IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA PENCALONAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010
IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA PENCALONAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010
TESIS
OLEH :
NAMA MHS. : XXX XXXXXX, S.H., S.TH.I NO. POKOK MHS. : 16921023
BKU : KENOTARIATAN
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
2018
SURAT PENYATAAN
ORISINALITAS KARYATULIS ILMIAH BERUPA TUGAS AKHIR MAHASISWA PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : XXX XXXXXX, S.H., S.TH.I …………………………...
NPM : 16.921.023 ………………………………………………..
Adalah benar-benar Mahasiswa Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang telah melakukan penulisan Karya Tulis Ilmiah (Tugas Akhir) dengan judul:
“IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA PENCALONAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010”
Karya tulis ini akan Saya ajukan kepada Xxx Xxxxuji dalam Sidang Ujian Tesis yang diselenggarakan oleh Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini Saya menyatakan:
1. Bahwa karya tulis ilmiah ini adalah benar-benar hasil karya Xxxx sendiri yang dalam penyusunannya tunduk dan patuh terhadap kaidah etika dan norma penulisan sebuah karya tulis ilmiah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Bahwa Saya menjamin hasil karya ilmiah ini adalah benar-benar Asli (Orisinil) bebas dari unsur-unsur yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan “penjiplakan karya ilmiah (plagiat);
3. Bahwa meskipun secara pribadi hak milik atas karya ini ada pada Saya, namun demi untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat akademik dan pengembangannya, Saya memberikan kewenangan kepada Perpustakaan
MOTTO
“Suro Diro Joyoningrat Lebur Dening Pangastuti”
PERSEMBAHAN
Karya tulis imliah ini Saya persembahkan kepada:
1. Kedua orangtuaku di Jepara Bapak H. Muntani dan Ibu Indawati
2. Istriku Yuliana, X.Xxx yang senantiasa sabar mendengar keluh kesahku
3. Kedua anakku: Xxxx Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx Kalinda
4. Seluruh keluarga besar di Jepara maupun di Magelang
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tuhan Seluruh Alam yang telah memberikan kekuatan hingga penulis mampu memenuhi kewajiban dan mengemban tanggungjawab. Salah satu nikmat yang sangat penulis syukuri adalah kesempatan dan kemampuan menyelesaian karya tulis ilmiah tugas akhir yang berjudul: “IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA PENCALONAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010”. Tugas akhir
tersebut disusun untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar akademik Magister Kenotariatan (MKN) pada Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
Kemampuan penulis menyelesaikan karya tulis ilmiah itu tidak lepas dari dukungan, bantuan, dan bimbingan berbagai pihak. Beberapa yang mampu penulis sebutkan antara lain:
1. Ibu Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum selaku Pembimbing I. Di tengah- tengah kesibukan beliau mengemban tugas sebagai guru besar di bidang hukum tata negara masih bisa meluangkan waktu untuk membimbing penulis dengan sabar hingga akhirnya tugas akhir ini bisa terselesaikan;
2. Xxx Xxxxxx Xxxxxxxx, S.H., M.H selaku Pembimbing II. Aktifitas beliau yang sangat padat dalam menjalankan tugas sebagai Notaris sekaligus dosen di berbagai perguruan tinggi masih bisa meluangkan waktu dengan sabar untuk membimbing penulis hingga akhirnya tugas akhir ini terselesaikan;
3. Bapak Xxx. Xxxx Xxxxxxxx, M.A., M.H., Ph.D selaku Ketua Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
4. Bapak Xx. Xxxxxx HR, S.H., M.Hum. selaku Kepala Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta;
5. Kedua orangtua penulis di Jepara, Bapak X. Muntani dan Ibu Indawati yang tak pernah lelah terus memanjatkan doa untuk penulis
6. Istri xxxxxxx, Xxxxxxx, X.Xxx. yang sabar mendengarkan keluh kesah serta tak lelah memberikan dorongan, motivasi, dan semangat kepada penulis hingga akhirnya karya tulis ilmiah ini terselesaikan;
7. Kedua buah hati yang selalu menjadi semangat bagi penulis: Xxxx Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxx Xxxx Kalinda;
8. Adik-adik penulis yang juga terus memberikan semangat dan doa. Xxxxx Xxxxxxxx, S.Pd, Xxxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxx, S.E, dan Nafisatul Muawanah;
9. Seluruh keluarga besar di Jepara dan Magelang
10. Seluruh dosen, karyawan, dan teman-teman angkatan IV Magister Kenotariatan Universitas Islam Indonesia;
Penulis menyadari karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan karena pasti banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini di masa-masa yang akan datang. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat bagi penulis secara pribadi dan harapannya bisa memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan hukum dan studi-studi serta penelitian yang secara khusus berkaitan dengan kenotariatan.
Yogyakarta, 12 Februari 2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PERSETUJUAN… ii
HALAMAN PENGESAHAN iii
HALAMAN ORISINALITAS iv
HALAMAN MOTTO vi
HALAMAN PERSEMBAHAN vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR ISI xi
ABSTRAK xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 10
C. Tujuan Penelitian… 10
D. Manfaat Penelitian 11
E. Orisinalitas Penelitian 11
F. Kerangka Pemikiran 12
G. Metode Penelitian 26
H. Sistematika Penulisan 30
BAB II PERJANJIAN, NOTARIS, AKTA, PEMILIHAN KEPALA DAERAH, DAN KOALISI POLITIK
A. Perjanjian 32
1. Pengertian 32
2. Unsur-unsur Perjanjian 36
3. Jenis-jenis Perjanjian 38
4. Syarat Sahnya Perjanjian 42
B. Notaris dan Kewenangan Pembuatan Akta 46
C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia… 63
1. Pemilihan Umum 71
2. Rotasi Kekuasaan 72
3. Rekrutmen Terbuka 72
4. Akuntabilitas Publik 73
I. Langsung 74
II. Umum 74
III. Bebas 74
IV. Rahasia 74
V. Jujur 75
VI. Adil 75
D. Teori Koalisi Politik 76
BAB III PERJANJIAN KOALISI POLITIK PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010
A. Gambaran Umum Kabupaten Purworejo 83
1. Kondisi Geografi dan Demografi 83
2. Gambaran Peta Politik 84
3. Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 1999 86
4. Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2004 88
5. Perolehan Suara Pemilu Legislatif Tahun 2009 89
B. Pelaksanaan Pilkada Kabupaten Purworejo Tahun 2010 91
C. Tahapan Pencalonan dan Penetapan Peserta Pilkada 93
D. Perjanjian Koalisi Politik dalam Dinamika Penggalangan Dukungan 97
1. Perjanjian Antara Bakal Calon Bupati dengan Bakal Calon Wakil Bupati 99
2. Perjanjian Bakal Calon Bupati dengan Partai Politik 108
2.1.Perjanjian Antara HM Xxxxxx Xxxxxx dengan PAN 108
2.2.Perjanjian Xxxxxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx Xxx dengan PKB 117
E. Implikasi Yuridis Perjanjian Koalisi Politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo Tahun 2010 124
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 132
B. Saran 134
DAFTAR PUSTAKA 136
ABSTRAK
Pada tahun 2010, Kabupaten Purworejo menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung. Pesta demokrasi tersebut mendasarkan pada ketentuan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 yang telah direvisi dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 2008. Pasangan calon peserta Pilkada ditentukan berasal dari partai politik dan atau gabungan partai politik serta dari jalur perseorangan. Sebelum tahapan pencalonan, para bakal calon bupati dan bakal calon wakil bupati melakukan penggalangan dukungan untuk bisa diusung oleh partai politik maupun gabungan partai politik. Beberapa bakal calon melakukan kontrak perjanjian koalisi politik yang dituangkan dalam akta autentik maupun akta di bawah tangan yang dilegalisasi di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini Notaris.
Penulis melakukan penelitian terhadap perjanjian koalisi politik dalam Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 dengan merumuskan permasalahan tentang bagaimana pelaksanaan perjanjian koalisi politik tersebut serta bagaimana implikasi yuridisnya . Penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif yang mengahasilkan data diskriptif. Pendekatan yang dipilih dalam penelitian hukum ini adalah nomatif-empiris, yaitu mengenai implementasi ketentuan hukum normatif dalam aksinya pada setiap perbuatan hukum tertentu selama pelaksanaan Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010.
Sedangkan obyek dalam penelitian ini adalah perbuatan hukum perjanjian koalisi politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan Notaris atau setidak-tidaknya melibatkan peran Notaris. Narasumber penelitian ini adalah calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah, anggota KPU Kabupaten Purworejo, notaris, dan pimpinan partai politik. Adapun pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara secara langsung dan studi pustaka dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan- bahan yang terkait dengan permasalahan. Data yang didapatkan disajikan dalam bentuk diskriptif dan kemudian dianalisis dengan metode yuridis kualitatif.
Dari penelitian tersebut, penulis menemukan adanya peran Notaris dalam membuat perjanjian koalisi politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo. Dalam pelaksanaanya, ada dua kategori para pihak pada perjanjian tersebut. Pertama, perjanjian antara bakal calon bupati dengan bakal calon bupati yang dituangkan dalam akta autentik dan dibuat di hadapan Notaris. Kedua, perjanjian di bawah tangan antara bakal calon bupati dengan pimpinan partai politik pengusung. Perjanjian koalisi politik tersebut tidak memiliki implikasi yuridis secara langsung terhadap keabsahan proses Pilkada Kabupaten Purworejo. Perjanjian tersebut juga tidak bisa digunakan sebagai alat bukti yang kuat untuk pengajuan gugatan/sengketa ke pengadilan meskipun ditemukan tindakan wanprestasi dari salah satu pihak.
Kata Kunci: Koalisi Politik, Perjanjian, Notaris
ABSTRACT
In 2010, Purworejo District held a direct Regional Head Election. The democracy party is based on the provisions of Law No. 32 of 2004 which has been revised by Law No. 22 of 2008. The candidate pairs of candidates are determined to come from political parties and / or coalitions of political parties as well as from individual channels. Prior to the nomination stage, candidates for candidates for bupati and vice-bupati candidates will conduct support for political parties and political parties. Some candidates enter into a coalition of political coalition contracts which are set forth in authentic deeds or deeds under the hand that are legalized in the presence of the competent authority, in this case the Notary.
The author conducted a study on the political coalition agreement in the Purworejo District Election in 2010 by formulating the problem of how the implementation of the coalition of political agreements and how the juridical implications. The selected research is a qualitative research that produces descriptive data. The approach chosen in this legal research is nomative-empirical, namely the implementation of the normative legal provisions in its action on each legal act during the implementation of Pilkada Purworejo District in 2010.
While the object in this research is the legal act of political coalition agreement in Election of Purworejo Regency in 2010 made in front of Notary or at least involving Xxxxxx'x role. The resource persons of this research are candidate of regional head and candidate of deputy head of region, member of KPU Purworejo Regency, notary, and leader of political party. The data collection is done by direct interview and literature study by finding and collecting materials related to the problem. The data obtained are presented in descriptive form and then analyzed by qualitative juridical method.
From the research, the author found the role of Notary in making a coalition of political agreements in the elections Purworejo District. In practice, there are two categories of parties to the agreement. First, the agreement between prospective bupati and prospective candidate of bupati as stated in authentic deed and made before Notary. Secondly, the agreement is under the hand of the candidate of bupati with the leader of the political party bearer. The coalition coalition agreement has no direct juridical implications on the validity of the Purworejo District Election process. The agreement also can not be used as a strong evidence for the filing of a lawsuit / dispute to the court even if a non- compliance action is found against either party.
Keywords: Political Coalition, Agreement, Notary
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Era reformasi yang terjadi di penghujung tahun 90-an membawa perubahan besar sekaligus fundamental terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat. Tidak ada sedikitpun dimensi kehidupan masyarakat yang luput dari dampak reformasi tersebut. Aspek hukum, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain sebagainya secara simultan melakukan adaptasi untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan dan perubahan zaman.
Salah satu agenda reformasi yang paling signifikan dan fundamental terhadap aspek hukum adalah perubahan terhadap Undang-undang Dasar (UUD 1945). Perubahan konstitusi itu secara otomatis diikuti dengan munculnya perubahan pada norma-norma hukum lainnya untuk menyesuaikan, mengingat posisi UUD 1945 sebagai dasar dan acuan utama dari pembangunan sistem hukum nasional.
Berdasarkan catatan sejarah, amandeman UUD 1945 tersebut telah dilaksanakan sebanyak empat tahap, dari tahun 1999-2001. Serangkaian perubahan itu secara nyata memberikan implikasi politik yang sangat luas terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.
Jika dibaca secara cermat, maka perubahan UUD 1945 tersebut merupakan serangkaian perubahan yang dilakukan secara sistematis sebagai jawaban atas
tantangan baru untuk merespon dinamika dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Tuntutan perubahan sistem politik dan ketatanegaraan dalam bentuk perubahan UUD 1945 adalah pesan yang sangat jelas disampaikan oleh gerakan reformasi yang dimulai sejak tahun 1998.1
Secara teoritis, perubahan terhadap UUD 1945 melalui gerakan reformasi itu otomatis juga mengubah politik hukum konsitusi. Artinya kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum juga mengalami perubahan. Salah satu contoh perubahan yang sangat mendasar terkait pemilihan presiden dan wakil presiden yang tidak lagi dilakukan oleh Xxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxan Rakyat (MPR) melainkan dilakukan pemilihan secara langsung oleh rakyat, sebagaimana amanat dalam Pasal 6A ayat (1) UUD 1945.
Perubahan politik hukum lainnya sebagai implikasi dari perubahan UUD 1945 adalah terkait dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, maupun walikota dan wakil walikota. Meskipun UUD 1945 hanya implisit menyatakan kepala daerah dipilih secara demokratis sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 ayat (4), namun penafsiran terhadap pasal ini sedikit banyak dipengarui juga dengan politik hukum atas pasal tentang pemilihan presiden dan wakil presiden hingga akhirnya dalam undang-undang sebagai aturan turunannya ditentukan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung.
