DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BEKASI
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI
TENTANG PENYELENGGARAAN RUMAH PEMOTONGAN HEWAN
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA BEKASI
TAHUN 2021
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................ i
I. PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang........................................................................ 1
1.2. Identifikasi Masalah ................................................................ 6
1.3. Tujuan dan Sasaran ................................................................ 7
1.4. Metode Pendekatan ................................................................ 8
1.5. Sistematika Pembahasan 10
II. KAJIAN TEORITIK DAN PRAKTIK EMPIRIK 12
2.1. Urgensi Pengaturan Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi 12
2.1.1. Kebutuhan dan Pemenuhan Daging di Kota Bekasi 12
2.1.2. Kondisi Obyektif Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi dan Urgensi Pembangunan RPH Baru 14
2.2. Konsep Pembangunan Rumah Pemotongan Hewan 16
2.2.1. Fungsi dan Peran RPH 16
2.2.2. Tata Cara Pembangunan RPH 17
2.2.3. Syarat Higienis dan Sanitasi Lingkungan 29
2.2.4. Perizinan Pembangunan RPH 31
2.2.5. Sertifikasi dan Jaminan Produk Halal RPH 34
2.3. Praktik Empirik Penyelenggaraan RPH 36
2.3.1. RPH Kota Malang 36
2.3.2. RPH Karawaci 39
III. ANALISIS & EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT 50
3.1. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah .................................................................... | 50 |
3.2. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pangan dan Peternakan................................................................. | 56 |
3.3. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelayanan Publik ........................................................................... | 59 |
3.4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan........... | 62 |
3.5. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan Konsumen ................................................................ | 64 |
3.6. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jaminan Produk Halal .................................................................... | 66 |
IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, XXX XXXXXXX ....................... | 68 |
4.1. Landasan Filosofis .................................................................. | 68 |
4.2. Landasan Sosiologis................................................................ | 70 |
4.3. Landasan Yuridis .................................................................... | 72 |
V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN POKOK-POKOK MATERI MUATAN ....................................................................................... | 74 |
5.1. Xxxxxxxan dan Arah Pengaturan ............................................. | 74 |
5.2. Pokok-Pokok Materi Muatan .................................................... | 75 |
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ................................................ | 58 |
6.1. Kesimpulan ........................................................................... | 79 |
6.2. Rekomendasi ........................................................................ | 81 |
VII. DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... | 82 |
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bahan pangan yang bernilai gizi tinggi sangat dibutuhkan untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan sehat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut pangan hewani memegang peranan yang sangat penting. Salah satu bahan pangan hewani yang mudah didapatkan masyarakat adalah daging sapi. Daging sapi ini dihasilkan baik oleh rumah pemotongan hewan (RPH) di dalam negeri maupun hasil impor luar negeri.
Saat ini ada kecenderungan permintaan protein hewani terutama daging sapi setiap tahunnya selalu meningkat. Peningkatan permintaan terhadap daging sapi tidak dapat diimbangi oleh produksi daging dalam negeri, dan untuk memenuhinya Pemerintah terpaksa membuka kran impor sapi dan daging dari luar negeri. Menurut Ilham dkk. permintaan daging dalam negeri untuk periode 2000–2015 akan terus mengalami peningkatan sebesar 5 % per tahun, sedangkan penawaran daging domestik diperkirakan mengalami penurunan dengan laju minus (-) 0,13 % per tahun. Dengan demikian terjadi kesenjangan yang semakin lebar antara permintaan dan penawaran.1
Pada 2021 ini, kebutuhan daging sapi diperkirakan mencapai hampir 700.000 ton atau setara dengan 3,6 juta ekor sapi. Namun produksi daging sapi dalam negeri hanya sebanyak 400.000 ton per tahun. Tingginya permintaan kebutuhan
1 Ilham, N., S. Hastuti dan I.K. Karyasa. 2002, Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran dan Permintaan Beberapa Jenis Daging di Indonesia, sebagaimana dikutip Xxxxxxx, dkk dalam Jurnal Peternakan Inonesia, Juni 2012.
daging tersebut membuat Indonesia memiliki ketergantungan terhadap impor daging sapi hampir 50% dari permintaan. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian mengatakan, untuk mengatasi jumlah sapi yang masih kurang dilakukan dengan optimalisasi reproduksi.2
Penyediaan daging sapi di Kota Bekasi tidak jauh berbeda dengan kondisi nasional. Menurut data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) pada tahun 2016 kebutuhan daging sapi di Kota Bekasi mencapai 67 ton per hari. Kebutuhan daging sapi ini dihitung dari kebutuhan standar sekitar 27 gram per orang per hari, dengan jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 2,5 juta jiwa orang. Namun produksi daging Rumah Pemotongan Hewan (RPH) per hari hanya 10 ton, sehingga masih ada kekurangan sekitar 57 ton.3 Pada tahun 2021 ini kebutuhan daging sapi masyarakat Kota Bekasi rata-rata per tahun adalah 6000 ton, sementara produksi hanya 1.988,93 ton. Dengan demikian ada kekurangan atau defisit produksi sekitar 4.011,07 ton per tahun. Sedangkan kebutuhan daging ayam sekitar 27.600 ton setahun, namun produksi hanya 1.880.09 ton, sehingga ada kekurangan produksi sebanyak 25.719,92 ton. Kekurangan daging ini ditutup dengan daging impor.4
Keberadaan daging sapi impor di pasaran cukup membantu masyarakat dalam mengonsumsi bahan pangan hewani. Meski daging impor melimpah, hal ini belum mampu menekan harga daging lokal di pasaran yang saat ini dibanderol Rp Rp.120.000-150.000 per kilogram. Salah satu alasan mahalnya harga daging sapi lokal adalah proses pemotongan sapi lokal masih menggunakan cara manual yang membutuhkan tenaga orang dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga biaya operasional juga tinggi. Berbeda dengan daging impor yang cara memotong hewannya memakai teknologi.
2 Kebutuhan Daging Sapi Tahun Ini 700.000 Ton, Produksi Dalam Negri Hanya Separuhnya, e- Koran Xxxxxx.xx.xx., Reporter: Xxxx Xxxxxxx; Minggu, 20 Juni 2021 / 11:01 WIB, diakses 1 November 2021.
3 Pemkot Bekasi Tak Bisa Penuhi Kebutuhan Daging Warganya, e-Xxxxx Xxxxxxx.xxx., Reporter Xxx Xxxxxxx, 22 Juni 2016, diakses 18 Oktober 2021.
4 Paparan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Bekasi pada Rapat Kerja Dengan Komisi II DPRD Kota Bekasi, 27 Oktober 2021.
Untuk itu Pemerintah Daerah perlu mempersiapkan sarana dan prasarana agar masyarakat tetap bisa mendapatkan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Apalagi dengan meningkatnya impor daging, maka jumlah pemotongan akan semakin tertantang untuk meningkat pula. Sarana utama yang perlu dipersiapkan dalam penyediaan daging yang berkualitas adalah Rumah Pemotongan Hewan (RPH).
Saat ini jumlah RPH sapi di Kota Bekasi juga masih sangat terbatas. Tercatat hanya ada 2 (dua) RPH dan 4 (empat) Tempat Pemotongan Hewan (TPH). RPH milik Pemerintah Kota Bekasi hanya satu, yaitu RPH Harapan Baru (sering disebut sebagai RPH Teluk Pucung). Sementara satu RPH lagi dan 4 TPH adalah milik swasta/perorangan. Kondisi RPH Harapan Baru sudah tidak ideal dari segi teknis maupun ekonomi. Dari sisi teknis RPH Harapan Baru kurang memberikan rasa aman dan nyaman karena lokasinya sudah tidak memenuhi syarat. Apalagi Pemkot berencana membangun Tempat Pembakaran Jenazah (Krematorium) yang lokasinya di sebelah RPH. Dari sisi ekonomi, jumlah produksi hewan yang dipotong di RPH ini masih rendah sehingga retribusi yang masuk ke kas daerah juga masih terbatas. Pemkot Bekasi belum bisa membangun RPH yang baru karena kesulitan memperoleh lahan yang sesuai.
Ada beberapa isu terkait perlunya pembangunan dan penambahan RPH di Kota Bekasi. Isu-isu ini antara lain:
a. Kota Bekasi mempunyai potensi yang besar dalam pemotongan hewan dan pengelolaan daging, namun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Penyelengaraan Rumah Pemotongan Hewan.
b. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Perubahan Pertama Perda Kota Bekasi No.13 tahun 2001 dan Peraturan Daerah No.9 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah sudah tidak memadai untuk mengatur penyelenggaraan RPH dan retribusi RPH.
c. Di Kota Bekasi ada 2 RPH dan 4 TPH resmi (berizin), dan diduga ada sejumlah TPH yang tidak berizin dengan berbagai jenis hewan potong yang perlu diatur agar memberi nilai tambah pada pengembangan kota dan pemasukan kas daerah;
d. Kebutuhan daging di Kota Bekasi sangat tinggi, tidak terpenuhi dr 6 RPH/TPH yg ada. Namun produksi RPH/TPH tersebut masih rendah. Akibatnya pemasukan retribusi RPH/TPH ke kas daerah juga masih rendah. Biaya retribusi pemotongan hewan dinilai masih rendah, tidak sebanding dengan biaya operasional RPH baik untuk pemotongan hewan maupun penanganan daging.
e. Beberapa RPH/TPH dikelola tidak sesuai standar Permentan dan SNI, tidak memiliki sertifikat AMDAL atau UPL/UKL, tidak memilki izin usaha, tidak memiliki Sertifikat Halal, serta terindikasi mencemari lingkungan.
f. Fungsi RPH masih bertumpu pada pemotongan hewan dan penanganan daging, belum dipotimalkan untuk fungsi-fungsi lainnya (edukasi, penelitian, pengembangan produk halal, wisata/rekreasi dan halal tourism)
Sehubungan dengan kondisi di atas, maka revitalisasi RPH Harapan Baru dan pembangunan RPH-RPH baru sangat mendesak untuk dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa pembangunan RPH baru perlu dipertimbangkan, yaitu:
a. Pembangunan RPH baru dapat mendorong peningkatan produksi guna memenuhi kebutuhan daging sapi lokal segar dan berkualitas;
b. Pembangunan RPH baru mampu menjaga keseimbangan dan persaingan yang sehat dengan daging sapi impor;
c. Pembangunan RPH baru bisa mencegah agar masyarakat tidak melakukan pemotongan hewan di tempat yang tidak resmi, sehingga Pemerintah daerah dapat menjaga kesehatan masyarakat dengan tetap mengkonsumsi daging sapi lokal yang aman, sehat, utuh, dan halal; dan
d. Pembangunan RPH baru secara ekonomi diharapkan mampu meningkatkan jumlah retribusi ke kas daerah.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menyatakan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH (Pasal 61 ayat (1), dan oleh karenanya pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis (Pasal 62 ayat (1)
Secara normatif-konseptual RPH merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. RPH mempunyai fungsi utama sebagai tempat diselenggarakannya kegiatan pemotongan hewan yang dimaknai sebagai serangkaian kegiatan yang meliputi penerimaan hewan, pengistirahatan, pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong, pemotongan/penyembelihan, pemeriksaan kesehatan jeroan dan karkas setelah hewan dipotong, dengan memperhatikan higiene dan sanitasi, kesejahteraan hewan, serta kehalalan bagi yang dipersyaratkan.
RPH ini juga merupakan rantai produksi pangan asal hewan yang sangat penting dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal bagi masyarakat. Dalam rangka mendorong RPH agar dapat menghasilkan daging yang ASUH, maka RPH harus dikelola secara professional. Untuk itu perlu dukungan penuh dari pemerintah daerah dalam penyediaan RPH yang memadai dan memenuhi ketentuan teknis, serta regulasi yang terarah dan berkesinambungan. Keberadaan RPH sangat diperlukan agar dalam pelaksanaan pemotongan hewan dapat terjaga dan terkendali dengan baik.
Pengawasan RPH ini secara teknis berada di bawah Kementerian Pertanian. Adapun persyaratan pembangunannya harus sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.13/Permentan/OT.140/1/2010, tentang Syarat-Syarat Pemotongan Hewan. Pasal 2 dari SK Mentan tersebut menyatakan bahwa Rumah Pemotongan Hewan merupakan unit/sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging sehat. Lebih lanjut pada Bab II dari SK Mentan tersebut mengungkapkan mengenai syarat-syarat Rumah Potong Hewan yang dijelaskan lebih rinci pada pasal 3 ayat (a), yang menyatakan bahwa Rumah Potong Hewan berlokasi di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan misalnya di bagain pinggir kota yang tidak padat penduduknya.
Selain Rumah Potong Hewan, di Kota Bekasi juga terdapat 4 (empat) Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Secara umum TPH juga harus memenuhi standar yang baku seperti RPH dalam pemotongan hewan, sehingga produk yang dihasilkan
terjamin mutu dan kualitasnya. TPH tersebut merupakan penyangga bagi RPH dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal. Walaupun peran TPH hanya sebagai penyangga RTH, persyaratan dan kondisi pemotongan hewannya harus sama dengan RTH, sehingga daging yang dihasilkan dari TPH tetap terjaga kualitasnya dan sama atau setara dengan daging produksi RPH.
Namun demikian menurut beberapa hasil survey, dalam kenyataannya banyak TPH yang masih belum memenuhi syarat dan masih kurang dalam pengawasan terhadap kesehatan ternak serta keamanan daging. Hal ini bisa saja disebabkan oleh minimnya petugas pengawasan atau kurangnya pembinaan dari dinas terkait. Selain itu kondisi lingkungan TPH seringkali kurang memperoleh perhatian karena sangat mempengaruhi proses pemotongan hewan, khususnya dalam pemeliharaan kesehatan ternak sebelum dipotong, serta pencemaran daging serta karkas setelah dipotong.
Selain prosedur dan mekanisme pemotongan hewan, masalah penting lainnya dalam pembangunan RPH/RTH dan produksi daging hewan adalah aspek keamanan pangan asal hewan. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan, daging hewan yang higienis harus memiliki sertifikat sebagai bukti tertulis yang sah telah dipenuhinya persyaratan higienesanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan. Sertifikat Kontrol Veteriner (NKV) ini wajib dimiliki oleh pelaku usaha pangan asal hewan yang bergerak di bidang: rumah pemotongan hewan, rumah pemotongan unggas, rumah pemotongan babi; usaha budidaya unggas petelur; usaha pemasukan, usaha pengeluaran; usaha distribusi; usaha ritel; dan/atau usaha pengolahan pangan asal hewan. Dengan demikian kebutuhan masyarakat Kota Bekasi akan protein hewani juga perlu mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah, yakni dengan membuat peraturan yang berkaitan dengan higienesanitasi daging hewani hasil produksi RTH/TPH.
Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, maka dalam rangka pembenahan sistem penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi, diperlukan
suatu landasan pengaturan/regulasi dalam bentuk Perda sebagai pedoman dan demi tercapainya kemanfaaatan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:
a. Permasalahan apa yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam rangka penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan?
b. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan?
c. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan?
d. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan?
1.3. Tujuan dan Sasaran
Seiring dengan perkembangan dan dinamika kehidupan masyarakat, urgensi sebuah Naskah Akademik dalam proses penyusunan Peraturan Daerah yang tepat guna, komprehensif dan sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting. Keberadaan Naskah Akademik sangat diperlukan dalam rangka pembentukan Rancangan Peraturan Daerah dengan tujuan agar peraturan yang dihasilkan sejalan dengan sistem hukum nasional, tuntutan kehidupan masyarakat dan dapat meminimalisir permasalahan dikemudian hari. Naskah Akademik dapat dijadikan sebagai bahan awal yang memuat gagasan tentang urgensi, pendekatan, luas lingkup dan materi muatan peraturan perundang-undangan dan dapat juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan/ bahan dasar dalam penyusunan peraturan perundang- undangan.
Sesuai dengan identifikasi masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai berikut:
a. Merumuskan permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah dalam rangka Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.
b. Merumuskan alasan perlunya dibentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.
c. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis dan yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.
d. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan Rancangan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan.
