BAB I
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN DAN LINTAS BIDANG ..........................II.1-1 1.1 Pengarusutamaan ...........................................................................................................II.1-2
1.1.1 Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan ..................................II.1-2 1.1.2 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik..........................................................II.1-7 1.1.3 Pengarusutamaan Gender ..............................................................................II.1-13
1.2 Kebijakan Lintas Bidang ...............................................................................................II.1-24
1.2.1 Penanggulangan Kemiskinan ........................................................................II.1-24
1.2.1.1 Kondisi Umum.......................................................................................II.1-24
1.2.1.2 Xxxxxxxxxxan dan Sasaran ..............................................................II.1-28
1.2.1.3 Xxxxxxxx dan Arah Kebijakan ............................................................II.1-34
1.2.2 Perubahan Iklim Global ...................................................................................II.1-37
1.2.2.1 Kondisi Umum.......................................................................................II.1-37
1.2.2.2 Xxxxxxxxxxan dan Sasaran ..............................................................II.1-39
1.2.2.3 Xxxxxxxx dan Arah Kebijakan ............................................................II.1-39
1.2.3 Pembangunan Kelautan Berdimensi Kepulauan ...................................II.1-40 1.2.3.1 Kondisi Umum.......................................................................................II.1-40 1.2.3.2 Xxxxxxxxxxan dan Sasaran ..............................................................II.1-41 1.2.3.3 Xxxxxxxx dan Arah Kebijakan ............................................................II.1-43 1.2.4 Perlindungan Anak ...........................................................................................II.1-43 1.2.4.1 Kondisi Umum.......................................................................................II.1-43 1.2.4.2 Xxxxxxxxxxan dan Sasaran ..............................................................II.1-44 1.2.4.3 Xxxxxxxx dan Arah Kebijakan ............................................................II.1-46
i
KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN DAN LINTAS BIDANG
Sesuai dengan amanat UU No. 25 Tahun 2004, terdapat 5 (lima) tujuan pelaksanaan sistem perencanaan pembangunan nasional, yaitu untuk mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan; menjamin terciptanya integrasi, sinkrGonisasi dan sinergi antardaerah, antarruang, antarwaktu, dan antarfungsi pemerintah, maupun antarpusat dan daerah; menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan; mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dan menjamin tercapainya penggunaan sumberdaya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Oleh karena itu, sesuai dengan pembahasan dalam buku ini, maka tema yang menjiwai Buku II adalah memperkuat sinergi antarbidang.
Sinergi antarbidang pembangunan sangat penting untuk kelancaran pelaksanaan dan tercapainya berbagai sasaran dalam RPJMN 2010-2014. Pada dasarnya pembangunan di setiap bidang untuk mencapai keberhasilan, tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling terkait dengan pembangunan di bidang lainnya. Dengan pembiayaan yang terbatas, untuk mencapai efektifitas, efisiensi dan hasil yang maksimal dalam mencapai sasaran pembangunan, harus dilakukan sinkronisasi pembangunan di setiap bidang sehingga kegiatan di setiap bidang saling terpadu, mendukung dan saling memperkuat. Setiap kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan pembangunan di setiap bidang harus memiliki komitmen yang kuat untuk mencapai sinergi tersebut melalui proses komunikasi, konsultasi, koordinasi serta monitoring, dan evaluasi dengan pemangku kepentingan terkait di pusat dan daerah dan mengedepankan keberhasilan bersama dalam pencapaian sasaran pembangunan.
Selanjutnya, di dalam melaksanakan pembangunan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah ini terdapat prinsip pengarusutamaan yang menjadi landasan operasional bagi seluruh pelaksanan pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini diarahkan untuk dapat tercermin di dalam keluaran pada kebijakan pembangunan. Prinsip-prinsip pengarusutamaan ini akan menjadi jiwa dan semangat yang mewarnai berbagai kebijakan pembangunan di setiap bidang pembangunan. Diharapkan dengan dijiwainya prinsip-prinsip pengarustamaan itu, pembangunan jangka menengah ini akan memperkuat upaya mengatasi berbagai permasalahan yang ada.
Pengarusutamaan dilakukan dengan cara yang terstruktur dengan kriteria sebagai berikut: (1) pengarusutamaan bukanlah merupakan upaya yang terpisah dari kegiatan pembangunan sektoral; (2) pengarusutamaan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang signifikan; dan (3) pengarusutamaan dilakukan pada semua sektor terkait namun diprioritaskan pada sektor penting yang terkait
langsung dengan isu-isu pengarustamaan.
Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014 ini juga diarahkan untuk menjadi sebuah rencana kerja jangka menengah yang bersifat menyeluruh. Persoalan yang bersifat lintas bidang harus ditangani secara holistik dan tidak terfragmentasi sehingga dapat menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Pencapaian kinerja pembangunan tersebut menjadi komitmen semua pihak khususnya instansi pemerintah untuk dapat merealisasikannya secara sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, disusun pula rencana kerja yang bersifat lintas bidang. Kebijakan lintas bidang ini akan menjadi sebuah rangkaian kebijakan antarbidang yang terpadu meliputi prioritas, fokus prioritas serta kegiatan prioritas lintas bidang untuk menyelesaikan permasalahan pembangunan yang semakin kompleks.
1.1 Pengarusutamaan
1.1.1 Pengarusutamaan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Untuk mencapai keberlanjutan yang menyeluruh, diperlukan keterpaduan antara 3 pilar pembangunan, yaitu keberlanjutan dalam aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Tiga pilar utama tersebut yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan saling berintegrasi dan saling memperkuat satu dengan yang lain. Untuk itu tiga aspek tersebut harus diintegrasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan agar tercapai pembangunan berkelanjutan yang selain dapat menjaga lingkungan hidup/ekologi dari kehancuran atau penurunan kualitas, juga dapat menjaga keadilan sosial dengan tidak mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi.
Indonesia telah menyusun National Sustainable Development Strategy (Agenda 21) pada tahun 1997 yang berisi rekomendasi kepada sektor dalam penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan hingga tahun 2020. Selain itu telah pula ditetapkan bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu tema yang diarusutamakan dalam Rencana Kerja Pemerintah setiap tahun pada XXXX 0000-0000. Namun, hingga saat ini belum ada suatu sistem, serta mekanisme yang andal untuk melakukan pengintegrasian isu pembangunan berkelanjutan tersebut ke dalam program-program pembangunan secara terarah.
Beberapa persoalan yang akan dihadapi dalam pembangunan 5 tahun ke depan adalah mengintegrasikan isu keberlanjutan dalam pembangunan ekonomi dan sosial. Walaupun sudah dilakukan berbagai upaya untuk menanggulangi kerusakan lingkungan hidup, pencemaran dan penurunan kualitas daya dukung lingkungan hidup terus terjadi. Untuk itu, diperlukan pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dari hulu ke hilir dan lintas sektoral. Selain itu, diperlukan suatu upaya pengintegrasian pembangunan
berkelanjutan ke dalam pembangunan sektoral.
Banyaknya pemangku kepentingan yang berperan dalam pembangunan berkelanjutan mengharuskan adanya koordinasi serta sinergi yang baik antarberbagai pihak tersebut. Setiap pihak mempunyai peran dan fungsi dalam menggerakkan subsistem yang membentuk sistem pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, pembangunan berkelanjutan harus bersifat membuka akses seluruh pihak agar dapat berperan aktif dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan itu. Pemerintah diharapkan dapat memberikan arah, kebijakan, standar-standar, manual, serta kerangka kebijakan penunjang lainnya yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan.
Sasaran pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan adalah (1) teradopsinya secara integral pertimbangan ekonomi, sosial, lingkungan, dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dan daerah; (2) terpeliharanya kualitas lingkungan hidup yang ditunjukkan dengan membaiknya indeks kualitas lingkungan hidup dalam 5 tahun ke depan; dan (3) disepakati, disusun, dan digunakannya indeks kualitas lingkungan hidup sebagai salah satu alat untuk mengukur pembangunan yang berkelanjutan.
Selanjutnya, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dalam menyusun kerangka strategis, struktur kelembagaan, strategi dan kebijakan nasional, sektoral dan wilayah, serta dalam proses perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan juga harus dilakukan dengan memperhatikan permasalahan strategis lingkungan dan sosial yang ada.
Pengarusutamaan dilakukan dengan cara yang terstruktur dengan kriteria sebagai berikut: (1) kegiatannya merupakan upaya integral dalam kegiatan pembangunan sektoral dan kewilayahan; (2) kegiatan tidak mengimplikasikan adanya tambahan pendanaan (investasi) yang signifikan karena berasaskan koordinasi dan sinergi; (3) pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial kemasyarakatan; (4) kondisi daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam proses perencanaan dan pelaksanaannya; dan (5) pengarusutamaan dilakukan di semua sektor dan wilayah/daerah, diprioritaskan pada kegiatan strategis pelestarian daya dukung dan daya tampung lingkungan serta keadilan dan keberlanjutan sosial.
Kegiatan pembangunan tidak mengabaikan kemampuan daya dukung lingkungan yang menopang kegiatan pembangunan tersebut. Tiga indikator daya dukung lingkungan utama sebagai penopang pembangunan adalah daya dukung lahan, daya dukung air, dan udara. Dalam kerangka pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam periode 2010-2014, karena keterbatasan sumber daya serta untuk menanggulangi permasalahan yang lebih mendasar diperlukan prioritas dan fokus aspek lingkungan yang akan dilestarikan dalam waktu lima tahun ke depan. Dengan pelestarian daya dukung lahan yang meningkat, diharapkan terjadi pula proses pelestarian sumber daya air dan udara. Pelestarian daya dukung lahan dan air harus
dipertimbangkan dalam setiap perencanaan program dan kegiatan sektor, yang di dalamnya diupayakan agar dampak negatif program dan kegiatan tersebut dapat diminimalkan terhadap sumber daya lahan dan air.
Daya dukung sumber daya lahan dapat dilihat dari (1) daya serap air (infiltrasi air), (2) kualitas lahan, (3) tutupan lahan, dan (4) laju erosi lahan. Kegiatan pembangunan hendaknya memperhatikan daya dukung sumber daya lahan itu.
Kegiatan pembangunan diupayakan agar tidak menurunkan daya serap lahan terhadap air yang mengalir di atasnya dan tidak menambah tingkat aliran air permukaan (run off) yang ada di atasnya sehingga ketersediaan sumber daya air dapat terus dipertahankan dan erosi lahan tidak terjadi. Upaya melestarikan daya serap air ini dapat dilakukan dengan mempertahankan tutupan lahan, bentang alam, dan kualitas lahan, serta dengan bantuan teknologi, seperti sumur resapan dan biopori. Kegiatan pembangunan juga diupayakan tidak mengakibatkan terjadinya degradasi lahan yang ada. Untuk itu, perlu diupayakan pelestarian kualitas lahan yang meliputi pelestarian struktur tanah, bahan kimiawi tanah, air dan unsur hara, serta proses aerasi yang ada. Lebih lanjut, kegiatan pembangunan diupayakan tidak menurunkan luas tutupan lahan yang ada karena penting untuk mempertahankan kualitas dan daya serap air dari lahan itu sendiri. Akhirnya, kegiatan pembangunan tidak menambah laju erosi lahan yang ada sehingga tidak menimbulkan masalah sedimentasi dan bencana lingkungan lain di daerah hulu.
Daya dukung sumber daya air dapat dilihat dari kualitas air, diupayakan agar kegiatan pembangunan yang ada tidak menurunkan kualitas air setempat dan kuantitas air, diupayakan agar kegiatan pembangunan yang memanfaatkan air tidak mengeksploitasi air melebihi daya pemulihan dan pengisiannya kembali.
Selanjutnya, kegiatan pembangunan tidak dapat terlepas dari aspek sosial kemasyarakatan, yang menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan itu sendiri. Keberlanjutan pembangunan akan juga tergantung pada pelaku pembangunan atau pemangku kepentingan dalam pembangunan. Pembangunan yang ada harus dapat memberikan manfaat sosial kepada masyarakat dan juga dapat melibatkan semua pelaku kepentingan demi menjamin keberlanjutannya. Untuk itu, pembangunan harus memperhatikan aspek sosial agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Aspek sosial penting dalam pembangunan berkelanjutan, antara lain adalah bahwa pembangunan harus memperhatikan: partisipasi masyarakat pelaku, partisipasi masyarakat marjinal/minoritas (kaum miskin dan perempuan), struktur sosial masyarakat, serta tatanan atau nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat.
Pertimbangan utama dalam pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan dalam aspek sosial adalah: (1) struktur sosial masyarakat: kegiatan pembangunan yang direncanakan diupayakan mempertimbangkan struktur sosial masyarakat agar tidak terjadi konflik dan benturan nilai yang tidak diinginkan dan (2) partisipasi masyarakat pelaku dan marjinal/minoritas: kegiatan pembangunan yang
direncanakan telah memasukkan unsur partisipasi masyarakat/pemangku kepentingan dan masyarakat marjinal terutama dalam proses pengambilan keputusan serta peran- peran lainnya.
Berkaitan dengan itu, pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan mempunyai indikator kinerja yang mencerminkan 3 pilar pembangunan yaitu: (1) ekonomi: indikator ekonomi makro seperti pertumbuhan ekonomi, dan dampak ekonomi; (2) sosial: tingkat partisipasi masyarakat pelaku pembangunan, partisipasi masyarakat marginal/minoritas (kaum miskin dan perempuan), dampak terhadap struktur sosial masyarakat, serta tatanan atau nilai sosial yang berkembang di masyarakat; dan (3) lingkungan hidup: dampak terhadap kualitas air, udara dan lahan serta ekosistem (keanekaragaman hayati).
Dalam rangka mencapai sasaran pembangunan nasional, khususnya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan, instansi pemerintah (kementerian/lembaga) terkait harus mengembangkan kebijakan di lingkungannya masing-masing dengan indikator pengarusutamaan, sebagaimana tabel di bawah ini.
