TESIS (S-2) DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH
“MANAJEMEN HUBUNGAN ANTAR PEMERINTAHAN DALAM KEBIJAKAN PEMBERIAN BANTUAN KEUANGAN DAERAH OLEH PROVINSI SULAWESI SELATAN KE KABUPATEN TANATORAJA, TORAJA UTARA DAN KOTA PARE-PARE”
TESIS (S-2)
DISUSUN DAN DIAJUKAN OLEH
MUH. XXXXX E062 19 1 003
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2022
“MANAJEMEN HUBUNGAN ANTARPEMERINTAHAN DALAM KEBIJAKAN PEMBERIAN BANTUAN KEUANGAN DAERAH OLEH PROVINSI SULAWESI SELATAN KE KABUPATEN TANATORAJA, TORAJA UTARA DAN KOTA PARE-PARE”
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar magister
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Disusun Dan Diajukan Oleh:
MUH. XXXXX E062 19 1 003
Kepada
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2022
ABSTRACT
MUH. XXXXX. Management of Inter-Level Government Relations in the Policy of Providing Regional Financial Aid by South Sulawesi Province to Tanatoraja Regency, North Toraja and Pare-Pare City (supervised by Xxxxxxxx and X. Xxxxxx Xxxxx). This study aims to examine and analyze the management of intergovernmental relations in the implementation of regional financial assistance policies in South Sulawesi.
To achieve this goal, qualitative research methods are used by utilizing descriptive data. Data collection techniques used are observation, interviews, as well as documents and archives. The data were analyzed using qualitative descriptive analysis techniques.
The results of the study indicate that Financial Aid is South Sulawesi Provincial Government Assistance to Regency/City Governments and/or Village Governments in the form of money allocated to indirect expenditures in the context of equity and/or improvement of financial capacity. Financial assistance sourced from the South Sulawesi Provincial APBD is general and specific in nature and can be budgeted in accordance with the regional financial capacity after prioritizing the fulfillment of mandatory and optional government affairs, development priorities and expenditure allocations required by legislation. The provision of financial assistance is used to overcome fiscal gaps, assist in the implementation of regional affairs in Provinces/Regencies/Cities and villages for which no allocation of funds is available. The province wants an even distribution of development in every regency/city to answer the gaps that exist in the community and reduce the problem of the regional fiscal burden in the regency/city. The Provincial Government also wants to take a more role in the development of the Regency/City by showing that the Priority Program can be accommodated through the Regional Financial Assistance Policy, of course this is inseparable from the idea that it wants to restore the influence of the Province in the Regency City through this policy. The management of intergovernmental relations within the framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia, which is covered in a decentralized system of overlapping authority models and the reality of the model of intergovernmental relations born of this policy, is the dominance of policy politics between levels of government.
Keywords: Intergovernmental Relations Management, Financial Aid.
ABSTRAK
MUH. XXXXX. Manajemen Hubungan Antar Level Pemerintahan Dalam Kebijakan Pemberian Bantuan Keuangan Daerah Oleh Provinsi Sulawesi Selatan Ke Kabupaten Tanatoraja, Toraja Utara Dan Kota Pare-Pare (dibimbing oleh Xxxxxxxx dan X. Xxxxxx Xxxxx). Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis Manajemen hubungan antarpemerintahan dalam pelaksanaan kebijakan bantuan keuangan daerah di Sulawesi Selatan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metode penelitian kualittatif dengan memanfaatkan data deskriptif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, serta dokumen dan arsip. Data dianalisis dengan teknik analisis deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bantuan Keuangan adalah Bantuan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau Pemerintah Desa dalam bentuk uang yang dialokasikan pada belanja tidak langsung dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan. Bantuan keuangan yang bersumber dari APBD Provinsi Sulawesi Selatan bersifat umum dan bersifat khusus dapat dianggarkan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah setelah memprioritaskan pemenuhan urusan pemerintahan wajib dan pilihan, prioritas pembangunan serta alokasi belanja yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan. Pemberian bantuan keuangan digunakan untuk mengatasi kesenjangan fiskal, membantu pelaksanaan urusan daerah Provinsi/Kabupaten/Kota dan desa yang tidak tersedia alokasi dananya. Provinsi menginginkan adanya pemerataan pembangunan di setiap Kabupaten/kota untuk menjawab kesejangan yang ada ditengah masyarakat dan mengurangi permasalahan beban fiscal daerah di Kabupaten/Kota. Pemerintah Provinsi juga ingin mengambil peran lebih dalam pembangunan di Kabupaten/Kota dengan menampakan Program Prioritas dapat terakomodasi melalui Kebijakan bantuan keuangan daerah, tentu hal ini tidak terlepas dari pemikiran yang ingin mengembalikan pengaruh Provinsi di Kabupaten Kota melalui kebijakan ini. Manejemen hubungan antar Pemerintahan yang didalam keragka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang tercover dalam system desentraslisasi model tumpang tindih kewenangan serta adanya realitas model hubungan antar pemerintahan yang lahir dari kebijakan ini yaitu dominannya politik kebijakan antar level pemerintahan.
Keywords: Manajemen Hubungan antarpemerintahan, Bantuan Keuangan.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT yang telah memberikan kesehatan, kesempatan sehingga bisa menyelesaikan Tesis judul “Manajemen Hubungan Antar Level Pemerintahan Dalam Kebijakan Pemberian Bantuan Keuangan Daerah Oleh Provinsi Sulawesi Selatan Ke Kabupaten Tanatoraja, Toraja Utara Dan Kota Pare-Pare” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Hasanuddin. tak lupa pula penulis kirimkan xxxxxxxx xxxxx atas junjungan Xxxx Xxxxxxxx XXX, yang telah membawa kita dari alam yang gelap menuju alam yang terang benderang seperti sekarang kita. Dalam Kesempatan kali ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua, Xxxxxxxx Xxxxx (Purn) Xxxxx dan Ibunda ST. Xxxxxxxxx dengan penuh kasih sayang, serta ketulusan hati tanpa pamrih memberikan bantuan materil dan moril, selalu memberi semangat, berkat kekuatan doa luar biasa yang setiap saat beliau haturkan kepada penulis agar selalu mencapai kemudahan di segala urusan, diberi kesehatan dan perlindungan oleh Allah SWT.
Tesis ini tidak selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak dan oleh karena itu maka melalui kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Xx. Xx. Xxxxxxxxxx Xxxxx, X.Xx., selaku Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan Magister (S-2) di Universitas Hasanuddin.
2. Bapak Dr. Phil. Sukri., X.Xx. selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya yang telah banyak memberikan bantuan serta masukan kepada penulis
3. Ibu Prof. Dr. Xx. Xxxxxxxx, X.Xx selaku ketua Program Studi Magister ilmu pemerintahan fakultas ilmu sosial dan Ilmu pilitik dan seluruh staf pegawai di lingkungan Prodi Ilmu Pemerintahan atas segala saran dan masukan yang diberikan pada penulis selama perkuliaha
4. Ibu Prof. Dr. Xx. Xxxxxxxx, X.Xx dan Bapak Xx. X. Xxxxxx Xxxxx.,S.IP.,X.Xx selaku Pembimbing penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Hasanuddin yang telah rela mengorbankan waktunya untuk membimbing penulis, memberi arahan, saran, dan kritikan terhadap penyusunan Tesis ini .
5. Para tim penguji Bapak Prof. Dr. Xxxxxxxx, X.Xx., Xxxxx Xx. Xxxxxx Xxx., X.Xx dan Bapak Xx. X. Xxxxxxxxxx Xxxxxx, X.Xx yang telah banyak memberikan masukan dan saran dalam upaya penyempurnaan Tesis ini.
6. Seluruh Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Pemerintahan, Bapak Xxxx. Xx.
Xxxxxx Xxxxxx.,X.Xx, Ibu Prof. Xx. Xxxxxxxx.,X.Xx, Bapak Xxxx. Xx. Xxxxxx Xxxxx.,X.Xx, Ibu Xxxx. Xx. Xxxxxxx Xxxxx.,X.Xx, Bapak Dr. H. A. M. Xxxxx.,X.Xx, Bapak Xx. X. Xxxxxxxxxx Xxxxxx.,X.Xx, Xxxxx Xx Xxxxxx Xxx.,X.Xx, Ibu Xx. Xxxxx Xxxxxx.,X.Xx, Bapak Xx. X. Xxxxxx Xxxxx.,S.IP.,X.Xx. terima kasih atas ilmu yang telah diberikan dan semoga bermanfaat bagi penulis
7. Seluruh Pengawai/Staf Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, yang telah memberikan ilmu, nasehat, melayani urusan administrasi dan bantuan lainnya.
8. Xxxxxx Xxxxx kepada Xxxxxxx informan penulis serta semua yang terlibat dalam pengumpulan data maupun informasi yang menunjang penelitian ini.
9. Kepada Saudara kandung Penulis yang sangat dicintai dan disayangi Xxxxxxx Xxxxx, X.Xx., M.Kes., terima kasih telah memberikan motivasi, dan selalu memberi semangat, dukungan dan materiil serta senantiasa menhaturkan doa dari dulu hingga saat ini yang tiada hentinya.
Akhir kata, penulis mengucapkan permohonan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan. Xxxxxx Xxxxx, Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Makassar, 22 Agustus 2022
MUH. XXXXX
DAFTAR ISI
SAMPUL i
HALAMAN PENGESAHAN iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS iv
........................................................................... 13
........................................................................... 14
........................................................................ 14
................................................................................................. 16
1.1.1. Pengertian Intergovermental Management (IGM) 16
1.1.2. Presfektif Intergovermental Management (IGM) dalam hubungan Antar Pemerintahan 25
1.1.3. Dimensi-Dimensi Intergovermental Management (IGM) 47
2.1.4. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia 64
............................................................................. 86
BAB III 88
METODE PENELITIAN 88
3.1 PENDEKATAN DAN JENIS PENELITIAN 88
3.2 LOKASI PENELITIAN 90
3.3 FOKUS PEXXXXXXXX
............................................................................. 91
3.4 INFORMAN PEXXXXXXXX
...................................................................... 92
3.5 SUMBER DATA 93
3.6 TEKNIK PENGUMPULAN DATA
........................................................... 93
3.6.1 Wawancara 96
3.6.2 Dokumentasi 97
3.6.3 Observasi 98
3.7 ANALISIS DATA 98
BAB IV 101
HASIL DAN PEMBAHASAN 101
4.1. Gambaran Umum Provinsi Sulawesi Selatan 101
4.1.1. Aspek Geografis dan pengembangan wilayah Provinsi Sulawesi Selatan 101
4.1.2. Visi dan Misi Provinsi Sulawesi Selatan 112
4.1.3. Gambaran Keuangan Daerah 113
4.1.4. Bonus Demografi 120
4.1.5. Isu Strategis Daerah 121
4.2. Hasil Penelitian 129
4.2.1. Penetapan Kebijakan Bantuan Keuangan Daerah oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 130
a. Realisasi Penyelenggaraan Bantuan Keuangan Daerah di Sulawesi Selatan 137
4.2.2. Model Kerjasama Antar Level Pemerintahan dalam Kebijakan Bantuan Keuangan Daerah di Sulawesi Selatan 143
BAB V 181
PENUTUP 181
5.1. Kesimpulan 181
5.2. Saran 183
DAFTAR PUSTAKA 184
BAB I
1.1 LATAR BELAKANG
PENDAHULUAN
Sistem pemerintahan daerah di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945, secara jelas mengatur adanya pembagian daerah dengan susunan pemerintahannya yang bersifat otonom ditetapkan dengan Undang- Undang. Istilah bersifat otonom ini, memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur, mengurus serta menyelenggarakan sendiri urusan pemerintahan menurut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan atau medebewind. Hal ini ditekankan agar terwujudnya tingkat kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan
dan peran serta dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan sehingga dapat terwujud pemerataan pembangunan, sebagaimana fungsi pemerintahan disegala sector yang dapat mewujudkan daerah yang mandiri sesuai dengan tujuan otonom. Pemerintah daerah dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, kecuali urusan pemerintahan bersifat konkuren yang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, hal ini sangat jelas bahwa desentralisasi telah dilaksanakan dalam tataran normative dengan seluas-luasnya. (conlan & Xxxxxx, Xxxx X, 2008)
Tantangan-tantangan dalam system desentralisasi akan menguji kapasitas, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi sistem management antar level pemerintahan. Rancangan dan pengelolaan program antar level pemerintahan menjadi lebih penting bagi pencapaian tujuan nasional di banyak bidang. Bentuk tindakan kolektif negara bagian dan lokal yang muncul juga akan berdampak pada tujuan nasional baik dari negara bagian yang telah mengorganisir untuk mencapai tujuan bersama di bidang-bidang seperti merampingkan kebijakan dan administrasi pajak penjualan atau dari daerah lokal yang telah menghidupkan kembali regionalisme untuk mengatasi limpahan dan mencapai hasil kebijakan yang lebih seragam di seluruh wilayah regional.
Konstruksi pengaturan perwilayahan dan hierarkis kewenangan dalam urusan pemerintahan, kebijakan dan pembangunan yang diatur di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjabarkan bahwa provinsi dan kabupaten/kota sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi. Pengaturan sedemikian ini berarti bahwa antara provinsi dengan kabupaten dan kota mempunyai keterkaitan, hubungan hirarkis satu sama lain, baik dalam arti status kewilayahan maupun dalam sistem dan prosedur penyelenggaraan pemerintahan.
Seiring dengan itu, kapasitas sistem management antar level pemerintahan untuk menilai dan merespons perkembangan ini secara sistematis juga akan diuji. Memantau kinerja dan kapasitas sistem yang beragam, mitra antar pemerintah selalu menjadi tantangan. Karena pentingnya dan relevansi manajemen antar level pemerintah menjadi lebih sentral untuk lebih banyak bidang kebijakan, memperoleh pemahaman yang sistematis dan kredibel tentang tren dalam kapasitas fiskal, program, dan administratif sistem menjadi lebih penting. (conlan & Xxxxxx, Xxxx X, 2008)
Adanya hegemony bahwa provinsi dengan kabupaten/kota terlepas satu sama lain mengingkari prinsip-prinsip sebagai negara kesatuan dan UUD 1945, yang secara jelas telah diatur secara sistematik antara masing-masing tingkat pemerintahan dalam UUD 1945 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Menyadari hal itu, maka perlu memahami prinsip Otonomi daerah secara mendalam, Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat menerima pelimpahan wewenang di bidang pemerintahan umum dan pelimpahan wewenang urusan teknis Pemerintah Pusat. Provinsi mempunyai kedudukan sebagai daerah otonom sekaligus adalah wilayah
administrasi yaitu wilayah kerja Gubernur untuk melaksanakan fungsi-fungsi kewenangan yang dilimpahkan kepadanya.
Dalam menjaga system yang terintergasi satu sama lain, dalam hubungan antar level management Pemerintahan, dibutuhkan plan and action kebijakan antar level Pemerintahan yang muaranya adalah setiap kebijakan yang ada dikedua level management Pemerintahan ini dapat saling mendukung satu sama lain baik dari kebijakan fiscal maupun regulasi dari kedua level pemerintahan yang ada. Beberapa wilayah regional atau Provinsi telah mengeluarkan kebijakan atau program Bantuan Keuangan kepada daerah bawahanya atau untuk wilayah Kabupaten dan Kota, tujuannya menstimulus pemerataan pembangunan di berbagai wilayah Kabupaten dan Kota disesuaikan dengan kebutuhan dari kedua level Pemerintahan tersebut. Peterson et. Al lebih lanjut menggambarkan Pemerintah federal menggunakan hibah "untuk mempengaruhi perilaku pemerintah negara bagian dan lokal sedemikian rupa untuk mempromosikan realisasi tujuannya sendiri." Tindakan sederhana menawarkan hibah atau bantuan, terutama bantuan kategoris untuk tujuan tertentu, menominasikan item kepentingan federal untuk perhatian politik lokal. Hibah atau bantuan dapat menstimulus penyelesaian masalah lokal dengan cara yang baik tentang tujuan dan keseimbangan yang tepat di antara prioritas yang bersaing. Hibah atau bantuan federal pada dasarnya memulai negosiasi antar pemerintah yang
diperluas mengenai kedua tujuan dan sarana.
Salah satu cara hibah atau bantuan mempengaruhi pemilihan tujuan negara bagian dan lokal adalah dengan menurunkan biaya tujuan tertentu, tetapi hibah federal tampaknya bekerja paling kuat dengan cara lain, yaitu mereka mengidentifikasi, memperkuat, dan kadang-kadang bahkan menciptakan mitra tujuan lokal. Dengan mengajukan hibah, negara bagian dan lokalitas menunjukkan minat bersama mereka dalam masalah yang menyangkut pemerintah federal.
Ketersediaan hibah atau bantuan memperkuat posisi tawar di Pemerintahan lokal dalam upaya pengelolaan sumber daya lokal, dan tenggat waktu hibah atau bantuan memberi mitra tujuan lokal alasan untuk mengangkat masalah ke dalam agenda aksi local atau program pemerintah lokal.66 Hibah federal telah berhasil menciptakan inti profesional Kerjasama antar level Pemerintahan di negara bagian, seringkali merupakan lembaga negara tunggal, yang berfungsi sebagai mitra tujuan. Namun, kemampuan mereka sebagai mitra untuk meningkatkan hasil terbatas, jika kondisi hibah atau bantuan cenderung lebih pada masalah administratif daripada hasil. (Agranoff, 2017)
Bahkan ketika bantuan dialokasikan dengan formula daripada aplikasi atau program kompetitif, mereka dapat meningkatkan mitra tujuan lokal yang ada. bantuan membantu mitra lokal atau pemerintahan local dengan menyediakan sumber daya untuk melakukan apa yang sudah ingin mereka lakukan tanpa ikatan lokal. bantuan sesuai formula kategoris yang secara rutin didistribusikan ke program atau kebijakan yang sama setiap tahun
mempertahankan kemampuan mitra pemerintahan lokal untuk mencurahkan waktu untuk masalah yang dinominasikan oleh pemerintahan regional atau federal.