1.4. Metode Pendekatan
Naskah akademik merupakan salah satu langkah penting dalam proses legislasi, karena berperan sebagai “quality control” yang sangat menentukan kualitas suatu produk hukum. Naskah Akademik juga merupakan potret ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan perundang-undangan yang hendak diterbitkan. Dari potret tersebut akan ditentukan apakah peraturan tersebut akan melembagakan apa yang telah ada dan berjalan dimasyarakat atau membuat aturan yang bertentangan sehingga dapat mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering.5 Naskah Akademik memuat seluruh informasi yang diperlukan untuk mengetahui landasan pembuatan peraturan perundang-undangan yang baru termasuk tujuan dan isinya.
Definisi lainnya dari sebuah naskah akademik dikemukakan oleh Xxxxx
5 Xxxxxxxxxx Xxxxxx, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang-Undang”, Makalah disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah Tahun 2006, Cisarua Bogor.
Xxxxxx, dimana Naskah Akademik memuat uraian yang berisi penjelasan tentang:
(1) perlunya sebuah peraturan harus dibuat, (2) tujuan dan Kegunaan dari peraturan yang akan dibuat, (3) materi-muatan yang harus diatur peraturan tersebut, dan (4) aspek-aspek teknis penyusunan.6
Penelitian yang dilakukan untuk penyusunan Naskah Akademik ini menggunakan metode kepustakaan, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan melalui metode yuridis normatif yang dilakukan melalui kajian pustaka dengan menelaah data sekunder, dalam bentuk peraturan perundang-undangan, perjanjian, putusan pengadilan serta dokumen hukum (dan pemerintahan) pendukung lainnya. Metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau metode penelitian hukum kepustakaan yang merupakan metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada (data sekunder).7 Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).8
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif yaitu menggambarkan gejala- gejala di lingkungan masyarakat terhadap suatu kasus yang diteliti, pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan kualitatif yang merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif,9 digunakannya pendekatan kualitatif bertujuan untuk mengerti atau memahami gejala yang diteliti. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menarik azas-azas hukum (rechsbeginselen) yang dapat dilakukan terhadap hukum positif tertulis maupun hukum positif tidak tertulis. 10
6 Xxxxxxxx Xxxxx Kurnia dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif (Urgensi, Strategi, dan Proses Bagi Pembentukan Perda yang baik), Kreasi Total Media (KTM), Yogyakarta, cetakan pertama, 2007, hlm. 30
7 Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 13-14.
8 Xxxxxxxx Xxxxx, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, hlm. 50.
9 Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas donesia Press, 1984, hlm.252.
10 Ibid.
Didukung dengan pendekatan yuridis empiris dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat dengan pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, dan mendengar pendapat narasumber atau para ahli.
Adapun bahan hukum yang menjadi acuan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan menjadi dasar memperjelas dan menguraikan mengenai bahan hukum primer dengan penyampaian pola pikir berupa doktrin- doktrin yang ada di dalam buku, jurnal hukum dan internet. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya.
1.5. Sistematika Pembahasan
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:
Bab I berisi Pendahuluan, memuat sub-sub bab latar belakang, dasar hukum, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, metode penyusunan, serta sistematika penulisan. Bab II berisi Kajian Teoritik dan Praktik Empirik, memuat sub-sub bab mengenai kajian teori mengenai kondisi obyektif dan kebutuhan Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi, konsep pembangunan Rumah Pemotongan Hewan, penyelenggaraan dan pelayanan teknis Rumah Pemotongan Hewan, sertifikasi dan jaminan produk halal Rumah Pemotongan Hewan, dan praktik empirik penyelenggraan Rumah Pemotongan Hewan di daerah lain.
BAB III berisi Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Terkait, memuat sub-sub bab mengenai analisis dan evaluasi peratutan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan Rumah Pemotongan
Hewan, antara lain peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah, di bidang pangan dan peternakan, di bidang lingkungan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, di bidang perlindungan konsumen, dandi bidang jaminan produk halal.
Bab IV berisi Landasan Xxxxxxx, Xxxxxxxxx, dan Sosiologis, memuat sub-sub bab mengenai landasan yuridis, landasan filosofis, dan landasan sosiologis terkait pengaturan Rumah Pemotongan Hewan. Bab V berisi jangkauan, arah pengaturan, dan pokok-pokok materi muatan Peraturan Daerah, memuat sub-sub bab mengenai jangkauan pengaturan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah. Dan Bab VI berisi Penutup, berisi sub-sub bab kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II KAJIAN TEORITIK & PRAKTIK EMPIRIK
2.1. Urgensi Pengaturan Penyelenggaraan Rumah Potong Hewan di Kota Bekasi
2.1.1. Kebutuhan dan Pemenuhan Daging di Kota Bekasi
Kota Bekasi merupakan salah satu kota dari Metropolitan Jabodetabek dan menjadi kota satelit Jakarta. Saat ini Kota Bekasi berkembang menjadi tempat tinggal kaum urban dan sentra industri. Dibandingkan dengan kota-kota satelit lainnya, jumlah penduduk Kota Bekasi terbanyak se-Indonesia. Beradasarkan data Sensus Penduduk Tahun 2018-2020 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik Kota Bekasi,11 jumlah penduduk Kota Bekasi selama tiga tahun ini berturut turut tercatat sebanyak 2.943.859 orang (2018), 3.013.851 orang (2019), dan 3.075.690 orang
(2020).
Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, penyediaan daging sapi di Kota Bekasi masih jauh dari cukup. Menurut data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) pada tahun 2021 ini kebutuhan daging sapi masyarakat Kota Bekasi rata-rata per tahun adalah 6000 ton. Ini dihitung dari angka rata-rata kebutuhan daging per orang per hari sebesar 27 gram. Sementara produksi hanya 1.988,93 ton per tahun. Dengan demikian ada kekurangan atau defisit produksi sekitar 4.011,07 ton per tahun. Kebutuhan daging ayam juga masih defisit. Kebutuhan daging ayam di Kota Bekasi adalah sekitar 27.600 ton setahun,
11 Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, Data Sensus Penduduk Tahun 2018-2020
sementara produksi daging sapi lokal produksi RPH per tahun hanya 1.880.09 ton, sehingga ada kekurangan produksi sebanyak 25.719,92 ton per tahun.12
Untuk menutup defisit penyediaan daging sapi pedagang daging sapi membeli dan memperdagangkan daging sapi kemasan dingin (frozen) impor dari importir. Sebagian besar daging sapi impor ini berasal dari Negara tetangga, yakni Thailand, Australia, dan Selandia Baru. Di pasaran jumlah daging sapi impor ini lebih banyak dibandingkan daging sapi lokal produksi RPH. Meski keberadaan daging sapi impor di pasaran cukup membantu masyarakat dalam mengonsumsi bahan pangan hewani, ada sejumlah permasalahaan mengganggu keseimbangan perdagangan kedua jenis daging sapi ini.
Dari sisi harga terjadi perbedaan antara keduanya. Daging sapi lokal dijual rata-rata di penjual eceran antara Rp Rp.120.000-150.000 per kilogram. Sementara daging sapi impor dijual lebih murah, yakni antara Rp.90.000-110.000 per kilogram. Dari sisi kualitas, daging sapi lokal berstandar hasil produksi RPH mempunyai nilai gizi yang tinggi karena lebih segar. ini berbeda dengan daging sapi impor yang sudah dibekukan untuk beberapa saat sebelum dikirim dari Negara asal ke Indonesia.
Meski bersaing harga dengan daging sapi impor yang melimpah, harga daging lokal di pasaran masih cukup tinggi. Salah satu alasan mahalnya harga daging sapi lokal adalah produksi daging sapi lokal di RPH memerlukan waktu proses pemotongan lebih lama karena masih menggunakan cara manual yang membutuhkan tenaga orang dalam jumlah yang cukup banyak. Keadaan ini menyebabkan biaya operasional juga tinggi. Berbeda dengan daging impor yang cara memotong hewannya memakai teknologi sehingga produksinya sangat cepat.
Untuk itu Pemerintah Daerah perlu mempersiapkan sarana dan prasarana agar masyarakat tetap bisa mendapatkan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Apalagi dengan meningkatnya impor daging, maka jumlah pemotongan akan semakin tertantang untuk meningkat pula. Cara yang dinilai tepat untuk meningkatkan penyediaan daging lokal yang berkualitas adalah dengan
12 Ibid, paparan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Bekasi, hlm.
meningkatkan produksi pemotongan sapi di RPH dan/atau penanganan daging lokal produksi RPH.
2.1.2. Kondisi Obyektif Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi dan Urgensi Pembangunan RPH Baru
Berdasarkan data Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Bekasi, saat ini jumlah RPH sapi di Kota Bekasi juga masih sangat terbatas. Tercatat hanya ada 2 (dua) RPH dan 4 (empat) Tempat Pemotongan Hewan (TPH). RPH milik Pemerintah Kota Bekasi hanya satu, yaitu RPH Harapan Baru (sering disebut sebagai RPH Teluk Pucung). Sementara satu RPH lagi dan 4 TPH adalah milik swasta/perorangan. Kondisi RPH Harapan Baru sudah tidak ideal dari segi teknis maupun ekonomi.
Tabel 1. Data Kondisi RPH/TPH di Kota Bekasi
No. | Nama RPH/TPH | Lokasi/Alamat | Keadaan |
1. | RPH Pemkot Bekasi | Xx Xxxx Xxxxxxxxxx, Xxx. Harapan Baru, Kec. Bekasi Utara, HP. 087880002524 | Belum bersertifikasi teknis NKV, memiliki sertifikat halal |
2. | RPH Halalan Thoyiban | Jl. Swatantra V Gg Mushola Al Ikhlas No. 52 Jatirasa, Jatiasih, HP. 08111772379 | Sudah memiliki sertifikat teknis NKV dan halal |
3. | TPH Xxxxx Xxxxxx | Jl. Raya Kp. Setu Bintara Jaya, Bekasi Barat HP. 08111091281 | Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikat Halal |
4. | TPH H. Faqih | Jl. Cipendawa Baru No. 1 Bojong Menteng, Rawa- lumbu, HP. 0811175849 | Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikat Halal |
5. | TPH. X. Xxxx | Xx Xxxxxx No. 45 Jatimelati, Pondok Melati HP. 081282470040 | Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikat Halal |
6. | TPH H. Aan | Gg Sunter No. 45 Jatimelati, Pondok Melati HP. 081282470040 | Bangunan sudah difungsikan sebagai RPH tapi belum memenuhi kriteria sebagai RPH, tidak memiliki NKV dan sertifikat Halal |
Sumber: Paparan Kepala Dinas KP3 Kota Bekasi pada Rapat Kerja dengan Komisi II DPRD Kota Bekasi, 27 Oktober 2021
Berdasarkan data di atas Dari sisi teknis RPH Harapan Baru makin dirasakan kurang memenuhi persyaratan, karena prasarana dan sarana makin menurun kualitasnya. Apalagi Pemkot Bekasi berencana membangun Tempat Pembakaran Jenazah (Krematorium) yang lokasinya di sebelah RPH. Ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya penurunan kualitas daging yang dihasilkan oleh RPH. Dari sisi ekonomi, jumlah produksi hewan yang dipotong di RPH ini masih rendah sehingga retribusi yang masuk ke kas daerah juga masih terbatas. Pemkot Bekasi belum bisa membangun RPH yang baru karena kesulitan memperoleh lahan yang sesuai.
Dari sisi sumber daya manusia, ketersediaan dokter hewan dan tenaga teknis lainnya sangat mencukupi. Data yang dihimpun oleh Dinas KP3 Kota Bekasi dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonseia, saat ini di Kota Bekasi tercatat ada 302 dokter hewan yang tersebur di seluruh wilayah kecamatan. Jumlah ini lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan RPH-RPH baru.
Dengan demikian, program maka revitalisasi RPH Harapan Baru dan pembangunan RPH-RPH baru sangat mendesak untuk dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa pembangunan RPH baru perlu dipertimbangkan oleh Pemda Bekasi, antara lain (1) pembangunan RPH baru dapat mendorong peningkatan produksi guna memenuhi kebutuhan daging sapi lokal segar dan berkualitas; (2) pembangunan RPH baru mampu menjaga keseimbangan dan persaingan yang sehat dengan daging sapi impor; (3) pembangunan RPH baru bisa mencegah agar masyarakat tidak melakukan pemotongan hewan di tempat yang tidak resmi, sehingga Pemerintah daerah dapat menjaga kesehatan masyarakat dengan tetap mengkonsumsi daging sapi lokal yang aman, sehat, utuh, dan halal; dan (4) pembangunan RPH baru secara ekonomi diharapkan mampu meningkatkan jumlah retribusi ke kas daerah.
Pemikiran di atas sejalan dengan semangat yang ada dibangun dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang menyatakan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH (Pasal 61 ayat (1), dan
oleh karenanya pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis (Pasal 62 ayat (1)
2.2. Konsep Pembangunan Rumah Pemotongan Hewan
2.2.1. Fungsi dan Peran RPH
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Secara fungsional RPH dan/atau Rumah Pemotongan Unggas (RPU) merupakan unit pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat utuh, dan halal.
RPH mempunyai peran yang strategis dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan hewani. Untuk memenuhi peran di atas, maka RPH memiliki fungsi utama i untuk menyelenggarakan:
a. pemotongan hewan secara benar sesuai dengan persyaratan kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan dengan memperhatikan kaidah agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat;
b. pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem untuk mencegah penularan penyakit zoonosis ke manusia; dan
c. pemantauan penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis.
Selain fungsi-fungsi utama di atas, RPH juga dapat difungsikan sebagai sarana untuk melaksanakan kegiatan pendidikan, penelitian, pemotongan hewan untuk kegiatan keagamaan, dan rekreasi. Ini bisa dilihat dari studi yang dilakukan di beberapa negara, dimana RPH juga berfungsi sebagai tempat dan obyek riset para ahli dan mahasiswa, dan tempat praktek lapangan dan magang mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu. Selain itu RPH juga bisa difungsikan sebagai sarana penyembelihan hewan qurban. Ini bisa lihat prakteknya di saudi Arabia dan negara-negara Islam di Timur Tengah. Selain itu, di negara-negara maju seperti Eropa, Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Selandia Baru, RPH berfungsi
sebagai sarana rekreasi dan wisata sains dan produk halal.
2.2.2. Tata Cara Pembangunan RPH
Secara garis besar, ada tiga persyaratan umum yang harus dipenuhi jika akan mendirikan RPH, yaitu aspek organisasi, sosial dan teknis.
1. Aspek Organisasi
Dalam hal ini pendirian RPH harus memenuhi persyaratan organisasi, yaitu Pemerintah Pusat, Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan. Di samping itu harus ada unsur pengawas, penanggungjawab, pimpinan dan staf yang berkaitan dengan kepentingan dan kebutuhan RPH.
2. Aspek Sosial
Pendirian RPH hendaknya juga mempertimbangkan adat kebiasaan di wilayah di mana RPH didirikan, agama khususnya dalam hal metode penyembelihan serta penanganan makanan yang tentunya tidak sama dari satu daerah ke daerah lainnya.
3. Aspek Teknis
Pendirian RPH hendaknya dapat menciptakan suatu metode yang efektif untuk penyimpanan daging, transportasi, logistik dan lain-lain serta memenuhi beberapa persyaratan teknis yang lain seperti area pendirian, persediaan air, pembuangan limbah dan lain-lain.
Sementara itu menurut Permentan Nomor 13 tahun 2010 tentang Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging, ada beberapa ketentuan terkait ketentuan teknis untuk pendirian dan/atau pembangunan RPH dapat dikemukakan sebagai berikut:
Persyaratan Lokasi:
Selain 3 (tiga) aspek di atas, pendirian RPH juga harus memperhatikan aspek tata ruang/kewilayahan. Dalam hal ini lokasi RPH harus sesuai dengan Rencana Umum
Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD), yakni harus berada pada zona yang direncanakan diperuntukkan sebagai area agribisnis. Secara umum persyaratan lokasi RPH harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan lainnya.
2. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan.
3. Letaknya lebih rendah dari pemukiman.
4. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi.
5. Tidak berada dekat industri logam dan kimia.
6. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH.
7. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH babi atau dibatasi dengan pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas orang, alat dan produk antar rumah pemotongan.
Prasarana Pendukung:
RPH harus dilengkapi dengan prasarana pendukung yang memungkinkan proses pemotongan hewsn, penanganan dan distribusi daging, serta penanganan limbah berjalan baik dan lancer. Prasarana tersebut antara lain adalah:
1. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut hewan yang akan dipotong dan kendaraan pengangkut daging.
2. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah cukup, paling kurang 1000 liter/ekor/hari.
3. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus
4. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair.
Kompleks Rumah Pemotongan Hewan harus dipagar sedemikian rupa sehingga dapat mencegah keluar masuknya orang yang tidak berkepentingan dan hewan lain selain hewan potong. Pintu masuk hewan potong harus terpisah dari pintu keluar daging. Jika ada pemotongan babi, maka kompleks Rumah Pemotongan Hewan babi harus dipisahkan dengan kompleks Rumah Pemotongan Hewan lain
dengan jarak yang cukup jauh atau dibatasi dengan tinggi pagar minimal 3 meter atau terpisah total dengan dinding tembok serta terletak di tempat yang lebih rendah daripada Rumah Pemotongan Hewan lain.
Kompleks RPH
Telah dikemukakan di atas, bahwa RPH merupakan kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu serta digunakan sebagai tempat memotong hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat. Dengan demikian kompleks RPH harus terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1. Bangunan utama.
2. Area penurunan hewan (unloading) sapi dan kandang penampungan atau kandang istirahat hewan
3. Kandang isolasi
4. Kantor administrasi dan kantor dokter hewan
5. Ruang istirahat karyawan, kantin dan musholla
6. Tempat penyimpanan barang pribadi (loker) atau ruang ganti pakaian
7. Kamar mandi dan WC
8. Sarana penanganan limbah
9. Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan atau insinerator
10. Tempat parkir
11. Rumah jaga
12. Gardu listrik
13. Menara air
RPH yang melakukan fungsi penanganan dan distribusi daging wajib memiliki kendaraan pengangkut daging. Selanjutnya RPH yang menghasilkan produk akhir daging segar dingin (chilled) atau beku (frozen) harus dilengkapi dengan:
1. Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pemotongan daging (cutting room).
2. Ruang pengemasan daging (wrapping and packing).
3. Fasilitas freezer (-180 C) dan blast freezer (-400 C).
4. Gudang dingin (cold storage).
5. RPH berorientasi ekspor dilengkapi dengan laboratorium sederhana.
Daerah Kotor dan Daerah Bersih
Bangunan utama RPH harus memiliki daerah kotor yang terpisah secara fisik dari daerah bersih. Pemisahan ini bertujuan untuk menjaga kualitas daging agar tetap sehat dan berkualitas, serta layak dikonsumsi masyarakat.
Daerah kotor meliputi:
a. Area pemingsanan atau perebahan hewan, area pemotongan dan area pengeluaran darah.
b. Area penyelesaian proses penyembelihan yaitu ruang pemisahan kepala, ke empat kaki sampai metatarsus dan metakarpus, pengulitan, pengeluaran isi dada dan isi perut.
c. Ruang untuk jeroan hijau (rumen, retikulum, omasum, abomasum, intestinum)
d. Ruang untuk jeroan merah (hati, jantung, paru-paru, ginjal, limpa)
e. Ruang untuk kepala dan kaki
f. Ruang untuk kulit.
Daerah bersih meliputi area:
a. Pemeriksaan post mortem
b. Penimbangan karkas.
c. Pengeluaran (loading) karkas/daging
Jika Rumah Pemotongan Hewan dilengkapi dengan Ruang pendingin/pelayuan, ruang pembeku, ruang pembagian karkas dan pengemasan daging, maka ruang- ruang tersebut terletak di daerah bersih
Bangunan utama
Bangunan Utama RPH harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Tata ruang didesain sedemikian rupa agar se arah dengan alur proses serta memiliki ruang yang cukup, sehingga seluruh kegiatan pemotongan hewan
dapat berjalan baik dan higienis, dan besarnya ruangan disesuaikan dengan kapasitas pemotongan
b. Adanya pemisahan ruang yang jelas secara fisik antara “Daerah Bersih” dan “Daerah Kotor”. c. Memiliki area dan fasilitas khusus untuk melaksanakan pemeriksaa post mortum
c. Lampu penerangan harus mempunyai pelindung, mudah dibersihkan dan mempunyai intensitas cahaya 540 luks untuk pemeriksaan post mortem dan 220 luks untuk area pengerjaan proses pemotongan
d. Dinding bagian dalam berwarna terang dan paling kurang setinggi 3 meter terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.
e. Dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
f. Lantai terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak licin, tidak toksik, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta lantai ke arah saluran pembuangan.
g. Permukaan lantai harus rata, tidak bergelombang, tidak ada celah atau lubang. Jika lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air.
h. Lubang ke arah saluran pembuangan pada permukaan lantai dilengkapi dengan penyaring.
i. Sudut pertemuan antara dinding dengan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 75 mm.
j. Sudut pertemuan antara dinding dengan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 25 mm.
k. Di daerah pemotongan dan pengeluaran darah harus didesain agar darah dapat tertampung.
l. Langit-langit didesain agar tidak terjadi akumulasi kotoran dan kondensasi dalam ruangan, harus berwarna terang, terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah mengelupas, kuat, mudah dibersihkan, tidak ada lubang atau celah terbuka pada langit-langit.
m. Ventilasi pintu dan jendela harus dilengkapi dengan kawat kasa untuk mencegah masuknya serangga atau dengan menggunakan metode pencegahan serangga lainnya (insect killer).
n. Kontruksi bangunan harus dirancang sedemikian rupa, sehingga mencegah tikus atau rodensia, serangga dan burung masuk dan bersarang dalam bangunan.
o. Pertukaran udara dalam bangunan harus baik.
p. Kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, tetapi dibuat dari bahan tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk.
q. Kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
Area Penurunan (unloading) dan Area Kandang
Area penurunan (unloading) dan Area Kandang dan ruminansia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dilengkapi dengan fasilitas untuk menurunkan ternak (unloading) dari atas kendaraan angkut ternak yang didesain sedemikian rupa, sehingga ternak tidak cedera akibat melompat atau tergelincir.
b. Ketinggian tempat penurunan/penaikan sapi harus disesuaikan dengan ketinggian kendaraan angkut hewan.
c. Lantai sejak dari tempat penurunan hewan sampai kandang penampungan harus tidak licin dan dapat meminimalisasi terjadinya kecelakaan.
d. Harus memenuhi aspek kesejahteraan hewan (animal welfare).
Kandang Penampungan dan Istirahat Hewan
Kandang penampungan dan istirahat hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Bangunan kandang penampungan sementara atau kandang istirahat paling kurang berjarak 10 meter dari bangunan utama.
b. Memiliki daya tampung 1,5 kali dari rata-rata jumlah pemotongan hewan setiap hari.
c. Ventilasi (pertukaran udara) dan penerangan harus baik.
d. Tersedia tempat air minum untuk hewan potong yang didesain landai ke arah saluran pembuangan, sehingga mudah dibersihkan.
e. Lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi.
f. Saluran pembuangan didesain, sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar.
g. Atap tebuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan
h. Terdapat jalur penggiring hewan (gang way) dari kandang menuju tempat penyembelihan, dilengkapi dengan pagar yang kuat di kedua sisinya dan lebarnya hanya cukup untuk satu ekor, sehingga hewan tidak dapat kembali ke kandang.
i. Jalur penggiringan hewan yang berhubungan langsung dengan bangunan utama didesain, sehingga tidak terjadi kontras warna dan cahaya yang dapat menyebabkan hewan yang akan disembelih menjadi stres dan takut.
Kandang isolasi
Kandang isolasi hewan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Terletak pada jarak terjauh dari kandang penampungan dan bangunan utama, serta di bangun dibagian yang lebih rendah dari bangunan lain.
b. Memiliki ventilasi dan penerangan yang baik.
c. Dilengkapi dengan tempat air minum yang didesain landai ke arah saluran pembuangan, sehingga mudah dibersihkan.
d. Lantai terbuat dari bahan yang kuat (tahan terhadap benturan keras), kedap air, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan serta mudah dibersihkan dan didesinfeksi.
e. Saluran pembuangan didesain, sehingga aliran pembuangan dapat mengalir lancar.
f. Atap terbuat dari bahan yang kuat, tidak toksik dan dapat melindungi hewan dengan baik dari panas dan hujan.
Ruang Pendingin/Pelayuan
Ruang pendingin/pelayuan (chilling room) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Ruang pendingin/pelayuan terletak di daerah bersih.
b. Besarnya ruang disesuaikan dengan jumlah karkas yang dihasilkan dengan mempertimbangkan jarak antar karkas paling kurang 10 cm.
c. Jarak antara karkas dengan dinding paling kurang 30 cm, jarak antara karkas dengan lantai paling kurang 50 cm, dan jarak antar baris paling kurang 1 meter. Ruang Pelepasan Daging (deboning room) dan Pembagian atau
Pemotongan Daging (cutting room)
Ruang pelepasan daging (deboning room) dan pembagian atau pemotongan daging (cutting room) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan daging dan ruang pembagian atau pemotongan daging harus dapat memfasilitasi proses pembersihan dan didesinfeksi dengan efektif.
b. Memiliki ventilasi dan penerangan yang cukup.
c. Didesain untuk mencegah masuk dan bersarangnya serangga, burung, rodensia, dan binatang pengganggu lainnya di dalam ruang produksi.
d. Lantai terbuat dari bahan yang kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, tahan terhadap benturan keras, tidak berlubang, tidak licin dan landai ke arah saluran pembuangan, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, tidak mudah mengelupas, serta apabila lantai terbuat dari ubin, maka jarak antar ubin diatur sedekat mungkin dengan celah antar ubin harus ditutup dengan bahan kedap air.
e. Dinding terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah korosif, tidak toksik, memiliki insulasi yang baik, dan berwarna terang, dan dinding bagian dalam dilapisi
bahan kedap air setinggi mininal 3 meter dengan permukaan rata, tidak ada celah/ lubang, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta tidak mudah mengelupas.
f. Dinding bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
g. Sudut pertemuan antara dinding dengan lantai harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 75 mm, dan sudut pertemuan antara dinding dengan dinding harus berbentuk lengkung dengan jari-jari 25 mm.
h. Langit-langit harus dibuat sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya akumulasi debu dan kotoran, meminimalisasi terjadinya kondensasi, pertumbuhan jamur, dan terjadinya keretakan, serta mudah dibersihkan.
i. Jendela dan ventilasi harus didesain untuk menghindari terjadinya akumulasi debu dan kotoran, mudah dibersihkan dan selalu terawat dengan baik.
j. Kusen pintu dan jendela, serta bahan daun pintu dan jendela tidak terbuat dari kayu, tetapi dibuat dari bahan yang tidak mudah korosif, kedap air, tahan benturan keras, mudah dibersihkan dan didesinfeksi dan bagian bawahnya harus dapat menahan agar tikus/rodensia tidak dapat masuk.
k. Kusen pintu dan jendela bagian dalam harus rata dan tidak ada bagian yang memungkinkan dipakai sebagai tempat untuk meletakkan barang.
l. Pintu dilengkapi dengan tirai plastik untuk mencegah terjadinya variasi temperatur dan didesain dapat menutup secara otomatis.
m. Selama proses produksi berlangsung temperatur ruangan ber-AC harus dipertahankan kurang dari 150 Celcius.
Ruang Pengemasan
Desain dan konstruksi dasar ruang pengemasan daging harus sama dengan persyaratan desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian atau pemotongan. Desain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat (blast freezer) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Kapasitas ruangan disesuaikan dengan jumlah produk yang akan dibekukan.
b. Desain dan konstruksi dasar ruang pembekuan cepat harus sama dengan persyaratan desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian atau pemotongan daging.
c. Ruang didesain agar tidak ada aliran air atau limbah cair lainnya dari ruang yang masuk ke dalam ruang pembeku.
d. Ruang dilengkapi dengan alat pendingin yang memiliki kipas (blast freezer) yang mampu mencapai dan mempertahankan temperatur ruangan di bawah 180 C dengan kecepatan udara minimal 2 meter/detik.
Ruang Pembekuan
Ruang penyimpanan beku (cold storage) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Kapasitas ruang disesuaikan jumlah produk yang disimpan.
b. Didesain dan konstruksi dasar ruang penyimpanan beku harus sama dengan persyaratan desain dan konstruksi dasar ruang pelepasan dan pembagian atau pemotongan daging.
c. Ruang didesain agar tidak ada aliran air limbah cair lainnya dari ruang lain yang masuk ke dalam ruang penyimpanan beku.
d. Dilengkapi dengan fasilitas pendingin:
- Memiliki ruang penyimpanan berpendingin yang mampu mencapai dan mempertahankan secara konstan temperatur daging pada + 40 C hingga -4 0 C (chilled meat); -2 0 C hingga – 8 0 C (frozen meat); atau < -180 C (deep frozen), bahkan -400 C (blast freezer) serta kapasitas ruangan harus mempertimbangkan sirkulasi udara dapat bergerak bebas.
- Ruang penyimpanan berpendingin dilengkapi dengan thermometer atau display suhu yang diletakkan pada tempat yang mudah dilihat.
Kendaraan Pengangkut Daging
RPH wajib memiliki kendaraan pengangkut daging. Kendaraan ini harus memenuhi persayaratan:
a. Boks pada kendaraan untuk mengangkut daging harus tertutup.
b. Lapisan dalam boks pada kendaraan pengangkut daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi, mudah dirawat serta mempunyai sifat insulasi yang baik.
c. Boks dilengkapi dengan alat pendingin yang dapat mempertahankan suhu bagian dalam daging segar +7 oC dan suhu bagian dalam jeroan +3 oC.
d. Suhu ruangan dalam boks pengangkut daging beku maksimum –18 oC.
e. Bagian dalam boks dilengkapi alat penggantung karkas.
f. Kendaraan pengangkut daging Babi harus terpisah dari daging lain.
Perlegkapan dan Peralatan
Perlengkapan dan peralatan yang digunakan dalam RPH harus memenuhi persyaratan:
a. Seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang di Rumah Pemotongan Hewan harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudahdibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
b. Peralatan yang langsung berhubungan dengan daging harus terbuat dari bahan yang tidak toksik, tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.
c. Di dalam bangunan utama harus dilengkapi dengan sistem rel (railling system) dan alat penggantung karkas yang didisain khusus dan disesuaikan dengan alur proses untuk mempermudah proses pemotongan dan menjaga agar karkas tidak menyentuh lantai dan dinding.
d. Sarana untuk mencuci tangan harus didisain sedemikian rupa agar tangan tidak menyentuh kran air setelah selesai mencuci tangan, dilengkapi dengan sabun dan pengering tangan seperti lap yang senantiasa diganti, kertas tissue atau pengering mekanik (hand drier). Jika menggunakan kertas tissue, maka disediakan pula tempat sampah tertutup yang dioperasikan dengan menggunakan kaki.
e. Peralatan untuk membersihkan serta mendesinfeksi ruang dan peralatan yang harus tersedia dalam jumlah cukup, sehingga proses pembersihan dan
desinfeksi bangunan dan peralatan dapat dilakukan secara baik dan efektif
f. Pada Rumah Pemotongan Hewan untuk babi disediakan bak pencelup yang berisi air panas.
g. Peralatan yang digunakan untuk menangani pekerjaan bersih harus berbeda dengan yang digunakan untuk pekerjaan kotor, misalnya pisau untuk penyembelihan tidak boleh digunakan untuk pengerjaan karkas.
h. Ruang untuk jeroan harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk pengeluaran isi jeroan, pencucian jeroan dan dilengkapi alat penggantung hati, paru, limpa dan jantung.
i. Ruang untuk kepala dan kaki harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci dan alat penggantung kepala.
j. Ruang untuk kulit harus dilengkapi dengan sarana/peralatan untuk mencuci.
k. Harus disediakan sarana/peralatan untuk membersihkan dan mendesinfeksi ruang dan peralatan.
l. Harus disediakan sarana/peralatan untuk mendukung tugas dan pekerjaan dokter hewan atau petugas pemeriksa berwenang dalam rangka menjamin mutu daging, sanitasi dan higiene di Rumah Pemotongan Hewan.
m. Bagi setiap karyawan disediakan lemari yang dilengkapi dengan kunci pada Ruang Ganti Pakaian untuk menyimpan barang-barang pribadi.
n. Perlengkapan standar untuk karyawan pada proses pemotongan dan penanganan daging adalah pakaian kerja khusus, apron plastik, penutup kepala,penutup hidung dan sepatu boot.