TABEL 1.1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN (LINGKUNGAN HIDUP) MELALUI KEBIJAKAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA BESERTA INDIKATORNYA
No. | ISU/KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN 2014 |
ASPEK LINGKUNGAN HIDUP: | |||
1. Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Sumber Daya Lahan | |||
1.1 | Pemeliharaan Daya Serap Lahan terhadap Air: Penerapan analisis daya serap lahan terhadap air dalam program pembangunan sektor | % Kegiatan/Program yang mempertahankan daya serap lahan terhadap air | 60-80% |
1.2 | Pemeliharaan Kualitas Lahan (struktur dan materi): Penerapan analisis dampak kegiatan/program terhadap kualitas lahan | % kegiatan/program yang mempertahankan kualitas lahan | 60-80% |
1.3 | Pemeliharaan Luas Areal Tutupan | % kegiatan/program yang | 60-80% |
No. | ISU/KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN 2014 |
Lahan Perhitungan tutupan lahan dalam setiap kegiatan/program pembangunan sektor | mempertahankan luas areal tutupan lahan hijau | ||
1.4 | Pencegahan meningkatnya laju erosi lahan: Penerapan sistem pengendalian dan rekayasa lingkungan untuk menahan meningkatnya laju erosi lahan. | % kegiatan/program yang tidak mengakibatkan meningkatnya laju erosi lahan | 60-80% |
2. Peningkatan Daya Dukung dan Daya Tampung Sumber Daya Air | |||
2.1 | Pemeliharaan Kualitas Air: Penerapan Standar baku Mutu Kualitas Air | % kegiatan/program yang tidak memberikan dampak terhadap kualitas air setempat | 60-80% |
2.2 | Pemeliharaan Kuantitas Air (penggunaan dengan mempertimbangkan daya pengisian kembali): Penerapan analisis dampak kegiatan/program terhadap kuantitas air setempat | % kegiatan/program yang tidak mempengaruhi jumlah air yang tersedia sesuai dengan daya dukung dan kebutuhan masyarakat setempat | 60-80% |
3. Peningkatan Kualitas Udara | |||
3.1 | Pemeliharaan Kualitas Udara: Penerapan Standar baku Mutu Kualitas Udara | % kegiatan/program yang tidak memberikan dampak terhadap kualitas udara setempat | 60-80% |
ASPEK SOSIAL | |||
1.1 | Pelestarian struktur dan nilai-nilai masyarakat: | %kegiatan/program yang tidak menimbulkan konflik | 80% |
No. | ISU/KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN 2014 |
Penerapan pertimbangan struktur dan nilai sosial kemasyarakatan dalam kegiatan/program pembangunan | atau benturan sosial | ||
1.2 | Peningkatan keterlibatan masyarakat terutama masyarakat marjinal (miskin, perempuan, pemuda dan anak-anak) : Penerapan metode partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan/program pembangunan | %kegiatan/program yang menerapkan metode partisipatif (public hearing, musyawarah dengan pemangku kepentingan dsb) dalam pelaksanaannya | 60-80% |
ASPEK EKONOMI | |||
1.1 | Peningkatan pertumbuhan ekonomi: Pertimbangan pertumbuhan ekonomi dan efisiensi ekonomi | %kegiatan/program yang mendorong pertumbuhan ekonomi (spin-off/domino efek) | 90% |
1.2 | Pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial: Penerapan pertimbangan pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial dalam kegiatan/program pembangunan | %kegiatan/program yang mendorong pengentasan kemiskinan dan ketimpangan sosial | 80% |
I.1.2 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Tata kelola pemerintahan yang baik merupakan tatanan pengelolaan manajemen yang ditandai dengan penerapan prinsip-prinsip tertentu, antara lain: keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan, dan partisipasi. Penerapan tatakelola pemerintahan yang baik secara konsisten dan berkelanjutan oleh sebuah negara mempunyai peranan yang sangat penting bagi tercapainya sasaran pembangunan nasional, dan dapat menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi secara efektif dan efisien. Terbangunnya tata kelola pemerintahan yang baik dalam
manajemen pemerintahan akan tercermin dari berkurangnya tingkat korupsi, makin banyaknya keberhasilan pembangunan di berbagai bidang, dan terbentuknya birokrasi pemerintahan yang professional dan berkinerja tinggi. Oleh karena itu, guna mewujudkan visi pembangunan nasional berupa kesejahteraan, masyarakat, demokrasi, dan keadilan, tata kelola pemerintahan yang baik dalam manajemen pemerintahan harus dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan. Penerapan tata kelola pemerintah yang baik tersebut harus dilakukan pada seluruh aspek manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengendaliannya.
Penerapan tatakelola pemerintahan yang baik diharapkan terwujud dalam pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pelayanan publik yang berkualitas, dan kapasitas dan akuntabilitas kinerja bikrokrasi yang tinggi. Ketiganya merupakan prasyarat keberhasilan pembangunan. Tanpa pemerintahan yang bersih akan sulit dicapai pengelolaan sumber daya pembangunan secara akuntabel, yang akan berakibat langsung pada menurunnya kualitas pelayanan publik, serta menghilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Melalui penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, keadilan dan kepentingan masyarakat luas dapat dijaga, martabat dan integritas bangsa di mata dunia ditingkatkan, dan akhirnya makin meningkatkan kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan dan pembangunan. Pelayanan publik juga merupakan hal yang penting karena kewajiban utama pemerintah di setiap negara adalah memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakatnya agar dapat hidup lebih aman, nyaman dan sejahtera. Kewajiban ini harus dipenuhi oleh pemerintah karena rakyat, sebagai pemegang kedaulatan, telah menguasakan kewenangannya kepada pemerintah untuk menguasai dan mengolah sumber daya pembangunan. Berbagai bentuk pelayanan publik diperlukan oleh masyarakat untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, untuk meningkatkan kesejahteraannya, dan untuk mengekspresikan dirinya secara maksimal. Pelayanan publik yang baik juga memfasilitasi dunia usaha nasional, sehingga dapat ikut memacu peningkatan kapasitas perekonomian nasional. Hal itu semua hanya dapat dicapai dengan adanya kinerja birokrasi yang efektif. Birokrasi yang efektif bertujuan untuk memastikan tercapainya tujuan utama dari kebijakan publik dan pembangunan nasional, yaitu kesejahteraan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan. Birokrasi yang efisien bertujuan untuk mengurangi pemborosan sumber-sumber daya negara dan agar sumber-sumber daya negara dimanfaatkan secara optimal dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan nasional. Sementara itu, birokrasi yang akuntabel memastikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional dapat dipertanggungjawabkan dari sisi akuntabilitas kinerjanya kepada publik secara luas.
Dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, pelayanan publik yang berkualitas, serta kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi yang tinggi, telah ditetapkan berbagai kebijakan nasional. Di dalam RPJMN 2010-2014 ini beberapa kebijakan nasional baru akan ditetapkan dan kebijakan lainnya yang telah ada akan
disempurnakan. Agar kebijakan nasional itu dapat mencapai sasaran yang diharapkan, kebijakan nasional tersebut perlu dijabarkan oleh kebijakan yang lebih operasional di tingkat kementerian/lembaga. Untuk itu, ditetapkan indikator pengarusutamaan tata kelola pemerintahan yang perlu diterapkan di tingkat kementerian/lembaga seperti disajikan dalam Tabel 1.2.
TABEL 1.2
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK MELALUI KEBIJAKAN KEMENTERIAN/ LEMBAGA BESERTA INDIKATORNYA
No. | Isu/Kebijakan Nasional | Kebijakan instansi | Indikator di setiap instansi | Sasaran 2014 |
1. Peningkatan Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN | ||||
1.1 | Penegakan disiplin PNS di seluruh instansi pemerintah | Penegakan peraturan mengenai disiplin PNS | - Tersedianya sistem penegakan disiplin yang efektif - % Pelanggaran disiplin mendapatkan sanksi | 100% |
1.2 | Penerapan pakta integritas bagi pejabat pemerintah | Penerapan pakta integritas bagi pejabat Eselon I, II, dan III | % pejabat telah menandatangani dan melaksanakan pakta integritas | 100% |
1.3 | Kepatuhan penyampaian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) | Mewajibkan pejabat untuk melaporkan LHKPN | % pejabat yang telah melaporkan LHKPN | 100% |
1.4 | Kebijakan antikorupsi | Mewajibkan pelaporan gratifikasi | Tersedianya sistem pelaporan gratifikasi | 100% |
1.5 | Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) | Penerapan sistem pengendalian internal yang efektif | Tersedia dan terlaksananya sistem pengendalian internal yang efektif | 100% |
1.6 | Pengembangan Sistem e- Procurement | Penerapan e- procurement dalam pengadaan barang dan | % pengadaan menggunakan e- procurement | 75% |
No. | Isu/Kebijakan Nasional | Kebijakan instansi | Indikator di setiap instansi | Sasaran 2014 |
Nasional | jasa | |||
1.7 | Tindak lanjut hasil pemeriksaan BPK | Peningkatan tindak lanjut atas temuan hasil pemeriksaan | % temuan yang ditindaklanjuti | 100% |
1.8 | Akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara | Peningkatan akuntabilitas pengelolaan anggaran dan pelaporannya | Opini BPK atas LK K/L | WTP |
1.9 | Pengaduan masyarakat | Tindaklanjut pengaduan masyarakat | - Tersedianya sistem pengaduan masyarakat yang efektif - % Penyelesaian tindak lanjut atas pengaduan yang disampaikan masyarakat | 100% |
2. Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik | ||||
2.1 | Penerapan Standar Pelayanan pada Unit Penyelenggara Pelayanan Publik | Penerapan Standar Pelayanan Publik untuk seluruh unit penyelenggara pelayanan publik | % unit penyelenggara pelayanan publik yang sudah menerapkan Standar Pelayanan | 100% |
2.2 | Penerapan Maklumat Pelayanan pada unit pelayanan publik | Menerapkan maklumat pelayanan untuk unit pelayanan publik | % unit pelayanan publik yang sudah menerapkan maklumat pelayanan | 100% |
2.3 | Penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu untuk | Penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu | Pemerintah Daerah menerapkan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (OSS) | 100% |
No. | Isu/Kebijakan Nasional | Kebijakan instansi | Indikator di setiap instansi | Sasaran 2014 |
pelayanan utama dan investasi | ||||
2.4 | Penerapan Manajemen Pengaduan | Penerapan manajemen pengaduan yang efektif pada unit penyelenggara pelayanan publik | % unit pelayanan publik yang menerapkan manajemen pengaduan yang efektif | 100% |
2.5 | Percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik | Menyusun rencana percepatan peningkatan kualitas pelayanan publik dan melaksanakannya sesuai batas waktu yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pelayanan publik | - Tersusunnya rencana peningkatan kualitas pelayanan publik pada unit penyelenggara pelayanan publik - Terlaksananya rencana peningkatan kualitas pelayanan publik sesuai batas waktu yang ditetapkan | 100% |
2.6 | Pelaksanaan evaluasi dan penilaian terhadap kinerja pelayanan publik | Melaksanakan monitoring, evaluasi, dan penilaian kinerja kepada unit penyelenggara pelayanan publik yang ada | - Tersedianya sistem evaluasi kinerja pelayanan publik - % Unit Penyelenggara Pelayanan Publik yang mendapat penilaian baik | 100% 90% |
3. Peningkatan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi | ||||
3.1 | Penataan kelembagaan instansi pemerintah | Melakukan restrukturisasi organisasi dan tata kerja instansi untuk rightsizing di dasarkan visi, misi, strategi dan analisis obyektif, serta | % Tersusunnya struktur kelembagaan (organisasi dan tata kerja) yang proporsional, efektif, efisien | 100% |
No. | Isu/Kebijakan Nasional | Kebijakan instansi | Indikator di setiap instansi | Sasaran 2014 |
tupoksi. | ||||
3.2 | Penataan ketatalaksanaan instansi pemerintah | Penyederhanaan proses bisnis dan penyusunan SOP utama | % SOP utama telah tersusun sesuai dengan proses bisnis yang lebih sederhana | 100% |
3.3 | Pemantapan kualitas manajemen SDM | Penerapan manajemen SDM yang berkualitas (transparan dan berbasis merit/kompetensi) | - Tersedianya sistem rekrutmen yang transparan - Tersedianya sistem penilaian kinerja yang terukur - Tersedianya sistem promosi dan mutasi yang terbuka dan transparan - Tersedianya sistem diklat berbasis merit dan kompetensi - Tersedianya sistem penegakan kode etik yang efektif, disertai penerapan reward and punishment | 100% |
3.4 | Pengembangan dan penerapan e- Government | Pengembangan dan penerapan e- Government | Tersusunnya rencana penerapan e-Government yang konkrit dan terukur | 100% |
3.5 | Sistem kearsipan dan dokumentasi berbasis TIK | Penerapan manajemen kearsipan dan dokumentasi berbasis TIK | Manajemen kearsipan dan dokumentasi sudah dilaksanakan dengan sistem berbasis TIK | 100% |
3.6 | Penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja Aparatur | Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah | % penerapan SAKIP (renstra, penilaian kinerja, kontrak kinerja, pengendalian, dan lain- lain) | 100% |
1.1.3 Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. Pengarusutamaan gender (PUG) dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender ke dalam proses pembangunan di setiap bidang. Penerapan pengarusutamaan gender akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan merata bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Piranti analisis yang dapat digunakan untuk strategi pengarusutamaan gender antara lain adalah ‘Alur Xxxxx Xxxxxxxx Gender’ (Gender Analysis Pathway – GAP). Hasil analisis gender ini kemudian digunakan untuk melakukan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengintegrasian gender ke dalam siklus perencanaan dan penganggaran di tingkat pusat dan daerah akan membuat pengalokasian sumber daya pembangunan menjadi lebih efektif, akuntabel, dan adil dalam memberikan manfaat kepada perempuan dan laki-laki.