Selain mengidentifikasi dan memperkuat Kerjasama dengan pemerintahan lokal, bantuan dapat menstimulus pembuatan data standar dan kapasitas pengukuran program negara bagian atau regional dan lokal. Ketika data ini membantu publik dalam memahami hasil dari kebijakan bantuan yang dapat meningkatkan akuntabilitas demokratis dalam wilayah regional. Ketika lembaga membutuhkan pengukuran hanya untuk menentukan tingkat pendanaan atau mendokumentasikan penyelesaian kegiatan yang diperlukan, bantuan tersebut memiliki nilai peningkatan demokrasi yang kecil. Lembaga Pemerintahan federal atau regional juga dapat menggunakan hibah dan bantuan dalam bentuk barang untuk memperbanyak nilai data program yang dikumpulkan. Seperti administrasi kebijakan infrastruktur jalan raya federal atau regional memberikan hibah atau bantuan kepada negara bagian atau pemerintahan local untuk mengembangkan infrastrukturnya, dengan menyatukan data kebutuhan antara regional dan pemerintahan local yang dikumpulkan untuk tujuan federal atau regional menjadi informasi yang berguna untuk penganggaran dan perencanaan negara bagian. (Conlan &
Posner, 2008)
Mungkin tantangan terbesar dengan manajemen kebijakan bantuan antar pemerintah muncul dalam menetapkan dan mengelola kondisi hibah atau bantuan.72 Persyaratan bantuan ditetapkan untuk memastikan bahwa
pemerintah rtegional mendapatkan apa yang dianggapnya sebagai manfaat dari anggaran yang dihibahkan, daripada sekadar meringankan beban pajak lokal atau tunjangan. Serta melakukan aksi Porting proyek atau program kebijakan lokal yang tidak memajukan tujuan negara bagian atau regional. Kondisi hibah dapat berhasil mengkatalisasi perubahan konstruktif di negara bagian dan lokalitas, tetapi juga dapat menghasilkan kegiatan yang sia-sia.
(X.Xxxxxx, Xxxxxx, Translater Alih Bahasa Xxxxx Xxxxxxx, dkk, 1992)
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah pada Pasal 1 (Satu) ayat 10 disebutkan bahwa hibah daerah adalah pemberian dengan pengalihan hak atas sesuatu dari Pemerintah atau pihak lain kepada Pemerintah Daerah sebaliknya yang secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya dan dilakukan melalui perjanjian. Hal ini merupakan salah satu landasan normatif yang Sebagian wilayah pemerintahan melaksanakan dengan mekanisme Kerjasama manajemen antar level pemerintahan dalam melakukan penyelesaian satu kebijakan untuk bisa dimanfaatkan dengan seluas-luasnya tanpa melanggar peraturan yang ada melalui mekanisme hibah antar level Pemerintahan.
Dalam rangka pelaksanaan prinsip otonomi, nyata, dan bertanggungjawab, Pembagian Urusan Pemerintahan antar Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengalami perubahan pola sistem pemerintahan di Indonesia dari sentralistik menjadi pola desentralisasi diharapkan dapat memberikan banyak manfaat kepada kemajuan daerah yaitu diberikannya keleluasaan dan kemandirian kepada daerah untuk mengatur dan mengelolah urusan rumah tangganya sesuai
dengan kewenangannya. Kebijakan desentralisasi tersebut dilaksanakan dengan menumbuhkembangkan kualitas demokrasi di daerah, meningkatkan peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Prinsip otonomi luas ini yaitu pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan undang-undang. Kewenangan yang dimiliki oleh daerah ini yakni membentuk, menjalankan serta melaksanakan kebijakan daerah dalam rangka memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat dan perencanaan serta pelaksanaan pembangunan yang tepat bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Lebih lanjut Shelly H. Xxxxxxxxxx mengungkapkan Operasi multilevel yang berfungsi dengan baik, jika tidak terlalu terikat dan dikendalikan, memiliki keuntungan praktis yang besar baik di pemerintahan maupun di sektor swasta, Jadi kepraktisan berpendapat untuk proses management antar pemerintah atau layanan pemerintah. Unit terpusat dari organisasi multilevel atau jaringan yang berfungsi dengan baik membuka kemungkinan untuk skala ekonomi, spesialisasi keahlian, dan penyebaran risiko, sementara unit lokal memberikan kelincahan dan kemampuan beradaptasi. Pengaturan antar pemerintah juga memberikan sarana praktis untuk menangani biaya lintas yurisdiksi dan pemerintah daerah menawarkan program redistribusi. Namun, pengaturan bertingkat yang dijalankan dengan buruk dapat menjadi rumit dan
tidak efisien. (Agranoff, 2017)
Jika dilihat dalam system Pemerintahan Indonesia, mekanisme Management hubungan antar level Pemerintahan dimasa desentrtalisasi ini, Jelaslah bahwa wilayah provinsi adalah tingkatan pertama dalam pembagian wilayah dan kewenangan dalam system pemerintahan desentralisasi di Indonesia. Berikutnya adalah wilayah Kabupaten dan Kota yang turut memiliki kewenangan dan wilayah sesuai dengan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dalam Undang-Undang tersebut sangat jelas dalam lampirannya bagaimana membagi kewenangan dalam setiap urusan baik Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota. Dalam urusan pembangunan kedua level Pemerintahan ini sama fungsinya, yaitu; fungsi pembangunan, fungsi pemeberdayaan, fungsi pelayanan dan fungsi pengaturan.
Membangkitkan system management hubungan antar level Pemerintahan tersebut menjadi isu penting yang pantas mendapat perhatian serius. Ditengah banyak nya terjadi kebiasaan egosentris wilayah, kedaerahan maupun diantar level Pemerintahan itu sendiri. Masih banyak isu strategis dalam konteks kerjasama sektoral dan daerah yang dibingkai dalam management Kerjasama antar level Pemerintahan, akan tetapi Kerjasama dalam kebijakan bantuan keuangan adalah salah satu isu strategis yang masih kurang terlaksana di Indonesia, karena adanya keterbatasan fiscal atau kemapuan wilayah Provinsi dalam membantu daerah bawahannya atau Kabupaten dan Kota. Isu tersebut mesti diletakkan dalam kerangka kerjasama pembangunan sektoral dan daerah dan dikaji secara mendalam.
Pertimbangannya adalah, pertama, pembangunan di masa lalu sarat dengan sentralisme, semua otoritas pembangunan berada di tangan dan diatur sepenuhnya oleh pemerintah pusat. Sehingga budaya penganggaran program yang masih kadang kita temukan model sperti dulu atau masing- masing dengan wilayahnya atau kewenangannya saja, Kedua, disadari bahwa kelembagaan kerjasama antar level pemerintahan dalam pembangunan sektoral dan daerah memiliki urgensi tinggi, tetapi kerjasama tersebut sebenarnya belum memiliki format ideal. Ketiga, ketidakjelasan arah kerjasama pembangunan sektoral dan daerah dapat menjadi ancaman nyata tehadap masa depan integrasi nasional dan prospek otonomi daerah. Mengacu pada ketiga pertimbangan tersebut, perlu dianalisis pola atau model kerjasama antar level pemerintahan dalam pembangunan sektoral dan daerah.
Isu strategis penting Management Kerjasama antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota membangun wilayahnya dalam berbagai sector tergatung pada kebutuhan Kabupaten dan Kota, Pemerintah Provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat di wilayah Provinsi memiliki kewenangan seperti dalam asas dekonsentrasi dan asas pembantuan, sehingga pemerintah Provinsi harusnya memiliki peran aktif dalam proses pembangunan diwilayah Kabupaten dan Kota.
Adanya stigma bahwa pemerintah Provinsi tidak memiliki peran penting dalam pembangunan diera Otonomi Daerah, memang betul adanya. Stigma tersebut lahir karena kurang berpihaknya kebijakan Pemerintah Provinsi
dengan kebutuhan di Kabupaten dan Kota sehingga terjadi kebijakan yang bias antar Provinsi dan Kabupaten Kota, di Sulawesi Selatan dalam Pembanguan di Wilayah Kabupaten/Kota pada masa lampau tidak adanya peran aktif Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam melakukan fungsi koordinasi manajemen antar level pemerintahan pada masa lalu sehingga Kabupaten Kota menganggap bahwa Provinsi menjadi unsur ketiga dalam pembangunan.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan sadar betul bahwa management Kerjasama antar level Pemerintahan di Sulawesi Selatan harus dilaksanakan dengan bersinergi secara baik dengan pihak Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini telah dilakukan secara aktif selama tiga tahun terakhir dengan melakukan berbagai terobosan Kerjasama pembangunan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui kebijakan Bantuan Keuangan Daerah yang di laksanakan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan.
Hal ini menjadi kado istimewa bagi pemerintah Kabupaten Kota, karena beberapa kebijakan pembangunan diwilayahnya dilaksanakan dengan mekanisme Bantuan Keuangan Daerah oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam 3 Tahun terakhir, yang pada tahun 2019 sebesar 300 ( Tiga Ratus) Miliar Rupiah, yang pada tahun 2020 meningkat menjadi 500 (Lima Ratus) Miliar Rupiah, pada tahun 2021 atau tahun anggaran berjalan, saat ini Pemerintah menurunkan jumlah Bantuan Keuangan Daerah menjadi 200
(Dua Ratus) Miliar Rupiah dikarenakan adanya refocusing anggaran sebagai dampak dari pandemic Covid 19.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan melakukan mekanisme Kerjasama pembangunan dengan program Bantuan Keuangan Daerah antar level pemerintahan ini, dengan maksud mendukung percepatan pembangunan di Kabupaten/Kota. Alasan utama Bantuan keuangan Daerah untuk dapat mengakses, mendukung secara finansial pembangunan yang bukan kewenangan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, karena adanya pembagian kewenangan dan urusan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota sebagaimana telah diatur dalam berbagai peraturan Perundang-Undangan dan peraturan lainnya.
Selain melalui Bantuan Keuangan Daerah, Pemerintah Provinsi turut serta dalam pembangunan wilayah Kabupaten Kota melalui kebijakan program prioritas dan dan kebijakan teknis lainnya melalui OPD lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah Kabupaten/Kota mengakui bahwa peran Pemerintah Provinsi dalam jangka waktu tiga tahun terakhir sangat besar dalam pembangunan diwilayahnya. Hal ini juga menimbulkan sedikit demi sedikit rasa ketergantungan Pemerintah Kabupaten/ Kota tehadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Sehingga Kerjasama pembangunan dapat menggerus stigma bahwa Provinsi adalah unsur ketiga dalam pembangunan diera Otonomi Daerah. Dengan pemikiran, pernyataan dan pertanyaan dari kumpulan argumentasi penulis diatas, maka tertarik untuk lebih lanjut mengkaji isu atau masalah ini dengan judul:
“Manajemen Hubungan Antar Level Pemerintahan Dalam Kebijakan Pemberian Bantuan Keuangan Daerah Oleh Provinsi Sulawesi Selatan Ke Kabupaten Tanatoraja, Toraja Utara dan Kota Pare-Pare”
Kebijakan Bantuan Keuangan di Provinsi Sulawesi Selatan melalui konsep Kerjasama management hubungan antar level Pemerintahan, mulai terbangun Kerjasama yang baik antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Hal ini mulai tergambarkan dalam berbagai Kerjasama dalam menyelesaikan kebijakan pembangunan di dua level Pemerintahan tersebut, bahu membahu meyelesaikan pembangunan dengan melepas sekat urusan atau kewenangan masing-masing dengan mencari jalan keluar Bersama tanpa melanggar Perundang-Undangan dan peraturan lainya dengan melihat kempuan finansial pada setiap wilayah.
Kerjasama ini tentu menjadi sorotan berbagai pihak, mulai dari unsur pemerintah itu sendiri, maupun non pemerintah, menganggap bahwa kebijakan ini akan memanjakan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam membangun wilayahnya. Namun hal ini di Jawab oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Bersama Pemerintah Kabupaten/Kota dengan hasil kerja nyata, pembangunan wilayah yang dimulai dengan perencanaan Bersama hingga pada tahap implementasi pembangunan sehingga mulai dirasakan oleh masyarakat di Kabupaten/Kota dampak dari hasil kebijakan tersebut. Pembangunan wilayah terisolir, pembangunan akses infrastruktur merata,
pembangunan fasilitas Kesehatan yang merata, pembangunan fasilitas
Pendidikan yang merata, pembangunan fasilitas pertanian, peternakan, kelautan perikanan bagi yang berpotensi dan pembangunan akses perekonomian masyarakat demi kesejahteraan di Kabupaten/Kota. Untuk mengkaji lebih lanjut, maka penulis membatasi focus penelitian pada dua rumusan masalah sebagai berikut:
1. Mengapa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menetapkan kebijakan Bantuan Keuangan Daerah?
2. Bagaimana model Kerjasama level antar Pemerintahan dalam kebijakan Bantuan Keuangan Daerah?
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari rencana penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengkaji dan menganalisis mengapa Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan menetapkan kebijakan Bantuan Keuangan Daerah.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana model Kerjasama level antar Pemerintahan dalam kebijakan Bantuan Keuangan Daerah.
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari rencana penelitian ini, adalah sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis, diharapkan dapat memberikan informasi dan kontribusi untuk menjadi bahan kajian ilmu pengetahuan khususnya dalam pengembangan Ilmu Pemerintahan khususnya dalam pengkajian mengenai Intergovernmental Management khususnya masalah antar level pemerintahan dalam kebijakan bantuan keuangan daerah.
2. Manfaat Praktis, diharapkan menjadi masukan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait mengenai Intergovernmental Management khususnya masalah hubungan antar level pemerintahan dalam kebijakan bantuan keuangan daerah.
3. Manfaat Metodologis, hasil dari penelitian ini nanti diharapkan memberi nilai tambah yang selanjutnya dapat dikomparasikan dengan penelitian-penelitian ilmiah lainnya. khususnya yang mengkaji masalah Intergovernmental Management khususnya masalah hubungan antar level pemerintahan dalam kebijakan bantuan keuangan daerah.
1.1.
