BAB III
BAB III
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Positif
1. Pengertian dan Isi Perjanjian Perkawinan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing- masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.”1
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.” Menurut Xxxxx 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.2
Perjanjian menurut istilah ahli hukum adalah suatu peristiwa dimana berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini timbulah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang mengikatnya atau membuatnya. Dalam
1 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia, Cet-3, (Jakarta : Balai Pustaka. 2005), h. 458
2 Xxxxxxxxx, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 363
43
bentuknya, perjanjian itu suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji- janji atau kesanggupan yang di ucapakan atau di tulis.3
Seperti yang dikemukaan oleh para ahli hukum mengenai pengertian perjanjian perkawinan, sebagai berikut:
a. Menurut Wirjono Projodikoro, kata perjanjian diartikan sebagai “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji melakukan suatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”. 4
b. Perjanjian perkawinan menurut Xxxxx Xxxxxxxxx adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dan isinya juga berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.5
c. Menurut X. Subekti, “Perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami-istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh undang-undang”. 6
d. Komar Andasasmita mengatakan apa yang dinamakan „perjanjian atau syarat kawin‟ itu adalah perjanjian yang diadakan oleh bakal atau calon
3 Subketi, Hukum Perjanjian, Cet.2, (Jakarta: PT Internusa, 1990), h. 1
4 HR. Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, (Bandung: Xxxxxx Xxxx, 2007), h. 1.
5 Gatot Supramono, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, ( Jakarta : Djambatan. 1998), h.
39
6 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), Cet-31, h. 51
suami-istri dalam mengatur (keadaan) harta benda atau kekayaan sebagai akibat dari perkawinan mereka.7
e. Soetojo Prawirohamidjojo dan Xxxx Xxxxxxxxx, ”perjanjian perkawinan” adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.8
Adapun pengertian perjanjian perkawinan menurut hukum positif, yaitu sebagai berikut:
1) Pengertian perjanjian perkawinan menurut KUH Perdata
Terminologi perjanjian perkawinan dapat dilihat dari pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.9 Akan tetapi, pengertian perjanjian yang ditemukan dalam pasal 1313 KUH Perdata tersebut, menurut Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx00, Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx00 dan Xxx Xxxxxxx Xxxxxxxx00 dianggap tidak lengkap dan sangat luas dengan alasan sebagai berikut:
a) Rumusan perjanjian tersebut sepihak, dengan demikian tidak terdapat kata sepakat
7 Komar Andasasmita, Notaris II Contoh Akta Otentik dan Penjelasannya, (Bandung, Ikatan Notaris Indonesia (INI) Daerah Jawa Barat, 1990), h. 5.
8 R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung: Alumni, 1987), h. 57
9 R. Subekti dan X. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang hukum perdata, ..., h.338
10 Xxxxx Xxxxx Xxxxxxxx, Hukum Perikatan, (Bandung: Alumni, 1982), h. 78
11 Xxxxxx Xxxxx Xxxxxxxxxxx, KUH Perdata Buku II Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Alumni, Bandung, 1994), h. 89
12 Sri Soedewi Masjchun Sofyan, Hukum Perdata Hukum Perutangan Bagian B, (Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1980), h.1
b) Perbuatan yang dimaksud di dalamnya termasuk juga perikatan yang timbul dari Undang-undang
c) Terlalu luas karena mencakup juga perjanjian perkawinan yang diatur dalam hukum keluarga
d) Tanpa menyebutkan suatu tujuan yang jelas untuk apa mereka mengadakan perjanjian.
Perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri, menurut KUH Perdata pasal 119 mengakibatkan terjadinya persatuan bulat harta kekayaan perkawinan dalam keadaan ini pada prinsipnya dalam hubungan suami isteri tersebut hanya terdapat satu jenis kekayaan, yaitu harta persatuan.
Pengecualian mengenai hal ini adanya harta prive suami atau harta prive isteri yang muncul dari hubungan sangat pribadi dan atau adanya harta yang diperoleh suami isteri secara cuma-cuma dimana pemberi hibah atau pewaris menentukan harta yang dihibahkan atau diwariskan berada di luar persatuan harta kekayaan perkawinan (Pasal 120 jo pasal 176 KUHPerdata).
Penyimpangan terhadap prinsip persatuan bulat, dimungkinkan oleh ketentuan pasal 139 KUHPerdata yang memberi kesempatan suami isteri untuk membuat perjanjian kawin yang isinya mengatur tersendiri harta kekayaan perkawinan mereka, sesuai dengan kemauan mereka atau orang tua mereka.
Penyimpangan demikian dimungkinkan karena hubungan suami isteri dengan harta kekayaan berada dalam lapangan hukum perdata, yaitu
menganut prinsip bebas berkontrak. Unsur-unsur perjanjian kawin menurut pasal 139 KUH Perdata, yaitu:
1. Perjanjian
2. Xxxxx suami/isteri
3. Mengatur akibat perkawinan
4. Mengenai harta kekayaan
Maksud dan tujuan calon suami isteri membuat perjanjian kawin adalah untuk mengesampingkan berlakunya persatuan mutlak harta perkawinan, untuk menyimpang dari ketentuan tentang pengelolaan harta kekayaan perkawinan atau untuk memenuhi kehendak pihak ketiga sebagai pewaris atau penghibah.13
Perjanjian kawin yang berisi penyimpangan terhadap persatuan bulat biasanya dibuat oleh calon suami isteri yang jumlah kekayaannya sangat tidak berimbang. Calon suami kaya sekali, sedangkan calon isteri tidak punya atau sebaliknya.
Dalam pasal 139 KUHPerdata ditentukan bahwa dengan janji-janji kawin calon suami isteri berhak mengadakan penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan tentang persatuan bulat, dengan syarat: tidak menyalahi kesusilaan, tidak melanggar ketertiban umum, mengindahkan peraturan-peraturan/tidak melanggar ketertiban hukum yang berlaku.
13 Mochamad Dja‟is, Hukum Harta Kekayaan dalam Perkawinan, (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2004), h.92
2) Pengertian perjanjian perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974
Secara terminologi, rumusan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak terdapat pengertian yang jelas tentang perjanjian perkawinan. Tetapi pada pasal 29 dinyatakan sebagai berikut:14
1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Menurut Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx konteks perjanjian dalam pasal 29 ini jauh lebih sempit oleh karena hanya meliputi perjanjian yang bersumber pada persetujuan saja, dan pada perbuatan yang tidak melawan hukum, oleh karena itu tidak meliputi perikatan yang bersumber pada undang-undang.15 Dikatakan lebih sempit karena perjanjian perkawinan dalam undang-undang ini tidak termasuk didalamnya ta‟lik talak, tetapi ta‟lik talak yang biasa
14 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., h.10
15 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Indonesia Legal Center Publishing, 2002), h.29
diucapkan dengan lafadz yang tertentu tidak tercakup dalam perjanjian perkawinan.
Kendatipun tidak ada definisi yang jelas yang dapat diberikan batasan, sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal, sedangkan di pihak lain berhak untuk menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut.16
Pengertian dalam pasal 29 tersebut untuk tujuan pembuatan perjanjian perkawinan, adalah serupa maksudnya dengan pasal 139 KUH Perdata (BW) yakni persetujuan pemisahan harta kekayaan dalam hal perkawinan. Apabila dilihat pasal 29 dan pasal 35 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 ini, maka pasal 29 membuka perluasan untuk hal-hal yang lain mengenai harta benda perkawinan. Sedangkan dalam pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan:17
1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dalam rumusan Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini dinyatakan bahwa perkawinan secara otomatis membuat harta yang dibawa ke dalam perkawinan menjadi terpisah. Namun demikian pasal 35 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa harta
16 Xxxxxxxx Xxxxxxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan di Indonesia, ..., h.29
17 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., h.12
benda yang diperolehnya selama perkawinan menjadi harta bersama. Dalam pasal 36 Undang-undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 disebutkan:18
1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sedangkan pasal 37 Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan: “Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing”.19 Karena dalam pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 hanya menyebutkan pemisahan harta terhadap harta bawaan masing-masing saja, maka pasal 29 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ini banyak menolong pihak isteri maupun pihak suami atas tindakan yang merugikan, sehingga dengan adanya pasal 29 ini calon suami atau calon isteri dapat membuat perjanjian lain mengenai harta bawaan mereka masing-masing. Perjanjian perkawinan dalam pasal 29 ini dapat diatur sampai di mana batas-batas tanggung jawab pribadi masing-masing dalam mengurus harta yang disebut dalam pasal 35 ayat (2) Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 terhadap hutang-
hutang yang dibuat oleh suami terhadap pihak ketiga.
Berdasarkan analisa, pengertian perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu sebelum
18 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., h.12
19 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., h.12
perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan, yang bukan hanya menyangkut masalah harta benda akibat perkawinan, melainkan juga meliputi syarat-syarat/keinginan- keinginan yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak sepanjang semua itu tidak melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan.20
3) Pengertian perjanjian perkawinan dalam kompilasi hukum Islam
Dasar berlakunya hukum Islam khusus mengenai Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk ialah S. 1937 No. 638 jo. S. 1937 No. 610 dan No. 116 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 jo. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo. Undang-undang No. 32 Tahun 1974, sekarang Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 (lembar Negara Tahun 1974 Nomor 1) dan Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 jo. SK Menteri Agama No. 154 Tahun 1991).
