barang dan/atau jasa publik kepada masyarakat desa.
UU Desa juga tidak menciptakan demokrasi yang sehat. Pasal 39 UU No. 6/2014 mengatur masa jabatan kepala desa enam tahun dan dapat dipilih kembali selama tiga kali masa jabatan. Dengan demikian, kepala desa bisa menjabat selama 18 tahun. Hal ini sangat memungkinkan karena budaya masyarakat desa yang patron-klien.
Norma ini sangat menciderai dan merusak sistem pemerintahan demokrasi. Salah satu asas demokrasi adalah pembatasan masa jabatan dan periode masa jabatan. Di seluruh dunia rata-rata masa jabatan adalah empat tahun atau lima tahun per periode. Adapun periodenya adalah dua periode. UU Desa mengatur masa jabatan kepala desa 6 tahun dalam satu periode. Berarti sudah lebih lama daripada masa jabatan pada umumnya di dunia. Kemudian UU Desa mengatur kepala desa dapat menjabat tiga periode. Ketentuan ini dapat menjadi preseden buruk. Ketika ketentuan ini diterima secara wajar oleh bangsa Indonesia maka ke depan secara mutatis mutandis akan diterapkan pada presiden, gubernur, dan bupati/walikota.
Untuk mengimplementasikan UU Desa, Pemerintah membuat peraturan pelaksanaan yang sangat banyak. Peraturan pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut.
1. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5539. Sebagaimana telah di ubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5717. Sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6321.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2014 Nomor 168; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5558; sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Lembaran Negara Xxxxxxxxx Indonesia Tahun 2015 Nomor 88;. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5694; sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2014 tentang Dana Desa yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Lembaran Negara Xxxxxxxxx Indonesia Tahun 2016 Nomor 57;. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5864;
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pembangunan Desa;
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Pedoman Teknis Peraturan Di Desa;
5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Kepala Desa, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2092; sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 112 tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Desa;.Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1221;
6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 4; sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2015 tentang Pengangkatan Dan Pemberhentian Kepala Desa;
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 Tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor
83 tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa;
8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 84 Tahun 2015 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa;
9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Pengelolaan Aset Desa;
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2016 Tentang Kewenangan Desa;
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 45 Tahun 2016 Tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa;
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Laporan Kepala Desa;
13. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2016 Tentang Administrasi Pemerintahan Desa;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 Tahun 2016 tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Hasil Pemetaan Urusan Pemerintahan bidang Ketentraman, Ketertiban Umum dan Perlindungan Masyarakat, bidang Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil dan Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Desa;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa;
16. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Penataan Desa;
17. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Standart Pelayanan Minimal Desa;
18. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 42 Tahun 2017 Tentang Penyelenggaraan Peningkatan Kapasitas Anggota Satuan Perlindungan Masyarakat;
19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 65 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 112 tentang Pemilihan Kepala Desa;
20. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa;
21. peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Perangkat Desa;
22. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 96 Tahun 2017 Tentang Tata Cara Kerjasama Desa Di Bidang Pemerintahan Desa;
23. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 Tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa;
24. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa;
25. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 78 tahun 2012 tentang Tata
Kearsipan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor 135 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 78 Tahun 2012 Tentang Tata Kearsipan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor 72 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 137 Tahun 2017 Tentang Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan;
26. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 119 Tahun 2019 tentang Pemotongan, Penyetoran Dan Pembayaran Iuran Jaminan Kesehatan Bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa;
27. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa;
28. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa;
29. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa;
30. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan Dan Pengelolaan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa;
31. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Indeks Desa Membangun;
32. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan;
33. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016 Tentang Pelatihan Masyarakat;
34. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pedoman Pengelolaan Data Dan Informasi Desa, Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi;
35. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2017 Tentang Pengembangan Dan Penerapan Teknologi Tepat Guna Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Desa;
36. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Informasi Publik Dan Pengaduan Masyarakat Di Lingkungan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi;
37. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Transmigrasi Oleh Pemerintah Dan/Atau Pemerintah Daerah Kepada Transmigran;
38. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2018 Tentang Pola Usaha Pokok Transmigrasi;
39. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020;
40. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pemantauan Dan Evaluasi Pelaksanaan Program Dan Kegiatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi;
41. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Musyawarah Desa;
42. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pedoman Umum Pembangunan Dan Pemberdayaan Masyarakat Desa;
43. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pedoman Umum Pendampingan Masyarakat Desa;
44. Peraturan Menteri Dalam Xxxxxx Xxxxxxxx Indonesia Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Pemberdayaan Masyarakat Melalui Gerakan Pemberdayaan Dan Kesejahteraan Keluarga;
45. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 44 Tahun 2010 Tentang Ketentraman, Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat Dalam Rangka Penegakan Hak Asasi Manusia;
46. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengintegrasian Layanan Sosial Dasar Di Pos Pelayanan Terpadu;
47. Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 67/Permentan/Sm.050/12/2016 Tentang Pembinaan Kelembagaan Petani;
48. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 82/Permentan/Ot.140/8/2013 Tentang Pedoman Pembinaan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani;
49. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2019 Tentang Karang Taruna;
50. Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 2017 Tentang Standar Nasional Perpustakaan Desa/Kelurahan;
51. Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013. Tentang Pedoman Tata Cara
Pengadaan Barang/Jasa Di Desa; Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1367; sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13 Tahun 2013 Tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa;
52. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Standard Pelayanan Informasi Publik Desa.
Lima puluh dua peraturan pelaksanaan UU Desa tersebut dan kami yakin akan terbit puluhan peraturan pelaksanaan lagi membuat kepala desa dan perangkat desa benar-benar pening tujuh keliling karena enam fakta: (1) kepala desa dan perangkat desa yang terdiri atas satu sekretaris desa, tiga kepala urusan, tiga kepala seksi, dan tiga sampai lima kepala dusun tidak mempunyai kemampuan karena pendidikan yang terbatas dan jumlahnya tidak memadai, (2) semua peraturan perundang-undangan ini sangat birokratis dan teknokratis sehingga sulit dipahami oleh perangkat desa dan kepala desa, (3) kepala desa dan perangkat desa tidak pernah dilatih oleh pemerintah atasan untuk melaksanakan puluhan peraturan ini,
(4) kepala desa dan perangkat desa waktu dan tenaganya sudah habis mengurus kegiatan rutin sehingga tidak mempunyai waktu mempelajari materi peraturan ini, (5) peraturan perundang-undangan yang sangat birokratis dan teknokratis hanya bisa dilaksanakan oleh lembaga birokrasi modern dengan ASN profesional, dan (6) kepala desa dan perangkat desa hanyalah pimpinan dan aparatur lembaga tradisional desa yang dinegarakan.
Di samping itu, yang membuat kepala desa dan perangkat makin stres adalah adanya dua kementerian yang mengatur pemerintah desa: (1) Kementerian Desa dan PDTT dan (2) Kementerian Dalam Negeri. Dua kementerian ini bersaing mengatur pemerintah desa dengan puluhan
Peraturan Menteri yang banyak di antaranya saling berlawanan dan duplikasi. Pemerintah desa menjadi obyek dan korban kompetisi kewenangan dua kementerian tersebut. Akibatnya kepala desa dan perangkat desa dibuat bingung dan stres yang dan ujungnya rakyat desa menjadi korban.
UU Desa Pasal 112 ayat (4) mengatur adanya pendamping desa. Pengaturan ini sangat merendahkan pemerintah desa karena model pendampingan demikian adalah model proyek NGO/LSM yang memperoleh dana dari lembaga filantropi baik dari dalam maupun luar negeri. NGO/LSM dalam menjalankan proyeknya membentuk kelompok masyarakat yang didampingi pendamping. Pendamping adalah tenaga ahli yang mendampingi kelompok masyarakat yang dinilai tidak paham substansi proyek dan tata cara pelaksanaannya.
Ketika UU Desa juga didesain demikian berarti pemerintah desa disamakan dengan kelompok masyarakat penerima proyek dengan Xxxx Xxxx dari Kementerian Desa dan PDTT yang tidak paham substansi dan tata cara pelaksanannya. Oleh karena itu, perlu didampingi pendamping desa agar pemerintah desa paham substansi dan cara melaksanakannya. Menyamakan pemerintah desa dengan kelompok masyarakat penerima proyek yang tidak paham substansi program dan proyek dari pemerintah atasan adalah suatu kebijakan negara yang sangat merendahkan kepala desa dan perangkat desa. Dan secara kelembagaan adalah melecehkan pemerintah desa dan rakyat desa.
Dalam praktik, pendamping desa tidak tahu apa-apa karena pemerintah desa bukan kelompok masyarakat (Pokmas) penerima proyek. Pemerintah desa adalah organisasi kekuasaan yang mirip pemerintahan kecil. Fungsinya adalah fungsi pemerintahan yaitu menyelenggarakan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayan masyarakat desa. Pendamping tidak paham atas fungsi pemerintah desa ini. Akhirnya
kepala desa dan perangkat desa mengajari mereka. Mereka datang ke kantor desa bukan membantu kepala desa dan perangkat desa tapi malah belajar kepada kepala desa dan perangkat desa tentang tata kelola pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat. Mereka tidak mengerjakan apa-apa. Tapi ketika datang mereka malah minta tanda tangan dan minta honor. Tanpa mendapat manfaat apapun dari pendamping desa, pemerintah desa dipaksa oleh UU Desa untuk mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit kepadanya. Suatu pos anggaran yang tidak bermanfaat bagi pemerintah desa dan rakyat desa.
Pemerintahan desa sebagai pemerintahan bayang-bayang/kuasi/semu tidak bisa mengentaskan kemiskinan warga desa. BPS melaporkan bahwa pada September 2014 angka kemiskinan di desa sebesar 13,76%. Jumlah penduduk 155,1 juta. Sebesar 48%-nya sebagai penduduk desa. Jadi, pada tahun 2014 terdapat 10.244.000 penduduk desa yang miskin. Pada tahun 2014 UU Desa disahkan. Mulai tahun 2015 Pemerintah mengalokasikan Dana Desa dari APBN sehingga Desa mendapatkan dana dari Pemerintah Pusat rata-rata sebesar 1,1 milyar per tahun.
Pemerintah Desa yang dibentuk berdasarkan UU Desa membuat kebijakan, program, dan kegiatan sesuai dengan kewenangan yang ditentukan dalam UU Desa dengan biaya dari Dana Desa. Sejak 2015 sampai dengan 2021 Pemerintah telah menggelontorkan Dana Desa sebesar 401 trilyun. Akan tetapi, BPS melaporkan bahwa angka kemiskinan di perdesaan pada Maret 2021 hanya turun 0,66% (13,76% - 13,10%).