LANDASAN TEORI
1.1.1. Pengertian Intergovermental Management (IGM)
Pemahaman mengenai Intergovermental Management (IGM) dapat diikuti melalui beberapa perkembangan pemikiran para ahli, IGM adalah sebuah istilah yang baru diperkenalkan pada awal 1970-an yang berkembang hingga saat ini. Memang sudah hampir menjadi kebenaran dalam pemerintahan akhir- akhir ini untuk menyebut metamorfosisnya menjadi sistem “governance”, karena semakin banyak aktor yang memasuki panggung publik untuk menjalankan fungsi dan program pemerintah. Yang kurang dipahami adalah berlanjutnya peran “pusat” yang dimainkan pemerintah. Pemerintah pusat tetap sebagai entitas yang layak dan berwibawa karena berinteraksi dengan pemerintah lain dan aktor non-pemerintah dalam sistem pemerintahan yang ada, dalam banyak hal melalui proses Intergovernmental Management (IGM). Secara harfiah kebanyakan pemerintah membuat kebijakan dan melihat bahwa kebijakan tersebut diubah menjadi program publik di tingkat pelaksanaan. Tata kelola sebagian besar datang dengan fungsi yang terakhir, “campuran dari semua jenis upaya pemerintahan oleh segala macam aktor sosial-politik, publik maupun swasta, terjadi di antara mereka pada tingkat yang berbeda, dalam gaya dan tatanan pemerintahan yang berbeda. (Agranoff, 2017)
Ketika mengalami perkembangan, IGM melibatkan banyak aktor, atau implementor dalam mengimplementasi program hingga melampaui IGR dengan
memasukkan pihak swasta atau organisasi non profit lainnya. Framework governance ini terus menyelaras dengan desain dan penyerahan program Intergovermental, sekalipun penekanannya berubah dari top-down ke bottom- up. (Syamsu, 2013) Perkembangan IGM selama tiga dekade, nampaknya baru dapat menentukan fokus, belum ada definisi IGM yang tetap atau disepakati secara bersama. Justru beberapa pihak mengembangkan pengertian IGM dengan mengklarifikasi apa yang bukan IGM. Elemen yang terletak diluar lingkup IGM adalah: perubahan fundamental struktur sosial, hubungan kekuasaan dasar, atau tanggungjawab fiskal; penyelarasan hubungan national state local; peralihan intergovernmental dalam bidang program atau aktivitas fungsional; revisi kebijakan atau redireksi ruang lingkup tingkat pelayanan program yang ada; perubahan struktural pemerintah metropolitan (Agranoff, 2017). IGM, dengan kata lain, menggunakan sistem, struktur, kebijakan, dan program yang ada. Konsentrasinya lebih pada peningkatan dan penyesuaian inovatif aktivitas manajerial untuk penyempurnaan pemberian pelayanan. Fokusnya tidak tertuju semata pada perubahan besar yang mempengaruhi keseimbangan politik, ekonomi, dan sosial secara signifikan. Perubahan sistemik IGM memusatkan perhatian pada jejaring kerja implementasi yang efektif. Xxxxxxx dan Xxxxxxxxxx (1990) setelah itu memperjelas dan menambahkan ciri nilai ke arah teori IGM (Toward a Theory of IGM). (Syamsu, 2013)
Pemerintahan memang telah memperluas konsep tradisional hubungan antar pemerintah, yang pernah dianggap melibatkan “berbagai kombinasi saling
ketergantungan dan pengaruh di antara pejabat public yang dipilih dan administrative di semua jenis dan tingkat unit pemerintah dengan penekanan khusus pada kebijakan keuangan. dan isu-isu politik” (Xxxxxx & Krane, D.,, 1998). Pandangan kontemporer, sebagaimana dalam tulisan ini, melibatkan manajemen dunia nyata saat orang-orang berinteraksi. Saat ini hal itu memerlukan lebih dari sekadar pejabat yang mewakili pemerintah, itu termasuk LSM dan kelompok lain yang berinteraksi dengan pemerintah sebagai advokat atau dalam hubungan kontrak, hukum, kolaboratif, dan mitra kerja. Kekuatan- kekuatan ini merupakan jantung dari IGM sehingga pemerintahan dianggap lebih terbuka dengan system management colaborative. (Syamsu, 2013)
Teori dan praktik dalam IGR dan IGM berikutnya harus memperhitungkan perkembangan kumulatif dari kebijakan dan administrasi pemerintahan, medan yang berubah namun mempertahankan proses kelembagaan tradisional. Dahulu IGR telah menjadi tradisi yang mendalam dan bertahan lama dalam studi administrasi dan, yang lebih penting, “tidak terlalu terfokus pada rekonstruksi peristiwa masa lalu itu sendiri, tetapi pada rekonstruksi fakta-fakta pemerintah dalam pembangunan dalam konteks teori politik yang sangat mendasar tentang pemerintahan” (Raadschlders 2000, 513; lihat juga Xxxx 1997; Xxxxxxxxx 1993). Seiring perjalanan IGM melalui hubungan yang berkembang yang melibatkan hukum dan pembangunan negara, kerja saling ketergantungan di antara pemerintah, kemitraan dengan LSM, Swasta dan jaringan multi-sektor yang kompleks, kebenaran tertentu dari ilmu politik tetap menjadi bagian dari cerita khususnya, bagaimana lembaga pemerintah dan non
pemerintah berinteraksi untuk membentuk politik, pemerintahan, dan manajemen transaksional lintas sektor. (Agranoff, 2017)
Ini mengungkapkan bahwa sementara beberapa hal berubah misalnya, berbagai aktor yang terlibat dalam bagaimana program diatur, dikelola, dan dievaluasi yang lain tetap sama. Misalnya, meninjau pekerjaan mereka yang terlibat dalam proses pemerintahan telah mengarah pada seni administrasi, seperti yang pertama kali diidentifikasi oleh Xxxxxxx Xxxxx. Studi ini meninjau pemberian layanan di bawah program antar pemerintah dalam parameter dasar mengenai jenis layanan yang akan dibiayai, kepada siapa layanan tersebut dapat diberikan, dan dengan siapa program ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan. Faktor-faktor tersebut tidak berubah. Seiring berkembangnya praktik dari IGR ke IGM, terlihat bahwa yang lama jarang digantikan oleh yang baru. Sebaliknya, yang baru dibangun di atas yang lama. Dengan demikian, setiap teori IGM mengikutinya. (X.Xxxxxx, Xxxxxx, Translater Alih Bahasa Xxxxx Xxxxxxx, dkk, 1992) (Xxxxxxxx, 2017)
Pemerintah tidak, seperti yang diamati Xxxxxxxx, diorganisir dalam beberapa mode hierarkis seperti entitas militer, industri, atau birokrasi internal. Meskipun mungkin ada kontrol hukum, ekonomi, dan fiskal, walikota, gubernur, atau legislator mereka tidak berada di bawah otoritas langsung pejabat nasional. Seiring waktu, ini menyiratkan bahwa ada jenis manajemen yang berbeda.
Dengan perluasan program pemerintah dan kompleksitas administrasi yang dihasilkan, istilah manajemen antar pemerintah memasuki leksikon manajemen publik dengan agak ambigu sebagai cara untuk menggambarkan
kegiatan, mulai dari masalah desain program hingga tindakan klerikal dan audit, dari administrator yang bekerja lintas lini dan lintas pemerintah dan sebagai sarana bagi “orang dalam” untuk menangkap esensi dari proses dan rutinitas yang harus diikuti oleh administrator program. IGM telah dicirikan sebagai istilah dari "vintage terbaru, penggunaan khusus, visibilitas terbatas dan jatuh tempo yang tidak pasti" (Krane dan Xxxxxx 1998, 1162) karena mencakup begitu banyak tindakan yang berbeda, mencari dana dari pemerintah lain, mengatasi beban peraturan yang meluas dan eksternalisasi melalui kontrak, dan mengembangkan kesepakatan kerja sama antarlokal serta banyak kegiatan kolaboratif berbasis jaringan. Setelah pengamatan ini, dalam membahas model pengelolaan kontemporer dalam IGM berguna, namun hanya beberapa kegiatan yang terjadi secara eksklusif di antara pemerintah. Sisanya sangat interaktif dan melibatkan pemerintah dan Non Pemerintah. Dalam formulasi kontemporernya, IGM jelas telah berkembang dengan memasukkan unit-unit non pemerintah non profit dan profit serta unit pemerintah sebagai model untuk memahami kompleksitas, dengan demikian IGM baru-baru ini memisahkan sebagian aktivitas manajerial. (Xxxxx X.Xxx, 2003)
Perkembangan ini telah menyebabkan beberapa orang mencirikan era saat ini sebagai salah satu federalisme koersif. Jelas ada elemen koersif dalam pertumbuhan mandat federal, tetapi secara keseluruhan, federalisme kooptif tampaknya merupakan istilah yang lebih tepat. Preemption federal, program hibah federal preskriptif tetapi sukarela, dan stimulasi hubungan fungsional vertikal lebih diarahkan pada kooptasi pemerintah negara bagian dan lokal dan
menggantikan prioritas kebijakan federal daripada memaksa mereka secara langsung.
Dari perspektif federalisme sedimen, perkembangan model hubungan antar pemerintah yang lebih baru tidak berarti bahwa bentuk-bentuk lama hilang sama sekali. Mereka bertahan, seringkali di bawah permukaan, dan memberikan landasan bagi pola interaksi yang lebih baru. “Ketebalan” relatif dari berbagai lapisan hubungan antar pemerintah juga bervariasi. Seperti yang disarankan sebelumnya dalam bab ini, lapisan kooperatif relatif tebal atau lazim di layanan kesehatan masyarakat tetapi kurang begitu di daerah lain. Secara keseluruhan, bagaimanapun, karakter hubungan antar pemerintah berubah dari waktu ke waktu sebagai hubungan baru berkembang dan pola lama menyusut dan mengalami perubahan metamorf. Perkembangan ini telah menyebabkan beberapa orang mencirikan era saat ini sebagai salah satu federalisme koersif. Jelas ada elemen koersif dalam pertumbuhan mandat federal, tetapi secara keseluruhan, federalisme kooptif tampaknya merupakan istilah yang lebih tepat. Preemption federal, program hibah federal preskriptif tetapi sukarela, dan stimulasi hubungan fungsional vertikal lebih diarahkan pada kooptasi pemerintah negara bagian dan lokal dan menggantikan prioritas kebijakan federal daripada memaksa mereka secara langsung. (Conlan &
Posner, 2008)
Dalam nada yang sama, Xxxxxxx XxXxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxxx (2010) berpendapat, bertentangan dengan literatur kontemporer, bahwa jaringan swasta dan pejabat pemerintah yang bekerja sama tidak serta merta
menggantikan kekuasaan atau sentralitas lembaga pemerintah di Amerika (lihat bab 8 dan 9 dari volume ini). Lebih tepatnya, bukti empiris dari penelitian sebelumnya tentang birokrasi Amerika pada umumnya, dan pada kontrak dan jaringan pada khususnya, terlalu beragam untuk mendukung pertentangan yang lebih ekstrem. Dalam semangat inilah IGM harus dipahami tentang perubahan peran publik. Sampai terbukti sebaliknya, pemerintah tetap menjadi inti program, dan peran mereka dalam IGM patut mendapat perhatian lebih lanjut. (Agranoff, 2017)
Nama belakang IGM, “manajemen”, tidak serta merta menghilangkan politik yang terlibat, karena pemerintah juga bekerja. Penting untuk memahami dimensi politik yang terkait dengan tindakan pejabat dan pejabat pemerintah. Sementara partai politik terkadang memang berperan, lebih sering dari tindakan dan gerakan politik terlibat. Bahkan dengan eksternalisasi dan jaringan, gerakan politik terlihat dan tersembunyi atau halus meliputi apa yang tampak sebagai transaksi rutin. Politik antar pemerintah “menciptakan fondasi yang tak tergoyahkan untuk kekuasaan antar level pemerintahan, adalah salah satu pelajaran antar pemerintah pertama dalam politik. ( (Agranoff, 2017)
Implikasi yang berguna untuk berpikir tentang manajemen antar pemerintah. Yang pertama adalah bahwa pola yang berbeda dari hubungan antar pemerintah memerlukan pendekatan yang berbeda untuk manajemen antar pemerintah. Mengelola dalam konteks federalisme ganda, misalnya, memerlukan penekanan pada ciri klasik administrasi publik agar dapat mengelola staf, anggaran, dan aktivitasnya sendiri secara efektif. Federalisme
kooperatif menuntut penekanan yang lebih besar pada keterampilan pemerintahan tidak langsung: memahami dan memobilisasi jaringan yang tersebar, menempatkan keunggulan pada keterampilan tawar-menawar dan menggunakan insentif, memelihara hubungan profesional. Federalisme regulasi cenderung lebih konfliktual dan lebih menekankan pada pengetahuan teknis dan otoritas hukum. Menguasai satu set keterampilan manajemen adalah kompleks dalam dirinya sendiri, tetapi wawasan federalisme sedimen, dengan lapisan hubungan antar pemerintah yang tidak rata dan tidak merata, menunjukkan bahwa rangkaian keterampilan yang berbeda mungkin diperlukan untuk manajemen yang efektif di berbagai bidang berusaha keras. Selain itu, banyak bidang fungsional sekarang dicirikan oleh berbagai gaya hubungan antar pemerintah dan dengan demikian memerlukan kombinasi keahlian manajemen untuk mengakomodasi geologi antar pemerintah bidang tersebut. (Xxxxx X.Xxx, 2003)
Pendekatan silih berganti dilakukan untuk mengklarifikasi bahwa IGM bukan FED, bukan pula IGR. Perbedaan antar konsep sudah banyak dibahas (Xxxxxx 1983, 1987, 1990a). Perbedaan itu terletak pada: (1) aktor utama, (2) kecakapan politik, (3) lingkup nilai, (4) metode penyelesaian konflik, (5) pola kewenangan, dan (6) keterlibatan yurisdiksional. Keenam ciri tersebut merupakan ciri utama konsep IGM yang membedakannya dari FED dan IGR. Penjelasan ini diperlihatkan dalam Gambar 2 yang menggunakan time line untuk menemukenali asal usul FED, IGR dan IGM.
Di samping urutan sejarah, Gambar 2 memberi simpulan empat karakteristik IGM yang berbeda dengan karakteristik FED dan IGR. Perbandingan tersebut adalah (1) aktor pemimpin (leading aktors), (2) pusat/sasaran perhatian (central features), (3) pola kewenangan (authority patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods). Pembahasan keempat konsep yang menunjukkan karakteristik IGM ini akan dibahas lebih lanjut dalam dimensi-dimensi IGM. (Syamsu, 2013)
Gambar 1. Historical Evolution Of Interjurisdictional Concepts: FED, IGR, And IGM.
Leading aktors Central Features Authority Patterns
Program/Policy Professional Problem solving, Networking, coping Non-Hierarchical
Negotiation, Dispute Settlement
Conflict Resolution Methods INTERGOVERNMENTAL MANAGEMENT (IGM)
INTERGOVERNMENTAL RELATIONS (IGR)
Appointed administrative generalists
FEDERALISM (FED)
Participants’ Perception, Financial Policies/patterns
Perceived Hierarchy
Games, Coalitions, Markets Popularly Elected Political Generalists Constitutional – legal, Institutional – Political National Supremacy
Elections, Laws, Court Decision.
1790
1920 1930
1940
1950
1960
1970 1980
1990
2000
Sumber: Xxxxxx and Xxxxxxxx dalam Xxxxx, Xxxxxxxx, Xxxxxx (ed), 2007, p.446. dalam (Syamsu, 2013)
1.1.2. Presfektif Intergovermental Management (IGM) dalam hubungan Antar Pemerintahan
Kajian terhadap konsep Intergovermental Management (IGM), dapat didahului dari pemikiran dan perkembangan konsep Manajemen koordinasi program federal-negara bagian, federal-lokal, dan negara bagian-lokal telah memberikan aliran temuan yang berharga tentang manajemen program kolaboratif antar pemerintah. Salah satu aliran yang berasal dari pengaturan federal adalah jenis federalisme kooperatif Elazar (1962) yang diidentifikasi ada pada abad kesembilan belas. Xxxxxxxx pula, Xxxx Xxxxx Xxxxx (1938) mengakui peluang federal untuk eksperimen "politik dan ekonomi". Studinya mencakup banyak cara administrasi antar pemerintah: kerjasama informal, perjanjian dan kontrak antar pemerintah, pertukaran personel, tindakan hukum yang saling bergantung, hibah-bantuan, dan kebijakan pajak. (Agranoff, 2017)
Demikian juga, di banyak bidang kebijakan, negara telah meningkatkan komitmen mereka terhadap profesionalisme, keahlian, efisiensi, dan manajemen kontemporer. Dalam sejarah pemerintahan negara xxxxxxxxx, Xxx Xxxxxxx (2002) menyimpulkan bahwa abad ke-20 merupakan periode perkembangan keahlian legislatif, rasionalisasi dan pemusatan kewenangan administratif di bawah gubernur, dan transfer kekuasaan dari pejabat terpilih lokal kepada ahli birokrat negara. Negara bagian menjadi aktor penting dalam pemerintahan. (Agranoff, 2017)
warisan politik pemerintahan secara bertahap menempatkan pendahulu sistem praktik manajemen saat ini. Misalnya, dalam beberapa bentuk standar
hibah awal dan persyaratan pelaporan, tinjauan dan audit keuangan, aturan dan standar program, dan pengaturan kontrak telah berlaku selama lebih dari dua abad. Praktek-praktek ini sampai tingkat tertentu membawa administrator negara bagian dan lokal bersama-sama secara interaktif di lembaga federal masing- masing. Pada periode sebelumnya, transaksi sebagian besar formal dan proses berurutan-misalnya, melalui surat, dalam instruksi yang dikirimkan, atau dalam bentuk laporan yang dikirimkan. Hanya di tahun-tahun berikutnya mereka menjadi lebih langsung dan lebih interaktif. (Agranoff, 2017)
Kajian terhadap konsep Intergovernmental Management (IGM), akan didahului dengan pemahaman dan perkembangan konsep federalisme (FED) dan intergovernmental relation (IGR). Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa konsep IGM merupakan kelanjutan dari perkembangan dua konsep yang mendahuluinya yaitu hubungan antar pemerintahan (IGR) dan federalisme (FED). Perkembangan ketiga konsep ini mula-mula menunjukkan bahwa masing- masing Negara (state) tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri, kemudian saling membutuhkan sehingga membangun hubungan kerjasama. Hubungan kerjasama ini harus dikelola atau dimanage supaya terpelihara dari berbagai konflik. (Syamsu, 2013) Perkembangan ketiga konsep tersebut dapat dilihat pada gambar 2. Berikut;
Gambar 2. Pola dan Frase Historis: Federalisme (FED), IGR Dan IGM
Sumber: Xxxxxx and Xxxxxxxx dalam Xxxxx, Xxxxxxxx, Xxxxxx (ed), 2007, p.412. dalam (Syamsu, 2013)
Gambar 3 menunjukkan timeline pola historis dan sub periode masing- masing konsep. Federalisme, yang dimulai dengan pendirian republik, ditandai dengan perjalanan tiga bidang besar—dual, kerjasama, dan koersif (Kincaid, 1996). Selama enam dekade IGR melewati berbagai fase. Dimulai dengan fase konflik tahun 1930an dan terus ke fase koersif-kolegial tahun 1990an dan berlanjut sampai abad dua puluh satu dengan fase kolaborasi kontingen (Xxxxxx 1988, 1997, 2003). Tiga istilah sebagai konsep penyatu: federalisme (FED), hubungan antar pemerintahan (IGR), dan manajemen antar pemerintahan (IGM) dijelaskan lebih lanjut mengikuti rangkaian perkembangan yang disinggung dalam gambar 2 yang dimulai dengan FED dan diakhiri dengan IGM.. (Syamsu, 2013)
Xxxx Xxxxxx (1988, 75) menangkap implikasi manajemen dari proliferasi hibah: Peningkatan luar biasa dalam hibah proyek atas hibah formula lebih jauh mendiversifikasi kegiatan yang didukung oleh dana federal dan selanjutnya meningkatkan otonomi dan kebijaksanaan para profesional program. Akhirnya, persyaratan partisipasi publik terkait dengan beberapa hibah meningkatkan kompleksitas kegiatan manajerial dan perhitungan dan kadang-kadang ditambahkan ke kekecewaan pejabat yang dibebankan dengan pilihan alokasi hibah. Tugas mengamankan dan membelanjakan dana federal melibatkan keterampilan administratif yang luas, sumber daya yang substansial, dan waktu ahli. Sukses sering didefinisikan hanya sebagai membuat semua orang bertindak tetapi masih mendapatkan tindakan. Dalam beberapa kasus, dana federal, terutama dana program anti- kemiskinan Office of Economic Opportunity (OEO), dipandang sebagai sumber dukungan untuk “memerangi balai kota.” (Agranoff, 2017)
Dalam apa yang disebut Teori Generasi Kedua (SGT) dari literatur federalisme fiskal, pemerintah daerah tidak baik hati dan penyediaan barang publik ditentukan oleh proses politik. Menurut Xxxxx (2005, 2008). Dari perspektif teori ini, masalah kendala anggaran lunak dan ketergantungan transfer yang diciptakan oleh perilaku strategis pemerintah daerah harus dikendalikan oleh aturan fiskal tentang defisit anggaran dan utang daerah. Hibah antar pemerintah, yang memainkan peran positif dalam Teori Generasi Pertama (FGT) dari literatur federalisme fiskal, hanya memperburuk masalah dana talangan dan ketergantungan transfer. Untuk menghindari hal ini, ukuran hibah antar pemerintah harus dikurangi dan sebaiknya diganti dengan pajak daerah. Jadi untaian pertama literatur SGT ini, seperti yang dikatakan Xxxxx (2008, p.318), berfokus pada “sisi gelap” desentralisasi fiskal. (Xxx & Xxxxxxxxxx, Hanjorg, 2015) menurut Xxxxx (2005, 2008), dalam untaian kedua literatur SGT, fokusnya adalah pada trade-off antara sentralisasi dan desentralxxxxx. Dalam jenis literatur ini, penekanan diberikan pada struktur legislatif dan proses pemilihan, yang menghasilkan berbagai jenis hasil fiskal di bawah sistem sentralisasi dan
desentralisasi. Berbeda dengan untai pertama SGT, untai kedua menganggap desentralisasi fiskal sebagai mekanisme untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien di seluruh pemerintah daerah. Seperti yang dibahas Lockwood (2006), berbagai model ekonomi politik dalam untaian kedua literatur SGT menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal lebih responsif terhadap preferensi warga daripada sentralisasi fiskal.