Dalam pasal 1 huruf e Kompilasi Hukum Islam dinyatakan perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang.21
Rumusan definsi perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih bersifat universal-konsepsional yang berarti tidak
20 Xxxxxx Xxx X Xxxxx, Beberapa Segi Hukum Dalam Perjanjian Perkawinan, (Medan, Rimbow, 1990), h.5
21 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., x. 323
mencampur-adukkan antara kebijakan yang bersifat temporal dengan konsep dasar perjanjian perkawinan yang sifatnya permanen dan universal. Oleh karena itu, definisi yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam sudah dapat dianggap memenuhi syarat suatu definisi.22
Terminologi perjanjian menurut KHI tidak disebut rumusannya secara jelas seperti pengertian yang termuat dalam pasal 1313 KUHPerdata, namun demikian, KHI menyebutkan bahwa perjanjian yang dimaksud adalah bukan perjanjian sepihak. Ketentuan ini dapat dipahami dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, perkawinan pasal 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52.23
Selanjutnya, mengenai isi perjanjian perkawinan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memuat aturan mengenai isi perjanjian kawin. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa isi perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung, isi KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang mengatur mengenai perkawinan dipandang masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perkawinan.24
Adapun perjanjian kawin harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut:25
22 Xxxxx xx-Xxxxxxxxx, Idhab al-Mubham Min Ma‟ani al-Sullam Fi al-Mantiq, (Al- Ma‟arif, Bandung, tt), h. 8-9
23 Suparman Usman, Makalah Perjanjian Perkawinan dalam Prespektif Hukum di Indonesia, disampaikan dalam Seminar Nasional Bidang Perdata, FH Untirta, 26 Juli 2010
24 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, ..., h. 57.
25 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, ..., h. 49-50.
1. Tidak memuat janji-janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
2. Perjanjian kawin tidak boleh:
1) Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami, yaitu hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta perkawinan.
2) Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua.
3) Mengurangi hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau istri yang hidup terlama.
3. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah.
4. Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar dari pada bagiannya dalam aktiva.
5. Tidak dibuat janji dengan kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau di Nederland, maupun oleh hukum adat.
Di dalam undang-undang hanya terdapat 2 macam pembatasan terhadap kebersamaan harta kekayaan, yaitu:26
1. Kebersamaan untung dan rugi. Ini berarti suami dan istri masing-masing memiliki harta bawaan, yaitu harta yang dimiliki sebelum perkawinan, serta hibah, hibah wasiat dan pewarisan yang diperoleh selama
26 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, ..., h.66
perkawinan. Sedangkan harta benda lain dan hutang-hutang yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik bersama.
2. Kebersamaan hasil dan pendapatan. Perjanjian kawin model ini mirip dengan kebersamaan untung dan rugi. Namun apabila ada kerugian yang terjadi dalam perkawinan, maka hanya suami yang menanggungnya. Sedangkan istri dibebaskan dari kerugian tersebut. Meskipun demikian, di Indonesia pada umumnya isi perjanjian kawin adalah untuk meniadakan sama sekali kebersamaan harta.
2. Syarat-syarat Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami isteri harus ada kesepakatan pada waktu membuat akta perjanjian perkawinan sebelum atau setelah perkawinan tersebut dilangsungkan, dan pada saat membuat akta perjanjian perkawinan dan menandatangani akta tersebut, harus genap berusia 18 tahun dan sudah harus cakap untuk melangsungkan perkawinan.
Apabila pada saat perjanjian perkawinan itu dibuat oleh orang yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum kawin, sedangkan perkawinan itu dilangsungkan setelah dicapai umur yang ditentukan oleh Undang-undang No 1 Tahun 1974, yaitu pria sudah umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Maka perjanjian perkawinan itu tidak mempunyai kekuatan (batal), sedangkan perkawinan itu sendiri adalah sah.
Apabila perkawinan itu dilangsungkan dengan izin Pengadilan/ Hakim, wanita yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin harus
diwakili oleh orang tuanya untuk melakukan tindakan hukum, termasuk untuk membuat perjanjian perkawinan.
Selanjutnya diperingatkan, apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan orang tua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian perkawinan itu meninggal, makaperjanjian itu batal dan pembuatan perjanjian itu harus di ulangi di depan notaris, sebab orang yang harus memberi izin untuk melangsungkan perkawinan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat perjanjian perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat. 27
Apabila orang yang diperlukan izinnya mengizinkan perkawinan seseorang, akan tetapi menolak memberikan bantuannya agar perjanjian perkawinan mereka dapat dibuat, maka orang yang berada di bawah umur atau pun yang bersangkutan hanya dapat melangsungkan perkawinan dengan harta bersama seperti yang ditentukan dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 6, 7, 29, 35 yang telah dijelaskan di atas dan pasal 47.
Dalam pasal 47 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa orang dewasa tidak memerlukan izin untuk membuat perjanjian perkawinan atau berumur 18 tahun atau sudah kawin, walau pun mereka belum mencapai umur 21 tahun. Sedangkan ketentuan dalam pasal 6 dan 7 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berlaku bagi orang yang berada di bawah pengampunan.
27 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, ..., h. 38
Sedangkan dalam syarat ketiga disebutkan bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisihan.
Dan syarat yang ke empat untuk suatu perjanjian yang sah adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada isi perjanjian dengan segera harus dihilangkan suatu kemungkinan salah sangka, bahwa sebab itu adalah sesuatu yang menyebabkan seseorang membuat perjanjian yang dimaksud. Sesuatu yang menyebabkan orang membuat suatu perjanjian atau dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak diperdulikan oleh Undang-undang. Hukum pada asasnya tidak menghiraukan apa yang berada dalam gagasan seorang atau apa yang dicita- citakan seseorang. Yang diperhatiakan oleh hukum dan Undang-undang hanyalah tindakan orang-orang dalam masyarakat.
Selanjutnya, dalam Kompilasi Hukum Islam syarat-syarat perjanjian perkawinan apabila dianalisis lebih mendalam sudah tercermin pada syarat perjanjian yang tersebut dalam pasal 45-46 Kompilasi Hukum Islam.28
Dalam pasal 45 dikatakan bahwa, “kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1) Ta‟lik talak dan (2) perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.29
Ta‟lik talak yang dikenal di Indonesia diatur dalam PMAKPPN dalam pasal 11, yaitu:
28 Almadjdin Abuar-Fida „Isma‟xxxxx Xxxxx. Tt, Tafsir al-Qur‟an 31-„Azim Juz II, Dar al-Ihya‟ al-Kuflb al-Arabiyah, Mesir, h.22
29 Suparman Usman, Makalah Perjanjian Perkawinan dalam Prespektif Hukum di Indonesia,
..., 26 Juli 2010
1. Ayat (1) calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku
2. Perjanjian sebagaimana tersebut pada ayat (1) dibuat rangka pempat diatas kertas bermatrai menurut peraturan yang berlaku. Lembar pertama untuk suami, lembar kedua untuk isteri, lembar ketiga untuk PPN dan lembar keempat untuk pengadilan.
3. Perjanjian yang berupa ta‟lik talak dianggap sah jika perjanjian itu dibacakan dan ditanda tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
4. Sigat ta‟lik talak ditetapkan oleh Menteri Agama
5. Tentang ada atau tidaknya perjanjian sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (3) dicatat di dalam daftar pemeriksaan nikah.
Di dalam peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 pasal 11 disebutkan:
a. Calon suami isteri dapat mengadakan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
b. Perjanjian yang berupa ta‟lik talak dianggap sah jika perjanjian itu diucapkan dan ditanda tangani oleh suami setelah akad nikah dilangsungkan.
c. Sighat ta‟lik talak ditentukan oleh Menteri Agama pasal 45 yang menyebutkan bahwa kedua mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk:
1) Ta‟lik talak, dan
2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Lebih lanjut mengenai perjanjian ta‟lik talak sebagai perjanjian perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam ini diatur dalam pasal 46 yang menyebutkan bahwa:30
a. Isi ta‟lik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam
b. Apabila keadaan yang disyaratkan dalam ta‟lik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak benar-benar jatuh,isteri harus mengajukan persoalannya ke Pengadilan Agama.
c. Perjanjian ta‟lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali ta‟lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Dari ketentuan perjanjian perkawinan yang termuat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 45 ayat (2) bahwa perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan Hukum Islam terdapat kaitannya dengan perjanjian yang ada dalam pasal 1320 KUHPerdata mengemukakan bahwa Undang-udang telah menentukan 4 (empat) persyaratan yang harus dipenuhi agar suatu perikatan atau perjanjian diangap sah, yaitu: 31
1. kesepakatan mereka yang mengikat dirinya
2. keakapan untuk membuat suatu perjanjian
3. Suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
30 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., h.335-336
31 Subekti, Hukum Perjanjian, ..., h. 17
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari pembuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, dalam perjanjian ta‟lik talak mempunyai perbedaan dengan perjanjian pada umumnya dalam hal tertutupnya kemungkinan kedua belah pihak untuk membubarkan kesepakatan tersebut sebagaimana disebutkan dalam pasal 46 ayat (3) yang menyatakan bahwa perjanjian ta‟lik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali ta‟lik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.
Jadi perjanjian perkawinan yang dimaksud dalam Kompilasi Hukum Islam adalah perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak (suami isteri) dalam bentuk apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum Islam yang harus ditepati dan berlaku terus di antara kedua belah pihak. Perjanjian tersebut dapat dicabut atau batal jika putus perkawinan, pencabutan bersama dan putusan pengadilan.
3. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Perkawinan
Ada perbedaan pembuatan Perjanjian Kawin yang diatur di dalam KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan. Menurut ketetutuan Pasal 147 KUHPerdata, dengan ancaman kebatalan, Perjanjian Kawin harus dibuat
dengan akta Notaris dan dibuat sebelum perkawinan berlangsung.32 Perjanjian Kawin tersebut mulai berlaku terhitung sejak perkawinan dilangsungkan. Pasal
148 KUHPerdata menentukan bahwa sepanjang perkawinan berlangsung dengan cara apapun juga Perjanjian Kawin tidak dapat diubah.
Undang-Undang Perkawinan mengatur perihal Perjanjian Kawin hanya di dalam satu pasal yaitu Pasal 29. Berdasarkan ketentuan Pasal 29 Undang- undang Perkawinan, Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, dengan suatu perjanjian tertulis. Selama perkawinan berlangusng Perjanjian Kawin tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.33
Dengan demikian terlihat ada perbedaan ketentuan mengenai pembuatan perjanjian menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Perkawinan, yaitu:
1) Menurut KUHPerdata, Perjanjian Kawin harus dibuat dengan akta Notaris, sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan, Perjanjian Kawin dibuat dalam bentuk tertulis, jadi bisa dibuat dengan akta Notaris atau dibuat dibawah tangan;
2) Menurut KUHPerdata, Perjanjian Kawin hanya dapat dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan, sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan, Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan;
32R. Subekti dan X. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang hukum perdata, ..., h. 35
33 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., h.10-11
3) Menurut KUHPerdata, sepanjang perkawinan Perjanjian Kawin tidak dapat diubah dengan cara apapun juga, sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan, prinsipnya Perjanjian Kawin tidak diubah sepanjang perkawinan kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Setelah dibuatnya Perjanjian Kawin maka selanjutnya Perjanjian Kawin yang dibuat oleh suami isteri tersebut kemudian harus dicatat, agar Perjanjian Kawin tersebut mengikat pihak ketiga. Perjanjian Kawin yang tidak dicatat tidak mengikat pihak ketiga akan tetapi hanya mengikat para pihak yang membuatnya.
Menurut Pasal 152 KUHPerdata, pencatatan Perjanjian Kawin dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat perkawinan tersebut dilangsungkan. Apabila perkawinan dilangsungkan diluar negeri maka pencatatan Perjanjian Kawin dilakukan di Kantor Paniteran Pengadilan Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat dimana perkawinan tersebut dicatat.34
Sesuai ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, Perjanjian Kawin disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Menurut penulis “disahkan” dalam kalimat ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tidak berarti apabila Perjanjian Kawin tersebut tidak sisahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka Perjanjian Kawin tersebut tidak sah. Pengesahan tersebut dilakukan dengan melakukan pembukuan atau pencatatan Perjanjian Kawin
34 R. Subekti dan X. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang hukum perdata, ..., h. 36-37
tersebut di dalam buku daftar yang memang disediakan untuk melakukan pencatatan. Pencatatan Perjanjian Kawin setelah berlakunya Undang-Undang Perkawinan tidak lagi dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor Urusan Agama.
Suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian faham dan kehendendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, adalah juga yang dikendaki oleh pihak lain.
Menurut ajaran konsensualisme, haruslah dipegang teguh tentang adanya persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu berselisih, tak dapatlah lahirnya suatu perjaijian. Dalam suatu masyarakat kecil dan sederhana, dimana kedua belah pihak berjumpa atau hadir sendiri dan pembicaraan diadakan secara lisan, ukuran tersebut masih dapat dicapai. Tetapi dalam suatu masyarkat yang sudah ramai dan modern, ukuran tersebut tak dapat dipakai lagi.35
Masalah kekuatan perjanjian perkawinan, dapat dilihat dari mekanisme perbuatan perjanjian tersebut. Apabila dalam pembuatan perjanjian ada cacatnya, maka perjanjian dapat dibatalkan atau masa berlakunya sudah habis.
35 Subekti, Hukum Perjanjian, ..., h. 26
Dan juga dapat dibatalkan atau masa berlakunya sudah habis apabila salah seorang yang mengadakan perjanjian tersebut melanggarnya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 51 dijelaskan, bahwa pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya sebagai alasan gugatan perceraian ke pengadilan Agama.36 Jadi kekuatan berlakunya perjanjian perkawinan menurut kompilasi hukum islam adalah, apabila nyata-nyata suami melanggar perjanjian perkawinan, maka otomatis perjanjian perkawinan dapat dibatalkan oleh Pengadilan Agama atas permintaan sang isteri.37
Apabila pada waktu perjanjian perkawinan, ada kekurangan mengenai syarat dan subyektif, maka perjanjian itu bukannya batal atau masa berlakunya sudah habis demi hukum tetapi dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah: pihak yang tidak cakap menurut hukum (orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak yang memberikan perizinannya atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas.
Masalah ketidak- cakapan seseorang dalam membuat suatu perjanjian, pasal 1330 kitab Undang-undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:38
1. Orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
36 Suparman Usman, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Gaya Media Pratama, 2001), Cet-2, h. 235
37 Abdurrahman, Himpunan Perundang-undangan tentang Perkawinan, 1992, Cet-2, h. 125
38 Subekti, Hukum Perjanjian, ..., h.90
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang- undang, dan semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tersebut.
Hal ini pun diperkuat dengan pasal 1320 KUHPer tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk sah nya suatu perjanjian, yaitu ada empat syarat:39
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu, dapat dikatakan bahwa perjanjian yang demikian tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau kesusilaan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan kesepakatan itu, harus diberikan secara bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perizinan tidak bebas yaitu: Paksaan, Kekhilafan, dan Penipuan. Yang dimaksud dengan penipuan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (Psychis), jika bukan paksaan badan ( fisik). Misalnya, salah satu pihak, karena diancam atau ditakut- takuti terpaksa menyetujui suatu perjanjian.
39 R. Subekti dan X. Tjitrosudibio, Kitab undang-undang hukum perdata, ..., h.339
Kekhilafan atau kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari apa yang menjadi obyek perjanjian, atau mengenai orang dengan dengan siapa diadakan perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga seandainya orang tersebut khilaf mengenai hal-hal tersebut, maka ia tidak akan memberikan persetujuannya.40
Dalam hal penipuan, menurut penjelasan Kompilasi Hukum Islam pasal 71 adalah, bila suami mengaku jejaka pada waktu nikah. Kemudian ternyata diketahui sudah beristeri, sehingga terjadi poligami tanpa izin pengadilan, demikian pula penipuan terhadap identitas diri.41
Penipuan terjadi, apabila salah satu pihak, dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan palsu atau tidak benar atau disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak kedua memberikan perizinannya. Dengan demikian, maka hak ketidak cakapan seorang dan ketidak bebasan dalam memberikan peizinan, secara hukum dapat membatalkan suatu perjanjian atau perjanjiannya dikatakan tidak sah.42
4. Bentuk dan Jenis Pelanggaran Perjanjian Perkawinan
Seorang calon suami atau istri yang ingin mengajukan perjanjian perkawinan bisa bermacam-macam bentuknya, baik itu mengenai taklik talak (taklik talak yaitu perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa janji talak yang di gantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi dimasa yang
40 Subekti, Hukum Perjanjian, ..., h.23
41 Xxxxxxxxxxx, Himpunan Perundang-undangan tentang Perkawinan, ..., h.171
42 Subekti, Hukum Perjanjian, ..., h.25
akan datang), harta kekayaan atau harta bersama, poligami ataupun perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pelanggaran Perjanjian Kawin dalam KHI tidak banyak disebut dalam Pasal-Pasal KHI. Dari delapan Pasal pada bab VII yang mengatur tentang perjanjian perkawinan, secara redaksional, frasa pelanggaran perjanjian kawin hanya satu kali disebut. Frasa tersebut ada dalam Pasal 51 yang berbunyi:43 “Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannnya sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.”
Kata “pelanggaran” dalam ketentuan Pasal tersebut tidak disebutkan secara jelas dan gamblang, baik pengertiannya maupun tingkatannya. Secara bahasa, “pelanggaran” berasal dari kata dasar “langgar”. Sedangkan “pelanggaran” bermakna “perbuatan (perkara) melanggar”.44
Menurut bahasa hukum, pelanggaran perjanjian disebut wanprestasi. Kalimat tersebut berarti ketiadaan suatu prestasi, dan prestasi dalam hukum perjanjian bermakna suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Padanan yang mungkin tepat yaitu, “pelaksanaan janji” untuk prestasi dan”ketiadaan pelaksanaan janji” untuk wanprestasi.45
43 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., x. 337
44 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.ke-3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 634.
45 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdjandjian, cet.ke-5 (Bandung: Sumur Bandung, 1960), hlm. 43.
Dalam ungkapan lain, wanprestasi dapat juga disebut dengan istilah “ingkar janji”. Ada tiga bentuk ingkar janji yang masing-masing menggambarkan kapasitas keingkaran atau pelanggaran janji, yaitu:46
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Pemenuhan prestasi tidak baik.
Secara teknis, perjanjian kawin dalam KHI mengarah pada bentuk perjanjian kawin yang diatur dalam KHI Pasal 45 yang berbunyi :47 “kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. taklik talak
2. perjanjian lain yang tidak bertentangan hukum Islam.”
Berpijak dari ketentuan Pasal 45 KHI di atas, pelanggaran perjanjian kawin yang dapat dijadikan sebagai alasan isteri untuk meminta pembatalan nikah sebagaimana diatur dalam Pasal 51 adalah pelanggaran terhadap taklik talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan hukum Islam.