Meskipun dinamikanya pada saat revisi undang-undang Xxxxxxx sempat terjadi perdebatan terkait mekanisme pemilihan secara langsung atau
1 xxxxx://xxxxxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxxxxxx-xxxx-xxxxxxx-xxxxx-
perubahan-uud-1945/ diakses Jumat, 17 Nopember 2017 pukul 10.00 WIB
perwakilan, namun akhirnya yang disahkan adalah kepala daerah tetap dipilih secara langsung. Model pemilihan langsung, baik presiden dan wakil presiden yang pertama kali terjadi tahun 2004, kepala daerah tahun 2005, termasuk juga pemilihan anggota legislatif inilah memunculkan fenomena dan gejala baru di masyarakat.
Biyanto, akademisi di Universitas Islam Negeri (UIN) Xxxxx Xxxxx Surabaya yang juga Ketua Majelis Dikdasemen Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Provinsi Jawa Timur mencatat, dinamika politik pada pemilihan secara langsung itu telah memunculkan kecenderungan perubahan pola komunikasi yang dilakukan oleh partai politik dengan berbagai pihak. Gerakan dan manuver yang dilakukan elite partai politik yang saling beradu cepat melakukan safari politik dalam rangka menjajaki kemungkinan kerjasama politik. Usaha elite partai untuk membangun kesepahaman politik itulah yang kemudian populer disebut kontrak politik,2 yang secara konkrit banyak dituangkan dalam wujud perjanjian koalisi politik secara tertulis. Semenjak itulah kontrak politik menjadi istilah yang sangat populer di kalangan masyarakat, terutama pada saat menjelang pelaksanaan pemilu.
Pada saat pemilihan legislatif misalnya, modusnya sebagian calon legislative (caleg) melakukan kontrak politik dengan para calon pemilihnya. Misalnya, ada caleg yang berani meneken kontrak politik dengan xxxxx memberikan seluruh gaji yang akan diperoleh pada rakyat jika terpilih sebagai
2 xxxxx://xxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/000000/00/xxxxxx-xxxxxxx-xxxxxxx-0000000000/00
diakses Jumat, 17 Nopember 2017 pukul 10.15 WIB
legislator. Juga ada kontrak bercorak money politics dengan menjanjikan imbalan uang dalam jumlah tertentu sesuai dengan perolehan suara.
Di era reformasi ini semua orang berpeluang menjadi pelaku kontrak politik. Termasuk kalangan elite agama (kiai) dan tokoh ormas keagamaan yang pada masa sebelumnya hanya berjuang di ranah kultural. Apalagi saat ini banyak elite agama dan ormas keagamaan yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif.
Kondisi ini tentu sangat memungkinkan mereka menjadi pemain dalam kontrak politik. Sebagian elite agama dan ormas keagamaan bahkan telah sedemikian jauh bermain dalam ranah politik praktis. Realitas inilah yang kemudian menyebabkan munculnya suara-suara sumbang pada hampir setiap ada kontrak politik. Dalam pandangan sebagian orang, kontrak politik sering dianggap permainan di tingkat elite. Itu berarti hanya kelompok elite yang diuntungkan dari kontrak politik.
Sebuah peristiwa hukum yang semakin mempopulerkan diskursus kontrak atau janji politik adalah saat Februari 2009 lalu, Xxxx Xxxxxxx bersama 71 orang melayangkan gugatan citizen lawsuit ke SBY-JK melalui pengadilan. Dalam gugatannya, para penggugat menyatakan SBY-JK wanprestasi karena tidak bisa menuntaskan janji kampanye pada pemilihan presiden 2004. Majelis hakim yang diketuai Xxxxxx Xxxxxxx menolak gugutan citizen lawswit tersebut dan menyatakan kegagalan SBY-JK dalam memenuhi xxxxx
kampanye bukan wanprestasi. Ketidakberhasilan janji politik itu bukan karena kesengajaan sehingga tidak bisa menjadi sengketa hukum.3
Pada saat kampanye pasangan SBY-JK berjanji meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mencapai 7,6 % pada 2009. Angka kemiskinan diprediksikan turun dari 17,14 % menjadi 8,7 % pada 2009. Komitmen itu kembali ditegaskan dalam pidato kenegaraan saat SBY-JK ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden.4
Dalam dalihnya, penggugat menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi baru mencapai 5,5 %. Dengan begitu SBY-JK belum memenuhi janji kampanyenya sehingga dikategorikan wanprestasi. Kuasa hukum SBY-JK sendiri menyatakan tingkat kemiskinan mencapai 15,54 % pada 2008, sementara pada 2005 mencapai 17,7 %. Pertumbuhan ekonomi sendiri sudah mencapai 6,4 %. 5
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan janji politik bukan janji dalam konteks hukum perdata. Xxxxx dalam hukum perdata biasanya dituangkan dalam kontrak dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu dan pihak lain menerima janji. Harus ada komunikasi antara dua belah pihak tentang apa yang dijanjikan dan pihak lain menerima janji yang akan direasliasikan. 6
Pernyataan SBY-JK merupakan janji politik. Pelaksanaannya lebih dipengaruhi faktor faktor politik. Kondisi ekonomi global juga menjadi faktor
3 xxx.xxxxxxxxxxx.xxx diakses, Rabu, 15 Nopember 2017 pukul 11.00 WIB
4 Ibid
5 Ibid
6 Ibid
yang signifikan dalam penuntasan xxxxx xxxxxxxx. Menurut majelis hakim meski janji politik belum dituntaskan, kemampuan SBY-JK dalam menurunkan angka kemiskinan dan menaikan pertumbuhan ekonomi patut diacungi jempol.
Dalam eksepsinya, kuasa hukum SBY-JK menyatakan gugatan penggugat kabur karena formula gugatan citizen lawsuit tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Gugatan juga dinilai prematur karena saat digugat SBY-JK masih menjabat. Pertanggungjawaban kepemimpinan SBY-JK akan disampaikan dalam sidang umum MPR mendatang.7
Majelis hakim yang beranggotakan Xxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxxx menampik dalil eksepsi itu. Majelis hakim menyatakan walaupun formula gugatan citizen lawsuit tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia, namun majelis hakim tak bisa menjadikan dasar menolak perkara, karena hakim memiliki kewajiban menggali hukum. 8
Kuasa hukum penggugat, Xxxxx Xxxxxxx, menyatakan pikir-pikir atas putusan hakim. Aulia menyatakan merujuk pada pertimbangan hakim, sebenarnya hakim mengakui bahwa SBY-JK belum memenuhi janji kampanye sesuai dalil gugatan. 80 %.9
Sementara itu, tanpa membenarkan atau menyalahkan putusan majelis, ahli hukum tata negara, Xxxxxxxxxx Xxxxx berpendapat janji presiden lebih merupakan janji publik ketimbang janji perdata. Sehingga penyelesaiannnya kurang tepat ke peradilan umum. Namun bukan berarti janji-janji politik
7 Ibid
8 Ibid
9 Ibid
seorang presiden tidak bisa dituntut secara hukum. Itu tetap bisa, tapi ranahnya bukan ke peradilan umum.10
Menurut Xxxxxxxxxx Xxxxx, janji presiden bisa ditagih secara hukum. Dalam perspektif hukum tata negara, rakyat bisa menyampaikan wanprestasi' presiden itu kepada anggota DPR. Selanjutnya, anggota Dewan bisa mempertanyakan ingkar janji itu kepada Presiden. Xxxxx mengatakan bahwa ingkar janji politik bisa mengarah ke perbuatan tercela, yang pada akhirnya bermuara pada impeachment atau pemakzulan seorang presiden. 11
Kendatipun gugatan citizen lawswit tersebut ditolak oleh majelis hakim pada proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, namun setidaknya peristiwa hukum tersebut menjadikan istilah kontrak atau perjanjian politik menjadi sesuatu yang menarik untuk didiskusikan dalam perspektif akademik. Lebih dari itu, kontrak politik bisa dihipotesakan sebagai sebuah perkembangan baru dalam disiplin ilmu hukum yang menggabungkan antara dimensi hukum publik dan hukum privat.
Penggunaan istilah kontrak atau perjanjian politik ini bahkan tidak hanya terjadi pada level pemilihan di tingkat nasional maupun regional saja. Istilah tersebut bahkan menjadi fenomena yang juga mewarnai setiap kegiatan suksesi dari level kepemimpinan terendah, seperti pemilihan ketua RT, kepala dusun, kepala desa, dan juga pemilihan ketua-ketua dalam sebuah organisasi. Dengan demikian, istilah kontrak atau perjanjian politik sudah sedemikian populer di kalangan masyarakat, meskipun harus diakui secara implementatif
10 Ibid
11 xxx.xxxxxxx.xxx diakses Rabu, 15 Nopember 2017 pukul 12.30 WIB
memang sudah banyak digunakan, namun secara ilmiah masih memerlukan diskusi panjang untuk menguji kebenaran penggunaan istilah tersebut sebagai salah satu terminologi hukum.
Penggunaan istilah kontrak atau perjanjian politik sebenarnya lebih dominan dimensi politiknya dibandingkan dimensi hukumnya. Meskipun secara teoritik, hukum sebenarnya merupakan produk politik, karena seperti dikemukakan oleh Moh. Xxxxxx MD bahwa hukum dihasilkan dari pergulatan politik.12 Dengan demikian, hukum memang tidak pernah bisa dilepaskan dari dinamika dan pergulatan politik.
Praktik kontrak atau perjanjian politik juga terjadi pada saat pelaksanaan Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010. Kontrak dan perjanjian politik tersebut bahkan dilakukan antara elit-elit partai politik dengan para bakal calon serta antar calon sendiri. Kontrak dan perjanjian politik tersebut dilakukan di hadapan sejumlah notaris yang dikehendaki oleh para pihak. Prosesnya sudah dilakukan sejak masa penjaringan bakal calon yang dilakukan oleh partai-partai politik. Bahkan aktifitas kontrak dan perjanjian politik tersebut sangat dinamis karena jumlah bakal calon yang muncul sangat banyak, mencapai sebelas pasangan calon, baik yang melalui jalur partai politik dan atau gabungan partai politik maupun jalur perseorangan.
Kontrak dan perjanjian politik yang muncul pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 itu berkaitan dengan kesepakatan memberikan dukungan untuk kepentingan pencalonan sebagaimana syarat yang ditentukan
12 Moh. Xxxxxx MD,Politik Hukum di Indonesia, Cet 4, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011,Hlm 1
dalam undang-undang. Dukungan dan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang dibuat di hadapan notaris. Bukan hanya satu pasangan calon dengan pimpinan partai politik saja, tapi banyak pasangan calon dengan para pimpinan partai politik. Perbuatan hukum dalam melakukan perjanjian koalisi di hadapan notaris tersebut disampaikan secara resmi oleh para pihak kepada publik melalui konferensi pers ke media massa.
Fenomena perjanjian atau kontrak koalisi partai politik yang terjadi selama Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 ini menurut hemat penulis menarik untuk diteliti dan diangkat dalam penulisan tesis. Pasalnya, secara normatif kontrak atau perjanjian sebagai domain hukum privat ternyata digunakan juga untuk perbuatan hukum publik, dalam hal ini kepentingan hukum tata negara. Terlepas benar tidaknya perjanjian atau kontrak politik dalam kacamata hukum tersebut, namun perbuatan hukum itu perlu dikaji secara ilmiah untuk menguji kebenarannya. Oleh karena itu, penulis bermaksud melakukan penelitian terhadap peristiwa hukum perjanjian koalisi politik tersebut melalui penulisan tesis yang berjudul: IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN KERJASAMA PENCALONAN YANG DIBUAT DI HADAPAN NOTARIS PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010.
B. Rumusan Masalah
Di dalam penulisan tesisi ini diperlukan adanya penelitian yang komprehensif dan sistematis untuk mendapatkan hasil yang jelas. Dalam penulisannya diperlukan adanya perumusan masalah yang menjadi panduan arah dalam proses penelitian. Perumusan masalah tersebut akan menjadi pokok pembahasan di dalam penulisan tesis ini agar dapat terhindar dari kesimpangsiuran dan ketidakkonsitenan di dalam penulisan. Penulis menyadari bahwa permasalahan di bidang hukum perikatan dan perjanjian sangatlah luas. Oleh karena itu, dalam penulisan tesisi ini penulis mamilih pokok-pokok permasalahan yang diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian kerjasama pencalonan pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan notaris ?
2. Bagaimana implikasi yuridis perjanjian tersebut terhadap pelaksanaan Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 ?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian dalam rangka penulisan tesis ini memiliki tujuan ilmiah. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengakaji dan menganalisis pelaksaan perjanjian koalisi partai politik beserta implikasi yuridisnya pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan notaris.
D. Manfaat Penelitian
1. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi dalam pengembangan ilmu hukum, khususnya untuk mencari titik konvergensi antara hukum privat (perdata) dengan hukum publik (tata negara) dan relevansinya terkait dengan norma-norma hukum dalam perbuatan hukum perikatan atau perjanjian di bidang koalisi partai politik.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan wawasan kepada para notaris, khususnya calon notaris agar memahami adanya titik konvergensi antara hukum publik dan hukum privat. Kegunaan praktis lainnya bagi para elit partai politik supaya lebih memahami fungsi dan kewenangan notaris, dalam membuat dokumen-dokumen hukum perjanjian, termasuk perjanjian kerjasama pencalonan dalam Pilkada.
E. Orisinalitas Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan oleh penulis, sejauh ini memang sudah banyak sekali tesis yang mengangkat tentang kontrak dan perjanjian di bidang perdata. Namun, tesis-tesis yang mengangkat tentang hukum kontrak atau perjanjian itu secara umum masih mengangkat obyek kebendaan yang bersifat ekonomi. Sampai saat ini penulis belum menemukan satu pun tesis yang mengangkat tentang hukum kontrak yang
dikaitkan dengan kontrak perxxxxxan koalisi politik dan peran notaris dalam perbuatan hukum tersebut.