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan. Rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, antara lain, disebabkan oleh: (1) terjadinya kesenjangan gender dalam hal akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan, serta penguasaan terhadap sumber daya, terutama di tatanan antarprovinsi dan antarkabupaten/kota; (2) rendahnya peran dan partisipasi perempuan di bidang politik, jabatan-jabatan publik, dan di bidang ekonomi; dan (3) rendahnya kesiapan perempuan dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim, krisis energi, krisis ekonomi, bencana alam dan konflik sosial, serta terjadinya penyakit. Hal ini, antara lain, ditunjukkan dengan rendahnya peningkatan nilai IDG setiap tahunnya yang mengindikasikan bahwa peningkatan kesetaraan gender di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan, politik, serta pengambilan keputusan belum signifikan.
Pada lembaga yudikatif, data tahun 2004 menunjukkan bahwa dari hakim yang ada, baru terdapat 20 persen hakim perempuan, dengan 18 persen di antaranya sebagai xxxxx xxxxx; sementara jumlah jaksa perempuan adalah 27 persen. Walaupun terjadi peningkatan partisipasi perempuan yang menduduki jabatan eselon I-IV di lembaga eksekutif, namun jabatan yang diduduki perempuan masih berpusat pada eselon IV. Dari uraian tersebut terlihat bahwa posisi, komposisi, serta peran perempuan di lembaga yudikatif dan eksekutif masih relatif kecil. Di samping itu, marginalisasi perempuan di sektor informal merupakan masalah yang masih harus dihadapi, mengingat bahwa sektor informal ini menyerap tenaga kerja perempuan yang terbesar, dan telah terbukti menjadi ‘sabuk pengaman’ perekonomian keluarga. Dengan demikian, tantangan pertama yang harus dihadapi adalah meningkatkan pemahaman para pemangku kepentingan terkait dengan pentingnya pembangunan yang responsif gender.
Kedua, meningkatkan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Hal ini terlihat dari masih belum memadainya jumlah dan kualitas tempat pelayanan bagi perempuan korban kekerasan karena banyaknya jumlah korban yang harus dilayani dan luasnya cakupan wilayah yang harus dijangkau. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap perempuan sebesar 3,1 persen atau sekitar 3-4 juta perempuan mengalami kekerasan setiap tahun. Namun, hingga saat ini, pusat krisis terpadu (PKT) untuk penanggulangan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perdagangan perempuan hanya tersedia di
3 provinsi dan 5 kabupaten. Di samping itu, masih terdapat ketidaksesuaian antarproduk hukum yang dihasilkan, termasuk antara produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dengan daerah, sehingga perlindungan terhadap perempuan belum dapat terlaksana secara komprehensif. Oleh sebab itu, tantangan kedua yang harus dihadapi ke depan adalah meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan bagi perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi.
Ketiga, meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan. Permasalahan yang muncul dalam meningkatkan kualitas hidup dan peran perempuan serta perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, antara lain, disebabkan oleh belum efektifnya kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan yang terlihat dari: (1) belum optimalnya penerapan peranti hukum, peranti analisis, dan dukungan politik terhadap kesetaraan gender sebagai prioritas pembangunan; (2) belum memadainya kapasitas kelembagaan dalam pelaksanaan PUG, terutama sumber daya manusia, serta ketersediaan dan penggunaan data terpilah menurut jenis kelamin dalam siklus pembangunan; dan (3) masih rendahnya pemahaman mengenai konsep dan isu gender serta manfaat PUG dalam pembangunan, terutama di kabupaten/kota. Untuk itu, tantangan yang harus dihadapi adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan, serta koordinasi pelaksanaannya.
Sasaran pengarusutamaan gender adalah meningkatnya kesetaraan gender, yang ditandai dengan: (a) meningkatnya kualitas hidup dan peran perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi termasuk akses terhadap penguasaan sumber daya, dan politik; (b) meningkatnya persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah.
Berdasarkan permasalahan, tantangan dan sasaran sebagaimana tersebut di atas, maka pengarusutamaan gender dilakukan melalui tiga isu nasional. Pertama, peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, melalui harmonisasi peraturan perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan, dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kedua, perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, melalui upaya-upaya pencegahan,
pelayanan, dan pemberdayaan. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.
Keberhasilan peningkatan kesetaraan gender ini dapat diukur dengan Indeks Pembangunan Gender (IPG) (Gender-related Development Index/GDI), yang merupakan indikator komposit yang diukur melalui angka harapan hidup sejak lahir, angka melek huruf, dan gabungan angka partisipasi sekolah dasar, menengah, tinggi, serta Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan paritas daya beli (purchasing power parity), dan dihitung berdasarkan jenis kelamin. Di samping itu, kemajuan pembangunan gender juga ditunjukkan dengan indikator Gender Empowerment Measurement (GEM) atau Indeks Pemberdayaan Gender (IDG), yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan keputusan.
TABEL 1.3
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER MELALUI KEBIJAKAN KEMENTERIAN/LEMBAGA BESERTA INDIKATORNYA
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
1. Peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan | |||
1.1 | Penyediaan Layanan Pendidikan TK 1) | Rasio APK peserta didik TK/TKLB perempuan:laki-laki | Tercapainya keluasan dan kemerataan akses TK bermutu dan berkesetaraan gender di semua kabupaten dan kota |
1.2 | Penjaminan Kepastian Layanan Pendidikan SD 1) | Rasio APM peserta didik perempuan/laki-laki pada SD/SDLB | Tercapainya keluasan dan kemerataan akses SD bermutu dan berkesetaraan gender di semua kabupaten dan kota |
1.3 | Peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Ibtidaiyah 1) | Rasio APM peserta didik perempuan:laki laki pada MI | Meningkatnya APM MI |
1.4 | Penjaminan Kepastian Pendidikan SMP/SMPLB 1) | Rasio APM peserta didik perempuan/laki-laki pada SMP/SMPLB | Tercapainya keluasan dan kemerataan akses SMP bermutu dan berkesetaraan gender di semua kabupaten dan kota |
1.5 | Peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Tsanawiyah 1) | Rasio APM peserta didik perempuan:laki laki pada MTs | Meningkatnya APM MTs |
1.6 | Penyediaan dan Peningkatan Pendidikan SMA/SMLB 1) | Rasio APK peserta didik perempuan/laki-laki pada SMA/SMK/SMLB | Tercapainya perluasan dan pemerataan akses pendidikan SMA bermutu, berkesetaraan gender, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, di semua kabupaten dan kota |
1.7 | Peningkatan Akses dan Mutu Madrasah Aliyah 1) | Rasio APK peserta didik perempuan:laki laki pada MA | Meningkatnya APK MA |
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
1.8 | Penyediaan Layanan Akademik Program Studi 1) | Rasio APK peserta didik perempuan/laki-laki pada PT | Tersedianya prodi yang bermutu, berdaya saing internasional, dan relevan |
1.9 | Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan Tinggi Islam 1) | Rasio APK peserta didik perempuan:laki laki pada PTA | Meningkatnya APK PTA |
1.10 | Penyediaan Layanan Pendidikan Kesetaraan 1) | Rasio jumlah peserta didik orang dewasa laki-laki:perempuan menurut kabupaten/kota | Terciptanya perluasan dan pemerataan akses pendidikan kesetaraan paket A, paket B, Paket C dan bagi orang Dewasa bermutu, berkesetaraan gender dan relevan dengan kebutuhan masyarakat di semua kabupaten/kota untuk bekerja pada dunia usaha dan dunia industri terkait dan atau usaha mandiri (wirausaha) |
1.11 | Penyediaan Layanan Pendidikan Masyarakat 1) | Disparitas gender penduduk berkeaksaraan usia ≥ 15 tahun | Meningkatnya tingkat literasi yang berkesetaraan gender di Kabupaten dan Kota |
1.12 | Penyediaan Guru untuk Seluruh Jenjang Pendidikan 1) | Rasio guru perempuan:laki-laki yang bersertifikat pendidik | Tersedianya Guru PAUD, SD/SDLB, SMP/SMPLB, dan SMA/SMK/ SMLB yang Bermutu yang merata antar Provinsi, Kabupaten dan Kota |
1.13 | Peningkatan Mutu dan Kesejahteraan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Madrasah 1) | Rasio guru perempuan:laki-laki yang bersertifikat pendidik | 1. Terlaksananya Sertifikasi Guru 2. Rasio guru perempuan – laki- laki yang bersertifikat pendidik |
1.14 | Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi 1) | 1. Persentase ibu bersalin yang ditolong oleh nakes terlatih (cakupan PN) | Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan ibu dan Reproduksi |
2. Persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (cakupan K4) | |||
1.15 | Pembinaan Keperawatan dan Kebidanan 1) | Jumlah Puskesmas yang menerapkan pelayanan kebidanan sesuai standar dan pedoman | Meningkatnya pembinaan keperawatan dan kebidanan |
1.16 | Penyehatan Lingkungan 1) | Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum berkualitas | Meningkatnya penyehatan dan pengawasan kualitas lingkungan |
1.17 | Penanggulangan Krisis Kesehatan 1) | Jumlah kab/kota yang mempunyai kemampuan tanggap darurat dalam penanganan bencana | Meningkatnya penanggulangan krisis secara cepat |
1.18 | Pengembangan kebijakan dan pembinaan kesertaan ber-KB 1) | 1. Persentase komplikasi berat yang dilayani | Meningkatnya pembinaan, kesertaan, dan kemandirian ber- KB melalui 23.500 klinik KB pemerintah dan swasta |
2. Persentase kegagalan KB yang dilayani | |||
1.19 | Penyiapan kehidupan berkeluarga bagi remaja (PKBR) 1) | Persentase pengetahuan remaja tentang : a. Kesehatan reproduksi remaja b. HIV/AIDS | Meningkatnya PSP remaja tentang PKBR |
II.1-17
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
c. Perencanaan kehidupan berkeluarga | |||
1.20 | Pembinaan ketahanan keluarga 1) | Jumlah kebijakan kegiatan pembinaan ketahanan keluarga | 1. Meningkatnya ketahanan keluarga dalam rangka peningkatan kesertaan, pembinaan, dan kemandirian ber-KB bagi PUS anggota poktan 2. Meningkatnya ketrampilan keluarga dalam pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak, pembinaan remaja, serta peningkatan kualitas hidup lansia |
1.21 | Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi pengendalian penduduk dan KB 1) | Persentase PUS, WUS, dan remaja yang mengetahui informasi Kependudukan dan KB melalui media massa (cetak dan elektronik) dan media luar ruang | Meningkatnya pengetahuan, sikap, dan prilaku masyarakat tentang pengendalian penduduk dan KB |
1.22 | Pelayanan Sosial Lanjut Usia 1) | Jumlah lanjut usia terlantar yang berhasil dilayani, dilindungi dan direhabilitasi baik di dalam maupun di luar panti (jiwa) | Terlaksananya pelayanan, perlindungan dan rehabilitasi sosial bagi lanjut usia telantar. |
1.23 | Bantuan Sosial Korban Bencana Alam 1) | Jumlah korban bencana alam yang berhasil dibantu dan dilayani (jiwa) | Terpenuhinya kebutuhan darurat dan pelayanan sosial bagi korban bencana alam. |
1.24 | Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial 1) | Jumlah korban bencana sosial yang berhasil dibantu dan dilayani (jiwa) | Terpenuhinya kebutuhan darurat dan pelayanan sosial bagi korban bencana sosial. |
1.25 | Pedoman, petunjuk teknis dan bimbingan teknis/supervisi/publik asi/sosialisasi penyelenggaraan pemilu dan pendidikan pemilih 3) | 1. Jumlah modul pendidikan pemilih untuk kelompok perempuan,miskin, cacat, pemilih pemula, lansia | Terselenggaranya bimbingan teknis/supervisi/publikasi/sosiali asi penyelenggaraan pemilu dan pendidikan pemilih |
2. Jumlah kegiatan pendidikan pemilih bagi caleg perempuan | |||
3. Jumlah kader parpol perempuan yang mendapatkan pendidikan politik | |||
1.26 | Pengembangan Nilai- nilai Kebangsaan 3) | Jumlah forum sosialisasi pengembangan nilai kebangsaan untuk pemuda, perempuan, aparatur pemerintah | Terlaksananya penyusunan kebijakan, dukungan dan fasilitasi pengembangan nilai-nilai kebangsaan |
1.27 | Pembinaan dan Pengembangan Budaya Politik 3) | Jumlah materi/modul pendidikan politik bagi calon pemilih pemula | Terlaksananya penyusunan kebijakan, dukungan dan fasilitasi pengembangan budaya politik yang berdasarkan pada 4 pilar negara (Pancasila, UUD NRI 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI) |
1.28 | Fasilitasi Lembaga Perwakilan dan Partisipasi Politik 3) | Jumlah paket kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dalam peningkatan partisipasi politik | Terlaksananya penyusunan kebijakan, dukungan dan fasilitasi lembaga perwakilan dan |
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
perempuan | partisipasi politik | ||
1.29 | Pembinaan Penyelenggaraan Kegiatan di bidang Kesehatan dan Perawatan warga binaan pemasyarakatan 4) | Persentase bayi, ibu hamil, ibu menyusui dan kelompok resiko tinggi yang memperoleh perlindungan secara tepat waktu dan akuntabel | Penyelenggaraan kegiatan di bidang kesehatan dan perawatan yang berkualitas |
2. Perlindungan Perempuan terhadap Berbagai Tindak Kekerasan | |||
2.1 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan 1) | Persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan | Meningkatnya jumlah kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan |
2.2 | Pemantapan Hubungan dan Politik Luar Negeri di Kawasan Asia Timur dan Pasifik 3) | Tingkat penanganan isu illegal migrant dan human traficking serta isu-isu lainnya | Terlaksananya peran Indonesia dalam kerjasama di bidang politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya dengan negara-negara di kawasan Asia Timur dan Pasifik |
2.3 | Pemantapan Hubungan dan Politik Luar Negeri di Kawasan Asia Selatan dan Tengah 3) | Tingkat penanganan isu illegal migrant dan human traficking serta isu-isu lainnya | Terlaksananya peran Indonesia dalam kerjasama di bidang politik, keamanan, ekonomi, dan sosial budaya dengan negara-negara di kawasan Asia Selatan dan Tengah |
2.4 | Peningkatan perlindungan dan pelayanan WNI/BHI di Luar Negeri 3) | Prosentase pemberian bantuan hukum (advokasi dan lawyer) bagi WNI terutama tenaga kerja wanita | Terlaksananya pelayanan dan perlindungan WNI/BHI |
2.5 | Peningkatan Perlindungan Pekerja Perempuan dan Penghapusan Pekerja Anak 2) | 1. Persentase perusahaan yang memenuhi norma kerja perempuan dan anak | 1. Memfasilitasi pekerja anak untuk kembali ke dunia pendidikan atau memperoleh pelatihan keterampilan 2. Berkurangnya jumlah anak yang bekerja pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak 3. Meningkatnya perlindungan kepada pekerja perempuan |