Supaya lebih sistematis, maka akan dilihat satu persatu dua bentuk perjanjian kawin dalam ketentuan KHI dikaitkan dengan pelanggarannya.
46 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, cet.ke-6 (ttp: Putra A Bardin, 1999), hlm. 19-
20.
47 Undang-undang R.I. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
..., x. 335
Pertama, pelanggaran taklik talak. Pengertian pelanggaran taklik talak ini harus dijelaskan terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami apa yang disebut pelanggaran taklik talak.
Upaya awalnya ialah mengetahui hakikat taklik talak. Taklik talak pada dasarnya adalah sebuah perjanjian, perjanjian itu bukan suatu hal yang wajib diadakan pada setiap perkawinan. Akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan, maka tidak dapat dicabut kembali.Pada hakekatnya, taklik talak adalah talak yang digantung (mu„allaq) berdasarkan syarat-syarat tertentu yang diperjanjikan. Ketika syarat yang diajukan atau digantung tadi terjadi, maka jatuhlah talak.
Taklik talak dalam hukum di Indonesia telah berubah maksud dan tujuannya serta tidak sama pengertiannya dengan taklik talak yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik pada umumnya. Dalam hukum Indonesia, taklik talak merupakan semacam ikrar suami terhadap isteri yang diucapkan setelah akad nikah berdasarkan kehendak dari isteri atau anjuran dari Pegawai Pencatat Nikah berisi janji suami apabila melakukan syarat-syarat yang digantungkan, maka jatuhlah talak. Sedangkan menurut kitab-kitab fiqh, taklik talak bisa diucapkan oleh suami apabila ia menghendakinya sebagai peringatan atau pengajaran terhadap isterinya agar tidak nusyûz.48
Sigat taklik talak yang ada di Indonesia sudah terformat dan diatur dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 1990. Berikut sigat taklik talaknya sebagaimana dikutip dalam buku Hukum Islam di Indonesia :
48 Xxxxx Xxxxxxx, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet.ke-3 (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), hlm. 227.
Bismillaahirramaanirrahiim. Sesudah akad nikah maka saya ... bin ... berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami dan akan saya pergauli isteri saya bernama ... binti ... dengan baik (mu„asyarah bi al- ma„ruf) menurut ajaran syariat Islam. Selanjutnya saya membaca sigat taklik atas isteri saya sebagai berikut :
Sewaktu-waktu saya :
1. meninggalkan isteri saya tersebut dua tahun berturut-turut
2. atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan lamanya
3. atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya
4. atau saya membiarkan (tidak mempedulikan) isteri saya enam bulan lamanya
Kemudian isteri saya tidak ridha dan mengadukan halnya kepada Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurus pengaduan itu, dan pengaduannya dibenarkan serta diterima oleh Pengadilan atau petugas tersebut dan isteri saya membayar uang sebesar 10.000, 00 (sepuluh ribu rupiah) sebagai„iwad (pengganti) kepada saya maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.
Kepada Pengadilan atau petugas tersebut saya kuasakan untuk menerima uang
„iwad (pengganti) itu dan kemudian memberikannya untuk keperluan ibadah sosial.49
Dari pengertian taklik talak di Indonesia di atas, menurut penyusun, secara redaksional pelanggaran taklik talak memuat dua pengertian :
1. pelanggaran dimaksud adalah suami melaksanakan syarat yang diperjanjikan dalam empat poin pada sigat taklik talak. Jadi di sini terdapat kesalahpahaman memahami “melaksanakan syarat” menjadi “melakukan pelanggaran taklik talak”.
2. pelanggaran terhadap taklik talak secara keseluruhan. Artinya, ketika syarat-syarat yang diperjanjikan terjadi dan seharusnya jatuh talak satu kepada isteri, pihak suami tidak mau menjatuhkan talak. Dari pengertian ini, suami dianggap melakukan pelanggaran taklik talak.
49 Xxxxx Xxxxx, Hukum Islam di Indonesia, cet.k-6 ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 156.
Dari dua pengertian hasil interpretasi gramatikal di atas, pengertian pelanggaran taklik talak yang banyak digunakan dalam bahasa hukum lebih mengarah kepada pengertian yang pertama. Suami melakukan syarat atau isi perjanjian yang dirumuskan dalam empat poin sigat taklik talak.
Kedua, pelanggaran perjanjian lain yang tidak bertentangan hukum Islam. Pelanggaran ini menurut penyusun dapat diartikan sebagai wanprestasi atau tiadanya pelaksanaan janji terhadap perjanjian kawin, yang diatur dalam Pasal 47 KHI meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing atau juga perjanjian untuk mengadakan hipotik (perjanjian dengan pihak Bank) atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pada dasarnya, tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan. Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya (Pasal 86 ayat 1 dan 2 KHI). Begitu juga dengan harta bawaan masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisah harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal
maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.50
UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu:
1. Harta asal/harta bawaan
2. Harta bersama (Pasal 35)
Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak. Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkawinan. Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama. Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang didapat masing-masing selama perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa taklik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut. Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan
50 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1992)
tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.51
Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat disahkan jika melanggar batas-batas hukum dan kesusilaan. Ini artinya, semua hal, asal tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan dapat dituangkan dalam perjanjian tersebut, misalnya tentang harta sebelum dan sesudah kawin atau setelah cerai, pemeliharaan dan pengasuhan anak, tanggung jawab melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga, pemakaian nama, pembukaan rekening Bank, hubungan keluarga, warisan, larangan melakukan kekerasan, marginalisasi (hak untuk bekerja), subordinasi (pembakuan peran).
Pelanggaran yang dilakukan suami tergantung dari detail isi perjanjian. Ketika suami tidak melaksanakan janji (wanprestasi), maka suami telah melakukan pelanggaran perjanjian kawin.
B. Perjanjian Perkawinan Menurut Hukum Islam
1. Pengertian dan Isi Perjanjian Perkawinan
Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia, disebut “akad” dalam hukum Islam. Terdapat perbedaan antara wa‟d,„ahd dan al-„aqd. Janji atau dalam
bahasa arab disebut dengan al-wa‟du دعولا merupakan bentuk masdar dari kata
wa‟ada ya‟idu wa‟dan (ادعو دعي دعو). Kata wa‟d digunakan untuk sesuatu yang
51 Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga (Diktat Lengkap), (Semarang: Seksi Perdata Barat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1981), h. 182.
baik dan sesuatu yang buruk, tetapi kebanyakan digunakan untuk sesuatu yang baik52 . Sedangkan menurut istilah, wa‟d adalah mengikat bagian-bagian yang akan dilakukan dengan ijab dan qabul yang sesuai dengan xxxxxxx00. Menurut al-„Aini, wa‟d adalah berita yang menghubungkan kebaikan pada waktu yang akan datang54.
Dari pengertian diatas, kata wa‟d digunakan untuk sesuatu yang sifatnya baik dan menunjukan pada waktu yang akan datang atau wa‟d berkaitan dengan keharusan seseorang yang terkait dengan orang lain pada waktu yang akan datang. Misalnya Xxxxx berkata kepada Xxxx; “saya berjanji akan membayar hutang saya kepada anda dengan cara dicicil selama satu tahun”. Kata “akan” pada contoh tersebut menunjukan waktu yang akan datang.
Sedangkan „ahd (دهعلا) berkaitan dengan semua keharusan hamba (manusia) baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun yang berkaitan dengan hak-hak manusia55 . Di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang berkaitan dengan „ahd, misalnya dalam surat Ar-Ra‟d ayat 20 Allah
berfirman:
٢٠ ق
َٰث
يهۡلٱ نوض
قُ ي ي لَ و
ِللّ
ٱ ده
ع ِب ن
وُفوُي و
يلَِّ ذ ٱ
“(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian” (QS. 13:20).
52 Majma‟ al-Lughah al-„Arabiyah, al-Mu‟jam al-Wajīz, (Kairo: Dār alTahrīr, 1986), h. 674.
53 Xxxxx xx-Xxxxxxxxx, al-Mu‟jam xx-Xxxxxxxxx xx-Xxxxxx, (Kairo: Dār alJail, 1981), h. 298.
54 Xxxxxxxx Xxxxxx al-„Ainī, „Umdah al-Qāri Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhāri, (Beirut: Dār al-Fikr, 1979), h. 220.