Persyaratan Lain
Persyaratan lain yang harus dilengkapi dalam pendirian RPH, antara lain:
a. RPH yang berorientasi ekspor harus mempunyai laboratorim sederhana untuk pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian produk, peralatan, air, petugas dan lingkungan produksi yang diperlukan dalam rangka monitoring penerapan praktek higiene di RPH.
b. RPH berorientasi ekspor harus sudah memperoleh sertifikat NKV level 1. Jika ingin diekspor ke negara berpenduduk moslem tinggi harus bersertifikat halal
yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi halal.
c. Jenis pemeriksaan dan pengujian meliputi pemeriksaan organoleptik, kimiawi sederhana seperti uji awal pembusukan daging dan uji kesempurnaan pengeluaran darah, pengujian cemaran mikroba sepert Total Plate Count (TPC), Coliform, Escherichia coli, Staphylococcus sp, Salmonela sp. serta pengujian parasit.
2.2.3. Syarat Higienis dan Sanitasi Lingkungan
Untuk melaksanakan peran penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal RPH wajib memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi lingkungan sebagai berikut:
a. Pada RPH, RPU dan/atau UPD harus dilengkapi dengan fasilitas higiene-sanitasi yang dapat memastikan bahwa cara produksi karkas, daging dan jeroan dapat diterapkan dengan baik dan konsisten.
b. Fasilitas higiene-sanitasi harus mampu menjamin proses pembersihan dan sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan, dan baju kerja karyawan dapat diterapkan secara efektif.
c. Pada setiap pintu masuk bangunan utama, harus memiliki fasilitas untuk mencuci sepatu boot yang dilengkapi dengan sikat sepatu, dan fasilitas untuk mensucihamakan sepatu boot yang dilengkapi desinfektan (foot dipping).
d. RPH, RPU dan/atau UPD harus memiliki fasilitas cuci tangan yang dilengkapi dengan air hangat, sabun dan desinfektan serta didesain tidak dioperasikan menggunakan tangan atau tidak kontak langsung dengan telapak tangan.
e. Fasilitas cuci tangan harus dilengkapi dengan fasilitas pengering tangan. Apabila menggunakan tissue, maka harus disediakan tempat sampah yang memiliki tutup dan tidak dioperasikan dengan tangan.
f. Untuk mensucihamakan pisau dan peralatan yang digunakan, harus memiliki air bertemperatur tidak kurang dari 820 Celcius yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih, atau metoda sterilisasi lain yang efektif.
g. Tidak menggunakan bahan kimia berbahaya yang tidak diperbolehkan digunakan untuk pangan.
h. Setiap kali selesai proses pemotongan dan produksi karkas, daging, dan jeroan, harus dilakukan proses pembersihan dan desinfeksi secara menyeluruh.
i. Kebersihan lingkungan di sekitar bangunan utama dalam area komplek RPH, RPU dan/atau UPD harus dipelihara secara berkala dengan cara:
- Menjaga kebersihan lingkungan dari sampah, kotoran dan sisa pakan.
- Memelihara rumput atau pepohonan sehingga tetap terawat.
- Menyediakan fasilitas tempat pembuangan sampah sementara di tempat- tempat tertentu.
Selain memenuhi persyaratan higiene tempat, RPH, RPU dan/atau UPD wajib menerapkan higiene personal. Seluruh pekerja yang menangani karkas, daging, dan/atau jeroan harus menerapkan praktek higiene yang meliputi:
a. Pekerja yang menangani daging harus dalam kondisi sehat, terutama dari penyakit pernafasan dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis A, tipus, dan lain-lain.
b. Harus menggunakan alat pelindung diri di antaranya hair net, masker, handglove, sepatu boot dan pakaian kerja.
c. Selalu mencuci tangan menggunakan sabun dan/atau sanitiser sebelum dan sesudah menangani produk setelah keluar dari toilet.
d. Tidak melakukan tindakan yang dapat mengkontaminasi produk (bersin, merokok, meludah, dan lain-lain) di dalam bangunan utama RPH.
Pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner
Dalam rangka menjamin karkas, daging dan jeroan yang dihasilkan oleh RPH, RPU dan/atau UPD memenuhi kriteria aman, sehat dan utuh perlu dilakukan pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner di RPH, RPU dan/atau UPD oleh dokter hewan berwenang atau dokter hewan penanggung jawab perusahaan yang disupervisi oleh dokter hewan berwenang.
Kegiatan pengawasan Kesehatan Masyarakat Veteriner terhadap meliputi:
a. Penerapan kesehatan hewan di RPH;
b. Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum disembelih (ante mortem inspection);
c. Pemeriksaan kesempurnaan proses pemingsanan (stunning);
d. Pemeriksaan kesehatan jeroan dan/atau karkas (post mortem inspection);
e. Pemeriksaan pemenuhan persyaratan higiene-sanitasi pada proses produksi.
2.2.4. Perizinan Pembangunan RPH
a. Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging
Setiap orang atau badan usaha yang akan mendirikan RPH harus memiliki izin mendirikan RPH. Izin mendirikan RPH diberikan oleh Xxxxxx/Walikota. Bupati/Walikota memberikan izin mendirikan RPH harus memperhatikan persyaratan teknis RPH. Izin mendirikan RPH tidak dapat dipindahtangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain tanpa persetujuan tertulis dari pemberi izin.
Izin mendirikan Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Usaha Penanganan Daging. Setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging harus memiliki izin usaha dari Bupati/Walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bupati/Walikota dalam memberikan izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging harus memperhatikan persyaratan teknis tata cara pemotongan dan penanganan daging ternak ruminansia sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging tidak dapat dipindahtangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain.
Izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dapat dicabut apabila:
a. Kegiatan pemotongan dan/atau penanganan dilakukan di RPH atau UPD yang tidak memiliki izin mendirikan RPH.
b. Melanggar persyaratan teknis tata cara pemotongan dan/atau penanganan daging ternak ruminansia sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan.
c. Tidak melakukan kegiatan pemotongan hewan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan berturut-turut setelah izin diberikan.
d. Tidak memiliki NKV, setelah jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan pola pengelolaannya, usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging dibedakan menjadi 3 (tiga) jenis:
a. Kategori I: RPH, RPU dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pemerintah daerah dan sebagai jasa pelayanan umum
b. Kategori II: RPH, RPU dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan dengan swasta lain.
c. Kategori III: RPH, RPU dan/atau UPD milik pemerintah daerah yang dikelola bersama antara pemerintah daerah dan swasta.
Ketentuan umum terkait izin usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging tidak dapat dipindahtangankan kepada setiap orang atau badan usaha lain. Sementara itu, Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging yang baru secara umum meliputi komponen:
a. Persyaratan:
1) Surat Permohonan
2) Foto copy KTP pemohon
3) Foto copy NPWP
4) Rekomendasi dari SKPD terkait (Dinas Peternakan dan Perikanan)
5) Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh RPH tempat pemotongan Hewan
6) Foto copy IMB, apabila usaha tidak dilakukan di pasar
7) Foto copy Izin Gangguan (HO), apabila usaha tidak dilakukan dipasar
8) Dokumen UPL/UKL/IPAL, apabila usaha tidak dilakukan dipasar
9) Daftar tenaga kerja yang berisi tugas dan sertifikat yang dipersyaratkan
10) Surat Keterangan yang dikeluarkan oleh kepala pasar, apabila usaha dipasar
11) Surat kuasa (apabila tidak diurus sendiri)
12) Pernyataan Pemohon izin tentang kesanggupan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan
b. Retribusi
c. Biaya Pelayanan
e. Masa Berlaku: 5 tahun
Sementara itu secara spesifikasi diperlukan Surat Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging. Untuk Daftar Ulang Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging, ketentuan umumnya meliputi:
a. Persyaratan:
1) Surat Permohonan
2) Foto copy KTP Pemohon
3) Foto copy NPWP
4) Surat Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging, asli
5) Rekomendasi hasil evaluasi penilaian kelayakan usaha pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging
6) Surat Kuasa (Jika tidak diurus sendiri)
7) Surat Pernyataan Kesanggupan untuk memenuhi peraturan perundang- undangan.
b. Retribusi
c. Biaya pelayanan
e. Masa berlaku 5 (Lima)
b. AMDAL/UPL/UKL
Proses kegiatan RPH berpotensi menimbulkan pencemaran karena menghasilkan limbah hasil pemotongan hewan dalam bentuk kotoran, darah, serpihan tulang, kulit, dan sebagainya. Oleh karena itu dalam pendirian dan pembangunan RPH perlu disertakan dokumen AMDAL atau dokumen UPL-UKL.
Sarana Pengolah Limbah harus memenuhi persyaratan yang direkomendasikan dalam Dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Insenerator harus memenuhi persyaratan yaitu terletak dekat kandang isolasi dan didesain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta sesuai dengan rekomendasi Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL).
Sistem saluran pembuangan limbah cair harus cukup besar, didesain agar aliran limbah RPH mengalir dengan lancar, terbuat dari bahan yang mudah dirawat dan dibersihkan, kedap air agar tidak mencemari tanah, mudah diawasi dan dijaga agar tidak menjadi sarang tikus atau rodensia lainnya. Saluran pembuangan
dilengkapi dengan penyaring yang mudah diawasi dan dibersihkan. Di dalam kompleks Rumah Pemotongan Hewan, sistem saluran pembuangan limbah cair harus selalu tertutup agar tidak menimbulkan bau.
Penanganan Limbah Fasilitas pemusnahan bangkai dan/atau produk yang tidak dimanfaatkan atau disinerator harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Dibangun dekat dengan kandang isolasi.
b. Dapat memusnahkan bangkai dan/atau produk yang tidak dapat dimanfaatkan secara efektif tanpa menimbulkan pencemaran lingkungan.
c. Didesain agar mudah diawasi dan mudah dirawat serta memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan.
d. Sarana penanganan limbah harus memenuhi persyaratan:
e. Memiliki kapasitas dengan volume limbah yang dihasilkan.
f. Didesain agar mudah diawasi, mudah dirawat, tidak menimbulkan bau dan memenuhi persyaratan kesehatan lingkungan.
g. Sesuai dengan rekomendasi upaya pengelolaan lingkungan (UKL) dari dinas terkait.
2.2.5. Sertifikasi dan Jaminan Produk Halal RPH
Bagi RPH salah satu prioritas unsur utama yang diandalkan untuk pemenuhan daging ASUH adalah masalah sertifikasi produk halal. RPH sangat berperan dalam supply bahan pangan berupa daging, baik untuk pasokan bahan industri maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Di RPH inilah hewan ternak disembelih dan diproses untuk menghasilkan daging siap konsumsi. Oleh karene itu penting memastikan kehalalan pada semua proses yang dilakukan di RPH.
Halal harus dijadikan standar yang diterapkan di rumah pemotongan hewan. Halal sebagai standar akan lebih memudahkan praktik di lapangan ketika sudah menjadi sebuah sertifikasi yang dibuktikan dengan sertifikat halal. Dengan standar halal ini diwujudkan dalam bentuk sertifikasi halal yang bentuknya sertifikat halal, maka tentu ini akan mempermudah kegiatan produksi dan konsumsi di masyarakat.
Dalam proses produksi di RPH terdapat beberapa titik kritis kehalalan yang harus menjadi perhatian pelaku usaha. Ummat Islam di Indonesia menganut holistic concept of Halalan Thayyiban atau Konsep holistik halalan thayyiban, yang dengan itu memenuhi traceability untuk kehalalan suatu produksi harus dilihat dari hulu hingga hilir. Untuk itu sejumlah potensi titik kritis RPH tersebutdimulai dari asal bahan baku (raw material), penyembelihan (slaughtering), proses produksi/peralatan di mana di dalamnya kemungkinan terjadi kontaminasi dengan benda non halal, packaging-storage/transportasi hingga distribusi kepada konsumen. Dalam hal ini terdapat juga isu penting lain seperti ingredient dan additives, genetically modified organism, dan aspek kemaanan dan kualitas. RPH berpotensi juga terkontaminasi dengan babi, tikus dan sebagainya.
Sertifikasi halal bagi RPH merupakan salah satu bentuk sertifikasi produk yang dikenai kewajiban bersertifikat halal berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sesuai amanat Undang-undang, produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan begitu, maka RPH jelas termasuk di dalamnya.
Untuk melakukan sertifikasi halal pengelola RPH dapat mengajukan permohonan kepada BPJPH baik secara perorangan maupun kolektif seperti paguyuban dan sebagainya. Prosedur sertifikasi halal RPH tersebut meliputi: a. Pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikasi halal, b. BPJPH melakukan pemeriksaan dokumen permohonan, c. BPJPH menetapkan LPH berdasarkan pilihan LPH oleh pemohon, d. LPH melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk yang hasilnya disampaikan kepada BPJPH, e. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada MUI dan MUI menetapkan kehalalan produk melalui sidang fatwa halal. Hasil penetapan kehalalan produk tersebut lalu disampaikan kepada BPJPH, dan f. BPJPH menerbitkan sertifikat halal.
Dalam pelaksanaan sertifikasi halal RPH yang menjadi salah satu prioritas kegiatan RPH. Oleh karenanya BPJPH bekerjasama dengan Kementerian Pertanian telah berupaya upaya untuk mencetak lebih banyak SDM sebagai Juru Sembelih Halal atau Juleha. Juru sembelih halal atau juleha ini yang lebih banyak mengingat besarnya kebutuhan supply daging halal yang memang besar di masyarakat.
2.3. Praktik Empirik Penyelenggraan RPH
2.3.1. RPH Kota Malang
RPH Kota Malang merupakan salah RPH terbaik di Indonesia. RPH ini terletak di Jalan Kolonel Sugiono No. 176 dan terdaftar sebagai salah satu RPH terbaik di Indonesia. Bangunan RPH Kota Malang merupakan Bangunan peninggalan jaman Belanda yang masih kokoh dan terawat dengan baik, yang berdiri di atas tanah seluas 1,2 ha. Kondisi RPH tersebut sangat bersih, tertata rapi, sampah tidak berhamburan, dan tidak berbau. Tempat peristirahatan sapi ternak ditempatkan di belakang kantor, sehingga tidak mengganggu aktivitas kerja, sehingga membuat orang-orang yang berkunjung ke RPH ini menjadi nyaman.
Salah satu cara membuat RPH yang baik adalah dengan menerapkan sesuai standar SNI. RPH ini juga bekerjasama dengan pasar-pasar yang ada di Kota Malang untuk kelancaran distribusi daging. Dalam praktiknya di lapangan untuk mendukung eksistensi RPH adalah dengan membangun kios-kios di beberapa tempat yang ada keterangan bahwa daging yang dijual berasal dari RPH. Daging yang dijual memiliki sertifikat sehingga masyarakat dapat dengan aman mengonsumsi daging yang terjamin aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Strategi berhasil membuat distribusi daging di RPH Kota Malang tidak pernah menurun. Bahkan, RPH Malang sendiri sampai kekurangan sapi untuk terus memproduksi daging tiap harinya. Dalam satu tahun RPH mampu mengumpulkan keuntungan mencapai Rp 160 juta. Keuntungan tersebut sebagian besar kemudian menjadi Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (antemortem) dan setelah dipotong (postmortem) merupakan kegiatan wajib yang dilaksanakan di RPH Malang. Menurut SNI (2008), daging adalah bagian otot skeletal yang aman, layak dan lazim dikonsumsi manusia, dapat berupa daging segar, daging segar dingin dan daging beku. Untuk mendapatkan daging yang segar dan siap konsumsi tentu saja harus memperhatikan usia hewan, kesehatan hewan dan juga cara dalam melakukan pemotongan hewan tersebut.