Jika dilihat jumlah per kepalanya, penduduk desa yang miskin lebih memprihatinkan lagi. Jumlah penduduk nasional tahun 2021 adalah 273.879.750. Dari angka nasional ini, 48%-nya merupakan penduduk desa. Jadi, jumlah penduduk desa adalah 131.460.360 jiwa. Dari jumlah ini yang miskin sebesar 13,10%. Artinya, penduduk desa yang miskin
pada tahun 2021 sebesar 17.221.308 jiwa (48%%x 000.000.000x00,10%). Dengan demikian, selama digelontorkan Dana Desa di bawah UU Desa jumlah orang miskin desa bertambah 6.977.307 (17.221.308 – 10.244.000).
Jika angka kemiskinan perdesaan dilihat per provinsi terdapat 19 provinsi dengan angka kemiskinan tinggi. Terdapat 14 provinsi dengan angka kemiskinan antara 10% - 20%. Diantaranya di Jawa. Jawa Barat 10,46% sehingga jumlah penduduk desa yang miskin sebesar 5.102.639. Jawa Tengah 13,07% sehingga jumlah penduduk desa yang miskin sebesar
4.802.245. Jawa Timur 15,05% sehingga jumlah penduduk desa yang miskin sebesar 6.152.259.
Tiga provinsi dengan angka kemiskinan antara 21% - 30% yaitu NTT (25,08%), Gorontalo (24,47%), dan Maluku (26,96%).
Bahkan masih dijumpai 2 provinsi dengan angka kemiskinan antara 31%
- 40% yaitu Papua Barat (33,4%) dan Papua (35,71%).
Tabel 1
Kemiskinan Perdesaan pada 19 Provinsi Per Maret 2022
No | Provinsi | Prosentase | Jml Penduduk | Jml Orang Miskin |
1. | Aceh | 17,78 | 5.333.700 | 948.332 |
2. | Sumatera Selatan | 13,12 | 8.550.900 | 1.121.878 |
3. | Bengkulu | 15,28 | 2.032.900 | 310.627 |
4. | Lampung | 14,18 | 9.081.800 | 1.287.799 |
5. | Jawa Barat | 10,00 | 00.000.000 | 0.000.000 |
6. | Jawa Tengah | 13,00 | 00.000.000 | 0.000.000 |
7. | Di Yogyakarta | 14,44 | 3.712.900 | 536.143 |
8. | Jawa Timur | 15,00 | 00.000.000 | 0.000.000 |
9. | Nusa Tenggara Barat | 13,37 | 5.390.000 | 720.643 |
10. | Nusa Tenggara Timur | 25,08 | 5.387.700 | 1.351.235 |
11. | Sulawesi Utara | 10,61 | 2.638.600 | 279.955 |
12. | Sulawesi Tengah | 14,73 | 3.021.900 | 445.126 |
13. | Sulawesi Selatan | 12,05 | 9.139.500 | 1.101.310 |
14. | Sulawesi Tenggara | 13,89 | 2.659.200 | 369.363 |
15. | Gorontalo | 24,47 | 1.181.000 | 288.991 |
16. | Sulawesi Barat | 11,67 | 1.436.800 | 167.674 |
17. | Maluku | 26,96 | 1.862.600 | 502.157 |
18. | Papua Barat | 33,4 | 1.156.800 | 386.371 |
19. | Papua | 35,71 | 4.355.500 | 1.555.349 |
Sumber: BPS 2022 dengan pengolahan.
Sebagaimana kami jelaskan di depan bahwa lembaga desa yang dibentuk oleh UU Desa hakekatnya adalah korporatisme negara tingkat desa yang awalnya dibentuk oleh penjajah Jepang saat menjajah Indonesia (1942- 1945). Agar lembaga desa ini tidak dicap fascis-militeristik karena pertama kali dibentuk oleh militer Jepang saat menjajah Indonesia (1942-1945) maka dibentuk semacam council (Badan Permusyawatan Desa, BPD). BPD bersama kepala desa mempunyai kewenangan membuat Peraturan Desa yang mirip dengan Peraturan Daerah. Akan tetapi, BPD tidak dibentuk seperti DPRD dalam arti dilengkapi dengan alat-alat kelengkapan organisasi: ada kantor sekretariat, ada staf sekretariat, ada staf ahli bidang legal drafting, ada anggaran kegiatan, dan ada gaji bagi anggoa dan staf. Akibatnya keberadaan BPD sama dengan tiadanya. Faktualnya produk yang dihasilkan BPD yaitu Peraturan Desa sejatinya tidak memenuhi aspek formil dan materiil.
Sejak pemerintah desa dirubah menjadi ku oleh penjajah Jepang lalu dilegalisasi dengan UU No. 5/1979 lalu diteruskan dengan UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 jo. UU No. 6/2014 pemerintah desa sudah diputus dengan adat istiadat desa. Hal ini terjadi karena pemerintah pendudukan Jepang dan pemerintah Republik Indonesia sudah meninggalkan politik hukum adatstaatsrecht yang dijalankan penjajah Belanda. Akan tetapi, kepala desa dan perangkat desa dipaksa oleh
pejabat atasan menerapkan peradilan adat desa (inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied) sebagaimana diatur dalam HIR 1848 terakhir dilakukan perubahan pada 1941. Padahal peradilan adat desa berdasarkan HIR 1848 sudah dihapus oleh UU Darurat No. 1 tahun 1950 sehingga peradilan adat desa (inheemse rechtspraak in rechtstreeksbestuurd gebied) juga ikut terhapus.
Akibat pemaksaan tersebut, maka ketika kepala desa dan perangkat desa menangani sengketa perdata atas warga desa menggunakan peradilan adat, pihak yang tidak puas mencaci maki kami karena menilai kami memutus perkara tanpa dasar hukum yang sah. Masalah ini menjadi beban ketidaknyamanan psikologis yang luar biasa bagi kami. Beban psikologis ini kami derita selamanya dan terasa berat ketika kami sudah tidak menjabat. Warga yang tidak puas tersebut terus mencela kami bahwa kami saat menjabat memutus perkara tanpa dasar hukum. Yang menyakitkan, pejabat atasan kami yang dulu memaksa kami melakukan peradilan adat lepas tangan.
UU Desa dilihat dari sisi juridis.
Dari sisi juridis, UU Desa tidak mempunyai cantolan konstitusi karena tidak ada satu pasal pun dalam UUD NRI 1945 yang mengatur Desa. UUD NRI 1945 hanya mengatur pemerintah pusat (Pasal 4), pemerintah daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota, pemerintah daerah otonom khusus, pemerintah daerah otonom istimewa, dan kesatuan masyarakat hukum adat (Pasal 18, 18A, 18B). Dalam konsideran Mengingat, UU Desa mencantolkan pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal
20, dan Pasal 22D ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 5 ayat (1) mengatur kewenangan Presiden mengajukan RUU. Pasal 18 mengatur pembagian daerah di Indonesia yang terdiri atas daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota. Pasal 18B ayat (2) mengatur bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 20 mengatur kekuasaan DPR. Pasal 22D ayat (2) mengatur Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU.
Berdasarkan pasal-pasal yang disebutkan maka pasal yang terkait langsung dengan UU Desa adalah Pasal 18B ayat (2). Pencantolan ini salah cantol karena Pasal 18B ayat (2) bukan norma pengaturan tentang Desa tapi norma pengaturan tentang kesatuan masyarakat hukum adat. Pencantolan ke Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 hanya tepat UU Desa yang diatur dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 111 yang mengatur kesatuan masyarakat hukum adat yang dijadikan desa adat. Adapun pencantolan untuk UU Desa Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 yang kami mohonkan adalah salah karena desa yang diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 adalah lembaga ku bentukan Jepang yang dilegalisasi oleh UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
Kesatuan masyarakat hukum adat bukan Desa bentukan penjajah Jepang yang dilegalisasi UU No. 5/1979 juga bukan desa sebagaimana diatur dalam IGO 1906 dan IGOB 193816 tapi komunitas organik yang terikat dan mematuhi hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh penemunya yaitu Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx (1908)17 dan dirinci oleh muridnya, Ter Haar (1933)18. Kesatuan masyarakat hukum adat dalam hukum internasional disebut indigenous and tribal people sebagiamana dituangkan dalam Konvensi ILO No. 169 tahun 1989 dan Deklarasi PBB
16 istilah inlandsche gemeente sebagaimana diatur dalam IGO 1906 dan IGOB 1938 diterjemahkan dengan istilah haminte bumiputra, X.X Xxxxxx (1979), Xxxx Xxxxxxxxxxxx (1992) menerjemahkan dengan istilah haminte pribumi sedangkan De Xxx Xxxxxxxx (1931) menerjemahkannya dengan istilah indigenous commune (komune asli).
17 Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx. 1908. Het Adatrecht van Nederlansche-Indie. Nederland: Xxxxxxxx Xxxxxxx.
18 Ter Haar. 1933. Begenselen Stelsel van Het Adatrecht yang diterjemahkan oleh X. Ng.
Soebakti Pesponoto (2013)
.
tahun 2007 tentang Hak-Hak Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (The Rights of Indigenous Poeples). Obyek materiil inilah yang diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945, bukan pemerintah desa sebagaimana diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 95.
Jadi, kesatuan masyarakat hukum adat jelas bukan Desa sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 dan norma Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU No. 6/2014. Dalam Undang-Undang ini kesatuan masyarakat hukum adat diatur dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 111.
Permohonan judicial review kami hanya memohonkan Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 saja. Kami PARA PEMOHON tidak memohonkan Pasal 96 sampai dengan Pasal 111 yang mengatur tentang kesatuan masyarakat hukum adat yang dijadikan DESA ADAT.
UU Desa juga bertentangan dengan Ketetapan MPR No. IV Tahun 2000. Rekomendasi angka 7 TAP MPR No. IV/MPR/2000 berbunyi “Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undangundang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap provinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga dan sebagainya”.
Dalam TAP MPRI No. IV Tahun 2000 ini sangat jelas bahwa desa/nagari/marga dan sebagainya sebagai bagian integral dari pemerintah daerah otonom, bukan satuan pemerintah terpisah dari stelsel pemerintah daerah otonom.
UU Desa dilihat dari sisi sosiologis.