55 Mahmūd Fahd al-„Amūri, al-Wa‟d al-Mulzim fi Ṣig at-Tamwīl alMaṣrāfi al-Islāmī, Tesis Master Ekonomi dan Perbankan Islam Fakultas Syari‟ah dan Dirasah Islamiyah Universitas Yarmouk, Irbid, Yordania, 2004, h. 10. 1
Sedangkan kata “akad” berasal dari kata (al-„aqd)56, yang berarti: “mengikatkan (tali), menyimpulkan, menyambung, atau menghubungkan (ar- Rabt).57 Akad dalam terminologi fikih sebagimana disebut dalam Az-Zarqa adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan untuk mengikat diri.58 Xxx Xx-Xxxxx memberikan komentar lebih lanjut bahwa perjanjian dalam Islam itu bukan hanya perjanjian yang bersifat partai, tetapi juga termasuk perjanjian sepihak, bahkan juga termasuk janji kepada Tuhan. 59
Sebagai suatu istilah hukum Islam, banyak pendapat tentang definisi yang diberikan kepada akad (perjanjian). Menurut pasal 262 Xxxxxxx xx- Xxxxxx, akad merupakan “pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.60
Definisi akad yang lain adalah: pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.61
Kedua definisi akad di atas memperlihatkan bahwa, akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat timbulnya akibat hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul
56 Al-munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Xxxxx Xxxxxx Xxxxxxxx, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h.953
57 Al-munawwir, Kamus Arab-Indonesia, , h.466
00Xxxxx Xxxx Xxxxxx (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid I, Cet-IV, (Jakarta: PT. Xxxxxxx Xxxx XxxXxxxx, 2000), h. 63
59 Xxxxxxxx Xxx xx-Xxxxx, tt, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz II, tp,ttp, h.154
60 Xxxxx Xxx xx Xxxx, Kitab al-Mu‟amalat fi asy-Syari‟ah al-Islamiyyah wa al-Qowanin al- Misriyyah, (Mesir: Matba‟ah al Busfir, 1913), h.139
61 Xxxxxxx Xxxxx, Hukum Perjanjian Syari‟ah, Studi Tentang Teori Akad dalam Fiqih Muamalat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.60
adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan kehendak kedua belah pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.
Berkaitan dengan ruang lingkup perjanjian ini Xxx Xxxxx mengemukakan pendapatnya, ada 5 (lima) hal yang termasuk dalam kategori perjanjian, yakni:62
1) Perjanjian secara umum
2) Sumpah
3) Kewajiban yang telah dibebankan Allah kepada hambanya
4) Akad nikah, perkongsian (syirkah), jul beli, sumpah dan janji kepada Allah
5) Perikatan atas dasar saling mempercayai
Perjanjian perkawinan menurut hukum Islam dapat kita pelajari dari pemahaman terhadap konsep perkawinan sebagai transaksi yang di dalamnya terdapat suatu perjanjian yang kokoh. Di dalam Q.S. An-Nisa‟ ayat 20-21, nikah dideskripsikan sebagai mitsaqan ghaliza, yakni ikatan yang kuat.
Hal tersebut mempunyai sebuah penjelasan, bagaimana dan dengan siapa seseorang dapat memasuki ikatan yang kuat ini, dan ikatan yang kuat tidak bisa dipisahkan tanpa ada alasan dan dengan cara yang benar.
62 Xxx Xxxxxxxx Xxxxxxxx xxx Xxxxxxxx Xxx Xxxxx, tt, Xxxxx xx-Xxx‟an, Xxx XX, Xxx xx- Xx‟rifah Beriut, h. 524-525
Dalam penerapan perjanjian, para ulama mazhab seperti imam Xxxxx‟i, Xxxxxx, Xxxxxx, dan Xxxxxxx memiliki perbedaan pendapat sebagai berikut:63
a) Perjanjian tentang kewajiban suami terhadap isteri ialah seperti membeli pakaian, memberikan nafkah dan rumah kediaman. Sepakat para ulama bahwa, perjanjian itu wajib dipenuhi oleh suami terhadap isteri
b) Perjanjian bahwa isteri tidak diperbolehkan keluar dari rumah tangganya, tidak boleh dibawa merantau, isteri tidak boleh dimadu. Menurut imam Xxxxxxx perjanjian itu wajib dipenuhi oleh suami, tetapi menurut Xxxxx‟i,
Xxxxxx, dan Xxxxxx bahwa suami tidak wajib memenuhi perjanjian itu
c) Perjanjian tentang suami harus menceraikan lebih dahulu isteri yang ada untuk melangsungkan perkawinan yang baru. Sepakat para ulama tidak wajib dipenuhi, karena ada larangan dari Nabi SAW merubuhkan rumah tangga yang ada.
d) Perjanjian yang menyatakan bahwa xxxxxxxx tidak akan dibayar oleh suami, nafkah tidak diberikan suami, isteri tidak mendapat giliran yang sama, suami hanya semalam saja datang pada isteri dalam satu minggu, isteri yang akan menafkahi suami dan sebagainya. Sepakat para ulama bahwa perjanjian tersebut batal dengan sedirinya dan tidak wajib dipenuhi karena tidak sah.
63 Hasbullah Bakri, Undang-undang dan Peraturan Perkawinan, (Jakarta: PT Penerbit Djembatan, 1985), Cet-3, h.11
لَ ف ارٗ اط
يِق و
هُ َٰىدح
ِإ م
تيۡ تاء و
جوز
نكَن
جوز
ل اد
بۡ ِتس
ٱ متُّ در أ ن
وَإِ
ۥً ىوذخ
ۡأ ت
فيۡ ك و
٢٠ ايٗ يِبن
اهٗ ۡثوَإِ ايٗ َٰتهب
ۥً ىوذخ
ۡأ تت
أأيش
ًيۡ ن
ْاوذخ
ۡأ ت
٢١ اظ
يِلػ
اق” َٰث
ينِ مك
ين نذخ
أو
ضعب
لََٰ ِإ مك
ضعب
ضََٰ
فۡ أ د
قو
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain , sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata. Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri- isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat
(Q.S. An-Nisa‟:20-21)64
Dari ayat diatas Xxxxxxxx Xxxxxxx melihat bahwa dalam perkawinan terdapat sebuah perjanjian perkawinan, suatu perjanjian perkawinan yang kuat yang diambil oleh para isteri dan suami mereka.
Kata al-mithaq berasal dari kata dasar wathaqa. Ketika terjadi kesepakatan diantara kedua belah pihak atas dasar kepercayaan, maka itulah
64 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ..., h.81
yang disebut al-mithaq, akan tetapi jika terjadi kesepakatan atas dasa keterpaksaan dan pemaksaan maka disebut al-wathaq.65
Dalam konteks ini, perjanjian perkawinan (al-mithaq az-zaujiyah) termasuk dalam kategori al-mithaq. Penerjemahan perjanjian perkawinan sebagai suatu wasiat yang wajib dipenuhi didasarkan atas persamaan yang terdapat pada keduanya, yaitu kesepakatan diantara kedua belah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian atas dasar kepercayaan, baik suatu perjanjian yang bersifat vertical (manusia dengan tuhan-Nya) ataupun horizontal (manusia dengan manusia serta dunia kehidupan sosialnya).
Kaitannya dengan perjanjian secara horizontal adalah suatu perjanjian perkawinan antara calon pasangan suami isteri yang dibangun atas dasar kepercayaan satu sama lain untuk mewujudkan tujuan dari perkawinan itu sendiri.
Selanjutnya, menurut Syahrur, item-item al-mitsaq dapat disusun sebagai berikut:66
a. Kedua belah pihak berjanji untuk jujur satu sama lain dan tidak saling membohongi
b. Kedua belah pihak berjanji untuk tidak melakukan perbuatan- perbuatan keji (mengkhianati perkawinan)
65 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami: Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), h.440
66 Xxxxxxxx Xxxxxxx, Nahw Usul Jadidah Li al-Fiqih al-Islami: Xxxxxxx Xxxxxxxxxx, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, ..., h.440
c. Kedua belah pihak berjanji untuk saling menjaga kesehatan dan harta yang lainnya, dan tetap bersabar dalam keadaan lapang, sempit, sehat dan sakit
d. Kedua belah pihak berjanji untuk menjaga dan mendidik anak-anak dengan baik
e. Kedua belah pihak berjanji untuk saling menjaga privasi satu sama lainnya, dan tidak menyebarluaskan privasi tersebut kepada orang lain.
Istilah perjanjian perkawinan dalam hukum Islam tidak ada, yang ada literatur fiqih ditemukan bahasan dengan maksud yang sama yakni “ijab kabul yang disertai dengan syarat” atau “persyaratan dalam perkawinan”.
Dalam literatur fikih klasik, perjanjian nikah disebut dengan istilah persyaratan dalam pernikahan (حاكنلا ىف طورشلا) dengan maksud yang sama. Pembahasan tentang persyaratan dalam pernikahan ini berbeda dengan materi syarat perkawinan yang isinya adalah tentang syarat-syarat untuk keabsahan suatu perkawinan.67
Xxxxxx Xxxxxxx mengartikan syarat dalam pernikahan ialah: suatu yang disyaratkan oleh salah satu mempelai atas suatu yang lain, yang mana sesuatu itu memang dikehendaki adanya tujuan.68
Kemudian yang dimaksud dengan syarat tersebut adalah syarat-syarat yang bersamaan dengan ijab qabul. Perjanjian atas persyaratan antara suami
67 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h. 145
68 Xxxxxx xx-Xxxxxxx, al-Fiqh al-Islam wa‟Adilatuhu, Juz VII, (Daar al-Fikr, 1989), h.53
dan isteri, memang patut atau layak diadakan, karena bertujuan untuk menguatkan akad demi terwujudnya pernikahan yang abadi.
Bahasan tentang syarat dalam perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang ada dalam kitab-kitab fiqh karena yang dibahas dalam syarat perkawinan itu adalah syarat-syarat untuk sahnya suatu perkawinan.69
Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan.
Syarat atau perjanjian yang dimaksud ini dilakukan di luar prosesi akad perkawinan. Oleh karena itu perjanjian perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu.