Tujuan pemeriksaan Antemortem yaitu memastikan hewan dalam keadaan cukup istirahat, menghindari pemotongan hewan yang sakit (penyakit menular, zoonosis), sebagai bahan informasi untuk keperluan pemeriksaan postmortem, dan mengawasi penyakit-penyakit tertentu yang harus dilaporkan. Sehingga daging dan jeroan yang akan dikonsumsi masyarakat adalah daging yang benar-benar sehat dan berkualitas. Terdapat tiga Keputusan akhir dari pemeriksaan antemortem yaitu Kelompok pertama adalah ternak yag dapat dipotong regular, yaitu kelompok ternak yang sehat, normal, dan memenuhi syarat (tidak melanggar peraturan pemotongan); Kelompok kedua yaitu ternak yang ditolak untuk dipotong, yaitu kelompok ternak yang menderita penyakit, abnormal, dan melanggar peraturan
pemotongan. Contoh ternak untuk kelompok ini adalah ternak sakit, ternak cacat, ternak betina produktif, bibit, ternak bunting, dan pedet yang umurnya terlalu
muda; Kelompok ketiga adalah kelompok ternak yang menderita kelainan lokal seperti patah kaki/fraktur, luka, memar, abses, neoplasma/tumor, dan kondisi ternak tersebut meragukan. Ternak kelompok ketiga ini dipisahkan dari pemotongan regular selesai dilakukan. Pertimbangan kondisi antemortem dikaitkan dengan penemuan post-mortem untuk memberikan kesimpulan akhir terhadap disposisi daging dan organ-organ tubuhnya (Xxxxxxx, 1994).
Pemeriksaan postmortem meliputi pemeriksaan kesehatan karkas, daging, dan orga setelah disembelih. Tujuan pemeriksaan ini mendeteksi dan mengeliminasi kelianan pada karkas, daging, dan jeroan, memastikan aman dan layak dikonsumsi, menjamin pemotongan yang halal dan higienis, meneguhkan diagnose antemortem, dan memeriksa kualitas karkas, daging, dan jeroan. Informasi yang diperlukan saat postmortem yaitu informasi atau data hasil antemortem dan karkas serta jeroan yang menunjukkan kelainan penyakit menular dan zoonosis dipisahkan dan ditempatkan dalam wadah berlabel. Tiga prinsip pemreriksaan postmortem yaitu inspeksi (pengamatan visual), palpasi (perabaan), dan incise (sayatan). Contoh beberapa perbandingan karkas dan jeroan normal hasil pemerikasaan postmortem dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 2. Perbandingan organ sehat dan abnormal hasil pemeriksaan postmortem:
paru-paru, hati, limpa, dan jantung
2.3.2. RPH Karawaci
RPH Karawaci yang terletak di Karawaci Kota Tangerang juga termasuk dalam daftar RPH terbaik di Indonesia. RPH ini dikelola oleh PT Karya Anugerah Rumpin, dan di atahun 2018 telah berhasil meraih penghargaan sebagai RPH terbaik se-Indonesia. RPH ini berstandar Internasional dan telah memiliki fasilitas yang sesuai dengan standar ‘Animal Welfare’.
RPH ini merupakan satu-satunya RPH di Indonesia yang memiliki instalasi pengolahan limbah terintegrasi dengan baik. Pengolahan limbah yang dilakukan berdasarkan bertujuan untuk tetap menjaga dan mempertahankan higienis sanitasi, karena itu adalah salah satu acuan dari pada kesehatan untuk menghasilkan daging yang ASUH. Pengolahan limbah dengan metode zero-waste menjadikan RPH Karawaci, telah berhasil meraih penghargaan sebagai RPH terbaik Berstandar Internasional. Sistem kerja yang selama ini dilakukan pihaknya sesuai dengan peraturan pemerintah yakni menghasilkan daging yang ASUH sehingga kesehatan masyarakat terjamin dan juga halal untuk dikonsumsi.
Tata ruang RPH yang baik dan berkualitas biasanya dirancang berdasarkan desain yang baik dan berada di lokasi yang tepat untuk memenuhi keperluan jangka pendek maupun jangka panjang dan menjamin fungsinya secara normal. Secara garis besar dari berbagai syarat bangunan dan perlengkapan yang diperlukan, maka RPH dapat diterjemahkan dalam tata ruang sesuai dengan tipenya seperti pada gambar 2 sampai 5 (Lestari, 1993b). Perancangan bangun RPH berkualitas sebaiknya sesuai dengan standar yang telah ditentukan dan sebaiknya sesuai dengan Instalasi Standar Internasional dan menjamin produk sehat dan halal. RPH dengan standar internasional biasanya dilengkapi dengan peralatan moderen dan canggih, rapi bersih dan sistematis, menunjang perkembangan ruangan dan modular sistem. Produk sehat dan halal dapat dijamin dengan RPH yang memiliki sarana untuk pemeriksaan kesehatan hewan potong, memiliki sarana menjaga kebersihan, dan mematuhi kode etik dan tata cara pemotongan hewan secara tepat. Selain itu juga harus bersahabat dengan alam, yaitu lokasi sebaiknya di luar kota dan jauh dari pemukiman dan memiliki saluran pembuangan dan pengolahan limbah yang sesuai dengan AMDAL (Lestari, 1993).
RPH Karawaci memiliki keunggulan dengan menerapkan teknologi terkini dalam pemotongan sapi dengan metode Stunning Box. Stunning Box adalah teknologi terbaru menggunakan kotak penahan yang digunakan di rumah potong hewan. Hal ini bertujuan membantu untuk menahan sapi dalam posisi yang lebih nyaman sehingga menurunkan tingkat stres sebelum proses penyembelihan. Stunning adalah sebuah metode yang digunakan untuk mempermudah
penyembeliha hewan dengan memisangkan terlebih dahulu sebelum disembelih. Pemotongan hewan (sapi) dengan cara menembakkan peluru tumpul ke kepala hewan yang membuat kerusakan pada jaringan otak, sehingga hewan sapi menjadi mudah dikendalikan kemudian dimasukkan ke dalam mesin box sebagai tempat untuk melakukan proses penyembelihan hewan tersebut. Selanjutnya pengulitan daging, dan setelah itu daging dimasukkan ke dalam mobil box yang di dalamnya terdapat freezer sehingga daging sapi tersebut tetap segar ketika di distribusikan.
Dengan rangkaian proses di atas kesejahteraan hewan lebih terjaga dan terjamin. Keunggulan metode ini yaitu cocok untuk standar kesejahteraan hewan, meminimalis tingkat stress hewat ternak, memberikan gerakan menahan yang lambat dan stabil, menghindari tekanan yang tidak nyaman pada ternak dan pengoperasian yang lebih bersih dan praktis. Metode stunning sudah banyak diterapkan di beberapa Negara seperti Aamerika, Eropa, Australia, maupun Indonesia. Metode ini memberikan banyak kemudahan dalam menyembelih hewan, namun disisi lain metode ini menyebabkan resiko dalam kehalalan, jika tidak dilakukan dengan tepat. Sistem stunning diperbolehkan apabila sesuai dengan ketentuan dan syarat-syarat yang ditentukan MUI, yaitu menembakkan peluru tumpul di bagian tanduknya bukan kepalanya.
Gambar 3. Seperangkat Alat Stunning Box di RPH Karawaci (sumber:xxxx://xxx-xxxxxxxx.xxx/)
Terdapat 12 standar operasional prosedur di RPH Karawaci yang selalu diterapkan yaitu antara lain:
1. Kedatangan sapi, dimana sapi dipasok dari berbagai daerah di Indonesia dengan surat kesehatan, kondisi fisik dan RF ID diperiksa dalam proses ini;
2. Recondition, yaitu sapi disimpan di kandang rekondisi selama 2-5 hari untuk memulihkan kondisinya;
3. Antemortem, yaitu sapi diperiksa oleh dokter hewan. Jika ditemukan penyakit menular, maka akan dimasukkan ke dalam kandang isolasi. Ternak yang sehat dapat dilanjutkan ke tempat pemotongan;
4. Slaughter stock, yaiyu sapi di rawat oleh petugas di kandang sapi potong selama 12-24 jam istirahat sebelum proses pemotongan;
5. Restrain/Stun Processm, yaitu penggunaan teknologi terkini dalam restrain dan stun box, ternak dikandangkan dalam posisi yang lebih nyaman untuk meminimalkan stres sebelum proses penyembelihan;
6. Proses Penyembelihan, yaitu proses penyembelihan utama dilakukan oleh ahlinya sesuai dengan tradisi Islam;
7. Pengulitan, yaitu pemrosesan kulit dilakukan tepat setelah proses penyembelihan;
8. Pembelahan karkas, yaitu pemisahan dilakukan oleh petugas sebelum proses postmortem;
9. Postmortem, yaitu pemeriksaan rinci pada organ dalam dan kualitas daging. Daging yang mengandung kerusakan akan ditolak;
10. Timbang dan Cap, dimana setelah proses postmortem, daging yang berkualitas baik ditimbang, diperiksa dan disetujui;
11. Aging Proses, dimana selama proses aging, daging akan disimpan pada suhu 0- 2 derajat Celcius selama 1-2 hari;
12. Distribusi, dimana daging sapi segar dan sehat siap didistribusikan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
12
11
10
Gambar 4. Standar Operasional Prosedur RPH Karawaci (sumber:xxxx://xxx-xxxxxxxx.xxx/)
Terdapat tiga hal pokok yang harus menjadi perhatian sekaligus kewajiban rumah potong hewan (RPH) dalam menjalankan kegiatannya sehingga masuk dalam kategori RPH terbaik yang memenuhi standar Nasional, yaitu persyaratan teknis, mutu pelayanan dan dampak lingkungan. Berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Kementerian Pertanian, sebagian besar kondisi RPH di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan dan tidak memenuhi persyaratan teknis. Tawaf et al. (2013) menemukan bahwa dari 20 buah RPH di Pulau Jawa yang diamati kondisi fisiknya,
ternyata hanya 20% yang termasuk kategori layak secara teknis sementara sisanya masih di bawah standar kelayakan teknis.
Mahendar (2010) menyatakan bahwa BOD dan COD merupakan parameter yang digunakan untuk mengatahui beban pencemaran dari suatu air limbah, ukuran beban bagi suatu unit pengolahan air limbah dan juga ukuran bagi efisiensi pengolahan air limbah. Limbah yang mengandung bahan organik biodegradable akan menghasilkan nilai BOD yang lebih tinggi dibandingkan dengan limbah cair yang mengandung bahan organik nonbiodegradable. Limbah yang tinggi kandungan bahan organiknya memiliki nilai COD yang tinggi pula. Menurut Xxxxxxxxxx (2003) tingginya TSS air limbah RPH disebabkan karena banyaknya bahan organik berupa sisa kotoran dan ceceran isi rumen yang terbawa air yang masih berupa molekul- molekul yang besar. Menurut Padmono (2005) beban padatan dan padatan tersuspensi pada limbah cair RPH dapat dicirikan oleh partikel padat yang didapat dari isi rumen dan isi intestinal dengan kemampuan degradasi yang rendah, disamping adanya unsur karbohidrat seperti glukosa atau selulosa. Tidak tersedianya fasilitas pengolahan air limbah di RPH Taliwang menyebabkan air limbah yang nilai BOD, COD dan TSS sangat tinggi langsung dibuang ke lingkungan (sungai) sehingga berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan. Hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah daerah dan pengelolah RPH. Pemerintah daerah dan pengelolah RPH berkewajiban memenuhi baku mutu air limbah sebelum dibuang ke lingkungan yaitu dengan melakukan pengolahan air limbah tersebut.
Kegiatan RPH juga berhubungan erat dengan dampak lingkungan. Pembangunan haruslah bersifat ramah lingkungan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Xxxxxxx et al. (2011) kandungan polutan dalam air limbah yang tidak terkontrol dapat menyebabkan polusi lingkungan. Air limbah dengan kandungan polutan tinggi harus diturunkan sampai memenuhi ambang batas aman, sehingga tidak merusak lingkungan. Menurut Xxxaturan Menteri Lingkungan Hidup RI Nomor 02 Tahun 2006, setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan RPH wajib melakukan pengolahan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang atau dilepas ke lingkungan tidak melampaui baku mutu air limbah RPH. Hasil penelitian Xxxxxxxx et al. (2013) menunjukkan bahwa sungai (air
permukaan) yang berada di dekat dengan RPH, sarat dengan polusi yang berasal dari air limbah RPH (pH=5,55; BOD=6,00; dan COD=170,00).
Penelitian yang sejalan juga dilaporkan Raheem (2008), Xxxx et al. (2010), Adeogun et al. (2011), Xxxxxx et al. (2011), Xxxxxx et al. (2011), Xxxxx (2012), Xxxxxxxx et al. (2012), dan Xxxxx et al. (2012), menyebutkan bahwa parameter fisik, kimia dan biologi air limbah RPH melebihi ketentuan yang berlaku sehingga sangat berbahaya bagi lingkungan, kehidupan akuatik dan kesehatan manusia. Menurut Xxxxxxx (2010), pencemaran badan air, air tanah, sampai kepada sumber air untuk keperluan rumah tangga. Dampak negatif pencemaran tersebut akan merusak ekosistem dan menurunkan kualitas biota (karena mengandung bahan toksik) yang membentuk rantai makanan, yang pada gilirannya akan sampai kepada manusia. Rumah Potong Hewan (RPH) Darma Jaya, Cakung, Jakarta Timur, melakukan pengolahan limbah hewan kurban menjadi pupuk. Limbah pemotongan hewan ditampung di sebuah lubang dan ditimbun dengan tanah. Hasil timbunan tersebut kemudian diangkat menjadi pupuk.
Limbah Rumah Potong Hewan dapat dimanfaatkan untuk pupuk organik, energi (biogas) dan media berbagai tujuan. Permasalahan limbah Rumah Potong Hewan diatasi dengan memanfaatkan menjadi bahan yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Salah satu bentuk pengolahan yang dapat dilakukan adalah menggunakan limbah tersebut sebagai bahan untuk menghasilkan bahan bakar biogas. Kotoran Rumah Potong Hewan ruminansia sangat baik untuk digunakan sebagai bahan dasar pembuatan biogas. Rumah Potong Hewan ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja Rumah Potong Hewan ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik,
1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K(Saputra,2015).
Adapun teknologi pengolahan limbah yang dapat diterapkan untuk mengolah limbah rumah potong hewan adalah:
a. Pengenceran (dilution), yaitu air buangan diencerkan terlebih dahulu sampai mencapai konsentrasi yang cukup rendah, kemudian baru dibuang ke badan air. Pada keadaan tertentu dilakukan proses pengolahan sederhana terlebih dahulu seperti pengendapan dan penyaringan (Xxxxxxxxxxxxx, 1985).
b. Irigasi luas air limbah, dialirkan ke dalam parit-parit terbuka yang digali dan air akan merembes masuk ke dalam tanah melalui dasar dan dinding parit-parit tersebut. Dalam keadaan tertentu air buangan dapat digunakan untuk pengairan ladang pertanian atau perkebunan dan sekaligus berfungsi untuk pemupukan (Xxxxxxxxxxxxx, 1985).
c. Kolam oksidasi (Oxidation Ponds/Waste Stabilization Ponds Lagoon), yang merupakan suatu pengolahan air buangan untuk sekelompok masyarakat kecil dan cara ini terutama dianjurkan untuk daerah pedesaan. Prinsip kerjanya adalah memanfaatkan pengaruh sinar matahari, ganggang (algae), bakteri dan oksigen dalam proses pembersihan alamiah. Air buangan dialirkan ke dalam kolam besar berbentuk persegi panjang dengan kedalaman 1-1,5 meter. Dinding dan lapisan kolam tidak perlu diberi lapisan apapun. Luas kolam tergantung pada jumlah air buangan yang akan diolah biasanya digunakan luas 1 acre (= 4072 m2) untuk 100 orang (Xxxxxxxxxxxxx, 1985).
d. Pengolahan Primer dan Sekunder, merupakan cara pengolahan air buangan yang lebih kompleks dan lengkap yaitu pengolahan secara fisik dan mekanik (primer) dan secara biologis (sekunder) terutama di daerah perkotaan dan umumnya air buangan dari segala jenis, baik yang berasal dari rumah tangga, kota praja maupun industri (Said, 2007).