Meskipun literatur SGT berangkat dari sikap normatif literatur FGT, namun tetap menganggap bahwa peran pemerintah pusat dan daerah dipisahkan secara jelas. Tidak kurang benar dari untaian kedua literatur SGT. Dalam untaian pertama literatur SGT, yang menekankan bahwa hibah antar pemerintah tidak diinginkan, perbedaan antara hibah antar pemerintah dan pajak daerah sangat jelas, dan dikatakan bahwa hibah antar pemerintah yang menciptakan ketergantungan transfer harus diganti dengan pajak daerah.
Dalam literatur tentang desentralisasi fiskal baik FGT dan SGT asumsi utama yang dibuat adalah bahwa ada perbedaan yang jelas antara hibah dan pajak daerah, yang merupakan kondisi yang diperlukan untuk pemisahan yang jelas antara tanggung jawab pusat dan daerah. Namun, di banyak negara, sebagian besar pendapatan lokal berasal dari “pajak bersama” daripada pajak sendiri atau hibah antar pemerintah. Selain itu, pendapatan dari pajak bagi hasil seringkali secara hukum dianggap sama dengan pendapatan dari pajak sendiri. Ini menimbulkan pertanyaan berikut: Jika suatu negara mengikuti saran dari literatur SGT dan mengganti hibah antar pemerintah dengan pajak bersama,
apakah reformasi fiskal seperti itu meningkatkan kinerja fiskal sektor public. (Xxx & Xxxxxxxxxx, Hanjorg, 2015)
Batas dan kendala fiskal, bagaimanapun, belum diterjemahkan ke dalam ekspektasi publik yang dirampingkan untuk pemerintah. Justru sebaliknya: harapan publik untuk tanggapan pemerintah terhadap masalah publik dan swasta yang lebih luas telah mendorong pertumbuhan dalam jumlah, ukuran, dan kompleksitas inisiatif dan program pemerintah. Yang paling penting, masalah publik utama dan tanggapan kebijakan beberapa tahun terakhir ini sebagian besar bersifat antar pemerintah. Sifat tantangan kebijakan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasinya bukanlah milik satu tingkat pemerintahan; alih- alih, masalah dan solusi untuk tantangan yang muncul tersebar luas di seluruh sistem antar pemerintah kita. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Hampir semua program ini didasarkan pada apa yang disebut hibah kategoris atau bersyarat. Fitur utama mereka termasuk pencairan dana yang sesuai, alokasi formula berdasarkan jumlah yang ditentukan oleh kongres, hibah proyek berbasis formula yang membagi uang di antara aplikasi yang bersaing, dan hibah proyek murni tanpa kendala dalam distribusi (Walker 2000, 102). Fase terakhir dari bangunan terprogram ini mencapai puncaknya pada tahun 1960-an. Xxxxx Xxxxxx (2000, 124–25) mengidentifikasi periode pertumbuhan IGR ini sebagai melibatkan (1) penggandaan pengeluaran hibah-dalam-bantuan; (2) pergeseran penekanan ke wilayah perkotaan dan metropolitan; (3) diberlakukannya lebih banyak program hibah daripada tahun-tahun sebelumnya;
(4) sejumlah hibah baru yang sangat memperluas jangkauan tujuan publik, dari
program anti-kemiskinan hingga Medicaid; (5) perpindahan ke kemitraan yang lebih panoramik, khususnya dengan bantuan federal yang disalurkan ke pemerintah daerah tujuan umum dan khusus serta berbagai organisasi nirlaba;
(6) pengenalan era regulasi, di mana negara bagian dan lokalitas menjadi objek sekaligus pelaksana lini pertama regulasi federal; dan (7) peluncuran kepedulian untuk meningkatkan manajemen hibah di bidang hubungan dan komunikasi federal dan nonfederal. Seperti yang disimpulkan oleh Xxxxxxx Xxxxxx (1988, 6), perluasan IGR ini “tidak hanya membuat sistem menjadi jauh lebih kompleks, tetapi juga mengganggu keseimbangan sementara kekuasaan antar pemerintah.” Ketika pemerintah federal terlibat dalam hampir semua bidang kegiatan pemerintah, tempat inisiasi kebijakan dan kepemimpinan bergeser ke tingkat nasional. Ini meningkatkan ketergantungan fiskal negara bagian dan lokal pada pendanaan federal, dan program federal semakin mengandalkan layanan yang membutuhkan penggunaan profesional dalam pemberian layanan. (Agranoff, 2017)
Hibah sekarang telah menjadi alat administratif utama dari tindakan pemerintah; hari ini pemberi hibah memberikan bimbingan dan arahan tetapi menyerahkan kebijaksanaan operasional kepada pemerintah penerima hibah. Akhirnya, seperti yang disimpulkan oleh Xxxxx Xxxx dan Xxxxxxx Xxxxxx (2002, 343), “Hibah jauh lebih membatasi daripada sebelumnya, misalnya di bawah waktu yang lebih kooperatif yang diidentifikasi sebelumnya, karena aturan yang melekat padanya lebih direktif, bahkan memaksa dan semakin terjerat dengan mandat sosial federal.” Beberapa karya telah menguraikan jenis dan bentuk
hibah (Xxxx dan Xxxxxx 2002; Xxxxxx 1998; Xxxxxxxx dan Xxxxxxxx 2007; Xxxxxx 2000; Xxxxxx 1988), bersama dengan bagaimana mereka dirancang dan dialokasikan. Yang paling penting untuk memahami manajemen adalah bahwa dari ratusan hibah federal kepada pemerintah negara bagian dan lokal, semua kecuali beberapa bersifat kategoris yaitu, ditentukan dalam tujuan dan didistribusikan secara otomatis dengan formula, di mana dana secara hukum atau administratif didedikasikan untuk negara bagian. atau subdivisi, atau bersifat proyek untuk periode tertentu dan untuk tujuan tertentu. (Agranoff, 2017)
Selain hibah federal, bantuan negara bagian kepada pemerintah daerah mencakup beberapa dana tambahan dari pemerintah federal yang didistribusikan negara bagian kepada pemerintah daerah. Bantuan negara juga berasal dari dana kas negara. Yang pertama berjumlah sekitar 30 persen dana sedangkan dana negara memasok sekitar 70 persen. Pada satu titik, secara total, bantuan negara bagian kepada pemerintah daerah biasanya sedikit melebihi bantuan federal, dengan sekitar 8 persen dari total bantuan umum dan sisanya untuk hibah khusus (Beam dan Conlan 2002). Di beberapa negara bagian, bantuan lokal dirancang untuk menyesuaikan kesenjangan fiskal di antara masyarakat. Sebagian besar bantuan negara untuk pendidikan lokal diberikan dalam bentuk hibah (tetapi dengan pembatasan yang meningkat), sementara bantuan lainnya bersifat kategoris dan dimaksudkan untuk penggunaan seperti jalan raya dan jalan raya, layanan sosial, dan proyek modal, yang telah digunakan untuk pembangunan infrastruktur lokal. (Agranoff, 2017)
Prioritas pengeluaran, pilihan program, dan praktik manajemen pemerintah negara bagian dan lokal semakin mencerminkan inisiatif berbagai aktor dan pengaruh nasional dan bahkan internasional. Di sisi pendapatan, kebijakan dan administrasi pendapatan pemerintah negara bagian dan lokal semakin dibatasi oleh preemption federal, tekanan bisnis nasional dan global, dan perubahan teknologi yang muncul. Menambah kompleksitas pada tantangan fiskal, demografi, dan administratif ini adalah perubahan berkorelasi dalam sistem politik kita. Proses politik, akses, dan komunikasi semuanya dipengaruhi oleh perubahan teknologi, keuangan, dan organisasi. Perubahan-perubahan ini, pada gilirannya, mengubah distribusi kekuasaan dalam sistem antar pemerintah, yang seringkali merugikan pemerintah negara bagian dan local. menjamurnya bentuk- bentuk media baru, dan perubahan dalam sistem partai politik semuanya mempengaruhi proses kebijakan. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
perencanaan strategis, kepemimpinan, dan visi terkait. Selanjutnya, seperti yang diharapkan, aktivitas utama yang jelas adalah kontak langsung dan tidak langsung dengan antar pejabat Pemerintahan dalm tiap level Manajemen, mulai dari mencari informasi hingga mengusulkan dan membuat penyesuaian kebijakan dan program antar level Pemerintahan.
Pendekatan yang lebih tidak langsung melibatkan pemanfaatan dana lokal atau sumber daya lain untuk memindahkan aplikasi atau proyek dalam pekerjaan dari yurisdiksi seseorang atau memanfaatkan sumber daya dari mitra seseorang di masyarakat (Agranoff dan McGuire 2003). Kapasitas atau kemampuan pemerintah untuk memahami tantangan yang ada dan mengantisipasi
perubahan, untuk menarik dan menggunakan sumber daya, dan untuk memandu tindakan di masa depan yang meningkatkan proses manajemen interaktif juga merupakan kunci. (Agranoff, 2017)
Teknik IGM yang disorot dalam literatur menunjukkan bahwa pengelolaan program yang berhasil melibatkan kemampuan dan kapasitas untuk beroperasi dalam sistem aturan, regulasi, dan standar yang kompleks, dan, yang paling penting, untuk memanfaatkan peluang. Dalam praktiknya, penelitian empiris menunjukkan bahwa manajemen yang sukses lebih dari sekadar membaca katalog bantuan dan mengisi serangkaian aplikasi. Ini memerlukan lebih dari sekadar duduk di lokakarya pelatihan dan dibombardir dengan berbagai peluang program. Lebih jauh, lebih dari sekadar pembicaraan “hibah” biasa, hal ini membutuhkan mobilisasi kekuatan politik dan nonpolitik di masyarakat untuk membangun dukungan, menetapkan arah tindakan, mempelajari sistem pembangunan, membaca sinyal pemberi dana yang selalu berubah, dan berhasil beroperasi di dalam sistem itu. Ini pada dasarnya tentang politik dan administrasi. Beberapa yurisdiksi, besar dan kecil, sangat berhasil dalam proses ini, sedangkan yang lain berjuang karena mereka tidak memiliki kemampuan implementasi kritis yang diperlukan untuk pembangunan yang efektif (Xxxxxxxx 1986; Xxxxxx, Xxxxxxxx, dan Xxx 2010; Xxxxxx, Xxxxxxxxx- Xxxxxx, dan Xxxxxx 2014). IGM telah tiba sebagai pendekatan khas untuk "tindakan politik- administratif" berdasarkan arahan, pengetahuan, dan interaksi singkatnya, kapasitas manajerial. (Agranoff, 2017)
Manajemen dalam lingkup antar pemerintah dengan demikian beroperasi dalam susunan federal pemerintah, dan di tahun-tahun berikutnya pelaksana agen mereka yang diakui oleh karena itu membawa kebutuhan akan aspek kolaborasi manajerial (Xxxxxxx 2008; Eskildge dan Baer 2008). Seperti yang diungkapkan oleh studi historis terobosan Elazar (1962) tentang federalisme kooperatif, manajemen kolaboratif memang beroperasi dalam matriks federal daripada dalam hierarki atau piramida, karena tiga tingkat pemerintahan hanya berjenjang dalam hal yang terbatas. Yurisdiksi di Amerika Serikat memiliki saling ketergantungan hukum, fiskal, dan politik yang cukup sehingga, terlepas dari status resmi (dalam hal hubungan negara-lokal), mereka dapat beroperasi, atau memiliki potensi untuk beroperasi, secara independen atas nama mereka sendiri. (Syamsu, 2013)
a. Federalisme (FED)
Federalisme menurut Xxxxxxxxxxx dalam Prasojo (2005:40) adalah sebuah alat untuk menjamin dan memelihara kebebasan negara-negara yang berserikat di dalamnya, alat yang memberikan kekuatan negara-negara kecil dan lemah untuk bersaing secara internasional dan bertahan dari intervensi negara-negara yang kuat. Xxxxxxxx dalam Prasojo (2005:70) bahwa dalam federasi republik, kedaulatan dan kekuasaan negara dapat dibagi antara negara-negara bagian dan negara pusat (federal). Untuk menentukan pembagian kekuasaan antara negara-negara bagian dan negara federal, Xxxxxxxx mengusulkan digunakannya mekanisme “reserve of right” atau “residual of power”, dimana hak, kewenangan,
dan kewajiban negara federal ditetapkan secara rinci di dalam konstitusi, tetap menjadi kekuasaan negara bagian. (Syamsu, 2013)
Hak, kewajiban, dan kewenangan Negara federal dan Negara bagian di Amerika secara implisit dapat dilihat dalam konstitusi dan peraturan perundang- undangan yang ada. Di Indonesia menurut Xxxxxxxxx (2009:219-220) terjadi desentralisasi yang mengarah ke sistem federal dalam UUD 1945 (hasil perubahan kedua). Dijelaskannya bahwa adanya federal arrangements di dalam kebijakan desentralisasi atau penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia dapat terindikasi dengan jelas pada pasal 18 ayat (5) UUD 1945: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Frasa-frasa di dalam ketentuan tersebut menunjukkan pemberian sisa kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan kepada Daerah. Ketentuan ini menyiratkan kesamaan dengan prinsip pemberian reserve of power pada negara-negara bagian di dalam sistem negara federal.
Desentralisasi yang mengarah ke sistem federal juga dapat dilihat dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 22 Tahun 1999 menunjukan kesamaan ciri-ciri pembagian urusan pemerintahan dalam sistem federal. UU No. 22 Tahun 1999 menyebutkan kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Hal yang sama masih
ditetapkan juga di dala UU No. 23 Tahun 2014. Ada kesesuaian antara sistem penyerahan kewenangan di dalam kedua undang-undang ini dengan sistem penyerahan sisa kewenangan atau kekuasaan (reserve of power) di negara federal sebagaimana dikemukakan oleh Xxxxxx dalam Hendratno (2009:222) bahwa di negara federal konstitusi memerinci satu per satu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. (Syamsu, 2013)
Penggunaan istilah seluas-luasnya menimbulkan arti pemberian kewenangan yang sebesar-besarnya atau semaksimal mungkin kepada Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Prinsip yang seluas-luasnya mengambarkan bahwa pembagian urusan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut UU No.23 Tahun 2014 memiliki derajat desentralisasi tinggi.
UU No. 23 tahun 2014 juga menjelaskan penyelenggaraan urusan pemerintaha memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan yang antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan.
b. Hubungan Antar Pemerintahan (Intergovernmental Relations - IGR)
Intergovernmental Relations (IGR), merupakan sebuah istilah/konsep yang muncul pada tahun 1940. Istilah/konsep ini menjelaskan perubahan karakter federalisme Amerika dengan munculnya The Annals Vol.207 tahun 1940 berjudul “Intergovernmental Relation in the United States” yang berisi 26 artikel yang
mencakup bukan saja hubungan national-state, interstate, dan national-local, tapi juga hubungan regionalism dan inter-local. Sebelumnya IGR sebagai suatu konsep, muncul tahun 1930an (Xxxxxx 1975). Dokumentasi formal yang menggunakan istilah tersebut adalah Xxxxxx (1937). Namun orang pertama yang mempopulerkan istilah itu adalah Xxxxxxx Xxxxxxxx di tahun 1930an (Xxxxxxxx 1960). Dua penggalan overview Xxxxxxxx membantu menemukenali dan mendefinisikan IGR:
Intergovernmental Relation (IGR) adalah kumpulan aktivitas atau interaksi penting yang terjadi antara unit-unit pemerintahan di semua jenis dan level sistem federal Amerika Serikat …
Intergovernmental Relation (IGR) adalah manusia yang berpakaian kantor sebagai penentu ril bagaimana seyogyanya hubungan antar unit pemerintah. Dengan demikian, konsep IGR harus dirumuskan dalam istilah hubungan manusia dan perilaku manusia (Anderson 1960:3).