Meskipun sepintas tema tersebut terdengar janggal, namun sebagai sebuah peristiwa, kontrak koalisi politik itu benar-benar ada dan faktual menjadi bagian dalam dinamika hukum dan politik pada saat pelaksanaan Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010. Artinya peristiwa hukum tersebut cukup menarik untuk dikaji secara mendalam. Dengan demikian, penulis berkeyakinan orisinalitas dari tema yang diangkat pada tesisi ini cukup tinggi karena belum ditemukan adanya tesis yang secara khusus mengangkat tentang hukum perikatan koalisi politik.
F. Kerangka Pemikiran
1. Teori Hukum Tentang Perjanjian
a) Pengertian
Hukum perikatan merupakan bagian dari hukum harta kekayaan. Dalam sistematika ilmu pengetahuan hukum, harta kekayaan diatur dalam buku III yang mencakup hubungan antara orang dan benda, hubungan antara orang dan orang. Sedangkan hukum yang mengatur hubungan antara orang dan orang diatur dalam buku III tentang perikatan.
Perikatan adalah terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Perikatan artinya hal yang mengikat antara orang yang satu dan
orang yang lain.13 Hal yang mengikat adalah suatu peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan, kejadian, dan keadaan. Peristiwa hukum tersebut menciptakan hubungan hukum. Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-undang.14
Hubungan hukum yang timbul diantara pihak-pihak yang terlibat dalam perikatan tersebut melahirkan hak dan kewajiban yang kemudian menimbulkan istilah “prestasi”, yaitu sesuatu yang dituntut oleh salah satu pihak kepada pihak yang satu. Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.15
Berdasarkan penjelasan diatas, perikatan melahirkan “kewajiban” kepada orang perseorangan atau pihak tertentu yang dapat berwujud salah satu dari tiga bentuk berikut, yaitu:
a. Untuk memberikan sesuatu;
b. Untuk melakukan sesuatu;
c. Untuk tidak melakukan suatu tertentu.
Perjanjian atau Verbintenis mengandung pengertian yaitu suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.16 Perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau
13Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata Indonesia, PT Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 2000, hlm.198
14 Xxxxxxxxx Xxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Sinar Grafika, 1999, hlm.313
15 Xxxxxxxxx, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Visimedia, 2008, hlm 6
16 X. Xxxxx Xxxxxxx, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Penerbit Alumni, 1986), hlm. 6
dapat dikatakan peristiwa dimana dua orang atau lebih saling mengikrarkan diri untuk berbuat sesuatu. Definisi perjanjian batasannya telah diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Definisi perjanjian yang diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sebenarnya tidak lengkap karena terdapat beberapa kelemahan yang perlu dikoreksi. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut: 17
a. Hanya menyangkut sepihak saja.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas.
d. Tanpa menyebut tujuan.
Berdasarkan alasan-alasan diatas maka perjanjian dapat dirumuskan sebagai berikut: “Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai harta kekayaan.”
Selain itu beberapa sarjana merumuskan definisi perjanjian, yaitu:
a. Subekti
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu. 18
x. Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx
17 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx. Op.Cit. hlm.224
18 R. Soebekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Intermasa, 1979, hlm. 1
Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 19
Berdasarkan definisi perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan yang menjadi unsur-unsur dalam suatu perjanjian adalah :
1. Adanya pihak-pihak
2. Adanya konsensus atau persetujuan dari pihak-pihak
3. Adanya objek dalam perjanjian tersebut yang berupa benda
4. Adanya tujuan yang bersifat kebendaan mengenai harta kekayaan
5. Ada bentuk tertentu, baik secara lisan maupun tulisan
6. Adanya syarat-syarat tertentu.
b) Asas-Asas Perjanjian
a. Asas Personalitas
Pada prinsipnya asas personalitas menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi parapihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
Pasal 1315 KUH Perdata berbunyi : Pada umumnya seseorang yang tidak mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUH Perdata berbunyi :
1. Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya;
19 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Bandung, Citra Xxxxxx Xxxxx, 1990, hlm.78
2. Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak atau yang sering disebut juga sistem terbuka adalah bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Meskipun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.20
Setiap perjanjian yang dibuat dengan sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya. Rumusan ini dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang dipertegas kembali dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan bahwa perjanjian yang telah disepakati tersebut tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.21
c. Asas Konsesualitas
Asas konsesualitas mengandung arti bahwa perjanjian itu terjadi sejak saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara pihak-pihak mengenai pokok perajnjian. Sejak saat itu perjanjian mengikat dan mempunyai akibat hukum. Suatu kesepakatan lisan diantara para pihak telah mengikat para pihak yang telah bersepakat secara lisan tersebut, dan oleh karena ketentuan ini mengenai
20Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, Citra Xxxxxx Xxxxx, Bandung, 1990, hlm. 87
21 Xxxxxxxxx, Op.Cit, hlm. 469
kesepakatan lisan diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka rumusan tersebut dianggap sebagai dasar asas konsesualitas dalam hukum perjanjian.
d. Asas Kekuatan Mengikat
Setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang membuat dan belaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan “Semua perjanjian dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat”.
e. Asas Itikad Baik
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas itikad baik ini ada yang subyektif dan ada pula yang obyektif.
c) Syarat Sahnya Perjanjian
Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila telah dipenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu pokok persoalan tertentu;
d. Suatu sebab yang tidak terlarang.
Dua syarat yang pertama yaitu poin (a) dan poin (b) dinamakan syarat subjektif, dikarenakan mengenai pihak-pihak dalam suatu perjanjian atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terkahir yaitu poin (c) dan poin (d) dinamakan syarat objektif, dikarenakan mengenai perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.22
1) Syarat yang pertama yaitu sepakat, dimaksudkan bahwa kedua pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiya-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu.23
2) Syarat yang kedua yaitu cakap, dimaksudkan bahwa orang yang membuat suatu perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. 24
3) Syarat yang ketiga yaitu harus mengenai suatu hal tertentu, artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau sudah berada di tangan pihak yang berutang pada waktu perjanjian dibuat dan tidak diharuskan oleh undang-undang.25
4) Syarat keempat yaitu adanya sebab yang halal, sebab dalam hal ini dimaksudkan bahwa tidak ada lain dari pada isi dari perjanjian, sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang termaksud.26
22 xxxx://xxx.xxxxxxxxxxx.xxxxxxxx.xxx/0000/00/xxxxxx-xxxxxx-xxxxxx-xxxxx perjanjian. html diakses pada tanggal 12 Agustus 2016.
23 X.Xxxxxxxx. Op.Cit, hlm.17
24 Ibid
25 Ibid, hlm.19
26 Ibid
d) Akibat Perjanjian
Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian. Akibat dari suatu perxxxxxxx adalah sebagai berikut: 27
1. Perjanjian Hanya Berlaku Di Antara Para Pihak Yang Membuatnya
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1340 Ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian yang dibuat hanya berlaku di antara para pihak yang membuatnya. Hal ini berarti bahwa setiap perjanjian, hanya membawa akibat berlakunya ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata bagi para pihak yang terlibat atau yang membuat perjanjian tersebut.
2. Mengenai Kebatalan Atau Nulitas Dalam Perjanjian
Suatu perjanjian yang dibuat apabila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah, yang berarti perjanjian itu terancam batal. Berikut ini adalah macam-macam kebatalan, yaitu:
a. Perjanjian yang Dapat Dibatalkan
Perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika perjanjian tersebut dalam pelaksanannya akan merugikan pihak-pihak tertentu. Pembatalan tersebut
27 Xxxxxxx Xxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxxxx, Perikatan Xxxx Xxxxx dari Perjanjian,
Jakarta, PT Raja Grafindo, Persada, 2006, hlm.165
dapat dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian dan dapat dimintakan apabila tidak terjadi kesepakatan bebas dari pihak yang membuat perxxxxxxx (Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1328 KUH Perdata) dan salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak hukum (Pasal 1330 sampai dengan 1331
KUH Perdata).
b. Perjanjian yang Batal Demi Hukum
Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, yang berarti perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan.
3. Kebatalan Relatif dan Kebatalan Mutlak
Suatu kebatalan disebut relatif, jika kebatalan tersebut hanya berlaku terhadap individu orang perorangan tertentu saja; dan disebut mutlaj jika kebatalan tersebut berlaku umum terhadap seluruh anggota masyarakat tanpa kecuali. Perjanjian yang dapat dibatalkan dapat saja berlaku relatif atau mutlak, meskipun tiap-tiap perjanjian yang batal demi hukum pasti berlaku mutlak.
e) Jenis-Jenis Perjanjian
Beberapa jenis perjanjian akan diuraikan seperti berikut ini berdasarkan kriteria masing-masing, yaitu: 28
a. Perjanjian Xxxxxx Xxxxx dan Sepihak
28 Xxxxxxxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perdata…, Op. Cit., hlm. 227
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang mewajibkan kedua belah pihak berprestasi secara timbal balik, seperti halnya pada perjanjian jual-beli, sewa menyewa dan tukar-menukar. Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya yaitu hibah (Pasal 1666 KUH Perdata) dan perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792 KUH Perdata).
b. Perjanjian Bernama dan Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang sudah memiliki nama sendiri, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus dan jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pertanggungan, pengangkutan. Sedang perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama dan tidak diatur dalam KUH Perdata serta jumlahnya tidak terbatas. Jenis perjanjian ini banyak ditemukan dalam masyarakat.
c. Perjanjian Obligatoir dan Kebendaan
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak dan belum memindahkan hak milik. Sedang perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam jual-beli, sewa-menyewa, dan tukar-menukar.
d. Perjanjian Konsensual dan Riil
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul baru dalam taraf melahirkan hak dan kewajiban saja bagi kedua belah pihak dimana tujuan dari perjanjian tersebut baru tercapai apabila ada tindakan realisasi hak dan
kewajiban tersebut. Perjanjian riil adalah perjanjian yang terjadinya sekaligus dengan realisasi tujuan perjanjian, yaitu pemindahan hak.
Selanjutnya, kerangka pemikiran terkait dengan akta bisa dilacak definisinya dari sisi kebahasaan. Secara etimologi misalnya, menurut X. J Xxxxxxx Xxxxxxx, kata “akta” berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift” atau surat.29Menurut X. Subekti dan X.Xxxxxx Xxxxxxx, kata akta berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.30 A. Pitlo, yang dikutip Suharjono mengemukakan, bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.31
Menurut Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.32
Pada dasarnya, jenis-jenis akta dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :33
1. Akta dibawah tangan yang dalam bahasa Inggris deed under the hand, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan akte onder de hand
29 Suharjono, “Varia Peradilan Tahun XI Nomor 123, Sekilas Tinjauan Akta Menurut Hukum, Desember 1995, hlm. 128.
30 R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx, Kamus Hukum, dalam Xxxx Xxxxxxx, Tanggung Notaris dalam Pembuatan Akta yang Memuat Dua Perbuatan Hukum, Tesis, Magister Kenotariatan, Undip, Semarang, 2000, hlm. 38.
31 Ibid.,hlm. 43.
32 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1981, hlm. 110.
33 Xxxxx XX, Teknik Pembuatan Akta Satu, Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Xxxxxx dan Minuta Akta, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2015, hlm. 24.
merupakan akte yang dibuat oleh para pihak, tanpa perantaraan seorang pejabat.
2. Akta Otentik dibuat oleh pejabat merupakan akta yang telah dibuat oleh pejabat (dalam jabatannya) atas segala yang dilihat, didengar dan disaksikan. Akta pejabat tidak termasuk dalam pengertian kontrak karena akta ini merupakan pernyataan sepihak dari pejabat.
Kewenangan utama dari notaris adalah untuk membuat akta otentik. Untuk dapat suatu akta memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenberstaan) seorang pejabat umum, yang berarti akta-akta notaris yang isinya mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan notaris sebagai pejabat umum;
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang, maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditanda-tangani oleh para penghadap (comparanten);
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang notaris hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam daerah hukum yang telah ditentukan baginya. Jika notaris membuat akta yang berada di luar daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
2. Konsepsi Kontrak Politik
Perbincangan mengenai kontrak politik berikut implikasinya dapat dijelaskan dengan meminjam kerangka pikir Xxxxx Xxxx (1964) mengenai teori pertukaran sosial (social exchange theory). Berdasarkan teori ini, dapat dipahami bahwa hubungan pertukaran sosial antara seseorang dengan orang lain terjadi karena adanya imbalan. Karena itu dapat dipahami jika dalam setiap pertukaran sosial terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost), dan keuntungan (profit). Proses pertukaran sosial politik dimungkinkan karena ada pihak yang membutuhkan pertolongan dan pihak yang memberikan pertolongan. Di sinilah aspek kepentingan akan tampak menonjol. Maka, tidak mengherankan jika dalam budaya kontrak politik pembicaraan mengenai who gets what, how, and when (siapa mendapatkan apa, bagaimana, dan kapan) menjadi perhatian utama. 34
Karena itu, publik sering mendengar ungkapan yang menyertai kontrak politik seperti politik dagang sapi, ongkos politik, dan bahkan ”mahar” politik. Jadi tidak ada yang gratis dalam budaya kontrak politik yang melibatkan elite partai.
Dengan penjelasan tersebut berarti upaya elite partai untuk membangun budaya kontrak politik harus dipahami dalam konteks teori pertukaran. Tetapi, kita tentu tidak boleh berburuk sangka terlebih dulu. Jika benar dalam kontrak politik terdapat kalkulasi sosial, ekonomi, dan politik, maka itu harus dipahami dalam konteks yang lebih proporsional.