Hal ini berarti bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah yang sudah sah.70
Apabila dalam ijab kabul diringi dengan suatu syarat, baik syarat itu masih termasuk dalam rangkaian pernikahan, atau menyalahi hukum pernikahan atau mengandung manfaat yang akan diterima atau mengandung syarat yang dilarang agama. Maka masing-masing syarat tersebut mempunyai ketentuan hukum tersendiri.71
69 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h. 145
70 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h. 146
71 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h. 145
Pada prinsipnya, setiap individu sebagai subyek hukum berhak secara bebas mengadakan perjanjian. Sepanjang perjanjian yang dibuatnya memenuhi syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, maka perjanjian tersebut adalah sah dan berstatus sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian halnya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon suami-isteri. Dalam ilmu fikh, selain hal-hal yang berkaitan dengan ibadah, manusia diberi kebebasan melaksanakan kontrak atau perjanjian, sebagaimana disebutkan dalam kaidah,
مِ يْ ر
حَّتلا ىَلع
لْيلِ دَّ لا
لدُ َي ىَّتح
ُةح
اَبلِِ ا ءِ اَيش
َلأا ى لص
َلأا
“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan, sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya”.
2. Syarat-syarat Perjanjian Perkawinan
Para ahli fiqih mensyaratkan hendaknya ucapan yang dipergunakan dalam suatu ijab kabul bersifat mutlak tidak disertai syarat-syarat atau perjanjian tertentu. Namun apabila dipersyaratkan atau diperjanjikan, maka dapat terjadi dalam bermacam-macam bentuk dengan akibat hukum yang bermacam-macam pula.72
Hal tersebut hampir mirip dengan pendapat Xxxx Xxxxxxxxxxx, yang apabila di dalam ijab kabul diiringi dengan suatu syarat, baik syarat itu masih termasuk dalam rangkaian pernikahan, atau menyalahi hukum pernikahan atau mengandung manfaat yang akan diterima atau mengandung syarat yang
72 Xxxxxx Xxx, Xxxxx Xxxxxxxxx, (Semarang: CV. Xxxx Xxxxx, 1993), h. 25
dilarang agama. Maka masing-masing syarat tersebut mempunyai ketentuan hukum tersendiri.73
Adapun keterkaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak yang berjanji untuk memenuhi syarat yang ditentukan.
Xxxxxxxx Pasaribu dalam bukunya yang berjudul “Hukum Perjanjian dalam Islam” menyebutkan bahwa terdapat tiga syarat sahnya suatu perjanjian secara umum, yaitu sebagai berikut:74
a. Tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati.
Maksudnya adalah suatu perjanjian perkawinan yang akan diadakan oleh kedua belah pihak tersebut bukan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syar‟iah, sebab suatu perjanjian yang melawan hukum syari‟ah tidak sah dan dengan sendirinya tidak terdapat kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum, maka dengan sendirinya batal demi hukum.
b. Kedua belah pihak harus sama-sama ridha dan terdapat pilihan.
Pengertian dari point ini adalah suatu perjanjian perkawinan yang dibuat oleh para pihak haruslah didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridha atau rela akan isi dari klausal-klausal
73 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, alih bahasa Nor Hasanuddin, Cet-II (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), II: 535
74Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h.1
peranjian tersebut dan harus merupakan kehendak bebas dari masing- masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh terdapat suatu perbuatan yang memaksa (paksaan) oleh pihak satu terhadap pihak lainnya, yang dengan sendirinya perjanjian yang diadakan tidak mempunyai kekuatan hukum apabila tidak didasarkan pada kehendak bebas dari para pihak yang mengadakan perjanjian.
c. Materinya harus jelas dan gamlang.
Sedangkan yang terakhir dari syarat sahnya perjanjian ialah objek dari suatu perjanjian yang akan diformulasikan dalm klausal-klausal akta perjanjian perkawinan harus jelas, terang dan gamlang, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara para pihak tentang apa yang mereka janjikan dikemudian hari.
Adapun rumusan perjanjian yang dikemukakan Az-Zarqa adalah dalam konteks perjanjian yang bersifat partai. Menurutnya, untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi delapan persyaratan, yaitu:75
1) Cakap kedua belah pihak yang berakad
2) Obyek yang diperjanjikan diakui keabsahannya oleh xxxxx
3) Akad yang dilakukan tidak dilarang oleh syara
4) Akad yang dilakukan memenuhi syarat khusus yang diperjanjikan
5) Akadnya bermanfaat menurut syara
6) Ijab tetap utuh dan shahih sampai terjadinya kabul
7) Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis
75 Xxxxx Xxxx Xxxxxx (Ed), Ensiklopedi Hukum Islam, ...h. 64-66
8) Tujuan akad itu jelas dan diakui oleh xxxxx
Secara umum, syarat atau perjanjian dalam perkawinan menurut ulama fiqih dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a) Syarat atau perjanjian yang wajib dipenuhi
Syarat yang langsung berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami isteri dalam perkawinandan merupakan tuntunan dan tujuan dari perkawinan itu sendiri, dan tidak mengndung hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan Rasul-Nya.76
Persyaratan yang sesuai dengan tujuan pernikahan dan tidak menyalahi hukum syara‟, seperti:
1) Suami isteri bergaul secara baik
2) Memberikan pakaian, nafkah dan tempat tinggal yang pantas untuk isteri dan anak-anak
3) Suami isteri memelihara anak yang lahir dari perkawinan
4) Tidak mengurangi sedikit pun hak-hak masing-masing pihak
5) Xxxxx memberikan bagian kepadanya (isteri) sama dengan istri- isterinya yang lain (jika dimadu) dan lain sebagainya
Dalam hal ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk ini wajib dilaksanakan. Pihak yang terlibat atau yang berjanji wajib memenuhinya dan terikat dengan persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak menyebabkan perkawinan dengan sendirinya batal, resiko dari tidak memenuhinya
76 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, ...,x. 538
persyaratan ini adalah adanya hak bagi pihak-pihak yang dirugikan untuk menuntut di pengadilan untuk batalnya perkawinan.77
b) Syarat yang tidak wajib dipenuhi
Hal-hal yang apabila dipersyaratkan maka tidak wajib dipenuhi dan tidak memberi akibat hukum, sebab syarat-syarat itu menyalahi hukum perkawinan atau secara khusus dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada pihak-pihak tertentu, misalnya:78
1) Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan dan hukum perkawinan Islam, seperti tidak membayar mas kawin, untuk tidak memberi nafkah, atau isteri yang memberi nafkah kepada suami dan lain-lain
2) Persyaratan dalam hal hubungan suami isteri (jima‟). Seperti persyaratan untuk tidak disetubuhi,79 isteri tidak mendapat giliran yang sama (dalam hal berpoligami)
3) Persyaratan untuk tidak saling mewarisi
4) Persyaratan untuk menyerahkan hak talak kepada isteri
5) Dan persyaratan lain yang bertentangan denan syara‟, seperti persyaratan untuk tidak berketurunan dan lain-lain.
atau kawin tanpa mahar dan lain sebagainya
77 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h.147
78 Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h.147
79 Menurut Xxxxxxx Xxxxxx (Fikih Perbandingan, 1971: 186-191), dalam pada itu madzhab Syafi‟i mengatakan bahwa akad nikahnya batal, lihat Xxxxxx Xxx, Xxxxx Xxxxxxxxx, h. 28. Sedangkan menurut Xxxxxxxxxxx xx-Xxxxxx, hal itu tidak dibolehkan akan tetapi jika sepakat tidak apa sebab diibaratkan dengan kerelaan isteri apabila suaminya cacat, lihat Xxxxxxxxxxx xx-Xxxxxx, Kitab al-Fiqh „Ala Mazhib al-Arba‟ah, (Beirut: Darul Fikri, tt), IV:89
Dalam hal ini, para ulama juga sepakat bahwa syarat atau perjanjian tersebut tidak wajib dipenuhi dan syarat-syarat tersebut batal dengan sendirinya karena syarat itu bertentangan dengan hukum syara‟ dan hakikat perkawinan sehingga akan memberikan suatu mudharat.
Meskipun menempati perjanjian itu menurut asalanya adalah diperintahkan, sebagaimana yang dinyatakan Allah SWT dalam firman-
Nya:80
........... وقُ علۡ ٱِب ْاوفوُ ۡ أ ْاويُ ناء ويلَِّ ذ ٱ اهيُّ أ يَٰٓ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ”
(Q.S. Al-Maidah: 1)
Dalam ayat lain firman Allah SWT:81
ْاوُفوۡ أو ۥأُهدش أ غُلبۡ ي تَٰ ح وسح أ هِ تلذ ٱِب لَذ ِإ ميِت لۡۡ ٱ ل ان ْاوبُ ر
قۡ ت
لَ و
٣٤ لَٗ ؤس
ن نكَ
دهع
لۡ ٱ ن
ِإ د
هعلۡ ٱِب
“ Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji;
sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggung jawabnnya”.