Dari sisi sosiologis, pembentukan organisasi kekuasan pada tingkat desa tidak berakar dari organisasi kekuasaan yang dibentuk oleh masyarakat desa sendiri. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa membentuk struktur organisasi, menentukan kewenangan, menentukan jabatan, menentukan tata kelola, menentukan lembaga-lembaga, menentukan hak dan kewajiban pengurus desa dan masyarakat desa, menentukan sumber keuangan dan pengeluaran desa, menentukan tata cara pembangunan desa, mengatur badan usaha milik desa, mengatur lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, mengatur desa adat, dan mengatur pembinaan dan pengawasan. Akan tetapi, organisasi kekuasaan yang dibentuk Negara pada tingkat desa ini sama sekali tidak berakar pada lembaga masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat desa sendiri.
Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx (1908), Xxxxxx Xxxx (1924) dan Xxxxxxxxxxxxxxxx (1963) menjelaskan bahwa masyarakat desa awalnya mengembangkan lembaganya sendiri secara merdeka tanpa campur tangan kekuatan politik di luar dirinya. Misal, masyarakat desa di Jawa mengembangkan organisasi pemerintah desanya sendiri tanpa campur tangan negara terdiri atas lurah/petinggi/kuwu, kamituwa, carik, bayan, modin, ulu-ulu, bekel, dan jagabaya/kepetengan.
Masyarakat Aceh mengembangkan lembaga desanya/gampongnya sebagai berikut. Pemerintahan gampong di Aceh terdiri atas tiga unsur:
1. Xxxxxx’ dibantu oleh seorang atau beberapa orang waki’ (wakil).
2. Teungku.
3. Ureueng Tuha.
Keuchi adalah pemimpin atau bapak gampong yang menerima wewenang dari uleebalang dari wilayah yang membawahi gampong itu. Jabatan Keuchi' bersifat turun temurun. Xxxxxx’ mempunyai wewenang menjaga
ketertiban, keamanan, dan menciptakan kesejahteraan warganya. Keuchi’ adalah jabatan penghormatan karena itu tidak mendapat bayaran secara resmi. la mendapat penghasilan dari ha' katib atau ha' cupeng, yaitu imbalan yang diterima karena jasanya membantu menikahkan wanita warga gampongnya. Di samping itu, ia juga mendapat penghasilan dari jasa membantu menyelesaikan sengketa warga yang diselesaikan di depan Uleebalang. Ia juga mendapat prosentase tertentu dari pembagian tanah pusaka yang menjadi hak Uleebalang. Masih ada penghasilan lain yaitu hadiah-hadiah dari warganya yang diberikan secara ikhlas. Seorang Keuchi’ dibantu oleh seorang waki'. Jika ia mengepalai lebih dari satu gampong ia memiliki waki' sebanyak gampong itu. Tugas waki' di samping mewakili tugas Xxxxxx' juga bisa menjadi bapak dari warga sub gampong yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Masyarakat desa di Sumatera Selatan mengembangkan lembaga desanya sebagai berikut. Desa disebut marga. Marga dipimpin Kepala Marga atau Pesirah. Pesirah dibantu oleh Xxxxxxxx. Di bawah Kepala Marga terdapat Kepala Kampung. Di bawah Kepala Kampung terdapat Kepala Suku. Pesirah adalah kepala pemerintahan sekaligus kepala adat. Jika Pesirah berfungsi sebagai kepala adat maka ia disebut Penyeimbang Adat. Di samping pejabat pemeritahan tersebut dalam marga juga terdapat Dewan Marga. Dewan Marga terdiri atas wakil-wakil kampung. Kepala kampung dibantu umbulun.
Masyarakat desa di Minangkabau Sumatera Barat mengembangkan lembaganya sebagai berikut. Desa disebut nagari. Nagari dipimpin Wali Negeri. Di samping itu juga ada Pucuk Suku yang merupakan pimpinan adat dari para parui. Parui adalah kesatuan komunitas hukum berdasarkan sistem matrilineal yang dipimpin oleh Penghulu Andiko. Penghulu Andiko mempunyai perangkat, lembaga yang terdiri atas Bendaro dan Mantri yang mengurus kekayaan dan komunikasi, Kadi yang menangani urusan agama Islam, dan Panglimo bertanggung jawab atas
keamanan. Di bawah Wali Negeri terdapat Ketua-ketua Jorong. Segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan Nagari baik yang berkaitan dengan masalah adat, agama, peradilan, maupun pernerintahan diputuskan dalam Kerapatan Adat Nagari.
Desa-desa lain di seluruh Indonesia juga mengembangkan lembaga desanya sendiri secara mandiri tanpa campur tangan kekuatan politik di luar dirinya. Lembaga, fungsi, dan tugasnya ditentukan sendiri oleh masyaakat desa yang bersangkutan secara merdeka.
Akan tetapi, pemerintah kolonial kemudian menegarakan melalui kebijakan adatstaatsrecht. Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Xxxxxxx Tahun 1814 juncto Revenue Instruction 1814 mengatur kepala desa dipilih secara langsung dan dijadikan petugas penarik pajak. HIR 1848 mengatur kepala desa menjadi penanggung jawab keamanan desa. RR 1854 Pasal 71 mengatur kepala desa sebagai tangan panjang pemerintah di bawah kontrol residen. IGO 1906 dan IGOB 1938 mengatur desa sebagai badan hukum komunitas asli (inheems rechtsgemeenschap) dan tata kelolanya ala municipal Eropa (Xxxxx Xxx, 190419; Angelino, 193120) tapi tidak dimasukkan ke dalam stelsel binnenlands bestuur (pemerintah pangreh praja) dan pemerintah lokal (locale bestuur). Pemerintah pendudukan militer Jepang menganti pemerintah desa asli dengan pemerintah desa baru (ku) dengan cara mengimpor lembaga buraku dari negara asalnya (Xxxx Xxxxxxxx, 198821).
Sejak pendudukan militer Jepang, struktur organisasi masyarakat desa yang asli hilang karena diganti oleh pemerintah penjajah Jepang dengan model pemerintahan desa dari negara asalnya yaitu buraku dengan nomenklatur ku. Pemerintah desa (ku) dipimpin oleh kepala desa
19 Xxxxx Xxx. 1904. The Policy and Administration of The Dutch in Java. London: Macmillan.
20 A.D.A De Xxx Xxxxxxxx. 1931. Colonial Policy Vol. II. Netherlands: The Hague Xxxxxxxx Xxxxxxx.
21 Xxxx Xxxxxxxx. 1988. Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java 1942- 1945. USA: Cornell University.
(kuchoo). Kuchoo dibantu oleh juru tulis, mandor-mandor, polisi desa, dan amil. Untuk membantu pemerintah desa dibentuk lembaga kemasyarakatan yaitu aza (RW), tonarigumi (RT), heiho (HANSIP), keibodan (HANRA), fujinkai (PKK), dan seinendan (Karang Taruna). Masa jabatan kepala desa yang sebelumnya (di bawah Staadblads No. 212/1907) seumur hidup diganti menjadi 4 tahun (Xxxxx Xxxxxx No. 7 Tahun 1944).
Organisasi pemerintah desa (ku) bentukan Jepang ketika diundangkan UU No. 22 Tahun 1948 jo. UU No. 1 Tahun 1957 jo. UU No. 18 Tahun 1965 jo. UU No. 19 Tahun 1965 dihapus. Desa lalu dimasukkan ke dalam sistem pemerintahan formal sebagai daerah tingkat III atau Desapraja. Akan tetapi, regim Orde Baru mengembalikan lagi pemerintah desa sebagai organisasi korporartisme negara sebagaimana dibentuk oleh penjajah Jepang melalui pengundangan UU No. 5/1979 Tentang Pemerintahan Desa. Di bawah pengaturan UU No. 5/1979, Pemerintah desa hanya merubah nomenkatur ku zaman penjajahan Jepang ditambah lembaga baru: Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Ku menjadi pemerintah desa. Kuchoo menjadi kepala desa. Juru tulis menjadi sekretaris desa. Mandor menjadi kepala urusan. Amil menjadi kepala urusan kesejahteraan rakyat. Aza menjadi RW, tonarigumi menjadi RT, heiho menjadi HANSIP, keibodan menjadi HANRA, fujinkai menjadi PKK, dan seinendan menjadi Karang Taruna. Bedanya dengan ku adalah adanya lembaga baru yaitu LMD dan lembaga korporaris baru yaitu Perkumpulan Pengguna Air (P3A), pos pelayanan terpadu (Posyandu), dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Di samping itu, juga ada perubahan masa jabatan kepala desa: semula 4 tahun menjadi 8 tahun.
Organisasi pemerintah desa bentukan Jepang yang direvitalisasi oleh UU No. 5/1979 jo. UU No. 22/1999 jo. UU No. 32/2004 tersebut dimantapkan dengan UU No. 6/2014 tentang Desa. UU Desa ini mengatur bahwa
pemerintah desa dipimpin oleh kepala desa. Kepala desa dibantu sekretaris desa, kepala xxxxxx, kepala seksi, dan kepala dusun. Sekretaris desa membawahi kepala-kepala urusan. Di samping itu, di Desa juga dibentuk Badan Permusyawatan Desa (BPD). Untuk membantu pemerintah desa dibentuk lembaga kemasyarakatan desa: RW, RT, LINMAS, PKK, Karang Taruna, Perkumpulan Pengguna Air, Posyandu, dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat. Masa jabatan kepala desa dirubah: dari 8 tahun menjadi 6 tahun dan dapat dipilih kembali tiga kali berikutnya. Struktur organisasi pemerintah desa, fungsi, tugas, dan tata kerjanya mirip dengan ku zaman Jepang.
Jadi, secara sosiologis, organisasi pemerintah desa di bawah UU Desa sama sekali tidak berasal dari organisasi masyarakat desa asli. Organisasi pemerintah desa yang diatur oleh UU Desa dan peraturan pelaksanaannya berasal dari lembaga buraku di Jepang yang diimpor ke Indonesia oleh pemerintah militer Jepang saat berkuasa di Indonesia tahun 1942-1945.
b. Obyek Materiel Permohonan
Ruang Lingkup Pasal dan Non Pasal yang Diuji adalah Konsideran, Pasal- pasal, dan Penjelasan yang terdapat dalam UU No. 16 Tahun 2014 tentang Desa yang bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan nyata-nyata merugikan hak konstritusional PARA PEMOHON yang terdiri atas perangkat desa dan/atau rakyat desa. Permohonan pengujian meliputi bagian ‘konsideran’, ‘pasal-pasal’, dan ‘Penjelasan’ yang terdapat dalam UU 6/2014 sebagai berikut.