34 xxx.xxxxxxxxxxxx.xxx diakses Senin, 27 Nopember 2017 pukul 08.00 WIB
Itu karena setiap kontrak politik meniscayakan adanya ongkos politik. Tentu saja akan lebih elegan jika tujuan kontrak politik adalah untuk memberikan jaminan terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa (clean and good governance), kepastian hukum (law enforcement), dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Itu berarti orientasi kontrak politik seharusnya untuk kepentingan bangsa dan negara. Persoalannya kini berpulang pada komitmen elite partai dan tokoh agama yang sedang melakukan kontrak politik.
Adakah dalam kontrak politik itu dilandasi kepentingan pragmatis jangka pendek? Atau sebaliknya, motivasi melakukan kontrak politik adalah kepentingan jangka panjang dalam rangka membangun bangsa dan negara menjadi lebih sejahtera, terhormat, dan bermartabat.
Publik tentu akan terus mengikuti arah koalisi partai-partai politik yang kini sedang berproses. Untuk itu, kalangan elite harus diingatkan agar komitmen jangka panjang yang lebih diutamakan dalam budaya kontrak politik. Lebih dari itu, budaya kontrak politik juga harus dilakukan secara transparan, jujur, dan tanggung jawab.
G. Metode Penelitian
Dalam penulisan tesis ini, penulis akan menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang sudah penulis sajikan di depan, maka metode yang digunakan adalah pendekatan normatif- empiris. Seperti disampaikan M Xxxxxxxxxx, pendekatan ini merupakan penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan berbagai unsur yang bersifat empiris. 35 Metode penelitian normatif-empiris mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang- undang) dalam aksinya pada setiap perbuatan hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat. Dalam pendekatan ini, penulis menggunakan kategori Live Case Study¸ yakni pendekatan pada suatu peristiwa hukum yang prosesnya sudah terjadi. Dengan menggunakan metode pendekatan ini, penulis akan mengkaji dan meneliti perjanjian koalisi politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan notaris.
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian dalam penulisan tesis ini berupa penelitian diskriptif analitis. Diskriptif dalam arti bahwa dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menggambarkan dan melaporkan secara rinci, sistematis, dan menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek-aspek
35 M Xxxxxxxxxx, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta , 2007, hlm.
36
hukum yang perlu diperhatikan terkait dengan perjanjian koalisi politik. Sedangkan analitis berarti menganalisa praktik perjanjian yang dijalin para pihak selama pelaksanaan Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010.
3. Sumber dan Jenis Data
Secara umum jenis data yang diperlukan dalam sebuah penelitian hukum terdiri dari data primer, data sekunder, dan data tersier. Namun dalam penelitian ini, data utama yang digunakan penulis adalah data sekunder sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang mendasari perjanjian dan kontrak, peristiwa perjanjian koalisi partai politik dengan menggali langsung dari para pihak, baik itu calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, pimpinan partai politik, notaris, serta praktisi hukum dari hakim pengadilan negeri Purworejo.
b. Bahan hukum sekunder berupa literatur, karya ilmiah, hasil penelitian, loka karya, serta aturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan objek penelitian.
c. Bahan hukum tersier berupa kamus, artikel pada majalah atau surat kabar untuk melengkapi dan menjelaskan bahan-bahan hukum primer dan sekunder.
Dalam penelitian ini, juga didukung dengan data primer yaitu hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan perjanjian
koalisi politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan notaris.
4. Obyek Penelitian
Dalam penelitian ini, yang dijadikan obyeknya adalah perbuatan hukum perjanjian koalisi politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan notaris
5. Narasumber
Narasumber dalam penelitian terkait dengan tesis adalah pihak yang terkait dalam obyek penelitian yaitu:
1. Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010;
2. Anggota KPU Kabupaten Purworejo;
3. Notaris yang meresmikan perjanjian koalisi politik;
4. Pimpinan partai politik yang terlibat dalam perjanjian koalisi partai politik
6. Metode Pengumpulan Data
a. Wawancara
Metode pengumpulan data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan wawancara. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua orang melibatkan seseorang
yang lain, memperoleh informasi dari seseorang yang lainya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu.36
b. Studi Pustaka
Pengumpulan data sekunder yang akan digunakan adalah studi pustaka dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan bahan- bahan yang terkait dengan masalah yang diangkat dalam penelitian tesis ini.
7. Instrumen Penelitian
Instrumen dalam penelitian adalah peneliti sendiri.
8. Analisis Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk diskriptis, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode yuridis kualitatif. Untuk memudahkan analisis data yang terkumpul peneliti melakukan sistematisasi data, kemudian mengkaitkan bahan–bahan hukum tersebut dengan teori–teori yang terkait dengan permasalahan ini. Dengan demikian hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian yang bersifat deskriptif analitis.37
Dalam menganalisis hasil penelitian, peneliti menggunakan metode berfikir deduktif dan induktif serta pada dinamika hubungan
36 Xxxxxxx Xxxxx, Metodologi Penelitian Kualitatif ; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung: PT Remaja Rosidakarya, 2004, hlm. 56.
37 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia, 1986, hlm. 52.
antar fenomena yang diamati dengan logika ilmiah. Hal ini dikarenakan agar analisis kualitatif ini tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara- cara berfikir formal dan argumentative.38
H. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan tesis yang merupakan hasil penelitian, penulis akan melakukan pembahasan dalam empat bab. Dalam setiap bab akan dibagi dalam sub bab untuk memudahkan uraian setiap masalah dengan baik. Adapun pembagian babnya sebagai berikut:
Bab I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisi:
a. Latar belakang masalah
b. Rumusan masalah
c. Tujuan penelitian
d. Kegunaan penelitian
e. Manfaat penelitian
f. Orisinalitas penelitian
g. Tinjauan pustaka
h. Metode penelitian
i. Sistematika penulisan.
Bab II: Pada bab kedua ini berisi tentang:
a. Gambaran umum tentang teori hukum perjanjian,
38 M.Xxxxxxxxx, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 133.
b. Teori tentang kontrak politik
c. Gambaran umum tentang Pilkada
d. Gambaran umum tentang kewenangan, kewajiban, dan larangan notaris berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Bab III : Pada bab ini berisi hasil penelitian meliputi pembahasan yang menguraikan tentang urgensi perjanjian koalisi politik pada Pilkada Kabupaten Purworejo tahun 2010 yang dibuat di hadapan notaris.
Bab IV: Pada bab ini penulis akan menguraikan kesimpulan yang menjawab perumusan masalah. Selain kesimpulan juga akan disertai dengan saran yang dirumuskan dari hasil pembahasan dan penelitian.
BAB II
PERJANJIAN, NOTARIS, AKTA, PEMILIHAN KEPALA DAERAH, DAN KOALISI POLITIK
A. Perjanjian
1. Pengertian
Secara yuridis, pengertian perjanjian bisa dirujuk pada ketentuan normatif yang dirumuskan pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pada Pasal 1313, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang hanya bisa dilakukan oleh minimal dua pihak atau lebih. Dengan kata lain, perjanjian merupakan perbuatan hukum yang tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja, tapi harus ada pihak lainnya yang satu sama lain antar para pihak tersebut saling mengikatkan diri.
Berdasarkan rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam sebuah perjanjian akan selalu mengakibatkan seseorang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Suatu perjanjian akan melahirkan adanya kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.39 Pengertian perjanjian tersebut banyak mengundang kritik dari para sarjana hukum yang menganggap perumusan definisi tersebut kurang lengkap dan bahkan
39 Kartini Xxxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxx, op. cit., hlm. 91-92.
dikatakan terlalu luas serta banyak mengandung kelemahan-kelemahan. Adapun kelemahan-kelemahan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:
40
a. Hanya menyangkut sepihak saja, dilihat dari rumusan :
“satu orang atau lebih mengikatkan dirinya pada satu orang atau lebih”.
Kata “mengikat” adalah kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, sehingga nampak seolah-olah yang mengikatkan diri hanya satu pihak saja, sedangkan pihak lain tidak mengikatkan dirinya. Padahal yang dimaksud dari perjanjian setidak-tidaknya harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
b. Kata “perbuatan” tersebut menyangkut juga tanpa konsensus atau kesepakatan, pengertian perbuatan tersebut juga dapat berupa mengurus kepentingan orang lain atau melaksanakan tugas tanpa kuasa dan perbuatan melawan hukum. Kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak mengandung konsesus atau kesepakatan atau tanpa adanya kehendak yang menimbulkan akibat hukum.
c. Pengertian perjanjian terlalu luas, pengertian perjanjian yang ada dalam Pasal KUHPerdata mengandung pengikatan perjanjian yang terlalu luas. Hal ini menyangkut juga perjanjian perkawinan, padahal perkawinan sudah diatur tersendiri dalam hukum keluarga. Adapun yang dimaksud perjanjian yang ada dalam Pasal 1313 KUHPerdata adalah hubungan kreditur dan debitur terletak pada harta kekayaan saja.
d. Tanpa menyebut tujuan, perumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak menyebutkan tujuan untuk membuat perjanjian sehingga pihak- pihak yang mengikat dirinya itu tidak jelas tujuannya untuk apa.
Sejumlah kelemahan atas pengertian perjanjian yang secara normatif terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut, maka masih diperlukan rumusan pengertian perjanjian yang lebih komprehensif dan konkrit. Dalam penelusuran referensi pustaka yang dilakukan penulis, para ahli hukum mendefinisikan perjanjian sesuai sudut pandang mereka masing-masing.
40 Xxxxxxxxx Xxxxxxxx, op. cit., hlm. 10.
J. Satrio memberikan rumusan perjanjian dalam arti luas sebagai suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain.41 Perjanjian diartikan sebagai perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi ini telah tampak adanya asas konsesualisme dan timbulnya akibat hukum.
Xxx Xxxxx mendefinisikan perjanjian sebagai salah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.42 Dalam pengertian Xxx Xxxxx ini, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat terlihat bahwa timbul hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Berdasarkan peristiwa tersebut, maka timbul akibat hukum suatu hubungan antara dua orang atau dua pihak yang dinamakan perikatan, perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang atau dua pihak yang membuatnya.43
Menurut Subekti Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Sedangkan perikatan menurut Buku III
41 J Xxxxxx, op. cit., hlm. 28.
42 Xxxxx XX, op. cit., hlm. 26.
43 Dhaniswara K. Xxxxxxx, op. cit., hlm. 7.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah suatu hubungan hukum antara dua orang yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutannya itu. Suatu perikatan dapat lahir dari dari Undang-undang dan dapat pula lahir dari perxxxxxxx. 44
Definisi lainnya disampaikan Xxxxx Xxxxxxx. Perjanjian diartikan sebagai suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan para pihak lain untuk menunaikan prestasinya.45
Berdasarkan berbagai rumusan pengertian perjanjian seperti penulis uraikan tersebut di atas, setidaknya dapat diketahui bahwa perjanjian bukanlah semata-mata perjanjian an sich, namun harus dilihat pula serangkaian perbuatan sebelumnya atau perbuatan yang mendahuluinya. Perbuatan yang dimaksud tersebut tersebut antara lain :
a. Tahap sebelum perjanjian, yaitu adanya penawaran dan penerimaan.
b. Tahap perjanjian, yaitu adanya penyesuaian pernyataan kehendak. antara para pihak, atau tahap pelaksanaan perjanjian.
Pengertian perjanjian yang secara normatif dirumuskan Pasal 1313 KUHPerdarta, mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut
44 R. Subekti, op. cit., hlm. 22.
45 M Xxxxx Xxxxxxx, op. cit., hlm. 6.
kurang lengkap, namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUHPerdata tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan ada selalu dua pihak, dimana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi yaitu pihak debitor dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan pihak kreditor.
Kelemahan-kelemahan dari pengertian perjanjian yang dirumuskan KUHPerdata itu membuat pengertian perjanjian menjadi sangat beragam. Pengertian-pengertian tersebut diberikan oleh para ahli hukum berdasarkan sudut pandang masing-masing. Banyaknya definisi tersebut semakin memperkaya khazanah tentang terminologi perjanjian.
2. Unsur-unsur Perjanjian
Untuk bisa memahami secara komprehensif tentang perjanjian, selain mempelajari tentang terminologinya, maka perlu juga diuraikan tentang unsur-unsur yang terdapat dalam perjanjian. Beberapa unsur perjanjian yang dikenal dalam teori hukum yaitu: 46
a. Unsur Essensialia.
Unsur ini adalah unsur mutlak yang harus ada bagi terjadinya perjanjian, unsur ini harus dimiliki ketika terjadinya perjanjian agar sah karena merupakan syarat sahnya perjanjian.
Syarat adanya atau sahnya suatu perjanjian ialah adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak, kecakapan para pihak, objek
46 M Xxxxx Xxxxxxx, op. cit., hlm 8
tertentu dan kausa atau dasar yang halal. Perjanjian harus terdapat dua kehendak yang mencapai kata sepakat atau konsesus.
Menurut X. Satrio, bahwa tanpa kata sepakat maka tidak mungkin tercapainya suatu perjanjian dan tidak menjadi suatu permasalahan, apakah disampaikan secara lisan maupun tulisan.47
b. Unsur Naturalia
Unsur perjanjian yang diatur oleh undang-undang, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Unsur ini telah diatur oleh undang-undang dengan hukum yang mengatur atau menambah.48
c. Unsur Accidentalia
Unsur yang harus dimuat secara tegas di dalam perjanjian. Isi perjanjian harus dipaparkan secara tegas agar dimengerti oleh kedua belah pihak.
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa untuk unsur essensialia mutlak yang harus ada dalam suatu perjanjian, Unsur ini harus dimiliki ketika terjadinya perjanjian agar perjanjian sah karena merupakan syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Sedangkan untuk unsur naturalia diatur oleh undang-undang, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan, diganti, tidak dipakai atau tidak perlu digunakan. Unsur ini telah diatur oleh undang-undang dengan hukum yang mengatur atau menambah. Apabila unsur ini digunakan, maka berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.