Xxxxxx (1982) menjelaskan bahwa dalam satu hal, tidak ada hubungan antar pemerintah; yang ada hanyalah hubungan sesama pejabat yang mengarahkan berbagai peran dari sejumlah unit pemerintahan. Hal yang tak bisa dibuktikan di sini namun penting untuk dicatat bahwa dimensi manusia sebagai hal paling penting yang membedakan IGR dengan federalisme. Selain itu, konsep IGR tidak mengandung perbedaan status hirarkis, meskipun keberadaannya tidak mengesampingkan perbedaan-perbedaan kekuatan tersebut, juga tidak berarti seperti yang sering terjadi pada sistem federalisme, bahwa tingkat nasional secara inheren superior. (Syamsu, 2013)
Sanford dalam Xxxxxx (1982) mengemukakan beberapa ide yang signifikan dengan keberadaan IGR di Amerika Serikat yaitu (1) Pemerintah
nasional tidak mampu secara efektif mencapai tujuan tanpa kekuatan dan dukungan negara; (2) Negara-negara bagian tidak dapat melayani seluruh masyarakat tanpa kekuasaan pemerintah nasional; (3) Kota tidak dapat mengatasi masalah tanpa kekuasaan pemerintah nasional ditambah kekuasaan negara; (4) Pemerintah pusat dan kekuasaan Negara tidak dapat melakukan tugas mereka tanpa kekuatan dari pemerintah kota. Sehubungan dengan ini, Xxxxxxxx mendefinisikan IGR sebagai interaksi yang terjadi antara unit pemerintah dari semua jenis level dalam sistem federal (US). Interaksi di masing- masing level pemerintahan dilakukan oleh sejumlah aktor penting. (Syamsu, 2013) Hubungan antar pemerintahan di negara federal ditunjukkan dengan model hubungan nasional/negara/lokal seperti berikut:
Gambar 3. Tiga Model Hubungan Antar Pemerintahan di Amerika Serikat
PENUNJUKAN: | Koordinate | overlapping | inklusif |
HUBUNGAN: | independen | tergantung | saling tergantung |
WEWENANG : | otonomi | penawaran | Hirarki |
Pemerintahan negara
Pemerintah Nasional
Pemerintah Nasional
N-S
Pemerintah Negara
Peme rintah Lokal
Nas/ Neg/ Lkl
n/L
S/L
Pemerintah Lokal
Pem. nasional
Pem. negara
Pem. Lokal
Sumber: Xxxxxx, Xxxx S. 1982. Understanding Intergovernmental Relations, Second Edition, California.
Gambar 3. menunjukkan tiga model hubungan antara otoritas nasional, negara bagian, dan kekuasaan lokal di Amerika Serikat. Model tersebut seperti
kebanyakan model sederhana yang masih jauh dari model yang menampilkan kompleksitas dan realitas pemerintahan. Ketiga model dalam gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Model Koordinat Kekuasaan.
Model ini hubungan antar jenjang pemerintahan (IGR), memiliki batas- batas berbeda secara tajam dan terpisah dari pemerintah nasional dan pemerintah negara bagian. Unit lokal, bagaimana pun, termasuk dalam dan bergantung terhadap pemerintah negara bagian. Ekspresi yang paling klasik pada negara / lokal, adalah model hubungan Dillon yang merangkum hubungan kekuasaan antara negara bagian dan lokalitas (1) tidak ada kesamaan hak dalam hukum pemerintah lokal, (2) entitas lokal adalah pihak yang tunduk pada negara dimana penciptaan dan penghapusan kekuasaan ditentukan oleh negara (pembatasan konstitusional), (3) Pemerintah lokal hanya dapat melaksanakan kekuasaan mereka yang telah ditetapkan secara tegas, (4) Pemerintah lokal adalah sekadar pelaksana kehendak legislatif. Hubungan antara negara dan pemerintah lokal/ daerah tersembunyi di balik kesederhanaan isu sentral di IGR dalam model gambar 3. Siapa yang harus memerintah? Pertanyaan filosofis mendasar ini jelas tidak dapat dijawab dalam model yang ditawarkan, walaupun tidak memiliki kekuasaan. Model pertama ini menunjukkan dua jenis entitas yang mandiri dan otonom. Keduanya hanya mungkin dihubungkan dengan tangentially atau terjadi garis singgung pada persoalan tertentu. Persoalan terjadi ketika masing-masing lingkup aksi pembelanjaan pemerintah nasional dan Negara berada dalam konflik. Hasilnya pengadilan menjadi wasit nasional / hubungan
negara. Model ini juga disebut "dual federalisme" (atau apa yang kita kenal dengan koordinat otoritas). Koordinat otoritas merupakan model usang dan tidak relevan, yang ditujukan karena situasi dan kondisi sosial dan politik. (Syamsu, 2013)
2. Model Otoritas Inklusif
Model kekuasaan yang inklusif diwakili oleh lingkaran konsentris yang mengurangi ukuran dari negara nasional hingga lokal. Daerah yang dicakup oleh setiap lingkaran mewakili proporsi kekuasaan dan dilaksanakan oleh pemegang kekuasaan yang berkaitan dengan yang lain. Jika pemerintah nasional ingin memperluas proporsi kekuasaan dalam kaitannya dengan negara dan daerah, terdapat dua strategi yang mungkin dilakukan, pertama, mengurangi kekuasaan negara atau daerah atau keduanya, atau kedua, memperbesar lingkaran pemerintah nasional dengan atau tanpa pembesaran negara atau lokal suatu lingkaran. Untuk alasan yang jelas, strategi kedua ini sering disebut “memperbesar kue”
Kedua strategi tersebut dapat dipahami dengan menggunakan “Games theory”. Teori ini merupakan cara sistematis mempelajari perilaku dalam situasi pengambilan keputusan. Teori permainan mengasumsikan bahwa, “semua peserta berusaha mengoptimalkan perilaku/tindakan/ usaha mereka masing- masing dan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan kerugian dalam batas-batas perilaku yang dibolehkan (dianalogikan dengan permainan). Hasilnya terlihat tidak hanya tergantung pada perilaku salah satu peserta, tetapi pada tanggapan dari peserta lainnya juga. (Syamsu, 2013)
Strategi pertama di atas (tipe I) adalah kasus klasik bagai tiga orang yang melakukan permainan-seperti poker. Jumlah kemenangan para pemain sama dengan jumlah kekalahan dalam permainan mereka. Sebuah ilustrasi tentang hal ini dalam konteks IGR adalah kasus Pemerintah nasional membuat undang- undang negara bagian dan lokal yang menetapkan upah minimum dan persyaratan jam kerja maksimum bagi tenaga kerja. Disini pemerintah nasional memperluas kekuasaannya dan membatasi/mengurangi kekuatan negara/lokal. Kekuasaan yang diperoleh nasional sama dengan kehilangan kekuasaan negara dan lokal. Jika Mahkamah Agung tidak berlaku tegas/adil, negara dan pemerintah lokal akan diminta untuk membayar biaya tenaga kerja yang tinggi/mahal. Dengan demikian, sama dengan keuntungan nasional negara / kerugian lokal.
Strategi kedua di atas (tipe II), atau 'memperbesar kue’, disebut tidak konstan dalam jumlah permainan. Semua peserta dalam jenis permainan ini bisa "menang" atau menciptakan keuntungan. Mungkin ilustrasi IGR terbaik dari tipe II menggunakan penetapan jumlah dana tidak tetap (nonkonstan) dalam bentuk hibah bersyarat bantuan sebagai strategi. Pihak nasional dapat memperbesar jumlah dana hibah kepada negara dan lokal. Persyaratan dalam bantuan merupakan sebuah beban (kerugian) bagi negara dan lokal, tetapi karena manfaat yang diperoleh jauh lebih besar (sangat menjanjikan) maka ini merupakan sebuah keuntungan besar bagi negara dan lokal. Ilustrasi dari dua strategi di atas diharapkan kebijakan IGR nasional lebih memilih strategi kedua (tipe II) seperti hibah bantuan daripada ke arah strategi pertama (tipe I).
Dalam model kedua ini dapat disimpulkan bahwa Semakin besar atau luas kekuasaan yang dimiliki pada level nasional, maka akan semakin kecil atau sempit kekuasaan yang didapat/dimiliki oleh pemerintahan level negara dan lokal. Demikian sebaliknya, apabila kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada negara dan lokal, maka akan semakin kecil atau sedikit kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh nasional. Tetapi yang perlu disadari adalah bahwa sebesar/seluas apa pun kewenangan yang dimiliki oleh negara dan lokal, tidak akan melebihi kewenangan nasional. (Syamsu, 2013)
3. Model Tumpang Tindih Kewenangan
Model tumpang tindih kewenangan memberikan tiga informasi, pertama, masing-masing lingkaran menunjukkan bidang/urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan baik level nasional, negara maupun lokal; kedua, masing-masing lingkaran memiliki wilayah otonom atau wilayah yurisdiksi tunggal/independen; ketiga, terdapat wilayah tumpang tindih kewenangan yang berkaitan dengan urusan pemerintahan tertentu (misalnya urusan pendidikan, kesehatan). Pada wilayah ketiga (tumpang tindih kewenangan) inilah yang menjadi wilayah tawar-menawar (lobi/negosiasi) urusan dalam bentuk program/proyek.
Model overlapping sebagai model yang paling representatif dari praktek model IGR. Setiap level pemerintahan mempunyai kewenangan yang sama dalam berbagai sektor. Untuk itu diperlukan tawar-menawar atau “negosiasi” dalam menggunakan kewenagan itu pada masing-masing level. Singkatnya, karakteristik dari model otoritas yang tumpang tindih adalah (1) terbatas,
kekuasaan yang tersebar, (2) salingketergantungan, (3) memiliki batas wilayah otonomi, (4) tawar-menawar - hubungan perubahan, (5) kerjasama dan kompetisi.
Model overlapping dapat dipahami dalam konteks hubungan antar pemerintahan di Indonesia. Proses desentralisasi yang dilakukan telah membawa implikasi signifikan pada hubungan antara pejabat di pemerintah pusat dengan pejabat di daerah maupun dengan entitas politik secara umum di daerah. Gebrakan yang dilakukan oleh kebijakan desentralisasi pada tahun 1999 telah meruntuhkan hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten dan kota (Mubarak, dkk., 2006; Haris, 2005). Label ‘Daerah Tingkat’, yaitu provinsi sebagai Daerah Tingkat I dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II juga dihapuskan untuk mempertegas model relasi yang lebih horisontal antara provinsi dengan kabupaten. Otonomi dan kekhasan antar desa juga dipertegas sehingga pola relasi yang lebih horisontal juga lebih dominan daripada sebelumnya. (Xxxxxxxxxx, 2009)
Pergeseran hubungan antar organisasi pemerintah juga telah menggeser perhatian pada teori-teori organisasi tradisional. Asumsi-asumsi yang dibangun seringkali menempatkan organisasi sebagai unit yang koheren dan mandiri. Menurut asumsi ini, ada hubungan langsung antara bentuk ideal organisasi dengan logika hirarkis. Varian-varian studi yang berkembang kebanyakan berkisar antara proses pembuatan keputusan dalam organisasi (Allison, 1971) dan model-model koordinasi melalui mekanisme kontrol (Xxxxxx, 1985). Oleh karena model ini hanya mengatur dalam tubuh organisasi itu saja, maka model
ini sering disebut model intra-organisasi. Hal ini berbeda dengan hubungan antar/inter organisasi.
Jaringan antar organisasi pemerintah ini dapat dimengerti, karena para aktor tidak bakal mampu mencapai tujuan-tujuannya tanpa menggunakan sumber daya-sumber daya yang dimiliki oleh aktor lain. Mekanisme kesalingtergantungan ini berjalan melalui adanya pertukaran sumber daya antar aktor (Rhodes & Marsh, 1992; Rhodes, 1997). Kemudian, interaksi dan mekanisme pertukaran sumber daya dalam jaringan itu akan terjadi secara berulang-ulang dan terus-- menerus dalam jangka waktu yang lama dalam kehidupan keseharian (Xxxxxx, 1997; Xxxxxx & Marsh, 1992; Xxxxx & Xxxxxxxxx, 2000). Keberulangan yang menunjukkan adanya sifat kontinuitas proses itu kemudian secara bertahap akan memunculkan suatu aturan yang mengatur perilaku mereka dalam jaringan, dari yang paling rendah tingkat mengikatnya (binding) sampai pada yang paling kuat. Dengan demikian, terbangunnya dan diterimanya aturan-aturan oleh para pelaku jaringan hanya bisa berjalan melalui proses negosiasi yang berlangsung terus menerus, tanpa ada kekuatan kekuasaan (centrum of power) yang memaksakannya. (Syamsu, 2013)
Penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan memunculkan adanya inter-koneksi dan inter-dependensi. Hal ini disebabkan keterkaitan dari urusan pemerintahan tersebut sebagai suatu sistem. Urusan yang menjadi kewenangan pusat tidak akan berjalan optimal apabila tidak terkait (inter-koneksi) dengan provinsi dan kabupaten/kota. Demikian juga sebaliknya. Untuk itu diperlukan adanya koordinasi untuk menciptakan sinergi dalam melaksanakan kewenangan
dalam mengelola urusan-urusan tersebut. Namun demikian setiap level mempunyai kewenangan penuh (dependensi) untuk mengelola urusan pemerintahan yang menjadi domain kewenangannya. (Suwandi, 2009)
Hubungan kewenangan antara daerah otonom provinsi dengan daerah otonom kabupaten/kota tidaklah bersifat hirarkhis lagi. Daerah otonom provinsi mempunyai kewenangan mengurus urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten/kota (regional) yang berdampak regional. Sedangkan daerah otonom kabupaten/kota mempunyai kewenangan menangani urusan-urusan pemerintahan yang berskala lokal yang dampaknya lokal. Keterkaitan antar kewenangan dan dampak adalah untuk menjamin akuntabilitas dari penyelenggaraan otonomi daerah tersebut. Pemerintah kabupaten/kota akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak lokal. Pemerintah provinsi akan bertanggung jawab atas urusan-urusan pemerintahan yang berdampak regiona (Suwandi, 2009).
Hubungan antar pemerintahan di Indonesia diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah. Selanjutnya dijelaskan bahwa Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya; Hubungan sebagaimana dimaksud meliputi hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya; Hubungan
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya dilaksanakan secara adil dan selaras; Hubungan wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya menimbulkan hubungan administrasi dan kewilayahan antarsusunan pemerintahan.
Penataan hubungan antar pemerintahan di dalam undang-undang Pemerintahan Daerah juga dijelaskan oleh Xxx’xx Xxxx (2008:123). Undang- Undang tersebut kontras dengan praktek-praktek sebelumnya yaitu secara eksplisit menyatakan bahwa tak ada hubungan hirarkis antara pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Karena itu, untuk pertama kalinya dalam sistem pemerintahan di Indonesia, pemimpin pemerintahan daerah di kabupaten/kota memberikan perhatiannya kepada mitranya di provinsi sebagai kebalikan arah komunikasi top-down. (Syamsu, 2013)
Para pihak yang menjadi subjek kerjasama dalam kerjasama daerah meliputi: gubernur, bupati, wali kota, dan pihak ketiga. Objek kerjasama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik. Kerjasama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerjasama. (Syamsu, 2013)
1.1.3. Dimensi-Dimensi Intergovermental Management (IGM)
Sistem antar pemerintah menghadapi tantangan-tantangan yang muncul yang didorong oleh tren ekonomi, teknologi, dan demografi abad kedua puluh satu. Seiring bertambahnya usia populasi bangsa, semua tingkat pemerintahan
akan menghadapi pilihan fiskal baru dan lebih sulit yang akan menguji kapasitas sistem kita untuk menanggapi kebutuhan yang muncul. Pada saat yang sama, kapasitas kelembagaan menganalisis perubahan ini, untuk menilai implikasinya terhadap sistem antar pemerintah, dan untuk menyusun tanggapan kebijakan yang masuk akal dan efektif telah berkurang. Khususnya di tingkat nasional, infrastruktur analitis dari entitas cabang eksekutif, subkomite legislatif, dan lembaga federal independen yang secara bertahap dibangun selama bertahun- tahun telah dipangkas dan dibiarkan terkikis, sehingga melemahkan kapasitas kelembagaan. (Xxx & Xxxxxxxxxx, Hanjorg, 2015)
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang menjadi pembeda antara IGM dengan Federalisme dan IGR adalah karakteristiknya yaitu (1) aktor pemimpin (leading aktors), (2) pusat/sasaran perhatian (central features), (3) pola kewenangan (authority patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods). Selain sebagai pembeda, keempat ciri utama inilah yang kemudian membangun sebuah pola hubungan yang dinamakan IGM. Berikut ini merupakan penjelasan singkat tentang masing-masing ciri utama IGM tersebut. (Syamsu, 2013)
a. Aktor Utama (Leading Aktors)
Aktor pemimpin atau partisipan utama dalam IGM yaitu, pertama para profesional program/kebijakan, kedua, generalis administratif, misalnya manajer kota. Pelaku utama dalam tahap IGM adalah ‘teknokrat” (Beer 1993) dan “profesional kebijakan” (Peterson xx.xx 1986); Politik partisan dalam IGM berada di level sedang, atau setidaknya level minimal. Implementasi program yang efektif
dan strategi pemecahan masalah dalam penyerahan pelayanan merupakan fokus utama atau inti dalam IGM.