1) Konsideran
Tabel 2
Objek Pengujian Ruang Lingkup Konsideran UU No. 6/2014 tentang Desa
Konsideran | Frasa | Permohonan |
Konsideran Menimbang a | bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; | Mohon Konsideran Menimbang huruf a dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Konsideran Menimbang huruf a mengkonstruk desa yaitu desa yang memiliki hak asal-usul. Konstruksi ini benar untuk pengaturan kesatuan masyarakat hukum adat yang dijadikan desa adat sebagaimana diatur dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 111. Akan tetapi, Konsideran ini salah untuk mengkonstruksi Desa bentukan Pemerintahan Xxxxxxxx (Desa Orde Baru) melalui UU No. 5/ 1979 yang diteruskan dengan UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004 sebagaimana diatur dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 95. Desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional adalah kesatuan masyarakat hukum adat yang dijadikan desa adat sebagaimana dalam Pasal 96-111 UU ini. Adapun Desa Orde Baru tidak memiliki hak asal usul dan hak tradisional karena UU No. 5/ 1979 asal usulnya adalah desa yang diatur oleh pemerintah zaman Hindia Belanda lalu diatur oleh penjajah Jepang. |
Konsideran | Frasa | Permohonan |
Peraturan perundang-undangan tersebut adalah sebagai berikut. 1. IGO 1906 jo. PP No. 83/1906 jo. PP No. 212/1907; 2. Ordonansi tanggal 27 September 1918 (Lembaran Negara nomor 677) untuk masyarakat pribumi di wilayah Pantai Barat Sumatra; 3. Ordonansi tanggal 26 Juli 1919 (Lembaran Negara nomor 453) untuk masyarakat pribumi di wilayah Bangka dan Sekitarnya; 4. Ordonansi tanggal 12 Desember 1919 (Lembaran Negara nomor 814) untuk masyarakat pribumi di wilayah Palembang. 5. Ordonansi tanggal 26 Agustus 1922 (Lembaran Negara nomor 564) untuk masyarakat pribumi di wilayah Distrik Lampung. 6. Ordonansi 21 September 1923 (Lembaran Negara nomor 469) untuk masyarakat pribumi di wilayah Tapanuli. 7. Ordonansi tanggal 21 September 1923 (Lembaran Negara nomor 471) untuk masyarakat pribumi di wilayah Ambon. 8. Ordonansi 231 Pebruari 1924 (Lembaran Negara nomor 75) untuk menetapkan masyarakat pribumi di wilayah Belitung. 9. Ordonansi tanggal 11 Juni 1924 (Lembaran Negara nomor 275) untuk masyarakat pribumi di wilayah Borneo Selatan dan Timur. |
Konsideran | Frasa | Permohonan |
10. Ordonansi tanggal 12 Januari 1931 (Lembaran Negara nomor 6) untuk masyarakat pribumi di wilayah Bengkulu. 11. Ordonansi tanggal 30 Maret 1931 (Lembaran Negara nomor 138) untuk masyarakat pribumi di Minahasa (wilayah Manado). 12. IGOB 1938. 13. Desa Ordonnantie 1941. 14. Xxxxx Xxxxxx No. 27 tahun 1942 jo. No. Xxxxx Xxxxxx No. 7/1944 | ||
Konsideran Menimbang huruf b | bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera | Mohon Konsideran Menimbang huruf b dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Desa yang perlu dilindungi adalah Desa Adat dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum adat karena merupakan mandat UUD NRI 1945 pasal 18 B ayat (2), bukan Desa Orde Baru bentukan Pemerintahan Xxxxxxxx melalui UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004 jo. UU No. 6/2014. |
2) Pasal-Pasal
Tabel 3
Objek Pengujian Ruang Lingkup Pasal-Pasal UU 6/2014 tentang Desa
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 1 Angka 1 | Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. | Mohon Pasal 1 angka 1 ini dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 yang berbunyi “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem |
pemerintahan Negara Kesatuan Republik | ||
Indonesia” sama dengan definisi daerah | ||
otonom sebagaimana tertulis dalam UU | ||
No. 32/ 2004 Pasal 1 angkat 6 yang | ||
berbunyi “Daerah otonom, selanjutnya | ||
disebut daerah, adalah kesatuan | ||
masyarakat hukum yang mempunyai | ||
batas-batas wilayah yang berwenang | ||
mengatur dan mengurus urusan | ||
pemerintahan dan kepentingan | ||
masyarakat setempat menurut prakarsa | ||
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat | ||
dalam sistem Negara Kesatuan Republik | ||
Indonesia” dengan sedikit perbedaan yaitu | ||
frasa sesudah “kepentingan masyarakat | ||
setempat”. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Dalam UU No. 6/ 2014 frasanya berbunyi “berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia” sedangkan dalam UU No. 32/ 20014 berbunyi “menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kesatuan masyarakat hukum adalah terjemahan bebas rechtsgmeenschap. Arti letterlijkenya adalah badan hukum komunitas. Dalam teori local government dan hukum tata negara kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur (regeling) dan mengurus (bestuur) urusan pemerintahan adalah daerah otonom formal yang dibentuk melalui dua cara: (1) erkenning/pengakuan atau acknowledge by law dan (2) pembentukan atau created by law. Kesatuan masyarakat hukum adat tidak dibentuk oleh Negara tapi dibentuk oleh komunitas yang bersangkutan berdasarkan norma hukum adat. Oleh |
Pasal | Diktum | Permohonan |
karena itu, kesatuan masyarakat hukum adat tidak mengatur (regeling) dan mengurus (bestuur) urusan pemerintahan tapi hanya mengurus urusan masyarakat menurut norma hukum adat yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan. Dalam norma Pasal 18B ayat (2) tugas negara bukan memberikan kewenangan kepada kesatuan masyarakat hukum adat berupa urusan pemerintahan untuk diatur dan diurus tapi hanya mengakui (erkenning/ recognition) dan menghormatinya (respect). Ketika Desa dan Desa Adat didefinisikan sama dengan daerah otonom dengan sedikit tambahan frasa jelas keliru karena Desa dan Desa Adat bukan daerah otonom. UU No. 6/ 2014 tidak mendudukan Desa dan Desa Adat sebagai daerah otonom karena, 1) Negara tidak menjadikan Desa sebagai organisasi pemerintahan formal karena tidak menempatkan pejabat negara dan aparatur sipil negara di Desa; 2) Negara tidak menyerahkan urusan pemerintahan tertentu (desentralisasi) kepada Desa; 3) Negara tidak membentuk council dan badan pelaksana formal untuk membuat kebijakan pengaturan (regeling) dan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
melaksanakan kebijakan tsb (bestuur) atas urusan pemerintahan yang didesentralisasikan; dan 4) Negara tidak memberi kewenangan kepada Desa untuk menarik pajak dan retribusi lokal. | ||
Pasal 1 Angka 2 | Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. | Mohon Pasal 1 Angka 2 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 mendefinisikan Pemerintahan Desa. Konsep Pemerintahan Desa mengacu kepada konsep tata kelola pemerintah pada tingkat desa. Pemerintah adalah badan hukum publik yang dibentuk Negara yang mencakup struktur organisasi, fungsi, tugas, tata kelola, dan penempatan pejabat dan aparaturnya. Penempatan pejabat dan aparaturnya tersebut meliputi rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pengembangan, pembinaan, penggajian, dan pensiun. Dalam UU ini, Negara memang menetapkan struktur organisasi, fungsi, tugas, tata kelola lembaga desa tapi rekrutmen, pengangkatan, penempatan, pengembangan/ kenaikan pangkat, pembinaan, penggajian, dan pensiun pejabat dan aparaturnya tidak berdasarkan UU No. 5/ 2014. Artinya pejabat dan staf pada pemerintah desa bukan pejabat |
Pasal | Diktum | Permohonan |
negara juga bukan aparatur sipil negara. Pejabat dan aparatur pemerintah desa juga bukan pekerja/ buruh sebagaimana diatur dalam UU No. 13/ 2013. Dengan demikian, pejabat dan staf pemerintah desa statusnya tidak jelas dilihat dari UU No. 5/ 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU No. 13/ 2003 Tentang Ketenagakerjaan: bukan PNS atau P3K dan juga bukan pekerja/ buruh. Dengan ketidakjelasan status pejabat dan stafnya, Pemerintah desa dalam UU ini mirip dengan RW dan RT yaitu lembaga kemasyarakatan yang dibentuk Negara dan diberi tugas membantu menyelengarakan urusan pemerintahan. Dalam Penjelasan UU ini, dituliskan bahwa status desa adalah gabungan antara pendekatan local self government (daerah otonom) dengan self governing community (komunitas yang mengatur dirinya sendiri). Hal ini menunjukkan adanya kekacauan juridis dan teoritis dalam UU ini. Lembaga publik yang merupakan gabungan local self government dengan self governing community tersebut tidak mempunyai dasar teoritis dan juridis. | ||
Pasal 1 | Pasal 1 angka 7 | Mohon Pasal 1 Angka 7 dibatalkan |
Angka 7 | Peraturan Desa adalah peraturan perundang- undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah | dengan pertimbangan sebagai berikut. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa. | Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 yang mendefinisikan Perarturan Desa adalah peraturan perundang-undangan tidak mempunyai dasar logika juridis. Apa dasar hukumnya dan bagaimana logika berpikirnya bahwa Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan? Pemerintah Desa hanya sebuah “psuedo government unit, unit pemerintahan semu”, bukan lembaga negara yang sebenarnya. Peraturan perundang-undangan adalah semua produk hukum legal yang dibuat oleh lembaga negara resmi. Pemerintah Desa sebagai unit pemerintahan semu tidak bisa membuat peraturan perundang- undangan. | |
Pasal 5 | Pasal 5 Desa berkedudukan di wilayah Kabupaten/Kota. | Mohon Pasal 5 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 5 ini misleading dengan apa yang dimaksud dengan term kedudukan. Kedudukan terjemahan dari bahasa Inggris status, bukan location. Dengan demikian yang dimaksud dengan kedudukan adalah status desa yang dalam teori local government apakah sebagai local self government, apakah sebagai local state government, atau sebagai agent of government. |
Pasal 6 | Pasal 6 Desa terdiri atas Desa dan Desa Adat. | Mohon Pasal 6 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 6 ini tidak ada acuannya dalam Ketentuan Umum sehingga tidak jelas apa yang dimaksud dengan Desa dan apa yang dimaksud dengan Desa Adat itu. Akan tetapi, dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 95 bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan Desa adalah Desa Orde Baru yaitu desa yang dibentuk regim Orde Baru melalui UU No. 5/ 1979 kemudian diteruskan oleh UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004. Adapun yang dimaksud Desa Adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) yang oleh Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx disebut inheems rechtsgemeenschappen (badan hukum komunitas asli) dan oleh Soepomo disebut adat rechtsgemeenschappen (badan hukum komunitas adat). Obyek material ini diatur dalam Pasal 96 – 111 UU No. 6/ 2014. Dalam Pasal 96 – 111 UU No. 6/ 2014 kesatuan masyarakat hukum adat dijadikan Desa Adat. Dengan demikian, UU No. 6/ 2014 mengatur dua obyek material: (1) Desa Orde Baru dan (2) Kesatuan masyarakat hukum adat. Desa Orde Baru adalah desa baru bentukan regim Orde Baru yang tidak ada hubungannya dengan kesatuan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
masyarakat hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx, Xxx Xxxx, dan Soepomo. Desa Orde Baru secara juridis bukan kesatuan masyarakat hukum adat. Secara empirik, Desa Orde Baru juga bukan kesatuan masyarakat hukum adat karena tidak memenuhi indikator-indikator sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Menurut Xxx Xxxxxxxxxxx (dalam Xxxxxxx, 201022) masyarakat hukum adat adalah, suatu kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kewibawaan (authority) di dalam pembentukan, pelaksanaan, dan pembinaan hukum. Dalam pada itu, yang dikemukakan sebagai masyarakat hukum di dalam uraiannya mengenai Hukum Adat Jawa-Pusat ialah “masyarakat yang dibentuk sendiri” (perseroan Bumiputera, perhimpunan Bumiputra, pasamuan Xxxxxxx Xxxxxxxxx). Ter Haar23 menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat menyatakan diri dalam ketua-ketua rakyat dan kerabatnya yang dalam proses abadi membuat keputusan-keputusan dalam rapat-rapat sebagai kristilasisasi dari |