(Q.S. Al-Isra‟: 34)
80 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ..., h.106
81 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ..., h.285
Walaupun syarat dan perjanjian itu harus dipenuhi, namun apabila syarat tersebut bertentangan dengan hukum syara‟maka tidak wajib dipenuhi, dalam arti syarat yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.82
Adapun akadnya sendiri tetap sah, karena syarat-syarat tadi berada diluar ijab kabul yang menyebutkannya tidak berguna dan tidak disebutkannya pun tidak merugikan. Oleh karena itu akadnya tidak batal, sebab pernikahan seperti ini tetap sah. Jadi, ijab kabul (pernikahan) dengan syarat yang batal (syarat yang tidak wajib dipenuhi) itu tetap sah.83
c) Syarat khusus untuk pihak perempuan
Syarat-syarat yang harus dipenuhi pihak suami, yaitu syarat yang manfaat dan faedahnya kembali kepada pihak isteri. Misalnya, suaminya tidak boleh menyuruh dia keluar rumah atau kampung halamannya atau tidak menawarnya dan sebagainya, bahkan syarat yang diajukan pihak perempuan untuk tidak dimadu. Semua persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang akan menikahinya. Jika ia tidak memenuhi syarat tersebut, maka pihak wanita boleh membatalkan pernikahan.84
Dalam hal syarat atau perjanjian yang diajukan pihak perempuan, terjadi perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara para ulama. Mengenai hal tersebut terdapat dua kelompok yang berbeda pendapat, yaitu:
82Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ...,h.148
00Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, ...,x. 536
84 Xxxxxx Xxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, ..., h. 106
Xxxxx Xxxxxx, Xxxxxx, Xxxxx‟i, az-Zuhri, Xxxxxxx, Xxxxxx xxx Xxxxx dan lain-lain. Mereka berpendapat nikahnya sah tetapi syaratnya tidak harus dipenuhi. Alasan mereka sebagai berikut:
a) Hadist Xxxxxxxxxx SAW yang berbunyi:85
لالاح مرح وأ اهارح لحأ اطرش لاإ نهطورش ىلع ىىولسولا
Orang Islam itu terikat dengan syarat mereka kecuali kalau syarat tadi menghalakan yang haram, atau mengharamkan yang halal.
Menurut mereka, bermadu dan memindahkan isteri dari rumah tangganya dihalalkan oleh agama.
b) Hadist lain yaitu:86
طرش ةئاه ىاك ىإو لطاب ىهف الله باتك ىف سيل طرش لك
Tiap-tiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal, sekalipun ada seratus syarat.
Bagi mereka syarat-syarat tersebut tidak ada dalam kitab Allah SWT dan tidak ada ketentuannya dalam agama.
Xxxxx Xxxx xxx Xxxxxxx00, Xxx xxx Xxx, Xxxx xxx Xxx Xxxxxx, Xx‟xxxxxx, Xxxx xxx Xxxxx Xxxx, Xxxxx xxx Xxxx, Xxxxxx, Xxxx‟i, Xxxxx dan Xxxxxxx. Alasan mereka diantaranya sebagai berikut:
85 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, x. 536. Hadist dari Xxx Xxxx dan perawi shahih lainnya,
lihat Xxx Xxxx, Xxxxx Xxx Xxxx, (Beirut: Darul Fikri, t.t), III: 296, Bab as-sulhu, hadis dari Abu Hurairah yang ditambahkan oleh Xxxxx.
86 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, .... h. 536. Xxxxx xx-Xxxxxxx, Xxxxxx xx-Xxxxxxx, (Beirut: Daarul Fikri, 1981 M/1401 H), II: 127, “Kitab Buyu”, “Bab Ma Yajuzu Min as-Syurut al- Maktabah”, atau Shahih al-Bukhari, II (Juz III): 242, Kitab “asy-Syurut”, Bab “al-Maktab Ma Yahillu Min asy-Xxxxxx Xxxxxx Xxxxxxxxx Kitaballah”. Hadist dari Aisyah.
a) Firman Allah SWT :88
...........
وقُ ع
لۡ ٱِب ْاوُفوۡ أ ْاو
يُ ناء
ويلَِّ ذ ٱ اه
يُّ أ يَٰٓ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu ”
(Q.S. Al-Maidah: 1)
b) Xxxxx Xxxxxxxx SAW:89
مهطورش ىلع نوملسملا
“Orang Islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian) mereka”
c) Hadist Bukhari, Muslim dan lain-lain yang diriwayatkan dari „Xxxxx xxx „Xxxx, Xxxxxxxx SAW bersabda:90
جورفلا هب نتللحتسا اه هب يفىي ىأ طورشلا قحأ
“Perjanjian yang paling patut ditunaikan yaitu yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu”.
d) Diriwayatkan oleh Xxxxxx dengan xxxxxxxx sendiri, pernah seorang laki-laki xxxxx dengan seorang perempun dengan xxxxx tinggal di rumahnya, kemudian suaminya bermaksud mengajak pindah, lalu mereka (keluarganya) mengadukannya kepada Xxxx xxx Xxxxxxx,
87 Xxxxxxxx Xxxxx Xxxx xx-Xxxxxx, Xxxxx dan Xxxxxxx Xxxx xxx Xxxxxx: Ensiklopedia berbagai Xxxxxxxxx Xxxxx, alih bahasa Zubeir Xxxxxxx Xxxxxxxx, Cet-II (Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 157-159
88 Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur‟an Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, ..., h.106
89 Xxx Xxxx, Xxxxx Xxx Xxxx, (Beirut: Darul Fikri, t.t), III: 296, Hadist No. 3594: Bab as- sulhu, hadis dari Xxxxxxxx xxx Xxxx.
90 xx-Xxxxxxx, Xxxxxx xx-Xxxxxxx, (Beirut: Daar Fikri, 1401 H/ 1981 M), III: 185, Hadist dari
„Uqbah bin „Xxxx.
maka Xxxx memutuskan: “perempuan itu berhak atas janji suaminya. (disini hak suami atas isteri batal karena adanya perjanjian). Dalam suatu riwayat lain (kasus lain) Xxxx menganggap persyaratan tersebut sebagai syarat yang tidak cocok dan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam akad nikah. Oleh sebab itu syarat tersebut tidak wajib ditepati. 91
Karena xxxxx-xxxxx yang diberikan suami kepada isterinya mengandung manfaat dan maksud yang tidak menghalangi perkawinan, maka sah hukumnya sebagaimana apabila perempuan mensyaratkan mahar yang lebih tingi.92
Xxxx Xxxxxxx menguatakan pendapat ini dan melemahkan pendapat yang kedua. Menurutnya:93
........ kalau ada yang berkata bahwa perjanjian seperti itu berarti mengharamkan yang halal, menurut kami itu bukan mengharamkan yang halal, tetapi maksudnya untuk memberikan kepada perempuan hak meminta cerai jika si suami tidak dapat memenuhi persyartan yang diterimanya. Jika mereka berkata bahwa hal itu tidak ada maslahatnya.... bahkan hal itu merupakan suatau kemaslahatan bagi perempuan karena apa yang bisa menjadi suatu maslahat bagi satu pihak yang mengadakan akad, berarti pula menjadi suatu maslahat di dalam akadnya.
Dalam hal ini, Xxxx Xxxxx berkata:94 sebab perbedaan pendapat mereka ini adalah karena mempertentangkan dalil yang umum dengan dalil yang khusus.
91 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, x. 537
92 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, .... h. 537
93 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, .... h. 537-538
Adapun dalil yang umum adalah hadis Aisyah, yang artinya: “setiap syarat yang tidak ada dalam kitab Allah adalah batal sekalipun ada seratus syarat.” Dan dalil yang khusus, yaitu hadis dari „Uqbah bin Amir, yang artinya “syarat (perjanjian) yang paling patut ditunaikan adalah yang menjadikan halalnya hubungan kelamin bagi kamu.” Kedua hadis ini shahih. tetapi menurut para
ahli ushul fiqih yang masyhur dipakai adalah memenangkan dalil yang khusus dari yang umum.....
Bagi mereka persyaratan ini telah memenuhi apa yang dikatakan Nabi tentang syarat paling layak untuk dipenuhi (memenuhi janji-janji yang diadakan dalam pernikahan atau syarat dalam perkawinan). Di samping itu tidak terdapat laragan Nabi secara khusus untuk hal tersebut.95
d. Syarat atau perjanjian perkawinan yang dilarang agama
Ada syarat-syarat yang oleh agama dilarang dan diharamkan untuk menepatinya, yaitu perempuan yang mensyaratkan suaminya agar mentalak madunya.96 Maka syarat tersebut tidak sah.97 Hal ini didasarkan pada apa yang diriwayatkan Xxx Xxxxxxxx r.a., yang berbunyi:98
Hadist tersebut menunjukan batalnya perbuatan yang dilarang karena perempuan itu mensyaratkan kepada suaminya untuk mencerikan madunya, menggurkan haknya memadu dan hak madunya, sehingga syaratnya tidak sah
94 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, x. 538
00Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h.149
00Xxxx Xxxxxxxxxxx, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, ..., h.149
97 Xxxxxx Xxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, ...., h.109
98 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, .... h. 538-539. Hadist riwayat Bukhari dan Muslim, lihat al- Bukhari, Xxxxxx xx-Xxxxxxx, (Beirut: Daarul Fikri, 1981 M/1401 H), III: 239, Kitab “asy-Syurut”, Bab “Ma La Yajuzu min asy-Syurut Fi a-Nikah”. Hadist dari Abu Hurairah
sebagaimana kalau ia mensyaratkan kepada suaminya agar membatalkan jual belinya.99
Dalam masalah ini, xxxx xx-Xxxxxx berpendapat:100
......... meminta agar madunya diceraikan, berarti merugikan perempuan lain, menyakitkan hatinya, merusak rumah tangganya, memberikan kesempatan kepada orang-orang yang memusuhinya untuk menghinanya karena ia ditinggalkan untuk menikah dengan orang lain dalam
perkara ini hukumnya batal.
Para ulama juga menambahkan beberapa syarat yang berpengaruh kepada sah tidaknya suatu akad perkawinan, yaitu:101
1) Persyaratan yang tidak berpengaruh para akad, jadi akad sah, seperti:
a) Penyandaran pada masa lampau, seperti saya nikahkan apabila dia masih hidup, ternyata masih hidup, dengan disaksikan dengan sua saksi maka akadnya sah.
b) Penyandaran pada sesuatu yang pasti, seperti aku nikahkan kamu apabila terbit matahari.102
2) Persyaratan yang menjadi suatu akad perkawinan menjadi batal, seperti:
99 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, x. 539.