Dalam unsur accidentalia, unsur ini harus dimuat secara tegas di dalam suatu perjanjian. Isi perjanjian harus dipaparkan secara tegas agar dimengerti oleh kedua belah pihak. Unsur ini sangat penting dalam suatu
47 J. Satrio, loc.cit.
48 Ibid., hlm. 58.
perxxxxxxx, agar para pihak yang membuat perjanjian dapat mengerti dan memahami secara jelas terhadap isi perjanjian.
3. Jenis-jenis perjanjian
Dalam pembahasan ini, perlu juga diuraikan tentang jenis-jenis perjanjian yang dapat dibedakan menurut berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut: 49
a. Perjanjian Xxxxxx Xxxxx
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak.
b. Perjanjian Cuma-Cuma Diatur dalam Pasal 1314:
“suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu”.
Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja.
c. Perjanjian Atas Beban
Perjanjian atas beban adalah terhadap prestasi pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
d. Perjanjian bernama
49 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit., hlm. 66-69.
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
e. Perjanjian Tidak Bernama (Benoemd)
Di luar perjanjian bernama, tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak- pihak yang mengadakannya, seperti perjanjian pemasaran, perjanjian pengelolaan. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah berdasarkan atas asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partij otonomi.
f. Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian bahwa pihak-pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. Menurut KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan peralihan hak milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli.
g. Perjanjian Kebendaan
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain yang membebankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda
tersebut kepada pihak lain (levering, tranfer). Penyerahkannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan, dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya disebut juga perjanjian jual beli sementara (voorlopig koopcontract) untuk perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaanya jatuh bersamaan.
h. Perjanjian Konsensual
Perjanjian konsensual adalah perjanjian di mana di antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan. Menurut KUHPerdata perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan mengikat (Pasal 1338 KUHPerdata).
I Perjanjian Riil
Di dalam KUHPerdata ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya berlaku sesudah terjadi penyerahan barang.
j. Perjanjian Liberatoir
Perjanjian di mana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding) Pasal 1438 KUHPerdata).
k. Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkoms)
Perjanjian di mana para pihak menentukan pembuktian apakah yang berlaku diantara mereka.
l. Perjanjian Untung-untungan
Perjanjian yang objeknya ditentukan kemudian, misalnya perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUHPerdata.
m. Perjanjian Publik
Perjanjian publik yaitu perjanjian yang sebagian atau seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu pihak yang bertindak adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta. Keduanya terdapat hubungan atasan dengan bawahan, (subordinated) jadi tidak berada dalam kedudukan yang sama (coordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.
n. Perjanjian campuran
Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian. Terhadap perjanjian itu ada berbagai paham: 50
1) Paham pertama mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian bernama diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari perjanjian tetap ada (contractus kombinasi).
2) Paham kedua mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
Dalam hukum perikatan bentuk perjanjian dapat juga dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1) Perjanjian tidak tertulis (lisan), yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak di dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak)
2) Perjanjian tertulis, yaitu suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak di dalam bentuk tulisan, meliputi :
a. Perjanjian di bawah tangan, yaitu perjanjian yang hanya ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan saja.
b. Perjanjian dengan saksi notaris, yaitu perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan dan dilegalisasi oleh notaris.
c. Perjanjian yang dibuat dihadapan dan atau oleh notaris.
50 M Xxxxx Xxxxxxx, op. cit., hlm 12
Dari uraian tersebut disimpulkan bahwa dari bermacam-macam perjanjian, kita dapat membedakan antara ketentuan perjanjian yang satu dengan ketentuan perjanjian lainnya, sehingga dapat menentukan perjanjian mana yang akan dipakai.
Pentingnya mengetahui bermacam-macam perjanjian supaya dapat menentukan dan membedakan isi perjanjian yang akan dibuat apakah perjanjian akan dibuat secara di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak yang melakukan perjanjian saja atau perjanjian dengan saksi notaris. Artinya perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan dengan cara dilegalisasi oleh notaris. Apabila dilakukan dengan legalisasi, maka para pihak menandatangani isi perjanjian di depan notaris, namun tanggung jawab notaris hanya sebatas terhadap kebenaran tanggal dan tandatangan yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan perjanjian, identitas orang-orang yang hadir (comparaten) dan tempat di mana akta itu dibuat, namun tidak bertanggung jawab terhadap isi perjanjian yang dibuat.
Sedangkan perjanjian yang dibuat dihadapan dan atau oleh notaris adalah merupakan akta notaris (akta notariil) yang merupakan alat bukti tulisan yang sempurna, sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama dapat dibuktikan kebenarannya.
4. Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam sebuah perjanjian, diperlukan syarat-syarat tertentu agar secara hukum sah dan diakui serta mengikat kepada para pihak yang membuatnya.
Ketentuan normatif yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian dapat ditemukan pada Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal tersebut menentukan syarat- syarat sahnya perjanjian sebagai berikut:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri.
Sepakat artinya orang-orang yang membuat perjanjian tersebut harus sepakat atau setuju mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang dibuat dan juga sepakat mengenai syarat-syarat lain untuk mendukung sepakat mengenai hal-hal yang pokok. Sepakat juga mengandung arti apa yang dikehendaki pihak lainnya. Jadi pihak-pihak dalam perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan secara tegas. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata menentukan bahwa kata sepakat tidak sah apabila diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Seorang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani dan rohani dianggap cakap menurut hukum sehingga dapat membuat suatu perjanjian. Orang-orang yang dianggap tidak cakap menurut hukum ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata yaitu:
1) Orang-orang yang belum dewasa.
2) Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan.
3) Orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh Undang-undang dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu.
Ketentuan ketiga ini telah dikoreksi Mahkamah Agung melalui Surat Edaran No.3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia bahwa perempuan adalah cakap sepanjang memenuhi syarat telah dewasa dan tidak di bawah pengampuan. 51
c. Mengenai hal atau objek tertentu.
Mengenai hal atau objek tertentu artinya dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
d. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang halal atau yang diperbolehkan oleh undang- undang. Kriteria atau ukuran sebab yang halal adalah:
1) Perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang.
2) Perjanjian tidak bertentangan dengan kesusilaan.
3) Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum.52 Pada Pasal 1337 KUHPerdata menentukan bahwa suatu sebab
atau kuasa yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-
78-82.
51 Ibid
52 Sutarno, Aspek-aspek Hukum perkreditan pada Bank, Bandung: Alfabeta, 2004, hlm.
undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu “batal demi hukum”.
Sedangkan untuk syarat sah perjanjian yang pertama dan kedua dalam Pasal 1320 KUHPerdata tersebut disebut syarat subyektif, karena berhubungan dengan subyek dari pelaku perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena berhubungan dengan masalah objek dalam perjanjian. Perjanjian yang dibuat tanpa memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut mempunyai akibat hukum “dapat dibatalkan” atau dapat dimintakan pembatalannya. Perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya disebut juga voidable, adalah perjanjian yang dari semula berlaku tetapi perjanjian itu dapat dimintakan pembatalannya dan bila tidak dimintakan pembatalannya maka perjanjian itu tetap berlaku.
Apabila syarat objektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut mempunyai akibat “batal demi hukum”. Artinya dari semula dianggap tidak pernah ada suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa apabila suatu perjanjian tidak terpenuhi syarat obyektif maka perjanjian tersebut mempunyai akibat batal demi hukum atau setidak-
tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau disebut null and void; nietig. Sedangkan apabila suatu perjanjian yang dibuat tanpa memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut mempunyai akibat hukum “dapat dibatalkan” atau disebut juga voidable. Pihak disini yang dimaksud adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu atau kuratornya.
B. Notaris dan Kewenangan Pembuatan Akta
Pada zaman sekarang ini, masyarakat semakin menyadari betapa penting peran dari Notaris, utamanya untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Peran Notaris semakin dibutuhkan masyarakat untuk memberikan jasa di bidang hukum dari perbuatan-perbuatan hukum dilakukan oleh masyarakat.
Pada era sekarang ini, masyarakat tidak lagi mengenal perjanjian yang hanya berdasarkan atas kepercayaan satu sama lain tanpa adanya ikatan tertulis yang memberikan perlindungan hukum. Setiap perjanjian yang dilakukan oleh masyarakat kedepannya pasti akan terus mengarah kepada notaris sebagai sarana keabsahan perjanjian yang mereka lakukan. Karena
itulah, kedudukan notaris menjadi semakin penting di masa seperti sekarang ini.
Untuk mengetahui siapa dan apa peran dari notaris itu sendiri, kita sebenarnya bisa melihat ketentuan normatifnya yang bersifat implisit pada ketentuan Buku IV KUHPerdata. Harus diakui, dalam kajian-kajian hukum perdata, buku IV ini sepertinya memang kurang kurang populer, atau setidaknya kalah populer dibanding Buku III tentang Perjanjian, Buku II tentang Benda dan Buku I tentang Orang.
Tugas dan peran penting seorang Notaris dapat dikatakan bersumber dari Pasal 1867, 1868 dan 1870 KUH Perdata, yang terletak di Buku IV tentang Pembuktian dan Daluarsa. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1867
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.
Pasal 1868
Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai- pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya.
Pasal 1870
Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris- ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Dari ketiga pasal yang terdapat dalam Buku IV KUH Perdata tersebut, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana posisi dan peran notaris dan juga
kewenangannya yang masih disebut sebagai pegawai umum yang berwenang membuat akta. Dari ketiga pasal tersebut, jelas juga bisa dipahami bahwa bukti tertulis berupa akta yang diuat oleh notaris menjadi bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalam akta tersebut. Dengan kata lain bahwa akta otentik mendapatkan derajat yang paling tinggi untuk alat bukti surat atau tulisan.
Sebuah akta bisa dikatakan sebagai otentik, maka harus memenuhi sejumlah kriteria sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1868 KUH Perdata yaitu:
1. Akta tersebut bentuknya ditentukan oleh undang-undang;
2. Akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa (berwenang) untuk itu;
3. Pejabat umum yang membuat akta tersebut adalah pejabat yang wilayah kewenangannya meliputi tempat (lokasi) di mana akta tersebut dibuat.
Frasa “Pejabat Umum” yang ada pada Pasal 1868 KUH Perdata tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah Notaris. Dengan demikian, kedudukan notaris ini sangat menentukan kualitas akta dan dampaknya juga terhadap kualitas pembuktian sebuah akta. Penunjukan Notaris sebagai pejabat umum sebagaimana disebutkan pada Pasal 1868 KUH Perdata itu diberi kewenangan untuk membuat akta otentik telah ada setidaknya sejak Reglement Op Het Notaris-AMBT In Indonesia yang dituangkan dalam
Staatblad Nomor 3 Tahun 1860 Tanggal 11 Januari 1860 yang pada pokoknya berisikan Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia. 53
Peraturan Jabatan Notaris ini kemudian ditransformasikan pada naskah Undang-undang Negara Republik Indonesia melalui UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2014. Undang-undang ini bahkan sudah memberikan penjelasan yang tegas mengenai siapa dan apa kewenangan dari notaris itu sendiri. Pada Pasal 1 Angka 1 ditegaskan: Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Kewenangan Notaris tersebut semakin dipertegas lagi pada Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Ditegaskan bahwa: Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
53 xxx.xxxxxxxxxxx.xxx diakses Rabu, 15 Nopember 2017 pukul 16.00 WIB
Berdasarkan ketentuan, baik dalam KUH Perdata, Reglement Op Het Notaris-AMBT In Indonesia yang dituangkan dalam Staatblad Nomor 3 Tahun 1860 Tanggal 11 Januari 1860, maupun dalam UUJN, sudah jelas bahwa Notaris adalah pejabat yang ditunjuk oleh Undang-undang untuk bertindak sebagai pejabat umum dengan kewenangan utamanya adalah membuat akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna alias memiliki derajat paling tinggi untuk bukti tulisan.
Sementara itu, pada zaman modern seperti sekarang ini, istilah akta sudah lazim sekali di kalangan masyarakat. Meski demikian, masyarakat secara umum belum memiliki pemahaman yang utuh tentang kategori akta itu sendiri, termasuk membedakan antara akta notaris dan akta di bawah tangan beserta kegunaan dan kekuatan pembuktian masing-masing.
Pengertian akta sendiri sebenarnya bisa ditelusuri dari sisi etimologis.
S. J Xxxxxxx Xxxxxxx menjelaskan bahwa secara etimologi, kata “akta” berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift” atau surat.54 Sedangkan R. Subekti dan X.Xxxxxx Xxxxxxx menjelaskan, kata “akta “ berasal dari kata “acta” yang merupakan bentuk jamak dari kata “actum”, yang berasal dari bahasa latin yang berarti perbuatan-perbuatan.55 A. Pitlo, sebagaimana dikutip Xxxxxxxxx memberikan penjelasan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang lain, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.56
54 Xxxxxxxxx, op. cit., hlm. 128.
55 R. Subekti dan R. Xxxxxxxxxxxxx, op. cit., hlm. 38.
56 Ibid.,hlm. 43.
Selanjutnya, Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx memberikan definisi akta sebagai surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk kepentingan pembuktian.57
Secara implisit, pengertian akta bisa dirujuk pada ketentuan pada Pasal 1867 KUH Perdata. Pasal tersebut menegaskan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan, dari bukti berupa tulisan tersebut ada bagian yang sangat berharga untuk dilakukan pembuktian, yaitu pembuktian tentang akta. Suatu akta adalah berupa tulisan yang memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani secukupnya.