Aktor utama sebagaimana disebutkan di atas (para teknokrat dan para professional program) juga secara struktural/hirarkis telah digambarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian FED dan IGR untuk kondisi Indonesia. Seperti aktor utama dalam perumusan kebijakan di Indonesia, khususnya di level provinsi dan kabupaten/kota. Setiap aktor tentunya diberi peran/kewenangan masing-masing sesuai dengan pola kewenangan yang dibangun. Pola kewenangan ini akan dibahas tersendiri sebagai salah satu komponen/karakteristik IGM. (Syamsu, 2013)
b. Pusat/Sasaran Perhatian (Central Features)
Tujuan atau nilai yang cenderung mendominasi IGM adalah mencapai hasil program yang positif melalui ketrampilan manajemen publik (Xxxxxx 1990a); Sarana utama dalam memecahkan masalah IGM adalah melalui metode bargaining, negosiasi, dan pengelompokan masalah. Ketika masalah tidak dipecahkan, maka perbedaan tetap dibiarkan, ditolerir, diakomodasi, dan dihadapi dengan IGM. (Agranoff, 2017)
Conlan dan Posner (2008) juga mengemukakan sejumlah alat inti dari penyelenggaraan manajemen hubungan antar pemerintahan yakni (a) tujuan/sasaran, (b) pengukuran, (c) insentif dan (d) sanksi. Berkenaan dengan
karakteristik sasaran utama, alat inti yang dibahas di sini adalah tujuan/sasaran dan pengukuran, karena kedua alat ini saling terkait/menunjang dalam menjelaskan keberhasilan IGM.
1. Penetapan Tujuan Kerjasama.
Penetapan tujuan kerjasama dalam penelitian ini dipahami sebagai sebuah komponen atau variable IGM yang oleh Xxxxxx and Xxxxxxxx dalam Xxxxx, Xxxxxxxx, Xxxxxx (2007:446) disebut sebagai Central Features atau pusat perhatian. Tujuan yang sama dari masing-masing organisasi pemerintahan yang memiliki otoritas sendiri-sendiri cenderung mengarahkan segala potensi yang dimiliki (otoritas, sumber daya) untuk mencapai tujuan secara bersama. Oleh karena itu, tujuan/ sasaran organisasi menjadi pusat perhatian terbangunnya intergovernmental management (IGM).
Tujuan, terutama yang spesifik dan menantang, mengisi fungsi pendorong kinerja baik individu maupun organisasi. Tujuan mempengaruhi kinerja melalui empat cara yaitu fungsi direktif, fungsi pendorong, ketekunan, dan fungsi perangsang yang merangsang penemuan dan penggunaan pengetahuan dan strategi terkait tugas (Xxxxx and Latham, 2002). Namun demikian, tujuan pun bisa mengecewakan, manakala target tidak serealistis dengan pengetahuan, skill, atau sumberdaya yang ada. Agar mudah dilaksanakan, tujuan harus menantang dan realistis. Bila tidak, tujuan hanya membuat jengkel dan melesukan. (Syamsu, 2013)
Penetapan tujuan harus mempunyai perhatian terbatas sebagai alat pemerintah untuk mempengaruhi. Satu pengecualian, sebuah studi tentang pernyataan misi sekolah, secara tentatif menyimpulkan bahwa penegasan misi dapat mempengaruhi kinerja. Pernyataan yang dibahasakan dalam secara aktif, dengan beberapa rencana bersasaran outcome, tingkatkan kinerja sekolah daripada pernyataan yang dibahasakan secara pasif dengan multi rencana atau rencana yang fokus pada proses atau perilaku.
Kesamaan sasaran, perbedaan sasaran dalam hubungan antar pemerintahan tentu ada. Perbedaan nilai dan biaya pencapaian sasaran tentu menimbulkan debat tentang seleksi sasaran pemerintah dan ketepatan portofolio sasaran bersama. Konflik tersebut menyebar ke beberapa level pemerintah, terutama ketika sasaran ditetapkan oleh satu level membebankan biaya ke level lainnya. Perbedaan prioritas sasaran tidak menyangkut issu dorongan sasaran pemerintah nasional. Permasalahan muncul ketika Kongres mewajibkan lokal mengadopsi sasaran dan mengancam dengan hukuman. Permasalahan juga muncul manakala adopsi sasaran diwajibkan sebagai syarat baru yang menyertai grant hubungan antarpemerintahan yang secara rutin diberikan setiap tahun. Potensi konflik yang lain adalah apabila resistensi/daya tahan sasaran state dan lokal terhadap seleksi sasaran yang dilakukan oleh federal tanpa input dari state dan local dan kekhawatiran bahwa sasaran tersebut harus dicapai dengan cara- cara yang tidak mengindahkan state atau local (Conlan & Posner, 2008).
Di negara-negara serikat, kesepakatan tentang sasaran spesifik antara state dan lokal bisa menyinggung penetapan sasaran federal (Conlan dan Posner
(2008:214). Akan tetapi di negara kesatuan seperti Indonesia, penetapan tujuan/sasaran provinsi dan tujuan/saran kabupaten/kota harus merujuk pada tujuan/sasaran nasional. Kesepakatan-kesepakatan khusus yang dibangun antara provinsi dan kabupaten/kota sebagai landasan kerjasama juga tentunya merujuk pada kesepakatan nasional. Konflik terjadi apabila kerjasama antar level pemerintahan terbangun, sedangkan tujuan dan sasaran dalam rencana strategis masing-masing level pemerintahan tidak disepakati baik dari sisi prioritas, standar pengukuran, maupun waktu pengukuran secara bersama.
Conlan dan Xxxxxx (2008) mengingatkan bahwa kesamaan dan perbedaan (disonansi) sasaran intergovernmental (IG) tentu ada. Perbedaan nilai dan biaya pencapaian sasaran/tujuan tentunya menimbulkan debat tentang seleksi sasaran pemerintah dan portofolio sasaran bersama. Konflik ini menyebar ke beberapa level pemerintah, terutama ketika sasaran ditetapkan oleh satu level dan membebankan biaya ke level lainnya. Untuk mengurangi konflik, maka dibutuhkan negosiasi antar pihak yang sedang menentukan sasaran bersama. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Proses menuju kesepahaman untuk membangun kerjasama tentunya melalui tahapan negosiasi. Negosiasi dilakukan oleh pihak aktor yang memiliki otoritas dan kemampuan untuk itu. Negosiasi adalah proses-proses pembuatan keputusan memberi dan menerima yang melibatkan pihak-pihak yang saling terkait dengan preferensi berbeda (Xxxxxxxx dan xxxxxxx (2000:180). Ada dua tipe negosiasi (Kreirner dan Xxxxxxx 2000:180, Xxxxxxx, 2007:190) yaitu negosiasi
distributive dan negosiasi integrative dengan sejumlah karakteristik seperti ditampilkan dalam tabel 5.
Xxxxxxx (2007) menyarankan agar negosiasi yang dilakukan hendaknya mengikuti proses negosiasi dengan tahapan (1) persiapan dan perencanaan, (2) penentuan aturan dasar, (3) klarifikasi dan justifikasi, (tawar-menawar dan pemecahan masalah, (5) penutupan dan implementasi (Xxxxxxx, 2007). Negosiasi dalam rangka pelaksanaan pendidikan garatis antara pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota termasuk dalam kategori tipe negosiasi integratif.
2. Pengukuran
Conlan dan Xxxxxx (2008) mengingatkan bahwa pengukuran merupakan alat ampuh bagi intergovernmental yang mampu meningkatkan kinerja dan memperkuat akuntabilitas tanpa merusak fleksibilitas state dan local. Pengukuran digunakan untuk mengukur sasaran. Pengukuran juga menunjuk pada pemilihan sasaran, strategi, dan taktik. Pengukuran berfokus outcome, mendukung penetapan sasaran, penguatan sasaran, dan pencapaian sasaran. Pengukuran juga berfungsi untuk mengkontribusi peningkatan kinerja, memotivasi. Kegagalan mengukur kemajuan ke arah sasaran prioritas menandakan prioritas sertaan, kenyataannya bukan prioritas. Pengukuran juga mendukung kerjasama sesama pihak.
Xxxxx dan Xxxxxx dalam Conlan dan Ponser (2008) mengemukakan evolusi pengukuran intergovernmental bidang pendidikan dengan mempersoalkan data pendidikan ke pemerintah untuk diorganisasir dan dipublikasi dalam bentuk tabel
data guna menginformasikan keberhasilan program. Beberapa hal yang dipersoalkan dalam pengukuran berkaitan dengan data yang terstandar antara lain berkenaan dengan alat pengukuran dari program yang dilaksanakan. Standar pengukuran berkaitan dengan jenis alat yang digunakan, tingkat capaian (outcome), waktu pengukuran, informasi/data tentang pelaksanaan program, pihak penyedia informasi, dan pihak pengguna informasi. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
c. Pola Kewenangan (Authority Patterns)
Karakter khas otoritas hubungan tergambar melalui IGR. Bilamana di FED adalah supremasi nasional (hirarki kontingen) dan di IGR adalah hirarki yang diakui (pengaruh asimetris), maka karakter dalam IGM adalah jejaring atau matriks pengaruh non hirarkis (Mandell 1990); Entitas yurisdiksional yang merupakan partisipan utama dalam IGM adalah entitas pemerintahan nasional, state, dan local adalah struktur tempat IGM berfungsi. Dalam hal ini, IGM beroperasi pada landasan institusional yang sama dengan FED dan IGR.
Berdasarkan pemahaman tersebut di atas, maka landasan hukum (UUD 1945, UU No. 23 Tahun 2014, dan peraturan-peraturan lainnya) untuk kondisi Indonesia yang telah dijelaskan dalam bagian FED dan IGR menjadi landasan beroperasinya IGM. Namun seperti disinggung sebelumnya, IGM melibatkan banyak unit pemerintah (Agranof, 1990). IGM mencakup tingkat pembuat kebijakan administrasi/manajemen (kontinum kebijakan administrasi) dan kebanyakan berada pada sektor swasta dan/atau sektor non profit dalam proses pemberian pelayanan. Elemen terakhir ini disebut bauran sektor publik-swasta,
atau “jajaran aktor publik dan swasta” dengan “keanggotaan dalam beberapa struktur implementasi” (Agranoff, 2017).
d. Metode Penyelesaian Konflik (Conflict Resolution Methods)
Metode penyelesaian konflik merupakan sebuah komponen penting dalam IGM. Para pihak yang membangun jaringan kerjasama tentunya menyadari bahwa ada sejumlah potensi konflik yang menyertai kerjasama yang dibangun. Potensi konflik ini dipahami sebagai sumber-sumber konflik. Bila demikian halnya, maka para pihak yang terlibat dalam kerjasama harus pula menyediakan sejumlah metode untuk menyelesaikan konflik.
Sumber konflik menurut Xxxxxxx (1995), bisa bersumber dari: saling ketergantungan pekerjaan, ketergantungan pekerjaan satu arah, formalisasi yang rendah, ketergantungan pada sumber bersama yang langka, perbedaan pada kriteria evaluasi dan sistem imbalan, ketaksesuaian status, ketakpuasan peran, dan distrosi komunikasi. Sejumlah sumber konflik yang teridentifikasi ini tentunya ada yang dominan dan ada yang tidak dalam kerjasama yang dibangun.
Berkenaan dengan konflik yang terjadi, Xxxxxxx (1995) juga mengemukakan sejumlah teknik resolosi atau motode penyelesaian konflik yaitu melalui tujuan superordinate, mengurangi kesalingtergantung-an antar unit, perluasan sumber daya, pemecahan masalah bersama, sistem naik banding, wewenang formal, interaksi yang makin bertambah, kriteria evaluasi untuk seluruh organisasi dan sitem pemberian imbalan, pembauran unit yang berkonfliik. (Syamsu, 2013)
Pola hubungan antarpemerintahan telah dijelaskan dalam perspektif IGM tentang IGR. Terdapat tiga pola hubungan yaitu pertama, pola koordinat kekuasaan yang menunjukkan hubungan antara pemerintahan nasional dengan negara bagian memiliki batas-batas berbeda secara tajam, sementara unit lokal termasuk di dalam dan bergantung pada pemerintah negara bagian. Kedua, pola otoritas inklusif hubungannya saling tergantung dan bersifat hirarki. Ketiga, pola tumpang tindih kekuasaan hubungannya tergantung dan memiliki wewenang penawaran. Wewenang penawaran inilah yang membutuhkan kemampuan berkomunikasi para aktor dalam bernegosiasi tentang kepentingan masing- masing pihak. Model hubungan tumpang tindih tersebut kemudian menimbulkan anomali-anomali. Anomali inilah yang mendorong IGR untuk menghadirkan konsep manajemen, sehingga melahirkan konsep baru bernama IGM. Kehadiran konsep IGM mempersyaratkan empat komponen penting yaitu (1) aktor pemimpin (leading aktors), (2) pusat/sasaran perhatian (central features), (3) pola kewenangan (authority patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods). Aktor memiliki peranan penting dalam bernegosiasi untuk menentukan sasaran utama dari kerjasama, menyepakati pola-pola kewenangan antar pihak yang bekerjasama, dan juga menyepakati metode-metode penyelesesian konflik yang memungkinkan apabila terjadi konflik dalam kerjasama yang dibangun. Kehadiran konsep IGM adalah untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di dalam IGR. Oleh karena itu dikatakan bahwa keempat komponen tersebut sebagai pembeda IGM dengan IGR dan FE. (Syamsu, 2013)
Perubahan demografis, teknologi, dan sosial membentuk kembali ekonomi negara dan menciptakan tantangan baru bagi pemerintah di semua tingkatan. Tanpa perubahan kebijakan, akan terus tumbuh lebih jauh di tahun-tahun berikutnya. Anggaran negara juga diproyeksikan menjadi semakin didominasi oleh pengeluaran perawatan kesehatan, menekan kapasitas fiskal yang dibutuhkan untuk menangani infrastruktur, pendidikan, dan tuntutan lain yang muncul. Sistem pendapatan negara bagian dan lokal menghadapi tantangan baru dari ekonomi yang lebih mengglobal dan teknokratis dengan sumber perdagangan dan pendapatan yang lebih mobile yang dapat menghindari jangkauan otoritas perpajakan di tingkat pemerintahan sub-nasional, dan bahkan nasional. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Batas dan kendala fiskal, bagaimanapun, belum diterjemahkan ke dalam ekspektasi publik yang dirampingkan untuk pemerintah. Justru sebaliknya: harapan publik untuk tanggapan pemerintah terhadap masalah publik dan swasta yang lebih luas telah mendorong pertumbuhan dalam jumlah, ukuran, dan kompleksitas inisiatif dan program pemerintah. Yang paling penting, masalah publik utama dan tanggapan kebijakan beberapa tahun terakhir ini sebagian besar bersifat antar pemerintah. Sifat tantangan kebijakan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengatasinya bukanlah milik satu tingkat pemerintahan, alih- alih masalah dan solusi untuk tantangan yang muncul tersebar luas di seluruh sistem antar pemerintah kita.