22 Xxxxxxx, Xxxx, 2010, Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta: Liberty hlm. 139
23 Xxx Xxxx, B. et al., 2011, Asas-Asas dan Tatanan Hukum Adat, Bandung: Mandar Maju
Pasal | Diktum | Permohonan |
kenyataan sosial. Ia mempunyai benda materiil, non materiil, dan benda magic untuk ritual adatnya. Tata pemerintahan adatnya tidak mengikuti regulasi yang dibuat oleh negara tapi dibuat sendiri berdasarkan pengalamannya sendiri ratusan tahun. Asshidiqqi24 menjelaskan kesatuan masyarakat hukum adat merujuk kepada masyarakat organik yang menjalankan fungsinya melalui organisasi pemerintahannya sebagai instrumen masyarakat adat. Perilaku dan perikehidupannya terikat dan mematuhi hukum adat. Menurut Sudiyat25 Desa dalam pengertian kesatuan masyarakat hukum adat adalah suatu kesatuan kemasyarakatan berdasarkan ketunggalan wilayah yang organisasinya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu badan tata urusan pusat yang berwibawa di seluruh lingkungan wilayahnya. Penjelasan Mahkamah Konstitusi26 yang merupakan ringkasan dari |
24 Xxxxxxxxxx, Xxxxx, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta: Konstitusi Press hlm. 77-78
25 Xxxxxxx, Xxxx, op.cit. hlm. 142
26 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-V/2007
Pasal | Diktum | Permohonan |
penjelasan Vollenhoven, Ter Haar, Xxxxxxxxxxx, Xxxxxxx, yang dimaksud kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 B ayat (2) adalah, kesatuan masyarakat hukum adat adalah kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajeg dengan pemerintahan sendiri yang memiliki benda-benda materiil dan immaterial, yang memiliki ciri-ciri: a. Adanya kelompok-kelompok teratur; b. Menetap di suatu wilayah tertentu; c. Mempunyai pemerintahan sendiri; d. Memiliki benda-benda materiil dan immateriil. Xxxxxx, dkk.27 menjelaskan, suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun bersifat fungsional setidak- tidaknya mengandung unsur-unsur: (i) adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (ingroup feeling); (ii) adanya pranata pemerintahan adat; |
27 Xxxxxx, Xxxxx Xxx, dkk. 2011. Dasar PertimbanganYuridis Kedudukan Hukum (Legal Standing) Masyarakat Hukum Adat dalam Proses Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 8, Nomor 5, Oktober 2011
Pasal | Diktum | Permohonan |
(iii) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (iv) adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur adanya wilayah tertentu. Berdasarkan pendapat para ahli dan Mahkamah Konstitusi tersebut ciri-ciri kesatuan masyarakat hukum adat adalah sebagai berikut. 1. Komunitas organik yang peri kehidupannya terikat dan mematuhi hukum adat; 2. Mempunyai pemerintahan adat sebagai instrumen melaksanakan hukum adat; 3. Mempunyai tanah pusaka sebagai tempat penghidupannya (beschikkinsgrech); 4. Mempunyai batas-batas yang jelas atas keberlakukan hukum adat pada komunitasnya (adatrecht kringen/adatrecht gouw); 5. Mempunyai benda-benda materiil dan non materiil serta mempunyai benda- benda magic yang dikeramatkan; 6. Komunitasnya tertutup bagi komunitas luar; 7. Mengatur sendiri tata kelola pemerintahan dan peri kehidupannya |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dalam jurisdiksinya berdasarkan hukum adat; dan 8. Pemerintahan adat dan perilakunya yang berdasarkan hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional, terutama di bidang hukum pidana. Jadi, Desa Orde Baru secara empirik bukan kesatuan masyarakat hukum adat karena, (1) pemerintahannya bukan pemerintahan adat tapi pemerintahan formal yang dibentuk Negara, (2) tidak mempunyai 7 ciri sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Berdasarkan fakta ini maka Desa Orde Baru tidak bisa diatur dengan UU No. 6/ 2014 sebagai undang-undang organik yang diturunkan dari Pasal 18 B ayat (2) karena Desa Orde Baru bukan kesatuan masyarakat hukum adat. UU No. 6/ 2014 hanya sah untuk mengatur Desa Adat sebagaimana diatur dalam Pasal 96-111. | ||
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, | Pasal 7 (1) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan penataan Desa. | Mohon Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dan Pasal | (2) Penataan sebagaimana | Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 ini |
11 | dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil | mengatur, menata, dan memperkuat desa |
evaluasi tingkat perkembangan Pemerintahan Desa sesuai dengan ketentuan | bentukan regim Xxxxxxxx di bawah UU No. 5/ 1979, bukan mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum | |
peraturan perundang- undangan. | adat sebagaimana Pemerintah mengakui | |
(3) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan: a. mewujudkan efektivitas penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mempercepat peningkatan kesejahteraan | Desa Kanekes/Baduy, Kecamatan Leudamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Dengan demikian, Pasal ini bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945. | |
masyarakat Desa; c. mempercepat peningkatan kualitas pelayanan publik; d. meningkatkan kualitas tata kelola Pemerintahan Desa; dan e. meningkatkan daya saing Desa. | ||
(4) Penataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) | ||
meliputi: a. pembentukan; | ||
b. penghapusan; c. penggabungan; | ||
d. perubahan status; dan e. penetapan Desa. | ||
Pasal 8 | ||
(1) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud | ||
dalam Pasal 7 ayat (4) huruf a merupakan | ||
tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa | ||
yang ada. (2) Pembentukan Desa | ||
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) |
Pasal | Diktum | Permohonan |
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dengan mempertimbangkan prakarsa masyarakat Desa, asal usul, adat istiadat, kondisi sosial budaya masyarakat Desa, serta kemampuan dan potensi Desa. (3) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. batas usia Desa induk paling sedikit 5 (lima) tahun terhitung sejak pembentukan; b. jumlah penduduk, yaitu: 1) wilayah Jawa paling sedikit 6.000 (enam ribu) jiwa atau 1.200 (seribu dua ratus) kepala keluarga; 2) wilayah Bali paling sedikit 5.000 (lima ribu) jiwa atau 1.000 (seribu) kepala keluarga; 3) wilayah Sumatera paling sedikit 4.000 (empat ribu) jiwa atau 800 (delapan ratus) kepala keluarga; 4) wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara paling sedikit 3.000 (tiga ribu) jiwa atau 600 (enam ratus) kepala keluarga; 5) wilayah Nusa Tenggara Barat paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) jiwa atau 500 (lima ratus) kepala keluarga; 6) wilayah Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Kalimantan Selatan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
paling sedikit 2.000 (dua ribu) jiwa atau 400 (empat ratus) kepala keluarga; 7) wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Utara paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) jiwa atau 300 (tiga ratus) kepala keluarga; 8) wilayah Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara paling sedikit 1.000 (seribu) jiwa atau 200 (dua ratus) kepala keluarga; dan 9) wilayah Papua dan Papua Barat paling sedikit 500 (lima ratus) jiwa atau 100 (seratus) kepala keluarga. c. wilayah kerja yang memiliki akses transportasi antarwilayah; d. sosial budaya yang dapat menciptakan kerukunan hidup bermasyarakat sesuai dengan adat istiadat Desa; e. memiliki potensi yang meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya ekonomi pendukung; f. batas wilayah Desa yang dinyatakan dalam bentuk peta Desa yang telah ditetapkan dalam peraturan Bupati/Walikota; g. sarana dan prasarana bagi Pemerintahan Desa dan pelayanan publik; dan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
h. tersedianya dana operasional, penghasilan tetap, dan tunjangan lainnya bagi perangkat Pemerintah Desa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (4) Dalam wilayah Desa dibentuk dusun atau yang disebut dengan nama lain yang disesuaikan dengan asal usul, adat istiadat, dan nilai sosial budaya masyarakat Desa. (5) Pembentukan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Desa persiapan. (6) Desa persiapan merupakan bagian dari wilayah Desa induk. (7) Desa persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditingkatkan statusnya menjadi Desa dalam jangka waktu 1 (satu) sampai 3 (tiga) tahun. (8) Peningkatan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi. Pasal 9 Desa dapat dihapus karena bencana alam dan/atau kepentingan program nasional yang strategis. Pasal 10 |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Dua Desa atau lebih yang berbatasan dapat digabung menjadi Desa baru berdasarkan kesepakatan Desa yang bersangkutan dengan memperhatikan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Pasal 11 (1) Desa dapat berubah status menjadi kelurahan berdasarkan prakarsa Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa melalui Musyawarah Desa dengan memperhatikan saran dan pendapat masyarakat Desa. (2) Seluruh barang milik Desa dan sumber pendapatan Desa yang berubah menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi kekayaan/aset Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kelurahan tersebut dan pendanaan kelurahan dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. | ||
Pasal 12 | (1) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengubah status kelurahan menjadi Desa berdasarkan prakarsa masyarakat dan memenuhi persyaratan yang ditentukan sesuai | Mohon Pasal 12 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 12 ini sesat logika, sesat teoritis, dan sesat juridis. Sesat logika karena |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. (2) Kelurahan yang berubah status menjadi Desa, sarana dan prasarana menjadi milik Desa dan dikelola oleh Desa yang bersangkutan untuk kepentingan masyarakat Desa. (3) Pendanaan perubahan status kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. | mengangap desa dan kelurahan itu apple to apple sehingga statusnya bisa dipertukarkan dalam struktur organisasi pemerintahan. Kelurahan dalam UU No. 32/ 2004 adalah unit pelaksana teknis kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah sedangkan desa adalah pseudo government unit yang diberi status badan hukum sehingga mempunyai: 1) batas-batas wilayah, 2) penguasanya sendiri, 3) kekayaan, dan 4) dapat melakukan tindakan hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bagaimana logikanya unit pelaksana teknis kecamatan yang bukan badan hukum bisa bertukar status dengan desa yang badan hukum? Sebagai analog, kantor departemen agama kabupaten adalah instansi vertikal kementerian agama yang bukan badan hukum otonom sedangkan pemerintah kabupaten adalah badan hukum daerah otonom. Kabupaten tidak bisa bertukar status dengan kantor departemen agama kabupaten atau sebaliknya. Sesat teoritis (Tonnies) karena desa berbasis masyarakat paguyuban (gemeinschaft) sedangkan kelurahan berbasis masyarakat patembayan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
(geselschaft). Masyarakat paguyuban, gemeinschaft, dan masyarakat patembayan (geselschaft) masing-masing mempunyai karakteristik berdasarkan sejarah dan dinamikanya sendiri sehingga tidak bisa dibolak-balik seenaknya melalui prosedur politik dan administrasi. Sesat juridis karena kelurahan adalah bekas perangkat dekonsentrasi yang dibentuk regim Orde Baru di bawah UU No. 5/ 1974 jo. UU No. 5/ 1979 dengan status sebagai agent of local state government kecamatan. Dalam UU No. 32/ 2004 status kelurahan adalah unit pelaksana teknis (UPT) kecamatan sebagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kabupaten/Kota. Dengan demikian, kelurahan adalah bagian dari SKPD Kecamatan. SKPD tidak bisa dirubah menjadi badan hukum komunitas (Desa). | ||