Gambar 5. Ilustrasi Pengolahan Primer Sekunder Limbah RPH
Menurut Indriyati (2004), Rumah Potong Hewan dalam pendayagunaan limbah cair dan limbah padatnya menggunakan cara biologi, karena diharapkan akan adanya pemanfaatan limbah cair yang dapat digunakan sebagai energi alternative serta dihasilkannya kompos dari proses limbah padat. Proses pendayagunaan limbah cair Rumah Potong Hewan dilakukan secara biologi dengan sistim anaerobik menggunakan reactor tipe Fixed Bed. Proses dimulai dengan pemisahan limbah padat yang kasar dengan menggunakan penyaring otomatis dengan tujuan untuk melindungi pompa dari padatan kasar yang mungkin akan menyumbat pompa. Limbah cair yang keluar dari saringan kasar dialirkan langsung menuju penampung dan selanjutnya dialirkan ke atas saringan halus. Limbah cair yang keluar dari saringan dialirkan menuju tangki pencampuran dan penyimpanan, sedangkan limbah padat yang terbuang ditampung pada tempat penampungan. Limbah cair dari tangki penampung dialirkan dengan pompa ke dalam tangki pengenda- pan/sedimentasi. Endapan Lumpur padatan organik dipompa ke RPH penampung lumpur yang lebih padat. Limbah cair yang sudah dipisahkan akan
dialirkan ke dalam dua unit Fixed Bed reactor pengolahan limbah cair anaerobik melalui stasiun pompa. Fungsi pengolahan anaerobik ini adalah untuk mendegradasi bahan organik di limbah cair dan merubah bahan organik yang terdegradasi menjadi biogas.
Gambar 6. Skema Diagram Alir dari Limbah Cair dan Limbah Padat (Indriyati, 2004)
Gambar eksisting pengolahan limbah cair dan limbah pada di RPH adalah sebagai berikut:
Gambar 7. Tangki pencampuran dan sedimentasi awal sebelum limbah cair dimasukkan ke reaktor anaerobik
BAB III ANALISIS & EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
3.1. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pemerintahan Daerah
Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang- undangan di Negara Republik Indonesia. Dasar pengaturannya tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang di atas, dalam setiap pembentukan Peraturan Daerah wajib disusun Naskah Akademiknya, yang merupakan dasar ilmiah konseptual dari materi yang akan diatur dalam peraturan daerah.
Penyusunan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) terkait dengan kewenangan Pemda dalam penyelenggaraan urusan dalam pemerintahan. Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten dalam Penyelenggaraan Urusan Dalam Pemerintahan berdasarkan asas otonomi daerah. Pasal 18A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan tentang hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten serta kota, yang diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu, sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Derah menyatakan, dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka kebijakan politik hukum yang ditempuh oleh pemerintah terhadap pemerintahan daerah yang dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah, dengan mempertimbangkan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)13.
Berdasarkan kebijakan politik hukum pemerintah tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah dilakukan dengan penetapan strategi sebagai berikut:
a. Peningkatan pelayanan.
Pelayanan bidang pemerintahan, kemasyarakatan, dan pembangunan adalah suatu hal yang bersifat esensial guna mendorong atau menunjang dinamika interaksi kehidupan masyarakat baik sebagai sarana untuk memperoleh hak- haknya, maupun sebagai sarana kewajiban masyarakat sebagai warga negara yang baik. Bentuk-bentuk pelayanan pemerintahan tersebut, antara lain meliputi rekomendasi, perizinan, dispensasi, surat keterangan kependudukan, dan sebagainya.
b. Pemberdayaan dan peran serta masyarakat.
Konsep pembangunan dalam rangka otonomi daerah ini, bahwa peran serta masyarakat lebih menonjol yang dituntut kreatifitas masyarakat dalam menyusun konsep strategi pembangunan daerah, dimana peran pemerintah hanya terbatas pada memfasilitasi dan mediasi.
c. Peningkatan daya saing daerah
Peningkatan daya saing daerah ini bertujuan untuk mencapai keunggulan lokal, yang apabila kekuatan ini dipelihara secara nasional, maka akan terwujud daya
13 Xxxxxxxx Xxxxxxx, 2017, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Edisi Revisi, Cetakan Kedelapan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 2.
saing nasional yang akan menunjang sistem ekonomi nasional yang bertumpu pada strategi ekonomi kerakyatan.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dilaksanakan dengan asas otonomi daerah yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, dilaksanakan dengan asas-asas sebagai berikut9:
a. Asas desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
b. Asas dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagaiwakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
c. Asas tugas pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kebupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Konsep pemikiran tentang otonomi daerah, mengandung pemaknaan terhadap eksistensi otonomi tersebut terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu:
a. bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi seluas- luasnya, artinya daerah diberikan kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat;
b. bahwa prinsip otonomi daerah dengan menggunakan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada, serta berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan
daerah.
Dengan demikian, isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar- benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.14
Dengan demikian, penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh di dalam masyarakat. Selain itu, penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain serta hubungan antar daerah dengan pemerintah. Hal ini berarti, daerah tersebut mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah dalam kerangka NKRI. Berdasarkan asas
umum pemerintahan ini, yang menjadi urusan pemerintahan daerah meliputi:15
a. Bidang legislasi, yakni atas prakarsa sendiri membuat Peraturan Daerah (Perda) yang meliputi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang meliputi Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/Walikota.
b. Masalah perimbangan keuangan antara pemerintah dan pemerintah daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekosentrasi dan tugas pembantuan.
c. Perencanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Khusus dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sebagai daerah otonom, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bersama Dewan
14 Ibid. hlm.5.
15 Ibid, hlm.9
Perwakilan Daerah berwenang untuk membuat Peraturan Daerah. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 236 ayat (1) dan (2) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Adapun substansi atau materi muatan Peraturan Daerah adalah:
a. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan
b. penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi.
Selain materi muatan tersebut, Peraturan Daerah juga dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kewenangan Pemerintah Daerah membentuk Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam penjelasan di atas, dapat digolongkan dalam dua hal, yaitu:
a. Kewenangan Atribusi.
Kewenangan Atribusi Pemerintah Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah adalah kewenangan yang diperolehnya dari Peraturan Perundang-undangan. kewenangan Atribusi Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah terlihat dari ketentuan Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain, untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”, dan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa: “Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Peraturan daerah.
b. Kewenangan Delegasi.
Kewenangan delegasi dari Pemerintah Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah adalah kewenangan yang diperoleh dari Peraturan Perundang- undangan yang memerintahkan pembentukan Peraturan Daerah. Artinya,
Peraturan Daerah dibentuk untuk melaksanakan/ menjabarkan Peraturan Perundang-undangan yang memerintahkan dibentuknya Peraturan Daerah. Dalam ketentuan pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.16
Pembagian kekuasaan dalam negara yang berbentuk Kesatuan, seperti Indonesia, asasnya adalah seluruh kekuasaan dalam negara berada di tangan pemerintah pusat. Walaupun demikian hal itu tidak berarti bahwa seluruh kekuasaan berada di tangan pemerintah pusat, karena ada kemungkinan mengadakan dekonsentrasi kekuasaan ke daerah lain dan hal ini tidak diatur dalam konstitusi. Hal ini berbeda dengan negara kesatuan yang bersistem desentralisasi. Dalam konstitusi negara tersebut terdapat suatu ketentuan mengenai pemencaran kekuasaan tersebut (desentralisasi).17
Secara yuridis formal, landasan hukum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia adalah Pasal 18 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan beberapa hal, diantaranya yaitu:
1. Bahwa Negara Republik Indonesia terdiri atas daerah provinsi, daerah provinsi terdiri atas daerah kabupaten dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang;
2. Pemerintah daerah tersebut baik propinsi maupun kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
3. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
16 Lihat pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
17 Sri Xxxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxx, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), hlm.65
4. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas- luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah.
5. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan- peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengartikan pemerintah daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom, dimana daerah otonom menurut undang-undang ini adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Peraturan merupakan hukum yang in abstracto atau general norm yang sifatnya mengikat umum dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum (general). Secara teoretis, Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian, yaitu:
1. perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
2. perundang-undangan adalah segala peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.18
Rancangan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan kewenangan Atribusi Pemerintah Daerah dalam membentuk Peraturan Daerah.
3.2. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pangan dan Peternakan
Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai
18 Ibid, hlm. 133-134
tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. Pengaturan penyelenggaraan rumah pemotongan hewan adalah tindakan yang dilakukan sebagai upaya untuk mengatur penyelenggaraan pembangunan bangunan beserta syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum dengan mengikuti persyaratan dan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.
Berdasarkan amanat Pasal 62 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan bahwa:
(1) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) Rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh setiap orang setelah memiliki izin usaha dari bupati/walikota.
(3) Usaha rumah potong hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan berwenang di bidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.
Sebagai tindak lanjut pelaksanaan Pasal 62 di atas, Menteri pertanian telah menetapkan persyaratan bagi RPH dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant) sebagai tindak lanjut Pasal 61 Undang-undangn Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Adapun tujuan dari pengaturan rumah potongan hewan adalah agar pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di rumah potong hewan dengan mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner (kesehatan masyarakat yang bebas dari mengkonsumsi daging yang tidak sehat dari hewan yang sakit) dan kesejahteraan hewan.
Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk:
a. pengendalian dan penanggulangan zoonosis;
Peraturan bersama menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan menetapkan jenis zoonosis (infeksi yang ditularkan di antara hewan vertebrata
dan manusia atau sebaliknya) yang memerlukan prioritas pengendalian dan penanggulangan.
b. penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan
- dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh, dan halal, Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan.
- pengawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut- turut dilakukan di tempat produksi, pada waktu pemotongan, penampungan, dan pengumpulan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengawetan, dan pada waktu peredaran setelah pengawetan.
- standardisasi, sertifikasi, dan registrasi produk hewan dilakukan terhadap produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.
c. penjaminan higiene dan sanitasi;
x. xxngembangan kedokteran perbandingan; dan
e. penanganan bencana.
Rumah potong hewan yang dibangun oleh pemerintah maupun oleh pihak perorangan harus memenuhi berbagai persyaratan. Secara garis besar persyaratan RPH adalah:
- persyaratan teknis;
- persyaratan lokasi;
- persyaratan sarana pendukung;
- persyaratan tata letak, disain, dan konstruksi; dan
- persyaratan peralatan.
Selain itu RPH juga harus memenuhi peryaratan higiene dan sanitasi,19 higiene,20 dan sanitasi21 dalam bentuk kegiatan menjaga, memelihara, dan mempertahankan kesehatan daging serta peralatan-peralatan yang digunakan. Dengan demikian RPH harus mengacu pada ketentuan teknis yang diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian tersebut.
Alasan kenapa penyelenggaraan RPH harus diatur adalah agar norma-norma dan kebiasaan pemotongan hewan yang baik dan layak yang biasanya dilakukan berdasarkan atau berkaitan dengan ajaran agama tetap dapat dilaksanakan dengan tersistem di rumah potong hewan. Dengan memperhatikan ketentuan dan ajaran agama maka akan diperoleh daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sesuai dengan norma dan keyakinan dimasyarakat. Dan untuk mengakomodir hal tersebut maka dalam Peraturan menteri terdapat beberapa jenis rumah potong hewan dengan petunjuk teknis masing-masing.
Dengan adanya pengaturan penyelenggaraan RPH, maka peredaran daging yang dihasilkan melalui proses di rumah potong hewan hampir dipastikan terjamin, sehingga masyarakat yang mengkonsumsi daging tersebut akan mendapat jaminan daging yang memenuhi kriteria ASUH. Ha ini untuk menghindarkan terjadinya kasus-kasus beredarnya daging tiren (mati kemaren) dan juga daging glongongan (daging yang dijual setelah melalui proses yang tidak wajar)22 yang tidak sesuai dengan kriteria ASUH. Pengaturan penyelenggaraan RPH juga akan membawa dampak terhadap produksi daging yang beredar dan sudah tentu akan membawa dampak juga bagi pemasukan keuangan Pemerintah Kota Bekasi yang didapat dari retribusi rumah potong hewan tersebut.
3.3. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pelayanan Publik
Pengaturan penyelenggaraan RPH akan meingkatkan kualitas pelayanan
19 Pasal 35 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/I/2010
20 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online Pranala (link): xxxx://xxxx.xxx.xx/xxxxxxx
21 Kamus Besar Bahasa Indonesia Online Pranala (link): xxxx://xxxx.xxx.xx/xxxxxxxx
22 Wikipedia, https:// xx.xxxxxxxxx.xxx/xxxx/Xxxxxxxxxxx_(xxxxxx) diunduh tanggal 8 November 2021
publik dalam penyediaan bahan makanan hewani. Pelayanan publik adalah pemberian jasa, baik oleh pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada masyarakat dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan/atau kepentingan masyarakat.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konteks ini penyelenggara pelayanan publik adalah setiap institusi penyelenggara negara, korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang untuk kegiatan pelayanan publik dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Ada beberapa alasan pentingnya perhatian pemerintah terhadap pelayanan publik antara lain:23
a. Instansi pemerintah pada umumnya menyelenggarakan kegiatan yang bersifat monopoli, sehingga tidak terdapat iklim kompetisi didalam, padahal tanpa kompetisi tidak akan tercipta efisiensi dan peningkatan kualitas.
b. Dalam menjalankan kegiatan, aparatur pemerintah lebih mengandalkan kewenangan dari pada berbuat jasa ataupun kebutuhan masyarakat.
c. Belum atau tidak diadakan akuntabilitas terhadap kegiatan suatu instansi pemerintah, baik akuntabilitas vertikal kebawah, kesamping, maupun keatas. Hal ini disebabkan oleh adanya tolak ukur kinerja setiap instansi pemerintah yang dibakukan secara nasional berdasarkan tanda yang dapat diterima secara umum.
d. Dalam aktivitasnya aparat pemerintah seringkali terjebak pada pandangan “etic”
yakni mengutamakan pandangan dan keinginan birokrasi.
e. Kesadaran anggota masyarakat pada hak dan kewajiban sebagai warga negara maupun sebagai konsumen masih relatif rendah, sehingga mereka cenderung
23 Xxxx Xxxxxxxxxx dalam Xxxxxxxx Xxxxxx, Hukum Administrasi Negara, Jala Permata Aksara (Jakarta: 2010, hlm. 64)
menerima begitu saja terlebih layanan yang diberikan bersifat cuma-cuma.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009, bahwa pelayanan publik dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dalam hubungan antara masyarakat dengan penyelenggara pelayanan publik. Undang-Undang tersebut menjadi dasar untuk mewujudkan pelayanan publik sebagaimana yang diharapkan yaitu: (1) terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas tentang hak, tanggung jawab, kewajiban dan kewenangan seluruh pihak terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik; (2) terwujudnya sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik; (3) terpenuhinya penyelenggaraan publik dengan peraturan perundang-undangan; dan
(4) terwujudnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Secara teoritis tujuan pelayanan publik adalah memberikan kepuasan kepada masyarakat, untuk itu dituntut kualitas pelayanan yang baik yang tercermin dalam pelayanan prima. Untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik, maka dalam penerapannya harus disesuaikan dengan asas umum pemerintahan yang baik yang terdiri dari: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggara negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas, asas akuntabilitas, asas efisiensi dan asas efektifitas. Dengan demikian, diharapkan mampu memberikan perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang didalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelayanan publik umumnya memiliki sifat differential information dan interdependence. Sifat pertama berarti adanya kedudukan yang tidak berimbang antara penyedia pelayanan dan konsumennya yang disebabkan oleh ketidaksetaraan posisi antara penyedia pelayanan dan konsumen. Sifat kedua berarti bahwa keberadaan pelayanan publik dapat mempengaruhi aspek-aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian, Pelayanan publik merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah sebagai institusi yang dibentuk guna menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan kepada warga negaranya.24
Diharapkan dengan pengaturan penyelenggaraan RPH Kota Bekasi maka pelayanan publik yang dilakukan Pemerintah Daerah Kota dalam penyediaan bahan pangan hewani, khususnya daging berkualitas dapat meningkat sebagaimana ketentuan yang berlaku.
3.4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
Mengatur penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pada hakekatnya adalah mengatur penyediaan bahan pangan hewani yang berkualitas sesuai peraturan perundang-undangan, baik pada tahap produksi maupun distribusi sampai ke tangan masyarakat (konsumen).