100 Xxxxxx Xxxxx, Xxxxx Xxxxxx, .... h. 539.
101 Xxxxxxxxxxx xx-Xxxxxx, Kitab al-Fiqh „Ala Mazhib al-Arba‟ah, ...., x. 85-89
102 Kecuali ulama Hanabilah. Akan tetapi ulama Malikiyah malah membolehkan akad nikah dengan wasiat (tidak segera), seperti saya wasiatkan putriku untuk fulan setelah matiku, maka sah akadnya apabila dikabulkan setelah matinya. Xxxxxxxxxxx xx-Xxxxxx, Kitab al-Fiqh „Ala Mazhib al-Arba‟ah, ...., h. 85-89
a) Penyandaran pada sesuatu yang akan datang (tapi tidak nyata), seperti aku nikahkan engkau apabila bapak xxxx, padahal bapaknya tidak rela
b) Penyandaran pada sesuatu yang belum pasti, seperti aku nikahkan engkau apabila saudaraku datang, padahal belum tentu datang.
Syarat atau perjanjian yang tersebut dilakukan di luar proses akad perkawinan. Oleh karena itu perjanjian perkawinan terpisah dari akad nikah, maka tidak ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilaksanakan secara sah dengan pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu.
3. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Perkawinan
Mekanisme pembuatan perjanjian perkawinan, sebenarnya sama dengan pembuatan akta perkawinan, karena isi pembuatan perjanjian perkawinan terlampir dalam lembaran akta perkawinan tersebut. Mekanisme pembuatan perjanjian perkawinan tersebut adalah:
Sebelum orang yang berkehendak ingin menikah dan melaporkannya kepada petugas PPN (Petugas Pencatat Xxxxx), maka keduanya harus membawa:
1. Jika calon pengantin masih kurang 21 tahun umurnya, harus membawa pernyataan persetujuan orang tua
2. Akte kelahiran atau surat kenal lahir, yang maksudnya akan dicocokkan dengan surat-surat lainnya, terutama dengan umurnya
3. Surat tentang keterangan orang tua
4. Surat untuk keterangan untuk nikah dari kelurahan
5. Surat izin kawin bagi calon pengantin yang anggota TNI/ Polri
6. Surat izin atau dispensasi bagi calon pengantin yang belum mencapai usia kawin
7. Surat tidak mampu dari kepala desa, apabila memang orang tersebut tidak mampu
Setelah syarat-syarat diatas sudah terkumpul, maka PPN mengumumkan kehendak nikah tersebut pada papan pengumuman di Kantor Urusan Agama (KUA) tempat tinggal masing-masing calon pengantin.103
Sesaat setelah berlangsungnya perkawinan tersebut, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan (yang di dalamnya sudah terlampir isi perjanjian perkawinan) yang telah disiapkan oleh PPN, yang kemudian diikuti oleh kedua orang saksi, dan oleh wali nikah. Penandatanganan tersebut juga dilakukan oleh PPN. Di dalam isi akta perkawinan sudah terlampir diantaranya:104
a. Nama, tempat dan tanggal lahir, agama, pekerjaan dan tempat kediaman dari suami isteri, wali nikah, orang tua dari suami dan isteri, saksi-saksi, wali atau kuasa bila perkawinan di lakukan melalui seorang kuasa
b. Surat yag diperlukan, seperti izin kawin, dispensasi kawin, izin poligami, izin dari pejabat yang berwenang atau atasan bagi anggota TNI/Polri, perjanjian perkawinan sesuai pasal 29 UU No 1 Tahun 1974.
Kutipan akta perkawinan yang di dalamnya dimuat isi perjanjian perkawinan adalah bukti otentik bagi masing-masing yang bersangkutan yaitu
103 Ichtijanto, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademi Prasindo, 1996), Cet-1, h. 58
104 Ichtijanto, Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Perkawinan, ..., h.21
suami isteri, dan apabila dalam suatu waktu suami atau isteri melanggar perjanjian perkawinan yang telah disepakati bersama, maka keduanya boleh mengadukan ke Pengadilan Agama.
4. Bentuk dan Jenis Pelanggaran Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan yang dikemukakan dalam berbagai doktrin fiqih pada umumnya menempatkan ta‟lik talak searah dengan perjanjian/ta‟lik talak, dalam pengertian bahwa ta‟lik talak yang diucapkan oleh suami tidak perlu memperoleh persetujuan isteri.105
Xxxxx Xxxxx menguraikan dalam fikih sunnah bahwa perjanjian perkawinan yang disebut sebagai ta‟lik talak ada dua macam bentuk: 106
1) Ta‟lik yang dimaksud sebagai janji, karena mengandung pengertian melakukan pekerjaan atau meninggalkan suatu perbuatan atau menguatkan suatu kabar. Ta‟lik talak seperti ini disebut dengan ta‟liq qasami.
2) Ta‟lik yang dimakusdkan untuk menjatuhkan talak bila telah terpenuhi syarat. Ta‟liq ta‟liq seperti ini disebut dengan ta‟liq syarti.
Dari kedua bentuk ta‟lik talak di atas dapat dibedakan dengan kata-kata yang diucapkan oleh suami. Pada ta‟lik qasami, suami bersumpah untuk dirinya sendiri. Sedangkan pada ta‟lik talak suami mengajukan syarat dengan maksud jika syarat tersebut ada maka jatuhlah talak suami pada isterinya.
Adapun bentuk-bentuk persyaratan dalam pernikahan yang dilarang agama sebagai berikut:107
105 Xxxxx Xxxxx, tt, Fiqih Sunnah, ..., x. 114
106 Xxxxx Xxxxx, tt, Fiqih Sunnah, ..., x. 40
107 Xxxxxx Xxxxx Xxxx, Xxxxx Xxxxxxxx, , h.111-118
1) Nikah syigar, yaitu pernikahan dengan syarat calon mempelai laki-laki mengawinkan putrinya dengan wali perempuan tanpa mahar
2) Nikah mut‟ah, yaitu pernikahan dengan syarat untuk batas waktu tertentu
3) Nikah muhallil, yaitu pernikahan dengan syarat untuk menghalalkan bekas suami pertama (yang telah mentalak tiga) untuk dapat kembali kawin dengannya
4) Nikah kitbah „ala kitbah, yaitu pernikahan dengan syarat calon mempelai harus melepaskan pinangan dengan orang lain.108
Selanjutnya Xxxxxxxx Xxxxx Xxxx mengemukakan pendapatnya bahwa ta‟lik talak yang diucapkan suami dapat membawa konsekuensi jatuhnya talak suami kepada isteri apabila dipenuhi syarat sebagai berikut:
1) Bahwa yang di ta‟likkan itu adalah sesuatu yang belum ada ketika ta‟lik diucapkan tetapi dimungkinkan terjadi pada masa yang akan datang.
2) Pada saat ta‟lik talak diucapkan obyek ta‟lik (isteri)sudah menjadi isteri sah bagi pengucap ta‟lik.
3) Pada saat ta‟lik talak diucapkan suami isteri berada dalam majlis tersebut.
Dalam pandangan yang lain tentang beberapa syarat untuk menentukan jatuhnya talak talak mu‟allaq adalah:109
a) Xxxxxx suami mengucapkan perkataan tersebut ialah dengan niat untuk menjatuhkan talak kepada isteri
108 Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Jumhur ulama, dan mereka berketetepan bahwa larangan ini bersifat mengharamkan, Xxxxxx Xxxxx Xxxx, Fiqih Keluarga, , h.112
109 Xxxxx Xxxxxxx, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, ..., h. 169-170
b) Peristiwa, tindakan, atau masa yang disyaratkan itu mungkin terjadi atau mungkin ada atau mungkin akan datang.
Secara terminologi kata ta‟lik talak tidak populer pemakaiannya dengan ilmu fikih tetapi istilah yang sering dipakai dan memiliki maksud yang sama dengan ta‟lik talak dalam rumusan yang berbeda, oleh Xxxxx Xxxxxxx disebutkan dengan talak mu‟allaq, yang artinya: talak mu‟allaq adalah setiap talak yang disertai dengan syarat oleh orang yang mengucapkannya, serta terdapatnya hubungan jatuhnya talak dengan syarat dan ta‟lik.110
Pengistilahan yang lain dari talak versi Indonesia ini berlainan dari ta‟lik talak yang ada dalam kitab fikih, dimana yang menjadi sasaran adalah isteri, seperti suami mengatakan kepada isterinya: kalau kamu keluar dari rumah ini, engkau tertalak, sedang ta‟lik talak versi Indonesia yang menjadi sasaran dalah suami.111
Maksud diadakannya ta‟lik talak ialah suatu usaha dan daya upaya untuk melindungi isteri dari tindakan sewenang-wenang suaminya. Syariat Islam telah menentukan secara terperinci hak isteri atas suami, tetapi isteri tidak memiliki alat pemaksa supaya suami menunaikan kewajibannya. Dengan adanya sistem ta‟lik talak, nasib isteri dan kedudukannya dapat diketahui.112
110 Xxxxx Xxxxxxx, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, ..., h. 170
111 Xxxxxx Xxxxx, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), h.
62
112 Xxxxxx, Xxxxxx Xxxxxxx, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, ..., h. 243