Definisi akta lainnya secara yuridis juga bisa dilihat dari ketentuan Pasal 1 angka (7) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Rumusan pasal tersebut menjelaskan mengenai definisi akta notaris, bahwa Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Adapun jenis-jenis akta pada dasarnya hanya terdiri dari dua macam, yaitu:58
1. Akta dibawah tangan. Dalam bahasa Inggris akta jenis ini disebut deed under the hand, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan akte onder de hand. Akta jenis ini merupakan akta yang dibuat
57 Xxxxxxx Xxxxxxxxxxx, op. cit., hlm. 110.
58 Xxxxx XX, op. cit., hlm. 24.
oleh para pihak, tanpa perantaraan seorang pejabat yang berwenang, dalam hal ini Notaris.
2. Akta Otentik dibuat. Akta jenis ini adalah akta yang dibuat oleh pejabat (dalam jabatannya) atas segala yang dilihat, didengar dan disaksikan. Akta pejabat tidak termasuk dalam pengertian kontrak karena akta ini merupakan pernyataan sepihak dari pejabat.
Sementara itu, sesuai dengan ketentuan pada Pasal 1 angka 7 Undang- undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, akta notaris dengan tegas disebutkan sebagai akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh Undang-undang. Jenis akta Notaris selanjutnya dibedakan menjadi 2 (dua) macam atau golongan yaitu :59
1. Akta yang dibuat oleh notaris (akta relaas atau ambtelijke acta atau akta pejabat. Akta ini disebut juga akta berita acara, yaitu akta yang dibuat oleh notaris memuat uraian secara otentik dari notaris mengenai suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris di dalam menjalankan tugas dan jabatannya sebagai notaris. Pada akta relaas tidak menjadi permasalahan apakah penghadap menandatangani akta tersebut, asalkan notaris di dalam akta itu menyebutkan penghadap tidak menandatanganinya.60
Isi akta pada akta berita acara (relaas) pada hakikatnya tidak dapat ditentukan terlebih dahulu karena bergantung pada keadaan
59 xxx.xxxxxxxxxxx.xxx diakses Rabu, 15 Januari 2017 pukul 11.00 WIB
60 Xxxxx Xxxxx, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, Bandung: PT.Xxxxxx Xxxxxxx, 2015, hlm.122
yang masih akan terjadi sesuai dengan apa yang dilihat dan didengar oleh notaris.61
2. Akta yang dibuat di hadapan notaris/akta pihak (akta partij), yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris memuat uraian dari apa yang diterangkan atau diceritakan oleh para pihak yang menghadap kepada notaris.
Akta partai atau akta para pihak adalah suatu jenis akta yang berisi tentang hal-hal yang diterangkan atau diceritakan oleh pihak lain kepada notaris sebagai pembuat akta otentik. Pihak lain itu sengaja datang di hadapan notaris dan memberikan suatu keterangan atau melakukan suatu perbuatan hukum di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh notaris di dalam suatu akta otentik. Jadi, dalam suatu akta partai dicantumkan secara otentik keterangan-keterangan dari orang- orang yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta itu serta keterangan dari notaris itu sendiri yang menyatakan bahwa orang- orang yang hadir itu telah menyatakan kehendaknya tertentu, sebagaimana yang dicantumkan dalam akta itu.62
Pembahasan berikutnya yang perlu penulis uraikan pada sub bab ini ini adalah terkait dengan minuta akta. Ketentuan tentang minuta akta bisa dirujuk pada Pasal 1 angka (8) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Pada pasal tersebut menjelaskan bahwa Minuta
61 Xxxxxxx Xxxxxxx, Dasar teknik Pembuatan Akta Notaris, Bandung: PT Citra Xxxxxx Xxxxx, 2013, hlm. 30.
62 Xxxxx Xxxxx, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, loc cit.
Akta adalah asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris. Akta dalam bentuk ini minuta wajib disimpan oleh notaris, dibuat nomor bulanan dan dimasukkan ke dalam buku daftar akta notaris (repertorium) serta diberi nomor repertorium.63 Dengan demikian, dalam setiap perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta notaris, maka minuta aktanya merupakan bagian dari protokol Notaris yang dikualifikasikan sebagai dokumen negara yang wajib disimpan oleh Notaris. Para pihak yang menghadap untuk melakukan perbuatan hukum mendapatkan akta dalam bentuk salinan akta.
Pengertian salinan akta dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka (9) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Pada pasal tersebut ditegaskan bahwa Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh Akta dan pada bagian bawah salinan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai Salinan yang sama bunyinya". Salinan akta dapat dikeluarkan jika ada akta dalam minutanya (in minuta) yang sama bunyinya. Dalam praktek notaris ditemukan juga istilah turunan. Baik turunan akta maupun salinan akta mempunyai pengertian yang sama, artinya berasal dari minuta akta. Agar sesuai dengan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN), maka dalam penulisan tesis ini digunakan istilah salinan akta.64
Menurut Pasal 1 angka (10) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari
63 Xxxxx Xxxxx, Hukum Notaris Indonesia, cetakan pertama, Bandung: PT.Xxxxxx Xxxxxxx, 2008, hlm. 46.
64 Ibid., hlm. 47.
satu atau beberapa bagian dari Akta dan pada bagian bawah kutipan Akta tercantum frasa "diberikan sebagai kutipan". Kutipan dapat disebut juga turunan dari sebagian akta, jadi merupakan turunan yang tidak lengkap. Kutipan ini diambil dari sebagian minuta akta, pengutipan dilakukan sesuai dengan permintaan yang bersangkutan, dalam artian bagian mana yang harus dikutip. Dalam akhir akta tetap harus ada. Kutipan dari minuta akta tersebut ditempatkan pada isi akta, dan pada akhir akta dituliskan diberikan sebagai kutipan.65
Sebagaimana diuraikan di depan, pada praktiknya di masyarakat terdapat dua macam akta yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Ketentuan ini secara yuridis mendasarkan pada ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yaitu pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan- tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan.
Dalam setiap perbuatan hukum yang dituangkan dalam akta otentik, undang-undang mengharuskan bahwa setiap akta partai harus ditandatangani oleh para penghadap. Apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangannya, misalkan karena tangannya lumpuh, maka alasan tidak ditandatanganinya akta itu harus diterangkan di dalam akta. Keterangan itu berlaku sebagai ganti tanda tangan (surrogaat tanda tangan).66
Suatu perjanjian dapat dievaluasi pada syarat-syarat yang diperlukan untuk sahnya atau terjadinya suatu perjanjian dan pada isi perjanjian.
65 Ibid., hlm. 47-48.
66 Ibid., hlm. 114
Evaluasi mengenai syarat sahnya perjanjian dapat dilakukan dengan melihat Pasal 1320 KUHPerdata, yakni adanya kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan kausa yang halal. Khusus untuk perjanjian formil harus pula dipenuhi bentuk perjanjian apakah harus dibuat dalam bentuk akta otentik atau cukup dengan akta dibawah tangan.67
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No.2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta secara umum, dengan batasan sepanjang :
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang- undang.
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau yang dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3. Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris.
5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
67 Ibid., hlm. 27.
Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu surat disebut Akta adalah: 68
Pertama; Surat itu harus ditanda tangani. Keharusan ditanda tangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta ditentukan dalam Pasal 1874 KUHPerdata. Tujuan dari keharusan ditanda tangani itu untuk memberikan ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta yang satu dengan akta yang lainnya, sebab tanda tangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dengan tanda tangan orang lain, dengan penanda tangannya itu sesesorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut.
Kedua; Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan. Surat harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan, dan peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan.
Ketiga; Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti. Xxxxx memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan. Dalam Pasal 1 dan Pasal 2, ditentukan antara lain bahwa semua dokumen yang ditanda tangani yang diperkuat sebagai buktinya perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat hukum perdata dikenakan bea materai tetap sebesar Rp.6.000,-. Oleh karena itu,
68 xxx.xxxxxxxxxxx.xxx diakses Rabu, 15 Nopember 2017 pukul 15.00 WIB
sesuatu surat yang akan dijadikan alat pembuktian di pengadilan harus ditempeli bea materai secukupnya.
Kewenangan utama dari notaris adalah untuk membuat akta otentik, untuk dapat suatu akta memiliki otentisitasnya sebagai akta otentik maka harus memenuhi ketentuan sebagai akta otentik yang diatur dalam Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu :
a. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (tenberstaan) seorang pejabat umum, yang berarti akta-akta notaris yang isinya mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan harus menjadikan notaris sebagai pejabat umum;
Akta yang dibuat oleh (door) notaris dalam praktek notaris disebut akta relaas atau akta Berita Acara yang berisi berupa uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris disebut akta pihak yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan dihadapan notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.69
69 Xxxxx Xxxxx, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Bandung: PT. Xxxxxx Xxxxxxx, 2013, hlm. 10.
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta notaris dan notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:70
1) Para pihak datang kembali ke notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
2) Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta notaris menjadi akta di bawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan, tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada notaris yang bersangkutan dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta notaris. Penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar notaris dari aspek lahiriah, aspek formal dan aspek materiil atas akta notaris.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang- undang, maka dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat ini maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditanda-tangani oleh para penghadap (comparanten);
c. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta tersebut dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut, sebab seorang notaris hanya dapat melakukan atau menjalankan jabatannya di dalam
70 Ibid,.hlm. 11.
daerah hukum yang telah ditentukan baginya. Jika notaris membuat akta yang berada di luar daerah hukum jabatannya maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
Karakter yuridis akta notaris yaitu :71
1. Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-undang (UUJN);
2. Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan keinginan notaris;
3. Meskipun dalam akta notaris tercantum nama notaris, tetapi dalam hal ini notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta.
4. Mempunyai kekuatan pembuktian sempurna.
5. Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang tidak setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan.
Wewenang notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu:
1) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu. Wewenang notaris dalam pembuatan akta otentik sepanjang tidak dikecualikan kepada pihak atau pejabat lain, atau notaris juga berwenang membuatnya di samping dapat dibuat oleh pihak atau pejabat lain, mengandung makna bahwa wewenang notaris dalam membuat akta otentik mempunyai wewenang yang umum, sedangkan pihak lainnya mempunyai wewenang terbatas.
Pasal 15 Undang-undang No. 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris telah menentukan wewenang notaris. Wewenang ini merupakan suatu batasan, bahwa notaris tidak boleh melakukan suatu tindakan diluar wewenang tersebut.
2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;72
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No.2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris menentukan bahwa notaris harus berkedudukan di daerah Kabupaten atau Kota. Setiap notaris sesuai dengan keinginannya mempunyai tempat kedudukan dan
71 Ibid.,hlm. 17
72 Ibid., hlm 13.
berkantor di Kabupaten atau Kota sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Jabatan Notaris. Pasal 19 ayat (2) disebutkan bahwa, notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.
3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya harus dalam keadaan aktif, artinya tidak dalam keadaan cuti atau diberhentikan sementara waktu. Notaris yang sedang cuti, sakit atau sementara berhalangan untuk menjalankan tugas jabatannya, agar tidak terjadi kekosongan, maka notaris yang bersangkutan dapat menunjuk notaris pengganti sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Jabatan Notaris. Seorang notaris dapat mengangkat notaris pengganti dengan ketentuan tidak kehilangan kewenangannya dalam menjalankan tugas jabatannya, dengan demikian dapat menyerahkan kewenangannya kepada notaris pengganti, sehingga yang dapat mengganti notaris pengganti yaitu notaris yang cuti, sakit atau berhalangan sementara, yang setelah cuti habis protokolnya dapat diserahkan kembali kepada notaris yang digantikannya.
Sedangkan tugas jabatan notaris dapat dilakukan oleh Pejabat Sementara Notaris hanya dapat dilakukan untuk notaris yang kehilangan kewenangannya dengan alasan:
a) Meninggal dunia;
b) Telah berakhir masa jabatannya;
c) Minta sendiri;
d) Tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
e) Pindah wilayah jabatan;
f) Diberhentikan sementara, atau
g) Diberhentikan dengan tidak hormat.
Wewenang notaris lainnya antara lain sebagai berikut:73
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftarkan buku khusus.
b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. Membuat copy dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
73 Xxxxx Xxxxx, Penafsiran Tematik Hukum Notaris Indonesia, loc cit.
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotocopy dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan;
g. Membuat akta risalah lelang.
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa akta notaris adalah alat bukti tulisan atau surat pembuktian yang utama sehingga dokumen ini merupakan alat bukti persidangan yang memiliki kedudukan yang sangat penting, dokumen ini merupakan alat bukti yang sempurna sehingga tidak perlu lagi dibuktikan dengan pembuktian lain selama dapat dibuktikan kebenarannya.
Akta notaris juga memiliki fungsi yang sangat penting yaitu sebagai fungsi formal yang memiliki arti bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta dan sebagai contoh perbuatan hukum yang dimaksud harus dituangkan ke dalam bentuk akta. Selain itu, akta notaris juga sebagai alat pembuktian dimana dibuatnya akta tersebut oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian sengaja ditujukan untuk pembuktian dikemudian hari dan fungsi akta notaris lainnya sebagai alat pembuktian yang sempurna bagi para pihak dalam perjanjian beserta ahli warisnya yang mendapatkan hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut.
Untuk akta yang dibuat di bawah tangan, kekuatan pembuktiannya hanya meliputi kenyataan bahwa keterangan itu diberikan, apabila tandatangan diakui oleh yang menandatangani. Kekuatan pembuktian formal menjamin kebenaran kepastian tanggal akta, kebenaran tandatangan
dalam akta, identitas orang-orang yang hadir (comparaten) dan tempat di mana akta itu dibuat. Sedang kekuatan pembuktian material (materiele bewijkracht) sepanjang diakui benar oleh para pihak, mengenai apa yang tercantum dalam akta.
C. Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia
Seperti sudah penulis uraikan secara singkat pada pada bab I di atas, reformasi yang terjadi akhir tahun 90-an di Indonesia membawa perubahan yang fundamental terhadap sistem ketatanegaraan. Perubahan tersebut bukan hanya terjadi di tingkat pusat, tapi tata kelola pemerintahan di daerah juga mengalami perubahan.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sistem sentralistik yang terjadi sepanjang masa rezim Orde Baru berubah paradigmanya menjadi desentralistik. Banyak kewenangan pusat yang didistribusikan kepada pemerintah daerah. Perubahan paradigma itupun diikuti dengan perubahan mekanisme rekrutmen pemerintahan di daerah.