Pasal 13, | Pasal 13 Pemerintah dapat memprakarsai pembentukan Desa di kawasan yang bersifat khusus dan strategis bagi kepentingan nasional. Pasal 14 Pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa menjadi kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, | Mohon Pasal 13 sampai dengan |
Pasal 14, | Pasal 17 dibatalkan dengan | |
Pasal 15, | pertimbangan sebagai berikut. | |
Pasal 16, | ||
dan | Pasal 13 sampai dengan 17 bertentangan | |
Pasal 17 | dengan mandat Pasal 18 B ayat (2) karena | |
norma Pasal 18 B ayat (2) adalah | ||
mengakui dan menghormati obyek | ||
material yang sudah ada sebelum |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 10, dan Pasal 11 atau | kemerdekaan, bukan membentuk desa | |
kelurahan menjadi Desa sebagaimana dimaksud | baru dan memperkuat dan mengatur | |
dalam Pasal 12 ditetapkan dalam Peraturan Daerah. | kembali desa bentukan regim Orde Baru. Mengakui dan menghormati itu ditujukan | |
Pasal 15 | kepada kesatuan masyarakat hukum adat | |
(1)Rancangan Peraturan Daerah tentang | yang masih hidup, perkembangannnya | |
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau perubahan status Desa | sesuai dengan masyarakat modern yang beradab, dan tata kelolanya tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD | |
menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa | 1945, dan peraturan perundang-undangan | |
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang telah mendapatkan persetujuan bersama Bupati/Walikota | yang sah, bukan memperkuat dan menata kembali desa bentukan regim Orde Baru yang bukan kesatuan masyarakat hukum | |
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diajukan | adat. | |
kepada Gubernur. (2)Gubernur melakukan | ||
evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang | ||
pembentukan, penghapusan, | ||
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa | ||
menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa | ||
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) | ||
berdasarkan urgensi, kepentingan nasional, | ||
kepentingan daerah, kepentingan masyarakat | ||
Desa, dan/atau peraturan perundang-undangan. | ||
Pasal 16 (1)Gubernur menyatakan persetujuan terhadap | ||
Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana | ||
dimaksud dalam Pasal 15 paling lama 20 (dua puluh) |
Pasal | Diktum | Permohonan |
hari setelah menerima Rancangan Peraturan Daerah. (2)Dalam hal Gubernur memberikan persetujuan atas Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melakukan penyempurnaan dan penetapan menjadi Peraturan Daerah paling lama 20 (dua puluh) hari. (3)Dalam hal Gubernur menolak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak dapat disahkan dan tidak dapat diajukan kembali dalam waktu 5 (lima) tahun setelah penolakan oleh Gubernur. (4)Dalam hal Gubernur tidak memberikan persetujuan atau tidak memberikan penolakan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 15 dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati/Walikota dapat mengesahkan Rancangan Peraturan Daerah tersebut serta sekretaris daerah mengundangkannya dalam Lembaran Daerah. (5)Dalam hal Bupati/Walikota tidak menetapkan Rancangan Peraturan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Daerah yang telah disetujui oleh Gubernur, Rancangan Peraturan Daerah tersebut dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah tanggal persetujuan Gubernur dinyatakan berlaku dengan sendirinya. Pasal 17 (1) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang pembentukan,penghapus an, penggabungan, dan perubahan status Desa menjadi kelurahan atau kelurahan menjadi Desa diundangkan setelah mendapat nomor registrasi dari Gubernur dan kode Desa dari Menteri. (2) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai lampiran peta batas wilayah Desa. | ||
Pasal 18 | Kewenangan Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa | Mohon Pasal 18 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 18 ini adalah kewenangan atributif, bukan kewenangan berdasarkan norma hukum adat. Padahal norma Pasal 18 B ayat (2) adalah mengakui (erkened) dan menghormati kesatuan masyarakat hukum |
adat yang sudah barang tentu | ||
kewenangannya adalah kewenangan | ||
berdasarkan norma hukum adat, bukan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
kewenangan atributif formal yang dibuat oleh pembuat UU. | ||
Pasal 19 | Kewenangan Desa meliputi: a. kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. b.kewenangan lokal berskala Desa; c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. | Mohon Pasal 19 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Kewenangan yang ditugaskan dan kewenangan lain yang ditugaskan ini jenis kewenangan apa: delegasi atau tugas pembantuan (medebewind)? Kalau delegasi, dari organ mana ke organ mana: Dari pemerintah atasan kepada local self government, dari pemerinth atasan kepada kepada local state government, atau dari pemerintah atasan kepada agent of government? Kalau dari pemerintah atasan kepada local self government, jelas salah karena Desa bukan local self government. Kalau dari pemerintah atasan kepada local state governent, juga salah karena Desa bukan local state government tapi “unit pemerintahan semu” sehingga tidak bisa diberi delegasi oleh pemerintah atasan yang formal. Kalau kepada agent of government, juga salah karena kedudukan Desa juga bukan agent of government sebagaimana kelurahan. Jika penugasan tersebut maksudnya adalah medebewind, juga salah karena tugas pembantuan atau medebewind hanya bisa ditugaskan kepada daerah otonom (local self government) dan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dilaksanakan oleh dinas-dinas daerah otonom sedangkan Desa bukan daerah otonom oleh karena itu tidak mempunyai dinas pelaksana atas urusan yang ditugaskan. Di samping itu, materi kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal ini tidak bisa diidentifikasi dan sangat kabur. | ||
Pasal 25 | Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan yang dibantu oleh perangkat Desa atau yang disebut dengan nama lain. | Mohon Pasal 25 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 25 berisi pengaturan pemerintah desa yang terdiri atas kepala desa dan perangkat desa. Hal ini bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 karena Pasal 18 B ayat (2) memberi mandat kepada Negara untuk mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat. Pasal 25 ini bukan mengakui dan menghormati tapi membuat pengaturan baru atas lembaga desa yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat. |
Pasal 26 | (1) Kepala Desa bertugas menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana | Mohon Pasal 26 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Kewajiban kepala desa yang diatur dalam Pasal 26 ayat (4) ini adalah hak dan kewajiban atributif berdasarkan hukum positif, bukan hak dan kewajiban berdasarkan norma hukum adat. Dengan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berwenang: a. memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Desa; b. mengangkat dan memberhentikan perangkat Desa; c. memegang kekuasaan pengelolaan Keuangan dan Aset Desa; d. menetapkan Peraturan Desa; e. menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa; f. membina kehidupan masyarakat Desa; g. membina ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; h. membina dan meningkatkan perekonomian Desa serta mengintegrasikannya agar mencapai perekonomian skala produktif untuk sebesar- besarnya kemakmuran masyarakat Desa; i. mengembangkan sumber pendapatan Desa; j. mengusulkan dan menerima pelimpahan sebagian kekayaan negara guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; k. mengembangkan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa; l. memanfaatkan teknologi tepat guna; | demikian Pasal ini bertentangan dengan Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945. Pasal ini makin memperjelas bahwa kepala desa bukan kepala kesatuan masyarakat hukum adat tapi kepala satuan birokrasi pemerintahan dengan tugas melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Semua tugas kepala desa sama sekali tidak ada hubungannya dengan adat istiadat dan norma hukum adat. Menurut Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxxxxx (1908), Ter Haar (1933, 2013), Xxxxx Xxxxxxxxxx (2006), ILO Convention No. 169 tahun 1989, dan Deklarasi PBB tahun 2007 tentang Kesatuan Masyarakat Hukum Adat, kesatuan masyarakat hukum adat adalah komunitas organik yang terikat dan mematuhi hukum adat. Ciri-cirinya sebagai berikut. 1. Komunitas organik yang peri kehidupannya terikat dan mematuhi hukum adat; 2. Mempunyai pemerintahan adat sebagai instrumen melaksanakan hukum adat; 3. Mempunyai tanah pusaka sebagai tempat penghidupannya (beschikkingrech); |
Pasal | Diktum | Permohonan |
m.mengoordinasikan Pembangunan Desa secara partisipatif; n. mewakili Desa di dalam dan di luar pengadilan atau menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan (3) melaksanakan wewenang lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berhak: a. mengusulkan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa; b. mengajukan rancangan dan menetapkan Peraturan Desa; c. menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan; d. mendapatkan pelindungan hukum atas kebijakan yang dilaksanakan; dan e. memberikan mandat pelaksanaan tugas dan kewajiban lainnya kepada perangkat Desa. o. undangan. (4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Desa berkewajiban: | 4. Mempunyai batas-batas yang jelas atas keberlakukan hukum adat pada komunitasnya (adatrecht kringen/adatrecht gouw); 5. Mempunyai benda-benda materiil dan non materiil serta mempunyai benda- benda magic yang dikeramatkan; 6. Komunitasnya tertutup bagi komunitas luar; dan 7. Mengatur pemerintahannya sendiri berdasarkan hukum adat yang tidak tertulis, tidak berdasarkan hukum positif. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika; b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; c. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa; d. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; e. melaksanakan kehidupan demokrasi dan berkeadilan gender; f. melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme; g. menjalin kerja sama dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Desa; h. menyelenggarakan administrasi Pemerintahan Desa yang baik; i. mengelola Keuangan dan Aset Desa; j. melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa; |
Pasal | Diktum | Permohonan |
k. menyelesaikan perselisihan masyarakat di Desa; l. mengembangkan perekonomian masyarakat Desa; m. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat Desa; n. memberdayakan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan di Desa; o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup; dan p. memberikan informasi kepada masyarakat Desa. | ||
Pasal 27 | Dalam melaksanakan tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Kepala Desa wajib: a. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa setiap akhir tahun anggaran kepada Bupati/Walikota; b. menyampaikan laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pada akhir masa jabatan kepada Bupati/Walikota; c. memberikan laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada Badan Permusyawaratan Desa setiap akhir tahun anggaran; dan | Mohon Pasal 27 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 27 mempertegas bahwa tugas, kewenangan, hak, dan kewajiban kepala desa tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang dijadikan payung konstitusi Pasal ini. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