2. Tersedianya kebijakan dalam upaya perlindungan pekerja perempuan dan anak | |||
3. Jumlah pengawas ketenagakerjaan dalam pengawasan norma kerja perempuan dan anak yang ditingkatkan kapasitasnya | |||
2.6 | Pembinaan Penempatan dan Perlindungan TKI Luar Negeri 2) | 1. Jumlah penyempurnaan peraturan penempatan dan perlindungan pekerja migran | Tersedianya regulasi yang melindungi pekerja migran |
2. Jumlah fasilitasi kasus/ permasalahan Pekerja Migran di dalam dan luar negeri | |||
2.7 | Pencegahan dan Penanggulangan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan dan Pemenuhan Hak Korban 4) | 1. Tingkat pelibatan dan penyikapan aparat negara dalam upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM | Terlaksananya kegiatan pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan hak korban |
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
perempuan | |||
2. Tingkat pelibatan dan penyikapan masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM perempuan | |||
3. Tingkat rekomendasi hasil pengkajian dan penelitian yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan HAM perempuan | |||
4. Jumlah pemantauan termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian pelanggaran HAM perempuan | |||
5. Prosentase pengaduan pelanggaran HAM perempuan yang ditindaklanjuti | |||
6. Prosentase pendampingan dan sistem pemulihan korban pelanggaran HAM yang dikembangkan | |||
7. Meningkatnya fungsi kelembagaan Komnas Perempuan dalam rangka menciptakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam menjalankan mandat Komnas Perempuan | |||
3. Peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan | |||
3.1 | Penyediaan Data Pendidikan untuk Perumusan Kebijakan Nasional 1) | 1. Persentase penduduk melek huruf usia ≥ 15 tahun yang jumlah datanya teremajakan dalam Pangkalan Data dan Informasi Pendidikan berbasis Web (PadatiWeb) dirinci berdasarkan jenis kelamin dan jenis keaksaraan yang dikuasai per kabupaten/kota | Tersedianya Data PAUD, DIKDAS, DIKMEN dan Pendidikan Orang Dewasa |
2. Persentase data pelaksana program pengarusutamaan gender yang jumlah datanya teremajakan (up to date) dalam padati-web dirinci menurut kabupten/kota | |||
3.2 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang pendidikan yang | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang pendidikan |
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
responsif gender 1) | 2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang pendidikan | ||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang pendidikan | |||
3.3 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang kesehatan yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang kesehatan | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang kesehatan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang kesehatan | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang kesehatan | |||
3.4 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang sumber daya alam dan lingkungan yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang sumber daya alam dan lingkungan | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang sumber daya alam dan lingkungan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang sumber daya alam dan lingkungan | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang sumber daya alam dan lingkungan | |||
3.5 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan partisipasi perempuan di bidang politik dan pengambilan keputusan 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang politik dan pengambilan keputusan | Meningkatnya jumlah kebijakan partisipasi perempuan di bidang politik dan pengambilan keputusan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang politik dan pengambilan keputusan | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang politik dan pengambilan keputusan | |||
3.6 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang hukum yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang hukum | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang hukum |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang hukum | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang hukum | |||
3.7 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang ketenagakerjaan yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang ketenagakerjaan | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang ketenagakerjaan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang ketenagakerjaan | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang |
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang ketenagakerjaan | |||
3.8 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan koperasi, usaha mikro dan kecil, industri, dan perdagangan yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang koperasi, usaha mikro dan kecil, industri, dan perdagangan | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang koperasi, usaha mikro dan kecil, industri, dan perdagangan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang koperasi, usaha mikro dan kecil, industri, dan perdagangan | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang koperasi, usaha mikro dan kecil, industri, dan perdagangan | |||
3.9 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, kelautan, ketahanan pangan, dan agrobisnis | |||
3.10 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang IPTEK dan sumber daya ekonomi yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang IPTEK dan sumber daya ekonomi | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang IPTEK dan sumber daya ekonomi |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang IPTEK dan sumber daya ekonomi | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang IPTEK dan sumber daya ekonomi | |||
3.11 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan bidang infrastruktur yang responsif gender 1) | 1. Jumlah kebijakan pelaksanaan PUG di bidang infrastruktur | Meningkatnya jumlah kebijakan pelaksanaan PUG bidang infrastruktur |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan ARG di bidang infrastruktur | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data terpilah di bidang infrastruktur | |||
3.12 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan | 1. Jumlah kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan | Meningkatnya jumlah kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang |
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
perempuan dari tindak kekerasan 1) | difasilitasi dalam penerapan kebijakan perlindungan perempuan dari tindak kekerasan | ||
3. Jumlah kompilasi data perlindungan perempuan dari tindak kekerasan | |||
4. Persentase cakupan perempuan korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan | |||
5. Persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan | |||
3.13 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan penyusunan data gender 1) | 1. Jumlah kebijakan penerapan sistem data gender | Meningkatnya jumlah kebijakan penerapan sistem data gender |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan pelaksanaan sistem data terpilah gender | |||
3. Tersedianya sistem data gender | |||
3.14 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan masalah sosial perempuan 1) | 1. Jumlah kebijakan perlindungan masalah sosial perempuan | Meningkatnya jumlah kebijakan perlindungan masalah sosial perempuan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan perlindungan masalah sosial perempuan | |||
3. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penyusunan data perlindungan masalah sosial perempuan | |||
3.15 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan 1) | 1. Jumlah kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan | Meningkatnya jumlah kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan perlindungan tenaga kerja perempuan | |||
3. Jumlah kompilasi data perlindungan tenaga kerja perempuan | |||
3.16 | Penyusunan dan harmonisasi kebijakan perlindungan korban perdagangan orang 1) | 1. Jumlah kebijakan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang | Meningkatnya jumlah kebijakan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang |
2. Jumlah K/L dan pemda yang difasilitasi dalam penerapan kebijakan perlindungan korban tindak pidana perdagangan orang | |||
3. Jumlah kompilasi data perlindungan korban tindak |
II.1-23
No | ISU / KEBIJAKAN NASIONAL | INDIKATOR | SASARAN |
pidana perdagangan orang | |||
3.17 | Sistem Informasi Manajemen 4) | Jumlah kegiatan pendataan perkara yang disajikan berdasarkan jenis penanganan perkara termasuk jenis perkara KDRT, perkara anak dan perkara lainnya | Tersedianya basis data yang dapat menyajikan informasi data perkara secara akurat, cepat dan lengkap dalam rangka mewujudkan penanganan perkara secara cepat dan akuntabel serta dapat diakses oleh masyarakat |
3.18 | Kegiatan Kerjasama HAM 4) | Jumlah harmonisasi rancangan peraturan perUUan dalam perspektif HAM | Peningkatan kerjasama dalam dan luar negeri dalam rangka pemajuan HAM dan harmonisasi rancangan peraturan perUUan dalam perspektif HAM serta NA instrumen HAM internasional |
3.19 | Kegiatan Perancangan Peraturan Perundang- undangan 4) | Jumlah Peraturan Perundang- undangan di bidang mekanisme Perlindungan Saksi dan Pelapor | Peningkatan kualitas RUU dan perat perundang-undangan di bawah UU di DPR serta tenaga fungsional Perancang PerUUan |
3.20 | Kegiatan Harmonisasi Peraturan Perundang- undangan 4) | Jumlah Peraturan Perundang- undangan di bidang mekanisme Perlindungan Saksi dan Pelapor | Meningkatkan keharmonisan rancangan peraturan perundang- undangan tingkat pusat bidang politik, hukum, keamanan, keuangan, perbankan, industri, perdagangan, sumber daya alam, riset, teknologi, kesejahteraan rakyat yang harmonis |
Keterangan:
1) Kegiatan ini tercantum pada Bab II (Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama)
2) Kegiatan ini tercantum pada Bab III (Bidang Ekonomi)
3) Kegiatan ini tercantum pada Bab VI (Bidang Politik)
4) Kegiatan ini tercantum pada Bab VIII (Bidang Hukum dan Aparatur)
1.2. Kebijakan Lintas Bidang
1.2.1 Penanggulangan Kemiskinan
1.2.1.1 Kondisi Umum
Dalam sejarah pembangunan nasional, seluruh program dan upaya-upaya pembangunan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum, dan secara khusus mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Dalam perkembangannya, penduduk miskin pada awal-awal pembangunan berencana lima tahunan menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Persentase penduduk miskin yang pada tahun 1976 mencapai sebesar 40 persen dari total penduduk Indonesia, dalam 20 tahun kemudian yaitu pada tahun 1996 menurun menjadi 11 persen. Hal ini
merupakan suatu perkembangan yang sangat menggembirakan. Sebagai akibat dari krisis ekonomi dan moneter yang terjadi pada tahun 1997, tingkat kemiskinan mengalami lonjakan. Untuk mengatasi lonjakan tingkat kemiskinan, Pemerintah menerapkan berbagai program yang ditujukan langsung untuk membantu keluarga miskin karena mereka merupakan kelompok masyarakat yang paling parah terkena krisis ekonomi dan moneter. Program khusus tersebut dikenal dengan Jaring Pengaman Sosial (JPS), yang masih terus dilaksanakan beberapa tahun setelah krisis. Pelaksanaan program yang bersifat “targetted” tersebut dirasakan mampu membantu masyarakat miskin mengatasi dampak krisis, terutama dalam menanggulangi dampak kekurangan pangan, putus sekolah, dan terhentinya pelayanan kesehatan. Program yang bersifat targetted inilah yang menjadi cikal bakal program perlindungan dan bantuan sosial seperti beras bersubsidi untuk rakyat miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan beasiswa untuk siswa miskin dan Program Keluarga Harapan (PKH). Dengan pelaksanaan program-program tersebut secara berkesinambungan, dalam sepuluh tahun terakhir ini tingkat kemiskinan cenderung menurun kembali meskipun penurunannya belum setajam pada masa sebelum krisis tersebut.
Pada tahun 2009, jumlah penduduk miskin masih sebanyak 32,53 juta manusia atau 14,15 persen dari total penduduk. Selain itu, berbagai gejolak sosial ekonomi dan bencana telah meningkatkan kerentanan terhadap masyarakat pada umumnya dan masyarakat miskin pada khususnya. Sehubungan dengan itu, perjuangan untuk memerangi kemiskinan dan kerentanan masyarakat masih sangat berat. Untuk tahun 2010, tingkat kemiskinan diharapkan turun menjadi sebesar 12–13,5 persen. Untuk itu, perjuangan untuk terus menurunkan tingkat kemiskinan dan kerentanan masih harus dilakukan, apalagi dengan adanya berbagai tantangan baru dari dampak globalisasi dan berbagai bencana. Untuk mengatasi masalah kerentanan yang semakin meningkat, perlu dikembangkan sistem perlindungan sosial.
Yang dimaksud dengan Sistem Perlindungan Sosial adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai perangkat yang melindungi individu, rumah tangga, atau masyarakat umum dari berbagai resiko yang muncul akibat guncangan ekonomi, dan memberikan bantuan bagi mereka yang rentan terhadap resiko tersebut. Sistem perlindungan sosial terdiri dari jaminan sosial dan bantuan sosial. Jaminan sosial adalah sebuah komponen perlindungan sosial yang berfungsi untuk melindungi seseorang, rumah tangga / kelompok orang dari kondisi tertentu, seperti lanjut usia, pengangguran, dan kecacatan/kecelakaan kerja. Penerima manfaat jaminan sosial pada umumnya memberikan kontribusi/iuran. Bantuan Sosial adalah sebuah komponen perlindungan sosial yang diberikan kepada mereka yang termasuk dalam kelompok rentan (vulnerable) atau mengalami kondisi tertentu seperti kemiskinan, lanjut usia, dan kecacatan. Penerima bantuan sosial tidak memberikan kontribusi/iuran. Dalam bab ini, yang dimaksud dengan bantuan sosial adalah Bantuan Sosial Berbasis Keluarga yang merupakan prioritas nasional sedangkan bantuan sosial yang berkaitan dengan pelayanan kesejahteraan sosial yang bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya
manusia (dan merupakan prioritas bidang) secara lebih jelas akan disajikan dalam Bab II, Pembangunan Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama. Sementara itu, penjelasan tentang jaminan sosial dapat dibaca dalam Bab III tentang Pembangunan Ekonomi.
RPJMN 2010-2014 merupakan rencana lima tahunan tahap kedua untuk mencapai target penurunan tingkat kemiskinan sebesar 5 persen pada akhir tahun 2025, yang merupakan akhir kurun waktu Pembangunan Jangka Panjang 2005-2025. Dengan tingkat kemiskinan yang masih seperti disebutkan di atas, berbagai upaya dan kerja keras perlu terus dilakukan. Dalam bagian berikut, akan diuraikan berbagai upaya yang telah dilakukan dan hasil yang dicapai.