Perubahan penyelenggaraan pemerintahan daerah itu ditandai dengan pemberlakukan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Politik hukum dari undang-undang tersebut memposisikan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi lebih desentralistis, dalam arti sebagian besar wewenang di bidang pemerintahan diserahkan kepada daerah. Penulis memandang pemberlakukan undang-
undang ini menjadi tonggak sejarah besar bagi penguatan kedaulatan rakyat di daerah. Sebab, rakyat di daerah memiliki kesempatan untuk menentukan nasibnya secara sendiri karena nilai-nilai kearifan lokal terbuka secara lebar. Rakyat di daerah memiliki kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan masing-masing karena memiliki akses dan kesempatan untuk mengelola dengan maksimal sumber daya alam yang ada di daerahnya sendiri.
Meski demikian, pemberlakukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 juga membawa dampak yang negatif. Dalam perjalanannya, penulis mencermati besarnya kewenangan yang didapatkan oleh daerah pada masa awal-awal reformasi membuat kekuasan para kepala daerah menjadi sangat besar hingga memunculkan raja-raja kecil. Dampaknya, potensi praktik- praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi besar. Bahkan banyak yang berpandangan bahwa perubahan dari sistem sentralistik menjadi desentralistik hanya memindahkan praktik-praktik KKN dari pusat ke daerah.
Dampak negatif dalam sistem desentralistik ini pernah dikemukakan oleh Xxxxxxxx Xxxxxx 74. Menurutnya, pelaksanaan undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah menimbulkan dampak negatif, antara lain tampilnya kepala daerah sebagai raja-raja kecil di daerah karena luasnya wewenang yang dimiliki, tidak jelasnya hubungan hierarkis dengan pemerintahan di atasnya, tumbuhnya peluang KKN di daerah-daerah
00 Xxxxxxxx Xxxxxx, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Kepala Daerah Secara Langsung, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2005, hlm 27.
akibat wewenang yang luas dalam pengelolaan kekayaan dan keuangan daerah serta “money politic” yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah.
Dalam perjalanan lima tahun Reformasi, undang-undang tentang Pemerintahan Daerah itupun dievaluasi melalui proses legislasi di DPR. Kelemahan-kelemahan yang ada dalam undang-undang Nomor 22 tahun 1999 disempurnakan dengan diberlakukannnya undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang ini diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dilaksanakan secara efektif, efisien dan bertanggung jawab.
Salah satu titik pijak perubahan yang paling mendasar dengan pemberlakukan Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 adalah mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari yang awalnya dipilih melalui sistem perwakilan di DPRD menjadi dipilih secara langsung. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung ini menguatkan kedaulatan rakyat dalam bingkai sistem otonomi daerah. Pemilihan kepala daerah secara langsung ini sesungguhnya juga merupakan konsekuensi perubahan tatanan kenegaraan akibat Amandemen Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. Undang-undang baru ini pada dasarnya
mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi. Hal tersebut dapat dilihat melalui penjabaran dari amanat konstitusi Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Propinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis”.
Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 56 Pasal 119 dan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 Tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Secara eksplisit ketentuan tentang PILKADA langsung tercermin dalam penyelengaraan PILKADA. Dalam Pasal 56 ayat (1) disebutkan:
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.
Pilihan terhadap sistem pemilihan langsung menunjukkan koreksi atas Pilkada terdahulu yang menggunakan sistem perwakilan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sebagaimana tertuang dalam Undang- undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 151 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pemilihan, Pengesahan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Digunakannya sistem pemilihan langsung ini menunjukkan perkembangan
penataan format demokrasi daerah yang berkembang dalam liberalisasi politik. 75
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan sebuah peningkatan demokrasi di tingkat lokal, dengan adanya demokrasi dalam sebuah negara, berarti dalam Negara tersebut menjalankan demokrasi yang menjunjung tinggi aspirasi, kepentingan dan suara rakyatnya.
Menurut Winarno:76 “sistem pemilihan secara langsung merupakan alternatif yang paling realistis guna mendekatkan aspirasi demokrasi rakyat dengan kekuasaan pemerintah dan pada saat yang sama memberikan basis legitimasi politik kepada pejabat eksekutif yang terpilih”. Sedangkan menurut Xxxxxxx Xxxxxxx, dalam Pilkada Langsung, demokrasi yang ada berarti terbukanya peluang bagi setiap warga masyarakat untuk menduduki jabatan publik, juga berati adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggunakan hak-hak politiknya secara langsung dan kesempatan untuk menentukan pilihan dan ikut serta mengendalikan jalannya pemerintahan. 77 Berdasarkan sejumlah pandangan tersebut, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa secara teoritis, pelaksanaan Pilkada secara langsung membuat proses demokratisasi di tingkat lokal dapat diwujudkan. Melalui Pilkada secara langsung dapat diperoleh pemimpin yang sesuai dengan pilihan yang dapat diterima dan dikehendaki oleh rakyat di daerahnya sehingga pemimpin rakyat tersebut dapat merealisasikan kepentingan dan
75 J. Xxxxxxxxxx, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm 1-2
76Xxxxxx Xxxxxxxxx, https:/xxxxxxxxxxxxxxxxx.xxxxxxxxx.xxx/0000/00/00/xxxxx- mengenai-pilkada-di-indonesia/
77 Ibid
kehendak rakyatnya secara bertanggung jawab sesuai potensi yang ada untuk mensejahterakan masyarakat daerahnya.
Agung Djokosukarto berpendapat, ada 5 dimensi dan tujuan dalam pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu: 78
a. Mengapresiasikan HAM dalam bidang politik
b. Mewujudkan prinsip demokrasi partisipatif (asas partisipasi universal)
c. Mewujudkan tatanan keseimbangan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif daerah.
d. Mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat madani yang egaliter
e. Mewujudkan tata kelola pemerintahan derah sesuai dengan prinsip good governance, serta memperkuat kemandirian daerah dan berotonomi
Sedangkan menurut Xxxxxxxx 79, relevansi dari pelaksanaan Pilkada secara langsung membuat semua daerah harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya dan berusaha bagaimana dapat berlangsung demokratis dan berkualitas sehingga benar-benar mendapatkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dapat membawa kemajuan bagi daerah sekaligus memberdayakan masyarakat daerahnya. Selain itu, salah satu tujuan diselenggarakannya Pilkada secara langsung ini juga dapat memberikan pendidikan politik bagi masyarakat di daerah, dimana nantinya mereka menjadi lebih pengalaman dan ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Xxxxxxx secara langsung juga menjadi pembelajaran politik yang mencakup tiga aspek yaitu: 80 Pertama, meningkatkan kesadaran politik masyarakat lokal; Kedua, mengorganisir masyarakat ke dalam suatu
78 Ibid
79 Fitriyah, Sistem dan Proses Pemilukada secara Langsung, dalam Jurnal Analisis CSIS, 2005, Vol. 34, No. 3
80 Ibid
aktivitas politik yang memberikan peluang lebih besar pada setiap orang untuk berpartisipasi; Ketiga, memperluas akses masyarakat lokal untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka. Selain itu, hal yang terpenting dari pilkada ini adalah sebuah sarana demokratisasi di tingkat lokal yang dapat menegakkan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan calon yang terpilih akan kuat legitimasinya karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga tercipta stabilitas politik dalam pemerintahan daerah.
Setelah diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka Pilkada secara langsung untuk memilik Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota dimulai pada periode pertama pada bulan Juni 2005. Sejak saat itulah era baru dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan lokal dimulai. Banyak tokoh-tokoh lokal yang lahir dan terpilih menjadi kepala daerah.
Dalam satu dasawarsa praktik Pilkada secara langsung ternyata memunculkan berbagai persoalan. Muncul banyak sekali konflik dan bahkan anarkisme yang berpangkal dari ketegangan politik pada saat pelaksaan Pilkada. Bukan hanya itu, Xxxxxxx secara langsung dianggap sebagai pihak sebagai proses politik yang high cost atau biaya sangat mahal. Demokratisasi dalam Pilkada langsung juga disebut menimbulkan praktik- praktik politik kotor dengan munculnya “money politic” pada proses pemenangan. Gugatan-gugatan hukum atas hasil Pilkada langsung juga
menjadi bagian yang hampir selalu ada pada setiap pelaksanaan Pilkada. Persoalan-persoalan itulah yang kemudian mendorong munculnya keinginan politik untuk mengembalikan Pilkada kepada sistem perwakilan melalui DPRD. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 akhirnya diubah dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 yang mengembalikan sistem Pilkada dari langsung oleh rakyat kembali ke sistem perwakilan.
Namun, keputusan politik yang mengembalikan Pilkada ke sistem perwakilan tersebut ternyata menuai resistensi publik yang luar biasa. Banyak sekali elemen civil socity yang menolak pengembalian tersebut. Pasalnya, perubahan itu dinilai menjadi sebuah kemunduran dalam sistem politik pemerintahan daerah karena dianggap mengebiri hak-hak konstitusional rakyat dalam menentukan pimpinan di daerahnya sendiri. Desakan dan penolakan yang sedemikian kuat akhirnya mendorong Presiden Xxxxxx Xxxxxxx Xxxxxxxxx mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) saat Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 belum sempat diberlakukan. Perppu Nomor 1 tahun 2014 tersebut subtansinya mengembalikan Pilkada secara langsung. Perppu tersebut selanjutnya disahkan menjadi Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 dan selanjutnya undang-undang tersebut diubah dan ditambah beberapa kali dan terakhir adalah Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil Walikota yang tetap dinyatakan dilakukan secara langsung. 81
Pelaksanaan Pilkada langsung dinyakatan demokratis apabila memenuhi beberapa parameter. Mengutip pendapat Xxxxxx Xxxx, Xxxxxx Xxxxxxxxxx dan Xxxxxxx Xxxxx (1978), parameter untuk mengamati terwujudnya suatu sistem demokratis apabila: 82
a. Menggunakan mekanisme pemilihan umum yang teratur;
b. Memungkinkan terjadinya rotasi kekuasaan;
c. Mekanisme rekrutmen dilakukan secara terbuka; dan
d. Akuntabilitas publik.
Parameter demokratis tersebut berdasarkan sejumlah referensi yang penulis telusuri dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Pemilihan Umum
Rekrutmen jabatan politik atau publik harus dilakukan dengan pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur, dan adil. Pemilu merupakan gerbang pertama yang harus dilewati karena dengan pemilu lembaga demokrasi dapat dibentuk. Kemudian setelah pemilihan biasanya orang akan melihat dan menilai seberapa besar pejabat publik terpilih memenuhi janji-janjinya. Penilaian terhadap kinerja pejabat politik itu akan digunakan sebagai bekal untuk memberikan ganjaran atau human (reward
81 xxx.xxxxxxx.xxx, diakses Sabtu, 2 Desember 2017 pukul 08.00 WIB
82 Fitriyah, Op. Cit
and punishment) dalam pemilihan mendatang. Pejabat yang tidak dapat memenuhi janji-janjinya dan tidak menjaga moralitasnya akan dihukum dengan cara tidak dipilih, sebaliknya pejabat yang berkenaan di hati masyarakat akan dipilih kembali.
2. Rotasi Kekuasaan
Rotasi kekuasaan juga merupakan parameter demokratis tidaknya suatu rekrutmen pejabat politik. Rotasi kekuasaan mengandaikan bahwa kekuasaan atau jabatan politik tidak boleh dan tidak bisa dipegang terus- menerus oleh seseorang, seperti dalam sistem monarkhi. Artinya, kalau seseorang yang berkuasa terus-menerus atau satu partai politik mengendalikan roda pemerintahan secara dominan dari waktu kewaktu sistem itu kurang layak disebut demokratis. Dengan kata lain, demokrasi memberikan peluang rotasi an kekuasaan atau rotasi pejabat politik secara teratur dan damai dari seorang Kepala Daerah satu ke Kepala Daerah lain, dari satu partai politik ke partai politik yang lain.
3. Rekrutmen Terbuka
Xxxxxxxxx membuka peluang untuk mengadakan kompetisi karena semua orang atau kelompok mempunyai hak danalam meng peluang yang sama. Oleh karena itu dalam mengisi jabatan politik, seperti Kepala Daerah, sudah seharusnya peluang terbuka untuk semua orang yang memenuhi syarat, dengan kompetisi yang wajar sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Dinegara-negara totaliter dan
otoriter, rekruitmen politik hanyalah merupakan domain dari seseorang atau sekelompok orang kecil.
4. Akuntabilitas Publik
Para pemegang jabatan publik harus dapat mempertanggungjawabkan kepada publik apa yang dilakukan baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat publik. Seorang Kepala Daerah atau pejabat politik lainnya harus dapat menjelaskan kepada public mengapa mimilih kebijakan A, bukan kebijakan B, mengapa menaikkan pajak dari pada melakukan efesiensi dalam pemerintahan dan melakukan pemberantasan KKN. Apa yang mereka lakukan terbuka untuk dipertanyakan kepada publik. Xxxxxxxx pula yang dilakukan kepada keluarga terdekatnya, sanak saudaranya bahkan teman dekatnya seringkali dikaitkan dengan kedudukan atau posisi pejabat tersebut. Hal itu karena pejabat publik merupakan amanah dari masyarakat, maka ia harus dapat menjaga, memelihara dan bertanggungjawab dengan amanah tersebut.