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, untuk menghasilkan bahan pangan yang layak dikonsumsi harus dilakukan melalui sanitasi pangan, termasuk juga pengaturan terhadap bahan tambahan pangan, pengaturan terhadap pangan produk rekayasa genetik dan radiasi pangan, penetapan standar kemasan pangan, pemberian jaminan keamanan pangan dan mutu pangan, serta jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan. Oleh karena itu pelaku usaha pangan dalam melakukan produksi pangan harus memenuhi berbagai ketentuan mengenai kegiatan atau proses produksi pangan sehingga tidak berisiko merugikan atau membahayakan kesehatan manusia. Pelaku Usaha Pangan bertanggung jawab terhadap pangan yang diedarkan, terutama apabila pangan yang diproduksi menyebabkan kerugian, baik terhadap gangguan kesehatan maupun kematian orang yang mengonsumsi Pangan tersebut.
Masyarakat juga perlu mendapatkan informasi yang jelas mengenai setiap produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan mengonsumsi Pangan. Informasi tersebut terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu ditetapkan
24 Xxxxx X. Toruan, Reformasi Pelayanan Perizinan dan Pembangunan Daerah: Cerita Sukses Tiga Kota (Purbalingga, Makassar, dan banjarbaru), Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, 2010, hlm.22
ketentuan mengenai label dan iklan pangan sehingga masyarakat dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat.
Secara umum ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 yang terkait dengan penyelenggaraan RMH, yakni:
• Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2), yang menyatakan bahwa keamanan pangan diselenggarakan untuk menjaga pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat (ayat (1), dan keamanan pangan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (ayat (2)
• Pasal 68 ayat (1) sampai dengan ayat (4) yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terwujudnya penyelenggaraan keamanan pangan di setiap rantai pangan secara terpadu; Pemerintah menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria keamanan pangan; petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan wajib menerapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria keamanan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan (4) Penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria keamanan pangan dilakukan secara bertahap berdasarkan jenis pangan dan skala usaha pangan; serta Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah wajib membina dan mengawasi pelaksanaan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria keamanan pangan.
• Pasal 69, yang menyatakan penyelenggaraan keamanan pangan dilakukan melalui: sanitasi pangan; pengaturan terhadap bahan tambahan pangan; pengaturan terhadap pangan produk rekayasa genetik; pengaturan terhadap iradiasi pangan; penetapan standar kemasan pangan; pemberian jaminan keamanan pangan dan mutu pangan; dan jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan.
Adapun jaminan produk pangan halal bagi yang dipersyaratkan diatur pada beberapa pasal, yakni:
• Pasal 95 ayat (1) dan (2), yang menyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap penerapan sistem
jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan terhadap pangan, dan penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang dipersyaratkan ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 97 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) yang menyatakan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan di dalam negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan; setiap orang yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam dan/atau pada kemasan pangan pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; serta pencantuman label di dalam dan/atau pada kemasan pangan ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, serta keterangan pada label ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh masyarakat.
• Pasal 101 ayat (1), yang menyatakan setiap orang yang menyatakan dalam label bahwa Pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas kebenaran nya, dan
• Pasal 105 ayat (1), yang menyatakan setiap orang yang menyatakan dalam iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas kebenarannya.
3.5. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya mengatur penyelenggaraan RPH yang menghasilkan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal adalah upaya untuk melindungi konsumen, khususnya melindungi hak-hak dan kepentingan konsumen. Di dalam Pasal 1 angka
1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Melindungi konsumen disini diartikan secara sempit sebagai melindungi hak-hak dan kepentingan konsumen.
Perlindungan konsumen merupakan tujuan sekaligus usaha yang akan dicapai atau keadaan yang harus diwujudkan. Tujuan perlindungan konsumen meliputi atau mencakup aktivitas-aktivitas penciptaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK telah dijelaskan mengenai tujuan konsumen, yaitu:
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pada Pasal 2 dalam Undang-Undang ini menjelaskan bahwa ada lima asas dalam perlindungan konsumen. Beberapa azas dalam Undang-Undang Perlindungan Konsuman ini bisa menjadi dasar dalam melindungi konsumen terhadap produk RPH, yakni:
a. Asas manfaat, untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelau usaha secara keseluruhan.
b. Asas keadilan, yakni agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas keseimbangan, yang dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, yang Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum, yang dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.
3.5. Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan di Bidang Jaminan Produk Halal
Sebagai negara dengan jumlah konsumen yang besar, Indonesia telah menerbitkan 2 (dua) peraturan perundangan yang terkait dengan perlindungan konsumen, yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (disingkat UU PK) dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (disingkat UU JPH). Kedua regulasi ini mengamanatkan agar setiap produk yang beredar di ruang lingkup negara Indonesia wajib memperhatikan kebutuhan, keperluan dan kenyamanan baik dari segi perlindungan maupun dari segi kehalalan dan kehigienisan bagi konsumen maupun para pelaku usaha.
Jaminan Produk Halal adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan adanya sertifikat halal. Sedangkan produk yang dimaksud disini adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat (UU No. 33 Tahun 2014). Terkait Higienisnya suatu produk, diatur secara eksplisit dalam peraturan perundangan ini yakni pada Pasal 4 UU JPH menyatakan bahwa “Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Suatu Produk, jika telah bersertifikasi halal secara langsung sudah terjamin kehigienisannya. Lebih lanjut, bahwa pada Pada Pasal 2 dalam Undang-Undang ini juga menjelaskan asas dalam Jaminan Produk Halal adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan, yaitu bahwa dalam penyelenggarakan JPH bertujuan melindungi masyarakat muslim.
2. Keadilan, yaitu bahwa dalam penyelenggaraan JPH harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.
3. Kepastian Hukum, yakni bahwa penyelenggaraan JPH bertujuan memberikan kepastian hukum mengenai kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal.
4. Akuntabilitas dan Transparansi yakni bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan JPH harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
5. Efektivitas dan Efisiensi, yakni bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdaya guna serta meminimalisasi penggunaan sumber daya yang dilakukan dengan cara cepat, sederhana, dan biaya ringan atau terjangkau.
6. Profesionalitas, yakni bahwa penyelenggaraan JPH dilakukan dengan mengutamakan keahlian yang berdasarkan kompetensi dan kode etik.
Bagi RPH salah satu prioritas unsur utama yang diandalkan untuk pemenuhan daging ASUH adalah masalah sertifikasi produk halal. RPH sangat berperan dalam supply bahan pangan berupa daging, baik untuk pasokan bahan industri maupun untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Di RPH inilah hewan ternak disembelih dan diproses untuk menghasilkan daging siap konsumsi. Oleh karene itu penting memastikan kehalalan pada semua proses yang dilakukan di RPH.
Jaminan Produk Halal harus dijadikan standar yang diterapkan di rumah pemotongan hewan. Halal sebagai standar akan lebih memudahkan praktik di lapangan ketika sudah menjadi sebuah sertifikasi yang dibuktikan dengan sertifikat halal. Dengan standar halal ini diwujudkan dalam bentuk sertifikasi halal yang bentuknya sertifikat halal, maka tentu ini akan mempermudah kegiatan produksi dan konsumsi di masyarakat.
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN XXXXXXX
4.1. Landasan Filosofis
Xxxxxxan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dasar falsafah dan konstitusi negara kita adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila sebagai dasar Negara berfungsi sebagai filosofische grondslag dan common platforms di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegara. Pancasila sebagai falsafah bangsa mengakui dan melindungi hak-hak individu maupun masyarakat, termasuk untuk memperoleh bahan pangan yang sehat.
Falsafah ini mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan melalui Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 memuat cita-cita kolektif bangsa yang mencerminkan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup ditengah pluralisme atau kemajemukan. Sesuai dengan itu, pengaturan tentang Rumah Pemotongan Hewan menjadi sangat penting untuk dilakukan, utamanya menyangkut hal-hal terkait menyangkut kehalalan dalam proses pemotongan serta penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH) sehingga hak-hak masyarakat untuk menikmati daging hewan yang telah melalui proses pemeriksaan
kesehatan hewan, penyembelihan, penyelesaian penyembelihan serta pemeriksaan post-mortem menjadi terjamin karena telah memenuhi penyembelihan kaidah kesejahteraan hewan dan syariah agama.
Cara pandang di atas penting dijadikan sebagai sandaran mengingat kesehatan masyarakat veteriner pada hakekatnya tidak hanya menyangkut segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. Kesehatan masyarakat veteriner mempunyai peranan penting tidak hanya mencegah penularan zoonosa dan pengamanan produksi bahan makanan asal hewan dan bahan asal hewan lainnya, tapi lebih dari itu, yakni berperan mentransformasi nilai-nilai keadilan di bidang kesehatan karena memberikan ruang kepentingan kesehatan masyarakat secara luas.
Masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang mengkonsumsi pangan secara sehat. Pangan sehat adalah pangan yang dikelola dan diolah dengan benar dan memenuhi kaidah-kaidah. Kebutuhan masyarakat akan pangan yang sehat, khususnya daging yang sehat merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dalam meningkatkan keadilan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Kesehatan masyarakat merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh Negara. Untuk menunjang kesehatan masyarakat, perlu peningkatan konsumsi nabati asupan makanan yang mengandung L-Carnitine yang berdampak pada kesehatan yang positif. Konsumsi daging dangat bermanfaat untuk meningkatkan umur panjang, mencegah penyakit, mengurangi risiko penyakit kronis, dan memperkuat sistem kekebalan. Dengan demikian mengkonsumsi daging sangat penting untuk kesehatan tubuh secara keseluruhan. meningkatkan kesehatan, dan merupakan salah satu sumber protein terbesar dalam makanan manusia.
Untuk itu Pemerintah Daerah Bekasi wajib menjaga kebutuhan pangan terutama bahan pangan yang berasal dari daging ternak yang terbaik dan sehat bagi warganya. Untuk mengatur proses penyembelihan hewan sesuai kaidah kesejahteraan hewan dan syariah agama, Pemerintah Daerah wajib menetapkan pengaturan tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan dalam instrumen hukum Peraturan Daerah.
Xxxxxxan filosofis dari pengaturan penyelenggaraan Rumah Potong Hewan pada dasarnya bertujuan untuk mengelola suatu penataan tempat pelaksanaan aktivitas pemotongan daging hewan, mulai dari letak/lokasi bangunan, persyaratan bangunan, tata cara penanganan limbah serta tata cara pemotongan daging yang sesuai dengan standar. Dibuatnya regulasi terhadap semua ketentuan yang harus dilaksanakan dalam pemotongan hewan, pembangunan sarana dan prasarana pemotongan hewan, serta tata kelola penanganan daging pasca pemotongan hewan bertujuan untuk membuat suatu keseragaman penanganan (standar operasional) kegiatan membangun Rumah Pemotongan Hewan serta kegiatan memotong hewan yang pada intinya harus dipenuhi demi kenyamanan, keamanan dan kesehatan.
Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkin setiap orang produktif secara ekonomis, oleh karena itu kesehatan merupakan dasar dari diakuinya derajat kemanusiaan. Tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajat secara kondisional. Tanpa kesehatan, seseorang tidak akan mampu memperoleh hak-haknya yang lain. Seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati haknya untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat, dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya. Singkatnya, seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai manusia.
4.2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Xxxxxxan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan kenyataan, fenomena, dan perkembangan sosial-ekonomi-politik, serta kesadaran dan kebutuhan hukum masyarakat. Apabila masyarakat berubah, maka nilai-nilai pun akan ikut mengalami perubahan. Suatu peraturan perundangan harus mencerminkan kehidupan sosial masyarakat yang ada. Hukum yang dibuat harus
dapat dipahami dan sesuai dengan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat. Apabila hal-hal tersebut telah sesuai, maka peraturan perundangan yang telah dibuat implementasinya tidak akan banyak mengalami kendala dan hukum dapat ditegakkan.
Pemerintah Daerah Kota Bekasi saat ini telah melakukan berbagai peningkatan dalam membentuk peraturan-peraturan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pengaturan tentang penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan sampai saat ini belum ada, sementara penyelenggraan pemotong hewan telah berjalan dalam waktu yang sangat lama tanpa ada landasan hukumnya. Selama ini penyelenggaraan pemotongan hewan didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian dan belum secara eksplisit diatur dalam peraturan perundang-undangan di daerah. Maka untuk menjamin terselenggaranya pemotongan hewan, dan dalam rangka meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat perlu ada pengaturan yang tegas dalam bentuk bangunan tata hukum yang mandiri dan bersumber dari tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat Kota Bekasi saat ini.
Untuk itu Pemerintah Kota Bekasi perlu menetapkan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan berdasarkan kebutuhan masyarakat yang dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945, khususnya Pasal
28 H UUD 1945. Pembuatan Peraturan Daerah tentang Pengaturan Rumah Pemotongan Hewan memberi ruang dan peluang dan manfaat bagi masyarakat, khususnya bagi pelaku usaha dalam menjalankan dan mengembangkan usaha Pemotongan Hewan. Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah tentang Rumah Pemotongan Hewan, maka usaha Pemotongan Hewan baik yang ditangani oleh Pemerintah Kota Bekasi maupun pihak swasta maka proses pemotongan hewan dan penanganan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal dapat dilaksanakan dengan mengacu pada persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan, sehingga menjamin kualitas hasil pemotongan hewan yang memperhatikan aspek kesehatan hewan maupun kesehatan masyarakat.
Selain itu, adanya Peraturan Daerah yang mengatur Rumah Pemotongan Hewan dapat memberikan dampak positif bagi keterjaminan peredaran daging yang sehat bagi masyarakat, terjaga kenyaman bagi lingkungan dikarenakan pengelolaan
limbah yang terencana, juga dapat membuka lapangan usaha serta mampu menyumbang Pendapatan Asli Daerah dari sektor retribusi Rumah Pemotongan Hewan.
4.3. Landasan Yuridis
Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat untuk menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang akan diatur sehingga perlu dibentuk peraturan daerah ini. Dalam rangka pembenahan sistem dalam pembinaan dan tata kelola Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi maka diperlukan suatu landasan pengaturan sebagai pedoman sehingga tercapai kepasatian hukum bagi para pihak yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan di Kota Bekasi.
Adapun peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pembentukan Perda Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan secara hierafki bertutut-turut adalah Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan jo Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan
Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Di tingkat peraturan menteri, ada dua permen yang menjadi dasar, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah jo dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/PERMENTAN/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant). Sementara di tingkat Perda ada dua Perda yang menjadi dasar, yakni Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Rumah Pemotongan Hewan dan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah.
Asas pembentukan dan materi muatan Peraturan Daerah Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan ini berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Landasan yuridis dari Rancangan Peraturan Daerah Kota Bekasi adalah untuk memberikan arah, landasan dan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan rumah pemotongan hewan, untuk itu diperlukan suatu pengaturan secara khusus.
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, & POKOK-POKOK MATERI MUATAN
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan
Jangkauan dan arah pengaturan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan menjelaskan tujuan dan orientasi pengaturan Perda, yang berfokus pada pengaturan mengenai tugas pelayanan Pemda Bekasi dalam penyediaan tempat pemotongan hewan dan penanganan daging, fungsi pelayanan RPH, persyaratan pendirian/pembangunan, serta penyelenggaraan RPH dalam rangka penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal untuk masyarakat Kota Bekasi.
Secara teknsi, struktur dan pola pengaturan Raperda ini mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
5.1. Pokok-Pokok Materi Muatan
Materi muatan Perda Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan terdiri atas 16 Bab, yang secara umum memuat substansi utama mengenai tujuan pendirian atau pembangunan RPH dan pendirian tempat penanganan daging, yang meliputi persyaratan administratif dan teknis pendirian/pembangunan, persyaratan higiene, penyelenggaraan, perizinan, organisasi dan SDM, pelayanan kesehatan masyarakat veteriner, pemotongan hewan diluar RPH, pembinaan dan pengawasan, sanksi administratif, ketentuan penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Adapun pokok-pokok materi muatan Perda RPH selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. BAB I KETENTUAN UMUM, memuat definisi dan pengertian-pengertian yang ada dalam susbtansi pasal-pasal, sehingga tidak menyebabkan multitafsir.
2. BAB II RUANG LINGKUP, berisi ruang lingkup Perda RPH, yang meliputi : a. RPH; b. UPD; c. persyaratan higiene dan sanitasi; d. Sumber Daya Manusia; e. Izin Mendirikan RPH dan/atau UPD; f. Izin Usaha Pemotongan Hewan dan/atau Penanganan Daging; g. pelayanan teknis; dan h. pemotongan di luar RPH.