Dengan demikian, program dan kekayaan fiskal dari semua tingkat pemerintahan menjadi lebih saling terkait dan saling bergantung daripada
sebelumnya. Dari perspektif federal, prioritas program negara bagian dan lokal, kapasitas manajemen, dan sumber daya fiskal telah menjadi lebih penting bagi keberhasilan inisiatif nasional di bidang-bidang seperti perawatan kesehatan, pendidikan, keamanan tanah air, dan pengelolaan lingkungan. Karena berbagai inisiatif federal telah berkembang, demikian juga jangkauan program federal, sumber daya, dan mandat ke dalam jangkauan yang lebih luas dari kegiatan negara bagian dan lokal yang sampai sekarang sebagian besar tidak tersentuh oleh sistem antar pemerintah. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Meskipun mungkin untuk merancang kebijakan yang menangani aspek- aspek pengelolaan lingkungan ini sehingga melibatkan regulasi langsung oleh pemerintah negara bagian atau nasional, realitas politik dan praktis untuk sistem pemerintahan multitier mengarah pada tata kelola bersama dari fungsi-fungsi ini. Dalam sistem pemerintahan federalis, pemerintah negara bagian dan lokal berbagi tanggung jawab ini. Dalam sistem pemerintahan kesatuan, fungsi-fungsi ini dibagi oleh pemerintah pusat dan daerah. Sifat kemitraan itu penting. Di Amerika Serikat, sejumlah negara bagian telah mengarahkan pemerintah daerah untuk melindungi lingkungan sensitif atau merencanakan pertumbuhan. Dalam beberapa kasus, mereka telah mengikuti persyaratan yang dikenakan pada pemerintah federal. Namun, persyaratan negara bagian dan federal dianggap oleh banyak pejabat pemerintah daerah sebagai terlalu preskriptif dan memaksa. Mereka mengeluh tentang kegagalan pemerintah tingkat yang lebih tinggi untuk mendanai biaya implementasi, kurangnya fleksibilitas dalam tindakan yang diperlukan, dan beralih kepada mereka dari kesalahan politik atas pelanggaran
hak milik. Sebagai konsekuensi dari keprihatinan ini, pemerintah daerah enggan menjadi mitra dalam pengaturan antar pemerintah. (Xxxxx X.Xxx, 2003)
Menambah kompleksitas pada tantangan fiskal, demografis, dan administratif ini adalah perubahan yang berkorelasi dalam sistem politik kita. Proses politik, akses, dan komunikasi semuanya dipengaruhi oleh perubahan teknologi, keuangan, dan organisasi. Perubahan-perubahan ini, pada gilirannya, mengubah distribusi kekuasaan dalam sistem antar pemerintah, yang seringkali merugikan pemerintah negara bagian dan lokal. Ledakan kelompok kepentingan dan pelobi, menjamurnya bentuk-bentuk media baru, dan perubahan dalam sistem partai politik semuanya mempengaruhi proses kebijakan nasional. Mereka juga telah berkontribusi pada munculnya lebih mementingkan diri sendiri, perilaku oportunistik di antara para aktor dalam sistem antar pemerintah, seperti yang disaksikan oleh pertumbuhan terus-menerus hibah kategoris dan ledakan alokasi dalam sepuluh tahun terakhir. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Keengganan ini menciptakan dilema tata kelola bersama untuk desain kebijakan antar pemerintah untuk pengelolaan. Kerjasama pemerintah daerah sangat penting untuk melembagakan peraturan pembangunan yang tepat dan kontrol atas penggunaan lahan. Namun, kemitraan antar pemerintah yang diperlukan antara pemerintah negara bagian dan lokal untuk fungsi-fungsi ini berpotensi tidak stabil dan terkadang tidak mungkin untuk diwujudkan. Hal ini karena pejabat pemerintah negara bagian dan lokal tidak selalu setuju tentang kesesuaian kontrol atas pembangunan atau penggunaan lahan untuk tujuan lingkungan. Pejabat negara umumnya menghadapi tekanan untuk mengatasi
kerusakan lingkungan, dan karena itu ingin pemerintah daerah melakukan aspek- aspek pengelolaan lingkungan ini. Sebaliknya, pejabat lokal umumnya menghadapi tekanan kuat untuk mendorong pembangunan, daripada membatasinya. Mereka sering enggan menerapkan jenis pembatasan yang diinginkan pejabat negara. Tentu saja ada variasi dalam tekanan-tekanan ini yang mengarah pada perbedaan di antara negara-negara bagian dalam kesediaan untuk mengamanatkan manajemen pertumbuhan atau kontrol lingkungan lainnya. (Xxxxx X.Xxx, 2003)
Tantangan-tantangan ini akan menguji kapasitas, fleksibilitas, dan kemampuan beradaptasi sistem antar pemerintah kita. Rancangan dan pengelolaan program antar pemerintah menjadi lebih penting bagi pencapaian tujuan nasional di banyak bidang. Munculnya model federal baru akuntabilitas untuk tujuan kinerja nasional dalam pendidikan, kesejahteraan, dan perlindungan lingkungan akan menguji kapasitas sistem untuk mengatasi hasil kinerja nasional sementara juga mengadaptasi program ini dengan prioritas unik, kebutuhan, dan kapasitas negara. dan sistem lokal. Bentuk tindakan kolektif negara bagian dan lokal yang muncul juga akan berdampak pada tujuan nasional baik dari negara bagian yang telah mengorganisir untuk mencapai tujuan bersama di bidang- bidang seperti merampingkan kebijakan dan administrasi pajak penjualan atau dari daerah lokal yang telah menghidupkan kembali regionalisme untuk mengatasi limpahan dan mencapai hasil kebijakan yang lebih seragam di seluruh wilayah regional. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Perbedaan antara bentuk paksaan dan kooperatif dari mandat kebijakan antar pemerintah, Setiap mandat memerlukan pengenaan persyaratan prosedural dan/atau substantif oleh pemerintah negara bagian (atau nasional) pada pemerintah daerah, baik sebagai syarat untuk bantuan atau sebagai persyaratan langsung. perintah. Setiap pendekatan secara teori dapat digunakan untuk meningkatkan kepatuhan pemerintah daerah terhadap tujuan kebijakan tingkat yang lebih tinggi. Namun, desainnya berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan penggunaan perangkat kebijakan.
Mandat antar pemerintah yang memaksa memperlakukan pemerintah daerah sebagai agen pengatur yang ditugasi untuk mengikuti aturan yang ditentukan oleh pemerintah tingkat yang lebih tinggi. Mandat ini menguraikan standar dan prosedur rinci untuk mencapai tujuan kebijakan, sehingga mengurangi kebijaksanaan negara bagian atau lokal dalam pengembangan kebijakan. Sanksi diterapkan ketika pemerintah gagal menjalankan peran yang ditentukan atau menyimpang dari resep prosedural mandat. Mandat koersif memberikan perhatian pada peningkatan kapasitas pemerintah daerah untuk mematuhi, tetapi itu adalah sekunder untuk menempatkan sistem pemantauan untuk kepatuhan dan menerapkan hukuman untuk ketidakpatuhan.
Mandat antar pemerintah yang kooperatif mencoba meningkatkan minat dan kemampuan pemerintah daerah untuk bekerja mencapai tujuan kebijakan tingkat yang lebih tinggi. Pemerintah daerah bertindak sebagai pengawas peraturan dalam mencari cara yang tepat untuk memenuhi tujuan yang mereka bagikan dengan pemerintah tingkat yang lebih tinggi. Rezim ini mungkin
menentukan perencanaan atau elemen proses yang harus diikuti (suatu bentuk mandat kebijakan), tetapi mereka tidak menentukan cara khusus untuk mencapai hasil yang diinginkan. Mandat koperasi menggunakan bantuan keuangan dan teknis untuk tujuan ganda yaitu meningkatkan komitmen pemerintah daerah terhadap tujuan kebijakan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk bertindak. (Xxxxx X.Xxx, 2003)
Saat perubahan ini terungkap, kapasitas sistem antar pemerintah kita untuk menilai dan merespons perkembangan ini secara sistematis juga akan diuji. Memantau kinerja dan kapasitas berbagai sistem mitra antar pemerintah selalu menjadi tantangan. Karena pentingnya dan relevansi manajemen antar pemerintah menjadi lebih penting untuk lebih banyak bidang kebijakan, memperoleh pemahaman yang sistematis dan kredibel tentang tren dalam kapasitas fiskal, program, dan administrasi sistem menjadi lebih penting.
Pada saat yang sama kebutuhan kita untuk memahami hubungan antar pemerintah yang kompleks tumbuh, kapasitas kelembagaan kita untuk pemantauan dan analisis antar pemerintah telah melemah. Selama seperempat abad terakhir, jaringan kecil namun tak ternilai dari kantor dan lembaga federal yang didirikan untuk membantu meningkatkan dan merasionalisasi manajemen antar pemerintah telah berkurang, dibubarkan, atau diubah menjadi instrumen advokasi. Pada saat yang sama, perhatian kongres terhadap masalah hubungan antar pemerintah dan administrasi publik juga telah terkikis karena subkomite antar pemerintah telah dihapuskan atau dikurangi posisinya. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
Akibatnya, kapasitas lembaga pembuat kebijakan kita untuk mengawasi kinerja sistem dan mengambil tindakan bersama untuk memperkuat sistem itu telah menjadi masalah yang menentukan bagi pemerintahan yang efektif di abad kedua puluh satu. Meskipun dalam beberapa tahun terakhir setiap tingkat pemerintahan telah memperkuat kapasitasnya untuk mengukur biaya dan kinerjanya, pengelolaan program dan kebijakan lintas batas belum menjadi fokus perhatian, analisis, dan reformasi bersama. (Xxxxxx & Xxxxxx, 2008)
IGM melibatkan para pihak yang mengembangkan solusi bersama sambil mengakui pentingnya, dan membuat akomodasi di antara, pertanyaan yurisdiksi- hukum, politik, dan teknis yang terlibat. Oleh karena itu IGM digambarkan sebagai proses yang kompleks dan melibatkan tindakan bersama sementara manajer yang bekerja mencari kursus yang layak (Agranoff dan Xxxxxxx 1983). Ketika para manajer bekerja di dunia nyata IGM, ketiga kekuatan penuntun itu beraksi dan pada tingkat yang berbeda-beda diterapkan pada situasi atau masalah konkret.
Percepatan dan kompleksitas urusan antar pemerintah telah membawa perhatian untuk mengelola lintas batas secara berkelanjutan. Keduanya bersifat politis dan manajerial. Memajukan satu tanpa bertindak pada yang lain demikian benar-benar sulit. Kekuatan-kekuatan ini muncul dari evolusi sistem hibah-dalam- bantuan federal, ditambah dengan peningkatan regulasi nasional dan sistem pajak terintegrasi, yang telah menyebabkan kompleksitas yang lebih besar dan interdependensi keseluruhan antara pemerintah. Proses mengatasi fungsi-fungsi baru dan diperluas ini telah menghasilkan kebutuhan untuk menangani hubungan
ini secara sistematis, oleh karena itu perhatian yang meningkat selama beberapa dekade terakhir untuk manajemen dalam analisis antar pemerintah dan dalam praktik yang diperlukan untuk memfasilitasi operasi. (Agranoff, 2017)
2.1.4. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia
a. Negara Kesatuan
Uraian mengenai konsep negara kesatuan perlu diketengahkan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dapat dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai deskripsi suatu negara kesatuan. Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan dengan baik oleh Xxxxx sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”.
Sementara itu menurut Apeldoorn, yang dikutip oleh Xxx Xxnyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak mandiri. Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan
(unitary state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. Dalam negara- negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang dipusatkan dan atau dipencarkan.
Sementara itu setelah negara-negara di dunia mengalami perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin luas, urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga negaranya semakin banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan pusat yang ada di daerah. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, pp. 18-19)
Pasca reformasi terjadi perubahan yang sangat fundamental dalam pelaksanaan pemerintahan di Indonesia, termasuk pemerintahan daerah. Tuntutan reformasi yang menghendaki adanya desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah) melahirkan pemikiran yang utuh dan selaras atas keinginan untuk menjadikan Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan otonomi yang luas. Pada dasarnya konsep negara kesatuan dapat ditinjau dari segi susunanya, yakni memiliki susunan yang tunggal. Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, sehingga tidak ada negara dalam negara. Dalam hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai kekuasaan serta
wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara, menetapkan kebijaksanaan pemerintahan dan melaksanakan pemerintahan negara baik di pusat maupun di daerah- daerah. (Wirazilmustaan, Robuwan, & Xxxxxxan, 2018) Namun dengan adanya perkembangan yang sangat signifikan terkait urusan pemerintahan terutama di daerah ditambah lagi dengan masyarakat yang semakin heterogen, acap kali menimbulkan permasalahan yang kompleks. Oleh karena itu dalam perkembangan selanjutnya, banyak negara kesatuan memodifikasi administrasi pemerintahannya melaksanakan asas desentralisasi
serta otonomi daerah. (Wirazilmustaan, Xxxxxxx, & Xxxxxxan, 2018)
Di Indonesia, terutama pasca reformasi, cita-cita untuk membentuk otonomi daerah yang sesungguhnya itu tidak hanya sekadar wacana belaka, pengaturan mengenai pemerintahan daerah diatur dalam bab tersendiri di dalam Undang- Undang Dasar Negara republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), yakni pada Bab VI mencangkup 3 pasal, antara lain Pasal 18 yang terdiri dari 7 ayat di mana dalam ketentuan tersebut, antara lain ditegaskan bahwa pemerintah daerah (baik provinsi, kabupaten, maupun kota) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. (Wirazilmustaan, Xxxxxxx, & Xxxxxxan, 2018)
Pasal 18A yang terdiri dari 2 ayat yang menegaskan mengenai hubungan kewenangan pemerintahan pusat dan daerah baik provinsi, kabupaten/ kota atau antara provinsi dan kabupaten dan kota serta hubungan keuangan antara pusat dan daerah, dan Pasal 18B terdiri dari 2 ayat mencantumkan mengenai negara yang mengakui dan menghormati pemerintahan yang berisifat khusus dan
istimewa serta kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya.
Dalam ketentuan UUD NRI 1945 pasca amandemen, ketentuan mengenai pemerintahan daerah diatur sendiri dalam Bab VI yang berjudul Pemerintahan Daerah. Dalam Pasal 18 ayat (1) dikatan :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”. (Wirazilmustaan, Xxxxxxx, & Xxxxxxan, 2018)
Berdasarkan ketentuan di atas jelas bahwa konsep pembagian kekuasaan antara pemerintahan pusat dengan provinsi dan kabupaten/ kota ini bersifat pembagian yang bertingkat- tingkat (hierarkis). Dalam organisasi yang besar (dilihat dari berbagai dimensi) dan dianut paham demokrasi, selain sentralisasi dan dekonsentrasi, diselenggarakan pula asas desentralisasi. Dengan desentralisasi, terjadi pembentukan dan implementasi kebijakan yang tersebar di berbagai jenjang pemerintahan subnasional. Asas ini berfungsi untuk menciptakan keanekaragaman dalam penyelenggaraan pemerintahan, sesuai dengan kondisi dan potensi masyarakat. Dengan perkataan lain, desentralisasi berfungsi untuk mengakomodasi keanekaragaman masyarakat, sehingga terwujud variasi struktur dan politik untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.2 (Wirazilmustaan, Robuwan, & Agustian, 2018)
b. Desentralisasi
Xxxxx Xxxxx menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang dari suatu
organisasi, jabatan, atau pejabat. Lebih lanjut Xxxxx Xxxxx berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan suatu proses. Dalam kaitan dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran kekuasaan di bidang otonomi. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, p. 29)
Sementara itu dalam perspektif politik, Xxxxx mengatakan bahwa desentralisasi adalah the transfer of power, from top level to lower level in a territorial hierarchy, which could be one of governance within a state, or offices within a large organization. Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemaknaan mengenai desentralisasi ini dapat dibedakan dalam dua perspektif, yakni perspektif desentralisasi politik yang mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan, devolutionof power, dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Sedangkan perspektif desentralisasi administrasi mendefinisikan desentralisasi sebagai delegasi wewenang adminitratif, dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. (Wirazilmustaan, Xxxxxxx, & Xxxxxxan, 2018)
Secara administratif dapat kita lihat bahwa pola hubungan kewenangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah dilahirkan dari pendelegasian kewenangan. Senada dengan hal tersebut, Xxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxxxxx menyampaikan alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi yang salah satunya ialah bahwa desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan, terutama
dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. (Wirazilmustaan, Xxxxxxx, & Xxxxxxan, 2018)
Xxxxxxxxxxxxxxxx menguraikan bahwa desentralisasi terbagi dua, yaitu ambtelijke decentralisati/deconsentratie (dekonsentrasi) dan staatkundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan). Sementara desentralisasi ketatanegaraan yang merupakan penyerahan kekuasaaan perundang-undangan dan pemerintahan (regelende en besturende bevoegheid) kepada daerah otonom, juga terbagi dua yakni, desentralisasi teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionele decentralisatie). Desentralisasi teritorial mencakup autonomie (otonomi) dan medebewind atau zelfbestuur (tugas pembantuan). Dengan perkataan lain, baik otonomi maupun tugas pembantuan, keduanya masuk dalam lingkup desentralisasi.
Van Der Pot, sebagaimana dikutip oleh Xxxxx Xxxxx, membagi desentralisasi menjadi desentralisasi teritorial yang menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan tertentu. Mengenai desentralisasi, Xxx xxx Xxx mengemukakan, tidak semua peraturan dan penyelenggaraaan pemerintahan dilakukan dari pusat (central). Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara desentralisasi berdasarkan teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional (functionaeele decentralisatie). Xxxxxx desentralisasi itu dibedakan antara otonomi dan tugas
pembantuan. Pemikiran di atas memberi pengertian bahwa tugas pembantuan merupakan salah satu bentuk dari desentralisasi. Menempatkan kedudukan yang sejajar antar desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas-asas yang terpisah merupakan suatu yang keliru. Xxxxxxxx pula, bahwa desentralisasi adalah otonomi, tetapi otonomi tidak sama dengan desentralisasi. Otonomi merupakan salah satu bentuk desentralisasi. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, p. 30)
Xxxxxx Xxxxxxx, sebagaimana dikutip oleh Xxxxx Xxxxx, menjelaskan penggolongan desentralisasi yang agak berbeda, yang terdiri atas desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi administratif (dekonsentrasi). Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat dua pandangan mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekonsentrasi. Pandangan pertama mengatakan bahwa dekonsentrasi sebagai salah satu bentuk desentralisasi sedangkan pandangan kedua beranggapan bahwa dekonsentrasi merupakan pelunakan sentralisasi menuju ke arah desentralisasi.
Ahli lain yang melakukan penggolongan desentralisasi adalah Amrah Muslimin. Menurutnya desentralisasi terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi kebudayaan. Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah tangga sendiri bagi badan- badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu”. Menurut Xxxxx Xxxxx pengertian desentralisasi politik tersebut sama
dengan desentralisasi teritorial karena faktor ‘daerah’ menjadi salah satu unsurnya. Mengenai desentralisasi kebudayaan, Xxxxx Xxxxxxxx mengartikan:
“memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama, dan lain-lain). Dalam kebanyakan Negara kewenangan ini diberikan pada kedutaan-kedutaan asing demi pendidikan warga negara masing-masing negara dari keduataan yang bersangkutan”.
Terhadap pendapat Xxxxx Xxxxxxxx mengenai desentralisasi kebudayaan di atas, Xxxxx Xxxxx berpendapat bahwa desentralisasi pada prinsipnya merupakan bentuk dari susunan organisasi negara dan pemberian atau pengakuan hak minoritas untuk mengatur dan mengurus soal agama dan pendidikan di kalangan mereka sendiri lebih tampak sebagai perwujudan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia daripada sebagai bagian susunan organisasi negara. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian hak kepada kedutaan juga tidak dapat dikategorikan sebagai desentralisasi karena kedutaan bukan bagian dari susunan organisasi di mana kedutaan itu berada. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, pp. 31,32)
Desentralisasi teritorial, khususnya otonomi, berkonsekuensi terhadap pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh pemerintahan daerah. Seperti dikatakan oleh B.C. Xxxxx bahwa it is obvious that the exercise of governmental powers at the subnational level entails expenditure by subnational governments. Hal yang sama juga dikatakan oleh Xxxxx Xxxxx bahwa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri menyiratkan pula makna membelanjai diri sendiri. Begitu pula dengan Xxxxx Xxxxxx yang
berpendapat bahwa desentralisasi kewenangan pengelolaan pemerintahan berarti beban pembiayaan harus ditanggung sepenuhnya oleh pemerintahan daerah. Artinya, pemerintahan daerah harus memiliki sumber keuangan sendiri untuk dapat menyelenggarakan rumah tangganya secara mandiri. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, p. 32)
Konsekuensi desentralisasi pada pembiayaan urusan pemerintahan daerah pada hakikatnya adalah desentralisasi di bidang keuangan atau desentralisasi fiskal. Xxxxxxx Xxxx mengatakan bahwa desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat.
Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih luas dari sekedar pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam perspektif ilmu ekonomi, desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue (penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan kewenangan daerah.
Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu dikaitkan dengan persoalan efisiensi, misalnya Xxxxx (1993) mengatakan bahwa peningkatan efisiensi ekonomi merupakan dasar ekonomis dari desentralisasi. Teori keuangan negara melekatkan desentralisasi dalam rangka mencapai
efisiensi pada dua pelaku: konsumen dan produsen. Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang sesuai dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari aspek produsen didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan ketika sejumlah pengeluaran yang sama dapat menghasilkan barang dan jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang lebih baik, atau ketika sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih rendah.
Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi, maka hal tersebut dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah yang sentralistik. Padahal, sepeti dikatakan oleh Xxxxx Xxxxx bahwa hakikat dari otonomi yang merupakan wujud desentralisasi adalah kemandirian walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan yang merdeka. Xxxxxxx juga berkaitan dengan gagasan demokrasi di mana masyarakat daerah berhak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Seperti dikatakan oleh Moh. Hatta, bahwa:
”Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, di desa, di daerah...jadi, bukan saja persekutuan yang besar, rakyat semuanya, mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri melainkan juga tiap-tiap bagian dari negeri atau bagian dari rakyat yang banyak. Keadaan yang seperti itu penting sekali, karena keperluan tiap-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlainan”.120 (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, pp. 33-34)
Dalam konteks desentralisasi fiskal, pendapat di atas sejalan dengan pendapat Xxx Xxxx yang mengatakan, bahwa ”as a working definition, fiscal decentralization as ”the empowerment of people by fiscal empowerment of their
local govenment” (pemberdayaan masyarakat melalui pemberdayaan fiskal dari pemerintah daerahnya). Artinya, efisiensi dalam rangka peningkatan kesejahteraan rakyat dalam sistem desentralisasi, hanya memungkinkan jika terdapat kebebasan berotonomi, karena otonomilah ujung tombak usaha mewujudkan kesejahteraan tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Xxxxxxx Xxxx, bahwa :
”salah satu makna dari desentralisasi fiskal dalam bentuk otonomi, penerimaan otonomi di bidang keuangan (sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses mengintensifkan peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan.”
Desentralisasi fiskal dapat menjadi salah satu ukuran keberhasilan otonomi. Pola dan ukuran dalam desentralisasi fiskal akan mencerminkan derajat otonomi yang dimiliki daerah. Hal ini sejalan dengan pendapat Bird (1986), bahwa:
”...a decentralization measure is the autonomy or power of decision making of regional government. In this context, a fiscal decentralization measure should be able to quantify the amount of independent decesion - making power (or discretion) in the provision of public services at different level of government”.124 (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009)
Menurut Xxxx Xxxxxxx dan Xxx-Xxxxx Xxxxxxxxx, desentralisasi fiskal adalah pemberian wewenang belanja dan pengelolaan sumber-sumber pendapatan kepada pemerintah daerah. Manfaatnya adalah untuk menyesuaikan antara kebutuhan masyarakat dengan alokasi belanja pemerintah daerah, terjadi efisiensi melalui kompetisi dan peningkatan kemampuan keuangan. Kekurangannya, desentralisasi boleh jadi tidak efisien dari pengambilan kebijakan dan penggunaan sumber daya, jika ada ekternalitas positif dan negatif di antara daerah. Selain itu, pengalihan kebijakan fiskal ke daerah akan menambah ketidakadilan nasional dan mengabaikan peran pemerintah pusat
dalam instrument kebijakan. Selain itu, jika kapasitas daerah terbatas, maka kemungkinan besar terjadi ketidakmampuan daerah dalam segala hal. (Xxxxxx, 2016)
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxx, (2010) dalam mengeksplorasi tentang desentralisasi fiskal maka ada tiga hal utama yang patut diperhatikan. Pertama, asumsinya adalah bahwa daerah merupakan bagian utama yang akan memberikan pelayanan publik. Kedua, adanya hubungan yang kompleks antara daerah dengan pergerakan masyarakat. Ketiga, pembagian keuangan kepada masing-masing daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan dan hubungan antara level pemerintah maupun hubungan dengan daerah lain. Oleh karena itu, dalam pengambilan kebijakan harus dipertimbangkan empat hal, yakni, pemerataan daya saing daerah, pembagian dana antar pemerintah daerah, keadilan dan kesetaraan, serta pola pertanggungjawaban. (Xxxxxx, 2016)
Menurut Xxxxxxx (2005) di Indonesia temukan dampak negatif desentralisasi atas pertumbuhan ekonomi, Bila ditelusuri dampak desentralisasi terhadap pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan antar daerah terlihat beberapa aspek. Pertama, aspek model intergovernmental transfer karena hal ini akan berimplikasi pada besar transfer pemerintah pusat ke daerah. Kedua, kompetensi pejabat lokal berpengaruh pada alokasi belanja. Ketiga, kapasitas lokal, ketersediaan kerangka institusional, kepastian hukum dan dukungan administrasi pemerintah daerah. Keempat, sumber daya alam dan lokasi strategis daerah dalam konteks nasional memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi daerah. (Xxxxxx, 2016)
Dari berbagai pendapat para ahli di atas mengenai desentralisasi, dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, pengertian desentralisasi yang agak sempit sebagaimana dikemukakan oleh Xxx Xxx Xxx yang hanya mengklasifikasikan desentralisasi menjadi dua jenis yakni desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Xxxxxxxxxxxxxxxx juga termasuk dalam kategori yang membagi desentralisasi agak sempit karena menurutnya desentralisasi terbagi atas dekonsentrasi dan desentralisasi ketatanegaraan. Kedua, pengertian desentralisasi yang lebih luas dari kategorisasi yang disampaikan oleh Xxx Xxx Xxx dan Xxxxxxxxxxxxxxxx. Dalam kategori kedua ini dijumpai pembagian desentralisasi yang disampaikan oleh Xxxxx Xxxxxxxx dan Xxxxxx Xxxxxxx. Selain desentralisasi teritorial dan fungsional, juga terdapat desentralisasi administratif atau dekonsentrasi. Xxxxx Xxxxxxxx selain membagi kedalam desentralisasi teritorial dan fungsional juga memasukkan desentralisasi kebudayaan. Berbeda dengan kedua ahli lainnya, Amrah Muslimin tidak memasukkan dekonsentrasi sebagai salah satu bentuk desentralisasi. Ketiga, pengertian desentralisasi yang lebih sempit dari yang dijelaskan oleh para ahli di atas yakni pengertian desentralisasi menurut UU No. 32 Tahun 2004. Pasal 1 angka 7 menyatakan bahwa desentralisasi adalah “penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, pp. 34-35)
Dengan demikian, terlepas dari perdebatan mengenai apakah suatu jenis desentralisasi termasuk pengertian desentralisasi atau bukan, berbagai
penggolongan desentralisasi yang disebut-sebut oleh sejumlah ahli tersebut dapat muncul 1) desentralisasi teritorial, 2) desentralisasi fungsional, 3) desentralisasi kebudayaan, dan 4) desentralisasi fiskal. Pertama, desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk badan yang didasarkan pada wilayah. Kedua, desentralisasi Fungsional125 adalah pemberian hak dan kewenangan pada golongan-golongan mengurus suatu macam atau golongan kepentingan dalam masyarakat, baik terikat maupun tidak pada suatu daerah tertentu,seperti mengurus kepentinganirigasi bagi golongan tani dalam suatu atau beberapa daerah tertentu (waterschap; Subak Bali). Ketiga, desentralisasi kebudayaan (culturele decentralisatie), yaitu memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat (minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur pendidikan, agama, dll). Keempat, desentralisasi fiskal berwujud perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. (Peneliti Pusat Studi Kajian Negara, 2009, p. 36)
PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian-penelitian terdahulu yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Adapun hasil-hasil penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik penelitian sebelumnya tentang Manajemen hubungan antar level Pemerintahan, sebagai berikut:
Tabel 1.
Daftar Penelitian Terdahulu
N O | NAMA | JUDUL PENELITIAN | HASIL PENELITIAN | PERBEDAAN |
1. | Xxxxx Xxxxxxx | Networking Dalam Intergovernmenta l Management | Sebagian besar kerja- sama di Indonesia terkotak- kotak dalam kerjasama ekonomi atau pelayanan publik. Mengingat kebutuhan kerjasama sudah merambah pada pelayanan publik dan ekonomi, ke depan sebaiknya cakupan kerjasama tidak sebatas pada salah satu bidang seperti yang selama ini terjadi, tetapi mencakup 2 bidang utama, yakni kerjasama ekonomi dan pelayanan publik. Perlunya konsistensi dan dukungan kebijakan yang tegas mulai dari tigkat nasional, provinsial sampai ke tingkat pelaksanaan kerjasama regional, dengan skenario yang tegas. | 4. Penelitian Har Networking Dalam Intergovermenta l Management berfolus pada pembangunan ekonomi dan pelayanan publik. 5. Fokus pada konsep kolaborasi dua daerah yang selevel dalam pemerintahan. |
Cara pandang klasik (intra organisasi) pada organisasi lembaga kerjasama antar daerah tidak relevan lagi dengan karakter lembaga kerjasama yang mengkolaborasika n daerah-daerah otonom ke dalam hubungan kerjasama antar daerah (intergovernmental orga- nization). Birokrasi Weberian (Xxxxxx, 2005) yang memiliki pola hubungan strukturalis- hierarkhis (kewenangan ter- pusat, span of controll ketat, impersonal dan sebagainya) menjadi kurang sesuai dengan karakter networking yang flexible dalam semangat kolaborasi (Xxxxxx Xxxxxxxx, 2003 dan Klijn dalam Koppenjam, 1999). Ada 4 (empat) bentuk networking dari Xxxxxx Xxxxxxxx yang dapat dipilih ketika dua atau lebih |
daerah kabupaten/ kota akan mengadakan kerja- sama. Ke empat bentuk networking tersebut adalah:(a) information networks:beberapa daerah dapat membuat sebuah forum tetapi hanya berfungsi sebagai pertukaran kebijakan, program, teknologi dan solusi atas masalah-masalah bersama. (b) developmental networks: antar kabupaten/kota memiliki kaitan lebih kuat, karena selain pertukaran informasi juga dibarengi dengan pendidikan dan pelayanan yang secara langsung dapat meningkatkan kapasitas informasi daerah dalam mengatasi masalah di daerah masing-masing. (c) outreach networks: kabupaten/ kota yang tergabung dalam networking menyusun program dan strategi untuk masing- masing daerahnya yang |
diadopsi dan dilaksanakan oleh daerah lain (biasanya melalui fasilitasi organisasi partner), dan (d) action networks:daerah- daerah yang menjadi anggota secara bersama- sama menyusun program aksi bersama, dilaksanakan bersama atau oleh pelaksana lembaga kerjasama. Selain 4 (empat) bentuk networking yang dapat dipilih oleh daerah yang merintis kerjasama antar daerah secara umum, bagi daerah yang berdekatan dapat juga memper- timbangkan 2 (dua) bentuk kelembagaan kerjasama yang lebih serius (diambil dari pengalaman praktek di beberapa negara), yakni: intergovern- mental relation (IGR) atau intergovernmental management (IGM yang dibarengi dengan pengembangan |
semangat kolaborasi | ||||
2. | Xxxxx Xxxxxxx | Kerjasama Antar Daerah di Indonesia : Isu dan Tantangan | Dari Uraian tentang ragam, tantangan dan hambatan Kerjasama daerah tersebut dapat tepetakan apa yang masih harus dibenahi dalam Kerjasama daerah di Indonesia beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah: inkonsistensi regulasi antara amanat penyelenggara Kerjasama daerah dengan tata aturan pengelolaan keunagan daerah yang belum sinkron dan masih terbatasnya pemahaman birokrasi pemerintah tentang hakekat Kerjasama daerah yang mestinya bersifat heterakhis yang melibatkan beberapa daerah otonom, bukan birokratis seperti pengelolaan dalam satu organisasi. | 3. Penelitian Kerja sama antar daerah di Indonesia: Isu dan tantangan hanya focus pada regulasi Kerjasama dan pemahaman birokrasi mengenani Kerjasama antar daerah. |
3. | Xxxxx Xxxxxxx | Regionalisasi dan Manajemen Kerjasama Antar Daerah | Menngingat bahwa pengetahuan tentang konsep Manajemen Regional (MR) | 3. Penelitian Regionalisasi dan manajemen Kerjasama antar daerah, hamoir |
masih terbatas pada Sebagian kecil pelaku Kerjasama, masih sangat diperlukan penyebaran pemahaman konsep tersebut pada proses pembentukan region (regionalisasi) dan perintisan Kerjasama baru. Hal tersebut karena: banyak region hasil pembentukan regionalisasi sentralistisyang matisuri. Pada region stagnan yang terbentuk dari proses sentralistis tersebut dapat dilakukan upaya menghidupkan Kembali dan ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Kerjasama regional dengan inisiasi dan penerapan konsep manajemen regional yang disepakati Bersama, pendampingan yang intensif dan fasilitasi dari pemerintah Provinsi. Penting dipertimbangkan | sama dengan usulan penelitian penulis, namun dalam tulisan Xxxxx Xxxxxxx, focus utama penelitian pada pelaku atau aktot dan pembentukan regionalisasi dan persoalan kelembagaannya . |
aspek komplementaritas dalam pembentukan region baru. Mengingat bahwa bentuk Lembaga Kerjasama intergovernmental management (IGM) lebih memiliki kekuatan dalam collective action, berimplikasi diperlukannya upaya sungguh- sungguh untuk mewujudkannya. Untuk menuju Lembaga Intergovernmental Management (IGM) diperlukan rencana pentahapan pematangan Kerjasama regional dari sector potensial menuju pada Kerjasama komprehensif, dapat dimulai dari Kerjasama yang sifatnya intergovernmental relation (IGR) menuju intergovernmental management (IGM). | ||||
4. | Bamban g Xxx Xxxxxxxx | Format Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah Untuk Pembangunan Ekonomi | Rendahnya kinerja Lembaga Kerjasama antar daerah karena aspek kelembagaan yang | 2. Penelitian Format Kelembagaan Kerjasama Antar Daerah Untuk Pembangunan |
Kawasan Berkelanjutan | kurang mendukung bagi pelaksanaan kerja sama antar daerah. Beberapa factor penyebab tidak efektifnya Kerjasama antar daerah antara lain: a) kurangnya dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah provinsi terhadap esksistensi Lembaga Kerjasama antar daerah dalam bentuk rendahnya kontribusi pendanaan dan kurangnya dukungan peraturan perundang- undangan yang mendukung pelaksanaan kerjasama antar daerah; b) pelaksana dari kerjasama antar daerah tidak dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah daerah, tetapi diserahkan kepada pihak ketiga dalam hal ini oleh regional manager. | Ekonomi Kawasan Berkelanjutan, berfokus pada persoalan kinerja Lembaga Kerjasama antar daerah dan factor-faktor penyebab tidak efektifnya Kerjasama antar daerah, dan kurangnya dukungan pemerintah pusat dan provinsi pada proses Kerjasama antar daerah. |
KERANGKA PIKIR
Intergovernmental Management di Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan isu strategis. Saat ini dilingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kota, telah melaksanakan Kerjasama antarpemerintahan yang massif selama tiga tahun terakhir, diawali dengan adanya niat dan komitment pembangunan dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan terhadap wilayah terisolir dan memiliki potensi untuk dapat berkembang. Tentu Pemerintah Kabupaten/Kota merespon positif kebijakan pembangunan ini, karena Kabupaten/Kota dapat mengusulkan berbagai program pengembangan dan pembangunan wilayah berbasis potensi sehingga dapat mendatangkan efek berkelanjutan nantinya bagi perekonomian wilayah dan masyarakat.
Berbagai tantangan dan hambatan pada awal dilaksanakannya manajemen hubungan antaroemerintahan dalam kebijakan bantuan keuangan daerah di Sulawesi Selatan, dimulai dari persoalan regulasi, sumber keuangan, mekanisme perencanaan, penyelarasan program kegiatan dan kebijakan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota hingga pada kepentingan politik antar elite mewarnai proses intergovernmental management di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun dengan kolaborasi yang baik dengan pemahaman yang satu antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan Pemerintah Kabupaten/ Kota, bahwa tujuan nya sama yaitu pemerataan pembangunan di Sulawesi Selatan, terciptanya pembangunan daerah yang komprehensif dan berkelanjutan sehingga proses ini tetap berjalan sampai saat ini.
Bagan 1.
Realitas Karakteristik model dilapangan
“Politik Kebijakan antar Level Pemerintahan”
Pengaruh Keputusan/Kebijakan; Komunikasi yang aktif;
Saling mengakomodasi;
Manajemen Hubungan antarpemerintahan (IGM)
Kerangka Pemikiran
Kebijakan Bantuan Keuangan Daerah
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kabupaten/Kota
Desentralisasi Pemerintahan Daerah
Model Kerjasama Tumpang Tindih Kewenangan
Terbatas kekuasaan yang tersebar;
Saling Ketergantungan: Memilki batas wilayah otonomi;
Tawar menawar; Kerjasama.