Praktik politik dalam Pilkada langsung bisa dikategorikan demokrastis apabila memenuhi beberapa prisipin, yakni menggunakan azas-azas yang berlaku dalam rekruitment politik yang terbuka, seperti pemilu legislatif (DPR, DPD, DPRD) dan pemilihan Presiden Wakil Presiden, yakni azas langsung, umum, bebas, rahasia, dan jujur dan adil ( Luber dan Jurdil).83
83 Ibid 110-11
I. Langsung
Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
II. Umum
Pada dasarnya semua warga Negara yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundangan berhak mengikuti pilkada. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna yang menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga Negara, tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan dan status sosial.
III. Bebas
Setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.
IV. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dengan jalan apa pun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa pun suaranya diberikan.
V. Jujur
Dalam penyelenggaraan Pilkada, setiap penyelenggara Pilkada, aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pegawas pilkada, pemantau pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
VI. Adil
Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecenderungan pihak manapun.
Pilkada langsung pada dasarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi di daerah yang telah dimulai. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Xxxxxx A.Xxxx, di samping untuk menghindari tirani, demokrasi juga dimaksudkan untuk mencapai tujuan- tujuan yang lain, diantaranya adalah terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat kesempatan untuk menentukan posisi dari individu, dan adanya kesejahteraan.Pilkada secara langsung itu memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk terlibat di dalam berbagai proses politik.84
84 Ibid
D. Teori Koalisi Politik
Koalisi merupakan sebuah keniscayaan dalam politik. Pengelolaan kekuasan, terutama di negara yang menganut sistem demokrasi tidak mungkin menghindar dari koalisi antar berbagai kelompok politik yang terlibat dalam perebutan kekuasan.
Koalisi politik dalam tataran teoritis sebenarnya telah lama berkembang di negara-negara eropa khususnya dan negara-negara dengan sistem parlementer pada umumnya. Dalam sistem pemerintahan presidensil yang multipartai, koalisi adalah suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat koalisi sendiri adalah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durabl ) 85
Meskipun menjadi sebuah keniscayaan dalam mengelola kekuasaan, namun sampai saat ini tidak ada model koalisi antara partai politik yang ideal. Tidak satu pun koalisi yang digalang para elit yang menghasilkan paduan yang kuat (strong), mandiri (autonomuos), dan tahan lama (durable). Faktanya, koalisi yang dibangun membingungkan. Kompleksnya kekuatan politik, aktor dan ideologi menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoritis, koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun diatas landasan pemikiran yang realistis dan layak. 86
85 Xxxxxxx Xxxxx, Partai, Kekuasaan dan militerisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, Hlm 22.
86 Ibid
Peneliti dari New York University Xxxx Xxxx berpendapat, dalam masyarakat kerap terdapat berbagai kerjasama dalam suatu pengelompokan yang tepat (proper subset) dari aktor-aktor, baik berupa kelompok- kelompok sosial (melalui organisasi) atau individu-individu, untuk bertarung menghadapi aktor-aktor lainnya jika terdapat tiga aktor atau lebih. Pengelompokan aktor-aktor itu bisa disebut sebagai koalisi. 87
Melihat dari hasil penelitian Xxxxx Xxxx, besar kemungkinan rencana munculnya wacana koalisi antar organisasi dimulai dari ide-ide dari individu yang ada (elit-elit kedua organisasi yang ada).
Bentuk koalisi politik di Indonesia memang tidak terbangun berdasarkan landasan yang kuat. Dalam teori, koalisi partai hanya akan berjalan jika dibangun dengan pemikiran yang realistis dan rasional yang dapat dilakukan kedua pihak. Koalisi tidak sekadar dimaknai sebagai pertemanan akan tetapi harus dibangun dengan sasaran yang jelas. Teori koalisi tidak terlepas dari adanya kepentingan elit di belakangnya. Kepentingan elit yang bermain dalam menentukan arah koalisi ini menyebabkan terkadang tidak dapat dijabarkan di tingkatan bawah (konstituen).
Pada saat para rekanan (partner) ini bergabung, dan bekerjasama hanya dengan sejumlah aktor lain, dan bertarung menghadapi aktor-aktor lainnya di luar mereka, setiap koalisi pada dasarnya mencari pengaruh langsung di antara aktor-aktor tanpa adanya mediasi yang berbentuk
87 xxxx://xxxxx.xxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/xxxx/00/Xxxxxxx_Xxxxxxx, 07 juli 2007
material oleh karenanya bersifat politis. Jadi suatu koalisi harus menyusun strategi yang sesuai dengan aktivitas para aktor dan partner koalisi. Di sini suatu platform bersama menjadi pijakan suatu koalisi dalam menghadapi aktor-aktor yang menjadi lawan mereka. Jadi koalisi memerlukan adanya rekan (partner), lawan (adversaries) dan strategi. Koalisi politik tidak didasarkan pada tujuan-tujuan yang bersifat material, melainkan tujuan- tujuan yang bersifat politis. Tokoh politik pada membicarakan koalisi pada umumnya adalah dalam rangka merebut kekuasaan, baik pada tingkatan legislatif maupun eksekutif. 88
Pembentukan koalisi politik akan lebih banyak memberikan manfaat bagi perkembangan demokrasi dan terhadap efektivitas kebijakan. Substansi politik adalah sarana bagi pencapaian tujuan bersama, yang berarti semakin kita dapat mengagregasikan dukungan, antara lain dalam bentuk koalisi ”permanen” yang tidak oportunistis akan semakin besar kemungkinan untuk mencapai tujuan bersama itu, khususnya dalam memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Koalisi yang banyak terbangun di Indonesia merupakan koalisi yang cair dan rapuh. Koalisi yang seharusnya terbangun adalah koalisi yang permanen, di mana koalisi permanen Yaitu koalisi yang terbentuk dari adanya nilai-nilai bersama, tujuan politik yang sama dengan adanya konsensus dan kontrak politik untuk mepertahankan koalisi. Bukanlah
koalisi pragmatis yang hanya berdasarkan kepentingan sesaat untuk merebut kekuasaan.
Setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Prinsip dasar dari koalisi ini adalah memaksimalkan kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Dasar dari teori ini adalah memudahkan proses tawar-mnawar dan negosiasi karena anggota atau rekanan koalisi hanya sedikit. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet. Dasar dari teori ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis. Kelima, minimal connected winning coalition, dimana dasar berpijak teori ini adalah bahwa partai- partai berkoalisi karena masing-masing memiliki kedekatan dalam orientasi kebijakannya. 89
Dalam teori politik, koalisi adalah piranti paling efektif meraih kekuasaan. Koalisi diperlukan untuk menggalang dukungan dalam
membentuk pemerintahan oleh partai pemenang pemilu, di sisi lain dibutuhkan dalam rangka membangun dan memperkuat oposisi bagi partai- partai yang duduk di parlemen namun tidak ikut memerintah. Dalam sistem presidensial sebagai pesan dari UUD 1945, eksekutif dan legislatif adalah dua lembaga terpisah yang tidak bisa saling menjatuhkan satu sama lain.
Koalisi tak terelakkan karena sistem politik multipartai melahirkan aroma sistem parlementer. Koalisi antarparpol dengan demikian menjadi semacam motor penggerak bagi terpilihnya kandidat pemimpin. koalisi hanya dimaknai sebatas instrumen merebut kekuasaan. Cairnya koalisi yang diperagakan oleh parpol saat ini menunjukkan hilangnya demarkasi ideologis dan visi yang ditukarkan dengan mata uang kepentingan. Padahal, secara ideal, koalisi dapat berjalan efektif manakala terjadi titik temu di level paradigmatik, yaitu ideologi, visi-misi, kultur, dan corak kebangsaannya. Teori ini digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisi kebijakan koalisi dan pelaksanaan serta implikasinya.
Partai politik adalah sarana politik yang menjembatani elit-elit politik dalam upaya mencapai kekuasaan politik dalam suatu negara yang bercirikan mandiri dalam hal finansial, memiliki platform atau haluan politik tersendiri, mengusung kepentingan-kepentingan kelompok dalam urusan politik, dan turut menyumbang political development sebagai suprastruktur politik. 90
Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri- sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan dengan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi beberapa partai. Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warganegara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Koalisi dalam ekonomi merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan. 91
Koalisi pada dasarnya dibentuk untuk memperkuat barisan dalam menjalankan program-program kerja yang telah disusun, koalisi itu merupakan gabungan dari berbagai elemen untuk melaksanakan program yg di maksud.koalisi itu di perlukan jika dirasa kekuatan tidak cukup untuk mensukseskan program-program yang ada, anggota koalisi tidak ada batasan, semakin anggota koalisi maka semakin sukses dalam menjalankan program-program. Dengan catatan seluruh anggota koalisi harus sepaham dan memiliki komitmen yang tinggi untuk menjalankan program-program.
Di samping itu, partai politik adalah mesin politik yang punya daya mobilisasi massa paling sistematis, karena itu koalisi antarpartai politik dapat berperan sebagai mesin politik besar untuk memobilisasi massa
pemilih yang dicalonkan. Namun terkadang partai partai politik yang berkoalisi hanya sekedar pernyataan belaka, sedangkan tindakan masih lebih mementingkan partai mereka masing masing. Hal ini tentu membuat koalisi tidak efektif karena bukannya saling bekerja sama menjalankan program kerja untuk kesejahteraan rakyat, partai partai politik tersebut malah sibuk saling beradu pendapat dan argument dalam koalisi.
BAB III
PERJANJIAN KOALISI POLITIK PADA PILKADA KABUPATEN PURWOREJO TAHUN 2010
A. Gambaran Umum Kabupaten Purworejo
1. Kondisi Geografi dan Demografi
Kabupaten Purworejo merupakan satu dari 35 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Purworejo juga menjadi garis perbatasan wilayah antara Provinsi Jawa Tengah dengan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara administratif, Kabupaten Purworejo terdiri dari 16 wilayah Kecamatan, 469 Desa, dan 25 Kelurahan.92 Camat yang memimpin pemerintahan di tingkat kecamatan adalah aparatur sipil negara (ASN) pejabat karir yang ditunjuk oleh kepala daerah, kepala desa dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan kepala desa, dan lurah yang merupakan pimpinan pemerintah di tingkat Kelurahan juga merupakan ASN pejabat karir ya ng ditunjuk dan ditempatkan oleh kepala daerah.93
Secara geografis, Kabupaten Purworejo terletak antara 7º32’ - 7º54’ LS 109º47’28 - 110º08’20’’ BT. Luas wilayah daerah kabupaten ini mencapai 103,481,175 hektare, sedangkan luas wilayah laut sebesar 84 kilometer persegi. Adapun batas-batas wilayah Kabupaten Purworejo adalah sebagai berikut:
92 Wawancara Kepala Bagian Humas Setda Purworejo Xxx. Xxxx Xxx Xxxxxxxx, Selasa, 23 Januari 2018 pukul 09.00 WIB
93 Wawancara Kepala Bagian Organisasi Setda Purworejo Xxxxxxx Xxxxx Xxxxxxxx,S.H., Selasa, 23 Januari 2018 pukul 08.00 WIB
Sebelah Utara : Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Magelang Sebelah Timur : Kabupaten Kulonprogo Provinsi DIY
Sebelah Barat : Kabupaten Kebumen Sebelah Selatan : Samudera Indonesia 94
Pada aspek demografis, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Purworejo pada kurun waktu sepuluh tahun terakhir bersifat fluktuatif dengan angka rata-rata pertumbuhan sebesar 0,26 %. Dengan angka tersebut, pertumbuhan penduduk di Kabupaten Purworejo masuk kategori pertumbuhan rendah. Pada tahun 2010 saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) penduduk di Kabupaten Purworejo tercatat sebanyak
791.288 jiwa. 95 Berdasarkan jumlah penduduk tersebut, KPU Kabupaten Purworejo sesuai dengan regulasi menetapkan syarat jumlah dukungan minimal yang harus dipenuhi oleh bakal calon perseorangan sebanyak 31.652 orang atau 4 % dari total jumlah penduduk sebanyak 791.288 jiwa tersebut. 96
2. Gambaran Peta Politik
Sebelum masuk pada pembahasan tentang Pilkada beserta perbuatan- perbuatan hukum perjanjian koalisi politik, perlu penulis berikan uraian singkat tentang gambaran peta politik di Kabupaten Purworejo pada tahun 2010. Peta politik tersebut merupakan dinamika dari pelaksanaan Pemilu,
94 Purworejo Dalam Angka yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Purworejo.
95 Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Purworejo.
96 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Purworejo
setidaknya yang terjadi sejak era Reformasi sampai terakhir tahun 2009 sebelum pelaksanaan Pilkada tahun 2010.
Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir sejak Pemilu tahun 1999 hingga Pemilu tahun 2009 terjadi pergeseran yang signifikan atas perilaku, pilihan, dan afiliasi politik masyarakat, termasuk di Kabupaten Purworejo. Politik aliran yang menjadi arus utama dalam panggung politik nasional lambat laun berubah, meskipun belum sepenuhnya. Dewasa ini misalnya ada kecenderungan rasional atas pilihan politik, di mana masyarakat tidak lagi dapat dikategorisasikan berdasarkan politik aliran tertentu saja. Perubahan sistem politik dari pemilu ke pemilu diyakini pula mempengarui orientasi masyarakat dalam memilih. Bila saat Pemilu 1999 model pemilihan masih dominan dengan warna politik, yaitu hanya calon legislatif (Caleg) dengan nomor urut tertentu yang dapat menjadi wakil rakyat, maka dalam Pemilu 2004 telah bergeser dengan dikenalkannya calon terpilih melalui sistem suara terbanyak di atas atau sama dengan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Sistem itu telah mengkondisikan masyarakat tidak lagi semata-mata memilih partai politik, tetapi mulai mengarap kepada kandidat tertentu.
Pada pemilu 2009, masyarakat pemilih mulai diperkenalkan secara murni dengan suara terbanyak atas seorang Caleg. Artinya calon yang mendapat suara terbanyak, tidak lagi mengacu kepada nomor urut, dipastikan terpilih sebagai wakil rakyat sepanjang perolehan suara melebihi kuota kursi yang tersedia.