3. BAB III RPH, mengatur hal-hal terkait penyelenggaraan Rumah Potong Hewan termasuk di dalamnya perizinan, lokasi, sarana dan prasarana, konstruksi dasar dan peralatan.
4. BAB IV UPD, menggambarkan terkait penyelenggaraan Unit Penanganan Daging termasuk di dalamnya perizinan, lokasi, sarana dan prasarana, konstruksi dasar dan peralatan.
5. BAB V PERSYARATAN HIGIENE DAN SANITASI, mengatur mengenai persyaratan higiene sanitasi yang dapat memastikan bahwa cara produksi karkas, daging dan jeroan dapat diterapkan dengan baik dan konsisten tanpa mkelibat kan bahan berbahaya dengan menjaga sanitasi bangunan, lingkungan produksi, peralatan dan baju kerja karyawan secara efektif serta sarana pendukung lainnya.
6. BAB VI SUMBER DAYA MANUSIA, mengatur mengenai keharusan setiap RPH dan UPD di bawah pengawasan Dokter Hewan Berwenang di bidang kesehatan
masyarakat veteriner. Setiap RPH harus mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang Dokter Hewan sebagai Pelaksana dan Penanggung Jawab Teknis pengawasan kesehatan masyarakat veteriner di RPH. Setiap RPH selain mempekerjakan Dokter Hewan Penanggung Jawab Teknis dapat mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang tenaga pemeriksa daging (keurmaster) di bawah pengawasan Dokter Hewan Penanggung Jawab Teknis. Setiap RPH wajib mempekerjakan paling sedikit 1 (satu) orang juru sembelih halal.
7. BAB VII IZIN MENDIRIKAN RPH DAN/ATAU UPD, mengatur tentang mekanisme dalam mendirikan RPH maupun UPD.
8. BAB VIII IZIN USAHA PEMOTONGAN HEWAN DAN/ATAU PENANGANAN DAGING, mengatur ketentuan dimana setiap orang atau badan usaha yang melakukan usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging harus memiliki izin usaha dari Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Membuat jenis usaha pemotongan hewan berdasarkan pola pengelolaanya yaitu: a. Jenis I: RPH dan/atau UPD milik Pemerintah Daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah sebagai jasa usaha; b. Jenis II: RPH dan/atau UPD milik swasta yang dikelola sendiri atau dikerjasamakan dengan swasta lain; dan c. Jenis III: RPH dan/atau UPD milik Pemerintah Daerah yang dikelola bersama antara Pemerintah Daerah dengan swasta. Serta mengatur Kategori usaha pemotongan hewan
9. BAB IX PELAYANAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER, mengatur jaminan dan memenuhi kriteria aman, sehat, utuh, dan halal terhadap karkas, daging, dan jeroan yang dihasilkan oleh RPH atau UPD perlu dilakukan pelayanan kesehatan masyarakat veteriner di RPH dan UPD oleh Dokter Xxxxx Xxxwenang atau Dokter Hewan Penanggung Jawab Teknis yang disupervisi oleh Dokter Xxxxx Xxxwenang. Hewan dan daging yang mengidap penyakit berbahaya wajib diserahkan oleh pemiliknya kepada Pemerintah Daerah untuk dimusnahkan seluruhnya dengan biaya pemusnahan ditanggung oleh Pemerintah Daerah.
10. BAB X PEMOTONGAN HEWAN DILUAR RPH Mengatur pengecualian
pemotongan hewan tidak dilakukan di 61 RPH dikarenakan: a. upacara keagamaan; b. upacara adat; atau c. pemotongan darurat.
11. BAB XI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Mengatur mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Potong Hewan dan Unit Pelayanan Daging.
12. BAB XII SANKSI ADMINISTRATIF Sanksi administratif diberikan kepada setiap orang atau badan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan norma yang diatur dalam Perda tentang Pengaturan Rumah Potong Hewan. Sanksi dapat berupa: a. peringatan secara tertulis; b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; c. pencabutan nomor pendaftaran dan penarikan produk dari peredaran; d. pencabutan izin; atau e. pengenaan denda.
13. BAB XIII KETENTUAN PENYIDIKAN Penyidikan selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan dari tanggung jawabnya meliputi peternakan dan 62 kesehatan hewan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyidikan dilakukan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang peternakan dan kesehatan hewan.
14. BAB XIV KETENTUAN PIDANA Ketentuan pidana mengatur ketentuan bagi setiap orang atau pejabat yang berwenang, badan atau korporasi yang melanggar Perda tentang Pengaturan Rumah Potong Hewan yaitu berupa kurungan badan dan/atau denda.
15. BAB XV KETENTUAN PERALIHAN Memuat penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundangundangan yang baru, yang bertujuan untuk: a. menghindari terjadinya kekosongan hukum; b. menjamin kepastian hukum; c. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan Peraturan Perundangundangan; dan d. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
16. BAB XVI KETENTUAN PENUTUP Ketentuan penutup memuat ketentuan untuk mencabut seluruh atau sebagian pasal terhadap peraturan terdahulu dan
mengamanatkan untuk pengaturan lebih lanjut terkait pelaksanaan peraturan daerah Pengaturan Rumah Potong Hewan dan memberikan wewenang kepada Walikota untuk mengaturnya.
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan paparan pada Bab I sampai dengan Bab V, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan data jumlah Rumah Pemotongan Hewan yang ada di Kota Bekasi yang dihubungkan dengan data penghitungan kebutuhan daging untuk masyarakat di Kota Bekasi, diperoleh kesimpulan bahwa Rumah Pemotongan Hewan sangat urgent (penting dan mendesak) untuk ditambah dan dibangun yang baru. Hal ini untuk meningkatkan kapasitas pelayanan Pemerintah Daerah Bekasi dalam penyediaan rumah potong hewan dan penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal. Hal ini sekaligus digunakan menjalankan tugas Pemerintah Daerah dalam melindungi masyarakatnya dari bahaya bahan pangan berupa daging yang tidak sehat. Kebutuhan masyarakat akan pangan yang sehat dan bergisi khususnya daging yang sehat merupakan bagian dari pemenuhan hak asasi manusia dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Penambahan dan pembangunan RPH baru oleh Pemerintah Daerah maupun swasta dilakukan dengan pengaturan berbentuk Peraturan daerah yang struktur dan pola pengaturannya disesuaikan dengani peraturan perundang- undangan terkait. Dalam hal ini pendirian dan pembangunan RPH yang baru diatur dengan persyaratan adminitratsi, persyaratan teknis, serta persyaratan kesehatan masyarakat veteriner yang ketat. Tujuannya agar diperoleh manfaat yang tinggi, kualitas produk daging yang terjaga, serta masyarakat terhindar
dari dampak penyakit yang terkait dengan kesehatan hewan.
3. Pertimbangan secara filosofis, sosiologis, dan yuridis penyelenggaraan RPH di Kota Bekasi sudah kuat dalam meletakkan dasar pengaturan Perda ini, hal mana dapat digunakan sebagai alasan untuk mencapai tujuan memberikan nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastikan hukum kepada Pemda Bekasi dan semua pemangku kepentingan penyelenggaraan pemotongan hewan dan penanganan daging. Dengan pertimbangan dan landasan yang kuat tersebut maka diharapkan tidak ada keraguan lagi bagi Pemda Bekasi untuk menerbitkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan RPH, serta segera mengimplementasikan Perda dimaksud dengan membangun RPH-RPH baru yang memenuhi standar, guna memperkecil masalah kesenjangan kebutuhan dengan pemenuhan daging lokal yang sehat bagi masyarakat.
4. Struktur dan pola pengaturan Raperda ini disusun mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah.
5. Pengaturan dan Raperda Penyelenggaraan ini dilakukan dengan tujuan memberi ruang dan peluang bagi pelaku usaha dalam menjalankan dan mengembangkan usaha pemotongan hewan dan/atau penanganan daging. Dengan pola pengaturan seperti ini maka usaha pemotongan hewan dan atau penanganan daging baik yang ditangani Pemda maupun swasta dapat dilaksanakan dengan mengacu pada persyaratan yang sudah ditentukan dan dapat menjamin kualitas hasil pemotongan hewan dan daging yang aman, sehat, utuh dan halal, yang mampu meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, serta menghasilkan keuntungan secara ekonomi. Denga pola berpikir seperti ini, maka pada akhirnya penyelenggaraan pemotongan hewan
di RPH menjadi kegiatan bisnis yang produktif dan dapat memberikan konstribusi berupa peningkatan jumlah retribusi ke kas daerah.
6.1. Rekomendasi
Terkait dengan paparan pada bab-bab terdahulu dan kesimpulan di atas, disampaikan rekomendasi sebagai berikut:
1. Rencana Pemda Bekasi untuk menerbitkan Perda tentang Penyelenggaraan Rumah Pemotongan Hewan merupakan suatu keniscayaan yang perlu segera dilakukan. Oleh karena itu direkomendasikan agar Naskah Akademik Raperda Penyelenggaraan RPH ini dapat dijadikan sebagai acuan atau landasan berfikir secara ilmiah dalam penyusunan dan penerbitan Perda dimaksud.
2. Mengingat penting dan mendesaknya penerbitan Perda tentang Penyelenggaraan RPH, DPRD Kota Bekasi segera menjadualkan pembahasan dan persetujuan Raperdanya. Selanjutnya Raperda hasil persetujuan DPRD sesegera mungkin diteruskan ke Walikota untuk segera diundangkan menjadi Perda Kota Bekasi tentang Penyelenggaraan RPH.
3. Untuk mempercepat pelaksanaan Perda tentang Penyelenggaraan RPH, Pemerintah Kota Bekasi dapat segera merencanakan pembangunan RPH-RPH baru dengan menyiapkan lokasi-lokasi yang sesuai dengan ketentuan, yakni sesuai dengan RTRW dan RDTR, serta ketentuan teknis lainnya.
4. Segera setelah diterbitkannya Perda, perlu dilakukan program sosialiasi Perda ini kepada kalangan dunia usaha dan masyarakat, keberadaan Perda diketahui secara luas dan mampu menciptakan peluang investasi dari masyarakat. Kegiatan sosialiasi dapat melibatkan kalangan perguruan tinggi dan stakeholder lainnya dengan tujuan menciptakan pemahaman yang lebih konprehensif dan kesadaran hukum yang lebih baik terhadap matari muatan Perda.
DAFTAR PUSTAKA
Adeogun, A. O., A. V. Xxxxxxxx, & O. R. Ibor. 2011. Impact of abattoir and saw- mill effluents on water quality of upper Ogun River (Abeokuta). Am. J. Environ. Sci. 7(6):525-530. xxxx://xxxxxxxxx.xxx/XXX/ ajessp.2011.525.530.pdf. [7 Februari 2014].
Xxxx, J. C., F. I. Xxxxxxxxxxx, & E. Xxxxx. 2010. Physical and chemical parameters in abattoir wastewater sample, Maiduguri Metropolis, Nigeria. Pac. J. Sci. Tech. 11(1):640-648. xxxx://xxx.xxxxxxxxxxxxxxxx.xx/ PJST11_1_640.pdf. [19 Februari 2014.
Xxxxxxxx, A. A., & A. O. Adewoye. 2012. On investigating pollution of groundwater from Xxxxxx Xxxxxxxx wastes, Ogbomoso, Nigeria. Int. J. Eng. Tech. 2(9):1569- 1585. xxxx://xxx-xxxxxxxx.xxx/xxxxxxx/0000/xxx_xxx_0_
no_9/8673691344728622.pdf. [7 Februari 2014].
Xxxxxx, X., P. A. Adeoye, & I. Chidiebere. 2011. Abattoir wastes generation, management and the environment: a case of Minna, North Central Nigeria. Int. J. Biosci. 1(6):100-109. xxxx://xxx.xxxxxxx.xxx/xx-xxxxxxx/ uploads/2012/01/IJB-V1-No-6-p100-109.pdf. [19 Februari 2014].
Xxxxxxxxxx Xxxxxx, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan Rancangan Undang-Undang”, Makalah disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah Tahun 2006, Cisarua Bogor.
Xxxxxxxx Xxxxx, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006,
Ilham, N., S. Hastuti dan I.K. Karyasa. 2002, Pendugaan Parameter dan Elastisitas Penawaran dan Permintaan Beberapa Jenis Daging di Indonesia, sebagaimana dikutip Xxxxxxx, dkk dalam Jurnal Peternakan Inonesia, Juni 2012.
Xxxxx, A. I., G. N. Xxxx, X. X. Xxxxxx, & A. E. Ita. 2012. Effect of Adiabo Abattoir on the water quality status of Calabar River in Odukpani, Cross River State, Nigeria. Continental J. Env. Sci. 6(2):36–43.doi:10.5707/ cjenvsci. 2012.6.2.36.43.
Indriyati, 2004. Penerapan Teknologi Produksi Bersih di RPH Cakung. Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Lingkungan. BPPT. Jakarta.
Xxxxxxxxxxxxx H. 1996. Toksikologi Lingkungan Logam Toksik dan B3. Jakarta: UI- Press
Xxxxxxx, P.T.B.A., 1994. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Jakarta.
Xxxxxxx, P.T.B.A., 1994b. Rancang Bangun Rumah Potong Hewan di Indonesia. P. T. Xxxx Xxxxx Xxxxxxx, Jakarta
Xxxxxxxx, X. 2010. Pengolahan limbah cair rumah potong hewan (RPH) dengan metode fotokatalitik TiO2 : pengaruh waktu kontak terhadap kualitas BOD5, COD dan pH efluen. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Xxxxxxxx Xxxxx Kurnia dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif (Urgensi, Strategi, dan Proses Bagi Pembentukan Perda yang baik), Kreasi Total Media (KTM), Yogyakarta, cetakan pertama, 2007
Xxxxxxxx, O. O., X. X. Xxxxxxx, & I. B. Oladeru. 2013. Water quality and bacteriological assessment of slaughterhouse effluent on Urban River in Nigeria. J. Appl. Sci. Env. San. 8(4):277-286.
Padmono, D. 2005. Alternatif pengolahan limbah rumah potong hewan cakung (suatu studi kasus). J. Tek. Ling. P3TL .-BPPT. 6(1):303-310.
Xxxxxxxxxx, D. I. 2003. Kajian sistem manajemen lingkungan pada rumah pemotongan hewan (RPH) Kota Bogor. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Xxxxxx, N. K., & Xxxxxxxxxx. 2008. Impact of abattoir effluents on surface waters of the Alamuyo stream in Ibadan. J. Appl. Sci. Environ. Manage. 12(1):73 – 77. xxxx://xxx.xxxxxxx.xxx.xx/xxx?xx00000. [19 Februari 2014].
Said, Nusa Idaman. 2007. Instalansi Pengolahan Limbah Rumah Potong Hewan Kapasitas 400 M3 per Hari. Direktorat Tegnologi Lingkungan. Jakarta
Xxxxxxx, H. S., Xxxxxxx, X., Xxxxxxxx, X., & Xxxxxxxx, X. (2015). Kajian Teknis Operasional Dan Lingkungan Rumah Potong Hewan Taliwang Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu Produksi dan Teknologi Hasil Peternakan, 3(2), 89-94.
Xxxxx, X., X. X. Xxxx. 2012. Impact of abattoir effluent on River Landzu, Bida, Nigeria. J. Chem. Bio. Phy. Sci. Sec. A. 2(1):132-136. xxxx://xxxxxxxxxx.xxx/xxx/ papers/1421998365.pdf. [19 Februari 2014]
Xxxxxxxx, 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Xxxxxxxx Xxxxxxxx dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke-11. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009
Xxxxxxxx Xxxxxxxx, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas donesia Press, 1984.
Kebutuhan Daging Sapi Tahun Ini 700.000 Ton, Produksi Dalam Negri Hanya Separuhnya, e-Koran Xxxxxx.xx.xx., Reporter: Xxxx Xxxxxxx; Minggu, 20 Juni 2021 / 11:01 WIB, diakses 1 November 2021.
Pemkot Bekasi Tak Bisa Penuhi Kebutuhan Daging Warganya, e-Xxxxx Xxxxxxx.xxx., Reporter Xxx Xxxxxxx, 22 Juni 2016, diakses 18 Oktober 2021.
Paparan Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Pertanian, dan Perikanan (DKP3) Kota Bekasi pada Rapat Kerja Dengan Komisi II DPRD Kota Bekasi, 27 Oktober 2021.