Kebijakan yang telah dilaksanakan. Dengan belajar dari krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/98, kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan tidak hanya memperhatikan aspek/dimensi pendapatan, namun juga memperhatikan dimensi non pendapatan, yaitu akses setiap rumah tangga dan individu terutama keluarga dan individu miskin terhadap kebutuhan dasar. Selain itu, secara global dirasakan pula bahwa dimensi-dimensi non-pendapatan ini merupakan bagian penting dalam kapasitas keluarga miskin untuk mampu secara proaktif dan partisipatif mengatasi dampak dari gejolak sosial ekonomi dan bencana serta mengentaskan dirinya sendiri dari kemiskinan. Sehubungan dengan itu, perhatian dimensi non-pendapatan dalam kemiskinan secara eksplisit juga menjadi sasaran dalam strategi penanggulangan kemiskinan yang tertuang di dalam RPJMN 2004-2009.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan RPJMN 2004-2009 setiap tahunnya, pelaksanaan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan bantuan sosial, khususnya untuk masyarakat miskin dan rentan, juga terus dilakukan dengan mempertajam konsep program penanggulangan kemiskinan dan melakukan penataan agar program-program menjadi lebih fokus sehingga lebih mudah dikoordinasikan, dipantau, dan dievaluasi efektivitasnya.
Langkah strategis yang pertama adalah identifikasi rumah tangga miskin dan rentan. Sebelum tahun 2005, targetted program yang sangat dibutuhkan masyarakat masih menggunakan beragam data kemiskinan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Keberadaan data yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi rumah tangga miskin dan rentan sangat dibutuhkan, terutama pada saat pemerintah melaksanakan kebijakan bantuan langsung kepada rumah tangga sasaran (RTS). Nilai strategis data ini bagi pemerintah adalah adanya data rumah tangga keluarga miskin dengan nama dan alamatnya sehingga targetted program didukung dengan basis data untuk distribusi penyaluran bantuan. Pada tahun 2008, data RTS hasil Pendataan Sosial Ekonomi Tahun 2005 (PSE-05) disempurnakan melalui Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS-08) untuk dapat mengidentifikasi anggota RTS yang memerlukan perlindungan sosial. Penyusunan data ini merupakan langkah penting untuk identifikasi masyarakat miskin dan rentan sehingga program keberpihakan kepada rumah tangga miskin dan rentan dapat ditargetkan dengan lebih tepat sasaran,
adil, dan efektif membantu rumah tangga mengatasi kerentanan dan keluar dari kemiskinan. Data PSE-05 sudah membantu pelaksanaan program kompensasi kenaikan harga BBM yang naik sebesar 114 persen pada tahun 2005 dan telah mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat miskin sehingga pemerintah memutuskan untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT). Dana BLT ini merupakan bantuan kepada masyarakat miskin yang mengalami penurunan tingkat konsumsi karena meningkatnya harga kebutuhan pokok sebagai akibat kenaikan harga BBM. Adapun data PPLS-08 telah digunakan untuk membantu pelaksanaan program BLT tahun 2008, Jamkesmas, Raskin, dan PKH.
Langkah kedua adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin, yang dilaksanakan berlandaskan pada pemikiran bahwa salah satu strategi untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara berkelanjutan adalah melalui pemberdayaan masyarakat miskin. Pemberdayaan dimaksudkan agar masyarakat miskin: (i) menyadari bahwa mereka memiliki potensi dan dapat berperan besar dalam mengentaskan dirinya dari kemiskinan; (ii) mengetahui kebutuhan mereka untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan; (iii) mengetahui sumberdaya dan akses layanan yang dapat digunakan untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan; (iv) mampu menjangkau sumber daya dan akses yang ada untuk memenuhi kebutuhannya dalam mengentaskan dirinya dari kemiskinan; (v) memiliki suara dan mampu menyuarakan kebutuhan dirinya dalam proses pengambilan keputusan bermasyarakat sehingga pembangunan di berbagai bidang akan sesuai dengan kebutuhan mereka dan membantu secara nyata dan efektif mengentaskan dirinya dari kemiskinan; dan (vi) memiliki akses untuk menyalurkan suara dan menampung suara kelompok masyarakat tersebut sehingga kebutuhannya mendapat prioritas tinggi untuk dapat direalisasikan.
Sebagai wujud dari perhatian akan pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan kemiskinan, berbagai program yang berbasis masyarakat diharmonisasikan dan disinergikan ke dalam wadah program pemberdayaan masyarakat, melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang diluncurkan pada tahun 2007. Penyatuan program ini terus dilakukan dan pada tahun 2009 PNPM Mandiri diarahkan untuk memberdayakan masyarakat di seluruh kecamatan di Indonesia.
Dalam perkembangan pelaksanaan RPJMN 2004-2009, pada tahun 2008 banyak diperdebatkan ihwal jumlah dan jenis program yang termasuk di dalam program penanggulangan kemiskinan, mengingat kemiskinan memiliki dimensi pendapatan dan dimensi nonpendapatan yang lebih luas. Oleh karena itu, program-program penanggulangan kemiskinan dikelompokkan menjadi 3 (tiga) cluster yaitu: (i) program bantuan dan jaminan sosial, yaitu program yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan keluarga miskin dalam menjangkau akses pelayanan dasar guna memenuhi kebutuhan dasarnya. Bantuan ini diberikan untuk meringankan beban hidup keluarga miskin; (ii) program pemberdayaan masyarakat atau dikenal dengan PNPM Mandiri, yaitu program yang memberi pendampingan dan pembekalan untuk memampukan
masyarakat miskin menentukan arah, langkah, dan upaya untuk memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dalam rangka mengentaskan dirinya dari kemiskinan; (iii) program yang membantu usaha mikro dan kecil untuk meningkatkan dan memperluas usahanya agar masyarakat miskin semakin stabil dan meningkat pendapatannya. Ketiga kelompok program ini atau ketiga cluster inilah yang diarahkan sebagai program penanggulangan kemiskinan. Rincian dari program-program yang termasuk di dalam 3 (tiga) cluster ini selanjutnya dijabarkan di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya.
Hasil Pelaksanaan. Perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia dalam 5 (lima) tahun terakhir terus menurun. Dengan menggunakan ukuran batas kemiskinan dalam Millennium Development Goals (MDGs) sebesar US$ 1/kapita/hari (Purchasing Power Parity), pada tahun 2006 Indonesia telah mencapai target sasaran yang ditetapkan dalam Deklarasi MDG. Namun, dengan menggunakan garis kemiskinan nasional yang setara dengan US$ 1,55/kapita/hari, pada tahun 2006 masih terdapat 39,3 juta penduduk Indonesia yang berada dalam kondisi miskin, atau setara dengan 17,75 persen penduduk. Penggunaan garis kemiskinan nasional yang lebih tinggi ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki tekad yang serius untuk meningkatkan kualitas standar hidup bangsa. Dengan tingkat kemiskinan yang masih relatif tinggi ini, pemerintah terus meningkatkan kebijakan penanggulangan kemiskinan dan melaksanakan berbagai program secara lebih terfokus dan terkoordinasi.
Melalui program-program perlindungan dan bantuan sosial, pemerintah sudah melaksanakan program subsidi beras untuk masyarakat miskin terhadap seluruh rumah tangga sasaran (RTS), yang pada tahun 2005-2007 diberikan kepada 19,1 juta RTS, dan pada tahun 2009 diberikan kepada 18,5 juta RTS sesuai dengan jumlah RTS yang semakin menurun. Untuk membantu masyarakat miskin memiliki akses pendidikan, disediakan pula program beasiswa untuk siswa dari rumah tangga miskin. Untuk meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan, pemerintah mengembangkan program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan layanan rumah sakit untuk kelas III kepada rumah tangga sasaran dan anggota keluarganya. Untuk lebih mendorong masyarakat memanfaatkan layanan pendidikan dan kesehatan ini, pemerintah menyediakan insentif melalui Program Keluarga Harapan (PKH) agar keluarga miskin memastikan anak-anaknya menjalani wajib belajar 9 tahun dan membawa balita mereka ke Puskesmas untuk pelayanan kesehatan dan gizi. Selain itu, untuk masyarakat rentan yang termasuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) pada tahun 2008 telah dilakukan bantuan sosial kepada 266.605 PMKS meliputi lanjut usia, anak terlantar, penyandang cacat, tuna sosial, dan anak nakal; 369.874 korban bencana alam; dan 12.049 komunitas adat terpencil.
Pelaksanaan PNPM Mandiri terus ditingkatkan pula. Pada tahun 2007, PNPM Mandiri sudah menjangkau dan melayani masyarakat di 2.831 kecamatan seluruh Indonesia. Pada tahun 2008 pelayanan ditingkatkan ke 3.999 kecamatan dan pada tahun 2009 menjangkau 6.408 kecamatan yang ada di Indonesia. Pelaksanaan PNPM Mandiri
telah membantu meningkatkan keberdayaan mereka untuk memusyawarahkan kebutuhan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan terutama masyarakat miskin, melakukan kegiatan sosial, usaha ekonomi dan pembangunan infrastruktur perdesaan. Pelaksanaan PNPM Mandiri ini didukung pula oleh berbagai kementerian/lembaga melalui PNPM Agribisnis (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan/PUAP), PNPM Kelautan dan Perikanan, dan PNPM Pariwisata yang baru dimulai tahun 2009.
Selanjutnya, dalam rangka mendukung peningkatan akses Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dan koperasi kepada kredit/pembiayaan pemerintah juga telah menyediakan dana penjaminan untuk mendukung Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dana penjaminan yang disediakan pemerintah pada tahun 2007-2009 adalah sebesar Rp. 1,95 triliun, sudah dapat mendorong tersalurnya KUR sebesar Rp. 16,4 triliun. Pelaksanaan program KUR sudah menjangkau 2,3 juta nasabah, yang sebanyak 96,3 persen di antaranya adalah nasabah mikro dengan nilai kredit di bawah Rp. 5 juta/nasabah.
Dengan berbagai program yang dikelompokkan ke dalam 3 cluster tersebut, tingkat kemiskinan dapat diupayakan terus menurun. Tingkat kemiskinan yang pada tahun 2007 sebesar 16,58 persen, pada tahun 2008 sudah menurun menjadi sebesar 15,42 persen atau sebanyak 34,96 juta penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2009, tingkat kemiskinan menurun lagi menjadi 14,15 persen atau setara dengan 32,53 juta masyarakat yang hidup di bahwa garis kemiskinan.
I.2.1.2 Permasalahan dan Sasaran
Terus menurunnya tingkat kemiskinan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan bahwa kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan telah mengangkat sebagian masyarakat dari bawah garis kemiskinan. Meskipun demikian, penurunan kemiskinan dalam 5 (lima) tahun terakhir berjalan lambat. Selain itu, dengan meningkatnya kerentanan masyarakat, sistem perlindungan sosial untuk masyarakat miskin dan rentan perlu terus ditingkatkan cakupan dan kualitas pelayanannya. Beberapa permasalahan yang masih dihadapi untuk terus menurunkan kemiskinan yaitu: (a). terbatasnya cakupan dan kualitas pelayanan bantuan sosial; (b). masih adanya ketimpangan tingkat kesejahteraan masyarakat antar provinsi; (c). akses masyarakat terhadap kebutuhan dasar secara rata-rata masih rendah, dan terdapat perbedaan akses antarkelompok pendapatan; (d). adanya globalisasi yang meningkatkan gejolak ekonomi dan menimbulkan kerentanan di dalam masyarakat terutama masyarakat miskin dan rentan; (e). meningkatnya kerentanan masyarakat miskin sebagai akibat dari perubahan iklim.
Secara rinci, kelima permasalahan tersebut diuraikan sebagai berikut.
1. Terbatasnya cakupan dan kualitas pelayanan bantuan sosial disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (i) masih belum terindentifikasinya semua PMKS yang perlu
dibantu; (ii) belum lengkapnya kebijakan dan program untuk PMKS; dan (iii) masih terbatasnya kapasitas pelayanan
2. Ketimpangan tingkat kesejahteraan masyarakat antarprovinsi masih cukup besar. Meskipun penduduk miskin secara nasional terus menurun, penurunan tingkat kemiskinan di tingkat provinsi masih bervariasi. Tingkat kemiskinan di Indonesia Timur masih di atas rata-rata nasional. Dalam Gambar 1.1 tampak bahwa sebanyak 17 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional dan sebanyak 16 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata. Beberapa provinsi yang tingkat kemiskinannya di bawah rata-rata nasional yaitu Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bali, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulsel dan Maluku Utara; sedangkan provinsi yang berada di atas rata-rata nasional yaitu provinsi: NAD, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTT, NTB, Sulteng, Sultra, Gorontalo, Sulbar, Maluku dan Papua serta Irian Jaya Barat. Permasalahan yang dihadapi adalah keragaman kapasitas masyarakat dan aparat Pemda untuk memanfaatkan sumberdaya lokal dalam mempercepat penurunan kemiskinan di daerah.
GAMBAR 1.1
TINGKAT KEMISKINAN TINGKAT PROVINSI TAHUN 2009
Sumber: BPS, 2009
3. Akses masyarakat miskin terhadap kebutuhan dasar masih rendah, dan terjadi ketimpangan akses, baik antarkelompok masyarakat maupun antarwilayah. Pada kondisi mikro, dimensi kemiskinan lebih luas dan riil. Pada tataran mikro ini, kondisi kemiskinan dilihat berdasarkan pada aspek-aspek pemenuhan
kebutuhan pokok, misalnya akses terhadap air bersih, akses terhadap sanitasi, akses terhadap listrik, akses terhadap sekolah, akses terhadap pelayanan kesehatan dan konsumsi bahan pangan. Untuk pemenuhan kalori, ternyata kecukupan masih di bawah 2.100 kkal/hari sedangkan akses terhadap sanitasi sudah cukup baik dibandingkan yang lain (Tabel 1.4 dan Tabel 1.5).
TABEL 1.4
TINGKAT PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT
Quintile | Pasokan Kalori | APS (7-12 Tahun) | APS (13-15 Tahun) | APS (16-18 Tahun) | ||||
(kkal/kap/hari) | Ratio Terhadap Q5 | (%) | Ratio Terhadap Q5 | (%) | Ratio Terhadap Q5 | (%) | Ratio Terhadap Q5 | |
1 | 1.613 | 0,70 | 98,4 | 0,99 | 74,3 | 0,80 | 37,8 | 0,53 |
2 | 1.856 | 0,80 | 98,8 | 0,99 | 82,0 | 0,88 | 47,3 | 0,67 |
3 | 2.007 | 0,87 | 99,0 | 1,00 | 87,2 | 0,94 | 55,8 | 0,79 |
4 | 2.133 | 0,92 | 99,2 | 1,00 | 91,0 | 0,98 | 62,3 | 0,88 |
5 | 2.308 | 1,00 | 99,4 | 1,00 | 93,2 | 1,00 | 70,8 | 1,00 |
Total | 1.983 | 0,86 | 98,9 | 0,99 | 84,8 | 0,91 | 55,1 | 0,78 |
Sumber: Susenas 2008, BPS
Selain akses penduduk secara rata-rata terhadap pelayanan dasar masih rendah, terjadi pula ketimpangan akses antarkelompok pendapatan. Pada tahun 2008 kelompok masyarakat berpendapatan tinggi (quintile 3, 4 dan 5), tingkat konsumsi kalorinya berada di atas 2.000 kkal, sedangkan kelompok miskin/pendapatan rendah berada pada tingkat 1.613 kkal. Hal yang sama terjadi pada setiap indikator. Meskipun demikian, akses terhadap sekolah lanjutan atas, akses terhadap dokter dan air bersih menunjukkan ketimpangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan indikator dalam bidang lainnya (Tabel 1.4 dan Tabel 1.5). Permasalahan yang dihadapi adalah: (i) pemahaman masyarakat akan pentingnya pemenuhan kebutuhan dasar bagi kesejahteraannya; (ii) kemampuan (pendapatan) masyarakat untuk memenuhi dengan kemampuan sendiri; dan (iii) penyediaan layanan kebutuhan dasar yang masih belum dapat menjangkau masyarakat luas, terutama daerah terpencil dan daerah yang sulit dijangkau pelayanan dasar.
TABEL 1.5
TINGKAT PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT (LANJUTAN)
Quintile | Akses Ke Dokter | Akses Ke Puskesmas | Akses Air Bersih | Akses ke Sanitasi | ||||
% | Ratio Terhadap Q5 | % | Ratio Terhadap Q5 | % | Ratio Terhadap Q5 | % | Ratio Terhadap Q5 | |
1 | 13,5 | 0,27 | 49,4 | 2,41 | 39,0 | 0,52 | 52,6 | 0,56 |
2 | 20,0 | 0,40 | 42,6 | 2,08 | 44,4 | 0,59 | 63,2 | 0,68 |
3 | 26,7 | 0,54 | 38,7 | 1,89 | 49,7 | 0,66 | 72,7 | 0,78 |
4 | 35,0 | 0,70 | 32,3 | 1,58 | 58,7 | 0,78 | 83,4 | 0,89 |
5 | 49,8 | 1,00 | 20,5 | 1,00 | 75,2 | 1,00 | 93,6 | 1,00 |
Total | 30,3 | 0,61 | 35,6 | 1,74 | 54,1 | 0,72 | 73,9 | 0,79 |
Sumber: Susenas 2008, BPS.
Selain itu, pemenuhan beberapa kebutuhan dasar antarwilayah pada tahun 2008 masih sangat timpang. Hal ini terlihat pada Tabel 1.6, antara lain, dari: (1) lebih dari 20 persen rumah tangga di Provinsi Papua, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, NTT, Sulawesi Tengah dan Maluku yang atap bangunan tempat tinggalnya masih memakai daun/ijuk; (2) lebih dari 50 persen rumah tangga di Provinsi-Provinsi selain DKI Jakarta, Kalimantan Timur dan Bali yang air minumnya bukan dari air ledeng; (3) lebih dari 20 persen rumah tangga selain di Bali, DKI Jakarta, DI Jogyakarta dan Banten yang dinding tempat tinggalnya bukan tembok; (4) lebih dari 60 persen rumah tangga di Papua dan NTT yang penerangan tempat tinggalnya bukan dari PLN; dan (5) lebih dari 15 persen rumah tangga di Provinsi Jawa Tengah, Papua, Maluku Utara, Jawa Timur, Lampung, dan Maluku yang tempat tinggalnya masih dengan lantai tanah.
TABEL 1.6
PERSENTASE RUMAH TANGGA (RT) BERDASARKAN BERBAGAI INDIKATOR KEBUTUHAN DASAR TAHUN 2008
No. | Provinsi | RT dg Atap Daun/Ijuk | RT dg Air Minum Bukan Ledeng | RT dg Dinding Bukan Tembok | RT dg Peneranga n Rumah Non PLN | RT dg Lantai Tanah |
1 | NAD | 15,8 | 76,7 | 64,1 | 11,5 | 10,4 |
2 | Sumatera Utara | 6,8 | 72,3 | 49,1 | 9,2 | 5,5 |
3 | Sumatera Barat | 2,2 | 74,1 | 31,0 | 13,9 | 3,5 |
4 | R i a u | 5,2 | 78,1 | 50,1 | 32,6 | 2,6 |
5 | J a m b i | 2,9 | 76,1 | 50,4 | 29,0 | 5,4 |
6 | Sumatera Selatan | 6,5 | 73,3 | 54,6 | 28,0 | 10,4 |
7 | Bengkulu | 0,3 | 82,8 | 45,3 | 28,5 | 8,9 |
8 | Lampung | 1,1 | 90,0 | 38,4 | 25,2 | 19,4 |
9 | Kep. Bangka Belitung | 3,2 | 80,1 | 36,9 | 24,4 | 2,8 |
10 | Kep. Riau | 7,3 | 57,8 | 49,4 | 31,3 | 5,2 |
11 | DKI Jakarta | 0,3 | 25,7 | 8,7 | 1,0 | 1,8 |
12 | Jawa Barat | 0,3 | 76,6 | 23,0 | 2,3 | 5,6 |
13 | Jawa Tengah | 0,1 | 81,1 | 31,0 | 2,0 | 26,1 |
14 | DI Yogyakarta *) | - | 75,3 | 12,7 | 1,8 | 9,4 |
15 | Jawa Timur | 0,1 | 75,7 | 22,2 | 2,5 | 19,5 |
16 | Banten | 3,2 | 63,9 | 19,7 | 4,1 | 8,1 |
17 | B a l i | 0,7 | 48,2 | 6,3 | 2,7 | 5,4 |
18 | Nusa Tenggara Barat | 6,5 | 79,1 | 33,1 | 15,4 | 11,9 |
19 | Nusa Tenggara Timur | 26,4 | 82,2 | 72,0 | 62,6 | 41,0 |
20 | Kalimantan Barat | 11,7 | 86,5 | 49,3 | 30,6 | 2,7 |
21 | Kalimantan Tengah | 8,4 | 80,0 | 84,1 | 34,4 | 3,4 |
22 | Kalimantan Selatan | 19,7 | 60,9 | 85,8 | 9,5 | 2,2 |
23 | Kalimantan Timur | 2,8 | 39,7 | 68,7 | 16,8 | 3,6 |
24 | Sulawesi Utara | 6,2 | 63,3 | 36,7 | 5,9 | 9,5 |
25 | Sulawesi Tengah | 22,2 | 80,2 | 52,4 | 29,2 | 8,4 |
26 | Sulawesi Selatan | 9,1 | 72,0 | 67,4 | 16,1 | 3,9 |
27 | Sulawesi Tenggara | 27,3 | 79,5 | 65,9 | 30,3 | 11,1 |
28 | Gorontalo | 17,2 | 81,6 | 41,4 | 27,1 | 10,2 |
29 | Sulawesi Barat | 27,6 | 80,1 | 72,3 | 44,9 | 7,7 |
30 | Maluku | 21,9 | 85,0 | 33,0 | 30,2 | 15,6 |
31 | Maluku Utara | 18,2 | 78,1 | 32,8 | 36,5 | 19,5 |
32 | Irian Jaya Barat | 9,7 | 73,5 | 54,8 | 48,8 | 10,9 |
33 | Papua | 46,1 | 81,4 | 75,3 | 62,9 | 23,8 |
Sumber: Susenas 2008, BPS, *) DI Yogyakarta tidak mencakup Kabupaten Bantul
- Data tidak tersedia
II.1-33
4. Kemiskinan dan Kerentanan. Globalisasi telah memberi dampak positif, yaitu membuka peluang pertumbuhan ekonomi dalam bentuk/melalui perluasan pasar baru bagi barang dan jasa yang memiliki tingkat kemampuan untuk bersaing di pasar. Pada saat yang sama, globalisasi juga berpengaruh pada fluktuasi di pasar domestik. Hal ini menimbulkan kecenderungan fluktuasi harga pada bahan kebutuhan pokok yang dapat mengganggu kesejahteraan masyarakat miskin dan PMKS. Tantangan baru yang timbul adalah bagaimana dan sejauh mana pemerintah berperan untuk mewujudkan stabilisasi harga kebutuhan pokok agar penghidupan masyarakat tidak semakin memburuk. Dalam kaitan dengan ini, termasuk perlunya kebijakan baru untuk keadaan darurat apabila terdapat gangguan dalam perekonomian yang akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat miskin. Permasalahan yang perlu diatasi adalah menyiapkan kebijakan dan instrument kontijensi, memperluas cakupan dan penyempurnaan kualitas pelayanan bantuan sosial, serta menyiapkan aparat pelaksana untuk memiliki kesiapan dalam pelaksanaannya.
5. Perubahan iklim juga membawa pengaruh pada fluktuasi kondisi alam yang mengganggu kehidupan masyarakat pada umumnya dan masyarakat miskin pada khususnya. Perubahan iklim, antara lain, dapat berpengaruh pada: (i) kacaunya pola tanam yang disebabkan oleh musim (hujan dan kemarau) yang tidak menentu lagi; dan (ii) kejadian bencana alam yang semakin tinggi frekuensi dan besarannya (magnitude). Sebagai akibatnya, produksi pertanian menjadi terganggu, pendapatan sebagian besar penduduk miskin yang bergantung pada kegiatan pertanian juga menjadi tidak menentu sehingga meningkatkan kerentanan dan memperberat upaya masyarakat untuk mengentaskan dirinya dari kemiskinan. Di sisi konsumsi, ketersediaan air yang tidak teratur juga menganggu pasokan air bersih dan sanitasi yang berdampak pada kesehatan masyarakat miskin dan masyarakat secara menyeluruh. Untuk itu, perlu dikembangkan kegiatan mitigasi dan adaptasi sehingga dapat memberi manfaat tidak saja bagi masyarakat miskin tetapi juga sebagai sumber pendapatan baru.
Sasaran Bidang. Dengan berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut, sasaran bidang penanggulangan kemiskinan dan pemerataan pembangunan dalam RPJMN 2010-2014 adalah menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar 8-10% pada akhir 2014.
1.2.1.3 Strategi dan Arah Kebijakan
Untuk mencapai sasaran tersebut dan dengan memperhatikan permasalahan serta tantangan yang ada sebagaimana diuraikan di atas, arah kebijakan yang ditempuh dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan adalah: (i) meningkatkan pertumbuhan pada sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja dan efektif menurunkan
kemiskinan; (ii) melengkapi dan menyempurnakan kebijakan penanggulangan kemiskinan, terutama yang berkaitan dengan pemenuhan hak masyarakat miskin, perlindungan sosial, dan pemberdayaan masyarakat; (iii) meningkatkan efektivitas pelaksanaan penurunan kemiskinan di daerah.
Arah kebijakan 1: Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan dan dapat dinikmati sebanyak-banyaknya masyarakat terutama masyarakat miskin (pro poor growth)
Beberapa kegiatan ekonomi yang perlu didukung pengembangannya dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan adalah, sebagai berikut.
1. Meningkatkan dan mengembangkan pertumbuhan ekonomi dalam sektor-sektor yang memiliki dampak terhadap penurunan kemiskinan secara signifikan, misalnya penumbuhan dan pengembangan pasar tradisional, peningkatan produktivitas dan nilai tambah usaha pertanian, dan pengembangan usaha mikro dan kecil.
2. Pertumbuhan ekonomi diarahkan pada industri yang banyak menggunakan sumberdaya alam lokal untuk meningkatkan perekonomian daerah.
Arah pengembangan kegiatan ekonomi tersebut di atas merupakan bagian dari Prioritas 7, Iklim Investasi dan Iklim Usaha.
Arah Kebijakan 2: Meningkatkan kualitas kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan afirmatif/keberpihakan
Arah kebijakan penanggulangan kemiskinan pada era 2010-2014 yang merupakan inti dari Prioritas 4, Penanggulangan Kemiskinan, ditujukan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas kebijakan dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan, dengan:
1. meningkatkan dan menyempurnakan kualitas kebijakan perlindungan sosial berbasis keluarga dalam rangka membantu pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin, untuk memutus rantai kemiskinan dan mendukung peningkatan kualitas SDM;
2. meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan bantuan sosial untuk PMKS;
3. menyempurnakan dan meningkatkan efektivitas pelaksanaan PNPM Mandiri;
4. meningkatkan sinkronisasi kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, serta harmonisasi antarpelaku dan para pihak agar efektif dalam menurunkan tingkat kemiskinan.
Arah kebijakan ini akan dilakukan melalui 4 (empat) fokus prioritas, yaitu:
Fokus 1, Peningkatan dan Penyempurnaan Kualitas Kebijakan Perlindungan Sosial berbasis Keluarga.
Beberapa kegiatan prioritas dalam fokus ini di antaranya adalah: (i) menyempurnakan pelaksanaan program perlindungan sosial berbasis keluarga dalam rangka memenuhi hak masyarakat miskin; (ii) menyempurnakan data kemiskinan dan targeting program penanggulangan kemiskinan; dan (iii) menyediakan kebijakan dan intervensi khusus untuk membantu masyarakat dalam mengatasi dampak dari bencana alam dan gejolak perekonomian nasional; dan (iv) meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan dan rehabilitasi sosial anak terlantar, lansia terlantar dan penyandang cacat terlantar dan/atau berat; bantuan sosial bagi korban bencana alam dan bencana sosial; serta bantuan pemberdayaan sosial bagi fakir miskin dan komunitas adat terpencil.
Fokus 2, Menyempurnakan dan Meningkatkan Efektivitas Pelaksanaan PNPM Mandiri.
Penyempurnaan, peningkatan efektivitas PNPM Mandiri akan dilakukan, antara lain, dengan: (i) memperkuat dan meningkatkan kualitas pelaksanaan PNPM Mandiri di kecamatan miskin; (ii) meningkatkan fungsi kelembagaan yang dibangun melalui PNPM Mandiri sebagai perwujudan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa/daerah; dan (iii) mengintegrasikan secara selektif PNPM Pendukung untuk mendukung percepatan penanggulangan kemiskinan.
Fokus 3, Peningkatan Akses Usaha Mikro dan Kecil kepada Sumberdaya Produktif
Pelaksanaan fokus prioritas ini akan dilakukan, antara lain, melalui: (i) peningkatan budaya usaha dan kewirausahaan dalam kemampuan pengelolaan/manajemen usaha; (ii) peningkatan penyediaan layanan informasi dan konsultasi usaha (teknis, manajemen usaha dan keuangan, teknologi dan pemasaran);
(iii) fasilitasi untuk penguatan produksi, pemasaran dan kerjasama pemasaran; dan (iv) peningkatan fasilitasi dan skema pendanaan usaha termasuk Kredit Usaha Rakyat dan modal awal usaha (start up capital) yang mudah dan cepat.
Fokus 4, Peningkatan Sinkronisasi dan Efektivitas Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan serta Harmonisasi Antarpelaku.
Pelaksanaan fokus prioritas ini dilakukan melalui kegiatan: (i) revitalisasi komite nasional penanggulangan kemiskinan (ii) peningkatan kapasitas dan fungsi
Kementerian/Lembaga serta Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam suatu forum bersama penanggulangan kemiskinan di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota; (iii) peningkatkan kerjasama dan partisipasi swasta melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dan lembaga masyarakat lain, misalnya dana Zakat Infak dan Sodaqoh (ZIS) dan dana masyarakat lainnya; dan (iv) penerapan sistem monitoring dan evaluasi yang akurat sebagai dasar keputusan dan alokasi anggaran.
Arah Kebijakan 3: Peningkatan efektivitas penurunan kemiskinan di daerah, terutama daerah tertinggal, terdepan dan terluar
Berdasarkan pola karakterisktik daerah serta tingkat kemiskinan yang ada, arah kebijakan ini akan ditempuh melalui:
1. Pemberdayaan sektor informal dan UMKM serta koperasi merupakan kebijakan dasar bagi semua daerah untuk mendorong penciptaan lapangan kerja dalam rangka penurunan kemiskinan. Dalam kaitan ini, Pemda terutama kabupaten/kota perlu memiliki keberpihakan dan memberi kesempatan usaha yang jelas kepada sektor informal terutama UMKM serta Koperasi dalam rangka meningkatkan pendapatan kaum miskin di daerah.
2. Pengembangan diversifikasi usaha di perdesaan melalui agroindustri berbasis sumberdaya lokal yang didukung oleh pembangunan infrastruktur perdesaan.
Arah kebijakan ini merupakan bagian dari Prioritas 10, Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca Konflik.
1.2.2 Perubahan Iklim Global
1.2.2.1 Kondisi Umum
Perubahan iklim yang terjadi dalam satu abad terakhir telah menjadi isu global sekaligus merupakan tantangan pembangunan nasional. Sedikitnya terdapat empat indikator yang menunjukkan terjadinya perubahan iklim yang berdampak signifikan terhadap berlangsungnya kehidupan, yaitu kenaikan permukaan air laut, kenaikan temperatur udara, perubahan curah hujan, dan iklim, serta peningkatan frekuensi iklim ekstrim yang berdampak pada peningkatan frekuensi dan intensitas bencana terkait iklim, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan menurunnya keanekaragaman hayati.
Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, Dampaknya secara sosial dan ekonomi dapat menurunkan pendapatan petani/nelayan antara lain karena berubahnya musim tanam dan bencana alam yang semakin kerap terjadi.
Perubahan iklim sudah mulai secara nyata dirasakan, dan dampaknya telah secara nyata pula menyebabkan permasalahan pembangunan di berbagai sektor. Sebagai contoh, kenaikan muka air laut yang terjadi di Indonesia telah mempengaruhi pola perhubungan antar pulau, kerusakan sarana dan prasarana pesisir, intrusi air laut yang makin tinggi, dan kemampuan nelayan untuk melaut dan mencari nafkah. Selain itu, pola perubahan cuaca juga telah mempengaruhi pola tanam pertanian serta pola penyakit yang ada di Indonesia. Selain dampak perubahan iklim tersebut, Indonesia sebagai bagian dari masyarakat Internasional juga perlu menyumbang upaya untuk mengurangi laju perubahan iklim dengan mengurangi emisi karbon dan meningkatkan penyerapan karbon. Hal ini dilakukan khususnya pada sektor-sektor energi, kehutanan, lahan gambut, dan limbah. Tahun 2009 Indonesia telah berinisiatif menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26 persen dari kondisi tanpa rencana aksi (business as usual-BAU) dengan usaha sendiri, serta menurunkan 41 persen jika dibantu dengan dukungan dari internasional. Upaya adaptasi dan mitigasi tersebut adalah dalam kerangka pembangunan berkelanjutan dan berkeseimbangan baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Penanggulangan dampak perubahan iklim dilakukan dengan melaksanakan proses pembangunan yang memperhatikan dampak suatu kegiatan terhadap pelepasan gas rumah kaca serta peningkatan kapasitas adaptasi suatu sektor terhadap dampak perubahan iklim seperti perubahan pola cuaca, curah hujan, temperatur dan kenaikan muka air laut. Upaya penanggulangan ini tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa upaya pengintegrasiannya ke dalam berbagai sektor pembangunan. Untuk itu, perubahan iklim sudah harus mulai diinternalisasikan ke dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor sehingga kebijakan adaptasi dan mitigasi ini merupakan kebijakan yang sifatnya lintas sektor dan lintas bidang, yang dilakukan secara terintegrasi dalam satu kesatuan kerangka kebijakan pembangunan nasional.
Banyaknya pemangku kepentingan yang berperan dalam penanggulangan perubahan iklim mengharuskan adanya koordinasi serta sinergi yang baik antarberbagai pihak tersebut. Oleh karena itu, upaya ini harus bersifat membuka akses seluruh pihak agar dapat berperan aktif di dalamnya terutama dalam mewujudkannya. Untuk itu, proses pengarusutamaan perubahan iklim tidak dapat dilakukan semata oleh satu sektor/bidang pembangunan karena sumber dan dampak perubahan iklim terkait dengan berbagai kegiatan pembangunan di banyak sektor, seperti kehutanan, energi, pertanian, dan kelautan.
Dalam mengidentifikasi kegiatan perubahan iklim dalam RPJM ini dilakukan dengan merumuskan kriteria/pertimbangan utama sebagai berikut.
1. Terkait mitigasi: dampak kegiatan pembangunan terhadap jumlah emisi karbon (GRK), dimana kegiatan pembangunan yang direncanakan diupayakan dapat membantu penurunan emisi gas rumah kaca, Diharapkan dengan upaya ini akan dihasilkan arah pembangunan rendah karbon (low carbon development)
2. Terkait adaptasi: mempertimbangkan kenaikan temperatur, kenaikan muka air laut pergeseran musim, dan kejadian iklim ekstrim sehingga kegiatan pembangunan yang direncanakan terutama pada sektor yang menerima dampak perubahan iklim seharusnya sudah mempertimbangkan dampak dari indikator perubahan iklim tersebut.
Sektor yang diprioritaskan dalam kegiatan perubahan iklim adalah sebagai berikut.
1. Mitigasi: Kehutanan, Lahan Gambut, Energi, Termasuk Transportasi, Industri dan Pengolahan Limbah.
2. Adaptasi: Pertanian, Kelautan Perikanan, Pesisir, Sarana dan Prasarana, Kesehatan
3. Pendukung: Data Informasi dan Komunikasi, Penguatan Kapasitas Kelembagaan dan IPTEK.
Dalam hal penanganan perubahan iklim, berbagai upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan, perlu terus diikuti dengan peningkatan kapasitas, mencakup kapasitas kelembagaan penanganan dampak perubahan iklim, dan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam penanganannya.
1.2.2.2 Permasalahan dan Sasaran
Berbagai isu terkait dengan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim adalah sebagai berikut (1) Rendahnya kapasitas sumber daya manusia dan institusi pengelola. Hal ini menyebabkan upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan kurang efektif. Penanganan yang bersifat parsial dan terkotak-kotak juga menjadi salah satu kendala dalam penanganan dampak perubahan iklim ini. (2) Masih terbatasnya ketersediaan data dan informasi terkait dengan adaptasi dan mitigasi yang menyebabkan belum optimalnya upaya adaptasi dan mitigasi yang dilakukan. (3) Masih kurangnya kesadaran masyarakat terhadap upaya penanganan perubahan iklim juga menjadi salah satu kendala yang berkontribusi terhadap kurang optimalnya upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim global ini, yang masyarakat masih belum menyadari perlunya merubah pola hidup terkait dengan adanya penomena perubahan iklim ini,
1.2.2.3 Strategi dan Arah Kebijakan
Mengingat hal-hal tersebut di atas, kebijakan lintas bidang untuk mengantisipasi dampak serta laju perubahan iklim dalam tahun 2010-2014 diarahkan untuk mewujudkan peningkatan kapasitas penanganan dampak dan laju perubahan iklim yang tepat dan akurat. Sementara itu, strategi untuk mencapai kebijakan ini adalah: (1)
peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di berbagai sektor pembangunan dan penguatan kelembagaan; (2) penyedianya dana alternatif untuk pelaksanaan kegiatan dalam rangka pengendalian perubahan iklim; (3) pengurangan emisi di sektor energi, kehutanan dan limbah; (4) peningkatan kapasitas adaptasi sektor dan daerah terutama dalam bidang pertanian, kelautan dan perikanan, kesehatan dan sumber daya air; (5) pengembangan kebijakan dan peraturan perundangan mengenai perubahan iklim.
1.2.3 Pembangunan Kelautan Berdimensi Kepulauan
1.2.3.1 Kondisi Umum
Pembangunan kelautan berdimensi negara kepulauan adalah pembangunan yang berorientasi pada pengembangan potensi kepulauan secara ekonomi, ekologis dan sosial yang ditunjukkan guna meningkatkan pemanfaatan dari sumber daya yang ada di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat generasi sekarang dan generasi selanjutnya.
Wilayah negara Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut yang mempersatukan pulau-pulau yang tersebar di seluruh khatulistiwa. Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi matra darat, matra laut termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan matra udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Saat ini, tata kelola wilayah kita masih bias ke daratan dan tata kelola wilayah lautan masih partial sehingga kebijakan yang ada tidak utuh dan terintegrasi. Padahal, sebagai negara kepulauan, jika sebagian besar kebijakan dan pendekatan negara kepulauan (archipelagic state) dapat dikedepankan, dan laut sebagai pusat pertimbangan (center of attention) dari segala kebijakan yang dilaksanakan, lautan yang luas dengan berbagai potensi yang sangat besar akan dapat menjadi sumber kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Selain itu, kekayaan negara ini dapat kita jaga dengan baik sehingga tidak akan terjadi lagi perpindahan kepemilikan pulau-pulau terluar kita oleh negara lain serta dapat dikendalikan pencurian hasil laut di wilayah Indonesia, dan sebagainya.
Dengan berbekal modal dasar NKRI sebagai negara kepulauan terbesar kedua di dunia, pendekatan pendekatan archipelagic state sebagai kerangka pembangunan nasional harus dilakukan sebagai pengejawantahan dari falsafah Pencasila dan UUD 1945. Pengembangan NKRI sebagai negara kepulauan juga diamanatkan dalam Deklarasi Djoeanda Tahun 1957 dan mendapatkan pengakuan Internasional pada tahun 1982 melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Selain itu,
kebijakan pembangunan kelautan berdimensi kepulauan ini merupakan upaya untuk melaksanakan salah satu misi pembangunan nasional (dalam XXXX 0000-0000) yaitu Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, kuat, dan berbasis kepentingan Nasional.
1.2.3.2 Permasalahan dan Sasaran
Saat ini, pemanfaatan kekayaan negara kita sebagai negara kepulauan masih belum optimal dibandingkan potensinya. Hal tersebut terjadi karena masih banyaknya kendala yang dihadapi. Kendala ini selain jadi permasalahan juga sekaligus menjadi tantangan untuk kita menjadikan Indonesia menjadi negara kepulauan yang tangguh dan diperhitungkan di mata dunia. Berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi adalah sebagai berikut.
Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak pulau kecil, Indonesia sangat potensial sebagai wilayah untuk pariwisata bahari. Meskipun demikian, karena minimnya infrastruktur pendukung baik itu, transportasi antarpulau maupun prasarana dasar lainnya, potensi pariwisata ini belum berkembang optimal. Minimnya infrastruktur ini juga menimbulkan adanya kesenjangan baik antara pulau besar dan pulau kecil maupun antara wilayah barat dan timur. Jika ini tidak segera ditanggungi, laut yang seharusnya menjadi perekat NKRI bisa menjadi penghalang atau pemisah.
Belum terselesaikannya batas wilayah laut dengan negara tetangga. Permasalahan pertahanan dan keamanan di laut saat ini juga masih menjadi hal yang krusial untuk segera diselesaikan. Wilayah laut ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) yang belum diselesaikan meliputi perbatasan dengan Malaysia, Filipina, Palau, Papua New Guinea, Timor Leste, India, Vietnam, dan Thailand, sedangkan batas laut teritorial yang belum disepakati meliputi perbatasan dengan Singapura (bagian timur), Malaysia, dan Timor Leste. Selain itu, ada potensi untuk mendapatkan tambahan wilayah laut dengan perjanjian batas landas kontinen. Kemampuan diplomasi Indonesia dalam kancah internasional juga masih lemah sehingga merupakan kendala tersendiri yang perlu diatasi. Masih sering terjadinya kasus perompakan di wilayah perairan Indonesia.
Masih lemahnya pengendalian dan pengawasan sumber daya kelautan, masih tingginya pelanggaran di wilayah laut, seperti pembuangan limbah B3 (Bahan beracun berbahaya), maraknya praktik illegal fishing, dan penjualan pasir laut, merupakan aktivitas yang dapat merusak kualitas lingkungan perairan dan juga sumberdaya alam di dalamnya.
Wilayah perbatasan dan terpencil kondisinya masih terbelakang, terutama di pulau kecil perbatasan. Wilayah perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil terluar memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar, serta merupakan wilayah yang sangat strategis bagi pertahanan dan keamanan negara. Namun, pembangunan di beberapa wilayah perbatasan masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan pembangunan di wilayah negara tetangga. Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang
tinggal di daerah ini umumnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sosial ekonomi warga negara tetangga. Hal ini telah mengakibatkan timbulnya berbagai kegiatan ilegal di daerah perbatasan yang dikhawatirkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai kerawanan sosial. Permasalahan utama dari ketertinggalan pembangunan di wilayah perbatasan adalah arah kebijakan pembangunan kewilayahan yang selama ini cenderung berorientasi ’inward looking’ sehingga seolah-olah kawasan perbatasan hanya menjadi halaman belakang dari pembangunan negara. Sementara itu, pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia sulit berkembang terutama karena lokasinya sangat terisolir dan sulit dijangkau. Di antaranya banyak yang tidak berpenghuni atau sangat sedikit jumlah penduduknya, serta belum tersentuh oleh pelayanan dasar dari pemerintah.
Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak sehingga menyebabkan menurunnya ketersediaan sumberdaya plasma nutfah dan meluasnya abrasi pantai. Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan, seperti pantai utara Pulau Jawa dan pantai timur Pulau Sumatera. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove serta terjadinya degradasi sebagian besar terumbu karang dan padang lamun telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperparah oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat. Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai di Sumatera, Kalimantan, dan Jawa mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara itu, praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih marak terjadi yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.
Minimnya riset teknologi kelautan dan penerapannya untuk mendukung pembangunan kelautan nasional, termasuk riset sumber daya kelautan di laut dalam. Lemahnya sinergi kebijakan Iptek nasional, termasuk kelautan, menyebabkan kegiatan Iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan Iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri kelautan dan perikanan.
Di samping itu, kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan Iptek kelautan dan perikanan.
1.2.3.3 Strategi dan Arah Kebijakan
Berdasarkan isu dan permasalahan di atas, arah kebijakan pembangunan kelautan berdimensi kepulauan adalah: (1) meningkatkan sinergitas antar sektor/daerah/pemangku kepentingan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan pulau-pulau kecil; (2) meningkatkan pemahaman tehadap konsep negara kepulauan bagi generasi muda dan masyarakat luas; (3) Meningkatkan pengawasan dan pengendalian pelanggaran di laut; (4) meningkatkan pengamanan, menjaga kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI: (5) meningkatkan pembangunan ekonomi kelautan yang terfokus dan terintegrasi untuk sektor-sektor strategis untuk pendorong peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk membangun industri maritim; (6) meningkatkan sarana dan prasarana penghubung antarpulau dalam rangka menjadikan laut sebagai perekat NKRI; (7) meningkatkan upaya pelestarian lingkungan pesisir dan laut dalam rangka menjaga dan mempertahankan fungsinya sebagai pendukung kehidupan.
1.2.4 Perlindungan Anak
1.2.4.1 Kondisi Umum
Pembangunan perlindungan anak ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak Indonesia. Sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, serta mendapat perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak, eksploitasi, dan diskriminasi. Dengan demikian, pemenuhan hak-hak anak mencakup setiap bidang pembangunan. Pembangunan perlindungan anak yang terintegrasi dan komprehensif akan menghasilkan kebijakan publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi seluruh anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.
Keberhasilan pembangunan perlindungan anak dalam memenuhi hak tumbuh kembang dan kesejahteraan anak telah ditunjukkan dalam capaian pembangunan di bidang kesehatan dan pendidikan. Selain itu, persentase pekerja anak usia 10-14 tahun telah menunjukkan penurunan, dari 5,52 persen pada tahun 2005 menjadi 4,65 persen pada tahun 2006 dan 3,78 persen pada tahun 2007 (Sakernas, 2006—2008). Sementara itu, dalam memenuhi hak sipil anak untuk mendapatkan identitas dan legalitas kependudukan, data Supas 2005 menunjukkan bahwa sebanyak 42,82 persen anak usia 0-4 tahun telah memiliki akta kelahiran.
Selanjutnya, dalam rangka melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, telah
tersedia Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Kantor Kepolisian Resort (Polres), yang menyediakan pelayanan untuk anak korban kekerasan, bekerja sama dengan berbagai lembaga masyarakat, rumah sakit, dan lembaga pelayanan sosial. Dalam rangka pelayanan tersebut, telah pula dikembangkan mekanisme pengaduan bagi anak melalui telepon yang disebut Telepon Sahabat Anak (TESA) 129 di tujuh kota. Di samping itu, telah terbentuk pula gugus tugas pada tingkat nasional penanganan anak korban perdagangan orang, yang berfungsi untuk mengoordinasikan dan mendorong pemberantasan perdagangan orang termasuk perdagangan anak. Selain itu, telah disusun pula standar prosedur operasional pemulangan korban perdagangan anak, baik dari dalam wilayah RI maupun lintas batas negara. Hal ini dilakukan baik di dalam negeri, maupun antarnegara.
Di bidang kesejahteraan sosial, telah tersedia pula pelayanan untuk mengatasi masalah anak jalanan di berbagai kota, termasuk pendidikan, pendidikan keterampilan, dan upaya untuk meningkatkan kondisi ekonomi orang tua mereka agar anak-anak jalanan dan orang tuanya tetap dapat hidup bersama dalam keluarga yang harmonis. Sementara itu, untuk meningkatkan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, telah ditanda-tangani Surat Keputusan Bersama antara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kepolisian Negara, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Peraturan perundang-undangan sebagai basis hukum dalam perlindungan anak juga telah mencatat kemajuan dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Di samping itu, telah ditetapkan pula Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terkait pemidanaan terhadap pornografi anak, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
1.2.4.2 Permasalahan dan Sasaran
Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan perlindungan anak adalah sebagai berikut. Pertama, meningkatkan akses terhadap layanan pemenuhan hak tumbuh kembang anak, termasuk pengembangan anak usia dini yang holistik dan integratif. Pada tahun 2008, jumlah anak usia dini (0-6 tahun) di Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 29,3 juta atau 12,8 persen dari total penduduk. Permasalahan yang masih dihadapi oleh kelompok umur tersebut adalah belum optimalnya pemenuhan kebutuhan esensial anak yang mencakup kesiapan belajar dalam memasuki jenjang sekolah dasar, derajat kesehatan dan gizi anak, serta pengasuhan dan perlindungan anak. Di bidang pendidikan, data Depdiknas pada tahun 2008
menunjukkan bahwa 49,38 persen anak usia 0-6 tahun belum mengenyam program pendidikan anak usia dini. Di samping itu, masih banyak anak yang tidak bersekolah yang disebabkan oleh berbagai faktor, terutama karena kemiskinan.
Rendahnya pemenuhan hak tumbuh kembang anak, antara lain, juga ditunjukkan dengan masih tingginya jumlah pekerja anak, terutama di perdesaan, termasuk yang melakukan berbagai pekerjaan yang berbahaya, seperti menjadi pembantu rumah tangga (PRT). Dari 2,6 juta pembantu rumah tangga (PRT), 35 persennya adalah anak- anak, khususnya anak perempuan, dengan rata-rata jumlah jam kerja 25-45 jam/minggu (KNPP, 2006). Di samping itu, masih banyak pula anak-anak yang melakukan pekerjaan berbahaya di sektor transportasi, konstruksi, dan pertambangan.
Di bidang kesehatan, masih tingginya kematian bayi dan balita juga disebabkan oleh peningkatan infeksi HIV dan AIDS. Dampak hal tersebut terhadap anak, di antaranya, adalah kehilangan pengasuhan karena orang tua meninggal dunia, kehilangan sumber daya ekonomi karena biaya pengobatan yang relatif mahal, dan risiko menghadapi akibat-akibat infeksi itu dalam dirinya sendiri. Sementara itu, rendahnya tingkat pemahaman akan kesehatan reproduksi, antara lain, ditunjukkan dengan masih tingginya perempuan yang median usia kawin pertamanya sampai dengan 18 tahun, yaitu 46,87 persen. Angka ini lebih tinggi di perdesaan, yaitu sebesar 53,95 persen dibandingkan dengan di perkotaan, yaitu 37,16 persen (Susenas, 2007).
Dalam pemenuhan hak-hak sipil, jumlah anak yang belum mendapatkan akta kelahiran masih tinggi, yaitu sekitar 57,18 persen. Hal ini, antara lain, disebabkan oleh:
(a) belum adanya keseragaman sistem pencatatan kelahiran; (b) tingkat kompleksitas persyaratan pengurusannya; (c) adanya inkonsistensi aturan dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan mengenai jangka waktu pembebasan biaya pengurusan akta kelahiran (dari 487 kabupaten/kota, hanya 219 kabupaten/kota yang sudah membebaskan biaya pengurusan akta kelahiran); (d) terbatasnya tempat pelayanan pencatatan kelahiran (hanya tersedia sampai tingkat kabupaten/kota); dan (e) belum adanya insentif dari kepemilikan akta kelahiran. Dengan demikian, maka tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan sinkronisasi kebijakan yang terkait dengan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak.
Kedua, meningkatkan perlindungan anak dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Data Susenas 2006 menunjukkan bahwa prevalensi kekerasan terhadap anak adalah sebesar 7,6 persen, atau terdapat sekitar 4 juta anak yang mengalami kekerasan setiap tahun. Sementara itu, data Bareskrim POLRI menunjukkan bahwa dalam periode tahun 2004 sampai dengan Oktober 2009 terdapat 538 anak dari 1,722 korban perdagangan orang, yang sebagian besar adalah perempuan. Perdagangan anak biasanya ditujukan untuk menjadi pembantu rumah tangga, pekerja seks komersial atau pengemis di jalan, pengedar narkoba, dieksploitasi di tempat-tempat kerja berbahaya seperti jermal, pertambangan, dan perkebunan. Di samping itu, masih banyak pula anak-
anak pengungsi korban konflik atau bencana alam yang belum memperoleh hak-hak dasar, termasuk pengasuhan alternatif yang memadai (WHO, 2006; Xxxxxx, Save the Children, 2006). Kondisi tersebut, antara lain, disebabkan oleh masih banyaknya rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan, masih terdapatnya nilai-nilai budaya yang permisif terhadap kekerasan dan eksploitasi anak, masih lemahnya penegakan hukum, dan belum terbentuknya mekanisme dan struktur perlindungan anak yang komprehensif sampai pada tingkatan masyarakat. Dengan demikian, maka tantangan kedua yang harus dihadapi adalah meningkatkan koordinasi pelaksanaan dan penegakan hukum yang terkait dengan perlindungan bagi anak terhadap segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Ketiga, meningkatkan kapasitas kelembagaan perlindungan anak. Belum efektifnya pelaksanaan perlindungan anak, antara lain, ditunjukkan dengan: (1) masih terdapatnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak konsisten dengan KHA dan Undang-Undang Perlindungan Anak yang berpotensi merugikan dan menghambat pemenuhan hak-hak anak; dan (2) belum terbentuknya kelembagaan perlindungan anak yang komprehensif dan menjangkau semua wilayah, serta (3) masih lemahnya mekanisme pengawasan dan pendataan. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya pencapaian pembangunan perlindungan anak yang, antara lain, disebabkan oleh masih lemahnya kualitas dan kapasitas kelembagaan. Hingga saat ini, belum ada mekanisme komprehensif yang berlaku dari pusat ke daerah, yang ditujukan untuk melindungi anak. Mekanisme yang ada masih bersifat sektoral dan belum memadai sehingga belum dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum memberikan wadah bagi setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak, untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak. Di samping itu, sistem pengelolaan data dan informasi serta indeks komposit perlindungan anak yang terpilah, yang mutakhir dan mudah diakses, juga belum tersedia. Dengan demikian, maka tantangan ketiga yang harus dihadapi adalah meningkatkan kapasitas kelembagaan, ketersediaan data dan informasi, koordinasi pelaksanaan, dan harmonisasi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan perlindungan anak.
Sasaran Bidang. Dengan memperhatikan permasalahan dan tantangan tersebut di atas, maka sasaran bidang perlindungan anak adalah meningkatnya tumbuh kembang optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak yang ditandai dengan: (a) meningkatnya akses dan kualitas layanan perlindungan anak, yang antara lain diukur dengan meningkatnya APK PAUD, APS 7—12 tahun, APS 13—15 tahun, dan cakupan kunjungan neonatal, serta menurunnya persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan; (b) meningkatnya persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah.
1.2.4.3 Strategi dan Arah Kebijakan
Berdasarkan uraian di atas, kebijakan peningkatan perlindungan anak diarahkan
pada: (a) peningkatan akses terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak; (b) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi; dan (c) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak.
Dalam rangka mencapai arah kebijakan tersebut, perlindungan anak dilaksanakan melalui tiga fokus prioritas. Pertama, peningkatan kualitas tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain, melalui peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak usia dini; peningkatan kualitas kesehatan anak; dan peningkatan pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja.
Kedua, perlindungan anak dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain melalui: peningkatan rehabilitasi dan pelindungan sosial anak; peningkatan perlindungan bagi pekerja anak dan penghapusan pekerja terburuk anak; dan peningkatan perlindungan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Ketiga, peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, antara lain, melalui penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait perlindungan anak; peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan anak; peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan anak; dan peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak, baik lokal, nasional, maupun internasional.