d. memberikan dan/atau menyebarkan informasi penyelenggaraan pemerintahan secara tertulis kepada masyarakat Desa setiap akhir tahun anggaran. | ||
Pasal 28 | (1) Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dan Pasal 27 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian. | Mohon Pasal 28 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 28 adalah pengaturan Negara yang tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang dijadikan payung konstitusi UU No. 6/ 2014. |
Pasal 29 | Kepala Desa dilarang: a. merugikan kepentingan umum; b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya; d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa; f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, | Mohon Pasal 29 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 29 adalah pengaturan Negara yang tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang dijadikan payung konstitusi UU No. 6/ 2014. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menjadi pengurus partai politik; h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan- undangan; j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah; k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan l. meninggalkan tugas selama 30 (tiga puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. | ||
Pasal 30 | Pasal 30 (1) Kepala Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud | Mohon Pasal 30 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dalam Pasal 29 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian. | Pasal 30 adalah pengaturan Negara yang tidak ada hubungannya dengan kesatuan masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud Pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang dijadikan payung konstitusi UU No. 6/ 2014. | |
Pasal 31 | (1) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Kabupaten/Kota. (2) Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota menetapkan kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Kepala Desa serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. | Mohon Pasal 31 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 31 adalah pengaturan Negara berdasarkan hukum positif, bukan berdasarkan norma hukum adat. Pengaturan ini adalah kelanjutan kebijakan Gubernur Jenderal Xxxxxxx di bawah Xxxaturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 jo. Revenue Instruction 1814, ketika memberlakukan kebijakan sewa/pajak tanah, land rente. Tujuan Xxxxxxx membuat kebijakan ini adalah untuk memutus hubungan feodal antara kepala desa lama dengan bupati. Melalui pemilihan langsung, kepala desa lama yang umumnya orang yang ditunjuk oleh keluarga raja/ bupati untuk menjadi patuh/ bekel/ lurah dalam rangka mengumpulkan upeti yang kemudian disetorkan kepada keluarga raja/ bupati tersebut tersingkirkan karena yang terpilih adalah jagoan-jagoan |
Pasal | Diktum | Permohonan |
desa yang berani menyukseskan bayar sewa tanah kepada Pemerintahan Raffles. Kebijakan ini lalu diperkuat dengan Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, dan 14, dan Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005. Jadi, berdasarkan fakta historis dan juridis, Xxxxxxxx langsung ini bukan adat istiadat rakyat desa tapi kebijakan pemerintah kolonial yang diteruskan Pemerintah RI yang semula ditujukan untuk mencari orang desa yang paling berpengaruh dan berani menyukseskan pembayaran pajak tanah kepada pemerintah pusat, bukan menciptakan sistem pemerintahan demokrasi di desa. Oleh karena itu, yang terjadi di lapangan sampai hari ini, Xxxxxxxx identik dengan jor-joran pesta open house gratis antarcalon selama tiga-enam bulan menjelang pemilihan dan jor-joran beli suara antarcalon dan budaya judi Pilkades pada penduduk desa yang berakhir pada terpilihnya kepala desa dari orang desa yang paling kuat bayar suara dan ditakuti. Contoh, di Kecamatan Karang Anyar dan Gajah Kabupaten Demak, Jawa Tengah pemenang Pilkades tahun 2009 menghabiskan uang satu milyar. Menurut Sekretaris Asosiasi Pemerintah Desa saat |
Pasal | Diktum | Permohonan |
FGD di LAN, pemenang Pilkades tahun 2012 di Kabupaten Karawang Jawa Barat menghabiskan uang 2 milyar. Kompas membuat berita di halaman pertama tanggal …. Desember 2021 kepala desa yang menang di Kabupaten Cirebon menghabiskan uang 7 milyar. | ||
Pasal 32 | (1) Badan Permusyawaratan Desa memberitahukan kepada Kepala Desa mengenai akan berakhirnya masa jabatan Kepala Desa secara tertulis 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. (2) Badan Permusyawaratan Desa membentuk panitia pemilihan Kepala Desa. (3) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat mandiri dan tidak memihak. (4) Panitia pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas unsur perangkat Desa, lembaga kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat Desa. | Mohon Pasal 32 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 32 menunjukkan bahwa mekanisme pengisian kepala desa bukan berdasarkan norma hukum adat tapi berdasarkan norma baru bentukan pembuat UU No. 6/ 2014 dan PP No. 43/ 2014 yang bersumber dari Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Raffles 1814, IGO 1906, Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005. Dalam norma hukum adat tidak ada mekanisme demikian. |
Pasal 33 | Calon Kepala Desa wajib memenuhi persyaratan: a. warga negara Republik Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara | Mohon Pasal 33 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 33 menunjukkan bahwa syarat menjadi kepala desa bukan berdasarkan norma hukum adat tapi norma baru bentukan pembuat UU No. 6/ 2014 yang |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun pada saat mendaftar; f. bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; g. terdaftar sebagai penduduk dan bertempat tinggal di Desa setempat paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; h. tidak sedang menjalani hukuman pidana penjara; i. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali 5 (lima) tahun setelah selesai menjalani pidana penjara dan mengumumkan secara jujur dan terbuka kepada publik bahwa yang bersangkutan pernah dipidana serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang-ulang; j. tidak sedang dicabut hak pilihnya sesuai dengan putusan pengadilan yang | bersumber dari UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004 dan peraturan pelaksanaannya. Dalam norma hukum adat tidak ada persyaratan yang rumit demikian. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
telah mempunyai kekuatan hukum tetap; k. berbadan sehat; l. tidak pernah sebagai Kepala Desa selama 3 (tiga) kali masa jabatan; dan m. syarat lain yang diatur dalam Peraturan Daerah. | ||
Pasal 34 | (1) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa. (2) Pemilihan Kepala Desa bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. (3) Pemilihan Kepala Desa dilaksanakan melalui tahap pencalonan, pemungutan suara, dan penetapan. (4) Dalam melaksanakan pemilihan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibentuk panitia pemilihan Kepala Desa. (5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bertugas mengadakan penjaringan dan penyaringan bakal calon berdasarkan persyaratan yang ditentukan, melaksanakan pemungutan suara, menetapkan calon Kepala Desa terpilih, dan melaporkan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. (6) Biaya pemilihan Kepala Desa dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. | Mohon Pasal 34 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 34 mengatur model pemilihan kepala desa yang sangat bergaya Barat. Model ini adalah kelanjutan dari Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, dan 14, Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dan peraturan pelaksanaannya. Jadi, model pemilihan kepala desa ini tidak ada sangkutnya dengan norma hukum adat. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 35 | Penduduk Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang pada hari pemungutan suara pemilihan Kepala Desa sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah ditetapkan sebagai pemilih. | Mohon Pasal 35 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 35 ini hanyalah kelanjutan dari Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 jo. Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, dan 14, dan Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dan peraturan pelaksanaannya yang tidak ada hubungannya dengan norma hukum adat. |
Pasal 36 Ayat (1) Ayat (2) Ayat (3) | (1)Bakal calon Kepala Desa yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ditetapkan sebagai calon Kepala Desa oleh panitia pemilihan Kepala Desa. (2)Calon Kepala Desa yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan kepada masyarakat Desa di tempat umum sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa. (3)Calon Kepala Desa dapat melakukan kampanye sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa dan ketentuan peraturan perundang-undangan. | Mohon Pasal 36 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 36 ini hanyalah kelanjutan dari Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 jo. Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, dan 14, dan Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dan peraturan pelaksanaannya yang tidak ada hubungannya dengan norma hukum adat. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 37 | (1) Calon Kepala Desa yang dinyatakan terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak. (2)Panitia pemilihan Kepala Desa menetapkan calon Kepala Desa terpilih. (3)Panitia pemilihan Kepala Desa menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah penetapan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4)Badan Permusyawaratan Desa paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima laporan panitia pemilihan menyampaikan nama calon Kepala Desa terpilih kepada Bupati/Walikota. (5)Xxxxxx/Walikota mengesahkan calon Kepala Desa terpilih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi Kepala Desa paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya penyampaian hasil pemilihan dari panitia pemilihan Kepala Desa dalam bentuk keputusan Bupati/Walikota. (6)Dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilihan Kepala Desa, Bupati/Walikota wajib menyelesaikan perselisihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | Mohon Pasal 37 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 37 ini hanyalah kelanjutan dari Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 jo. Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, dan 14, dan Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dan peraturan pelaksanaannya yang tidak ada hubungannya dengan norma hukum adat. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 38 | (1) Calon Kepala Desa terpilih dilantik oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah penerbitan keputusan Bupati/Walikota. (2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa terpilih bersumpah/berjanji. (3) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai berikut: “Demi Allah/Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik- baiknya, sejujur- jujurnya, dan seadil- adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta melaksanakan segala peraturan perundang- undangan dengan selurus-lurusnya yang berlaku bagi Desa, daerah, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. | Mohon Pasal 38 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 38 ini hanyalah kelanjutan dari Peraturan Letnan Gubernur Jenderal Tahun 1814 jo. Stbl 1818 No. 15, dan Stbl. 1819 No. 5, 6, 10, dan 14, dan Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 22/ 1999, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dan peraturan pelaksanaannya yang tidak ada hubungannya dengan norma hukum adat. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 39 | (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut atau tidak secara berturut- turut. | Mohon Pasal 39 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 39 yang mengatur kepala desa bisa menjabat tiga kali masa jabatan secara berturut atau tidak berturut-turut mengingkari asas-asas pemerintahan demokratis. Salah satu asas pemerintahan demokratis adalah pembatasan periode masa jabatan. Periode masa jabatan di seluruh negara demokrasi paling banyak dua periode masa jabatan, kecuali di negara totaliter atau negara demokrasi- demokrasian. Pasal ini diindikasikan merupakan konspirasi anggota DPR dengan para kepala desa dan moral hazard anggota DPR. Dalam konspirasi ini, kepala desa menginginkan masa jabatannya seumur hidup sebagaimana diatur dalam Stbl. 1907 No. 212 yang berlaku sampai dengan tahun 1980-an sedangkan anggota DPR menginginkan kepala desa mengerahkan rakyatnya memilihnya dalam Pemilu 2014. Di sini tampak moral hazard anggota DPR yang mengorbankan nilai demokrasi untuk kepentingan pribadi jangka pendek daripada menjunjung tinggi nilai demokrasi untuk memantapkan sistem NKRI. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 | Pasal 40 (1) Kepala Desa berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan. (2) Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: a. berakhir masa jabatannya; b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon Kepala Desa; atau d. melanggar larangan sebagai Kepala Desa. (3) Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Xxxxxx/Walikota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. | Mohon Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 40 sampai dengan Pasal 47 ini hanyalah penyempurnaan Peraturan Letnen Jenderal 1814, Stbl. 1907 No. 212, Osamu Seirei No. 7/ 1944, UU No. 14/ 1946, UU No. 5/ 1979, UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 yang tidak ada hubungannya dengan norma hukum adat. |
Pasal 41 Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Xxxxxx/Walikota setelah dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun berdasarkan register perkara di pengadilan. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Pasal 42 Kepala Desa diberhentikan sementara oleh Xxxxxx/Walikota setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara. Pasal 43 Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diberhentikan oleh Xxxxxx/Walikota setelah dinyatakan sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 44 (1) Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 setelah melalui proses peradilan ternyata terbukti tidak bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penetapan putusan pengadilan diterima oleh Kepala Desa, Bupati/Walikota merehabilitasi dan mengaktifkan kembali Kepala Desa yang bersangkutan sebagai Kepala Desa sampai dengan akhir masa jabatannya. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
(2) Apabila Kepala Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir masa jabatannya, Bupati/Walikota harus merehabilitasi nama baik Kepala Desa yang bersangkutan. Pasal 45 Dalam hal Kepala Desa diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, sekretaris Desa melaksanakan tugas dan kewajiban Kepala Desa sampai dengan adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pasal 46 (1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 tidak lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa sampai dengan terpilihnya Kepala Desa. (2) Penjabat Kepala Desa melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. Pasal 47 |
Pasal | Diktum | Permohonan |
(1) Dalam hal sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 lebih dari 1 (satu) tahun, Bupati/Walikota mengangkat pegawai negeri sipil dari Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai penjabat Kepala Desa. (2) Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan ditetapkannya Kepala Desa. (3) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih melalui Musyawarah Desa yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. (4)Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak Kepala Desa diberhentikan. (5)Kepala Desa yang dipilih melalui Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melaksanakan tugas Kepala Desa sampai habis sisa masa jabatan Kepala Desa yang diberhentikan. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Musyawarah Desa sebagaimana |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. | ||
Pasal 48 sampai dengan Pasal 53 | Pasal 48 Perangkat Desa terdiri atas: a. sekretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana teknis. | Mohon Pasal 48 sampai dengan Pasal 53 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. |
Pasal 48 sampai dengan Pasal 53 adalah | ||
Pasal 49 (1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 bertugas membantu Kepala Desa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. (2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Kepala Desa setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Xxxxxx/Walikota. (3) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Kepala Desa. | menjiplak mentah-mentah UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005 dimana UU No. 5/ 1979 menjiplak pemerintahan ku28 zaman Jepang. Pengaturan ini harus ditolak karena, 1) tidak berdasarkan norma hukum adat; dan 2) status perangkat desa tidak jelas: bukan perangkat pemerintahan adat, bukan PNS, bukan P3K, bukan pegawai honorer pemerintah/ pemda, bukan pekerja/ buruh dan bukan pengurus kesatuan masyarakat hukum adat. | |
Pasal 50 (1) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 diangkat dari warga Desa yang memenuhi persyaratan: |
28 Pemerintahan pendudukan Jepang merubah pemerintahan adat, volksgemeenschappen, menjadi pemerintahahan ku. Ku dikepalai oleh Xxxxxx. Kuchoo dibantu oleh juru tulis, lima mandor, polisi desa, dan amil. Masa jabatan Kuchoo empat tahun. Ku tetap dibiarkan sebagai komunitas yang dikooptasi dan dimobilisasi Negara. Di bawah Ku dibentuk Aza (sekarang RW) dan di bawah Aza dibentuk Tonarigumi (sekarang RT) (Xxxx Xxxxxxxx, 1988).
Pasal | Diktum | Permohonan |
a. berpendidikan paling rendah sekolah menengah umum atau yang sederajat; b. berusia 20 (dua puluh) tahun sampai dengan 42 (empat puluh dua) tahun; c. terdaftar sebagai penduduk Desa dan bertempat tinggal di Desa paling kurang 1 (satu) tahun sebelum pendaftaran; dan d. syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (1) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 51 Perangkat Desa dilarang: a. merugikan kepentingan umum; b. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu; c. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya; d. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu; |
Pasal | Diktum | Permohonan |
e. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat Desa; f. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; g. menjadi pengurus partai politik; h. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang; i. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan- undangan; j. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah; k. melanggar sumpah/janji jabatan; dan meninggalkan tugas selama 60 (enam puluh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas |
Pasal | Diktum | Permohonan |
dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 52 (1) Perangkat Desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2) Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan, dilakukan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian. Pasal 53 (1) Perangkat Desa berhenti karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; atau c. diberhentikan. (2) Perangkat Desa yang diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: a. usia telah genap 60 (enam puluh) tahun; b. berhalangan tetap; c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai perangkat Desa; atau d. melanggar larangan sebagai perangkat Desa. (3) Pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Desa |
Pasal | Diktum | Permohonan |
setelah dikonsultasikan dengan Camat atas nama Xxxxxx/Walikota. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberhentian perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. | ||
Pasal 54 | (1) Musyawarah Desa merupakan forum permusyawaratan yang diikuti oleh Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat Desa untuk memusyawarahkan hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. (2) Hal yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. penataan Desa; b. perencanaan Desa; c. kerja sama Desa; d. rencana investasi yang masuk ke Desa; e. pembentukan BUM Desa; f. penambahan dan pelepasan Aset Desa; dan g. kejadian luar biasa. (3) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling kurang sekali dalam 1 (satu) tahun. (4) Musyawarah Desa sebagaimana dimaksud | Mohon Pasal 54 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. Pasal 54 adalah pembentukan lembaga baru yang tidak berdasarkan norma hukum adat dan juga tidak diatur dalam UU No. 5/ 1979 jo. UU No. 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004, dan PP No. 72/ 2005. Lembaga baru ini hanya kemauan sepihak pembuat UU. |
Pasal | Diktum | Permohonan |
pada ayat (1) dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. | ||
Pasal 55 | Pasal 55 | Mohon Pasal 55 sampai dengan |
sampai dengan | Badan Permusyawaratan Desa mempunyai fungsi: a. membahas dan | Pasal 65 dibatalkan dengan pertimbangan sebagai berikut. |
Pasal 65 | menyepakati Rancangan Peraturan | |
Desa bersama Kepala Desa; b. menampung dan menyalurkan aspirasi | Pasal 55 sampai dengan Pasal 65 adalah pembentukan lembaga baru yang bersumber dari UU No. 5/ 1979 jo. UU No. | |
masyarakat Desa; dan c. melakukan pengawasan | 22/ 1999 jo. UU No. 32/ 2004, dan PP No. | |
kinerja Kepala Desa. Pasal 56 (1) Anggota Badan Permusyawaratan Desa | 72/ 2005, tidak bersumber dari norma hukum adat. Cikal bakal lembaga ini adalah Lembaga Musyawarah Desa | |
merupakan wakil dari penduduk Desa | (LMD) yang dibuat oleh regim Xxxxxxxx di | |
berdasarkan keterwakilan wilayah yang pengisiannya dilakukan secara | bawah UU No. 5/ 1979. LMD kemudian bermetamorfose menjadi Badan Perwakilan Desa (UU No. 22/ 1999) lalu | |
demokratis. (2) Masa keanggotaan | menjadi Badan Permusyawaratan Desa | |
Badan Permusyawaratan Desa selama 6 (enam) | (UU No. 32/ 2004). | |
tahun terhitung sejak tanggal pengucapan | ||
sumpah/janji. (3) Anggota Badan | ||
Permusyawaratan Desa sebagaimana dimaksud | ||
pada ayat (1) dapat dipilih untuk masa | ||
keanggotaan paling banyak 3 (tiga) kali | ||
secara berturut-turut atau tidak secara berturut- | ||
turut. | ||
Pasal 57 |
Pasal | Diktum | Permohonan |
Persyaratan calon anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah: a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; b. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika; c. berusia paling rendah 20 (dua puluh) tahun atau sudah/pernah menikah; d. berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah pertama atau sederajat; e. bukan sebagai perangkat Pemerintah Desa; f. bersedia dicalonkan menjadi anggota Badan Permusyawaratan Desa; dan g. wakil penduduk Desa yang dipilih secara demokratis. Pasal 58 (1) Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Desa ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan |